Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong Bagian 15
dan tangkas dimedan perang. Setiap seratus orang mereka terbagi mendjadi satu
pasukan ketjil, dengan menunggang kuda mereka ber-teriak2
terus menerdjang ketengahKarena diterdjang setjara mendadak, seketika barisan peradjurit Liau mendjadi
katjau balau. Pula suku Nuchen itu memang tangkas dan gagah berani, panglima
Liau dapat melihat gelagat, ia kuatir digentjet pula oleh pasukan jang dipimpin
Siau Hong, maka tjepat2 ia memberi tanda menarik mundur pasukannja.
Hoan Hwa berpangkat Suma atau menteri urusan perang, maka dia mahir ilmu
kemiliteran. Ia melihat ada kesempatan bagus, segera katanja kepada Siau Hong:
Siau-tayong, lekas kita serbu sadja, inilah saat jang paling bagus untuk
menghantjurkan musuh. Tapi Siau Hong hanja menggeleng kepala sadja.
Djarak dari sini ke Gan-bun-koan terlalu djauh, kalau kesempatan bagus ini tidak
kita gunakan untuk menghantjurkan pasukan Liau, kelak tentu akan membahajakan
malah, demikian kata Hoan Hwa pula. Apalagi djumlah musuh terlalu banjak dan
djumlah kita sedikit, kita belum tentu dapat mengundurkan diri dengan aman dan
selamat. Namun Siau Hong tetap menggeleng kepala.
Sungguh Hoan Hwa tidak habis mengerti. Pikirnja: Siau-tayong tidak mau menjerang
dan membunuh musuh, djangan2 dia masih berharap kelak akan dapat memperbaiki
hubungan dengan radja Liau"
Dalam pada itu terlihat orang2 Nuchen dalam kelompok2 ketjil dengan telandjang
setengah badan, ada jang bermantelkan kulit binatang, masih terus menerdjang
musuh sambil menghudjani panah sehingga musuh kalang kabut. Ada lebih seribu
orang peradjurit Liau jang tidak sempat masuk seluruhnja kedalam kota, semuanja
telah dipanah mati dibawah benteng kota.
Pemburu2 Nuchen itu kalau habis membunuh musuh segera buah kepala sang korban
dipenggal olehnja dan digantung disabuknja. Maka diantara orang2
Nuchen itu ada jang membawa puluhan buah kepala jang penuh tergantung
dipinggangnja. Para kesatria sudah banjak berpengalaman dalam pertarungan sengit, tapi
pembunuhan setjara kedjam dan biadab seperti orang2 Nuchen ini baru pertama kali
ini dilihatnja. Keruan mereka terkesiap.
Tiba2 diantara pemburu2 Nuchen itu muntjul seorang lelaki tinggi besar sambil
ber-teriak2: Siau-toako, Siau-toako, Wanyan Akut telah datang membantu engkau
berkelahi dengan orang Tjidan!
Kiranja dia adalah saudara angkat Siau Hong ketika bertemu dipegunungan Tiangpek-san dahulu, jaitu Wanyan Akut dari suku Nuchen.
Sungguh girang Siau Hong tak terkatakan, tjepat ia memapak madju, kedua orang
lantas saling rangkul dan berdjabat tangan dengan terharu.
Siau-toako, dahulu engkau telah pergi tanpa pamit, sungguh aku sangat kuatir dan
rindu sekali, demikian kata Akut. Kemudian dari penjelidik dapat diketahui bahwa
engkau telah mendjadi pembesar dinegeri Liau, hal inipun tidak mendjadi soal.
Tjuma orang Liau itu sangat litjin, kukira kedudukanmu mungkin tak bisa tahan
lama. Benar djuga, kemarin dulu penjelidik memberi laporan pula, katanja engkau
telah dikurung oleh radja Liau keparat itu sebagai binatang, sungguh kami merasa
sangat kuatir dan lekas2 memburu kemari. Sjukurlah Siau-toako ternjata baik2
sadja, kami merasa girang sekali
Banjak terima kasih atas bantuan saudaraku sahut Siau Hong.
Baru sekian bitjaranja, tiba2 dari atas benteng telah berhamburan anak panah
kearah mereka. Tjuma djarak mereka tjukup djauh dari tembok benteng, anak2 panah
itu tidak dapat mentjapai mereka. Kurangadjar andjing2 Liau itu, aku sedang
bitjara dengan Toako, kenapa mereka sengadja mengganggu, maki Akut dengan gusar.
Habis berkata, ia pentang busurnja, susul menjusul tiga kali membidik ia memanah
dari bawah benteng keatas, maka terdengarlah suara djeritan ngeri tiga kali,
tiga orang peradjurit Liau kontan terdjungkal kebawah.
Kalau panah peradjurit2 Liau itu tidak dapat mentjapainja, sebaliknja tiga kali
panah Akut itu dengan mudah telah menggulingkan tiga orang, maka dapat
dibajangkan betapa kuat dan djitu kepandaian memanah djago Nuchen itu. Keruan
peradjurit2 Liau mendjadi ketakutan, sambil ber-teriak2 lekas mereka memasang
tameng. Sementara itu suara tambur didalam kota Lamkhia kedengaran masih gegap-gempita,
agaknja pihak Liau sedang menghimpun tenaga lagi. Segera Akut berseru kepada
anak buahnja: Wahai kawan2, dengarkanlah! Andjing Tjidan itu rupanja ber-siap2
akan keluar lagi dari lubang andjingnja, hajo kita bersiap untuk membunuhnja
dengan se-puas2-nja! Orang2 Nuchen itu berteriak senang sebagai suara ribuan binatang jang mengaum
setjara serentak. Diam2 Siau Hong mendjadi kuatir. Kalau peperangan ini sampai berlangsung, maka
korban jang akan djatuh dari kedua pihak tentu tidaklah sedikit. Tjepat katanja:
Saudaraku jang baik, kedatanganmu ini adalah untuk menolong aku dan sekarang aku
sudah lolos dari bahaja, buat apa mesti bertempur lagi dengan orang. Sudah lama
sekali kita tidak berdjumpa, marilah kita mentjari suatu tempat jang aman dan
tenang untuk bitjara dan minum se-puas2nja.
Benar djuga, marilah kita berangkat, sahut Akut.
Tapi mendadak pintu gerbang kota terpentang, sepasukan tentara Liau berkuda dan
berpakaian lapis badja telah menerdjang keluar. Akut mentjatji-maki. Ia pentang
busur dan memanah, kontan muka seorang perwira jang berada paling depan itu
terguling dari kudanja. Orang2 Nuchen jang lain be-ramai2 djuga melepaskan panah, jang mereka arah
selalu bagian muka. Dasar ilmu memanah orang2 Nuchen itu memang pandai, udjung
panah berbisa pula, maka sasarannja jang terkena panah itu tanpa bersuara sama
sekali seketika terdjungkal dan binasa.
Hanja dalam sekedjap sadja didepan pintu gerbang kota sudah bergelimpangan
beberapa ratus majat bertjampur kuda tumpuk menumpuk sehingga menjumbat pintu
gerbang itu. Peradjurit Liau jang lain mendjadi ketakutan dan tjepat2 menutup
pintu dan tidak berani mengedjar lagi.
Dengan memimpin anak buahnja Wanyan Akut masih terus mondar-mandir dibawah
benteng sambil mentjatji-maki dan menantang. Sudah tentu mereka tidak mendapat
djawaban. Marilah kita berangkat, saudaraku! adjak Siau Hong.
Terpaksa Akut mengiakan. Tapi dia masih menuding keatas benteng dan berteriak
keras: Dengarkan andjing2 Liau! Untunglah kalian tidak mengganggu seudjung
rambut Toako kami, maka bolehlah djiwa andjing kalian diampuni. Tjoba kalau
tidak, tentu kami meratakan bentengmu dan menumpas habis andjing2 Liau kalian!
Habis itu ia lantas mengikuti Siau Hong kearah barat. Kira2 belasan li djauhnja,
sampailah mereka diatas sebuah bukit. Akut lantas melompat turun dari kudanja,
ia ambil kantong arak dari pelana kudanja dan diberikan kepada Siau Hong sambil
berkata: Silakan minum arak, Toako.
Siau Hong djuga tidak menolak, ia angkat kantong arak itu dan sekaligus
ditenggaknja hingga hampir habis, lalu ia kembalikan kepada Akut.
Sesudah Akutpun minum habis sisa arak itu, katanja kemudian: Toako, daripada
pergi kelain tempat jang belum tentu tudjuannja, adalah lebih baik ikut bersama
kami kembali kepegunungan Tiang-pek-san, disana kita dapat berburu dan minum
arak serta hidup dengan bebas merdeka.
Tapi Siau Hong tjukup kenal sifat Yalu Hung-ki jang angkuh dan tinggi hati, hari
ini pasukan Liau telah diterdjang sehingga kotjar-katjir oleh Wanyan Akut dan
kawan2nja, bahkan telah ditjatji-maki pula olehnja, untuk semua ini Hung-ki
tentu tidak dapat menerimanja dengan mentah2, tapi pasti akan mengerahkan
pasukannja untuk bertempur lagi. Meski orang Nuchen sangat tangkas dan gagah
berani, tapi djumlah mereka hanja sedikit, memang belum diketahui akan menang
atau kalah, tapi adalah lebih baik kalau pertempuran sengit dapat dihindarkan.
Teringat oleh Siau Hong selama beberapa bulan tinggal di pegunungan Tiang-peksan dahulu, dimana selain sibuk mengobati A Tji boleh dikata tiada punja rasa
kuatir urusan lain, lebih tiada terpikir tentang kedudukan dan kemewahan orang
hidup segala. Dan kalau untuk selandjutnja dapat hidup bersama dengan suku
Nuchen rasanja dapat djuga menghindarkan segala urusan jang mengesalkan. Maka
dia lantas mendjawab: Saudaraku, para kesatria dari Tionggoan ini djauh2 datang
kemari adalah karena ingin menolong aku. Maka biarlah aku mengantar mereka ke
Gan-bun-koan dulu, habis itu aku akan kembali kesini untuk berkumpul dengan
saudaraku orang2 Nuchen. Bagus! seru Akut dengan girang. Djika begitu biarkan kutunggu sadja didepan
sana. Orang2 Tionggoan itu tampaknja sok tjerewet dan besar kemungkinan bukan
manusia baik2, maka akupun sungkan untuk berkenalan dengan mereka.
Habis berkata ia lantas mohon diri dan membawa kawan2nja menudju keutara.
