San Pek Eng Tay 4
San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt Bagian 4 "Masa aku tidak ingat," sahut gadis itu. "Ini tempat dulu kita bertemu dan menjalin persahabatan." "Tetapi telah bertambah dengan tanaman ini," kata si pemuda. "Inilah pohon yang ku tanam dengan tanganku sendiri. Tunggu, akan ku petik dua kuntum." Habis berkata demikian, Eng Tay lantas menghampiri pohon mawar itu, yang tumbuhnya di luar tempat perhentian, di bawah undak-undakan. Namun apa lacur, ia berjalan cepat, tanpa terasa ia salah menaruh kaki. Tidak ampun lagi, ia terjatuh! San Pek kaget bukan-kepalang, dia menjerit keras. Ia maju, ia lari menghampiri, maksudnya untuk menolong. Disambarnya tangan si gadis, terus ditariknya dengan sekuat tenaga. Bersamaan dengan itu, telinga si anak muda mendengar, suara keras di sisinya: "San Pek! San Pek! Jangan kau tarik-tarik tanganmu sendiri!" Itulah suara Kho-si, sang ibu. San Pek membuka matanya, ia tercengang. Ternyata ia telah bermimpi bertemu dengan Eng Tay, sang kekasih. Ia memegang dengan keras dan menarik tangan kirinya sendiri. Sang ibu sedang duduk di sisi ranjang. Ia mengawasi putranya. "Kau kenapa, Nak?" tanyanya. "Tak apa-apa, Ma," jawab putranya. "Aku hanya bermimpi...." "Kau bermimpi apa?" "Anak mimpikan Eng Tay," jawab putranya, terusterang. "Mimpi itu karena hati, karena kenangan, sebaiknya jangan terlalu kau pikirkan," kata ibunya yang sangat menyayangi putranya itu. Tepat di saat itu, Su Kiu muncul. Ia mengabarkan perihal datangnya utusan keluarga Ciok. "Ma, ada orang suruhan keluarga Ciok datang!" kata San Pek. "Siapakah dia" Lekas tengok!" Ia pun segera menyingkap selimutnya, lalu duduk. Kho-si tahu bagaimana kerasnya keinginan putranya, ia lantas pergi ke luar. Di ruang dalam, Su Kiu terlihat bersama seseorang yang sedang membawa barang, yang telah diletakkannya. Saat itu juga, Ciu Po muncul sesudah diberitahu. Lantas saja sang abdi memperkenalkan: "Tuan Besar.... Ini kakak Ong Sun!" Pesuruh dari keluarga Ciok itu, memang Ong Sun. Ia memberi hormat seraya berkata: "Nona kami tahu bahwa Tuan Muda Nio sakit. Ia mengirim saya, Ong Sun, untuk menjenguk. Nona telah bicara dengan ibunya, terus saya diperintahkan membawa barang ini kesini. Harap Bapak sudi menerimanya." "Oh, Nyonyamu baik sekali" kata Ciu Po. "Mana berani aku menolaknya." Sewaktu Kho-si pun muncul, Su Kiu memperkenalkan Ong Sun kepadanya. Ong Sung sebaliknya segera memberi hormat pada sang nyonya rumah. Kho-si lantas melihat barang kiriman Ciok Eng Tay, yang terdiri dari buah eng-toh, buah pipa, buah pir, daging asin, ayam panggang asap serta tujuh atau delapan bungkusan yang lain. Ia kagum hingga berseru: "Oh, semua ini makanan untuk orang sakit! Terima kasih!" "Semua ini tidak berarti, Nyonya," kata Ong Sun. "Di mana Tuan Muda Nio sekarang" Nona saya berpesan agar saya menjenguknya." "Oh, ia masih menghendaki kamu menjenguknya?" kata Kho-si. "Mari ikut aku!" Dan sang nyonya mengajak Ong Sun masuk ke kamar San Pek. Si anak muda sedang duduk di atas pembaringannya. "Oh, kau, Ong Sun!" dia mendahului menyapa. "Ya, Tuan Muda," jawab Ong Sun sambil memberi hormat. Di dalam hati ia sangat terharu. Si anak muda sangat kurus, wajahnya pucat, bibirnya kering. "Nona berpesan agar Tuan Muda merawat diri baik-baik. Nona pun menyampaikan beberapa jenis buah-buahan dan makanan untuk Tuan Muda." Su Kiu pun lantas muncul bersama barang-barang kiriman Eng Tay, untuk diperlihatkan pada majikannya. "Sampaikan terima kasihku pada Nonamu," kata San Pek. "Barangkali ada pesan lainnya?" "Semua barang ini dikirim sepengetahuan Nyonya Besar kami," kata Ong Sun. "Nona minta agar Tuan Muda merawat diri baik-baik. Tetapi ketika saya hendak berangkat, Gin Sim menitipkan sepotong sapu-tangan merah, katanya dari Nona, buat Tuan Muda. Katanya juga, kalau Tuan Muda menerima ini, Tuan Muda akan mengerti sendiri." Sambil berkata begitu, Ong Sun merogoh sakunya untuk mengeluarkan barang tersebut yang segera diangsur-kannya pada si anak muda. San Pek menyambut sapu-tangan itu yang jelas adalah barang lama tetapi masih baru. "Aku maklum," katanya perlahan. "Sampaikan pada Nona, penyakitku ini mungkin tak akan sembuh. Aku ingin menulis surat balasan, namun hari ini aku tak dapat menulis, tubuhku lemas sekali, maka itu sampaikanlah pada Nona bahwa aku sudah mengerti. Ya, kami tahu sama tahu...." Ong Sun meng-iya-kan. Ia mengerti keadaan si anak muda, terus ia mohon diri. Setelah memberi hormat, ia mengundurkan diri. Barang antaran tadi dibawa ke luar lagi oleh Su Kiu. Di dalam kamarnya, San Pek bermain-main dengan sapu-tangan Eng Tay. Selama itu ia tidak berkata apa-apa. Tidak lama kemudian.... Ong Sun muncul lagi. Tadi, di luar, ia disuguhi hidangan tengah hari, setelah itu ia datang lagi untuk pamit. San Pek mengangguk padanya. Ia mengerti, sulit bagi si anak muda berkata-kata, maka segera ia memberi hormat, terus mundur untuk segera pulang. Malam itu, sehabis makan bubur, San Pek tampak agak segar. Saat itu ia ditemani ayah dan ibunya. Ia berkata pada kedua orangtuanya: "Pa, Ma, penyakitku ini sudah parah sekali. Aku mohon maaf, inilah tanda tidak berbaktinya aku. Sudah tidak ada jalan untuk sembuh, maka itu, harap Papa dan Mama memaafkan putramu ini. Pa, setelah aku menutup mata, ku minta dikuburkan di Ow-kio-tin dan kuburannya menghadap ke sungai Yong. Di samping itu, anak minta dibuatkan dua batu nisan, yang satu berbunyi 'Makam Nio San Pek', yang lainnya, 'Makam Ciok Eng Tay'. Percayalah, tidak lama lagi, kata-kataku ini akan ada buktinya. Mengenai barangbarangku, hanya ada satu yang harus ku bawa. Itulah sepasang kupu-kupu kemala hadiah dari Ciok Eng Tay. Sekarang kupu-kupu kemala itu ada di tubuhku...." "Anakku, sungguh kau tidak beruntung," kata Ciu Po, ayahnya. "Bagaimana jadinya, orang berambut putih mengantarkan orang berambut hitam" Inilah nasib yang harus disesalkan dalam kehidupan manusia.... Baiklah, Nak, pesanmu akan Papa wujudkan, tetapi mengenai kedua batu nisan, rasanya sukar dilaksanakan. Ciok Eng Tay adalah anak gadis keluarga Ciok, ia juga masih berada di antara kita, maka kalau kita membuatkan nisannya, apa kata orang banyak nanti" Bukankah itu janggal" Lagi pula, pihak Ciok barangkali tidak senang...." "Hal itu tidak ada halangannya, Pa," kata San Pek. "Papa buatkan saja. Nanti, di saat batu nisan itu dipasang di kuburanku, batu nisan atas nama Ciok Eng Tay, Papa pendam saja di samping kuburanku...." "Kalau nisan dikubur, apa artinya itu" Apa gunanya?" "Tentang itu, tak usah Papa pusingkan...." "Baiklah, Nak" kata ayahnya dengan tegas. "Akan Papa jalankan pesanmu!" Selagi ayah dan anak itu berbicara, Kho-si diam saja, ia hanya mendengarkan, akan tetapi kedua matanya berkaca-kaca, airmatanya berlinang. Ia tidak dapat menangis ataupun berkata-kata. "Ma, jangan menangis," kata San Pek. "Ma, anak belum lagi pergi...." Sang ibu mengusap air-matanya. "Ya," katanya perlahan. "Tetapi kau harus tahu, Mama hanya mengharap, agar kau hidup terus. Nak, dengan kata-katamu ini, apakah masih ada harapan bagi yang sudah tua ini...?" Pilu rasa hati San Pek mendengar keluhan ibunya itu, airmatanya lantas saja mengalir hingga membasahi bantalnya. Ia menutupi wajahnya dengan bantal itu. Ciu Po menyelimuti tubuh putranya. Dengan saputangan diusapnya airmata putranya itu. "Nah, Nak, sekarang tidurlah," kata ayahnya kemudian sambil menepuk-nepuk pembaringan dengan perlahan. Itu sama saja dengan menepuk-nepuk tubuh anaknya. "Semoga kau dapat tidur nyenyak agar besok keadaanmu lebih baik. Biarlah Su Kiu menemanimu." San Pek meng-iya-kan sambil mengangguk. Kho-si turut bicara, tetapi dia hanya bertanya: "Ketika Su Kiu menemani tidur, aku pernah dua atau tiga kali menengok ke mari, Su Kiu tahu atau tidak?" Su Kiu yang berada di luar kamar, terdengar menjawab: "Pernah juga saya tidak tahu, Nyonya Besar." Abdi ini jujur, ia mengaku terusterang. "Kalau begitu, mulai malam ini kau harus berjaga," pesan Ciu Po si majikan. "Baik, Tuan Besar," jawab sang abdi. Ayah dan ibu itu pun lantas ke luar dari kamar. Hari-hari lewat tanpa ada perubahan pada diri Nio San Pek, ia tetap tidak mengalami kemajuan. Tidak demikian halnya di hari keempat, di saat jauh tengah hari, di kala sinar sang surya telah condong ke tembok sebelah timur rumah keluarga Nio. Di saat itu San Pek sedang tidur melayap. Ia melihat seberkas cahaya pelangi berwarna lima, yang serta-merta berubah menjadi apa yang dinamakan "Thay Ow Cio" - Batu Telaga Thay- dan yang segera berubah lagi. Di bagian tengah batu itu, yang sangat tinggi dan besar, mendadak terbuka sebuah pintu bagaikan mulut gua. Mula-mula tampak segumpal awan, yang perlahan-lahan mengapung naik. Sekonyong-konyong, dari pintu itu muncul wanita-wanita berdandanan dayang keraton. Mereka itu menggapai-gapai seraya memanggil: "Mari, mari! Mari lekas naik ke langit!" San Pek, di sana, melihat seorang wanita mirip Ciok Eng Tay. Ia menatapnya dengan tajam. Kemudian hendak ia panggil gadis itu, tetapi tiba-tiba ia mendusin. Yang ada di depannya sekarang hanyalah ayah-ibunya, bertiga bersama Su Kiu. Ia merasa heran sekali. "Pukul berapa sekarang?" tanyanya. Ciu Po menengok ke luar. "Sudah lohor," sahutnya. San Pek memperhatikan ayahnya itu. "Papa," katanya, "dapatkah aku memperoleh keikhlasan Papa dan Mama berdua, bila aku menutup mata, agar dikubur di Ow-kio-tin?" Nio Ciu Po tertegun. Airmatanya mendadak berlinang. "Dapat, Nak," sahutnya cepat. "Dapat Papa lakukan itu...." "Terima kasih, Pa!" kata San Pek. "Maafkan aku, aku tidak dapat turun dari ranjang untuk menjalankan penghormatan, aku mengangguk saja dari atas ranjang ini...." Selesai berkata demikian, benar saja ia miringkan kepalanya. Kho-si tidak dapat berkata-kata, hanya airmatanya bercucuran. Ia mendekati pembaringan, mengawasi putranya dengan airmata berlinang-linang. Ia menangis tersedu-sedu.... "Su Kiu, ke mari...." ujar San Pek memanggil abdinya. "Ada apa, Tuan Muda?" tanyanya. "Aku menyesal, selama tujuh-delapan tahun kamu mengikutiku, aku tidak dapat berbuat apa-apa untukmu," kata sang majikan. "Tetapi aku percaya Papa dan Mamaku tidak akan menyianyiakanmu, maka, kau jangan khawatir...." "Ya, Tuan Muda...." jawab abdi itu. Tangisannya membuat ia tak dapat berkata lebih jauh. "Sekarang aku hendak berpesan satu kali lagi," kata San Pek lagi. "Kalau aku telah tiada maka kau tak usah membantu mengurus hal lain di sini, tetapi kau harus segera pergi ke dusun Ciok untuk menyampaikan berita. Kau katakan pada gadis itu, jenazahku tidak akan segera dirawat, akan menunggu kedatangannya untuk pertemuan sekali lagi, pertemuan yang terakhir. Kalau Nona Ciok mendengar berita ini, dia pasti akan datang...." Su Kiu tidak dapat menjawab, ia hanya tersedu-sedan, tetapi ia mengangguk. San Pek berkata pula dengan lemah. "Papa... Mama... Pa, tadi Papa mengatakan bahwa sekarang sudah lohor, maka sekarang aku hendak pergi...." Sang ibu kaget sekali. Ia menubruk. "Tidak! Tidak...!" teriaknya. "Kau tidak boleh pergi...." San Pek mengulurkan kedua tangannya, memegangi tangan ayah dan ibunya, ia memegangnya erat-erat. Beberapa detik, ia tak dapat membuka mulutnya. Tetapi kemudian, dengan lemah, dapat juga ia, berkata: "Aku menyesal tidak dapat berbuat apa-apa untuk Papa dan Mama, aku sangat menyesal. Mengenai pernikahanku, harap Papa dan Mama ikhlaskan, itu bukan hanya urusan Papa dan Mama saja, itu adalah masalah anak laki-laki dan anak perempuan. Ku harap Papa dan Mama memaklumi. Papa dan Mama dapat mengerti, tidak demikian dengan kedua orangtua keluarga Ciok. Pa, Ma, mereka itu kalah dengan kekuasaan, mereka mencintai kemasyhuran yang kosong. Pa, Ma, sekian saja katakata putramu...." Suara terakhir San Pek hampir tak terdengar, tenaga di sekujur tubuhnya berangsur-angsur lenyap, napasnya pun perlahan-lahan menghilang. Ciu Po dan Kho-si memegangi tangan putranya itu sampai mereka merasakan denyut nadinya berhenti.... 