Ceritasilat Novel Online

Dua Musuh Turunan 1

Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 1


dua musuh turunan Seri ke 2 Thiansan (PENG TJONG HIAP ENG) Karya : Liang Ie Shen Saduran : OKT Jilid 1 CERITERA PENDAHULUAN Di luar kota Ganboenkwan, daerah yang luasnya seratus lie adalah daerah kosong,
atau no man's land. Di dalam kota
Ganboenkwan berdiam pasukan perang Kerajaan Beng, dan di pihak sana, di luar
kota, ada tentara bangsa Mongolia, ialah rombongan suku bangsa Watzu.
Selama tahun-tahun permulaan dari Kaisar Eng Tjong dari Kerajaan Beng - belum
lewat empat puluh tahun dari wafatnya Beng Thaytjouw Tjoe Goan Tjiang, kaizar
pendiri dari Ahala Beng itu - bangsa Mongolia di Barat utara mulai bangkit
bangun pula, dan rombongan suku Watzu adalah yang terkuat. Rombongan ini setiap
tahun maju dengan perlahan-lahan, sampai ditahun Tjongtong ke-3 - tahun Kaisar
Eng Tjong itu - tentaranya telah mendekati kota Ganboenkwan. Demikian terjadilah
daerah yang kosong itu. Pada, suatu magrib, selagi angin Barat meniup dengan kerasnya, hingga pasir
kuning dan daun-daun rontok berterbangan, sedangnya kelenengankelenengan kuda
bersuara bercampur baur dengan suaranya terompet huchia dari orang Mongolia,
maka di daerah kosong itu, ialah di jalan pegunungan di dalam selat, sebuah
kereta keledai asyik lewat dengan kencangnya.
Kereta itu diiringi satu penunggang kuda - seorang usia pertengahan yang
menggendong kantong busur pada bebokongnya dan pada pingangnya tergantung
sebatang pedang. Sering sekali pengiring ini berpaling ke belakang.
Selagi angin bertiup keras, bercampur dengan suara ringkikan kuda yang tak
hentinya dan suara beradunya senjata-senjata tajam, tiba-tiba terdengar satu
seruan panjang dan hebat, lalu setelah itu - dengan laratnya sang kereta keledai
- suara berisik itu perlahan-lahan berubah menjadi kesunyian.
Dari dalam kereta, seorang tua menyingkap tenda, memperlihatkan kepalanya dengan
rambut ubanan semua. "Apakah Teng-djie memanggil aku?" tanya dia. "Apakah dia telah menemui
kecelakaannya" Tjia Hiapsoe, tak usah kau pedulikan lagi padaku, pergi kau
sambut mereka itu! Setelah sampai di sini, mati pun aku akan meram..."
Pengiringnya itu perdengarkan jawabannya. Ia menunjuk jauh ke belakang.
"Selamat, loopeh" kata dia. "Loopeh dengar suara kalutnya tindakan kaki kuda
itu. Itulah pasti tanda yang tentera Tartar sudah mundur! Nah, lihat di sana,
bukankah itu mereka yang tengah mendatangi?"
Habis berkata, pengiring ini memutar kudanya, yang terus ia larikan, guna
memapaki "mereka" yang katanya tengah mendatangi mereka.
Si orang tua di dalam kereta menghela napas, menyusul itu air matanya berlinang
linang, menetes turun. Di dalam kereta itu, yang larinya tak tetap, ada satu bocah wanita. Dia bermuka
merah karena hawa yang dingin sekali, warna merah itu mirip dengan buah apel
yang telah matang dalu. Dikucak-kucaknya matanya seperti dia baharu terjaga dari
tidurnya. "Yaya, adakah ini wilayah Tionggoan?" dia tanya.
Orang tua yang dipanggil "yaya" (engkong) itu menahan keretanya. Ia menyingkap
pula tenda, untuk melihat ke tanah, tempat di sekitarnya.
"Ya, inilah tanah daerah Tionggoan," sahutnya, dengan suara dalam. "A Loei, coba
kau turun, kau tolongi yaya-mu menjemput segumpal tanah!"
Ketika itu dari mulut selat terlihat tiga ekor kuda kabur mendatangi, salah satu
penunggangnya, rebah tengkurap dengan pakaian murat-marit, robek di sana-sini.
Yang terdepan adalah satu hweeshio atau pendeta.
Pengiring usia pertengahan yang dipanggil Tjia Hiapsoe oleh yaya-nya si bocah
tadi memapaki hweeshio itu.
"Tiauw Im Soeheng, bagaimana dengan In Teng soetee?" dia tanya.
Hweeshio itu menahan kudanya.
"Dia telah menemui kematiannya," ia menyahut, wajahnya muram. "Tidak kusangka,
setelah melalui laksaan lie air dan ribuan lie gunung, setelah bisa menyingkir
sampai di sini, selagi kota Ganboenkwan sudah terpandang di depan mata, dia
masih tak dapat lolos dari tangannya orang Tartar! Akan tetapi, tak kecewa dia
menjadi satu laki-laki, dalam keadaan luka parah dia masih dapat membinasakan
beberapa orang musuh, selagi menghadapi kematiannya, dia telah berhasil membunuh
Tartar yang memimpin pasukannya, hingga dia membuatnya tentara Mongolia menjadi
ketakutan dan kabur, sampai mereka itu tak berani mengejar terlebih jauh!
Manusia siapakah yang tidak mati" Orang yang mati seperti dia, matinya berharga!
Muridmu juga tidak dapat dicela, dia pun berhasil membinasakan beberapa musuh,
dengan paman gurunya dia mati bersama!... Orang usia pertengahan itu
membelalakan matanya, dengan mata bersorot kegusaran, ia dongak memandang udara,
habis itu mendadak ia berseru panjang.
"Kota Ganboenkwan telah berada di depan mata, kita achir-achirnya tidak mensiasiakan pesan Soetee In Teng!" katanya. "Kita telah antar ayahnya pulang, didunia
baka, In soetee bolehlah meramkan mata. Cuma In Thaydjin pasti sangat berduka,
hal ini untuk sementara harus disembunyikan baginya"
Lantas ia larikan kembali kudanya, ke arah kereta keledai.
Si orang tua telah duduk di depan kereta sekarang, tangannya memegang segumpal
tanah. Nampaknya ia bersikap luar biasa sekali.
Si bocah wanita, yang berdiri diam di tanah, matanya mengawasi engkongnya saja.
"In Thaydjin, kita telah kembali," berkata Tiauw Im Hweeshio, yang turut si
pengiring usia pertengahan itu.
"Mana anakku si Teng?" tanya si orang tua.
"Tentara Tartar telah kita pukul mundur," sahut Tiauw Im. "Dia telah mendapat
sedikit luka, dia ada di belakang bersama muridnya Soetee Thian Hoa."
Hweeshio ini telah kuatkan hatinya, ia mencoba berlaku tenang, tapi tak sanggup
ia menahan kedukaannya yang hebat, ini terutama tampak pada wajahnya yang suram
dan suaranya yang sedikit gemetar.
Wajah si orang tua berubah dengan segera.
Tiauw Im dan Tjia Thian Hoa - demikian si hiapsoe, orang gagah bangsa hiapkek orang-orang kosen, akan tetapi tak sanggup mereka awasi sinar mata tajam dari
orang tua itu, tanpa merasa mereka mundur dua tiga tindak.
Orang tua itu sudah lantas tertawa bergelak-gelak.
"Ayah adalah tiongsin dan anaknya hauwtjoe." mendadak ia berkata dengan nyaring.
"Tiongsin dan hauwtjoe hidup berkumpul dalam satu keluarga, maka aku, In Tjeng,
apalagi yang aku rasakan kurang" Hahaha!"
Itulah tertawa yang mengandung kedukaan hebat sekali.
Tjia Thian Hoa dan Tiauw Im Hweeshio berdiam. Keduanya kagum berbareng terharu.
Mereka telah saksikan apa yang dinamakan tiongsin - menteri setia, dan hauwtjoe
- anak berbakti. Si bocah dongak, mengawasi engkong-nya itu.
"Yaya, kau tertawakan apa?" dia tanya. "Aku takut, yaya, jangan kau tertawa
seperti itu...Yaya, kenapa ayah masih belum datang?"
Orang tua itu berhenti tertawa dengan tiba-tiba, lantas ia berdiam. Tapi ia
berdiam sebentar saja. "Apakah besok pagi-pagi kita bisa sampai di kota Ganboenkwan?" dia tanya,
suaranya perlahan. "Ya," sahut Thian Hoa. "Malam ini adalah malam-an Capgwee Capgouw, di waktu
malam sang rembulan terang sekali cahayanya. Besok pagi pastilah kita akan tiba
di sana." Orang tua itu masih menggenggam tanah, agaknya ia pandang tanah itu bagaikan
mestika, ia bawa itu kehidungnya, untuk disedot beberapa kali.
Tanah itu berbau daun-daun busuk. Akan tetapi si orang tua merasakannya itu
harum sekali. "Dua puluh tahun sudah!" katanya pula, tetap perlahan, tetapi suaranya itu
tetap. "Baharu sekarang aku dapat mencium lagi baunya tanah tumpah darahku..."
"Loopeh telah tinggal di negara asing, ke-hormatanmu dan kesetiaanmu telah dapat
dilindungi," berkata Tjia Thian Hoa, malah dibanding dengan Souw Boe, loopeh
tinggal di sana satu tahun lebih lama. Maka itu, orang sebagai loopeh, siapa pun
pasti menjunjungnya!"
Tetapi orang tua itu sendiri mengkerutkan alisnya. Ia ulurkan kedua tangannya,
untuk membantu menarik si bocah naik ke kereta.
"A Loei, tahun ini kau telah berumur tujuh tahun," katanya dengan perlahan,
"maka itu sudah seharusnya kau mulai mengerti urusan. Malam ini yaya-mu akan
ceritakan kau sebuah dongeng, kau mesti ingat itu baik-baik dalam kalbumu."
"Apa" Mesti diingat dalam kalbuku?" si bocah membaliki. "Aku tahu sudah, yaya
hendak menutur tentang cerita yang mengenai diri yaya sendiri!"
Orang tua itu heran ia awasi cucunya itu. "Kau sungguh cerdik!" kata dia.
"Dibanding dengan masa kecilku, kau jauh terlebih cerdik!"
Tak ingat engkong ini bahwa bocah itu, sejak dilahirkannya, baharu satu bulan
berselang bertemu dengannya. Waktu baru bertemu sama sang engkong, bocah ini
telah menanya pada ayahnya kenapa bolehnya mendadak muncul satu engkong
untuknya, atas mana, sang ayah menjawab: "Bukankah telah sering aku ceritakan
kepadamu tentang hal ichwalnya Souw Boe" Ceritera tentang yaya-mu ini ada jauh
lebih menarik daripada lelakonnya Souw Boe itu. Tunggu saja nanti, biar yaya-mu sendiri yang
menuturkannya, tapi kau harus ingat itu baik-baik dalam kalbumu."
Karena kata-katanya ayah ini, maka bocah itu dapat menduga dongengnya si
engkong. Tjia Thian Hoa dan Tiauw Im Hweeshio seperti kitarkan kereta keledai
itu, mereka berdiam, tetapi dengan penuh perhatian, seperti si bocah perempuan
sendiri. Orang tua itu jumput sebatang tongkat bambu, di kepala itu ada beberapa lembar
bulunya yang jarang. "Bulu dari tongkat ini, yang menjadi barang perhiasan, telah rusak karena salju
yang beku bagaikan es dari tanah Utara," katanya. "Inilah tongkat yang dinamakan
soetjiat. A Loei, tahukah kau artinya soetjiat" Nanti aku jelaskan."
"Soetjiat" adalah tongkat kehormatan, tongkat kepercayaan.
Bocah itu awasi engkong-nya.
"Pada dua puluh tahun yang lampau, engkong-mu ini adalah satu utusan dari
Kerajaan Beng yang besar," yaya itu mulai dengan ceriteranya. "Engkongmu telah
diutus ke Mongolia, yaitu negara dari suku bangsa Watzu, untuk mengikat
persahabatan. Tongkat ini adalah pemberian dari Sri Baginda kepadaku, namanya
ialah soetjiat. Dan soetjiat ini mewakilkan Raja, maka itu, jiwa boleh
terhilang, tongkat ini tak dapat termusnah. Ketika itu Mongolia terbagi dalam
dua rombongan suku bangsa, ialah Watzu dan Tartar. Bangsa itu masih lemah.
Menurut aturan, utusan Kerajaan Beng mesti disambut secara hormat, akan tetapi
di luar dugaan, di saat penyerahan surat-surat kepercayaan negara, telah terjadi
satu perubahan. Mulanya, raja Watzu tetap berlaku hormat seperti biasa, sampai
tiba-tiba muncul seorang Han dalam pakaian bangsa Tartar. Dia datang ke istana
dengan membawa pedang dipinggangnya, dia lantas tarik raja Watzu ke samping,
untuk diajak berbisik, sambil bicara matanya melirik padaku. Orang Han itu
berumur kurang lebih dua puluh tahun akan tetapi matanya memperlihatkan sinar
kebencian hebat, dia seperti bermusuh denganku."
"Apakah orang itu kenal loopeh?" Tjia Thian Hoa tanya.
"Tidak," sahut In Tjeng. "Aku pun tidak kenal dia.
Aku percaya, aku sebagai satu pembesar yang bersih, seumurku, aku tidak punya
musuh, lebihlebih tak mungkin terjadi ada musuh di antara bangsa Tartar. Tak
tahu aku, mengapa dia agaknya sangat membenci aku. Ketika itu, melihat dia
dandan sebagai orang Tartar, tak ingin aku bicara dengannya. Setelah bicara
sekian lama dengan raja Watzu itu, mendadak dia keluarkan perintah untuk menahan
aku, malah dia hendak rampas juga soetjiatku. Aku menjadi gusar, aku membuat
perlawanan. Aku sudah pikir, jiwaku boleh hilang tetapi tongkat kepercayaan dari
Sri Baginda ini tidak. Aku benci dia bila aku ingat dia adalah orang Han."
Keras suaranya orang tua ini sewaktu dia mengatakan demikian.
"Ketika dia dengar aku menyebut-nyebut Sri Baginda, dia tertawa besar," dia
melanjutkan. Kaisar Beng, Kaisar Beng!" katanya mengejek. "Haha! Apakah kau
telah siap sedia untuk menjadi menteri setia dari Kaisar Beng" Baik! Akan aku
bikin kau puas! Kau bakal jadi Souw Boe kedua! Souw Boe menggembala kambing, kau
sendiri boleh mengangon kuda!" Dan sejak itu, aku hidup di tanah Utara yang
hawanya sangat dingin, aku tungkuli kuda sampai lamanya dua puluh tahun...
Mulanya aku masih mengharap pemerintah nanti mengirim angkatan perang guna
menolong aku, akan tetapi bertahun-tahun telah lalu, tetap tidak ada kabar
beritanya. Adalah kemudian aku dengar cerita bahwa Kaisar Tay Heng, yaitu
Baginda Seng Touw, telah mangkat, ia digantikan Baginda Djin Tjong. Habis itu,
belum satu tahun, Kaisar Djin Tjong juga wafat, ia lantas digantikan oleh satu
Kaisar muda, hingga negara seperti tidak ada rajanya. Sampai di situ, habislah
keangkaraan dari Thay Tjouw dan Seng Tjouw. Karena itu, habis juga pengharapanku
untuk dapat pulang kembali, dan aku percaya, pasti aku akan mati di negara
asing. Putus harapanku akan dapat kembali ke tanah daerah Han! Siapa sangka,
telah dating hari seperti ini!"
Thian Hoa dan Tiauw Im saling memandang, mereka bungkam, akan tetapi wajah
mereka menunjukkan bahwa mereka kagum sekali.
In Tjeng lihat sikapnya dua orang itu, ia tidak ambil tahu, cuma sikapnya
sendiri yang nampak makin pendiam. Ia tekuk-tekuk sepuluh jari tangannya, hingga
berbunyi. "Selama dua puluh tahun itu, bukan main kesengsaraan yang kuderita," ia
menyambungi ceritanya. "Di laut pasir tidak ada air minum, sukar untuk
mendapatnya, maka juga, ada kalanya aku menghilangkan dahaga dengan minum air
kencing kuda, sedang di musim rontok dan dingin, aku minum air salju. Itulah hal
biasa, itulah masih tidak berarti. Yang paling menjemukan adalah itu jahanam,
dia sering kirim utusan menemui aku dan di depanku dia caci maki kaisar Beng.
Selama dua puluh tahun itu, tidak ada saat yang aku tidak bersedia untuk mati,
tetapi menjemukan, dia justeru tidak hendak membunuh aku, dia cuma menyiksa
bathinku!" In Loei - ialah si A Loei, sebagaimana ia dipanggil engkong-nya - jadi sangat
gusar. "Siapa namanya manusia busuk itu?" dia tanya. "Katakan padaku, yaya. Nanti,
setelah Loei dewasa, Loei gantikan yaya menuntut balas!"
"Lama kelamaan, tahulah aku siapa dia," In Tjeng meneruskan lagi. Dengan begitu
ia pun jawab cucunya itu. "Dia she Thio, namanya Tjong Tjioe. Tentu saja, tak
pantas dia menjadi manusia Han. Kenapa dia mencaci raja kita" Djiewie Hiapsoe,
coba katakan pantas atau tidak kalau jahanam itu dibinasakan?"
"Memang dia harus dibinasakan!" sahut Tiauw Im dan Thian Hoa berdua, malah si
hweeshio sambil gedruk tanah dengan tongkatnya yang panjang seperti toya.
Baharu sekarang In Tjeng tersenyum. Ia mengusap-usap kepala, cucunya.
"Kemudian ternyata, Thio Tjong Tjioe itu adalah dari keluarga dorna, " ia
melanjutkan "Ayahnya sejak lama telah memangku pangkat di Mongolia, sampai
kepadanya, dia semakin terpakai. Dia baharu berumur dua puluh lebih, dia sudah
menjadi yoe sinsiang, menteri muda. Bersama-sama Tjio sinsiang Toat Hoan dia
menjadi orang kepercayaan dari raja Watzu, Toto Puhwa Khan. Dia bertubuh sehat,
mungkin dia masih dapat hidup lagi dua atau tiga puluh tahun. Siang dan malam
selama aku mengembala kuda di tanah yang berlangit es dan berbumi salju itu,
selalu aku mengharap-harapkan dia tidak mati siang-siang!"
"Kenapa begitu, thaydjin?" tanya Tiauw Im. In Tjeng tertawa dingin. Sudah lama
sekali ia berdendam, sekarang ingin ia melampiaskannya.
In Loei bergidik mendengar tertawa yang menyeramkan itu.
Engkong itu merogo sakunya dari mana ia keluarkan sepotong kulit kambing, di
atas itu ada tertulis beberapa huruf warna coklat. Dengan samar sekali, kulit
itu menyiarkan bau bacin.
Tjia Thian Hoa terperanjat melihat surat kulit kambing itu.
"In Loopeh, adakah ini surat darahmu?" dia tanya.
"Inilah yang kedua," sahut In Tjeng. "Seperti aku katakan tadi, mulanya aku
mengharap Pemerintah Agung mengerahkan angkatan perang untuk menegur dan
menghukum raja Watzu, supaya jahanam itu dibekuk dan dihukum menurut undangundang negara, kemudian aku dapat kenyataan, aku tidak mempunyai harapan lagi.
Aku lalu memikir untuk membunuh jahanam itu dengan tanganku sendiri, hanya
sayang bagiku, aku hanya satu sasterawan yang tidak punya tenaga sekalipun untuk
menyembelih ayam. Setelah berpikir pulang pergi, aku jadi mengharap biarlah anak
cucuku semua meninggalkan pelajaran surat, buat pelajari ilmu silat, guna mereka
membalas sakit hatiku. Kemudian ternyata pengharapanku itu telah terkabul.
Selang sepuluh tahun sejak aku menggembala kuda, anakku si Teng telah datang ke
perbatasan, masuk ke dalam negeri Watzu itu.
Tentu saja dia telah sembunyikan she dan namanya. Dengan susah payah dia cari
aku. Ketika aku diutus ke Mongolia, si Teng baharu saja lulus sebagai sioetjay.
Dia adalah satu mahasiswa yang lemah tubuhnya, akan tetapi di tanah asing ini,
aku dapatkan ia sebagai satu orang yang gagah. Nyatalah dia, oleh karena
pemerintah agung tidak berminat menegur raja Watzu, sudah lantas meninggalkan
ilmu suratnya, dia sengaja belajar silat, setelah mana dia nyelundup masuk ke
Mongolia. Dia datang seorang diri. Katanya dia belajar silat pada Hian Kie


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Itsoe, ahli pedang nomor satu. Dia baharu belajar tujuh tahun, dia belum lulus,
akan tetapi kendati begitu, tiga sampai lima puluh orang biasa saja tidak nanti
mampu dekati padanya. Demikian keras niatnya menolongi ayahnya, hingga tanpa
menunggu sampai lulus dari perguruan, dia sudah mencari aku."
In Loei mendengarkan dengan kedua matanya memain, tak hentinya. Ia sangat
tertarik tetapi ada sesuatu yang membuatnya ia tidak mengerti.
"Yaya," tanyanya, "ayah mempunyai kepandaian silat itu, kenapa aku sedikit juga
tidak tahu" Aku lihat setiap hari ayah dan mama pergi bersamasama untuk
menggembala kambing, mereka tidak mempunyai pekerjaan lain. Satu hari ada
seorang Tartar yang hinakan ayah, yang hendak merampas kambingnya, meskipun ia
dipukul, sama sekali ia tidak membalas menyerang..."
Engkong itu menghela napas.
"A Loei kau masih kecil," katanya. "Ada banyak hal, kalau itu diberitahukan
kepadamu, kau tidak akan mengerti. Dikemudian hari, umpama kata aku menutup
mata, hingga tidak dapat aku menanti sampai kau dewasa, itu waktu kedua mamakmu
yang akan memberikan keterangannya."
Thian Hoa tahu bahwa ceritanya In Tjeng ini, meski dikatakan kepada cucunya,
sebenarnya ditujukan terhadap ia dan Tiauw Im Hweeshio. Cerita orang tua ini
mengandung arti dalam. Ia dapat lihat pada tubuhnya yang bergetar dan napasnya
memburu, maka itu ia lekas menghampiri, untuk memegang padanya.
"Mengasolah, loopeh," katanya. "Masih banyak waktu untuk kau bercerita, maka
tunggulah sampai kita tiba di Ganboenkwan, baharu kau lanjutkan pula. Loopeh,
andaikata di kemudian hari kau hendak menitahkan sesuatu padaku, pasti aku akan
melakukannya." Orang tua itu batuk-batuk, ia menghela napas. "Tidak, aku hendak melanjutkan,"
katanya, suaranya tetap. "Sudah terlalu lama, urusan ini tersimpan dalam hatiku,
jikalau tidak sekarang aku keluarkan, hatiku belum merasa lega..." Ia berhenti
sebentar, kemudian ia lanjutkan: "Anakku Teng telah memandang urusan ini terlalu
gampang. Dia percaya, dengan mengandalkan kegagahannya, dia sanggup menolongi
aku menyingkir dari Mongolia. Dia tidak tahu, di luar langit ada langit lainnya,
di atas manusia, ada manusia lainnya lagi. Artinya, orang gagah ada lagi yang
terlebih gagah pula. Demikian di Mongolia, ada banyak orang kosen. Di bawahannya
Thio Tjong Tjioe tak sedikit orang yang pandai silat. Selama aku menggembala,
diam-diam telah ada orang yang mengintai aku. Dengan susah payah si Teng telah
dapat cari aku, akan tetapi belum sempat dia mendamaikan daya untuk ajak aku
menyingkirkan diri, dia sudah dipergoki musuh. Coba aku tidak suruh dia segera
angkat kaki, mungkin dia sudah kena terbekuk lebih dulu. Habis itu secara diamdiam pernah dia tempur orang-orang sebawahannya Thio Tjong Tjioe itu, sekian
lama tidak pernah dia peroleh hasil. Sejak itu baharulah dia lepaskan rencananya
akan seorang diri saja menolongi aku. Selanjutnya dia bekerja menurut nasihatku.
Dia lantas berdiam di Mongolia dengan bawa diri seperti orang yang tidak
mengerti ilmu silat, dia lewatkan waktunya sambil memikirkan daya yang sempurna.
Dengan aku ia selalu mengadakan hubungan secara rahasia."
Ia berhenti sejenak sebelum ia melanjutkan lagi.
"Telah aku nasihatkan supaya dia tinggal menetap di Barat utara, berbareng
dengan itu, aku pun anjurkan dia menikah dengan satu nona Mongolia," orang tua
ini bercerita terlebih jauh. "Tindakanku ini maksudnya agar ia tidak sampai
putus turunannya, supaya dia toh dapat menuntut balas. Aku teringat kepada
dongeng dari Gie Kong yang mencoba memindahkan gunung. Andaikata anakku tidak dapat membalas
sakit hati, nanti masih ada cucuku, nanti masih ada buyutku, demikian
seterusnya, asal keluargaku masih punya turunan. Aku percaya, satu kali, sakit
hatiku mesti terbalas juga! Mengenai keluarga Thio itu, umpamanya Thio Tjong
Tjioe sendiri mati, dia juga ada turunannya, dan turunan itu mesti menggantikan
dia menerima pembalasan. Pada tujuh tahun yang lalu, aku dengar dia telah
mendapatkan satu anak lelaki, waktu itu aku sudah lantas menulis surat darahku
yang pertama, sebagai pesan untuk cucuku, supaya kalau nanti cucuku sudah
dewasa, dia mesti membinasakan anak lelaki itu atau turunannya, tidak peduli
lelaki atau perempuan, semua mesti dihabiskan!"
Orang tua ini menjadi sengit, sampai Thian Hoa yang kosen merasa bergidik. Hebat
pesan itu. Hendak ia bicara, atau ia membatalkannya. Cuma di dalam hatinya, ia
berpikir: "Beginilah dendam yang hebat! Tidakkah pembalasan ini ada lebih hebat
daripada pembalasan dalam kalangan kaum kangouw" Rupanya setelah terbenam dalam
pengembalaan kuda dua puluh tahun di antara es dan salju, saking sengsaranya,
orang tua ini telah berputus asa, sampai dia kehilangan sifatnya yang umum.
Biarlah, setelah nanti dia tiba di tanah daerah Tionggoan, sesudah kesehatannya
pulih kembali, dia diberi hiburan dan nasihat secara perlahan-lahan."
In Tjeng tunjuk surat darah itu, napasnya sedikit memburu.
"Si Teng dengar nasihatku itu, dia simpan surat darah itu dengan dijahit dibaju
anaknya, lalu anak itu di kirim pada satu soeheng-nya untuk diambil sebagai
murid," kembali ia melanjutkan. "Setelah itu, aku berpindah tempat menggembala,
hingga putuslah perhubunganku dengan anakku itu. Baharu pada tiga bulan yang
lalu, berhasillah dia mencari aku, hingga kita dapat bertemu pula. Dia menemui
aku secara rahasia. Dia beritahukan aku bahwa dia sudah bermupakat dengan
saudara seperguruannya untuk datang menolongi aku. Itu waktu, mengingat aku
telah berusia lanjut, aku sudah tidak memikir lagi untuk menyingkirkan diri,
maka apa yang dia katakan itu, tidak begitu kuperhatikan. Aku cuma tanya dia, selama berpisah
tujuh tahun dariku, apakah dia telah mendapat lagi anak atau belum. Dia jawab
bahwa dia telah memperoleh satu anak perempuan, ialah kau, A Loei. Aku lantas
tulis pula surat darahku yang kedua, untuk cucu perempuanku menuntut balas. Maka
itu, Loei, kau mesti ingat, jikalau kau bertemu dengan turunannya Thio Tjong
Tjioe nanti, kau mesti wakilkan aku membunuh mereka dan bakar mereka hingga
tulangtulangnya menjadi abu!".
In Loei mendengarkan dengan penuh perhatian, mendengar pesan yang terachir ini
pada wajahnya yang merah bagaikan apel terlihat roman ketakutan, dengan tibatiba ia menjerit, menangis.
"Yaya, apa begitu banyak orang mesti dibunuh?" katanya. "Oh, Loei Loei takut.
Mama pun pesan supaya aku jangan sembarang membunuh orang, malah kambing yang
baharu diberanakkan juga mesti disayangi, dilindungi. Oh, mama! Kata ayah, mama
hendak datang, kenapa sekarang mama masih belum kelihatan juga" Ya, kenapa ayah
pun tidak kelihatan?"
Nona cilik ini tidak ketahui, sekalipun mamanya tidak tahu siapa sebenarnya
ayahnya, yang tinggal sembunyikan she dan namanya. Dan pada satu bulan yang
lalu, di luar tahu isterinya, ayah itu sudah tinggalkan rumahnya dengan bawa
anaknya minggat... In Tjeng singkap kumisnya yang putih, dengan mendadak nampaknya ia gusar.
"Loei Loei, apakah kau tidak dengar perkataanku?" dia tanya, suaranya bengis.
"Aku beritahu padamu, ayahmu, ayahmu itu, sudah..."
Bocah itu kaget, ia berhenti menangis.
Engkong itu awasi cucunya, ia menghela napas. Tidak ia lanjutkan perkataannya.
Tidak tega ia memberitahukan sang cucu bahwa ayahnya sudah tidak ada lagi
didunia... Tjia Thian Hoa menggeleng-gelengkan kepalanya, diam-diam ia menghela napas. In
Loei tunduk. "Akan aku dengar perkataan yaya," katanya perlahan.
In Tjeng masukkan surat darahnya itu, yang ia baharu tulis tiga bulan yang lalu,
ke dalam sakunya si bocah, terus ia dongak dan tertawa.
Tidak kusangka bahwa aku, In Tjeng, masih dapat menyingkir dari Negara asing dan
dapat kembali ke negara sendiri," katanya. "Aku harap semoga Thio Tjong Tjioe si
jahanam tidak mati siang-siang, supaya dia sendirilah terima pembalasan sakit
hati dari cucuku! Tjia Hiapsoe, aku minta sukalah kau memandang mukanya anakku
si Teng dengan terima bocah ini sebagai muridmu."
Thian Hoa ragu-ragu, maka itu, ketika ia menjawab, ia menjawab dengan perlahan.
"Hal ini baik nanti saja dibicarakan lagi," demikian jawabnya. "Oh, loopeh, aku
minta jangan kau salah mengerti! Sama sekali bukannya aku menampik tetapi aku
sedang berpikir untuk carikan dia guru yang cakap."
Thian Hoa dan Tiauw Im, bersama-sama In Teng, ada saudara seperguruan, guru
mereka adalah Hian Kie Itsoe yang bergelar Thianhee Teeit Kiamkek, "ahli pedang
nomor satu di kolong langit". Guru itu bukan melainkan pandai ilmu pedang, dia
mahir juga lain-lain kepandaian, yang semua bercampur menjadi satu. Dan dia pun
mempunyai tabeat yang aneh. Ialah: Dia mempunyai lima murid, setiap murid
diwariskan semacam ilmu kepandaian. Umpama Tjia Thian Hoa, ia utamakan ilmu
pedang, tetapi ilmu pedang itu diturunkan hanya separuh! Kenapa separuh-separuh.
Dia sebenarnya punya dua rupa ilmu pedang, yang dua ini bertentangan satu sama
lain. Perbedaan juga terdapat pada pedangnya. Dia telah bikin sepasang pedang
terpisah antara pedang lelaki dan pedang perempuan, hiongkiam dan tjikiam.