Melihat datang dan perginja orang2 Nuchen itu sebagai angin lesus tjepatnja dan
sangat tangkas pula, diam2 para kesatria Tionggoan menganggap orang2 Nuchen itu
lebih lihay daripada orang2 Liau. Untung mereka adalah kawannja Kiau-pangtju,
kalau tidak tentu urusan bisa runjam.
Dalam pada itu rombongan2 para kesatria itu sudah bergabung mendjadi satu,
mereka ramai membitjarakan suasana pertempuran sengit diluar kota Lamkhia tadi.
Siau Hong lantas memberi hormat kepada para kesatria, serunja: Banjak terima
kasih atas budi pertolongan kalian jang tidak memikirkan dosa Siau Hong dahulu,
sebaliknja djauh2 datang kemari untuk menolong diriku, budi ini sungguh susah
dibalas selama hidupku ini.
Ah, mengapa Kiau-pangtju berkata demikian, sahut Hian-to selaku pimpinan para
kesatria Tionggoan jang menganggap Siau Hong masih tetap Pangtju Kay-pang dan
tetap she Kiau. Padahal apa jang terdjadi dahulu itu hanja karena salah paham
belaka. Apalagi kita sama2 orang Bu-lim dan seharusnja bantu membantu bila ada
kesukaran. Pula Kiau-pangtju telah rela mengorbankan kedudukan jang diagungkan
di negeri Liau demi keselamatan ber-djuta2 rakjat Tionggoan, untuk budi kebaikan
inilah kami harus menjatakan terima kasih kepada Kiau-pangtju.
Segera Hoan Hwa djuga berkata: Para Enghiong jang terhormat, menurut pendapatku,
mungkin sekali pasukan Liau takkan rela dengan kekalahan mereka tadi, maka
mereka masih akan datang mengedjar kita. Entah apakah diantara kawan2 ada jang
berpendapat lain" Serentak banjak diantara para kesatria itu berteriak: Bila pasukan musuh berani
mengedjar, hajolah kita hadjar mereka lagi, masakah kita mesti takut"
Soalnja bukan takut atau tidak, udjar Hoan Hwa, tapi djumlah musuh terlalu
banjak dan djumlah kita sangat sedikit, kalau bertempur ditempat lapang begini
akan tidak menguntungkan kita. Maka menurut pendapatku adalah lebih baik kalau
kita mundur dulu kebarat, pertama djarak kita akan lebih dekat dengan pasukan
Song dan bila perlu mungkin kita akan mendapat bantuan. Selain itu makin djauh
pasukan musuh mengedjar kita tentu djumlah musuh lebih2 terpentjar dan
berdjumlah sedikit, dengan demikian kita akan tjari kesempatan untuk menggempur
kembali mereka. Para kesatria sama menjatakan setudju. Segera Hi-tiok memimpin anak buah Lengtjiu-kiong sebagai barisan pertama, menjusul adalah Toan Ki dengan djago2 Tayli,
lalu Hianto bersama para kesatria Tionggoan, sedang Siau Hong memimpin anggota2
Kay-pang mengiringi dari belakang.
Empat pasukan itu masing2 berdjarak satu-dua li djauhnja, kurir berkuda kian
kemari menjampaikan berita, kalau ada musuh segera dapat saling membantu.
Sesudah menempuh perdjalanan satu hari, malamnja mereka lantas bermalam diudara
terbuka, sjukurlah semalam suntuk mereka tidak diganggu oleh pasukan Liau, maka
lambat-laun rasa was-was semua orang mendjadi reda.
Esok paginja mereka meneruskan perdjalanan. Siau Hong jang selalu didampingi
oleh A Tji telah tjoba menanjai anak dara itu: Apakah pemuda she Yu itu masih
tinggal di Leng-tjiu-kiong"
Mulut A Tji jang ketjil itu mendjengkit, sahutnja: Siapa jang tahu"
Tentunja djuga masih disana. Kedua matanja sudah buta, masakah dia dapat pergi
dari pegunungan jang tjuram itu" Njata nadanja tetap tiada punja rasa perhatian
sedikitpun kepada Yu Goan-tji jang telah rela mengorbankan matanja bagi anak
dara itu. Petang hari itu mereka telah sampai di Pek-lok-po, sebuah kota dikaki gunung
Ngo-tay-san, disitulah pasukan2 mereka berkemah mengaso.
Hoan Hwa memang mahir ilmu siasat dan pandai mengatur barisan, sepandjang djalan
ia telah meninggalkan ber-kelompok2 kesatria jang tangkas untuk mendjaga tempat2
jang strategis, kalau ada djembatan lantas dihantjurkan untuk memperlambat
pasukan musuh bila mengedjar.
Sampai hari ketiga, tiba2 terlihat disebelah timur sana asap mengepul tinggi
mentjakar langit. Terang itulah tanda pasukan Liau sedang mengedjar kearah
mereka. Melihat itu, para kesatria kembali ber-debar2. Ada diantaranja jang sok gagah
dan suka bertempur seketika hendak memutar balik kesana untuk membantu regu2
jang ditinggalkan Hoan Hwa itu, tapi mereka keburu ditjegah oleh Hian-to dan
Hoan Hwa. Malam itu rombongan2 mereka bermalam dilereng sebuah gunung. Sampai tengah malam
mendadak mereka dikedjutkan oleh suara teriakan kaget orang.
Seketika para kesatria terdjaga bangun terus menjiapkan sendjata masing2.
Ternjata disebelah utara sana merah membara, entah benda apa jang sedang
terbakar sehingga berwudjut lautan api sehebat itu.
Siau Hong saling pandang sekedjap dengan Hoan Hwa, diam2 kedua orang sama2
merasakan alamat jang tidak enak.
Siau-tayong, menurut pandanganmu, bukankah ini pertanda pasukan Liau sedang
memutar dari djurusan sana untuk menjerang kemari" tanja Hoan Hwa.
Radja Liau memang sudah bertekad akan menjerang Song dan sedang mengerahkan
pasukannja setjara besar2an, boleh djadi ini adalah pasukannja dari bagian
utara, sahut Siau Hong. Ai, kebakaran besar itu entah telah banjak mengambil korban harta benda dan
djiwa rakjat djelata jang tak berdosa! kata Hoan Hwa dengan menghela napas.
Siau Hong tidak mau mengutjapkan kata2 djelek bagi alamatnja Yalu Hung-ki jang
masih dianggapnja sebagai kakak-angkat, tapi dia tjukup kenal watak radja Liau
itu, karena telah mengalami kekalahan dibawah serangan orang2 Nuchen, tentu
Hung-ki merasa sangat penasaran sehingga rasa dendamnja seluruhnja telah
dilampiaskan atas diri rakjat djelata jang tidak bersalah. Tentu pasukan jang
dikerahkan ini tidak kenal ampun lagi, asal ketemu orang tentu dibunuh dan kalau
melihat rumah pasti dibakarnja.
Api jang ber-kobar2 dengan hebat itu sampai fadjar sudah menjingsing masih belum
djuga padam, sampai sore harinja, kembali disebelah selatan kelihatan api menjala2 pula. Dibawah sinar matahari tjahaja api tidak begitu djelas, tapi asap
tebal tertampak mengepul tebal menembus awan.
Sebenarnja Hian-to memimpin kawan2nja berdjalan didepan, ketika melihat
kebakaran disebelah selatan itu, segera ia menghentikan kudanja dan menunggu
ditepi djalan. Sesudah Siau Hong mendekat, lalu ia bertanja: Kiau Pangtju,
pasukan Liau telah mengepung kita dari tiga djurusan, menurut pandanganmu apakah
Gan-bun-koan dapat dipertahankan" Aku sudah mengirim orang untuk menjampaikan
berita kilat ke Gan-bun-koan, tjuma sadja panglima pendjaga benteng itu mungkin
terlalu pengetjut dan tiada punja semangat tempur, boleh djadi sulit untuk
menahan serbuan pasukan berkuda orang Tjidan.
Siau Hong terdiam, ia merasa susah untuk mendjawab.
Lalu Hian-to berkata pula: Tampaknja hanja orang Nuchen sadja jang dapat
menghadapi ketangkasan orang Tjidan. Kelak bila keradjaan Song kita berserikat
dengan orang Nuchen, dengan digentjet dari utara dan selatan mungkin akan dapat
memaksa bangsa Tjidan berpikir dua kali dan tidak berani sembarangan menjerbu
keselatan. Siau Hong tahu maksud paderi Siau-lim-si itu jalah ingin dirinja berusaha
menghubungi pemimpin suku bangsa Nuchen, jaitu Wanyan Akut. Tapi demi teringat
dirinja sesungguhnja adalah orang Tjidan, mana boleh bersekongkol dengan bangsa
lain untuk menjerang bangsa dan tanah airnja sendiri"
Untuk membelokkan pokok pembitjaraan maka mendadak ia bertanja: Hian-to Taysu,
apakah ajahku baik2 sadja berada didalam kuil agung kalian"
Hian-to tertegun, djawabnja: Ajah Kiau-pangtju sudah masuk kedalam lingkungan
Budha dan menjutjikan diri diruang belakang Siau-lim-si, keberangkatan kami ke
Lamkhia kali ini tidak diberitahukan kepada ajahmu supaja tidak merisaukan
perasaannja. Sungguh aku ingin pergi menemui beliau untuk menanjakan sesuatu padanja, kata
Siau Hong. O, Hian-to tidak bersuara lebih landjut.
Aku ingin tanja kepada beliau: Djikalau pasukan Liau menjerang Siau-lim-si,
lantas tindakan apa jang akan dilakukan oleh beliau" kata Siau Hong.
Sudah tentu beliau akan berbangkit untuk menumpas musuh, membela agama dan
menjelamatkan kuil, apa jang perlu diragukan lagi" udjar Hian-to.
Akan tetapi ajah adalah orang Tjidan, apakah dia mau disuruh membela orang Han
untuk membunuh bangsanja sendiri"
Hian-to merenung sedjenak, katanja kemudian: Pangtju ternjata benar2
orang Tjidan jang telah meninggalkan kegelapan dan menudju kedjalan jang terang,
sungguh harus diberi hormat dan mengagumkan.