17 Pertemuan Terakhir NIO San Pek telah berpulang, keluarga Nio tenggelam dalam duka yang amat sangat. Tetapi Ciu Po teringat pesan putranya, segera ia berkata pada Su Kiu: "Kau jangan pikirkan urusan di sini, segera kamu naik kuda dan pergi ke dusun Ciok untuk menyampaikan pesan Tuan Mudamu. Katakan padanya, ini soal pertemuan terakhir, karenanya jenazah San Pek tidak segera ku urus...." Su Kiu, dalam kedukaannya, menerima perintah itu. "Bila kamu naik kuda, mungkin kamu tiba di sana tengah malam," kata sang majikan pula. "Kalau demikian, jangan segera mengetuk pintu, tetapi tunggu sampai terang tanah. Lihat saja, kapan kau dapat pulang kembali." "Baik, Tuan Besar, besok malam pasti abdimu sudah dapat pulang," kata Su Kiu, yang terus saja mengundurkan diri untuk segera memulai pejalanannya. Abdi ini menjalankan tugasnya dengan sungguhsungguh dan cerdik. Ia tiba di dusun Ciok mendekati fajar. Ia beristirahat dulu di perhentian. Setelah terang, barulah ia menghampiri pintu rumah keluarga Ciok. Ia dikenal baik oleh pengawal pintu maka segera saja ia diajak masuk, sedang kudanya diurus oleh orang lain. Ia pun diantar sampai ke bawah loteng Hwe Sim Law, persis di saat Gin Sim muncul dengan membawa setangkai bunga. Gin Sim tertegun. "Eh, Kakak Su Kiu!" tegurnya. "Kau datang pagi sekali! "Ya, sejak tadi, menjelang fajar," jawab Su Kiu. "Bagaimana dengan Tuan Muda Nio?" tanya Gin Sim segera. "Apakah dia baik-baik saja?" Su Kiu memperhatikan paras sangat berduka. "Ia telah tiada," sahutnya perlahan. "Inilah sebabnya aku datang ke mari...." Gin Sim terperanjat hingga bunga di tangannya terlepas dan jatuh ke lantai. "Oh...," serunya. "Tuan Muda Nio meninggal...." San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Su Kiu menjalankan tugasnya, segera ia minta Gin Sim menyampaikan pesan kepada majikannya. Tetapi Gin Sim masih berkata: "Hari ketika Tuan Muda Nio muntah darah, aku telah mendapat firasat buruk sedangkan tadi malam sesudah pukul tiga pagi, Nonaku tiba-tiba mendusin dalam keadaan kaget, hingga aku turut terbangun. Aku berharap hari ini akan datang berita bahwa Tuan Muda Nio sudah sembuh. Oh, tak disangka, ia justru meninggalkan kita semua untuk selama-lamanya...." "Ah, sudahlah, lebih baik lekas kabarkan Nonamu, kata Su Kiu. "Sabar," sahut si kawan, "sebentar setelah aku mengajak Nona naik ke loteng, baru kau bicara dengannya. Kau bicara dengan tenang. Jika tidak, Nona bisa kaget, roboh serta menangis. Kalau Tuan Besar dan Nyonya Besar tahu, itu tidak baik...." Su Kiu mengerti, ia menurut dan menunggu. Gin Sim mengusap air-matanya, terus ia berlalu. Setiba ia di kamar si majikan, Eng Tay persis akan ke luar. Gadis ini heran melihat abdinya tidak membawa apaapa. "Mana bunganya?" tanyanya, kemudian. Gin Sim menggelengkan kepala. "Mari kita naik ke loteng, Non," katanya. "Ada kabar penting." Bahkan abdi ini segera berjalan mendahului. Eng Tay heran, ia menerka-nerka. Tak biasanya abdinya berlaku seperti ini, namun ia mengikuti. Setibanya di loteng, Gin Sim memandang si majikan, yang sikapnya masih biasa-biasa saja. "Ada berita mengenai Tuan Muda Nio," kata abdi ini kemudian. "Apakah dia sudah sembuh?" tanya gadis itu. "Sekarang Su Kiu ada di bawah loteng, kalau Nona tanyakan dia, Nona akan mengerti," kata abdi itu, yang tidak mau sembarang bicara. "Kalau begitu, suruh dia naik ke mari," perintah Eng Tay, sepasang alisnya berkerut. Gin Sim pergi ke mulut tangga. "Su Kiu!" panggilnya. Su Kiu muncul dengan cepat. Di depan Eng Tay, ia berlutut memberi hormat. "Apakah Tuan Muda Nio sudah sembuh?" tanya nona rumah tak sabar. "Tenang, Tuan Muda," jawab Su Kiu. "Sebenarnya, Tuan Muda Nio kami telah berpulang tadi malam...." Eng Tay kaget bukan main, hingga ia harus memegang meja erat-erat. Wajah pun lantas berubah menjadi pucat-pasi. "Ia meninggal?" tanyanya, menegaskan. "Benar Tuan Muda, tadi malam," jawab Su Kiu. Eng Tay jatuh terduduk di kursi, airmatanya segera mengucur deras. Ia menangis tersedu-sedu. Beberapa lama, ia diam saja. Su Kiu bangkit dan berdiri terpaku, ia pun menangis. Gin Sim, dengan air-mata berlinang-linang, menghampiri majikannya. "Sudahlah Nona, tenanglah," katanya. "Masih ada yang ingin disampaikan Su Kiu...." Eng Tay mengusap airmatanya, ia mencoba menenangkan diri. "Katakanlah, apa pesan Tuan Muda Nio sebelum tiada?" "Di saat Tuan Muda menghembuskan napas terakhir, aku ada bersamanya," kata Su Kiu, "tetapi setelah ia tiada, aku segera berangkat ke mari untuk menyampaikan kabar. Tuan Muda hanya berpesan, sebelum jenazahnya diurus, dia menantikan kedatangan Nona untuk pertemuan yang terakhir." Mendadak saja, Eng Tay bangkit berdiri. "Ya, aku pergi! Aku pergi!" katanya. "Lekas siapkan kereta...!" "Tetapi, Non," kata Gin Sim, "kalau kita pergi, Tuan Besar dan Nyonya Besar perlu diberi tahu lebih dulu...." "Tetapi," kata Eng Tay, "bagaimana kalau Papa dan Mama melarangku...?" "Namun, Non," kata Gin Sim, "tanpa memberitahu Tuan Besar dan Nyonya Besar, siapa berani menyiapkan kereta ataupun joli?" "Baiklah, aku mengerti," kata Eng Tay. "Sekarang juga aku akan menemui Papa dan Mama. Kalau Papa dan Mama mengizinkan, aku pergi, jika tidak, aku rela mati demi Kakak Nio!" "Tenanglah, Non " kata Gin Sim. "Kita lihat dulu...." "Kalau begitu, baiklah, mari kita pergi bersama," kata Eng Tay, yang masih dapat menenangkan diri. "Su Kiu, kau tunggu di bawah loteng." Su Kiu meng-iya-kan, ia menuruni loteng. Eng Tay yang didampingi Gin Sim segera pergi ke kamar kedua orangtuanya. Kong Wan dan Teng-si baru selesai berdandan. Teng-si heran melihat kedatangan putrinya, bahkan gadis itu tampak habis menangis. "Ada apa, Nak, pagi-pagi kau kelihatannya tidak senang?" tegur ibunya "Baru saja datang utusan keluarga Nio yang mengabarkan bahwa Nio San Pek telah meninggal dunia," sahut Eng Tay langsung. Teng-si terperanjat. Juga Kong Wan. "Ah, dia meninggal dunia?" tanya ayah dan ibunya itu. "Bersama San Pek aku tinggal selama tiga tahun, kami sudah seperti saudara," kata putrinya, "maka dari itu sekarang, setelah ia meninggal dunia, aku hendak pergi menjenguknya. Kini aku datang memberitahu." Kong Wan dan Teng-si, yang duduk bersebelahan, tampak heran. "Apa" Kau hendak menjenguknya?" tanya ayahnya. "Benar, Pa!" jawab putrinya, singkat. "Nak, janganlah berpikir yang tidak-tidak," kata ayahnya lagi. "Kau harus ingat, kau adalah anakku, kau adalah seorang gadis terhormat, bahkan, kau adalah calon menantu keluarga Ma Thay-siu! Juga, tidak seharusnya kau sembarang keluar rumah! Di samping itu, putra keluarga Nio itu mati muda, itulah pertanda keluarga yang tidak beruntung. Tidak, Nak, kau tidak boleh pergi!" "Tetapi, Pa, Aku ini senasib," kata Eng Tay. "Dia tidak beruntung, aku lebih malang lagi! Pa, terpaksa aku harus pergi!" Suara gadis itu keras dan mantap. "Nak, apakah kau tidak takut jika keluarga Ma nanti menyalahkan kita?" kata ayahnya lagi. Eng Tay mengawasi ayahnya. Ia melihat di jendela tergantung sebuah gunting yang tajam, disambarnya gunting itu dengan tangan kanannya, dan digunakannya untuk mengancam. Ia berkata. "Sebaiknya Papa izinkan aku pergi! Kalau tidak, gunting yang ada di tanganku ini akan ku tikamkan ke tubuhku, di hadapan Papa!" Teng-si kaget bukan kepalang. "Jangan Nak!" jeritnya. "Letakkan gunting itu! Kalau kau mau juga pergi, pergilah! Jangan kau gunakan gunting itu...." "Tetapi Papa belum memberi izin," kata gadis itu seraya berpaling pada papanya bagaikan orang yang menantikan keputusan hakim. "Baiklah!" kata Kong Wan. "Kau boleh pergi tetapi ada tiga syarat!" "Apa tiga syarat itu, Pa?" "Pertama-tama ku larang kau berpakaian berkabung," kata ayah yang kolot itu. "Kedua, kau harus membawa beberapa pengikut. Dan ketiga, kau harus lekas pergi dan lekas pulang! "Baik Pa, ketiga syarat Papa ku terima semua!" kata putrinya, yang hatinya lega. "Tetapi aku hendak mengajak Gin Sim. Yang lainnya, boleh Papa kirim siapa saja." "Bagus, Nak!" kata Teng-si, si ibu yang juga lega hatinya. "Sekarang pergilah tukar pakaian! Kau, Gin Sim, kau ikut Nonamu. Di sepanjang jalan, kau harus melayani dan menjaganya baik-baik!" "Baik, Nyonya Besar," janji si abdi. Eng Tay melepaskan guntingnya, terus ia kembali ke kamarnya. Su Kiu, yang menanti di bawah loteng, segera juga memperoleh berita. Sambil menunggu, ia pergi bersantap. Eng Tay bertukar pakaian, lalu ia siapkan pakaian lainnya. Ia tidak memakai kembang dan pita merah di rambutnya, juga tidak memakai bedak. Segera saja ia telah ke luar dan terus naik kereta yang sudah tersedia. Gin Sim turut serta dengan membawa sebuah buntalan. Ada dua orang lain yang ikut, yaitu kusir kereta, dan Ong Sun yang menunggang kuda. Su Kiu, dengan kudanya, berjalan di depan. Perjalanan dilakukan terus-menerus tanpa istirahat, malah diusahakan secepat mungkin. Maka, tidak lama kemudian sampailah mereka di depan pintu rumah keluarga Nio. Eng Tay, sebelum turun dari kereta, mengenakan lebih dulu pakaian putih dan juga membungkus rambutnya dengan sapu-tangan putih. Gin Sim turun lebih dulu untuk membantu nona majikannya turun dari kereta. Su Kiu sudah berlari mendahului untuk memberi kabar tentang datangnya tamu. Maka, pintu depan pun lantas dibentangkan dan beberapa bujang sudah menantikan untuk menyambut. Mereka kagum melihat sang tamu, seorang gadis ayu sekalipun berdandan serba putih, pakaian berkabung. Nio Ciu Po dan Kho-si menyambut tamunya di depan pintu. Su Kiu mendekati Eng Tay sambil berkata: "Kedua orang tua ini adalah Tuan Besar dan Nyonya Besar." Eng Tay melihat tuan rumah yang berbaju biru dan berjanggut putih serta parasnya mirip paras San Pek. Kho-si mengenakan baju abuabu, dia tidak menangis tetapi pada wajahnya tampak bekas airmata. Suami-istri tua itu menyambut tamunya dengan ramah. Di pihak lain, mereka kagum menyaksikan kecantikan si gadis. "Nona, kau sediakan diri untuk datang dari tempat yang jauh, banyak terima kasih!" kata Ciu Po. Demikian juga kata-kata nyonya rumah. Eng Tay segera memberi hormat, bahkan ia memegang erat-erat tangan Kho-si sambil berkata perlahan: "Kedatanganku tidak ada gunanya, Paman dan Bibi. Terima kasih, Paman dan Bibi telah menyambut aku." "Ini sudah seharusnya, Nona," kata Ciu Po. "Bahkan kau kenakan pakaian berkabung, Nona," kata Kho-si juga. "Kalau San Pek di dunia sana mengetahui hal ini, betapa bersyukurnya dia. Mari, mari kita masuk ke dalam!" Nyonya rumah ini melangkah masuk sambil memegangi tangan tamunya. Eng Tay mengikuti. Ciu Po dan Gin Sim mengiringi mereka. Tiba di dalam, Eng Tay melepaskan tangannya dari pegangan nyonya rumah. "Maafkan Eng Tay yang telah lancang masuk ke mari," katanya. "Silakan Paman dan Bibi duduk, aku hendak memberi hormat!" Ciu Po dan Kho-si hendak menolak, tetapi tidak