Pedang yang perempuan, tjiekiam, diberi nama "Tjengbeng" (Awan Hijau), dan yang
lelaki, hiongkiam, diberi nama "Pekin" (Awan Putih). Pekin Kiam diserahkan pada
Thian Hoa, dan Tjengbeng Kiam kepada satu muridnya yang lain, murid wanita. Ilmu
silat pedang itu diciptakan Hian Kie Itsoe sesudah ia memikirkannya dalam-dalam
dan lama. Jikalau ilmu itu dipakai bertempur berendeng, dapat dibilang "tidak ada
tandingannya di kolong langit ini". Maka itu, di antara murid-muridnya, adalah
Thian Hoa dan si murid wanita itu yang paling liehay, dan di antara mereka
berdua, sukar dibedakan, yang mana yang terlebih mahir. In Teng adalah murid
yang belum lulus, maka ia dapat dibilang masih lemah. Tiauw Im Hweesnio ada
murid yang kedua, dia diwariskan ilmu tongkat panjang Hokmo thung, "Tongkat
Menakluki Iblis". Kepandaian ini termasuk gwakee, pihak "luar".
Thian Hoa dan Tiauw Im telah memenuhi permintaan In Teng datang ke Mongolia
dengan mengajak masing-masing muridnya, maksudnya untuk menolong In Tjeng,
ayahnya itu, yang hendak dibawa buron kembali ke Tionggoan.
Hari yang dipilih kebetulan ada harian raja Watzu mendapat satu putera,
diseluruh negeri diadakan pesta besar, maka itu, penjagaan atas diri In Tjeng
menjadi longgar sendirinya. Tiga saudara itu sergap penjaga-penjaga, beberapa di
antaranya dapat dibunuh. In Tjeng dibawa minggat. Hanya di luar dugaan, sesudah
lari begitu jauh, selagi mendekati kota Ganboenkwan, mereka kena disusul tentara
pengejar, hingga terjadilah satu pertempuran mati-matian dengan kesudahannya In
Tjeng menemui ajalnya dan murid satu-satunya dari Thian Hoa turut terbinasa
juga. Masih syukur In Tjeng telah kabur terus, hingga ia dapat lolos.
Habis bercerita, orang tua itu menjadi letih sekali, maka begitu ia rebahkan
dirinya, ia lantas tidur pulas.
In Loei dengan menjublak mengawasi engkong-nya.
Menampak demikian, Tjia Thian Hoa ulapkan tangannya, atas mana kereta lantas di
jalankan, guna melalui perjalanan sulit dilembah itu.
Sekarang bulan yang terang sudah muncul, suasana tenang.
Thian Hoa berikan dengdeng pada In Loei, dia dahar itu dan lalu minum, habis
itu, setelah ditepuk-tepuk, dia tidur pulas...
Kereta lari terus, rodanya tak rata jalannya.
Berselang sekian lama, mendadak terdengar In Tjeng mengigo: "Dingin! Dingin!...
Ada srigala!" Tiauw Im Hweeshio tertawa.
"Orang tua ini menyangka ia masih ada di tempat pengembalaannya di Mongolia..."
katanya perlahan. In Loei pun ngigo seperti engkong-nya itu: "Mama, Loei Loei tidak bunuh orang,
Loei Loei takut..." Mendengar itu, Thian Hoa melengak, lalu ia goyangkan kepalanya.
Hampir berbareng dengan itu, sekonyong-konyong terdengar suara anak panah
mengaung, melintasi selat itu.
Justeru itu, dalam mimpinya, In Tjeng lompat bangun.
"Ada srigala!" dia berseru dalam ngigonya. Tapi, ketika, dia membuka matanya,
dia lihat segumpal api biru melayang turun.
Menyusul itu, Tiauw Im Hweeshio lompat maju, untuk menyambut musuh.
"Jangan kuatir, loopeh, cuma beberapa orang!" Thian Hoa hiburkan si orang tua.
In Tjeng telah sadar betul-betul dari tidurnya.
"Celaka, inilah berbahaya!" kata dia. "Yang datang itu adalah pahlawan nomor
satu dari Thio Tjong Tjioe, shenya Tantai, namanya Mie Ming. Nama itu adalah
nama Mongolia, tetapi sebenarnya dia orang Han asli. Pernah si Teng tempur
pahlawan itu, ia kena dikalahkan. Dia memang sangat lihay."
Orang tua itu kenali panah api musuh.
Tjia Thian Hoa tertawa. "Sepasang kepalan dan tongkatnya soeheng-ku itu telah menggetarkan Tionggoan,"
dia berkata, "maka itu belum ada artinya bagi orang kosen nomor satu dari
Mongolia. Asal mereka itu tidak
berjumlah banyak, aku tanggung dia bisa datang tetapi tidak bisa pulang. Biarlah
kita tangkap padanya, untuk dibawa pulang oleh loopeh ke kota raja dan
dipersembahkan sebagai jasa! Ingin aku melihat, musuh itu masih berani
memusnahkan Kerajaan Beng atau tidak..."
Nama "Mie Ming" dari pahlawan Mongolia itu bisa berarti "memusnahkan kerajaan
Beng." Inilah kata-kata yang dibenci Thian Hoa, yang paling dibenci ialah
pengchianat penjual negara. Maka itu, habis berkata, dia hunus pedangnya, dia
pun lari ke mulut lembah untuk membantu Tiauw Im menghajar musuh.
Segera terlihat satu punggawa bangsa Mongolia dengan seragam perangnya yang
bersalutkan emas, senjatanya ialah sepasang gaetan Hoktjioe kauw, dan punggawa
itu tengah bertempur dengan seru dengan Tiauw Im Hweeshio. Pendeta itu memainkan
tongkatnya hingga mengeluarkan angin menderuderu, tanda hebatnya serangan,
meskipun demikian, Tantai Mie Ming, punggawa Mongolia yang kosen itu, tidak sudi
mundur, dia melawannya dengan gaetannya yang sama dahsyatnya. Hingga beberapa
kali tongkat panjang kena disampok terpental.
Menampak demikian, baharulah Thian Hoa terperanjat. Inilah tidak disangka
olehnya. "Benar binatang itu liehay," pikirnya. "Pantas In Teng tidak nempil terhadapnya.
Mungkin sekali, soeheng juga bukan tandingannya."
Karena ini, dengan lantas ia maju, untuk bantui saudara seperguruannya itu. Ia
menyerang dengan jurus "Hoetlioe tjoanhoa," atau "Mengebut cabang yanglioe,
mencari bunga," ujung pedangnya mencari sasaran uluhati.
Pedang pun merupakan senjata yang diperantikan melawan gaetan dan sebangsanya.
Biasanya sulit untuk satu lawan lolos dari serangan semacam serangan Thian Hoa
ini, akan tetapi kesudahannya, Thian Hoa adalah yang terkejut sendirinya. Waktu
pedangnya tiba, sekalipun
dia lagi desak Tiauw Im, Mie Ming dapat menangkis dengan tepat, lalu berbalik
menggaet pedangnya sendiri. Hampir terlepas pedang orang she Tjia itu, karena ia
terkejut, ia segera berbalik kena diserang. Sebab Mie Ming segera melakukan
serangan pembalasan. Dengan terpaksa Thian Hoa mesti empos semangatnya, untuk melayani musuhnya
dengan sungguh-sungguh. Ia menyerang dengan tidak kurang hebatnya, akan tetapi
di samping itu, sekarang ia mesti waspada, agar pedangnya tak lagi tergaet
seperti tadi. Celaka umpama kata pedangnya kena dibikin terlepas dari
cekalannya. Maka ia mesti keluarkan seluruh kepandaiannya.
Dalam sekejap saja dapatlah Thian Hoa mendesak lawannya itu.
"Ilmu pedang yang bagus!" memuji Tantai Mie Ming walaupun ia terancam bahaya
desakan. Kemudian, setelah tiga serangan yang berbahaya dapat dielakkan, ia
berteriak pula. Kali ini: "Tahan!"
Thian Hoa tidak mau mengerti, ia lanjutkan serangannya.
Orang Mongolia itu menjadi gusar, romannya berubah.
"Apakah kau sangka aku jerih terhadapmu?" dia berseru. Dan dia menyerang hebat,
hingga pembalasan ini membuat Thian Hoa jadi seperti kecandak.
Tiauw Im Hweeshio berseru keras, kalau tadi ia berhenti, akan tonton saudaranya,
sekarang ia maju, guna membantui.
Punggawa Mongolia itu tertawa.
Melihat ilmu silatmu, mestinya kamu ada ahli-ahli silat kenamaan," berkata dia.
"Menurut apa yang aku dengar, orang-orang kenamaan dari Rimba Persilatan dari
Tionggoan sangat menghormati aturan bertarung satu lawan satu, maka itu heran
aku! Apakah kamu memikir untuk rebut kemenangan dengan andalkan jumlah yang
banyak?" "Hai, binatang, apakah kau bukannya Tantai Mie Ming?" Tiauw Im balik menegur.
Orang Mongolia itu menangkis pedangnya Thian Hoa, lalu ia mendesak, setelah
mana, ia pandang si pendeta. Ia tertawa.
"Eh, hweeshio, kau juga tahu namaku?" tanya dia.
"Kau ada orang Han, tapi kau menjadi panglima Mongolia! Apakah kau tidak malu?"
Tiauw Im menegur. "Terhadap kau, bangsat pengchianat bangsa, siapa kesudian
bicara tentang aturan kaum Boeiim dari Tionggoan" Lebih baik kau makan tongkatku
ini!" Benar-benar pendeta ini menyerang pula.
Mie Ming menangkis, wajahnya padam. Tapi sebentar saja, atau ia tertawa
terbahak-bahak. Panjang tertawanya itu.
"Telah aku kaburkan kudaku malang melintang di laut pasir Utara, hatiku ini
dapat dihadapkan kepada Thian! Maka itu, siapakah si pengchianat?" dia, berseruseru. "Terhadap negara siapa aku berchianat" Tjoe Goan Tjiang telah merampas
Negara dengan gunakan kelicikannya, tetapi cuma kamu saja, orangorang yang tidak


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersemangat, yang kesudian manggut-manggut menjadi hamba-hamba dari anak
cucunya!" Sambil mengucap demikian, ia berkelit dari serangan tongkatnya si hweeshio,
setelah itu, ia tutup dirinya dengan putar sepasang gaetannya. Ketika ini
digunakan olehnya untuk berkata-kata pula dengan nyaring: "Hweeshio sembrono,
rupa rupanya percuma bicara dengan kau! Baiklah, jikalau benarbenar kau hendak
bertempur! Nanti aku titahkan dua orang muda melayani kau!"
Di belakang Mie Ming ini memang ada dua punggawa muda. Mereka ini segera maju
ketika punggawa itu mendesak lawannya. Benar mereka masih muda tetapi mereka pun
bukan orang sembarang, maka itu, dapat mereka kepung Tiauw Im.
Pendeta ini tidak usah kalah, akan tetapi, untuk mencari kemenangan, itulah
sulit untuknya, dengan begitu, maksudnya membantui Thian Hoa jadi tidak
tercapai. Thian Hoa sendiri heran mendengar kata-katanya Tantai Mie Ming itu.
Kalau begitu, punggawa ini bukan sembarang orang," pikirnya. "Tapi dia asal
orang Han, sekarang dia bantui bangsa asing menindas orang Han, biar bagaimana,
itulah perbuatan tidak selayaknya!"
Karena ini, ia lantas maju pula, akan serang pahlawan nomor satu dari Mongolia
itu. Mie Ming melayani bertempur.
"Apakah kau bukan muridnya Hian Kie Itsoe?" tanya dia berselang beberapa jurus.
Thian Hoa heran, sampai ia melengak.
Mie Ming lihat orang heran, ia tertawa riang. "Dahulu gurumu telah mengeluarkan
semua kepandaiannya untuk mengalahkan guruku, dia tetap tidak berhasil!"
demikian dia kata. "Maka itu sekarang kau hendak menandingi aku, mana bisa" Oleh
karena kau tidak kenal aturan, baiklah! Hari ini kita bekerja untuk tuan masingmasing, mari kita bertempur pula sampai tiga atau lima ratus jurus!"
Kembali Thian Hoa tercengang. Sekarang ingat ia kepada omongan gurunya dahulu.
Guru itu pernah menceritakan bahwa pada dua puluh tahun yang lalu dia pernah
bertarung dengan satu "kepala iblis" untuk merebutkan kedudukan Boeiim Bengtjoe,
kepala dari kaum Rimba Persilatan, bahwa pertempuran dilakukan di atas gunung
Ngo San, selama tiga hari tiga malam, tetapi selama itu, mereka tak ada yang
menang atau yang kalah. Menurut gurunya itu, iblis itu ada seorang she Siangkoan
bernama Thian Ya, seorang penjahat besar dari kalangan Rimba Hijau. Hanya sejak
pertempuran dahsyat itu, Siangkoan Thian Ya lantas sembunyikan diri, entah di
mana. Sekarang, mendengar kata-kata Mie Ming ini, terang sudah, iblis itu telah
menyingkir ke Mongolia, dan punggawa Mongolia ini mesti ada muridnya.
Tadinya Thian Hoa berniat menunda pertempuran itu, guna mendapat penjelasan
dahulu, akan tetapi mendengar kata-katanya
Tantai Mie Ming bahwa mereka berkelahi "untuk tuan masing-masing", dia menjadi
murka, terus saja dia perhebat serangannya.
Tantai Mie Ming benar-benar liehay, ia mainkan sepasang gaetannya dengan hebat,
yang berkredepan bagaikan dua bianglala emas. Ia menutup diri dari pelbagai
serangan dahsyat, dipihak lain, ia pun membalas menyerang, maka di samping
membela dirinya, ia membuat lawannya repot juga.
Pertempuran berjalan jurus lewat jurus, dari belasan menjadi puluhan, lalu
seratus jurus, masih tidak ada yang kalah atau menang. Hal ini membuat Thian Hoa
heran bukan main. "Sayang tak ada soemoay di sini," pikir hiapsoe ini, "jikalau tidak, kita berdua
bisa mainkan jurus-jurus dari dua pedang digabung menjadi satu, dengan begitu,
walaupun ada tiga Mie Ming, dia akan terbinasa ditangan kita..."
Dengan "soemoay", Thian Hoa maksudkan adik seperguruannya yang wanita, yang ke
empat. Dalam pertarungan selanjutnya, Mie Ming mencoba melakukan penyerangan membalas,
beruntun tiga kali ia kirim kedua gaetannya bergantian, tapi kontan ia dibalas
hingga empat kali oleh lawannya. Setelah itu dengan sekonyongkonyong ia lompat
mundur sambil tertawa berkakakan.
"Bagaimana?" tegurnya. "Bukankah kau telah kerahkan seluruh tenagamu" Tapi kau
tidak mampu rebut kemenangan! Maka itu baiklah kau hentikan saja pertempuran
ini!..." "Jangan banyak omong, pengchianat bangsa!" damprat Thian Hoa. "Tak dapat kita
hidup bersama! Hari ini, tak dapat tidak, kau mesti binasa!"
Dan ia menusuk dengan pedangnya.
Tantai Mie Ming tangkis serangan itu, dia tidak melakukan pembalasan, dia hanya
buka mulutnya. "Inilah yang dibilang tak tahu kebaikan hati orang!" demikian katanya. "Kau
tahu, aku justeru hendak tolong padamu"!"
Thian Hoa tak mau berhenti, ia tarik pedangnya, untuk dipakai menyampok gaetan
lawannya itu, hingga kedua gaetan itu terpental.
"Jarak ribuan lie telah kami lintasi, setelah sampai di sini, bencana apa lagi
mengancam kami?" dia bentak. "Untuk apa kau tolongi aku" Jikalau benar kau insaf
akan kesesatanmu dan hendak kembali kejalan yang terang, lekas kau lepaskan
sepasang gaetanmu, mari kau turut kami!"
Punggawa Mongolia itu tertawa dingin.
"Benar-benar kau tidak tahu gelagat!" katanya dengan nyaring. "Kau tahu, aku
sedang menjalani titah dari Thio Sinsiang untuk menasehati kamu kembali pulang!
Apabila kamu berkeras hendak pulang ke Tionggoan, maka aku kuatir, belum lagi
kamu memasuki kota Ganboenkwan, kamu akan mengalami bencana besar yang tak kamu
harap-harapkan!" Bukan kepalang murkanya Thian Hoa, ia sangat mendongkol.
"Penghianat, kau berani mempermainkan aku?" dia mendamprat sambil terus menikam
pula. Sampai di situ, Mie Ming pun menjadi gusar.
