Suling Pusaka Kumala 4
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 4 Hek-houw Pang-cu membelalakkan matanya. "Apa" Anak buah Hck-houw-pang tidak pernah melakukan pembantaian terhadap petani!" "Pangcu, kami bukan sekedar menuduh secara membabi buta. Anak ini, A-seng menjadi saksinya. Sekeluarganya, yaitu ayah ibunya, dua orang saudaranya, dan Juga orang pamannya berikut empat orang tetangganya semua dibunuh oleh anak buah Hek-houw-pang. Hanya dia seorang yang dapat meloloskan diri." Ketua Hek-houw-pang itu mengerutkan alisnya, menoleh ke kanan kiri seperti hendak bertanya kepada anak buahnya, lalu memandang kepada A-seng dan beranya, "Anak muda, bagaimana engkau dapat mengatakan bahwa anak buah Hekhouwpang yang melakukan pembunuhan itu?" "Karena aku melihat bahwa mereka Mengenakan baju yang bagian dadanya tergambar seekor harimau hitam seperti yang kalian pakai sekarang ini." kata A-seng dengan tabah. "Akan tetapi tidak mungkin! Katakan, dusun mana yang diserbu anak buah kami dan orang-orang apa yang terbunuh?" "Bukan dusun, hanya sekelompok orang dengan tiga pondok di tempat terpencil. Dan mereka yang terbunuh adalah petani-petani miskin." kata pula A-seng. "Lebih tidak masuk akal lagi! Membunuhi petani miskin" Untuk apa" Kami akui bahwa kami suka menghadang para hartawan dan bangsawan yang melakukan perjalanan melalui wilayah kami dan kami minta pajak jalanan, kalau mereka melawan kami mungkin membunuh mereka, juga kami menguasai tempat-tempat pelesir dan tempat-tempat perjudian \ kota-kota yang termasuk wilayah kami. Akan tetapi membunuhi petani miskin Tidak pernah kami melakukan hal itu Apalagi tanpa sebab!" Melihat sikap dan mendengar kata kata ini, Nelayan Gu dan Petani Lai dapat menerimanya. Nelayan Gu menoleh kepada A-seng kemudian berkata kepada ketua Hek-houw-pang. "Sebaiknya kumpulkan semua anak buahmu, pangcu, agar A-seng dapat melihat dan meneliti untuk mengenal mereka yang telah membantai keluarganya." "Baik, kalau memang ada anak buah yang melakukan pembunuhan terhadap petani miskin, berarti dia melanggar peraturan dan aku sendiri yang akan menghukum mereka!" Tak lama kemudian semua anak buah Hek-houw-pang yang jumlahnya kurang lebih lima puluh orang itu telah berdiri berjajar di situ. Obor-obor dipasang untuk menerangi muka mereka. Kemudian A-seng dipersilakan untuk meneliti mereka satu demi satu. Anak itu tampak bingung setelah memeriksa mereka dan setelah pemeriksaan itu berakhir, dia memandang kepada Nelayan Gu dan Petani Lai sambil menggeleng kepalanya. "Saya tidak melihat mereka....." katanya ragu. "Ha-ha-ha-ha, tentu saja engkau tidak dapat menemukan mereka di antara anak buahku karena anak buahku tidak mungkin melakukan pembunuhan itu." "Hemmm,- kalau begini berarti ada orang-orang yang telah menyamar sebagai anak buahmu, pangcu!" kata Petani Lai. "Tentu ada orang-orang yang memusuhi Hek-houw-pang." Hek-houw Pang-cu yang berjuluk Toat Beng Hek-houw itu mengerutkan alisnya dan dia menepuk pahanya sendiri. "Tidak salah lagil Ini tentu perbuatan kelompok Pek-eng-pang (Perkumpulan Garuda Putih) di hutan cemara! Sudah lama antara kami dan mereka terdapat permusuhan memperebutkan wilayah. Tentu mereka yang menyamar sebagai kami untuk memburukkan nama kami!" "Hemm, kalau begitu sebaiknya kalau kami menyelidiki ke sana. Jauhkah hutan cemara itu?" tanya Nelayan Gu kepada Toat-beng Hek-houw. "Tidak jauh, di puncak bukit depan itu," jawab ketua Hekhouw-pang itu. "Akan tetapi sekarang malam telah tiba dan perjalanan ke sana juga tidak mudah. sebaiknya kalau kalian berangkat besok dan malam ini bermalam di sini sebagai tamu kami." "Terima kasih atas kebalkan dan keramahan pangcu terhadap kami," kata Nelayan Gu. "Ah, tidak mengapa, Gu-enghlong (pendekar Gu). Kami suka membantu untuk membuktikan bahwa kami memang tidak melakukan pembantaian itu." kata Hek-houw-pangcu. Mereka bertiga bermalam di perkampungan Hek-houwpang dan pada keesokan paginya, mereka berangkat menuju ke bukit di depan. Perjalanan itu juga tidak mudah, namun dapat mereka lakukan dengan cepat. "Aneh juga kalau ada yang menyamar sebagai orang Hekhouwpang hanya untuk membunuh sepuluh orang petani itu. Aku yakin ada sebab lain di balik semua ini. A-seng, yakinkah engkau bahwa di antara para korban, orang tuamu, para pamanmu dan tetanggamu itu tidak menyimpan sesuatu yang amat berharga?" A-seng mengerutkan alisnya dan berpikir, mengingat-ingat, kemudian dia berseru, "Ah, mengapa aku lupa akan hal itu Benar, tentu banyak yang menginginka benda itu kalau mereka mengetahuinya." "Benda apakah itu?" tanya Nelayan Gu dan Petani Lai hampir berbareng dan rupanya tertarik sekali. "Tiga tahun yang lalu, ketika ayah pergi mencari kayu di dekat puncak, di kembali membawa sebatang pedang yang sarungnya indah sekali, berukir gambar burung Hong, juga gagang pedang itu menyerupai kepala burung Hong dari emas. Pedang itu indah sekali, akan tetapi ayah menyimpannya sebagai benda pusaka. Bahkan ketika saya belajar silat, saya tidak boleh meminjam pedang itu." "Ah, sebatang pedang pusaka bergagang emas" Ayahmu seorang petani miskin, kenapa tidak mau menjual pedang itu ke kota" Tentu akan mendapatkan uang banyak." kata Petani Lai. "Ibu dan kami sudah membicarakan hal itu, akan tetapi ayah tidak mau menjual benda itu. Katanya, di kota banyak orang jahat dan ayah takut kalau-kalau pedang itu dirampas orang." "Dan ketika engkau memeriksa keadaan rumah, engkau tidak menemukan pedang itu?" tanya Nelayan Gu. A-seng menggeleng kepalanya. "Biasanya ayah menaruh pedang itu dalam peti pakaian, akan tetapi sekarang pedang itu tidak lagi berada di sana." "Hernmm, kalau begitu pantas! Pedang itu dipakai berebutan, tentu berita tentang pedang Itu telah bocor dan sekarang aku tidak merasa heran mengapa mereka itu dibunuh. Tentu untuk mendapatkan pedang itu dan kalau begitu bukan tidak mungkin ada yang menyamar sebagai angauta Hek-houw-pang, selain untuk menjatuhkan fitnah atas nama Hek-houw-pang juga untuk menghilangkan jejak Kalau para tokoh dunia kang-ouw (sungai telaga, dunia persilatan) mendengar akan adanya pedang itu, terutamamereka dari golongan sesat, tentu akan mencoba untuk memperebutkannya. Akan tetapi, mengapa baru sekarang engkau ceritakan kepada kami, A-seng?" tanya Petani Lai sambil mengamati wajah pemuda rema Itu penuh selidik. A-seng menghela napas panjang. "Maafkan saya, paman. Karena bingung dan sedih oleh kematian ayah ibu dan semua keluarga saya, maka saya sama sekali lupa akan pedang itu, dan baru sekarang setelah paman berdua bertanya." A-seng memandang, dengan menyesal sekali. "Sudahlah," kata Nelayan Gu. "Setidaknya sekarang kita mengetahui mengapa mereka dibunuh, tentu karena pedang itu. Mari kita melanjutkan perjalanan dengan cepat. Kita selidiki di sarang Pek-eng-pang lalu kita pulang ke Puncak Awan Putih." Mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat dan tak lama kemudian tibalah mereka di hutan cemara dan di tengah hutan itu tampak sebuah perkampungan. Di depan pintu gerbang terdapat papan nama perkumpulan itu ditulis dengan huruf-huruf besar: PEK ENG PANG. Di dekat papan nama Itu terdapat sebuah bendera yang bergambarkan seekor burung garuda putih di atas dasar biru. Beberapa orang yang tampak berada di sekitar pintu gerbang itu segera berlarian datang menyambut tiga orang itu dengan pandang mata penuh kecurigaan. Bahkan ada yang membunyikan sempritan sehingga tidak lama kemudian, tiga orang itu telah dikepung oleh belasan orang. Seorang yang bertubuh tinggi kurus datang dan semua orang memberi jalan kepadanya. Melihat ini saja Nelayan Gu dan Petani Lai dapat menduga bahwa orang ini tentu pimpinan mereka. Nelayan Gu melangkah maju mengangkat kedua tangan untuk memberi hormat dan berkata, "Kami datang untuk bicara dengan ketua Pek-eng-pang. Apakah engkau ketuanya, sobat?" Orang tinggi kurus itu memandag dengan penuh selidik, lalu berkata dengan lantang. "Benar, aku adalah Pek-Eng Pang-cu (Ketua Pek-eng-pang). Siapakah engkau dan ada keperluan apakah hendak bicara denganku?" "Aku adalah Nelayan Gu dan sahabatku ini adalah Petani Lai dan anak itu bernama A-seng. Kami datang untuk bertanya kepada pangcu apakah kemarin lalu ada anak buah pangcu yang melakukan serangan dan membantai sepuluh orang petani di balik bukit ini dan merampas sebatang pedang pusaka bergagang burung Hong emas?" Orang tinggi kurus itu mengerutkan alisnya. "Orang she Gu, jangan sembarangan saja engkau bicara! Aku Cian Hok, ketua Pek-eng-pang, bukan pemimpin perampok dan pembunuh Kami bekerja sebagai piauwsu (pengawal pengkiriman barang) dan selalu bertindak sebagai orang gagah, bagaimana engkau berani melakukan tuduhan sembarangan kepada anak buah kami?" "Sebetulnya kami tidak mencurigai Pek-eng-pang, karena yang melakukan pembantaian itu adalah orang-orang yang mengenakan pakaian yang dadanya bergambarkan harimau hitam." "Ah! Kalau begitu orang Hek-houw-pang yang melakukannya!" bentak ketua Pek-eng-pang yang bernama Ciang Hok Itu. "Tadinya kami juga menduga demikian," jawab Nelayan Gu, "akan tetapi setelah kami menyelidiki ke sana, kami tidak menemukan orang-orang yang melakukan pembunuhan itu. Dan dari ketua Hek-houw-pang kami mengetahui bahwa Pekengpang bermusuhan dengan Hek-Houw pang, maka menurut keterangan ketua Hek-houw-pang, sangat boleh jadi orang Pek-eng-pang yang menyamar sebagai anak buah Hekhouwpang dan melakukan pembantaian itu untuk membumikan nama Hek-houw-pang." "Keparat Si Toat-beng Hek-houw. Ini merupakan fitnah yang hanya dapat dite-bus dengan darah! Dan engkau telah mendengar hasutan mereka, lalu datang ke sini, mau apa?" teriak Ciang Hok dengan marah. "Kami hanya hendak mencari pembunuh-pembunuh keji itu, dan karena kami tidak mempunyai permusuhan dengan Pek-eng-pang, maka kami datang dengan baik menanyakan kepadamu sebagai ketuanya." "Aku katakan bahwa tidak ada anak buahku yang melakukan pembunuhan itu! Yang kami bunuh hanya bangsa perampok dan pencuri! Kedatangan kalian dengan tuduhan anggauta kami yang melakukan pencurian pedang dan pembunuhan merupakan penghinaan!" "Kalau memang benar anak buahmi tidak ada yang melakukan pembunuhan itu, sudahlah, kami juga tidak memaksa kalian untuk mengaku. Kami akan pergi dari sini dan tidak mengganggu kalian lagi." kata Nelayan Gu yang melihat sikap dan bicara ketua Pek-eng-pang itu sudah merasa percaya. Kaum piauw-su (pengawal barang kiriman) ini agaknya tidak mungkin menyamar sebagai anggauta Hekhouwpang melakukan pembunuhan dan merampas pedang. Tentu ada gerombolan lain yang melakukannya. "Hemm, tidak begitu mudah kalian pergi dari sini setelah menghina kami!" bentak Ciang Hok yang sudah marah sekali. "Habis kalian mau apa?" tanya Petani Lai yang perangainya lebih keras ketimbang rekannya. "Kau baru boleh pergi setelah dapat menandingi sepasang golokku ini!" Ciang Hok meraih ke belakang punggung dan dia sudah melolos dua batang goloknya yang besar dan mengkilat saking tajamnya. "Nelayan Gu, biarkan aku yang menandinginya!" kata Petani Lai sambil melangkah ke depan dan menggerakkan cangkulnya, siap menandingi sepasang golok di tangan Ciang Hok yang kini tampak galak itu karena marahnya. Dia merasa dihina sekali dengan tuduhan bahwa anak buahnya telah menyamar sebagai anak buah Hek-houw-pang, melakukan pembunuhan terhadap petani dan mencuri pedang. "Marilah, pangcu, kalau engkau ingin bermain-main denganku, aku sudah siap menandingi sepasang golokmu!" tantang Petani Lai. "Baik, lihat sepasang golokku!" bentak Ciang Hok dan dia sudah menerjang dengan dahsyatnya. Sepasang goloknya berputar dan menyerang dari kedua jurusan dengan gerakan menggunting. Petani Lai yang melihat datangnya serangan yang dahsyat, tidak berani memandang rendah dan dia sudah mengelak dengan langkah ke belakang dan begitu sepasang golok itu menyambar lewat, dia menggerakkan cangkulnya dari atas mencangkul ke arah kepala lawan! . "Wuuuttt..... tranggg....!" Cangkul itu bertemu dengan sebatang golok, menimbulkan bunga api yang berpijar. Keduan merasa betapa tangan mereka tergetar. akan tetapi Ciang Hok mundur dua langkah, tanda bahwa dia masih kalah kuat dalam hal tenaga sln-kang melawan Petani Lai. Akan tetapi setelah golok kanannya menangkis, golok kirinya sudah membacok ke arah lambung kanan Petani Lai. Kembali yang diserang mengelak cepat, lalu membalas dengan ayunan cangkulnya. "Cringggg.....!" kembali bunga api berpijar dan keduanya lalu saling serang dengan dahsyatnya. Nelayan Gu yang menyaksikan pertandingan ini, menjadi semakin yakin bahwa agaknya tidak mungkin orang-orang Pek-eng-pang ini yang melakukan pembantaian. Dalam hal pertandingan ini saja tampak kegagahan dan watak ketua Pek-eng-pang. Mereka tidak melakukan pengeroyokan, tidak seperti orang-orang Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Hek-houw-pang. Kalau memang mencurigai kedua kelompok ini, tentu Hek-houw-pang yang lebih patut dicurigai. Perkelahian itu berlangsung sampai lima puluh jurus dan kini perlahan-lahan Petani Lai mulai mendesak lawannya. Nelayan Gu melihat hal ini dan dia tidak mau kalau sampai rekannya itu melukai lawan. Dia tidak ingin menanam permusuhan dengan Pek-eng-pang. Oleh karena itu, ketika cangkul Petani Lai mendesak hebat dan ketua Pek-eng-pang itu mundur mundur mempertahankan diri, Nelayan Gu melompat ke depan, menahan cangkul rekannya dengan dayung bajanya dan berseru nyaring. "Cukup sudah pertandingan ini!" Petani Lai maklum dan diapun melompat ke belakang. "Ilmu kepandaian PeK eng Pangcu cukup mengagumkan!" katanya dengan jujur tanpa maksud mengejek karena walaupun dia mampu mendesak lawan, namun agaknya akan makan waktu yang cukup lama untuk mencapai kemenangan. Ketua Pek-eng-pang itu menyimpan sepasang goloknya di punggung dan dia memberi hormat, "Ilmu kepandaianmu hebat dan aku mengaku kalah. Akan tetapi tetap saja kami menyangkal keras kalau dikatakan bahwa kami menyamar sebagai orang Hek-houw-pang, mencuri pedang dan melakukan pembunuhan terhadap sepuluh orang petani!" Kata-katanya tegas. "Sudahlah, pangcu. Kalau memang anak buahmu tidak ada yang melakukannya, kamipun percaya akan ucapanmu. Maafkan kami dan biarkan kami pergi dari sini." "Silakan, akan tetapi kami tetap akan nembikin perhitungan kepada Hek-houw-pang yang telah menjatuhkan fitnah atas diri kami!" "Terserahlah kepadamu. Kami tidak mencampuri urusan di antara kalian. Permisi!" Nelayan Gu lalu mengajak Petani Lai dan A-seng untuk pergi meninggalkan tempat itu. Matahari telah condong ke barat ketika mereka tiba kembali di Puncak Awan Putih. Cheng Hian Hwesio masih saja duduk di atas batu besar seperti kemarin! agaknya batu besar yang datar itu menjadi tempat kesukaan hwesio ini untuk bersamadhi di luar pondok dan memang dari batu itu tampak pemandangan alam yang luar biasa eloknya. "Hemm, kalian telah pulang. Bagaimana hasil penyelidikan kalian" tanyanya lembut kepada dua orang murid dan pembantunya itu. Dua orang itu berlutut menghadap Cheng Hian Hwesio dan A-seng juga berlutut di sebelah mereka. Nelayan Gu lalu menceritakan semua pengalamannya betapa mereka telah menguburkan semua jenazah mereka yang terbantai, kemudian betapa mereka telah mendatangi Hek-houw-pang dan Pek-eng pang. "Teecu tidak mendapatkan bukti kedua perkumpulan itu bahwa mereka yang telah melakukan pembantaian. Biar pun A-seng ini mengatakan bahwa para pembunuh itu memakai baju yang ada gambarnya Harimau Hitam, akan tetapi-dia tidak menemukan orang-orang itu antara anak buah Hekhouwpang. Dari Hek-houw-pang kami mendapat keterangan bahwa mungkin Pek-eng-pang yang telah sengaja menyamar sebagai orang Hek-houw-pang, melakukan pembunuhan dan mencuri pedang dari ayah A-seng Akan tetapi hal itupun tidak dapat dibuktikan, bahkan Pek-eng-pang mengancam akan membuat perhitungan dengan Hek houw-pang." "Omitohud, urusan menjadi berlarut-larut. Kalau ada pedang pusaka yang lenyap, maka sangat boleh jadi bahwa yang melakukan pembunuhan itu adalah gerombolan penjahat. Akan tetapi sudah-lah, kita tidak perlu mencampuri urusan mereka. Anak muda, namamu A-seng?" "Nama saya Coa Seng, biasa dipanggil A-seng, losuhu. Sekarang ayah dan ibu dan semua keluarga saya telah tewas, saya hidup sebatang kara, saya mohon sudilah losuhu menerima saya sebagai murid untuk belajar ilmu agar kelak saya dapat mencari para pembunuh keluarga saya." Setelah berkata demikian, A-seng menangis lalu membenturbenturkan kepalanya ke atas tanah sebagai penghormatan. "Omitohud, pinceng tidak ingin mengambil murid, A-seng. Lebih baik engkau segera pulang dan bekerja sebagai petani melanjutkan pekerjaan orang tuamu." Sambil menangis A-seng berkata, "Losuhu, saya telah kematian orang tua, kematian semua keluarga, tidak memiliki apa-apa lagi. Bagaimana saya dapat hidup seorang diri di tempat sunyi itu, tanpa keluarga dan tanpa tetangga" Pun saya ingin sekali memiliki ilmu kepandaian agar kelak dapat mencari pembunuh keluarga saya." "Omitohud, sungguh tidak baik menyimpan dendam dalam hati. Apalagi mengajarkan ilmu untuk kelak dipakai membalas dendam dan melakukan pembunuhan, tentu tidak akan pinceng lalukan. Sudahlah, A-seng, engkau pergilah, pin ceng tidak dapat menerimamu sebagai murid." Tangis A-seng semakin menjadi-jadi. Sambil sesenggukan dia tetap berlutut dan berkata, "Saya tidak akan bangkit dan akan berlutut di sini sampai mati sebelum suhu menerima saya sebagai murid." Nelayan Gu dan Petani Lai menghampiri. "A-seng, engkau tidak boleh memaksa Suhu tidak mau menerimamu sebagai murid!" kata Nelayan Gu. "Benar, A-seng. Pergilah dan jangan memaksa!" kata pula Petani Lai. "Tidak, saya tidak mau pergi dari sini. saya tidak mempunyai apa-apa dan siapa-siapa lagi di dunia ini. Saya mohon lo-suhu menerima saya sebagai murid dan saya tidak akan beranjak dari sini sebelum saya diterima sebagai murid." kata anak itu kukuh dalam tangisnya. "Sudahlah, mari kita tinggalkan dia!" terdengar suara lembut Cheng Hian Hwesio. Tiga orang itu lalu meninggalkan A-seng dan memasuki pondok. Dua orang pembantu itu bekerja di belakang pondok mengurus tanaman sayur, sedangkan Cheng Hian Hwesio bersamadhi dalam kamarnya. Mereka bertiga tidak memperdulikan A-seng lagi. Namun A-seng tetap berlutut menghadap batu besar dan tidak bergerak pergi dari situ. Dia sudah mengambil keputusan untuk berlutut di situ sampai mati kalau hwesio tua itu tidak mau menerimanya menjadi murid. Malam tiba dan Aseng tetap berlutut di tempat itu. Malam itu gelap dan dingin sekali, hawa dingin menembus pakaian dan kulit, nenyusup ke dalam tulang-tulang. Dapat dibayangkan betapa dinginnya berada di luar rumah, di udara terbuka. Namun, A-seng masih tetap berlutut seperti sore tadi, menggigit bibir menahan rasa dingin yang membuat tubuhnya menggigil. Dapat dibayangkan penderitaan yang dialami bocah itu. Perutnya mulai berkruyuk minta di si dan hawa dingin membuat semua bulu di tubuhnya bangkit berdiri dan tubuhnya menggigil. Namun dengan keras hati dia tidak pernah bergerak dari tempatnya! Semalam suntuk itu dia tetap berlutut dan pada keesokan harinya, ketika fajar menyingsing hawa dingin menjadi hampir tak tertahankan lagi. Giginya sampai berbunyi ketika di menahan hawa dingin dan tubuhnya mengigil. Akan tetapi setelah matahari naik cukup tinggi, hawa udara menjadi hangat dan nyaman, membuat penderitaanny banyak berkurang walaupun dia merasa lapar dan tubuhnya penat sekali karena sejak kemarin sore terus dalam keadaan berlutut. Namun, dia sama sekali tidak memperdulikan semua itu dan tetap berlutut. Nelayan Gu dan Petani Lai sampai mengoyang-goyang kepala melihat kekerasan hati pemuda remaja itu. Akan tetapi Cheng Hian Hwesio yang melihat ini hanya diam dan tersenyum saja. Malam kedua tiba dan tetap A-seng masih berlutut di tempat semula. Nelayan Gu dan Petani Lai merasa tidak tega dan mereka mengantarkan makanan dan minuman sederhana untuk A-seng. "Ini makanan dan minuman, kau makan dan minumlah Aseng, agar perutmu tidak kosong dan terserang hawa dingin ang akan membuat engkau sakit," kata mereka. Akan tetapi A-seng hanya menggeleng kepalanya dan tidak bergerak. Makanan dan minuman itu ditinggal di situ, akan tetapi pada keesokan harinya lagi makanan dan minuman itu masih tetap berada di situ dalam keadaan utuh! Dan tubuh pemuda remaja Itu mulai tampak lemah setelah lewat dua hari dua malam. "Suhu," mereka menghadap Cheng Hian Hwesio. "A-seng masih tetap berlutut di luar. Teecu khawatir kalau dia jatuh sakit." kata Petani Lai. "Omitohud...... ketahanan yang luar biasa, kekerasan hati yang mengagumkan, Biarkan saja, pinceng ingin melihat sampai di mana kekuatannya." kata hwesio itu sambil tersenyum menerima laporan kedua orang pembantu dan muridnya. Malam ke tiga merupakan malam penyiksaan bagi A-seng. Tubuhnya sudah lemah dan kaku semua rasanya, perutnya lapar sekali sehingga terasa menusuk nusuk nyeri. Namun dia tetap bertahan dan ketika pada keesokan paginya Nelayan Gu dan Petani Lai menengoknya, mereka mendapatkan pemuda remaja itu masih dalam keadaan berlutut, akan tetapi dia telah jatuh pingsan! Kalau dibiarkan pemuda ini tentu akan mati dalam keadaan berlutut. Ketika mereka melapor kepada Cheng Hian Hwesio, barulah hwesio ini bangkit dan berjalan keluar mendengar bahwa pemuda remaja itu berlutut dalam keadaan pingsan. Dia menghampiri A-seng dan melihat keadaan pemuda itu, di menggeleng kepalanya dan menghela napas. "Omitohud, ingin pinceng mendengar apa akan kata Bubeng Lo-jin melihat kenekatan anak ini." Dia lalu meraba tubuh itu, menotok beberapa jalan darah. A-seng mengeluh lirih dan siuman akan tetapi begitu siuman tubuhnya terguling roboh telentang. Akan tetapi, dia sudah berusaha pula untuk bangkit duduk dan berlutut lagi! Cheng Hian Hwesio berkata kepada dua orang muridnya yang juga mengikutinya keluar. "Angkat dia ke dalam dan buatkan bubur cair untuknya." Dua orang itu segera mengangkat tubuh A-seng, dibawa masuk ke dalam pondok dan direbahkan ke atas sebuah pembaringan. "Tidur sajalah dan jangan banyak bergerak. Permohonanmu telah dikabulkan suhu." kata Nelayan Gu kepada A-seng. Akan tetapi ketika Cheng Hian Hwest masuk ke pondok untuk melihat keadaan A-seng, anak itu lalu nekat turun dari pembaringannya dan berlutut di depan kaki Cheng Hian Hwesio. "Teecu menghaturkan banyak terima kasih atas budi kebaikan suhu yang telah menerima teecu sebagai murid." dia lalu mencoba untuk memberi penghormatan dongan delapan kali berlutut, akan tetapi tubuhnya terlampau lemah dan diapun terguling roboh. "Omitohud, cukuplah. Kekerasan hatimu yang membuat engkau menjadi muridku . Mudah-mudahan saja kelak engkau akan mempergunakan ilmu dari pinceng untuk kebenaran dan keadilan dan tidak mempergunakan untuk kejahatan." Dengan tongkatnya dia membantu A-seng berdiri dan mendorong anak itu kembali rebah telentang di atas pembaringannya. "Mengasolah sampai tubuhmu kuat dan sehat kembali." kata Cheng Hian Hwesio yang lalu meninggalkannya. A-seng memang memiliki tubuh yang kuat sekali. Dalam dua hari saja kesehatannya telah pulih kembali dan ternyata diapun seorang anak yang pandai membawa diri. Tanpa diperintah dia membantu Nelayan Gu dan Petani Lai dengan pekerjaan mereka sehari-hari, bahkan kini dialah yang mengerjakan pekerjaan yang berat untuk keperluan mereka berempat. Mengambil air, mencari kayu bakar membersihkan pondok dan halamannya juga membantu pekerjaan di ladang. Karena merasa kasihan akhirnya Cheng Hian Hwesio mulai mengajarkan ilmu silat kepadanya dan ternyata pemuda remaja itu memiliki bakat yang baik sekali. Juga dia telah memiliki dasar yang kuat, pernah mempelajari ilmu sl at dari guru yang baik, sehingga dasarnya tepat dan mudah menerima pelajar yang lebih tinggi. Jilid VII 8EMENTARA ITU, Han Lin juga digembleng oleh Bu-beng Lo-jin di Puncak Bambu, sebutan puncak di mana dia tinggal karena puncak itu ditumbuhi banyak bambu dari berbagai jenis. Karena sudah lima tahun lamanya digembleng ilmu silat oleh Gobi Sam-sian, maka Han Lin memiliki dasar yang amat kuat dan yang sealiran dengan pelajaran ilmu silat Bu-beng Lo-jin. Setiap bulan sekali Han Lin mendaki Puncak Awan Putih untuk belajar ilmu silat dari Cheng Hian Hwesio seperti telah dijanjikan hwesio itu. Tiga hari dia mempelajari teorinya dan dilatih ketika dia kembali ke Puncak Bambu. Karena sering datang belajar di Puncak Awan Putih, dengan sendirinya Han Lin menjadi sahabat baik dari A-seng. A-seng adalah murid Cheng Hian Hwesio, maka masih terhitung saudara seperguruannya dan karena A-seng berusia enam belas tahun, setahun lebih tua dari Han Lin, maka Han Lin menyebutnya suheng (kakak seperguruan) dan A-seng menyebut sute (adik laki-laki seperguruan) kepada Han Lin. Sikap A-seng yang ramah dan rendah hati membuat Han Lin suka bersahabat dengannya, bahkan seringkali dua orang pemuda ini berlatih bersama. Han Lin juga seorang pemuda yang pandai membawa diri. Setiap kali berlatih dengar A-seng, dia tidak pernah memainkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari Bu-beng Lo-jin, melainkan berlatih dengar ilmu yang dipelajarinya dari Cheng Hian Hwesio sehingga A-seng dapat mengimbanginya dengan ilmu yang sama. Dari Cheng Hian Hwesio, mereka menerima pelajaran beberapa macam ilmu silat. Hwesio sakti itu mengajarkan permainan senjata tongkat bambu yang disebut In-liong-tunghoat (Ilmu Tongka Naga Awan) yang gerakannya lembut seperti gerakan awan tertiup angin, namun dahsyat seperti amukan seekor naga. Juga hwesio itu mengajarkan ilmu silat tangan kosong yang dasarnya dari ilmu silat Liong-kun (Silat Naga) dari Siauw-n-pai, yaitu yang disebut Sin-liong-cianghwat (Silat Tangan Kosong Naga Sakti). Dua macam ilmu ini lebih dulu jajarkan