dapat. Bahkan Su Kiu sudah lantas membawakan guderi kecil untuk orang berlutut guna menjalankan penghormatan. Suami-istri itu pun duduk dan Eng Tay lantas menyembah, menjalankan penghormatannya. Beberapa bujang yang menyaksikan upacara itu berkata: "Pantas, pantas, tamu datang dari tempat sejauh seratus li, dia demikian tulus, selayaknya dia memperlihatkan hormatnya!" Eng Tay menyembah empat kali, setelah berdiri, ia menyuruh Gin Sim melakukan hal yang sama. Ciu Po dan Kho-si sangat terharu dan bersyukur sekaligus kagum. Nona tamu itu sangat tahu tata cara. Mereka sangat menyukainya. Setelah itu Eng Tay bicara. "Kakak Nio San Pek tiada sejak kemarin, ia belum dirawat, bukan?" demikian tanyanya. "Memang belum, Nona," jawab Ciu Po. "Segala sesuatunya sudah siap, kami hanya menantikan kedatangan Nona. San Pek ingin sekali melihat Nona sekali lagi...." "Bapak, panggil saja aku tit-li" kata Eng Tay, yang lebih suka dipanggil tit-li, atau 'keponakan perempuan', daripada dipanggil 'nona'. "Jangan panggil aku nona. Sekarang aku ingin melihat Kakak San Pek, siapa yang akan mengantarkan aku?" "Baik, tit-li" kata Ciu Po. "Mari ikut aku." Eng Tay mengangguk, ia lantas mengikuti. Setibanya di ruang dalam, di luar dan di dalam kamar serta di lantai, banyak lilin putih menyala sebagai pengganti pelita penerang jalan. Di lantai, tubuh San Pek rebah kaku, ia mengenakan baju biru. Di sekitarnya terhampar daun pisang, bahkan seprei dan bantal kepalanya juga memakai lapisan daun serupa. Hanya kopiahnya, tetap kopiah kaum pelajar. Wajahnya tampak seperti orang hidup dan matanya masih terbuka. Jari-jari kedua tangannya yang dilonjorkan, menggenggam sepasang kupu-kupu kemala. Segera juga Eng Tay lari menghampiri tubuh yang sudah tak dapat bergerak itu. Ia malah menjerit. "Kakak San Pek, aku datang menemuimu! Kau tahu apa tidak...?" suaranya parau. Setelah itu airmatanya bercucuran. Ia berlutut di samping tubuh sang 'kakak', ia mengangguk-angguk empat kali. Gin Sim, tanpa disuruh lagi, turut membungkuk empat kali juga. Ketika itu Kho-si datang menyusul. Airmatanya berlinang-linang. Dengan suara parau ia berkata: "San Pek, Anakku, bagaimana kau bisa mendapatkan adik angkat seperti Ciok Hian-tnoy ini" Nak, ia datang menjengukmu...!" Kata-kata nyonya rumah ini membuat semua orang yang berada di situ menangis tersedu-sedu. Tak dapat lagi mereka menahan rasa haru hati, mereka. Mereka juga sangat mengagumi sang tamu itu.... "Kakak San Pek, mengapa matamu masih menatap saja?" tanya Eng Tay. "Inilah yang membuat kami bingung dan berduka," kata Ciu Po, sang ayah. "Aku rasa, tit-li, ia tentu sedang menantikan kedatanganmu. Ia ingin bertemu satu kali lagi...." "Kakak Nio, Kakak Nio!" kata Eng Tay memanggilmanggil, seraya berlutut di sisi tubuh si pemuda. Ia pun lantas menangis. "Kakak Nio, pertemuan kita di tempat perhentian dan bersekolahnya kita bersama-sama selama tiga tahun, ku anggap sebagai saat-saat yang paling bahagia selama hidup kita, maka siapa sangka bahwa dalam Buku Pernikahan tak ada nama kita berdua. Aku pernah membayangkan bahwa pada suatu hari di depan kita, ada barisan musik berkumandang, di belakang kita ada iring-iringan kereta terhias kembang, mengantarkan kita dengan segala kebahagiaan ke rumahmu. Siapa duga sekarang, aku datang dengan pakaian berkabung; dalam satu malam seratus li aku jalani hanyalah untuk menyembahyangimu. Oh, Kakak mengapa kedua matamu masih belum dirapatkan juga" Mungkinkah kau masih berat berpisah dari ayah dan ibumu, kau belum ikhlas meninggalkan mereka?" Sambil berkata begitu, dengan gerakan tangan yang lemah-lembut, Eng Tay meraba dan mengusap mata sang kekasih. Ia pun menangis dengan sangat berduka. "Kalau benar demikian, Kak, baiklah kau tak usah khawatirkan," kata si gadis pula. "Bukankah Kakak masih punya sanak-keluarga, keponakan umpamanya" Pasti mereka dapat merawat kedua orangtuamu itu...." Masih saja gadis itu menangis dan tetap saja kedua mata San Pek terbuka. Kembali Eng Tay mengusap-usap mata kekasihnya itu. "Oh, Kakak," kata gadis itu lagi, "mungkinkah kau tak dapat meninggalkan guru San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kita serta teman-teman sekolah di Ni San" Atau, apakah kau menyesal tidak akan ada orang yang berkabung untukmu" Atau, apakah mungkin karena kepandaianmu yang kau bawa pergi secara sia-sia belaka...?" Tidak ada jawaban apa pun juga untuk keluh-kesah itu. Ya, San Pek telah berpulang. Mana ia dengar, mana ia tahu" Betapa pilu hati Eng Tay. Ia tersedu-sedan. "Kak... Oh, Kakak," ratapnya lagi, kemudian, "Kak, apakah kau tidak rela meninggalkan Ciok Eng Tay, Adikmu ini" Oh, Kakak..." Persis gadis itu berkata demikian, tangannya merasakan gerakan lembut kelopak mata San Pek, dan terus saja mata itu menutup. Eng Tay kaget, ia menjerit, ia menangis kencangkencang. "Oh, Kakak!" teriaknya. "Kak, kau tak ikhlas meninggalkan Adikmu ini! Aku juga, si adik, mana rela ditinggal-kanmu" Pantas bila untuk kuburanmu di Ow-kio-tin kau siapkan dua buah batu nisan. Itulah jalan untuk umum, di tepi sungai yang mengalir. Kak, suatu hari Adikmu ini akan menemui kau di sana.... Di dalam Buku Pernikahan tidak tercantum nama kita berdua, akan tetapi nama kita akan kekal abadi beribu-ribu tahun; sampai mati pun, akan ku perjuangkan! Ya, pasti nama kita akan tercatat juga dalam buku itu! Kak, hendak ku beritahukan, aku pasti bukan orang keluarga Ma, juga tak sudi aku tinggal di rumah keluarga Ma itu! Kak, rohmu masih belum pergi jauh, kau tahu, para malaikat menjadi saksi dan Kakak mendengarnya sendiri...." Begitu gadis itu mengakhiri kata-katanya, kedua mata San Pek pun terpejam rapat. Jelas rohnya mendengar dan mengetahui, maka rela juga ia pergi.... Eng Tay menangis, meratap, namun ia masih dapat menguasai diri. Akhirnya ia menoleh pada nyonya rumah, dan berkata: "Nah, Bibi, Kakak San Pek telah memejamkan matanya. Adakah yang masih Bibi inginkan lagi?" Kho-si menahan kesedihannya. "Kau baik sekali, tit-li," katanya."Dari jauh kau sengaja datang ke mari. Kau pasti letih sekali, mari kita istirahat sebentar...." "Tidak, Bibi, tidak, tit-li tidak letih" jawab Eng Tay. "Hanya hatiku gelisah melihat kupu-kupu kemala pemberianku masih tergenggam di tangan Kakak San Pek.... Mana bisa aku istirahat?" Kembali gadis itu menangis. "Biar bagaimana, tit-li" kata Ciu Po, "kau harus beristirahat dulu barang sejenak, kau telah melakukan perjalanan jauh dan menahan kantuk. Sekarang kami akan menukar pakaian San Pek agar ia bisa lekas dimasukkan ke peti jenazah. Sebentar, setelah selesai upacara, tit-li sekalian boleh terus pulang...." Melihat sikap tuan dan nyonya rumah yang demikian prihatin, akhirnya Eng Tay menurut. Ia melihat Gin Sim, dan juga Su Kiu, yang berdiri di luar pintu, maka ia berkata pada abdi San Pek itu: "Su Kiu, pergilah kau ajak Gin Sim melihat-lihat rumahmu ini!" "Baiklah, Non," kata Su Kiu. "Gin Sim, ke mari!" Gin Sim menurut. Ia telah mendengar perkataan nona majikannya. "Sayang Tuan Muda Nio telah tiada. Kalau tidak, aku senang tinggal di sini," kata Gin Sim setelah ia diajak berjalan-jalan mengelilingi rumah. "Eh, ya, di mana itu Ow-kio-tin?" Su Kiu menjawab pertanyaan itu, ia menerangkannya. "Baiklah," kata Gin Sim kemudian. "Nanti kita bicara lagi, sekarang aku hendak melayani nonaku." Su Kiu meng-iya-kan. Ia mengantarkan sang sahabat ke dalam, kemudian ia sendiri pergi beristirahat. Di dalam, Gin Sim melihat nona majikannya sedang duduk terpaku disisi jendela. Kho-si menemaninya sambil berbaring di ranjang. Airmata keduanya masih belum juga kering. "Ke mana saja Su Kiu mengajakmu?" tanya Eng Tay kepada abdinya. "Ke sekitar rumah ini," sahut si abdi. "Bagaimana pendapatmu?" "Sempurna segala pengaturan Tuan Besar." Eng Tay menarik napas. "Non, sebaiknya Nona istirahat," kata Gin Sim. "Segera akan fajar...." "Ya, aku tahu. Bibi pun telah menasihati. Tetapi, bagaimana aku bisa istirahat?" "Gin Sim, pergilah bersantap dulu," kata Kho-si. "Setelah itu, kau pun boleh istirahat." "Bibi benar," kata Eng Tay. "Memang kita perlu istirahat." Waktu itu, si Li-so muncul. Maka Kho-si menyuruhnya mengantarkan Eng Tay beristirahat. Gadis itu mengikuti setelah ia bicara dengan Kho-si perihal Su Kiu dan Gin Sim. Sang kala berjalan terus, segera tiba saatnya jip-bok, upacara pemasukan jenazah San Pek ke dalam keranda. Kho-si dan Eng Tay muncul dengan mata yang basah. Saat itu, mereka tampak benar seperti mertua dan menantu. Semua anggota rumah telah berkumpul. Tubuh San Pek masih berada di lantai. Eng Tay, dengan pakaian berkabungnya, berlutut di sisi San Pek. "Kak, hari ini hari pertemuan kita yang terakhir," kata gadis itu sambil menangis, "kalau sebentar Kakak masuk dalam peti, kita tak akan dapat bertemu pula. Maaf, Kak, aku tak dapat berbuat apa-apa untukmu. Sedih aku melihat Kakak tak rela meninggalkan ayah dan ibumu. Dan kepandaianmu, kau tinggalkan setengah jalan...." Berkata demikian, EngTay mendekam seraya menggenggam erat-erat tangan San Pek yang didekatkannya ke bibirnya untuk diciumi, seraya berkata pula dengan sedih: "Kak, mengapa kau membungkam saja, sepatah kata pun tak ke luar dari mulutmu?" Tepat di waktu itu pemimpin upacara berkata: "Nona Ciok, silakan mengundurkan diri, sudah tiba saatnya jenazah masuk peti!" Segera juga tiga orang tamu wanita menghampiri Eng Tay untuk membantu membangunkannya dan mengundurkan diri. Mereka berkata: "Sudahlah, Nona janganlah kau terlalu bersedih...." Empat orang pun maju akan mengangkat tubuh San Pek dan memasukkannya ke dalam peti jenazah. Maka di saat itu riuhlah tangisan para hadirin, khususnya Ciu Po dan Kho-si, terlebih-lebih lagi Eng Tay. Selang beberapa saat, barulah ruang itu menjadi sepi dan sunyi. Masih satu kali lagi, Eng Tay menjerit: "Kakak San Pek...!" 18 Habis Sabar BUKAN kepalang kaget dan repotnya ketiga tamu wanita yang mendampingi Nona Ciok. Tak kuat hati Eng Tay, ia jatuh pingsan. Beberapa waktu barulah ia sadarkan diri. Masih saja ia memanggil-manggil: "Kakak San Pek, Kakak San Pek...." Kho-si menghampiri gadis itu untuk menghiburnya. "Tit-li sudahlah," katanya, "jangan kau terlalu bersedih. Ingat, kau pun masih harus melakukan perjalanan pulang sejauh seratus li..." "Apakah Kakak San Pek sudah masuk keranda?" tanya gadis itu. Dia telah lupa karena pingsannya itu. "Sudah, Nak," jawab Kho-si. "San Pek tidak beruntung, jangan kau pikirkan dia...." "Sekarang tit-li hendak menghormatinya untuk yang terakhir kali," kata Eng Tay kemudian. "Setelah itu, saya hendak pulang. Gin Sim siapkan bungkusan kita." "Telah saya serahkan pada Ong Sun, Non," jawab si abdi. "Dalam bungkusan kita itu ada dua gulung kertas putih," kata Eng Tay. "Itulah syair yang ku buat selama di Hang-ciu untuk Kakak San Pek, bawalah ke mari. Mulai hari ini, aku tak akan menggubah syair lagi!" Gin Sim menurut, ia menghampiri Ong Sun untuk mengambil syair itu. Eng Tay kemudian menanyakan Kho-si, apakah segala persiapan untuk sembahyang sudah selesai. "Sudah," jawab Kho-si. Ciu Po pun membenarkan kata istrinya itu. Orang tua ini sangat cemas ketika tadi menyaksikan gadis itu, tamunya, pingsan. Segera juga semua orang berkerumun di ruang depan, ruang tempat jenazah San Pek disemayamkan. Meja sembahyang pun sudah siap. Maka Eng Tay segera memasang hio, ia bersembahyang sambil berlutut. "Kak," kata gadis itu kemudian, "selesai sembahyang, Adikmu akan segera berangkat pulang. Tak dapat aku berdiam lama-lama di sini. Akan tetapi di Hwe Sim Law sana, aku harap rohmu suka sering berkunjung. Di saat hujan dan angin, maupun langit cerah dan terangbenderang, aku akan selalu berdoa untukmu...." Setelah gadis itu berdiri, Gin Sim menyerahkan syair yang diambilnya. Eng Tay menerimanya, lantas dibawanya ke api lilin untuk disulut, sambil berkata lagi: "Kakak San Pek, Adikmu membakar syair ini untukmu. Di dalam syair ini, masih ada kata sambutanmu. Kak, mulai hari ini, Adikmu tidak akan mengarang syair lagi!" Demikianlah, dua gulung syair itu segera berubah menjadi abu. Kemudian Eng Tay menoleh pada abdinya seraya bertanya: "Gin Sim, apakah kereta sudah-siap?" "Sudah, Non," sahut Gin Sim-. Eng Tay mengangguk. Segera ia menghampiri Ciu Po dan Kho-si. Dipegangnya erat-erat tangan Nyonya Nio dan berkata: "Bibi, saya bendak pulang. Harap Bibi jangan terlalu bersedih dan rawatlah diri baikbaik...." Kho-si mengangguk, ia tak dapat berkata-kata saking terharunya. Eng Tay menghadapi meja sembahyang, jenazah San Pek, untuk kembali memberi hormat sambil menjura lagi. Katanya, perlahan, suaranya serak: "Kakak San Pek, aku pulang...." Kembali ia menangis. "Tit-li sudahlah, jangan menangis lagi," ujar Ciu Po menghibur. "Kereta sudah menanti di luar." Eng Tay mengusap airmatanya dengan sapu-tangan, terus ia menghadapi semua orang, memberi hormat, untuk berpamitan. Setelah itu, ia melangkah ke luar. Ciu Po dan Kho-si mengantarkan. "Tit-li, maaf, kami tidak menyuruh Su Kiu mengantarmu," kata Ciu Po. "Memang tidak perlu, Paman," kata Eng Tay. "Tit-li pun didampingi dua orang saya. Bila ada kesempatan, Su Kiu boleh sewaktu-waktu datang berkunjung. Nah, Paman dan Bibi, harap baik-baik merawat diri!" Kedua orangtua itu, tuan dan nyonya rumah, mengangguk sambil menyahut: "Ya." Mereka mengawasi, terharunya bukan kepalang. Mereka merasa kasihan, mereka menyesalkan karena sang dara tak beruntung menjadi menantunya.... Eng Tay dan Gin Sim menghampiri kereta mereka, lalu mereka menaikinya. Sebentar kemudian, mereka sudah menghilang dari pandangan. Sewaktu kereta mulai berangkat, Gin Sim melihat Su Kiu masih berdiri terpaku di bawah pohon, mengawasi keberangkatannya... Ong Sun, di atas kuda, mengikuti kereta. Di tengah perjalanan, kereta berhenti sejenak. Eng Tay turun dari kereta untuk menukar pakaian berkabungnya. Setelah itu, perjalanan pulang dilanjutkan. Perjalanan pulang ini berlangsung lebih lambat daripada perjalanan pergi. Maka, ketika tiba di rumah, tiba saatnya kentongan yang kedua. Ong Sun masuk lebih dulu, dengan demikian Ciok Kong Wan dapat menyambut kedatangan putrinya. Ia melihat bagaimana wajah sang putri tampak bekas airmata tetapi ia tak menanyakan apa-apa. Eng Tay langsung masuk ke kamarnya. Keesokan paginya, setelah bangun tidur, ia membersihkan diri dan berdandan seperti biasa. Tetapi akhirnya, ia duduk termenung saja. Selanjutnya, selama tiga hari ia terus berdiam diri. Kong Wan dan istrinya tidak dapat berbuat apa-apa, mereka membiarkan putri mereka menanggulangi sendiri pikirannya yang berat itu. Suatu kali, Gin Sim berkata pada nona majikan: "Berdiam secara begini tidak ada gunanya, lebih baik Nona pergi ke loteng, membaca buku di sana. Atau, Nona membuka jendela, memandangi taman atau kolam.... Sekarang musim panas, di waktu tengah hari hawa udara kering sekali." Eng Tay setuju, maka ia naik ke loteng. Benar saja, dengan membentangkan jendela, hatinya menjadi agak lapang. Di kejauhan, ia melihat pemandangan yang luas. Pada suatu lohor, Eng Tay membuka jendelanya dan melihat ke luar. Nun jauh disana, tampak dua orang sedang berjalan: satu laki-laki, satu perempuan. Mereka menapaki jalan kecil. Usia mereka mungkin baru tiga puluh tahun. Mereka memikul kayu bakar. Selagi berjalan mendatangi, terdengar, suara si lelaki: "Hari mulai panas, kita harus cepat tiba di pasar. Setelah menjual kayu kita membeli kacang hijau, untuk dimasak dengan nasi. Kau setuju?" Si wanita menjawab: "Baik! Kita harus membeli juga dua potong kue buat kedua mustika kita di rumah!" Eng Tay terkesan sekali mendengar ucapan kedua orang itu, yang jelas adalah suami-istri, bahkan mempunyai dua anak yang mereka sebut "mustika." Betapa rukun dan beruntungnya pasangan itu, sekalipun mereka berasal dari keluarga miskin. Gadis itu berpikir keras, dan akhirnya ia merebahkan diri di ranjangnya. Masih saja ia merenung. Ia terkenang pertemuannya dengan San Pek di lotengnya, 'Hwe Sim Law' yang berarti 'Hati Bertemu'. Bukankah itu bermakna, pertemuan hatinya dengan hati si pemuda" Tiba-tiba.... San Pek, berjubah biru, tampak mendaki loteng. Cepat-cepat Eng Tay bangkit dan menyambutnya, ia tertawa dan berkata: "Kakak Nio, aku justru sedang mengenangmu! Kau dari mana saja?" San Pek menghampiri, ia menggenggam tangan gadis itu dan berkata. "Adikku telah meminta agar rohku sering berada di sini. Ketika Adikku sedang mengenangku aku sedang berjalan-jalan di luar Hwe Sim Law...." Sekonyong-konyong Eng Tay teringat bahwa San Pek sudah meninggal dunia. Ia lantas berkata: "Walaupun Kakak telah meninggal dunia, akan tetapi Kakak tetap seperti masih hidup...!" San Pek bertepuk tangan. Ia berkata: "Mana aku mati" Aku mati hanya untuk mengelabuhi kamu, Dik. Aku sedang membangun sebuah rumah loteng yang indah di luar dusun Ciok...." Eng Tay tercengang mengawasi si pemuda. "Oh, kau sedang membangun loteng yang indah?" tanyanya. "Benar!" Eng Tay berkata: "Aku hanya khawatir banyak orang yang mengetahui sehingga mereka bisa menghalangimu. Antara lain... keluarga Ma!" San Pek tertawa. Ia berkata: "Ada banyak orang pun tidak mengapa! Mari, ikutlah aku!" Eng Tay membiarkan sebelah tangannya dipegangi dan ditarik si pemuda. Tetapi justru ketika ia mau melangkah, tiba-tiba ia mendengar: "Non, airnya sudah dingin!" Ia terkejut, ia menoleh, dan ia mendusin. Ternyata ia telah bermimpi, ia masih berbaring di ranjang. Di sisinya, Gin Sim sedang berdiri dengan secawan air teh di tangannya. "Aku bermimpi," kata sang nona majikan. "Tuan Muda Nio dengan setangkai bunga sedang menantikan aku...." Berkata begitu, nona majikan ini menerima cawan teh dan lantas meneguk isinya. San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Ia menghirup dua kali. Setelah mengembalikan cawan itu pada abdinya, ia duduk berdiam diri. Akan tetapi, otaknya bekerja. "Mimpi ini aneh," katanya lagi, kemudian. "Mungkin besok Su Kiu datang." "Tidak aneh, Non, mimpi itu biasa saja," kata si abdi. Ia tahu bahwa nona majikan itu terlalu banyak berpikir karena bersusah hati. Eng Tay membungkam, namun ia berpikir. Lohor hari berikutnya, benar-benar Su Kiu muncul. Gin Sim menyambutnya dengan berkata: "Kakak Su Kiu, Nona berkata bahwa esok lusa kau akan datang, eh, hari ini kau benar-benar muncul!" Su Kiu membuka tudungnya, ia berkata: "Ini mungkin adalah kedatanganku yang terakhir. Tolong sampaikan pada Nona, aku datang untuk menyampaikan kabar." Ia kemudian merogoh sakunya. Gin Sim mengangguk, lantas ia ajak tamunya masuk, terus naik ke loteng. Ketika itu. Eng Tay sedang duduk berdiam diri. Ia tergerak melihat Su Kiu. "Oh, Su Kiu, kau datang!" tegurnya. "Ya, sengaja untuk menjenguk Tuan Muda," jawab abdi itu. "Apakah penguburan Tuan Mudamu sudah selesai?" "Sudah." "Di mana dikuburnya?" "Tentu saja di Ow-kio-tin." "Apakah mudah membeli tanah di Ow-kio-tin?" "Kami punya sanak di sana sehingga pembelian tanah mudah saja." "Di sebelah manakah letak makamnya?" "Di ujung timur laut," sahut Su Kiu. "Di situ ada satu tempat yang disebut Kiuliong-hi Ceng-to-guan" 29 "Bukankah Kiu-liong-hi itu berdekatan dengan Sungai Yong?" "Benar. Letak kuburan di sebelah barat laut. Kalau kita berbicara di makam, orang di atas perahu dapat mendengarnya." "Ya, aku tahu. Ada berita apa lagi?" "Seusai penguburan, setelah pulang, Tuan Besar memerintahkan hambamu ini segera berangkat ke mari guna memberi kabar pada Tuan Muda. Lainnya tidak." Eng Tay diam sejenak. "Baiklah, aku sudah tahu semua. Sekarang kau ikut 29 Menurut kitab Kang Hie Kin Koan, sebelum meninggal dunia, San Pek berpesan agar dikuburkan di Kiu-liong-hi, Sekarang di tempat tersebut, Kiu-liong-hi, ada kuburan serta juga kuil San Pek dan Eng Tay. Gin Sim, seusai bersantap, kau boleh pulang." Su Kiu meng-iya-kan, ia mengucapkan terima kasih, kemudian memberi hormat dan terus mengundurkan diri. Eng Tay melangkah ke samping lotengnya. Ia membuka jendela lebar-lebar dan memandang ke sebelah timur. Awan putih tampak mengapung di segala penjuru, pohon-pohon semua berdaun hijau. "Ya, kuburan Kakak San Pek berada di sebelah sana," katanya dalam hati. "Ia tentu sedang menantikan orang membukakan pintunya." Ya, Eng Tay termenung, termenung terus.... Han-hari musim panas terasa lebih panjang. Pada suatu hari. Teng-si teringat akan anak gadisnya. Ia menduga-duga, apa saja yang sedang dilakukan putrinya. Eng Tay terbiasa mengurung diri di loteng. Apakah dia selalu membaca bukunya" Apakah dia masih suka membentang jendela menatap langit" Musim gugur akan segera tiba, maka keluarga Ma akan segera datang menyambut gadis menantunya.... "Baiklah, akan ku lihat dia," pikir sang ibu. Lantas ia mengajak Kiok Ji naik ke Hwe Sim Law untuk menemui putrinya. Ternyata putrinya itu tidak sedang menyulam atau menjahit, tidak juga membaca buku atau menulis. Sebaliknya gadis itu sedang berdiri di depan jendela, matanya menatap hampa ke depan.... "Nak, kau sedang mengawasi apa?" tegur Teng-si. Eng Tay menoleh. Mendengar suara ibunya, barulah ia tahu bahwa ibunya datang menengoknya. "Oh, Mama datang," katanya. "Tidak, Ma, tidak ada apa-apa yang dapat dipandang. Hari ini hawa udara menyengat sekali, pikiranku tidak tenang, maka ku buka jendela, berharap akan mendapat angin segar." Sang ibu mendekati, ia duduk di sisi jendela, turut memandang jauh ke luar. Matahari sedang memancarkan cahayanya yang putih. "Hawa begini panas, Nak," kata ibunya kemudian, "kalau kau tidak membaca buku, kenapa kau tidak menjahit atau menyulam?" "Menjahit atau menyulam, Ma?" tanya gadis itu. "Hari demikian panas, mana bisa?" Tiba-tiba ia tertawa dan berkata lagi: "Sulamanku sudah cukup banyak...." Ibu itu terkejut. "Aku mengerti pikiranmu, Nak," kata ibu ini kemudian. "Pastilah kau selalu terkenang akan Nio San Pek, teman sekolahmu selama tiga tahun. Akan tetapi, sudah berselang dua bulan Nio San Pek meninggal dunia. Kau hendak menemui dia, kau telah diizinkan pergi. Tetapi sekarang, kau tidak boleh lagi mengingat dia...." Eng Tay masih saja berdiri, bersandar pada jendela. "Tidak, Ma, tidak bisa," jawabnya. "Benar ia sudah meninggal dunia, akan tetapi teman sekolahku ini masih hidup, belum mati... Gunung boleh tinggi, air boleh panjang, namun gunung dan air akan hidup bersama selama-lamanya...." Melihat putrinya masih tetap berdiri, Teng-si berkata pada Kiok Ji: "Ambilkan kursi buat duduk Nonamu. Kami hendak bicara lebih jauh...." Pelayan itu menurut, ia membawa kursi yang ditaruhnya di belakang gadis itu. "Non, silakan duduk," katanya perlahan. Eng Tay berpaling, mengawasi abdi itu. Ia mengangguk tetapi tidak mau duduk. Kiok Ji tidak berani berkata apa-apa, ia berdiri saja di samping jendela. Teng-si memperhatikan putrinya itu lalu berkata: "Di luar jendela itu, apa ada yang bagus dipandang" Kau