Mata Rantai Yang Hilang 1
Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie Bagian 1 ORDEAL BY INNOCENCE by Agatha Christie MATA RANTAI YANG HILANG Alihbahasa: Ny. Suwarni A.S. Penerbit: PT Gramedia Cetakan kedua: Mei 2002 Untuk BILLY COLLINS. Dengan penuh sayang dan terima kasih. BAB I HARI sudah senja waktu ia tiba di tempat perahu penyeberangan itu. Sebenarnya ia bisa tiba di situ lebih awal, tapi ia telah menundanya selama mungkin. Mula-mula ia makan siang bersama teman-temannya di Redquay, yang diselingi dengan percakapan yang tak berujung-pangkal dan saling menukar gunjingan mengenai sesama teman mereka. Semua itu membuktikan bahwa ia enggan menghadapi hal yang harus dilakukannya. Lalu teman-temannya menahannya untuk sekalian minum teh, dan ia menerima ajakan itu. Tapi akhirnya tiba saatnya ia menyadari bahwa ia tak bisa menunda lebih lama lagi. Mobil yang disewanya masih menunggu. Ia minta diri, lalu pergi dengan mobil itu, menyusuri sepanjang jalan pantai sejauh sepuluh kilometer, lalu ke arah darat melewati jalan yang diapit hutan, yang berakhir di dermaga dari batu di tepi sungai. Di sana ada sebuah lonceng besar. Pengemudi mobil membunyikan lonceng itu kuatkuat, untuk memanggil perahu penyeberangan yang sedang berada di seberang. "Perlukah saya menunggu, Sir?" "Tak usah," kata Arthur Calgary. "Saya sudah memesan mobil untuk menjemput saya di sana satu jam lagi, untuk mengantar saya ke Drymouth." Pengemudi menerima bayarannya, ditambah tip. Sambil memandang jauh ke seberang sungai dalam keremangan itu, ia berkata, "Perahu penyeberangannya sudah datang, Sir." Sesudah mengucapkan selamat malam dengan halus, ia memutar mobilnya, lalu mengemudikannya mendaki bukit Tinggallah Arthur Calgary seorang diri, menunggu di dermaga. Seorang diri dengan pikiran dan rasa ngerinya, mengingat apa yang harus dihadapinya. Masih perawan pemandangan di sini, pikirnya. Orang jadi bisa membayangkan dirinya berada di sebuah danau sepi di Skotlandia, yang jauh dari mana-mana. Padahal hanya dalam jarak beberapa kilometer saja sudah terdapat hotel-hotel, toko-toko, kedai-kedai minuman, dan orang ramai di Redquay. Bukan baru sekali itu ia menyadari adanya kontras-kontras yang luar biasa dalam pemandangan di Inggris. Terdengar olehnya bunyi halus ketepak dayung-dayung, waktu perahu penyeberangan mendekat ke sisi dermaga kecil itu. Arthur Calgary berjalan menuruni tanah yang melandai dan masuk ke perahu, sementara pemilik perahu menjaga keseimbangan perahunya dengan sebuah besi pengait. Orang itu sudah tua dan memberikan kesan pada Calgary bahwa ia dan perahunya merupakan suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Angin dingin bertiup dari arah laut, waktu mereka menjauh dari daratan. "Dingin sekali malam ini," kata pemilik perahu itu. Calgary memberikan jawaban yang pantas. Ia juga sependapat bahwa udara lebih dingin daripada kemarin. Ia menyadari, atau merasa sadar bahwa di mata pemilik perahu itu terbayang rasa ingin tahu yang terselubung. Soalnya ia adalah orang tak dikenal, yang datang setelah musim darmawisata lewat. Apalagi orang tak dikenal itu menyeberang pada jam yang aneh - sudah terlambat untuk minum teh di kedai minuman di dekat dermaga itu. Ia tidak membawa barang, jadi tak mungkin ia datang untuk bermalam. (Mengapa aku datang semalam ini" pikir Calgary. Apakah karena sebenarnya, tanpa kusadari, aku telah menunda-nunda saat ini" Menundanya selama mungkin untuk melakukan hal yang harus kulakukan") Ia menyeberangi Sungai Rubicon. Sungai... sungai... pikirannya melayang kembali ke sungai yang lain - Sungai Thames. Serasa baru kemarin. Waktu itu ia menatap tanpa melihat apa-apa, lalu ia menoleh dan melihat lagi pada orang yang menghadapinya di seberang meja. Mata yang merenung, yang mengandung sesuatu, yang tak bisa dipahaminya. Sesuatu yang terpendam, sesuatu yang dipikirkan tapi tidak dinyatakan.... "Kurasa mereka sudah terbiasa untuk tak pernah memperlihatkan apa yang sedang mereka pikirkan," pikir Calgary. Sesuatu memang menakutkan kalau kita masih harus menghadapinya. Tapi ia harus melakukan apa yang harus dilakukannya, dan setelah itu melupakannya! Dikerutkannya dahinya, mengingat kembali percakapan kemarin. Suara yang tenang, menyenangkan, dan polos itu berkata, "Sudah yakinkah Anda akan apa yang harus Anda perbuat, Dr. Calgary?" Ia menjawab dengan bersemangat, "Apa lagi yang harus saya lakukan" Anda tentu mengerti, bukan" Anda pasti sependapat bahwa ini adalah sesuatu yang tak bisa saya hindari." Tapi ia tak mengerti pandangan di mata cekung kelabu itu, dan ia agak terenyak mendengar jawabannya. "Kita harus melihat suatu persoalan dengan cermat, mempertimbangkannya dari segala segi." "Tapi bukankah hanya ada satu kemungkinan kalau ditinjau dari segi keadilan?" Waktu itu ia berbicara dengan berapi-api, dan pada saat itu dianggapnya suatu anjuran keji untuk "mendiamkan" persoalan tersebut. "Memang boleh dikatakan begitu. Tapi bukankah ada lagi yang lain" Lebih dari sekadar... keadilan?" "Saya tak sependapat. Kita harus mempertimbangkan keluarga itu." Lalu orang lain itu berkata dengan cepat, "Tentu - ya, jelas. Saya justru memikirkan mereka." Menurut Calgary, itu omong kosong belaka! Karena bila orang memikirkan mereka... Tapi orang itu segera berkata lagi, tanpa mengubah suaranya yang menyenangkan, "Semuanya tentu terserah pada Anda, Dr. Calgary. Anda tentu harus melakukan apa yang menurut Anda harus Anda perbuat." Perahu itu telah terseret di pantai sungai. Ia telah menyeberangi Sungai Rubicon. Suara pemilik perahu yang berlogat West Country itu berkata, "Bayarannya empat pence, Sir, atau Anda ingin kembali lagi?" "Tidak," sahut Calgary. "Saya tidak akan kembali." (Seperti sudah menentukan nasib saja kata-kata itu kedengarannya!) Ia membayar, lalu bertanya, "Tahukah Anda rumah yang bernama Sunny Point?" Lenyaplah selubung pada rasa ingin tahu pemilik perahu itu. Mata orang tua itu langsung memperlihatkan minat. "Tentu. Yang itu, di atas di sebelah kanan Anda - bisa Anda lihat dari celah-celah pepohonan. Anda naiki bukit itu, lalu membelok ke kanan, kemudian ambil jalan baru yang melewati bangunan-bangunan baru itu. Rumah itu yang terakhir, yang di ujung." "Terima kasih." "Benar, kan, Anda mengatakan Sunny Point, Sir" Tempat Mrs. Argyle..." "Ya, ya," potong Calgary. Ia tak ingin membahas soal itu. "Sunny Point." Perlahan-lahan bibir pemilik perahu itu merekahkan senyum pahit yang aneh. Tibatiba ia kelihatan seperti hantu hutan yang licik. "Wanita itulah yang menamakan rumah itu begitu, dalam masa perang. Waktu itu rumah itu masih baru, baru dibangun, belum ada namanya. Tapi tanah tempat rumah itu dibangun - tanah berhutan itu - namanya Viper's Point! Tapi wanita itu tak mau memakai nama Viper's Point untuk rumahnya. Maka dinamakannya Sunny Point. Tapi kami semua tetap menyebutnya Viper's Point." Calgary menyatakan terima kasih dengan singkat, mengucapkan selamat malam, lalu mulai mendaki bukit. Agaknya semua orang berada di dalam rumah, tapi ia merasa bahwa mata-mata yang tak terlihat mengintainya melalui jendela pondok-pondok itu. Semua mengawasinya, dan semuanya tahu ke mana tujuannya. Mereka saling mengatakan, "Dia sedang menuju Viper's Point...." Viper's Point. Alangkah mengerikan kedengarannya nama itu, namun sesuai dengan keadaannya. Dia lebih tajam daripada gigi ular berbisa... Dihentikannya pikirannya itu dengan tegas. Ia harus mengumpulkan seluruh keberaniannya, dan memastikan benar-benar apa yang akan dikatakannya nanti. II Calgary tiba di ujung jalan baru yang bagus, yang diapit rumah-rumah baru yang bagus-bagus pula. Setiap rumah memiliki kebun seluas seperdelapan ekar, yang ditanami tumbuh-tumbuhan batu, bunga krisan, bunga mawar, bunga salvia dan geranium. Masing-masing pemiliknya memperlihatkan selera pribadinya di kebunkebun itu. Di ujung jalan itu ada sebuah gerbang yang di atasnya bertuliskan SUNNY POINT dengan huruf-huruf hias. Dibukanya pintu gerbang itu, dilaluinya, lalu ia pun berjalan di sepanjang jalan masuk yang tidak panjang. Rumah itu tegak di hadapannya. Sebuah rumah modern yang bagus bangunannya, tidak memiliki watak tertentu, ada dinding pembatasnya dan ada serambinya. Rumah itu bisa saja berada di suatu daerah pinggir kota yang elite, atau di suatu daerah bangunan baru di mana saja. Menurut Calgary, rumah itu tak sepadan dengan pemandangannya, karena pemandangannya indah sekali. Di tempat itu sungai membelok dengan tajam, seolah berbalik kembali. Di seberangnya menjulang bukit-bukit berhutan, di hulu di sebelah kiri ada lagi sebuah kelokan sungai, sedangkan padang-padang rumput dan kebun-kebun buah-buahan terhampar di kejauhan. Calgary menoleh sebentar lagi ke sepanjang sungai itu. Seharusnya orang membangun sebuah puri di sini, pikirnya, sebuah puri yang lucu, seperti dalam dongeng! Semacam puri yang mungkin terbuat dari roti atau dari gula beku. Tapi yang tampak sekarang adalah selera tinggi, keterbatasan, apa adanya, uang banyak, dan sama sekali tak ada daya khayal. Orang tentu saja tak bisa menyalahkan keluarga Argyle dalam hal ini. Mereka hanya membeli rumah itu, bukan mereka yang membangunnya. Namun merekalah, atau salah seorang di antara mereka (apakah itu Mrs. Argyle") yang telah memilihnya. "Kau tak bisa lagi menundanya," katanya pada diri sendiri, lalu ditekannya bel yang ada di samping pintu. Ia berdiri menunggu di situ. Setelah menunggu agak lama, ditekannya lagi bel itu. Tak didengarnya langkah-langkah kaki di dalam, tapi tanpa peringatan apa-apa, pintu tiba-tiba terbuka. Ia mundur selangkah karena terkejut. Gara-gara khayalannya yang sudah telanjur menerawang, rasanya seolah-olah tragedi sendirilah yang tegak berdiri menghalangi jalannya. Padahal itu adalah seraut wajah muda, tapi ketajaman pada wajah itu memang memberikan kesan tragedi. Kedok tragedi selalu merupakan kedok keremajaan, pikirnya. Tak berdaya, sudah diatur sebelumnya, dengan kehancuran yang mengancam... dari masa depan. Setelah sadar, ia berpikir dengan pikiran sehat, "Tipe Irlandia." Matanya biru tua, dengan bayangan hitam di sekelilingnya, rambutnya hitam dan lurus, tulangtulangnya - tulang kepala dan tulang-tulang pipinya - indah. Gadis itu berdiri saja di situ. Ia masih muda, waspada, dan bersikap memusuhi. Katanya, "Ya" Ada apa?" Calgary menjawab menurut kebiasaan, "Apakah Mr. Argyle ada di rumah?" "Ada. Tapi dia tak mau menemui orang. Maksud saya, orang-orang yang tak dikenalnya. Dia tak kenal pada Anda, bukan?" "Tidak. Dia tak kenal pada saya. Tapi..." Gadis itu bergerak akan menutup pintu. "Kalau begitu, sebaiknya Anda menulis surat." "Maaf, tapi saya perlu sekali bertemu dengannya. Apakah Anda Miss Argyle?" Si gadis membenarkan hal itu dengan sikap jengkel. "Ya, saya Hester Argyle. Tapi ayah saya tak mau menemui orang-orang tanpa janji. Sebaiknya Anda menulis surat." "Saya datang dari jauh." Gadis itu tak bergeming. "Semuanya berkata begitu. Tapi saya kira hal semacam itu akhirnya sudah berakhir." Dengan nada menuduh ia berkata lagi, "Saya kira Anda seorang wartawan, bukan?" "Bukan, bukan, sama sekali bukan." Gadis itu memandanginya dengan pandangan curiga, seolah-olah tak mempercayainya. "Jadi Anda mau apa?" Di belakang gadis itu, agak jauh di lorong rumah, Calgary melihat seraut wajah lain. Seraut wajah datar yang tak bagus. Bila harus melukiskannya, ia akan menyebut wajah itu seperti kue dadar. Wajah itu adalah wajah seorang wanita setengah baya yang rambutnya kelabu kekuningan dan kaku, yang seolah-olah tertempel di atas kepalanya. Ia mondar-mandir saja menunggu, seperti seekor naga yang berjaga-jaga. "Ini berhubungan dengan saudara laki-laki Anda, Miss Argyle." Hester Argyle tersentak menahan napas. Lalu tanpa percaya ia bertanya, "Michael?" "Bukan, saudara Anda Jack." "Sudah saya duga!" sergahnya. "Sudah saya duga bahwa Anda datang sehubungan dengan Jacko! Mengapa Anda tak mau membiarkan kami tenang" Urusan itu sudah berlalu dan sudah selesai. Mengapa masih saja dibicarakan?" "Kita sebenarnya tak pernah bisa berkata bahwa sesuatu itu selesai." "Tapi ini sudah selesai! Jacko sudah meninggal. Mengapa Anda tak bisa membiarkan dia tenang" Semuanya itu sudah berlalu. Bila Anda bukan seorang wartawan, saya rasa Anda seorang dokter, atau psikolog, atau semacamnya. Tolong tinggalkan tempat ini. Ayah saya tak bisa diganggu. Dia sibuk." Ia bergerak akan menutup pintu lagi. Cepat-cepat Calgary melakukan apa yang sejak semula seharusnya sudah dilakukannya. Dikeluarkannya surat dari sakunya, lalu disodorkannya pada gadis itu. "Ini, saya membawa surat - dari Mr. Marshall." Gadis itu terkejut. Dipegangnya surat itu dengan sikap ragu-ragu. Lalu katanya dengan tak yakin, "Dari Mr. Marshall... di London?" Kini ia tiba-tiba didampingi wanita setengah baya yang sejak tadi mengintai dari tempat tersembunyi di lorong rumah. Wanita itu memandangi Calgary dengan curiga, dan Calgary jadi teringat akan biara-biara asing. Ya, wajah itu sepantasnya wajah seorang biarawati! Tinggal menambahkan kain putih kaku - entah apa namanya yang melingkari wajah itu, ditambah dengan jubah hitam dan kerudungnya. Tapi wajah itu bukan wajah seorang biarawati gerejani, melainkan wajah seorang suster awam yang mengintip orang dengan curiga lewat celah kecil pada pintu yang tebal, untuk kemudian dengan jengkel mengizinkan kita masuk, lalu mengantar kita ke ruang tamu atau menghadap Ketua Biara. "Anda datang dari Mr. Marshall?" tanyanya. Kata-kata itu diucapkannya dengan nada menuduh. Hester sedang merenungi amplop di tangannya. Kemudian, tanpa berkata apa-apa, ia berbalik dan berlari menaiki tangga. Calgary tetap berdiri di ambang pintu, menghadapi tatapan naga - merangkap - suster awam yang penuh tuduhan dan curiga itu. Ia mencari-cari sesuatu untuk diucapkan, tapi tak bisa memikirkan apa-apa. Oleh karenanya ia mengambil sikap arif dan diam saja. Tak lama kemudian terdengar suara Hester yang dingin dan kaku, dari atas. "Kata Ayah, dia boleh naik." Dengan agak enggan, penjaga Calgary menyingkir. Air mukanya yang membayangkan kecurigaan tak berubah. Calgary melewati wanita itu, meletakkan topinya di atas sebuah kursi, lalu menaiki tangga tempat Hester menunggunya. Calgary mendapatkan kesan bahwa bagian dalam rumah itu benar-benar memenuhi syarat-syarat kesehatan. Hampir-hampir merupakan sebuah wisma perawatan yang mahal, pikirnya. Hester berjalan mendahuluinya di sepanjang sebuah lorong, lalu menuruni tiga anak tangga. Kemudian dibukanya sebuah pintu lebar-lebar dan diisyaratkannya supaya Calgary masuk. Gadis itu ikut masuk sambil menutup pintu. Ruangan itu adalah sebuah perpustakaan, dan Calgary mendongakkan kepalanya dengan perasaan senang. Suasana dalam ruangan ini berbeda sekali dengan bagianbagian lain rumah itu. Ini ruangan yang didiami seseorang, tempat ia bekerja dan bersantai. Pada dindingnya terdapat buku berderet-deret, kursi-kursinya besarbesar, agak usang, tapi tampak nyaman. Di meja kerja berserakan kertas-kertas, di meja tamu terletak buku-buku, memberikan kesan menyenangkan. Sekilas tampak olehnya seorang wanita muda yang meninggalkan ruangan itu lewat sebuah pintu di ujung. Wanita muda itu cukup menarik. Lalu perhatiannya tertuju pada pria yang bangkit dan datang menyambutnya, sambil memegang surat yang terbuka. Kesan pertama yang didapatkan Calgary mengenai Leo Argyle adalah bahwa ia halus Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sekali, begitu transparan, hingga seolah-olah ia sama sekali tidak berada di tempat itu. Sosoknya seolah-olah maya! Waktu ia berbicara, suaranya menyenangkan, meskipun tidak mengandung kekuatan. "Dr. Calgary?" katanya. "Silakan duduk." Calgary duduk. Ia menerima tawaran sebatang rokok. Tuan rumahnya duduk di seberangnya. Semua itu terjadi tanpa terburu-buru, seolah-olah mereka sedang berada di dunia tempat waktu kecil sekali artinya. Tampak seulas senyum halus samar-samar di wajah Leo Argyle, waktu ia berbicara sambil mengetuk-ngetuk surat itu dengan jarinya yang seperti tak berdarah. "Mr. Marshall menulis bahwa ada suatu pernyataan penting yang akan Anda sampaikan pada kami. Tapi dia tidak memerinci pernyataan apa itu." Senyumnya melebar waktu ia menambahkan, "Para penasihat hukum memang selalu berhati-hati dan tak mau melibatkan diri, bukan?" Calgary merasa agak terkejut bahwa pria yang dihadapinya ini seorang pria yang berbahagia. Bukan berbahagia yang ceria dan meledak-ledak, sebagaimana biasanya kebahagiaan yang wajar, melainkan kebahagiaan yang membayang, yang mencerminkan kepuasan dirinya. Ia pria yang tidak terlalu terpengaruh dunia luar, dan yang merasa puas dengan keadaan demikian. Calgary tak mengerti mengapa ia merasa terkejut melihat keadaan itu, tapi begitulah kenyataannya. "Anda telah berbaik hati mau menemui saya," kata Calgary. Kata-kata itu hanya sekadar pendahuluan biasa. "Saya pikir, sebaiknya saya datang sendiri, daripada menulis surat." Ia diam sebentar, lalu karena terdorong rasa nekat, ia berkata lagi, "Persoalan ini sulit - sulit sekali...." "Tenang sajalah." Leo Argyle bersikap sopan, namun tetap menjaga jarak. Ia duduk agak membungkuk. Dengan caranya yang halus, agaknya ia mencoba membantu. "Karena Anda membawa surat ini dari Mr. Marshall, saya berkesimpulan bahwa kunjungan Anda ini ada hubungannya dengan putra saya Jacko yang malang - maksud saya Jack - Jacko adalah nama panggilan kami untuknya." Semua kata dan ungkapan yang sudah disiapkan Calgary dengan cermat, hilang sama sekali. Ia terduduk saja, dihadapkan pada kenyataan mengerikan tentang apa yang harus dikatakannya. Dengan gugup ia berkata lagi, "Benar-benar sulit sekali...." Keadaan sepi sesaat, lalu Leo berkata dengan berhati-hati, "Barangkali saya bisa membantu jika saya katakan kami tahu bahwa Jacko itu... boleh dikatakan tidak normal. Jadi, apa pun yang akan Anda katakan pada kami, tidak akan mengejutkan kami. Betapapun mengerikannya tragedi itu, saya selalu yakin bahwa Jacko sebenarnya tidak bertanggung jawab atas perbuatannya." "Memang tidak," kata Hester. Calgary terkejut mendengar suaranya. Ia sempat melupakan gadis itu sesaat. Gadis itu duduk di lengan sebuah kursi, di belakang bahu Calgary. Waktu Calgary menoleh, Hester membungkukkan tubuh ke arahnya. "Jacko memang selalu mengerikan," katanya dengan yakin. "Dia selalu begitu sejak kanak-kanak - maksud saya bila dia sedang marah. Ditangkapnya apa saja yang bisa ditemukannya, lalu... lalu dikejarnya kita." "Hester, Hester, anakku sayang." Suara Argyle terdengar sedih. Gadis itu terkejut, lalu menutup mulutnya dengan tangan. Wajahnya memerah, lalu tiba-tiba ia berbicara dengan kaku, sebagaimana kebiasaan remaja. "Maaf," katanya. "Saya tak bermaksud apa-apa. Maksud saya, saya... saya... tak sepantasnya saya berkata begitu, karena dia kini... maksud saya, karena sekarang semuanya sudah berlalu, dan... dan..." "Sudah berlalu dan sudah selesai," kata Argyle. "Semua itu sudah merupakan masa lalu. Saya selalu mencoba - kami semua mencoba - merasa bahwa anak itu harus dianggap sebagai seorang anak cacat. Salah satu cacat alam. Saya rasa begitulah cara menyatakannya yang terbaik." Ia menoleh pada Calgary. "Anda sependapat, bukan?" "Tidak," kata Calgary. Keadaan hening sejenak. Pernyataan negatif itu telah mengejutkan kedua pendengarnya. Pernyataan itu telah keluar begitu saja dengan kekuatan yang seolah-olah meledak. Dalam usahanya untuk melunakkan akibat dari perkataannya itu, Calgary berkata dengan kaku, "Saya... maaf. Soalnya Anda belum mengerti." "Oh!" Argyle seperti berpikir. Lalu ia menoleh pada putrinya. "Hester, kurasa sebaiknya kautinggalkan kami berdua." "Saya tidak akan pergi! Saya harus ikut mendengar, harus tahu apa persoalannya." "Mungkin tak enak didengar." Dengan tak sabar Hester berseru, "Apa lagi pengaruhnya, kalaupun ada lagi hal-hal lain yang mengerikan yang juga telah dilakukan Jacko" Semuanya sudah berlalu." Calgary berbicara cepat-cepat, "Percayalah, ini bukan soal apa yang telah dilakukan saudara Anda itu, bahkan sebaliknya." "Saya tak mengerti." Pintu di ujung kamar terbuka, dan wanita muda yang tadi dilihat Calgary sepintas, masuk kembali ke kamar. Kini ia mengenakan pakaian untuk bepergian, dan membawa sebuah tas kantor kecil. Ia berbicara pada Argyle. "Saya akan pergi. Masih ada lagikah..." Argyle tampak bimbang sebentar (ia selalu bimbang, pikir Calgary), lalu dipegangnya lengan wanita muda itu dan ditariknya ke arahnya. "Duduklah, Gwenda," katanya. "Ini... eh... Dr. Calgary. Ini Miss Vaughan. Dia... dia..." Lagi-lagi ia berhenti, seperti ragu-ragu. "Dia sudah bertahun-tahun menjadi sekretaris saya." Ditambahkannya lagi, "Dr. Calgary datang untuk mengatakan sesuatu, atau... mungkin menanyakan sesuatu pada kita mengenai Jacko." "Untuk mengatakan sesuatu pada Anda," sela Calgary. "Dan Anda tentu tidak menyadari bahwa Anda makin lama makin mempersulit saya saja." Mereka semua memandanginya dengan terkejut, tapi di mata Gwenda Vaughan dilihatnya suatu kilatan yang membayangkan pengertian. Agaknya untuk sesaat mereka berdua bersekutu, seolah-olah ia berkata, "Ya, aku tahu bahwa kadangkadang keluarga Argyle ini menyulitkan sekali." Ia memang seorang wanita muda yang menarik, pikirnya, meskipun tidak begitu muda lagi. Umurnya mungkin 37 atau 38 tahun. Potongan tubuhnya montok dan bagus, rambut dan matanya gelap. Penampilan keseluruhannya membayangkan gairah hidup dan kesehatan yang baik. Ia memberikan kesan bahwa ia memiliki kemampuan dan kecerdasan. Dengan sikap agak kaku Argyle berkata, "Saya sama sekali tak punya niat menyulitkan Anda, Dr. Calgary. Itu jelas bukan niat saya. Jadi, tolong katakan apa persoalan sebenarnya." "Ya, saya tahu. Maafkan kata-kata saya tadi. Tapi keteguhan Anda dan putri Anda yang terus-menerus menekankan bahwa semua persoalan itu sudah berlalu, sudah berakhir, dan selesai. Padahal semua itu belum berlalu. Ada seseorang yang pernah berkata, 'Tak ada satu pun yang pernah selesai, sampai...'" "'Sampai hal itu diselesaikan dengan baik,'" sambung Miss Vaughan menyudahinya. "Itu ucapan Kipling." Wanita itu mengangguk, memberinya dorongan. Calgary merasa berterima kasih padanya. "Nah, sekarang saya akan mengatakan persoalan pokoknya," lanjut Calgary. "Setelah mendengar apa yang akan saya katakan, Anda akan mengerti mengapa saya enggan mengatakannya. Lebih-lebih lagi mengapa saya merasa sedih. Pertama-tama, sebaiknya saya menyebutkan beberapa hal tentang diri saya. Saya seorang ahli geofisika, dan baru-baru ini menjadi anggota suatu ekspedisi Kutub Selatan. Baru beberapa minggu yang lalu saya kembali ke Inggris ini." "Apakah itu Ekspedisi Hayes Bentley?" tanya Gwenda. Calgary berpaling pada gadis itu dengan rasa terima kasih. "Benar. Memang Ekspedisi Hayes Bentley. Hal ini saya ceritakan pada Anda untuk menjelaskan latar belakang saya, juga untuk menjelaskan bahwa hubungan saya dengan peristiwa-peristiwa terakhir di sini terputus selama dua tahun." Gwenda terus membantunya, "Maksud Anda, dengan hal-hal seperti sidang-sidang pembunuhan?" "Benar, Miss Vaughan, memang itulah yang saya maksud." Ia berpaling pada Argyle. "Maafkan saya kalau ini menyakitkan, tapi saya terpaksa menanyai Anda lagi mengenai waktu dan tanggal-tanggal tertentu. Pada tanggal 9 November dalam tahun sebelum tahun lalu, kira-kira jam enam sore, putra Anda, Jack Argyle - yang bagi Anda adalah Jacko - datang kemari dan berbicara dengan ibunya, Mrs. Argyle." "Dengan istri saya, benar." "Dikatakannya pada istri Anda bahwa dia dalam kesulitan dan meminta uang. Hal itu sudah pernah terjadi sebelumnya." "Sering," kata Leo sambil mendesah. "Mrs. Argyle menolak. Anak itu menjadi sewenang-wenang dan mengancam. Akhirnya dia pergi dengan marah-marah. Diteriakkannya bahwa dia akan kembali, dan bahwa ibunya benar-benar harus memberinya uang. Kata anak itu, 'Mama kan tak ingin aku masuk penjara"' dan istri Anda menjawab, 'Aku mulai berpikir bahwa mungkin itulah yang terbaik untukmu.'" Leo Argyle bergerak dengan resah. "Saya dan istri saya sudah membicarakannya. Kami merasa sedih sekali memikirkan anak itu. Telah berulang kali kami menolongnya, mencoba memberinya kesempatan untuk memulai hidup baru. Lalu kami pikir, mungkin vonis untuk masuk penjara yang mengejutkan dan latihan di sana..." Suaranya menghilang. "Tapi silakan Anda lanjutkan." Calgary berkata lagi, "Kemudian malam itu istri Anda terbunuh. Diserang dengan besi pengorek api yang dihantamkan ke kepalanya. Pada besi pengorek api itu terdapat sidik jari putra Anda, dan sejumlah besar uang telah hilang dari laci meja kerja, tempat sebelumnya istri Anda telah menyimpannya. Polisi menangkap putra Anda di Drymouth. Uang itu ada padanya, kebanyakan di antaranya merupakan uang kertas pecahan seharga lima pound. Pada salah satu uang kertas itu terdapat tulisan sebuah nama dan alamat, yang memungkinkan bank mengenali bahwa uang itu telah dibayarkan pada Mrs. Argyle pagi itu. Putra Anda didakwa dan dihadapkan ke pengadilan." Calgary berhenti sebentar. "Keputusan Hakim adalah pembunuhan dengan sengaja." Kata yang menentukan nasib itu sudah keluar. Pembunuhan... sepatah kata yang tak bergema, sepatah kata yang diserap tirai-tirai, buku-buku, dan karpet dalam ruangan itu. Kata itu bisa diredam, tapi perbuatannya tidak. "Mr. Marshall, yang menjadi pembela bagi Terdakwa, menceritakan bahwa putra Anda membantah dengan cara yang ceria dan penuh keyakinan waktu dia ditangkap. Dia menekankan bahwa dia punya alibi yang sempurna untuk saat pembunuhan, yang diperkirakan polisi terjadi antara jam tujuh dan setengah delapan. Kata Jack Argyle, pada saat itu dia sedang dalam perjalanan ke Drymouth dengan menumpang mobil seseorang, yang berhenti untuknya di jalan utama dari Redmyn ke Drymouth, kira-kira satu setengah kilometer dari sini, jam tujuh kurang sedikit. Dia tak tahu merek mobil itu - waktu itu gelap sekali - tapi mobil itu sedan berwarna hitam atau biru tua, dikemudikan seorang pria setengah baya. Orang berusaha keras melacak mobil itu dan pria yang mengemudikannya, tapi kebenaran pernyataan itu tak dapat diperoleh. Dan para ahli hukum yakin benar bahwa itu cerita yang cepat-cepat dikarangnya, sayangnya dia tak pandai mengarangnya. "Dalam sidang, yang paling utama dikemukakan pembelanya adalah kesaksian dari para psikolog yang membuktikan bahwa Jack Argyle memang tidak stabil mentalnya. Hakim memberikan komentar yang agak tajam mengenai kesaksian itu dan menyimpulkan kesalahan Terdakwa. Jack Argyle dijatuhi hukuman seumur hidup. Dia meninggal karena sakit radang paru-paru, enam bulan setelah dia mulai menjalani hukumannya." Calgary berhenti. Tiga pasang mata memandanginya lekat-lekat. Di mata Gwenda terbayang minat dan perhatian penuh, di mata Hester masih terbayang kecurigaan. Sedangkan mata Leo Argyle seperti kosong. Kata Calgary, "Dapatkah Anda membenarkan bahwa kenyataan-kenyataan itu telah saya kemukakan dengan benar?" "Anda memang benar sekali," kata Leo, "meskipun saya belum mengerti, mengapa perlu mengulangi lagi kenyataan-kenyataan menyakitkan yang kita coba melupakannya." "Maafkan saya. Saya terpaksa melakukannya. Saya dengar Anda tidak membantah keputusan Hakim?" "Saya akui bahwa kenyataan-kenyataannya sebagaimana dikemukakan, yaitu bila kita tidak melihat apa yang melatarbelakanginya, secara kasar itu adalah pembunuhan. Tapi bila kita teliti apa yang melatarbelakangi kenyataan-kenyataan itu, banyaklah yang dapat dikatakan untuk mendapatkan keringanan. Anak itu tidak stabil mentalnya, meskipun malangnya hal itu tak dapat dinyatakan secara sah. Rumus-rumus McNaughten itu sempit dan tak memuaskan. Yakinlah, Dr. Calgary, bahwa Rachel sendiri - maksud saya, almarhumah istri saya - akan merupakan orang pertama yang akan mengampuni dan memaafkan perbuatan gegabah anak itu. Istri saya seorang pemikir yang sangat maju dan manusiawi, dan dia memiliki pengetahuan yang sempurna mengenai soal-soal psikologi. Dia tidak akan mendakwa." "Dia tahu betul bahwa Jacko bisa jadi sangat menakutkan," kata Hester. "Dia memang selamanya begitu - agaknya dia tak bisa berbuat lain." "Jadi Anda semua," kata Calgary lambat-lambat, "tak ragu lagi" Maksud saya, tak ragu bahwa dia bersalah." Hester merenung saja. "Bagaimana kami bisa" Tentu dia bersalah." "Tidak juga benar-benar bersalah," bantah Leo. "Saya tak suka mendengar perkataan itu." "Itu memang bukan perkataan yang benar." Calgary menarik napas panjang. "Jack Argyle memang tak bersalah!" BAB II SEHARUSNYA itu merupakan suatu pemberitahuan yang menimbulkan sensasi. Tapi ternyata tidak menimbulkan reaksi apa-apa. Calgary berharap akan timbul kekacauan, kesenangan yang bercampur dengan kekurangan pengertian, disusul pertanyaan-pertanyaan.... Nyatanya tak satu pun di antaranya yang terjadi. Yang terasa hanya kewaspadaan dan kecurigaan. Gwenda Vaughan mengerutkan dahinya. Hester menatap Calgary dengan mata terbelalak. Yah, mungkin itu wajar. Pemberitahuan semacam itu pada awalnya memang sulit dicerna. Dengan ragu-ragu Leo Argyle berkata, "Maksud Anda, Dr. Calgary, bahwa Anda sependapat dengan pandangan saya" Anda tak percaya bahwa dia tak bisa bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya?" "Maksud saya, dia tidak melakukannya! Tak bisakah Anda mengerti" Dia tidak melakukannya. Tak mungkin dia bisa melakukannya. Kalau saja tak ada rangkaian peristiwa yang luar biasa dan tak menguntungkan, dia pasti bisa membuktikan bahwa dia tak bersalah. Saya sebenarnya bisa membuktikan bahwa dia tak bersalah." "Anda?" "Sayalah orang di dalam mobil itu." Ia mengatakannya dengan cara demikian sederhana, hingga untuk sesaat mereka tak bisa mencernanya. Sebelum mereka sadar, terjadilah suatu gangguan. Pintu terbuka dan wanita yang berwajah tidak cantik itu masuk. Ia berbicara langsung ke pokok persoalan. "Waktu sedang lewat di luar pintu, saya mendengar pria itu berkata bahwa Jacko tidak membunuh Mrs. Argyle. Mengapa dia berkata begitu" Bagaimana dia tahu?" Wajahnya yang semula galak dan kejam tiba-tiba kelihatan berkerut. "Saya juga harus mendengar," katanya dengan memilukan. "Saya tak bisa tinggal di luar dan tetap tak tahu." "Tentu tidak, Kirsty. Kau salah seorang anggota keluarga." Leo Argyle memperkenalkannya. "Miss Lindstrom, Dr. Calgary. Dr. Calgary sedang mengatakan hal-hal yang rasanya tak masuk akal." Calgary heran mendengar nama Kirsty, karena berbau Skotlandia. Bahasa Inggrisnya bagus sekali, tapi nada bicaranya masih terdengar asing. Dengan nada menuduh, wanita itu berbicara pada Calgary. "Anda seharusnya tidak datang kemari dan mengatakan hal-hal seperti itu. Anda mengacaukan orang-orang saja. Mereka telah pasrah menerima bencana ini. Sekarang Anda mengacaukan mereka dengan apa yang Anda ceritakan itu. Apa yang telah terjadi adalah kehendak Tuhan." Calgary mendengar kelancaran dan ketenangan wanita itu berbicara. Seperti wanita setan saja dia, yang menyambut baik suatu bencana. Yah, dia akan kecewa kali ini. Dengan cepat dan suara datar ia berkata, "Jam tujuh kurang lima menit, saya memberikan tumpangan pada seorang anak muda, di jalan raya antara Redmyn dan Drymouth. Anak muda itu telah memberikan isyarat minta diberi tumpangan. Lalu dia pergi ke Drymouth bersama saya. Kami bercakapcakap. Saya menilainya sebagai seorang anak muda yang menawan dan menyenangkan." "Jacko memang punya daya tarik besar," kata Gwenda. "Semua orang menganggapnya Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo menarik. Sifat cepat panasnyalah yang merugikannya. Dan dia juga tidak jujur," katanya lagi sambil merenung. "Tapi pada mulanya orang tidak menyadari hal itu." Miss Lindstrom berpaling pada Gwenda. "Tak pantas Anda berbicara begitu setelah dia meninggal." Dengan agak kasar Leo Argyle berkata, "Tolong lanjutkan, Dr. Calgary. Mengapa Anda tidak muncul pada waktu itu?" "Ya." Suara Hester terdengar tersendat. "Mengapa Anda menyembunyikan diri dari semuanya" Padahal telah dimuat panggilan-panggilan di surat-surat kabar, juga iklan-iklan. Mengapa Anda begitu egois, begitu jahat..." "Hester - Hester...," ayahnya menahannya. "Dr. Calgary masih akan bercerita lagi." Calgary berbicara langsung pada gadis itu. "Saya mengerti betul bagaimana perasaan Anda. Saya juga tahu bagaimana perasaan saya sendiri, dan apa yang akan selalu saya rasakan...." Ia menguatkan dirinya dan melanjutkan, "Saya lanjutkan cerita saya. Malam itu lalu lintas ramai sekali. Sudah lewat setengah delapan waktu anak muda itu turun di tengah-tengah Drymouth. Saya tak tahu namanya. Saya rasa kejadian itu benar-benar membebaskan dia, karena polisi yakin benar bahwa kejahatan itu dilakukan antara jam tujuh dan setengah delapan." "Ya," kata Hester. "Tapi Anda..." "Bersabarlah. Supaya Anda mengerti, saya harus kembali ke waktu sebelumnya sedikit. Saya bermalam beberapa hari di flat seorang teman di Drymouth. Teman saya itu seorang pelaut; dia sedang berlayar. Dia juga meminjamkan mobilnya pada saya. Mobil itu disimpannya di tempat penyimpanan pribadi. Pada hari itu, tanggal 9 November, saya harus kembali ke London. Saya memutuskan untuk naik kereta api. Petang hari itu saya ingin menemui seorang wanita tua bekas perawat kami. Kami sekeluarga menyayanginya. Dia tinggal di sebuah pondok kecil di Polgarth, kira-kira enam puluh kilometer di sebelah barat Drymouth. Saya pun melaksanakan rencana saya itu. Meskipun sudah sangat tua dan kadang-kadang pikun, dia masih mengenali saya dan dia senang sekali bertemu dengan saya. Dia juga gembira sekali karena dia telah membaca di surat-surat kabar tentang rencana saya untuk pergi ke kutub. Hanya sebentar saya di situ, supaya tidak melelahkannya. Waktu pulang, saya putuskan untuk tidak langsung kembali ke Drymouth lewat jalan pantai seperti waktu saya datang, melainkan pergi ke arah utara ke Redmyn untuk menemui seorang pria tua - Mr. Canon Peasmarsh. Dia memiliki beberapa buku yang sangat langka di perpustakaannya, termasuk sebuah risalah tua mengenai ilmu bahari. Saya ingin sekali menyalin suatu bagian dari buku itu. Pria tua itu tak mau memiliki telepon, yang dianggapnya sebagai sebuah alat setan, demikian pula halnya dengan radio, televisi, organ-organ bioskop, dan pesawat terbang jet. Maka saya harus mengadu untung untuk menemukannya di rumah. Saya tidak beruntung. Rumahnya tertutup dan agaknya dia sedang pergi. Saya mampir sebentar ke katedral, lalu akan berangkat kembali ke Drymouth lewat jalan utama, hingga lengkaplah saya melewati ketiga sisi jalan yang merupakan segi tiga itu. Saya santai saja, dan tidak terburu-buru mengambil tas saya di flat, mengembalikan mobil ke tempat penyimpanannya, dan berangkat ke stasiun kereta api. "Di tengah jalan, seperti sudah saya ceritakan tadi, saya memberi tumpangan pada seseorang yang tidak saya kenal, dan setelah dia turun di kota, saya melanjutkan rencana saya. Setiba di stasiun, saya masih punya waktu. Saya lalu keluar dari stasiun dan pergi ke jalan raya, akan membeli rokok. Sedang saya menyeberangi jalan, sebuah truk keluar dari tikungan dengan kecepatan tinggi, dan menabrak saya. "Menurut cerita orang-orang yang lewat, saya bangun sendiri, dan kelihatannya tidak cedera serta berperilaku wajar-wajar saja. Saya katakan bahwa saya tak apa-apa, dan bahwa saya harus mengejar kereta api. Lalu saya pun bergegas ke stasiun kembali. Waktu kereta api tiba di Paddington, saya jatuh pingsan dan dibawa ke rumah sakit dengan ambulans. Di sana didapati bahwa saya menderita gegar otak. Rupanya akibat yang terlambat munculnya itu tidak aneh. "Waktu saya siuman kembali, beberapa hari kemudian, saya tak ingat apa-apa tentang kecelakaan itu, maupun tentang kedatangan saya ke London. Yang terakhir saya ingat adalah saat saya berangkat akan mengunjungi perawat tua saya di Polgarth itu. Setelah itu semuanya hampa. Orang meyakinkan saya bahwa kejadian seperti itu biasa sekali. Agaknya tak ada alasan untuk menganggap bahwa saatsaat yang hilang dalam hidup saya itu penting. Baik saya sendiri, atau siapa pun juga, sama sekali tak punya bayangan bahwa saya pernah melewati jalan RedmynDrymouth malam itu. "Padahal waktunya sudah sempit sekali saat saya harus meninggalkan Inggris. Saya harus tinggal di rumah sakit dalam keadaan benar-benar terkucil, tanpa suratsurat kabar. Waktu harus berangkat, saya langsung ke lapangan terbang dan terbang ke Australia untuk menggabungkan diri dengan ekspedisi. Mereka ragu apakah saya cukup sehat untuk pergi, tapi itu saya bantah. Saya terlalu sibuk dengan persiapan-persiapan saya dan sudah berdebar-debar, hingga saya tidak menaruh minat pada berita-berita tentang pembunuhan. Apalagi keributan tentang itu sudah mereda setelah terjadinya penangkapan, dan pada saat perkara itu disidangkan dan dilaporkan secara lengkap, saya sudah dalam perjalanan ke Kutub Selatan." Ia berhenti sebentar. Mereka semua mendengarkannya dengan penuh perhatian. "Kira-kira sebulan yang lalu, yaitu setelah saya kembali ke Inggris ini, barulah saya menemukan berita itu. Waktu itu saya membutuhkan koran-koran tua untuk membungkus contoh-contoh penemuan kami. Ibu pemilik flat memberi saya setumpuk koran dari gudangnya. Sedang saya membentangkan selembar di antaranya di meja, saya melihat foto seorang anak muda yang wajahnya rasanya saya kenali. Saya mencoba mengingat di mana saya bertemu dengannya dan siapa dia. Saya tak berhasil, tapi anehnya saya ingat benar bahwa saya pernah bercakap-cakap dengan dia. Saya bahkan ingat bahwa percakapan itu adalah tentang belut. Dia terkesan dan terpukau mendengar kisah tentang kehidupan seekor belut. Tapi kapankah itu" Di mana" Saya membaca keterangan gambarnya. Saya baca bahwa anak muda itu bernama Jack Argyle, dia telah dituduh melakukan pembunuhan, dia mengatakan pada polisi bahwa dia telah diberi tumpangan oleh seorang pria dalam sebuah mobil sedan berwarna hitam. "Lalu, tiba-tiba sekali, bagian hidup saya yang hilang itu muncul kembali. Sayalah yang telah memberi tumpangan pada anak muda itu, telah mengantarnya ke Drymouth, dan berpisah dengannya di sana. Lalu waktu saya kembali ke flat, saat menyeberangi jalan dengan berjalan kaki untuk membeli rokok, saya ingat sekilas mobil truk yang menabrak saya itu - setelah itu hilang semua, sampai di rumah sakit. Saya masih belum ingat tentang kepergian saya ke stasiun dan ke London naik kereta api. Keterangan gambar itu saya baca dan baca lagi. Sidang itu sudah berlalu setahun yang lalu, dan perkara itu sudah hampir dilupakan. 'Anak muda itu membunuh ibunya,' kata ibu pemilik flat yang ingat samar-samar. 'Entah apa yang terjadi kemudian. Saya rasa dia digantung.' Saya baca semua nomor surat kabar yang berhubungan dengan peristiwa itu. Lalu saya pergi mendatangi Marshall & Marshall yang menjadi pembela-pembela Terdakwa. Di sana saya mendengar bahwa sudah terlambat untuk menolong anak malang itu. Dia telah meninggal di dalam penjara, karena radang paru-paru. Tapi, meskipun keadilan tak bisa berbuat apaapa lagi terhadapnya, keadilan masih tetap bisa diberlakukan dalam mengenangnya. Saya pun pergi ke polisi bersama Mr. Marshall. Sekarang perkara itu sudah diserahkan pada Penuntut Umum. Mr. Marshall tak ragu bahwa dia akan membawa perkara itu pada Menteri Dalam Negeri. "Anda pasti akan menerima laporan lengkap darinya. Dia belum melakukan hal itu, karena saya ingin sekali menjadi orang pertama yang membawa berita kebenaran itu pada Anda. Saya merasa itu adalah tanggung jawab yang harus saya laksanakan. Saya yakin, Anda mengerti bahwa saya merasa sangat bersalah. Kalau saja saya lebih berhati-hati waktu menyeberangi jalan..." Ia berhenti lagi. "Saya mengerti bahwa perasaan Anda terhadap saya tidak akan pernah senang, meskipun secara teknis saya tak bersalah. Anda semuanya pasti mempersalahkan saya." Gwenda Vaughan cepat-cepat berkata dengan suara hangat dan ramah, "Kami sama sekali tidak menyalahkan Anda. Itu... hanya kebetulan. Itu suatu tragedi. Rasanya tak masuk akal memang, tapi itu suatu kenyataan." Hester berkata, "Apakah mereka percaya pada Anda?" Calgary melihat padanya dengan terkejut. "Maksud saya polisi. Percayakah mereka pada Anda" Mungkin saja Anda mengarangngarang, bukan?" Mau tak mau Calgary tersenyum. "Saya seorang saksi yang punya nama yang baik sekali," katanya dengan halus. "Saya tak punya urusan khusus dalam perkara ini, dan mereka telah meneliti dasar-dasar cerita saya dengan cermat sekali: keterangan kesehatan saya, dan beberapa keterangan terperinci yang menguatkan dari Drymouth, umpamanya. O, ya, Marshall tentu saja sangat berhati-hati, sebagaimana layaknya para penasihat hukum. Dia tak mau menimbulkan harapan-harapan Anda, sampai dia yakin akan mendapatkan keberhasilan." Leo Argyle menggeser duduknya, dan untuk pertama kali ia berbicara, "Apa maksud Anda sebenarnya dengan keberhasilan?" "Maafkan saya," kata Calgary cepat-cepat. "Perkataan itu sebenarnya tidak tepat. Putra Anda telah dituduh melakukan kejahatan yang sebenarnya tidak dilakukannya. Dia diadili, dijatuhi hukuman, dan meninggal dalam penjara. Keadilan datang terlambat baginya. Tapi suatu keadilan yang dapat ditegakkan, boleh dikatakan pasti akan ditegakkan, dan akan diusahakan untuk menegakkannya. Menteri Dalam Negeri mungkin akan mengusulkan pada Ratu untuk memberikan pengampunan dan pembebasan." Hester tertawa. "Suatu pengampunan dan pembebasan untuk sesuatu yang tak pernah dilakukannya." "Saya tahu. Istilah itu memang tidak tepat. Tapi setahu saya, biasanya, di Dewan Perwakilan Rakyat diajukan pertanyaan. Jawabannya akan menjelaskan bahwa Jack Argyle tidak melakukan kejahatan untuk mana dia telah dijatuhi hukuman, dan surat-surat kabar akan melaporkan kenyataan itu dengan bebas." Ia berhenti. Tak seorang pun berbicara. Pikirnya, berita itu telah merupakan suatu kejutan besar. Namun bagaimanapun juga, itu pasti merupakan berita yang menyenangkan. Ia bangkit. Dengan agak ragu-ragu ia berkata, "Saya rasa tak ada lagi yang dapat saya katakan. Saya rasa Anda semua sudah maklum bahwa sekali lagi saya harus mengulangi rasa prihatin saya, bahwa saya merasa tertekan sekali, dan saya minta maaf pada Anda. Tragedi yang telah mengakhiri hidup anak muda itu telah membayangi hidup saya sendiri. Tapi paling tidak," ia berbicara dengan nada memohon, "pastilah ada artinya bila kita sudah tahu bahwa dia tidak melakukan hal mengerikan itu, bahwa namanya - nama Anda - akan menjadi bersih di mata dunia." Kalaupun ia mengharapkan jawaban, jawaban itu tidak didapatkannya. Leo Argyle duduk saja bersandar di kursinya. Mata Gwenda tertuju ke wajah Leo. Hester duduk sambil menatap ke depan terus, matanya lebar dan membayangkan kesedihan. Miss Lindstrom menggerutu sendiri dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Calgary berdiri di dekat pintu, tanpa bisa berbuat apa-apa, sambil memandangi mereka. Gwenda Vaughan-lah yang kemudian menguasai keadaan. Didatanginya Calgary dan diletakkannya tangannya ke lengan Calgary, sambil berkata dengan suara perlahan, "Sebaiknya Anda pergi sekarang, Dr. Calgary. Berita itu tadi mengejutkan sekali. Mereka butuh waktu untuk menyerapnya." Calgary mengangguk, lalu keluar. Setiba di kepala tangga, Miss Lindstrom menyertainya. "Mari saya antar Anda keluar," katanya. Waktu ia menoleh lagi sebelum pintu tertutup, Calgary melihat Gwenda Vaughan berlutut di dekat kursi Leo Argyle. Hal itu agaknya mengejutkannya. Di kepala tangga, Miss Lindstrom berdiri memandanginya seperti seorang pengawal, dan berkata dengan suara kasar, "Anda tidak akan bisa menghidupkannya kembali. Jadi untuk apa Anda ingatkan lagi hal itu pada mereka" Sampai sekarang mereka sudah pasrah. Sekarang mereka akan menderita. Sebenarnya lebih baik kalau didiamkan saja." Calgary menyahut dengan nada tak senang, "Kenangan tentang dia harus dibersihkan." "Ah, tak usah sentimental! Mereka semua baik-baik saja. Tapi Anda tak tahu apa akibat berita Anda itu. Laki-laki memang tak pernah berpikir." Ia mengentakkan kakinya. "Saya mencintai mereka semua. Saya datang kemari pada tahun 1940, untuk membantu Mrs. Argyle, waktu dia membuka panti asuhan anak-anak dalam perang, untuk anak-anak yang rumahnya sudah dibom. Dia melakukan segala-galanya untuk anak-anak itu. Itu terjadi hampir delapan belas tahun yang lalu. Dan setelah dia meninggal pun saya masih tetap tinggal di sini untuk mengurus mereka, menjaga kebersihan dan kenyamanan rumah, menjaga agar mereka mendapatkan makanan yang baik. Saya mencintai mereka semua - ya, saya mencintai mereka. Sedangkan Jacko... dia itu tidak beres! Oh, saya menyayanginya juga. Tapi - dia tidak beres!" Ia berbalik dengan mendadak. Agaknya ia lupa akan tawarannya untuk mengantar Calgary keluar. Calgary menuruni tangga perlahan-lahan. Saat ia sedang bersusah payah berusaha membuka pintu depan yang ada kunci pengamannya yang ia tak tahu cara membukanya, didengarnya langkah-langkah kaki ringan di tangga. Hester sedang berlari menuruninya. Dibukanya kunci itu, lalu dibukanya daun pintu. Mereka berdiri berpandangan. Calgary makin tak mengerti mengapa Hester memandanginya dengan tatapan sedih yang menyalahkan itu. Seolah-olah hanya dengan mendesahkan kata-kata itu saja ia berkata, "Mengapa Anda datang" Aduh, mengapa Anda datang?" Calgary memandangi gadis itu tanpa bisa berbuat apa-apa. "Saya tak mengerti Anda ini. Apakah Anda tak ingin nama saudara Anda dibersihkan" Apakah Anda tak ingin dia mendapatkan keadilan?" "Ah, keadilan!" sergah gadis itu. "Saya tak mengerti," ulang Calgary. "Anda begitu meributkan soal keadilan! Apalah artinya itu bagi Jacko sekarang" Dia sudah meninggal. Sekarang bukan soal Jacko lagi. Sekarang soal kami!" "Apa maksud Anda?" "Yang penting bukan orang yang bersalah. Yang tidak bersalahlah yang penting." Gadis itu mencengkam lengan Calgary sambil membenamkan kukunya. "Kami inilah yang penting. Tidakkah Anda mengerti apa yang telah Anda perbuat terhadap kami semua?" Calgary menatap gadis itu. Dari kegelapan di luar, muncul sosok tubuh seorang pria. "Dr. Calgary?" tanyanya. "Taksi Anda sudah datang. Akan mengantar Anda ke Drymouth." "Oh - eh - terima kasih." Sekali lagi Calgary berpaling pada Hester, tapi ia telah masuk ke rumah. Pintu depan pun terbanting. BAB III HESTER menaiki tangga perlahan-lahan, sambil melicinkan rambut hitamnya dari dahinya yang lebar. Kirsten Lindstrom menemuinya di kepala tangga. "Sudah pergikah dia?" "Sudah." "Kau terkejut sekali, Hester." Kirsten Lindstrom meletakkan tangannya dengan lembut ke pundak Hester. "Mari ikut aku. Akan kuberi kau brendi sedikit. Semua ini terlalu berat untukmu." "Kurasa aku tak ingin brendi, Kristy." "Mungkin kau tak ingin, tapi itu baik bagimu." Tanpa perlawanan gadis muda itu membiarkan dirinya dituntun di sepanjang lorong rumah, lalu masuk ke kamar duduk pribadi Kirsten Lindstrom yang kecil. Diterimanya brendi yang disodorkan padanya dan dihirupnya perlahan-lahan. Dengan nada jengkel Kirsten Lindstrom berkata, "Semuanya ini mendadak sekali. Seharusnya ada pemberitahuan sebelumnya. Mengapa Mr. Marshall tidak menulis surat dulu?" "Kurasa Dr. Calgary yang melarangnya. Dia ingin datang dan menceritakannya sendiri pada kita." "Huh, datang dan menceritakannya sendiri! Dikiranya apa pengaruh berita itu bagi kita?" "Kurasa," kata Hester dengan suara aneh dan datar, "pikirnya kita akan senang." "Senang atau tak senang, yang jelas itu mengejutkan. Seharusnya itu tidak dilakukannya." "Tapi bagaimanapun juga, dia berani," kata Hester. Wajahnya bersemu merah dadu. "Maksudku, pasti tak mudah baginya untuk melakukan hal itu. Datang dan memberitahukan pada suatu keluarga bahwa seorang anggotanya yang telah dituduh melakukan pembunuhan dan meninggal dalam penjara, sebenarnya tak bersalah. Ya, kurasa dia berani. Tapi alangkah baiknya kalau dia sama sekali tidak datang," sambungnya. "Ya, kita semua mengharapkan begitu," kata Miss Lindstrom dengan keras. Hester memandangnya dengan minat yang tiba-tiba muncul dari renungannya. "Jadi kau juga merasa begitu, Kirsty" Kusangka hanya aku sendiri." Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Aku tidak bodoh," kata Miss Lindstrom dengan tajam. "Aku bisa membayangkan kemungkinan-kemungkinan tertentu yang agaknya tak terpikirkan oleh Dr. Calgarymu itu." Hester bangkit. "Aku harus mendatangi Ayah," katanya. Kirsten Lindstrom menunjang niat itu. "Ya, dia perlu waktu untuk memikirkan apa yang harus dilakukan." Waktu Hester masuk ke perpustakaan, Gwenda Vaughan sedang menelepon. Ayahnya melambai menyuruhnya masuk. Hester masuk, lalu duduk di lengan kursi ayahnya. "Kami sedang mencoba menghubungi Mary dan Micky," kata ayahnya. "Mereka harus diberitahu hal ini dengan segera." "Halo," kata Gwenda Vaughan. "Apakah itu Mrs. Durrant" Mary" Di sini Gwenda Vaughan. Ayahmu ingin berbicara denganmu." Leo mendekat, lalu mengambil alih gagang telepon. "Mary" Bagaimana kau" Bagaimana Philip" Bagus. Ada kejadian aneh. Kupikir kau harus segera diberitahu. Ada seseorang bernama Dr. Calgary baru saja mendatangi kami. Dia membawa surat dari Andrew Marshall. Dia datang sehubungan dengan Jacko. Agaknya... soalnya aneh sekali. Rupanya kisah yang diceritakan Jacko pada sidang pengadilan, bahwa dia telah ditumpangi mobil oleh seseorang dan pergi ke Drymouth itu, memang benar sekali. Dr. Calgary itulah orang yang memberinya tumpangan." Kata-katanya terputus karena mendengarkan kata-kata putrinya di ujung yang lain. "Ya, yah, Mary, aku sekarang tak mau menceritakan dengan terperinci mengapa pria itu tidak muncul pada saat itu. Pokoknya, dia mendapat kecelakaan - gegar otak. Agaknya semuanya terbukti kebenarannya. Aku menelepon ini untuk mengatakan, kupikir sebaiknya kita semua mengadakan pertemuan keluarga di sini, secepat mungkin. Barangkali kita bisa meminta Marshall untuk datang dan membahas soal itu dengan kita. Kupikir kita sepantasnya mendapatkan petunjuk resmi yang terbaik. Bisakah kau dan Philip..." Ya, aku tahu. Tapi, Nak, kurasa penting sekali mencoba menghubungi Micky." Lalu diletakkannya kembali gagang telepon. Gwenda Vaughan pergi ke tempat pesawat telepon itu. "Kucoba menghubungi Micky sekarang?" Hester berkata, "Kalau masih agak lama, bisakah aku menelepon dulu, Gwenda" Aku ingin bicara dengan Donald." "Tentu boleh," kata Leo. "Kau akan pergi dengan dia nanti malam, ya?" "Itu rencana semula," kata Hester. Ayahnya memandangnya dengan tajam. "Apakah peristiwa tadi itu telah mengacaukanmu, Sayang?" "Entahlah," kata Hester. "Saya sendiri kurang tahu apa yang saya rasakan." Gwenda menyerahkan gagang telepon padanya, lalu Hester memutar sebuah nomor. "Bisa saya berbicara dengan Dr. Craig" Ya. Ya. Di sini Hester Argyle." Ia harus menunggu beberapa saat, lalu ia berbicara, "Kaukah itu, Donald" Aku ingin mengatakan bahwa kurasa aku tak bisa ikut menghadiri ceramah nanti malam. Tidak, aku tidak sakit - bukan begitu, hanya... yah, karena kami - kami baru saja mendengar berita yang agak aneh." Dr. Craig berbicara lagi. Hester memalingkan kepala ke arah ayahnya. Ia menutupi corong pembicara dengan tangannya, dan berkata pada ayahnya, "Hal itu tadi bukan rahasia, kan?" "Bukan," kata Leo lambat-lambat. "Bukan, memang bukan rahasia, tapi... yah, barangkali sebaiknya minta supaya Donald merahasiakannya untuk sementara. Kita tahu betapa cepatnya desas-desus beredar dan dibesar-besarkan orang." "Ya, saya tahu." Ia berbicara lagi di corong, "Sebenarnya boleh dikatakan berita baik, Donald, tapi berita itu agak mengacaukan. Aku lebih suka tidak membicarakannya lewat telepon. Tidak, jangan datang kemari. Jangan. Jangan malam ini. Besok atau kapan saja. Soalnya mengenai... Jacko. Ya, ya, kakakku. Berita itu mengatakan bahwa bukan dia yang membunuh ibuku. Tapi tolong jangan katakan apa-apa, Donald, atau berbicara dengan siapa pun juga. Akan kuceritakan besok. Tidak, Donald, jangan. Aku tak bisa bertemu dengan siapa-siapa malam ini, bahkan dengan kau pun tidak. Tolonglah. Dan jangan katakan apa-apa." Diletakkannya kembali gagang telepon, lalu diisyaratkannya pada Gwenda untuk mengambil alih. Gwenda minta dihubungkan ke sebuah nomor di Drymouth. Dengan halus Leo bertanya, "Mengapa kau tidak jadi pergi menghadiri ceramah itu bersama Donald, Hester" Itu bisa mengalihkan pikiranmu." "Saya tak ingin. Ayah. Saya tak bisa." Kata Leo, "Bicaramu tadi, kau memberinya kesan bahwa itu bukan berita yang baik. Padahal kita semua senang mendengar berita itu - senang sekali. Harus bagaimana lagi kita ini?" "Itulah yang akan kita katakan sebenarnya, bukan?" kata Hester. Leo berkata dengan nada memberi peringatan, "Anakku sayang..." "Tapi itu tidak benar, bukan?" kata Hester. "Itu bukan berita yang baik, malah sangat mengacaukan." "Micky sudah berbicara," kata Gwenda. Leo mendekat lagi dan menerima gagang telepon dari Gwenda. Ia berbicara pada putranya, sama benar seperti ia berbicara pada putrinya tadi. Tapi beritanya diterima dengan cara yang agak berbeda dari cara penerimaan Mary Durrant. Kali ini tak ada bantahan, keterkejutan, atau tak percaya. Yang ada hanya sambutan yang cepat. "Apa-apaan ini!" kata suara Micky. "Setelah sekian lama" Saksi yang hilang! Wah, wah, sial benar Jacko malam itu." Leo berbicara lagi. Micky mendengarkan. "Ya," kata Micky. "Saya setuju. Sebaiknya kita berkumpul secepat mungkin, dan minta juga Marshall memberikan petunjuk pada kita." Ia tertawa singkat. Leo ingat benar tawa itu sejak ia masih kecil, waktu ia bermain-main di bawah jendela. "Bagaimana peluangnya?" kata Micky lagi. "Lalu siapa di antara kita yang melakukannya?" Leo menjatuhkan gagang telepon, dan langsung meninggalkan pesawat telepon itu. "Apa katanya?" tanya Gwenda. Leo menceritakannya. "Kurasa itu suatu lelucon yang tak pantas," kata Gwenda. Leo memandang sekilas padanya. "Mungkin itu bahkan sama sekali bukan suatu lelucon," katanya dengan halus. II Mary Durrant menyeberangi kamar sambil memungut beberapa helaian bunga krisan yang gugur dari jambangan. Helaian-helaian bunga itu dibuangnya dengan hati-hati ke dalam keranjang sampah. Ia seorang wanita muda yang jangkung dan selalu tampak tenang. Umurnya 27 tahun, tapi ia kelihatan lebih tua, meskipun di wajahnya tidak terdapat kerut-merut. Mungkin karena rias wajahnya memberikan garis-garis kedewasaan yang tenang. Ia berwajah cantik tanpa memberikan kesan mencolok. Garis-garis wajahnya serasi, kulitnya bagus, matanya biru cerah, dan rambutnya yang pirang tersisir licin ke belakang, lalu digulung menjadi sebuah konde besar di tengkuknya. Agaknya gaya itu sedang mode, tapi bukan dengan alasan itu ia menata rambutnya begitu. Ia seorang wanita yang selalu berpegang pada gayanya sendiri. Penampilannya sama dengan rumahnya, selalu rapi dan terpelihara. Sedikit saja ada debu atau keadaan tak teratur membuatnya susah. Pria yang duduk di kursi orang cacat itu memperhatikannya waktu ia dengan hatihati membuang helaian-helaian bunga yang gugur. Ia tersenyum pahit. "Kau memang makhluk yang selalu rapi," katanya. "Segala-galanya harus pada tempatnya." Ia tertawa dengan nada kurang sedap. Tapi Mary Durrant sama sekali tak peduli. "Aku memang suka semuanya rapi," katanya membenarkan. "Tahukah kau, Phil, kau sendiri pun tidak akan senang bila rumah ini kacau balau." Dengan nada agak getir suaminya berkata, "Yah, bagaimanapun juga, aku sendiri tak mungkin punya peluang untuk membuatnya kacau balau." Tak lama setelah mereka menikah, Philip Durrant telah menjadi korban penyakit polio yang melumpuhkan. Bagi Mary, yang memujanya, ia lalu menjadi anak sekaligus suaminya. Pria itu sendiri kadang-kadang merasa tak enak oleh cintanya yang posesif itu. Istrinya tidak memiliki bayangan untuk memahami bahwa kesenangannya akan ketergantungan suaminya terhadap dirinya kadang-kadang menjengkelkan suaminya. Kini ia berbicara terus dengan agak cepat, seolah-olah takut akan mendengar kata-kata bujukan atau simpati dari istrinya. "Kupikir berita dari ayahmu itu perlu dipikirkan! Sudah sekian lama! Bagaimana kau bisa begitu tenang menghadapinya?" "Kurasa aku kurang bisa meresapinya. Berita itu luar biasa sekali. Mula-mula aku bahkan tak bisa percaya apa yang dikatakan Ayah. Kalau saja yang menyampaikan itu Hester, bisa-bisa aku mengira itu hanya angan-angannya saja. Kau kan tahu bagaimana Hester itu." Kegetiran di wajah Philip Durrant jadi berkurang sedikit. Dengan suara halus ia berkata, "Dia itu seorang makhluk yang penuh semangat dan gairah. Dijalaninya hidup ini untuk mencari kesulitan dan bertekad untuk menemukannya." Mary menepiskan analisis itu. Ia tak berminat terhadap watak-watak orang lain. Ragu-ragu ia berkata, "Mungkinkah itu benar" Apakah menurutmu tak mungkin orang itu berkhayal saja?" "Ilmuwan yang linglung, maksudmu" Memang senang kalau bisa menganggapnya begitu," kata Philip, "tapi agaknya Andrew Marshall telah menangani persoalan itu dengan serius. Dan perlu kauketahui, Mary, Marshall & Marshall itu suatu badan resmi yang terpercaya." Sambil mengerutkan dahinya, Mary Durrant berkata, "Apa artinya sebenarnya, Phil?" "Itu berarti Jacko akan dibebaskan sama sekali dari semua tuduhan," kata Philip. "Artinya, bila yang berwajib merasa yakin, dan kudengar tak ada persoalan lain lagi." "Yah," kata Mary dengan mendesah halus, "kurasa semua itu bagus sekali." Philip Durrant tertawa lagi, tetap dengan cara yang tak enak dan agak getir. "Polly!" katanya, "kau akan mempercepat kematianku." Hanya suaminya yang menyebut Mary Durrant dengan nama Polly. Nama itu sama sekali tak sesuai dengan penampilannya. Ia melihat pada Philip dengan agak terkejut. "Rasanya aku tidak mengatakan sesuatu yang membuatmu begitu geli." "Tenang sekali kau menghadapi persoalan itu!" kata Philip. "Seperti seorang wanita terkemuka yang memuji hasil pekerjaan tangan Yayasan Desa pada suatu pameran." Dengan heran Mary berkata, "Tapi berita itu memang menyenangkan! Kita tak bisa berpura-pura merasa senang kalau dalam keluarga kita ada seorang pembunuh." "Tidak tepat kalau dikatakan dalam keluarga kita." "Yah, sama sajalah. Maksudku, semua itu menyusahkan sekali, dan menjadikan kita merasa serba salah. Semua orang begitu bersemangat dan ingin tahu. Aku benci semuanya itu." "Tapi kau telah menghadapinya dengan baik sekali," kata Philip. "Kau telah melemahkan semangat mereka dengan pandangan matamu yang biru dan sedingin es itu. Mereka jadi bungkam, dan kelihatan malu sendiri. Hebat sekali kau mengatasinya tanpa memperlihatkan perasaanmu." "Aku benci semuanya itu. Semuanya sangat tidak menyenangkan," kata Mary Durrant, "tapi bagaimanapun juga, dia sudah meninggal, dan berlalulah hal itu. Lalu sekarang... sekarang kurasa semuanya akan digali lagi. Membosankan sekali." "Ya," kata Philip merenung. Ia menggeser pundaknya sedikit, dan tampak sekilas bayangan rasa sakit di wajahnya. Istrinya cepat-cepat mendatanginya. "Kramkah kau" Tunggu. Biar kupindahkan bantal ini. Nah, lebih enak?" "Seharusnya kau menjadi seorang juru rawat rumah sakit," kata Philip. "Aku sama sekali tak punya keinginan untuk merawat orang banyak. Hanya kau." Kata-kata itu diucapkan dengan sederhana sekali. Tapi di balik kata-kata yang polos itu terdapat perasaan yang dalam. Telepon berdering dan Mary pergi ke tempat pesawat itu. "Halo... ya, saya sendiri. Oh, kau... "Micky," katanya sambil menoleh pada Philip. "Ya... ya, kami sudah mendengar. Ayah sendiri yang menelepon. Yah, tentu. Ya... Ya. Kata Philip, bila para penasihat hukum merasa puas, tentu itu baik. Ah, Micky, aku tak mengerti mengapa kau harus ribut-ribut begitu. Aku tidak merasa dungu. Ah, Micky, kurasa kau benar-benar... halo" Halo...?" Ia mengerutkan dahinya dengan marah. "Dia sudah memutuskan hubungan." Diletakkannya gagang telepon. "Ah, Philip, aku tak mengerti si Micky itu." "Apa katanya sebenarnya?" "Yah, kedengarannya dia kacau. Aku dikatakannya dungu, bahwa aku tak mengerti akibat-akibatnya. Persetan, katanya. Aku tak mengerti mengapa dia begitu." "Marah-marah dia, ya?" kata Philip sambil merenung. "Ya. Tapi mengapa?" "Yah, dia benar. Pasti akan ada reaksi-reaksi." Mary kelihatan agak kebingungan. "Maksudmu perhatian orang terhadap perkara itu akan timbul kembali" Aku tentu senang kalau nama Jacko sudah bersih kembali, tapi akan tidak menyenangkan bila orang-orang mulai membicarakannya lagi." "Bukan hanya apa yang akan dikatakan para tetangga. Lebih dari itu." Mary melihat padanya dengan pandangan bertanya. "Polisi tentu akan menaruh perhatian juga." "Polisi?" tanya Mary dengan tajam. "Apa hubungannya dengan mereka?" "Kekasihku," kata Philip. "Berpikirlah." Perlahan-lahan Mary mendatanginya, lalu duduk di sampingnya. "Sekarang itu merupakan kejahatan yang belum diselesaikan lagi, mengertikah kau?" kata Philip. "Tapi pasti mereka tak mau bersusah payah lagi sesudah sekian lama, kan?" "Itu pikiran picik," kata Philip, "yang kurasa pada dasarnya tak sehat." "Ah," kata Mary. "Setelah mereka begitu bodoh membuat kesalahan terhadap Jacko, masa mereka mau mengorek semuanya kembali?" "Mungkin mereka tak ingin, tapi mungkin mereka harus! Kewajiban tetap kewajiban." "Oh, Philip, aku yakin kau keliru. Paling-paling akan ada sedikit komentar, lalu semuanya reda sendiri." "Lalu setelah itu hidup kita akan berjalan terus dengan penuh kebahagiaan," kata Philip mengejek. "Mengapa tidak?" Philip menggeleng. "Tidak semudah itu. Ayahmu benar. Kita semua harus berkumpul dan berunding. Minta Marshall datang, seperti kata Ayah." "Maksudmu, kita pergi ke Sunny Point?" "Ya." "Ah, kita tak bisa berbuat begitu." "Mengapa tidak?" "Karena kita tak bisa melakukannya. Kau cacat dan..." "Aku tidak cacat," Philip berbicara dengan jengkel. "Aku cukup kuat dan sehat. Hanya kebetulan saja aku kehilangan kemampuan menggunakan kakiku. Aku bisa saja pergi ke Timbuktu, asal ada alat pengangkut yang tepat." "Aku yakin, akan buruk sekali akibatnya bagimu kalau kita pergi ke Sunny Point. Dengan adanya usaha untuk mengorek kembali semuanya itu..." "Bukan otakku yang cedera." "Lagi pula, bagaimana kita bisa meninggalkan rumah" Akhir-akhir ini banyak sekali pencurian." "Suruh seseorang tidur di sini." "Gampang sekali berkata begitu, seolah-olah mudah melakukannya." "Ibu tua Mrs.... siapa namanya itu, bisa datang setiap hari. Sudahlah, hentikanlah keberatan-keberatan sifat ibu rumah tanggamu itu, Polly. Sebenarnya kau sendirilah yang tak ingin pergi." "Memang aku tak mau." "Kita tidak akan lama di sana," kata Philip meyakinkan. "Tapi kurasa kita harus pergi. Inilah saatnya keluarga kita harus memperlihatkan persatuan kita pada dunia. Kita harus mencari tahu, bagaimana kedudukan kita sebenarnya." III Di hotel di Drymouth, Calgary makan malam lebih awal, lalu naik ke kamarnya. Ia merasa sangat terpengaruh oleh apa yang telah dialaminya di Sunny Point. Ia sudah menduga bahwa misinya akan menyakitkan, dan ia telah mengumpulkan seluruh tekadnya untuk melaksanakannya. Tapi ternyata semuanya itu menyakitkan dan kacau, dengan cara yang lain sekali dari yang diharapkannya. Diempaskannya dirinya di tempat tidur, lalu dinyalakannya sebatang rokok, sambil memikirkan peristiwa itu dalam otaknya. Gambaran yang paling jelas terbayang olehnya adalah wajah Hester pada saat perpisahan itu. Bagaimana gadis itu menolak dengan melecehkan pendapatnya Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mengenai keadilan! Apa katanya, ya" "Bukan orang yang bersalah yang penting, yang tak bersalahlah yang penting." Lalu katanya juga, "Tidakkah Anda lihat apa yang telah Anda perbuat terhadap kami?" Padahal, apa yang telah dilakukannya" Ia tak mengerti. Lalu penghuni-penghuni yang lain. Wanita yang mereka sebut Kirsty itu (Mengapa Kirsty" Itu nama orang Skot. Dia bukan orang Skot - orang Denmark mungkin, atau orang Norwegia") Mengapa dia berbicara dengan begitu ketus, dengan nada begitu menyalahkan" Ada pula sesuatu yang aneh pada Leo Argyle - sikapnya yang menjaga jarak dan penuh kewaspadaan itu. Tak ada pernyataan "Syukurlah anak saya tak bersalah!" yang jelas akan merupakan reaksi yang wajar! Lalu gadis itu - gadis sekretaris Leo itu. Dialah yang bersikap membantunya, dan ramah lagi. Tapi ia juga telah bereaksi dengan cara yang aneh. Ia ingat bagaimana gadis itu berlutut di dekat kursi Leo. Seolah-olah ia memberikan simpatinya, menghibur pria itu. Menghiburnya terhadap apa" Bahwa putranya tak bersalah dalam pembunuhan itu" Dan jelas kelihatan - ya, pasti - padanya ada lebih dari perasaan seorang sekretaris - bahkan seorang sekretaris yang sudah lama sekalipun tidak begitu. Ada apa semuanya" Mengapa mereka..." Telepon di meja di dekat tempat tidurnya berdering. Ia mengangkat gagangnya. "Halo." "Dr. Calgary" Ada seseorang yang ingin bertemu dengan Anda." "Mencari saya?" Ia heran. Seingatnya tak ada orang yang tahu bahwa ia bermalam di Drymouth. "Siapa?" Keadaan sepi sebentar, lalu petugas itu berkata, "Mr. Argyle." "Oh, katakan padanya..." Calgary berhenti mendadak. Ia tak jadi mengatakan bahwa ia akan turun. Bila dengan alasannya sendiri Leo Argyle telah mengikutinya ke Drymouth, dan berhasil menemukan tempatnya bermalam, persoalan yang akan mereka bahas pastilah tidak akan enak dibicarakan dalam ruangan ramai di lantai bawah. Ia lalu berkata, "Tolong persilakan dia naik ke kamar saya, ya." Ia bangkit dari tempatnya berbaring, lalu berjalan hilir-mudik, sampai terdengar ketukan di pintu. Ia menyeberangi kamar, lalu membuka pintu. "Silakan masuk, Mr. Argyle. Saya..." Bicaranya terhenti, ia terkejut sekali. Orang itu bukan Leo Argyle. Ia seorang pria muda yang baru berumur dua puluhan. Seorang pria muda berwajah tampan dan menantang. Ketampanan itu hanya dirusak oleh air muka getir. Seraut wajah yang tak senang, marah, dan nekat. "Bukan saya yang diharapkan, bukan?" kata anak muda itu. "Yang diharapkan ayah saya, bukan" Saya Michael Argyle." "Mari masuk." Calgary menutup pintu setelah tamunya masuk. "Bagaimana Anda bisa menemukan saya di sini?" tanyanya sambil menawarkan rokok pada anak muda itu. Michael Argyle mengambil sebatang, lalu tertawa singkat, yang tak enak didengar. "Itu mudah saja! Saya telepon hotel-hotel terkemuka, mencari tahu kalau-kalau Anda menginap di situ. Pada percobaan kedua sudah berhasil." "Lalu untuk apa Anda menemui saya?" Lambat-lambat Michael Argyle berkata, "Saya ingin melihat, pria macam apa Anda." Matanya menelusuri diri Calgary dengan pandangan menilai. Dilihatnya pundaknya yang agak membungkuk, rambutnya yang sudah mulai beruban, wajahnya yang tirus dan sensitif. "Rupanya Anda salah seorang anggota ekspedisi Hayes Bentley yang telah pergi ke Kutub itu, ya" Anda kelihatan tidak cukup kuat." Arthur Calgary tersenyum kecil. "Penampilan seseorang kadang-kadang menipu," katanya. "Saya cukup kuat. Lagi pula bukan hanya kekuatan otot yang dibutuhkan. Ada kemampuan-kemampuan lain yang penting, seperti daya tahan, kesabaran, dan pengetahuan teknis." "Berapa umur Anda" Empat puluh lima?" "Tiga puluh delapan." "Anda kelihatan lebih tua." "Ya, ya, saya rasa begitu." Sesaat Calgary dilanda rasa sedih dan pedih, menghadapi anak muda yang tampak jantan dan belia itu. Dengan agak mendadak ia bertanya, "Mengapa Anda ingin bertemu dengan saya?" Lawan bicaranya mengerutkan alisnya. "Wajar saja, bukan" Setelah saya mendengar berita yang Anda bawa. Berita mengenai adik saya tercinta." Calgary tak menjawab. Michael Argyle berkata lagi, "Sudah agak terlambat baginya, bukan?" "Ya," sahut Calgary dengan suara rendah. "Sudah terlambat baginya." "Mengapa Anda mendiamkannya selama ini" Lalu bagaimana dengan gegar otak itu?" Dengan sabar Calgary menjelaskan padanya. Anehnya ia merasa senang melihat sikap kasar anak muda itu. Inilah seseorang yang punya perasaan terhadap adiknya. "Anda ingin memberikan alibi untuk Jacko, bukan" Bagaimana Anda bisa tahu jamjamnya seperti yang Anda ceritakan itu?" "Saya yakin sekali mengenai jam-jamnya," kata Calgary dengan tegas. "Anda bisa saja salah. Kalian kaum ilmuwan biasanya linglung mengenai soal-soal kecil seperti waktu dan tempat." Calgary memperlihatkan seolah-olah ia merasa lucu. "Anda yang membuat sendiri bayangan tentang profesor yang linglung, seperti dalam buku-buku cerita - yang memakai kaus kaki aneh, tak begitu yakin mengenai hari apa atau di mana dia sedang berada. Anak muda yang baik, pekerjaan teknis memerlukan ketepatan dalam segala hal: banyaknya waktu dan perhitungan yang tepat. Bisa saya yakinkan pada Anda bahwa tak ada kemungkinan saya membuat kesalahan. Saya memberi tumpangan pada adik Anda, jam tujuh kurang sedikit, dan menurunkannya di Drymouth, jam setengah delapan lewat lima." "Arloji Anda mungkin salah. Atau Anda mengandalkan jam di mobil Anda." "Arloji saya maupun jam di mobil sudah dicocokkan dengan tepat." "Mungkin Jacko telah mengecoh Anda. Dia punya banyak sekali akal licik." "Tak ada akal-akalan. Mengapa Anda ingin sekali membuktikan bahwa saya keliru?" Lalu Calgary berkata lagi dengan panas, "Saya sudah mengira, akan sulit sekali meyakinkan yang berwajib bahwa mereka telah menghukum seseorang secara tak adil. Tapi saya sama sekali tak mengira bahwa keluarganya sendiri begitu sulit diyakinkan!" "Jadi Anda telah mengalami kesulitan untuk meyakinkan kami semua?" "Reaksi kalian terasa... agak aneh." Micky memandanginya dengan tajam. "Apakah mereka tak mau mempercayai Anda?" "Agaknya begitulah." "Bukan hanya agaknya begitu. Tapi memang begitu. Dan kalau Anda pikirkan, itu memang wajar." "Tapi mengapa" Mengapa itu wajar" Ibu kalian terbunuh. Saudara kalian dituduh, lalu dihukum karena telah melakukan kejahatan itu. Sekarang ternyata dia tak bersalah. Kalian seharusnya merasa senang dan bersyukur. Bukankah dia saudara kalian sendiri?" Kata Micky, "Dia bukan adik saya. Dan wanita itu bukan ibu saya." "Apa?" "Belum adakah orang yang mengatakan pada Anda" Kami semua anak angkat. Semuanya. Mary, 'kakak sulung saya itu' di New York. Kami yang lain, dalam perang. Yang disebut 'ibu' kami itu tak bisa melahirkan anak sendiri. Jadi dibentuknya sendiri keluarga bahagia melalui adopsi. Mary, saya sendiri, Tina, Jacko, dan Hester. Keluarganya dilimpahinya dengan kenyamanan, kemewahan, dan cinta kasih seorang ibu. Boleh dikatakan akhirnya dia lupa bahwa kami bukan anak-anak kandungnya sendiri. Tapi dia tak beruntung waktu memungut Jacko untuk menjadi salah seorang putra tersayangnya." "Saya tak tahu itu," kata Calgary. "Jadi jangan sebut lagi istilah 'ibu sendiri' dan 'saudara sendiri' pada saya. Jacko itu orang yang tak beres!" "Tapi bukan seorang pembunuh," kata Calgary. Suaranya diberinya tekanan. Micky melihat padanya dan mengangguk. "Baiklah kalau Anda tetap beranggapan begitu - dan Anda tetap bertahan begitu. Jacko tidak membunuhnya. Baiklah. Lalu siapa yang membunuhnya" Anda tidak memikirkan hal itu, bukan" Coba pikirkan hal itu sekarang. Pikirkan itu, barulah Anda akan mulai mengerti apa yang sedang Anda lakukan terhadap kami semua." Ia membalikkan tubuh, lalu langsung keluar dari kamar itu. BAB IV DENGAN nada meminta maaf, Calgary berkata, "Anda baik sekali mau menerima saya lagi, Mr. Marshall." "Tak apa-apa," kata ahli hukum itu. "Seperti Anda ketahui, saya sudah pergi ke Sunny Point dan menemui keluarga Jack Argyle." "Benar." "Saya rasa Anda sudah mendengar tentang kunjungan saya itu?" "Ya, sudah, Dr. Calgary." "Yang mungkin sulit Anda mengerti barangkali mengapa saya datang kembali menemui Anda lagi. Soalnya, keadaan yang saya temui tidak seperti yang saya harapkan." "Ya," kata ahli hukum itu, "mungkin tidak." Seperti biasanya, suaranya datar dan tidak mengandung perasaan, tapi ada sesuatu di dalamnya yang mendorong Arthur Calgary untuk melanjutkan. "Soalnya," lanjut Calgary, "saya mengira persoalan itu sudah akan berakhir sampai di situ saja. Saya sudah bersiap-siap menghadapi - apa namanya itu - rasa benci yang wajar dari pihak mereka. Meskipun saya rasa gegar otak bisa disebut kehendak Tuhan. Namun menurut saya, mereka masih bisa dimaafkan, kalau ditinjau dari segi itu. Tapi saya juga berharap rasa benci itu akan diimbangi rasa syukur mereka waktu mendengar kenyataan bahwa nama Jack Argyle bisa dibersihkan. Tapi keadaannya tidaklah seperti yang saya harapkan. Sama sekali tidak." "Oh, begitu." "Apakah mungkin Anda sudah tahu bahwa itu akan terjadi" Saya ingat bahwa sikap Anda waktu saya kemari dulu, mengherankan saya. Apakah Anda sudah tahu sebelumnya tentang sikap mereka yang akan saya temukan?" "Anda belum menceritakan sikap apa itu, Dr. Calgary." Arthur Calgary menarik kursinya mendekat. "Saya pikir saya akan mengakhiri sesuatu. Barangkali boleh kita katakan saya memberikan kata penutup yang lain pada suatu bab yang telah ditulis. Tapi saya jadi merasa... saya jadi menyadari bahwa saya bukan mengakhiri sesuatu, sebaliknya telah mengawali sesuatu. Sesuatu yang benar-benar baru. Menurut Anda, benarkah pernyataan saya itu?" Mr. Marshall mengangguk lambat-lambat. "Ya," katanya, "bisa dikatakan begitu. Saya akui, saya sempat berpikir bahwa Anda tidak menyadari seluk-beluknya. Wajar kalau Anda tidak tahu, karena Anda tak tahu apa-apa tentang latar belakangnya atau kenyataan-kenyataannya, kecuali yang telah Anda baca dalam laporan-laporan hukum." "Ya. Ya, sekarang saya mengerti. Jelas sekali." Suaranya meninggi waktu ia berkata lagi dengan bersemangat, "Mereka tidak merasa lega, mereka tidak bersyukur. Mereka bahkan ketakutan. Ketakutan akan apa yang akan terjadi lagi. Betulkah saya?" Dengan berhati-hati Marshall berkata, "Saya rasa mungkin Anda benar. Tapi ingat, saya tidak berbicara berdasarkan pengetahuan saya sendiri." "Kalau begitu," lanjut Calgary, "saya tak bisa pulang dan mengerjakan pekerjaan saya dengan tenang, karena saya telah menimbulkan kerugian-kerugian gara-gara perbuatan saya. Saya masih terlibat. Saya telah membawa faktor baru ke dalam hidup beberapa orang. Saya tak bisa cuci tangan begitu saja." Ahli hukum itu menelan ludahnya. "Wah, pandangan Anda itu berlebihan, Dr. Calgary." "Saya rasa tidak. Itu tidak benar. Bukankah kita harus mau bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan kita" Tidak saja atas perbuatan-perbuatan kita, melainkan juga atas akibat perbuatan-perbuatan kita. Kira-kira dua tahun yang lalu, saya memberikan tumpangan pada seorang muda di jalan. Waktu melakukan itu, rupanya saya telah memulai suatu rangkaian peristiwa. Saya rasa saya tak bisa melepaskan diri dari peristiwa-peristiwa itu." Ahli hukum itu masih menggeleng. "Baiklah kalau begitu," kata Arthur Calgary tak sabar. "Sebutlah itu terlalu berlebihan, kalau Anda suka, tapi perasaan saya, kesadaran saya, masih terlibat. Hanya satu hal yang saya inginkan, yaitu menebus kesalahan atas apa yang tak bisa saya cegah, karena itu berada di luar kemampuan saya. Entah bagaimana, saya telah menjadikan keadaan lebih buruk lagi bagi orang-orang yang sudah menderita. Tapi saya masih belum mengerti benar mengapa." "Ya," kata Marshall lambat-lambat, "ya, pasti Anda tidak akan mengerti mengapa. Selama delapan belas bulan Anda tak punya hubungan dengan dunia beradab. Anda tidak membaca surat-surat kabar dan laporan tentang keluarga itu, seperti yang ditulis di surat-surat kabar. Mungkin Anda tidak membaca tentang itu semua, tapi saya rasa Anda pasti mendengarnya. Soalnya sederhana sekali, Dr. Calgary. Berita-berita itu bukan rahasia. Berita-berita itu disiarkan secara luas waktu itu. Jadi kesimpulannya sederhana saja, yaitu begini: jika Jack Argyle tidak - dan menurut cerita Anda, dia tak mungkin - melakukan kejahatan itu, lalu siapa yang melakukannya" Kita jadi terbawa kembali pada keadaan saat kejadian itu dilakukan. Kejahatan itu dilakukan antara jam tujuh dan setengah delapan, pada suatu malam dalam bulan November, di sebuah rumah, tempat wanita yang terbunuh itu dikelilingi anggota keluarga dan anggota rumah tangganya. Rumahnya tertutup dan terkunci dengan aman, dan bila ada seseorang masuk dari luar, orang luar itu tentu diterima Mrs. Argyle sendiri, atau dia masuk dengan menggunakan kuncinya sendiri. Dengan kata lain, itu pastilah seseorang yang dikenalnya. Peristiwa itu hampir serupa dengan perkara Borden di Amerika, ketika Mr. Borden dan istrinya dihantam dengan sebuah kapak pada suatu hari Minggu pagi. Tak seorang pun di rumah itu mendengar apa-apa, tak ada orang yang kelihatan mendekati rumah itu. Jadi Anda mengerti, Dr. Calgary, mengapa anggota-anggota keluarga itu merasa jengkel dan kelihatannya tidak merasa lega mendengar berita yang Anda bawa untuk mereka." Calgary berkata lambat-lambat, "Maksud Anda, mereka lebih suka kalau Jack Argyle bersalah?" "Oh, ya," kata Marshall. "Ya, jelas begitu. Kalaupun mungkin saya mengatakannya dengan cara yang agak sinis, itu karena Jack Argyle merupakan jawaban yang tepat terhadap kenyataan yang tak menyenangkan dengan adanya pembunuhan dalam keluarga itu. Dia anak yang sulit, nakalnya luar biasa, dan kemudian menjadi pria penaik darah. Dalam lingkungan keluarga, bisa dan selalu dicarikan alasan-alasan atas perbuatan-perbuatannya itu. Mungkin mereka berdukacita atas kematian anak itu, memberikan pengertian padanya, saling menyatakan di antara mereka sendiri maupun pada dunia bahwa itu sebenarnya bukan kesalahannya, bahwa para psikolog bisa menjelaskan perbuatannya itu! Ya, ya, keadaannya menguntungkan sekali." "Dan sekarang..." Calgary berhenti. "Dan sekarang," kata Marshall, "keadaannya tentu berubah, berubah sama sekali. Boleh dikatakan mengerikan mungkin." Dengan tajam Calgary berkata, "Agaknya berita yang saya bawa itu tak baik bagi Anda juga, ya?" "Harus saya akui, memang begitulah. Ya. Ya, harus saya akui bahwa saya jadi kacau. Suatu perkara yang sudah ditutup dengan baik, kini dibuka kembali." "Apakah itu sudah resmi?" tanya Calgary. "Maksud saya, ditinjau dari pihak kepolisian, apakah perkara itu akan dibuka kembali?" "Oh, itu tak diragukan lagi," kata Marshall. "Waktu Jack Argyle dinyatakan bersalah atas bukti yang jelas sekali - juri hanya membutuhkan waktu seperempat jam untuk memutuskan hal itu - maka bagi polisi berakhirlah perkara itu. Tapi kini, dengan adanya pemberian pengampunan anumerta itu, perkara itu dibuka kembali." "Dan polisi akan mengadakan penyidikan-penyidikan baru lagi?" "Saya rasa boleh dikatakan pasti. Tentu," tambah Marshall, sambil menggosokgosok dagunya dengan merenung. "Saya ragu apakah mereka akan bisa mendapatkan hasil, mengingat waktu yang sudah begitu lama berlalu, dan mengingat anehnya petunjuk-petunjuk dalam perkara itu. Saya sendiri juga merasa ragu. Mungkin mereka tahu bahwa seseorang di dalam rumah itu bersalah. Mungkin mereka juga lebih jauh bisa mendapatkan gagasan siapa orang itu. Tapi untuk mendapatkan bukti yang pasti, itu tak mudah." "Oh, begitu," kata Calgary. "Saya mengerti. Ya, itulah yang dimaksudnya." Dengan tajam ahli hukum itu bertanya, "Tentang siapa Anda berbicara?" "Tentang gadis itu," sahut Calgary. "Hester Argyle." "Oh, ya, Hester Argyle." Lalu ia bertanya dengan rasa ingin tahu, "Apa sebenarnya yang dikatakannya pada Anda?" "Dia berbicara tentang orang-orang yang tak bersalah," kata Calgary. "Katanya, bukan siapa yang bersalah yang penting, melainkan orang yang tak bersalah. Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sekarang saya mengerti apa maksudnya." Marshall melemparkan pandangan tajam padanya. "Saya rasa mungkin Anda mengerti." "Maksudnya sama benar dengan apa yang Anda katakan," kata Arthur Calgary. "Maksudnya, sekali lagi keluarganya dicurigai..." Marshall menyela. "Tidak tepat bila dikatakan sekali lagi," katanya. "Sudah sejak awal Jack Argyle dengan jelas dicurigai, hingga boleh dikatakan keluarga itu tak sempat dicurigai." Calgary mengesampingkan pendapat itu. "Keluarga itu akan dicurigai," katanya, "dan mereka akan dicurigai dalam jangka waktu lama, bahkan mungkin untuk selamanya. Bila salah seorang keluarga bersalah, mungkin mereka sendiri tak tahu yang mana. Mereka akan saling memandang dan bertanya-tanya. Ya, itulah yang paling menyiksa. Mereka sendiri tidak akan tahu yang mana." Keduanya berdiam diri. Marshall memandangi Calgary dengan tenang dan pandangan menilai, tapi ia tidak berkata apa-apa. "Itu mengerikan sekali, bukan?" kata Calgary lagi. Wajahnya yang tirus dan sensitif memperlihatkan emosi batinnya. "Ya, itu mengerikan. Menjalani hidup bertahun-tahun tanpa tahu, saling memandang. Mungkin kecurigaan mempengaruhi hubungan seseorang dengan orang-orang lain. Dan dengan demikian membinasakan kasih sayang, menghancurkan kepercayaan." Marshall menelan ludahnya. "Tidakkah Anda... eh... melukiskannya terlalu gamblang?" "Tidak," kata Calgary, "saya rasa tidak. Saya rasa, mungkin, maafkan saya, Mr. Marshall, saya melihat persoalan itu lebih jelas daripada Anda. Soalnya, saya bisa membayangkan apa artinya." Keadaan sepi lagi. "Itu berarti," kata Calgary lagi, "yang tak bersalahlah yang akan menderita. Padahal yang tak bersalah tak boleh menderita. Hanya yang bersalah yang boleh. Itulah sebabnya... itulah sebabnya saya tak bisa cuci tangan dalam hal ini. Saya tak bisa pergi dan berkata, 'Aku telah melakukan hal yang benar, aku telah menebus kesalahan-kesalahanku sebisanya, aku sudah mengabdi pada keadilan,' karena Anda lihat sendiri bahwa apa yang telah saya lakukan bukanlah pengabdian pada keadilan. Perbuatan saya itu tidak membuat yang bersalah terhukum, tidak pula membebaskan yang tak bersalah dari bayangan kesalahan." "Saya rasa Anda agak berlebihan, Dr. Calgary. Tak diragukan, apa yang Anda katakan itu ada benarnya, tapi saya benar-benar tak tahu apa... yah, apa yang bisa Anda perbuat dalam hal itu." "Ya, saya pun tidak," kata Calgary berterus terang. "Tapi itu berarti saya harus mencoba. Sebenarnya itulah sebabnya saya mendatangi Anda, Mr. Marshall. Saya ingin dan merasa berhak untuk mengetahui... latar belakangnya." "Oh, ya," kata Mr. Marshall. Nada bicaranya jadi agak bersemangat. "Tak ada rahasia mengenai semuanya itu. Saya bisa memberi Anda kenyataan-kenyataan apa pun yang ingin Anda ketahui. Tapi saya tak bisa memberi Anda lebih daripada kenyataan-kenyataan. Saya tak pernah akrab dengan keluarga itu. Perusahaan kami sudah bertahun-tahun bekerja untuk Mrs. Argyle. Kami telah bekerja sama dengannya mengenai pembentukan beberapa badan trust, dan kami mengurus bisnis yang sah. Mrs. Argyle sendiri saya kenal cukup baik, dan saya juga mengenal suaminya. Mengenai suasana di Sunny Point, mengenai perangai-perangai dan watakwatak orang-orang yang hidup di situ, boleh dikatakan saya hanya tahu lewat tangan kedua, yaitu dari Mrs. Argyle sendiri." "Saya mengerti semuanya itu," kata Calgary, "tapi saya harus punya pijakan pertama. Saya dengar anak-anaknya bukan anak-anak kandungnya. Bahwa mereka itu diadopsi?" "Memang benar. Mrs. Argyle terlahir dengan nama Rachel Konstam, putri tunggal Rudolph Konstam, seorang pria kaya raya. Ibunya seorang Amerika, yang juga membawa kekayaannya sendiri. Rudolph Konstam menaruh minat besar pada kerja kemanusiaan, dan putrinya dididiknya supaya berminat pada usaha-usaha amal itu. Dia dan istrinya tewas dalam kecelakaan pesawat terbang, dan Rachel lalu memanfaatkan kekayaannya yang melimpah, yang diwarisinya dari ibu-bapaknya itu, untuk apa yang bisa kita sebut perusahaan-perusahaan sosial yang tidak terlalu ketat. Dia menaruh minat dalam usaha-usaha sosial itu, dan dalam batas-batas tertentu ikut pula bekerja sendiri. Dalam menjalankan pekerjaan itulah dia bertemu dengan Leo Argyle, yang waktu itu adalah seorang dosen di Universitas Oxford, yang menaruh minat besar dalam perombakan ekonomi dan sosial. Untuk bisa memahami Mrs. Argyle, kita harus menyadari bahwa ketidakmampuannya melahirkan anak merupakan tragedi dalam hidupnya. Sebagaimana banyak wanita, ketidakmampuannya itu lama-lama membayangi seluruh hidupnya. Setelah mengunjungi beberapa orang ahli dan ternyata bahwa dia tak pernah bisa berharap untuk menjadi seorang ibu, dia pun lalu mencari apa yang bisa mengimbangi hal itu. Pertama-tama dia mengadopsi seorang anak dari sebuah pemukiman kumuh di New York - dialah yang sekarang menjadi Mrs. Durrant. Mrs. Argyle mengabdikan diri sepenuhnya pada usaha-usaha amal yang berhubungan dengan anak-anak. Waktu perang pecah pada tahun 1939, dia mendirikan semacam panti asuhan anak-anak, dengan bantuan Departemen Kesehatan. Untuk itu dia membeli rumah yang telah Anda kunjungi itu, Sunny Point." "Yang waktu itu bernama Viper's Point," sela Calgary. "Ya. Ya, saya rasa itulah namanya semula. Ya, mungkin sebaiknya diberi nama yang lebih sesuai daripada nama yang telah dipilihnya itu - Sunny Point. Pada tahun 1940, terkumpul kira-kira dua belas sampai empat belas anak-anak. Kebanyakan anak-anak yang tidak mendapatkan pemeliharaan sempurna, atau yang tak bisa ikut mengungsi dengan keluarganya. Dia melakukan segala-galanya untuk anak-anak itu. Mereka diberi tempat tinggal mewah. Saya memberinya peringatan dalam hal itu. Saya katakan bahwa anak-anak itu akan mengalami kesulitan untuk kembali ke rumah mereka kelak, setelah terbiasa dengan lingkungan mewah itu. Tapi dia tak peduli. Dia sayang sekali pada anak-anak itu, dan akhirnya memutuskan untuk menambahkan beberapa orang anak ke dalam keluarganya, terutama anak-anak dari keluargakeluarga yang tak sempurna, atau yatim-piatu. Hingga jumlahnya menjadi lima orang. Mary, yang menikah dengan Philip Durrant; Michael, yang bekerja di Drymouth; Tina seorang anak blasteran; Hester; dan juga Jacko tentu. Mereka tumbuh dengan menganggap suami-istri Argyle sebagai ibu-bapak mereka. Mereka diberi pendidikan terbaik. Mengenai lingkungan pun tak ada kekurangannya. Pokoknya mereka mendapatkan semua kenyamanan. Tapi Jack - atau yang mereka sebut Jacko - tak pernah merasa puas. Dia mencuri uang di sekolah, lalu diberhentikan. Dia mendapat kesulitan waktu duduk di tahun pertama di perguruan tinggi. Dua kali dia nyaris dimasukkan ke penjara. Dia tak pernah bisa mengendalikan amarahnya. Tapi mungkin Anda sudah mendengar semuanya itu. Dua kali dia melakukan penggelapan uang yang diselesaikan keluarga Argyle. Dua kali orangtuanya memberinya uang untuk mendirikan perusahaannya sendiri, dua kali pula perusahaan itu gagal. Setelah dia meninggal, sejumlah tunjangan dibayarkan pada jandanya, sampai sekarang pun masih." Calgary membungkukkan tubuhnya karena terkejut. "Jandanya" Tak seorang pun pernah menceritakan pada saya bahwa dia sudah menikah." "Wah, wah." Ahli hukum itu menjentikkan jarinya dengan jengkel. "Saya lalai. Saya tentu lupa bahwa Anda lama tidak membaca laporan-laporan dalam koran-koran. Boleh saya katakan bahwa waktu itu tak seorang pun anggota keluarga Argyle yang tahu bahwa dia sudah menikah. Segera setelah dia ditahan, istrinya muncul di Sunny Point dalam keadaan sedih sekali. Tapi Mr. Argyle baik sekali padanya. Dia seorang wanita muda yang bekerja sebagai salah seorang pasangan dansa di Palais de Danse di Drymouth. Mungkin saya lupa menceritakan tentang dia pada Anda, karena dia telah menikah lagi, hanya beberapa minggu setelah Jack meninggal. Saya dengar suaminya yang sekarang adalah montir listrik di Drymouth." "Saya harus pergi mengunjunginya," kata Calgary. Lalu ditambahkannya lagi dengan rasa penyesalan, "Sebenarnya dialah orang pertama yang harus saya kunjungi." "Tentu, tentu. Akan saya berikan alamatnya. Saya benar-benar tak mengerti mengapa saya sampai tidak mengatakannya pada Anda pada kesempatan pertama Anda mendatangi saya." Calgary diam saja. "Dia orang yang... yah... seseorang yang sama sekali tidak mendapatkan perhatian," kata ahli hukum itu dengan nada penyesalan. "Bahkan surat-surat kabar pun tak banyak memberitakan tentang dia. Dia tak pernah mengunjungi suaminya di penjara, atau menaruh perhatian lebih banyak padanya." Calgary berpikir dalam-dalam, lalu berkata, "Dapatkah Anda mengatakan dengan pasti siapa-siapa yang ada di dalam rumah itu, pada malam Mrs. Argyle terbunuh?" Marshall memandangnya dengan tajam. "Leo Argyle tentu, dan putri bungsunya, Hester. Mary Durrant dengan suaminya yang lumpuh sedang berada di sana pula. Suaminya baru saja keluar dari rumah sakit. Lalu ada pula Kirsten Lindstrom, yang mungkin sudah Anda temui. Dia seorang perawat dan ahli pijat yang terlatih, berasal dari Swedia. Semula dia datang untuk membantu Mrs. Argyle dengan panti asuhan anak-anaknya. Dan sejak itu dia tetap tinggal di situ. Michael dan Tina tak ada di rumah itu. Michael bekerja sebagai karyawan penjualan mobil di Drymouth, dan Tina bekerja di perpustakaan daerah di Redmyn, dan dia tinggal di flat di sana." Marshall diam sebentar sebelum melanjutkan. "Ada pula Miss Vaughan, sekretaris Mr. Argyle. Dia telah meninggalkan rumah itu sebelum tubuh almarhumah ditemukan." "Saya juga sudah bertemu dengannya," kata Calgary. "Kelihatannya dia... akrab sekali dengan Mr. Argyle." "Ya, memang. Saya dengar mungkin sebentar lagi akan ada pengumuman pertunangan mereka." "Oh!" "Pria itu kesepian sekali sejak istrinya meninggal," kata ahli hukum itu, nada suaranya agak menyalahkan. "Tentu saja," kata Calgary. Lalu katanya lagi, "Bagaimana dengan motif, Mr. Marshall?" "Dr. Calgary, saya benar-benar tak bisa berspekulasi kalau mengenai hal itu!" "Saya rasa bisa. Seperti Anda katakan sendiri, fakta-faktanya sudah meyakinkan." "Tak ada keuntungan uang secara langsung bagi siapa pun juga. Mrs. Argyle telah memasuki serangkaian badan trust yang bebas, suatu cara sah yang banyak dijalankan pada zaman sekarang. Trust-trust itu untuk kepentingan anak-anak itu. Badan-badan itu dijalankan tiga pelaksana, saya salah seorang di antaranya, Leo Argyle, dan yang ketiga seorang ahli hukum Amerika, saudara sepupu jauh Mrs. Argyle. Uang yang amat banyak itu diurus ketiga orang pelaksana itu, dan bisa disesuaikan hingga bermanfaat bagi anak-anak yang berhak atas trust tersebut, yang paling membutuhkannya." "Bagaimana dengan Mr. Argyle" Apakah dia mendapatkan keuntungan keuangan dengan kematian istrinya?" "Tidak dalam jumlah besar. Sebagaimana telah saya katakan, kebanyakan dari kekayaan Mrs. Argyle telah ditanamkannya dalam trust. Yang diwariskannya pada suaminya adalah kekayaan berupa tanah dan rumah, tapi jumlah itu tidak besar." "Dan Miss Lindstrom?" "Mrs. Argyle sudah menentukan suatu tunjangan tetap yang sangat memadai untuk Miss Lindstrom, beberapa tahun sebelumnya." Lalu ditambahkannya dengan jengkel, "Motif" Menurut saya sama sekali tak ada bayangan motif. Yang jelas, tak ada motif sehubungan dengan keuangan." "Bagaimana dengan yang berhubungan dengan emosi" Adakah suatu keretakan tertentu?" "Sayang sekali. Dalam hal itu, saya tak bisa membantu Anda," kata Marshall dengan tegas. "Saya tak pernah meninjau kehidupan keluarga mereka." "Apakah ada orang yang meninjaunya?" Marshall menimbang-nimbang beberapa lamanya. Lalu dengan enggan sekali ia berkata, "Anda bisa pergi menemui dokter setempat. Kalau tak salah, namanya Dr... eh... MacMaster. Dia sudah pensiun, tapi masih tinggal di sekitar sini. Dia pemimpin kesehatan di panti asuhan anak-anak dalam perang waktu itu. Dokter itu mungkin tahu dan sudah melihat banyak mengenai kehidupan di Sunny Point. Apakah Anda akan berhasil membujuknya untuk menceritakan sesuatu pada Anda, itu tergantung pada Anda. Tapi saya rasa, bila dia sedang mau, dia akan bisa membantu, meskipun - maafkan saya mengatakannya - apakah menurut Anda, Anda akan bisa melaksanakan apa yang sebenarnya bisa dikerjakan polisi dengan jauh lebih mudah?" "Entahlah," kata Calgary. "Mungkin tidak. Tapi saya tahu satu hal: saya harus mencoba. Ya, saya harus mencoba." BAB V ALIS Agen Kepala Polisi perlahan-lahan naik, namun tak berhasil mencapai tepi garis batas rambutnya yang kelabu. Matanya dinaikkannya melihat ke loteng, lalu diturunkannya lagi ke kertas-kertas di meja kerjanya. "Ini perlu penjelasan!" katanya. Anak muda yang tugasnya memberikan reaksi yang tepat pada agen kepala polisi itu berkata, "Ya, Sir." "Kacau balau," gumam Mayor Finney. Ia mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas meja. "Huish ada?" tanyanya. "Ada, Sir. Inspektur Huish datang lima menit yang lalu." "Bagus," kata Agen Kepala Polisi. "Tolong suruh dia kemari." Inspektur Huish adalah seorang pria jangkung dan berair muka murung. Air mukanya selalu murung, hingga tak seorang pun percaya bahwa ia sebenarnya bisa menjadi inti dan jiwa dalam pesta anak-anak, pandai melawak, dan pandai mengeluarkan uang logam dari telinga anak-anak, untuk menghibur mereka. Agen Kepala Polisi berkata, "Selamat pagi, Huish, kita menghadapi keadaan yang kacau balau, nih. Bagaimana pendapatmu?" Inspektur Huish menarik napas berat, lalu duduk di kursi yang ditunjuk atasannya. "Rupanya kita telah membuat kekeliruan dua tahun yang lalu," kata atasannya itu. "Orang itu... siapa namanya?" Agen Kepala Polisi mencari-cari di antara kertas-kertasnya. "Calory - eh, bukan, Calgary. Semacam profesor. Seorang tolol yang suka linglung mungkin, ya" Orangorang seperti itu sering tak ingat mengenai waktu dan hal-hal semacamnya, bukan?" Terasa nada permintaan dalam suaranya, tapi Huish tak bereaksi apa-apa. Katanya, "Saya dengar dia seorang ilmuwan." "Jadi kaupikir kita harus menerima saja apa-apa yang dikatakannya?" "Yah," kata Huish. "Agaknya Sir Reginald sudah menerimanya. Dan saya rasa tak ada satu pun yang tidak diketahui beliau." Itu merupakan kata-kata pujian terhadap pimpinan penuntut umum itu. "Memang tidak," Kata Mayor Finney dengan enggan. "Bila Pimpinan Penuntut Umum sudah yakin, yah, kita harus menerimanya juga. Dan itu berarti kita harus membuka kembali perkara itu. Apakah kaubawa data-data yang berkaitan dengan itu, seperti yang kuminta?" "Ya, Sir. Ini." Inspektur membentangkan beberapa lembar dokumen di meja. "Sudah kaupelajari itu?" tanya Agen Kepala. "Sudah, Sir, semalam saya pelajari semua. Ingatan saya mengenai hal itu pun masih segar. Soalnya masih belum begitu lama." "Yah, mari kita bahas, Huish. Sampai di mana kita?" "Kita kembali dari awal, Sir," kata Inspektur Huish. "Sulitnya, pada saat itu, kita tidak ragu-ragu lagi." "Ya," kata Agen kepala. "Waktu itu kelihatannya ini merupakan suatu perkara yang jelas sekali. Jangan pikir aku menyalahkanmu, Huish. Aku mendukungmu seratus persen." "Waktu itu memang sama sekali tak ada yang lain yang bisa kita duga," kata Huish merenung. "Kita menerima telepon bahwa wanita itu terbunuh. Ada keterangan bahwa anak muda itu baru saja berada di situ dan mengancamnya. Ada bukti sidik jarinya - sidik jari anak muda itu - pada besi pengorek, lalu uang itu. Kita boleh dikatakan langsung menangkapnya, dan uang itu ada padanya." "Kesan apa yang kaudapat darinya pada waktu itu?" Huish berpikir sebentar. "Jahat," katanya. "Dia sangat percaya diri, dan itu memang masuk akal. Soalnya dia bisa menjelaskan waktu-waktunya dan alibialibinya. Dia yakin sekali pada dirinya. Anda tentu tahu orang-orang macam itu. Pembunuh memang biasanya percaya diri. Dikiranya dirinya pintar sekali. Dikiranya semua perbuatannya benar, tak peduli bagaimana akibatnya bagi orang lain. Pokoknya, dia memang orang yang tak beres." "Ya," Kata Finney, "dia memang orang yang tak beres. Semua perbuatannya di masa lalu membuktikan hal itu. Tapi apakah kau langsung merasa yakin bahwa dia seorang pembunuh?" Inspektur berpikir sebentar lagi. "Itu sesuatu yang tak dapat diyakini. Menurut saya, dia jenis orang yang sering sekali akhirnya menjadi seorang pembunuh. Seperti Harmon pada tahun 1938. Dia memiliki daftar panjang penjahat, seperti Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mencuri sepeda, penipuan uang, penipuan-penipuan terhadap wanita-wanita tua, dan akhirnya dia membunuh seorang wanita. Diawetkannya wanita itu dengan cuka. Dia merasa senang, lalu menjadikan perbuatan itu kebiasaannya. Jack Argyle saya golongkan pada tipe itu." "Tapi rupanya kita keliru," kata Agen Kepala lambat-lambat. "Ya," kata Huish, "kita memang keliru. Dan anak muda itu sudah meninggal. Urusan ini jadi sulit. Tapi ingat," sambungnya, tiba-tiba bersemangat, "dia memang orang yang tak beres. Mungkin dia bukan seorang pembunuh - dan nyatanya dia memang bukan seorang pembunuh - tapi dia orang jahat." "Ah, sudahlah. Bung," Finney membentaknya, "lalu siapa yang membunuh wanita itu" Katamu kau sudah mempelajari perkara itu semalam. Pasti ada seseorang yang membunuhnya. Tak mungkin wanita itu menghantam sendiri bagian belakang kepalanya dengan besi pengorek itu. Pasti orang lain yang melakukannya. Siapa itu?" Inspektur Huish mendesah, lalu bersandar ke kursinya. "Saya ingin tahu, apakah kita bisa mengetahuinya," katanya. "Sulit, seperti biasanya, ya?" "Ya, karena peristiwanya sudah dingin, dan karena sedikit sekali bukti yang bisa ditemukan, dan saya bahkan membayangkan bahwa memang tak banyak buktinya." "Karena dia seseorang di dalam rumah itu, seseorang yang dekat dengan wanita itu?" "Saya tak melihat siapa lagi yang mungkin melakukannya," kata Inspektur. "Dia pasti seseorang yang ada di dalam rumah itu, atau seseorang yang dibukakan pintu oleh wanita itu sendiri, dan disuruhnya masuk. Keluarga itu tipe keluarga yang suka mengunci pintu. Ada kunci-kunci pengaman pencuri pada jendela, ada rantairantai dan kunci-kunci khusus pada pintu depan. Mereka pernah kemasukan pencuri beberapa tahun yang lalu, hingga mereka jadi sangat waspada terhadap pencuri." Ia berhenti sebentar, lalu berkata lagi, "Sulitnya, Sir, waktu itu kita tidak lagi melihat ke tempat lain. Kecurigaan terhadap Jacko Argyle sudah lengkap sekali. Sekarang kita melihat bahwa pembunuh yang sebenarnya sudah memanfaatkan kesempatan itu." "Memanfaatkan kenyataan bahwa anak muda itu baru saja berada di situ, bertengkar dengan korban, dan bahwa dia masih mengancamnya?" "Ya. Orang itu tinggal masuk ke dalam kamar tersebut, mengangkat besi pengorek itu dengan tangan bersarung dari tempat Jacko melemparkannya tadi, berjalan ke meja tempat Mrs. Argyle sedang menulis, lalu menghantam kepalanya." Mayor Finney hanya mengucapkan sepatah kata, "Mengapa?" Inspektur Huish mengangguk lambat-lambat. "Benar pertanyaan itu, Sir. Itulah yang harus kita cari. Itu merupakan salah satu kesulitannya. Karena tak ada motif." "Pada waktu itu," kata Agen Kepala, "kelihatannya memang jelas tak ada motif. Seperti kebanyakan wanita yang memiliki banyak harta dan uang sendiri, dia telah mengamankannya dalam berbagai bentuk yang sah, untuk menghindari biaya-biaya kematian. Suatu trust amal memang sudah ada, anak-anak semua sudah ditinggali warisan sebelum dia meninggal. Mereka tidak akan mendapatkan apa-apa lagi kalau dia meninggal. Dan kelihatannya dia bukan wanita yang tak menyenangkan. Dia tidak cerewet, tak suka membentak, dan tidak kikir. Dia suka memberi anak-anak itu uang, sepanjang hidupnya. Mereka diberi pendidikan yang baik, modal yang cukup besar untuk memulai hidup masing-masing, uang tunjangan yang cukup banyak. Juga kasih sayang, kebaikan hati, dan jasa-jasa lain." "Itu benar, Sir," Inspektur Huish membenarkan. "Kelihatannya tak ada alasan bagi siapa pun juga untuk ingin membunuhnya. Tapi tentu..." Ia mendadak berhenti. "Ya, Huish?" "Saya dengar Mr. Argyle punya rencana untuk menikah lagi. Dia akan menikah dengan Miss Gwenda Vaughan yang sudah bertahun-tahun menjadi sekretarisnya." "Ya," kata Mayor Finney sambil merenung. "Kurasa di situ letak motifnya. Hal yang tidak kita ketahui pada waktu itu. Gadis itu sudah bertahun-tahun bekerja untuknya, katamu" Apakah menurutmu sudah ada apa-apa di antara mereka pada saat pembunuhan itu?" "Saya ragu, Sir," kata Inspektur Huish. "Soal-soal semacam itu segera menjadi bahan gunjingan di sebuah desa. Maksud saya, waktu itu tak ada kejadian apa-apa. Tak ada yang patut diselidiki atau dicurigai Mrs. Argyle." "Ya," kata Agen Kepala, "tapi mungkin dia sudah ingin sekali mengawini Gwenda Vaughan." "Wanita itu memang masih muda dan menarik," kata Inspektur Huish. "Tidak mencolok, tak bisa dikatakan begitu, tapi manis dan menarik dalam arti yang baik." "Mungkin sudah bertahun-tahun dia sangat menyayangi majikannya itu," kata Mayor Finney. "Sekretaris-sekretaris wanita agaknya selalu jatuh cinta pada majikannya." "Pokoknya kita sudah menemukan semacam motif untuk mereka berdua," kata Huish. "Lalu ada pula pembantu wanita, yang orang Swedia itu. Mungkin dia sebenarnya tidak begitu menyayangi Mrs. Argyle seperti kelihatannya. Mungkin dia merasa atau membayangkan dirinya diremehkan, atau ada hal-hal yang dibencinya. Dia tidak mendapatkan keuntungan keuangan dengan kematian itu, sebab Mrs. Argyle sudah meninggalinya tunjangan hidup yang cukup besar. Kelihatannya dia wanita baik-baik dan berakal sehat, dan bukan wanita yang bisa kita bayangkan menghantam kepala seseorang dengan besi pengorek! Tapi kita tidak tahu, kan" Lihat saja perkara Lizzie Borden itu." "Memang," kata Agen Kepala, "kita memang tak bisa menduga. Tak adakah kemungkinan tentang adanya orang luar?" "Tak ada tanda-tandanya," kata Inspektur. "Laci tempat menyimpan uang terbuka. Telah diusahakan untuk menjadikan kamar itu seolah-olah telah dijarah pencuri. Tapi usaha itu amatiran sekali. Itu sesuai benar dengan si Jacko, yang mencoba menimbulkan kesan itu." "Yang kuanggap aneh," kata Agen Kepala, "adalah soal uang itu." "Ya," kata Huish. "Itu sulit dimengerti. Salah satu uang kertas lima pound yang ada pada Jack Argyle jelas uang yang telah diberikan pada Mrs. Argyle oleh pihak bank pagi itu. Di belakangnya tertulis nama Mrs. Bottleberry. Jacko berkata bahwa ibunya yang memberikan uang itu padanya. Tapi baik Mr. Argyle maupun Gwenda Vaughan pasti benar waktu mengatakan bahwa Mrs. Argyle masuk ke ruang perpustakaan pada jam tujuh kurang seperempat, dan mengatakan pada mereka bahwa Jacko meminta uang, dan bahwa dia tak mau memberinya." "Dengan apa yang kita ketahui sekarang," Agen Kepala mengingatkan, "tentu ada kemungkinan bahwa Argyle dan si gadis Vaughan itu berbohong." "Ya, itu mungkin - atau mungkin..." Inspektur itu tiba-tiba terhenti. "Ada apa, Huish?" Finney mendorongnya. "Andaikan ada seseorang - untuk sementara kita sebut saja pria atau wanita itu X mendengar pertengkaran dan ancaman yang dilemparkan Jacko. Mungkin orang itu lalu melihat peluang di situ. Diambilnya uang itu, dikejarnya anak muda itu, dikatakannya bahwa ibunya akhirnya mau juga memberinya uang itu, hingga dengan demikian melicinkan jalannya untuk menjatuhkan tuduhan palsu. Dengan berhatihati digunakannya besi pengorek yang telah diangkat Jacko untuk mengancam, tanpa meninggalkan sidik jarinya sendiri." "Sialan," kata Agen Kepala dengan marah. "Tak ada satu pun yang sesuai dengan apa yang kuketahui tentang keluarga itu. Siapa lagi yang ada di rumah itu malam itu, kecuali Argyle dan Gwenda Vaughan, Hester Argyle, dan wanita bernama Lindstrom itu?" "Putri sulung mereka yang sudah menikah, Mary Durrant, dan suaminya, yang kebetulan sedang bermalam di situ." "Suaminya itu lumpuh, bukan" Dengan begitu dia bebas. Bagaimana dengan Mary Durrant?" "Dia seorang wanita yang tenang sekali, Sir. Tak bisa kita membayangkan dia menjadi marah besar, atau... atau membunuh seseorang." "Pembantu-pembantu?" tanya Agen Kepala. "Semuanya tidak menginap, Sir, dan semuanya sudah pulang sebelum jam enam." "Coba kulihat lagi waktunya." Inspektur menyorongkan kertas itu padanya. "Hm... ya, aku mengerti. Jam tujuh kurang seperempat Mrs. Argyle berada di ruang perpustakaan, berbicara pada suaminya tentang ancaman-ancaman Jacko. Gwenda Vaughan hadir selama sebagian dari percakapan itu. Kira-kira jam tujuh kurang dua atau tiga menit, Hester Argyle masih melihat ibunya dalam keadaan hidup. Sesudah itu Mrs. Argyle tidak kelihatan lagi sampai jam setengah delapan, pada saat tubuhnya ditemukan Miss Lindstrom. Antara jam tujuh dan setengah delapan ada banyak kesempatan. Mungkin Hester membunuhnya. Mungkin Gwenda Vaughan yang membunuhnya, setelah dia meninggalkan ruang perpustakaan dan sebelum dia meninggalkan rumah itu. Mungkin Miss Lindstrom yang membunuhnya waktu dia 'menemukan tubuh itu'. Leo Argyle berada di ruang perpustakaan sejak jam tujuh lewat sepuluh menit, sampai Miss Lindstrom berteriak. Mungkin dia pergi ke ruang duduk istrinya dan membunuhnya dalam jangka waktu dua puluh menit itu. Mary Durrant yang sedang berada di lantai atas, bisa saja turun dalam waktu setengah jam itu, dan membunuh ibunya. Dan," kata Finney sambil merenung, "mungkin Mrs. Argyle sendiri yang mempersilakan masuk seseorang lewat pintu depan, sebagaimana dugaan kita bahwa dia yang membukakan pintu untuk Jack Argyle. Ingat, Leo Argyle berkata bahwa kalau dia tidak keliru, dia mendengar bel pintu berbunyi, dan mendengar bunyi pintu depan dibuka dan ditutup kembali. Tapi dia ragu-ragu mengenai waktunya. Kita memperkirakan bahwa itulah saatnya Jacko kembali dan membunuhnya." "Anak muda itu tak perlu membunyikan bel," kata Huish. "Dia memiliki kunci sendiri. Mereka semua memilikinya." "Masih ada lagi seorang putra mereka, bukan?" "Ya, Michael. Dia bekerja sebagai petugas penjualan mobil-mobil di Drymouth." "Kurasa sebaiknya kauselidiki, apa kegiatannya malam itu," kata Agen Kepala. "Setelah dua tahun?" kata Inspektur Huish. "Rasanya tak mungkin ada orang yang ingat, ya?" "Apakah waktu itu dia ditanyai?" "Saya dengar dia sedang keluar, mengetes mobil seorang pelanggan. Jadi tak ada alasan untuk mencurigainya. Tapi dia memiliki kunci, dan bisa saja dia datang, lalu membunuh ibunya." Agen Kepala mendesah. "Aku tak tahu bagaimana kau akan mengambil langkah pertama, Huish. Dan aku tak tahu apakah kita akan berhasil." "Saya pribadi juga ingin tahu siapa yang telah membunuhnya," kata Huish. "Soalnya, dari semuanya, saya berkesimpulan bahwa dia seorang wanita yang baik sekali. Dia telah berbuat banyak untuk orang-orang. Untuk anak-anak yang tak beruntung, untuk segala macam amal. Dia orang yang tak pantas dibunuh. Ya, saya ingin sekali tahu. Bahkan kalaupun kita tak berhasil mengumpulkan cukup bukti untuk pihak kejaksaan, saya tetap ingin tahu." "Yah, semoga saja kau berhasil, Huish," kata Agen Kepala. "Untungnya sekarang ini sedang tidak banyak kasus, tapi jangan sampai kau kehilangan semangat kalau tak berhasil. Soalnya jejaknya sudah lama sekali." BAB VI LAMPU-LAMPU di dalam bioskop menyala. Iklan-iklan mulai disorotkan di layar. Gadis-gadis penunjuk jalan dalam bioskop berkeliaran membawa kotak-kotak berisi limun dan es krim. Arthur Calgary memandangi mereka satu demi satu dengan teliti. Ada seorang di antaranya yang montok, yang rambutnya berwarna gelap, ada seorang yang jangkung dan berkulit gelap, dan ada pula yang kecil, berambut pirang. Untuk mencari yang terakhir itulah ia datang. Wanita itu istri Jacko. Janda Jacko yang kini menjadi istri pria bernama Joe Clegg. Wajahnya cukup cantik, kecil tapi agak hampa, berlapiskan makeup. Alisnya dicabut, rambutnya mengerikan, kaku dan keriting murahan. Arthur Calgary membeli es krim darinya. Ia sudah memiliki alamat rumahnya, dan ia bermaksud mengunjunginya ke sana, tapi ia ingin melihatnya dulu saat wanita itu tak sadar dirinya sedang diamati. Itu dia rupanya. Menurut Calgary, ia bukan menantu yang kira-kira akan disukai Mrs. Argyle. Pasti karena itulah Jacko merahasiakan keberadaannya. Ia mendesah. Es krim itu disembunyikannya dengan hati-hati di bawah kursinya, lalu ia bersandar bersamaan dengan padamnya lampu-lampu dan film mulai diputar di layar. Kemudian ia bangkit, lalu meninggalkan bioskop. Pukul sebelas esok harinya, ia mendatangi alamat yang telah diberikan padanya. Seorang anak laki-laki berumur enam belas membuka pintu, dan menjawab pertanyaan Calgary, "Clegg" Di lantai teratas." Calgary menaiki tangga. Diketuknya sebuah pintu, dan Maureen Clegg membukakannya. Tanpa pakaian seragam yang mencolok dan makeup, ia kelihatan lain. Wajah kecil itu kelihatan bodoh, membayangkan kebaikan hati, tapi tak ada istimewanya. Ia memandangi Calgary, lalu mengerutkan dahinya karena curiga. "Nama saya Calgary. Saya rasa Anda sudah menerima surat dari Mr. Marshall yang menceritakan tentang saya." Wajah wanita muda itu menjadi cerah. "Oh, Anda rupanya! Mari masuk." Ia bergerak mundur untuk memberinya jalan masuk. "Maaf, tempatnya berantakan. Saya belum sempat membenahi segala-galanya." Ditepiskannya beberapa lembar pakaian yang tak rapi dari sebuah kursi, dan disingkirkannya bekas-bekas sarapan yang telah dimakan beberapa waktu sebelumnya. "Silakan duduk. Baik sekali Anda mau datang kemari." "Saya merasa itulah sekurang-kurangnya yang bisa saya lakukan," kata Calgary. Wanita itu tertawa agak malu, seolah tidak terlalu mengerti apa maksud Calgary. "Mr. Marshall sudah menulis hal itu dalam suratnya," katanya. "Mengenai kisah yang dikarang Jackie, dan bahwa ternyata kisah itu memang benar. Benar memang ada seseorang yang memberinya tumpangan ke Drymouth malam itu. Jadi rupanya Anda orang itu, ya?" "Ya," kata Calgary. "Memang saya." "Rasanya saya masih belum percaya," kata Maureen. "Saya dan Joe membicarakannya hampir setengah malam. Kata saya, seperti dalam film saja. Dan itu dua tahun yang lalu, ya, atau hampir?" "Ya, kira-kira begitulah." "Benar-benar seperti apa yang kita tonton di film saja, dan wajar kalau kita lalu berkata bahwa semuanya itu omong kosong belaka, dan bahwa itu tidak akan terjadi dalam hidup sesungguhnya. Ternyata benar-benar ada! Benar-benar terjadi! Mendebarkan sekali, ya?" "Ya, saya rasa bisa dibayangkan begitulah," kata Calgary. Dipandanginya wanita muda itu dengan perasaan agak perih. Wanita itu berceloteh terus dengan senang. "Kasihan, Jackie sudah meninggal dan tak bisa tahu lagi tentang hal ini. Dia kena radang paru-paru di penjara, pasti Anda sudah tahu itu. Saya rasa itu garagara kelembapan atau semacamnya, ya?" Menurut Calgary, citra yang dibayangkan wanita itu tentang penjara seperti dalam buku cerita saja. Yaitu sel-sel lembap di bawah tanah, lengkap dengan tikustikus besar yang menggerogoti jari-jari kaki. "Saya akui," lanjutnya, "pada saat itu kematian adalah yang terbaik baginya." "Ya, saya rasa begitu. Ya, keadaan memang membuat kita begitu." "Yah, maksud saya, daripada dia disekap begitu bertahun-tahun. Kata Joe, sebaiknya saya minta cerai saja, dan saya baru saja akan mengajukannya." "Anda ingin minta cerai dari dia?" "Yah, tak ada gunanya terikat pada seorang laki-laki yang akan berada di penjara selama bertahun-tahun, bukan" Apalagi, meskipun saya cinta sekali pada Jackie, dia tak bisa disebut orang yang bisa diandalkan. Saya sebenarnya sudah tahu bahwa perkawinan kami tidak akan langgeng." "Apakah Anda benar-benar sudah mulai mengurus perceraian waktu dia meninggal?" Bara Maharani 10 Angrek Tengah Malam Seri Pendekar Harum Karya Khu Lung Rahasia Si Bungkuk Berjubah Putih 3