Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie Bagian 5
pintar...." Nada suaranya begitu aneh, sampai Doris menatapnya. Mr. Satterthwaite mengambil
ukulele tersebut dari tangan gadis itu dan melepaskan senar yang putus. Kemudian
ia membawanya keluar dari kamar itu. Di perpustakaan ia menemukan David Keeley.
"Ini," katanya.
Ia mengulurkan senar itu. Keeley mengambilnya.
"Apa ini?" "Seutas senar ukulele yang putus." Ia berhenti, kemudian meneruskan, "Apa yang
kaulakukan dengan senar satunya?"
"Senar satunya?"
"Senar yang kaupakai untuk mencekiknya. Kau sangat pintar, bukan" Kaulakukan
dengan cepat sekali, tepat pada saat kami semua tertawa dan bercakap-cakap di
luar. "Mabelle kembali ke ruang duduk untuk mengambil ukulelenya. Kau telah melepaskan
senar itu ketika memetiknya dengan iseng-iseng. Kau melilitkan senar itu di
lehernya dan mencekiknya. Kemudian kau keluar, mengunci pintu itu, dan bergabung
dengan kami. Selanjutnya, pada larut malam, kau turun lagi ke bawah, mengambil
mayat itu serta menggantungnya di pintu. Kau juga memasang senar lain pada
ukulele itu - tapi itu senar yang salah. Itulah letak kebodohanmu."
Hening sejenak. "Tapi kenapa kaulakukan itu?" tanya Mr. Satterthwaite. "Demi nama Tuhan,
kenapa?" Mr. Keeley tertawa, terkikik-kikik kecil, sampai Mr. Satterthwaite muak
mendengarnya. "Sebab gampang sekali," sahutnya. "Itu sebabnya! Lagi pula... tak seorang pun
pernah memperhatikanku. Tak seorang pun pernah memperhatikan apa yang kulakukan.
Kupikir... kupikir aku akan berhasil mengecoh mereka semua."
Sekali lagi ia tertawa terkikik-kikik dan memandang Mr. Satterthwaite seperti
orang kesetanan. Mr. Satterthwaite lega sekali karena pada saat itulah Inspektur Winkfield masuk
ke dalam ruangan. *** Saat itu 24 jam sesudahnya, dalam perjalanannya kembali ke London, ketika Mr.
Satterthwaite terbangun dari tidur singkatnya, ia melihat seorang laki-laki
jangkung berkulit gelap sedang duduk di hadapannya dalam sebuah gerbong kereta
api. Ia sama sekali tidak terkejut.
"Mr. Quin!" "Ya - saya di sini."
Mr. Satterthwaite berkata pelan, "Saya malu pada Anda. Saya gagal."
"Apa Anda yakin?"
"Saya tidak berhasil menyelamatkan nyawanya."
"Tapi Anda berhasil menemukan kebenarannya?"
"Ya - memang. Kalau tidak, salah seorang dari pemuda-pemuda itu akan dituduh mungkin juga akan didakwa bersalah. Jadi, saya berhasil menyelamatkan nyawa
seorang pemuda. Tapi, wanita itu... Makhluk pemikat itu..." Suaranya terputus.
Mr. Quin memandangnya. "Apakah kematian adalah kemalangan terburuk yang bisa menimpa seseorang?"
"Saya... yah... mungkin... tidak."
Mr. Satterthwaite teringat Madge dan Roger Graham... wajah Mabelle yang tertimpa
sinar rembulan - kebahagiaannya yang mendalam dan tidak nyata....
"Tidak," katanya mengakui. "Tidak - mungkin kematian bukanlah kemalangan
terburuk." Ia ingat gaun sifon Mabelle yang berkerut-kerut itu, yang dalam pandangannya
menyerupai bulu-bulu seekor burung. Seekor burung dengan sayap patah.
Ketika mendongak, ternyata ia cuma sendirian. Mr. Quin sudah tidak ada di sana.
Tapi ia meninggalkan sesuatu.
Di tempat duduknya terdapat sebuah pahatan kasar berbentuk seekor burung dari
sejenis batu biru yang kusam. Mungkin benda itu tidak memiliki nilai seni
tinggi. Tapi ada makna lainnya.
Makna pemikat. Begitulah kata Mr. Satterthwaite dalam hati - dan Mr. Satterthwaite adalah
pencinta barang-barang seni.
Bab 11 UJUNG DUNIA MR. SATTERTHWAITE datang di Corsica karena sang Duchess. Padahal tempat itu
bukanlah seleranya. Di Riviera ia bisa yakin dengan kenyamanannya, dan
kenyamanan itu sangat penting artinya bagi Mr. Satterthwaite. Tapi meskipun
menyukai kenyamanannya, ia juga menyukai sang Duchess. Dengan caranya yang
lembut, sopan, dan kuno, Mr. Satterthwaite memang sombong. Ia menyukai orangorang kelas atas. Dan Duchess of Leith adalah duchess sejati. Tak ada keturunan
yang melenceng dalam sejarah nenek moyangnya. Ia putri seorang duke, dan istri
seorang duke juga. Selain itu, ia seorang wanita tua bertampang agak kusam, gara-gara banyaknya
manik-manik hitam yang menghiasi gaunnya. Ia memiliki sejumlah perhiasan berlian
yang sudah kuno modelnya dan memakainya seperti dahulu ibunya memakainya:
memasang semuanya di tubuhnya tanpa selera. Pernah ada orang mengatakan dandanan
sang Duchess kelihatannya dilakukan dengan berdiri di tengah-tengah ruangan
sementara pelayannya melemparkan bros-bros itu ke arahnya secara sembarangan. Ia
banyak menyumbang untuk badan-badan amal dan mengurus para penyewa serta mereka
yang bergantung padanya dengan baik, tapi pelit sekali kalau menyangkut soal
uang yang tidak seberapa. Ia selalu minta diantar oleh teman-temannya dan
berbelanja di toko-toko yang bisa ditawar.
Sang Duchess betul-betul menyukai Corsica. Cannes membuatnya jemu dan ia pernah
bertengkar hebat dengan pemilik hotel di sana tentang tarif kamarnya.
"Dan kau harus pergi denganku, Satterthwaite," katanya tegas. "Kita toh tak
perlu khawatir dengan skandal apa pun pada usia kita sekarang ini."
Mr. Satterthwaite merasa betul-betul tersanjung. Tak seorang pun pernah
menyebut-nyebut tentang skandal sehubungan dengan dirinya. Ia bisa dianggap
tidak berarti. Skandal - dan seorang duchess - asyik!
"Pemandangannya indah, kau tahu," kata sang Duchess. "Dan ada drum band-nya.
Lagi pula murah sekali, begitulah yang kudengar. Manuel betul-betul keras kepala
pagi ini. Para pemilik hotel itu memang perlu disadarkan. Mereka tak mungkin
bisa mendapatkan tamu-tamu terbaik kalau terus bersikap seperti ini. Aku
mengatakan padanya dengan terus terang."
"Kurasa," kata Mr. Satterthwaite, "kita bisa terbang dengan nyaman. Dari
Antibes." "Kau mungkin akan dikenai tarif lumayan mahal," sahut sang Duchess tajam.
"Tolong carikan informasi tentang itu, oke?"
"Baiklah, Duchess."
Mr. Satterthwaite masih merasa berbangga hati, meskipun kenyataannya peranannya
di sana sudah jelas hanyalah seorang tukang pembawa pesan kelas tinggi.
Ketika sang Duchess mengetahui tarif terbang dengan Avion, ia segera menolaknya
mentah-mentah. "Jangan dikira aku mau membayar jumlah semahal itu hanya untuk terbang dengan
benda berbahaya itu."
Jadi, mereka pergi dengan kapal, dan Mr. Satterthwaite terpaksa menanggung
perjalanan yang tidak nyaman itu selama sepuluh jam. Pertama-tama, kapal itu
berlayar pada pukul 19.00, dan ia mengira akan mendapat makan malam. Ternyata
tidak ada makan malam. Kapal itu kecil dan laut sangat berombak. Mr.
Satterthwaite terbangun di Ajaccio pagi-pagi sekali, dan ia lebih kelihatan
seperti orang mati ketimbang orang hidup.
Sang Duchess, sebaliknya, malah betul-betul segar. Ia tak pernah
mempermasalahkan ketidaknyamanan itu, asalkan ia merasa itu perlu untuk
menghemat uangnya. Ia membesar-besarkan keindahan pemandangan di pantai, dengan
pohon-pohon kelapa serta matahari yang baru terbit. Seluruh penduduk tampaknya
telah hadir di sana untuk menonton kapal yang baru merapat itu. Penurunan
jembatan papan kapal disambut dengan jeritan-jeritan serta teriakan-teriakan
memberi aba-aba. "On dirait," kata seorang Prancis kekar yang berdiri di samping mereka, "que
jamais avant on n'a fait cette manoeuvre l?!"
"Pelayanku itu mabuk laut sepanjang malam," kata sang Duchess. "Dasar anak
goblok." Mr. Satterthwaite tersenyum dengan wajah pucat pasi.
"Betul-betul penghamburan makanan bergizi," lanjut sang Duchess berapi-api.
"Apakah dia mendapat makanan?" tanya Mr. Satterthwaite iri.
"Aku kebetulan membawa beberapa biskuit dan sebatang cokelat sebagai bekal,"
kata sang Duchess. "Ketika tahu mereka tidak memberi makan malam, aku memberikan
sebagian bekalku padanya. Orang-orang rendahan itu memang selalu ribut kalau
harus bepergian tanpa makanan."
Dengan sorak kemenangan jembatan papan itu akhirnya berhasil diturunkan dengan
sempurna. Musik komedi didendangkan oleh sekelompok drum band yang berbaris naik
ke kapal dan mendesak tas-tas bawaan para penumpang dengan sekuat tenaga.
"Ayolah, Satterthwaite," kata sang Duchess. "Aku ingin mandi air panas dan minum
kopi." Begitu juga Mr. Satterthwaite. Tapi keinginannya tidak sepenuhnya terpenuhi.
Mereka disambut di hotel itu oleh seorang manajer yang membungkuk penuh hormat
dan diantar ke kamar masing-masing. Kamar sang Duchess mempunyai kamar mandi
yang terletak di sampingnya. Tapi Mr. Satterthwaite diberitahu bahwa kamar
mandinya terletak di suatu tempat yang kelihatannya bersebelahan dengan kamar
orang lain. Mengharapkan air panas pada pagi-pagi seperti itu rasanya tidak
masuk akal. Setelah itu Mr. Satterthwaite disuguhi kopi yang betul-betul pekat,
disajikan dalam teko tak bertutup. Tirai dan jendela di kamarnya telah terbuka
lebar, dan udara pagi hari yang sejuk masuk ke dalam dengan segarnya. Sungguh
hari yang biru dan hijau.
Pelayan melambaikan tangannya, menunjukkan pemandangan indah tersebut.
"Ajaccio," katanya dengan anggun. "Le plus beau port du monde!"
Dan ia langsung pergi. Sambil memandang air teluk yang biru, dengan gunung berpuncak salju di
belakangnya, Mr. Satterthwaite nyaris menyetujui pendapat si pelayan tadi. Ia
meminum habis kopinya, berbaring di ranjang, dan tertidur lelap.
Pada saat d?jeuner, sang Duchess betul-betul bersemangat.
"Ini akan bagus sekali untukmu, Satterthwaite," katanya. "Singkirkan perawanperawan tua yang sudah lapuk itu dari otakmu." Ia memandang ke seluruh ruangan
sambil mengenakan kacamata gantungnya. "Percayalah padaku, itu ada Naomi Carlton
Smith." Ia menunjuk ke arah seorang gadis yang sedang duduk sendirian di meja di dekat
jendela. Seorang gadis dengan bahu bundar yang duduk agak melorot di kursinya.
Bajunya kelihatannya terbuat dari sejenis karung berwarna cokelat. Rambutnya
hitam dan dipotong pendek acak-acakan.
"Seniman?" tanya Mr. Satterthwaite.
Ia memang pintar menaksir seseorang.
"Betul," sahut sang Duchess. "Pokoknya begitulah menurutnya sendiri. Aku tahu
dia pernah berkelana ke tempat-tempat aneh di dunia ini. Miskin seperti tikus,
angkuh seperti Lucifer, dan serius seperti Carlton Smith lainnya. Ibunya adalah
sepupuku." "Kalau begitu, dia salah seorang dari Knowlton?"
Sang Duchess mengangguk. "Musuh terburuknya," katanya lagi. "Gadis yang pintar. Pernah terlibat dengan
seorang pemuda berandalan. Seperti pemuda-pemuda Chelsea yang urakan itu. Dia
menulis drama dan puisi atau sesuatu yang tidak sehat. Tentu saja tidak ada yang
mau menerima karyanya. Kemudian dia mencuri perhiasan seseorang dan tertangkap.
Aku lupa berapa lama mereka menghukumnya. Lima tahun, kurasa. Tapi kau pasti
ingat, bukan" Kejadiannya musim dingin yang lalu."
"Musim dingin yang lalu aku ada di Mesir," Mr. Satterthwaite menjelaskan. "Aku
kena flu berat pada akhir Januari dan dokter menyuruhku pergi ke Mesir
sesudahnya. Aku banyak ketinggalan berita."
Suaranya terdengar menyesal sekali.
"Gadis itu kelihatannya sedang kesal," kata sang Duchess sambil mengangkat
kacamata gantungnya sekali lagi. "Aku tidak boleh membiarkannya seperti itu."
Dalam perjalanannya keluar, ia berhenti di samping meja Miss Carlton Smith dan
menepuk bahu gadis itu. "Nah, Naomi, masih ingat aku?"
Naomi berdiri dengan agak segan.
"Ya, saya ingat, Duchess. Saya melihat Anda masuk tadi. Saya pikir tak mungkin
Anda mengenali saya."
Ia mengucapkan kata-kata itu dengan segan, sikapnya betul-betul tak acuh.
"Kalau kau sudah selesai makan siang, datang dan bicaralah denganku di teras,"
perintah sang Duchess. "Baiklah." Naomi menguap. "Sikapnya kurang ajar," kata sang Duchess pada Mr. Satterthwaite, sambil
berjalan terus. "Semua Carlton Smith memang begitu."
Mereka minum kopi di luar, diterangi sinar matahari. Sekitar enam menit kemudian
Naomi Carlton Smith muncul dari hotel itu dan bergabung dengan mereka. Ia
menjatuhkan dirinya dengan santai di kursi serta menjulurkan kaki seenaknya.
Wajahnya aneh, dengan dagu mencuat serta sepasang mata kelabu yang dalam. Seraut
wajah pintar yang tidak bahagia - wajah yang baru saja kehilangan kecantikannya.
"Nah, Naomi," kata sang Duchess singkat. "Apa pekerjaanmu sekarang ini?"
"Oh, tidak tahu. Cuma menghabiskan waktu saja."
"Melukis?" "Sedikit." "Tunjukkan padaku."
Naomi menyeringai. Ia tak peduli dengan kebangsawanan. Ia tampak geli. Ia masuk
lagi ke hotel dan keluar sambil membawa sebuah map.
"Anda takkan menyukainya, Duchess," katanya memperingatkan. "Katakan saja
pendapat Anda. Saya takkan tersinggung."
Mr. Satterthwaite menggeser kursinya mendekat sedikit. Ia jadi tertarik. Semenit
kemudian ia masih merasa tertarik. Tapi sang Duchess betul-betul tidak simpatik.
"Aku bahkan tidak mengerti apa yang kaulukis ini," katanya mengeluh. "Demi
Tuhan, Nak, tidak ada langit yang berwarna seperti ini - begitu juga lautnya."
"Menurut saya, begitulah warna keduanya," sahut Naomi kecut.
"Ugh!" kata sang Duchess sambil mengamati lukisan yang lain. "Ini membuatku
merinding." "Memang begitulah maksudnya," kata Naomi. "Tanpa sadar, Anda justru memuji
saya." Lukisan itu secara abstrak menggambarkan buah pir berduri-duri - pokoknya
kelihatan seperti buah pir. Kelabu hijau dengan sapuan warna-warna tajam,
sehingga buah itu kelihatannya berkilauan seperti permata. Betul-betul seperti
gumpalan daging yang seram dan... bernanah. Mr. Satterthwaite merinding dan
memalingkan wajah. Ia melihat Naomi menatapnya dan menganggukkan kepala penuh pengertian.
"Saya tahu," katanya. "Memang menyeramkan."
Sang Duchess berdeham. "Rasanya gampang sekali menjadi seniman di zaman ini," katanya bersungut-sungut.
"Tidak ada usaha sama sekali untuk meniru sesuatu. Kita tinggal menyapukan catcat warna itu - aku tidak tahu dengan apa, bukan kuas, itu sudah pasti."
"Pisau palet," sela Naomi sambil tersenyum lebar sekali lagi.
"Dan cat yang dipakai harus dalam jumlah banyak," lanjut sang Duchess. "Sampai
bergumpal-gumpal. Jadilah sudah! Semua orang akan berkata, 'Betapa berbakatnya.'
Yah, aku tak punya kesabaran dengan hal-hal begitu. Aku lebih suka dengan..."
"Lukisan yang menggambarkan anjing atau kuda, seperti karya Edwin Landseer."
"Dan kenapa tidak?" tuntut sang Duchess. "Apa ada yang tidak beres dengan
Landseer?" "Tidak ada," sahut Naomi. "Karyanya lumayan. Dan Anda juga punya selera yang
bagus. Segala sesuatu memang selalu tampak indah, bersinar, dan halus di bagian
luarnya. Saya menghormati Anda, Duchess. Anda punya kekuatan. Anda menghadapi
hidup dengan berani, dan Anda muncul di atas. Tapi ada orang-orang dari kalangan
bawah yang melihat bagian dalam dari segala sesuatunya Dan itulah yang menarik."
Sang Duchess menatapnya. "Aku sama sekali tidak mengerti apa yang kaumaksudkan itu," katanya.
Mr. Satterthwaite masih asyik mengamat-amati lukisan-lukisan itu. Ia tahu,
meskipun sang Duchess tidak tahu, bahwa lukisan-lukisan itu dilukis dengan
teknik sempurna. Ia terpesona dan senang. Ia mendongak memandang gadis itu.
"Maukah Anda menjual salah satu lukisan ini pada saya, Miss Carlton Smith?"
tanyanya. "Anda boleh membeli mana pun yang Anda suka dengan harga lima guinea," sahutnya
acuh tak acuh. Mr. Satterthwaite ragu-ragu sejenak, kemudian memilih lukisan buah pir berduriduri itu dengan tanaman lidah buaya. Bagian depan lukisan itu berwarna kuning
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
buram dengan bunga lidah buaya berwarna merah menyala mencuat di berbagai
tempat, dan di bagian bawahnya, secara tegas dan tajam terdapat buah pir serta
tanaman lidah buaya yang melengkung seperti pedang.
Ia membungkuk kecil pada gadis itu.
"Saya senang bisa membeli lukisan ini, dan saya kira telah mendapatkannya dengan
murah sekali. Suatu hari nanti, Miss Carlton Smith, saya bisa menjual lukisan
ini dengan laba besar - itu kalau saya mau menjualnya."
Gadis itu mencondongkan badan ke depan untuk melihat lukisan mana yang telah
dipilih Mr. Satterthwaite, lalu matanya bersinar ceria. Untuk pertama kalinya ia
memperhatikan pria kecil itu, dan sorot matanya juga berkesan penuh hormat.
"Anda telah memilih yang terbaik," katanya. "Saya... saya senang."
"Yah, kuharap kau tahu apa yang kaulakukan," ujar sang Duchess. "Dan kurasa kau
benar. Aku tahu kau kolektor barang-barang seni. Tapi kau tak bisa membujukku
dengan mengatakan semua lukisan ini adalah karya seni, karena memang bukan. Yah,
kita tak perlu membicarakannya lagi sekarang. Aku akan berada di sini selama
beberapa hari dan ingin melihat-lihat pulau ini. Kurasa kau punya mobil, bukan,
Naomi?" Gadis itu mengangguk. "Bagus," kata sang Duchess. "Kita bisa berjalan-jalan besok pagi."
"Tapi mobil itu cuma muat dua orang."
"Omong kosong, kan ada boncengannya, dan kurasa itu cukup untuk Mr.
Satterthwaite." Mr. Satterthwaite merasa ngeri. Ia telah mengamati jalan-jalan di Corsica pagi
itu. Naomi menatapnya dengan saksama.
"Saya rasa mobil saya takkan nyaman bagi Anda" katanya. "Betul-betul sudah
butut. Mobil bekas, saya beli dengan harga murah sekali. Mobil itu bisa membawa
saya naik ke bukit-bukit - dengan terbatuk-batuk. Tapi saya tak bisa membawa
penumpang. Di kota ada bengkel yang lumayan baik. Anda bisa menyewa mobil di
sana." "Menyewa mobil?" teriak sang Duchess, betul-betul kaget. "Ide apa itu! Siapa
laki-laki ganteng yang agak kuning tadi, yang mengendarai mobil sedan tepat
sebelum makan siang?"
"Saya rasa yang Anda maksud adalah Mr. Tomlinson. Dia seorang hakim India yang
sudah pensiun." "Pantas dia kelihatan kuning," kata sang Duchess. "Aku tadinya khawatir dia
menderita penyakit kuning. Tampaknya dia orang yang baik hati. Aku akan
mengajaknya berkenalan."
Malam itu, ketika ia turun hendak makan malam, Mr. Satterthwaite melihat sang
Duchess tampak anggun dengan gaun beludrunya yang hitam dan perhiasan-perhiasan
berliannya. Sang Duchess sedang asyik mengobrol dengan pemilik mobil sedan itu,
dan ia mengangkat tangannya memanggil Mr. Satterthwaite dengan tegas.
"Kemarilah, Mr. Satterthwaite, Mr. Tomlinson sedang menceritakan hal-hal yang
menarik sekali. Bagaimana menurutmu" Besok dia akan mengajak kita berjalan-jalan
dengan mobilnya." Mr. Satterthwaite memandangnya penuh kekaguman.
"Lebih baik kita makan malam sekarang," kata sang Duchess. "Mari ikut duduk
semeja dengan kami, Mr. Tomlinson, dan Anda bisa melanjutkan cerita Anda yang
menarik tadi." "Dia lumayan baik," ujar sang Duchess kemudian.
"Dengan mobil lumayan bagus," balas Mr. Satterthwaite.
"Jangan nakal," kata sang Duchess sambil menyodok tulang iga Mr. Satterthwaite
dengan kipas hitamnya yang sudah usang, yang selalu dibawanya ke mana-mana. Mr.
Satterthwaite mengernyit kesakitan.
"Naomi juga ikut," kata sang Duchess. "Dengan mobilnya sendiri. Gadis itu perlu
banyak bergaul. Dia sangat egois. Bukan sombong, tapi betul-betul tak acuh
terhadap semua orang dan segala sesuatu. Kau setuju?"
"Kurasa tidak begitu," sahut Mr. Satterthwaite pelan. "Maksudku, setiap orang
pasti punya suatu minat. Tentu saja, ada orang-orang yang senang sendirian - tapi
aku setuju dia bukan tipe seperti itu. Dia betul-betul tak peduli dengan
dirinya. Padahal dia punya karakter kuat - pasti ada sesuatu. Mula-mula kupikir
penyebabnya adalah karya seninya, tapi ternyata tidak. Aku tak pernah bertemu
dengan orang yang begitu tak acuh dengan kehidupan. Ini berbahaya."
"Berbahaya" Apa maksudmu?"
"Yah, kau tahu - dia pasti punya obsesi tertentu, dan biasanya obsesi itu
berbahaya." "Satterthwaite," kata sang Duchess, "jangan konyol. Dan dengarkan aku. Besok
pagi..." Mr. Satterthwaite mendengarkan. Memang begitulah peranannya dalam hidup ini.
Keesokan harinya mereka berangkat pagi-pagi sekali, sambil membawa bekal makan
siang. Naomi, yang sudah enam bulan tinggal di pulau itu, akan menjadi penunjuk
jalan. Mr. Satterthwaite menghampirinya ketika gadis itu sudah duduk di
mobilnya, siap berangkat.
"Apa Anda yakin saya tidak bisa ikut dengan Anda?" tanyanya hati-hati.
Gadis itu menggeleng. "Anda akan jauh lebih nyaman di jok belakang mobil sedan itu. Betul-betul empuk
dan lembut. Mobil saya betul-betul sudah butut. Anda bisa terlonjak-lonjak kalau
jalanan tidak rata nanti."
"Belum lagi kalau naik bukit."
Naomi tertawa. "Oh, saya cuma mengatakan hal itu untuk menyelamatkan Anda dari duduk di
boncengan. Sang Duchess sebenarnya sangat mampu menyewa mobil. Dia itu wanita
paling pelit di seluruh Inggris. Tapi dia cukup adil, dan mau tak mau saya
menyukainya." "Kalau begitu, saya bisa ikut dengan Anda?" tanya Mr. Satterthwaite penuh harap.
Gadis itu memandangnya heran.
"Mengapa Anda begitu ingin ikut dengan saya?"
"Apa tidak boleh?" Mr. Satterthwaite membungkuk kecil dengan gayanya yang kuno.
Naomi tersenyum, tapi menggelengkan kepala.
"Bukan begitu masalahnya," katanya serius. "Rasanya aneh. Tapi Anda tak bisa
ikut dengan saya - tidak hari ini."
"Mungkin lain kali," usul Mr. Satterthwaite sopan.
"Oh, lain kali!" Tiba-tiba gadis itu tertawa, tawa yang aneh sekali, pikir Mr.
Satterthwaite. "Lain kali! Yah, kita lihat saja nanti."
Mereka berangkat. Melintasi kota, mengitari garis teluk yang melengkung, serta
melewati daratan yang berkelok-kelok, akhirnya menyeberangi sungai dan kembali
lagi ke daerah pantai dengan beratus-ratus gua pasirnya. Kemudian jalanan mulai
menanjak. Keluar-masuk, mengitari tikungan-tikungan tajam, naik, dan naik terus
dengan jalan berkelok-kelok. Teluk yang biru itu terletak jauh di bawah
sekarang, dan di sisi lain, Ajaccio tampak berkilauan tertimpa sinar matahari,
putih bagaikan sebuah kota di negeri dongeng.
Masuk dan keluar, masuk dan keluar, dengan pemandangan di satu sisi dan kemudian
di sisi lainnya. Mr. Satterthwaite merasa agak pusing, juga sedikit mual.
Jalanan itu tidak terlalu lebar, dan mereka masih terus menanjak.
Udara terasa dingin. Angin bertiup langsung dari arah puncak gunung yang
bersalju. Mr. Satterthwaite meninggikan kerah mantelnya dan mengancingkannya
dengan erat sampai di bawah dagu.
Sekarang udara betul-betul dingin. Di seberang sungai, Ajaccio masih bermandikan
matahari, tapi di atas sini awan kelabu yang tebal melayang-layang menutupi
matahari. Mr. Satterthwaite berhenti mengagumi pemandangan. Ia merindukan hotel
yang hangat dan kursi sofa yang nyaman.
Di depan mereka, mobil kecil Naomi masih terus menanjak dengan mantap. Naik dan
naik terus. Mereka sudah berada di puncak dunia sekarang. Di kedua sisi mereka
tampak bukit-bukit yang lebih rendah, bukit-bukit yang menurun menuju lembahlembah. Mereka langsung memandang lurus pada puncak bersalju itu. Dan angin
bertiup keras ke arah mereka, tajam bagaikan pisau. Tiba-tiba mobil Naomi
berhenti dan ia menoleh ke belakang.
"Kita sudah sampai," katanya. "Di Ujung Dunia. Dan saya kira hari ini tidaklah
begitu baik." Mereka semua keluar. Mereka sudah tiba di sebuah desa kecil, dengan sekitar
setengah lusin rumah dari batu. Sebuah nama yang mengesankan tertulis dengan
huruf-huruf besar. "Coti Chiaveeri."
Naomi angkat bahu. "Itu memang hama resminya, tapi saya lebih suka menyebutnya Ujung Dunia."
Ia berjalan beberapa langkah, dan Mr. Satterthwaite menggabungkan diri
dengannya. Mereka sekarang sudah berada di belakang rumah-rumah itu. Jalanan itu
habis. Dan seperti dikatakan Naomi tadi, ini adalah ujungnya, akhir dari
belakang, permulaan dari bukan apa pun. Di belakang mereka tampak jalanan putih
yang berkelok-kelok seperti pita, di depan mereka... tidak ada apa-apa. Hanya di
kejauhan sana, jauh sekali di bawah, tampak laut....
Mr. Satterthwaite menarik napas dalam-dalam.
"Betul-betul tempat yang luar biasa. Rasanya segalanya bisa terjadi di sini,
misalnya bertemu dengan... seseorang."
Ia berhenti, karena tepat di depan mereka terlihat seorang laki-laki sedang
duduk di atas sebuah batu besar, wajahnya mengarah ke laut. Mereka tidak melihat
orang itu sebelumnya dan kemunculannya begitu tiba-tiba, seperti sulap. Bisa
dibilang ia tiba-tiba muncul begitu saja di tempat itu.
"Saya ingin tahu...," Mr. Satterthwaite hendak berkata.
Tapi pada saat itu orang asing tersebut berpaling, dan Mr. Satterthwaite melihat
wajahnya. "Astaga, Mr. Quin! Betapa ajaibnya. Miss Carlton Smith, saya ingin
memperkenalkan teman saya Mr. Quin pada Anda. Dia orang yang luar biasa. Anda
tahu itu benar. Anda selalu muncul pada saat-saat genting...."
Ia berhenti dan merasa telah mengucapkan sesuatu yang penting, tapi demi Tuhan
ia tidak tahu apa itu. Naomi telah bersalaman dengan Mr. Quin dengan gayanya yang tak acuh seperti
biasa. "Kami akan berpiknik di sini," katanya. "Dan tampaknya kami akan membeku sampai
ke tulang-tulang." Mr. Satterthwaite menggigil.
"Mungkin kita bisa mencari tempat terlindung?" tanyanya ragu-ragu.
"Memang tidak baik piknik di udara terbuka seperti ini," Naomi menyetujui. "Tapi
ini memang layak dipandang, bukan?"
"Ya, memang." Mr. Satterthwaite berpaling pada Mr. Quin. "Miss Carlton Smith
menyebut tempat ini Ujung Dunia. Nama yang agak bagus, bukan?"
Mr. Quin menganggukkan kepala dengan pelan beberapa kali.
"Ya - nama yang sangat bermakna. Saya rasa kita cuma sekali saja bisa datang ke
tempat seperti ini seumur hidup - tempat kita tak bisa terus."
"Apa maksud Anda?" tanya Naomi tajam.
Mr. Quin berpaling padanya.
"Yah, biasanya kita selalu punya pilihan, bukan" Ke kanan atau ke kiri. Ke depan
atau ke belakang. Di sini - memang ada jalan di belakang kita, tapi di depan kita
tidak ada apa-apa." Naomi menatapnya. Tiba-tiba ia menggigil dan mulai berjalan mundur,
menggabungkan diri dengan orang-orang lainnya. Kedua laki-laki itu berjalan di
sampingnya. Mr. Quin terus berbicara, tapi nadanya terdengar ringan sekarang,
seperti sedang mengobrol biasa.
"Apakah mobil kecil itu milik Anda, Miss Carlton Smith?"
"Ya." "Anda menyetir sendiri" Menurut saya, Anda berani sekali menyetir ke tempat ini.
Tikungan-tikungannya tajam sekali. Lengah sedikit saja, atau rem yang blong,
kita akan terlempar ke dalam jurang nun jauh di bawah sana. Pasti gampang sekali
melakukannya." Mereka sekarang sudah menggabungkan diri dengan yang lainnya. Mr. Satterthwaite
memperkenalkan temannya. Ia merasa ada yang menarik lengannya. Ternyata Naomi.
Gadis itu menariknya menjauh dari yang lainnya.
"Siapa dia itu?" tanyanya keras.
Mr. Satterthwaite memandangnya terpana.
"Yah, saya juga tidak terlalu tahu. Maksud saya, saya sudah mengenalnya selama
beberapa tahun - kami kadang-kadang bertemu, tapi terus terang kalau ditanya
tentang dirinya..." Ia berhenti. Ocehannya tidaklah berguna, dan gadis di sampingnya juga tidak
mendengarkan. Ia berdiri dengan kepala menunduk, tangannya terkepal di samping
tubuhnya. "Dia mengetahuinya," katanya. "Dia mengetahuinya. Bagaimana dia bisa tahu?"
Mr. Satterthwaite tak punya jawaban. Ia hanya bisa memandang gadis itu dengan
bingung, tak mengerti apa yang membuatnya terguncang.
"Saya takut," kata gadis itu lagi.
"Takut pada Mr. Quin?"
"Saya takut pada matanya. Dia bisa melihat sesuatu...."
Sesuatu yang dingin dan basah jatuh menimpa pipi Mr. Satterthwaite. Ia
mendongak. "Astaga, hujan salju," teriaknya, kaget sekali.
"Betul-betul hari yang sial untuk berpiknik," sahut Naomi.
Ia berusaha untuk pulih menjadi dirinya lagi.
Apa yang harus dilakukan" Berbagai usulan diajukan. Salju turun deras dan tebal.
Mr. Quin mengusulkan sesuatu dan semua orang menyetujuinya. Ada sebuah pondok
batu yang kecil di ujung deretan rumah itu. Mereka semua bergegas ke sana.
"Anda sekalian membawa bekal makan siang," kata Mr. Quin, "dan mereka mungkin
bisa menyajikan kopi."
Tempat itu kecil dan agak gelap, karena jendela yang cuma satu itu tidak terlalu
terang, tapi di ujung ruangan terdapat perapian yang menghangatkan. Seorang
wanita Corsica tua baru saja melemparkan segenggam kayu bakar ke dalam api,
sehingga nyalanya membara, dan dalam cahayanya para pendatang baru itu menyadari
bahwa di sana ternyata sudah ada beberapa orang lain.
Tiga orang sedang duduk di ujung meja kayu yang kosong itu. Ada sesuatu yang
aneh pada pemandangan itu bagi mata Mr. Satterthwaite; ada sesuatu yang terasa
luar biasa pada orang-orang itu.
Wanita yang duduk di kepala meja tampak seperti bangsawan - maksudnya,
penampilannya persis dengan gambaran seorang wanita bangsawan. Ia adalah
primadona panggung yang ideal. Kepalanya yang anggun terangkat tinggi, dan
rambutnya yang betul-betul rapi tatanannya berwarna seputih salju. Gaunnya abuabu, dengan kerut-kerut lembut yang. jatuh terjuntai dengan apik. Salah satu
tangannya yang langsing dan putih menopang dagunya, tangan lainnya memegang
sepotong kue tart yang diolesi p?te de foie gras. Di sebelah kanan wanita itu
tampak seorang laki-laki dengan wajah amat pucat, rambutnya hitam pekat, dan ia
memakai kacamata bergagang tanduk. Pakaian yang dikenakannya betul-betul indah
dan necis. Pada saat itu ia melemparkan kepalanya ke belakang dan tangan kirinya
terangkat, seolah-olah sedang mendeklamasikan sesuatu.
Di sebelah kiri wanita itu tampak seorang laki-laki kecil bertampang ceria
dengan kepala botak. Setelah memandang sekilas, tak seorang pun menoleh lagi ke
arahnya. Sejenak suasana terasa canggung, kemudian sang Duchess (yang bangsawan sejati)
mengambil pimpinan. "Badai ini sungguh buruk, bukan?" tanyanya santai sambil berjalan maju. Wajahnya
menunjukkan senyuman penuh arti dan efisien, yang menurutnya sering kali sangat
berguna kalau harus menghadiri acara-acara amal dan sejenisnya. "Saya rasa Anda
sekalian juga terjebak seperti kami" Tapi Corsica sebenarnya tempat yang hebat.
Saya sendiri baru sampai pagi ini."
Laki-laki dengan rambut hitam itu berdiri, dan sang Duchess dengan senyumnya
yang anggun duduk di kursinya.
Wanita berambut putih itu berbicara.
"Kami sudah seminggu di sini," katanya.
Mr. Satterthwaite terpana. Mungkinkah orang melupakan suara itu setelah
mendengarnya" Suara itu menggema di ruangan berdinding batu tersebut, penuh
perasaan - dengan nada melankolis yang merdu. Bagi Mr. Satterthwaite, wanita itu
seolah-olah telah mengatakan sesuatu yang indah, penuh kenangan, dan sarat oleh
arti. Wanita itu telah berbicara dari dalam hatinya.
Ia buru-buru membisikkan sesuatu pada Mr. Tomlinson.
"Laki-laki berkacamata itu adalah Mr. Vyse - si produser, Anda tahu."
Pensiunan hakim India itu memandang Mr. Vyse dengan muak.
"Apa yang diproduksinya?" tanyanya. "Anak?"
"Oh, astaga, tentu saja tidak," sahut Mr. Satterthwaite, kaget karena gagasan
itu kasar sekali kalau dihubungkan dengan Mr. Vyse. "Drama."
"Saya rasa," kata Naomi, "saya akan keluar lagi. Terlalu panas di sini."
Suaranya terdengar keras dan serak, sampai Mr. Satterthwaite terlompat kaget.
Gadis itu, nyaris seperti orang buta, berjalan menuju pintu sambil mendorong Mr.
Tomlinson ke samping. Tapi di ambang pintu ia berhadapan dengan Mr. Quin yang
menghalanginya. "Kembali dan duduklah," katanya.
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suaranya terdengar tegas. Mr. Satterthwaite heran karena Naomi cuma ragu-ragu
sejenak, kemudian menaatinya. Gadis itu duduk di kepala meja satunya, menjauhkan
diri dari orang-orang lainnya.
Mr. Satterthwaite berjalan maju dan menghampiri si produser.
"Anda mungkin tidak ingat pada saya," katanya. "Nama saya Satterthwaite."
"Tentu saja saya ingat!" Sebuah tangan kurus terjulur dan menyalaminya erat.
"Bayangkan bertemu dengan Anda di tempat seperti ini. Anda tentunya mengenal
Miss Nunn?" Mr. Satterthwaite kaget. Tak heran suara itu seperti telah dikenalnya. Ribuan
orang di seluruh Inggris telah terpana mendengar suara yang penuh perasaan itu.
Rosina Nunn! Aktris emosional Inggris yang terbaik. Mr. Satterthwaite sendiri
terpana mendengar suaranya. Tak seorang pun bisa menirunya dalam membawakan
sebuah peran - karena ia mampu mengatakan segalanya dengan makna sangat mendalam.
Mr. Satterthwaite sendiri menganggapnya sebagai aktris intelek yang memahami dan
menjiwai peranannya. Ia mungkin harus dimaafkan karena tidak segera bisa mengenali sang aktris.
Rosina Nunn mempunyai selera yang berubah-ubah. Selama 25 tahun dalam hidupnya
ia berambut pirang. Kemudian, setelah melakukan tur di Amerika Serikat, ia
kembali dengan rambut hitam pekat, dan menikmati tragedi itu dengan senang hati.
Gaya "Bangsawan Prancis" ini adalah penampilan terbarunya.
"Oh, ini Mr. Judd - suami Miss Nunn," kata Vyse, dengan santai memperkenalkan
laki-laki berkepala botak itu.
Rosina Nunn punya beberapa suami, Mr. Satterthwaite tahu itu. Mr. Judd jelasjelas suaminya yang terakhir.
"Tambah lagi p?te-nya, Sayang" Yang terakhir tidaklah setebal yang kauinginkan."
Rosina Nunn menyerahkan kue tart-nya pada suaminya, sambil menggumam,
"Henry mengetahui semua makanan enak. Saya mempercayakan urusan hidangan
padanya." "Si pemberi makan," ujar Mr. Judd dan tertawa. Ia menepuk bahu istrinya.
"Memperlakukan istrinya seperti anjing," gumam suara melankolis Mr. Vyse di
telinga Mr. Satterthwaite. "Memotong-motongkan makanannya. Dasar wanita, maunya
yang aneh-aneh." Mr. Satterthwaite dan Mr. Quin membuka bekal makan siang mereka. Telur rebus
matang, daging ham dingin, dan keju dibagikan pada semua orang. Sang Duchess dan
Miss Nunn tampaknya asyik bercakap-cakap. Sebentar-sebentar terdengar suara
rendah si aktris. "Rotinya harus dibakar sedikit, Anda tahu" Kemudian diolesi tipis-tipis dengan
selai jeruk. Digulung dan dimasukkan oven selama satu menit - jangan lebih.
Betul-betul lezat." "Wanita itu hidup untuk makan," gumam Mr. Vyse. "Betul-betul hanya untuk itu.
Dia tak bisa memikirkan hal lainnya. Saya ingat waktu mengerjakan Riders to the
Sea - Anda tahu kata-kata itu. 'Dan aku akan sangat menikmati saat yang tenang
ini.' Saya tidak bisa mendapatkan efek yang saya inginkan. Akhirnya saya
menyuruhnya membayangkan permen pedas - dia gemar sekali makan permen pedas. Dan
saya berhasil mendapatkan efek itu - pandangan menerawang dan menembus hati semua
orang." Mr. Satterthwaite terdiam. Ia ingat.
Mr. Tomlinson yang duduk di hadapannya berdeham, hendak berkomentar juga.
"Saya dengar Anda memproduksi drama, eh" Saya senang dengan drama yang bagus.
Jim the Penman, misalnya."
"Astaga," kata Mr. Vyse, dan sekujur badannya menggigil.
"Sejumput kecil bawang putih," kata Miss Nunn pada sang Duchess. "Bilang pada
koki Anda. Sungguh sedap."
Ia mendesah dengan bahagia dan berpaling pada suaminya.
"Henry," katanya dengan jelas, "aku tidak melihat caviare itu."
"Kau bahkan duduk sangat dekat dengannya," sahut Mr. Judd ceria. "Kau tadi
meletakkannya di belakang kursi."
Rosina Nunn buru-buru mengambilnya dan memandang ke sekeliling meja dengan
gembira. "Henry betul-betul hebat. Saya ini amat pikun. Saya sering lupa di mana saya
meletakkan barang-barang saya."
"Seperti hari ketika kau menyimpan perhiasanmu dalam tas riasmu," kata Henry
menggodanya. "Lalu kau meninggalkannya di hotel. Aku sampai repot setengah mati,
karena harus berkali-kali menelepon dan menelegram."
"Tapi perhiasan itu diasuransikan," kata Miss Nunn sambil terbayang-bayang.
"Tidak seperti opalku."
Mendadak wajahnya menunjukkan kepedihan yang luar biasa.
Beberapa kali, ketika bersama dengan Mr. Quin, Mr. Satterthwaite mempunyai
firasat bahwa ia sedang turut serta dalam sebuah drama. Ilusi itu terasa jelas
sekali dalam dirinya sekarang. Ini adalah mimpi. Semua orang punya peranan. Kata
"opalku" adalah petunjuk baginya. Ia mencondongkan badannya ke depan.
"Opal Anda, Miss Nunn?"
"Apa kau punya mentega, Henry" Trims. Ya, opal saya. Dicuri, Anda tahu. Dan saya
tak pernah mendapatkannya kembali."
"Coba ceritakan pada kami," pinta Mr. Satterthwaite.
"Yah - saya dilahirkan pada bulan Oktober, jadi saya akan beruntung kalau memakai
opal. Karena itu, saya menginginkan yang betul-betul indah. Saya menunggu lama
sekali untuk mendapatkannya. Orang bilang opal saya itu adalah salah satu dari
yang paling sempurna yang pernah ada. Tidak terlalu besar - kurang-lebih sebesar
uang logam senilai dua shilling, tapi oh! warna dan cahayanya indah sekali."
Ia mendesah. Mr. Satterthwaite melihat sang Duchess tampak gelisah dan tidak
nyaman, tapi tak ada yang bisa menghentikan Miss Nunn sekarang. Ia melanjutkan,
dan pengaruh suaranya yang luar biasa membuat ceritanya kedengaran seperti
legenda yang mengenaskan.
"Opal saya itu dicuri oleh pemuda bernama Alec Gerard. Dia penulis drama."
"Drama yang bagus sekali," sela Mr. Vyse secara profesional. "Bayangkan, saya
pernah menyimpan salah satu dramanya selama enam bulan."
"Apakah Anda memproduksinya?" tanya Mr. Tomlinson.
"Oh, tidak," sahut Mr. Vyse, kaget oleh gagasan itu. "Tapi tahukah Anda, saya
memang pernah berniat memproduksinya?"
"Dalam drama itu ada peran bagus untuk saya," kata Miss Nunn. "Judulnya Rachel's
Children, meskipun tidak ada yang bernama Rachel dalam drama itu. Alec datang
pada saya untuk membahasnya - di teater. Saya menyukainya. Dia ganteng, sangat
pemalu, dan miskin. Saya ingat" - wajahnya tampak cantik dan menerawang - "dia
membelikan saya sejumlah permen pedas. Opal itu tergeletak di meja rias. Alec
pernah ke Australia dan tahu sedikit tentang opal. Dia mengambilnya dan
memandangnya di bawah sinar. Saya rasa setelah itu dia langsung menyelipkannya
dalam saku. Saya langsung kehilangan setelah dia pergi. Itu sudah direncanakan.
Anda ingat?" Ia berpaling pada Mr. Vyse.
"Oh, saya ingat," sahut Mr. Vyse sambil mengeluh.
"Mereka menemukan kotak kosong itu di kamarnya," lanjut sang aktris. "Dia betulbetul miskin, tapi keesokan harinya dia menyetorkan sejumlah besar uang ke
banknya. Dia pura-pura mengatakan uang itu didapatnya dari kemenangannya dalam
pacuan kuda, yang taruhannya dipasangkan oleh temannya. Tapi dia tak bisa
menyebutkan nama temannya. Katanya dia pasti tidak sengaja telah menyelipkan
kotak itu di sakunya. Saya rasa alasannya itu lemah sekali, bukan" Dia
semestinya bisa memikirkan sesuatu yang lebih baik. Saya terpaksa memberi
kesaksian. Foto saya terpampang di koran-koran. Manajer saya berkata itu bagus
untuk publisitas, tapi saya lebih suka mendapatkan opal saya kembali."
Ia menggelengkan kepala dengan sedih.
"Mau manisan nenas?" tanya Mr. Judd.
Miss Nunn menjadi cerah. "Mana?" "Baru saja kuberikan padamu, kan?"
Miss Nunn menoleh ke belakang dan depan, memeriksa saku gaun abu-abunya, dan
pelan-pelan mengeluarkan sebuah tas ungu yang besar sekali, yang selama ini
tergeletak di lantai di sampingnya. Ia mulai mengeluarkan isinya satu-satu
dengan perlahan-lahan di meja. Mr. Satterthwaite tertarik sekali.
Ada kotak bedak, gincu, kotak perhiasan kecil, secarik kain wol, kotak bedak
satu lagi, dua helai saputangan, sekotak selai cokelat, pisau lipat berlapis
enamel, cermin, kotak kecil berwarna cokelat tua, lima pucuk surat, sebutir
kenari, sepotong kecil kertas lipat berwarna jingga, seutas pita, dan cuilan
ujung kue croissant. Terakhir adalah manisan nenas itu.
"Eureka," gumam Mr. Satterthwaite pelan.
"Maaf?" "Tidak apa-apa," sahut Mr. Satterthwaite buru-buru. "Betapa bagusnya pisau lipat
itu." "Sungguh" Ini hadiah dari seseorang. Saya tidak ingat siapa."
"Itu adalah kotak India," ujar Mr. Tomlinson. "Benda kecil yang pintar sekali,
bukan?" "Itu juga hadiah dari seseorang," kata Miss Nunn. "Sudah lama saya memilikinya.
Saya selalu meletakkannya di meja rias saya di teater. Menurut saya tidak
terlalu bagus. Bagaimana dengan Anda?"
Kotak itu terbuat dari kayu cokelat biasa. Bisa dibuka pada salah satu sisinya.
Di atasnya terdapat dua tutup kayu yang bisa digeser-geser.
"Mungkin tidak cantik," kata Mr. Tomlinson sambil tertawa geli. "Tapi saya yakin
Anda belum pernah melihat kotak seperti ini."
Mr. Satterthwaite mencondongkan badannya ke depan. Ia tertarik sekali.
"Kenapa Anda berkata itu benda yang pintar?" tanyanya.
"Memang begitu, bukan?"
Hakim itu memandang Miss Nunn. Tapi wanita itu memandangnya balik dengan
bingung. "Rasanya saya tidak boleh menunjukkan rahasianya, bukan?" Miss Nunn masih tampak
bingung. "Rahasia apa?" tanya Mr. Judd.
"Astaga, apakah Anda tidak tahu?"
Ia memandang ke sekeliling meja, pada wajah-wajah yang ingin tahu itu.
"Bayangkan. Boleh saya pinjam kotaknya sebentar" Terima kasih."
Ia membuka kotak itu. "Nah, apakah ada yang punya sesuatu untuk dimasukkan" Jangan terlalu besar. Ini
ada sepotong kecil keju. Cocok sekali. Saya akan memasukkannya ke dalam, dan
menutup kotak ini." Sejenak ia mengotak-atik kotak itu dengan tangannya.
"Sekarang lihat..."
Ia membuka kotak itu lagi. Kosong.
"Astaga, kenapa bisa begitu?" kata Mr. Judd. "Bagaimana Anda melakukannya?"
"Gampang. Balikkan kotak itu dan geser tutup kayu yang sebelah kiri ke samping,
kemudian yang sebelah kanan ditutup. Untuk mengembalikan keju itu lagi, kita
harus melakukan sebaliknya. Tutup yang sebelah kanan digeser, dan yang kiri
ditutup, dengan tetap membalikkan kotak itu. Nah - ini dia!"
Kotak itu membuka. Semua orang menahan napas. Keju itu keluar lagi - tapi ada
sesuatu yang lain. Sebuah benda bundar yang memantulkan warna-warna pelangi.
"Opalku!" Sungguh suara yang merdu. Rosina Nunn berdiri tegak, tangannya mendekap dada.
"Opalku! Bagaimana sampai bisa ada di kotak itu?"
Henry Judd berdeham. "Aku... eh... kurasa, Rosy sayang, kau sendiri yang memasukkannya dalam kotak
itu." Seseorang bangkit berdiri dan berlari keluar. Ternyata Naomi Carlton Smith. Mr.
Quin mengejarnya. "Tapi kapan" Maksudmu...?"
Mr. Satterthwaite memandangnya sementara wanita itu berpikir. Sejenak kemudian
baru ia mengerti. "Maksudmu tahun lalu - di teater."
"Kau tahu," kata Henry dengan nada minta maaf, "kau memang suka ceroboh dengan
barang-barangmu, Rosy. Seperti caviare itu tadi."
Miss Nunn dengan terbata-bata mengemukakan kelemahannya.
"Aku menyelipkannya tanpa berpikir, kemudian tanpa sadar membalik kotak itu dan opal itu
lenyap tanpa sengaja, tapi... tapi..." Akhirnya suaranya terdengar lagi. "Tapi
kalau begitu, Alec Gerard tidak mencurinya. Oh!" Ia menjerit keras dan tajam,
merasa pedih. "Betapa kacaunya!"
"Yah," kata Mr. Vyse, "itu bisa diluruskan sekarang."
"Ya, tapi dia sudah setahun mendekam di penjara." Kemudian ia mengagetkan mereka
semua. Ia berpaling tajam pada sang Duchess. "Siapa gadis itu - gadis yang baru
keluar tadi?" "Miss Carlton Smith," sahut sang Duchess, "tadinya bertunangan dengan Mr.
Gerard. Kejadian itu... membuatnya terpukul sekali."
Mr. Satterthwaite pelan-pelan menyingkir. Salju sudah berhenti turun, Naomi
sedang duduk bersandar pada dinding batu. Di tangannya tampak sebuah buku gambar
dan beberapa batang krayon berceceran di sekitarnya. Mr. Quin sedang berdiri di
sampingnya. Ia mengulurkan buku gambar itu pada Mr. Satterthwaite. Memang cuma sketsa kasar tapi indah sekali. Salju berputar-putar mengelilingi sebuah sosok yang digambar
tepat di tengah-tengah. "Bagus sekali," ujar Mr. Satterthwaite.
Mr. Quin mendongak memandang langit.
"Badai sudah reda," katanya. "Jalanan pasti licin, tapi saya rasa takkan ada
kecelakaan apa pun - sekarang."
"Takkan ada kecelakaan," kata Naomi. Suaranya terdengar penuh arti, tak bisa
dimengerti oleh Mr. Satterthwaite. Gadis itu berpaling dan tersenyum padanya senyum, yang tiba-tiba muncul dan sangat ceria. "Mr. Satterthwaite bisa ikut
dengan saya kalau mau."
Mr. Satterthwaite langsung mengerti sampai seberapa jauh keputusasaan yang
dideritanya. "Yah," kata Mr. Quin, "saya harus mengucapkan selamat tinggal."
Ia berjalan pergi. "Ke mana dia pergi?" tanya Mr. Satterthwaite, menatap sosok Mr. Quin yang
menjauh. "Kembali ke tempat dia muncul tadi, saya rasa," sahut Naomi dengan suara aneh.
"Tapi... tapi di sana tidak ada apa-apa," kata Mr. Satterthwaite, karena Mr.
Quin berjalan menuju tempat di tepi jurang, di mana tadi mereka melihatnya
muncul. "Anda sendiri berkata ini adalah Ujung Dunia."
Ia mengembalikan buku gambar itu.
"Ini bagus sekali," katanya. "Sangat mirip. Tapi kenapa... eh... kenapa Anda
menggambarnya mengenakan Kostum Topeng?"
Naomi menatapnya sekilas.
"Begitulah saya melihatnya," sahut Naomi Carlton Smith.
Bab 12 JALAN HARLEQUIN MR. SATTERTHWAITE sendiri tidak begitu yakin, apa yang menyebabkannya mau
menginap di rumah keluarga Denman. Mereka bukanlah orang dari golongannya - bisa
dibilang mereka bukan dari kalangan terkenal ataupun kalangan bangsawan yang
jauh lebih menarik. Mereka orang biasa dan agak menjemukan. Mr. Satterthwaite
pertama kali bertemu dengan mereka di Biarritz, dan telah menerima undangan
mereka untuk menginap. Ia datang, merasa jemu, tapi datang lagi dan datang lagi.
Kenapa" Ia menanyakan pertanyaan itu dalam hatinya pada tanggal 21 Juni hari
itu, ketika sedang meluncur dengan Rolls-Royce-nya keluar kota London.
John Denman berusia empat puluh tahun, seorang laki-laki sukses dan terhormat
dalam dunia usaha. Teman-temannya bukanlah teman-teman Mr. Satterthwaite,
apalagi gagasan-gagasannya. Ia orang yang pintar dalam bidangnya, tapi kurang
imajinasi di luar bidang tersebut.
Kenapa aku melakukan ini" Mr. Satterthwaite bertanya pada dirinya lagi - dan satusatunya alasan yang muncul tampaknya begitu samar-samar dan betul-betul tidak
masuk akal, sehingga ia mengesampingkannya. Alasan tersebut adalah karena salah
satu ruangan di rumah itu (rumah yang nyaman dan indah), mengusik rasa ingin
tahunya. Ruangan itu adalah ruang duduk pribadi Mrs. Denman.
Ruangan itu nyaris tidak mencerminkan kepribadiannya, meskipun sepanjang yang
bisa dibayangkan Mr. Satterthwaite, Mrs. Denman tidaklah memiliki kepribadian.
Ia belum pernah bertemu dengan wanita yang begitu tanpa ekspresi. Ia tahu wanita
itu dilahirkan di Rusia. John Denman berada di Rusia ketika pecah perang Eropa.
Ia berjuang bersama-sama pasukan Rusia, nyaris kehilangan nyawanya pada saat
timbul revolusi di negeri itu, kemudian membawa pulang gadis Rusia itu
bersamanya sebagai pengungsi yang miskin sekali. Meskipun orangtuanya sangat
menentang, ia menikahi gadis itu.
Ruang duduk Mrs. Denman tidak terlalu mengesankan. Perabotnya terdiri atas jenis
Hepplewhite yang bagus dan kokoh - dengan gaya lebih maskulin ketimbang feminin.
Tapi di dalam ruang itu terdapat suatu benda yang kelihatannya salah tempat,
yaitu sebuah sekat Cina yang mengilap berwarna kuning krem dan merah muda pucat.
Museum mana pun pasti gembira kalau bisa memilikinya. Benda itu betul-betul
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suatu koleksi yang langka dan indah.
Tapi tidak cocok rasanya diletakkan di ruangan yang bergaya Inggris kental.
Mestinya benda itu menjadi pusat perhatian dalam sebuah ruangan dengan paduan
benda-benda lain yang serasi dengannya. Meskipun demikian, Mr. Satterthwaite
tidak bisa mencela selera keluarga Denman, karena ruangan-ruangan lain di rumah
mereka sangat bagus tatanannya.
Ia menggelengkan kepala. Benda itu - meskipun tidak penting - membingungkannya. Dan
karena benda itu, begitulah yang diyakininya, ia jadi datang dan datang lagi ke
rumah itu. Mungkin benda itu cuma khayalan seorang wanita, tapi pemecahan itu
tidak memuaskannya ketika ia membayangkan Mrs. Denman, wanita pendiam yang
berpotongan tegas dan berbicara dalam bahasa Inggris sempurna, sehingga tak
seorang pun akan menyangka bahwa ia sebenarnya orang asing.
Mobil itu tiba di tujuannya dan Mr. Satterthwaite keluar, pikirannya masih
dipenuhi oleh masalah sekat Cina itu. Nama rumah keluarga Denman adalah Ashmead,
dan terletak di tanah seluas kurang-lebih lima ekar di Melton Heath, tiga puluh
mil jauhnya dari London, 650 meter di atas permukaan laut, dan kebanyakan dihuni
orang-orang dengan pendapatan berlimpah.
Kepala pelayan menyambut kedatangan Mr. Satterthwaite dengan penuh hormat. Mr.
dan Mrs. Denman sedang keluar untuk latihan. Mereka berharap Mr. Satterthwaite
tidak sungkan-sungkan sampai mereka kembali nanti.
Mr. Satterthwaite mengangguk dan bermaksud mematuhi pesan tuan rumahnya dengan
berjalan-jalan di taman. Setelah sejenak memperhatikan bunga-bunga di sana, ia
melanjutkan perjalanannya di sepanjang jalan setapak yang teduh, dan akhirnya
sampai pada sebuah pintu di dinding. Pintu itu tidak terkunci. Ia membukanya dan
masuk ke sebuah jalan sempit.
Mr. Satterthwaite memandang ke km dan ke kanan. Jalanan itu bagus, teduh dan
hijau dengan pagar tanaman yang tinggi - jalan kecil pedesaan dengan tikungan dan
belokan kuno dan indah. Ia teringat pada cap pos alamat itu: ASHMEAD, JALAN
HARLEQUIN - juga teringat nama setempat untuknya, yang pernah dikatakan Mrs.
Denman padanya dulu, "Jalan Harlequin," gumamnya pada diri sendiri dengan lirih. "Aku ingin tahu..."
Ia menikung di sebuah ujung.
Ia jadi ingin tahu, bukan saat itu, tapi sesudahnya, kenapa kali ini ia tidak
merasa kaget ketika bertemu dengan temannya yang aneh itu: Mr. Harley Quin.
Kedua laki-laki itu saling berjabat tangan.
"Ya," kata Mr. Quin. "Saya menginap di rumah yang sama dengan Anda."
"Tinggal di sana?"
"Ya. Apa Anda heran?"
"Tidak," sahut Mr. Satterthwaite pelan. "Hanya... yah, Anda tidak pernah tinggal
lama di suatu tempat, bukan?"
"Hanya selama yang dibutuhkan," sahut Mr. Quin serius.
"Saya mengerti," kata Mr. Satterthwaite.
Mereka berjalan sambil berdiam diri selama beberapa menit.
"Jalan ini," Mr. Satterthwaite hendak berkata, tapi tidak jadi.
"Adalah milik saya," sahut Mr. Quin.
"Saya juga berpikiran begitu," kata Mr. Satterthwaite. "Entah kenapa saya rasa
memang harus begitu. Ada nama lain untuknya, nama setempat. Mereka menyebutnya
'Lovers'. Anda tahu itu?"
Mr. Quin mengangguk. "Tapi bukankah selalu ada yang namanya 'Lovers' Lane di setiap desa?" katanya
lembut. "Saya rasa begitu," kata Mr. Satterthwaite, dan ia mendesah lirih.
Tiba-tiba ia merasa tua dan kuno, seorang laki-laki kecil yang jompo,
berkeriput, dan uzur. Di kanan-kirinya tampak pagar tanaman yang sangat hijau
dan segar. "Saya ingin tahu, di mana ujung jalan ini?" tanyanya tiba-tiba.
"Di... sini," jawab Mr. Quin.
Akhirnya mereka mengitari tikungan terakhir. Jalan itu berakhir pada sebuah
tanah kosong, dan nyaris tepat di depan mereka terdapat sebuah lubang besar
menganga. Di dalam lubang itu terdapat kaleng-kaleng yang berkilauan tertimpa
sinar matahari, dan kaleng-kaleng lainnya yang berwarna merah pekat karena
karat, sepatu-sepatu bot yang sudah rusak, sobekan-sobekan koran, dan seribu
satu barang lainnya yang bukan milik siapa-siapa.
"Tumpukan sampah," teriak Mr. Satterthwaite, dan ia menarik napas dengan keras
karena berang. "Kadang-kadang ada barang-barang indah dalam tumpukan sampah," kata Mr. Quin.
"Saya tahu, saya tahu," teriak Mr. Satterthwaite, dan tanpa sadar ia mengutip,
"Bawakan aku dua barang terindah di kota itu, sabda Tuhan. Anda tahu
kelanjutannya, eh?" Mr. Quin mengangguk. Mr. Satterthwaite mendongak dari tumpukan sampah itu pada sebuah pondok kecil
yang bertengger di tepi tebing.
"Pemandangan yang kurang sedap bagi rumah itu," katanya mengomentari.
"Saya rasa dulunya ini bukan tumpukan sampah," kata Mr. Quin. "Saya kira
keluarga Denman tinggal di rumah itu ketika mereka baru menikah dulu. Mereka
pindah ke rumah besar setelah orang-orang tua itu meninggal. Pondok itu
dihancurkan ketika mereka mulai menggali-gali di sini - tapi, seperti Anda lihat,
tidak banyak yang telah dikerjakan."
Mereka berbalik dan berjalan kembali.
"Saya rasa," kata Mr. Satterthwaite sambil tersenyum, "banyak pasangan kekasih
berjalan-jalan di sini pada malam-malam musim panas yang hangat."
"Mungkin." "Para kekasih," kata Mr. Satterthwaite. Ia mengulangi kata-kata itu dengan
serius dan tenang, tanpa malu-malu seperti layaknya orang Inggris.
Mr. Quin memang telah mempengaruhinya seperti biasa. "Para kekasih... Anda
banyak menolong mereka, bukan, Mr. Quin?"
Temannya itu cuma menundukkan kepala tanpa menjawab.
"Anda telah banyak menolong mereka dari kesedihan - dari yang lebih buruk daripada
kesedihan, dari kematian. Anda sendiri perantara orang-orang mati itu."
"Anda sedang membicarakan diri Anda sendiri - tentang apa yang telah Anda lakukan
- bukan saya." "Sama saja," kata Mr. Satterthwaite. "Anda tahu itu," ia mendesak lagi, karena
Mr. Quin tidak menyahut. "Anda telah bertindak - melalui saya. Untuk alasan
tertentu, Anda tidak bertindak secara langsung - sendiri."
"Kadang-kadang saya melakukannya," kata Mr. Quin.
Suaranya mengandung nada yang baru. Entah kenapa, Mr. Satterthwaite jadi sedikit
gemetar. Menurutnya hawa sore itu mulai agak dingin. Padahal matahari bersinar
terang benderang. Pada saat itu, seorang gadis berbelok mengitari tikungan di depan mereka dan
menampakkan dirinya. Seorang gadis cantik berambut pirang, bermata biru, dan
mengenakan gaun katun merah muda. Mr. Satterthwaite mengenalinya sebagai Molly
Stanwell, yang pernah dijumpainya sebelum ini.
Gadis itu melambaikan tangan pada Mr. Satterthwaite.
"John dan Anna baru saja kembali," teriaknya.
"Mereka tahu Anda pasti datang, tapi mereka harus menghadiri latihan itu."
"Latihan apa?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Acara topeng itu - saya tidak tahu istilah apa yang biasa dipakai. Pokoknya ada
nyanyian, tarian, serta sejenisnya. Mr. Manly, Anda ingat dia" Dia punya suara
tenor yang bagus, dan akan menjadi pierrot, penari pantomim pria sementara saya
menjadi pierrette, penari putri. Dua orang profesional akan datang untuk
membawakan tarian baletnya - Harlequin dan Columbine. Kemudian ada paduan suara
putri yang besar. Lady Roscheimer sangat berminat melatih gadis-gadis desa untuk
menyanyi. Dia betul-betul giat. Musiknya lumayan enak, tapi sangat modem, tak
bisa dibandingkan dengan apa pun. Claude Wickam. Mungkin Anda mengenalnya?"
Mr. Satterthwaite mengangguk, karena, seperti pernah disebutkan sebelumnya,
adalah m?tier-nya untuk mengenal semua orang. Ia tahu segalanya tentang Claude
Wickam yang musikus jenius itu, dan tentang Lady Roscheimer, wanita Yahudi gemuk
dengan penchant akan para pemuda yang mempunyai bakat seni. Ia juga tahu banyak
tentang Sir Leopold Roscheimer yang suka kalau istrinya bahagia dan, meskipun
langka sekali di antara para suami, tidak keberatan kalau istrinya bahagia
dengan caranya sendiri. Mereka menjumpai Claude Wickam sedang minum teh bersama keluarga Denman, sambil
menjejali mulutnya dengan apa pun yang bisa diraih, berbicara cepat sambil
menggerak-gerakkan tangannya yang putih dan panjang itu dengan lemas sekali.
Matanya yang rabun dekat tampak mengintip di balik kacamata besar bergagang
tanduk. John Denman yang berpotongan tegap, agak kemerah-merahan, serta nyaris tak bisa
dibilang ramping, mendengarkan ocehan itu dengan jemu. Ketika Mr. Satterthwaite
muncul, sang musikus langsung menyambutnya. Anna Denman duduk di belakang
peralatan minum teh, tenang dan tanpa ekspresi, seperti biasa.
Mr. Satterthwaite mencuri pandang ke arah wanita itu. Tinggi, gemulai, sangat
ramping, kulit wajahnya tertarik ketat pada tulang pipinya yang tinggi, rambut
hitamnya berbelah tengah, dan kulitnya cokelat kena sinar matahari. Wanita yang
menyukai kegiatan di luar rumah dan tak memedulikan kosmetika. Wanita tipe
boneka Belanda, kaku, tanpa gairah, tapi...
Ia berpikir, "Mestinya ada sesuatu di balik wajah itu, tapi nyatanya tidak.
Itulah yang tidak beres. Ya, tidak beres." Dan pada Claude Wickam ia berkala,
"Maaf" Apa yang Anda katakan tadi?"
Claude Wickam, yang menyukai suaranya sendiri, mengulangi pembicaraannya lagi.
"Rusia," katanya, "adalah satu-satunya negara di dunia yang layak diminati.
Mereka senang melakukan eksperimen terhadap kehidupan, kalau Anda setuju, dan
mereka akan terus melakukannya. Hebat!" Ia menjejalkan sepotong sandwich ke
dalam mulutnya dengan satu tangan, dan menambahkan segigitan kue cokelat yang
dilambai-lambaikannya dengan tangan yang lain. "Misalnya," katanya (dengan mulut
penuh), "balet Rusia." Tiba-tiba ia teringat pada nyonya rumahnya dan berpaling
kepadanya. Bagaimana pendapat Mrs. Denman tentang balet Rusia"
Pertanyaan itu sudah jelas hanyalah pembuka dari sesuatu yang penting - apa yang
dipikirkan Claude Wickam tentang balet Rusia, tapi jawaban Mrs. Denman betulbetul tak disangka-sangka dan membuatnya sangat kaget.
"Saya belum pernah melihatnya."
"Apa?" Ia menatap Mrs. Denman dengan mulut menganga. "Tapi tentunya..."
Mrs. Denman meneruskan dengan nada datar dan tak acuh.
"Sebelum menikah, saya seorang penari. Jadi, sekarang..."
"Liburan panjang," sambung suaminya.
"Menari." Mrs. Denman angkat bahu. "Saya tahu semua taktiknya. Saya tidak
tertarik." "Oh!" Baru beberapa saat kemudian Claude pulih kembali dari kekagetannya. Ia
meneruskan berbicara. "Omong-omong soal kehidupan," kata Mr. Satterthwaite, "dan melakukan eksperimen
dengannya... negara Rusia telah membuat suatu eksperimen mahal."
Claude Wickam berputar menatapnya.
"Saya tahu apa yang akan Anda katakan," teriaknya. "Kharsanova! Satu-satunya
Kharsanova yang abadi! Anda pernah melihatnya menari?"
"Tiga kali," sahut Mr. Satterthwaite. "Dua kali di Paris, sekali di London.
Saya... takkan pernah melupakannya."
Ia berbicara dengan suara seperti menerawang.
"Saya juga pernah melihatnya," kata Claude Wickam. "Waktu itu saya masih berumur
sepuluh tahun. Paman saya yang mengajak. Demi Tuhan! Saya takkan pernah
melupakannya" Ia melempar sepotong kue dengan gemas ke dalam pot tanaman.
"Ada patung dirinya di Museum Berlin," kata Mr. Satterthwaite. "Bagus sekali.
Kesan rapuhnya begitu kentara - seolah-olah kita bisa merobohkannya hanya dengan
menjentiknya. Saya pernah melihatnya sebagai Columbine, pada tarian Angsa dan
peri yang sekarat." Ia berhenti, menggelengkan kepala "Dia betul-betul jenius.
Takkan ada penari seperti dia dalam waktu lama. Dia juga masih muda. Tapi dia
dihancurkan dengan sengaja pada awal pecahnya Revolusi."
"Dasar goblok! Orang-orang gila! Bajingan!" kata Claude Wickam. Ia tersedak
ketika meminum tehnya. "Saya pernah belajar dengan Kharsanova," kata Mrs. Denman. "Saya ingat betul
dirinya." "Apakah dia hebat?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Ya" sahut Mrs. Denman pelan. "Dia hebat."
Claude Wickam minta diri dan John Denman menarik napas panjang dengan lega,
sementara istrinya tertawa.
Mr. Satterthwaite mengangguk. "Aku tahu apa yang kaupikirkan. Tapi musik yang
ditulis anak itu adalah musik betulan."
"Kurasa begitu," ujar Denman.
"Oh, tak diragukan lagi. Tapi berapa lama - nah, itu masalah lain."
John Denman memandangnya ingin tahu.
"Maksudmu?" "Maksudku sukses itu datang terlalu awal. Dan itu berbahaya. Selalu berbahaya."
Ia memandang ke seberang pada Mr. Quin. "Anda setuju dengan saya?"
"Anda selalu benar," sahut Mr. Quin.
"Mari kita ke kamar saya di atas," ajak Mrs. Denman. "Di sana lebih enak."
Ia memimpin jalan dan mereka mengikutinya. Mr. Satterthwaite menarik napas
panjang ketika melihat sekat Cina itu. Ia mendongak dan melihat Mrs. Denman
sedang memperhatikannya. "Anda orang yang selalu benar," katanya sambil mengangguk pelan ke arah Mr.
Satterthwaite. "Bagaimana pendapat Anda tentang sekat saya itu?"
Mr. Satterthwaite langsung merasa kata-kata itu memang ditujukan untuk
menantangnya, dan ia segera menjawabnya dengan agak terbata-bata.
"Yah, sekat itu... sekat itu indah. Sangat indah dan unik."
"Kau benar." Denman telah menghampirinya. "Kami membelinya ketika baru menikah.
Harganya cuma sepersepuluh nilainya, tapi pada saat itu... yah, kami sampai
bangkrut karenanya selama setahun. Kau masih ingat, Anna?"
"Ya," sahut Mrs. Denman, "aku masih ingat."
"Terus terang, kami sebetulnya tidak perlu membelinya - tidak pada Saat itu.
Sekarang tentu saja berbeda. Ada beberapa benda kilap yang sangat bagus, yang
dilelang di Christie's beberapa hari yang lalu. Cocok sekali untuk menghias
ruangan itu. Semuanya dari Cina. Barang-barang lainnya bisa disingkirkan. Tapi
tahu tidak, Satterthwaite, istriku menolak gagasanku itu?"
"Aku menyukai ruangan ini apa adanya," kata Mrs. Denman.
Ada pandangan aneh pada wajahnya. Sekali lagi Mr. Satterthwaite merasa
tertantang dan kalah. Ia memandang ke sekelilingnya, dan untuk pertama kalinya
memperhatikan kurangnya sentuhan pribadi pada ruangan itu. Tidak ada foto, tidak
ada bunga, tidak ada barang-barang kecil. Sama sekali tidak seperti ruangan
seorang wanita. Kecuali sekat Cina yang salah tempat itu, ruangan tersebut bisa
dianggap seperti ruang contoh di sebuah toko perabot yang besar.
Ia melihat Mrs. Denman tersenyum padanya.
"Coba dengarkan," katanya. Ia membungkuk, sejenak sosoknya tidak tampak terlalu
Inggris, malah agak keasing-asingan. "Saya akan menerangkan pada Anda, supaya
Anda mengerti. Kami membeli sekat itu tidak dengan sekadar uang - tapi dengan
cinta. Kami mencintainya, karena benda itu indah dan unik, tidak seperti bendabenda lainnya yang memang kami perlukan dan kemudian kami hilangkan. Barangbarang Cina lain yang dibicarakan suami saya tadi, semuanya bisa dibeli dengan
uang saja. Kami tak bisa membelinya dengan diri kami."
Suaminya tertawa. "Oh, terserah kaulah," katanya, tapi ada sedikit nada tersinggung dalam
suaranya. "Tapi sekat itu tidak cocok dengan gaya Inggris ini. Barang-barang
lainnya memang lumayan, kokoh dan asli - tapi biasa-biasa saja. Hepplewhite yang
bagus." Istrinya mengangguk. "Bagus, kokoh, dan asli Inggris," gumamnya pelan.
Mr. Satterthwaite menatapnya. Ia menangkap sebuah arti di balik kata-kata itu.
Ruangan Inggris - keindahan sekat Cina yang luar biasa itu. Tidak, perasaan itu
hilang lagi. "Aku bertemu dengan Miss Stanwell tadi," katanya santai. "Katanya dia akan
menjadi pierrette pada pertunjukan malam ini."
"Ya," kata Denman. "Dan dia sangat bagus."
"Kakinya kikuk," ujar Anna.
"Omong kosong," kata suaminya. "Semua wanita memang sama, Satterthwaite. Tidak
bisa mendengar wanita lain dipuji orang. Molly gadis yang sangat cantik, dan
tentu saja semua wanita jadi cemburu padanya."
"Maksudku dalam menari," kata Anna Denman. Ia terdengar agak kaget. "Dia memang
cantik sekali, tapi kakinya bergerak dengan kikuk. Kau tak bisa membantahku
dalam hal ini, karena aku tahu betul tentang menari."
Mr. Satterthwaite menyela dengan cerdik.
"Kudengar ada dua penari profesional yang diundang?"
"Ya. Untuk mempertunjukkan tarian balet. Pangeran Oranoff sendiri yang akan
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengantar mereka dengan mobilnya."
"Sergius Oranoff?"
Pertanyaan itu berasal dari Anna Denman. Suaminya berpaling dan memandangnya.
"Kau mengenalnya?"
"Dulu - di Rusia."
Mr. Satterthwaite merasa John Denman kelihatan agak jengkel.
"Apakah dia akan mengenalimu?"
"Ya. Dia akan mengenaliku."
Ia tertawa - tawa lirih dan nyaris seperti penuh kemenangan. Wajahnya tidak kaku
seperti boneka Belanda sekarang. Ia mengangguk yakin pada suaminya.
"Sergius. Jadi, dia yang akan mengantar dua penari itu. Dia memang selalu
tertarik pada tarian."
"Aku ingat itu."
John Denman menyahut singkat, dan kemudian berbalik meninggalkan ruangan itu.
Mr. Quin mengikutinya. Anna Denman berjalan ke pesawat telepon dan meminta
sebuah nomor. Ia menahan Mr. Satterthwaite dengan gerakan tangannya ketika Mr.
Satterthwaite hendak mengikuti kedua laki-laki yang lain itu.
"Boleh saya bicara dengan Lady Roscheimer" Oh! Anda sendiri" Ini Anna Denman.
Apakah Pangeran Oranoff sudah datang" Apa" Apa" Oh, astaga! Tapi mengerikan
sekali." Ia mendengarkan selama beberapa menit lagi, kemudian meletakkan gagang pesawat
telepon. Ia berpaling pada Mr. Satterthwaite.
"Ada kecelakaan. Tidak heran kalau yang menyetir adalah Sergius Ivanovitch. Oh,
dia sama sekali tidak berubah selama bertahun-tahun ini. Gadis itu mengalami
luka parah dan terguncang, jadi tak bisa menari malam ini. Sedangkan yang lakilaki lengannya patah. Sergius Ivanovitch sendiri tidak apa-apa. Mungkin dia
dilindungi." "Dan bagaimana dengan pertunjukan malam ini?"
"Tepat sekali, sahabatku. Kita harus melakukan sesuatu mengenainya."
Ia duduk dan berpikir. Akhirnya ia mendongak memandangnya.
"Saya ini nyonya rumah yang buruk, Mr. Satterthwaite. Saya tidak menjamu Anda."
"Saya rasa itu tidak perlu. Tapi ada satu hal, Mrs. Denman, yang ingin sekali
saya ketahui." "Ya?" "Bagaimana Anda bertemu dengan Mr. Quin?"
"Dia sering datang kemari," kata Mrs. Denman pelan. "Saya rasa dia punya
sebidang tanah di daerah ini."
"Memang, memang. Dia mengatakannya pada saya tadi sore," kata Mr. Satterthwaite.
"Dia..." Anna berhenti. Matanya memandang mata Mr. Satterthwaite. "Saya rasa
Anda jauh lebih mengenalnya ketimbang saya," katanya mengakhiri.
"Saya?" "Betul, bukan?"
Mr. Satterthwaite gelisah. Hatinya yang halus dan peka jadi tak enak. Ia merasa
wanita itu ingin mendesaknya melebihi apa yang bisa diberikannya, memaksanya
mengatakan sesuatu yang ia sendiri tak ingin mengakuinya.
"Anda tahu itu!" kata Mrs. Denman. "Saya rasa Anda mengetahui banyak hal, Mr.
Satterthwaite." Sekarang ia terdengar gusar, tapi Mr. Satterthwaite tak bisa dipengaruhi. Ia
menggelengkan kepala, pura-pura malu.
"Apa yang sebenarnya bisa diketahui seseorang?" tanyanya. "Hanya sedikit - sedikit
sekali." Anna mengangguk menyetujui. Akhirnya ia berbicara lagi dengan suara murung yang
aneh, tanpa memandang Mr. Satterthwaite.
"Misalkan saya akan mengatakan sesuatu pada Anda, Anda tidak akan menertawakan
saya" Tidak, saya rasa tidak. Kalau begitu, misalkan untuk melaksanakan" - ia
berhenti - "suatu pekerjaan, profesi, seseorang harus mempunyai cita-cita,
berpura-pura menjadi sesuatu yang tidak nyata, membayangkan menjadi
seseorang.... Ini cuma pura-pura saja, Anda mengerti, sebuah khayalan - cuma itu.
Tapi suatu hari..." "Ya?" kata Mr. Satterthwaite.
Ia betul-betul tertarik. "Cita-cita itu menjadi kenyataan! Yang selama ini diimpi-impikan - hal yang
mustahil, hal yang tidak mungkin, menjadi nyata! Bukankah itu tidak masuk akal"
Coba katakan, Mr. Satterthwaite. Bukankah itu tidak masuk akal" Ataukah Anda
percaya hal itu bisa terjadi?"
"Saya..." Aneh, kenapa ia tak bisa mengemukakan jawabannya" Seolah-olah katakata yang hendak diucapkannya mencekik kerongkongannya.
"Konyol," ujar Anna Denman. "Konyol."
Ia berjalan keluar ruangan, meninggalkan Mr. Satterthwaite yang tidak jadi
mengucapkan pengakuannya.
Ketika Mr. Satterthwaite turun untuk makan malam, ia melihat Mrs. Denman sedang
menjamu seorang pria jangkung berkulit gelap yang berusia mendekati setengah
baya. "Pangeran Oranoff - Mr. Satterthwaite."
Kedua laki-laki membungkuk. Mr. Satterthwaite punya perasaan bahwa kemunculannya
telah menghentikan suatu percakapan, yang sekarang tidak akan dilanjutkan lagi.
Orang Rusia itu bercakap-cakap dengan santai dan wajar tentang topik-topik yang
digemari Mr. Satterthwaite. Ia punya selera seni yang sangat bagus, dan tak
heran kalau akhirnya mereka menemukan bahwa mereka mempunyai beberapa teman yang
sama. John Denman bergabung dengan mereka dan pembicaraan beralih tentang
masalah setempat. Oranoff menyatakan penyesalannya atas kecelakaan itu.
"Itu bukan salah saya. Saya memang suka mengemudi dengan kecepatan tinggi, tapi
saya pengemudi yang tangguh. Penyebabnya adalah Nasib - kebetulan." Ia angkat
bahu. "Penguasa semua manusia."
"Itu karena kau orang Rusia, Sergius Ivanovitch," ujar Mrs. Denman.
"Dan kau juga demikian, Anna Mikalovna," balasnya cepat.
Mr. Satterthwaite memandang ketiga orang itu satu per satu. John Denman, biasa,
agak angkuh, Inggris, dan kedua orang lainnya, berkulit gelap, kurus, dan
anehnya hampir mirip. Sesuatu menyusup dalam benaknya - apa ya" Ah! ia tahu
sekarang. Babak pertama dari Walk?re. Siegmund dan Sieglinde - begitu mirip - dan
Hunding yang asing itu. Berbagai dugaan memenuhi otaknya. Apa arti kehadiran Mr.
Quin" Satu hal amat diyakininya. Di mana Mr. Quin hadir, pasti terdapat suatu
drama. Apakah drama itu sudah ada di sini" Tragedi cinta segitiga yang kuno itu"
Ia agak kecewa. Ia mengharapkan sesuatu yang lebih bagus.
"Bagaimana dengan acara itu, Anna?" tanya Denman. "Kurasa kita harus menundanya
dulu, bukan" Kudengar kau menelepon Roscheimer tadi."
Anna menggeleng. "Tidak, tak perlu ditunda."
"Tapi kau tak bisa menyelenggarakannya tanpa tarian balet itu."
"Memang kita tak bisa menyelenggarakan pesta topeng tanpa Harlequin dan
Columbine," Anna Denman menyetujui dengan kering. "Aku akan menjadi Columbinenya, John." "Kau?" John Denman betul-betul kaget - jengkel, pikir Mr. Satterthwaite.
Anna mengangguk serius. "Kau tak perlu khawatir, John. Aku tidak akan membuatmu malu. Kau lupa - dulu aku
seorang penari." Mr. Satterthwaite berpikir, "Suara seseorang memang hal yang luar biasa. Katakata yang diucapkannya - dan kata-kata yang tidak diucapkan, serta maknanya! Kalau
saja aku tahu..." "Yah," kata John Denman sebal, "kalau begitu, persoalannya sudah selesai separo.
Tapi bagaimana dengan sisanya" Di mana kau akan mencari Harlequin-nya?"
"Aku sudah menemukannya - di sana!"
Ia menunjuk ke arah pintu yang terbuka, tempat Mr. Quin baru saja muncul. Mr.
Quin tersenyum kepadanya.
"Demi Tuhan, Quin," kata John Denman. "Apa kau tahu tentang permainan ini" Aku
tak pernah membayangkannya."
"Seorang ahli menyarankan Mr. Quin," kata istrinya. "Mr. Satterthwaite."
Ia tersenyum pada Mr. Satterthwaite, dan laki-laki kecil itu menggumam,
"Oh, ya - aku memang merekomendasikan Mr. Quin."
Denman mengalihkan perhatiannya pada hal lain.
"Kau tahu akan ada dansa dengan baju-baju kostum itu sesudahnya. Betul-betul
merepotkan. Kita harus mendandanimu, Satterthwaite."
Mr. Satterthwaite menggelengkan kepala dengan tegas.
"Tidak perlu." Sebuah ide cemerlang muncul di kepalanya. Ia menyampirkan serbet
di lengannya. "Aku akan menjadi seorang pelayan tua yang sudah berpengalaman."
Ia tertawa. "Profesi yang menarik," ujar Mr. Quin. "Bisa melihat banyak hal."
"Aku terpaksa memakai kostum pierrot yang konyol itu," kata Denman murung.
"Untungnya kostum itu tidak panas. Bagaimana dengan Anda?" Ia memandang Oranoff.
"Saya punya kostum Harlequin," sahut si Rusia. Matanya sejenak melayang pada
wajah nyonya rumahnya. Mr. Satterthwaite bertanya-tanya dalam hati, apakah ia salah kalau mengira ada
suatu gejolak perasaan dalam pandangannya tadi.
"Kalau begitu, kita bisa jadi sebuah trio," kata Denman sambil tertawa. "Saya
juga punya kostum Harlequin yang dibuatkan istri saya ketika kami baru menikah
dulu." Ia berhenti, memandang dadanya yang lebar. "Saya rasa sekarang sudah
tidak muat lagi." "Tidak," sahut istrinya, "pasti sudah tidak bisa kaupakai lagi sekarang."
Sekali lagi suaranya terdengar lebih dari sekadar kata-kata.
Ia memandang jam di dinding.
"Kalau Molly tidak segera muncul, kita tak perlu menunggunya lagi."
Tapi pada saat itu juga gadis itu datang. Ia sudah mengenakan kostum pierrettenya yang putih dan hijau, dan tampak sangat menarik, begitulah menurut pendapat
Mr. Satterthwaite. Gadis itu betul-betul gembira dan bersemangat menyambut pertunjukan yang akan
segera berlangsung. "Saya betul-betul gugup," katanya ketika mereka semua minum kopi setelah makan
malam. "Suara saya pasti akan gemetar, dan saya akan lupa kata-katanya."
"Suaramu merdu," kata Anna. "Kalau aku jadi kau, aku takkan khawatir."
"Oh, tapi saya tetap khawatir. Tentang dansanya, saya tidak khawatir. Saya yakin
akan lancar. Maksud saya, kita tak mungkin salah dengan kaki kita, bukan?"
Ia menatap Anna, tapi wanita yang lebih tua itu tidak menyahut. Sebaliknya ia
berkata, "Coba bernyanyilah untuk Mr. Satterthwaite sekarang. Dia akan membuatmu yakin."
Molly menghampiri piano dan melantunkan suaranya, segar dan meliuk-liuk, dalam
sebuah balada Irlandia kuno.
"Shiela, Shiela, apa yang kaulihat" Apa yang kaulihat, yang kaulihat dalam
perapian?" "Aku melihat seorang pemuda yang mencintaiku - dan aku melihat seorang pemuda yang
meninggalkanku. Dan seorang pemuda ketiga. Pemuda Bayangan - dan ia pemuda yang
meratapiku." Lagu itu terus berlanjut. Pada akhirnya Mr. Satterthwaite mengangguk-angguk
dengan bersemangat, menunjukkan pujiannya.
"Mrs. Denman benar. Suara Anda sangat merdu. Memang belum terlatih sempurna,
tapi betul-betul alami dan terdengar remaja sekali."
"Itu benar," John Denman menyetujui. "Kau harus tetap tampil, Molly, jangan
terpengaruh demam panggung. Saya rasa kita harus segera pergi ke rumah
Roscheimer sekarang."
Semua orang berpencar untuk mengenakan mantel masing-masing. Malam itu cerah
sekali dan mereka memutuskan untuk berjalan kaki, karena rumah itu hanya
beberapa puluh meter jauhnya.
Mr. Satterthwaite menghampiri temannya.
"Ini aneh," katanya, "tapi lagu itu membuat saya memikirkan Anda. Seorang pemuda
ketiga - Pemuda Bayangan - ada misteri di sana, dan di mana ada misteri, saya...
yah, selalu teringat pada Anda."
"Apakah saya begitu misterius?" senyum Mr. Quin.
Mr. Satterthwaite mengangguk-angguk dengan bersemangat.
"Ya, sungguh. Tahukah Anda, sampai malam ini, saya sama sekali tidak tahu kalau
Anda seorang penari profesional."
"Masa?" tanya Mr. Quin.
"Dengarkan," kata Mr. Satterthwaite. Ia menyenandungkan lagu cinta dari Walk?re.
"Lagu itu berdering-dering terus dalam kepala saya sewaktu makan malam tadi,
ketika saya memandang mereka berdua."
"Mereka siapa?"
"Pangeran Oranoff dan Mrs. Denman. Tidakkah Anda melihat adanya perbedaan pada
dirinya malam ini" Seolah-olah... yah, sebuah tirai telah terangkat dan Anda
bisa melihat sinar di balik tirai itu."
"Ya," kata Mr. Quin. "Mungkin memang demikian."
"Drama kuno yang sama," kata Mr. Satterthwaite. "Saya benar, bukan" Kedua orang
itu cocok satu sama lain. Mereka berasal dari tempat yang sama, memikirkan halhal yang sama, memimpikan mimpi yang sama. Kita bisa membayangkan semuanya.
Sepuluh tahun yang lalu Denman pastilah sangat tampan, muda, menarik, sosok yang
romantis. Dan dia juga telah menyelamatkan nyawa Anna. Sangat wajar. Tapi
sekarang, apakah Denman itu" Laki-laki yang baik, kaya, sukses, tapi... yah,
biasa-biasa saja. Orang Inggris yang jujur dan baik - sama seperti perabot
Hepplewhite di loteng Hepple itu. Sama Inggris-nya dan sama biasanya seperti
gadis Inggris yang cantik itu dengan suaranya yang segar dan belum terlatih. Oh,
Anda bisa saja tersenyum, Mr. Quin, tapi Anda tak bisa menyangkal apa yang saya
katakan." "Saya tidak menyangkal apa pun. Anda selalu benar dalam apa yang Anda lihat
Tapi..." "Tapi apa?" Mr. Quin mendekatkan diri. Matanya yang hitam dan melankolis menatap mata Mr.
Satterthwaite. "Apakah hanya sesedikit itu yang Anda pelajari tentang kehidupan?" desisnya.
Ia meninggalkan Mr. Satterthwaite dalam keadaan terpana, dan baru beberapa saat
kemudian Mr. Satterthwaite menyadari bahwa orang-orang lain sudah mulai pergi
tanpa dirinya, gara-gara ia tadi sibuk memilih selendang mana yang cocok untuk
dipakainya malam ini. Akhirnya ia keluar ke taman, melalui pintu yang sama
dengan yang dilewatinya sore tadi. Jalan itu bermandikan sinar bulan. Ketika
masuk melalui ambang pintu itu, ia melihat sepasang kekasih sedang berangkulan
mesra. Sejenak ia berpikir... Kemudian ia melihat. John Denman dan Molly Stanwell. Suara Denman tertangkap
telinganya, serak dan tercekat.
"Aku tak bisa hidup tanpa dirimu. Apa yang harus kita lakukan?"
Mr. Satterthwaite berbalik untuk kembali, tapi sebuah tangan menahannya.
Seseorang telah berdiri di ambang pintu itu di sampingnya, seseorang yang juga
telah melihat dengan matanya.
Mr. Satterthwaite hanya sempat melihat wajah wanita itu sekilas, dan ia sadar
betapa semua kesimpulannya melenceng jauh.
Tangan wanita itu dengan sedih menahannya di sana, sampai kedua orang itu
berlalu dan hilang dari pandangan. Mr. Satterthwaite mendengar dirinya berkata
pada wanita itu, kata-kata konyol dengan maksud menghiburnya, tapi rasanya
betul-betul tidak sesuai dengan keadaan. Wanita itu cuma bicara sekali,
"Tolong," katanya, "jangan tinggalkan saya."
Mr. Satterthwaite merasa tersentuh. Sejak dulu ia memang selalu dimintai tolong
oleh orang lain. Dan ia terus mengucapkan kata-kata konyol yang tidak berarti
apa-apa itu, tapi entah kenapa itu lebih baik daripada berdiam diri. Mereka
pergi menuju rumah Roscheimer. Kadang-kadang tangan wanita itu memegang bahunya
dengan erat, dan ia mengerti bahwa wanita itu senang ditemani olehnya. Wanita
itu baru melepaskan tangannya ketika mereka sampai di tempat tujuan. Ia berdiri
tegap, kepalanya terangkat tinggi.
"Sekarang saya akan menari!" katanya. "Jangan mengkhawatirkan diri saya, Kawan.
Saya akan menari." Ia meninggalkan Mr. Satterthwaite dengan cepat. Lady Roscheimer menyambut Mr.
Satterthwaite dan menggandengnya masuk. Wanita itu penuh berhiaskan berlian dan
menyampaikan segudang keluhan. Mr. Satterthwaite diajaknya menemui Claude
Wickam. "Rusak! Betul-betul rusak. Bayangkan, bisa-bisanya hal itu terjadi pada diri
saya. Orang-orang udik yang mengaku bisa menari itu. Saya bahkan tidak dimintai
pendapat..." Wickam terus mengomel panjang-lebar. Ia memang menemukan seorang
pendengar yang simpatik, seorang yang tahu. Ia terus-terusan mengeluh,
mengibakan. Akhirnya suara musik menghentikannya.
Mr. Satterthwaite terbangun dari lamunannya. Ia segera waspada lagi. Wickam
memang menyebalkan, tapi ia bisa mengarang musik - jenis yang halus dan
transparan, seperti sayap peri, meskipun tidak ada manis-manisnya.
Pemandangannya juga bagus. Lady Roscheimer memang tidak keberatan kalau harus
menghamburkan uang guna membantu anak-anak asuhnya. Latar belakang yang hijau
dengan sinar lampu yang sesuai, membuat suasana serasa di awang-awang.
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dua sosok sedang menari dengan indahnya. Sosok Harlequin yang ramping dan
bertopeng melambaikan tongkat ajaibnya yang berkilauan tertimpa sinar bulan,
sementara sosok Columbine berputar-putar seperti dalam mimpi abadi....
Mr. Satterthwaite duduk tegak. Ia sudah pernah menyaksikan yang seperti itu. Ya,
tentunya... Sekarang raganya serasa menjauh dari ruang keluarga Lady Roscheimer. Ia seperti
berada di Museum Berlin, menatap patung Columbine yang abadi.
Harlequin dan Columbine terus menari. Seluruh dunia serasa hanya milik mereka
berdua untuk menari.... Sinar bulan - dan sosok seorang manusia. Pierrot sedang berjalan-jalan di hutan,
bernyanyi ditemani rembulan. Pierrot yang telah melihat Columbine dan jadi
tergila-gila. Harlequin dan Columbine telah menghilang, tapi Columbine sempat
menoleh ke belakang. Ia telah mendengar nyanyian hati seorang manusia.
Pierrot berkelana terus ke dalam hutan... kegelapan... suaranya hilang di
kejauhan. Desa tampak hijau - gadis-gadis desa sedang menari - para pierrot dan pierrette.
Molly adalah Pierrette. Bukan penari - Anna Denman benar - tapi suaranya memang
segar dan meliuk-liuk ketika melantunkan lagu Pierrette Menari di Desa yang
Hijau. Lagu yang bagus - Mr. Satterthwaite mengangguk setuju. Wickam tidak sekadar
menulis lagu, tapi betul-betul meresapinya Sebagian besar gadis-gadis desa itu
membuatnya merinding, tapi ia sadar bahwa Lady Roscheimer mempunyai kemauan
keras. Mereka semua mendesak Pierrot untuk ikut menari. Ia menolak. Dengan wajahnya
yang putih ia terus berkelana - seorang kekasih yang mencari pasangannya. Malam
hari. Harlequin dan Columbine, tak tampak, menari terus di antara para penduduk
desa yang tak sadar itu. Tempat itu jadi sunyi, tinggal Pierrot, letih, tertidur
di tepi sungai yang berumput. Harlequin dan Columbine menari mengitarinya. Ia
bangun dan melihat Columbine. Ia merayunya sia-sia, memohon, mengemis....
Columbine berdiri ragu-ragu. Harlequin menggamitnya untuk pergi. Tapi ia tak
peduli. Ia sedang mendengarkan Pierrot, pada lagunya yang melantunkan kata-kata
penuh cinta. Ia jatuh ke dalam pelukannya, dan tirai diturunkan.
Babak kedua menggambarkan pondok Pierrot. Columbine sedang duduk di depan
perapian. Ia tampak pucat, letih. Ia mendengarkan - untuk apa" Pierrot menyanyi
untuknya - merayunya kembali untuk memikirkannya lagi. Malam semakin larut.
Terdengar bunyi guntur. Columbine meninggalkan mesin tenunnya. Ia tergugah,
tersentak. Ia tidak mendengarkan Pierrot lagi. Musiknya sendiri terdengar di
udara, musik Harlequin dan Columbine. Ia terbangun. Ia ingat.
Bunyi guntur yang keras! Harlequin berdiri di ambang pintu. Pierrot tak bisa
melihatnya, tapi Columbine melompat berdiri sambil tertawa ceria. Anak-anak
muncul berlarian, tapi ia mendorong mereka ke samping. Ketika terdengar bunyi
guntur lagi, dinding-dinding runtuh dan Columbine menari menuju malam yang liar
itu bersama Harlequin. Kegelapan, samar-samar terdengar nyanyian Pierrette. Sinar terang merambah
perlahan-lahan. Pondok itu sekali lagi. Pierrot dan Pierrette yang sudah tua dan
beruban sekarang duduk di depan perapian. Musik terdengar gembira, tapi tenang.
Pierrette terangguk-angguk di kursinya. Melalui jendela muncul secercah sinar
bulan, dan bersamanya terdengar irama lagu Pierrot yang sudah terlupakan.
Pierrot tergugah di kursinya.
Musik lirih - musik peri... Harlequin dan Columbine di luar. Pintu terpentang
lebar dan Columbine menari masuk. Ia membungkuk di samping Pierrot yang
tertidur, mencium bibirnya....
Daar! Bunyi guntur. Columbine telah keluar lagi. Di tengah-tengah panggung
terdapat sebuah jendela yang bersinar, dan melalui jendela itu terlihat sosok
Harlequin dan Columbine yang sedang menari perlahan-lahan, menjauh, semakin
samar dan hilang.... Sebatang kayu jatuh di perapian. Pierrette terlompat gusar, berlari menuju
jendela dan menarik tirainya. Berakhir sudah, begitu tiba-tiba....
Mr. Satterthwaite duduk tak bergerak di antara tepukan dan sorakan para
penonton. Akhirnya ia berdiri dan dengan susah payah berjalan keluar. Ia bertemu
dengan Molly Stanwell, wajahnya merah dan bersemangat, menerima pujian-pujian.
Ia melihat John Denman mendorong dan menyikut di antara kerumunan, matanya
berkilat-kilat dengan semangat baru. Molly menghampirinya, tapi nyaris tanpa
sadar John Denman mengesampingkannya. Bukan dia yang dicarinya.
"Istriku" Mana dia?"
"Kukira dia ada di taman."
Tapi ternyata Mr. Satterthwaite-lah yang menemukannya, duduk di bangku dari
batu, di bawah sebatang pohon cemara. Ketika muncul, ia melakukan sesuatu yang
aneh. Ia berlutut dan mencium tangan Anna Denman.
"Ah!" kata wanita itu. "Menurut Anda, saya menari dengan bagus?"
"Anda menari... seperti yang selalu Anda lakukan, Madame Kharsanova."
Anna Denman menarik napas terkejut.
"Jadi, Anda sudah tahu."
"Cuma ada satu Kharsanova. Tak seorang pun yang pernah melihat Anda dapat
melupakannya. Tapi kenapa" Kenapa?"
"Apa lagi yang mungkin?"
"Maksud Anda?" Anna Denman bisa berbicara dengan sangat sederhana. Sekarang pun bersikap
sederhana. "Oh! tapi Anda mengerti. Anda orang yang bijaksana. Sebagai penari yang hebat,
saya bisa mempunyai banyak kekasih, ya - tapi seorang suami, itu lain. Dan dia...
dia tidak menginginkan yang lain. Dia menginginkan saya menjadi miliknya yang
utuh, karena... karena sebagai Kharsanova saya tak mungkin bisa menjadi milik
seseorang." "Saya mengerti," kata Mr. Satterthwaite. "Saya mengerti. Jadi, Anda merelakan
sang Kharsanova?" Anna Denman mengangguk. "Anda pasti amat mencintainya," kata Mr. Satterthwaite lembut.
"Sampai mau berkorban sedemikian rupa?" Ia tertawa.
"Udak persis begitu. Membuatnya serasa bukan beban."
"Ah, ya - mungkin - Anda benar."
"Dan sekarang?" tanya Mr. Satterthwaite.
Wajahnya menjadi serius. "Sekarang?" Ia berhenti, kemudian menaikkan suaranya dan berbicara pada suatu
bayangan. "Kaukah itu. Sergius Ivanovitch?"
Pangeran Oranoff muncul dari balik bayangan. Ia memegang tangan Anna dan
tersenyum pada Mr. Satterthwaite tanpa sadar.
"Sepuluh tahun yang lalu saya meratapi kematian Anna Kharsanova," katanya. "Dia
belahan jiwa saya. Hari ini saya menemukannya lagi. Kita takkan berpisah lagi."
"Di ujung jalan itu, dalam sepuluh menit," kata Anna. "Aku tidak akan
mengecewakanmu." Oranoff mengangguk dan pergi. Penari itu berbalik pada Mr. Satterthwaite.
Senyuman tersungging di bibirnya.
"Yah - Anda tidak puas, Kawan?"
"Tahukah Anda," kata Mr. Satterthwaite tiba-tiba, "bahwa suami Anda sedang
mencari Anda?" Ia melihat wajah wanita itu dihinggapi suam emosi, tapi suaranya terdengar
tenang. "Ya," katanya serius. "Itu mungkin saja."
"Saya melihat matanya. Dia..." Mr. Satterthwaite berhenti tiba-tiba.
Anna masih tetap tenang. "Ya, mungkin. Untuk sejam. Sejam yang penuh dengan keajaiban, masa lalu, musik,
rembulan.... Hanya itu."
"Kalau begitu, tak ada lagi yang dapat saya katakan?" Mr. Satterthwaite merasa
tua dan putus asa. "Selama sepuluh tahun saya hidup dengan pria yang saya cintai," kata Anna
Kharsanova. "Sekarang saya akan pergi pada pria yang selama sepuluh tahun telah
mencintai saya." Mr. Satterthwaite tidak berkata apa-apa. Ia tak bisa membantah lagi. Lagi pula
tampaknya itulah pemecahan yang paling sederhana. Hanya saja itu bukan pemecahan
yang diinginkannya. Ia merasa tangan Anna memegang bahunya.
"Saya tahu, Kawan, saya tahu. Tapi ada pemecahan ketiga. Kita memang selalu
mencarinya - seorang kekasih yang sempurna dan abadi. Kita selalu mendengar musik
Harlequin. Tak seorang pun pernah puas dengan seorang kekasih, karena semua
kekasih adalah manusia belaka. Sedangkan Harlequin adalah sebuah mitos, sesuatu
yang tak nyata, kecuali..."
"Ya?" kata Mr. Satterthwaite. "Ya?"
"Kecuali kalau namanya adalah... Kematian!"
Mr. Satterthwaite merinding. Anna berjalan meninggalkannya dan hilang di balik
kegelapan.... Ia tidak tahu berapa lama ia duduk di sana, tapi tiba-tiba ia terlompat kaget
dengan perasaan bahwa ia telah menghambur-hamburkan waktu yang berharga. Ia
buru-buru pergi ke suatu tujuan, meskipun tidak tahu sebabnya.
Ketika ia sampai di jalan itu, hatinya dihinggapi suatu perasaan aneh. Keajaiban
- keajaiban dan sinar bulan! Dan dua sosok yang berlari-lari ke arahnya....
Oranoff dengan kostum Harlequin-nya. Begitulah yang mula-mula dikiranya. Tapi
ketika mereka melewatinya, ia tahu bahwa ia salah. Sosok ramping dan gesit itu
hanya bisa menjadi milik satu orang - Mr. Quin.
Mereka berlari menyusuri jalan itu - kaki-kaki mereka ringan sekali, seperti
sedang melayang di udara. Mr. Quin memalingkan kepala dan menoleh ke belakang,
dan Mr. Satterthwaite kaget, karena itu bukanlah seperti wajah Mr. Quin yang
dilihatnya selama ini. Wajah itu adalah wajah seorang yang asing - tidak, tidak
terlalu asing. Ah! ia tahu sekarang, itu wajah John Denman sebelum kehidupan
membuatnya makmur. Bersemangat, penuh petualangan, wajah seorang pemuda dan
kekasih.... Ia mendengar suara tawa Anna, jernih dan. bahagia. Ia memandang mereka dan
melihat pada sinar lampu di kejauhan, pondok kecil itu. Ia menatap mereka
seperti sedang bermimpi. Tiba-tiba sebuah tangan membangunkannya dengan kasar, mengguncangkan bahunya.
Badannya dibalikkan dan ia menatap Sergius Oranoff. Laki-laki itu tampak pucat
dan bingung. "Di mana dia" Di mana dia" Dia berjanji - dan dia tidak datang."
"Madam baru saja pergi menyusun jalan itu - sendirian."
Itu suara pembantu Mrs. Denman yang tiba-tiba menyahut dari balik pintu di
belakang mereka. Ia sedang menunggu di sana sambil membawa syal majikannya.
"Saya berdiri di sini dan melihatnya lewat," katanya menambahkan.
Mr. Satterthwaite berteriak ke arahnya.
"Sendirian" Sendirian, katamu?"
Mata pembantu itu terbelalak lebar karena heran.
"Ya, Sir. Apakah Anda tidak melihatnya tadi?"
Mr. Satterthwaite mencengkeram Oranoff.
"Cepat," gumamnya. "Saya... saya khawatir."
Mereka buru-buru menyusuri jalan itu bersama-sama. Si Rusia berbicara cepat dan
terpatah-patah. "Dia wanita yang hebat. Ah! Betapa indah tariannya malam ini. Dan teman Anda
itu. Siapa dia" Ah! Tapi dia juga hebat - unik. Pada masa lalu, ketika menarikan
Columbine dari Rimsky Korsakoff, Anna tak pernah menemukan Harlequin yang cocok.
Mordoff, Kassnine - tak seorang pun dari mereka betul-betul sempurna. Dia selalu
menari dengan Harlequin yang diimpikannya - seseorang yang tak pernah ada.
Harlequin sendiri yang menari dengannya, begitulah katanya. Bayangan itulah yang
membuatnya menjadi Columbine yang hebat sekali."
Mr. Satterthwaite mengangguk. Cuma ada satu pikiran di benaknya saat ini.
"Cepat," katanya. "Kita harus tepat waktu. Oh! kita harus tepat waktu."
Mereka mengitari tikungan terakhir dan muncul di tepi lubang dalam itu. Di sana
ada sesuatu yang sebelumnya tidak ada. Tubuh seorang wanita yang tergeletak
dengan pose indah, tangan-tangannya terentang dan kepalanya terlempar ke
belakang. Seraut wajah dan tubuh yang mati, terlihat penuh kemenangan dan indah
dalam sinar bulan. Mr. Satterthwaite samar-samar teringat kata-kata itu - kata-kata Mr. Quin, "barang
yang indah di atas tumpukan sampah." Ia mengerti sekarang.
Oranoff sedang meratap. Air mata membanjiri wajahnya.
"Saya mencintainya. Selalu mencintainya." Ia menggumamkan kata-kata yang nyaris
sama dengan yang diucapkan Mr. Satterthwaite tadi sore. "Kami berasal dari dunia
yang sama. Punya pikiran yang sama, mimpi yang sama. Saya akan selalu
mencintainya...." "Bagaimana Anda tahu?"
Orang Rusia itu menatapnya - tercengang mendengar suara Mr. Satterthwaite yang
menantang. "Bagaimana Anda tahu?" lanjut Mr. Satterthwaite. "Begitulah anggapan semua
kekasih - apa yang akan dikatakan oleh semua kekasih. Hanya ada satu kekasih..."
Ia berpaling dan nyaris menubruk Mr. Quin. Dengan keras Mr. Satterthwaite
memegang lengannya dan menariknya ke samping.
"Tadi itu Anda, bukan?" katanya. "Andalah yang baru saja bersama-sama
dengannya." Mr. Quin menunggu sejenak, kemudian menyahut pelan,
"Bisa Anda anggap begitu."
"Dan pembantu itu tidak melihat Anda?"
"Dia tidak melihat saya."
"Tapi saya melihat Anda. Kenapa?"
"Mungkin sebagai balasan atas apa yang telah Anda korbankan, Anda bisa melihat
hal-hal yang tak bisa dilihat oleh orang lain."
Mr. Satterthwaite memandangnya tak mengerti selama beberapa menit. Kemudian
sekujur tubuhnya gemetar tiba-tiba, seperti sehelai daun.
"Tempat apa ini?" bisiknya. "Tempat apa ini?"
"Saya sudah mengatakannya tadi sore. Ini adalah jalan milik saya."
"Lovers' Lane," gumam Mr. Satterthwaite. "Dan orang-orang melewatinya."
"Kebanyakan orang, cepat atau lambat."
"Dan pada akhirnya... apa yang mereka temukan?"
Mr. Quin tersenyum. Suaranya terdengar sangat lembut. Ia menunjuk pada pondok
yang runtuh itu di atas mereka.
"Rumah impian mereka - atau setumpuk sampah. Siapa yang tahu?"
Mr. Satterthwaite mendongak, menatapnya tiba-tiba. Hatinya dihinggapi perasaan
memberontak. Ia merasa tertipu, dikhianati.
"Tapi saya..." Suaranya gemetar. "Saya belum pernah melewati jalan Anda."
"Apakah Anda menyesal?"
Mr. Satterthwaite hanya bisa memandangnya dengan mulut ternganga. Mr. Quin
seolah-olah telah membesar menjadi raksasa. Mr. Satterthwaite merasa ada sesuatu
yang mengancam dan menakutkannya - Kebahagiaan, Kesedihan, Keputusasaan.
Hatinya yang kecil dan peka itu tersentak.
"Apakah Anda menyesal?" Mr. Quin mengulangi pertanyaannya. Ada sesuatu yang
menakutkan pada dirinya. "Tidak," sahut Mr. Satterthwaite terbata-bata. "Ti-tidak."
Kemudian ia tersadar. "Tapi saya bisa melihat," jeritnya. "Saya mungkin hanya bisa menjadi pengamat
Kehidupan - tapi saya bisa melihat hal-hal yang tak bisa dilihat orang lain. Anda
sendiri yang berkata begitu, Mr. Quin...."
Tapi Mr. Quin sudah menghilang.
Scan & DJVU: BBSC Konversi, Edit, Spell & Grammar Check:
clickers http://epublover.blogspot.com
http://facebook.com/epub.lover
(Pengeditan HANYA dengan metode pemeriksaan Spell & Grammar, bukan full-edited)
Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 23 Lambang Naga Panji Naga Sakti Karya Wo Lung Shen Titisan Dewi Iblis 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama