Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong Bagian 13
benar dengan patung Dewi jang telah dilihatnja didalam gua di daerah Tayli itu.
Ong-hudjin jang telah dilihatnja itu sudah mirip patung tjantik itu, tjuma
usianja jang berbeda. Tapi sidjelita badju putih ini, ketjuali dandanannja agak
berbeda sedikit, namun baik raut muka, mata, hidung, bibir, telinga, kulit
badan, perawakan, kaki dan tangan, semuanja mirip, semuanja persis hingga
seperti patung Dewi itu telah hidup kembali. Sungguh Toan Ki merasa dirinja seakan2 didalam mimpi. Entah sudah beratus kali atau beribu kali ia merindukan
patung dewi itu, kini dengan mata kepala sendiri telah dilihatnja pula. bukan
lagi patung, tapi duplikatnja dalam keadaan hidup, sungguh ia tidak tahu dirinja
sebenarnja berada dimana, dialam baka atau disorga"
Ketika mendengar suara seruan Toan Ki tadi, ditambah lagi kelakuan pemuda itu
jang aneh, sigadis berseru kaget djuga dan mengira sedang berhadapan dengan
seorang gendeng, tjepat melangkah mundur dan menegur:
,,Engkau.........engkau........."
Namun Toan Ki sudah lantas menjela sambil berbangkit: "Tempo hari Toan Ki sudah
diberi kesempatan menjembah dihadapan patung Entji Dewi, hal mana kuanggap
sebagai sesuatu kurnia jang maha bahagia, tak terduga harini dengan mata kepala
sendiri dapat melihat wadjah asli Entji Dewi, njata didunia ini memang benar2
terdapat bidadari dan bukanlah omong kosong belaka!
,,Apa......... apa jang dia maksudkan, Siau Si" Sia......Siapakah dia?"
tanja sidjelita kepada Siau Si.
"Dia adalah sipeladjar tolol jang dibawa kemari oleh A Tju dan A Pik itu," sahut
Siau Si. "Katanja ia pandai menanam berbagai matjam Teh-hoa.
Hudjin mendjadi pertjaja kepada obrolannja dan suruh dia tanam bunga disini."
"Hai, sitolol, djadi pertjakapan kami tadi telah kau dengar semua, ja?"
tanja sigadis kepada Toan Ki.
"Tjayhe bernama Toan Ki, orang berasal dari negeri Tayli dan bukanlah sitolol,"
sahut Toan Ki dengan tertawa. "Pertjakapan Entji Dewi dengan entji Siau Si tadi
memang telah kudengar dengan tidak sengadja. Tapi Entji Dewi boleh tidak usah
kuatir, Tjayhe pasti takkan membotjorkannja barang sepatahpun dan tanggung entji
Siau Si takkan didamperat oleh Hudjin. Tiba2 sigadis menarik muka, ia
menjemprot: "Siapa sudi mengaku2
Entji segala dengan engkau" Kau tidak mau dikatakan sebagai peladjar tolol,
bilakah engkau pernah melihat diriku?"
"Habis, kalau aku tidak memanggil engkau Entji Dewi, lalu memanggil apa?" sahut
Toan Ki. "Aku she Ong, tjukup engkau memanggil Ong-kohnio sadja," udjar sigadis.
"Ong-kohnio! Ah, tidak, tidak bisa!" kata Toan Ki sambil meng-geleng2
kepala ketolol2an. ,,Nona she Ong didunia ini betapa banjaknja, barangkali berdjuta2 djuga ada, sedangkan Entji Dewi setjantik bidadari, mana boleh hanja
dipanggil sebagai 'Ong-kohnio' sadja" Akan tetapi panggilan apakah jang paling
tepat. Wah, sukar djuga! Umpama panggillah engkau Ong-sian-tju (sidewi she Ong),
rasanja terlalu umum dan kurang agung Misalnja menjebut engkau Man-to-kongtju
(puteri bunga kamelia), rasanja djuga kurang tjotjok, banjak terdapat puteri
radja didunia ini. tapi siapakah jang dapat membandingi engkau?"
Melihat pemuda itu berkomat-kamit tak keruan bitjaranja, semakin dipandang
semakin ke-tolol2an kelakuannja, namun begitu jang diutjapkan itu toh melulu
pudjian2 atas ketjantikan dirinja, maka betapapun sidjelita mendjadi geli2
girang. Katanja kemudian dengan tersenjum:
"Rupanja nasibmu masih baik djuga, maka ibuku tidak potong kedua kakimu."
"Wadjah ibumu serupa tjantiknja seperti Entji Dewi, hanja tabiatnja jang luar
biasa anehnja, sedikit2 suka membunuh orang, rasanja mendjadi kurang sesuai
dengan bangunnja jang mirip dewi kajangan............"
Mendadak sigadis mengkerut kening, katanja dengan kurang senang:
"Lekaslah kau pergi menanam bunga sadja dan djangan mengotjeh tak keruan disini,
kami masih akan bitjarakan urusan penting lagi." - Njata nada suaranja itu
menganggap Toan Ki seperti tukang kebun benar2.
Namun Toan Ki tidak ambil pusing djuga, jang dia harap hanja dapatlah bitjara
lebih lama sedikit dengan sidjelita serta memandangnja beberapa kedjap lagi.
Pikirnja: Untuk bisa memantjing dia bitjara dengan aku setjara sukarela sendiri,
terpaksa harus mengadjak bitjara padanja mengenai diri Bujung-kongtju, ketjuali
itu, segala apa tentu takkan menarik perhatiannja lagi."
Maka segera Toan Ki berkata: "Para kesatria dari segala pelosok saat ini sedang
berkumpul di Siau-lim-si untuk berunding tjara bagaimana menghadapi Bujung-si
dari Koh-soh dari tokoh2 dan djago2 berbagai golongan dan aliran jang hadir
disana sungguh tidak sedikit djumlahnja, sebaliknja Bujung-kongtju hanja seorang
diri kalau setjara gegabah ia berani menempuh bahaja kesana, rasanja tidaklah
menguntungkan baginja."
Benar djuga badan sigadis tergetar oleh karena tjerita Toan Ki itu. Tapi Toan Ki
pura2 tidak tahu dan tidak berani memandang wadjah sigadis. Hanja dalam hati
diam2 ia mengomel: "Perhatiannja kepada sibotjah Bujung Hok itu benar2 lain dari
pada jang lain. Kalau aku memandang wadjahnja, mungkin aku sendiri akan menangis
saking irinja." Ia lihat badju sutera sigadis jang pandjang itu tiada hentinja bergemetar, suatu
tanda betapa hebat guntjangan perasaannja. Kemudian terdengarlah suara sigadis
jang merdu melebihi seruling itu lagi bertanja: "Tentang keadaan di Siau-lim-si
itu apakah engkau tahu"
Le.........lekaslah katakan padaku."
Mendengar permohonan sigadis jang lemah-lembut itu, karena tidak tega, hampir2
Toan Ki terus mentjeritakan apa jang diketahuinja. Tapi segera terpikir olehnja:
"Ah, djangan kutjeritakan sekarang. Kalau selesai kukatakan, sebentar aku tentu
akan didesak pergi menanam bunga pula, dan untuk mengadjaknja bitjara lagi kelak
pasti tidak mudah. Maka sekarang aku harus putar lidah sebisanja, tjerita pendek
kubikin pandjang urusan ketjil sengadja aku besar2kan, setiap hari aku hanja
katakan sedikit, sedapat mungkin akan kutarik se-pandjang2nja, agar setiap hari
ia mesti mentjari dan mengadjak bitjara padaku, kalau mentjari aku tidak ketemu,
biar dia kelabakan seperti orang gatal tapi tak bisa menggaruk."
Setelah ambil keputusan demikian, ia berdehem sekali, lalu berkata:
"Sebenarnja aku sendiri tidak paham ilmu silat, sedjuruspun tidak bisa, biarpun
djurus2 jang sederhana seperti 'Kim-khe-tok-lip' (ajam emas berdiri dengan kaki
tunggal) atau Hek-hou-thau-sim' (harimau kumbang mentjuri hati) segala, sama
sekali aku tidak paham. Tapi dirumahku ada seorang sobat baikku bernama Tju Tansin berdjuluk Pit-hi-sing'
(sisastrawan ahli tulis). Djangan kau kira dia tjuma seorang peladjar jang ketolol2an dan lemah seperti aku, tapi ilmu silatnja, wah, lihay sekali! Satu kali
aku pernah menjaksikan dia melempit kipasnja dan diputar balik, plak. gagang
kipasnja tepat menutuk sekali dibahu seorang lawannja, kontan lawannja terus
roboh meringkuk bagai tjatjing dan tidak berkutik pula."
"O, itu adalah ilmu Tiam-hiat dari ,,Tjing-liang-sian-hoat' djurus ke-38
jang disebut 'Tau-kut-sian' (tutukan kipas penembus tulang), tangkai kipas
dipegang terbalik dan menutuk dengan miring," demikan kata sigadis.
"Rupanja Tju-siansing itu adalah orang tjabang Kun-lun-pay, mungkin adalah anak
murid Sam-in-koan. Ilmu silat dari golongan ini mengutamakan memakai sendjata
Pit (pensil Tionghoa) dan lebih lihay daripada memakai sendjata kipas."
Sebenarnja kalau uraian sigadis barusan ini didengar oleh Tju Tan-sin sendiri
atau didengar oleh Po-ting-te atau Toan Tjing-sun, tentu mereka akan terkedjut
mengapa gadis jang masih muda belia itu sudah begitu luas pengetahuannja dalam
hal berbagai ilmu silat dari tjabang2 lain. Bahkan hanja mendengar tjerita Toan
Ki sekadarnja sadja ia sudah dapat mengatakan dengan tepat tentang asal-usul
aliran ilmu silat Tju Tan-sin.
Pabila Toan Ki paham ilmu silat dan menjiarkan kepandaian sigadis itu, maka
pastilah orang Kangouw akan mendjadi geger oleh peristiwa luar biasa ini.
Namun kini tjara uraian sinona djelita itu hanja sepintas lalu sadja seakan2
membitjarakan sesuatu jang umum. Sebaliknja Toan Ki djuga mendengarkan uraian
sigadis itu dengan tawar sadja.
"Kemudian bagaimana?" demikian sigadis menanja pula.
"Kemudian" Wah, tjeritanja terlalu pandjang, marilah silahkan Siotjia berduduk
kesana, nanti akan kutjeritakan lebih djelas," demikian Toan Ki sengadja
mengulur dan menundjuk kesatu bangku batu dibawah pohon bambusana .
Namun sigadis mendjadi kurang senang, sahutnja: "Kenapa engkau suka ber-tele2
begini dan tidak tjeritakan sadja tjepat2" Aku tiada waktu untuk mendengarkan
otjehanmu lagi!" "Djika harini Siotjia tiada waktu, besok datang lagi djuga boleh, dan kalau
besok tiada tempo, lusa masih dapat mentjari aku lagi, asal sadja Hudjin tidak
memotong lidahku, tentu aku masih dapat bertjerita, apa jang Siotjia ingin
mendengar, tentu aku akan tjeritakan se-djelas2nja."
Sigadis membanting kakinja sekali dan tidak gubris pada Toan Ki pula, ia terus
berpaling dan menanja Siau Si: "Lalu Hudjin berkata apa lagi?"
"Semula Hudjin mestinja akan pergi mentjari Kongya-hudjin untuk diadjak main
tjatur," kata Siau Si. "Tapi demi mendengar Bujung-kongtju telah pergi ke Siaulim-si, ditengah djalan beliau lantas suruh putar haluan kapal untuk kembali."
"Sebab apa?" tanja sigadis. Tapi sebelum Siau Si mendjawab, ia sudah menggumam
sendiri: ,,Ja, tahulah aku, tentu ibu kuatir dimintai bantuan oleh Kongyahudjin, maka ia pikir lebih baik pura2 tidak tahu sadja."
"Siotjia," kata Siau Si kemudian, "mungkin Hudjin akan mentjari aku, hamba ingin
mohon diri sadja." Sigadis mengangguk. Dan sesudah Siau Si pergi, pelahan2 ia mendekati bangku batu
jang ditundjuk Toan Ki tadi dan berduduk, namun Toan Ki tak disuruhnja berduduk,
dengan sendirinja pemuda itupun tidak berani sembarangan berduduk disamping
sidjelita. Melihat sidjelita berduduk menjanding bunga kamelia putih jang djaraknja tidak
djauh, bunganja indah dan gadisnja tjantik, sungguh suatu paduan jang sangat
serasi. Tanpa merasa Toan Ki berkata dengan gegetun: "Dahulu Li Thay-pek suka
membandingkan ketjantikan Njo Kui-hui dengan bunga Botan (peony), tapi bila dia
beruntung dapat melihat Siotjia sekarang, tentu dia akan tahu betapa indahnja
bunga, namun benda jang mati mana dapat membandingi sitjantik jang hidup."
"Terus-menerus engkau memudji ketjantikanku, padahal aku sendiripun tidak tahu
apakah diriku betul2 tjantik atau tidak?" kata gadis.
Toan Ki mendjadi heran, katanja: "Sungguh aneh, nona tidak tahu akan
ketjantikannja sendiri" Apa barangkali engkau sudah terlalu banjak mendengar
pudjian serupa, maka sudah bosan rasanja?"
Sigadis menggeleng kepala pelahan, sinar matanja mengundjuk rasa jang penuh
kekosongan hati, sahutnja: "Selamanja tiada seorangpun jang berkata kepadaku
apakah aku ini tjantik atau tidak. Ditengah Man-to-san-tjheng sini, ketjuali
ibuku, selebihnja adalah pelajan dan kaum hamba lainnja.
Mereka tjuma tahu aku adalah Siotjia, siapa peduli apakah aku tjantik atau
tidak?" "Lalu bagaimana dengan pendapat orang luar?" tanja Toan Ki.
"Orang luar apa maksudmu?" sigadis menegas.
"Umpamanja engkau keluar dan orang lain tentu akan melihat ketjantikanmu sebagai
bidadari, masakah merekapun tidak berkata apa2?"
"Selamanja aku tidak perlu keluar, untuk apa aku mesti keluar" Bahkan ibu djuga
melarang aku membatja ke Lang-goan-kok, bila menumpang kapal.
semua daun djendela kapalpun ditutup rapat."
"Lang-goan-kok" Djadi benar2 ada suatu tempat bernama demikian" Apa sangat
banjak kitab2 jang tersimpan disana?"
"Tidak terlalu banjak, tjuma kira2 tiga-empat kamar banjaknja."
"Apakah dia djuga............... djuga tidak pernah mengatakan ketjantikanmu?"
tiba2 Toan Ki menanja. Mendengar Toan Ki menjinggung Bujung-kongtju. gadis itu menunduk dengan sedih,
tiba2 tampak dua tetes air mata menggelinding djatuh dari kelopak mata sigadis.
Toan Ki tertjengang sedjenak, ia tidak berani menanja lagi, tapi djuga tidak
tahu tjara bagaimana harus menghibur sigadis.
Selang agak lama, kemudian barulah sigadis buka suara dengan pelahan:
"Dia djusteru selalu..........selalu sibuk, setiap hari, setiap tahun selalu
sibuk sadja tiada waktu senggang sedjenakpun. Bila dia berada bersama dengan
aku, kalau bukan membitjarakan ilmu silat tentu merundingkan urusan rumah
tangga. Aku..... aku djusteru bentji pada ilmu silat."
"Tjotjok!" seru Toan Ki mendadak. "Aku djuga bentji pada ilmu silat!
Ajah dan pamanku selalu suruh aku beladjar silat tapi aku tidak mau, aku lebih
suka minggat dari rumah."
"Tapi agar aku bisa sering berdjumpa dengan dia, biarpun dalam hati tidak suka,
aku tetap tekun mempeladjarinja, bila ada diantaranja dia kurang paham, aku
pasti memberi petundjuk padanja. Dia suka pada tjerita2
kuno tentang bunuh-membunuh diantara radja satu dan radja jang lain, terpaksa
akupun mesti membatja untuk mentjeritakan kembali padanja".
"Aneh, mengapa engkau jang mentjeritakan padanja" Apa dia sendiri tidak dapat
membatja?" tanja Toan Ki.