masih berdiri saja, Nak." Mendengar kata-kata majikannya itu, Kiok Ji tersenyum. "Mari kita bicara, Nak," kata Teng-si lagi kemudian. "Tidak lama lagi hawa udara akan berubah menjadi sejuk. Setelah perubahan hawa itu, keluarga Ma akan datang menyambut gadis menantunya. Maka, jika nanti, keadaannya akan tetap begini Anakku, rasanya ada kekurangannya.... "Aku tidak kenal keluarga Ma, Mama!" Sang ibu menatap putrinya. "Nah, inilah yang kurang tepat dari kau, Nak," katanya. "Kalau tiba hari yang ditentukan nanti, keluarga Ma mengirim kereta pengantin, apakah kau masih tetap tidak mau pergi?" Di luar dari kebiasaannya yang lemah-lembut, Eng Tay memperdengarkan suara di hidung. "Hm, apa masih ada yang ingin ditanyakan lagi" katanya. "Aku tidak kenal keluarga Ma, sekiranya mereka mengirim kereta berhias untuk menyambut pengantin, peduli apa" Karena tidak ada hubungan antara aku dan mereka, maka pasti aku tidak akan mempedulikannya! Kalau mereka tidak berhasil menyambut orang, biar mereka cari majikannya sendiri!" Panas hati sang ibu mendengar perkataan putrinya itu, kedua matanya terbelalak. Ditatapnya gadis itu tetapi akhirnya ia bisa juga menguasai dirinya. Malahan ia tertawa. "Benar, memang mereka dapat mencari majikannya sendiri," katanya. "Tetapi majikannya itu adalah kepala sebuah keluarga, dan si kepala keluarga itu dapat memperlihatkan pengaruhnya. Mulutnya itu dapat mengeluarkan perintah-perintah untuk memaksamu pergi!" Eng Tay mengebut debu di papan jendela dengan ujung bajunya. Bersamaan dengan suara kebutannya itu, dari mulutnya pun keluar kata-kata ini: "Aku tidak mau pergi! Kalau si majikan mau menggunakan aturan rumahtangganya, menghendaki aku mati, aku boleh segera mati karenanya! Tetapi untuk memaksaku pergi ke rumah keluarga Ma, sekalipun raja mengeluarkan firmannya, aku masih tetap tidak mau pergi!" Teng-si bangkit berdiri. "Inikah kata-katamu?" "Ya, kata-kataku!" jawab Eng Tay. Ketika itu Gin Sim berada di bawah loteng. Mendengar pembicaraan antara ibu dan anak itu, ia merasa gelisah. Segera ia naik tangga loteng. Dari jauh ia sudah mengedip-ngedipkan mata pada Kiok Ji, maka mereka berdua menghampiri ibu yang sedang naik pitam itu. Mereka menghadang di depan si nyonya. "Nyonya Besar, jangan marah," kata Gin Sim. "Nona masih muda, ia tidak bisa bicara!" Teng-si berdiam, tetapi dengan sorot matanya yang tajam ia menatap putrinya itu. "Mama tidak mau bicara lagi denganmu!" kata ibunya. "Dua hari lagi, akan menemui kau untuk bicara dengamu! Mama mau pergi!" Benar saja, dengan mengajak Kiok Ji, sang ibu berlalu, menuruni loteng. Gin Sim segera mengamati nona majikan itu. Eng Tay bersikap wajar saja, ia masih memandang ke luar jendela, memandangi langit. Bahkan kemudian, ia tersenyum. Tong-si berlalu dengan hati masih panas. Ingin ia segera bicara dengan suaminya untuk menceritakan tentang kekerasan hati putrinya, tetapi kemudian ia berubah sikap. Ia khawatir, kalau ia bicara dengan suaminya, urusannya nanti menjadi kacau-balau. Maka, pikirnya, lebih baik ia menunggu saja mendekatnya hari pernikahan, barulah masalah itu dimunculkan lagi. Ia ingin menyaksikan, apakah putrinya masih terus membangkang atau tidak.Pada saat itu, suaminya tentu akan turun tangan juga. Demikianlah, ia segera berpesan pada semua orang agar mengawasi Eng Tay. 19 Naik Perahu LAMBAT-laun, Eng Tay mengetahui sikap ibunya yang selalu mengawasi gerak-geriknya. Ia tidak peduli. Malahan sekarang, ia telah berpikir untuk kalau tiba saatnya, ia akan menghabisi nyawanya sendiri.... Demikianlah, hari-hari telah berlalu dengan tenang sampai pada awal bulan ke-sembilan. Udara kini berubah menjadi sejuk. Justru itu, keluarga Ciok tampak sibuk. Pakaian untuk gadis pengantin sedang disiapkan. Untuk pesta, segala barang yang diperlukan pun sedang dibeli. Semua orang tampak repot, akan tetapi Eng Tay bersikap masa bodoh. Pada suatu hari, Ciok Kong Wan menemui istrinya di kamarnya. Teng-si sedang mengukur kain untuk membuat baju pengantin putrinya. "Beberapa hari ini aku tidak melihat Eng Tay," kata suaminya. "Mungkinkah karena hari pernikahannya semakin mendekat, dia tidak mau ke luar?" "Ya, mungkin itu sebabnya," jawab Teng-si, si istri. Ia memang sedang kurang memperhatikan putrinya itu karena sekian lama tidak ada laporan apa pun dari para abdi yang diperintahkan untuk mengamat-amati putrinya. "Bagaimana dengan pakaian pilihan kita?" tanya Kong Wan. "Apakah Eng Tay setuju?" Sang istri melepaskan jarumnya, ia menghadapi suaminya. "Belakangan ini, adat Eng Tay semakin keras," katanya. "Semua bahan pakaian pilihan kita adalah istimewa, tetapi anak itu, melihat pun tidak sudi!" "Eh, kenapa begitu?" "Dia sangat tidak puas berkenaan pernikahannya dengan putra keluarga Ma. Mengenai ini, aku pernah bicara padanya, memberinya nasihat, tetapi dia, dia tak sudi memperhatikan!" "Habis, apa maunya?" "Mana aku tahu" Dia bahkan bicara semakin kasar! Katanya, meskipun ada perintah raja, dia tak sudi menikah!" Kong Wan menghentakkan kaki. "Gila!" serunya. "Kapan ia ucapkan itu?" "Kira-kira dua bulan yang lalu...." "Begitukah" Bukankah itu tak pantas!" "Ya, begitulah...." Ayah ini menjadi sangat kecewa. "Coba panggil dia, akan ku tegur dia!" "Sikapmu ini tidak akan menyelesaikan persoalan," kata Teng-si. "Bila kau panggil dia, kau harus bicara dengan sabar. Anak itu tabiatnya keras, tetapi dia tak akan tidak acuh." Kong Wan melipat kedua belah tangannya, ia berjalan mondar-mandir, otaknya bekerja keras. Kemudian dia mengangguk dan berkata: "Baiklah, akan ku turuti pikiranmu. Kiok Ji, pergilah kau undang nonamu datang ke mari!" Teng-si tertawa. "Sungkan, ya?" katanya. "Keluar juga kata mengundang...." Kiok Ji berada di luar jendela, di saat ia hendak berlalu, nyonya majikannya berkata padanya: "Jangan pergi dulu, sini, kau dengar perkataanku." Abdi itu menurut, ia menghampiri majikannya. "Bila nanti bertemu dengan Nonamu," pesan Teng-si, "jangan kau katakan hal lainnya, cukup bahwa tadi ketika kau berada di luar, Tuan Besar menyuruhmu memanggilnya. Ini penting sekali, kau jangan sembarang bicara!" "Tak perlu dipesan lagi, Nyonya Besar, hambamu sudah tahu," kata Kiok Ji yang segera saja berjalan cepat menuju Hwe Sim Law, bahkan ia langsung mendaki tangga loteng. Begitu bertemu dengan Eng Tay, ia berkata: "Tuan Besar sedang berada di kamar Nyonya Besar, Nona diminta lekas datang menemuinya." Gadis itu mengawasi abdi itu. "Ketika Tuan Besar menyuruhmu, dia tampak gusar atau tidak?" tanya Eng Tay. "Abdimu berada di luar tatkala Tuan Besar memanggil," kata Kiok Ji. "Sewaktu aku masuk, Tuan Besar lagi marah atau tidak, aku...." "Benar-benar kau tidak tahu?" tanya si nona menegaskan. Gin Sim juga berada di loteng, ia tertawa. Eng Tay segera berkata: "Saat begini Tuan Besar memanggilku, pasti ia sedang marah!" "Tidak, Non," kata Kiok Ji, "kalau Tuan Besar bicara, ia pasti bicara dengan haik-baik...." "Benar itu?" "Aku berada di luar jendela saat mendengar panggilan, Non." "Bukankah kau sedang berada di luar maka barulah kemudian kau masuk?" tanya gadis itu lagi. Kiok Ji tertawa. Ia menganggap nona majikannya itu lucu.... Gin Sim pun turut tertawa. "Baiklah, Non, aku akan berterus-terang," kemudian kata Kiok Ji lagi. "Sekiranya Tuan Besar tahu, paling juga aku dirangket...." San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Dan pelayan ini menceritakan apa yang ia lihat dan dengar perihal gerak-gerik Ciok Kong Wan, sang majikan. "Nah, bagaimana ya?" kata Eng Tay. "Memang aku telah menduganya! Sekarang, ayo jalan, aku tak akan memberitahukan Tuan Besar!" Kiok Ji mengangguk, lantas ia pergi, nona majikannya mengikuti. Kong Wan sedang berjalan mondar-mandir ketika ia melihat kedatangan anak gadisnya. Segera ia tertawa dan berkata: "Selamat, Anakku, selamat!" Eng Tay tidak segera menanggapi. "Ada apa, Pa?" tanyanya. "Aku biasa diam di dalam kamar, apa yang harus diberi selamat?" "Ada kabar baik, Nak!" jawab ayahnya. "Sekarang hawa udara sedang nyaman. Keluarga Ma telah memberi kabar bahwa pada akhir bulan ini akan dilakukan penyambutan guna menjalankan upacara pernikahan! Ini soal hidup seratus tahun, masalah andalan bagimu seumur hidup! Bukankah itu kebahagiaan yang harus diberi selamat?" Tetapi Eng Tay menggoyangkan tangannya. "Tentang lamaran keluarga Ma, aku belum pernah menyetujuinya!" katanya. "Katanya dia memberi kabar hendak melakukan penyambutan mempelai, mempelai siapakah yang hendak disambut?" Mendadak Kong Wan berdiri tegak, dengan tajam ia mengawasi putrinya. Masih dapat dia menguasai diri lalu diusapnya janggutnya. Dia pun terus berkata dengan sabar: "Ketika Nio San Pek masih hidup, kau hendak menikah dengannya, ini menolak. Papa justru menghendaki kau menikah dengan Ma Bun Cay, waktu itu kau menolak sekeraskerasnya. Itu masih masuk di akal, ada alasannya, tetapi sekarang setelah Nio San Pek meninggal Papa mau menikahkan kau dengan keluarga Ma, maka kau, Nak, tidak beralasan lagi untuk menolak..!" "Apakah beralasan dan tidak beralasan itu?" putrinya balik bertanya. "Meskipun San Pek sudah tiada tetapi aku, aku telah bersumpah bahwa seumur hidupku tidak akan menikah! Inilah kehendak Tuhan Yang Mahakuasa!" "Itu alasanmu yang tidak masuk akal! Memangnya siapa yang mengizinkan kau dijodohkan dengan keluarga Nio?" Eng Tay mengangguk. "Siapa yang mengizinkan, yang menerima baik lamaran keluarga Nio?" ia balik bertanya. "Itulah aku! Mustahilkah kalau aku menyerahkan diri sendiri, itu tidak boleh" Kalau demikian, dengan kekuasaan Papa sebagai orangtua, apakah aku bisa dijual-belikan" Bolehkah itu?" Ciok Kong Wan mengusap janggutnya. "Papa bilang kau ngawur, malah lebih lagi!" kata ayahnya. " menjodohkan kau dengan keluarga Ma, itu berarti kemuliaan bagimu! Hal itu tidak ada jeleknya! Ada berapa banyak gadis, yang memimpikannya pun tidak bisa! Kalau demikian, apakah dapat dikatakan si ayah-bunda menjual putrinya?" "Kenapa tidak?" kata Eng Tay menyahut. "Memang, keluarga Ma itu sangat penting dan berpengaruh, tetapi hanya Papa yang dapat meminjam pengaruhnya itu." Tiba-tiba saja, Kong Wan tak dapat lagi menguasai amarahnya, ia sampai menggebrak meja. "Anak kurang ajar!" teriaknya. "Bagaimana kamu berani melawan Mama-?" Teng-si kaget, ia menarik baju putrinya. "Nak, kau tidak selayaknya berkata bahwa meminjam pengaruh keluarga Ma," kata si ibu. "Kau tahu, Papa dan Mama ini cukup kaya, mana mungkin kami menjual anak" Sudah, sekarang semua harus tenang saja. Kita bicara sampai di sini saja, besok kita sambung lagi...." Eng Tay mengawasi ayahnya, ia maklum sikap keras ayahnya, maka ia lantas berkata. "Baiklah, aku pergi dulu. Tapi, biar bagaimana juga, kapan pun, aku tidak mau menikah!" Setelah berkata demikian, gadis yang tiba-tiba menjadi keras kepala ini, lantas meninggalkan ayah-bundanya itu begitu saja. Gin Sim segera mengikuti nona majikannya itu kembali ke kamarnya. Ia merasa lega melihat ggdis itu bersikap tenang-tenang saja. Maka ia berkata: "Non, hari ini Tuan Besar bersikap tidak seperti biasa.... Gadis itu lantas duduk di kursinya, bahkan dia tertawa. "Kejadian ini telah ku duga," katanya. "Dan aku telah memikirkan pemecahannya, tak usah kau khawatir." Gin Sim bingung, namun ia tidak mau bertanya lagi. Sikap nona majikannya kali ini luar biasa, pikirnya. Biasanya, majikannya itu tak pernah merahasiakan