"Oleh karena kau sendiri mencari mampus, jangan kau sesalkan aku!" katanya
dengan sengit. Ia tangkis tikaman itu.
Thian Hoa kertak giginya, tanpa membuka mulut lagi, ia ulangi serangannya, kali
ini dengan bertubi-tubi. Tidak berani Mie Ming mengalihkan perhatiannya, dengan waspada ia layani
pelbagai serangan itu, yang setiap kalinya ia halau atau pecahkan. Ia pun
kembali perlihatkan permainan sepasang gaetannya.
Maka pertarungan jadi berjalan lebih seru daripada tadi.
Jurus-jurus telah berlalu dengan cepat, tetapi masih saja mereka tak menemui
keputusan, keduanya tetap sama tanggunya.
Pada saat hebatnya pertarungan, dengan mendadak Mie Ming perdengarkan seruan
keras, menyusul mana, dia tangkis satu serangan, terus dia berkelit, untuk
angkat kaki. Melihat sikapnya pemimpin ini, kedua punggawa muda turut menyingkir juga, mereka
kabur bersama-sama. Thian Hoa, dan Tiauw Im Hweeshio, sedang murka, mereka tidak mau memberi hati,
maka bersama-sama, mereka lari mengejar. Adalah setelah sampai disatu tikungan
bukit, Thian Hoa yang teliti tiba-tiba dapat satu pikiran:
"Pengchianat itu belum kalah, kenapa mereka angkat kaki?" demikian pikirnya.
"Mungkinkah dia sedang menggunakan tipu daya" Kita tinggalkan In
Thaydjin, dia tidak ada yang melindunginya..... Ah, jangan-jangan aku telah
terkena akalnya itu!"
Tengah Thian Hoa bersangsi secara demikian, ia lihat Tantai Mie Ming berlompat
turun ke dalam lembah. Ia jadi kaget dan heran. Itulah lembah yang dalam dan
tidak rata. Itu adalah perbuatan mencari kematian sendiri.....
Baru Thian Hoa berpikir begitu, atau segera ia tampak tangannya Mie Ming - yang
sedang berlompat itu - terayun ke arah seberang, menyusul mana seutas tambang
menyambar dan terus berpegang keras pada sebuah pohon cemara. Nyata tambang itu
adalah gaetannya, karena mana, tubuhnya punggawa itu - bagaikan ayunan - telah
berayun ke lain tepi dari lembah itu di mana dia sampai dengan tidak kurang
suatu apa! Thian Hoa melengak. Tidak ia sangka, Mie Ming punyakan semacam daya, pantas dia
berani lakukan perbuatan nekat itu. Tapi tak lama, ia menjadi terperanjat
sendirinya. Karena tahulah ia, dari lembah di tepi seberang itu, ada satu jalan
yang membawa orang tepat ke tempat di mana In Tjeng berada bersama kereta
keledainya. Ia jadi kaget dan berkuatir. Ia sendiri tidak bisa lompat ke
seberang untuk menyusul Mie Ming. Untuk lari kembali, ia mesti ambil tempo lebih
lama. Tapi terpaksa, ia lari kembali juga. Ia terbenam dalam kekuatiran In Tjeng
telah jatuh ke dalam tangan lawan yang licin itu.....
Akhir-akhirnya, Thian Hoa mengeluarkan keringat dingin. Ketika ia kembali, ke
tempatnya In Thaydjin, di sana ia dapatkan Tantai Mie Ming berada di depan
kereta keledai, In Thaydjin sendiri duduk di depan kereta, di tempatnya kusir,
kedua orang itu tengah berhadapan satu dengan lain. Hanya yang aneh, tangan Mie
Ming tidak bersenjata sama sekali, sepasang gaetannya tergantung dipinggangnya,
dan dia sedang menghadapi In Tjeng dengan air muka berseri-seri, agaknya dia
sedang bicara. Sebaliknya, In Thaydjin tengah memperlihatkan wajah sungguhsungguh. "Ngaco belo!" demikian suara nyaring yang Thian Hoa dengar tegas setelah ia
datang mendekati mereka itu. "Dengan Thio Tjong Tjioe itu permusuhanku ada
permusuhan sangat hebat, maka jikalau kau hendak membunuhnya, bunuhlah, tetapi
untuk kembali, untuk mengharap perlindungan dia, tidak nanti!"
Thian Hoa tidak mengerti ia jadi heran. Mie Ming tidak gusar walaupun dia telah
dibentak, malah ketika dia berpaling kepada si orang she Tjia, dia bersenyum.
"Kau telah saksikan sekarang," demikian katanya, dengan sabar, "jikalau aku
hendak ambil jiwa orang tua she In ini, dapat aku lakukan itu dengan gampang,
seperti membalikkan telapakan tangan saja, tak usah aku menanti sampai kau
tiba." Ia menoleh pula pada In Thaydjin, untuk menambahkan: "In Loodjie, telah
aku berikan nasehat kepada kau, maka sekarang, tentang hidup atau matimu,
tentang bencana atau keberuntungan kau, semua itu terserah kepada kau sendiri!"
In Thaydjin gusar tak kepalang, hingga alisnya bangkit, kumisnya berdiri, tetapi
masih dapat ia kendalikan diri.
"Jadi kau inginkan aku kembali menolongi Thio Thaydjin-mu menggembala kuda untuk
dua puluh tahun di antara tempat yang ber-es dan bersalju?" demikian dia
tegaskan. Sebagai jawaban, Mie Ming tertawa berkakakan, nyaring dan panjang. Tetapi
mendadak saja, ia perlihatkan wajah sungguh-sungguh.
"Justeru karena kau telah menjalankan tugasmu menggembala kuda dengan baik,
hingga Thio Thaydjin menghargai kau dan menghendaki kau kembali!" demikian
katanya. "Thio Tjong Tjioe adalah penghianat penjual negara, dia satu manusia sangat
rendah martabatnya, tak perlu aku dengan penghargaannya itu !" bentak In Tjeng.
"Kau sangka aku orang macam apa?"
Tantai Mie Ming tertawa mengejek.
"Dengan pengutaraan kau ini, orang tua, nyata tepat apa yang dikatakan Thio
Thaydjin1." katanya. "Menurut Thio Thaydjin kau ada satu orang tiong yang tolol,
maka kau tidak dapat diajak merundingkan urusan negara yang besar! Kau tahu,
Thio Thaydjin telah mengatakan padaku bahwa tidak nanti kau sudi kembali,
sekarang kata-katanya itu benar adanya! Walaupun demikian, Thio Thaydjin bilang
kau adalah satu laki-laki, karenanya dia tidak tega tidak menolongi melihat kau
terancam bahaya kebinasaan, karenanya dia tugaskan aku menyusul kau sampai
ribuan lie ini, untuk ajak kau kembali. Sayang kau telah mensia-siakan, maksud
hati yang baik dari Thio Thaydjin itu....."
Saking murkanya, In Tjeng sampai berpegangan keras ke pada keretanya.
"Hm, kau katakan dia niat menolong aku?" dia berteriak. "Sudah dua puluh tahun
aku si orang she In menggembala kuda, sekarang aku telah sampai di tempat tumpah
darahku sendiri, jikalau di sini aku dapat kubur diriku, aku akan mati dengan
mata meram, tetapi kau telah dapat candak aku, jikalau kau hendak membunuhnya,
bunuhlah! Ini adalah tanah Tionggoan, dengan darahku aku siram tanah daerahku,
tidak nanti aku menyesal!"
Akhir-akhirnya, Tantai Mie Ming menjadi gusar.
"Siapa hendak membunuh kau?" dia berseru. "Bukannya kami yang hendak membunuh
padamu!" In Tjeng juga kertak gigi.
"Kau telah bunuh anakku, si Teng!" dia menjerit. "Kau hendak sangkal" Kau masih
hendak permainkan aku?" gemetar tubuhnya orang tua ini, hamper dia rubuh dari
atas kereta, baiknya Mie Ming keburu pegangi tubuhnya.
"Bukan kami yang membunuh anakmu itu," kata Mie Ming. "Kau tentu tidak mengerti
apabila aku menjelaskannya. Marilah kita kembali, untuk menghadap Thio Thaydjin,
di sana nanti kau ketahui jelas."
In Tjeng meludah dengan reaknya, atas mana, punggawa bangsa Mongolia itu
berkelit. "Bukankah kamu yang membunuh anakku itu?" dia berteriak pula. "Apakah tentera
itu ada tentera Beng?"
Tantai Mie Ming menyeringai.
"Mereka itu adalah tenteranya Tjo sinsiang kami," ia beritahu.
"Tjo sinsiang" ialah "perdana menteri."
"Apakah bedanya Tjo sinsiang dan Yoe sinsiang." masih In Tjeng berteriak.
"Mereka semua adalah Tartar rase! Sekarang aku telah berada dalam tanganmu,
lekas kau bunuh, jangan kau banyak omong pula!"
Tjia Thian Hoa juga anggap Tantai Mie Ming omong dengan diputar balik. Dia
adalah punggawa dari negeri Watzu, tentera Watzu sudah membinasakan anak orang,
sekarang dia masih hendak perhina dan permainkan orang tua ini, malah orang tua
yang sudah menderita selama dua puluh tahun, dengan banyak sengsara.....
Bukan main tegangnya kedua orang itu.
Akhirnya, Tantai Mie Ming rangkapkan kedua tangannya, untuk memberi hormat
kepada In Thaydjin. Ia berkata dengan suara keras dan tedas: "In Thaydjin, telah
aku bicara, kau sudi dengar atau tidak, sekarang terserah kepada kau!"
Dalam murkanya itu, In Tjeng tak dapat bilang suatu apa.
Tjia Thian Hoa jadi sangat murka, ia membentak.
"Apakah artinya perbuatanmu ini mempermainkan seorang tua yang umpama kata tidak
punya tenaga untuk hanya menyembelih ayam" Jika kau berani, mari kita bertempur
pula tiga atau lima ratus jurus!"
Tantai Mie Ming tidak melayani tantangan itu, ia bicara pula dengan In Thaydjin,
suaranya sangat perlahan.
"Jikalau begini sikapmu, apa boleh buat, hendak aku pergi," demikian katanya.
"Thio Sinsiang bilang, ia telah membuat kau bercape lelah menggembala kuda
selama dua puluh tahun, ia merasa tak enak hati, ia menyesal. Memang telah ia
menduganya, kau tidak bakal kembali, maka itu ia telah bekalkan aku tiga buah
kimlong. Sinsiang bilang, dengan turuti bunyinya kimlong itu jiwamu masih dapat
ditolong, Thio Sinsiang juga mengatakan, tiga kimlong itu anggap saja sebagai
pembalasan budi yang kau telah gembalai kudanya selama dua puluh tahun."
Lantas punggawa ini mengibaskan tangannya, setelah mana terus ia putar tubuhnya
untuk berjalan pergi. Thian Hoa heran, hingga ia tercengang, di saat mana, Mie Ming lewat di
sampingnya. Berbareng dengan itu, terdengar suara tubuh terbanting keras, terlihat In
Thaydjin rubuh di atas keretanya, rupanya disebabkan karena meluap hawa
amarahnya dan lelah. Dalam murkanya, Thian Hoa melakukan gerakan menimpuk ke arah Tantai
Mie Ming, atas mana lima batang Tjoengo Toathoen teng - "paku merampas roh" menyambar ke arah punggawa Mongolia itu.
Tanpa berpaling pula, Mie Ming menangkis ke belakang dengan dua batang
gaetannya, maka beruntun lima kali terdengar suara tang-ting-tong, lantas ke
lima batang senjata rahasia itu terlempar jatuh ke tanah. Ia tertawa mengejek,
tubuhnya melesat pergi, lalu tubuh itu lenyap di antara pohon-pohon cemara yang
lebat yang bercampur batu-batu besar, yang merupakan tikungan bukit.
Thian Hoa terkejut. Bukan maksudnya akan membunuh mati Mie Ming dengan
timpukannya itu, itulah bukan tujuannya, tetapi yang heran adalah caranya
punggawa itu menghalau ke lima paku untuk menyelamatkan dirinya. Itulah suatu
kepandaian luar biasa. Ia tidak mengejar, ia hanya lantas lompat ke kereta.
In Tjeng tidak kurang suatu apa, ia cuma bernapas tersengal-sengal. Ia lantas
diusap-usap dadanya, setelah mana, ia muntahkan reak yang menggumpal, habis itu,
ia berseru yang membuat napasnya lega. Ia lantas dapat duduk pula.
Hatinya Thian Hoa pun lega. Tadinya ia hendak hiburkan thaydjin ini atau
mendadak ia dengar suara berisik dari Tiauw Im Hweeshio, yang muncul sambil
berlari-lari keras dan menengteng tongkatnya. Mau atau tidak, ia menjadi heran
dan kaget. "Kau kenapa, soeheng ?" ia tanya saudara seperguruan itu.
"Djietee aku telah membuat soehoe malu!" sahut pendeta itu. Selama hidupku ini,
jikalau aku tak hajar Tantai Mie Ming dengan tiga ratus kali tongkatku, tak bisa
aku lampiaskan penasaranku!.....
"Mari duduk, soeheng," kata Thian Hoa, yang tahu tabeat dari saudaranya itu,
tangan siapa ia tarik dan tubuhnya ia tekan. "Mari minum!"
Ia pun lantas menyuguhkan air.
"Sabar, soeheng, mari kita omong dengan perlahan-lahan," ia tambahkan kemudian.
"Dengan mengandal kepada kita, empat saudara, sekalipun si kepala iblis
Siangkoan sendiri yang datang kemari, pasti dapat kita balas sakit hati ini, apa
pula baru satu Tantai Mie Ming!"


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan bergerugukan, Tiauw Im hirup airnya.
"Aku duga jahanam itu hendak mencelakai thaydjin, maka keras niatku untuk
kembali guna mencegah dia," katanya kemudian, "apa celaka itu dua bangsat cilik
libat aku, tak mau mereka melepaskan aku. Coba pada hari-hari biasa, dua bangsat
itu tidak aku ambil mumat, sayang sekarang, setelah bertempur dua gebrakan,
tenagaku telah berkurang. Terpaksa aku berkelahi sambil mundur, sambil berlari,
meski begitu, selang dua ratus jurus, di saat aku mulai menang di atas angin, sungguh celaka! - Mie Ming telah muncul di antara kita! Aku menyangka dia telah
berhasil mencelakai thaydjin, aku lantas caci padanya, aku terus serang dengan
hebat, tapi apa lacur, dengan dua gaetannya, ia sampok tongkatku hingga mental,
menyusul mana, dengan akalnya, dia membuatnya aku rubuh terpelanting. Tapi itu
belum semua! Dia masih rangsak aku, untuk menggampar kupingku seraya mencaci aku
sebagai si hweeshio gerubukan. Dia kata aku sudah ngaco belo tidak keruan, bahwa
aku telah memutar lidah, karenanya dia gaplok aku, untuk ajar adat padaku! Habis
mencaci aku, dia ajak kedua bangsat cilik angkat kaki... Sudah beberapa puluh
tahun aku merantau, belum pernah aku dihina sedemikian rupa, coba kau pikir,
masa aku tidak jadi mendongkol?"
Dia berhenti sebentar, dia memandang ke sekitarnya.
"Eh, eh!" katanya kemudian, suaranya berisik, "bagaimana sebenarnya telah
terjadi" Dia telah bertempur dengan kau atau tidak" Syukur thaydjin tidak kurang
suatu apa! Eh, apa artinya tiga kimlong ini?"
Ia lihat tiga buah kimlong - surat yang berisikan rahasia - menggeletak di atas
tanah, yang ia segera hampiri, untuk dijumput.
"Ah, indah benar sulamannya!" katanya, memuji. "Di sini ada gambar sulaman untauntaan. Bukankah ini sulaman bangsa Mongolia" Kimlong siapa ini?"