Taysu adalah orang Han dan selalu anggap Han adalah pihak jang terang dan pihak
Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tjidan adalah pihak jang gelap. Sebaliknja bangsa Tjidan kami memandang
keradjaan Liau jang djaja adalah pihak jang terang dan keradjaan Song adalah
pihak jang gelap. Padahal leluhur dari bangsa kami telah banjak menderita, kami
di-uber2 dan dibunuh oleh suku bangsa Sianbi dan lain2 sehingga terpaksa berlari
kian kemari untuk menjelamatkan diri, betapa sengsaranja sungguh susah
dilukiskan. Ketika keradjaan Tong negeri kalian, karena ilmu silat bangsa Han
kalian telah berkembang dengan hebat, karena itu tidak sedikit pula kesatria2
bangsa Tjidan kami mendjadi korban lagi dan banjak sekali kaum wanita kami
ditjulik dan ditawan. Sekarang ilmu silat bangsa Han kalian sudah banjak mundur,
maka berbalik bangsa Tjidan kami jang akan membunuh kalian. Djika bunuh membunuh
setjara bergilir ini berlangsung terus, bilakah baru akan berachir"
Hian-to menghela napas, katanja: Hanja kalau segenap radja2 dan penguasa2
didunia ini sudah memeluk agama Budha jang mengutamakan welas-asih kepada
sesamanja, dengan demikian barulah didunia ini takkan ada peperangan dan saling
bunuh membunuh. Ja, entah bilakah baru akan tiba saat aman dan damai bagi dunia ini, sahut Siau
Hong. Begitulah rombongan mereka terus menudju kebarat. Mereka melihat di djurusan2
timur, utara dan selatan rupanja siang dan malam pasukan Liau terus main bunuh
dan bakar dimana mereka tiba. Dengan gusar para pahlawan mentjatji-maki
kekedjaman musuh dan bertekad akan melabrak pasukan musuh dengan mati2an.
Pasukan Liau semakin dekat, achirnja kita tentu tiada djalan mundur lagi,
demikian udjar Hoan Hwa. Menurut pendapatku ada lebih baik kita pentjarkan diri
sadja agar musuh merasa bingung kemana harus mengedjar kita.
Tjara demikian bukankah berarti kita telah mengaku kalah" seru Go-tianglo dari
Kay-pang. Hoan-suma, djangan engkau membesarkan kekuatan musuh dan menilai
rendah tenaga kita sendiri. Pendek kata, apakah akan menang atau kalah, kita
harus melabrak habis2an andjing2 Liau itu.
Bitjara sampai disini, tiba2 terdengar suara mendesing, sebatang anak panah
menjambar dari arah tenggara sana dan kontan seorang murid berkantong lima dari
Kay-pang roboh terpanah, menjusul dari balik bukit sana sepasukan Liau lantas
menerdjang tiba sambil ber-teriak2.
Rupanja pasukan Liau ini telah menjusul mereka dengan memotong djalan, djumlah
pasukan ini kira2 ada 500 orang.
Serbu! teriak Go-tianglo dan segera mendahului menerdjang musuh.
Memangnja para pahlawan sudah menahan gusar dan dendam sedjak tadi, kini mereka
dapat melampiaskan perasaan mereka, segera mereka menjerbu dengan gagah berani.
Karena djumlah dipihak pahlawan2 ini lebih besar daripada pasukan Liau, ilmu
silat mereka tinggi2 pula, maka ditengah suara teriakan riuh ramai peradjurit2
Liau telah dilabrak hingga kotjar-katjir, bagaikan membatjok semangka dan
memotong sajur tjepatnja, hanja sekedjap sadja 500-an peradjurit Liau itu telah
disapu bersih oleh para pahlawan.
Ada belasan orang Bu-su Tjidan sempat mendaki bukit dan hendak melarikan diri
tapi merekapun tersusul oleh djago2 silat Tionggoan jang tinggi Ginkangnja dan
terbunuh habis pula. Setelah menangkan peperangan ini, para pahlawan sama bersorak gembira, semangat
mereka me-njala2 lebih hebat.
Tapi diam2 Hoan Hwa berkata kepada Hian-to, Hi-tiok, Toan Ki dan beberapa
pimpinan lain: Jang kita basmi ini hanja suatu pasukan Liau jang ketjil, sesudah
terdjadi kontak ini, pasukan Liau jang lebih kuat tentu akan membandjir tiba.
Marilah kita lekas mundur pula kebarat!
Baru selesai ia bitjara, mendadak terdengar suara gemuruh disebelah timur sana.
Waktu para pahlawan memandang kearah sana, tertampaklah debu mengepul tinggi
hingga mirip awan mendung jang menutupi langit.
Seketika para kesatria hanja saling pandang belaka, keadaan mendjadi sunji
senjap, hanja terdengar suara riuh gemuruh itu tambah menggelegar dari djauh.
Terang itulah pasukan induk Liau jang serentak dilarikan untuk menerdjang
kemari. Dari suaranja ini entah berapa ratus ribu djumlahnja.
Para kesatria sudah banjak mengalami pertarungan sengit didunia Kangouw, tapi
suara gemuruhnja pasukan besar dilarikan seperti sekarang ini sungguh tidak
pernah didengar mereka. Dibandingkan dengan perang diluar kota Lamkhia, terang
kekuatan pasukan Liau sekarang djauh lebih hebat dan susah ditaksir. Menghadapi
suasana medan perang sedemikian ini tanpa merasa hati para kesatria mendjadi
ber-debar2 dan kebat-kebit.
Segera Hoan Hwa berseru: Saudara2 sekalian, kekuatan musuh teramat besar,
daripada mati konjol pertjuma, biarlah kita menghindari untuk sementara, asal
gunung tetap menghidjau, tak perlu kuatir tiada kaju bakar. Marilah kita
mengundurkan diri untuk mentjari kesempatan buat menggempur kembali.
Segera para kesatria melarikan kuda mereka kearah barat dengan tjepat.
Mereka mendengar suara riuh gemuruh masih terus menggelegar dibelakang mereka
tak ber-henti2. Semalam suntuk mereka tidak mengaso, mendjelang fadjar mereka sudah dekat dengan
Gan-bun-koan. Para kesatria mengeprak kuda mereka lebih tjepat. Mereka berharap
asal dapat melintasi benteng itu, tentu pasukan Liau tidak mudah akan membobol
benteng pertahanan jang merupakan perbatasan kedua negeri itu.
Sepandjang djalan ternjata tidak sedikit kuda2 para kesatria binasa keletihan.
Maka ada jang terpaksa berlari dengan Ginkang, ada jang dua orang menunggang
satu kuda. Waktu terang tanah, djarak mereka dengan Gan-bun-koan hanja tinggal belasan li
sadja, maka legalah para kesatria. Mereka lantas melompat turun dari atas kuda,
dengan berdjalan kaki mereka memberi kesempatan kepada kuda mereka untuk
melepaskan lelah. Sebaliknja suara riuh gemuruh berlarinja pasukan besar Liau
dibelakang mereka tidaklah berkurang, bahkan bertambah hebat.
Siau Hong menurun kesebelah bukit sana. Tiba2 dilihatnja sepotong batu karang
besar. Hatinja terkesiap. Teringat olehnja inilah tempatnja dimana dahulu Hiantju dan Ong-pangtju memimpin para kesatria Tionggoan menjergap ajahnja dan
membunuh ibunja. Waktu menoleh, dilihatnja didinding karang sana masih djelas penuh bekas tatahan
sendjata. Terang itulah bekas tempat tulisan jang ditinggalkan ajahnja jang
kemudian telah dihapus oleh Hian-tju.
Pelahan2 Siau Hong berpaling pula, tertampaklah disebelah dinding karang itu ada
sebatang pohon, telinganja se-akan2 masih mendengar suara A Tju jang dahulu
sembunji dibalik pohon itu: Kiau-toaya, djangan engkau memukul lagi, nanti bukit
ini akan hantjur kena hantamanmu.
Ia ter-mangu2 sedjenak, tiba2 utjapan A Tju jang lemah lembut dengan djelas
bergema pula dalam benaknja: Sudah lima hari lima malam kunantikan engkau
disini, kukuatir engkau takkan datang. Tapi . achirnja engkau toh datang djuga.
Banjak terima kasih kepada Thian jang maha murah hati, achirnja engkau telah
datang dengan selamat. Tanpa merasa air mata Siau Hong bertjutjuran, ia mendekati pohon itu dan meraba2 batang pohon, ia melihat pohon itu sudah djauh lebih tinggi daripada waktu
pertemuannja dengan A Tju dahulu. Sungguh tak terkatakan rasa duka hati Siau
Hong, ia lupa kepada segala apa jang sedang terdjadi disekitarnja pada saat itu.
Se-konjong2 terdengar teriakan melengking seorang: Tjihu, lekas lari, lekas
mundur! Menjusul A Tji telah mendekatinja dan me-narik2 lengan badjunja.
Waktu Siau Hong mengangkat kepalanja, ia melihat dari djurusan2 timur, utara dan
selatan telah membandjir pasukan Liau dengan tumbak2 teratjung keatas sebagai
hutan bambu. Njata pasukan Liau itu merapat dalam pengepungan mereka.
Siau Hong mengangguk, katanja: Baiklah, mari kita mundur kedalam Gan-bun-koan.
Dalam pada itu kesatria2 lain sudah mendahului sampai didepan Gan-bun-koan, tapi
ketika Siau Hong dan A Tji sampai disitu, pintu gerbang benteng pertahanan itu
masih tetap tertutup rapat, tertampak air muka para kesatria penuh rasa
mendongkol dan penasaran.
Diatas benteng kelihatan berdiri seorang perwira pasukan Song dan sedang berkata
dengan suara lantang: Menurut perintah Thio-tjiangkun jang mendjadi komandan
pasukan pendjaga benteng Gan-bun-koan ini, bahwasanja bila kalian adalah rakjat
tionggoan dan mestinja boleh masuk kedalam benteng tapi entah diantara kalian
terdapat tidak mata2 musuh, maka diputuskan kalian harus membuang semua sendjata
jang kalian bawa untuk diperiksa satu persatu, sesudah terang kalian adalah
orang banjak, maka dengan kebaikan hati Thio-tjiangkun kalian nanti akan
diperbolehkan masuk benteng.
Seketika ributlah para kesatria demi mendengar otjehan perwira itu. Ada jang
berkata: Sungguh tidak pantas. Kita ber-lari2 sekian djauhnja dan melawan musuh
dengan sepenuh tenaga, tapi sampai disini malah ditjurigai lagi sebagai mata2
musuh. Ja, sebabnja kita membawa sendjata adalah karena ingin membantu kawan untuk
melawan pasukan Liau. Kalau sendjata kita dilutjuti, tjara bagaimana kita dapat
berperang lagi" demikian kata jang lain.
