Ledakan Dendam 2
Ledakan Dendam Death Comes As The End Karya Agatha Christie Bagian 2 yang sama, haluan kapal yang berbentuk kepala ular mulai menggeliat, lalu menjelma menjadi ular yang hidup, seekor ular kobra. Renisenb berpikir, "Itu ular yang keluar dari pemakaman, yang memakan jiwa orang-orang yang sudah meninggal." Lalu Renisenb merasa dirinya lumpuh karena ketakutan. Kemudian dilihatnya wajah ular itu adalah wajah Nofret, dan ia terjaga sambil berteriak, "Nofret Nofret...." ?Sebenarnya ia tak berteriak. Semua itu hanya mimpi. Ia terbaring tanpa bergerak, jantungnya berdebar. Dikatakannya pada dirinya sendiri bahwa semua itu tidak nyata. Lalu pikirnya, "Itulah yang diucapkan Sobek waktu dia sedang membunuh ular itu kemarin. Sobek berkata, "Nofret.'" 91 BAB VII Bulan Pertama Musim Salju hari ke-5?Setelah bermimpi, Renisenb tak bisa terlelap lagi. Ia hanya tidur sebentarsebentar, dan menjelang pagi ia sama sekali tidak tidur lagi. Ia tersiksa oleh perasaan akan terjadinya suatu kejahatan. Ia bangun lebih awal, lalu pergi ke luar rumah. Sebagaimana sering terjadi, langkah-langkahnya membawanya ke arah Sungai Nil. Di sungai sudah ada para nelayan, dan tampak pula sebuah perahu yang didayung dengan bersemangat ke arah The- " bes. Ada juga perahu-perahu lain yang layarnya berkibar-kibar ditiup angin lembut Suatu hasrat muncul dalam hatinya... hasrat akan sesuatu yang tak diketahuinya. "Aku merasa... aku merasa...," * pikirnya. Tapi ia tak tahu apa yang dirasakannya! Artinya ia tak dapat menyatakan perasaannya dalam kata-kata. "Aku ingin...," pikirnya, "tapi apa yang kuinginkan?" Apakah ia menginginkan Khay" Khay sudah meninggal... dan takkan kembali. "Aku tidak akan mengingat-ingat Khay lagi," katanya pada diri sendiri. "Apa gunanya" Itu sudah berlalu. Semuanya sudah berlalu." 92 Kemudian terlihat olehnya sosok orang lain yang berdiri memandangi perahu yang menuju Thebes itu. Ada sesuatu pada sosok itu sesuatu yang memancarkan emosi ?dalam kediamannya, hingga menyentuh perasaan Renisenb. Dan ia mengenali bahwa orang itu adalah Nofret Nofret yang sedang menatap Sungai Nil. Nofret seorang diri. Nofret yang sedang ?berpikir memikirkan apa" ?Dengan agak terkejut Renisenb tiba-tiba menyadari betapa sedikitnya yang mereka ketahui tentang diri Nofret Mereka telah menerima wanita itu sebagai musuh seorang asing yang tak dikenal. Mereka semua tak berminat dan tak ingin ?tahu mengenai hidupnya, atau lingkungan tempat asalnya. Pasti Nofret merasa sedih berada di sini seorang diri, pikir Renisenb tiba-tiba. Tanpa teman, dan dikelilingi oleh orang-orang yang membencinya. Perlahan-lahan Renisenb berjalan mendekat, sampai ia berdiri di sisi Nofret. Nofret menoleh sebentar, lalu memalingkan kepalanya lagi, dan terus memandangi Sungai Nil. Wajahnya tidak menampakkan ekspresi apa-apa. Dengan malu-malu Renisenb memulai, "Banyak perahu di sungai." "Ya." Renisenb menuruti dorongan hatinya yang tak jelas. Ia ingin beramah-tamah, maka ia berkata lagi, 93 - "Apakah begini juga keadaan di tempat asalmu?" Nofret tertawa, singkat dan agak getir. "Sama sekali tidak. Ayahku seorang saudagar di Memphis. Di Memphis keadaannya ceria dan menyenangkan. Di sana sering terdengar musik, nyanyian, dan tarian. Apalagi ayahku sering bepergian. Aku pernah ikut ke Syria dan ke Byblos di ujung Hidung Rusa. Aku juga pernah ikut ayahku naik kapal besar, mengarungi lautan luas." Ia berbicara dengan rasa bangga dan bersemangat Renisenb berdiri tanpa bergerak, otaknya bekerja dengan lamban, tapi minat dan pengertiannya mulai timbul. "Pasti kau merasa bosan di sini," katanya lambat-lambat. Nofret tertawa dengan tak sabar. "Segala-galanya mati di. sini! Mati! Yang ada hanya orang membajak sawah, menyemai, dan memungut hasil, dan hewan makan rumput Pembicaraan hanya mengenai hasil panen, perselisihan, dan harga rami." Renisenb memandangi Nofret dari samping, sambil bergulat dengan pikiran-pikiran aneh yang berkecamuk dalam benaknya. Tiba-tiba ia seolah bisa melihat dengan jelas suatu kemarahan, kesedihan, dan rasa putus asa yang terpancar dari wanita di sebelahnya ini. "Dia masih muda seperti aku," pikir Renisenb, "bahkan lebih muda. Dan dia telah menjadi selir 94 seorang tua, orang tua yang cerewet, baik hati, tapi suka melakukan hal yang tak masuk akal ayahku...."?Apa yang diketahuinya tentang Nofret" Ia sama sekali tak tahu apa-apa. Apa kata Hori kemarin waktu ia, Renisenb, berseru, "Dia cantik, tapi kejam dan jahat" "Kau masih kanak-kanak, Renisenb." Begitulah kata Hori. Kini Renisenb tahu apa maksudnya. Kata-katanya tentang Nofret tidak berarti apa-apa. Kita tak bisa menilai seseorang begitu saja. Mungkin saja di balik senyum Nofret yang kejam itu tersembunyi kesedihan, kegetiran, dan rasa putus asa. Apakah ia atau yang lainnya pernah berusaha menerima Nofret dengan baik" Dengan terbata-bata dan kekanak-kanakan, Renisenb berkata, , , "Kau pasti membenci kami semua. Aku tahu sebabnya. Selama ini kami tak pernah ramah... tapi sekarang belum terlambat Apakah kita kau dan aku bisa menjadi ? ?saudara, Nofret" Kau berada jauh dari sanak saudaramu. Kau seorang diri df sini. Tak bisakah aku membantu?" Kata-katanya terdengar ragu-ragu, lalu ia terdiam. Nofret menoleh perlahanlahan. Sejenak wajahnya tidak menampakkan ekspresi apa pun. Namun, pikir Renisenb, sesaat tampak bayangan lembut di matanya. Dalam kesepian pagi hari yang cerah dan damai itu, tampak seolah Nofret bimbang seakan kata-kata Renisenb tadi ?95 telah menyentuh bagian terakhir dari keraguan di hatinya. Saat itu sungguh aneh, saat yang kelak akan selalu diingat oleh Renisenb.... Kemudian air muka-Nofret berubah perlahan-lahan. Berubah menjadi penuh rasa dendam, matanya berapi-api. Melihat amukan rasa benci dan kejahatan di wajah itu, Renisenb mundur selangkah. Dengan suara rendah dan marah Nofret berkata, "Pergi! Aku tak menginginkan apaapa dari kalian. Kalian semua orang-orang bodoh, semuanya...." Ia berhenti berkata-kata, lalu berbalik, dan berjalan kembali ke arah rumah. Langkahnya tegap. Renisenb menyusulnya lambat-lambat. Anehnya, kata-kata Nofret tidak membuatnya marah. Kata-kata itu telah membukakan matanya, hingga ia dapat melihat suatu jurang yang dalam dan gelap, yang penuh dengan rasa benci dan kesedihan ?sesuatu yang selama ini belum dikenalnya dan belum pernah dialaminya. Di dalam pikirannya hanya ada suatu bayangan samar tentang betapa ngerinya merasa seperti itu! Nofret memasuki pintu gerbang, kemudian berjalan menyeberangi pekarangan. Saat itu, salah seorang anak Kait berlari-lari mengejar bola. Anak itu menghalangi jalan Nofret. Dengan marah Nofret mendorong anak itu ke samping, agar tidak menghalanginya. Gadis kecil itu jatuh tertelungkup di tanah. Anak itu menangis 96 berteriak-teriak. Renisenb mendatanginya dengan berlari-lari, lalu mengangkatnya sambil berkata dengan marah, "Tak pantas kau berbuat begitu, Nofret! Lihatlah, dia luka gara-gara kau. Dagunya berdarah." Nofret tertawa dengan lantang. "Oh, jadi aku harus berhati-hati supaya tidak menyebabkan anak-anak manja ini luka" Kenapa" Apakah ibu-ibu mereka juga berhati-hati menjaga perasaanku?" Kait berlari keluar dari rumah mendengar suara tangis anak itu. Ia berlari mendatangi anak itu, memeriksa lukanya, lalu ia berbalik pada Nofret. "Setan! Ular! Orang jahat! Tunggu saja balasan kami padamu." Dengan sekuat tenaga ditamparnya wajah Nofret. Renisenb terpekik, dan menangkap lengan Kait sebelum ia siap mengulangi tamparannya. "Kait... Kait... jangan berbuat begitu." "Memang kenapa" Biar dia sadar akan dirinya. Dia cuma salah satu di antara sekian banyak orang di sini." Nofret berdiri tak bergerak. Bekas tamparan Kait tampak jelas dan merah di pipinya. Di dekat sudut matanya terdapat luka kecil yang disebabkan oleh gelang yang dipakai Kait. Darah mengalir sedikit ke wajahnya, dari luka itu. Renisenb merasa heran melihat air muka Nofret ya ia bahkan merasa takut. Nofret ?tidak memperlihatkan rasa marah. Matanya hanya memancarkan pandangan aneh, seperti rasa senang, 97 dan kini mulutnya bahkan melengkung ke atas seperti kucing, membentuk suatu senyuman puas. "Terima kasih, Kait," katanya. Lalu ia masuk ke rumah. n Nofret bersenandung perlahan-lahan dengan mata menekur. Lalu dipanggilnya Henet. Henet datang berlari-lari, lalu berseru terkejut. Nofret memotong ucapanucapannya. "Panggilkan Kameni. Suruh dia membawa kotak pena, tinta, dan papirus. Dia harus menulis surat pada Tuan besar." Mata Henet menatap pipi Nofret "Surat kepada Tuan besar____Saya mengerti...." Lalu tanyanya, "Siapa yang melakukan-itu?" "Kait," kata Nofret sambil tersenyum tenang. Henet menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mendecakkan lidah. "Semuanya ini jahat sekali jahat sekali.... Ya, tentu saja Tuan besar harus ?tahu." Ia memandang Nofret dari samping. "Ya, Imhotep harus diberitahu." "Kau dan aku, Henet, kita punya pikiran yang sama," kata Nofret dengan halus. "Kupikir kita memang harus begitu." Dari tepi jubah linennya ia mengeluarkan sebuah perhiasan emas bermata kecubung. Digeng-gamkannya perhiasan itu ke tangan Henet 98 "Ya, Henet, hanya kau dan aku yang memikirkan kesejahteraan Imhotep." "Ini terlalu bagus untuk saya, Nofret.... Anda pemurah sekali.... Alangkah indahnya hasil karya ini." "Aku dan Imhotep selalu bisa menghargai kesetiaan orang." Nofret masih saja tersenyum, matanya menyipit, seperti mata kucing. "Sekarang panggilkan Kameni," katanya. "Dan kau ikut lagi kemari. Kau dan dia akan menjadi saksi mengenai apa yang telah terjadi." Kameni datang dengan agak enggan, dahinya mengernyit. Nofret berbicara dengan sikap memerintah, "Kau tentu ingat instruksi-instruksi Imhotep sebelum beliau berangkat, bukan?" "Ya," kata Kameni. "Sekarang sudah tiba waktunya," kata Nofret "Duduklah, lalu tuliskan apa-apa yang kukatakan." Melihat Kameni masih bimbang, ia berkata dengan tak sabar, "Yang akan kautuliskan adalah apa yang kaulihat dengan matamu sendiri, serta apa yang kaudengar dengan telingamu sendiri. Henet akan memberikan kesaksian tentang semua yang akan kukatakan. Lalu surat itu harus dikirim secepat mungkin, secara rahasia." "Saya merasa berat...," kata Kameni lambat-lambat. Dengan marah Nofret berkata padanya, "Aku tidak akan mengadukan Renisenb. Renisenb itu 99 lembut, lemah, dan bodoh. Tapi dia tak pernah mencoba menyakiti aku. Apakah kau puas mendengar hal itu?" Wajah Kameni yang kecoklatan memerah. "Bukan itu yang saya pikirkan...." Nofret berkata dengan halus, "Kupikir kau... Nah, sekarang jalankan instruksi instruksiku. Tulislah." "Ya, tulislah," kata Henet. "Saya sedih sekali melihat semua kejadian ini sedih?sekali. Imhotep tentu harus tahu tentang kejadian ini. Itu sudah pada tempatnya. Bagaimanapun tak enaknya suatu tugas, kita tetap harus menjalankannya. Begitulah pendapat saya." Nofret tertawa dengan halus. "Aku tahu kau menyadari hal itu, Henet. Kau memang selalu menjalankan tugasmu dengan baik! Kameni pun akan menjalankan tugasnya. Dan aku... aku akan melakukan apa-apa yang kusukai...." Tapi Kameni masih saja bimbang. Wajahnya cemberut nyaris marah. ?"Saya merasa berat melakukan hal ini," katanya. "Nofret, sebaiknya Anda pertimbangkan lagi hal itu." "Kau berkata begitu padafcw?" Wajah Kameni menjadi merah mendengar nada bicara Nofret. Ia tak mau melihat pada Nofret, dan wajahnya masih tetap cemberut. "Hati-hati kau, Kameni," kata Nofret dengan halus. "Pengaruhku besar atas diri Imhotep. Dia 100 menuruti segala perkataanku, dan selama ini dia merasa senang padamu...." Nofret berhenti bicara dan menunggu. "Apkah Anda mengancam saya, Nofret?" tanya Kameni dengan marah. "Mungkin." Dipandanginya Nofret beberapa saat dengan marah, lalu ia menunduk. "Akan saya lakukan perintah Anda, Nofret. Tapi saya rasa... ya, saya bahkan merasa yakin bahwa Anda akan menyesalinya." "Apakah sekarang kau yang mengancam aku, Kameni?" 'Tidak, saya hanya mengingatkan Anda...." 101 BAB VIII Bulan Kedua Musim Salju hari ke-10 ?Hari demi hari berlalu, dan Renisenb kadang-kadang merasa seperti hidup dalam mimpi. Tak pernah lagi ia mengadakan pendekatan-pendekatan dengan malu-malu kepada Nofret. Kini ia merasa takut pada Nofret Ada sesuatu yang tak dapat dipahaminya pada diri wanita itu. Setelah peristiwa di pekarangan waktu itu, Nofret berubah. Ia tampak tenang dan manis, hingga Renisenb tak bisa menduga perasaannya. Kadang-kadang ia berpikir bahwa ia salah telah menganggap Nofret sebagai orang yang tak bahagia. Nofret kelihatannya puas dengan kehidupannya, dirinya sendiri, dan lingkungannya. Padahal sebenarnya lingkungannya telah berubah menjadi lebih buruk. Setelah keberangkatan Imhotep, Nofret dengan sengaja menimbulkan perselisihan antara beberapa anggota keluarga Imhotep, demikian penilaian Renisenb. Kini keluarga itu telah bersatu dengan kuat, melawan si penyerang. Tak ada lagi pertengkaran antara Satipy dan Kait Tak ada lagi omelan-omelan Satipy terhadap Yahmose yang malang. 102 Sobek kelihatan lebih tenang, dan bualannya berkurang. Sikap Ipy yang kasar dan kurang ajar terhadap kakak-kakaknya pun sudah berkurang. Kelihatannya telah tercipta suatu keharmonisan baru dalam keluarga itu. Namun keharmonisan itu tidak memberikan ketenangan pada Renisenb, karena ia merasa di balik semua itu tersembunyi niat v jahat untuk mencelakakan Nofret. Satipy dan Kait tidak lagi bertengkar dengannya mereka menghindarinya. Bila ia ?datang, mereka langsung mengumpulkan anak-anak mereka dan pergi. Pada saat yang sama, mulai terjadi kecelakaan-kecelakaan kecil yang aneh dan menjengkelkan. Sehelai gaun Nofret yang terbuat dari bahan linen, rusak kena setrika yang terlalu panas. Ada pula gaun lain yang ketumpahan bahan pe * warna. Kadang?kadang duri yang tajam ditusukkan ke pakaiannya, dan seekor kalajengking pernah ditemukan di dekat tempat tidurnya. Makanan yang disajikan padanya kadang terlalu banyak bahan penyedapnya, atau sebaliknya terlalu tawar. Pada suatu hari, pada jatah rotinya kedapatan bangkai tikus. Semua itu merupakan teror terselubung. Tak kentara, tak ada bukti-bukti. Benarbenar khas wa-| . nita Lalu pada suatu hari Esa memanggil Satipy, Kait, dan. Renisenb. Henet sudah berada di situ. Ia menggeleng-geleng dan terus menggosok-gosokkan kedua tangannya di belakang wanita tua itu. "Nah!" kata Esa, sambil menatap mereka de 103 ngan pandangan mengejek seperti biasanya, "ini dia cucu-cucuku yang pandaipandai. Apa kalian sadar dengan perbuatan kalian" Mengapa aku sampai mendengar bahwa baju Nofret rusak karena hangus, dan makanannya tak bisa dimakan?" Satipy dan Kait tersenyum. Senyum mereka bukan senyum yang manis. "Apakah Nofret yang mengadu?" tanya Satipy. "Bukan," kata Esa. Ditariknya sedikit wig yang selalu dipakainya, meskipun ia Ledakan Dendam Death Comes As The End Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sedang berada di rumah, sehingga wig itu jadi miring letaknya. "Tidak, Nofret tidak mengadu. Itulah yang membuatku khawatir" "Saya sendiri tidak merasa khawatir," kata Satipy, sambil mendongakkan kepalanya yang bagus. "Itu karena kau tolol," bentak Esa. "Otak Nofret dua kali lebih tajam daripada otak kalian bertiga." "Itu masih harus dibuktikan," kata Satipy. Ia kelihatannya senang. "Apa yang telah kalian lakukan?" tanya Esa. Wajah Satipy menjadi keras. "Nenek sudah tua. Saya berbicara tanpa mengurangi rasa hormat saya, tapi beberapa keadaan sudah tak ada lagi artinya bagi Nenek. Padahal bagi kami yang punya suami dan anak-anak kecil, hal itu berarti. Kami telah memutuskan untuk menangani sendiri segala macam persoalan kami punya cara sendiri untuk ?menangani perempuan yang tak kami sukai dan yang tak mau kami terima." "Bagus sekali kata-katamu itu," kata Esa. 'Kata 104 kata yang bagus." Ia terkekeh. "Tapi hal itu menjadi gunjingan gadis-gadis budak yang sedang menggiling." "Kata-kata yang tepat dan bijak," desah Henet di belakang. Esa menoleh. "Ceritakan, Henet, apa yang .dikatakan Nofret mengenai semua yang terjadi" Kau pasti tahu, sebab kau yang selalu melayaninya." "Itu pun atas perintah Tuan besar Imhotep. Saya tentu malu melakukannya, tapi saya kan harus menjalankan apa yang diperintahkan oleh Tuan besar. Saya harap Anda tak menganggap..." Esa memotong suara yang melengking itu, "Kami semua tahu tentang kau, Henet. Kau selalu mengabdi dan jarang diberi ucapan terima kasih sebagaimana mestinya. Nah, apa kata Nofret tentang semua kejadian itu" Itu yang kutanyakan." Henet menggeleng. "Dia tak mengatakan apa-apa. Dia hanya tersenyum." ?"Memang." Esa mengambil sebuah permen dari piring di dekat sikunya, mengamat amatinya lalu memasukkannya ke dalam mulutnya. Tiba-tiba ia berkata dengan dendam dan getir. "Kalian semua bodoh. Kekuasaan ada pada Nofret, bukan pada kalian. Kalian masuk dalam perangkapnya. Aku berani bersumpah bahwa apa yang kalian lakukan itu justru menyenangkan hatinya." 105 "Omong kosong," kata Satipy dengan tajam "Nofret hanya seorang diri, di antara kami yang banyak ini. Kekuasaan apa yang ada padanya?" Dengan serius Esa berkata, "Kekuasaan seorang wanita muda yang cantik, yang menikah dengan seorang pria tua. Aku tahu benar itu." Sambil memalingkan kepalanya cepat-cepat, ia berkata, "Henet tahu bahwa apa yang kuucapkan itu benar!" Henet terkejut. Ia mendesah, lalu mulai memutar-mutar tangannya. "Tuan besar sangat memikirkan dia tentu saja ya, itu wajar sekali." ? ?"Sudah, pergilah ke dapur," potong Esa. "Ambilkan aku beberapa buah kurma dan anggur Syria ya, dan madu juga."?Setelah Henet pergi, wanita tua itu berkata, "Ada kejahatan yang akan terjadi aku bisa menciumnya. Satipy, kaulah biang ?keladinya. Hati-hati, jangan kau mengira dirimu pintar, lalu kau terjebak oleh Nofret." Orang tua itu bersandar, lalu memejamkan matanya. "Pokoknya aku sudah memberi .peringatan pada kalian. Sekarang pergilah." "Kami sama sekali tidak berada dalam kekuasaan Nofret!" kata Satipy, sambil mendongakkan kepalanya, saat mereka keluar menuju danau. "Nenek sudah begitu tua, sehingga pikirannya suka aneh 106 aneh. Sebenarnya Nofret-lah yang berada dalam kekuasaan kita! Kita jangan melakukan sesuatu terhadapnya, yang bisa dilaporkannya. Tapi kurasa... ya, aku yakin dia akan segera menyesal datang kemari * "Kau kejam... kejam!" seru Renisenb. Satipy kelihatan senang. "Jangan kau berpura-pura menyukai Nofret, Renisenb!" "Tidak. Tapi kedengarannya kau... kau begitu mendendam." "Aku memikirkan anak-anakku dan Yahmose! Aku bukan seorang wanita lembek, atau ?yang memendam dendam. Aku punya ambisi. Ingin aku memelintir leher perempuan itu dengan segala senang hati. Sayangnya itu tidak mudah dilakukan. Kita tak boleh membangkitkan amarah Imhotep. Tapi kurasa akhirnya sesuatu bisa juga diatur." ? ?II Surat itu tiba bagaikan tusukan tombak terhadap ikan. Yahmose, Sobek, dan Ipy menatap saja dengan membisu ketika Hori membacakan kata-kata dari gulungan papirus itu. Bukankah sudah kukatakan pada Yahmose, bahwa dialah yang akan kusalahkan bila selirku sampai terganggu" Mulai saat ini, kita bermusuhan. Aku tak mau lagi hidup di bawah satu atap dengan kalian, karena kalian tidak menghormati selirku, Nofret! Kau bukan lagi 107 darah dagingku. Sobek dan Ipy pun bukan lagi anakku. Kalian semua telah ?menyakiti selirku. Hal itu telah dinyatakan secara tertulis oleh Kameni dan Henet. Aku akan mengusir kalian dari rumahku kalian semua! Selama ini, akulah ?yang menunjang hidup kalian. Sekarang aku ': tak mau lagi membiayai hidup kalian. Hori berhenti sebentar, lalu membaca lagi, Imhotep, pendeta Ka menujukan kata-katanya pada Hori. Kau yang selama ini setia padaku, ^bagaimana keadaanmu" Selamat dan sehatkah kau" Sampaikan salamku pada ibuku, Esa, dan putriku Renisenb, dan salamku pada Henet. Ja-lankanlah semua urusanku dengan baik, sampai aku kembali pada kalian. Siapkanlah suatu surat pernyataan yang menyatakan bahwa selirku, Nofret, akan menikmati semua kekayaanku ber- " samaku, sebagai istriku. Baik Yahmose maupun Sobek takkan kupersekutukan denganku, dan aku juga takkan mau menunjang hidup mereka lagu Bersama ini kuumumkan bahwa mereka telah menyakiti selirku! Dan kucabut hak waris mereka! Jagalah semua sampai aku kembali Alangkah jahatnya bila seisi rumah menjahati setir seseorang. Mengenai Ipy, suruh dia mendengar peringatanku. Bila dia ikut-ikutan menjahati selirku sedikit saja, dia juga harus pergi dari rumahku. Keheningan yang berat menyelimuti semuanya, lalu tiba-tiba Sobek bangkit dengan amat marah. 108 "Bagaimana ini sampai terjadi" Apa yang telah didengar ayahku" Siapa yang telah menyampaikan berita bohong padanya" Apakah kita harus menanggung semua ini" Ayahku tak bisa mencabut hak waris kita begitu saja, dan memberikan semua hartanya pada selirnya!" Hori berkata dengan lembut, "Itu akan menjadi bahan pembicaraan yang tak baik, dan tindakan itu tak dapat dibenarkan. Tapi secara hukum, itu memang haknya. Dia boleh membuat surat pernyataan apa saja, sesuai kehendaknya." 'Wanita itu telah mengguna-gunainya ular hitam pengejek itu telah memantra-?mantrainya!" Yahmose seolah-olah telah menjadi bisu, dan hanya bisa bergumam, " "Sungguh tak dapat dipercaya rasanya itu tak mungkin terjadi." ?"Ayahku sudah gila gila!" seru Ipy. "Dari aku pun dia sudah berpaling, gara?gara perempuan itu!" Hori berkata dengan serius, "Imhotep akan kembali, tak lama lagi begitu katanya. Menjelang waktu itu, ?amarahnya pasti sudah berkurang. Mungkin dia tidak bersungguh-sungguh dengan ancamannya." Terdengar tawa pendek yang tak enak. Ternyata Satipy yang tertawa. Ia berdiri di ambang pintu yang menuju tempat kediaman para wanita, memandangi mereka. 109 "Jadi itu rupanya yang harus kita lakukan, ya, Hori yang hebat" Menunggu dan melihat saja!" Lambat-lambat Yahmose berkata, "Apa lagi yang bisa kita perbuat?" "Apa lagi?" Suara Satipy meninggi. Lalu dengan berteriak ia berkata, "Apa yang mengalir dalam urat kalian semuanya" Susukah" Mengenai Yahmose, aku sudah tahu, dia bukan laki-laki! Tapi kau, Sobek! Apakah kau juga tak bisa mengatasi keadaan-keadaan yang pincang ini" Tancapkan sebilah pisau di jantungnya, dan perempuan itu takkan bisa menjahati kita lagi." "Satipy!" seru Yahmose. "Ayahku takkan pernah memaafkan kita!" "Begitu katamu. Tapi menurutku, selir yang sudah mati tak sama dengan selir yang masih hidup! Begitu dia mati, hati Imhotep akan kembali pada putra-putranya dan cucu-cucunya. Apalagi, dia takkan tahu bagaimana perempuan itu mati. Bisa saja kita mengatakan bahwa dia telah disengat kalajengking! Bukankah kita bisa kompak dalam hal ini?" Lambat-lambat Yahmose berkata, "Ayahku pasti akan tahu. Henet akan menceritakannya padanya." Satipy tertawa histeris. "Dasar Yahmose! Terlalu berhati-hati! Sangat halus dan waspada! Seharusnya kaulah yang menjaga anak-anak dan mengerjakan pekerjaan para wanita di bagian belakang rumah. Tolong aku, 110 Dewa Sakhmet! Aku menikah dengan seorang pria yang bukan laki-laki. Dan kau, Sobek, kau yang suka membual! Mana keberanianmu, mana kepercayaan dirimu" Demi Dewa Re, aku lebih jantan daripada siapa pun di antara kalian!" Satipy berbalik, lalu keluar. Kait yang berdiri di belakangnya, maju selangkah. Dengan suara dalam dan bergetar ia berkata, "Apa yang dikatakan Satipy itu benar! Dia memang lebih jantan daripada siapa pun di antara kalian. Yahmose, Sobek, Ipy, apakah kalian hanya akan duduk saja di sini, tanpa melakukan apaapa" Bagaimana dengan anak-anakmu, Sobek" Akankah kaubiarkan mereka terusir dan kelaparan" Baiklah, kalau kau tak mau berbuat apa-apa, aku yang akan bertindak. Kalian memang bukan laki-laki sejati!" Setelah itu, ia pun keluar. Sobek melompat berdiri. "Demi Sembilan Dewa dari Ennead, Kait memang benar! Memang ada tugas yang harus dikerjakan, tapi kita malah duduk-duduk saja di sini, bercakap-cakap dan menggeleng-gelengkan kepala." Ia berjalan ke arah pintu dengan langkah-langkah tegap. Hori berseru memanggilnya, 'Sobek, Sobek, akan ke mana kau" Apa yang akan kaulakukan?" Sobek yang tampan, berteriak dengan geram dari ambang pintu, "Yang jelas, aku akan melakukan sesuatu. Dan 111 apa pun yang akan kulakukan, akan kulakukan dengan senang" 112 BAB IX Bulan Kedua Musim Salju hari ke-10?^ Renisenb keluar ke beranda, dan berdiri sejenak di sana, sambil melindungi matanya dari sinar yang tiba-tiba menyilaukan. Ia merasa kurang sehat dan gemetar, dan takut sekali. Ia berkata-kata sendiri, mengucapkan kata-kata yang sama berulang kali, "Aku harus memberi peringatan pada Nofret... aku harus memberinya peringatan...." Di dalam rumah di belakangnya, terdengar dengung suara laki-laki, suara Hori dan Yahmose yang saling membaur. Dan mengatasi suara-suara itu, terdengar suara Ipy yang melengking dan kekanak-kanakan. "Satipy dan Kait memang benar. Memang tak ada laki-laki sejati dalam keluarga ini! Tapi aku laki-laki sejati. Ya, meskipun dari umurku aku belum dewasa, dalam hatiku aku adalah laki-laki sejati. Nofret telah mencemoohkan aku, menertawakan aku, dan memperlakukan aku sebagai anak kecil. Akan kuperlihatkan padanya bahwa aku bukan anak kecil. Aku tak takut akan kemarahan ayahku. Aku mengenal ayahku. Dia su-113 dah diguna gunai perempuan itu telah meman-trainya. Bila perempuan itu ?dimusnahkan, hati ayahku akan berbalik lagi padaku pada diriku! Akulah yang ?paling disayanginya. Kalian semua memperlakukan aku sebagai anak kecil, tapi akan kalian lihat nanti. Ya, kalian lihat saja!" Ia berlari ke luar rumah, dan bertabrakan dengan Renisenb, hingga gadis itu nyaris jatuh. Re- ", nisenb mencengkeram lengan baju Ipy. "Ir5y, Ipy, mau ke mana kau?" "Mencari Nofret. Biar dia libat apakah dia bisa menertawakan aku!" "Tunggu sebentar. Tenanglah! Kita tak boleh bertindak gegabah." "Gegabah?" Anak laki-laki itu tertawa mengejek. "Kau sama saja dengan Yahmose. Berhati-hati! Waspada! Tak ada yang boleh dilakukan " dengan terburu-buru! Yahmose itu lemah seperti wanita tua, sedangkan Sobek hanya bisa berkata-kata dan membual saja. Lepaskan aku, Renisenb." Direnggutkannya lengan bajunya dari cengkeraman Renisenb. "Nofret. Di mana dia?" Henet, yang baru saja keluar dari rumah, bergumam, "Astaga, urusan ini akan tak beres sama sekali * tak baik. Apa yang akan ?terjadi atas diri kita semua" Apa yang akan dikatakan Nyonya besarku yang baik?" "Di mana Nofret, Henet?" "Jangan katakan padanya," seru Renisenb. Tapi Henet sudah telanjur menjawab, "Dia keluar lewat jalan belakang. Dia menuju ladang rami." Ipy berlari kembali ke arah rumah. Renisenb menegur Henet, "Seharusnya tidak kaukatakan padanya, Henet." "Anda tak percaya pada Henet tua ini. Kalian tak pernah percaya pada saya." Ratapan dalam suaranya makin jelas. "Padahal Henet tua ini tahu apa yang harus dilakukannya. Anak laki-laki itu perlu dibiarkan mereda. Dia tidak akan menemukan Nofret di dekat ladang rami." Ia tertawa kecil. "Nofret ada di sini di pondok peristirahatan bersama Kameni." ? ?Ia menganggukkan kepalanya ke arah pekarangan. Lalu ditambahkannya dengan tekanan penuh arti. "Dengan Kameni...." Tapi Renisenb sudah mulai menyeberangi pekarangan. Teti, yang sedang menarik-narik singa kayunya, datang berlari-lari dari danau ke arah ibunya. Renisenb menangkapnya, lalu mengangkatnya. Waktu ia mendekap anaknya itu, mengertilah dia kekuatan apa yang telah mendorong Satipy dan Kait. Kedua wanita itu berjuang untuk anak-anak mereka. "?Teti memekik dengan kesal, j ^aManTsa^an / " JAYA A9ADI " ^OL, KALIURANG KM 5J 114 "Jangan terlalu kuat, Ibu, jangan terlalu kuat. Sakit." Renisenb menurunkan anak itu, lalu perlahan-lahan menyeberangi pekarangan. Di ujung rumah peristirahatan, dilihatnya Nofret sedang berdiri bersama Kameni. Mereka menoleh waktu Renisenb mendekat. Renisenb berbicara dengan cepat dan terengah-engah. "Nofret, aku datang untuk memberi peringatan padamu. Kau harus berhati-hati. Kau harus menjaga dirimu." Wajah Nofret membayangkan sikap melecehkan bercampur geli. "Rupanya anjing-anjing mulai menggonggong, ya?" "Mereka marah sekali. Mereka akan menyakitimu." Nofret menggeleng. "Tak seorang pun bisa menyakitiku," katanya dengan penuh keyakinan. "Kalau ada yang melakukannya, mereka akan dilaporkan pada ayahmu, dan dia pasti akan membalas perbuatan itu. Mereka akan tahu itu, bila mereka mau berpikir sebentar saja." Ia tertawa lagi. "Alangkah bodohnya mereka dengan penghinaan penghinaan dan usaha-usaha mereka untuk menyakitiku. Padahal semua itu sia-sia! Akulah yang memegang peran dalam permainan ini selama ini." Perlahan-lahan Renisenb berkata, "Jadi ini memang sudah lama kaurencanakan" 116 Padahal selama ini aku merasa kasihan padamu. Kupikir kamilah yang jahat! Sekarang aku tak merasa kasihan lagi. Sekarang aku menyadari bahwa kaulah yang jahat, Nofret. Bila kau membantah telah melakukan empat puluh dua macam dosa pada saat pengadilan terakhir, kau takkan bisa berkata, 'Saya tak pernah melakukan kejahatan.' Kau juga takkan bisa mengatakan, 'Saya tidak serakah.' Dan bila kelak hatimu ditimbang pada timbangan dengan batu timbangan yang berupa kebenaran, piring timbangan yang berisi hatimu akan lebih berat" Dengan muka masam Nofret berkata, "Tiba-tiba saja kau menjadi begitu suci. Aku kan tidak menyakiti kau, Renisenb. Aku tak pernah mengatakan sesuatu yang jahat tentang dirimu. Tanyakan saja pada Kameni." Lalu ia pergi, berjalan menyeberangi pekarangan, dan menaiki tangga ke beranda rumah. Henet keluar menyambutnya, dan kedua wanita itu masuk ke dalam rumah. Ledakan Dendam Death Comes As The End Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Perlahan-lahan Renisenb berpaling pada Kameni. "Jadi rupanya kau yang telah membantunya melakukan hal itu terhadap kami?" Kameni menjawab dengan bersemangat, "Marah sekalikah kau padaku, Renisenb" Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Sebelum Imhotep berangkat, dia telah menekankan padaku bahwa aku harus menuliskan apa saja yang diperintahkan Nofret, setiap saat Nofret menyuruhku. Katakanlah 117 bahwa kau tidak menyalahkan aku, Renisenb. Apalah dayaku?" "Aku tak bisa menyalahkanmu," kata Renisenb perlahan-lahan. "Kurasa kau memang harus melaksanakan perintah-perintah ayahku." "Aku tak suka melakukannya, Renisenb dan memang benar, tak ada sepatab kata pun?yang memburuk-burukkan kau." "Aku tak peduli itu." 'Tapi aku peduli. Apa pun yang dikatakan Nofret padaku, aku takkan mau menuliskan sepatah kata pun yang dapat menyakitimu, Renisenb. Percayalah padaku." Renisenb menggeleng dengan rasa heran. Apa yang dikatakan Kameni dianggapnya tak penting bagi dirinya. Ia merasa tersinggung dan marah, seolah-olah Kameni telah mengecewakannya. Padahal bukankah laki-laki itu sebenarnya orang asing" Meskipun masih ada ikatan darah, Kameni tetap orang asing yang telah dibawa ayahnya dari bagian lain negeri ini. Ia seorang juru tulis junior yang telah diberi tugas oleh majikannya, dan ia telah melaksanakannya dengan patuh. "Yang kutuliskan tak lebih daripada kebenaran," kata Kameni, bertahan. "Tak ada hal-hal bohong yang kutuliskan, aku berani bersumpah." "Tidak," kata Renisenb. "Tentu saja tak ada yang bohong. Nofret terlalu pandai untuk itu." Rupanya benar apa yang dikatakan Esa. Usaha-usaha untuk menyakiti yang telah dibangga-banggakan oleh Satipy dan Kait, memang benar di 118 ingini oleh Nofret. Tak heran kalau ia suka ter senyum-senyum seperti kucing. "Perempuan itu jahat," kata Renisenb setelah berpikir-pikir. "Ya, dia benarbenar jahat" Kameni membenarkannya. "Ya," katanya, "dia makhluk yang jahat" Renisenb berpaling, dan menatap Kameni dengan rasa ingin tahu. "Kau sudah mengenalnya sebelum dia datang kemari, bukan" Kau sudah kenal padanya sejak di Memphis?" Wajah Kameni memerah, dan ia nampak risi. "Aku tak begitu kenal padanya, tapi aku pernah mendengar tentang dia. Kata orang dia seorang gadis yang sombong, ambisius, dan keras hati dan dia tak bisa ?memaafkan orang." Renisenb tiba-tiba merasa tak sabar, lalu mendongak. "Aku tak percaya," katanya. "Ayahku, tidak akan melaksanakan ancamannya itu. Sekarang dia memang sedang marah, tapi tak mungkin dia begitu tak adil. Bila dia datang, dia akan memaafkan." "Bila dia datang," kata Kameni, "Nofret akan berusaha agar dia tidak mengubah pikirannya. Kau tak mengenal Nofret, Renisenb. Dia cerdik sekali, dan punya pendirian teguh. Selain itu, ingat, dia cantik sekali." "Ya," kata Renisenb mengakui. "Dia memang cantik." Renisenb bangkit. Entah mengapa, pikiran tentang kecantikan Nofret membuat hatinya pedih. 119 II Sepanjang petang itu, Renisenb bermain-main dengan anak-anak. Saat ia ikut dalam permainan-permainan mereka, kepedihan hatinya agak berkurang. Menjelang senja, barulah ia berhenti, lalu berdiri. Rambutnya dilicinkannya ke belakang, dan dirapi-kannya pula lipit-lipit pada bajunya yang tadi telah kusut dan acakacakan. Ia agak heran mengapa Satipy dan Kait tidak keluar seperti biasanya. Kameni sudah lama pergi dari pekarangan itu. Perlahan-lahan Renisenb berjalan ke seberang, lalu masuk ke dalam rumah. Di ruang duduk tak ada siapa-siapa. Ia berjalan terus ke belakang rumah, ke bagian tempat tinggal para wanita. Esa sedang duduk terkantuk-kantuk di sudut kamarnya, sementara gadis budaknya sedang menandai bertumpuk-tumpuk seprai dari bahan linen. Di dapur, orang-orang sedang membuat sejumlah roti berbentuk segitiga. Tak ada siapa-siapa lagi di sekitar tempat itu. Suatu rasa kosong yang aneh menekan semangat Renisenb. Di mana gerangan semua orang" Hori mungkin pergi ke pemakaman. Yahmose mungkin sedang bersamanya, atau di ladang. Sobek dan Ipy pasti sedang mengurus ternak, atau mungkin sedang mengurus lumbung gandum. Tapi di manakah Satipy dan Kait" Dan di manakah Nofret" Di kamar Nofret yang kosong, tercium bau tajam krim-krimnya. Renisenb berdiri di ambang pintu kamar itu. Diperhatikannya bantal kayu yang 120 kecil, dilihatnya sebuah kotak perhiasan, setumpuk gelang dari merjan, dan sebentuk cincin bermata biru berbentuk kumbang. Ada parfum, bermacam-macam krim, pakaian, seprai-seprai, sandal-sandal semuanya menjadi ciri pemiliknya, Nofret, ?yang hidup di tengah-tengahnya. Seorang asing dan musuh dalam rumah itu. Di manakah gerangan Nofret, tanya Renisenb pada diri sendiri. Perlahan-lahan ia pergi ke arah jalan masuk di belakang rumah. Di sana ia bertemu dengan Henet yang baru masuk. "Di mana semua orang, Henet" Rumah kosong, yang ada hanya nenekku." "Bagaimana saya tahu, Renisenb" Saya kan bekerja terus membantu orang-orang ?menenun dan mengurus seribu satu macam urusan. Saya tak punya waktu untuk berjalan-jalan." Itu berarti seseorang telah pergi berjalan-jalan, pikir Renisenb. Mungkin Satipy pergi menyusul Yahmose ke pemakaman, untuk mengomelinya lagi" Lalu di mana Kait" Tak biasanya Kait meninggalkan anak-anaknya begitu lama. Lalu, lagi-lagi ada pikiran aneh yang mengganggunya, dan pertanyaan, Di mana Nofret" Henet, yang seolah dapat membaca pikirannya itu, memberikan jawabannya. "Mengenai Nofret, sudah lama dia pergi ke pemakaman. Hori memang sepadan dengan dia." Henet tertawa licik. "Hori juga punya otak." Lalu ia 121 mendekatkan dirinya pada Renisenb. "Saya ingin Anda tahu, Renisenb, bahwa saya merasa sedih sekali melihat semua keadaan ini. Beberapa hari yang lalu dia datang pada saya dengan bekas tamparan Kait di pipinya. Darah mengalir di ?wajahnya. Lalu disuruhnya Kameni menulis surat, dan saya harus bersaksi mengenai apa yang telah saya lihat Tentu saja saya tak bisa berkata bahwa saya tidak melihatnya! Oh, dia memang cerdik sekali. Dan saya selalu ingat pada ibu Anda yang baik...." Renisenb mendorongnya ke samping, lalu berjalan melewatinya. Ia keluar ke alam yang berseri keemasan, disinari matahari senja. Pada tebing batu karang, tampak bayang-bayang gelap. Seluruh bumi nampak luar biasa pada saat matahari akan terbenam ini. Renisenb mempercepat langkahnya waktu melewati jalan setapak ke tebing batu karang. Ia akan naik ke pemakaman akan mencari Hori. Ya, ia akan mencari Hori. ?Itulah yang selalu dilakukannya waktu ia masih kecil, bila mainannya rusak, bila ia merasa tak yakin atau takut Hori seperti tebing batu-batu karang itu, kokoh, kuat, dan tak berubah. Dengan bingung Renisenb berpikir, "Segalanya akan beres bila aku sudah menemukan Hori...." Ia mempercepat langkahnya, nyaris berlari. Lalu tiba-tiba dilihatnya Satipy berjalan ke arahnya. Pasti Satipy juga baru saja naik ke pemakaman. 122 Cara berjalan Satipy aneh sekali. Ia terhuyung-huyung dan tersandung-sandung, seolah-olah ia tak" bisa melihat... Waktu melihat Renisenb, ia berhenti mendadak, tangannya memegang dadanya. Renisenb yang makin mendekat, terkejut melihat wajahnya. "Ada apa, Satipy" Apakah kau sakit?" Waktu Satipy menjawab, suaranya serak dan matanya beralih dari kiri ke kanan. "Tidak, tidak. Sama sekali tidak." "Tapi kau kelihatan sakit. Kau seperti ketakutan. Apa yang telah terjadi?" "Apa yang seharusnya terjadi" Tentu saja tak ada apa-apa." "Dari mana kau?" "Aku naik ke pemakaman mencari Yahmose. Tapi dia tak ada di sana. Tak ada ?siapa-siapa di sana." Renisenb masih saja memandanginya. Ini Satipy yang baru Satipy yang semangat ?dan keberaniannya sudah tak ada lagi. "Mari, Renisenb, kita pulang saja." Dengan tangan agak gemetar, Satipy memegang lengan Renisenb, dan dengan setengah memaksa, diajaknya Renisenb kembali. Tapi Renisenb malah ingin melawan, karena paksaan itu. 'Tidak. Aku akan naik ke pemakaman." "Tak ada siapa-siapa di sana, percayalah." "Aku* suka melihat Sungai Nil dari sana Aku suka duduk-duduk di sana." "Tapi matahari sudah akan terbenam. Hari sudah mulai gelap." Cengkeraman tangan Satipy di lengan Renisenb makin erat Tapi Renisenb menggeliat melepaskan dirinya. "Lepaskan aku, Satipy." "Tidak. Mari pulang. Mari pulang denganku." Tapi Renisenb sudah berhasil melepaskan diri. Ia berlari melewati Satipy, lalu berjalan mendaki ke arah tebing batu karang. Pasti ada sesuatu. Nalurinya berkata bahwa ada sesuatu.... Dipercepatnya langkahnya, lalu ia berlari.... Kemudian ia pun melihatnya suatu onggokan gelap yang tergeletak di bayangan ?tebing batu karang. Ia lebih bergegas lagi, sampai tiba di dekat onggokan itu. Anehnya, ia tidak merasa terkejut melihat sosok itu. Seolah ia sudah tahu bahwa ia akan menemukannya. Nofret terbaring dengan wajah menengadah, tulangnya patah-patah dan bengkokbengkok. Matanya terbuka, namun tak melihat. Renisenb membungkuk, dan menyentuh pipi yang sudah dingin dan kaku itu. Lalu ia bangkit lagi dan memandangi tubuh itu. Hampir tak didengarnya Satipy mendekat dari belakang. "Pasti dia terjatuh, kata Satipy. "Mungkin dia berjalan di jalan setapak itu, lalu jatuh." Ya, pikir Renisenb, mungkin itulah yang terjadi. 124 Nofret jatuh dari jalan setapak di atas, lalu tubuhnya terbanting di atas batu karang. "Mungkin dia melihat ular," kata Satipy, "lalu dia terkejut Memang kadang-kadang ada ular tidur berjemur di jalan setapak itu." Ular. Ya, ular. Renisenb jadi teringat akan peristiwa Sobek dan ular itu. Seekor ular yang mati tergeletak di sinar matahari, dengan tulang punggung yang patah. Dan Sobek yang matanya berbinar.... "Sobek.... Nofret..." pikir Renisenb. Tiba-tiba ia merasa lega waktu mendengar suara Hori. "Ada apa?" Renisenb menoleh dengan perasaan lega. Hori datang bersama Yahmose. Satipy menjelaskan dengan bersemangat bahwa Nofret pasti telah jatuh dari jalan setapak di atas. "Mungkin dia naik untuk mencari kami, tapi aku dan Hori sedang pergi untuk melihat terusan terusan irigasi. Sekurang-kurangnya satu jam kami pergi tadi. Waktu kami kembali, kami lihat kalian di sini." * "Di mana Sobek?" tanya Renisenb. Ia heran mendengar suaranya sendiri. Suara itu lain. Ia tidak melihat, namun merasakan kepala Hori yang tiba-tiba berpaling mendengar pertanyaan itu. Suara Yahmose hanya terdengar heran waktu ia berkata, "Sobek" Aku tidak melihatnya sepanjang petang ini. Sejak dia meninggalkan kita di rumah dengan marah-marah tadi." 125 Hori memandangi Renisenb. Renisenb mengangkat kepala dan membalas tatapannya. Hori memalingkan muka dan menatap tubuh Nofret dengan merenung. Renisenb tahu betul apa yang sedang dipikirkan Hori. Dengan nada bertanya, ia bergumam, "Sobek?" "Oh, tidak..., tidak...," kata Renisenb tanpa sadar. Satipy berkata lagi dengan lebih bertekanan, 'Dia terjatuh dari jalan setapak di atas itu. Jalan yang tepat di atas ini memang sempit dan berbahaya." Tapi Sobek suka membunuh, dan ia telah berkata, 'Apa yang kulakukan, kulakukan dengan senang hati." Sobek yang telah membunuh seekor ular. Sobek yang bertemu dengan Nofret di jalan setapak yang sempit itu. Renisenb mendengar suaranya sendiri bergumam dengan terputus-putus, "Kita tak tahu... kita benar-benar tak tahu...." Kemudian ia merasa lega sekali, merasa terbebas dari suatu beban, waktu didengarnya suara Hori yang tenang, membenarkan pernyataan Satipy, "Dia pasti terjatuh dari jalan setapak." Mata Hori beradu pandang dengan mata Renisenb. Pikir Renisenb, "Aku dan Hori tahu. Kami berdua selalu tahu." 126 Lalu didengarnya suaranya sendiri berkata dengan gemetar, "Dia jatuh dari jalan setapak." Dan terdengar pula suara Yahmose yang halus, yang seolah-olah merupakan suatu gema penutup, ' "Pasti dia terjatuh dari jalan setapak di atas itu." 127 BAB X Bulan Keempat Musim Salju hari ke-6?Imhotep duduk menghadapi Esa. "Mereka semua menceritakan kisah yang sama," katanya dengan wajah cemberut. "Setidaknya itu sudah cukup," kata Esa. "Cukup" Cukup" Aneh benar perkataan Ibu!" Esa terkekeh singkat. "Aku tahu apa yang kuucapkan, anakku." "Apakah kata-kata mereka itu benar" Itu yang masih harus diputuskan!" Imhotep berbicara dengan nada angkuh. "Kau bukannya Dewi Maat, dan bukan pula Anubis yang bisa menimbang hati manusia dengan adil!" "Apakah itu suatu kecelakaan?" Imhotep menggeleng menghakimi. "Aku harus ingat bahwa ke-putusanku terhadap anak-anakku yang tak tahu berterima kasih itu mungkin telah menimbulkan perasaan-perasaan tertentu." "Ya, memang benar," kata Esa. "Memang telah timbul perasaan-perasaan tertentu. Mereka berteriak-teriak demikian nyaringnya di ruangan besar, hingga aku bisa mendengar apa yang mereka 128 katakan, dari kamarku ini. Ngomong-ngomong, benar-benar begitukah niatmu?" Imhotep mengubah posisi duduknya dengan risi sambil bergumam, "Aku memang sedang marah waktu menulis itu. Dan memang sepantasnya aku marah. Anak-anak itu memang pantas diberi pelajaran keras." "Dengan kata lain," kata Esa, "kau hanya menakut-nakuti mereka saja. Begitu, bukan?" "Ibu yang baik. Apakah itu ada artinya sekarang?" "Begitu rupanya," kata Esa. "Kau sendiri tak tahu apa yang kaulakukan. Seperti biasa, pikiranmu kacau." Imhotep berusaha menahan rasa jengkelnya. "Maksudku soal itu tak perlu lagi kita ungkit Sekarang yang perlu kita persoalkan adalah kenyataan-kenyataan tentang kematian Nofret. Bila ternyata benar salah seorang anakku yang telah berbuat begitu tak bertanggung jawab, tak mampu mengendalikan marahnya dan seenaknya saja menyakiti wanita itu... aku... aku benar-benar tak tahu apa yang harus kulakukan!" "Kalau begitu, untunglah kisah mereka sama semua! Tak ada yang mengisyaratkan sesuatu yang lain, bukan?" "Tidak." "Jadi mengapa tidak kaulupakan saja peristiwa itu" Waktu itu sudah kukatakan, lebih baik perempuan itu kauajak pergi ke utara, bukankah begitu?" "Jadi Ibu percaya?" 129 Dengan bertekanan Esa berkata, "Aku percaya apa yang diceritakan orang padaku. Kecuali bila hal itu bertentangan dengan apa yang telah kulihat dengan mataku sendiri (yang sangat kabur sekarang ini), atau yang kudengar dengan telingaku sendiri. Kau pasti telah menanyai Henet, ya" Apa katanya tentang soal itu?" "Dia sedih sekali. Kesedihannya amat dalam. Dia kasihan padaku." Esa mengangkat alisnya. "Kau benar-benar membuatku heran." "Henet berhati lapang," kata Imhotep hangat. "Memang benar. Kemampuan bicaranya juga luar biasa. Bila reaksinya hanya berupa kesedihan atas kehilangan yang telah kaualami, kurasa kita bisa menganggap Ledakan Dendam Death Comes As The End Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo peristiwa itu selesai. Masih banyak urusan lain yang harus kauperhatikan." "Memang benar." Imhotep bangkit dengan sikap sok penting lagi. "Yahmose sekarang sedang menungguku di balai besar, dengan segala macam urusan yang perlu mendapatkan perhatianku. Banyak keputusan yang memerlukan pengesahan dariku. Seperti Ibu katakan, kesedihan pribadi tak boleh mengalahkan urusan-urusan hidup yang utama." Ia bergegas keluar. Esa tersenyum sejenak, suatu senyuman getir, lalu wajahnya kembali tenang. Ia mendesah, lalu menggeleng-gelengkan kepala. II Yahmose sedang menunggu ayahnya, didampingi 130 Kameni. Dijelaskannya pada ayahnya bahwa Hori sedang mengawasi pekerjaan para petugas pembalsam dan para pengurus pemakaman yang sedang sibuk dengan langkahlangkah terakhir persiapan pemakaman Nofret. Perjalanan pulang Imhotep memerlukan waktu berminggu-minggu lamanya, setelah ia menerima berita kematian Nofret Kini persiapan-persiapan pemakaman sudah hampir selesai. Jenazah sudah direndam dalam air garam, penampilannya telah dikembalikan hingga mirip semula, juga sudah diminyaki dan digosok dengan bermacam-macam garam-garaman. Setelah tiba waktunya, jenazah tersebut dibalut dengan pembalut, dan akhirnya dimasukkan ke dalam peti mati. Yahmose menjelaskan bahwa ia telah menugaskan orang untuk menyiapkan sebuah ruang makam kecil di dekat batu karang, yang telah disediakan untuk tempat memakamkan Imhotep sendiri kelak. Kemudian dijelaskannya secara terperinci mengenai hal-hal lain yang telah diperintahkannya, dan Imhotep menyatakan persetujuannya. "Kau telah bekerja dengan baik, Yahmose," katanya dengan ramah. "Pertimbanganpertimbang-anmu baik, dan kau tidak kehilangan akal sehatmu." Wajah Yahmose memerah mendapatkan pujian yang tak disangka-sangka itu. "Sayang kau telah mempekerjakan Ipi dan Mon-tu, padahal mereka itu pembalsampembalsam yang mahal," lanjut Imhotep. "Obat-obatan yang 131 dipakai itu pun kulihat luar biasa mahalnya. Sebenarnya tak perlu pemborosan seperti itu. Beberapa tagihan mereka juga terlalu mahal. Itulah keburukan pembalsam-pembalsam yang biasa bekerja untuk keluarga gubernur. Mereka pikir, mereka bisa meminta bayaran sesuka hati. Sebenarnya akan jauh lebih murah kalau kau mempekerjakan orang-orang yang tidak begitu terkenal." "Bila Ayah tak ada, sayalah yang harus mengambil keputusan dalam soal-soal itu," sahut Yahmose. "Dan saya ingin memberikan penghormatan setinggi-tingginya pada selir yang begitu Ayah cintai" Imhotep mengangguk dan menepuk bahu Yahmose. "Kekeliruan itu dapat dimaklumi, anakku. Aku tahu kau sangat berhati-hati dalam soal keuangan. Aku berterima kasih padamu, karena dalam hal ini kau tidak peduli mengeluarkan uang banyak, untuk menyenangkan hatiku. Tapi uangku tidak berlimpah-limpah, apalagi seorang selir... ehm... yah, tetap hanya seorang selir. Kurasa kita harus mengurangi beberapa jimat yang terlalu mahal, dan... coba kulihat... ada pula beberapa cara untuk mengurangi upah-upah.... Kameni, coba bacakan pokok-pokok perkiraannya." Kameni membuka papirus. Yahmose bernapas lega. III Kait keluar lambat-lambat dari rumah, dan pergi 132 ke danau. Ia berhenti sebentar di dekat anak-anak yang sedang bermain-main dengan ibu-ibu mereka. "Benar katamu, Satipy," katanya, "seorang selir yang sudah meninggal, tidak sama dengan seorang selir yang masih hidup!" Satipy mengangkat kepala dan menatapnya. Matanya tampak bingung, seolah-olah tak melihat. Renisenb cepat-cepat bertanya, "Apa maksudmu, Kait?" "Bagi seorang selir yang masih hidup, tak ada yang terlalu mahal pakaian, ?perhiasan, bahkan warisan, yang sebenarnya merupakan hak darah dagingnya sendiri! Tapi sekarang Imhotep sibuk mengurangi biaya pemakaman! Benar juga, untuk apa memboroskan uang untuk wanita yang sudah meninggal" Ya, Satipy, kau memang benar." "Apa kataku" Aku sudah lupa," gumam Satipy. "Memang sebaiknya begitu," Kait membenarkan. "Aku juga sudah lupa. Dan Renisenb tentu juga sudah melupakannya." Renisenb melihat pada Kait, tanpa berkata apa-apa. Ada sesuatu dalam suara Kait sesuatu yang menyerupai ancaman, sesuatu yang memberikan kesan tak ? menyenangkan. Selama ini ia terbiasa menganggap Kait sebagai seorang wanita yang agak bodoh wanita yang lembut dan pengalah, tapi agak ceroboh. Kini dilihatnya ?bahwa sifat Kait dan Satipy sudah bertukar. Satipy yang lebih menonjol dan agresif telah surut keadaannya. Boleh dikatakan ia telah menjadi penakut Kini nam 133 paknya Kait yang pendiamlah yang menguasai Sa tipy, Tapi watak orang tidak akan berubah sepenuhnya, pikir Renisenb atau mungkinkah ?itu terjadi" Ia merasa bingung. Apakah Kait dan Satipy benar-benar telah berubah dalam beberapa minggu terakhir ini" Atau apakah perubahan yang seorang merupakan akibat dari perubahan yang seorang lagi" Apakah Kait yang telah menjadi agresif" Atau apakah hanya kelihatannya saja ia begitu, karena perubahan yang mendadak pada diri Satipy" Satipy memang benar-benar berubah. Suaranya tidak lagi melengking dan bertekanan tajam, seperti biasanya. Cara berjalannya pun seperti menyelinap saja, di pekarangan maupun di dalam rumah, gugup dan seperti takut-takut. Sama sekali tidak dengan sikap percaya diri seperti biasanya. Renisenb menafsirkan perubahan itu sebagai akibat dari shock atas kematian Nofret Tapi rasanya aneh, mengapa shock itu begitu lama. Mau tak mau Renisenb berpikir bahwa sebenarnya akan lebih wajar bila Satipy mengungkapkan rasa senangnya secara terbuka atas kematian Nofret yang mendadak dan aneh itu. Tapi kenyataannya ia nampak ngeri dan gugup, setiap kali nama Nofret disebut Bahkan Yahmose terbebas dari omelan dan gertakan-gertakannya, dan akibatnya sikapnya pun berubah menjadi lebih percaya diri. Singkatnya, perubahan pada diri Satipy membawa kebaikan begitulah ?anggapan Renisenb. Namun de-134 mikian, ada sesuatu dalam perubahan itu yang membuatnya agak gelisah.... Tiba-tiba Renisenb terkejut, karena menyadari bahwa Kait sedang memandanginya dengan dahi berkerut. Ia baru ingat bahwa Kait sedang menunggu tanggapannya terhadap sesuatu yang baru saja diucapkannya. "Renisenb pasti juga mau melupakannya," ulang Kait " Tiba-tiba timbul keinginan Renisenb untuk memberontak. Baik Kait, Satipy, atau siapa pun juga tak berhak mendiktekan padanya apa yang harus atau yang tak boleh diingatnya. Dibalasnya pandangan Kait tanpa berkedip, dengan sikap menantang yang terang-terangan. "Para wanita dalam suatu rumah tangga harus bersatu," kata Kait Akhirnya barulah Renisenb bisa bersuara lagi. "Mengapa?" tanyanya dengan lantang dan menantang. "Karena kepentingan-kepentingan mereka sama." Renisenb menggeleng kuat-kuat. Dengan perasaan bingung ia berpikir, "Aku bukan hanya seorang wanita. Aku juga suatu pribadi Aku adalah Renisenb." Pada Kait ia berkata, "Tidak semudah itu." "Apakah kau akan membuat kerusuhan, Renisenb?" "Tidak. Tapi, apa maksudmu dengan kerusuhan?" 135 "Semua yang diucapkan di balai besar hari itu sebaiknya dilupakan." Renisenb tertawa. "Kau bodoh, Kait, Para pembantu, para budak, nenekku semuanya pasti ikut ?mendengar! Mengapa kita harus berbuat seolah-olah sesuatu yang telah terjadi itu tidak terjadi?" "Waktu itu kita sedang marah," kata Satipy datar. "Kita tak bersungguh-sungguh dengan apa yang kita ucapkan." Lalu dengan suara amat kesal ditambahkannya, "Berhentilah berbicara tentang itu, Kait. Kalau Renisenb memang ingin membuat kerusuhan, biarkan saja." "Aku tak ingin membuat kerusuhan," kata Renisenb dengan marah. "Tapi kurasa bodoh kalau kita berpura-pura\n "Tidak," kata Kait. Itu lebih bijaksana. Kau harus memikirkan Teti juga." "Teti tak apa-apa." "Semuanya memang tak apa-apa setelah Nofret meninggal," kata Kait dengan ?tersenyum. Senyum itu cerah, tenang, dan mengandung rasa puas. Sekali lagi Renisenb merasakan keinginan untuk memberontak. Tapi kata-kata Kait yang terakhir itu memang benar. Setelah Nofret meninggal, kini semuanya beres. Satipy, Kait, dirinya sendiri, anak-anak... semuanya aman, semuanya damai, tak usah takut mengenai masa depan. Si pengganggu, orang asing 136 yang suka mengacau dan mengancam, sudah tak ada lagi untuk selama-lamanya. Lalu mengapa perasaannya kacau akibat kematian Nofret ini" Ia tak mengerti. Mengapa ia lalu bersikap sok pahlawan demi wanita yang tak disukainya dan yang sudah meninggal itu" Nofret memang jahat, dan Nofret sudah meninggal tak ?dapatkah ia menerima keadaan itu" Mengapa ia tiba-tiba merasa kasihan bahkan ?mungkin lebih daripada kasihan sepertinya ia merasa dapat memahami wanita itu. ?Renisenb menggeleng dengan perasaan tak mengerti. Setelah semuanya masuk, ia masih saja duduk di dekat danau itu, mencoba memahami apa yang membingungkan pikirannya, tapi gagal. Matahari sudah rendah sekali waktu Hori, yang sedang menyeberangi pekarangan, melihatnya, lalu mendatanginya dan duduk di sampingnya. "Sudah hampir malam, Renisenb. Matahari sebentar lagi terbenam. Sebaiknya kau masuk." Sebagaimana biasa, suara Hori yang serius dan tenang membuat Renisenb merasa tenang. Ia menoleh pada Hori, lalu bertanya, "Apakah para wanita dalam suatu rumah tangga harus bersatu?" "Siapa yang berkata begitu padamu?" "Kait dan Satipy..." Tiba-tiba Renisenb berhenti bicara. "Padahal kau ingin berpikir sendiri, begitukah?" , "Ah, berpikirl Aku Jak tahu harus berpikir apa, Hori. Semuanya terasa membingungkan dalam ke" 137 palaku ini. Orang-orang pun membingungkan. Semua orang berbeda dari dugaanku semula. Satipy, umpamanya, kupikir dia selalu pemberani, tegas, sok berkuasa. Sekarang dia lemah, ragu-ragu, bahkan takut-takut. Jadi, manakah Satipy yang sebenarnya" Tak mungkin ada orang yang bisa begitu berubah dalam satu hari." "Memang tak mungkin dalam satu hari...." "Dan Kait selama ini dia lemah, pengalah, dan dibiarkannya orang-orang ?menggertaknya. Sekarang dia yang seperti akan menguasai kami semua! Bahkan Sobek pun kelihatan takut padanya. Yahmose juga berubah. Dia memberikan perintahperintah dengan tegas, dan menuntut supaya perintah-perintah itu dijalankan!" "Dan semua itu membuatmu bingung, Renisenb?" "Ya. Aku tak mengerti. Kadang-kadang aku merasa bahwa bahkan Henet pun sebenarnya lain dari kelihatannya!" Renisenb tertawa, seolah-olah menertawakan suatu kebodohan yang tak masuk akal. Tapi Hori tidak ikut tertawa. Wajahnya tetap serius dan penuh renungan. "Selama ini kau tak banyak memikirkan orang lain rupanya, Renisenb" Kalau ya, tentu kau mengerti...." Ia berhenti sebentar, lalu melanjutkan, "Tahukah kau bahwa pada semua kuburan selalu ada pintu palsu?" Renisenb terbelalak. "Tentu saja tahu." "Nah, manusia juga seperti itu. Mereka mencip 138 takan pintu palsu bagi dirinya untuk menipu. Bila menyadari bahwa mereka sedang ?dalam keadaan lemah, atau dalam keadaan yang tak menguntungkan, mereka lalu membuat pintu yang besar untuk melindungi dirinya, untuk memperlihatkan kekuasaannya yang luar biasa. Setelah beberapa lama, mereka sendiri mulai percaya akan keadaan itu. Mereka mengira semua orang menduga bahwa mereka memang begitu. Tapi di balik pintu itu Renisenb, terdapat batu karang yang gersang. Jadi, bila kenyataan datang dan menyentuh mereka dengan kebenaran, keadaan mereka yang sebenarnya pun muncul kembali. Bagi Kait, kelembutan dan sifat pengalah telah memberikan padanya segala yang diinginkannya seorang suami dan ?anak-anak. Sikap bodoh menjadikan kehidupannya lebih mudah. Tapi, begitu kenyataan yang berbentuk bahaya mengancam, muncullah sifatnya yang sebenarnya. Dia tidak berubah, Renisenb. Kekuatan itu, kekejaman itu, memang telah ada padanya." Dengan kekanak-kanakan Renisenb berkata, "Tapi aku tak suka itu, Hori. Aku jadi takut. Karena semua orang ternyata lain dari yang kuduga. Dan bagaimana dengan diriku sendiri" Aku selalu sama." "Benarkah begitu?" Hori tersenyum padanya. "Lalu mengapa kau duduk di sini selama berjam-jam, dengan dahi yang berkerut, merenung, dan berpikir" Apakah Renisenb yang dulu Renisenb ?139 yang telah dibawa pergi oleh Khay pernah berbuat begitu?" ?"Oh, tak pernah. Karena memang tak perlu..." Renisenb terhenti lagi. "Nah, kan" Kau sendiri yang mengatakannya. Itulah perkataan yang tepat tentang kenyataan perlui Ternyata kau bukanlah anak yang selalu berbahagia dan tanpa ?beban seperti yang kauper- , lihatkan selama ini. Yang selalu menerima segalagalanya sebagaimana adanya. Kau bukan hanya salah seorang dari para wanita dalam keluarga ini. Kau adalah Renisenb yang ingin berpikir sendiri, dan ingin tahu tentang orang-orang lain." Renisenb berkata lambat-lambat, "Aku juga ingin tahu tentang Nofret" "Apa yang ingin kauketahui?" "Aku penasaran mengapa aku tak bisa melupa- ^ kannya. Dia jahat, kejam, dan telah mencoba men-. celakakan kami, dan dia sudah meninggal, tapi mengapa aku tak puas dengan keadaan itu?" "Tak bisakah kau menerima keadaan itu?" "Tidak. Sudah kucoba, tapi..." Renisenb berhenti sebentar. Dengan bingung ia menyeka matanya. "Kadang-kadang aku merasa seolah-olah aku tahu sesuatu tentang Nofret, Hori." "Tahu" Apa maksudmu?" % "Aku tak bisa menjelaskannya. Tapi perasaan itu kadang-kadang melandaku. Kadangkadang aku merasa seolah-olah dia ada di sini, di sampingku. Aku kadang-kadang malah merasa diriku adalah dia. Rasanya aku tahu apa yang dirasakannya. Dia 140 sangat tak bahagia, Hori. Sekarang aku tahu itu. Dulu aku tak tahu. Dia ingin menyakiti kita semua, karena dia tak bahagia." "Tak mungkin kau tahu itu, Renisenb," "Ya, memang aku tak mungkin tahu, tapi itulah yang kurasakan. Kesedihan itu, kegetiran itu, rasa benci yang pekat itu aku pernan melihatnya di wajahnya. Tapi aku tak mengerti waktu itu! Mungkin ?dia mencintai seseorang, lalu terjadi sesuatu yang tak beres mungkin laki-laki ?itu meninggal... atau pergi meninggalkannya dan dia pun ditinggalkan dalam ?keadaan begitu dengan keinginan untuk menyakiti, untuk melukai. Oh! Kau boleh ?berkomentar apa saja, tapi aku tahu bahwa aku benar! Dia menjadi selir pria tua itu ayahku lalu dia ikut kemari, dan kami semua tak suka padanya. Lalu ia ? ?berkeinginan membuat kami tak bahagia seperti dirinya. Ya, begitulah keadaannya!" Hori memandanginya dengan rasa ingin tahu. "Kedengarannya kau yakin sekali, Renisenb. Padahal kau tidak begitu kenal pada Nofret." "Tapi aku merasa semua itu benar, Hori. Aku bisa merasakan kehadirannya seperti ?Nofret. Kadang-kadang aku merasa dia berada dekat di sampingku...." "Oh, begitu." Mereka terdiam. Hari mulai gelap. Lalu Hori berkata dengan tenang, "Kau tak percaya bahwa Nofret meninggal karena kecelakaan, 1 JAVA ABADi * bukan" Menurutmu, dia jatuh karena didorong oleh seseorang?" Renisenb merasa muak mendengar pikirannya diucapkan orang. "Jangan, jangan katakan itu." "Tapi kurasa sebaiknya kita ucapkan itu, Renisenb, karena itulah yang ada dalam kepalamu. Kau memang berpikiran begitu, bukan?" "Aku... ya!" Hori menunduk sambil merenung, lalu ia berkata lagi, "Dan kaupikir Sobek yang melakukannya"1 "Siapa lagi yang mungkin melakukannya" Ingatkah kau peristiwa antara dia dengan ular itu" Dan ingatkah kau apa yang dikatakannya pada hari itu pada hari ?kematian Nofret sebelum dia keluar dari balai tengah?" ?"Ya, aku ingat apa yang dikatakannya. Tapi tidak selamanya orang yang paling banyak berkata, paling banyak pula berbuatl" "Tapi tidakkah kau percaya bahwa Nofret telah dibunuh?" Ledakan Dendam Death Comes As The End Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Ya, Renisenb, aku percaya. Tapi itu hanya suatu pendapat. Aku tak punya bukti. Dan kurasa takkan pernah ada bukti. Karena itulah aku menganjurkan agar Imhotep menerima kejadian itu sebagai suatu kecelakaan. Ada seseorang yang telah mendorong Nofret, tapi kita takkan tahu siapa dia." "Maksudmu, menurutmu bukan Sobek yang melakukannya?" 142 "Aku tidak berpikir begitu. Tapi seperti kukatakan, kita takkan pernah tahu, jadi sebaiknya kita tak usah berpikir tentang itu." "Tapi, kalau bukan Sobek, lalu kaupikir siapa?" Hori menggeleng. ?"Kalaupun aku punya dugaan, mungkin saja dugaan itu salah. Jadi sebaiknya aku^tidak mengatakannya." "Tapi, kalau begitu kita takkan pernah tahu!" Suara Renisenb mengandung rasa putus asa. "Mungkin...," Hori bimbang, "mungkin itulah yang terbaik." "Untuk tidak mengetahuinya?" "Untuk tidak mengetahuinya." Renisenb bergidik. "Tapi, kalau begitu... aduh, Hori, aku takut!" Scanned book sbook ini hanya untuk koleksi pribadi. DILARANG MENGKOMERSILKAN atau hidup anda mengalami ketidakbahagiaan dan ketidakberuntungan JL# BBSC V-/ 143 BAB XI Bulan Pertama Musim Panas hari ke-11 ?Upacara-upacara terakhir telah dilaksanakan, mantra-mantra telah diucapkan. Montu, pendeta dari Kuil Hathor, mengambil sapu dari rumput heden, lalu menyapu ke arah luar kuil dengan cermat, sambil mengucapkan doa-doa untuk membuang jejak-jejak kaki semua roh jahat, sebelum pintu kamar kecil itu ditutup rapatrapat untuk selamanya. Lalu makam itu ditutup rapat-rapat. Semua barang bekas membalsam, berupa botolbotol berisi zat natron, garam-garaman, dan potongan-potongan kain yang telah bersentuhan dengan tubuh jenazah, ditempatkan di sebuah kamar kecil di dekat tempat itu, dan kamar itu pun ditutup rapat-rapat. Imhotep membusungkan dadanya, lalu menarik napas dalam-dalam. Dihilangkannya pula air muka sedih yang diperlihatkannya selama upacara pemakaman itu. Segalagalanya telah dilaksanakan dengan cara yang pantas. Nofret telah dikuburkan dengan segala upacara yang lazim, tanpa penghematan pengeluaran (meskipun menurut Imhotep pengeluaran itu agak berlebihan). Imhotep berbasa-basi dengan para pendeta yang setelah menyelesaikan tugas sucinya, kini kembali bersikap seperti manusia biasa. Semua orang menuruni bukit, dan pergi ke rumah untuk menikmati hidangan yang telah disiapkan. Imhotep berbincang-bincang tentang perubahan politik akhir-akhir ini dengan pendeta kepala. Thebes telah^ berkembang menjadi kota yang amat hebat. Ada kemungkinan tak lama lagi Mesir akan bersatu kembali di bawah seorang pemimpin. Masa keemasan bagi para pembangun piramida mungkin akan kembali. Montu berbicara dengan rasa hormat dan penuh pujian mengenai Raja Nebhepet-Re. Dikatakannya bahwa raja itu adalah seorang ksatria sejati yang juga sangat alim. Pihak utara yang korup dan pengecut boleh dikatakan tak mampu melawannya. Mesir yang bersatu, itulah yang dibutuhkan. Dan itu pasti akan membawa kebesaran pula bagi Thebes. Tamu-tamu pria berjalan-jalan sambil berbincang-bincang tentang masa depan. Renisenb menoleh lagi ke belakang, ke tebing batu karang dan kamar makam yang telah ditutup rapat-rapat itu. "Yah, begitulah akhirnya," gumamnya. Ia merasa lega. Ada sesuatu yang ditakutkannya tadi, entah apa! Apakah suatu ledakan yang terjadi pada saat-saat terakhir" Ataukah suatu dakwaan" Tapi ternyata Nofret telah dimakamkan dengan baik, dengan segala upacara keagamaan. Begitulah akhirnya. 145 144 "Saya harap begitu. Saya benar-benar berharap begitu, Renisenb," bisik Henet. Renisenb berpaling kepadanya. "Apa maksudmu, Henet?" Henet tak mau menoleh padanya. "Kata saya, saya mengharapkan agar itu benar-benar merupakan akhirnya. Kadangkadang sesuatu yang kita pikir merupakan akhir dari suatu hal, sebenarnya hanya merupakan awalnya. Dan itu tentu tidak kita harapkan." "Bicara apa kau ini, Henet?" kata Renisenb dengan marah. "Apa yang kausindirkan itu?" "Saya sama sekali tidak menyindir, Renisenb. Saya tak mau berbuat begitu Nofret sudah dikuburkan, dan semua orang merasa puas. Jadi segala-galanya berjalan sebagaimana mestinya." Apakah ayahku menanyakan pendapatmu mengenai kematian Nofret?" tanya Renisenb. "Ya. Dia menekankan bahwa saya harus mengatakan dengan jujur pendapat saya tentang semua itu." 'Lalu apa yang kaukatakan padanya?" "Ya, tentu saya katakan bahwa itu suatu kecelakaan. Apa lagi kalau bukan kecelakaan" Kata saya, masa ada terlintas dalam pikiran Anda bahwa ada orang dalam keluarga Anda yang ingin menyakiti wanita itu" Mereka takkan berani, kata saya. Mereka terlalu hormat pada Anda. Mungkin mereka menggerutu, tapi tak lebih dari itu. Percayalah pada saya, kata saya, bahwa tak terjadi hal semacam itu" 146 Henet mengangguk sambil mendehem. "Dan apakah ayahku percaya padamu?" Henet mengangguk lagi dengan rasa puas. "Ah, ayah Anda tahu betapa besar bakti saya demi kepentingan-kepentingannya. Dia pasti percaya pada kata-kata si tua Henet ini. Tak seorang pun di antara kalian percaya pada saya, tapi beliau percaya. Tapi... yah, saya sudah senang kalau bisa mengabdi pada kalian semua. Saya tidak mengharapkan ucapan terima kasih." "Kau juga sangat mengabdi pada Nofret," kata Renisenb. "Saya sama sekali tak mengerti mengapa Anda berpikir begitu, Renisenb. Saya sama saja dengan yang lain, harus mematuhi perintah-perintah." "Nofret sendiri yang berkata bahwa kau sangat mengabdi padanya." Henet mendehem lagi. 'Nofret mengira dirinya pandai, padahal tidak. Dia wanita yang angkuh... yang menganggap bumi ini miliknya. Yah, sekarang dia harus menghadapi hakim-hakim di dunia bawah sana, dan di sana, Wajah cantik takkan membantu. Pokoknya, kita sudah terbebas dari dia." Lalu, sambil memegang salah satu jimat yang dipakainya, ia menambahkan dengan berbisik, "Setidaknya begitulah harapan saya." II "Renisenb, aku ingin bicara denganmu mengenai Satipy." 147 "Ada apa, Yahmose?" Renisenb mendongak, memandangi dengan rasa simpatik wajah lembut kakaknya yang nampaknya sedang susah. "Ada sesuatu yang tak beres dengannya," kata Yahmose lambat-lambat dan dengan berat. "Aku tak mengerti." Renisenb menggeleng dengan sedih. Ia sama sekali tak bisa menemukan kata-kata untuk menghibur. "Sudah beberapa lama aku melihat perubahan itu pada dirinya," lanjut Yahmose. "Mendengar suara yang tak biasa sedikit saja, dia sudah terlonjak dan gemetar. Nafsu makannya menurun, jalannya menyelinap, seolah-olah... seolah-olah dia takut akan bayang-bayangnya sendiri. Kau pasti melihatnya juga, Renisenb?" 'Ya, kami semua memang melihatnya." "Sudah kutanyakan apakah dia sakit apakah aku harus memanggil seorang ?tabib tapi katanya dia tak apa-apa dia baik-baik saja." ? ? "Aku tahu." "Jadi kau juga sudah menanyakan hal itu" Dan dia tidak mengatakan apa-apa padamu" Sama sekali tidak mengatakan apa-apa?" Yahmose mengucapkan kata-kata itu dengan tekanan. Renisenb bisa memahami kekhawatirannya, tapi ia tak bisa mengatakan apa-apa untuk membantu. "Dia tetap mengatakan bahwa dia baik-baik saja." 148 "Kalau malam, tidurnya tak nyenyak," gumam Yahmose. "Kadang-kadang dia mengigau dan memekik. Apakah dia... mungkinkah dia memendam kesedihan yang tidak kita ketahui?" Renisenb menggeleng, "Aku tak mengerti bagaimana itu sampai terjadi. Padahal anak-anak baik-baik saja. Tak ada kejadian apa-apa di sini... kecuali tentu kematian Nofret. Tapi tak mungkin Satipy" bersedih hati karena itu," sambung Renisenb datar. Yahmose tersenyum kecil. "Memang tidak. Bahkan sebaliknya. Apalagi hal itu sudah agak lama berlangsung. Kalau tak salah, sebelum Nofret meninggal pun hal itu sudah mulai." Nada bicaranya terdengar kurang yakin, dan Renisenb cepat menoleh padanya. Dengan agak keras Yahmose berkata lagi, "Ya, sebelum Nofret meninggal. Betul, bukan?" "Aku baru melihat sesudahnya," kata Renisenb lambat-lambat "Apakah dia benar-benar tidak mengatakan apa-apa padamu?" Renisenb menggeleng. "Tapi tahukah kau, Yahmose, kurasa istrimu itu tidak sakit Aku lebih cenderung menduga dia takut" "Takut?" seru Yahmose dengan sangat terkejut. "Tapi mengapa dia harus ketakutan" Dan ketakutan pada apa" Bukankah dia pemberani seperti singa?" "Aku tahu," kata Renisenb, tak berdaya. "Dulu 149 kami pikir begitu, tapi manusia memang bisa berubah. Aneh." "Apakah menurutmu Kait tahu sesuatu" Mungkinkah Satipy berbicara padanya?" "Lebih besar kemungkinannya dia berbicara pada Kait daripada kepadaku, tapi... kurasa tidak juga. Aku yakin itu." "Bagaimana pikiran Kait?" "Kait" Kait tak pernah berpikir tentang apa-apa." Yang dilakukan Kait, pikir Renisenb, adalah memanfaatkan kelemahan Satipy dengan sebaik-baiknya. Ia menyambar bahan-bahan pakaian yang halus yang baru selesai ditenun, untuk dirinya sendiri dan anak-anaknya. Hal itu tak mungkin dilakukannya waktu Satipy masih seperti biasa. Pasti rumah akan ribut oleh pertengkaran hebat! Melihat bahwa kali ini Satipy tidak berkata apa-apa, Renisenb jadi sangat terkesan dan heran. Apakah kau sudah berbicara dengan Esa?" tanya Renisenb. "Nenek kita tahu ?banyak tentang kaum wanita dan tindak-tanduknya." "Ah, Nenek!" kata Yahmose dengan jengkel. "Dia hanya menyuruhku bersyukur dengan perubahan itu. Katanya kita tak bisa terlalu berharap bahwa Satipy akan terus bersikap manis dan berakal sehat" Dengan agak ragu-ragu Renisenb berkata, "Apakah kau sudah bertanya pada Henet?" "Henet?" Wajah Yahmose mengernyit "Tentu tidak. Aku takkan mau membicarakan soal seperti 150 itu dengan Henet, sebab dia selalu merasa dirinya penting. Ayah terlalu memanjakan dia." "Ya, aku tahu itu. Dia membosankan sekali. Tapi... yah...," Renisenb ragu-ragu... "banyak hal yang diketahuinya." Perlahan-lahan Yahmose berkata, "Maukah kau menanyakan padanya, Renisenb" Nanti katakan padaku apa katanya." "Baiklah kalau itu kehendakmu." Maka Renisenb pun menanyakan hal itu saat ia sedang berduaan saja dengan Henet. Waktu itu mereka sedang dalam perjalanan ke gudang-gudang tenun. Ia agak terkejut melihat reaksi Henet Wanita tua itu nampak resah. Tak tampak lagi kegemarannya bergunjing. Henet memegang jimat yang sedang dipakainya, lalu menoleh ke belakang. "Itu sama sekali bukan urusan saya. Saya tidak memperhatikan apakah orang-orang masih seperti biasanya atau tidak. Saya hanya mengurus urusan saya sendiri. Kalau ada kesulitan, saya tak mau terlibat" "Kesulitan" Kesulitan apa?" ^ Henet cepat-cepat menoleh pada Renisenb. "Saya harap takkan ada kesulitan lagi. Setidaknya jangan yang menyulitkan. Anda dan saya, Renisenb, kita tak perlu menyalahkan diri kita sendiri. Itu saja sudah cukup bagi saya." "Apakah maksudmu Satipy... apa sebenarnya maksudmu?" "Saya sama sekali tidak bermaksud apa-apa, Re 151 nisenb dan tolong jangan mengambil kesimpulan bahwa saya mempunyai maksud-maksud tertentu. Saya tak lebih daripada seorang pelayan di rumah ini. Dan bukanlah urusan saya memberikan pendapat tentang hal-hal yang tak ada hubungannya dengan diri saya. Tapi kalau Anda ingin tahu juga, perubahan itu malah lebih baik. Dan kalau hanya berlaku sampai di situ saja, yah, tak apa. Nah, Renisenb, saya harus pergi memeriksa apakah bahan-bahan pakaian sudah diberi tanggal dengan benar. Soalnya, perempuan-perempuan itu begitu ceroboh. Kerja mereka hanya mengobrol dan tertawa-tawa, sedangkan tugas-tugas diabaikan." Dengan rasa tak puas Renisenb memperhatikannya pergi ke arah gudang tenun. Ia sendiri berjalan kembali ke rumah, masuk ke kamar Satipy tanpa terdengar. Satipy terlompat dan terpekik ketika Renisenb menyentuh pundaknya. "Aduh, kau membuatku terkejut sekali. Kukira..." "Satipy," kata Renisenb, "ada apa, sih" Tak maukah kau menceritakannya padaku" Yahmose susah memikirkan kau...." Satipy cepat-cepat menutup mulutnya dengan tangan. Dengan tergagap-gagap dan gugup, serta mata nyalang ketakutan, ia berkata, "Yahmose" Apa... apa katanya?" "Dia merasa khawatir, sebab kau sampai mengigau dan berteriak-teriak dalam tidurmu." "Renisenb!" Satipy mencengkeram lengan Re 152 nisenb. "Apakah aku mengatakan... Apa yang kukatakan?" Mata Satipy terbelalak ketakutan. 'Apakah menurut Yahmose... apa katanya padamu?" "Kami berdua menduga bahwa kau sakit, atau... atau tak bahagia." "Tak bahagia?" Satipy mengulangi kata-kata itu dengan berbisik, nadanya aneh. "Apakah kau memang tak bahagia, Satipy?" ' Mungkin Aku tak tahu. Bukan itu." "Bukan. Kau ketakutan, bukan?" Tiba-tiba Satipy menatapnya dengan rasa benci. "Mengapa kau berkata begitu" Mengapa aku harus ketakutan" Apa yang bisa membuatku ketakutan?" "Aku tak tahu," kata Renisenb. "Tapi itu memang benar, bukan?" Satipy berusaha keras menunjukkan kembali sikap angkuhnya. Didongakkannya kepalanya, dan-ia berkata, "Aku tak takut pada apa pun... atau siapa pun! Berani benar kau menuduhku begitu, Renisenb" Dan aku tak suka kau membicarakan tentang aku dengan Yahmose. Aku dan Yahmose saling mengerti." Ia berhenti sebentar, lalu berkata dengan tajam, "Nofret sudah meninggal, dan kita senang dengan kepergiannya. Begitulah pendapatku. Kau bisa mengatakan pada siapa pun yang bertanya padamu, bahwa begitulah perasaanku." 153 "Nofret?" Renisenb menyebutkan nama itu dengan nada heran. Satipy jadi bernafsu, hingga ia kelihatan seperti dirinya yang dulu. "Nofret Nofret Nofret! Aku muak mendengar nama itu. Kita tak perlu ? ?mendengarnya lagi di dalam rumah ini, dan aku bersyukur untuk itu." Suaranya yang nyaring dan melengking seperti biasanya, tiba-tiba merendah lagi ketika Yahmose masuk. Dengan nada keras yang tidak seperti biasanya, Yahmose berkata, "Diam, Satipy. Kalau ayahku mendengarmu tadi, pasti akan ada kesulitan baru lagi. Mengapa kau bersikap bodoh begitu?" Kalau nada bicara Yahmose tegas, tak menyenangkan, dan tidak seperti biasanya, begitu pula reaksi Satipy yang mendadak menjadi lemah. "Maafkan aku, Yahmose," gumamnya. "Aku tak sengaja." "Nah, lain kali berhati-hatilah! Selama ini kau dan Kait-lah yang selalu menimbulkan kerusuhan. Kalian perempuan-perempuan ini memang kurang pikir!" "Maafkan aku," gumam Satipy lagi. Yahmose keluar. Dadanya membusung, dan gaya berjalannya jauh lebih meyakinkan daripada biasanya, seolah-olah ia puas telah berhasil menyatakan kekuasaannya. Renisenb berjalan perlahan-lahan, pergi ke kamar Esa. Ia merasa mungkin neneknya dapat memberikan penyelesaian yang baik. 154 Tapi, Esa yang sedang makan anggur dengan nikmatnya, tak mau memikirkan persoalan itu dengan serius. "Satipy" Satipy" Mengapa ribut-ribut tentang Satipy" Apakah kalian semua suka dibentak-bentak dan diperintah perintah olehnya, hingga kau jadi ribut melihat dia sekali-sekali berperilaku manis?" Ledakan Dendam Death Comes As The End Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Diludahkannya biji anggur, dan ia tak berkata-kata lagi. "Bagaimanapun juga, kurasa keadaan begitu terlalu baik, dan tak mungkin bertahan lama... kecuali kalau Yahmose bisa menanganinya." "Yahmose?" "Ya. Aku berharap mata Yahmose akhirnya terbuka, dan dia mau memukul istrinya untuk menyadarkannya. Itulah yang diperlukan perempuan itu, dan Satipy memang jenis perempuan yang mungkin menyukai hal semacam itu. Sikap Yahmose yang lemah dan menarik diri selama ini, pasti merupakan siksaan baginya." "Tapi Yahmose orang yang baik," seru Renisenb dengan marah. "Dia baik pada semua orang, dan dia lembut seperti seorang wanita kalau kaum wanita memang bisa ?disebut lembut," tambahnya dengan ragu. Esa tertawa terkekeh. "Suatu pernyataan yang bagus, cucuku," katanya. "Tidak, wanita sebenarnya tidak lembut. Kalau mereka memang lembut, itu berkat Dewi Isis! Dan hanya sedikit wanita yang suka pada suami yang baik dan lembut Mereka lebih suka suami 155 yang tampan, jahat, dan suka membentak, seperti Sobek. Gadis-gadis lebih tertarik pada pria semacam itu atau pada pria muda seperti Kameni. Benar kan, Renisenb" Dia tak pernah lama hinggap pada bunga-bunga di taman! Dia juga punya selera tinggi dalam lagu-lagu cinta, bukan" He, he, he." Renisenb merasa pipinya memerah. "Saya tak mengerti maksud Nenek," katanya dengan sikap anggun. "Kalian semua menyangka aku tak tahu apa-apa tentang segala kejadian di sini. Aku tahu!" Ia memandang tajam pada Renisenb dengan matanya yang sudah setengah buta itu. "Mungkin aku bahkan sudah tahu, sebelum kau menyadarinya, Nak. Jangan marah. Begitulah kehidupan, Renisenb. Khay memang seorang suami dan kekasih yang baik bagimu, tapi sekarang dia sudah berlayar di Lautan Persembahan. Kekasihnya akan menemukan seorang kekasih baru, yang menombak ikannya di Sungai Nil kita meskipun agaknya Kameni tidak begitu pandai dalam hal itu. Sebatang pena ?dan segulung papirus lebih cocok untuknya. Tapi dia memiliki kepribadian kuat, dan punya selera yang baik dalam nyanyian-nyanyian. Tapi, aku tak yakin apakah dia pria yang tepat bagimu. Kita tak tahu banyak tentang dia. Dia orang utara. Imhotep suka padanya, tapi aku tahu Imhotep itu bodoh. Siapa pun disukainya, asalkan bisa memuji-mujinya. Lihat saja si Henet!" 156 "Nenek keliru sekali," kata Renisenb, masih dengan anggun. "Baiklah, kalau begitu aku salah. Ayahmu tidak bodoh." "Bukan begitu maksud saya. Maksud saya..." "Aku tahu apa maksudmu, Nak." Esa tertawa kecil. "Tapi kau tak tahu lelucon yang sebenarnya. Kau tak tahu betapa nyamannya duduk enak-enak seperti aku, tak usah lagi mencampuri urusan suami istri serta masalah cinta dan benci. Aku tinggal makan burung quail atau burung pimping gemuk yang dimasak dengan enak, lalu makan kue campur madu, serta daun bawang dan seledri yang dimasak dengan enak pula. Sebagai penutupnya, aku minum anggur dari Syria. Aku sudah bebas dari segala urusan duniawi. Aku tinggal melihat saja semua kekacauan dan sakit hati, dan tahu bahwa semua itu tak ada lagi pengaruhnya atas diriku. Aku hanya melihat saja bagaimana putraku tergila-gila pada seorang gadis cantik, dan bagaimana gadis itu kemudian mengacaukan seluruh -rumah ini. Aku tinggal tertawa saja melihat semua itu. Ada sesuatu pada gadis itu yang membuatku menyukainya! Hatinya memang penuh dengan setan. Dia tahu betul kelemahan mereka. Sobek jadi lemah seperti balon yang tertusuk jarum. Ipy jadi kelihatan seperti anak kecil, sementara Yahmose diberi malu sebagai suami yang suka dibentak-bentak. Keadaannya sama dengan bila kita berkaca di permukaan air. Dia membukakan mata mereka, menunjukkan bagaimana mereka sebenarnya di 157 mata dunia. Tapi mengapa dia membenci kau, Renisenb" Coba jawab itu!" "Apakah dia membenci saya?" tanya Renisenb dengan bimbang. "Padahal saya pernah mengajaknya bersahabat" "Dan dia menolaknya mentah-mentah, bukan" Dia memang membencimu, Renisenb." Esa diam sebentar, lalu bertanya dengan tajam, "Mungkinkah itu disebabkan oleh Kameni?" Wajah Renisenb memerah lagi. "Kameni" Saya tak mengerti maksud Nenek." Sambil merenung, Esa berkata, "Dia dan Kameni sama-sama datang dari utara. Tapi kaulah yang diperhatikan Kameni waktu kau menyeberangi pekarangan." Tiba-tiba Renisenb berkata, "Saya harus pergi melihat Teti." Kepergiannya diikuti oleh tawa Esa yang melengking. Dengan wajah panas, Renisenb berjalan cepat-cepat menyeberangi pekarangan, ke arah danau. Kameni berseru memanggilnya dari be'randa. "Aku telah membuat lagu baru, Renisenb. Kemarilah dan dengarkanlah." Renisenb menggeleng dan terus berlalu. Jantungnya berdebar keras. Kameni dan Nofret. Nofret dan Kameni. Mengapa dibiarkannya Esa yang punya kegemaran menyakiti hati orang, mempengaruhi pikirannya dengan gagasan itu" Dan mengapa ia harus peduli" Ah, apa pedulinya. Ia tak punya perasaan apa 158 pun terhadap Kameni, sama sekali tidak. Kameni hanya seorang pemuda lancang dengan suara riang yang mengandung tawa, serta pundak yang mengingatkannya pada Khay. Khay... Khay... Diulang ulanginya nama itu berkali-kali, tapi kali ini tak ada bayangan yang tampak di matanya. "2 Khay sudah berada di dunia lain. Ia sudah berada di Lautan Persembahan Di beranda, Kameni bernyanyi dengan suara halus, "Akan kukatakan pada Ptah, berikan kekasihku padaku malam inL..." III * "Renisenb!" Dua kali Hori harus mengulangi panggilannya, barulah Renisenb mendengarnya, dan menoleh padanya. Ia sedang asyik memandang Sungai Nil. "Kau begitu tenggelam dalam pikiranmu, Renisenb. Apa yang sedang kaupikirkan?" Dengan sikap menantang, Renisenb menyahut, "Aku sedang memikirkan Khay." Hori memandanginya beberapa saat, lalu ia ter-" senyum. "Oh, begitu," katanya. Renisenb merasa gelisah, karena menganggap Hori memang mengetahui yang sebenarnya! Sekonyong-konyong ia bertanya, "Apa yang terjadi bila kita mati" Adakah yang 159 tahu pasti" Semua kata-kata itu kata-kata yang ditulis pada peti mati beberapa? ?di antaranya demikian samarnya, hingga kelihatannya sama sekali tak punya arti. Kita tahu bahwa Osiris telah dibunuh, dan bahwa tubuhnya telah dipersatukan lagi, dan bahwa dia memakai mahkota putih. Dan karena dia, kita tak perlu mati. Tapi kadang-kadang, Hori, semua itu kedengarannya begitu tak nyata semuanya ?begitu membingungkan...." Hori mengangguk dengan lembut. "Tapi apa yang terjadi sebenarnya bila kita mati" Itulah yang ingin kuketahui." "Aku tak bisa menceritakannya padamu, Renisenb. Sebaiknya kautanyakan itu pada seorang pendeta." "Dia akan memberikan jawaban-jawaban yang biasa. Aku ingin tahu yang sebenarnya" "Tak ada di antara kita yang tahu, sampai kita sendiri mati...," kata Hori dengan lembut. Renisenb bergidik. "Jangan... jangan berkata begitu." "Adakah sesuatu yang merisaukan hatimu, Renisenb?" "Esa yang membuatku begini." Ia diam sebentar, lalu berkata lagi, "Hori, apakah menurutmu Nofret dan Kameni sudah saling kenal dengan baik... sebelum mereka datang kemari?" Langkah Hori terhenti, dan ia berdiri tanpa bergerak beberapa saat lamanya. Lalu, waktu ia berjalan lagi di samping Renisenb, kembali ke rumah, 160 ia berkata, "Oh, aku mengerti. Itu rupanya persoalannya." "Apa maksudmu dengan 'itu rupanya persoalannya'" Aku hanya bertanya." "Dan aku tak tahu jawabannya. Nofret dan Kameni memang sudah saling mengenal di utara, tapi seberapa jauhnya, aku tak tahu." Lalu ia bertanya dengan lembut, "Apakah ada persoalan?" "Tidak, sama sekali tak ada," kata Renisenb. "Itu sama sekali tak penting." "Ya. Nofret sudah meninggal." "Sudah meninggal dan sudah dibalsam, dan sudah ditutup rapat-rapat dalam kuburnya! Dan urusannya sudah beres!" Dengan tenang Hori melanjutkan, "Dan kelihatannya... Kameni tidak bersedih." "Tidak," sahut Renisenb. Ia merasa terkesan oleh kenyataan itu. "Benar juga." Lalu ia berpaling pada Hori. "Ah, Hori, kau... kau benar-benar bisa memberikan penghiburan]" Hori tersenyum. "Dulu aku biasa membetulkan singa mainan Renisenb kecil Sekarang... mainannya lain lagi." Tiba di rumah, Renisenb memutar ke bagian belakang. "Aku belum ingin masuk. Rasanya aku benci pada semua orang. Ah, bukan benarbenar begitu kau tentu mengerti. Tapi hanya karena aku marah dan tak sabar, dan?semua orang rasanya aneh. Tak bisakah kita pergi ke pemakaman" Me SfAfifANB ACh AH nyenangkan sekali di atas sana. Kita rasanya... oh, berada di atas segalagalanya." "Tepat sekali kata-katamu itu, Renisenb. Begitu pula perasaanku. Rumah, perkebunan, dan tanah-tanah persawahan semua itu berada di bawah kita, menjadi ?tak penting. Kita melihat lebih jauh dari semuanya itu ke sungai dan lebih ? ?jauh lagi ke seluruh Mesir. Tak lama lagi Mesir akan bersatu kembali, kuat dan ?besar, seperti dulu, di masa silam." Renisenb bergumam perlahan, "Ah, apakah itu ada artinya?" Hori tersenyum. "Bagi Renisenb cilik tak ada artinya. Bagi Renisenb, hanya singanya yang berarti." "Kau menertawakan aku, Hori. Jadi itu ada artinya bagimu?" "Mengapa harus begitu?" gumam Hori. "Ya, mengapa harus begitu" Aku hanya pegawai seorang pendeta Ka. Mengapa harus ada artinya bagiku, apakah Mesir besar atau kecil?" "Libat," Renisenb mengalihkan perhatian Hori ke tebing batu karang di atas mereka. "Yahmose dan Satipy sedang berada di tebing pemakaman di atas itu. Mereka sedang turun." "Ya," kata Hori. "Ada beberapa barang yang harus disingkirkan. Ada gulungan gulungan bahan yang tak terpakai oleh para pembalsam. Kata Yahmose, dia akan mengajak Satipy untuk dimintai nasihatnya, akan diapakan sebaiknya bahan-bahan itu." 162 Mereka berdua berhenti berjalan, dan memandangi kedua orang yang sedang menuruni jalan setapak di atas itu. Tiba-tiba Renisenb melihat mereka sedang mendekati tempat Nofret dulu jatuh. Satipy berjalan di depan. Yahmose sedikit di belakangnya. Tiba-tiba Satipy menoleh, mungkin untuk berbicara dengan Yahmose. Mungkin ia sedang mengatakan bahwa kira-kira di situlah kecelakaan itu terjadi, pikir Renisenb. Tiba-tiba langkah Satipy terhenti. Ia berdiri' terpaku sambil menatap ke belakang, terus ke sepanjang jalan setapak itu. Lengannya terangkat, seolah-olah ia melihat sesuatu yang mengerikan, atau seperti akan mengelakkan suatu pukulan. Ia meneriakkan sesuatu, lalu tersandung dan terhuyung. Ketika Yahmose melompat ke arahnya, Satipy memekik suatu pekik ketakutan. Dan ia pun terjungkal dari ?tepi tebing itu, ke batu karang di bawahnya. Renisenb melihat kejatuhan itu dengan rasa tak percaya. Ia mencengkeram lehernya sendiri. Satipy tergeletak bagaikan suatu onggokan, tepat di tempat Nofret terbaring dulu. Setelah sadar, barulah Renisenb berlari menghampiri Satipy. Yahmose menuruni jalan setapak itu sambil berseru. Renisenb tiba di dekat tubuh kakak iparnya, dan membungkuk di atas tubuhnya. Mata Satipy terbuka, kelopaknya masih bergetar. Bibirnya ber 163 gerak-gerak, mencoba berbicara. Renisenb membungkuk lebih dekat Ia merasa ngeri melihat rasa takut yang terbayang di mata Satipy. Lalu keluarlah suara Wanita yang sedang sekarat itu. Suara itu terdengar serak sekali. Katanya, "Nofret..." Kemudian kepalanya terkulai. Mulutnya ternganga. Hori berbalik untuk menghampiri Yahmose. Kedua orang itu datang bersama-sama. Renisenb menoleh pada kakaknya. "Apa yang dipekikkannya di atas sana, sebelum dia jatuh tadi?" Napas Yahmose tersengal-sengal. Ia hampir tak bisa berkata-kata. "Dia melihat ke belakangku seolah-olah ada seseorang yang sedang mendekat. ?Padahal tak ada siapa-siapa tak ada siapa-siapa di sana." ?Hori membenarkan. "Memang tak ada siapa-siapa," katanya. Suara Yahmose merendah, menjadi suatu bisikan penuh kengerian. "Lalu dia berseru..." "Apa katanya?" tanya Renisenb dengan tak sabar. "Katanya... katanya...," suaranya bergetar... "Nofret." 164 BAB XII Bulan Pertama Musim Panas hari ke-12 ?"Jadi itu maksudmu?" Renisenb melemparkan kata-kata itu kepada Hori, lebih sebagai suatu pernyataan daripada pertanyaan. Lalu ditambahkannya perlahan-lahan dengan berbisik, sementara rasa takutnya makin menjadi-jadi, "Satipy yang telah membunuh Nofret..." Ia duduk bertopang dagu di pintu bilik kecil dalam batu karang tempat Hori, di sebelah makam, sambil menatap ke bawah. Dengan merenung ia berpikir betapa benarnya kata-kata yang diucapkannya kemarin (apakah benar-benar baru kemarin"). Dari atas ini, rumah yang berada di bawah dan sosok-sosok manusia yang sibuk kian kemari dan selalu bergegas jadi nampak tak penting, seperti sarang semut saja. Hanya matahari yang bersinar terang di langit, dan hanya garis kecil berwarna pucat keperakan dari Sungai Nil yang disinari matahari pagi hanya itu saja yang ?kekal dan abadi. Khay sudah meninggal, juga Nofret dan Satipy. Dan suatu hari 165 kelak, ia dan Hori juga akan mati. Tapi Dewa Ra akan tetap menguasai surga, dan di malam hari ia berlayar dalam perahunya di Dunia Bawah, hingga fajar esok harinya. Sungai Nil akan tetap mengalir, mengalir dari Elephantine yang jauh, turun melalui Thebes, melewati desa, ke arah Mesir bagian utara, di mana Nofret pernah iinggal dengan ceria dan riang gembira. Air pun mengalir terus ke laut lepas, dan dengan demikian meninggalkan Mesir. Satipy dan Nofret... Renisenb melanjutkan renungannya, karena Hori tidak menjawabnya. "Tahukah kau, selama ini aku yakin benar bahwa Sobek..." Tiba-tiba ia berhenti bicara. "Itu namanya praduga," kata Hori dengan serius. "Aku jadi merasa bodoh sekali," kata Renisenb lagi. "Henet sudah mengatakan padaku, atau boleh 'dikatakan telah memberitahukan padaku, bahwa waktu itu Satipy pergi berjalan-jalan ke arah ini, dan dikatakannya bahwa Nofret juga sedang naik kemari. Seharusnya aku segera menyadari betapa jelasnya bahwa Satipy menyusul Nofret; bahwa mereka bertemu di jalan setapak ini, dan Satipy mendorongnya. Tak lama sebelum itu, Satipy sudah pula berkata bahwa dia lebih memiliki ke-.beranian seorang laki-laki daripada kakak-kakakku." Renisenb berhenti berbicara. Ia bergidik. "Waktu aku bertemu dengannya," katanya lagi, "seharusnya aku tahu. Dia nampak aneh sekali. 166 Dia ketakutan. Dia mencoba membujukku untuk kembali bersamanya. Dia tak ingin aku sampai menemukan mayat Nofret. Aku bodoh sekali, hingga tak menyadari keadaan sebenarnya. Tapi, saat itu pikiranku terlalu dipenuhi rasa takut terhadap Sobek...." "Aku tahu. Karena kita telah melihatnya membunuh ular itu." Renisenb membenarkan. "Ya, itulah. Lalu aku bermimpi.... Kasihan Sobek. Aku salah telah menuduhnya. Benar katamu, mengancam tak sama dengan melakukannya. Sobek sudah banyak sekali membual. Satipy-lah yang berani, yang tak kenal belas kasihan, dan tak takut bertindak. Sejak itu gerak-geriknya seperti hantu saja. Kami semua heran. Mengapa tak terpikir oleh kami penjelasan yang sebenarnya?" Sambil mendongak, dengan cepat ditambahkannya, Ledakan Dendam Death Comes As The End Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Tapi kau sempat memikirkannya, bukan?" 'Ya, beberapa lama," kata Hori. "Aku yakin bahwa petunjuk tentang kematian Nofret terletak pada perubahan watak Satipy. Perubahan itu jelas sekali, hingga kita perlu mencari kebenarannya." "Tapi kau tidak mengatakan apa-apa"' "Mana mungkin, Renisenb" Apa yang bisa kujadikan bukti'}" "Memang tak ada." "Buktirbuktinya harus kuat, sekokoh tembok kota." "Tapi kau pernah berkata bahwa sebenarnya 167 manusia tidak berubah," taantah Renisenb. "Tapi sekarang kau mengakui bahwa Satipy berubah." Hori tersenyum padanya. "Pantas sekali kalau kau membantah di pengadilan Nomarch. Tidak, Renisenb, apa yang kukatakan itu benar. Manusia akan tetap sama, sebagaimana dia diciptakan. Seperti Sobek, Satipy suka mengumbar kata-kata yang menyatakan keberaniannya. Satipy memang mungkin mewujudkan kata-katanya menjadi perbuatan, tapi kurasa dia adalah jenis orang yang tak bisa mengetahui atau membayangkan sesuatu, sebelum hal itu benar-benar terjadi. Selama hidupnya, sampai saat peristiwa itu terjadi, dia tak pernah mengenal rasa takut. Lalu tiba-tiba rasa takut itu melandanya, tanpa dia sadari. Dan dia jadi tahu bahwa dia memerlukan keberanian untuk menghadapi apa yang tak diduganya itu, padahal dia tidak memiliki keberanian itu." Dengan suara rendah Renisenb bergumam, "Waktu rasa takut melanda.... Ya, begitulah kita sejak Nofret meninggal. Pada Satipy, rasa takut itu kelihatan nyata di wajahnya, sehingga kita semua bisa melihatnya. Rasa takut itu masih terpantul dari matanya yang terbuka waktu dia sudah meninggal, waktu dia mengucapkan, 'Nofret.' Seolah-olah dia melihat..." Renisenb berhenti berkata-kata. Ia berpaling pada Hori, matanya lebar mengandung pertanyaan. "Hori, apa yang dilihatnya di jalan setapak itu" 168 Kita tidak melihat apa-apa! Tak ada apa-apa di situ!" "Bagi kita memang tak ada." "Tapi bagi dia" Nofret yang dilihatnya. Nofret yang datang untuk membalas dendam. Padahal Nofret sudah meninggal, dan kuburannya sudah ditutup rapatrapat. Jadi apa yang dilihatnya?" "Gambaran yang diperlihatkan oleh pikirannya sendiri." "Yakinkah kau" Sebab bila tidak..." "Ya, Renisenb" Bila tidak?" "Hori...," Renisenb mengulurkan tangannya, "apakah ini sudah berakhir" Dengan kematian Satipy ini, apakah benar-benar sudah berakhir?" Hori menggenggam tangan Renisenb dalam suatu genggaman yang menenangkan. "Ya, ya, Renisenb, itu pasti. Setidaknya kau tak perlu merasa takut," Renisenb bergumam dengan berbisik, "Tapi Esa berkata bahwa Nofret membenciku." "Nofret membencinya?" "Begitulah kata Esa." "Nofret memang suka membenci," kata Hori. "Kadang-kadang kupikir dia membenci setiap orang dalam rumah ini. Tapi setidaknya kau tak pernah berbuat apa-apa terhadap dia, bukan?" "Tidak. Tak pernah." "Jadi sebab itu, Renisenb, kau tak perlu dihantui rasa bersalah." "Maksudmu bila aku berjalan di jalan setapak ini seorang diri, pada waktu matahari terbenam, 169 pada saat yang sama dengan kematian Nofret, dan bila aku menoleh, aku tidak akan melihat apa-apa" Bahwa aku akan selamat?" "Kau akan selamat, Renisenb. Karena bila kau berjalan di jalan setapak itu, aku akan berjalan bersamamu, dan kau takkan ditimpa bencana apa pun juga." -Tapi Renisenb mengernyitkan alisnya dan menggeleng. "Tidak, Hori. Aku akan berjalan seorang diri." "Mengapa, Renisenb" Apakah kau tak takut?" "Ya," sahut Renisenb, "kurasa aku akan merasa takut Tapi bagaimanapun juga, "itulah yang harus dilakukan. Semua orang gemetar dan menggigil ketakutan di rumah. Mereka lari ke kuil-kuil untuk membeli jimat, dan mereka mengingatkah, tak baik berjalan. di jalan setapak ini pada saat matahari r terbenam. Tapi yang menyebabkan Satipy terjungkal sampai jatuh bukanlah suatu roh jahat, melainkan rasa takut. Rasa takut karena suatu kejahatan yang telah dilakukannya. Karena dia telah mencabut nyawa seseorang yang masih muda, masih kuat, dan sedang menikmati hidup ini. Itu suatu kejahatan. Tapi aku tak pernah melakukan kejahatan, jadi meskipun Nofret memang membenciku, kebenciannya takkan bisa menyakiti diriku. Itu keyakinanku. Dan bagaimanapun juga, lebih baik mati daripada selalu hidup dalam ketakutan. Jadi aku akan mengatasi rasa takutku." "Itu kata-kata seorang pemberani, Renisenb." "Mungkin kata-kata itu kedengarannya lebih be 170 rani daripada perasaanku, Hori." Renisenb mendongak dan tersenyum padanya, lalu ia berdiri. "Tapi lega rasanya telah mengucapkannya." Hori juga bangkit, lalu berdiri di sampingnya. "Akan kuingat kata-katamu itu, Renisenb. Juga caramu mendongakkan kepala waktu kau mengucapkannya.. Kata-kata itu memperlihatkan keberanian dan kebenaran yang kurasa selalu ada dalam hatimu." Hori mengambil tangan Renisenb lagi. "Lihatlah, Renisenb. Lihatlah dari sini ke lembah di seberang sana, ke Sungai Nil dan lebih jauh lagi. Itulah Mesir. Itulah negeri kita. Yang terpecah belah karena peperangan dan perselisihan selama bertahun-tahun lamanya, terbagi menjadi kerajaan kecil-kecil. Tapi sekarang, tak lama lagi, Mesir akan bersatu kembali, dan sekali lagi membentuk suatu negara yang bersatu. Mesir Hulu dan Mesir Hilir akan membaur menjadi satu lagi, begitulah harapanku, dan kurasa dengan demikian Mesir akan memperoleh lagi kebesarannya di masa lalu! Dan dalam masa itu, Mesir akan membutuhkan pria dan wanita yang punya kemauan dan keberanian wanita-wanita seperti kau, Renisenb. Bukan kaum pria seperti Imhotep ?yang selalu sibuk dengan pikiran-pikirannya yang picik mengenai keuntungan dan kerugian saja. Bukan kaum pria seperti Sobek yang penganggur dan suka membual, bukan pula anak-anak muda'seperti Ipy yang hanya memikirkan keuntungan apa yang bisa diperolehnya bagi dirinya sendiri. Bukan! Tapi bu-171 kan pula putra-putra bangsa yang selalu sangat berhati-hati dan jujur seperti Yahmose. Sambil duduk di sini, benar-benar di tengah-tengah orang-orang yang sudah meninggal, menjalankan tugasku menghitung keuntungan dan kerugian serta mengerjakan pembukuan, aku malah melihat keuntungan yang tak bisa dinilai dengan kekayaan, dan kerugian-kerugian yang lebih menghancurkan daripada kerugian hasil panen. Aku memandang ke Sungai Nil, dan melihat darah kehidupan Mesir yang telah ada di situ sejak kita belum ada, dan yang akan terus ada setelah kita mati. Hidup dan mati, Renisenb, tidaklah terlalu penting. Aku hanya seorang Hori, pegawai Imhotep. Tapi bila aku memandang Mesir, aku merasakan kedamaian. Ya, dan kegembiraan yang takkan pernah kutukarkan dengan kedudukan sebagai gubernur dari suatu propinsi. Mengertikah kau apa maksudku, Renisenb?" "Kurasa aku mengerti, Hori sedikit-sedikit Kau lain dari orang-orang di bawah ?sana itu. Sudah beberapa lama kuketahui hal itu. Kadang-kadang, bila aku sedang bersamamu di. sini, aku bisa merasakan apa yang kaurasakan. Bila aku berada di sini, apa-apa yang ada di bawah sana rasanya jadi tak berarti," katanya sambil menunjuk. "Pertengkaran-pertengkaran, rasa benci, kesibukan dan keributan yang tak henti-hentinya. Di sini kita terhindar dari itu semua." Renisenb berhenti sebentar. Alisnya bertaut, dan dengan agak tergagap ia melanjutkan, 172 "Kadang-kadang aku... aku merasa senang terhindar dari itu semua. Tapi, entahlah... rasanya ada sesuatu di bawah sana yang memanggil-manggilku kembali." Hori melepaskan tangan Renisenb, lalu mundur selangkah. Dengan lembut ia berkata, "Ya, aku tahu. Pasti Kameni yang bernyanyi di pekarangan." "Apa maksudmu, Hori" Aku tidak berpikir tentang Kameni." "Mungkin tidak. Tapi, Renisenb, kurasa lagu-lagunyalah yang selalu terdengar olehmu tanpa kausadari." Renisenb menatap Hori dengan alis bertaut "Aneh sekali kata-katamu, Hori. Kita tak bisa mendengar dia bernyanyi dari atas ini. Tempat ini terlalu jauh." Hori mendesahtdengan halus, lalu menggeleng. Renisenb merasa heran melihat mata Hori yang membayangkan rasa senang. Ia jadi agak marah dan bingung, karena tak mengerti. 173 BAB XIII Bulan Pertama Musim Panas hari ke-23?"Bisakah saya berbicara sebentar dengan Anda, Esa?" Esa memandang dengan tajam pada Henet yang sedang berdiri di ambang pintu kamarnya, dengan wajah dihiasi senyum minta dikasihani. "Ada apa?" tanya nenek tua itu dengan tajam. "Sebenarnya bukan apa-apa atau setidaknya begitulah pikiran saya tapi setelah ? ?saya pikir lagi, saya ingin bertanya saja...." " "Masuklah kalau begitu, masuklah," kata Esa cepat-cepat, memotong bicaranya. "Dan kau...," katanya, sambil menepuk bahu seorang gadis budak berkulit hitam yang sedang merangkai manik-manik, dengan tongkatnya,"pergilah ke dapur. Ambilkan aku beberapa buah zaitun, dan buatkan aku minuman sari buah delima." Gadis itu bergegas pergi, dan dengan tak sabar Esa melambai, mengisyaratkan supaya Henet masuk. "Hanya ini, Esa." Esa memandangi benda di tangan Henet yang terulur ke arahnya. Benda itu adalah sebuah kotak 174 perhiasan yang tutupnya dapat dibuka dan ditutup dengan cara menggesergeserkannya. Bagian atasnya tertutup oleh dua buah kancing. "Ada apa dengan benda itu?" "Ini milik dia. Dan saya baru saja menemukannya di dalam kamarnya."?"Siapa yang kaubicarakan itu" Satipy-kah?" "Bukan, bukan, Esa. Yang seorang lagi: "Nofret maksudmu" Ada apa dengan benda itu?" "Semua perhiasannya, botol-botol alat-alat kecantikannya, dan botol-botol parfummya semuanya telah dikuburkan bersamanya." ? ?Esa melepaskan tali pengikat kancing-kancing itu, lalu membuka kotak itu. Di dalamnya terdapat seuntai kalung merjan, dan potongan sebuah jimat yang terbuat dari batu hijau mengilap. "Bah," kata Esa. "Tak ada yang penting dalam hal ini. Pasti barang ini tak terlihat oleh para petugas." "Petugas-petugas pembalsam itu telah mengambil semuanya." "Petugas-petugas pembalsam sama saja dengan manusia lain. Mereka pasti lupa membawa barang ini." "Dengarkanlah, Esa, barang ini tidak ada di dalam kamar itu waktu saya memeriksanya terakhir kali." Esa cepat-cepat mendongak, dan menatap Henet dengan tajam. "Jadi apa yang ingin kaukatakan" Bahwa Nofret 175 telah kembali dari Dunia Bawah, dan sekarang berada di rumah ini" Kau sebenarnya bukan orang bodoh, Henet, meskipun kadang-kadang kau berpura-pura seperti orang bodoh. Kesenangan apa yang kauperoleh dari menyebarluaskan kisah-kisah ajaib yang tak masuk akal itu?" Henet tetap saja menggeleng. "Kita semua tahu apa yang telah terjadi atas diri Satipy... dan mengapal" x "Mungkin begitu," kata Esa. "Mungkin juga ada di antara kita yang sudah mengetahuinya sebelumnya! Bukankah begitu, Henet" Aku sudah lama menduga bahwa kau tahu lebih banyak tentang bagaimana Nofret menemui ajalnya, daripada kami semua." "Aduh, Esa. Anda kan tidak menduga bahwa..." Esa cepat-cepat memotong bicaranya. "Apa yang tak boleh kuduga" Aku tak takut berpikir, Henet Aku sudah melihat Satipy yang berjalan menyelinap nyehnap dalam rumah dengan ketakutan setengah mati, selama dua bulan terakhir ini. Sejak kemarin aku mendapat gagasan bahwa mungkin ada seseorang yang mengatakan padanya bahwa dia tahu, dan orang itu mungkin mengancam akan mengatakannya pada Yahmose, atau pada Imhotep sendiri." Maka meledaklah pekik Henet yang melengking, yang menyatakan bantahan bantahannya Esa memejamkan matanya, lalu bersandar di kursinya. "Sudah kuduga kau takkan mau mengakui hal itu. Ya, memang sudah kuduga." "Untuk apa saya melakukannya" Jawablah pertanyaan saya itu. Mengapa saya harus berbuat begitu?" "Aku sama sekali tak tahu," kata Esa. "Banyak sekali hal yang kaulakukan tanpa alasan jelas, Henet." "Saya rasa Anda pikir saya telah memaksanya menyuap saya supaya saya tutup mulut. Saya bersumpah demi Sembilan Dewa dari Ennead " "Jangan menyusahkan para dewa. Kau cukup jujur, Henet, sejauh kejujuran itu bisa dipercaya. Dan mungkin pula kau tak tahu apa-apa tentang bagaimana Nofret menemui ajalnya. Tapi aku tahu, banyak sekali hal yang telah terjadi di dalam rumah ini. Kalau aku sendiri ingin bersumpah, aku bersumpah bahwa kaulah yang telah meletakkan kotak ini di kamar Nofret entah untuk apa. Tapi pasti ada ?alasannya. Kau bisa menipu Imhotep dengan segala tipu dayamu, tapi kau takkan bisa menipu aku. Dan jangan mengembik begitu! Aku sudah tua, dan aku tak tahan mendengarnya. Pergilah dan mengembiklah pada Imhotep. Mungkin dia suka, meskipun hanya Dewa Re saja yang tahu mengapa dia suka!" "Kalau begitu, akan saya bawa kotak ini pada Imhotep, dan akan saya ceritakan padanya..." "Biar aku sendiri yang mengantarkannya. Pergilah, Henet, dan hentikanlah kegiatanmu menyebarkan kisah-kisah takhayul yang bodoh itu. Rumah ini sudah lebih tenang tanpa Satipy. Dan Nofret yang meninggal lebih baik daripada Nofret 177 176 yang hidup. Tapi setelah semua utang itu lunas, biarkanlah semua orang kembali pada tugas mereka sehari-hari." II "Ada apa lagi?" tanya Imhotep waktu ia masuk dengan ribut ke kamar Esa beberapa menit kemudian. "Henet sedih sekali. Dia datang padaku dengan berurai air mata. Mengapa tak seorang pun yang bisa bersikap baik secara wajar pada wanita yang penuh pengabdian itu?" Esa sama sekali tak terkesan. Ia tertawa terkekeh. Imhotep berkata lagi, "Katanya, Ibu telah menuduhnya mencuri sebuah kotak kotak perhiasan." ?"Begitu katanya, ya" Aku sama sekali tidak menuduhnya. Ini kotaknya, katanya ditemukan di kamar Nofret" Imhotep mengambil kotak itu. "Oh, ya, ini kotak yang pernah kuberikan padanya." Lalu dibukanya kotak itu. "Hm, tak banyak isinya. Ceroboh sekali para pembalsam itu! Tak semua milik pribadinya dikumpulkan. Mengingat betapa tingginya bayaran yang dituntut oleh Ipi dan Montu, setidaknya tak pantas mereka melakukan kecerobohan begini. Yah, semua ini hanya ribut-ribut tentang soal remeh saja." "Memang." "Akan kuberikan kotak ini pada Kait... ah, tidak, 178 pada Renisenb saja. Dia yang selalu hormat pada Nofret" Imhotep mendesah. "Sukar sekali bagi seorang laki-laki untuk mendapatkan kedamaian. Perempuanperempuan ini tak sudah-sudahnya berurai air mata dan bertengkar, atau saling membentak." "Ah, sudahlah, Imhotep. Sekarang sudah berkurang seorang wanita lagi!" "Ya, benar. Kasihan anakku, Yahmose! Bagaimanapun juga, kurasa... eh... mungkin itulah yang terbaik. Memang Satipy telah melahirkan anak-anak yang sehat, tapi dalam banyak hal dia bukanlah istri yang memuaskan. Yahmose terlalu banyak mengalah padanya. Ya, ya,, semua itu sudah berlalu sekarang. Harus kuakui bahwa aku senang sekali melihat kelakuan Yahmose akhir-akhir ini. Agaknya dia lebih percaya diri, tidak begitu pemalu lagi, dan penilaiannya mengenai beberapa hal sudah baik. Ya, baik sekali." "Dia memang anak yang baik dan penurut" "Ya, ya, tapi cenderung lamban dan takut bertanggung jawab." "Kau memang tak pernah memberinya kesempatan untuk bertanggung jawab," kata Esa datar. "Yah, semua itu akan berubah sekarang. Aku sedang membuat suatu surat pernyataan mengenai persekutuan, dan akan menjadikannya rekanan kerja. Beberapa hari lagi, Ledakan Dendam Death Comes As The End Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo surat itu akan ditandatangani. Ketiga putraku akan kujadikan rekanan kerjaku." 179 "Ipy tentu tidak, kan?" "Dia akan tersinggung kalau dikecualikan. Dia anak muda yang baik dan berhati Pedang Pusaka Naga Putih 3 Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo Pemberontakan Di Kertaloka 2