Golok Kelembutan 11
Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id Bagian 11 Dia berhenti sejenak untuk tukar napas, lalu terusnya, "Ilmu mencuriku beda jauh bila dibandingkan ilmu untuk memukul orang, untuk menyerang lawan, aku selalu turun tangan segera ganas, berani dan makin garang semakin hebat, sebaliknya ilmu mencuri dibutuhkan kelincahan dan kecepatan gerak. Jadi ilmu menyerang dan ilmu mencuri merupakan dua hal yang sama sekali berbeda." "Maka walaupun kau mampu mencuri barang milik orang, bukan berarti mampu merobohkan musuh" Jadi kau pun bukan tandinganku, benar bukan?" tukas Tong Pogou. Thio Than tidak meladeni ucapan itu, katanya lagi, "Waktu itu aku belum tahu kalau nona Lui adalah putri kesayangan Congtongcu perkumpulan Lak-hun-poan-tong, tadinya kusangka kungfunya sangat hebat tapi sengaja menyembunyikan kepandaiannya. Kemudian aku baru tahu kalau ia sama sekali tak pandai silat, namun dengan kecerdasan otaknya dia nyaris hapal di luar kepala semua gerak silat dari berbagai aliran, dengan petunjuk darinya itulah aku berhasil membuat kabur Tay-sat-jiu. Sejak itu aku pun bergabung dengan mereka, sepanjang jalan tampaknya saja seolah aku sedang melindungi nona Lui, padahal tanpa dia, mungkin aku sudah tewas di tangan Tay-sat-jiu. Setiap waktu setiap saat Tay-sat-jiu selalu bersembunyi di suatu tempat untuk melancarkan bokongan, untungnya semua rencana busuknya selalu dapat diduga nona Lui jauh sebelum kejadian, hingga akhirnya semua rintangan dapat dihindari dengan selamat. Kemudian nona Lui mengingatkan aku agar menggunakan Pat-tay-kang-ouw (delapan cara dunia persilatan) untuk minta bantuan dari berbagai jago dan Enghiong Hohan yang kujumpai sepanjang jalan untuk bantu melakukan perlindungan, dengan begitu akhirnya aku benar-benar berhasil lolos dari pengejaran Tay-sat-jiu." "Benarkah dia sehebat itu?" tanya Tong Po-gou setengah tak percaya. "Dalam perjalanan itu kami pun mengangkat saudara, karena kalau tidak menjadi saudara angkat, kurang leluasa bagi kami untuk melanjutkan perjalanan. Waktu itu aku pun mengajak dia pulang ke kota Tiang-an, Lay-toaci amat menyukainya, maka nona Lui pun diterima sebagai adik ketujuh." "Bukankah kalian sudah mempunyai adik ketujuh yang bernama Siau Soat-ih (si baju salju)" Kenapa "Tujuh gulung angin berpusing dari perkampungan Tho-hoa-ceng sebenarnya terdiri dari Lay Siau-oh, Cu-toa-koay-ji, To-he-liu-tau, Thio Han, aku, Ki Siang-ho dan Siau Soat-ih, tapi kemudian Siau Soat-ih lenyap tanpa ketahuan juntrungannya lagi, sementara semua orang sudah terbiasa dengan Jit-moaycu, maka setelah nona Lui muncul, sementara semua orang masih kangen dengan Siau Soat-ih, kami pun tanpa sadar memang?gilnya sebagai Jit-moaycu." "Lantas kenapa kau masih membawanya balik ke kota-raja?" "Bagaimana mungkin ia bisa tinggal dengan perasaan tenang" Waktu itu orang-orang perkumpulan Lak-hun-poan-tong sudah datang menyambangi perkampungan bunga Tho dan minta orang kepada Lay-toaci, sekalipun nona Lui tak ingin kembali juga mau tak mau dia harus balik juga ke kotaraja......" "Maka kau pun menemaninya berangkat ke ibukota?" "Tidak juga, dia sendiri yang berangkat secara diam-diam setelah berpamitan kepada Lay-toaci seorang, siapa sangka di tengah jalan telah bertemu orang perkumpulan Lak-hun-poan-tong, maka mereka pun mengutus para dayang untuk menemani perjalanannya, sementara aku ... aku baru mencarinya setelah tiba di kotaraja." "Bu ... bukankah kau pun meninggalkan perkampungan bunga Tho secara diam-diam?" Thio Than tidak menjawab, lagi-lagi dia meneguk semangkuk arak. Sebetulnya Tong Po-gou ingin meledeknya dengan beberapa kata godaan, namun secara tiba-tiba dia teringat pula akan diri Un Ji. Menyusul kemudian dia pun seakan memahami sesuatu. "Tampaknya belakangan ini banyak juga orang yang minggat dari rumah..." Hanya ucapan itu yang diutarakan, kemudian dia pun meneguk araknya. Sementara itu hujan makin deras di luar kedai arak, Tong Po-gou maupun Thio Than hanya termenung dan tenggelam dalam perasaan masing-masing. "Hai, entah sampai kapan hujan ini baru berhenti?" "Ketika pertarungan antara Kim-hong-si-yu-lau dengan perkumpulan Lak-hun-poantong sudah berakhir, mungkin air hujan pun akan berubah jadi hujan salju?" "Kalau begitu kita bawa pulang guci arak itu, sambil berhujan-hujanan kita minum arak." "Baik, kita minum arak di tengah hujan ..." "Siau-thio, ayo, berangkat ... kita jalan-jalan di tengah hujan." "Jalan-jalan bersamamu?" "Apa salahnya dengan aku" Memangnya kau punya pilihan lain?" "Benar, kalau ada pilihan, tak nanti aku jalan bersamamu." "Kau ini ... dasar tak berperasaan, tidak setia kawan ... dingin, ketus "Sudah jangan mengumpat terus, belum cukup kau mengumpat seharian penuh?" "Umpatan sih cukup, arak yang belum cukup ..." "Kalau begitu kita lanjutkan minum arak di luar sana, coba kita lihat di tengah hujan begini bisa menyaksikan apa." "Kau memang goblok, kalau di tengah hujan tentu hanya air hujan yang tampak ..." "Ah, betul, kalau tidak melihat air hujan di tengah hujan, apalagi yang bisa dilihat......." ooOOoo 52. Suara golok di tengah angin dan hujan Ketika tiba di luar pintu, hampir saja Thio Than jatuh terjerembab, melihat itu sambil tertawa ujar Tong Po-gou, "Kalau dilihat wajahmu tidak merah, napasmu tidak ngos-ngosan, orang mengira takaran minummu hebat, ternyata setelah mulai berjalan, langkahmu sempoyongan macam delapan dewa mabuk saja...." Sambil memegang sisi pintu dan terengah engah, sahut Thio Than cepat, "Siapa bilang aku mabuk, akan ku ... kuperlihatkan kegagahanku berjalan Baru berjalan beberapa langkah ia merasa kepalanya mulai pening, mukanya panas dan langkahnya jadi ringan. Tong Po-gou tertawa tergelak, mendadak ia menghentikan gelak tertawanya dan berseru, "Kau di sini dulu, aku mau ke kamar kecil sebentar." "Pergi, pergi ..." sahut Thio Than sambil berjalan kembali ke mejanya. Waktu itu malam sudah menjelang tiba, hujan di luar masih turun sangat deras, kilat menyambar dan suara guntur meng?gelegar membelah bumi. Di bawah penerangan bebe'rapa buah lentera, tampak hanya ada dua tiga meja yang ditempati tamu, pemilik rumah makan dan para pelayan yang menyaksikan Tong Pogou serta Thio Than mabuk-mabukan hingga berjalan pun sempoyongan, sama sekali tidak menggubris ataupun mengganggu mereka, selama tidak membuat keonaran dan semua biaya sudah terbayar, mereka memang enggan mengganggu kesenangan para tetamunya. Ruangan rumah makan yang begitu luas hanya disinari beberapa buah lampu lentera, ditambah suasana hujan angin di luar yang begitu deras membuat suasana di situ terasa begitu redup dan gelap. Biasanya suasana rumah makan selalu ramai, banyak yang minum arak sambil berteriak main judi, tapi hari ini suasana begitu hening, para tetamu hanya duduk berkumpul sambil minum arak, masing-masing tidak menggubris tamu yang lain, hal ini menimbulkan suasana yang lain daripada yang lain. Menyaksikan suasana di sekitar situ, Thio Than merasa sedikit tertegun. Kembali terdengar suara menggelegar yang amat keras membelah keheningan, rupanya suara guntur. Suara guntur yang sama sekali di luar dugaan. Saat itu Tong Po-gou sudah menuju ke ruang belakang, kakus memang terletak di belakang sana. Menanti bayangan tubuh Tong Po-gou lenyap dari pandangan, Thio Than baru menegur dengan suara yang tenang tapi amat jelas, "Kalian telah datang!" Tak ada yang menjawab. Di situ hanya ada tiga meja yang terisi tamu. Tiga meja dengan delapan orang tamu. Delapan orang tamu itu masih menundukkan kepala sambil menikmati arak dalam cawan, sementara hujan angin masih turun dengan derasnya di luar sana.. Dia berbicara dengan siapa" Di luar sana tak ada orang, hanya satu dua kali suara ringkikan kuda, meski ada lelaki yang numpang lewat, dia pun masih berada nun jauh di sana. Lalu ucapan Thio Than tadi ditujukan kepada siapa" Apakah ditujukan Lociankwe yang rambut, kumis dan alis matanya sudah memutih itu" Atau kepada si pelayan yang beberapa lembar kumisnya mulai tumbuh" Kembali Thio Than meneguk semangkuk arak, lalu duduk kembali di bangkunya, dengan suara dalam serunya, "Kalau toh sudah datang, kenapa masih menyembunyikan diri macam kura-kura?" Ketika ucapan itu selesai diucapkan, suasana tetap hening, sepi dan tak terdengar suara jawaban. Segulung angin dingin kembali berhembus lewat. Lidah api pada lentera mulai bergoncang kencang seakan hendak padam, suasana dalam ruang rumah makan pun kembali dicekam dalam keredupan yang menggidikkan hati. Thio Than bergidik, dia merasakan hawa dingin menyusup ke seluruh badannya. Perasaan bergidik yang belum pernah ia rasakan, rasa seram bercampur ngeri yang baru pertama kali ini dia rasakan. Lagi-lagi suara guntur menggelegar di tengah udara dengan nyaringnya disusul kilatan halilintar serasa membelah angkasa. Tong Po-gou membuka pintu ruangan menuju ke kakus di belakang sana, biar langkahnya gontai namun dia masih bisa bersenandung. Hujan turun sangat deras, mengguyur di atas badannya membuat seluruh tubuh basah kuyup. Tong Po-gou tidak ambil peduli. Seseorang kalau sudah mabuk, biar tidur di atas tumpukan sampah pun dia tak peduli, apalagi menggubris air hujan yang membasahi seluruh tubuhnya" Tong Po-gou menengadah, membiarkan air hujan membasahi wajahnya, dia membuka mulutnya lebar-lebar, membiarkan air hujan membasahi kerongkongannya. Andaikata air hujan itu adalah arak, dia malah tak berani meneguk dengan begitu lahap. Setelah meneguk air hujan beberapa tegukan, dia mulai tertawa tergelak, tubuh yang gontai ditambah jalan yang becek beberapa kali nyaris membuat badannya terpeleset, dengan tangannya dia berpegangan pada sebatang ranting pohon, menanti hatinya tenang kembali baru dia melanjutkan langkahnya. Hujan turun semakin deras, curahan air hujan yang deras membuat pandangan mulai kabur, dia mulai tak sanggup melihat jelas suasana di sekeliling tempat itu. Kakus rumah makan ada di bagian paling belakang. Kakus itu dibuat dari dinding anyaman bambu dan hanya bisa digunakan satu orang, saat itu Tong Po-gou memang sangat membutuhkan. Dia butuh memakainya segera. Bila seseorang minum terlalu banyak, dia memang selalu butuh kakus untuk melepaskan hajatnya, kalau bukan begitu, tidak normal namanya. Tong Po-gou termasuk orang yang polos, kecuali wataknya yang aneh, caranya melepaskan hajat pun berbeda dengan kebanyakan orang. Sambil menggerutu dia berjalan terus mendekati ruang kakus, masih untung sepanjang jalan tumbuh pepohonan pendek sehingga dia dapat berpegangan, kalau tidak, sebelum Thio Than roboh terjungkal, mungkin dia sendiri yang harus tertelungkup lebih dulu. Sesaat kemudian ia sudah tiba di depan ruang kakus dan membuka pintu, bau busuk segera menyebar kemana-mana, gerombolan lalat beterbangan dari balik ruangan, tapi dia tak ambil peduli, begitu masuk, pintu pun segera ditutup kembali. Di saat dia menutup kembali pintu kakus itulah .... "Blaaaam!", kilat menyambar membelah bumi, langit pun jadi terang benderang. Di antara kilatan cahaya petir, di balik pepohonan pendek yang rimbun, sebuah pemandangan aneh tertera jelas, ternyata bukan pohon yang ada di kedua sisi jalan. Di situ berdiri manusia! Manusia berpakaian ringkas warna hitam dengan kain kerudung berwarna hitam, tubuhnya kekar lagi berotot. Sayang Tong Po-gou tak sempat melihat terlalu jelas, dia sudah menutup rapat pintu kakus. Kini kawanan manusia berbaju hitam itu sudah mulai bergerak, bergerak sangat lambat tapi cekatan. Sekalipun bukan sedang hujan deras, gerakan tubuh kawanan manusia itupun cepat tanpa menimbulkan sedikit suara pun, dalam genggaman mereka terlihat membawa sesuatu, ter?nyata tombak panjang berujung pisau tajam. Dalam waktu singkat mereka sudah mengepung sekeliling kakus itu, ujung tombak yang tajam diarahkan ke dinding kakus, dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Di antara kilatan petir yang menyambar, tampak ada dua orang berbaju hitam itu yang melompat naik ke atap kakus itu, mengarahkan ujung tombak mereka ke atas atap bangunan itu. Sama sekali tidak menimbulkan sedikit suara pun. Terlebih malam itu adalah malam hujan yang amat deras, malam hujan diikuti hembusan angin yang sangat kencang. Kawanan manusia itu masih menanti. Apa yang mereka nantikan" Kembali suara guntur menggelegar membelah bumi, kilatan cahaya petir membelah angkasa, hujan turun semakin deras. Kilat dan guntur untuk kesekian kalinya membelah seluruh bumi. Tiba-tiba segulung hembusan angin kencang memadamkan seluruh cahaya lentera yang menerangi ruang rumah makan, padamnya cahaya diikuti mengepulnya segulung asap hitam yang terasa pedas menusuk hidung........ , Berubah hebat paras muka Thio Than. Lekas dia mengeluarkan sebuah kotak besi dari sakunya, membuka penutupnya dan mengambil sesuatu benda dari balik kotak yang langsung digosokkan di bawah lubang hidungnya, setelah itu ia baru berkata, "Percuma, tak ada gunanya, Pattay-kang-ouw saja aku paham, asap pembius sukma Mia-teng-mi-hun-yan tak bakal membuat aku mabuk kepayang!" Kali ini dia memperoleh reaksi, mendapat tanggapan. Yang terdengar olehnya adalah suara golok, suara orang yang melolos golok. Suara golok itu berasal dari meja nomor satu. Suara golok yang indah bagaikan suara keleningan yang terhembus angin, seperti juga suara rintihan seorang wanita yang menimbulkan rangsangan. Suara golok itu sangat indah, amat merdu, jarang Thio Than mendengar suara semacam ini. Suara golok itu tidak mirip suara orang melolos golok, tapi lebih mirip suara musik yang sedang dimainkan seorang ahli. Dari meja nomor dua terdengar lagi suara golok. Kali ini hanya satu kali, lagi pula cepatnya bukan kepalang. Baru saja ia mendengar suara itu, golok sudah berada dalam genggaman orang itu. Suara golok macam beginilah baru merupakan suara golok yang sesungguhnya, dari suara golok yang berkumandang bisa diketahui bahwa dalam sekali tebasan, golok itu pasti akan merenggut nyawa seseorang! Dari arah meja ketiga sama sekali tak terdengar suara golok. Tahu-tahu golok berada dalam genggaman bahkan terasa angin golok yang tajam, biar begitu tak terdengar sedikit suara pun. Ternyata orang itu dapat melolos goloknya tanpa menimbulkan suara. Jelas cara mencabut golok semacam ini sudah tidak terhitung sebagai melolos golok lagi, tapi lebih mirip sedang membunuh orang. "Ooh, rupanya kalian telah datang," Thio Than menghela napas panjang, "sungguh tak kusangka pada mafem ini bukan saja aku dapat mendengar suara angin dan suara hujan, bahkan dapat mendengar pula suara angin golok dan suara golok kalian." Tong Po-gou sudah menutup rapat pintu kakusnya, dia memang sudah tak tahan. Lahir, tua, sakit, mati merupakan gejala alam yang tak bisa dihindari setiap manusia termasuk jago persilatan sekalipun, makin sempurna seseorang berlatih silat hanya membuat tubuhnya makin sehat dan hidup lebih panjang usia, mengurangi segala serangan penyakit dan membuat tubuh lebih kuat. Tapi pada akhirnya orang tetap menjadi tua, sakit dan akhirnya mati. Jago persilatan sehebat apa pun mereka tetap takut hawa dingin maupun hawa panas, hanya saja daya tahan mereka jauh melebihi daya tahan orang biasa, mereka pun sama seperti manusia lain, harus buang hajat, mandi, tidur dan makan. Jika seorang jago silat sudah ingin kencing, siapa pun tak bisa menahannya. Begitu juga keadaan Tong Po-gou saat itu. Tapi baru saja dia menutup pintu kakus, mendadak seluruh tubuhnya bergetar keras. Biarpun tubuhnya sudah ada di dalam ruang kakus, namun matanya masih terbayang pemandangan sekilas yang sempat dilihatnya sebelum menutup pintu tadi. Pepohonan itu ... kenapa bisa bergerak" Jelas bukan pohon, tapi manusia! Dia benar-benar tertegun dibuatnya, baru saja akan membuka pintu untuk melongok ke depan, tiba-tiba ia mendengar suara lirih berkumandang dari atas atap. Suara itu sangat lirih dan ringan, suara orang yang hinggap di atas atap. Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Di tengah hujan lebat, suara itu jauh lebih ringan dari suara hujan. Tapi Tong Po-gou dapat segera membedakan, suara itu bukan suara air hujan yang membasahi atap, tapi suara senjata tajam. Suara senjata tajam yang menyentuh atap. Seketika itu juga Tong Po-gou merasakan seluruh badannya mengejang keras, dia kepal tinjunya kuat-kuat. Jika dua deret pohon di luar sana benar-benar adalah manusia ... Dia ingin segera menjebol pintu untuk menyerbu keluar, tapi tiba-tiba satu ingatan membuatnya lebih waspada, dari arah pintu kakus kembali terdengar dua kali suara sentuhan yang lirih. Musuh sudah berada di depan pintu kakus! Luas kakus itu hanya beberapa meter, boleh dibilang tiada tempat lagi baginya untuk bersembunyi atau menghindar. Tong Po-gou segera terpikir untuk menerjang keluar lewat jalan belakang. Bagaimana pun dia terhitung lelaki bermental baja yang cukup punya nama dalam dunia persilatan, pergaulannya yang cukup lama dengan Sim Hau-sian membuat pengalamannya dalam menghadapi berbagai pertempuran sangat luas dan matang. Tapi sayang dari dinding belakang kakus pun sudah terdengar tiga ketukan yang lirih. Dalam waktu yang amat singkat dia seolah sudah melupakan segalanya, yang terpikir olehnya saat itu hanya bagaimana caranya keluar dari kakus itu secepatnya. Tapi dia segera mengetahui, sekeliling tempat itu sudah terkepung rapat, baik ke atas ke belakang ke kiri maupun ke kanan hampir semuanya sudah ditempeli senjata tajam musuh, asal perintah diturunkan, niscaya seluruh senjata tajam itu akan dihujamkan ke tubuhnya.... Dia tak berani membayangkan .apa jadinya bila seluruh senjata tajam yang mengelilingi ruang kakus itu dihujamkan secara bersamaan ke tubuhnya. Hujan di luar turun semakin deras, suara gemuruh makin memekakkan telinga. Di luar sana selain hujan, terdapat juga musuh tangguh. Dia tak tahu siapakah kawanan musuh itu, tapi satu hal dia tahu dengan pasti, musuh itu pasti sangat menakutkan. Lagi-lagi petir menyambar diikuti suara guntur. Guntur menggelegar setelah petir berkilat. Ini dikarenakan jarak mereka yang kelewat jauh di angkasa, maka terjadi selisih waktu antara suara guntur dan kilatan cahaya petir. Tapi sambaran golok yang terjadi di situ justru hanya ada angin golok, tiada suara apa pun. Menurut analisa Thio Than, di kotaraja saat itu hanya ada satu orang yang bisa berbuat begitu. Sama halnya dengan suara golok yang bersih dan tegas serta suara golok yang panjang mengalun, di kolong langit ini hanya ada dua orang yang bisa melakukannya. Orang pertama, mencabut golok tanpa suara, dia pastilah jago paling tangguh dari Ngo-hou-toan-hun-to (golok lima harimau pemutus sukma) Phang Cian. Orang kedua, mencabut golok hanya sekali bersuara, suara golok muncul lalu lenyap, dia pastilah Keng-hun-to (si golok pengejut sukma) Si Lian-thian, Cengcu perkampungan keluarga Si. Orang ketiga, mencabut golok dengan suara bagaikan pekikan naga, dia pastilah Siang-kian-po-to (golok mestika pertemuan) Beng Khong-khong. Setelah mengetahui siapa yang berdatangan, Thio Than pun menghela napas panjang. "Baik-baikkah kalian semua," sapanya, "sungguh tak kusangka tiga dari lima golok paling menakutkan di kotaraja sebelum kemunculan Ong Siau-sik, kini sudah bermunculan semua di sini." Ternyata perkataan itu sangat manjur, Thio Than memang berharap mereka mau bicara. Jika musuh hanya membungkam, maka sulit baginya untuk meraba maksud kedatangan mereka. Betul saja, Si Lian-thian segera bertanya, "Masih ada dua yang lain?" "Benar, malah mereka menempati posisi kesatu dan kedua." Kontan Si Lian-thian mendengus dingin. Goloknya setipis kertas, tiba-tiba saja memancarkan cahaya tajam, cahaya tajam panca warna. Mungkinkah goloknya sama seperti orangnya, bisa senang bisa gusar" "Siapa mereka?" kali ini Phang Cian yang bertanya. Sewaktu bicara, suaranya seperti keluar dari tenggorokan yang dicekik orang, kecil melengking dan serak, jauh berbeda dengan perawakan tubuhnya yang kekar dan kuat bagaikan seekor kerbau. "Golok Ang-siu-to milik So Bong-seng dan golok Put-ing milik Lui Sun." Begitu mendengar jawaban itu, raut muka ketiga orang itupun segera mengendor kembali. Sebenarnya perkataan Thio Than itu sama halnya dengan menghina mereka, memandang rendah mereka, tapi setelah Thio Than menyebut nama kedua orang ini, mereka justru menganggap perkataan itu seakan menyanjung mereka, menghormati mereka bahkan meningkatkan derajat serta status mereka. Oleh sebab itu ketiga orang itu merasa hatinya amat nyaman. "Menurut kau, Ang-siu-to milik So Bong-seng dibandingkan Put-ing-to milik Lui Sun, siapa yang pantas menempati kursi pertama dan siapa yang nomor dua," tanya Beng Khong-khong. "Mereka belum pernah bertanding, jadi aku pun tak tahu." "Lalu apa yang kau ketahui?" "Aku hanya tahu kalian telah datang." "Tahukah kau, mau apa kami datang kemari?" Sekali lagi Thio Than menghela napas. Setiap kali menghela napas, tanpa terasa dia selalu teringat dengan saudara angkatnya, Thio Han. Sebab Tay-jan-hiap (si pendekar mengenaskan) Thio Han pun senang sekali menghela napas. "Aku tidak tahu," katanya, "aku hanya tahu kalian sudah mencabut keluar golok." Beng Khong-khong tertawa. "Kalau golok sudah dicabut, biasanya untuk apa?" katanya. "Membunuh orang!" terpaksa Thio Than menjawab. "Lantas siapa yang pantas dibunuh di tempat ini?" tanya Beng Khong-khong lagi. "Aku!" terpaksa sekali lagi Thio Than menghela napas sambil menuding ujung hidung sendiri, "jika kalian tak ingin membunuh diri, rasanya terpaksa harus membunuh aku." "Betul! Dugaanmu memang tepat sekali!" Beng Khong-khong tertawa riang. Terkadang dalam kehidupan manusia, dia harus menghadapi situasi dimana lebih menderita dan tersiksa ketimbang melakukan kesalahan. Situasi Thio Than saat ini persis seperti keadaan itu. Bila seseorang, siapa pun orangnya, harus berhadapan dengan tiga orang jago golok macam mereka, tak seorang pun yang akan merasa gembira. Tidak terkecuali Thio Than. 53. Perintah komando BAB V: PENYERBUAN BESAR-BESARAN Hujan di luar turun semakin deras dan rapat. Tengah hari tadi, ketika para jago kelas satu dari kotaraja mengerubut Kwan Jit, waktu itu cuaca pun sangat buruk, hujan dan angin menderu-deru, kini keadaan tak jauh berbeda, kilat tampak menyambar-nyambar, guntur menggelegar di angkasa, angin kencang hujan amat deras. Benar-benar sialan, ternyata harus terkepung di dalam kakus. Kening, wajah dan pakaian Tong Po-gou sudah basah kuyup tertimpa air hujan, tapi kini ditambah dengan butiran peluh sebesar kacang kedelai, meleleh dan menetes ke bawah seperti darah yang meleleh dari luka yang digurat oleh golok. Siapakah orang-orang itu" Kini ujung senjata mereka sudah ditempelkan di atas dinding kakus, apa yang sedang mereka nantikan" Kini Tong Po-gou benar-benar sudah terkepung di dalam kakus, di atas ada musuh, di empat arah delapan penjuru semuanya ada musuh, asal dia menerjang keluar, maka seluruh senjata pasti akan dihujamkan ke tubuhnya, meninggalkan beratus lubang di seluruh bagian tubuhnya, membuat dia berubah jadi seekor landak yang mampus di dalam kakus. Tentu saja Tong Po-gou tak ingin menjadi seekor landak, dia pun tak ingin mati. Dia terlebih tak ingin mampus di dalam kakus. Masakah Tong Po-gou yang gagah perkasa, harus mampus dalam kakus yang bau, omongan macam apa itu" Dia harus hidup, tentu saja dia tak ingin hidup di dalam kakus. Dia ingin hidup. Hidup begitu indah, begitu nikmat, kenapa dia harus mati" Di dunia ini banyak terdapat orang jahat, kenapa bukan mereka yang mati, kenapa dia yang harus mendapat giliran dulu untuk mati" Namun dia pun merasa tak sanggup untuk menerjang keluar dari situ. Dalam situasi dan keadaan seperti ini, gagal menerjang keluar dari situ berarti mati, paling tidak dia akan menjadi bulan-bulanan kawanan manusia itu. Tapi, apa yang sedang dinantikan orang-orang itu" Apakah sedang menunggu perintah komando" Begitu perintah diturunkan, perintah komando untuk merenggut nyawanya" Sekujur tubuh Tong Po-gou basah kuyup, jauh lebih kuyup ketimbang tadi. Bahkan kini ia mulai mengejang dan kaku. Dia seakan sudah lupa apa tujuannya datang ke kakus. Dia amat gelisah dan cemas, tapi tidak secemas dan segelisah tadi, Kini dia ingin lekas keluar dari situ. Dia ingin berteriak minta tolong kepada Thio Than, tapi dia pun sadar sebelum teriakannya terdengar oleh Thio Than, mungkin tubuhnya sudah mendapat hadiah tujuh delapan belas buah lubang tusukan, tusukan dari senjata-senjata itu. Dengan napas memburu dan terengah dia berdiri kaku dalam kakus, sesaat dia tak tahu apa yang harus dilakukan. "Kalian ingin membunuhku, lalu apa yang mesti kulakukan?" terdengar Thio Than bertanya sambil tertawa getir.' "Aku rasa hanya ada dua cara untukmu," sahut si Lian-thian, "dibunuh oleh kami atau kau bunuh kami." "Aku tak ingin membunuh kalian," seru Thio Than dengan mata mendelik. "Sekalipun kau ingin membunuh pun belum tentu sanggup membunuh kami," ejek Si Lian-thian sambil tertawa. "Tapi mengapa kalian ingin membunuhku?" Kembali Si Lian-thian tertawa dingin. "Orangnya saja sudah hampir mampus, buat apa mesti menanyakan hal itu?" "Karena aku tak ingin membawa pertanyaan sewaktu menghadap raja akhirat nanti." Si Lian-thian tampak agak sangsi, dia berpaling ke arah Beng Khong-khong. "Percuma kau bertanya," jawab Beng Khong-khong cepat, "kami sendiri pun tidak tahu, seandainya tahu pun tak nanti akan kusampaikan kepadamu." "Ah, tahu aku sekarang ternyata bukan kalian yang ingin membunuhku, melainkan ada orang mengutus kalian untuk membunuhku." Senyuman yang menghiasi ujung bibir Beng Khong-khong nampak sedikit dipaksakan. "Yang sanggup mengundang kalian bertiga untuk membunuhku pun rasanya tak banyak, di kolong langit saat ini mungkin hanya Pui Ing-gan, Pui-siauhoya seorang," kata Thio Than lagi. Suara tawa Beng Khong-khong semakin dipaksakan. "Kelewat cerdas, sayang orang pintar bukan satu hal yang baik," tukasnya cepat, kemudian dia alihkan pokok pembicaraan ke soal lain, katanya lagi, "Aku justru ingin tahu, darimana kau bisa merasakan kedatangan kami?" "Aku tidak tahu, aku sama sekali tak tahu akan kedatangan kalian." "Oya?" "Aku hanya memperhatikan cawan arak kalian yang ada di atas meja, Si-cengcu telah melakukan gerakan tiga bintang menghadap rembulan, dia sedang bertanya kepada kalian, kapan akan turun tangan" Phang-buncu segera menjajarkan tiga cawannya dengan satu cawan lebih ke depan, ini kode yang berarti sekarang! Tapi kau segera menggunakan dua sumpit disilangkan di bawah lima cawan arak, ini berarti tunggu sebentar lagiThio Than tertawa, "sekali lihat aku segera tahu kalau kalian adalah orang-orang persilatan, hanya tidak kusangka kalau yang datang ternyata kalian, itulah sebabnya aku sengaja berlagak mabuk dan mengusir si kerbau itu pergi dulu kemudian baru mencari tahu tentang asal-usul kalian, tak disangka "Kalau sejak awal sudah tahu kami yang datang, tak nanti kau akan membiarkan si kerbau itu pergi meninggalkan tempat ini," tukas Si Lian-thian dengan katakatayang tajam. "Betul, daripada hanya aku seorang diri, memang jauh lebih enakan kalau punya teman," jawab Thio Than jujur. "Hmmm, sayangnya, biar lebih banyak satu orang pun kalian tetap akan mampus." Thio Than tertawa, suara tawanya penuh dengan sindiran, "Mungkin saja begitu, tapi bila ada lebih banyak orang yang menemani mati, bukankah hal itu jauh lebih baik lagi?" "Apakah kau adalah manusia macam begitu?" tanya Beng Khong-khong sambil mengerlingnya sekejap. "Menurut kau?" Thio Than balik bertanya. "Padahal kode rahasia yang kami gunakan tadi adalah kode rahasia paling atas dari dunia persilatan." "Aku tahu." "Tapi kau memahaminya?" "Kecuali kode rahasia itu hasil ciptaannya yang khusus ditujukan untuk kalian, kalau tidak, kode rahasia mana lagi yang tak bisa kupahami?" ujar Thio Than. "Kau memang amat cerdas, sayang, orang cerdas biasanya berumur pendek." "Orang berumur pendek kalau kelewat sering menggunakan otaknya, sayang aku paling malas memeras otak, aku lebih suka memperhatikan setiap detil persoalan yang sedang kuhadapi." "Orang yang kelewat suka memperhatikan sesuatu secara detil biasanya juga berumur pendek, gampang kena serangan jantung," jengek Si Lian-thian sinis. "Kau pun banyak bicara," sambung Beng Khong-khong, "biasanya orang yang kelewat banyak omong pun tak bisa hidup sampai usia seratus tahun." "Itu disebabkan mereka terlalu banyak membuang napas," sindir Thio Than, "itulah sebabnya aku selalu memanfaatkan setiap kesempatan untuk menarik napas." "Tapi sayang sebentar lagi kau sudah tak mampu bernapas lagi." "Itu tak perlu disayangkan, yang justru patut disayangkan adalah sepintar apa pun diriku, aku tetap tak habis mengerti kenapa Pui-siauhoya ingin membunuhku," Thio Than seakan bertanya kepada orang, seperti juga sedang bertanya pada diri sendiri, "aku belum pernah melakukan kesalahan terhadapnya, apa mungkin lantaran tahun kemarin aku pernah berbuat salah terhadap komplotan Liong Pat-tayya maka hari ini dia ingin membunuhku" Atau karena aku adalah anggota perkumpulan Lakhun-poan-tong" Atau mungkin karena aku adalah salah satu anggota perkampungan Tho-hoa-ceng?" "Mungkin semua alasanmu benar, mungkin juga tidak," tukas Beng Khong-khong tak sabar, "pokoknya percuma saja kau bertanya." Sekali lagi Thio Than menghela napas panjang. "Tampaknya beberapa orang yang ada di tiga meja lain pun merupakan orang-orang yang kau bawa?" katanya. "Dia sedang mengulur waktu," mendadak Phang Cian berteriak keras. Suaranya sangat parau, sejak muncul baru dua patah kata ini yang dia ucapkan. Ucapannya seketika berhasil membongkar maksud Thio Than yang sebenarnya, begitu membuka suara dia langsung mengobrak-abrik rencana lawan. Thio Than seketika merasa hatinya seakan tenggelam, dia memang sedang mengulur waktu, sebab ia sadar kemampuannya seorang tak nanti bisa menandingi kehebatan tiga jago golok itu. Sekalipun dia sadar, kendatipun mengulur waktu juga tak ada gunanya karena dia tetap bukan tandingan mereka, namun dia tetap berusaha untuk mengulur waktu secukupnya. Paling tidak dia ingin mengulur waktu hingga Tong Po-gou balik ke ruangan. Bila dia sampai terbunuh sebelum Tong Po-gou balik ke situ, maka begitu balik ke dalam ruangan nanti, dapat dipastikan Tong Po-gou juga akan mengalami nasib yang tragis, dibokong secara tiba-tiba. Karenanya apa pun yang terjadi dia tetap berusaha menunggu sampai Tong Po-gou kembali! Tapi aneh, kenapa si kerbau mampus itu belum juga kembali" Katanya dia ingin kencing, kenapa selama itu kencingnya" Tapi sekarang setelah Phang Cian berteriak membongkar rencananya, Thio Than tak bisa mengulur waktu lagi. Yang bisa dia lakukan sekarang hanya berteriak, dia berharap suara teriakannya dapat menembus angin dan hujan yang sedang turun dengan derasnya itu, dapat terdengar oleh Tong Po-gou. Dia pun berharap Tong Po-gou tidak dalam kondisi mabuk berat, jarak kakus dengan ruang utama tidak terlampau jauh, andaikata Tong Po-gou bisa mendengar teriakannya ... tentu si kerbau dungu itu masih sempat melarikan diri, mungkin dia masih sempat menyelamatkan jiwanya. Diam-diam ia menghimpun tenaganya dan siap berteriak Pada saat itulah tiba-tiba berkumandang suara yang seharusnya pada saat dan keadaan seperti ini tak mungkin bisa terdengar. Suara kentongan, tiga kentongan ditambah dua titik. Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Waktu itu baru pukul Yu-si (antara jam 5-7 sore), kenapa sudah terdengar suara kentongan" Apalagi yang terdengar ada?lah tiga kentongan ditambah dua titik" Menyusul kemudian dari arah belakang, dari balik suara deruan angin dan hujan berkumandang pula suara teriakan keras serta raungan gusar seseorang. Berubah hebat paras Thio Than, dia tahu tebakannya betul! Bagaimana mungkin mereka akan lepaskan Tong Po-gou" Ternyata ada sebagian orang sudah melancarkan serangan dari belakang! Thio Than menyesal, mengapa ia tidak berteriak sejak tadi. Mungkin bila Tong Po-gou mendapat peringatan jauh lebih awal, siapa tahu ia masih punya kesempatan untuk melarikan diri, tapi sekarang.... Thio Than berhasil menemukan suatu hal .... Paras muka Si Lian-thian ikut berubah, mungkin paras mukanya tak berbeda jauh dengan mimik mukanya sekarang. Tangan Phang Cian yang menggenggam golok pun terlihat makin mengejang kencang, dia sedang menengok ke arah Beng Khong-khong dengan pandangan tegang. Sementara itu senyuman yang semula menghiasi ujung bibir Beng Khong-khong kini sudah lenyap tak berbekas, sikap serta gerak-geriknya tampak mulai tidak leluasa. Andaikata ia sudah membuat persiapan yang matang di belakang rumah sana, kenapa air muka orang-orang itu terlihat berubah sangat hebat" Kembali suara guntur mengggelegar membelah bumi, tapi suara guntur tak dapat menutupi suara teriakan gusar seseorang. Apa yang sebenarnya telah terjadi di belakang sana" Peristiwa apa yang telah terjadi" Mungkin hanya Thian yang tahu. Tong Po-gou tidak habis mengerti kenapa dari luar sana bisa muncul begitu banyak musuh yang ingin menghabisi nyawanya, dia pun tak paham kenapa mereka ingin mengurungnya di dalam ruang kakus dan membunuhnya di situ. Otak dan kepalanya masih terasa panas karena pengaruh arak, pikirannya terasa tersumbat dan tak berhasil menemukan sebuah titik terang pun, diam-diam ia bersumpah, di kemudian hari dia tak nanti akan menenggak air kata-kata lagi. Dalam keadaan seperti ini dia hanya ingin berteriak keras. Belum sempat dia berteriak, suara kentongan yang aneh pun berkumandang datang, tiga kentongan ditambah dua titik. Suara kentongan itu berhasil menembus suara angin dan hujan, berkumandang di udara dengan sangat jelas. Begitu suara kentongan bergema, perintah komando pun segera diturunkan. Tiga belas batang tombak panjang dengan ujung tombak menempel di atas dinding kakus, pada saat bersamaan segera dihujamkan ke arah dalam! Pada saat yang bersamaan Tong Po-gou telah mengambil satu keputusan, dia tak bisa menyerbu ke depan karena depan ada musuh, dia pun tak dapat mundur ke belakang karena belakang ada lawan tangguh. Dia pun tak dapat berkelit ke kiri atau kanan, karena ujung tombak sudah siap merobek dada dan perutnya dari arah situ. Terlebih dia pun tak bisa menjebol dinding kakus, karena senjata musuh sudah menanti di situ untuk merobek batok kepalanya. Kalau memang ke depan tak ada jalan, ke belakang tak mungkin hidup, jalan ke kiri, kanan dan atas pun sudah tersumbat, apa lagi yang bisa dia lakukan" Tong Po-gou teringat, dulu dia pernah menanyakan masalah seperti ini kepada saudara angkatnya, Sim Hau-sian. Waktu itu Sim Hau-sian menjawab, "Jika jalan depan tertutup, jalan mundur pun tersumbat, dalam keadaan sebagus ini kalau aku tidak melancarkan serangan dengan sepenuh tenaga, apa lagi yang mesti ditunggu?" Ujung tombak sudah mulai menembus dinding ruangan! Tong Po-gou meraung keras, kepalannya langsung dilontarkan ke depan, ternyata dia menggunakan kepalannya untuk menangkis datangnya tusukan ujung tombak itu. "Kraaak!", mata tombak seketika terhajar patah oleh sodokan tinjunya. Begitu berhasil mematahkan tombak lawan, Tong Po-gou menggigit bibir lalu menyambar tong berisi kotoran manusia yang tersedia di kakus itu, setelah itu dengan tangan sebelah dia lancarkan cengkeraman ke arah sisi kakus sementara kakinya melepaskan tendangan keras untuk menghajar pintu kakus yang tertutup. Dengan gerakan ini kembali dia berhasil membetot dua batang tombak yang terarah ke tubuhnya. Ketika pintu kakus berhasil ditendang hingga terbuka, di antara terpaan angin dan hujan dia sambitkan ujung tombak yang berhasil direbutnya itu ke depan, sesosok tubuh manusia seketika roboh terkapar. "Lihat senjata rahasia keluarga Tong milikku!" bentaknya nyaring. Dia membalikkan tangan dan mengguyurkan kotoran manusia yang ada dalam tonv yang diangkatnya itu ke arah beberapa orang lawan yang berdiri di depan pintu. Saat itu para penyerang sedang merasa bangga karena yakin sergapan mereka akan berhasil, mereka tak mengira kalau Tong Po-gou bakal melancarkan serangan balasan dalam keadaan begini, baru saja mereka saksikan munculnya seorang lelaki yang tinggi besar, tahu-tahu kotoran manusia sudah berhamburan datang ke arah mereka. Kawanan jago itu sama sekali tidak menyangka akan hal ini, takut dengan senjata rahasia keluarga Tong, lekas mereka mencoba menyingkir, tahu-tahu bau busuk yang luar biasa telah menyelimuti sekeliling tubuh mereka. Berhasil dengan serangannya, Tong Po-gou segera melompat keluar dari ruang kakus. Kembali ada tiga empat batang tombak menusuk tiba dari sisi kiri dan kanan tubuhnya. "Lihat serangan!" bentaknya gusar, tangannya diayunkan, kembali belasan titik cahaya hitam berhamburan ke arah lawan. Waktu itu pihak lawan sedang bersiap melancarkan tusukan mematikan mumpung lawan belum sempat berdiri tegak, ketika melihat datangnya sergapan puluhan titik cahaya hitam yang mengarah ke tubuh mereka, kuatir senjata itu adalah senjata rahasia beracun keluarga Tong, lekas mereka menangkis sambil menghindar. Ternyata senjata rahasia itu tidak menimbulkan reaksi apa pun kecuali beterbangan di udara sambil menimbulkan suara dengungan lirih. Kawanan jago itu semakin terkesiap, selama hidup belum pernah mereka saksikan senjata rahasia seaneh ini, kuatir mengancam jiwa mereka, untuk sesaat kawanan jago itu hanya memperhatikan datangnya serangan Am-gi itu tanpa sempat menggubris Tong Po-gou lagi. Waktu itu keadaan Tong Po-gou tak beda dengan seekor harimau kalap, dia menerjang ke muka dengan sekuat tenaga, dalam waktu singkat dua orang manusia berbaju hitam berhasil diterjangnya hingga roboh. Kemudian sambil mengayunkan tong bekas kotoran manusia itu ke kiri kanan, ia berlarian menuju ke ruang rumah makan, teriaknya, "Mampus untuk mereka yang berani menghalangi jalanku!" Sepak terjang manusia tinggi besar ini sungguh luar biasa, dalam waktu singkat barisan lawan jadi kacau-balau tak keruan dan gagal menghalangi jalan perginya. Ketika seorang pembunuh berhasil mendekatinya, belum sempat menusuk dengan tombaknya, Tong Po-gou telah menutup kepala orang itu dengan tong bekas kotoran manusia. Karena tak dapat melihat apa-apa, orang itu memukul dan menendang secara ngawur kian kemari, akibat ulahnya itu malah menghambat jalan rekan-rekannya yang sedang melakukan pengejaran. Sementara itu kawanan pembunuh berbaju hitam tadi su?dah menyadari kalau senjata rahasia yang dilancarkan Tong Po-gou ternyata bukan senjata rahasia sungguhan, Am-gi itu tak lebih hanya lalat yang beterbangan di seputar tong kotoran. Rupanya sewaktu menjebol pintu sambil menerjang keluar tadi, Tong Po-gou telah menangkap segenggam lalat yang beterbangan di seputarnya untuk dijadikan 'senjata rahasia'. Tak selang beberapa saat kemudian ia berhasil membuka sebuah jalan dan berlarian menuju ke pintu belakang rumah makan. Ketika sadar telah tertipu, kawanan pembunuh itu serentak menyerbu ke depan dan kembali melakukan pengejaran. Tong Po-gou berteriak keras, dia putar sepasang tinjunya dengan sepenuh tenaga, ketika seorang pembunuh berhasil menyelinap masuk dari belakang pintu, dia segera menangkap tombak lawan kemudian melempar tubuh orang itu hingga mencelat sejauh beberapa kaki. Dengan sekuat tenaga Tong Po-gou lari ke pintu belakang, membukanya dan berteriak, "He, arang hitam, ada orang hendak membunuhmu Belum selesai dia berteriak, terdengar Thio Than telah berteriak pula, "He, kerbau dungu, hati-hati di tempat ini!" Tong Po-gou telah menerjang masuk ke dalam ruangan, masuk dengan membawa angin dan hujan bahkan diikuti lalat dan kotoran manusia, tentu saja ada darah dan keringat. Di belakang tubuhnya mengikuti lima enam orang pembunuh dengan ujung tombak terarah ke punggungnya. Tiba-tiba Tong Po-gou menghentikan langkahnya, dia terperangah, sebab selain Thio Than, dia pun telah menyaksikan tiga orang jago lainnya. Tiga orang jago dengan tiga bilah golok! Dalam genggaman Si Lian-thian terdapat golok, Keng-bong-to, golok pengejut impian, goloknya bukan cuma dapat menghancurkan impian, bahkan bisa menghancur lumatkan nyawa orang. Dalam genggaman Phang Cian pun terdapat golok, Ngo-hou-toan-hun-to, golok lima harimau pemutus sukma, ia pernah menggunakan golok itu untuk memenggal kepala tiga ekor harimau, tentu saja dua di antaranya adalah harimau sungguhan, harimau bermata emas berkepala putih, sedang yang satu adalah 'Harimau Lui', harimau Lui jauh lebih susah dihadapi ketimbang harimau sungguhan. Dalam genggaman Beng Khong-khong juga terdapat golok, Siang-kian-po-to, golok pertemuan, goloknya membuat orang harus berpisah, untuk berhasil melatih golok pertemuannya hingga mencapai kesempurnaan, dia telah membuat semua sanak keluarganya pergi meninggalkan dirinya dan selama hidup tak pernah bersua lagi. Tiga orang jago golok dengan tiga bilah golok yang sudah terhunus. Mata golok masih memancarkan cahaya yang menyilaukan mata, serangan sudah siap dilancarkan. Sebetulnya mereka sudah siap memenggal batok kepala Thio Than, tapi ketika menyaksikan Tong Po-gou menerjang masuk diikuti beberapa orang di belakangnya, mereka jadi ter?tegun, keheranan. Sementara itu para jago bertombak pun nampak tertegun, keheranan, tampaknya mereka pun tidak menyangka kalau di situ masih terdapat tiga orang manusia bergolok. Thio Than melirik sekejap mengawasi sorot mata kawanan manusia berbaju hitam itu, kemudian mengawasi juga wajah tercengang Beng Khong-khong, Phang Cian serta Si Lian-thian, tiba-tiba ia tertawa tergelak. "Hahaha, Toako, Jiko, Samko," teriaknya kepada Beng Khong-khong bertiga dengan gaya seolah sangat akrab, "ternyata ada orang sedang mengejar Losu, tampaknya dugaan kalian memang tidak meleset!" 54. Urusan rumah tangga dan negara mendatangkan kesedihan Suara angin, hujan, bentakan, cahaya golok, bayangan tombak .... Semuanya terjadi bersamaan waktunya, sesaat setelah Thio Than menyelesaikan perkataannya. Kini sebagian besar kawanan manusia berbaju hitam itu sudah menerjang masuk ke dalam, serentak mereka melancarkan serangan dengan tombaknya. Ada yang menyerang terhadap Tong Po-gou, ada yang menyerang ke arah Thio Than, ada juga yang menusuk Phang Cian, Si Lian-thian serta Beng Khong-khong, semua serangan yang dilancarkan adalah serangan mematikan. Orang-orang yang berdiri di belakang ketiga orang jago golok itu serentak melolos senjatanya. "Tunggu dulu .......... seru Beng Khong-khong. Tapi sayang teriakannya hanya berlaku untuk mereka yang bersenjata golok dan sama sekali tidak mempengaruhi tindakan kawanan jago bertombak untuk melanjutkan serangannya. Tombak menari-nari, bunga tombak menyebar ke empat penjuru .... Para jago golok telah menghentikan serangan mereka, hanya Si Lian-thian seorang yang tiba-tiba menerjang keluar. Menyusul kemudian mereka pun menyaksikan sebuah impian. Impian berwarna-warni Impian tak dapat dilihat dengan mata, impian hanya akan muncul dalam alam tidur. Impian hanya bisa dibayangkan, tak dapat disentuh, namun terkadang impian dapat dilihat, dapat pula disentuh. Ketika ia dapat melampuai batas kenyataan, di saat dia berwujud dalam satu alam nyata, maka dia akan terlihat dan dapat disentuh, sayangnya pada saat itu kau akan mendapatkan impian yang lain, impian yang jauh lebih indah. Siapa yang bisa membuat sebuah impian yang sama persis seperti kehidupan nyata" Sekalipun bisa, namun ketika mendusin dari tidurmu, maka segala sesuatunya tetap kosong. Oleh sebab itu impian selamanya adalah impian, impian bukan sebuah kenyataan. Golok Si Lian-thian adalah kenyataan, bukan impian. Ketika dia melancarkan serangan dengan goloknya, golok itu indah bagaikan impian, memancarkan cahaya warna-warni terutama warna merah darah yang segar. Namun goloknya juga membawa sebuah kenyataan, kenyataan yang sadis dan kejam. Dimana cahaya golok menyambar, percikan merah berhamburan di tengah warna hitam. Kemudian semua orang pun baru menyadari, warna merah itu memang warna darah segar sementara warna hitam adalah pakaian Ya-heng-ih yang dikenakan para pembunuh. Para pembunuh menggigit bibir, mengayunkan tombaknya sambil melakukan perlawanan dengan sengit, rekan-rekannya yang berlumuran darah mulai bergelimpangan ke tanah, namun mereka tak mau menjerit minta ampun, mereka tak sudi minta ampun kepada musuh, mereka yang belum berlumuran darah, kini matanya mulai memancarkan sinar merah. Sepasang mata Si Lian-thian juga telah memerah, membunuh kelewat banyak bisa membuat mata jadi merah. Kini seluruh sukma dan semangatnya sudah tidak berada dalam raganya, melainkan berada dalam goloknya. Kembali terdengar suara kentongan dibunyikan orang ... dua kentongan tiga titik. Suara kentongan yang bergema saat ini justru merupakan kebalikan dari suara kentongan tadi, yang berbunyi tadi adalah tiga kentongan dua titik. Suara kentongan macam apa itu" Mana ada waktu yang bisa diundur" Sebenarnya kawanan pembunuh itu dengan tombak terhunus sedang menyerang dengan kalap, walaupun mereka sadar banyak rekan yang sudah berlumuran darah, namun mereka menyerang terus secara nekat. Mungkin mereka nekat karena hanya itulah satu-satunya jalan untuk hidup. Maka mereka menerjang terus ke arah golok itu, seperti menerjang di tengah impian buruk, walau bagi Si Lian-thian sebetulnya hal ini merupakan impian indahnya. Biasanya impian indah bagi seseorang, terkadang justru merupakan impian buruk bagi orang lain. Pada saat itulah suara kentongan kembali berbunyi. Kawanan pembunuh itu serentak menghentikan serangannya, mereka hanya mengawasi Tong Pogou, Thio Than, Si Lian-thian, Beng Khong-khong, Phang Cian dengan pandangan penuh kebencian, tapi ada pula yang mulai membopong rekan mereka yang terkapar di tanah, tak seorang pun melanjutkan kembali serangannya. Kini mereka mulai mundur, mundur dari ruangan itu. "Kalian tak akan lolos!" bentak Si Lian-thian keras. Sambil mengayunkan goloknya dia mengejar ke depan. Sementara itu ketujuh orang jago golok yang berada di belakangnya ikut menerjang ke depan sambil melancarkan serangan maut. Mendadak terdengar Phang Cian berseru kepada Beng Khong-khong, "Apakah ada keharusan bagi kita untuk melakukan pertarungan konyol ini?" Beng Khong-khong menghela napas panjang, sahutnya, "Ya, apa boleh buat, Sisiaucengcu sudah mulai turun tangan." "Kau toh bisa mencegahnya!" "Mencegah golok Si Lian-thian" Kecuali menggunakan golok pertemuanku!" Phang Cian termenung sejenak, lalu katanya lagi, "Jika harus turun tangan, jangan biarkan seorang manusia pun hidup." Beng Khong-khong sangat setuju dengan usul itu, dia pun ingin menyatakan hal yang sama, namun tentu saja perkataan semacam ini lebih baik bukan muncul dari mulutnya tapi dari mulut orang lain. Kini Phang Cian sudah mengatakannya, asal sudah dikatakan maka penyelesaiannya jadi lebih gampang. Terlepas siapakah kawanan penyerang itu, yang pasti Si Lian-thian sudah melancarkan serangan lebih dulu dan Phang Cian telah memutuskan untuk melakukan pembantaian secara besar-besaran. Andaikata dia salah dalam pembantaian ini, jika dilakukan penyelidikan, dia bisa cuci tangan dari segala tanggung jawab. Kini dia sudah mulai menyentil mata goloknya, ketika jarinya bertemu dengan mata golok segera timbullah suara getaran lirih seolah luapan kegembiraan karena pertemuan itu. Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Dia sudah siap membunuh orang. Waktu itu kembali ada enam-tujuh orang pembunuh yang roboh bersimbah darah, sisanya yang tinggal tujuh-delapan orang sudah mulai terdesak dan mundur keluar pintu belakang. Serambi belakang rumah makan kini seluruhnya sudah roboh, angin dan hujan mulai merembes masuk ke ruang dalam. Kecuali angin dan hujan, tampaknya ada sebuah benda lain yang ikut menyusup ke dalam, sesosok bayangan abu-abu! Dingin, udara terasa dingin membeku. Tong Po-gou, Thio Than, Beng Khong-khong, Phang Cian, Si Lian-thian maupun kawanan pembunuh itu semuanya dapat merasakan hal ini, hawa dingin yang begitu merasuk tulang membuat badan terasa menggigil, terasa merinding. Tujuh orang jago golok telah menerjang dan berdiri berjajar di depan Si Lianthian, tapi entah mengapa, mendadak tiga orang yang berada paling depan roboh terjungkal ke tanah. Kalau tadi, sampai detik terakhir sebelum ajalnya pun kawanan pembunuh berbaju hitam itu enggan menjerit kesakitan ataupun berteriak, namun ketika ketiga jago golok ini tewas, mereka sama sekali tak sempat mengeluarkan suara apa-apa, tahutahu sudah mampus. Sebuah lubang darah muncul di atas dada masing-masing. Orang pertama tampaknya tertusuk oleh pedang, si penyerang pastilah seorang jago pedang yang sangat hebat, sebab dalam sekali tusukan ia berhasil menembusi hulu hatinya, tidak banyak darah yang meleleh keluar. Orang kedua tampaknya mati ditembus lembing panjang, lubang luka di dadanya sangat dalam dan amat mengerikan. Luka pada tubuh orang ketiga paling istimewa, tampaknya dia seperti tertusuk oleh senjata trisula yang biasa digunakan dalam air, Kunlun Hun-sui-ji. Tiga orang dengan tiga lubang luka yang berbeda, luka oleh tiga jenis senjata yang berbeda. Padahal sang penyerang hanya satu orang, dia pun sama sekali tidak membawa senjata. Saat itu dia berdiri dengan punggung menghadap ke semua orang dan wajah menghadap ke belakang ruangan. Hujan masih turun dengan derasnya di luar sana, langit tampak semakin gelap gulita. Orang itu mirip sekali dengan hujan, dingin, gelap dan menggidikkan hati. Orang itu mempunyai perawakan tubuh tinggi kurus, mengenakan jubah panjang berwarna abu-abu, pada bahunya tergantung sebuah pauhok yang terlihat tua, kuno dan sangat berat. Tangan kanannya diletakkan di atas pauhok pada bahu kirinya. Siapakah dia" Beng Khong-khong hanya merasakan bulu kuduknya berdiri. Si Lian-thian hanya mundur selangkah, ia segera menerjang maju lagi ke muka. Bagaimana pun dia adalah Siaucengcu perkampungan keluarga Si. Dia tak boleh menampilkan perasaan takutnya di hadapan anak buah, selain itu selama ini dia memang ingin menampilkan kebolehan ilmunya, dia ingin penampilannya jauh di atas Beng Khong-khong maupun Phang Cian. Itulah sebabnya terpaksa dia maju ke depan, tentu saja bersama goloknya, golok yang bisa mengejutkan impian. Tiba-tiba goloknya terjadi perubahan, entah bagaimana kejadiannya tahu-tahu golok itu sudah terlepas dari genggaman ... Impian pun turut hancur berantakan. Mendadak manusia jangkung yang ceking itu membalikkan tubuhnya. Masih tidak tampak bagaimana dia turun tangan, yang terlihat hanya raut wajahnya yang begitu putih, begitu pucat, seakan sudah lama terbalut dalam lapisan salju, tak pernah tertimpa sinar matahari. Phang Cian mendengus tertahan, mendadak dia melompat ke muka, masih tiada suara, goloknya juga tidak menimbulkan suara apa pun. Dalam kolong langit saat ini, mungkin hanya Phang Cian seorang yang telah berhasil melatih ilmu golok Ngo-hau-toan-hun-to hingga sama sekali tidak menimbulkan suara. Terlihat cahaya golok berkelebat lalu ia mundur, ketika mundur sekaligus ia telah menyelamatkan nyawa Si Lian-thian. Di atas dada Si Lian-thian telah bertambah dengan setitik warna merah. Titik merah itu sangat kecil, besarnya paling seperti biji kedelai. Akan tetapi seluruh tubuh Si Lian-thian seakan sudah roboh, keadaannya waktu itu mirip seseorang yang telah memotong usus dalam perutnya menjadi enam bagian, kemudian menusuk hatinya dengan delapan tusukan ditambah seluruh kuku di sepuluh jarinya dicabut lepas, dia sangat kesakitan, delapan sampai sepuluh kali lipat lebih kesakitan daripada orang yang ditusuk dadanya. Perawakan tubuh Phang Cian kecil pendek, tapi ketika membusungkan dada sambil mengayun golok, tubuhnya seakan sebuah tabung besi yang amat keras. Kini darah telah membasahi dadanya. Lelehan darah telah mengalir kemana-mana, membuat jubah berwarna birunya lambat-laun berubah jadi warna ungu. Kembali orang itu membalikkan badannya dengan punggung menghadap ke dalam ruangan, wajah menghadap keluar ruangan rumah makan, dia seakan sedang menikmati air hujan di luar sana. Apa indahnya pemandangan di saat hujan" Beng Khong-khong tidak tahu. Dia hanya merasa tangannya yang digunakan untuk memegang golok milik Si Lian-thian yang mencelat tadi kini sudah basah oleh air keringat. Sebenarnya siapakah orang ini" Dia tidak tahu, dia hanya tahu kawanan pembunuh berbaju hitam itu sedang membopong yang terluka, menyeret yang mati, tergopoh-gopoh mengundurkan diri dari rumah makan itu. Menghadapi musuh tangguh yang begitu menakutkan, nyaris mendekati kengerian yang luar biasa ini, apa yang harus dia lakukan" Pada saat itulah dia mendengar sebuah suara. Sebuah suara yang bisa mendatangkan perasaan hangat, lembut, mesra, bahkan dari nada suara itu kita dapat membayangkan kalau suara itu berasal dari seseorang yang gemuk, berwajah penuh senyuman serta seseorang yang mampu menyelesaikan persoalan apa pun. "Thian-he-te-jit (ketujuh dari kolong langit), Si-siaucengcu, Beng-sianseng, Phang-buncu, kalian sedang membuat keramaian di sini" Hahaha, apakah belakangan baik-baik semua?" kemu?dian setelah berhenti sejenak, kembali dia tambahkan, "apakah belakangan bertambah kaya, bertambah banyak rejeki?" Begitu menyaksikan kemunculan orang itu, Tong Po-gou serta Thio Than segera menghembuskan napas lega, perasaannya yang semula tegang pun kini mulai mengendor. Orang itu memang bertubuh gemuk dan berwajah toapan, sama seperti nada suaranya. Tentu saja orang ini tak lain adalah Cu Gwe-beng, komandan opas Ci Gwe-beng dari kantor kejaksaan. Begitu melihat kemunculan orang itu, Tong Po-gou segera tahu kalau nyawa mereka bakal tertolong. Mana mungkin sekawanan pembunuh itu berani melakukan pembunuhan di hadapan seorang pejabat tinggi kantor kejaksaan" Sebaliknya Thio Than begitu bertemu dengan komandan kantor kejaksaan ini, kepalanya kontan terasa pening karena dia pernah merasakan siksaan dan penderitaan karena berurusan dengan kantor pengadilan. Akan tetapi mereka sempat dibuat tercengang, tercengang oleh ucapan pertama yang diutarakan Cu Gwe-beng tadi. "Thian-he-te-jit?" Siapakah orang ketujuh dari kolong langit itu" Mendadak bayangan tubuh manusia yang kurus jangkung itu sudah lenyap dari dalam ruangan. Yang tersisa di luar sana hanya angin dan hujan yang masih turun dengan amat derasnya. Tampaknya begitu melihat kemunculan Cu Gwe-beng, dia segera melenyapkan diri dari hadapan semua orang. "Thian-he-te-jit... orang ketujuh dari kolong langitgumam Beng Khong-khong, "kalau manusia semacam dia pun hanya menempati urutan ketujuh di kolong langit, lantas macam apa manusia nomor wahid di kolong langit ......." "Julukannya itu sama sekali tidak menunjukkan kalau dia tidak merasa puas," kata Cu Gwe-beng sambil tertawa, "karena dia anggap manusia nomor wahid di kolong langit semestinya di tempati Baginda Raja yang sedang bertahta, dia sendiri hanya menempatkan diri pada urutan yang ketujuh, bagaimana mungkin dikatakan dia tak tahu diri?" Kemudian setelah tertawa terkekeh lanjutnya, "Di dalam pandangannya, dari dulu hingga kini, tak lebih hanya ada enam orang yang berada diurutan di atas namanya, bagaimana bisa dibilang tak puas?" Beng Khong-khong menghembuskan napas panjang, sahutnya, "Ya, dia memang tidak punya anggapan merasa tak puas, sama sekali tak bisa dibilang tak puas." "Benar, dia memang selalu tahu diri dan tahu merasa puas," kembali Cu Gwe-beng tertawa. Tong Po-gou yang mengikuti jalannya pembicaraan itu jadi heran, rasa ingin tahu mendorongnya untuk bertanya, "Sebetulnya manusia macam apakah dia?" "Aku tahu dia bernama Thian-he-te-jit, soal yang lain aku sama sekali tidak tahu," jawab Cu Gwe-beng sambil menarik kembali senyumannya. Thio Than berpaling memandang sekejap keluar ruangan, mengawasi hujan dan angin yang masih turun dengan derasnya tiba-tiba ia menghela napas panjang, katanya, "Mungkin dia adalah seseorang yang menganggap urusan negara, rumah tangga dan semua urusan yang ada di kolong langit adalah urusan yang menyedihkan." Kemudian sambil merendahkan suaranya, ia berbisik kepada Tong Po-gou, "Orang inilah yang begitu tiba di kota Tiang-an segera membuat Lay-toaci dan kawankawan pusing kepala!" Sementara itu Cu Gwe-beng telah berkata pula, "Ya, siapa yang tahu" Mungkin juga dia adalah seseorang yang sama sekali tak pernah menguatirkan urusan rumah tangga, negara serta semua urusan yang ada di kolong langit." "Tayjin, melihat kegembiraanmu, apakah kedatanganmu hari ini adalah untuk minum beberapa cawan arak?" ujar Beng Khong-khong mendadak. "Tentu saja bukan," sahut Cu Gwe-beng tertawa, "mana mungkin aku punya rejeki macam Beng-sianseng" Aku hanya mendengar orang bilang, konon di sini ada orang sedang berkelahi maka sekalian datang untuk melihat keadaan, kau juga tahu bukan, berkat kebijaksaan Sri Baginda maka Cayhe bisa menduduki jabatan ini, tentu saja Cayhe pun tak ingin ada keributan di seputar sini yang bisa mengganggu ketenangan Baginda raja." Beng Khong-khong memandang sekejap tubuh ketiga orang jago goloknya yang terkapar di tanah, lalu memandang juga ke arah Si Lian-thian yang masih kesakitan setengah mati, sementara Phang Cian sedang duduk mengatur pernapasan, katanya kemudian, "Benar, kami beberapa orang sedang minum arak di sini, tibatiba muncul segerombolan pembunuh yang menyerbu masuk, bahkan mereka sempat membantai tiga orang pengikutku." "Kalian memang kehilangan tiga orang, tapi tampaknya mereka pun sudah kehilangan beberapa orang," sambung Cu Gwe-beng. "Betul, mereka pun tidak memperoleh keuntungan apa-apa." "Semua nyawa manusia itu sama, mati tetap mati, tapi orang yang hidup tentu berbeda, menurut hukum negara yang berlaku sekarang, siapa membunuh dia harus membayar dengan nyawa sendiri," Cu Gwe-beng terlihat amat masgul, "terkadang sebagai hamba negara, mau tak mau aku harus melaksanakan juga peraturan ini secara tegas." "Benar, benar, benar, soal ini aku mengerti," Beng Khong-khong mulai nampak tidak tenang, "dengan ketajaman mata Cu-tayjin pasti dapat mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, kami hanya bekerja di bawah perintah Pui-hoya, mana berani tanpa sebab kami melanggar peraturan negara?" "Betul, kalian adalah orang kepercayaan Pui-hoya, tentu saja tak akan memandang enteng hukum negara, cuma ...." Cu Gwe-beng berhenti sejenak untuk menarik napas, kemudian dengan nada serba salah terusnya, "Andaikata kalian terlibat dalam pembunuhan ini, itu berarti kamu semua telah melanggar hukum negara, tahukah kalian, hukumannya akan berlipat ganda?" Mendadak Beng Khong-khong mengeluarkan selembar kertas dan diserahkan ke tangan Cu Gwe-beng sambil ujarnya, "Tayjin, tubuhmu basah oleh air hujan, silakan menggunakan kertas ini untuk menyekanya." Baru saja Beng Khong-khong hendak berjalan menghampiri Cu Gwe-beng untuk menggenggam tangannya yang gemuk, mendadak lelaki tua yang selama ini hanya berdiri di belakang Cu Gwe-beng dengan kepala tertunduk itu mendongakkan ke?palanya dan mengawasinya dengan sorot mata yang tajam, jauh lebih tajam dari mata golok. Seorang lelaki muda yang lain, entah sejak kapan juga telah berdiri di samping Cu Gwe-beng dengan sikap malu-malu. Sambil menerima gumpalan kertas itu, sahut Cu Gwe-beng sambil tertawa, "Terima kasih banyak, badanku tidak basah, silakan ambil kembali." "Tidak, tidak, mungkin Tayjin perlu untuk menyeka tubuhmu," lekas Beng Khongkhong menggoyang tangannya berulang kali. "Kalau badanku basah, kertas secuwil begini belum cukup dipakai untuk menyeka, lebih baik simpan untukmu saja," tampik Cu Gwe-beng lagi sambil tertawa. "Andaikata tidak cukup, aku masih punya beberapa lagi, harap Cu-tayjin sudi memberi muka ....." Mendadak kakek yang berdiri di samping Cu Gwe-beng menukas, "Perkataan Tayjin sudah amat jelas, ambil kembali!" "Cu-tayjin, jika kau merasa kurang, sekembalinya nanti pasti akan kuminta agar Kongcu mengirim sepuluh kali lipat "Ambil kembali!" hardik kakek itu nyaring. Dengan perasaan apa boleh buat terpaksa Beng Khong-khong menerima kembali gumpalan kertas itu dan menyimpannya ke dalam saku. "Tahukah kau, kenapa ketajaman mataku bisa selalu amat bagus?" tanya Cu Gwe-beng kemudian sambil tertawa. Untuk sesaat Beng Khong-khong tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu. "Karena usiaku sudah lanjut," jawab Cu Gwe-beng sendiri. Kalau dilihat tampangnya, paling dia baru berusia tiga puluh tahun lebih atau empat puluh tahun kurang, orang gemuk memang lambat tuanya, terlebih orang gemuk yang selalu dihiasi senyuman di bibirnya, tapi sekarang dia mengatakan kalau dirinya sudah tua, maka Beng Khong-khong pun hanya bisa mendengarkan tanpa menyahut. Siapa suruh dia adalah komandan kantor kejaksaan" "Begitu bertambah usia, kemampuan melihat pun bertambah mundur," Cu Gwe-beng melanjutkan, "semisal kejadian barusan, dengan jelas kulihat ada tujuh delapan orang berbaju hitam yang terkapar di tanah, kelihatannya sudah mati semua, tapi dalam sekejap mata sudah lenyap tak berbekas, aku pasti sudah salah melihatnya tadi." Akhirnya Beng Khong-khong paham juga dengan maksud perkataan Cu Gwe-beng itu. Saking berterima kasihnya hampir saja dia menjatuhkan diri berlutut. Hidup di ibukota, siapa yang tak tahu cara bertindak Cu-tayjin, komandan kantor kejaksaan" Dia akan menghukummu dan dia tidak ingin menghukummu sudah merupakan perbedaan ibarat langit dan bumi, karena yang satu akan naik ke surga sementara yang lain akan masuk neraka tingkat kedelapan belas. Tapi sekarang Cu Gwe-beng sudah menyatakan pandangannya, berarti sebuah pengampunan besar bagi mereka. "Misalnya saja sekarang aku melihat di lantai ada tiga orang mati karena dibacok orang, tapi kalau dalam waktu sekejap tubuh mereka lenyap dari situ, aku pasti akan mengira pandangan mataku kabur, salah melihat." Ia berpaling ke arah kakek di sampingnya, lalu menambahkan, "Jin Lau, menurut kau apakah mataku memang kurang sehat?" "Kalau di lantai benar-benar ada orang mati, mana mungkin Tayjin tidak melihatnya?" sahut kakek itu dengan hormat. "Berarti di lantai memang tak ada orang mati bukan?" "Benar!" Cu Gwe-beng kembali berpaling ke arah Beng Khong-khong, katanya lagi, "Bukankah tadi kau sangat mengagumi ketajaman mataku?" "Aku mengerti, Tayjin memang hanya melihat apa yang seharusnya terlihat!" "Betul! Bila seseorang hanya bisa melihat apa yang seharusnya terlihat, mendengar apa yang seharusnya didengar, berkata apa yang seharusnya diucapkan, bertindak apa yang seharusnya ditindak, hidupnya pasti akan sangat gembira, otomatis umurnya juga akan bertambah panjang." Beng Khong-khong segera membereskan mayat yang tergeletak di lantai. Mereka bahkan sama sekali tidak meninggalkan noda darah barang sedikitpun di dalam rumah makan itu. Kemudian mereka baru berani meninggalkan tempat itu. Tong Po-gou dan Thio Than sudah siap meninggalkan tempat itu juga. Mendadak terdengar Cu Gwe-beng berkata, "Tadi bukankah ada orang bilang di sini ada suara pertempuran?" Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Benar," jawab Jin Lau, si kakek tua itu, "pintu belakang rumah makan ini ambruk, meja kursi berserakan, bahkan ruang kakus pun jebol, memang ada jejak pertempuran di tempat ini." "Benarkah" Siapa yang berkelahi di sini?" tanya Cu Gwe-beng sambil memandang sekejap sekeliling tempat itu. "Mereka!" sahut Jin Lau sambil menuding ke arah Thio Than dan Tong Po-gou. Sambil tertawa Cu Gwe-beng berpaling mengawasi kedua orang itu, seperti seorang kelaparan yang mengawasi berbagai hidangan lezat, segera tanyanya, "Jadi mereka berdua?" Kemudian dia pun menurunkan perintah, "Tangkap dan bawa pulang mereka berdua!" Tong Po-gou dan Thio Than sama sekali tidak kabur, mereka pun tidak mencoba melakukan perlawanan. Mereka memang tak bisa kabur. Di luar rumah makan sana berjajar puluhan orang opas, mereka adalah jago kelas satu dari Laksan-bun yang ada di kotaraja. Mereka pun tak berniat kabur. Sebab ketika Jin Lau memborgol mereka, orang tua itu sempat berbisik, "Asal menjawab beberapa pertanyaan nanti, kalian sudah tak ada urusan, kami hanya menjalankan tugas rutin." Thio Than dan Tong Po-gou pun berlalu dari situ bersama mereka ... paling tidak keadaan mereka saat ini jauh lebih nyaman ketimbang harus menghadapi serbuan Beng Khong-khong sekalian ditambah para jago pimpinan Thian-he-te-jit. Tapi sayang mereka keliru. Mereka lupa, ada perkataan semacam orang yang sama sekali tak boleh dipercaya. ooOOoo 55. Hujan dan angin "Semua barang yang rusak di tempat ini sudah seharusnya kami yang ganti," sebelum meninggalkan rumah makan Thio Than sempat berkata begitu kepada Lociangkwe serta para pelayan, "tapi sekarang kami tak usah repot lagi, asal ada Cu-tayjin di sini, mereka pasti akan membayarkan ganti ruginya, kalian tak usah kuatir." "Kau pun tak usah kuatir," Jin Lau yang berada di samping Cu Gwe-beng menyahut, "kami pasti akan membayar ganti rugi ini." Kemudian setelah tertawa dengan suara yang rendah dan berat, tambahnya, "Bagaimana pun toh bukan kami yang harus merogoh kocek." "Tepat sekali perkataanmu," Thio Than turut tertawa, "merogoh kocek sendiri sudah sekarusnya dihindari, perbanyaklah merogoh kocek orang lain." "Ah, rupanya kita memang sepaham, begitu bertemu sudah merasa cocok satu dengan lainnya," seru Jin Lau sambil merangkul bahu mereka berdua, "aku mengundang kalian pulang, nanti kita mesti berbicara sampai puas." Maka Thio Than dan Tong Po-gou pun berjalan keluar dari rumah makan itu menuju ke dalam kota yang penuh dengan angin dan hujan badai itu. Di tengah hujan angin, dua orang petugas pengadilan yang berjalan di depan sambil membawa lampion tampak mengayunkan langkahnya dengan sangat lambat, iring-iringan itu mirip dengan sebuah iringan pengantar jenazah ke tempat pekuburan .... Ada beberapa banyak angin dan hujan di dalam kota" Inikah yang disebut kepuasan" Jika kepuasan adalah begini, Tong Po-gou dan Thio Than rela sepanjang hidup tak akan menjumpai apa yang dibilang sebagai sebuah kepuasan. Yang mereka alami bukan sebuah kepuasan, tapi satu ke puasan yang setengah mati! Penderitaan yang luar biasa, penderitaan yang membual mereka hampir mati. Sekarang mereka baru paham, apa yang dikatakan para petugas opas sebagai "menjawab beberapa pertanyaan lalu tak ada urusan" adalah menyuruh mereka menjawab beberapa pertanyaan atasan lalu tak ada urusan untuk para petugas itu. Misalkan saja Jin Lau bertanya kepada Thio Than, "Mengapa kau datang ke kotaraja?" "Kenapa" Aku tak boleh datang ke kotaraja?" Baru saja Thio Than menyelesaikan jawabannya, seorang sipir penjara yang berada di belakangnya tiba-tiba menendang pinggangnya dengan keras. Thio Than kesakitan setengah mati hingga untuk sesaat tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. "Akulah yang sedang bertanya kepadamu, bukan kau yang bertanya kepadaku, lebih baik dengarkan secara jelas." Waktu itu Thio Than digantung terbalik, kepala di bawah dan kaki di atas, sebuah penyiksaan yang amat berat. "Kenapa kau datang kemari?" "Bukankah kau yang mengundangku kemari?" "Apa?" "Bukankah kau bilang akan mengajak kami datang kemari menjawab beberapa pertanyaan?" Jin Lau menghela napas dan mengangguk. Tali pengikat tangan dan kaki pun segera ditarik orang dengan kencang, membuat kedua tangan dan kaki Thio Than terbetot hingga membentuk sebuah garis lurus, saking kesakitannya dia hampir menangis. "Sebagai lelaki sejati, kepala boleh putus, darah boleh mengalir, tapi jangan menangis!" teriak Tong Po-gou gusar. "Aku bukan seorang lelaki sejati, aku belum kawin, aku hanya seorang Hohan!" sahut Thio Than sambil menahan kesakitan yang luar biasa. Kondisi Tong Po-gou sendiri pun tidak terlalu mulus, tubuhnya digantung dalam bentuk melengkung, kepala bagian belakangnya nyaris menyentuh ujung kaki, tubuhnya diikat di sebuah tiang berbentuk roda kereta, seluruh tubuhnya nyaris hancur saking sakitnya. Biarpun sangat tersiksa, namun dia masih saja berteriak penuh amarah, "Sebagai Hohan, darah boleh mengalir, air mata tak boleh meleleh......" "Aku ... aku lebih suka melelehkan air mata, tapi bisakah darahku tidak meleleh?" jawab Thio Than sambil mengertak gigi menahan rasa sakit. "Ah, kau sangat memalukan bentak Tong Po-gou gusar, kata selanjutnya dia tak sanggup melanjutkan. Ternyata Jin Lau sudah menyuruh orang menarik kencang talinya, kini Tong Po-gou nyaris berbentuk lingkaran. Ia merasa tulang belulang di bagian dadanya nyaris meloncat keluar dari balik badan, tulang iga serta tulang pinggangnya serasa hancur jadi tujuh delapan puluh keping, sakitnya bukan kepalang. "Nah, sekarang tak bisa bicara lagi bukan?" ujar Jin Lau kepada Thio Than, "sekali lagi aku bertanya, mau apa kau datang ke kotaraja?" "Aku mengantar pulang Lui Tun," kali ini Thio Than men?jawab dengan cepat. "Lui Tun?" "Putri tunggal Congtongcu dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong." "Apa hubungannya denganmu?" "Dia adalah saudara angkatku." "Konon kau mempunyai beberapa orang saudara angkat?" "Benar." "Mereka adalah Jit-to-sian-hong (tujuh gulung angin ber-pusing) dari perkampungan Tho-hoa-ceng?" "Benar." "Mereka sudah berdatangan ke ibukota?" "Belum!" "Apa" Saudara angkat sedang kesusahan, mereka tidak datang menolong" Kau hendak menipuku?" teriak Jin Lau sambil menjambak rambut Thio Than. Thio Than dapat merasakan ada beberapa ratus helai rambutnya yang tercabut dari kepalanya oleh jambakan kakek kurus ceking itu, bahkan banyak di antaranya bukan hanya tercabut berikut seakarnya, kulit kepalanya pun ikut mengelupas. "Mereka tak tahu kalau aku datang ke kotaraja!" teriak Thio Than. "Berarti kalian berdua diam-diam menyelonong datang kemari?" "Benar!" Jin Lau mundur satu langkah, mendekatkan obornya ke wajah Thio Than, kemudian katanya lagi, "Aku lihat di wajahmu timbul banyak jerawat" "Aku tidak jerawatan!" "Kulit tubuhmu juga tidak cukup putih dan mulus." "Aku memang bernama Thio Than, hitam bagai batu arang." "Kau benar-benar sudah angkat saudara dengan Lui Tun?" sekulum senyuman yang sangat memuakkan kembali menghiasi wajah Jin Lau, "masa sesederhana itu" Tidak ada rahasia lain yang tak boleh diketahui orang" Ehmm?" Kali ini paras muka Thio Than berubah sangat hebat. Benar-benar berubah hebat. Perubahan itu bukan disebabkan penderitaan yang dialaminya melainkan karena luapan amarah yang membara. "Kau benar-benar seorang yang teliti," teriaknya kemudian. "Betul, tak ada rahasia yang bisa mengelabui aku," sahut Jin Lau sambil tertawa. Dia segera memberi tanda kepada petugas untuk mengendorkan talinya, agar Thio Than bisa menghembuskan napas panjang. "Kau pun sangat cerdik," kata Thio Than lagi sambil menarik napas. "Sekarang kau baru tahu" Ehmmm, tidak terhitung kelewat bodoh, juga tidak terlalu terlambat," jengek Jin Lau sambil tertawa, kemudian tanyanya lagi, "Sekarang apakah kau sudah bersiap untuk membeberkan hubungan kalian yang sebenarnya kepadaku?" "Benar, tapi aku hanya akan memberitahu kepadamu seorang," dengan kerlingan matanya dia melirik sekejap ke arah Tong Po-gou. "Pengawal, segera gusur dia pergi!" Jin Lau segera menurunkan perintah. "He, arang hitam, kau memang anak kelinci yang tak punya malu, anak kurakura ..." teriak Tong Po-gou nyaring. Kemudian dia menghentikan makiannya karena yang keluar hanya dengusan tertahan. Sebuah cap besi yang merah membara karena sudah dibakar lama telah ditempelkan di atas lukanya, asap hitam bercampur bau busuk darah seketika memenuhi udara. "Kau tak usah suruh dia pergi, tempelkan saja telingamu kemari," teriak Thio Than lagi. Jin Lau segera berpikir, ada baiknya juga begitu, agar dengan mata kepala sendiri Tong Po-gou bisa melihat bagaimana Thio Than mengkhianati rekan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, maka sambil membungkukkan badan dia menempelkan telinganya dekat mulut Thio Than. "Nah, sekarang katakan!" Thio Than tidak bicara apa-apa, dia segera menggigit telinga Jin Lau kuat-kuat. Kontan saja Jin Lau menjerit kesakitan, tangannya segera diayunkan ke muka melancarkan pukulan, tapi Thio Than tidak melepaskan gigitannya. Serentak para sipir lainnya datang mengerubut, mereka menghajar Thio Than habishabisan, dari telinga, hidung dan mulutnya darah sudah bercucuran, akan tetapi dia masih menggigit telinga itu. Seorang sipir segera menarik talinya dengan kencang, tapi gigitan Thio Than malah semakin kuat, dia menggigit telinga itu semakin tajam. Menyaksikan kejadian ini mata Tong Po-gou hanya bisa membara, namun ia tak bisa membantu apa-apa. "Lepaskan gigitanmu, lepaskan gigitanmu!" jerit Jin Lau kesakitan. Thio Than tetap menggeleng. Akhirnya karena tak kuasa menahan rasa sakit, Jin Lau berseru, "Lepaskan dulu gigitanmu, aku tak akan menyiksamu lagi." Thio Than mengendorkan gigitannya, Jin Lau segera melompat mundur dua langkah, sambil memegangi daun telinganya yang berdarah teriaknya keras, "Siksa dia habis-habisan!" "Hmm, sudah kuduga kalau kau tak bakal pegang janji," kata Thio Than sinis, "tapi sayang perutku tidak lapar, aku tak ingin menelan telinga busukmu itu hingga merusak selera makanku." Hanya ucapan itu yang bisa dia katakan, karena siksaan sudah dimulai, ada yang sedang menguliti tubuhnya, merobek dagingnya, menghancurkan ototnya dan mematahkan tulangnya. Thio Than masih menjerit keras, berteriak memanggil bapak ibunya. Kali ini Tong Po-gou tidak mengumpatnya lagi, dia malah berteriak keras, "Bagus, bagus, punya semangat, punya semangat!" "Aku pun tahu kalau kau memang selalu hebat," teriak Jin Lau penuh kebencian. "Aku adalah seorang Hohan, kaulah Siaujin terkutuk!" teriak Tong Po-gou lantang. "Sekalipun kau seorang Hohan dan aku seorang Siaujin terkutuk, bisa apa kau" Di dunia ini yang ada hanya Siaujin yang menyiksa Hohan, kau menderita, aku gembira. Aku akan permak dirimu hingga tak berwujud manusia, akan kulihat bagaimana caramu berlagak jadi seorang Hohan! Kalau Hohan sudah ambruk, dia hanya sesosok mayat, sebaliknya aku sang Siaujin justru hidup penuh kenikmatan, bisa menyaksikan tulang belulang kalian yang mengaku Hohan digigit anjing, melihat batu nisan kalian dipenuhi lumut hijau!" "Sekalipun mati kenapa" Cepat atau lambat semua juga bakal mati, namaku akan harum semerbak dikenang orang, sementara nama busukmu dicerca dan dikutuk orang sepanjang masa." "Hahaha, kalau begitu, mampuslah, terkenallah setelah mampus, mending aku, hidup penuh kesenangan!" "Tak heran...." "Tak heran kenapa?" "Tak heran Thio Than pun tak sudi menelan telingamu," seru Tong Po-gou seolah baru sadar, "rupanya kau amat busuk, busuknya setengah mati." Sejak keluar dari kakus, tubuh Tong Po-gou masih diliputi bau busuk yang luar biasa, bau itu bercampur aduk dengan keringat dan darah, tentu saja baunya bukan kepalang, tapi sekarang, bukan Jin Lau yang mengumpatnya bau, justru dia memaki orang terlebih dulu. "Hehehe," Jin Lau tertawa seram, "sebagai Enghiong, tentunya kau tak akan menjawab semua pertanyaanku bukan?" "Keliru/'sahut Tong Po-gou dengan mata melotot. "Oya?" Jin Lau seakan tercengang. "Tergantung pertanyaan apa yang kau tanyakan." Jin Lau kuatir ia menggunakan tipu muslihat seperti Thio Than tadi sehingga membuat dia tak dapat menyelesaikan tugasnya, lekas ujarnya, "Asal kau menjawab dengan baik, kujamin kau akan selalu makan enak, tidur enak dan tinggal di sini secara nyaman..." "Jadi kau hendak menyekapku selama hidup?" tanya Tong Po-gou dengan perasaan tercekam. "Hahaha, asal kalian bersih, tidak terlibat urusan apa pun, siapa pun tak bisa menahanmu, asal kau bersedia diajak kerja sama, tak ada tempat di kotaraja sini yang bisa menahan kalian." "Baik, kalau begitu suruh mereka menghentikan dulu siksaannya." "Kau bicara dulu yang jujur, aku baru akan menyuruh mereka berhenti." "Tidak bisa, kalau saudaraku sampai terluka parah, hatiku akan terasa sakit, kalau hatiku sakit maka tak sepatah kata pun yang bisa kuucapkan, apalagi perkataan jujur." "Masuk akal," Jin Lau segera memberi tanda agar anak buahnya menghentikan penyiksaan. Meskipun baru disiksa beberapa saat, namun dia sudah lunglai seolah seluruh tulang belulangnya sudah remuk, dari kelima jari kirinya ada tiga di antaranya yang kukunya sudah dicabut, bola matanya agak melompat keluar, darah sudah membasahi seluruh tubuhnya, keadaannya waktu itu sangat mengenaskan. "Sekarang katakanlah!" ujar Jin Lau. "Kau boleh bertanya," kata Tong Po-gou sambil menarik napas panjang. "Kau adalah salah satu anggota dari tujuh penyamun Jit-tay-ko?" "Siapa bilang tujuh penyamun" Kami adalah tujuh pendekar!" "Apakah saudara angkatmu Sim Hau-sian, Pui Heng-sau, Kau-kau, Sim-put-lo-mia (beruntung tugas diselesaikan) tahu kalau kau datang ke ibukota?" "Tahu." "Kenapa kau datang ke kotaraja?" "Untuk menengok Un Ji!" "Un Ji" Adik seperguruan So Bong-seng?" "Dia adalah adik kami semua." "Kau datang untuk menjenguknya atau datang untuk berjumpa dengan kakak seperguruannya, So Bong-seng?" "Kenapa aku harus berjumpa dengan kakak seperguruan nya" Aku tidak kenal dengan So Bong-seng!" "Sekarang kau sudah kenal?" "Tentu saja." "Bagaimana pendapatmu?" "Aku tak mempunyai pendapat apa pun." "Lebih baik jawab saja semua pertanyaanku secara jujur, kalau tidak, sahabatmu itu akan tersiksa lebih hebat!" Tong Po-gou mendengus tertahan, belum sempat berbicara Thio Than sudah berteriak duluan, "He, kerbau dungu, kau tak usah kuatir, biarpun aku berteriak memanggil ayah ibu, namun kau tak usah menjawab pertanyaan mereka, paling aku akan berteriakteriak lagi. Kau jangan menjual nenek moyangku kepada mereka "Sialan kau, tutup mulutmu!" umpat Tong Po-gou. Rupanya habis sudah kesabaran Jin Lau, hardiknya, "Dengarkan baik-baik, kalau dia ngoceh tak keruan lagi, segera potong lidahnya lebih dulu!" Para sipir penjara serentak menyahut, hawa membunuh pun makin tebal menyelimuti tempat itu, tampaknya setiap saat banjir darah kembali akan berlangsung di situ. Kuatir lidahnya benar-benar dipotong, Thio Than mati kutunya, dia tak berani Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo berteriak lagi. Setelah suasana tenang kembali, Jin Lau baru bertanya kepada Tong Po-gou, "Benarkah Sim Hau-sian yang menyuruh kau melakukan hubungan dengan So Bongseng?" "Bukan." "Tahukah kau, siapa dia?" Jin Lau menuding ke arah Thiu Than yang sedang dipegangi beberapa orang lelaki kekar, "apa benar dia diutus Lay Siau-oh dari perkampungan Tho-hoa-ceng untuk bersekongkol dengan Lui Sun?" "Tentu saja bukan." "Kenapa?" "Sebab tadi dia sudah bilang bukan." "Memangnya karena dia mengatakan bukan lantas kau anggap bukan?" seru Jin Lau gusar, "kau ini kerbau atau manusia tak berotak?" Tong Po-gou sama sekali tidak gusar, sahutnya, "Karena aku percaya kepadanya." Kemudian ia balik bertanya, "Sebetulnya dosa apa yang telah kami lakukan" Kenapa kau memeriksa aku dengan pertanyaan seperti itu?" "Kalian punya hubungan dengan perkumpulan gelap di kotaraja, ini jelas melanggar hukum!" "Kenapa kalian tidak menangkap perkumpulan gelap yang kalian maksud" Kenapa malah menangkap kami?" "Bagus, kelihatannya kalian memang merupakan pasangan serasi, jangan dianggap karena tak bicara lantas bisa lolos dari hukuman. Hmmm, aku tak ambil, peduli mau tujuh penyamun atau perkampungan bunga Tho, pokoknya semua adalah komplotan bandit, kami mempunyai seribu satu alasan untuk menahan kalian sepanjang hidup di sini, kami pun mempunyai seratus satu macam alasan untuk membuat kalian kehilangan kepala, bukan hatiku kejam tanganku telengas, adalah kalian sendiri yang menolak arak kehormatan dan memilih arak hukuman!" Sementara dia berbicara, lelaki kekar yang sedang membakar jepitan besi di atas tungku api itu sudah menempelkan besinya di atas luka Tong Po-gou, bau daging hangus kembali menyelimuti seluruh ruangan. Tong Po-gou kesakitan setengah mati, saking sakitnya sekujur badan sampai gemetar keras. "Jangan dianggap dengan membungkam lantas kami akan menaruh kasihan kepada kalian," Jin Lau tertawa dingin, tampaknya dia sangat menikmati penampilan Tong Po-gou, "kuberi kalian waktu selama satu hari, pikirkan baik-baik, daripada lusa kalian akan menerima siksaan yang jauh lebih berat lagi dari Jin Yuan... hahaha....... Setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Jika dia yang turun tangan, mungkin kalian akan jadi kebingungan sendiri siapa sebenarnya yang bernama Thio Than dan siapa yang bernama Tong Pogou!" ooOOoo 56. Sampah Mereka berdua dibuang ke dalam sebuah kamar penjara, persis seperti dua gundukan sampah. Manusia pun terkadang seperti sampah, tapi kata sampah ada kalanya ditujukan pada orangnya, ada kalanya ditujukan pada apa yang sedang mereka pikirkan. Bagi Tong Po-gou dan Thio Than, sampah menunjukkan keadaan mereka saat ini. Ditinjau dari bentuk luarnya, Tong Po-gou seperti seonggok besar sampah, sementara Thio Than seperti seonggok kecil sampah, karena perawakan tubuh Tong Po-gou memang jauh lebih besar. Mungkin dikarenakan alasan ini kalau biasanya hanya kedua belah tangan dan kedua belah kaki yang dipasangi borgol plus bola pemberat yang terbuat dari besi, nama pada tengkuk Tong Pogou pun ditambahi dengan sebuah borgol baja. Borgol itu beratnya mencapai tujuh puluh tiga kati, kecuali Tong Po-gou, orang lain mungkin berjalan pun tak sanggup. Thio Than tak perlu mengenakan borgol tambahan karena bentuk badannya memang tidak mencerminkan ancaman bagi orang lain, selain itu dia pun sudah habis dipermak hingga tidak menyerupai bentuk manusia lagi. Tong Po-gou memperhatikan Thio Than sekejap, kemudian setelah menghembuskan napas panjang katanya, "Sungguh tak disangka malam ini kita berdua telah menjadi sampah." "Kau lebih mirip sampah ketimbang aku, bau dan dekil lagi," dalam keadaan begini Thio Than masih berusaha untuk menggoda rekannya. "Ah, aku sangka tak lama lagi kau akan meninggalkan dunia ini, tak nyana biarpun badan sudah tujuh delapan bagian hancur, mulutmu masih setajam sembilu." "Betul, aku memang selalu berprinsip 'selama lidah masih ada, aku masih hidup'. Lidah ada manusia hidup, lidah dipotong manusia pun mati. Apa kau tidak merasa begitu waktu si setan penyakitan mengancam akan memotong lidahku, aku langsung tidak bicara lagi?" kata Thio Than, "tanpa lidah, mana mungkin aku bisa bicara" Aku mempunyai seorang saudara angkat, Thio Han, dia kehilangan lidahnya, aku tak ingin hidup tersiksa macam dia!" "Aku mengerti," Tong Po-gou mengangguk. "Apa lagi yang kau pahami?" "Orang baik selamanya berumur pendek, tapi bagi manusia yang tak punya perasaan, tak setia kawan, egois, menang sendiri, suka omong besar macam kau, tak mungkin dalam satu dua detik bisa langsung mampus." "Betul juga perkataanmu itu, makanya aku tak bakalan mati secara gampang," kembali Thio Than tertawa, "malah aku sedang menunggu untuk berkabung bagimu! Kau pernah mendengar orang berkata, ada jenis manusia, di waktu biasa dia sangat lemah, seakan bisa mati setiap saat, tapi kemampuannya untuk hidup terus justru jauh melebihi orang kuat, justru dia lebih panjang umur." "Sekarang kita sudah terjebak dalam keadaan dan situasi seperti ini, kau kira saat ini cocok untuk berpacaran?" seru Tong Po-gou dengan mata melotot. "Berpacaran?" Thio Than berkerut kening, "kita berdua?" "Kita jauh lebih parah keadaannya daripada berpacaran antar sesama jenis, kita sedang menunggu mati, sedang membicarakan siapa yang mati duluan." Thio Than tertawa getir. "Kalau bukan masalah ini yang dibicarakan, lalu mau bicara soal apa" Bicara soal melarikan diri" Kau sangka setelah terkurung di sini masih ada harapan untuk melarikan diri?" Kebetulan dua orang sipir penjara sedang meronda dan berjalan lewat di situ, salah satu di antaranya seorang lelaki beralis tebal bermata besar langsung menendang tubuh Thio Than dengan keras, sambil menendang umpatnya, "Anjing sialan, berani bicara soal melarikan diri" Akan kutendang kau sampai mampus!" Belum sempat dia menarik kembali kakinya, sambil meraung keras Tong Po-gou sudah menubruk ke depan, tapi karena gerak-geriknya tak leluasa, lukanya tak enteng, kaki tangannya mengenakan borgol yang berat sehingga mustahil baginya untuk mencengkeram tubuh lawan, terpaksa ia gunakan tubuhnya yang tinggi besar untuk menindih sipir itu. "Kraaak!", tampaknya tulang kaki sipir itu seketika patah jadi dua. Karena kesakitan, sipir itu berteriak keras. Sipir penjara yang lain, seorang lelaki bermata besar berwajah bopeng lekas mengambil toya sambil menyerbu masuk ke dalam ruang sel, dia langsung menghantam kepala dan punggung Tong Po-gou. Lekas Thio Than menangkap toya itu seraya berteriak, "Tayya berdua, ampunilah kami...!" Setelah menghantam sekian lama, tampaknya amarah sipir itu baru agak reda, bentaknya, "Kenapa tidak segera lepas tangan, ingin digebuk lagi?" Thio Than segera menghentikan tangannya, menggunakan kesempatan itu sipir tadi menyodokkan ujung toyanya ke dada Thio Than, kontan saja dadanya terasa sakit sekali, tenggorokannya terasa anyir, nyaris dia muntah darah. Menyaksikan kejadian ini kembali Tong Po-gou meraung keras sambil siap menerkam ke depan, lekas sipir itu menarik kembali toyanya sambil mundur ke belakang. Karena terhalang tirai besi, Tong Po-gou tak mampu mengejar keluar, karenanya terpaksa ia menghentikan gerakan tubuhnya. Dengan geram penuh amarah sipir berwajah -bopeng itu berseru, "Tunggu saja tanggal mainnya, lihat cara Yaya membikin perhitungan di kemudian hari!" Kejadian itu tampaknya menarik perhatian beberapa orang sipir yang lain, beberapa orang segera menggotong pergi sipir yang patah tulang kakinya, sementara seorang kepala sipir berjalan menghampiri sipir berwajah bopeng itu sambil ujarnya, "Telur kulit babi, sudahlah! Kedua orang itu adalah tawanan Cutayjin, tunggu saja sampai Jin-tayya selesai menyiksa mereka, kemudian baru kita habisi kedua orang itu hingga tulang belulang pun tidak tersisa." Sambil berkata dia menarik pergi rekannya. Kawanan sipir yang lain pun tak berani kelewat mendekat, mereka semakin meningkatkan penjagaan namun hanya mengawasi dari kejauhan. Kini tinggal Tong Po-gou yang berbaring dengan napas tersengal-sengal, suasana yang semula gaduh pun lambat laun pulih kembali dalam keheningan. Thio Than yang jahil segera menggunakan borgolnya un tuk mengetuk dinding penjara, seorang sipir berjalan mendekat dengan penuh amarah, baru saja dia akan menggebuk dengan toyanya, rekannya yang lain segera mencegah, "Biarkan saja mereka berbuat semau sendiri, selesai pemeriksaan, kita pasti dapat giliran untuk permak mereka habis-habisan." Thio Than mengetuk terus dinding penjara itu tiada hentinya, lama kelamaan Tong Po-gou yang tidak tahan, umpatnya, "Bocah sialan, jangan mengetuk terus, kalau ingin mampus, benturkan kepalamu di dinding, jangan mengganggu ketenangan Locu, kalau aku sampai tak tahan, tahu rasa kau nanti!" Thio Than tertawa, bisiknya lirih, "Coba kau dengar!" Tong Po-gou mencoba untuk pasang telinga, namun ia tidak mendengar apa-apa, yang terdengar hanya suara rintih kesakitan serta suara gesekan borgol yang berasal dari ruang penjara lainnya. "Dengar, dengar" Dengar kentutmu!" seru Tong Po-gou mendongkol. "Sst, jangan berisik, coba dengar lagi, sudah terdengar?" Menyaksikan keseriusan rekannya, Tong Po-gou baru pasang telinga dan mendengarkan dengan seksama, benar saja, ia segera mendengar ada suara ketukan di atas dinding batu. "Sialan kau, mau edan pun ingin mengajak aku!" dengusnya kemudian. "Tahukah kau kenapa aku bicara seperti orang gila dan perkataanku selalu tak ada ujung pangkalnya?" "Kau memang selalu begitu!" "Keliru, aku sengaja berlagak edan karena tadi ada orang mencuri dengar pembicaraan kita berdua dari dinding sel sebelah." "Darimana kau tahu?" tanya Tong Po-gou setengah percaya. "Sebab bila orang yang mencuri dengar tidak memiliki tenaga dalam yang sempurna, dia pasti akan menempelkan telinganya di dinding, agar bisa mendengar suara di ruang sebelah lebih jelas, persis seperti apa yang kau lakukan barusan." "Terus kenapa" Kau mendengar kalau ada yang mencuri dengar pembicaraan kita?" "Ketika ia menempelkan telinganya di atas dinding, suara peredaran darah dan suara detak jantungnya akan ikut tembus juga di dinding itu, karenanya kita bisa mendengar suara itu dengan sangat jelas." "Ah, tak heran kalau kau begitu tertarik dengan telinga si setan penyakitan itu, ternyata kau memang punya pengetahuan lebih mengenai masalah pertelingaan." Thio Than sama sekali tidak menggubris ejekan itu, katanya lebih lanjut, "Ketika seseorang sedang menahan napas, otomatis cara pernapasan yang digunakan akan beda dengan orang biasa, asal kau mau memperhatikan dengan lebih seksama, mestinya tidak sulit untuk membedakannya." "Sekarang masih ada yang menguping?" "Setelah terjadinya keonaran tadi, mereka beranggapan omongan kita kacau dan tak bisa dipercaya, apalagi tubuh kita pun sudah kena digebuk lagi, mereka pasti beranggapan dari mulut anjing tak bakal keluar gading gajah." "Sialan, kau yang mulut anjing, aku yang gading gajah!" "Betul, kau malah punya belalai gajah yang besar! Terserah kau percaya atau tidak, tapi aku rasa untuk sementara kita pasti akan diabaikan dan tidak diperhatikan lagi." "Aku heran, sebetulnya apa maksud si babi gemuk marga Cu itu?" "Dia tak punya maksud apa-apa." "Lantas tanpa sebab dia menangkap kita berdua, menghajar kita habis-habisan, masa tak punya maksud apa-apa?" "Kau keliru lagi, dia sama sekali tidak menggebuk kita, yang menyiksa kita adalah Jin Lau, sedang dia sebagai petugas interogasi memang selalu menggunakan cara begitu untuk memperoleh data yang diperlukan." "Lantas apa artinya?" "Paling tidak ia bisa membebaskan diri dari tanggung jawab, kalau kita tak mau menjawab, itu bukan urusannya, tapi aku rasa ada tiga alasan mengapa dia menangkap kita berdua." "Apa alasannya?" "Pertama, dia ingin mengorek keterangan yang lebih banyak dari mulut kita mengenai perkumpulan Lak-hun-poan-tong dan Kim-hong-si-yu-lau." "Hmmm, kalau ingin mengetahui persoalan perkumpulan Lak-hun-poan-tong dan Kimhong-si-yu-lau, memangnya mereka tak bisa langsung bertanya kepada Lui Sun dan So Bong-seng?" "Hehehe, kau anggap Lui Sun dan So Bong-seng mau menjawab pertanyaan mereka?" "Tapi dia toh bisa menangkap beberapa orang anak buah perkumpulan Lak-hun-poantong dan Kim-hong-si-yu-lau untuk diperiksa." "Kalau cuma tauwbak rendahan yang dibekuk, mereka bisa memperoleh berita apa, kalau ingin membekuk mereka yang punya peranan penting, kuatir tindakan itu malah meningkatkan kewaspadaan Lui Sun dan So Bong-seng. Kau toh tahu, baik Kimhong-si-yu-lau maupun perkumpulan Lak-hun-poan-tong semuanya punya hubungan yang erat dengan pejabat pemerintahan, memangnya Cu Gwe-beng berani mengambil resiko ini?" "Kalau tidak mendapat restu dari pihak pemerintah, kenapa pula Cu Gwe-beng harus terjun ke dalam air keruh ini dengan mencari tahu tentang Kim-hong-si-yu-lau dan perkumpulan Lak-hunpoan-tong?" "Bagus sekali pertanyaanmu itu, kelihatannya Cu Gwe?beng mempunyai tujuan sendiri." "Ya, siapa tahu dia melakukan semua ini atas permintaan Pui-siauhoya." "Aku rasa tidak mungkin, meski Pui Ing-gan punya kepentingan juga dalam persoalan ini, tapi bukan berarti dia satu al.iran dengan Cu Gwe-beng, kalau tidak, tak mungkin mereka bentrok dengan Beng Khong-khong waktu di rumah makan tempo hari." "Hmmm, hmmm!" "Apa maksudmu dengan hmm, hmm?" "Hmm, hmmm itu ada dua arti." "Dua arti bagaimana?" "Hmm pertama karena langit di luar sana kini masih gelap gulita." "Lalu hmm yang kedua?" "Hmm kedua karena hati manusia susah diukur, biar hitam membusuk pun susah dilihat dari luar kulit." "Siapa yang kau maksud?" "Siapa lagi?" "Kau mengatakan aku?" "Itu kau sendiri yang mengatakan." "Aku Thio Than selalu hitam di kulit tidak hitam di hati." "Hatimu tidak hitam" Menjual sahabat sendiri sebagai babi, sebagai kerbau, kau masih bilang tidak hitam hatimu?" "Apa lagi maksud perkataanmu itu?" "Aku hanya bilang sejak kapan kau sudah mengangkat saudara dengan Beng Khongkhong sekalian" Bukankah waktu itu kau mengaku sebagai Losu" Hmmm, mengaku sekarang ......" Mendadak Thio Than tertawa terbahak bahak. Tong Po-gou semakin gusar, teriaknya, "Aku tak peduli kau punya berapa banyak saudara angkat yang bisa bermain golok, kalau berani tertawa lagi, buktikan sendiri aku berani menghajarmu atau tidak." "Hahaha, tadi aku memang sengaja mengaku sebagai saudara angkat mereka, tujuannya agar mereka saling gontok-gontokan sendiri, tak nyana kau pun percaya dengan bualanku, benar-benar kelewat go...." "Lantas siapa yang mengerjai aku ketika berada di kakus?" tanya Tong Po-gou dengan wajah bersemu merah karena malu. "Kalau kau bertanya kepadaku, lantas aku mesti bertanya kepada siapa?" "Aku rasa mereka keliru besar jika menangkap kita berdua karena ingin mengorek keterangan tentang perkumpulan Lak-hun-poan-tong dan Kim-hong-si-yu-lau." "Tapi Cu Gwe-beng tidak keliru jika dia menangkap kita berdua karena ingin mengetahui hubungan antara perkumpulan Lak-hun-poan-tong, Kim-hong-si-yu-lau dengan perkampungan bunga Tho serta Tujuh penyamun." "Tapi kami tujuh pendekar besar tak ada hubungan apa-apa dengan Kim-hong-si-yulau!" "Begitu juga dengan perkampungan bunga Tho kami pun tak ada hubungannya dengan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, kendati begitu belum tentu Cu Gwe-beng berpendapat demikian." "Maka dia pun menangkap kita berdua?" "Yang aku kualirkan justru tujuan mereka bukan hanya untuk menangkap kita berdua saja." Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Maksudmu dia ingin menggunakan kita berdua sebagai umpan untuk memancing yang lain masuk perangkap ..." "Atau menggunakan kita berdua sebagai ancaman untuk menekan saudara-saudara kita yang lain." "Tapi apa tujuannya berbuat begitu?" "Kau kok malah bertanya kepadaku?" "Lalu aku mesti bertanya kepada siapa?" kata Tong Po-gou, "jadi inikah tujuan keduanya menangkap kita berdua?" "Rasanya begitu." "Alasan yang ketiga?" "Sampai sekarang belum terpikir olehku." "Bukankah kau yang mengatakan ada tiga alasan?" "Benar, tapi alasan yang terakhir belum terpikir olehku, toh lebih kurang atau lebih banyak tak akan berpengaruh apa-apa untuk kita berdua." Suara ketukan pada dinding penjara masih bergema terus, tiba-tiba Thio Than menghantamkan borgol di tangannya ke atas kepala Tong Po-gou. "Kau ingin mengajak berkelahi?" teriak Tong Po-gou gusar. "Sst, kau tidak menemukan sesuatu?" "Menemukan apa?" "Kita harus berlagak ribut terus, seakan-akan mau saling menghajar dan saling mengumpat, dengan cara begini kalau kita membicarakan hal yang serius, orang lain tak akan terlalu memperhatikan." Tong Po-gou memang bertubuh tinggi besar, berlagak memang merupakan keahliannya, maka tak heran kalau lagak mereka berdua seolah benar-benar sedang ribut dan cekcok sendiri. "Ketukanku pada dinding merupakan kode rahasia," bisik Thio Than lagi, "aku percaya dalam penjara ini pasti terdapat orang dari aliran sendiri, menurut aturan yang berlaku dalam dunia persilatan, mereka wajib membantu kita berdua." "Maksudmu mereka bisa menolong kita?" "Paling tidak mereka akan mencari cara dan akal untuk kita." "Kalau mereka bisa menolong orang, kenapa tidak menolong dulu diri sendiri!" "Setiap aliran mempunyai aturan sendiri, setiap perkumpulan mempunyai aturan perkumpulan, ketika mereka terkurung di tempat ini, mungkin saja tak dapat menolong diri sendiri, tapi bukan berarti mereka tidak mempunyai pengaruh, karena kenyataan orang bisa menjadi pentolan di dalam penjara, bahkan terkadang dalam satu penjara yang besar bisa muncul belasan orang pentolan." "Kenapa mereka harus menolong kita?" "Karena aku lebih besar." "Kau... lebih besar?" "Tingkatanku lebih besar." "Maksudku status dan kedudukanku dalam dunia persilatan cukup terpandang ... bila suatu saat mereka sudah bebas dari penjara dan terjun kembali di dunia luar, mereka membutuhkan perlindunganku, paling tidak butuh bantuan bilamana diperlukan, banyak kaum perampok atau pencoleng yang menjunjung tinggi rasa setia kawan, biasanya orang-orang macam mereka lebih ringan tangan bila dimintai bantuan." "Maka kode rahasia itu sedang memberitahu kepadamu "Bukan, sedang bertanya kepadaku." "Menanyakan soal apa?" "Bertanya kepadaku mau pergi atau tidak" "Pergi" bagaimana mungkin, mustahil." "Belum tentu." "Kenapa?" "Bukan hanya dari para narapidana yang ingin membantu kita, dari kawanan sipir pun terdapat juga sahabat sealiran, aku sudah berhubungan dengan mereka melalui tanda rahasia." "Ah, tak heran kalau tadi kau berlagak sinting ... ternyata sedang bermain sandiwara!" "Aku sendiri pun tidak menyangka kalau berita tertawannya kita di sini sudah tersebar luas dengan begitu cepat, tampaknya Cu Gwe-beng sendiri pun tidak menyangka akan hal ini." "Tapi siapa yang menyebarkan berita ini" Thian-he-te-jit" Atau Toako, Jiko dan Samkomu itu?" "Bukan mereka, tapi si pemilik rumah makan dan pelayannya." "Ah, kau maksudkan dua orang yang takut mati itu?" Tong Po-gou berseru tertahan. "Takut" Kalau seseorang sedang ketakutan, mana mungkin lagaknya ketakutan setengah mati namun sorot matanya tetap tenang seperti tak terjadi apa-apa?" ujar Thio Than sambil memegang luka di tengkuknya, "kedua orang itu, satu tua satu muda justru merupakan jagoan tersembunyi, bisa jadi selama ini tak pernah takut kepada orang, justru orang lain yang takut kepada mereka." "Wah bagus sekali! Kalau begitu suruh mereka saja membantu kita kabur dari neraka ini," kata Tong Po-gou kegirangan, "sungguh tak disangka aku bisa bertemu dengan sahabat macam kau, biasanya nampak tak berguna, tapi begitu situasi kritis, ternyata kau banyak akalnya juga. He, anggap saja itu balasanmu karena selama ini aku selalu melindungimu, ayo, jalan!" "Jalan?" "Jalan" Bukankah kau bilang mau pergi dari sini?" "Bukannya tak mau pergi, tapi kita tak boleh pergi dengan cara begini." "Kalau tak ingin pergi dengan cara begini, memangnya kau ingin diantar dengan tandu besar?" umpat Tong Po-gou dengan suara keras. "Bukan begitu, cuma aku tak ingin menyusahkan orang lain, sebab kalau kita pergi begitu saja, banyak teman akan menjadi korban karena ulah kita ini." Dengan pandangan melotot Tong Po-gou mengawasi rekannya, dia seakan sedang melihat bayangan setan yang muncul di siang hari bolong. ooOOoo 57. Berpaling melihat cahaya golok "Apakah aku ini manusia?" "Benar." "Apakah aku adalah sahabatmu?" "Benar!" "Kau takut menyusahkan orang lain, menyusahkan sahabatmu, tapi membiarkan aku menemanimu hidup tersiksa dalam neraka ini," seru Tong Po-gou dengan nada mendongkol, "memangnya kau anggap hanya kau sendiri yang manusia" Memangnya aku bukan sahabatmu?" Thio Than menundukkan kepala dan menyahut lirih, "Kau bukan sedang menemani aku, karena mereka ingin menangkap ku, juga ingin menangkap kau." "Kalau sekarang ada kesempatan bagi kita untuk kabur, kenapa kau tak mau kabur?" tanya Tong Po-gou naik darah. "Tolong, jangan keras-keras kalau bicara, mau bukan?" pinta Thio Than setengah merengek. "Goblok kau," bisik Tong Po-gou, "kalau kita saling mengumpat dengan suara keras, mereka malah tak menaruh perhatian, semakin kecil suara kita, orang semakin curiga." "Hai, sekarang aku benar-benar mulai merasa kagum kepadamu," Thio Than menghela napas panjang. "Justru karena aku selalu mengagumkan maka manusia macam aku tidak sepantasnya Pendekar Aneh Naga Langit 13 Kehidupan Para Pendekar Karya Nein Arimasen Jejak Di Balik Kabut 18