Ceritasilat Novel Online

Tuan Tanah Kedawung 1

Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th Bagian 1 TUAN TANAH KEDAWUNG GANES TH Sumber: http://www.boozet.org/derryadrian Re-edit & layout: kiageng80 TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 1 ANGIN menderu-deru bagaikan dengus jutaan hewan liar. Berbaur dengan gemuruh hujan serta halilintar yang pecah berkali-kali di angkasa. Membuat malam itu begitu mengerikan, seakan-akan dunia ini tengah sekarat dalam hembusan nafasnya yang terakhir. Di bawah derai hujan lebat, tampak seorang laki-laki berdiri memandang sebuah bangunan usang di tepi jalan Desa Kedawung. Agak lama ia memandangi bangunan yang tak terurus itu, menatap sekeliling halaman, lalu melangkah masuk. Disibaknya sarang laba-laba yang hampir memenuhi ruangan yang bocor dan gelap. Ia melangkah ke sudut dan menggeser sebuah balok tiang yang runtuh dari langitlangit bangunan tersebut. Dilepaskannya buntalan lusuh dari punggungnya. Ia memungut beberapa serpihan papan dan cabikan kain tua yang berserakan di lantai, lalu dikumpulkan jadi satu. Dari dalam buntalan diambilnya sebuah alat pemantik api yang segera digunakan untuk menyalakan api unggun. Ia membuka bajunya yang basah kuyup, diperasnya kuat-kuat, kemudian digarangnya di atas api unggun yang membesar tertiup angin. Mata laki-laki ini masih memandang ke sekeliling ruangan yang kini diterangi cahaya api. Puing-puing bangunan tampak berserakan di dalam rumah itu. "Lima tahun sejak kutinggalkan, desa ini sudah berubah seperti desa hantu!" Gumamnya di dalam hati. "Entah musibah apa yang melanda rumah Bang Samirun, kasir Ayahku ini"!" Matanya bertanya-tanya menatap ke sekitar ruangan. Ia tertunduk, wajahnya yang terlihat tampan di bawah cahaya api, makin muram dan cemas. "Mudah-mudahan tidak terjadi suatu pun terhadap keluargaku. Ratna istriku..., lima tahun lamanya, tak ada kabar berita. Ibu dan Mirta adikku... entah bagaimana dengan keadaan mereka..."!" Ia menarik napas dalam-dalam. Tiba-tiba lelaki itu tersentak, karena telinganya mendengar langkah kaki di dalam rumah itu. Terdengar papan rapuh terpijak. Ia bangkit dan melihat ke arah ruangan dalam. Gelap disitu. Namun ia yakin, ia tidak sendirian di rumah itu. Guntur menggelegar di angkasa. Hujan pun masih tumpah dengan lebatnya. Bunyi berkeriut daun-daun jendela yang dihempas angin, membuat suasana di dalam rumah usang itu terasa makin menyeramkan. Namun laki-laki ini sedikitpun tidak merasa takut. Kembali ia duduk dengan tenang di dekat api unggun. Pada detik itu di antara celah-celah dinding papan, sepasang mata merah liar mengintainya. Bertepatan dengan menggelegarnya halilintar di angkasa, sesosok tubuh mencelat secara tiba-tiba dan mendobrak dinding papan di belakangnya itu. Bersamaan dengan itu, tampak sosok banyangan lompat berlari. "Siapa kau"!" Ia menghardik. Lalu mengejar. Sosok bayangan itu terus berlari ke arah dalam rumah yang gelap pekat itu, yang kadang-kadang hanya diterangi selintas oleh kilatan cahaya halilintar. Laki-laki ini berhasil merengkas kaki sosok bayangan itu, dan tubuh itu tersungkur membentur papan-papan yang segera rubuh bergelimpangan dengan gaduhnya. Laki-laki ini segera mencengkeram baju orang itu. Tapi sosok itu bangkit dan meronta sehingga koyaklah bajunya yang compang-camping itu. Orang itu lari ke sebuah sudut ruangan dan terdengarlah jeritan seorang perempuan penuh ketakutan. Laki-laki ini tersentak sejenak. Sosok tubuh perempuan itu kurus dengan rambut beriapan. "Hei! Siapa kalian"! Manusia atau hantu"!" Tiada jawaban, hanya terdengar dengus napas-napas yang bersendat dan terlihat kedua sosok tubuh yang berangkulan itu menggigil. Tiba-tiba di antara cahaya kilat yang melintas, tampak jelaslah wajah-wajah kedua sosok tubuh itu yang sangat mengerikan. Perempuan tua itu matanya buta dengan bekas luka yang belum mengering, darah masih mengalir bercampur air dari rongga matanya. Rambutnya putih beriapan. Lengannya gemetar menggenggam sebatang tongkat yang menyanggah tubuhnya. Sebelah lengannya lagi memeluk tubuh putranya yang menggigil dan menatap jalang ke arah laki-laki asing. Laki-laki ini pun tersentak mundur, bukan karena takut, melainkan wajah pemuda itu telah amat dikenalnya. "Kau..."! Kau Mirta, adikku bukan..."!" Ia melangkah maju. Pemuda dan nenek itu mundur merapat ke dinding. "Kenapa kau jadi begini, Mirta"!" Ia mendekat dan menggenggam bahu pemuda itu. Lalu mengguncang bahu si pemuda yang makin pucat ketakutan. "Apa yang telah terjadi, Mirta"! Ke mana Ibu, dan Ratna"! Apa yang terjadi terhadap mereka"! Katakan Mirta!" "Ampun bang Giran...! Ampun...!" Ratap Mirta tersendat-sendat. "Ampun"! Apa maksudmu, Mirta"!" Giran mencengkeram bahu adiknya dan mengguncangnya dengan perasaan tidak mengerti. Rasa cemasnya tiba-tiba makin menyesakkan dadanya. Lengan si nenek menggapai-gapai, menepis dan berusaha melepas cengkeraman lengan Giran pada bahu Mirta. "Ampunkan adikmu, Giran...! Kalau kau mau bunuh, bunuhlah Ibu yang sudah tidak berguna lagi ini, Nak!" tukasnya dengan lirih. "Ibu..."!" Mata Giran makin terbelalak menatap perempuan yang buta ini. Suara bicara itu memang jelas suara ibunya. Tapi wajah dan keadaan tubuh perempuan buta ini jauh berbeda dengan ibunya, seorang wanita paling berpengaruh di seluruh Kedawung. Cantik serta kaya-raya sebagai istri Tuan Tanah yang amat disegani oleh seluruh penduduk. Giran sukar memahami dalam kurun waktu yang cuma lima tahun bisa merubah perempuan secantik ibunya menjadi seorang nenek yang amat buruk seperti sekarang ini. Tapi suara bicaranya serta gerakan alis matanya yang kini sudah putih beruban itu, adalah ciri kebiasaan ibunya yang amat dikenalnya. "Kau ibuku..."! Betulkah kau ibuku..."!" desak Giran dengan napas tersengal. Perempuan tua itu mengangguk, jantung Giran terasa terhenti. Ia memandang ke arah Mirta minta kepastian. Adiknya ini mengangguk sambil tertunduk. "Ibu..."! Kenapa Ibu jadi begini"!" Giran menatap tajam-tajam wajah ibunya dengan suara nyaris kandas di kerongkongannya. "Siapa yang telah menganiaya Ibu sampai begini" Siapa"!" Ia nyaris berteriak. Tapi perempuan tua itu berpaling dengan tubuh agak gemetar menahan tangis. Ia bungkam seribu bahasa. Giran makin geram penasaran. "Katakanlah Bu! Siapa manusia laknat itu" Katakanlah, jangan takut!" desaknya. Perempuan tua ini masih diam tak bersuara, agaknya ada sesuatu yang amat sulit diceritakan terhadap putra tirinya yang baru pulang dari rantau ini. Giran terkejut tak terhingga ketika dirasakan ada sebuah sambaran angin menderu ke arah belakang kepalanya. Ia berkelit tepat ketika sebatang balok meluncur dan menghantam tiang di sisinya. Dengan gerak reflek Giran melontarkan sebuah tendangan keras kepada si pembokong itu. Sebuah teriakan mengaduh terdengar berbarengan dengan terbantingnya tubuh menghantam dinding. Giran tercengang memandangi tubuh adiknya yang terkapar di atas pecahan papan dinding yang berserakan itu. "Kau sudah gila Mirta"! Apa artinya semua ini"!" Lengan Giran yang kokoh itu mencengkeram leher baju Mirta dan diangkatnya. Tongkat si nenek menggapai-gapai dan memukul punggung Giran. "Lepaskan Mirta, Giran! Lepaskan! Baiklah, akan kuceritakan!" Katanya lirih memohon. Jelas terlihat ia amat menguatirkan keselamatan putra kandungnya. Giran melepaskan cengkeramannya pada leher baju Mirta. Ia berusaha bersikap tenang, meski dadanya terasa hampir pecah diamuk berbagai perasaan. "Apa yang terjadi?" katanya tenang. "Samolo, Giran. Semua gara-gara si Samolo. Iblis itu telah menghancurkan segalagalanya..." Suara perempuan ini terdengar gemetar dan parau seperti suara tangisan burung hantu. Giran tercenung seakan-akan memandang sebuah gambaran mimpi aneh berpeta silih berganti di hadapannya. Samolo, centeng paling disayang dan paling dipercaya oleh mendiang ayahnya. Centeng paling setia yang pernah mengasuhnya, bahkan ia merasa dibesarkan di gendongan centeng yang amat perkasa namun lembut hati itu. Kini ibunya sendiri mengatakan dengan tandas bahwa centeng setia itu telah berubah menjadi iblis yang menghancurkan rumah tangga majikannya. Tiba-tiba pikirannya melintas cepat kepada Ratna, istrinya. Peluh dingin pun tanpa terasa mengalir dari pori-pori tubuhnya. "Apa yang telah diperbuatnya"!" "Begitu kau pergi, dia mulai memperlihatkan watak aslinya. Kiranya dia seekor serigala berbulu domba. Dia betul-betul iblis yang paling keji, Giran. Keji sekali!" Ibu ini meratap dan sesengukan dalam tangisnya yang amat memilukan. "Apa yang dilakukannya terhadap Ibu dan Mirta...?" Suara Giran mendesis dari celah giginya. "Dia telah merampas semua yang kita miliki. Harta warisan mendiang ayahmu yang berlimpah itu telah dikangkanginya, sebagian sudah ludes di meja judi!" Tangisnya semakin sengit. "Belum cukup sampai di situ, dia juga hendak merampas nyawa ibu dan adikmu sekaligus! Dengan kejam dia aniaya Mirta, hingga adikmu itu terganggu jiwanya...!" Giran memandang adiknya itu, hatinya terasa terenyuh. Mirta duduk menggigil di sudut dengan wajah tegang diliputi ketakutan matanya jalang berputar ke sekitar ruangan. Bunyi derak dari jendela membuat ia terkesiap dan makin nanar menatap ke arah jendela itu dengan tenang. "Dan mata ibu dicukilnya dengan tak kenal rasa kasihan sedikitpun!" Isaknya semakin menyayat hati Giran. Ibu ini memegang rambutnya yang putih bagaikan perak, dan menyibak-nyibaknya sambil menangis tersendat-sendat. "Kau lihat rambut ibu ini, Nak! Telah berubah putih dengan mendadak. Karena aku selalu disiksa rasa takut dan was-was terus menerus. Siksaan lahir-batin yang tak tertahankan!" Hening sejenak, namun keheningan itu justru makin menusuk jantung serta syaraf di otak Giran. Lebih-lebih ketika bayangan yang menakutkan itu muncul di benaknya melalui isak tangis ibunya. "Lebih menyakitkan lagi, ternyata Ratna... Istrimu itupun bersekongkol dengan Samolo keparat itu...!" Andaikata saat itu ada kilatan petir yang tiba-tiba menyambar seluruh isi ruangan tersebut, barangkali hati Giran tidak akan seluluh ketika mendengar tentang istrinya itu. Bayangan yang menakutkan itu akhirnya berwujud nyata di hadapannya. Hatinya terasa pedih bagaikan disayat-sayat sembilu. Namun ia mencoba untuk tidak mempercayai begitu saja kata-kata ibunya. Betapa pun dialah yang lebih tahu tentang kehalusan watak Ratna. Gadis desa yang kemayu, lugu dan amat sederhana. Justru sifat-sifat murninya itulah yang telah menambat seluruh hati sanubari putra Tuan Tanah yang serba kecukupan ini, lalu mempersuntingnya sebagai istrinya dan memujanya sebagai dewi. Namun pengalaman pengembaraannya di rantau, selama lima tahun itu, telah banyak yang dilihatnya. Betapa mudahnya sekuntum mawar yang segar dan molek itu menjadi layu hanya oleh bakaran terik matahari atau oleh hempasan angin. Bahkan sebongkah batu cadas yang kokoh itu pun akan terkikis sirna menjadi pasir oleh gempuran gelombang. Apalagi watak manusia, perempuan lagi. Demikian pikirnya. Bayangan yang menakutkan itu kembali muncul dan semakin berpeta nyata di pelupuk matanya. "Ratna..."!" Ia tidak tahu, apakah ia mendesah atau berkata ketika mengucapkan nama istrinya itu. Perasaan rindu selalu saja menguasai dirinya setiap ia menyebut nama itu. "Ya, ibu pun tidak menyangka, Ratna dapat berbuat serendah itu dan sampai hati pula turut mencelakai ibu dan adikmu!" Desah ibu ini sambil menarik napas dalamdalam. Kepala menggeleng-geleng penuh penyesalan dan kecewa. Giran melangkah ke sisi jendela, memandang deru hujan yang bergemuruh seperti degup jantungnya sendiri. Wajahnya merah padam dan muram. "Di mana mereka sekarang"!" "Sudah tentu sedang jadi raja dan ratu di gedung kita!" tukas ibunya sengit. "Hmm, keparat!" Gumam Giran penuh dendam. Pemuda ini mengambil sebuah bungkusan kain putih dari dalam buntelannya, lalu diselipkan di pinggangnya. Suasana kembali jadi hening, kecuali di luar masih terdengar gemuruh hujan dan bunyi guruh di kejauhan. Mirta masih duduk di sudut lalu beringsut mendekat ke sisi ibunya. Perempuan buta ini hanya sanggup menelaah keadaan dan gerak-gerik putra tirinya itu dengan telinganya. "Mau ke mana kau, Giran"!" tanyanya cemas. "Kalian diam saja di sini!" jawab Giran singkat, dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah melompat ke luar jendela. *** TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 2 BADAI masih mengamuk. Guntur menggelegar, kilat menyambar-nyambar di angkasa. Terasa bumi tergetar dan seakan-akan terbelah. Namun gemuruh dendam di hati Giran masih melebihi amarah alam saat itu. Ia berlari dan melompati beberapa parit yang menghadang di depannya. Hatinya masih terus gemuruh dan makin mendidih. "Samolo...! Hmm tunggulah kau jahanam...! Aku pulang untuk merobek nyawamu!" Umpatnya sambil terus berlari. Rambutnya yang gondrong tak terurus itu tersibak-sibak dihempas angin. Larinya secepat dan setangkas kijang. Peluhnya mengucur deras bercampur derahan hujan. Cepat sekali ia sudah tiba di muka pintu gerbang dari sebuah bangunan besar. Sebuah gedung megah dan antik yang bertahun-tahun ditinggalkannya. Dia berdiri terpaku memandangi gedung mewah warisan ayahnya, seorang tuan tanah yang pernah jaya penuh kharisma di kawasan Kedawung yang subur, tenteram serta damai. Tapi kini gedung tersebut tegak dalam kesunyian, kosong dan kehilangan wibawanya. Giran menghela napas, lima tahun lamanya ia disiksa kerinduan untuk pulang ke gedung yang pernah memberikan kehangatan kepadanya. Kehangatan cinta kasih istrinya yang cantik dan lembut. Namun kenyataan yang dihadapi sekarang, membuat hatinya terasa beku dan sakit. Pintu gerbang itu terkunci dengan kokohnya. Ia melompat ke atas dinding lalu lompat turun ke halaman yang luas dan sunyi itu. Dipandanginya lagi keadaan taman serta gedung itu. Hening hampa, namun masih tetap terawat baik, seperti ketika ia masih berada di sini. Ia melangkah ke teras gedung. Ruangan utama itu terkunci dan terlihat rapi, dan vas-vas bunga antik itu masih tetap berada di tempatnya seperti dulu. Dengan cermat Giran meneliti semuanya. Terlihat beberapa pot dan vas antik itu diikat dengan kawat dan ditambal, karena bekas pecah berkeping-keping. Dan terlihat pula di tiang pilar yang bulat dan kokoh itu, beberapa goresan dalam bekas terkena hunjaman dan sabetan beberapa jenis senjata tajam. Giran jadi termangu memandangi itu semua. Tanpa terasa bulu kuduknya jadi merinding. Terbayangkan di benaknya sebuah pertarungan dahsyat pernah terjadi di gedung itu. Tak pernah diduganya, ternyata perebutan kekuasaan atas harta warisan ayahnya itu telah menimbulkan pertumpahan darah demikian hebatnya. Pintu ruangan utama itu pun terkunci rapat. Meneliti keadaan gedung yang masih tetap terawat baik, hati Giran agak terhibur sedikit, karena menunjukkan penghuninya masih menghargai peninggalan mendiang ayahnya. Ia meninggalkan teras itu dan memutar ke samping gedung menuju arah halaman belakang. Pintu pagar Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo samping pun didapatinya terkunci. Ia naik ke atas pohon. Meneliti sejenak keadaan halaman belakang yang luas dan sunyi itu. Ia melompat turun dan memandang ke sekitarnya. Tepat di sudut dinding belakang, di sebuah kamar emper bekas gudang kayu itu, tampak lampu masih menyala. Ia menghampiri kamar emper bekas gudang itu, dan melongok melalui jendela yang masih terbuka. Di dalam kamar sempit dan sangat sederhana itu yang diterangi cahaya lampu teplok yang remang-remang, tampak seorang wanita muda sedang duduk di balai bambu, merajut sebuah baju kecil yang sudah penuh tambalan. Kadang-kadang ia berhenti merajut dan merapikan selimut yang menutupi sesosok tubuh kecil yang tergolek tidur di sisinya. Agaknya betapa sering wajah sayu nan cantik itu disiram deraian air mata. Karena setiap tisik jarum setisik air matanya jatuh menetes. Lebih-lebih bila ditatapnya wajah mungil yang sedang terlena tidur dengan napas halus di sisinya itu. Giran masih tertegun memandangi keadaan di dalam kamar itu dari luar jendela. Hatinya terasa tergetar oleh luapan rindu yang bertahun-tahun dipendamnya. Ratna, masih tetap cantik meski kini tubuhnya tampak kurus dan bajunya penuh tambalan. Tiba-tiba hatinya jadi seperti terbakar ketika melihat anak kecil yang sedang tidur di sisi wanita itu. "Anak itu jelas hasil perbuatan nistanya dengan Samolo...!" Geram hati Giran, dan dadanya terasa akan meletup saat itu. Ia menguak pintu, menimbukan bunyi berderit yang mengejutkan Ratna. Ratna berpaling dan tertegun memandang ke arah pintu. Perlahan-lahan ia bangkit, ditatapnya laki-laki yang tegak di ambang pintu kamar itu dengan kilauan mata bagaikan tengah bermimpi. Bibirnya yang pucat itu tampak gemetar. Dengan napas tersendat ia berusaha menyebut nama suaminya, namun suaranya kandas tertahan di kerongkongannya yang terasa tersumbat. Giran masih berdiri beku di depan pintu. Keduannya bagaikan patung-patung bisu, tenggelam dalam kecamuknya perasaan masing-masing. Ratna masih tertegun, seakan-akan memandang suatu fatamorgana. Kemudian dengan isak tangis yang tersendat-sendat Ratna lari menubruk tubuh suaminya dan didekapnya erat-erat seolah-olah takut kehilangan lagi... Tiada kata-kata yang sanggup terucapkan dari mulutnya, kecuali sedu-sedan yang pecah penuh luapan perasaannya. Giran masih tegak seperti patung perunggu. Cuma matanya saja yang bersinar, tajam dan merah membara. Lama Ratna membenamkan wajahnya di dada Giran yang telanjang dan bidang itu, membasahkannya dengan air matanya yang tumpah tak terbendung. Akhirnya terpatah-patah ia meratap, "Kau telah kembali Kak... Aku sangat rindu padamu...!" Ia mengangkat wajahnya dan menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. "Berjanjilah Kak... Jangan tinggalkan Ratna lagi..." Pintanya. Mata Giran tajam memandang lurus ke muka, dingin menusuk seperti angin yang berhembus dari luar jendela. "Ratna... Ratna! Tidak perlu kau bersandiwara di hadapanku! Hapuslah air mata buayamu itu...!" gumam Giran dengan dingin. Ratna ternganga tak mengerti. Matanya bulat terbelalak menatap wajah suaminya yang dingin dan sinis. "Apa maksudmu Kak...?" Tanyanya tak mengerti. Tiba-tiba Giran mendorong tubuh Ratna hingga jatuh terpelanting ke atas balai. Anak kecil itu pun terbangun dan menangis. Ratna segera menggendongnya. Wajah Ratna jadi pucat dan bingung. Air matanya makin deras bercucuran. Sambil membelai kepala anaknya ia menatap suaminya yang kaku dan penuh diliputi kebencian. Giran enggan memandang istrinya, ia melangkah ke jendela. Suaranya terdengar parau dan dalam ketika berkata, "Tiada sedetik pun dalam sekian tahun di rantau aku melewatinya tanpa disiksa kerinduan. Bayanganmu senantiasa datang dalam mimpiku!" Ratna tertunduk sambil menggigit bibirnya. Air matanya tumpah makin deras. "Tapi kini aku mengutuki ketololanku sendiri. Mengapa aku mau mengawini perempuan nista semacam kau!" Dingin dan hambar kata-kata Giran, tapi terasa seperti mata pisau yang teramat tajam menyayat-nyayat jantung Ratna. Hingga perempuan ini harus berpegang eraterat tepi balai agar tidak jatuh bersama anaknya yang berada di dekapannya itu. Dikuatkan hatinya untuk bertanya kepada sang suami, "Apa salah dan dosaku, Kak"! Aku tidak merasa pernah mengkhianati suamiku...! Aku selalu setia kepadamu, Kak Giran." "Demi Tuhan, aku tidak pernah mimpi apalagi merasa telah punya anak haram seperti itu!" jawab Giran penuh geram. Ratna benar-benar terluka, ia menjerit. "Kau... Kau memfitnah! Anak ini adalah darah dagingmu sendiri!" Giran mendengus. Nada kata-kata Ratna kembali lembut, "Kasihan anak kita ini Kak, dia sangat mendambakan kasih sayang ayahnya. Kuberi nama Girin agar aku selalu merasa dekat di sisimu, kak Giran...!" Katanya lirih. Giran berpaling, matanya menyala menatap Ratna dan putranya itu. "Campakkan anak haram itu! Cuma setanlah yang mau percaya ocehanmu itu!" Giran tak kuasa menahan emosinya, ditudingnya istrinya. "Kau dan Samolo bukan saja telah mendurhakai aku, juga ibuku. Adikku kalian campakkan dari rumah ini! Kau Ratna, kau telah bersekongkol dengan binatang Samolo dengan kelicikan dan kebusukan yang kalian rencanakan masak-masak itu! Kau harus menebus dosamu, Ratna!" Dicengkeramnya lengan Ratna kuat-kuat lalu ditarik ke luar pintu. Ratna menjerit sambil meronta. Girin ikut menjerit ketakutan. "Kau... Kau sudah gila, Kak Giran..."! Tidak! Aku tidak bersalah!" Protesnya sambil berusaha melepaskan lengannya dari cekalan Giran. Amarah Giran makin meledak, tanpa rasa iba sedikitpun diseretnya Ratna yang meronta-ronta itu. "Ayo! Kau harus bersembah sujud dan bersimpuh di bawah kaki Ibuku, untuk menerima hukuman dari dia!" "Tidak! Tidak!" jerit Ratna seraya berusaha bertahan dengan berpegangan pada pintu sekuat tenaganya. Girin terjepit dan menjerit-jerit. Namun Ratna terus berpegangan pada tiang pintu, menolak untuk menemui mertuanya. "Tidak! Aku tidak mau pergi! Meski dibunuh pun aku tidak sudi menemuinya! Tidak!" Ia bertahan. "Keparat! Aku patahkan tangan dan kakimu! Ayo! Setelah kau, akan kucabut nyawa kekasihmu, si Samolo jahanam itu!" Dengan hentakan keras, terlepaslah pegangan Ratna pada tiang pintu itu. Giran terus menyeretnya tanpa menghiraukan jeritan protes istrinya dan tangisan Girin kecil itu. Ratna terjatuh dan terus diseret ke tengah halaman yang becek tersiram hujan itu. Pada detik itu, tiba-tiba sebuah tongkat tepat menghantam lengan Giran. Dengan terkejut Giran melepaskan lengan Ratna sambil melompat mundur dengan penuh waspada. Rasa sakit terasa sampai ke tulang sumsumnya. Seorang laki-laki tua berkumis dan berjangggut memutih telah tegak di antara ia dan Ratna. Suaranya berat, tenang penuh wibawa. "Entah dedemit dari neraka mana, berani mengganggu wanita dari keluarga baikbaik! Siapa kamu"!" Tegur laki-laki tua itu. "Hmm... Samolo! Kebetulan, aku memang sedang mencarimu!" Mendengar suara sang pemuda, wajah centeng tua yang angker itu jadi berubah kaget kemudian tampak berseri-seri. "Oh... Den Giran...! Aden sudah pulang...!" Sapa Samolo gembira. "Jangan berpura-pura! Aku tahu kalian justru mengharapkan aku tidak akan pulang selama-lamanya!" tukas Giran dengan geram. Samolo tertunduk, sikapnya tetap tenang penuh hormat. "Kami selalu menanti kembalinya Aden. Banyak peristiwa telah terjadi. Aku ingin menjelaskan kepadamu Den!" "Tidak perlu! Aku sudah cukup tahu tentang kebusukan kalian berdua! Arwah ayahku pasti akan bangkit dari liang kubur kalau saja beliau tahu, bahwa kau yang sangat dipercayainya sepenuh hatinya, ternyata seekor serigala berbulu domba!" Samolo mengelah napas, suaranya jadi terdengar lebih dalam dan pedih. "Telah kuduga, engkau telah didului oleh perempuan tua celaka itu dan terhasut oleh mulutnya yang berbisa!" Mata Giran mendelik. "Bangsat! Berani kau berkata sekeji itu terhadap ibuku"!" Lengannya meraba bungkusan kain putih di pinggangnya. "Aku kagum akan rasa baktimu terhadap orang tua, Den! Tapi ibumu itu..., begitu rendah martabatnya dan tak patut menerima sujud bakti seorang anak seperti kau, Den!" Giran melompat seraya mencabut pisau pusakanya yang terbungkus kain putih itu. Ia menggeram dengan luapan amarahnya. "Tutup mulutmu! Kau sudah melampaui batas, Samolo!" Ia melangkah maju sambil menghunus pisau pusakanya yang beracun itu. "Kau harus menebus dosa-dosamu! Kau telah melempar keluargaku ke dasar neraka penderitaan paling nista! Kau jadikan ibuku sebagai mayat hidup, bergentayangan di kegelapan sepanjang hidupnya! Benar-benar keji kau, Samolo!" "Dengarlah Den!" Samolo berusaha menenangkan Giran. "Kekerasan tidak mungkin dapat menjernihkan air yang keruh! Tenang dan bersabarlah, akan kujelaskan persoalan yang sangat pelik ini. Tenanglah Den!" Bujuknya. Tapi amarah Giran sudah tidak bisa dikekang lagi. Bayangan penderitaan ibu dan adiknya benar-benar membuatnya menjadi kalap. Tibatiba saja ia melompat menerjang dengan tikaman pisau pusakanya tepat ke arah jantung Samolo. Centeng tua yang masih tangkas ini melompat mundur untuk menghindar dari ujung belati yang meluncur bagaikan kilat itu. Giran terus mengejarnya sambil melancarkan tikaman-tikaman yang mematikan. Ratna jadi panik berusaha mencegah kekalapan suaminya. "Jangan Kak! Bang Samolo tidak bersalah...! Jangan...!" Jerit Ratna. Tapi Giran tak menghiraukan jerit-tangis anak istrinya. Ia merangsek terus centeng tua yang selalu berusaha menghindar. Sekali-kali tongkat bambunya itu menangkis atau menyampok mental hunjaman ujung pisau Giran. Hujan masih terus turun dengan lebatnya, guntur menggelegar memekakkan telinga. Ratna menggigil mendekap Girin yang terus menangis kedinginan, juga ketakutan. Dua buah serangan berantai Giran dengan beruntun pula dapat dipunahkan oleh Samolo. Giran semakin penasaran, ia menggeram seraya lompat melancarkan tendangan berantai. Tubuh tua Samolo segera terguling. Sembuah tendangan dengan telak menghantam dadanya. Giran lompat sambil mengangkat pisaunya untuk menghabisi nyawa centeng yang dianggapnya telah menghancurkan keluarganya. Ratna menjerit, dilepaskannya Girin dari dekapannya dan lari menghambur memeluk kaki suaminya. "Kau salah paham Kak! Sadarlah. Kau bertindak terlalu kejam terhadap orang yang tak berdosa! Kau pasti menyesal!" Ratap Ratna mengiba sambil memeluk kaki Giran. "Tak berdosa"! Air tujuh samudra pun tidak akan cukup mencuci bersih noda dan dosa kalian!" Geram Giran sambil menyepakkan kakinya, sehingga tubuh Ratna pun terpelanting di atas tanah becek itu. Putra sulung Tuan Tanah ini semakin mendidih darahnya. Ia mengumpat kepada Samolo yang berlutut, menggapai-gapai mencari tongkatnya. Untuk sesaat Giran jadi tertegun, ia baru mengetahui mata centeng ini sudah tidak berfungsi lagi. "Dia sudah buta...!" gumamnya. Saat itu terlintas kenangan masa lalu ketika ia masih kecil dulu. Sering ia nangkring di punggung laki-laki tua ini yang merangkak-rangkak di halaman main kuda-kudaan. Dia telah mengasuh dirinya dengan penuh telaten serta kasih sayang sebagai anaknya sendiri. Samolo sesungguhnya abdi yang sangat setia ketika itu. Betapa kecewa hatinya, ternyata watak manusia begitu mudah goyah. Darahnya kembali mendidih ketika bayangan wajah ibunya yang menderita buta dan Mirta yang terganggu jiwanya akibat perbuatan centeng ini. Dadanya terasa terbakar kembali. Kini Samolo telah bangkit lagi, berdiri agak limbung di tengah derahan hujan lebat. Tampak darah menetes dari mulutnya, memerahi kumis dan janggutnya yang putih. Darah itu terus menetes, mememerahi genangan air di bawah kakinya. Melihat penderitaan centeng tua itu, hati Ratna terasa ikut tersayat. Ia meratap mengiba-iba kepada suaminya. "Kak Giran, jangan kau terpedaya oleh hasutan Ibu dan Mirta...! Merekalah sesungguhnya yang menjadi biang keladi dari semua malapetaka ini...!" Samolo terbatuk-batuk, bicara dengan napas memburu. "Biarlah Neng Ratna. Suamimu telah begitu dendam kepadaku! Ya, memang akulah yang telah membutakan mata ibumu. Kalau itu satu dosa, aku bersedia menerima hukuman darimu, Den Giran!" "Kalau begitu, kau memang harus mati Samolo!" teriak Giran, seraya menerjang dengan sabetan-sabetan pisaunya. Samolo berkelit dan menangkis dengan tongkat bambunya. Suara benturan senjata seakan-akan bersahutan dengan bunyi guntur di angkasa. Pertarungan berlangsung dengan serunya di bawah curahan hujan lebat. Ratna menggigil sambil mendekap Girin, menahan ketegangan jiwanya. Betapa tidak, karena kedua laki-laki itu adalah orang-orang yang paling dikasihinya dalam hidup ini. Hatinya menjerit dan meratap, namun apa daya..."! Ia cuma bisa terisak menangis sambil memeluk anaknya. Karena faktor usia serta kondisi tubuh yang sudah tak berimbang lagi, Samolo tersungkur tak berdaya. Kepalanya terbentur tiang emper lalu rebah tak berkutik lagi. Ratna menjerit, menubruk tubuh yang nampak masih tegar itu. Diguncang-guncangnya sambil memanggil nama sang centeng. Tapi Samolo cuma merintih sejenak lalu diam terkapar dengan keadaan sangat menyedihkan. Giran menarik lengan Ratna lalu ditariknya. "Biarkan jahanam itu mendapatkan bagiannya! Kini giliranmu!" "Kau. Kau kejam!" Ratna menjerit dan meronta berusaha melepaskan diri. Tapi Giran tak memperdulikannya, terus menyeretnya ke luar halaman belakang gedung itu. Ratna terus meronta, tubuhnya terseret di tanah becek tersiram hujan yang tak kunjung henti. Girin menjerit-jerit mengikuti sambil memanggil ibunya. Tapi Giran yang sudah gelap mata ini dengan tidak mengenal ampun menyeret tubuh istrinya sepanjang sisi gedung terus menuju keluar. "Tidak! Tidak! Aku tidak sudi lagi melihat iblis itu! Lepaskan...! Lebih baik kau bunuh saja aku di sini...! Lepaskan...!" jerit Ratna sepanjang jalanan. Tubuh Ratna tergusur melewati pintu gerbang dan melintasi jembatan yang melintang di atas parit besar yang ada di muka gerbang itu. Girin mengikuti terus sambil menangis memanggil-manggil ibunya. Tepat di tengah jembatan batu yang licin itu anak ini terjatuh tergelincir dan tubuhnya berguling ke bawah jembatan itu. Melihat itu, Ratna menjerit histeris. "Ya Allah, Anakku! Girrriiinnn... Anakku..." Tapi ia tak kuasa menolong anaknya itu, tubuhnya jatuh bangun diseret Giran yang sedang kalap. Girin megap-megap dihanyut air yang mengalir deras itu. Teriakan ibunya kian menjauh, kemudian sirna ditelan gemuruh hujan dan guntur yang masih menggila. Sementara itu, tubuh Samolo mulai bergerak, perlahan-lahan siuman dari pingsannya. Kemudian ia sadar dengan peristiwa yang Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo baru saja terjadi. Dengan seluruh sisa tenaganya ia berusaha bangkit. Lalu dengan langkah terhuyung-huyung ia mengejar ke muka pintu gerbang, sambil memanggil-manggil Ratna dan Girin. Tongkatnya menyusuri jembatan batu itu. Tepat pada saat itu, telingannya mendengar sesuatu di bawah jembatan itu. Wajahnya jadi semakin tegang dan beringas. "Tangisan Girin...!" Desisnya cemas. Suara megap-megap di kolong jembatan itu terdengar samar-samar, kemudian lenyap ditelan deru hujan. Samolo mengerahkan daya pendengarannya yang menjadi andalannya selama ini untuk mencari anak kecil itu. Syukurlah Girin yang baru berusia empat tahun ini cukup cerdik untuk menolong dirinya. Ia bergelayutan erat-erat pada akar pohon yang kebetulan tumbuh di tepi parit itu. Samolo pun segera mengetahui di mana anak itu berada. Dengan meraba-raba ia turun ke dalam parit yang sedang pasang dan dengan air yang mengalir amat deras. Tubuhnya bergerak dan menggapai-gapai ke arah Girin yang berpegangan erat pada akar pohon. Arus air yang deras itu menghempas dan menarik tubuh centeng tua ini. Namun dengan sekuat tenaga ia maju terus mendekat ke arah cucu majikannya. "Tenanglah Nak! Berpeganglah erat-erat. Embah akan menolongmu!" kata Samolo memberi semangat kepada bocah kecil itu. Sesaat kemudian lengannya berhasil meraih tubuh anak itu dan langsung dipeluknya. Girin pun merangkul dengan erat. "Tenanglah Nak. Kau sudah selamat kini...!" hibur Samolo sambil berusaha menggapai tepi parit. Girin menangis terisak-isak memeluk leher "Si Embah" ini. Keduanya berhasil naik ke atas parit dan berdiri di atas jembatan. Samolo menggendong Girin yang masih terus menangis, menunjuk ke arah jalanan. "Mama dicelet kecono...!" rengeknya. "Diam Nak, jangan menangis...! Mari kita susul Mama!" Sambil menggendong Girin, Samolo berjalan menuju jalanan besar itu dengan tuntunan tongkatnya. *** TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 3 GIRAN menghempaskan tubuh Ratna ke lantai. Ratna menjerit dan mengumpat dengan kalap dan pedih. "Kau telah membunuh anakku...! Kau ayah yang tak punya perasaan! Kejam...! Oh... Girin... anakku...!" Ratap Ratna sambil menelungkup di lantai berdebu itu. Giran berteriak memanggil ibunya "Ibu...! Aku sudah menyeret perempuan keparat itu ke sini!" Dari balik dinding papan muncullah dua wajah yang diliputi rasa was-was dan curiga. "Keluarlah Bu! Inilah perempuan yang telah membuat Ibu menderita. Kuserahkan dia agar Ibu menghukumnya!" teriak Giran lagi. Bagai dua sosok makhluk ganjil, ibu dan anaknya keluar dari tempat persembunyiannya. Suara ketukan tongkat si nenek sudah cukup membuat bulu kuduk Ratna merinding. Wajah Ratna jadi pucat, seketika, darahnya seakan-akan berhenti mengalir. Dia merangkak mendekap kaki Giran, meratap dengan suara gemetar. "Jangan...! Jangan biarkan dia membunuhku, Kak...! Oh... Tolonglah aku Kak...! Tolonglah...!" Wajah si nenek menyeringai mengerikan. Biji matanya yang luka bernanah itu bergerak-gerak. Mata Mirta pun ikut liar menatap istri kakaknya itu. Ratna semakin ketakutan. "Bunuh dia, Mirta! Bunuh! Cepat Mirta!" teriak nenek ini tiba-tiba. Mirta memungut sepotong kayu. Melangkah mendekat ke arah Ratna denga wajah menyeringai. Si Nenek pun siap dengan tongkatnya. Ratna menjerit dan bersembunyi di belakang tubuh Giran yang berdiri beku seperti patung. Dengan teriakan mirip orang hutan, Mirta tiba-tiba lompat mengayun pentungannya ke arah Ratna. Ratna mengelak dan lari ke arah pintu. Tapi si nenek sudah mencegatnya di situ sambil mengangkat tongkatnya, dan langsung dipukulkan ke arah Ratna. Untunglah bagi Ratna, karena tidak bisa melihat, pukulan mertuanya itu menjadi ngawur. Tapi teriakannya yang melengking memberi komando kepada Mirta, benar-benar membuat Ratna semakin panik ketakutan. "Cepat Mirta, bunuh setan ini! Bunuh! Ayo cepat. Jangan kasih ampun padanya!" Ratna pontang-panting berlarian di dalam ruangan rumah usang itu. Ia berusaha menyelamatkan diri dari keroyokan adik-ipar serta mertuanya yang sudah seperti kerasukan setan itu. Sementara itu Giran hanya berdiri mematung di sisi jendela, seakan-akan tidak mendengar jeritan Ratna yang mengiba-iba minta tolong kepadanya. Benarkah ia sudah kehilangan perasaan kasih sayang kepada istrinya, sampai hati pula membiarkan istrinya disiksa dengan cara kucing mengeroyok seekor tikus" Entahlah. Tapi yang jelas, ada butiran-butiran air jernih dan hangat jatuh menetes di atas lengannya... Ratna semakin letih dan putus asa. Ia jatuh terjerembab tak berdaya lagi. Dua orang pengeroyoknya itu segera tertegun mengatur napas. Mirta mendengus dengan napas memburu. "Dia sudah kepayahan Bu, tidak bisa lari lagi...!" "Bagus. Ayo cepat Mirta! Habisi dia!" teriak si nenek bernafsu. Mirta sambil tertawa ganas mendekat, mengangkat pentungannya tinggi-tinggi. "Kepalanya, Mirta. Kepalanya!" teriak si Nenek memberi petunjuk. Mirta mengangkat pentungan kayunya tinggi-tinggi dengan sasaran kepala Ratna. Ratna memejamkan matanya. Tepat pada detik kritis itu, sebuah tongkat bambu tiba-tiba berkelebat menghantam lengan Mirta. Dengan teriak kesakitan pemuda sinting ini terpelanting ke dinding, dan dengan pentungan kayu itu melayang menghantam kepala si nenek yang segera menjerit melengking-lengking. "Sssamolo...!" teriak Mirta ketakutan menatap ke pintu. Si nenek terkejut, ia menyuruk-nyuruk ke arah putranya. Keduanya ketakutan seperti melihat Malaikat El-Maut. Samolo tegak di ambang pintu dengan muka angker penuh kebencian. Ratna segera menubruk tubuh Girin dan mendekapnya erat-erat. "Setan dedemit! Masih belum puas juga kalian menghirup darah kami" Iblis!" hardik Samolo sambil menuding kedua orang itu dengan tongkatnya, membuat si nenek dan Mirta makin mepet ke sudut dinding. Samolo melangkah maju, tongkatnya dikibaskan dan tongkat si nenek pun terlontar ke lantai. Perempuan tua ini menjerit dan merangkul putranya yang sama paniknya. Samolo dengan suara berat dan parau terus memakinya. "Aku menyesal membiarkan kalian hidup, dan tidak mencabut nyawa kalian ketika itu. Bila tidak, kalian tentu tidak akan jadi biang penyakit di kemudian hari, seperti sekarang ini." Si nenek menjerit memanggil Giran. "Kau dengar Giran..."! Kau dengar...! Di hadapanmu dia masih berani berlaku kurang ajar dan menghinaku...!" Si nenek menangis dengan pilunya. Samolo menghela napas, menghampiri Ratna. "Mari Neng! Rumah hantu ini mulai pengap oleh racun yang tersebar dari mulut berbisa perempuan iblis itu. Hati suamimu pun sudah mati terbius." Dengan hati pedih, Ratna sambil menggendong putranya keluar dari rumah itu, diiringi oleh Samolo yang tetap waspada melindungi nyonya majikan mudanya itu. Si nenek melangkah ke dekat Giran yang masih berdiri termangu dan membisu. Ia merengek mengiba-iba di belakang tubuh anak-tirinya ini. "Mau tunggu apa lagi, Giran" Merekalah yang menjadikan kita sengsara begini! Mana baktimu terhadap orang tuamu, Giran?" Tiba-tiba Giran melesat keluar pintu, menghadang di hadapan Ratna dan Samolo. Wajahnya merah dan muram. "Tunggu! Kalian kira dengan semudah ini persoalan jadi beres" Hmm, jangan mimpi!" gertaknya dengan suara murka. Samolo maju ke muka, dengan suara dalam ia berkata, "Kalau boleh aku memperingatkan kau, Den Giran, engkaulah yang harus sadar dari mimpimu. Tuhan Maha Tahu, siapa sesungguhnya yang bersalah!" Tiba-tiba wajah centeng tua ini berubah, serta-merta menarik tubuh Ratna ke sisi. Berbarengan dengan itu, tongkatnya membabat ke belakang. Maka terdengarlah teriakan melengking. Mirta terpelanting ke tiang rumah. Darah mengucur dari goresan luka di lengannya. Samolo mendengus dengan perasaan muak. "Aku sudah kenal benar dengan watak Orai-Kadud-mu yang licik itu, yang tak segan-segan membokong dari belakang. Seperti beberapa kali kau lakukan terhadap kakakmu, tapi selalu gagal, bukan?" Mendengar kata-kata Samolo itu, Giran agak tersentak lalu memandang ke arah Mirta yang tersandar di tiang memegangi lengannya yang berdarah. "Bohong! Itu bohong!" Mirta membela diri dengan gugup. "Aku benar-benar sedih, sejak Den-Besar wafat, anak-anaknya telah jadi murtad. Lebih sedih lagi hatiku, Den-Muda yang kuharapkan bisa mewarisi martabat ayahnya, ternyata sama piciknya dengan ibu dan adik-tirinya yang tamak, licik dan dengki itu. Kasihan, arwah Den-Besar tentu tak tentram di alam baka." Kata Samolo dengan pedihnya. Giran tertunduk. Kata-kata Samolo bagaikan menusuk-nusuk ulu hatinya, terasa pedih menyakitkan. Namun mendengar cerita ibunya tentang perbuatan centeng itu terhadap keluarganya lebih menyakitkan lagi. Tak mungkin ia bisa memaafkannya, meski ia tahu Samolo telah mengabdi berpuluh tahun pada keluarganya. Ayahnya adalah seorang yang sangat menjunjung tinggi norma-norma adat istiadat. Terutama perihal kebajikan, hormat dan patuh serta bakti terhadap orang-tua, adalah paling diutamakan dan kerap dijejalkan ke dalam hati sanubari serta jiwa Giran melalui nasihat dan petuahnya. Sifat itu benar-benar sudah melekat sampai ke setiap sendi tulang sumsumnya. Maka itulah sebabnya, sikap kukuh Giran yang sukar dilunakkan oleh siapapun. Samolo sangat paham akan sikap tuan mudahnya ini. Dalam hal lain, Giran sesungguhnya adalah seorang yang sangat lembut dan penuh belas kasih. Namun dalam hal kebajikan dan bakti, pendirian Giran tak bisa ditawar-tawar lagi. Setiap penyelewengan norma-norma itu merupakan aib besar yang tak terampunkan baginya. Karena memahami watak putra majikannya itu, maka Samolo pun merasa tak perlu lagi banyak bicara. Ia berbisik kepada Ratna. "Neng, bawalah Girin, menyingkir secepatnya dari sini! Pergilah ke pondoknya Nyi Londe! Bila ada umur panjang, aku pasti akan menyusul ke sana, Cepat!" Dengan menahan tangis, Ratna lari menuju hutan jati. Didekapnya Girin erat-erat. Sayup-sayup didengarnya pertarungan antara Samolo dan Giran mulai berlangsung dengan sengitnya. Suara dentingan pisau beradu dengan tongkat bambu itu, seakan-akan menyayat jantung Ratna. Ia berlari terus, hujan dan guntur masih saja merajai suasana. Angin menderu-deru menghembus hutan jati. Dan lebih mengerikan lagi ada sepasang mata yang terus mengintai dan mengikuti langkah Ratna serta anaknya itu dari balik pohon. Bagaikan seekor Serigala lapar mengintai mangsa, bayangan itu menyelinap dari balik pohon ke pohon lain dengan napas berdengus. Matanya liar mencari kesempatan untuk menerkam kedua insan yang sedang dilanda ketakutan ini. Keadaan di hutan jati itu benar-benar menakutkan Ratna. Gelap mengerikan, hanya kadang-kadang diterangi oleh cahaya kilatan halilintar yang menggeletar di angkasa. Ratna mulai kehilangan arah. Ia berhenti sejenak untuk mengatur napasanya yang memburu. Lengannya tak pernah kendor mendekap Girin yang gemetar kedinginan dan basah kuyup terguyur air hujan. Tepat pada saat itu, bersamaan dengan bunyi menggelegarnya halilintar dan kilatan cahaya yang menyilaukan, melompatlah sesosok tubuh dari balik pohon ke hadapan Ratna, membuat Ratna terkejut tak alang kepalang. Tubuh Ratna jadi gemetar dan mulutnya pun terasa kelu. Karena ia melihat dengan jelas, sosok bayangan yang tiba-tiba menghadang di hadapannya itu adalah Mirta. Pemuda sinting ini dengan wajah cengar-cengir dan terkekeh-kekeh melangkah ke arah Ratna. Matanya jalang menatap tajam ke arah ibu muda yang ketakutan ini. Kaki Ratna terasa lumpuh. Ia memaksakan diri untuk melangkah mundur, lalu berbalik dan kabur sekencang-kencangnya dari situ. Mirta tersentak kemudian lari mengejar. Ratna pontang-panting menerobos hutan jati yang amat lebat itu. Mirta pun terus mengejarnya dengan berlompat-lompat seperti kera sambil tertawa terkekeh-kekeh. Pentungan kayu di tangannya diacung-acungkan. Ratna makin erat mendekap tubuh Girin, lari tak tentu arahnya. Sunggu malang ia jatuh tergelincir dan terguling-guling ke bawah tebing yang cukup curam. Girin terlontar dari dekapannya, dan tersangkut di tepi tebing itu. Sementara Mirta sudah tiba di situ. Ratna kaget bukan main. Tanpa menghiraukan rasa sakit pada tubuhnya, ia bergegas merayap naik ke atas tebing. Tapi Mirta dengan sebelah kakinya telah menginjak tubuh Girin dengan terkekeh-kekeh di atas tebing itu. Sedikit pun tidak ada rasa iba kepada bocah yang meronta dan menjerit-jerit di bawah kakinya itu. Ratna menjerit sejadi-jadinya. Jantungnya terasa terhenti saat itu. "Mirtaaa! Lepaskan anakku...!" jerit Ratna sambil merangkak naik. Tapi jatuh tergelincir lagi karena tebing tanah merah itu amat licin. Mirta tertawa terbahak-bahak. Lalu matanya berkilat-kilat menakutkan menatap Girin yang meronta-ronta di bawah pijakan kakinya. Ia menyeringai dengan mulut berbusa. "Jahanam cilik ini pun akan jadi pewaris harta bapakku! Maka dia juga tidak boleh hidup lama-lama di dunia ini..." Pentungan kayu itu diangkatnya tinggi-tinggi untuk dipukulkan ke kepala Girin. Detik itu darah Ratna seperti membeku. Ia jadi histeris, dan menjerit-jerit sejadinya. Tepat pada detik itu, tanah yang dipijak oleh Mirta tiba-tiba longsor dan tergulinglah ia ke dasar tebing itu. Girin pun ikut terbawa longsor ke bawah. Ratna bangkit dan meraih tubuh anaknya itu kemudian langsung dibawa kabur dari situ. Mirta menggelepar sesaat lalu bangkit dan mengerang seperti hewan luka. Matanya membara dan semakin liar. Kemudiaan ia lompat mengejar lagi. Ratna sambil mendekap putranya menyelusup di antara pohon-pohon jati dengan napas terengah-engah. Duri dan ranting-ranting tajam sudah tak dihiraukannya lagi. Hujan masih turun dengan lebat. Halilintar sambung menyambung dengan hebatnya. Hutan jati seakan-akan menjelma jadi sebuah alam khayal yang serba misterius dan menakutkan. Ratna mengeluh di dalam hati, karena ia tersesat, kehilangan arah ke pondok Nyi Londe. "Ya, Allah, ya Gusti...! Tolonglah kami...!" Ratap doanya di dalam hati. Angin menderu-deru bagaikan suara rintihan setan-setan di neraka. Rasa takut mencengkeram Ratna. Sambil menangis tersengguk-sengguh ia lari tak tentu arah lagi. Tiba-tiba ia malah terserobok dengan Mirta yang sedang mencarinya. Pemuda kurang waras ini tertawa cekikikan. "Baaaa! Kau balik lagi mau mencariku, Ratna"! Hi... hi... hi..." Ratna tersentak mundur. Dengan tatapan menakutkan Mirta melangkah mendekat, Ratna tersandung akar pohon dan jatuh terjerembab. Mirta berlulut di sisinya. Lengannya mencoba membelai rambut Ratna, tapi ditepis dengan perasan jijik oleh Ratna. Mirta tertunduk, lalu berkata seperti kepada dirinya sendiri. "Kau masih secantik dulu... Cintaku tak pernah padam, Ratna...! Meski kau selalu menolakku. Aku memang tidak seberuntung si Giran keparat itu...!" Tiba-tiba ia mengangkat wajahnya, matanya berkilat-kilat. "Tapi Giran sudah tidak cinta lagi kepadamu, Ratna! Ini pembalasan rupanya. Hi... hi... hi...! Tapi kau tak perlu sedih, Ratna. Aku masih bersedia menerimamu. Sungguh mati, aku ikhlas dan selalu masih mengharapkan kau, sampai kapan pun...!" Napas Mirta makin memburu. Suaranya gemetar dan parau seperti burung hantu. Tiba-tiba ia mencekal lengan Ratna dan didekapkan ke dadanya. Ia merintih. Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Peganglah dadaku ini, Ratna...! Jantungku telah hangus terbakar api cinta yang tak kunjung padam... Oh, Ratna...!" Ratna meronta menarik lengannya, tapi sia-sia. Mirta makin keras menggenggam lengan itu. "Serahkanlah surat wasiat itu kepadaku, Rat... Lalu kita kawin, dan kau akan kujadikan wanita terbahagia di dunia ini!" Ratna menarik lengannya kuat-kuat dan lepas dari genggaman pemuda setengah sinting ini. Ia beringsut menjauh sambil memaki dengan muaknya. "Pergi! Pergi! Kau makhluk durjana. Jangan kau sentuh aku dengan tanganmu yang berlumur noda dan dosa itu. Pergi kataku...!" "Ahh... Ratna sayang... Inilah kesempatan terbaik bagi kita. Biarkan Giran dan Samolo saling bunuh. Seluruh Harta warisan itu akan jadi milik kita berdua" Mirta merayu sambil mendekati Ratna. Tiba-tiba Ratna bangkit dan lari. Tapi Mirta segera menerkamnya dan mereka jatuh berguling di tanah becek berlumpur itu. Ratna dengan nekat menjejak muka Mirta sekuat tenaganya, hingga pemuda ini terjengkang berteriak kesakitan. Namun ia cepat bangun lagi. Bibirnya pecah mengucurkan darah. Sambil mengerang menahan sakit ia mengumpat dan memungut pentungan kayunya. "Dasar perempuan laknat, tak tahu diuntung." geramnya. Kemudian dengan tiba-tiba saja ia lompat merebut Girin dari dekapan Ratna. Ratna pun dengan kalap berusaha merebut kembali anaknya itu. Tapi pentungan Mirta sudah mengancam kepala bocah itu. "Ayo, kalau kau mau melihat kepala anakmu ini hancur berantakan. Sekarang katakanlah, maukah kau jadi istriku, Ratna"!" Ratna terdiam, wajahnya tegang dan pucat. Girin terus menjerit dan meronta dalam dekapan pamannya yang kurang waras ini. "Jawab, ya atau tidak! Nyawa anakmu ini tergantung kepada putusanmu sendiri, Ratna!" ancam Mirta dengan mengangkat pentungan kayu yang diarahkan ke kepala Girin. Ratna benar-benar bingung dan gelisah. Ia tahu pasti ancaman Mirta itu bukanlah gertakan kosong belaka. Bahkan perbuatan yang lebih keji dan brutal sekalipun sanggup dilakukan olehnya. "Rupanya kau sudah tidak sayang lagi kepada anakmu ini, Ratna. Baiklah, jangan kau katakan aku kejam!" tangannya yang memegang pentungan itu siap dihantamkan ke kepala Girin. Ratna panik, demi keselamatan anaknya yang amat dikasihinya itu ia rela berkorban apa saja. Ia tertunduk menghapus linangan air matanya, mengangguk perlahan. Mata Mirta berbinar. "Katakan ya, Ratna, katakan Ratna!" "Ya. Lepaskan anakku!" jawab Ratna sambil tersedu... Wajah Mirta berseri-seri. Matanya makin berbinar. "Bersumpahlah Ratna! Bersumpahlah kau kepada langit dan bumi... Juga kepada guntur di angkasa!" teriak Mirta berbarengan dengan gelegar guntur yang pecah di angkasa. Ratna gemetar, dunia terasa semakin gelap. Ia seakan-akan jatuh tenggelam ke dasar neraka yang paling gelap gulita. Sebagai seorang gadis desa yang lugu ia amat percaya dengan keramatnya sumpah serapah. Apalagi kini ia sudah jadi seorang wanita bersuami sangatlah pantang mengucapkan sumpah cinta terhadap seorang laki-laki lain. Lebih menyakitkan lagi, justru laki-laki itu yang amat dibencinya. Namun kasih sayang seorang ibu sanggup dan rela berkorban apa saja. Dengan air mata berlinang-linang Ratna bersumpah dengan suara hampir tak terdengar. Namun cukup membuat Mirta berjingkrak kegirangan. Guntur kembali menggelegar di angkasa. Mirta sambil melepaskan Girin dari dekapannya menunjuk ke langit dan tertawa. "Dengar, dengarlah Ratna! Guntur menggelegar di angkasa, dia telah menjadi saksi atas sumpahmu Istriku...! Hi... hi... hi..." Mirta menghampiri Ratna dan berbisik dengan napas memburu. "Bertahun-tahun aku memimpikan saat seperti ini Ratna. A... a... aku sangat mencintaimu.... Sampai dunia kiamat sekalipun!" Tubuh Ratna seakan tak dialiri darah lagi. Ia menggigil. Hatinya begitu pedih dan remuk oleh himpitan rasa berdosa yang amat sangat. Rasa sesak di dadanya kemudian pecah jadi tangisan yang memilukan. Ketika lengan Mirta yang gemetar itu membelai rambutnya dan menciuminya dengan napas berdengus-dengus. *** TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 4 SEMENTARA itu, pertarungan antara Samolo dan Giran masih berlangsung dengan sengitnya. Jelas terlihat Samolo hanya berusaha menghambat Giran, dan sedapat mungkin menghindarkan pertumpahan darah. Tiba-tiba wajahnya jadi tegang, karena naluri dan telinganya yang peka itu memperingatkan suatu bahaya yang mengancam Ratna dan Girin. Selama bertempur itu, perhatiannya terpaksa harus terpecah dua. Sejak tadi ia tidak mendengar gerak-gerik Mirta di situ. Hal inilah yang sangat dicemaskan oleh Samolo. Dan ia merasa pasti pemuda sinting itu diam-diam menyelinap untuk mengejar Ratna dan Girin. Centeng tua ini mengeluh di dalam hati, serangan Giran tak sedikitpun memberi waktu luang padanya. Tiba-tiba dengan sebuah pentilan menyilang, ia berhasil membuat pisau Giran terpental ke udara dengan tongkat bambunya itu. Saat lowong itu digunakan Samolo untuk segera mencelat ke arah hutan jati. Giran mengumpat sambil memungut pisau pusakanya itu. Dengan mengandalkan deru angin dan gemersik daun serta derak ranting, jago tua yang buta ini dapat mengetahui dan mengenal situasi hutan jati yang lebat itu. "Apakah mereka sudah tiba di rumah Nyi Londe" Semoga Tuhan melindungi ibu dan anak itu." Doanya dalam hati dengan sambil terus berlari. Giran berhasil mengejarnya, langsung menerjangnya. Samolo terpaksa harus melayani, namun hanya sejenak karena setelah menyampok tikaman pisau Giran, ia segera loncat mundur dan lari lagi ke dalam hutan. "Jangan harap kau bisa lolos dari tanganku, bedebah...!" Bentak Giran, terus mengejar. Samolo menerobos kelebatan hutan jati di bawah derahan hujan lebat. Tiba-tiba ia nyaris jatuh terjerembab, bila tongkatnya tidak segerah menyentuh sesosok tubuh yang tergeletak membujur di tanah. Ia meraba tubuh itu dan terkejut. Karena lengannya menyentuh sesosok tubuh laki-laki, kepalanya luka dengan cairan hangat mengalir dari luka itu. "Darah!" pekiknya di dalam hati. "Binatang! Kau telah membunuh Adikku" teriak Giran tiba-tiba. "Demi Allah, bukan aku yang melakukannya. Dia sudah terkapar di sini ketika aku tiba!" Samolo membantah. Tapi Giran sudah menyerangnya lagi dengan makin kalap. Samolo menepis serangan itu seraya lompat mundur. "Ketahuilah, Den. Mirta, adikmu ini sejak dulu punya hasrat buruk terhadap istrimu. Jiwanya dihantui dendam yang telah membusuk, karena ia tak bisa memperistrikan Ratna!" "Tutup mulutmu, setan laknat!" teriak Giran dengan sebuah tusukan ke arah jantung Samolo. Tapi Samolo berkelit dengan lompatan mundur lalu berbalik langsung lari ke dalam hutan. "Siapakah yang telah menyerang Mirta hingga terkapar dengan kepalanya pecah"!" hati Samolo bertanya-tanya akan peristiwa aneh itu. Tapi perhatiannya lebih tertuju kepada Ratna dan Girin. "Kasihan nasib Ratna dan Girin. Keluarganya telah mencampakkannya seperti sampah. Suami yang diharapkan jadi pelindung kini malah jadi ancaman bagi keselamatan mereka. Sangat sulit menyadarkan Den Giran, selama dia masih terbius oleh kata-kata ibu tirinya yang busuk itu." Keluh Samolo lagi dalam hati. Tongkat bambunya terus menuntun ke arah pondok yang hendak dituju. Agaknya Samolo hafal sekali dengan daerah tersebut. Sementara Giran terus di belakangnya. Sesaat kemudian centeng ini sudah tiba di tepi sungai yang berbatu-batu. Tongkatnya segera menotok batubatu itu yang dipijaknya sebagai bacu loncatan ke arah seberang sungai tersebut. Ia melangkah ke arah pondok yang tegak terpencil di tepi sungai, dan berteriak memanggil penghuninya. "Nyi Londe!" "Siapa"!" terdengar sahutan dari dalam pondok itu. "Aku Nyi!" Pintu pondok itu terkuak, sosok tubuh seorang perempuan tua tampak tersembul dari dalam pondok itu. "Oh, kau Samolo. Masuklah, hujan begini lebatnya" Samolo mendekat dan naik ke atas pondok panggung itu. "Wak Londe!" Gumam Giran yang sudah tiba pula di depan muka pondok itu. Tertegun ia memandang perempuan tua itu. "Apa neng Ratna dan Girin sudah berada di rumahmu Nyi?" tanya Samolo cemas. "Keadaannya memilukan sekali. Pedih hatiku melihatnya!" perempuan tua ini menggelengkan kepala sambil menghela napas. "Wak Londe!" sapa Giran tiba-tiba. Nyi Londe memandang ke muka pondoknya, dilihatnya seorang pemuda berdiri di pelataran, basah kuyup di dera hujan yang masih belum juga reda. "Eh, siapa itu" Siapakah orang itu Samolo?" "Den Giran, Nyi" jawab Samolo datar. Perempuan ini tertergun, perlahan-lahan turun dari pondoknya. Bagaikan mimpi menatap pemuda yang tegak di hadapannya itu. Kemudian dengan air mata berderai ditubruknya tubuh laki-laki muda yang gagah ini. Suaranya terpatah-patah menahan rasa haru yang mendesak di dadanya. "Kau... Kau Den... Kau sudah pulang Den!" ditatapnya wajah Giran tajam dengan air mata terus mengucur di pipinya yang mulai keriput dan cekung. "Bagaimana keadaan Uwak sekarang"!" tanya Giran sama terharunya. "Aduh Den, kenapa kau pergi begitu lama" Banyak peristiwa telah terjadi selama kau tak berada di sini" Suara Nyi Londe bergetar penuh penyesalan. Giran menghela napas. "Aku tahu, semuanya akibat pengkhianatan orangorang tak kenal budi. Aku tahu Wak" kata Giran tajam, melirik Samolo yang berdiri di teras pondok panggung itu. Nyi Londe membawa Giran masuk ke dalam pondoknya yang sangat sederhana itu. Giran memandang keadaan ruangan pondok berbilik bambu yang sudah berlubang-lubang, atapnya pun tiris terguyur hujan. "Kenapa Uwak tinggal di sini" Maksudku, mengapa tidak berdiam lagi di rumah kita" " tanya Giran dengan nada haru. Nyi Londe menghela napas lagi. "Kini semuanya sudah berubah, Giran. Gubuk reyot ini pun cukup memberikan ketentraman kepada Uwak." Giran tiba-tiba melihat Ratna berada di dalam kamar pondok itu. Api kemarahannya kembali membakar dada- nya. Ditudingnya istrinya yang sedang memeluk Girin. "Hmm. Kau pun rupanya bersembunyi di sini! Perempuan tak tahu malu. Masih ada muka kau hidup di dunia ini?" bentak Giran dengan geram. Nyi Londe menahan tubuh Giran yang hendak menghampiri Ratna. "Enyah kau dari mataku! Atau sebaiknya kau bunuh diri saja. Dari pada kau mencoreng keluargaku dengan noda yang tak terhapus tujuh turunan." Ratna dengan menggendong Girin segera keluar dari pondok. Nyi Londe berusaha menyabarkan Giran. "Jangan begitu Giran. Kasihan Girin, anak itu sedang demam. Tubuhnya panas sekali." Tapi Giran tak menghiraukannya. Ia menyusul ke muka pondok. Berteriak dengan penuh dendam yang berapi-api. Lengan Nyi Londe tak lepas-lepas menggeng- gam lengan pemuda ini. "Pergi! Jangan kalian menginjak lagi tanah Kedawung ini. Jika aku masih melihat lagi kau berada di sini, akan kucabut nyawamu semua!" bentak Giran mengancam. Ratna tertunduk menahan tangis sambil memeluk anaknya yang sedang menderita demam, meninggalkan pondok itu diiringi Samolo yang coba membesarkan hatinya. "Jangan bersedih, Neng. Tuhan selalu mengasihi makhluk-Nya yang tak berdosa. Mari! Dunia ini masih terlalu luas untuk kita." Hujan masih terus turun menyiram bumi. Menelan tiga manusia yang berjalan perlahan-lahan menyusuri sungai, membawa luka di hatinya masing-masing. Nyi Londe termangu-mangu memandang kepergian tiga orang itu sampai lenyap ditelan kepekatan malam yang terus diguyur hujan yang tak kunjung henti itu. Betapa sedih hatinya menyaksikan penderitaan orang-orang yang sangat dikasihinya itu. Terasa air matanya ikut tertelan dan menyangkut di kerongkongannya. Dada perempuan tua ini terasa begitu sesak. Ia mendesah untuk melepaskan perasaan yang menyesakkan dadanya itu. Suaranya lirih ketika ia berkata kepada Giran dengan masih memeluk tiang pondoknya. "Aku sukar mengatakan sesuatu kepadamu. Kini kau sudah banyak berubah, Giran." "Uwak sendiri mengatakan bahwa kini semuanya sudah pada berubah. Begitu pun aku. Penyebabnya adalah setan-setan tadi" "Aku tetap menyayangimu, Giran. Sama seperti ketika aku menimangmu waktu kau masih bayi. Ah, rasanya baru kemarin saja waktu itu berlalu..." Nyi Londe melangkah masuk dan menuang air dari kendi untuk Giran minum. Giran menerima gelas itu, memandang wajah pengasuhnya dengan sinar mata lembut dan ada getaran rindu dalamnya. "Aku tidak mungkin bisa melupakan budimu, Wak. Tanpa kau, aku tak kan hidup sampai jadi manusia dewasa seperti sekarang ini." Ia meminum air itu, lalu termenung memandang air di dalam gelas di lengannya. Tenang ia berkata seakan-akan kepada dirinya sendiri. "Dewasa kataku, karena kini mataku seolah-olah baru terbuka, betapa watak dan martabat manusia begitu mudah rusak. Meski dilimpahkan kasih sayang, cinta dan kepercayaan tanpa batas, namun toh masih mengkhianat juga. Aku betul-betul sukar mengerti. Sungguh tidak dapat dimengerti..." keluhnya sambil mereguk minumannya lagi. "Kau hanya menilai persoalan dari satu sudut saja. Itu tidak bijaksana, Giran." Kata Nyi Londe menghela napas. Kemudian ia masuk ke dalam kamarnya, sesaat kemudian keluar lagi dengan sebuah kotak kayu yang antik dan indah di tangannya. Lalu diperlihatkan kepada Giran. "Kau kenal dengan kotak ini, Giran?" Kotak kayu itu diletakkan di atas meja di hadapan Giran yang menatapnya dengan perasaan kaget dan heran. "Sudah tentu aku kenal benar dengan kotak ini. Karena ini peninggalan mendiang ayahku!" "Kotak inilah yang jadi pangkal sengketa dan timbulnya berbagai peristiwa hebat yang mengakibatkan terpecah-belahnya keluarga besar ayahmu. Berapa banyak sudah kotak ini menelan korban nyawa, darah dan air mata. Martabat manusia pun runtuh olehnya." Rasa benci dan muak terkandung di dalam kata-kata perempuan tua ini. Benda itu seakan-akan dianggap sebagai buatan setan yang sangat mengerikan, juga menjijikkan. Ia enggan menatap lama-lama kepada kotak kayu berukir indah itu. Giran menyatakan keherannya, mengapa kotak wasiat yang berisikan kunci-kunci serta surat-surat berharga tentang hak waris atas harta peninggalan ayahnya itu bisa berada di tangan Nyi Londe. Seingatnya ketika ia hendak berangkat ke Borneo untuk melaksanakan pesan ayahnya, meninjau perkebunan karet yang berada di sana, ia telah menyuruh Ratna untuk menyimpan peti pusaka itu. Diakuinya pula, sejak ia menerima kotak itu dari ayahnya yang sedang menderita sakit sampai setelah wafat, ia belum pernah membuka dan melihat isi kotak tersebut. Kini ia baru mengetahui, bahwa yang tertera di atas surat hak waris itu ternyata cuma namanya sendiri. Sedangkan nama ibunya maupun Mirta sama sekali tidak tercantum sebagai pewaris Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dari sebagian harta peninggalan yang melimpah itu. Kebijakan ayahnya untuk tidak memberikan sesuatu pun dari sebagian hartanya kepada ibu tiri dan adik tirinya itu, pasti mempunyai alasan tertentu. Tapi Giran tidak tahu apakah alasannya itu. Namun ia merasakan bahwa tindakan ayahnya itu sangatlah tidak adil. Akibatnya ibu serta adiknya itu harus hidup terlunta-lunta seperti tikus yang bersarang di puing bangunan rumah Kasir Samirun yang entah kenapa pula jadi berantakan begitu. Giran semakin yakin akan tuduhannya terhadap pengkhianatan Ratna dan Samolo. Karena merasa ikut berhak atas warisan harta itu, sebagai istri yang dinikah secara sah, Ratna telah mengusir ibu mertua dan iparnya dari gedung megah yang ingin dikangkanginya itu. Mungkin mengira suaminya telah meninggal di rantau, Ratna lalu bermain gila dengan Samolo, centeng yang selalu setia mengawalnya itu. Demikianlah perkiraan dan kecurigaan Giran terhadap istrinya, yang diperkuat pula oleh cerita ibu tirinya. Namun yang jadi tanda tanya bagi Giran, mengapa kotak wasiat itu kini berada di tangan Nyi Londe. Perempuan tua ini menjelaskan bahwa sesungguhnya kotak pusaka itu telah berpindah-pindah tangan dan setelah diperebutkan dan dipertahankan mati-matian, akhirnya mereka berhasil menyelamatkan kotak itu dan dititipkan kepadanya. "Karena akulah orang satu-satunya yang mereka percayai, sebagai pengasuhmu sejak kau masih bayi merah. Mereka yakin aku akan memberikan peti pusaka ini kepadamu, bila kau sudah kembali" "Siapakah yang Uwak maksud dengan mereka itu?" tanya Giran. "Siapa lagi kalau bukan Ratna dan Samolo!" jawab Nyi Londe tegas. Giran mendengus sinis. Bangkit menuju jendela. Ia yakin pengasuhnya ini berkata demikian karena takut akan ancaman Samolo. Perempuan tua ini mengetahui keraguan hati Giran terhadap ceritanya tadi. Tapi ia tak peduli, ia akan menceritakan semuanya yang sebetulnya telah terjadi di dalam keluarga besar Tuan Tanah itu kepada putra sulung ini. "Aku tahu kau pasti sukar mempercayai ceritaku tadi. Ratna tidak mau menyimpan peti pusaka ini, karena khawatir akan dituduh ingin menyerakahi juga harta warisan itu. Jiwanya pun seolah-olah telur di ujung tanduk, senantiasa terancam bahaya maut dari kelompok orang-orang serakah, yang tak segan-segan menggunakan tipu muslihat keji untuk menguasai peti pusaka tersebut. Untunglah Samolo selalu berhasil menyelamatkannya!" Giran termangu di sisi jendela. "Jadi maksud Uwak, ibu serta adikku itu adalah orang-orang serakah dan tamak, begitu"!" ia berpaling memandang pengasuhnya ini. "Apakah perbuatan yang menyebabkan ibuku menderita buta dan merana sepanjang sisa hidupnya itu, adalah bukti kemuliaan dan kesetiaan Samolo" Dan Mirta terkapar seperti bangkai anjing di tengah hutan jati adalah juga bukti dari kebajikannya pula"! Kemuliaan dan kebajikan yang telah menghasilkan seorang anak haram. Sungguh luar biasa dan betul-betul mengagumkan!" Sinis sekali kata-kata Giran. "Ibu dan adikmu telah menerima akibat dari perbuatannya sendiri!" kata-kata Nyi Londe pun tak kalah sinisnya, meski diucapkan dalam nada perlahan dan agak gemetar menahan emosi. "Aku justru heran, kenapa kau berprasangka buruk terhadap darah dagingmu sendiri" Aku kenal Ratna seperti aku mengenal diriku sendiri. Begitu pula terhadap Samolo. Dia telah banyak berkorban demi kesetiaannya kepada almarhum ayahmu, juga kepada keturunannya." "Omong kosong! Dengan membunuh Mirta, apakah Samolo juga mau membuktikan kesetiaannya terhadap keturunan ayahku"! ?" kata Giran dengan ketus. "Itu bukan perbuatan Samolo!" "Lalu siapa"! Apa dicekik hantu hutan jati"!" dengus Giran makin sinis. "Mirta sesungguhnya sudah lama menaruh hati kepada Ratna! Hasrat buruknya itu hampir saja terlaksana di hutan jati. Tapi Ratna lebih rela mati daripada harus hidup ternoda. Dalam pergulatan mempertahankan kehormatannya, ia sempat menghantam kepala Mirta dengan sepotong kayu..." Nyi Londe menjelaskan peristiwa itu setelah mendengarnya dari Ratna, yang datang menyelamatkan diri bersama anaknya ke pondok itu sambil menangis tersedu-sedu memeluk dirinya. Giran kembali tercenung. Terdengar ia menghela napas. Lalu menghampiri Nyi Londe. Dengan tersenyum lembut ia menggenggam lengan pengasuhnya ini. "Sudahlah Wak. Aku tahu Uwak bermaksud baik. Ingin mendamaikan persoalan ini. Atau barangkali mereka berdualah yang memintamu untuk mendongeng- kan kisah "Nina Bobok" ini kepadaku. Seperti dulu jika aku tengah merengekrengek tak mau tidur. Ahh... betapa manis bila masa kecil itu dikenang lagi, ya Wak?" kata Giran sambil tersenyum. Tapi Nyi Londe menarik lengannya, berkata dengan sedih. "Ya baiklah, bila kau tak sudi lagi mendengar dongengku. Karena kini kau sudah merasa cukup takjub mendengar dongeng ibumu itu. Tak apalah Giran. Mungkin matamu kini telah terbuka. Tapi sayang, kau menatap ke arah yang salah!" Kali ini wajah Giran tertunduk dan termenung. Ia tahu benar dengan sifat pengasuhnya ini, yang tak pernah berpura-pura, apalagi berkata dusta kepadanya. Justru sifat itulah yang telah banyak mendidik dan menyerap ke dasar jiwanya. Kini konflik batin tengah bergelut di dasar jiwanya itu. Antara kebenaran cerita Nyi Londe dengan rasa baktinya terhadap orang tua. Satu hal yang amat ditakutinya bila kemudian ia pun terpaksa harus mendurhakai dan mengutuki ibunya sendiri. Melihat kemurungan wajah Giran, Nyi Londe jadi iba. Dibelainya kepala anak asuhannya ini dengan lembut dan tetap dengan perasaan kasih sayang seperti dulu. Ia berkata dengan lembutnya. "Ketahuilah Giran. Sesungguhnya banyak hal serta peristiwa lalu yang belum kau ketahui. Kami memang sengaja menyembunyikannya demi kebaikanmu. Demi keutuhan keluarga besar ayahmu..." Giran tertunduk diam. Nyi Londe melanjutkan. "Aku dan Samolo-lah yang banyak mengetahui berbagai persoalan yang telah terjadi di rumah tangga ayahmu, yang hingga kini tinggal gelap bagimu. Tapi kini, kurasa sudah tiba waktunya untuk kuceritakan semuanya kepadamu. Dengarkanlah...!" Berkisahlah Nyi Londe *** TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 5 KEDAWUNG sebuah desa kecil dengan tanahnya yang amat subur. Hijau oleh ribuan pohon nyiur yang melambai dihembus angin. Riak gelombang batang padi yang menguning di bentangan petak-petak sawah seluas mata memandang. Semua itu adalah milik seorang Tuan Tanah yang terkenal sangat kaya raya, juga sangat bijaksana serta murah hati. Seluruh penduduk desa itu amat menghormatinya dan menganggapnya sebagai junjungan mereka, melebihi para amtenar atau pengusaha lainnya yang terpaksa tak dapat berbuat semau hatinya terhadap rakyat desa kecil itu. Itu semua karena pengaruh Sang Tuan Tanah yang penuh wibawa itu. Ketika putra sulungnya yang diberi nama Giran, baru berusia tiga bulan, istri Tuan Tanah yang sama bijaksananya juga meninggal dunia. Kini istri mudanya yang bernama Subaidah, mengambil alih seluruh kekuasaan dalam rumah tangga itu. Perawatan Giran sepenuhnya diserahkan kepada seorang pengasuh, Nyi Londe yang telah mengabdi di keluarga Tuan Tanah itu sejak ia masih kanak-kanak. Subaidah yang muda dan cantik itu, tiap hari hanya bersolek dan pesiar dengan kereta kuda, yang kadang-kadang dikusirinya sendiri. Atau ditemani oleh Kasir Samirun, seorang kasir merangkap pemegang tata buku keuangan sang Tuan Tanah. Tubuhnya tinggi kurus, cukup tampan dengan sebuah kumis kecil di atas bibirnya yang tipis, pertanda pandai bicara dan banyak akal. Nyi Londe mengabdikan seluruh hidupnya untuk keluarga Tuan Tanah tersebut. Ia begitu menyayangi Giran dan mengasihinya seperti anak kandungnya, bahkan dihidupkannya anak itu oleh air susunya sendiri. Sering, bila Giran telah tertidur lena di emper buruk kamar Nyi Londe, perempuan ini memandangi wajah mungil yang belum kenal dosa itu dengan mata berkaca-kaca. Hatinya terasa perih. "Anak yang malang. Jika ibumu masih ada, kau tentu tidak hidup terasing di tengah keluargamu sendiri yang serba berkecukupan ini" ratapnya sambil membelai kepala anak asuhannya. Subaidah, sang istri muda ini ternyata pandai mengambil hati. Bila di hadapan suaminya, ia senantiasa berlaku begitu menyayangi anak tirinya itu. "Kasih Ibu"nya betul-betul ditonjolkan dengan penuh kasih sayang. Dan Subaidah pun kemudian melahirkan seorang putra, ialah Mirta. Perlakuan yang menyolok terhadap kedua anak itu segera terjadi, jika sang Tuan Tanah yang sering bepergian ini tak berada di rumah. Subaidah meraih baju Giran yang cukup bagus itu dan digantinya dengan baju penuh tambalan. Lalu bocah itu dilempar ke pelukan Nyi Londe, yang segera membawanya ke dalam emper buruknya di belakang gedung megah itu. Barang mainan Giran pun adalah hasil buatan Samolo dan hasil rajutan Nyi Londe. Sementara Mirta sudah bosan dengan mainannya yang mahal-mahal yang khusus dibeli di Batavia. Pada suatu hari, Samirun dengan diiringi Mandor Sarkawi, baru pulang keliling kampung melaksanakan penagihan kepada para penduduk. Ia langsung melapor kepada Tuan Tanah yang sedang berda di ruangan dalam. "Semuanya beres, Den Besar. Kecuali Ki Kewot, sudah hampir tiga bulan ini dia nunggak terus. Selain itu dia pun terlalu besar kepala, Den Besar!" Lapor kasir yang cerdik dan pandai menyenangkan majikannya ini, sambil memperlihatkan catatan di bukunya. Namun Sang Majikan cuma mendehem sambil menghisap cerutunya. Jawabannya pun di luar dugaan. "Biarlah. Aku tahu orang tua itu akhir-akhir ini sering sakit" katanya penuh bijaksana. Lalu sambungnya, "Dia memang sudah terlalu tua untuk bekerja di sawah. Aku kasihan melihat keadaannya. Samirun, coba kau berikan uang seringgit kepadanya. Suruh dia berobat!" Samirun yang sedang senyum-senyum bermain mata dengan Subaidah, jadi terkejut. Dengan gugup ia mengangguk. "Ba... baik, Den Besar." Lalu melangkah keluar ruangan diikuti Mandor Sarkawi yang menunggu di pintu. Kerlingan mata Samirun dibalas oleh senyum genit Subaidah. Hal itu tak lepas dari perhatian Samolo yang sedang bermain dengan Giran di sudut ruangan. Tapi ketika Samirun dan Sarkawi mendatangi Ki Kewot di gubuknya, perintah majikannya ternyata diabaikan. Ia berdiri bertolak pinggang di muka gubuk itu dengan congkaknya. "Hei, Kewot! Tuan Besar marah sekali. Kamu diberi waktu seminggu untuk melunasi hutangmu. Mengerti?" bentaknya. Ki Kewot yang sedang menganyam bakul, terbungkuk-bungkuk memohon kebijaksanaan. Ratna putri kecilnya berdiri ketakutan di sisinya. "Seminggu" Dari mana saya dapat uang buat bayar, Den" Belum lagi bunganya...!" keluh kakek ini. "Itu urusanmu. Seminggu, atau tahu sendiri!" Sambil bersungut-sungut Samirun melangkah meninggalkan muka gubuk itu. Tongkatnya terayun-ayun dengan lagak seorang bangsawan terhormat. Sementara tangan Sarkawi jadi gatal ketika melihat ayam jago Ki Kewot yang sedang dikurung itu. Serta-merta disambarnya ayam itu. Ia menyusul si kasir, dan merengek sambil mengikuti di belakangnya. "Tambahin setalen lagi, Sir...! Buat main sintir di rumah Mat Tompel enter malam nih" Rengeknya sambil terus menadahkan tangannya seperti pengemis. Samirun mendelik dan membentak. "Sialan! Sudah ngembat ayam, masih mau minta duit lagi" Serakah banget lu..." Sarkawi tertawa cengar-cengir sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ki Kewot mengumpat di dalam hati, betapa ia begitu muak melihat kedua pemeras itu. Entah sudah berapa banyak penduduk Kedawung ini dibuat sengsara oleh kedua orang itu. Bahkan sampai ada yang gantung diri karena putus asa dan ketakutan, akibat ancamannya. Ki Kewot masih mencoba untuk tetap tabah, karena ia tahu benar dengan sifat Tuan Tanah yang selalu bermurah hati terhadap orang-orang yang benar-benar tidak mampu. Sejak lengannya sudah tak sekuat dulu lagi untuk mengangkat cangkul, karena penyakit rematiknya semakin menyiksanya, kini ia jarang-jarang bisa turun ke sawah milik Tuan Tanah itu. Hingga hutangnya semakin menumpuk. Padahal Tuan Tanah sendiri tidak pernah membebankan para penghutang itu dengan bunga renten yang amat mencekik leher itu. Jelas itu hanya ulah sang kasir saja yang mengeruk keuntungan untuk kantongnya sendiri. Semua penduduk mengetahui kecurangan Samirun, namun tak seorang pun berani melapor kepada majikannya. Apalagi ketika seorang pemuda didapati terkapar jadi mayat tak berkepala di tengah sawah, karena berniat lapor kepada Tuan Tanah tentang pemerasan yang sering dilakukan oleh Samirun serta para begundalnya yang belasan jumlahnya itu. Ki Kewot hanya mampu mengumpat di dalam hati, sambil mengelus kepala putrinya yang menangis karena ayam kesayangannya telah dirampas oleh Sarkawi. Mandor itu selalu setia mengikuti kasir Samirun bila sedang masuk kampung untuk menagih dan memeras rakyat kecil. Karena ia selalu kebagian rejeki. Dari sosok tubuhnya yang gendut itu, sudah dapat diperkirakan bahwa mandor itu memang cuma bisa berfoya-foya. Kerjanya cuma bermuka-muka, mabuk-mabukan, main judi dan perempuan. Sangat berbeda dengan sifat Samolo. Centeng bertubuh tinggi besar ini, meski bercambang dan memelihara kumis serta janggutnya cukup lebat, tak terlihat kesan garang pada wajahnya. Sikapnya selalu tenang penuh wibawa. Jarang bicara bila tak perlu. Samolo sangat menghormati Tuan Besarnya. Pengabdiannya terhadap keluarga Tuan Tanah Kedawung itu begitu tulus, dan semata-mata didorong oleh rasa balas budi. Jauh sebelum Tuan Tanah itu sejaya sekarang, Samolo pernah ditolong olehnya dari kehancuran akibat tragedi keluarganya. Kini ia mengabdi di gedung besar itu sebagai centeng. Sebagai cucu murid sang Hyang "Bu'uk Perak" pendiri Perguruan "Krakatau" yang legendaris itu. Samolo telah mewarisi sebuah aliran ilmu beladiri yang sangat unik dan langka. Ilmu pukulan tangan kosongnya tak ada tandingannya di wilayah Kedawung dan sekitarnya, bahkan mungkin di seluruh Jawa Barat. Karena ilmu beladiri perguruan "Krakatau" tak ada duanya lagi di jagad ini. Sang Hyang Bu'uk Perak hanya memiliki seorang murid bernama Biang Tarona. Biang Tarona sendiri cuma memungut Samolo seorang sebagai muridnya. Itu pun terpaksa dilakukan demi melacak jejak seorang murid Krakatau yang telah ingkar dan murtad, yang kemudian ternyata murid murtad yang harus dihukum itu adalah ayah kandung Samolo sendiri. Sebuah pertarungan hebat antara dua saudara perguruan Krakatau itu terjadi, tepat pada saat gunung Krakatau meletus dengan teramat dahsyatnya. Seluruh pesanggrahan perguruan itu musnah bersama pendekar-pendekar perkasa itu. Samolo terdampar setelah digulung ombak raksasa. Ditolong oleh Tuan Tanah Kedawung, yang sedang mengungsi di sebuah wihara yang secara ajaib luput dari sapuan ombak yang menelan seluruh pesisir pantai Bantai hingga jauh ke tengah. (Kisah ini dapat dibaca dalam novel "KRAKATAU"). Meskipun memiliki ilmu beladiri yang cukup tangguh, Samolo tetap rendah hati. Ia tak pernah mempertontonkan kebolehannya itu di hadapan siapapun, meski kepada para maling kerbau sekalipun. Bagi kasir Samirun, sikap Samolo yang pendiam dan taat beragama itu, membuatnya agak segan dan selalu ragu-ragu mendekati. Paling-paling ia hanya bicara seperlunya pada saat membayar gaji centeng itu. Itu pun Samolo tak pernah memintanya. Bagi Samolo sendiri bukan ia tidak mengetahui sepak terjang Samirun bersama para begundalnya itu di luaran. Namun ia enggan melaporkan hal itu kepada majikannya, sebab ia tak mau menyusahkan hati Tuan Tanah yang diketahuinya berpenyakit lemah jantung itu. Maka sering uang gajinya diberikan kepada para penunggak hutang, agar tidak jadi korban pemerasan Samirun dan Mandor Sarkawi. Cuma sejauh itulah yang bisa dilakukan Samolo untuk sekedar menghindarkan persoalan yang bisa menjengkelkan dan merongrong hati majikannya. Bantuan terhadap para penduduk pun dilakukannya selalu secara diam-diam, dengan menyelinap dan menaruh uangnya di atas bale-bale atau meja penduduk pada saat si penunggak hutang tersebut sedang bekerja di sawah atau sedang tidur pada malam Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo harinya. Tak seorang pun mengetahui perbuatan Samolo, dan ia pun tak ingin orang lain mengetahuinya, kecuali Nyi Londe, yang sangat akrab dengannya. Pengasuh Giran inilah yang selalu memperhatikan makan serta pakaian Samolo. Bila ada pakaian Samolo yang bolong atau koyak, dialah yang menjahitkannya. Nasib membuat keduanya menjadi akrab, seakrab dua orang bersaudara kandung. Bila Samolo sedang tak ada tugas lain, ia acapkali membantu memomong Giran, atau membelah kayu, atau bahkan menumbuk padi di emper dekat dapur itu bersama Nyi Londe yang biasanya sedang menyuapi Giran. Suatu sore Samolo dan Nyi Londe sedang menyuapi Giran di emper belakang. Samolo berhenti membelah kayu karena mendengar suara tertawa cekikikan seorang perempuan dari balik pohon mangga yang tumbuh di halaman belakang gedung itu. Nyi Londe dan Samolo diam-diam memperhatikannya. Tampak Nyonya Muda Tuan Tanah yang centil itu sedang berdekapan dengan mesranya dengan Samirun. Samar-samar terdengar Subaidah berkata setengah berbisik, "Tiga hari lagi usia Mirta genap tiga tahun, Bang... Aku pikir mau merayakan ulang tahunnya. Hadiah apakah yang akan Abang berikan kepada anak kita itu nanti?" "Sebuah kalung. Untukmu hadiahnya pasti lebih istimewa." Kata Samirun sambil mencubit pipi kekasih gelapnya ini. Subaidah tertawa cekikikan lagi sambil balas mencubit lengan Samirun dengan genitnya. Lalu sambil bergandengan keduanya masuk ke dalam gudang... Samolo dan Nyi Londe tertegun. Pemandangan yang baru saja dilihat dan didengarnya betul-betul sangat mengejutkan mereka. Gejala-gejala main gilanya kedua insan itu sebenarnya sudah lama diterka oleh Samolo dan Nyi Londe. Namun mereka tak pernah menyangka sebelumnya, bahwa penyelewengan nyonya muda majikannya itu sudah demikian jauh dan sudah di luar batas. Dan kini mereka baru tahu, bahwa sesungguhnya Mirta adalah hasil benih penyelewengan dua makhluk tak bermoral itu. Samolo dan Nyi Londe baru sadar kini, mengapa wajah Mirta beda benar dengan Tuan Tanah, bahkan wataknya yang keras suka ngamuk dan tak mau diam bila belum diberi uang. Kerakusan terhadap uang yang sudah terlihat dalam usia sekecil itu betul-betul aneh. Namun jelas roman muka dan watak Mirta adalah duplikat dari Samirun sendiri. Anak itu terlalu dimanja oleh ibunya. Apa saja kemauannya tak pernah tidak dituruti. Tuan Tanah sendiri sering menggelenggelengkan kepala dan mengurut dada melihat watak "Si Bungsu" yang menguji kesabarannya. Samolo dan Nyi Londe jadi merasa sangat kasihan kepada nasib majikannya. Namun apa yang dilihat dan didengarnya sore itu tetap tersimpan rapat-rapat di dasar hati Samolo dan Nyi Londe. Mereka sama-sama berjanji, demi keutuhan rumah tangga majikannya, lebih baik rahasia itu pecah di perut dari pada pecah di mulut. Waktu berjalan terus, lima belas tahun telah berlalu. Kini Giran dan Mirta sudah sama-sama tumbuh jadi pemuda-pemuda dewasa. Watak serta fisik Mirta makin mirip Samirun. Namun tak seorang pun berani menggunjingi persoalan itu, karena tak sampai hati menyudutkan wibawa Tuan Tanah yang sangat bijaksana itu. Mirta sebagai putra kesayangan nyonya Tuan Tanah yang berkuasa, tiap hari cuma keluyuran menggoda gadis-gadis desa. Mandor Sarkawi merupakan pengawalnya yang sama brutalnya, makin menambah resahnya para penduduk desa Kedawung. Sebagai anak orang mampu, apalagi ayahnya adalah seorang berpendidikan, Giran dan Mirta disekolahkan di sebuah sekolah cukup terpandang saat itu. Letaknya cukup jauh, di Tangerang. Samolo-lah yang setiap hari mengantar dengan delman pribadi. Namun Mirta sering bolos. Ada saja alasannya, sakit kepala atau sakit bisul paling sering dijadikan alasan untuk tidak masuk sekolah. Ayahnya selalu memarahi dan menegur kemalasan putra bungsunya itu. Namun sang ibu senantiasa memanjakannya hingga lama-kelamaan Tuan Tanah pun memasa-bodohkannya. Tak heran akhirnya Mirta jebol sekolah karena berkali-kali tidak naik kelas. Makin liarlah pemuda ini, berkeliaran sepanjang hari bersama mandor Sarkawi. Tuan Tanah makin sering mengurut dada melihat kelakuan "putra" bungsunya kini. Sebaliknya prestasi sekolah Giran sungguh membanggakan hati ayahnya. Namun pemuda tampan ini tak pernah menjadi manja, apalagi besar kepala. Ia selalu bersikap wajar dan lugu. Penampilannya sangat sederhana sebagai putra seorang Tuan Tanah yang sangat kaya raya dan berpengaruh di desa itu. Giran pun sangat berbakti dan patuh kepada kedua orang-tuanya. Ia sangat sayang kepada Mirta. Setiap pulang sekolah selalu ada saja makanan yang dibeli untuk adiknya itu. Untuk melanjutkan sekolahnya Giran terpaksa harus pindah ke Batavia. Tinggal di asrama sekolah. Pada masa liburannya yang pertama, Giran pulang menengok orang tuanya di Kedawung. Namun betapa sedih hatinya, ternyata ayahnya sedang dalam keadaan sakit. Ketika baru saja ia turun dari delman, Samolo sudah menyambutnya dan memberi tahu tentang keadaan kesehatan sang ayah kepadanya. Giran bergegas masuk ke dalam kamar orang tuanya. Dilihatnya orang tua itu terbaring dengan wajah pucat di pembaringan. Ibunya dengan berseri-seri masuk juga ke dalam kamar itu. Giran mencium lengan ayah-ibunya, duduk di sisi pembaringan. "Mengapa ibu tidak memberi kabar kalau ayah sakit?" Subaidah agak gugup. Ayahnya cepat berkata sambil tersenyum. "Ibumu tak mau mengganggu sekolahmu, Giran. Lagi pula sakit ayah tak seberapa. Dokter cuma menasihati agar banyak istirahat. Tidak apa-apa, beberapa hari lagi pasti sembuh." Namun Giran merasa cemas juga, hampir setiap hari ia merawat dan menjaga ayahnya. Sementara itu, pertemuan Subaidah dan Samirun makin kerap terjadi. Malam itu kedua insan tak bermoral itu bermesraan di dalam gudang, tempat pertemuan rahasia mereka. "Bagaimana dengan keadaan tua-bangka itu hari ini" Hati-hatilah dengan anaknya itu" terdengar suara Samirun. "Jangan khawatir. Bocah itu terlalu polos dan sangat patuh kepadaku. Si tuabangka itu lambat laun pasti pessss...!" Kata Subaidah sambil tertawa terkikihkikih. "Bubuk obat yang Abang berikan itu, telah kucampur dalam buburnya setiap pagi. Itu sudah berlangsung setengah tahun, tapi kok belum apa-apa...!?" "Sabar saja. Bubuk itu memang kerjanya lambat tapi pasti...!" kata Samirun tenang sambil mengepulkan asap rokoknya. "Agar kematiannya nanti terlihat wajar." Sambungnya dingin. Saat itu sesosok bayangan tinggi besar tegak terpaku di luar jendela. Wajahnya tampak berkilat karena basah oleh peluh. Gerahamnya bergemeletuk menahan geram. Hampir saja ia mendobrak daun jendela itu, menyeret kedua manusia keji tersebut dari dalam kamar lalu melumatnya tanpa ampun. Namun Samolo berusaha menekan gejolak amarahnya. Ia harus berbuat sesuatu untuk menyelamatkan majikannya. Tiba-tiba tubuhnya berkelebat bagaikan kucing. Ringan dan gesit tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Beberapa detik kemudian ia sudah mengetuk jendela emper bilik Nyi Londe. Pengasuh Giran ini keluar dan Samolo segera memberi tahu tentang rencana busuk Subaidah dan Samirun yang berhasil didengarnya tadi. Kening Nyi Londe yang mulai keriput ini tampak makin berkerut. "Keji! Betul-betul keji!" gumamnya. "Kedua setan itu harus dilenyapkan sekarang juga." bisik Samolo sambil mengeretakkan giginya. Sinar matanya tajam berkilat penuh dendam. "Itu justru akan menambah parahnya sakit Den-Besar. Beliau sangat mencintai perempuan durjana itu. Itulah sulitnya" "Tapi nyawa Den-Besar harus diselamatkan, Nyi!" "Tentu! Tapi masih ada cara lain!" "Cara bagaimana?" "Menukar bubur itu sebelum disajikan kepada Den-Besar. Ini memang merepotkan dan sulit. Karena Subaidah-lah yang selalu menyajikan bubur itu" kerut-kerut di kening Nyi Londe tampak semakin nyata. "Yang penting, kalau saja aku bisa menciri penyimpan bubuk racun itu" katanya perlahan. "Jika caramu tak berhasil, terpaksa carakulah yang digunakan!" kata Samolo mantap. Esok paginya, Nyi Londe sudah siap dengan bubur panasnya, tatkala Subaidah mengambil sepiring untuk disajikan kepada suaminya. Pada saat Subaidah membubuhi "bumbu" pada bubur tersebut, Nyi Londe diam-diam sudah siap dengan sepiring bubur lainnya. Ia pura-pura sibuk tapi matanya memperhatikan gerakgerik nyonya majikannya itu. Subaidah mengambil sebuah botol kecil dari balik pending emasnya, lalu isinya yang berupa bubuk putih itu ditaburkan sedikit ke dalam bubur. Botol kecil itu di masukkan kembali ke dalam pendingnya. Mata Nyi Londe memperhatikan semuanya. Tepat ketika Subaidah menuang minuman dari poci di atas meja teh itu, Nyi Londe segera menukar piring bubur itu dengan piring bubur yang telah dipersiapkan olehnya. Tanpa curiga Subaidah membawa piring bubur tersebut ke dalam kamar tidur Tuan Tanah. Nyi Londe bernapas lega, lalu membuang bubur yang telah dibubuhi serbuk racun berdaya lambat itu ke dalam selokan. Demikianlah pertolongan Nyi Londe dalam usaha menyelamatkan nyawa majikannya, yang dilakukan setiap pagi dan sore hari. Itu berlangsung terus sampai berbulan-bulan lamanya. Tiga bulan kemudian, Giran pulang liburan sekolah untuk kedua kalinya. Dilihatnya sang ayah masih terbaring sakit, namun keadaannya tidak seburuk dulu lagi. Wajah orang tua itu nampak merah dan segar. Yang dikeluhkannya cuma rasa perih di perut, yang kadang-kadang menyerang dengan hebatnya. Menurut Dokter yang khusus datang dari Batavia seminggu sekali itu, ayah Giran menderita radang usus dan lambung yang cukup akut. Namun kini keadaannya sudah mulai berangsur membaik. Kecuali tekanan darah tingginya, perlu pengawasan terus menerus. Terutama penyakit "lemah jantung"-nya itu. Giran benar-benar merasa terharu melihat ketelatenan ibunya merawat ayahnya. Selama Giran berada di rumah, ibunya seakan-akan tak pernah beranjak dari sisi pembaringan, merawat serta mengurus ayahnya dengan penuh kesetiaan dan kasih sayang yang nampaknya begitu tulus. Hal itu membuat Giran makin menghormati dan menambah tebal perasaan kasihnya terhadap ibu tirinya itu. Bahkan menganggap ibunya adalah cermin dari tipe seorang istri yang begitu agung dan sempurna. Di hatinya selalu berangan-angan, bila kelak ia beristri, gadis itu haruslah mirip denga sikap serta perilaku ibunya. Betapa pandainya Subaidah berperan dalam sandiwara yang skenarionya dibuat secara matang oleh Samirun, kasir yang cerdik dan amat pandai mengatur taktik dan strategi, dalam usahanya merebut kekuasaan serta seluruh harta kekayaan Tuan Tanah berpengaruh di Kedawung itu. Sebenarnya keadaan ayahnya yang kini sudah nampak tua dan berpenyakitan, telah membuat Giran banyak berpikir. Ia merasa dibebani tanggung jawab sebagai putra sulung, untuk membantu meringankan penderitaan ayahnya itu. Kini sudah waktunya bagi Giran untuk bertindak sebagai wakil sang ayah mengurus seluruh usahanya. Sebuah pabrik penggilingan beras di Mauk milik ayahnya itu kini nyaris terbengkalai. Sejak ayahnya sakit, usaha tersebut tak terawasi lagi, hingga pihak Pemerinta Hindia Belanda yang mengontrak hasil beras dari penggilingan tersebut sudah beberapa kali menegurnya dan yang terakhir ingin menyitanya pula. Pengurus yang diserahkan tugas untuk mengelola Pabrik penggilingan beras itu pun ternyata kurang cakap, bahkan diketahui kemudian, pengurus itu telah memakai uang kas pabrik untuk mengawini seorang gadis setempat dan membelikan perhiasan yang mahal sebagai mas-kawinnya. Mendengar laporan tersebut, ayah Giran benar-benar naik pitam, dan penyakit jantungnya kumat lagi. Samirun diperintahkan untuk mengurus kasus korupsi tersebut dan agar si pengurus itu diseret kepada yang berwajib untuk diadili. Tapi di luar tahunya, rupanya Samirun telah memanfaaatkan kejadian itu dengan memeras si pengurus. Akibatnya kasus korupsi tersebut tetap membeku. Dan pabrik penggilingan beras terus berjalan tersendat-sendat. Giran segera mengambil alih persoalan pabrik penggilingan beras itu. Pada suatu hari dengan diiringi Samolo, ia pergi ke pabrik itu dan memeriksa seluruh pembukuannya. Diketahuinya secara pasti serta dengan bukti-bukti yang nyata tentang penyelewengan karyawannya itu. Maka kasus yang amat merugikan perusahaan serta nama baik ayahnya itu, segera dilimpahkan kepada pihak yang berwajib. Si pengurus yang korup itu telah ditindak melalui pengadilan yang cukup bertele-tele dan makan waktu. Akibatnya Giran pun terpaksa harus berhenti sekolah. Dan hal ini pun sebenarnya yang diharapkan Giran, agar bisa sepenuhnya membantu ayahnya. Namun Samirun yang licik itu dapat lolos dari libatan tali hukum berkat kecerdikannya, dan tanpa menimbulkan prasangka serta curiga siapapun. Di hadapan mata Giran, kasir ini tetap adalah seorang pegawai yang berpredikat baik. Samolo hampir saja melucuti kedok kasir licik ini, kalau saja ia tidak mau berpikir panjang, khawatir buntut persoalan ini akhirnya akan mengungkap masalah kehormatan keluarga majikannya. Centeng ini terpaksa harus menelan segala kedongkolan hatinya sendiri. Giran kini secara serius mengambil alih pengurusan seluruh perusahaan ayahnya. Merombak segala sesuatu yang selama ini terbengkalai. Maka dalam waktu yang relatif singkat, perusahaan penggilingan berasnya sudah mulai berjalan lancar lagi. Juga beberapa perkebunan milik keluarganya itu turut dibenahi dengan tuntas. Ia tak segan-segan lagi memecat karyawan yang tidak disiplin, apalagi yang terbukti berlaku tidak jujur. Tenaga-tenaga baru pun ditambah dari para penduduk desa Kedawung, dengan upah yang cukup memadai. Kebijaksanaannya itu mendapat sambutan simpatik dari para penduduk, yang selama ini hidup dalam kemiskinan, karena mereka kebanyakan memang para penganggur. Perubahan besar itu sangat menggembirakan ayahnya. Tuan Tanah ini merasa bahagia mempunyai seorang putra yang patut dibanggakan. Sebaliknya bagi Samirun dan Subaidah, kemunculan Giran sebagai penerus dinasti Tuan Tanah yang penuh kharisma itu, justru menjadi duri di dalam dagingnya. Mereka mulai berkasak-kusuk secara rahasia, merencanakan suatu taktik baru untuk menyingkirkan sang penerus yang jadi penghalang ini. Dalam waktu-waktu senggang, Giran selalu memanfaatkannya untuk bercengkerama dengan para penduduk. Di antara yang sering dikunjunginya adalah Ki Kewot. Petani tua ini sekarang lebih banyak berada di gubuknya, hanya kadang-kadang saja turun ke sawah untuk mencangkul dan mengurus sawah milik Tuan Tanah. Giran tak pernah lupa mencangking bungkusan bila berkunjung ke gubuk orang tua itu. Sekedar oleh-oleh untuk Ki Kewot dan Ratna, putri cilik yang kini telah tumbuh menjadi seorang gadis yang sangat rupawan. Mungkin inilah salah satu sebab mengapa akhir-akhir ini Giran sangat rajin bertandang ke gubuk orang tua itu. Samolo yang selalu setia mengawalnya, kadang-kadang suka tersenyum sendiri melihat tingkah majikan mudanya yang masih serba rikuh bila berhadapan dengan gadis rupawan itu. Namun sikap canggung dan salah tingkah itu menjadi hilang setelah hubungan kedua muda-mudi tersebut semakin intim. Dan senyum Samolo pun berganti dengan sebuah harapan serta doa di hatinya. Semoga putra sulung majikannya ini bisa mewarisi sifat serta keluhuran budi sang ayah. Kecuali nasib buruk sang ayah sebagai suami yang dikhianati istrinya itu, tidak menurun kepadanya. Perkembangan perilaku Giran yang agaknya mulai diresapi getaran cinta remaja itu, selalu diberi tahu Samolo kepada Nyi Londe. Pengasuh yang amat setia itu selalu berbinar bola matanya, mendengar kisah asmara putra asuhannya yang teramat disayanginya itu. Hati kedua abdi yang setia ini senantiasa berdebar, menanti perkembangan asmara itu dengan penuh perhatian. Seakan-akan mereka berdualah yang akan mengambil menantu. Pada suatu hari, sepulangnya Giran mengantar dokter yang merawat ayahnya ke Batavia, ia berpapasan dengan Ratna yang baru saja pulang dari sungai mencuci baju. Gadis ini berjalan beriringan dengan teman-temannya sambil bercanda. Melihat Giran datang, teman-teman Ratna segera menggoda. "Ratna, Arjunamu datang tuh. Hi... hi... hi..." Sambil tertawa terkikih-kikih gadis-gadis desa itu berlalu sambil berlengganglenggok dengan bakul cucian di pinggulnya masing-masing. Ratna tertawa lalu tertunduk dengan wajah memerah jambu. Giran menghentikan kuda keretanya. "Ratna, habis mencuci baju?" Ratna mengangguk, masih tertunduk. "Bagaimana keadaan ayahmu?" tanya Giran lembut. Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Baik," jawab Ratna perlahan dengan masih tertunduk. Giran mengambil sebuah bungkusan dari dalam keretanya, ditaruhnya di dalam bakul cucian Ratna. "Ada sedikit oleh-oleh untukmu dan ayahmu," ujar Giran sambil tersenyum memandang gadis ayu ini. "Terima kasih, Den..." kata Ratna tersipu, mengangkat wajahnya memandang Giran sejenak lalu tertunduk lagi. Ia tersenyum manis, pipinya tampak semakin merah seperti bunga mawar. Kemudian sambil mengempit bakul cuciannya ia melangkah pergi. Giran memandangi tubuh semampai yang molek itu, lalu naik ke atas kereta, menarik tali les kudanya dan berangkat pulang. Tidak jauh dari situ, tampak Mirta ditemani mandor Sarkawi memandangi pertemuan Giran dan Ratna itu dari balik pohon. Mata Mirta tampak merah membara. Sarkawi segera mengipasi bara api kebencian yang sudah lama mencekam di mata dan hati pemuda ini. "Rupanya abang Den Mirta ada hasrat juga terhadap 'anak ayam' Aden yang botoh itu. Kalau kalah cepat, bisa-bisa diserobot lebih dulu sama dia." Ujar Sarkawi memanasi. "Kurang ajar! Dia memang selalu memuakkan aku." geram Mirta sambil memukul batang pohon dengan tinjunya. Lalu dengan langkah lebar mengejar Ratna yang berjalan di atas pematang sawah. Sarkawi berjingkrak mengikuti pemuda brandal itu. Cepat sekali Mirta sudah berada di sisi Ratna. Gadis itu dengan wajah cemberut berusaha menghindar. Ia merasa muak melihat pemuda binal ini yang sering kali mengganggunya. Mirta tertawa sambl mencolek bahu Ratna yang menghindar dengan mempercepat langkahnya. "Ke udik membawa lembing, Ke kota membopong senapan, Jika adik merasa berat menjinjing, Biar abang tolong bawakan... " Mirta menggoda dengan rayuan pantunya. Sarkawi tertawa terbahak sambil lompat menghadang Ratna yang lari menghindar. Mandor bertubuh gempal ini pun ikut-ikutan berpantun sambil mencegat Ratna. "Et... Et! Kelapa muda, kelapa cengkir, Jangan ditaruh di atas tatakan. Kenapa Nona pergi menyingkir" Jangan bikin hati Den Mirta berantakan!" Mirta nyengir sambil menepuk bahu sang Mandor. "Bagus, Wi! Lusa gua persen se- gobang lu! " Sarkawi tertawa lagi sambil terus berusaha mencegat Ratna. Mirta mendekati gadis ini yang mulai makin ketakutan dan hampir menangis. "Berliku-liku sungai Ciliwung. Anak dara berdayung sampan. Jikalau Adik menjadi burung, Biarlah Abang menjadi dahan." Mirta berpantun lagi. Mata Ratna mulai berkaca-kaca karena cemas dan marah. Mirta malah makin berani dan lancang tangan. Dipegangnya lengan Ratna yang meronta ketakutan. "Kenari si burung Kenari, Kenari terbang ke hutan lebat. Mari, marilah jantung hati, Hati abang aduh... sudah ngebet" Dengus Mirta dengan pantunya sambil mencoba mencium pipi gadis itu. Ratna melempar bakul cuciannya ke tubuh Mirta, lalu lari menelusuri galangan sawah. Mirta tercengang sejenak, kemudian lari mengejar. Sarkawi hendak ikut mengejar tapi matanya tiba-tiba tertumbuk pada bungkusan oleh-oleh dari Giran yang tercecer di antara cucian Ratna itu. Dipungutnya bungkusan tersebut dan dibukanya. Matanya nanar memandang sehelai kain sutera berwarna hijau muda. Dan sebuah cangklong tembakau terbuat dari gading gajah yang semuanya tampak berharga sangat mahal. Sarkawi tertawa kegirangan, segera menyimpan barang-barang itu ke dalam bajunya. Kemudian dengan berlompatan ia menyusul Mirta. Saat itu, Ki Kewot masih berada di tengah sawah sedang mencangkul. Lengannya tiba-tiba tampak jadi makin gemetar ketika dilihatnya putrinya berlari-lari ke arahnya sambil menangis. Sementara di belakangnya tampak dua laki-laki mengejarnya. Dari jauh jeritan Ratna memanggil-manggil ayahnya sudah terdengar. Sebelum rasa heran dan bingung kakek ini lenyap, putrinya sudah merangkul tubuh tuanya dengan gemetar lalu menyelinap di belakangnya. Mirta dengan napas memburu tiba di tepi sawah, disusul kemudian oleh Sarkawi. "Oh, Den Mirta dan Bang Mandor...!" Sapa Ki Kewot dengan hormatnya. "Ada apa" Maafkanlah kalau anak ini telah berlaku kurang tahu adat. Maklumlah kami orang bodoh. Maafkan Den" Mirta dengan angkuh berdiri bertolak pinggang di atas pematang sawah. Matanya jalang menatap Ratna yang berdiri ketakutan di belakang tubuh ayahnya. Sarkawi yang berdiri di samping Mirta segera berkata, "Hei Ki! Ente patut mengucap syukur ke Gusti yang kuasa. Karena nasib kalian bakal ketiban rejeki nomplok. Bolehnya Den Mirta bisa nyungsep hatinya begitu melihat Ratna. Berapa banyak anak-anak perawan pada ngantri ingin jadi mantu Tuan Besar tapi dilirik pun kagak sama Den Mirta" Mirta tersenyum bangga mendengar sesumbar si Mandor. Ki Kewot mendengus kecil berusaha menyembunyikan kemuakannya melihat tingkah kedua orang yang selalu membuat onar itu. Dituntunnya tangan Ratna. Sambil memanggul cangkulnya petani tua itu beranjak dari tengah sawah naik ke atas tanggul untuk pulang. Mirta tampak tak senang, ia memberi tanda dengan kerlingan matanya kepada Sarkawi. Serta-merta Mandor ini segera lompat menghadang si Kakek serta putrinya itu. "Nanti dulu! Mau apa sih buru-buru pulang, Ki" Tahu diri sedikit, ah." tegur Sarkawi dengan gaya menggertak. "Maaf mandor, kami orang bodoh. Takut nanti berbuat salah lagi. Ijinkanlah kami pulang." Kata Ki Kewot memohon. Mirta tiba-tiba menarik lengan Ratna dan diseretnya dengan paksa ke arah sebuah dangau tempat berteduh para petani yang dibangun di tepi tanggul itu. Ratna menjerit minta tolong kepada ayahnya sambil meronta berusaha melepaskan diri. Ki Kewot jadi panik, namun sebelum ia sempat berbuat sesuatu, lengan Sarkawi telah memiting lehernya dan sebelah lengannya dipelintir lalu tubuhnya dibanting ke tanah. Tanpa kenal kasihan mandor segera menduduki tubuh petani tua itu yang sia-sia meronta tak berdaya. Lebih celaka lagi kaki Sarkawi dengan seenaknya menginjak kepala orang tua itu, hingga mulutnya terbenam penuh lumpur, tak mampu bersuara. "Lepaskan...! Lepaskan... Tolooooongg...!" jerit Ratna sambil terus meronta dan berpegangan kuat-kuat pada tangga dangau. Mirta bagaikan hewan lapar berusaha menyeret mangsanya ke dangau itu. Ki Kewot mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk membebaskan diri dari tindihan tubuh Sarkawi yang gempal itu. Namun usaha kakek renta ini sia-sia. Malah kaki Sarkawi makin keras menginjak kepalanya. "Tenang, Ki, tenang! Kenapa sih lu suka ngalang-ngalangi kesenangan anak-anak muda. Ente kan pernah muda dulu!" bentak Sarkawi dengan kurang ajar. Tepat pada detik itu, sebuah tendangan telak menghantam punggung mandor, hingga tubuhnya terlontar dan terguling ke dalam sawah. Sesosok tubuh tinggi besar yang tibatiba sudah tegak di situ, segera membangunkan Ki Kewot. Kakek ini segera memburu ke arah dangau untuk menolong putrinya. Tarik-menarik terjadi. Namun akhirnya Mirta kalah tenaga, langsung jatuh ke dalam lumpur sawah. Ki Kewot segera menarik lengan Ratna lari meninggalkan tempat itu. Sarkawi dengan menahan sakit merayap naik ke atas tanggul sawah, matanya nanar mencari si pembokong tadi. Punggungnya terasa remuk seperti diseruduk kerbau. Tiba-tiba sebuah suara berat terdengar menegurnya. "Jangan membuat keonaran, Wi! Den-Besar sedang sakit. Kau tahu itu, bukan?" Sarkawi terkejut, karena ia kenal benar dengan suara berat itu. Kemudian dilihatnya sesosok bayangan tinggi besar berkelebat dari bawah pohon, dan lenyap di tikungan jalan yang ditumbuhi semak-semak. Sarkawi meludah sambil mengumpat dengan geramnya, "Bangsat! Awas lu Samolo. Gua hirup darah lu. " Dengan tertimpang-timpang ia bangkit, menghampiri Mirta yang masih meronta-ronta terbenam di dalam lumpur. Ketika tubuh pemuda itu diangkat, Sarkawi hampir tak dapat menahan tawanya. Wajah dan tubuh Mirta hitam legam berlumur lumpur sawah, persis seekor lutung. *** TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 6 JERITAN Subaidah menggema di gedung Tuan Tanah, ketika nyonya muda ini melihat mandor Sarkawi masuk dengan memapah "seekor makhluk ganjil" ke dalam gedung. "Astaga, apa itu!" teriak Subaidah kaget. Dia lebih kaget lagi ketika mengenali putra kesayangannya itu. "Aduh Gusti, kenapa kau jadi begini, Mirta?" Mirta dengan suara memelas mengadu kepada ibunya. "Samolo, Bu. Ita enggak apa-apa, tahu-tahu dia mendorong Ita ke dalam sawah. Barangkali lagi pusing habis kalah main sintir. " "Sarkawiiii! Gegares gi lu ke dapur!" teriak Subaidah kalap sambil menuding hidung mandor Sarkawi yang berdiri dengan wajah meringis. "Apa kerja lu, ha" Lu takut sama si Samolo?" Sarkawi garuk-garuk kepala. "Bukannya saya keder sama dia, Nya Besar... Soalnya teman-temannya ikut-ikut mengeroyok. Tujuh yang saya bikin ngambang di kali Cisadane! Eh, Den Giran datang misah in." Seorang pembantu membawa Mirta ke dalam untuk dimandikan. Wajah Subaidah tampak kecut karena marah. "Orang-orang keparat itu harus dilenyapkan secepatnya!" gumamnya penuh dendam. Lalu ia berpaling kepada Sarkawi. "Sini Lu!" "Y... ya, Nya Besar..." sahut si mandor dengan hati kebat-kebit, lalu mendekat sambil tertunduk-tunduk ke sisi nyonya majikannya. "Cepat lu panggil Den Kasir. Awas, bacot lu jangan bocor!" bisik Subaidah dengan nada mengancam. "Iya... eh... kagak Nya Besar..." Jawab Sarkawi gugup. Mandor ini segera keluar, tingkahnya mirip maling. Membuat Subaidah menyumpah-nyumpah di dalam hati. Nyi Londe sejak tadi pura-pura menyapu di luar jendela, padahal telinganya diarahkan ke dalam. Akhir-akhir ini kewaspadaan dan kecurigaannya terhadap kelompok Subaidah dan Samirun makin menjadi-jadi, disebabkan seringnya orang-orang itu kasak-kusuk, agaknya merencanakan sesuatu. Pengasuh ini sangat mengkhawatirkan keselamatan Giran yang telah diasuh dan disusuinya sejak masih bayi. Ia tidak ingin sehelai rambut pun dari pemuda itu diganggu oleh ulah para durjana itu. Sesungguhnya semua ini merupakan suatu siksaan batin yang tidak ringan baginya. Malam itu tampak Samirun dan Sarkawi dengan hati-hati bagaikan pencuri, menyelinap masuk ke dalam sebuah kamar. Namun semua kelakuan kedua laki-laki itu tidak luput dari mata Samolo, yang sejak tadi mengintai dari balik tiang teras belakang gedung luas itu. Sebagai seorang centeng yang sudah mengabdi puluhan tahun, Samolo sangat hafal dengan setiap jengkal keadaan gedung itu. Dia tahu tempat mana yang paling tepat untuk bisa menguping perundingan orang-orang itu. Maka dengan segesit seekor kucing, Samolo tiba-tiba melesat ke atas atap dari deretan kamar yang terletak di bagian samping kiri gedung. Lalu dengan gerakan yang amat ringan, tubuhnya bergelantungan di para-para kamar itu. Melalui jendela dilihatnya tiga orang itu sedang berunding dengan wajah serius. Samolo memasang telinganya. "Kenapa muka lu pucat" Takut?" terdengar suara Samirun sinis. "Kalau lu enggak sanggup, bilang saja terus terang, jangan sampai urusan ini jadi kapiran!" lanjut Samirun lebih sinis. "Den Kasir seperti baru kemaren sore saja kenal sama saya. Masa ragu sama si Sarkawi, jawara kesohor dari Pisangan ini"! Pokoknya asal syaratnya cukup. He... he... he..." kata Sarkawi sambil menggesek telunjuk dengan ibu jarinya. Samirun mendehem sambil melirik ke wajah Subaidah, seolah menunggu keputusan kekasih gelapnya itu. Subaidah mengangguk. Lalu Samirun berbisik di dekat telinga si Mandor yang mendengarkannya dengan serius namun tampak wajahnya semakin pucat. Meski suara bisikan itu hanya samar-samar ditangkap telinga Samolo, tapi sudah cukup membuat centeng ini menjadi terkejut dan geram. Mendadak dengan gerakan jurus "Musang Munggih" tubuh Samolo melesat ke atas atap lagi dan mendekam di situ, karena tepat pada detik itu Sarkawi melangkah ke luar dari kamar. Tak lama kemudian, mandor sudah datang lagi bersama Giran, masuk ke ruangan utama gedung itu. Disitu sudah menunggu Subaidah yang duduk menyambutnya dengan senyum lembut keibuan. "Ibu memanggilku?" tanya Giran dengan nada penuh hormat. "Duduklah, ibu ingin bicara padamu." Giran duduk dengan patuh. Sarkawi berdiri dengan sikap agak gelisah di dekat pintu. "Begini Giran," kata ibu tiri Giran itu dengan suara lembut, "Ibu mendapat laporan, sejak ayahmu sakit, sering terjadi pencurian kelapa. Coba kau berdua dengan Sarkawi pergi periksa kebun kelapa itu!" "Baiklah, Bu. Kami akan pergi memeriksanya!" Giran bangkit melangkah keluar pintu. "Mari, Wi. Kita berangkat sekarang!" ajaknya pada Sarkawi. *** Sinar bulan kadang-kadang menerobos di antara celah daun-daun kelapa. Semuanya tampak samar-samar. Giran dengan lampu baterainya memeriksa pohon-pohon kelapa itu. "Kebun kelapa ini cukup subur, tak terlihat tanda-tanda bekas dicuri orang. Iya kan, Wi?" kata Giran sambil terus menyoroti buah-buah kelapa. "Di sebelah dalam barangkali, Den" jawab Sarkawi sedikit gugup. Sementara matanya liar memandang ke sekitar penjuru kebun. Mereka masuk lebih dalam ke areal kebun kelapa. Sesaat kemudian, Giran duduk melepaskan rasa pegal pada kakinya di atas sebatang pohon kelapa yang tumbang. Tanpa curiga sedikit pun kepada gerak-gerik mandor Sarkawi yang selalu mengiringi di belakangnya itu. Mata Sarkawi tampak makin liar menatap ke sekitar tempat itu lalu ke leher Giran. Sementara lengannya dengan agak gemetar mulai meraba gagang goloknya yang selalu terselip di pinggangnya. Perlahan-lahan dicabutnya golok itu. "Ini waktunya buat menukar batok kepala bocah ini dengan duit tiga ringgit," desahnya di dalam hati. Sarkawi mundur dua langkah membuat ancangancang, goloknya terhunus itu diangkatnya siap dibabatkan ke leher Giran yang masih duduk tenang membelakangi mandor yang sudah gelap mata ini. Mata golok itu terangkat tinggi-tinggi, berkilat diterpa cahaya obor. Tepat pada detik kritis itu, sebutir kelapa tiba-tiba meluncur dari atas dan tepat menghantam kepala Sarkawi. Maka tak ampun lagi tubuh mandor Sarkawi langsung tersungkur mencium bumi, berdebum mengejutkan Giran yang sedang duduk melamun. Pemuda ini melompat bangun, dilihatnya Sarkawi sedang menggelepar dan mendengus-dengus seperti kerbau disembelih, lengannya mendekapi kepalanya yang nyaris remuk tertimpa kelapa. "Kenapa kau, Wi?" tanya Giran sambil memegangi tubuh sang mandor dan meraba kepalanya yang benjol sebesar kepalan tinju. Giran Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo baru menyadari bencana yang telah menimpa mandornya, setelah melihat sebutir kelapa tergeletak tidak jauh dari situ. Kini tubuh Sarkawi pun terdiam tak berkutik lagi. "Ya Allah! Dia pingsan tertimpa kelapa." gumam Giran dengan iba. Giran segera memboyong tubuh Sarkawi yang cukup berat itu ke atas bahunya, lalu dibawanya pulang. Sementara itu, di atas sebatang pohon kelapa, sesosok tubuh tinggi besar mengawasi peristiwa itu dengan sorot mata marah. "Hmmm, dasar kerbau dungkul. Sudah semaput masih juga menyusahkan Den Giran. Manusia-manusia laknat itu memang harus cepat disingkirkan, agar tidak punya kesempatan lagi untuk mencelakai anak yang terlalu polos itu." Demikian gumam di hati laki-laki perkasa itu yang segera merosot turun dari pucuk pohon kelapa. Namun hatinya merasa lega. *** Saat itu, di dalam ruangan utama, tampak "si tante girang" Subaidah dan "om senang" Samirun tengah menanti hasil rencana mereka. Subaidah tampak beberapa kali mondar-mandir melongok keluar jendela dengan gelisah. Samirun yang tetap tenang sambil mengepulkan asap rokoknya berusaha menghibur sang "Kekasih". "Sabar, tenang saja. Sebentar lagi Sarkawi pulang dengan..." Belum lagi ucapannya berakhir, pintu tiba-tiba terbuka, tampak Giran masuk dengan tubuh Sarkawi tergendong di atas bahunya. Subaidah dan Samirun jadi ternganga dengan mata terbelalak. Giran meletakkan tubuh Sarkawi yang lunglai itu di atas bangku panjang. "Kasihan Sarkawi, dia pingsan tertimpa buah kelapa." Giran menjelaskan kepada ibunya juga kepada Samirun yang sama-sama masih tertegun. "Tertimpa kelapa"!" tanya Samirun seakan-akan tak percaya dengan telinganya sendiri. "Untung tidak pecah kepalanya. Biarlah dia beristirahat dulu untuk beberapa hari. Paman Samirun, tolong berikan dia uang untuk berobat!" "Ba... baik, Den..." Tubuh Sarkawi tampak mulai bergerak, tapi matanya masih terpejam menahan rasa pening pada kepalanya. Subaidah dengan sikap khawatir segera menuang air di gelas lalu diberikan kepada Giran. "Sejak tadi ibu Aden selalu gelisah, karena khawatir akan keselamatan Aden. Maklum kini banyak pencuri berkeliaran di kebun kelapa" kata Samirun mencari kesempatan untuk menutupi kebusukan rencananya. "Nyonya memanggilku untuk menyusul Aden ke kebun. Tapi ternyata Aden sudah pulang lebih dahulu." "Syukurlah kau tidak apa-apa!" Subaidah pura-pura menarik napas lega. Giran tersenyum, menaruh gelas air yang diminumnya itu di atas meja. Ia merasa terharu melihat kekhawatiran ibunya terhadap dirinya. "Ibu tak perlu cemas. Kebon kelapa kita itu pun tetap aman dari tangan-tangan para pencuri." Kata Giran menghibur. Setelah mengucapkan selamat malam, Giran mengundurkan diri. Kedua wajah orang ini segera berubah kembali menjadi kaku. Kaki Samirun tiba-tiba melayang ke tubuh Sarkawi yang masih terlentang di atas dipan. Tergulinglah tubuh mandor ke lantai sambil mengaduh dan merintih kesakitan. Subaidah mengangkat poci berisi air teh panas dan dituang seluruhnya mengguyur kepala Sarkawi, hingga mandor sial ini makin kelabakan dibuatnya. "Waduh. Benar-benar jago jempolan, lu Wi! Pulang juga pakai dibopong segala, kayak anak kecil habis kepicirit" Ejek Samirun dengan acungan jempolnya, sedang amarahnya makin meluap. Kembali ditendangnya Sarkawi dengan sekuat tenaga. Sarkawi menggeliat mengaduh lagi, memegangi pinggangnya yang terkena sasaran terompah Samirun. "Sundel! Kenapa lu kagak mampus aja sekalian"!" bentak Samirun makin kalap. Tangannya mencabut pistol yang terselip di pinggangnya. "Lu bikin kucar-kacir gua punya rencana. Lu minta dipersen biji melinjo"!" pistol itu ditodongkan ke kepala Sarkawi yang jadi gemetar ketakutan. "A... a... ampun Sir...! Saya lagi ketiban sial rupanya nih..." ratapnya dengan memelas. "Awas...! Kalau mulut lu bocor, sampai orang tahu... Gua jeder batok kepala lu...! Lu belum kenal siapa Samirun ya!" ancam kasir ini sambil menimang-nimang pistolnya. "Busyet dah. Masa saya kagak kenal sama Den Kasir! Kita kan sahabat lama, cuma nasib saja yang beda. Maka jangan galak-galak, ah! Hi Hi...!" bujuk Sarkawi meringis menahan sakit. "Eh, apaan cengar-cengir" Lu kira gua main-main"! Gua tembak, muncrat benak lu! Mau?" bentak Samirun. Ujung pistolnya ditempelkan ke pelipis Sarkawi yang jadi pucat seketika. Subaidah mendengus, merasa muak menyaksikan adegan itu. "Sudah sudah! Bisanya cuma ngebacot melulu. Huh sebal!" Ia melangkah ke luar ruangan dengan wajah masam. Samirun buru-buru membujuknya. "Sabar Baidah, kita masih punya kesempatan lain." Tapi Subaidah seakan-akan tidak mendengar, terus berjalan menuju ke ruangan kamar tidurnya sendiri. Samirun jadi semakin kebingungan, dimakinya lagi Sarkawi habis-habisan untuk melampiaskan kedongkolannya. Tapi dasar wataknya memang bebal, mandor ini cuma cengengesan saja, mirip monyet mabuk terasi. *** Bulan purnama memancarkan cahayanya yang lembut keperakan. Serangga malam mengisi keheningan suasana malam itu dengan tembangtembang yang membangkitkan rasa pukau manusia terhadap seluruh kegaiban alam. Pada keheningan malam yang terasa syahdu ini, ada sepasang muda-mudi sedang memadu kasih di bawah sebatang pohon rindang di tepi sungai, tidak jauh dari gubuk Ki Kewot. Kedua insan remaja ini ialah Giran dan Ratna. Terdengar suara Giran berkata agak gemetar. "Sebenarnya sudah lama aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu Ratna..." "Apa itu, Kak?" tanya Ratna perlahan, meskipun hatinya sudah dapat meraba, apa yang hendak dikatakan oleh pemuda yang duduk di sisinya itu. Namun ia menunggu dengan hati berdebar. Keheningan yang sejenak itu terasa begitu lama baginya. "Maukah kau menjadi istriku?" perlahan sekali suara Giran, namun bagi telinga Ratna kata-kata itu terdengar sebagai gaung dari sebuah gong raksasa, yang seakan-akan bergema ke seluruh dunia. Begitu merdu dan menggetarkan kalbunya. Ratna berpaling menatap wajah pemuda pujaannya dengan mata berkaca-kaca. Giran balas menatapnya dan terkejut, memegang kedua pipi Ratna dengan kedua lengannya. "Ratna, kenapa kau menangis..." Apakah kata-kataku tadi menyinggung perasaanmu?" tanya Giran hati-hati. Ratna menggeleng, air matanya makin deras jatuh berderai, tapi bibirnya tersenyum. "Aku sangat bahagia, Kak" ucapnya sambil merebahkan kepalanya di dada Giran yang bidang. Malam semakin hening. Suara nyanyian serangga malam terdengar semakin merdu pula. "Tapi Kak... kau pasti menyesal kelak. Aku hanyalah gadis desa yang miskin lagi bodoh. Apa kata orang-orang nanti" Terutama kedua orang-tua kakak sendiri?" kata Ratna masih dalam haribaan Giran. Giran membelai kepala gadis yang sangat dicintainya itu dengan lembut, lembut pula kata-katanya. "Kau telah merupakan sebagian dari hidupku. Tanpa kau, aku tak tahu apa yang akan terjadi pada diriku. Apapun yang terjadi kelak, aku pasti akan selalu mendampingimu dengan setia, tanpa keluh dan sesal. Percayalah, Ratna" Janji Giran ini membuat Ratna jadi semakin terharu, dan tanpa kata-kata yang dapat melukiskan dan mengungkapkan perasaannya pada saat itu. Pemuda semacam tipe Giran memang bukanlah pemuda yang pandai merayu, semua kata-katanya terlontar dari dasar hati nuraninya yang murni. Ratna pun sudah menyelami watak pemuda itu, maka ia rela menyerahkan seluruh hidupnya kepada pemuda idamannya itu. Andaikata ia harus berkorban nyawa pun ia tak kan ragu. Ia bersumpah di dalam hati, akan menjadi istri paling setia bagi Giran, setia sampai mati. Malam bertambah larut. Giran mengantar Ratna sampai ke muka gubuknya. Ia cuma berani mencium ujung rambut kekasihnya, meskipun barangkali Ratna sendiri mengharapkan lebih dari itu, karena sesungguhnya malam itu merupakan malam paling indah yang patut dikenang selama hidupnya. Namun sentuhan lembut hidung Giran pada rambutnya, cukup membuat jantung Ratna berdebar dan tergetar. Itu berlangsung lama sampai Giran meninggalkan gubuk itu, diiringi Samolo yang menunggu di kejauhan. Getaran itu masih juga menyesakkan dadanya ketika ia berdiri tersandar di belakang pintu. Bahkan masih terasa sampai bertahun-tahun kemudian, jika peristiwa manis itu dikenangnya. Agak lama gadis ini tersandar di belakang pintu, menghela napas dalam-dalam dan tersenyum seorang diri. Rasanya bagaikan tengah bermimpi. Wajahnya yang masih ranum itu dijalari warna merah jambu. Suara batuk ayahnya yang ternyata masih belum tidur, tiba-tiba mengejutkannnya. Ia melangkah masuk ke dalam ruangan dalam. Dilihatnya ayahnya sedang duduk di kursi dekat dapur sambil melinting rokok kawungnya. Sekali lagi orang ini mendehem penuh arti, membuat wajah Ratna terasa panas dan makin memerah. Ia tahu ayahnya memang sengaja sedang menunggunya di situ. "Kau tampak sangat gembira malam ini, Ratna" kata ayahnya sambil terus asik melinting rokok kawung. Ratna tertunduk, menggigit bibirnya. Sambil terbatuk dan mendehem kecil ayahnya lambat-lambat berkata. "Ayah semakin tua dan rapuh. Kadang-kadang ayah lupa bahwa kau kini sesungguhnya sudah dewasa. Adalah wajar setiap manusia harus menemukan jodohnya masing-masing... Ayah pun pernah muda, Nak. Jadi ayah pun tahu apa yang sedang berkecamuk di dalam hatimu itu." Wajah Ratna kian bertambah merah. Dengan perasaan haru ia bersimpuh di haribaan ayahnya. Lengan tua itu begitu lembut membelai kepala sang putri yang manja ini dengan penuh kasih sayang. "Giran seorang muda yang baik. Ayah percaya cintanya terhadapmu itu adalah suci" Hening sejenak, lengan tua itu terus membelai kepala Ratna. "Kalau saja ibumu masih ada, kau tentu akan lebih banyak memperoleh bimbingan serta nasihat-nasihat berharga, sebagai bekal hidupmu kelak." Air mata Ratna berlinang-linang ke pipinya dan membasahi celana kusam ayahnya. "Tapi pesan ayah, batasilah pergaulanmu dengan Giran...! Kita harus tahu diri, Nak. Kita miskin dan bodoh, satu-satunya harta yang kita miliki hanyalah harga diri dan kehormatan sebagai manusia. Hanya itu! Sedangkan Giran, dia dari keluarga orang berada serta berpengaruh. Meski Giran pribadi tidak pernah mengagulkan diri karena itu. Bertaqwalah selalu kepada Tuhan, karena hanya Dialah yang menentukan jalan hidup segala makhlukNya" Ratna cuma bisa mengangguk kepala di haribaan Ayahnya. *** "APA katamu Giran" Kau mau kawin dengan Ratna, anak si Kewot, si tua renta itu"!" terbelalak mata Tuan Tanah memandang putra sulungnya dari kursi-malasnya. Giran mengangguk dengan mantap, semantap hatinya yang sudah siap menghadapi rintangan apa pun. "Sungguh-sungguhkah kau?" tanya Ayahnya dengan suara tinggi. Sekali lagi Giran mengiyakan dengan pasti. Tuan Tanah tersenyum memandang putranya yang sudah dewasa itu. "Bagus. Aku lamarkan Ratna untukmu hari ini juga! Kita rayakan pesta semeriah-meriahnya" Begitu mantap dan bersemangatnya suara Tuan Tanah ini. Subaidah melirik wajah Mirta yang tersandar di ujung meja dengan wajah masam. "Aku memang berharap bisa cepat punya mantu dan menggendong cucu. Ha ha ha..." Gembira sekali Tuan Tanah ini. Tentu saja yang paling gembira dan bahagia ialah Giran sendiri. Tuan Tanah tiba-tiba berpaling kepada istrinya. "Eh, kenapa diam saja, Bu" Kau juga tentu gembira, bukan Bu?" tanya Tuan Tanah kepada istri mudanya ini. Subaidah tersipu dan menjawab dengan gugup. "S... s... sudah tentu Pak! Siapakah yang takkan gembira menyambut hari bahagia itu" Saya akan menyiapkan segalanya dengan sebaik-baiknya" katanya dengan senyum amat dipaksakan. Mirta melangkah keluar dengan wajah tak sedap dipandang. Sementara suara Tuan Tanah masih terdengar berbicara dengan Giran, membuat Mirta bertambah mual. Subaidah menyusul putranya keluar. Mirta berdiri di luar gedung dengan wajah cemberut. Didekatinya putra kesayangannya ini. "Bangsat! Dia rebut si Ratna dari tanganku" gerutu Mirta sambil bersungutsungut. "Ibu tahu perasaanmu, Nak. Tapi kau masih terlalu muda untuk berumah tangga" bujuk ibunya. "Apakah si Codot Giran itu lebih dewasa, lebih pandai dariku" Huh! Dasar Ayah memang selalu pilih kasih!" gerutunya dengan termonyong-monyong. "Anak keparat itu memang selalu menyakitkan hatiku. Biarlah, Ita pergi saja dari rumah ini, daripada dihina begini!" "Sabarlah, Mirta. Ibu ada daya..." kata ibunya mendekat dan berbisik di telinga Mirta. Di luar kesadaran mereka, ada sepasang telinga lain yang menangkap pembicaraannya itu. Orang ini ialah Samolo yang berada tidak jauh dari tempat itu. *** MALAM telah larut, terdengarlah suara bergeletak lunak di pintu gubuk Ki Kewot. Sesaat kemudian di antara keremangan cahaya lampu teplok tampak dua sosok bayangan laki-laki menyelinap masuk. Ketika keduanya masuk ke dalam kamar tidur Ratna, dua laki-laki ini jadi menahan napas. Memandangi tubuh molek itu terbaring dengan nyenyaknya. Tampak salah seorang yang bertubuh gempal itu menelan liur. Ratna sekonyong-konyong terbangun dan sangat kaget melihat dua laki-laki bertopeng kain sarung itu berada di hadapannya. Ia menjerit, tapi si tubuh gempal itu segera mencabut golok mengancamnya. "Sssst, jangan ribut. Lihat apa ini!" bentaknya sambil menodongkan golok berkilat itu ke leher Ratna. Lalu tanpa ayal lagi kedua laki-laki bertopeng ini segera meringkus tubuh Ratna dengan selimut. Sia-sia gadis itu meronta dan menjerit, karena tubuhnya sudah dibopong dan dibawa kabur ke luar. Mendengar Korban Kitab Leluhur 1 Satria Gendeng 13 Penghuni Kuil Neraka Cula Naga Pendekar Sakti 1

Cari Blog Ini