Gadis itu melototi Toan Ki sekali, katanja: "Memangnja apa kau sangka dia buta
huruf?" "O, tidak, tidak!" sahut Toan Ki tjepat. "Biarlah kukatakan sadja dia adalah
orang paling baik didunia ini, nah puas?"
Sigadis tersenjum, katanja pula: "Ia adalah aku punja Piauko (kaka misan),
tempat kami ini ketjuali Kuku dan Kubo (paman dan bibi saudara ibu) serta
Piauko, selamanja tiada orang datang kemari. Tapi sedjak ibuku berselisih paham
dengan Kuku, ibupun melarang Piauko datang kesini. Maka akupun tidak tahu apakah
dia orang jang paling baik didunia ini atau bukan. Habis orang djahat atau orang
baik didunia ini tiada seorangpun jang pernah kulihat." - berkata sampai
achirnja, sigadis mendjadi terharu dan mata merah memberambang.
"Ehm, djadi ibumu adalah adik Kukumu dan ia..................... ia adalah
putera Kukumu," demikian Toan Ki mengulangi
"Huh engkau benar2 ke-tolo!2an," omel sigadis dengan tertawa. "Memangnja Kuku
adalah kaka ibuku dan aku adalah puteri ibuku, dia adalah Piaukoku."
Toan Ki mendjadi senang melihat sigadis dapat dipantjing tertawa, segera
katanja: ,.Ah, tahulah aku sekarang. Tentu karena Piaukomu sangat sibuk dan
tiada waktu buat membatja, maka engkaulah jang mewakilinja membatja."
"Boleh djuga dikatakan begitu," sahut sigadis dengan tertawa "Tetapi masih ada
satu sebab lainnja. Ingin kutanja padamu, djago2 aliran manakah jang sedang
mengadakan Eng-hiong-tay-hwe apa segala di Siau-lim-si?"
Toan Ki tidak mendjawab sebab ia sedang kesemsem kepada bulu mata sigadis jang
pandjang hitam dengan setitik air matanja laksana embun dipagi hari itu.
Melihat pemuda itu tidak menjahut, sigadis lantas mendjawil pelahan dipunggung
tangan Toan Ki dan menegur: ,,Hai, kenapakah engkau?"
Tubuh Toan Ki se-akan2 terkena aliran listrik, ia melontjat kaget dan berseru:
"Haja!" Karena tidak men-duga2, sigadis ikut kaget djuga oleh kelakuan Toan Ki jang
lutju itu. "Adaapa?" tanjanja segera.
Dengan muka merah Toan Ki mendjawab: "Djarimu menjentuh tanganku, Hiat-toku
mendjadi seperti kena tertutuk olehmu."
Mata sigadis terbelalak lebar, ia tidak tahu pemuda itu sedang bergurau, maka
katanja dengan sungguh2: "Dipunggung tangan tiada terdapat Hiat-to, jang ada
tjuma ditelapak tangan, disini......" ~ Sambil berkata ia terus angkat tangannja
sendiri untuk memberi tjontoh.
Melihat djari2 tangan sigadis jang putih halus dan lantjip itu, seketika Toan Ki
ter-longong2. Achirnja dengan tergagap2 ia menanja:
"No............ nona, Siapakah............ Siapakah nama mu?"
"Kelakuanmu benar2 aneh," omel sigadis dengan tersenjum. "Tapi baiklah, tiada
halangannja kukatakan padamu" - Lalu ia menggores2 dengan djari diatas punggung
tangan sendiri untuk menulis tiga huruf "Ong Giok-yan".
Toan Ki rada tertjengang oleh nama orang, pikirnja: "Gadis setjantik ini mengapa
pakai nama jang begitu umum" Pantasnja ia harus mempunjai nama jang romantis dan
puitis." - Tapi sesudah dipikir pula. Toan Ki ketok2
djidatnja sendiri dan berseru: ,Ja, bagus, bagus sekali namamu ini!
Memangnja engkau mirip seekor burung Yan (lajang2) jang sutji murni dan terbang
bebas diangkasa!" "Nama setiap orang memang suka jang lebih enak didengar dan bermakna jang baik
pula, banjak djuga pendjahat2 dan pengchianat2 jang bernama bagus, sebaliknja
perbuatannja tidak dapat dipudji. Engkau sendiri bernama Toan Ki, apa engkau
punja Beng-ki (nama baik) telah benar2 baik"
Haha, mungkin agak sedikit."
"Sedikit dogol bukan?" sambung Toan Ki. Maka tertawalah keduanja dengan
terbahak2. Sebenarnja wadjah Ong Giok-yan senantiasa dirundung rasa murung, tapi kini ia
benar2 merasa senang dengan muka terang ber-seri2.
Diam2 Toan Ki gegetun: "Tjoba bila selama hidup aku dapat membuat engkau selalu
tertawa, rasanja hidupku ini takkan mengharapkan apa2 lagi."
Tak terduga kegembiraan Ong Giok-yan itu hanja terdjadi dalam waktu singkat
sadja, kembali sorot matanja tampak saju menanggung sesuatu pikiran. Katanja
Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan pelahan2: "Dia... dia selalu bersikap sungguh2
dan tidak pernah mengobrol iseng padaku. Ai, Yan Kok, selalu Yan Kok, apa benar
begitu pentingnja bagimu?"
Sebagai seorang sastrawan jang banjak membatja kitab2 kuno, demi mendengar kata2
"Yan Kok" itu, seketika beberapa istilah jang pernah didengarnja paling achir
ini sekaligus teringat olehnja dan dirangkainja mendjadi satu: Bujung-si, Yantju-oh, Som-hap-tjeng, Yan Kok............... Tanpa terasa lantas sadja
tertjetus kata2 dari mulutnja: ,,He djadi Bujung-kongtju ini adalah keturunan
Bujung-si dari suku Sianbi pada djaman Ngo-oh-loan-hoa" Apa dia adalah orang
asing dan bukan bangsa Tionghoa?" *)
*) Ngo-oh-loan-hoa - Lima suku bangsa asing mengatjau Tiongkok (tahun 304-430)
pada djaman dinasti Chia. Jaitu suku2 bangsa Hun, Sianbi, Chieh, Chi dan Chiang.
Sianbi = Diduga berasal dari kata Siber (Siberia), djadi rumpun bangsa Siberid.
"Ja, dia memang anak tjutju keturunan Bujung-si dari Yan Kok (negeri Yan) pada
djaman Ngo-oh. Tapi sudah beratus tahunnja, mengapa dia masih tidak melupakan
peristiwa leluhurnja" Dia tidak suka mendjadi orang Tionghoa tapi lebih suka
mendjadi orang Oh (asing), bahkan tulisan Tionghoa takmau dipeladjari dan kitab
Tionghoa takmau dibawanja. Pernah satu kali aku minta dia menulis bahasa
Tionghoa dan dia lantas marah2" ~
Berbitjara tentang Bujung-kongtju, rupanja Ong Giok-yan mendjadi begitu
kesemsem, ia memandang djauh kedepan, lalu tuturnja pula dengan penuh nada
rindu: "Ia lebih tua sepuluh tahun dariku, selamanja pandang aku sebagai adiknja
jang masih ketjil, ia sangka aku tjuma tahu membatja dan beladjar silat, hal2
lain tidak paham. Padahal kalau bukan untuk dia, aku benar2 tidak sudi beladjar
permainan begituan, aku lebih suka piara ajam, tulis menulis atau petik khim."
"Masakah ia sama............ sama sekali tidak tahu engkau begitu baik
kepadanja?" tanja Toan Ki dengan suara tak lampias.
"Sudah tentu ia tahu, makanja iapun sangat baik padaku." sahut Giok-yan.
,,Tapi kebaikannja padaku hanja............ hanja kebaikan seperti saudara
sekandung dan tidak lebih dari itu. Selamanja ja tidak pernah katakan padaku
bagaimana perasaannja dan selamanja tidak pernah pula menanjakan bagaimana isi
hatiku." - berkata sampai disini, pipi sigadis mendjadi bersemu merah hingga
makin menambah ketjantikannja jang menggiurkan.
Sebenarnja Toan Ki ingin berkelakar untuk menanja sigadis apa isi hatinja, tapi
kuatir disemprot pula, ia mendjadi urung, hanja tanja dengan tersenjum: "Engkau
toh dapat menolak untuk bitjara tentang ilmu silat dan membatja padanja.Pula
engkau toh dapat mengutarakan perasaanmu dengan berpantun atau bersjair?" - Ia
maksudkan sigadis mestinja toh dapat memantjing perasaan tjinta Bujung-kongtju
dengan pantun2 dan sjair pertjintaan. Tapi selesai diutjapkan, ia mendjadi
menjesal telah kelandjur omong. Pikirnja: "Wah, kenapa aku begini goblok
mengadjar demikian padanja?"
Sebaliknja Giok-yan mendjadi malu mendengar adjaran Toan Ki itu, tjepat
sahutnja: "Mana............ mana boleh begitu" Aku adalah anak gadis jang pegang
aturan, mana boleh aku dipandang hina oleh Piauko karena kelakuanku itu?"
"Ja, ja. benar! Aku jang salah omong!" sahut Toan Ki. Diam2 iapun memaki dirinja
sendiri mengapa mengadjarkan seorang gadis sutji murni untuk berbuat hal2 jang
menjeleweng" Selamanja Giok-yan tidak pernah mengutamakan isi hatinja kepada siapapun. Tapi
aneh, sesudah bertemu dengan Toan Ki jang bersifat bebas lepas, entah mengapa ia
mendjadi menaruh kepertjajaan penuh dan mentjeritakan segala isi hatinja jang
penuh manisnja madu itu. Padahal diam2 ia mentjintai dan merindukan sang Piauko,
sudah tentu A Tju, A Pik.
Siau Si, Siau Teh dan dajang2 lain sudah tahu semua, tjuma sadja mereka tidak
berani mengatakan. Setelah Giok-yan mengutarakan isi hatinja, rasa masgulnja mendjadi sedikit
hilang, katanja kemudian: "Sudah sekian banjak aku mengobrol padamu, tapi belum
lagi kita berbitjara tentang persoalan pokoknja. Tjoba katakanlah, djago2
darimana sadja jang sudah berkumpul di Siau-lim-si dan mengapa mereka hendak
melabrak Piaukoku?" "Ketua Siau-sim-si bergelar Hian-tju Taysu, beliau mempunjai Seorang Sute jang
bergelar Hian-pi Taysu," tutur Toan Ki "Hian-pi Taysu itu paling mahir ilmu
'Kim-kong-tju' (gada badju raksasa). Tapi entah mengapa Hian-pi Taysu itu telah
kena dibunuh orang dan tjara musuh membinasakannja itu djusteru menggunakan ilmu
'Kim-kong-tju' jang paling diandalkan oleh Hian-pi Taysu itu. Menurut kesimpulan
mereka, tjara membunuh orang demikian itu adalah tjiri perbuatan Bujung-si dari
Koh-soh jang disebut 'Ih-pi-tji-to, hoan-pi-tji-sin' (gunakan tjaranja untuk
dipakai atas dirinja). Sebab itulah Siau-lim-pay bertekad hendak membalas dendam
kepada Bujung-si. Tjuma ilmu silat Bujung-si teramat lihay, mereka kuatir susah
melawan, maka mengundang banjak kawan2 lain untuk berunding tjara bagaimana
menghadapi musuh." "Masuk diakal djuga tjeritamu ini." udjar Giok-yan. "Lalu ada siapa lagi
ketjuali tokoh2 Siau-lim-pay?"
"Masih ada seorang jang bernama Kwa Pek-hwe dari Ko-san-pay, katanja djuga tewas
dibawah ilmu rujung andalannja sendiri jang disebut 'Leng-tjoa-siam-keng' (ular
sakti melilit leher), maka Sute dan muridnja djuga ingin menuntut balas pada
Bujung-si. Ketjuali itu, masih ...........
masih banjak lagi jang aku tidak kenal."
Sudah tentu ia tidak berani mengatakan bahwa Toan-si mereka dari Tayli djuga
ikut tjampur dalam urusan itu.
"Aku kenal tabiat Piauko, bila dia tahu ada orang begitu banjak akan
memusuhinja, tanpa menunggu orang datang padanja, lebih dulu ia sudah lantas
pergi kesana." kata Giok-yan. "Tjuma, belum tentu ia dapat memahami ilmu silat
dari aliran2 sebanjak itu. Apalagi mereka berdjumlah banjak, bila mengerubut
serentak, tentu akan susah dilawan."
Bitjara sampai disini, tiba2 terdengar suara orang berlari mendatang!, kiranja
adalah Siau Si dan Yu Tjhau. Dengan kuatir Yu Tjhau lantas berseru: "Wah,
tjelaka Siotjia! Hudjin telah memerintahkan agar A Tju dan A Pik......" berkata sampai disini mulut Yu Tjhau serasa tersumbat dan tidak sanggup
meneruskan lagi. Maka tjepat Siau Si menjambung: "Mereka hendak dipotong kaki dan tangannja
sebagai hukuman kesalahan mereka berani datang ke Man-to-san-tjheng ini.
Siotjia, bag.........bagaimana baiknja ini?"
"Wah, djika begitu, engkau harus lekas mentjari akal untuk menolong mereka, nona
Ong!" seru Toan Ki ikut kuatir.
Giok-yan djuga sangat kuatir, katanja: "A Tju dan A Pik adalah pelajan pribadi
Piauko, kalau mereka dibikin tjatjat, bagaimana aku harus bitjara dengan Piauko.
Mereka berada dimana Yu Tjhau?"
Mendengar Siotjia mereka ada maksud menolong A Tju dan A Pik, segera Yu Tjhau
menjahut: "Hudjin memerintahkan menggusur mereka ke 'Hoa-pui-pang'
(kamar rabuk bunga). Aku telah mohon kepada nenek galak disana itu agar menunda
hukuman setengah djam lagi, maka sekarang djuga Siotjia pergi minta ampun kepada
Hudjin mungkin masih keburu.
Walaupun Giok-yan tidak berani jakin usahanja akan berhasil, tapi toh tiada
djalan lain, terpaksa ia mengangguk, segera ia bertindak pergi bersama Yu Tjhau
dan Siau Si. Tinggal Toan Ki jang berdiri kesima ditempatnja sambil memandangi
bajangan sigadis jang menghilang dibalik semak2 bungasana .
Ketika Giok-yan sampai dikamar sang ibu, ia lihat ibunja sudah berduduk sila,
didepannja dupa mengepul ditengah Hiolo, terang ibunda sedang akan bersemadi. Ia
tahu bila ibunda sudah mulai semadi, betapapun besarnja urusan djuga tidak dapat
mengganggunja. Maka tjepat ia berdatang sembah:
"Mak, ada sedikit urusan ingin kubitjarakan."
Pelahan2 Ong-hudjin membuka matanja, dengan wadjah kereng ia menanja:
"Urusan apa" Kalau ada sangkut-pautnja dengan keluarga Bujung, aku tidak ingin
mendengarkan." "Mak. A Tju dan A Pik toh tidak sengadja datang kesini, maka sukalah engkau
mengampuni mereka.' pinta sigadis.
"Darimana kau tahu mereka tidak sengadja?" tanja Ong-hudjin. "Hm, tentu kau
kuatir Piaukomu takkan gubris padamu lagi bila aku memotong kakitangan mereka,
bukan?" Dengan mengembeng air mata Giok-yan mendjawab: "Piauko toh terhitung keponakanmu
sendiri, mengapa......mengapa ibu mesti membentjinja sedemikian rupa" Andalkan
Kaku berbuat salah padamu, tidak perlu djuga Piauko jang engkau bentji. Dengan
berani Giok-yan sekaligus mengutjapkan kata2nja itu, Tapi segera ia berdebar2
takut mengapa dirinja berani kurangadjar membantah kepada sang ibu.
Sinar mata Ong-hudjin menjorot sekilas bagai kilat dimuka puterinja itu, untuk
sedjenak ia tidak bitjara lagi dan matanja lantas dipedjamkan pula.
Dengan menahan napas Giok-yan berdiri terpaku disitu, ia tidak tahu apa jang
sedang dipikirkan ibundanja.
