Asmara Dibalik Dendam 6
Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Bagian 6 Klabangkoro kini mencabut senjatanya yang ampuh, yaitu Pecut Dahono dan mengancamkan senjata itu di atas kepala tiga orang murid muda itu. Melihat itu, Ki Sudibyo memandang marah dan akhirnya dia menghela napas panjang. "Bebaskan mereka, aku akan menuliskan aji itu." aakhirnya dia berkata. Bagimanapun juga tidak mungkin dia mau mengorbankan nyawa tiga orang murid muda yang tidak berdosa itu. "Adi Mayamurko, bawa mereka keluar!" kata Klabangkoro, dan sambil tartawa Mayangmurko mabawa tiga orang tawanan itu keluar dari dalam kamar. Klabangkoro ternyata sudah mempersiapkan segalanya. Dia sudah membawa kertas serta alat tulis dan menyerahkan semua itu kepada Ki Sudibyo. Dengan dijaga dan ditunggui Klabangkoro, Ki Sudibyo menuliskan aji Hasta Bajra di atas kertas kosong itu. Sampai pagi barulah tulisannya selesai dan setelah memeriksa tulisan itu dengan girang Klabangkoro tetawa dan memasukannya ke dalam balik sabuknya. "Klabangkoro muri murtad. Sekarang jangan ganggu aku lagi. Keluarlah!" "Ha-ha, tidak semudah itu ,Ki Sudibyo. Biarpun engkau telah menuliskan Aji Hasta Bajra,bagimana aku dapat yakin bahwa tulisan itu tidak palsu?" Aku harus menahanmu sebagai sandera sampai terbukti bahwa tulisan ini tidak palsu. Aku akan mempalajarinya lebih dulu dan engkau boleh menunggu dalam tahanan bawah tanah yang sudah kubuat untukmu,ha-ha-ha!" "Murid jahanam!" Ki Sudibyo mengutuk akan tetapi dai tidak berdaya ketika Klabangkoro memegang dan menarik lengannya,memaksanya berdiri dan mendorongnya keluar dari rumah menuju ke bukit di kebun belakang. Di situ ternyata telah dibuatkan sebuah penjara bawah tanah dan Ki Sudibyo dimasukkan ke dalam tahanan bawah tanah ini dan dijaga secara bergiliran oleh lima orang anak buah Klabangkoro! Ki Sudibyo menderita sengsara sekali. Klabangkoro memeng memberi obat penawar untuk racun yang dicampurkan dalam wedang jahe itu. Akan tetapi tubuh orang tua ini memang sudah lemah karena tidak sehat lagi. Di dalam kamar tahanan itu, setiap hari dia hanya duduk bersila atau tiduran. Akan tetapi dia tetap bersabar dan makan hidangan yang disuguhkan agar tidak mati kelaparan. Bagaimanapun juga, dia masih mempunyai harapan, yaitu menunggu kembalinya Niken Sasi. Murid tercintanya ini tentu akan mencarinya, dan dia merasa yakin bahwa akhirnya Niken Sasi yang akan dapat menolongnya keluar dari neraka itu. *** Harapan Ki Sudibyo memang tidak sia-sia. Kurang lebih satu bulan setelah ia dikeram ke dalam tahanan bawah tanah, pada suatu pagi datanglah Niken Sasi di perkampungan Gagak Seto di lereng Gunung Anjasmoro! Pada waktu itu semua murid Gagak Seto, baik yang menjadi anak buah Klabangkoro maupun yang setia kepada Gagak Seto, mengenggap bahwa Klabangkoro telah menggantikan Ki Sudibyo sebagai ketua, atau setidaknya mewakili Ki Sudibyo yang oleh Klabangkoro dikatakan telah pergi merantau tanpa memberitahu ke mana perginya. Tiga orang murid muda yang diapergunakan untuk memaksa Ki Sudibyo telah lenyap entah kemana. Hanya Klabangkoro yang tahu bahwa tiga orang itu telah mati dan mayat mereka dibuang ke dalam sebuah jurang. Dengan demikian, rahasia yang telah diperbuat atas diri Ki Sudibo hanya diketahui mereka bertiga, yaitu Klabangkoro, mayangkoro dan Jinten saja. Kedatangan Niken Sasi disambut gembira oleh semua murid Gagak Seto,kan tetapi tentu saja tiga orang itu berdebar tagang melihat munculnya dara perkasa itu Setelah saling bertukar salam dengan para murid Gagak Seto,Niken langsung bertanya kepada Klabangkoro ke mana gurunya. "Kakang Klabangkoro, ke mana Bapa Guru" Kenapa dia tidak berada di rumahnya?" "Ah, kami juga bingung memikirkan Bapa Guru, Niken. Sudah sebulan ini Bapa Guru pergi tanpa memberitahu ke mana perginya, Kami juga bingung, akan tetapi tidak tahu harus mencari ke mana." "Hemm, ke mana beliau pergi" Jangan-jangan beliau pergi untuk menyusul aku." kata Niken. "Mungkin saja karena selama ini Bapa Guru mengharap-harap kedatanganmu. Akan tetapi, sebaiknya kita tunggu saja. Kurasa tidak lama lagi dia juga akan kembali." kata Klabangkoro. Niken menerima pendapat ini dan dia menanti dengan sabar. Sambil menati kembalinya gurunya, Niken setiap hari pergi berjalan-jalan ke dusun-dusun di sekitar Gunung Anjasmoro. Dara ini memang dikenal oleh penduduk sekeliling tempat itu dan iapundi mana-mana diterima dengan ramah oleh warga dusun. Lima hari kemudian semenjak Niken pulang, pada suatu siang muncullah seorang pemuda diperkampungan Gagak Seto. Pada siang hari itu Niken juga tidak berada di situ, sedang berjalan-jalan di sebuah dusun di kaki gunung untuk mencari durian karena waktu itu musim durian dan kaki bukit itu banyak orang menjual durian. Pemuda itu bukan lain adalah Budhidarma. Tentu saja dia segera dihadapi banyak murid Gagak Seto yang merasa heran melihat datangnya seorang pemuda yang tidak mereka kenal. "Ki sanak, siapalkah andika dan ada keperluan apa andika datang ke tempat kami?" tanya seorang di antara para murid itu. "Apakah di sini perkampungan Gagak Seto" Tanya Budhi. "Benar, siapakah andika dan apa kepentingan andika?" "Saya bernama Budhidharma dan kedatangan saya ini untuk bertemu dengan ketua Gagak Seto. Harap laporkan kepada ketua kalian bahwa aku mohon mengahadap karena ada urusan yang penting sekali." "Kau tunggulah sebentar, Ki sanak,akan kami laporkan ke dalam kepada pimpinan kami." Beberapa orang murid lalu pergi melapor kepada Klabangkoro dan mayangmurko yang sedang bercakap-cakap di ruangan dalam. Kedua orang itu sedang menyusun siasat bagimana mereka dapat mengalahkan Niken yang tentu saja merupakan ancaman bahaya bagi mereka. Untuk menggunakan kekerasan terhadap dara itu, mereka belum berani. Biarpun Klabangkoro sudah mempelajari aji Hasta Bajra dari catatan yang dia dapatkan dari Ki Sudibyo, akan tetapi dia masih belum yakin apakah benar ilmu yang dipelajarinya itu asli dan ampuh walaupun ketika dia menggerkkan kedua tangannyam, ada hawea yang dahsyat keluar dari kedua tangannya. Ketika mereka sedang berbincang-bincang itulah datang para murid yang melaporkan bahwa di luar datang seorang pemuda yang hendak bicara dengan pimpinan Gagak Seto. Mendengar ini, Klabangkoro dan Mayangmurko segara keluar dari rumah itu dan bergegas pergi ke pintu gerbang perkampungan Gagak Seto untuk menemui pemuda yang baru datang itu. Mereka melihat pemuda yang sama sekali tidak mereka kenal. Akan tetapi sebaliknya Budhi segera mengenal Klabangkoro. Biarpun sudah lewat sepuluh tahun, namun Klabangkoro masih seperti dulu. Usianya sekarang kurang lebih limapuluh tahun, tubuhnya masih tinggi besar seperti raksasa dengan sabuk kuning gading melilit pinggangnya. Kulitnya hitam dan matanya lebar.Akan tetapi yang membuat Budhi sama sekali tidak dapat melupakannya adalah sebatang pecut yang terselip di pinggangnya itulah. Orang inilah yang dulu membunuh ibunya, bahkan hampir hampir membunuhnya pula. Kalu tidak ditolong oleh Sang Bhagawan Tejolelono, tentu dia telah tewas oleh cambuk raksasa itu. Budhi menahan gejolak jantungnya yang terasa panas teringat akan kematian ibunya. Akan tetapi dia lalu teringat pula akan nasihat gurunya. Tidak, dia tidak boleh membiarkan hati akal pikirannya bergelimang dengan dendam. Pembunuh ini hanyalah seorang pesuruh, dia harus dapat bicara dengan orang yang menyuruh raksasa ini membunuh ibunya dan mengapa ibu dan ayahnya mereka bunuh. "Hemm, orang muda! Siapakah andika dan mau apa ingin bertemu dengan ketua kami?" "Nama saya Budhidarma dan saya hanya mempunyai kepantingan dengan ketua Gagak Seto. Oleh karena itu, saya hanya mau bicara dengan ketua Gagak Seto. Harap laporkan kepada ketua andika." kata Budhi dengan tenang dan menahan kesabarannya. Klabangkoro menjadi marah. "Hemm,orang muda! Ketua kami sedang tidak berada di rumah, sedang pergi dan selama dia pergi, akulah yang menjadi ketuanya. Maka, apa keperluanmu katakan saja kepadaku!" "Tidak, kalau ketuanya tidak ada sekarang,lebih baik lain kali saja," jawab Budhi sambil membalikkan tubuhnya hendak meninggalkan tempat itu. "Tahan!" Bentak Klabangkoro marah. "Sudah kukatakan, akulah ketuanya. Akulah ketua Gagak Seto! Hayo katakan apa keperluanmu atau kami akan menghukummu karena engkau telah berani lancang memasuki tampat kami!" "Aku tidak ingin berurusan dengan segala macam pembunuh dan anak buah melainkan dengan ketuanya!" kata Budhi yang juga marah. "Keparat kurang ajar!" Klabangkoro lalu membantak marah dan dia sudah menerjang dengan pukulan kilat ke arah dada budhi. Budhi yang bagaimanapun juga pernah dihajar orang ini, cepat miringkan tubuh dan ketiak kepalan tangan menyambar lewat, dia mendorong dengan tangannya ke arah pundak kanan Klabangkoro. Tubuh Klabangkoro terputar dan hampir roboh! Merah sekali wajah Klabangkoro dan alisnya berdiri, matanya semakin lebar. Dia sedemikian marahnya dipermainkan di depan anak buahnya. Rasanya ingin dia menelan pemuda itu bulat-bulat! "Jahanam busuk, berani engkau melawan?" Dan tiba-tiba timbul ingatannya akan aji Hasta Bajra. Kenapa tidak dia coba aji itu kepada pemuda yang nampaknya tangguh ini" Dia lalu mengeluarkan suara menggeram, mengerahkan tenaga dari Aji Hasta Bajra yang selama ini dia latih dari catatan Ki Sudibyo, lalu memukul dengan sepenuh tenaganya. "Wirrrrr.......!" hawa panas sekali menyambar ke arah Budhi. Akan tetapi pemuda itu maklum bahwa lawannya yang telah membunuh ibunya itu amat tangguh, sudah mengelak dengan cepat ke samping. Akan tetapi tangan kedua Klabangkoro sudah menyambar lagi ke arah kepalanya, mengeluarkan hawa panas yang sama. Budhi menagkis pukulan itu dan terasa batapa tenaga pukulan lawan tidaklah berapa hebat seperti tampaknya. "Dukkk!" Tubuh Klabangkoro terdorong ke belakang dan terhuyung. Klabangkoro terkejut sekali dan merasa penasaran. Benarkah aji Hasta Bajra yang dipelajarinya itu dapat ditangkis pemuda ini" Dia merasa tidak yakin dan segera menyerang lagi, sekali ini menggunakan kedua tangannya untuk menghantam dada Budhi. Akan tetapi Budhi yang sudah mengukur tenaga lawan menerima pukulan itu dengan dadanya. "Bukk!" Dan kini tubuh Klabangkoro terpelanting sedangkan Budhi yang dipukul tidak bergeser sedikitpun. Klabangkoro terkejut setengah mati! Kalau begitu Hasta Bajra yang dipelajarinya itu palsu. Kalau asli tidak mkungkin ada orang dapat bertahan menerima pukulan itu dengan dadanya! Dengan penasaran dia lalu mencabut pecutnya sambil berteriak kepada Mayangmurko dan kawan-kawannya. "Maju, bunuh keparat ini! Tar-tar-tar.............!" Akan tetapi sebelum mereka maju mengeroyok Budhi, terdengar bantakan nyaring, "Tahan! Jangan berkelahi!" Mendengar bentakan itu,semua murid Gagak Seto menahan senjatanya, bahkan Klabangkoro dan Mayangmurko juga mundur, mebiarkan Niken untuk menghadapi pemuda yang ternyata digdaya itu. Niken meloncat maju ke depan Budhi. Kedua orang ini saling pandang. Keduanya terbelalak penuh keheranan. "Niken.............!!" "Budhi.................!!" "Kau di sini, Niken?" "Tentu saja! Aku memang tinggal disini. Dan engkau ......ada keperluan apa di sini?" "Aku mencari ketua Gagak Seto, ada urusan penting sekali yang harus kusampaikan kepadanya!" "Engkau mencari Bapa Guru Ki Sudibyo?" "Bapa Guru" Jadi ketua Gagak Seto itu.........." "Beliau bernama Ki Sudibyo dab dia guruku, Budhi." "Ahhh..............!" Budhi terkejut sekali sehingga dia melangkah tiga langkah ke belakang dan memandang wajah Niken dengan mata terbelalak dan wajah agak pucat. "Kenapa, Budhi" Ada urusan apa engkau dengan guruku?" "Aku hanya mau bertemu dengannya, bicara dengannya,Niken." "Nah, itulah,Niken. Dia tidak mau bertrus terang, hanya berkeras hendak bertemu dengan Bapa Guru, maka kami menerangnya." kata Klabangkoro yang diam-diam merasa terkejut bukan main melihat hubungan yang nampaknya demikian akrab antara Niken dan Budhi. Niken menatap wajah Budhi dengan penuh selidik. "Budhi, kita sudah saling mengenal. Karena guruku sedang tidak berada di sini, maka engkau boleh mengatakan urusan itu kepadaku saja. Aku yang akan mewakili guruku untuk membereskan semua persoalan. Tentu engkau percaya kepadaku, bukan?" "Hemm, amat tidak enak kalau engkau mendengar urusan ini, Niken." "Tidak mengapa. Aku siap mendengarnya!" "Baiklah,kalau engkau memaksa. Nah, dengarkan baik-baik. Orang yang bernama Klabangkoro ini, dialh yang membunuh ayah ibuku! Akan tetapi karena dia hanya suruhan, maka aku masih belum bertindak keras kepadanya. Aku ingin bertemu dengan orang yang menyuruhnya membunuh ayah ibuku, yaitu ketua Gagak Seto!" Sepasang mata Niken terbelalak dan mukanya berubah pucat sekali. "Jadi engkau.........engkau ......Putera mendiang Ni Sawitri.......?" "Bagus kalau engkau sudah tahu! Nah, aku harus membuat perhitungan dengan Ki Sudibyo yang telah mengutus murid-muridnya untuk membunuh ayah ibuku!" "Budhi,jangan lakukan itu!" Niken berseru, hatinya seperti ditusuk rasanya karena bagaimanapun ia tentu saja membela gurunya, akan tetapi di lain pihak iapun tahu bahwa gurunya itu telah merasa berdosa membunuh ibu Budhi yang dulu adalah isterinya. Pada saat itu Klabangkoro dan Mayangmurko. Juga para murid lain sudah serentak maju mengeroyok Budhi. "Dia hendak mencelakai Bapa Guru. Bunuh dia!" teriak Klabangkoro yang sudah menerjang dengan pecutnya. Diikuti Mayangmurko dan para murid yang lain. Karena melihat para murid sudah maju, Niken tidak dapat mencegahnya lagi. Tentu saja para murid itu menjadi marah mendengar bahwa guru mereka akan dicelakai orang. Melihat semua orang maju mengeroyoknya, Budhi lalu meloncat jauh ke belakang dan melarikan diri. Dia menghendaki ketua Gagak Seto, bukan semua murid Gagak Seto. Apalagi di antara mereka terdapat Niken. Hatinya sedih bukan main dan dia mempergunakan ilmu berlari cepat sehingga para murid Gagak Seto itu tidak ada yang mampu menyusulnya. Niken sendiri berdiri bengong dengan hati bingung bukan main. Bagaimana ia mampu mengalahkan Budhidarma yang hendak membalas kematian ayah ibunya" Akan tetapi kemudia ia teringat bahwa ia harus menceritakan segalanya kepada Budhi. Pemuda itu harus tahu apa yang sebenarnya yang membuat gurunya menyuruh Klabangkoro membunuh Ni Sawitri dan Margono. Dan harus memberitahu bahwa sebetulnya Budhi adalah anak kandung sendiri dari Ki Sudibyo.Begitu ingat akan hal ini, iapun cepat meloncat dan melakukan pengejaran. Melihat gadis itu berlari cepat mengejar, Klabangkoro cepat mengajak Mayangmurko berunding. "Celaka," katanya setelah mereka berada berdua saja di dalam kamar. "Agaknya pemuda itu adalah bocah yang dulu terlepas dari tanganku dan ditolong seorang kakek sakti." kata Klabangkoro kepada adik seperguruannya. "Akan tetapi, Niken sudah mengejarnya dan mudah-mudahan saja dapat membunuhnya!" kata Mayngmurko. "Justeru itulah yang mengkhawatirkan hatiku. Mereka nampak begitu akrab. Bagaimana kalau mereka tidak jadi bermusuhan, dan Niken bahkan membantu pemuda itu?" "Kalai begitu kita harus cepat membunuh Niken!" Kata Mayangmurko. "Kita lihat saja nanti. Kalau Niken tidak dapat membunuh pemuda itu, kita harus cepat turun tangan. Ingat, kirim berita kepada Jinten agar ia bersembunyi terus, jangan sekali-kali keluar dari tempat persembunyiannya agar jangan sampai terlihat Niken. Demikianlah, kedua orang itu telah mengatur rencana untuk membunuh Niken andaikata Niken tidak memusuhi Budhidarma. Dan kurang lebih dua jam kemudian, Niken pulang dengan tangan Hampa. "Bagaimana, Niken" Apakah engkau berhasil mengejar dan membunuh pengacau yang hendak memusuhi Bapa Guru itu?" Niken menggeleng kepala. "Dia telah lari jauh dan aku kehilangan jejaknya. "Paman, benarkah dia itu putera dari mendiang Ni Sawitri?" Klabangkoro mengangguk. "Dahulu ketika aku mendapat tugas dari Bapa Guru, aku berhasil membunuh Ni Sawitri dan suaminya, Margono. Dan sekarang aku ingat, bocah itulah yang mengamuk dan menyerangku, dan dia tentu sudah kubunuh kalau saja tidak muncul seorang kakek sakti yang menolongnya." Niken menghela napas panjang. "Sayang sekali Bapa Guru mengeluarkan perintah seperti itu. "Kau mengenal pemuda itu, Niken?" "Tentu saja. Dalam perjalanku beberapa kali kami bahkan saling bantu membantu dan dia adalah seorang ksatria yang gagah perkasa." kata Niken dengan suara sedih dan iapun memasuki rumah induk Gagak Seto. Malam itu Klabangkoro dan Mayangmurko mengadakan pesta untuk menyambut kedatangan Niken. Biarpun Niken tidak ada nafsu untuk makan enak,akan tetapi tentu saja ia merasa sukar untuk menolak penghormatan yang diberikan oleh para murid Gagak Seto itu. Dalam pesta makan enak itu, Niken berpesan kepada Klabangkoro dan Mayangmurko dengan suara sungguh-sungguh, "Paman Klabangkoro dan Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Mayangmurko, pemuda bernama Budhidarma itu adalah putera mendiang Ni Sawitri dan Margono yang telah dibunuh atas perintah Bapa Guru. Karena itu, mulai sekarang harus diatur penjagaan ketat karena aku yakin bahwa dia tentu akan berusaha membalas dendam. Sayang Bapa Guru tidak berada di sini sehingga tidak ada yang mengambil keputusan." "Niken, bagaimana engkau bisa tahu tentang Ni Sawitri?" tanya Klabangkoro dengan heran. Niken menghela napas panjang. "Bapa Guru yang meberitahu kepadaku." jawabnya singkat. "Berhati-hatilah. Budhidarma itu sakti mandraguna, jangan dilawan. Kalau dia muncul,cepat beritahu kepadaku." Setelah makan kenyang, tiba-tiba Niken merasa kepalanya pening dan pandang matanya melihat bumi di sekelilingnya seperti berputar. Ia bangkit berdiri dan terhuyung, memegangi dahi dengan tangan kirinya. "Ah, celaka.........!" Ia mengangkat muka memandang kepada Klabangkoro, akan tetapi ia melihat wajah Klabangkoro seolah menjadi banyak dan berputaran. "Paman.........apa.....apa yang kau kauberikan padaku......?" Ia tergagap. Klabangkoro tertawa bergelak dan segera suara tawanya diikuti oleh tawa Mayangmurko dan para murid yang menjadi anak buah Klabangkoro. Niken mendengar suara tawa disekellingny dan kepalanya semakin pening. Akan tetapi ia segera dapat menduga apa yang telah terjadi. Ia keracunan! Orang telah memberi racun pada makanannya atau minumannya! "Keparat! Kalian meracuni aku.....?" Ia melompat dan hendak menyerang Klabangkoro, akan tetapi ia terpelanting karena kepalanya yang pening membuat ia tidak dapat berdiri tegak. Dan segera Klabangkoro dan Mayangmurko meringkusnya. Dalam keadaan nanar dan terbelenggu Niken yang setengah pingsan itu dibawa ke rumah tahanan bawah tanah.Para penjaga di situ memandang heran ketika melihat Klabangkoro dan Mayangmurko mendorong-dorong tubuh Niken yang terhuyung. Akan tetapi karena mereka juga orang-orang kepercayaan Klabangkoro, mereka tidak banyak bertanya. Apalagi ketika Klabangkoro berkata singkat bahwa Niken telah bersekutu dengan musuh yang datang mengacau. Pintu kamar tahanan dibuka dan gadis itu didorong masuk, terhuyung-huyung dan terjatuh di depan kaki Ki Sudibyo yang dduk bersila di lantai. Melihat bahwa Niken dalam keadaan setengah pingsan didorong masuk oleh Klabangkoro dan Mayangmurko, Ki Sudibyo terkejut sekali dan memaki, "Klabangkoro, manusia laknat, murid durhaka! Apa yang kaulakukan kepada Niken?" "Ha-ha-ha, jangan khawatir, Ki Sudibyo. Ia tidak akan mati,akan tetapi menjadi temanmu di sini sampai kalian berdua menuliskan aji Hasta Bajra yang asli untukku!" Setelah berkata demikian, Klabangkoro keluar dan menutupkan pintu besi itu, lalu berkata dari luar, Ki Suidibyo, jangan mencoba untuk melarikan diri atau kalian akan mati seperti seekor tilus tenggelam dalam lubang. Ha-ha-ah!" Setelah mereka pergi, Ki Sudibyo membangunkan Niken, mengerut tengkuk dan punggungnya, lalu menekan ulu hatinya. Niken muntah-muntah,akan tetapi merasa kepalanyatidak sepening tadi, walaupun tubuhnya masih lamas. Ketika melihat Ki Sudibyo,ia menubruk dan berlutut di depan kaki gurunya. "Bapa Guru.......!" "Tenanglah Niken. Engkau telah terjebak, tentu telah diacuni mereka dan dijebloskan di sini." "Kiranya Bapa Guru ditahan di sini! Mereka mengatakan bahwa Bapa pergi tanpa pamit." "Hemm, apa saja yang terjadi, Niken" Aku setiap saat mengharap kedatanganmu, akan tetapi tidak seperti ini. Ternyata engkau juga terperangkap! Kakek itu menghela napas panjang. Niken lalu menceritakantentang bagaimana ia terperangkap oleh Klabangkoro yang pura-pura menyambutnya dengan pesta. Sama sekali ia tidak menaruh curiga sehingga makan dan minum hidangan yang disediakan untuknya. Dan Bapa Guru sendiri bagaimana sampai ditahan di tempat ini" Apa yang telah terjadi, Bapa?" Ki Sudibyo menghela napas panjang. "Ah, biadab-biadab durhaka itu! Mereka tahu bahwa aku sedang sakit dan lemas, lalu mereka meracuni aku sehingga aku tidak mampu melawan. Mereka bahkan memaksa aku untuk menuliskan aji Hasta Bajra untuk mereka pelajari." "Hemm,tentu Bapa tidak sudi menuliskan aji itu!" "Mula-mulanya aku tidak sudi. Lebih baik aku disiksa atau dibunuh dari pada memenuhi permintaan mereka. Akan tetapi mereka menangkap tiga orang murid Gagak Seto muda dan mengancam untuk mebunuh mereka di depan mataku. Bagaimana aku tega mengorbankan mereka?" "Jadi Bapa menuliskan juga aji itu" Pantas aku melihat Klabangkoro menjadi kuat dan agaknya sudah menguasai aji itu!" Ki Sudibyo mengeglengkan kepala dan tersenyu. "Aku tidak sbodoh itu, Niken. Aku hanya pura-pura setuju dan yang kutuliskan itu merupakan aji Hasta Bajra yang palsu. Memang ada manfaatnya di pelajari, akan tetapi tidak menjadi sehebat aslinya." "Ah, aganya mereka tahu pula akan hal itu dan sekarang tentu akan memaksa kita untuk menuliskan aji itu." "Kalau tiba saatnya, kita akan mencari akal untuk menghindar.Sekarang ceritakan bagaimana pengalamanmu mencari Tilam Upih, Niken.?" Niken lalu menceritakan tentang Adipati dari Nusa Kambangan yang mengadakan sayembara memperebut Tilam Upih. "Dia sakti mandraguna, Bapa. Aku sendiri sudah maju menandingainya, akan tetapi aku kalah......" "Hemm,tentu saja. Aku sudah mendengar tentang dia. Bukankah adipati itu dahulu seorang datuk besar bernama Koloyitmo, terkenal sakti, terutama sekali karena memiliki Aji Wijoyokusumo" Engkau tentu akan kalah pengalaman dibandingkan dia, Niken.Lalu, siapa yang akhirnya berhasil mendapatkan pusaka Tilam Upih memenangkan sayembara itu?" Niken merasa jantungnya berdebar tegang. Kalau saja ia belum tahu bahwa Budhidarma adalah putera mendiang Ni Sawitri, tentu ia tidak merasa tegang. Akan tetapi ia sudah tahu bahwa Ni Sawitri dahulunya adalah isteri gurunya ini, dan sebelum melarikan diri telah mengandung sehingga Budhidarma sesungguhnya adalah putera kandung Ki Sudibyo sendiri ! "Kenapa engkau diam saja, Niken?" tegur Ki Sudibyo yang ingin sekali mengetahui siapa pemenang sayembara dan yang berhasil mendapatkan keris pusaka Tilam Upih. Niken seperti baru sadar dari lamunannya. "Yang berhasil mengalahkan adipati Surodiro adalah seorang pemuda bernama Budhidarma, Bapa. Dia seorang pemuda yang sakti mandraguna dan kebetulan saja bebrapa kali pemuda itu bekerja sama denganku menghadapi gerombolan jahat. Bahkan pemuda itu menolongku dari ancaman bahaya." Niken lalu menceritakan pengalamannya, ketika ia singgah di temopat Jainten, kemudian ketika dijamu oleh Jinten, ia terbius tertawan orang-orang jahat. Bahkan hampir saj celaka kalau saja tidak ditolong Budhi. Tiba-tiba ia terkejut dan membelalakkan matanya. "Ahhh..........! Baru aku teringat sekarang! Sungguh aneh sekali ketika dijamu oleh Jinten, aku keracunan, persisi seperti keadaanku sekarang ini.......! "Hemm,Tidak perlu merasa aneh, Niken. Aku dapat menduga bahwa Jinten adalah kaki tangan atau pembantu dari Klabangkoro." Niken tertegun, lalu mengepal tangannya dengan gemas. "Aih, kalau begitu si kedok hitam itu adalah Klabangkoro" Akan tetapi, ketika aku roboh pingsan, aku masih melihat bahwa Jinten juga terkulai dan keracunan." "Tentu saja, untuk mengelabuhimu terpaksa Jinten juga makan hidangan bercampur racun pembius. Sudahlah untung engkau terlepas dari bencana ketika itu. Lalu, bagaimana lanjutan ceritamu?" "Yang terakhir aku bertemu dengan Budhi yang sedang dikeroyok oleh pasukan kerajaan yang dipimpin Pangeran Panjiluwih dan Senopati Lembudigdo. Aku membantunya dan kami berdua akhirnya berhasil meloloskan diri dari pengeroyokan. Akan tetapi lalu ada terjadi hal yang merupakan kenyataan yang aneh sekali, Bapa." "Hemm,apanya yang aneh" Kejadian apakah itu?" Kami berdua mendapat kenyataan bahwa Tilam Upih yang diterima Budhi dari tangan Surodiro itu ternyata adalh keris pusaka palsu." Kini Ki Sudibyo yang terbelalak memandang muridnya. "Palsu" Ah, Adipati Surodiro mengadakan sayembara palsu apa maksudnya?" "Setelah mendapat kenyataan ini, Budhi dan aku pergi ke Nusa Kambangan dan langsung menanyakan kepada Surodiro. Dan diapun mengaku. Katanya, sebulan yang alau keris pusaka itu dicuri oleh seorang berkedok yang sakti mandraguna dan ditukar dengan keris yang palsu itu. Tadinya aku ingin mengamuk,akan tetapi Budhi mencegahku dan mengatakan bahwa dia percaya akan keterangan Adipati Surodiro." Ki Sudibyo mengangguk-angguk. Bukan menjadi watak Koloyitmo untuk main-main dan menipu. Tentu dia ingin melepaskan keris pusaka yang telah dipalsu oleh pencuri itu, dari pada nanti Nusa Kambangan diganggu banyak orang yang memeperebutkan Tilam Upih. Ahh, pegalamanmu banyak dan hebat pula, Niken. Biarpun engkau tidak berhasil mendapatkan Tilam Upih, akan tetapi pengalaman-pengalaman itu merupakan pelajaran yang baik sekali bagimu." Niken menghela napas panjang. "Semua itu tidak ada artinya, Bapa. Masih ada lagi peristiwa yang amat penting dan hebat belum kuceritakan kepada Bapa." Ki Sudibyo memandang kepada wajah muridnya penuh selidik. "Apakah itu,Niken" Hebat sekali engkau, belum lama pergi telah mengalami hal-hal yang hebat dan bertubi-tubi." "Ketika aku pulang, jahanam-jahanam itu mengatakan bahwa Bapa Guru telah pergi tanpa pamit. Aku mencari keterangan disekitar pegunungan ini samapi beberapa hari tanpa hasil dan pada suatau hari ketika aku pulan, aku melihat Klabangkoro, Mayangmurko dan para murid Gagak Seto mengeroyok seorang pemuda. Dan pemuda itu ternyata adalah Budhidharma!" "Hemm, tentu dia datang berkunjung untuk mencarimu. Engkau telah menjadi kawannya yang baik, bukan?" Karena dalam kata-kata itu terkandung nada suara penuh arti, wajah Niken menjadi kemerahan. "Kalau begitu halnya, tentu peristiwa itu tidak penting dan luar biasa, Bapa. Akan tetapi Budhidharma datang ke Gagak Seto untuk mencari Bapa dan bahkan untuk membunuh Bapa Guru." "Hahhh..........." Mengapa demikian" Aku tidak mengenalnya dan tidak mempunyai urusan dengan dia!" "Akan tetapi Bapa mengenal ibu dan bapanya. Tahukah Bapa siapa pemuda itu sebenarnya" Akupun baru mengetahuinya saat dia datang ke Gagak Seto itu. Dia adalah putera kandung Ni Sawitri dan hendak membalas dendam untuk kematiana Ni Sawitri dan Margono." Wajah Ki Sudibyo tiba-tiba menjadi pucat sekali dan dia memandang wajah muridnya seperti orang melihat hantu. " Ya Jagad Dewa Bathara.......!" Akhirnya dia berseru. "Bagaimana ...........bagaimana engkau tahu tentang Sawitri dan Margono?" "Aku telah mendengar semuanya sebelum Budhi muncul, Bapa. Karena ketika bertemu dengannya dahulu kami tidak saling menceritakan riwayat kami, maka aku tidak athu bahwa dia putera Ni Sawitri. Aku sudah mendengar bahwa Bapa menyuruh Klabangkoro untuk membunuh Ni Sawitri dan Margono!" "Aduhhh.......jangan ingatkan lagi itu kepadaku, Niken! Aku merasa menyesal sekali sejak itu terjadi. Aku hanya menyuruhnya membunuh Margono karena murid itu murtad dan pantas dihukum, akan tetapi Sawitri ikut membunuh diri........aku menyesal sekali......." Orang tua ini nampak berduka sekali. "Akupun sudah mendengar akan hal itu, Bapa. Akan tetapi melihat watak Klabangkoro yang amat jahat, bukan tidak mungkin Ni Sawitri juga dibunuh olehnya. Dan aku mengerti pula mengapa Bapa mengeluarkan perintah yang kejam itu. Karena Margono Ni Sawitri, isteri Bapa." Dengan kepala tertunduk Ki Sudibyo mengangguk. "Benar.......ah, aku menyesal sekali karena kematian Sawitri, aku berdosa besar dan kalau sekarang puteranya datang mencariku, aku siap untuk mati di tangannya untuk menebus dosa....."Orang tua itu kini memukul-mukuldadanya dengan perasaan berduka sekali. Niken merasa kasihan, akan tetapi ia tidak dapat menahan dorongan hatinya untuk bicara terus. "Akan tetapi ada satu hal yang Bapa tidak ketahui, akan tetapi aku mengetahuinya." "Apa itu?" "Budhidharma itu, dia bukanlah anak kandung Margono, melainkan anak kandung Bapa Guru sendiri!" Mata yang tua itu terbelalak, mulut yang ompong itu terngaga, dan wajah yang keriputan itu kini menjadi semakin pucat. Beberapa detik lamanya dia tidak mampu mengeluarkan suara, kemudian dia memaksa diri berkata, "Niken........! Apa......apa maksudmu......" Demi Sang Hyang Widhi Wasa, katakan......jangan siksa aku dengan kebingungan......!" "Memang benar, Bapa. Ketika Ni Sawitri melarikan diri bersama Margono meninggalkan Gagak Seto, ia sudah mengandung! Jadi, Budhidarma itu adalah anak kandung Bapa Sendiri." "Tidak......tidak.......! Bagaimana engkau bisa tahu....." "Aku bertemu dengan paman Ki Joyosentika dan beliau yang menceritakan semua itu kepadaku." "Duhhh Gusti........!" Tubuh Ki Sudibyo terkulai pingsan! "Bapa Guru.......!" Niken lalu menekan-nekan tengkuk dan kedua pundak gurunya. Tak lama kemudian Ki Sudibyo sudah siuman dan membuka kedua matanya, Niken terkejut sekali karena melihat betapa mata itu sama sekali tidak bersinar lagi, seperti mata mayat saja. Dan rambut di kepala gurunya itu mendadak berubah putih semua! "Duhai Sawitri.......ampunkan aku. .......aku telah buta dan kejam kepadamu. Sawitri......ampunkan aku.........!" Orang tua itu lalau menangis tersedu-sedu seperti seorang anak kecil. Niken tak dapat menahan keharuan hatinya. Ia merangkul gurunya dan juga dari kedua matanya mengalir air mata. Ia tahu bahwa gurunya telah melakukan kekejaman, akan tetapi hukuman yang diterima gurunya ini jauh lebih menyakitkan lagi. "Sekarang aku rela, aku mengerti....... mengapa para dewa menghukumku seperti ini.....ah, Sawitri, bagaimana aku harus menjelaskan kepada anak kita....." Budhidharma......betapa indahnya anama anakku......, keturunanku........tapi.....tapi dia hendak membunuhku. Ke sinilah anaku, tikam jantung ayahmu yang jahat ini.....!" Dia mengeluh, merintih dan menangis, akhirnya jatuh pingsan lagi. "Bapa Guru......!" Niken mengeluh penuh perasaan iba. Kini dibiarkan gurunya karena dalam keadaan seperti itu lebih baik dibiarkan gurunya tak sadarkan diri karena justeru kesadarannya yang menyiksanya. Segala macam perasaan suka duka kecewa marah benci dan sebagainya adalah permainan pikiran. Pikiran yang mengolah semua itu sehingga orang dikuasai oleh bermacam perasaan itu. Kalau pikiran itu tidak sadar, seperti dalam tidur, pingsan, maka semua perasaan itupun lenyap. *** Budhi merasa penasaran sekali, sama sekali tidak disangkanya bahwa Niken, gadis yang selama ini selalu menjadi menjadi buah pikirannya, yang bayangannya tak pernah meninggalkan hatinya,ternyata adalah murid musuh besarnya! Akan tetapi bagaimanapun juga, daia harus menjelaskan kepada Niken mengapa ia mencari Ki Sudiby, pembunuh ayah bundanya. Harus dijelaskan kepada Niken betapa jahatnya Ki Sudibyo. Budhi tidak berlari jauh. Dia memang bersembunyi ketika dikejar Niken karena dalam keadaan seperti itu, dia tidak ingin bentruk dengan Niken, gadis yang diam-diam dicintainya. Ketika bersembunyi itu, dia teringat akan benda pemberian ibunya, Benda perhiasan mainan berupa burung gagak. Mengapa ibunya memberikan benda seperti itu kepadanya" Kenapa ibunya mengatakan agar dia tidak membalas dendam kepada Gagak Seto dan benda itu akan mencegah dia dibunuh oleh Gagak Seto" Apa hubungan benda ini dengan ibunya dan Gagak Seto" Semua itu pasti akan terungkap setelah dia berhadapan dengan ketua Gagak Seto. Kini dia telah tahu bahwa ketua Gagak Seto bernama Ki Sudibyo. Benarkah Ki Sudibyo meninggalkan Gagak Seto, tidak berada di rumah" Atau hanya alasan saja dari para muridnya agar diatidak menemuinya" Dia harus menyelidikilagi dan kalau mungkin bertemu secara baik-baik dengan Niken. Akan dijelaskan semuanya kepada Niken agar gadis itu dapat mempertimbangkan niatnya bertemu dengan Ki Sudibyo, bahkan membantu pertemuan itu. Pada suatu malam, beberapa hari kemudian, Budhi berkunjung ke perkampungan Gagak Seto. Sekali ini kunjungannya tidak terang-terangan karena dia tahu bahwa kalau dia berkunjung begitu saja, dia akan dihadapi pengeroyokan puluhan orang. Kalau terjadi keributanbegitu, dia tidak sempat bicara dengan Niken dan kalau Niken ikut mengeroyoknya, akan sukarlah dia untuk dapat mengalahkan mereka yang jumlahnya begitu banyak. Apalagi kalau Ki Sudibyo yang kabarnya sakti itu muncul. Budhi mempergunakan kepandaiannya untuk melompati pagar yang mengelilingi perkampungan Gagak Seto tanpa terlihat oleh para penjaga. Dia berindap-indap menghampiri rumah induk karena tahu bahwa di situlah tentu sang ketua berada, juga Niken. Jantungnya berdebar juga ketika dia berhasil memasuki ruangan belakang yang nampak sunyi saja. Dan dari ruangan belakang itu dia masuk ke Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo ruangan dalam yang gelap. Tiba-tiba terdengar suara orang, "Selamat datang orang muda. Kami telah menetimu di sini!" dan nampaklah sinar lampu dinyalakan orang sehingga ruangan yang tadinya gelap itu menjadi terang. Budhi melihat di situ telah duduk dua orang yang bukan lain adalah Klabangkoro dan Mayangmurko. Budhi siap untuk menhadapi pengeroyokan, akan tetapi Klabangkoro berkata sambil menyeringai, "Tenanglah, Budhidarma. Kami bukan musuh-musuhmu. Duduklah dan mari kita bicara!" Akan tetapi Budhi tetap waspada walaupun dia kelihatan tenang saja dan tidak ragu untuk memnuhi permintaan Klabangkoro untuk duduk di atas bangku berhadapan dengan mereka berdua. "Hemm, Klabagkoro, bicaramu tidak masuk akal. Bagaimana aku tidak menganggap engkau sebagai musuhku setelah engkau membunuh ayah dan ibuku, bahkan nyaris pula membunuhku sepeuluh tahun yang lalu" "Ah, aku percaya engkau tentu sudah mengetahui bahwa aku hanyalah seorang suruhan. Sebagai murid Ki Sudibyo tentu saja aku tidak berani menentang perintahnya. Dialah yang memerintahkan aku melakukan pembunuhan itu. Tidak ada persoalan pribadi antara aku dengan orang tuamu. Oleh karena itu, semua kesalahan berada di pundak Ki Sudibyo. Dialah musuh besarmu yang sesungguhnya!" "Klabangkoro, apa maksudmu dengansemua kata-kata ini?" Aku sama sekali tidak percaya kepadamu dan tentu semua kata-katamu ini merupakan jebakan yanga akan mencelakakan aku!" Budhi menatap tajam wajah kedua orang itu. Dari wajahnya saja dia sudah dapat menduga bahwa duao orang yang duduk di depannya ini adalah orang-orang yang menjadi hamba nafsu dan yang tidak segan melakukan segala macam bentuk perbuatan jahat untuk memnuhi kehendak nafsunya. Oleh karena itu dia bersikap waspada dan hati-hati sekali. "Ha-ha-ha, orang muda, agaknya andika masih curiga kepada kami. Terus terang saja, kami sendiri merasa tidak setuju ketika guru kami mengutus kami untuk membunuh Margono dan Ni Sawitri. Bagaimanapun juga, mereka berdua adalah saudara-saudara seperguruan kami,. Kami merasa menyesal sekali dan untuk membuktikan penyesalan kami, kami bersedia untuk memberitahu kepadamu di mana persembunyian Ki Sudibyo." Budhi terkejut dan memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dia tidak percaqya begitu saja. "Hemm, benarkah itu" Dan di mana dia bersembunyi?" "Hemm, tanpa petunjuk dari kami, tidak mungkin andika bisa menemukan tempat persembunyiannya itu. Dia bersembunyi di bawah tanah." "Kalau benar semua katamu, tunjukkan padaku di mana tempat itu!" Kata Budhi. "Tidak mudah mendatangai tempat itu malam-malam gelap begini, Budhidarma. Besok pagi, datanglah ke belakang perkampungan ini dan kami akan menjadi petunjuk jalan." "Baik,aku pergi sekarang!" Kata Budhi yang hendak menguji kejujuran mereka. Dia lalu pergi dan ternyata benar saja, tidak ada yang menghalanginya meninggalkan perkampungan itu. Malam itu, di sebuah bilik pondok seorang petani di lereng bukit, Budhi tidak dapat tidur, memikirkan keanehan itu. Melihat sikap mereka yang tidak menghalanginya, agaknya mereka itu berkata benar. Akan tetapi mengapa" Mengapa mereka hendak mengkhianati guru mereka sendiri" Benarkah karena penyesalan" Ataukah karena takut akan balas dendamnya sehingga sengaja berbuat baik menolongnya agar terlepas dari pembalasan dendamnya" Dia tidak peduli. Yang penting baginya dapat bertemu dengan ketua Gagak Seto! Dengan pikiran itu akhirnya Budhi dapat tidur pulas juga. *** "Bapa,apakah benar-benar tidak ada jalan keluar dari sini" Bagaimana kalau kita menggunakan Hasta Bajra, menjebol pintu besi itu dan menyerbu keluar?" "Jangan, Niken. Selain pintu besi itu kokoh kuat dan dindingnya terbuat dari batu, juga kalau kau lakukan itu kita berdua akan mati bagaikan dua ekor tikus dalam lubang. Ketahuilah, tempat ini dapat dialiri air yang besar sekali sehingga kita akan tenggelam. Bendungan itu ada di tangan mereka.Sekali kita berusah lari dan mereka membuka bendungan, tempat ini akan penuh air. Sudah kuselidiki selama berbulan-bulan ini dan jelas tidak ada jalan keluar, kecuali kalau mereka yang membuka pintu. Juga di luar tempat tahanan ini dijaga ketat." Niken mengerutkan alisnya. "Kalau begitu, apakah kita harus menyerah begitu saja dan mati di tempat ini Bapa?" "Tentu saja tidak! Akan tetapi kita harus memakai perhitungan. Mereka masih terus mengirim makanan dan minuman, itu berarti mereka bekum menghendaki kita mati. Dan aku tahu bahwa mereka masih mengharapkan penulisan aji Hasta Bajra yang tulen. Kita tunggu saja. Kalau sewaktu mereka lengah dan berani datang ke sini, barulah engkau boleh menyergap mereka dan dengan demikian dapat memaksa mereka mengeluarkan kita." Terpaksa Niken menaati gurunya karena memang tidak ada jalan keluar lagi. Dua hari kemudian, pada malam hari mereka mendengar suara ribut-ribut di luar kamar tahanan. Dan tak lama kemudian, dalam keadaan gelap, seorang didorong masuk ke dalam kamar tahanan yang ditutup kembali. Niken tidak sempat menyerbu keluar karena selain gelap, juga ia tidak tahu siapa orang yang didorong masuk. Orang itu merintih. Ki Sudibyo meraba-raba. Ternyata dia seorang pria "Siapa andika?" Ki Sudibyo bertanya ketika melihat betapa orang itu luka-luka, bahkan terluka parah di bagian kepalanya yang berdarah. Dengan suara lamah, orang itu berkata, "Adi Sudibyo ........,ini aku...." "'Kakang Joyosentiko........!" Ki Sudibyo mengenal suara itu dan merangkul. "Apa yang terjadi, kakang?" "Aku......aku berusaha untuk membebaskan kalian......akan tetapi ketahuan dan aku......aku dihajar......terluka parah......" "Ah,kakang Joyosentiko,kenapa kaulakukan ini?" Ki Sudibyo meraa menyesal sekali. Dalamhal aji kanuragan,ilmu kepandaian kakak seperguruannya ini memang termasuk lemah. "Aku.......aku ingin bicara denganmu.Aku mendengar bahwa anak itu telah datang, anak Sawitri......aku ingin memberitahu bahwa dia itu putera kandungmu, Sudibyo. Ketika hendak pergi, Sawitri mengatakan kepadaku bahwa ia telah mengandung. Dia anakmu...." suara itu terengah-engah dan semakin lemah. "Aku sudah tahu dari Niken. Diamlah, kakang, engkau harus beristirahat, biar kuurut jalan darahmu....." "Per.....percuma......!" Kakek itu mengeluh. Biarpun dibanti Niken, dalam kegelapan itu Ki Sudibyo masih berusaha menolong, namun menjelang pagi, ketika matahari sudah memasuki tempat itu dari terowongan. Ki Joyosentiko menghembuskan napas terakhir. "Keparat Klabangkoro, manusia iblis berhati busuk.Aku akan membunuhmu untuk ini!" kata Niken dengan marah sekali. Terdengarlah langkah-langkah kaki di luar. Mula-mula mereka mengira bahwa penjaga yang seperti biasa mengantarkan makanan untuk dimasukkan melalui jeruji besi. Akan tetapi, ternyata itu suara Klabangkoro. "Bapa Guru, ada orang yang hendak bertemu dengan Bapa Guru Sudibyo!" Ki Sudibyo dan Niken memandang dengan heran dan melihat Klabangkoro dan Mayangmurko berada di luar kamar tahanan dan di samping mereka berdiri Budhidharma! Pemuda itu kelihatan marah sekali, matanya mencorong seperti mata naga. "Budhidharma, temuilah orang yang kaucari!" kata Klabangkoro sambil membuka pintu besi. Melihat ini, Niken berseru, "Budhi, jangan masuk!" Akan tetapi Budhi salah sangka, mengira bahwa Niken hendak membela gurunya. Pada saat itu Niken melompat ke pintu untuk menyerang Klabangkoro, akan tetapi ia bertemu dengan Budhi yang mendorongkan kedua tangannya sehingga tubuh Niken terhuyung dan kembali ke dalam kamar tahanan. Pintu itu segara ditutup oleh Klanbangkoro dan Mayangmurko dia bergegas meninggalkan tempat itu. "Ki Sudibyo!" bentak Budhi dengan marah sambil memandang kepada laki-laki tua yang sudah berdiri di depannya itu, tidak memperdulikan lagi kepad Niken atau kepada mayat yang mengegeletak di sudut ruangan itu. "Aku adalah Budhidarma, putera dari Margono dan Ni Sawitri yang telah kaubunuh! Aku menuntut keterangan dan tanggung jawabmu. Kenapa engkau membunuh ayah ibuku?" Kedua tangan Budhi sudah gemetar dan suaranya agak gemetar pula, saking tegang hatinya. "Budhi, tenang dan sabarlah dulu. Dengarkan penjelasanku!" kata Niken. "Niken,jangan mencampuri urusan ini! Ini adalah urusan pribadi antara aku dan pembunuh orang tuaku!" Budhi membentak Niken yang melangkah mundur dengan kaget karena tidak biasa Budhi bersikap sekasar itu kepadanya. "Mundurlah, Niken. Biarkan aku sendiri yang menghadapinya." kata Ki Sudibyo dengan tenang dan dia melangkah maju menghampiri Budhi. Dua orang itu saling pandang sampai beberapa lamanya, kemudian Ki Sudibyo betkata, suaranya gemetar penuh keharuan akan tetapi sikapnya tenang. "Budhidarma, aku merasa menyesal sekali, akan tetapi perbuatan itu telah terlanjur dan aku bersedia menerima hukumannya. Kalau engkau datang hendak membalas dendam atas kematian mereka kepadaku, Nah,lakukanlah, Budhidarama. Aku tidak akan melawan!" Kakek itu memejamkan matanya, berdiri di depan Budhi. "Ki Sudibyo,aku bukan seorang pengecut yang membunuh orang yang tidak melawan. Pergunakan kedigdayaanmu. Aku mendengar bahwa engkau seorang yang sakti mandraguna, mari kita selesaikan perhitungan di antara kita, akan tetapi katakan dulu kenapa engkau membunuh ayah ibuku!" Tiba-tiba Niken meloncat di antara mereka dan menghadapi Budhi dengan sinar mata menyala. "Budhi, dengar dulu!" "Niiken,sudah kukatakan, jangan engkau ikut campur!" bentak Budhi. "Tidak bisa! Aku harus ikut campur. Pertama karena dia guruku dan kedua kalinya karena engkau buta, tidak mau mendengar penjelasanku. Guruku tidak mau menjawab karena tidak ingin melukai hatimu,maka aku yang mewakili untuk meberi keterangan mengapa Bapa Guru membunuh kedua orang tuamu itu!" "Niken, jangan.........!" Ki Sudibyo berseru. "Harus Bapa! Dia harus mendengarnya. Baik ataupun buruk rahasia itu, orang harus mendengar kenyataan. Budhi, dengarlah. Bapa Guru menyuruh orang membunuh Margono dfan Ni Sawitri karena Ni Sawitri itu adalah isterinya yang melarikan diri dengan Margono muridnya! Dia mengutus Klabangkoro murid murtad dan isteri yang menyeleweng itu!" Budhidharma memandang Niken dengan mata terbelalak dan wajahnya berubah merah sekali. "Bohong! Tidak mungkin ibuku dan ayahku seperti .........seperti yang kau tuduhkan itu......!!" "Engkau boleh saja tidak percaya akan tetapi demi Hyang Widhi demikianlah kenyataannya. Sayang saksi utama dari kenyataan itu kini mengegletak tak bernyawa lagi di sini, dibunuh oleh Klabangkoro. Dan buka itu saja, Budhi. Ketika ibumu, Ni Sawitri melarikan diri bersama Margono meninggalkan Gagak Seto, Ibumu itu dalam keadaan mengandung. Setelah terlahir, engkaulah puteranya, jadi ayah kandungmu bukan Margono, melainkan Bapa Guru Ki Sudibyo." Budhi menjerit. "Tidak mungkin! Bohong semua itu! Dia musuh besarku! Niken, jangan coba-coba untuk membela gurumu dengan segala kebohongan itu!" Kini Ki Sudibyo melangkah maju mendekati Budhi. "Anakku Budhidarma.........." "Jangan sebut aku anakmu! Engkau musuh besarku yang telah membunuh ayah ibuku!" bentak Budhi marah. "Baiklah, akan tetapi sesungguhnya, Niken tidak berbohong. Akupun baru saja mendengar tentang kenyataan ini dari mulut Kakang Joyosentiko yang tewasa ini. Kalau saja aku tahu bahwa ibumu pergi dalam keadaan mengandung, demi Hyang Widhi, aku pasti tidak akan menyuruh orang mengejar meraka. Ah, semuanya telah terjadi. Aku sungguh mencintai Ni Sawitri, aku hampir gila ketika ia pergi. Sebagai tanda cintaku, aku memberikan benda pusaka peninggalan orang tuaku kepadanya, yaitu perhiasan berbentuk burung gagak yang kemudian menjadi julukanku dan juga nama perkumpulanku. Kalau engkau tidak percaya bahwa engkau anakku dan ibumu itu isteriku, nah, ini dadaku. Bunuhlah aku untuk menebus dosaku." Akan tetapi Budhi membuang muka dan berkata ketus, "Aku tidak sudi membunuh orang yang tidak melawan!" Akan tetapi dalam suaranya mengandung keraguan. Dia masih terkesan dengan cerita Ki Sudibyo tetntang benda pusaka yang berbentuk burung gagak yang katanya diberikan ibunya. Benda itu kini tergantung di lehernya! Ibunya berkata bahwa benda itu akan melindunginya dari ketua Gagak Seto! Jadi benarkah benda itu merupakan pusaka bagi ketua Gagak Seto" Pada saat itu terdengar suara tawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha ! Kalian tidak mau saling bunuh"Baiklah, kalau begitu biarlah kalian semua mati bersama!" Mendengar ini, Ki Sudibyo dan Niken meloncat ke pintu, akan tetapi mereka tidak dapat berbaut sesuatu karena Klabangkoro ternyata berteriak dari luar dan pintu itu masih tertutup rapat dan kaut. "Bapa, kita harus berusaha untuk mencoba meloloskan diri, tidak bisa kita menunggu mati konyol di sini!" berkata Niken dan iapun lalu mengerahkan, aji Hasta Bajra, kedua tangannya didorongkan ke pintu besi. "Wuuuuuutttt.......dessss.........!" Pintu besai itu terguncang keras dan batubatuan bertebara, akan tetapi agaknya pukulan Hasta Bajra itu masih belum cukup kuat menghancurkan daun pintu baja dan dinding batu itu. Melihat ini lalu Budhi berkata, "Biar aku mencobanya!" dan diapun menggosok kedua telapak tangannya, kemudian menghantamkan kedua tangannya ke arah pintu baja. "Wuuuuuuuuttt.......darrr........!" Pecahlah pintu baja itu dan banyak batu dinding porak poranda! Akan tetapi sebelum mereka dapat meloloskan diri, tibatiba terdengar bunyi air yang hiruk pikuk dan dari terowongan itu menerjang air yang banyak sekali! Mereka bertiga terkejut dan tidak dapat melawan arus air yang demikian kuatnya. Mereka baru sampai di pintu kamar tahanan sudah disambar air dan hanyut kembali ke dalam kamar tahanan. Air demikian kuat dan banyaknya sehingga sebentar saja air sudah naik samapi ke dada mereka! Mereka tidak mungkin dapat berenang keluar kamar karena dari luar terus membanjir air yang bagaikan gelombang samudera! Kasihan sekali Ki Sudibyo yang sudah tua dan lemah tubuhnya. Dia gelagapan dan tentu sudah tenggelam kalau saja Niken tidak menyambar lengannya. Kini air naik terus dan terpaksa mereka bertiga menggerakkan kedua kaki dan tangannya untuk mencegah agar tubuh mereka tidak tenggelam. Air sudah lebih dalam dari tubuh mereka dan amsih terus menyerbu masuk. Atap kamar tahanan itu tinggal satu meter lagi, dan tak lama kemudian mereka tentu akan ditelan air yang memenuhi tempat itu, dan tewas. "Niken....! Budhi......! Cepat kalian mengerahkan tenaga untuk menerjangair dari pintu itu. Cepat sebelum terlambat. Jangan perdulikan diriku!" Ki Sudibyo berteriak dengan hati khawatir sekali. Akan tetapi Niken tidak mau meninggalkan dan juga Budhi yang digdaya di daratan itu ternyata tidak begitu pandai berenang sehingga diapun sudah lemas dan sudah banyak menelan air. Ketika Niken menarik lengan gurunya,kemudia bersam Budhi mencoba untuk menerjang arus air, mereka terserempet kembali dan bahkan kepala mereka terbentur dinding sehingga mereka bertiga merasa pusing dan lemah. "Aduh, celaka........! Niken, Budhi, sekali ini tewaslah kita......!" Ki Sudibyo berkata sedih. "Jangan khawatir, Bapa. Ada aku di sini yang menemanimu sampai mati sekalipun!" "Budhidarma........Budhi....." Ki Sudibyo berkata terengah-engah dan berusaha agar jangan menelan air. "Untuk terakhir kalinya, percayalah engkau kepadaku" Bahwa engkau ini putera kandungku?" Budhi juga berusaha agar tubuhnya tidak tenggelam, namun kepalanya juga pening sekali, tubuhnya mulai menjadi lemah karena kelelahan.Akan tetapi mendengar pertanyaan Ki Sudibyo, dia mengeraskan hatinya dan berkata, "Aku bukan puteramu, engkau adalah musuh besarku yang telah membunuh ayah bundaku!" "Budhi.........!" kata Niken, suaranya mengandung kemarahan, juga kesedihan. "Maaf, Niken..........!" kata Budhi Mereka menggerakkan kaki mkereka terus agar jangan tenggelam, biarpun air yang sampai ke leher mereka itu kadang naik mengenai mulut dan hidung. Atap semakin dekat, hanya tinggal setengah meter lagi dan udara mulai pengap. Beberapa menit lagi mereka tentu akan tewas seperti tiga ekor tikus yang tenggelam dalam lubang. "Budhi, kita bertiga sudah menghadapi maut. Agaknya tidak ada jalan keluar lagi bagi kita. Untuk yang terakhir kalinya, tidak maukah engkau mengakui Bapa Guru sebagai ayah kandungmu?" tanya Niken dengan penuh penasaran. Melihat wajah Niken, hampir saja kekerasan hati Budhi runtuh, akan tetapi dia menggigit bibirnya dan berkata, "Tidak bisa, aku tidak bisa mengakui musuh besarku sebagai ayahku. Bagaimana aku dapat menghadap ayah dan ibuku di alam baka?" "Kepala batu!" Niken memaki dan kalau saja Budhi berada di dekatnya, tentu sudah dipukulnya pemuda itu. "Sudahlah Niken. Biarlah aku menderita batin yang sebesarnya, ini merupakan hukumanku. Ahh, selamat tinggal Niken, Budhi........" agaknya Ki Sudibyo sudah putus harapan dan tidak kuat lagi mempertahankan tubuhnya agar tidak tenggelam. Kelelahan dan kedinginan membuat kaki tangannya tidak mapu lagi bertahan. "Bapa........! Jangan putus asa dulu. Kita melawan dan bertahan sampai saat Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo terakhir!" kata Niken dan ia menyambar tangan Ki Sudibyo dan menariknya kembali ke atas. "Haiiiiiiiii........" Air menurun.........tiba-tiba Budhi berseru dan Niken juga dapat merasakannya. Atap semakin menjauh. Apakah yang telah terjadi" Di luar terowongan itu, di lambung bukit, seorang pemuda menggunakan sebatang linggis untuk membongkar batu-batu di situ. Dia bekerja keras mati-matian dan pemuda itu adalah Gajahpuro! Pemuda ini amat mencintai Niken, mencintai dengan sepenuh hati, dengan sungguh-sunggu. Bahkan ketika dia disuruh ayahnya menodai Niken ketika gadis itu tertawan, dia tidak sudi melakukannya. Dia mencintai gadis itu dengan tulus. Dia tahu bahwa Niken ditahan bersama gurunya, kemudian Budhi juga ditahan.Dia tidak akan berani melawan ayahnya kalau yang ditahan atau hendak dibunuh itu Ki Sudibyo dan Budhi. Akan tetapi Niken" Niken hendak dibunuh dan dia tidak mungkin tinggal diam saja. Sudah dicarinya akal untuk membebaskan gadis itu, namaun tidak juga ditemukan dan dia hampir putus asa. Akan tetapi ketika dia mendengar dari para murid bahwa tiga orang tawanan itu akan dibunuh dengan mengalirkan air ke dalam terowongan, dia mendapat akal untuk menolong Niken. Yaitu dengan membobol punggung dekat terowongan. Setelah bekerja mati-matian akhirnya dia berhasil. Dia berhasil membobol dinding dan kini air mengalir dengan derasnya keluar dari lubang itu! Saking kuatnya tekanan air maka sebntar saja lubang itu menjadi besar dan air membanjir keluar. Akan tetapi, perbuatan itu ketahuan oleh Klabangkoro yang mendapatkan laporan dari anak buahnya. Dia lari menghampiri dan memaki, " Anak durhaka! Apa yang kaulakukan ini?" "Ayah tidak boleh membunuh Niken!" Kata Gajahpuro. Saking marahnya Klabangkoro menrjang dan menempiling kepala pemuda itu. Gajahpuro mengeluh dan terpelanting, pingsan! "Buang dia ke sumur tua, biar dia rasakan hukuman itu selama tiga hari!" Bentak Klabangkoro yang sudah marah sekali. Dia sudah girang karena menurut pertimbanganya, Ki Sudibyo, Niken dan juga Budhi tentu akan mati tenggelam. Siapa kira anaknya sendiri yang menggagalkannya. Empat orang mengangkat tubuh Gajahpuro yang pingsan untuk melaksanakan perintah pemimpin mereka. Di sebelah selatan perkampungan Gagak Seto memang terdapat sebuah sumur tua yang tidak berair dan kesanalah pemuda itu diturunkan dan ditinggalkan. "Hayo kita serbu tempat tahanan, jangan sampai mereka meloloskan diri!" kata Klabangkoro pula dan bersama Mayangmurko dan para anak buah mereka berangkatlah mereka ke tempat tahanan, di gua yang berterowongan itu. Smentara itu, dengan girang sekali Niken dan Budhi mendapat kenyataan bahwa air menurun dengan cepat. Setelah air tinggal selutut dalamnya, Budhi berkata, "Mari kita keluar cepat!" "Mari, Bapa." kata Niken sambil menggandeng tangan Ki Sudibyo yang sudah lemas. Mereka bertiga memang merasa lelah sekali. Bahkan Budhi yang digdaya itupun merasa lemah dan lelah karena dia harus berjuang agar tidak tenggelam dalam waktu lama, padahal dia tidak begitu pandai berenang. Mereka bertiga terhuyung keluar dari pintu baja yang tadi runtuh terkena pukulan Budhi dan Niken. Mereka berjuang dalam air yang sudah setinggi lutut menuju terowongan untuk keluar dari goa itu. Akan tetapi tiba-tiba dari luar datang Klabangkoro,Mayangmurko dan para murid anak buah Gagak Seto. "Hajar mereka dengan anak panah!" bentak Klabangkoro yang sudah mempersiapkan segalanya. Puluan batang anak panah yang dilepas mereka itu meluncur masuk ke terowongan menyambut tiga orang yang hendak melarikan diri itu. Melihat ini, Budhi menerjang maju ke depan untuk melindungi Niken dan gurunya. Dia berhasil menangkis puluhan batang anak panah sehingga runtuh, akan tetapi karena memang dia sudah lemas dua batang anak panah masih saja menerobos dan mengenai pundak dan lambungnya! Budhi terhuyung ke belakang. Melihat ini, Ki Sudibyo yang biasanya lemah itu mendadak menjadi beringas. Melihat puteranya, putera kandungnya terluka anak panah, dia lalu menerjang ke depan sambil berteriak lantang. Murid-murid yang murtad! Berani kalian menyerangku?" Dan dia melancarkan pukulan jarak jauh yang tiba-tiba menjadi demikian kuatnya sehingga belasan orang murid Gagak Seto ,terkena pukulan aji Hasta Bajra dan terpelanting keras. Yang lain menjadi jerih, apalagi ketika Klabangkoro dan Mayangmurko yang mencoba untuk maju, juga terlempar oleh pukulan ampuh itu, Klabangkoro terkejut sekali, mengira bahwa kini gurunya telah pulih kembali tenaganya. Maka iapun meneriaki para anak buahnya untuk mundur, lalu dari atas goa mereka menghujankan batu-batu besar untuk menutup goa. Kertia Ki Sudibyo mengamuk membela puteranya, Niken menolong Budhi yang terkulai lemas. Agaknya anak panah yang mengenai tubuhnya itu adalah anak panah yang dilepas oleh Klabangkoro dan Mayangmurko. Hal ini dapat diduga karena ujung anak panah itu mengandung racun, tidak seperti anak panah lain yang dilepas para murid Gagak Seto yang tidak mengandung racun. Budhi sudah dududk bersila untuk mengatur pernapasan dan melawan jalannya racun yang terasa panas itu. Setelah semua pengeroyok mundur dan goa itu ditutup banyak batu besar Ki Sudibyo tiba-tiba menjadi lemas kembali. Dia tadi telah mengerahkan tenaga diluar batas kemampuannya yang sedang lemah, dan ini membuat dia terbatuk-batuk dan keluar darah dari mulutnya. Ki Sudibyo terluka dalam! Akan tetapi dia cepat mengusap bekas darahnya dari bibirnya dan lari menghampiri budhi. "Bagaiman dengan dia?" "Bapa, lukanya parah. Badanya panas sekali." Ki Sudibyo memeriksa lalu tiba-tiba mencabut kedua anak panah itu. Budhi mengeluh dan roboh pingsan. Ki Sudibyo melihat bekas luka dan memaki, "Jahanam Klabangkoro, dia menggunakan panah beracun. Mari, bantu aku mengangkatnya kembali ke dalam, Niken." Air sudah surut kembali dan biarpun lantai masih basah, namun tidak ada lagi genangan air. Budhi direbahkan di atas lantai dan Ki Sudibyo lalu duduk bersila di dekatnya. Setelah mulutnya berkemak-kemik membaca doa, dia lalu mengerahkan sisa tenaga dalamnya kepada jari-jari tangannya, kemudian dengan sepuluh jari tangannnya dia mulai mengrut tubuh Budhi, terutama di sekitar pundak dan dada yang tadi terluka anak panah.Ki Sudibyo memang mempunyai ilmu pengobatan dengan jalan mengerut jalan darah. Niken yang tidak dapat membantu hanya menonton dengan wajah khawatir sekali, Ia tidak hanya mengkhawatirkan keselamatan Budhi, akan tetapi juga mengkhawatirkan keselamatan gurunya karena ia mengerti bahwa melakukan pengobatan seperti gurunya itu membutuhkan pengerahan tenaga sakti yang banyak dan keadaan gurunya lemah sekali. Ia melihat keringat membasahi seluruh wajah gurunya,bahkan dari ubun-ubun kepala gurunya mengepul tapi tipis. Dengan hati-hati Niken lalu memeras saputangan sampai kering benar, lalu mengusapnya, wajah gurunya yang basah keringat itu perlahan-lahan. Dengan terharu ia mengerti bahwa gurunya berjuang mati-matian untuk menyelamatkan nyawa putera kandungnya. Setelah berjuang keras selama satu jam, akhirnya Ki Sudibyo membuka matanya dan memandang dengan girang. Dari kedua luka dipundak dan dada itu keluar darah yang berwarna agak hijau makin lama semakin banyak sampai akhirnya yang keluar darah merah. Ki Sudibyo mengeluarkan senyuman girang, melepaskan kedua tangannya, akan tetapi dia terkulai roboh dan pingsan di samping Budhi. Niken terkejut sekali. Melihat Budhi tertolong, hatinya girang, akan tetapi melihat keadaan gurunya, ia khawatir sekali. Wajah gurunya pucat seperti mayat dan napasnya terengah-engah. "Bapa Guru........! Bapa.......!" Ia mengguncang pundak orang tua itu, akan tetapi tidak dapat menyadarkan gurunya. Saking bingung Niken lalu menangis! Entah sampai berapa lama ia mengguguk sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan ia sendiri tidak menyadari. Sebuah tangan meraba pundaknya dan suara yang lembut menyapa. "Niken, kenapa engkau menangis?" Niken menurunkan kedua tangannya, menoleh dan melihat bahwa Budhi rtelah siuman telah bangkit duduk dan pemuda itulah yang menyentuh pundaknya dan bertanya. Niken memandang lagi kepada gurunya. Masih seperti tadi. Pucat seperti sudah mati. "Bapa Guru.......!" Ia menjerit dan menangis lagi. Budhi melihat keadaan Niken itu menjadi tidak tega, akan tetapi wajahnya berubah tak senang melihat Ki Sudibyo. "Niken, tidak usah ditangisi. Gurumu itu jahat sekali, maka dia menerima hukuman dari para dewa." Mendengar ucapan ini, seketika Niken menghentikan tangisnya. Mukanya masih basah air mata, kini kemerahan dan sepesang matanya seperti membara ketika ia memandang wajah Budhi. "Engkau yang jahat! Engkau anak durhaka yang tidak mengenal budi orang. Kau tahu" Ketika engkau terluka tadi, Bapa Guru telah mengerahkan tenaga di luar batas kemampuannya untuk melindungimu dan mengusir mereka keluar goa. Kemudian, dengan sisa tenaganya yang masih ada, Bapa Guru telah mengerahkan tenaga saktinya untuk mengurutmu dan mengeluarkan racun dari lukamu. Dia sampai kehabisan tenaga dan sekarang menggeletak pingsan seperti ini! Dan engkau mengatkan jahat?" Budhi tertegun dan terkejut. Dia memandang kepada wajah orang tua yang mengegletak di depannya itu. Kemudian dia memandang Niken dan berkata lirih, "Maafkan aku, Niken. Aku tidak tahu akan hal itu. Kalau begitu, dia telah berbuat baik kepadaku. Kenapa dia berbuat baik begitu?" "Bodoh kau! Dia itu ayah kandungmu! Tentu saja dia rela berkorban nyawa sekalipun untukmu!" "Hemm,dia ......dia membunuh ayah dan ibuku!" kata Budhi kukuh. "Akan tetapi hal itupun dilakukan dengan ada sebabnya. Budhi, maukah engkau memaafkan ayah kandungmu sendiri yang amat mencintaimu?" Budhi menggeleng kepalanya. "Masih terbayang di depan mataku ketika ibu disiksa kemudian ibu membunuh diri, masih ingat aku betapa ayahku menggeletak menjadi mayat dengan tubuh luka-luka. Aku tidak dapat memaafkan dia!" "Budhi,kau kejam.......!" Niken menangis lagi dan memeluki tubuh gurunya yang masih belum sadar. Hatinya terasa sakit sekali. Harus diakui bahwa ia mencintai pemuda itu, akan tetapi iapun mencintai gurunya sebagai pengganti orang tuanya. Ingin ia agar Budhi berbaik kembali dengan Ki Sudibyo, dan alangkah akan bahagia hatinya kalau ayah dan anak itu berbaik kembali, dua orang yang dicintainya menjadi rukun. Akan tetapi harapanya itu ternyata gagal. Budhi tidak dapat memaafkan Ki Sudibyo, tetap memusuhinya dan karenanya sama saja dengan memusuhinya! Sakit hati atau dendam, dan perasaan suka duka atau apapun juga dalam hati manusia, timbul dari pikirannya. Dalam keadaan pikiran tidak berjalan atau tidak bekerja, segala macam perasaan hati itupun tidak akan timbul. Tidak ada suka duka. Tidak ada benci atau sayang, terasa dalam hati orang yang sedang tidur, karena pikirannya tidak bekerja. Dan pikiran sudah bergelimang dengan nafsu yang selalu hendak menguasai diri manusia. Karena itu pikiran membentuk si-aku dan semua ditujukan demi kepentingan dan kesenangan si-aku. Kalau si-aku merasa dirugikan, maka bencilah dia. Kalau si-aku merasa diuntungkan,maka sayanglah dia. Manusia dipermainkan dan diombang-ambingkan oleh pikiranya sendiri yang bergelimang nafsu. Berbahagialah orang yang tidak bertindak menurutkan pikiran yang bergelimang nafsu, melainkan menurutkan bisikan nurani yang lebih bersih, bisikan jiwa yang bebas dari pengaruh nafsu. Akan tetapi mungkinkah itu" Mungkinkah manusia menjungkir-balikan nafsu sehingga bukan nafsu lagi menguasai dia, melainkan nafsu menjadi peserta dan hamba yang baik" Tentu saja mungkin,akan tetapi bukan oleh usaha pikiran, karena pikiran sendiri sudah menjadi sarang nafsu. Yang mampu menaklukan nafsu dan mengembalikan nafsu pada tugas awal yang sebenarnya, yaitu menjadi peserta manusia, adalah Kekuasaan Tuhan! Hanya dengan penyerahan kepada Tuhan sajalah, kalau Tuhan menghendaki, maka kita akan dapat terbebas dari cengkeraman nafsu, dan akan memanfaatkan nafsu sebagai pelengkap dan peserta hidup. *** Sebuah perahu meluncur cepat sekali, didayung oleh seorang wanita cantik, menyeberang ke Nusa Kambangan. Wanita itu berusia kurang lebih tigapuluh tujuh tahun, cantik manis dengan wajah bulat telur, jelita dan anggun. Akan tetapi sepasang matanya amat tajam seperti burung rajawali, dan bibirnya yang manis itu tersungging senyuman yang aneh. Biarpun tangan dan lengan kecilnya saja, namun ketika ia menggerakkan dayung, perahu melesat seperti anak panah terlepas dari busurnya, menandakan bahwa tangan kecil ramping itu memiliki tenaga yang dahsyat. Wanita itu bukan lain adalah Dewi Muntari yang kini han7ya menggunakan nama Dewi saja. Dewi telah tamat belajar dari Ni Durgogini, dan ia mendapat tugas untuk mencari pusaka Tilam Upih. Mendengar bahwa pusaka itu berada di tangan Adipati Nusakambangan, Dewi langsung saja menuju ke pulau itu. Begitu perhunya menepel di daratan pulau dan Dewi meloncat ke pantai, ia segera dikepung belasan orang penjaga pantai itu. Melihat seorang waita yang begitu cantik, para penjaga pantai ini bersikap ceriwis dan kurang ajar. "Manis, siapakah engkau dan hendak mencari siapa?" "Jangan mencari orang lain, cari saja aku berada di sini!" kata yang lain. Mendengar ucapan dua orang itu, yang lain tertawa riuh gembira. Dewi mengerutkan alisnya. "Mulut kalian busuk, pantas dihancurkan!" katanya tenang. Dua orang itu terbelalak sejenak,akan tetapi akhirnya tertawa dan dan yang lainpun tertawa.Seorang wanita cantik seperti itu, bagaimana hendak menghancurkan mulut mereka" "Ha-ha-ha, biar mulutku hancur kaucium..........!" "Prakkk!" tiba-tiba saja, secepat kilat, Dewi menggerakkan dayung yang tadinya di pegangnya, tepat mengenai mulut orang itu dan mulut itu hancur, giginya berantakan. Orang kedua terbelalak akan tetapi kembali dayung itu menyambar dan orang kedua juga terpelanting dengan mulut berdarah-darah. Melihat ini, semua orang menjadi terkejut dan marah, dan mereka segera bergerak untuk menyerang. Akan tetapi, dengan dayung di tangannya, Dewi mengamuk dan dalam waktu beberapa menit saja belasan orang itu sudah roboh dan malang melintang terkena hantaman dayungnya. Sebagian lagi lari memberi laporan kepada Adipati Surodiro. Kini para perajurit berdatangan dan jumlah mereka puluhan orang dipimpin oleh beberapa orang panglima. Akan tetapi, melihat demikian banyaknya orang, Dewi lalu berteriak marah. "Aku datang untuk bertemu dan bicara dengan Adipati Surodiro! Kalau kalian semua sudah bosan hidup, boleh mengeroyok aku!" Akan tetapi karena sudah banyak penjaga yang roboh,para panglima sudah menjadi marah sekali dan mereka lalu memerintahkan para perajurit untuk mengeroyok. Tiba-tiba terdengar leking yang memekakkan telinga. Banyak perajurit terhuyung dan roboh mendengar teriakan melengking itu. Itulah Aji Sardulo Krodo { Harimau Marah}. Aji seperti ini merupakan pekiki yang mengandung getaran penuh wibawa, seperti auman harimau yang dapat melumpuhkan calon korbannya. Banyak perajurit yang tidak kuat mendengar jerit yang mengegtarkan jantung ini dan pekik itu terdengar sampai seluruh pulau! Dewi lalu mengamuk, menggunakan dayung di tangannya. Dengan gerakan seprti burung walet, tubuhnya menyambar-nyambar dan kemanapun dayungnya bergerak, tentu ada perajurit yang roboh. Ia memang mengendalikan tenaganya dan tidak melakukan pembunuhan karena kedatangannya ke Nusakambangan bukan untuk membunuh orang, melainkan untuk mencari Tilam Upih. Tiba-tiba terdengar seruan lantang. "Tahan semua senjata!" Yang berseru ini adalah Surodiro sendiri. Mendengar ada wanita mengamuk diasegera datang ke tempat itu dan melihat para anak buahnya banyak yang roboh,dia menjadi marah dan menghentikan perkelahian itu. Semua anak buahnya mundur mendengar bentakan sang adipati ini dan kini Dewi berhadapan dengan Adipati Surodir. Mereka berdiri saling pandang bagaikan dua ekor harimau yang saling berlagak hendak mengadu kuatnya taring tebalnya kulit. "Heh, wanita,siapakah andika dan mengapa andika datang mengamuk di Nusa Kambangan?" Bentak Surodiro dengan angkuh. Bagaimanapun juga, dia tidak akan menunjukkan kelemahan di depan seorang wanita, apalagi wanita yang demikian cantiknya. Dewi mengamati pria yang berdiri di depannya itu penuh perhatian. Dari pakaiannya dia dapat menduga siapa pria yang nampak gagah perkasa, berusia limapuluh tahun ini. Hemm, apakah aku berhadapan dengan Adipati Surodiro sendiri?" "Benar,akulah Adipati Surodiro?" "Bagus andika keluar sendiri, Sang Adipati. Aku bernama Dewi dan aku sengaja datang untuk bertemu dan berbicara denganmu. Akan tetapi anak buahmu yang tidak tahu diri ini mencegah aku bertemu dengan andika,maka terjadi perkelahian ini!" "Babo-babo,Dewi! Andika datang-datang memperlihatkan kesaktian seolah tidak memandang kepadaku. Sekarang kita sudah saling berhadapan,nah, katakan,apa kehendakmu?" "Tidak banyak, Adipati Surodiro.Aku datang untuk minta kepadamu agar pusaka Tilam Upih diberikan kepadaku." "Kalau tidak kuberikan?" tantang Adipati Surodiro. "Nusa kambangan akan kubikin karang-abang { Lautan Api }!" Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Babo-babo,sumbarmu seperti dapat memecahkan gunung Mahameru! Sebelum kita bicara lebih lanjut mengenai Tilam Upih,aku hendak mencoba dulu kedigdayaanmu.Nah, bersiaplah andika melawan aku!" "Bagus,kalau andika juga ingin bertanding, silakan! Dan karena andika tidak menggunakan senjata, akupun akan bertangan kosong saja!" Dewi lalu mengayun dayungnya dan dayung itu menancap di atas tanah sampai setengahnya.Dari ini saja dapat dibuktikan bahwa wanita itu ternyata memiliki tenaga sakti yang dahsyat! Ki Surodiro agaknya juga maklum bahwa lawannya bukan orang lemah, maka begitu menerjang dia sudah mengerahkan Aji Kembang Wijoyokusumo yang mengeluarkan hawa yang mengandung getaran hebat.Tangan kanannya menampar dengan jari terbuka dan ada hawa yang menggetarkan keadaansekeliling menerpa ke arah Dewi. Akan tetapi, Dewi sudah bersikap waspada. Yang dikhawatirkan hanya kalau sang adipati menggunakan keris Tilam Upih yang menurut gurunya amat ampuh menggiriskan. Kalau hanya pukulan tangan kosong saja ia tidak takut dan cepat iapun mengerahkan Aji Trenggiling Wesi yang membuat tubuhnya kebal. Ia mengangkat tangan menangkis sambil menggerakkan tenaga. "Desssss.......!" Dua lengan bertemu dan akibatnya, Adipati Surodiro melangjkah mundur tiga langkah sedangkan tubuh Dewi hanya terguncang saja. Dalam pertemuan tenaga ini saja sudah dapat dibuktikan bahwa dalam hal kekuatan tenaga sakti, Dewi masih menang setingkat! Dewi tidak berhenti sampai di situ saja, ia lalu membalas dan kini ia menggunakan Aji Jaladi Geni { Lautan Api}, menampar dengan kanan kirinya. Serangkum hawa panas yang panas seperti api menyambar ke arah Adipati Surodiro. Orang ini terkejut dan cepat menangkis. "Dessss.......!!" Untuk kedua kalinya lengan mereka bertemu dan sekali ini Ki Surodiro terhuyung sampai lima langkah. Tahulah dia bahwa wanita ini benar-benar sakti dan kalau dilanjutkan, dia tentu akan kalah. Biarpun dia merasa penasaran sekali, akan tetapi dia tidak mau melanjutkan karena kalau samapi dia dirobohkan oleh seorang wanita di depan semua anak buahnya, hal itu akan mendatangkan malu besar baginya. "Elhadalah! Andika memang seorang wanita skti, Dewi. Sudah sepatutnya kalau menjadi tamuku. Mari ikut bersamaku ke kadipaten di mana kita dapat bercakap dengan leluasa!" Dewi yang pemberani itu tidak takut akan jebakan atau perangkap. "Baik, Adipati!" katanya dan mereka berdua lalu pergi meninggalkan tempat itu menuju ke kadipaten. Para anak buah itu menuju ke kadipaten. Para anak buah Nusa Kambangan tentu saja ramai membicarakan wanita sakti itu yang bukan saja amukannya telah mereka rasakan, akan tetapi juga telah sanggup menandingi Sang Adipati, hal itu sudah merupakan hal yang amat mengagumkan. Sementara itu, Dewi sudah duduk berhadapan terhalang meja dengan Adipati Surodiro. Seorang pelayan menyuguhkan minuman dan dengan berani Dewi meminumnya ketika dipersilakan. Dari gurunya ia sudah mempelajari tentang racun dan andaikata minuman itu beracun, ia sudah dapat mencium dengan hidungnya dan merasakan dengan lidahnya. "Nah,engkau memang seorang wanita yang gagah sejati, Dewi. Katakan, apa sebetulnya kehendakmu. Engkau menghendaki Tilam Upih, untuk siapakah?" Hemm,hal itu tidak perlu andika tanyakan, Adipati. Aku ingin agar engkau menyerahkan Tilam Upih kepadaku,habis perkara. Apa yang akan kuperbuat dengan keris pusaka itu, adalah urusanku sendiri." "Engkau datang terlambat, Dewi ketahuilah bahwa Tilam Upih tidak berada di tanganku lag. Apakah andika tidak mendengar bahwa aku telah mengadakan sayembara tentang Tilam Upih?" Siapa yang dapat mengalahkan aku, memperoleh Tilam Upih!" "Ada juga aku mendengar. Lalu,bagaimana hasilnya?" Tilam upih sudah kuserahkan kepada seorang pemuda yang bernama Budhidarma dan telah dibawa pergi." "Andika kalah olehnya?" "Benar, dalam sayembara itu aku dikalahkan oleh Budhidharma. Karena itu, keris pusaka Tilam Upih kuserahkan kepadanya dan telah dia bawa pergi, katanya akn diserahkan kepada Sang Parbu Jayabaya." Dewi mengangguk-angguk. "Aku percaya keteranganmu, Adipati. Akan tetapi hatihatilah. Kalau kelak aku mendapat kenyataan bahwa andika telah membohongiku,aku akan kembali dan tidak akan memberi ampun!" Wajah Adipati Surodiro berubah agak pucat mendengar ancaman ini dan dia cepat berkata, "Ada suatu rahasia yang perlu andika ketahui, Dewi. Keris pusaka Tilam Upih yang kuserahkan kepada Budhidarma itu bukanlah keris yang asli!" Dewi terbelalak. "Ehh" Apa maksudmu" Engkau menipunya?" "Tidak, dia juga sudah mengetahuinya! Persolannya begini.Sekira duabulan yang lalu aku kedatangan seorang yang berkedok. Dialah yang mengambil Tilam Upih dan menukarnya dengan yang palsu. Aku berusaha menghalanginya dan aku dipukulnya sampai pingsan.Orang itu tangguh bukan main. Hal itu terjadi dalam kamarku dan tidak diketahui orang lain. Aku malu untuk bercerita kepada orang lain. Maka aku mengadakan sayembara agar orang yang dapat mengalahkan diriku kelak dapat mencari si pencuri dan merampas Tilam Upih yang asli. Nah, begitulah persoalannya dan aku berani bersumpah bahwa memang demikian keadaannya." "Andika tidak menyembunyikan yang asli dan berpura-pura saja?" "Mana aku berani" Kalau aku berpura-pura tentu Budhidarma tentu tidak akan melepaskan aku." "Hemm, kita lihat saja nanti perkembangannya. Engkau tahu sendiri bahwa aku tidak akan tinggal diam seandainya engkau membohongiku!" Setelah meninggalkan ancaman itu, Dewi lalu pergi dari pulau Nusa Kambangan, diantar oleh Adipati Surodiro sampai ke pantai. *** Dewi lalu mendayung perahunya dengan cepat dan mendarat di pantai Selatan. Kalau keris pusaka itu dicuri orang, kelak ia harus mencoba untuk mencari pencuri itu. Akan tetapi di mana jejaknya" Bahkan Ki Surodiro sendiri yang menghadapi pencuri itu hanya tahu bahwa dia seorang yang berkedok, yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Ia mengesampingkan urusan Tilam Upih dan kini ia kembali ke kota raja! Masih ada dua hal penting yang harus ia kerjakan. Pertama, menyelidiki Pangeran Panjiluwih yang menurut Ki Blendu mengutus Ki Blendu untuk mebunuh ia dan suaminya. Dan kedua, untuk mencari puterinya, Niken Sasi, yang terpisah dengannya ketika Klabngkoro dan kawan-kawannya menyerangnya. Iatidak tahu bagaimana dengan nasib Niken Sasi dan kalau ia teringat akan puterinya itu, hatinya menjadi sedih sekali, menambah kesedihannya kehilangan suaminya. Pada suatu hari, ketika ia sedang berjalan seorang diri dengan tujuan kembali ke kota raja, Tiba-tiba ia melihat beberapa orang penunggang kuda datang dari depan. Ia cepat menyelinap dan bersembunyi di balik semak-semak karena ia tidak ingin mendapat gangguan kalau bertemu dengan orang-orang asing. Ketika rombongan terdiri dari belasan orang itu lewat, jantungnya berdebar tegang dan iapun cepat bangkit berdiri dan berlari cepat mengejar dan membayangi robongan Pangeran Panjiluwih sebagai penunggang kuda terdepan! Penggang kuda terdepan itu memang Pangeran Panjiluwih, seperti kita ketahui, diam-diam pangeran ini meninggalkan rombongan Senopati Lembudigdo yang kembali ke kediri dari Nusa Kambangan. Pangeran Panjiluwih diikuti belasan orang pengawal dan ditengah perjalanan dia bertemu dengan Joko Kolomurti yang sudah dikenalnya karena Joko Kolomurti dan mendiang ayahnya, Wiku Syiwakirana juga menjadi anak buah pangeran ini dalam persekutuan dengan perkumpulan Jambuka Sakti dan Gagak Seto yang dipimpin secara rahasia oleh seorang yang mereka sebut Kanjeng Gusti. Kini mereka bersama bersatu setelah Joko Kolomurti bercerita bahwa ayahnya telah tewas dan perkumpulan Durgomontro di Bukit Girimanik telah dihancurkan oleh seorang gadis bernama Budhidarma. Keduanya lalu meneruskan perjalanan menuju ke Gunung Anjasmoro untuk mengadakan perundingan dengan Klabangkoro dan kawankawannya. Sama sekali Pangeran Panjiluwih tidak pernah menduga bahwa ada seseorang yang membayanginya. Karena ingin tahu apa yang dilakukan oleh Pangeran Panjiluwih di Bukit Anjasmoro, Dewi tidak segera menghadapi pangeran itu, melainkan terus membayangi sampai mereka tiba di perkampungan Gagak Seto. Pangeran Panjiluwih dan Joko Kolomurti diterima dengan hormat dan ramah oleh Klabankoro dan Mayangmurko, lalu dipersilakan memasuki rumah induk dan mereka bercakap-cakap di ruangan dalam. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa Dewi terus membayangi ke dalam perkampungan dan dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi Dewi dapat mengintai ke dalam ruangan itu dan mendengarkan apa yang mereka percakapan. "Bagamana, Gusti Pangeran, apakah paduja berhasil mendapatkan Tilam Upih?" tanya Klabangkoro yang sudah tahu bahwa pangeran ini ditugaskan untuk mencari Tilam Upih. "Wah,celaka,paman Klabangkoro. Tilam Upih itu telah terjatuh ke tangan seorang pemuda bernama Budhidarma dan seorang gadis bernama Niken." Dewi yang mendengarkan di luar merasa jantungnya berdebar penuh ketegangan. Siapakah yang meraka bicarakansebagai Niken" Apakah puterinya, Niken Sasi" Ia menahan napas dan mendengarkan terus. "Ha-ha-ha-ha-ha.........!" Klabangkoro tertawa bergelak sehingga Pangeran Panjiluwih mengerutkan alisnya tak senang. Dia menceritakan kegagalannya dan Klabangkoro berani menertawakannya! "Kenapa andika tertawa, paman" Berani andika menertawakan kegagalanku?" Dia membentak marah. Klabangkoro masih tertawa, akhirnya dapat juga bicara. "Maaf, Gusti Pangeran. Bukan kegagalan paduka yang saya tertawakan, akan tetapi saya mempunyai berita teramat baik dan tentu paduka akan senag sekali mendengarnya. Ketahuilah, yang namanya Budhidarma dan Niken itu sekarang sudah berada di tangan kami!" "Eh,apa maksudmu?" "Mereka sudah terjebak, bersama Ki Sudibyo, di dalam Goa yang sudah kami tutup dan dijaga ketata. Mereka tidak akan mampu keluar lagi dan akan mati kelaparan di dalam." "Akan tetapi mereka itu tangguh sekali! Bagaimana kalian dapat menagkap mereka?" "Ha-ha-ha, kami menggunakan siasat yang cerdik. Mereka bertiga itu seperti tiga ekor tikus yang sudah terjebak dan kita hanya tinggal menanti kematian mereka saja. Kalau sudah begitu, tentu Tilam Upih yang berada di tangan mereka akan dapat paduka miliki." "Benarkah,paman" Ah, bagus sekali kalau begitu!" kata Pangeran Panjiluwih. "Bagus! Kalau begitu dendam kematian ayahku dan hancurnya perkumpulan kami juga ajkan terbalas impas! Gadis bernama Niken itu yang telah membunuh ayah, dan bersama Budhidharma menghancurkan perkumpulan kami!" kata pula Joko Kolomurtidengan girang sekali. "Cuma sayang sekali kalau gadis bernama Niken itu mati kelaparan begitu saja. Ia cantik jelita sekali, dan kalau bisa terjatuh ke tanganku........" Pangeran Panjiluwih tertawa. "Joko,engkau jangan hanya memikirkan kecantikanya saja,akan tetapi juga harus kau ingat kesaktiannya. Kalau ia dibebaskan, dengan kesaktiannya ia dapat membuat kita semua kewalahan." "Benar sekali," kata Klabangkoro. "Gadis itu telah menguasai Aji Hasta Bajra yang berbahaya sekali. Karena itu kami menjaga tempat itu dengan ketat,khawatir kalau-kalau dengan Hasta Bajra ia akan mampu lolos!" Dewi tidak mau mendngarkan lagi. Ia segera meninggalkan tempat persembunyiannya dan cepat ia mencari ke bagian belakang perkampungan itu. Ketika ada seorang anggota Gagak Seto lewat ia menangkapnya dan mencekik lehernya. "Hayao katakan, di mana tiga orang itu di sekap " Di goa mana" Katakan atau akan kusiksa kau!" Orang itu hampir tidak mampu bernapas, berkelonjotan dan berkata dengan susah payah. "Di.......di belakang perkampungan......di.....dibukit itu......"Diapun terkulai dan telah tewas karena Dewi telah memperkuat cekikannya. Kemudian ia lari menuju ke balakang perkampungan, mendaki anak bukit itu dan tak lama kemudian iapun dapat melihat sebuah goa yang tertutup banyak batu besar. Dan di depan goa itu nampak puluhan anak buah Gagak Seto melakukan penjagaan! Melihat ini, Dewi menjadi marah sekali ia meloncat danmenyerbu ke arah para penjaga itu. Gegerlah mereka! Sepak terjang Dewi memang hebat sekali. Biarpun ia hanya bertangan kosong, akan tetapi sekali tangannya bergerak, tentu ada satu dua orang penjaga yang terpelanting dan tidak mampu bangkit kembali! Setelah semua penjaga kewalahan dan jerih, lalu mundur, ia segera mulai membongkar batubatu di dalam goa itu. Kita melihat di dalam goa. Niken sudah tidak menangisi gurunya lagi, melainkan duduk diam di sampingnya. Gurunya yang masih pingsan sepeti orang tertidur. Budhi juga duduk di dekatnya, merasa tidak enak sekali. Dia harus mengakui bahwa orang tua itu telah menyelamatkanny, bahkan telah menguras tenaganya untuk menyembuhkannya dan mengusir racun dari tubuhnya. Padahal Ki Sudibyo sendiri menderita luka yang sangat parah. Akan tetapi bagaimana dia dapat menghilangkan rasa benci terhadap orang yang telah menyuruh bunuh ayah ibunya" Dia mulai berpikir. Iabunya dikatakan menyeleweng, dengan ayahnya, Margono. Katanya ibunya adalah isteri dari Ki Sudibyo ini, bahkan dia adalah putera Ki Sidibyo yang ketika Ni Sawitri melarikan diri bersama kekasihnya Margono, dia telah berada dalam kandungan ibunya. Budhi menghela napas. Kalau memang demikian, ibunya juga bersalah! Juga ayahnya atau orang yang selama ini dianggap ayahnya yang bernama Margono itu. Biarpun Ki Sudibyo juga bersalah, telah menyuruh orang membunuh mereka berdua,akan tetapi tindakan Ki Sudibyo bukan tanpa alasan. Karena sakit hati ditinggal pergi isterinya tersayang! Dia merasa bingung dan ragu. Ayah ibunya, Margono dan Ni Sawitri, bagaimanapun telah tewas, dan orang ini, ayah kandungnya yang sejati, masih hidup dan mengharapkan dia dapat memaafkannya!" "Sawitri........!" Ki Sudibyo berbisik. Dia telah sadar dan dalam keadaan masih pening dia mengingau, memanggil-manggil isterinya. "Sawitri......ke sinilah, isteriku.......kenapa engkau begitu tega meninggalkan aku......Sawitri....." Dan kakek itu dengan mata masih terpejam lalu menangis! Air matanya jatuh berlinang dari matanya yang terpejam. Niken yang memandang gurunya ikut pula berlinang air mata. Budhi memandang terharu. "Sawitri.......mana anakkita......Sawitri mana......anakku?" Anakku.....mendekatlah.... .anakku....ha,maafkanlah aku, anakku......anakku...." Orang tua itu semakin mengguguk dan dia menggerakkan tangan kanannya ke atas seperti hendak merabaraba. Tergetarlah hati Budhi. Orang tua ini keadaanya sudah payah sekali. Kalau permintaan terakhir itu tidak dilaksanakan,mungkin dia akan mati penasaran! Orang tau ini agaknya telah memaafkan kesalahan Sawitri ibunya, bahkan merindukannya, kenapa dia tidak dapat memaafkan kesalahannya. Niken memandangnya dengan air mata yang mengalir di kedua pipinya dan gadis itu sesenggukan.Budhi tidak tahu lagi. Dia lalu mengeser duduknya, mendekati kakek itu dan mengulurkan tangannya,memegang tangan kanan yang seperti hendak merabaraba itu. Kakek itu nampak terkejut, tangannya memegang kuat-kuat, lalu perlahan-lahan dia melalui air matanya melihat sipa yang memegang tangannya, dia menghela napas panjang. "Duh Gusti terima kasih......kau.....kau anakku.......Budhidarma......kau memaafkan ayahmu ini, nak....?" Budhidarma tidak mampu menjawab. Kedua matanya juga basah dan dia mengangguk. "Terima kasih.......terima kasih Gustiku...." Dan pegangan tangan itu terlepas, kakek itu terkula. Niken menubru gurunya,akan tetapi Budhidharma berkata, "Jangan khawatir, dia tertidur." Pada saat itu dia mendengar suara gaduh dan batu-batu yang dibongkar orang. "Ada yang membongkar batu yang menutupi goa!"kata Niken sambil melompat berdiri. Budhidharma juga melompat berdiri dan mereka berdua lalu menggerakkan tenaga mendorong batu beasar yang menutupi goa. Dengan tenaga mereka berdua, mereka berhasil membongkar bata-batu itu yang mengelinding ke luar. Melihat ini Dewi menjadi Girang sekali dan iapun melompat ke dalam goa itu. Pertama-tama yang dilihatnya adalah Niken dan sejenak kedua orang wanita itu tertegun dan saling pandang seperti terpesona, dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Kemudian, seperti tertarik oleh besi semberani, keduanya lari saling merangkul. "Niken........!" "Ibu.........!" mereka berciuman dan bertangisan dalam rangkulan masing-masing. "Niken Sasi, kiranya benar engkau.......!" Dewi Muntari membelai kepala anaknya dengan penuh kasih sayang. "Ibu,kiranya ibu yang menolong kami.......!" Pada saat itu Ki Sudbyo sadar dari tidurnya. Karena tadi hatinya merasa lega dan gembira penuh kebahagiaan, kini kesehatannya agak membaik dan tenaganya agak kuat. Dia bangkit duduk mendengar Niken menyebut ibu kepada wanita cantik itu, dia lalu cepat menghaturkan sembah. "Gusti Puteri,hamba Ki Sudibyo menghaturkan sembah dan ikut bergembira atas pertemuan yang membahagikan ini." Dewi memandang kepada Ki Sudibyo dan bertanya kepada puterinya, "Niken Sasi, Siapakah paman ini?" "Ibu inilah Ki Sudibyo, ketua Gagak Seto yang telah menyelamatkan aku dan kemudian menjadi guruku." Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Ah, terima kasih atas budhi yang andikalimpahkan kepada puteri kami paman Sudibyo." Kata Dewi. "Dan pemuda ini, apakah ini yang bernama Budhidharma?" Sejak Budhi melihat ayahnya memberi hormat tadi, dia sudah menjadi terheranheran. Ayahnya memberi hormat kepada wanita itu dan menyebutnya Gusti Puteri! Siapakah wanita yang menjadi ibu kandung Niken itu" Melihat Budhi berdiri bengong saja, Ki Sudibyo yang menjawab, "Budhi anakku, berilah hormat kepada Gusti Puteri ini. Beliau adalah Gusti Puteri Dewi Muntari, puteri dari Sang Prabu Jayabaya di Kediri." "Ahhh..............!" Budhidharma lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah kepada Dewi. "Hamba Budhidharma mengahatukan sembah kepada, Gusti Puteri." "Sudahlah, tidak perlu memakai banyak aturan, lihat siapa yang berdatangan itu!" kata Dewi. Niken Sasi memandang ke depan dan wajahnya berubah merah saking marahnya. "Ibu, mati kita basmi jahanam-jahanam busuk itu!" Ternyata para anak buah Gagak Seto tadi sudah berlarian melapor dan kini muncullah Klabangkoro. Mayangmurko, Pangeran Panjiluwih, Joko Kolomurti,belasan orang yang pengawal dan nak buah Klabangkoro, juga banyak anak buah Jambuka Sakti. Nelihat ini, Ki Sudibyo yang sudah lemah badannya itu menguatkan diri untuk berdiri, dibantu oleh Budhidarma dan kakek ini berdiri dengan gagahnya di depan goa. Dia memandang kepada para anggota Gagak Seto dan suaranya terdengar lantang dan garang. "Para warga Gagak Seto dengarlah baik-baik! Selama ini aku dijebak dan dikurung oleh Klabangkoro dan Mayangmurko yang memberontak dan jahat! Karena itu, aku perintahkan kalian untuk tidak lagi menurut dan tunduk kepadaperintah mereka yang murtad! Ingat, akulah ketua kalian yang belum diganti oleh siapapun!" Para anggota Gagak Seto yang melihat kakek ini terkejut dan baru menyadari bahwa mereka telah dibawa menyeleweng oleh Klabangkoro. Mereka menyambut ucapan Ki Sudibyo dengan aorak-sorai. Klabangkoro menjadi marah sekali. Dia mengandalkan orang-orang Jambika Sakti dan juga para pengawal Pangeran Panjiluwih. "Haiii, kalian semua! Ingat dan lihat baik-baik siapa yang berdiri disisiku ini! Ini adalah Pangeran Panjiluwih, utusan Sang Prabu Jayabaya dan juga Puteranya! Kalau kalian berani melawan, kalian semua akan dicap pemberontak dan menerima hukuman!" Pangeran Panjiluwih lalu mencabut Kyai Gliyeng, yaitu keris yang dia terima dari Sang Parbu Jayabaya ketika dia di utus mencari Kyai Tilam Upih. Sambil menodongkan kerisnya ke atas diapun berteriak. "Aku adalah Pangeran Panjiluwih dan aku mewakili Kanjeng Rama Prabu Jayabaya. Siapa berani melawan aku?" Tentu saja para anggota Gagak Seto menjadi gentar,bahkan Ki Sudibyo sendiri surut dua langkah. Akan tetapi tiba-tiba Dewi Muntari yang meloncat ke depan dan membentak, "Adimas Pangeran Panjiluwih, masih kenalkah engkau kepadaku?" Melihat seorang wanita cantik meloncat ke depannya, Panjiluwih memandang dan mukanya seketika menjadi pucat, "Engkau......ayunda Dewi Muntari......! Akan tetapi engkau.....engkau telah mati! Tentuengkau orang yang menyamar sebagai ayunda Dewi. Kau harus mati!" "Cobalah adimas Pangeran!" kata Dewi Muntari dan segera wanita ini menerjang ke depan,sama sekali tidak takut menghadapi keris pusaka Kyai Gliyen. Segera kedua kakak beradik ini sudah bertanding dengan hebatnya, akan tetapi segera dapat diketahui bahwa Pangeran Panjiluwih sama sekali bukan lawan Dewi Muntari. Sementaraitu, Niken sudah meloncat jauh ke depan menghadapi Joko Kolomurti. "Joko Kolomurti manusia jahanam danmesum! Pernah andika menolongku, akan tetapi sekarang aku tidak hutang budi lagi dan aku kini tidak akanmengampuni!" Ia segera menyerang,akan tetapi dikeroyok oleh Joko Kolomurti dan para pengawal pangeran yang sebagian besar juga membantu pangeran mengeroyok Dewi Muntari. Budhi juga sudah maju menghadapi Klabangkoro dan Mayangmurko. "Klabangkoro dan Mayangmurko, ingatkah kalian ketka membunuh ayah dan ibuku?" Bentak Budhidarm. Klabngkoro dan Mayangmurko tidak menjawab, melainkan meneriakan perintah agar orang-orang Jambuka Sakti membantunya mengeroyok pemuda itu. Terjadilah pertandingan yang hebat. Ki Sudibyo yang melihat keadaan ini, meliaht betapa Dewi, Nikan dan Budhi dikeroyok banyak orang , segera berseru kepada anak bauhnya, yaitu para anggota Gagak Seto. "Semua warga Gagak Seto, kuperintahkan maju menghajar para pengkhianat dan orang-orang Jambuka Sakti!" Anak buah Gagak Seto yang sebagian besar masih setia kepada sang ketua segera bersorak dan terjun ke dalam pertempuran,membantu tiga orang yang dikeroyok itu. Terjadilah pertempuran yang amat hebat, dan Ki Sudibyo tiba-tiba seperti memperoleh kembali tenaganya. Dia mengamuk hebat dan menjatuhkan banyak anak buah Jambuka Sakti. Pertandingan antara Pangeran Panjiluwih dengan Dewi Muntari terjadi berat sebalah. Biarpun pangeran itu dibantu sepuluh orang pengawalnya, tetap saja dia sibuk sekali mengahadapi Dewi Muntari. Wanita ini mengamuk dan semua pengeroyok yang terdiri dari pengawal-pengawal jagoan itu telah terkena tamparan semua. Mereka itu bergelimpangan dan biarpun Dewi Muntari tidak membunuh mereka. Akan tetapi tamparan itu bagaikan api membakar tubuh mereka. Bekas tamparan menjadi gosong dan rasanya panas sekali. Pangeran Panjiluwih sendiri terus melawan, akan tetapi ketika Dewi Muntari dapat merempasa keris Kyai Gluyeng dari tangannya, diapun tanpa malu-malu lagi segera melarikan diri, diikuti oleh para pengawalnya yang semua telah menderitapukulan wanita sakti itu. Setelah tidak lagi melihat adanya lawan, Dewi Muntari lalu membantu puterinya yang dikeroyok benyak orang. Dia melihat Joko Kolomurti itu sudah terdesak hebat oleh puterinya yang memiliki pukulan ampuh dan yang menggunakan keris pusaka Megantoro.Banyak pengeroyok sudah roboh bergelimpangan. Ketika Dewi Muntari melompat dan mengamuk, para pengeroyok semakin kacau dan tiba-tiba keris di tangan Niken Sasi sudah bersarang di dada Joko Kolomurti sehingga pemuda itu roboh terjengkang dengan dada berlumuran darah dan tewas seketika. Melihat ini, para anak buah Jambuka Sakti menjadi gentar sekali. Mereka mundur dan tidak lagi berani mendekati kedua orang wanita yang tangguh itu. Niken Sasi melihat gurunya yang mengamuk dan tiba-tiba terhuyung. Ki Sudibyo bukan terkena senjata lawan, melainkan terlampau banyak mengeluarkan tenaga dalam amukannya sehingga dia tidak luat lagi. Untung Niken melihatnya dan sebelum tubuh gurunya terpelanting, gadis ini sudah merangkul gurunya dan memapahnya ke pinggir, keluar dari medan pertempuran. Sementara itu, Dewi Muntari melihat betapa Budhidarma juga mengamuk dengan hebatnya. Dia dikeroyok oleh Klabangkoro dan Mayangmurko, juga dikeroyok oleh banyak orang Jambuka Sakti, akan tetapi semua pengeroyoknya kocar-kacir. Hanya yang membuat Dewi Muntari heran adalah ketika ia melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak mau membunuh para pengeroyoknya. Inilah yang membuat para pengeroyoknya menjadi semakin nekat. Melihat ini, Dewi Muntari lalu memungut sebatang golok yang tercecer,kemudian meloncat maju dan sekali ia menyerang Klabangkoro yang memang sudah kewalahan itu, Klabangkoro tidak mampu mengelak dan lehernya nyaris putus terbabat golok di tangan Dewi Muntari! Melihat ini, Mayangmurko menjadi terkejut akan tetapi juga ketakutan. Dia membalikkan diri dan siap untuk lari, akan tetapi Dewi Muntari menyabitkan golok di tangannya yang masih berlumuran darah. "Singgg.......auuughhh.........!" Mayangmurko mengangkat kedua tangan ke atas ketika golok itu menusuk punggungnya dan tembus sampai ke dadanya, kemudian roboh melnelungkup. Tewaslah Klabangkoro dan Mayangmurko di tangan Dewi Muntari. Anak buah Jambuka Sakti yang sudah kocar-kacir kini banyak yang tewas di tangan anak buah Gagak Seto, sisanya melarikan diri cerai berai.Ketika Budhidarma melihat kedua orang lawannya tewas di tangan puteri raja itu, dia hanya memandang dengan alis berkerut. Dewi Muntari agaknya tahu bahwa pemuda itu tidak setuju dengan pembunuhan, maka ia berkata dengan tegas. "Membunuh memang tidak baik, akan tetapi membiarkan penjahat keji hidup lebih tidak baik lagi!" "Kalau begitu, mengapa Gusti Puteri membarkan lawannya tadi meloloskan diri?" tanya Budhi. "Dia lain lagi. Dia adalah adikku sendiri. Putera Kanjeng Rama Prabu Jayabaya." Pada saat itu terdengarlah seruan Niken, "Budhi, ke sinilah!" Budhi menengok dan melihat Niken berlutut di dekat tubuh Ki Sudibyo yang rebah, Dia terkejut dan melompat mendekati. "Budhi,ayahmu terluka parah karena terlalu banyak mengeluarkan tenaga!" kata Niken dengan suara gemetar penuh kekhawatiran. Melihat Budhi, Ki Sudibyo menjulurkan tangannya. "Anakku........,maukah engkau menyebut ayah kepadaku?" Budhi menjatuhkan diri berlutut. Dengan terharu dia memegang tangan ayahnya dan berkata, "Bapak ..............!" Ki Sudibyo tersenyum girang. "Kumpulkan.........anak buah Gagak Seto.........!" katanya kepada Niken. Niken bangkit berdiri, dengan lantang berteriak agar semua anak buah Gagak Seto datang berkumpul. Tidak kurang dari empatpuluh orang anak buah Gagak Seto yang masih setia kepada Ki Sudibyo berlarian menghampiri dan mengepung Ki Sudibyo yang rebah di atas anah dengan napas terengah-engah. "Semua warga Gagak Seto, dengar baik-baik pesanku. Ini adalah anakku,Budhidarma! Mulai saat ini, dialah yang menjadi ketua kalian! Budhidharma menggantikan aku menjadi ketua perkumpulan Gagak Seto dan dalam pimpinannya aku yakin Gagak Seto akn menjadi besar......" Setelah bicara demikian, orang tua ini terengah-engah berat, napasnya tinggal satu-satu. "Bapak.........!" Budhi berseru. "Bapa Guru............!" Niken menangis. Ki Sudibyo yang sudah memejamkan matanya, membuka lagi matanya memandang kepada Niken dan Dewi Muntari. "Ampunkan hamba yang berani mengajar Gusti Puteri Niken Sasi....... mohonkan ampun kepada Gusti Prabu Jayabaya......" "Ah,tidak mengapa,paman. Kami bahkan berterima kasih!" kata Dewi Muntari. Ki Sudibyo kini menoleh kepada puteranya. " Budhidharma, engkau..... rela benar memaafkan bapakmu ini..........?" "Tentu saja,Bapak. Semua peristiwa yang lalu sudah terlupakan olehku!" Ki Sudibyo tersenyum dan menghela napas panjang sekali. "Aahhhh puas hatiku.....Sawitri, tinggal engkau......kuharap engkau suka memaafkan aku........" Kembali dia menghela napas panjang akan tetapi napasanya berhenti dan Ki Sudibyo mengehembuskan napas terakhir. "Bapa Guru........!" Niken menangis. Semua anggota Gagak Seto juga berlutut dan banyak yang menangis, akan tetapi Budhi tidak menangis. Dia memondong tubuh ayahnya yang telah menjadi jenazah dan masih hangat itu dan dibawanya masuk ke dalam bangunan induk. Dewi Muntari dan Niken tinggal di Gagak Seto sampai pemakaman Ki Sudibyo selesai dilakukan. Mereka mendapat kesempatan untuk saling menceritakan pengalaman masing-masing dan keduanya merasa gembira dan juga kagum mendengar pengalaman masing-masing yang hebat. Mereka menemukan jenazah Jinten di bagian belakang bangunan induk dan ternyata Jinten terbunuh mati oleh Klabangkoro sendiri kertika terjadi keributan. Klabangkoro menganggap Jinten terlalu banyak mengetahui rahasianya dan juga wanita itu kini sudah tidak ada gunanya lagi baginya, maka dengan sekali pukul dia membunuh Jinten agar kalau Jinten terjatuh ke tangan musuh tidak akan membocorkan rahasianya. Dia tidak mengira bahwa dia sendiri juga tewas dalam pertempuran itu. Setelah mengurus pemakaman ayahnya, Budhidharma berunding dengan Dewi Muntari dan Niken Sasi. "Melihat adanya orang-orang Jambuka Sakti yang membantu Gagak Seto, kurasa pimpinan Jambuka Sakti banyak tahu akan persekutuan ini. Aku harus mengetahui siapa yang memimpin persekutuan busuk ini dan apa sebetulnya niat mereka. Seingatku, yang dulu membunuh suamiku dan menyerangku juga orang-orang Jambuka Sakti,aku ingat akan senjata mereka, yaitu golok dengan gagang kepala Srigala." "Ibu,kalau begitu kita harus menyelidiki keadaan Jambuka Sakti!" kata Niken. "Gusti Puteri Niken benar, kita harus menyelidiki ke sana. Akupun menduga bahwa kesengsaraan ayah adalah karena ulah orang-orang Jambuka Sakti. Kalau tidak ada mereka yang membantu, kiranya Klabangkoro dan Mayangmurko tidak akan berani berkhianat." "Kakangmas Budhidharma!" kata Niken sehingga mengejutkan Budhi karena biasanya gadis itu memanggil namanya begitu saja. "Aku tidak suka kausebut gusti puteri! Bukankah kita biasanya saling memanggil nama begitu saja" Kenapa engkau berubah?" "Paduka......paduka adalah cucu Gusti Prabu, dan........ paduka juga berubah, memanggil saya dengan kakangmas." "Sudah sepatutnya aku menaggilmu kaangmas karena engkau engkau memang lebih tua dariku. Erngkau putera Bapa Guru, dan aku muridnya, bererti kita masih kakak beradik seperguruan. Jangan sebut aku gusti puteri, atau aku tidak akan menjawab!" "Habis bagaimana saya harus memanggil.........?" Dewi Muntari tersenyum. Ia dapat mengerti akan isi hati puterinya. Kedua orang muda itu agaknya mempunyai hubungan akrab dan saling jatuh hati! "Kau lebih tua,sudah selayaknya kalau engkau menyebutnya diajeng, Budhi. Dan juga kepadaku jangan menyebut Gusti Puteri,akan tetapi sebut saja Kanjeng Bibi." Wajah Budhi berubah kemerahan akan tetapi hatinya meresa girang karena ucapan ini menunjukkan bahwa dia diterima sebagai anggota keluarga atau juga sahabat yang sudah akrab sekali. "Baiklah, diajeng Niken Sasi dan Kanjeng Bibi. Sebelum berngkat ke sarang Jambuka Sakti di Gunung Bromo, saya akan lebih dulu memesan kepada anggota Gagak Seto agar melakukan penjagaan dengan ketat, melarang orang luar memasuki daerah kami dan jangan melakukan gerakan apapun sebelum saya kembali." Budi lalu mengumpulkan para anggota Gagak Seto. Atas petunjuk Niken yang mengenal mereka dan tahu siapa yang paling dapat dipercaya di antara mereka, Budhi lalu mengangkat Waskita sebagai wakilnya untuk memimpin para anak buah Gagak Seto selama dia pergi. Setelah itu, berangkatlah Budhi bersama Niken dan Dewi Muntari menuju ke Gunung Bromo. Seperti yang mereka dengar dari para anak buah Gagak Seto, Jambuka Sakti bersarang di lereng Gunung Bromo. Ketika Niken bertanya di mana Gajahpuro, oleh para anak buah Gagak Seto dikatakan bahwa Gajahpuro yang berusaha menyelamatkan Ki Sudibyo yang terendam air bersama Niken dan Budhi telah dipukul pingsan oleh Klabangkoro dan kemudian dilempar ke dalam sumur tua, tentu sudah tewas pula. Niken yang mendengar ini hanya menghela napas panjang. Ia tahu bahwa Gajahpuro benar-benar mencintainya. *** Mari kita ikuti pengalaman Gajahpuro yang dilempar ke dalam sumur tua oleh ayahnya sendiri! Benarkah dia sudah mati seperti dugaan para murid dan anggota Gagak Seto" Kehendak tuhan terjadilah, kapanpun dan di manapun, dalam keadaan bagaimanapun. Kalau tuhan menghendaki seseorang mati, maka tidak ada kekuasaan di dunia ini yang mampu menentangnya,tidak ada kesaktian apapun yang mampu membantahnya dan orang itu pasti mati pada saat yang telah dikehendaki Tuhan. Akan tetapi sebaliknya, kalau Tuhan menghendaki seseorang hidup, biar orang itu diancam seribu satu bahaya maut, tetap saja dia akan dapat selamat dan hidup, sesuai dengan kehendak Tuhan! Ini merupakan kebenaran mutlak yang tidak dapat diperbantahkan atau diperdebatkan lagi. Banyak sudah contoh-contohnya dalam pengalaman di antara manusia. Dalam sebuah peristiwa kecelakaan besar, orang dewasa yang mampu berusaha mempertahankan dan melindungi dirinya, tetap saja tewas. Sebaliknya seorang bayi yang tidak berdaya, tidak mampu melindungi dirinya sendiri, malah hidup! Mengapa begini" Karena Tuhan menghendaki demikian! Demikian pula dengan Gajahpuro. Dia pingsan ketika dilempar ke dalam sumur karena secara "kebetulan" saja yang menimpa dasar sumur lebih dulu bukan kepalanya, melainkan pinggulnya dan itupun menimpa dasar yang berlumpur, luput dari batu-batu yang berserakan di situ. Kita sebut saja "kebetulan", akan tetapi sesungguhnya memang sudah "diatur" begitu. Sudah diatur sesuai dengan kehendak Tuhan bahwa belum tiba saatnya Gajahpuro tewas di dalam sumur. Begitu terjatuh, Gajahpuro siuman dari pingsannya. Dia agak nanar sedikit, akan tetapi segera menyadari keadaannya. Dia telah dilempar ke dalam sumur tua! Ketika dia menengadah, dia melihat lubang sumur itu tinggi sekali. Akan tetapi ketika dia menoleh ke kiri, dia melihat bahwa sumur itu merupakan sebuah Ikat Pinggang Kemala 8 Pendekar Naga Putih 21 Hilangnya Pusaka Kerajaan Istana Yang Suram 12