dan setiap bulan sekali kalau dia datang ke Puncak Awan Putih, Han Lin tentu berlatih bersama A Seng dalam dua macam ilmu silat itu. Ternyata keduanya memiliki Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo bakat besar. Bahkan dalam hal sin-kang (tenaga sakti) dan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) kedua nya juga seimbang. Melihat kemajuan dua orang muridnya, Cheng Hian Hwesio merasa gembira sekali. Pada suatu hari, seperti biasa Han Lin datang menghadap Cheng Hian Hwesio dan mendengarkan petunjuk-petunjuk Cheng Hian Hwesio untuk menyempurnakan gerakan In-liongtunghoat. "Berlatihlah sebaiknya dengan A-seng agar kalian bersamasama mendapat kemajuan," kata Cheng Hian Hwesio sambil memandang wajah cucu buyut keponakan tu. Dia dapat membayangkan persamaan antara wajah Han Lin dan wajah Kaisar Cheng Tung. Dahinya yang sama lebar, mata yang tajam mencorong penuh kewibawaan. "Baik, losuhu." "Nah, sekarang carilah A-seng. Mungkin dia sedang mengerjakan pencabut rumput di ladang sayur. Akan tetapi tidak apa, ajaklah dia untuk berlatih, sendiri mendapat kesempatan baik kalau berlatih denganmu daripada dengan dua orang suhengnya yang jauh lebih tua." Han Lin lalu mencari A-seng di belakang pondok dan benar saja, pemuda itu sedang mencabuti rumput di ladang sayur sawi. Tanpa diminta Han Lin cepat membantunya dan setelah selesai, keduanya lalu pergi ke lapangan rumput di dekat ladang untuk berlatih silat. "Kita berlatih In-liong-tung-hoat, suheng. Ada beberapa gerakan yang kurasakan masih sulit." kata Han Lin. "Aku yang mendapat bimbingan kedua orang suheng Nelayan Gu dan Petani Lai juga masih mengalami kesulitan, sute. Memang In-liong-tung-hoat merupakan ilmu tongkat yang sukar dipelajari, banyak perkembangannya yang harus kita buat sendiri." Keduanya lalu mengambil dua batang pangkat bambu dan mulailah mereka bertanding untuk berlatih. Gerakan kedua orang muda yang kini usianya sudah tujuh belas tahun itu cepat dan Juga bertenaga. setiap kali tongkat mereka bertemu, Berasa getaran dari beradunya dua tenaga yang dahsyat. Setelah berlatih tongkat, mereka lalu berlatih ilmu silat tangan kosong Sin-long Ciang-hoat (Silat Tangan Kosong paga Sakti) dan kembali keduanya bergerak cepat dan mantap sekali. Setiap gerangan mendatangkan angin mengiuk dan tangan mereka bergerak sedemikian cepatnya sehingga tampaknya mereka memiliki lebih dari dua tangan! Keringat membasahi leher mereka, ketika mereka berhenti berlatih. Sambil mengusap keringat di leher dengan ujung lengan bajunya Han Lin bertanya. "Suheng, setelah engkau selesai belajar Ilmu kepada suhu, apa yang akan kaukerjakan?" Mendapat pertanyaan itu, yang datangnya tiba-tiba dan tidak disangkanya sama sekali, A-seng menatap wajah Han Lin dengan tajam dan dia lalu menundukkan mukanya, menghela napas panjang menjawab. "Kalau aku telah selesai belajar suhu menyuruhku turun gunung, yang pertama-tama kukerjakan adalah menyelidiki dan mencari para pembunuh keluarga ku." "Ah, suheng. Bukankah losuhu telah mengajarkan bahwa tidak baik bagi kita untuk mendendam, dan perbuatan yang lahir dari dendam adalah kekejaman dan kejahatan?" A-seng memandang wajah Han Lin dan tersenyum. "Aku tidak mendendam sute. Akan tetapi aku percaya bahwa orangorang yang sudah melakukan kekejaman seperti itu, membantai sepuluh orang yang tidak berdosa, tentu akan tetap menjadi manusia-manusia jahat yang perlu dibasmi. Kalau aku membasmi mereka, bukan karena mendendam melainkan untuk membasmi kejahatan seperti yang diajarkan suhu. Dan engkau sendiri, sute" Apa yang akan kau lakukan setelah engkau selesai berguru?" Han Lin tidak menjawab, melainkan termenung dan beberapa kali menghela napas panjang. "Sute, semenjak kita berkenalan dan menjadi saudara seperguruan, aku belum pernah mendengar tentang riwayatmu. Engkau sendiri sudah tahu akan riwayat-ku. Seluruh keluargaku terbunuh oleh orang-orang jahat. Aku hidup sebatang kara dan ditolong oleh suhu. Akan tetapi bagaimana dengan engkau" Aku yakin engkau mempunyai riwayat yang menarik karena aku melihat engkau bukan seperti orang muda biasa. Ataukah engkau belum percaya kepadaku sehingga tidak mau menceritakan riwayatmu kepadaku?" "Bukan begitu, suheng, akan tetapi...." "Akan tetapi apakah, sute" Sudahlah, kalau engkau tidak percaya kepadaku, jangan ceritakan dan biarlah engkau tetap merupakan seorang yang penuh rahasia bagiku." "Losuhu sendiri tidak pernah mendengar tentang riwayatku, juga belum pernah bertanya. Akan tetapi suhu Bu-beng Lo-jin tentu saja sudah mendengarnya dari ketiga suhu Gobi Samsian. Aku tidak ingin orang lain mengetahui riwayatku......." "Hemm, akan tetapi aku bukan orang lain, sute. Aku adalah suhengmu, bukan" Atau...... engkau tidak menganggap aku ini suhengmu?" Han Lin merasa tersudut dengan ucapan A-seng itu. Walaupun ucapan itu di keluarkan dengan ramah dan lembut namun menyudutkannya dan membuat dia tidak berdaya untuk mengelak lagi. "Baiklah, biar engkau mendengar pula riwayatku, akan tetapi engkau harus berjanji dulu tidak akan menceritakan kepada orang lain." Dengan sikap lucu A-seng bangkit berdiri dan mengangkat kedua tangan depan dada seperti memberi hormat dan berkata, "Aku berjanji, demi Bumi dan Langit, tidak akan membuka rahasiamu, sute." "Baiklah. Nah, dengarlah. Namaku yang sesungguhnya bukan Han Lin melainkan Cheng Lin." "Bukan she Han melainkan she Cheng" Akan tetapi mengapa harus diganti dengan she Han?" "Agar orang tidak mengetahui bahwa she Cheng, bahwa aku adalah putera Kaisar Cheng Tung." A-seng melompat dari tempat duduknya dan berdiri terbelalak memandang kepada Han Lin. "Putera Kaisar Cheng Tung" Ah, kalau begitu engkau adalah seorang pangeran! Ah, aku tidak tahu, maafkan." Dia lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan Han Lin. "Hushh! Apa-apaan engkau ini" Dengan sikapmu itu sama saja engkau hendak mengatakan kepada semua orang siapa diriku!" tegur Han Lin. Mendengar teguran ini, A-seng bangkit berdiri lagi. Sikapnya kini berubah menjadi menghormat sekali, bahkan memandangpun tidak berani langsung ke wajah Han Lin. "Duduklah dan jangan bengong begitu," kata Han Lin. "Atau engkau tidak ingin mendengar riwayatku?" "Maaf, tentu saja aku mau mendengarnya. Harap lanjutkan." Nada suaranya juga penuh hormat. "Ibuku adalah seorang Puteri Mongol. Belasan tahun yang lalu, Kaisar Che Tung pernah menjadi tawanan bangsa Mongol selama hampir dua tahun ketika itu dia bertemu dengan ibuku mereka lalu menikah. Sebelum aku di lahirkan, ayahku itu kembali ke selatan dan menjadi kaisar, ibu menanti-nanti penjemputan ayah yang tak kunjung datang. Yang muncul malah seorang datuk jahat sekali berjuluk Huang-ho Sin-liong (Naga Sakti Sungai Huangho) bernama Suma Kiang. Penjahat itu menculik ibu dan aku, dan kami dibawa lari ke selatan. Kami ditolong oleh ketiga suhu Gobi Sam-sian dan dibawa lari ke Pao-touw. Ibu dan aku tinggal di Pao-touw, akan tetapi ibu telah menjadi gagu karena menggigit putus lidahnya sendiri ketika hendak diperkosa Suma Kiang sebelum ditolong Go-bi Sam-sian." "Hemm, betapa jahatnya Suma Kiang itu!" kata A-seng dengan gemas. "Memang dia jahat sekali. Ketika aku berusia sepuluh tahun, muncul lagi Suma Kiang bersama seorang wanita yang menurut keterangan ketiga suhu Go-bi Sam-sian kemudian adalah Sam Ok yang terkenal sebagai datuk sesat yang lihai. Kiranya tempat persembunyian kami diketahui oleh Suma Kiang! Kami dikejar-kejar. Go-bi Sam-sian membela kami akan tetapi mereka kalah oleh dua orang datuk sesat itu. Ibuku yang hendak ditangkap Suma Kiang meloncat ke dalam jurang yang amat dalam!" "Aduh kasihan ibu paduka......!" Han Lin memandangnya dengan sinar mata menegur. "Kasihan sekali ibumu, sute.....!" A-seng berkata lagi, biarpun agak kaku menyebut sute kepada "pangeran" itu. "Aku dijadikan perebutan antara Suma Kiang dan Sam Ok. Lalu muncul Toa Ok dan Suma Kiang melarikan diri. Kemudian aku menjadi rebutan antara Toa Ok dan Sam Ok, lalu muncul ah suhu Bu-beng Lo jin yang mengalahkan dan mengusir mereka." "Suhumu itu sakti bukan main. Tapi.. heran siapa yang lebih sakti di anta suhumu dan suhu kita di sini." "Setelah itu, suhu Bu-beng Lo-jin menyusul Go-bi Sam-sian dan mengobati mereka, bahkan suhu It-kiam-sian kehilangan lengan kanannya ketika bertanding melawan Sam Ok. Oleh suhu Bu-beng Lojin aku lalu diserahkan kepada ketiga suhu Go-bi Sam-sian untuk dididik selama lima tahun. Setelah lima tahun ketika suhu itu membawa aku ke Puncak Bambu dan menyerahkan aku kepada suhu Bu beng Lo-jin." "Paduka..... eh, engkau beruntung sekali dapat menjadi murid Bu-beng Lojin dan juga murid suhu. Akan tetapi setelah nanti engkau selesai belajar sini dan turun gunung, apa yang aka kau lakukan, sute" Apakah engkau juga akan membalas dendam kepada musuh musuhmu terutama kepada Suma Kiang yang menyebabkan kematian ibumu" apakah engkau juga akan mencari menyusul ayahmu di kota raja?" "Kalau aku bertemu dengan Suma Kiang dan manusia itu masih jahat seperti dulu, aku tentu akan membasminya. Orang macam dia itu amat berbahaya bagi manusia dan dunia. Juga orang-orang seperti ketiga Sam Ok itu akan kutentang. Tentang menyusul ayahku...... aku masih belum mengambil keputusan tetap, akan tetapi ingin juga aku berhadapan dengan ayahku untuk menegurnya mengapa dia tidak menyuruh jemput ibuku dan membiarkan ibu hidup merana." "Akan tetapi, sute. Andaikata engkau -dapat menghadap Kaisar Cheng Tung, bagaimana engkau dapat mengatakan bahwa engkau adalah puteranya" Apa buktinya?" "Buktinya" Buktinya adalah ini!" Han Lin mengeluarkan Suling Pusaka Kemala yang tidak pernah terpisah dari badannya, selalu diselipkan di pinggang dan dibawa ke manapun dia pergi. A-seng memandang suling itu dengan mata terbelalak kagum. "Ah, betapa indahnya!" katanya dan otomatis dia mengulurkan tangannya. Han Lin menyerahkan suling itu kepadanya dan A-seng mengamatinya dengan penuh perhatian. "Sebuah pusaka yang indah sekali!" katanya mengagumi ukiran naga pada suling kemala itu. "Dapatkah engkau memainkannya, sute?" "Aku masih ingat betapa ibuku memainkan suling itu, meniup sebuah lagu Mongol." kata Han Lin. Memang seringkali dia, selagi seorang diri, meniup suling itu dan meniru lagu yang pernah dimainkan ibunya sehingga dia menjadi hafal. "Tentu indah sekali! Maukah engkau memainkan lagu itu untukku, sute?" Han Lin segera meniup suling dan memainkan lagu "Suara hati seorang gadis-yang dia hafal lagunya akan tetapi tidak tahu apa judulnya. A-seng melihat dan mendengarkan dengan penuh perhatian dan setelah Han Lin selesai memainkan suling itu, dia bertepuk tangan memuji "Hebat sekali! Indah sekali, sute?" katanya. Pada saat itu, terdengar seruan lembut. "Omitohud.......!" Dua orang pemuda itu menoleh dan mereka segera menjatuhkan diri berlutut ketika melihat bahwa yang datang adalah Cheng Hian Hwesio. "Suling apakah yang kau pegang dan lagu apakah yang kau mainkan tadi, Han Lin?" Han Lin tidak dapat berbohong. "Ini suling pemberian mendiang ibu teecu, losuhu. Dan lagu itupun teecu pelajari dari mendiang ibu teecu." Cheng Hian Hwesio menghela napas panjang. "Omitohud. Pusaka warisan harus disimpan dengan baik dan tidak boleh sembarangan diperlihatkan dan diceritakan kepada orang lain." Han Lin merasa bersalah, akan tetapi karena sudah terlanjur, diapun berkata, "Maaf, losuhu. Suheng A-seng bukanlah orang lain, melainkan suheng teecu sendiri." "Baiklah, akan tetapi jangan sekali kali membuka rahasia warisan orang tua kepada orang lain. Pula, engkau bicara tentang mendiang ibumu. Siapa yang bilang bahwa ibumu sudah meninggal dunia?" "Losuhu, ibu terjatuh ke dalam jurang yang tidak tampak dasarnya saking curamnya. Tidak mungkin orang terjatuh ke jurang seperti itu tidak menjadi tewas." "Omitohud, apakah ada buktinya bahwa ibumu sudah tewas?" Han Lin tertegun, dan menggeleng kepalanya. "Memang belum ada buktinya losuhu. Akan tetapi bahkan suhu Bu-beng Lo-jin sendiri mengatakan bahwa tidak mungkin orang terjatuh dan tempat setinggi itu dapat terbebas dari kematian. " "Omitohud, suhumu terlalu memandang rendah kekuasaan dari Yang Maha Kuasa. Pinceng juga tidak dapat mengatakan apakah ibumu masih hidup, akan tetapi sebelum melihat buktinya, sebaiknya jangan membicarakan ibumu seperti orang yang sudah mati." "Baik, losuhu, dan maafkan kesalahan teecu." "Sudahlah, sekarang lebih baik kalian berlatih lagi, pinceng ingin melihat kemajuan kalian." "Suhu menghendaki kami berlatih silat apakah?" tanya Aseng kepada gurunya. "Coba kalian berlatih silat tangan kosong, karena silat tangan kosong merupakan dasar dari segala macam ilmu silat bersenjata. Pinceng ingin melihat sampai di mana kemajuan Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kalian dalam ilmu silat tangan kosong." "Akan tetapi, suhu. Bagaimana dapat dilihat kemajuan masing masing kalau