Selang agak lama barulah Ong-hudjin membuka matanja pula dan berkata:
"Kau mengetahui Kuku berbuat salah padaku" Dimana letak kesalahannja"
Tjoba katakan!" Mendengar pertanjaan jang bernada tadjam dan dingin itu, seketika Giok-yan
mendjadi bungkam dan takut.
"Tjobalah katakan. Toh usiamu sekarang sudah dewasa, boleh tak usah menurut
kataku lagi," demikian Ong-hudjin.
Tak tertahan lagi air mata Giok-yan ber-linang2, sahutnja dengan penasaran dan
takut pula: "Mak, engkau......sedemikian bentji kepada Kuku, dengan sendirinja
disebabkan Kuku berdosa padamu. Akan tetapi apa kesalahannja, selamanja ibu
tidak mengatakan padaku."
"Kau pernah mendengar dari orang lain tidak?" tanja Ong-hudjin dengan suara
bengis. "Tidak," sahut Giok-yan sambil menggeleng kepala. "Selamanja ibu melarang aku
keluar Man-to-san-tjheng ini, orang luar djuga dilarang masuk kemari, dari siapa
aku dapat mendengar?"
Ong-hudjin menghela napas lega pelahan, nada suaranja sekarang djuga lebih
halus, katanja: "Semuanja itu adalah demi kebaikanmu. Orang djahat didunia ini
terlalu banjak, dibunuh djuga tidak bisa habis. Usiamu masih muda, seorang gadis
lebih baik djangan bertemu dengan orang djahat," - Ia merandek sedjenak, tiba2
teringat sesuatu olehnja, segera ia menjambung:
"Seperti situkang kebun she Toan itu, ia pandai omong dan pintar putar lidah,
pastilah bukan seorang baik2. Maka kalau dia berani omong sepatah sadja padamu,
seketika kau membunuhnja, djangan membiarkan dia omong jang kedua kalinja."
Giok-yan terdiam, ia pikir: "Djangankan tjuma sepatah-dua-kata, sekalipun
seratus patah duaratus kata djuga sudah lebih."
Melihat puterinja diam sadja, Ong-hudjin menegur: "Kenapa kau" Apa kau tidak
tega" Gadis berhati lemas seperti kau ini, selama hidupmu entah bakal mengalami
betapa banjak diperdaja orang." - Lalu ia tepuk tangan dua kali dan Siau Si
segera tampak masuk. Ong-hudjin berkata padanja:
"Sampaikan perintahku bahwa siapapun dilarang bitjara dengan orang she Toan itu.
Siapa jang melanggar, lidah keduanja akan diiris semua."
Siau Si mengia dengan wadjah kaku tanpa perasaan se-akan2 apa jang dikatakan
Ong-hudjin adalah sesuatu hal jang sudah biasa mirip orang memotong babi atau
menjembelih ajam sadja lalu iapun mengundurkan diri.
"Nah, pergilah kau!" kata Ong-hudjin kemudian sambil memberi tanda kepada Giokyan. Sigadis mengia. Tapi sampai diambang pintu, ia berhenti dan menoleh, katanja:
"Mak, engkau mengampuni A Tju dan A Pik sadja dan peringatkan mereka lain kali
djangan berani lagi datang kemari."
"Apa jang sudah kukatakan kapan pernah kutarik kembali" Pertjumalah meski kau
banjak bitjara pula," sahut Ong-hudjin.
Tiba2 Giok-yan meng-gigit2 gigi dan berkata dengan pelahan: "Kutahu sebab apa
ibu bentji pada Kuku dan mengapa pula bentji pada Piauko." Habis berkata, ia terus putar tubuh dan bertindak keluar.
"Kembali!" bentak Ong-hudjin mendadak.
Giok-yan tidak berani membangkang, dengan kepala menunduk ia masuk kembali
kedalam kamar. Sambil memandangi tubuh puterinja jang agak gemetar itu, Ong-hudjin bertanja:
"Apa jang kau ketahui. Yan-dji" Tjoba katakanlah terus terang, tidak perlu kau
membohongi aku." "Kutahu...kutahu ibu menjesalkan Kuku tidak betjus dan gemas pada Piauko jang
kurang giat melatih silat sehingga tidak dapat mengembangkan
'Bujung-tjong' jang tiada tandingannja didunia ini." demikian sahut Giok-yan dengan menggigit
bibir. Ong-hudjin mendjengek sekali, katanja: "Hm. anak ketjil tahu apa" Ibumu sudah
lama tidak she Bujung lagi, tahu" Peduli apa 'Bujung-tjong' dapat mendjagoi
dunia atau tidak, aku tidak pusing lagi."
"Kutahu ibu menjesal bukan orang lelaki hingga tidak dapat membangun kembali
'Bujung-tjong', makanja ibu menjalahkan Kuku dan Piauko tidak tekun beladjar
silat, tapi tjuma men-tjita2kan pembangkitan kembali negeri Yan".
"Siapa jang berkata demikian padamu?" tanja Ong-hudjin dengan kereng.
"Tak usah orang mengatakan djuga anak dapat membade", sahut Giok-yan.
"Hm, tentu Piaukomu jang katakan padamu, bukan?"
Giok-yan tidak berdusta kepada sang ibu, tapi djuga tidak mengakui pertanjaan
itu. Ia hanja bungkam sadja.
Maka Ong-hudjin berkata pula: "Usia Piaukomu lebih tua 10 tahun darimu, tapi
tidak beladjar jang baik, setiap hari hanja gentajangan kian kemari entah apa
jang dikerdjakan hingga ilmu silatnja masih djauh dibawahmu.
Sungguh bikin malu nama baik Bujung-si sadja. Selama ratusan tahun ini betapa
tenar nama kebesaran 'Koh-soh Bujung-si', akan tetapi bagaimana dengan ilmu
silat Piaukomu itu" Apa dia sesuai menjebut dirinja keturunan Bujung-si?"
Dengan wadjah sebentar merah sebentar putjat Giok-yan mendengarkan utjapan
ibunja jang ada benarnja djuga itu. Seketika ia mendjadi tidak dapat mendjawab.
Lalu Ong-hudjin meneruskan: "Sekarang katanja dia telah pergi Siau-lim-si,
tentulah budak2 jang tjeriwis itu buru2 datang memberitahu kepadamu.
Hm, dia berani pergi ke Siau-lim-si, mustahil takkan dibuat buah tertawaan orang
disana" Bahkan aku akan berterima kasih, karena dengan begitu orang tentu tidak
pertjaja seorang kerotjo begitu adalah anak tjutju Bujung-si dari Koh soh. Lebih
bagus lagi djika djiwanja akan melajang sekalian hingga asal-usulnja pun susah
diusut." "Mak." kata Giok-yan tiba2 sambil melangkah madju, "harap engkau pergilah
menolongnja. Betapapun Piauko adalah satu2nja keturunan keluarga Bujung. Pabila
terdjadi apa2 atas dirinja, musnalah selandjutnja keturunan Bujung-si dari Kohsoh' . "Hm, musna" Mereka tidak pikirkan diriku, buat apa aku mesti memikirkan mereka"
Sudahlah pergisana , pergi!"
"Mak. Piauko toh............"
Namun Ong-hudjin lantas membentaknja dengan bengis: "Makin lama kau semakin
berani ja?" Dengan tjemas dan mengembeng air mata, terpaksa Giok-yan bertindak keluar dengan
kepala menunduk. Hatinja bingung dan tak berdaja. Sampai diserambi baratsana ,
tiba2 didengarnja teguran seorang dengan suara tertahan: "Bagaimana hasilnja,
nona?" Waktu Giok-yan mendongak, kiranja adalah Toan Ki. Tjepat ia menjahut:
"Engkau djang............ djangan bitjara lagi dengan aku."
Kiranja sesudah ditinggal pergi Giok-yan tadi. Toan Ki mendjadi seperti
kehilangan sesuatu. Dengan tanpa sadar kemudian ia mengikutinja dan menunggu
dari djauh. Begitu melihat sigadis sudah keluar dari kamar Ong-hudjin, segera ia
memapaknja dan menanja. Melihat wadjah Giok-yan mengundjuk sedih dan putus asa,
ia tahu permintaannja tentu telah ditolak Ong-hudjin. Maka katanja segera:
"Seumpama ibumu tidak mau mengabulkan permintaan nona, toh kita harus mentjari
akal lain." Hlm 57. Gambar KetikaGiok-yan berdjalan sampai diserambi belakang
dengan rasa tjemas dan bingung, tiba2 ia ditegur oleh seseorang jang ternjata
Toan Ki adanja. Tjepat Giok-yan berkata: "Djangan.... djangan engkau mengadjak
bitjara padaku lagi!"
"Kalau ibu sudah menolak permohonanku, akal apa jang dapat kau pakai ?"
sahut sigadis. "Piauko lagi terantjam bahaja, tapi dia..... dia tega
membiarkannja." - Dan saking terharunja, air matanja hampir2 menetes.
"O, kiranja Bujung-kongtju sedang terantjam bahaja ......" tiba2 Toan Ki
teringat sesuatu, tjepat ia menjambung pula : "He, ilmu silatmu toh lebih tinggi
dari Piaukomu, kenapa engkau sendiri tidak pergi menolongnja?"
Kedua mata sigadis terbelalak lebar heran se-akan2 tiada sesuatu utjapan lain
didunia ini jang lebih aneh daripada utjapan Toan Ki itu. Selang agak lama
barulah ia berkata : "Tjara bagaimana aku ..... aku bisa pergi
" Ibu lebih2 tidak mungkin mengidjinkan."
"Sudah tentu ibumu takkan mengidjinkan, namun engkau sendiri toh dapat pergi
setjara diam2 ?" udjar Toan Ki dengan tersenjum. "Aku sendiri sudah pernah
minggat dari rumah, kemudian waktu aku pulang, ajah dan ibu djuga tjuma mengomel
sadja padaku."
Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar uraian itu, seketika Giok-yan se-akan2 orang bodoh jang mendadak
mendjadi pintar. Katanja dalam hati: "Benar, mengapa aku tidak pergi setjara
diam2 untuk menolong Piauko, andaikan nanti ibu mendamperat aku, toh nasi djuga
sudah mendjadi bubur, Piauko sudah dapat kuselamatkan. Orang ini mengatakan
pernah minggat dari rumahnja, ja, mengapa aku sendiri tidak pernah memikirkan
hal itu ?" Melihat sigadis ragu2, segera Toan Ki menghasut lebih landjut: "Orang hidup
seperti engkau sebenarnja akan merasa bosan djuga. Apakah engkau akan tinggal
ditengah Man-to-san-tjheng ini sampai hari tua dan tidak ingin pergi melihat
dunia luar jang indah permai itu ?"
"Apanja jang indah?" sahut Giok-yan menggeleng kepala. "Jang kupikirkan hanja
untuk membantu Piauko sadja karena dia sedang menghadapi bahaja Namun aku
sendiri belum pernah melangkah keluar rumah, dimana letak Sian-lim-si djuga aku
tidak tahu." Tanpa diminta lagi segera Toan Ki mengadjukan diri sebagai
'Sukarelawan', katanja tjepat: "Aku akan membawa engkau kesana, segala apa
ditengah djalan biarlah aku jang menguruskan bagimu."
Namun Giok-yan masih ragu2. Maka Toan Ki bertanja pula: "Dan bagaimana dengan A
Tju dan A Pik ?" "Ibu djuga tidak mau mengampuni mereka," sahut sigadis.
"Sekali berbuat, djangan tanggung2 lagi. Pabila A Tju dan A Pik dikutungi
kakitangan mereka, tentu Piaukomu akan menjalahkan engkau.
Marilah kita pergi menolong mereka sekalian dan kita berempat lantas minggat
bersama!" Giok-yan melelet lidah, katanja kuatir: "Perbuatan durhaka seperti ini tentu
takkan diampuni ibuku. Njalimu ini benar2 setinggi langit."
Toan Ki tahu sigadis susah dibudjuk ketjuali memperalat Piauko jang ditjintainja
itu. Maka ia sengadja berkata : "Djika demikian, marilah kita berdua sadja
sekarang lantas berangkat, biarlah A Tju dan A Pik dibikin tjatjat oleh ibumu.
Kelak bila engkau ditanja Piaukomu, djawablah engkau tidak tahu dan akupun tidak
akan membotjorkan rahasiamu ini."
"Mana boleh djadi," sahut Giok-yan. "Dengan demikian, berarti aku mendustai
Piauko bukan?" ~ Tapi sesudah memikir sedjenak, achirnja ia mengambil keputusan,
katanja tiba2: "Marilah ikut padaku!"
Melihat sigadis telah berdjalan kearah barat setjepat terbang, buru2
Toan Ki ikut berlari menjusulnja.
Tidak lama Giok-yan telah sampai didepan sebuah rumah batu. Dari luar gadis itu
terus berseru: "Peng-mama (ibu Peng), marilah keluar, aku ingin bitjara padamu."
Maka terdengarlah suara orang ketawa ter-kekeh2, lalu suara seorang berkata
dengan serak: "Nona baik, apakah engkau sengadja datang kemari untuk melihat
Peng-mama membuat rabuk bunga?"
Tadi waktu Toan Ki mendengar laporan Siau Si dan Yu Tjhau bahwa A Tju dan A Pik
telah digusur ke "Hoa-pui-pang" atau kamar rabuk bunga, tatkala itu ia tidak
perhatikan tentang istilah itu. Tapi kini demi mendengar kata2 "rabuk bunga" dan
diutjapkan orang dengan suara seram itu, mendadak ia terperandjat dan berpikir:
"Hoa-pui-pang apa maksudnja" Apakah rabuk tanaman bunga" Haja, memang benarlah
begitu! Ong-hudjin sangat kedjam, suka membunuh orang untuk didjadikan rabuk
bunga kamelia. Wah, untung kedatangan kami tepat waktunja, kalau tidak, tentu
kaki dan tangan kedua dajang itu sudah dipotong untuk didjadikan rabuk."
Dalam pada itu Giok-yan sedang berkata lagi: "Peng-mama, engkau dipanggil ibu,
hendaklah engkau lekas kesana."
"Peng-mama sedang repot," sahut suara tadi dari dalam rumah. "Adaurusan penting
apakah hingga Hudjin menjuruh Siotjia memanggil kesini?"
"Kata Ibu .............." Giok-yan tidak meneruskan, tapi ia lantas melangkah
masuk kedalam rumah batu itu. Segera terlihat olehnja A Tju dan A Pik telah
diikat kentjang pada dua pilar besi, mulut mereka tersumbat, hanja air mata
mereka sadja ber-linang2, tapi takdapat bersuara.
Lega hati Toan Ki sesudah melongok kedalam rumah dan melihat keadaan A Tju dan A
Pik masih baik2 tak kurang sesuatu apa. Tapi djantungnja kembali ber-debar2 pula
ketika dilihatnja didalam rumah situ terdapat seorang nenek tua jang sudah
bungkuk, rambut putih bagaikan perak, tangannja menghunus sebilah pisau djagal,
disampingnja terdapat satu baskom air mendidih.
"Peng-mama." demikian Giok-yan berkata pula, "ibu ingin tanja mereka tentang
sesuatu hal penting, maka engkau disuruh melepaskan mereka."
Ketika nenek itu menoleh, sekilas Toan Ki dapat melihat kedua siungnja jang
kuning dan lantjip hingga mirip hantu jang menakutkan, tanpa merasa iapun
bergidik. Ia dengar nenek itu sedang berkata: "Baiklah, sesudah ditanja, kirim
kembali lagi kesini untuk dipotong kaki dan tangan mereka." - Lalu nenek itupun
menggumam pula: "Peng-mama selamanja paling tidak suka melihat anak dara jang
tjantik, maka kedua budak ini harus ditabas tangan kakinja, supaja lebih menarik
kalau dipandang." Toan Ki mendjadi gusar, ia pikir nenek ini tentu sangat djahat, entah sudah
betapa banjak orang jang dibunuh olehnja. Sajang dirinja sendiri tidak punja
tenaga, kalau tidak, ingin sekali ia dapat memberi persen beberapa kali tamparan
pada nenek djahat itu. "Siapa itu jang berada diluar?" mendadak Peng-mama menanja. Njata biarpun
usianja sudah landjut, namun pendengarannja masih sangat tadjam.