In Tjeng dengar kata-katanya pendeta ini, ia lihat tiga kimlong itu, ia menjadi
murka pula. "Segala barangnya si Tartar busuk!" serunya. "Bikin hancur sudah! Lemparkan
kelumpur!" Tiauw Im melengak, tapi ia gunakan tenaganya, untuk merobek kimlong itu, atas
mana, ia rasakan tangannya sakit. Sebab sebat luar biasa Thian Hoa ketok
lengannya untuk merampas kimlong itu, guna mencegah kimlong itu dirobek.
"Soetee, kau....." ia berseru, kaget dan heran.
"Sabar," kata soetee itu. "Bukankah tidak ada halangannya untuk In Thaydjin
melihat dulu kimlong ini, untuk diketahui apa bunyinya" Masih ada ketikanya
untuk kita merobek-robeknya apabila bunyinya ada ocehan belaka!"
Tjia Thian Hoa heran atas sikapnya Tantai Mie Ming. Punggawa itu lihay, jikalau
dia tidak niat membinasakan In Tjeng, habis apa, maksudnya perbuatan ini mengejar-ngejar sampai sekian jauh" Mereka sudah menghadapi kota Ganboenkwan,
mereka boleh dibilang telah menginjak tanah daerah Tiongoan, maka di dalam
daerah ini, ada siapa lagi yang hendak mencelakai orang she In itu" Apakah itu
bukan obrolan belaka, untuk memperdayakan orang" Tapi, apakah masuk diakal yang
Mie Ming melakukan perjalanan demikian jauh cuma untuk menyampaikan katakatanya" - nasehatnya" - kimlongnya" Pun aneh, walau dia kosen dan galak - agak
jumawa juga - tapi dia bisa berlaku demikian baik budi" Kalau tidak, mana dapat
Tiauw Im Hweeshio bisa lolos dari kematian"
Thian Hoa benar-benar sangat tidak mengerti! Selagi orang she Tjia ini terbenam
dalam keragu-raguannya, In Tjeng telah menyambuti kimlong itu dan dia pandang
dengan sikap yang sangat membenci.
Kimlong yang pertama diberi tanda dengan kata-kata: "Buka dengan lantas." Tanpa
bilang suatu apa, In Tjeng merobeknya dengan segera, hingga ia dapatkan sehelai
kertas, atau sepucuk surat, di dalamnya. Di situ tertulis:
"Sekarang lekas balik kembali ke Mongolia, dengan lantas kembali, bakal tidak
ada urusan apa-apa. Tantai Tjiangkoen menanti bersama pasukan tenteranya di
Tjoin, dia dapat menyambut."
In Tjeng mendongkol, habis membaca, ia robek surat itu dan melemparnya.
Thian Hoa lihat kumisnya yang ubanan bergerak-gerak dan air mukanya berubah
menjadi kuning pucat, meskipun demikian, ia tidak berani menanyakan.
"Kimlong apa! Tak lain daripada ocehan belaka!" kata orang tua ini sambil
mengawasi robekan kertas terbang melayang jatuh ke tanah.
Tapi, kendati ia mengucap demikian, ia toh baca tulisan di atas kimlong yang
kedua. Di situ, dengan mendongkol, ia baca: "Buka kimlong ini setibanya di
tempat sejauh tujuh lie dari kota Ganboenkwan."
"Tak sudi aku mendengarnya!" kata In Thaydjin dengan sengit. Tapi ia toh robek
kimlong itu, untuk membaca surat di dalamnya. Kali ini bunyi surat rahasia itu
begini: "Keadaan berbahaya sudah sangat mengancam. Ketika ini tentulah di kota
Ganboenkwan ada orang yang datang menyambut. Jikalau pemimpin pasukan terdepan
bukannya Tjongpeng Tjioe Kian, mesti kau segera kaburkan kudamu sebagai terbang
untuk menyingkirkan diri. Suruhlah Tjia Thian Hoa dan Tiauw Im menjaga di
belakang, untuk cegat tentera itu, mungkin masih dapat kau lindungi kepalamu."
Tjongpeng, atau brigadir jenderal, dari kota Ganboenkwan, benar bernama Tjioe
Kian. Dia dengan In Tjeng adalah orang-orang asal satu kampung dan bersahabat,
cuma bedanya, yang satu mempelajari ilmu surat, yang lain meyakinkan ilmu silat, malah ketika membuat
ujian, mereka sama-sama lulus sebagai tjinsoe - boen tjinsoe dan boe tjinsoe.
Persahabatan itu berlangsung sampai In Tjeng diutus ke Mongolia, sampai In
Thaydjin ini menderita, maka juga ketika In Teng - sang putera - berangkat untuk
menolongi ayahnya, diam-diam dia peroleh bantuan dari Tjioe Tjongpeng, ialah
daya-daya pertolongan diatur bersama. In Teng telah mengirim kabar lebih dahulu
kepada Tjioe Kian tentang ia sudah berhasil kabur bersama ayahnya, ia minta
tjongpeng itu memberi kabar terlebih jauh kepada pemerintah agung, supaya
pemerintah dapat mengetahuinya. Meskipun selama dalam perjalanan, perhubungan
dengan Tjioe Tjongpeng masih disambung terus. Maka itu, heran In Tjeng membaca
kimlong yang kedua itu. "Kalau Tjioe Kian lihat aku datang, mustahil dia tidak sambut aku?" berkata dia
dalam hatinya. "Dalam halnya kehormatan, aku dapat dibandingkan dengan Souw Boe,
maka itu, setelah sekarang aku kembali dari negara asing, andaikata Sri Baginda
tidak mendirikan patung peringatan untuk aku, sedikitnya dia menghargai aku
dengan memberi pangkat besar padaku. Tapi gilanya orang Tartar itu, dia mencoba
merenggangkan aku dari Tjioe Tjongpeng!..."
Karenanya, kimlong kedua ini pun dirobek dan dibuang.
Waktu In Thaydjin membaca, Thian Hoa berada di sampingnya, dari itu ia turut
melihat kimlong itu. Ia menjadi heran mengetahui namanya disebutsebut dalam
surat rahasia itu. Sayangnya, ia tak sempat membaca sampai habis.
"Apa yang tertulis dalam kimlong itu?" dia tanya.
"Masih sama saja, ocehan belaka!" sahut In Thaydjin. "Tapi pengchianat itu
benar-benar lihay! Dia seperti sudah ketahui lebih dahulu yang kamu berdua telah
turut memasuki Mongolia untuk menolongi aku. Hanya anehnya mengapa dia tidak
membuat persiapan untuk mencegah aku kabur?"
Thian Hoa kerutkan alis, dia tunduk. Dia jadi semangkin heran dan curiga.
In Tjeng sudah lantas periksa kimlong ketiga. Ia sebenarnya berniat segera
merobek itu, untuk membaca isinya, tapi tiba-tiba ia batalkan niatnya itu.
Tjia Thian Hoa juga lihat tulisan di atas kimlong itu, yang mana membuatnya
heran bukan kepalang. Tulisan itu ada berupa alamat, bunyinya ialah: "Surat ini
harus disampaikan kepada Tjia Thian Hoa untuk dibuka dan dibaca."
In Thaydjin segera melirik pada hiapsoe itu, ia agaknya heran. Ia memang
terbenam dalam kesangsian.
Thian Hoa adalah seorang kangouw ulung, ia pun teliti, maka itu, menampak roman
thaydjin itu, ia tersenyum.
"Dorna itu sangat banyak akalnya," kata ia, "silakan In Thaydjin buka kimlong
itu dan baca, untuk mengetahui apa yang ditulis."
Mula-mula In Tjeng ragu-ragu kemudian dengan tak ayal ia robek sampul kimlong,
dengan perlahan ia tarik keluar suratnya, lalu ia baca:
"Pada saat ini maka pastilah In Thaydjin sudah kena tertawan. Di dalam sampul
masih ada isinya, sebuah obat pulung, obat itu mesti disimpan rahasia, jangan
lantas dibuka. Habis itu, segera kau berangkat ke kota raja, untuk menghadap
sendiri pada Ie Kiam, guna mendakwa Ong Tjin.
Apa In Thaydjin akan tertolong atau tidak, itu tergantung pada tindakan kau
ini." "Hm!" In Tjeng perdengarkan ejekannya. Karena ia sangat murka, maka surat itu ia
lantas robek-robek, sampulnya pun dibuang sambil terus ia berseru: "Benar-benar
ngaco belo! Aku adalah satu tiongsin terbesar, mustahil aku bakal ditangkap?"
Thian Hoa lompat, untuk menyambar sampul itu, dan ia dapatkan di dalamnya benar
ada satu obat pulung, ialah yang terbungkus
dengan lilin bunder sebesar gundu. Ia lantas simpan itu dalam sakunya.
Wajah In Tjeng berubah melihat sikapnya hiapsoe itu.
"Hendak aku simpan ini seperti barang mainan saja kata Thian Hoa. "Untuk
menyimpannya pun tidak memakai banyak tempat....."
"Hm!" seru pula In Thaydjin. Lalu ia kata dengan perlahan: "Barang itu pun
dikirim untukmu jikalau kau hendak simpan, simpanlah. Aku bermusuh besar dengan
penghianat itu, sekalipun tubuhku bakal hancur lebur, tidak sudi aku ditolongi
olehnya!" Sampai di situ, perjalanan lantas dilanjutkan, sampai rembulan muncul di antara
jagat yang gelap. Semangatnya In Tjeng terbangun selagi mendekati tembok kota
kupingnya mendengar suara terompet dan tentara penjaga kota tapal batas, hilang
letihnya bekas perjalanan jauh dan lenyap rasa ngantuknya, lalu dengan tiba-tiba
ia bersenanjung sambil mendongakkan kepalanya:
"Girang aku dengan sisa hidupku ini dapat pulung pula ke tempat tumpah darahku,
Di kota yang kokoh-kuat yang memisahkan negeri Tartar dengan Negara Tionghoa.
Maka aku si orang she In, besok akan memakai pula juba dan kopiah,
Untuk sambil memegang tanda-kehormatan memberi hormat pada junjunganku yang
bijaksana." Thian Hoa timpali menteri setia itu dengan berkata: "Thaydjin sangat setia, di
dalam seratus abad jarang didapat seorang sebagai thaydjin, maka sudah pasti Sri
Baginda akan memberi anugerah terhadap thaydjin. Semua itu sebenarnya masih
belum cukup dikatakan sebagai hadiah..."
Mendengar itu, In Tjeng tersenyum.
"Apa yang aku lakukan adalah kewajiban satu menteri, dari itu aku tidak
mengharap hadiah kerajaan untuk membalas budiku."
Tiba-tiba saja ia berhenti, akan kemudian meneruskan berkata: "Ketika aku
meninggalkan negara, waktu itu adalah ditahun kerajaan Eng Lok ke sepuluh, maka
sekarang, sesudah berselang dua puluh tahun dan kerajaan berganti tiga kaisar,
mengenai urusan pemerintah, sama sekali aku tak tahu suatu apa.
Sebenarnya, sekarang ini siapakah yang memegang pucuk pimpinan pemerintahan?"
"Sekarang adalah Ong Tjin yang berkuasa," sahut Thian Hoa.
In Tjeng segera ingat bunyinya kimlong yang ketiga.
"Semoga Thian melindungi pemerintah kita," memuji dia. "Ong Tjin itu pasti ada
satu tiongsin terbesar dan Ie Kiam adalah satu dorna!"
Justeru itu Tiauw Im sedang mengendarai kudanya di samping kereta, ketika ia
dengar perkataannya menteri setia ini, dia hajarkan tongkatnya ke tanah sambil
berkata dengan keras : "Thaydjin, aku keliru! Ong Tjin itu djustru satu dorna
terbesar! Jikalau dia sampai bersomplokan dengan aku si orang beribadat, nanti
aku beri dia pelajaran dengan tongkatku ini!"
In Tjeng melengak bahna herannya.
"Apa" Dia satu dorna?" tanyanya. "Aku rasa tak bisa! Kalau dia benar dorna,
mengapa orang Tartar menganjurkan untuk Ie Kiam mendakwa terhadapnya?"
Tjia Thian Hoa tahu kekeliruannya menteri itu, ia campur omong.
"Dengan sebenarnya, thaydjin," kata dia, "Ong Tjin itu adalah satu dorna, ya
dorna kebiri!" "Apa" Apakah dia satu thaykam?" kembali In Tjeng menegaskan. (Thaykam= orang
kebiri) "Benar," Thian Hoa pastikan. "Turut apa yang didengar, dia asal kecamatan
Oettjioe, setelah bersekolah, dia turut dalam ujian dan berhasil mendapat
pangkat tiekoan, tetapi belakangan dia berbuat salah, dia dihukum buang, hanya
belum sampai dia menjalankan
hukumannya, raja membutuhkan sejumlah thaykam, dia serahkan dirinya, dan
diterima. Dalam istana dia diberi tugas melayani putera mahkota, ialah kaisar
yang sekarang ini, yang waktu itu masih bersekolah. Ketika kemudian kaisar
wafat, putera mahkota menggantikannya. Dengan sendirinya Ong Tjin diangkat
menjadi Soeiee thaykam, hingga dia berkuasa untuk mengurus surat surat negara,
bagian luar dan dalam istana, dengan berserikat sama menteri menteri dorna,
dengan cepat dia peroleh kekuasaan besar, hingga beranilah dia berbuat sewenangwenang. Belum tiga tahun, dia telah dibenci juga oleh rakyat negeri. Maka itu,
thaydjin, kalau nanti thaydjin pulang ke istana, baiklah thaydjin berhati-hati
daripadanya itu." Masih In Tjeng melengak, karena ia ragu-ragu.
"Ie Kiam itu adalah Pengpou Sielong," Tjia Thian Hoa memberi keterangan lebih
jauh, mengenai Ie Kiam, Menteri Perang (Pengpou Sielong). "Turut pendengaran, Ie
Pengpou adalah satu menteri yang jujur dan setia."
Mendengar itu, In Thaydjin berdiam. Ia hanya menutup mulut, tapi hatinya
berpikir. Di dalam hatinya, ia kata: "Dua orang ini adalah orang-orang kangouw
yang kasar, kata-kata mereka tak dapat lantas dipercaya penuh. Baiklah nanti
saja, sepulangnya ke istana, aku coba membuktikannya."
Ia baru berpikir demikian, atau ia telah memikir pula: "Menurut ilmu perang,
yang kosong itu berisi, yang berisi itu kosong, demikian juga kedua orang ini,
andaikata benar perkataan mereka, mestinya semua itu berdasarkan siasatnya Thio
Tjong Tjioe, untuk membantu aku menaruh kepercayaan, maka di dalamnya mesti ada
tersembunyi sesuatu..... Dalam kereta, In Loei tidur nyenyak. Terharu engkong ini mengawasi kedua pipi
cucunya yang merah jambu itu, wajah yang menunjukkan kejujuran, kepolosan. Anak
itu memang belum mengerti apa-apa. Tapi kepada cucu ini, engkong ini meletakkan
harapannya. Ia telah mengharap, bila In Loei telah berusia dewasa, mesti dia
pergi jauh ke negerinya bangsa Tartar, untuk menerjang
es dan menjelajah salju, guna menuntut balas untuknya. Maka pada akhirnya, ia
menghela napas. Teringat ia pada kesengsaraannya selama dua puluh tahun, mesti
minum air dengan mengunyah salju dan es, mesti menderita kedinginan hebat. Ingat
semua itu, panas hatinya. Tapi ia telah berusia lanjut, disebabkan terlalu
banyak berpikir, ia menjadi letih sendirinya, hingga tanpa merasa, ia pun jatuh
pules seperti cucunya itu.....
Pada hari kedua, pagi-pagi, In Tjeng mendusi. Sekarang dapat ia saksikan samara
samar bendera berkibar-kibar di atas tembok kota Ganboenkwan.
"Inilah Tjitliepouw," berkata Tiauw Im Hweeshio. "Kita terpisah dari kota hanya
tujuh lie lagi. Di sebelah depan sana ada pos tentara penjagaan di luar kota
Ganboenkwan, untuk memeriksa lalu lintas."
In Thaydjin dengar itu, ia berbangkit dengan mencelat. Ia singkap tenda kereta,
untuk melongok keluar. "Apakah Tjioe Tjongpeng telah datang?" dia tanya.