kami berdua melakukan ilmu silat tangan osong yang sama" Kami sudah saling mengenal gerakan masing-masing. Berbeda kalau kami berlatih dengan ilmu ilat yang berbeda, baru dapat dilihat kemajuan masing-masing." kata A-seng. "Benar juga pendapatnm, A-seng. Han Lin, berlatihlah bersama A-seng dengan menggunakan ilmu silat tangan kosong seperti yang kau pelajari dari Go-bi Sam-sian atau Bubeng Lo-jin." "Baik, losuhu." jawab Han Lin dengan patuh. "Nah, mulailah." kata pula Cheng Hian Hwesio sambil duduk di atas batu besar, siap menonton kedua orang murid itu berlatih. "Mulailah, sute. Aku sudah siap!" kata A-seng dan nada suaranya gembira sekali. "Baik, suheng. Lihat seranganku!" Han Lin lalu menyerang, tidak lagi menggunakan ilmu silat Sin-liong Ciang-hoat yang diajarkan hwesio itu, melainkan menyerang dengan ilmu silat Ngo-heng Sin kun (Silat Tangan Kosong Lima Unsur yang diajarkan oleh Bu-beng Lo-jin. A seng segera menyambutnya dengan mengelak dan selanjutnya dia membalas dan bersilat dengan ilmu silat Sin-liong Ciang hoat (Silat Tangan Kosong Naga Sakti) yang diajarkan oleh Cheng Hian Hwesio. Mereka lalu saling serang dengan hebatnya. Akan tetapi tentu saja keadaan Han Lin lebih untung. Pemuda ini sudah mengenal gerakan Sin-liong Ciang hoat yang juga dipelajarinya dan dia mengerti ke arah mana A-seng akan menyerang. Sebalikny A-seng sama sekali tidak mengenal Ngo heng Sin-kun sehingga kalau Han Lin menyerangnya, dia harus waspada sekali karena dia tidak tahu perubahan pada ilmu silat itu. Ilmu silat Ngo-heng Sin kun berdasarkan bekerjanya Ngo-heng (Lima Unsur), yaitu tanah, air, api, kayu dan logam yang saling menunjang dan saling menundukkan. Perubahannya banyak sekali dan A-seng menjadi bingung dengan perubahan-perubahan gerakan ilmu silat itu. Sebaliknya, Han Lin yang sudah mempelajari Sin-liong Cianghoat, tentu saja dapat berjaga diri dengan baik terhadap serangan jurus-jurus ilmu silat ini. Keadaannya menjadi tidak berimbang dan setelah terdesak, dalam jurus ke dua puluh lima dada A-seng kena dorongan tangan Han Lin dan dia jatuh terjengkang. Tentu saja Han Lin tidak menggunakan tenaga sepenuhnya dan tidak pula memukul melainkan hanya mendorong dengan tenaga terbatas sehingga A-seng tidak menderita luka. Hanya yang mengherankan hati Han Lin, mengapa gerakan A-seng terasa lambat sekali sehingga dorongannya itu tidak dapat ditangkis atau dielakkan. "Ah, maaf, suheng.....!" kata Han Lin sambil membantu Aseng bangun. "Tidak mengapa, sute. Ilmu silatmu tadi hebat sekali!" Aseng memuji sambil tersenyum. Cheng Hian Hwesio mengerutkan alisnya. "A-seng, gerakanmu tadi terlambat sehingga engkau terkena dorongan Han Lin. Andaikata gerakanmu tidak demikian lambat, tentu engkau masih dapat mengelak atau menangkis." "Suhu, gerakan kaki tangan sute demikian rumit dan aneh perubahannya sehingga teecu menjadi bingung." "Hemm, engkau harus belajar lebih giat lagi." kata Cheng Hian Hwesio dan diapun masuk ke dalam pondok dengan alis berkerut. Setelah hwesio itu memasuki pondo Han Lin berkata, "Suheng, maafkan aku. Doronganku tadi membuat engkau ditegur oleh losuhu." "Tidak mengapalah, sute. Memang aku harus belajar lebih keras lagi agar dap memperoleh kemajuan. Mari kita latihan lagi, sute. Sekarang kita mempergunaka senjata. Aku akan mainkan In-Iiong-tung hoat (Ilmu Tongkat Naga Awan) dan engkau boleh memainkan ilmu silat senjata yang kau pelajari dari Bu-beng Lojin." "Baik, suheng. Aku akan mempergunakan tongkat bambu sebagai pedang dan mainkan Leng-kong-kiam-sut (Ilmu Pedang Sinar Dingin) yang kupelajari dari suhu." "Bagus, dengan demikian kita dapat lebih cepat memperoleh kemajuan." Dua orang pemuda Itu lalu berlatih silat dengan mempergunakun tongkat bambu. Akan tetapi berbeda dengan tadi, mereka bersilat dengan dua macam ilmu silat, bahkan Han Lin bermain silat pedang yang tentu saja berbeda jauh dengan ilmu silat tongkat yang dimainkan A-seng. Dengan memainkan dua macam Ilmu silat ini dengan sendirinya pertandingan itu menjadi lebih ramai dan me-reka juga bersilat dengan lebih hati-hati. Terutama sekali bagi A-seng yang tidak Mengenal ilmu pedang yang dimainkan Han Lin. Dia harus waspada sekali karena tidak tahu perubahan gerakan pedang bambu di tangan Han Lin. Dia melawan matimatian dengan ilmu tongkat In-Iiong-Tung-hoat (Ilmu Tongkat Naga Awan). Akan tetapi seperti juga tadi, Han Lin mendapat lebih banyak kesempatan untuk mendesak A-seng karena dia sudah tau akan perubahan gerakan ilmu tongkat In Liongtunghoat itu, sebaliknya A-seng sama sekali tidak tahu dan tidak mengenal gerakan ilmu pedang Leng-kok-kia sut (Ilmu Pedang Sinar Dingin) yang mainkan Han Lin. Akan tetapi lima puluh jurus kemudian tongkat bambu yang dimainkan sebagai pedang di tangan Han Lin memukul pundak kirinya, Han Lin merasa bahwa gerakan A-seng kurang cepat sehingga dapat "terbacok" pedang. "Wah, ilmu pedangmu juga hebat sute! Aku menerima kalah!" "Suheng, hal ini karena aku sudah ngenal baik ilmu tongkatmu sedangkan engkau sama sekali tidak pernah mengenal ilmu pedangku." "Mulai sekarang sebaiknya kita berlatih secara rajin sute. Dengan demikian aku dapat memperoleh kemajuan dalam ilmu yang kupelajari. Engkaupun dapat memperoleh kemajuan dalam ilmu-ilmu yang kau dapatkan dari Bu-beng Lo-jin." "Baiklah, suheng. Kalau memang engkau dan juga losuhu menghendaki demikian, tentu saja aku suka sekali agar dapat saling memajukan ilmu yang kita pelajari." Setelah Han Lin pulang ke Puncak Bambu, meninggalkan Puncak Awan Putih, dan A-seng menghadap Cheng Hian Hwesio, dia berkata dengan suara biasa seperti membuat laporan. "Teecu senang sekali dapat berlatih dengan sute Han Lin yang mempergunakan Ilmu-ilmu yang dia pelajari dari Bu beng Lo-jin. Teecu sudah berlatih ilmu tongkat Sin-liong-tunghoat, dilawan sute dengan ilmu pedang yang disebut Lengkong-kiam-sut. Wah, hebat sekali ilmu pedangnya itu, suhul Teecu dapat bertahan sampai lima puluh jurus dan akhirnya terkena bacokan pada pundak kiri teecu. Memang hebat sekali. Pantas saja sute Han Lin berkali-kali mengatakan bahwa ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari Bu-beng Lo-jin merupakan ilmu pilihan dan nomor satu di dunia persilatan, tidak mungkin ada yang mampu menandinginya!" "Omitohud, begitukah yang dikatakan Han Lin?" kata Chcng Hian Hwesio sambil mengerutkan alisnya. "Akan tetapi sute Han Lin mengatakan demikian bukan untuk menyombongkan diri, suhu. Dia hanya mengatakan yang sebenarnya. Mulai sekarang teecu akan berlatih secara demikian dengan dia. Dia memainkan ilmu ilmu yang didapatinya dari Bu-beng Lojin dan teecu memainkan ilmuilmu dari suhu. Dengan demikian, tentu teecu akan memperoleh kemajuan pesat." Kerut merut di antara alis Cheng Hian Hwesio semakin mendalam. "A-seng, apakah engkau merasa bahwa selama menjadi murid pinceng engkau tidak memperoleh kemajuan dalam ilmu silatmu?" A-seng memandang kepada suhunya dengan mata terbelalak. "Ah, tentu saja teecu tidak "merasa begitu, suhu! Teecu telah memperoleh kemajuan besar, dan terima kasih atas semua jerih payah dan kebaikan hati suhu! Akan tetapi dibandingkan sute Han Lin, memang teecu masih kalah. Hal ini mungkin karena teecu memang kalah berbakat dibandingkan sute Han Lin. Dan teecu tidak merasa penasaran kalau kalah olehnya." "Engkau tidak perlu kalah olehnya, A-seng. Tidak ada ilmu yang tidak terkalahkan di dunia ini. Juga ilmu-ilmu yang diajarkan oleh Bu-beng Lo-jin bukannya tidak terkalahkan. Sekarang perhatikan baik-baik, engkau harus memperdalam ilmu silat tangan kosong Sin-liong Clung-hoat dan ilmu tongkat In liong Tunghoat dengan mempelajari inti-intinya yang tersembunyi dari pinceng. Setelah itu, pinceng akan mengajarkan ilmu It yang-ci yang pinceng rahasiakan dan belum pernah pinceng ajarkan kepada siapapun juga. Pinceng hanya akan mengajarkannya kepadamu." A-seng terbelalak memandang kepada wajah suhunya. "Apakah suhu juga tidak akan mengajarkannya kepada sute Han Lin, suhu?" Cheng Hian tampak ragu-ragu, akan tetapi kemudian menggeleng kepala. "Juga tidak karena dia sudah mendapat banyak ilmu silat dari Bu-beng Lo-jin.ia telah sempurna semua ilmu-ilmu yang kau pelajari , baru pinceng akan mengajarkan Pek-in Hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Putih) kepadamu?" "Hoat-sut (Ilmu Sihir)?" "Ya, ilmu sihir. Akan tetapi ilmu sihir yang bersih, bukan untuk melaksanakan kejahatan, melainkan untuk menolak segala macam ilmu sihir yang hitam." Tentu saja A-seng merasa senang bukan main, akan tetapi dia menahan dan tidak memperlihatkan perasaannya pada wajahnya. "Teecu akan menaati semua petunjuk suhu dan akan mempelajari dengan tekun." Hati Cheng Hian Hwesio terbakar. Dia merasa penasaran sekali karena seolah dia merasa direndahkan, lebih rendah dari Bu-beng Lo-jin! Beginilah kerjanya nafsu. Biarpun Cheng Hian Hwesio telah menjadi pendeta dan pertapa sejak puluhan tahun, namun tetap saja Nafsu masih belum bersih benar dari hati akal pikirannya. Hati akal pikiran memang menjadi tempat tinggal Nafsu yang mengangkat diri menjadi Raja, menjadi Aku dan selalu memaksa manusia untuk memperhatikan Akunya. Aku yang paling benar, Aku yang paling baik, Aku yang paling pandai dan sebagainya. Aku tidak kalah oleh orang lain! Sejak manusia dilahirkan, dia sudah disertai nafsu karena nafsu amat diperlukan untuk mempertahankan hidupnya, diperlukan untuk memajukan hidupnya, membela dirinya, dan membuat manusia dapat menikmati hidup di dunia ini. Tanpa adanya nafsu kita tidak dapat hidup atau setidaknya tidak dapat hidup normal sebagai manusia. Mungkin kita akan hidup sebagai binatang yang hanya mengandalkan naluri belaka, tidak bisa memperbarui dan memajukan segala sesuatu, tidak dapat hidup senang karena nafsu memang tujuannya hanya satu, yakni kesenangan! Nafsu memperkenalkan diri kita dengan kesenangan, kenikmatan dan kepuasan, namun sebaliknya juga membuat kita berhubungan dengan kesusahan, sesengsaraan dan kekecewaan! Manusia yang mampu menguasai dan mengendalikan nafsu, dia akan menjadi seorang yang hidupnya berbahagia, karena nafsu yang terkuasai akan menjadi peserta dan juga pembantu yang amat berguna bagi kehidupan, mendatangkan kesenangan dan kepuasan. Akan tetap apabila nafsu tidak terkendali, sebalikn nafsu malah mengendalikan kita, maka kita akan terseret ke dalam jurang! Kita akan menjadi pengejar kesenangan dan biasanya, kalau nafsu sudah menguasai diri, dalam pengejaran kesenangan hati kita tidak segan melakukan apa saja yang menyimpang dari kebenaran. Nafsu mencari kesenangan dan kecukupan melalui harta memang perlu bagi kehidupan. Kita hidup tidak akan terepas dari kebutuhan yang hanya dapat ditutup dengan uang. Namun kalau nafsu mengejar uang sudah mencengkeram kita, apa jadinya" Kita tidak segan-segan untuk menipu, mencuri, merampok, korupsi sebagainya. Nafsu untuk mencari kesenangan melalui kedudukan memang baik. Kita hidup juga memerlukan agar menjadi orang pandang, agar menjadi orang berguna, akan tetapi kalau nafsu mengejar kedudukan sudah mencengkeram kita, kita tidak segan-segan untuk memperebutkan kedudukan dan kekuasaan dengan saling nenjegal, saling melakukan fitnah, bahan saling membunuh! Nafsu sex adalah hal yang wajar, terutama sekali sebagai perkembang, biakan manusia. Namun kalau nafsu sex sudah mencengkeram kita, apa jadinya" Pelacuran, perjinaan, perkosaan yang terjadi di mana-mana menunjukkan keganasan nafsu sex yang sudah menguasai manusia. Nafsu teramat penting, namun juga teramat berbahaya bagi kita manusia, satu-satunya cara untuk membuat nafsu menjadi pelayan yang baik dan bukan menjadi majikan yang jahat, adalah MENGUASAINYA! Namun dapatkah kita menguasai nafsu" Dapatkah semua pengertian tentang bahayanya pengaruh nafsu itu menguasai nafsu itu sendiri" kenyataannya tidak demikian. Semua pencuri tahu bahwa mencuri itu tidak baik, namun mereka tidak dapat menghentikan kebiasaannya mencuri. Semua koruptor tahu bahwa pekerjaan mereka itu tidak baik, namun mereka tidak dapat menghentikan kebiasaan itu. Nafsu membuat orang menjadi ketagihan dan kalau sudah begitu, pengertian tidak ada gunanya. Bahkan pengertian di hati akal pikiran menjadi pembela nafsu sehingga para koruptor mengatakan, "Ah, aku korup karena terpaksa, orang lain juga berbuat seperti itu." dan sebagainya. Hati dan pikiran para pencuri yang sudah bergelimang nafsu juga menjadi pembela dengan kata-kata, "Ah, aku mencuri karena terpaksa untuk memberi makan anak isteri, untuk menyekolahkan anak." dan sebagainya. Tidak, pengertian tidak dapat mengekang nafsu. Hati akal pikiran tidak dapat menundukkan nafsu. Lalu apa yang harus kita lakukan" Meniadakan nafsu" tidak mungkin. Membiarkan nafsu merajalela amat berbahaya. Mengendalikan nafsu juga hampir merupakan suatu ketidakmungkinan. Apa yang harus kita perbuat" Jalan satu-satunya hanya menyerahkan