Golok Kelembutan 6
Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id Bagian 6 "Dalam dua jam mendatang, biarpun kau memukul gem-breng keras-keras di sisi telinganya, dia tetap tak akan mendengar apa-apa," sahut Pek Jau-hui penuh keyakinan, "kalau Lui Cian menggunakan ilmu jari pelenyap kesadaran, maka ilmu jariku adalah ilmu jari pengejut kesadaran, daya kemampuanku sama sekali tak di bawah kemampuan It-sin-ci, dalam hal ini kau boleh percaya penuh." "Tentu saja aku percaya penuh dengan perkataanmu, aku Si Say-sin pun tidak berharap bisa menjumpai kehebatan ilmu jarimu itu, karena aku tidak berharap suatu hari nanti kau justru menggunakan ilmu jari itu untuk menghadapi kami empat malaikat bengis." "Semoga saja tidak," Pek Jau-hui tertawa, "sebab menghadapi empat malaikat bengis merupakan satu kejadian yang sangat menakutkan." Setelah berhenti sejenak, tambahnya dengan nada setajam pisau belati, "Namun kejadian ini merupakan satu tantangan yang sangat menawan pula." Ada banyak manusia di dunia ini yang sejak lahir sudah gemar berpetualang, menyerempet bahaya, biasanya orang-orang semacam ini senang akan rangsangan, suka akan ketegangan, seperti misalnya menaiki kuda yang berlari cepat, berjudi dengan taruhan yang luar biasa besarnya, mengunjungi tempat yang paling panas, membunuh orang yang paling sulit dibunuh dan sebagainya. Tak bisa disangkal, pekerjaan atau perbuatan semacam itu merupakan sebuah tantangan bagi mereka. Mereka suka menghadapi tantangan semacam ini, karena mereka pun senang menciptakan sebuah tantangan bagi diri sendiri. ooOOoo Ong Siau-sik tidak termasuk manusia jenis itu, dia tak mau melakukan tantangan, apalagi tantangan bagi diri sendiri, dia lebih suka main-main. Lui Heng adalah seorang jago yang gampang naik darah, dia pernah mendengar tentang, hal ini, maka dia ingin membuatnya gusar, dia ingin tahu sampai dimana ia sanggup membuatnya gusar! Lui Heng adalah seorang jago yang tidak mudah dihadapi, dia pun mendengar tentang hal ini, maka dia ingin mengganggunya, dia ingin tahu sampai dimana susahnya menghadapi orang ini! Lui Heng adalah seorang jago yang sama sekali tak memiliki 'kelemahan', dia pun mendengar tentang hal ini, maka dia ingin mencoba untuk bertarung melawannya, ingin tahu apa yang disebut manusia yang tak memiliki kelemahan. Kecuali karena dorongan kepentingan dan keuntungan, ada sementara orang melakukan suatu pekerjaaan hanya dikare nakan kesepian. Ketika seseorang sedang kesepian, dia akan mencarikan suatu pekerjaan yang bisa membuat dirinya tak perlu kesepian lagi, oleh sebab itu bila seseorang melakukan suatu pekerjaan dikarenakan masalah kesepian, maka akan tersedia alasan yang cukup bagi dirinya untuk melakukan pekerjaan apa pun. Itulah sebabnya terkadang kesepian justru lebih menakutkan daripada suatu kematian. Ada sementara orang melakukan suatu pekerjaan karena terdorong rasa ketidak adilan, ketidak adilan merupakan semacam semangat. Orang yang suka menolong kaum lemah, menindas kaum kuat mungkin saja melewati suatu kehidupan yang penuh keramaian, sekalipun dia tak akan mendapat keuntungan apa pun bahkan harus berjuang keras demi orang lain, tapi semangat 'ketidak adilan' sudah menjadi alasan yang cukup baginya untuk melakukan hal-hal semacam itu. Sebab ada kalanya semangat ketidak adilan justru jauh lebih membangkitkan semangat hidup daripada yang lain. Tapi bagi Ong Siau-sik, dia bukan lantaran kesepian, juga bukan lantaran semangat ketidak adilan saja, selain demi So Bong-seng, dia pergi mencari Lui Heng demi keinginannya untuk bermain-main. Suka bermain termasuk sifat dasar setiap makhluk yang disebut manusia, ketika seseorang mulai merasa tak suka bermain, semangat hidupnya akan mulai melemah, oleh sebab itu anak-anak paling suka bermain, sedang orang tua yang masih mengharapkan semangat hidupnya tetap tinggi, ada pula yang 'tua-tua keladi, makin tua makin menjadi', mereka pun suka bermain-main. Tentu saja suka bermain macam begini ibarat pancaran sinar senja, kilauan cahaya yang sesaat sebelum benar-benar menjadi gelap. Lui Heng bukan seseorang yang enak dibuat permainan. Ketika Ong Siau-sik pergi mencarinya, ia sedang melampiaskan perasaan bencinya. Caranya untuk melampiaskan rasa bencinya adalah dengan membenturkan diri ke dinding. Tentu saja dia tak akan menggunakan badannya untuk membentur dinding, dia bukan kerbau, bukan pula gajah, dia adalah Lui Heng, maka dia menggunakan tangan kiri dan kanannya untuk menghantam dinding. Tenaga pukulannya yang membentur dinding akan memantul balik, hawa pukulan yang memantul makin lama sema?kin menguat hingga membentuk satu pusaran angin yang kuat, ia berdiri di tengah lingkaran pusaran, membiarkan tubuhnya dikelilingi tenaga pukulan yang sangat kuat itu. Ketika tenaga pusaran itu membalik, maka dia akan melawan tenaga itu dengan pukulan lain, dia tak akan membiarkan badannya terpental mundur, dia pun tak akan membiarkan tenaga pantulan itu menghantam ke tubuhnya. Dengan cara ini pula Lui Heng melatih tenaga pukulannya. Dia tak ingin membuang percuma semua perasaan bencinya, karena itu dengan memanfaatkan tenaga pantulan dan perasaan benci, ia melatih diri dengan tekun. Ia mempunyai nama besar, mempunyai kedudukan tinggi, kungfu yang dimiliki pun sangat hebat, siapa lagi yang berani mengganggunya" Tapi ia tetap rajin berlatih, selamanya tak pernah melepaskan kesempatan untuk melatih diri. Kesuksesan seseorang ditopang oleh tiga syarat, pertama, dia harus berbakat, termasuk cerdas, kedua, dia mesti rajin, mau berlatih tekun, ketiga, dia harus punya nasib baik, dengan begitu baru akan memperoleh kesempatan. Bila ketiga syarat itu tersedia, tidak sulit bagi orang itu untuk mencapai tingkat kesuksesan yang luar biasa. Lui Heng mempunyai bakat, dia pun mau berlatih tekun, sementara dia pun merupakan orang kepercayaan keluarga Lui, oleh karena itu ilmu pukulan Ngo-luihong-teng (lima guntur meledakkan puncak) yang berhasil dikuasainya merupakan ilmu pukulan paling hebat di antara anggota keluarga Lui lainnya. Sayang dia masih belum dapat menandingi ilmu pukulan Ngo-lui-thian-sim (lima guntur menghajar inti langit) milik Lui Tong-thian, itulah sebabnya dia bersumpah akan berlatih terus hingga kepandaiannya mampu melampaui Lui Tongthian. Dia tak berani bersaing dengan Congtongcu Lui Sun, tapi punya ambisi yang kuat untuk bersaing dengan saudara keduanya, Lui Tong-thian. Bila ingin mengungguli orang yang lebih tangguh, dia harus berlatih tekun, karena cara ini merupakan cara paling tepat dan paling mendatangkan hasil. Lui Heng sembari melatih ilmu Ceng-san-lui-sim-hoat di tengah gulungan angin pukulannya, ia membayangkan kembali kejadian yang dialaminya kemarin. Terbayang kembali kejadian kemarin, ketika bertemu de?ngan So Bong-seng, namun dia tak mampu melancarkan serang?an, ia merasa benci dan dendam sekali, saking bencinya ia sam?pai mengertak gigi. Setiap kali rasa bencinya tumbuh, dia tak tahan ingin sekali membunuh orang. Pagi tadi dia telah membunuh tiga orang. Ketiga orang itu, satu adalah pengkhianat dari perkumpulan Mi-thian-jit-seng, seorang adalah anggota perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang berkhianat dan seorang lagi adalah mata-mata yang dikirim perkumpulan Biau-jiu-tong dari kota Lokyang. Pagi tadi tatkala untuk pertama kalinya timbul perasaan benci dalam hatinya, dia telah menangkap sang mata-mata dari perkumpulan Biau-jiu-tong, melemparkan orang itu ke pusat pantulan tenaga pukulannya dan membiarkan orang itu terhajar tenaga pantulannya hingga hancur isi perutnya dan mati dengan muntah darah. Ketika untuk kedua kalinya timbul perasaan benci dalam hatinya, dia bekuk sang pengkhianat dari perkumpulan Mi-thian-jit-seng dan menggunakan cara yang sama membiarkan orang itu terhajar tenaga pantulan yang dilepaskannya, dia baru puas setelah menyaksikan tubuh orang itu tercabik-cabik hingga hancur. Ketika rsa bencinya muncul untuk ketiga kalinya, dia perintahkan orang untuk menyeret datang sang pengkhianat dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong, kemudian dengan melepaskan pukulan yang bertubi-tubi dia menghajar tubuh orang itu secara kalap, akibatnya bukan saja batok kepalanya retak, sepasang baji matanya sampai mencelat keluar diiringi semburan darah bagaikan pancuran air, pemandangan waktu itu amat menggidikkan. Lui Heng benar-benar merasa puas. Tapi dia masih ingin mencoba sekali lagi, dalam sehari minimal dia harus lima enam kali melampiaskan rasa kesal dan bencinya sebelum perasaannya benar-benar jadi lega. Kali ini dia bersiap melampiaskan rasa kesal dan bencinya itu terhadap anggota Kim-hong-si-yu-lau . Menghajar mampus musuh memang merupakan cara yang terbaik untuk melampiaskan rasa kesal dan bencinya. Oleh sebab itu dia membuyarkan dulu tenaga pantulannya, kemudian baru bertepuk tangan beberapa kali. Musuh segera akan didorong masuk ke sana, menjadi kelinci percobaannya, ia sudah memutuskan akan membuat musuhnya kali ini mati dengan cara yang jauh lebih sadis, jauh lebih mengenaskan ketimbang ketiga orang korban sebelumnya. Lui Heng memang bukan seorang manusia yang enak diajak bermain, dia suka melampiaskan napsu secara berlebihan. Dia paling suka menggunakan nyawa orang lain untuk memuaskan napsunya. ooOOoo 26. Melampiaskan napsu dan permainan menarik Korban yang akan digunakan untuk melampiaskan napsu telah digiring masuk. Kembali seluruh tubuh Lui Heng dipenuhi oleh napsu benci yang meluap. Orang yang digiring masuk ternyata bukan musuh yang sudah ia perintahkan anak buahnya untuk dipersiapkan, sebab dia masuk sendiri ke sana, bahkan orang ini pernah dijumpainya satu kali, yakni ketika berada di depan loteng Sam-hap-lau kemarin siang, orang itu pernah berjalan bersama So Bong-seng. Jadi orang ini benar-benar adalah musuhnya. Sejak dulu hingga sekarang, musuh yang dibawa masuk untuk melampiaskan napsunya selalu didorong, bahkan setengah diseret, ini disebabkan orang-orang itu selalu sudah dibuat ketakutan setengah mati sehingga sudah tidak berbentuk manusia lagi. Tapi orang yang muncul kali ini tampil dengan wajah cengar-cengir, sama sekali tak nampak ketakutan, melihat ini Lui Heng semakin benci, semakin jengkel, giginya sampai gemerutukan saking gatalnya, namun dia tidak langsung menyergap ke depan, dia tak ingin turun tangan secara terburu-buru. Benci dan terburu napsu jelas merupakan dua hal yang berbeda, rasa benci terkadang bisa menggabungkan semangat dan kekuatan menjadi satu, sebaliknya terburu napsu justru merupakan pemborosan semangat serta tenaga. Oleh sebab itu kendatipun rasa bencinya sudah mencapai ubun-ubun, dia masih mencoba untuk menahan diri. "Jadi kau datang untuk mengantar kematian?" ia menegur. "Benar," Ong Siau-sik tertawa semakin riang, "aku memang datang untuk mengantar kematian, sayang tak seorang pun dari anak buahmu yang bersedia mendorongku masuk ke sini, terpaksa aku merobohkan dulu orang-orangmu baru kemudian melangkah masuk sendiri kemari." Orang ini sanggup menyusup masuk ke tempat latihan kungfunya, mampu merobohkan delapan orang murid kebanggaannya, sementara dia sendiri sama sekali tidak menyadari akan hal ini, bisa dibayangkan betapa tinggi dan hebatnya kepandaian silat orang ini. Lui Sun agak bergidik, namun perasaan itu tak dikemu-kakan keluar. "Jadi kau datang untuk membunuhku?" ia menegur. "Betul," jawab Ong Siau-sik masih cengengesan. "Memangnya kita punya dendam?" "Tidak ada." "Ada ganjalan?" "Juga tidak ada," jawab Ong Siau-sik cepat, "tapi ada kebencian." "Kebencian?" Lui Heng keheranan. "Berhubung kau bernama Lui Heng sementara aku paling senang melihat orang membenciku, terlebih suka dengan tampangmu yang penuh kebencian, maka aku datang kemari," kata Ong Siau-sik sambil tertawa terkekeh-kekeh, "tahukah kau, setiap kali kau tunjukkan kebencianmu, tampangmu persis seperti seekor babi, apalagi memakai celana merah .......... hahaha ............ tadinya kusangka kepala babimu itu adalah pantat seekor monyet Lui Heng meraung gusar, dia sudah tak sanggup menahan diri lagi. Seluruh rasa benci dan kesalnya dilampiaskan keluar semua. Detik itu juga dia mengambil keputusan, dia ingin melenyapkan orang di hadapannya ini dari muka bumi, bukan cuma badannya, sepotong daging, bahkan sekerat tulangnya pun tak boleh tetap utuh di muka bumi! Begitu melancarkan serangan, ia melepaskan pukulan dengan ilmu Ceng-san-lui (guntur yang menggetarkan bukit). Kepalan kanannya melepaskan satu tonjokan, sementara telapak tangan kirinya melancarkan sebuah tolakan dahsyat. Lekas Ong Siau-sik melompat mundur, sembari berusaha menggunakan tangan kirinya memunahkan ancaman tangan kanan lawan, tangan kanannya menangkis serangan tangan kiri musuh. Belum sempat empat tangan saling membentur, Ong Siau-sik sudah merasakan gulungan angin kencang bagaikan guntur itu bukan datang dari tangan kiri maupun lengan kanan musuh, tapi muncul bagaikan gulungan ombak di tengah samudra dari tengah-tengah lengannya, gulungan angin pukulan itu langsung menghimpit dadanya. Ong Siau-sik segera miringkan badan sambil mencakar ke belakang, dia congkel keluar sepotong batu bata kemudian ditamengkan di depan badan. "Braaakkk!", diiringi suara benturan, batu bata itu hancur berkeping, bukan hanya berkeping, bahkan jauh lebih lembut daripada bubuk tepung. Daya penghancur yang dihasilkan pukulan Ceng-san-lui ternyata jauh melebihi daya ledak bahan mesiu! Sayangnya, kali ini daya penghancur itu tidak membuahkan hasil, tenaga ledakan yang maha dahsyat itu hanya mampu menghancurkan sebiji batu bata. Lui Heng semakin meradang, dia makin mendendam. Bukannya mundur, Ong Siau-sik malah merangsek maju ke depan, memanfaatkan peluang itu dia menyusup masuk dan semakin mendekati tubuh lawan. Kembali pukulan yang menggelegar meluncur tiba silih berganti, serangan demi serangan dilancarkan tiada putusnya. Kali ini Ong Siau-sik tidak menghindar, sambil memutar ujung baju kirinya dia menerobos masuk ke tengah lingkaran tenaga pukulan lawan. Ujung bajunya seketika menggelembung besar bagaikan sebuah balon, sementara ujung baju kanannya kembali dilontarkan. Kali ini ujung baju kanannya dilempar ke arah dinding bangunan sebelah timur. "Blaaaam!", diiringi suara benturan dahsyat, dinding batu itu hancur berantakan dan berserakan kemana-mana. Menyusul benturan dahsyat itu, ujung baju Ong Siau-sik ikut mengkeret layu, namun tubuhnya tetap sehat walafiat seakan tak pernah terjadi sesuatu apa pun. Rupanya dia telah mengeluarkan ilmu I-hoa-ciap-bok-sin-kang (ilmu memindahkan bunga menyambung kayu) yang sudah lama punah dari dunia persilatan untuk memindahkan tena?ga serangan Ceng-san-lui yang dilancarkan Lui Heng ke atas dinding batu itu. Melihat serangan pertama berhasil dijebol Ong Siau-sik, serangan kedua dialihkan ke dinding, Lui Heng jadi mencak-mencak gusar, dengan mata merah dan nyaris muntah darah saking dongkolnya, serangan ketiga segera dilontarkan. Serangannya kali ini jauh lebih menakutkan ketimbang dua kali serangannya yang pertama, bahkan dibandingkan gabungan kedua serangan yang pertama pun masih lebih menyeramkan, tak disangkal rasa benci Lui Heng sudah mencapai puncaknya. Kini dia sudah melancarkan serangan dengan sepenuh tenaga. Melihat gelagat tidak menguntungkan, Ong Siau-sik seakan ingin melompat mundur untuk menghindar, namun belum sempat ia berbuat sesuatu, serangan dahsyat itu telah bersarang telak di atas dadanya. Seluruh tubuh Ong Siau-sik terlempar ke tengah udara, sedemikian kerasnya lemparan itu hingga punggungnya menghantam di dinding, lalu seperti seekor ikan yang meletik di tanah, ia menggeser tubuhnya ke arah lain dan melompat bangun bagai seekor burung manyar putih, bahkan berdiri kembali dengan senyuman menghias wajahnya. Dinding batu yang berada di belakang tubuhnya seketika roboh berantakan diiringi suara dentuman yang amat keras. Butiran keringat sebesar kacang kedelai mulai membasahi jidat Lui Heng, setelah melancarkan tiga buah pukulan dahsyat, tenaga dalamnya sudah terkuras sangat banyak. Kelihatannya Ong Siau-sik memang amat sukar dihadapi, jauh di luar sangkaannya semula, bahkan sulitnya setengah mati, sulitnya minta ampun. Namun bagi Lui Heng, semakin susah menghadapi seseorang, semangat tempurnya Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo biasanya semakin berkobar. Ia segera mengeluarkan ilmu sakti andalannya, Ngolui-hong-teng (lima guntur meledakkan puncak). Begitu Lui Heng mengeluarkan jurus Ngo-lui-hong-teng, bahkan dia sendiri pun tak tahan untuk memuji jurus serangannya ini telah digunakan secara sempurna tanpa cacad dan sama sekali tidak membuatnya terengah. Padahal setelah melepaskan tiga pukulan Ceng-san-lui tadi, tenaga dalamnya mengalami kerugian sangat besar, namun daya pukulan yang dihn silkan Ngo-lui-hong-teng ini bukan saja tidak mengurangi tenaga serangannya, bahkan daya penghancur yang dihasilkan tujuh kali lipat lebih dahsyat dari kekuatan sesungguhnya, tidak kurang tidak lebih, persis tujuh kali! Jurus serangan Ngo-lui-hong-teng ini berbeda sekali dengan jurus Ceng-san-lui, kalau Ceng-san-lui dilepaskan ke udara sehingga ada kesempatan bagi musuh untuk meminjam tenaga membuang datangnya ancaman, sementara serangan Ngo-lui-hong-teng justru langsung membabat ubun-ubun musuh, jika terkena hantaman ini bukan saja tulang belulangnya akan hancur, bahkan sama sekali tak aaa peluang untuk lolos dalam keadaan hidup. Pada saat dia melepaskan serangan, tiba-tiba Ong Siau-sik mulai bergerak, merangsek, menerjang, menghindar, mencopot lalu membetot keras. Lui Heng menyangka musuh sedang berusaha meronta untuk menghindari kematian, cepat dia miringkan tubuh dan sekali lagi pukulan Ngo-lui-hong-teng dibabatkan ke bawah. Tangan kanan Ong Siau-sik dengan punggung menempel rambut, telapak menghadap ke atas, tiba-tiba kelima jari tangannya mengepal, sementara tangan kirinya menyambar ujung baju Lui Heng dan "Breeet!", tahu-tahu baju itu sudah terbetot hingga robek. Dalam keadaan seperti ini, Lui Heng sudah tak ambil peduli apakah bajunya robek atau tidak, dia hanya ingin secepatnya menghajar Ong Siau-sik dan menghabisi nyawanya. Pukulan Ngo-lui-hong-teng sudah dilepas, serangan itu dilontarkan secara sempurna tanpa cacad sedikitpun dan langsung menghantam ke atas kepala lawan. Di atas kepala Ong Siau-sik sudah siap tangannya, tangan sebelah kanan, pukulan itu langsung menghajar di atas telapak tangannya itu. "Plok!", sobekan kain yang ada dalam genggaman tangan kiri Ong Siau-sik seketika hancur berkeping dan menyebar ke empat penjuru. Alhasil, Ong Siau-sik masih tetap berdiri. Ia sama sekali tidak mengalami cedera, paras mukanya kelihatan sedikit agak berubah, tapi dalam waktu singkat sudah pulih kembali seperti sedia kala. Hantaman Ngo-lui-hong-teng yang selama ini sangat dibangga-banggakan Lui Heng, apakah kemampuannya hanya untuk menghancurkan secarik robekan kain" Berubah hebat paras muka Lui Heng, dia makin benci, makin risau dan makin terkesiap. Terkesiap beda dengan benci, kalau benci lantaran ada dendam, tapi kalau terkesiap lantaran takut. Padahal selama ini belum pernah ada orang persilatan yang mendengar Lui Heng pernah takut, ia tak pernah takut terhadap siapa pun, tak pernah takut dengan persoalan apa pun. Tapi sekarang, Lui Heng benar-benar sedang terkesiap, terkesiap lantaran kaget dan tak menyangka. Mengawasi hingga hancuran kain berserakan kemana-mana, Ong Siau-sik baru menjulurkan lidahnya sambil bergumam, "Wouw, hebat, sungguh hebat, sampai kain pun bisa dihancurkan oleh tenaga pukulannya hingga hancur, luar biasa, sungguh luar biasa!" Dia sedang memuji Lui Heng. Tapi bagi pendengaran Lui Heng, ucapan itu justru jauh lebih menyiksa batinnya ketimbang ditampar orang ratusan kali. Pada hakikatnya dia menerima pujian itu sebagai sindiran yang tajam, ejekan yang sangat menyakitkan hati. Kalau didengar dari nada pembicaraan Ong Siau-sik, tampaknya dia sama sekali bukan lagi bertarung mati-matian melawan Lui Heng, tapi hanya ingin menjajal sejauh mana keberhasilan ilmu silat yang diyakininya, dia hanya ingin tahu apakah kungfunya memang hebat, kalau ampuh, keampuhannya sudah mencapai tingkatan yang mana. Lalu setelah tahu, setelah menyaksikan, ia pun memberi pujian, persis seperti se?orang guru yang sedang memuji hasil karya muridnya. "Bagaimana?" jengek Ong Siau-sik lagi sambil tertawa cengengesan, "apakah masih punya jurus serangan lain yang jauh lebih ampuh?" "Masih!" Tentu saja jawaban itu bukan berasal dari Lui Heng. Bersamaan dengan selesainya perkataan itu, segera terjadilah dua perubahan. Yang pertama adalah perubahan paras muka serta sorot mata Lui Heng. Paras mukanya bukan saja telah berubah jadi normal kembali, bahkan ia kelihatan jauh lebih bersemangat, jauh lebih kosen, sorot matanya yang dipakai untuk memandang Ong Siau-sik persis seperti sorot matanya ketika memandang sesosok mayat. Perubahan kedua adalah dinding batu yang ada di sebelah utara tiba-tiba roboh ke tanah, dari belakang dinding yang roboh itu muncullah tiga orang. Dari tiga orang yang muncul itu, Ong Siau-sik sudah pernah bersua dua orang di antaranya, yang satu adalah nenek kedelai yang pernah dijumpainya di puing bangunan yang roboh sore itu, sementara yang lain adalah Lu Sam-ciam, jagoan yang sempat bertarung dengannya di Po-pan-bun waktu itu. Namun orang yang barusan berbicara bukan kedua orang itu. Sorot mata dan perhatian Ong Siau-sik saat inipun bukan tertuju ke tubuh mereka berdua, tapi tertuju ke tubuh orang ketiga. Kelihatannya selama ada orang ketiga, maka tak ada kesempatan bagi nenek kedelai dan jenderal tiga anak panah untuk ikut berbicara. Orang ketiga adalah seorang lelaki setengah umur yang kurus kering, kecil dan tinggal kulit pembungkus tulang.......... Begitu kurus kering orang itu sehingga setiap saat seakan bisa terbawa hembusan angin, tapi jika diteliti lebih seksama, maka akan terlihat kalau sisa daging yang menempel di tubuhnya itu jauh lebih keras daripada lempengan baja, setiap otot menempel ketat dengan tulang sehingga ketika ia menggerakkan tubuhnya, akan menimbulkan kekuatan yang luar biasa menakutkan. Ong Siau-sik segera menghembuskan napas panjang setelah menjumpai orang itu, katanya, "Kalau aku tak salah mene?bak, seharusnya kau adalah Tongcu kedua dari perkumpulan Lak-hunpoan-tong, Lui Tong-thian." Tapi setelah berhenti sejenak, dengan lagak kemalas-malasan dia berkata lagi, "Semoga saja dugaanku keliru." Tentu saja dia berharap dugaannya keliru, sebab dengan kehadiran Lui Tong-thian, ditambah Lui Heng, Ciangkun tiga panah dan nenek kedelai, berarti ada empat jagoan tangguh telah hadir di situ, jangan lagi dia seorang, biar So Bong-seng datang sendiri pun belum tentu mampu menghadapi serangan gabungan keempat orang ini. Sekilas sorot mata sedih memancar dari balik mata lelaki setengah umur yang kurus kering itu, sahutnya perlahan, "Aku pun berharap tebakanmu itu keliru, tapi sayang ........... tebakanmu sedikitpun tak salah!" Keempat orang itu mulai melakukan pengepungan, bahkan lingkaran kepungan kian lama kian bertambah kecil. Tampaknya mereka sudah menunggu lama sekali di situ, mereka seakan sebuah jaring besar, jaring yang menunggu sang ikan masuk perangkap. Ong Siau-sik adalah sang 'ikan' yang sedang mereka tunggu. Kelihatannya Lui Heng sendiri pun tidak tahu akan jaring perangkap itu, maka sewaktu mengetahui kemunculannya jaring lebar ini, dia terkejut bercampur girang, kemudian dengan pengalaman mereka yang sudah bekerja sama sekian lama, ia segera bergabung dalam pengepungan itu dan mulai memperkecil kepungan. Ia mendapat bagian berjaga di sisi selatan. Di sisi selatan terdapat lagi selapis dinding batu, tempat ini paling gampang dipertahankan sebab siapa pun yang ingin kabur lewat situ, dia harus melompati dinding batu itu terlebih dulu, dan ia merasa mampu untuk membantai musuhnya, biarpun harus membunuhnya sepuluh kali. Ong Siau-sik memandang sekejap ke samping kiri, kanan, depan dan belakang, lalu kepada Lui Tong-thian katanya, "Ternyata kau adalah seorang manusia yang menarik, jauh lebih menarik ketimbang dia." Ia menuding ke arah Lui Heng, kemudian tambahnya, "Sayang aku tak punya waktu untuk mengajakmu bermain, sedang dia pun tak ada waktu untuk bermain lebih jauh." Lui Tong-thian melengak, untuk sesaat dia hanya berdiri melongo. Kendatipun sekilas usianya nampak baru tiga puluh tahunan, sesungguhnya tahun ini dia sudah berusia lima puluh dua tahun. Dia memang pandai merawat tubuh, selama ini kehidupannya sederhana, latihan silat tak pernah dilupakan, malah dengan bertambahnya usia dia berlatih lebih tekun lagi, oleh karena itu selain kungfunya maju semakin pesat, tampangnya juga jauh lebih muda ketimbang usia sesungguhnya. Jangan dilihat perawakan tubuhnya yang kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang, padahal dia jauh lebih berbobot, posisinya jauh lebih terhormat ketimbang Ciangbunjin dari partai besar mana pun. Oleh sebab itu dia teramat jarang mendengar perkataan seperti apa yang diucapkan Ong Siau-sik barusan, sudah lama ia tak pernah mendengar perkataan semacam itu. Dari logat bicara anak muda itu, dia seakan sama sekali tidak memandang dirinya sebagai seorang musuh tangguh, malah dia dipandang sebagai teman bermain. Di kolong langit dewasa ini, manusia mana yang berani menganggap Lui Tong-thian sebagai seorang teman bermain" Bisa dibayangkan betapa gusarnya Lui Tong-thian setelah mendengar perkataan itu, tapi sebelum ia melakukan sesuatu, Ong Siau-sik sudah melancarkan serangan terlebih dulu. Dia langsung menyerang Lui Heng, sementara tangan yang lain sudah meraba gagang pedangnya. Tergopoh-gopoh Lui Heng melompat mundur ke belakang, dia tahu Jikonya pasti akan turun tangan menghadang kejaran si anak muda itu. Ciangkun tiga panah tidak tinggal diam, ia merangsek maju, panahnya ditusukkan ke punggung lawan. Nenek kedelai tak mau ketinggalan, baju rombengnya ditebarkan ke udara, mengurung batok kepala Ong Siau-sik. Panah si panglima tiga panah yang jelas dilancarkan menu?suk punggung musuhnya itu tiba-tiba patah jadi dua ketika sudah berada di tengah udara, panah itu langsung menusuk belakang kepala pemuda itu, bahkan dari ujung panah itu mendadak menyembur keluar dua mata panah lagi, dengan begitu ada tiga mata panah ditambah sebatang anak panah yang mengancam belakang kepala Ong Siau-sik! Beberapa hari lalu, baju rombeng milik si nenek kedelai ini pernah berhasil mempecudangi Wo Hu-cu, anak buah andalan So Bong-seng, asal tertempel baju langit tanpa nyawa Bo-mia-thian-i miliknya ini, maka bagian tubuh yang terkena segera akan membusuk. Oleh karena itu setiap kali si nenek kedelai hendak menggunakan baju langit tanpa nyawa itu, dia selalu mengenakan sarung tangan enam lapis, tiga lapis di antaranya dikenakan untuk melindungi lengan sendiri, dia kuatir senjata makan tuan, sebab termasuk dia sendiri pun tak tahan bila tersentuh racun ganas itu. Nenek kedelai adalah Tongcu ketujuh dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong, sementara Lu Sam-ciam, si panglima tiga panah itu adalah Tongcu kesepuluh, kini mereka berdua telah melancarkan serangan bersama-sama, tentu saja daya penghancur yang diciptakan sangat luar biasa, mereka memang sangat bernapsu untuk membunuh. Ong Siau-sik adalah orang yang hendak mereka bunuh. Berhadapan dengan musuh yang begini tangguh, tak ada pilihan lain bagi Ong Siausik kecuali harus menghadapinya. Pedang yang selama ini belum pernah digunakan, akhirnya harus dilolos juga dari sarungnya. Belum pernah ada orang menyaksikan Ong Siau-sik mencabut pedangnya. Orang lain hanya tahu dia memiliki sebilah pedang, pedang dengan gagang berbentuk bulan sabit, tapi belum pernah ada yang tahu dengan cara apa dia akan mempergunakan pedang aneh itu. Sebenarnya pedang apakah itu" Kalau dibilang senjata itu adalah sebilah pedang, sebenarnya keliru besar, senjata itu bukan pedang, tapi sebilah golok, golok lengkung! Golok bulan sabit. Padahal senjata yang dicabut Ong Siau-sik adalah sebilah pedang, kenapa secara tiba-tiba bisa berubah menjadi golok" Ternyata gagang pedang itu bukan gagang pedang sesungguhnya, melainkan sebilah golok, sebilah golok bulan sabit, melengkung persis alis mata seorang gadis. Sebilah golok bulan sabit yang amat kecil. Cahaya golok memancar sangat terang, begitu menyilaukan mata bagaikan sebuah bintang meteor. Dengan golok bulan sabit itu dia menangkis tusukan anak panah, ujung panah menahan baju langit, ketika Ong Siau-sik mendorong senjatanya ke depan, panah berikut baju rombeng itu seketika mencelat balik dan mengarah ke tubuh panglima tiga panah serta si nenek kedelai. Tampaknya kedua orang jago itu tidak menyangka akan kejadian ini, dengan perasaan terkesiap bercampur ngeri, lekas si nenek kedelai dan Lu Sam-ciam melompat mundur untuk menghindar. Lui Heng yang menyaksikan peristiwa itupun turut terkesiap dibuatnya. Kemampuan Ong Siau-sik ketika menerima pukulan Ceng-san-lui dan Ngo-lui-hongteng masih membekas dalam hatinya, kemampuan anak muda itu sudah menimbulkan perasaan ngeri di hati kecilnya, padahal saat itu Ong Siau-sik belum lagi melolos senjata andalannya. Tapi sekarang Ong Siau-sik sudah melolos senjatanya, bahkan sedang merangsek maju menghampiri tubuhnya, jelas anak muda itu sedang mengincar jiwanya, tak heran kalau Lui Heng menjadi ngeri sekali. Sambil berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan, dia mulai mundur terus selangkah demi selangkah. Belakang tubuhnya adalah sebuah dinding batu, kini punggungnya sudah menempel di atas dinding, sudah tak ada jalan mundur lagi baginya. Tapi perasaan terkejut hanya berlangsung sekejap, tiba-tiba dari ngeri ia nampak kegirangan, sebab dia melihat Lui Tong-thian sudah menghadang jalan pergi anak muda itu. Pada saat itulah tiba-tiba dadanya terasa sakit, dadanya seakan sudah tersumbat oleh semacam benda, menyusul kemudian dia pun dapat melihat benda yang menyumbat dadanya itu. Sebilah ujung pedang yang bernoda darah! Mula-mula ia merasa terkesiap, kemudian keheranan dan menyusul ia merasa ngeri sekali, rasa sakit yang luar biasa membuatnya menjerit keras, menjerit sekeraskerasnya! Lui Tong-thian yang sedang bersiap-siap melancarkan serangan mematikan ke arah Ong Siau-sik pun secara tiba-tiba menyaksikan sebilah ujung pedang yang bernoda darah muncul dari balik dada Lui Heng. Ujung pedang itu berdarah, pedang yang terbuat dari kayu. Ujung pedang sudah menembusi dada Lui Heng! Tampaknya Lui Heng sudah tak mungkin hidup terus! Ternyata di balik dinding sebelah selatan masih ada musuh tangguh lainnya! Lui Tong-thian merasa pikirannya kalut, menggunakan kesempatan itu Ong Siau-sik segera menerobos lewat dan mundur dari situ. Tugasnya telah tercapai, tentu saja dia harus segera mundur! Bila ia tidak mundur, artinya dia ingin mencari mati di tempat itu! Ternyata tugasnya hanya mendesak Lui Heng agar mundur ke dinding sebelah selatan, So Bong-seng berpesan begini kepadanya, "Kwik Tang-sin yang akan membereskan nyawanya". Sewaktu menyampaikan pesan itu, Pek Jau-hui tidak berada di tempat, karena inilah rencana yang telah diatur So Bong-seng. Mengenai siapa Kwik Tang-sin itu" Dia sendiri pun tidak tahu. Dia hanya menyaksikan pedang kayu milik Kwik Tang-sin berhasil menembus dinding batu lalu menembusi dada Lui Heng, menusuk tanpa menimbulkan suara tapi sekali tusukan berhasil membunuh lawannya, serangan semacam ini benar-benar merupakan sebuah serangan maut yang susah diduga, susah dihindari! Tubuh Ong Siau-sik yang semula sedang merangsek ke arah Lui Heng, kini bagaikan sebuah batu ketapil melejit balik ke belakang untuk kemudian mundur dengan cepat. Lui Tong-thian tidak tinggal diam, kendatipun saat itu perhatiannya sedang bercabang, namun pukulan Ngo-lui-thian-sim miliknya sempat dilontarkan ke arah anak muda itu. Menyaksikan datangnya serangan Ngo-lui-thian-sim yang begitu dahsyat, Ong Siausik segera tahu kalau hari ini mau tak mau terpaksa dia harus melakukan satu tindakan. Terpaksa dia harus betul-betul melolos pedangnya. Kalau tadi dia hanya mencabut goloknya, golok bulan sabit yang berada pada gagang pedangnya, maka sekarang dia benar-benar telah mencabut keluar pedangnya. Jika pedang tanpa gagang, bagaimana caranya dia melolos pedang" Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo ooOOoo 27. Mencabut pedang Pedang tetap adalah pedang, tanpa gagang pun pedang itu tetap pedang. Pedang milik Ong Siau-sik, gagang pedangnya adalah sebilah golok, sementara pedang itu sendiri sama sekali tak bergagang. Teorinya sama seperti monyet yang tak berekor tetap disebut monyet, orang yang tak punya rambut tetap manusia dan kita pun tak bisa mengatakan pohon yang tak dapat berbuah itu bukan pohon. Ong Siau-sik telah mencabut pedangnya, sebuah tusukan kilat dilontarkan ke tubuh Lui Tong-thian, tak ada yang bisa melukiskan bagaimana hebatnya serangan itu. Mau dengan perkataan, dengan lukisan, dengan tulisan, tak satu pun bisa digunakan untuk melukiskan serangan pedang yang dilancarkan, sebab serangan itu bukan cepat, bukan aneh, terlebih bukan luar biasa, tapi bukan saja mencakup keindahan yang luar biasa, bahkan gabungan dari kesemuanya itu mencerminkan tiga puluh persen keindahan, tiga puluh persen keanggunan, tiga puluh persen kegarangan dan sepuluh persen luar biasa. Manusia macam apa yang bisa menciptakan ilmu pedang sehebat dan seluar biasa ini" Ilmu yang dia gunakan sebenarnya ilmu pedang ataukah ilmu dewa" Pedang yang dipergunakan sebenarnya pedang dari bumi atau pedang dewa" Bersamaan waktu Ong Siau-sik mencabut pedangnya, Lui Tong-thian telah melancarkan pula serangan dengan Ngo-lui-thian-sim (lima guntur inti langit). Dengan satu gerakan cepat, kedua orang itu saling bertukar satu serangan. Menanti Lui Tong-thian berhasil melompati pagar dinding batu itu, di belakang tembok sudah tak ada orang, yang tersisa hanya sebuah gagang pedang kayu, gagang pedang yang masih berguncang keras. Tubuh pedang kayu itu sudah menancap di atas dinding, tembus hingga ke sisi dinding sebelah. Lui Tong-thian tahu mata pedang telah menghujam di dada saudaranya, menembus tubuhnya hingga tembus ke depan, sementara sang pembunuh belum pergi terlalu jauh, karena gagang pedang masih terasa hangat. Namun dia tidak melakukan pengejaran, rasa kaget dan ngerinya belum juga mereda. Pakaian yang dikenakan, mulai dari bawah ketiak turun ke bawah sudah robek satu lingkaran besar, dari depan dada hingga belakang punggung pakaiannya terbelah jadi dua, masih untung tidak sampai melukai kulit badannya. Diam-diam ia terkesiap juga, dia tak mengira tusukan pedang si pemuda cengengesan yang dilepaskan dari depan, ternyata mampu membabat hingga merobekkan pakaian belakang punggungnya, ilmu pedang aliran manakah yang ia pergunakan" Andaikata dia tidak memiliki ilmu Tay-lui-sin-kang (tenaga guntur sakti) yang melindungi tubuhnya, bukankah serangan pedang itu telah menghabisi nyawanya" Yang lebih menakutkan lagi adalah andaikata bersamaan dengan serangan pedangnya tadi pemuda itu menerjang juga dongan menggunakan golok bulan sabitnya, maka kendatipun dia memiliki ilmu Ngo-lui-thian-sim, belum tentu jiwanya dapat diselamatkan. Siapakah anak muda itu sebenarnya" Ilmu pedang apa yang dilatihnya" Ilmu golok macam apa pula yang dia pergunakan" Siapa pula jagoan yang bersembunyi di belakang dinding" Bukan saja ia sanggup membunuh Lui Heng secara mudah, bahkan berada di hadapan dirinya dan kepungan kawanan jago lihai pun dia mampu meloloskan diri secara gampang. Lui Tong-thian merasa kepalanya sangat berat, seberat digantungi bongkahan besi baja yang sangat besar, sejak terjun ke dalam dunia persilatan, belum pernah ia rasakan keadaan seperti ini. Jika perkumpulan Lak-hun-poan-tong harus berhadapan dengan musuh setangguh ini, mungkin mereka harus meninjau kembali formasi yang digunakan untuk menghadapi musuh yang digunakan selama ini. Jika Kim-hong-si-yu-lau sudah memperoleh bantuan setangguh ini, jelas kekuatan mereka tak boleh dipandang enteng. Di satu sisi Lui Tong-thian dibuat sangsi bercampur kaget, di sisi lain Ong Siau-sik sendiri pun merasa jantungnya berdebar keras. Gempuran yang dilontarkan Lui Tong-thian memang benar-benar menggidikkan hati. Setelah berlarian hampir sejauh sepuluh li, dia baru melihat ada selembar bajunya yang rontok ke tanah. Robekan baju itu persis berada di bagian tubuhnya yang " terhajar pukulan tadi, bukan saja kain itu hangus terbakar, bahkan rambutnya yang ada di kening sebelah kiri pun ikut rontok sebagian, rambut itu rontok seperti dipapas dengan pedang. Pukulan Ngo-lui-thian-sim yang betul-betul mengerikan! Padahal serangan maut itu tidak dilancarkan Lui Tong-thian dengan sepenuh tenaga, sebab waktu itu konsentrasinya sedang terbagi, justru karena perhatiannya bercabang, maka Ong Siau-sik mendapat peluang untuk melarikan diri. Jika serangan itu dilancarkan dengan sepenuh tenaga, mungkinkah daya perusaknya jauh lebih mengerikan" Dengan jelas Ong Siau-sik tahu bahwa ia berhasil mem?babat tubuh lawan dengan menggunakan ilmu pedang Siau-hun-kiam-hoat (ilmu pedang pelenyap sukma) yang dimilikinya, tapi dengan perlindungan Tay-lui-sin-kang di seluruh tubuhnya, Lui Tong-thian berhasil lolos dari luka yang parah, ini mem?buktikan musuh memiliki ilmu kebal yang hebat. Mungkin saja bila bersamaan dia menyerang juga dengan menggunakan ilmu golok kerinduan, ia sanggup mengungguli lawan. Tapi sebaliknya jika Lui Tong-thian balas melancarkan serangan dengan sekuat tenaga, sanggupkah dia menerima pukulan Ngo-lui-thian-sim itu" Semakin dibayangkan, diam-diam Ong Siau-sik merasa semakin tercekat hatinya. Masih untung So Bong-seng telah merencanakan segala sesuatunya secara baik, kalau tidak, mungkin dia sudah terjebak dalam kerubutan empat orang jago tangguh dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong, kalau sampai begitu, sulit rasanya bagi dia untuk mundur dengan selamat. Berpikir sampai di sini, lagi-lagi dia merasa keheranan. Siapakah Kwik Tang-sin itu" Kenapa ia bisa menyusup ke dalam markas besar perkumpulan Lak-hun-poan-tong tanpa diketahui lawan, bahkan berhasil membunuh musuhnya dalam sekali gebrakan" Dia hanya merasa bahwa cara So Bong-seng mengatur rencana, tampaknya hanya ditujukan khusus orang per orang sehingga kecuali yang bersangkutan saja yang tahu setiap bagian, setiap langkah dan setiap detil yang harus dilaksanakan, orang lain tak akan mengetahui apa yang akan terjadi. Tentu saja Ong Siau-sik pun tidak melupakan satu hal ........... setelah urusan selesai, segera berangkat ke loteng Sam-hap-lau. Maka tanpa membuang waktu lagi, ia segera berangkat menuju ke loteng Sam-haplau. Dia harus menghadiri pertemuan itu. Dia ingin tahu, pertemuan apakah yang diselenggarakan disana. Dalam kehidupan manusia, terkadang ada pertemuan yang sama sekali tak diduga, bahkan pertemuan yang tak bisa dihindari, tak bisa diperkirakan sebelumnya. Ong Siau-sik pergi menghadiri pertemuan itu hanya didasari rasa ingin tahu, menganggapnya sebagai suatu kejadian yang menarik sehingga dia tidak merasa berat atau masgul karenanya, manusia macam dia tak terlalu serius memandang soal menang kalah, dia pun tak pernah menganggap pergi berpetualang itu merupakan sesuatu peristiwa yang serius. Oleh sebab itu sepanjang perjalanan, Ong Siau-sik berjalan amat santai, dia melanjutkan perjalanannya sambil menonton keramaian yang ada di sepanjang jalan raya. Di tengah pasar terlihat ada seorang kakek dan seorang gadis muda sedang menjual silat, wajah kakek itu amat lesu namun tidak menutupi sorot matanya yang penuh perhatian ditujukan pada gadis itu. Selain penjual silat, dia pun melihat ada seorang dayang sedang bergurau dengan seorang nyonya bergigi emas, ada lagi seorang pelayan sedang memasangkan pelana kuda bagi tuannya. Suasana di sekeliling tempat itu sangat ramai, aneka macam manusia bercampurbaur di situ, berbagai ragam manusia dengan segala aktivitasnya berbaur di tengah hiruk-pikuknya suasana. Bagi Ong Siau-sik, orang-orang itu sama sekali tidak menarik perhatiannya, justru ada tiga orang yang sama sekali tidak mencolok segera memancing kewaspadaannya. Tiga orang itu sebetulnya tidak mencolok, dandanannya sangat sederhana, otang semacam ini biasanya tak akan menarik perhatian siapa pun. Mereka hanya orang yang kebetulan lewat di jalan raya itu, tiga orang yang sedang melakukan perjalanan bersama-sama. Orang pertama mengenakan baju berwarna abu-abu, orang kedua mengenakan jubah berwarna abu-abu tua, sementara orang ketiga mengenakan jubah abu-abu yang nyaris sudah mendekati warna putih. Ketiga orang itu muncul dari arah yang berbeda, berjalan menuju ke arah dimana Ong Siau-sik sedang berdiri. Ketika tiba lebih kurang tiga kaki dari Ong Siau-sik, tiba-tiba secara serentak mereka melancarkan serangan bersama. Begitu turun tangan, mereka bertiga segera mengeluarkan jurus serangan mematikan! Dalam waktu singkat semua jalan mundur Ong Siau-sik sudah tertutup rapat, bukan saja anak muda itu tak mungkin bisa menghindar, kesempatan untuk menangkis pun tak ada. "Bagus!" teriak anak muda itu tanpa terasa. Menyaksikan datangnya serangan yang begitu hebat dan kerja sama yang begitu rapat, membuat pemuda itu untuk sesaat lupa kalau ancaman sedang ditujukan ke tubuhnya. Bagus atau tidak, ketika seseorang akan kehilangan nyawa, biar sebagus apa pun juga percuma. Kini Ong Siau-sik tak bisa mundur, dari tiga arah serangan musuh meluncur tiba dengan dahsyatnya, padahal dia tak ingin beradu keras lawan keras. Ong Siau-sik tahu, suasana di tempat itu sedang ramai-ramainya, banyak orang tak berdosa yang berada di seputar pasar, dia tak ingin dan tak tega menyaksikan orang-orang itu ikut menjadi korban. Dalam keadaan kepepet, tiba-tiba ia melejit ke udara, dengan kecepatan luar biasa tubuhnya membumbung tinggi ke angkasa. ooOOo 28. Golok atau pedang Gerakan tubuhnya selain cepat juga sangat indah, kontan saja memancing soraksorai memuji dari para penonton yang ada di sekeliling tempat itu. Ketika dia melayang turun kembali, tubuhnya sudah berada beberapa kaki dari posisi semula, melayang turun di samping seorang kakek bersepatu rumput yang kebetulan berdiri di tepi jalan. Ia sudah memperhitungkan jarak sejak awal, dengan begitu dia mempunyai waktu yang cukup untuk menghadapi serangan yang datang dari tiga orang manusia berbaju abu-abu itu. Siapa sangka baru saja kakinya menginjak tanah, seorang lelaki berbaju putih sudah tiba di hadapannya, bahkan nyaris berdiri saling berhadapan dengan dirinya. Sekarang Ong Siau-sik baru terkesiap dibuatnya, terpaksa dia harus melolos pedangnya untuk menghadapi segala kemungkinan. Ketika menghadapi hadangan dari tiga orang manusia berbaju abu-abu tadi, ia menganggap belum perlu mencabut pedangnya, tapi kemunculan orang berbaju putih ini berbeda sekali, dia sadar sekarang adalah saatnya untuk mencabut pedang. Kali ini golok atau pedangnya yang harus dilolos" Akhirnya dia urung melolos senjatanya, karena orang ber?baju putih itu telah berkata, "Jangan panik, aku!" Ong Siau-sik kembali tertawa. Ternyata orang berbaju putih itu adalah Pek Jauhui. Ketika menengok kembali ke arah ketiga orang berbaju abu-abu itu, ternyata mereka telah roboh terkapar di atas tanah. Ilmu jari Keng-sin-ci milik Pek Jauhui memaksa mereka kehilangan kemampuannya untuk melancarkan serangan, orangorang itu belum sempat melepaskan ancamannya yang kedua dan sudah roboh terkapar. Oleh karena yang muncul adalah Pek Jau-hui, sudah barang tentu Ong Siau-sik tak usah melolos pedangnya lagi. Beda dengan Pek Jau-hui, wajahnya justru memperlihatkan perasaan kecewa dan sayang, gumamnya lirih, "Ketika datang tadi, aku toh hanya bilang "Aku", sama sekali tidak mengatakan "jangan turun tangan", kenapa kau tidak melolos pedangmu?" "Kalau memang kau sudah datang, kenapa aku mesti repot-repot mencabut pedang?" jawab Ong Siau-sik sambil tersenyum. "Selama kau tidak melolos pedangmu, berarti aku tak akan mendapat kesempatan untuk menjajal jurus pedangmu, jelas kejadian semacam ini merupakan kejadian yang membikin hati kecewa, aku tak ingin kekecewaan seperti ini berlarut terus." "Selamanya aku tak pernah melolos pedang terhadap sahabat sendiri." "Ketika melolos pedangmu, kau toh boleh tidak mengang?gap aku sebagai temanmu?" "Kau bukan cuma sahabatku, bahkan merupakan saudara angkatku!" dengan wajah bersungguh-sungguh Ong Siau-sik berkata, "seorang Tayhiap pernah berkata kepadaku, 'Sehari sebagai saudara, selama hidup adalah saudara'. Hanya cucu kura-kura telur busuk yang membokong saudara dari belakang, mencabut pedang di hadapannya." Pek Jau-hui menatap pemuda itu sekejap, lalu katanya, "Tahu begitu, aku baru mengangkat saudara denganmu setelah menjajal kepandaian silatmu terlebih dulu." "Bila pertarungan terjadi duluan, mungkin kita tak bakal jadi saudara." "Ooh, jadi kau tak tahan jika dikalahkan orang?" ejek Pek Jau-hui sambil tertawa dingin. Dengan cepat Ong Siau-sik menggeleng. "Ooh, jadi kau takut aku yang kalah?" Pek Jau-hui mulai agak berang. Kembali Ong Siau-sik menggeleng. "Masalahnya bukan kau yang kalah atau aku yang asor, juga bukan lantaran kau yang unggul atau aku yang menang, justru yang aku kuatirkan, sekali kita bertarung, maka bukan cuma menang kalah yang ketahuan, justru mati hidup yang mesti dihadapi, coba bayangkan sendiri, mana ada orang mati bisa mengangkat saudara dengan orang hidup?" "Siapa tahu justru ada dua orang mati yang mengangkat saudara di istana neraka?" senyuman lega kembali menghiasi wajah Pek Jau-hui. Sementara kedua orang pemuda itu sedang bercakap-cakap, di tengah arena kembali telah terjadi perubahan. Beberapa orang berdandan opas muncul di tengah arena dan menggotong pergi mayat ketiga orang manusia berbaju abu-abu itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun, kawanan opas itu juga tidak terlihat mendatangi Pek Jau-hui serta Ong Siau-sik untuk melakukan penyelidikan. Tak selang beberapa saat kemudian, suasana di jalanan itu sudah pulih kembali seperti sedia kala, orang mulai berlalu-lalang, meski ada sebagian kecil orang yang melirik sekejap ke arah Pek Jau-hui berdua dengan pandangan kagum dan hormat, tapi sebentar kemudian mereka sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing sehingga tak ada lagi yang menggubris kedua pemuda itu. Semua kejadian yang terjadi di jalanan besar itu seolah sebuah sampan kecil yang ditelan ombak samudra, hanya sekejap mata sudah lenyap tak berbekas. Begitukah kehidupan manusia yang mengalir dalam peredaran waktu" Kalau memang demikian keadaannya, lalu buat apa manusia berkarya, buat apa manusia mencari nama" Bukankah pada akhirnya semua akan larut dalam waktu, larut dalam kehidupan manusia yang luas bagai samudra" Walau hasil karya seseorang akan ditelan sejarah, tapi sekecil apa pun hasil karyamu, lebih baik menjadi api kunang-kunang daripada sama sekali tak ada. Ini menurut jalan pikiran Ong Siau-sik. Lalu bagaimana menurut pandangan Pek Jau-hui" Entah bagaimana cara pandang Pek Jau-hui, tapi yang pasti saat itu dia sedang mengawasi seseorang. Seseorang yang berdiri di mana pun, berdiri dengan siapa pun, ia selalu tampil bagaikan seekor bangau yang berada di tengah kerumunan ayam. Bahkan sejak dilahirkan, mungkin orang itu jauh lebih tinggi daripada orang lain, jauh lebih besar dan kekar ketimbang rekannya, bahkan sewaktu tertawa pun jauh lebih manis dipandang. Orang itu sambil menggendong tangan sedang berjalan menuju ke Sam-hap-lau. Ketika melihat Pek Jau-hui memperhatikan orang itu, tanpa terasa Ong Siau-sik ikut berpaling. Ia memandang sedikit lebih lambat ketimbang Pek Jau-hui, oleh karena itu ia tak sempat melihat dengan jelas bagaimanakah raut wajah lelaki itu. Sementara dia masih termenung, lelaki itu sudah melangkah masuk ke dalam rumah makan. Dalam waktu singkat suasana dalam rumah makan itu agak gaduh, pelayan menganggapnya sebagai tamu agung, melayaninya dengan sikap hormat yang berlebihan, sementara para tamu lain terburu-buru menyelesaikan rekening dan Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mengeluyur pergi, seakan mereka tak berani duduk berjajar dengan orang itu. Manusia zaman sekarang memang lebih banyak menilai orang dari penampilan ketimbang dari perbuatan, jika melihat seseorang tampil dengan baju mahal atau perhiasan mahal, maka mereka akan dilayani bak seorang raja dan permaisuri, sebaliknya bila hanya tampil sederhana, dianggapnya tak punya duit, tidak mendatangkan kebanggaan bagi mereka, jangan harap akan memperoleh pelayanan yang istimewa. Begitu juga dengan lelaki tinggi besar itu, karena pakaian yang dikenakan terbuat dari bahan halus yang mahal harganya, orang lantas menganggap dia adalah orang kaya atau paling tidak bangsawan kenamaan, bagi mereka yang mengenakan pakaian sederhana atau merasa dalam almari rumahnya tak memiliki pakaian mewah semacam itu, rasa rendah diri seketika menyelimuti hatinya, mereka jadi minder dan menganggap dirinya tak pantas untuk duduk sejajar dengannya. Bagi pelayan, khususnya pelayan rumah makan, mereka jauh lebih menghargai kunjungan orang-orang kaya semacam ini, sebab kehadiran orang kaya atau orang kenamaan justru menjadi iklan hidup bagi rumah makannya, bahkan banyak pengusaha rumah makan yang sengaja mendatangkan orang-orang kenamaan, tujuannya hanya ingin memakai mereka sebagai iklan gratis, agar pamor rumah makannya bertambah tinggi. Tak heran kalau ada orang berpendapat, 'Mengunjungi rumah makan bukan lantaran ingin menikmati hidangan lezat, lapi ingin merasakan kepopuleran dari rumah makan itu, ingin menaikkan gengsi sendiri karena dapat berkunjung ke rumah makan itu'. Demikian pula dalam soal pakaian, banyak orang mengenakan baju bukan untuk menghangatkan badan, tapi lebih bertujuan untuk memamerkan merek pakaian yang dikenakan, lebih ingin menaikkan gengsi dan pamor sendiri. Mungkin lantaran itulah, mendadak terdengar seorang tamu yang duduk di rumah makan itu, seorang gemuk yang disebut orang sebagai si 'Gentong nasi' karena takaran makannya yang luar biasa, berkata sambil menghela napas, "Kalau dulu, orang makan nasi karena untuk mempertahankan hidup, tapi sekarang, orang hanya makan sayur dan tidak makan nasi, bahkan banyak orang yang memesan sayur bukan untuk dimakan, tapi hanya untuk ditonton, arak juga bukan untuk diminum tapi untuk pemborosan, untuk memamerkan diri, untuk menaikkan gengsi sendiri Kebetulan waktu itu lelaki tinggi besar tadi sedang memesan seguci arak Kaoliang. Belum lagi secawan arak diteguk, ia sudah mendengar sindiran si 'Gentong nasi, kontan saja lelaki itu tertegun dan meletakkan kembali cawan araknya. Orang-orang dalam rumah makan tahu keadaan mulai tidak menguntungkan, semua orang mulai menggerutu, Gentong nasi itu sungguh tak tahu diri, berani amat mencari masalah dengan lelaki berbaju halus itu. Mencari gara-gara dengan orang kaya, biasanya sama seperti mencari penyakit buat diri sendiri! Betul juga, lelaki itu segera berpaling ke arah si Gentong nasi. Sejak melangkah masuk ke dalam rumah makan Sam-hap-lau, dia tahu semua yang ada di situ adalah manusia hidup, baik ciangkwe maupun pelayan, baik para tamu atau pengemis, hampir semuanya menengok ke arahnya kecuali seseorang. Dan orang itu tak lain adalah orang yang sedang asyik makan ini. OOOOOO 29. Gentong nasi dan babi BAB III: MANUSIA KOSONG Semenjak melangkah masuk ke dalam pintu rumah makan, ia sudah memperhatikan orang ini, orang yang sedang asyik makan nasi ini. Alasannya sederhana sekali, jarang ada orang yang 'berani' tidak melihat ke arahnya, 'dapat' tidak melihat ke arahnya dan 'boleh' tidak melihat ke arahnya. Sebaliknya dia sendiri pun tidak melihat si Gentong nasi ini, karena orang yang asyik bersantap ini wajahnya sudah tertutup oleh tumpukan mangkuk yang ada di hadapannya. Total ada lima puluh lima buah mangkuk kosong yang tertumpuk di atas meja orang itu, ditumpuk meninggi sehingga nyaris menutupi seluruh kepala orang itu, tak ada yang tahu bagaimana cara dia menghabiskan nasi sebanyak itu, juga tak ada yang tahu apakah dia masih tetap asyik bersantap. Kini walaupun lelaki kekar itu sudah berpaling ke arahnya, ia tetap tak dapat melihat wajahnya, yang terdengar hanya suara sumpit serta suara orang sedang mengunyah. Lelaki kekar itu segera tertawa, tegurnya kepada sang pelayan, "He, suara apa itu?" Sang pelayan agak tertegun, tanyanya, "Tuan, apa kau bilang?" "Coba dengar, suara apa itu?" kata lelaki kekar itu sambil tertawa. Sang pelayan benar-benar tidak tahu suara apa yang dimaksud, sebab di jalan, di rumah makan hampir semuanya bersuara, maka dia tak tahu harus menjawab apa. "Coba kau dengar," kembali lelaki kekar itu berkata, "seperti ada babi sedang makan nasi!" Pelayan itu segera mengerti apa yang dimaksud, ia tak berani menyahut, hanya menganggukkan kepalanya berulang kali. "Salah, salah besar mendadak terdengar si Gentong nasi menyahut, "tidak benar, tidak benar Kembali lelaki kekar itu tertawa tergelak. "Hahaha, coba dengar, kali ini kau sudah mendengar dengan jelas bukan" Ternyata sang babi bukan cuma pandai makan nasi, dia malah pandai juga berbicara!" "Yang dimakan babi bukan nasi, nasi hanya untuk makanan manusia, masa teori semacam inipun kau tidak mengerti" seru si Gentong nasi serius, "memangnya otakmu tumbuh seperti otak babi?" "Lebih baik berhati-hatilah jika berbicara," seru lelaki kekar itu sambil tertawa dingin. "Antara manusia dengan manusia memang mesti saling menghormati, manusia boleh memetik harpa di hadapan kerbau, tapi kalau manusia menghadapi babi... yang penting timbangan badannya, apakah cukup berbobot atau tidak, jadi soal hormat menghormat tak perlu disinggung." , Berubah hebat paras muka lelaki kekar itu, dengan wajah merah padam hardiknya, "Kau sedang mengatai aku?" "Tidak, aku sedang bicara soal babi," sahut si Gentong nasi. Lelaki kekar itu tak kuasa menahan diri lagi, ia menggebrak meja sambil membentak penuh amarah, "Coba kau ulangi sekali lagi!" "Braaak!", meja yang dihajar segera membuat guci arak terguling dan hancur berantakan, arak berceceran dimana-mana. Melihat pertarungan antara dua orang itu bakal segera terjadi, banyak tamu yang segera membayar rekening dan diam-diam mengeluyur pergi dari situ. "Ai, babinya mulai sewot, sayang, arak wangi dibuang sia-sia," kata si Gentong nasi lagi sambil menghela napas, "sayang, benar-benar sayang, betul-betul seperti kerbau makan bunga Botan, mau makan pun tidak pilih-pilih tumbuhan!" Lelaki kekar itu sudah tak mampu mengendalikan diri lagi, dia segera bangkit berdiri. Setelah tumpukan mangkuk di meja berserakan, kini Ong Siau-sik dapat melihat jelas raut wajahnya. Rambut dan jenggot orang itu sudah saling menyambung jadi satu hingga sulit dibedakan mana rambut mana jenggot, tapi semuanya berwarna hitam dan kusut, sepasang bahunya lebar bagaikan dua bilah golok kwan-to berwarna hitam, sorot mata?nya tajam seperti cahaya petir berwarna biru, jidatnya lebar dan hidungnya besar, dari balik baju suteranya terlihat punggungnya yang kekar dan pinggangnya yang kencang. Begitu ia bangkit berdiri, terlihat betapa tinggi besarnya perawakan orang itu, seluruh otot badannya nampak menonjol keluar, sepuluh jari tangannya besar, sementara Tay-yang-hiat kelihatan tinggi menggelembung, wajahnya selain keren juga tampak garang, tak ubahnya seperti seorang Pa-ong (raja be?ngis). "Betul betul seorang lelaki kekar!" puji Ong Siau-sik tanpa terasa. Sementara itu dengan langkah lebar lelaki kekar itu sudah berjalan menghampiri si Gentong nasi, langkahnya berat dan mantap bahkan menimbulkan suara benturan keras. Tak ada yang tahu apa yang sedang dilakukan si Gentong nasi waktu itu, mungkinkah dia masih tetap bersantap" Terdengar lelaki kekar itu berkata lagi, sepatah demi separah, "Aku tak akan menghajar kaum lemah, asal kau bersedia minta maaf, kali ini kuampuni kelancanganmu." "Kenapa aku mesti minta maaf kepada seekor babi?" sahut si Gentong nasi sambil menyuapi mulutnya dengan nasi, "ah, keliru, tak ada babi yang begini tinggi besar, semestinya disebut kerbau!" Lelaki kekar itu membentak gusar, tangannya langsung dihantamkan ke atas meja si Gentong nasi. Dengan satu gebrakan yang perlahan saja tadi ia telah menghancurkan guci arak di meja sendiri, apalagi sekarang dia menghajar meja dengan penuh amarah, bisa dibayangkan apa yang bakal terjadi. Semua orang mulai takut, semua orang mulai menguatirkan sesuatu ... tumpukan mangkuk kosong di atas meja! Memecahkan satu dua biji mangkuk memang kejadian lumrah, tapi kalau ada lima puluh lima buah mangkuk kosong yang pecah bersama, saat itu keadaannya pasti sangat luar biasa. Bahkan saat itu, mereka semua seolah sudah 'mendengar' suara mangkuk yang pecah, suara lima puluh lima biji mangkuk kosong yang pecah dan hancur berantakan. Ternyata tak ada yang pecah, tak satu pun mangkuk kosong itu pecah. Di saat lelaki tinggi besar itu siap menggebrakkan kedua belah tangannya ke atas meja, mendadak si Gentong nasi merentangkan tangannya ke samping, entah bagaimana caranya, tahu-tahu kelima puluh lima buah mangkuk itu berikut mangkuk yang baru saja ia gunakan sudah berjajar di kedua belah lengannya masing-masing dua puluh delapan biji, kemudian dengan satu sentakan lagi, dua baris mangkuk yang berjajar itu kembali sudah menumpuk menjadi satu garis di atas kepalanya. Ketika kelima puluh enam buah mangkuk kosong itu tertumpuk jadi satu, mangkuk terakhir menjulang ke atas persis menempel di bawah lantai ruang tingkat dua. Si Gentong nasi tidak nampak kepayahan meski harus menyangga begitu banyak mangkuk kosong di atas kepalanya, dia masih tetap santai seakan yang di atas kepalanya bukan mangkuk kosong melainkan tangannya sendiri. Hampir semua orang yang berada di dalam maupun di luar rumah makan tertegun dibuatnya, malah si lelaki kekar itu-pun ikut terbelalak matanya. Tiba-tiba Ong Siau-sik teringat akan seseorang, seseorang yang pernah didengarnya dari cerita dongeng. Baru selesai dia berpikir, lelaki tinggi kekar itu sudah berteriak keras, "Ah, rupanya kau adalah si Raja nasi, kau adalah Thio Than!" Orang persilatan tentu banyak sekali yang mempunyai takaran makan sangat besar, mereka banting tulang, peras keringat, bercucuran darah, tujuannya tak lain agar bisa makan tiga kali sehari dengan kenyang, asal ada makanan, bisa makan, siapa pun pasti berharap bisa makan sepuasnya. Tapi seorang yang bisa menghabiskan nasi sebanyak lima puluh enam mangkuk sekaligus teramat langka, amat jarang dijumpai, belum pernah dijumpai ada orang yang bisa menghabiskan makanan sebanyak itu sekaligus, mau ditaruh dimana semua nasi yang dimakan itu" Orang yang bisa sekaligus menghabiskan lima puluh enam mangkuk nasi, dan setelah itu mampu menggunakan mangkuk-mangkuk itu untuk bermain akrobat, hal ini tentu jauh terlebih langka lagi ... sebagian besar orang, selesai makan, meninggalkan mangkuknya. Bila ada orang yang begitu memperhatikan nasi serta mangkuknya, maka di dunia ini hanya ada satu orang. Konon orang ini bisa menggunakan nasi sebagai tambahan energi, sembari melahap nasi sembari berlatih ilmu Huan-huan-sin-kang. (ilmu sakti bolak-balik). Dia tak lain adalah si Raja nasi, Thio Than. "Betul, aku memang bernama Thio Than, aku juga si Raja nasi" ujar si Gentong nasi sambil tertawa, "berada di hadapan nasi, kecuali aku, tak seorang pun pantas disebut raja." "Kalau memang kau adalah Thio Than, mestinya tahu juga siapakah aku?" tak tahan lelaki raksasa itu berseru. "Aku hanya tahu kau mempunyai seorang teman bernama Pui Heng-sau, sayangnya meskipun Pui Heng-sau itu kutu buku, tapi apa yang sudah dibaca akan segera terlupakan, semakin banyak buku yang dibaca semakin banyak yang dia lupakan, makin senang belajar pengetahuan, sayang makin goblok tindak-tanduknya sehingga sering dibuat bahan tertawaan orang banyak." Bicara sampai di sini ia berpaling sekejap ke arah lelaki raksasa itu, kemudian katanya lagi, "Tahukah kau, kenapa aku teringat orang yang bernama Pui Heng-sau ini?" "Hmm, karena dia sama gobloknya dengan kau!" sahut lelaki raksasa itu sambil mendengus dingin. "Tidak, karena dia sama seperti aku, mempunyai hobi mengisi perut. Aku senang makan nasi, banyak makan nasi, banyak mendatangkan manfaat, bagi orang yang berlatih tenaga dalam, paling baik jika banyak makan nasi, kurangi makan yang tak berguna, apalagi makan ikan dan daging. Bagiku, makan nasi harus penuh perhatian, kau mesti tahu beras darimana paling bersih, beras darimana paling utuh, beras mana harus dicampur dengan beras apa baru menjadi nasi yang harum, pokoknya semua detil tentang menanak nasi dan jenis beras harus kau kuasai secara sempurna, Jika setiap hari makan nasi tapi sama sekali tak punya pengetahuan tentang nasi, orang semacam ini adalah manusia yang sangat goblok?" "Kau suka nasi sementara Siau-pui suka makan telur," kata lelaki raksasa itu kemudian, "bocah itu bukan saja suka makan telur rebus, juga suka telur asm, telur goreng, telur mentah, pokoknya segala macam telur, pada hakikatnya dia seakan sudah menganggap dirinya keluar dari telur." "Betul, justru karena dia suka telur maka orang menyebutnya si Raja telur, sementara aku adalah Raja nasi." "Oleh karena itu kalian berdua yang satu adalah telur busuk, yang lain adalah Gentong nasi," ejek lelaki itu sambil tertawa terbahak-bahak. "Apa kau bilang?" mendadak Thio Than berteriak gusar. "Kalau kau bukan Gentong nasi, kenapa hanya Pui Heng-sau yang kau kenal sedang aku Giok-bin-long-kun (pemuda tampan berwajah kemala) Tong Po-gou yang tersohor karena kehebatannya, jago paling kebal di kolong langit malah tidak kau ketahui?" Thio Than tidak menjawab, dia malah memegangi perut sendiri sambil tertawa terpingkal-pingkal. "He, apa yang kau tertawakan" Memangnya aku lucu?" tegur Tong Po-gou gusar. "Hahaha, untung baru sekarang kau sebut namamu, coba kalau sejak tadi kau memperkenalkan diri, mungkin selera makanku langsung lenyap." Tong Po-gou gusar setengah mati, sekujur badannya sampai gemetar keras. Bukan cuma gemetar, bahkan tulang belu?langnya saling gemerutuk seolah suara mercon renteng yang meledak. Begitu menyaksikan kemarahan musuh, Thio Than tak berani tertawa lagi, dia tahu lelaki raksasa itu benar-benar sudah naik darah bahkan segera akan turun tangan. Bukan hanya dia saja yang tahu, setiap orang yang dapat melihat tampang Tong Pogou saat ini, tentu tahu kalau dia akan segera menyerang Thio Than, bahkan begitu turun tangan, sudah pasti serangan mematikan yang akan dilancarkan. Tak urung semua orang mulai menguatirkan keselamatan si Gentong nasi. Di antara sekian banyak orang yang merasa kuatir, hanya Ong Siau-sik seorang yang tidak berpendapat begitu, karena dia telah menyaksikan ada sesosok bayangan manusia menyelinap ke ujung loteng, kemudian menyelinap ke lantai dua, membuka jendela dan menerobos masuk ke dalam. Gerakan tubuh orang itu gesit dan cepat bagaikan burung walet, bahkan anak muda itu merasa sangat mengenalnya. Baru saja dia akan memberitahu apa yang dilihat kepada Pek Jau-hui, ternyata orang yang dicari sudah muncul di atap lantai dua rumah makan itu, bukan saja dia sedang menyelinap ke balik wuwungan rumah, bahkan sedang menggapai ke arahnya. Dengan cepat Ong Siau-sik melompat ke atap rumah, dia pun bergerak sangat hatihati. Di tengah hari bolong begini, terlebih berada di bawah sorot mata banyak orang, dia tak ingin gerak-geriknya ketahuan mereka dia tak ingin orang di jalanan pun tahu kalau ada orang sedang bergerak di atap rumah. Tak berapa lama Ong Siau-sik tiba di samping Pek Jau-hui, saat itulah dia menyaksikan perubahan aneh di wajah rekannya itu. Ternyata Pek Jau-hui sedang tercengang karena telah menyaksikan suatu pemandangan di balik jendela. Apa yang dilihatnya di situ" Ternyata di dalam ruangan itu terlihat ada lima orang gadis. Seorang di antaranya berdandan anggun dengan sanggul yang dijepit tusuk kondai kemala, dari dandanannya bisa ditebak dia adalah seorang nona dari keluarga kenamaan, sementara sisanya yang empat orang berdandan seperti dayang, mereka berdiri di samping nona itu dengan pedang pendek berada dalam genggaman. Dipandang dari atas, keempat orang dayang itu memiliki paras muka yang cantik, Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sementara si nona duduk membelakanginya sehingga dari sudut Pek Jau-hui berada sekarang, ia tak dapat melihat jelas raut mukanya. Yang membuat Pek Jau-hui tercengang bukan kelima orang gadis itu. Ternyata di dalam ruang rumah makan yang luas, selain kelima orang gadis itu, di situ pun masih hadir seorang gadis lain. Nona itu mengenakan pakaian ketat berwarna merah, wajahnya yang cantik dihiasi dengan senyum tak senyum. Sekilas pandang Pek Jau-hui segera merasa kalau wajah gadis itu sangat dikenalnya, bahkan sebuah wajah yang sudah amat melekat di dalam hatinya. Begitu teringat siapa nona itu, hampir saja ia menjerit keras. Unji! Ternyata gadis berbaju merah itu adalah Un Ji, si gadis nakal dengan senyuman yang manis. Pek Jau-hui hanya merasa heran, sebelum bertemu Un Ji tadi, ia sudah merasakan kehangatan dan kelembutan dari nona itu. Mengapa perasaan itu bisa muncul dalam hatinya" Biasanya hanya terhadap orang yang dicintainya sejak pandangan pertama, perasaan itu akan muncul dan berkecamuk dalam hatinya. Sekarang mengapa Pek Jau-hui pun mempunyai perasaan semacam itu setelah bertemu Un Ji, mengapa ia merasa tercengang dan gembira setelah mengetahui gadis itu adalah Un Ji" Ya, mengapa" Bukankah waktu itu dia yang telah membuat Un Ji marah sehingga lari meninggalkan mereka" Sementara itu Ong Siau-sik sudah tiba di sisinya, bahkan menyaksikan juga mimik tercengang di wajahnya. Oleh karena itu dia pun ikut melongok ke dalam ruangan, dan dia pun menyaksikan Un Ji ada di situ, menyaksikan juga goloknya yang lembut. Golok kelembutan! ooOOoo 30. Cinta atau benci Golok itu lembut, tapi bagaimana dengan orangnya" Orangnya amat galak! Un Ji telah melolos goloknya, cahaya golok menyinari wajahnya yang cantik, wajah itu kelihatan galak, paling tidak Un Ji berharap dia bisa tampil galak, berharap semua orang tahu kalau dia galak. Ia tahu, sebagai seorang pendekar wanita yang sering ber?kelana dalam dunia persilatan, sebagai jago yang selalu berke-cimpungan dalam lumuran darah, tidak mungkin kalau dia ti?dak bertampang galak. Maka dengan suara nyaring bentaknya, "Lui Moay, kau si Semangka busuk, perempuan tak tahu malu, kau gunakan ke?sempatan ketika nonamu tidak waspada, tidak hatihati karena baru masuk kotaraja lantas kau mencuri sarung golok milikku secara licik dan tak tahu malu, jika kau tidak segera mengem?balikan kepadaku, aku ... aku ... akan ... membacok ... membacok tubuhmu Melihat si nona tergagap, baik Pek Jau-hui maupun Ong Siau-sik jadi sangat geli, nyaris suara tawa mereka melompat keluar dari mulut. Mereka ingin tertawa karena dari pembicaraan itu dapat disimpulkan kalau Un Ji sudah dipecundangi Lui Moay begitu sampai di kotaraja, dimana sarung goloknya telah dicuri orang. Tapi anehnya, buat apa Lui Moay mencuri sarung goloknya itu" Selain itu yang mereka berdua merasa geli adalah umpatan Un Ji terhadap gadis itu, "si Semangka busuk", darimana ia mempelajari kata makian itu" Lui Moay masih tetap berdiri membelakangi Un Ji, sama sekali tidak menjawab. Sebaliknya keempat orang dayang itu sudah melotot ke arah musuhnya dengan sorot mata penuh gusar. Ong Siau-sik segera melihat keempat orang dayang itu mempunyai mata yang indah, ada yang mirip mutiara, ada yang mirip batu kristal, ada yang mirip hujan gerimis, ada juga yang mirip bintang, dibandingkan sepasang mata Un Ji yang sipit, jauh lebih indah dan menawan. Tiba-tiba ia tahu, bagaimanapun Un Ji berusaha bersikap galak, ia tak pernah berhasil menampilkan kebuasannya itu. Sebab walaupun sepasang mata sipitnya sudah berusaha melotot sebesar besarnya, mata itu belum cukup besar dan belum cukup galak. Itulah sebabnya ia merasa sangat geli. Pada saat itulah terdengar Lui Moay berkata, ucapannya diutarakan tetap membelakangi Un Ji, sepatah kata yang amat sederhana, "Kenapa So-kongcu mengutusmu kemari" Apakah ia tega membiarkan kau datang kemari seorang diri?" Sebuah perkataan yang sangat lembut, nada ucapannya mendatangkan perasaan hangat dan penuh persahabatan. Akan tetapi begitu mendengar perkataan itu, bukan saja Ong Siau-sik terperanjat, paras muka Pek Jau-hui juga berubah, malah Un Ji sendiri nampak agak terkesiap. Kali ini sepasang mata sipitnya melotot makin lebar, de?ngan perasaan setengah tak percaya teriaknya, "Kenapa bisa kau" Kenapa kau" Kenapa bisa kau"!" 'Tentu saja aku, tentu saja aku, kenapa bukan aku?" jawab perempuan cantik itu sambil perlahan-lahan membalikkan ba?dannya. "He, selama ini kau sudah kabur kemana saja?" teriak Un Ji sambil maju mendekat dengan penuh kegembiraan, "aku sudah mencarimu kemana-mana, aku merindukan kau, kami semua mencari kau. Aduh ... payah benar kami mencarimu. Untung kau segera bersuara, kalau tidak, aku sudah menyerangmu sejak tadi, kalau golokku sampai diayunkan ... hehehe ... aku sendiri pun tak tahu bisa menahan diri atau tidak, kalau sampai salah bacok bagaimana jadinya" Tadi aku masih mengira kau adalah Lui Moay si Semangka busuk itu!" Dalam waktu singkat ia sudah mengoceh tiada hentinya, bagi orang yang tak tahu masalahnya, tentu saja kebingungan dibuatnya, selain itu dia pun menganggap keadaan waktu itu tak berbeda dengan keadaan dulu, dia seolah lupa kalau keem-. pat orang dayang itu memandangnya dengan sikap permusuh?an. Begitu tubuhnya bergerak mendekat, keempat orang da?yang itu serentak bergerak pula ke depan, empat bilah pedang segera menghadang jalannya. Un Ji betul-betul lupa diri, dia seakan sama sekali tidak memperhatikan keempat bilah pedang yang menghadang di hadapannya itu. Sebaliknya keempat orang dayang itupun tidak mengira kalau Un Ji tak sanggup menghadapi empat buah serangan yang sebetulnya hanya berniat menghadang jalan perginya itu, jurus serangan sudah telanjur dilancarkan, mau ditarik kembali pun sudah tak sempat. Terdengar nona cantik itu berseru tertahan, "Jangan me?lukai orang!" Tapi dia tak pandai ilmu silat, bagaimana mungkin bisa menghalangi serangan itu" Dalam waktu singkat keempat bilah pedang itu sudah menusuk ke arah Un Ji. Waktu itu dalam pandangan Un Ji hanya ada nona cantik ini, dia seolah melupakan ancaman yang datang dari depan, kendatipun keempat bilah pedang itu tak sampai merenggut nyawanya, tapi paling tidak bisa melukai tubuhnya. "Tahan!", dalam keadaan yang amat kritis itulah menda?dak dari tangga sana muncul seorang lelaki raksasa yang mem?punyai rambut dan jenggot lebat. Bentakannya itu bukan saja bagaikan suara guntur yang membelah bumi, pada hakikatnya menimbulkan suara getaran yang amat keras di ruang lantai dua itu. Dalam kagetnya, lekas keempat orang dayang itu memi?ringkan senjatanya ke samping, "triing, triing, triing, triiing", empat kali dentingan nyaring bergema di seluruh ruangan. Un Ji menjerit tertahan sembari menutup telinganya. Ternyata lelaki yang muncul itu bukan lain adalah Tong Po-gou si manusia raksasa, dengan lima kali lompatan ia sudah tiba di lantai atas dan mengawasi gadis itu sambil tertawa lebar. "He, dewa geledek, kau membuat bising saja!" teriak Un Ji dengan nada jengkel. Di lain pihak, si nona cantik itu sambil memegang dada sendiri lantaran kaget, telah berkata pula, "Un-lihiap adalah sahabat karibku, kenapa kalian hendak melukainya?" Keempat orang dayang itu lekas menundukkan kepala sambil menyingkir ke samping. Tak selang berapa saat kemudian, kembali terlihat sese?orang melompat naik ke ruang atas, dia adalah seorang pemuda berkulit hitam yang bulat bentuk badannya, yang aneh di masing-masing tangannya terlihat tumpukan dua puluh delapan biji mangkuk kosong. Tentu saja orang ini tak lain adalah si Raja nasi Thio Than. Begitu tiba di ruangan atas, Thio than langsung melotot ke arah manusia raksasa itu dengan perasaan jengkel. Tong Po-gou kontan tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, gesit juga gerakan tubuhmu." "Orang ini betul-betul tak tahu aturan," seru Thio Than kepada gadis cantik itu, "katanya mau menantangku bertarung, siapa tahu tiba-tiba ia berlari naik ke atas loteng, aku ... aku tak menyangka dia licik, akibatnya aku gagal mencegahnya naik "Aku tahu, aku tidak menyalahkan dirimu," jawab gadis cantik itu sambil tersenyum. Dari pembicaraan yang barusan berlangsung, Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui segera tahu kalau Thio Than dan Tong Po-gou sempat bertarung beberapa gebrak sepeninggal mereka berdua naik ke lantai dua, rupanya Thio Than adalah anak buah perem?puan cantik itu, sedangkan Tong Po-gou adalah rekan Un Ji. Kendatipun begitu, kedua orang anak muda itu sempat juga dibuat terperangah, yang membuat mereka paling kaget adalah perempuan cantik itu. Kalau dilihat dari situasi dalam ruangan, seharusnya pe?rempuan cantik itu adalah Lui Moay, yang mereka tidak me?nyangka adalah ternyata Lui Moay adalah orang yang sering kali mereka pikirkan, sering kali mereka rindukan. Thian Tun! Thian Tun masih tampil cantik. Sepasang biji matanya masih nampak sayu bagaikan im?pian, kecantikannya tetap bagai bulan purnama apalagi sewaktu tertawa, sungguh menyegarkan seperti hembusan angin di mu?sim semi. Bedanya, di balik senyumannya sekarang terselip perasaan murung yang amat tebal, ia kelihatan sedih bercampur masgul. Dalam pada itu Un Ji sudah tak mampu menahan diri lagi, kembali tegurnya, "Kenapa bisa kau" Kenapa kau bisa berada di sini?" Thian Tun tidak menjawab, ia melirik ke arah Tong Po-gou sekejap kemudian bertanya, "Apakah dia adalah sahabatmu?" Jelas gadis ini sedang menghindari pertanyaan itu. Un Ji seakan tidak menyadari akan hal itu, jawabnya, "Dia bernama Tong Po-gou, jangan dilihat orangnya kasar dan be-rangasan, hatinya sangat baik, aku kenal dengannya sewaktu sedang melacak peristiwa berdarah di perguruan Cing-te-bun, selain dia, masih ada seorang lagi yang bernama Pui Heng-sau, lalu Sim Hou-sian Begitu menyinggung nama orang-orang itu, wajahnya keli?hatan bertambah gembira sampai pipinya pun ikut bersemu me?rah. "Kau belum ... belum lama terjun ke dalam dunia persi?latan, tak kusangka teman kenalanmu begitu banyak. Apakah So-kongcu yang mengutusmu datang kemari?" "Tidak, bukan dia yang mengirim aku kemari!" sahut Un Ji sambil menuding ke arah Tong Po-gou, ujung jarinya nyaris menusuk ujung hidung lelaki raksasa itu. Dengan cepat Tong Po-gou menyingkir ke samping. "Suheng tidak menyuruhku kemari," kembali Un Ji berse?ru, "aku bertemu dengannya di dalam kota, maka kuajak dia datang kemari, Suheng menganggap orang ini punya kemam?puan tapi tak dihargai orang, maka aku disuruh mengajaknya untuk menghadapi seseorang yang bernama Lui Moay, siapa tahu ternyata bertemu kau di sini!" "Ooh, rupanya begitu," sahut Thian Tun seakan sudah mengerti, "makanya aku juga heran, masa dia menyuruh kau menyerempet bahaya." "He, apa yang kau katakan?" seru Un Ji dengan kening berkerut. "Sudah pasti So-kongcu mengirim tuan Tong untuk me?nangkap Lui Moay di sini, sementara kau menguntit secara diam-diam, bukan begitu?" "Aku bernama Tong Po-gou, panggil saja namaku," sela manusia raksasa itu sambil tertawa, "kau jangan menyebut aku tuan Tong, selama hidup aku paling takut panggilan sopan seperti itu." "Aku belum kenal anda, mana boleh langsung memanggil nama?" sahut Thian Tun sambil mengerling lelaki itu sekejap. "Kenapa tidak boleh?" "Biarpun tidak menjadi masalah bagimu, tapi aku toh seorang wanita, sebagai perempuan harus mengerti tata krama dan sopan-santun bukan?" "Ehmm, benar juga perkataanmu itu." "Maka kalau aku tidak memanggilmu tuan Tong, memangnya mesti memanggil dengan sebutan nona Tong?" "Jangan, jangan panggil aku nona," Tong Po-gou garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, "atau begini saja, kau menyebutku Tong-kongcu atau Tong-tayhiap, tapi bagi mereka yang benar-benar memahamiku, aku dipanggil dengan sebutan Tong Kihiap (pendekar raksasa)." "Pendekar raksasa Tong?" "Betul. Pendekar raksasa itu adalah pendekar dari pendekar, aku paling cocok dipanggil Tong Ki-hiap, kalau ada yang memanggilku begitu, aku pasti akan menyambutnya dengan senang hati." Thian Tun tertawa geli, bahkan keempat dayangnya ikut tertawa cekikikan lantaran geli, "Tong Ki-hiap, kau memang lucu sekali." "Itulah," seru Un Ji pula dengan perasan tak puas, "aku bilang, Suheng betulbetul tak mengerti menggunakan orang!" Mungkin di kolong langit saat ini hanya Un Ji seorang yang berani menggambarkan So Bong-seng, pemimpin tertinggi Kim-hong-si-yu-lau sebagai "manusia yang tak mengerti menggunakan orang". Terdengar gadis itu kembali berkata, "Daripada dia mengutus Tong Po-gou, mendingan aku yang datang sendiri. Maka kusuruh Tong Po-gou membuat keonaran di bawah loteng, sementara aku secara diam-diam menyelinap naik ke ruang atas." Sewaktu mengucapkan perkataan itu, dia nampak sangat bangga. Sementara itu Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui yang bersembunyi di atap rumah tibatiba seperti memahami akan satu hal. So Bong-seng pernah bilang, orang yang dikirim untuk menghadapi 'seseorang yang lain' adalah seorang 'yang sangat menarik hati', paling tidak dia adalah 'orang yang suka bermain'. Pek Jau-hui maupun Ong Siau-sik mengakui bahwa apa yang dikatakan So Bong-seng memang benar. Peduli orang itu Un Ji atau Tong Po-gou, mereka memang pantas disebut 'orang yang menarik' dan 'orang yang suka bermain'. Ketika Un Ji menyelesaikan perkataannya, terdengar Thio Than berkata pula, "Tak heran kalau nona Thian menyuruh aku menghadapi si pembuat onar di bawah loteng, sementara dia menghadapi sendiri orang yang menyelinap masuk lewat jen?dela loteng." Entah Un Ji dapat menangkap kata sindiran itu atau tidak, ternyata dia tidak marah, malah ujarnya lagi, "Thian Tun, kena?pa kau berada di sini" Mana Lui Moay?" Dengan tenang Thian Tun mengawasi Un Ji sekejap, lalu sahutnya, "Sebelum kujawab pertanyaanmu itu, tolong jawab dulu sebuah pertanyaanku." "Baik, katakan saja, apa yang ingin kau tanyakan." "Apakah kali ini Kim-hong-si-yu-lau hanya mengirim kau dan Tong Ki-hiap untuk mendatangi rumah makan Sam-hap-lau?" "Hanya mengirim Tong Po-gou seorang." "Kalau begitu gampang penyelesaiannya." "Penyelesaian apa?" tanya Un Ji keheranan. Thian Tun tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya malah berseru, "Sahabat yang ada di atap rumah, sudah waktunya bagi kalian untuk unjuk diri." Seorang gadis yang tak mengerti ilmu silat, darimana bisa tahu kalau di atap rumah ada orang sedang bersembunyi" Karena sudah diteriaki orang, tentu saja Pek Jau-hui berdua tak bisa bersembunyi terus, serentak mereka melayang masuk ke dalam ruangan. Begitu mereka muncul, Thian Tun maupun Un Ji sama-sama tertegun dibuatnya. Un Ji kontan melompat ke depan seraya meninju Pek Jau-hui, kemudian memeluk Ong Siau-sik, serunya kegirangan, "Ternyata kau pun ikut datang, ternyata kau pun ikut datang Pek Jau-hui tertawa, di balik tawanya itu terselip perasaan murung yang tak kentara. Sebaliknya Ong Siau-sik berdiri dengan wajah bersemu merah, ia tersipu-sipu dan tak tahu harus berkata apa. Saat itulah rupanya Un Ji baru sadar akan ulahnya, lekas dia lepaskan pelukannya, paras mukanya kontan berubah merah padam. Pek Jau-hui dan Thian Tun saling berpandangan sekejap, kemudian mereka berdua sama-sama tertawa. Semula Pek Jau-hui mengira dia tetap akan mendendam pada Thian Tun karena kepergiannya tanpa pamit, tapi setelah pertemuan hari ini, khususnya setelah saling berpandangan sambil tertawa, entah mengapa, semua rasa jengkel dan bencinya seolah hilang sirna dari dalam hati. "Nona Lui!" sapanya kemudian. "Pek-kongcu, Ong-siauhiap," Thian Tun balas menyapa sambil tertawa. Saat itulah Ong Siau-sik baru teringat akan perkataannya yang hendak disampaikan, kontan serunya, "Thian Tun, kau benar-benar telah membohongi kami, Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kau membuat kami berdua sengsara..." Kemudian sambil menuding ke arah Pek Jau-hui terusnya, "Khususnya dia, gara-gara kepergianmu, dia jadi uring-uringan macam orang kehilangan sukma "He, apa kau bilang?" teriak Pek Jau-hui gusar, "waktu itu aku uring-uringan gara-gara merasa menyesal kepada Un-lihiap, ucapanku yang kelewat kasar ketika ada di tepi sungai tempo hari membuat Un-lihiap pergi meninggalkan kita, garagara kejadian itu Ong-Iosam jadi murung sepanjang hari, seperti anjing yang habis digebuki, dia tidak enak makan, tidak enak tidur, lagaknya seperti orang yang sudah kehilangan sukma saja "Apa kau bilang?" teriak Ong Siau-sik sambil menarik bahu rekannya. "Hahaha, rupanya kau sadar telah berbuat salah kepada nonamu ini," teriak Un Ji cekikikan, "kenapa masih belum minta maaf kepada nonamu?" "Ah, kalian semua memang pandai bikin onar saja," sela Thian Tun sambil tertawa. Seakan teringat sesuatu, tiba-tiba Un Ji berseru lagi, "He, mengapa mereka memanggilmu sebagai nona Lui" Bukankah kau dari marga Thian?" "Tidak, aku bukan bermarga Thian, sesungguhnya aku memang bermarga Lui," jawab Thian Tun tenang. "Tapi seingatku Lui Moay yang pernah kujumpai bukan kau," sela Ong Siau-sik cepat. "Siapa bilang aku adalah Lui Moay?" Lui Tun balik ber?tanya. "Jadi kau bukan Lui Moay?" seru Ong Siau-sik lagi keheranan. "Lantas siapakah kau?" ujar Pek Jau-hui pula dengan wajah serius. Tiba-tiba Thio Than berseru, "Dia adalah putri kesayangan Congtongcu perkumpulan Lak-hunpoan-tong, nona Lui Tun!" Mendengar penjelasan itu, kontan saja beberapa persoalan seketika melintas dalam benak Ong Siau-sik. Pertama, jika Thian Tun adalah Lui Tun putri tunggal Lui Sun, padahal di satu sisi Lui Sun adalah musuh bebuyutan So Bong-seng, perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang dibangun Lui Sun saling bermusuhan dengan Kim-hong-si-yu-lau yang didirikan So Bong-seng, di sisi lain dia maupun Pek Jau-hui adalah saudara angkat So Bongseng, lalu mengapa antara mereka dan Lui Tun harus saling bermusuhan" Mengapa tidak boleh bersahabat" Kedua, Pek Jau-hui amat kesemsem pada Lui Tun, padahal Lui Tun akan dinikahkan dengan So Bong-seng guna memperlunak sikap permusuhan kedua perkumpulan, bagaimana pula perasaan Pek Jau-hui saat ini" Harusnya tetap mencintainya" Atau justru berubah jadi benci" Ketiga, bila gadis yang muncul hari ini di Sam-hap-lau adalah Lui Tun dan bukan Lui Moay, kenapa So Bong-seng justru mengirim mereka berdua untuk mendatangi tempat itu" Tindakan ini sebuah kesalahan, satu kebetulan atau justru mem?punyai maksud tujuan lain" Kenapa Lui Tun bisa muncul di loteng Sam-hap-lau" Ini maksud Lui Sun atau niat dia pribadi" Kenapa pula Un Ji bisa melibatkan diri dalam air keruh itu" Makin dipikir Ong Siau-sik merasa semakin bingung, pikirannya makin kalut. Namun di balik semua kebingungan dan kekalutannya, ada satu hal yang dia tahu dengan pasti, yakni perasaan Pek Jau-hui saat itu. Lekas ujarnya kemudian, Oooh rupanya Lui-toasioca, maaf, maaf, sungguh tak disangka kita sudah berkenalan dulu dengan nona Lui ketika masih berada di tepi sungai Han-swe, berarti kita punya jodoh dengan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, tahu begini, tidak seharusnya kita saling bermusuhan." "Tapi sekarang kalian sudah menjadi tamu agung Kim-hong-si-yu-lau!" ujar Lui Tun, meski perkataan ditujukan kepada Ong Siau-sik, namun matanya justru melirik ke arah Pek Jau-hui. "Ah, tak nyana beritamu sungguh tajam juga," seru Ong Siau-sik tertawa. "Mana mungkin urusan sebesar ini tidak diketahui perkumpulan Lak-hun-poan-tong?" Lui Sun menghela napas sedih, "padahal aku selalu memperhatikan gerak-gerik kalian, aku selalu berharap kalian bisa secepatnya meninggalkan kotaraja." Pek Jau-hui mendengus dingin. Lekas Ong Siau-sik menyela lagi, "Jadi menurut Lui-toasiocia, kami kurang cocok untuk tetap tinggal di kotaraja?" "Tempat ini adalah tempat penuh masalah." "Hmmm, kami tak pernah takut menghadapi masalah," Pek Jau-hui tetap menjawab dengan nada ketus. "Tempat inipun merupakan tempat yang penuh dengan bau anyir darah," sambung Lui Tun lagi. "Aku justru paling senang dengan tempat yang banyak masalah dan penuh bau anyir darah, jauh lebih segar ketimbang tempat lain." "Kalau memang begitu, ya terserahlah, cuma seseorang yang ingin mencari nama, kedudukan dan keuntungan di tempat ini, dia harus membayar mahal untuk kesemuanya itu, lambat laun ia akan kehilangan identitas diri dan akhirnya menjadi seorang manusia persilatan yang tak berdaya." "Pada dasarnya aku memang orang persilatan." "Dulu kalian bukan ... ah, kalian masih ada sedikit barang Pek Jau-hui tertawa dingin, tukasnya, "Peduli ya atau tidak, sekarang kami sudah bergabung dengan Kim-hong-si-yu-lau, So-toako menghargai kemampuan kami, dia telah mengundang kami untuk membantunya menghadapi perkumpulanmu, tentunya kau tak ingin kami tetap tinggal di sini bukan?" Lui Tun menghela napas panjang. "Terserah apa yang ingin kau katakan, terserah apa yang ingin kau kerjakan, tapi aku tetap beranggapan, tidak sepantasnya kalian tetap tinggal di sini, sebab kalian harus membayar mahal untuk kesemuanya itu, tidak sesuai dengan apa yang bakal kalian peroleh." "Kau adalah putri tunggal pangcu nomor wahid di kota-raja, kau pun bakal menjadi nyonya pangcu dari perkumpulan tak terkalahkan di kolong langit, tentu saja kau berhak mengatakan kalau pengorbanan kami tak sesuai dengan yang akan kami peroleh, tapi kami hanya orang persilatan yang mengandalkan tangan kosong untuk mendapatkan dunia, kami tak akan mengucapkan perkataan seperti itu." Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Ada saru hal yang ingin kukatakan sekarang, kenapa kami begitu tak tahu diri sehingga menolong kau sewaktu di Hanswe tempo hari, kenapa kami begitu goblok hingga masuk ke dalam perangkapmu?" Tampaknya Lui Tun mulai jengkel dengan ulah pemuda itu, katanya, "Aku amat berterima kasih karena kalian telah menolongku, terus terang kejadian itu bukan perangkap, tanpa bantuan kalian, mustahil aku masih bisa hidup sampai sekarang, jika aku ingin memperalat kalian, kenapa aku mesti kabur secara diam-diam" Bukankah aku bisa gunakan kesempatan itu untuk mengajak kalian bergabung dengan perkumpulan Lak-hun-poan-tong?" Perlahan-lahan Pek Jau-hui dapat mengendalikan diri, pikirannya mulai dingin dan perasaannya mulai tenang, katanya, "Sekalipun kau tidak memancing kami masuk perangkap, tapi kau tetap telah membohongi kami." "Satu-satunya hal yang kulakukan hanya menyamarkan identitasku yang sebenarnya," ujar Lui Tun sedih, "tapi bukankah kalian menolongku bukan lantaran identitasku" Kita berkenalan, berteman, bersahabat apakah disebabkan identitasku" Bukan toh?" "Betul!" teriak Un Ji lantang dengan jengkel dia melotot sekejap ke arah Pek Jau-hui. "Tepat sekali!" Tong Po-gou ikut berteriak. "Ya, sangat tepat!" Thio Than tak mau kalah. Mendengar itu, Tong Po-gou kontan melotot gusar, sindirnya, "Orang bilang tepat, kau ikut bilang tepat, dasar kentut busuk!" Thio Than tidak menanggapi, dia menuding keluar jendela sambil bergumam, "Ah, coba lihat, lagi-lagi turun hujan." "Turun hujan?" dengan heran Tong Po-gou ikut celingukan. "Hahaha, dasar kerbau!" kontan Thio Than tertawa tergelak, "kalau ada kerbau dungu mulai menguak di tengah jalan, itu pertanda segera akan turun hujan, bukan begitu?" Dugaan Thio than, ejekannya itu pasti akan memancing amarah Tong Po-gou, paling tidak, pasti akan membuatnya mencak-mencak bagai kebakaran jenggot. Siapa tahu sama sekali tiada reaksi. Dengan keheranan ia berpaling, dilihatnya Tong Po-gou sedang mengawasi keluar jendela dengan mata terbelalak dan mulut melongo. Dengan keheranan dan ingin tahu Thio than ikut melongok keluar jendela, tapi dia pun segera berdiri terbelalak. Ternyata pagi hari yang semula cerah, kini betul-betul dilanda hujan angin yang amat kencang! ooOOoo 31. Musuh atau sahabat Ternyata di luar bangunan loteng itu sudah bukan merupa?kan tempat yang semula. Jika kau bisa menonton opera, maka akan ada orang yang mengganti layar latar belakang panggung tontonan itu. Tapi yang membuat Thio Than dan Tong Po-gou terbelalak adalah saat itu mereka berada di rumah makan Sam-hap-lau. Rumah makan Sam-hap-lau terletak di tengah jalan raya. Jalanan itu merupakan pusat keramaian seluruh kota, ber?bagai lapisan manusia nyaris berkumpul di situ, mulai dari penjaja kue sampai pengemis, dari ibu-ibu yang ke pasar hingga Siauya pemogoran yang kelayapan mencari pipi licin. Ketika pertarungan hampir berlangsung di atas ruang lo?teng tadi, Tong Po-gou kuatir pertarungan itu akan mengancam keselamatan Un Ji, maka ia bermaksud memancing Thio Than turun dari loteng dan melanjutkan pertarungan di tengah jalan. Itulah sebabnya dia segera melongok keluar untuk meme?riksa situasi di situ. Siapa tahu suasana, jalan yang semula amat ramai dan dipenuhi manusia yang berlalu-lalang itu kini jadi sepi, semua orang yang tadinya berkumpul di situ, sekarang sudah hilang lenyap tak berbekas. Jalan raya itu masih seperti jalan raya semula. Loteng itupun masih tetap loteng semula, tentu saja tak mungkin ada orang mampu 'memboyong' pergi kedua bangun?an itu. Tapi di jalanan itu tak nampak sesosok manusia pun. Suasana di jalan raya itu sangat hening, sepi, tak satu pun bayangan manusia yang muncul di situ, semua pintu rumah tertutup rapat, tiada suara manusia yang berbicara, tiada bina?tang yang berkeliaran, seakan-akan jalan raya itu sudah berubah menjadi gurun pasir. Gurun pasir yang jauh dari keramaian dunia, jauh terpencil dari semua kehidupan. Kenapa bisa jadi begitu" Kemana perginya semua orang" Sebenarnya apa yang telah terjadi" Untuk sesaat baik Tong Po-gou maupun Thio Than hanya bisa berdiri tertegun, melongo. Sementara itu Pek Jau-hui telah berkata, "Aku sama sekali tidak menuduh kau telah merahasiakan identitasmu." "Lalu apa lagi yang telah kukelabui?" tanya Lui Tun tak habis mengerti. "Kau mengerti silat, padahal tak perlu bantuan dari kami." "Aku tidak mengerti kungfu." "Mana mungkin" Kau pandai silat!" "Aku benar-benar tidak mengerti." "Apa itu mengerti atau tidak," teriak Tong Po-gou, "kalau semua orang yang ada di jalanan mendadak lenyap, masa masih ditanya mengerti atau tidak" " "Kenapa bisa begitu?" teriak Un Ji setelah menghampiri jendela dan melongok keluar. Pek Jau-hui masih bergeming dari prinsipnya, terdengar ia berkata lagi, "Kau pasti bisa silat." "Atas dasar apa kau mengatakan aku bisa?" "Tadi kami berada di atap rumah, kenapa kau bisa men?dengar kehadiran kami?" "Ini disebabkan aku sangat teliti," Lui Tun tertawa, ketika tersenyum, gadis ini nampak cantik sekali, "Aku sempat men?dengar dua kali suara lirih bergema dari atas atap rumah." "Dua kali suara lirih?" Pek Jau-hui tertegun. "Benar, benar, benar," lekas Ong Siau-sik berseru, "sewak?tu naik ke atap tadi, begitu melihat yang ada dalam ruangan adalah nona Un, tanpa sadar injakan kakiku jadi lebih berat hingga memecahkan ujung genteng, kemudian sewaktu mende?ngar nona Lui buka suara, lagi-lagi lututmu menyentuh ping?giran atap, mungkin sura itu yang dimaksud." "Hmmm, mungkin aku kurang hati-hati waktu itu" Pek Jau-hui mendengus dingin. "Juga gara-gara keteledoranku," sambung Ong Siau-sik. "Jadi kau yang membunuh Lotoa dari Mi-thian-jit-seng?" "Benar." "Makanya dia mati dalam keadaan aneh." "Aku tak ingin dia membocorkan identitasku, lagi pula ma?nusia macam dia memang pantas mendapat ganjaran mati." "Wah, seandainya kau ingin membunuh kami, bukankah hal ini bisa dilakukan dengan gampang?" seru Un Ji sambil menjulurkan lidah, "apalagi kami.tak akan menduga ke situ, tak pernah waspada terhadapmu!" "Mungkin gampang bila ingin membunuh kau, tapi jelas bukan kami," sambung Pek Jau-hui dingin. "Kenapa aku mesti membunuh kalian?" ucap Lui Tun sam?bil tertawa sedih, "kalian tidak bermaksud membunuh aku, hal ini sudah satu kejadian yang bagus." "Wah, mulai hujan, hujan deras," tiba-tiba terdengar Tong Po-gou berteriak keras. "Apa sih yang perlu diherankan dengan hujan deras?" tegur Thio Than mendongkol. "Kau memang goblok, dasar otak udang," umpat Tong Po?gou sambil mencak-mencak, "pagi tadi cuaca amat cerah, tahu-tahu mendung menggelayut dan sekarang hujan amat deras, apa kejadian ini tidak aneh?" Terdengar Pek Jau-hui bertanya lagi kepada Lui Tun, "Apa benar orang yang hendak membunuhmu di tepi sungai Han-swe tempo hari adalah anak buah perkumpulan Mithian-jit-seng?" "Benar." "Kenapa?" "Sebab aku akan menikah dengan So Bong-seng. Jika peris?tiwa ini sampai berlangsung, maka besar kemungkinan perse?lisihan antara Kim-hong-si-yu-lau dengan perkumpulan Lak-hun-poan-tong akan berakhir, jelas kondisi semacam ini sangat tidak menguntungkan pihak perkumpulan Mi-thian-jit-seng. Oleh sebab itu mumpung Kim-hong-si-yu-lau maupun perkum?pulan Lak-hun-poan-tong sedang menggerakkan segenap keku?atan yang dimilikinya untuk saling mengisi celah yang ada, mereka berniat menculikku dan kemudian akan memeras ayah?ku serta Sokongcu." "Apakah perkumpulan Mi-thian-jit-seng tidak kuatir kalau tindakannya itu justru memancing ketidak-puasan Kim-hong-si-yu-lau serta perkumpulan Lak-hun-poan-tong hingga kemung?kinan besar akan bekerja sama untuk menghadapinya?" "Analisa serta cara pandang perkumpulan Mi-thian-jit-seng memang sangat lihai, mereka sudah memperhitungkan sebelum berlangsungnya perkawinan ini, tak mungkin perkumpulan Lak-hunpoan-tong bisa akur dengan Kim-hong-si-yu-lau, jangan kan bekerja sama, saling membantu pun belum tentu mau." "Betul, sebelum daya pikatmu memperlihatkan pengaruh?nya, mustahil perkumpulan Lak-hunpoan-tong bisa bekerja sa?ma dengan Kim-hong-si-yu-lau, oleh sebab itu perkumpulan Mi-thian-jit-seng memang sudah sepantasnya memusnahkan dirimu terlebih dulu," sindir Pek Jau-hui. "Padahal sekalipun aku telah kawin dengan So-kongcu juga belum tentu bisa mengubah semua ini," kata Lui Tun lagi tanpa menggubris sindiran yang sinis itu, "di atas satu gunung mana boleh ada dua harimau" Perselisihan antara Kim-hongsi-yu-lau dengan perkumpulan Lak-hun-poan-tong mustahil bisa diselesaikan tanpa terjadinya pertumpahan darah." Berbicara sampai di situ ia berhenti sebentar, kemudian baru katanya lagi, "Oleh sebab itu aku tidak berharap kalian melibatkan diri dalam persoalan ini." "Kau keliru besar," Pek Jau-hui tertawa dingin, "urusan ini bukan urusan pribadimu seorang, tapi persolan kita semua." Sepasang mata Lui Tun mulai berkaca-kaca, namun hanya sebentar, bila tidak dicermati, air mata yang sudah mengembeng di matanya itu sulit untuk terlihat. Terdengar Pek Jau-hui berkata lagi, "Kami bekerja bukan demi kau, tapi demi Kimhong-si-yu-lau!" "Peduli kau berjuang demi siapa," gumam Tong Po-gou, "sekarang langit sudah gelap, matahari sudah tak bersinar, buat apa sih urusan tetek-bengek begitu masih diributkan?" "Justru lantaran cuaca yang makin gelap, kita baru membi?carakan persoalan ini," sela Ong Siau-sik. "Aneh benar," Tong Po-gou semakin keheranan, "apa sangkut-pautnya antara cuaca dengan kau berbuat untukku dan aku berbuat untuk kau?" "Tentu saja sangat besar, ketika dalam dunia persilatan ada seseorang muncul, langit pasti berubah, cuaca ikut berubah, matahari tak bersinar, manusia pun ikut tak bercahaya." "Wah, apakah orang semacam itu bisa disebut juga sebagai manusia?" "Tentu saja manusia," sahut Thio Than. "Siapa dia?" Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Seseorang yang sangat menakutkan," paras muka Thio Than tiba-tiba berubah amat serius. "Sreeet!", mendadak terdengar desingan angin tajam mem?belah angkasa, sebatang anak panah meluncur masuk dari balik jendela. Sebatang anak panah raksasa yang kasar, hitam dan sangat mengerikan. Belum pernah ada anak panah raksasa semacam ini muncul dalam dunia persilatan. Batang panah itu enam kali lipat lebih besar daripada anak panah biasa, bulu yang ada di ekor panah terbuat dari lempeng?an baja tipis, anak panah berbentuk bulat mengkilap, cukup dilihat dari bentuk anak panah ini saja sudah tampak bobotnya sembilan kali lipat lebih berat daripada anak panah biasa. Kalau bentuk panah itu aneh, maka gerakan anak panah itu justru jauh lebih aneh lagi. Panah itu muncul dari bawah menuju ke atas, langsung dibidikkan ke tengah udara. Setelah melewati jendela, panah itu melesat naik ke atas dan bukan melesat lewat ke samping. Jangan-jangan orang yang membidikkan panah itu bukan manusia, melainkan burung yang terbang di angkasa, atau bah?kan mungkin hasil bidikan dewa" Di saat anak panah melesat lewat jendela, "Sreeet!", kemba?li dari balik batang panah itu melesat keluar sebatang panah lagi. Panah raksasa itu melesat lurus ke atas, sewaktu melalui jendela, batang panah itu meletupkan sebatang panah yang lain dan langsung menerjang ke ruangan lantai dua Sam-hap-lau, gerakannya cepat, ringan, ganas, lincah, jauh lebih lincah dari panah mana pun, jauh lebih ganas dari serangan mana pun. Anak panah itu langsung mengancam tubuh Lui Tun! Dengan sekali lompatan Pek Jau-hui menghadang ke de?pan, dia bermaksud menjepit datangnya anak panah itu. Thio Than melompat pula ke depan menghadang di hadap?an Lui Tun, kalau dilihat dari gerakannya, dia seakan hendak menangkis datangnya serangan anak panah itu dengan menggu?nakan kelima puluh enam buah mangkuk kosongnya. Tong Po-gou tak sempat melakukan sesuatu, dia hanya menjerit kaget diikuti seruan tertahan dari Un Ji. "Jangan bergerak!" bentak Lui Tun nyaring, baru ia berseru, panah itu sudah rontok ke tanah. Ternyata anak panah yang meluncur datang dengan kece?patan luar biasa dan amat garang itu tahu-tahu rontok sendiri secara otomatis setelah tiba lebih kurang tujuh langkah dari Lui Tun berdiri. Ong Siau-sik segera memungut anak panah itu. "Tolong bawa kemari," pinta Lui Tun. Ong Siau-sik melihat di ujung mata panah terikat secarik kertas kecil, lekas dia serahkan kepada Lui Tun. Segera ia membuka lipatan kertas itu, maka terbacalah beberapa huruf yang berbunyi, "Tujuh Rasul sedang menerjang ke arah Sam-hap-lau". Di bawah surat itu terlukis sebuah gambar sungai kecil. Lukisan sungai kecil itu melambangkan apa" Apakah nama seseorang" Ataukah nama dari sebuah organisasi" Mungkin juga sebuah kata sandi" Atau sepatah kata" Selesai membaca tulisan di atas kertas itu, Lui Tun segera menyerahkannya ke tangan seorang dayangnya, dan dayang itu segera membakar surat itu hingga jadi abu. Setelah itu Lui Tun menarik napas panjang, wajahnya kembali bersemu merah, bisiknya, "Dia benar-benar telah datang." "Siapa?" tanya Un Ji. "Mi-thian-jit." Ong Siau-sik kembali tertawa, dia merasa kejadian seperti ini sangat menarik. "Konon di kotaraja hanya So-toako dan Lui-congtongcu yang bisa mengendalikan Kwan Jit dari perkumpulan Mi-thian-jit-seng, sayang mereka berdua iidak hadir di sini," katanya. "Itu berarti situasi sekarang harus dihadapi kau dan aku." "Tiba-tiba aku mempunyai satu firasat," kata Ong Siau-sik sambil tertawa. "Katakan." "Aku rasa dua orang yang harus kita hadapi tadi bukan sasaran utama yang dipersiapkan Toako, justru orang inilah sasaran utama kita yang sebenarnya, bagaimana menurut kau?" "Aku pikir tak mungkin So-toako dan Lui Sun turut serta dalam pertarungan kali Tengkorak Maut 12 Pendekar Bayangan Sukma 5 Keris Naga Merah Darah Dan Cinta Di Kota Medang 5