Bahkan ada diantaranja jang berwatak berangasan sudah lantas mentjatji-maki:
Kurangadjar! Sudah berdjoang mati2an tidak mendapat pudjian sebaliknja
ditjurigai setjara tidak beralasan. Apa benar kita tidak diperbolehkan masuk
kedalam benteng atau kita be-ramai2 mesti menjerbu sadja kedalam"
Agar urusan tidak mendjadi lebih runjam, segera Hian-to mentjegah kata2
kasar para kawan. Lalu serunja kepada perwira tadi: Harap sukalah memberi lapor
kepada Thio-tjiangkun bahwa kami semuanja adalah rakjat Song jang setia dan
berdjoang bagi negara. Pasukan musuh sekedjap lagi akan tiba, kalau mesti pakai
memeriksa dan menggeledah segala, mungkin akan berbahaja dan terlambat bagi
keselamatan kami. Rupanja perwira itupun sudah mendengar suara tjatji-maki tidak puas dari para
kesatria, pula dilihatnja banjak diantara rombongan Hian-to itu aneka matjam
pakaiannja dan tidak mirip dengan rakjat umumnja didaerah Tionggoan, maka
perwira itu lantas bertanja lagi: Hwesio tua, kau bilang kalian adalah rakjat
Song jang baik2, tapi kulihat banjak diantara rombongan itu tidak mirip dengan
orang Tionggoan kita" Namun demikian, ja sudahlah, aku akan memberi kelonggaran,
mereka jang benar2 adalah rakjat Song akan dibolehkan masuk, sebaliknja mereka
jang bukan rakjat Song kita dilarang masuk.
Untuk sedjenak para kesatria mendjadi saling pandang dengan penuh mendongkol.
Hendaklah maklum bahwa anak buahnja Toan Ki itu adalah rakjat keradjaan Tayli,
sedangkan anak buahnja Hi-tiok lebih2 tak keruan, mereka adalah gado2, tjampuran
dari berbagai bangsa, ada orang Se-ek, ada orang Se He, Turfan, Korea dan lain2.
Kalau sekarang jang dibolehkan masuk benteng hanja rakjat Song sadja, itu
berarti sebagian besar anak buah keradjaan Tayli dan Leng-tjiu-kiong tak bisa
ikut masuk kedalam. Terpaksa Hian-to membudjuk lagi: Mohon kebidjaksanaan Tjiangkun bahwa banjak
diantara kawan2 kami ini terdiri dari orang Tayli, Se He dan lain2, mereka
semuanja telah membantu kita melabrak pasukan Liau, djadi mereka adalah kawan
dan bukan lawan, mengapa mesti di-beda2kan tentang rakjat Song atau bukan"
Kiranja perdjalanan Toan Ki kedaerah utara kali ini telah dirahasiakan dengan
sangat rapat, ia tidak ingin diketahui kedudukannja sebagai kepala negara Tayli
untuk mendjaga kalau2 mendadak negerinja diserang oleh keradjaan Song atau
mungkin djuga dia akan didjebak dan ditawan sebagai sandera. Sebab itulah dalam
djawaban Hian-to itu tidak di-singgung2
tentang didalam rombongannja terdapat seorang tokoh maha penting itu.
Maka terdengar perwira tadi berkata dengan kurang senang: Gan-bun-koan adalah
gerbang terpenting diwilajah utara keradjaan Song, tempat ini merupakan kuntji
utama keselamatan negara. Tjoba lihatlah, pasukan Liau sudah tiba setjara
besar2an, kalau aku sembarangan membuka pintu sehingga memberi kesempatan kepada
pasukan Liau untuk menjerbu masuk kemari, lalu siapa jang akan bertanggungdjawab atas malapetaka jang akan timbul nanti"
Sungguh mendongkol sekali Go-tianglo, ia tidak tahan lagi, segera ia berteriak:
Kenapa kau hanja membatjot sadja sedjak tadi dan tidak lekas2
membuka pintu" Kalau kau buka sedjak tadi bukankah saat ini kami sudah didalam
benteng dan takkan menimbulkan malapetaka segala"
Perwira itu mendjadi gusar, damperatnja: Kau pengemis tua bangka ini berani
sembarangan kentut didepan tuan-besarmu" -- Dan sekali ia memberi tanda,
serentak diatas benteng muntjul ribuan peradjurit pemanah dengan anak panah
sudah terpasang dibusurnja serta mengintjar kebawah benteng.
Nah, lebih baik kalian lekas mundur sadja, lekas! Kalau rewel2 lagi tak habis2
sehingga mengatjaukan pikiran peradjurit kami, segera akan kuperintahkan
melepaskan panah, demikian perwira itu mengantjam.
Hian-to menghela napas pandjang dan tidak berdaja menghadapi perwira jang kepala
batu dan susah untuk diadjak bitjara itu.
Saat itu para kesatria berada ditengah selat Gan-bun-koan. Kedua sisi benteng
itu adalah tebing bukit jang terdjal meninggi kelangit. Sebabnja diberi nama
Gan-bun-koan atau benteng pintu burung belibis, jaitu sebagai perumpamaan bahwa
sekalipun burung belibis djika hendak terbang keselatan djuga terpaksa mesti
terbang menjusur selat bukit jang terdjal dan tinggi itu untuk melukiskan betapa
berbahajanja benteng itu.
Diantara kesatria2 dan pahlawan2 itu tidak sedikit terdapat djago silat jang
memiliki Ginkang jang tinggi, dengan mudah sadja mereka dapat mendaki bukit dan
melintas kebalik gunung sana untuk menjelamatkan diri bila dikedjar musuh, tapi
sebagian besar pahlawan lainnja tentu tak terhindar dari kebinasaan dibawah
sendjata pasukan Liau jang sebentar lagi akan membandjir tiba itu.
Sementara itu pasukan Liau sudah makin dekat, hanja karena terhalang oleh
keadaan pegunungan jang luar biasa itu, maka terpaksa mereka mesti menjempitkan
kepungan mereka dari kanan dan kiri dan achirnja terpusat mendjadi satu djurusan
terus menerdjang madju kedepan. Suara tambur bergemuruh memekak telinga. Saat
itu jang terdengar hanja suara tambur perang, suara derap larinja kuda
tertjampur suara gemerintjingnja suara pakaian perang para peradjuritnja dan
suara menderunja pandji2 tertiup angin, sebaliknja tak terdengar sama sekali
berisiknja suara manusia, dari ini dapat dibajangkan betapa tegas dan keras
disiplinnja pasukan Liau jang kuat itu.
Begitulah sebaris demi sebaris pasukan Liau terus mendesak madju kedepan benteng
Gan-bun-koan. Sesudah mentjapai djarak kira2 satu panahan, lalu barisan2 itu
berhenti. Sepandjang mata memandang, di-mana2
hanja tertampak pandji2 berkibar dan gemilapannja sendjata, entah berapa
djumlahnja pasukan Liau jang datang itu.
Melihat keadaan sudah kepepet, Siau Hong merasa tidak dapat tinggal diam lagi.
Segera ia berseru lantang: Harap para kawan tunggu sementara ditempatnja masing2
dan djangan sembarangan bergerak, biarlah Tjayhe bitjara sendiri dengan radja
Liau. Dan tanpa peduli seruan Toan Ki dan A Tji jang mentjegah maksudnja itu,
segera ia memutar kudanja dan dilarikan tjepat kearah pasukan Liau.
Siau Hong angkat kedua tangannja lurus keatas kepala sebagai tanda dia tiada
membawa sesuatu sendjata. Lalu ia berteriak sekerasnja: Sri Baginda radja Liau
jang mulia, Siau Hong ingin bitjara sedikit dengan engkau, harap engkau sudi
tampil kemuka! Dia bitjara dengan menggunakan tenaga dalam jang kuat, maka suaranja dapat
berkumandang hingga djauh. Ratusan ribu peradjurit dan perwira Liau boleh dikata
tiada satupun jang tidak mendengarnja dengan djelas. Mau-tak-mau setiap orang
Tjidan itu berubah air mukanja.
Selang agak lama, mendadak terdengar suara gemuruh tambur dan terompet ditengah
pasukan Liau, beratus ribu peradjurit Liau itu serentak menjiah kepinggir
sebagai ombak terbelah kedua sisi. Maka tertampaklah delapan buah pandji kuning
emas ber-kibar2 tertiup angin dan dilarikan kedepan oleh delapan orang kesatria
penunggang kuda. Dibelakang kedelapan pandji kuning itu menjusul barisan2 bersendjata tumbak,
golok dan kapak, pemanah dan golok-tameng. Sesudah tampil kedepan, lalu barisan2
itu memisah kedua samping. Habis itu barulah tampak belasan djenderal dengan
pakaian perang jang mentereng mengiringkan Yalu Hung-ki madju kedepan.
Serentak peradjurit2 Liau bersorak-sorai: Banswe! Banswe! (Banswe =
Hidup).Demikian bergemuruhnja suara sorakan itu se-akan2 menggetarkan lembah
pegunungan dan memetjah bumi.
Melihat perbawa musuh sedemikian hebat, keruan peradjurit Song jang mendjaga
Gan-bun-koan itu mendjadi terpengaruh dan keder.
Waktu Yalu Hung-ki mendadak angkat golok mestika jang dipegangnja itu keatas,
seketika suara gemuruh pasukannja lantas berhenti, bahkan suasana mendjadi sunji
senjap, ketjuali suara ringkik kuda jang terkadang terdengar, boleh dikata tiada
suara lain lagi. Sesudah Hung-ki menurunkan kembali goloknja, tiba2 ia berseru kepada Siau Hong:
Siau-tayong, Siau-hiante jang baik, kau bilang akan membawa pasukan Liau kedalam
benteng, mengapa sampai saat ini pintu gerbang belum lagi dibuka"
Mendengar utjapan Yalu Hung-ki ini, segera djuru-bahasa jang berada diatas
benteng lantas menterdjemahkan arti utjapan itu kepada Thio-tjiangkun, itu panglima pendjaga Gan-bun-koan.
Keruan pasukan Song diatas benteng itu lantas geger, be-ramai2 mereka mentjatjimaki dan mengutuki Siau Hong.
Siau Hong tahu maksud utjapan Hung-ki itu sengadja hendak mengadu-domba agar dia
ditjurigai oleh pasukan Song dan tidak berani membuka pintu gerbang benteng
untuk memasukkan pahlawan2 Tionggoan itu.