segalanya kembali kepada Tuhan! Tuhan Maha Pencipta. Juga Tuhan yang memberi nafsu kepada kita. Hanya Tuhanlah deengan KekuasaanNya yang mampu mengekang nafsu. Hanya Kekuasaan Tuhan saja yang dapat membimbing kita, Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo memperkuat batin kita untuk tidak terseret oleh nafsu, melainkan menjadikan nafsu sebagai alat, sebagai pelayan dalan kehidupan ini. Penyerahan diri, kepasrahan dengan penuh keikhlasan, penuh ketawakalan, sepenuh iman. Cheng Hian Hwesio adalah seorang yang terlatih. Hampir setiap hari dia nenggunakan kesempatan dalam waktu luangnya untuk bersamadhi, memiliki batin yang telah menjadi kuat. Namun, menghadapi nafsu sendiri diapun masih kalah. Melihat kenyataan bahwa muridnya kalah oleh murid Bu-beng Lo-jin mengugah semangatnya yang tidak mau kalah oleh dorongan nafsu. Ingin menang. Ingin lebih besar, lebih pandai, lebih sakti! Kalau saja di sana tidak ada Bu-beng Lo-jin, tentu dia tidak akan membanding-bandingkan. Akan tetapi Bu-beng Lojin ada di sana, sebagai sahabatnya, kenalan lamanya ketika dia berkelana Pegunungan Himalaya. Dia tahu bah Bu-beng Lo-jin adalah seorang yang sakti. akan tetapi dia merasa tidak kalah, bahkan dalam banyak hal dia seringkali menasihati Bu-beng Lo-jin yang dianggapnya sebagai seorang yang tidak tentu agama , tosu bukan hwesio pun bukan. Akan tetapi mempelajari segala macam falsafah agama dan ajaran Khonghucu. Kalau saja Han Lin tidak menjadi murid Bu beng Lo-jin, diapun tentu tidak membandingkan kepandaian Han Lin dengan kepandaian muridnya yang sama mudanya yaitu Aseng. Mulai hari itu, Cheng Hian Hwesio mulai menggembleng Aseng dengan lebih tekun, dan semua ilmunya diajarkan kepada murid itu. Dua ilmunya yang tadinya merupakan ilmu simpanannya, yaitu Tiam-hiat-hoat (Ilmu Menotok Jalan Darah) yang disebut It-yang-ci (Menotok Satu jari) dan ilmu Pek-in Hoat-sut yang merupakan ilmu yang berdasarkan kekuatan batin dan hawa sakti, mulai diajarkan kepada Aseng, dan ilmu-ilmu yang lain juga diperdalam sehingga Aseng memperoleh banyak sekali kemajuan. Cheng Hian Hwesio menjadi lupa bahwa Han Lin adalah cucu buyut keponakannya sendiri, dan kepada pemuda itu dia hanya mengajarkan Sin-liong Ciang-Hoat dan In-liong-tunghoat, ilmu silat langan kosong dan ilmu tongkat itu. Akan tetapi, Han Lin yang digembleng oleh Bu-beng Lo-jin yang menurunkan semua ilmunya, antara lain Sin-tek Tung-i aat (Ilmu Tongkat Bambu Sakti), Ngo-leng Sin-kun (Ilmu Silat Tangan Kosong lima Unsur), Leng-kong Kiam-sut (Ilmu Pedang Sinar Dingin), juga ilmu-ilmu berdasarkan sin-kang yang tinggi, seperti Jeng-kin-cui (Beratkan Badan Seribu Kati), Sia-kut-hoat (Ilmu Lemaskan Tulang) dan semacam ilmu melalui suara yang disebut Sai-cu Ho-kang (Auman Singa). Ilmu ini merupakan suara melengking yang dapat memunahkan semua kekuatan sihir lawan, dan juga dapat menggetarkan jantung, membuat lawan menyerah tanpa bertanding seperti seorang yang beerhadapan dengan seekor singa yang mengaum-ngaum. Apabila kita memperhatikan waktu maka waktu merayap bagaikan siput. Apa lagi kalau kita menanti sesuatu yang telah kita harapkan, agaknya waktu tidak pernah berjalan maju. Menanti datangnya teman yang telah berjanji dengan kita untuk suatu pertemuan, terlambat sejenak saja rasanya seperti sehari. Akan tetapi sebaliknya kalau kita tidak memperhatikan waktu, maka waktu terbang dengan sangat cepatnya sehingga bertahun-tahun lewat, rasanya seperti baru beberapa hari saja. Kalau seorang tua mengingat-ingat ketika dia masih kanak-kanak, maka seperti baru terjadi beberapa bulan saja padahal sudah lewat puluhan tahun! Demikianlah, lima tahun lewat dengan sangat cepatnya sejak A-seng menjadi murid Cheng Hian Hwesio. Dalam lima tahun itu, anak yang cerdik itu telah menguasai semua ilmu yang diajarkan kepadanya oleh Cheng Hian Hwesio. Dia telah menguasainya dengan baik sekali, Cheng Hian Hwesio mengajarkan ilmu-ilmunya yang rahasia seperti It-yang-ci dan Pek-in Hoat-sut dengan diam-diam, bahkan dua orang muridnya, Nelayan Gu dan Petani Lai sendiri juga tidak mengetahui bahwa sute mereka yang muda itu telah mempelajari kedua ilmu yang mereka tahu merupakan ilmu simpanan suhu mereka itu. Pada suatu malam terang bulan. Nelayan Gu dan Petani Lai setelah melayani guru mereka makan malam dan mereka sendiripun sudah makan malam, masih duduk di ruangan belakang dan mereka membicarakan sute mereka yang muda itu. "Nelayan Gu, apakah kau juga memperhatikan apa yang kulihat?" "Apakah maksudmu?" "Mengenai diri sute kita A-seng. Dia telah belajar lima tahun kepada suhu dan agaknya dia telah memperoleh kemajuan yang arnat pesat. Kemarin dulu ketika aku melihat dia berlatih silat In liong-tung, aku melihat gerakannya ringan seperti awan dan dahsyat seperti naga, mengingatkan aku akan gerakan suhu sendiri. Agaknya dalam ilmu itu dia telah melampaui kita." kata Petani Lai. "Hemm, hal itu dapat saja terjadi. Dia masih muda dan kita tahu bahwa sebelum belajar kepada suhu, dia telah memiliki dasar yang amat baik dan kuat. Ditambah lagi ketekunannya berlatih yang selalu mengagumkan hatiku." "Akupun melihatnya, akan tetapi ada suatu hal yang kadang merisaukan hatiku! Dia tampak luar biasa cerdiknya dan tampaknya suhu amat menyayangnya, dan betapa seringnya suhu berdua saja dengan dia dalam kamar suhu. Bukan tidak mungkin suhu mengajarkan ilmu-ilmu rahasia yang tidak suhu ajarkan kepada kita." kata Nelayan Gu. "Maksudmu, suhu mengajarkan It-yang ci dan Pek-in Hoatsut kepada sute A seng?" tanya Petani Lai dengan-alis berkerut. "Sangat boleh jadi. Pernah aku secara tidak sengaja lewat di belakang kamar suhu ketika mereka berdua berada di dalam dan aku mendengar suara bercuitan, suara yang hanya ditimbulkan oleh ilmu It-yang-ci apabila dipergunakan." "Ah, aku ingat sekarang. Suhu pernah mencari lilin dan minta aku mencarikan ke dusun di bawah gunung. Sebanyak tiga belas batang lilin. Bukankah suhu pernah menyinggung bahwa mempelajari Pek-in Hoat-sut membutuhkan tiga belas lilin untuk latihan" Benar sekali, Nelayan Gu. Mungkin anak itu telah diberi pelajaran It-yang-ci dan Pek-in Hoat-sut!" "Akan tetapi mengapa" Kita yang sudah puluhan tahun dengan setia mengikuti dan melayani suhu, tidak diajarkan ilmu-ilmu itu, sedangkan A-seng yang belum kita ketahui benar asal-usulnya telah diberi pelajaran ilmu rahasia itu!" kata Nelayan Gu dengan penasaran. Tiba-tiba Petani Lai memberi isarat kepada rekannya dan diapun bergerak ke tempat yang tertutup bayang-bayang gelap. Perbuatannya ini ditiru oleh Nelayan Gu yang melihat bcrkelebatnya bayangan dua orang, agak jauh di belakang pondok. "Ada orang!" bisik Petani Lai. "Ya, aku melihat dua orang." "Mencurigakan sekali. Mari kita bayangi ke belakang, mengambil jalan memutar." Dengan ilmu gin-kang (meringankan tubuh) mereka yang tinggi, kedua orand itu lalu melompat ke dalam gelap di bawah bayang-bayang pohon. Bulan bersinar terang sehingga menciptakan banya bayang-bayang pohon dan di bawah bayang-bayang inilah kedua orang itu melakukan penyelidikan ke belakang pondok. Di belakang pondok itu terdapat sebuah kebun sayur dan di sebelah sananya terdapat sepetak rumput. Mereka bersembunyi ketika melihat ada seorang berdiri d atas petak rumput itu, menghadap bulan membelakangi mereka dan orang itu melipat kedua lengan di depan dada. Kemudian, tampak bayangan dua orang berkelebat dan tiba-tiba dua orang muncul dan berada di depan orang yang berpeluk tangan itu. "Kongcu.....!" Mereka memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada lalu membungkuk sampai dalam. "A-kiu dan A-hok, sudah kukatakan jangan lagi muncul di sini. Apa mau kalian malam-malam datang ke sini?" tanya orang yang menghadap bulan itu dengan suara keren dan Nelayan Gu bersama Petani Lai yang mengintai menjadi terheranheran karena mereka mengenal suara A-seng! Akan tetapi kalau suara A-seng selalu ramah dan merendah, suara itu kini amat angkuh dan berwibawa! "Ampunkan kami, kongcu. Akan tetapi kami diutus oleh pangcu untuk memanggil kongcu pulang karena perkumpulan kita akan mengadakan perayaan peringatan ke lima puluh tahun perkumpulan kita. Kata pangcu kongcu sekarang tentu telah menjadi seorang pemuda dewasa dan sudah cukup mempelajari ilmu, maka Kongcu diharapkan untuk pulang sekarang juga bersama kami!" Tiba-tiba A-seng, orang yang tadi bersedakap itu, membalikkan tubuhnya dan memandang ke arah di mana Nelayan Gu dan Petani Lai bersembunyi. "Di sana ada dua orang bersembunyi. Tangkap mereka!" perintahnya kepada dua orang yang dipanggil sebagai A-kiu da A-hok itu. A-kiu dan A-hok bergerak cepat kali, tiba-tiba tubuh mereka sudah melayang ke arah di mana dua itu bersembunyi dan langsung mereka menyerang menggunakan sebatang pedang di tangan masing-masing. Nelayan Gu dan Petani Lai, biarpun terheran-heran dan terkejut mereka sudah siap siaga dan menghadapi serangan mendadak itu, mereka menyambut dengan gerakan senjata mereka. "Trang-tranggggg.....!" Bunga api berpijar-pijar ketika dayung baja dan cangkul itu bertemu dengan kedua pedang penyerang mereka. Segera terjadi perkelahian hebat antara mereka dan kedua orang murid Cheng Hian Hwesio itu mendapat kenyataan bahwa dua orang itu memiliki ilmu pedang yang aneh dan cukup kuat. Akan tetapi, Nelayan Gu dan Petani Lai adalah dua orang yang telah menerima gemblengan Cheng Hian Hwesio, ilmu silat mereka sudah tinggi, tenaga sin-kang mereka juga kuat sekali dan mereka sudah memiliki banyak pengalaman dalam perkelahian. Maka, setelah mereka berkelahi tiga puluh jurus lebih di bawah sinar bulan purnama itu, perlahan-lahan akan tetapi tentu, mereka dapat mendesak kedua orang lawan mereka yang berpedang, i "A-kiu dan A-hok, mundur kalian!" A-seng membentak dan dua orang itu berloncatan ke belakang, membiarkan A-seng yang maju menghadapi dua orang suhengnya! Dua orang itu tertegun dan memandang kepada A-seng dengan mata terbelalak seolah-olah mereka melihat setan! Wajah pemuda itu masih- sama, wajah yang tampan dan gagah, akan tetapi ada sesuatu yang mengerikan pada sinar matanya yang mencorong dan senyumnya yang sinis! Sama sekali lenyap sikap menghormat dan rendah hati yang biasanya diperlihatkan apabila pemuda itu berhadapan dengan kedua orang suhengnya itu. "Sute...... apakah yang terjadi" Siapakah kedua orang ini dan.... dan.... siapakah engkau sebenarnya?" tanya Nelayad Gu, sedangkan Petani Lai memandang dengan alis berkerut. "Nelayan Gu dan Petani Lai, kalian tidak perlu tahu siapa adanya kedua orang ini!" jawab A-seng dengan suara angkuh dan tegas. "Ahhh...." Sute, beginikah sikapmu terhadap dua orang suhengmu?" bentak Petani Lai marah. "Kalian bukan suhengku!" "A-seng.....!!" "Ha-ha-ha, namaku bukan A-seng! Aku hanya menggunakan nama itu agar dapat mempelajari ilmu dari suhu Cheng Hian Hwesio! Sekarang aku telah tamat belajar tidak perlu menganggap kalian sebagai suheng. Memalukan sekali mempunyai suheng yang ilmu silatnya masih serendah tingkat kalian!" Dua orang itu sampai menjadi bengong karena tertegun dan heran bukan main. Benarkah yang bicara itu A-seng yang biasanya ramah dan hormat" Orangnya memang sama akan tetapi sikapnya berbeda seperti bumi dengan langit. Pemuda ini demikian angkuh, demikian sombong dan tinggi hati. Petani Lai yang keras hati menjadi marah bukan main mendengar ucapan itu. Dia menggerakkan cangkulnya di atas kepala dan mendamprat, "A-seng, jahanam keparat! Berani engkau menghinaku?" "Ha-ha-ha, mengapa tidak berani" Apa yang dapat kau lakukan dengan cangkulmu itu" Untuk mencangkul tanah juga tidak dalam, hanya untuk menakut-nakuti anjing saja!" "Jahanam! Berani engkau melawanku?" tantang Petani Lai. "Ha-ha, apa yang harus kutakutkan" Bagiku, cangkulmu itu tiada gunanya, Petani Lai!" "Keparat, lihat senjataku!" bentak Petani Lai dan diapun sudah menyerang dengan ganas. A-seng menyambar sebatang tongkat bambu yang berada di situ dan diapun menyambut serangan itu dengan tongkat bambunya. Gerakannya cepat bukan main dan segera keduanya sudah terlibat dalam sebuah perkelahian yang dahsyat. di bawah sinar bulan purnama, tubuh mereka berdua hampir tak nampak, tertutup oleh sinar dari senjata masingmasing yang membentuk lingkaran-lingkaran yang menyambar-nyambar. Nelayan Gu terkejut sekali melihal gerakan tongkat bambu. Gerakannya demikian mantap, mengeluarkan angin besar dan berdengung-dengung nyaring sehingga dalam belasan jurus saja Petani Lai sudah terdesak mundur! Akan tetapi dia tidak mau mengeroyok. Bukan wataknya untuk mengeroyok, apalagi kalau di ngat bahwa lawan mereka hanyalah sute mereka sendiri. Petani Lai juga merasa penasaran sekali. Dia seolah merasa berhadapan dengan dinding sinar bambu yang amal kokoh. Ke manapun cangkulnya menyambar, selalu bertemu dengan tongkat dan setiap kali senjata mereka beradu, di merasa betapa tangannya tergetar hebat Tiba-tiba terdengar A-seng berkata, suaranya nyaring dan penuh kekuatan, "Petani Lai, engkau tidak akan menang melawan aku! Lihat, kedua tanganmu sudah mulai lemah!" Petani Lai terkejut bukan main ketika merasakan betapa kedua tangannya benar-benar menjadi lemah sekali dan pada saat itu, tangan A-seng menyambar dan berhasil menotok ulu Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo hatinya. Hebat sekali totokan itu. Petani Lai merasa se-olah ada sebatang pedang yang runcing menembus ulu hatinya dan melukai bagian dalam dadanya. Dia mengeluh, cangkulnya masih menyambar namun segera terlepas dari tangannya dan diapun roboh terkulai! "Ha-ha-ha, sebegini saja kepandaian-mu!" A-seng tertawatawa dengan girang. Nelayan Gu terkejut sekali dan cepat dia meloncat ke dekat tubuh Petani Lai ntuk memeriksa keadaan rekan itu. A-langkah kagetnya ketika ia melihat bahwa rekannya itu telah tewas! Rekannya telah tewas oleh totokan yang dahsyat sekali dan diapun dapat menduga bahwa itu adalah ilmu totok It-yang-ci yang ampuh. Wajahnya menjadi pucat sekali kemudian berubah merah ketika dia bangkit berdiri sambil memandang ke arah A-seng dengan sinar mata bernyala saking marahnya. "Manusia iblis! Engkau kejam sekali!" bentaknya. "Ha-ha-ha, bagus kalau engkau mengetahui itu, Nelayan Gu. Untuk memperoleh kemenangan orang harus berhati kejam!" "Sebetulnya, siapakah engkau" Mengapa pula engkau melakukan semua ini dan sekarang bahkan membunuh Petani Lai yang tidak bersalah apa-apa padamu?" "Dia sendiri yang mencari mati karena menantangku. Dan engkaupun akan menyusulnya, ha-ha-ha!" A-seng tertawatawa dengan sikap mengejek. "Akan tetapi siapakah engkau ini?" "Baiklah, karena engkau akan mati aku tidak keberatan untuk mengaku siapa adanya diriku sebenarnya. Aku bernama Ouw Ki Seng keponakan dari ketua Ban tok-pang. Pada suatu hari aku tersesat naik ke Puncak Awan Putih dan melihat datuk sesat Huang-ho Sin-liong Suma Kiang bertanding dengan kalian, kemudian dia dikalahkan dengan mudah oleh heng Hian Hwesio. Karena itu, aku ingin sekali mempelajari ilmu silat dari Cheng Hian Hwesio yang sakti dan akhirnya kehendakku terpenuhi. Sekarang, semua ilmu dari Cheng Hian Hwesio telah diturunkan kepadaku." Wajah Nelayan Gu menjadi pucat ketika dia menatap wajah A-seng dengan pandang mata terbelalak. "Jadi kalau begitu, pembantaian terhadap sepuluh orang petani itu......." "Ha-ha-ha, engkau boleh tahu sekarang, Nelayan Gu. Akulah yang melakukan. Aku sengaja membunuhi mereka agar Cheng Hian Hwesio menaruh iba kepadaku dan suka menerimaku sebagai murid. Dan siasatku itu berhasil dengan baik." "Jahanam! Manusia berwatak iblis! Sejak muda engkau telah menjadi manusia iblis yang kejam sekali!" "Ha-ha, untuk dapat mencapai keinginan hidupnya, orang harus bersikap cerdik Nelayan Gu. Sekarang, setelah engkau mengetahui semua keadaanku, bersiaplah untuk mampus!" Nelayan Gu sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Sambil mengeluarkan bentakan nyaring diapun sudah menerjang dengan dayung bajanya, menyerai dengan dahsyat. Namun, A-seng menghadapinya dengan tenang. Tongkat bambunya bergerak dan setelah menangkis, iapun balas menyerang dengan sama dasyatnya. "Tunggg.....!" Kedua senjata bertemu dan akibatnya, Nelayan Gu terhuyung belakang. A-seng menyerang terus dan mendesak Nelayan Gu yang sudah terhuyung belakang. Tiba-tiba tampak sinar hitam menyambar tubuh Nelayan Gu dari arah kiri. Nelayan Gu cepat mengelak dan beberapa batang paku beracun lewat dekat tubuhnya. Itulah paku-paku beracun yang disambitkan oleh Akiu dan A-hok. Demikianlah watak mereka dari golongan sesat. Lawan yang sudah terdesak malah dikeroyok dan diserang dengan senjata rahasia! Ban-tok-pang (Perkumpulan Selaksa Racun) merupakan perkumpulan golongan sesat yang terkenal jahat dan curang. Nelayan Gu memutar dayungnya untuk melindungi dirinya, akan tetapi tiba-tiba tongkat bambu di tangan A-seng membentur dayungnya dan melekat! Inilah penggunaan sinkang (tenaga sakti) untuk menempel dan Nelayan Gu tidak mampu lagi menarik lepas dayung bajanya. Pada saat itu, kembali ada sinar hitam paku-paku menyambar. Nelayan Gu menggerakkan tangan kirinya untuk me-nyampok sinar hitam itu dan berhasil menangkis pakupaku itu, akan tetapi pada saat itu tangan kiri A-seng sudah mengirim totokan dengan ilmu lt-yang-ci. Jari tangan kirinya yang meluncur itu mengeluarkan suara bercuitan dan tanpa dapat ditangkis maupun dielakkan lagi, jari tangan itu telah berhasil menotok bawah tulang iga kanan Nelayan Gu. Nelayan Gu tersentak kaget, dayungnya terlepas dan diapun roboh terkulai dengan mata terbelalak dan tetap terbelalak ketika dia tewas seketika! A-seng tidak mempedulikan lagi lawannya yang telah tewas. "Mari kita bakar pondok itu. Biarkan hwesio tua itu mati terbakar di dalamnya. Mari!" Dia mengajak A-kiu dan A-hok. Ketiganya lalu berlari cepat menghampiri pondok dan ternyata mereka memang sudah merencanakan pembakaran karena telah tersedia banyak rumput kering di luar pondok. Mereka mengepung pondok dengan rumput kering, kemudian membakar rumput-rumput kering itu. Pondok yang terbuat daripada kayu dan bambu itupun terbakar dengan mudah! Api menyambar dan membakar dinding kayu, lalu menyambar pintu dan jendela merambat atap. A-seng memandang api sambil tersenyum lebar. Suara api memakan kayu dan bambu terdengar seperti musik yang merdu di telinganya. Dia tidak membutuhkan lagi Cheng Hian Hwesio, bahkan harus membunuh hwesio itu karena Cheng Hian hwesio itu agaknya yang akan mampu menandinginya, karena merupakan ancaman baginya. "Omitohud.....!" Terdengar seruan dan tiba-tiba saja atap yang belum termakan api jebol dari bawah. "Braaakkkk.....I" Tubuh Cheng Hian Hwesio menjebol atap itu dan melayang ke atas, lalu turun ke dekat A-seng. Hwesio itu memandang kepada A-seng dengan mata terbelalak heran. "A-seng, apa yang telah terjadi?" tanyanya. A-seng mendekati hwesio itu, seperti hendak melapor. Akan tetapi setelah tiba dekat, dia membentak, "Inilah yang terjadi!" Dan tangan kirinya sudah meluncur dengan amat cepatnya ke arah dada Cheng Hian Hwesio. Dia menyerang dengan It-yang-ci! Cheng Hian Hwesio terkejut, akan tetapi ketenangannya membuat dia masih sempat mengerahkan ilmu kekebalannya melindungi dada yang ter-totok. "Tukkk.....!" jari telunjuk A-seng bertemu dengan dada yang terasa seperti sebuah dinding baja, akan tetapi tetap saja totokan yang amat ampuh itu dapat menembus kekebalan dan akibatnya Cheng Hian Hwesio terjengkang! "Ha-ha-ha, Cheng Hian Hwesio, mampuslah engkau!" Dan A-seng lalu menyerang hwesio yang sudah terjengkang itu dengan totokan It-yang-ci lagi! Akan tetapi Cheng Hian Hwesio adalah seorang hwesio sakti yang sudah puluhan tahun melatih diri. Biarpun dari mulutnya mengalir darah segar menandakan bahwa dia telah terluka dalam, namun melihat serangan susulan itu, diapun lalu mengerahkan sisa tenaganya, menyambut serangan Aseng dengan ilmu It yang-ci pula. "Desss.....!" Dua tenaga yang amat kuat bertemu dan akibatnya A-seng terjengkang! Ternyata dia masih kalah kuat dibandingkan gurunya dan kenyataan in membuat A-seng terkejut. "Ledakkan!" bentaknya dan dua orang tokoh Ban-tok-pang itu lalu membanting dua buah benda yang meledak dan menimbulkan asap tebal hitam. Cheng Hian Hwesio menahan napas dan melompat jauh ke belakang. Setelah asap tebal memudar, dia sudah tidak melihat tiga orang itu tadi. Dia melihat pondok yang sudah terbakar semua dan menghela napas panjang. Dia masih bingung akan sikap A-seng yang menyerangnya dan untuk mengobati luka dalamnya, dia lalu duduk di atas batu dan menghimpun hawa murni. Tahulah dia bahwa It-yang-ci yang dipergunakan A-seng menyerang dirinya sudah bercampur dengan ilmu yang sesat, yaitu hawa yang mengandung racun! Jendela kamar Han Lin diketuk perlahan dari luar. Han Lin merasa heran sekali dan agar tidak mengganggu suhunya yang tidur di kamar sebelah, dia turun dari pembaringan, mendekati jendela dan bertanya dengan suara lirih, "Siapa di luar?" "Aku, sute. Aku Ingin bicara denganmu." Mendengar suara A-seng, Han Lin segera membuka daun jendela dan tampaklah wajah A-seng di bawah sinar bulan purnama. "Ah, engkau, suheng. Ada keperluai apakah malam-malam begini engkau datang berkunjung?" "Sute, pelajaranku telah selesai d suhu menyuruh aku turun gunung. Besok pagipagi sekali aku sudah harus meninggalkan Puncak Awan Putih. Karena itu aku malam-malam berkunjung kepadamu karena aku ingin bercakap-cakap lebih dulu denganmu sebelum pergi. Kalau engkau tidak keberatan, aku ingin bermalam di sini bersamamu agar dapat bercakap cakap sebelum aku pergi besok pagi pagi." Han Lin tersenyum. "Tentu saja boleh, suheng. Silakan masuk." A-seng melompat masuk ke dalam kamar itu dan mereka lalu duduk di atas kursi, berhadapan terhalang meja kecil. "Wah, engkau sudah tamat belajar, suheng" Kalau begitu mulai besok pagi engkau sudah akan bebas seperti seekor burung terbang di udara. Alangkah bebas dan senangnya!" "Aku tidak tahu apakah aku harus senang ataukah susah! Aku harus berpisah dari suhu yang begitu baik kepadaku, dan berpisah dari engkau yang sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Aku belum tahu harus berbuat apa. Hidupku sebatang kara." "Ah, mengapa khawatir, suheng" Engkau masih muda dan kuat, engkau dapat mengerjakan apa saja dengan menggunakan kepandaianmu, menjadi piauwsu (pengawal barang kiriman), atau menjadi guru silat bayaran, atau masuk tentara." "Hemm, aku tidak menyukai itu semua. Mungkin aku akan merantau, sute. Aku ingin sekali merantau jauh ke utara, ingin memasuki daerah Mongol. Siapa tahu aku akan bertemu dengan keluargamu. Kalau aku mengatakan bahwa aku kakak seperguruanmu, tentu mereka akan menyambutku dengan baik." "Tentu saja, suheng. Paman kakekku, Kapokai Khan, adalah seorang yang baik hati dan dapat menghargai orang gagah. Kalau kelak engkau sempat berjumpa dengan dia, sampaikan hormatku kepadanya." "Akan tetapi, agar mereka dapat percaya, aku harus mengetahui keadaanmu baik-baik, sute. Aku telah mengetahui riwayatmu, akan tetapi engkau belum memberitahu siapa nama ibumu kepada ku. Kalau kakek itu bertanya, aku tidak dapat mejawabnya." "Katakanlah bahwa ibuku bernama Puteri Chai Li." "Hemm, Puteri Chai Li" Nama yang bagus sekali, sute. Sekarang aku yakin mereka akan menerimaku dengan baik dan paman-kakekmu akan memperayaiku." Mereka bercakap-cakap sampai jauh malam, kemudian mereka tidur di atas pembaringan Han Lin. A-seng memperhatikan dengan kerling matanya betapa Han Lin mengambil suling kemala dari ikat pinggangnya dan menyusupkan ke bawah bantal. Tak lama kemudian keduanya sudah tidur nyenyak. Akan tetapi A-seng hanya pura-pura tidur. Dia sengaja bernapas panjang-panjang seperti seorang tidur nyenyak. Setelah yakin bahwa Han Lin sudah tidur pulas, A-seng mulai menggerakkan tangan perlahan-lahan seperti tidak sengaja tangannya menyusup ke bawah bantal yang ditiduri Han Lin. Tak lama kemudian, tangannya sudah ditarik kembali dan telah memegang suling pusaka kemala! Kemudian tangan kirinya bergerak, siap melancarkan serangan It-yang-ci, akan tetapi ditahannya. Dia ragu-ragu. Dia tahu bahwa Han Lin lihai sekali, jauh lebih lihai daripada dua suhengnya, Nelayan Gu dan Petani Lai. Belum tentu sekali serang dia akan dapat membunuhnya. Pula, kalau sampai gagal dan terdengar oleh Bu-beng Lo-jin, akan berbahaya ekali. Suling pusaka kemala sudah berada di tangannya. Benda itu dikehendakinya. Benda sebagai tanda dan bukti bahwa pemegangnya adalah putera Kaisar Cheng Tung, seorang pangeran! Dan benda itu sudah berada di tangannya. Karena dia amat cerdik, dia tidak jadi menyerang Han Lin, melainkan turun dari pembaringan dengan hati-hati sekali, kemudian keluar dari kamar itu melalui jendela sambil menyelipkan suling pusaka kemala di ikat pinggangnya. Sebelum pergi dia menutupkan kembali daun jendela kamar tu, lalu meloncat dan berlari pergi, menghilang di bawah bayang-bayang pohon. Seperti biasa setiap fajar, keruyuk ayam hutan jantan membangunkan Han Lin dari tidurnya. Begitu membuka mata, i a teringat akan A-seng dan cepat menengok ke kiri. Kosong.. Mimpikah dia semalam" Bukankah A-seng tidur di sisinya" Dia bangkit dan seperti biasa pada setiap pagi, yang pertama kali dilakukannya adalah mengambil suling pusaka kemala yang ditaruh di bawah bantalnya. Dia menyusupkan tangannya ke bawah bantal, meraba-raba dan menjadi heran, cepat dibukanya bantal itu, diangkatnya dan terbelalak dia memandang ke bawah bantal yang tidak ada apa-apanya! Suling pusaka kemala yang dia simpan di bawah bantal seperti biasa telah tiada! Kembali dia menengok ke arah bantal di sebelah yang ditiduri A-seng semalam. Diangkat nya bantal itu akan tetapi tetap saj sulingnya tidak berada di situ. Dia melompat turun dan memeriksa seluruh pembaringan. Tidak ada suling! Dia lompat ke dekat jendela dan ternyata jendela itu dalam keadaan tidak terkunci atau terpalang. Jelas bukan mimpi. Semalam A-seng memasuki kamarnya melalu jendela itu dan tidur di sebelahnya, karang A-seng sudah tidak ada dan suling pusaka kemalanya juga tidak ada! Han Lin menjadi penasaran sekai Dengan tergesa-gesa dipakainya sepatunya, lalu dibereskan pakaian dan rambutnya kemudian dia membuka jendela, melompat keluar dan lari dengan cepat meninggalkan puncak menuju ke Puncak Awan Putih untuk mencari A-seng! Dia tidak tahu bahwa ada yang membayangi. Orang itu bukan lain adalah Bu-beng Lojin yang merasa heran melihat tingkah muridnya yang tergesa-gesa Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo pergi dari puncak di waktu sepagi itu. Karena ingin tahu, Bubeng Lo-jin diamdiam membayangi tanpa diketahui oleh Han Lin karena dilakukannya dalam jarak yang cukup jauh. Karena hatinya ingin cepat bertemu dengan A-seng yang membawa pergi suling pusaka kemala, Han Lin mempergunakan Ilmu berlari cepat sehingga sebentar saja dia sudah tiba di Puncak Awan Putih. Akan tetapi apa yang dilihatnya amat mengejutkan hatinya. Pondok itu telah runtuh dimakan api dan masih mengepul-kan asap! Dan dia melihat Cheng Hian Hwesio duduk bersila di atas batu besar. Tidak tampak A-seng, Nelayan Gu atau Petani Lai di situ. "Losuhu, apa yang telah terjadi?" tanyanya dengan suara nyaring. Cheng Hian Hwesio membuka matanya. "Han Lin, engkaukah ini" Bencana telah datang menimpa. Pinceng tidak tahu mengapa terjadi hal seperti ini. Nelayan Gu dan Petani Lai juga tidak tampak sejak semalam. Mari kita mencari mereka." Hwesio tua itu telah berhasil mengusir hawa beracun akibat pukulan A-seng dari tubuhnya dan dia lalu melompat turun. Di kuti oleh Han Lin, dia lalu cari dua orang murid dan pembantunya Itu ke belakang pondok. Dan di sana, di atas petak rumput, mereka menemuki Nelayan Gu dan Petani Lai sudah menjs di mayat! "Omitohud.....! Telah terjadi seperti apa yang pinceng khawatirkan......" Hwesio itu mengeluh dengan nada suara berduka. "Akan tetapi apa yang telah terjadi losuhu" Siapa yang telah membunuh kedua orang suheng ini?" Jilid VIII "AMITOHUD......! Siapa lagi kalau bukan murid murtad Aseng itu." "A-seng?" Han Lin tertegun. A-seng menipunya, pura-pura bermalam akan tetapi mencuri suling pusaka kemalanya, dan ternyata di sini telah melakukan hal yang lebih hebat pula. Amat keji perbuatannya yang dilakukan di Puncak Awan Putih. Membunuh Nelayan Gu dan Petani Lai, masih membakar pondok Cheng Hian Hwesio pula! "Akan tetapi, mengapa dia melakukan hal ini, losuhu?" "Pinceng yang bodoh, salah menilai orang. Disesalipun tiada gunanya, akan tetapi siapa yang tidak akan bersedih" Mereka ini tewas dengan sia-sia. Ah, gurumu Bu-beng Lo-jin yang benar, Han Lin. Pinceng seperti buta, tidak melihat harimau dalam kulit domba." "Cheng Hian Hwesio, engkau benar. Disesalipun tidak ada gunanya lagi. Dan engkau ingat akan kata-katamu dahulu. Di sini karmamu mempermainkanmu! Karma yang bekerja dengan amat cerdiknya. Dan dua orang pembantumu yang setia ini telah bersikap setia sampai mati. Mereka telah mati, tak perlu ditangisi lagi." Bu-beng Lo-jin muncul menghampiri Cheng Hian Hwesio. "Omitohud.......! Lo-jin, pinceng masih merasa bingung dan terpukul. Bagaimana pun juga, anak itu telah kami tolong, Ayah bundanya dan keluarganya mati terbunuh penjahat, dia hidup sebatangkara dan kami terima sebagai murid. Akan tetapi kenapa kini dia melakukan ini?" Suara kakek itu pilu penuh perasaan sedih dan sesal. "Yang dia bunuh itu bukan keluarganya, melainkan sepuluh orang petani biasa yang tidak berdosa." kata Bu-ben Lo-jin tenang. "Yang dia bunuh?" Han Lin berteriak "Suhu, jadi dia....." "Ya, dialah, pemuda yang mengaku bernama A-seng itu, yang membantai sepuluh orang itu. Mereka adalah petanipetani biasa dan sama sekali bukan keluarganya!" "Omitohud.....! Benarkah itu" Akan tetapi mengapa?" "Cheng Hian Hwesio, biarpun engkau udah berpengalaman, akan tetapi agaknya engkau tidak banyak mengenal kehidupan para datuk dan tokoh jahat. Kejahatan yang dilakukan A-seng itu belum seberapa' Dan mengapa dia membunuh sepuluh orang yang diakuinya sebagai keluarganya" Agar hatimu tergerak dan suka menerimanya sebagai muridmu. Dia melakukan pembunuhan itu hanya dengan satu tujuan, yaitu menjadi muridmu. Dan ia sudah berhasil. Sangat berhasil sehingga dia dapat menimba ilmu darimu samai lima tahun! Bahkan kecurigaanku sendiri menjadi luntur karena selama lima tahun ini dia benar-benar bersikap baik seperti yang kudengar dari Han Lin. Ah, Cheng Hian Hwesio, anak itu adalah serang iblis cilik yang amat berbahaya. Dia akan menjadi tokoh yang mengerikan dalam dunia persilatan." Cheng Hian Hwesio menghela napas panjang. "Omitohud....., pantas dua tahun terakhir ini dia sengaja mengadu ilmu yang dia pelajari dari pinceng dengan ilmu yang dipelajari Han Lin darimu! Kiranya ini suatu bujukan agar pinceng menurunkan ilmu yang lebih hebat, agar tidak kalah oleh muridmu! Sungguh menyesal sekali, aku bahkan telah mengajarkan lt-yang-ci dan Pek-in Hoat-sut kepadanya!" Bu-beng Lo-jin juga terkejut mendengar ini. Dia tahu betapa hebatnya dua ilmu itu, terutama It-yang-ci. "Sungguh ingin sekali aku mengetahui, dia itu siapa dan dari perkumpulan sesat yang mana." "Pinceng juga tidak tahu. Dia ditemani dua orang yang melempar bahan peledak sehingga menghalangi pinceng mencegah mereka melarikan diri." "Asap beracun?" "Agaknya begitu, akan tetapi pinceng sempat menjauhkan diri. Anak itu secara tidak tersangka-sangka telah menyerang pinceng dengan It-yang-ci membuat pinceng sempat menderita luka yang cukup parah. Akan tetapi pinceng sempat menggertaknya dan dia lalu melarikan diri di balik asap tebal." "Dia bahkan hendak membunuhmu" Astaga, benar-benar iblis cilik yang tidak mengenal budi! Han Lin, kelak kalau bertemu dengan iblis itu, engkau harus berhati-hati sekali terhadap kelicikannya." kata Bu-beng Lo-jin. "Semalampun teecu telah menjadi korban kelicikannya, suhu. Dia mengetuk jendela teecu dan mengatakan bahwa pagi ini dia harus pergi, maka dia ingin bermalam di kamar teecu untuk bercakap cakap. Tentu saja teecu tidak menolak, karena dia adalah suheng teecu. Akan tetapi ketika pagi tadi teecu terbangun, ia sudah tidak ada dan.... suling pusaka kemala teecu juga hilang." "Omitohud......!" Cheng Hian Hwesio berseru keras. "Pusaka itu dicuri dan dibawanya lari" Han Lin, engkau harus mencarinya dan engkau harus merampasnya kembali! Itu adalah satu-satunya benda pusaka yang menjadi bukti akan keadaan dirimu!" Han Lin terbelalak memandang kepada Cheng Hian Hwesio. "Jadi losuhu suda tahu.....?" "Han Lin, akulah yang memberitahu kepadanya akan keadaan dirimu. Dia adalah gurumu juga, bukan" Dia berhak untuk mengetahui siapa engkau." "Sudahlah, Han Lin. Pinceng juga tidak akan membocorkan rahasiamu. Akan tetapi satu-satunya benda bukti bahwa engkau adalah seorang pangeran adalah suling pusaka kemala itu. Karena itu engkau harus mendapatkannya kembali," kata Cheng Hian Hwesio. "Akan tetapi, losuhu. Setelah teecu (murid) pikir-pikir, apa gunanya suling pusaka kemala itu bagi teecu" Teecu tidak ingin menjadi pangeran. Biarpun ayah tecu seorang kaisar, akan tetapi dia telah meninggalkan kami ibu dan anak, berarti dia tidak mau mengakui kami. Kalau di sudah tidak mau mengakui, untuk apa teecu harus memaksanya untuk mengaku teecu" Teecu tidak ingin menjadi pangeran yang dipaksakan." Cheng Hian Hwesio dan Bu-beng Lo-jin saling pandang dan keduanya tertawa senang, bahkan Bu-beng Lo-jin sampai terbahak-bahak. Kemudian Cheng Hian Hwesio memegang kedua pundak Han Lin dan berkata, "Pendirianmu itu sehat dan benar sekali, Han Lin. Akan tetapi tidaklah engkau ingin menyelidiki mengapa Kaisar Cheng Tung tidak menjemput ibumu" Dan tidak inginkah engkau mengenal ayah kandungmu" Dan untuk itu, engkau harus memegang suling pusaka kemala itu." "Senjata itu boleh jadi tidak perlu bagimu, Han Lin," kata Bu-beng Lo-jin (Orang Tua Tanpa Nama). "Akan tetapi jelas perlu bagi pemuda yang mengaku bernama Aseng itu. Kalau tidak perlu, untuk apa dia mencuri suling pusaka kemala itu darimu" Apakah engkau telah menceritakan apa adanya suling itu dan siapa dirimu sebenarnya?" Han Lin mengangguk. "Karena dia merupakan seorang suheng yang baik, teecu sudah menceritakannya, suhu." "Nah, pantas saja dia lalu mencuri suling pusaka kemala itu! Dia tahu bahwa suling itu merupakan satu-satunya benda bukti bahwa pemegangnya adalah Putera Kaisar Cheng Tung yang terlahir dari ibu Mongol! Dia tentu akan menggantikan kedudukanmu sebagai pangeran di kota raja dengan bukti suling itu!" "Omitohud......! Akan hebatlah kalau begitu. Orang selicik dia, setelah menjadi pangeran, bukan tidak boleh jadi lalu berusaha untuk menjadi putera mahkota agar kelak menggantikan kedudukan kaisar! Dan kalau kaisarnya seperti dia, celakalah negara dan bangsa'" seru Chen Hian Hwesio dan suaranya mengandung penyesalan besar sekali. "Pinceng tidak boleh tinggal diam saja!" Han Lin tertegun. Pikirannya tidak melayang sejauh itu dan diapun terkejut melihat segala kemungkinan buruk itu Dia memang tidak ingin menjadi pangeran, akan tetapi kalau sampai A-seng yang demikian licik dan jahat menjadi pangeran dan kemudian bahkan menjadi pengganti kaisar, dia memang tidak boleh tinggal diam saja. "Kalau begitu, menurut suhu berdua, teecu harus mencarinya dan merampas kembali suling pusaka kemala itu?" tanyanya kepada dua orang tua itu. "Tentu saja, engkau harus menghalangi dia menjadi pangeran dan kemungkinan menjadi pengganti kaisar. Tidak salah lagi perkiraan kami. Dia mencuri suling pusaka kemala itu tentu hanya dengan tujuan itu, karena tidak ada alasan lain." kata Bu-beng Lo-jin. "Omitohud...... dan pinceng telah mengajarkan semua ilmu simpanan pinceng kepadanya'" kata Cheng Hian Hwesio dengan nada penuh penyesalan. "Lo-jin, pinceng harus mengetahui lebih dulu tingkat kepandaian Han Lin. Jangan sampai dia kalah kalau bertanding melawan A-seng itu." "Han Lin, perlihatkan ilmu-ilmu yang pernah kau pelajari dariku kepada Cheng Hian Hwesio." kata Bu-beng Lo-jin. "Akan tetapi kasihan sekali dua orang murid ini, apakah tidak lebih baik kala kita kubur mayat mereka lebih dulu?" "Omitohud, engkau benar, Lo-jin." "Han Lin, galilah dua lubang untuk mengubur mereka." kata Bu-beng Lo-jin. "Baik, suhu. Di mana teecu harus menggali lubang itu, losuhu?" tanya Han Lin kepada Cheng Hian Hwesio. Hwesio itu lalu memilihkan tempat yang baik untuk makam Nelayan Gu dan Petani Lai. Setelah mendapatkan tempat yan dianggapnya layak dan baik, Han Lin lai menggunakan cangkul menggali dua buah lubang yang cukup dalam dan lebar. Kemudian, secara sederhana sekali dua mayat itu dikubur dan setelah lubang ditutup kembali, Cheng Hian Hwesio berdiri dengan kedua tangan dirangkap di depan dada, berdiri seperti patung di depan dua makam itu. Diam-diam timbul penyesalan yang mendalam di dalam hatinya. Kalau dia tidak menerima Aseng sebagal murid, tidak menurunkan It-yang-ci kepadanya, belum tentu kedua orang murid dan pembantunya yang setia ini akan tewas di tangan pemuda iblis itu! Tanpa dirasakan, dua butir air mata bergantungan di pelupuk mata hwesio itu! Melihat ini, Bu-beng Lo-jin menghibur. "Penyesalan tiada gunanya, semua telah terjadi menurut garis yang ditentukan. Kematian merekapun tidak perlu dibuat penasaran, karena mereka tewas dalam membela kebenaran dan menentang yang jahat. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi kemudian. Semua itu merupakan rahasia. Kita hanya dapat menerima dengan penuh rasa syukur karena dalam setiap peristiwa itu terkandung hikmah yang mendalam dan penuh rahasia. Tidakkah engkau pikir demikian, Cheng Hian Hwesio?" Hwesio itu tersenyum. "Omitohud, engkau benar sekali, Lojin. Perasaan pinceng begini lemah dan mudah hanyut." "Karena engkau banyak melakukan samadhi atas dasar cintakasih terhadap semua mahkluk, perasaanmu menjadi peka sekali dan mudah hanyut. Hal itu bukanlah tidak baik. Berbeda dengan aku yang selalu membuka mata dengan waspada melihat keadaan hidup ini di mana baik buruk selalu mengambil tempat dalam hati akal pikiran manusia silih berganti. Baik dan buruk itu hanya ada dalam penilaian manusia dan penilaian manusia itu palsu adanya." "Omitohud, apa yang kau katakan itu amat mendalam artinya, namun tidak dapat disangkal kebenarannya, Lo-jin." Han Lin juga berlutut di depan makam memberi penghormatan kepada mendiang kedua orang suhengnya yang selalu bersikap baik kepadanya, menjadi penasaran mendengar ucapan terakhir dari suhunya itu. "Maaf, suhu. Teecu tidak mengerti apa artinya dengan ucapan suhu tadi bahwa baik dan buruk itu hanya ada dalam penilaian manusia dan penilaian manusia itu palsu adanya?" "Ah, apakah engkau belum mengerti akan hal yang sewajar dan sesederhana itu" Pikirkan baik-baik. Yang dinamakan baik dan buruk itu tidak akan ada kekal tidak ada penilaian. Sesuatu itu wajar wajar saja, tidak baik dan tidak buruk. Akan tetapi setelah ada penilaian dan perbandingan, barulah dinamakan ini baik dan itu buruk. Jadi yang melahirkan baik buruk adalah penilaian. Mengertikah?" "Teecu mengerti, suhu. Akan tetapi mengapa penilaian manusia suhu katakan palsu adanya?" Han Lin mengejar. "Penilaian manusia selalu didasari rasa suka dan tidak suka, dengan perhitungan diuntungkan atau dirugikan. Kalau diuntungkan timbul rasA suka dan penilaiannya tentu baik, sebaliknya kalau dirugikan timbul rasa tidak suka dan penilaiannya tentu buruk. Orang sedunia boleh nenganggap Si A sebaik-baiknya orang, akan tetapi kalau SI A merugikan dan memusuhi kita, dapatkah kita menganggapnya sebagai orang baik" Sebaliknya, orang sedunia boleh menganggap Si B sejahat-jahatnya orang, akan tetapi kalau Si B menguntungkan kita, amat baik terhadap kita, dapatkah kita menganggap dia seorang jahat" Tentu saja tidak. Terhadap Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo orang yang kita suka karena menguntungkan kita, tentu kita akan menilainya baik. Sebaliknya terhadap orang yang kita tidak suka karena merugikan kita, tentu kita akan menilai-nya jahat. Nah, penilaian seperti itu bukankah palsu adanya?" "Akan tetapi, suhu. Bukankah penilaian yang sifatnya umum di mana diri kita tidak terlibat?" Han Lin terus mengejar. "Memang ada pendapat dan penilaian umum dan itu sudah dijadikan ukuran oleh kita untuk menganggap mana yang baik dan mana yang jahat. Akan tetapi jangan lupa bahwa umum juga telah terpengaruh oleh pendapatnya masing-masing berdasarkan suka atau tidak suka, diuntungkan atau dirugikan. Karena itu, bentrokan pendapat bukan hanya terjadi kepada pribadi-pribadi, melainkan juga bentrokan pendapat dan penilaian antara kelompok, golongan, dan bangsa. Bangs Han kita semua memandang mendiang Jenghis Khan sebagai orang yang sekejam kejamnya dan sejahat-jahatnya. Akan tetapi coba bertanya kepada bangsa Mongol. Mereka semua menganggap bahwa mendiang Denghis Khan adalah orang besar, gagah perkasa, pahlawan bangsa. Mengapa demikian" Alasannya mudah saja. Bangsa Han merasa dirugikan oleh Jenghis Khan, sebaliknya bangsa Mongol merasa diuntungkan. Nah, penilaian siapa kah di antara kedua bangsa ini yang benar" Bukankah kedua-duanya mengandung ketidakkebenaran?" Han Lin termenung dan mengangguk-angguk perlahan. "Akan tetapi, suhu, mungkinkah kita hidup tanpa penilaian, tanpa rasa suka atau tidak suka?" "Ha-ha-ha, kita adalah manusia-manusia yang masih memiliki nafsu, tentu saja tidak mungkin. Akan tetapi kalau engkau sudah yakin bahwa penilaian itu merupakan pendapat yang miring, berat sebelah dan palsu, kita dapat berhati-hati menghadapi jalan pikiran kita sendiri. Karena itu, dalam melakukan sesuatu, sikapmu terhadap seseorang jangan sekali kali berdasarkan rasa suka atau tidak suka saja, karena itu menimbulkan penilaian yang palsu. Kalau engkau misalnya berhadapan dengan seorang yang jahat, tengoklah ke dalam hatimu apakah engkau menganggapnya jahat karena rasa tidak suka, karena dirugikan atau karena dendam. Anggapan begitu adalah tidak benar dan palsu. Akan tetapi amatilah dengan teliti keadaan orang itu sebagaimana adanya, tanpa dendam, tanpa kebencian, tanpa rasa suka atau tidak suka. Kalau engkau biasakan bersikap seperti ini, sikap dan perbuatanmu terhadap semua orang besar kemungkinannya benar dan tepat." Han Lin mengangguk-angguk. Selama lima tahun ini, dia sudah banyak mendapat wejangan, baik dari Bu-beng Lo-jin maupun dari Cheng Hian Hwesio. Semuai yang dikatakan Bubeng Lo-jin tadi hanya merupakan penjelasan saja yang membuka mata batinnya menimbulkan pengertian. "Omitohud, Lo-jin telah membuka rahasia kekuasaan nafsu atas diri manusia demikian gamblangnya sehingga pinceng yakin bahwa Han Lin tentu telah mengerti baik. Sekarang, coba perlihat-kan semua ilmu yang pernah kau pelajari agar pinceng dapat membandingkan siapa di antara engkau dan Aseng yang lebih lihai, Han Lin." "Baik, Losuhu." Setelah memberi hormat kepada dua orang gurunya, Han Lin lalu bersilat tangan kosong memainkan Ngo-heng Sin-kun (Silat Sakti Lima Unsur). Dia sengaja bersilat dengan secepatnya dan menggunakan sin-kang sehingga setiap gerakan tangannya mendatangkan angin yang kuat. Juga dia bergerak berdasarkan ilmu langkah yang diajarkan oleh Bubeng Lo-jin. Dalam ilmu silat, gerak dan langkah kaki merupakan dasar pokok. Makin teratur dan kuat kedudukan kaki, makin cepat gerakannya, semakin tangguh pula ilmu silat itu. Melihat ilmu silat tangan kosong Ngo-heng Sin-kun ini, Cheng Hian Hwesio menganguk-angguk. Dengan ilmu silat itu, ditambah pengetahuan Han Lin tentang Sin-liong-ciang-hoat yang diajarkannya, maka dalam pertandingan tangan kosong jelas Han Lin tidak akan kalah melawan A-seng. "Cukup, Han Lin!" Cheng Hian Hwesio berseru dan Han Lin menghentikan gerakannya. "Sekarang, bersiaplah. Pinceng hendal menyerangmu dengan It-yang-ci, jaga dirimu baik-baik. Lo-jin, tolong kau ikut memperhatikan sehingga kita dapat mengambil keputusan apakah dia perlu mempelajari It-yang-ci ataukah tidak." "Aku mengerti maksudmu, Cheng Hian Hwesio. Memang hal itu baik sekali. Pergunakanlah it-yang-ci sebaiknya untuk mendesaknya. Dan kau Han Lin, berhati-hatilah menghadapi serangan Cheng Hian Hwesio karena engkau belum mengenal It-yang-ci!" "Baik, suhu. Losuhu, teecu telah siap" kata Han Lin sambil memasang kuda-kuda dengan kokoh dan teguh sekali. "Bagus, sambutlah!" Cheng Hian Hwesio lalu memainkan ilmu silat lt-yang-ci dan kedua tangannya, dengan telunjuT diacungkan, melakukan serangan totokan bertubi-tubi. Dari kedua telunjuknya menyambar hawa serangan yang mengeluarkan bunyi bercuitan dahsyat! Han Lin terkejut sekali. Cepat dia mengatur langkahnya dan mengelak dengan menambah kecepatan gerakannya. Cheng Hian Hwesio menyarang terus dan Han Lin mencoba untuk menangkis. Akan tetapi ketika dia menangkis dan tangannya bertemu telunjuk, dia terhuyung ke belakang karena dari telunjuk itu menyambar kekuatan yang amat hebat. Diapun coba membalas serangan Cheng Hian Hwesio karena satusatunya jalan untuk menahan desakan lawan dengan membalas serangan itu dengan setangan pula. Terjadilah pertandingan yang amat seru. Mereka saling serang dan saling elak dan tangkis, akan tetapi jurus tampak bahwa Han Lin mulai terdesak oleh rangkaian serangan It-yang-ci yang amat dahsyat itu setelah mereka bertanding lewat lima puluh jurus. Akhirnya, dalam pertemuan tenaga sakti, Han Lin terhuyunghuyung sampai lima langkah ke belakang. "Omitohud, engkau akan kalah kalau A-seng mempergunakan It-yang-ci!" seru Cheng Hian Hwesio. "Sekarang masih ada semacam ilmu yang telah kuajarkan kepadanya, yaitu ilmu Pek-in Hoat-sut (Sihir Awan Putih). Coba engkau hadapi ilmu ini, Han Lin!" "Teecu telah siap, Losuhu!" kata Hai Lin yang telah pulih kembali dan memasang kuda-kuda untuk menyambut serangan ilmu sihir itu. Dia tahu bahwa hwesio itu akan menyerangnya dengan ilmu sihir, maka dalam persiapan itu diapun telah mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) untuk menghadapinya. Cheng Hian Hwesio melipat kedua lengan di depan dada, kemudian sambil mengeluarkan bentakan, kedua lengannya, dilepas dari lipatan dan kedua tangannya mendorong ke depan. Serangkup uap putih seperti awan menerjang ke depan dan angin keras bertiup ke arah Han Lin, membawa awan putih itu menyergap Ketika merasakan angin yang amat dingin mulai menyergapnya dan uap putih itu membuat matanya kabur dan tubuhnya juga menggigil, Han Lin terkejut sekali dan cepat dia mengerahkan ilmunya yang dipelajarinya dari Bu-beng Lo-ji yaitu Sai-cu Ho-kang (Auman Singa Dari mulutnya keluar pekik melengki seperti auman singa. "Haaauuuuummmm.......!" Suaranya itu mendatangkan getaran hebat sekali dan ilmu ini menurut Bu-beng Lo-jin dapat memunahkan tenaga sihir dan serangan yang berdasarkan sin-kang yang kuat. Ilmu Sai-cu Ho-kang ini dilakukan dengan mengerahan tenaga khi-kang. Begitu auman itu menggetar, awan putih terdorong ke belakang dan akhirnya perlahan-lahan lenyap, tidak menyerang lagi. "Omitohud.... bagus sekali. Sai-cu Ho-kang yang kau kuasai telah mampu menangkis Pek-in Hoat-sut, maka tidak perlu dikhawatirkan lagi terhadap ilmu yang telah dimiliki A-seng ini. Akan tetapi, engkau masih terancam bahaya kalau dia menggunakan It-yang-ti. Karena itu, pinceng akan mengajarkan It-yang-ci kepadamu. Melihat dasarmu yang kuat dan bakatmu yang besar, dalam sebulan engkau sudah akan menguasai teorinya, tinggal kau latih saja." "Terima kasih, Losuhu." "Bagus kalau begitu, Cheng Hian Hwesoo Bagaimana dengan ilmunya yang lain, asalnya yang menggunakan senjata?" "A-seng hanya mempelajari In-lion tung (Tongkat Naga Awan), akan tetapi Han Lm juga telah mempelajarinya, dan dengan Leng-kong Kiam-sut (Ilmu Pedang Sinar Dingin) yang kau ajarkan kepada Han Lin, dia tidak usah khawatir kalau berhadapan dengan A-seng menggunakan senjata." Demikianlah, sejak hari itu, Cheng Hian Hwesio diajak mengungsi ke Puncak Bambu pondok tempat tinggal Bu-beng Lo-jin karena tempat tinggal hwesio itu telah habis terbakar. Dan setiap hari selama sebulan Han Lin mempelajari ilmu Ityang-ci dari hwesio tua itu. Benar seperti yang dikatakan Cheng Hian Hwesio, dalam satu bulan saja Han Lin telah dapat menguasai teori It-yang" ci, tinggal mematangkan dalam latihan saja. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Han Lin sudah menghadap kedua orang gurunya dan Cheng Hian Hwesio berkata "Han Lin, sekarang engkau telah menguasai sai It-yang-ci, tinggal mematangkan saja melalui latihan. Pinceng tidak khawatir lagi karena engkau tentu akan mampu mengatasi A-seng yang jahat itu." "Han Lin, sudah tiba saatnya bagi kita untuk berpisah. Sudah tepat waktunya bagimu untuk turun gunung dan terjun ke dunia ramai, mempergunakan segala ilmu yang telah kau pelajari dari kami untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, menentang mereka yang melakukan penindasan dan perbuatan jahat dan membela mereka yang lemah tertindas." Biarpun sudah menduga bahwa sewaktu-waktu dia tentu akan disuruh turun gunung oleh kedua orang gurunya, namun pada waktu saat itu tiba, mendengar ucapan gurunya, dia menjadi terkejut juga dan perasaannya menjadi tegang dan terharu. Segera ia memberi hormat sambil berlutut kepada dua orang gurunya dan berkata, "Ji-wi suhu (bapa guru berdua) telah lanjut usia, siapakah yang akan melayani ji-wi kalau teecu (murid) harus pergi meninggalkan ji-wi suhu?" Dua orang tua itu saling pandang lalu tertawa. "Omitohud, anak baik, pinceng adalah seorang perantau yang dapat menjaga diri sendiri." "Akan tetapi Lo suhu biasanya dilayani oleh mendiang suheng Nelayan Gu dan Petani Lai, dan sekarang mereka berdua telah tiada. Biarlah teecu yang menggantikan mereka melayani Losuhu." "Ha-ha-ha, jangan memanjakan pinceng yang sudah tua. Pinceng dapat mengurus diri sendiri dan jangan khawatir! Hanya satu pesan pinceng. Selain engkau harus selalu ingat akan semua nasihat yang telah kaudapat dari pinceng dan Lojin, juga jangan sekali-kali lupa untuk mencari A-seng dan merebut kembali Suling Pusaka Kemala itu. Andaikan engkau tidak ada keinginan untuk mempergunakan pusaka itu, tidak ingin menonjolkan diri, akan tetapi engkau harus ingat bahwa pusaka itu dapat disalah-gunakan oleh A-seng!" "Baik, Losuhu. Semua petunjuk losuhu akan akan teecu ingat selalu. Akan tetapi sesungguhnya, hati teecu tidak tega untuk meninggalkan suhu berdua hidup tanpa dilayani siapapun." "Ha ha ha, kami sudah terbiasa hidup menyendiri. Aku sendiri sudah biasa hidup sendiri, terbang di udara bebas tanpa ikatan. Ada waktunya bertemu dan berkumpul, ada pula waktunya berpisah. Han Lin, engkaupun harus bersikap demikian dalam hidup, yaitu jangan membiarkan dirimu terikat oleh apapun, karena sekali engkau terikat akan sesuatu, maka ikatan itu akan mendatangkan duka. Orang yang kehilangan hanyalah orang yang memiliki. Kalau engkau tidak memiliki apa-apa, engkau tidak akan kehilangan. Mengertikah engkau, Han Lin?" "Teecu mengerti, suhu." "Omitohud, bebas dari ikatan. Betap mudahnya diucapkan, namun siapaka selain engkau yang dapat melaksanakan dalam kehidupan, Bu-beng Lo-jin?" "Ha-ha-ha-ha, Cheng Hian Hwesio, memang pengertian saja belum cukup untuk mengalahkan diri sendiri. Han Lin, masih ingatkah engkau akan pelajaran dalam kitab To-tekkeng tentang penaklukkan diri sendiri" Bagaimana bunyinya?" Han Lin mengangguk lalu bersajak dengan suaranya yang bening dan lantang. "Mengerti akan orang lain adalah bijaksana, mengerti diri sendiri adalah waspada. Iblis Tangan Tujuh 2 Si Tolol 6 Perhitungan Terakhir Bagi Nyi Peri Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 1