"Soetee Thian Hoa sudah pergi untuk memberi laporan akan tetapi belum terdengar
kedatangannya tentara Tjioe Tjongpeng," jawab Tiauw Im.
In Tjeng melengak, lalu ia tertawa sendirinya.
"Ah, aku juga telah dibikin pusing oleh kimlong itu!" katanya seorang diri.
"Mana Tjioe Tjongpeng bisa mengetahui yang hari ini aku bakal sampai di sini"
Sebentar kemudian, sesudahnya ia diberitahukan, barulah dia pasti akan datang
sendiri." Lantas ia perintahkan kereta dihentikan di muka pos penjagaan tentara, sedang
tentaranya, sejumlah serdadu, mengawasi dari dalam tembok kota tanpa mereka
membuat sesuatu gerakan. Tjia Thian Hoa ada seorang yang teliti, dia pergi lebih dahulu ke kota untuk
melaporkan. Dengan Tjioe Tjongpeng pernah beberapa kali dia bertemu, dia ketahui
baik punggawa penjaga kota Ganboenkwan itu di samping sebagai sahabatnya In
Tjeng, ia pun jujur dan laki-laki, ia mirip dengan orang bangsa kangouw, maka dia
mempercayainya dan suka membuat laporan itu. Sebentar saja dia telah sampai di
kota di mana tak tampak apa-apa yang mencurigakan, maka tanpa ragu-ragu dia ikut
kiepaykhoa, yang menyambut padanya masuk ke dalam kantoran.
"Lucu juga," kata ia dalam hatinya, hingga ia tersenyum sendirinya, "sampaipun
aku, kena dipermainkan akal muslihatnya Tantai Mie Ming. Asal Tjioe Tjongpeng
yang tetap membelai kota ini, siapakah yang berani mencelakai In Thaydjin?"
Setelah dipersilakan duduk, Thian Hoa disuguhkan air teh.
"Tjioe Tjongpeng akan segera keluar," berkata kiepaykhoa itu, maka silakan Tjia
Hiapsoe beristirahat dulu." Thian Hoa hirup air teh, setelah mana, ia loloskan
pakaian luarnya, pakaian untuk berperang. Ia tengah duduk menanti ketika dengan
sekonyong-konyong ia rasakan kepalanya pusing dan matanya kabur.
"Celaka!" dia menjerit. Dia lompat untuk sambar pedangnya, tetapi kiepaykhoa
tadi mendahului jumput pedangnya itu, menyusul mana dari luar terlempar dua
lembar tambang, maka di lain saat, orang she Tjia ini sudah kena teringkus
rubuh. Thian Hoa telah sempurna latihan iweekang-nya, ilmu dalam, walaupun dia telah
diperdayakan ingatannya masih belum kusut, dari itu, dia coba kerahkan


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tenaganya, untuk berontak, akan tetapi sangat menyesal, nyata dia telah
kehilangan seantero tenaganya, hingga tidak berhasil dia dengan percobaannya
itu, malah sebaliknya, dia merasakan kepalanya semakin pusing. Lantas dia ingin
tidur saja. Celakanya, kedua matanya pun lantas tertutup rapat, walaupun dia
ingin membukanya, tetapi dia tidak mampu. Berkat keulatan iweekang-nya, dia
masih kuatkan hati, dia tetap membuat perlawanan bathin, maka terasalah olehnya,
bahwa orang telah menggotong padanya, untuk dibawa di suatu tempat. Ia dengar
suara pintu dikunci, maka ia menduga bahwa ia tengah dikuncikan di sebuah kamar
gelap..... Memang, teh yang diminum Thian Hoa telah dicampuri bonghan yoh, obat pulas,
saking ulatnya ia, ia tak rubuh tanpa sadarkan diri lagi seperti korbankorban
lainnya, masih terang ingatannya, cuma sia-sia saja perlawanannya untuk menjadi
sadar, akan pulihkan tenaganya, yang habis seketika.
Berapa lama sang waktu sudah lewat, inilah Thian Hoa tidak ketahui, tetapi ia
masih tetap sadar ketika ia dengar suara daun pintu ditolak terbuka, lalu
seorang melongok masuk. Sekarang Thian Hoa dapat buka kedua matanya, segera ia
kenali Tjioe Kian, tjongpeng dari Ganboenkwan. Dengan tiba-tiba saja meluap hawa
amarahnya, dengan sekuat tenaganya ia coba lompat bangun, untuk menyambar dengan
tangannya pada muka orang.
"Inilah aku!" beritahu Tjioe Tjongpeng sambil menangkis.
Masih belum pulih tenaganya Thian Hoa, atas tangkisan itu, tubuhnya terhuyung
mundur beberapa tindak, sampai ia membentur tembok. Tentu saja murkanya
bertambah. "Bagus!" serunya. "Ini dia yang dibilang, kenal manusia, kenal cecongornya, tak
kenal hatinya! Oh, Tjongpeng Thaydjin, kau telah gunakan siasat rendah yang hina
dina, sungguh kau pandai!"
Tapi tjongpeng itu maju menghampiri, untuk cekal lengan orang.
"Diam, keadaan sangat berbahaya!" katanya seperti berbisik. "Lekas makan ini
obat pemunah! Mari kita pergi bersama untuk menolongi In Thaydjin1. Ini
pedangmu, yang telah aku ambilkan. Lekas!"
Thian Hoa tercengang. "Apa ?" tanyanya "Kau" Apakah artinya ini?"
Di dalam kamar tahanan yang gelap itu hanya terlihat sinar kedua mata
bergemerlapan dari Tjioe Tjongpeng, sinar mata yang berpengaruh.
"Tjioe Kian ada orang macam apa, mustahil kau masih belum ketahui?" katanya
dengan perlahan. "Keadaan sekarang sangat genting, baiklah kita bicara nanti
saja! Lekas kau turut aku!"
Mau atau tidak, Thian Hoa buka mulutnya untuk telan obat pemunah. Ia memang
sadar, maka setelah makan obat itu, lenyaplah keinginannya untuk tidur saja. Ia
terima pedang yang disodorkan si tjongpeng itu, lantas ia lompat keluar kamarnya
akan ikuti punggawa perang itu.
Di luar kota Ganboenkwan terdengar su- ara terompet yang panjang.
Sesampainya mereka di luar kamar, mereka dihalangi kiepaykhoa yang menyuguhkan
teh yang tercampur obat pulas.
"Tjioe Thaydjin, kau mesti berpikir masak-masak berulang-ulang!" kata hamba
pelayan ini. "Jangan thaydjin sampai merusak hari depanmu!"
"Tjioe Tjongpeng tidak menjawab nasehat itu, dia melainkan lompat kepada si
kiepaykhoa sambil menyabet dengan goloknya, atas mana tubuh hamba itu kutung
menjadi dua potong! Sebagai tindakan terlebih jauh, Tjioe Tjongpeng rampas dua ekor kuda dengan apa
ia bersama Thian Hoa lantas kabur ke depan kantor, untuk nerobos keluar kota.
Tidak ada opsir lainnya atau serdadu-serdadu, yang berani merintangi tjongpeng
itu serta kawannya. Tjioe Kian memang tampak sangat keren. Di atas kudanya, dengan cambuknya, dia
menuding ke arah Tjitliepouw.
"Di luar Tjitliepouw sana, mereka asik bertempur!" katanya dengan nyaring. "Mari
kita ambil jalan memotong!"
Dan ia kaburkan kudanya di sebelah depan, menuju kesebuah jalan kecil, dari mana
mereka lantas dengar suara berisik dari bergeraknya pasukan tentera di jalan
besar, antaranya terdengar
teriakan-teriakan: "Tjioe Tjongpeng kembali! Tjioe Tjongpeng kembali!"
Akan tetapi tjongpeng itu tidak mempedulikan-nya.
Di Tjitliepouw, setelah dengar keterangannya Tiauw Im, In Tjeng nantikan
kembalinya Tjia Thian Hoa. Ia masih saja mendongkol, kegusarannya tak dapat
segera dilenyapkan. Ia pun mesti menantikan lama. Justeru begitu, mendadak
terlihat mengepulnya debu yang diakibatkan oleh berlari-larinya belasan
penunggang kuda mendatangi, menyusul mana pintu pos penjagaan segera dipentang
lebar, perwira penjaga pos itu segera keluar untuk membikin penyambutan,
suaranya yang nyaring pun terdengar mengundang masuk belasan penunggang kuda
yang baru tiba itu. In Tjeng dari keretanya dapat melihat dengan nyata, hingga ia tahu, di antara
belasan penunggang kuda itu, tidak ada Tjongpeng Tjioe Kian, hingga ia jadi
tidak puas. Walaupun demikian, ia berlaku tenang, ia bawa sikap agung. Ketika ia
sampai di muka pos, ia bertindak masuk dengan pegangi soetjiatnya, tanda
kebesarannya. Di dalam pos tentera tapal batas itu ada ruang untuk duduk, dikedua tepi berdiri
berbaris enam belas serdadu Gielimkoen, pengawal atau pahlawan raja. Mereka
berada diundakan bawah. Dua kimtjee, atau utusan raja, dengan pakaian resminya menyambut In Thaydjin.
Melihat penyambutan itu In Tjeng girang. Di dalam hatinya, ia berkata: "Nyata
Sri Baginda Raja telah memberi berkahnya, ingat dia akan kesetiaanku selama dua
puluh tahun, hari ini dia telah utus wakilnya ketapal batas ini untuk memapak
aku!" Maka itu, ia bilang kepada kedua kimtjee itu: "Apakah karena jasaku, si
orang she In, hingga kedua kimtjee menyambutnya di tempat yang sejauh ini..."
Baharu In Thaydjin mengucap demikian, atau tiba-tiba, kedua kimtjee itu
perlihatkan wajah keren dan bengis, keduanya segera perdengarkan seruan:
"In Tjeng, menteri pengchianat, berlututlah kau untuk menyambut firman Sri
Baginda Raja!" In Thaydjin kaget bukan main, ia heran tak kepalang, sampai ketika ia angkat
soetjiatnya, tangannya bergetar.
"Tidak berani aku menyambut firman ini!" katanya, untuk melawan. "Aku si orang
she In telah diutus ke negara asing, selama dua puluh tahun aku hidup
menggembala kuda di daerah bangsa Tartar, selama itu aku tetap bersetia, aku
tahu diriku tidak bersalah dan berdosa!.....
Belum sampai menteri setia ini menutup mulutnya atau dua pahlawan sudah
menyambar ia, untuk dibikin rubuh, sedang satu di antara kedua kimtjee segera
beber firman raja, untuk dibacakan dengan nyaring:
"Menteri yang berdosa, In Tjeng, oleh mendiang Sri Baginda telah diberi
kepercayaan, diutus ke negeri Watzu, tetapi bukannya dia bekerja dengan setia,
dan membalas budi negara, dia justeru memusuhinya, hingga dia melupakan negeri
dari ayah bundanya. Begitulah hari ini In Tjeng pulang secara diamdiam, untuk
maksud yang berbahaya guna menjadi penyambut di sebelah dalam. Sebenarnya,
mengingat dosanya, In Tjeng tak mestinya mendapat ampun, akan tetapi karena
mengingat ia adalah menteri dari mendiang Sri Baginda Raja, ia diberi kecualian,
ialah ia diberi kemerdekaan untuk minum obat guna menghabiskan jiwanya sendiri,
supaya dengan begitu tubuhnya utuh. Sekian!"
In Tjeng kaget bukan kepalang, tubuhnya sampai gemetar keras. Inilah hal yang ia
tidak pernah duga. Sampai saat terachir, ia masih percaya rajanya menghargai
jasanya..... Satu pahlawan, dengan gelas perak ditangan-nya, menghampiri menteri yang
bercelaka ini. Gelas itu berisi air obat yang merah warnanya. Dia berkata dengan
nyaring: "Menteri In Tjeng yang berdosa, apakah kau masih tidak mau menghaturkan
terima kasihmu untuk mentaati bunyinya firman Sri Baginda?"
In Tjeng rasakan kepalanya hendak meledak. Mendongkol dan gusar tercampur jadi
satu. Bukan main panas hatinya. Tapi ia mesti kendalikan diri. Ia sambar gelas
racun sambil berseru: "Kasi aku lihat firman itu! Aku tidak percaya!"
Kimtjee yang membacakan firman tertawa dingin.
"Sungguh besar nyalimu!" kata dia dengan nyaring. "Apakah kau kira kau berhak
melihat firman?" Menyusul kata-katanya kimtjee ini, terdengar suara kedua daun pintu kantor
menjeblak, setelah mana terlihat masuk satu pendeta dengan tongkatnya ditangan,
dengan tongkat itu ia telah hajar pintu.
"Jangan pedulikan firman tulen atau palsu, mereka semua mesti dibikin mampus!"
dia berteriak laksana guntur sambil terus menerjang.
Ke enam belas pahlawan segera turun tangan, guna melabrak pendeta ini, ialah
Tiauw Im Hweeshio. Maka itu, mereka jadi bertarung dengan hebat sekali.
Tiauw Im mengamuk ke kiri dan kanan, tongkatnya yang besar dan berat tiap-tiap
kali meminta korban. Kedua kimtjee menjadi ketakutan, muka mereka pucat, kaki mereka lemas.
Tiauw Im berhasil dengan serbuannya itu, ia mendesak sampai di ruang sekali,
dengan sebelah tangannya ia cekuk kimtjee yang membacakan firman tadi.
"Dengan susah payah In Thaydjin kabur dari tempat pembuangannya, dia berhasil
pulang kemari, kenapa sekarang kamu justeru hendak membinasakan dia?" dia
berteriak. "Aturan dari mana ini?"
Dan dengan satu gerakan tongkat, di antara suara nyaring, hancurlah kepala si
kimtjee yang galak, setelah mana sambil tertawa, pendeta itu cekuk kimtjee yang
kedua. "Lepas! Lepas!" kimtjee ini berteriak-teriak. "Kau berani melawan kimtjee, kau
tahu apa hukumanmu?"
Tiauw Im tancap tongkatnya di lantai, dengan dibantu tangannya yang lain, ia
angkat tinggi tubuh kimtjee itu.
"Jahanam!" dampratnya. "Berapa sih harga sekatinya satu kimtjee?"
Ia pegang kedua kakinya kimtjee itu yang ia lantas beset!
Semua serdadu gielimkoen terkesiap, tidak ragu-ragu lagi, mereka lari keluar.
Mereka memang sudah jeri terhadap pendeta ini, yang tadi memberikan labrakan
pada mereka. Mereka lari untuk bunyikan trompet, mereka tidak pedulikan lagi
kawan-kawan yang telah menjadi mayat.
In Tjeng berdiri tercengang, ia terpagut. Di situ, kecuali beberapa mayat,
tinggal ia bersama Tiauw Im. Ia berdiri diam seperti sedang bermimpi. Ketika
Tiauw Im bertindak menghampirkan, baharu ia sadar.
"Mari firman itu, hendak aku melihatnya!" dia berseru. Dia baharu ingat kepada
firman yang mengharuskan menceguk racun, untuk menghabiskan nyawanya.
"Peduli apa segala firman begituan!" sahut si pendeta. "Mari turut aku
menyingkir!" In Tjeng duduk numprah. "Mari firman itu, kasi aku lihat!" dia kata pula, suaranya tetap.
Tiauw Im mendelik terhadap orang bandel itu tetapi ia mengalah, ia ulurkan
tangannya ke meja, untuk mengambil firman tadi, terus ia lemparkan.
"Nah, lihatlah!" katanya sengit. "Lekas baca! Lekas!"
Berbareng dengan itu, ia tak mengerti atas kebandelan orang itu.
In Tjeng pungut firman itu, untuk dibuka dan dibaca, setelah mana, mukanya
menjadi pucat seperti mayat.
Dengan tertera cap kerajaan, firman itu memang firman tulen. Masih ingat ia
dahulu, ketika Kaisar Seng Tjouw merampas mahkota, pernah ia rampas cap kerajaan
dari tangan thaykam, lalu dibuangnya cap itu ke lantai hingga pecah ujungnya,
kemudian ia menyuruh tukang menambal cacat itu. Sekarang ia dapat kenyataan,
itulah cap yang ia kenal.
"Apakah kau telah melihat cukup?" tegur Tiauw Im menampak orang diam saja.
Masih In Tjeng mengawasi firman itu, ia seperti tak dengar teguran itu. Dalam
sekejap, ingat ia pada penderitaannya di tanah asing, tapi penderitaan itu kalah
hebatnya dengan penderitaan sekarang. Sekarang habislah harapannya, lamunan
sekian lama bahwa ia bakal dihargai rajanya. Ia dapat bertahan dua puluh tahun
karena kesetiaannya, siapa sangka, bukan kenaikan pangkat yang ia peroleh,
rajanya justeru menghendaki jiwanya!
Tiauw Im ulangi tegurannya, ia masih tidak dengar jawaban, hingga ia jadi sangat
heran, selagi ia awasi menteri itu, mendadak ia tampak orang membanting soetjiat
yang selama dua puluh tahun tidak pernah terpisah daripadanya. Maka, karena
terbanting keras, soetjiat itu patah menjadi dua potong!
Pada saat itu, kosonglah hatinya In Tjeng, lenyap keinginannya untuk hidup
terus, maka dengan tiba-tiba saja ia angkat gelas racun, untuk tenggak isinya!
"Hai, kau berbuat apa?" teriak Tiauw Im, yang terus lompat maju.
Akan tetapi orang kosen ini sudah terlambat, tubuh In Tjeng rubuh seketika, dari
hidungnya, mulutnya, matanya, kupingnya, dan setiap lobang keringatnya, darah
mengucur keluar. Menteri setia ini telah menemui ajalnya dalam tempo yang cepat
sekali, saking kerasnya racun raja, arak beracun yang dinamakan "Hoo teng ang,"
apapula racun itu sampai satu gelas!
Tiauw Im melengak menyaksikan kejadian itu, ia baharu sadar ketika ia dengar
suara ribut-ribut dari arah luar, ialah suaranya senjata beradu bercampur dengan
tangisan In Loei. Sebab di luar, kereta In Tjeng sudah dikurung sisa pahlawan serta tentera pos
penjaga, hingga mereka jadi bentrok dengan dua muridnya si pendeta.
Tidak tempo lagi, sambil berseru, Tiauw Im lari keluar, untuk menyerbu ke depan.
Sejumlah serdadu maju, untuk mencegat, merintangi, tetapi ia serang mereka,
hingga mereka menjadi bertempur, tetapi tidak lama, ia berhasil merangsak sampai
kekereta di mana segera ia sambar In Loei, untuk ditolongi.
"Jangan takut! Jangan takut!" ia hibur bocah itu sambil menepuk-nepuk, kemudian
dengan sebelah tangan ia pondong bocah itu, lalu ia berkelahi pula, guna
menoblos kurungan. In Loei mendekam dibebokong si hweeshio, ia diam saja, tidak menangis atau
menjerit, malah dengan mata bercelingukan, ia memandang kesekitarnya. Rupanya,
ditangannya si pendeta, hatinya jadi tenang.
Bersama dua muridnya, Tiauw Im pecahkan kurungan, lantas mereka merampas kuda
dengan apa mereka kabur bersama.
Tentera Beng mengejar, malah mereka lantas melepaskan anak panah.
Tiauw Im dan dua muridnya repot juga membuat penangkisan, kaburnya mereka jadi
terhalang, dengan begitu, tentera pengejar jadi datang semakin dekat.
"Hebat!" keluh Tiauw Im dalam hatinya. Ia lihat bahaya mengancam. Sulitnya bagi
dia, ia mesti lindungi In Loei, hingga sebelah tangannya tak dapat digunakan.
Sekonyong-konyong dua anak panah menyambar dan kedua muridnya si pendeta rubuh
terguling, karena anak panah itu nancap ditenggorokan mereka!
Tiauw Im murka hingga ia menjerit. Ia putar tongkatnya untuk balik menerjang.
"Daripada mesti binasa, lebih baik aku binasakan dulu beberapa dari mereka!"
demikian ia pikir. Tapi, belum sempat ia mengamuk, ketika ia menoleh ke
belakang, ia tampak mata jeli dari si bocah, mata itu hidup, tidak bersinar
takut. Melihat ini, ia menghela napas.
Justeru itu, sebatang anak panah menyambar kepadanya, ia menangkis. Ia rasakan
serangan panah yang hebat, maka ia menduga, penyerangnya pasti bukan orang
sembarang. Di saat tentera pengejar hampir sampai, Tiauw Im lihat bagian belakang pasukan
itu kalut dengan tiba-tiba, hingga hujan anak panah pun jadi berhenti
sendirinya, lalu dari dalam barisan itu keluarlah dua orang yang ia kenali
adalah Tjia Thian Hoa dan Tjioe Kian. Karena girangnya hampir ia tak mau percaya
kepada matanya sendiri. Mendadak satu punggawa musuh mencegat Thian Hoa, dia mainkan goloknya, atas
mana, Thian Hoa desak dia dengan tikaman pedang berulangulang, hingga dia
menjadi repot. Selagi dua orang itu bertempur hebat, Tjioe Kian berseru kepada punggawa itu:
"Ouw Tjiangkoen, aku telah perlakukan baik padamu, sekarang aku mohon kebaikan
kau!" Punggawa itu tidak berkata suatu apa, ia cuma putar kudanya, untuk meninggalkan
musuhnya, hingga semua serdadu, meskipun mereka berteriakteriak, tidak lagi ada
yang menyerang, mencegat atau mengejar.
Tjioe Kian pandang tenteranya itu dengan siapa ia telah hidup bersamasama
bertahun-tahun, habis itu bersama Thian Hoa ia gabungi diri untuk angkat kaki
menuju ke utara. Diam-diam ia mencucurkan air mata...
Di Utara, musim ada lebih dingin, maka juga sampai tengah hari, sang Batara
Surya masih belum muncul, dari itu, di bawah udara bagaikan mendung, bertiga
mereka larikan kuda mereka.
Thian Hoa telah mengucurkan air mata, dari soeheng-nya telah ia ketahui nasibnya
In Tjeng. Dengan susah payah mereka kabur dari negara asing, siapa sangka,
sesudah sampai di tanah tumpah darah sendiri, menteri itu mesti menemui ajalnya
secara demikian kecewa dan mengenaskan.
Di pihak lain, ia menyesal untuk Tjioe Tjongpeng, yang guna membelai sahabat,
sudah tinggalkan jabatannya, pangkatnya. Malah dengan perbuatannya itu, Tjioe
Kian telah memberontak terhadap peme-rintahnya.....
"Sudah, Tjioe Tjongpeng," kata dia kemudian, suaranya perlahan, "setelah
kejadian ini, biar kita nanti berdaya perlahan-lahan saja untuk hidup kita. Aku
menyesal yang aku telah membikin kau celaka..."
Tapi tjongpeng itu tertawa, tertawanya sedih.
"Aku bukannya tjongpeng lagi!" demikian katanya. "Sudah sejak setengah bulan


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang lalu, aku dipindahkan tempat jabatan, cuma karena tjongpeng yang baharu
masih belum sampai, untuk sementara aku masih tetap mewakilkannya. Ouw
Tjiangkoen itu adalah tjongpeng yang tulen."
"Tjioe Tjongpeng," katanya, "kau telah berulang kali mendirikan pahala, mengapa
kau dipindahkan" Anehnya, In Thaydjin ada demikian, setia, kenapa dia bolehnya
diberi hadiah kematian?"
Bekas brigadir jenderal itu menggeleng-geleng kepala.
"Urusan pemerintah baiklah kita jangan pedulikan pula....." katanya. Tapi ia
berhenti sebentar, lantas
ia melanjutkan: "Sekarang ini dorna yang berkuasa, melainkan orang-orang
kepercayaannya yang menjabat pangkat. Aku bukan kepercayaannya Ong Tjin, pasti
sekali dia berdaya untuk pindahkan aku. Tentang sebabnya mengapa pemerintah
membinasakan In Thaydjin, inilah aku tidak mengerti, cuma karena raja yang
sekarang masih berusia sangat muda, sedang kekuasaan besar berada
ditangan Ong Tjin, kebinasaannya In Thaydjin tentulah atas kehendak Ong Tjin
itu....." Thian Hoa tutup mulutnya, ia bungkam. Tapi kemudian.
"Apa pernah tjongpeng bertempur sama Thio Tjong Tjioe dari negeri Watzu?" dia
tanya. "Apakah kau maksudkan itu pengchianat she Thio?" Tjioe Kian tegaskan. "Pada
sepuluh tahun yang lalu, pernah dia datang kemari bersama tentaranya, sampai dua
kali kita bertempur, kemudian diadakan perdamaian, sejak itu tidak pernah dia
datang pula." "Satu hal membuat aku heran," kata Thian Hoa. "Dia tahu betul tentang tindak
tanduknya pemerintah kita, seperti ia mengetahui jari-jari tangannya sendiri,
apa tak mungkin dia mempunyai perhubungan rahasia dengan salah satu menteri atau
panglima kita?" Tjioe Kian awasi Thian Hoa dengan mendelong. "Bagaimana dapat kau menerka
demikian?" katanya. "Coba kau tidak mengatakannya, pastilah aku lupa! Ong Tjin
dan Tjo sinsiang To Huan dari negeri Watzu adalah sahabat kekal, malah kabarnya,
dia juga mempunyai hubungan dengan Thio Tjong Tjioe."
Thian Hoa jadi tambah curiga. Lantas ia ingat pada obat pulung dari Thio Tjong
Tjioe, yang dibawa Tantai Mie Ming. Ia keluarkan obat itu, ia gigit pecah
lilinnya, untuk keluarkan obatnya, ialah secarik kertas yang dipulungpulung.
Bersama-sama Tjioe Kian, ia baca kertas itu yang tertuliskan hurufhuruf yang
menjadi buah kalamnya Ong Tjin sendiri.
Nyata surat itu berasal dari Ong Tjin untuk To Hoan berdua Tjong Tjioe, bunyinya
adalah mendamaikan urusan menukar barang-barang besi Tionggoan, buat ditukar
dengan kuda Mongolia. Thian Hoa menghela napas.
"Mongolia kekurangan besi, tanpa besi dari Tionggoan, sampaipun busur mereka
tidak sanggup bikin," katanya. "Bukankah ini terang-terang ada satu jalan untuk
membantu musuh?" "Benar," sahut Tjioe Kian. "Aku pun lupa satu hal. Kedua kimtjee tadi, mereka
tiba beberapa hari yang lalu, selama itu ada utusan Mongolia yang telah
mengadakan perhubungan dengan mereka, entah apa yang mereka bicarakan tetapi aku
curigai sekongkolan untuk membikin celaka pada In Thaydjin. Mungkin itu ada
dayanya To Hoan atau Tjong Tjioe."
"Kalau begitu," tanya Thian Hoa, heran, "habis apa artinya Tjong Tjioe utus
Tantai Mie Ming menyampaikan suratnya dalam obat pulung ini?"
Dan ia tuturkan halnya kimlong yang dibawa Mie Ming, yang tadinya mengejar
ngejar mereka yang lagi buron.
Tjioe Kian dan Tiauw Im, turut menerka-nerka tetapi mereka tak peroleh
pemecahannya. "Jahanam Tjong Tjioe itu mana punya maksud baik?" kata Tjioe Kian kemudian.
"Dari perbuatannya saja menyiksa In Thaydjin selama dua puluh tahun, aku
penasaran sudah tidak dapat membinasakan dia!"
Justru itu, In Loei angkat kepalanya.
"Yaya" Mana yaya?" tanyanya. "Yaya suruh aku binasakan orang, kamu juga hendak
binasakan orang, aku takut, takut....."
Thian Hoa usap-usap rambut orang.
"Membunuh orang jahat tak usah dibuat takut." katanya perlahan.
Habis mengucap demikian, tiba-tiba saja orang she Tjia ini lompat turun dari
kudanya, untuk segera menghampiri Tiauw Im.
"Pergi kau bahwa nona cilik ini kepada soemoay." katanya. "Aku sendiri hendak
kembali ke Mongolia....."
"Untuk apa kau kembali ke sana?" dia tanya.
"Untuk bunuh Thio Tjong Tjioe!" sahut sang soetee.
Tiauw Im angkat tongkatnya.
"Itu benar!" ucapnya. "Dengan binasakan Tjong Tjioe, di belakang hari tak usah
lagi nona cilik ini membinasakan dia! Baiklah, kita masing-masing, yang satu
merawat anak yatim piatu, yang lain membuat pembalasan! Nanti, lagi sepuluh
tahun, kita boleh saling bertemu pula di kota Ganboenkwan!" Maka itu berpisahlah
mereka berdua, juga dari Tjioe Kian.....
-oood00w00ooo- BAB I Bagaikan melesatnya anak panah, demikian sang waktu. Sepuluh tahun telah
berlalu, atau orang berada dalam tahun Tjeng Tong ke-XIII dari ahala Beng. Maka
itu berubahlah berbagai peristiwa dari sepuluh tahun yang telah selam itu, pasti
orang telah lupa akan perbuatannya Tjongpeng Tjioe Kian dari kota Ganboenkwan,
tentu orang tak ingat lagi riwayat sedih dari Thaydji In Tjeng di daerah
perbatasan itu. Meskipun demikian, di luar kota Ganboenkwan, di daerah seratus
lie yang kosong, yang dinamakan no man's land itu, suasana bukannya tak tetap
ramai..... Keramaian itu terjadi sejak beberapa tahun yang lampau.
Apa yang dinamakan "keramaian" itu adalah aksinya segerombolan kawanan Loklim
atau Rimba Hijau, karena sikap mereka ini yang istimewa.
Jumlah mereka tidak besar akan tetapi mereka tidak takut terhadap tentara Beng,
mereka tak jeri terhadap pasukan bangsa Mongolia, tentara Watzu. Mereka jarang
keluar membegal atau merampok orang pelancongan, mereka cari mangsa di antara
rombongan pembesar rakus, terutama mereka tak mau ganggu tentara kota
Ganboenkwan. Rombongan ini terkenal dari benderanya, "Djitgoat Siangkie", atau
sepasang Matahari dan Rembulan. Dan yang luar biasa, umum tidak ketahui siapa
nama pemimpin mereka, apa yang diketahui, pemimpin itu ada seorang tua dengan
potongan "kepala macan tutul" dan "mata harimau". Sebab selagi menyerbu, di dalam
pertempuran, dia selalu memakai topeng. Maka dia dikenal hanya dari goloknya,
golok Kimtoo, hingga dia peroleh gelarnya: "Kimtoo Lootjat" - si bangsat tua
bergolok emas. Anehnya, apabila dia benterok dengan pasukan tentara, apabila dia
peroleh kemenangan, tidak pernah dia kejar tentara pecundangnya itu.
Begitu terkenal rombongan berandal ini tetapi satu punggawa yang bernama Poei
Keng belum pernah mendengarnya, hingga ia tak tahu keamanan yang terganggu di
daerah tanah kosong itu. Itulah terjadi pada musim semi ketika serombongan tentara yang mengiring
angkutan mahal menuju kota Ganboenkwan. Yang jadi pemimpin tentara itu adalah
Poei Keng tersebut, satu punggawa asal Boekiedjin, yang menyebut dirinya
"Sintjia Poei Keng" atau Poei Keng Malaikat Panah sebab liehaynya ia mainkan
busur melepaskan anak panah, hingga ia berjumawa karenanya.
Pada musim itu Poei Keng dapat tugas mengiring uang negara sebanyak empat puluh
laksa tail, uang terdiri dari uang goanpo, setiap petinya berjumlah lima ratus
tail. Seratus keledai dipakai guna menggendol harta besar itu.
Tapi si Malaikat Panah tidak hanya membawa uang negara saja. Berbareng dengan
seratus keledai itu, ada lagi empat belas ekor, yang bebokongnya dimuatkan
dengan barang-barang kepunyaan pribadi dari Teng Toa Ko, tjongpeng dari
Ganboenkwan. Sama sekali Poei Keng cuma pimpin seratus serdadu, inilah sebabnya sampai
sebegitu jauh, belum pernah ia mengalami kegagalan.
Dibulan ketiga, daerah Kanglam mempunyai banyak rumput panjang, tapi di luar
kota Kieyongkwan, salju masih belum cair, maka hawa udara jadi dingin sekali.
Tapi melalui perjalanan yang jauh, hari itu, keseratus serdadu itu merasa gerah
karena hawa yang panas, sedang mereka pun sudah letih, apa pula ketika itu
adalah tengah hari, matahari sedang memancarkan sinarnya.
Di atas kudanya, sambil menunjuk dengan cambuknya, Poei Keng berkata: "Besok
tengah hari, kita akan sampai di kota Ganboenkwan! Kita berangkat cuma dengan
seratus orang, angkutan kita banyak dan berat, kita juga mesti lintasi gunung
melalui bukit-bukit, kita mesti melakoni perjalanan ribuan lie, maka syukur
sekali, kita tak nampak sesuatu! Sesunguhnya, kita harus memuji diri!"
Poei Keng didampingi dua hoekhoa, pembantunya, mereka ini lantas berkata:
"Thaydjin kesohor dengan panahnya, di kolong langit ini siapakah yang tidak
mengetahuinya" Umpama kata di tengah jalan ada rombongan bangsat kurcaci, dengan
mendengar nama thaydjin saja, angkat kepala pun mereka tidak berani!....."
Poei Keng tertawa bergelak-gelak. "Kamu memuji! Kamu memuji!" katanya riang
gembira. Tapi, mendengar itu, serdadu-serdadu tertawa di dalam hati, sebab mereka tahu,
hoekhoa hanya tengah mengangkat-angkat saja.
Segera mereka berada di jalan di tepi mana ada sebuah warung arak, tempat untuk
orang-orang pelancong singgah untuk membasahkan tenggorokan, melihat itu, Poei
Keng girang. "Kali ini kita melakukan perjalanan selamat tidak kurang suatu apa, ini bukan
melulu karena tenagaku satu orang," berkata dia, yang ingat kepada pahalanya
semua serdadu, "ini adalah jasa kita beramai! Ganboenkwan sudah ada di depan
mata, tidak usah kita terlalu terburu-buru, mari kita singgah di sini! Aku
undang hoekhoa berdua minum arak!"
Lantas dia lompat turun dari kudanya, untuk masuk ke dalam warung arak itu, di
ikuti kedua pembantunya yang pandai sekali mengangkat-angkat.
Setelah menenggak beberapa cawan, penyakit jumawa dari Poei Keng kumat, terus ia
bicara banyak, akan kepulkan kekonsenannya. Ia berceritera ketika dulu ia masih
menjadi polisi di kota Tongpeng, dengan panahnya, ia telah takluki serombongan
orang jahat. "Sayang sekarang thaydjin sedang menjabat pangkat," kata satu hoe-khoa, "kalau
tidak, tahun ini thaydjin boleh turut ujian militer, niscaya sekali thaydjin
tidak akan lulus sebagai Boe tjonggoan1."
"Boe tjonggoan" atau "tjonggoan militer" adalah gelar tertinggi di dalam ujian
yang dibikin di kota raja. Gelar kedua adalah "ponggan" dan gelar ketiga
"tamhoa." Hoekhoa yang kedua pun berkata: "Hari ini udara terang, dengan memberanikan diri
aku mohon thaydjin mencoba memperlihatkan kepandaian memanah supaya kami dapat
lihat!" Poei Keng tenggak kering satu cawan besar, ia tertawa, habis mana ia turunkan
busurnya. "Mari semua kamu turut aku!" katanya, mengajak orang kelataran. Ia segera
siapkan dua batang anak panah.
"Kamu semua lihat biar tegas!" katanya pula, lalu dengan cepat dan lincah, ia
memanah. Dengan menerbitkan suara mengaung, sebatang anak panah melesat ke udara,
kemudian, selagi anak panah itu mulai turun, dia disambar oleh yang kedua, yang
dilepas hampir menyusul, dan tepat sekali, anak panah pertama itu menjadi
sasaran yang kedua, lantas keduanya jatuh bersama.
Kedua hoekhoa berseru dengan pujiannya, dituruti oleh pujian sekalian serdadu.
Di dalam hatinya, kedua hoekhoa tukang mengumpak itu berkata: "Benar-benar dia
liehay, dia bukan cuma ngoceh saja..."
Selagi serdadu-serdadu itu memuji, di antara suara derapnya kaki, kuda, tampak
satu penunggang asyik mendatangi, dari mulutnya itu juga terdengar pujian:
"Panah yang bagus! Panah yang bagus!"
Poei Keng menoleh dengar segera. Ia lihat seorang dengan dandanan sebagai
sioetjay, ikat kepalanya hijau, romannya lemah lembut, akan tetapi dibebokongnya
tergemblok sebuah busur hitam.
Kudanya pun kecil dan kurus. Malah busur itu lebih kecil dari busur yang umum,
apabila itu disbanding dengan busur punggawa ini, besar bedanya.
"Mestinya anak sekolah kuatirkan jalanan yang tidak aman!" Poei Keng tertawa
dalam hati. "Dia menggendol-gendol biang panah untuk membesarbesarkan nyalinya!
Sebenarnya percuma saja dia bawa biang panah itu! Umpama kata benar ada begal,
pasti begal itu siang-siang ketahui dia adalah satu mahasiswa yang lemah dan tak
berguna....." Orang macam sioetjay itu sudah lantas tambat kudanya di sebuah pohon di tepi
jalan, ia terus bertindak masuk ke dalam warung arak.
Poei Keng menduga orang ini ternama juga, ia memberi hormat sambil mengangkat
tangannya. "Kau she apa, hengtay" tanyanya. "Kenapa kau jalan sendirian" Apa kau tidak
takut kepada orang jahat?"
"Siauwtee she Beng nama Kie," sahut sioetjay itu, yang bahasakan dirinya, "adik
kecil" (siauwtee). "Tjongpeng dari Ganboenkwan ada sanak jauh dari siauwtee.
Dalam ujian tahun ini, siauwtee gagal, tetapi siauwtee tak ingin berdiam di
rumah saja, maka itu siauwtee pergi jauh ketapal batas ini dengan mengharap
pertolongan dari sanakku itu, supaya ia beri sesuatu jabatan kecil di dalam
kantornya." Mendengar begitu, Poei Keng mengawasi.
"Oh, kiranya kau sioetjay melarat yang mengharap pertolongan orang....."
pikirnya. Lantas ia berkata: "Inilah bagus! Tjongpeng yang menjadi sanak jauhmu itu adalah besan
dari Pengpou Siangsie kami dan dalam perjalananku ini mengangkut uang tentara,
aku sekalian membawa sesuatu untuk sanakmu itu."
Sioetjay Beng Kie itu pun lantas berkata: "Sungguh kebetulan! Nyata aku telah
bertemu dengan satu tuan penolong! Aku dengar
dibilangan sini ada ancaman kawanan penjahat, aku memang takut.
Aku.....aku....." Poei Keng tahu hati orang, dia justeru sudah mulai terpengaruh susu macan, maka
lantas ia tepuk dadanya. "Kau telah bertemu dengan aku, hengtay, tak usah kau takut lagi!" katanya dengan
jumawa. "Dengan andalkan busur ini, selama perjalanan yang jauh, kawanan
penjahat bagaikan menghadap angin dan menyingkir. Hengtay hendak pergi ke
Ganboenkwan kepada sanakmu, mari kita jalan bersama!" Mahasiswa itu perlihatkan
air muka terang. "Terima kasih, terima kasih!" ucapnya berulang-ulang. Dengan matanya, tak hentihentinya ia awasi busur besi itu.
Kembali Poei Keng tertawa.
"Busur ini istimewa buatannya!" katanya, tetap terkebur.
"Siapa tidak punya tenaga dari lima ratus kati, jangan harap dia sanggup pentang
busur ini!" "Hebat, hebat!" Beng Kie memuji. "Mari minum!" Poei Keng mengajak dalam kegembiraanya, dan ia tenggak pula araknya hingga kering beberapa cawan besar. Dan
kemudian, sambil berbangkit ia berseru: "Mari kita lanjutkan perjalanan kita!"
Mereka lantas berlerot pergi.
Angin dingin membuatnya Poei Keng merasa kepalanya rada berat, tanda dari
terlalu banyaknya ia menenggak air kata-kata.
Tidak lama, kemudian mereka telah berada di lamping gunung arah barat, jalanan
di situ sukar, dari atas gunung terdengar pekiknya sang kera dan burungburung
belibis, dan binatang-binatang itu, yang berada dipohon-pohon dekat, lari
menyingkir dan terbang pergi.
"Tempat ini agak berbahaya, aku kuatir ada penjahat di sini," kata Beng Kie.
Poei Keng sebaliknya tertawa besar.
"Kalau penjahat muncul, itu artinya mereka cari mampus sendiri!" katanya.
Dengan cepat Beng Kie turunkan busurnya, wajahnya pucat.
Lagi-lagi Poei Keng tertawa.
"Kau takut, hengtay?" tanyanya.
"Sebenarnya aku agak jeri," Beng Kie akui. "Di luar keinginanku, aku turunkan
busurku, untuk bersiap sedia, guna menjaga diri..... Ah, sungguh satu perbuatan
gila, membikin thaydjin tertawa saja!"
Poei Keng tertawa terbahak-bahak.
"Kau lupa bahwa kau tengah berjalan bersama-sama aku!" katanya. "Hahahaha! Kalau
benar penjahat muncul, apa gunanya busurmu itu?" Dan, terbenam dalam pengaruhnya
susu macan, dia ulur sebelah tangannya. "Coba kau perlihatkan permainanmu itu!"
ia menambahkan. Beng Kie tersenyum. "Aku bikin thaydjin ketawa saja!" katanya. Tapi ia tidak menolak, ia turunkan
busurnya untuk dihaturkan.
Poei Keng menyambutnya, ketika ia telah pegang busur hitam legam itu, ia
terperanjat sendirinya. Di luar dugaannya, biang panah yang ia pandang enteng
itu sebenarnya berat. "Dari apa terbuatnya ini?" tanyanya, separuh mengoceh. Lantas ia menarik, tetapi
ia tak kuat menariknya hingga busur terpentang, sedang ia tahu, ia mempunyai


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tenaga kekuatan lima ratus kati. Dengan sendirinya, wajahnya menjadi berubah
merah, ia kaget berbareng malu, hingga mulai sadar ia dari pusingnya akibat
pengaruh arak. "Kau..... kau....." katanya suaranya terputus-putus.
Beng Kie ambil kembali busurnya itu, ia tertawa.
"Rupanya thaydjin telah minum arak terlalu banyak hingga kau tak dapat gunakan
tenagamu," kata dia. "Siauwtee membesarkan nyali, siauwtee juga ingin mohon
diberi ketika melihat busur thaydjin."
Dalam keragu-raguan, Poei Kei serahkan busurnya yang beratnya lima ratus kati.
Si sioetjay kurus itu menyekal dengan kedua tangannya, tangan kirinya menahan
bagaikan "menahan gunung Tay San," tangan kanannya ditarik melengkung bagaikan
"mengempo baji," maka sekejab saja, busur itu telah terpentang bundar bagaikan
"bulan penuh" - bulan purnama.
"Sungguh bagus busur ini katanya sambil memuji. Tapi ia memuji keenakan, ia
menarik terus, atau tahu-tahu: "Trak!" busur itu patah menjadi dua potong!
Hilanglah pengaruh arak diotaknya Poei Keng.
"Siapa kau?" dia tanya dengan bentakannya, dengan bengis.
Si mahasiswa melemparkan busur rusak itu ke tanah, habis itu ia berdongak ke
arah langit sambil tertawa berkakakakan sama sekali ia tidak jawab teguran itu,
sebaliknya, ia lari kepada kudanya yang kecil kurus, dengan sebat ia melepaskan
tambatan, terus ia lompat naik kebebokong binatang itu, yang terus kabur laksana
terbang, meninggalkan debu di belakangnya.
"Panah!" teriak Poei Keng dengan titahnya. Sejumlah serdadu taati titah itu,
akan tetapi sudah kasip, orang sudah pergi terlalu jauh, anak panah-anak panah
menyambar tanpa mengenai sasarannya. Sebaliknya serangan anak panah itu seperti
undangan belaka, sebab dari sana sini di mana terdapat semak-semak, segera
muncul sejumlah orang jahat, menyusul manah, Beng Kie juga kembali bersama
kudanya. "Busur liehay cuma sebegitu saja!" kata si mahasiswa sambil tertawa di atas
bebokong kudanya, tertawanya nyaring. "Kita
justeru adalah orang-orang jahat yang hendak merampas uang angkutanmu! Beranikah
kau bertanding denganku?"
Poei Keng bungkam. Ia telah jumput busurnya, tetapi busur itu telah patah dan
tidak ada gunanya lagi. Tapi ia mesti lindungi angkutannya, maka ia beri tanda
kepada orang-orangnya untuk siap.
Tiba-tiba terdengar tertawa nyaring dari Beng Kie, lalu panahnya mengaung.
"Biar kamu tahu bahaya!" katanya dengan jumawa.
Tiba-tiba satu hoekhoa menjerit keras, jeritan dari kesakitan, lalu tubuhnya
rubuh, karena sebatang panah menancap ditenggorokannya sekali, jiwanya melayang
segera. Kembali si mahasiswa kurus berseru, lagi sekali panahnya mengaung, lantas
hoekhoa yang kedua rubuh menjerit seperti rekannya tadi, tubuhnya terguling dan
binasa, sebab anak panah nancap didadanya tembus kebebokongnya!
Semua serdadu menjadi kaget, dengan satu teriakan, mereka lari kabur!
"Kau juga, mari rasakan sebatang panah!" seru Beng Kie akhirnya kepada punggawa
pengantar harta besar itu.
Dan sret! Beng Kie menyekal busurnya ia menangkis, hingga terdengar satu suara nyaring
dibarengi dengan meletiknya lelatu api.
Menyusul itu kembali terdengar suara mengaung yang kedua kali!
Bukan main kagetnya Poei Keng, ia berkelit begitu rupa hingga ia terguling dari
atas kudanya. Anak panah lewat sedikit di atasan kepalanya!
"Habislah aku!..." dia mengeluh.
Tapi anak panah yang ketiga, yang dikuatirkan, tidak datang menyerang apa yang
terdengar adalah gelak tertawanya si orang she Beng itu.
"Dua kali dapat kau kelit panahku, kau boleh dibilang kosen juga!" demikian
katanya. "Sekarang aku suka memberi ampun padamu!"
Kata-kata itu ditutup dengan satu seruan nyaring, atas mana di jalanan di muka
kereta segera meluruk jatuh banyak batu besar, batu-batu yang digulingkan dari
atas gunung, mencegat jalanan itu. Menyusul itu muncul lagi satu rombongan
begal. Poei Keng kaget dan takut, ia gulingkan tubuhnya, untuk terus lari. Ia masih
dengar panah mengaung di kupingnya, ia bersyukur, tubuhnya tidak menjadi
sasaran. Dengan terpaksa ia nelusup dalam semak-semak di dalam lembah, dari situ
ia dengar suara berisik dan kalut, sampai sekian lama sesudah mana, baharulah ia
dengar merata dari tindakannya lerotan kuda.
Akhirnya, ketika Poei Keng muncul dari tempat sembunyinya, ia lihat sang
rembulan memancar di atas langit, di sekitarnya tidak ada orang lainnya, Cuma
kupingnya dengar suaranya kutu-kutu malam saling sahut. Dengan gunakan kaki dan
tangannya, ia merayap naik, sampai di tempat tadi di mana ia tampak mayatnya
kedua hoekhoa, tidak ada lain orang lagi.
Masih ia takut, hatinya masih goncang.
"Rupa-rupanya semua serdadu kena ditawan musuh..." pikirnya.
Tapi di situ, disekelilingnya, tidak ada musuh juga.
Sekarang hatinya punggawa ini mulai tetap, a-kan tetapi, setelah itu, kedukaan
Misteri Dendam Berdarah 1 Malaikat Berwajah Putih Lo Ban Teng Karya Tk Kiong Hancurnya Istana Darah 1

Cari Blog Ini