Segera Siau Hong melompat turun dari kudanja, ia melangkah madju sambil berkata:
Baginda, Siau Hong merasa telah mengchianati budi kebaikanmu sehingga Baginda
Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sendiri sampai madju sendiri kemedan perang, sungguh dosaku tak terbilang
besarnja. Baru sekian sadja dia bitjara, se-konjong2 dua sosok bajangan orang melajang
lewat dikedua sisinja. Begitu tjepat kedua bajangan itu sebagai kilat, terus
sadja mereka menerdjang kearah Yalu Hung-ki. Kiranja mereka adalah Hi-tiok
bersama Toan Ki. Rupanja kedua orang itu melihat gelagat tidak menguntungkan urusan hari ini,
harus berani bertindak lebih dahulu dengan menangkap radja Liau sebagai sandera
(barang djaminan), dengan demikian barulah keselamatan orang banjak dapat
terdjamin. Maka begitu saling memberi tanda, serentak mereka menerdjang madju
dari kanan-kiri. Ketika akan madju kedepan pasukan untuk menemui Siau Hong memangnja Yalu Hung-ki
djuga sudah menduga kemungkinan saudara angkat akan menggunakan tipu lama ketika
Siau Hong menawan Tjho-ong dan puteranja digaris depan waktu radja muda itu
memberontak, maka sebelumnja Hung-ki djuga sudah bersiap siaga.
Benar djuga, sekali ia memberi aba2, serentak tiga ratus peradjurit bertameng
lantas merubung madju. Tiga ratus buah tameng laksana dinding badja jang kuat
telah mengadang didepan Yalu Hung-ki. Bahkan djago tumbak, djago kapak djuga
serentak berbaris didepan barisan tameng itu.
Namun sekarang Hi-tiok bukan Hi-tiok djaman dulu lagi, dia sudah memperoleh
adjaran murni dari Thian-san Tong-lo dan Li Djiu-sui, dia telah mejakinkan pula
seluruh ilmu silat jang terukir didinding Lengtjiu-kiong, betapa tinggi
kepandaiannja sekarang boleh dikata tiada bandingannja dan dapat dikeluarkan
sesuka hatinja menurut keadaan.
Sedangkan Toan Ki sekarang djuga lain Toan Ki jang dulu, dia sudah memperoleh
antero tenaga murni Tjiumoti, betapa hebat Lwekangnja djuga susah diukur.
Apalagi kalau dia sudah keluarkan langkah adjaib Leng-po-wi-poh, biarpun
pendjagaan serapat badja djuga dapat ditembusnja.
Begitulah, maka dengan menjelinap kesana dan menerobos kesitu, dengan tjepat dan
gesit sekali Toan Ki telah merangsang madju melalui peradjurit2 bertumbak dan
berkapak, asal ada sedikit lubang sadja segera diterobos olehnja.
Para peradjurit Liau itu segera menggunakan sendjata mereka untuk membatjok dan
menusuk, tapi perbuatan mereka itu berbalik tjelaka, bukan sadja luput mengenai
Toan Ki, sebaliknja karena djarak diantara mereka sendiri terlalu dekat,
sehingga hampir seluruhnja serangan mereka mengenai kawannja sendiri.
Adapun Hi-tiok djuga lantas bekerdja dengan tjepat, kedua tangannja menjambar
kekanan dan kekiri, asal ada peradjurit Liau kena ditjengkeramnja, kontan terus
dilemparkannja keluar barisan. Sambil melempar orang ia terus mendesak madju
kearah Yalu Hung-ki. Mendadak dua perwira Tjidan menerdjang madju, dua tumbak mereka menusuk
berbareng kedadanja Hi-tiok. Se-konjong2 Hi-tiok melontjat keatas, kedua kakinja
masing2 mengindjak diatas udjung tumbak musuh. Kedua perwira Tjidan itu membentak2 sambil mengajun tumbak mereka dengan maksud hendak mendjungkirkan Hitiok kebawah. Tapi dengan memindjam daja guntjangan tumbak2 lawan, Hi-tiok terus melajang
keatas udara untuk kemudian lantas menjambar keatas kepala Yalu Hung-ki.
Djadi jang satu selitjin belut dan jang lain setjepat burung terbang, tahu2 Toan
Ki dan Hi-tiok sudah menerdjang sampai didekat radja Liau itu.
Keruan Hung-ki terkedjut, tjepat ia angkat golok-mestikanja dan membatjok kearah
Hi-tiok jang sedang menubruk dari atas.
Tapi dari atas Hi-tiok sudah lantas mengulurkan tangannja dan menahan diatas
golok-mestikanja, berbareng orangnja lantas meluntjur turun, dimana tangannja
bergerak, dengan tjepat pergelangan tangan kanan Hung-ki sudah kena dipegang
olehnja. Dan pada saat jang hampir sama Toan Ki djuga sudah menjelinap tiba dari
rintangan peradjurit2 Liau dan dapat mentjengkeram tangan kiri Hung-ki.
Ikutlah! bentak Toan Ki dan Hi-tiok berbareng. Segera mereka angkat tubuh Hungki dari atas kudanja dan melompat kedepan untuk dibawa lari setjepat terbang.
Ditengah djerit kaget dan kuatir perwira dan peradjurit Liau jang riuh ramai
itu, seketika mereka mendjadi bingung karena radja mereka sudah kena ditawan
musuh. Ada beberapa pengawal pribadi Hung-ki memburu madju hendak menolong, tapi
semuanja kena ditendang mentjelat oleh Hi-tiok dan Toan Ki.
Karena berhasil menawan radja Liau, sungguh girang Hi-tiok dan Toan Ki tak
terkatakan. Mendadak mereka melihat Siau Hong telah memapak tiba, berbareng
mereka lantas berseru: Toako!
Tak terduga mendadak Siau Hong menggerakkan kedua telapak tangannja berbareng,
sekaligus ia serang kedua saudara angkat itu. Keruan Hi-tiok dan Toan Ki
terkedjut, tampaknja daja pukulan Siau Hong sebagai gugur gunung dahsjatnja dan
susah dielakkan pula. Terpaksa mereka angkat tangan masing2 untuk menangkis.
Maka terdengarlah suara plak-plok dua kali, empat tangan beradu dan menimbulkan
angin jang menderu keras.
Kesempatan itu segera digunakan oleh Siau Hong untuk memburu madju, ia tarik
Yalu Hung-ki kearahnja. Dalam pada itu pasukan Liau dan kesatria2 Tionggoan djuga telah membandjir madju
dari arahnja masing2, jang satu pihak ingin merebut kembali radja mereka dan
pihak lain ingin membantu Siau Hong, Hi-tiok dan Toan Ki.
Sudah tentu siapapun tidak menduga bahwa mendadak Siau Hong telah mengadu
pukulan dengan kedua saudara-angkatnja. Karena itulah orang2
kedua pihak sama2 tertjengang.
Segera terdengar Siau Hong berseru lantang: Djangan bergerak, siapapun djangan
bergerak, dengarkan dulu, aku ingin bitjara dengan radja Liau!
Serentak pasukan Liau dan kesatria2 Tionggoan berhenti di tempatnja masing2,
kedua pihak sama2 kuatir membikin susah orangnja sendiri, maka mereka hanja berteriak2 sadja dari djauh dan tidak berani menerdjang madju, lebih2 tidak berani
melepaskan panah. Dalam pada itu Hi-tiok dan Toan Ki djuga telah menjingkir kira2
beberapa tindak dibelakangnja Yalu Hung-ki untuk mendjaga kalau2 radja Liau itu
lari kembali kedalam pasukannja serta untuk merintangi bila ada djago Tjidan
memburu madju hendak menolong radjanja.
Saat itu wadjah Yalu Hung-ki sudah putjat pasi, pikirnja: Watak Siau Hong ini
sangat keras, aku telah mengurung dia didalam kerangkeng berterali besi dan
menghina dia habis2an. Sekarang aku berbalik tertawan olehnja, tentu dia akan
membalas dendam se-puas2-nja dan mungkin djiwaku takkan diampuni lagi olehnja.
Tak tersangka Siau Hong telah berkata: Baginda, kedua orang ini adalah saudaraangkatku, mereka takkan membikin susah padamu, djangan kau kuatir.
Hung-ki mendengus sekali dan tidak mendjawab, ia menoleh memandang sekedjap
kepada Hi-tiok, lalu memandang sekedjap pula pada Toan Ki.
Djiteku ini bernama Hi-tiok-tju, adalah madjikan dari Leng-tjiu-kiong, dan Samte
ini adalah Toan-kongtju dari keradjaan Tayli, demikian Siau Hong memperkenalkan.
Nama2 mereka djuga pernah hamba tjeritakan kepada Sri Baginda.
Ja, ternjata tidak bernama kosong, benar2 sangat hebat! sahut Hung-ki sambil
manggut2. Kami akan segera melepaskan Sri Baginda kembali ke pasukanmu, tjuma kami ingin
mohon sesuatu dari Baginda, kata Siau Hong pula.
Hung-ki hampir2 tidak pertjaja kepada telinganja sendiri. Pikirnja: Didunia ini
masakah ada urusan sedemikian enaknja" Ah, ja, tahulah aku, mungkin Siau Hong
sudah berbalik pikiran dan akan kembali padaku, maka ia akan mohon aku
menganugrahi mereka bertiga dengan pangkat jang tinggi.
Maka dengan muka tersenjum simpul ia mendjawab: Kalian ada permohonan apa, sudah
tentu aku akan memenuhi dengan baik.
Baginda sekarang telah mendjadi tawanan kedua saudara-angkatku ini, kata Siau
Hong. Menurut peraturan bangsa Tjidan kita, untuk bisa bebas Sri Baginda harus
memberi tebusan dengan sesuatu.
Seketika Hung-ki mengerut kening. Apa jang kalian kehendaki" tanjanja.
Maafkan kelantjangan hamba jang telah mewakilkan kedua saudara-angkatku untuk
bitjara dengan terus terang, jang kami inginkan hanja suatu djandji Baginda
sadja, sahut Siau Hong. Kerut kening Hung-ki semakin rapat. Soal apa" tanjanja pula.
Kami hanja mohon Baginda suka berdjandji akan segera menarik mundur pasukanmu
dan untuk selama hidup Sri Baginda akan melarang setiap peradjurit Liau
mendekati perbatasan wilajah antara kedua negeri Liau dan Song.
Toan Ki sangat girang mendengar sjarat jang dikemukakan oleh Siau Hong itu.
Pikirnja: Asal pasukan Liau tidak melintasi wilajah perbatasannja dengan Song
dan dengan sendirinja djuga tak dapat mengantjam negeri Tayli kami.
