Candi Murca 3
Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi Bagian 3 dialami dalam mimpinya. Parra Hiswara mencoba mengenali mengapa kendaraannya seekor kuda, mengapa bukan mobil, mengapa bukan motor" "Kudaku ketakutan dan bahkan berlari meninggalkan aku, binatang-binatang hutan berlarian menyelamatkan diri, bahkan juga harimau. Lalu muncul jawaban dari suara yang gemuruh itu yang ternyata berasal dari ribuan ekor kelelawar berukuran besar, kelelawar besar, binatang-binatang itu terbang bersama-sama bagaikan kabut pekat meninggalkan suara gemerasak, apalagi mereka terbang rendah." "Binatang-binatang itu seperti kita pernah melihat di Makasar?" Yogi Sutisna menyela. Yogi Sutisna masih memiliki kenangan itu. Dulu saat melakukan penelitian di Makasar, Sulawesi, di sebuah kampung penduduk membiarkan ribuan ekor kalong hidup serasi dengan masyarakat setempat tanpa ada yang mengusik ketenangan mereka. Awalnya, seseorang memelihara beberapa pasang, namun dari yang semula hanya beberapa pasang itu berkembang menjadi puluhan, menjadi ratusan dan bahkan menjadi ribuan. Siang malam binatang bersayap lebar itu menimbulkan suara berisik namun sudah sangat akrab dengan telinga penduduk. Sisi positip dari keberadaan kalongkalong itu, desa di mana kelelawar dalam ukuran raksasa itu dipelihara terbebas dari hama tikus. Tikus-tikus ketakutan dan pilih pergi dari wilayah itu, termasuk nyamuk. Tidak jelas, apakah kalong-kalong itu memangsa nyamuk, atau gelombang suaranya menyebabkan para nyamuk merasa tidak nyaman. Bahkan ular juga jarang berada di tempat itu. "Seperti di Makasar?" ulang Yogi Sutisna sekali lagi. Parra Hiswara mengangguk membenarkan. "Terus?" pancing Yogi Sutisna yang melihat Parra Hiswara masih mengalami kesulitan mengusai diri. 69 "Binatang-binatang itu berubah sifat. Harimau berlarian menyelamatkan diri, kerbau hutan dan binatang apa pun yang semula berada di padang luas melarikan diri, semua itu menjadi pertanda kalong-kalong itu tak lagi doyan buah, tetapi ia suka segala sesuatu yang serba berdarah," Parra Hiswara menambah. Yogi Sutisna termangu beberapa jenak. Akan tetapi di mata Yogi Sutisna, mimpi tetaplah mimpi. Seberapa pun mengerikan mimpi itu, tetaplah mimpi, sesuatu yang abstrak, sering pula berisi kejadian-kejadian tanpa bentuk. "Tetapi itu mimpi kan?" celetuknya. Parra Hiswara sontak meradang, celetukan sahabatnya itu menyentuh pegas rasa jengkelnya. Tiba-tiba Parra Hiswara yang semula duduk itu berdiri dan berjalan hilir mudik. "Bagaimana caraku meyakinkan kamu persoalan yang kualami, termasuk mimpiku bukan sesuatu yang sepele?" ucap Parra Hiswara dengan napas yang tersengal. "Aku terperosok ke dalam goa bawah tanah, aku melihat orang-orang tidur, aku bertemu dengan orang yang mengaku sebagai diriku bernama Parameswara, bukan Parra Hiswara, lalu aku terlempar demikian jauh, saat terperosok aku berada di Malang, di pekarangan rumah kontrakanku, tetapi begitu muncul aku berada di tempat yang tidak masuk akal, aku berada di antara bangunan-bangunan candi yang langsung lenyap setelah aku melangkah turun meninggalkannya, tempat candi murca itu di kaki Merapi dan Merbabu, berada di antara dua gunung. Merapi dan Merbabu yang jaraknya ratusan kilometer dari tempatku semula. Masih kurangkah semua itu" Mimpiku nyata, benar-benar nyata. Aku tidak merasa mimpiku lumrah seperti biasanya. Pertama, aku bertemu dengan perempuan cantik bernama Prabanjara Uwwara Kenya pemuja Batari Kali itu di bawah tanah dalam keadaan tidur telanjang, aku punya kesempatan sangat luas memerhatikan dirinya yang sedang tidur itu. Aku melihat ada semacam luka di keningnya yang ternyata luka itu." Parra Hiswara berhenti dan menggigil. "Ya Tuhan, Aku menandai, lipatan luka di kening itu rupanya mata ke tiga yang terpejam. Bayangkan, bayangkan rangkaian peristiwa yang kualami itu, semua itu benar- benar hadir sebagai sesuatu yang nyata. Kamu tidak boleh menganggap mimpiku tadi sebagai kembang tidur." Parra Hiswara berjalan mondar-mandir sambil meremas-remas rambutnya dengan gemas, jengkel dan bahkan marah. Isi kepalanya riuh oleh upayanya merekonstruksi semua yang dilihat dan dialami. Sekuat tenaga Parra Hiswara berusaha merangkairangkaikan semua informasi yang ia miliki. "Di goa itu, ketika pusaran asap mulai melibasku, aku sempat melihat walau tidak cukup jelas bagaimana ujut kalong berwarna putih yang bahkan sempat menyambar tanganku. Dalam mimpi tadi, aku melihat ujutnya dengan lebih jelas. Bahkan amat jelas, tatapan matanya yang kemerahan menjadi pertanda ia benar-benar doyan darah, doyan daging, amat mengerikan." Lalu hening, suasana beberapa jenak menjadi senyap. Beberapa kendaraan lalu lalang ada pula yang beriringan terdiri dari beberapa kendaraan besar dan kecil, bus-bus melaju kencang, truk yang sarat muatan terlihat merayap di jalan tanjakan, sementara beberapa kendaraan yang antre di belakangnya seperti tak sabar ingin segera mendahului truk itu. 70 Parra Hiswara merogoh saku jaket yang ia pakai. Dengan penuh perhatian ia mencermati sekepalan intan yang kini berada dalam genggaman tangannya. Ditimpa oleh kendaraan yang lalu lalang, intan itu menyemburatkan cahaya dengan aneka warna. "Ada banyak sekali benda macam ini di ruang bawah tanah, di bawah rumah kontrakanku itu. Kamu berminat?" Jenis pertanyaan yang tidak terduga itu menyebabkan Yogi Sutisna malah terdiam, ia tidak memiliki jawaban yang harus diberikan. "Nilai benda ini mahal sekali," Parra Hiswara melanjutkan. Yogi Sutisna menyunggingkan senyum, ia segera bergeser menempatkan diri agak menjauh. "Kita lanjutkan perjalanan lagi?" tanya Yogi. Parra Hiswara menengadah, mengarahkan pandangan matanya kepada sahabat karibnya. "Benda ini mahal sekali, kamu tidak ingin memiliki?" ulangnya. Yogi menggeleng. "Benda itu mungkin bisa menimbulkan bencana padaku, bisa jadi akan ada yang tak ikhlas bila benda itu jatuh di tangan orang yang tidak berhak. Kelelawar berwarna putih itu boleh jadi akan memburu pemegang benda itu sampai ke liang semut." Parra Hiswara menanggapi apa yang diucapkan sahabatnya itu dengan serius, sebagai sesuatu yang mungkin terjadi. Benda-benda berharga yang membawa kutukan sudah pernah ia dengar kisahnya. Intan bernama Kohinoor menyimpan kisah mistis. Siapa pun yang menyimpan atau menguasai permata itu akan mati mengenaskan. Apakah benda yang kini berada dalam genggaman tangannya juga menyimpan kekuatan kutukan macam itu" "Kita melanjutkan perjalanan?" Parra Hiswara yang mulai tenang mengangguk. "Aku yang pegang stir," Parra Hiswara meminta. "Jangan, kamu tidak akan bisa berkonsentrasi." Parra Hiswara tidak bisa menolak alasan itu, dengan jiwa sedang tak stabil, bisa saja ia mengambil tindakan yang tak terduga. Jika ia membanting stir dengan mendadak karena kaget oleh sesuatu yang muncul dari kedalaman benaknya, hal itu akan bisa menimbulkan kecelakaan. Yogi Sutisna kembali membawa kendaraannya melaju di antara kepadatan lalu lintas yang memenuhi jalan raya. Namun Yogi Sutisna tidak terpancing untuk menginjak pedal gasnya dalam-dalam, meski juga tidak bisa disebut pelan. Di sebelahnya, pikiran Parra Hiswara tertuju pada istrinya. Memikirkan keadaannya, Parra Hiswara merasa gelisah. Dianggap hantu merupakan keadaan yang sangat tidak nyaman, sebagaimana Yogi Sutisna di awal perjumpaan kembali telah menganggapnya sebagai hantu. Lantas bagaimana dengan isterinya" Bagaimana dengan Mahdasari" Parra Hiswara memijit kening atas nama pusing. "Apa yang sedang kaupikir?" tanya Yogi Sutisna. Parra Hiswara tidak menoleh, juga tidak menjawab. Pandangannya jatuh ke pepohonan yang semua bergerak cepat ke belakang. Secepat kendaraan melaju, di langit bulan juga bergerak cepat timbul tenggelam menyusup bayangan pepohonan. Mendadak Parra Hiswara merasa jantungnya akan berhenti berdenyut. "Berhenti," teriaknya dengan amat kasar. 71 Yogi Sutisna segera menepikan kendaraannya dan menginjak pedal rem. Rasa ingin tahunya terpancing. Parra Hiswara bergegas membuka pintu dan mengarahkan perhatiannya ke sesuatu yang melayang di angkasa, jaraknya tak begitu jauh, namun benda apa yang ia lihat mampu memacu jantungnya untuk bekerja lebih kencang. "Ya Tuhan," desisnya. Yogi Sutisna menempatkan diri berdiri di sebelahnya. "Apa?" tanya lelaki yang kehidupan rumah tangannya berada di ambang kehancuran itu. Yogi Sutisna ikut mengarahkan pandangan matanya tertuju ke arah sama dengan arah pandangan mata Parra Hiswara. Diterangi cahaya bulan yang benderang, nun di atas sana terlihat sesuatu terbang membubung dengan bentangan sayapnya yang lebar dengan warna sangat mencolok. Ayunan sayapnya sangat khas selayaknya gerakan sayap kelelawar. Jantung Yogi Sutisna berdegup lebih kencang ketika binatang bersayap lebar namun memiliki ukuran lebih besar dari kalong itu meluncur pada jarak sangat dekat dan terlihat sangat jelas untuk kemudian hinggap di dahan pohon mahoni yang tumbuh di tepi jalan. Mata binatang itu kemerahan. "My God," Yogi Sutisna berdesis. Yogi Sutisna kini merasa melihat bukti nyata yang tak terbantah, bahwa apa yang diceritakan dan dialami Parra Hiswara sungguh nyata. "Ia mengikuti kita," bisik Parra Hiswara dengan suara nyaris lenyap. Yogi Sutisna merapatkan tubuhnya ke pintu mobil bagian belakang. Yang muncul di benaknya adalah kemungkinan menggunakan bedil berburunya dan diarahkan ke binatang bersayap itu. Berbekal pengalamannya sebagai pemburu, ia yakin pasti mampu mengarahkan tembakannya tepat pada bagian dadanya. Sasaran yang lebih kecil dan berada pada jarak lebih jauh bisa digapai, apalagi objek kali ini berukuran besar dan berjarak tak lebih dari dua puluh lima meter. Jika harus mengarahkan ke bagian matanya sekalipun, Yogi Sutisna merasa bisa menggapainya. Parra Hiswara mengesampingkan ketakutan yang sempat menggilasnya. Parra Hiswara merasa perjalanan pengalaman anehnya sudah kelewatan. Tanpa keraguan ia melangkah mendekati binatang itu. Dengan sengaja Parra Hiswara menantangnya, tangannya bahkan bertolak-pinggang. Yogi Sutisna mengarahkan bedilnya, lurus ke sasaran. Namun Parra Hiswara yang melihat perbuatannya bergegas mencegah. "Jangan dulu, kita lihat apa maunya. Ia bukan binatang sewajarnya, setidaknya ia mempunyai kecerdasan dan sedang punya keperluan," ucap Parra Hiswara. Yogi Sutisna menurunkan laras senjatanya. Binatang bersayap berbentuk kelelawar itu tetap berada di tempatnya. Parra Hiswara merasa telah dua kali melihat binatang yang dari tampilannya tampak jelek mengerikan itu, dengan demikian kali ini adalah yang ke tiga. Pertama ketika ia berada di lorong bawah tanah, sesaat menjelang terlibas pusaran angin yang melemparkannya menembus batas dimensi ruang waktu, ia sempat menandai ujut binatang itu yang berusaha menyambarnya. Pertemuan ke dua dengan binatang itu terjadi di mimpinya, itu terjadi baru saja. Beberapa saat waktu bergulir, yang terjadi seperti saling menunggu. Binatang itu bergayut di dahan tak melakukan apa-apa. Ketika Parra Hiswara mendadak curiga adanya 72 kemungkinan binatang itu tidak sendirian, dengan segera ia mengarahkan perhatiannya ke pepohonan, siapa tahu perempuan cantik bermata tiga itu hadir di tempat itu, atau siapa tahu ratusan atau ribuan ekor kalong yang menyapanya melalui mimpi berada di sekitarnya. Namun Parra Hiswara tidak melihat kemungkinan itu. Binatang berwarna putih itu amat mungkin hanya sendiri. "Kauyakin bisa mengenainya?" Parra Hiswara bertanya. "Yakin," jawab Yogi Sutisna. Parra Hiswara sampai pada putusan yang telah ditimbangnya. "Baik, tembaklah," kata Parra Hiswara. Parra Hiswara menempatkan diri berdiri di belakang Yogi Sutisna dengan bedil berburu yang diarahkan tepat ke sepasang mata berwarna kemerahan. Yogi Sutisna menerapkan rumus nabitepi dengan baik. Nabitepi adalah rumus untuk menjadi penembak yang baik. Yogi menghentikan napas, merapikan bidikan dan siap tarik picu. Ledakan berasal dari bedil itu rupanya lumayan mengagetkan binatang itu, binatang berasal dari masa lampau yang usia panjangnya membawanya tersesat jauh hingga zaman sekarang. Binatang bersayap itu lebih terperanjat lagi ketika melihat benda amat kecil bergerak cepat menerjang tubuhnya. Parra Hiswara maupun Yogi Sutisna meyakini hantaman peluru itu tentu menyakitinya. Kelelawar besar itu tersentak kaget dan dengan segera membubung mengarahkan geraknya lurus pada Yogi Sutisna, namun dengan segera Yogi Sutisna merendahkan tubuh yang apabila kelalawar raksasa itu memaksakan geraknya ia akan menabrak mobil. Kelelawar yang tidak berhasil menggapai sasaran itu mengayuh sayapnya membubung ke udara, melesat sangat cepat semakin lama semakin tinggi. Dengan penuh perhatian Parra Hiswara dan Yogi Sutisna mengikuti gerak binatang itu melalui tatapan matanya. Binatang itu terbang seperti mengarah ke bulan, ujutnya semakin lama semakin kecil untuk kemudian lenyap tidak ada jejaknya. "Aku mengenainya," bisik Yogi Sutisna, "aku yakin mengenainya." Suasana menjadi hening, senyap. Suara yang riuh berasal dari lalu lalang kendaraan yang melaju meramaikan alur lalu lintas dari arah Jawa Tengah menuju Jawa Timur. Dihimpit beban yang demikian berat kembali Parra Hiswara mengeluh. "Aku tak tahu, mengapa aku harus mengalami keadaan rumit macam ini. Aku tak tahu mengapa aku yang terpilih takdir aneh ini." Benturan demi benturan yang dialami memang layak menyebabkan Parra Hiswara cemas. Persoalan yang datang dengan tiba-tiba dan melilitnya dengan beringas adalah merupakan persoalan yang tak bisa dianggap sepele dan semua itu terjadi begitu saja. Libasan takdir aneh yang menerpanya datang dengan mendadak tanpa bermimpi atau memperoleh firasat apa pun sebelumnya. Parra Hiswara bersandar mobil sambil Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo menjambaki rambut. Meski Parra Hiswara yang bingung, akan tetapi derajad bingung yang sama ikut menulari dan menggilas Yogi Sutisna. "Kepada siapa?" Parra Hiswara berbisik. Meski diucapkan dalam bisikan, Yogi Sutisna bisa mendengar pertanyaan tidak lengkap dengan getar memelas itu dengan cukup jelas. "Kepada siapa apa maksudnya?" Balas Yogi. "Kepada siapa aku bisa meminta penjelasan paling masuk akal terhadap apa yang kualami ini. Kepada siapa aku bisa bertanya?" tanya Parra Hiswara amat parau. Yogi Sutisna tentu tidak memiliki jawaban pertanyaan itu. 73 "Kita lanjutkan perjalanan?" balas Yogi Sutisna. Namun Parra Hiswara masih terpancang pada kebingungannya. "Coba bayangkan," ucapnya bergetar. "Bagaimana aku harus menjelaskan keadaan yang aku alami ini kepada isteriku yang pasti menganggapku telah mati, bagaimana aku menjelaskan kejadian aneh ini pada mertuaku. Ke depan, apa saja yang akan kuhadapi" Padahal aku merasa sangat yakin, ini hanya awal belaka." Yogi Sutisna tidak memiliki komentar apa pun. "Berangkat?" tanya Yogi Sutisna. Parra Hiswara mengangguk, namun menjelang masuk ke dalam mobil ia menyempatkan menengadah memerhatikan angkasa, mencari sesuatu yang barangkali membubung berputar di atas sana. Hal yang sama dilakukan Yogi Sutisna. Mobil yang perjalanannya sejenak terganggu itu kembali melaju. 11. (Rangkaian peristiwa tahun 1136 saka) Malam di perguruan Kembang Ayun yang hanya terpisah beberapa desa jaraknya dari perguruan Badran Arus, suasana benar-benar tintrim 27, sepi senyap. Beberapa buah obor yang dipasang telah padam karena kehabisan minyak. Hanya obor utama yang terletak di depan pendapa yang dijaga jangan sampai padam. Persediaan minyak jarak atau minyak lemak untuk obor itu cukup untuk pagi berikutnya bahkan sampai sepekan ke depan. Parameswara termangu di kegelapan dirundung keraguan. Semua orang perguruan telah menganggapnya mati karena dililit angin lesus atau yang dikenal cleret tahun. Jika kini Parameswara muncul, bisa jadi akan dianggap hantunya yang gentayangan. Semua orang akan terkejut dan heboh dan oleh karenanya merupakan pilihan yang sulit. Namun Parameswara tidak memiliki pilihan lain. Akhirnya Parameswara menyingkirkan jauh- jauh semua keraguan, dengan tenang pemuda itu melangkah melintasi regol dan melepas suara batuk yang meminta perhatian. "Siapa itu?" tanya seorang siswa padepokan yang sedang melintas. Parameswara menyiapkan jawaban. "Aku," jawab Parameswara pendek. Namun suara Parameswara adalah suara yang gampang dikenali. Pemuda yang menjaga obor supaya tidak padam itu kaget, lalu terperanjat bukan kepalang. Segera obor dicabutnya, bahkan dua sekaligus, satu dipegang tangan kiri, satu yang lain dipegang tangan kanan. "Kau?" tanya pemuda itu dengan mata serasa akan lepas. Parameswara berusaha tersenyum, meski sungguh senyum yang terasa aneh. "Ya," jawab Parameswara. Butuh waktu lama diperlukan siswa perguruan itu untuk meyakini siapa yang kini berdiri di depannya. "Kau masih hidup?" Suara pemuda itu nyaris tertelan oleh gemuruh di dadanya sendiri. 27 Tintrim, jawa, amat senyap 74 Rasa gembiranya benar-benar meluap melihat Parameswara ternyata masih hidup. Parameswara tersenyum ketika pemuda itu memerhatikan kakinya, dengan obor di tangan ia mencermati apakah kakinya menginjak tanah ataukah melayang. Kalau melayang bisa dipastikan dia bukan Parameswara tetapi hantu. "Kau mengira aku sudah mati" Dan kau mengira aku yang ada di depanmu ini hantu?" tanya Parameswara. Pemuda itu terlonjak, dan berteriak-teriak tak terkendali. Suaranya langsung pecah menyita perhatian. "Parameswara masih hidup. Parameswara masih hidup." Bukan hanya berteriak, namun kentongan juga dipukul bertalu-talu. Beberapa siswa yang tidur bergelimpangan di pendapa berloncatan sambil mencabut senjata, mereka mengira padepokan mereka mendapat serangan, apalagi nada kentongan yang dipukul adalah tanda bahaya. Ketika mereka tahu duduk persoalannya, dan apalagi ketika melihat Parameswara anak kedua guru mereka masih hidup, seketika meluaplah kegembiraan mereka. Parameswara yang baru saja muncul itu dikepung dengan berbagai pertanyaan. Parameswara hanya tersenyum. Di biliknya Dyah Narasari yang sulit tidur terlonjak kaget oleh suara kentongan itu. "Terjadi apakah di pendapa itu?" tanya Dyah Narasari pada seorang murid yang sedang lewat dengan langkah bergegas. "Kakakmu kembali," jawab pemuda itu dengan gugup. "Ha?" Dyah Narasari kaget dan kemudian menggigil. Parameswara, kakak yang disayangi itu kembali" Pemuda itu masih hidup" Dengan bergegas Dyah Narasari meloncat turun dan berlari. Ki Ajar Kembang Ayun yang mendapat laporan dari Ki Ajar Pratonggopati tersenyum, senyum yang sederhana sebagai gambaran kelegaannya melihat anaknya ternyata masih hidup. Ki Ajar yang sudah tua dengan segudang pengalaman dan hati yang amat mengendap itu tidak perlu berlonjak- lonjak gembira. Parameswara yang sudah pulang itu segera diarak masuk ke dalam bilik pribadi Ki Ajar. Akan tetapi hanya Dyah Narasari dan Ki Ajar Pratonggopati yang boleh menemani masuk ke ruangan itu. Parameswara yang mungkin merasa bersalah dan telah membuat kecemasan di perguruan, dengan amat takjim bersujut mencium kaki Ki Ajar Kembang Ayun. Dyah Narasari tidak pernah melihat kakaknya melakukan itu sebelumnya. Dyah Narasari tidak kuasa menahan rasa haru melihat apa yang dilakukan kakaknya itu. Dyah Narasari segera mengusap pipinya yang basah. "Maafkan aku Ki Ajar," kata Parameswara dengan suara amat serak saat menekuk tubuh mencium kaki ayahnya. Ki Ajar Kembang Ayun tersenyum. Rambut pemuda yang bersujut di kakinya itu diusapnya. Bagaimanapun, setelah berita tentang bencana itu diterima Ki Ajar merasa amat kehilangan. Hanya sebuah kejaiban bila Parameswara yang dilibas angin lesus itu bisa kembali. "Apa kau dengan sengaja menantang angin lesus itu Parameswara" Nampaknya kauberhasil mengalahkan, menilik kau ternyata bisa kembali dengan selamat?" tanya Ki Ajar Kembang Ayun. Parameswara diam, tidak menjawab, tepatnya ia mengalami kesulitan menjawab. "Kami semua sudah cemas kakang. Kami mengira kau sudah mati dihempaskan cleret tahun itu," Dyah Narasari menambah. 75 Parameswara masih menundukkan wajah. "Mungkin karena sudah menjadi takdirku, Narasari," jawabnya, "aku sendiri juga sulit memahami. Kekuatan cleret tahun yang aku hadapi itu ternyata amat besar. Hanya keajaiban yang terjadi karena ternyata aku tidak apa-apa." Semua memang layak tersenyum karena tidak perlu berduka. Ki Ajar Kembang Ayun merasa lega karena rencananya tak perlu berubah. Dengan lenyapnya Parameswara, Ki Ajar sempat bingung memikirkan nasib perguruan Kembang Ayun. Untunglah anak kedua yang disayangi itu telah kembali. Masa depan Kembang Ayun dengan demikian tidak perlu dibingungkan lagi. Namun Ki Ajar atau siapa pun tidak ada yang bisa menebak isi hati pemuda itu. Dalam laut mungkin bisa diterka, kedalaman hati justru sulit dikira. Parameswara bingung dalam mencari cara menyampaikan keinginan dan maksud hatinya. Dalam keadaan yang demikian itulah, terdengar suara derap kuda. Mahisa Branjang yang baru datang menyerahkan kudanya kepada salah seorang siswa perguruan. Dengan bergegas Branjang menuju ke bilik Ki Ajar Kembang Ayun, dan dengan senyum merekah Dyah Narasari menjemput kedatangan kakak sulungnya itu. "Nampaknya kakang sudah tahu ternyata kakang Parameswara selamat?" Dyah Narasari bertanya. "Ya," jawaban Mahisa Branjang terasa datar. "Rahastri yang memberitahu." Ki Ajar Kembang Ayun tersenyum melalui matanya. "Duduklah Branjang. Kita layak mengucap dan memujikan rasa syukur karena Parameswara selamat dan telah pulang," kata Ki Ajar Kembang Ayun dengan nada sabar dan sareh 28. Mahisa Branjang memandangi wajah adiknya dengan tatapan mata penuh selidik. Parameswara menunduk seperti sedang takut. Oleh keadaan janggal itu, baik Ki Ajar Kembang Ayun maupun Ki Ajar Pratonggopati bisa menangkap adanya sesuatu yang tak wajar. Namun Ki Ajar Kembang Ayun dan Pratonggopati merasa tidak perlu menelusuri dan berharap sesuatu yang janggal itu akan terbuka dengan sendirinya. "Peristiwa cleret tahun yang menimpamu kemarin itu, apa memang kau sengaja Parameswara?" tanya Mahisa Branjang lugas dan ketus. Pertanyaan yang membuat Ki Ajar Kembang Ayun tidak tahu ke mana arahnya apalagi Parameswara tidak menjawab pertanyaan itu, Parameswara hanya menunduk. Melihat adiknya ternyata diam seribu bahasa menyebabkan Mahisa Branjang bertambah jengkel. "Peristiwa itu memang benar kau sengaja Parameswara, agar semua orang mengira kaumati?" desak Mahisa Branjang dengan suara yang lebih tegas. Ki Ajar Kembang Ayun dan Ki Ajar Pratonggopati kaget. Dyah Narasari bergegas pamer wajah penasaran. Parameswara menghela resah. "Ada apa Mahisa Branjang?" tanya Ki Ajar Pratonggopati. Mahisa Branjang tidak menoleh, dengan sikap itu ia menjawab pertanyaan Ki Ajar Pratonggopati. "Aku curiga apa yang dilakukan Parameswara itu hanya sekadar akal-akalannya paman," jawab Branjang sambil terus memandang wajah adiknya. Pratonggopati makin merasa aneh. "Apa maksudnya?" ulang orang kedua di perguruan Kembang Ayun itu. 28 Sareh, jawa, sabar menenteramkan hati 76 Mahisa Branjang menyiapkan sebuah jawaban yang tegas dan mengagetkan. "Parameswara tidak bersedia menjalankan perintah yang diberikan ayah untuk memimpin perguruan ini. Ia ingin semua orang mengira dirinya mati. Dengan keadaan seperti itu ia akan minggat dari Bumi Pesanggaran ini." Ki Ajar Kembang Ayun termangu dengan raut yang tidak menenteramkan hati Parameswara. Wajah tuanya tampak keriput letih oleh perjalanan hidup yang panjang dan oleh sebab itulah Ki Ajar bermaksud menyerahkan kepemimpinan perguruan yang amat disegani di seluruh penjuru Jawa itu kepada Parameswara. Apa yang diucapkan Mahisa Branjang cukup mampu memaksa wajah tua itu terkejut. Ki Ajar menoleh, dengan mata tidak berkedip ia memandang Parameswara. "Benar apa yang dikatakan kakakmu itu, Parameswara?" Pertanyaan Ki Ajar Kembang Ayun itu memaksa Parameswara menundukkan wajah. Parameswara merasa kian bersalah. Dengan amat berat Parameswara siap dengan jawaban yang mungkin terasa pahit bagi ayahnya. "Aku minta maaf, ayah," jawab Parameswara bergetar. Dyah Narasari beringsut dari tempat duduknya. Ada sebuah hal yang sulit diterima dan dimengerti oleh Dyah Narasari. "Kumohon ayah berkenan mengijinkan dan merestui perjalananku. Memang benar apa yang dikatakan oleh kakang Branjang, aku bermaksud pergi." Ki Ajar Kembang Ayun dan Ki Ajar Pratonggopati saling melempar pandang dan butuh waktu beberapa kejab untuk mencerna apa yang diinginkan Parameswara. Dyah Narasari yang kemudian justru tersodok. "Kakang Parameswara akan pergi?" tanya Narasari. Parameswara mengangguk. "Bagaimana dengan tugas yang harus kakang emban" Bukankah ayah memilih kakang untuk menjadi pucuk pimpinan perguruan ini?" tanya gadis itu. Parameswara yang semula menunduk agak menengadahkan kepala. Parameswara menoleh sekilas kepada adiknya. "Aku tidak bisa menerima tugas itu Narasari. Lebih dari itu aku tidak berhak," jawab Parameswara. Sebuah jawaban yang aneh. Ki Ajar Pratonggopati, atau yang juga sering dipanggil dengan sebutan Tiyang Ageng Pratonggopati mulai merasa curiga, ada sesuatu yang tak wajar pada pemuda di depannya itu. Bahwa Parameswara berpendapat dirinya tak berhak menjadi pimpinan di perguruan Pesanggaran, pasti ada orang yang mengipasinya. "Kenapa kau merasa tak berhak Parameswara" ayahmu kakang Ajar Kembang Ayun menjatuhkan pilihan kepadamu, tentu sudah dipertimbangkan matang-matang. Kau masih muda, dengan demikian kau memiliki waktu yang cukup panjang untuk memajukan perguruan ini," kata Pratonggopati. Namun Parameswara menggeleng. "Atau karena Ken Rahastri?" tanya Narasari. Pertanyaan itu seperti palu besar yang menghajar dada Parameswara dengan begitu kuatnya. Menyebabkan dada menjadi sesak, Parameswara mengalami kesulitan untuk bernapas. "Kakang kecewa karena tak diijinkan menjalin hubungan dengan Ken Rahastri. Jadi benar itu penyebabnya" Kalau memang benar itu penyebabnya, kakang ini termasuk manusia apa binatang" kakang akan tega mengawini keponakan sendiri" Hanya binatang 77 yang tak bisa membedakan mana keponakan, mana saudara, mana anak atau mana orang tua." Pedas sekali sindiran itu. Membuat Parameswara sedikit tersengal. "Jangan diam saja kakang. Berbicaralah," bentak Narasari. Parameswara menoleh pada adiknya. Suaranya terdengar datar, "Kalau aku menginginkan Ken Rahastri, sebenarnya tidak ada batasan yang bisa menghalangi kami. Sebagaimana kalau aku mengawinimu, juga tidak ada rintangan yang menghadang," jawab Parameswara dengan suara datar. Narasari terlonjak, wajahnya merah padam. Anak bungsu Ki Ajar Kembang Ayun itu menggigil. Ucapan Parameswara itu benar-benar menyentuh permukaan hatinya dan meninggalkan rasa aneh. Namun Parameswara memang memberinya jawaban itu. Baik Ki Ajar Kembang Ayun dan Ki Ajar Pratonggopati tidak merasa salah dengan dengan jawaban itu. Hanya Mahisa Branjang yang tidak terlalu terkejut karena pemahaman atas latar belakang yang telah lebih dulu diperolehnya. Dyah Narasari tidak habis mengerti mengapa pikiran Parameswara sudah begitu Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo keblinger, tidak bisa membedakan warna hitam dari warna lainnya. Parameswara yang menengadah itu menunduk lagi. Namun bagi Ki Ajar Kembang Ayun maupun Ki Ajar Pratonggopati, jawaban Parameswara atas pertanyaan Dyah Narasari itu telah menjadi petunjuk, bahwa rahasia yang selama ini tersimpan rapat telah terbuka. Kini Parameswara mulai mempersoalkan jati dirinya. Ki Ajar Kembang Ayun terpaksa menarik napas panjang, dengan tarikan napas yang terasa nyeri di ulu hati. "Siapa orang yang telah meracuni hatimu, Parameswara?" tanya Ki Ajar Kembang Ayun dengan nada amat kecewa. Parameswara kembali merasa gamang. Ki Ajar Kembang Ayun adalah orang yang paling ia hormati dan cintai. Haruskah Parameswara melukai perasaan orang tua itu dengan membongkar semua masalah yang diketahuinya, sekaligus meminta keterangan yang belum diketahuinya. Mahisa Branjang beringsut. "Memang ada orang yang telah memberitahu Parameswara, ayah. Orang tidak dikenal karena kemunculannya selalu diselubungi dengan teka-teki. Orang itu menguasai Panglimunan." Kali ini Ki Ajar Kembang Ayun benar-benar kaget. Demikian juga Ki Ajar Pratonggopati tidak bisa menutupi gugupnya. Dyah Narasari yang masih belum tahu duduk persoalannya hanya bisa bingung sambil memandang wajah kedua kakaknya. "Benar apa yang dikatakan kakangmu, Parameswara?" tanya Ki Ajar Kembang Ayun. Parameswara mengangguk. "Apa benar orang itu menguasai aji Panglimunan?" kembali Ki Ajar bertanya. Kali ini Parameswara tidak cukup menjawab dengan anggukan kepala. "Orang itu memang menguasai Aji Panglimunan ayah. Tubuhnya bisa lenyap dari pandangan mataku. Namun demikian, gerak tubuhnya masih bisa kutangkap dengan telingaku." "Apa yang dikatakan orang itu kepadamu?" tanya Ki Ajar Pratonggopati. "Orang itu mengatakan, aku tidak berhak mewarisi kepemimpinan perguruan. Orang itu juga mengatakan, aku bukan anak kandung Ki Ajar Kembang Ayun." 78 Ruangan itu menjadi hening. Parameswara seperti orang yang kelelahan karena untuk membuka persoalan itu Parameswara membutuhkan segenap tenaga dan kebulatan hati. Ki Ajar Pratonggopati juga terdiam seperti orang yang kehilangan akal. Namun yang paling bergemuruh oleh kenyataan yang tidak terduga itu adalah Dyah Narasari. Gadis itu kaget mendapati kenyataan Parameswara itu bukan saudara kandungnya. "Ajian Panglimunan adalah ajian yang berbahaya sekali. Ajian panglimunan akan menyebabkan tubuh orang yang menguasainya bisa lenyap, menghilang dari pandangan mata. Karena bisa kasat mata itulah maka ajian itu menjadi berbahaya. Dengan tubuh lenyap dari pandangan orang yang menguasai bisa berbuat seenaknya. Jika orang yang menguasai ajian itu punya kegemaran terhadap wanita maka akan banyak wanita yang terancam oleh tindak perbuatan asusila yang dilakukannya. Itu sebabnya aku melarang siapa pun mempelajari ilmu itu. Tetapi siapa mengira kini muncul orang yang menguasai ajian itu." Pandangan Ki Ajar Kembang Ayun terlihat sayu penuh keprihatinan. "Adi Pratonggopati," kata Ki Ajar Kembang Ayun. "Bagaimana kakang?" jawab Pratonggopati. "Coba kauperiksa ruang perbendaharaan pusaka. Lihat apakah kitab Sekar Langit masih berada di tempatnya," perintah Ki Ajar Kembang Ayun. Ki Ajar Pratonggopati segera bangkit berdiri. Ki Gede Pratonggopati memberi isyarat kepada Branjang untuk mengikutinya. Suasana di dalam ruang itu menjadi amat senyap. Parameswara menunduk dalam-dalam sedang Dyah Narasari tidak tahu harus bagaimana atau berbuat apa. Ki Ajar Pratonggopati dan Branjang menuju ke ruangan tengah dari bangunan induk itu. Dengan bersama-sama keduanya menggeser sebuah batu besar yang dalam sehari-hari berguna sebagai meja. Namun begitu meja batu itu digeser, di bawahnya ternyata terdapat sebuah lorong menuju ke sebuah ruangan di bawah tanah. Dengan menggunakan obor Ki Ajar Pratonggopati dan Branjang masuk. Bau apek menjemput hidung mereka. Ki Ajar Pratonggopati merasa jantungnya bagaikan berhenti berdenyut setelah membuka sebuah peti kayu, di dalam peti kayu itu kosong tidak terdapat apa-apa dengan demikian benar apa yang dicemaskan Ki Ajar Kembang Ayun. Kedua orang itu bergegas kembali memberikan laporan. "Bagaimana?" tanya Ki Ajar Kembang Ayun. "Kitab itu hilang ayah," jawab Mahisa Branjang. Tatapan mata Ki Ajar Kembang Ayun tertuju kepada saudara mudanya, seolah bertanya mengapa bisa terjadi keadaan yang seperti itu. Namun Ki Ajar Pratonggopati sama bingungnya dengan kakaknya. Wajah Ki Ajar Kembang Ayun berubah beku atas nama rasa cemasnya, sekaligus karena membayangkan, siapa kira-kira orang yang telah mencuri kitab Sekar Langit itu. Dalam keadaan yang demikian itulah tiba-tiba Ki Ajar Kembang Ayun dan Ki Ajar Pratonggopati menengadahkan kepala. Ada sesuatu yang menjadi perhatiannya, sesuatu yang mengalir melalui udara menyapa apa pun dan siapa pun. Dyah Narasari mencoba untuk ikut memerhatikan namun Dyah Narasari tidak berhasil. Demikian juga dengan Mahisa Branjang dan Parameswara. Agaknya, apa pun yang mengalir di udara itu, hanya Ki Ajar Kembang Ayun dan Ki Ajar Pratonggopati yang mampu menangkapnya. Ki Ajar Kembang Ayun bangkit. 79 "Ada apa ayah?" tanya Mahisa Branjang yang heran. Ki Ajar Kembang Ayun memandang halaman pendapa yang tampak dari tempatnya berada. "Agaknya ada orang yang ingin dengan bertemu kita," Ki Ajar berkata. "Ayo kita keluar semua untuk menjumpai tamu itu." Dengan langkah tertatih Ki Ajar Kembang Ayun berjalan, dipapah dengan hati-hati oleh Dyah Narasari di sebelah kanan dan Ki Ajar Pratonggopati di sebelah kirinya. Anak pertama Ki Ageng yang memimpin perguruan Badran Arus menyusul di belakangnya sementara Parameswara merasa isi dadanya semakin berdetak kencang. Para siswa yang bergerombol di halaman sambil membicarakan Parameswara yang kembali dengan selamat, serentak terdiam. Para siswa yang bergerombol itu mengira Ki Ajar akan berbicara dengan mereka, ternyata tidak. Ki Ajar terus melangkah ke halaman, bahkan terdiam sedikit lama, menengadah seperti mencari bintang yang hilang. Namun apa yang diucapkan Ki Ajar mengagetkan mereka. Ki Ajar berbicara dengan orang lain. "Keluarlah Ki Sanak 29, bukankah kauingin bertemu denganku?" ucap Ki Ajar Kembang Ayun dengan suara yang lantang. Suara yang diucapkan oleh Ki Ajar Kembang Ayun itu bukan suara sewajarnya karena didorong oleh tenaga yang berasal dari wilayah bawah sadar yang sudah tidak terukur tingkatnya. Suara itu terdengar bergelombang menyusup gelap malam membuat beberapa ekor burung hantu yang tengah mengintai tikus terbang berhamburan. Getar suara itu juga memberi pengaruh nyata pada pohon jati yang meranggas, menyebabkan daun-daunnya yang kering terkejut, tak mampu bertahan dari dahannya, daun-daun jati itu pun luruh melayang ke bumi. Agaknya Ki Ajar Kembang Ayun tidak perlu mengulang karena sejenak kemudian terdengar suara tertawa yang bergema pula. Suara itu berada dalam jarak yang cukup dekat, namun tidak seorang pun yang melihat sosok orangnya. Warna suara siapa pun itu juga tak kalah sangar dari kekuatan yang dilepas Ki Ajar Kembang Ayun. Suara tawa itu menggetarkan udara dengan cara kasar. Beberapa ekor tikus dalam jarak dekat bergegas lari berhamburan menjauhkan diri. Suara itu agaknya menyakiti telinga mereka. Ki Ajar Kembang Ayun memejamkan mata. Justru dengan ketajaman mata hati, seolah menggunakan ilmu sapta panggraita 30, Ki Ajar Kembang Ayun memperkirakan di mana orang yang tertawa itu berada. Rupanya manakala bagi orang lain merupakan sebuah kesulitan luar biasa untuk mengetahui letak orang yang tertawa itu, bagi Ki Ajar Kembang Ayun dan adiknya bukanlah perkara yang sulit. "Mengapa orang itu tidak muncul kakang?" bisik Narasari pada Mahisa Branjang. Mahisa Branjang tidak menoleh. "Orang itu menggunakan aji Panglimunan, Narasari," jawab Branjang sambil berbisik pula. Dyah Narasari merasa tegang. Aji Panglimunan, sebuah puncak ajian yang mampu membuat orang yang menguasainya hilang itu, keberadaannya nyaris seperti sebuah dongeng yang sulit dipercaya. Kini Dyah Narasari menjadi salah seorang saksi, ajian itu ternyata benar-benar ada. Dyah Narasari mendadak gelisah tersadar oleh kemungkinan ayahnya akan mengalami kesulitan menghadapi siapa pun orang itu. 29 Ki sanak, jawa, saudara 30 Sapta panggraita, jawa, tujuh (tingkat) ketajaman mata hati 80 "Nampaknya kau merasa berkepentingan denganku Ki Sanak, tetapi mengapa kauselubungi dirimu dengan ajian Panglimunan?" tanya Ki Ajar Kembang Ayun. Ki Ajar seperti berbicara pada sesuatu yang tak ada. Lagi-lagi terdengar suara tertawa bergelak seperti menertawakan segenap orang yang berada di tempat itu. Para siswa perguruan Kembang Ayun merasa bingung dan heran karena tidak melihat lawan bicara Ki Ajar. Mereka merasa aneh, karena ujut orang itu tak terlihat namun terdengar suaranya. "Aku memang berkepentingan denganmu," orang yang menyelubungi diri di balik ajian itu menjawab. "Perkara aku menutupi bayangan tubuhku dengan aji Panglimunan, itu hanya sekadar sebuah cara agar ujutku yang sebenarnya tidak diketahui. Ada banyak orang di sini yang akan membuatku malu." Ki Ajar Kembang Ayun termangu. Parameswara yang dari awal telah menggunakan ketajaman telinganya, sudah tahu di sebelah mana orang tidak kasat mata itu berdiri. Sebaliknya Mahisa Branjang dan Dyah Narasari masih mencari-cari. Mahisa Branjang memejamkan mata, dengan cara itu ia mencoba membedakan segala macam suara yang singgah di telinganya. Antara ular yang merayap ingin tahu dan suara tikus yang melejit lari menjauh dari ular itu. Ternyata sungguh sulit menebak di sebelah mana orang yang sedang menjadi perhatian itu berada. "Katakan apa keperluanmu!" desak Ki Ajar. Sejenak suasana sedikit hening dengan udara tetap mengombak. Waktu yang ada itu dipergunakan untuk bergeser. Orang yang lenyap itu telah berpindah tempat. Akan tetapi gerakan bergeser yang dilakukan oleh orang itu masih bisa ditangkap oleh Parameswara, juga oleh Ki Ajar Kembang Ayun dan Ki Ajar Pratonggopati. "Aku akan mengatakan dengan tegas kepadamu Ki Ajar," terdengar sebuah suara, "bahwa sebenarnya kau sama sekali tidak memiliki hak berada di bumi Pesanggaran ini. Parameswara, anak yang kaupungut dari pinggiran jalan itu juga tidak berhak mewarisi kekuasaan di perguruan Kembang Ayun. Kau tidak pantas menggunakan nama Ki Ajar Kembang Ayun. Sebaiknya kaugunakan namamu yang sebenarnya, Padmanaba." Udara bagai digoyang. Dibelejeti jati dirinya seperti itu, menyebabkan Ki Ajar Kembang Ayun merasa dadanya sesak. Dyah Narasari yang belum tahu siapa sesungguhnya nama ayahnya itu kaget mendapati nama Padmanaba disebut. Benarkah Ki Ajar Kembang Ayun itu juga bernama Padmanaba" Jika demikian mengapa orang yang menyelubungi diri di balik ajian Panglimunan itu menuduh ayahnya tidak berhak berada di perguruan Kembang Ayun" Namun siapa pun orang itu nampaknya gusar karena Parameswara disiapkan untuk mewarisi kedudukan perguruan Kembang Ayun. Perguruan Kembang Ayun memang layak menjadi sorotan. Perguruan yang di kaki Gunung Raung sebelah selatan itu memang mempunyai pengaruh yang besar terhadap beberapa perguruan dan dunia olah kanuragan yang tersebar di seluruh jawa hingga menyeberang ke pulau Bali. Bahkan pemerintahan Kediri di bawah Sri Kertajaya tidak mungkin mengabaikan suara perguruan Kembang Ayun. Kedudukan perguruan Kembang Ayun menjadi sorotan banyak pihak karena menjadi panutan nyaris seluruh jagad olah kanuragan 31. Dalam menghadapi kebijakan penguasa, banyak perguruan yang menunggu bagaimana Kembang Ayun dalam bersikap. Lebih dari itu peran Ki Ajar Kembang Ayun 31 Jagad olah kanuragan, jawa, dunia persilatan 81 yang diyakini sebagai pemegang kunci mantra terhadap terbukanya tabir pelindung air terjun seribu angsa di mana di tempat itu tersimpan air suci yang memiliki khasiat akan menjadikan siapa pun peminumnya menjadi sakti mandraguna. Air suci itulah yang oleh banyak pihak disebut Tirtamarthamanthana Nirpati vasthra Vyassa Tripanjala. Konon siapa orang yang mampu menenggak Tirtamarthamanthana tak hanya akan menjadi sakti mandraguna namun sekaligus terbebas dari kematian, usianya akan sangat panjang, mampu melintasi ratusan tahun. Peran luar biasa macam itulah yang menyebabkan siapa pun yang terpilih sebagai pimpinan perguruan akan menjadi pusat perhatian, apalagi jagad olah kanuragan juga beranggapan siapa yang menjadi pimpinan perguruan Kembang Ayun dengan sendirinya akan mewarisi mantra-mantra pembuka tabir itu dan bahkan memiliki peluang memiliki Tirtamarthamanthana Nirpativasthra Vyassa Tripanjala untuk diri sendiri, padahal sebagai penjaga pintu gerbang menuju keberasaan benda pusaka di air terjun seribu angsa itu peluang itu terbuka sangat lebar. Siapakah orang yang menggugat itu" "Jadi kau berpendapat aku tak berhak menduduki jabatan pimpinan tertinggi di Kembang Ayun?" pancing Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun. Orang tak terlihat itu sigap dalam menyediakan jawaban. "Ya," jawab orang yang tak kelihatan itu dengan tegas. Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun tersenyum lalu berubah menjadi tertawa datar. Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun melangkah maju beberapa ayunan kaki. Pimpinan perguruan Badran Arus Mahisa Branjang dan Dyah Narasari menduga orang yang tidak terlihat itu sedang didekati. Parameswara yang memejamkan mata tahu orang itu sedang melangkah mundur. "Mungkin kaubenar," kata Ki Ajar," mungkin aku memang tidak berhak berada di tempat ini. Siapa tahu malah kaulah orang yang mestinya berkuasa di sini, oleh karena itu mengapa kau tak menampilkan diri. Mengapa harus malu sehingga kauperlu menghilang seperti itu" Silahkan tampakkan ujutmu Ki Sanak." Orang tak kelihatan itu tertawa. "Culas sekali kau Padmanaba. Mengapa sebaliknya tidak kauceritakan dengan gamblang kepada semua orang, siapa sebenarnya dirimu. Dari mana asal-usulmu, hingga kemudian kauberhasil berada di sini" Janganlah menunggu orang lain yang mengelupas kulitmu," suara orang itu bergelombang. Ki Ajar Kembang Ayun tertawa. Nada suaranya terdengar tenang dan tidak merasa Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo terpancing oleh orang yang kasat mata itu. Baik Ki Ajar Kembang Ayun maupun Ki Ajar Pratonggopati sebenarnya sudah bisa menebak siapa sebenarnya orang yang bersembunyi di balik lindungan aji Panglimunan itu merasa kecewa. Orang yang selama ini diberi kepercayaan, rupanya telah menyalah- gunakan kepercayaan yang diberikan itu. Orang itulah yang telah membongkar ruang rahasia tempat penyimpanan kitab Sekar Langit. Namun Ki Ajar Kembang Ayun belum merasa perlu membuka jati diri orang itu. Ki Ajar masih ingin mengetahui, apa saja yang dikehendaki orang itu. "Siapa pun kau Ki sanak, agaknya kau banyak mengetahui seluk-beluk perguruan ini. Kau bahkan mengetahui asal-usul anakku Parameswara, kau bahkan menguasai Ajian Panglimunan. Ajian yang menurutku sangat berbahaya karena jika disalah-gunakan bisa 82 mencelakakan banyak orang. Bagaimana kaubisa menguasai ajian itu" Kau pasti mencuri ilmu itu dari penyimpanannya?" Orang yang tak kelihatan itu tertawa. "Kau mengira aku tak berhak mempelajarinya Padmanaba?" balas orang itu dengan suara menyimpan dendam. "Aku justru merasa sangat berhak. Bahkan jauh lebih berhak daripada dirimu. Tidak ada orang yang bisa menyalahkan aku karena telah mempelajari kitab Sekar Langit. Justru kaulah yang telah mengebiriku, Padmanaba." Mahisa Branjang dan Parameswara saling pandang. Kini mereka sedikit mempunyai gambaran, siapa orang yang telah mencuri dan mempelajari kitab Sekar Langit itu. Dyah Narasari mendadak menjadi gelisah. Itu karena ia merasa amat akrab dengan orang itu. Ki Ajar menghela napas panjang dalam rangka mengisi semua lorong di paru-paru yang terasa nyeri. Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun layak kecewa karena kepercayaan yang diberikannya kepada orang itu telah diselewengkan amat jauh. Kini ada orang yang telah menguasai aji panglimunan, artinya orang lain akan berada di dalam bahaya oleh munculnya orang berkemampuan itu justru karena orang itu berpendapat, kemampuan aji Panglimunan sebaiknya disebarluaskan, tidak malah dimusnahkan. "Tidak ada gunanya kau berlama-lama memamerkan kemampuan itu Taji Gading. Cepat menampaklah," akhirnya Ki Ajar Kembang Ayun menyebut nama. Dyah Narasarilah yang paling tak nyaman saat nama itu disebut. Mahisa Branjang yang sudah menduga orang yang menggunakan aji Panglimunan itu adalah Ki Ajar Taji Gading, masih tetap kaget meski sudah menyangka sebelumnya. Pun Para siswa yang bergerombol menjadi saksi kejadian itu juga tidak kalah terperanjat. Segenap degup jantung mereka serasa berhenti berdetak, tidak berayun lagi. Malam yang sepi dan hening itu kembali dipecah oleh lontaran suara tawa yang menggema memantul-mantul. Perhatian Parameswara tidak bergeser dari arah yang telah diyakininya, di sana orang yang melenyapkan diri itu berada. Kemampuan Parameswara yang cukup tinggi dalam menyerap berbagai suara yang disamarkan memang mampu digunakan dengan tepat. Tak sulit bagi Parameswara untuk menentukan arah. Dari arah yang diperhatikannya itu kabut kemudian bagai bergolak. Semula hanya lamat-lamat belaka. Seperti ada bayangan tipis yang tak jelas, namun semakin mengombak dan mengarah. Sesuatu yang tidak jelas itu mulai membentuk diri, dari kabur dan samar-samar semakin lama semakin menemukan bentuk, ke sosok orang berjubah. Parameswara merasakan dadanya berdesir. Memang orang itu yang telah menemuinya serta membongkar jati dirinya, hingga Parameswara kemudian tahu keberadaannya di Perguruan Kembang Ayun itu bukanlah anak Ki Ajar Kembang Ayun. Seperti dikatakan oleh orang berjubah itu, Parameswara mungkin dipungut dari pinggir jalan, dari kelompok anak-anak yang kleleran32. Benarkah orang itu Taji Gading" pamannya sendiri" "Kenapa kaulakukan semua ini, Taji Gading?" Ki Ajar Pratonggopati tidak bisa menguasai diri. Orang itu memang Ki Ajar Taji Gading. Orang itu telah membuka topengnya, di belakang topeng yang dikenakannya ternyata masih ada selembar topeng tipis lagi. Ketika orang itu mencopot topeng berikutnya, maka semua keluarga besar perguruan Kembang Ayun dapat melihat dengan seksama, dia memang benar Ki Ajar Taji Gading, 32 Kleleran, jawa, terbengkalai, tidak terawat 83 orang ke tiga paling berkuasa di Perguruan Pesanggaran setelah Ki Ajar Kembang Ayun dan Ki Ajar Pratonggopati. Hal itu seketika menimbulkan rasa penasaran dan resah oleh pertanyaan, kenapa Ki Ajar Taji Gading yang selama ini demikian baik dan sabar tiba-tiba berulah aneh. Beberapa orang siswa menyalakan obor hingga halaman pendapa itu menjadi terang benderang dan amat mampu menerangi semua wajah hingga tampak jelas. Dalam siraman cahaya obor Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun memerhatikan wajah saudara mudanya itu dengan amat kecewa. Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun layak merasakan kecewa itu karena telah lebih dari tiga puluh tahun membina Taji Gading. Akan tetapi rupanya tidak mudah menghapus keserakahan dari hati seseorang sebagaimana pepatah telah menyebut, watuk 33 masih bisa diobati, namun watak sembuhnya bersamaan dengan kematian datang menjemput. Apalagi Taji Gading merasa dirinyalah yang lebih berhak atas mantra-mantra pembuka pintu masuk tempat rahasia di air terjun seribu angsa, juga dirinyalah yang lebih berhak atas perguruan Kembang Ayun setelah saudara kandungnya tak lagi bergairah mengambil kembali takhtanya. "Apa yang kaukehendaki, Taji Gading?" kembali Ki Ajar Pratonggopati mendesak. Taji Gading mendengus kasar. "Aku menghendaki perguruan ini kembali ke keadaannya semula, seperti sebelum Padmanaba itu datang kemari," jawab Ki Ajar Taji Gading dengan suara yang tegas dan lantang. Narasari terheran-heran. Anak bungsu Ki Ajar Kembang Ayun yang selama ini akrab dengan Ki Ajar Taji Gading itu benar-benar tidak menyangka pamannya akan bersikap seperti itu. Paman yang dalam sehari-harinya selalu bersikap sabar, ternyata menyimpan bongkahan api yang siap membakar siapa pun. Dyah Narasari yang merasa mengenal itu ternyata belum mengenal sama sekali. "Persoalan apakah yang menyebabkan paman Gede Taji Gading berbuat seperti itu, kakang?" bisik Dyah Narasari kepada Mahisa Branjang. Namun Mahisa Branjang diam tidak menjawab. Perhatian Branjang lebih terpusat kepada persoalan yang dibawa Ki Ajar Taji Gading. Mahisa Branjang bergeser mendekat ke belakang ayahnya. Hal yang sama dilakukan Dyah Narasari sementara dengan jantung yang dipacu lebih kencang Parameswara tetap berdiri tegak di tempatnya. Otak pemuda itu berputar deras. Dari tempatnya Parameswara memerhatikan bagaimana pamannya melangkah berkisar, seolah mempersiapkan arena perang tanding. Melihat sikap saudara tuanya itu Ki Ajar Taji Gading juga bergeser. "Mengapa tiba-tiba di dalam kepalamu muncul pikiran buruk seperti itu, Ajar Taji Gading?" desak Pratonggopati. Dengus yang dilontarkan Taji Gading terasa sangat sinis dan melecehkan. "Jangan kau pernah mengira setelah waktu berlalu sekian lama aku akan berubah pikiran Pratonggopati. Kini telah tiba saatnya bagiku untuk meluruskan yang bengkok ke tempat yang seharusnya," jawab Taji Gading itu dengan tegas. Ki Ajar Pratonggopati sulit memahami. Kekecewaan yang ia rasakan sama dengan apa yang dirasakan Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun. Ki Ajar Taji Gading melangkah mundur ketika Pratonggopati maju selangkah. "Kauingin menjadi pimpinan di perguruan Kembang Ayun ini" Kau menginginkan jabatan itu, Taji Gading?" 33 Watuk, jawa, batuk 84 Ki Ajar Taji Gading itu tertawa bergelak. "Bukan aku Pratonggopati," jawab Taji Gading. Pratonggopati mencuatkan alis. Parameswara, Mahisa Branjang dan Dyah Narasari serentak terpancing rasa ingin tahunya. "Lalu siapa?" desak Ki Ajar Pratonggopati. "Orang yang paling berhak atas kedudukan pimpinan perguruan Kembang Ayun telah datang. Dialah yang harus menjadi pimpinan perguruan Kembang Ayun." Dyah Narasari merasa sesuatu yang aneh. Di benaknya segera timbul pertanyaan ada peristiwa apakah di masa lampau hingga pamannya itu menyebut sebuah nama yang dianggapnya paling memiliki hak. Narasari terus menyimak serasa cemas kehilangan satu kalimat pun dari percakapan yang terjadi itu. "Siapa orang yang kaumaksud sebagai orang yang paling berhak dan akan segera datang itu?" desak Pratonggopati, "Apakah Kuda Rangsang?" Nama Kuda Rangsang disebut memang meninggalkan kesan yang aneh bagi Ki Ajar Kembang Ayun sekaligus meninggalkan rasa nyeri. Sebenarnyalah pada kurun waktu lampau, perguruan Kembang Ayun pernah dipimpin oleh Kuda Rangsang dengan sepak terjangnya yang sangat tak terpuji. Hal itulah yang membuat Padmanaba bertindak meredamnya. Apakah Kuda Rangsang kembali untuk meminta kekuasaan yang dulu pernah dimilikinya" Atau ada hal lain mengingat bulan purnama yang dijanjikan, bulan purnama dengan syarat khusus yang hanya akan terjadi empat puluh tahun sekali akan segera datang, bulan purnama di mana ia harus membaca mantra pembuka pintu gerbang air terjun seribu angsa, sekaligus itulah kewajibannya membuka peluang banyak orang memperebutkan Tirtamarthamanthana Nirpativasthra Vyassa Tripanjala. Padahal di bulan purnama yang akan datang itu bahkan Hantu Sabalangit pasti hadir sebagaimana para orang sakti yang lain akan berdatangan di air terjun itu pula. Semua perhatian tertuju kepada Ki Ajar Taji Gading yang diam membeku. "Jangan hanya diam Taji Gading, jawablah pertanyaanku apakah Kuda Rangsang bakal merebut kekuasaan di perguruan Kembang Ayun ini?" Ki Ajar Taji Gading menengadah sejenak, memandangi bulan. Ia lakukan itu seperti mencermati benda dengan ujut macam apakah bagian gelap di permukaan bulan itu. Ajar Taji Gading kembali mengarahkan tatapan matanya pada saudara seperguruannya. "Kakang Kuda Rangsang mungkin telah kehilangan nafsunya, akan tetapi tidak demikian dengan Ranggasura," jawabnya. "Aku dan kakang Kuda Rangsang sependapat bahwa untuk selanjutnya kekuasaan atas perguruan ini dikembalikan kepada Ranggasura, juga kekuasaan atas pembacaan mantra air terjun seribu angsa dikembalikan padanya." Nama Ranggasura ternyata terdengar lebih asing lagi, bahkan di telinga Ki Ajar Pratonggopati dan Padmanaba. Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun atau Padmanaba tak memiliki keterangan apa pun terkait nama itu. "Siapakah Ranggasura itu?" desak Pratronggopati. "Ranggasura, anak kakang Kuda Rangsang kini terpanggil jiwanya untuk menuntut kembali apa yang menjadi haknya." Itu rupanya, alasan utama yang menyebabkan orang bertopeng yang ternyata Ki Ajar Taji Gading sama sekali tidak menghendaki Parameswara menerima kekuasaan dari ayahnya. Akan tetapi sebagaimana Dyah Narasari, Parameswara juga tak tahu persoalan apakah yang terjadi di masa lalu yang menyebabkan kini timbul masalah yang tampak ruwet. 85 "Taji Gading," kata Ki Ajar Pratonggopati dengan suara bergetar sebagai ungkapan rasa kecewanya. "Ketika dahulu kakang Padmanaba meringkus Kuda Rangsang dan melumpuhkannya adalah karena perbuatan dan kejahatannya yang tidak termaafkan. Dengan sikapmu yang seperti ini, dan apalagi dengan diam-diam kau telah mencuri kitab Sekar Langit dan mempelajari Aji Panglimunan, apakah dengan demikian kau berencana menghidupkan kembali upacara-upacara aneh yang meminta banyak korban itu?" Untuk pertanyaan itu Ajar Taji Gading memiliki jawabnya. "Itu bukan urusanmu Pratonggopati," jawab Taji Gading, "yang aku kehendaki pada saat ini adalah, pengembalian kekuasaan atas perguruan ini kepada orang yang memang berhak memilikinya termasuk penguasaan atas bait-bait mantra pembuka gerbang air terjun seribu angsa. Selanjutnya kakang Padmanaba harus pergi. Ia tidak berhak berada di tempat ini. Termasuk kau." Ki Ajar Pratonggopati yang sangat kecewa itu terpaksa menghela sebuah tarikan napas panjang untuk mengisi semua lorong paru-paru yang kosong. Ucapan Ki Ajar Taji Gading menempatkan Dyah Narasari semakin tidak mengerti karena bukankah mengusir ayahnya itu sama dengan mengusir dirinya pula" "Masih ada kesempatan bagimu untuk menyadari keadaan dan meminta maaf pada kakang Ageng," desis Pratonggopati. Ki Ajar Taji Gading tersenyum dan mendengus. "Aku tak akan melakukan itu," jawabnya dengan tegas. Ki Ajar Pratonggopati rupanya amat tidak telaten dengan perdebatan yang terjadi. Laki-laki kurus dengan rambut yang sudah memutih semua itu segera menyingsingkan lengan baju. Melihat sikap itu maka segenap murid perguruan segera bergerak mundur mengambil jarak untuk memberikan ruangan yang leluasa untuk berperang tanding. Para siswa bergegas bertindak, beberapa obor yang semula dipadamkan segera dinyalakan lagi sehingga tempat itu menjadi terang benderang. "Apa yang akan kaulakukan?" tanya Ki Ajar Taji Gading. Pandangan Ki Ajar Pratonggopati amat tajam menjamah wajahnya. "Jika aku biarkan perbuatanmu, maka tatanan yang ada ini akan rusak. Daripada nantinya menjadi bibit penyakit, maka lebih baik aku musnahkan saja sekarang." Ki Ajar Taji Gading tertawa terkekeh. Selama ini Ajar Taji Gading tidak pernah beradu tanding olah kanuragan melawan Pratonggopati. Akan tetapi dengan diamdiam ia telah menggembleng diri tanpa ada waktu sejengkal pun yang tak ia manfaatkan. Dengan aji panglimunan yang berhasil ia kuasai, apa yang bisa dilakukan Pratonggopati padanya" "Kaupikir kau akan sanggup melawanku Pratonggopati" Namun baiklah, mari aku layani apa yang kaukehendaki. Bahkan seandainya semua orang yang ada di sini ikut turun mengeroyok, Taji Gading tidak akan takut." Persoalan telah bergeser. Masalah yang dibawa Ki Ajar Taji Gading tampaknya tidak cukup diselesaikan dengan rembugan34. Ki Ajar Kembang Ayun dengan segala keprihatinannya hanya memerhatikan apa yang akan dilakukan Pratonggopati dan Taji Gading. Kedua saudara seperguruan itu saling menempatkan diri pada arah yang saling bersimpangan. Keduanya siap berlaga mengadu ketinggian ilmu kanuragan. Para siswa yang selama ini menuntut ilmu di Padepokan itu tergelitik rasa ingin Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tahunya untuk bisa 34 Rembugan, jawa, berdialog 86 melihat sejauh mana ketinggian ilmu yang dimiliki Ki Ajar Pratonggopati dan Ajar Taji Gading. Sungguh sebuah kesempatan yang amat langka. Setelah diam beberapa jenak, Ki Ajar Pratonggopati membuka dengan sebuah gerakan kembangan35, gerak tangan saling silang sebagai pertanda persiapan sebuah serangan. Hal yang sama dilakukan oleh Ki Ajar Taji Gading. Dengan bersamaan kedua orang itu melejit, tubuhnya melenting saling serang. Benturan pertama telah terjadi seolah menjadi awalan untuk meningkat pada serangan berikutnya. Dengan gesit Ki Ajar Pratonggopati itu meliuk mengayunkan lengan menyambar kepala, Ki Ajar Taji Gading bergerak menghindar dengan tangan mengayun pula. Benturan yang terjadi memancing sebuah getar yang mengoyak udara. Ki Ajar Pratonggopati terdorong mundur bersamaan dengan hal yang sama dialami Ajar Taji Gading. Untuk meredam jangan sampai terjatuh, Ajar Taji Gading memanfaatkan daya dorong itu itu untuk melenting ke udara dan melayang turun pelahan dengan tangan membentang tak ubahnya kalangkyang menjelang hinggap di dahan. Para siswa yang menyaksikan akibat benturan itu terkejut, dengan bergegas para siswa itu memperlebar kalangan36 hingga arena perang tanding itu menjadi makin lapang. Namun Ki Ajar Kembang Ayun tetap berdiri di tempatnya. Branjang dan Parameswara serta Narasari segera bergeser mendampingi di kiri dan kanannya. "Bukan main," desis Taji Gading. "Kedalaman ilmumu ternyata makin sulit diukur Pratonggopati." Pratonggopati tidak menjawab. Orang kedua di perguruan Kembang Ayun itu menggeser kedudukan kaki kirinya kedepan dan agak berjongkok. Dengan kecepatan sangat tinggi dan sulit diikuti geraknya, Ki Ajar Pratonggopati melejit melontarkan sebuah serangan beruntun. Ayunan tangan kanannya, seandainya mengenai batu, maka batu itu akan pecah berantakan. Akan tetapi lawannya adalah Taji Gading, saudara seperguruannya yang tentu bukanlah bocah kemarin sore. Dengan bertumpu pada kaki kirinya Taji Gading berputar cepat sebagai landasan kaki kanan yang mengayun deras berputar menyambar. Pratonggopati yang melayang itu kaget melihat jebakan yang siap menjemput. Ketika masih di udara dan mumpung masih sempat, Ki Ajar Pratonggopati menggeliat dengan perhitungan yang cermat, tangan kanannya berubah menyambar kepala. Berbalik Ajar Taji Gading yang terkejut menghadapi perubahan serangan yang tak terduga itu. Ki Ajar Taji Gading tentu tidak mau kepalanya berantakan, maka Ki Ajar Taji Gading bergegas menyilangkan kedua tangannya di atas kepala, lagilagi sebuah benturan terjadi. Ki Ajar Pratonggopati melayang memanfaatkan kekuatan benturan itu dan hinggap ke tanah dengan mantab. Sebaliknya Taji Gading terhuyung-huyung. "Keparat," Ki Ajar Taji Gading mengumpat. Bagaimanapun serangan yang baru saja terjadi itu sempat merepotkannya. Ki Ajar Taji Gading tidak perlu menunggu lebih lama untuk mengambil sikap. Dengan gerakan cepat ke dua tangannya bergerak silang-menyilang membuat gerakan kembangan. Kedua kakinya merendah. Gerakan yang sama rupanya telah dipersiapkan oleh Ki Ajar Pratonggopati. Kedua lelaki yang semula bersaudara itu berubah menjadi garang dan bagai saling mendendam. Tatapan mata dua petarung itu saling mengintai celah. Bahwa ilmu olah kanuragan yang digunakan bersumber dari perguruan yang sama menyebabkan keduanya sudah bisa 35 Gerakan kembangan, gerakan yang biasanya menjadi ciri-ciri khusus sebuah perguruan. 36 Kalangan, jawa, lingkaran arena 87 menebak ke arah mana serangan akan diarahkan. Manakala demikian keadaannya, maka kejelian dan perhitungan serta tingkat kemampuan bawah sadar yang dimiliki yang akan berbicara dan menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Maka perang tanding itu pun berlangsung dengan cepat merambah ke tingkat ilmu kanuragan yang makin tinggi. Seumur-umur Parameswara maupun Dyah Narasari belum pernah melihat kedua paman gurunya itu memamerkan ketinggian olah kanuragan yang sudah mereka kuasai. Ketika akhirnya mereka mendapat kesempatan menyaksikan yang belum pernah terjadi sebelumnya, mereka pun dibuat terbelalak. Gesit bagai burung sikatan, Ki Ajar Taji Gading menyerang susul-menyusul dengan serangan yang bergelombang. Namun Ajar Pratonggopati berubah menjadi batu karang. Gempuran ombak macam apa pun dahsyatnya ternyata tidak menyebabkan batu karang bergeser dari tempatnya. Menghadapi serangan beruntun itu ada saatnya Ki Ajar Pra- tonggopati harus melejit bagaikan ulat singgat justru mengagetkan lawannyan serta memaksa Ajar Taji Gading berloncatan menghindar sambil mengumbar sumpah serapah. Dyah Narasari yang selama ini bergaul dengan pamannya itu dan tak pernah mendengar ia mengumpat, terkaget-kaget oleh berbagai perbendaharaan umpatan yang dikeluarkan. Agaknya selama ini Ki Ajar Taji Gading mampu menyembunyikan sangat rapat watak aslinya. Pertarungan terus berlangsung dengan dahsyatnya. Kedua orang yang berlaga mengadu nyawa itu telah memeras keringat. Tataran ilmu kanuragan yang mereka gunakan merangkak selapis demi selapis ke tingkat yang lebih tinggi. Sambaran angin akibat dari serangan-serangan yang mereka lakukan benar-benar membuat para siswa perguruan terhenyak. Sebelumnya mereka nyaris tidak pernah menyaksikan pertempuran macam itu. Ketika Ki Ajar Pratonggopati dan Ki Ajar Taji Gading kroda 37 bagai singa dan harimau, apa yang mereka lakukan sungguh mengerikan. Sebaliknya bagi Parameswara, yang dalam waktu sekian lama ditempa oleh Ki Ajar Kembang Ayun, pertarungan kedua paman gurunya itu benar-benar merupakan sebuah pelajaran yang sangat berharga. Dengan seksama dan penuh perhatian Parameswara memerhatikan cara Ki Ajar Pratonggopati bertahan dengan begitu kukuh dan rapat, hingga amat sulit untuk ditembus, sebaliknya Parameswara juga mempelajari dengan seksama bagaimana pamannya yang seorang lagi, Ki Ajar Taji Gading menyerang susul- menyusul bagaikan ombak dan prahara. Sulit untuk menebak siapa yang lebih tinggi ilmunya, apakah Pratonggopati ataukah Taji Gading. Sang waktu terus merambat merayap ke arah pagi, akan tetapi belum terlihat siapa di antara keduanya yang akan unggul dalam perang tanding itu. Tiba-tiba saja bentuk pertarungan yang terjadi berubah, Parameswara tertegun dan kemudian kaget. Branjang dan Dyah Narasari tidak kalah terperanjatnya. Para murid perguruan yang menyaksikan mungkin terlambat menyadari adanya perubahan yang terjadi. Setiap gerakan Ki Ajar Taji Gading seperti bergelombang. Bayangan tubuhnya lenyap sejenak saat meloncat dan muncul timbul tenggelam setiap kali bergerak dan tandang grayang38 nya masih tetap nggegirisi39. 37 Kroda, jawa, bertindak menunjukkan kemampuan 38 Tandang grayang, jawa, sepak terjang 39 Nggegirisi, jawa, luar biasa, menakutkan, mengerikan 88 "Gila, ilmu apakah yang dipergunakan paman Taji Gading" aku belum pernah melihat bentuk ilmu yang seperti ini. Apakah ini bagian dari ilmu yang dilarang dipelajari itu?" Dyah Narasari sibuk bertanya dan mencari jawab. Akan halnya Ki Ajar Pratonggopati, tiba-tiba saja mengalami kesulitan ketika saudara seperguruannya itu menggunakan jenis ilmu kanuragan berbeda. Segera saja Ki Ajar Pratonggopati harus berloncatan panjang untuk menghindar dari serangan yang susul-menyusul dan sulit ditebak arahnya itu. "Mau ke mana kau Pratonggopati?" teriak Taji Gading sambil menyusulkan sebuah serangan. Dengan beterbangan seperti kutu loncat Ki Ajar Taji Gading menyerang dengan sangat ganasnya, tangan kanan dan kirinya bergerak susul-menyusul melontarkan hantaman dengan kekuatan raksasa. Membuat kalang-kabut Ki Ajar Pratonggopati yang harus menggeliat meliuk-liuk menghindari serangan itu. "Kakang," bisik Dyah Narasari, "apakah itu ilmu dari kitab Sekar Langit yang hilang?" Mahisa Branjang tidak menjawab karena Mahisa Branjang sama tak tahunya. Dyah Narasari bermaksud bertanya kepada ayahnya, namun niat itu diurungkannya karena Ki Ajar Kembang Ayun tidak menggeser perhatiannya dari perang tanding yang terus berlangsung. Perubahan yang terjadi itu menyebabkan Dyah Narasari merasa cemas. Dalam pandang matanya Ki Ajar Pratonggopati makin terdesak oleh serangan yang dilontarkan susul-menyusul itu. Para siswa yang menyaksikan perang tanding itu pun akhirnya juga melihat perubahan yang terjadi. Mereka melihat gerakan-gerakan yang dilakukan Ki Ajar Taji Gading benar-benar membingungkan. Setiap kali orang itu berloncatan maka ujut tubuhnya bisa timbul tenggelam di antara ada dan tidak ada, di antara nampak dan tidak tampak. Hingga kemudian, sebuah hantaman kuat yang dilakukan Ki Gede Taji Gading itu menghajar dada dengan telak, memaksa saudara seperguruannya berloncatan mundur dan jatuh berguling-guling tepat di depan kaki Ki Ajar Kembang Ayun. Namun Padmanaba hanya diam. Padmanaba atau Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun sama sekali tidak tergerak untuk memberi bantuan pada saudara mudanya. Dengan pelahan Ki Ajar Pratonggopati bangkit. Dari sudut bibirnya menetes darah merah. Melihat itu Dyah Narasari cemas sebaliknya Ajar Taji Gading tertawa bergelak. Ajar Taji Gading merasa puas. "Sebaiknya kauminggir Pratonggopati. Sekarang kau bukanlah tandinganku. Aku menginginkan Padmanaba. Ayo kakang Padmanaba, kauhadapi aku," tantang Ki Ajar Taji Gading. Yang ditantang berlaga diam tidak menanggapi. Akan halnya Ki Ajar Pratonggopati yang telah mengusap darah yang meleleh di sudut bibirnya mulai membuat kembangan tangan baru. Gerakannya pelahan saja, namun memancing rasa ingin tahu. Parameswara yang menduga akan terjadi perubahan memandangnya dengan tak berkedip. Parameswara tahu, Ki Ajar Pratonggopati itu akan menggunakan ilmu kanuragan jenis lain menghadapi tata kelahi yang digunakan Ajar Taji Gading. Parameswara kemudian melihat adanya semacam bayangan tubuh yang tertinggal setiap kali Ki Ajar Pratonggopati itu bergeser. Dengan pelahan bayangan tubuh yang tertinggal itu lenyap. Bukan hanya Parameswara yang termangu menyaksikan pameran 89 kemampuan kanuragan amat luar biasa itu, akan tetapi Branjang dan Dyah Narasari juga. Dyah Narasari layak terkejut mendapati pamannya menggunakan aji kanuragan yang tak pernah dikenal sebelumnya. Sebagai anak Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun, Narasari merasa janggal dirinya tidak memiliki perbendaharaan apa pun terkait jenis ilmu aneh macam itu. Ki Ajar Taji Gading yang semula meremehkan lawannya, terbungkam mulutnya melihat kemampuan yang dipamerkan Ki Ajar Pratonggopati itu. "Ilmu apa yang akan digunakan Pratonggopati itu?" bisik Taji Gading dalam hati. Ki Ajar Pratonggopati telah siap. Tumpuan kakinya yang sedikit ditekuk dan tangan kiri setengah menuding ke depan, tangan kanan sedikit diangkat di arah belakang seolah memberi jawab atas apa pun yang akan dilakukan Ki Ajar Taji Gading. Pendek kata Ki Ajar Pratonggopati telah siap untuk diserang siap pula untuk menggempur. Ki Ajar Taji Gading tidak lagi berani meremehkan karena lamat-lamat, di tangan kanan lawannya itu muncul asap tipis menjadi pertanda, betapa besar kekuatan yang tersimpan di tangan kanan itu. Taji Gading bergeser kekiri lalu bergeser lagi ke kanan. Tangan kirinya silang-menyilang, tangan kanannya diarahkan ke bumi serta kemudian diangkat tinggi-tinggi. "Kau mengira kau sudah menang Taji Gading?" balas Ajar Pratonggopati dengan nada rendah nyaris berbisik namun terdengar sangat sangar. Meski berbisik, namun karena suara itu digetarkan menggunakan tenaga berasal dari alam bawah sadar sebagai tumpuan, maka tiap orang yang ada di halaman perguruan Kembang Ayun bisa mendengarnya. "Nah, Apa yang akan kaulakukan sekarang?" kembali Pratonggopati yang sudah waringuten 40 itu berkata. "Akan kulihat apa yang akan bisa kaulakukan," balas Taji Gading. Segera Taji Gading meloncat mengapungkan diri dan melesat dengan serangannya yang amat cepat dan trengginas. Bayangan tubuhnya lagi-lagi timbul tenggelam, ada saat-saat tertentu tubuhnya lenyap dari pandangan mata. Namun Ki Ajar Pratonggopati benar-benar sudah mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk menghadapi serangan itu. Dengan cepat pula tubuhnya mengapung dengan ringan di udara. Dengan gerakan yang sulit diikuti mata Ki Ajar Pratonggopati berloncatan meninggalkan jejaknya di mana-mana, jejak yang membingungkan karena tiba-tiba sosok Pratonggopati yang ada tidak hanya seorang, tetapi telah beranak-pinak menjadi beberapa orang. Sambaran dahsyat yang dilakukan Ki Ajar Taji Gading ternyata hanya mengenai tempat kosong. Demikian Ki Ajar Pratonggopati berhenti meloncat maka bayangan-bayangan yang tercipta itu memudar serta kemudian lenyap satu persatu. Apa yang dilakukan Ki Ajar Pratonggopati itu memaksa Ki Ajar Taji Gading terheran-heran beberapa kejab. Namun waktu yang ada itu digunakan dengan baik oleh Pratonggopati. Tangan kanannya yang terangkat itu mengayunkan serangan dari jarak jauh. Ajar Taji Gading sungguh terlambat menyadari keadaan. Gumpalan udara yang amat mampat mengejarnya. Sebuah hantaman yang dirasakan seperti palu godam menghajar dadanya, hentakan itu memaksanya jatuh berguling. Ki Ajar Taji Gading terpaksa menyeringai menahan rasa sakit yang tak terkira. Darah segar muncrat dari mulutnya. Sebuah luka dalam tampaknya segera menghadang sepak terjangnya. 40 Waringuten, jawa, basah kuyup oleh keringat 90 Wajah orang ketiga di perguruan Kembang Ayun itu benar-benar merah padam seperti kepiting direbus. Taji Gading sungguh tidak mengira akan mendapat gempuran yang tidak terduga, yang dengan telak menghantam dadanya. Dengan tertatih-tatih Taji Gading itu berdiri. "Keparat," umpatnya. Namun Ki Ajar Pratonggopati tidak mau berbuat curang dengan memanfaatkan waktu yang ada itu. Seandainya Ki Ajar Pratonggopati mau, dengan serangan susulmenyusul di saat Taji Gading terluka seperti itu maka Taji Gading tentu akan menjadi bulan-bulanan. Namun Ki Ajar Pratonggopati justru memberinya kesempatan kepada saudara seperguruannya untuk bangkit dan mengumpulkan lagi segenap kekuatannya. Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Dengan tertatih-tatih Ki Gede Taji Gading itu bangkit. Napasnya tersengal. "Keparat," lagi umpatnya dengan kasar. Pratonggopati tertawa pendek. "Seharusnya kautahu diri Taji Gading. Keinginanmu mengembalikan Perguruan Kembang Ayun pada anak keturunan Kuda Rangsang, itu sama halnya mengembalikan perguruan ini ke masa masa gelap sebagaimana sepak terjang Kuda Rangsang sendiri." Ki Ajar Taji Gading menggeram marah. "Dasar pengecut hina, lebih baik kaumati," teriak Taji Gading. Ki Ajar Taji Gading mengibaskan pakaiannya yang kotor oleh tanah. Halaman perguruan itu sendiri telah berubah seperti pekarangan yang dibajak, siap ditanami. Akibat dari perang tanding yang terjadi itu benar-benar sulit dimengerti, tanah bagai diaduk dibalik-balik oleh tangan raksasa. Ki Ajar Taji Gading yang telah berhasil menguasai diri itu kembali bermaksud melanjutkan pertempuran. Sebaliknya Ki Ajar Pratonggopati segera mempersiapkan diri pula. Agaknya Ki Ajar Taji Gading sangat marah dan telah menyiapkan aji pamungkas yang menjadi andalannya. Sebaliknya Pratonggopati tentu saja tidak mau dilumat oleh serangan yang mungkin sekali akan berupa banjir bandang. Pratonggopati juga mempersiapkan diri. Akan tetapi tiba-tiba Ki Ajar Kembang Ayun mengangkat tangan, memberi isyarat kepada Pratonggopati untuk tidak melakukan apa pun. "Batalkan niatmu adi Pratonggopati. Apa kau akan membunuhnya?" tanya Ki Ajar Kembang Ayun atau Padmanaba dengan suara amat tenang. Pratonggopati yang telah mengangkat tangan kanannya itu bergegas membatalkan diri. Namun justru Taji Gading yang merasa tersinggung. "Keparat," Taji Gading mengumpat. "Kaukira aku takut ha" Menggapa kaucegah dia, Padmanaba?" Orang yang dipanggil Padmanaba itu diam. Pandangan matanya amat kecewa. "Aku memberi kesempatan kepadamu untuk merenung, Taji Gading. Sadarilah kekeliruanmu," suara Ki Ajar Kembang Ayun terdengar penuh kesabaran. Namun Ki Ajar Taji Gading memang tak mungkin mengubah sikapnya. Rupanya Ki Ajar Taji Gading menyimpan perasaan kecewanya selama bertahun-tahun, perasaan dendam dan mungkin sakit hati itu telah mengakar kuat di dalam hatinya. Kesempatan yang diberikan Ki Ajar Kembang Ayun itu tentu tidak berarti apa-apa baginya. Ki Ajar Taji Gading benar-benar telah bulat tuntutannya. Maka tiba-tiba saja orang itu meloncat ke belakang, mengambil jarak yang cukup. Ajar Pratonggopati kembali mempersiapkan diri namun kembali Ki Ajar Kembang Ayun mencegahnya. 91 "Sebaiknya kaumati, Padmanaba," teriak Taji Gading. Masih dengan darah yang menetes-netes dari sudut mulutnya, Ki Gede Taji Gading kembali menyiapkan sebuah serangan. Kali ini yang dihadapinya bukan Pratonggopati, namun Ki Ajar Kembang Ayun yang dalam kesehariannya berujut lelaki tua yang lemah, yang sering diserang batuk di waktu malam. Namun Taji Gading tahu siapa sebenarnya Padmanaba itu. Itulah sebabnya Taji Gading tidak memulai perang tanding itu dari awal. Taji Gading langsung mengetrapkan puncak kemampuan kanuragan nya, ilmu kanuragan yang berasal dari kitab Sekar Langit pula. Taji Gading menggerakkan kedua tangannya silang-menyilang dengan pelahan. Darah masih menetes-netes dari mulutnya namun tidak ia pedulikan. Segenap siswa perguruan dan para cantrik yang mengabdi di Kembang Ayun memerhatikan apa yang dilakukan Ki Gede Taji Gading itu dengan seksama. Akhirnya, sebuah perubahan memang terjadi. Bayangan tubuh Ki Ajar Taji Gading itu seperti bergelombang. Makin lama makin kabur, semakin lamat-lamat dan tak begitu jelas. Ki Ajar Taji Gading kemudian lenyap dari pandangan mata. Para siswa perguruan Kembang Ayun pun menjadi gempar. Ki Ajar Taji Gading telah mengetrapkan Aji Panglimunan hingga ujutnya lenyap dari pandangan mata. Dengan ajian yang aneh itu, Taji Gading nyaris bisa berbuat apa saja. Menyadari kemungkinan terkena imbas bahaya, para siswa perguruan melangkah mundur memberi ruang yang lebih lebar. Parameswara yang mencemaskan ayah dan sekaligus gurunya itu segera menyiagakan diri demikian pula dengan Branjang dan Dyah Narasari. Akan tetapi Ki Ajar Kembang Ayun yang bertubuh ringkih dan sakit-sakitan itu justru memberi isyarat pada anak-anaknya untuk menjauh darinya. Tak diketahui dari mana asalnya, terdengar sebuah suara Ki Ajar Taji Gading. "Jangan salahkan aku jika hari ini kaumati, Padmanaba." Ki Ajar Kembang Ayun atau Padmanaba tidak menjawab, Lelaki tua itu justru menyingsingkan lengan bajunya. Beberapa siswa yang akhir-akhir ini selalu mengikuti perkembangan kesehatan Ki Ajar Kembang Ayun menjadi cemas. Apakah yang bisa dilakukan Ki Ajar yang ada kalanya untuk pergi ke halaman menghirup udara pagi harus dipapah oleh seorang cantrik untuk menghadapi Ki Ajar Taji Gading yang menguasai Aji Panglimunan yang luar biasa itu. Dari arah tidak kelihatan, Ki Ajar Taji Gading yang menyelubungi diri terdengar menggeram seperti lengkingan seekor harimau marah. Kalau saja tubuhnya tampak, maka akan terlihat Ki Ajar Taji Gading itu meloncat melontarkan serangan menyerang Tiyang Ageng Kembang Ayun atau Padmanaba itu. Yang terlihat jelas karena kasat mata justru apa yang dilakukan Ki Ajar Kembang Ayun. Pimpinan perguruan Kembang Ayun di tanah Pesanggaran itu terlihat bergeser sekilas. Tangan kanannya tiba-tiba mengibas cepat ke arah kirinya. Sebuah hantaman yang berasal dari serangan jarak jauh membuat tanah yang menjadi sasarannya berhamburan. Para siswa pun terkejut bukan kepalang, tak kurang Parameswara merasa jantungnya terpacu lebih cepat. Serangan pendahuluan yang dilakukan Kembang Ayun itu rupanya bisa meredam apa yang diperbuat Taji Gading. Dari sasaran terdengar tubuh melejit bergulingguling. Parameswara dan Mahisa Branjang memasang ketajaman telinganya dengan sebaikbaiknya. Ada kalanya mereka berhasil menerka di mana Taji Gading berdiri, ada kalanya pula mereka kehilangan jejak tak mampu menebak sama sekali. Hal yang demikian 92 adalah karena Ajar Taji Gading berusaha menyerap segenap suara yang timbul dari gerak tubuhnya. Namun meskipun Taji Gading itu lenyap dalam pelukan Aji Panglimunan, ternyata tidak menjadi hambatan bagi Padmanaba untuk menghadapinya. Ke mana pun Ajar Taji Gading itu bergeser maka Padmanaba selalu mengikutinya melalui ketajaman telinganya. Ada kalanya bahkan dengan mengandalkan ketajaman panggrahita, tak lagi mengandalkan indera pendengarannya. "Keparat," terdengar Taji Gading mengumpat. Parameswara bingung menyadari suara itu muncul dari beberapa tempat. Lagi-lagi terdengar sebuah auman keras, pertanda Ki Ajar Taji Gading telah siap menyerang. Ki Ajar Kembang Ayun bergeser sedikit. Tangan kanannya mengepal sambil menunggu sementara kedua kakinya yang tampak ringkih membentuk sebuah pertahanan yang pasti memberi jaminan tak gampang bagi Taji Gading untuk menerobosnya. Maka dengan tiba-tiba Ki Ajar Kembang Ayun mengapung bersamaan dengan suara desir tajam menyambar. Tubuh tua itu ternyata menyimpan kelincahan yang mengagumkan. Ki Ajar Kembang Ayun melejit dan kemudian meliuk, tangan kirinya mengayun deras. Kembali sebuah serangan jarak jauh dilepas, gumpalan adara yang padat mampat menyambar amat deras menuju sasarannya. Sebuah hentakan yang kuat lagi-lagi menyebabkan tanah berhamburan. Akan tetapi rupanya serangan yang dilakukan Ki Ajar Kembang Ayun atau Padmanaba itu amat telak mengenai sasaran. Terdengar suara tubuh berguling-guling. Bahkan Dyah Narasari bisa menebak dengan mudah ke mana arah tubuh yang terlempar itu. Pun demikian juga para siswa perguruan berlompatan mundur dalam upaya menghindar. "Keparat kau Padmanaba," terdengar umpatan Taji Gading yang kamanungsan 41. Tubuhnya Taji Gading bergelombang timbul tenggelam. Ki Ajar Taji Gading yang berusaha mempertahankan aji Panglimunan itu merasa kesakitan yang luar biasa. Darah segar membasahi mulutnya hingga berlepotan, serta rasa sakit yang teramat nyeri menyebabkan orang itu tak mampu lagi mempertahankan Aji Panglimunan. Tubuhnya yang semula lenyap menampak lagi. Di antara ada dan tiada Ki Ajar Taji Gading terhuyung-huyung. Dyah Narasari bahkan bisa menebak, dari mulutnya Ki Ajar Taji Gading mengeluarkan darah sedar. "Keparat, bangsat," umpatnya sekali lagi dengan amat kasar. Umpatan itu mengagetkan semua orang. Kini terlihatlah dengan nyata betapa kasar orang itu. Semua siswa yang menjadi saksi kejadian itu melihat betapa Ki Ajar Taji Gading ternyata bukan lawan yang berarti bagi Ki Ajar Kembang Ayun meski orang itu telah menguasai aji Panglimunan yang membuat tubuhnya bisa menghilang dari pandang mata. Ki Ajar Taji Gading yang kamanungsan itu seperti hantu terlambat bersembunyi terjebak oleh datangnya pagi. Napasnya tersengal. "Keparat kau, Padmanaba," umpatnya sambil mengusap darah di bibirnya. Dengan tenang Ki Ajar Kembang Ayun melangkah mendekat. "Aku beri kesempatan padamu untuk menyadari keadaan, Taji Gading." Ajakan itu tentu tidak akan membuat Taji Gading berubah pikiran. Dengan tatapan matanya yang tajam dan terasa sirik mengiris, Taji Gading serasa ingin mencengkeram wajah orang yang dibencinya itu dan membetot matanya sampai keluar dari kelopaknya. 41 Kamanungsan, jawa, kondisi di mana seseorang mulai terkelupas jati dirinya. 93 Sudah sekian lama Taji Gading harus bersandiwara, dan itu merupakan pekerjaan yang paling memuakkan baginya. Untuk menyadari keadaan" Itu hal yang tidak mungkin baginya. Ki Ajar Taji Gading tidak bisa menerima kenyataan itu begitu saja. Meski ia terluka, namun luka itu segera dikesampingkannya. Dengan menggeram keras Ki Ajar Taji Gading mempersiapkan serangan susulan. Padmanaba menunggu. "Keparat, Iblis laknat matilah kau di tanganku," sebelum menyerang ki Ajar Taji Gading masih menyempatkan diri untuk mengumpat. "Terimalah ini Padmanaba. Remuk kepalamu, hancur melalui hantaman tanganku." Didorong oleh kemarahan dan kebencian, Ki Ajar Taji Gading melenting dengan gerakan kaki mengayun menyambar dengan cepat. Jika Padmanaba tidak menghindar, maka ayunan kaki itu akan menghajar kepalanya. Namun Ki Ajar Kembang Ayun yang sudah tahu ke mana arah gerakan lawannya itu mengayunkan pula tubuhnya dengan arah berlawanan dengan bertumpu pada salah satu kakinya. Melihat apa yang dilakukan Ajar Kembang Ayun itu Taji Gading segera menggeliat mengubah arah serangan. Dengan berjungkir balik, tangannya mencengkeram dari atas, tubuhnya meluncur deras. Tetapi tentu saja bukan hal sulit bagi Ki Ajar Kembang Ayun untuk mengatasi keadaan yang tidak terduga-duga itu. Dengan berguling-guling Ki Ajar Kembang Ayun menghindar. Serangan yang berasal dari atas itu meluncur deras menghajar tempat kosong, lagi- lagi tanah bagai diaduk dan debu berhamburan. Namun tetap saja Ki Ajar Taji Gading bukanlah lawan yang seimbang bagi saudara tuanya. Ketika sekali lagi benturan antara tangan dan kaki terjadi, Ki Ajar Taji Gading terpental jauh dan berguling-guling di atas tanah. Mulutnya semakin berlepotan darah. Kali ini Taji Gading mengalami kesulitan untuk bangkit. Serangan yang baru saja terjadi serasa melumpuhkan tubuhnya. Kedua kakinya ngilu dan matanya berkunangkunang. Serangan yang dilakukan Ki Ajar Kembang Ayun atau Padmanaba, ternyata juga sekaligus menggerayangi letak simpul-simpul syarafnya hingga terasa kaku dan sulit untuk digerakkan. "Keparat kau Padmanaba. Apa yang baru saja kaulakukan padaku?" Padmanaba mengelus dada. Sudah sekian lama Padmanaba bergaul dengan Taji Gading. Siapa mengira kurun waktu yang sekian panjang itu tidak mengubah sikapnya. Benar kata pepatah, watuk bisa disembuhkan tetapi tidak dengan watak. Perilaku Ajar Taji Gading akan terbawa sampai mati. "Sadarlah Taji Gading, gunakan kejernihan pikiranmu," ucap Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun dengan nada tak berubah, tetap sabar jernih dari segala kebencian. Taji Gading menggeram. Umpatnya kasar. "Kaulah yang tidak tahu malu Padmanaba. Kau bukan apa-apa di tempat ini. Kau juga tidak mempunyai hak berada di sini." Tiyang Ageng Kembang Ayun memandang Taji Gading dengan napas mengombak, bukan kemarahan penyebabnya tetapi lebih karena kecewanya. "Kalau kau menghendaki, aku tentu tidak akan keberatan menyerahkan takhta kepemimpinan perguruan ini kepadamu." Apa yang dikatakan Ki Ajar Kembang Ayun itu seperti tak mempunyai arah yang jelas. Ki Ajar akan menyerahkan kekuasaan kepada Taji Gading" Apakah benar akan semudah itu" Sejenak setelah mengunyahnya Taji Gading justru merasakannya sebagai sebuah penghinaan yang menyakitkan. Namun Taji Gading benar-benar tidak bisa 94 bergerak lagi. Aji Panglimunan yang digunakannya ternyata belum pantas dihadapkan pada Padmanaba. Padmanaba tidak terlampau lama memandanginya. Padmanaba bermaksud masuk ke dalam pendapa. Pratonggopati segera memberi isyarat kepada beberapa orang siswa untuk segera meringkus Ki Ajar Taji Gading. Beberapa orang dengan cekatan segera bergerak, akan tetapi beberapa orang siswa yang lain merasa ragu diganggu oleh sebuah pertanyaan, apakah pantas Ki Ajar Taji Gading mendapat perlakuan seperti itu" Di saat yang demikian itulah tiba-tiba terdengar suara tertawa yang bergema. Suara tertawa yang terpantul-pantul dari segala sudut. Makin lama suara itu makin melengking tinggi, terasa menusuk-nusuk gendang telinga. Suara aneh itu jelas bukan jenis suara yang layak diremehkan. Beberapa orang siswa perguruan yang bermaksud meringkus Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tubuh Ki Ajar Taji Gading terpaksa berloncatan mundur, karena merasa serangan melalui gelombang suara itu lebih ditujukan kepada mereka. Padmanaba yang kemudian lebih dikenal sebagai Ki Ajar Kembang Ayun menghentikan langkah. Suara tawa melengking itu kemudian berhenti. Suasana menjadi sunyi dan senyap. Dyah Narasari merapatkan diri pada kakaknya. Ternyata suara tertawa yang melengking tinggi itu mampu membuat miris hatinya. Tak diketahui dari mana asalnya atau bagaimana bisa terjadi, tiba-tiba dari jarak yang sangat dekat dengan tubuh Taji Gading yang tergeletak telah berdiri sosok tubuh yang dibungkus jubah. Orang itu mengenakan topeng. Kali ini Parameswaralah yang agak terkejut. Ujut orang berjubah itu juga sama dengan ujut orang berjubah yang menemuinya. Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun merasa ngilu ulu hatinya. Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun tentu mengenal dengan baik siapa orang itu meski dengan menyelubungi diri di balik seribu topeng sekalipun. "Siapa kau?" Pratonggopati memecahkan suasana. Orang yang menyelubungi diri di balik topeng itu memandang Pratonggopati. "Sudah lama sekali Pratonggopati, namun entah apakah waktu yang berlalu itu menyebabkan kaulupa padaku?" jawab orang bertopeng yang baru muncul itu. Pratonggopati terperanjat. Pratonggopati mengenali pemilik suara itu. "Kuda Rangsang?" desisnya. Begitu nama itu disebut, serentak yang hadir di pendapa itu merasa permukaan jantungnya bagai digerayangi semut. Bukan oleh rasa ngeri membayangkan betapa tinggi ilmu kanuragan yang dimiliki Kuda Rangsang, namun justru oleh sebuah ingatan bahwa dulu perguruan Kembang Ayun memang pernah dipimpin oleh nama itu. Keberadaan nama Kuda Rangsang bagi segenap siswa perguruan nyaris seperti dongeng abadi. Akan tetapi perangai Kuda Rangsang yang tak terpuji menyebabkan Padmanaba datang untuk meredam perbuatannya. Kuda Rangsang ditantangnya dan kemudian dikalahkan. Karena kalah dalam perang tanding itulah maka Kuda Rangsang kehilangan perguruannya. Perguruan Kembang Ayun di tangan Padmanabapun berubah arah. Apabila semula perguruan Kembang Ayun adalah tempat orang-orang berkumpul dan membuat onar, maka keadaan itu segera berubah di tangan Padmanaba. Ajian Panglimunan yang menjadi andalan perguruan itu dilarang dipelajari. Kini Kuda Rangsang itu muncul lagi. Apakah ia bermaksud mengambil kembali perguruan yang pernah dimilikinya" Meski namanya telah disebut akan tetapi Kuda Rangsang tidak berniat membuka topeng jelek yang dikenakannya. Hanya Tiyang Ageng Kembang Ayun yang tahu mengapa Kuda Rangsang tidak mungkin membuka topengnya. 95 Ki Ajar Kembang Ayun yang semula bermaksud naik ke pendapa berbalik lagi. Dengan tenang Padmanaba mendekat dan memandangi orang yang menyebut diri Kuda Rangsang itu. Di sebelahnya Ki Ajar Taji Gading tergolek lemah tanpa daya. "Siapakah Kuda Rangsang itu kakang?" bisik Dyah Narasari kepada Branjang. Mahisa Branjang menggeleng. "Seperti yang mereka bicarakan itu Narasari. Kuda Rangsang adalah pemilik dari perguruan Kembang Ayun ini," jawab Mahisa Branjang sambil berbisik pula. Dyah Narasari manggut-manggut. Duduk persoalan yang berhubungan dengan pertikaian di masa lampau itu mulai dipahaminya. Rupanya, Ki Ajar Kembang Ayun ayahnya, selain dijunjung dan dihormati oleh banyak orang, ternyata ada pula pihak yang menyimpan dendam segunung anakan kepadanya. Agaknya dendam macam itu puluhan tahun lamanya disimpan oleh Ki Ajar Taji Gading, yang di belakangnya ada seseorang bernama Kuda Rangsang. "Bagaimana kabarmu, Kuda Rangsang?" sapa Ki Ajar Kembang Ayun dengan nada datar tidak menampakkan ketegangan atau pun dendam. Kuda Rangsang tak segera menjawab. Wajah di balik topeng itu pilih berjongkok dan menggerayangi beberapa simpul syaraf pada tubuh Ajar Taji Gading membebaskan dari penderitaannya. Taji Gading akhirnya berhasil menggeliat. Akan tetapi ketika ia mencoba berdiri, tubuhnya kembali terhuyung-huyung. Kuda Rangsang memandangi Padmanaba. Sikapnya tak seperti Taji Gading. Meski tidak terbaca dari raut mukanya yang terlindung dari balik topeng akan tetapi apa yang ia ucapkan terdengar bersahabat, tak ubahnya pembicaraan yang terjadi antara dua sahabat lama. "Keadaanku selalu baik, Padmanaba. Gerak waktu yang telah sekian lama berlalu, ternyata tidak menggeser ujutmu. Kau masih tetap muda dan tampan." Ki Ajar Kembang Ayun tersenyum. Bertemu dengan Kuda Rangsang ternyata bisa sebagai seorang teman lama yang berjumpa lagi akan tetapi bisa pula sebagai seorang musuh yang menyimpan gumpalan sakit hati yang bisa menjadi alasan untuk saling bunuh. "Kau tengah menyindirku Kuda Rangsang," jawab Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun. "Kau tentu sedang melihat ujutku yang semakin tua dan ringkih serta sakitsakitan. Taji Gading tentu sering memberikan laporan padamu, betapa setiap malam apalagi jika udara dingin menggigit, aku sering bertarung melawan batuk. Macam-macam saja yang harus kuhadapi di masa tua. Ada banyak penyakit yang menggoda di saat senja seperti ini. Bagaimana dengan luka di wajahmu" Dan apa saja kegiatanmu selama ini" Di sepanjang waktuku aku selalu membuka mata dan telinga namun tak ada kabar apa pun yang kudapat tentangmu. Konon katanya kau menarik pajak dari para perampok yang kau bina, mengapa kau memunguti uang receh macam itu?" Tiba-tiba arah pembicaraan Padmanaba itu bergeser. Yang ditanya terdiam. Pertanyaan itu tampaknya amat tidak disukainya. Mendapati Kuda Rangsang diam tidak menjawab mendorong Ki Ajar Kembang Ayun tertawa terkekeh, usianya benar-benar mengganggu suaranya karena harus berebut sela dengan batuk. Namun rangsang untuk geli itu memang amat kuat. Bagi Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun, peristiwa yang menjadi penyebab Kuda Rangsang harus kehilangan ketampanannya memang menggelikan. "Wajahmu tentu mengerikan, Kuda Rangsang?" ulang Padmanaba memancing. 96 Kuda Rangsang ikut mengumbar batuk, meski batuk yang dibuat-buat. "Amat mengerikan" jawab Kuda Rangsang. "Ujutku bahkan lebih mengerikan dari dhemit 42 penunggu pohon nyamplung raksasa. Hantu sendiri ketakutan dan lari terbirit-birit saat bertemu denganku. Itu sebabnya aku menggunakan wajah baruku ini, yang agak tampan dan tak perlu ditakuti bocah-bocah. Soal aku memunguti uang receh kaubenar, aku membina para perampok agar aku bisa mengumpulkan harta dengan cepat. Ada banyak orang yang ingin memiliki kemampuan kanuragan, mereka antara lain para perampok yang sekarang sedang merajalela di wilayah Bagelen. Dengan kedudukan yang demikian itu, aku bisa menebar ketidak-tenteraman di mana-mana. Dan itu sungguh hal yang menyenangkan bagiku." Padmanaba atau Ki Ajar Kembang Ayun manggut-manggut. Dyah Narasari merasa heran setelah memperoleh simpulan, simpulan yang sama yang didapat Parameswara dan Mahisa Branjang bahwa meskipun bermusuhan, antara Ki Ajar Kembang Ayun dan Kuda Rangsang terjalin persahabatan yang erat. Boleh jadi sikap hidup berlawanan di antara mereka yang menjadi penyebab permusuhan itu. Namun sikap hidup Kuda Rangsang itu terasa aneh, kebanggaan macam apa yang bisa diperoleh dari membina para perampok kecuali di hatinya memang tumbuh bulu-bulu hitam, berupa kegemaran membuat onar kekacauan, sikap yang amat bertolak-belakang dengan Ki Ajar Kembang Ayun. "Bagaimana dengan ilmu kanuragan yang kaupelajari" Selama ini aku bayangkan, kau tentu terus menggembleng diri hingga ilmumu sundul langit. Pada saatnya kau akan datang kepadaku untuk berperang tanding. Tingkatan aji Panglimunan yang kaugunakan tentulah amat sempurna, tanpa meninggalkan jejak suara. Jika kau sudah sampai pada tataran itu, apalah yang bisa dilakukan Padmanaba?" Tak tercegah Parameswara merasa ngeri. Pamannya yang bernama Taji Gading itu, meski telah mampu menghilang, namun jejaknya masih tertinggal dan bisa dilacak. Jika tingkat ilmu Panglimunan itu sudah amat tinggi tidak akan meninggalkan jejak apa pun. Bahkan Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun sekalipun mungkin tak mampu menangkap bayangannya. Pertanyaan itu menyebabkan Kuda Rangsang tertawa terkekeh. "Kaubenar Padmanaba," jawab Kuda Rangsang. "Bertahun-tahun aku mempelajari dan menyempurnakan aji Panglimunan. Namun semua orang tahu siapakah Padmanaba itu. Orang sakti yang di dalam tubuhnya bersemayam berbagai jenis ilmu kanuragan, aji jaya kawijayan guna kasantikan 43. Apa arti Aji Panglimunan jika kau membetengi dirimu dengan tebalnya dinding aji Topeng Waja 44?" Parameswara termangu. Apa yang dikatakan Kuda Rangsang itu memang benar. Ki Ajar Kembang Ayun memang menguasai ajian yang disebut Topeng Wojo itu. Sejenis ilmu melindungi diri dengan melapisi tubuh menggunakan tebalnya kekuatan yang kasat mata. Sifat Aji Topeng waja adalah perlindungan tak ubahnya lapisan dinding yang akan menjawab serangan dalam bentuk apa pun. Sifat Aji Topeng Waja amat mirip dengan aji Lembu Sekilan 45. Pada aji lembu sekilan, serangan musuh akan selalu kurang sekilan. 42 Dhemit, jawa, hantu 43 Aji jaya kawijayan guna kasantikan, jawa, kemampuan olah kanuragan dan kesempurnaan olah batin. 44 Topeng waja, jawa, secara harfiah berarti topeng baja. 45 Lembu Sekilan, jawa, dua kata itu masing-masing berasal dari kata Lembu yang berarti sapi dan sekilan yang berarti panjang atau jarak antara ujung jempol dan ujung jari manis saat direntangkan. Masyarakat Jawa umumnya percaya Mas Karebet atau Jaka Tingkir yang menjadi menantu Sultan Trenggana dan 97 Dalam waktu beberapa bulan ini, Parameswara juga telah dipersiapkan dengan latihan- latihan khusus untuk mewarisi aji Topeng Waja itu. "Lalu apa keperluanmu datang kali ini Kuda Rangsang" Apakah benar seperti yang dikatakan Taji Gading yang ternyata tidak bisa menghapus kesetiaannya padamu, kau menghendaki perguruan ini kembali padamu?" Pertanyaan yang dilontarkan oleh Ki Ajar itu tiba-tiba saja memancing resah. Jika keperluan Kuda Rangsang itu memang benar seperti yang dikatakan Padmanaba itu maka akan terjadi lagi perang tanding yang mungkin lebih dahsyat. Apakah Ki Ajar Kembang Ayun sanggup menghadapi Kuda Rangsang" Sebagian dari beberapa siswa merasa yakin tak akan ada orang yang bisa mengalahkan Ki Ajar. Namun beberapa orang lagi menjadi cemas, apakah Ki Ajar yang sakit-sakitan itu sanggup menghadapi lawan yang datang untuk meminta pengembalian perguruan itu. Terlebih-lebih dari pembicaraan itu dapat disimpulkan, Kuda Rangsang telah menggembleng diri bertahun-tahun lamanya untuk membalas membuat perhitungan dengan Padmanaba. Dyah Narasari, Branjang serta Parameswara segera mempersiapkan diri. Mereka tidak akan membiarkan Ki Ajar berada dalam bahaya. Namun Kuda Rangsang itu tertawa. Suaranya terdengar lunak. "Padmanaba," kata Orang berjubah itu, "jangan salahkan Taji Gading bila ia tidak memiliki kesetiaan padamu. Taji Gading itu adikku, adik kandungku. Wajar jika Taji Gading berbalik padaku ketika aku muncul lagi. Pun kedatanganku kali ini bukan untuk mbarang amuk 46. Persoalan perguruan Kembang Ayun, aku merasa malu untuk merebut kembali darimu. Perguruan ini maju pesat dan berbau wangi ngambar arum47 di bawah binaanmu. Tentu saja aku tak akan mempersoalkan. Hanya saja, andaikata anakku kelak akan menghadap kepadamu untuk meminta kembali warisan ayahnya, aku sama sekali tidak mengajarinya." Padmanaba manggut-manggut. "Siapakah nama anakmu yang kelak akan menagih hutang kepadaku itu?" "Hesti Ranggasura, itulah nama anakku." Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun mengangguk. "Baik!" Ki Ajar menjawab tegas. "Perguruan ini akan menyambut kedatangan Ranggasura itu dengan sangat meriah." Apakah arti dari disambut dengan meriah" Apakah itu berarti meriah dengan pertumpahan darah" Sejenak Kuda Rangsang mengunyah dan merenungkannya, namun segera ditepisnya pikiran itu. Untuk kedatangannya kali ini karena ada hal yang lebih penting dari merebut kembali kekuasaan atas Kembang Ayun. "Apakah kau masih ada keperluan lain?" kembali Ki Ajar Kembang Ayun bertanya. Orang bertopeng yang menjadi pusat perhatian itu mengangguk. "Benar Padmanaba," jawabnya, "aku datang untuk mengingatkanmu atas sebuah hal yang amat penting. Purnama yang dijanjikan tinggal beberapa saat lagi. Semoga kau tidak melupakan Air Terjun Seribu Angsa." menjadi Raja Pajang menguasai ilmu Lembu Sekilan. SH Mintardja dalam Nagasasra dan Sabuk Inten mempertegas hal itu. 46 Mbarang amuk, jawa, mengamuk. Dalam bahasa Jawa kata mbarang itu berarti mengamen, dengan demikian mbarang amuk berarti menggelar acara (mengamen) mengamuk 47 Ngambar arum, jawa, secara harfiah berarti berbau wangi, terkenal 98 Ucapan Kuda Rangsang itu amat jelas dan tidak perlu diulang kembali. Segenap orang yang hadir di tempat itu mampu menangkap dengan sangat jelas apa maknanya. Kuda Rangsang membimbing Taji Gading untuk bangkit berdiri. Kuda Rangsang dengan wajah dibungkus jubah dan wajah disembunyikan di balik topeng itu melambaikan tangan seolah salam perpisahan untuk semua orang yang hadir di tempat itu. Ajian Panglimunan kembali membungkusnya. Tubuh Kuda Rangsang dan Taji Gading seperti bergoyang seolah ada gerakan-gerakan bayangan yang menyelimuti tubuh keduanya. Tubuh yang semula terlihat nyata itu mulai kabur, semakin kabur, semakin berada di ruang antara ada dan tak ada. Untuk kemudian lenyap tak ketahuan jejaknya. Kuda Rangsang dan Taji Gading lenyap. Dengan cara yang aneh itulah Kuda Rangsang dan Taji Gading pergi meninggalkan tempat itu. Untuk selanjutnya, tampaknya segenap murid perguruan Kembang Ayun di Pesanggaran itu tak akan pernah melihat lagi Ki Ajar Taji Gading. Sejenak kemudian, gemparlah para siswa. Bagi mereka peristiwa yang baru saja terjadi, sungguh luar biasa. Selama ini para murid perguruan tak percaya aji Panglimunan itu ada. Kini mereka melihat dengan mata dan kepala sendiri. Untuk beberapa saat Ki Ajar Kembang Ayun masih berdiri seperti dililit oleh pesona yang ditinggalkan oleh Kuda Rangsang dan Taji Gading. Dengan agak bergegas Parameswara dan Dyah Narasari memegangi lengan Ki Ajar dan membimbingnya masuk ke dalam pendapa. Ki Ajar Pratonggopati memerintahkan kepada segenap murid untuk membenahi Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo halaman yang telah berubah seperti kebun yang baru saja disingkal dengan bajak. Ki Ajar Pratonggopati bergegas menyusul ke ruangan dalam, ke bilik pribadi Ki Ajar Kembang Ayun. 12. (Rangkaian peristiwa tahun 2011) Pagi pun datang menyapa Singasari, ini kota yang mendadak punya alasan untuk membuat Parra Hiswara berdebar-debar. Lalu-lalang kendaraan tidak ada yang berubah, pun geliat penduduknya tak ada yang berubah. Ketika melintas pusat kota, tidak ada yang berubah, toko-toko buka seperti biasanya, juga pasar-pasar ramai seperti biasanya. Juga kereta api yang melewati bawah jalan layang yang melintas di atasnya tidak ada yang berubah, Kereta api selalu membunyikan klakson melengking panjang, isyarat agar orang-orang yang riuh dalam kegiatan di pasar tumpah berhati-hati, semua tak ada yang berubah, biru langit dan bau udaranya tidak berubah. Tidak berubah pula sebuah warung sederhana di depan gedung olah raga yang di tempat itu ia sering mencari peluh dengan bermain badminton, termasuk ratusan burung dara milik pemilik warung itu yang dipiara dalam pagupon berukuran besar. Untuk para burung dara itu juga tidak ada perubahan besar, setiap hari pemiliknya harus menyiapkan dua kilogram remah jagung. Akan tetapi Parra Hiswara merasa yakin ada penyimpangan besar, ada sesuatu yang berubah. Sejak ia menerobos dimensi waktu terlempar jauh dari kotanya lalu terjerembab di sebuah tempat bernama Selo di kaki Gunung Merbabu dan Merapi, maka ada sesuatu 99 yang ia yakini berubah. Ia terjerembab di bawah tanah saat pembuatan septick tank siang hari, namun hanya satu jam berikutnya ia terlempar ke tengah malam, yang demikian berarti ia telah melintasi dimensi ruang dan waktu, hanya dalam sejam siang berubah ke malam dan hanya dalam sejak yang ia alami, ia terlempar jauh ke kaki Merapi, berjarak hampir lima ratusan kilometer dari asalnya. "Kenapa tidak berselisih waktu setahun sekalian, dan mengapa hanya sejauh Selo di kaki Merapi, mengapa tidak di Belanda atau kemunculanku di kaki candi itu di kutup utara atau kutup selatan, bahkan kalau masih ada di tempat yang lebih jauh lagi, di planet lain yang aku tidak bisa pulang!" Parra Hiswara mengeluh. Parra Hiswara mengurut keningnya. Paham terhadap kekalutan sahabatnya Yogi Sutisna segera menepikan kendaraannya. "Langkah apa yang perlu kita ambil?" tanya Yogi Sutisna. Parra Hiswara merasa tidak punya jawabnya. "Aku sangat bingung," bisiknya dengan amat berat. "Kepalaku seperti mau pecah, mungkin lebih baik pecah saja sekalian." Yogi Sutisna tidak berniat tersenyum, belakangan memang terlihat betapa kacau keadaan Parra Hiswara. Rambutnya awut-awutan dan tubuhnya kotor sekali. Dalam kondisi yang demikian yang dibutuhkan Parra Hiswara adalah mandi dan tidur. Namun tidur pun rupanya bukan cara yang efektif untuk menenteramkan diri. Masalah yang ia hadapi bahkan mengejarnya hingga ke wilayah mimpi. Parra Hiswara cemas, mimpi bisa jadi wilayah yang lebih menakutkan daripada di alam nyata. "Kau tidak mungkin pulang, bukan?" Parra Hiswara mengangguk. "Tentu," jawabnya. "Aku sudah mati. Sebaiknya aku menunggu di hotel saja. Aku percayakan sepenuhnya kepadamu untuk menyampaikan dongeng tentang pengalamanku pada istriku. Tolong berikan penjelasan padanya menggunakan cara yang paling masuk di akal, akan tetapi mungkin tak perlu semua orang mendengar. Kaubisa menyimpulkannya sendiri apa yang harus kaulakukan." Yogi Sutisna mengangguk. "Ya!" jawabnya, "aku tahu itu." Yogi bertindak cekatan. Dari mengantar Parra Hiswara untuk bersembunyi Yogi langsung ke alamat yang dituju. Akan tetapi Yogi Sutisna rupanya masih harus terkejut untuk kesekian kalinya. Rumah Parra Hiswara dikepung oleh banyak orang, bahkan ada banyak Polisi di sana, yang demikian pasti karena terjadi sesuatu di rumah itu dan ada hal tak wajar yang menjadi perhatian. "Ada apa?" tanya Yogi sambil menepikan kendaraan. Yogi Sutisna segera membaca adanya sesuatu yang tidak beres. Wajah-wajah yang tampak tegang menjadi petunjuk orang-orang yang berkumpul itu tak sekadar berkumpul oleh alasan berduka cita. Akan tetapi Yogi Sutisna tidak perlu merasa penasaran terlalu lama. Kebetulan ada Rayana yang sangat dikenalnya. "He!" sapa Yogi Sutisna. Rayana yang berbalik kaget. "Heh, kamu?" balasnya. "Ada apa ini?" Yogi Sutisna langsung pada pertanyaannya. Rayana Suriatmaja membawa Yogi Sutisna menjauh agar pembicaraan yang terjadi tidak didengar orang lain. 100 "Kaudatang karena ditelepon Hirkam?" tanya Rayana. Yogi Sutisna mengangguk. "Ya!" jawab Yogi, "tetapi agaknya masih ada peristiwa lanjutan yang terjadi hari ini" Ramai sekali dan melibatkan Polisi segala!" Rayana menyebar pandang matanya menyapu kerumunan orang. Bangau Sakti 41 Pendekar Naga Putih 05 Jari Maut Pencabut Nyawa Meteor Kupu Kupu Dan Pedang 2