Suling Pusaka Kumala 6
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 6 hati Suma Eng ketika melihat bahwa di situ terdapat banyak wanita dan kanak-kanak. Ternyata apa yang dikatakan Song Cin benar. Para bajak itu ada yang mempunyai isteri dan anak-anak. Anak-anak yang tidak berdaya! Melihat para isteri bajak itu memandang dengan wajah pucat dan ketakutan, Suma Eng berkata kepada mereka. "Jangan takut, kami tidak akan mengganggu kalian. Kalau ada suami kalian yang tewas dalam pertempuran, itu adalah kesalahan suami kalian sendiri yang menjadi bajak sungai. Yang suaminya belum tewas, bujuklah suami kalian agar jangan menjadi bajak lagi, sedangkan yang suaminya tewas, kuburkan dengan baik-baik dan hiduplah sebagai orang baikbaik. Sekarang katakan di mana rumah yang ditinggali kepala bajak Huang-ho Tiat-go Lo Kiat." Para wanita itu menunjuk sebuah rumah yang terbesar di perkampungan itu. Suma Eng lalu memasuki rumah itu dan tiga orang isteri kepala bajak itu menjatuhkan diri mereka berlutut. "Ampunkan kami, tai-hiap (pendekar besar).....!" Mereka memohon kepada Suma Eng dan Song Cin. "Jangan takut, kalian tidak bersalah, kami tidak akan mengganggu kalian. Sekarang tunjukkan tempat penyimpanan harta Lo Kiat, dia mempunyai hutang padaku yang harus dibayarnya." Tiga orang wanita itu lalu menunjukkan kamar suami mereka dan harta itu disimpan dalam sebuah peti besar. Suma Eng membuka peti itu dan ternyata berisi si emas, perak dan permata yang banyak sekali. "Jangan khawatir, aku bukan perampok! Akan tetapi ketika aku diganggu anak buah suamimu, barang milikku hanyut di sungai. Karena itu suamimu harus membayar kembali barangbarangku yang hilang!" Suma Eng lalu mengambil beberapa potong emas untuk mengganti uangnya yang hilang dan mengambil beberapa potong perak untuk membeli pakaian pengganti pakaiannya yang hilang. Dibuntalnya emas dan perak itu ke dalam sehelai kain berwarna biru dan ia lalu menoleh kepada Song Cin. "Cin-ko, engkau boleh mengambil sebagian dari harta ini kalau engkau membutuhkannya untuk bekal dalam perjalanan. Wajah Song Cin berubah kemerahan dia menggeleng kepalanya. "Aku masih mempunyai bekal, Eng..... siauwte," Jawabnya cepat karena hampir dia menyebut Eng-moi lagi, "dan para bajak itu tidak berhutang apapun kepadaku." "Hei, kalian bertiga," kata Suma Eng kepada tiga orang isteri Lo Kiat. "Ada beberapa orang bajak yang mati dan karena mati dalam membela suami kalian, maka sudah sepatutnya kalau kalian mengeluarkan biaya untuk membantu penguburan mereka. Kuharap kalian dapat membujuk para bajak yang masih hidup agar mereka mengubah jalan hidup mereka. Menjadi petani tersedia tanah yang amat subur di Lembah Huang-ho, menjadi nelayanpun Sungai Huang-ho menyediakan ikan yang amat banyak. Mengertikah kalian?" "Baik, baik, tai-hiap." kata tiga orang isteri Lo Kiat itu dengan berbareng. Di sebelah Suma Eng, Song Cin mendengarkan dan wajahnya berseri. Gadis ini pada dasarnya bukan seorang yang berhati kejam dan ganas, pikirnya. Dapat memaafkan para isteri bajak, bahkan menasihatkan mereka agar membujuk para bajak yang masih hidup agar menjadi orang baik-baik. Dan ketika mengambil sebagian uang, iapun hanya mengambil sebagia kecil saja sesuai dengan uangnya yang hilang, tidak mempergunakan kesempatan itu untuk mengambil sebanyaknya. Bahkan tidak sepotongpun perhiasan permata ia ambil. Gadis itu tidaklah sekeras seperti yang diperlihatkannya. Agaknya ia hanya terpengaruh lingkungan, seperti batu permata di antara batu-batu biasa berdebu. Kalau digosok, tentu debunya hilang dan akan tampak kecemertangnya. "Tadinya kami bermaksud hendak membakar sarang para bajak ini, akan tetapi melihat kalian para wanita dan kanakkanak, kami tidak melakukan pembakaran. Akan tetapi kalau lain kali kami lewat di sini dan para bajak masih melakukan pekerjaan jahat itu, terpaksa kami akan membakar perkampungan ini!" kata lagi Suma Eng kepada para wanita itu yang hanya mampu mengangguk-angguk ketakutan. "Mari, Cin-ko, kita pergi dari sini." kata pula Suma Eng dan Song Cin mengangguk. Dua orang muda itu lalu pergi dari perkampungan itu. Setelah tiba di dekat sungai dan melihat gadis itu menanti, Song Cin berkata. "Eng-moi," dia berani menyebut demikian karena di situ tidak terdapat orang lain. "Silakan naik ke perahuku." Dia mendorong perahunya memasuki air, dan memegangi tali perahunya. "Tidak, Cin-ko. Kita berpisah di sini. Kita mempunyai urusan masing-masing." Song Cin memandang dengan wajah berubah agak pucat. Mendengar bahwa ia harus berpisah dari gadis itu membuat perasaannya terasa nyeri dan begitu tiba-tiba datangnya. Sebelumnya dia tidak pernah membayangkan akan berpisah dari gadis yang dicintanya itu. "Tapi..... tapi, Eng-moi. Tidak dapatkah kita melakukan perjalanan bersama?" "Tidak, Cin-ko. Aku akan pergi mencari ayah dan mencari pengalaman, sedangkan engkau tentu mempunyai urusanmu sendiri." "Akan tetapi, aku juga sedang merantau dan akan kubantu engkau mencari ayahmu, Eng-moi." Song Cin membantu karena dia tidak ingin berpisah. Akan tetapi Suma Eng menggeleng kepalanya. "Terima kasih, Cin-ko. Akan tetapi aku hendak mencarinya sendiri. lagi Pula, aku ingin mencari pengalaman se-orang diri. Juga apabila aku bertemu dengan ayah dan dia melihat aku melakukan perjalanan denganmu, mungkin dia akan marah kepadaku." Song Cin menghela napas panjang. Baru teringat dia sekarang bahwa sesungguhnya memang tidak pantas bagi Suma Eng, seorang gadis belia, melakukan perjalanan berdua saja dengan seorang pria yang bukan anggauta keluarganya, bahkan baru saja dikenalnya! Baru dia melihat kejanggalan itu dan sebagai seorang yang terdidik baik, dia maklum dan mengerti akan penolakan Suma Eng untuk melakukan perjalanan bersama. "Eng-moi, aku..... tidak akan melupakanmu." Suma Eng adalah seorang gadis yang masih hijau dan ia tidak dapat menangkap getaran suara pemuda itu, menganggap ucapan itu seperti ucapan biasa saja. Maka iapun menjawab dengan senyum ramah. "Akupun tidak akan melupakanmu, Cin-ko." Bagi Song Cin, jawaban ini menyenangkan sekali. Dia sendiripun seorang pemuda yang belum pernah jatuh cinta dan sama sekali tidak mempunyai pengalaman dalam bercinta. Akan tetapi mendengar betapa gadis yang dicintainya itu tidak akan melupakannya, dia merasa gembira sekali! "Aku akan mengenangmu sebagai seorang gadis yang cantik jelita dan gagah perkasa, dan aku akan merindukanmu, Eng-moi." ucapan yang jelas menunjukkan perasaan cinta inipuu tidak dimengerti oleh Suma Eng yang menganggapnya bagai ucapan ramah dan biasa. "Akupun akan mengenangmu sebagai eorang yang baik sekali dan sudah menyelamatkan aku diri ancaman maut, Cin-ko." "Eng-moi, kalau hari ini kita berpisah, kapankah kita dapat bertemu kembali?" "Sekali waktu kita pasti akan dapat bertemu kembali, Cinko. Nah selamat tinggal, aku hendak melanjutkan perjalananku." "Selamat jalan dan selamat berpisah Eng-moi......" suara Song Cm terdengar hampa dan lirih. Suma Eng membalikka tubuh dan dengan langkah lebar meninggalkan pemuda itu. Akan tetapi baru belasan langkah ia berjalan, Song Cin memanggilnya. "Eng-moi......!" Suma Eng menoleh dan ia melihat Song Cin berlari menghampirinya. "Ada apakah, Cin-ko?" "Eng-moi, engkau jagalah dirimu baik-baik, Eng-moi. Dan jangan sekali-kali membiarkan dirimu terpancing naik perahu. Engkau tidak pandai bermain di air sedangkan orang-orang jahat itu licik sekali." kata Song Cin dengan nada suara penuh kekhawatiran. Suma Eng tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Tidak lagi, Cin-ko. Sekali saja sudah cukup bagiku. Aku tidak akan naik perahu dengan orang yang belum kukenal keadaannya. Nah, selamat tinggal." "Selamat jalan, Eng-moi." Song Cin memandang gadis itu dengan wajah muram dan pandang matanya sayu. Dia merasa seolah-olah sukmanya terbawa pergi oleh gadis itu. Dia mengikuti bayangan gadis itu dengan pandang matanya sampai gadis itu lenyap di sebuah tikungan. Dan dia merasa begitu kehilangan, begitu kesepian seolah-olah hanya hidup seorang diri saja di dunia yang mendadak menjadi sepi ini. Kalau dia seorang anak-anak, tentu dia akan menangis sedih. Dengan langkah gontai dia kembali menghampiri perahunya, mendorong lagi perahunya ke air, kemudian duduk di dalam perahu, tanpa menggerakkan dayung dan duduk saja di situ sambil melamun. Perahunya bergoyang-goyang lirih dan Song Cin memejamkan mata karena di depan matanya yang terbayang hanyalah wajah Suma Eng dengan matanya yang bening indah, mulutnya yang bibirnya merah basah berbentuk gendewa terpentang itu. Semakin dikenang, semakin rindu rasa hatinya. Kini teringat dan terbayanglah semua kenangan itu, terutama sekali di waktu dia menolong gadis itu dengan pernapasan, merapatkan mulutnya dengan mulut gadis itu dan meniup kuat-kuat! Kalau dulu di waktu melakukannya dia tidak membayangkan yang bukan-bukan,! kini ketika perbuatan itu dikenangnya, teringatlah dia akan peristiwa itu sampai hal yang sekecil-kecilnya, betapa hangat dan lunak bibir itu! Betapa manis kenangan itu dan timbul ah berahinya terhadap Suma Eng. "Ahhh, Eng-moi.....!" Dia mengeluh berkali-kali sambil membisikkan nama itu dengan mesra. Sumber segala macam perasaan, malu, senang, sedih, marah, duka timbul dari pikiran yang mengenang-ngenangkan masa lalu dan membayangkan masa depan. Mengenangkan masa lalu menimbulkan duka, kemarahan atau rasa malu. Membayangkan masa depan menimbulkan rasa takut atau khawatir. Karena itu, tidak ada gunanya mengenangkan masa lalu dan membayangkan masa depan. Yang terpenting adalah masa kini, sekarang, saat ini. Hidup adalah saat demi saat yang kita hadapi, seperti apa adanya, kesunyataannya. Kalau kita menghadapi segala sesuatu yang datang pada saat ini dengan penuh kewaspadaan, dengan mawas diri dan dengan penuh kepasrahan kepada Tuhan di samping tindakan kita yang keluar secara spontan, maka kita akan dapat menanggulangi setiap masalah yang timbul. Suka dukanya sebab dari timbulnya pikiran yang mengunyah-ngunyah permasalahan. Kita harus berani menghadapi segala permasalahan yang timbul dengan penuh ketabahan, tidak melarikan diri, melainkan menghadapinya dan mengatasinya. Itulah seni kehidupan. Menghadapi kenyataan dan mengatasinya! Kenyataan hidup adalah suatu kewajaran, tidak baik maupun untuk selama si-aku tidak muncul dan menilai nilai, membanding - bandingkan, menyesuaikan dengan kepentingan diri sendiri, dengan dasar diuntungkan atau dirugikan, disenangkan atau tidak disenangkan. Kalau kita hanyut dalam ulah si-aku yang bukan lain adalah nafsu yang mengaku-aku, maka kita akan terombang-ambing di antara suka dan duka, di mana kenyataannya, lebih banyak duka ketimbang suka. Pemuda itu berpakaian sederhana seperti seorang pemuda petani biasa, namun pakaian itu bersih dan rapi. Bentuk tubuhnya sedang dan tampak kuat ketika dia berjalan dengan langkah seperti langkah seekor harimau. Langkahnya begitu ringan namun membayangkan kekuatan yang kokoh. Wajahnya tampan dan menarik dengan sepasang mata mencorong penuh wibawa namun juga sinarnya lembut, hidungnya mancung dan bibirnya selalu terhias senyum terbuka dan ramah. Di punggungnya tergendong sebuah buntalan kain kuning yang berisi pakaian. Pemuda itu melangkah dengan tenang dan gagahnya menyusuri Sungai Fen Ho. Tadinya dia berjalan biasa saja ketika masih berpapasan dengan orang-orang yang melakukan perjalanan melalui jalan itu. Akan tetapi setelah jalan itu sunyi dan dia hanya berjalan seorang diri, setelah menengok ke depan belakang dan tidak melihat adanya orang lain, dia lalu melompat dan lari cepat sekali seperti terbang! Kalau ada yang melihatnya, tentu orang itu terkejut dan baru mengetahui bahwa pemuda yang berpakaian dan bersikap sederhana itu sesungguhnya merupakan seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Pemuda yang agak jangkung itu adalah Han Lin atau Cheng Lin Seperti telah kita ketahui, Han Lin disuruh turun gunung oleh kedua orang gurunya, yaitu Bu-beng Lo-jin dan Cheng Hian Hwesio. Dia melakukan perjalanan merantau sambil mengemban tugas yang berat dan banyak. Pertama, tentu saja dia harus melakukan sepak-terjang sebagai seorang pendekar yang berkepandaian silat untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, untuk menentang si-jahat yang menindas dan untuk membela si-lemah yang tertindas. Kedua, dia harus mencari Aseng dan merampas kembali Suling Pusaka Kemala yang dicuri oleh pemuda berhati palsu dan jahat itu. Ke tiga, gurunya Bubeng Lo-jin berpesan agar mencoba peruntungannya untuk mencabut pedang Im-yang kiam peninggalan Panglima Kam Tio yang gagah perkasa dan setia kepada negara dan bangsa. Ke empat, dia harus bertemu dengan ayah kandungnya, yaitu Kaisar Cheng Tung dan melihat bagaimana sikap kaisar itu kalau bertemu dengan dia dan menegur ayah kandungnya yang sama sekali melupakan ibu kandungnya itu. Dan ke lima, walaupun agaknya hal ini sia-sia belaka, dia harus menyelidiki apakah ibu kandungnya benar-benar sudah tewas ketika terjerumus ke dalam jurang. Ucapan-ucapan Cheng Hian Hwesio menimbulkan harapan baru dalam hati kalau kalau ibu kandungnya masih hidup. Masih ada satu hal lagi sebagai yang ke enam, yaitu dia akan mencari Huang ho Sin-liong Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Suma Kiang yang telah menyebabkan ibunya tewas dalam jurang, lihat keadaan orang itu. Kalau masih saja merupakan seorang yang jahat, tentu ia akan turun tangan menghajarnya, kalau perlu membunuhnya, bukan semata untuk membalaskan sakit hati ibunya, melainkan terutama sekali untuk membasmi orang jahat yang membahayakan manusia lain itu. Pagi hari itu amat indahnya. Biarpun ia berlari cepat, Han Lin yang selalu waspada itu, dapat menikmati keindahan alam itu. Air sungai mengalir tenang, menampung bayang-bayang pohon-pohon dari sepanjang tepi yang ditimbulkan oleh sinar matahari pagi. Air sungai berkeriput dalam alirannya, kadang memecah ketika bertemu batu besar yang menonjol dari permukaan air. Karena sudah jauh meninggalkan sumber mata airnya, maka air yang dulunya bersil jernih itu sekarang telah berubah keruh kekuningan bercampur segala macam kotoran yang ditampungnya di sepanjang perjalanan dari sumber air menuju ke Sungai Huang-ho dimana Sungai Fen-ho membaurkan diri-nya. Burung-burung berkicau di dahan dan ranting-ranting pohon, di antara daun daun hijau, siap untuk melaksanakan pekerjaan mencari makan di hari itu. beberapa ekor kelinci dengan ketakutan dan tergesa-gesa menyusup ke dalam semak-semak ketika Han Lin lewat dan pemuda itu tersenyum sendiri. Dalam keadaan dan waktu lain, mungkin saja dia menangkap seekor kelinci gemuk untuk sarapan pagi. Akan tetapi pagi hari itu dia tidak merasa lapar dan di dalam buntalannya masih tersimpan lima buah kueh bak-pao yang dibelinya semalam di dusun terakhir yang dilewatinya. Tiba-tiba telinganya menangkap suara nyanyian. Dia menahan langkahnya dan memandang ke arah datangnya suara nyanyian itu. Nyanyian lagu sederhana dan dengan suara yang sederhana pula. Penyanyinya seorang yang bersahaja pula. Seorang petani berusia kurang lebih em-pat puluh tahun tanpa baju, hanya bercelana hitam sebatas lutut. Bajunya yang ditanggalkan itu berada di atas sebuah batu besar di luar ladang yang sedang dicangkulnya. Dia bekerja dengan tenang, lengan rajin dan seenaknya sambil bernyanyinyanyi. Han Lin terpesona. Pagi yang indah itu tampak semakin berseri. Karena tertarik, diapun berhenti dan duduk di bawah sebatang pohon, melihat petani itu bekerja seperti suatu pemandangan yang indah sekali. Sebetulnya suatu pemandangan yang biasa saja, dapat dilihat di mana saja setiap hari. Akan tetapi entah mengapa, bagi Han Lin pemandangan itu menyentuh perasaannya dan membuatnya terharu. Petani miskin nrnyanyi-nyanyi sambil bekerja! Seorang wanita petani berusia tiga puluh tahun lebih berjalan menghampiri tempat bekerja petani itu. Dia membawa sebuah keranjang berisi makanan dan ninuman. Petani itu berhenti bernyanyi dan menunda pekerjaannya, mencuci tangan dan kakinya di solokan kecil di tepi ladang kemudian menghampiri isteri-ya yang telah mengeluarkan mangkok, panci-panci tempat nasi dan sayuran, juga cangkir dan poci minuman. "Kebetulan engkau datang, perutku memang sudah mulai bernyanyi." kata suami itu sambil mengangkat sebuah mangkok. "Karena itu aku dengar tadi engkau bernyanyi." kata sang isteri sambil mengambilkan nasi yang ditampung di mangkok yang dipegang suaminya. "Aku bernyanyi untuk melupakan rasa laparku." kata pula suami itu sambil tertawa dan isterinyapun ikut tertawa. Tawa mereka begitu lepas dan terbuka dan Han Lin yang menyaksikan serta mendengarkan itu semua, ikut tersenyum senang. Petani itu lalu makan, dilayani isteri nya. Dari tempat dia duduk Han Lin melihat betapa makanan itu amat sederhana. Nasi dengan hanya satu macam masakan sayur. Dan minumnya itupun hanya air jernih! Akan tetapi petani itu makan dengan lahapnya dan kelihatan nikmat sekali. Itulah orang berbahagia! Itulah keluarga bahagia! Demikian Han Lin berpikir Dalam bekerja berat, bernyanyi, itu tardanya bahagia. Makan begitu bersahaja tampak demikian lezat dan nikmat. Demikianlah orang yang sudah merasa cukup segalagalanya. Karena merasa penasaran bagaimana orang yang miskin seperti petani itu dapat hidup berbahagia, setelah petani itu selesai makan dan isterinya sudah pergi membawa tempat makanan kosong, dia lalu bangkit dan menghampiri petani yang masih duduk mengaso itu. Melihat sedang pemuda yang juga berpakaian seperti petani namun pakaiannya bersih, petani itu lalu mengangguk dan tersenyum. "Siauwte (adik laki-laki), hendak ke manakah?" "Aku melihat twako (kakak laki-laki) dan merasa tertarik sekali. Ingin aku bercakap-cakap sebentar dengan twako kalau kiranya tidak mengganggu pekerjaan twako." "Ah, tidak. Aku bekerja tidak tergesa gesa. Hujan belum akan turun sebelum lewat bulan ini dan aku pasti akan merampungkan pencangkulan ladangku ini belum hujan turun. Marilah kita bercakap-cakap kalau engkau menghendaki.dari logat bicaranya seperti bukan orang sini, siauwte. Dari manakah engkau?" "Benar, twako. Aku datang dari daerah utara sana. Aku tertarik melihat engkau bekerja dan makan tadi. Twako apakah engkau dapat menjawab pertanyaanku ini?" "Pertanyaan apakah, siauwte?" "Berbahagiakah hidupmu, twako?" Mendengar pertanyaan itu, si petani termenung dan mengerutkan alisnya seperti menghadapi pertanyaan yang sukar dimengerti dan sukar pula dijawab. "Bahagia" Apakah itu, siauwte?" Kini berbalik Han Lin yang termenung. Dia belum pernah mempertanyakan kepada diri sendiri apakah bahagia itu. "Bahagia itu......" dia menjawab dengan sukar sekali. "...... eh, yaitu kalau engkau selalu merasa senang dalam hidupmu tidak pernah merasa susah dan khawatir, tidak kekurangan sesuatu, merasakan damai dan tenteram lahir batin..... pendeknya, ya berbahagia begitulah." Petani itu masih mengerutkan alisnya "Sukar benar. Aku tidak mengerti apa bahagia itu dan bagaimana rasanya, bahkan tidak membutuhkan bahagia yang tidak kukenal itu. Akan tetapi aku selalu merasa senang. Tanah yang kugarap ini milikku sendiri, dan tanahnya subur. Hanya cukup untuk makan aku bersama isteri dan dua orang anakku. Isteriku seorang wanita yang baik dan anak-anakku juga penurut. Apalagi yang kubutuhkan?" Han Lin tersenyum. Kini dia melihat kenyataan dari pelajaran yang seringkali di dengarnya dari Bu-beng Lo-jin dan Cheng Hian Hwesio. Inilah contoh atau buktinya seorang yang berbahagia, yaitu orang yang telah dapat menerima segalakeadaan sebagaimana adanya tanpa mengharapkan apa-apa! Tidak mengharap-kan apa-apa yang dibayangkannya lebih pada apa yang ada! Apa yang ada itu-Kebenaran. Apa yang ada dan yang jadi itulah Kekuasaan Tuhan. Orang seperti petani yang sederhana ini adalah orang yang hidup selaras dengan kekuasaan Tuhan, tidak dipengaruhi nafsu akan menyeretnya untuk mengejar-ngejar kesenangan, untuk mencari apa apa yang lebih daripada apa yang ada yang dianggapnya tentu akan lebih menyenangkan. Petani itu minum air putih yang jernih dengan hati akal pikiran terbebas daripada nafsu. Kalau nafsu mengusik hatinya dan timbul keinginan untuk minum air teh atau arak, tentu seketika air putih itu akan menjadi hambar dan tidak enak dan timbul ah kecewa dan penyesalan. Demikian pula dengan makanan yang sederhana itu. Kalau di waktu makan nasi dan sayur itu nafsunya mempengaruhi pikirannya sehingga dia menginginkan makan paha ayam atau dagi sapi, tentu seketika nasi sayur itu tak terasa tidak enak dan dia mungkin akan marah-marah kepada isterinya. Jadi jelasnya, kebahagiaan itu sebenarnya, seperti juga Tuhan, sudah selalu ada pada diri kita masing-masing. Hanya karena nafsu menguasai, nafsu yang mendorong kita untuk mengejarngejar kesenangan, maka kita tidak merasakan bahwa kebahagian sudah ada pada kita setiap saat. Kesehatan adalah kebahagiaan. Kesehatan ada pada diri kita setiap saat, akan tetapi kita masih mencarinya ke manamana. Bagaimana mungkin kita bisa mendapatkannya" Kesehatan SUDAH ada ada diri kita. Kalau kita merasa tidak sehat, hal itu tentu ada penyebabnya, yaitu penyakit. Kalau penyakit itu sudah dihilangkan, maka kesehatan itu ada. akan tetapi, siapakah di antara kita yang SADAR akan kesehatannya" Demikian pula kebahagiaan. Kebahagiaan sudah ada pada kita setiap saat, seperti petani sederhana itu. Kalau kita merasa tidak bahagia, jangan mencari kebahagiaan, melainkan carilah sebabnya mengapa kita merasa tidak berbahagia. Kalau penyebab atau halangan kebahagiaan itu dapat disingkirkan, maka kita SUDAH BERBAHAGIA! Seperti petani itu, dia tidak mempunyai sesuatupun yang menutup atau menghalangi kebahagiaan, dengan menerima apa adanya, menerima kenyataan, menerima keputusan atau kehendak Tuhan, maka dia sudah berbahagia, walau- mungkin dia tidak tahu apa itu kebahagiaan! kebahagiaan adalah suatu keadaan diri lahir batin, karenanya tidak bisa dibuat buat, tidak bisa dicari-cari. Tepat sekail ujar-ujar nabi Khong Cu dalam kita Tiong-yong pasal empat dan lima yang berbunyi seperti berikut: "Hi Nouw Al Lok Ci Di Hoat, Wi Ci Tiong. Hoat si Kai Tiong Ciat, Wi Ci Hoo. Tiong Ya Cia, Thian He Ci Tai Pun Ya. Hoo Ya Cia, Thian He Ci Tat Too Ya. Ti Tiong Hoo, Thian Tee Wi Yan, Dan Dut Yok Yan." artinya : "Sebelum timbul Senang, Marah, Duka dan Gembira, keadaan itu disebut Dalam Imbangan Jejak (Seimbang) Apabila pelbagai perasaan itu timbul namun mengenal batas, keadaan itu disebut Keselarasan. Keseimbangan Jejak ini adalah Pokok Terbesar dunia. Keselarasan adalah Jalan Utama sesuai dengan Kekuasaan Tuhan. Apabila Keseimbangan Jejak dan Keselarasan dapat dilaksanakan dengan sempurna, kebesaran abadi akan meliputi seluruh langit dan bumi." Han Lin mengangguk-angguk sambil melamun. Pantas saja kedua orang guru-nya itu selalu menganjurkan agar dia selamanya menjaga agar dirinya selalu berada dalam Keseimbangan Jejak, dalam arti kata tidak diseret oleh nafsunafsunya sendiri dan dalam Keselarasan, dalam arti kata selaras dengan kenyataan apa adanya, sehingga dalam keadaan yang bagaimanapun dia waspada bahwa semuanya itu ada yang mengatur, bahwa Kekuasaan Tuhan selalu bekerja dan berkuasa di manapun juga. Inilah yang dinamakan Penyerahan. Menyerah terhadap kekuasaan Tuhan yang Maha Bijaksana. Tentu saja penyerahan dalam arti kata yang sehat, yaitu tidak melupakan ikhtiar lahiriah. Berikhtiar berlandaskan penyerahan. "He, siauwte. Engkau sedang mengapa?" Tiba-tiba petani itu bertanya heran Han Lin balas memandang deng heran pula. "Aku mengapa?" "Engkau sejak tadi hanya mengangguk angguk dan tersenyum -senyum seorang diri. Apa sih yang membuat engkau bersikap seaneh itu?" Han Lin bangkit berdiri dan menjura "Aku sedang mempertimbangkan dan melihat kenyataan bahwa engkau seorang yang berbahagia, twako. Terima kasih atas keramahanmu." Dia lalu membalikan tubuhnya dan pergi dari situ dengan perasaan ringan. Petani itu memandang dan mengikuti bayangannya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aneh. Pemuda yang aneh. Bahagia?" Dia menggerakkan pundaknya, Ia berjalan ke tengah ladang, memegang dan mengayun cangkulnya kembali. Setengah belahan tanah oleh ayunan cangulnya mendatangkan perasaan puas dan senang dalam hatinya sehingga sebentar saja dia sudah melupakan pemuda aneh itu. Han Lin melanjutkan perjalanan dengan hati gembira. Dia telah menemukan bukti pelajaran tentang hidup yang amat penting. Pelajaran tentang kehidupan tidak ada artinya sama sekali kalau tidak dapat menghayati dan pengertian hanya mengambang kalau kita tidak menemukan bukti. Han Lin mendaki lereng di pegunungan itu. Sungai Fen-ho mengalir di bawah sana. Dia tidak dapat lagi menyusuri tepi sungai karena di bagian itu tepinya Merupakan dinding bukit yang terjal. dan lereng itu penuh dengan pohon-pohon besar. Tiba-tiba telinganya mendengar suara orang dari dalam hutan dan dia cepat memasuki hutan dan menuju ke arah suara itu. Dia bersembunyi di balik sebatang pohon besar ketika melihat tiga orang laki-laki kasar tinggi besar sedang mengepung seorang gadis yang berpakaian sutera putih. Gadis itu cantik sekali, berkulit putih mulus dan kedua pipinya kemerahan karena sehatnya. Gerak-geriknya lembut dan biarpun dikepung tiga orang laki-laki kasar yang sikapnya mengancam ia tampak tenang saja. Sepasang matanya seperti mata burung Hong, indah dan tajam pandangannya namun lembut. Hidungnya kecil mancung dan mulutnya berbentuk indah dengan bibir yang selalu tersenyum ramah. Di punggungnya ia mengendong sebuah buntalan kain kuning yang besar. Pinggangnya ramping dan kedua kakinya mengenakan sepatu kulit yang mengkilat, berwarna hitam. "Saudara-saudara, apa yang kalian kehendaki maka kalian menghadang perjalananku" Harap suka minggir dan memberi jalan kepadaku," kata gadis itu dengan suara halus. Han Lin tersenyum. Terdengar aneh sekali. Gadis itu bicara dengan sikap sopan dan lembut, padahal sekali pandang saja dia dapat menduga bahwa tiga orang laki-laki itu bukan orang baik-baik! Tiga orang laki-laki itu saling pandang dan menyeringai. Agaknya merekapun heran disapa sedemikian lembutnya oleh gadis itu. Sepatutnya gadis itu menangis Ketakutan dan minta ampun! "Ha-ha-ha, tadinya kami menghendaki buntalanmu itu, akan tetapi melihat dirimu yang jauh lebih berharga dari Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo segala macam harta, maka kami mengajakmu untuk hidup bersama kami. Kami tanggung hidupmu akan kecukupan dan terlindung. Lihat, engkau berada di tangan orang kuat, nona." Pembicara itu, yang mukanya brewok, menggerakkan tangan kanannya, miring menghantam sebatang pohon sebesar paha orang dewasa seperti dibacokkan, terdengar suara keras dan pohon itupun tumbang! Akan tetapi agaknya demonstrasi tenaga kuat itu tidak mendatangkan kesan kepada gadis itu. Ia menggeleng kepalanya. "Maaf, saudara. Aku seorang perantau yang tidak ingin terikat oleh siapa dan apapun juga. Tugasku amat banyak, yaitu menolong dan mengobati orang-orang yang dilanda sakit, mengusir wabah yang sedang melanda dusun-dusun karena itu biarkanlah aku lewat. Kebaikanmu tentu akan mendapat berkah dari Thian (Tuhan)." "Teng-ko, kenapa mesti banyak cakap" Tubruk dan pondong saja!" kata orang ke dua yang mukanya pucat kuning sambil tertawa. Si brewok juga tertawa. akan tetapi tiba-tiba, tanpa memberi peringatan, dia sudah menubruk ke arah gadis itu dengan kedua lengan dipentang lebar, siap untuk merangkul dan menangkap! Han Lin mengerutkan alisnya, akan tetapi kerut alisnya hilang lagi dan dia tersenyum melihat betapa gadis itu dengan langkah yang ringan dan teratur baik telah dapat mengelak sehingga tubrukan itu luput! Kiranya gadis lemah itu bukan tidak memiliki kepandaian. Dari gerakannya yang ringan dan gesit. mudah diduga bahwa ia memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang lumayan. Si brewok terbelalak dan menjadi penasaran. Bagaikan seekor biruang yang berdiri di atas kaki belakangnya, dia berbalik dan kini menubruk lagi sambil membuka lengan untuk menghalangi gadis itu mengelak. Akan tetapi kembali tubrukannya tidak berhasil karena gadis itu meloncat ke belakang. "Hayo kalian bantu aku menangkap gadis ini!" Si brewok berseru kepada dua orang kawannya dan mereka bertiga menghadang dari tiga jurusan dengan kedua lengan terpentang lebar, siap untuk menangkap dan merangkul gadis itu. Melihat ini, Han Lin tidak dapat tinggal diam lagi. Dia melompat keluar dari tempat persembunyiannya dan berlari menghampiri mereka. "Hei, kalian bertiga! Tidak malukah tiga orang laki-laki mengganggu seorang gadis terhormat?" tegur Han Lin kepada tiga orang itu. Si brewok dan dua orang kawannya itu terkejut mendengar teguran ini dan mereka cepat memutar tubuh menghadapi Han Lin. Akan tetapi orang-orang seperti mereka yang terbiasa memaksakan kehendak dan mempergunakan kekerasan, mana dapat sadar mendengar teguran orang" Bukan teguran itu membuat mereka marah dan menganggap pemuda itu usil mencampuri urusan mereka dan lancang mulut mengeluarkan kata-kata yang mereka anggap menghina. Si brewok menudingkan telunjuk kanannya ke arah muka Han Lin dan membentak dengan suara kasar. "Bocah lancang mulut! Berani engkau mencampuri urusan kami" Hayo serahkan buntalanmu itu dan berlutut minta ampun, baru mungkin kami dapat mengampuni dan tidak membunuhmu!" Han Lin tersenyum. "Hemm, sekaran aku mengerti. Kiranya kalian adalah perampok-perampok dan pengganggu wanita. Orang-orang seperti kalian patut dihajar!" "Bocah setan, kau sudah bosan hidup!" Si brewok menerjang ke depan dan kepalan tangan kirinya yang sebesar kepala orang itu sudah menyambar ke arah Han Lin. Orang itu ternyata memiliki tenaga yang besar sekali dan pukulannya menyambar bagaikan peluru kc arah muka Han Lin. Pemuda itu mengelak dengan mudah sehingga pukulan itu hanya mengenai tempat kosong. Akan tetapi dua orang perampok yang lain sudah menyerang pula dengan dahsyatnya dan ternyata merekapun bertenaga besar dan dapat bergerak cepat. Akan tetapi, kecepatan mereka itu tidak ada artinya bagi Han Lin. Kembali hanya dengan beberapa langkah berputar dia sudah dapat menghindarkan diri dari serangan mereka. Si brewok yang penasaran melihat pukulannya dapat dielakkan sudah menyerang lagi dengan pukulan beruntun, tangan kiri memukul kepala dan tangan kanan mencengkeram ke arah perut. Menghadapi serangan maut yang berbahaya ini, Han Lin merendahkan tubuh sehingga pukulan ke arah kepalanya lewat di atas kepala dan cengkeraman ke arah perutnya itu dia tangkis dengan tangan kiri sambil menotok ke pergelangan tangan kanan lawan. "Tukk!" Seketika tangan kanan si brewok menjadi kejang dan pada saat itu Han Lin sudah menggerakkan kakinya menendang. Si brewok roboh terjengkang. Dua orang kawannya menerjang, akan tetapi merekapun roboh terjengkang disambar tendangan kaki Han Lin. Ketiganya merasa pening dan sakit perut, akan tetapi mereka merangkak bangun sambil menghunus golok mereka. Kini dengan wajah beringas penuh ancaman mereka mengepung Han Lin. Han Lin melirik ke arah gadis itu. Gadis itu berdiri di bawah pohon, sikapnya tenang sekali dan ia menonton pertarungan itu dengan alis berkerut, agaknya hatinya tidak berkenan melihat orang berkelahi. Akan tetapi iapun maklum bahwa tidak mungkin menghentikan penyerang tiga orang perampok yang ganas dan kejam itu. Maka iapun hanya menonton dengan tenang karena beberapa gebrak tadi saja sudah membuat ia mengerti bahwa pemuda itu tidak akan kalah! Melihat betapa tiga orang itu mencabut golok dan mengepungnya dengan wajah beringas dan kejam, Han Lin menjadi gemas juga. Orang-orang seperti ini harus diberi pelajaran yang lebih keras, pikirnya, untuk membuat mereka menyadari bahwa banyak orang yang jauh lebih kuat dari mereka. Mengharapkan mereka akan bertaubat merupakan harapan yang terrlalu muluk, akan tetapi setidaknya hajaran keras akan membuat mereka agak jera. Diapun berdiri dengan tenang dan waspada menghadapi mereka karena dia pun tahu bahwa mereka bertiga memiliki ilmu silat yang cukup tangguh. Akan tetapi dia masih merasa cukup untuk menghadapi tiga batang golok mereka dengan tangan kosong saja. "Mampuslah.....!!" Si brewok sudah menerjang ke depan, goloknya menyambar menjadi sinar putih dan mengeluarkan suara berdesing mengarah leher Han Lin. Pemuda ini mengatur langkahnya. Selangkah saja ke kanan dan memutar tubuh dia sudah terhindar dari sambaran golok itu. Akan tetapi terdengar desingdesing lain dan dua golok yang lain juga sudah menyambarnya dari dua jurusan. Dia mempergunakan kelincahannya bergerak dan meloncat ke belakang. Tiga orang itu mengejar dan menghujani Han Lin dengan serangan golok. Demikian cepat gerakan golok mereka sehingga lenyap untuk tiga batang golok itu, berubah menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar. Diam-diam Han Lin menyayangkan bahwa tiga orang yang memiliki ilmu golok yang sudah demikian tangguh, lau merendahkan diri menjadi perampok dan pengganggu wanita. Padahal, kalau saja mereka mau masuk menjadi tentara, mereka tentu akan memperoleh kedudukan lumayan. Gadis berpakaian putih itu menonton dengan sinar mata tajam dan waspada, iapun mengerti bahwa tiga orang perampok itu memiliki ilmu golok yang tangguh. Akan tetapi ia tidak khawatir karena tepat seperti diduganya, pemuda itu lihai bukan main. Dia dapat berkelebatan diantara tiga gulungan sinar golok, bagaikan seekor burung murai beterbangan dengan lincah sekali. Gadis itu bernapas lega dan diam-diam ia merasa kagum juga pada pemuda yang berpakaian seperti orang pemuda petani itu. Si brewok dan dua orang kawannya merasa penasaran bukan main. Mereka telah mengerahkan tenaga dan mengerahkan semua ilmu golok mereka menyerang bertubitubi, akan tetapi golok mereka seperti menyerang bayangan saja. Tidak pernah golok mereka mengenai sasaran bahkan tidak pernah dapat menyentil ujung baju pemuda itu. Sebaliknya malah seringkali mereka kehilangan bayangan pemuda itu seolah-olah pemuda itu pandai menghilang" Setelah lewat tiga puluh jurus, karena pemuda itu membuat mereka berputar-putar, mereka merasa pening. Han Lin merasa sudah cukup mempermainkan mereka. Ketika golok si brewok menyambar ke arah tubuhnya, dia mendahului, dengan jari telunjuk kiri menotok siku kanan si brewok sehingga lengan kanannya lumpuh seketika dan Han Lin memegangi tangan kanan yang masih mengenggam gagang golok dan didorong ke arah lengan kiri lawan. "Crokkk....! Aduhh..... " Pangkal lengan kiri si brewok dibacok goloknya sendiri sehingga terluka parah. dan tendangan membuat tubuh si brewok terlempar dan diapun roboh terbanting, goloknya terlepas dan mencelat jauh. Dia tidak segera dapat berdiri melainkan memegang lengan kirinya sambil meringis kesakitan. Dua orang kawannya menjadi terkejut dan juga marah. Mereka memperhebat serangan mereka terhadap Han Lin. Akan tapi Han Lin tidak memberi kesempatan lagi kepada mereka. Seperti yang dilakukan terhadap si brewok tadi, diapun memaksa kedua orang perampok itu membacok lengan kirinya sendiri kemudian merobohkan mereka dengan tendangan! robohlah tiga orang itu dengan pangkal lengan luka parah. Walaupun luka itu tidak sampai mematahkan tulang, namun mengerat daging sampai ke tulang dan darah mengucur dengan derasnya! Juga tendangan yang keras dan mengenai dada mereka itu membuat dada mereka terasa sesak dan nyeri. Setelah Han Lin merobohkan tiga orang lawannya, dia menjadi bengong melihat pemandangan di depannya. Dia melihat gadis itu sedang merawat luka parah di pangkal lengan si brewok Dengan dua buah jari tangan, gadis itu menotok jalan darah di pundak untuk menghentikan mengalirnya darah keluar dari luka di pangkal lengan. Setelah itu ia membuka buntalannya, mengambil bungkusan obat bubuk berwarna kuning dan menaburkan obat itu ke atas luka yang menganga. Juga dari buntalannya itu ia mengambil kain putih yang bersih dan membalut luka itu kuat-kuat. Tanpa berkata-kata kepada mereka, ia merawat luka pada lengan tiga orang perampok itu dan setelah tiga orang perampok itu mendapat perawatan, ia berkata dengan lembut. "Luka itu jangan sampai terkena air dan setelah dua hari baru boleh pembalutnya dibuka." Si brewok membungkuk kepada gadis itu dan berkata, "Terima kasih, nona." juga dua orang temannya membungkuk kemudian setelah memandang ke arah Han Lin dengan mata mengandung kebencian, mereka meninggalkan tempat itu dengan cepat, menghilang di antara pohon-pohon yang lebat. Han Lin yang sejak tadi berdiri bengong melihat pekerjaan gadis itu, seolah baru terbangun dari mimpi. Dia menelan ludah dan menegur dengan hati-hati. "Nona, tiga orang perampok itu tadi berniat buruk terhadap dirimu!" Gadis itu membereskan buntalannya, menggendong kembali di punggungnya, baru ia mengangkat muka memandang kepada Han Lin. Dua pasang mata bertemu pandang dan Han Lin merasa betapa lembut namun tajamnya sepasang mata gadis itu sehingga mau tidak mau dia yang lebih dulu menundukkan pandang matanya. Kemudian ia mendengar suara yang lunak halus itu. "Kalau begitu, mengapa?" "Mereka itu jahat dan engkau nyaris celaka oleh mereka, akan tetapi mengapa engkau malah membantu dan merawat luka di lengan mereka?" Gadis berpakaian putih itu tersenyum, seperti senyum seorang guru yang mendengar pertanyaan bodoh dari seorang murid. Senyun yang penuh pengertian, sekaligus teguran. Kemudian ia bicara dan suaranya yang lembut itu terdengar seperti seorang guru yang memberi pelajaran kepada seorang murid. "Sobat, selama bertahun-tahun aku mempelajari ilmu pengobatan dan sudah menjadi kewajibanku untuk melaksanakan pelajaran itu dalam kehidupan ini. Mereka itu tcrluka parah yang dapat membahayakan nyawa mereka. Tentu saja aku menolongnya. Seandainya perkelahian tadi berakibat engkau yang terluka parah, tentu akupun akan menolong dan mengobatimu." Entah bagaimana, mendengar ucapan gadis itu dan melihat sikapnya yang seperti menegurnya, mendadak Han Lin merasa dirinya bersalah! Bersalah telah melukai tiga orang itu! Dia merasa seolah olah gadis itu menegurnya karena dia telah melukai mereka. "Akan tetapi..... aku tadi..... maksudku hanya untuk menolongmu dari tangan tiga orang penjahat tadi, nona." "Aku tahu dan aku menghargai pertolonganmu. Agaknya karena engkau seorang pendekar yang pandai ilmu silat, maka sudah menjadi kewajibanmu untuk menentang penjahat. Akan tetapi akupun mempunyai kewajiban, yaitu mengobati orang yang menderita sakit. Kita sama-sama melaksanakan kewajiban kita, bukan" jadi, jangan persalahkan aku kalau aku mengobati mereka tadi." Han Lin menundukkan mukanya. Tampak nyata perbedaan antara kewajiban mereka. Tindakannya hanya menimbulkan bencian dan sakit hati di pihak tiga orang penjahat tadi, sedangkan tindakan gadis itu menimbulkan perasaan terima kasih kepada mereka! "Akan tetapi aku melihat tadi engkau inipun menghindarkan diri dari serangan mereka, nona. Aku yakin bahwa nona tentu juga memiliki ilmu kepandaian silat, atau setidaknya pernah belajar ilmu silat." "Aku belajar cukup dari guruku sekedar membela dan menyelamatkan diri." "Engkau ahli ilmu pengobatan, juga kau memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang lihai. Dua orang guruku, Cheng Hian Hwesio dan Bu-beng Lo-jin, pernah memberitahu kepadaku bahwa dunia kang-ouw (persilatan) terdapat orang ahli pengobatan yang budiman berjuluk Thian-beng Yok-sian (Dewa Obat Anugerah Tuhan). Apakah dia.....?" "Tepat sekali. Thian beng Yok-sian adalah guruku," kata gadis itu memotong katakata Han Lin. "Ah, aku girang sekali dapat berkenalan dengan murid Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo seorang lo-cian-pwe(orang tua gagah) yang budiman itu ternyata engkau juga seorang pendekar budiman. Perkenalkan, nona, namaku Han Lin. Kalau boleh aku mengetahui namamu, nona?" "Namaku Tan Kiok Hwa." kata gadis itu dengan singkat. "Nona Tan Kiok Hwa, pertemuan antara kita sungguh merupakan suatu kebetulan dan aku akan merasa terhormat dan girang sekali kalau engkau sudi menerima perkenalanku. Aku berasal dari gunung Thai-san di Puncak Bambu di mana tinggal guru-guruku. Ibuku..... sudah meninggal dunia dan ayahku.... telah lenyap sejak aku belum lahir. Aku sedang merantau untuk mencari ayahku dan mempergunakan ilmuilmu yang telah kupelajari untuk membela kebenaran dan keadilan. membela mereka yang lemah tertindas, menentang mereka yang jahat dan menindas. Nah, kalau engkau suka menceritakan riwayatmu, nona....." Gadis itu menundukkan mukanya, "aku sudah yatim piatu. Ayah ibuku meninggal dunia karena penyakit ketika ada wabah menyerang dusun kami di sebelah selatan Sungai Yang-se-kiang. Aku sejak berusia lima tahun diambil murid dan telah merantau dan mempelajari ilmu pengobatan." "Dan ilmu silat....." "Ya, dan ilmu silat. Akan tetapi aku mengutamakan ilmu pengobatan, Ayah ibuku meninggal karena penyakit, oleh karena itu aku merasa sudah menjadi kewajibanku untuk menolong orang-orang yang terserang penyakit dan melawan kalau ada wabah menyerang dusun kota." "Kalau begitu, sudah lama engkau berpisah dari gurumu?" tanya Han Lin. "Belum begitu lama, baru kurang lebih setengah tahun. Suhu menyuruh aku turun gunung dan mempergunakan kepandaianku untuk menolong sebuah dusun yang terserang wabah demam, kemudian aku diharuskan mengambil jalan hidup sendiri memasuki dunia ramai." "Akan tetapi engkau seorang gadis. Banyak sekali bahaya yang mengancammu." Jilid XI "AKU tidak takut, selain aku dapat menjaga diri, juga siapakah orang yang mau mengganggu seorang ahli pengobatan yang siap untuk menolong siapa saja yang terkena penyakit?" Han Lin tidak menjawab melainkan cepat memutar tubuhnya karena dia mendengar suara yang tidak wajar di sebelah belakangnya. Ternyata tampak bayangan berkelebat dan seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun telah berdiri di depannya. Laki-laki itu bertubuh jangkung dan agak kurus, wajahnya merah dan jenggotnya sampai ke leher. Di punggungnya tampak gagang pedang, bajunya longgar dan lengan bajunya panjang dan lebar, seperti baju seorang pendeta. Wajahnya memperlihatkan ketenangan, akan tetapi matanya bergerak liar dan mengandung kekejaman. Dia berdiri dalam jarak empat meter dari Han Lin dan Kiok Hwa, dan matanya mengamati wajah Kiok Hwa seperti orang yang menyelidiki. Lalu pandang matanya memandangi ke arah buntalan di punggung gadis itu, setelah itu dia memandang ke arah pakaian Kiok Hwa yang serba putih. "Nona, apakah benar aku berhadapan dengan Pek I Yok Sianli (Dewi Obat Baju Putih)" Apakah nona yang sebulan yang lalu menolong dusun di hulu sungai dari wabah muntah berak?" Kiok Hwa mengangguk. "Yang menolong dusun itu memang benar aku, akar tetapi mengenai julukan itu, mungkin hanya panggilan orang-orang saja, aku sendiri tidak pernah mempergunakan julukan itu." "Bagus sekali! Ha-ha-ha, sudah hampir satu bulan aku mencarimu, ke dusun itu dan mencoba untuk mencari jejakmu. Akhirnya dapat kutemukan di sini. Nona, engkau harus ikut denganku ke rumah kami!" "Kenapa aku harus ikut denganmu?" "Engkau harus mengobati puteraku yang menderita luka keracunan yang amat parah. Marilah, nona. Engkau ikut aku ke rumah kami sekarang juga!" Wajah Han Lin menjadi merah dan dia melangkah maju lalu berkata dengan suara tegas namun halus, "Paman, di mana ada aturannya orang minta tolong dengan memaksa?" Laki-laki itu memandang kepada Han Lin dengan mata mencorong lalu menghardik, "Siapa engkau" Apamu nona ini?" "Bukan apa, hanya seorang kenalan baru. Akan tetapi......" "Kalau begitu, jangan mencampuri urusan orang lain! Atau barangkali engkau sudah bosan hidup?" Orang itu bersikap menantang. Han Lin menjadi penasaran sekali, akan tetapi sebelum dia menjawab, Kiok Hwa sudah menengahi. "Saudara Han Lin, biarkanlah. Aku mau pergi dengan paman ini untuk menolong puteranya." "Akan tetapi, Kiok-moi!" Saking gugupnya, Han Lin kelepasan menyebut gadis itu Kiok-moi (adik perempuan Kiok). "Engkau tidak boleh begitu saja mengikuti seorang yang sama sekali tidak kau ketahui siapa!" Mendengar ucapan ini, orang itu mengerutkan alisnya. "Heh, pemuda dusun, Ketahuilah bahwa aku bukan orang sembarangan! Aku adalah majikan Hek-ke san (Bukit Ayam Hitam) dan orang kang ouw menjuluki aku Kim-kiam-sian (Dewa Pedang Emas)! Apa engkau ingin lehermu kupenggal dengan pedangku?" "Sudahlah, Paman Kim!" Kiok Hwa kembali melerai. "Maafkan sahabatku ini, Aku siap untuk mengikutimu ke rumahmu untuk mengobati puteramu. Mari kita berangkat. Lin-ko (kakak laki-laki Lin)! aku pergi dulu!" Dengan senyum dan pandang mata penuh kemenangan dan ejekan terhadap Han Lin, Kim Cun Wi, nama orang yang berjuluk Dewa Pedang Emas itu, melangkah pergi bersama Kiok Hwa. Langkahnya lebar dan cepat, akan tetapi dengan mudah Kiok Hwa dapat mengimbangi kecepatannya sehingga sebentar saja mereka telah pergi jauh. Han Lin berdiri tertegun dengan muka merah. Apa yang dapat dia lakukan" Biarpun orang itu bersikap memaksa, akan tetapi Kiok Hwa yang dipaksanya mau! Dia bahkan menjadi malu kendiri. Akan tetapi hatinya merasa kurang enak. Orang itu kelihatan seperti bukan orang baikbaik. Biarpun mengaku kebagai majikan sebuah bukit, akan tetapi sikapnya seperti orang yang biasa memaksakan kehendaknya dengan kekerasan. Kiok Hwa dapat terancam bahaya dari orang semacam itu dan dia tidak mungkin dapat membiarkannya saja tanpa bertindak. Tidak, dia tidak boleh menegakan, tidak boleh membiarkan Kiok Hwa pergi bersama orang itu tanpa dikawal, berpikir demikian, dia lalu mempergunakan ilmu berlari cepat dan melakukan pengejaran, kemudian membayangi dua orang itu dari jarak jauh. Dia melihat mereka mendaki sebuah bukit yang puncaknya dari jauh tampak seperti seekor ayam hitam. Itulah agaknya yang menyebabkan bukit itu disebut bukit Ayam Hitam. Padahal yang berbentuk seperti ayam hitam itu adalah sebuah hutan yang lebat. Dia membayangi terus dan akhirnya dua orang itu memasuki hutan yang lebat itu. Tak lama kemudian mereka tiba di sebuah perkampungan kecil yang berada di tengah hutan di puncak itu. Sebuah perkampungan yang terdiri dari belasan rumah mengepung sebuah rumah yang besar dan megah. Sekeliling perkampungan itu tertutupi oleh pagar tembok yang setinggi manusia dan di bagian depan pagar tembok itu terdapat sebuah pintu gapura yang besar. Kim Cun Wi dan Kiok Hwa menghilang di balik pintu gapura pagar tembok itu dan Han Lin mengambil jalan memutari pagar tembok dan meloncati pagar itu di bagian belakang perkampungan itu yang merupakan perkebunan penuh tanaman sayur-sayuran. Tanpa rasa takut sedikitpun, Kiok Hwa mengikuti tuan rumah memasuki rumah besar. Beberapa orang wanita menyambut Kim Cun Wi. Mereka adalah isteri dan dua orang selirnya. Begitu bertemu mereka, Kim Cun Wi segera bertanya, "Bagaimana keadaan Hok-ji (anak Hok)?" Isterinya, seorang wanita yang berusia empat puluh tahun lebih, menangis. Sambil menahan tangisnya sehingga terisak, ia menjawab, "Badannya bertambah panas dan dia mengigau......." "Sudah, jangan menangis. Aku sudah mengundang seorang tabib yang amat lihai, dan anak kita tentu akan sembuh. Marilah, Yok Sianli, mari silakan masuk dan langsung saja ke kamar anak kami." kata Kim Cun Wi. Kiok Hwa merasd aneh disebut Yok Sianli (Dewi Obat), akan tetapi iapun diam saja, hanya mengikuti tuan dan nyonya rumah memasuki sebuah kamar yang besar, lengkap dan mewah. Di atas pembaringan rebah seorang laki-laki muda yang berwajah pucat. Wajah itu cukup tampan, namun pucat dan bersinar kehijauan, dan tubuh yang telentang di pem-baringan itu tinggi besar. Sepasang mata itu terpejam dan pernapasannya lemah. Melihat sekilas saja, Kiok Hwa dapat menduga bahwa pemuda itu telah keracunan hebat dan racunnya tentu mengandung hawa panas. Tanpa diminta lagi di-hampirinya pembaringan dan ia menyeret sebuah kursi ke dekat pembaringan dani duduk di atas kursi. Ditariknya sebelah lengan pemuda itu, diperiksanya denyut nadinya dan ia mengerutkan alisnya. Ter-nyata penyakit pemuda itu lebih berat daripada yang diduganya. Ia mendekatkan jari tangannya depan hidung pemuda itu dan merasakan betapa panasnya pernapasan yang lemah itu. Dirabanya dahi pemuda itu dan akhirnya ia menoleh kepada Kim Cun Wi dan para isterinya yang menonton dengan hati gelisah namun sinar mata mereka mengandung penuh harapan. "Bagaimana, Yok Sianli" Bagaimana keadaannya" Berbahayakah keadaannya dan dapatkah dia diobati sampai sembuh?" tanya Kim Cun Wi dengan suara gelisah. "Dia telah terluka dalam yang hebat, agaknya terkena pukulan beracun. Di bagian manakah dia terpukul?" tanya Kiok Hwa dengan sikap tenang. "Di dada kanannya. Ada tanda sebuah jari yang hitam kehijauan di bekas pukulan itu." kata Kim Cun Wi yang berjuluk Kim-kiam-sian (Dewa Pedang Emas) itu. Diam-diam Han Lin merasa heran. Pemuda itu memiliki seorang ayah ahli pedang yang sudah berjuluk Dewa Pedang, bagaimana dapat terluka seperti ini" Akan tetapi ia tidak perduli akan hal itu. Bukan urusannya. "Tolong bukakan bajunya. Aku ingin memeriksa luka di dadanya itu." Kim Cun Wi cepat membukakan baju puteranya yang masih rebah telentang dalam keadaan pingsan. Kiok Hwa memeriksanya. Di dada sebelah kanan memang terdapat bekas jari telunjuk yang warnanya hitam menghijau, dan di seputar bekas jari itu, kulit dadanya hitam dan melepuh. "Wah, ini pukulan Ban-tok-ci (Jari Selaksa Racun)! Terlambat sehari lagi saja nyawanya tidak akan dapat tertolong lagi." Tentu saja tuan rumah dan para isterinya terkejut setengah mati mendengar ucapan itu. "Akan tetapi, Yok Sianli, engkau sekarang masih dapat menyembuh kannya, bukan?" "Mudah-mudahan saja, kalau Thian membimbingku." kata Kiok Hwa dan ia lalu berdiri, mengerahkan tenaga sin-kang dan menotok dengan dua jari ke arah dada pemuda itu. Beberapa bagian tertentu ditotoknya. "Untuk apa ditotok jalan darahnya di banyak tempat?" tanya Kim Cun Wi yang mengikuti semua gerak-gerik Kiok Hwa dengan penuh perhatian. "Aku mencegah agar darah yang keracunan tidak mencapai jantung. Dan sekarang, racun yang bercampur dengan darah itu harus dikeluarkan. Ambilkan pisau yang tajam dan bersih." Kim Cun Wi sendiri melayani Kiok Hwa. "Sediakan air panas." Kembali permintaannya dipenuhi. Kiok Hwa lalu membakar pisau itu di bagian ujungnya sampai ke tengah, lalu membersihkannya dengan kain bersih. "Paman Kim, sekarang engkau harus memegangi puteramu, jangan sampai dia meronta. Darah yang keracunan harus dikeluarkan semua dari lukanya." "Baik, Yok Sianli." Kim Cun Wi lalu naik ke atas tempat tidur dan dia memegangi kedua lengan puteranya. Kiok Hwa lalu menggerakkan pisau yang tajam itu, menoreh kulit dada di mana terdapat tanda bekas jari tangan hitam. Darah mengalir keluar dari luka yang dibuat oleh pisaunya. Darah yang kental menghitam. Tanpa jijik sedikitpun Kiok Hwa memijat-mijat dada di sekitar luka sehingg darah yang keluar banyak dan ada darah yang mengotori jari-jari tangannya. Setelah yang keluar darah merah, Kiok Hwi menghentikan pijatannya dan mencuci luka itu dengan air panas. Kemudian ia mengambil bubuk obat dari buntalan pakaiannya dan menaburkan bubuk putih ke dalam luka itu. Setelah itu, ia membalut luka di dada itu dengan kain putih yang disediakan oleh Kim Cun Wi. Kiok Hwa lalu mengeluarkan tiga jarum emas dan tiga jarum perak dari buntalan pakaiannya, lalu menusukkan jarum-jarum itu di sekitar luka. "Darah beracun telah keluar, akan tetapi di dalam dadanya masih ada hawa beracun. Jarum-jarum ini mencegah hawa beracun menyebar dan setelah hawa beracun dapat dikeluarkan, dia akan selamat dan sembuh." Kim Cun Wi merasa girang sekali. "Dan bagaimana untuk mengeluarkan hawa beracun itu?" "Paman sebagai seorang ahli silat mengapa masih bertanya kepadaku" Tentu saja dengan menghimpun hawa murni ke tan-tian (bawah pusar) dan dengan sin-kang (tenaga sakti) mendorong keluar hawa beracun itu. Kurasa sebagai putera paman, dia akan mampu melakukannya." Pada saat itu, Kim Hok, ialah putera Kim Cun Wi mengeluh dan bergerak. Ayahnya segera menghampirinya, dan menyentuh pundaknya. "Bagaimana rasanya badanmu, Hok-ji (anak Hok)?" Kim Hok memandang ayahnya. "Badan rasanya panas, ayah, ada hawa bergolak di dalam dada." Dia meraba dadanya dan mendapatkan dadanya terbalut dan ada beberapa batang jarum masih menusuk di sekitar luka. "Siapa yang mengobati aku, ayah?" Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Yang menyelamatkan nyawamu adalah nona ini. Ia adalah Pek I Yok Sianli." Kim Hok menoleh dan melihat gadis itu, dia terbelalak dan terpesona. Demikian cantiknya gadis itu dalam pandang matanya sehingga pada saat itu juga dia sudah jatuh cinta! "Nona....... engkau telah menyelamatkan nyawaku. Terima kasih banyak, nona Aku telah berhutang nyawa kepadamu, entah bagaimana aku harus membalasnya Aku bernama Kim Hok, nona, aku harus mengetahui namamu. Siapakah namamu, nona?" Kim Hok bangkit duduk biarpur dia meringis menahan sakit, dibantu oleh ayahnya. Kiok Hwa mengerutkan alisnya, akan tetapi menjawab dengan wajar. "Namaku Tan Kiok Hwa." Agaknya Kim Hok belum kuat duduk terlalu lama, maka dia merebahkan dirinya lagi telentang dan mulutnya berkata seperti orang mengigau. "Nama yang indah, seindah orangnya. Ayah, aku tidak mau menikah kalau tidak dengan nona Tan Kiok Hwa ini. Dengan ia disampingku sebagai isteri, aku tidak takut lagi akan pukulan beracun!" Wajah Kiok Hwa berubah merah, akan tetapi ia bersikap tenang saja. Tanpa berkata sepatahpun ia mencabuti jarumjarumnya, menyimpannya kembali ke dalam buntalan, lalu melangkah keluar kamar sambil berkata kepada Kim Cun Wi. "Tugasku di sini sudah selesai, paman. Ijinkan aku melanjutkan perjalananku." Setelah berkata demikian dengan cepat ia keluar dari rumah besar itu. Akan tetapi baru saja ia tiba di depan pintu, sesosok bayangan berkelebat cepat mendahuluinya dan tahu-tahu Kim Cun Wi telah berdiri di depannya. Orang tua ini memberi hormat dengan kedua tangan terangkap di depan dada dan berkata dengan ramah. "Perlahan dulu, Yok Sianli. Kami menghendaki agar engkau tinggal beberapa hari di sini untuk kami jamu sebagai eorang tamu kehormatan untuk menyatakan terima kasih kami." Kiok Hwa membalas penghormatan itu lalu berkata lembut, "Terima kasih Paman Kim. Akan tetapi aku tidak pernah mengobati orang dengan minta imbalan apapun juga. Mengobati orang merupakan tugas kewajiban bagiku." "Akan tetapi, ini adalah kehendak Kim Hok!" "Juga darinya aku tidak mengharapkah terima kasih. Melihat dia dapat disembuhkan saja sudah merupakan imbalan yang amat berharga bagiku. Selamat tinggal, paman!" Kiok Hwa mengambil jalan menyimpang dari orang yang menghadangnya itu. Akan tetapi dengan cepat Kim Cun Wi melompat dan kembali menghadangnya. "Akan tetapi kami mempunyai urusan penting denganmu untuk kita bicarakan." Kiok Hwa mengerutkan alisnya. "Aku tidak mempunyai urusan apapun denganmu, paman. Kalau ada, katakan saja di sini." "Urusan ini harus dibicarakan dengan kami sekeluarga, terutama sekali dengan Kim Hok. Engkau tentu mendengar tadi ucapan puteraku bahwa dia tidak akan menikah kalau bukan denganmu. Karena itu, marilah kembali ke dalam rumah dan kita bicarakan urusan ini." Kembali wajah Kiok Hwa berubah merah dan alisnya berkerut. "Maaf, paman. Akan tetapi aku sama sekali tidak pernah berpikir tentang perjodohan. Aku sama sekali belum siap untuk mengikatkan diri dengan perjodohan. Harap paman sekeluarga mencari saja gadis lain yang lebih cocok dengan puteramu. Nah, aku pergi!" Setelah berkata demikian, Kiok Hwa hendak menyingkir, akan tetapi kembali Kim Cun Wi menghadangnya. Kini wajah majikan Bukit Ayam Hitam itu memandang dengan mata diliputi kemarahan dan tarikan wajahnya mengeras. "Jadi engkau tidak mau menjadi isteri puteraku?" Kiok Hwa tidak menjawab, melainkan menggeleng kepalanya. "Tidak ada kata tidak mau bagiku, Pek I Yok Sianli. Mau tidak mau engkau harus menjadi isteri puteraku!" "Kalau aku tetap tidak mau?" "Aku akan menggunakan kekerasan menangkapmu dan memaksamu." "Hemm, bagus. Kiranya begini macam dan wataknya orang yang menyebut dirinya Kim - kiam - sian, majikan Hek-ke-san. Aku tetap tidak mau!" Tiba-tiba Kim Cun Wi menubruk urtuk menangkap gadis itu. Akan tetapi dengan sigapnya gadis itu mengelak. Kim Cun Wi menjadi penasaran dan menubruk lagi sambil berusaha untuk menangkap lengan gadis itu. Akan tetapi dengan lincahnya Kiok Hwa melangkah ke sana sini dan langkahnya demikian teratur. tubuhnya demikian gesit dan ringan sehingga sampai belasan kali Kim Cun Wi menubruk, belum juga dia dapat menangkap gadis itu. Menyentuh ujung bajunya-pun tidak mampu! Pada saat itu, belasan orang anak buah Bukit Ayam Hitam datang berlari-lari untuk melihat apa yang terjadi. Melihat anak buahnya, Kim Cun Wi berseru, "Hayo bantu aku tangkapi gadis ini!" Untuk menangkap gadis cantik itu" Tentu saja para anak buah itu bergembira mendengar perintah ini dan bagaikan anjing-anjing kelaparan melihat tulang, mereka berebut dan menubruk untuk mendekap atau menangkap Kiok Hwa. Gadis itu menjadi sibuk juga, melangkah ke sana-sini untuk menghindarkan diri dari sergapan mereka. Pada saat itu berkelebat bayangan yang gerakannya cepat sekali dan begitu dia terjun ke dalam pengeroyokan itu, empat orang sudah terguling roboh oleh tamparan dan tendangannya. Orang itu bukan lain adalah Han Lin. Seperti kita ketahui, Han Lin juga me masuki perkampungan itu lewat belakang. Melompati pagar tembok dan tiba di ladang milik perkampungan itu. Dia menggunakan kecepatan gerakannya untuk menyusup ke dalam dan bersembunyi di wuwungan rumah besar. Dia tidak berbuat apa-apa dan tidak turun tangan selama Kiok Hwa tidak diganggu. Akan tetapi dia mendengarkan pembicaraan antara Kiok Hwa dan Kim Cun Wi. Gadis itu hendak dipaksa menjadi mantunya! Kemudian, melihat betapa Kiok Hwa dikeroyok oleh belasan orang yang hendak menangkapnya, dia tidak dapat berdiam diri lebih lama lagi. Melayanglah dia turun dari wuwungan dan menerjang mereka yang mengeroyok Kiok Hwa. Ketika Kim Cun Wi melihat siapa yang merobohkan orangorangnya, dia marah sekali melihat bahwa orang itul adalah pemuda yang tadinya membujuk Kiok Hwa agar tidak mau diajak pergi untuk mengobati anaknya. Dia segera meraba punggungnya dan di lain saat tampak sinar keemasan berkelebat. Tangannya telah memegang sebatang pedang! yang berkilauan seperti terbuat dari emas, atau baja yang diselaput emas. Itulah yang membuat dia dijuluki Kim-kiam sian (Dewa Berpedang Emas)! Han Lin melihat betapa ketika menggerakkan pedang emasnya, gerakan Kim Cun Wi itu cukup dahsyat. Maka diapun segera memungut sebatang pedang milik seorang di antara empat pengeroyok yang dirobohkan tadi dan menghadapi Kim Cun Wi dengan pedang ini. "Bocah tidak tahu diri! Berani engkau mencampuri urusanku?" bentak majikan bukit Ayam Hitam itu sambil menuding dengan telunjuk kirinya. "Engkau yang tidak tahu diri!" jawab Han Lin. "Sudah memaksa orang untuk mengobati puteramu yang sakit, sekarang hendak memaksa orang untuk menjadi mantumu! Aturan mana ini?" "Jangan banyak mulut! Mampuslah!" Kim Cun Wi menerjang dengan pedangnya, namun Han Lin sudah mengelak sehingga pedang itu hanya mengenai tempat kosong belaka. Kembali Kim Cun Wi nenyerang, sekali ini sambil mengerahkan tenaganya. Lenyap bentuk pedang dan yang tampak hanya sinar emas yang meluncur cepat ke arah dada Han Lin. "Singgg.......!" Pedang berdesing akan tetapi kembali luput karena Han Lin sudah menggeser kakinya ke kanan sambil nenarik tubuhnya ke belakang. Begitu sinar pedang lewat, diapun mengimbangi serangan lawan dengan menusukkan pedangnya ke samping, ke arah lambung lawan. Akan tetapi Kim Cun Wi juga dapat mengelak dan kini dia memutar pedangnya, menyerang Han Lin dengan bertubi-tubi. Karena serangan pedang itu amal berbahaya, tidak cukup hanya dielakkan saja, Han Lin menangkis ketika pedang menyambar ke lehernya. "Trangggg.......!" Bunga api berpijar dan Han Lin terkejut juga melihat betapa pedang di tangannya tinggal setengahnya saja. Pedang itu sudah buntung! Hal ini tidak aneh karena pedang yang dipegang Han Lin adalah pedang biasa, sedangkan yang berada di tangan Kim Cun Wi adalah sebatang pedang pusaka. Melihat ini, Kim Cun Wi mengeluarkan suara tawa mengejek, lalu mendesak terus dengan serangan pedang emasnya. Namun Han Lin sama sekali tidak menjadi gentar. Dengan pedang buntungnya dia balas menyerang, menjaga dengan hati-hati agar mereka tidak mengadu pedang lagi. Dia hanya mengelak dari serangan lawan, dan membalas dengan pedang buntungnya. Kalau lawan menangkis, diapun menarik kembali pedang buntungnya dan menyerang di lain bagian. Terjadilah perkelahian yang amat seru dan ternyata bahwa Kim Cun Wi tidak membual menggunakan julukan Dewa Pedang. Ilmu pedangnya memang hebat sekali. Akan tetapi lawannya memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi tingkatnya, maka setelah Han Lin memainkan Leng-kong Kiam-sut (Ilmu Pedang Sinar Dingin), Kim Cun Wi mulai kewalahan. Sementara itu, Kiok Hwa juga masih dikeroyok oleh belasan orang yang seakan berlumba untuk menangkapnya. Karena tidak mungkin hanya mengandalkan langkah-langkah kakinya untuk menghindarkan diri dari pengeroyokan banyak orang itu, mulailah Kiok Hwa menggunakan kakinya untuk menendangi mereka. Ia berhasil merobohkan empat orang pengeroyok, akan tetapi karena tendangannya tidak dimaksudkan untuk membunuh atau melukai lawan, mereka yang terkena tendangan hanya terjengkang dan segera bangkit dan mengeroyok kembali. Pertandingan antara Han Lin dan Kim Cun Wi berlangsung seru. Pedang di tangan mereka berubah menjadi gulungan sinar yang menyelimuti tubuh mereka. Hanya kaki mereka yang tampak berlompatan atau bergeser ke sana-sini. Akan tetapi, setelah Han Lin mengeluarkan ilmu pedang Leng-kong Kiam-sut, Kini Cun Wi terdesak hebat. Dia berjuluk Dewa Pedang dan hampir seluruh ilmu pedang di dunia persilatan dikenalnya. Karena mengenal ilmu pedang dari berbagai aliran inilah yang membuat dia sukar dikalahkan. Akan tetapi sekali ini menghadapi Leng-kong Kiam-sut dia menjadi bingung karena tidak mengenal ilmu pedang itu. Han Lin mempercepat gerakannya. Gerakan ini mengandung sin-kang yang menimbulkan hawa dingin. Cepat pedang buntung itu menyambar ke arah leher Kim Cun Wi. Orang- ini terkejut bukan main. Demikian cepatnya serangan itu sehingga tidak keburu ditangkis lagi. Satu-satunya cara menghindarkan diri hanya mengelak, maka cepat dia menarik tubuh atas ke belakang. "Crattl" Pedang buntung luput mengenai leher, akan tetapi masih mengenai ujung pundak sehingga baju, kulit dan dagingnya robek dan mengeluarkan banyak darah. Kim Cun Wi terhuyung ke belakang dan menggunakan kesempatan ini, Han Lin menerjang mereka yang mengeroyok Kiok Hwa. Dalam waktu singkat, enam orang telah berpelantingan terkena tamparan atau tendangannya. Para pengeroyok menjadi panik, dan Han Lin cepat menyambar lengan Kiok Hwa. "Mari kita pergi dari sini!" ajaknya dan dia menarik lengan itu dan diajaknya gadis itu melarikan diri. Kiok Hwa maklum bahwa kalau lebih lama tinggal di tempat itu tentu mendatangkan hal yang tidak enak, maka iapun mengerahkan gin-kangnya dan mengikuti Han Lin meninggalkan perkampungan itu. Mereka berdua mempergunakan ilmu berlari cepat dan sebentar saja mereka sudah turun dari Bukit Ayam Hitam. Setelah tiba di kaki gunung, Han Lin mengajak Kiok Hwa ber henti di bawah sebatang pohon besar. "Nah, engkau sekarang tentu sudah ahu benar betapa banyaknya orang jahat di dunia ini, Kiok-moi. Engkau menolong mereka, akan tetapi sebaliknya engkau malah diganggu. Sebaiknya kalau engkau hendak menolong orang, engkau lihat-lihat dulu macam apa orang yang akan kautolong itu." "Kewajibanku menolong siapa saja tanpa membedakan keadaan orang itu Lin-ko. Tidak perduli apakah dia baik atau jahat, kaya atau miskin, kalau mereka membutuhkan bantuan pengobatan tentu akan kubantu." "Akan tetapi, Kim Cun Wi tadi bahkan hendak memaksamu menikah dengan puteranya!" "Aku menolak dan kalau mereka menggunakan kekerasan, aku akan membela diri mati-matian." Han Lin menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia pernah mendengar dari Cheng Hian Hwesio bahwa seorang budiman sejati membalas kejahatan dengan perbuatan baik, membalas kebencian dengai kasih sayang. Agaknya Kiok Hwa merupakan orang seperti itu. Dia sendiri, biar pun sudah dijejali banyak pelajaran tertang hidup dan kebatinan, rasanya tidak sanggup membalas kejahatan dengan perbuatan baik, atau membalas kebencian orang kepadanya dengan kasih sayang! "Engkau seorang yang luar biasa dan berbudi mulia, Kiokmoi." katanya dengan jujur sambil memandang kagum. "Engkaulah yang luar biasa. Engkau memiliki ilmu silat yang tinggi dan aku girang dan kagum melihat engkau tidak menjatuhkan tangan, maut kepada mereka." "Akan tetapi aku belum dapat mengalahkan kebencian di hatiku terhadap orang yang jahat, Kiok-moi. Sekarang, kalau boleh aku bertanya, engkau hendak pergi ke manakah?" "Aku hendak pergi ke pertemuan antara Sungai Fen-ho dan Huang-ho, ke puncak Hong-san......." "Dan ke Guha Dewata di puncak itu" Akupun hendak pergi ke sana, Kiok-moi, aku hendak mencoba untuk mencabut pedang Im-yang-kiam. Apakah engkau hendak pergi ke sana dengan niat yang sama?" "Kalau banyak tokoh kang-ouw tidak berhasil mencabut Imyangkiam, apalagi aku, Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Lin-ko. Aku hanya ingin benar melihat pedang istimewa itu. Kabarnya terbuat dari baja putih yang mampu menawarkan segala macam racun." "Kalau begitu, marilah kita pergi ke sana bersama, Kiokmoi. Tentu saja jika engkau tidak berkeberatan melakukan perjalanan bersama aku." "Mengapa keberatan" Marilah, Lin-ko." Hati Han Lin terasa gembira bukar main. Walaupun dia tidak memperlihatkai dalam sikapnya, namun pandang matanya berbinar-binar tanda senangnya hati. Mereka lalu melakukan perjalanan bersama dan karena sepanjang jalan itu sunyi, mereka mempergunakan ilmu berlari cepat menyusuri sungai. 00-dewi-00 Puncak Burung Hong adalah sebuah di antara bukit-bukit terakhir di kaki Pegunungan Lu-liang-san. Pertemuan antara Sungai Fen-ho dan Huang-ho terjadi di kaki bukit ini. Puncak Burung Hong mengandung banyak batu-batu besar yang dari jauh saja sudah tampak seperti raksasa berjajar. Di antara batu-batu besar itu terdapat banyak guna yang lebar, akan tetapi yang amat terkenal adalah Guha Dewata. Menurut dongeng para dewa kalau menerima hukuman lalu diturunkan ke dunia dan para dewa terhukum itu memilih guha itu untuk bersamadhi menebus dosa. Guha itu lebarnya ada sepuluh meter dan dalamnya tiga meter. Di dalam guha tampak batu-batu besar bertumpuk-tumpuk Dan di antara batu-batu yang bertumpuk itu tampaklah sebatang pedang yang menancap di batu besar, yang kelihatan hanya gagangnya saja. Di kanan kiri Guha Dewata ini terdapat dua losin orang serdadu yang menjaga dengan ketat, setiap hari diganti dengan pasukan penjaga lain. Mengapa ada pasukan tentara berjaga di situ" Ini adalah tindakan pemerintah untuk menjaga agar pencabutan pedang Im-yang-kiam dilakukan dengan tertib dan jujur. Tidak oleh membongkar batu-batu itu dan mengambil pedang itu harus dengan dicabut. Kalau ada yang melanggar tentu akan ditangkap oleh pasukan itu. Betapa pun inginnya para tokoh kang-ouw untuk memiliki pedang peninggalan seorang panglima yang gagah perkasa itu, namun tak seorangpun berani mencoba untuk membongkar batu-batu di situ. Siapa yang berani bermusuhan dengan pemerintah yang memiliki banyak pasukan"! Para tokoh kang-ouw, bahkan para jagoan istana dan para datuk, sudah mencoba untuk mencabut pedang itu, akan tetapi sampai saat itu, tidak ada yang berhasil. Karena itu, pedang Im-yang-kiam itu menjadi terkenal sekali dan hampir setiap orang berbondongbondong datang, ada yang hanya ingin menyaksikan, juga ada yang ingin mencoba peruntungannya untuk mencabut pedang pusaka itu. Karena para jagoan istana dan para datuk gagal mencabut pedang Im-yang-kiam, muncul anggapan bahwa pedang itu bertuah dan hanya orang yang berjodoh dengan pedang itu saja yang akan mampu mencabutnya. Hari itu telah siang, matahari sudah berada di atas kepala condong ke selatan. Orang-orang yang berdatangan di tempat itu sudah cukup banyak. Tidak kurang dari tiga puluh orang. Akan tetapi sebagian besar dari mereka hanya ingin menonton. Han Lin dan Kiok Hwa juga tiba di tempat itu. Mereka telah melakukan perjalanan bersama selama beberapa hari. Selama dalam perjalanan itu, Kiok Hwa mendapat kenyataan bahwa Han Lin adalah seorang pemuda yang selalu sopan terhadap dirinya. Ketika mereka tiba di tempat itu, merekapun menggabungkan diri dengan mereka yang ingin menonton pertunjukan ang menarik itu. Pada saat itu, seorang bertubuh tinggi besar dengan muka penuh brewok dengan langkah tegap menghampiri batu besar di mana pedang Im-yang-kiam menancap. Dia memandang ke kanan kiri sambil tersenyum, seolah dia sudah yakin akan mampu mencabut pedang itu. Lalu ditanggalkan bajunya yang hitam. Dengan bertelanjang dada dia menghadapi gagang pedang itu. "Waaaahhhh......!" Banyak orang mengeluarkan seman kagum ketika melihat tubuh dari pinggang ke atas itu. Tampak otot besar menggembung melingkari tubuh itu. Tubuh yang amat kokoh kuat dan melihat bentuk tubuh seperti itu mudah diduga bahwa orang itu tentu memiliki tenaga raksasa! Semua orang menonton dengan hati tegang. Agaknya orang inilah yang akan mampu mencabut pedang itu. Setelah memberi waktu cukup lama untuk memamerkan otot-ototnya, sambil tersenyum si tinggi besar brewokan itu lalu memegang gagang pedang dengan tangan kirinya. Dia hendak pamer bahwa hanya dengan tangan kiri saja dia pasti sudah akan dapat mencabut keluar pedang itu. Semua orang memandang sambil menahan napas. Setelah memegang gagang pedang dengan tangan kirinya, dia berseru dengan nyaring, "Hyaaaaaaatttt......!" Dia mengerahkan segala tenaganya pada tangan kiri dan menarik pedang itu. Akan tetapi pedang itu sama sekali tidak bergoyang, apalagi tercabut keluar! Beberapa kali dia mengerahkan tenaga, namun sia-sia belaka. Dengan penasaran dia menggunakan kedua tangannya, menarik dan mengeluarkan suara ah-ah uh-uh. Sia-sia, pedang itu tidak dapat tercabut. Si tinggi besar brewokan ini semakin penasaran. Dia berusaha terus sampai peluhnya membasahi badan dan dadanya berkilauan, napasnya terengah-engah. Akhirnya dia menyerah dan terdengar suara tawa di sana-sini. Sambil menyambar bajunya dan menundukkan mukanya, si tinggi besar itu pergi meninggalkan tempat itu. Para penonton ramai membicarakan kegagalan demi kegagalan yang terjadi sejak pagi tadi. Sudah ada belasan orang yang gagal. Tiba-tiba seorang laki-laki berusia lima puluh tahunan, berpakaian seperti seorang tosu, melangkah maju menghampiri Im-yang-kiam. Orang itu bertubuh sedang saja, sama sekali tidak tampak kokoh kuat seperti si tinggi besar tadi. Gerak-geriknya bahkan tenang sekali, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar tajam membuat orang yang bertemu pandang dengannya dapat menduga bahwa orang ini "berisi"! Dengan langkah tenang dan penuh kepercayaan pada diri sendiri, tosu (pendeta To) itu menghampiri batu besar. Sejenak dia memandang gagang pedang itu. Ronce-ronce merah pada gagang pedang itu sudah kotor dan lapuk, saking lamanya berada di situ, kehujanan dan kepanasan. Kemudian tosu itu memegang gagang pedang dan diam tak bergerak. Dia mengumpulkan segala kekuatannya dan mengerahkan tenaga saktinya. Kemudian, dia menarik sekuat tenaga. "Haai i ittttt!" Dia berseru sambil menarik. Akan tetapi siasia belaka. Pedang itu seolah telah melekat menjadi satu dengan batu. Tiga kali dia mengerahkan tenaga dan mencoba untuk menarik, namun selalu gagal. Akhirnya dia melepaskan pegangannya, memandang kepada gagang pedang dengan alis berkerut, lalu pergi dengan muka merah. Dua orang tinggi besar yang kelihatan kasar kini maju dan mereka meraba batu besar, seperti hendak mendorong atau membongkarnya. Akan tetapi sebelum mereka membongkar, dua losin perajurit sudah mengepung mereka. Komandannya berkata, "Dilarang keras untuk membongkar batu-batu ini. Bacalah pengumuman itu!" Dia menunjuk ke batu di sebelah. Dua orang itu memandang ke arah yang ditunjuk dan ternyata pada batu itu terdapat ukir-ukiran huruf yang cukup jelas. "Siapapun juga diperbolehkan untuk mencoba peruntungan mencabut Im-yang-kiam. Akan tetapi dilarang keras untuk membongkar batu-batu untuk mendapatkan pedang itu." Demikianlah bunyi huruf-huruf yang terukir di situ. Dua orang itu mengerutkan alisnya, akan tetapi karena maklum bahwa kalau mereka memaksa, selain belum tentu mampu membongkar batu-batu besar itu, juga mereka akan ditangkap dan dikeroyok, maka merekapun tidak jadi mencoba-coba untuk membongkar batu. Dengan bergantian mereka mencoba untuk menarik gagang pedang, akan tetapi seperti juga yang lain, mereka gagal dan pergi dari situ dengan kecewa. Setelah menanti sampai lama tidak ada lagi yang mencoba untuk mencabut pedang itu, Kiok Hwa berbisik kepada Han Lin. "Lin-ko, apakah engkau juga ingin mencobanya" Kalau begitu, lakukan-lah sekarang juga. Siapa tahu engkau berjodoh dengan pedang itu." Han Lin mengangguk, "Baik, akan ku-coba." Setelah berkata demikian, dengan langkah tegap namun tenang Han Lin berjalan menghampiri guha yang letaknya agak tinggi itu. Di depan batu besar di mana pedang itu menancap dia berhenti dan mengamati keadaan batu itu denganl seksama. Dia membaca pengumuman pemerintah yang melarang membongkar batu-batu itu dan yang hendak mencoba peruntungannya harus mencabut pedang itu. Dia teringat bahwa pedang itu peninggalan seorang panglima yang gagah perkasa dan setia dan tiba-tiba timbul perasaan hormatnya yang mendalam terhadap pemilik pedang itu. Panglima itu tentulah seorang yang setia dan berjiwa patriot. Rasa hormat ini membuat Han Lin tidak berani sembarangan mencabut pedang, maka dia segera menjatuhkan diri berlutut di depan batu besar itu, seolah hendak minta ijin untuk mencabut pedang. Dia memberi hormat dengan membenturkan dahinya ke atas tanah. Pada saat itu, matanya melihat ukiran yang berbentuk huruf-huruf amat kecilnya. Kalau dia tidak berlutut dan membenturkan dahinya ke atas tanah, dia tidak akan melihat ukiran-ukiran huruf-huruf itu! "Putar batu hitam ini tiga kali kekanan" Demikianlah bunyi ukir-ukiran itu dan di dekat ukiran itu terdapat sebuah batu hitam sebesar kepalan tangan. Giranglah hati Han Lin membaca ini. Agaknya rahasia pencabutan pedang itu berada di sini, pikirnya, mengingat betapa banyaknya orang pandai yang telah mencoba mencabut pedang tanpa hasil. Tanpa ragu lagi dia lalu memegang batu hitam itu, mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) dan memutar ke kiri. Memang ternyata berat sekali, akan tetapi karena dia sudah mengerahkan tenaga, batu itu dapat diputarnya ke kiri. Dia memutar tiga kali ke kiri, kemudian tiga kali ke kanan. Karena dia melakukannya sambil berlutut, maka tidak ada orang lain yang mengetahui apa yang dilakukannya itu. Mereka yang masih menonton hanya merasa geli, bahkan ada yang tertawa mencemoohkan melihat Han Lin berlutut sampai lama di depan batu itu. "Hei ! Engkau hendak mencabut pedang atau hendak bersembahyang minta rejeki?" terdengar seorang mengolokolok, disusul suara tawa yang lain. Namun Han Lin hanya tersenyum mendengar ini dan dia menggunakan telapak tangannya mengusap huruf-huruf yang terukir di bawah batu itu. Karena dia menggunakan sin-kang yang amat kuat, permukaan batu itu menjadi halus dan ukiran huruf itupun lenyap. Setelah itu barulah dia bangkit berdiri. Semua orang memandangnya dengan ingin tahu sekali. Diam-diam Han Lin mengerahkan sinkang ke dalam lengan kanannya, lalu dipegangnya gagang pedang Im-yang-kiam itu, lalu ditariknya. Pada saat itu terdengar suara keras dan batu besar itu bergoyang. Han Lin memperkuat tarikannya dan...... dia berhasil mencabut pedang Semula semua orang terdiam dan terbelalak, lalu pecah suara gaduh dan mereka semua mendekati dan menghampiri Han Lin untuk melihat macam apakah pedang itu. Melihat kemungkinan ada orang yang berniat jahat merampas pedang dari tangan yang berhak, komandan pasukan lalu mengerahkan anak buahnya untuk melindungi Han Lin. "Berhenti! Kalian tidak boleh mengganggu pemuda ini. Dialah yang berhak memiliki Im-yang-kiam seperti bunyi peraturan yang telah ditetapkan. Mundur semua!" Orang-orang itu mundur. Dengan wajah berseri karena gembiranya telah dapat memenuhi pesan gurunya untuk mencabut Im-yang-kiam, Han Lin memperlihatkan pedang itu kepada Kiok Hwa yang telah mendekatinya. Gadis ini memegang pedang itu dengan kagum. Ditelitinya pedang itu. Sebatang pedang yang aneh warnanya, sebelah hitam sebelah putih! Yang hitam tajam yang putih tumpul. Tahulah ia apa maksudnya. Yang hitam itu adalah mata pedang untuk membunuh lawan, sedangkan yang putih adalah mata pedang yang dipergunakan untuk mengobati orang yang keracunan! "Pokiam (Pedang Pusaka), kuharap pemilikmu yang baru akan lebih banyak mempergunakan putihmu daripada hitammu." kata Kiok Hwa dari ia mengembalikan pedang itu kepada Han Lin. Karena pedang itu tidak memiliki sarung pedang, Han Lin lalu menyimpannya di dalam buntalannya. Setelah menggendong buntalan pakaiannya itu kembali ke punggungnya, dia lalu mengajak Kiokh Hwa pergi. Para penonton yang berada di situ juga bubaran dan dalam perjalanan pulang, mereka ramai membicarakan pemuda yang dengan mudahnya dapat mencabut pedang pusaka itu setelah memberi hormat dengan berlutut. "Nah, apa kataku. Pedang itu bertuah! Baru mau dicabut setelah diberi hormat secara berlebihan!" kata seorang. "Kalau aku lebih percaya bahwa di dalam batu besar itu ada setannya yang memegangi ujung pedang sehingga tidak dapat dicabut. Setelah diberi hormat, setan itu lalu melepaskan pedang sehingga pemuda itu mampu mencabutnya." kata yang lain. Ramai mereka membicarakan dan mengutarakan pendapat mereka masing-masing. Sementara itu, Han Lin dan Kiok Hwa dihadang oleh komandan pasukan yang tadi berjaga di tempat itu. "Nanti dulu, sicu (orang gagah)," kata komandan itu dengan sikap hormat dan ramah. "Sudah menjadi peraturan dan kewajiban kami untuk mencatat nama dan alamat sicu sebagai orang yang berhasil memiliki Im-yang-kiam." Han Lin tersenyum. "Baiklah, ciang-kun (perwira). Aku she Han dan namaku Lin dan aku adalah seorang perantau yang berasal dari Pegunungan Thai-san." Perwira itu mencatat dalam buku catatannya untuk bahan laporan, lalu berkata, "Kami percaya bahwa engkau seorang pendekar, sicu. Karena itu kami hanya mengharapkan agar Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo engkau mempergunakan pedang untuk membela kebenaran dan keadilan. Kalau kelak ternyata engkau mempergunakan untuk kejahatan, pemerintah tentu akan menentangmu." "Aku mengerti, ciangkun." jawab Han Lin. Han Lin mengajak Kiok Hwa untuk melanjutkan perjalanan meninggalkan Puncak Burung Hong. Setelah mereka tiba di kaki pegunungan itu, Han Lin berhenti, menurunkan buntalannya, mengambil Im-yang-kiam dari buntalan dan menyerahkannya kepada Kiok Hwa. "Kiok-moi, aku berpikir bahwa pedang ini lebih pantas menjadi milikmu. Engkau memang benar, lebih baik pedang ini dipergunakan untuk mengobati orang dari pada melukai atau membunuh." "Tidak bisa begitu, Lin-ko. Pedang itu engkau yang mencabutnya, maka engkau pula yang berhak memilikinya." "Akan tetapi aku memberikannya kepadamu dengan hati yang ikhlas karena tahu bahwa di tanganmu pedang ini akan lebih bermanfaat bagi orang banyak." "Terima kasih, Lin-ko, akan tetapi aku tidak dapat menerimanya. Untuk mengobati orang, aku tidak membutuhkan bantuan pedang itu." Han Lin menghela napas panjang dan tidak memaksa. Dia masih memegang Im-yang-kiam dengan tangan kanannya! ketika tiba-tiba ada lima sosok bayangan berkelebat dan tahutahu ada lima orang! tosu berdiri di depannya. "Siancai......! Engkau harus menyerahkan pedang itu kepada kami, sicu!" Se-orang di antara mereka, yang berjenggot panjang sampai ke dada, berseru dengan! suara lembut. Han Lin dan Kiok Hwa memandangi dengan penuh perhatian. Mereka adalah lima orang tosu yang berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun, dipimpin tosu berjenggot panjang dan di punggung mereka masing-masing terdapat sebatang pedang. Sikap mereka tenang namun berwibawa. Di bagian depan jubah mereka, tepat di dada, terdapat gambar tanda Im-yang hitam putih. "Mereka orang-orang Im-yang-pai (Partai Im Yang)!" bisik Kiok Hwa kepada Han Lin. Biarpun Kiok Hwa hanya berbisik lirih, agaknya terdengar oleh para tosu itu dan si jenggot panjang tersenyum. "Bagus kalau kalian sudah mengenal pinto dan kawan-kawan sebagai orang-orang Im-yang-pai." Han Lin juga pernah mendengar akan nama besar Imyangpai dari Gobi Sam-sian, guru-gurunya yang pertama. Maka dia cepat memberi hormat karena maklum bahwa orang-orang Im-yang-pai adalah golongan putih yang tidak pernah berbuat jahat, bahkan berjiwa patriot dan banyak jasanya ketika tentara rakyat dahulu menjatuhkan kekuasaan Mongol sehingga kerajaan Beng yang pemerintahannya dipegang bangsa sendiri, didirikan. "Kiranya ngo-wi totiang (lima orang pendeta) adalah tokohtokoh Im-yang-pai. Terimalah hormat saya, Han Lin, dan kalau saya boleh mengetahui, apa maksud ngo-wi (anda berlima) menjumpai saya?" "Siancai (damai)! Ternyata sicu adalah seorang pemuda yang sopan bijaksana. Pinto berharap sicu dapat mempergunakan kebijaksanaan untuk memenuhi permintaan kami." "Permintaan apakah itu, totiang?" "Permintaan kami ialah agar sicu suka menyerahkan Imyangkiam kepada kami. Kami amat membutuhkan pedang pusaka itu untuk dijadikan pusaka perkumpulan kami. Bukankah pedang itu bernama Im-yang-kiam" Jadi cocok sekali dengan perkumpulan kami yang bernama Im-yang-pai." Han Lin otomatis memandang pedang yang masih terpegang oleh tangan kanannya. Dia memandang tosu berjenggot panjang itu dan berkata, "Akan tetapi, totiang. Pedang ini saya dapatkan karena saya telah mencabutnya dari himpitan batu. Kalau memang totiang membutuhkan, kenapa totiang tadinya tidak mencoba untuk mencabutnya?" Tosu itu tersipu, lalu tersenyum dan berkata sejujurnya, "Kami berlima telah mencobanya, namun kami telah gagal mencabutnya, sicu. Sebetulnya kami tidak berhak minta dari sicu, akan tetapi karena perkumpulan kami membutuhkan, kami mohon kebijaksanaan sicu untuk menyerahkan Im-yangkiam itu kepada kami. Untuk itu, sicu boleh menerima pedang pinto sebagai penggantinya. Pedang pinto ini juga sebatang pedang pusaka yang ampuh." Setelah berkata demikian, tosu berjenggot panjang itu mencabut pedangnya dan tampak sinar berkilauan dari pedang itu. "Pinto harap sicu suka menukar Im-yang-kiam itu dengan pedang ini beserta ucapan terima kasih perkumpulan kami." "Maafkan saya, totiang, bahwa saya terpaksa tidak dapat memenuhi permintaan totiang. Hendaknya ngo-wi totiang ketahui bahwa saya mencabut Im-yang-kiam itu atas perintah guru saya, dan kedua kalinya untuk menghormati mendiang pahlawan Kam Tiong yang telah mengijinkan saya mencabut pedang itu terpaksa saya harus mempertahankan pedang Imyangkiam ini." Wajah lima orang tosu itu berubah kemerahan dan alis mereka berkerut. "Kalau begitu, kami hanya ingin meminjamnya, sicu. Kami akan membuat tiruannya untuk dijadikan pusaka kami, setelah itu akan kami kembalikan kepadamu." "Maaf, terpaksa tidak dapat kuberikan totiang." Lima orang tosu itu menjadi marah "Kalau begitu, terpaksa pula kami akan menggunakan kekerasan mengambil pedang itu dari tanganmu!" Kiok Hwa yang sejak tadi mendengarkan dan diam saja, kini berkata dengan suaranya yang lembut, "Selama ini saya mendengar bahwa orang-orang Im-yang-pai adalah orangorang yang gagah perkasa. Akan tetapi sungguh mengecewakan, hari ini mereka bersikap seperti sekawanan perampok!" Tosu berjenggot panjang itu memandang kepada Kiok Hwa dengan sinar mata mencorong. "Engkau siapakah, nona" Berani berkata demikian terhadap kami?" Han Lin yang menjawab. "Totiang, nona ini adalah murid locianpwe (orang tua gagah) Thian-te Yok-sian." "Siancai......!" Tosu itu terperanjat dan memandang kepada Kiok Hwa dengan penuh perhatian. "Kiranya nona yang berjuluk Pek I Yok Sian-li (Dewi Obat Baju Putih)" Maaf kalau kami bersikap kurang hormat. Nama besar nona sudah terpuji oleh ribuan orang, membuat kami kagum. Akan tetapi kami harap dalam urusan Im yang-kiam ini, nona tidak akan mencampuri. Pinto berlima, orang-orang Im-yang-pai bukan perampok. Kami hanya ingin meminjam dan terpaksa kami menggunakan kekerasan kajau ditolak, karena kami membutuhkan sekali." "Maaf, totiang. Dipinjampun saya tidak dapat memberikan pedang ini!" kata Han Lin dengan tegas. "Orang muda, engkau berani menantang kami?" bentak tosu berjenggot panjang itu. "Saya tidak menantang siapa-siapa!" "Akan tetapi engkau menolak permintaan kami, berarti bahwa engkau berani melawan kami?" "Apa boleh buat, saya hanya membela diri." "Hemm, kami juga terpaksa demi perkumpulan kami, bukan ingin merampok, hanya ingin pinjam selama beberapa waktu. Nah, bersiaplah, orang muda. Hendak pinto lihat bagaimana kepandaianmu maka engkau berani menentang kami!" "Singgg......!" Ketika tosu itu mengelebatkan pedangnya di atas kepala, terdengar bunyi berdesing. Han Lin maklum bahwa orang itu memiliki ilmu pedang yang hebat. Akan tetapi dia tidak menjadi gentar dan melintangkan pedangnya di depan dada. "Saya sudah siap membela diri, totiang." katanya. "Lihat pedang!" tiba-tiba tosu jenggot panjang itu membentak dan pedangnya berubah menjadi sinar menyambar ke arah tangan Han Lin yang memegang pedang. Agaknya dia hendak memaksa pemuda itu melepaskan pedangnya untuk dirampas. Akan tetapi dengan tenang namun cepat, Han Lin sudah menarik tangannya lalu membuat geseran langkah ke lepan lalu membalik sehingga tahu-tahu dia berada di sebelah kiri lawan. Tosu itu terkejut, namun cepat diapun membalik ke kiri, didahului pedangnya yang menyambar lagi, kini ke arah muka Han Lin. Kembali Han Lin mengelak dengan gerakan ringan sekali dan tahu-tahu dia telah berada di belakang lawan. Tosu berjenggot panjang itu kembali terkejut dan juga penasaran. Di Im-yang-pai dia adalah orang ke dua setelah ketuanya, dan ilmu pedangnya juga sudah mencapai tingkat tinggi, hanya kalah setingkat dibandingkan tingkat ketua Im-yang-pai. Akan tetapi beberapa kali serangannya yang dilakukan dengan cepat dan bertenaga, dapat dielakkan dengan mudah oleh pemuda itu! Gerakan pemuda itu sedemikian ringan dan gesitnya sehingga seolaholah dapat menghilang saja. Dia memutar pedangnya lebih gencar dan kini terpaksa Han Lin menangkis dengan pedang Im-yang-kiam yang masih dipegangnya. "Cringgg..... trakkk.....!!" Tosu berjenggot panjang itu terkejut bukan main karena ujung pedang pusakanya patah! Han Lin juga terkejut dan merasa menyesal telah mematahkan pedang pusaka lawan. "Maaf, totiang. Saya tidak tahu..... tidak sengaja......" "Sudahlah!" dengus tosu itu. "Sekali lagi, orang muda. Kau berikan kepada kami atau tidak Im-yang-kiam itu?" "Tidak, totiang." Tosu berjenggot panjang memberi isarat kepada empat orang rekannya dar kini lima orang tosu itu mengepung Han Lin. "Orang muda, kalau engkau mampu memecahkan Ngohengtin (Barisan Lima Unsur) kami akan mengundurkan diri dar tidak akan mengganggumu lagi." Han Lin sudah mendengar dari Gobi Sam-sian bahwa Imyangpai amat terkenal dengan Ngo-heng-tin itu. Boleh dikata hampir tidak ada orang yang mampu memecahkan barisan lima unsur yang saling menunjang itu. Lima unsur itu adalah Logam, Kayu, Air, Tanah dan Api. Yang menempati kedudukan yang satu menunjang dan membela yang lain sehingga barisan pedang ini berbahaya sekali. Namun Han Lin tidak menjadi gentar, biarpun dia belum memiliki banyak pengalaman bertanding, namun dia telah digembleng secara hebat oleh dua orang sakti dan telah menerima banyak petunjuk tentang pertandingan dari Gobi Sam-sian. Biarpun sudah mendengar akan kehebatan NgoTiraikasih Website http://kangzusi.com/ heng-tin, dia malah merasa bergembira karena akan dapat membuktikan sendiri bagaimana kehebatannya. Selain itu, dia juga dapat menguji kemampuannya sendiri dan juga keampuhan Im-yang-kiam yang tadi telah mematahkan ujung pedang tosu berjenggot panjang. Han Lin penuh kepercayaan akan dirinya sendiri, apalagi dia yakin bahwa lima orang tosu Im-yang-pai itu bukanlah orang-orang jahat, melainkan hanya ingin "meminjam" pedang pusakanya. Mustahil orang-orang golongan bersih seperti mereka akan menurunkan tangan keji terhadap dirinya. "Tidak berani saya memecahkan Ngo-heng-tin, akan tetapi saya akan membela diri sekuat tenaga!" jawabnya dan dia melintangkan pedangnya di depan dada, mengerahkan tenaga sakti Matahari dan Bulan ke dalam kedua lengannya. "Hyaaaaattt.....!" Lima orang tosu itu membentak dengan suara berbareng sehingga terdengar lantang sekali. Juga di dalam suara ini terkandung khi-kang (hawa sakti) yang amat berwibawa, dapal menggetarkan jantung dan membuat takut lawan. Namun Han Lin yang mengalami selombang suara yang menyerangnya itu segera menggeram dan mengeluarkan suara seperti singa. Itulah Sai-cu Ho-kang (Ilmu Auman Singa) yang mengandung getaran amat kuatnya. Jangankan hanya bentakan lima orang tosu itu, bahkan segala macam kekuatan sihir akan punah kalau dilawan dengan Sai cu Ho-kang ini. Lima orang tosu itu berbalik menjadi tergetar oleh auman itu, maka mereka-pun segera menyusun serangan yang silih berganti dan bertubi-tubi datangnya! Han Lin menggerakkan pedang Im-Yang-kiam dan tampaklah gulungan sinar keabu-abuan, campuran dari warna hitam dian putih. Dia memainkan ilmu pedang seperti yang telah diajarkan oleh It-kiam-lan dan sudah disempurnakan oleh Bu-beng Lo-jin. Gerakannya seperti bayang-bayang saja, dan kecepatannya seperti seekor burung walet. Tubuhnya yang berubah menjadi bayang-bayang itu menyusup di antara gulungan lima sinar pedang lawan. Setelah dia mempergunakan kecepatan gerakannya untuk menghindarkan diri sambil memperhatikan gerakan barisan itu, tahulah dia bahwa kelihaian barisan itu terletak kepada sifatnya yang sambung menyambung dan saling melindungi seperti sehelai rantai baja yang amat kuat. Setelah memperhitungkan, dia bergerak cepat, berputaran. Lima orang lawannya terpaksa ikut berputar-putar dan mereka sama sekali tidak sempat menyerang lagi karena gerakan berputar Han Lin amat cepatnya seperti gasing! Dan selagi mereka kebingungan dan hendak menyusun kembali barisan mereka yang tidak berdaya menyerang itu, tiba-tiba saja Han Lin berbalik menyerang dan dia menyerang di bagian tengah, yaitu orang ke tiga dari pinggir yang berada di tengah-tengah. Tosu yang diserang itu terkejut karena masih bergerak melangkah berputaran, terpaksa dia menangkis sendiri tidak dapat mengandalkan kawan di sebelahnya untuk melindunginya. "Cringgg..... trakkk.....!" Pedangnya patah menjadi dua potong! Sebelum barisan itu sempat mengatur kembali posisinya, pedang Han Lin sudah menyambar-nyambar, membuat para lawannya terpaksa menangkis. Terdengar suara nyaring berturut-turut dan semua pedang di tangan lima orang tosu itu telah patah tengahnya menjadi dua potong! Tenti saja lima orang tosu itu terkejut bukan main dan mereka cepat berlompatan ke belakang. Tahulah mereka bahwa sekali ini Ngo-heng-kiam-tin mereka telah dapat dipecahkan orang! Wajah mereka menjadi pucat lalu kemerahan. Tosu yang berjenggot panjang lalu menjura kepada Han Lin. "Siancai.....! Ilmu kepandaian sicu sungguh hebat! Pinto Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mengaku kalah. Akan tetapi kekalahan ini membuat kami menjadi penasaran dan ingin sekali mengetahui. Murid siapakah sicu yang memiliki kepandaian sehebat ini?" Terhadap lima orang tosu dari Im-yang-pai itu, Han Lin tidak ingin menyembunyikan keadaan dirinya. Apalagi yang ditanyakan hanya guru-gurunya dan sudah menjadi haknya untuk membanggakan siapa gurunya. Diapun balas menjura sebagai tanda penghormatan lalu menjawab, "Guru-guru saya ada lima orang. Gobi Sam-sian, Bu-beng Lo-jin dan Cheng Hian Hwesio. Merekalah yang mengajar saya, totiang." "Siancai.....! Gobi Sam-sian adalah tiga orang datuk yang berkepandaian tinggi. Sedangkan Cheng Hian Hwesio, hwesio perantau yang penuh rahasia itu, kabarnya seorang sakti pula. Hanya kami tidak pernah mendengar siapa itu Bu-beng Lo-jin. Akan tetapi melihat kelihai-mmu, kami percaya bahwa diapun seorang yang amat sakti. Kami tidak menjadi penasaran lagi, juga bahwa kami tidak dapat memaksamu meminjamkan Im yang-kiam, karena kami memang tidak mampu mengalahkanmu. Selamat tinggal, sicu. Mudah-mudahan pedang pusaka itu akan kaupergunakan untuk membela kebenaran dan keadilan!" Setelah berkata demikian, lima orang tosu itu lalu berjalan pergi meninggalkan tempat itu. Han Lin menoleh ke arah di mana tadi Kiok Hwa berdiri dan dia melihat gadis itu masih berada di sana, akan tetapi pandang matanya tidak gembira dan bahkan alisnya berkerut ketika ia memandang kepada Han Lin. "Engkau kenapa, Kiok-moi?" Gadis itu menggeleng kepalanya, "Aku tidak apa-apa, akan tetapi engkau yang agaknya setelah mendapatkan Im-yangkiam tiba-tiba saja dimusuhi banyak orang! Aih, betapa tepatnya kata orang-orang bijaksana bahwa silat dan pedang hanya mendatangkan permusuhan belaka." "Akan tetapi, Kiok-moi. Pertentangan itu mana dapat dihilangkan" Bukankah sudah sejak semula terdapat dua unsur yang bertentangan di dunia ini, sebagai perwujudan dari Im-yang" Ada siang ada malam, ada susah ada senang, ada baik ada jahat" Selama ada baik dan ada jahat, pertentangan tidak akan pernah berhenti. Tergantung kepada kita hendak menempatkan diri di unsur mana. Yang jahat atau yang baik. Kalau kita berdiri berpijak kebenaran dan kebaikan, kita tidak perlu takut menghadapi tantangan kejahatan." "Hemm, tentu saja engkau akan berdalih demikian, Lin-ko. Akan tetapi kebaikan yang bagaimanakah" Kejahatan yang bagaimanakah" Bukankah kebaikan dan keburukan itu tergantung kepada penilainya" Engkau tentu menganggap para tosu Im-yang-pai tadi jahat karena mereka hendak memaksa pinjam Im-yang-kiam yang menjadi milikmu. Akan tetapi sebaliknya, mereka tentu menganggap engkau jahat yang tidak mau meminjamkan po-kiam (pedang pusaka) yang amat mereka butuhkan itu. Nah, bukankah dalam pandangan masing-masing kalian semua sama jahatnya?" Han Lin merasa terdesak dan diapun berkata mengalah. "Habis, kalau menurut pcndapatmu, bagaimana, Kiok-moi" Apakah aku harus memberikan Im-yang-kiam kepada mereka tadi?" "Bukan begitu maksudku, Lin-ko. Apa yang kaulakukan tadi sudah benar. Aku hanya ingin mengatakan bahwa setelah mendapatkan pedang itu, engkau mendapatkan banyak musuh dan hal itu sungguh amat tidak baik bagimu." "Apa boleh buat. Yang penting aku tidak mencari permusuhan, aku tidak memusuhi mereka. Akan tetapi kalau mereka memusuhi aku, tentu aku akan membela diri." Untuk menyudahi percakapan tentang Im-yang-kiam, Han Lin lalu mengajak gadis itu. "Mari kita lanjutkan perjalanan kita, Kiokmoi!" Gadis itu mengangguk dan mereka lalu melanjutkan perjalanan menyusuri Sungai Huang-ho yang lebar. Akan tetapi belum ada satu li (mil) mereka berjalan, tiba-tiba terdengar seruan orang dari belakang. "Orang muda, perlahan dulu!" Han Lin dan Kiok Hwa menengok dan sesosok bayangan berkelebat dan muncul ah seorang laki-laki berusia tua renta, sedikitnya tujuh puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan pakaiannya mewah seperti hartawan atau bangsawan. Wajahnya lebar dan ramah, mukanya cerah dan dipandang sepintas lalu, pantasnya dia seorang yang baik hati. Akan tetapi kalau orang menentang matanya, orang akan melihat sesuatu yang mengerikan pada pandang matanya. Pandang matanya seperti harimau kelaparan melihat domba! Ketika Han Lin memandang kakek itu, dia terkejut bukan main. Jantungnya berdebar keras, mukanya terasa panas karena dia teringat akan ibunya. Inilah seorang di antara mereka yang mengakibatkan ibunya tewas terlempar ke dalam jurang, walaupun tidak secara langsung dia melakukannya. Suma Kiang yang bertanggung jawab, akan tetapi kakek ini juga ikut memperebutkan dia, bahkan berusaha untuk membunuhnya belasan tahun yang lalu, atau sepuluh tahun yang lalu. Orang itu membawa sebatang pedang di punggungnya dan memandang kepadanya dengan penuh perhatian, lalu menatap ke arah buntalan di punggungnya. Han Lin tidak melupakan orang itu karena wajahnya tidak berubah dibandingkan sepuluh tahun yang lalu. Wajah ToaOk (si Jahat ke Satu). Jilid XII KIOK HWA yang masih muda itu ternyata juga mempunyai pandangan tajam dan pengetahuan yang luas. Melihat kakek ini, ia sudah dapat menduga siapa orangnya dan ia terkejut bukan main kakek ini, ia sudah dapat menduga siapa orangnya dan ia terkejut bukan main karena ia sudah mendengar bahwa Toa Ok yang berjuluk Toat-beng Kwi-ong (Raja Iblis Pencabut Nyawa) adalah seorang datuk sesat yang amat ditakuti di dunia kang-ouw bersama dua rekannya, yaitu Ji Ok (si Jahat ke Dua) dan Sam Ok (si Jahat ke Tiga). "Dia Toa Ok......!" bisik Kiok Hwa kepada Han Lin. Namun Han Lin bersikap tenang dan tidak menjadi kaget karena dia memang sudah tahu siapa kakek itu. Bagaimanapun juga, dia berhadapan dengan seorang yang sudah tua sekali, maka dia bersikap cukup hormat ketika berkata. "Toat-beng Kwi-ong Toa Ok, apa maksudmu mengejarku?" "Ha-ha-ha, kalian ini dua orang muda ternyata awas juga. Bagus kalau kalian tahu bahwa aku adalah Toat-beng Kwi ong Toa Ok. Biasanya kalau aku hendak mengambil sesuatu dari seseorang, aku akan bunuh orang itu dan mengambil barangnya, habis perkara. Akan tetapi melihat kalian masih muda, biarlah sekali ini aku mengampuni kalian dan membiarkan kalian pergi setelah kalian menyerahkan Imyangkiam kepadaku." Han Lin mengerutkan alisnya dan Kiok Hwa mengundurkan diri menjauh, agaknya tidak ingin mencampuri urusan mereka. "Toa Ok, apa alasanmu minta Im-yang-kiam dariku?" tanyanya, diam diam mencatat bahwa datuk sesat ini dalam usia tuanya ternyata masih juga jahat sehingga pantas dia tentang. "Alasannya" Ha-ha-ha, aku sudah mendengar bahwa engkau berhasil mencabut Im-yang-kiam, dan kalau engkau tidak memberikannya kepadaku dengan baik-baik, tentu engkau akan kubunuh dan Im-yang-kiam dalam buntalanmu itu akan kuambil juga, ha-ha-ha!" Toa Ok mengelus jenggotnya yang jarang sambil tertawa dan memandang kepada pemuda itu dengan meremehkan sekali. Han Lin melepaskan buntalannya dan menaruhnya di atas tanah. Dia berdiri tegak di depan kakek itu dan berkata. "Boleh saja engkau merampas Im-yang-kiam kalau engkau mampu merebutnya dari tanganku!" Toa Ok membelalakkan matanya saking kaget dan herannya. "Apa katamu" Engkau, bocah kemarin sore ini, berani menantangku" Ha-ha-ha-ha-ha!" "Bukan menantang, Toa Ok. Engkaulah yang mencari perkara dan permusuhan, bukan aku!" "Aku bukan hanya ingin merampas Im-yang-kiam, akan tetapi juga untuk mencabut nyawamu. Ingat julukanku adalah Toat-beng Kwi-ong (Raja Iblis Pencabut Nyawa)!" "Pencabut nyawa atau pencabut rumput aku tidak perduli. Aku akan membela diri sekuat kemampuanku!" kata Han Lin, sederhana namun tegas dan mengandung ejekan akan nama julukan kakek itu. Sepasang mata kakek itu mencorong karena marah. "Akan kuremukkan kepalamu, akan kupecah dadamu!" Berkata demikian, tiba-tiba Toa Ok menubruk dengan pukulan yang amat dahsyat. Si Jahat Nomor Satu ini begitu menyerang sudah tidak segan-segan untuk mempergunakan ilmu pukulannya yang keji dan mengerikan, yaitu Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun)! Akan tetapi Han Lin yang sudah mengenal kelihaian orang, sudah cepat mengelak, mengandalkan kegesitan tubuhnya dan ketika kakek itu hendak menyambar buntalannya yang berada di atas tanah, diapun cepat menyerang dengan tamparan ke arah ubun-ubun kepala kakek itu. "Wuuuutttt......!!" Sambaran angin yang dahsyat itu membuat Toa Ok terperanjat dan cepat dia menggerakkan lengannya untuk menangkis tamparan itu. "Plakkk!" Dua lengan bertemu dan akibatnya Toa Ok terhuyung ke belakang, akan tetapi Han Lin juga melangkah dua tindak ke belakang. Toa Ok menjadi semakin terheranheran. Dia menatap wajah Han Lin seperti orang melihat setan di siang hari. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa pemuda itu memiliki tenaga sedemikian kuatnya sehingga mampu menandingi tenaga Ban-tok-ciang yang mengandung hawa beracun itu. Apakah dia yang sudah menjadi terlalu tua" "Orang muda siapakah engkau?" dia bertanya, kini tidak berani memandang rendah. Han Lin tersenyum. "Toa Ok, lupakah engkau kepadaku" Engkau pernah memperebutkan diriku dengan Sam Ok, bahkan hendak membunuhku, kurang lebih sepuluh tahun yang lalu." Toa Ok mengerutkan alisnya dan diapun teringat. "Ah, engkaukah bocah itu" Bagus, kalau dulu aku tidak sempat membunuhmu, sekarang engkau tidak akan dapat lolos lagi!" Diapun menyerang lagi dengan Ban-tok-ciang, kini mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi kembali pukulannya mengenai tempat kosong dan Han Lin juga membalas dengan serangan ilmu silat tangan kosong Ngoheng Sin-kun. Ilmu silat ini jauh bedanya dengan Ngo-heng Klam-tin yang dipergunakan oleh lima orang tosu Im-yang-pai, karena kalau para tosu itu mempergunakan pedang untuk memainkan barisan itu, Ngo-heng Sin-kun (Silat Sakti Lima Unsur) menggunakan tangan kosong yang berubah-ubah lima macam sehingga membingungkan lawan. Kadang ganas dan liar seperti api, kadang bergelombang seperti air, kadang tenang keras seperti logam. Terjadilah perkelahian yang amat seru. Akan tetapi, Toa Ok merasa memperoleh tanding yang amat kuat. Kalau dia mengerahkan pukulan Ban-tok-ciang yang mengeluarkan bunyi mencicit dan mengandung hawa beracun, Han Lin mengimbanginya dengan It-yang-ci, serangan dengan satu jari yang juga mengeluarkan suara mencicit dan memiliki daya serang yang amat berbahaya. Pukulan Ban-tok-ciang terpental kalau bertemu dengan It-yang-ci, menunjukkan bahwa ilmu Ban-tok-ciang itu kalah kuat dalam hal tenaga sakti. "Bocah keparat, awan racun hitam akan menelan dirimu!" tiba-tiba Toa Ok membentak dan tiba-tiba dari kedua tangannya keluar asap hitam yang amat tebal bergerak ke arah Han Lin. Pemuda ini maklum bahwa itu adalah kekuatan sihir yang dikerahkan oleh Toa Ok, maka diapun mengerahkan kekuatan batinnya dan mengeluarkan auman seperti singa dengan ilmu Sai-cu Ho-kang. "Hauuuungggg.....!" Suara itu demikian kuat, mengandung getaran hebat dan asap tebal hitam itu yang tadinya menyerang ke arah Han Lin tiba-tiba membalik seperti tertiup angin yang kuat dan Toa Ok yang tadinya tidak tampak tersembunyi di dalam asap hitam itu kini tampak kembali. Dia menjadi semakin penasaran. Bocah itu malah dapat memunahkan sihirnya! Tiba-tiba Toa Ok berseru dengan suara yang penuh wibawa, "Orang muda, marilah ikut aku tertawa! Tidak ada yang dapat menahan engkau tertawa. Tertawalah sepuasmu. Istana Yang Suram 9 Pendekar Pulau Neraka 02 Pembalasan Ratu Sihir Selubung Tabir Hitam 2