Suara napas Toan Ki jang memburu karena menahan rasa gusar itu segera dapat
didengarnja. Ketika ia melongok keluar dan melihat pemuda itu, seketika timbul
rasa tjuriganja, tanjanja: "Siapa kau?"
"Aku adalah tukang kebun jang disuruh menanam bunga oleh Hudjin," sahut Toan Ki
dengan berlagak tertawa. "Peng-mama, apakah sudah sedia rabuknja?"
"Tunggulah sebentar, tidak lama lagi tentu akan tersedia," sahut Peng-nama. Lalu
ia berpaling kembali dan menanja Giok-yan: "Siotjia, Bujung-siauya sangat sajang
kepada kedua pelajannja ini bukan?"
Dasar Giok-yan memang tidak biasa berdusta, maka djawabnja tanpa pikir:
"Ja. Makanja lebih baik djangan engkau melukainja."
"Dan saat ini Hudjin sedang bersemadi bukan, Siotjia?" tanja pula Peng-mama.
"Ja," sahut Giok-yan. Tapi segera ia tutup mulutnja sendiri ketika sadar telah
salah omong. Diam2 Toan Ki mengeluh: "Ai, Siotjia ini benar2 luar biasa, berdusta sedikitpun
tidak bisa". Untunglah Peng-mama itu seperti orang tua jang sudah pikun dan tidak perhatikan
kesalahan itu, terdengar ia berkata pula: "Siotjia, tali pengikutnja ini sangat
kentjang, harap engkau suka bantu melepaskannja."
- Sembari berkata ia terus mendekati A Tju jang diringkus diatas pilar itu untuk
melepaskan tali pengikatnja.
Hlm 61 Gambar SesudahPeng -mama lemas lunglai karena tenaganja habis tersedot Tju-hap-sinkang, kemudian Toan Ki melepaskan rangkulannja dileher nenek itu dan mentjekal
tangan kirinja sambil memerintahkan:
"Sekarang lekas lepaskan Siotjiamu!"
Giok-yan mengiakan atas permintaan Peng-mama tadi sambil mendekatinja.
Diluar dugaan, mendadak terdengar suara "krak" sekali, dari dalam pilar besi itu
tahu2 mendjulur keluar sebatang badja melingkar bulat hingga tepat pinggang
sigadis kena terkurung. Keruan Giok-yan mendjerit kaget. Namun gelang badja itu sangat kuat, untuk
melepaskan diri teranglah sangat sulit.
Toan Ki terkedjut djuga oleh kedjadian itu, tjepat ia memburu masuk dan
membentak: "Apa jang kau lakukan" Lekas melepaskan Siotjia'"
Peng-mama ter-kekeh2 seram pula, sahutnja: "Katanja Hudjin sedang bersemadi,
mengapa kedua budak ini bisa dipanggil kesana" Banjak sekali pelajannja Hudjin,
masakah perlu menjuruh Siotjia sendiri memanggil kesini" Didalam ini tentu ada
apa2nja, silahkan engkau menunggu dulu disini Siotjia!"
Kiranja "Hoa-pui-pang" atau kamar rabuk bunga itu adalah tempat Ong-hudjin
menghukum atau membunuh orang. Didalam rumah batu itu penuh terpasang pesawat
rahasia untuk membikin tawanannja takbisa berkutik.
Peng-mama itu dahulunja adalah seorang begal wanita jang terkenal sangat kedjam,
entah sudah berapa banjak djiwa manusia telah mendjadi korban keganasannja. Tapi
ia telah ditaklukan oleh Ong-hudjin, dan karena orangnja sangat tjerdik dan
radjin, maka ia diberi tugas melakukan kekedjaman dikamar rabuk ini.
Peng-mama memang sangat tjerdik, ia melihat tingkah-laku Giok-yan sangat
mentjurigakan, iapun tahu Ong-hudjin biasanja sangat bentji kepada keluarga
Bujung. Ia pikir ilmu silat Siotjia sangat tinggi, dirinja pasti bukan
tandingannja, pabila tidak turut perintahnja, mungkin gadis itu akan berbuat
dengan kekerasan. Karena itulah dengan muslihatnja ia telah kurung Giok-yan
dengan gelang badja, salah satu pesawat rahasia jang terpasang dipilar besi
situ. Maka Giok-yan mendjadi gusar, bentaknja: "Kurangadjar, kau berani padaku" Lekas
lepaskan aku!" "Siotjia," sahut Peng-mama, "aku selalu djudjur mendjalankan tugas, sedikitpun
tidak berani bikin salah. Maka ingin kutanja Hudjin dahulu, bila memang benar
beliau suruh melepaskan kedua budak ini, tentu aku akan mendjura pada Siotjia
untuk minta maaf." Keruan Giok-yan bertambah gugup, serunja: "Hei, hei, djangan engkau tanja
Hudjin, ibuku tentu akan marah!"
Sebagai seorang jang banjak pengalamannja, Peng-mama semakin jakin sigadis itu
hendak main gila diluar tahu ibunja. Ia mendjadi girang telah berdjasa bagi
madjikannja, maka katanja segera: "Baiklah, baiklah!
Silahkan Siotjia tunggu sebentar, segera aku akan kembali!"
"Engkau lepaskan aku dahulu!" seru Giok-yan.
Namun Peng-mama sudah tidak gubris padanja lagi, dengan langkah tjepat segera ia
hendak bertindak keluar. Melihat keadaan sudah gawat, tanpa pikir lagi Toan Ki terus pentang kedua
tangannja merintangi kepergian sinenek sambil berkata dengan tertawa: "Harap
engkau bebaskan Siotjia dahulu, kemudian barulah engkau pergi melapor kepada
Hudjin. Betapapun dia adalah puteri madjikanmu, bila engkau bikin susah padanja,
tentu takkan menguntungkan engkau sendiri."
Diluar dugaan, mendadak Peng-mama membaliki tangannja dan tahu2 sebelah tangan
Toan Ki kena ditangkap olehnja. Karena urat nadi tergenggam, seketika tubuh Toan
Ki mendjadi lumpuh, meski tenaga dalam Toan Ki luar biasa kuatnja, tapi sajang
ia tidak dapat menggunakannja. Maka ia kena diseret oleh Peng-mama kedepan
pilar, ketika nenek itu menekan pesawat rahasia pula, "krak", dari pilar besi
jang lain mendadak mendjulur keluar pula gelang badja hingga pinggang Toan Ki
djuga terdjepit. Tadi begitu tangan Peng-mama memegang pergelangan tangan Toan Ki, seketika ia
merasa tenaga dalamnja tiada hentinja merembes keluar dan rasanja sangat
menderita. Maka sesudah pemuda itu dikurung oleh gelang badja, segera ia
melepaskan tjekalannja. Merasa tjekalan nenek itu telah dikendorkan, dalam gugupnja tanpa pikir lagi
Toan Ki terus menjikap leher Peng-mama dengan kedua tangannja sambil berteriak:
"Djangan kau pergi!"
Keruan Peng-mama kaget oleh rangkulan itu, dengan gusar ia membentak:
"Lekas lepaskan!" - Dan karena ia bersuara, tenaga dalamnja jang merembes keluar
itu semakin santer. Sedjak mendapat peladjaran sang paman ketika berada di Thian-liong-si, kini Toan
Ki sudah paham tentang ilmu memusatkan hawa murni kedalam perut. Maka tenaga
dalam jang disedotnja itu segera dapat ditabung terus kedalam pusatnja.
Ber-ulang2 Peng-mama me-ronta2, namun sedikitpun ia tidak sanggup melepaskan
diri dari sikapan Toan Ki. Ia mendjadi takut luar biasa dan ber-teriak2: "Hai,
engkau mahir......... Hoa-kang-tay-hoat"
Lekas.........lepaskan aku."
Karena leher Peng-mama jang disikap, Toan Ki mendjadi muka berhadapan muka
dengan nenek itu, djaraknja tjuma belasan senti sadja, maka ia dapat melihat
nenek tua itu sekuatnja berusaha melepaskan diri dengan meringis, giginja jang
kuning penuh gudal dengan siungnja jang lantjip, napasnja berbau batjin pula.
Toan Ki mendjadi muak dan hampir2 muntah. Tapi iapun insaf dalam saat berbahaja
itu, kalau ia melepas tangan, tentu Giok-yan akan mendapat hukuman dari sang ibu
dan dirinja sendiri bersama A Tju dan A Pik djuga tak terhindar dari kematian.
Karena itulah terpaksa ia mesti menahan napas dan pedjamkan ia tidak pandang
Peng-mama lagi, tapi membiarkannja kelabakan sendiri.
"Kau............kau mau melepaskan aku tidak!" teriak Peng-mama pula dengan nada
mengantjam. Akan tetapi napas ada tenaga sudah berkurang.
Sambung ke jilid 10 Ini jilid 39 Sang dewi malam memantjarkan sinarnja jang terang ditengah tjakrawala, sinar
bulan itu menembus kedalam kamar melalui tjelah2 djendela. Saat itu Toan Ki
masih guling-gulantang takbisa pulas. Achirnja pelahan2 ia bangun dan keluar
kepelataran tengah kelenting, disitu tumbuh dua batang pohon waru jang rindang.
Tatkala itu adalah achir musim panas, tapi ditengah malam didaerah sekitar
Kamsiok situ hawa sudah terasa agak dingin. Toan Ki mondar-mandir dibawah pohon
waru itu, lapat2 ia merasa luka didadanja agak sakit, ia tahu tentu siang
harinja telah banjak bergerak sehingga membikin luka itu kambuh kembali.
Sebab apakah dia ingin membunuh diri" demikian timbul pula pertanjaan ini
didalam benaknja. Karena pertanjaan itu tetap sukar dipetjahkan, achirnja ia melangkah keluar
kelenting. Dibawah sinar bulan jang terang itu tiba2 dilihatnja ada
berkelebatnja bajangan orang ditepi empang dikedjauhan sana. Lapat2
bajangan orang itu seperti kaum wanita, bahkan mirip bangun tubuhnja Giok-yan.
Toan Ki terkedjut: Wah, tjelaka, djangan2 dia... dia hendak membunuh diri lagi.
Tjepat ia gunakan Ginkang untuk memburu kesana. Sekali dia keluarkan langkah
Leng-po-wi-poh jang adjaib, maka tjepatnja bukan main dan tak bersuara seperti
orang meluntjur diatas air, hanja sekedjap sadja ia sudah berada dibelakang
bajangan orang itu. Air empang jang tenang dan bening sebagai katja itu telah mentjerminkan muka
orang itu dengan djelas, memang betul dia adalah Giok-yan.
Toan Ki tidak berani sembarangan menegurnja, pikirnja: Ketika di Siausit-san dia
sudah kadung bentji padaku, waktu bertemu siang tadi dia djuga atjuh-tak-atjuh
padaku, mungkin dia masih marah padaku. Ja, boleh djadi sebabnja dia ingin
membunuh diri mungkin adalah lantaran perbuatanku. Djika begitu, wahai Toan Ki,
kau terlalu kasar terhadap sitjantik dan mengakibatkan dia gundah merana, kau
benar2 telah berdosa! Begitulah Toan Ki sembunji dibelakang sebatang pohon dan ter-mangu2
menjesalkan dirinja sendiri makin dipikir makin merasa dosanja sendiri tak
terampunkan. Tiba2 dilihatnja air empang jang tenang bening itu tiba2 bergelombang halus,
lingkaran gelombang itu perlahan2 makin meluas. Waktu Toan Ki memperhatikan,
tertampak beberapa tetes air telah djatuh dipermukaan empang. Kiranja adalah air
matanja Giok-yan. Toak Ki semakin kasihan. Tiba2 terdengar Giok-yan menghela napas, lalu pelahan2
menggumam: Ai, aku... aku lebih baik mati sadja agar tidak merana lebih lama.
Sungguh Toan Ki tidak tahan lagi, segera ia keluar dari tempat sembunjinja dan
berkata: Nona Ong, seratus kali salah, seribu kali salah, semuanja adalah aku
jang salah, untuk mana diharap kau suka memafkan.
Bila engkau masih tetap marah, terpaksa aku berlutut padamu. ~ Habis bitjara
benar sadja ia terus berlutut.
Keruan Giok-yan kaget. Serunja gugup: He, ap... apa jang kau lakukan"
Le... lekas bangun! Kalau... kalau sampai dilihat orang lain kan tidak enak"
Asal nona sudi memaafkan aku dan takkan marah lagi padaku, habis itu baru aku
akan bangun, sahut Toan Ki.
Giok-yan mendjadi heran, katanja: Maaf apa padamu" Marah apa padamu"
Ada sangkutpaut apa dengan urusanmu"
Kulihat nona sangat sedih, padahal segala apa biasanja nona selalu gembira ria,
maka kukira akulah jang telah membikin Bujung-kongtju merasa tersinggung
sehingga nona djuga ikut2 masgul. Biarlah aku berdjandji, bila lain kali aku
ketemukan dia lagi, meski dia akan memaki dan menjerang aku, aku tentu akan
kabur sadja dan takkan balas menjerang dia.
Giok-yan tampak mem-banting2 kaki dan berkata: Ai, kau ini me... memang tolol.
Aku berduka sendiri, sama sekali tiada sangkutpautnja dengan kau.
Djika begitu, djadi nona tidak marah padaku"
Sudah tentu tidak! Djika demikian legalah hatiku, kata Toan Ki sambil berbangkit.
Tapi mendadak hatinja merasa gundah-gulana. Bila Giok-yan sangat berduka karena
dia sehingga memaki dan memukulnja, bahkan membatjoknja dengan golok sekalipun
tentu dia akan merasa rela. Tadi sinona djusteru menjatakan sedihnja itu tiada
sangkut-pautnja dengan dia. Seketika Toan ki merasa hampa se-akan2 kehilangan
sesuatu. Dalam pada itu tampak Giok-yan telah menunduk, air matanja bertjutjuran pula.
Toan Ki mendjadi terharu dan berkata: Nona Ong, sebenarnja kau ada kesulitan
Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
apa, lekaslah katakan padaku. Dengan segenap tenagaku tentu akan ku selesaikan
untukmu, aku akan berusaha agar kau bergembira.
Perlahan2 Giok-yan mengangkat kepalanja, dengan pandangan jang saju ia
mendjawab: Toan-kongtju, kau... kau sangat baik padaku, sudah tentu aku sang...
sangat berterimakasih. Tjuma dalam urusan ini sesungguhnja kau takdapat menolong
diriku. Aku sendiri memang tidak betjus apa2, udjar Toan Ki. Tetapi Siau-toako dan Hitiok Djiko, mereka itu adalah djago silat kelas wahid, mereka berada disini
semua, mereka sangat baik padaku, apa jang kuminta tentu akan dikabulkan oleh
mereka. Apa sebenarnja jang membuat kau berduka, tjoba katakan, boleh djadi aku
akan dapat membantu kau. Tiba2 air muka Giok-yan jang tadinja putjat itu bersemu merah. Ia berpaling dan
tidak berani menetap sinar mata Toan Ki, kemudian dengan suaranja jang lirih
lembut berkata: Dia... dia katanja ingin mendjadi Huma keradjaan Se He, maka
Kongya-djiko telah membudjuk padaku bahwa...
bahwa demi kebangkitan kembali keradjaan Yan jang besar, terpaksa dia...
dia harus kesampingkan kepentingan pribadinja ~ Habis berkata, tiba2 ia
berpaling kembali dan mendekam diatas pundak Toan Ki, lalu menangis tersedusedan. Kedjut2 senang rasa Toan Ki, sedikitpun ia tidak berani bergerak. Baru sekarang
ia paham duduknja perkara, tapi ia lantas kesima, entah mesti girang atau susah.
Kiranja lantaran Bujung Hok hendak ikut berebut puteri Se He, dan kalau sudah
memperisterikan puteri Se He, dengan sendirinja Giok-yan tidak diurus lagi.
Dengan sendirinja lantas terpikir pula oleh Toan Ki: Wah, bila dia tidak djadi
diambil isteri oleh Piaukonja, boleh djadi dia akan lebih lunak kepadaku, aku
tidak berani mengharapkan memperisterikan dia, asal aku senantiasa dapat melihat
wadjahnja jang ber-seri2, maka puaslah hatiku. Djika dia suka kepada ketenangan,
dan ketenteraman, maka aku akan mengiringi dia pergi kepulau terpentjil atau
gunung jang sunji dan selalu berdampingan dengan dia, alangkah bahagia dan
senangnja hidup demikian itu" ~ Berpikir tentang hidup jang menggembirakan itu,
ia mendjadi lupa daratan dan tanpa merasa kaki-tangannja bertingkah pola.