Karena itu, tjepat iapun berseru: Ja, betul, asal kau mau berdjandji dan segera
kami akan melepaskan kau.
Tapi lantas teringat olehnja bahwa tertawannja radja Liau itu sebagian djuga
berkat tenaga sang Djiko dan entah bagaimana pendapatnja tentang sjarat jang
dikemukakan Siau Hong itu. Maka ia lantas bertanja kepada Hi-tiok:Djiko, tebusan
apa jang kau inginkan dari radja Tjidan ini"
Hi-tiok menggeleng kepala, sahutnja: Akupun mengharapkan djandjinja itu sadja.
Air muka Hung-ki tampak bersengut, katanja: Hm, kalian berani memaksa dan
mengantjam diriku" Dan bagaimana kalau aku menolak permintaanmu"
Djika begitu, tiada djalan lain, terpaksa gugur bersama, kata Siau Hong. Dahulu
waktu kita mengangkat-saudara kita djuga pernah bersumpah untuk hidup dan mati
bersama. Hung-ki tertegun. Pikirnja: Siau Hong ini adalah seorang nekat jang tidak kenal
apa artinja takut. Dia berani berkata dan berani berbuat, apa jang sudah
diutjapkan selamanja dipegang teguh. Kalau aku menolak permintaannja, djangan2
dia benar2 menjerang diriku, sungguh tjelaka djika aku mesti binasa ditangan
seorang nekat sebagai dia ini.
Karena itulah mendadak ia bergelak tertawa dan berseru dengan lantang: Dengan
djiwaku Yalu Hung-ki ini dapat menjelamatkan ber-djuta2 djiwa dari rakjat kedua
negara, haha, saudaraku jang baik, apa kau pandang djiwaku sedemikian tinggi
nilainja" Sri Baginda adalah orang jang diagungkan dinegeri Liau, diseluruh djagat ini
masakah ada orang lain jang lebih tinggi nilainja daripada Baginda" sahut Siau
Hong. Kembali Hung-ki tertawa, katanja: Djika demikian, dahulu orang Nuchen hanja
minta tebusan padaku sebanjak 30 kereta emas, 300 kereta perak dan 3000 ekor
kuda, penilaian mereka sesungguhnja terlalu dangkal, bukan"
Siau Hong membungkuk tubuh kepada kakak-angkat itu dan tidak mendjawab lagi.
Hung-ki tjoba menoleh kebelakang, tertampak djago pengawalnja jang paling dekat
djuga lebih dari puluhan meter djauhnja, betapapun pasti susah untuk menolong
dirinja. Mengingat djiwanja jang lebih berharga daripada segala benda apapun
didunia ini, terpaksa Yalu Hung-ki menerima sjarat jang diadjukan Siau Hong.
Segera ia mengeluarkan sebatang anak panah, ia angkat keatas, sekali tekuk,
krak, patahlah anak panah itu terus dibuangnja keatas tanah sambil berkata:
Kuterima sjaratmu! Banjak terima kasih, Baginda, kata Siau Hong.
Segera Hung-ki memutar tubuh dan hendak melangkah pergi, tapi tertampak olehnja
Hi-tiok dan Toan Ki masih mengawasi dirinja dengan sorot mata ber-api2 dan tiada
tanda2 mau memberi djalan padanja. Terpaksa ia menoleh lagi memandang kepada
Siau Hong, dilihatnja Siau Hong djuga diam sadja.
Maka tahulah Hung-ki apa maksud mereka, terang mereka masih kuatir kalau2
dirinja mengingkar djandji hanja dengan utjapannja tadi.
Hung-ki lantas melolos golok-mestikanja dan diangkat tinggi keatas, lalu serunja
keras2: Wahai, dengarkanlah para peradjurit dan perwira Liau!
Serentak terdengar tambur perang ditengah pasukan Liau bergemuruh ditabuh, lalu
berhenti seketika. Kemudian Yalu Hung-ki berseru pula: Sekarang djuga kuperintahkan menghentikan
peperangan ini, negeri Song dan Liau adalah negeri bersaudara, maka hari ini
djuga pasukan kita lantas ditarik mundur. Untuk selama hidupku ini aku melarang
setiap peradjurit Liau melintasi perbatasan. ~ Habis berkata, ketika golokmestikanja diturunkan, kembali tambur bergemuruh ditabuh lagi.
Dan baru sekarang Siau Hong membuka suara: Dengan hormat silakan Sri Baginda
kembali ke pasukan! Hi-tiok dan Toan Ki segera menjingkir kesamping dan memutar kebelakangnja Siau
Hong. Hung-ki merasa girang dan malu pula. Meski ia ingin lekas2 meninggalkan tempat
berbahaja itu, tapi iapun tidak sudi mempertontonkan kelemahannja didepan Siau
Hong dan pasukan kedua pihak, maka ia berlaku tenang sedapat mungkin dan
melangkah kembali kepihak pasukannja dengan pelahan2.
Segera berpuluh pengawal pribadinja melarikan kuda mereka memapak madju. Semula
langkah Hung-ki masih pelahan, tapi tanpa merasa djalannja makin lama makin
tjepat, sehingga achirnja kedua kakinja terasa lemas seakan2 djatuh, djalannja
mendjadi ter-hujung2, kedua tangannja bergemetar dan keringat memenuhi dahinja.
Ketika para pengawalnja sampai didepannja dan membawakan kuda tunggangannja,
namun sekudjur badan Hung-ki sudah lemas semua rasanja, biarpun sebelah kakinja
sudah mengindjak pelana, tapi tidak kuat mentjemplak keatas kudanja.
Tjepat dua pengawalnja menahan bahunja dan mengangkatnja keatas, dengan demikian
barulah Hung-ki dapat naik keatas kudanja.
Melihat radja mereka telah kembali dengan selamat, serentak para peradjurit Liau
ber-sorak2 lagi riuh rendah.
Dalam pada itu demi mendengar radja Liau memberi perintah kepada pasukannja
untuk mundur dan menjatakan selama hidupnja akan melarang setiap peradjurit Liau
melanggar perbatasan kedua negeri, maka baik tentera Song diatas benteng maupun
para kesatria diluar benteng djuga serentak bersorak gembira.
Semua orang tjukup kenal sifat orang Tjidan jang kedjam dan suka membunuh, tapi
selamanja dapat pegang djandji, apalagi sekarang radja Liau sendiri jang
mengumumkan djandjinja didepan pasukan kedua pihak, kalau kelak mengingkar
djandji, tentu diapun akan dipandang hina oleh rakjatnja sendiri dan tahta
keradjaannja mungkin akan guntjang.
Begitulah dengan wadjah guram Yalu Hung-ki merasa malu benar2 karena telah
memberikan djandji sebesar itu dibawah antjaman Siau Hong.
Peristiwa ini benar2 sangat menurunkan perbawanja dan memerosotkan pamor
keradjaan Liau. Tapi dari suara sorak-sorai sambutan pasukannja dapat dirasakan
pula bahwa apa jang sudah terdjadi itu ternjata tidak mengurangi dukungan para
peradjurit dan perwiranja kepadanja. Ketika ia memandang para peradjuritnja,
tertampak wadjah setiap orang bertjahaja dan ber-seri2.
Rupanja para peradjurit itu demi mendengar pasukan mereka segera akan ditarik
mundur sehingga terhindar dari kemungkinan mati dimedan perang dan tidak lama
lagi akan dapat berkumpul kembali dengan sanak keluarganja, maka mereka mendjadi
kegirangan. Maklum, sekalipun orang Tjidan gagah berani, tapi siapapun tak dapat mendjamin
akan mati-hidup setiap orang dimedan perang. Maka demi mendengar mereka akan
terhindar dari bentjana perang, dengan sendirinja mereka sangat senang,
terketjuali beberapa perwira diantaranja jang mengimpikan akan mengeduk
keuntungan dan naik pangkat dalam peperangan itu.
Diam2 Hung-ki terkesiap: Kiranja semangat peradjurit2ku djuga sudah bosan
perang, kalau aku berkeras mengerahkan mereka menjerbu keselatan, bukan mustahil
akupun akan menderita kekalahan ~ Lalu teringat pula olehnja: Orang2 Nuchen itu
benar2 sangat kurangadjar, mereka selalu merupakan antjaman dibelakang
punggungku, maka aku harus menumpas dulu manusia2 biadab itu.
Segera ia mengatjungkan golok-mestikanja keatas dan berseru: Harap Pak-ih Tayong memberi perintah, barisan belakang segera berubah mendjadi barisan muka,
kita langsung pulang ke Lamkhia!
Serentak genderang berbunji lagi dan meneruskan titah radja itu. Maka
terdengarlah suara sorak-sorai gegap gempita jang makin mendjauh dan makin
mendjauh. Ketika Yalu Hung-ki berpaling, ia melihat Siau Hong masih berdiri ditempatnja
tanpa bergerak sedikitpun, sorot matanja tampak tjemas.
Hung-ki tertawa dingin dan berseru: Siau-tayong, kau telah berdjasa besar bagi
keradjaan Song, terang hadiah besar dan kedudukan tinggi sedang menantikan
dirimu dalam waktu singkat.
Sri Baginda, mendadak Siau Hong mendjawab dengan suara keras: Sekali Siau Hong
adalah bangsa Tjidan maka untuk selamanja djuga tetap bangsa Tjidan. Hari ini
hamba telah memaksakan kehendak atas Baginda sehingga mendjadi seorang Tjidan
jang maha berdosa, untuk selandjutnja apakah Siau Hong masih ada muka untuk
hidup didunia ini! Se-konjong2 ia djemput kedua potong panah patah jang dibuang Hung-ki tadi,
sekali tenaga dalam dikerahkan, tjrat-tjrat, mendadak ia tikam ulu hati sendiri
dengan kedua potong panah patah itu.
Hung-ki mendjerit kaget dan segera memutar kudanja dan dilarikan beberapa
tindak, tapi lantas menghentikan kudanja lagi.
Kedjut Hi-tiok dan Toan Ki tak terkatakan, berbareng mereka melompat madju
sambil berteriak: Toako! Toako!
Namun kedua potong panah patah itu dengan tepat telah menantjap di ulu hati Siau
Hong. Kedua mata sang Toako tertampak terpedjam rapat, njata orangnja sudah
meninggal.
Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tjepat Hi-tiok merobek badju sang Toako dengan maksud hendak memberi pertolongan
kilat. Namun luka Siau Hong teramat parah, dengan tepat ulu hatinja tertembus
kedua potong panah patah, terang susah untuk dihidupkan lagi. Terlihat diatas
dada sang Toako sebuah kepala serigala jang menjeringai bertaring dan sangat
buas tampaknja. Hi-tiok dan Toan Ki menangis sedih dan memberi hormat terachir kepada sang
Toako. Be-ramai2 anggota2 Kay-pang djuga berkerumun madju untuk memberi hormat.
Kiau-pangtju, seru Go-tianglo sambil me-mukul2 dadanja sendiri, meski engkau
adalah orang Tjidan, tapi djauh lebih gagah dan lebih kesatria daripada orang2
Han jang tak berguna sebagai kami ini!
Para kesatria Tionggoan be-ramai2 djuga mengerumuni pahlawan pembela perdamaian
itu dan ramai mempertjakapkannja. Ada jang bertanja: Kiau-pangtju ternjata benar
adalah orang Tjidan" Djika demikian mengapa dia malah membela pihak Song kita"
Ja, tampaknja ditengah bangsa Tjidan djuga terdapat kaum kesatria dan pahlawan,
demikian kata seorang lain.
Sedjak ketjil dia dibesarkan di-tengah2 bangsa Han kita, sehingga dapat
menteladani budi luhur bangsa kita, sambung jang lain lagi.
Kalau kedua negara sudah berdamai dan dia sudah mendjadi djuru penjelamat rakjat
kedua pihak, mestinja dia toh tidak perlu membunuh diri, demikian pendapat jang
lain. Kau tahu apa" udjar kawannja. Meski dia berdjasa bagi keradjaan Song, tapi dia
telah dipandang sebagai pengchianat dinegerinja sendiri. Djadi dia membunuh diri
karena takut atas dosanja sendiri.
Takut dosa apa" Kesatria besar sebagai Kiau-pangtju masakah perlu merasa takut "
tukas kawannja tadi. Sebaliknja Yalu Hung-ki mendjadi bingung sendiri demi menjaksikan Siau Hong
telah membunuh diri. Pikirnja: Dia sebenarnja berdjasa bagi keradjaan Liau atau
berdosa " Dengan susah pajah dia telah mentjegah aku menjerang wilajah Song,
sebenarnja dia berdjoang bagi orang Han atau bagi bangsa Tjidan " Sedjak dia
mengangkat-saudara dengan aku, selamanja dia sangat setia padaku. Hari ini dia
telah membunuh diri didepan Gan-bun-koan, tampaknja bukan maksudnja karena
kemaruk kepada kedudukan di negeri Song sana, habis .... habis apa sebabnja "
Maka berderaplah beratus ribu telapak kaki kuda menudju keutara, para perwira
Tjidan ber-ulang2 masih menoleh kebelakang untuk memandang tubuh Siau Hong jang
menggeletak diatas tanah dan sudah tak bernjawa itu.
Terdengar pula suara berkaoknja burung, serombongan burung belibis sedang
terbang dari utara lewat diatas kepala pasukan tentara dan menudju keselatan
melintasi benteng Gan-bun-koan.
Makin lama makin mendjauh suara gemuruh derap pasukan Liau itu. Hi-tiok, Toan Ki
dan lain2 masih berdiri ter-mangu2 disamping djenazah Siau Hong, ada jang
menangis ter-gerung2, ada jang tjuma mentjutjurkan air mata dengan kepala
menunduk. Tiba2 terdengar djerit lengking seorang wanita muda : Minggir !
Minggir! Semuanja minggir! Kalian sudah menjebabkan kematian Tjihuku, tapi masih
pura2 menangis apa segala disini, apa gunanja "
Sambil berkata wanita muda itu sembari men-dorong2 minggir orang banjak jang
berkerumun disekitar djenazah Siau Hong. Siapa lagi dia kalau bukan A Tji "
Hi-tiok dan lain2 sudah tentu tidak pikirkan utjapan anak dara jang sebenarnja
menjinggung perasaan itu, maka mereka lantas sama menjingkir memberi djalan
kepada A Tji. Untuk sedjenak A Tji ter-mangu2 memandang djenazah Siau Hong, kemudian ia
berkata dengan suara halus: Tjihu, orang2 ini semuanja orang busuk, kau djangan
gubris pada mereka, hanja A Tji sadja jang benar2 berlaku baik kepadamu.
Habis berkata ia terus berdjongkok untuk memondong djenazah Siau Hong.
Tapi tubuh Siau Hong sangat tinggi dan besar, separo badannja terpondong, tapi
kedua kakinja tetap terseret diatas tanah.
A Tji berkata pula: Tjihu, aku tahu sekarang kau baru menurut padaku, biarpun
kupondong dirimu djuga, kau tak mendorong pergi aku lagi. Ja, harus beginilah
memangnja! Hi-tiok dan Toan Ki saling pandang sekedjap, pikir mereka: Agaknja dia terlalu
berduka sehingga pikirannja berubah kurang waras.
Lalu Toan Ki tjoba menghiburnja dengan suara halus: Adikku, setjara kesatria
Siau-toako telah gugur, orang meninggal toh tak dapat hidup kembali, hendaklah
kau... kau ... Tapi A Tji lantas mendorong minggir sambil membentak: Djangan kau merebut
Tjihuku, dia adalah milikku, siapapun tidak boleh menjentuhnja!
Toan Ki menoleh dan mengedipi Bok Wan-djing.
Wan-djing paham maksudnja dan segera mendekati A Tji, katanja dengan pelahan:
Adik ketjil, Siau-toako telah wafat, marilah kita berunding tjara bagaimana
sebaiknja untuk memakamkan dia ....
Tak terduga mendadak A Tji mendjerit tadjam sehingga Bok Wan-djing terkaget dan
tersentak mundur. Pergi! Pergi! Enjahlah semua! demikian seru A Tji. Kaum lelaki bukan manusia
baik, kaum wanitanja djuga bukan orang baik! Kau bermaksud meratjuni Tjihuku,
kau suruh dia minum arak sehingga tak bisa berkutik.
Hm, djika kau berani mendekat segera akan kubunuh kau lebih dulu.
Keruan Bok Wan-djing mengerut kening dan geleng2 kepala kepada Toan Ki.
Pada saat itulah tiba2 dilereng bukit disisi kiri benteng Gan-bun-koan sana ada
suara teriakan orang: A Tji! A Tji! Ha, aku sudah mendengar suaramu! Dimanakah
engkau sekarang" Dimana"
Suara itu kedengaran sangat memilukan hati, banjak diantara kesatria Tionggoan
itu mengenal suara orang itu, jaitu orang jang pernah mendjadi Pangtju dari Kaypang dan memakai nama samaran sebagai Ong Sing-thian, aslinja bernama Yu Goantji. Waktu semua orang memandang kearah datangnja suara, maka tertampaklah kedua
tangan Goan-tji masing2 memegangi sebatang tongkat bambu, tongkat kiri dipakai
sebagai alat pentjari djalan, tongkat kanan sebaliknja menumpang diatas pundak
seorang laki2 setengah umur dan sedang muntjul dari kelokan gunung sana.
Hi-tiok dan lain2 mendjadi ter-heran2. Waktu mereka memperhatikan silelaki
setengah umur, kiranja dia adalah Oh-lotoa jang ditugaskan mendjaga Leng-tjiukiong oleh Hi-tiok. Wadjah Oh-lotoa tampak kurus putjat, badjunja tjompang-tjamping dan
memperlihatkan sikap jang penasaran karena terpaksa.
Maka tahulah Hi-tiok dan lain2. Rupanja Oh-lotoa telah dipaksa oleh Goan-tji
jang sudah buta itu agar membawanja pergi mentjari A Tji. Bukan mustahil
sepandjang djalan Oh-lotoa telah banjak menderita siksaan Goan-tji.
Untuk apa kau datang kesini" demikian tiba2 A Tji mendamperat dengan gusar. Aku
tidak ingin melihat kau, tidak ingin melihat kau lagi!
Sebaliknja Goan-tji mendjadi girang, serunja: Ha, engkau ternjata benar berada
disini. Aku dapat mengenali suaramu, achirnja aku dapat menemukan dikau! ~ Dan
ketika dia dorong tongkatnja sedikit, tanpa kuasa lagi Oh-lotoa lantas berlari
kedepan setjepat terbang.
Tjepat sekali datangnja Goan-tji dan Oh-lotoa itu, hanja dalam sekedjap sadja
sudah sampai disamping A Tji.
Hi-tiok, Toan Ki dan lain2 sedang dalam keadaan tak berdaja, demi nampak
datangnja Yu Goan-tji, mereka pikir pemuda ini rela mengorbankan kedua bidji
matanja untuk A Tji, dengan sendirinja mereka mempunjai hubungan jang sangat
baik, maka boleh djadi pemuda buta ini akan dapat menjadarkan A Tji. Sebab
itulah Hi-tiok dan lain2 lantas menjingkir beberapa tindak lebih djauh dan tidak
ingin mengganggu pertjakapan kedua muda-mudi itu.
Maka terdengar Goan-tji telah menjapa: Nona A Tji, engkau baik2 sadja bukan" Apa
ada orang berani membikin susah padamu" ~ Meski selebar mukanja sudah rusak,
tapi dari nada utjapannja itu terang sekali dia merasa sangat girang dan penuh
perhatiannja kepada sianak dara.
Aku telah dibikin susah oleh orang lain, apa jang hendak kau lakukan"
sahut A Tji. Siapakah dia" tjepat Goan-tji menegas. Lekas nona katakan padaku,
biar aku akan menghadjarnja sampai mampus!
A Tji tertawa dingin, katanja sambil menundjuk para hadirin jang berada
disekitarnja: Itulah, mereka semuanja telah membikin susah padaku, sekaligus
boleh kau membunuh habis mereka!
Baik, sahut Goan-tji. Lalu ia bertanja kepada Oh-lo-toa: Hei, lau-Oh (Oh si
tua), orang2 matjam apakah jang telah berani membikin susah kepada nona A Tji
itu" Wah, banjak sekali djumlahnja, engkau tak sanggup membunuh mereka, sahut Ohlotoa. Biarpun tak dapat djuga akan kulakukan, kata Goan-tji. Habis, siapa suruh mereka
berani main gila kepada nona A Tji"
Tiba2 A Tji berkata lagi dengan gusar: Sekarang aku sudah berada bersama dengan
Tjihu, untuk selandjutnja kami takkan berpisah lagi selamanja. Nah, lekas
enjahlah kau, aku tak ingin melihat kau pula.
