Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 25
lirih, "Selamat berpisah, suheng. Sebaiknya kita berpisah di sini."
"Kurasa sebaiknya begitulah, sumoi, Biarlah kita saling mendoakan dan dengan
mengingat bahwa anak-anak kita berkumpul menjadi satu di bawah bimbingan ayah
mertuaku, hal itu akan menolong banyak untuk melawan kesunyian kita. Aku akan
selalu tetap ingat kepadamu, sumoi."
"Dan aku selamanya takkan melupakan engkau, suheng."
Mereka kembali saling pandang dan sinar mata mereka penuh dengan kasih
sayang dan perasaan iba karena mereka merasa senasib sependeritaan, merasakan
dengan jelas betapa cinta kasih di dalam hati mereka yang dulunya seolah-olah
terpendam kini tumbuh dengan suburnya, namun kesadaran mereka menjauhkan cinta
kasih itu dari pengotoran nafsu berahi. Mereka saling mencinta, sebagai suheng
dan sumoi, sebagai pria dan wanita, sebagai sahabat senasib sependeritaan, tanpa
adanya hasrat untuk saling memiliki sungguhpun mereka ingin sekali untuk saling
menghibur dan meringankan beban derita batin masing-masing. Akhirnya mereka
berpisah, Kun Liong kembali ke Leng-kok di mana dia hidup tenteram menanti
kembalinya puterinya, dan Giok Keng kembali ke Sin-yang, juga hidup menjanda dan
menyepi menanti kembalinya buteranya.
Pasukan Kim-i-wi yang mengubur semua jenazah telah selesai pula dengan
pekerjaan mereka lalu mereka berbaris pergi, kembali ke kota raja. Lembah Naga
ditinggal sunyi. Tidak ada seorangpun manusia di situ. Sunyi menyeramkan karena
tempat itu baru saja menjadi gelanggang pertempuran yang mengorbankan nyawa
puluhan orang manusia, sungguhpun kini yang nampak hanya bekas-bekasnya saja,
ceceran darah di sana-sini, tumbangnya pohon-pohon dan rusaknya rumput yang
terinjak-injak. Akan tetapi, malam hari itu nampak sesosok tubuh wanita berjalan
seroang diri di lembah itu, berjalan sambil menundukkan muka dan menangis.
Wanita ini adalah Liong Si Kwi, murid mendiang Hek I Siankouw yang sudah buntung
tangan kirinya, wanita yang cantik namun bernasib malang.
Cintanya terhadap Bun Houw ditolak oleh pemuda itu, padahal dia telah
menyerahkan kehormatannya, menyerahkan dirinya dan dia merasa di dalam lubuk
hatinya bahwa perbuatannya itu tentu akan mendatangkan akibat! Kini gurunya
telah tiada, hidupnya seorang diri, kehilangan tangan kiri dan kehilangan
semangat dan hati yang dibawa terbang pergi oleh bayangan Bun Houw. Maka dia
tidak mau meninggalkan Lembah Naga dan mengambil keputusan untuk tinggal
selamanya di situ, di tempat di mana dia telah menyerahkan tubuhnya kepada Bun
Houw, satu-satunya pria di dunia ini yang pernah dicintanya.
*** "Ke mana kita sekarang, Hong-moi?"
"Terserah kepadamu, koko."
"Aku tidak mempunyai tujuan."
"Kalau begitu kita membuat tujuan bersama."
"Ke mana?" "Ke manapun kau pergi, aku harus selalu bersamamu, Houw-koko."
"Aku tidak dapat kembali ke Cin-ling-san."
"Kalau begitu jangan ke Cin-ling-san."
"Habis ke mana?"
"Sesukamulah, biar ke neraka sekalipun, aku ikut denganmu. Selamanya kita
tidak boleh berpisah lagi, aku tidak mau berpisah lagi dari sampingmu."