Giok-yan sampai kaget, ia mundur selangkah, ketika melihat wadjah Toan Ki
bergembira ria, ia tambah pilu, katanja: Tadinja ku... kusangka kau adalah orang
baik, makanja aku bitjara terus terang padamu, tak tahunja kau malah... malah
menjukurkan kemalanganku ini dan malah mengedjek aku.
O, tidak, tidak! sahut Toan Ki tjepat. Langit diatas, bumi dibawah, boleh mereka
mendjadi saksi bahwa sekali2 aku tidak menjukurkan kemalangan nasib nona, bila
demikian pikiranku, biarlah aku terkutuk dan mati tak terkubur.
Asal hatimu memang tidak bermaksud djelek, siapa sih jang suruh kau bersumpah
apa segala" udjar Giok-yan. Tapi sebab apakah tiba2 kau mendjadi gembira"
Baru pertanjaan itu dikemukakan, maka ia sendiri lantas paham djuga
persoalannja. Segera teringat olehnja bahwa sebabnja Toan Ki mendadak gembira
tentu karena merasa Bujung Hok akan mendjadi menantu radja Se He dan Toan Ki
mendjadi besar harapannja untuk mengikat djado dengan dirinja.
Tentang Toan Ki sangat kesemsem padanja, sudah tentu Giok-yan sendiri tahu.
Tjuma perhatiannja selalu terpusat kepada diri sang Piauko, terhadap tjinta Toan
Ki jang tak terbalas itu terkadang ia sendiripun suka merasa menjesal. Tapi
dalam soal tjinta memang sekali2 tak boleh dipaksakan.
Begitulah, maka sesudah paham sebabnja Toan Ki berdjingkrak senang, Giok-yan
mendjadi malu, dengan muka bersemu merah ia mengomel: Meski kau tidak mengedjek
aku, tapi kau djuga tidak mengandung maksud baik. Aku...
aku... ~ sampai disini ia tidak sanggup meneruskan lagi.
Toan Ki terkesiap, diam2 ia mentjertja dirinja sendiri: Wahai Toan Ki, kau
kenapa tiba2 timbul pikiran serendah itu dan bermaksud menggagap ikan diair
keruh" Orang lain sedang tertimpah malang, tapi kau malah bergirang" Bukankah
perbuatanmu ini sangat memalukan"
Melihat Toan Ki ter-menung2, dengan suara perlahan Giok-yan bertanja: Apakah
utjapanku tadi salah dan kau marah padaku"
O, ti... tidak, manabisa aku marah padamu, sahut Toan Ki.
Habis, mengapa kau diam sadja"
Aku... aku sedang memikirkan sesuatu, kata Toan Ki.
Diam2 dia sedang me-nimang2: Kalau dibandingkan Buyung-kongtju, terang aku kalah
segalanja, baik ilmu silat maupun ilmu sastra, kalah ganteng dan kalah nama,
apalagi mereka berdua adalah pamili sendiri dan teman memain sedjak ketjil,
sudah lama mereka saling menjukai, dalam hal ini lebih2 aku bukan tandingannja.
Tapi ada suatu hal aku harus menangkan Bujung-kongtju. Ja, biar sampai hari tua
didalam lubuk hati nona Ong agar tetap teringat kepada aku Toan Ki bahwa didunia
ini, satu2nja orang jang selalu berpikir demi kepentingannja tiada orang lain
ketjuali aku. Sesudah ambil ketetapan itu, segera ia berkata pula: Nona Ong, djangan kau
berduka lagi, biarlah aku berusaha menasihatkan Bujung-kongtju supaja dia
djangan mendjadi Huma kerdjaan Se He dan supaja dia lekas2 menikah dengan kau
sadja. Giok-yan terkedjut, sahutnja: He, tidak! Mana boleh djadi" Piauko djusteru
sangat bentji padamu, tidak mungkin dia mau menerima nasihatmu itu.
Biarlah aku nanti memberi tjeramah padanja, akan kukatakan bahwa hidup manusia
didunia ini paling penting adalah ketjotjokan antara suami-isteri, keduanja
harus tjinta mentjintai. Padahal selamanja dia tidak kenal puteri Se He, tidak
akan tahu puteri itu djelek atau tjantik, apakah bidjaksana atau djahat,
andaikan mendjadi isterinja tentu takkan bahagia. Sebaliknja akan kukatakan
bahwa nona Ong tjantik molek, halus budi dan bidjaksana, seluruh dunia susah
ditjari bandingannja. Apalagi kau sangat tjinta padanja, masakah dia tega
mengingkari kau sehingga akan ditjatji-maki oleh kesatria2 didunia ini"
Giok-yan sangat terharu mendengar uraian itu, katanja dengan lirih: Toankongtju, kau terlalu memudji diriku hanja untuk menjenangkan hatiku sadja.
Bukan! Bukan!" sahut Toan Ki tjepat. Dan begitu kata2 itu diutarakan, segera ia
merasa nadanja sendiri itu telah ketularan kebiasaan Pau Put-tong, ia tertawa
geli sendiri, lalu menjambung: Aku benar2 berkata dengan setulusnja, sedikitpun
tidak pura2 untuk menjenangkan hatimu.
Rupanja Giok-yan djuga geli oleh utjapan bukan-bukan itu, dari menangis ia
mendjadi tertawa, katanja: Kenapa kau mendjadi menirukan kebiasaan Pau-samko
jang djelek" Toan Ki kegirangan melihat sinona tertawa, katanja: Pendek kata, aku pasti akan
membudjuk Bujung-kongtju agar menarik kembali maksudnja hendak mendjadi menantu
keradjaan Se He, dan lebih baik baik menikah dengan nona sadja.
Dengan perbuatanmu ini, sebenarnja apa tudjuanmu" Apa sih paedahnja bagimu"
tanja Giok-yan. Asal aku melihat nona bergembira ria dan tertawa, maka itu sudah tjukup bagiku,
sahut Toan Ki. Giok-yan. terkesiap, ia merasa djawaban jang sederhana itu djusteru sangat
tandas melukiskan betapa tjinta pemuda itu kepada dirinja. Tapi karena segenap
perasaan Giok-yan telah ditjurahkan kepada Bujung Hok seorang, walaupun terharu
seketika, tapi segera terlupa pula. Katanja kemudian dengan menghela napas: Kau
tidak tahu pikiran.Piaukoku itu. Dia memandang usahanja membangun kembali
keradjaan Yan sebagai tugas utama hidupnja. Dia bilang seorang lelaki sedjati
harus mengutamakan perkembangan dan pemupukan pergerakan kalau selalu memikirkan
urusan lelaki dan perempuan, maka itu bukanlah.pahlawan. Dia bilang baik puteri
Se He itu setjantik bidadari atau sedjelek setan, pendek kata dia tidak pikir,
jang utama jalah dapat membantu dia membangun kembali keradjaan Yan
Hal mana memang betul djuga, pikir Toan Ki. Keluarga Bujung mereka senantiasa
ingin mendjadi radja. Se He memang dapat membantu usahanja membangun kembali
keradjaan Yan, maka urusan nona Ong mendjadi.....
mendjadi agak sulit. Ia lihat air mata Giok-yan telah berlinang2 pula, segera ia membusungkan dada
dan berkata: Nona, harap kau djangan kuatir. Biarlah aku sadja jang mendjadi
menantu keradjaan Se He. Dengan demikian, karena tidak berhasil mendjadi Huma,
dia terpaksa akan menikah dengan kau.
Ha, apa" seru Giok-yan terkedjut dan bergirang.
Aku akan ikut sajembara dan merebut puteri Se He, sahut Toan Ki Ketika di Siausit-san Toan Ki telah mengalahkan Bujung Hok dengan Lak-meh-sin-kiam, kedjadian
itu disaksikan sendiri oleh Giok-yan, kalau sekarang Toan Ki benar2 ikut dalam
perlombaan sajembara, rasanja sang Piauko akan gagal tjita2nja untuk mendjadi
menantu radja Se He. Karena pikiran demikian, segera. Giok-yan berkata dengan suara pelahan: O, Toankongtju, engkau benar2 sangat baik padaku. tapi..... tapi dengan demikian kau
tentu akan dibentji sekali oleh Piaukoku.
Tidak mendjadi soal, toh sekarang djuga dia sudah sangat bentji padaku, sahut
Toan Ki. Tadi kukatakan puteri Se He itu entah tjantik entah djelek, djika kau mendjadi
suaminja, bukankah akan membikin susah kau"
Demi kau, biar bagaimana djuga aku rela menanggungnja, demikian mestinja. hendak
dikatakan Toan Ki. Tapi sebelum terutjapkan, tiba2
terpikir olehnja: Apa jang kulakukan ini djika sengadja untuk membikin kau
merasa utang budi padaku, bukankah perbuatan demikian terlalu rendah"
- Karena itu lantas katanja: Aku tidak akan susah bagimu, sebab ajahku telah
memerintahkan padaku agar berusaha ikut merebut puteri Se He itu, djadi aku
tjuma melaksanakan perintah ajah dan tiada sangkut-pautnja dengan kau.
Giok-yan adalah nona jang pintar dan tjerdik, tjinta Toan Ki untuk berkorban
baginja itu walaupun dimulut Toan Ki tidak menondjolkan hal ini. Tanpa merasa ia
genggam tangan pemuda itu dan berkata: O, Toan-kongtju, hidupku ini aku... aku
takdapat membalas kebaikanmu ini, se...
semoga dalam djelmaan hidup jang akan datang... - berkata sampai disini suaranja
mendjadi parau dan tenggorokannja serasa tersumbat, ia tidak sanggup meneruskan
lagi. Sudah beberapa kali kedua muda-mudi ini bahu-membahu menghadapi bahaja dan
selalu berdampingan, tapi apa jang pernah terdjadi itu adalah terpaksa,
sebaliknja sekali ini adalah Giok-yan sendiri. jang terharu, perasaannja timbul
dengan sewadjarnja sehingga menggenggam tangan Toan Ki.
Seketika Toan Ki merasa tangannja dipegang oleh sepasang tangan jang halus dan
lemas, untuk sedjenak ia mendjadi lupa daratan, mungkin saat itu biarpun langit
akan ambruk djuga tak dihiraukannja lagi. Ia pikir sinona sedemikian baiknja
padaku, djangankan tjuma mengambil isteri puteri Se He, sekalipun puteri2
keradjaan Song, keradjaan Liau, keradjaan Korea, keradjaan Turfan sekaligus
harus mendjadi isteriku djuga oke, dah!
Begitulah, saking senangnja, darah lantas bergolak, padahal lukanja belum sembuh
sama sekali, maka kepalanja mendjadi pujeng, badannja ter-hujung2 dan tjelaka,
bjurrr, ia terperosot dan ketjebur kedalam empang.
Keruan Giok-yan kaget, serunja: He, Toan-kongtju! Toan-kongtju!
Untung air empang itu sangat tjetek, karena terendam air dingin, pikiran Toan Ki
mendjadi djernih djuga, tjepat ia merangkak bangun dengan basah-kujup.
Dan karena teriakan Giok-yan tadi, semua orang jang tidur didalam kelenting
mendjadi terdjaga bangun. Siau Hong, Hi-tiok, Pah Thian-sik, Tju Tan-sin dan
lain2 sama berlari keluar. Ketika melihat keadaan Toan Ki jang serba runjam dan
air muka Giok-yan tampak merah djengah, maka diam2
semua orang merasa geli, mereka menjangka kedua muda-mudi itu sedang main patpat-gulipat ditengah malam sunji, maka merekapun tidak enak untuk bertanja...
Besoknja adalah tanggal 12 bulan delapan, djadi masih ada tempo tiga hari baru
djatuh hari Tiongtjhiu. Pagi2 Pah Thian-sik lantas masuk kota untuk mentjari
berita. Waktu lohor ia telah pulang kembali kekelenting dan memberi lapor kepada
Toan Ki: Kongtju, surat lamaran Ongya telah hamba sampaikan kepada Le-poh
(bagian protokol) dan hamba telah diterima oleh menteri Le-poh dengan ramah,
beliau menjatakan adalah kehormatan besar bagi Se He karena Kongtju telah ikut
melamar puteri mereka dan besar kemungkinan tjita2 Kongtju pasti akan terkabul.
Tidak lama kemudian, tiba2 terdengar riuh ramai diluar kelenting, menjusul ada
suara alat tetabuhan pula. Waktu Thian-sik dan Tan-sin memapak keluar, kiranja
adalah To-silong (menteri To) dari Le-poh datang untuk menjambut Toan Ki
ketempat penginapan jang disediakan bagi tamu2
agung keradjaan. Siau Hong adalah Lam-ih Tay-ong keradjaan Liau jang kuat dan berpengaruh
melebihi keradjaan Tayli, kalau Se He mengetahui kedatangannja tentu akan
menjambutnja dengan lebih meriah dan menghormat.
Tjuma dia telah pesan kawan2nja djangan membotjorkan kedudukannja, maka dia dan
Hi-tiok dan lain2 tjuma mengaku sebagai pengiring Toan Ki dan ber-sama2 pindah
kepondok tamu asing. Belum lama mereka mengaso ditempat baru itu, tiba2 terdengar diruang belakang
sana ada suara tjatji-maki orang: Hm, kau ini kutu matjam apa"
Kau djuga berani mengintjar puteri Se He" Biarlah kukatakan padamu bahwa Huma
keradjaan Se He ini sudah pasti akan diduduki oleh pangeran kami, kukira kalian
lekas merat sadja dari sini dengan metjawat ekor!
Pah Thian-sik dan Tan lain2 mendjadi gusar, mereka tidak tahu siapakah berani
mentjatji-maki setjara kasar demikian. Ketika mereka membuka pintu, maka
tertampaklah dipekarangan sana berdiri tudjuh atau delapan lelaki kekar kasar
dan sedang bergembar-gembor tak keruan.
Thian-sik dan Tan-sin adalah pendekar2 Tayli jang terhitung paling pintar dan
tjerdik. Maka merekapun tidak bersuara, hanja berdiri di depan pintu sadja untuk
mendengarkan lebih djauh. Terdengar tjatji-maki kawanan lelaki kasar itu makin
lama makin kotor, terkadang djuga diseling dengan kata2 jang tak dikenal,
agaknja mereka adalah bawahan Pangeran Turfan.
Selagi Thian-sik berpikir tjara bagaimana menggebah pergi kawanan lelaki itu,
mendadak pintu kamar di podjok kiri sana terdengar dipentang orang dengan keras,
menjusul dua orang telah melompat keluar, seorang berbadju kuning dan jang lain
berbadju hitam. Keduanja terus menghantam kesana dan menendang kesitu, hanja
dalam sekedjap sadja tiga diantara kawanan lelaki jang mentjatji-maki tadi sudah
dirobohkan, sisanja djuga kena dihantam dan dilemparkan keluar pintu sana.
Puas! Puas! seru silelaki berbadju kuning.
Kiranja mereka adalah Hong Po-ok dan Pau Put-tong.
Mendengar suara kedua orang itu, Giok-yan jang berada didalam kamar mendjadi
bimbang, ia bingung apa mesti keluar untuk bertemu dengan mereka atau tidak.
Dalam pada itu terdengar djago2 Turfan jang diusir keluar itu masih ber-kaok2:
He, manusia she Bujung, kami kira kau lebih baik pulang kandang ke Koh-soh
sadja. Djangan kau punja pikiran hendak memperisterikan puteri Se He, djika
sampai pangeran kami mendjadi gusar dan menggunakan tjaramu untuk diperlakukan
atas dirimu dan mengambil adik perempuanmu sebagai bini-muda, maka barulah kau
akan tahu rasa nanti! Hong Po-ok mendjadi gemas karena tjatji-maki jang semakin kotor itu, segera ia
mengudak keluar. Maka terdengarlah suara plak-plok, blak-bluk ber-ulang2, djago2
Turfan itu telah dihadjar dan lari tunggang-langgang.
Tiba2 Pau Put-tong memberi hormat kepada Thian-sik dan Tan-sin dan menjapa:
Kiranja Pah-heng dan Tju-heng djuga berada disini, apakah kalian tjuma ingin
lihat ramai2 atau mempunja tudjuan lain"
Apa tudjuan kedatangan Pau-heng sendiri, begitu pula maksud tudjuan kami, sahut
Thian-sik. Air muka Put-tong beruba seketika, tanjanja: Apakah Toan-kongtju dari Tayli
djuga ingin melamar puteri Se He"
Ja, sahut Thian-sik. Kongtju kami adalah putera mahkota Tayli, beliau adalah
ahliwaris satu2-nja dari Sri Baginda jang sekarang, bila kelak beliau naik
tahta, bukankah akan merupakan besanan jang setimpal dengan keradjaan Se He.
Sebaliknja Bujung-kongtju hanja djedjaka jang tak punja sandaran apa-apa, meski
orangnja bagus, tapi bukan keluarga jang setimpal.
Air muka Pau Put-tong tambah merengut, katanja: Bukan, bukan! Kau tjuma tahu
satu tapi tidak tahu dua, Kongtju kami adalah pemuda pilihan diantara pemuda2,
mana bisa dibandingi oleh pemuda ke-tolol2an seperti Kongtju kalian"
Samko, tiba2 Hong Po-ok telah berlari masuk kembali, buat apa bertengkar dengan
mereka, toh besok akan diadakan perlombaan didepan baginda radja, biarlah
masing2 pihak keluarkan kepandaian sendiri2 sadja.
Bukan! Bukan! sahut Put-tong. Perlombaan dihadapan baginda radja adalah urusan
para Kongtju, sedangkan pertengkaran mulut ini adalah kewadjiban kita.
Haha, pertengkaran mulut memang harus diakui didunia ini tiada soerangpun jang
mampu melawan Pau-heng, nah, Siaute terima mengaku kalah padamu, udjar Thian-sik
dengan tertawa. Dan selagi Pau Put-tong hendak bukan-bukan pula, namun Thian-sik sudah
mengundurkan diri kedalam kamarnja bersama Tan-sin. Tju-hiante, katanja
kemudian, kalau menurut kata2 Pau Put-tong tadi, agaknja Kongtju masih harus
mengikuti pertandingan setjara terbuka, padahal luka Kongtju belum sembuh sama
sekali, sedangkan ilmu silatnja djuga terkadang mandjur dan terkadang tidak,
bila dalam pertandingan nanti Lak-meh-sin-kiam takbisa dikeluarkan, bukan sadja
tidak berhasil mendjadi Huma, bahkan djiwanja berbahaja pula, maka bagaimana
menurut pendapatmu" Tapi Tan-sin djuga tak berdaja, terpaksa mereka lantas pergi membitjarakannja
dengan Siau Hong dan Hi-tiok.
Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menurut Siau Hong, kalau tjara pertandingan nanti dapat diketahui, tentu akan
lebih mudah mengatur siasat untuk menghadapinja.
Djika begitu, marilah Tju-hiante, kita tjoba pergi tanja keterangan kepada Tosilong tentang peraturan pertandingan itu, adjak Thian-sik dan segera bersama
Tan-sin mereka ber-gegas2 pergi.
Siau Hong, Hi-tiok dan Toan Ki duduk ber-minum2 arak sambil mengobrol.
Tiba2 Siau Hong tanja Toan Ki tentang pengalamannja memperoleh Lak-meh-sin-kiam
itu dengan maksud hendak mengadjarkan sematjam tjara mengerahkan tenaga agar
adik angkat itu dapat menggunakan Lak-meh-sin-kiam dengan sesuka hati.
Tak terduga dalam hal teori Lwekang dan sebagainja sama sekali Toan Ki tidak
paham sehingga susah untuk mempeladjarinja dalam waktu singkat.
Karena tak berdaja, Siau Hong hanja meng-geleng2 kepala sadja dan menenggak arak
pula. Kekuatan minum Hi-tiok dan Toan Ki sudah tentu bukan tandingan Siau-Hong, maka
baru dua-tiga mangkuk sadja Toan Ki sudah menggeletak dengan tak sadarkan diri.
Ketika ia siuman kembali dengan matanja jang sepat, ia lihat sinar bulan telah
menembus masuk dari tjelah2 djendela, njata waktu itu sudah tengah malam. Toan
Ki terkesiap: Semalam aku belum selesai bitjara dengan nona Ong dan sudah keburu
ketjebur kedalam empang, entah dia masih ingin omong apa lagi padaku" Apa tidak
mungkin dia sedang menantikan aku pula diluar sana" Ai, tjelaka, djangan2 dia
sudah menunggu terlalu lama dan sekarang sudah kembali kekamarnja saking tidak
sabar menanti" Buru2 ia melompat bangun. Saking kesusunja sampai hampir2 menubruk kursi didepan
tempat tidurnja. Lekas2 ia tenangkan diri agar tidak membikin kaget kawan2-nja,
perlahan2 ia keluar kamar.
Sesudah melintasi pekarangan tengah dan selagi dia hendak membuka pintu luar,
tiba2 terdengar suara orang berbisik dibelakangnja: Toan-kongtju, marilah ikut
padaku, aku ingin bitjara dengan kau.
Karena tidak ter-duga2 keruan Toan Ki kaget. Ia dengar suara orang agaknja tidak
bermaksud baik, segera ia hendak berpaling, tapi mendadak Hiat-to dipinggangnja
telah ditjengkeram orang dengan kentjang.
Samar2 Toan Ki dapat mengenali suara orang itu, ia tjoba tanja: Apakah kau
Bujung-kongtju" Memang betul aku adanja, sahut orang itu. Dapatkah Toan-heng ikut sebentar
padaku" Masakah aku berani menolak undangan Bujung-kongtju" sahut Toan Ki. Maka harap
sukalah kau lepaskan tanganmu.
Tidak perlu lagi! kata Bujung Hok. Dan mendadak Toan Ki merasa tubuhnja lantas
terapung keatas, agaknja Bujung Hok telah mentjengkeram punggungnja dan dibawa
melompat keatas. Dalam saat demikian kalau Toan Ki mau berteriak sadja tentu Siau Hong dan Hitiok akan terdjaga bangun dan datang menolongnja. Tapi ia berpikir: Djika aku
berteriak, tentu nona Ong akan mendengar djuga dan tentu dia akan kurang senang
bila melihat kami berdua bertengkar pula.
Sudah tentu dia takkan marah pada Piaukonja, tapi akulah jang akan mendjadi
sasaran kemarahannja, maka buat apa aku mesti mentjari penjakit"
Karena itu ia tidak djadi bersuara, ia membiarkan dirinja dibawa Bujung Hok dan
berlari keluar sana. Walaupun tengah malam, tapi waktu itu sudah dekat hari
Tiongtjhiu, sinar bulan terang benderang, pemandangan sekitar tjukup tertampak
djelas. Ia lihat Bujung Hok ber-lari2 keluar kota, akchirnja djalan dikedua tepi
kelihatan rumput melulu. Tidak lama kemudian, mendadak Bujung Hok berhenti dan
melemparkan Toan Ki ketanah.
Bluk, Toan Ki terbanting dan meringis kesakitan, pikirnja: Orang ini
kelihatannja ramah-tamah, tapi kelakuannja ternjata begini kasar Segera ia
merangkak bangun sambil memegang pinggang jang sakit pegal2
itu, katanja: Segala urusan dapat Bujung-heng bitjarakan dengan baik2, mengapa
mesti main kasar" Hm, ingin kutanja padamu, apa jang kau bitjarakan dengan Piaumoayku semalam"
djengek Bujung Hok. Muka Toan Ki mendjadi merah, sahutnja: O, ti... tidak apa2, hanja bertemu
setjara kebetulan dan omong2 iseng sadja.
Huh, seorang lelaki sedjati, berani berbuat berani bertanggung djawab, apa jang
sudah kau katakan, mengapa tidak berani mengaku" edjek Bujung Hok. Memangnja kau
sangka, aku tidak tahu" Hm, kau bitjara tentang suami-isteri apa segala, apakah
perlu aku uraikan pula seluruhnja"
Ha, dja... djadi nona Ong telah katakan seluruhnja padamu" Toan Ki menegas
dengan gelagapan. Manabisa dia katakan padaku"
Djik... djika begitu, djadi se... semalam kau sendiri telah mendengarkan semua"
Hm, kau hanja dapat mengapusi nona jang masih hidjau, tapi djangan harap dapat
mengapusi diriku" djengek Bujung Hok.
Aku mengapusi tentang apa" tanja Toan Ki dengan heran.
Bukankah urusan sudah sangat gamblang, sahut Bujung Hok. Kau sendiri ingin
mendjadi Huma keradjaan Se He, tapi takut aku berebut dengan kau, maka kau
sengadja mengarang otjehan2 jang muluk2 untuk memantjing aku supaja masuk
perangkapmu. Hehe, Bujung Hok toh bukan anak ketjil umur tiga, masakah dengan
begitu gampang dapat kau djebak" Haha, kau benar2
mimpi disiang bolong! Ai, apa jang kukatakan kepada nona Ong itu adalah setulus hatiku, aku berharap
kau dapat menikah dengan dia dan hidup bahagia sampai hari tua, lain tidak, kata
Toan Ki. Terima kasih atas mulutmu jang manis ini, kata Bujung Hok. Tapi, Kohsoh Bujung
dengan keluarga Toan dari Tayli toh bukan sanak bukan kadang, buat apa kau mesti
memberi pudjian dan restu sebaik ini" Ha, djika aku sampai tergoda oleh Giokyan, maka kaulah jang akan mengeduk keuntungan dan mendjadi Huma jang diagungkan
ja" Toan Ki mendjadi marah, sahutnja: Kau ngatjo-belo tak keruan. Djelek2
aku adalah pangeran Tayli, meski Tayli adalah negeri ketjil tapi djuga tidak
memandang Huma keradjaan Se He sedemikian hebatnja. Bujung-kongtju, aku benar2
memberi nasihat padamu. Segala kedudukan dan kemewahan dalam waktu singkat sadja
akan tamat, orang hidup dapat bertahan berapa lamanja. Andaikan kau dapat
mendjadi Huma keradjaan Se He dan dapat naik tahta, sebagai radja Yan, tapi
entah berapa banjak orang jang akan kau bunuh" Seumpama negeri Tionggoan ini
akan kau sapu bersih sehingga terdjadi bandjir darah tapi apakah keradjaan Yan
dapat kau bangun kembali, hal ini djuga masih disangsikan.
Bujung Hok ternjata tidak gusar, ia hanja mendjawab dengan nada dingin: Hm kau,
selalu bitjara tentang kebaikan, tapi didalam hatimu sebenarnja berbisa.
Apa mau dikata lagi djika kau tidak pertjaja kepada maksud baikku, udjar Toan
Ki. Pendek kata aku takkan membiarkan kau memperisterikan puteri Se He, aku
tidak dapat membiarkan nona Ong berduka dan merana lantaran kau dia sampai2
hendak membunuh diri. Kau melarang aku memperisterikan puteri Se He" Haha, apa kau mempunjai kemampuan
itu untuk melarang aku" Hm, aku djusteru hendak memperisterikan puteri Se He,
kau mau apa" Aku pasti akan merintangi maksudmu itu dengan sepenuh tenagaku, sahut Toan Ki.
Seorang diri memang aku tak berdaja, tapi aku akan minta bantuan kawan2ku.
Bujung Hok terkesiap. Ia tjukup tahu betapa lihay ilmu silat Siau Hong dan Hitiok bahkan Toan Ki sendiri bila keluarkan Lak-meh-sin-kiam djuga susah dilawan,
untung kepandaian lawan ini terkadang mandjur dan terkadang matjet sehingga
masih gampang dihadapi. Eh, Piaumoay, mari sini, ingin kubitjara dengan kau! tiba2 ia berseru ke arah
sana. Mendengar Giok-yan berada disitu djuga, Toan Ki terkedjut dan bergirang, tjepat
ia menoleh. Tapi jang tertampak hanja sinar bulan jang terang benderang dan
tiada satu bajangan manusiapun jang kelihatan.
Dan baru sadja ia mengamat-amati di-semak2 pohon didepan sana jang tampaknja
seperti ada berkelebatnja bajangan orang, se-konjong2
punggungnja terasa kentjang lagi, kembali ia telah ditjengkeram oleh Bujung Hok,
bahkan badannja telah diangkat pula. Baru sekarang Toan Ki merasa tertipu,
katanja dengan tersenjum getir: Kembali kau main kasar lagi ini kan bukan
perbuatan seorang laki2 sedjati"
Terhadap manusia rendah seperti kau, kenapa mesti pakai tjara laki2
sedjati" sahut Bujung Hok. Lalu ia angkat tubuh Toan Ki dan menudju ketepi
jalan, disitu terdapat sebuah sumur mati, tanpa bitjara lagi ia lemparkan Toan
Ki kedalam sumur itu. Tolong! segera Toan Ki ber-teriak2, tapi tubuhnja sudah terdjerumus kedalam
sumur. Dan baru sadja Bujung Hok hendak mentjari beberapa potong batu besar untuk
menutup lubang sumur agar Toan Ki mati kelaparan didalam situ, tiba2 terdengar
suara seorang wanita telah menegurnja: Piauko, djadi kau telah mempergoki aku!
Apa kau ingin bitjara sesuatu dengan aku" Ai, kau telah melemparkan Toan-kongtju
kedalam sumur" Melihat pendatang ini memang betul Giok-yan adanja, Bujung Hok mengerut kening.
Waktu dia pura2 menjebut sang Piaumoay tadi tudjuannja jalah ingin memantjing
agar Toan ki menoleh, lalu ia dapat mentjengkeram Hiat-to dipunggung pemuda itu
dengan mudah. Siapa duga Giok-yan benar2
sembunji di-semak2 pohon sana (jaitu bajangan jang tertampak oleh Toan Ki tadi).
Ketika mendengar namanja dipanggil, semula Giok-yan mengira tempat sembunjinja
telah diketahui Bujung Hok, makanja dia lantas keluar dari tempat sembunjinja.
Rupanja karena hati sedang risau, maka selama beberapa malam ini Giok-yan tak
bisa pulas. Tadi ia sedang ter-menung2 diambang djendela, maka kedjadian Toan Ki
ditjengkeram Bujung Hok dan dibawa lari telah dapat dilihatnja. Ia kuatir kedua
orang akan bertengkar lagi sehingga achirnja Bujung Hok tak mampu melawan Toan
Ki punja Lak-meh-sin-kiam, maka tjepat ia menjusul keluar dan dapat mengikuti
pertjakapan Toan Ki dan Bujung Hok tadi.
Begitulah ia lantas ber-lari2 mendekati sumur, ia melongok kebawah dan berseru:
Toan-kongtju! Toan-kongtju! Kau terluka atau tidak"
Waktu dilemparkan kedalam sumur tadi Toan Ki berada dalam keadaan terdjungkir,
kepala dibawah dan kaki diatas. Untuk didasar sumur itu adalah lumpur jang lunak
sehingga kepalanja tidak petjah, tapi seketika iapun terbanting pingsan sehingga
seruan Giok-yan itu tak didengarnja.
Sesudah mengulangi seruannja beberapa kali dan tidak mendapat djawaban, Giok-yan
mengira Toan Ki sudah terbanting mati. Bila teringat selama ini pemuda itu
sangat baik padanja, kematiannja inipun boleh dikata lantaran dia, maka
menangislah Giok-yan, katanja: O, Toan-kongtju, kau... kau tak boleh mati!
Hm, ternjata sedemikian mendalam tjintamu padanja! djengek Bujung Hok.
Dia... dia menasihatimu dengan baik, ken... kenapa kau membunuhnja"
kata Giok-yan dengan ter-guguk2.
Dia adalah lawanku jang paling besar, bukankah kau mendengar pernjataannja jang
hendang merintangi tudjuanku dengan mati2an" sahut Bujung Hok. Tempo hari ketika
di Siau-sit-san dia telah membikin aku malu habis2an sehingga Bujung Hok sudah
menantjap kaki lagi didunia Kangouw, orang matjam begini sudah tentu aku takbisa
membiarkan dia hidup. Kejadian di Siau-sit-san itu memang dia jang salah, untuk itu aku sudah pernah
mendamperat dia dan dia djuga telah mengaku salah.
Hm, dia mengaku salah" Hanja utjapan begini lantas hendak menjelesaikan
permusuhan ini" Padahal setiap orang Kangouw sudah sama mengatakan bahwa aku
Bujung Hok telah dikalahkan oleh Lak-meh-sin-kiam dari keluarga Toan mereka,
tjoba kau pikir, apa aku masih bisa merasa hidup bahagia"
Piauko, kalah atau menang adalah soal biasa bagi orang persilatan, kenapa kau
mesti mengungkatnja lagi, ~ Dan karena masih meragukan mati-hidupnja Toan Ki,
kembali ia melongok kedalam sumur dan berseru pula: Toan-kongtju! Toan-kongtju!
~ Tapi tetap tidak mendapat djawaban apa2.
Sedemikian kau memperhatikan dia, lebih baik kau mendjadi isterinja sadja, buat
apa mesti pura2 suka padaku" kata Bujung Hok.
Giok-yan mendjadi pilu, sahutnja: Piauko, aku tjinta padamu dengan hati jang
murni, apa kau... kau masih tidak pertjaja"
Tjinta padaku dengan hati murni" Haha! Tempo hari waktu berada dirumah
penggilingan ditepi Thay-ou itu, dimana kau sembunji didalam onggok djerami
dengan telandjang bulat bersama orang she Toan ini, tjoba katakan, apa jang kau
lakukan disana" Apa jang terdjadi itu telah kusaksikan dengan mataku sendiri,
masakah hanja setjara kebetulan sadja"
Tatkala itu aku hendak membinasakan botjah she Toan ini, tapi kau telah memberi
petundjuk padanja untuk melawan aku. Tjoba djawab, berkiblat kepada siapa hatimu
sebenarnja" Haha, haha!
Giok-yan sampai kesima saking kagetnja, ia menegas dengan suara gemetar:
Djadi... djadi djago Se He jang berkedok di... dirumah gilingan ditepi Thay-ou
itu adalah... adalah... Benar, djago Se He berkedok jang mengaku bernama Li Yan-tjong itu bukan lain
adalah samaranku, sahut Bujung Hok.
Pantas, memangnja akupun merasa sangsi, demikian kata Giok-yan dengan suara
pelahan seperti menggumam sendiri. Waktu itu kau pernah berkata: pabila kelak
aku mendjadi radja diseluruh Tionggoan, kata2 demikian persis nadamu biasanja,
aku... aku seharusnja mengetahuinja pada waktu itu.
Hm, meski kau tidak tahu pada waktu itu, dan baru sekarang mengetahui djuga
belum terlambat, djengek Bujung Hok.
Piauko, kata Giok-yan, Waktu itu aku kena ratjun kabut jang ditebarkan oleh
orang2 Se He dan berkat pertolongan Toan-kongtju barulah djiwaku selamat.
Ditengah djalan kami kehudjanan dan basah kujup, terpaksa berteduh dirumah
gilingan itu, ken... kenapa kau menaruh tjuriga"
Hm, kehudjanan dan berteduh" dengus Bujung Hok. Waktu aku tiba, kalian berdua
masih main sembunji2 dan pat-pat-gulipat disitu. Bahkan ketika aku hendak
membunuh botjah she Toan itu, kau telah mengantjam aku akan menuntut balas
baginja. Nona Ong, karena antjamanmu itulah aku telah mengampuni djiwanja. Tak
terduga hal mana telah mendjadi penjakit bagiku, achirnja aku malah terdjungkal
habis2an ditangannja waktu ketemu lagi di Siau-sit-san.
Mendengar sang Piauko tidak memanggil namanja, tapi menjebutnja sebagai nona
Ong, maka hati Giok-yan tambah pedih, dasar wataknja memang peramah, ia tidak
ingin bertengkar dengan sang Piauko jang ditjintai dan dihormati ini, maka
djawabnja: Piauko, kalau waktu itu aku mengenali dirimu, sudah tentu aku takkan
mengemukakan pernjataan itu padamu. Untuk kesalahan itu, biarlah sekarang aku
minta maaf. ~ Sembari berkata ia terus memberi hormat, lalu menjambung pula:
Tatkala itu sungguh2 aku tidak tahu adalah dirimu, tentu kau takkan marah pula.
Sedjak ketjil aku menghormati kau, segala apa akupun selalu menurut padamu. Maka
kata2ku jang menjinggung perasaanmu itu djanganlah kau pikirkan dan sudilah
memaafkan. Apa jang diutjapkan Giok-yan dahulu itu memang telah menjinggung perasaan Bujung
Hok jang angkuh dan tinggi hati itu. Sekarang mendengar sinona memohon dengan
kata2 halus, dilihatnja wadjah sinona jang tjantik molek itu, teringat pula
hubungan baik sedjak masih kanak2, mau-tak-mau Bujung Hok hatinja mendjadi
lemas, segera ia memegang kedua tangan Giok-yan dan berkata: Piaumoay!
Sungguh girang Giok-yan tak terkatakan, ia tahu sang Piauko telah memaafkan dia,
terus sadja ia mendjatuhkan dirinja kepelukan sang piauko, katanja lirih:
Piauko, djika kau marah padaku, bolehlah kau mendamperat dan menghadjar diriku,
tapi djanganlah didendam dalam hati. Piauko, kau tidak djadi ikut berebut Huma
lagi bukan" Semula Bujung Hok mendjadi mabuk ketika memeluk tubuh sinona jang montok dan
halus itu, tapi demi mendadak ditanja tentang Huma segala, seketika hatinja
tergetar, katanja didalam hati: Wah, tjelaka! Wahai Bujung Hok, mengapa kau
tenggelam dalam urusan demikian sehingga hampir2
membikin urusan penting mendjadi runjam. Djika sedikit persoalan pribadi begini
sadja tak tega memutuskan, darimana kau dapat bitjara tentang pergerakan bagi
kebangkitan keradjaan Yan"
Segera ia keraskan perasaannja dan mendorong Giok-yan, katanja: Piaumoay,
hubungan kita hanja sampai disini sadja, apa jang pernah kau perbuat dan kau
katakan betapapun tidak dapat kulupakan.
Djika begitu, djadi kau... kau tetap takdapat memaafkan aku" tanja Giok-yan
dengan hati remuk rendam.
Untuk sedjenak terdjadilah pertentangan batin Bujung Hok antara tjinta dan
usaha, tapi achirnja ia toh menggeleng kepala.
Sungguh hantjur luluh hati Giok-yan, tanpa merasa ia masih tanja: Djadi kau
sudah bertekad akan memperisterikan puteri Se He itu dan takkan peduli lagi
padaku" Dengan keraskan hati Bujung Hok mengangguk.
Sebelumnja Giok-yan sudah pernah membunuh diri, tapi telah kena diselamatkan
oleh In Tiong-ho, sekarang setjara tegas tjintanja telah ditolak oleh
kekasihnja, saking sedihnja hampir2 sadja ia muntah darah.
Mendadak teringat olehnja: Betapapun Toan-kongtju itu memang sangat tjinta
padaku, sebaliknja aku tidak pernah membalas tjintanja itu, malahan sekarang dia
telah mati bagiku, sungguh aku telah berdosa padanja. Toh sekarang akupun tidak
Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ingin hidup lagi, biarlah aku terdjun kedalam sumur sadja agar dapat mati
bersatu liang dengan Toan-kongtju untuk membalas tjintanja padaku.
Maka pelahan2 ia mendekati sumur itu sambil berpaling dan berkata: Piauko,
semoga tjita2mu terkabul dan dapat memperisterikan puteri Se He serta mendjadi
radja Yang jang djaja! Bujung Hok tahu bahwa sinona ada maksud hendak membunuh diri, segera ia
melangkah madju dan mengulur tangannja hendak mentjegah. Tapi segera teringat
pula olehnja, asal dia bersuara dan mentjegahnja, maka untuk selandjutnja
dirinja tentu akan susah terlepas dari godaan tjinta sinona, dan itu berarti
segala tjita2 pergerakannja akan kandas seluruhnja.
Karena pikiran demikian, maka tangan jang sudah didjulurkan itu tidak djadi
dipakai menarik kembali sinona.
Giok-yan dapat membade apa jang dipikirkan sang Piauko, ia pikir sedemikian
tipis budi pekerti pemuda ini apalagi jang mesti diberatkan pula. Segera ia
berseru: Toan-kongtju, hidup kita takbisa bersama, biarlah kita mati bersatu
kubur sadja! ~ Habis itu, terus sadja ia terdjun kedalam sumur dengan kepala
dibawah dan kaki diatas. Achirnja Bujung Hok berseru djuga sekali dan bermaksud menjambar kaki Giok-yan.
Dengan ketjekatannja sebenarnja tidak susah baginja untuk menjelamatkan nona
itu, tapi pada detik terachir dia toh ragu-ragu lagi dan membiarkan Giok-yan
terdjun kedalam sumur. Ia hanja menghela napas dan berkata: Piaumoay, dalam
hati-ketjilmu toh kau lebih tjinta kepada Toan-kongtju, walaupun hidup takbisa
mendjadi suami-isteri, tapi mati bersatu liang, betapapun sudah terkabul djuga
tjita2mu. Huh, pura2, lelaki palsu! tiba2 terdengar suara seorang berkata dibelakangnja.
Keruan kedjut Bujung Hok tak terkatakan, masakah ada orang sampai dibelakangnja
sama sekali tak diketahuinja. Tanpa bitjara lagi ia menghantam kebelakang,
berbareng membalik tubuh. Dibawah sinar bulan tertampaklah sesosok bajangan
melajang kedepan sana terbawa oleh angin pukulannja, enteng dan gesit sekali
orang itu. Tanpa menunggu orang itu sempat menantjap kakinja ditanah, segera Bujung Hok
melompat madju dan kembali memukul pula sambil membentak dengan gusar: Siapa
kau" Berani kau main gila dengan Kongtjumu"
Dalam keadaan terapung orang itu sempat menjambut serangan Bujung Hok, lalu
orangnja melajang sedjauh beberapa meter baru turun ketanah. Kiranja dia adalah
Tjiumoti, imam negara Turfan.
Haha, sudah terang kau jang memaksa nona itu membunuh diri, tapi kau bitjara
tentang tjita2-nja terkabul segala, apa dengan demikian kau kira dapat menipu
orang" kata Tjiumoti dengan tertawa mengedjek.
Ini adalah urusan pribadiku, siapa minta kau ikut tjampur" damperat Bujung Hok.
Segala persoalan didunia ini setiap orang tentu boleh ikut tjampur, apalagi
soalnja menjangkut kau hendak mendjadi Huma keradjaan Se He, ini sudah melampaui
urusan pribadimu, sahut Tjiumoti.
Hm, djangan2 Hwesio sematjam kau djuga ingin mendjadi Huma"
Hahahaha! Masakah didunia ini pernah terdjadi Hwesio mendjadi Huma"
Habis mau apa" Hm, aku memang sudah tahu Turfan kalian tidak bertudjuan baik,
djadi kau tampil kemuka bagi kepentingan pangeran kalian"
Apa jang kau maksudkan dengan tidak bertudjuan baik" Apa hendak memperisterikan
puteri Se He itu kau katakan tidak bertudjuan baik" Habis apa tudjuanmu sendiri
baik" Aku ingin merebut puteri Se He, hal ini adalah mengandalkan kemampuanku sendiri
dan tidak menggunakan tenaga bawahan untuk mengatjau ditengah djalan sehingga
membikin orang banjak merasa gemas.
Kami telah mengenjahkan manusia2 jang tidak tahu diri itu agar dikota Lengtjiu
ini tidak terlalu penuh dengan manusia2 jang memuakkan itu, hal ini adalah djuga
demi kepentinganmu, mengapa kau merasa keberatan"
Djika begitu sih memang bagus. Djadi pangeran Turfan kalian nanti djuga akan
mengandalkan tenaga sendiri untuk bertanding dengan orang2 lain"
Benar! sahut Tjiumoti. Melihat djawaban orang jang tegas dan tak gentar ini, mau-tak-mau Bujung Hok
mendjadi sangsi sendiri, katanja pula: Apakah barangkali pangeran kalian
mempunjai ilmu silah maha tinggi dan tiada bandingannja, maka sudah
memperhitungkan pasti akan memperoleh kemenangan nanti"
Pangeran tjilik itu adalah muridku, kepandaiannja sih masih boleh djuga, untuk
dikatakan maha tinggi dan tiada bandingannja agaknja djuga belum, bahwa pasti
akan menang memang sudah diperhitungkan dengan baik.
Bujung Hok tambah heran, pikirnja: Djika aku tanja dengan terus terang, tentu
dia tidak mau mendjawab. Biarlah aku memantjingnja sadja. ~ Maka katanja segera:
Sungguh aneh, dia mempunjai perhitungan pasti akan menang, sebaliknja akupun
sudah jakin pasti akan menang. Wah, lantas siapa jang benar2 akan menang nanti"
Rupanja kau sangat ingin tahu bagaimana perhitungan paneran kami untuk mentjapai
kemenangan, bukan" tanja Tjiumoti dengan tertawa. Kukira kau boleh katakan dulu
perhitunganmu, lalu akupun uraikan perhitungan kami.
Kita dapat berunding dan tukar pikiran, tjoba perhitungan pihak siapa jang lebih
pandai. Padahal jang diandalkan Bujung Hok tjuma ilmu silatnja tinggi, orangnja ganteng,
untuk bitjara tentang pasti menang memak tidak ada. Terpaksa djawabnja: Ah, kau
itu, terlalu litjik dan takbisa dipertjaja, kalau kukatakan padamu, djangan2 kau
tidak mau menerangkan djuga akalmu, bukankah aku akan tertipu olehmu"
Hahaha! Tjiumoti tertawa. Bujung-siheng, aku adalah sahabat ajahmu, aku
menghormati dan diapun menghormati aku. Kalau aku tidak berlebihan, betapapun
aku terhitung angkatan lebih tua darimu. Apa kau tidak merasa keterlalu dengan
utjapanmu barusan ini"
Teguran Beng-ong memang tepat, harap maaf, sahut Bujung Hok sambil memberi
hormat. Saudara memang pintar, kata Tjiumoti dengan tertawa. Djika kau sudah mengaku
sebagai kaum muda, mengingat ajahmu dengan sendirinja aku tidak dapat main
menang2an dengan kau. Nah, biar kukatakan sadja terus terang, rentjana pangeran
kami untuk memperoleh kemenangan dengan pasti, kalau sudah kudjelaskan
sebenarnja djuga tidak berharga sepeserpun. Begini, setiap orang jang bermaksud
ikut sajembara dalam pemilihan Huma nanti, maka kami akan membereskannja satu
persatu. Dan kalau tiada lawan lagi jang berebut dengan pangeran kami, maka
dengan sendirinja pangeran kami akan terpilih bukan" Haha, hahaha!
Air muka Bujung Hok berubah seketika, katanja: Djika begitu, djadi aku...
Djangan kuatir, potong Tjiumoti. Aku adalah sobat lama ajahmu, tidak mungkin aku
membunuh putera sobat sendiri. Aku hanja ingin menasihati kau dengan setulus
hati, adalah lebih selamat bila kau lekas tinggalkan negeri Se He ini.
Djika aku tidak mau"
Untuk mana akupun takkan menamatkan njawamu, asal matamu ditjukil atau kaki atau
tanganmu dipotong sebelah sehingga mendjadi tjatjat, dengan sendirinja puteri Se
He tidak mungkin mau dipersunting seorang kesatria gagah jang tjatjat badannja.
Sungguh Bujung Hok sangat gusar, tjuma ia djeri kepada ilmu silat paderi itu,
maka tidak berani sembarangan bergerak. Ia sedikit menunduk untuk memikirkan
tjara menghadapi kawan tangguh itu.
Dibawah sinar bulan jang terang itu, tiba2 dilihatnja disamping kaki ada sesuatu
benda jang sedang ber-gerak2. Ketika diperhatikan, kiranja adalah bajangan
tangan kanan Tjiumoti. Ia terkedjut, disangkanja paderi itu sedang mengerahkan
tenaga dan siap menjerang. Maka diam2 iapun menghimpun kekuatan untuk mendjaga
segala kemungkinan. Tapi lantas terdengar Tjiumoti berkata pula: Bujung-siheng, kau telah mendesak
Piaumoaymu sampai2 membunuh diri, sungguh sangat sajang. Pabila kau mau lekas
pergi dari Se He sini, maka urusan kematian nona Ong inipun bolehlah kulupakan
dan takkan kuusut lebih landjut.
Hm, dia sendiri jang membunuh diri, apa sangkut-pautnja dengan aku"
sahut Bujung Hok sambil terus memperhatikan bajangan tangan paderi itu, ia lihat
bajangan kedua tangan Tjiumoti masih terus gemetar tak ber-henti2.
Diam2 Bujung Hok merasa tjuriga, kalau paderi itu hendak menjerang, rasanja
tidak perlu mengerahkan tenaga sampai kedua tangannja gemetar sekian lamanja,
tentu dibalik ini ada seesuatu jang tak beres. Ketika diperhatikan pula, ia
melihat udjung tjelana dan badju paderi itupun tampak agak gemetar sedikit,
terang disebabkan seluruhnja badannja gemetar, maka badju dan tjelananja djuga
ikut2 bergerak. Dasar otak Bujung Hok memang tjerdas, sekilas lantas teringat olehnja: Tempo
hari waktu berada di Tjong-keng-kok di Siau-lim-si, paderi tua jang tak
diketahui siapa namanja itu mengatakan Tjiumoti telah melatih ke-72
matjam ilmu silat Siau-lim-pay dan kemudian setjara paksa mempeladjari pula ihkin-keng, dikatakan pula latihan Tjiumoti itu telah terbalik dan njasar,
bentjana sudah mengantjam dalam waktu singkat. Kalau paderi tua itu dengan djitu
telah menundjukkan penjakit ajah dan Siau Wan-san, maka apa jang dikatakan
mengenai Tjiumoti pasti djuga akan tepat.
Teringat kedjadian itu, dari kuatir Bujung Hok berubah girang, diam2 ia
mengedjek Tjiumoti sendiri jang sudah terantjam bentjana, tapi masih berani
menggertak padanja akan mentjukil mata dan membikin buntung kaki dan tangan
segala. Namun untuk menajinkan pikirannja itu, segera ia memantjing dengan
utjapan: Ai latihan terbalik, tenaga dalam njasar, bentjana sudah didepan mata,
penjakit demikian memang paling tjelaka!
Se-konjong2 Tjiumoti berteriak sebagai srigala menjalak, suaranja tadjam
menjeramkan, kontan ia terus mentjengkeram kearah Bujung Hok sambil membentak:
Kau bilang apa" Siapa jang kau maksudkan"
Bujung Hok berkelit kesamping untuk menghindarkan tjengkeraman itu.
Menjusul Tjiumoti djuga memutar tubuh sehingga mukanja tertampak djelas dibawah
sinar bulan jang terang, kelihatan kedua matanja merah membara, mukanja beringas
dan buas, semuanja itu tidak dapat menutupi rasa ketakutan jang terbajang
dimukanja. Melihat itu, maka Bujung Hok tidak sangsi lagi, katanja segera: Akupun hendak
memberi nasihat kepada Beng-ong, ada lebih baik Beng-ong lekas meninggalkan Se
He dan pulang sadja ke Turfan, asal tidak mengerahkan tenaga, tidak lekas marah,
tidak banjak bergerak, tentu Beng-ong akan dapat pulang kenegeri sendiri dengan
selamat. Kalau tidak, wah, apa jang pernah dikatakan paderi tua Siau-lim-si itu
tentu akan berbukti. Apa katamu" Apa jang kau ketahui" Tjiumoti ber-teriak2, sikapnja jang biasanja
sabar dan berwibawa itu sekarang telah berubah sama sekali.
Melihat sikap orang berubah beringas, diam2 Bujung Hok merasa djeri djuga,
segera ia melangkah mundur setindak.
Apa jang kau ketahui" Lekas katakan! bentak Tjiumoti pula.
Sedapat mugkin Bujung Hok tenangkan diri, ia menghela napas, lalu berkata: Hawa
murni Beng-ong sudah sesat djalan, keadaan sangat berbahaja, kalau tidak lekas
pulang ke Turfan, boleh djuga datang pula ke Siau-lim-si untuk minta tolong
kepada paderi sakti itu, djalan inipun ada harapan besar bagi keselamatan Bengong. Darimana kau mengetahui hawa-murniku njasar" Ngatjo-belo belaka! sahut Tjiumoti
dengan menjeringai. Berbareng tangan kiri terus mendjulur kedepan, segera ia
mentjakar kemuka Bujung Hok.
Kelima djari Tjiumoti kelihatan agak gemetar, tapi daja serangan itu tetap
sangat dahsjat, sedikitpun tiada tanda2 katjaunja tenaga dalamnja, diam2 Bujung
Hok terkedjut dan ragu2: Djangan2 aku telah salah duga" ~
Segera iapun tidak berani ajal dan melajani lawan dengan sepenuh tenaga.
Mengingat hubunganku dengan ajahmu, biarlah dalam sepuluh djurus aku tidak
membunuh kau sekadar balas djasaku kepada ajahmu, bentak Tjiumoti.
Menjusul ia terus menghantam.
Walaupun Bujung Hok mahir ilmu Tau-tjoan-sing-ih, jaitu dengan tjara memindjam
tenaga lawan untuk hantam kembali kepada lawan, tapi kepandaian Tjiumoti
terlampau hebat baginja, apalagi setiap serangan hanja dikeluarkan sampai
setengah djalan dan segera berubah serangan baru lagi sehingga Bujung Hok tidak
sempat menggunakan kemahirannja itu, sebaliknja mendjadi selalu terdesak,
terpaksa ia hanja mendjaga diri serapatnja untuk mentjari kesempatan.
Ia lihat serangan2 Tjiumoti itu serba lihay dan luar biasa, semuanja belum
pernah dilihatnja. Dan sesudah sepuluh djurus habis, mendadak Tjiumoti
membentak: Sepuluh djurus sudah selesai, sekarang terimalah kematianmu!
Sekonjong2 Bujung Hok merasa pandangannja mendjadi silau, disekitarnja seperti
penuh dengan bajangannja Tjiumoti, dari kanan menendang dan dari kiri memukul,
tahu2 dari depan ada serangan, tiba2 dari belakang ada jang menutuk lagi. Djadi
serangan2 itu seakan2 membandjir sekaligus sehingga bingung untuk ditangkis.
Terpaksa Bujung Hok kerdjakan kedua tangannja setjepat kitiran dengan
mengerahkan tenaga penuh, dia hanja mendjaga diri dan tidak balas menjerang, ia
hanja memainkan ilmu pukulannja sendiri dan tidak peduli serangan lawan dari
mana datangnja. Tiba2 terdengar napas Tjiumoti tambah ngos2an dan semakin ter-sengal2
seperti kuda. Seketika semangat Bujung Hok terbangkit, ia tahu hawamurni paderi
itu sudah katjau dan napasnja hampir putus, asal bertahan sekuatnja dan tidak
sampai dirobohkan lawan sedikit lama lagi tentu paderi itu akan menggeletak dan
binasa sendiri. Namun meski napas Tjiumoti tambah ter-sengal2, sedangkan serangannja djuga
semakin gentjar. Se-konjong2 ia menggertak keras sekali. Tahu2
Bujung Hok merasa badju lehernja telah kena ditjengkeram orang dan tubuhnja
terangkat keatas. Hiat-to dibagian pinggang dan perut djuga lantas kesakitan,
njata dia sudah tertutuk, kaki-tangannja mendjadi lemas dan takbisa berkutik
lagi. Ber-ulang2 Tjiumoti tertawa dingin, sedang napasnja masih terus ngos2an, katanja
dengan napas memburu: Aku... aku suruh kau enjah, tapi kau dju... djusteru tidak
mau, sekarang... sekarang kau djangan salahkan aku. Hm, tja... tjara bagaimana
aku harus membereskan kau"
Pada saat itulah dari semak2 pohon sana lantas muntjul empat djago Turfan,
rupanja mereka adalah pengikut Tjiumoti. Segera mereka memberi hormat dan
berkata: Adakah sesuatu titah Beng-ong kepada hamba"
Angkat orang ini dan tjemplungkan kedalam sumur itu! kata Tjiumoti.
Haha, ini namanja sendjata makan tuan, memangnja keluarga Bujung kalian paling
mahir menggunakan tjara lawan untuk menghadapi lawan, dan sekarang kaupun boleh
rasakan tjara demikian, kau telah menjebabkan kedua muda-mudi mati didalam
sumur, sekarang kau boleh djuga menjusul mereka.
Keempat Bu-su Turfan itu mengiakan dan menggotong Bujung Hok ketepi sumur.
Sungguh menjesal Bujung Hok tak terkatakan, tjoba kalau dia tidak kemaruk
mendjadi Huma apa segala dan membalas tjinta sang Piaumoay, tentu hidupnja akan
bahagia dan takkan mati konjol seperti sekarang. Dan kalau sudah mati, maka
segala impiannja ingin mendjadi radja dengan sendirinja djuga lenjap seluruhnja.
Sungguh ia ingin minta ampun pada Tjiumoti dan berdjandji takkan ikut berebut
puteri Se He lagi, tjelakanja karena Hiat-to tertutuk sehingga takbisa bersuara,
sedang Tjiumoti melirik sadja tidak sudi padanja, maka untuk minta ampun dengan
sorot mata mohon dikasihani mendjadi takdapat pula.
Tjemplungkan dia dan segera pergi menggotong beberapa potong batu besar untuk
menutup liang sumur itu agar dia takbisa keluar lagi andaikan nanti dia dapat
membuka Hiat-to sendiri jang tertutuk itu, perintah Tjiumoti.
Ke-empat Bu-su itu segera melemparkan Bujung Hok kedalam sumur, lalu ber-lari2
pergi mentjari batu karang jang besar.
Tjiumoti sendiri napasnja masih ter-engah2 tak ter-henti2, rasa dadanja sesak
dan gopoh tak terkatakan.
Kiranja tempo hari sesudah dia melukai Toan Ki dengan Hwe-yam-to jang tak
berwudjut itu, lalu ia melarikan diri kebawah gunung. Tapi sebelum sampai
dibawah Siau-sit-san, tiba2 ia merasa perutnja sangat panas sebagai dibakar,
lekas2 ia mengatur napas dan melantjarkan tenaga dalam, tapi terasa tenaga dalam
susah diatur. Ia terkedjut sekali akan apa jang dikatakan sipaderi tua atas
penjakit jang mengeram didalam badannja.
Lekas2 ia mentjari suatu tempat sepi untuk istirahat, ia tjoba duduk semadi
dengan tenang, asal dia tidak mengerahkan tenaga dalam, maka rasa panas jang
bergolak didalam badan mendjadi reda djuga, tjuma tenaga mendjadi takbisa
digunakan. Sesudah malam, lalu Tjiumoti melandjutkan perdjalanan pulang ke Turfan.
Ditengah djalan ia mendengar berita tentang sajembara puteri Se He.
Sebagai imam negara jang ikut menentukan pemerintahan Turfan, maka ditengah djalan ia telah dapat hubungan dengan pengintai negerinja sendiri dan
menjampaikan laporan kepada radanja, ia sendiri lalu mendahului menudju ke Se
He. Radja Turfan memang sudah lama bermaksud bersekongkol dengan Se He, maka demi
menerima laporan itu, segera ia mengirim putera mahkotanja bersama djago2 silat
jang tidak sedikit djumlahnja dengan membawa harta mestika, golok pusaka dan
kuda pilihan, lalu ber-bondong2 menudju ke Lengtjiu, kota radja Se He.
Harta mestika dan barang2 berharga jang dibawa pangeran Turfan itu dipakai
menjogok dan menjuap para menteri dan pembesar Se He, sedang djago2 silat jang
dibawa itu ditudjukan untuk melawan para kesatria dari berbagai pendjuru jang
mendjadi saingan dalam perebutan puteri Se He itu.
Pada beberapa hari sebelum Tiongtjhiu, djago2 Turfan itu sudah mentjegat
Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ditengah djalan dan telah banjak mengalahkan dan mengusir kembali berbagai
kesatria muda jang datang itu, tapi achirnja rintangan djago2 silat Turfan itu
bobol seperti apa jang telah ditjeritakan diatas.
Sesudah berada dikota Lengtjiu, Tjiumoti sendiri lantas mentjari tempat sunji
untuk merawat diri sehingga panas badan jang bergolak laksana dibakar itu
pelahan2 tertahan. Tapi kalau pikirannja sedikit gontjang, maka badannja lantas
bergemetar tak tertahankan. Sampai achirnja asal pikirannja sedikit risau, maka
djari kaki dan tangan, alis, bibir dan bagian2 badan lain lantas ikut2 gemetar
tak ber-henti2 (sematjam penjakit brurte" ~ kor)
Sebagai imam negara Turfan jang diagungkan, Tjiumoti merasa malu kalau
keadaannja itu dilihat orang, maka ia sengadja tinggal terpentjil sendirian dan
djarang menemui orang. Hari itu ia mendapat laporan bawahannja bahwa Bujung Hok
telah sampai djuga di Lengtjiu, bahkan beberapa djago Turfan telah dihadjar oleh
anak buah Bujung Hok. Diam2 Tjiumoti merasa tidak enak atas datangnja Bujung Hok jang diketahuinja
mempunjai wadjah jang tampan dan serba pintar dalam ilmu silat dan sastra, kalau
pemuda itu tidak dienjahkan, tentu pangeran Turfan mereka susah menandinginja.
Ia menaksir bawahannja tiada satupun jang dapat menandingi Bujung Hok, terpaksa
ia sendiri harus turun tangan dan segera mentjari ketempat pondokan Bujung Hok.
Tapi setibanja disana, saat itu Bujung Hok sudah meninggalkan tempatnja dengan
menawan Toan Ki. Karena sekitar tempat tinggal tamu negara itu telah dipasang
pengintai2, maka dengan mudah Tjiumoti memperoleh info kemana perginja Bujung
Hok dan segera ia menjusulnja. Setiba dia disana sementara itu Toan Ki sudah
dilemparkan kedalam sumur dan Bujung Hok sedang bitjara dengan Giok-yan.
Begitulah, maka setelah Bujung Hok dilemparkan kedalam sumur oleh para Bu-su
jang kemudian pergi mentjari batu karang untuk menjumbat mulut sumur, dalam pada
itu Tjiumoti merasa hawa panas didalam badannja semakin bergolak se-akan2 hendak
mendjebol badannja, tjuma susahnja tiada sesuatu lubang jang dapat dibuat
saluran keluar. Dengan sendirinja Tjiumoti sangat menderita.
Saking tak tahan Tjiumoti sampai men-tjakar2 dada sendiri. Ia merasa hawa dalam
badannja se-akan2 terus melembung, se-olah2 kepala, dada, perutnja sedang
melembung dan sebentar lagi tentu akan meledak. Bagi penglihatan orang lain
dengan sendirinja tubuh Tjiumoti itu tiada berubah apa-apa, tapi dia sendiri
merasa badannja seperti telah melembung sebagai bola, sebaliknja hawa murni
didalam badan masih terus membandjir timbul.
Dalam bingungnja Tjiumoti terus menutuk tiga kali dibagian bahu kiri, paha kiri
dan kanan sehingga berwudjut tiga lubang dengan maksud menjalurkan hawa murni
itu keluar badan. Tapi darah segar memang terus memantjar keluar, sebaliknja
hawa murni tetap susah dikeluarkan.
Baru sekarang ia ingat dan pertjaja penuh kepada apa jang pernah dikatakan
sipaderi tua di Siau-lim-si itu, maka teranglah sekarang bentjana sudah berada
didepan matanja, keruan ia mendjadi ketakutan. Tapi apapun djuga dia adalah
seorang tokoh kawakan, hatinja takut, pikirannja tidak mendjadi katjau. Sekonjong2 terpikir olehnja: Ja, dia... dia sendiri (maksudnja Bujung Bok) kenapa
tidak melatihnja, sebaliknja rahasia keseluruh 72 matjam ilmu sakti itu
Pendekar Binal 12 Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Perjodohan Busur Kumala 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama