Ceritasilat Novel Online

Menuju Negeri Antah Berantah 4

Menuju Negeri Antah Berantah Destination Unknown Karya Agatha Christie Bagian 4


"Orang lain-atau kebanyakan dari mereka -kelihatannya tidak merasa begitu."
"Karena mereka tidak peka."
"Ada juga yang sifatnya cukup emosional," kata Hilary hambar. Dia melanjutkan,
"Kalau saja kau punya kawan di sini-kawan sejati."
"Yah, ada si Murchison. Meskipun dia membosankan juga. Akhir-akhir ini aku
sering bersama-sama Torquil Ericsson."
"Betul?" Entah kenapa Hilary heran.
"Ya. Wah, dia benar-benar brilyan. Kalau saja aku punya otak seperti dia."
"Orang aneh," kata Hilary. "Bagiku dia selalu agak mengerikan."
"Mengerikan" Torquil" Dia selembek susu. Ada miripnya dengan kanak-kanak.
Tak tahu apa-apa tentang dunia."
"Tapi bagiku dia menakutkan," dengan keras kepala Hilary mengulang.
"Pasti karena syarafmu sudah letih."
"Belum. Tapi kukira akan letih juga. Tom -jangan terlalu dekat dengan Torquil
Ericsson." Betterton memandangnya. "Kenapa?" "Tak tahulah. Ini perasaan."
Bab 17 Leblanc mengangkat bahu. "Mereka pasti sudah meninggalkan Afrika." "Belum tentu."
"Kemungkinan-kemungkinannya mengarah ke situ." Si orang Prancis menggelenggelengkan kepala. "Bukankah kita sudah tahu ke mana tujuan mereka?"
"Kalau benar mereka punya tujuan seperti yang kita kira, kenapa harus berangkat
dari Afrika" Dari Eropa jauh lebih gampang."
"Itu betul. Tapi ada sisi lain lagi. Tak ada yang akan mengira bahwa mereka akan
berkumpul dan berangkat dari sini."
"Saya tetap berpendapat tidak sesederhana itu soalnya." Jessop dengan halus
tetap bersikeras. "Di samping itu, hanya pesawat terbang kecil yang dapat
menggunakan lapangan terbang itu. Pesawat itu harus turun untuk mengisi bahan
bakar lagi sebelum menyeberangi Laut Tengah. Dan seharusnya mereka meninggalkan jejak
di tempat mereka mengisi bahan bakar itu."
"Mon cher, kami telah melakukan penyelidikan yang paling teliti-di mana-mana-"
"Petugas dengan mesin Geiger pasti akhirnya akan mendapat hasil. Jumlah pesawat
yang diteliti tidak banyak. Cukup sedikit zat radioaktif yang tertangkap alat
itu, maka kita akan tahu pesawat mana yang kita cari-"
"Kalau agen Anda itu sempat menyemprot. Sungguh sial! Begitu banyak 'kalau'...."
"Kita pasti akan sampai ke sana," kata Jessop kukuh. "Saya bertanya-tanya-"
"Ya?" "Selama ini kita beranggapan mereka berangkat ke utara-ke arah Laut Tengah.
Bagaimana kalau mereka terbang ke selatan?"
"Kita telusur balik" Tapi ke mana mereka bisa terbang" Di selatan cuma ada
Pegunungan Atlas -lalu gurun pasir."
II "Sidi, Anda bersumpah saya akan mendapat apa yang Anda janjikan" Saya akan
mendapat pompa bensin di Amerika, di Chicago" Betul?"
"Betul, Mohammed, kalau kita berhasil keluar dari sini."
"Berhasil atau tidak itu tergantung kehendak Allah."
"Kalau begitu mari kita berharap, adalah kehendak Allah bahwa kau akan punya
sebuah pompa bensin di Chicago. Kenapa mesti Chicago?"
"Sidi, kakak laki-laki istri saya pergi ke Amerika dan di sana dia punya pompa
bensin di Chicago. Masa saya akan terus-terusan berada di garis belakang saja"
Di sini uang, makanan, pakaian, wanita memang berlimpah-limpah-tapi tidak
modern. Ini bukan Amerika." Peters menatap wajah hitam yang penuh harga diri itu. Dengan berjubah putih
Mohammed sudah tampak hebat sekali. Sungguh betapa aneh-aneh keinginan yang
timbul di hati manusia. "Saya tak tahu apa keinginanmu itu bijaksana," dia menghela napas, "tapi
sesukamulah. Tentu saja, kalau kita sampai ketahuan-"
Di wajah hitam itu muncul senyum, memamerkan gigi yang putih indah.
"Artinya mati--bagi saya itu pasti. Mungkin bagi Anda tidak, Sidi, karena Anda
berharga." "Soal mati di sini soal gampang rupanya."
Lawan bicaranya mengangkat bahu.
"Mati itu apa" Kan juga kehendak Allah?"
"Kau sudah tahu apa yang mesti dikerjakan?"
"Saya tahu, Sidi. Setelah gelap, saya antarkan Anda ke atap. Saya juga harus
menaruh pakaian yang seperti saya dan pelayan-pelayan lain biasa kenakan di
kamar Anda. Setelah itu-masih ada lagi yang lain."
"Betul. Sekarang sebaiknya kaubiarkan aku keluar. Bisa-bisa ada yang melihat
kita turun-naik saja. Nanti mereka menduga macam-macam."
III Orang-orang sedang berdansa. Andy Peters berdansa dengan Nona Jennson.
Dipeluknya Nona Jennson erat-erat. Tampaknya dia seperti sedang membisikkan
sesuatu di telinga Nona Jennson.
Sementara pelan-pelan mereka bergeser ke dekat Hilary berdiri, Peters melihat
Hilary. Langsung saja matanya mengedip nakal. Hilary menggigit bibir menahan
senyum dan cepat-cepat memandang ke arah lain.
Dia melihat Betterton berdiri di seberang ruangan, sedang bercakap-cakap dengan
Torquil Ericsson. Hilary mengerutkan dahi sedikit memandang mereka.
"Mau dansa dengan saya, Olive?" kata Murchison.
"Tentu, Simon."
"Saya tidak terlalu pintar berdansa lho," Murchison memperingatkan.
Hilary berkonsentrasi jangan sampai kakinya terinjak Murchison.
"Ini olahraga juga, kata saya," kata Murchison, sedikit terengah-engah. Dansanya
penuh semangat. "Rok Anda bagus, Olive."
Gaya bercakap-cakapnya selalu saja seperti di dalam novel kuno.
"Saya senang Anda suka," kata Hilary.
"Dari Bagian Fashion?"
Hilary berusaha tidak menjawab, "Dari mana lagi?" Dijawabnya, "Ya."
"Anda tahu," kata Murchison agak terengah-engah sementara dia berdansa sebisabisanya, "sungguh enak tempat ini. Belum lama saya bilang kepada Bianca. Negara
dengan jaminan sosial tinggi saja kalah dengan ini. Kita tak usah berpikir
tentang uang, pajak penghasilan-perbaikan atau pemeliharaan. Semua kerepotan
sudah dibereskan orang lain. Saya kira ini hidup yang membahagiakan sekali untuk kaum
wanita." "Bianca juga berpikir begitu?"
"Yah, mula-mula dia gelisah juga sedikit, tapi sekarang dia sudah mendirikan
beberapa kepanitiaan dan menyelenggarakan satu-dua hal-acara-acara debat dan
kuliah. Dia mengeluh, katanya Anda kurang ikut terjun."
"Rasanya saya bukan orang seperti itu, Simon. Saya memang tak begitu suka
tampil di depan umum."
"Ya, tapi kalian wanita harus bersenang-senang juga kadang-kadang. Yang saya
maksud bukan persis bersenang-senang-"
"Menyibukkan diri?" usul Hilary.
"Ya-maksud saya, wanita modern itu kan biasanya ingin berkarya di bidang
tertentu. Saya sadar sekali wanita seperti Anda dan Bianca sudah berkorban besar
mau datang kemari-sebab kalian bukan ilmuwan. Syukurlah-sungguh, ilmuwanilmuwan wanita ini! Umumnya keterlaluan! Saya bilang kepada Bianca, 'Beri
Olive waktu, dia kan butuh menyesuaikan diri.' Memang butuh waktu beberapa
lama untuk menyesuaikan diri dengan tempat ini. Pertama-tama, kita biasanya
merasa terkurung. Tapi lama-kelamaan-tak terasa lagi...."
"Maksud Anda-kita dapat membiasakan diri dengan apa pun?"
"Yah, ada orang yang lebih berat merasakannya dari orang lain. Tom kelihatannya
berat. Di mana si Tom itu sekarang" Oh ya, saya lihat dia, di sana dengan
Torquil. Sungguh-sungguh tak terpisahkan kedua orang itu."
"Saya justru ingin jangan demikian. Maksud saya, mereka kan tak begitu cocok."
"Torquil muda kelihatannya tertarik sekali kepada suami Anda. Dia membuntuti Tom
terus." "Saya juga melihat itu. Kenapa, ya?"
"Yah, gagasan Torquil aneh-aneh dan tak menyenangkan-saya tak sanggup
mengikutinya -lagi pula, seperti yang Anda tahu, bahasa Inggrisnya tidak terlalu
bagus. Tapi Tom mau mendengarkan dia dan bisa memahami semua yang dia
katakan." Dansa berakhir. Peters datang menghampiri dan mengajak Hilary berdansa.
"Kulihat kau baru menderita dengan alasan yang masuk akal," katanya. "Seberapa
gawat tadi kau terinjak-injak?"
"Oh, aku bisa tetap lincah kok."
"Kaulihat aku tadi sibuk?"
"Dengan si Jennson?"
"Ya. Kurasa boleh dibilang aku baru meraih keberhasilan. Keberhasilan yang jelas
sekali. Gadis-gadis jelek, kaku, dan berkaca mata ini ternyata langsung memberi
tanggapan positif, kalau ditangani dengan tepat."
"Kau tadi kelihatan seperti naksir dia."
"Itulah. Gadis itu, Olive, kalau ditangani dengan tepat bisa berguna. Dia tahu
semua yang akan terjadi di sini. Misalnya, besok akan datang kemari sekelompok
orang-orang VIP. Mereka dokter-dokter bersama beberapa pejabat pemerintah dan
satu-dua sponsor yang kaya."
"Andy-kaupikir apa kita akan punya kesempatan..."
"Tidak, kukira tidak. Aku yakin soal itu pasti sudah ditangani pencegahannya.
Jadi jangan mengharap yang tidak-tidak. Tapi acara besok berharga juga, karena
kita akan tahu bagaimana prosedurnya. Nah, lain kali-baru mungkin kita akan dapat
melakukan sesuatu. Pokoknya asal aku bisa terus mengumpan Jennson, aku akan
mendapat bermacam-macam informasi."
"Sejauh mana orang-orang yang bakal datang ini tahu?"
"Tentang kita-tentang Unit" Sama sekali tak tahu apa-apa. Paling tidak,
begitulah kesimpulanku. Mereka cuma akan melihat-lihat tempat penampungan
penderita kusta dan laboratorium penelitian medis. Tempat ini sengaja dibangun seperti
labirin, sehingga siapa yang masuk tidak dapat menduga luasnya. Kurasa di sini
ada tembok-tembok yang bisa dipakai menyelubungi keberadaan daerah kita."
"Rasanya semua ini hebat sekali."
"Memang. Sering kita merasa semua ini hanya mimpi saja. Salah satu hal yang tak
nyata di sini adalah tidak pernah kulihat anak-anak berkeliaran. Syukurlah tak
ada anak-anak! Kau mesti bersyukur tak punya anak."
Mendadak Peters merasa tubuh Hilary menegang.
"Oh-maaf-aku sudah salah omong!" Dibimbingnya Hilary ke pinggir lantai dansa,
menuju dua buah kursi. "Aku menyesal sekali," dia mengulang lagi. "Kau tersinggung?"
"Tak apa-apa-bukan salahmu. Aku memang pernah punya anak-lalu meninggalcuma itu." "Punya anak?" Peter menatapnya keheranan. "Kupikir kau baru enam bulan menikah
dengan Betterton?" Olive tersipu. Cepat-cepat dia berkata, "Ya, tentu saja. Tapi sebelumnya aku
pernah menikah, lalu kami bercerai."
"Oh, begitu. Itulah yang paling jelek dengan tempat ini. Kita tidak tahu apa-apa
mengenai hidup orang lain sebelum mereka datang kemari, sehingga kita bisa salah
omong. Kadang-kadang aku merasa aneh, kok aku tak tahu sedikit pun tentang
kau." "Dan aku tentang kau. Bagaimana kau dibesarkan-dan di mana-keluargamu-"
"Aku besar di lingkungan yang sungguh-sungguh ilmiah. Katakanlah, makananku
adalah tabung percobaan. Tak ada yang pernah membicarakan atau memikirkan hal
lain kecuali ilmu. Tapi aku tak pernah jadi si pandai dalam keluargaku.
Jeniusnya orang lain."
"Siapa persisnya?"
"Seorang gadis. Brilyan. Seharusnya dia bisa jadi Madame Curie kedua.
Seharusnya dia bisa membuka cakrawala baru."
"Dia apa yang terjadi dengan dia?"
Peters menyahut pendek, "Mati terbunuh."
Hilary menduga tentulah itu tragedi di masa perang. Dia berkata lembut, "Kau
sayang kepadanya?" "Lebih dari semua orang yang pernah kusayangi."
Mendadak Peters bangkit. "Ah, sudahlah-kita toh sudah punya kesulitan cukup banyak waktu ini, di sini,
dan sekarang. Coba lihat kawan kita orang Norwegia. Kecuali matanya, dia nampak
seperti terbuat dari kayu, ya" Dan caranya membungkuk kaku-seperti ditarik
dengan benang saja."
"Ah, itu kan karena dia begitu kurus dan tinggi."
"Tidak tinggi sekali. Kira-kira sama denganku-lima kaki sebelas inci atau enam
kaki, tak lebih." "Tinggi itu sulit diperkirakan."
"Ya, seperti deskripsi di dalam paspor. Misalkan saja Ericsson. Tinggi enam
kaki, rambut pirang, mata biru, wajah panjang, sikap kaku, hidung sedang, mulut
biasa. Meskipun kalau ditambahkan keterangan yang biasanya tidak dicantumkan dalam
paspor-bicaranya serba tepat dan teliti-kita tetap tak memperoleh bayangan
seperti apa si Torquil itu. Ada apa?"
"Tak apa-apa." Hilary terpana menatap Ericsson di seberang ruangan. Itu kan deskripsi Boris
Glydr! Hampir sama kata demi katanya dengan apa yang didengarnya dari Jessop. Apakah
itu sebabnya dia selalu merasa tak tenteram berdekatan dengan Torquil Ericsson"
Mungkinkah..." Dia segera menoleh kepada Peters dan berkata, "Kukira dia memang Ericsson" Tak
mungkin orang lain?"
Peters memandangnya terheran-heran.
"Orang lain" Siapa?"
"Maksudku-paling tidak kukira yang kumaksud ialah-apa mungkin dia cuma
menyamar sebagai Ericsson?"
Peters menimbang-nimbang. "Kukira-tidak, kukira itu sulit dilakukan. Orang yang
menyamar sebagai Ericsson harus seorang ilmuwan... dan bukankah Ericsson itu
terkenal sekali." "Tapi kelihatannya di sini tak ada yang pernah bertemu dia-atau mungkinkah dia
memang Ericsson, tapi juga sekaligus orang lain?"
"Maksudmu, Ericsson punya kehidupan ganda" Bisa juga. Tapi kurasa tak
mungkin." "Tidak," kata Hilary. "Tidak, tentu saja tak mungkin."
Tentu saja Ericsson bukan Boris Glydr. Tapi kenapa Olive Betterton harus begitu
bersikeras ingin memperingatkan Tom Betterton terhadap Boris"
Apakah karena dia tahu bahwa Boris waktu itu sedang menuju Unit"
Misalkan orang yang datang ke London dan menyebut diri Boris itu sama sekali
bukan Boris" Misalkan dia sebetulnya Torquil Ericsson"
Deskripsi kedua orang itu cocok. Sejak tiba di Unit, dia memusatkan perhatiannya
pada Tom. Dia yakin, Ericsson orang yang berbahaya-kita tak tahu apa yang ada di
balik mata pelamun yang pucat itu...
Dia bergidik. "Olive.... Kenapa" Ada apa?"
"Tak apa-apa. Lihat. Wakil Direktur akan mengumumkan sesuatu."
Dr. Nielson sedang mengangkat tangan agar orang-orang tenang. Dia berbicara di
depan corong di panggung bangsal.
"Kawan-kawan dan rekan-rekan, besok Anda diminta tinggal di Sayap Darurat.
Kami harap Anda dapat hadir pukul sebelas pagi, Anda akan diabsen. Perintah
darurat ini hanya berlaku selama 24 jam. Maaf untuk gangguan ini. Pengumuman
sudah ditempelkan di papan."
Dia mengundurkan diri sambil tersenyum. Musik mulai lagi.
"Aku harus mengejar Jennson lagi," kata Peters. "Kulihat dia sedang serius di
samping pilar. Aku ingin tahu ada apa saja di Sayap Darurat itu."
Dia pergi. Hilary tetap duduk berpikir. Apakah dia cuma si tolol yang suka
membayangkan macam-macam"
Torquil Ericsson" Boris Glydr"
IV Absensi dilaksanakan di ruang kuliah yang besar. Setiap orang hadir dan menyahut
jika namanya dipanggil. Kemudian mereka digiring ke sebuah lorong panjang dan


Menuju Negeri Antah Berantah Destination Unknown Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berangkat bersama-sama. Seperti biasa mereka melewati koridor-koridor yang berkelok-kelok.
Hilary berjalan di sebelah Peters. Dia tahu, diam-diam Peters menggenggam
kompas kecil. Dengan bantuan kompas, dia mengingat-ingat arah mereka berjalan.
"Bukan berarti ada gunanya kompas ini," katanya mengomel pelan. "Paling tidak
untuk saat ini tak ada gunanya. Tapi bisa juga berguna-kapan-kapan."
Di ujung koridor yang sedang mereka susuri ada pintu. Mereka berhenti
menunggu, sementara pintu dibuka.
Peters mengambil kotak rokoknya-tapi serta-merta suara Van Heidem melengking
galak. "Tolong jangan merokok. Anda kan sudah diberitahu."
"Maaf, Pak." Peters berhenti sebentar dengan tetap menggenggam kotak rokoknya. Kemudian
mereka semua maju lagi. "Persis seperti kambing," kata Hilary jengkel.
"Ayolah gembira sedikit," Peters menggumam. "Mbek, mbek, ada kambing hitam di
dalam kawanan yang sedang sibuk mencari akal jahat."
Hilary melirik mengucap terima kasih sambil tersenyum.
"Asrama wanita di sebelah kanan," kata Nona Jennson. Dia menggiring para wanita
ke kanan. Para lelaki digiring ke kiri.
Asramanya berupa kamar yang luas, bersih sekali seperti bangsal rumah sakit. Di
sepanjang dinding ranjang berjejer-jejer. Ada tirai plastik yang bisa ditarik
menutupi setiap ranjang, jika ingin suasana yang lebih pribadi. Di sebelah
ranjang ada lemari pakaian.
"Perlengkapan di sini agak sederhana," kata Nona Jennson, "tapi tidak terlalu
terbelakang. Kamar mandi ke sana, belok kanan. Ruang duduk umum di balik
pintu di ujung itu."
Mereka semua bertemu kembali di ruang duduk umum. Ruang duduk ini
perlengkapannya sederhana, mirip ruang tunggu lapangan terbang.
Di satu sisinya ada bar dan counter kue-kue. Di sisi satunya lagi ada sederetan
rak buku. Hari itu berlalu dengan cukup menyenangkan. Ada dua pemutaran film dengan
layar yang bisa dipindah-pindahkan. Lampu-lampunya memberikan cahaya seperti
siang, sehingga cenderung membuat orang lupa bahwa di sana tak ada jendela.
Menjelang malam dinyalakan lampu-lampu bohlam-nyalanya lembut, cocok untuk
malam hari. "Pintar mereka," komentar Peters memuji. "Semua ini mengurangi perasaan
terkurung hidup-hidup."
Betapa tak berdayanya mereka semua, pikir Hilary. Padahal entah di mana di dekat
mereka, ada serombongan orang dari dunia luar. Tapi mereka tak punya sarana
komunikasi dengan orang-orang itu untuk mohon pertolongan. Seperti biasa,
segalanya telah dirancang dengan tepat dan efisien.
Peters sedang duduk-duduk dengan Nona Jennson. Hilary mengajak suami-istri
Murchison bermain bridge. Tom Betterton tak mau. Katanya ia tak dapat
berkonsentrasi. Tapi Dr. Barron mau, sehingga mereka lengkap berempat.
Aneh juga, Hilary cukup menikmati permainan itu. Baru setengah dua belas ronde
ketiga berakhir dengan kemenangan jatuh di tangannya dan Dr. Barron.
"Sungguh menyenangkan permainan tadi," kata Hilary. Ia melihat arloji. "Sudah
malam sekali. Saya kira orang-orang VIP itu sudah pergi sekarang-atau mereka
akan menginap di sini?"
"Saya tak tahu," sahut Simon Murchison. "Saya dengar satu-dua dokter yang sangat
berminat akan menginap. Tapi besok siang semuanya akan pergi."
"Dan kita baru boleh beredar kembali?"
"Ya. Memang sudah saatnya. Hal begini benar-benar mengacaukan acara rutin
kita." "Tapi semuanya diatur dengan baik, kok," Bianca membela.
Dia dan Hilary bangkit, lalu mengucapkan selamat malam kepada kedua pria.
Hilary mundur sedikit membiarkan Bianca masuk lebih dulu ke asrama yang
temaram. Ketika itulah ia merasa lengannya disentuh orang.
Langsung saja ia menoleh dan dilihatnya seorang pelayan tinggi dan hitam berdiri
di sisinya. Ia berbicara dalam bahasa Prancis, pelan tapi kedengarannya penting.
"S'il vous plait, Madame, silakan ikut saya."
"Ikut" Ke mana?"
"Silakan ikut saya."
Sejenak Hilary berdiri bingung
Bianca sudah keluar menuju asrama. Di dalam ruang duduk masih ada beberapa
gelintir orang sedang asyik bercakap-cakap.
Lagi-lagi lengannya disentuh, lembut tapi mendesak. "Silakan ikuti saya,
Madame." Orang itu berjalan beberapa langkah, lalu berhenti dan menengok ke belakang.
Dengan sedikit ragu-ragu Hilary mengikutinya.
Dilihatnya pakaian orang ini jauh lebih mewah daripada pakaian pelayan-pelayan
pribumi yang lain. Jubahnya penuh dengan sulaman benang emas.
Dia mendahului Hilary lewat pintu kecil di sudut ruang duduk, lalu menyusuri
koridor putih yang memang ada di mana-mana. Rasanya mereka tidak lewat jalan
ini waktu pertama kali datang ke Sayap Darurat, tapi sukar Hilary memastikannya
karena semua lorong nampaknya serupa saja. Sekali dia mencoba bertanya, tapi
pengantarnya cuma menggeleng tak sabar dan terus berjalan dengan cepat.
Akhirnya dia berhenti di ujung sebuah koridor dan menekan tombol di dinding.
Sebuah panel bergeser membuka, dan tampaklah sebuah lift kecil. Dia
mengisyaratkan agar Hilary masuk, lalu dia sendiri masuk dan lift pun naik.
Hilary bertanya ketus, "Anda akan membawa saya ke mana?"
Mata hitam yang berwibawa itu menatapnya kurang, suka.
"Ke Majikan, Madame. Bagi Anda ini kehormatan besar."
"Ke Direktur, maksud Anda?"
"Ke Majikan...."
Lift berhenti. Orang itu membuka pintu lift dan memberi isyarat supaya Hilary
keluar. Lalu mereka melewati koridor lagi sampai tiba di sebuah pintu.
Pengantarnya mengetuk pintu dan dari dalam pintu itu dibuka. Lagi-lagi mereka
disambut oleh wajah hitam tanpa ekspresi dan jubah bersulamkan benang emas.
Orang itu membawa Hilary melewati kamar tunggu, lalu menyingkap tirai ke
ruang berikutnya. Hilary masuk. Tak dinyana, ternyata dia ada di ruangan yang
penataannya hampir bergaya timur. Ada sofa-sofa rendah, meja-meja untuk minum
kopi dan dindingnya dihiasi dengan permadani.
Di sebuah dipan rendah duduk seseorang. Hilary menatapnya tak percaya. Si tua
kecil berwajah kuning yang penuh keriput. Hilary melongo memandang Tuan
Aristides yang matanya tersenyum.
Bab 18 "Silakan duduk, Madame," kata Tuan Aristides.
Tangan kecilnya yang kurus mempersilakan. Seperti bermimpi, Hilary maju dan
duduk di dipan rendah lain di hadapan Aristides. Aristides ketawa kecil.
"Anda terkejut," katanya. "Tak disangka-sangka, ya?"
"Memang tidak," sahut Hilary. "Tak saya sangka-tak saya duga-"
Tapi begitu pun, saat itu juga sebenarnya kekagetannya telah berkurang.
Melihat Tuan Aristides serta-merta hancurlah dunia impian yang dirasakannya
selama berming-gu-minggu. Tahulah dia sekarang, Unit terasa bagai impian karena
memang cuma impian. Unit hanya berpura-pura saja, namun tak pernah menjadi
seperti yang digembar-gemborkannya. Tuan Direktur dengan suaranya yang
mencekam juga isapan jempol belaka. Dia cuma tokoh rekaan yang diciptakan
untuk menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya.
Kebenaran yang sejati justru ada di kamar rahasia bergaya timur ini.
Seorang tua duduk di sana dan ketawa pelan. Dengan munculnya Tuan Aristides
sebagai tokoh sentral, segalanya menjadi jelas-menjadi kenyataan sehari-hari
yang praktis, yang keras.
"Sekarang saya mengerti," kata Hilary. "Semua ini-milik Anda, kan?"
"Ya, Madame." "Bagaimana dengan Direktur" Orang yang disebut Direktur itu?"
"Dia baik sekali," kata Tuan Aristides memuji. "Saya menggaji dia tinggi sekali.
Dulu dia biasa menyelenggarakan rapat-rapat kebangkitan rohani."
Sejenak dia merokok sambil berpikir serius. Hilary diam saja. "Di samping Anda
ada Turkish Delight, Madame. Dan ada lagi kue-kue manis yang lain, kalau Anda
mau." Lagi-lagi diam. Lalu katanya, "Saya ini dermawan, Madame. Seperti yang Anda
ketahui, saya kaya. Saya salah seorang-bahkan mungkin yang paling kaya di dunia
saat ini. Dengan kekayaan saya ini, saya merasa terpanggil untuk melayani umat
manusia. Di sini, di tempat terpencil ini, saya membangun penampungan bagi
para penderita lepra dan mengadakan penyelidikan besar-besaran untuk
menyembuhkan lepra. Ada jenis-jenis lepra tertentu yang bisa sembuh. Tapi ada
juga yang terbukti tidak dapat disembuhkan. Tapi kami terus bekerja dan hasilnya
baik. Lepra itu bukan penyakit yang gampang diajak berkomunikasi. Tidak
semenular cacar, typhus, atau wabah. Begitu pun, kalau Anda menyebut,
'penampungan lepra', orang yang mendengar akan bergidik dan menyingkir jauhjauh. Rasa ketakutan ini sudah ada sejak dulu. Ketakutan yang bisa Anda temui di
dalam Kitab Injil dan yang sudah ada sejak dahulu kala. Lepra yang mengerikan.
Bagi saya mendirikan koloni penampungan penderita lepra ini amat berguna."
"Anda mendirikannya karena itu?"
"Ya. Di sini kami juga punya bagian penelitian kanker dan ada pula yang sedang
mengerjakan penelitian penting tentang tubercolosis. Ada penelitian virus, tentu
saja untuk upaya penyembuhan-perang biologis tidak disebut. Semuanya demi
kemanusiaan, semuanya dapat diterima, semuanya mengharumkan nama saya.
Dokter, ahli-ahli bedah, dan ahli-ahli kimia riset ternama datang kemari untuk
melihat hasil penelitian kami, seperti yang terjadi hari ini. Gedung ini
dibangun sedemikian rupa, sehingga sebagian tertutup dan tak nampak dari udara.
Laboratorium-laboratorium yang rahasia dibangun menembus batu karang.
Pokoknya, saya tak mungkin dicurigai apa-apa." Dia tersenyum dan
menambahkan, "Soalnya saya begitu kaya."
"Tapi kenapa?" tanya Hilary. "Kenapa Anda begitu ingin menghancurkan?"
"Saya sama sekali tidak ingin menghancurkan, Madame. Anda salah tafsir."
"Kalau begitu-saya sungguh tak mengerti."
"Saya usahawan," kata Tuan Aristides. "Saya juga kolektor. Kalau kekayaan sampai
amat berlebih-lebihan, hanya itulah yang bisa dilakukan. Saya sudah
mempunyai berbagai koleksi. Lukisan-koleksi seni saya yang paling bagus di
Eropa. Ada juga koleksi keramik. Filateli-koleksi perangko saya terkenal. Kalau
suatu koleksi sudah sepenuhnya lengkap, kita pindah ke hal lain. Saya sudah tua,
Madame, dan tak banyak lagi yang bisa saya koleksi. Jadi akhirnya saya
mengoleksi otak." "Otak?" tanya Hilary.
Dia mengangguk pelan. "Ya, inilah bahan koleksi yang paling menarik. Sedikit demi sedikit, Madame,
saya mengumpulkan semua orang pintar di dunia. Yang muda-muda yang saya bawa
kemari. Orang muda yang penuh harapan, orang muda yang berprestasi. Suatu hari
bangsa-bangsa yang sudah kecapekan akan sadar bahwa ilmuwan-ilmuwan mereka
sudah renta dan jenuh. Mereka akan sadar bahwa orang-orang cerdas di dunia,
dokter, ahli kimia riset, ahli fisika, ahli bedah, semuanya ada pada saya. Nah,
kalau mereka butuh ilmuwan, ahli bedah plastik, atau ahli biologi, mereka harus
datang dan membelinya dari saya!"
"Maksud Anda..." Hilary mencondongkan tubuh ke depan, menatapnya. "Maksud Anda
semua ini perdagangan dalam skala raksasa?"
Lagi-lagi Tuan Aristides mengangguk lembut.
"Ya," katanya. "Tentu saja. Kalau tidak-tak masuk akal, kan?"
Hilary menarik napas dalam-dalam.
"Ya," katanya. "Itulah yang saya rasakan."
"Apalagi," kata Tuan Aristides hampir-hampir seperti mohon dimaklumi, "itu kan
profesi saya. Saya ini pengusaha."
"Jadi maksud Anda semua ini sama sekali tak punya sisi yang berbau politis" Anda
tak ingin menguasai dunia-?"
Dia mengangkat kedua tangan dengan kesal.
"Saya tak ingin menjadi Tuhan," katanya. "Saya ini orang yang religius. Itu kan
penyakit para diktator: ingin menjadi Tuhan. Sampai sekarang saya belum
kejangkitan penyakit itu." Dia berpikir sebentar dan berkata, "Mungkin kapankapan. Mungkin kapan-kapan... Tapi sekarang, belum."
"Tapi bagaimana caranya Anda membuat mereka semua kemari?"
"Saya beli mereka, Madame. Di pasar yang terbuka, seperti barang dagangan lain.
Kadang-kadang saya membelinya dengan uang. Lebih sering, saya membeli
mereka dengan gagasan. Orang-orang muda biasanya suka bermimpi. Mereka
punya cita-cita. Punya keyakinan. Kadang-kadang saya membelinya dengan rasa
aman-ini bagi mereka yang telah melanggar hukum."
"Oh, makanya," kata Hilary. "Sekarang baru saya tahu jawaban pertanyaan yang
terus membuat saya bingung selama perjalanan kemari."
"Aa! Membuat Anda bingung?"
"Ya. Mereka punya tujuan yang berbeda-beda. Andy Peters, orang Amerika itu,
kelihatannya sungguh-sungguh orang kiri. Tapi Ericsson yakin betul akan adanya
manusia super. Sedang Helga Needheim orang fasis yang paling congkak dan
atheis. Dokter Barron-" Dia ragu.
"Ya, dia datang karena uang," kata Aristides. "Dokter Barron itu orang yang
berbudaya dan sinis. Dia tidak mengimpikan yang bukan-bukan, tapi dia sungguh
cinta pada pekerjaannya. Dia butuh uang tak terbatas untuk mengembangkan
penelitiannya." Dia menambahkan, "Anda cerdas, Madame. Saya langsung
melihatnya ketika di Fez."
Aristides ketawa pelan. "Anda tidak tahu, Madame, saya memang khusus ke Fez untuk melihat Anda-atau
tepat-nya, saya suruh orang membawa Anda ke Fez supaya saya bisa melihat
Anda." "O, begitu," kata Hilary.
Hilary menangkap gaya bahasa timur dalam perubahan kalimat itu.
"Saya senang Anda datang kemari. Karena, semoga Anda paham maksud saya, di
sini saya tidak menemukan banyak orang cerdas yang bisa diajak bicara."
Tangannya ikut-ikutan berbicara. "Ilmuwan-ilmuwan ini, ahli-ahli biologi, ahli
kimia riset, tidak menarik. Mungkin mereka jenius dalam bidang mereka, tapi
mereka bukan lawan bicara yang menarik."
"Istri mereka," tambahnya sambil terus berpikir, "biasanya juga amat
membosankan. Kami di sini tidak menganjurkan para istri ikut. Saya mengizinkan
istri ikut hanya karena satu alasan."
"Apa?" Tuan Aristides berkata dengan hambar,
"Jika suami tak bisa bekerja dengan baik karena terlalu banyak memikirkan istri.
Ini jarang terjadi, tapi nampaknya begitulah yang terjadi pada suami Anda,
Thomas Betterton. Thomas Betterton terkenal di dunia sebagai orang muda jenius,
tapi sejak berada di sini dia hanya menghasilkan karya sedang-sedang dan kelas dua
saja. Ya, Betterton membuat saya kecewa."
"Tapi apa Anda tak melihat bahwa hal demikian sering terjadi" Kan orang-orang
itu dipenjarakan di sini. Tentu saja mereka memberontak" Paling tidak, pada
mulanya?" "Ya," Tuan Aristides setuju. "Memang wajar dan tak terhindarkan. Begitu juga
yang mula-mula terjadi kalau Anda mengurung burung. Tapi kalau burung itu
ditempatkan dalam sangkar yang luas; kalau dia mendapat semua yang
dibutuhkannya -pasangan, biji-bijian, air, cabang pohon, dan semua kebutuhan
hidupnya-akhirnya dia akan lupa bahwa dulu dia pernah bebas."
Hilary agak bergidik. "Anda membuat saya takut," katanya. "Anda sungguh-sungguh membuat saya takut."
"Anda akan memahami banyak hal di sini, Madame. Yakinlah, meskipun semua
orang ini punya ideologi yang berlain-lainan, punya cita-cita sesat dan berjiwa
pemberontak, akhirnya mereka akan patuh."
"Anda tak bisa yakin tentang hal itu," kata Hilary.
"Orang memang tidak dapat sepenuhnya yakin tentang apa pun di dunia ini. Saya
setuju dengan Anda. Tapi kemungkinannya, sembilan puluh lima persen saya
benar." Hilary menatap Tuan Aristides seperti melihat setan.
"Mengerikan," katanya. "Seperti penyediaan tenaga tukang ketik saja! Padahal
yang Anda kumpulkan ini orang-orang jenius."
"Tepat. Anda mengatakannya dengan tepat sekali, Madame."
"Dan dari pusat penyediaan ini suatu hari Anda berniat memasok ilmuwan kepada
siapa saja yang paling berani membayar?"
"Itu prinsip umumnya secara kasar, Madame."
"Tapi Anda toh tak dapat mengirim seorang ilmuwan seperti mengirim tukang
ketik."

Menuju Negeri Antah Berantah Destination Unknown Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa tidak?"
"Karena begitu ilmuwan Anda bebas kembali, dia dapat menolak bekerja untuk
majikan barunya. Maka dia kembali bebas."
"Betul, sampai taraf tertentu. Jadi harus dilakukan sedikit-pengaturan."
"Pengaturan-apa maksud Anda?"
"Pernah dengar leucotomy, Madame?"
Hilary mengerutkan dahi. "Operasi otak?"
"Ya. Aslinya operasi ini dikerjakan untuk menyembuhkan melancholia. Saya tidak
akan menerangkannya dalam istilah-istilah kedokteran, Madame, tapi dengan
istilah yang Anda dan saya bisa mengerti. Setelah menjalani operasi semacam itu
pasien tidak lagi punya keinginan bunuh diri, tak punya lagi perasaan bersalah.
Dia tak takut apa-apa lagi, tak punya nurani dan pada umumnya patuh."
"Tapi operasi seperti itu belum seratus persen sukses, kan?"
"Dulu, tidak. Tapi di sini kami telah berhasil melangkah jauh di bidang ini.
Saya punya tiga ahli bedah di sini: satu orang Rusia, satu Prancis, dan satu
orang Austria. Dengan berbagai operasI pencangkokan dan perubahan-perubahan halus
di otak, sedikit-sedikit mereka telah dapat melakukan operasi yang bisa
menimbulkan kepatuhan tanpa mengganggu kecerdasan otak. Kelihatannya ada
kemungkinan akhirnya kami akan dapat membuat seorang manusia tetap dapat
mempertahankan kelebihan-kelebihan inteleknya, tapi punya sikap yang amat
penurut. Disuruh apa saja dia mau."
"Tapi itu mengerikan," jerit Hilary. "Mengerikan!"
Dengan serius Aristides mengoreksi.
"Berguna. Bahkan dalam beberapa hal itu merupakan kebajikan. Pasien akan selalu
merasa bahagia, tanpa rasa takut, rindu, atau resah."
"Saya tak percaya itu semua akan terlaksana," kata Hilary ngotot.
"Chere Madame, maafkan kalau saya bilang Anda sama sekali tak kompeten untuk
mengutarakan pendapat apa pun mengenai masalah ini."
"Maksud saya," kata Hilary, "saya tak percaya hewan apa pun yang dalam kondisi
serba puas dan serba menurut akan mampu menghasilkan karya kreatif yang
bebat." Aristides mengangkat bahu.
"Mungkin. Anda cerdas. Mungkin Anda benar juga. Waktulah yang akan
membuktikan. Percobaan terus berjalan, kok."
"Percobaan" Pada manusia, maksud Anda?"
"Tentu saja. Itu satu-satunya metode yang praktis."
"Tapi-manusia yang bagaimana?"
"Kan selalu saja ada orang yang kurang cocok," kata Aristides.
"Mereka yang tak dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan di sini, yang tidak
mau bekerja sama. Mereka bahan percobaan yang baik."
Jari-jemari Hilary mencengkeram bantal-bantal dipan. Kengerian luar biasa
merambati hatinya berhadapan dengan orang kecil berwajah kuning yang
tersenyum dan tak manusiawi itu. Semua yang dikatakannya begitu masuk akal,
begitu logis, dan begitu komersial, membuatnya makin tercekam rasa ngeri. Ini
bukan orang gila yang ngoceh tak keruan, tapi seorang manusia yang memandang
sesamanya melulu sebagai bahan baku saja.
"Anda tak percaya kepada Tuhan?" kata Hilary.
"Tentu saja saya percaya kepada Tuhan." Tuan Aristides mengangkat alisnya.
Nadanya hampir-hampir terkejut. "Saya kan sudah bilang. Saya ini orang yang
religius. Tuhan telah menganugerahi saya kekuasaan besar. Uang dan
kesempatan." "Anda suka membaca Injil?" tanya Hilary.
"Tentu, Madame."
"Anda ingat apa yang dikatakan Musa dan Harun kepada Fir'aun: Biarkan
bangsaku pergi!" Tuan Aristides tersenyum.
"Jadi saya Fir'aun" Sedangkan Anda Musa sekaligus Harun" Itukah yang ingin
Anda katakan kepada saya" Melepaskan orang-orang ini, semuanya, atau khusus
satu saja?" "Semuanya," kata Hilary.
"Tapi Anda kan tahu, chere Madame," katanya, "itu akan berarti buang-buang
waktu. Jadi apa bukan untuk suami Anda permohonan itu?"
"Dia tak berguna bagi Anda," kata Hilary. "Tentunya sekarang Anda sudah
menyadari hal itu." "Mungkin yang Anda katakan itu benar, Madame. Ya, saya amat kecewa dengan
Thomas Betterton. saya berharap dengan hadirnya Anda di sini dia akan kembali
cemerlang, karena tak diragukan lagi dia memang amat cemerlang. Reputasinya di
Amerika sama sekali tak perlu diragukan. Tapi kedatangan Anda kelihatannya
hanya sedikit atau malah tidak ada pengaruhnya. Tentu saja ini bukan berdasarkan
pengetahuan saya sendiri, tapi berdasarkan laporan mereka yang tahu. Sesama
ilmuwan yang pernah bekerja sama dengan dia."
Dia mengangkat bahu. "Dia rajin bekerja, tapi cuma biasa-biasa saja hasilnya.
Tak lebih." "Ada burung yang tidak dapat berkicau di dalam sangkar," kata Hilary. "Mungkin
ada ilmuwan yang jadi tak mampu berpikir kreatif jika berada dalam kondisi
tertentu. Anda harus akui, itu juga satu kemungkinan."
"Benar. Saya tidak menyangkal."
"Kalau begitu anggap Thomas Betterton sebagai salah satu kegagalan Anda.
Biarkan dia kembali bebas di dunia luar."
"Itu tidak bisa, Madame. Saya belum siap menyiarkan keberadaan tempat ini ke
seluruh." "Anda bisa menyuruhnya bersumpah agar menjaga rahasia. Dia akan bersumpah
tidak akan membocorkan sedikit pun."
"Dia akan bersumpah-ya. Tapi dia tidak akan menepatinya."
"Dia pasti menepati! Oh, pasti!"
"Nah, ini suara seorang istri! Dalam hal ini kita tak dapat mempercayai omongan
seorang istri. Tentu saja-" dia menyandarkan diri di kursi dan menangkupkan
kedua tangannya, "tentu saja, dia bisa meninggalkan sandera di sini. Dengan
demikian baru dia akan menjaga mulutnya."
"Maksud Anda?" "Maksud saya Anda, Madame.... Kalau Thomas Betterton pergi, dan Anda tinggal di
sini sebagai sandera, bagaimana pendapat Anda" Anda mau?"
Hilary nanar menatap bayangan dalam benaknya. Aristides tak tahu apa yang
dibayangkannya. Dia kembali ke rumah sakit, duduk di sisi seorang wanita yang
sedang sekarat. Dia mendengarkan Jessop dan menghafalkan semua instruksinya.
Kalau sekarang ada kesempatan untuk membebaskan Thomas Betterton, sementara
dia sendiri tinggal, bukankah itu cara terbaik untuk menunaikan tugasnya"
Karena dia tahu (yang tidak diketahui Tuan Aristides), tak akan ada sesuatu pun
yang bisa disebut sandera. Soalnya bagi Betterton dia tak berarti apa-apa. Istri
yang dikasihinya telah meninggal dunia.
Dia mengangkat wajah dan memandang langsung kepada si tua kecil di atas dipan.
"Saya bersedia," katanya.
"Anda bernyali besar, Madame. Anda setia dan Anda berbakti. Itu sifat-sifat yang
baik. Seterusnya-" dia tersenyum, "kita bicarakan lain kali saja."
"Oh, jangan, jangan!" Tiba-tiba Hilary menutup wajah dengan tangannya. Bahunya
bergetar. "Saya tak tahan! Saya tak tahan! Semua ini begitu tak manusiawi."
"Tak usah terlalu dipikirkan, Madame." Suara orang tua itu lembut, hampir-hampir
menghibur. "Malam ini saya senang telah menceritakan tujuan dan pemikiranpemikiran saya kepada Anda. Sungguh menarik menyaksikan efeknya pada orang
yang sama sekali tak siap. Orang yang seperti Anda, seimbang, berakal sehat dan
cerdas. Anda ngeri. Begitupun, saya kira bijaksana membuat Anda terkejut seperti
ini. Mula-mula Anda benci pada gagasan itu, kemudian Anda memikirkannya,
merenungkannya, dan akhirnya Anda akan memandangnya wajar-wajar saja;
seolah-olah gagasan itu sudah ada sejak dulu, biasa."
"Tak mungkin!" teriak Hilary. "Tak mungkin! Tak mungkin!"
"Aa," kata Tuan Aristides. "Sekarang si rambut merahlah yang berbicara. Penuh
emosi dan pemberontakan. Istri saya yang kedua," katanya, "punya rambut merah.
Dia cantik dan dia mencintai saya. Aneh, ya" Sejak dulu saya memang suka
kepada wanita berambut merah. Rambut Anda sangat indah. Ada hal-hal lain pada
Anda yang saya sukai. Semangat Anda, nyali Anda, pendirian Anda yang mandiri."
Dia mendesah. "Sayang! Sekarang ini saya sudah tidak tertarik lagi pada wanita
sebagai wanita. Di sini saya punya dua orang gadis yang kadang-kadang
menghibur saya, tapi sekarang saya lebih suka rangsangan yang bersifat mental.
Percayalah, Madame, saya merasa segar kembali setelah ditemani Anda."
"Bagaimana kalau saya teruskan apa yang telah Anda katakan-kepada suami
saya?" Tuan Aristides tersenyum senang.
"Ah, ya" Bagaimana kalau Anda melakukan itu" Tapi apa Anda akan
melakukannya?" "Saya tak tahu. Saya-oh, saya tak tahu."
"Aa!" kata Tuan Aristides. "Anda bijak. Ada pengetahuan yang sebaiknya disimpan
saja oleh kaum wanita. Tapi sekarang Anda letih-dan kesal. Sejak
sekarang, kalau saya kemari, Anda akan dibawa kepada saya, dan kita akan
ngobrol tentang banyak hal."
"Biarkan saya pergi dari sini-" Hilary menjulurkan kedua lengannya kepada
Aristides. "Oh, lepaskan saya. Izinkan saya ikut kalau Anda pergi. Tolonglah!
Tolong!" Aristides menggeleng lembut. Ekspresi wajahnya kebapakan, tapi sedikit mencela.
"Nah, sekarang Anda berbicara seperti anak kecil," katanya mencela. "Bagaimana
mungkin saya biarkan Anda pergi" Bagaimana mungkin saya biarkan Anda
menyebar cerita ke seluruh dunia tentang apa yang telah Anda lihat di sini?"
"Anda tidak percaya, kalau saya bersumpah tak akan mengatakan kepada siapa pun
juga?" "Tidak, memang saya tidak akan percaya," kata Tuan Aristides. "Tolol sekali
kalau saya percaya pada hal-hal demikian."
"Saya tak ingin tinggal di sini. Saya tak mau tinggal di penjara ini. Saya ingin
keluar." "Tapi di sini ada suami Anda. Anda datang kemari untuk bergabung dengan dia,
atas kemauan Anda sendiri."
"Tapi waktu itu saya tak tahu tempat seperti apa ini. Saya sama sekali tak punya
bayangan." "Tidak," kata Tuan Aristides, "Anda tak punya bayangan. Tapi percayalah kepada
saya, dunia yang Anda datangi ini jauh lebih menyenangkan daripada kehidupan di
balik Tirai Besi. Di sini Anda mendapatkan segala kebutuhan! Kemewahan, iklim
yang enak, kegiatan sampingan..."
Dia bangkit dan menepuk bahu Hilary dengan lembut.
"Anda pasti akan tenang berada di sini," katanya meyakinkan. "Ah ya, burung
berbulu merah di dalam sangkar ini pasti akan tenang. Dalam setahun, dua tahun
pasti, Anda akan merasa bahagia sekali! Meskipun mungkin," dia menambahkan
sambil berpikir-pikir, "Anda mungkin tak akan begitu menarik lagi."
Bab 19 I Malam berikutnya Hilary tiba-tiba terjaga karena kaget. Dia menyandarkan diri
pada siku, mendengarkan. "Tom, kau dengar?"
"Ya. Pesawat terbang-terbang rendah. Tak ada apa-apa. Memang kadang-kadang
ada pesawat yang datang."
"Aku ingin tahu-" Dia tak menyelesaikan kalimatnya.
Dia membaringkan diri lagi sambil terus berulang-ulang memikirkan
percakapannya yang aneh dengan Aristides.
Orang tua itu ternyata menyukai dia.
Bisakah dia memanfaatkan hal itu"
Dapatkah akhirnya dia membuat Aristides membawanya keluar, ke dunia lagi"
Lain kali kalau Aristides datang lagi dan memanggilnya, dia akan menggiringnya
keperca-kapan tentang almarhum istrinya yang berambut merah itu. Bukan rayuan
jasmaniah yang menarik Aristides. Untuk itu darahnya sudah terlalu dingin. Lagi
pula dia sudah punya "gadis-gadis"-nya itu. Tapi orang tua biasanya senang
mengenang masa lalu... Paman George yang dulu tinggal di Cheltenham...
Dalam kegelapan Hilary tersenyum ingat Paman George.
Apakah di dalam hati, Paman George dan Aristides, jutawan itu, sungguh-sungguh
berbeda" Paman George dulu punya pengurus rumah tangga yang begitu baik dan bisa
dipercaya. Dia bukan wanita yang menarik atau sexy atau yang semacam itu. Baik,
sederhana, dan berakal sehat.
Tapi Paman George membuat keluarganya kecewa ketika dia menikah dengan
wanita yang baik dan sederhana itu. Soalnya wanita itu pendengar yang baik...
Apa yang sudah dikatakannya kepada Tom" "Aku akan cari jalan keluar dari sini."
Lucu juga, kalau ternyata jalan itu adalah Aristides....
II "Pesan," kata Leblanc. "Akhirnya datang juga pesan."
Bawahannya baru saja masuk. Setelah memberi hormat, dia meletakkan secarik
kertas terlipat di hadapan Leblanc. Leblanc membukanya, lalu berkata penuh
semangat. "Ini laporan dari salah satu pilot pelacak kita Dia baru saja beroperasi di
Pegunungan Atlas Ketika terbang di atas suatu daerah pegunungan dia melihat
isyarat cahaya. Isyarat itu dalam Morse dan dua kali diulang. Ini."
Dia menaruh kertas tadi di depan Jessop.
C O G L E P R O S I E S L
Jessop memisahkan dua huruf terakhir dengan pinsil.
"SL-ini kode kami untuk 'Jangan balas'."
"Dan COG di permulaan pesan ini," kata Jessop, "adalah kode pengenal kami."
"Jadi beritanya adalah sisanya ini." Dia menggarisbawahi. "LEPROSIE."
Leblanc mengamatinya bingung.
"Leprosy?" kata Jessop. "Apa pula artinya itu?"
"Kalian punya tempat pemukiman penderita lepra yang terkenal" Atau mungkin
yang tidak terkenal?"
Leblanc menggelar peta besar di depannya. Jari telunjuknya yang gemuk dan
bernoda-noda tembakau menunjuk.
"Di sini," dia menandai, "tempat beroperasinya pilot kami. Coba sekarang saya
lihat. Rasanya saya ingat..."
Dia ke luar ruangan. Tak lama dia kembali.
"Sudah saya dapat," katanya. "Di sana ada pusat penelitian medis yang sangat
terkenal, didirikan dan dibiayai oleh dermawan terkenal dan beroperasi di
kawasan itu-sangat terpencil. Mereka sudah menghasilkan karya-karya berharga di
bidang penelitian lepra. Di sana ada penampungan penderita lepra untuk sebanyak kirakira dua ratus orang. Juga ada pusat peneliti an kanker dan sanatorium
tuberculosis. Tapi semuanya ini tak ada yang pura-pura. Pusat penelitian itu
memang reputasinya amat baik. Pelindungnya saja presiden sendiri."
"Ya," kata Jessop senang. "Karya yang baik sekali."
"Tempat itu bebas dilihat-lihat kapan saja. Orang-orang medis yang tertarik pada
hal-hal yang diteliti di sana boleh datang berkunjung."
"Dan mereka tidak akan melihat apa yang tak boleh dilihat! Kenapa pula mereka
harus melihat" Tak ada penyamaran yang lebih baik untuk urusan yang
mencurigakan selain lingkungan yang serba terhormat. "
"Bisa juga," kata Leblanc bingung, "tempat itu merupakan tempat mampir rombongan
dalam perjalanan. Mungkin satu-dua dokter dari Eropa Tengah telah
berhasil mengatur yang demikian. Rombongan kecil, seperti yang sedang kita
lacak, bisa beristirahat di sana beberapa minggu sebelum melanjutkan
perjalanan." "Saya kira ada kemungkinan lebih dari itu," kata Jessop. "Mungkin justru di
sanalah-akhir perjalanannya."
"Anda pikir ini sesuatu yang hebat?"
"Bagi saya penampungan untuk penderita lepra agak mencolok... Dengan
perawatan modern, sekarang orang cukup merawat penderita lepra di rumah saja."
"Di masyarakat yang berbudaya, mungkin. Tapi kita tak bisa melakukan itu di
negeri ini." "Memang. Tapi kata lepra saja masih berhubungan dengan masa Abad
Pertengahan, ketika penderita lepra harus membunyikan bel agar orang-orang
menyingkir jika dia akan lewat. Orang-orang yang cuma sekadar ingin tahu, tak
mungkin mau datang berkunjung ke tempat penampungan penderita lepra. Orang
yang datang adalah, seperti yang Anda katakan tadi, orang-orang dari profesi
kedokteran yang hanya menaruh perhatian pada penelitian medis yang dikerjakan
di sana. Mungkin juga pekerja sosial, yang datang ke sana untuk menulis laporan
tentang kondisi hidup para penderita lepra di sana-yang kesemuanya pasti amat
memuaskan. Di balik kedermawanan itu- bisa terjadi apa saja. Omong-omong
siapa pemiliknya" Siapa dermawan yang membiayai dan mendirikannya?"


Menuju Negeri Antah Berantah Destination Unknown Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Itu gampang dicari. Sebentar." Dia kembali sejenak kemudian, membawa sebuah
buku acuan resmi. "Didirikan oleh perusahaan swasta. Oleh sekelompok dermawan yang diketuai
Aristides. Seperti yang Anda tahu, kekayaan orang ini luar biasa. Dan dia royal
dalam memberi dana untuk usaha-usaha sosial. Dia telah mendirikan rumah sakit
di Paris dan Seville. Yang ini hampir dapat dikatakan adalah hasil karyanyapenyumbang-penyumbang lain adalah rekanan-rekanannya."
"Jadi ini usaha Aristides. Dan Aristides ada di Fez ketika Olive Betterton
berada di sana." "Aristides!" Leblanc jadi sadar sepenuhnya. "Mais-c'est colossal!. Hebat
sekali!" "Ya." "Fantastis!" "Tepat." "Enfin-mengerikan!"
"Persis." "Tapi apa Anda sadar betapa mengerikannya ini?" Leblanc mengayun-ayunkan
telunjuknya dengan bersemangat di depan wajah Jessop. "Aristides ini, dia ada di
mana-mana. Dia hampir ada di balik apa saja. Bank, pemerintah, industri
perpabrikan, persenjataan, transportasi! Orang tidak pernah melihat dia, orang
hampir tak pernah dengar tentang dia! Dia cuma duduk di sebuah kamar yang
hangat di istananya di Spanyol sambil merokok. Kadang-kadang dia tinggal
mencoret-coret beberapa kata di secarik kertas lalu melemparkannya ke lantai.
Sekretaris akan merangkak maju dan memungut kertas itu. Beberapa hari
kemudian seorang bankir terkenal di Paris menembak kepalanya sendiri!
Begitulah!" "Anda sungguh-sungguh dramatis, Leblanc. Tapi ini sama sekali tak
mengherankan. Presiden dan menteri-menteri membuat keputusan penting, bankir
duduk santai di belakang meja mewah dan membuat pernyataan-pernyataan yang
berbunga-bunga-tapi kita tak pernah heran bila di belakang segala yang penting
dan hebat itu ada satu orang kecil remeh pemegang kekuasaan yang sebenarnya.
Sama sekali tak mengherankan kalau Aristides berada di balik urusan hilangnya
banyak orang ini-bahkan kalau kita punya otak, seharusnya kita sudah menduganya
sejak dulu-dulu. Semua ini adalah soal komersial mahabesar. Sama sekali bukan
masalah politik. Pertanyaannya," tambahnya, "apa tindakan kita sekarang?"
Wajah Leblanc jadi muram. "Tidak akan mudah. Kalau kita salah-saya tak berani
membayangkan! Bahkan kalau kita benar pun-kita harus membuktikan bahwa kita
benar. Kalau kita mengadakan penyelidikan-penyelidikan itu dapat dibatalkan-di
tingkat tertinggi, Anda mengerti" Tidak, ini tidak akan mudah... Toh," katanya
sambil menggoyang-goyangkan jari telunjuknya yang gemuk, "hal ini tetap akan
dilaksanakan." Bab 20 Mobil-mobil itu meniti jalan mendaki dan berhenti di muka gerbang besar yang
tertanam di karang. Ada empat mobil. Di mobil pertama ada Menteri Prancis dan
Duta Besar Amerika. Mobil kedua membawa Konsul Inggris, seorang anggota
parlemen Inggris, dan Kepala Polisi.
Mobil ketiga membawa dua anggota sebuah bekas Komisi Kerajaan Inggris.
Ketiga mobil ini dibuntuti kendaraan-kendaraan pengawal.
Sedangkan penumpang-penumpang mobil keempat tidak terkenal, namun cukup
dikenal di kalangan mereka sendiri: Kapten Leblanc dan Jessop. Para sopir dengan
seragam serba bersih sempurna membuka pintu mobilnya masing-masing. Sambil
membungkuk, mereka membantu para tamu kehormatan turun.
"Saya harap saja," gumam Menteri khawatir, "kita tidak akan bersenggolan dengan
siapa pun." Segera seorang pengawal menenangkan.
"Tidak, kok, Pak Menteri. Kami sudah memperhitungkan segala kemungkinan.
Kita akan meninjau dari kejauhan saja."
Bapak Menteri yang sudah nampak tua dan penggugup kelihatannya lega. Duta
Besar mengatakan, sekarang semakin pandai saja orang mendalami dan mengobati
penyakit-penyakit semacam ini.
Gerbang yang besar terbuka lebar-lebar. Di ambang pintu serombongan kecil
sudah menanti untuk menyambut.
Direktur, gemuk dan berkulit coklat, Wakil Direktur, pirang dan tinggi besar,
dua doktor terkenal dan seorang ahli kimia riset termasyhur. Kata sambutan yang
panjang dan berbunga-bunga disampaikan dalam bahasa Prancis.
"Sedangkan Saudara Aristides," kata Menteri, "saya sungguh-sungguh berharap
tidak sedang sakit, sehingga dapat memenuhi janjinya untuk datang kemari."
"Tuan Aristides kemarin tiba dari Spanyol dengan pesawat," kata Wakil Direktur.
"Beliau sedang menunggu Anda sekalian di dalam. Izinkan saya, Yang Mulia-M.
le Ministere, menunjukkan jalan."
Maka rombongan bergerak mengikuti dia. Bapak Menteri agak takut-takut melirik
ke pagar tinggi di sebelah kanannya. Para penderita lepra berbaris rapi dalam
sikap hormat jauh sekali dari pagar.
Menteri tampak lega. Soalnya pandangannya terhadap lepra masih seperti zaman
Abad Pertengahan dulu. Di ruang tunggu modern yang berperabot indah, Tuan Aristides telah menanti.
Orang-orang saling membungkuk, memuji, dan memperkenalkan. Minuman
dihidangkan seorang pelayan kulit hitam yang berjubah dan bersorban putih.
"Sungguh bagus tempat Anda ini, Pak," ujar salah seorang wartawan muda kepada
Aristides. Aristides seperti biasa menggerak-gerakkan tangannya dengan gaya orang timur.
"Saya bangga dengan tempat ini," katanya. "Boleh dikatakan, tempat ini
persembahan saya yang terakhir untuk kemanusiaan. Tak ada penghematan sedikit
jua." "Saya rasa memang demikian," kata salah seorang staf doktor dengan ramah.
"Tempat ini diimpikan profesional mana pun. Di AS kami punya fasilitas yang
baik sekali, tapi apa yang saya lihat di sini... lebih-lebih kami mendapatkan
hasil-hasil yang baik! Ya, kami sungguh-sungguh mendapat hasil yang baik."
Semangatnya yang menyala-nyala segera saja menular.
"Kita harus berterima kasih kepada perusahaan swasta," kata Duta Besar,
membungkuk sopan kepada Tuan Aristides.
Aristides berbicara dengan rendah hati.
"Tuhan memang baik sekali kepada saya," katanya.
Dengan tubuhnya yang bungkuk duduk di kursi, Aristides nampak seperti katak
kecil berwarna kuning. Anggota parlemen menggumam kepada anggota Komisi Kerajaan yang sudah tua
sekali dan tuli, bahwa Aristides ini paradoks yang amat menarik.
"Bajingan tua itu mungkin sudah menghancurkan jutaan orang," gumamnya.
"Sekarang setelah uangnya begitu banyak, dia tak tahu lagi akan diapakan uang
itu. Maka dia mengembalikannya lagi kepada masyarakat melalui saluran lain."
Hakim tua yang diajaknya berbicara menyahut, "Kita jadi bertanya-tanya, sampai
di mana hasil membenarkan pengeluaran yang besar. Soalnya, kebanyakan
penemuan besar yang berguna bagi umat manusia justru ditemukan dengan alatalat yang sederhana."
"Dan sekarang," kata Aristides, setelah segala basa-basi dan para tamu meminum
habis minumannya, "saya persilakan Anda sekalian menikmati hidangan ala
kadarnya yang sudah menanti. Doktor Van Heidem akan menemani Anda. Saya
sendiri sedang berdiet sehingga waktu ini cuma makan sedikit sekali. Setelah
makan, baru Anda akan mulai berkeliling meninjau gedung ini."
Diantar Dr. Van Heidem yang ramah dan menyenangkan, para tamu dengan
bersemangat menuju ruang makan. Mereka baru saja terbang selama dua jam,
kemudian dilanjutkan dengan bermobil satu jam. Mereka sungguh-sungguh siap
mengganyang apa saja. Hidangannya lezat, sampai Menteri sendiri memberikan pujian khusus.
"Memang kami cukup puas dengan fasilitas di sini yang tidak istimewa," kata Van
Heidem. "Dua kali seminggu buah-buahan dan sayur-mayur segar diterbangkan
kemari. Daging dan ayam pun ada pengaturannya, dan tentu saja kami punya
lemari pendingin yang sungguh-sungguh dingin. Tubuh kita kan mesti mendapat
manfaat dari kemajuan ilmu?"
Hidangan disantap bersama-sama dengan anggur pilihan. Setelah itu dihidangkan
kopi Turki. Kemudian rombongan dipersilakan mulai meninjau.
Peninjauan menghabiskan waktu dua jam dan sungguh-sungguh padat acaranya.
Alangkah senangnya, apalagi Menteri ketika acara peninjauan selesai. Dia
sungguh-sungguh dibuat terlongong-longong melihat laboratorium yang berkilatkilat, koridor putih yang panjang dan mengkilap, dan semakin terlongong-longong
berhadapan dengan begitu banyak detil ilmiah yang disodorkan kepadanya.
Meskipun Menteri ke sana hanya sekadar memenuhi kewajiban, ada juga tamutamu lain yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis.
Ada yang menanyakan bagaimana kondisi hidup para personil dan berbagai detil
lain. Dr. Van Heidem tampaknya sangat bersemangat menunjukkan semua saja yang
bisa dilihat kepada para tamu. Ketika rombongan beranjak untuk kembali ke ruang
tunggu, Leblanc yang tadinya mendampingi Menteri dan Jessop yang tadinya
mengawal Konsul Inggris, agak tertinggal dari yang lain. Jessop mengeluarkan
sebuah jam kuno yang bunyinya keras dan melihat jam berapa.
"Tak ada tanda-tanda di sini, tak ada," gumam Leblanc jengkel. "Tak ada tanda
satu pun." "Mon cher, kalau ternyata, seperti istilah Anda, kita salah alamat, oh, bencana!
Padahal berminggu-minggu kita atur acara ini! Sedang bagi saya tamatlah karier
saya." "Kita belum kalah," kata Jessop. "Kawan-kawan kita ada di sini, saya yakin."
"Tapi tak ada jejak mereka."
"Tentu saja jejak mereka tak ada. Mereka tak mungkin bisa meninggalkan jejak.
Soalnya untuk acara resmi begini, semua pasti sudah diatur dan dipersiapkan
dengan sebaik-baiknya."
"Jadi bagaimana kita akan menyodorkan bukti" Saya katakan ya, tanpa bukti, tak
seorang pun bakal mau menangani soal ini. Mereka semua skeptis. Menteri, si
Amerika, Duta Besar itu, Konsul Inggris-mereka semua bilang, orang seperti
Aristides tak mungkin dicurigai macam-macam."
"Tenang, Leblanc, tenang. Saya kan sudah bilang, kita belum kalah."
Leblanc mengangkat bahu. "Anda memang optimis," katanya.
Dia menoleh sebentar kepada salah seorang anggota rombongan yang masih muda,
pakaiannya serba sempurna dan wajahnya sebulat rembulan, lalu berbalik lagi
kepada Jessop. Tanyanya dengan nada curiga, "Kenapa Anda tersenyum?"
"Karena penemuan-penemuan ilmiah-tepatnya, karena modifikasi alat Geiger
Counter yang mutakhir."
"Saya bukan ilmuwan."
"Saya juga, tapi detektor radioaktif yang sangat peka ini mengatakan, kawankawan kita berada di sini. Gedung ini dibangun sedemikian rupa sehingga
membingungkan. Semua koridor dan ruangannya dibuat mirip sehingga sulit
ditandai atau membayangkan denahnya. Ada sebagian dari gedung ini yang belum
kita lihat. Yang belum ditunjukkan kepada kita."
"Tapi Anda menyimpulkan demikian karena ada tanda-tanda radioaktif?"
"Tepat." "Butir-butir mutiara Madame yang berserakan lagi?"
"Ya. Sekarang kita masih dalam tahap bermain petak umpet. Tanda ini memang
tidak sekentara butir mutiara, atau telapak tangan yang bercahaya karena dicat
dengan cat yang berfosfor. Tanda ini tidak terlihat, tapi bisa tertangkap...
oleh detektor radioaktif kami."
"Tapi, demi Tuhan, apa itu cukup?"
"Cukup," kata Jessop. "Yang saya takutkan justru..." Dia berhenti di situ.
Leblanc menyambung kalimatnya.
"Justru kalau orang-orang ini tidak mau percaya. Sejak semula mereka enggan
percaya. Ya, memang demikian. Bahkan Konsul Anda itu juga berhati-hati.
Pemerintah Anda sudah banyak berutang budi kepada Aristides. Sedangkan
pemerintah kami-" dia mengangkat bahu, "saya yakin M. le Ministere akan sulit
sekali diyakinkan." "Kita tidak akan mengandalkan pemerintah, ujar Jessop. "Pemerintah dan diplomat
itu terbelenggu. Kita membawa mereka kemari karena merekalah yang punya
kuasa. Tapi kalau soal percaya atau tidak, ada pihak lain yang saya andalkan."
"Siapa persisnya andalan Anda itu?"
Wajah Jessop yang sejak tadi serius mendadak nyengir santai.
"Pers," katanya. "Wartawan selalu mengendus-endus berita. Mereka tidak akan
menutup-nutupi berita. Mereka selalu siap percaya pada apa saja yang aneh-aneh.
Orang lain yang saya andalkan adalah si tua yang sudah sangat tuli itu."
"Aha, saya tahu siapa yang Anda maksud. Yang kelihatannya seperti sudah dekat ke
liang kubur itu?" "Ya, dia sudah tua bangka. tuli, dan separuh bu-ta. Tapi dia-suka pada
kebenaran. Dia bekas Ketua Mahkamah Agung dan meskipun tuli, buta dan jalannya sudah
tertatih-tatih, pikirannya tetap tajam-ketajaman yang biasa dimiliki orang-orang
hukum. Dia akan segera tahu jika ada sesuatu yang mencurigakan dan jika ada
usaha-usaha untuk menutup-nutupinya. Dia akan mau mendengarkan dan pasti
mau mendengarkan bukti-bukti."
Mereka sudah tiba kembali di ruang tunggu. Menteri memberi selamat kepada
Aristides dengan kata-kata berbunga-bunga.
Setelah Duta Besar Amerika mengimbuhi sanjungan itu, Menteri melihat ke
sekeliling dan berkata dengan agak gugup, "Dan sekarang, Tuan-tuan, saya rasa
sudah waktunya kita tinggalkan tuan rumah kita yang ramah ini. Kita telah
melihat semua yang bisa dilihat..." Suaranya menggantung di situ dengan nada
ditekankan, "semua yang ada di sini begitu hebat. Nomor satu! Kita amat berterima kasih
kepada tuan rumah yang baik dan kita mengucapkan selamat untuk prestasinya di
sini. Jadi kita akan minta diri sekarang lalu berangkat. Bukankah begitu?"
Sepintas kata-katanya terdengar biasa-biasa saja. Pandangannya yang menyapu
para tamu bisa jadi sekadar sopan-santun. Namun sebenarnya ucapan itu
merupakan permohonan. Sebenarnya yang dia katakan adalah, "Tuan-tuan, Anda
sudah lihat sendiri, di sini tak ada apa-apa. Tak ada sesuatu pun yang seperti
Anda curigai atau takutkan. Ini melegakan sekali dan kini dengan hati lapang
kita bisa pergi." Namun sesuatu memecah kesunyian. Ternyata suara Jessop. Suara yang tenang,
penuh hormat, dan amat sopan. Dia berbicara dalam bahasa Prancis, yang
meskipun menggunakan gaya bahasa Prancis, tetap berlogat Inggris.
"Jika Anda izinkan," katanya, "saya ingin minta tolong kepada tuan rumah kita
yang baik." "Silakan, silakan. Tentu saja, Tuan-aa-Tuan Jessop-ya?"
Dengan serius Jessop berbicara kepada Dr. Van Heidem. Dia pura-pura tidak
melihat ke Aristides. "Kami sudah bertemu dengan banyak orang-orang Anda," katanya. "Sangat
mempesonakan. Tapi saya punya kawan lama di sini dan saya ingin bertemu
sebentar dengan dia. Apa kira-kira bisa diatur, sebelum saya pergi?"
"Kawan Anda?" Dr. Van Heidem berkata dengan sopan, namun terkejut.
"Yah, dua orang kawan sebetulnya," kata Jessop. "Yang wanita, Nyonya Betterton.
Olive Betterton. Suaminya bekerja di sini. Tom Betterton. Dulu dia bekerja di
Harwell, sebelumnya di Amerika. Saya ingin sekali bercakap-cakap sebentar
dengan mereka sebelum pergi."
Reaksi Dr. Van Heidem sungguh sempurna. Matanya membelalak keheranan,
namun tetap sopan. Dia mengerutkan dahi, kebingungan.
"Betterton-Nyonya Betterton-ah, tidak, saya rasa di sini tak ada yang mempunyai
nama seperti itu." "Juga ada seorang Amerika," kata Jessop. "Andrew Peters, dari bidang kimia riset
rasanya. Saya betul kan, Pak?" Dia berpaling sopan kepada Duta Besar Amerika.
Duta besar ini sudah setengah baya. Matanya biru cerdik. Selain diplomat ulung,
pribadinya juga kuat. Matanya menatap mata Jessop.
Setelah satu menit, baru dia menjawab.
"Ya," katanya. "Memang demikian. Andrew Peters. Saya juga ingin bertemu dia."
Van Heidem semakin bingung. Diam-diam Jessop mencuri pandang ke arah
Aristides. Wajah kuning kecil itu sama sekali tak mengekspresikan apa-apa; heran
tidak, resah pun tidak. Bahkan tampaknya dia acuh tak acuh.
"Andrew Peters" Tidak, Yang Mulia, data Anda pasti keliru. Di sini tak ada yang
bernama demikian. Saya sendiri tidak kenal nama itu."
"Kalau nama Thomas Betterton, tentunya Anda tahu, kan?" kata Jessop.
Hanya sebentar Van Heidem ragu-ragu. Kepalanya sedikit bergerak akan menoleh
ke orang tua yang duduk di kursi, tapi dia dapat menahan diri.
"Thomas Betterton," katanya. "Ya, saya kira-"
Salah seorang wartawan segera menyela.
"Thomas Betterton," katanya. "Wah, saya kira dia pernah sungguh-sungguh jadi
berita besar. enam bulan yang lalu ketika dia menghilang. Namanya muncul di
halaman muka koran-koran seluruh Eropa. Polisi mencari dia di mana-mana.


Menuju Negeri Antah Berantah Destination Unknown Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maksud Anda selama ini dia berada di sini?"
"Tidak," Van Heidem menukas tajam. "Saya khawatir. Anda salah informasi.
Mungkin ada orang yang menjaili Anda. Hari ini Anda sudah melihat seluruh
karyawan Unit. Anda telah melihat semuanya."
"Belum seluruhnya, saya kira," ujar Jessop kalem.
"Ada juga seorang pemuda bernama Ericsson," dia menambahkan.
"Juga Dokter Louis Barron dan mungkin Nyonya Calvin Baker."
"Aa." Dr. Van Heidem tampak seperti menemukan titik terang. "Orang-orang itu kan
yang tewas di Maroko-dalam kecelakaan pesawat. Sekarang saya ingat betul.
Paling tidak, saya ingat Ericsson dan Dokter Louis Barron. Wah, sungguh hari itu
Prancis kehilangan besar. Orang seperti Louis Barron sulit dicari gantinya."
Dia menggeleng-gelengkan kepala. "Saya tak tahu apa-apa tentang Nyonya Calvin
Baker, tapi saya ingat rasanya ada juga seorang wanita Inggris atau Amerika di
pesawat itu. Mungkin itu Nyonya Betterton yang Anda maksud. Ya, menyedihkan
sekali." Dia memandang bertanya kepada Jessop. "Monsieur, saya tak tahu bagaimana
Anda bisa menduga orang-orang itu ada di sini. Mungkin juga karena dulu Dokter
Barron pernah menyebut-nyebut akan mengunjungi kompleks kami ini jika dia ke
Afrika Utara. Mungkin itu gara-gara yang menimbulkan kesalahpahaman."
"Jadi menurut Anda," kata Jessop, "saya keliru" Bahwa orang-orang itu tidak ada
di sini?" "Bagaimana mungkin, Pak, karena mereka semua kan tewas dalam kecelakaan
pesawat" Mayat-mayatnya juga ditemukan."
"Mayat-mayat yang ditemukan sudah terlalu hangus, sehingga tak mungkin
dikenali lagi." Kata-kata yang terakhir diucapkan Jessop keras-keras.
Di belakangnya ada yang bergerak sedikit. Lalu terdengar suara tua yang tinggi,
namun pengucapannya amat jelas, "Apakah benar pendengaran saya, Anda tadi
mengatakan tidak ada identifikasi yang jelas?" Lord Alverstoke mencondongkan
tubuh ke depan sambil menaruh tangan di belakang telinga. Di bawah alis lebat
itu, matanya yang kecil tajam menyorot kepada Jessop.
"Identifikasi yang tepat tidak mungkin diperoleh, Yang Mulia," kata Jessop, "dan
saya punya alasan untuk percaya bahwa orang-orang itu selamat dari kecelakaan
tersebut." "Percaya?" Suara tinggi Lord Alverstoke kedengaran tak senang.
"Maksud saya, saya mempunyai bukti bahwa mereka selamat."
"Bukti" Bukti yang bagaimana, Tuan-ee-Jessop."
"Nyonya Betterton mengenakan kalung mutiara palsu ketika meninggalkan Fez
menuju Marra-kesh," kata Jessop. "Salah satu butirnya ditemukan di suatu tempat
setengah mil dari pesawat yang terbakar itu."
"Bagaimana Anda bisa yakin butir mutiara itu berasal dari kalung Nyonya
Betterton?" "Karena semua butirannya telah ditandai. Tanda ini tak dapat dilihat dengan mata
telanjang, tetapi dapat terlihat dengan lensa yang kuat."
"Siapa yang menandai?"
"Saya, Lord Alverstoke, disaksikan rekan saya ini, Monsieur Leblanc."
"Anda menandai butiran mutiara itu-Anda punya alasan?"
"Ya, Yang Mulia. Saya punya alasan untuk percaya bahwa Nyonya Betterton akan
memberi saya petunjuk menuju suaminya, Thomas Betterton, yang sedang dicari
polisi." Jessop meneruskan. "Kemudian dua butir lagi ditemukan di sepanjang
perjalanan antara lokasi terbakarnya pesawat dengan tempat ini. Penyelidikan di
kawasan tempat ditemukannya mutiara-mutiara ini menunjukkan adanya enam
orang. Jumlah itu kira-kira sama dengan jumlah orang yang terbakar di pesawat.
Salah seorang penumpang ada yang dilengkapi dengan sarung tangan yang dicat
dengan cat mengandung fosfor. Ternyata tanda tersebut dilihat orang di mobil
yang mengangkut keenam penumpang tadi dalam perjalanan kemari."
Lord Alverstoke berkomentar dengan suara hakimnya yang datar, "Bagus sekali."
Di kursi besar, Tuan Aristides bergerak. Kelopak matanya mengedip cepat
beberapa kali. Kemudian dia bertanya, "Di mana jejak orang-orang ini terakhir
ditemukan?" "Di sebuah bekas lapangan terbang, Pak." Jessop memberikan lokasi tepatnya.
"Itu kan ratusan mil dari sini," kata Tuan Aristides. "Dengan anggapan bahwa
dugaan Anda yang amat menarik itu benar, bahwa kecelakaan pesawat itu hanya
pura-pura saja, saya kira penumpang-penumpangnya kemudian terbang lagi dari
lapangan terbang tersebut entah ke mana. Karena lapangan terbang itu bermil-mil
jauhnya dari sini, saya sungguh tak mengerti dengan dasar apa Anda menyangka
bahwa orang-orang itu berada di sini. Kenapa harus di sini?"
"Ada alasannya, Pak. Salah satu pesawat pelacak kami menangkap sinyal. Sinyal
itu disampai kan kepada Monsieur Leblanc. Sinyal itu diawali dengan kode
pengenal khusus dan memberitahukan bahwa orang-orang yang kami cari berada
di sebuah penampungan penderita lepra."
"Saya rasa ini sungguh-sungguh hebat," kata Tuan Aristides.
"Sangat hebat. Tapi tak ayal lagi, rupanya ada usaha-usaha untuk menyesatkan.
Anda. Orang-orang itu tidak berada di sini. Nada bicaranya tenang tetapi penuh
kepastian. "Anda bebas sepenuhnya melacak tempat penampungan ini, kalau Anda
mau." "Saya ragu kalau saya akan berhasil menemukan sesuatu, Pak," kata Jessop, "jika
pencarian itu diawasi. Meskipun," dia sengaja menambah kan, "saya tahu di mana
pencarian itu harus di mulai."
"O, ya" Di mana?"
"Di ujung koridor keempat sebelah kiri laboratorium kedua."
Dr. Van Heidem tersentak. Dua buah gelas terpelanting dari meja, pecah
berantakan di lantai. Jessop memandangnya sambil tersenyum.
"Anda lihat, Doktor," katanya, "kami punya sumber informasi yang dapat
dipercaya." Van Heidem berkata ketus, "Tidak lucu. Sungguh-sungguh tidak lucu! Anda
menyiratkan bahwa kami menyekap orang, di luar kehendaknya. Kaya menyangkal
sekeras-kerasnya." Dengan salah tingkah Menteri berkata, "Tampaknya kita berhadapan dengan jalan
buntu." Tuan Aristides berkata lembut, "Teori yang amat menarik. Tapi kan cuma teori."
Dia melirik arloji. "Maafkan, Tuan-Tuan, saya usulkan sudah waktunya Anda
sekalian berangkat. Anda harus bermobil cukup lama juga ke lapangan terbang.
Mereka akan kebingungan bila pesawat Anda terlambat."
Baik Leblanc maupun Jessop sadar bahwa saat buka kartu telah tiba.
Aristides telah mengerahkan segala kewibawaannya. Dia menantang orang-orang
ini, apakah mereka berani menentang kehendaknya. Jika mereka ngotot, berarti
mereka terang-terangan menentang dia.
Menteri, sesuai dengan instruksi, pasti sangat ingin menyerah saja.
Kepala Polisi hanya berminat menyenangkan hati Menteri. Duta Besar Amerika
tidak puas, tapi dia pun akan ragu-ragu mendesak terus, karena alasan-alasan
diplomatik. Sedangkan Konsul Inggris bakal terpaksa bergabung dengan kedua
orang Inggris yang lain. Wartawan-begitu Aristides memperhitungkan-wartawan juga dapat ditangani!
Harga mereka mungkin mahal tapi dia yakin mereka pun dapat dibeli. Kalaupun
mereka tak dapat dibeli-yah, masih ada cara lain. Sedangkan Jessop dan Leblanc,
mereka sudah tahu. Itu memang jelas, namun mereka tak dapat bertindak apa-apa
tanpa kekuasaan. Kemudian pandangan matanya berkeliling lagi sampai berte mu
pandang dengan seseorang yang sama tuanya dengan dia. Mata yang dingin, mata
seorang hakim. Dia tahu, orang ini tak dapat dibeli. Namun bagaimanapun...
pemikirannya terganggu oleh suara yang dingin, jernih, dan seolah-olah datang
dari kejauhan. "Saya berpendapat," kata suara itu, "kita tak perlu cepat-cepat berangkat. Di
sini ada kasus yang menurut pendapat saya perlu ditelusuri lebih lanjut. Telah
muncul sebuah tuduhan yang serius dan pada hemat saya, tidak layak jika tuduhan, itu
diabaikan begitu saja. Seyogyanya kita memanfaatkan setiap kesempatan yang ada
untuk membuktikan bahwa tuduhan itu tidak pada tempatnya."
"Kunci pembuktian," kata Aristides, "ada di tangan Anda." Dengan anggun dia
menunjuk hadirin. "Suatu tuduhan yang semena-mena telah dilancarkan, tanpa
bukti." "Bukan tanpa bukti."
Dr. Van Heidem berbalik kaget. Ternyata salah seorang pelayan Maroko maju ke
depan. Tubuh nya gagah, berjubah putih yang bersulam dan kepalanya dililit
sorban putih. Wajahnya hitam, berminyak, dan berkilat-kilat.
Yang membuat semua orang terpana adalah keluarnya logat murni Amerika dari
bibir tebal seperti Negro.
"Bukan tanpa bukti," kata suara itu, "Anda dapat mengambil bukti dari saya
sekarang juga. Tuan-tuan ini telah menyangkal bahwa Andrew Peters, Torquil
Ericsson, Tuan dan Nyonya Betterton dan Dokter Louis Barron berada di sini.
Mereka bohong. Orang-orang itu, semuanya, ada di sini-dan saya berbicara atas
nama mereka." Dia maju selangkah mendekati Duta Besar Amerika. "Mungkin agak sulit bagi
Anda untuk mengenali saya, Pak," katanya, "saya Andrew Peters."
Sayup-sayup dari bibir Aristides terdengar desisan, kemudian dia kembali
bersandar di kursi. Wajahnya kembali kosong tanpa ekspresi.
"Ada banyak orang yang disembunyikan di sini," kata Peters. "Ada Schwartz dari
Munich, ada Helga Needheim, ada Jeffreys dan Davidson, ilmuwan-ilmuwan
Inggris- ada Paul Wade dari AS, ada yang dari Italia, Ricochetti dan Bianco, ada
Murchison. Mereka semua berada di sini di dalam gedung ini. Di sini ada sistem
pintu rahasia yang tak mungkin terlihat dengan mata telanjang. Ada jaringan
laboratorium rahasia yang dibangun menembus batu karang."
"Ya, Tuhan," seru Duta Besar Amerika. Dia memandangi wajah Afrika yang penuh
wibawa itu, lalu ketawa. "Sekarang pun saya tak dapat mengenali Anda," katanya.
"Itu karena bibir saya disuntik dengan parafin, Pak, belum lagi pigmen hitam
yang saya pakai ini."
"Kalau benar Anda Peters, berapa nomor Anda di FBI?"
"813471, Pak." "Betul," kata Duta Besar, "dan singkatan nam-Anda yang lain?"
"BAPG, Pak." Duta Besar mengangguk. "Orang ini memang Peters," katanya. Dia memandang ke arah Menteri.
Menteri ragu-ragu, lalu mendehem.
"Anda menyatakan," katanya kepada Peters, "bahwa ada orang-orang yang disekap di
sini di luar kehendaknya?"
"Ada yang dengan sukarela, Yang Mulia, ada juga yang terpaksa."
"Kalau begitu," kata Menteri, "harus diambil tindakan-ee-ya, ya, harus diambil
tindakan." Dia melihat ke arah Kepala Polisi. Kepala Polisi maju.
"Tunggu sebentar." Tuan Aristides melambaikan tangan.
"Kelihatannya," katanya dengan lembut tapi jelas, "kepercayaan saya telah
disalahgunakan dengan semena-mena."
Tatapan dingin dilemparkannya ke arah Van Heidem, lalu ke Direktur. Sorot mata
yang angker. "Apa yang sebenarnya telah Anda sekalian lakukan, akibat besarnya
minat Anda pada sains, saya tidak begitu paham. Saya sponsori tempat ini melulu
karena minat saya pada riset. Saya tidak pernah turut campur dalam pelaksanaan
kebijaksanaannya. Saya anjurkan, Monsieur le Directeur, jika dakwa- an ini
bersumber pada fakta, Anda harus segera menunjukkan di mana orang-orang itu,
yang dicurigai telah disekap secara tak sah."
"Tapi, Monsieur, tak mungkin. Saya-ini akan-"
"Eksperimen apa pun yang semacam itu," kata Aristides, "sekarang harus
dihentikan." Tatapan seorang usahawan besar, tenang, menyapu para tamu. "Saya
tak perlu meyakinkan Anda sekalian, Tuan-tuan," katanya, "bahwa jika telah
terjadi sesuatu yang menyalahi hukum di sini, itu bukan urusan saya."
Ini perintah. Dan semua orang paham bahwa itu perintah, karena dia begitu kaya,
karena dia begitu berkuasa dan karena pengaruhnya begitu besar. Tuan Aristides,
tokoh dunia yang termasy-hur itu tidak boleh dilibatkan dalam soal ini. Walaupun
demikian, meski dia secara pribadi lolos tanpa cela, baginya ini sudah merupakan
kekalahan. Dia telah gagal mencapai tujuannya, dia gagal menciptakan tempat
penampungan orang pandai yang tadinya diharapkan akan banyak mendatangkan
keuntungan. Namun Aristides bukan orang yang dapat digoyahkan kegagalan. Dalam kariernya,
beberapa kegagalan telah dia alami; kegagalan yang selalu dipandangnya dari
sudut filosofis. Kegagalan yang tidak menghalanginya untuk mengambil langkah
berikutnya. Dia membuat gerakan tangan khas orang Timur.
"Saya cuci tangan dari persoalan ini," katanya.
Kepala Polisi maju ke depan. Kini dia telah mendapatkan isyarat. Dia tahu apa
tugasnya dan siap melaksanakannya dengan segala kekuasaan yang ada di
tangannya. "Jangan menyembunyikan apa pun," katanya. "Sudah menjadi tugas saya untuk
menyelidiki sampai tuntas."
Dengan pucat-pasi Van Heidem maju.
"Silakan ikut saya," katanya. "Saya akan menunjukkan ruangan cadangan kami."
Bab 21 "Oh, rasanya seperti baru bangun dari mimpi buruk," Hilary mendesah.
Kedua tangannya dibentangkan lebar-lebar di atas kepala. Mereka sedang dudukduduk di teras sebuah hotel di Tangier. Baru tadi pagi mereka tiba di sana
dengan pesawat. Hilary melanjutkan, "Masa semua itu terjadi" Rasanya tak
mungkin!" "Memang terjadi," kata Tom Betterton, "tapi aku setuju denganmu, Olive, ini
semua benar-benar sebuah mimpi buruk. Ah, sudahlah, aku sudah bebas dari
mimpi itu." Jessop datang menghampiri dan duduk di samping mereka.
"Di mana Andy Peters?" tanya Hilary.
"Dia akan kemari tak lama lagi," kata Jessop. "Masih ada urusan sedikit."
"Jadi ternyata Peters orangmu juga," kata Hilary, "dan dia yang membuat tanda
dengan fosfor dan dengan kotak rokok tembaga yang memancarkan bahan
radioaktif. Aku kok tak tahu apa-apa tentang itu."
"Tentu saja tidak," kata Jessop, "kalian berdua telah amat berhati-hati satu
sama lain. Tapi sebenarnya dia bukan orangku. Dia dari pihak Amerika."
"Jadi itu yang kaumaksud ketika kaubilang kalau aku berhasil bertemu dengan
Tom, kau berharap aku akan punya pelindung" Jadi yang kaumaksud Andy
Peters?" Jessop mengangguk. "Kuharap kau tak menyalahkan aku," ujar Jessop dengan gaya mengejek, "karena aku
tak berhasil memberimu akhir yang kauingini."
Hilary kebingungan. "Akhir apa?"
"Cara bunuh diri yang lebih menarik," katanya.
"Oh, itu!" Dia mengeleng-gelengkan kepala tak percaya. "Itu juga sama seperti
mimpi, seperti yang lain-lainnya. Aku menjadi Olive Betterton, begitu lama
sampai-bingung ketika harus kembali menjadi Hilary Craven."
"Aa," kata Jessop, "kawanku Leblanc. Aku harus berbincang-bincang dengan dia."
Dia meninggalkan mereka dan berjalan di sepanjang teras. Tom Betterton cepat
berkata, "Olive, tolong aku sekali lagi, ya" Aku tetap memanggilmu Olive-habis,
sudah terbiasa." "Ya, bisa saja. Apa?"
"Temani aku berjalan-jalan di teras, lalu kau kembali kemari dan bilang bahwa
aku sudah naik ke kamar untuk istirahat."
Hilary memandangnya bertanya-tanya.
"Kenapa" Kau mau apa-?"
"Aku akan pergi, Sayang, mumpung saatnya baik."
"Pergi" Ke mana?"
"Ke mana saja."
"Tapi kenapa?" "Pakai otakmu. Aku tak tahu status daerah ini. Tangier memang tempat aneh yang
tidak berada di bawah hukum negara mana pun. Tapi aku tahu apa yang akan
terjadi kalau aku ikut beserta yang lain-lain ke Gibraltar. Begitu sampai di
sana, aku pasti ditahan."
Hilary memandangnya dengan khawatir. Saking senangnya berhasil selamat dari
Unit, dia sampai lupa pada masalah Betterton.
"Maksudmu Hukum Rahasia Negara, atau entah apa namanya itu" Tapi kau toh tak
yakin akan bisa lari, Tom" Ke mana kau bisa pergi?"
"Aku sudah bilang. Ke mana saja."
"Tapi apa mungkin di zaman sekarang ini" Kau butuh uang dan ada begitu banyak
kesulitan-kesulitan lain."
Betterton ketawa pendek. "Soal uang beres. Sudah diamankan dengan nama lain di
tempat yang bisa kucapai."
"Jadi kau benar-benar menerima uang?"
"Tentu saja aku menerima."
"Tapi mereka pasti akan berhasil melacakmu."


Menuju Negeri Antah Berantah Destination Unknown Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Akan sulit melakukannya. Apa kau tak sadar, deskripsi tentang aku yang mereka
punyai sama sekali berbeda dengan penampilanku sekarang. Itu sebabnya aku
begini ngotot soal operasi plastik ini. Itulah pokok masalahnya sejak dulu.
Menyingkir dari Inggris, menyimpan uang di bank, mengubah penampilan
sedemikian rupa agar bisa selamat seumur hidup."
Hilary menatapnya penuh keraguan.
"Kau keliru," katanya. "Aku yakin kau keliru. Jauh lebih baik kalau kau pulang
dan menghadapi kenyataan. Ini kan sudah bukan masa perang. Paling-paling kau
akan dipenjarakan sebentar saja. Apa enaknya menjadi buronan seumur hidup?"
"Kau tak mengerti," katanya. "Kau sama sekali tak mengerti masalahnya. Ayolah,
kita pergi. Tak ada waktu lagi."
"Tapi bagaimana kau bisa menyingkir dari Tangier?"
"Beres. Jangan khawatir."
Hilary bangkit dari kursinya dan pelan-pelan berjalan menemani Betterton
menyusuri teras. Aneh, dia merasa begitu tak berdaya dan tak mampu berkata apaapa. Dia telah memenuhi kewajiban, baik terhadap Jessop maupun terhadap
almarhum Olive Betterton.
Sekarang tak ada lagi yang harus dikerjakannya. Berminggu-minggu dia dan TomBetterton berhubungan akrab, namun dirasanya mereka masih seperti orang asing
satu dengan yang lain. Tak sedikit pun tumbuh ikatan sesama rekan senasib atau
persahabatan. Mereka tiba di ujung teras. Di tembok ada pintu samping kecil ke jalan sempit
yang berkelok-kelok menuruni bukit menuju pelabuhan.
"Aku akan menyelinap dari sini," kata Betterton, "tak ada yang memperhatikan.
Selamat tinggal." "Selamat jalan," ujar Hilary pelan.
Dia berdiri saja di situ, memperhatikan Betterton menghampiri pintu dan memutar
pegangannya. Begitu pintu terbuka dia terhenyak mundur selangkah dan terhenti di
situ. Tiga orang berdiri menghadang di ambang pintu. Dua di antaranya masuk
menghampirinya. Yang masuk lebih dulu berkata dengan resmi, "Thomas Betterton, saya membawa
surat perintah untuk menangkap Anda. Anda akan ditahan di sini sementara
menunggu prosedur ekstradisi."
Betterton segera berbalik, namun pria satunya cepat menghadang.
Betterton berbalik lagi sambil ketawa.
"Tak apa-apa," katanya, "masalahnya, saya bukan Thomas Betterton."
Pria yang ketiga masuk, berdiri di samping kedua rekannya.
"Oh, Anda Betterton," katanya. "Anda memang Thomas Betterton."
Betterton ketawa. "Yang Anda maksudkan adalah, selama bulan terakhir ini Anda bersama-sama
saya, mendengar orang memanggil saya Betterton dan mendengar saya sendiri
menyebut diri saya Thomas Betterton. Masalahnya, saya bukan Thomas Betterton.
Saya berjumpa dengan Betterton di Paris, lalu saya menggantikannya. Tanya saja
nyonya ini kalau tidak percaya," katanya. "Dia datang untuk bergabung dengan
saya, pura-pura menjadi istri saya. Dan saya mengakuinya sebagai istri saya.
Begitu, kan?" Hilary mengangguk. "Itu karena," kata Betterton, "saya bukan Betterton yang sesungguhnya, sehingga
dengan sendirinya saya tidak tahu seperti apa istrinya. Saya kira dia sungguhsungguh istri Thomas Betterton. Setelah itu saya cepat-cepat mencari alasan yang
masuk akal. Ini betul."
"Oh, jadi itu sebabnya kau pura-pura kenal aku," jerit Hilary. "Waktu kausuruh
aku terus bersandiwara-supaya kau bisa terus menipuku!"
Betterton ketawa lagi dengan yakin.
"saya bukan Betterton," katanya. "Coba lihat foto Betterton yang mana Anda akan
lihat saya tidak bohong."
Peters maju. Suaranya sungguh berbeda dari suara Peters yang biasa dikenal
Hilary. Begitu tenang dan berwibawa.
"Saya sudah melihat foto-foto Betterton," katanya, "dan saya setuju Anda tidak
serupa dengan dia. Tapi tetap saja Anda benar-benar Betterton. Akan saya
buktikan." Tiba-tiba disergapnya Betterton, lalu jas Betterton dirobeknya.
"Kalau Anda Thomas Betterton," katanya, "di siku kanan Anda ada bekas luka
berbentuk Z." Sambil berbicara, Peters merobek kemeja Betterton dan menekuk lengannya.
"Ini dia," katanya sambil menunjuk. "Di Amerika ada dua asisten lab yang akan
memberikan kesaksian yang membenarkan hal ini. Saya tahu tentang ini, karena
Elsa menulis surat dan memberi tahu saya kapan Anda mendapat luka itu."
"Elsa?" Betterton melotot memandangnya. Dia mulai gemetaran gugup. "Elsa"
Ada apa dengan Elsa?"
"Anda ingin tahu apa tuduhan terhadap Anda?"
Polisi kembali melangkah maju.
"Tuduhannya," katanya, "pembunuhan tingkat pertama. Pembunuhan terhadap istri
Anda, Elsa Betterton."
Bab 22 "Maaf, Olive. Kau harus percaya aku benar-benar menyesal. Maksudku, aku
kasihan kepadamu. Demi engkau aku sudah memberikan satu kesempatan
kepadanya. Aku pernah memperingatkanmu, dia lebih aman tetap tinggal di Unit.
Padahal aku menyusuri setengah dunia untuk menangkap dia. Dan aku bertekad
menangkapnya karena apa yang telah diperbuatnya terhadap Elsa."
"Aku tak mengerti. Aku tak mengerti apa-apa. Siapa kau?"
"Kukira kau sudah tahu. Aku Boris Andrei Pavlov Glydr, saudara sepupu Elsa.
Aku dikirim dari Polandia untuk menyelesaikan studi di universitas Amerika.
Karena keadaaan di Eropa waktu itu, pamanku menyuruh aku menjadi warga
negara Amerika. Kuganti namaku menjadi Andrew Peters. Lalu ketika pecah
perang, aku kembali ke Eropa. Aku bergabung dengan gerilya. Aku berhasil
mengeluarkan paman dan Elsa dari Polandia dan mereka pindah ke Amerika. Elsa aku sudah pernah menceritakannya kepadamu. Dia salah satu ilmuwan paling top
generasi kita. Elsa-lah yang menemukan ZE Fission. Betterton waktu itu seorang
pemuda Kanada, asisten lab Mannheim. Dia memang cakap bekerja, tapi tak lebih
dari itu. Dengan sengaja dia memacari Elsa, lalu menikah dengannya supaya bisa
ikut-ikutan dalam karya ilmiah yang sedang dikerjakannya. Waktu percobaan Elsa
hampir selesai dan Betterton sadar betapa hebatnya ZE Fission, dia meracuni
Elsa." "Oh, tidak, tidak."
"Ya. Ketika itu tak ada orang curiga. Betterton tampak amat sedih, ia menghibur
diri dengan bekerja mati-matian, lalu mengumumkan bahwa dia telah menemukan
ZE Fission. Dia memang mendapat apa yang diinginkan. Dia jadi termasyhur dan
dikategorikan sebagai ilmuwan kelas satu. Lalu diperhitungkannya, lebih baik
kalau dia pergi dari Amerika, pindah ke Inggris. Maka dia ke Harwell dan bekerja
di sana. "Setelah perang selesai, beberapa lama aku terikat tugas di Eropa. Karena aku
bisa berbahasa Jerman, Rusia, dan Polandia, di Eropa aku amat berguna. Tapi
surat Elsa sebelum meninggal mengganggu ketenanganku. Penyakit yang dideritanya
dan yang membuatnya meninggal bagiku misterius dan tak terduga-duga. Ketika
akhirnya aku kembali ke Amerika, aku mulai mengadakan penyelidikan. Kita tidak
akan membicarakan semuanya, tapi kuperoleh apa yang kubutuhkan. Artinya,
cukup untuk menggali kembali jenazah Elsa. Di kantor Pengacara Distrik ketika
itu ada seorang pemuda sahabat Betterton. Waktu itu dia akan ke Eropa. Kukira
dia mengunjungi Betterton dan menceritakan kepadanya tentang digalinya kembali
jenazah istrinya. Betterton kalang-kabut. Kubayangkan mungkin ketika itu dia
sudah didekati agen-agen Tuan Aristides. Pokoknya dia melihat kesempatan
menghindar dari penangkapan dan pengadilan atas tuduhan membunuh. Dia
menerima persyaratannya, tapi juga mengajukan syarat agar wajahnya diubah sama
sekali. Yang sesungguhnya terjadi, tentu saja, dia malah menemukan dirinya
seratus persen terpenjara. Lebih-lebih lagi dia sadar, posisinya di sana bagai
telur di ujung tanduk, karena dia sama sekali tak mampu menghasilkan karya
ilmiah yang hebat. Dia memang bukan jenius."
"Lalu kau membuntuti dia?"
"Ya. Waktu koran-koran meributkan hilang nya ilmuwan Thomas Betterton, aku
ke Inggris. Seorang kawanku, ilmuwan yang cukup brilyan juga, waktu itu sudah
mendapat tawaran dari wanita bernama Nyonya Speeder, yang bekerja di PBB.
Ketika tiba di Inggris, kutemukan wanita ini sudah mengadakan pertemuan dengan
Betterton. Lalu aku bersandiwara, pura-pura berhaluan komunis, membual tentang
kemampuan ilmiahku di depan wanita ini. Soalnya, kukira Betterton pergi ke balik
Tirai Besi, tempat tak seorang pun bisa mencapai dia. Yah, kupikir, kalau orang
lain tak ada yang bisa mencapai dia, akulah yang akan mencapainya." Bibirnya
terkatup rapat. "Elsa ilmuwan kelas satu, dan dia wanita cantik yang lembut. Dia
dibunuh dan dirampok justru oleh pria yang dia cintai dan percayai. Kalau perlu
akan kubunuh Betterton dengan tanganku sendiri."
"Oh, aku mengerti," kata Hilary, "aku mengerti sekarang."
"Aku mengirim surat kepadamu," kata Peters, "ketika aku sampai di Inggris. Aku
menulis dengan nama Polandiaku, menceritakan fakta-faktanya." Dia menatap
Hilary. "Kukira kau tak percaya. Habis, kau tak pernali membalas." Dia
mengangkat bahu. "Kemudian aku mendatangi orang-orang agen rahasia. Mulamula aku bersandiwara. Aku pura-pura menjadi polisi Polandia. Kaku, tingkahku
serba asing dan resmi. Soalnya waktu itu aku curiga kepada setiap orang. Tapi
akhirnya Jessop dan aku bisa bekerja sama."
Dia berhenti sebentar. "Pagi ini usaha pencarianku tuntas. Permohonan izin ekstradisi akan diajukan,
Betterton akan dibawa ke Amerika dan akan diadili di sana. Kalau dia dinyatakan
tidak bersalah, aku tak bisa bilang apa-apa lagi." Dia menambahkan dengan gemas,
"Tapi dia tak mungkin dinyatakan tak bersalah. Bukti-buktinya terlalu kuat."
Dia berhenti di situ, menerawang, memandang ke laut, nun jauh di seberang kebun
yang bermandikan sinar matahari.
"Sialnya," katanya, "kau muncul di sana untuk bergabung dengan dia. Aku berjumpa
denganmu dan aku jatuh cinta. Aku sungguh tersiksa, Olive. Percayalah.
Bayangkan saja. Akulah yang mengirim suamimu ke kursi listrik. Itu tak bisa
disangkal. Bahkan jika kau bisa memaafkan aku pun, kau tak mungkin
melupakannya." Peters bangkit. "Yah, aku memang ingin menceritakan semuanya
kepadamu lewat mulutku sendiri. Selamat berpisah."
Dia berbalik cepat, sementara Hilary mengulurkan tangan.
"Tunggu," katanya, "tunggu! Ada yang kau tak tahu. Aku bukan istri Betterton.
Istri Betterton, Olive Betterton, meninggal di Casablanca. Jessop yang
membujukku agar menggantikannya."
Peters memutar badan, melongo memandangnya.
"Kau bukan Olive Betterton?"
"Bukan." "Syukurlah," kata Andy Peters. "Terima kasih, Tuhan." Dia menghempaskan diri di
kursi, di sebelah Hilary.
"Olive," katanya, "Olive, Sayangku."
"Jangan panggil aku Olive. Namaku Hilary. Hilary Craven."
"Hilary?" katanya bertanya. "Wah, aku harus membiasakan diri dulu dengan nama
itu." Lalu digenggamnya tangan Hilary.
Di ujung teras satunya, Jessop sedang membicarakan berbagai kesulitan teknis
dengan Leblanc. Dia menyela Leblanc yang belum selesai berbicara.
"Anda bilang apa?" katanya setengah melamun.
"Saya bilang, mon cher, menurut saya kelihatannya kita tak mungkin dapat
menyeret si bajingan Aristides ini."
"Memang tidak. Aristides-Aristides selalu menang. Maksudku, mereka selalu dapat
lolos lewat, pintu belakang. Tapi Aristides akan kehilangan banyak uang, dan dia
tak akan suka itu. Lagi pula, bahkan Aristides pun tak mungkin dapat hidup
selamanya. Kurasa tak lama lagi dia akan menghadap Hakim Yang Agung, kalau
dilihat dari penampilannya."
"Tadi apa yang mengalihkan perhatian Anda?"
"Kedua orang itu," kata Jessop. "Saya mengirim Hilary Craven pergi ke Negeri
Antah Berantah, tapi nampaknya, akhir perjalanan Hilary ya itu-itu juga."
Sejenak Leblanc tampak bingung, kemudian berkata, "Aha! Ya! Itu kan
Shakespeare!" "Kalian orang Prancis memang gemar membaca," kata Jessop.
-END- Djvu: Aoi & Dewi KZ http://kangzusi.com Edit & Convert Jar, Txt, Pdf: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
Re editeb by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Mestika Burung Hong Kemala 5 Nona Berbunga Hijau ( Kun Lun Hiap Kek ) Karya Kho Ping Hoo Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 2

Cari Blog Ini