Gema Di Ufuk Timur 6
Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana Bagian 6 cuma sebagai ibuku. Tapi juga seorang istri yang mampu mendampingiku memerintah Blambangan. Bagiku tidak ada yang cocok untuk menjadi seorang para-mesywari kecuali kau." Wilis menajamkan mata menatap Ayu Prabu. Sebaliknya wanita ini pun menajamkan matanya. Sepertinya saling menjajagi. Tapi keduanya sama-sama berdebar. Mas Ayu Prabu membiarkan Wilis memberanikan diri mengelus bahunya. Bahkan membelai rambutnya. Membuat hatinya berbunga-bunga. "Paramesywari ?" "Ya, paramesywari," tegas Wilis. Nyanyian surga bagi Mas Ayu Prabu. Tapi hati Mas Ayu Tunjung seperti mendengar dentuman meriam. Gemetar seluruh tubuhnya. Membuat ia tidak menghiraukan gigitan semut di kakinya. Tak ada nyamuk mengusik. Rupanya nyamuk takut pada udara yang dingin. Ribuan kilat seperti menger-jap-ngerjap di hadapan Ayu Tunjung. Kendati bulan dan bintang menghiasi angkasa. Ternyata Wilis tidak pernah menaruh perhatian padanya. Tapi ia belum beranjak. Ia ingin mendengar jawaban Mas Ayu Prabu. Gadis itu masih membisu sambil memandang tajam pada Wilis. Pemuka Raung yang disegani tiap orang itu kini melamarnya. Tiba-tiba Wilis meraih kalung mutiara yang tergantung di leher Mas Ayu Prabu. Pemuda itu menghitung-hitung, berapa harga kalung ini" Bukan main. Dari mana gadis ini mendapatkannya" Seorang Raung yang bekerja keras selama sepuluh tahun sekalipun tak akan pernah bisa memilikinya. Ayu Prabu berdebar lebih keras. Perhiasan itu memang mahal. Pemberian seorang pemuda Cina, Tha Khong Ming. Juga Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ gelang dan binggal yang ia kenakan itu. Bahkan subang di telinganya. "Kau makin cantik dengan..." "Yang Mulia, hamba tidak suka menjadi paramesywari____" Wilis terkejut. Seperti ada seribu petir menyatu dan menyambarnya. Tanpa sadar ia tarik tangannya. Mas Ayu tersenyum. Mas Ayu Tunjung juga jadi heran luar biasa. Begitu berani Mas Ayu Prabu menolak seorang junjungan. Semua gadis tentu ingin menjadi istrinya. Bukan cuma itu tentunya semua orang patuh dan mengiakan apa kemauan seorang junjungan. Tapi Mas Ayu dengan berani menolaknya. "Kau menolak aku?" Suara Wilis gemetar menahan marah. Tapi Mas Ayu tersenyum. Dengan ramah ia menjawab, "Itu bukan pertanyaan yang bijak, Yang Mulia. Siapa berani menolak seorang junjungan dengan cara begini?" Mata Wilis kian membara. Gadis ini tidak menjawab tapi malah mengejek. Mungkin karena ia bekas anak seorang patih amangkubhumi di Blambangan" Atau mungkin karena ia kaya" Maka Wilis segera bangkit dan akan segera beranjak. Mas Ayu Prabu jadi terkejut. Wilis marah. Dengan cepat ia tangkap tangan pemuda yang sudah mulai melangkah. "Yang Mulia..." Wilis menghentikan langkahnya. Tapi tidak menoleh. Kaku seperti patung. "Akan ke mana, Yang Mulia?" Wilis tidak menjawab. "Yang Mulia seorang pimpinan. Dan seorang pimpinan adalah orang bijak melebihi semua. Tapi kenapa kebijakan itu musnah dari ingatan Yang Mulia" Sampai-sampai bertanya pun seperti pertanyaan sudra yang tak pernah mengisi Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ kepalanya dengan ilmu pengetahuan." Masih saja mematung. Belum mau membalikkan badan. "Apa pengetahuan telah membeku dalam kepala Yang Mulia?" pertanyaan yang menyakitkan sebenarnya. Gadis ini tak pandai bermesra, pikir Wilis. Demikian pula pikir Mas Ayu Tunjung. Tentu orang memilih aku jika ingin bermesra, gumam Tunjung dalam hati. "Ingat, Yang Mulia, suatu pertanyaan pada setiap brahmana, yang harus kita jawab sendiri, apa gunanya pengetahuan yang cuma dibungkus dalam otak kita?" Masih belum berjawab. "Baiklah!" Mas Ayu Prabu menjadi jengkel. Ia melepas tangan Wilis. Sebaliknya ia yang akan beranjak meninggalkan Wilis. "Memang sukar bicara dengan seorang yang cuma bergantung pada perasaan. Silakan terus bergantung pada perasaan." Wilis jadi terkejut. Cepat ia mengejar dan menangkap tangan Ayu Prabu. "Ke mana kau?" "Apa perlunya terus bicara dengan patung." Mas Ayu berhenti. Tapi kini ganti ia yang membelakangi Wilis. Kalau Wilis melingkar untuk berhadapan, Mas Ayu kembali memutar tubuhnya. "Siapa yang patung itu?" "Siapa yang tidak pernah menggunakan pikirannya kuanggap patung," Ayu Prabu makin berani. "Baiklah. Jika demikian kenapa kaupegang tanganku ketika aku akan meninggalkanmu" Padahal kau telah menolak aku?" "Karena kau tidak tanya dulu kenapa aku menolak menjadi paramesywari. Dengar dulu alasannya." Mas Ayu masih saja membelakangi Wilis. "Menyakitkan. Untuk apa didengar?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Baru aku tahu, kau seorang pimpinan yang tidak pernah mau mendengar. Tapi cuma ingin didengar pendapatnya! Tidak ada seorang bijak yang cuma mau mendengar suara hatinya sendiri." Wilis terpukul mendengar itu. Memang benar kata-kata itu. Ia telah kehilangan pertimbangan dari kepalanya yang bening. "Ampuni aku...," Wilis mengalah. "Baiklah, aku dengar sekarang. Walau mungkin saja menyakitkan. Ternyata telinga tidak cuma digunakan untuk mendengar yang baik saja. Tapi juga yang pahit." Suasana hening lagi. Untuk beberapa bentar. Wilis menahan hati. "Sudah kukatakan," Mas Ayu kini mulai bicara lagi. Mengusik keheningan malam. Tapi ia masih belum mau berbalik. Dan Wilis di belakangnya bagai bayang-bayang. "Aku menolak menjadi paramesywari. Bukan menolak Yang Mulia." Suaranya tidak lagi galak. Wilis diam memperhatikannya.' "Seorang paramesywari selalu diperbandingkan dengan para selir. Itu yang aku tidak mau. Tapi seorang istri tidak boleh diperbandingkan dengan siapa pun." "Jagat Bathara!" Wilis maju selangkah. Ia tangkap kedua belah bahu Mas Ayu Prabu. Dengan halus ia cium bahu itu.' "Yang Mulia...," Mas Ayu berdesis lirih. "Percayalah, aku tak mungkin memperbandingkan cintaku," Wilis berbisik di telinga gadis itu. Dan Mas Ayu merebahkan kepalanya ke dada Wilis. "Yang Mulia... cinta boleh berjalan terus di hati kita, tapi panggilan hidup harus lebih dulu kita penuhi. Negeri ini belum lagi bebas. Karena itu hamba telah bersumpah di hadapan Hyang Durga, baru akan naik ke pelaminan jika umbul-umbul Jingga sudah berkibar kembali di Tanah Semenanjung ini. Cinta Yang Mulia hamba anggap sebagai nyanyian surga yang indah. Tapi belum di tangan hamba sekarang...." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Jagat Dewa! Ayu..." "Yang Mulia, tidakkah kita akan malu menjadi penguasa tanpa negara" Nah, mari kita berjuang lebih dulu. Dan setelah menang kita menikah." 0oo0 Jaksanegara sudah diberi tahu oleh Pieter Luzac, bahwa Gubernur Robbert Van de Burg menerima saran dari Biesheuvel untuk mencopot Kertawijaya sebagai penguasa Blambangan. Maka ia harus mempersiapkan diri sebaikbaiknya. Jangan sampai seperti dulu. Karena keraguan tindakan atau ketidaktegasan terhadap Ropo, gagal ah ia menjadi Tumenggung Blambangan. Mulai sekarang harus sudah memilih siapa yang layak mendampinginya sebagai patih Blambangan. "Bagaimana jika hamba mengusulkan Mas Rempek?" "Kita harus mempertimbangkannya masak-masak. Mas Rempek tidak mau memeluk Islam. Dan berani mencegah penangkapan Ropo beberapa waktu lalu. Apakah mungkin ia akan bekerja sama dengan VOC?" Schophoff meragukan. "Ya... itu," Pieter Luzac menambahi, "Kami dengar dia adalah salah satu keturunan Tawang Alun. Dan dia tidak percaya Wilis sudah mati." Jaksanegara menarik napas panjang. Memang ia melihat sikap Rempek terlalu kaku. Ia tidak pernah makan dan minum bersama di rumahnya. Dan sekarang ini sebagai bawahannya, ia tidak mau meninggalkan igamanya yang lama. Sebenarnya ia tidak keberatan jika Rempek tidak diangkat. Tapi ia ingat Mas Nawangsurya. Kakak pemuda itu. Sekalipun usianya telah diatas dua puluh lima, wajahnya membuat ia tidak pernah dapat lupa. Apa akal" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Apakah tidak mungkin jika suatu ketika hamba dapat menjinakkannya?" "Jika Yang Mulia yakin bisa, itu terserah," kata Schophoff. "Tapi jangan lupa, bagaimanapun ia adalah keturunan macan dan tampaknya berhati singa...." Sekalipun Schophoff suka tertawa dan memang suka bergurau, namun jelas itu merupakan isyarat. Isyarat untuk berhati-hati terhadap Rempek. Pieter Luzac menyebut orang itu sebagai anak binal. Jangan dimanja. Tapi bagaimanapun ia harus mencoba. Pikiran itu membuat ia mencoba melangkahkan kaki kudanya ke Pakis. Bagaimanapun ia iri melihat Pakis. Tidak seperti kedatangannya yang. pertama. Sawah-sawah nampak lebih luas dari dulu. Pasarnya lebih ramai dari pasar Pangpang sendiri. Buktinya sampai sore hari pasar di Pakis masih saja banyak orang berbelanja. Juga masih banyak petani yang menjual hasil buminya. Jalan-jalan nampak lebih terawat rapi. Semua orang yang melihat Jaksanegara datang menjadi heran. Mereka memandangnya dengan tanpa menghormat. Serombongan petani berpapasan dengan Jaksanegara, tidak memberikan penghormatan. Pengawal Jaksanegara menjadi amat terkejut melihat itu. Di Lo Pangpang semua orang berlutut menyembah jika mereka lewat. Tapi di Pakis menoleh pun tidak. Jaksanegara memeriksa diri. Apa sebab" Atau karena ia mengenakan baju kebesaran seperti halnya adipati Jawa lainnya" Mungkin saja karena ia tidak telanjang dada" Yah, sepertinya mereka menganggapnya orang asing. Bahkan ketika sampai di depan istana Wiragunan (istana keluarga wiraguna) para pengawal tidak memberikan penghormatan semestinya. Ia ditahan di gerbang dan diminta turun dari kuda. Jaksanegara keberatan. "Aku ingin bertemu dengan Yang Mulia Mas Rempek," ia berkata dari atas kudanya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Siapakah Yang Mulia" Dari mana?" kepala penjaga bertanya. Jaksanegara sungguh-sungguh tersinggung. Orang Blambangan bisa tidak mengenalnya. Ia pandang tajam-tajam penjaga itu. Namun mereka tidak gentar. "Kau bukan orang Blambangan?" Jaksanegara mulai jengkel. "Setiap tamu asing harus mengenalkan diri lebih dulu di samping harus mematuhi peraturan yang ada." "Aku tanya, apakah kau bukan orang Blambangan?" "Hamba mendapat perintah dari Mas Rempek, untuk melindungi keluarga Tawang Alun di Pakis ini. Jika ada orang yang mencurigakan maka gerbang akan hamba tutup. Apalagi Yang Mulia bukan orang Blambangan...." "Tutup mulutmu!" Jaksanegara mulai naik darah. "Ada orang Blambangan yang tak kenal Jaksanegara" Belum dengar kau nama itu" Inilah orangnya." "Sekali lagi, Yang Mulia, jangan marah." Orang itu tidak nampak terkejut ataupun menyesal. "Yang Mulia ada di Pakis dan bukan di Pangpang." "Gila! Setan! Pakis adalah wilayah Blambangan! Kenapa tak menghargai satria Blambangan?" "Kami tak melihat bahwa Yang Mulia satria Blambangan. Karena pakaian Yang Mulia tak seperti umumnya satria Blambangan." Jaksanegara tercenung melihat kenyataan itu. Ia telah menjadi orang asing di negerinya sendiri. Ingin ia kembali ke Pangpang segera. Ia menjadi malu, kepala penjaga di Pakis tidak memberikan penghormatan padanya. Huh, lihat nanti jika aku sudah jadi penguasa tunggal, kau harus bersimpuh! Bersimpuh menyembah kakiku! Tapi kali ini ia perlu Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ menjumpai Mas Rempek. Maka ia turun dari kudanya. Setelahnya dalam iringan kepala pengawal ia naik ke pendapa. Gambar lambang Sonangkara masih tergantung di salah satu pilar pendapa itu. Setelah duduk di sebuah kursi kayu berukir, Mas Talip dan Rahminten keluar. "Dirgahayu, Yang Mulia...." "Terima kasih." Matanya mengitari ruangan. Tapi Mas Rempek tidak muncul. "Mana para Yang Mulia lainnya?" "Ada di wismanya masing-masing. Kebetulan yang ada di sini mewakili mereka. Kanda Bagus Puri sudah sering sakit," Mas Talip menerangkan. "Suatu anugerah bagi kami menerima kunjungan mendadak seperti ini. Maafkan, kami tidak bisa menyambut sebaik-baiknya. Kami tidak tahu Yang Mulia akan datang." Rahminten juga turut bicara. Merdu suaranya. Biji mentimun berbaris rapi di sela bibir. "Ah, biasa kami mengadakan perjalanan seperti ini. Apalagi beberapa hari terakhir ini Yang Mulia Mas Rempek tidak mengunjungi kami. Hamba rasanya seperti kehilangan saudara." "Yah. Kami tidak tahu sebabnya. Mungkin peristiwa penangkapan Rsi Ropo itu menggores hatinya. Adik kami itu memang tak pernah menyembunyikan hatinya. Jadi ia dengan terus terang merasa khawatir akan keselamatan seluruh Blambangan yang memperlakukan seorang brahmana wenang-wenang," Rahminten menerangkan lagi. Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Dan nyatanya rsi itu bisa lolos dari benteng...," menyambung Mas Talip. "Itu yang ingin kami jelaskan pada Yang Mulia Rempek. Bukan niat kami sebenarnya mencelakai Rsi Ropo. Tapi karena jawaban beliau membuat Tuan Biesheuvel marah. Tapi sekarang keadaan sudah pulih kembali. Komplotan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Beglendeen dan Bozgen sudah dipatahkan. Mana ada kekuatan yang dapat mengalahkan VOC?" Jaksanegara tertawa. Ingin sebenarnya ia mengunjungi wisma Nawangsurya. Tapi tentu ia segan mengatakan terus-terang. "Tapi bagaimana dengan Wong Agung Wilis" Apakah Belanda..." Rahminten membuat Jaksanegara pucat. Matanya melirik kiri dan kanan. Talip dan Rahminten heran. "Sebaiknya kita bicara lainnya saja," Jaksanegara setengah berbisik. "Belanda tidak suka kita menyebut nama itu. Jika sampai kedengaran kita membicarakannya, kita akan dihukum." "Rupanya Belanda takut pada Yang Mulia Wong Agung Wilis." Rahminten tidak menghiraukan peringatan Jaksanegara. Tapi kembali Jaksanegara memperingatkannya. "Di sini tidak ada Belanda." "Tapi tiap dinding bertelinga. Maka sebaiknya kita berhatihati jika tidak ingin seperti Yang Mulia Sutanegara." Semua terdiam. Mengingat nasib para satria itu. Semua menjadi iba. Sementara sore merangkak masuk senja. Pembicaraan selalu menyita waktu. Bahkan sering orang melupakannya. "Kami ingin mempersembahkan sesuatu pada seluruh keluarga Pakis." Jaksanegara tanpa menunggu jawaban bangkit dan menuju kudanya. Dari bawah sanggurdi ia mengeluarkan sebuah bungkusan dari kulit kambing. Kemudian di hadapan kedua orang itu ia mengeluarkan enam bungkus dalam kain. Dan menyerahkannya pada Mas Talip. "Sekadar uang Belanda. Enam keluarga enam bungkus," kata Jaksanegara Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ menerangkan. Kedua orang itu menerima dengan mata bersinar. "Masih ada lagi...," Jaksanegara tersenyum. "Tapi yang ini hamba persembahkan hanya untuk Yang Mulia Nawangsurya dan Yang Mulia Rahminten." Kemudian ia mengeluarkan dua buah kalung emas, dua pasang gelang, dua pasang binggal. "Ah, Yang Mulia...." Hati Rahminten amat gembira. Wanita sering tidak bisa menahan diri melihat emas. "Terima kasih...." "Nah, sekarang hamba ingin bertemu dengan Mas Rempek." Rahminten bangkit dan memanggil pengawal. Ia perintahkan memanggil adiknya. Dengan kuda orang itu segera berangkat. Malam mulai menggantikan senja. Rempek belum juga tiba. Rahminten kembali menimang-nimang perhiasan hadiah Jaksanegara itu. Kalau begitu Jaksanegara tentu orang terkaya di Blambangan. Malam benar-benar tiba kala pengawal memberi tahu bahwa Rempek tidak ada di tempat. Jaksanegara menjadi agak bingung. Jika pulang ke Pangpang takut peristiwa di Hutan Kepanasan itu terulang kembali. Jika ingin bermalam di sini dan pulang besok pagi tentunya harus dicarikan alasan yang tepat. Dan ia menemukan alasan itu. Ia harus menunggu Rempek. Karena ada pembicaraan penting yang hendak disampaikan pada Rempek. Rahminten segera menyiapkan puri dalam taman Wiragunan itu sebagai tempat bermalam bagi Jaksanegara. Ia pasang lampu-lampu yang agak terang. Tamunya tamu agung dan kaya. Juga ia perintahkan seorang dayang menyiapkan makanan untuk bersantap malam. Juga pada kepala pengawal ia perintahkan untuk menyiapkan tempat bermalam bagi pengawal Jaksanegara. Setelah selesai semuanya ia mempersilakan Jaksanegara memasuki tamansari Wiragunan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Sementara kakaknya berpamitan akan membagikan hadiah itu pada saudara-saudaranya. Memang Rahminten sudah terbiasa mewakili keluarganya. Ia tidak seperti kakaknya, Nawangsurya, yang agak pemalu. "Tentu tidak seindah taman di Lo Pangpang," gadis itu merendah. Warna-warni tumbuh-tumbuhan dan bunga dalam taman itu. Tapi karena malam maka tidak tampak jelas. Walau lampu dipasang tiap lima depa. Jalan yang mereka lalui ditaburi batu-batu kecil. Keduanya berjalan sebe- g lahmenyebelah. Bau harum bunga sedap malam menyatu dengan bau harum rambut Rahminten. "Di sini tentu lebih indah," Jaksanegara menjawab pelan. "Kita berbelok ke kanan. Bersantap dulu di Puri Andrawina (tempat untuk makan) setelah itu Yang Mulia bisa istirahat." Kali ini Jaksanegara benar-benar tak berkutik. Lauk yang ada cuma daging babi. Dan sayur kacang, yang rupanya dimasak dengan amat tergesa. Jika ia menolak, maka akan menimbulkan kesan buruk bagi gadis itu. Maka walau ia sebenarnya sudah berusaha menjauhi daging babi, tapi di hadapan gadis itu ia harus memakannya. "Ada yang hendak hamba bicarakan dengan Yang Mulia Rempek. Rahasia sebenarnya." "Apa itu?" "Dalam waktu dekat Kertawijaya akan diberhentikan dari jabatannya. Dan akan diganti putra Blambangan asli. Bukankah ini merupakan petunjuk bahwa Belanda benar-benar ingin bersahabat dengan kita?" Jaksanegara tersenyum. "Hamba mengusulkan agar pemerintahan dikembalikan kepada keturunan Tawang Alun. Hamba telah berunding dengan putra Bapa Anti, Juru Kunci. Maka dari itu hamba ingin agar di antara keluarga Yang Mulia ada yang selalu berhubungan dengan kami dan sering bertemu dengan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Belanda. Artinya kita harus menghilangkan kecurigaan mereka yang menganggap kita bersekongkol dengan Bali." "Baiklah, Yang Mulia, hamba akan menasihati dia." "Sebenarnya Belanda sudah menyatakan keinginannya untuk mengangkat hamba sebagai tumenggung. Hamba mengajukan syarat agar Blambangan disatukan lagi. Tidak ada Pangpang dan tidak ada lagi Lateng. Dan Belanda sudah setuju." "Setuju?" Wanita itu kagum. "Ya. Setuju. Jadi kita bisa memperoleh kembali wilayah kita dengan tanpa perang. Kita memperolehnya dengan jalan damai." Wanita itu makin kagum. Kaya, bijak... "Hamba lihat bahwa Yang Mulia Rempek lebih pantas dari hamba. Tapi Yang Mulia Rempek sukar mendekatkan diri pada Belanda. Apakah Yang Mulia setuju dengan pendapat hamba?" "Hamba setuju. Peperangan tidak pernah membawa keuntungan. Negeri makin rapuh karena peperangan yang tidak kunjung henti. Hamba kira sudah waktunya kita memberi kesempatan bagi seluruh kawula untuk membangun negeri dengan damai." "Rupanya kita malah bisa bekerja sama," Jaksanegara memegang tangan Rahminten. "Yang Mulia lebih cocok dari Yang Mulia Rempek. Apakah Yang Mulia bersedia mewakili keluarga untuk lebih sering bersama kami mengadakan banyak perundingan dengan Belanda?" Gadis itu berpikir sejenak sementara kedua tangannya masih dalam genggaman Jaksanegara. Sebenarnya ia ingin berunding lebih dulu dengan seluruh keluarganya. Tapi ada yang ia khawatirkan. Jika Rempek tidak setuju pendekatan itu, maka seluruh keluarga akan kehilangan kesempatan. Dan akan musnahlah kesempatan keturunan Tawang Alun Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ membangunkan kembali cakrawar-ti-nya. Apa salahnya jika pada keadaan mendesak demikian ia mengambil keputusan sendiri yang mungkin bisa membawa keuntungan bagi keturunan Tawang Alun" Ah, Jaksanegara ternyata membawa angin baru bagi kehidupan keluarga Tawang Alun. Bahkan roda sejarah bagi seluruh Blambangan. Ini juga nyanyian surga bagi negerinya. "Apakah masih ada kesempatan bertimbang?" Ia memandang patih Blambangan itu. "Bagi hamba tidak pernah ada keberatan. Tapi jika malam ini Yang Mulia memberi suatu keputusan tentu itu sangat baik bagi langkah hamba esok pagi." Jaksanegara melepaskan tangan yang digenggamnya. Tapi rasanya ia menyesal melepas tangan itu. Sekali lagi, setiap Jaksanegara memandang wanita cantik, maka angannya pasti sudah melayang ke pembaringan. Tapi kali ini ia harus hati-hati. Ia berhadapan dengan darah Tawang Alun. Karena itu jika ia bisa melakukan rencananya, maka ia akan menjadikan Rahminten paramesywari. "Baiklah. Sementara hamba akan merundingkan kembali dengan seluruh keluarga, hamba menerima pendapat Yang Mulia. Mungkin cuma Mas Rempek yang keberatan. Nah, Yang Mulia malam sudah jauh. Silakan ke tempat istirahat." Keduanya bangkit. Rahminten mengantar sampai di pintu. Setelah itu ia sendiri pergi ke purinya. Jaksanegara memperhatikan lenggang putri itu dengan menelan air ludah. Pinggulnya bergoyang... kembali menelan ludah dan sepertinya ,ada yang mendorong, maka ia berjingkat mengikut. Rahminten mencuci kaki di depan pintu purinya. Masuk, kemudian melepasi semua perhiasannya. Juga cundrik yang selalu terselip di depan perutnya. Setelah itu menimangnimang pemberian Jaksanegara. Tersenyum sendiri. Ia coba untuk memasang di tubuhnya. Berputar-putar di depan cermin Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ sebentar. Hatinya melambung selangit. Ternyata sekalipun sudah banyak memiliki emas, wanita tak pernah berhenti dari keinginan. Yah, keinginan adalah sesuatu yang tanpa batas. Tidak sama dengan hal lain, atau juga benda lain yang punya tepi. Keinginan tak pernah bertepi. Sekali manusia memanja keinginan itu, maka ia akan terus melambung dan terus melambung. Setelahnya ia naik ke pembaringan. Beralas permadani buatan Mesir. Tidak segera tidur. Bayang-bayang Jaksanegara kini mulai menggoda angannya. Menggenggam tangannya. Perang Wong Agung Wilis telah melenyapkan kesempat-annya untuk segera bersuami. Sebab calon suaminya tewas dalam perang itu. Demikian pula calon suami kakaknya, seorang perwira yang dihukum gantung oleh Wong Agung Wilis karena dituduh bersekongkol dengan Teposono. Kehangatan muncul kembali kala Jaksanegara menggenggam tangannya. Tapi ia sudah setengah baya. Sudah beranak-bini. Perempuan Blambangan tak pernah membedakan suaminya sudah beristri atau belum. Lelaki Blambangan boleh kawin berapa saja asal ia mampu menghidupi istrinya. Tapi... ah, ia ingat keputusannya tadi. Demi negara aku harus bertindak. Ia sama sekali tidak tahu bahwa setiap geraknya diintip oleh Jaksanegara dari celah dinding kayu ulin. Ingin Jaksanegara berterus-terang dan malam ini menikmati keperawanannya. Tapi mengingat para penjaga yang tidak ramah di gerbang depan itu, ia kehilangan keberanian untuk melakukannya. Sekali teriakan Rahminten terdengar di depan akan membuat ususnya terburai di lantai Puri Pakis. Pelanpelan ia kembali ke puri yang disediakan baginya. Sampai keesokan paginya ia baru keluar. Rahminten sudah selesai mandi. Ketika ia berpamitan, ia pesan jika dalam satu minggu Rempek tidak juga hadir maka sebaiknya salah seorang keluarganya mewakilinya. Rahminten mengiakan. Ia berharap Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ bahwa apa yang direncanakan Jaksanegara mengembalikan Blambangan ke tangan wangsanya benar-benar dilaksanakan secara jujur. Pertemuan dengan Rahminten membuat hati Jaksanegara berbunga-bunga. Sudahlah, walau ia tidak bisa memetik Nawangsurya, cukup adiknya saja. Ah, jika aku menjadi tumenggung dan para-mesywarinya keturunan Tawang Alun tentu kelak ia akan jadi raja besar seperti halnya Tawang Alun sendiri. Setidaknya ia akan mampu mengalahkan citra Wong Agung Wilis. Dan jika ada pertama tentu ada kedua, ketiga, dan seterusnya. Seminggu kemudian ia datang lagi dengan membawa hadiah yang lebih bagus. Dua minggu kemudian Rahminten dan Mas Talip ganti datang ke Pangpang. Walau Rempek juga sudah sering muncul. Bahkan Jaksanegara juga memperkenalkan Mas Talip dan Rahminten pada Biesheuvel serta Pieter Luzac dan Schophoff. Para pembesar Belanda nampak senang pada mereka yang dinilai amat lugu. Sebulan sudah menunggu keputusan dari Surabaya, rasanya semua tidak sabar. Baik Biesheuvel sendiri maupun Jaksanegara. Ia khawatir semakin lama Kertawijaya memerintah di Blambangan, makin sulit Belanda mendekati hati kawula Blambangan. Gejala akhir-akhir ini makin memprihatinkan. Jumlah orang yang meninggalkan Pangpang dan Lateng serta kota-kota besar Blambangan lainnya makin menonjol. Tentu Biesheuvel dan pembantu-pembantunya merundingkan hal itu. Termasuk Kertawijaya dan Jaksanegara, Juru Kunci juga Mas Rempek, bahkan Rahminten serta dua kakaknya Mas Ngalit dan Mas Talip ikut diajak dalam perundingan. "Mungkin karena makin banyak pendatang, maka mereka menjual tanah milik mereka dan pindah ke kota lain," Kertawijaya menyimpulkan. "Tapi ada juga kami lihat rumah-rumah yang ditinggal begitu saja. Berarti tidak dijual. Dan banyak tanah yang kini Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ ditumbuhi semak belukar. Beberapa tahun lagi akan jadi hutan kembali jika tidak digarap," Biesheuvel menjelaskan. Beberapa waktu hening. Tidak ada yang memberikan pendapat. "Jika demikian," Schophoff yang bersuara kini, "untuk menjaga keutuhan kota kita harus tangkap semua orang yang Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo berangkat meninggalkan rumah dan ladangnya. Kita paksa mereka berladang kembali!" "Pikiran yang bagus. Tapi seberapa jauh kita bisa mengawasi mereka?" Biesheuvel bertanya lagi. "Kita kerahkan pasukan yang ada untuk menjaga mereka di sawah dan di ladang. Jika mereka membangkang dan tidak mau bekerja, kita hukum pukul dengan rotan punggung mereka," Pieter Luzac meramaikan perundingan. "Sebenarnya ada hal penting yang harus kita perhatikan agar kawula Blambangan betah tinggal di rumah dan di ladang mereka. Kita harus mendengarkan pendapat mereka. Dan kita belajar memenuhi keinginan mereka. Walau tidak semua," Rempek memberikan pendapatnya. "Apa yang mereka inginkan?" "Dua hal yang mungkin bisa kita penuhi salah satu. Pertama, sebagian dari mereka ingin diperintah kembali oleh Wong Agung Wilis. Atau yang kedua, mereka minta agar Yang Mulia Sutanegara dibebaskan kembali. Dan memerintah di Blambangan." "Ya, Tuhan...," Biesheuvel menyebut. "Ya, Al ah...," Jaksanegara dan Juru Kunci dan Kertawijaya juga menyebut berbareng. Bahkan Rahminten, serta Mas Ngalit, serta Mas Talip juga menyebut karena terkejut. Tidak ada yang menduga bahwa Rempek berani mengutarakan hal seperti itu. Bukankah jika Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ memenuhi tuntutan pertama maka Belanda harus angkat kaki dari Blambangan. Sebab jika tidak, semua orang kulit putih akan digantung oleh Wong Agung Wilis. Jika memenuhi tuntutan kedua, berarti Belanda akan kehilangan wibawanya. Seorang yang sudah dijatuhi hukuman karena dituduh berkomplot dengan Mengwi diangkat kembali menjadi penguasa. Dan bukan tidak mungkin Sutanegara menyerahkan kembali kekuasaan pada Wong Agung Wilis. Sesaat ruangan hening. Saling pandang satu dengan lainnya. Tapi tiba-tiba Schophoff bangkit berdiri dan terbahakbahak. Katanya kemudian, "Itu pendapat Tuan sendiri apa orang-orang Blambangan?" "Tentu bukan pendapat kami sendiri." "Tuan setuju atas pendapat itu?" "Tuan memeriksa hamba?" Rempek senyum. Ia belajar tenang. Tidak seperti beberapa bulan lalu. Pemeriksaan terhadap Rsi Ropo di hadapan matanya merupakan pelajaran berharga. "Asal demi kebaikan Blambangan, sikap hamba jelas,, setuju!" Kembali, semua orang seperti disambar petir. Terutama Rahminten. Ia yang sangat berharap adiknya itu menjadi penguasa di Blambangan. Tapi kekerasan hatinya itu. Seperti kata Jaksanegara. Rempek tetap saja keras kepala. Ketegangan dihancurkan lagi oleh suara tawa Schophoff. Orang itu selalu tertawa memang. "Tuan tidak hati-hati. Jika Tuan setuju, berarti Tuan tidak senang kawula tetap hidup dalam kedamaian. Kita tidak perlu mengulang mimpi yang lalu. Sia-sia. Mari kita membangun yang baru dengan orang-orang baru pula. Tidak baik mimpi seperti itu." "Yah... Yang Mulia. Sebaiknya kata-kata itu Yang Mulia jauhkan saja dari kalbu Yang Mulia. Itu menyinggung Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ perasaan," kini Kertawijaya bicara. Ia agak tersinggung. Dengan kata lain ia tidak disukai oleh orang Blambangan. "Hamba akan melakukan apa, saja demi kawula Blambangan," tambahnya. "Yang Mulia tidak akan pernah melakukan apa-apa buat kami di Blambangan ini. Karena Yang Mulia lebih banyak berbuat untuk diri Yang Mulia sendiri," tegas Rempek. "Yang Mulia tidak menghargai kerja kami?" "Kerja Yang Mulia bukan untuk Blambangan. Tapi untuk VOC. Bagaimana Yang Mulia dapat berbuat sesuatu bagi Blambangan, sedang Yang Mulia tak pernah mencintai Blambangan" Bagaimana bisa mencintai Blambangan jika kita tidak pernah sepatah pun bercakap dengan kawula Blambangan?" "Kita sama-sama hamba VOC." "Sama-sama hamba VOC tapi hati hamba, darah hamba, daging hamba, dan semua yang ada pada hamba adalah Blambangan. Sebaliknya Yang Mulia adalah benar benar hamba VOC yang baik." "Yang Mulia!" Kertawijaya tersinggung. Jaksanegara juga. Rempek menyiapkan dirinya. Tetap tersenyum. Jika aku ditangkap, aku akan bunuh orang sebanyak-banyaknya, pikir Rempek. Tapi bersamaan dengan itu seorang pengawal rumah Biesheuvel menaiki tangga di depan pendapa. Memberi hormat sebelum melaporkan bahwa ada surat dari Surabaya. Utusan Tuan Gubernur menunggu di luar. "Bawa kemari suratnya. Persilakan tuan utusan itu istirahat. Persiapkan jamuan makan untuk beliau. Katakan kami masih ada rapat. Begitu selesai kami akan ke kamar beliau." "Siap, Tuan." Orang itu pergi lagi dengan langkah tegap. Sekalipun ia seorang pribumi, tapi sudah dilatih melakukan tatacara VOC. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Pertikaian antara kita tidak perlu," Biesheuvel melerai kedua bangsawan itu. "Yang kami butuhkan ialah bagaimana memajukan Blambangan seperti daerah lainnya. Blambangan sudah sangat ketinggalan. Padahal Blambangan adalah negeri yang kaya." Keduanya diam. Saling pandang dengan tajam. Saling mengancam dalam hati masing-masing. Beberapa bentar lagi pengawal datang kembali mempersembahkan surat dari Surabaya. Biesheuvel segera membuka gulungan surat ini. Dan membacanya sebentar. Setelah itu berkata, "Ini keputusan penting. Dari Gubernur. Nah, silakan Tuan Pieter Luzac membaca dengan suara keras," ia menyerahkan surat itu pada yang diperintahnya. Dan Pieter Luzac segera melaksanakan tugasnya. Dan betapa terkejut Kertawijaya mendengar itu. Ia ditarik kembali ke Surabaya. Justru di saat Blambangan sedang dilanda kemelut. Selebihnya ada dua surat lagi. Yang satu pada Kertawijaya, yang isinya memerintahkannya untuk segera kembali. Yang kedua pada Jaksanegara supaya memangku jabatan tumenggung sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Kepada Jaksanegara diperintahkan supaya dalam waktu singkat segera dapat menenteramkan Blambangan. Kepada Kertawijaya diperintahkan kembali ke Surabaya bersama dengan Mayor Crooy sebagai utusan istimewa untuk menjemput Raden Kertawijaya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ XII. DERWANA DAN INDRAWANA Sesungguhnya Indrawana bukan merupakan belantara yang sukar ditembus. Sedangkan Derwana merupakan daerah pegunungan di lereng Gunung Merapi di atas lembah Indrawana. Digambarkan sebagai hutan milik dewa-dewa, karena di dalam hutan itu banyak bunga-bunga yang tumbuh. Seolah tamansari yang dibikin manusia. Memang Hutan Indrawana dan Derwana pernah menjadi tempat tinggal Macan Putih, leluhur raja-raja Blambangan serta pengikutnya di masa sulit. Suatu daerah yang memang sukar dijangkau, karena letaknya di antara dua gunung yang seolah saling berebut tinggi. Melalui jalan setapak yang melelahkan, orang-orang Pangpang, Lateng, Wijenan, dan beberapa kota Blambangan lainnya berbondong menuju hutan ini. Bahkan sebelum sampai di lembah itu mereka juga sempat melewati tebing terjal yang membahayakan. Penuh padas dan karang. Pasukan Bayu telah lebih dulu membangun jalan untuk mereka, kendati cuma jalan setapak. Namun demikian kuda-kuda beban yang terlatih di Raung, mampu menolong mereka mengangkut bahan makanan yang disediakan oleh Mas Ayu Tunjung sebagai Menteri Cadangan Negara. Semua yang awal adalah sulit. Mereka harus berhadapan dengan pohon sonokembang raksasa yang jumlahnya cukup banyak. Namun Jagalara, memimpin mereka dengari tidak kenal lelah. Sehingga dengan demikian pada waktu rombongan orang Pangpang yang pertama tiba di tempat itu, sudah ada rumah-rumah baru yang sengaja disediakan untuk mereka. Bekas rumah tembok Macan Putih masih berdiri dengan kokoh. Tapi semak belukar mengurungnya. Akar-akaran juga menutup gedung itu dari pandangan. Seperti kota terhilang yang ditemukan kembali. Juga beberapa rumah gedung yang diperkirakan bekas tempat tinggal para satria pengikut Macan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ putih. Derwana dengan cepat berubah menjadi kota lagi. Beberapa rumah harus dipugar kembali memang. Terutama atapnya. Bekas perairan ditelusuri lagi. Ternyata airnya masih mengalir dengan baik. Mereka membersihkan rumput-rumput yang menumbuhi kiri-kanan perairan itu. Sungai-sungai kecil yang mengalir ke bawah, terus ke lembah Indrawana. Mas Ayu Prabu yang juga hadir bersama kakaknya, Sratdadi, berkali-kali memberikan pesan agar hutan tidak dibakar. Sebab hal itu akan nampak dari jauh jika malam tiba. Ratusan, bahkan kini telah menjadi ribuan orang datang. Tiap hari bertambah. Sawah sudah mulai dibuka dan ditanami. Meskipun sebahagian masih membabat. Sebagian orang lagi ditugaskan memperbaiki pagar yang mengurung Derwana dan Indrawana. Batu tidak sukar didapat. Ilalang juga dimanfaatkan untuk atap rumah-rumah. Sehingga tidak perlu dibakar. Kayu di samping dipergunakan sebagai tiang, dipersiapkan juga sebagai kayu bakar. Mas Ayu dan Sratdadi merasa bangga. Bagaimanapun berdirinya Derwana dan Indrawana adalah hasil karya mereka. "Sudah waktunya kita kembali ke pekerjaan kita masingmasing. Aku pikir Jagalara cukup mampu memimpin mereka semua sambil menunggu Rempek bersedia meninggalkan Pakis," Sratdadi menerangkan pada Ayu Prabu. "Sekarang kau punya tugas berat. Memaksa Rempek meninggalkan Pakis. Dan ia harus bergabung dengan Bayu. Mengakui Wilis sebagai junjungannya." "Apakah hamba mampu" Bukankah Kakang lebih berwibawa atasnya?" "Untuk sementara aku harus jadi Rsi Ropo lagi. Sampai semua orang bangun dari tidur dan melawan VOC. Senjata seorang Brahmana adalah kata-kata. Nah, marilah kita turun dari sini. Lebih banyak lagi orang kota pindah ke Songgon, Derwana, dan Indrawana, makin baik. Jika perlu mereka kita bawa ke Bayu." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Setelah memberi petunjuk-petunjuk pada Jagalara, keduanya meninggalkan Derwana dan Indrawana. Sebentarsebentar mereka menoleh. Persemaian sudah dibuat orang dan nampak menghijau. Di ladang juga mulai tumbuh jagung, kacang, kecipir, bayam.... Keduanya percaya, daerah-daerah yang mereka tempati adalah daerah yang jauh lebih subur dari kota. Apa sebab yang mendorong kawula Blambangan tertarik" Janji damai sejahtera tidak ada perang" Jika janji itu yang mereka buru, maka mereka tak perlu susah-susah meninggalkan rumah dan huma mereka. Hampir setiap hari itu sudah didapat dari pembantu-pembantu Jaksanegara. Para narapraja dan punggawa dalam kawalan Kompeni hitam selalu meneriaki penduduk untuk tidak meninggalkan rumah dan humanya. Karena, itu akan menjadikan Pangpang atau kotakota lain hutan kembali. Kawula tidak menggubris semua seruan itu. Bahkan yang terakhir ini ada ancanam berat, bagi mereka yang tertangkap meninggalkan rumah dan humanya, akan dihukum berat. Memang sementara mengendorkan arus pelarian penduduk kota. Sementara berhasil. Namun demikian berita ditangkapnya Rsi Ropo, dan ternyata dengan cara yang tidak jelas rsi itu sudah muncul kembali di desa Songgon, membuat kepercayaan kawula Blambangan pada Setiap ucapan Rsi Ropo kian menjadi-jadi. Bahkan boleh dikatakan orang secara buta, artinya tidak lagi berpikir masuk akal atau tidak, mereka tetap percaya. Apa pun yang dikatakan oleh para narapraja dan para bekel atau para pamong desa mereka, bahwa rsi itu penipu, penghasut, dan lain sebagainya hampir-hampir tidak berarti. Karena tiap orang yang pernah berkunjung ke SCnggon .akan pulang dengan membawa cerita kesuburan tanah di Songgon. Tidak pernah mengalami kegagalan dalam panen. Tidak ada hama. Tidak melihat pasukan asing yang setiap kali menggeledah rumahrumah dengan alasan yang tidak jelas. Tidak pernah melihat perondaan di sawah dan ladang mereka. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Lebih dari itu hati mereka tidak perlu setiap hari menjadi waswas jika istri mereka pergi ke kedai bersua dengan pasukan asing yang memang senang jalan-jalan diwaktu senggang, dan dicolek atau dicubit pinggulnya. Melihat itu mereka tidak boleh mengeluh. Tidak boleh sakit. Sambil memejam mereka mengumpat dalam hati. Cuma dalam hati. Pasukan pendudukan yang janjinya melindungi kawula tidak bisa menjadi tempat mengadu. . Pernah seorang penduduk Lateng melapor dengan disertai oleh bekelnya ke benteng karena pencurian yang makin menjadi-jadi. Ia sendiri semalam kehilangan dua ekor kambing. "Bagaimana kambing bisa hilang?" Letnan Schaar membentak "Aku komandan benteng! Tidak mengurusi kambing hilang!" Orang itu menjadi ketakutan. "Dan kambing kan punya kaki. Kalau ia tidak mau dicuri ia tidak akan mau jalan. Dan akan teriak-teriak membangunkan kalian. Apa kalian tidur nyenyak semalam" Malas bangun!" "Tidak, Tuan. Kami bangun, tapi tidak berani menangkap pencuri itu...." "Goblok! Dengan pencuri saja takut" Kepada Kompeni kalian melawan. Bikin penjagaan. Tangkap itu pencuri. Bawa kemari!" "Tapi..." bekel memberi tahu. "Tidak ada tetapi! Ini perintah Komandan Benteng. Pergi!" Sepulang dari benteng bekel segera mengumpulkan penduduknya. "Kita telah mendapat izin menangkap pencuri itu. Sekarang kita pasang jebakan. Nanti malam setiap lelaki jangan ada yang tidur. Kita akan tangkap tiap pencuri ternak kita!" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Bagaimana mungkin" Kita kan tahu siapa pencurinya. Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Mereka bersenjata api. ..," salah seorang penduduk berkeberatan. "Kita bersembunyi di balik semak atau pagar rumah kita. Lalu kita keroyok dia di depan kandang. Setelah itu kita giring ramai-ramai ke benteng." "Setuju-setuju!" ramai-ramai mereka berseru. Yang tidak setuju terpaksa harus diam. Berani dan tidak selalu ada di tiap kerumunan orang. Namun demikian rencana tetap dijalankan. Malam masih muda kala dua orang yang dicurigai oleh penduduk desa Sampil Lateng masuk. Dan seperti yang sudah diperkirakan keduanya langsung mendatangi sebuah kandang. Lima ekor ayam dimasukan ke dalam sarung. Setelah itu mereka melangkah ke kandang lainnya. Namun sial, baru beberapa langkah mereka meninggalkan kandang itu, mereka terjerembab jatuh dengan tanpa sesadar mereka, tubuh keduanya terangkat keatas pohon dengan kaki di bawah. Mereka mengumpat dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh orang-orang Blambangan. Ternyata dua buah tali yang dipasang dengan begitu rupa menjerat kaki mereka, dan mereka tertarik ke atas. Karena tali itu memang disampirkan di atas dahan. Bedil dua pencuri itu terjatuh berikut 'ayam yang terkurung dalam sarung mereka. Suara berkeok-keok riuh terjadi, namun ayam tetap tidak bisa lari ke luar. Terkurung dalam sarung. "Bajingan! Kalian akan kami bunuh!" Maling itu menakut-nakuti kala beberapa orang muncul dari tempat persembunyian mereka. Tapi penduduk tertawa riang melihat mereka marah tanpa daya dan berputar seperti baling-baling. Beberapa pentungan mulai mengenai tubuh mereka. "Aduh!!! Ampun!!!" seorang di antara mereka ternyata bisa bahasa Blambangan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Serahkan tanganmu untuk kami ikat!" bekel desa itu berkata. "Baru kami hentikan pentungan ini." Setelah berunding dengan temannya sebentar ia menyerah. Dan setelah keduanya terikat maka mereka diturunkan. Darah mulai mengucur dari kulit yang sobek karena pentungan. "Nah, walau tangan kalian terikat, kalian masih bisa memikul hasil curian kalian. Sekarang jalan!" "Ke mana?" "Menghadap Tuan Schaar. Biar dia tahu siapa pencurinya." "Jangan! Kami bisa dihukum. Ampuni kami. Kami tidak akan ulangi lagi." "Tidak peduli! Ayo jalan! Atau kau mau menerima hukum orang Blambangan" Di ris sedikit demi sedikit dan di lukamu kami sirami dengan air asam dan garam?" ancam bekel. Orang-orang berseru senang. Lupa siapa yang mereka hadapi. "Aduh!!! Jangan lakukan itu! Ampuni kami!" "Jika demikian jalan! Biar komandanmu tahu, pasukan yang katanya menjaga ketenteraman kami sebenarnya adalah penjahat!" Mau tidak mau kedua orang itu mengerjakan perintah bekel. Sepanjang jalan dua orang itu diharuskan meneriakkan kata-kata "Aku pencuri! Aku pencuri!" Dan orang-orang, besar-kecil, beramai-ramai menggiringnya ke Benteng. Schaar amat terkejut mendengar laporan bahwa ada rombongan penduduk mendatangi benteng sambil membawa pencuri. Ia segera keluar ke gerbang benteng. Dan betapa terkejut ketika masih di tempat yang agak tinggi melihat dua orang Kompeni asal pribumi Sidayu diikat kedua tangannya ke depan dan senjata mereka dikalungkan di leher mereka. Dan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ prajurit itu tetap saja berteriak-teriak, "Aku pencuri! Aku pencuri!" Kotek ayam yang terbungkus sarung terdengar jelas. "Diam!" Schaar berteriak keras sekali. Semua orang diam. "Apa yang tejah terjadi?" "Tuan dengar sendiri mereka bicara?" bekel balik bertanya. Membuat muka Schaar menjadi makin merah di bawah sinar obor. "Bawa sini orang itu!" Bekel memerintahkan keduanya berjalan menghadap Schaar. Setelah dekat Schaar memerintahkan seorang pengawal menggiring mereka masuk benteng. Kemudian tidak diduga oleh bekel sebelumnya, Schaar dengan muka merah membentak mereka. "Kalian memfitnah kami! Kalian wajib menerima hukuman!" Orang itu maju. Lebih tak terduga lagi Schaar melayangkan tinjunya ke muka bekel dengan keras sekali. Bekel terpelanting jatuh seperti pohon pisang ditebang. Pengikutnya berteriak. Tapi kala akan maju menolong sebuah letusan membuat mereka terbirit-birit seperti barisan tikus sawah yang bertemu anjing. Kejadian itu pun telah mendorong banyak kawula Lateng berbondong ke Songgon, Derwana, dan Indrawana. Itu sebabnya kerinduan pada Wong Agung Wilis kian menjadi tembang sehari-hari di mulut tiap orang di huma-huma dan di rumah-rumah. Namun baru satu minggu Schaar berusaha menutup aib pasukannya, satu kejadian baru mengejutkannya. Seorang prajurit yang bertugas bersama lima orang di pos selatan kota Lateng didatangi seorang wanita muda yang mengaku bernama Sayu Wiwit. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Ceritakan kenapa dengan wanita itu. Maka kau malammalam membangunkan aku!" Prajurit itu mulai bercerita. Kala mereka akan menyembelih kambing yang mereka temukan di pinggir jalan, tiba-tiba muncul seorang gadis pribumi yang berkulit kuning langsat. Lesung pipit menghias pipinya kala tersenyum. Telanjang dada seperti umumnya wanita Blambangan, namun mengenakan kalung dan kutang emas. Berambut panjang tidak disanggul. Keris kecil terselip pada sabuk emas yang melilit pinggangnya. Keris itu menutup pusar. "Selamat malam, Tuan-tuan," suara gadis itu merdu. Kepala regu yang berkumis bapang mendekati gadis yang menyapa mereka. "Dari mana kambing itu, Tuan?" lagi gadis itu bertanya. "Tidak usah tanya dari mana. Kita sate dan kau menemaniku makan dan tidur" Hah, bagus malam-malam begini ditemani gadis secantik kamu." "Hentikan langkahmu itu!" Tiba-tiba saja tangan gadis itu terangkat dan sebuah bedil teracung ke dada kepala regu. Ketika anak buahnya hendak bergerak ternyata dari kiri-kanan gardu muncul dua orang bersenjata bedil dan terarah pada mereka. "Nah, ambil semua senjata mereka!" perintah gadis itu. Seorang dari mereka melakukannya. Dan kembali gadis itu berkicau. "Ikat kaki dan tangan mereka bergandengan satu dengan lainnya!" Kembali seorang melakukannya. Kaki para penjaga digandengkan satu dengan lainnya. Sehingga tidak memungkinkan mereka berjalan. Dan kepada kepala regu itu bertanya lagi. "Sekarang jawab! Dari mana kambing itu?" "Eh... benar, Nona, kami menemukan di..." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Baik!" Gadis itu mencabut pedang seorang pengawal. "Aku ingin tahu, tajam atau tidak pedang Kompeni." Ia menggoreskan pedang itu ke lengan kepala regu. "Ampun... ampun...," kepala regu berteriak. "Suaramu lebih keras dari hatimu!" ejek gadis itu. Tangannya yang halus ia celupkan di suatu cairan dalam batok yang dibawakan oleh temannya. Setelah itu memuncratkan air itu ke lengan kepala regu. Dan dengan gemetar kepala regu itu berteriak kesakitan. "Sakit?" "Ampun... sakitnya...." "Nah. Katakan! Dari mana kauambil kambing itu?" "Anu... kami tidak ambil kambing itu, Nona. Tapi..." 'Tapi apa?" suaranya kini dingin. Sedingin itu pula pedang di tangannya menggores pelipis kepala regu. Disusul oleh tangannya yang lain menumpahkan air asam dan garam ke pelipis yang robek itu. "Woouuw... ampun." "Baik, katakan." "Kebetulan kami lewat di sebuah kandang, Kopral Gitul menemukan tali itu, Nona. Tapi setelah tali itu diambil kambing sial itu keluar kandang dan mengikut kami. Jadi... kami tidak curi." Gadis itu mendengus. "Kami cuma ambil tali..." "Berapa kali kamu ambil tali macam itu?" tetap saja dingin suaranya. "Baru..." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Bibirmu perlu dipotong barangkali!" bibir mungil gadis itu mengancam. Dan kala ia mendekat, kepala regu berteriak-teriak lagi. Tapi gadis itu tak berhenti. "Jika kau banyak bergerak maka mulutmu akan robek!" Kepala regu kini menyerah. Ternyata kumisnya yang bapang dikerok bahagian tengah. Tinggal pinggir-pinggirnya saja. Kini gadis itu tersenyum. "Kau tidak punya istri maka kau mau ajak aku tidur." Kini ia memerintahkan kedua temannya untuk membuka topi semua anggota regu. Dan diperintahkannya untuk digundul separuh batok kepalanya. Dan gadis itu terkikik-kikik karena geli. "Siapa yang bernama Gitul?" "Aku...," seorang menjawab dengan gemetar. Gadis itu mendekat. "Kau juga seorang pemberani. Mana tanganmu yang mengambil tali itu" Sebelah kanan ini?" Gitul mengangguk. Jawaban yang membawa sial. Karena seirama dengan anggukannya, gadis itu mengayunkan pedangnya. Dan terbabatlah lengannya sebelah kanan. Jeritan melengking keluar dari mulut Gitul. "Mulai sekarang, kesewenang-wenangan Kompeni di Blambangan akan kami balas! " kembali mulut mungil gadis itu bersuara. Kemudian kepada seorang temannya ia perintahkan melepaskan salah seorang. Dan kepada yang dilepas ia berkata, "Kembalikan kambing itu ke kandangnya! Dan minta maaf pada yang empunya. Setelah itu pergi menghadap Schaar dan ceritakan semua yang kaualami. Sayu Wiwit telah datang untuk menghukum!" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Schaar mendengar laporan itu jadi marah luar biasa. Dengan pasukan berkuda ia datang ke gardu penjagaan di selatan kota. Tapi gadis itu sudah tidak ada. Yang menyambutnya cuma rombongan anjing yang menyalaknyalak menjaga para pengawal. Dan begitu pasukan Schaar datang anjing-anjing itu menyelinap ke dalam kegelapan. Bukan cuma sekali Sayu Wiwit datang dan melakukan tindakan yang dianggap keji oleh Schaar. Sebagai akibat, pasukan jaga tidak lagi cuma lima. Tapi jumlahnya ditambah menjadi dua puluh. Bila di siang hari ada peristiwa yang merugikan kawula maka malam harinya Sayu Wiwit pasti datang dan melakukan pembalasan. Anehnya, pasti bisa lolos jika dikejar oleh Kompeni. Tapi ternyata nama Sayu Wiwit juga menghantui beberapa kota lainnya termasuk Pangpang. Dan kini setiap bibir menceritakan nama itu. Schaar berusaha menjebak Sayu Wiwit. Kejengkelannya sudah memuncak. Kompeni direpotkan hanya oleh seorang wanita. 0oo0 Berita-berita tentang Wilis dan Sayu Wiwit yang kian berkembang di hampir seluruh penjuru Blambangan membuat Rempek bergesa ke Songgon. Nama Sayu Wiwit yang bergema berdampingan dengan nama Wilis membuatnya iri. Padahal ia sebagai satria belum pernah berdampingan dengan Wilis. Sekalipun cuma nama. Berkali ia mengunjungi Songgon tapi Rsi sering tidak ada di tempat. Mengundang tanya dalam hatinya. Apakah karena Rsi sakit hati maka tak mau menerimanya. Atau barangkali saja Rsi curiga karena ia yang membawa Jaksanegara ke Songgon sehingga membuat Rsi ditangkap beberapa waktu lalu. Kunjungan ini yang ke delapan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ sejak Rsi ditangkap. Dalam hati ia berdoa agar Rsi memaafkannya. Dan kali ini doanya dijawab oleh Hyang Maha Dewa. Rsi menerimanya secara pribadi di ruangan dalam. "Ampuni hamba, Yang Tersuci. Bukan maksud hamba menyerahkan Yang tersuci pada Belanda. Tapi..." "Tidak apa, Yang Mulia. Hamba sudah dengar bahwa Yang Mulia berusaha memberi tahu pada hamba sehari sebelum hamba ditangkap. Jadi hamba tahu niat Yang Mulia." "Terima kasih, Yang Tersuci. Hamba tidak Ingin nama hamba rusak karena peristiwa itu." Rsi Ropo tertawa mendengar itu. Kemudian berkata lirih seperti pada diri sendiri. "Banyak orang ingin mempertahankan nama. Seolah mereka sudah memiliki nama baik. Ah... memang menjaga nama bukan pekerjaan mudah." Rsi Ropo diam. Hening. Rempek terperanjat mendengar ucapan itu. Ia ingin namanya tidak rusak. Ah, apakah aku sudah punya nama maka aku berkata seperti itu" Aku belum punya nama. Kalah dengan Sayu Wiwit. Kendatipun ia cuma seorang wanita. "Kenapa Yang Mulia bermenung?" Rsi bertanya. "Oh, hamba merenungkan ucapan Yang Tersuci. Ternyata hamba belum punya nama. Jadi Jiamba tak perlu khawatir nama hamba rusak. Karena memang tak akan ada yang rusak." "Banyak orang memang berpikir seperti itu. Tapi apakah artinya itu untuk hidup. Sebenarnyar lah memberikan arti bagi hidup adalah lebih penting dari nama itu sendiri. Banyak orang yang memiliki nama terkenal di mana-mana. Tak kurangkurang orang menjadi terkenal karena hidupnya sarat dengan kegatalan. Begitu saratnya sehingga harus dielus oleh orang Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ banyak untuk menghapus kegatalannya. Apakah ia pria atau wanita. Sama saja." "Hyang Bathara!" "Makna diri tidak bisa didapat dari memamerkan kejantanan yang merflbuat banyak wanita jatuh ke dalam pelukan, atau sebaliknya mempertontonkan keperempuanan. Orang seperti mereka akan mendapat nama juga. Tapi tanpa makna diri. Pada pokoknya makna diri hanya dapat diperoleh jika kita mempersembahkan darma dan karya kita buat manusia dan kemanusiaan. Kepada hidup dan kehidupan." "Hyang Bathara!" Rempek kembali menyebut. Hatinya bergetar hebat. Ia makin menyadari bahwa dirinya adalah manusia tanpa makna. Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Kini Rsi berdiri dan melambaikan tangan mengajak Rempek berjalan-jalan. Keluar dari ruangan menghirup udara segar di sela pohon-pohon nyiur. "Kenikmatan adalah jerat, kemesraan adalah lubang yang dalam. Ketidakberdayaan adalah jebakan kesia-siaan yang membawa kita pada, ketiadaan makna diri," lanjut Rsi sambil berjalan dengan kedua tangan diletakkan di belakang pantat. "Apakah setiap orang dapat memberi arti bagi hidupnya?" "Siapa yang tak dapat mengisi hidupnya dengan arti hidup, maka ia sudah mati dalam hidupnya. Ia hidup dalam kenihilan." Rsi Ropo tersenyum dan memandang wajah Rempek. "Mati dalam hidupnya?" "Ya. Mati dalam hidupnya?" "Manusia memiliki kemampuan terbatas. Maka ia hanya akan bergerak dan menjangkau sebatas kemampuannya." "Manusia akan menjangkau apa saja yang ia inginkan jika ia memiliki kehendak yang kuat untuk itu. Kehendak memang menentukan, sebab itu suatu cita. Kita harus mengimbangi Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ kehendak dengan keberanian. Cita dan karsa bisa terwujud jika kehendak menyatu dengan tekad serta keberanian, didukung kekuatan lahir-batin yang sempurna. Sebab dalam tubuh yang sakit terdapat jiwa yang sakit pula." "Bukankah semua ini ada batasnya?" "Kita memang memiliki batas. Kodratnya kita harus mati. Tapi banyak orang yang tak pernah mengenal mati dalam hidupnya. Ada orang mati dalam hidupnya, tapi juga ada yang hidup sekalipun ia sudah mati. Untung Surapati, akan tetap hidup dalam matinya. Lain halnya dengan Yang Mulia Rahminten. Mati dalam hidupnya. Karena ia memburu impian dunia. Ia ingin membangun kembali kebesaran Tawang Alun dengan damai" Aha... tidak ada kebesaran yang didapat dengan damai. Apa akibatnya" Barangkali .Yang Mulia sendiri belum tahu, bahwa beliau sekarang ada dalam pelukan Jaksanegara dan tidak pernah lagi pulang ke Pakis?" "Yang Tersuci..." "Tidak perlu gusar. Beliau sudah memilih jalannya sendiri dengan pertimbangan yang dalam pula. Yang penting bagaimana dengan diri Yang Mulia sendiri" Memilih..." "Hamba ingin bergabung dengan Yang Mulia Wong Agung Wilis dan Sayu Wiwit," potong Rempek tidak sabar. "Hamba juga ingin memberi arti bagi hidup hamba." "Jagat pramudita... apakah sudah dipertimbangkan?" "Sudah, Yang Mulia. Hamba tahu Wong Agung Wilis pernah berkunjung kemari. Sedang Sayu Wiwit juga hamba jumpai di sini dan pernah menjadi utusan Yang Tersuci mengantar senjata pada kami. Nah, hamba percaya, Yang Tersuci juga tidak keberatan menerima kami seperti menerima Sayu Wiwit." Ropo diam sejenak. Seperti sedang memikirkan sesuatu. Tak lama kemudian, Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Jika ingin seperti mereka, maka ada syarat mutlak yang harus dipenuhi. Tinggalkan Pakis dan menempati daerah baru." "Hamba bersedia." "Baik, kita berdoa." Kemudian keduanya menuju pura. Dan Rempek mengucapkan sumpah di hadapan Hyang Durga. Setia pada negeri dan rela mati. Setelah keluar maka Ropo memerintahkan seorang cantrik menyiapkan kudanya. Sementara Rempek sendiri menyiapkan kudanya, Ropo menghilang di dalam biliknya. Begitu Rempek sudah mendapatkan kudanya dan hendak menyusul Rsi Ropo, seorang muda berpakaian seorang satria Blambangan duduk di atas sebuah kuda. "Mari Yang Mulia, ikuti hamba!" Pemuda yang pernah dikenalnya dengan nama Wong Agung Wilis itu memerintah. "Ke mana?" tanya Rempek. "Hamba akan pertemukan Yang Mulia dengan junjungan Blambangan yang menguasai hampir dua pertiga bumi semenanjung ini. Wilis di Benteng Bayu. Setelah itu, Yang Mulia akan kami tempatkan di Derwana. Yang Mulia sebagai kepala pemerintahan di Derwana dengan patih seorang yang bernama Jagalara. Ia sudah lama menunggu di sana. Nah, ingat, pengkhianatan berarti tumbangnya kepala Yang Mulia. Yang Mulia telah bersumpah." Sebelum Rempek sempat bertanya kuda Mas Sratdadi sudah melangkah. Dan makin cepat melesat seperti anak panah. Debu mengepul mengikuti jejak mereka. Tidak pernah terbayang oleh Rempek bahwa ia harus memacu kudanya begitu cepat. Ia sendiri merasa sudah paling tangkas di Pakis. Namun kini ia melihat, pemuda yang tidak kekar badannya, mampu mengatasinya. Hatinya berdebar kala Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Mas Sratdadi mengajaknya melompati jurang-jurang, menapaki tebing-tebing dengan tanpa turun dari kuda. Kini menaiki gunung tinggi dengan hawa yang dingin. Dan kala sudah akan memasuki perkubuan Bayu, keheranannya makin memuncak. Sawah menguning begitu luas dan bertingkat tingkat dari yang paling bawah ke atas. Musim panen tiba. Para petani berdendang riang berbagi suka dalam tembang yang bersaut-sautan. I Wilis baru bisa menemui Mas Rempek pada malam hari. Betapapun Rempek jadi seperti orang linglung. Karena sudah ada pemberitahuan dari Mas Sratdadi sebelumnya, maka Wilis sudah tahu untuk apa Rempek dihadapkan. "Waktunya sudah tiba, Yang Mulia bilang tidak kepada mereka," Wilis sebagai junjungan di Bayu menerangkan. "Hamba, Yang Mulia." Dalam hati Rempek timbul tanda tanya siapa yang bersamanya tadi. Kalau sekarang ada Wilis yang bertahta di Bayu" "Besok pagi Yang Mulia boleh melihat di Derwana dan Indrawana. Yang Mulia akan berkedudukan di sana. Tapi Yang Mulia harus kembali ke Pangpang dan Pakis untuk membawa serta seluruh kawula Blambangan yang ingin melepaskan diri dari injakan kaki si Bule. Mengutamakan kepentingan manusia yang lebih banyak dan mengalahkan diri sendiri adalah pekerjaan mulia. Dan akan memberi kebahagiaan dengan warna tersendiri bagi hidup kita." "Hamba, Yang Mulia." Malam hari itu Rempek hampir tak dapat tidur. Ada berapa orang yang berwajah mirip dengan Wong Agung Wilis" Sekarang ia bertemu dua orang yang berwajah mirip. Tapi bukankah Rsi Ropo juga mirip Wilis" Berarti tiga orang. Jangan-jangan nanti masih banyak lagi. Benarkah Wilis mampu memecah diri menjadi banyak" Seperti Candra Bhirawa" Dan yang mengagumkan lagi semua orang yang berwajah mirip itu memilikilidah dewa. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Kapan ia memperoleh kesempatan memecahkan teka-teki ini" Ah, akan datang juga waktunya. Tentunya tak selamanya aku sebodoh ini. Aku akan belajar. Sekalipun aku lebih tua dari mereka aku akan belajar supaya tidak menjadi bingung seperti si pandir berhadapan dengan orang-orang bijak. Keesokan harinya kembali ia harus mengekor bagai bayangan. Kembali menaiki bukit menuruni tebing dan melintasi belukar, menyusup belantara raya. Ia harus mengakui pemuda di hadapannya itu benar-benar terlatih. Tidak banyak kesempatan untuk bercakap karena sebentarsebentar mereka berbelok menghindari jurang dalam. Jadi membutuhkan perhatian yang penuh. Tapi Sratdadi seperti tidak pernah salah jalan. 0oo0 Harapan Biesheuvel bahwa setelah kepergian Kertawijaya dari bumi Blambangan akan membawa perbaikan, ternyata hanya impian kosong. Kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya. Pembangkangan makin terbuka. Penduduk Pangpang tinggal separuh dari jumlah yang semula waktu pertama kali Belanda datang. Lolosnya Rsi Ropo sudah menjadi buah bibir. Sekalipun pihak Belanda merahasiakannya. Disusul dengan tindakan Sayu Wiwit yang kian berani. Belum lagi Wilis juga merajalela. Membuat orang juga makin berani menyatakan pendapatnya. Bukan cuma manusia, kerbau pun sudah banyak yang liar jika pasukan Kompeni lewat. Anjing-anjing lebih tidak bersahabat lagi. Semua menjengkelkan pasukan Kompeni. Gejala itu dimanfaatkan oleh Rempek bersama orangorangnya untuk memperbesar pengaruh. Rempek juga mulai mendekati kawula. Ia meniru cara Wilis. Dan ia katakan pada seorang bekel di pinggir kota Pangpang. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Wong Agung Wilis sudah datang. Dan Wilis akan hidup dalam kita masing-masing. Karena itu mari kita membangun kembali Blambangan dan mengusir semua bule dari negeri kita." "Dirgahayu Wong Agung Wilis!! Dirgahayu!" pekik penduduk membahana. Dan bukan cuma di pinggir kota Pangpang. Di Lateng pun Rempek menyatakan hal yang sama. Seperti minyak disu-lut api kawula menyambut himbauan Rempek untuk meninggalkan kota dan menggabung pada Wong Agung Wilis di Benteng Bayu. "Demi Blambangan, demi Hyang Maha Dewa, demi Wong Agung, kita berangkat," kata sebagian besar pemuda. "Dirgahayu Wong Agung Wilis, Dirgahayu Blambangan!" Sebagai hasilnya, di Pakis tersusun laskar yang cukup kuat dan bersenjata lengkap. Karena Mas Ayu Prabu terus memasok senjata dan cadangan makanan. Semua saudaranya terkejut karena Pakis secara tiba-tiba menjadi tempat penampungan bagi pemuda dan mereka yang akan pindah ke Derwana dan Indrawana serta Bayu. Umbul-umbul Jingga berkibar sepanjang hari dengan tanpa mengibarkan bendera merah-putih-biru. Semua orang Pakis yang bekerja pada VOC di Lo Pangpang dipanggil pulang. Semua pemuda Pakis dilatih dalam waktu amat singkat untuk menjadi pengawal Rempek dan istri-istrinya. Teriakan "Dirgahayu Wilis!" kian membahana setiap hari di Pakis. Menggema di setiap sudut kota-kota Blambangan. Dan tentu saja itu meresahkan Jaksanegara. Jaksanegara ingin membicarakan hal itu dengan damai. Karena itu sengaja ia ingin mengundang Rempek ke perjamuan makan malam bersama Juru Kunci dan Biesheuvel serta Pieter Luzac dan Schophoff. Jawaban Rempek sungguh mengejutkan. Dia hadir dalam pengawalan yang ketat. Bahkan istana Jaksanegara dikepung rapat oleh pagar betis laskar dari Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Pakis. Semua pejabat benarrbenar terkejut. Namun mereka diam-diam juga telah menyiapkan pasukan. Sehingga dengan demikian dua kekuatan sedang berhadapan. Tapi sekalipun begitu pihak Belanda memperkirakan laskar Rempek lebih banyak. Karena itu jika Rempek tidak menyerang, pasukan dilarang menembak. Dan Jaksanegara bergetar melihat kenyataan itu. Setelah berbasa-basi dengan para tamu lainnya, dan mempersilakan mereka makan ia mulai bertanya pada Rempek, "Yang Mulia cukup lama tidak datang melakukan tugas di sini!" Sambil memakan ayam panggang Rempek menjawab dengan ringan, "Hamba tak tahu apa tugas hamba." Tertawa. "Tak tahu" Atau sengaja Yang Mulia tak mau tahu?" "Sebuah pertanyaan yang bagus. Terlalu bagus. Tapi jawabnya ada dalam hati Yang Mulia sendiri." Masih tertawa. "Apakah jawaban ini lebih dikarenakan dukungan laskar di belakang Yang Mulia?" Jaksanegara tersinggung. "Hamba dengar Wilis telah membangun pusat pemerintahannya di Bayu." Rempek sedikit terkejut mendengar itu. Namun ia telah dilatih oleh Rsi Ropo untuk menjawab maka ia tertawa lagi. Namun tidak jadi makan. Tapi sebelum ia menjawab Biesheuvel ikut bertanya. "Ya, apakah yang mengawal Yang Mulia ini juga pasukan dari Bayu" Pasukan Wong Agung Wilis?" "Dua pertanyaan yang harus hamba jawab sekaligus. Bagus," Rempek kini memandang ke sekelilingnya. Kerisnya siap meloncat keluar jika Rempek menghendakinya. "Wilis tidak cuma membangun pusat pemerintahan di Bayu. Dia memerintah di mana-mana di Blambangan ini. Setiap Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ orang Blambangan mematuhinya. Dan apakah laskar yang mengawal hamba orang Bayu" Kurang jelas. Tapi mereka adalah orang Pangpang. Mereka tak ingin hamba mengalami nasib seperti Rsi Ropo."' "Yang mulia mencurigai kami?" "Bukan hamba. Tapi seluruh kawula. Mereka a tak percaya lagi pada Yang Mulia." "Ya Tuhan. Ya, Al ah...," Jaksanegara menyebut. "Termasuk Yang Mulia tidak percaya hamba?" "Yang Mulia dan VOC telah menyatu. Karena itu jika VOC datang kemari untuk merampok, maka Yang Mulia juga perampok! Jika VOC datang untuk menipu, maka Yang Mulia juga penipu." "Yang Mulia!" Jaksanegara tersentak. Biesheuvel dan para pembantunya sangat terkejut mendengar itu. Mereka tak menduga Rempekakan menjadi berani seperti itu. Kebencian mereka memuncak. Dengan muka merah Biesheuvel bangkit berdiri dan berkacak pinggang. "Yang Mulia menentang VOC! Yang Mulia harus dihukum. Menentang pemerintah yang sah, yang telah ada." "Ha... ha... ha... ha..." Mas Rempek melecehkan. Ia pun berdiri sambil memilin kumisnya. "Kalian menggulingkan Wong Agung Wilis sebagai pemerintah yang sah pada waktu itu, tapi kalian tidak berbicara tentang hukum. Sekarang, kami akan mengambil kembali apa yang terhilang dari kami karena kalian ambil dengan paksa, kalian bicara tentang hukum dan pemerintah yang sah. Bukankah ini lucu" Kalian memerintah atas kami?" "Kami datang untuk melindungi...," Schophoff ikut bicara. "Dengan dalih melindungi Tuan mengambil emas, perak, Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo wanita, dan tanah kami. Apakah ini bukan penipu" Nah, Begitu tuannya begitu pula begundalnya!" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Yang Mulia menyindir hamba?" Jaksanegara membentak. "Bukti cukup banyak. Berapa banyak perempuan yang tertipu dan kini mendekam di puri taman Yang Mulia" Mereka dipaksa dan ditipu. Setelah di sini mereka tak lebih pemuas nafsu Tuan-tuan Bule. Wajar jika seluruh kawula tidak percaya pada Yang Mulia." "Yang Mulia harus ditangkap!" Biesheuvel memukul meja. "Tuan tidak ramah! Aku mau bicara pada Yang Mulia Jaksanegara. Hamba akan bekerja kembali jika kakak hamba Rahminten dibebaskan." "Apa yang harus dibebaskan" Yang Mulia Rahminten di sini adalah istri kami. Kami sudah saling mencintai. Kami satu cita." "Apa pun alasannya, hamba akan ambil kembali kakak hamba." Biesheuvel sudah tidak sabar. Ia memberi tanda agar pengawalnya bergerak menangkap Rempek. Namun bersamaan dengan itu pengawal Rempek juga bergerak. Karena Rempek juga memberi aba-aba isyarat, "Jika ingin selamat, jangan bergerak! Jika kalian memaksa maka rumah ini akan dihujani cetbang atau meriam api Blambangan. Jangan mimpi kalian bisa selamat! Pengepungan kami berlapis-lapis. Kita semua yang ada di sini akan binasa! Biesheuvel menjadi pucat karena menahan marah. Pelaut gagah berani, bangsa yang tidak pernah kalah, diancam oleh Rempek orang pribumi. Tapi ia mengerti betul bahwa ancaman Rempek bukan kosong. Ia ingat, Kapten Tack yang gugur di Mataram, Blanke pada zaman perang melawan Wilis, dan juga kapten Reyks gugur di medan tempur Blambangan ini. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Untung bersamaan dengan itu terdengar suara seorang wanita dengan nyaring berteriak, "Tahan! Rahminten berjalan perlahan memandang Rempek. Semua yang hadir memandangnya. Pinggulnya bergoyang dibungkus kain ketat. Demikian juga buah dadanya di balik kemban. Rempek termangu-mangu. Kakaknya mengenakan kemben" "Kau suruh aku pulang" Sudah terlambat, Rempek. Aku sudah menyatu dengan Yang Mulia Jaksanegara. Kita telah memilih jalan kita sendiri. Rupanya tempat berpijak kita sudah tidak sama lagi. Maka tinggalkan tempat ini dengan damai. Jangan mengusik kami. Kita akan membuktikan siapa yang mencintai Blambangan. Membangun Blambangan." "Hyang Bathara!" Rempek heran. Badannya jadi lemas. "Jangan bingung, Rempek. Inilah kenyataan. Di sini aku menerima yang aku dambakan dalam hidup. Nah, selamatlah kau!" "Mimpi apa aku ini?" Rempek hampir tak percaya. "Bukan impian. Kau bukan mimpi. Aku tak bisa bersamamu lagi! Nah, tinggalkan aku di tempat ini. Aku senang dengan apa yang telah aku terima di sini." "Jagat Dewa...," Rempek berdesis lirih. Ia melangkah perlahan. Ia datang untuk mengambil kakaknya. Namun ia melihat kenyataan pahit. Bayangan Rsi Ropo muncul dalam angannya. Ah, orang itu benar. Semua orang mengikuti langkahnya yang lunglai dengan pandang. 0oo0 Derwana sudah tampak menjadi kota baru. Lebih bersih dari pusat pemerintahan VOC di Blambangan maupun Lateng atau Wijenan sebagai kota besar kedua di Blambangan. Pagar-pagar dikapur bersih dan dihiasi dengan janur di tiap pintu gerbang pekarangan. Pohon-pohon yang dulu liar kini terawat Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ rapi. Pohon buah juwet, mangga, jambu, duren, dan duku bertebaran di pekarangan tiap rumah. Umbul-umbul Jingga menghias sepanjang jalan dari batas tembok yang menjadi gerbang Indrawana sampai ke Derwana. Dari lembah naik ke bukit. Juga berbagai hiasan yang terbuat dari janur. Di gerbang Indrawana berdiri barisan kehormatan seperti menyambut tamu agung. Dan disamping barisan pengawal bersenjata bedil, tombak, dan pedang serta panah, juga berbaris para penabuh gamelan angklung yang susunannya terdiri dari seorang pemukul slentem, seorang pemukul gendang sebagai pemberi aba-aba atau pengatur irama gamelan dan angklung. Seorang pemukul peking dan seorang pemukul saron, seorang lagi pemukul gong dan gayou, dua orang pemukul ricikan angklung. Karena ada dua angklung di sini. Satu ricikan angklung dengan hiasan kepala Antareja pada sampingnya, satu lagi berhiaskan ukiran kepala Gatotkaca. Angklung ini ditabuh saat tamu memasuki gerbang. Jalan dari Indrawana ke Derwana tidak mendatar. Karena memang Derwana lebih tinggi dari Indrawana yang merupakan lembah. Tengok alun-alun Derwana yang terletak di depan rumah besar dan kuno, lebih lama usianya dari istana Mangkuningrat yang hancur di Lateng. Lebih tua dari umur setiap orang yang ada di Derwana atau di seluruh Blambangan sekalipun. Bekas istana Macan Putih leluhur raja-raja Blambangan. Dan kini di alun-alun itu tampak berkumpul ribuan orang mengelilingi alun-alun. Di salah satu sisi lapangan itu berdiri sebuah panggung kehormatan. Di sana nampak Rsi Ropo duduk di ujung paling kanan. Orang sudah tidak asing lagi terhadap Rsi yang pernah mampu lolos dari benteng Kompeni yang dijaga kuat. Ah, pasti titisan dewa. Sedang di sebelah pandita itu duduk Yistyani yang juga sudah dikenal oleh seluruh kawula yang berasal dari Lateng maupun Pangpang. Ia adalah bekas menteri cadangan negara di masa pemerintahan Wong Agung Wilis. Memang tampak agak lebih tua sedikit dibanding waktu jadi menteri cadangan negara. Di Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ sebelahnya duduk seorang gadis manis berambut ikal, Mas Ayu Tunjung, sebagai menteri cadangan negara pemerintahan Wilis di Bayu. Di sebelah kanan gadis itu duduk Wilis berpakaian penguasa Blambangan. Dengan sebuah tongkat di tangannya. Sebelah kanannya lagi duduk Mas Ramad Surawijaya. Dan Mas Ayu Prabu di samping kanan Ramad. Terakhir Jagalara. Setelah itu duduk Sayu Wiwit, Undu, Untu, Runtep, dan beberapa pembesar Raung lainnya. Di bawah panggung kehormatan ada rombongan penabuh angklung dengan susunan sama seperti di gerbang Indrawana. Tapi kini ditambah dengan seorang penari. Marmi yang dikenal Rempek sebagai Sayu Wiwit bertindak sebagai penari. Di tengah alunan suara angklung terdengar kidung membahana diteriakkan oleh segenap pengunjung alun-alun, untuk menyanjung Wong Agung Wilis. Semua membanggakan bagi putra-putra Wilis. Itu petunjuk bahwa mereka akan berhasil mengerahkan banyak kekuatan. Semua yang disiapkan di Derwana dan Indrawana adalah untuk pelantikan Rempek sebagai pemuka di Derwana dan Jagalara sebagai pembantunya. Rempek memang tidak sanggup lagi tinggal di Pakis. Ia merasa malu. Kakaknya Rahminten telah mencoreng keluarga Tawang Alun. Baginya tidak ada jalan lain kecuali menyatu dengan Bayu dan segera menggempur Belanda. Dan dia saat itu sedang berkuda dengan diiringi hampir seribu lima ratus orang bersenjata lengkap dan sepanjang jalan mengibarkan umbul-umbul jingga dan lambang Sonangkara. "Dirgahayu Blambangan! Dirgahayu Wilis! Demi Hyang Maha C^iwa, hancurkan bule!" teriakan mereka bergema sepanjang perjalanan. Bunga ditaburkan oleh kawula sepanjang jalan yang akan dilewati Rempek. Kini rombongan sudah mendaki dari Indrawana ke Derwana. Setelah dekat dengan alun-alun Rsi Ropo berdiri dan membunyikan giring-giring. Semua orang bersorak-sorak. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Apalagi setelah Rempek turun dari kudanya. Sorakan makin gemuruh. Dalam iringan para pengawal ia berjalan ke depan panggung kehormatan. Menyembah di depan Wilis. Mas Ramad memberikan aba-aba supaya semua orang diam dan mengikuti upacara dengan tenang. Dan perintahnya didengar oleh orang-orang itu. Rempek memandangi Mas Ramad. Hatinya berdebar siapa pula ini" Wajahnya benar-benar seperti pinang dibelah dua jika duduk bersama Wilis. Rsi Ropo kemudian membaca mantra. Dan setelah itu menyiramkan air bunga ke atas kepala Rempek. Hanya sekejap rasanya. Tapi membuat kesan tersendiri bagi seluruh yang menyaksikan. Rempek mendapat kekuatan tambahan dari Rsi yang mampu meloloskan diri dari benteng Belanda. "Semoga Yang Mulia Rempek, mendapat kekuatan baru, seperti halnya Yang Mulia Wong Agung Wilis. Dirgahayu!" Rsi Ropo berkata keras dan didengar oleh banyak orang. Kemudian Rsi mundur dan sebagai gantinya suara gamelan atau angklung ditabuh. Kidung pujian bagi Wong Agung Wilis ditembangkan. Mendayu menggugah semangat. Marmi kemudian maju menghadap Rsi. Dan Rsi menyerahkan sebuah keris dan cincin. Marmi kemudian berjalan ke arah Rempek untuk menyematkan cincin di jari dan menyelipkan keris ke pinggang Rempek. Bau harum tubuh Marmi merangsang hidung. Ketika Marmi kembali ke tempat, hati Rempek seperti terbawa pergi. Namun ia tak sempat melamun banyak. Sebentar kemudian Wilis berdiri. Memerintahkan Rempek maju dan diambil sumpahnya. "Demi Hyang Maha Durga, hamba akan menyerahkan seluruh jiwa dan raga buat tanah kelahiran, Blambangan tercinta." Hadirin menyambut dengan tepuk tangan gemuruh. "Dirgahayu! Dirgahayu!" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Karena Yang Mulia Rempek telah menerima jiwa dan semangat Wong Agung Wilis maka mulai saat ini Yang Mulia dipercaya untuk menjadi penguasa di Derwana dan Indrawana, juga sebagai pratanda mukha Blambangan yang bertanggung jawab pada hamba, sebagai penguasa tertinggi di Blambangan. Karena itu sejak saat ini Yang Mulia tidak lagi bernama Mas Rempek, tapi Jagapati. Sedang Jagalara adalah pembantu atau wakil Yang Mulia. Sanggup melaksanakan tugas yang dibebankan kerajaan?" "Sanggup, Yang Mulia." "Nah, Kita sekarang harus tahu. Sejak ini kita akan diperangi oleh Belanda dan Jaksanegara! Tapi, Saudarasaudara, jangan takut. Sebab takut adalah dosa. Kita akan lawan mereka. Gempur! Sebab jiwa dan semangat Wong Agung ada pada kita. Terutama pada pemuka kalian Mas Jagapati!" Semua orang menyambut kata-kata itu dengan gemuruh. "Sekarang kalian boleh bubar! Tapi jangan lupa, ke mana pun kalian pergi harus siap dengan senjata di tangan. Jika tidak maka kita akan dibinasakan oleh bule-bule itu! Ke sawah pun bawa! Ingat-ingat ini, para drubiksa selalu mengintai kita! Nah, dirgahayu. Sampai jumpa." Wilis turun. Di kuti Rsi Ropo mendekati Jagapati. Mengajaknya menuju pendapa sebentar. Marmi berjalan paling depan dengan iringan gamelan. Gadis itu menyebarkan bunga dari dalam bokor yang dibawanya. Rempek tidak pernah menduga bahwa ia akan menerima penghormatan yang sedemikian besarnya dari pemerintahan Wilis. Sampai di pendapa semua pembesar Raung berhenti. Satu-satu dikenalkan oleh Wilis. Mulai dari Runtep, Undu, Untun, Mas Ramad Surawijaya. Jagapati memandang pemuda itu tajam-tajam. Dibalas dengan senyuman dan pandangan yang tak kalah tajamnya. Jagapati jadi ingat, bukankah pemuda ini yang pernah menjatuhkan Benteng Pangpang waktu perang Wong Agung" Maka ia cepat-cepat menyembah. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Ini Mas Ayu Tunjung." Jagapati kagum pada gadis itu. Tentu cerdas seperti Ni Ayu Candra, ibunya. "Ini Mas Ayu Prabu, guru dan pelatih Sayu Wiwit. Dia juga kepala dinas rahasia kami." "Hyang Bathara!" Jagapati menyembah lagi. Matanya mengundang kekaguman. Dan beberapa lagi dikenalkan. Setelah itu Wilis. dan rombongan minta diri. "Kami akan segera melengkapi persenjataan di tempat ini dengan meriam. Sebab tentu tempat ini jadi sasaran pertama penyerangan Belanda." "Hamba, Yang Mulia." Pendapa segera sepi. Kecuali laskar yang sedang bertugas jaga dan penabuh gamelan angklung, maka semua sudah bubar. Pengikutnya dari Pakis yang seribu lima ratus orang itu sudah ditempatkan di asrama yang memang disediakan untuk mereka. "Mari Yang Mulia memeriksa keadaan taman dan persiapan untuk memboyong paramesywari dan para selir," suara merdu menegurnya. Ia toleh. Ternyata Marmi. "Sayu Wiwit" Kau tinggal?" "Untuk hari ini hamba tinggal. Ada tugas." "Baik, aku akan lihat pasukanku sebentar. Apa mereka sudah mendapat tempat?" "Sudah di atur oleh Yang Mulia Jagalara." "Jagat Bathara!" Jagapati baru tahu, bahwa orang Bayu benar-benar siap. Ternyata Indrawana dan Derwana sudah berdinding batu. Bukan cuma itu, cadangan makanan pun mereka sudah siap. Dan para pembesar Raung yang kebanyakan masih muda itu sangat menakjubkan. Ke mana orang-orang tua mereka" Cuma Yistyani yang tua. Mungkin semua sudah mati dalam perang Wilis. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Ia berjalan menuju sentong tengen atau kamar sang raja dengan paramesywari. Dan untuk selir, kata Marmi disediakan puri-puri di tamansari. Sekarang masih kosong. Di taman itu ada sungai kecil yang jernih. Bisa untuk mandi para putri. Sungai itu mengambil air dari sungai yang mengalir dari atas ke Indrawana. Kembang-kembang belum tumbuh dengan baik. Masih baru. "Besok, atau lusa hamba bertugas mengambil paramesywari," Marmi menerangkan. "Hari ini hamba menyediakan bahan makan untuk Yang Mulia. Nah, hari sudah sore, Yang Mulia, silakan mandi." Marmi tetap tinggal di taman itu. Jagapati kembali ke kamar yang disediakan untuknya. Marmi juga mandi di kali kecil itu. Mereka baru bersua lagi kala senja di taman. Marmi sudah menyiapkan makanannya. "Sayu Wiwit, kenapa kau pergi?" Kala Marmi akan Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo meninggalkan Jagapati yang sedang makan. "Temani aku!" "Ampun, Yang Mulia..." "Jangan menghina aku, Wiwit." Dan Marmi terpaksa duduk. "Aku kagum mendengar namamu tersebar di mana-mana. Kau wanita perkasa sekarang menemani aku." Marmi berdebar. Ia tahu siapa yang berkarya besar itu. Bukan dia. Tapi Mas Ayu Prabu. Tapi kini ia bertugas menemani Jagapati. "Hamba cuma menjalankan tugas...." "Hebat." "Yang Mulia lebih hebat. Karena itu hamba malam ini bertugas menemani Yang Mulia. Ini anugerah. Cuma malam ini saja...." "Hyang Bathara! Siapa yang memberi anugerah padaku ini?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Rsi Ropo. Yang Tersuci senang Yang Mulia berani menyatakan pendapat pada Jaksanegara. Itu awal dari pemberian atau pembentukan makna diri. " "Sayu..." Jagapati tercenung. Ia berdiri. Senja telah tiba. "Dengan apa aku membalas semuanya ini?" "Membangun sebuah makna diri bukan hal yang mudah. Kadang harus ditebus juga dengan nyawa - " Marmi berdiri. Ia melangkah perlahan. Menuju sebuah puri dan menyalakan lampu. Jagapati mengekornya. "Dengan nyawa?" tanya Jagapati setelah lampu menyala. Kegelapan mulai menggerayangi puri . itu. Tempat tidur beralas tikar pandan saja yang tersedia. "Ya. Dengan nyawa. Yang Mulia menyesal" Takut?" kata-kata yang sudah dilatihkan oleh Mas Ayu Prabu. Dan Marmi tersenyum. Memamerkan biji timun yang berbaris rapi di sela bibirnya. "Tentu tidak! Tidak," jawab Jagapati cepat. "Oh..." Marmi maju dan merentangkan tangannya. Sebentar kemudian tubuh mereka menyatu dalam pelukan. "Inilah hamba, Yang Mulia, yang dianugerahkan hanya semalam ini untuk Yang Mulia." Jagapati tak membuang kesempatan. Ia tahu artinya semua itu. Ia akan segera bertugas untuk m berperang. Sebelum berangkat untuk mati, ia diberi anugerah... 0oo0 Mentari merah muncul di ufuk timur. Langit bersih tiada berawan. Jagapati baru saja bangun dari semadi di pura, kala seorang laskar Bayu menghadap bersama Jagalara. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Dirgahayu, Kanda Jagalara," Jagapati menyapa terlebih dulu. "Dirgahayu. Yang Mulia, sekarang juga kita mendapat perintah menghadap ke Bayu." "Ada apa?" | "Hamba tidak tahu, Yang Mulia," laskar Bayu itu menyembah. "Baik. Yang Mulia Jagalara, kita berangkat sekarang." "Apakah tidak berpamitan dahulu pada Yang Mulia Paramesywari." "Baiklah," katanya kemudian turun dari pura. "Yang Mulia berangkat dulu. Sebentar hamba menyusul." Tanda tanya memenuhi kepala semua orang. Terutama Jagapati. Dia tidak tahu bahwa semua orang termasuk Sambirono, Ayu Prabu, dan semua pemuka Raung serta semua pemimpin pasukan gabungan, antara lain Lebok Samirana, bahkan Mas Ramad serta Sayu Wiwit pun, harus datang. Istri Jagapati pun tidak pernah keberatan suaminya dipanggil secara mendadak begitu. Ia mengantar suaminya sampai di gerbang istana. Ia awasi suaminya sampai lenyap dari pandangan. Dan dalam pandangannya Jagapati adalah seorang tampan dan gagah. Maka ia memaklumi jika suaminya beristrikan lebih dari satu. Yang penting tidak mencampakkannya begitu saja. Sekalipun sekarang sudah menjadi seorang pemuka sekaligus pratanda mukha Blambangan. Tidak satu pun yang menerima panggilan lewat utusan rahasia itu yang tidak hadir. Semua mematuhi Wilis. Namun dalam hati Lebok Samirana yang memang belum pernah bersua dengan Wilis, bertanya dengan sedikit melecehkan, untuk apa dia memanggil orang-orang" Seperti maharaja saja. Dan betapa terkejut setelah Ramad Surawi-jaya, sahabatnya Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ itu, menyembah di kaki Wilis. Seorang pemuda. Ah, aku seorang yang sudah berpengalaman tempur melawan Belanda di mana-mana, mengapa harus menyembah pada seorang ingusan macam itu. Tapi karena semua orang menyembah, terpaksa ia pun ikut menyembah. Mata Wilis mengamati mereka satu per satu dengan pandangan yang tajam, sambil membalas penghormatan mereka. Mata Jagalara dan Lebok Samirana berkeliling seputar ruang pertemuan yang dijaga ketat oleh orang-orang yang duduk-duduk di bawah pohon talok. Semua membawa bedil laras panjang. Jagapati sendiri heran. Tentu bukan pertemuan biasa. Karena semua diperintahkan duduk merapat maju. Wanita berkumpul dengan wanita. Yistyani, Sayu Wiwit, Ayu Prabu, dan Ayu Tunjung, hadir dan duduk sebelah kiri. Yang pria sebelah kanan tangan Wilis. "Para Yang Mulia, saya tidak akan berbicara banyak," pemuda itu mulai. "Terima kasih atas kehadiran para Yang Mulia." Kembali pemuda itu mengamati semua orang satu per satu. Kemudian matanya mengawasi para penjaga. Dan seperti menajamkan telinganya. Semua diam. Tidak ada yang bergerak. Jagapati maupun Jagalara dan Lebok Samirana mulai mengakui wibawa pemuda itu. "Kita telah mengumumkan secara resmi pemerintahan kita. Tentu di antara hadirin ada telik Belanda. Dan karena itu bulan depan Biesheuvel telah memutuskan akan menggempur kedudukan kita di Derwana serta Indrawana." Diam sebentar. Mengambil napas. Sementara itu Jagapati terperanjat. Anak muda ini tahu secara pasti" Bulan depan. Tinggal berapa hari lagi" Hai, baru berapa hari aku memerintah" Apakah aku bisa menghadapi Belanda" "Jangan khawatir! Kita tidak perlu takut. Semua akan diatur oleh Yang Mulia Sratdadi sebagai menteri mukha. Tapi kali ini kita menghadapi perang besar, maka hamba memegang kendali atas semua dan segala. Dan hamba minta tidak Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ seorang pun bertindak dengan perasaan serta kemauan sendiri. Kita harus sungguh-sungguh melakukan perang ini. Perang semesta! Jadi, satukan hati dan pikiran kita. Hamba tidak ingin melihat kita berperang untuk mencari uang. Ingatingat, Yang Mulia, kita bukan tentara bayaran! Ada berapa banyak peperangan para pelawan Belanda gagal karena ditunggangi oleh orang-orang yang haus perang demi kepentingan pribadi." Diam sebentar lagi. Menelan ludah. Hati Lebok Samirana berdebar. Anak muda ini menyindir. Tapi ia tidak bisa menutup kekagumannya. Selama ia ikut berperang, baik di Malang, Blitar, dan Ngantang, belum pernah ada yang mampu menyebut waktu penyerangan Belanda kepada mereka. Barangkali cuma Untung dan Jangrana saja yang tahu. "Jika ada yang masih punya keinginan hati yang tidak sama dengan cita-cita kita, yaitu menegakkan kembali suatu kerajaan yang tidak mengakui perintah VOC, seperti halnya Aceh, Bali, dan kerajaan lain yang tidak diperintah Belanda, dan sesudah itu kita akan bekerja sama dengan kerajaan mana pun untuk menyatukan Nusantara dan mengusir VOC dari Batavia - sebaiknya sejak sekarang tidak bergabung dengan kami. Nah, setujukah dengan pendapat ini?" Mata Wilis menindas semua orang. Dan semua menyatakan persetujuannya. "Karena itu, sejak sekarang jangan ada yang bergerak sendiri tanpa wewenang hamba. Kecuali jika amat terdesak!" Sekali lagi Lebok Samirana merasa bahwa sebuah kuku macan menancap makin dalam di hatinya. Menekan semua kebiasaan hidupnya. Ia tidak bisa diperintah. Tapi ia terikat cita-cita menegakkan kembali Blambangan yang kuat. "Nanti akan segera hamba kirim utusan ke tempat Yang Mulia masing-masing untuk mulai menyerang. Tapi sekarang bersiaplah. Pada saat Biesheuvel bergerak menyerbu kita, maka Yang Mulia Ramad Surawijaya harus bergerak memukul Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Steenberger di Jember. Tentu akan bersama dengan Yang Mulia Lebok Samirana." Sekali lagi Lebok Samirana tertegun. Anak ini hebat. Bukan main. Dia mampu mengatur perang semesta" Ya, perang semesta yang gagal dilaksanakan oleh Sultan Agung itu" Juga oleh Jangrana itu" Jagapati juga tidak pernah mampu menjajagi kemampuan Wilis. Diakah yang bergerak di Lateng dan Pangpang beberapa waktu lalu" Sedang Jagalara, mau tak mau mengakui, ia belum pernah memikirkan seperti yang dipikirkan Wilis. "Tapi jangan lupa, Biesheuvel telah mengirim Pieter Luzac ke Surabaya untuk memukul kita dari belakang. Karena itu Yang Mulia Lebok Samirana harus mematahkan jalur Bondowoso - Panarukan. Dan memutuskan semua jalan ke Wijenan dan Pangpang. Jika ini berhasil, tentu Belanda akan menggempur kita dari Jember. Tapi setidaknya di Jember nanti akan berhadapan dengan Yang Mulia Sayu Wiwit. Sedang Yang Mulia Ramad akan jadi penjelajah di wilayah barat dan timur. Sedang Yang Mulia Mas Sratdadi akan menerima laporan dan perintah dalam perang ini." "Apakah itu pasti, Yang Mulia?" Jagalara mencoba. "Tangan Biesheuvel sudah gatal. Dan laporan telik kita menunjukkan petunjuk ke arah itu." Semua orang terpekur dalam kekaguman. "Sedang Yang Mulia Mas Ayu Prabu akan bergerak di wilayah barat, dan menerima bantuan sepenuhnya secara langsung dari Yang Mulia Sratdadi dan tentunya hamba sendiri." "Mengapa Yang Mulia akan turun sendiri ke peperangan?" Baswi keberatan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Seorang yang cuma pandai bicara bukanlah pimpinan yang baik," jawab Wilis sambil tersenyum. "Bukankah di sini sudah ada Yang Mulia Baswi dan Ibunda. Sedang semua yang masih muda sebaiknya turun ke medan laga. Inilah perang semesta. Kita hancurkan Belanda si perampok biadab itu di mana-mana." "Jagat Bathara!" sebut semua orang. "Mari, para Yang Mulia, kita sama pergi berdoa. Kita mohon kekuatan dari Maha Pencipta. Hyang Maha Ciwa. Sedang Yang Mulia Jagalara dan Lebok Samirana yang berigama Islam, silakan berdoa dengan cara Yang Mulia sendiri. Tapi kami semua akan masuk pura." Masih belum sempat orang menanyakan sesuatu, Wilis berdiri. Dan ia sudah mengenakan pakaian perang. Ah, kata Yistyani dalam hati, wajahnya benar-benar mirip dengan Wong Agung... Bersambung ke Gema Di Ufuk Timur 2. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Jilid 2 Karya : Putu Prana Darana Ebook ini dibuat berdasarkan file DJVU BBSC di http://rapidshare.com/files/268932246/TB02-GemaDiUfukTimurBuku02.7z.html Ebook PDF by Dewi KZ http://kangzusi.com/ atau http://dewi.0fees.net/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Sinopsis : Roman sejarah Blambangan... Keperkasaan ksatria tanpa cinta wanita terasa hambar! "Saatnya telah tiba!" seru Wilis muda. "Kita harus berperang demi membela kehormatan negeri kita. Demi Blambangan kita berangkat bertempur! Ambil senjata kalian masing-masing! Semua! Laki-perempuan!" Wilis muda, yang dilahirkan untuk menjadi penerus, lebih siap dari Wong Agung Wilis sendiri. Untuk merebut kembali Blambangan, ia menyusun strategi baru, berbekal pengalaman kegagalan Wong Agung Wilis. Segala persiapan yang sudah dibuat seakan menjanjikan kemenangan! Tapi hidup adalah teka-teki. Juga bagi patriot muda Blambangan ini. Dia telah berjanji Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ pada Mas Ayu Prabu untuk menjadikannya permaisuri bila tahta Blambangan telah diraihnya. Namun Wong Agung Wilis dan Yistyani seolah menutup kemungkinan itu. Cuma mereka berdua yang mengerti bencana yang bakal menimpa jika perkawinan itu terjadi... Gema di Ufuk Timur adalah buku kedua trilogi: Tanah Semenanjung Gema di Ufuk Timur Banyuwangi Penerbit PT Gramedia Jl. Palmerah Sel Jakarta 10270 ISBN 979-403-5 no.jil.lengkap 97, 1989 GEMA DI UFUK TIMUR 2 oleh Putu Praba Darana GM 401 89.580 ? Penerbit PT Gramedia, Jl. Palmerah Selatan 22, Jakarta 10270 Sampul dikerjakan oleh NBC. Sukma Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia, anggota IKAPI, Jakarta, Mei 1989 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ XIII. TIADA LAGI BULAN BUNDAR Angin bertiup lembut. Mengusir kabut pagi yang enggan berlalu. Sekalipun malas, namun mentari tidak pernah ingkar dari kewajibannya. Menjanjikan lintasan demi lintasan. Yang kemudian disebut waktu. Tiap lintasan yang dibuatnya telah menambah usia zaman. Usia bumi, usia jagat dengan segala isinya. Bukan cuma usia yang berubah. Keadaan pun berubah. Tiap lintasan waktu membawa perubahan yang selalu baru. Sebab kodrat mengharuskan semua yang ada dan yang pernah ada selalu berkembang. Selalu. Ya, selalu. Sebab dalam lintasan waktu juga berisikan pergeseran dan persinggungan. Membawa nilai-nilai baru dalam peradaban. Itulah kehidupan. Tumbuh dan berkembang. Memperanakkan dan diperanakkan. Manusia beranak manusia, hewan beranak hewan, pohon beranak pohon, dan... zaman beranak zaman. Demikianlah halnya, peradaban juga mengandung peradaban yang baru. Maka bukan musykil jika masyarakat juga beranak masyarakat. Ini berlaku di manamana, di atas bumi milik manusia. Demikian juga di Bumi Semenanjung - Blambangan.... Zaman Wong Agung Wilis sudah berlalu, kendati orang tidak pernah melupakannya. Bagi kawula Blambangan nama itu abadi. Terukir dengan tinta emas dalam hati mereka. Dan Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo lenyapnya Wong Agung Wilis dari Bumi Blambangan membuat kawula tak ubahnya anak-anak ayam yang bingung karena kehilangan induknya. Dan mencari pegangan baru. Mencari kekuatan baru. Apa pun saja itu, asal bisa memberi perlindungan dan kekuatan, akan mereka percaya. Maka tak mengherankan jika berita-berita tentang hadirnya Wilis di Derwana dan melantik Mas Rempek yang kini diberi gelar Jagapati, dianggap sebagai hadirnya Wong Agung Wilis pribadi untuk melantik panglimanya. Apalagi pelantikan itu dipimpin oleh Rsi Ropo. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Rsi Ropo" Siapakah yang tak pernah mendengar nama itu" Seorang brahmana muda yang mampu meloloskan diri dari tiang gantungan. Seorang brahmana muda yang mampu mengubah hutan Songgon yang telah begitu lama tak berpenghuni menjadi daerah subur tanpa tandingan di Bumi Semenanjung Blambangan. Bukan cuma itu. Ternyata Rsi Ropo mampu membangkitkan hati orang Blambangan yang telah luluh oleh karena kalah dan terus-menerus kalah dalam perang. Kalah oleh Bali. Lalu oleh Belanda. Bahkan sebenarnya dari Songgon-lah terpantul gema nama besar Wong Agung Wilis. Kabar pengangkatan Jagapati sebagai pemuka di Derwana, yang merambat bagai angin, meniupkan keberanian ke dalam dada tiap orang - -di samping juga menyebarkan sejuta tanya. Benarkah Agung Wilis yang mereka puja itu belum mati" Atau rohnya yang turun untuk memberi kekuasaan dan kekuatan pada Jagapati" Jika demikian Jagapati tentu akan menjadi orang sakti seperti halnya Wong Agung Wilis sendiri. Maka tiap orang Blambangan harus mendengar kata-katanya seperti mendengarkan Wong Agung Wilis sendiri. Tapi di sisi lain orang mendengar kabar tentang Wong Agung Wilis yang sering mengusik kedudukan pasukan Kompeni di gardu-gardu penjagaan mereka. Walau kabar itu cuma cerita dari mulut ke mulut, namun itu cukup menggoyahkan kepercayaan kawula terhadap keterangan yang disebarkan pihak Jaksanegara dan Belanda bahwa Wong Agung Wilis sudah mati. Tertembak mati. Dan bangkainya barangkali telah menjadi makanan serigala. Angin keberanian menjalar dari rumah ke rumah, menyentakkan tiap orang dari impian. Impian bahwa Jaksanegara dengan bantuan Kompeni akan membawa Blambangan menjadi suatu negeri khayalan para dalang. Negeri damai sejahtera, tenteram dan adil makmur. Negeri dongeng. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Yang tidak pernah akan ada di muka bumi. Apalagi di Blambangan. Kawula menjadi makin sadar bahwa bantuan asing dari mana pun datangnya tidak akan dapat memberikan kesejahteraan. Bisa jadi makmur, keadilan belum tentu ada. Juga belum tentu sejahtera. Sebab pada hakikatnya hubungan antar niaga itu tidak pernah mengenal kejujuran. Apalagi keikhlasan. Tegasnya jika kaum bermodal hendak membantu orang yang kurang bermodal tentu juga bermaksud mengembangkan modalnya sendiri. Demikian pula dengan masuknya Kompeni di semenanjung Blambangan ini. Tentu bukan sekadar membantu, tapi bermaksud meluaskan jajahan. Ternyata hampir bisa dikatakan hukum bahwa si pandir dibodohi oleh yang cerdik, si lemah dilindas oleh yang kuat. Itu sebabnya barangkali beberapa waktu lalu Rsi Ropo mengajar di Songgon, "Jangan menjadi dungu. Sebab kedunguan akan menenggelamkan kamu ke alam mimpi yang tiada habis-habisnya. Dan jangan menjadi lemah, karena kelemahan membuat dirimu teraniaya dengan tiada berkeputusan. Jangan takut, sebab ketakutan akan membawa kamu pada kenistaan kekal." Kata-kata Rsi Ropo itu ternyata tidak berhenti di Songgon saja. Seperti ada kuasa gaib yang mendorongnya, kata-kata itu menjalar ke setiap telinga orang Blambangan. Bahkan sampai juga ke telinga orang-orang yang sedang bekerja rodi. Baik mereka yang sedang bekerja di jalan-jalan raya, atau di benteng-benteng. Entah siapa yang meniupkan ke sana mula-mula. Tapi itu membangun semangat seorang pemuda bernama Tunjek untuk mempertahankan hidupnya. Sambil melirik kiri-kanan ia mulai berbicara pada teman yang bersamanya memikul batu dari kali untuk dibawa ke benteng. Ramud nama pemuda pasangannya itu. Keduanya telah amat kurus. Berkali mereka terhuyung dan jatuh. Sudah tiga hari mereka tidak makan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Mud, masih kuatkah kamu?" bisik Tunjek di sela napas yang terengah-engah. "Mungkin lusa aku sudah mati...." "Sstt... jangan keras-keras. Nanti Kompeni-kompeni hitam itu memperhatikan kita." Tunjek memperingatkan temannya "Aku sendiri juga tinggal dua hari." Anaknjuda itu diam sebentar. A Kembali menoleh kiri-kanan. Ia lebih leluasa karena di belakang Ramud. "Depan ada orang, Mud?" bisiknya lagi. "Jauh di depan. Ada apa?" Ramud balik tanya. "Kita sama-sama akan mati. Seperti semua orang tua pendahulu kita. Dan semua akan dilempar ke hutan untuk umpan ular atau seri-gala." "Lalu mau apa" Itu sudah ketentuan Hyang Maha Dewa." "Menurut Rsi Ropo, Hyang Maha Dewa tak pernah menentukan bahwa kita akan mati seperti anjing kurap." "Rsi Ropo?" "Ya. Rsi Ropo. Suaranya berdengung sampai kemari. Semalam ia berbisik kepada beberapa orang...." "Apa katanya?" "Sama-sama mati, janganlah mati dalam kedunguan. Mimpi jika kita berharap belas kasihan mereka. Satu per satu kita akan mati." "Jadi mati yang bagaimana pilihanmu?" "Jika kau setuju, kita lari saja." "Hei?" Ramud terkejut. "Jangan keras-keras! Dua hari lagi kita akan mati tanpa usaha sedikit pun untuk mempertahankan hidup kita. Jika lari, ada dua kemungkinan. Andai mati sekalipun kita sudah Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ membela nyawa yang cuma segumpal ini. Tidak menyerah begitu saja pada kelaparan." Ramud diam. Terjebak dalam renungan. Jadi selama ini mereka yang mati sebenarnya terjebak oleh kedunguan, kelemahan, dan ketakutan mereka sendiri" Ah, sekarang aku juga. "Kenapa diam, Ramud?" "Aku tak tahu bagaimana caranya. Dan aku tak tahu ke mana kita akan pergi?" "Kita akan ke Songgon. Mohon perlindungan Rsi Ropo." "Mungkin empat hari kita baru mencapai Songgon. Mungkinkah kita mampu bertahan empat hari?" "Mampu atau tidak, yang penting kita telah berusaha." "Tapi begitu kita meletakkan batu ini dan melangkah, peluru akan menembus dada kita." "Tidak! Akan kita kelabui mereka. Kau masih kuat menggendong aku?" "Barangkali masih kuat. Karena kulihat tubuhmu juga kurus." "Baik. Jika demikian aku akan pura-pura mati. Kau harus melapor pada komandan jaga. Nah, biasanya pasangan si mati yang diharuskan mem-buang bangkai temannya ke tengah hutan. Kesempatan itu kita manfaatkan." "Kita coba. Mudah-mudahan Hyang Durga memihak kita." Dan terjadilah apa yang mereka rencanakan. Seperti yang sudah diduga maka komandan jaga yang biasa mendengar laporan semacam itu enggan melihat mayat dan memerintahkan Ramud membuang mayat temannya. "Tapi hamba tidak kuat, Tuan. Apakah harus memikul seorang diri?" "Tidak peduli! Angkat, atau mati bersama!" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Ba... ba... baik, Tuan." Ramud kemudian mengendapendap meninggalkan komandan jaga. "Cepat kembali! He, jika tidak, kami bisa pecahkan kepalamu! Mengerti?" teriak komandan jaga itu menambahkan. Ramud menoleh lagi. Mengiakan dengan hati berdebar. Tapi segera berlalu dan mendekati Tunjek yang terkapar di pinggir jalan. Pekerja rodi lainnya pada menyimpang tanpa berani menengok. Dalam hati tersembul tanya. Kapan aku menyusulnya" Pengawal tentu tidak mau berpanas-panas mendekati Tunjek. Sudah menjadi pemandangan umum orang mati setiap hari. Apakah karena kelaparan atau kelelahan yang tanpa batas. Dengan perut lapar begitu ternyata tubuh Tunjek menjadi amat berat. Sekalipun tubuh itu sama kurus dengan dirinya. Sambil mengumpat lirih ia berusaha juga. Dan akhirnya berhasil memanggul Tunjek di pundaknya. Terhuyung-huyung ia menyeret kakinya menjauh dari tempat kerja rodi itu. "Gila! Berat juga tubuhmu!" bisik Ramud sambil terengahengah. Sedang Tunjek diam saja. Terkulai seperti daun pisang yang telah tua. Tapi ia belum berani membuka mata. Napas Ramud kian memburu. Kasihan ia. Maka ia bertanya dalam bisiknya, "Sudahkah kita tidak terlihat oleh mereka lagi?" "Jangan main-main. Mereka masih mengawasi kita." "Ah... masuk ke semak-semak!" Benar, Ramud memikul Tunjek ke balik pepohonan, sampai hilang dari pandangan para penjaga. "Turun kamu, ah.... Rasanya aku mau mati," Ramud menggerutu. Kemudian Tunjek turun dari gendongan. Ramud mengambil waktu untuk beristirahat. Demi kewaspadaan, Tunjek harus tertelungkup di rerumputan. Keduanya diam Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ tanpa bisik. Telinga mereka ditajamkan untuk mengamati keadaan. Udara yang bertiup di sela pepohonan memberi kekuatan baru. Dan keduanya mulai mengharap-harap bisa bersua dengan Rsi Ropo di Songgon. Pengharapan yang menimbulkan kekuatan. Kekuatan membuat mereka mulai merangkak. Merangkak, menguak semak, onak-duri. Lutut mereka mulai tersayat-sayat padas keras. Demikian pula telapak tangan mereka. Bahkan hampir seluruh tubuh sudah tersayat duri. Kala senja tiba mereka mulai berani berdiri. Dan kembali mengendap-endap. Menyelinap dari balik semak ke semak lainnya. Tubuh mereka makin lemas tanpa perbekalan makanan. Karena itu keduanya memutuskan memakan tunas penjalin muda. Mereka tahu tunas itu terasa agak manis dan mengandung air. Mereka tidak bisa memasak apa-apa karena tidak punya pemantik api. Kelaparan membuat mereka tak peduli terhadap duri yang melindungi tunas penjalin itu. Pokoknya dapat mengganjal perut mereka. Dan dari ujung penjalin muda yang dipatahkan mereka mendapat air bersih yang dapat mengobati dahaga. Sekalipun tidak memuaskan, tapi itu lebih bijaksana daripada mereka menemukan sumber air, sehingga mereka akan memenuhi perut kosong mereka sepenuhnya dengan cuma air. Malam tidak melunturkan niat mereka untuk menjauhkan diri dari benteng. Untung rembulan menolong mereka. Sekalipun gangguan binatang malam, termasuk nyamuk, sukar ditolak. Mereka cuma mengumpat. Tapi tidak keras. Takut suara mereka kedengaran oleh para pemburu, sebab mereka memperkirakan pasukan penjaga sudah tahu pelarian Ramud. Dan memang kala malam tiba dan Ramud yang diperintahkan membuang mayat temannya itu belum kembali, komandan jaga menjadi berang. Pencarian pun dilakukan. Di suruh ke hutan di mana masih banyak mayat yang belum dimangsa binatang buas banyak Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ pengawal yang malas. Bau bangkai yang tidak sedap akan membuat mereka mual. Bahkan muntah-muntah. Maka pencarian tidak diteruskan. Mereka melapor bahwa keduanya sudah ditelan harimau, sebab harimau katanya suka makan bagian dalam organ tubuh mangsanya. Mereka memutuskan tidak perlu mencari lagi. Perjalanan selanjutnya makin sulit. Menembus hutan yang belum pernah dilewati manusia. Keduanya bertekad menembus hutan itu, sebab Ramud tahu, jika mereka mampu menerobos hutan itu, mereka akan sampai di kawasan Songgon. Tapi tenaga keduanya sudah hampir tiada sama. sekali. Yang mereka miliki cuma pengharapan. Pengharapan membuat orang bertahan dalam aniaya. Ya, pengharapan! Pada tengah hari langkah mereka makin berat. Keringat dingin membasahi seluruh tubuh. Kepala kian berdenyut. "Ah, Ramud, mataku berkunang-kunang." Tunjek berpegangan pada sebatang pohon langkap (sebuah pohon yang menghasilkan ijuk. Pohonnya seperti pinang atau aren) Ramud menghentikan langkahnya. Ia sendiri serasa mau mati. Tapi ia tahu mereka sudah melewati bagian terberat dalam perjalanan mereka. "Tunjek" Oh, kuatkan hatimu! Tidak lama lagi kita akan sampai di Songgon." "Oh...," Tunjek mengeluh sambil menyandarkan kepalanya pada pohon langkap yang dipe-ganginya. Beberapa bentar kemudian terduduk. Kepalanya semakin berat. "Ramud, lanjutkan perjalananmu sendiri. Mungkin aku tidak mampu lagi melanjutkan perjalanan...." "Jaraknya sudah amat dekat. Dengar suara perempuan berkidung. Mereka sedang bekerja di sawah. Tentu itu Songgon." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Tunjek memasang telinganya. Benar. Sayup di kejauhan ia dengar suara beberapa wanita menembangkan sebuah kidung. Bersama. Tentu mereka sedang bersuka cita. Tembang yang tiada pernah ia dengar di Lateng maupun Lo Pangpang. Kidung pujian untuk Wong Agung Wilis. Samar ia masih juga mendengar suara tawa. Hatinya berbunga. Ia kumpulkan sisa tenaganya. Berdiri lagi. Ramud senang melihat itu. Dan mereka kembali berjalan. Saling memapah. Sama-sama terhuyung. Sama-sama terjatuh di sela pepohonan. Saling membangkitkan semangat. Tapi bagaimanapun letih dan lemahnya mereka, suara tembang telah menimbulkan harapan yang hampir saja pudar. Pengharapan yang disertai ketekunan ternyata menimbulkan kekuatan. Tenaga gaib yang ditimbulkan oleh pengharapan telah mendorong mereka mencapai tepian hutan. Namun itu merupakan tenaga terakhir yang tersimpan dalam tubuh keduanya. Suatu keuntungan besar mereka masih sempat berpikir sebelum jatuh ke bumi. Keduanya bersepakat untuk sama-sama berteriak minta tolong. Suara mereka mengagetkan beberapa wanita yang sedang bekerja di sawah. Dan tanpa persetujuan terlebih dahulu, para wanita itu meletakkan bibit padi Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo yang sedang mereka tanam di lumpur dan berlari menuju arah datangnya suara. Tentunya para wanita yang menanam padi di sawah yang tempatnya sangat dekat dengan hutan itu. Hampir lima belas orang. Sebentar saja beberapa orang memeriksa keadaan kedua orang itu. Namun beberapa bentar kemudian segera membuat tandu dari kayu yang mereka dapatkan dari hutan. Cekatan, seperti sudah terlatih, mereka beramai-ramai mengangkat kedua lelaki itu ke atas tandu lalu diusung ke desa Songgon. Tentu menarik perhatian. Tapi seperti sudah diatur, sekalipun ingin tahu, orangorang tak bergeming. Hanya melihat sambil meneruskan pekerjaan masing-masing. Kedua pemuda itu terus mereka bawa ke Songgon. Dan langsung dihadapkan pada Rsi Ropo. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Jagat Pramudita! Anak ini kelaparan dan keletihan," ujar Rsi Ropo. "Basuh kepala mereka dengan air dingin!" perintahnya pada seorang cantrik. Kemudian pada para wanita yang membawa kedua pemuda itu ia berkata, 'Terima kasih! Andaikata kalian tidak segera menolong mereka, mungkin saja yang kita jumpai esok adalah mayat. Kalian telah memberikan hidup pada mereka. Ingat-ingat, sahabat sejati adalah sahabat dalam suka dan duka. Dan tidak ada kasih yang lebih besar dari seorang yang memberikan nyawanya buat sahabat-sahabatnya. Nah, kalian telah memberikan kasih." Perempuan-perempuan itu menyembah kemudian menyingkir. Di luar pagar mereka berbisik satu dengan lainnya. Disusul derai tawa seperti murai berkicau sambungmenyambung dengan teman-temannya. "Rsi belum juga beristri. Padahal ganteng begitu masa tidak laku?" "Ah, kau ini.... Naksir rupanya. Kau tak lepas-lepas melihat matanya yang tajam itu." "Ti... tidak! Kau sih selalu melihat bibirnya...." Sampai di sawah mereka masih memperbincangkan sang rsi. Ada saja yang mereka bicarakan. Yang jelas mereka sangat suka bisa mendapat kesempatan bicara secara dekat dengan rsi, sebab tidak gampang bagi mereka untuk memperoleh kesempatan memandang orang itu dalam jarak dekat di siang hari. Apalagi bagi wanita. Rsi sering pergi meninggalkan Songgon. Memang terlalu berbahaya bagi rsi itu untuk selalu tinggal di tempat. Setelah peristiwa penangkapannya oleh Jaksanegara beberapa waktu lalu, semua orang menjadi lebih berhati-hati. Setelah mereka siuman Rsi memerintahkan agar keduanya diberi makan bubur dan minum air gula aren. Setelahnya kedua orang itu diberi waktu istirahat untuk memulihkan tenaga mereka. Setelah agak kuat mereka diperbolehkan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ jalan-jalan. Dan keduanya bersukacita tidak lagi bekerja rodi di bawah deraan cambuk Kompeni-kompeni hitam. Beberapa hari kemudian baru mereka dapat bertemu dengan Rsi Ropo secara langsung sebe- c lum mereka ditempatkan di sebuah rumah dan diberi tanah garapan. Keduanya ditanya tentang asal-usul mereka dan tujuan mereka datang ke Songgon. "Apakah kamu hendak memata-matai Songgon?" "Tidak, Yang Tersuci. Hamba ingin bergabung dengan kawan-kawan di Songgon. Hamba ingin mencari kebebasan," Ramud menjawab. "Kebebasan dicari" Kalian salah, Anak muda. Kebebasan itu diperjuangkan. Harus! Apalagi sekarang. Kebebasan kita telah dirampok oleh bajak laut berkulit putih. Dulu juga begitu. Jika orang ingin bebas harus memperjuangkan kebebasan. Itu sudah kodrat. Lihatlah, para penguasa negeri, tidak pernah memberi hak pada kawula untuk menyatakan pendapat. Itu merupakan bukti bahwa kebebasan dirampok dari waktu ke waktu. Bahkan para orang tua yang kebebasannya selalu Tujuh Pedang Tiga Ruyung 1 Naga Kemala Putih Karya Gu Long Rahasia Kampung Garuda 7