apa pun padanya, tetapi kali ini lain. Malahan gadis itu bisa tersenyum selagi suasana sangat tegang. Namun toh, ia bertanya juga: "Non, besok pasti Nyonya Besar datang ke mari, bagaimanakah sikap Nona?" "Kapan tiba saatnya yang paling sukar, aku mempunyai dayaku," jawab majikannya. "Tapi apa dayaku itu, sekarang kau tak usah tanyakan." Terpaksa Gin Sim menutup mulutnya, hanya ia menerka-nerka di dalam hati. Tengah hari keesokan harinya, sehabis bersantap, Teng-si masuk ke kamar putrinya sesudah ia mencari tahu dulu apakah putrinya itu berada di loteng. Ia heran sewaktu melihat bahwa tidak terjadi perubahan apa-apa pada anak gadisnya itu. Eng Tay tampak tenang-tenang saja membaca buku. Sang ibu batuk-batuk untuk memberi tanda kedatangannya. Mendengar suara ibunya, Eng Tay meletakkan bukunya dan menoleh. "Ma!" panggilnya. Teng-si lantas saja duduk di depan putrinya itu. Ia melihat ke sekitarnya. Ia tidak mendapatkan Gin Sim di situ, lantas ia mulai bicara: "Saat ini bagus sekali, enak buat kita bercakap-cakap...." Eng Tay tidak menanggapi. Ia mengangkat bukunya tetapi segera diletakkannya pula. Kelihatannya ia hendak membaca, namun batal. "Mama ingin bicara denganmu, Nak," kata Teng-si lagi. "Letakkan bukumu dulu supaya kita enak bicara. Bisa, bukan?" "Tetapi, Ma, aku tak tahu maksud kedatangan Mama ini," kata putrinya. "Bukankah Mama hendak mengulangi pembicaraan kita kemarin" Urusan itu sudah cukup dibicarakan, apakah sekarang hendak diulangi lagi?" "Mama belum bicara, Nak, kau sudah menghalangi," kata ibunya. "Sebenarnya juga, Mama ingin bicara." Gadis itu mengangguk. "Nah, bicaralah!" ia menganjurkan. "Keluarga Ma itu...." "Ah, sudahlah, Ma!" gadis itu memotong. "Jangan Mama sebut-sebut itu pula, jangan! Mendengarnya saja, aku sudah muak..!" "Oh...!" si ibu gugup. "Katamu tidak mau menikah, Nak, lalu, di rumah saja, kau hendak melakukan apa?" "Merawat Papa dan Mama...." "Ah....!" kata ibunya, yang menepuk pahanya. "Bagaimana kalau Papa dan Mama sudah meninggal...?" "Di saat itu aku juga sudah tua, maka selanjutnya aku akan menutup pintu, membaca buku saja, untuk menenteramkan hati." "Itu pikiran yang bukan-bukan. Kami orangtua tidak punya anak lelaki, maka menantu lelaki menjadi separuh anak juga. Kalau kau menikah dengan Ma Bun Cay, jika nanti kau memperoleh anak lelaki, anak itu bisa diambil menjadi turunan keluarga Ciok. Bukankah itu baik sekali?" "Sudahlah, Ma, tak usah Mama bicarakan lagi. Kalau Mama bicara juga, aku tidak mau mendengarnya!" Berkata begitu, gadis ini mengambil bukunya, terus ia membaca. Ketika ibunya berkata-kata lagi, ia seperti tidak mendengarnya. Teng-si kewalahan. Tatkala ia masih mencoba bicara lagi, ia tetap tidak mendapat tanggapan. Maka akhirnya ia benar-benar kewalahan. Segera ia bangkit berdiri dan akhirnya berkata: "Baiklah! Kau bicara saja nanti dengan...." Ibu ini berjalan ke luar, ia menarik napas panjangpendek. Sewaktu Kong Wan, suaminya, menanyakan, ia membungkam. Ayah itu penasaran, ia suruh beberapa pelayan perempuannya mendatangi putrinya untuk dibujuk, tetapi sia-sia belaka, mereka itu kembali tanpa hasil. Jawaban gadis itu singkat saja: "Disuruh menikah, tidak mau! Disuruh mati, ya, rela mati!" Kong Wan bingung sekali. Tentu saja ia tidak menghendaki kematian putrinya itu. Dua hari telah berlalu tanpa penyelesaian apa pun. Tetapi mendadak ia memperoleh suatu pikiran, maka ia lantas bicara dengan istrinya. "Anak kita tidak mau menikah, bukankah itu disebabkan oleh San Pek?" katanya pada istrinya. "Sekarang coba kau tanyakan dia, apa yang hendak dilakukannya untuk San Pek, supaya ia dapat melupakan kekasihnya itu. Asal jawabannya masuk akal, akan ku turuti dia. Setelah maksudnya kesampaian, dia tentu mau menikah...." Teng-si ragu-ragu, akan tetapi karena demikianlah kemauan suaminya, ia mau mencoba juga. Begitulah, ia kembali ke dalam, menemui putrinya. Namun, sesaat kemudian, ia kembali dengan tangan hampa...." "Apa jawaban Eng Tay?" tanya sang suami mendahului bertanya. Sang istri menggelengkan kepala, ketika menyahut, ia tampak lesu sekali. Ia berkata. "Kata Eng Tay, San Pek sudah mati, dia sudah tidak punya kehendak apaapa lagi, kalau Papa dan Mama masih punya perasaan sayang padanya, dia minta dibiarkan saja hidup menyendiri untuk menjaga kesuciannya, dan dapat merawat orangtua saja...." "Gila!" seru Kong Wan. "Aku tidak percaya! Mustahil seorang perempuan seperti dia sanggup melayani orangtuanya" Sudah, kau jangan campur-tangan, saat tiba harinya, akan ku ringkus dia dan ku paksa naik kereta pengantin!" Teng-si bungkam. Suaminya sudah marah sekali. Kong Wan juga selanjutnya tidak berkata apa-apa lagi. Akan tetapi keesokannya, dua orang perantara jodoh muncul secara mendadak tanpa memberi kabar terlebih dulu. Mereka adalah Li Yu Seng dan Tian Leng Bow! Tuan rumah segera menyambut tamunya itu. Setelah bicara sebentar, dia masuk ke dalam menemui istrinya, dan berkata pada si istri: "Dua wakil keluarga Ma telah tiba, mereka sudah menetapkan hari nikah yaitu tanggal delapan belas. Karena itu, bagaimanapun juga, kita harus beritahu tanggal ini pada Eng Tay. Juga masih ada satu hal, yaitu masalah perjalanan. Kita memilih jalan darat atau jalan air" Kalau jalan darat, harus menginap dua malam. Mempelai laki-laki akan menyongsongnya di tengah jalan. Kereta pengantin berjalan di jalan umum, tampaknya kurang serasi. Sebaliknya kalau kita memilih jalan air, kita harus mengambil waktu tiga hari. Pengantin laki-laki pun akan menyambutnya dengan perahu. Di dalam perahu pengantin perempuan, segala sesuatunya akan disiapkan selengkaplengkapnya, seperti persiapan di rumah. Melalui jalan air, mempelai laki-laki, tak usah datang ke rumah kita. Dijalan air, sejauh dua li, ada pelabuhan tempat mempelai laki-laki akan datang menyambut. Demikianlah, soal perjalanan ini, pihak kita diminta memilih dan mengambil keputusan. Karenanya, kita harus tanyakan pendapat anak kita sebab dia gadis yang luar biasa. Demikianlah pertanyaan keluarga Ma. Maka, istriku, kau harus menemui anak kita untuk menanyakan pendapatnya." Ini masalah agak ruwet, tetapi Teng-si toh masuk ke dalam, untuk menemui putrinya. Tetapi lebih dulu ia menanyakan suaminya, bagaimana kalau Eng Tay tetap menolak. "Kalau sampai begitu, aku mempunyai dayaku!" kata Kong Wan. Teng-si sampai di Hwe Sim Law. Seperti biasa, ia melihat putrinya sedang membaca buku. Gadis itu diam saja, dia seperti tidak mempedulikan ibunya. "Ah, Nak, Mama datang lagi mengganggumu," kata ibunya, memulai pembicaraannya. "Akan tetapi Mama datang dengan kabar baik! Kau tahu, keluarga Ma sudah memilih dan menetapkan tanggal pernikahan. Tanggal delapan belas tahun ini kau akan disambut mereka." Eng Tay menoleh, mengawasi ibunya, tetapi ia tidak menanggapi. Sang ibu berdiri di sisi meja. Katanya lagi: "Sekarang tinggal soal perjalanan, yaitu, jalan darat atau jalan air. Mengenai hal ini, kita yang diminta memilihnya." Di luar dugaan, mendengar tentang jalan darat atau jalan air itu, hati gadis itu tergerak. Segera juga ia bertanya: "Bagaimana kalau jalan air, dengan naik perahu" Apakah perahunya akan melewati Ow-kio-tin?" "Ah, itu Mama tidak tahu," sahut ibunya. "Kalau demikian, tolong Mama minta Papa tegaskan, pihak sana, jalan air akan melewati Ow-kio-tin atau tidak," pinta Eng Tay. "Sebentar tolong beritahu aku." Kembali Teng-si heran. Putrinya tidak marah, malah tertarik. Tapi ia toh bertanya. "Kalau melewati Ow-kio-tin, kau berarti suka naik perahu?" "Benar, Ma!" sahut putrinya. "Barangkali tidak ada halangannya kalau aku memberikan keterangan. Makam Nio San Pek ada di sebelah timur laut Ow-kio-tin, di makam Kiu-liong-hi di Cengto-goan." Teng-si diam sejenak. Ia berpikir cepat. "Jadi kau ingin menemui kuburan keluarga Nio?" tanyanya kemudian. "Ya, Ma!" sahut putrinya. "Itu sudah semestinya!" Teng-si diam, ia bimbang. Namun akhirnya ia berkata: "Baiklah, nanti Mama tanyakan...." Dan terus saja ia pergi ke luar. Sekarang ini, wajah si nyonya tidak lagi memperlihatkan kebingungan seperti tadi. "Bagaimana jawabannya?" Kong Wan mendahului menanyakan istrinya. "Dia setuju?" "Aneh!" jawab si istri. "Dia tidak menolak, juga dia tidak menerima, hanya dia bertanya, kalau jalan air, perahunya melewati Ow-kio-tin atau tidak. Ketika ku tanya, apa perlunya dengan Ow-kio-tin yang tiada sangkut-pautnya dengan keluarga Ciok, dia berkata kuburan San Pek-ada di sana...." Kong Wan membelai-belai janggutnya. "Oh, begitu?" katanya. Dia pun heran. "Tapi, melewati Ow-kio-tin atau bukan, mana ada aturan untuk memberitahu dia atau tidak....!" "Kau tolol!" kata Teng-si. "Bukankah cukup asal kau dapat menipu dia hingga dia suka menaiki perahu" Peduli apa dengan kuburan keluarga Nio atau bukan?" Kong Wan merunduk, ia berpikir. "Kalau begitu, beritahu dia, perahunya melewati Owkio-tin!" katanya akhirnya. Teng-si menggoyangkan tangan. "Kita tak boleh mendustai dia!" katanya. "Kau tahu adat Eng Tay!" "Baiklah, nanti ku tanya dulu," kata Kong Wan. Terus saja ia kembali ke ruang tamu, menemui dua perantara itu. Tidak lama kemudian, ia sudah kembali pada San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo istrinya. Ia berkata: "Benar, perahunya akan lewat Ow-kio-tin. Aku ditanya, pertanyaan ini datang dari Eng Tay atau ada hal lainnya, aku menjawab dengan berdusta. Ku katakan bahwa putri kita mempunyai sahabat di Ow-kio-tin dan putri kita itu hendak mengunjunginya. Kedua tamu itu mengatakan tak soal bila perahu singgah di Owkio-tin. Nah, sekarang kau pergi kabarkan padanya. Aku mau tahu, apa lagi tanggapannya." Teng-si terpaksa menurut, ia masuk lagi ke dalam. Melihat ibunya, tanpa menanti si ibu berkata, gadis itu sudah mendahului: "Apakah akan melewati Ow-kio-tin?" "Benar, Nak," jawab ibunya. "Nah, apa lagi pertanyaanmu?" "Sekarang aku hanya mau minta bertemu dengan Papa, untuk mendengar dari Papa sendiri apakah Papa menerima baik atau tidak permintaanku. Asal Papa terima, segala hal mengenai diriku seumur hidup, kupasrahkan pada Papa. Kalau malah sebaliknya, sampai mati pun aku tidak akan ke luar dari rumah keluarga Ciok ini!" Teng-si melengak sejenak. "Jadi kau mau bicara sendiri dengannya?" tanyanya. "Baiklah! Mari kita menemuinya!" Si ibu segera berjalan, dan putri itu mengikuti. Di dalam kamar, Kong Wan tampak sedang membenahi kain untuk keperluan pernikahan. Ia tampak tidak gembira. Begitu masuk, melangkahi pintu, Eng Tay segera memanggil: "Pa...!" Kong Wan melepaskan kain di tangannya, dia menoleh. Dia pun mengangguk, "Oh, kau, Nak!" sahutnya. "Kau hendak bicara apa?" Gadis itu mengangguk pada ayahnya. "Ayo, duduklah!" kata Teng-si menyelak. "Kau baru tiba, kau ini mirip tamu saja...." "Tak usah, Ma!" kata Eng Tay. "Aku ingin tanya Papa, kalau kita naik perahu, apakah kita akan melewati Ow-kio-tin atau tidak?" "Benar, Nak. Kita akan melewati Ow-kio-tin," jawab ayahnya. "Di Ow-kio-tin itu, di timur lautnya ada makam Kiuliong-hi," kata Eng Tay. "Di sana ada kuburan Nio San Pek. Ku harap, setibanya di sana, aku dapat mendarat sebentar saja. Ya, aku hendak berziarah ke makam Nio San Pek untuk menyampaikan kerinduanku, kerinduan yang terakhir kali...." "Ini..." kata Kong Wan tertahan. "Papa jangan ragu-ragu," kata Eng Tay memotong. "Jika Papa izinkan aku mendarat, aku akan memberi hormatku yang terakhir pada Kakak San Pek, seandainya tidak boleh, ya sudah, aku pun tidak akan naik perahu!" Kong Wan tercengang. Pertanyaan yang sangat menyulitkan, jelas putrinya memaksakan permintaannya. Menerima salah, menolak juga salah, bagai buah simalakama. Teng-si yang berada di sisi mereka tahu kebimbangan suaminya. Dalam keadaan seperti itu, ia memberanikan diri berkata. "Sudah, izinkan saja!" demikian katanya. "Menghormati pihak Nio pun ada baiknya." Kong Wan masih berpikir, barulah kemudian ia mengibaskan tangannya. "Baiklah, Papa izinkan kau memberikan penghormatanmu!" katanya akhirnya. "Tetapi masih ada satu permintaan, Papa! Kau tak boleh mengenakan pakaian berkabung!" "Baik, Pa, ku turuti perintah Papa!" kata gadis itu cepat. "Namun, sekali seorang terhormat mengeluarkan katakatanya, dia tak dapat menyesali dan menariknya kembali!" Tanpa tedeng aling-aling gadis ini mendesak ayahnya yang dianggapnya orang terhormat. "Kalau Papa menolak, Papa tetap menolak," kata ayahnya. "Setelah Papa izinkan bagaimana Papa bisa menariknya kembali" Tetapi Papa ingin bertanya, dengan kepergianmu ini, kau akan pergi ke rumah keluarga Ma atau tidak?" Orang tua ini pun masih ragu-ragu, khawatir diperdayai putrinya yang cerdik ini. Gadis itu menjawab dengan cepat. "Perahu itu milik keluarga Ma, lalu aku hendak kabur ke mana?" demikian jawabannya, yang mirip pertanyaan pula. Sampai di situ, Teng-si menyelak lagi. "Putri kita sudah bicara, perkataannya sepatah ya sepatah!" demikianlah sang istri ini mencoba menengahi. "Putri kita ini sudah memberikan jawaban, pasti dia tidak akan mengingkarinya!" "Baiklah!" kata suaminya akhirnya. "Aku mau pergi ke depan!" Eng Tay tidak mempedulikan apa-apa lagi, langsung ia kembali ke lotengnya. Gin Sim mengikuti nona majikannya itu."Apakah Nona bersedia menikah dengan keluarga Ma?" tanya abdi itu, heran. "Kalau aku menolak, bagaimana?" gadis itu balik bertanya. "Seandainya Nona tetap menolak, mustahil Tuan Besar memaksa dengan mengikat Nona." "Ternyata kau berani, Gin Sim. Tetapi hal ini lebih baik tidak kau campuri. Tetap sudah keputusanku untuk naik perahu! Namun, bagaimana pendapatmu?" Si abdi membungkam, ia tak dapat menjawab, maka ia mengawasi majikannya itu. Eng Tay menatap pelayannya ini. "Hayo bicara!" desaknya. "Ini adalah saat kritis terakhir!" "Non, aku hanya mengikutimu saja. Ke mana Nona pergi, ke sana aku turut juga! "Itu aku sudah tahu. Aku tanya tentang perasaan hatimu sendiri!" "Saya sudah mengambil keputusan seperti Nona. Saya tak mau menikah!" "Itu baru separuh bunyi hatimu," kata nona majikannya itu. "Baiklah, yang sebagian lagi aku yang katakan padamu. Aku ingin menyerahkan kau pada Su Kiu supaya kalian dapat hidup bersama seratus tahun...." Gin Sim tertegun, tetapi ia tersenyum-simpul. Eng Tay mengangguk. "Pasti itu dapat terlaksana," kata si majikan. "Tiba saatnya nanti tentu ada orang yang menggenapinya. Aku akan naik perahu, kau tetap ikuti aku. Kau akan mengerti bila nanti tiba saatnya...!" Gin Sim menerima baik perkataan majikannya itu, meski ia masih belum jelas. Ia mencoba untuk tidak memikirkannya. Sejak hari itu, semua orang di rumah keluarga Ciok mengetahui bahwa nona mereka telah menerima lamaran pernikahan dengan keluarga Ma. Semua pun lantas bekerja, mengerjakan ini dan itu dengan hati gembira. Sebaliknya dengan Eng Tay sendiri, dia tidak mempedulikan apa pun juga. Demikianlah, pada tanggal 24, perahu yang dikirim keluarga Ma untuk menyambut pengantin telah tiba, terus berlabuh di tempat sejauh satu li dari rumah keluarga Ciok. Telah datang dua buah perahu dengan dua puluh anak buahnya. Ciok Kong Wan lantas memeriksa perahu, terus ia mengatur barang-barang yang hendak dibawa-serta oleh beberapa orang pengikutnya. Ia sendiri bersama istrinya akan mengantarkan putrinya, sebab tak tenteram hatinya membiarkan Eng Tay pergi tanpa pengantar sebagai wakilnya. Mengenai Gin Sim, abdi ini tetap ikut dan bertempat di perahu nona majikannya. Pada tanggal 25, semua orang sudah berada di atas perahu. Eng Tay tidak mengenakan pakaian baru, hanya baju hijau. Ia pun tidak berhias atau memakai bedak. Melihat demikian, Teng-si, si ibu tidak puas, akan tetapi mengingat masih ada waktu dua hari untuk berhias, ia melegakan hatinya, ia membiarkan saja. Perahu yang ditumpangi Eng Tay berada di sebelah belakang, perahu ayah-bundanya di depan. Jendela perahu gadis itu dirintangi dengan sejenis jala yang tertutup dedaunan hingga tangan pun sukar dijulurkan. Melihat itu, Eng Tay tersenyum dalam hati. Kamarnya diperlengkapi dengan ranjang, meja dan kursi batu. Di atas meja terdapat beberapa jilid buku. Jelas lengkaplah persediaan yang dibutuhkan. "Perahu ini bagus sekali," kata Eng Tay. "Kalau Papa tidak memanggilku, aku tidak mau pergi ke perahu Papa." Kedua orangtuanya meng-iya-kan. Selama dua hari pelayaran tidak terjadi hal yang tidak menyenangkan. Di hari ketiga, perahu itu pun mulai memasuki sungai Yong. Tetapi hari itu, mendadak saja angin berhembus kencang hingga air sungai bergelombang, tidak seperti biasanya. Anak buah perahu dengan cepat menurunkan layar. Air sungai naik setinggi tiga kaki, suaranya berdebur keras. Tentu saja, tubuh perahu pun oleng, naik-turun. Ombak putih datang dan pergi bergantian. Kalau ombak muncrat di tepi kiri dan kanan sungai, orang tak dapat melihat dengan jelas wujud rumah yang teraling pepohonan. Daun-daun tua berwarna kuning, terbang berhamburan tertiup sang bayu. Sudah pasti, di atas perahu pun, orang tak dapat berdiri tenang. "Tempat ini, apa namanya?" tanya Eng Tay pada anak buah perahu. "Inilah Ow-kio-tin," gadis itu mendapat jawaban. "Di sana itu adalah tempat yang disebut Kiu-liong-hi." "Oh!" seru gadis itu. "Ayo cepat kau berlabuh!" "Tak usah Anda perintahkan, Non," kata si tukang perahu. "Kita memang mesti singgah di sini. Gelombang terlalu besar dan berbahaya bagi kita." Eng Tay melongok ke luar jendela, ke sebelah kanan. "Aku ingin kalian berlabuh di dekat Kiu-liong-hi, bisakah?" tanya lagi. "Bisa, Non!" demikian jawab si tukang perahu. Perahu pun mulai menuju Kiu-liong-hi. 20 Sepasang Kupu-kupu MENURUT keterangan anak buah perahu, tempat yang disinggahi itu benar adalah Kiu-liong-hi, di dalam daerah Ow-kio-tin. Ciok Kong Wan merasa gelisah, setibanya di Ow-kio-tin ini, mendadak saja datang angin besar hingga air bergelombang. Akhirnya, ia menanyakan seorang tukang perahu: "Angin dan gelombang ini akan bertahan sampai berapa lama?" "Mungkin tak lama," jawab orang yang ditanya. Kong Wan menjadi tenang, ia mengusap-usap janggutnya lalu berdiam diri. Anak buah perahu pun menurunkan jangkar, maka berlabuhlah kedua perahu itu. Lantas Eng Tay menghadap ke perahu ayahnya, dan berkata pada ayahnya: "Pa, kita sudah sampai di Ow-kio-tin, sekarang aku mau mendarat untuk berziarah ke kuburan Nio San Pek. Berapa orang kiranya boleh ku ajak?" Kong Wan tidak segera menjawab, jelas ia berpikir dulu. "Cukup kau ajak Gin Sim seorang saja," demikian jawabannya. Namun ia menambahkan: "Tetapi di sini semua orangnya keluarga Ma, kalau mereka mau turut, aku tidak dapat melarangnya...." "Terima kasih, Pa." Kalau mereka mau turut, biarkan saja!" Teng-si tidak berkata apa-apa, akan tetapi dengan kedua matanya, ia mengawasi kepergian putrinya itu. Eng Tay bergelung Tui in-ki - Awan Bersusun. Ia bersalin pakaian serba merah, ia pun mengenakan dengan lengkap perhiasan rambutnya. Bajunya bersulamkan seekor kupu-kupu berwarna-warni serta bunga bow-tan atau peony. Sepatunya bersulamkan kepala burung Hong, phoenix. Ia pun berbedak secara serasi hingga tampak sangat ayu. Sang ibu heran melihat dandanan putrinya itu, hingga ia berkata: "Nak, dandananmu kurang tepat. Kau toh hendak pergi ke makam, mengapa kau berpakaian begitu bagus?" "Tetapi, Ma," jawab putrinya, "Papa telah melarangku mengenakan pakaian berkabung, maka dari itu sekarang aku berpakaian seperti ini!" Teng-si membungkam, ia melengak. Tetapi, tidak demikian dengan suaminya. Kong Wan menuding putrinya: "Papa melarangmu mengenakan pakaian berkabung, tetapi bukan mengizinkan pakaian macam ini!" "Ah, sudahlah!" ujar Teng-si akhirnya menengahi. "Pakaian apa juga, sama saja. Kita tak perlu menarik perhatian orang banyak...." Eng Tay berjalan perlahan-lahan. "Pa, Ma, aku berangkat," katanya tenang. "Baiklah, Nak," kata ibunya. "Tapi kau harus lekas pergi lekas pulang." Eng Tay mengangguk. Tadinya ia mau berhenti sebentar untuk mengatakan sesuatu, namun ia batalkan. Ia khawatir nanti ayahnya bicara lagi. Dengan langkah hati-hati, ia berjalan di papan jembatan sampai tiba di darat, di tepian. Di tepian itu tampak orang-orang keluarga Ma bertebaran. Eng Tay mengetahui hal itu, ia diam saja. Gin Sim mengiringi nona majikannya, ia pun melihat orang-orang keluarga Ma, ia juga tidak mengatakan sesuatu. Ia bungkam seperti nona majikannya itu. Keduanya berjalan dengan tenang. Jalanan di depan terpecah dua, barat dan utara. Jalan yang di tengah, di depan, tampak banyak pepohonan, lebat, hingga tak tampak orang berlalu-lalang. Berjalan lebih jauh, di antara dua baris pepohonan, tampak segundukan tanah - tumpukan tanah yang baru diuruk. Di sisi gundukan itu, terdapat sebuah batu nisan dengan sebaris huruf berbunyi: Kuburan Nio San Pek. Tak ragu lagi, itulah tempat Nio San Pek beristitahat untuk selama-lamanya! Eng Tay mempercepat langkahnya hingga ia tepat berada di depan kuburan yang lantainya terbuat dari batu hijau itu. Segera ia menjatuhkan diri, berlutut, dari mulutnya pun serta-merta ke luar suaranya yang parau: "Kakak San Pek, inilah Adikmu, Eng Tay... Aku ingat janji kita dulu, kau akan menantikanku di jalan ke dunia yang lain. Nah, sekarang aku lewat di sini, maka inilah saatnya kita berkumpul bersama...!". Tangisan sedih menyusuli ratapan gadis itu. Tepat pada saat itu, sekonyong-konyong saja, bertiuplah angin kencang, melintas, terdengar di antara pepohonan. Sebaliknya dipucuk pohon, di atas, tampak sinar kuning bagaikan kilau emas! Gin Sim terkejut, ia menghampiri nona majikannya yang sedang berlutut di depan kuburan. Di saat mendekat, ia mendengar suara majikannya: "Kakak San Pek, aku ingat janji kita dulu. Di kuburan ini akan dipasang dua batu nisan, satu atas nama Nio San Pek, yang lain atas nama Ciok Eng Tay, tetapi San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sekarang, mengapa cuma satu batu dengan nama Nio San Pek saja..." Sehabis berkata demikian, Eng Tay bangkit, untuk memeluk nisan sang kekasih. Tangisannya yang keras pun menyusul. Tiba-tiba saja, awan hitam bergulung-gulung di angkasa, disusul dengan kilat yang menyambar-nyambar, bergerak-gerak bagaikan seekor naga kuning, berkelap-kelip, bersuara nyaring, kemudian diikuti dengan suara guntur yang menggelegar! Gin Sim terkejut, ia takut hingga tubuhnya menciut, dan kedua tangannya dipakai untuk menutupi matanya. Hujan pun segera turun, butirnya besar-besar. Hingga dalam sekejap saja, basahkuyuplah tubuh semua orang! Itu belum lengkap! Di saat menegangkan semacam itu, tiba-tiba tanah kuburan San Pek terbuka, merekah, sambil memperdengarkan suara nyaring, dan mencuatlah sebuah batu nisan bercacahkan lima kata besar: Ciok Eng Tay Ci Bok, artinya, Kuburan Ciok Eng Tay. Aneh luar biasa, selagi hujan turun demikian derasnya, tubuh Eng Tay tidak basah. Ia berdiri di samping batu nisan itu! Menyaksikan hal itu, dari kaget dan gugup, Eng Tay menjadi girang tiada-kepalang. Ia segera berteriak: "Kakak San Pek, lekas buka pintu, Adikmu sudah datang!" Hebat teriakan gadis itu. Suaranya bagaikan menggetarkan bumi. Dan, luar biasa, segera terjadilah keajaiban: Tanah kuburan itu merekah, dengan memperdengarkan suara nyaring; terbuka lebar-lebar, seperti dua daun pintu yang dibentang. Dari liang lahat terlihat cahaya terang api lilin. Tanah bongkaran itu bertumpuk di kedua sisi. Menyaksikan hal itu, Eng Tay menjerit lagi: "Kakak San Pek, Adikmu, datang...!" Menyusul ucapannya itu, tubuh gadis itu bergerak, melompat, masuk ke dalam liang kubur.... Gin Sim kaget bukan-kepalang, cepat ia menyambar tubuh nona majikannya itu, akan tetapi sudah terlambat. Ia cuma dapat menggenggam ujung bajunya yang robek, tinggal secuil di tangannya. Tubuh gadis itu telah masuk ke dalam liang lahat, dan kuburan itu pun segera tertutup dengan sendirinya, tanpa bekas-bekas terbuka! Semua kejadian itu susul-menyusul dengan cepat sekali, secepat kilauan sang kilat. Begitu berkelebat, begitu lenyap. Gin Sim tertegun, ia terperanjat dan juga takut. Ia sangat heran. Bukan main menyesalnya ia. Kini ia hanya memegangi sobekan baju nona majikannya. Gadis itu sendiri lenyap entah ke mana.... Sekian lama Gin Sim berdiri tercengang, ia seakan-akan lumpuh. Setelah itu hujan pun berhenti, langit terang kembali seperti sediakala. Segalanya sunyi. Tiada jalan lain, Gin Sim berpikir untuk kembali ke perahu. Tetapi saat itu juga, satu kejadian lain menyusul. Sobekan baju di tangannya itu, bukan lagi cuilan baju, dan tijba-tiba berubah menjadi seekor kupu-kupu berwarna-warni, indah sekali. Kupu-kupu itu terbang di antara rerumputan! Bersamaan dengan rasa herannya, Gin Sim berniat menangkap binatang itu, namun ia gagal. Sang kupu-kupu terbang, tak dapat ditangkap. Ia penasaran, ia mengejar, namun sia-sia saja. Kupu-kupu itu terlalu gesit dan lincah. Setelah terbang di atas kepala abdi yang setia itu, terus dia terbang tinggi, menghilang.... Gin Sim membelalak, mengawasi, sampai ia tersadar. Selang sesaat, selagi abdi ini berniat kembali ke perahu, tiba-tiba ia mendengar suara bertanya: "Gin Sim, baru saja hujan lebat! Mana Nonamu?" Ternyata orang yang menegur itu, yang baru tiba adalah Teng-si. Di samping si nyonya, juga ada Ciok Kong Wan, sang majikan. Mereka itu datang karena telah terlalu lama menantikan kembalinya putri mereka. Sejenak Gin Sim bingung. Ia bicara atau tidak" Bagaimana kalau ia membungkam" Mana tanggung jawabnya" Kalau ia bicara sebenarnya, apakah ia akan dipercaya" Tetapi jelas, nona majikannya telah lenyap.... Akhirnya, mau tidak mau, hamba ini menjawab yang sebenarnya. Kong Wan dan Teng-si kaget bukan main, mereka tercengang. Hal itu teramat aneh! Sulit untuk mempercayainya! "Gila kau!" damprat Kong Wan. "Bagaimana mungkin manusia hidup bisa lompat masuk ke dalam liang kubur?" "Tetapi itu benar, Tuan Besar," kata si abdi. "Di sana, ada orang-orang keluarga Ma yang turut menyaksikan." Saat itu enam orang keluarga Ma, dengan tubuh basah kuyup datang mendekat. Mereka mendengar pembicaraan antara majikan dan hambanya itu, maka tanpa diminta lagi, mereka menegaskan: "Benar, Tuan Besar, benar apa yang dikatakan nona ini. Kami menyaksikannya sendiri! Kami berada sedikit jauh, kami tak dapat menolong. Kuburan itu merekah dan tertutup dengan sangat cepat, terjunnya gadis itu lebih cepat lagi!" Teng-si mengawasi mereka itu. "Benar demikian?" tanyanya. "Sungguh aneh!" Kong Wan dan istrinya masih ragu-ragu, bersama-sama mereka melangkah cepat menuju kuburan. Mereka memeriksa kuburan yang tanahnya masih baru itu. Urukannya baru. Mereka pun menyaksikan kedua batu nisan yang berukiran nama-nama San Pek dan Eng Tay, bukan main herannya mereka. Sejenak, mereka berdiri terpaku, mata mereka tertuju pada kuburan. Segera juga Teng-si menjerit menangis. "Ketika masih berada di perahu, hujan besar membuatku sangat cemas," katanya sambil menangis. "Aku memikirkan Eng Tay, aku mengkhawatirkan keselamatannya maka aku sungguh tidak duga, dia justru lenyap secara begini aneh...! Oh Nak, di mana kau....?" Kong Wan yang berhati keras juga mengucurkan airmata. Biar bagaimanapun, ia menyayangi putrinya. Gin Sim menangis dengan sangat pilu. Ia pun takut disalahkan majikannya. Ia mohon maaf, tetapi ia menambahkan bahwa dirinya tidak bersalah. "Kau memang tidak bersalah, kami tidak menyalahkanmu," ujar Teng-si menenangkannya. Tiba-tiba tangan Gin Sim menunjuk dan dari mulutnya terdengar suara yang menyatakan keheranannya: "Lihat, kupu-kupu itu muncul lagi...!" Semua orang heran, dengan sendirinya semua menoleh ke arah yang ditunjuk si abdi itu. Seekor kupu-kupu muncul, terbang perlahan-lahan. Binatang itu cantik sekali. Sayapnya berwarna lima macam, bergemerlapan dan terang, bercahaya gemilang. Dia lantas turun ke atas kuburan dan hinggap di rumput. Namun itu belum lengkap. Mendadak juga, dari belakang kuburan, muncul pula seekor kupu-kupu yang lain. Dia ini melayang, terus hinggap di sisi kupu-kupu yang pertama. Sayapnya juga indah. Setelah itu, keduanya terbang lagi. Akan tetapi kali ini, keduanya mengapung turun dan naik, bersamaan dan bergantian. Selang sesaat, keduanya terbang tinggi, melayang sampai di atas kepala Ciok Kong Wan dan Teng-si yang saking herannya berdiri terpaku mengawasi kedua binatang itu sejak tadi. Di atas kedua suami-istri itu, kedua kupu-kupu itu terbang berputar-putar.... "Sungguh kupu-kupu nan besar dan indah!" puji beberapa orang keluarga Ma. Kedua kupu-kupu itu terbang lagi ke atas kuburan, ke antara beberapa orang itu, agaknya keduanya mengerti bahwa mereka dipuji, rupanya mereka hendak mengucapkan terima kasih.... Tetapi kali ini, sesudah mengapung berputar-putar, keduanya semakin lama semakin tinggi, tanpa terasa mereka telah terbang jauh dan lantas lenyap dari pandangan mata! Kong Wan memandang kosong mengawasi kuburan San Pek, akhirnya ia berkata pada istrinya: "Sudahlah, mari kita pulang! Kita perlu mengetahui sikap keluarga Ma. Ku pikir, kejadian ini tak perlu membuat kita mengalami kesukaran. Kejadiannya pun disaksikan oleh orang-orang keluarga itu, sedangkan kita, kita tidak tahu apa-apa. Saksi kita hanya Gin Sim seorang, mungkin kesaksiannya tidak cukup kuat, tetapi bersama kesaksian pihak sana sendiri...." Teng-si mengusap airmatanya. Beberapa lama ia berdiam saja. Sesaat kemudian, barulah ia berkata. "Ayo kita pulang...." suaranya berat. "Harap saja kalau nanti orang-orang keluarga Ma ini pulang, mereka bisa memberikan kesaksian dan hal itu diterima baik oleh keluarga Ma...." Kong Wan lantas menggapai Gin Sim. "Gin Sim, mari kita pulang! Masih ada beberapa pertanyaan kami untukmu." Sang abdi membungkam, tetapi ia ikut pulang. Ia masih memikirkan nona majikan, orang yang ia andalkan. Sesaat itu, ia bingung memikirkan dirinya, tentang masa depannya.... Orang-orang keluarga Ma pun turut pulang, mereka tidak berkata apa-apa. Masing-masing balik ke perahu mereka. Kong Wan tidak memperoleh keterangan lebih jauh, sebab peristiwa itu pun tidak diketahui oleh orang lain. Tiba dirumah, benar juga, Kong Wan menanyakan Gin Sim, akan tetapi hamba ini tidak dapat memberikan keterangan lebih banyak. Walaupun aneh, sederhana sekali terjadinya peristiwa itu. Di lain hari, sewaktu malam gelap dan sunyi, diam-diam Gin Sim membuka pintu, pergi ke luar tanpa sepengetahuan siapa pun. Ternyata ia tak dapat tinggal lebih lama pula di dusun Ciok, maka ia menjauhkan diri. Sang Kala berlalu, tibalah pertengahan bulan kedua. Waktu itu, di Kang-lam selatan sungai Yang Tze, ratusan bunga bermekaran. Dan pada suatu hari, di kuburan Nio San Pek, tampak Su Kiu bersama Gin Sim! Pepohonan dan rerumputan di sekitar kuburan, semua tampak hijau dan segar. Su Kiu bersama Gin Sim menjalankan penghormatan dengan berlutut dan membungkuk di depan kuburan San Pek. Di hati mereka, itu juga kuburan Eng Tay. Kemudian mereka berdiri diam, mata mereka menatap kuburan. Sewaktu mereka mengawasi, mendadak dari antara pepohonan yang lebat muncul dua ekor kupu-kupu yang indah sayapnya, beterbangan berpasangan di depan kuburan. "Itulah kedua Tuan Muda kita, Nio San Pek dan Ciok Eng Tay!" seru muda-mudi itu, girang dan kagum serta heran.... Gin Sim gembira karena ia merasa yakin, itulah reinkarnasi nona majikannya serta sang Tuan Muda. Ia mengagumi kedua pasangan itu. Su Kiu terpesona akan agung dan indahnya kedua kupu-kupu itu, yang 'riwayat'nya telah ia dengar dari kawannya itu, yang kini telah menjadi istrinya. Kedua abdi ini terus mengawasi sepasang kupu-kupu yang indah itu, yang sedang terbang berdampingan, mengapung turun-naik, berputar-putar di atas rerumputan kuburan yang baru itu, lalu perlahan-lahan, terbang naik, sampai ke pucuk pohon-pohon cemara yang besar dan tinggi, dan akhirnya, lenyap... tak tampak lagi.... TENTANG PENULIS OKT, alias Oey Kim Tiang, lahir di Tangerang pada tahun 1903, seorang peranakan Cina generasi ke-2, dan berbahasa "Melayu pasar" dalam keluarganya. Ia mendapat pendidikan formal bahasa Cina di sekolah dasar. Di bawah bimbingan gurunya, yaitu Ong Kim Tiat (18931964), yang juga menggunakan initial O.K.T., OKT-muda bergelut dalam penerjemahan berbagai karya dari bahasa Cina. Sejak tahun 1920-an ia telah dikenal sebagai penyadur cerita-cerita silat dan kerajaan dari Cina dalam bentuk cerita bersambung di surat kabar dan majalah maupun dalam format buku. Sadurannya sangat banyak dan amat digemari, dan sering dibajak sampai sekarang (untuk daftar sebagian karya terjemahan atau sadurannya, lihat Claudine Salmon, Literature in Malay by the Chinese of Indonesia: A Provisional Annotated Bibliography, pada judul "Oey Kim Tiang" dan "Ong Kim Tiat"). Ketika muda, selain menyadur, ia juga terjun dalam pers sebagai korektor atau editor, suatu kegiatan yang hingga kini masih dilakukan bila membaca surat kabar, majalah, buku atau menonton televisi. Walau telah lanjut usia, OKT masih bersemangat tinggi untuk menyumbangkan apa saja yang dapat dilakukannya. Saduran San Pek Eng Tay ini merupakan sumbangsihnya kepada masyarakat Indonesia dalam usia yang ke-85. ASA (Achmad Setiawan Abad) lahir di Bangka pada tahun 1951. Mantan dosen Universitas Indonesia (UI) (1976-1988) dan Universitas Nasional, mantan peneliti pada Lembaga Riset Kebudayaan Nasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, mantan anggota Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa Pusat, mantan pengurus Himpunan Perserikatan Bangsa-Bangsa - Indonenesia, ia mendapat pendidikan formalnya antara lain dari Fakultas Farmasi Gajah Mada (UGM), Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia, Fakultas Sosial dan Politik UGM, Fakultas Ilmuilmu Sosial Universitas Indonesia (UI), Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Fakultas Ekonomi UI, Fakultas Komunikasi serta Fakultas Politik Universitas Hawaii. Pendidikan non-formal diperolehnya antara lain dari East West Center Communication Institute. Telah menerjemahkan buku-buku antara lain, non-fiksi: Menjangkau Dunia: Menguak Kekuasaan Perusahaan Multinasional, Geografi Keterbelakangan, Pengantar Analisis Politik, Islam di Asia Tenggara, Pembangunan Berdimensi Kerakyatan; fiksi antara lain: Novel Batas Air (Shui Hu Chuan) dan Sang Ayatollah. Sengketa Pewaris Tunggal 2 Mustika Lidah Naga 6 Memburu Iblis 3