Ceritasilat Novel Online

Darah Pendekar 18

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 18 Akan tetapi Bwee Hong sudah siap sedia menghadapi serangan ini maka begitu terkaman itu tiba, ia sudah dapat mengelak dengan amat cepatnya dan membalas dengan tendangan ke arah perut orang tinggi be-sar itu. "Dukk!" Orang itu menangkis dengan lengan-nya dan dari tangkisan ini tahulah Bwee Hong bahwa lawannya hanya memiliki tenaga kasar saja. Sebaliknya orang itu, begitu menangkis, tangannya sudah mencengkeram hendak menangkap kaki yang menendang. Akan tetapi, tangan Bwee Hong su-dah menyambar ke depan dan tangan kirinya yang membentuk paruh burung sudah menyambar ke arah mata lawan. Kagetlah laki - laki itu karena gerakan gadis itu sedemikian cepatnya sehingga hampir saja dia tidak mampu menghindarkan diri-nya lagi. Hanya dengan membuang dirinya ke be-lakang dia dapat mengelak, akan tetapi Bwee Hong telah menyusulkan tendangan berantainya yang amat lihai itu- Lawannya berusaha mengelak dan menangkis, hanya empat kali berhasil dan tendang-an susulan yang ke lima kalinya tanpa dapat dice-gah lagi telah mengenai lambungnya. "Dukk augghhh !" Tubuh yang ting- gi besar itupun terpelanting dan si tinggi besar itu tak mampu bangun lagi karena roboh pingsan. Menyaksikan betapa kepala mereka yang amat mereka andalkan itu ternyata roboh pula oleh ga-dis cantik itu, enam orang kasar tadi menjadi ter-belalak dan muka mereka berobah pucat sekali.Sementara itu, A - hai sejak tadi nonton saja dan diapun tahu apa artinya guci uang itu. Agaknya, pemuda inipun menjadi penasaran sekali" "Memaksa orang memberikan uangnya, sama saja de-ngan perampokan di siang hari, di tempat ramai pula. Sungguh keterlaluan!" Sambil berkata de-mikian, A-hai lalu mengangkat guci uang itu, menuangkan isinya sehingga banyak uang berham-buran keluar dari guci. Tumpukan uang itu lalu ditendang dan disebar - sebarkannya. Tentu saja menjadi rebutan orang - orang yang banyak lalu-lalang, di tempat itu. Enam orang kasar itu tidak berani banyak bergerak, bahkan diam - diam mereka lalu menggotong pimpinan mereka dan meng-ambil langkah seribu melarikan diri dari tempat itu. Mereka merasa takut sekali. Baru gadis itu saja sudah membuat mereka tidak mampu mela-wan, apa lagi kalau dua orang pemuda yang datang bersama dara itu juga turun tangan. Bisa celaka mereka, mungkin akan mati semua mereka. Maka merekapun segera menghmbil langkah aman dan melarikan diri. Tiga orang muda itu lalu memasuki kota kecil dan melihat - lihat keadaan. Berita tentang diha-jarnya para pencoleng oleh gadis cantik yang da-tang bersama dua orang muda itu segera tersiar dan ramai dibicarakan orang. Banyak orang diam-diam bersyukur bahwa dalam keadaan kalut seperti itu masih ada pendekar yang suka turun tangan membasmi kejahatan. Peristiwa itu mendatangkan secercah sinar harapan dalam hati mereka yang ta-dinya sudah menjadi muram dan tak acuh karena kekalutan yang melanda kehidupan mereka selama ini. Tiga orang muda itu melihat bahwa biarpun di dalam kota kecil itu masih terdapat orang - orang berpakaian seragam, yaitu para penjaga keamanan kota, namun sikap mereka itu tak acuh walaupun masih jelas nampak keangkuhan dan ketinggian hati mereka. Sore hari itu, setelah memperoleh kamar pengi-napan, Bwee Hong, Seng Kun dan A hai keluar dan memasuki sebuah restoran. Ternyata, biar da-lam keadaan kalut, restoran itu menyediakan ma-kanan yang cukup lengjkap sehingga Bwee Hong merasa gembira ketika memesan masakan kesa-yangannya. Seperti juga para pengusaha lainnya, restoran yang cukup besar itupun memelihara be-lasan orang tukang pukul yang berjaga di dalam ruangan dan juga di depan pintu. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Tiga orang muda itu sedang enak - enaknya makan masakan yang mereka pesan ketika terde-ngar suara ribut - ribut di luar pintu. Karena mereka itu kebetulan memperoleh tempat duduk di dekat pintu, maka mereka dapat melihat bahwa yang ribut - ribut itu adalah percekcokan antara seorang pengemis tua dengan para tukang pukul penjaga atau pelindung keamanan restoran itu. Percekcokan mulut' yang kemudian diteruskan menjadi perkelahian. Dan ternyata pengemis tua itu lihai bukan main. Pengemis jembel yang mengempit tongkat hitam itu hanya menggunakan sebelah tangan kirinya saja, akan tetapi belasan orang tukang pukul yang mengeroyoknya terpe-lanting ke kanan kiri, jatuh bangun dan dihajar kalang - kabut. Akhirnya, semua tukang pukul su-dah roboh terguling dan tidak berani melawan lagi. Pengemis tua yang bertubuh pendek kecil akan tetapi perutnya buncit itu lalu mengeluarkan sebuah kantong butut, dilemparkannya kantong itu. ke arah meja kasir yang berada di dekat pintu. "Penuhi kantongku itu !" bentaknya dan mata-nya yang kemerahan itu melotot. Melihat ini Bwee Hong memandang kepada kakaknya, sinar matanya minta pertimbangan. Seng Kun berbisik. "Jangan ikut campur. Lihat di sudut itu. Di sana ada empat orang petugas keamanan kota, pa-kaiannya seperti perwira, akan tetapi mereka itu pura - pura tidak melihat keributan ini. Mengapa kita harus campur tangan ?" Majikan restoran itu yang duduk di meja keu-angan, terpaksa memenuhi kantong butut itu de-ngan uang, kemudian menyerahkannya kepada si pengemis dengan sikap takut takut. Pengemis itu menerima kantong, isi kantongnya lalu dituangkan ke dalam kantong besar yang diikat di punggung-nya. Kemudian, kantong butut kosong itu dilem-parkannya ke atas meja yang dihadapi Bwee Hong, Seng Kun dan A - hai. "Nona tadi telah mengabaikan biaya yang menjadi kewajiban semua orang yang lewat di pintu gerbang, sekarang harus nona penuhi kantong itu dengan uang, baru aku mau menghabiskan perka-ra itu!" A - hai memandang dengan mata terbelalak ketakutan. Dia sudah melihat betapa lihainya pe ngemis tua itu. Akan tetapi, Bwee Hong sudah menjadi marah dan iapun meloncat bangun dari kursinya, bertolak pinggang di luar pintu restoran menghadapi pengemis itu sambil tersenyum meng-ejek. "Huh, kukira engkau adalah jembel tua yang hanya mencari derma, kiranya engkau jembel bu-suk yang menjadi sekutu para pencoleng itu. Me-muakkan sekali I" Pengemis tua itu membelalakkan matanya yang merah dan diapun memutar tongkat yang tadi ke-tika dia dikeroyok selalu dikempitnya saja tanpa pernah dipergunakan itu. Baru dengan sebelah tangan kosong saja dia sudah mampu merobohkan belasan orang tukang pukul. Dapat dibayangkan betapa lihainya kalau mempergunakan tongkatnya itu sebagai senjata. Akan tetapi, pengemis yang sudah tua itu agaknya tahu malu dan merasa sung-kan kalau dia sebagai seorang tokoh besar harus menandingi seorang gadis cantik yang begitu muda. Maka matanya yang merah mengerling ke arah A-hai dan Seng Kun, lalu mulutnya mengomel. "Tak tahu malu ada dua orang, lelaki membiar-kan teman wanitanya yang maju. Kalau kalian bu-kan pengecut, majulah dan jangan berlindung di belakang wanita!" Biarpun dia sendiri tidak sadar bahwa dia me-miliki kepandaian tinggi, akan tetapi A-hai sama sekali bukan seorang pengecut. Dia bangkit ber-diri dan menudingkan telunjuknya ke arah muka pengemis itu. "Eh, kakek pengemis jangan engkau bicara seenaknya saja, ya! Aku bukan tukang berkelahi seperti engkau, akan tetapi jangan bilang kalau aku pengecut!" Bwee Hong cepat berkata, "A-hai, sudahlah, jangan ikut campur. Yang menghajar para penco-leng di pintu gerbang adalah aku, maka kini aku-lah yang akan mempertanggungjawabkan perbuat-an itu terhadap datuknya pencoleng ini!" Ia lalu melangkah maju dan mengejek, "Jembel - busuk, kalau engkau takut melawan aku, pergilah dengan cepat dan jangan banyak cerewet lagi !" "Perempuan rendah !" Pengemis itu marah dan tongkatnya meluncur bagaikan kilat menusuk ke arah leher Bwee Hong. Akan tetapi terkejutlah dia ketika melihat tubuh gadis di depannya itu tiba-tiba lenyap dan tahu - tahu dari samping gadis itu telah membalas serangannya dengan KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ sebuah ten-dangan kilat yang nyaris mengenai lambungnya. Kakek itu cepat meloncat ke depan sambil menge-lebatkan tongkatnya menangkis, akan tetapi Bwee Hong sudah menarik kembali kakinya. Terjadilah perkelahian yang seru dan cepat sekali. Gerakan pengemis itu ternyata amat gesit, akan tetapi meng-hadapi Bwee Hong dia masih kalah jauh dalam hal kecepatan. Perkelahian dalam tempo yang amat cepat ini membuat mereka yang melihatnya menjadi silau dan kabur pandangannya. Seng Kun memandang sejenak penuh perhatian lalu diapun melanjutkan makan minum dengan sikap tenang. A-hai yang juga nonton dengan gelisah, melihat betapa Seng Kun tidak mengacuhkan adiknya yang sedang berkelahi itu, menegur, "Engkau ini bagaimana sih " Adikmu berkela-hi melawan pengemis yang demikian lihainya dan engkau enak - enak makan minum saja !" Seng Kun mengangkat muka memandang wa-jah yang tampan gagah itu sambil tersenyum. "Ha-bis harus bagaimana aku ?" "Bantulah, atau hentikanlah perkelahian itu !" "Tidak apa, ia tidak akan kalah." "Bagaimana engkau tahu " A - hai mene- ngok lagi dan dia terbelalak melihat betapa tahutahu pengemis tua itu telah terpelanting jauh, entah terkena pukulan atau tendangan Bwee Hong yang berdiri bertolak pinggang dengan sikap menantang. "Bawa kantong busukmu dan enyahlah !" kata Bwee Hong sambil melemparkan kantong kosong yang tadi oleh si pengemis dilemparkan ke atas meja. Pengemis itu memungut kantong itu, lalu bang-kit berdiri dan memandang ke arah Bwee Hong, Seng Kun dan A - hai. Matanya yang sudah merah itu menjadi lebih merah lagi ketika dia berkata, "Kalian mempunyai perhitungan dengan kami, orang - orang rimba hijau dan sungai telaga. Hati-hatilah kalian !" Setelah jembel tua itu pergi, Bwee Hong dan dua orang pemuda itu melanjutkan makan minum, tidak memperdulikan pandang mata orang - orang yang ditujukan ke arah mereka dengan kagum. Setelah kenyang dan membayar harga makanan, merekapun kembali ke kamar hotel mereka. Malam itu, Seng Kun dan Bwee Hong bersikap waspada, tidak seperti A - hai yang sudah tidur sore - sore. Kakak beradik ini maklum bahwa pe-ristiwa sore dan pagi hari tadi tentu masih akan berkelanjutan. Mereka maklum bahwa para pen-jahat yang agaknya menguasai kota kecil itu, se-telah mendapat hajaran, tentu akan berusaha membalas dendam dan mendatangkan jagoan - jago-an mereka yang lebih lihai. Oleh karena itu, Seng Kun meninggalkan kamarnya di mana dia tinggal bersama A - hai dan bercakap - cakap sambil ber-jaga dengan adiknya di ruangan depan adiknya. Dan apa yang mereka khawatirkan dan nanti-nantikan itu memang sungguh terjadi. Menjelang tengah malam, ketika mereka sudah bosan menanti dan hendak tidur, tiba - tiba mereka dikejutkan oleh suara harimau mengaum. Keduanya masih duduk dengan tenang akan tetapi dengan jantung berdebar dan urat syaraf menegang ketika daun pintu terbuka dengan mudahnya dari luar, seolah-olah didobrak oleh tenaga raksasa dan muncullah seorang kakek tinggi besar yang mengenakan ju-bah kulit harimau. Kakek itu usianya tentu sudah limapuluh tahun lebih, akan tetapi tubuhnya ma-sih nampak tegap dan membayangkan tenaga besar, rambutnya yang dibungkus kain hitam itu masih nampak hitam lebat, dengan cambang bauk mem Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo buat wajahnya nampak menyeramkan. Jubahnya dari kulit harimau tutul dan sepasang matanya bersinar - sinar galak. Berturut - turut muncul pula enam orang laki - laki yang kesemuanya bersikap kasar dan bertubuh tegap. Seng Kun bangkit berdiri dan menghadapi mereka. Bwee Hong juga sudah bangkit dan men- dampingi kakaknya. Sejenak mereka saling beradu pandang dan tiba - tiba kakek tinggi besar itu ter-tawa. Suara ketawanya menyeramkan karena di-seling gerengan - gerengan seperti auman KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ harimau. Dia adalah seorang tokoh besar di dunia penjahat, seorang di antara Sam - ok (Si Tiga Jahat) dan dia-lah yang kini menjadi seorang di antara, pemban-tu - pembantu dan kepercayaan Raja Kelelawar. Orang ini adalah San - hek - houw Si Harimau Gu28 29 nung. Para pencoleng yang siang tadi dihajar oleh Bwee Hong, juga si pengemis lihai, adalah anak buahnya. Ketika mendengar pelaporan betapa anak buahnya, juga si pengemis lihai yang diserahi tugas mengamati dan memimpin para anak buah yang beroperasi di kota kecil itu, dihajar oleh seorang gadis cantik, tentu saja San - hek - houw menjadi marah dan penasaran sekali. Maka, malam itu, dengan diiringkan oleh beberapa orang pemban-tunya, dia mendatangi rumah penginapan di mana gadis dan dua orang muda itu berada. Pemilik rumah penginapan dan para penjaganya sudah sejak tadi menyembunyikan diri begitu mendengar suara auman harimau itu, yang mereka kenal sebagai tanda kemunculan "raja" penjahat yang mengua-sai kota itu. Ketika datang sendiri dan melihat bahwa yang dianggapnya musuh berbahaya itu hanyalah seo-orang gadis muda yang cantik bersama seorang pemuda tampan yang kelihatannya lemah, San-hek - houw tak dapat menahan ketawanya. Tentu saja dia memandang rendah kepada anak - anak ini. "Ha - ha - ha, benarkah bahwa kalian bocah-bocah ini yang siang dan sore tadi mengacau di kota ini ?" tanyanya, suaranya menggetar dan pa-rau menyeramkan. Seng Kun yang dapat menduga bahwa orang ini tentu merupakan tokoh besar penjahat dan merupakan lawan tangguh, sudah mendahului adiknya, melangkah maju dan berkata dengan sua-ra halus, "Sobat, sesungguhnya bukan kami yang mengacau, melainkan teman temanmu itu, dan kami hanya membela orang yang tertindas saja." "Ha - ha - ha, orang muda, aku mendengar bah-wa yang memukul anak buahku adalah seorang gadis cantik. Ia itukah orangnya ?" San-hek-houw menudingkan telunjuknya ke arah Bwee Hong. Bwee Hong sudah sejak tadi menjadi marah. Ia tidak sesabar kakaknya dan kini mendengar pertanyaan itu, iapun menjawab lantang, "Benar ! Akulah yang menghajar pencoleng - pencoleng bu-suk itu. Habis, engkau mau apa ?" "Bagus ! Engkau harus menyerahkan diri un-tuk kutangkap dan menerima hukuman!" kata San - hek - houw. "Hemrn, andaikata aku mau iuga, pedangku ini yang tidak membolehkan aku menyerah kepada segala macam penjahat kejam !" kata Bwee Hong sambil menghunus pedangnya. "Ha - ha - ha, engkau kuda betina liar yang cantik, memang patut untuk ditundukkan dulu sebelum dijinakkan ! Ha-ha-ha!" Kakek tinggi besar itu menggerakkan tangannya dan ada angin menyambar dahsyat ketika lengannya yang pan-jang mencuat dan mencengkeram ke arah dada Bwee Hong. "Dukkk!" Seng Kun menangkis dari samping. Harimau Gunung terkejut ketika merasa betapa tangkisan pemuda itu membuat lengannya terge-tar. Tahulah dia bahwa pemuda ini ternyata ber-isi juga, maka diapun mengeluarkan suara auman yang menggetarkan seluruh bangunan rumah pe-nginapan itu, kemudian diapun menyerang Seng Kun dengan kalang - kabut. Sepak terjangnya memang kasar sekali, dan mengandung kebuasan, apa lagi serangannya itu disertai gerengan - gerengan seperti harimau. Dan meruanglah, tokoh hitam ini mempunyai pembawaan seperti harimau. Biasa-nya, kemunculannya selalu ditemani oleh sepasang harimau kumbang, akan tetapi sekali ini, dalam tugasnya mengacau dan menuju ke kota raja, dia terpaksa meninggalkan sepasang binatang peliha-raan itu di dalam kandang. Dan ilmu silatnya ju-ga merupakan ilmu silat yang gerakan - gerakan-nya didasari gerakan binatang harimau yang bu-as. Kedua tangannya membentuk cakar harimau, yang disebut Houw - jiauw - kang dan dengan ca-karnya ini dia mampu merobek - robek tubuh orang, bahkan cengkeramannya dapat menghan-curkan batu karang saking kuatnya. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Seng Kun terkejut bukan main menyaksikan kehebatan lawan ini. Beberapa kali dia terhuyung ketika mengadu tenaga dan beberapa kali nyaris kulit dagingnya terkena cengkeraman dan menja-di korban Ilmu Houw - jiauw - kang ! Terpaksa Seng Kun lalu menghunus pedangnya dan melin-dungi dirinya dengan putaran pedangnya. Melihat ini, San - hek - houw tertawa bergelak dan melo-loskan sebatang rantai yang ujungnya bertongak jangkar terbuat dari pada baja yang selain kuat juga berat sekali! Terjadilah perkelahian yang lebih seru lagi di dalam ruangan yang cukup luas itu. Enam orang laki - laki pengikut San-hek-houw hanya menonton sambil mengepung ruangan itu dengan sikap mereka yang congkak. Diam - diam Seng Kun mengeluh. Ternyata lawannya ini benar - benar amat tangguh, bukan sembarang tokoh sesat, melainkan seorang datuk yang lihai bukan main. Pedangnya selalu terpen- tal ketika bertemu dengan senjata lawan yang be-rat dan segera dia terdesak oleh gerakan senjata lawan yang berat dan panjang itu. Melihat kea-daan kakaknya, Bwee Hong meloncat maju dan membantu. Enam orang teman San - hek - houw hendak bergerak mencegah, akan tetapi San - hek-houw tertawa. "Ha - ha - ha, biarlah ia maju untuk mengha-ngatkan suasana, ha - ha !" Karena pemimpin mereka membolehkan, maka enam orang itupun tidak berani bergerak dan mem-biarkan gadis itu mengeroyok San - hek - houw yang ternyata memang tangguh itu. Bagaimanapun juga, setelah Bwee Hong maju dan kakak beradik itu mengandalkan ginkang mereka yang luar biasa, San-hek-houw mulai kewalahan dan terpaksa selalu memutar senjatanya melindungi diri. Dia tidak mampu mengimbangi kecepatan gerakan kakak beradik itu, walaupun dia menang kuat dan juga senjatanya lebih menguntungkan, lebih panjang, berat dan juga mudah digerakkan karena me-rupakan rantai yang lemas. Melihat ini, tanpa diperintah lagi, enam orang itupun menghunus senjata mereka, ada yang meng-gunakan golok, ada yang menggunakan tombak atau pedang, menyerbu dan membantu San - hek-houw. Tentu saja kini kakak beradik itu yang ber-balik terkepung dan terdesak hebat! Melihat ini, Bwee Hong menjadi khawatir sekali. Ia tahu bah-wa kalau ia dan kakaknya kalah, tentu kakaknya akan dibunuh dan ia sendiri ah, ngeri ia memikirkan nasibnya kalau sampai terjatuh ke tangan orang-orang kejam, ini. Pada saat itu, ia melihat A - hai muncul dari pintu dengan wajah masih memperlihatkan bekas tidur dan kini A-hai ber-diri terbelalak dan nampak khawatir sekali. Berka-li - kali A - hai mengangkat tangan ke atas seperti hendak mencegah atau melerai perkelahian itu. Melihat munculnya A-'hai, Bwee Hong tahu bahwa hanya pemuda sinting itulah yang akan mampu menyelamatkan ia dan kakaknya. Dan sa-tu - satunya jalan hanyalah merangsangnya, meng-guncang batinnya agar dia kumat, seperti yang pernah dilakukannya. Itulah satu - satunya jalan dan jalan lain tidak ada lagi. Ia maklum bahwa para penjahat ini tidak akan membiarkan ia dan Seng Kun lolos dengan selamat. Andaikata mereka berdua mempergunakan ginkang untuk melarikan diri sekalipun, lalu bagaimana dengan A - hai " Tentu pemuda itu akan dibantai oleh para penjahat dan tak mungkin ia membiarkan hal ini terjadi. Dan untuk akal seperti ini memang ia sudah membuat persiapan sebelumnya. Ketika ia melakukan per-jalanan bersama A - hai, ia maklum bahwa ada dua hal terdapat pada diri pemuda sinting ini, yang satu amat merugikan akan tetapi yang lain amat menguntungkan. Yang merugikan adalah bahwa pemuda ini dalam keadaan sadar merupakan seorang pemuda yang bodoh dan lemah, tidak tahu apa-apa. Akan tetapi yang menguntungkan adalah bah-wa pemuda ini dapat "dibikin" menjadi lihai. Maka iapun sudah mempersiapkan diri untuk sewaktu-waktu, dalam keadaan darurat seperti sekarang ini, mempergunakan akal dan siasat untuk memba-ngunkan pemuda itu, untuk membuatnya menjadi kumat gilanya dan juga lihainya ! Pada saat itu, Seng Kun sudah kewalahan be-nar-benar dan tiba - tiba, sapuan senjata rantai yang berat itu menyerempet kakinya dan tubuh Seng Kun terjungkal! Kinilah saatnya, pikir Bwee Hong, sebelum terlambat. Maka iapun melolos sebatang pisau belati, lalu menjerit dan mengha-dap kepada A - hai, pisau belatinya bergerak seo-lah - olah menikam perut sendiri, tangannya mencengkeram ke perutnya dan iapun roboh, dari pe-rutnya bercucuran darah merah membasahi lantai dan pakaiannya. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Sepasang mata A - hai terbelalak, mukanya se-ketika menjadi pucat. Kemudian dia mendelik, dari mulutnya keluar teriakan parau, "Ibuuu !!" Dan tubuhnya mencelat ke depan. Diapun berlutut dan menubruk tubuh Bwee Hong, dirangkulnya dan diciumnya gadis itu. Tentu saja Bwee Hong merasa tubuhnya panas dingin ketika ia merasa betapa wajahnya diciumi oleh pemuda itu, ciuman seorang anak yang menangisi ibunya dengan air mata bercucuran. Kaki tangannnya menjadi dingin dan tubuhnya menggigil. Hal ini membuat A-hai menjadi semakin khawatir. Wajah pemuda yang biasanya membayangkan ketololan dan tadi nampak ketakutan itu kini ber-ubah sama sekali. Kini wajah itu membayangkan kedukaan, kemarahan dan menyeramkan, penuh nafsu membunuh. Matanya berkilat liar dan Bwee Hong yang terbelalak kengerian itu ketika meman-dang penuh perhatian, tiba - tiba melihat sebuah tonjolan berwarna biru sebanyak tiga buah di pe-lipis kiri A - hai. Tonjolan yang tiga bintik itu letaknya berbentuk segi tiga dan setiap tonjolan sebesar ujung sumpit. Padahal biasanya, seingat Bwee Hong, tidak pernah terdapat tonjolan seperti itu di pelipis A - hai. Kini A - hai yang melihat bahwa nona yang di-sebut ibunya itu masih hidup, merebahkan Bwee Hong dengan lembut ke atas tanah, kemudian se-kali menggerakkan tubuh, dia sudah meloncat dan membalik, menghadapi San - hek - houw. Hari-mau Gunung Hitam ini memandang kepada A-hai, juga terheran akan tetapi tentu saja dia tidak me-mandang sebelah mata kepada pemuda yang tidak waras ini. Melihat A - hai berdiri tegak mengha-dapinya dengan sinar mata yang buas mengerikan, hati tokoh hitam ini merasa tidak senang. "Mampuslah !" bentaknya dan diapun menu-bruk dengan kedua tangannya setelah tadi me- nyimpan kembali senjata rantainya yang diang-gapnya tidak perlu dipergunakannya lagi. Dia merasa yakin bahwa sekali hantam dia akan mampu merobohkan dan menewaskan pemuda ini, baru kemudian dia akan melanjutkan serangannya terhadap kakak beradik itu. "Dukkk! !" San - hek - houw terpelanting dan terbanting ke atas lantai. Dia mengeluarkan suara gerengan sambil bergulingan. Selain kesakitan, dia juga ka-get setengah mati. Tak disangkanya bahwa pemuda yang seperti gila itu memiliki tenaga sedemikian dahsyatnya. Dia tadi merasa seperti membentur gunung baja! Melihat ini, enam orang teman San-hek - houw menjadi marah dan merekapun menye-rang maju dengan serentak. Dari mulut A-hai keluar lengkingan yang me-ngerikan dan tubuh pemuda ini menerjang bagai-kan badai, menyambut enam orang itu. Segera terdengar pekik - pekik kesakitan dan enam orang itu sudah dicengkeramnya, ada yang dibanting, ada yang dilontarkan, Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo seperti orang mencabuti dan membuang rumput saja. Dalam waktu beberapa gebrakan saja, enam orang itu sudah malang melin-tang, roboh tak mampu bangkit kembali! San - hek - houw marah bukan main. Kembali gerengannya menggetarkan ruangan itu dan dia-pun meloncat keluar dari ruangan. Dianggapnya tempat itu kurang luas, apa lagi setelah ada enam tubuh teman - temannya malang melintang. Dia keluar dari rumah penginapan dan menanti di kebun samping. A - hai mengejar dan setelah tiba di situ, dia disambut serangan yang buas oleh San-hek - houw yang kini sudah melolos rantainya. A-hai menyambutnya dan terjadilah perkelahian yang amat seru dan hebat, juga liar dan buas. Mereka sama buasnya, akan tetapi Seng Kun dan Bwee Hong yang mengikuti pula jalannya perke-lahian, melihat betapa San - hek - houw terdesak hebat oleh gerakan silat A - hai yang aneh. Ran-tai yang menyambar-nyambar itu selalu dapat die-lakkan atau ditangkis oleh A-hai, seolah-olah gerak-annya otomatis mengikuti gerakan lawan dan ba-lasan serangan A - hai yang kelihatannya kacau-balau itu sesungguhnya pada dasarnya mengandung gerakan ilmu silat yang aneh dan tinggi. "Wuuuuttt plakk !" Tiba - tiba ujung rantai yang dipasangi jangkar baja itu dapat ditangkap oleh A - hai. San - hek - houw menggerakkan tangannya yang memegang gagang rantai dan rantai itu seperti hidup melingkari kepala dan menjerat leher pemuda itu. Tentu saja Seng Kun dan Bwee Hong terkejut bukan main dan siap menoKANG ZUSI website http://kangzusi.com/ long karena melihat A - hai terancam bahaya tercekik lehernya. Akan tetapi, rantai yang menjerat leher A - hai itu tidak mampu mencekik leher yang nampak berotot dan kuat itu. bahkan kini A - hai secara tiba - tiba mengangkat kakinya menendang, suatu gerakan yang tidak disangka - sangka oleh San - hek - houw yang menduga bahwa pemuda itu tentu menjadi panik dan berusaha melepaskan rantai yang menjirat leher. "Desss !" Tendangan yang amat keras itu membuat tubuh San-hek-houw yang tinggi be-sar terlempar dan rantainya terlepas, tertinggal ke tangan A - hai dan sebagian masih melingkari le-her pemuda itu. "Huhh !" A - hai membuang rantai itu dan de-ngan langkah lebar menghampiri San hek - houw yang kini sudah bangkit berdiri. Akan tetapi, baru saja dia berdiri, A hai sudah menyerangnya de-ngan tamparan - tamparan dan pukulan - pukulan bertubi - tubi, kelihatannya semua serangan itu kacau, akan tetapi justeru cara yang kacau itulah yang membuat lawan bingung dan tanpa dapat dicegah lagi, San - hek - houw yang masih merasa pening karena terbanting tadi, terkena sebuah pu-kulan tangan kiri, tepat pada dadanya. "Desss !" Terdengar datuk kaum sesat itu mengeluh dan kembali tubuhnya terjengkang dan sekali ini bahkan terguling guling, baru berhenti ketika tubuhnya tertabrak pohon. Dia kembali me-ngeluh, menggoyang goyangkan kepalanya karena dia melihat bintang - bintang bertaburan dan me-nari - nari, dari mulutnya mengalir darah segar. A - hai masih melangkah lebar mengejarnya. Me-lihat betapa pada wajah A - hai nampak sinar be-ringas dan penuh nafsu membunuh, Seng Kun yang tidak ingin melihat A- hai menjadi pembunuh kejam terhadap lawan yang sudah kalah itu, lalu meloncat dekat dan tanpa dipikir lagi dia berte-riak melarang. "Saudara A - hai, jangan bunuh orang !" Akan tetapi, pada saat itu, A - hai sudah tidak ingat apa - apa lagi, yang ada hanya perasaan duka bercampur kemarahan yang membuat dia beringas dan ingin menghajar siapapun juga yang mengha-langinya. Kini melihat Seng Kun berani mengha-dangnya, diapun menganggap pemuda ini musuh-nya. Dia mengeluarkan suara gerengan hebat dan segera menerjang ke arah Seng Kun. Seng Kun terkejut, namun dia juga mengerti bahwa hal itu dilakukan oleh A - hai dalam keada-an tidak sadar. Cepat dia menangkis karena untuk mengelak amat berbahaya. Dia tadi sudah meli-hat perkelahian antara A - hai dan San - hek - houw dan melihat betapa setiap kali pukulannya dielak-kan lawan, pukulan itu masih dilanjutkan dengan aneh dan terus mengejar lawan. Lebih aman me-nangkis dari pada mengelak. "Dukkk !" Hebat bukan main tenaga yang mendorong pukulan A - hai itu sehingga begitu menangkis, seketika tubuh Seng Kun terdorong, terjengkang dan pantatnya terbanting keras di atas tanah ! Akan tetapi A - hai menyusulkan pukulan yang mengandung hawa pukulan amat hebatnya ke arah Seng Kun yang rebah di atas tanah. "Blaaarrr!" Debu dan tanah berhamburan. Pukulan itu tidak mengenai tubuh Seng Kun yang sudah bergulingan dan wajah pemuda ini mlenjadi pucat. Kalau pukulan yang mengandung tenaga sinkang amat kuat tadi mengenai tubuhnya, belum tentu dia akan sanggup bertahan. "Jangan !!" Tiba-tiba Bwee Hong menjerit dan jeritan yang melengking tinggi ini mengejutkan A - hai. Sementara itu, San - hek - houw mempergunakan kesempatan ini untuk lari meninggalkan tempat berbahaya itu. Mendengar jeritan itu, A - hai termangu - maKANG ZUSI website http://kangzusi.com/ ngu, lalu menoleh dan meninggalkan Seng Kun, kini menghadapi Bwee Hong. Mukanya merah padam seperti dibakar, seluruh darah di tubuhnya seolah - olah berkumpul di kepalanya. Tiga bintik tonjolan biru itu makin jelas nampak di pelipisnya. Matanya inengeluarkan sinar berkilat-kilat, liar menakutkan, membuat Bwee Hong yang sebenarnya memiliki ketabahan besar dan bukan seorang penakut, kini berdiri bengong dengan kedua kaki gemetar, menggigil ketakutan! Ngeri hatinya membayangkan bahwa pemuda yang dihadapinya ini adalah orang yang gila, bukan gila biasa, melainkan gila yang amat berbahaya karena memiliki ilmu yang amat mengerikan. Kini A - hai berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, dan kedua lengannya digerak - gerakkan secara aneh, ke depan, ke atas, ke samping, bukan seperti orang bersilat, akan tetapi hebatnya, gerakan kedua lengan itu mengeluarkan hawja yang kuat sehingga terdengar bunyi "wuuuuttt wuuuttt wuuuttt!" Melihat ini, dari tempat dia rebah, Seng Kun cepat mengirim suara dari jauh, menggunakan Il-mu Coan - im - jip - bit sehingga bisikannya hanya dapat ditangkap oleh adiknya itu, "Hong-moi, tenanglah. Engkau senyumlah, cepat. Jangan pa-nik karena diapun akan menjadi panik. Pasrah sa-ja, jangan kelihatan takut, bujuk dia dengan kata-kata manis. Senyumlah dan dia akan menurut se-gala kata - katamu, percayalah !" Tentu saja hal ini jauh lebih mudah dikatakan dari pada dilakukan. Dalam keadaan hatinya ke-cut, berdebar cemas dan takut, bagaimana orang disuruh senyum " Bagaimanapun juga, Bwee Hong segera mentaati perintah kakaknya dan diapun ter-senyum manis. Mula - mula senyumnya merupa-kan senyum kecut, senyum dipaksakan. Akan te-tapi, ketika ia melihat betapa sinar mata yang bu-as dari A - hai itu seketika agak melunak dan gerak - gerik kedua lengan itu lebih lambat dan ra-gu - ragu, kini Bwee Hong benar - benar tersenyum, senyum lega yang membuat senyumnya nampak benar - benar manis sekali, dengan lesung pipit di pipi kirinya. "A - hai, tenanglah, A - hai, tidak ada apa - apa yang perlu dibuat gelisah atau marah lagi. Aku Bwee Hong ingatkah engkau " Aku Bwee Hong dan dia itu kakakku, Seng Kun koko !" Dengan suara yang halus merdu dan ramah, de-ngan pandang mata yang lunak dan halus, dengan senyum menghias bibir, Bwee Hong membujuk. A - hai sejenak memandang wajah gadis itu de-ngan bingung, akan tetapi lambat laun pandang matanya yang tadinya buas itu menjadi makin lem-but, lalu dia tertegun dan berdiri seperti patung, kedua tangan kini tergantung di kanan kiri tubuh-nya. Mukanya ditundukkan dan sepasang matanya dipejamkan. Seng Kun melihat ini semua dengan penuh per-hatian. Ketika dia melihat betapa wajah A-hai itu kini merah padam, tiba - tiba dia teringat akan soal pengobatan dan diapun seperti memperoleh petunjuk. "Hong - moi, dia mengalami serangan darah yang membanjir ke kepala. Lihat, mukanya begitu merah sebaliknya kedua tangannya putih pucat seperti kehilangan darah. Tekanan darahnya keli-hatan sangat kuat dan semua mengalir ke arah ke-palanya. Ini sangat berbahaya bagi jiwanya. Ka-lau dia tidak lekas - lekas jatuh pingsan seperti biasanya, darah itu akan mengalir semakin kuat dan hal ini akan dapat memecahkan dinding-din-ding pembuluh darahnya dan KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ mengalir keluar me-lalui mata, hidung, telinga dan merusak otak-otak-nya. Dia akan tewas dalam keadaan yang menge-rikan !" Wajah Bwee Hong seketika pucat mendengar ini dan diapun pernah membaca tentang ini dan sekarang ia teringat, maka kekhawatirannya me-muncak. "Koko, apa yang harus kita lakukan ?" "Cepat, engkau harus bertindak. Dekati dia, tetap bujuk dengan halus. Lihat, urat-uratnya sudah mengembung, sebentar lagi dapat pecah ! Si-apkan sebatang jarum emas. Hati - hati, jangan sampai dia melihatnya. Berusahalah menusuk-nya di jalan darah balik tengkuk. Tapi ingat! Jangan sampai dia tahu dan curiga. Begitu dia tahu, dia tentu akan mengira engkau menyerangnya dan kalau dia menyerangmu, aku sendiri belum tentu dapat menyelamatkanmu ! Cepat, Hongmoi, tapi hati - hati " Biarpun Seng Kun bersikap setenang mungkin, tetap saja suaranya terdengar gugup dan agak gemetar. Hal ini tentu saja membuat Bwee Hong menjadi semakin gelisah dan ngeri. Amatlah menegangkan saat itu bagi Bwee Hong dan Seng Kun. A - hai berada di ambang kematian, kalau tidak tertolong, sebentar lagi akan tewas secara mengerikan sekali, akan tetapi hal ini sedikitpun tidak disadari sendiri olehnya. Sedangkan kakak beradik ahli pengobatan itu ingin sekali menyelamatkan nyawanya, akan tetapi merekapun tahu bahwa sedikit saja mereka salah gerak atau diterima salah oleh A - hai dan menimbulkan kecurigaan pemuda yang dilanda penyakit hilang ingatan itu, mereka akan mati konyol karena mereka berdua tidak akan mampu menandingi kelihaiannya. Yang paling tegang adalah perasaan Bwee Hong karena ialah yang harus bertindak. Di ta- ngannyalah terletak keselamatan nyawa A - hai, ju-ga keselamatan mereka berdua sendiri. Ia harus dapat bertindak cepat dan tepat tanpa keraguan. Maka iapun melangkah maju mendekati A - hai yang masih berdiri seperti patung itu. Tadi keti-ka ia hendak melangkah maju, melihat A - hai me-mejamkan kedua matanya, diam - diam ia telah mengeluarkan sebatang jarum emas yang kini di-genggamnya. Begitu ia melangkah maju, A - hai membuka kedua matanya dan kembali Bwee Hong merasa ngeri. Sepasang mata pemuda itu, walau-pun tidak beringas dan liar seperti tadi, akan teta-pi masih nampak merah penuh darah dan mena-kutkan sekali. "A - hai, ingatlah, aku Bwee Hong sahabat baikmu. Ingat " Aku bukan musuhmu, aku tidak akan mengganggumu . . . . . . . . " Ia melangkah maju sampai dekat sekali dan tiba - tiba A - hai meman-dang dengan matanya yang merah, bibirnya ber-bisik - bisik aneh, penuh keraguan. "Hong-moi ah, Hong-moi !" Sua- ranya seperti orang merintih atau hendak mena Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo ngis dan tiba - tiba saja kedua lengannya merangkul Bwee Hong. Tentu saja dara ini menjadi kaget dan juga heran. Bagaimana A - hai yang berada dalam keadaan lupa ingatan ini sekarang menyebutnya Hong - moi, seolah - olah teringat akan namanya " Dan pelukan yang mesra itu membuat ia gelagapan dan bingung. Akan tetapi pada saat itu, terdengar bisikan kakaknya melalui Ilmu Coanim - jip - bit. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ "Hayo cepat, tusukkan jarum itu selagi dia lengah. Cepat, antara dua jari di belakang telinga kirinya. Cepat, jangan sampai terlambat dan pembuluhnya pecah " Suara Seng Kun terdengar penuh kekhawatiran. Teringatlah Bwee Hong akan tugasnya lagi. ta-pun pura - pura balas merangkul leher pemuda itu dan setelah meraba - raba, cepat ia menusuk-kan jarum emas itu di tempat yang tepat. "Aduhhh ;!" A-hai mengaduh lirih dan rangkulannya mengendur. Bwee Hong yang takut kalau-kalau pemuda itu mengamuk, cepat mele-paskan dirinya dengan hati was - was. Akan tetapi ternyata A-hai tidak mengamuk dan masih ber-diri seperti patung. Akan tetapi kini matanya yang tadinya merah dan liar itu meredup. Perla- han - lahan muka yang merah padam menjadi pu-tih dan bagian - bagian tubuhnya yang lain kem- bali menjadi merah. Tiga buah tonjolan biru di pelipisnya itupun perlahan lahan mengempis dan menghilang. Kemarahan dan keadaan yang tadi membayang di wajahnyapun mulai surut dan per- lahan-lahan hilang. Sejenak dia menunduk, ka-dang-kadang kedua matanya dipejamkan, dan kadang-kadang tubuhnya menggigil sedikit. Akhirnya, keadaannya menjadi tenang, agaknya perobahan yang amat hebat pada dirinya telah berlangsung dengan selamat dan baik. Tak lama kemudian, A-hai mengangkat mukanya. Wajahnya sudah seperti biasa, wajah yang lembut dan jujur. "Aduh tubuhku dingin se- kali " dan diapun agak menggigil. Bwee Hong menjadi gembira bukan main. Ingin rasanya ia bersorak kegirangan melihat pemuda itu telah dapat diselamatkan dan tidak tera-sa lagi kedua matanya menjadi basah saking ter-haru dan lega rasa hatinya. Ia melangkah dekat dan kini A - hai memandangnya dengan wajah membayangkan keheranan. "Siapakah engkau, nona ?" Tentu saja Bwee Hong menjadi terkejut bukan main, langkahnya terhenti dan ia menatap wajah A - hai dengan bengong, tak tahu apa yang harus dikatakannya. Pada saat itu, kembali terdengar bisikan kakaknya. "Awas, dia belum sembuh sama sekali seperti yang kaukira. Dia masih tetap dalam keadaan ku-mat dan masih berpijak di masa lalunya yang hi-lang itu. Dia tidak mengenal siapa engkau akan tetapi dia tidak berbahaya lagi, meskipun ilmunya selalu siap untuk dipergunakan. Jarum yang kau-tusukkan tadi hanya membuat darah yang berkum-pul di kepalanya dapat menyebar lagi ke seluruh tubuh. Sebentar lagi kalau tekanan darahnya su-dah normal, dia akan kembali menjadi kawan kita yang lemah dan ketololan itu. Nah, lihat, matanya kini menjadi sayu dan sebentar lagi dia akan men-dusin, seperti orang baru bangkit dari tidur. Nah, sekarang inilah tiba saatnya seperti yang kita bica-rakan dahulu. Saat - saat dia seperti inilah kita harus dapat mengetahui masa lalunya. Saat seper-ti inilah di mana dia berada dalam keadaan kumat akan tetapi mudah diajak bicara. Sekarang cobaDarah 23 49 lah, tanyakan siapa dirinya. Cepat sebelum dia kembali lagi dalam keadaannya yang lupa ingatan." Bwee Hong memberanikan diri dan dara inipun menjura ke arah A - hai seperti orang yang baru saling jumpa. Pemuda itupun berdiri memandang-nya dengan terheran - heran. "Saudara, bolehkah aku mengenal namamu ?" tanya Bwee Hong dengan suara lembut dan sikap menghormat. "Apa " Nama " Namaku namaku Thian Hai !" "Saudara dari perguruan manakah ?" Bwee Hong bertanya lagi, jantungnya berdebar tegang karena ia mulai dapat menyingkap tabir rahasia yang menyelimuti diri pemuda aneh ini. "Aku aku dari ooohhh " Tiba- KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ tiba A-hai terjerembab ke depan. Tentu saja Bwee Hong cepat menyambutnya dengan kedua lengan karena kalau tidak tentu pemuda itu akan terpelanting. A - hai nampak bingung, lalu mengangkat muka memandang. "Ahh " Dan diapun cepat melepaskan dirinya. "Nona Hong, mana pen- jahat tadi " Sudah pergikah dia ?" Suaranya kembali seperti suara A - hai yang tolol! Seng Kun dan Bwee Hong saling pandang dan mereka merasa gemas dan mendongkol sekali. Penjahat berbahaya itu lari tunggang-langgang karena dihajar A - hai, dan kini pemuda itu bertanya di mana adanya penjahat itu. Bagaimanapun juga, mereka telah dapat sedikit lebih maju dalam mengungkap tabir rahasia pemuda itu, yalah bah-wa nama pemuda yang mereka kenal sebagai A-hai itu adalah Thian Hai. Apa she - nya dan dari mana asalnya belum mereka ketahui. Malam, itu juga Seng Kun mengajak A-hai dan Bwee Hong untuk meninggalkan rumah penginap-an dan melanjutkan perjalanan karena dia khawa-tir kalau - kalau San hek - houw datang' lagi mem-bawa teman - teman yang lebih banyak dan lebih kuat. Untung malam itu ada bulan menerangi perja-lanan mereka. Di tengah perjalanan, Bwee Hong memuji kakaknya. "Kun - koko, engkau benar - be-nar pantas menjadi ahli waris sucouw kita Bu-eng Sin - yok - ong. Semua keteranganmu tentang pe-nyakit yang diderita oleh saudara Thian Hai ini cocok semua. Kini tinggal mencari dan melaksana-kan cara - cara pengobatannya saja." "Thian Hai " Siapa yang bernama Thian Hai " Akukah ?" A - hai bertanya heran. "Kalau begitu, kalian telah menemukan rahasiaku dan tahu siapa sebenarnya aku ?" "Sabarlah, saudara A - hai. Kami sedang mela-kukan penyelidikan dan mudah mudahan kami dapat membantumu untuk menemukan kembali dirimu." "Kalian sahabat-sahabat baik , sahabatsahabat baik " kata A-hai dengan suara terharu dan juga kecewa karena mereka itu ternyata belum dapat menemukan rahasianya. Mereka berhenti di puncak sebuah bukit dan A - hai menjauhkan diri, berdiri memandang ke depan, ke bawah di mana terhampar pemandangan yang remangremang karena sinar bulan tidak mungkin dapat memberi penerangan yang jelas. "Kun-ko, ketika dia tadi kumat, aku melihat ada tiga buah tonjolan biru di pelipis kirinya. Akan tetapi sekarang tidak tampak lagi. Apakah itu ?" tanya Bwee Hong. Mereka duduk di atas batu-batu gunung untuk beristirahat. Mendengar ini, Seng Kun nampak kaget. "Tiga tonjolan biru di pelipis " Benarkah itu " Coba kita periksa. Saudara A - hai, maukah engkau datang ke sini sebentar ?" A - hai yang sedang berdiri melamun itu, ter-kejut dan menoleh, lalu menghampiri mereka. "Di bawah sana ada dusun. Ah, perutku lapar benar. Kalau saja kita dapat segera ke sana, aku akan me-mesan ayam panggang!" Bwee Hong tertawa juga mendengar ucapan ini. "Akupun sudah lapar. Nanti kita lanjutkan perjalanan, akan tetapi di dusun mana ada ayam panggang ?" "Saudara A - hai, aku hendak memeriksa peli-pismu sebentar, bolehkah ?" "Pelipisku " Ada apa dengan pelipisku " Tapi, tentu saja boleh !" Kakak beradik itu lalu memeriksa pelipis kiri A - hai. Kulit pelipis itu kini nampak bersih saja, tidak ada tanda apa - apa. Akan tetapi ketika Seng Kun meraba bagian itu, lapat - lapat dia merasa seperti ada tiga buah benda kecil bulat di bawah kulit. "Hemmm " ahli obat muda itu bergumam sambil meraba - raba. "Seperti gumpalan daging mengeras karena memar. Atau kalau tidak, tentu darah yang menggumpal karena terlanggar benda keras, atau eh, ini, satu di antara tiga tonjolan ini persis melintang di pembuluh darah otak deKANG ZUSI website http://kangzusi.com/ pan " "Mungkinkah benda itu yang menyebabkan pe-nyakitnya ?" tanya si adik serius. "Entahlah, mungkin juga. Aku belum bisa me-mastikan, harus memeriksanya dengan teliti lebih dulu. Penyakit yang berdekatan dengan otak amat-lah berbahaya kalau keliru pengobatannya." Ka-kak beradik itu lalu termenung, nampak murung. Melihat ini A - hai menjadi tidak sabar. "Aih, kenapa susah - susah memikirkan penya-kitku " Lihat, sinar matahari pagi sudah mulai nampak di sana. Lebih baik kita turun dan men-cari dusun untuk sarapan !" Kakak beradik itu tersenyum dan menyatakan setuju. "Perutku sudah lapar, biar aku jalan dulu, akan kucarikan warung nasi untuk kita!" Dan A-hai lalu berjalan cepat menuruni puncak bukit itu. "Saudara A - hai, hati - hatilah, masih gelap dan jalannya licin !" Bwee Hong memperingatkan dan bersama kakaknya ia mengejar. Akan tetapi, sung-guh amat mengherankan hati dua orang muda ahli ginkang ini ketika mereka tidak melihat A-hai lagi, tidak mampu menyusul pemuda itu. Jalan menurun itu memang agak sukar dan licin, apa lagi karena mereka belum mengenal jalan itu, dan cu-aca masih gelap sehingga mereka harus melangkah hati - hati agar jangan sampai terpeleset ma-suk jurang. Padahal, A - hai yang berada dalam keadaan biasa itu tidak mempunyai kepandaian apa - apa, jangankan berlari cepat. Akan tetapi ba-gaimana kini A - hai dapat meninggalkan mereka " Satu - satunya kemungkinan adalah bahwa pemuda itu telah mengenal baik tempat dan jalan ini. Akan tetapi mana mungkin " Andaikata A - hai pernah mengenalnya pula, tentu sekarang dia telah melupakan jalan itu. Matahari telah muncul ketika kakak beradik itu menuruni bukit dan mereka terpaksa berhenti karena ada sebuah sungai menghalang perjalanan mereka. Tidak nampak sebuahpun perahu di tem-pat sunyi itu, juga tidak ada jembatan penyebe-rang. "Eh, ke mana dia ?" Bwee Hong memandang ke kanan kiri. 54 "Saudara A-hai !" Seng Kun berteriak. "Di mana engkau ?" Tidak ada jawaban. Tiba - tiba Bwee Hong yang meloncat ke atas batu dan memandang ke seberang sungai berseru, "Heiiii, itu dia! Di se-berang sungai!" Seng Kun memandang dan benar saja. Mereka melihat tubuh A - hai di seberang sungai. Pemuda itu sedang melenggang dengan santainya, menu-ju ke sebuah dusun yang dapat dilihat dari sebe-rang sini. Seng Kun lalu mengerahkan khikangnya dan berteriak memanggil, "Saudara A-hai!!! Tung- gu dulu ! Di mana kita harus menyeberang " Apa-kah memakai perahu " Di mana ?"" "Jangan - jangan dia tadi berenang," Bwee Hong berkata dan ia merasa ogah kalau harus be-renang menyeberangi sungai itu yang walaupun tidak berapa lebar, akan tetapi airnya berlumpur dan kelihatan dalam. Teriakan yang menggema karena didorong te-naga khikang itu terdengar oleh A hai di sebe-rang sana. Dia menoleh, kemudian menggerakkan bahu dan dengan sikap ketololan diapun berjalan kembali ke tepi sungai lalu dia menghilang di ba-lik semak - semak di tepi sungai seberang sana. Sampai lama dia tidak muncul - muncul. "Eh, eh, ke mana dia " Kenapa malah ber-sembunyi " Dia menghilang di balik semak-semak. 55 Apakah dia buang air besar ?" Bwee Hong meng-omel. "Atau ketiduran ?" "Ha - ha, jangan bergurau !" keduanya lalu mendekati tepi sungai dan melcngak Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo longok ke seberang, mencari - cari bayangan A - hai yang belum juga nampak. Tiba - tiba kakak beradik itu cepat mengggerak-kan tubuh membalik ketika mendengar langkah ka-ki orang dan mereka memandang dengan mata ter-belalak ketika melihat bahwa yang datang melang-kah itu bukan lain adalah A - hai! "Ehhh ! Ohhh ! Bagaimana eng- KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ kau tadi menyeberang " Kami tidak melihatmu " "Hemm, engkau tentu lewat di sebuah tero-wongan, bukan ?" Seng Kun yang cerdik menduga. A - hai makin bingung, dan sikapnya semakin ke-tololan ketika dia melihat dua orang yang biasanya cerdik itu kini nampak kebingungan. "Benar .. , aku memang lewat di bawah air sungai. Kenapa ka-lian heran " Memang itulah satu - satunya jalan un-tuk menyeberang !" Akan tetapi ucapan itu membuat Seng Kun dan Bwee Hong saling pandang dan menjadi semakin terheran - heran. Apakah A - hai ini sudah benar-benar menjadi gila sekarang, pikir mereka. Tentu saja mereka tidak percaya begitu saja. "Jangan main - main, saudara A-hai. Katakanlah bagaimana kita dapat menyeberangi sungai ini," kata Bwee Hong. 56 A-hai mengerutkan alisnya dan menjadi pena-saran. "Kalian tidak percaya " Marilah ikut aku !" katanya dan dengan lagak kasar karena penasaran dia menggandeng tangan kedua orang itu dan di-tariknya menuju ke balik pohon - pohon lalu nam-paklah bahwa di balik semak - semak belukar ter-dapat sebuah jalan terowongan yang melewati da-sar sungai. Agak gelap di situ sehingga Bwee Hong dan Seng Kun saling berpegangan tangan. Akan tetapi A-hai melangkah seenaknya saja sambil menggandeng tangan Seng Kun dan sebentar saja dia sudah membawa kakak beradik itu menyebe-rang dan mereka muncul di belakang semak-semak di tepi seberang sana. Tentu saja Seng Kun dan Bwee Hong merasa heran sekali. Jelaslah bahwa jalan penyeberangan ini bukan jalan umum karena tempatnya tersem-bunyi dan di mulut terowongan ditumbuhi semak belukar yang liar sehingga menutupi jalan itu. Seng Kun memandang wajah A - hai dengan penuh perhatian, juga gadis itu memandang kepa-danya penuh selidik. "Saudara A - hai, bagaimana-kah engkau bisa mengetahui adanya jalan tero-wongan menyeberangi sungai ini ?" "Mengetahui?" A-hai menjawab dan tertegun bingung. "Aku aku tidak mengetahui. Aku 57 tadi berjalan sambil membayangkan panggang a-yam yang kupesan nanti di warung dusun. Aku ingin makan sekenyangnya, uangku masih cukup. Darah 23 Aku tidak memikirkan jalan yang kulalui dan tahu-tahu aku masuk terowongan itu dan sampai di se-berang. Kenapa sih " Bukankah terowongan itu memang jalan satu satunya untuk menyeberang " Apakah aku telah salah jalan ?" Ditanya demikian, kakak beradik itu saling pandang dan menjadi bingung sendiri bagaimana harus menjawab. "Sudahlah," kata Seng Kun kepada adik-nya. "Mari kita cepat pergi ke dusun di depan un-tuk mencari sarapan." "Dusun itu berada di sana ! Mari!" kata A-hai dan kembali kakak beradik itu saling pandang de-ngan heran, akan tetapi tidak berkata sesuatu me-lainkan mengikuti A - hai yang melangkah tegap menuju ke suatu arah tertentu. Tak lama kemudian mereka memasuki sebuah dusun dan biarpun tidak mengeluarkan sebuah katapun, namun ada pero-bahan terjadi pada wajah A - hai yang tampan. Wa-jah itu berseri gembira dan diapun membawa dua orang sahabatnya menuju ke sebuah warung. Dusun itu tidak begitu besar. Rumah - rumah-nya berjajar sampai di tepi sungai. Agaknya memang hanya sebuah dusun nelayan. Beberapa bu-ah perahu berjajar di tepi seberang ini dan ada ja-ring - jaring yang sedang dijemur. Beberapa orang nelayan wanita tampak sibuk bekerja. Ada yang menjahit jaring yang robek, ada yang sedang men-jemur ikan - ikan hasil tangkapan mereka di halaman rumah masing - masing. Bau amis ikan me-rangsang hidung. Sebuah dusun nelayan seder-hana. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Ketika mereka sedang berjalan, tiba - tiba di ujung jalan itu muncul seorang pendek bertopi lebar keluar dari sebuah kedai minuman. Dia ber-gegas menuju ke sebuah gerobak pembawa barang yang berdiri di depan sebuah gardu. Cepat Seng Kun menarik tangan adiknya dan A - hai untuk me-nyelinap ke belakang sebuah rumah. Melihat ini, A - hai bertanya, "Ada apakah ?" "Ssttt !" Seng Kun memberi tanda dengan telunjuk ditempelkan di bibir, tanda bahwa dia minta kedua orang itu tidak banyak mengeluarkan suara. Kemudian dia mengajak mereka menyeli-nap dan mengambil jalan memutar mencapai wa-rung yang dimaksudkan oleh A - hai untuk dikun-jungi tadi. Di sini mereka duduk di tempat ter-lindung, akan tetapi dengan bebas mereka dapat melihat ke arah jalan raya di depan. "Koko, ada apakah " Engkau melihat sesuatu yang mencurigakan ?" Bwee Hong bertanya ke-pada kakaknya. "Kalian melihat orang yang keluar dari kedai minuman di ujung jalan sana tadi ?" dia balas ber-tanya. "Ya, tapi kenapa ?" Bwee Hong mendesak. "Apakah engkau tidak mengenalnya " Biarpun dia menyamar seperti itu, aku masih ingat cara dia berjalan dan juga perawakannya. Akupun belum yakin benar, akan tetapi sebaiknya kita berhati-ha-ti. Nah, dia akan lewat di depan sini, mari kita perhatikan." Tak lama kemudian, lewatlah di depan warung itu sebuah gerobak kecil ditutup rapat dan dihela oleh seekor kuda yang dikusiri oleh seorang laki-laki bertubuh pendek tegap yang berpakaian se-derhana, mukanya ditutup caping lebar sehingga yang nampak hanyalah dagunya. Ketika gerobak itu lewat, terciumlah bau yang amis agak busuk, amat memuakkan seperti bau bangkai atau bau ikan asin yang belum jadi. Bwiee Hong menggeleng kepala ketika gerobak itu sudah lewat. "Siapa dia " Aku tidak mengenal-nya. Bukankah dia hanya seorang pedagang ikan asin yang datang ke dusun ini untuk berbelanja ikan asin ?" A - hai juga menggeleng kepala. "Aku tidak me-ngenal dia!" Seng Kun menghela napas panjang. "Aku ter-ingat akan seorang yang perawakannya persis orang itu, seorang yang kepandaian silatnya amat tinggi. Gayanya ketika tadi berjalan sama seperti orang itu, ialah Pek - lui - kong Tong Ciak, jagoan Soa - hu - pai, komandan pengawal istana yang li-hai itu ! Betapa lihai dia. Pernah aku berkenalan dengan pukulannya yang ampuh. Akan tetapi, aku juga belum yakin bahwa orang tadi adalah Tongciangkun yang sesungguhnya. Perlu apa dia me-nyamar seperti itu " Dan kenapa pula dia berada di sini " Padahal, keadaan di istana sendiri sedang dalam kemelut ?" Mereka menduga - duga akan tetapi tidak me-nemukan jawaban yang masuk akal sehingga akhir-nya Seng Kun terpaksa membuang sangkaannya dan membenarkan pendapat Bwee Hong dan A-hai bahwa orang tadi hanyalah seorang pedagang ikan asin yang kebetulan memiliki bentuk tubuh yang serupa dengan Pek - lui - kong Tong Ciak. Mem-bayangkan kemungkinan ini, Seng Kun menterta-wakan kekhawatirannya sendiri. Pada saat itu, pemilik warung kecil itu mende-kati mereka dengan wajah berseri karena sepagi itu sudah ada tamu datang ke warungnya. Wa-rungnya hanyalah sebuah kedai makan yang se-derhana dan pagi itu hanya menyediakan bubur, nasi, sedikit sayur kemarin dan ikan asin. Ketika dia menanyakan pesanan mereka, tiba - tiba saja dengan cepat A - hai berkata, "Aku minta ayam panggang satu!" Mendengar pesanan yang tak masuk akal meli-hat warung itu hanya sederhana sekali, Bwee Hong dan Seng Kun memandang kepada A - hai dan hen-dak menegurnya. Akan tetapi pada saat itu, pemi-lik warung memandang kepada A - hai dan kelihat-an terkejut sekali. "Kongcu !" Dia berseru. "Aih, saya benar - benar linglung, tidak mengenali kongcu. Habis, kongcu berpakaian seperti ini sih! Di mana nona kecil " Tentu sekarang sudah besar, ya " Sudah empat tahun lebih kongcu tidak singgah di sini. Ya, sejak Gu - lojin meninggal dunia." Bwee Hong dan Seng Kun terkejut dan meman-dang heran, akan tetapi yang lebih heran dan bi-ngung lagi adalah A - hai sendiri. Dia memandang dengan alis berkerut, akan tetapi KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ sedikitpun dia ti-dak mengenal orang itu. Jantungnya berdebar ke-ras dan dengan hati tegang dia bangkit berdiri, ta-ngannya menyambar baju pemilik warung itu dan dengan gemetar dia berseru, "Engkau engkau mengenal siapa aku " Ah, cepat katakan! Siapa-kah aku ini " Siapa pula nona kecil yang kauta-nyakan itu ?" Si pemilik warung menjadi pucat dan ketakut-an. Apa lagi karena cengkeraman tangan A-hai pada bajunya demikian keras dan pemuda yang tegap itu kelihatan melotot dari memandang kepa-danya dengan mata berapi-api. "Ahhh, kongcu eh, aku aku mungkin yang salah lihat! Mungkin " Beberapa orang yang duduk di dalam warung dan sedang makan bubur, menjadi terkejut melihat adegan itu dan wajah mereka membayangkan rasa hati yang tidak senang. Melihat ini, Seng Kun ce-pat melerai. Sabarlah, saudara A - hai, jangan membuat onar di sini. Kita adalah orang asing di tempat ini. Tenangkah dan mari bicara baik-baik." A-hai terpaksa melepaskan cengkeramannya dan dengan wajah agak pucat diapun duduk kembali. Bwee Hong lalu memesan makanan nasi, sayur dan ikan asin. "Tenanglah, saudara A - hai," Seng Kun berbi-sik. "Sabar saja, nanti setelah makanan dihidang-kan, dengan halus kita menanyakan hal itu kepa-danya." Tiga orang tamu pertama telah meninggalkan warung dan kesempatan ini dipergunakan oleh Seng Kun. Ketika pemilik warung datang meng-hidangkan pesanan mereka, dengan suara halus Seng Kun bertanya, "Paman, tolong ceritakan ba-gaimana engkau sampai mengenal teman kami ini?" Kakek pemilik warung itu nampak gugup. Dia menggeleng kepala, memandang kepada A - hai sejenak, lalu menggeleng kepala lagi. "Tidak, saya tidak mengenalnya. Maaf, saya tadi telah salah lihat, maaf " "Sungguh, paman, kami tidak apa - apa. Kami hanya ingin tahu siapa yang paman sebut kongcu tadi. Kami tidak bermaksud buruk, paman." Bwee Hong ikut membujuk dengan suara yang halus. Melihat sikap gadis ini, hati si pemilik warung agak berani dan kalau tadi dia tidak berani bicara adalah karena sikap A - hai yang kasar. Maka dia-pun berceritalah. "Saya memang mengenal seorang kongcu yang wajahnya mirip sekali dengan tuan ini. Saya tidak tahu nama lengkapnya, kami hanya menyebut dia Souw-kongcu saja. Juga kami tidak mengenal nama lengkap dari Gu - lojin yang sering dikunjungi oleh Souw - kongcu. Dia selalu singgah di warung kami ini apa bila mengunjungi Gu - lojin yang berdiam di tengah hutan itu. Dan Souw - kongcu itu kalau singgah ke sini tentu selalu memesan ayam panggang! Sebenarnya kami tidak menjualnya, akan tetapi khusus untuk dia, saya tentu menyembelihkan ayam kami sendiri. Dan dia ini eh, maksud saya beliau itu sering pula mengajak pute Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo rinya yang mungil ehh !" (Bersambung jilid ke XXIV.) xx - ? DARAH PENDEKAR " - xx KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo Jilid XXIV * * * TUKANG warung itu menghentikan cerita-nya karena terkejut melihat betapa tiga orang pendengarnya itu tersentak. A - hai terkejut sekali karena merasa ada sesuatu menyentuh pe- rasaan hatinya ketika pemilik warung itu menye-but tentang seorang gadis kecil. Mungkinkah aku sudah mempunyai anak, pikirnya dengan keras. Sementara itu, Bwee Hong merasa kaget dan se- perti ada sesuatu yang hilang ketika mendengar bahwa yang disebut kongcu itu telah mempunyai seorang puteri. Dengan wajah agak berobah pu-cat ia memandang kepada A - hai yang nampak termangu - mangu dan seperti orang yang berusa-ha mengingat-ingat sesuatu dengan sia-sia. Seng Kun sendiri termangu - mangu dan penuh dugaan, akan tetapi jelas bahwa dia merasa sangat tertarik. Tiba - tiba A - hai menggebrak meja dan menangis tersedu - sedu, menelungkupkan mukanya di atas meja. "A-hai A-hai ...... engkau manusia gila! Siapakah sebenarnya diriku ini ?" Kakak beradik itu merasa terharu sekali dan dari kanan kiri mereka merangkul pundak A-hai. "Saudara A - hai, harap jangan khawatir. Kami akan membantumu menyelidiki segala sesuatu ten-tang dirimu. Tenanglah, siapa tahu kita akan dapat membuka tabir rahasiamu di tempat ini." Setelah dibujuk oleh kakak beradik itu, A-hai berhenti menangis, mengusap air matanya dengan kedua kepalan tangannya dan diapun tersenyum masam, "Terima kasih, kalian sungguh amat baik kepadaku " Seng Kun lalu berkata kepada pemilik warung itu, suaranya membujuk, "Paman, kami bertiga sungguh tidak ingin menyusahkan paman dan kami tidak mempunyai niat buruk. Akan tetapi, terus terang saja kami merasa amat tertarik akan cerita paman tentang kongcu itu, dan juga tentang Gu-lojin. Kami tentu akan mtemberi imbalan jasa ke-padamu kalau engkau suka menceritakan sejujur-nya kepada kami tentang kongcu itu, dan tentang Gu-lojin. Ceritakanlah, paman, apakah kongcu itu sering membawa teman kalau dia sedang mem-beli makanan di sini?" Pemilik warung itu menggeleng kepala. "Souw-kongcu tidak pernah membawa teman maupun pengawal. Dia sakti bukan main. Lihat , saya mempunyai pedang eh, golok besar peninggalan Souw - kongcu." Pemilik warung itu berlari ke dalam dan tak lama kemudian dia sudah kem-bali lagi sambil membawa sebuah golok yang tebal dan besar, kelihatan berat sekali dan golok itu di-bawanya dengan kedua tangannya. Seng Kun ber-tiga segera melihat dan memeriksa golok itu. Go-lok itu tebalnya hampir dua senti, dan di bagian tengah somplak seperti terkena pukulan benda ke-ras. Ketika Bwee Hong memeriksa lebih teliti, ia terkejut sekali. Gadis itu melihat betapa di tem-pat yang somplak dari golok itu terdapat tiga buah lubang dan susunan lubang itu persis seperti tiga buah tonjolan yang terdapat di pelipis kiri A - hai, yaitu berbentuk segi tiga ! "Tolong kauceritakan tentang golok ini, pa-man." Seng Kun membujuk pemilik warung itu. "Golok besar ini milik seorang bajak sungai yang mampir di dusun ini, dan kebetulan dia me- masuki warung saya. Pada saat itu, kebetulan pu-la Souw - kongcu sedang berada di sini menikmati eh, ayam panggangnya." Dia melirik ke arah A - hai dengan takut - takut, dan pada saat itu A-hai juga sedang menghadapi pesanannya tadi, yaitu panggang ayam ! "Bajak sungai membuat onar di sini. Souw - kongcu menjadi marah dan mereka berkelahi. Akan tetapi baru segebrakan saja, bajak itu tewas ! Golok besarnya yang KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ dipakai menang-kis jari - jari tangan Souw - kongcu somplak dan jari - jari itu tetap mengenai pelipis bajak sungai sehingga roboh dan tewas seketika." 4 5 Tiga orang itu mendengarkan dengan penuh takjub. Bwee Hong saling berpandangan dengan kakaknya. "Jari tangan " Jadi ini bekas jari ta-ngan ?" Ia menunjuk ke arah lubang - lubang pada golok itu dan melirik ke arah pelipis A - hai. Ke-duanya mulai mengerti sekarang. Mereka berdua melihat betapa susunan bekas jari tangan pada go-lok itu sama benar dengan susunan tiga tonjolan pada pelipis A - hai. Dan bekas - bekas jari itu tentu merupakan semacam ilmu menotok yang amat ampuh dan kuat. Entah ilmu totok apa dan dari perguruan mana mereka tidak mengenalnya dan tidak dapat menduganya. Akan tetapi mereka merasa yakin bahwa antara A - hai dan perguruan itu tentu ada hubungannya yang dekat, entah se-bagai kawan ataukah sebagai lawan. Seng Kun mengerutkan alisnya. Dia sejak tadi mengingat-ingat, perguruan mana yang memiliki ilmu menotok tiga jari yang bekasnya merupakan bentuk segi tiga seperti itu, akan tetapi dia tidak ingat, atau juga mungkin belum pernah mende-ngarnya. Tiba-tiba dia bangkit berdiri. Mereka sudah selesai makan karena tadi mereka bicara sambil makan. "Paman, tolong kautunjukkan di mana rumah Gu - lojin itu." "Benar, paman. Bantulah kami. Kalau tidak ada yang menjaga, tutup sebentar warungmu ini dan kami akan memberi kerugian kepadamu," sam-bung Bwee Hong dengan sikap manis. Kakek pemilik warung itu mempunyai seorang pembantu, maka setelah memesan kepada pemban-tunya, diapun lalu mengantar tiga orang tamunya pergi ke hutan tak jauh dari dusun itu. "Biarlah saya mengantar sam - wi, bukan karena upahnya melainkan mengingat bahwa mendiang Gu - lojin adalah seorang yang amat baik, sedangkan Souw - kongcu amat ramah dan dermawan. Rumah mendiang Gu - lojin itu tidak jauh dari sini, beliau tinggal seorang diri dan kesukaannya adalah me-lukis. Marilah!" Memang benar keterangan kakek itu. Hutan itu tidak jauh letaknya dari dusun dan di tengah hutan itu terdapat sebuah rumah yang sudah rusak kare-na tidak terawat. Gentengnya banyak yang pecah dan bocor. Pintunya sudah miring hampir roboh dan dinding rumah itupun banyak yang pecah ka-rena diterjang akar - akar pohon yang menutupi rumah itu. Seng Kun dan adiknya yang sejak tadi diam-diam memperhatikan A - hai, melihat sesuatu yang aneh pada diri orang muda ini. Begitu memasuki hutan, A - hai berjalan seperti dengan sendirinya menuju ke rumah itu dan setiba di situ, seperti orang gila A - hai lari ke sana - sini mengitari rumah, seperti orang yang sedang mencari - cari se-suatu. Seng Kun menyentuh lengan adiknya dan memberi isyarat agar membiarkan saja apapun yang akan dilakukan oleh A - hai. A-hai memasuki rumah itu dan tak lama ke-mudian diapun keluar dari kamar belakang dan tangannya membawa sebuah boneka dari batu giok yang amat indah. Ukiran pada boneka itu amat halus dan ternyata boneka itu adalah patung se-orang puteri bangsawan istana dengan rambut di-sanggul tinggi. Cantik bukan main boneka itu dan kakak beradik itu diam - diam amat mengaguminya karena boneka itu terbuat dari pada batu giok hijau yang jernih warnanya. Tanpa berkata - kata, A - hai memberikan boneka itu kepada Bwee Hong yang menerimanya dan memeriksanya bersama Seng Kun. "Koko, boneka giok ini merupakan benda yang tak ternilai harganya. Eh ada tulisan di bawah alas kakinya. Coba lihat, ukiran tulisannya kecil-kecil namun jelas." "Bagaimana bunyinya ?" tanya Seng Kun. "Hadiah ulang tahun untuk puteriku Lian Cu." Bwee Hong membaca. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Tiba - tiba A - hai kembali lari ke sana - sini mencari sesuatu. Dia berhenti di depan sebuah batu nisan yang hampir terpendam di bawah ta-nah. Melihat pemuda itu mengamati batu nisan seperti orang linglung, si pemilik warung mende-katinya. "Ini adalah makam aduhhh !" Be- lum habis ***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know How To Register.]*** dini, harus dilaku-kan dengan sabar," kata Bwee Hong dengan ha-lus. A - hai melepaskan si pemilik warung dan dia-pun duduk di atas tanah, di depan tanah kuburan itu dan menutupi mukanya. "Saudara Seng Kun, nona Hong, cepatlah kalian beri tahu padaku akan asal usulku. Siapakah se-benarnya aku ini " Siapakah bocah perempuan ke-cil itu " Jangan jangan ia benar - benar anakku. Lihat boneka itu, aku seperti telah mengenalnya baik - baik. Benarkah aku adalah Souw - kongcu itu, seperti yang dikatakan oleh pemilik warung ini " Aihh, kenapa Gu - lojin ini juga sudah mati sehingga kita tidak dapat bertanya kepadanya " A - hai kelihatan amat berduka memandang ke arah batu nisan. Melihat keadaan A - hai dan mendengar ratap-annya, hati Bwee Hong tergerak dan tanpa disadarinya lagi iapun menghampiri orang muda itu, duduk di dekatnya dan membujuknya. Bwee Hong merasa iba hati melihat A - hai, biarpun ia merasa Parah 24 9 betapa di dalam hatinya terdapat suatu kegetiran. Hatinya tergores setelah ia menduga bahwa besar kemungkinan A - hai adalah Souw - kongcu yang telah mempunyai seorang puteri. Di luar kesadar-annya sendiri, dara yang cantik jelita ini telah ja-tuh hati kepada A - hai! "Saudara A - hai, janganlah terlalu berduka. Percayalah, aku akan membantumu untuk menyelidiki rahasia tentang dirimu, percayalah " kata gadis itu dengan suara halus dan menggetar penuh perasaan. A - hai yang sedang hanyut da-lam kedukaan, begitu ada uluran tangan, tanpa sadar diapun menangkap tangan yang kecil mungil itu dan menggenggamnya dengan erat. Gerakan ini membuat Bwee Hong hampir tak dapat mena-han air matanya dan sejenak ia membiarkan ta-ngannya digenggam pemuda itu sebelum dengan halus ia menariknya dan iapun duduk berdekatan dengan A - hai. Melihat keadaan mereka ini, diam - diam Seng Kun menjadi prihatin dan serba salah. "Apakah ini tanda bahwa adikku jatuh cinta kepadanya " Aih, kalau begitu, sungguh kasihan sekali Hongmoi " Ketika kakak beradik itu mengajak A - hai kem-bali ke dusun karena matahari telah condong ke barat, A - hai menolak keras. "Tidak, aku akan tinggal di sini dan bermalam di sini. Biarpun aku sendiri tidak ingat dan tidak tahu, akan tetapi aku merasa bahwa aku dekat sekali dengan tempat ini. Kalian berdua pulanglah ke dusun dan biarkan aku sendiri malam ini tidur di sini," katanya ber-keras. Akan tetapi kakak beradik itu, terutama sekali Bwee Hong, tidak tega membiarkan A-hai tinggal di situ seorang diri. Mereka khawatir kalau - kalau terjadi sesuatu menimpa diri pemuda yang masih kehilangan ingatannya itu. Maka mereka lalu me-nyuruh si pemilik warung pulang ke dusun terle-bih dahulu dan mereka hendak menemani A - hai bermalam di rumah tua itu. Seng Kun dan Bwee Hong membiarkan A - hai yang masih duduk termenung di depan batu nisan kuburan. Mereka lalu memasuki rumah, member-sihkan ruangan yang tidak bocor untuk dipakai beristirahat malam nanti. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ "Bagaimana pendapatmu tentang A - hai, Hong-moi ?" tanya Seng Kun ketika mereka Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sedang sibuk bekeria membersihkan ruangan itu. "Koko, agaknya kita telah sampai pada ujung dari tabir rahas;a kehidupan masa lalunya. Aku yakin bahwa tidak lama lagi kita akan dapat mem-beri tahu kepadanya siapa sebenarnya dia. Penye-lidikan itu dapat kita mulai dari tempat ini, yang kita temukan secara kebetulan sekali." "Maksudmu ?" Seng Kun menegas. "Engkau tentu ingat betapa secara tidak senga-ja dia menemukan terowongan di bawah sungai itu, kemudian ketika dia memesan ayam panggang dan ketika dia menemukan boneka giok tadi " Pada saat - saat itu dia hanya dibimbing oleh nalurinya saja. Dia tidak mempergunakan akal dan pikiran, tidak mempergunakan otak. Mungkin kalau pada saat dia hendak menyeberangi sungai dia tidak membayangkan ayam panggang, dia akan kebi-ngungan dan tidak tahu bagaimana harus menye-berang. Karena dia melamunkan ayam panggang, maka nalurinya yang menuntunnya pergi ke tem-pat terowongan itu. Seperti halnya kalau kita pu-lang ke rumah sendiri, kita tidak usah harus ber-pikir lagi ke mana kita akan berbelok. Gerakan ka-ki kita seperti terjadi dengan sendirinya." "Engkau benar," Seng Kun mengangguk. "Dan itu berarti bahwa tempat - tempat ini sudah sa-ngat dikenalnya dahulu. Tempat dan suasana itu-lah yang menlbuat dia tiba tiba menginginkan ayam panggang pada saat perutnya terasa lapar, secara otomatis dia menginginkan ayam panggang yang dipesannya di warung itu, dan otomatis pu-la merabawa kakinya menuju ke terowongan. Dan karena dia mengenal baik tempat ini pula maka nalurinya menuntunnya menemukan boneka dan batu nisan." "Koko, itu berarti bahwa A - hai adalah Souw - kongcu itu, bukan " Souw - kongcu yang sudah punya isteri dan anak ?" Dalam pertanyaan ini terkandung suara yang getir. Seng Kun dapat merasakan rial ini, akan tetapi diapun terpaksa mengangguk membenarkan. "Ku-rasa demikian. Kini kita tinggal melanjutkan pe-nyelidikan kita. Siapakah Souw - kongcu itu " To-koh dari mana ?" "Hemm, menurut penuturan pemilik warung, tentu dia itu seorang pendekar yang lihai sekali dan bekas tangannya masih nampak pada golok itu." "Akan tetapi kalau benar dia itu Souw - kongcu yang lihai itu, kenapa justeru pelipisnya sendiri terluka oleh totokan tiga jari yang hebat itu " A-dikku, kita harus menyelidiki lebih teliti sebelum mengambil kesimpulan. Belum tentu dia itu Souw - kongcu yang pandai menotok tiga jari da-lam bentuk segi tiga. Mungkin A - hai ini kakak atau adiknya, atau sanak keluarganya yang mem-punyai wajah mirip sehingga penjaga warung itu mengenalnya." Mendengar ucapan ini, tentu saja timbul lagi harapan di dalam hati Bwee Hong dan wajahnya nampak berseri. Hal ini tidak terlepas dari penga-matan Seng Kun dan kakak ini menarik napas panjang. Benar - benar ia sudah jatuh cinta, pikir-nya. Pada saat itu A - hai melangkah masuk dan membantu mereka membersihkan ruangan itu. Setelah selesai, mereka duduk di atas lantai yang sudah bersih. "Saudara A hai, tempat ini sepi dan tenang. Bagaimana kalau kami mulai memeriksa penyakirmu ?" kata Seng Kun. A - hai mengangguk. "Silahkan." Seng Kun, dibantu oleh adiknya, lalu mulai melakukan pemeriksaan. Mula - mula dia meme- riksa mata, lalu lidah dan tenggorokan, dan de-ngan amat teliti dia memeriksa denyut nadi kedua pergelangan tangan A - hai. Di dalam pengobatan tradisionil Tiongkok, pemeriksaan lewat denyut nadi merupakan bagian yang terpenting. Seorang yang sudah ahli benar, dapat merasakan gejala- gejala macam penyakit lewat denyut urat nadi itu. Setelah melakukan pemeriksaan dengan teliti, ma-kin yakinlah hati kakak dan adik itu bahwa sum-ber penyakit yang menghilangkan ingatan A hai terletak pada kekacauan jalan darah di kepala ! Maka Seng Kun lalu langsung memeriksa pelipis kiri. Seng Kun meraba - raba pelipis itu, kemudian menggunakan jarum perak menoreh kulit di sekitar benjolan - benjolan itu. Darah menetes dan dia memperhatikan tetesan darah yang keluar, kemu-dian menyuruh Bwee Hong memeriksa darah itu dengan seksama. Akhirnya, setelah memeriksa dengan teliti, Seng Kun menarik napas panjang. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ "Saudara A - hai, benjolan - benjolan di pelipis-mu ini adalah akibat terkena ilmu totok urat yang amat hebat. Melihat bekas dan akibat totokan ini, aku mempunyai dugaan bahwa ilmu itu adalah se-macam Sam - ci Tiam - hwe - louw (Ilmu Totok Tiga Jari) yang luar biasa ampuhnya dan yang memang khusus untuk menotok urat - urat kematian. Akan tetapi entah karena ilmu kepandaian si pe-notok itu yang belum sempurna ataukah karena il-mu kepandaianmu yang lebih unggul dari padanya, akibat dari totokan itu tidak sampai menewaskan-mu, melainkan hanya mengakibatkan memar di urat jalan darah yang tertotok. Memar itu menye-babkan darah matang menyumbat hiat - to (jalan darah) yang menuju ke otak tidak mendapatkan aliran darah yang wajar seperti biasanya. Tentu saja hal ini membuat otak tidak dapat bekerja dengan baik. Masih untung bahwa totokan itu hanya mengakibatkan tersumbatnya jalan darah menuju ke bagian otak yang depan saja sehingga engkau masih mampu berpikir walaupun sebagian lagi telah tidak bekerja sehingga engkau tidak ingat akan masa lalumu. Kalau totokan itu mengakibatkan tersumbatnya jalan darah ke semua bagian dari otak, engkau akan hidup seperti seorang bayi yang tidak pernah mengetahui apa - apa !" Mendengar keterangan terperinci ini, Bwee Hong merasa bulu tengkuknya meremang. "Akan tetapi, koko. Kenapa pada waktu ku-mat, dia memperoleh kembali ingatan ingatannya walaupun hanya sebagian saja ?" Kakaknya mengangguk - angguk. "Mudah di-perkirakan, Hong - moi. Engkau pernah mengata-kan bahwa manusia mempunyai naluri. Nah, aku yakin bahwa ada suatu peristiwa yang sangat ber-pengaruh atas naluri saudara A - hai pernah terjadi di masa lalunya. Kita tidak tahu persis apa adanya peristiwa itu, akan tetapi mudah diperkirakan bah-wa peristiwa itu ada hubungannya dengan darah manusia. Maka apa bila dia melihat genangan da-rah, otomatis terjadilah guncangan hebat pada ba-tinnya. Nah, akibat guncangan batin yang hebat inilah maka jantungnya bekerja beberapa kali le-bih keras dari biasanya. Dan karena jantung be-kerja keras, tentu saja tekanan aliran darah menja-di sedemikian kuatnya sehingga darah dapat juga sedikit menembus sumbatan itu dan dapat menga-lir ke otak yang kering itu, biarpun hanya dengan sukar sekali. Dengan demikian, untuk saat - saat itu otak yang membeku dapat bekerja kembali wa-laupun belum sempurna benar. Dan setelah pe-ngaruh guncangan itu habis, maka berhenti pula aliran darah itu. Engkau tadi melihat, ketika aku menusukkan jarum di bagian atas dan bawah ben-jolkan, aliran darahnya berbeda - beda, ada yang tetesannya cukup deras ada pula yang sama sekali tidak keluar ?" Bwee Hong mengangguk - angguk kagum se-dangkan A - hai hanya mendengarkan dengan be-ngong saja. Darah 24 17 "Kun - ko, engkau sungguh hebat. Keteranganmu dapat menjelaskan persoalannya. Lalu menga-pa apa bila saudara A - hai sedang kumat dia me-lupakan semua orang " Termasuk juga kita ?" Seng Kun tersenyum. "Aku sudah memperhati-kan hal itu. Lihatlah satu tonjolan ini tidak berada di dalam urat, akan tetapi mengenai bagian di luar urat. Inilah yang menyelamatkan saudara A - hai, selamat dari kelumpuhan total dari otaknya. Akan tetapi tonjolan ini justeru terletak dalam kumpulan otot - otot pelipis dan rahang. Dengan demikian, apa bila otot - otot itu mengejang karena saudara A-hai sedang marah, tonjolan itu malah mende-sak dan menghimpit urat di dekatnya dengan oto-matis. Dengan demikian, maka bagian yang nor-mal dari otak itulah yang justeru tidak kebagian darah karena himpitan itu. Mengertikah engkau?" Bwee Hong mengangguk. "Akan tetapi, lalu bagaimanakah agar supaya aliran darah ke otak itu dapat terbuka kembali semuanya sehingga otak dapat bekerja kembali dengan wajar ?" KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ "Inilah yang harus kita kerjakan, yaitu berusaha menghilangkan sumbatan sumbatan itu. Akan tetapi hal ini tidaklah mudah. Darah yang me-ngental itu sudah sedemikian kerasnya sehingga aku khawatir kekuatan obat saia tidak akan mam-pu mencairkannya kembali. Padahal kalau kita menghilangkannya dengan pembedahan, berarti kita akan merusak pembuluh darah dan ini berbahaya sekali. Satu - satunya cara ialah membuat lubang darurat di bagian darah yang mengental itu. Akan tetapi cara seperti itu bukan merupakan pengobatan yang sekaligus dapat menyembuhkan. Setiap setahun sekali, harus dibuat lagi lubang baru karena lubang yang lama itu lambat - laun akan tertutup lagi oleh darah. Dan itu berarti saudara A - hai ini akan selalu tergantung kepada kita yang harus membuatkan lubang darurat baru setiap tahun. Nah, sekarang terserah kepada saudara A - hai sendiri." "Saudara Seng Kun dan nona Hong ! Lakukan-lah sesuka hati kalian terhadap diriku. Aku me-nyerah sepenuhnya kepada kalian. Pokoknya aku bisa tahu siapa sebenarnya aku ini !" Seng Kun mengangguk girang. Sebagai seorang ahli pengpbatan, tentu saja menghadapi seorang dengan gangguan penyakit seperti A - hai ini dia merasa ditantang dan dia akan merasa berbahagia sekali kalau dapat menanggulangi dan mengalah-kan penyakit itu. Dan kalau A - hai bersikap pa-srah, maka hal itu sudah merupakan bantuan yang amat besar artinya bagi pengobatannya. "Baiklah kalau begitu. Akan tetapi sebelum membuat lubang pada bagian darah kental yang menyumbat jalan darah itu, lebih dahulu aku akan membedah dan mengambil gumpalan darah yang berada di luar jalan darah, yang menghalang di kumpulan otot pelipis itu. Hal ini untuk mence- gah agar otak yang normal tidak tertutup lagi ja-lan darahnya sewaktu engkau marah atau dalam keadaan kumat. Nah, Hong - moi, siapkan alat-nya dan mari kita bekerja !" A - hai disuruh rebah miring ke kanan sehingga pelipis kirinya berada di atas. Dengan dibantu adiknya, Seng Kun duduk bersila di dekatnya, de-ngan teliti mengamati ketika Bwee Hong memper-gunakan jarum - jarumnya untuk menusuk bebera-pa jalan darah di tengkuk dan pundak. Tusuk-an - tusukan ini untuk menghilangkan rasa perih dan nyeri ketika pembedahan dilakukan. Kemudi-an mulailah Seng Kun mengerjakan pisaunya yang tajam. Karena pembedahan itu hanya kecil dan sederhana saja, hanya harus dilakukan dengan amat teliti dan hati hati agar jangan sampai me-rusak jaringan darah, tak lama kemudian gumpal-an darah kental itu dapat dikeluarkan. A - hai ti-dak merasa sakit, dan baru setelah luka itu dijahit dan diobati, kemudian jarum - jarum yang menu-suk beberapa bagian badan itu diambil, dia merasa betapa pelipisnya agak perih. "Nah, saudara A - hai, mulai saat ini, biarpun engkau sedang kumat, engkau akan tetap mengenal siapa saja yang pernah kaukenal, termasuk kami," kata Seng Kun. "Terima kasih, sungguh kalian selain pandai, juga amat berbudi," A - hai berkata dengan terha-ru. Sementara itu, malampun tiba. Ruangan itu mulai gelap. Bwee Hong menyalakan lilin mem- buat penerangan. Kemudian mereka bertiga ma-kan roti kering yang dibawa sebagai bekal oleh ga-dis itu. Ketika Bwee Hong melihat betapa A - hai mengunyah roti itu dengan kaku, iapun tertawa. "Saudara A - hai, untuk beberapa hari jahitan di pelipismu itu akan sedikit mengganggu apa Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo bila engkau sedang makan." "Ah, tidak apa. Yang penting kini sebagian pe-nyakit lupaku sudah hilang. Saudara Seng Kun, kapankah lubang di pembuluh darah itu akan di-buat " Aku sudah tidak sabar lagi menanti." "Hemm, saudara A - hai, jangan tergesa - gesa. Pembuatan lubang itu tidak boleh sembarangan. Harus dilakukan sedikit demi sedikit, setiap kali mau tidur malam. Kalau dibuat secara mendadak, besar bahayanya darah yang mengalir ke dalam otak terlalu banyak dan tiba - KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ tiba itu akan men-datangkan guncangan. Jalan darah yang tersumbat itu seakan akan air dibendung. Kalau bendungan itu dibuka secara tiba - tiba dan sekaligus, tentu akan terjadi banjir yang akan merusak saluran. De-mikian pula dengan jalan darah itu, yang semula tersumbat sampai sekian lama, kalau dibuka seka-ligus, ada bahayanya darah yang membanjir itu selain merusak jalan darah, juga dapat menimbul-kan guncangan pada otak. Kesembuhan itu harus terjadi setahap demi setahap dan memerlukan ke-sabaran." "Wah, kalau begitu, berapa kalikah aku harus mengalami tusukan jarummu untuk membuat lu-bang itu ?" "Tidak terlalu banyak, kukira tidak lebih dari sepuluh kali tusukan atau sepuluh hari saja. Tidak terlalu lama, bukan ?" "Kalau begitu, kuharap engkau suka mulai se-karang juga, lebih cepat lebih baik bagiku. "Akan tetapi baru saja engkau mengalami pembedahan " Bwee Hong mencela. "Tidak mengapa ! Aku sudah tidak merasakan nyeri lagi, nona." "Baiklah kalau begitu, saudara A - hai. Nah, engkau rebahlah lagi seperti tadi. Akan tetapi se-kali ini, sehabis penusukan pertama, engkau harus tidur dan banyak istirahat, tidak boleh banyak ber-gerak." A - hai mengangguk dan dengmi penuh sema-ngat diapun merebahkan diri. Seng Kun menotok jalan darah di kedua pundak dan punggung se-dangkan Bwee Hong lalu menusukkan jarum - ja-rumnya di sekitar pelipis. A - hai segera tertidur pulas oleh totokan - totokan dan tusukan jarum-jarum itu. Dengan hati-hati Seng Kun lalu mempersiapkan jarumnya. Lebih dulu dia duduk me-lakukan siulian dan mengheningkan pikiran, kemu-dian mengumpulkan hawa murni disalurkan di kedua lengannya. Barulah dia berani melakukan pe-nusukan itu. Kedua tangannya bergerak mantap, jari - jari tangannya tidak gemetar dan sepasang matanya memandang tajam, setiap gerakan dila-kukan dengan tepat. Dia tahu betapa berbahaya-nya pekerjaan yang dilakukannya itu. Sedikit saja meleset atau salah, ada bahaya nyawa A - hai akan melayang! Dia harus dapat menancapkan jarum-nya mengenai sasaran, yaitu gumpalan darah itu, jangan sampai merusak pembuluh darah dan ja-ngan sampai mengenai jalan darah lain walaupun yang kecil sekali. Beberapa kali tusukannya masih belum menghasilkan apa - apa. Darah masih be lum menetes keluar. Dia mulai berkeringat, bah-kan Bwee Hong yang melayaninya juga mengelu-arkan peluh dingin karena dara inipun tahu akan besarnya bahaya yang mengancam nyawa A - hai. Akhirnya, pada tusukan yang kesekian kalinya ketika jarum dicabut, nampak darah hitam sedikit mengalir keluar. Kakak beradik itu merasa sangat puas. Seng Kun menyudahi pekerjaannya. "Untuk yang pertama kali cukuplah, biar dia tidur nyenyak. Mari kita keluar mencari hawa se- gar," kata Seng Kun sambil menyeka keringat yang memenuhi dahi dan lehernya. "Baiklah, koko. Engkau keluarlah lebih dulu. Aku akan membersihkan alat - alat pengobatan ki-ta dan menyimpannya. Nanti aku akan menyusul-mu keluar." Seng Kun mengangguk dan melangkah keluar. Dia tahu bahwa adiknya itu masih belum tega me-ninggalkan A - hai seorang diri setelah menjalani pengobatan sangat berbahaya itu. Di luar hawa-nya sangat sejuk. Bulan sepotong yang melayang di antara awan - awan nampak indah sekali. Tanpa disadarinya, Seng Kun melangkah perlahan - lahan menuju ke makam Gu - lojin yang berada tidak jauh dari rumah tua itu. Akan tetapi ketika dia sudah tiba di dekat ma-kam, mendadak dia menahan langkah kakinya dan matanya terbelalak. Di batu nisan itu nampak se-orang laki - laki duduk bersandar, matanya melo-tot dan lidahnya terjulur keluar. Jelaslah bahwa orang itu sudah mati ! Cepat Seng Kun mendekati dan memeriksanya. Kiranya orang itu adalah ka-kek penjaga warung, dan baru saja mati. Badan-nya masih hangat dan ketika Seng Kun memeriksa lehernya, dia mengumpat, "Sungguh kejam pem-bunuh itu ! Seperti iblis ! Orang ini mati karena diinjak lehernya. Bekas sepatu kaki penginjak itu masih nampak nyata." Tiba - tiba Seng Kun meloncat bangkit berdiri dan siap siaga ketika dia mendengar suara ketawa parau dan lantang di dekatnya. Dia cepat meno-leh, akan tetapi tidak nampak bayangan orang. Dia mengerutkan alisnya. Tidak mungkin ada iblis ter-tawa. Tentu suara orang dan dia hampir yakin bahwa suara ketawa itu adalah suara si pembunuh KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ 24 kejam yang mentertawakannya. Dia merasa pena-saran dan marah. Orang sekejam itu pasti bukan orang baik - baik dan harus dilawannya. Maka dia-pun mencari ke arah suara ketawa yang kini terde-ngar lagi dari arah sungai. Akhirnya, di tepi sungai itu, nampak seorang laki - laki pendek gemuk du-duk di atas batu, kakinya direndam di air dan mu-kanya menengadah memandang bulan. Laki-laki ini usianya hampir limapuluh tahun, tubuhnya pendek gemuk dengan perut yang gendut, tangan kirinya memegang sebatang tongkat besar berben-tuk alu, yaitu alat penumbuk padi, berwarna pu-tih. Itulah senjata yang berat dan keras, terbuat dari pada baja putih.Melihat orang ini, hati Seng Kun terkejut. Dia mengenal senjata itu dan dia tahu bahwa dia ber-hadapan dengan orang ke dua dari Sam - ok, kawan dari San - hek - houw. Inilah Sin - go Mo Kai Ci, Si Buaya Sakti yang menjadi raja di antara bajak-bajak sungai, seorang di antara pembantu - pem-bantu Raja Kelelawar. Selagi Seng Kun merasa ragu karena dia belum tahu benar apakah datuk sesat ini yang membunuh kakek pemilik warung, tiba - tiba si gendut pendek itu menoleh kepadanya dan bertanya, "Engkau mencari pembunuh tukang wjarung ?" Tentu saja Seng Kun kaget dan mengangguk karena pertanyaan itu langsung mengenai perasaan hatinya yang sedang bertanya - tanya. Si gendut Darah 24 pendek itu tertawa. Di bawah sinar bulan, perut gendutnya bergerak - gerak naik turun dan karena kini dia sudah bangkit berdiri, dia kelihatan sekali pendeknya. "Ha - ha - ha - ha, dan engkau akan menemani-nya di sana!" Tiba - tiba saja tubuh yang gendut pendek itu meloncat. Demikian cepat gerakannya, sama sekali tidak pantas melihat tubuhnya yang gendut itu dan didahului oleh gulungan sinar pu-tih dari senjatanya, datuk sesat ini telah menyerang Seng Kun. Hebat sekali serangannya itu, mengan-dung tenaga yang kuat sehingga terdengar suara angin bersiutan menyambar - nyambar. Seng Kun maklum akan kelihaian lawan, maka diapun me-lawan sambil mengerahkan tenaganya dan karena dia bertangan kosong, maka dia mengandalkan ginkangnya yang hebat untuk menghindarkan diri dari ancaman senjata alu baja yang berat itu. Bi-arpun gerakannya amat cepat, namun ternyata Si Buaya Sakti itu lihai bukan main, bahkan diban-dingkan dengan San - hek - houw, dia tidak kalah lihai. Serangannya juga bersifat liar dan bahkan dia lebih ulet. Karena bertangan kosong, terpaksa Seng Kun beberapa kali menerima hantaman alu dengan tangkisan lengannya yang membuat dia beberapa kali terpelanting. Lewat tigapuluh jurus lebih, Seng Kun terdesak. Tiba - tiba terdengar jeritan suara wanita dari dalam rumah tua. Tentu saja hati Seng Kun terkejut dan penuh kekhawatiran. Adiknya berada di dalam rumah tua itu dan yang mengeluarkan jeritan itu tentulah adiknya. Saking kaget dan khawatirnya, dia menoleh dan kesempatan ini di- pergunakan oleh Sin - go Mo Kai Ci untuk men-cengkeram pundak Seng Kun dan pemuda itu seke- tika merasa tubuhnya lumpuh tidak mampu bergerak lagi. "Ha - ha - ha, engkau mendengar jeritan gadis itu " Heh - heh, San - hek - houw tentu sedang memperkosanya. Heh - heh - heh !" Seng Kun terbelalak dan roboh pingsan men-dengar kata - kata keji itu. Si Buaya Sakti tidak perduli, bahkan kelihatan gembira sekali. Dia me-nyeret tubuh Seng Kun ke arah rumah tua sambil berteriak - teriak. "Heii, bangsat tua ! Sudah selesaikah engkau " Nih, bocah itu telah kuhajar setengah mampus. Kurang ajar engkau! Katamu, ilmu kepandaian-nya bukan main hebatnya. Tidak tahunya cuma sebegitu saja!" Akan tetapi, tidak ada jawaban dari dalam rumah. Si Buaya Sakti melemparkan tubuh Seng Kun ke dekat mayat pemilik warung, lalu dia du-duk di atas batu nisan, mulutnya memaki - maki dan menyumpah - nyumpah dengan suaranya yang tinggi melengking seperti suara wanita. "Hayo, cepatlah! Bandot tua yang tidak tahu diri! Sudah mau masuk lobang kubur masih gemar main perempuan!" Akan tetapi tidak ada suara sedikitpun dari dalam rumah itu, tidak ada sedikitpun jawaban terhadap kata-kata dan ma-kiannya. Hal ini membuat Si Buaya Sakti menjadi semakin uring-uringan dan akhirnya dia merasa penasaran. Bagaimanapun juga, rekannya itu KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ tidak akan berani menghinanya dengan membiarkan dia berteriak-teriak sendirian saja sejak tadi, seperti orang gila. Dia lalu bangkit berdiri, meludah ke tanah, kemudian menyeringai dan berjalanlah dia menu-ju ke rumah tua itu. Sambil tersenyum - senyum nakal dia menghampirri jendela dan dengan lagak seorang bocah nakal diapun lalu mengintai ke da-lam sambil cengarcengir. Akan tetapi, matanya terbelalak dan liar mencari - cari. Kamar itu ko-song ! Tidak nampak ada gerakan orang di situ. Tubuh yang gendut itu dengan ringannya me-layang masuk ruangan itu melalui jendela. Di atas lantai nampak seorang pemuda terlentang dalam keadaan tidur pulas. Di sudut ruangan itu ter-dapat pakaian si gadis berserakan. Akan tetapi ga-dis itu sendiri tidak berada di situ. Juga San - hek-houw tidak nampak bayangannya. Ke manakah mereka pergi " Si Buaya Sakti mengepal tinju, mengamang - amangkan tinjunya ke atas lalu mem-banting-banting kakinya yang besar dan pendek itu ke atas lantai sampai rumah itu tergetar. "Bedebah ! Keparat ! Bangsat hina ! Benar-benar kurang ajar! Teman disuruh berkelahi, sedangkan dia sendiri enak - enak pergi dengan pe-rempuan, bersenang - senang tanpa memperdulikan teman. Tanpa pamit lagi. Keparat, kuhajar eng-kau nanti!" Si Buaya Sakti menjadi marah bukan main, tubuhnya meloncat keluar lagi dan dengan beberapa kali loncatan saja dia sudah tiba di depan nisan. Karena dia sedang marah, dia lalu meng-hampiri tubuh Seng Kun yang terkapar di atas ta-nah ketika dia melemparkannya tadi dan dengan buas dia lalu menginjak sambil mengerahkan tena-ganya ke arah dadanya. "Krekk! Krekkk! !" Si Buaya Sakti terkejut bukan main. Korban yang diinjaknya itu lalu disepaknya dan diapun meludahinya. Daun - daun dan ranting - ranting berhamburan dari "tubuh" yang diinjaknya tadi. "Gila! Anjing babi keparat jahanam laknat! Siapa berani mempermainkan Si Buaya Sakti " Siapa yang bosan hidup di dunia ini dan berani main - main dengan aku " Akan kulumatkan ke- palamu, kuhancurkan dadamu !" Alu baja itu di-amang - amangkannya dan matanya melotot, men-cari-cari ke segenap penjuru. Kiranya yang diin-jak dadanya tadi hanyalah pakaian yang diisi de-ngan daun-daun dan ranting-ranting kecil. Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Aku berada di sini !" Suara itu halus dan ter-dengar perlahan dari atas sebatang pohon tua yang tinggi. Si Buaya Sakti terkejut dan memandang ke atas. Kiranya di atas sebuah dahan panjang yang ting-gi, duduklah seorang kakek bersama dua orang pemuda, seorang di antara dua pemuda itu adalah Seng Kun, pemuda yang tadi dirobohkannya. Kini tiga orang itu melayang turun dengan gerakan yang amat ringan seperti daun - daun kering yang rontok dari dahannya. Setelah dapat memandang jelas wajah kakek itu, Si Buaya Sakti semakin kaget. Dia mengenal wajah kakek sederhana yang memegang tongkat ini. Beberapa tahun yang lalu, kakek tua renta yang sederhana dan kelihatan lemah ini pernah bertanding ginkang dengan Raja Kelelawar dan bahkan mengalahkan rajanya itu! Tentu saja dia terkejut dan gentar. Dia tahu bahwa kakek ini lihai bukan main. Apa lagi di situ masih ada pula dua orang pemuda yang juga bukan merupakan lawan yang lunak. Akan tetapi, dia adalah Si Bu-aya Sakti, pembantu utama dari Raja Kelelawar, dia seorang datuk kaum sesat yang terkenal seba-gai rajanya kaum bajak sungai. Orang seperti dia tentu saja pantang untuk memperlihatkan takut. Sambil mengeluarkan suara gerengan keras diapun memutar alu bajanya dan menyerang ke depan. "Tranggg !" Bunga api berpijar ketika sebatang pedang menangkis alu baja itu. Kiranya yang menangkis dengan pedang adalah pemuda ke dua yang datang bersama kakek itu. Dia adalah Kwee Tiong Li, pemuda yang pernah menjadi murid pemberontak Chu Siang Yu, dan pernah menjadi ketua Lembah Yangj - ce. Seperti telah diceritakan di bagian depan, pemuda ini bertemu dengan kakek Kam Song Ki yang menjadi murid ke tiga dari mendiang Bu - eng Sin-yok-ong. SeKANG ZUSI website http://kangzusi.com/ telah diselamatkan oleh kakek itu. Kwee Tiong Li yang berjodoh untuk menjadi murid kakek itu lalu ikut bersama kakek itu mempelajari ilmu silat, sehingga dia yang memang tadinya sudah lihai memperoleh kemaiuan yang pesat sekali. Pemuda yang mukanya agak kemerahan ini mempergunakan pedangnya. Dan setelah mereka berdua saling serang selama limapuluh jurus, harus diakui oleh Si Buaya Sakti bahwa ilmu pedang pemuda ini hebat bukan main, dan kalau dilanjutkan, tentu dia akan celaka. Apa lagi kalau Seng Kun dan kakek lihai itu maju. Maka, tanpa malu - malu lagi, dia lalu meloncat ke belakang untuk melarikan diri. Kwee Tiong Li tidak mengejarnya, akan tetapi ujung pedangnya sempat menyerempet bahu kiri Si Buaya Sakti sehingga bajunya robek dan berdarah. Sementara itu, ketika Kwee Tiong Li sedang bertanding melawan Si Buaya Sakti, Seng Kun me-nengok ke arah rumah tua. Dia maklum bahwa dengan adanya si kakek sakti, tidak perlu dikhawa-tirkan pemuda itu akan kalah melawan Si Buaya Sakti. Maka diapun meninggalkan tempat itu dan mencari adiknya ke rumah tua. Dengan hati ber-debar tegang, Seng Kun memasuki rumah itu, lang-sung menuju ke dalam ruangan di mana tadi dia meninggalkan A-hai dalam keadaan tidur pulas dan dijaga oleh Bwee Hong. Akan tetapi, dia ha-nya melihat A - hai yang masih rebah dan tertidur pulas, sedangkan adiknya sudah tidak nampak lagi. Yang ada hanyalah pakaian adiknya yang berse-rakan di sudut ruangan. Tentu saja hatinya menja-di pilu dan gelisah. Ke manakah perginya Bwee Hong " Apa yang telah terjadi dengan adiknya " Ketika dia keluar lagi dari rumah itu, perkela-hian antara Kwee Tiong Li dan Si Buaya Sakti su-dah berakhir dan penjahat itu sudah kabur entah ke mana. Seng Kun lalu menghampiri kedua orang yang tadi telah menolongnya. Tadi ketika dia di-lempar dalam keadaan pingsan oleh Si Buaya Sakti di dekat mayat pemilik warung, dia telah ditolong dan dibawa naik ke atas pohon oleh seorang ka-kek. Kemudian seorang pemuda yang datang ber-sama kakek itu mempergunakan daun dan ranting yang dibungkus pakaian untuk menggantikan tu-buhnya. Dengan beberapa kali totokan, diapun sadar dan bebas dari totokan Si Buaya Sakti, dan dengan isyarat, kakek dan pemuda itu menyuruh dia berdiam diri dan mereka menanti sampai Si Buaya Sakti muncul dengan marah - marah dari dalam rumah tua. "Ji - wi telah menyelamatkan nyawa saya, untuk itu saya menghaturkan banyak terima kasih. Akan tetapi saya telah kehilangan adik perempuan saya yang saya tinggalkan di dalam rumah tua itu. Saya khawatir kalau adik saya menjadi korban kejahatan kaum sesat itu. Mohon bantuan ji - wi untuk me-nyelamatkan adik saya." Kakek Kam Song Ki merangkapkan kedua ta-ngan di depan dada lalu menancapkan tongkatnya ke atas tanah. "Siancai , negara sedang dalam kekacauan dan semua penjahat merajalela, seolah-olah semua iblis telah keluar dari neraka untuk mendatangkan onar di permukaan bumi. Kami ba-ru datang dan kebetulan saja danat menyelamat-kanmu, orang muda. Kami tidak tahu ke mana perginya adikmu itu." 'Tadi adik perempuan saya berada di dalam rumah tua. Di tempat ini hanya terdapat sebuah dusun. Kalau ada yang menculiknya, tentu ke du-sun itulah dibawanya. Saya akan mencari ke sa- na !" kata Seng Kun. "Biarlah kami ikut bersamamu dan sedapat mungkin membantumu," kata pemuda itu. Mereka tidak sempat berkenalan karena Seng Kun sedang berada dalam keadaan gelisah sekali memikirkan keselamatan adiknya. Kalau benar adiknya dise-rang oleh San - hek houw, tentu adiknya kalah KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Darah 24 33 dan kalau sampai adiknya diculik oleh datuk itu, celakalah! Merekapun mulai mencari - cari jejak. Karena malam itu hanya diterangi bulan sepotong, maka sukarlah mencari jejak orang dan akhirnya mereka menuju ke dusun dengan mengambil jalan setapak. Dengan teliti Seng Kun berjalan di depan dan di tengah perjalanan ini dia membungkuk dan meng-ambil sepotong sepatu wanita yang dikenalnya se-bagai sepatu Bwee Hong. Tentu saja hatinya men-jadi semakin gelisah dan dia mempercepat langkah. Hatinya tegang karena jejak itu telah ditemukan berupa sepatu adiknya. Tentu adiknya telah dilari-kan penjahat menuju ke dusun itu. Dusun itu sepi sekali. Semua rumah telah me-nutup pintunya rapat - rapat dan di depan rumah-rumah itu tidak dipasangi lampu. Seng Kun men-jadi tidak sabar dan mulailah dia memanggil-manggil nama adiknya. Suaranya bergema di du-sun itu, namun tidak terdengar jawaban. Kemudi-an dia mulai memanggil nama San - hek - houw dengan nada suara marah. "San - hek - houw, iblis busuk ! Keluarlah kalau jantan dan mari kita bertanding sampai seorang di antara kita tewas! Jangan menjadi pengecut hina yang melarikan seorang wanita!" Namun teriakan-teriakannya inipun tidak ada jawaban. Seng Kun mulai gelisah sekali dan keringat dingin membasahi bajunya. Dia tidak dapat menduga di rumah yang mana iblis itu bersembunyi. Memeriksa rumah itu satu demi satu akan memakan waktu dan dia harus cepat cepat menyelamatkan adiknya. Saking jengkelnya dia mengancam. "Kubakar semua rumah di sini apa bila engkau tetap sembunyi! !" Kakek Kam Song Ki menyentuh pundaknya. "Tenanglah, tidak perlu membakar rumah pendu-duk yang tidak bersalah. Kemarahan hanya akan menyeret kita kepada tindakan yang sesat." Sete-lah berkata demikian, kakek itu lalu mengerahkan khikangnya ke arah rumah para penduduk dan ber-teriak, suaranya gemuruh menggetarkan daun-daun pintu danjendela rumah - rumah itu. "Saudara - saudara penghuni dusun ini semua ! Kami tahu jumlah kalian tidak banyak. Keluarlah kalian semua. Semuanya, tidak boleh ada yang tinggal di dalam ! Yang tidak mau keluar, rumahnya akan kami bakar. Cepat ! !" Mendengar seruan yang menggelegar ini, para penghuni ramah dusun itu terkejut dan ketakutan. Satu demi satu merekapun keluarlah dari ramah mereka, menggendong anak - anak yang masih ke-cil dan menuntun kakek - kakek dan nenek - nenek yang sudah hampir tidak kuat berjalan. Kepala du-sun itu sendiri, setelah hilang kagetnya dan meli-hat bahwa tiga orang yang minta mereka semua keluar itu hanyalah seorang kakek dan dua orang pemuda yang nampaknya bukan orang jahat, lalu menghampiri mereka. "Ada urusan apakah maka sam - wi minta kami semua keluar ?" tanya kepala dusun. "Kami mencari seorang kakek iblis yang mela-rikan seorang wanita. Mungkin dia bersembunyi di sebuah di antara rumah - rumah dusun ini," ka-ta Seng Kun tak sabar. Kepala dusun lalu menanyai semua orang akan tetapi mereka semua menjawab bahwa tidak ada kakek iblis bersembunyi di rumah mereka. "Sam - wi mendengar sendiri. Warga dusun kami tidak tahu tentang kakek itu, harap sam - wi mencari saja ke lain tempat," kata kepala dusun dengan bangga karena semua anak buahnya ter-nyata tidak ada yang melakukan kesalahan. "Akan tetapi kenapa kalian semua tidak mau membuka pintu seperti ketakutan ketika melihat kedatangan kami ?" Seng Kun bertanya penasaran. "Soalnya sore tadi terjadi kerusuhan di warung makan itu. Dua orang penjahat memaksa pemilik warung untuk menunjukkan di mana rumah Gu-lojin." Pada saat itu terdengar rintihan orang. Kakek Kam dan dua orang pendekar muda itu cepat me-loncat dan mendekat. Ternyata seorang nelayan muda tergolek berlumuran darah di tepi KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ sungai. Tubuh bawahnya masih terbenam ke air, nampaknya dengan susah payah dia baru saja berenang ke tempat itu. Kepala dusun yang sudah mengejar ke situ se-gera mengenai nelayan muda ini dan menegur, me-nanyainya. Akan tetapi nelayan itu hanya menge-luh dan tidak mampu bicara, napasnya memburu. Melihat ini, kakek Kam Song Ki lalu menghampiri dan menggunakan dua buah jari tangannya untuk mengobati nelayan muda itu. Melihat betapa ka-kek itu menekuk telunjuk dan jari tengah, lalu menggunakan dua jari yang ditekuk itu untuk menjepit urat di bagian tengkuk dan pundak, Seng Kun memandang heran. Itulah ilmu pengobatan dari perguruannya, yaitu cubitan pada otot yang disebut "ning"! Sebentar saja nelayan itu sadar dan dapat bicara. "Jahat jahat perahuku dirampas aku dipukul ahhh " Dan nelayan itu meringis seperti orang menangis. Setelah dibu-juk, akhirnya nelayan muda itu menceritakan be-tapa tadi, ketika dia mendayung perahunya hen-dak pulang, dengan membawa muatan ikan hasil tangkapan yang cukup banyak, dengan hati gem-bira, dia dipanggil oleh dua orang yang berdiri di tepi sungai. Karena mengira bahwa dua orang itu hendak menumpang perahunya dan hatinya sedang bergembira, diapun minggir. Sungguh ti-dak disangkanya bahwa dua orang itu jahat sekali. Keranjang ikannya yang penuh itu mereka tendang keluar sehingga tumpah ke dalam air, kemudian nelayan itu yang hendak melawan, dipukul sam-pai tercebur ke dalam sungai dan perahunya di-rampas! Sungguh mereka jahat " dia menangis. "Ikan - ikanku dibuang, perahuku dirampas dan aku dipukuli " "Bagaimana macamnya kedua orang itu ?" Seng Kun bertanya. "Yang seorang pendek gendut membawa tongkat besar putih, seorang lagi tinggi besar " "Tak salah lagi. Merekalah itu!" Seng Kun berseru marah. "Tahukah engkau ke mana mereka pergi ?" Nelayan muda itu menggeleng kepala, akan tetapi karena agaknya dia mengharapkan orang akan mencari dan menghajar kedua penjahat itu dan mendapatkan perahunya, dia berkata, "Ketika aku minggir, mula - mula mereka bertanya kepadaku di mana letaknya dusun Kim - le mungkin mereka ke sana " Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Mari kita susul ke sana!" kata Seng Kun tak sabar lagi. Dibantu oleh dua orang penolongnya, tak lama kemudian Seng Kun menyewa sebuah pe-rahu dan melakukan pengejaran ke arah dusun Kim - le. Seng Kun sendiri bersama Tiong Li membantu si nelayan mendayung dan biarpun pe-rahu sudah meluncur cepat, tetap saja Seng Kun menganggapnya terlalu lambat dan dia kelihatan gelisah bukan main. Melihat itu, kakek itu meng-hibur. "Orang muda, sabarlah. Serahkan saja kesemua-nya kepada Thian. Di samping usaha menyelamat-kan adikmu, berdoalah saja agar adikmu itu sela-mat. Dengan membiarkan hati gelisah, hal itu akan mengeruhkan pikiran dan hanya akan mem-buat tindakanmu menjadi kacau tanpa perhitungan lagi. Jangan membiarkan pikiranmu membayang-kan hal - hal buruk menimpa diri adikmu, hal itu hanya akan mengundang datangnya kegelisahan yang tiada gunanya." Seng Kun tersadar dan dia menjadi lebih te-nang. Baru sekarang dia teringat betapa tidak pantasnya sikapnya selama ini. Dua orang ini te-lah menyelamatkannya dari tangan Si Buaya Sakti, juga kini bahkan membantunya mencari adiknya. Akan tetapi dia sama sekali belum tahu siapa ada-nya mereka dan tidak pernah menanyakannya! "Harap ji - wi sudi memaafkan saya yang bersikap tak mengenal budi. Karena gelisah memikirkan adik saya, maka saya belum sempat memperkenalkan diri. Harap ji - wi ketahui bahwa saya bernama Seng Kun, she Bu, dan adik saya KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ itu adalah Bu Bwee Hong. Mohon tanya, siapa-kah nama locianpwe yang mulia dan juga saudara yang gagah perkasa ini ?" Kakek itu terbelalak memandang wajah Seng Kun, "Engkau she Bu " Dan ginkangmu tadi ketika berlari hemm, orang muda, nama keturunanmu itu mengingatkan aku akan seorang yang bernama Bu Cian " Kini Seng Kun yang menjadi terkejut mende-ngar disebutnya nama itu karena nama itu adalah nama ayah dari ayah angkatnya atau juga paman kakeknya. Bu Kek Siang! "Apakah yang locian-pwe maksudkan itu adalah mendiang kakek Bu Cian, si datuk utara ?" "Ha - ha - ha, benar, dia menjadi datuk ahli sinkang dan ahli obat di utara " "Locianpwe, beliau itu adalah kakek buyut saya, juga kakek guru " "Ehh " Engkau anak siapakah ?" Kakek Kam Song Ki terbelalak lagi. "Apakah engkau mengenal Bu Kek Siang ?" "Mendiang Bu Kek Siang adalah ayah angkat saya juga guru saya, juga paman kakek saya " "Ayah angkat, juga guru, juga paman kakek " Bagaimana ini " Dan sudah mendiang ?" kakek itu bertanya secara bertubi-tubi. "Benar, locianpwe. Ayah angkat saya Bu Kek Siang dan isterinya, telah meninggal Pendekar Pemetik Harpa 17 Joko Sableng 32 Kuil Atap Langit Pembalasan Ratu Mesum 2

Cari Blog Ini