Mereka berjalan berdampingan di dalam hutan itu dan kini Bun Houw berhenti,
memegang kedua lengan In Hong. Mereka berdiri berhadapan, saling menatap wajah
masing-masing di bawah sinar matahari senja yang kemerahan.
"Hong-moi, biarpun telingaku sudah mendengar sendiri akan pengakuanmu di
depan ayah, akan tetapi aku masih belum puas karena kata-katamu tidak kautujukan
kepadaku. Hong-moi, benarkah bahwa engkau cinta padaku?"
Bibir itu tersenyum manis dan sepasang pipi yang halus itu menjadi merah
sekali. Tatapan sinar mata Bun Houw membuat In Hong merasa malu. "Ihhh, pandang
matamu begitu... mengerikan, koko!"
Bun Houw tertawa. "Katakanlah, moi-moi, katakanlah."
"Aku cinta padamu, Houw-koko. Aku cinta padamu sejak pertama kali bertemu
denganmu!" Bun Houw merangkulnya dan mereka berpelukan dengan ketat. Bun Houw berbisik
di dekat telinga kekasihnya, "Hong-moi, akupun cinta padamu, aku mencintamu
dengan seluruh jiwa ragaku, dengan seluruh hati dan sukmaku."
"Aku tahu, koko."
"Akan tetapi..." Suara Bun Houw mengejutkan In Hong dan dia melepaskan
pelukannya, menarik tubuh ke belakang agar dapat memandang wajah kekasihnya.
Dia memandang penuh selidik dan makin terkejutlah hatinya ketika dia melihat
wajah kekasihnya itu kelihatan berduka dan penuh kekhawatiran.
"Ada apakah, koko" Sejak meninggalkan Lembah Naga, kau pendiam dan kelihatan
ada sesuatu mengganggumu. Aku dapat merasakannya itu dan dapat kulihat dari
kerut di antara matamu. Houw-koko, di antara kita tidak boleh ada rahasia. Kita
sudah merupakan dua badan satu hati, kebahagiaan dan penderitaan kita menjadi
satu, kita nikmati dan kita pikul bersama."
"Hong-moi..." Bun Houw memeluk dan dengan terharu dia mendekatkan mukanya.
Biarpun jantungnya berdebar keras penuh rasa malu dan ketegangan, namun In Hong
menyambutnya dengan bibir tersenyum, setengah terbuka, menanti apa yang akan
dilakukan oleh kekasihnya itu terhadap dirinya penuh keikhlasan.
In Hong memejamkan mata dengan jantung berdebar tegang ketika merasa betapa
bibirnya tersentuh bibir Bun Houw, akan tetapi tiba-tiba pemuda itu menarik diri
dan ketika In Hong membuka matanya, dia melihat pemuda itu mengerutkan alisnya
den kelihaten cemas sekali.
"Houw-koko, ada apakah?" dia bertanya merasa khawatir juga.
"Moi-moi, aku tidak berhak menyentuhmu sebelum kau mengetahui segalanya!"
kata Bun Houw. "Sudah kuduga tentu ada sesuatu, koko, maka ceritakanlah kepadaku. Tidak
boleh ada rahasia menghalang di antara kita."
Bun Houw melepaskan pelukannya dan dia lalu duduk di atas akar pohon yang
menonjol keluar dari tanah. In Hong juga duduk di atas batu di depannya. Sampai
lama In Hong menanti, namun pemuda itu diam saja, mukanya agak pucat. Setelah
berulang-ulang dia mendesak, barulah Bun Houw bicara.
"Betapa sukarnya menceritakan hal itu kepadamu, Hong-moi. Peristiwa terkutuk
itu terjadi ketika kita berdua terpengaruh oleh racun perangsang itu, ketika
kita berada dalam tahanan..."
"Ahhhh...!" In Hong teringat semua itu dan wajahnya makin merah. Dia masih
merasa malu dan jengah kalau teringat betapa di bawah pengaruh racun, dia telah
bersikap luar biasa sekali, sikap yang membuatnya malu bukan main. "Akan
tetapi... mengapa hal itu sekarang membuatmu risau, koko" Bukankah kita berdua
telah berhasil melawan pengaruh racun, berkat keteguhan hatimu?"
"Bukan berkat keteguhan hatiku, melainkan berkat kemurnian hatimu, moi-moi.
Sedangkan aku... ah, aku manusia lemah!"
"Tapi kita tidak melakukan pelanggaran, koko!"
"Benar, denganmu memang tidak karena engkau seorang dara yang suci dan
hatimu bersih. Aku masih berterima kasih kepadamu karena keteguhan dan ketahanan
hatimu di waktu itu. Akan tetapi, ahhh...!" Bun Houw menarik napas lagi. Sungguh
berat rasanya untuk menceritakan peristiwa itu kepada kekasihnya.
"Ceritakanlah, koko. Ingat, di antara kita tidak boleh ada rahasia."
"Benar, aku harus menceritakan kepadamu, betapapun berat dan sukarnya.
Dengarlah, di waktu engkau terlena dalam keadaan pingsan akibat pengaruh racun
itu, tiba-tiba di sudut ruangan itu nampak lubang dan ternyata pembuat lubang
itu adalah Liong Si Kwi, gadis murid Hek I Siankouw itu. Ingatkah kau?"
In Hong mengangguk. "Aku ingat padanya. Nah, lalu bagaimana?"
"Dia muncul dari dalam lubang dan ternyata lubang itu digalinya dari
kamarnya sampai menembus ke tempat tahanan kita. Maksudnya membuat lubang itu
adalah untuk menolongku, menyelamatkan aku..."
"Hemm, rupanya dia jatuh cinta kepadamu sampai berlaku begitu nekat dan
berbahaya, koko." "Demikianlah agaknya. Dia memondongku dan membawaku melalui lubang itu dan
sampai di dalam kamarnya. Maksudnya memang hendak membebaskan aku, akan
tetapi... ah, keparat racun itu... dan dia... dia berbeda dengan engkau, Hongmoi... dalam keadaan seperti itu, dia malah merayuku... dan aku... aku tidak
sadar sama sekali dan aku... tidak kuat bertahan dan..." Bun Houw tidak
melanjutkan ceritanya, menutupi mukanya dengan kedua tangan, tidak berani
memandang wajah kekasihnya.
Berkerut kedua alis In Hong. Sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat,
wajahnya sebentar pucat sebentar merah, hatinya dibakar oleh api cemburu,
napasnya agak memburu. Akhirnya, perlahan-lahan sinar matanya melembut kembali,
napasnya teratur lagi dan dia bertanya, suaranya agak gemetar dan tersendat,
"Jadi kau... kau dan dia... telah... bermain cinta?"
Bun Houw mengepal kedua tangannya.
"Hong-moi, harap jangan gunakan istilah itu. Memang kami telah melakukan
hubungan kelamin, kau tahu bahwa aku sama sekali tidak cinta kepadanya, akan
tetapi di bawah pengaruh racun yang amat kuat itu... dan ditambah rayuan wanita
tak tahu malu itu..." Bun Houw membuka matanya yang menjadi merah.
"Kalau tidak ada suhu dan ayah, tentu sudah kubunuh wanita itu!"
"Hushhh... jangan bicara sembarangan saja, koko. Dia cinta padamu, dia sudah
mengorbankan tangan kirinya. Kita patut merasa kasihan kepadanya."
Bun Houw menoleh kepada In Hong dengan mata terbelalak. "Apa..." Kau... kau
tidak marah...?" In Hong mengangguk dan tersenyum.
"Tentu saja hatiku penuh iri dan cemburu dan marah, akan tetapi aku dapat
memaklumi keadaanmu dan aku maafkan engkau, Houw-koko."
"Hong-moi... terima kasih, Hong-moi...!"
Mereka berangkulan dan kini dua mulut pemuda yang saling mencinta itu
bertemu dalam satu ciuman yang amat mesra, ciuman yang mengandung getaran hati
mereka sepenuhnya, seolah-olah dua perasaan hati bertemu menjadi satu lewat
ciuman itu, bertaut dan tidak akan terpisah lagi. Mereka seperti lupa diri,
masing-masing melimpahkan kemesraan tanpa mengenal bosan dan matahari senja
agaknya cepat-cepat menyingkir untuk memberi kesempatan kepada dua orang muda
itu untuk berasyik mesra.
"Hong-mol..." Bun Houw berbisik sambil mengelus-elus rambut hitam panjang
dan halus itu. "Hemmm..." In Hong berbisik kembali dari atas dada kekasihnya di mana dia
menyandarkan kepalanya setelah debar jantungnya agak tenang sehabis diamuk badai
kemesraan tadi. "Engkau masih ingat kepada Liok Sun?"
"Heh" Liok Sun" Siapakah dia?"
"Yang berjuluk Kiam-mo (Pedang Setan), pemilik perjudian Hok-pokoan di
Kiang-shi." "Ah, di mana engkau dahulu menjadi pengawainya" Majikanmu itulah?"
"Hushh, jangan menghina aku!" Bun Houw menghardik dan mencubit pipi
kekasihnya dengan mesra. "Kau tahu bahwa aku bukanlah pengawainya, melainkan
hanya menyamar sebagai pengawalnya untuk menyelidiki keadaan Lima Bayangan
Dewa." "Aku tahu, koko. Nah, ada apa dengan dia?"
"Dia telah tewas, moi-moi, dan betapapun juga, dia adalah seorang yang
mempunyai setia kawan dan seorang sahabat yang baik. Sebelum dia mati, dia telah
meninggalkan pesan kepadaku, pesan yang sudah kusanggupi."
"Heh, kau memang terlalu baik hati, Houw-ko. Apa itu kesanggupanmu?"
"Dia meninggalkan pesan sebelum tewas bahwa dia menitipkan anaknya kepadaku,
anaknya bernama Sun Eng, seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun yang
ditinggalkan di Kiang-shi."
"Dia bershe Liok, kenapa anaknya she Sun?" In Hong bertanya heran.
"Sebenarnya namanya dahulu adalah Sun Bian Ek, nama Liok Sun hanya nama
penyamaran saja untuk menyembunyikan diri."
"Hemm, belum juga menjadi isterimu sudah harus mempunyai seorang anak
perempuan yang berusia sepuluh tahun!" In Hong mengomel. "Sedangkan kita belum
menikah belum mempunyai rumah."
"Bukan anak, moi-moi, melainkan... yah, anggap saja seorang murid. Tidak
mungkin aku mengingkari janji kepada seorang yang telah mati."
In Hong menghela napas panjang, sengaja untuk menggoda kekasihnya.
"Baiklah... baiklah... memang sudah nasibku, menjadi jodoh scorang yang belum
mempunyai tempat tinggal tertentu akan tetapi telah dibebani seorang anak yang
besar. Hehh, enaknya menjadi jodoh pendekar sakti Cia Bun Houw!"
Bun Houw menjadi gemas dan menggelitik leher dan lambung kekasihnya. In Hong
terkekeh kegelian, meronta akan tetapi kedua lengan Bun Houw sudah merangkulnya,
dan ketika dia mencium mulut yang terbuka itu, In Hong menghentikan gerakannya
meronta dan kedua lengannya seperti dua ekor ular merayap dan melingkari leher
pemuda itu. Sampai di sini, pengarang menyudahi cerita "Dewi Maut" ini dengan permintaan
maaf apabila terdapat kejanggalan-kejanggalan dan kesalahan-kesalahan dalam
cerita ini, dan disertai harapan mudah-mudahan cerita ini dapat sekedar
menghibur hati para pembaca sebagai pengisi waktu terluang dan mengandung
manfaat. Selamat berpisah dan sampai jumpa di lain cerita.
T A M A T Raja Pedang 10 Pendekar Naga Putih 22 Tragedi Gunung Langkeng Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama