Budha Pedang Penyamun Terbang 17
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira Bagian 17 tidak untuk menangkis maupun menyerang. Maka bagi mereka yang mampu menguraikan kelebat bayangan dan angin berdesauan ini akan me lihat diriku bagaikan menari sendiri pelahan sekali, tetapi yang dalam segala kepelahanannya tiada tersentuh segenap serangan Angin Mendesau Berwajah Hijau sama sekali. Namun yang sebenarnya terjadi adalah begitu cepatnya gerakanku, sehingga akulah yang melihat Angin Mendesau Berwajah Hijau bergerak amat sangat lamban dan setiap pukulannya menimpa tempat kosong. Dengan maksud agar daya pendinginan yang keluar dari pori-poriku membekukan sebanyak mungkin udara, maka jurus ini akan selalu berusaha mengitari dan melingkari lawan ke mana pun ia berkelebat pergi. Maka karena sebelumnya aku menggunakan Jurus Naga Mendekam di Dalam T elur yang membuat tubuhku berputar-putar, aku tinggal meneruskannya berputar-putar me lingkar agar dapat mengepung Angin Mendesau Berwajah Hijau dengan hawa dingin, dengan membuka kedua tangan yang memeluk kedua tekukan lutut dan mulai memainkan Jurus Tarian Naga Salju. Dari saat ke saat, setiap kibasan tangan dalam jurus ini membuat udara setingkat bertambah dingin. Pada saat uap air menjadi beku dengan seketika karena ketinggian dayanya, saat itulah jurus ini menjadi berbahaya sekali. SAAT itu Jurus Tarian Naga Salju akan menjadi terlalu mengasyikkan, sementara daya pendinginannya tanpa hentinya meningkat untuk membekukan lawan. Demikianlah Sepasang Naga dari Celah Kledung yang mengasuhku pernah bercerita, bahwa... "...ketika tarian selesa i, lawanmu sudah menjadi patung." Maka aku pun berhenti sampai di sini. Melenting dan berputar balik tujuh kali untuk keluar dari gelanggang dan hinggap di atap sebuah rumah. Di sanalah aku berkata sambil menjura. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ "Maafkanlah jika ternyata tanpa sahaya sengaja, telah sahaya lakukan kesalahan yang membuat sahaya tidak diterima. Baiklah sahaya meminta maaf sekali lagi, dan terimakasih banyak atas segala keramahan dan pelajaran yang telah sahaya dapatkan pula hari ini. Bersama ini pula sahaya mohon pamit untuk melanjutkan perjalanan, dengan rendah hati pengembara yang bahkan tiada memiliki nama ini masih harus melaksanakan tugas yang belum diselesaikannya..." Aku memperlihatkan sikap seperti akan me lesat pergi, ketika kusaksikan Serigala Hitam dan Serigala Merah berlutut dan mengetuk-ngetukkan dahi mereka ke lantai papan di teras rumah sampai tiga kali sambil berujar, kalimat dari yang satu diseling kalimat dari yang lainnya. "Maafkanlah kami Tuan Pendekar! Maafkanlah! Guru kami hanya ingin sekadar berkenalan dengan caranya sendiri! Maafkanlah! Mohon sudilah mendengar dan memenuhi permintaan kami! Maafkanlah!" Kulihat Angin Mendesau Berwajah Hijau masih mengerahkan tenaga dalamnya untuk memecahkan es yang menyelimuti tubuhnya. Aku terkejut melihat akibat Jurus Tarian Naga Salju yang tidak terduga. Busana yang dikenakannya menjadi kaku karena mengandung uap air membeku. Krrrkkk... Terdengar bunyi lapisan es merekah karena arus tenaga panas yang memecahkannya. Angin Mendesau Berwajah Hijau tidak menjadi patung, karena aku menyadarkan diriku sendiri agar tidak terlalu tenggelam dalam pembayangan naga menari di padang salju, yang dunia putih memutihnya, bagaikan tiada lagi yang lebih putih, berdaya menghentikan aliran darah dan membekukannya. Namun tetap busananya membeku, seperti busana sebuah patung, yang jika tidak dipecahkannya dengan irisan daya panas yang dikuasa inya, akan benar-benar membuatnya menjadi patung. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Aku memang tidak mengerti adat orang Kampung Jembatan Gantung ini, seandainya adat keturunan pemberontak dengan segala masalahnya memang harus dibedakan dari mereka yang kedudukannya berbeda. Jadi aku pun ingin tahu, jika upacara angkat saudara itu ada artinya, mengapa Angin Mendesau Berwajah Hijau menyerangku dengan jurus mematikan begitu rupa, dan mengapa pula jurus mematikan seperti itu diterapkan untuk menyerangku, jika tidak bermaksud membunuhku" Betapapun Angin Mendesau Berwajah Hijau tidak berlutut seperti Serigala Hitam dan Serigala Merah, tetapi ia balas menjura, mengatupkan tangan satu ke tangan lainnya. "Ia yang mengaku tidak bernama adalah seorang pendekar besar," katanya, "sudilah kiranya minum teh sekadarnya di pondok seorang guru tua yang mengajarkan ilmu beladiri dengan sekadarnya." Di atas atap itu diriku kembali menjura, dengan bahasa Negeri Atap Langit yang terpatah-patah aku berusaha berbasa-basi sebaik-baiknya. "Tiadalah yang lebih terhormat bagi seorang pengembara selain tawaran untuk singgah dari seseorang tidak dikenalnya, tetapi kali ini yang mengundangnya adalah guru saudarasaudaranya sendiri pula," jawabku, "maka pengelana lata ini membayangkan betapa puja-puji berlebihan tiada lagi diperlukan, agar terbukalah kiranya segala sekat yang menghambat persaudaraan." Setelah mengucapkan kalimat seperti itu aku me layang turun, menuju ke tempat Serigala Hitam dan Serigala Merah telah mengetuk-ngetukkan dahinya seperti itu. Meskipun barangkali sesuai adatnya mereka melakukannya dengan tulus, aku tidak dapat menerimanya sebagai saudara yang kedudukannya seharusnyalah setara. Mungkin mereka melakukannya karena alasan yang terlalu sederhana, yakni bahwa ilmu silatku yang betapapun hanya secara terbatas TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ dapat mereka saksikan, dianggap mengungguli ilmu silat gurunya; atau betapa mereka khawatir, setelah mereka takutkan diriku akan terbunuh, kemudian bahwa aku akan membunuh gurunya. Namun aku baru akan mengetahuinya nanti, bahwa ternyata terdapat penyebab lainnya lagi. KURANGKUL bahu keduanya, dan aku pun berkata. ''Janganlah pernah lagi memanggil diriku Tuan, apalagi Tuan Pendekar, wahai Kakak Serigala Hitam dan Kakak Serigala Merah. Daku hanya seorang pengembara yang telah dikau angkat sebagai saudara, anggaplah diriku sebagai saudara muda kalian, dan panggillah Adik. Iz inkan pula daku memanggil kalian berdua sebagai Kakak seperti sekarang. Daku telah mendapatkan sesuatu semenjak kita bersua, dan diriku sama sekali tidak ingin menghilangkannya, karena bagiku persaudaraan kita adalah sesuatu yang luar biasa.'' Mereka berdua merangkulku pula. Pipi kami basah oleh airmata. (Oo-dwkz-oO) DI dalam pondok Angin Mendesau Berwajah Hijau, terdapat dua lian atau kertas bertulisan di kiri dan kanan meja abu. Pedang Mengambang dalam Kabut adalah bunyi lian pertama, sedangkan Dasar Laut Merah Membara adalah bunyi lian kedua. Meskipun lian biasanya mudah dimengerti, kali ini kurasakan sebagai teka-teki. Namun aku tidak berusaha menduga apa maksudnya, karena Angin Mendesau Berwajah Hijau telah mulai berbicara dengan wajah sungguh-sungguh. ''Pendekar Tanpa Nama,'' ujarnya, tanpa menyadari aku memang biasa dipanggil seperti itu dalam bahasa manapun, ''dikau tentu telah mengenal Jin-siyan, dan demi kepentingannyalah sebenarnya, maka aku pun telah menyerang dirimu.'' Aku terkejut dan melirik Jin-siyan yang matanya mengerjap-ngerjap, sebentar melihat ke bawah dan sebentar TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ mencuri pandang. Untuk sejenak aku seperti tidak melihat kematangannya, bagaikan kanak-kanak yang belum mampu menentukan nasibnya sendiri. Untuk sekejap pula bagaikan kulihat Amrita berkelebat. Membuat dadaku berdesir dan tanpa kuketahui sebabnya udara dingin bagaikan hilang lenyap takterasa. Mendadak bajuku serasa terlalu tebal untukku. Aku menjadi gelisah ingin segera pergi. Apakah kiranya yang akan disampaikan Angin Mendesau Berwajah Hijau ini" ''Jin-siyan adalah seorang gadis yang tidak lagi mempunyai ayah dan ibu,'' kisah orang tua itu mengawali ceritanya. Kisah Jin-siyan ternyata berhubungan dengan Pemberontakan An Lushan yang sempat menguasai Kotaraja Chang'an. Supaya tidak usah mengulangi riwayatnya dengan berpanjang lebar, hanya akan kuceritakan kembali bagian yang berhubungan dengan urusan Jin-siyan ini. Terusan Tongguan merupakan gerbang menuju Kotaraja Chang'an, suatu terusan sempit melalui wilayah tertutup, yang dipertahankan oleh pasukan besar di bawah pimpinan panglima Geshu Han yang sangat dipercaya oleh Maharaja Xuanzong. Panglima pasukan pemberontak, Cui Qianyou, sudah selama enam bulan berturut-turut berusaha menembus terusan itu tanpa hasil. Setiap malam mereka yang mempertahankan terusan ini akan menyalakan api pada menara, sebagai tanda bahwa segalanya aman. Tanda keamanan ini akan diulang dan diteruskan dari menara satu ke menara lain, yang memang disebut menara api, sampai ke Kotaraja Chang'an, supaya wargakota merasa tenang. Sementara pasukan pemberontak terhenti di Terusan Tongguan, pihak Wangsa Tang dilanda perpecahan. Ketika Geshu Han menganjurkan agar Terusan Tongguan dipertahankan dengan ketat oleh pasukan yang kuat; panglima wilayah Shuofang, Guo Ziy i, dan panglima wilayah Hedong, menulis surat kepada Maharaja dari medan TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ pertempuran, meminta izin untuk membawa pasukannya ke utara menyerang Fanyang, kubu yang menjadi pusat kendali An Lushan, serta menganjurkan agar pasukan di Terusan Tongguan menyerang pasukan musuh di luar terusan. Namun Perdana Menteri Yang Ghuozong menentang rencana ini. Banyak orang berkata kepada Yang Ghuozong, ''Geshu Han sekarang menguasai sebagian besar pasukan kerajaan. Jika dia kembali ke Changian setelah mengalahkan pasukan musuh, jabatan dikau akan berada dalam bahaya.'' Menyadari dirinya sebagai perdana menteri yang paling tidak disukai, Yang Guozhong sangat memperhatikan peringatan ini. Ia berkata kepada maharaja bahwa para pemberontak di luar Terusan Tongguan sudah semakin melemah, dan jika Geshu Han masih terus bertahan untuk tidak menyerang, kesempatan untuk menghancurkan pemberontakan akan hilang. Maharaja Xuanzong mempercayai alasan ini, dan mengirim utusan demi utusan ke Tongguan memerintahkan Geshu Han untuk menyerang musuh. MESKIPUN waspada bahwa tindakan seperti itu akan berakibat buruk, Geshu Han tidak dapat sepenuhnya mengabaikan perintah maharaja. Dengan teriakan keras, ia memberi aba-aba agar pasukannya keluar dari terusan. "Sementara itu, pasukan pemberontak yang dipimpin panglima Cui Qianyou telah beristirahat dengan sangat cukup. Inilah saat yang telah mereka tunggu. Ketika pasukan Wangsa Tang yang berkekuatan 200.000 orang di bawah pimpinan Geshu Han menyerang keluar terusan sempit itu, mereka disergap pasukan pilihan yang ditempatkan Cui Qianyou di dekat Lingbao. Pasukan Wangsa Tang berhasil dihancurkan. Hanya 80.000 orang di antara mereka yang selamat. "Sebelum Geshu Han mendapat peluang menyusun kekuatannya kembali, para perwira bawahannya memberontak. Sebagai akibat, para pemberontak yang menang dalam pertempuran segera dapat menguasai T erusan TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Tongguan dan menawan Geshu Han. Dengan jatuhnya Tongguan ke tangan musuh, tidak terdapat batas pertahanan alam sepanjang jalan ke Chang'an. Segenap pejabat wilayah setempat dan pasukan sepanjang jalan ke Chang'an lari Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo lintang pukang meninggalkan kubunya. "Semula utusan yang dikirim Geshu Han ke Chang'an untuk meminta bantuan pasukan masih tiba, tetapi kemudian lantas tidak muncul lagi. Pada malam hari, tanda-tanda api dari menara pun tidak terlihat lagi. Maharaja Xuanzong akhirnya menyadari kegawatan dan kegentingan keadaan ini. Dengan panik ia meminta nasihat Yang Guozhong, yang segera mengadakan pertemuan dengan para perwira maupun para petinggi, tetapi mereka semua tidak bisa menemukan jalan keluar, tiada sanggup mendapatkan gagasan bagus untuk membalikkan keadaan. Mengetahui bahwa tinggal di Chang'an bukan lagi merupakan pilihan, Yang Guozhong menganjurkan Maharaja Xuanzong agar mundur ke wilayah Shu. "Malam itu juga, dalam pengawalan Panglima Chen Xuanli dan pengawal istana, Maharaja Xuanzong dan Yang Guozhong, diikuti oleh Yang Guifei, beserta anak-anak dan cucu-cucu keluarga bangsawan, menyelinap keluar dari halaman tertutup istana dan meninggalkan Chang'an. Mereka mengirim dahulu orang-orang kebiri, yang ditugaskan mempersiapkan segala upacara yang patut bagi rombongan kerajaan oleh para pejabat daerah. "Tanpa pernah tersangka, ketika rombongan mencapai Xianyang, mereka temukan bahwa kelompok yang mendahului, yaitu kelompok orang-orang kebiri, maupun para pejabat daerah telah lenyap bagaikan ditelan bumi. Rombongan melakukan perjalanan dengan jarak yang sangat jauh, tanpa seorang pun menyediakan makanan kepada mereka. Dengan usaha keras, orang kebiri yang masih tersisa dalam rombongan akhirnya berjumpa dengan penduduk setempat, dan meminta makanan kepada mereka. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ "Mereka menghasilkan sejumlah kecil roti kasar yang terbuat dari gandum. Sesuatu yang para bangsawan istana belum pernah memakannya sama sekali, tetapi para bangsawan yang lapar dengan terpaksa melahapnya juga, memegang makanan dengan tangan, mengabaikan sumpit, mangkok, apalagi upacara. "Dengan susah payah Maharaja Xuanzong menelan beberapa potong roti kasar itu, air mata mengalir di pipinya. Seorang tua menyelip di antara orang banyak dan mendekati kereta maharaja. Ia berkata kepada maharaja, eAn Lushan telah merencanakan pemberontakannya lama sekali. Banyak yang melaporkan niat jahatnya dibunuh sebagai balasan. Yang Mulia dikelilingi menteri-menteri dan penasehat yang pekerjaannya sangat bagus dalam menyanjung dan membudak, tetapi menyekat Sang Maharaja dari apa yang terjadi di seluruh negeri. Kami rakyat biasa telah mengetahui bahwa hari semacam ini akan terjadi, tetapi istana begitu sulit dimasuki, sehingga adalah tidak mungkin membagi pengetahuan kami dengan Yang Mulia. Betapa menyedihkan bahwa perlu bencana seperti ini agar kami bisa menyampaikan pandangan kami ke hadapan Yang Mulia. "Maharaja Xuanzong menjawab dengan sedih, 'Daku telah berlaku seperti seorang dungu, tetapi sudah terlambat.' ''PADA hari ketiga pelarian ini berhenti untuk istirahat. Rombongan tiba di sebuah gardu penjagaan di Mawei. Pasukan yang mengawal para pengungsi istana ini dirundung kelaparan dan kehausan, dan dirasakan semakin berat oleh pikiran telah dipaksa meninggalkan kenyamanan Chang'an, untuk mengembara di jalanan selamanya dengan penuh susah payah. Mereka menyalahkan semua ini kepada Yang Guozhong, dan mereka berniat membikin perhitungan dengannya. ''Setidak-tidaknya dua puluh prajurit yang diperbantukan Suku Tubo melingkari Yang Guozhong yang berada di atas TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ kuda, meminta makanan darinya. Sebelum ia sempat menanggapi, orang-orang di luar suku itu mulai berteriak, 'Yang Guozhong mau berontak!' Lantas mereka membentangkan tali busur, siap melepaskan anak panahnya. ''Yang Guozhong menjadi panik dan lari, tetapi yang arahnya telah didahului oleh sejumlah prajurit, dan mereka inilah yang memenggal kepalanya. ''Setelah membantai Yang Ghuozong, para prajurit, masih dalam suasana hati yang terganggu, mengelilingi gardu tempat Maharaja Xuanzong telah diinapkan. Mendengar keributan di luar, maharaja bertanya apa yang telah terjadi. Orang-orang kebiri yang masih berada bersamanya mengatakan bahwa anggota pasukan telah membunuh Yang Ghuozong. Maharaja yang tampak jelas menjadi gemetar itu, menahan tubuhnya dengan tongkat, keluar dari gardu untuk meyakinkan para prajurit dan mereka kembali ke perkemahan mereka dan beristirahat. ''Para prajurit tidaklah menjadi tenang dan masih terus berteriak-teriak. Maharaja Xuanzong mengirimkan Gao Lishin untuk menjemput Chen Xuanli dan bertanya kepadanya mengapa para prajurit tidak bersedia membubarkan diri. Chen Xuanli menjawab, 'Mereka percaya bahwa karena Yang Guozhong mencoba untuk berontak, maka Yang Diperselir Guifei tidak dapat dibiarkan hidup.'' ''Maharaja Xuanzong berada dalam kebingungan. Ia tentu tidak tega untuk membunuh selir kesayangannya. Setelah lama terdiam untuk berpikir, ia mengangkat kepalanya dan berkata, 'Bagaimana mungkin Puan Guifei yang berada di kamarnya dapat mengetahui pemberontakan Yang Guozhong"'' ''Waspada bahwa para prajurit akan menjadi tenang hanya dengan kematian Yang Guifei, Gao Lishi berkatas, 'Puan Guifei tidak bersalah, tetapi pasukan yang telah membunuh Yang Guozhong, dengan ketakutan mereka atas pembalasan TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ dendam, tidak akan hilang kecemasannya jika Puan Guifei tetap diizinkan hidup. Yang Mulia harus menimbang masalahnya dengan hati-hati. Pada akhirnya, keselamatan Yang Mulia tergantung dari kesetiaan pasukannya. ''Demi menyelamatkan lehernya sendiri, Maharaja Xuanzong, berkeras hati bagi keputusan yang sulit, memerintahkan Gao Lishi untuk memisahkan Y ang Guifei dan membawanya ke tempat yang tidak terlihat. Di sana, Gao Lishi mencekiknya. Setelah diberitahu mengenai pelaksanaan hukuman mati Yang Guifei, seluruh pasukan kembali ke perkemahan, dan akhirnya juga merasa maharaja berpihak kepada mereka. ''Akibat dari pemberontakan ini, Maharaja Xuanzong merasa bimbang, 'bagaikan burung yang baru saja luput serambut dari sambaran panah', dengan tergesa-gesa pergi ke Chengdu. Putera Mahkota Li Heng diminta oleh penduduk Mawei untuk tinggal dan menjadi penguasa mereka. Maka ia pun mengumpulkan orang-orang terlantar tanpa pekerjaan maupun sisa pasukan dalam perjalanannya ke utara dari Mawei, dan naik takhta di Lingwu dengan gelar Maharaja Suzong.'' SAMPAI di sini, tanpa kusadari ternyata aku telah selalu membandingkannya dengan cerita bapak kedai dahulu tentang Gao Lishi. Jadi rupanya peristiwa yang sama menjadi tidak terlalu sama, ketika diceritakan dengan sudut pandang berbeda, meskipun tidak ada sesuatu yang diubah. Bapak kedai menceritakan peristiwa yang sama, berdasarkan kebutuhan untuk bercerita tentang riwayat orang-orang kebiri, sedangkan Angin Mendesau Berwajah Hijau menceritakan peristiwa itu karena berhubungan dengan urusan Jin-siyan. Bagaimana peristiwa yang berlangsung tahun 756 itu, jadi sekitar 41 tahun yang lalu, bisa berhubungan dengan Jinsiyan, belumlah kuketahui. Namun sudah kuketahui betapa sebagai orang asing diriku harus belajar mengenal cara TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ penyebutan yang berbeda terhadap nama yang sama. Sekadar mengingatnya, Terusan Tong sama dengan Terusan Tongguan, Yang Yuhuan adalah juga Yang Guifei, dan ada beberapa rincian bapak kedai yang tidak terlalu rinci dalam kisah Angin Mendesau Berwajah Hijau. Terbunuhnya Yang Guifei oleh keputusan Maharaja Xuan, meski dianggap sebagai hukuman bagi pasangan penguasa yang suka bermewah-mewah tanpa peduli rakyat, sebagai nasib sepasang kekasih dianggap sangat menyedihkan. Tidak kurang dari penyair Bo Juyi menggubah puisi panjang yang berjudul ''Nyanyian Kesedihan Tanpa Akhir'' yang juga sangat dikenal orang banyak. Aku pernah membacanya di Kuil Pengabdian Sejati, tetapi saat itu belum mampu kuhayati betapa menyedihkannya nasib sepasang kekasih yang seperti itu, karena penguasaan bahasaku yang masih sangat miskin. Namun melalui penceritaan Angin Mendesau Berwajah Hijau yang sudah jelas bukan seorang penyair ataupun sastrawan, agaknya caranya bercerita lebih sesuai dengan daya tangkapku daripada puisi Bo Juyi yang membutuhkan lebih banyak pengetahuan dan pengalaman untuk memahaminya. Yang Guefei dicekik Gao Lishi, dan mayatnya bahkan diperlihatkan, agar para prajurit terbebas dari perasaan akan dihukum berat karena membunuh Yang Ghuozong. ''Saat itu,'' kata Angin Mendesau Berwajah Hijau, ''sebetulnya Yang Guifei masih hidup!'' (Oo-dwkz-oO) Episode 179 ga ada (Oo-dwkz-oO) Episode 180: [Menulis Seperti Bersilat, Bersilat Seperti Berpikir, Berpikir seperti Menulis] TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ LEMPIR-LEMPIR lontar berserakan di atas tikar, hari sudah sangat terang, rupa-rupanya aku sudah tertidur. Kulihat baris terakhir yang kutulis. Aku menghela napas panjang. Dalam lempir terakhir pun aku belum memasuki Chang'an. Tanpa kusadari kegeleng-gelengkan kepalaku sendiri mengingat segenap pengalamanku di Negeri Atap Langit. Alangkah berbedanya negeri itu dengan Mataram, baik dulu maupun sekarang. Kini pada 872, ketika di sana lembaran yang bernama kertas tersedia untuk dibeli di setiap sudut kota, dan kertas bertulisan dapat digandakan dengan suatu cara, sehingga lebih banyak orang terlibat dalam pembacaan, di sini setiap kali masih harus kuolah lempir-lempir lontarku sendiri, sebelum aku bisa menulis di atasnya dengan guratan-guratan pengutik yang sangat membutuhkan kesabaran. Maka jika seperti pernah kusaksikan di Negeri Atap Langit betapa aksara bisa dituliskan di atas kertas dengan tinta seperti memainkan pedang, maka sulitlah kiranya untuk melakukan yang serupa menggunakan pengutik pada lempiran lontar. Menghadapi lempiran lontar untuk menuliskan aksara di atasnya, artinya aku harus duduk tenang dan menulis pelahan, karena menulis di sini adalah mengguratkan aksara di atas lempiran lontar tersebut. Jika pengguratan tidak berlangsung cermat, aksara menjadi tidak jelas dan tidak bisa dibaca. Adapun di Negeri Atap Langit, alat tulisnya lemah gemulai seperti sekumpulan rambut yang dicelupkan ke dalam tinta. Seseorang tinggal memegang gagangnya dan menggerakkannya di atas kertas. Masih bisa kuingat kesanku ketika kali pertama melihat tangan menulis di atas kertas itu, kadang seperti menari, kadang seperti memainkan pedang. Itu juga berarti mereka bisa menulis dengan cepat sekali. Kuingat cerita tentang penyair Li Bai, yang sambil duduk di punggung kuda menulis di atas kertas dengan sangat cepat dan setiap kali penuh atau selesai melemparkannya, untuk segera mengambil kertas baru dari sebuah kantong di leher kudanya. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ KONON di belakangnya seorang budak harus berlari-lari mengumpulkan kertas-kertas bertebaran itu. Meskipun barangkali cerita semacam ini dilebih-lebihkan, tetapi menunjukkan betapa menulis itu mungkin untuk dilakukan dengan cepat, bahkan cepat sekali. Apakah itu berarti dalam menulis di Negeri Atap Langit orang tidak merenung dan berpikir" Tentu siapa pun ketika menulis dengan sendirinya merenungkan dan memikirkan sesuatu, dan itu juga berarti bahwa merenung dan berpikir sembari menulis dapat dilakukan dengan cepat sekali. Dengan demikian, di Negeri Atap Langit menulis itu tidak jauh bedanya dari bermain pedang, atau tepatnya ilmu penulisan dapat selalu dihubungkan dengan ilmu persilatan. Bukankah sering kuceritakan tentang bagaimana jurus silat dapat dima inkan secepat pikiran, bahkan lebih cepat dari pikiran itu sendiri" Lebih cepat dari pikiran sebetulnya berarti antara pikiran dan gerakan sudah menyatu tanpa jarak lagi, tepatnya melebur tidak terpisahkan, tiada persilatan tiada Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo pikiran, tiada pikiran tiada penulisan, hanya kehidupan; seperti ombak dengan gerakan, seperti angin dengan desisan, seperti cahaya dengan kilauan... Maka apakah yang bisa dikatakan dengan penulisan yang menggunakan pengutik untuk menggurat di atas lempir-lempir lontar secara sangat perlahan-lahan" Aku berpikir bahwa dalam pemikiran, dalam pengertian sebagai pemikiran yang tidak berjarak dari kehidupan, kelambanan maupun kecepatan tidak lagi menjadi ukuran yang membedakan, karena memang tiada lagi ukuran ketika bentuk meleburkan dirinya ke dalam ketiadaan. Maka Jurus Tanpa Bentuk akhirnya memang menjadi sama dengan Tulisan Tanpa Aksara maupun Puisi Tanpa Kata. Jelas hanyalah dengan pikiran yang mengatasi kebiasaan dan peraturan maka semua itu dapat terjelmakan dalam suatu pencapaian. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Pemikiran semacam inikah yang membuat seseorang di balik tembok istana berpikir bahwa diriku telah mengalami ketersesatan" Tentu jika seseorang itu memahami pikiranku, dia akan menemukan bahwa pemikiran ini dapat sampai kepada kemungkinan seperti Dewa Tanpa Kekuasaan, Agama Tanpa Doa, maupun Buddha Tanpa Semesta, karena segala sesuatu menyatu termasuk melenyap leburkan pikiran, seperti Ada yang tidak memisahkan dirinya dari Tiada. Padahal para penguasa sangat membutuhkan wibawa sebuah kekuasaan, demi berbagai macam kepentingan. Bukan hanya diriku kemudian yang disebutkan tersesat, melainkan betapa diriku ini telah menyebarkan aliran sesat, sehingga membuat diriku begitu layak ditiadakan, meski sudah jelas mustahil melenyapkan seseorang begitu saja tanpa bekas selama pikirannya telah berada dalam pikiran lain orang. Ia tidak perlu dikenal, tidak perlu terkenal, bahkan sebetulnya juga tidak perlu ada, karena jaringan pemikiran terbentuk dari mulut ke mulut dari zaman ke zaman dalam berbagai penanggapan, sehingga usaha melenyapkannya sebaliknya menjadi tindak yang justru akan mengabadikan. Seberapa berbahayakah pikiran bagi kekuasaan" Tidakkah kekuasaan itu memiliki begitu banyak alat dan perangkat untuk memaksakan kepentingan" Justru agaknya para pemikir di balik tembok istana itu sangat mengerti, bahwa meskipun seseorang itu ditangkap, dipenjarakan, atau bahkan diberikan hukuman penggal, tiadalah mungkin menghalangi kemerdekaan berpikirnya yang juga berada di dalam kepala setiap orang. Makanya tujuan menangkap dan menghukum mati seseorang tidaklah sekadar bertujuan membunuh pelaku dalam penyebaran pemikiran, melainkan terutama sebagai lambang pemikiran itu sendiri. Dengan kematian pelaku, diharapkan mati pula pemikirannya yang sudah tersebar di dalam kepala orang banyak. Apabila suatu pemikiran yang dianggap berbahaya TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ tersebar dan menggelisahkan kekuasaan, dalam arti kuasa pemerintahan maupun kuasa pemikiran, maka dicarikanlah seseorang yang kiranya dianggap cocok sebagai pelaku penyebaran, untuk dibunuh dalam usaha mematikan pemikiran yang dianggap berbahaya tersebut. Ketika seseorang dan banyak orang akhirnya memang dibunuh, dalam pengertian sengaja dibunuh untuk membunuh pemikiran, sangat mungkin memang orang-orang menjadi takut dibunuh, tetapi betapapun tiada berdaya menolak untuk memikirkan dan memandang dunia dengan cara yang telah disepakati oleh dirinya sendiri. Pemikiran tidaklah pernah memaksakan dirinya selain untuk disepakati, disanggah, atau ditolak dalam perbincangan seseorang dengan dirinya sendiri, yang jika akan menerimanya, maka penerimaan itu sebetulnya adalah pembermaknaan yang juga berasal dari dirinya. Jadi, dalam pemikiran, seseorang itu sebetulnya tidak menerima, melainkan menghasilkan, karena berpikir itu membuka kesadaran, dan kesadaran itulah yang memberi makna kehidupan. ADAPUN kesadaran disebut sebagai kesadaran, karena susunan dalam penalarannya yang penuh peny ingkapan, seperti penyusunan sebuah tulisan untuk menyampaikan gagasan. Demikianlah sebuah tulisan bagaikan cermin suatu gagasan, yang ketika menjadi bagian ingatan dalam kepala, dengan segala pengayaan yang diberikan sang empunya kepala, merupakan olah pemikiran yang mustahil dibunuh dan dihilangkan. Penindasan dan pembunuhan hanya membuat orang memikirkannya kembali, kembali, dan kembali; dan ketika ditemukan kelemahan dalam pemikiran itu seseorang sangat mungkin memperbarui atau menyesuaikannya berdasarkan sudut pandang dan kepentingannya. "Kakek!" Kulihat Nawa melambai ketika digandeng ibunya menuju ke sungai. Ibunya mengangguk, aku pun mengangguk dan TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ tersenyum, meski kemudian senyumku hilang me lihat lempirlempir lontarku yang tersebar tidak berurutan. Mungkin aku telah menjatuhkan tumpukannya ketika tertidur. Damar sudah lama mati. Aku pun tentunya harus membersihkan diri ke sungai. Namun kini aku harus membereskan lempir-lempir lontar ini terlebih dahulu. Kukira aku memang harus mengikatnya dalam urutan, dan menyimpannya dalam bentuk tumpukan keropak. Aku bermaksud menyimpannya di dalam bilik, dan seperti baru menyadari bahwa sudah tinggi juga tumpukan keropak itu, terbersit suatu gambaran, bagaimana kalau keropak-keropak lontar ini suatu hari hilang" Jika pernah ada usaha untuk mencurinya, tidak ada alasan untuk terulang kembali. Lagipula jika para tetangga mungkin mengetahuinya, mungkin mereka akan curiga. Pengusaha lempir yang selalu membawa lempirlempir buatanku ke istana pernah bertanya diriku sedang menulis apa, dan sudah kujawab menuliskan kenanganku sendiri, tetapi jika sempat diketahui bahwa tumpukan keropak sudah setinggi ini, apakah seseorang tidak akan setidaknya bertanya-tanya" Begitulah, umurku dalam penulisan riwayat hidupku itu baru sampai umur 26 tahun, tetapi aku tidak mungkin melewati setiap rincian begitu saja dalam tujuan penulisanku ini. Aku sudah melompati masa sepuluh tahun, ketika dari tahun 786 sampai 796 berkubang memperdalam ilmu silat dalam gua sejak usia 15 tahun. Sebetulnya bukan tidak ada yang layak ditulis selama berada di dalamnya, bahkan jika kuingat kembali banyak juga yang menarik dan penting, terutama dalam perenungan ruang dan waktu. Namun aku merasa dapat melompatinya, karena selama sepuluh tahun berada di dalam gua diriku memang tidak pernah bertemu manusia, sehingga kuanggap tidak ada sesuatupun yang akan berhubungan dengan pengumuman resmi kerajaan untuk memburu diriku. Jika dalam hal ini diriku keliru, tentu saja akibatnya besar sekali, karena meskipun ruang-waktu TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ terhayati secara lain dalam samadhi, betapapun dalam sepuluh tahun tiada mustahil ada juga sesuatu yang secara tidak langsung berhubungan dengan masalahku ini terjadi. (Oo-dwkz-oO) KURAPIKAN dan kubawa lempir-lempir lontar ini ke dalam bilik. Kupikir aku akan mengikatnya nanti setelah kembali dari sungai. Namun saat itulah telingaku yang masih sangat amat tajam meski tanpa merapal ilmu Mendengar Semut Berbisik di Dalam Liang, menangkap gerakan banyak orang yang mengendap-endap. Aku terkesiap. Apakah mereka mengepungku" Jika memang begitu, tentu saja agak di luar kebiasaan jika tindak pengepungan ini dilakukan siang hari. Jika mereka anggota Kalapasa, dan jika mereka bukan anggota Kalapasa tetapi adalah pemburu hadiah maupun seorang tikshna atau pembunuh bayaran, maka mengepung seseorang di hari terang seperti ini adalah di luar kebiasaan. Kecuali, tentu, jika ini bukan serangan gelap seperti yang akan dilakukan golongan hitam, melainkan suatu penangkapan resmi! Benarkah tempat persembunyianku ini sudah diketahui orang" Jika memang demikian halnya bagiku ini tentu sangat menyulitkan. Bukanlah karena aku merasa jiwaku terancam, karena bagiku mereka yang masih merasa pengepungan adalah jalan terbaik untuk menangkap buronan, ilmu silatnya besar kemungkinan tidak terlalu tinggi. Ibarat kata sekali berkelebat, aku sudah akan bisa meloloskan diri dari kepungan. Namun aku tidak akan bisa berkelebat begitu saja dan pergi, karena aku harus mempedulikan lempiran lontar yang sudah bertumpuk-tumpuk itu. Setelah berjuang dari hari ke hari dan dari ma lam ke malam menuliskannya, sedangkan ini barulah permulaannya sahaja, akan sangat tidak mungkin bagiku untuk meninggalkannya, tetapi justru membawanya itulah yang akan TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ mengakibatkan persoalan besar, meskipun misalnya tidak seorang di dunia ini yang tertarik untuk memperhatikan. PADAHAL, mungkinkah kiranya di dunia yang penuh bahaya ini, tempat orang-orang di luar kotaraja meradang penuh dendam karena merasa disingkirkan kerajaan, miskin, kurang makan, dan tidak mempunyai tempat tinggal untuk tidur dengan nyaman, tidak akan penasaran melihat seorang tua membawa banyak beban, baik dalam gerobak ataupun karung di punggungnya" Adapun jika mereka sudah tertarik perhatiannya, tidak ada jaminan untuk tidak ingin mengetahui isinya, bahkan sudah berharap isinya mungkin berharga dan barangkali bisa dirampok pula. Meskipun aku masih terus menyamar, tetap saja banyak orang melihatku sebagai orang yang sudah tua, dan membayangkan bahwa orang tua biasanya kurang berdaya, mereka yang berpikiran jahat dan berkeliaran di jalanan tentulah akan sangat amat tergoda untuk merampoknya. Tidak berarti jika seseorang mengetahui bahwa isi karung yang dipanggul atau tergolek di dalam gerobak itu bukanlah intan berlian melainkan lempir-lempir lontar, lantas seseorang itu tidak akan tertarik untuk merampasnya pula. Mereka yang mengerti bahwa aksara tersusun jadi kata, kata-kata membentuk kalimat, dan kalimat demi kalimat membentuk wacana, tentulah akan menjadi penasaran untuk mengetahuinya pula, begitu rupa sehingga bukan tidak mungkin berusaha mencurinya. Apalagi, seperti yang pernah kukatakan, jika seseorang itu adalah pendekar pengembara pula, yang sangat mungkin akan mempertimbangkan, bahwa lempir-lempir lontar ini adalah sejumlah kitab ilmu silat yang sangat langka. ''Pendekar Tanpa Nama!'' Mendadak terdengar teriakan menggelegar. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ ''Keluarlah dari tempat persembunyianmu! Dikau sudah terkepung! T idak ada gunanya melawan! Menyerahlah!'' Suara itu memang keras, tetapi ada sesuatu yang rasanya janggal. Aku pun mengintip lewat celah dinding bambu. Kulihat sekitar lima puluh prajurit dengan senjata terhunus. Mereka membawa tombak dan pedang, tetapi tidak membawa perisai, yang memang hanya digunakan dalam pertempuran melawan suatu pasukan pula. Pemimpinnya bersenjata cambuk dan terbedakan dari lainnya karena ken dan perangkat hiasan yang dikenakannya, sejak dari sadangan warna kuny it, ikat pinggang emas dengan hiasan intan, hiasan rambut kulit penyu pada rambutnya yang terikat ke atas, maupun kelat pada bahunya. Wajah orang ini tampak seram karena penuh dengan bulu. Namun yang penting, ternyata mereka tidak sedang mengepung pondokku, melainkan pondok Rangga! Mereka keliru! Atau seseorang telah menyesatkan mereka! Aku sungguh tidak mengerti dengan keadaanku ini, yang tampaknya saja tenang dan tersembunyi, tetapi bagaikan begitu banyak orang yang ternyata mengetahui. Betapapun mereka telah keliru, dan itu berarti mereka tidak tahu. Namun setidaknya ada seseorang yang telah membuat limapuluh anggota pengawal raja mencariku ke dalam puri yang tanahnya disewa-sewakan ini. Meskipun begitu, jelas terdapat mata rantai yang terputus, sehingga keterangan bisa terbelokkan dan pondok orang tua yang suka meniup seruling itulah yang dikepung dan bukan pondokku. Terdengar suara ledakan dahsyat. Ternyata berasal dari cambuk itu. Ia melecutkan cambuknya berkali-kali sehingga terdengar ledakan keras beruntun yang menggetarkan. ''Keluarlah orang tua! Jangan sampai kami terpaksa membakar dirimu di rumahmu sendiri! Keluarlah! Tiada lagi Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ tempat bagimu untuk bersembunyi! Janganlah melawan pasukan pengawal raja!'' Aku menahan nafas. Ternyata terdapat juga mamanah, atau anggota pasukan panah, yang baru terlihat olehku sekarang di antara mereka, setidaknya sepuluh orang, yang ujung anak panahnya telah berbalut kain menyala-nyala, siap membakar atap ijuk dan dinding bambu yang serba mudah terbakar itu. Apa yang akan terjadi dengan Rangga Tua jika ia muncul dari balik pintu" Apakah pasukan pengawal raja ini akan menangkapnya" Tutup pintu yang terbuat dari bambu itu terjatuh ketika Rangga T ua yang sudah berusia 80 tahun muncul di pintu. Ia melangkah tertatih dan tampak belum menyadari apa yang terjadi, ketika begitu keluar cahaya matahari pagi yang menembus dedaunan langsung menerpa matanya. Pemimpin pasukan itu melecutkan cambuknya. Terdengar ledakan dahsyat. ''Serbuuuuuu!'' Teriakannya keras membahana, dan limapuluh anak buahnya bergerak serentak. Meskipun sudah 101 tahun umurku, darahku masih bisa naik ke kepala. BUKANKAH pemimpin pasukan ini memintanya menyerah" Semula, karena kupikir pasukan pengawal raja ini akan menggunakan aturan, setidaknya hanya menangkap Rangga Tua dan tidak membunuhnya, akan kubiarkan saja mereka menangkap Rangga Tua, untuk kemudian menyadari kekeliruan lantas melepaskannya. Namun yang terjadi justru pembantaian terencana! Aku sudah memutuskan untuk bergerak menyelamatkan Rangga Tua yang selalu kunikmati suara serulingnya pada malam sunyi, ketika suatu bayangan berkelebat. Para mamanah langsung terpental dan terjungkal muntah darah, sedangkan anak panahnya yang berapi langsung berpindah TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ tangan, menjadi senjata yang digunakan untuk menyapu para manalah atau pasukan tombak. Delapan anak panah menancap ke tubuh delapan manalah dalam keadaan masih berapi yang menimbulkan jeritan-jeritan panjang, sementara dua anak dipegang dan menjadi senjata yang berputar seperti baling-baling menangkis serangan seluruh pasukan. Baling-baling api berkelebat di antara gerak pengeroyokan pasukan. Meski hari sudah terang, pepohonan di dalam puri ini cukup rimbun untuk memperlihatkan cahaya api yang melesat-lesat kian kemari dan dalam setiap arahnya menelan korban. Semua ini terjadi cepat sekali, tetapi dapat kubaca dari gerak api itu sebuah jurus yang belum pernah muncul di dunia persilatan, meski pernah kupelajari dari Kitab JurusJurus Langka yang Hampir Punah. Sejauh yang bisa kuingat, jurus itu disebut Jurus Naga Api, yang memang memanfaatkan unsur api sebagai bagian penting dari jurusnya. Dalam bentuknya yang terbaik, demikian katanya dalam kitab yang pernah kubaca itu, tubuh lawannya dapat terbungkus api dan menyala sampai lawannya tewas terpanggang menjadi arang. Namun bayangan yang berkelebat itu tampaknya tidak bermaksud membuat para anggota pasukan pengawal raja ini menjadi arang ataupun menjadi dendeng, meski memang tidak biasanya jika pucuk panah berapi itu menembus tubuh, ketika dicabut kembali apinya masih menyala. Kukira pemegangnya menyalurkan tenaga dalam yang membuat apinya bukan saja tetap menyala, tetapi juga bahwa ujung logam mata anak panahnya merah membara. Dalam sekejap semua anggota pasukan sudah tergeletak tak bergerak-gerak dan takbersuara. Pemimpin pasukan bertarung sebentar dikurung Jurus Naga Api. Rupanya kepada pemimpin pasukan inilah penyelamat Rangga Tua itu mengirimkan hukuman dan pesan kebersalahan. Hanya sebentar cambuk andalannya meledak-ledak membahana, TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ karena sebentar kemudian terdengar jeritan panjang, tetapi yang kemudian berhenti untuk selama-lamanya. Begitu mata anak panah itu tertancap ke dadanya, warna merah bara dari mata anak panah itu merayap ke seluruh tubuhnya, membuat seluruh tubuh itu juga menjadi merah, seperti bara yang menyala! (Oo-dwkz-oO) TANAH di halaman sudah bersih dari darah yang mengalir. Mayat-mayat sudah diangkut dengan gerobak. Para anggota pasukan pengawal raja itu masih dihormati karena menjalankan tugas negara, dan karena itu mayatnya tidak ditumpuk-tumpuk. Asal sudah penuh oleh mayat tiga atau empat mayat berdampingan, segeralah gerobak dibawa pergi. Gerobak ini tidak dihela oleh sapi, melainkan budak-budak yang mengendalikan di depan maupun mendorong dari belakang. Mayat kepala pasukan itu paling sulit diangkut karena sudah menjadi kaku seperti patung. Tubuhnya yang tadi menyala kini hanya hitam seperti batu, tetapi yang sebetulnya sangatlah rapuh seperti arang. Warga setempat yang mau membantu dilarang. Bahkan tadi tempat pertempuran dan mayat-mayat tergeletak dijaga, supaya segala petunjuk yang mengarah kepada Pendekar Tanpa Nama tidak terhapus. T idak seorangpun dapat melihat gerak bayangan yang berkelebat itu. Memang benar warga yang saat pengepungan masih berada di pondoknya masingmasing mengerti duduk perkaranya, bahwa pasukan pengawal raja telah keliru menyangka Rangga Tua sebagai Pendekar Tanpa Nama. Namun tidak seorangpun sebenarnya mengetahui, bahwa bayangan berkelebat yang telah menewaskan lima puluh pasukan pengawal raja, masih ditambah dengan kepala pasukannya, bukanlah Pendekar Tanpa Nama. Bayangan itu berkelebat begitu cepat seperti kilat. Segenap peristiwa yang kuceritakan tadi dalam arti sebenarnyalah TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ hanya berlangsung sekejap mata. Orang awam yang menganggap dunia persilatan hanya dongeng, tidak mungkin dapat melihat gerak dengan kecepatan seperti itu, apalagi mengetahuinya sebagai Jurus Naga Api, meski barangkali bisa saja membayangkannya. Bukankah orang awam juga kiranya yang suka menceritakan kembali dunia persilatan ini begitu rupa, sehingga lebih mirip dongeng tidak masuk akal yang bisa dipercaya" Betapapun memang tidak seorangpun yang mengetahui makna peristiwa ini, kecuali, ya kecuali seseorang cukup waspada dengan kenyataan bahwa semula yang disangka Pendekar Tanpa Nama adalah Rangga Tua. TELAH kusebutkan kemungkinan terputusnya mata rantai pesan, sehingga yang seharusnya mengepung pondokku, beralih menjadi kepungan atas pondok Rangga Tua, yang sampai sekarang belum juga menyadari betapa dirinya nyaris menjadi korban. Namun aku memikirkan kemungkinan lain lagi sekarang, karena pasukan pengawal raja kukira tidaklah mungkin tertipu begitu saja. Dengan dukungan pengawal rahasia istana, semestinya sekali mereka menyelidiki, tiada alasan untuk tidak sampai ke arah yang tepat; tetapi bukan saja mereka belum berhasil, bahkan segenap mata-matanya juga sudah ditewaskan. Memang dari ketiga orang berkuda hitam yang tewas waktu itu, belum dapat dipastikan apakah mereka bekerja demi kepentingan pengawal rahasia istana, karena jaringan rahasia Cakrawarti yang merasuk ke segala lapisan, kupertimbangkan telah menyelundupkan sejumlah anggota Kalapasa sebagai pengawal rahasia istana. Namun jika pertimbanganku keliru, tetap saja jalan yang menunjukkan keberadaanku masuk akal kukatakan sudah tertutup. Sebab jika tidak, tentu sudah terlalu banyak tantangan maupun serangan gelap yang harus kulayani. Hanya satu orang yang kukira berusaha keras mengetahui keberadaanku maupun siapa diriku. Ia sudah berada di arah TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ yang tepat, seperti diceritakan Nawa, bahwa ia te lah bertanyatanya adakah di kampung ini seorang pendekar yang disebut Pendekar Tanpa Nama, tetapi aku tidak pernah menunjukkan tanda-tanda yang membenarkannya. Bahkan juga setelah diketahuinya betapa aku telah menulis dan menyimpan keropak lontar yang cukup banyak di pondokku. Ia memilih untuk mengamatiku dari kejauhan, siang dan malam, seperti pernah kukatakan, dan bukannya diriku tiada mengetahuinya. Aku berpikir, mungkinkah kini dirinya ingin menarik perhatianku" Dialah satu-satunya manusia yang mengetahui diriku berada di sini. Sangatlah mungkin baginya untuk menyampaikan pesan terpercaya, yang dengan dungu akan diikuti pula, karena memang bukan pengawal rahasia istana yang dipancingnya! Namun jika perhitunganku ini tidak terlalu keliru, tidakkah berarti ia sebetulnya kejam sekali" Karena para anggota pasukan pengawal raja itu telah dijebaknya dalam jerat tipu daya, dengan kesadaran penuh bahwa mereka semua akan dibunuhnya sendiri! Aku menghela napas panjang. Apakah yang diinginkannya dariku" Di halaman masih terdengar teriakan riuh rendah para budak. "Awas! Awas! Jangan lewat tempat berbatu itu!" Namun agaknya budak yang menghela di depan sudah telanjur berjalan di atas batu. Ini gerobak yang membawa kepala pasukan membatu, tetapi yang sebetulnya rapuh seperti arang itu. Bagaikan patung yang berdiri di atas gerobak, mengacungkan cambuk yang tampak begitu siap untuk melecut. "Awaaaass!!" TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Gerobak itu melonjak, mayat kepala pasukan yang kaku beku itu terpental. "Aaaaahhhh!" Orang banyak berteriak melihatnya, karena tubuh yang mematung serapuh arang ini jatuh berdebum di atas tanah dalam keadaan terpisah-pisah. Tangannya yang memegang cambuk lepas, kepalanya menggelinding, dan tubuhnya pun patah terbagi antara pinggang ke atas dan pinggang ke bawah. Aku masih berada di dalam bilik. Menyadari sepenuhnya betapa setiap orang yang mengenalku di sini mengetahui aku tidak mempunyai nama. Namun kurasa dunia persilatan masih terlalu berjarak dari dunia orang awam, sehingga tidak mungkinlah siapapun di sini akan menghubungkan diriku dengan Pendekar Tanpa Nama yang nyawanya dihargai 10.000 inmas tersebut. Betapapun aku merasa masih aman untuk menulis terus di sini. Ya, menuliskan segala sesuatunya seperti bersilat, tentu bersilat seperti berpikir, dan berpikir seperti menulis! (Oo-dwkz-oO) Episode 181: [Orang-orang Tersingkir] Kabut turun kembali menyelimuti Kampung Jembatan Gantung. Dari rumah-rumah yang menempel di dinding seperti sarang burung walet ini segalanya hanya tampak sebagai kekelabuan yang rata. Negeri Atap Langit memiliki perbentengan alam yang sangat kuat untuk menghadapi serangan dari bangsa-bangsa lain, tetapi di dalam negerinya sendiri, perpecahan yang tidak kunjung usai, semakin lama semakin memperlemah wangsa yang telah membawa negeri itu ke puncak kejayaan dan peradaban, yakni Wangsa Tang. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ DALAM Pemberontakan An Lushan antara tahun 755 sampai 763, kekacauan bahkan dapat membuat Maharaja Xuanzong memerintahkan hukuman mati bagi selirnya yang terkasih, Yang Guifei. Peristiwa itu terjadi ketika rombongan istana mengungsi, dan pada 756 para pengawal berhasil membunuh Perdana Menteri Yang Ghuozong, serta memaksa agar Yang Guifei yang cerdas disingkirkan juga. Tercatat dalam sejarah, bahwa dalam peristiwa 41 tahun lalu itu, orang kebiri Gao Lishi melaksanakan perintah maharaja dengan cara mencekiknya di sebuah kuil. Dengan meyakinkan mayatnya diperlihatkan, dan karena itulah para pengawalnya tetap setia, sementara rombongan itu sendiri telah menjadi tercerai berai. "Saat itu," kata Angin Mendesau Berwajah Hijau, "sebetulnya Yang Guifei masih hidup!" Bagaimanakah ucapan seseorang bisa dipegang" Setelah dibiasakan menggauli kitab-kitab, baik keropak lontar di Javadvipa maupun gulungan kain sejak dari Kuil Pengabdian Sejati, aku mengerti betapa sekali dituliskan aksara tidak akan pernah berubah lagi. Namun cerita lisan dari mulut ke mulut, akan selalu terceritakan dalam penafsiran pengujarnya, dan apabila sang juru cerita memiliki kepentingan tertentu dalam apa yang diceritakannya, maka disadari atau tidak tentu berpengaruh kepada nada, sudut pandang, maupun semangat penceritaannya. Adapun cerita Angin Mendesau Berwajah Hijau ini sama sekali berbeda. Yang Guifei yang telah diketahui semua orang mati dicekik Gao Lishi dikatakannya masih hidup. Bahkan saat itu hamil besar dan me lahirkan pula. Konon itulah pula sebabnya maka Gao Lishi tidak tega membunuhnya. "Yan Zi ini adalah anak Yang Guifei dari Maharaja Xuanzong," ujar Angin Mendesau Berwajah Hijau, "makanya ia disembunyikan di sini, bahkan di kampung ini hanya yang berada di ruangan inilah yang mengetahui siapa sebenarnya Yan Zi. Jika mata-mata kerajaan mengetahui keberadaan TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ seorang anak Maharaja Xuanzong dari kandungan Y ang Guifei, niscaya segala kekuatan yang ada dikerahkan untuk menjejaki dan menjejaki dan melenyapkannya, sebagai bibit manusia yang terlarang untuk hadir di muka bumi." Aku pernah membaca bagaimana kemudian seluruh Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kerabat Yang Guifei di wilayah Szechuan diburu untuk dibantai, dan ini tentu mengingatkan diriku pula, bahwa dalam catatan yang kubaca di Kuil Pengabdian Sejati dituliskan betapa Yang Guifei diperintahkan mencekik dirinya sendiri dengan kain sutera. Mungkinkah" Berbagai cerita yang berbeda tidaklah muncul tanpa sengaja, melainkan demi jaringan penyebab yang sangat rumit pula. Bahkan dalam bentuk tulisan, kepentingan bukan tidak mengendap dalam pengarahan, meskipun bagi pembaca segala sesuatunya lebih memberi kesempatan untuk mempertimbangkan. Adapun dalam cerita lisan, yang dalam hal cerita seorang Angin Mendesau Berwajah Hijau tidak dimaksudkan sebagai hiburan maupun tontonan, melainkan perbincangan yang sungguh-sungguh demi kehidupan seorang perempuan, bukan berarti aku tidak waspada terhadap pembelokan catatan, melainkan sungguh aku harus bersikap sopan. Artinya pengetahuan yang kudapat sebelumnya mengenai Yang Guifei yang tewas mengenaskan dalam usia 43 tahun itu tidaklah harus membuat aku mempertanyakan, karena apapun yang menjadi latar belakang, Angin Mendesau Berwajah Hijau pada dasarnya ingin menyerahkan Yan Zi sebagai titipan. "Sejak dilahirkan 41 tahun yang lalu Yan Zi menjalani kehidupan sebagai pelarian, sampai akhirnya kami menemukan dan membangun persembunyian ini," Angin Mendesau Berwajah Hijau me lanjutkan, ikini sudah waktunya ia pergi mengambil haknya dan melihat dunia." TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Aku memandang Angin Mendesau Berwajah Hijau, maupun Serigala Hitam dan Serigala Merah, dengan wajah kurang mengerti. Angin Mendesau Berwajah Hijau tersenyum sambil mengelus jenggotnya yang putih. "Tentu saja Pendekar Tanpa Nama belum paham. Yan Zi bukannya ingin diakui sebagai keluarga istana, melainkan wajib mengambil kembali pedang mestika warisan leluhurnya, yakni Pedang Mata Cahaya, yang dirampas dalam penjarahan di Szechuan. Pedang itu merupakan pasangan, maksudnya seperti sepasang mata, yang jika keluar dari sarungnya saja, jika dipegang dengan tenaga dalam cahayanya sudah bisa menggoreskan luka mematikan. "Ketika mengungsi dari Changian, Pedang Mata Cahaya yang untuk dipegang tangan kanan berada di dalam tumpukan busana Yang Guifei. Orang kebiri Gao Lishi yang menemukannya segera menyimpan pedang itu, yang diperlakukannya seperti milik sendiri supaya tidak mencurigakan. Adapun Pedang Mata Cahaya yang untuk dipegang tangan kiri berada di tempat tinggal ayahnya di Szechuan. Ketika berlangsung pembantaian seluruh kerabat Yang Guifei, yang dianggap merupakan sumber kekacauan pemerintahan Wangsa Tang, pedang itu menjadi barang jarahan, yang tentunya menjadi barang perbendaharaan istana. 'YAN Zi sejak bayi hidup bersama kami dan belum pernah keluar dari wilayah ini, kecuali ketika tinggal di Perguruan Shaolin untuk belajar ilmu silat. Itu pun tidak pernah pergi ke mana pun karena memang dilarang keluar dari balik tembok. Sebetulnya Perguruan Shaolin hanya mengajarkan ilmu silat kepada para bhiksu atau bhiksuni, tetapi mereka bersedia mengajar Yan Zi setelah kami temui bhiksu kepala, dan menceritakan segalanya, antara lain suatu ketika ia harus TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ mengambil kembali Pedang Mata Cahaya yang untuk dipegang tangan kiri dari dalam istana. ''Pedang Mata Cahaya yang untuk tangan kanan sudah dikirimkan oleh Ghao Lizi secara rahasia, melalui segala jaringan yang memungkinkan, bersama bayi Y ang Guifei, yang diselundupkan bersama para pemberontak yang setelah dikalahkan segera melarikan diri ke perbatasan. Tidakkah aneh bahwa para pemberontak berhubungan dengan Gao Lishi" Dalam jaringan kerahasiaan lawan bisa menjadi kawan dan kawan bisa menjadi lawan, apalagi terdengar desas-desus bahwa bayi itu bukan anak Maharaja Xuanzong melainkan An Lushan! ''Sementara Ghao Lizi mungkin saja menotok jalan darah Yang Guifei agar tampak seperti orang mati, memang masih belum jelas siapa yang menghuni kuburannya sekarang, dan bagaimana caranya menyembunyikan Yang Guifei sampai ia melahirkan. Namun hanya orang terpercayalah yang akan mendapat jalan sampai ke tempat ini mengantar s i bay i. Kami menerimanya bukan karena dia anak maharaja atau pemberontak, tetapi karena anak siapapun dia, sangat mungkin dibunuh jika diketahui s iapa ibunya. ''Bhiksu kepala Perguruan Shaolin itu menyanggupi, meskipun katanya melanggar peraturan, yang membuat Yan Zi tidak boleh terlihat orang luar tinggal bersama mereka. Tidak kurang dari dua puluh tahun Yan Zi belajar ilmu silat di sana. Namun bhiksu kepala itu sebelum meninggal dunia sempat berkata, meski ilmu silat Yan Zi sangat tinggi, jangan mimpi bisa menembus penjagaan istana jika jurusnya masih dapat terlihat oleh orang-orang sungai telaga. Ia berkata, Yan Zi hanya akan dapat mengambil pedang Mata Cahaya untuk tangan kiri yang persembunyiannya pun belum jelas tersebut, jika ia sanggup memainkan jurus-jurusnya sehingga tidak dapat dilihat, atau masuk bersama seseorang yang sudah mampu melakukannya. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ ''Serigala Merah telah menyaksikan bahwa gerakan Pendekar Tanpa Nama tidak dapat dilihat, bahkan oleh orangorang sungai telaga dan rimba hijau yang ilmu silatnya sudah sangat tinggi. Tidak usah dijelaskan lagi bahwa kami sangat mengerti, bahkan telah lancang menguji kepandaian pendekar yang mengaku tidak bernama, dan kami merasakan sendiri betapa ilmunya memang tinggi. Mohon kiranya sudi menemani dan menjaga Yan Zi untuk mengambil Pedang Mata Cahaya untuk tangan kiri di istana Chang'an.'' Setelah menutup kalimatnya, baik Angin Mendesau Berwajah Hijau, maupun Serigala Hitam dan Serigala Merah, segera berlutut, membungkuk, dan mengetuk-ngetukkan kepalanya ke lantai berkali-kali. Aku menghela napas. Dengan cara seperti itu, dibandingkan dengan Negeri Atap Langit, orang-orang Javabhumipala tampak sombong. (Oo-dwkz-oO) AKU memang harus berangkat, dan aku memang ingin segera berangkat, karena meskipun Kampung Jembatan Gantung yang rumah-rumahnya menempel seperti sarang burung walet ini bagaikan begitu menarik untuk dihuni, pikiranku tak bisa kulepaskan dari Harimau Perang. Aku tidak ingin kehilangan jejaknya lagi, apalagi ketika aku justru berpeluang mencegatnya. Namun siapakah kiranya akan mengira, bahwa akhirnya diriku bahkan mendapat beban tugas tambahan, yakni mengawal Yan Zi dalam usahanya mengambil Pedang Mata Cahaya" Serigala Hitam dan Serigala Merah tentu juga telah menyampaikan kepada Angin Mendesau Berwajah Hijau bahwa aku sedang melacak jejak seseorang yang kusebut Harimau Perang, tetapi baiklah kupercayakan saja betapa dengan segala pengertian tetap saja tugas itu dibebankan kepadaku karena tiada lain pilihan. Betapapun aku tidak boleh mengeluh dan memikirkan diriku sendiri. Kong Fuzi berkata: TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ manusia unggul mengerti apa yang benar manusia rendah mengerti apa yang laku dijual Setelah kami semua bersama-sama minum teh oolong yang sungguh mengembalikan kekuatan tubuh, Y an Zi meminta diri untuk mengambil barang bawaan dan menyiapkan kuda. Aku memang merasa kehilangan kudaku, dan sejak kemarin bertanya-tanya di manakah kiranya kuda bisa merumput di tempat setiap orang seolah-olah akan selalu bisa terpeleset melayang ke jurang seperti ini. NAMUN sebentar kemudian Yan Zi telah melayang kembali dengan wajah pucat. Angin Mendesau Berwajah Hijau serta Serigala Hitam dan Serigala Merah segera berkelebat mengikutinya. Hubungan batin keempat orang ini tampaknya begitu kuat, sehingga hanya perlu sekilas pandangan mata sahaja untuk menggantikan seribu kata berbusa. Aku pun tentunya ikut berkelebat menyusul mrereka dari belakang. Mereka langsung melayang masuk ke balai pertemuan yang juga menempel di dinding seperti sarang burung walet, tempatku menginap semalam. Di dalam kulihat lelaki tua berjubah ungu itu sudah tertelungkup, dengan cawan yang sudah terguling dan air tehnya menggenang pada meja pendek. Sebagian air teh itu juga sudah membasahi kertas yang sudah bertulisan. Rupanya lelaki tua berjubah itu menyeduh teh sebelum menulis, dan sempat meminumnya selagi menulis, tetapi kemudian tertelungkup karena ternyata kehilangan nyawanya. Pasti kejadiannya belum lama. Ia sudah menulis ketika aku keluar dari balai pertemuan ini tadi pagi, dan waktu itu di meja pendek tempat lelaki tua tersebut menulis belum kulihat teko maupun cawan berisi teh panas. Di balai pertemuan itu memang terdapat irisan daun teh pada suatu tempat dari anyaman bambu, agar siapapun TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ menyeduhnya sen-diri dengan air panas. Di belakang balai, terdapat tempat untuk memasak air itu. Berarti kejadiannya memang belum lama, berlangsung ketika Angin Mendesau Berwajah Hijau mengisahkan riwayat Yan Zi, yang berlanjut dengan acara minum teh. Setelah aku pergi ia berhenti menulis, menyeduh teh, dan kembali ke mejanya. Ketika mulai menulis kembali, ia minum teh dari dalam cawan yang sudah disiapkannya sendiri.... "Racun...," desis Angin Mendesau Berwajah Hijau. Kuamati permukaan genangan air teh yang tumpah dari cawan di atas meja, meski samar terlihat kebiru-biruan. Meskipun ilmu pemunah racun yang bekerja dengan sendirinya sebagai warisan Raja Pembantai dari Selatan sudah menguap bersama dengan penguasaan atas filsafat Nagarjuna, pengenalan tersembunyi tentang racun itu tidak pernah hilang, meski aku sendiri tidak merasa pernah belajar cukup sungguh perihal racun. Serigala Hitam segera memeriksa teko, dan Serigala Merah membuka tutup penyimpan irisan-irisan daun teh. Sementara Angin Mendesau Berwajah Hijau menyelamatkan kertas bertulisan yang dirayapi resapan air. "Racun itu berasal dari sini," ujar Serigala Hitam. "Ya, daun-daun teh ini bersih," ujar Serigala Merah. Masalahnya, siapa yang telah memasukkan racun itu ke dalam teko" Yan Zi yang sejak tadi bagaikan tersihir berkelebat menghilang. Tentu ia mencari orang-orang yang mengurus balai pertemuan, termasuk merekas yang mempersiapkan irisan-irisan daun teh dan menyediakan segala peralatan yang ada di situ, antara lain ceret, teko, maupun cawan untuk minum teh. Tubuh orang tua itu masih hangat. Barangkali nyawanya baru saja lepas dalam sekejap mata. Aku mengerti betapa TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ persoalan bisa menjadi pelik, bukan sekadar karena seorang tua yang lidahnya dipotong mati diracuni ketika sedang menulis, melainkan karena seseorang telah diracuni di dalam Kampung Jembatan Gantung yang sangat ketat pertahanannya atas penyusupan dari luar. Satu kali sahaja suatu titik tembus, meski hanya oleh satu orang, sangat mudah segera berubah menjadi satu pasukan, yang niscaya akan membakar, menjarah, membunuh, dan memperkosa, memusnahkan segalanya yang dianggap sebagai bibit-bibit pemberontakan. Pikiran, itulah masalahnya, tidak harus pikiran untuk memberontak, bahkan berpikir untuk tidak menjadi sama, melainkan untuk menjadi berbeda, meskipun hanya sebagai pikiran, bagi kekuasaan yang menghendaki kemutlakan, sudah lebih dari cukup untuk sebuah pembasmian. Keadaan harus dianggap genting bagi Kampung Jembatan Gantung jika telah berlangsung penyusupan yang mampu menembus tabir tanda-tanda rahasia penuh jebakan menyesatkan, maupun lolos dari mata tajam para penjaga batas-batas perkampungan. Pembunuhan seorang tua berjubah ungu yang bekerja di istana, tetapi yang sudah lari Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo jauh ke pelosok seperti ini, bahkan ke suatu tempat yang amat sangat tersembunyi, tentu dilakukan petugas rahasia yang dengan suatu cara telah membongkar kunci-kuncinya. Namun aku tahu, mengingat begitu mustahilnya Kampung Jembatan Gantung ini ditemukan dalam berpuluh-puluh tahun perburuan oleh para petugas rahasia, yang sangat ditakuti oleh Angin Mendesau Berwajah Hijau adalah terdapatnya mata-mata tidur, yakni mata-mata yang telah ditanam selama berpuluhpuluh tahun, hanya untuk melakukan tindakan pada saat yang sangat amat menentukan. MUNGKINKAH terdapat mata-mata tidur di antara semua orang yang telah mereka kenal dengan akrab ini" Bahwa hampir setiap warga Kampung Jembatan Gantung memiliki kemampuan tempur yang diwariskan oleh para pemberontak TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ gagah berani tentu sudah menjadi pengetahuan bersama. Namun jika dengan kemampuan yang tinggi salah seorang warga ternyata adalah mata-mata tidur, pada dasarnya riwayat Kampung Jembatan Gantung sebagai benteng persembunyian terakhir sudah tamat. Akupun takbisa membayangkan, seseorang menunggu dengan tabah dan sabar selama berpuluh-puluh tahun, untuk suatu ketika memutuskan bahwa orang tua berjubah ungu itu tergolong ancaman bahaya yang harus dimusnahkan. Sebelum ia menulis lebih banyak lagi. Cara berpikir semua orang yang ada di ruangan ini ternyata sama. ''Mengapa kertas bertulisan ini tidak diambilnya"'' ujar Angin Mendesau Berwajah Hijau. Serigala Hitam yang memeriksa teko, ceret, maupun cawan, juga seperti Serigala Merah, dengan mengendusendusnya, rupanya sangat memahami ilmu racun. ''Racun ini tidak mungkin dibuat di sini, bahannya tidak terdapat di Negeri Atap Langit,'' katanya. Sesuatu terasa bergerak di dadaku. Tidakkah hanya diriku satu-satunya unsur asing di sini" Apakah mereka akan menggeledahku" Betapapun jika mereka berminat melakukannya, aku merasa hal itu masuk akal. Meski ternyata lanjutan kata-katanya membuat diriku tenang. ''Racun ini kepahitannya memang mirip teh,'' ujar Serigala Hitam yang bahkan berani mencecap dengan lidahnya, dari air teh yang ia tuangkan sedikit ke punggung tangannya, ''maka sama sekali tidak mencurigakan.'' Ia pun mengibas-ngibaskan tangannya, sambil berteriak. ''Hanya beberapa tetes saja sudah begini gatal rasanya!'' TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Angin Mendesau Berwajah Hijau yang masih memegang kertas kemudian ikut mencicipi, tetapi yang seperti juga Serigala Hitam segera meludahkannya keluar jendela. ''Racun ini tergolong dalam jenis-jenis racun Lendir Naga,'' katanya, ''berasal dari campuran bisa ular senduk di Jambhudvipa dengan jamur hitam beracun dari Persia. Campuran langka hanya bisa didapatkan para pengolah racun yang sudah sangat tinggi tingkatnya.'' ''....dan dibayar mahal tentunya,'' sambung Serigala Merah. ''.... seorang pengolah racun yang mendapat banyak kemudahan untuk mendapatkan segala bahan yang diinginkannya,'' Serigala Hitam melanjutkan, ''bagaimana mungkin seseorang di tempat terpencil dan tersembunyi seperti Kampung Jembatan Gantung ini bisa mendapatkannya"'' ''Istana!'' Sergah Angin Mendesau Berwajah Hijau yang tampak mengerut wajah tuanya. ''Tabib istana,'' lanjutnya hati-hati, ''para tabib istana selain bertugas mengolah obat, sebetulnya bertugas juga mengolah racun untuk pembunuhan-pembunuhan gelap yang dilakukan istana. Hanya istana melalui lintas perdagangan antarnegara, baik me lalui laut maupun Jalur Sutera, bisa mendapatkan bahan-bahan pembuat racun terlangka dari pelosok dunia manapun.'' Serigala Merah dengan hati-hati memeriksa busana orang tua yang belum digeser dari telungkupnya itu. Aku terhenyak dengan kecepatan berpikir orang-orang keturunan pemberontak di tempat terpencil ini. Sementara itu tibalah Yan Zi kembali dan ia berkata bahwa tidak seorangpun dari mereka yang mengurus balai pertemuan ini patut dicurigai. Mereka tidak berada di tempat ini pada saat-saat yang terhubungkan dengan kematian orang tua TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ berbaju ungu yang masih tertelungkup tersebut, dan banyak pula saksi-saksi mendukungnya. Saat itulah Serigala Merah berteriak seperti menemukan intan berlian. ''Ini dia!'' Ia menunjukkan sebuah kantong kain, dan memperlihatkan kepada kami semua apa yang menjadi isinya. Ternyata seperti serbuk berwarna hitam, yang ketika sebagian ditaburkan ke dalam yang telah diisi teh lagi, memperlihatkan akibat yang sama, yakni permukaannya secara samar agak kebiruan, meski sepintas lalu tidak kelihatan sama sekali. ''Siapa mau coba"'' Serigala Merah bercanda mengangkat cawan itu. ''Jadi rupanya bapak tua ini sendirilah yang telah menuangkan racun Lendir Naga ini dan meminumnya. Racun ini memang mirip teh rasanya, dan bekerjanya begitu cepat sehingga korban tidak tersiksa. Orang tua ini sengaja memilih dan membawa Lendir Naga di antara banyak racun yang tersedia di tangan tabib istana, artinya sadar bahwa ada kemungkinan ia harus menggunakannya,'' ujar Angin Mendesau Berwajah Hijau. ''MENGAPA ia meminum racun ini justru ketika tidak seorang pun menekan dan mengejarnya, pada saat ia bebas untuk mengungkapkan atau tidak mengungkapkan kata hatinya"'' Serigala Hitam bertanya-tanya, seperti kepada dirinya sendiri. Perhatian semua orang kini terpindahkan kepada kertas bertulisan yang ada di tangan Angin Mendesau Berwajah Hijau. ''Apakah yang akan dituliskannya"'' ''Apakah ia minum racun setelah selesai menulis"'' TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ ''Apakah tulisannya terpotong karena minum racun"'' Orang tua yang lidahnya terpotong, sehingga dari mulutnya terdengar suara gagu itu, tubuhnya masih menelungkup tanpa nyawa, dan kami semua susah mengeja aksara-aksara yang dituliskannya. Meskipun belum terlalu menguasai aksara maupun bahasanya waktu itu, kucoba untuk menuliskan dan menerjemahkannya seperti ini. Kami hanya orang-orang tersingkir, dibuang, diasingkan, dibunuh, dan dilupakan... Kalimat ini tidak mengejutkan, tetapi bagi kami yang sedang menyelidiki, sepotong kata berbicara banyak. Apakah kata kami misalnya, menyatakan banyak orang yang diburu untuk dibunuh, ataukah suatu golongan tertentu yang merupakan golongannya pula, ataukah kedua-duanya, golongan tertentu yang semuanya diburu untuk dibunuh" Kata tersingkir menunjukkan ada yang menyingkirkan, dan begitu pula untuk diasingkan dan dibunuh. Namun kata dilupakan bukan sekadar menunjukkan bahwa ada yang melupakan, melainkan bahwa golongan yang sekarang diburu itu, sebelumnya adalah golongan yang dekat dengan kedudukan yang memungkinkan untuk menyingkirkan, mengasingkan, dan membunuh, seperti suatu kekuasaan. Aku teringat peristiwa di luar celah, ketika seseorang menunjuk orang tua itu. ''Kamu! Ya, kamulah orangnya! Aku tidak bisa melupakan wajahmu yang seperti seekor unta itu!'' Dari peristiwa ini aku mendapat kesan, bahwa orang tua itu memiliki kekuasaan dan dalam penyelenggaraan kekuasaan itu melakukan kekejaman. Mengingat orang tua ini dipotong lidahnya supaya tidak membocorkan rahasia, tetapi dibiarkan hidup, justru agar rahasianya suatu ketika terungkap juga; maka menjadi TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ pertanyaan tentunya, apakah yang dituliskannya ini ada hubungannya dengan kerahasiaan yang menjadi bebannya selama ini, ataukah tidak ada hubungannya sama sekali" (Oo-dwkz-oO) Episode 182: [Seribu Air Terjun] Di luar Kampung Jembatan Gantung terdapat sepotong lapangan rumput, dan di seberangnya terdapat tepian tebing dengan jalan setapak yang harus kami lewati jika ingin keluar ke dunia luas. Namun lapangan rumput itu hanya bisa dicapai melalui sebuah terowongan sempit yang selalu menetesneteskan air, karena rupanya terowongan ini berujung di sebuah air terjun. Suaranya terdengar begitu luar biasa ketika kami, aku dan Yan Zi, berjalan terbungkuk-bungkuk sepanjang terowongan, karena jika tidak begitu tentu kepala kami tiap sebentar terantuk ujung-ujung batu tajam yang bertonjolan di atap terowongan. Betapapun, terowongan yang sempit ini ternyata masih cukup untuk seekor kuda, asalkan tidak ditunggangi tentunya, dan tentu lewat terowongan inilah agak kuda Uighur itu telah dibawa, setelah merayapi jalan setapak ke atas di balik air terjun, agar merumput dengan bebas pada sepotong tanah terbuka. Dapat kupercaya betapa terlindung dan tersembunyikannya Kampung Jembatan Gantung, karena bagi mata orang luar, selain cenderung tidak akan memikirkan sesuatupun tentang apa pun dibalik air terjun, jika melihatnya juga tidak akan memikirkannya sebagai jalan setapak menuju ke mulut sebuah terowongan yang sangat amat tidak kentara, karena memang tersembunyikan oleh bibir terowongan yang menutupi pandangan atas lubangnya. Kudaku langsung mendekat dan menyentuhkan kepalanya ke tubuhku sambil mengibaskan ekor. Kupeluk kepalanya dan kutepuk-tepuk lehernya. Apakah kiranya yang terpikirkan TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ dalam seekor kuda" Apakah ia menganggapku sebagai pribadi, meskipun memang takbernama, ataukah hanya sebagai seorang manusia" Kuda Yan Zi pun mendatangi Y an Zi, seekor kuda putih dari kelamin betina yang ramping, seolah menyesuaikan diri dengan penunggangnya yang juga selalu berbusana serba putih dan gerakannya sangat lincah. Yan Zi memang berarti Walet. Menunjukkan apa yang mampu dilakukannya dalam ilmu silat, yakni bergerak lincah seperti burung walet. KEBERADAAN tanah lapang berumput yang menjadi semacam tempat penggembalaan, atau juga istal liar, bagi orang-orang Kampung Jembatan Gantung itu, sedikit banyak tampak mencengangkan diriku. "Kampung Jembatan Gantung memang dibangun sebagai permukiman tersembunyi, tetapi setelah berpuluh tahun, naluri pengembaraan yang terpendam menyeruak kembali," ujar Yan Zi yang menangkap pandangan keherananku itu, "sementara kami juga masih berhubungan dengan berbagai permukiman lain di seluruh pegunungan batu ini, yang jika membutuhkan waktu cepat akan sedikit teratasi dengan adanya kuda." Memang telah kudengar tentang itu, bahwa perbedaan masa pemberontakan dari wangsa ke wangsa dalam sejarah Negeri Atap Langit juga telah membuat segenap permukiman tersembunyi di sepanjang lautan kelabu gunung batu tidak dapat disamakan. Ada yang sudah bermukim begitu lama, ratusan tahun lamanya, sehingga bagi keturunannya riwayat pemberontakan hanya tinggal sebagai dongeng, dan lebih merasa dirinya penduduk asli, sehingga permukimannya terbuka bagi orang luar, segenap tanda-tanda rahasia menyesatkan dihapus, meski tetap saja sangat sulit dicapai. Ada pula yang masih baru terbentuk setelah Pemberontakan An Lushan berakhir seperti Kampung Jembatan Gantung ini, yang karenanya menjadi tempat dikirimkannya bayi yang TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ disebut sebagai anak Yang Gueifei dan An Lushan, dan kini bernama Yan Zi. Tentu Yan Zi berumur 41 tahun. Agaknya itulah yang membuatku terkesan ketika mengiranya sebagai gadis muda yang matang. Ternyata kesanku terbalik, Yan Zi adalah perempuan matang yang sepintas lalu tampak seperti remaja, karena tubuhnya kecil dan ramping, sangat lincah kalau bergerak meski gerakannya sendiri takbanyak; dan sering menampakkan senyum tipis tersipu-sipu, tetapi bukan karena malu, melainkan seperti terlalu banyak hal dalam hidup ini yang pantas ditertawakannya. Kami sudah berada di atas kuda. Sete-lah tanah lapang ini terdapat hutan cemara yang sangat cantik dan penuh dengan kicau burung, tetapi setelah itu kami kembali merayapi jalan setapak berbatu di tepi dinding, di antara puncak-puncak gunung yang dinding-dindingnya berair terjun. Suara air terjun itu, yang dekat maupun yang jauh, ketika mendekat maupun menjauh, memberi kesan keagungan alam yang mengesankan, sehingga hanya dengan hadir bersamanya saja, hidup bagaikan sudah begitu bermakna. Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Keluar dari lingkungan Seribu Air Terjun ini, kita akan melewati Perguruan Shaolin," ujar Yan Zi. Ia berpakaian seperti lelaki. Bahkan rambutnya bertudung lelaki. Sepintas lalu ia akan tampak seperti lelaki, tetapi memang lelaki yang cantik dan manis, dan itu kukira bukan berarti tidak mengundang masalah dalam perjalanan. Sudah jelas bahwa perempuan yang melakukan perjalanan sendirian tidak akan pernah aman, karena rimba hijau memang penuh manusia buas yang hanya memandang perempuan sebagai daging molek untuk diperkosa. Tidak heran jika para perempuan pendekar sering berlaku amat kejam dan tanpa ampun terhadap manusia lelaki berderajat binatang ini. Tidak jarang pula seorang perempuan pendekar TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ belajar ilmu silat, karena pengalaman amat sangat pahit dengan manusia lelaki semacam itu. Apakah ini berarti cara berbusana Y an Zi yang seperti lelaki aman dari ancaman lelaki" Sembari merayapi jalan setapak, Yan Zi berkuda di depan dan aku di belakangnya, terpandang olehku pinggangnya yang ramping, tetapi dengan cara berbusana siap tempur seperti itu Yan Zi lebih tampak gagah dan tampak memang bersikap seperti lelaki. Jadi Yan Zi ini memang berwajah cantik, tetapi aku merasakan ada sesuatu yang belum bisa kumengerti. Sejauh kuingat perempuan-perempuan yang kukenal, Harini yang kutinggalkan di Desa Balingawan, Campaka yang menjadi salah satu kepala pasukan pengawal rahasia istana Mataram, Pendekar Melati yang hanya kukenal selintas, maupun Amrita, perempuan Khmer yang bersamanya aku hidup dari pertempuran ke pertempuran di Daerah Perlindungan An Nam, tidaklah pernah kutemukan kesan yang tidak dapat kujelaskan seperti saat ini. Baik Harini yang memang tidak bersilat, tetapi berpengetahuan tinggi dalam ilmu surat; maupun Campaka, Pendekar Melati, dan Amrita Vighnesvara yang menerjunkan diri di sungai telaga, mereka semua memberikan kesan yang dapat kuharapkan dan siap kuterima dari seorang perempuan. Dari perempuan pendekar yang mengasuhku kukenal setiap sisi yang dimungkinkan seorang perempuan, kelembutan seorang ibu, maupun ketegasan mengambil keputusan dalam pertarungan antara hidup dan mati. Namun melakukan perjalanan bersama Yan Zi, aku merasakan sesuatu yang belum pernah kukenal... 'TIDAK semua orang itu sama, Anakku,'' ujar ibuku dulu, ''dan juga jangan terlalu cepat menyamakan orang yang satu dengan yang lain, meskipun mereka itu satu suku, satu bangsa, satu warna kulit, bahkan satu jenis kelamin. Kau lihat keluasan semesta di langit itu, Anakku"'' TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Waktu itu langit penuh bintang, dan sejak kecil selalu kutanyakan apa yang berada di balik tabir kelam yang jika pagi hari menjelma menjadi langit biru. Aku mengangguk. ''Seluas itulah jiwa manusia, Anakku, sehingga tidak aneh jika seseorang itu tidak mengenali dirinya sepenuhnya, dan merasa asing dengan dirinya sendiri ketika menemukan diri tidak seperti yang selalu disangka.'' ''Aku ingin mengenal diriku sendiri, Ibu.'' ''Tentu, tentu kamu harus mengenali dirimu, Anakku.'' Kuingat waktu itu dia memelukku, dan belum kutahu artinya kenapa air mata mengalir di pipinya dan membasahi wajahku yang diciuminya. Kini dapat kumengerti, tentu disadarinya ketika itu, betapa aku belum tahu bahwa diriku bukanlah anak mereka yang sebenarnya, dan betapa bahwa nama pun aku tidak memiliki, dan jika mungkin pernah ada nama yang diberikan kepadaku, aku tidaklah mengetahuinya... ''Hiduplah dengan itu, Anakku...,'' kata ibuku kemudian hari, ketika memberitahukan segalanya sebelum kami berpisah untuk selamanya. Sengaja tidak kuingat-ingat peristiwa itu, karena mengingatnya membuat perasaanku menjadi kosong, tetapi ada kalanya, seperti sekarang, begitu saja aku berada dalam keadaan untuk teringat meski tidak menghendakinya. Apakah Yan Zi mengenal dirinya sendiri" Tentu saja segenap cerita Angin Mendesau Berwajah Hijau telah pula disampaikan kepadanya. Apakah Yan Zi mengenal jiwanya sendiri" Jika aku merasa terdapat sesuatu yang tidak kukenal terdapat pada seorang perempuan, apakah Yan Zi merasakannya juga" Jika tidak, apakah seseorang kiranya pernah mendapat kesan yang sama denganku dan memberitahunya" Demikianlah aku sibuk dengan pikiranku TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ sendiri selama merayapi jalan setapak di tepi tebing curam berbatu-batu. Gemuruh air terjun datang dan pergi sepanjang perjalanan ini, karena setiap kali meninggalkan air terjun yang satu, bertemu lagi air terjun lagi. ''Lihat,'' ujar Yan Zi sambil menunjuk. Kulihat arah yang ditunjuknya. Maka terlihatlah seorang lelaki berkepala gundul sedang bertapa di bawah air terjun yang cukup besar juga. ''Bhiksu Shaolin"'' Yan Zi mengangguk. Air sebanyak itu terus-menerus menerpa bahunya, seharusnya membuat seseorang terbanting, atau jika terus menerus berada dalam kedudukan itu, setidaknya melesak ke bawah. Namun bukan saja dasar batu tidak akan membuatnya melesak ke mana pun, melainkan bahwa tingkat tenaga dalam bhiksu tersebut telah membuat beban air puluhan ribu kati hanya terasa bagaikan pancuran air dari saluran bambu sahaja. Jarak kami dengan bhiksu yang melatih tenaga dalamnya itu sangat jauh, tetapi sempat kulihat ia mengangkat kepalanya sebentar, yang kutafsirkan sebagai penanda telah didengarnya percakapan kami. Mendengarkan hanya dua kata dari tempat yang sangat jauh, di tengah deru air terjun yang bergemuruh, tentu adalah tingkat pencapaian luar biasa. Barangkali didengarnya sentuhan kaki-kaki kuda pada batu dan dari sana diketahuinya berapa orang jumlah kami, beban apa saja yang kami bawa, dan seterusnya. Apalah yang dicarinya jika bukan kesempurnaan jua adanya" Menjadi seorang bhiksu yang menggunduli kepala, menahan nafsu, dan hidup dari pemberian seadanya adalah suatu panggilan, sekaligus merupakan harga yang harus dibayar apabila masih berminat mencapai pencerahan dalam hidupnya. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Sambil terus berjalan menyusuri jalan setapak berbatu-batu yang ada kalanya curam sekali, sehingga kami pun harus turun dan berjalan pelan di atas kuda, kuingat cerita Iblis Suci Peremuk Tulang tentang bagaimana di Negeri Atap Langit aliran Buddha yang berusaha mencapai pencerahan di luar pembacaan naskah, melainkan me lalui dhyana, tidaklah banyak, antara lain yang disebut Chan, dan di antara yang sedikit itu terdapatlah para bhiksu Chan yang menggabungkan dhyana dengan ilmu silat. Dari sinilah Perguruan Shaolin itu mendapatkan akarnya. IBLIS Suci Peremuk Tulang juga bercerita tentang Ta Mo yang hidup semasa pemerintahan Wangsa Liang antara tahun 506 sampai 556. "Kata orang ia datang dari Jambhudvipa pada 520," kata Iblis Suci, "tidak jelas apakah sebagai tawanan pasukan Negeri Atap Langit, ataukah memang berniat menyebarkan ajaran Buddha seperti yang telah mencerahkannya. "Apa pun, ia akhirnya berhadapan dengan maharaja, yang kemudian mengizinkannya agar ditampung oleh suatu Kuil Shaolin. Menurut cerita orang-orang, selama sembilan tahun pertama di Negeri Atap Langit, sebagian besar waktu dihabiskannya untuk menatap tembok dan menerapkan dhyana sampai lebur dengan lingkungannya, sehingga bahkan dapat didengarnya gerakan serangga di belakangnya. "Sumbangan T a Mo dianggap luar biasa, karena meskipun ia juga menerjemahkan kitab-kitab Buddha, ia terutama dihargai atas penafsiran terhadap ajaran Buddha di Negeri Atap Langit yang disebut Chan itu. Pendekatannya diterima banyak orang, bahkan menyapu aliran-aliran pemikiran kejiwaan lainnya, dan Ta Mo menjadi tokoh Negeri Atap Langit pertama yang disebut sebagai Bodhidharma, artinya yang keduapuluhdelapan setelah Gautama. "Seperti juga Dao, Buddha bukan agama lain, melainkan olah kejiwaan dan jalan pemikiran yang berhubungan dengan TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ yoga. Akibat tersebarnya ajaran Buddha tidak lebih sama dengan penerimaan Dao seribu tahun sebelumnya. Pendekatan seperti kekosongan pikiran dan berbagai bentuk dhyana yang diperkenalkan Chan dengan cepat melebur kepada seni olah kejiwaan ini. Adapun karena Buddha sangat mendasarkan dirinya kepada jalan damai dan bukankekerasan, akhirnya memperkuat berbagai kesepakatan yang menjadi pedoman ilmu silat. "Dalam taraf keragaan, yang paling penting dari ajaran Ta Mo adalah latihan-latihan dan cara-cara pernapasannya. Konon katanya beliau itu putera Raja Sugandha dan sebagai anggota kasta ksatria mendapatkan latihan-latihan olah senjata dan keragaan sepanjang masa mudanya. Kata orang, ketika tiba di Kuil Shaolin, ia melihat para rahib keadaan raganya buruk sekali, sampai mereka tidak mampu tetap bertahan dalam dhyana dengan waktu lama yang disyaratkannya. "Diperhatikannya, ketika sedang mengajar murid-murid yang raganya lemah jatuh tertidur. Percaya bahwa raga yang kuat bukan hanya dapat mengobati kelemahan ini, melainkan juga membuat seseorang makin dekat kepada jiwanya, Ta Mo memberikan apa yang disebut Delapan Belas Latihan untuk dilakukan setiap pagi." Saat itu, karena berada di tengah suasana diburu dan memburu dalam pertempuran dengan siasat sergap dan lari melawan pasukan pemerintah dari hutan ke hutan di Daerah Perlindungan An Nam, belum sempat disampaikannya apa saja Delapanbelas Latihan itu. Ketika kami bersama-sama hidup di Kuil Pengabdian Sejati di Thang-long, aku tidak ingat lagi perbincangan tentang Shaolin itu, karena tenggelam dalam pembelajaran filsafat Nagarjuna maupun pengetahuan tentang Negeri Atap Langit lainnya. Apakah sekarang ini sebaiknya kutanyakan kepada Yan Zi" TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Saat itu ia menunjuk ke suatu arah, dan ketika kuikuti arah yang ditunjuknya, terlihatlah pemandangan yang bagiku luar biasa. Pada air terjun itu tampaklah lima bhiksu cilik berkepala gundul berlari dalam kedudukan miring, seolah air terjun itu adalah dataran bumi dan mereka berlari di atasnya. Adapun karena air terjun itu mengalir terus, maka tampaklah dalam kedudukan miring dengan kepala menghadap ke langit seperti itu para bhiksu cilik tersebut seperti berlari-lari di tempat. Kaki mereka tampak berputar cepat sekali dan sambil berlarian seperti itu mereka berteriak-teriak sambil tertawa-tawa. "Suhu! Sudah capai sekali Suhu!" "Iya Suhu! Istirahat dulu ya" Tolong! Kucari yang mereka panggil suhu dan ternyata di tepi kolam berbatu-batu itu, di atas sebuah batu besar, tampaklah seorang bhiksu tua berbaju ringkas warna jingga yang masih tampak gagah duduk mengawasi sambil bersila. "Lari terus!" Ia berteriak keras mengatasi gemuruh air terjun, "Jangan harap bisa istirahat sebelum sampai ke atas!" "Aaaaahhh...Suhu! Mana bisa kami sampai ke atas kalau air terjun ini mengalir terus!" BODOH! Tentu saja air terjun ini mengalir terus! Kalau berhenti mengalir kaki kalian mau berpijak di mana?" Kelima bhiksu cilik itu saling berpandangan sambil masih terus saja tertawa-tawa. Tampaknya mereka saling memahami apa yang sebetulnya di sampaikan sang suhu. Mereka akan terus berlari di tempat jika hanya menggunakan tenaganya sendiri, mereka hanya bisa berlari sampai ke atas jika memanfaatkan daya air terjun itu juga. "Ayo balapan!" Salah seorang dari mereka berteriak. "Ayo!" "Ayo!" TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ "Ayo!" Kini mereka memanfaatkan daya dorong air terjun untuk menambah tekanan kaki mereka sendiri, sehingga kedudukan mereka kini tidak lagi m iring dengan kepala menghadap langit, melainkan seperti sejajar dengan air terjun karena kaki mereka bergerak mendaki, tetapi dengan sangat cepat sekali. Kaki mereka memang harus bergerak lebih cepat daripada kecepatan air terjun, karena jika tidak bukannya mereka akan bisa bergerak maju sampai ke atas, melainkan tetap bergerak di tempat, bahkan jika kemudian kelelahan melanda justru akan mundur dan tercebur ke kolam. "Ayo! Siapa kalah cuci bajuku!" "Siapa kalah tidak boleh makan!" "Siapa kalah menyapu halaman sendirian!" "Siapa kalah tidur di luar!" "Siapa kalah menghapalkan sutra!" "Siapa kalah harus minum arak sampai mabuk!" "Hahahahahahaha!" Sambil bercanda dan tertawa-tawa seperti itu mereka ternyata bisa berlari menanjak, makin lama makin tinggi, sementara kulihat di bawah suhunya mengangguk-angguk sambil mengelus-elus jenggotnya yang putih. Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Para bhiksu cilik itu menghilang di puncak tebing, mungkin masih berlari di atas sungai, melesat kembali ke Perguruan Shaolin sambil tertawa-tawa. Tinggal suara tertawa-tawa ceria itulah yang terdengar olehku di sela gemuruh air terjun, ketika kulihat sang suhu yang sedang melatih para bhiksu cilik itu pun melenting dari atas batu, membuka kakinya yang semula bersila di udara, lantas melangkahkan kaki bagaikan terdapat tangga batu, dan hanya dalam beberapa langkah lenyap di balik puncak tebing menyusul murid-muridnya. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Yan Zi tersenyum melihatku ternganga. "Itulah yang dulu juga kualam i di Perguruan Shaolin," katanya, "latihan tidak habis-habisnya seperti tidak ada kehidupan lain lagi." Tiada kehidupan lain" Tidakkah kehidupan seorang bhiksu atau bhiksuni memang merupakan pilihan sadar untuk hidup dengan caranya sendiri" Yan Zi telah berada di atas kudanya kembali setelah jalan setapak makin melebar, dan dari atas kuda pula kuperhatikan Pedang Mata Cahaya untuk tangan kanan yang tersoren di punggungnya. Sempat diceritakan oleh Angin Mendesau Berwajah Hijau, bahwa jika pemegang pedang itu menguasai tenaga dalam yang cukup, maka cahaya yang memantul dan berkilat dari pedang itu akan menjadi zat padat dengan ketajaman yang mampu membelah tubuh siapa pun yang terlewati kilatan cahayanya. Tidak dapat kubayangkan betapa mengerikannya pedang mestika itu jika jatuh ke tangan golongan hitam. Mungkinkah justru karena keberadaan pedang itu Yan Zi dikirim ke Perguruan Shaolin, bukan agar menjadi bhiksuni tentunya, tetapi justru agar dapat mengatasi bukan saja pengaruh buruk pedang itu, tetapi juga dapat menjaganya dari usaha orangorang rimba hijau maupun sungai telaga untuk merebutnya. Dalam dunia persilatan, keinginan untuk memiliki pedang mestika yang ampuh, dan jika perlu merebutnya, tidak hanya berlaku di kalangan golongan hitam, melainkan juga golongan putih. Bahkan para pendekar golongan merdeka yang seperti kurang peduli keadaan dunia, tidak jarang menjadi amat sangat tergoda ketika yang menjadi masalah adalah senjata sakti. Betapapun, pemegang Pedang Mata Cahaya yang bermaksud menyalurkan tenaga dalamnya agar cahaya yang memantul dapat membunuh lawan, memang harus memiliki tenaga dalam tingkat tinggi sedemikian rupa, sehingga cahaya yang berkilatan itu tidak memantul ke arah dirinya sendiri. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Bahkan tenaga dalam saja sebetulnya tidak cukup, karena tidaklah mudah menghindari kilatan cahaya apapun, apalagi mengarahkannya, kecuali menguasai jurus ilmu pedang yang dibuat untuk menggunakan Pedang Mata Cahaya itu. SETIAP kali jalan setapak kami bersua air terjun, jika air terjun itu besar artinya jalan setapak tersebut berada di baliknya dan kami bisa berjalan di balik air terjun yang tumpah bergemuruh. Maka justru ketika bertemu a ir terjun kecil, yang airnya masih menempel pada dinding batu, kami harus merayap ke atas air itu lebih dulu agar bisa melewatinya. Dilakukan bersama dengan kuda, hal itu menjadi lebih sukar dilakukan, seolah wilayah Seribu Air Terjun yang serba curam ini memang bukan tempat untuk kuda. Namun melakukannya dengan berjalan kaki akan membuat seluruh perjalanannya berlarat-larat. Kami masih akan membutuhkan kuda ini nanti, tetapi kini ibarat kata kamilah yang mesti menuntun kuda ini. Demikianlah kami berjalan naik dan turun serta keluar masuk air terjun tanpa banyak bicara, jika tidak ingin selalu berteriakteriak, karena setiap kali meninggalkan air terjun bergemuruh yang satu, akan bertemu lagi dengan air terjun yang lain. Burung elang sesekali tampak berkepak dan melayang, berputar-putar di udara terbuka mencari mangsa, yang membuat aku berpikir, tidakkah seseorang sedang mengawasi kami dan bermaksud menjadikan kami korban" Jika tidak membawa kuda, barangkali kami bisa melenting-lenting menjejak ujung-ujung batu pada tebing, ke arah menghilangnya para bhiksu cilik yang tadi berlatih ilmu meringankan tubuh itu, tetapi sekarang kami harus berjalan agak memutar sebelum tiba Perguruan Shaolin. Jika dengan jalan seberat ini pun dikatakan aku bisa mendahului dan menantikan Harimau Perang, bisa kubayangkan betapa jalur yang ditempuhnya tentu jauh lebih berat. Aku masih berpikir apakah yang dipelajari Yan Zi di Perguruan Shaolin adalah terutama cara mempergunakan TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Pedang Mata Cahaya itu, ketika masuk ke sebalik air terjun yang sangat besar dan sangat bergemuruh, sehingga jalan setapak di baliknya pun cukup luas dan cukup panjang, sesosok bayangan merah tampak melayang masuk dari ujung jalan setapak yang lain dan mencegat kami di tengah jalan. Kulihat sepintas, aku mengenalinya! Itulah perempuan pendekar berbusana sutera merah, yang bisa terbang seperti burung elang dan telah kusaksikan membunuh lawannya dengan cara luar biasa, yakni menusukkan pedangnya sembari mengambang diam di udara. Kuingat betapa ia telah melemparkan pisau terbang bergagang gading dengan gambar naga pada kedua sisinya. Pisau terbang yang dilempar untuk selalu mengenai sasarannya, untuk selalu dicabut kembali karena lawannya sudah mati, bukan pisau terbang yang dilemparkan untuk tertangkis dan hilang tidak kembali. Makanya pisau itu bagus sekali. Bergagang gading dan berukiran naga pada kedua s isi. Ia harus kembali kepada pemiliknya dan karena itu harus menancap agar bisa dicabut lagi. Namun saat itu aku telah menangkapnya. Sekarang tampaknya perempuan pendekar berbusana sutera merah itu masih mengenali diriku yang waktu itu pun jauh sekali. Tanpa berkata apapun juga ia telah mencabut pedangnya dan berkelebat menyerang! ''Kembalikan pisauku!'' Ia berteriak lantang di tengah gemuruh air terjun, sambil melayang dengan pedang jian terarah ke depan. (Oo-dwkz-oO) TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ KITAB 10 : ANTARA PEDANG DAN CINTA Episode 183: [Masalah Elang Merah] Pedang jian dengan dua s isi tajam yang dibuat hanya demi kesempurnaan ilmu silat itu terarah lurus ke jantungku. Kecepatannya tentu tinggi, karena bahkan mataku yang terlatih pun hanya melihatnya sebagai kelebat bayangan merah. Namun belum lagi usai ketercekatanku, bayangan merah yang melesat itu telah dipapas bayangan putih, dan segeralah hanya terlihat bayangan merah dan bayangan putih saling bergulung, disela dentingan dari dua pedang yang berbenturan dan melentikkan bunga-bunga api. Aku harus segera menyesuaikan mataku dengan kecepatan pertarungan yang tiada dapat diikuti mata awam itu, agar segera tahu bagaimana kedudukan Yan Zi yang seharusnya kulindungi tetapi kini bersikap melindungiku. Segera kusaksikan pertarungan dahsyat dalam gemuruh air terjun, ketika perempuan pendekar berbaju sutera serba merah dengan jurus-jurus Ilmu Pedang Cakar Elang itu menghadapi jurus-jurus Ilmu Pedang Mata Cahaya yang diciptakan hanya demi Pedang Mata Cahaya yang kini dipegang Yan Zi. Segera kulihat betapa perempuan pendekar berbusana sutera merah itu terdesak, tetapi bukan karena ilmu pedangnya lebih rendah, melainkan karena pedang mestika yang dipegang Yan Zi terlalu sakti untuk dihadapi lawan manapun. AGAKNYA Yan Zi telah menyalurkan tenaga dalamnya kepada pedang itu, sehingga pantulan cahayanya secepat kilat berubah menjadi benda padat yang siap membelah perempuan pendekar tersebut. Siapa pun kiranya pasti akan TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ terdesak menghadapi pedang seperti itu. Bahkan, bahwa perempuan pendekar itu masih bertahan saja bagiku sudah sangat luar biasa, karena pantulan cahaya yang menyambar sebagai benda padat bukanlah sembarang ancaman yang dapat dihindarkan setiap orang. Sesungguhnyalah perempuan pendekar itu berada dalam kedudukan yang berbahaya sekali. Aku merasa, meskipun ia menyerang lebih dahulu, tidaklah adil jika ia tewas karena senjata sakti seperti ini. Untuk kali pertama kusaksikan bagaimana Ilmu Pedang Mata Cahaya itu diperagakan dan dimainkan, dengan suatu pendekatan yang tidak terdapat pada ilmu pedang mana pun, yakni betapa pantulan cahaya Pedang Mata Cahaya yang sangat membunuh itu tidak akan mengenai pemegang pedangnya. Ilmu pedang tersebut dengan begitu harus mampu menghindarkan pemegang pedangnya dari pantulan cahayanya sendiri, sementara dalam jurus serangan melibatkan pula pantulan cahaya dari pedang sebagai senjata untuk melumpuhkan lawan. Maka siapapun lawan yang berhadapan dengan Ilmu Pedang Mata Cahaya akan menjadi sangat terdesak, karena bukan hanya Pedang Mata Cahaya itu saja yang harus ditangkis dan dihindarinya ketika menyambarnyambar, melainkan juga cahaya pantulannya yang memadat dan melesat-lesat penuh ancaman maut dalam jurus-jurus yang sengaja dibuat untuk itu. ''Elang Merah! Mengapa dikau selalu menyerang orang tanpa menunggu jawaban" Kini dikau harus mati! Mati! Mati!'' Yan Zi yang berarti walet memang melesat-lesat lincah seperti burung walet. Harus kuceritakan bahwa dalam Ilmu Pedang Mata Cahaya, pantulan cahaya itu tidak selalu menyerang dalam pantulan lurus menusuk tajam, melainkan bergerak atas pengarahan yang menyalurkan tenaga dalam ke pedangnya. Apakah ia menginginkan cahaya memadat sepadat-padatnya, atau memadat secukupnya saja, ataukah bermain di antaranya. Maka dalam permainan pedang Yan Zi, TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ pantulan cahaya memang tidak menusuk lurus tajam, melainkan melingkar-lingkar saat mendekat seperti putaran selendang panjang. Namun apabila perputaran selendang cahaya ini dipotong pedang, ternyata masih saja merupakan cahaya, dan hanya ketika menyentuh kulit dan tubuh mendadak padat dan tajam. ''Mati! Mati! Mati!'' Yan Zi berteriak memastikan. Namun ternyata perempuan pendekar yang disebut Elang Merah itu masih bisa lolos dari maut karena kecepatan dan kecekatannya yang luar biasa. Menghadapi Ilmu Pedang Mata Cahaya dengan pedang mestika yang begitu sakti, sebetulnya hampir mustahil membayangkan lawan mana pun akan hidup lagi. Maka harus diakui betapa ilmu silat Elang Merah ini memang tinggi sekali. Betapapun aku masih merasa tidak terlalu adil, jika riwayatnya tamat karena kesaktian pedang dan bukan tingginya ilmu. Pada saat pedangnya menangkis Pedang Mata Cahaya, tetapi pantulan cahayanya melingkar-lingkar mendekat untuk memenggal lehernya, aku berkelebat di antara cahaya dan menyelamatkannya; tetapi aku tentu perlu alasan agar Elang Merah tidak merasa terhina dan Yan Zi pun bisa menerimanya. ''Elang Merah bermaksud membunuhku, untuk kedua kalinya, biarlah pengembara dari Javadvipa ini mendapat pelajaran dari pewaris Ilmu Pedang Cakar Elang yang ternama,'' kataku setelah melempar tubuhnya yang kusambar, ke arah dari mana ia melayang. Suara air terjun bagaikan bertambah gemuruh. Wajah Elang Merah bersemu dadu. Tidak jelas bagiku apakah ia tahu jiwanya kuselamatkan, tetapi pada matanya tampak betapa keinginan untuk membunuhku besar sekali. Apakah yang telah terjadi" Tidaklah mungkin ia ingin membunuhku hanya karena pisau terbangnya belum kukembalikan. Apakah ia ingin TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ membunuhku karena aku menjadi saksi pertarungan yang waktu itu dimenangkannya" Namun bukankah para penyoren pedang yang membawa keledai-keledai beban itu juga sampai berhenti di tengah jalan hanya untuk menontonnya, dan berarti menjadi saksi yang harus dibunuhnya pula" Jadi, tentu bukan perkara kesaksian itulah yang menjadi penyebab, sehingga sepasang matanya yang indah kini menyala-nyala penuh keinginan membunuhku. ''Biarlah daku yang menghadapinya, Pendekar Tanpa Nama, ia te lah mengganggu perjalanan kita,'' Yan Zi berteriak penasaran, ''daku tadi sudah hampir membunuhnya, mengapa Pendekar Tanpa Nama harus berpura-pura ingin bertarung dengan Elang Merah, jika sebetulnya ia ingin menyelamatkannya!'' AKU mengangkat tangan kiriku tanpa menoleh agar Yan Zi diam. Terbukti permintaanku sangat beralasan karena Elang Merah yang tubuhnya masih mengambang setelah kulemparkan, telah bergeser mendekati air terjun sambil menyarungkan pedangnya, lantas kedua tangannya bergerak cepat sekali sampai tidak dapat diikuti mata orang biasa. "Awas!" Aku berteriak memperingatkan Yan Zi. Sudah kukatakan ilmu silat Elang Merah sesungguhnyalah tinggi sekali. Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sebetulnya ilmu meringankan tubuh yang tertinggi pun tidak akan bisa membuat manusia terbang seperti burung, tetapi memang benar betapa pada tingkat yang tertinggi itu manusia bisa tampak seperti terbang melayang bagaikan burung elang, dan seperti yang kusaksikan, Elang Merah bahkan mengambang dan bergeser di udara, menjauh dan mendekati air terjun, lantas tangannya bergerak cepat sekali menampelnampel percikan air dengan tenaga dalam. Maka berlesatanlah percikan air itu sebagai senjata rahasia yang berbahaya sekali. Segeralah aku teringat bagaimana air terhubungkan dengan ilmu silat seperti pernah dibicarakan Iblis Suci TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Peremuk T ulang. Chi sao atau tangan terjurus dalam gung fu atau silat dalam bahasa Negeri Atap Langit, sangatlah dekat kepada Dao maupun Chan. Permainan dengan jurus tangan adalah seni penyesuaian antara pelaku dan lawannya. Pedomannya mengikuti wu wei dalam Dao. Wu berarti tak sedangkan wei berarti tindak. Tidak berarti takmelakukan apa pun, melainkan agar pikiran seseorang bebas mengalir, dipercaya agar bekerja dengan sendirinya. Wu wei dalam gung fu berarti tindakan pikiran, dalam arti bahwa yang mengatur segala daya adalah pikiran dan bukan perasaan. Dalam pertarungan seorang pesilat melupakan dirinya sendiri dan mengikuti gerak lawan, membiarkan pikirannya bebas menentukan gerak perlawanan tanpa campur tangan. Dalam jurus tangan, seorang pesilat membebaskan diri dari penolakan jiwa dan melebur dalam sikap yang serasi. Tindakannya hadir tanpa pemaksaan diri. Ia membiarkan pikirannya tetap menanggapi dengan sendirinya. Setiap tindakannya ditimbulkan oleh gerakan lawan. Ia tidak melawan maupun membiarkan segalanya begitu saja, melainkan dengan kelenturan sebuah pelontar. Bisa lemas sekaligus keras. Menjuruskan tangan dinyatakan sifatnya sama dengan air, yang tak dapat dicengkeram dengan tangan, dibenturkan tidak sakit, ditikam tidak terluka. Seperti air, seorang pelaku gung fu tidak memiliki bentuk atau cara yang menjadi miliknya sendiri, tetapi meleburkan gerakannya ke dalam gerak lawannya. Adalah benar jika disebutkan air itu benda terlemah di dunia, tetapi jika menyerang bisa menjadi yang terkeras dan terganas. Tenang seperti danau dan bergolak seperti air terjun. Begitulah kiranya jurus tangan Elang Merah bisa begitu bertenaga dan air yang ditampel Elang Merah melesat dengan kecepatan tinggi. Namun jangan lupa betapa siapapun yang TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ mempelajari ilmu silat dengan guru yang baik sedikit banyak memahami pedoman yang sama. Yan Zi memang lincah, selincah namanya yang berarti walet. Jadi ia bisa melenting sementara percik-percik air yang telah jadi sekeras besi itu mendesing-desing di bawahnya; sedangkan aku hanya perlu mengibaskan lengan baju, agar senjata rahasia yang sangat berbahaya karena jika berhasil dibabat tetap meluncur karena betapapun adalah benda cair itu berbalik ke arah Elang Merah sendiri. Ia terpaksa melenting dan mengeluarkan pedang untuk menangkis semua itu dengan sisi lebarnya, sehingga di tengah gemuruh suara air terjun terdengar suara berdenting-denting ketika percik-percik air yang telah menjadi sekeras besi itu tak mampu menembus putaran pedangnya yang seperti balingbaling. Aku sengaja memberinya peluang menangkis, dengan tenaga dalam pada kibasan lengan baju secukupnya sahaja, sehingga ketika Elang Merah menangkis percik-percik air sekeras besi itu aku sudah berada di belakangnya, mengambang di udara juga, dan menotok jalan darahnya pada tengkuk agar untuk sementara dapat kulumpuhkan. Kusambar tubuhnya sebelum terjatuh ke bawah dan kujejak air terjun agar diriku dapat melayang bersamanya dan hinggap kembali di jalan setapak. Kuletakkan tubuhnya di jalan setapak itu. T ubuhnya lemas, tetapi matanya menatap nyalang penuh dengan kemarahan. 'BIAR kubunuh dia!'' Yan Zi siap mencabut pedang, tetapi kuberi tanda agar diam. Aku tahu Elang Merah bisa berbicara, maka aku pun berujar panjang lebar dengan terpatah-patah. ''Sahaya yang tak bernama hanyalah seorang pengembara miskin yang hina dina, tiada lain tujuannya berkelana sampai TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ ke Negeri Atap Langit hanyalah mencari pengalaman dan pengetahuan, untuk berguru kepada segenap cerdik pandai yang telah membangun kebudayaan, agar segenap pertanyaan sahaya tentang dunia dan kehidupan ini mendapat jawabannya. Maka pendekar gagah yang bergelar Elang Merah boleh percaya kepada pengembara miskin yang hina dina bahkan nama pun takpunya ini, betapa permusuhan bukanlah sesuatu yang dicarinya. Tentu banyaklah kesalahan paham yang dilakukannya sebagai orang asing yang bodoh dan tanpa guna. Untuk itu sahaya mohon maaf sebesarbesarnya. Kini sudilah kiranya Elang Merah berbicara, kesalahan apakah kiranya yang telah sahaya lakukan kepadanya meskipun kiranya tanpa sengaja.'' Elang Merah bisa berbicara, tetapi ia diam saja. Aku tidak menotok jalan darahnya sampai ia tidak bisa bicara, jadi hanya belum sudi saja berkata-kata kepadaku. Aku harus mencari penyebab kenapa ia menyerangku. Aku berpikir mungkin ia tidak sudi berbicara karena urusannya terkacaukan oleh keterlibatan Yan Zi. Sudah jelas serangannya ditujukan kepadaku yang berada di belakang Yan Zi, semestinya memang akulah yang melayaninya bertanding, tetapi Yan Zi yang tampak seperti berusaha melindungiku justru membuatnya kewalahan. Bahkan aku yang diserang kemungkinan diketahui justru me lindunginya pula. Keadaan berkembang terbalik. Betapapun, jika ia menyerangku agar akulah yang menghadapinya, bukankah kehendaknya itu sudah berlangsung ketika kulayani serangan percik-percik air sekeras besi itu" Ia tadi membuka serangannya dengan alasan meminta kembali pisaunya. Sesungguhnyalah pisau terbang bergagang gading dengan gambar ukiran naga di kedua sisinya itu masih terselip di balik bajuku. Aku telah membawanya begitu lama dengan hanya sekali menggunakannya, sampai lupa betapa pisau terbang itu selalu berada bersamaku. Mungkin karena aku telah TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ menganggapnya sebagai cenderamata, maka setelah sekali kugunakan itu, yakni untuk menangkis golok yang dilemparkan dari depan, dengan tujuan membaikkan arahnya, sehingga membelah tubuh penyamun gunung yang melemparkannya, maka aku tidak pernah menggunakannya. Lagi pula di sungai telaga, aku memang tidak mengandalkan jenis senjata tertentu. ''Pendekar Elang Merah telah menghadiahkan kepada sahaya sebuah pisau yang indah, maafkanlah bahwa pengembara yang hina dina ini telah menggunakannya untuk membela diri ketika berhadapan dengan para penyamun lautan kelabu gunung batu. Sedikit banyak pisau terbang Pendekar Elang Merah telah menyelamatkan jiwa sahaya,'' kataku sambil mengeluarkan kembali pisau bergagang gading dari dalam lipatan baju, ''mohon diterima kembali pisau ini, terima kasih banyak atas pinjamannya, dan mohon maaf tidak sanggup mencari Pendekar Elang Merah di balik awan.'' Sembari menyerahkan pisau aku membungkuk untuk menotok kembali jalan darahnya, supaya ia bisa menggerakkan tangannya untuk menerimanya. Sepintas kulihat betapa Pendekar Elang Merah itu matanya indah sekali... Bukan hanya indah, melainkan juga tajam! Tangannya terulur menerima pisau itu dengan lemah, tetapi bersama mengalirnya darah ke bagian yang lemah itu tenaganya pun pulih, dan saat itulah pisau terbang yang dimintanya kembali setelah sekian waktu tersebut melesat ke atas. ''Aaaaaaaaahhhhhh!'' Dari atas melayang jatuh sesosok tubuh yang sudah memegang pedang terhunus. Namun di belakang sosok tubuh yang jatuh itu beterbanganlah sosok-sosok berbaju ringkas yang menutupi kepalanya dengan fu tou ketat sampai TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ menutupi dahi, sehingga hanya kelihatan sepasang matanya yang penuh dengan semangat pembunuhan. Agaknya mereka semula menempel dengan ilmu cicak, pada tebing dan atap yang menjorok dari tebing itu dan dilalui sungai yang menjadi air terjun besar ini. ''Golongan Murni!'' Sambil mengucapkan kata-kata itu Elang Merah langsung melejit dengan pedang di tangan dan berkelebat menyambut sosok-sosok pembawa maut yang berkelebatan, sementara aku tidak menunggu mayat itu jatuh untuk mencabut pisau terbang bergagang gading dengan gambar ukiran naga pada kedua sisinya yang menancap dijantungnya. Aku menyambar pisau itu sembari berkelebat menghindari serangan, bahkan secepat kilat menggores urat lehernya sehingga mereka nyaris berbarengan melayang ke jurang. TAK dapat kuhitung lagi sosok-sosok berbaju ringkas dan berilmu silat sangat tinggi yang disebut Golongan Murni ini berkelebatan ke arah kami bertiga, karena dalam gemuruh air terjun dan kesempitan jalan setapak, pertarungan yang tidak dapat dilihat mata ini hanya mengandalkan naluri. Yan Zi hanya tinggal kelebat bayangan putih berkilauan, setiap geraknya hanya berarti jeritan dan nyawa melayang. "Elang Merah! Perempuan Tubo! Sudah lama kami peringatkan jangan malang melintang di wilayah kami!" Jadi Elang Merah berasal dari Tibet. Pantas orang-orang Harimau Kemala Putih 11 Wiro Sableng 008 Dewi Siluman Bukit Tunggul Hina Kelana 31