Sungguh sedih Goan-tji bukan buatan, katanja: Dja... djadi engkau tak... takkan
menemui aku lagi.... "
Ja, ja, tahulah aku, bidji mataku ini adalah pemberianmu, seru A Tji dengan
suara keras. Tjihu mengatakan aku telah utang budi kepadamu, maka aku diharuskan
melajani kau dengan baik. Tapi aku djusteru tidak suka.
Habis berkata, mendadak tangan-kanannja terus mentjongkel kedalam matanja
sendiri, terus dikorek keluar bidji matanja, lalu dilemparkannja kepada Goan-tji
sambil berteriak: Ini, kukembalikan padamu! Sedjak kini aku tidak utang apa2
lagi padamu dan Tjihu tak dapat memaksa aku mengikuti kau pula.
Meski kedua mata Goan-tji sudah buta, tapi demi didengarnja djerit kaget orang2
jang berada disekitarnja, suaranja penuh rasa kuatir dan ngeri, maka tahu djuga
dia apa jang telah terdjadi. Dengan suara parau ia berteriak: O, nona A Tji,
nona A Tji! Tapi begitu bidji mata sendiri sudah dikorek keluar, segera A Tji memondong
djenazah Siau Hong dan melangkah kedepan sambil berkata dengan suara halus
mesra: Tjihu, sekarang kita tidak utang apa2 lagi kepada siapapun. Dahulu aku
telah melukai kau dengan djarum berbisa, tudjuanku jalah ingin engkau selalu
berdampingan dengan aku. Dan sekarang barulah tjita2ku itu terkabul. ~ Sambil
bitjara ia terus melangkah semakin djauh kedepan dengan memondong djenazah Siau
Hong. Melihat darah bertjutjuran dari tjekung matanja A Tji hingga membasahi mukanja
jang putih tjantik itu, hati semua orang merasa ngeri dan kasihan pula. Maka
ketika melihat anak dara itu berdjalan mendekat semua orang lantas menjingkir
kesamping. A Tji berdjalan lurus kedepan dan pelahan2 sampai ditepi djurang.
Semua orang mendjadi kuatir dan segera ber-teriak2: Berhenti! Awas, didepan
adalah djurang jang tjuram!
Bahkan Toan Ki djuga terus memburu madju sambil berseru: Awas adikku, djang ...
~ Namun sudah terlambat, A Tji masih melangkah lurus kedepan, mendadak kakinja
mengindjak tempat kosong dan terdjerumuslah anak dara itu bersama djenazah Siau
Hong kedalam djurang jang tak terkirakan dalamnja itu.
Tepat pada saat itu Toan Ki djuga telah memburu sampai ditepi djurang tjepat ia
ulur tangannja untuk mendjambret, tapi jang kena hanja setjabik kain badju adik
perempuannja itu dan orangnja tetap terdjerumus kebawah.
Waktu Toan Ki melongok kedalam djurang, jang tertampak hanja awan belaka jang
menutup rapat dipermukaan djurang sehingga tidak diketahui betapa dalamnja
djurang itu, bajangan A Tji dan Siau Hong dengan sendirinja tak terlihat
sedikitpun. Para kesatria jang berdiri ditepi djurang semuanja ikut menghela napas gegetun,
lebih2 jang berilmu silat agak rendahan mendjadi ngeri membajangkan betapa dalam
dan terdjalnja djurang. Hian-to dan beberapa kawannja jang berusia lebih landjut, mengetahui tjerita
tentang dahulu Hian-tju, Ong-pangtju dan lain2 pernah menjergap djago2 Tjidan
diluar Gan-bun-koan dan ibunja Siau Hong djusteru terkubur didasar djurang itu.
Tak terduga bahwa beberapa puluh tahun kemudian Siau Hong dan A Tji djuga
terkubur pula didalam djurang itu.
Pada saat lain tiba2 terdengar suara genderang berbunji diatas benteng, perwira
jang menjampaikan perintah komandannja tadi sedang berseru pula kepada para
kesatria: Atas perintah Thio-tjiangkun, panglima militer benteng Gan-bun-koan,
bahwasanja kalian ternjata bukan mata2 musuh dari negeri Liau, maka kalian dapat
diidjinkan masuk benteng, tapi kalian harus taat kepada undang2 dan berlaku
sopan-santun, dilarang membikin rusuh dan mengatjaukan suasana tenteram,
hendaklah kalian maklum. Tapi para kesatria diluar benteng serentak mendjawab dengan mentjatji-maki, ada
jang berteriak: Persetan dengan perintah panglimamu itu, biarpun mati djuga kami
tidak sudi masuk kedalam benteng jang didjaga pembesar andjing matjam kalian
itu! Tjoba kalau pembesar andjing itu tidak bersikap plintat-plintut, tentu djuga
Siau-tayhiap takkan tewas seperti sekarang ini! demikian ditambahkan seorang
kesatria lain. Begitulah be-ramai2 para kesatria mentjatji-maki sambil menuding perwira diatas
benteng itu. Sedangkan Hi-tiok dan Toan Ki telah berlutut dan memberi hormat
kearah djurang, lalu pergilah mereka dengan mendaki gunung dan melintasi bukit
tanpa menghiraukan siperwira jang mentjak2
diatas benteng karena ditjatji-maki oleh para kesatria itu.
Apa jang terdjadi diluar Gan-bun-koan ini lantas digunakan baik oleh panglima
pendjaga benteng itu untuk membuat laporan kilat ke kotaradja, katanja dia telah
memimpin sendiri pasukannja dan bertempur mati2an selama beberapa hari
menghadapi pasukan Liau jang berdjumlah ratusan ribu orang, berkat lindungan
Thian dan Sri Baginda serta semangat tempur para peradjurit, perwira dan
bintara, achirnja berhasil membinasakan Lam-ih Tay-ong keradjaan Liau jang
bernama Siau Hong dan radja Liau Yalu Hung-ki kemudian mengundurkan diri dengan
kekalahan habis2an. Radja Song sangat girang mendapat laporan itu, segera ia mengirimkan firman jang
memberi penghargaan se-tinggi2nja kepada para peradjurit, perwira dan bintara,
pangkat mereka seluruhnja dinaikkan setingkat disertai hadiah2 jang besar. Para
pembesar dipemerintah pusat djuga tidak ketinggalan untuk merajakan kemenangan
itu setjara besar2an. Sementara itu Toan Ki telah ambil perpisahan dengan Hi-tiok ditengah djalan,
bersama Bok Wan-djing, Tjiong Ling, Hoan Hwa, Pah Thian-sik dan lain2, mereka
lantas pulang ke Tayli. Setiba didalam wilajah negeri Tayli, djauh2 tjalon permaisuri Ong Giok-yan dan
para pembesar sudah menantikan dan menjambut mereka. Ketika Toan Ki bertjerita
tentang Siau Hong dan A Tji, Giok-yan mendjadi terharu dan menangis, semua
orangpun ikut berduka. Rombongan mereka terus menudju keselatan, karena Toan Ki tidak ingin membikin
kaget kepada penduduk setempat maka rombongannja tidak mengenakan pakaian
kebesaran, tapi tetap menjamar sebagai kaum saudagar dan orang pelantjongan.
Sepandjang djalan tiada terdjadi apa2, achirnja sampailah mereka diluar kotaradja Tayli. Toan Ki ingin pergi ke Thian-liong-si lebih dulu untuk menjampaikan
sembah bakti kepada Koh-eng Taysu dan paman bagindanja, Toan Tjing-bing.
Tatkala itu sudah mendjelang magrib, hari sudah mulai gelap. Ketika lalu
disebuah hutan didekat Thian-liong-si, tiba2 ditengah hutan itu terdengar suara
teriakan seorang anak ketjil: Sri Baginda, Paduka Jang Mulia, nah, aku sudah
menjembah padamu, mengapa aku tidak diberi permen"
Toan Ki dan lain2 mendjadi ter-heran2. Mengapa ditempat ini, bahkan seorang anak
ketjil dapat mengenali penjamarannja.
Tanpa merasa rombongan mereka lantas membelok kedalam hutan itu untuk melihat
siapakah sebenarnja anak ketjil itu. Tapi mendadak terdengar pula seorang sedang
berkata: Kalian harus berseru: Dirgahajulah! Semoga Sri Baginda hidup bahagia
dan pandjang umur! Habis itu barulah akan kuberi permen.
Suara orang itu terdengar sudah sangat dikenal mereka. Itulah Bujung Hok adanja.
Toan Ki dan Giok-yan terkedjut, tjepat kedua orang bergandeng tangan dan
bersembunji dibalik pohon sambil memandang kearah datangnja suara itu. Maka
tertampaklah Bujung Hok sedang duduk diatas sebuah kuburan, kepalanja memakai
kopiah radja buatan dari kertas dan sikapnja dibikin keren.
Didepannja ada tudjuh atau delapan orang anak kampung sedang berlutut dan beramai2 lagi mengutjapkan: Dirgahaju! Sri Baginda bahagia, pandjang umur!
Sambil ber-teriak2 tak keruan menirukan apa jang diadjarkan Bujung Hok tadi
sambil tiada hentinja menjembah, malahan sudah ada jang mendjulurkan tangannja
sambil berkata: Mana permennja" Mana permennja"
Terdengar Bujung Hok telah mendjawab: Para pengabdiku, silakan bangun.
Sekarang keradjaan Yan kita sudah kubangkitkan kembali dan aku sudah naik tahta,
dengan sendirinja para pengabdiku akan mendapat gandjaran jang setimpal menurut
djasa masing2. Lalu ia merogoh keluar segenggam permen dan di-bagi2kan kepada anak2
ketjil tadi. Anak2 itu ber-djingkrak2 kegirangan sambil berlari pergi, semuanja ber-teriak2:
Besok kita akan datang minta permen lagi!
Maka tahulah Giok-yan bahwa pikiran sang Piauko sudah tidak waras lagi karena
Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gila hormat dan mengimpikan mendjadi kaisar, tapi tak terkabul.
Sungguh hati Giok-yan tak terkatakan dukanja.
Pelahan2 Toan Ki menarik tangan sang kekasih, ia memberi isjarat tangan dan
semua orang lantas mundur keluar hutan setjara diam2.
Bujung Hok terlihat masih duduk diatas kuburan tadi dan mulutnja tampak
berkomat-kamit tak ber-henti2 entah sedang mengotjeh apa ..........
Tamat 153 Dendam Manusia Paku 2 Pendekar Cambuk Naga 13 Utusan Lembah Kubur Pedang Darah Bunga Iblis 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama