Mushasi Karya Eiji Yoshikawa Bagian 23
anggota pengawal panji-panji shogun, maupun Takuan yang asalnya pendeta desa itu, tidak
merasakan hambatan karena pangkat Munenori.
Sake hangat didatangkan, mangkuk-mangkuk dipertukarkan, kemudian menyusul percakapan
dan tawa. Perbedaan umur dan kelas dilupakan. Musashi tahu, ia diterima dalam
lingkungan terpilih bukan karena statusnya. Ia sedang menekuni Jalan, seperti juga
mereka. Jalan itulah yang memungkinkan persahabatan itu.
Pada suatu ketika, Takuan meletakkan mangkuknya dan bertanya pada Musashi, "Bagaimana
kabar Otsu?" Dengan wajah sedikit memerah, Musashi menjawab bahwa ia sudah beberapa waktu lamanya
tidak melihat atau mendengar tentang Otsu.
"Sama sekali tidak?"
"Sama sekali." "Malang sekali. Kau tak dapat meninggalkannya dalam kesukaran selamanya. Dan untukmu
sendiri pun itu tak baik."
"Yang Anda maksud dengan Otsu itu, apa gadis yang pernah tinggal dengan ayah saya di
Koyagyu?" tanya Munenori.
"Ya," jawab Takuan, mewakili Musashi.
"Saya tahu di mana dia berada. Waktu itu dia pergi ke Koyagyu dengan kemenakan saya,
Hyogo, untuk membantu merawat ayah saya."
Terpikir oleh Musashi, kehadiran sarjana militer ternama itu, dan Takuan, memungkinkan
mereka berbicara tentang strategi atau membahas Zen, sedangkan dengan hadirnya Munenori
dan Musashi, pokok pembicaraan dapat berpusat pada pedang.
Sambil mengangguk meminta maaf kepada Musashi, Takuan bercerita pada orang-orang lain
tentang Otsu dan hubungannya dengan Musashi. "Cepat atau lambat," demikian
kesimpulannya, "harus ada orang yang menyatukan kalian berdua lagi, tapi saya takut itu
bukan tugas pendeta. Saya mohon bantuan dari Anda berdua dalam hal ini." Yang
dimaksudnya adalah agar Ujikatsu dan Munenori bertindak sebagai wali Musashi.
Mereka agaknya mau menerima peranan itu. Munenori menyatakan bahwa Musashi sudah cukup
umur untuk berkeluarga, sedangkan Ujikatsu mengatakan ia sudah mencapai tingkat latihan
cukup tinggi. Munenori menyarankan agar hari-hari itu Otsu dipanggil kembali dari Koyagyu dan
dikawinkan dengan Musashi. Kemudian Musashi dapat menetap di Edo. Di situ, bersama
dengan rumah Ono Tadaaki dan Yagyu Munenori, rumahnya akan membentuk tiga serangkai
pedang dan mengantar orang ke zaman keemasan ilmu pedang di ibu kota baru. Takuan
maupun Ujikatsu sependapat.
Khususnya, Yang Dipertuan Ujikatsu, yang ingin sekali membalas kebaikan Musashi pada
Shinzo, hendak mengusulkannya sebagai guru shogun, dan ini gagasan yang sudah mereka
pertimbangkan bertiga, sebelum mereka menyuruh Shinzo memanggil Musashi. Dan sesudah
melihat reaksi Musashi terhadap percobaan mereka, Munenori sendiri pun sekarang
bersedia memberikan penjelasan atas rencana itu.
Ada beberapa kesulitan yang mesti diatasi, satu di antaranya adalah bahwa seorang guru
dalam rumah tangga shogun juga harus menjadi anggota pengawal kehormatan. Karena banyak
dari anggota pengawal kehormatan itu pengikut setia Keluarga Tokugawa semenjak Ieyasu
memegang perdikan Mikawa, maka ada keengganan untuk menerima orang-orang baru, dan
semua calon diselidiki dengan teliti. Namun demikian, dengan usulan dari Ujikatsu dan
Munenori, disertai surat jaminan dari Takuan, diperkirakan Musashi akan lulus.
Soal yang agak sukar adalah keturunannya. Tidak ada catatan tertulis yang dapat
membuktikan keturunannya sampai pada Hirata Shogen klan Akamatsu, dan tidak ada pula
daftar silsilah yang dapat membuktikan bahwa ia dari keluarga samurai yang baik. Ia
sudah pasti tidak ada hubungan keluarga dengan Keluarga Tokugawa. Sebaliknya, terdapat
fakta yang tak terbantah bahwa sebagai pemuda hijau umur tujuh belas, ia telah ikut
berperang melawan angkatan perang Tokugawa di Sekigahara. Namun terbuka kemungkinan:
ronin lain dari bekas klan musuh telah juga menggabungkan diri dengan Keluarga Tokugawa
sesudah Pertempuran Sekigahara. Bahkan Ono Tadaaki, seorang ronin dari klan Kitabatake
yang sedang bersembunyi di Ise Matsuzaka, punya perjanjian menjadi guru shogun,
sekalipun ada hubungan-hubungan yang tak dikehendaki.
Sesudah ketiga orang itu sekali lagi menimbang hal-hal yang positif dan negatif, Takuan
berkata, "Baiklah kalau begitu, mari kita usulkan dia. Tapi barangkali kita mesti
mengetahui dulu, bagaimana pendapatnya sendiri."
Persoalan itu dikemukakan kepada Musashi, dan Musashi menjawab ringan, "Sungguh baik
dan dermawan bahwa Bapak-bapak menyarankan hal ini, tapi saya tak lebih dari seorang
pemuda yang belum matang."
"Jangan berpikir seperti itu," kata Takuan dengan nada terus terang. "Yang kami
nasihatkan padamu adalah supaya engkau menjadi matang. Mau kau membangun rumahmu
sendiri, ataukah ada rencanamu untuk membuat Otsu terus mengembara tanpa batas, seperti
yang dilakukannya sekarang?"
Musashi merasa dipojokkan. Otsu memang pernah mengatakan mau menanggung kesulitan apa
pun, tapi itu sama sekali tidak mengurangi tanggung jawab Musashi apabila kemalangan
menimpa Otsu. Memang biasa seorang perempuan bertindak sesuai dengan perasaannya
sendiri, tapi kalau hasilnya tidak menyenangkan, laki-lakilah yang disalahkan.
Bukannya Musashi tak ingin menerima tanggung jawab itu. la ingin sekali menerimanya.
Sikap Otsu itu dituntun oleh rasa cintanya, dan beban cinta itu sama beratnya, baik
untuk Musashi maupun untuk Otsu. Namun Musashi merasa masih terlalu pagi baginya untuk
kawin dan berkeluarga. Jalan Pedang yang panjang dan berat terbentang dl hadapannya,
dan keinginannya untuk menempuh jalan itu tidak berkurang.
Bahwa sikapnya terhadap pedang sudah berubah, tidaklah mempermudah persoalan itu.
Semenjak pengalaman di Hotengahara, pedang penakluk dan pedang pembunuh baginya sudah
merupakan masa lalu, dan tidak lagi ada guna atau artinya.
Menjadi ahli teknik pun tidak membangkitkan seleranya, sekalipun ia akan memberikan
pelajaran kepada orang-orang shogun. Akhirnya ia mengerti bahwa Jalan Pedang mesti
memiliki tujuan-tujuan khusus: menegakkan ketertiban, melindungi, dan menghaluskan
semangat. Jalan itu mesti merupakan jalan yang dapat didambakan orang, sebagaimana
orang mendambakan hidupnya sendiri, sampai hari kematiannya. Kalau Jalan semacam itu
ada, bukankah Jalan itu dapat dipergunakan untuk mendatangkan perdamaian di dunia dan
kebahagiaan bagi semua orang"
Ketika ia menjawab surat Sukekuro dengan tantangan kepada Yang Dipertuan Munenori itu,
alasannya bukanlah dorongan dangkal untuk memperoleh kemenangan, yang akan
memungkinkannya menantang Sekishusai. Sekarang yang menjadi keinginannya adalah
melibatkan diri dalam urusan pemerintahan. Tentu saja bukan dalam skala besar. Perdikan
kecil tak berarti cukuplah baginya untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang, dalam
bayangannya, dapat memajukan prinsip pemerintahan yang baik.
Tapi ia tidak memiliki keyakinan untuk menyatakan gagasan-gagasan ini, karena ia merasa
para pemain pedang lain akan menganggap ambisi-ambisi mudanya itu keterlaluan. Atau,
kalau mereka menanggapinya dengan sungguh-sungguh, mereka akan merasa terpaksa
memperingatkannya: politik itu menjurus pada kehancuran. Masuk dalam pemerintahan,
berarti ia menodai pedang yang dicintainya. Dan mereka akan memperingatkannya karena
keprihatinan mereka yang tulus terhadap jiwa Musashi.
Ia bahkan percaya bahwa jika ia mengemukakan pikirannya yang terus terang, kedua
prajurit dan pendeta itu akan tertawa atau kaget.
Ketika ia sungguh-sungguh berbicara, maka yang keluar adalah protes bahwa ia masih
terlalu muda, terlalu mentah, dan latihannya belum mencukupi.. ..
Akhirnya Takuan menukasnya. "Serahkanlah pada kami," katanya.
Yang Dipertuan Ujikatsu menambahkan, "Kami akan berusaha agar hasilnya baik buat Anda."
Maka diputuskanlah soal itu.
Karena setiap kali Shinzo masuk untuk meratakan nyala lampu, maka ia dapat menangkap
pokok percakapan orang-orang itu. Diam-diam ia menyatakan kepada ayah dan tamunya,
bahwa apa yang didengarnya itu sangat menggembirakan.
*** 86. Pohon Lokus MATAHACHI membuka mata dan memandang ke sekitar, lalu bangkit dan melongokkan kepalanya
ke pintu belakang. "Akemi!" panggilnya.
Tidak ada jawaban. Ada sesuatu yang mendorongnya untuk membuka lemari dinding. Belum lama Akemi selesai
membuat kimononya yang baru. Tapi kimono itu tidak ada.
Maka ia pergi ke rumah sebelah, yaitu rumah Umpei, kemudian ia menyusuri jalan kecil
yang menuju jalan besar. Dengan penuh kekuatiran ia tanyai semua orang yang ia jumpai,
apakah mereka melihat Akemi. "Saya melihat dia tadi pagi," kata istri tukang arang.
"Betul" Di mana?"
"Dia berpakaian rapi. Saya tanya, mau ke mana dia pergi, dan katanya menengok keluarga
di Shinagawa." "Shinagawa?" "Apa dia tak punya keluarga di sana?" tanya perempuan itu ragu-ragu.
Matahachi hendak mengatakan tidak, tapi seketika itu juga tersadar. "Oh, ya, tentu
saja. Jadi, dia pergi ke sana."
Apakah ia akan mengejar Akemi" Sesungguhnya ikatannya dengan Akemi tidak terlalu kuat,
dan ia lebih merasakan jengkel daripada apa pun yang lain. Menghilangnya Akemi
meninggalkan rasa pahit-manis kepadanya.
Ia meludah dan melontarkan satu-dua makian, kemudian berjalan ke pantai, di sisi lain
jalan raya Shibaura. Naik sedikit dari tepi air itu, berserakan rumah-rumah nelayan.
Sudah menjadi kebiasaannya tiap pagi datang kemari selagi Akemi memasak nasi, dan di
situ ia mencari ikan. Biasanya, paling tidak lima-enam ekor ikan ia dapat dengan
jaringnya, dan ia pulang tepat pada waktunya, hingga ikan itu dapat dimasak untuk makan
pagi. Hari ini la abaikan saja ikan itu.
"Ada apa, Matahachi?" Pemilik rumah gadai di jalan utama itu menepuk bahunya.
"Selamat pagi," kata Matahachi.
"Enak sekali keluar pagi-pagi, ya" Aku senang melihatmu keluar berjalan-jalan tiap
pagi. Itu baik sekali untuk kesehatanmu."
"Bapak berkelakar, saya kira. Barangkali kalau saya kaya seperti Bapak, saya akan
berjalan-jalan untuk kesehatan saya. Untuk saya, berjalan ini pekerjaan!"
"Kelihatannya kau kurang sehat. Ada apa?"
Matahachi mengambil segenggam pasir, dan membuangnya sedikit-sedikit bersama angin. Ia
maupun Akemi kenal baik dengan pemilik rumah gadai, yang pernah membantu mereka dalam
beberapa keadaan darurat.
Tanpa menghiraukan penerimaan Matahachi, orang itu melanjutkan, "Kau tahu, ada yang
ingin kubicarakan padamu, tapi belum pernah ada kesempatan. Apa kau akan pergi kerja
hari ini?" "Ah, buat apa repot-repot" Jual semangka itu kan
tak boleh disebut penghidupan?"
"Ayo menangkap ikan denganku."
Matahachi menggaruk kepalanya dan menampakkan wajah minta maaf. "Terima kasih, tapi
saya betul-betul tak ingin menangkap ikan."
"Nah, kalau kau tak ingin, tak perlu kau menangkap ikan. Tapi ayolah pergi. Nanti kau
akan merasa lebih ringan. Di sana itu perahuku. Kau bisa mendayung, kan?"
"Saya kira bisa."
"Ayo pergi. Akan kuceritakan padamu, bagaimana cara mendapatkan uang banyak-barangkali
seribu keping emas! Nah, bagaimana pendapatmu?"
Tiba-tiba Matahachi berminat sekali menangkap ikan.
Sekitar seribu meter dari pantai, air masih cukup dangkal, hingga dasarnya dapat
disentuh dengan dayung. Sambil menghanyutkan perahu, tanya Matahachi, "Bagaimana cara
mendapat uang itu?" "Sebentar lagi akan kuceritakan padamu." Pemilik rumah gadai memperbaiki letak badannya
yang besar sekali di tempat duduk di pinggir perahu. "Ada baiknya kalau kau memegang
joran di atas air." "Kenapa begitu?"
"Lebih baik kalau orang mengira kita memancing. Dua orang berdayung sampai sejauh ini,
hanya untuk berbicara, akan kelihatan mencurigakan."
"Kalau begini, bagaimana?"
"Bagus." Pemilik rumah gadai mengeluarkan pipa bermangkuk keramik, mengisinya dengan
tembakau mahal, dan menyalakannya. "Sebelum menyampaikan apa yang ada dalam pikiranku,
izinkan aku mengajukan pertanyaan. Apa kata para tetanggamu tentang diriku?"
"Tentang Bapak?"
"Ya, tentang Daizo dari Narai."
"Yah, pemilik rumah gadai mestinya jahat, tapi semua orang mengatakan Bapak ini baik
sekali dalam meminjamkan uang. Mereka bilang, Bapak orang yang mengerti kehidupan."
"Yang kumaksud bukan praktek usahaku. Aku ingin tahu pendapat mereka tentang diriku
pribadi." "Mereka berpendapat Bapak orang baik, orang yang punya hati. Saya bukan menjilat Bapak.
Memang itulah yang mereka katakan."
"Apa tak pernah mereka berkomentar bahwa aku orang yang religius?"
"Oh, ya, tentu saja. Semua orang kagum melihat kedermawanan Bapak."
"Apa orang-orang dari kantor hakim pernah datang bertanya tentang
aku?" "Tidak. Buat apa pula?"
Daizo tertawa kecil. "Kukira kau merasa pertanyaan-pertanyaanku ini bodoh, tapi
persoalannya adalah aku ini bukan betul-betul pemilik rumah gadai."
"Apa?" "Matahachi, barangkali kau takkan pernah punya kesempatan lain untuk mendapat uang
banyak sekaligus." "Bapak barangkali benar."
"Nah, kau ingin?"
"Ingin apa?" "Pohon uang." "A-apa yang mesti saya lakukan?" "Berjanji padaku dan melaksanakannya." "Cuma itu?"
"Cuma itu. Tapi kalau kau mengubah pikiran kemudian, boleh dibilang
kau mati. Aku tahu kau membutuhkan uang, tapi pikirkan dulu baik-baik,
sebelum kau memberikan jawaban terakhir."
"Lalu apa yang mesti saya lakukan?" tanya Matahachi curiga. "Kau mesti jadi penggali
sumur. Cuma itu." "Di Benteng Edo?"
Daizo melayangkan pandang ke teluk. Kapal-kapal berisi bahan bangunan dan mengibarkan
bendera beberapa keluarga besar-Todo, Arima, Kato, Date, Hosokawa-berbaris hampirhampir bersinggung haluan dan buritan.
"Cepat sekali daya tangkapmu, Matahachi." Pemilik rumah gadai itu mengisi kembali
pipanya. "Benteng Edo itulah yang justru kupikirkan. Kalau aku tak salah, Umpei sudah
sering mendesakmu supaya kau mau menggali sumur. Wajar sekali kalau kau memutuskan
menerima tawarannya itu."
"Cuma itu yang mesti saya lakukan"... Bagaimana mungkin menjadi penggali sumur bisa
mendapat uang banyak?"
"Sabarlah. Akan kuceritakan semuanya!"
Ketika mereka kembali ke pantai, Matahachi gembira sekali. Mereka berpisah dengan suatu
janji. Malam itu ia mesti menyelinap tanpa dilihat orang, dan masuk rumah Daizo untuk
menerima panjar tiga puluh keping emas.
Ia pulang, tidur, dan bangun beberapa jam kemudian. Terbayang olehnya uang dalam jumlah
besar yang akan segera menjadi miliknya itu menarinari di depan matanya.
Uang yang jumlahnya fantastis itu bisa menebus semua nasib buruk yang dideritanya
sampai waktu itu. Dan cukup untuk hidup seterusnya. Tapi yang lebih menggembirakan lagi
adalah nantinya ia dapat menunjukkan pada orang banyak bahwa mereka keliru, dan bahwa
akhirnya ia toh berhasil.
Terserang oleh demam uang, ia tidak dapat lagi tenang. Mulutnya terasa kering, bahkan
sedikit kaku. la keluar, berdiri di jalan kosong yang menghadap rumpun bambu di
belakang rumah, dan pikirnya, "Siapa dia sebetulnya" Apa yang mau dilakukannya?" Lalu
ia mulai mengingat kembali percakapannya dengan Daizo.
Para penggali sumur waktu itu bekerja di Goshinjo, benteng baru di lingkaran barat.
Daizo mengatakan padanya, "Kau mesti menunggu kesempatan, sampai kesempatan itu datang
sendiri, dan waktu itulah kau mesti menembak shogun baru itu dengan bedil." Senapan dan
amunisinya ada di pekarangan benteng, di bawah pohon lokus besar yang sudah berabadabad umurnya, dekat gerbang belakang, di kaki Bukit Momiji.
Tak perlu disebutkan lagi, bahwa kaum buruh mendapat pengawasan ketat, tapi Hidetada
suka berkeliling dengan para pembantunya, memeriksa pekerjaan. Gampang sekali
melaksanakan tujuan itu. Dalam hiruk-pikuk yang kemudian terjadi, Matahachi dapat
menyelamatkan diri dengan melompat ke parit luar, dan dari situ para pengikut Daizo
akan menyelamatkannya. "Pasti," demikian dikatakannya.
Matahachi kembali ke kamarnya, dan menatap langit-langit. Seolah-olah ia mendengar
suara Daizo membisikkan kata-kata tertentu berulang kali, dan teringat olehnya
bagaimana bibirnya sendiri bergetar ketika ia mengatakan, "Ya, akan saya lakukan."
Dengan bulu roma meremang, ia bangkit berdiri. "Oh, ini mengerikan! Aku akan pergi ke
sana sekarang juga, dan mengatakan padanya, tak ingin aku ambil bagian."
Kemudian diingatnya kata-kata lain yang diucapkan Daizo, "Nah, sesudah kuceritakan
semua ini padamu, berarti kau sudah terikat. Aku tak suka ada sesuatu terjadi denganmu,
tapi kalau kau ingkar, teman-temanku yang akan mengambil kepalamu-paling lama tiga
hari." Tatapan mata Daizo yang dingin menusuk waktu mengucapkan kata-kata itu terbayang
kembali di mata Matahachi.
Matahachi berjalan menempuh jarak singkat menyusuri Jalan Nishikubo, menuju sudut jalan
raya Takanawa, tempat berdirinya rumah gadai. Teluk yang sudah terselimut kegelapan
berada di ujung jalan samping. Ia masuki jalan kecil di sisi gudang yang dikenalnya
itu, kemudian ia dekati pintu belakang toko yang tidak menarik perhatian itu, dan
mengetuk pelan. "Tidak dikunci," segera terdengar balasannya.
"Daizo?" "Ya. Aku senang kau datang. Mari masuk gudang."
Sebuah tirai hujan dibiarkan terbuka. Matahachi masuk gang luar dan berjalan mengikuti
pemilik rumah gadai itu.
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Duduk," kata Daizo sambil meletakkan lilin di atas peti pakaian panjang dari kayu.
Sambil duduk menyilangkan tangan, tanya Daizo, "Kau sudah bertemu Umpei?"
"Ya." "Kapan dia akan membawamu ke benteng?"
"Lusa. Waktu itu dia mesti membawa sepuluh buruh baru. Dia bilang, saya masuk rombongan
itu." "Jadi, semua sudah beres?"
"Tapi kepala daerah dan lima anggota rukun tetangga masih harus
membubuhkan cap pada dokumen-dokumennya."
"Bukan soal. Kebetulan aku anggota perkumpulan itu."
"Betul" Bapak?"
"Apa yang mengherankan" Aku salah seorang pengusaha berpengaruh di lingkungan ini.
Musim semi yang lalu, kepala daerah mendesakku menjadi anggota."
"Oh, saya tidak heran. Saya... saya cuma tidak tahu. Itu saja."
"Ha, ha. Aku tahu betul apa yang kaupikirkan. Menurut pikiranmu, sungguh skandal besar
bahwa orang macam aku duduk dalam pengurus yang kerjanya mengurusi lingkungan. Nah,
baik kusampaikan saja padamu, kalau kita punya uang, semua orang akan mengatakan kita
orang baik. Tak dapat kita menolak menjadi pemimpin setempat, biarpun kita mencobanya.
Nah, pikirkan, Matahachi. Tak lama lagi, kau pun akan punya uang banyak."
"Ya-y-ya," kata Matahachi, terbata-bata, tak mampu menekan gemetarnya. "B-b-bapak mau
kasih saya panjar sekarang?"
"Tunggu dulu." Daizo mengambil lilin dan pergi ke bagian belakang gudang. Dari sebuah kotak perhiasan
di atas rak, ia hitung tiga puluh keping emas. Ia kembali, dan katanya, "Ada yang bisa
kaupakai membungkus?"
"Tidak." "Pakai ini." Ia pungut gombal katun dari lantai dan la lemparkan pada Matahachi. "Lebih
baik kaumasukkan dalam kantong perutmu, dan jaga baik-baik."
"Apa mestinya saya berikan tanda terima?"
"Tanda terima?" kata Daizo, disertai tawa di luar kemauannya. "Astaga, betul-betul
orang jujur kau ini! Tidak, aku tak butuh tanda terima. Tapi kalau kau berbuat
kekeliruan, kusita kepalamu."
Matahachi mengedip-ngedip, "Saya kira, lebih baik saya pergi sekarang." "Jangan buruburu. Ada beberapa kewajiban, sesudah kauterima uang itu. Kau ingat semua yang
kuceritakan tadi pagi?"
"Ya, ya, ada satu hal. Bapak bilang bedil itu ada di bawah pohon lokus. Siapa yang akan
menaruhnya di sana?" Karena menurutnya sukar sekali bagi buruh biasa memasuki
pekarangan benteng itu, ia pun heran bahwa ada orang yang dapat menyelundupkan bedil
dan amunisinya. Dan bagaimana mungkin orang yang tanpa kekuatan supranatural dapat
menguburkan keduanya itu supaya siap dan menanti setengah bulan lamanya dari sekarang"
"Itu bukan urusanmu. Kau cuma mesti melakukan yang sudah kausetujui. Kau gugup
sekarang, karena belum biasa dengan jalan pikiran ini. Sesudah beberapa minggu di sana,
kau akan biasa." "Saya harap begitu."
"Pertama, kau mesti membulatkan pikiran bahwa kau dapat menyelesaikan tugasmu. Kemudian
kau mesti mencari saat yang tepat."
"Saya mengerti."
"Aku tidak menghendaki kekeliruan. Sembunyikan uang itu, supaya tak seorang pun dapat
menemukannya. Dan tinggalkan di situ, sampai sesudah kau melaksanakan misimu. Kalau
proyek macam ini gagal, biasanya itu karena uang."
"Jangan kuatir. Saya sudah memikirkan hal itu. Tapi izinkan saya mengajukan satu
pertanyaan: bagaimana mungkin saya percaya bahwa sesudah saya melakukan tugas saya,
Bapak takkan menolak membayar kelebihannya?"
"Oh! Kedengarannya kata-kataku ini seperti bualan, tapi uang sebetulnya soal yang
paling ringan buatku. Boleh kau memuaskan matamu memandangi peti-peti itu." Ia naikkan
lilin itu, hingga Matahachi bisa melihat lebih baik. Di seluruh kamar itu terdapat
peti-peti-untuk nampan pernis, untuk baju zirah, dan untuk banyak keperluan lain.
"Masing-masing peti itu berisi seribu keping emas."
Tanpa memperhatikannya secara teliti, Matahachi berkata dengan nada minta maaf, "Saya
tidak menyangsikan janji Bapak, tentu saja."
Percakapan rahasia itu berlangsung sekitar satu jam lagi. Akhirnya, dengan perasaan
lebih mantap, Matahachi pulang lewat jalan belakang.
Daizo pergi ke kamar sebelah dan melihat ke dalam. "Kau di situ, Akemi?" panggilnya.
"Kupikir dari sini dia akan langsung pergi menyembunyikan uang itu. Lebih baik kauikuti
dia." Sesudah beberapa kali berkunjung ke rumah gadai itu, Akemi terpesona oleh kepribadian
Daizo, dan mengungkapkan beban pikirannya kepadanya. Ia mengeluh tentang keadaannya
sekarang, dan menyatakan keinginannya untuk mencapai hidup yang lebih baik. Beberapa
hari sebelum itu, Daizo sudah mengemukakan bahwa ia membutuhkan seorang perempuan yang
akan mengurus rumahnya. Akemi datang ke pintunya pagi-pagi sekali hari itu. Daizo
mempersilakan masuk dan minta Akemi jangan kuatir, karena Matahachi akan ia "urus".
Calon pembunuh yang betul-betul tak sadar bahwa dirinya diikuti itu pun kembali pulang.
Sambil memegang cangkul, ia naik ke puncak Bukit Nishikubo, lewat belukar di belakang
rumah, dan menguburkan kekayaannya di sana.
Selesai melihat semua itu, Akemi melaporkannya kepada Daizo, dan Daizo segera berangkat
ke Bukit Nishikubo. Hampir fajar, ia kembali ke gudang dan menghitung keping-keping
emas yang baru digalinya. Ia menghitungnya dua kali, tiga kali, dan tak salah lagi.
Hanya ada dua puluh delapan keping.
Daizo menggelengkan kepala dan mengerutkan kening. la betul-betul tak suka kalau orang
mencuri uangnya. *** 87. Kegilaan Tadaaki Osugi bukan orang yang bisa berputus asa akibat kesedihan dan kekecewaan yang luar
biasa, karena baktinya sebagai seorang ibu tidak berbalas. Tetapi di sini, sementara
serangga-serangga mendengung di tengah tumbuhan lespedeza dan elalia, dan sungai besar
mengalir pelan ke hilir, perasaannya tergugah oleh nostalgia dan kefanaan hidup ini.
"Nenek di rumah, ya?" terdengar suara kasar di tengah udara malam yang tenang itu.
"Siapa itu?" seru Osugi.
"Saya dari Hangawara. Banyak sayuran segar datang dari Katsushika. Majikan menyuruh
saya membawakan untuk Nenek."
"Yajibei memang selalu penuh perhatian."
Osugi waktu itu sedang duduk menghadap meja pendek. Lilin menyala di sampingnya, dan ia
memegang kuas tulis. Ia sedang menyalin kitab Sutra tentang Cinta Agung Orangtua. Ia
sudah pindah ke rumah sewa kecil di daerah Hamacho yang jarang penduduknya, dan di situ
ia hidup cukup nyaman, mengobati orang yang sakit dan nyeri dengan moxa. Ia sendiri tak
lagi punya keluhan fisik. Sejak permulaan musim gugur, ia sudah merasa muda kembali.
"Apa ada pemuda datang menengok Nenek sore tadi?"
"Maksudmu untuk mendapat pengobatan dengan moxa?"
"Mm. Dia datang menemui Yajibei. Rupanya ada soal penting yang akan disampaikannya. Dia
tanya di mana Nenek tinggal sekarang, dan kami memberitahukannya."
"Berapa umurnya?"
"Dua puluh tujuh atau dua puluh delapan, saya kira."
"Bagaimana kelihatannya?"
"Agak bulat mukanya. Tidak begitu tinggi badannya."
"Mm, siapa ya...."
"Nada bicaranya mirip Nenek. Saya pikir barangkali dia datang dari tempat yang sama.
Nah, saya mesti pergi. Selamat malam."
Ketika langkah kaki orang itu menghilang, bunyi-bunyi serangga terdengar kembali
seperti bunyi hujan gerimis. Osugi meletakkan kuasnya dan menatap lilin. Pikirannya
melayang ke masa mudanya, ketika orang menafsirkan isyarat yang ada dalam lingkaran
cahaya lilin. Orang-orang yang ditinggal di rumah tak dapat mengetahui keadaan suami,
anak, atau saudaranya yang pergi berperang, atau bagaimana nasib mereka sendiri yang
tak tentu itu di masa depan. Lingkaran cahaya terang diartikan sebagai tanda
keberuntungan, bayangan keunguan diartikan sebagai petunjuk bahwa ada yang telah
meninggal. Kalau nyalanya berbunyi berkeretak seperti bunyi daun pinus terbakar,
artinya orang yang mereka harap-harapkan pasti akan datang.
Osugi sudah lupa bagaimana menafsirkan pertanda-pertanda itu, tapi malam ini lingkaran
cahaya gembira yang indah beraneka warna seperti pelangi itu menyarankan akan datang
sesuatu yang indah. Mungkinkah itu Matahachi: Tangannva menjangkau kuas, tapi ia menariknya kembali. Ia
seakan sudah kesurupan dan lupa akan diri dan sekelilingnya. Sejam-dua jam berikutnya,
ia hanya memikirkan wajah anaknya yang seakan mengapung terus dalam kegelapan kamarnya
itu. Bunyi gemeresik di pintu belakang menyadarkannya dari lamunan. Ia bertanya pada
dirinya, apakah ada musang yang sedang merusak dapurnya, karenanya ia mengambil lilin
dan pergi untuk memeriksanya.
Karung sayuran ada di dekat meja cuci. Di atas karung terdapat benda putih. Benda itu
diambilnya, dan terasa berat-seberat dua keping emas. Di kertas putih yang dipakai
membungkusnya, ditulis oleh Matahachi, Saya masih belum berani menghadap Ibu. Maafkan
saya kalau enam bulan lagi Ibu saya telantarkan. Saya tinggalkan surat ini tanpa masuk.
Seorang samurai, dengan mata memancarkan nafsu membunuh, menerobos rumput tinggi untuk
menghampiri dua lelaki yang berdiri di tepi sungai. Terengah-engah ia berseru, "Hamada,
diakah itu?" "Bukan," keluh Hamada. "Salah." Tapi matanya berkilau-kilau ketika ia terus meninjau
keadaan sekitar. "Aku yakin dia."
"Bukan. Itu tukang perahu."
"Kau yakin?" "Waktu kukejar, dia masuk perahu di sana itu."
"Itu tidak berarti dia tukang perahu."
"Sudah kuperiksa."
"Mesti kuakui, orang itu cepat kakinya."
Mereka meninggalkan sungai, dan kembali melintasi perladangan Hamacho. "Matahachi...
Matahachi!" Semula suara itu hampir tak lebih keras dari bisik sungai, tapi ketika kemudian
diulang-ulang dan menjadi tak mungkin ditafsirkan lain lagi, mereka berhenti dan saling
pandang keheranan. "Ada orang memanggilnya! Bagaimana mungkin?"
"Kedengarannya seperti perempuan tua."
Dipimpin Hamada, mereka cepat mencari suara itu sampai ke sumbernya, dan ketika Osugi
mendengar jejak langkah mereka, ia berdiri mendapatkan mereka.
"Matahachi" Apa di antara kalian..."
Mereka mengepung Osugi dan melipat tangannya ke belakang.
"Apa yang kalian lakukan ini?" Wajahnya menggelembung seperti ikan buntal yang sedang
marah. Teriaknya, "Siapa pula kalian ini?"
"Kami murid Perguruan Ono."
"Aku tak kenal orang yang namanya Ono."
"Kau tak pernah dengar nama Ono Tadaaki, guru shogun?"
"Tak pernah." "Ah, orang tua... "Tunggu. Mari kita lihat, apa yang dia ketahui tentang Matahachi."
"Aku ibunya." "Kau ibu Matahachi penjual semangka itu?"
"Apa maksudmu, babi" Penjual semangka" Matahachi itu keturunan Keluarga Hon'iden, dan
Hon'iden keluarga penting di Provinsi Mimasaka. Kalian mesti tahu, Keluarga Hon'iden
abdi-abdi berpangkat tinggi pada Shimmen Munetsura, penguasa Benteng Takeyama di
Yoshino." "Cukup sudah," kata satu orang.
"Apa yang mesti kita lakukan?"
"Angkat dia dan bawa."
"Sandera" Kaupikir akan ada hasilnya?"
"Kalau ini ibunya, dia akan datang menjemput ibunya."
Osugi menggagahkan dirinya yang kurus kering itu dan memberontak seperti macan betina
yang tersudut, tapi sia-sia.
Karena bosan dan kecewa dalam beberapa minggu terakhir ini, Kojiro jadi terbiasa banyak
tidur, siang ataupun malam. Waktu itu ia sedang berbaring menelentang, sambil
menggerutu sendiri dan mendekapkan pedang ke dadanya.
"Ini bisa bikin Galah Pengering menangis. Pedang macam ini, dan pemain pedang macam
diriku... melapuk di rumah orang lain!" Terdengar detak keras dan kilasan logam.
"Tolol!" Senjata itu menebas dalam gerak lengkung besar di atasnya, kemudian menyelinap kembali
ke dalam sarungnya, seperti makhluk hidup.
"Bagus!" teriak seorang pelayan dari ujung beranda. "Bapak sedang melatih teknik
pukulan dengan posisi telentang?"
"Jangan bodoh," dengus Kojiro. Ia membalikkan badan dan menelungkup, memungut dua
bintik kecil, dan menjentikkannya ke arah beranda. "Bikin ribut saja di sini."
Mata pelayan itu membelalak. Serangga yang mirip ngengat itu, kedua sayap halus dan
tubuhnya yang kecil terbelah rapi menjadi dua.
"Kau mau memasang tilam bantalku?" tanya Kojiro.
"Oh, tidak! Maafl Ada surat buat Bapak."
Tanpa tergesa-gesa, Kojiro membuka surat itu dan mulai membaca. Sementara membaca,
ekspresi gembira merayapi wajahnya. Menurut Yajibei, Osugi hilang sejak malam kemarin.
Kojiro diminta datang segera untuk merundingkan satu tindakan.
Surat itu menerangkan secara agak panjang-lebar, bagaimana mereka mengetahui tempat
Osugi. Yajibei mengirim semua orangnya untuk mencari, namun isi pokok persoalan itu
adalah pesan yang ditinggalkan Kojiro di Donjiki. Pesan itu telah dicoret, dan di
sampingnya ditulis: Kepada Sasaki Kojiro: Orang yang menahan ibu Matahachi adalah
Hamada Toranosuke dari Keluarga Ono.
"Akhirnya!" kata Kojiro. Perkataan itu keluar dari dalam tenggorokannya. Pada waktu
menyelamatkan Matahachi, ia curiga kedua samurai yang telah dirobohkan itu ada
hubungannya dengan Perguruan Ono.
Ia mendecap, katanya. "Tepat seperti yang kunanti" Sambil berdiri di beranda, ia
menengadah ke langit malam. Awan banyak, tapi sepertinya tidak akan turun hujan.
Sebentar kemudian, ia sudah mengendarai kuda beban, menyusuri jalan raya Takanawa.
Sampai di rumah Hangawara, hari sudah larut. Sesudah mengajukan pertanyaan kepada
Yajibei sampai sekecil-kecilnya, ia memutuskan untuk menginap di sana dan bertindak
pagi harinya. Ono Tadaaki memperoleh nama baru, tak lama sesudah Pertempuran Sekigahara. Namanya
masih Mikogami Tenzen ketika ia diundang datang ke perkemahan Hidetada untuk memberikan
kuliah tentang ilmu pedang, dan kuliah itu diberikannya dengan mutu tinggi. Disamping
memperoleh limpahan nama itu, ia memperoleh penunjukan sebagai pengikut langsung
Keluarga Tokugawa dan hadiah tempat tinggal baru di Bukit Kanda, di Edo.
Karena dari bukit itu pemandangan ke Gunung Fuji bagus sekali, maka ke-shogun-an
menetapkannya sebagai daerah kediaman para abdi dari Suruga, provinsi tempat gunung
Fuji terletak. "Ada yang bilang rumah itu ada di Lereng Saikachi," kata Kojiro.
Ia dan satu orang Hangawara ada di puncak bukit itu. Jauh di dalam lembah di bawah
sana, mereka melihat Ochanomizu, bagian sungai yang kabarnya menjadi sumber air untuk
teh shogun. "Bapak tunggu di sini," kata pengawal Kojiro. "Akan saya periksa, sampai di mana kita."
Sebentar kemudian, ia kembali dengan keterangan bahwa mereka sudah melewatinya.
"Tapi seingatku kita belum melewati tempat guru shogun."
"Saya juga tak melihat. Saya pikir dia punya rumah besar macam Yagyu Munenori. Tapi
rumahnya adalah yang sudah tua dan kita lihat di sebelah kanan tadi. Saya dengar rumah
itu tadinya milik penjaga kandang shogun."
"Hal itu tak perlu diherankan. Ono cuma punya penghasilan seribu lima ratus gantang,
sedangkan sebagian besar penghasilan Munenori sudah diperoleh sejak zaman nenek
moyangnya." "Itu dia," kata pengawal sambil menuding.
Kojiro berhenti untuk memeriksa susunan bangunan yang ada. Tembok tanah yang sudah tua
memanjang ke belakang, dari bagian tengah lereng bukit, menuju semak-semak di atas
bukit. Pekarangan itu tampaknya besar sekali. Dari gerbang yang tidak berpintu, ia
dapat melihat bangunan besar di sebelah rumah utama, yang menurut taksirannya adalah
dojo dan sebuah ruang tambahan yang jelas merupakan bangunan yang dibuat belakangan.
"Kau boleh kembali sekarang," kata Kojiro. "Dan katakan pada Yajibei, kalau aku tidak
kembali dengan nyonya tua itu pada malam hari, berarti aku terbunuh."
"Baik, Pak." Orang itu cepat lari menuruni Lereng Saikachi. Beberapa kali la berhenti
untuk menoleh. Kojiro tak mau membuang-buang waktu untuk mendekati Yagyu Munenori. Selama itu tak ada
jalan untuk mengalahkannya dan merebut kemuliaannya, karena Gaya Yagyu adalah gaya yang
sesungguhnya dipakai oleh Keluarga Tokugawa. Hal itu saja sudah menjadi alasan bagi
Munenori untuk menolak menghadapi ronin ambisius. Tadaaki-lah yang cenderung menghadapi
tantangan. Dibandingkan dengan Gaya Yagyu, Gaya Ono lebih praktis. Tujuannya bukan untuk
memamerkan keterampilan dengan seluas-luasnya, melainkan untuk membunuh. Kojiro belum
pernah mendengar ada yang berhasil menyerang Keluarga Ono dan mempermalukan mereka.
Kalau Munenori pada umumnya dianggap lebih terhormat, maka Tadaaki dianggap lebih kuat.
Semenjak datang di Edo dan mempelajari keadaan, Kojiro sudah berketetapan akan mengetuk
gerbang Ono. Numata Kajuro melayangkan pandang dari jendela kamar dojo. Sekaligus matanya melayang
ke dalam ruangan, mencari Toranosuke. Ketika dilihatnya orang itu ada di tengah
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ruangan, sedang memberikan pelajaran pada seorang murid muda, ia berlari ke sampingnya,
dan dengan suara rendah berkata, "Dia di sini! Itu di sana, di halaman depan!"
Toranosuke, yang memegang pedang kayu, berseru kepada murid itu, "Siap!" Kemudian ia
maju mendesak ke depan. Langkah-langkah kakinyabergema tajam di lantai. Begitu kedua
orang itu sampai di sudut utara, murid itu terjungkir balik dan pedang kayunya melayang
ke udara. Toranosuke menoleh, katanya, "Siapa yang kausebut tadi" Kojiro?"
"Ya, dia sudah di dalam gerbang. Sebentar lagi pasti sampai di sini."
"Jauh lebih cepat dari yang kuharapkan. Menyandera nyonya tua itu memang gagasan
bagus." "Apa rencanamu sekarang" Siapa yang akan memyambutnya" Yang menyambut mestinya orang
yang siap untuk segalam-a. Kalau dia punya keberanian datang kemari sendiri, berarti
dia bisa membuat gerakan kejutan."
"Bawa dia masuk dojo. Aku akan menvambutnya sendiri. Kalian semua tinggal di belakang
diam-diam." "Setidaknya jumlah kita banyak di sini," kata Kajuro. Ia menoleh ke sekitar, dan
bangkitlah semangatnva memandang wajah orang-orang tegap seperti Kamei Hyosuke, Negoro
Hachikuro, dan Ito Magobei. Masih ada sekitar dua puluh orang lagi. Mereka memang tidak
mengerti jalan pikiran Kojiro, tapi mereka semua tahu kenapa Toranosuke menginginkannya
datang ke sini. Seorang dari dua orang yang telah dibunuh Kojiro dekat Donjiki adalah kakak Toranosuke.
Sekalipun si kakak itu hanya sampah, dan di perguruan tidak banyak dihargai orang,
namun kematiannya mesti dibalaskan karena hubungan darah.
Sekalipun masih muda dan kecil penghasilannya, Toranosuke seorang samurai yang mesti
diperhitungkan di Edo. Seperti Keluarga Tokugawa, semula ia datang dari Provinsi
Mikawa, dan keluarganya tergolong yang tertua di antara pengikut warisan shogun. Ia
juga seorang dari "Empat Jenderal dari Lereng Saikachi": tiga yang lain adalah Kamei,
Negoro, dan Ito. Ketika Toranosuke pulang kemarin malam dengan membawa Osugi, orang
sependapat bahwa ia mencapai keberhasilan yang patut dicatat. Sekarang sukar bagi
Kojiro untuk tidak memperlihatkan muka. Orang-orang itu sudah bersumpah bahwa kalau ia
muncul, mereka akan memukulinya setengah mati, memotong hidungnya, dan menggantungnya
pada sebatang pohon di tepi Sungai Kanda, agar menjadi tontonan orang banyak. Tapi
mereka sama sekali tak yakin ia akan datang. Mereka bertaruh tentang itu, dan sebagian
besar bertaruh ia takkan datang.
Mereka berkumpul di ruangan utama dojo, membiarkan lantai bagian tengah terbuka, dan
menanti dengan gelisah. Beberapa waktu kemudian, satu orang bertanva kepada Kajuro, "Kau yakin yang kaulihat
itu Kojiro?" "Yakin betul!" Mereka duduk dalam susunan mengesankan. Wajah mereka kaku sekali, kemudian
memperlihatkan tanda-tanda tegang. Sebagian dari mereka takut kalau keadaan itu
berlangsung terlalu lama, mereka akan menjadi korban ketegangan mereka sendiri. Tepat
ketika titik ledak mereka makin mendekat, detak cepat sandal terdengar berhenti di luar
kamar pakaian, dan wajah seorang murid lain yang bersijingkat muncul di jendela.
"Hei, dengar! Tak ada gunanya menunggu di sini. Kojiro takkan datang."
"Apa maksudmu" Kajuro baru saja melihatnya."
"Ya, tapi dia langsung pergi ke rumah itu. Bagaimana dia mendapat izin, aku tidak tahu,
tapi sekarang dia di kamar tamu, bicara dengan guru."
"Guru," gema orang banyak itu tergagap.
"Betul yang kauomongkan itu?" tanya Toranosuke. Wajahnya hampir-hampir memperlihatkan
kekuatiran. Dugaannya sangat kuat bahwa jika soal kematian kakaknya diselidiki, akan
ketahuan bahwa ia bermaksud melakukan sesuatu yang tidak baik. Ia menyembunyikan
kenyataan itu sewaktu menceritakan peristiwanya pada Tadaaki. Dan kalau gurunya tahu ia
sudah menculik Osugi, itu bukanlah karena ia sendiri yang menyampaikannya kepada
gurunya. "Kalau kau tak percaya, lihat sendiri."
"Brengsek!" rintih Toranosuke.
Teman-temannya bukannya bersimpati kepadanya, melainkan jengkel melihat sikap ragunya.
Kamei dan Negoro menasihati teman-temannya untuk tetap tenang, sementara mereka akan
pergi untuk mengetahui situasi, tapi baru saja mereka mengenakan zori, seorang gadis
menarik berkulit kuning langsat berlari ke luar rumah. Melihat bahwa gadis itu Omitsu,
mereka seketika berhenti, dan yang lain-lain tumpah ke pintu.
"Hei, kalian semua!" teriak Omitsu dengan suara serak dan resah. "Lekas datang! Paman
dan tamu itu sudah menghunus pedang. Di halaman. Mereka berkelahi!"
Walaupun Omitsu secara resmi dianggap sebagai kemenakan Tadaaki, orang banyak
membisikkan bahwa sebetulnya ia anak Ito Ittosai dengan seorang gundik. Menurut bisikan
orang, karena Ittosai adalah guru Tadaaki, maka Tadaaki terpaksa setuju merawat gadis
itu. Ungkapan rasa takut yang tampak pada matanya betul-betul lain daripada yang lain. "Saya
dengar Paman dan tamu itu bicara... suara mereka makin lama makin keras... dan yang
kemudian saya ketahui... saya kira Paman tidak dalam bahaya, tapi..."
Keempat jenderal itu serentak memperdengarkan lengkingan, dan langsung berlari ke
halaman yang dipisahkan dari pekarangan luar oleh pagar hidup. Yang lain menyusul
mereka di pintu gerbang yang terbuat dari bambu anyam.
"Gerbang terkunci."
"Tak bisa kau mendobraknya?"
Tapi ternyata dobrakan tidak diperlukan. Pintu gerbang ambruk oleh berat badan samurai
yang mendesaknya. Ketika gerbang itu ambruk, suatu daerah luas, dengan latar belakang
sebuah bukit, terhampar di depan mata mereka. Tadaaki dengan pedang Yukihira-nya yang
setia dipegang setinggi mata, berdiri di tengah. Di seberangnya, pada jarak cukup jauh,
berdiri Kojiro dengan Galah Pengering yang besar, menjulang di atas kepalanya. Matanya
memancarkan api. Suasana gawat itu rupanya merupakan penghalang yang tidak kelihatan. Untuk orang yang
terdidik dalam tradisi keras golongan samurai, kekhidmatan mengerikan yang menyelimuti
pihak-pihak yang bertarung, dan martabat pedang yang sudah terhunus untuk membunuh itu,
tidak dapat lagi dilanggar. Sekalipun para murid meluap, namun untuk sesaat mereka
menahan diri tidak bergerak ataupun melampiaskan emosi.
Tapi kemudian, dua-tiga orang dari mereka mulai bergerak ke belakang Kojiro.
"Balik, kalian!" teriak Tadaaki marah. Suaranya kasar mengerikan, sama sekali bukan
suara kebapakan yang biasa mereka dengar, dan itu menghentikan semua gerakan para
murid. Orang cenderung menduga umur Tadaaki sepuluh tahun lebih muda daripada
yaitu lima puluh empat atau lima puluh lima tahun, dan tinggi badannya
padahal sesungguhnya tinggi badannya kurang dari itu. Rambutnya hitam,
tapi kekar, dan sama sekali tidak tampak kekakuan atau kekikukan dalam
lengannya yang panjang-panjang itu.
sebenarnya, rata-rata, tubuhnya kecil, gerak kaki dan Kojiro belum lagi melakukan pukulan"lebih tepat dikatakan belum dapat melakukannya.
Namun demikian, Tadaaki seketika itu juga terpaksa menghadapi kenyataan. Ia berhadapan
dengan pemain pedang hebat. "Orang ini macam Zenki!" pikirnya sambil menggigil tanpa
terasa. Zenki adalah pemain pedang terakhir yang dihadapinya, yang memiliki jangkauan dan
ambisi sehebat ini. Dan peristiwa itu terjadi sudah lama, ketika Tadaaki masih muda,
ketika ia mengadakan perjalanan dengan Ittosai dan menjalani hidup sebagai shugyosha.
Zenki, anak seorang tukang perahu di Provinsi Kuwana, adalah murid senior Ittosai.
Ketika Ittosai makin tua, Zenki mulai merendahkannya, bahkan menyatakan bahwa Gaya Itto
adalah penemuannya sendiri.
Tingkah Zenki membuat Ittosai sedih sekali, karena semakin mahir ia memainkan pedang,
semakin banyak ia menimbulkan kerugian kepada orang lain. "Zenki," sesal Ittosai,
"adalah kesalahan terbesar dalam hidupku. Kalau aku memandangnya, terlihat olehku
monster yang mewujudkan segala sifat jelek yang pernah kupunyai. Memandang dia, aku
jadi benci pada diriku sendiri."
Tapi ironisnya, Zenki sudah berjasa besar pada Tadaaki yang masih muda waktu itu"
sebagai contoh yang buruk"dengan mendorongnya mencapai prestasi-prestasi yang lebih
tinggi daripada yang mungkin waktu itu. Akhirnya Tadaaki berbenturan dengan anak ajaib
itu di Koganegahara, Shimosa, dan membunuhnya. Karena itu Ittosai menghadiahinya ijazah
Gaya Itto, dan memberikan kepadanya buku pelajaran rahasia.
Satu kekurangan Zenki adalah kemampuan teknisnya dicemarkan oleh kurangnya pendidikan.
Tidak demikian halnya Kojiro. Kecerdasan dan pendidikannya jelas kelihatan dalam
permainan pedangnya. "Aku tak dapat memenangkan perkelahian ini," pikir Tadaaki, padahal sama sekali ia
tidak merasa lebih rendah dari Munenori. Sesungguhnya, penilaiannya mengenai
keterampilan Munenori tidaklah terlalu tinggi.
Selagi menatap lawannya yang memesona itu, ada kebenaran lain lagi yang segera
disadarinya. "Waktu rupanya sudah lama berlalu bagiku," pikirnya sedih.
Mereka berdiri tanpa gerak. Tak sedikit pun kelihatan perubahan. Padahal, baik Tadaaki
maupun Kojiro, sudah mengerahkan tenaga vital mereka dengan jumlah mengerikan. Beban
fisiologisnya mengambil bentuk keringat yang mencurah deras dari dahi mereka, udara
yang mendesah lewat lubang hidung mereka yang mengembang, dan kulit mereka yang berubah
warna menjadi putih, kemudian kebiruan. Memang sebentar lagi agaknya akan terjadi
gerakan, namun kedua pedang tetap terpentang dan teguh.
"Aku menyerah," kata Tadaaki, dan tiba-tiba mundur beberapa langkah. Mereka berdua
memang sepakat, ini takkan merupakan perkelahian habis-habisan. Masing-masing dapat
menarik diri dan mengaku kalah.
Tapi, sambil meloncat seperti binatang buruan, Kojiro mulai memainkan Galah Pengeringnya dengan pukulan ke bawah, disertai kekuatan dan kecepatan angin kisaran. Tadaaki
merunduk tepat pada waktunya, namun gelungnya terlontar ke atas dan putus. Tadaaki
sendiri, sambil mengelak, melancarkan balasan cemerlang dan berhasil menyayat sekitar
enam inci lengan kimono Kojiro.
"Pengecut!" seru para murid. Wajah mereka menyala karena berang. Memanfaatkan
penyerahan lawannya sebagai pembuka serangan, berarti Kojiro telah melanggar etika
samurai. Maka semua murid, tanpa kecuali, menghampiri Kojiro.
Kojiro menjawab dengan terbang secepat burung kasa ke pohon jujube besar di ujung
halaman, dan menyembunyikan diri di belakang batangnya.
Matanya bergerak-gerak dengan kecepatan menakutkan.
"Anda lihat?" teriaknya. "Anda lihat siapa yang menang?"
"Mereka yang melihatnya," kata Tadaaki. "Mundur!" perintahnya kepada orang-orang,
sambil menyarungkan pedang dan kembali ke beranda kamar belajarnya.
Ia memanggil Omitsu dan minta gadis itu mengikat rambutnya. Sementara Omitsu mengikat
rambutnya, Tadaaki menarik napas. Dadanya berkilat-kilat oleh aliran keringat.
Sebuah pepatah lama teringat olehnya: mudah mengungguli seorang pendahulu, tapi sukar
menghindari untuk diungguli seorang pengganti. Selama ini ia menikmati buah dari
latihan keras di masa mudanya, dan merasa senang karena tahu Gaya Itto yang dikuasainya
tidak kurang ampuhnya dari Gaya Yagyu. Tapi, sementara itu, masyarakat melahirkan
jenius-jenius baru, seperti Kojiro. Kesadaran itu datang sebagai guncangan pahit, namun
ia bukan jenis orang yang akan mengabaikan saja hal itu.
Ketika Omitsu selesai dengan tugasnya, kata Tadaaki, "Berikan air kepada tamu muda kita
itu untuk berkumur, dan antar dia kembali ke kamar tamu."
Wajah para murid di seputar Tadaaki tampak putih karena terguncang. Sebagian menahan
air mata, sebagian lagi menatap benci pada guru mereka.
"Kita berkumpul di dojo," kata Tadaaki. "Sekarang." Dan ia sendiri mendahului pergi.
Tadaaki mengambil tempat di kursi yang ditinggikan di depan, dan diam-diam
memperhatikan tiga baris pengikutnya yang duduk menghadapinya.
Akhirnya ia menunduk, dan katanya pelan, "Aku kuatir aku pun sudah tua. Kalau aku
menoleh ke belakang, terasa olehku, masa terbaikku sebagai pemain pedang adalah ketika
aku mengalahkan Zenki. Pada waktu perguruan ini dibuka dan orang mulai bicara tentang
kelompok Ono di Lereng Saikachi, serta menyebut Gaya Itto tak terkalahkan, waktu itu
aku sudah melewati puncakku sebagai pemain pedang."
Suara Tadaaki menjadi lebih mantap, dan ia memandang langsung wajah-wajah mereka yang
mencerminkan keraguan dan ketidakpuasan. "Menurut pendapatku, hal ini bisa terjadi pada
semua orang. Umur kita merangkak terus, sementara kita tidak memperhatikannya. Masa
berubah. Para pengikut mengungguli para pemimpin. Angkatan baru membuka jalan baru....
Memang demikian seharusnya, karena dunia ini maju hanya melalui perubahan. Namun, di
bidang permainan pedang, hal ini tidak boleh terjadi. Jalan Pedang harus merupakan
jalan yang tidak mengizinkan orang menjadi tua. Ittosai.... Entah apakah beliau masih
hidup. Bertahun-tahun aku tidak mendengar berita tentang guruku itu. Sesudah peristiwa
di Koganegahara, beliau mencukur rambutnya dan mengundurkan diri ke pegunungan. Tujuan
beliau, menurut beliau, adalah mempelajari pedang, mempraktekkan Zen, mencari jalan
hidup dan man, mendaki puncak tertinggi pencerahan yang sempurna.
"Sekarang ini datang giliranku. Sesudah peristiwa hari ini, aku tidak dapat lagi
menegakkan kepala di hadapan guruku.... Aku menyesal bahwa yang kutempuh bukan hidup
yang lebih baik." "G-guru" sahut Negoro Hachikuro. "Bapak mengatakan kalah, tapi kami tak percaya Bapak
kalah melawan orang macam Kojiro dalam keadaan normal, biarpun dia masih muda. Ada yang
salah dalam kejadian hari ini."
"Ada yang salah?" Tadaaki menggelengkan kepala dan mendecap. "Tak ada yang salah.
Kojiro masih muda. Tapi bukan karena itu aku kalah. Aku kalah karena waktu sudah
berubah." "Apa artinya itu?"
"Dengarkanlah, dan lihat." Dari memandang Hachikuro, ia memandang wajah-wajah diam yang
lain. "Akan kucoba bicara sangat singkat, karena Kojiro menantiku. Aku minta kalian
mendengarkan baik-baik, pikiran-pikiran dan harapan-harapanku untuk masa yang akan
datang." Kemudian ia mengatakan pada mereka bahwa sejak hari itu, ia akan mengundurkan diri,
tidak dalam arti yang biasa, melainkan mengikuti jejak Ittosai dan pergi mencari
pencerahan agung. "Itulah harapan besarku yang pertama," katanya pada mereka.
Selanjutnya ia minta kemenakannya, Ito Magobei, untuk mengurus putra tunggalnya,
Tadanari. Magobei juga diperintahkan melaporkan kejadian hari ini kepada ke-shogun-an,
dan menjelaskan bahwa Tadaaki telah memutuskan untuk menjadi pendeta Budha.
Kemudian katanya, "Aku tidak menyesali benar kekalahanku menghadapi orang yang lebih
muda. Yang sungguh merisaukan dan membuatku malu adalah bahwa pejuang-pejuang baru
seperti Sasaki ini justru muncul di tempat lain, dan tak seorang pun pemain pedang
sekaliber dia muncul di tengah Perguruan Ono. Kupikir aku tahu mengapa demikian.
Sebagian besar dari kalian adalah pengikut shogun karena keturunan. Kalian membiarkan
status kalian menguasai diri. Sesudah sedikit saja mendapat latihan, kalian sudah mulai
menganggap diri kalian ahli dalam 'Gaya Itto yang tak terkalahkan'. Kalian terlalu puas
diri." "Tapi sebentar, Pak," protes Hyosuke dengan suara gemetar. "Itu tak adil. Tidak semua
kami ini malas dan sombong. Tidak semuanya kami melalaikan pelajaran."
"Tutup mulut!" Tadaaki menatapnya dengan ganas. "Kelonggaran sikap pada murid adalah
cermin kelonggaran sikap gurunya. Aku mengakui aibku sendiri sekarang, dan aku
menghukum diriku sendiri.
"Tugas kalian adalah membuang sikap longgar itu, untuk membuat Perguruan Ono menjadi
pusat, di mana bakat pemuda dapat berkembang dengan benar. Perguruan ini harus menjadi
medan latihan masa depan. Kalau tidak demikian, tindakanku meninggalkan tempat ini dan
membuka jalan bagi pembaruan itu tidak ada artinya."
Akhirnya ketulusan pernyataan itu mulai ada hasilnya. Para siswa menekurkan kepala dan
merenungkan kata-kata Tadaaki. Masing-masing menimbang-nimbang kekurangannya sendiri.
"Hamada!" kata Tadaaki.
Toranosuke menjawab, "Ya, Pak," tapi jelas kelihatan ia terkejut. Mendapat tatapan mata
Tadaaki yang dingin itu, pandangan matanya pun jatuh ke lantai.
"Berdiri!" "Ya, Pak," kata Toranosuke tanpa berdiri. "Berdiri! Sekarang juga."
Toranosuke bangkit berdiri. Yang lain-lain memandang diam.
"Kau kukeluarkan dari perguruan ini." Tadaaki berhenti bicara agar kata-katanya
mengendap. "Tapi kuharap suatu saat nanti kau memperbaiki cara-caramu, belajar disiplin
dan memahami makna Seni Perang. Barangkali pada waktu itulah kita akan bersama lagi
sebagai guru dan murid. Sekarang keluar!"
"G-guru, tapi kenapa" Seingat saya, tak ada alasan untuk saya diperlakukan seperti
ini." "Kau tak ingat karena kau tak mengerti Seni Perang. Kalau kaupikirkan lama-lama dan
saksama, kau akan melihatnya."
"Bapak, sampaikanlah pada saya. Saya tak bisa pergi sebelum Bapak sampaikan itu." Uraturat nadi di dahinya menggelembung.
"Baik. Sifat pengecut adalah kelemahan paling memalukan yang dapat dituduhkan pada
seorang samurai. Seni Perang mengingatkan kita dengan tegas untuk menjauhinya. Ada
peraturan keras di perguruan ini, bahwa orang yang bersalah karena perbuatan pengecut
harus dikeluarkan. "Namun demikian, Hamada Toranosuke, kaubiarkan waktu berlalu beberapa minggu sesudah
kematian saudaramu, dan baru kau menantang Sasaki Kojiro. Sementara itu, kau mencoba
membalas dendam kepada penjual semangka yang tak berarti. Dan kemarin kautahan ibu tua
orang itu, dan kaubawa dia kemari. Apa kelakuan itu kaunamakan kelakuan samurai?"
"'Tapi Bapak kurang mengerti. Saya lakukan itu buat menarik keluar Kojiro." Ia hendak
melancarkan pembelaan yang bersemangat, tapi Tadaaki menukasnya.
"Itulah justru yang kumaksud dengan sifat pengecut itu. Kalau mau melawan Kojiro,
kenapa kau tidak langsung saja pergi ke rumahnya" Kenapa tidak kaukirimkan pesan untuk
menantangnya" Kenapa tidak kaunyatakan namamu dan tujuanmu?"
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Y y-yah, sudah terpikir juga oleh saya hal-hal itu, tapi..."
"Terpikir" Tak ada yang menghalangimu berbuat demikian. Tapi kau memilih tipu muslihat
pengecut, supaya orang-orang lain membantumu memikat Kojiro kemari, agar dapat kau
menyerangnya beramai-ramai. Kalau diperbandingkan, sikap Kojiro itu sangat
mengagumkan." Tadaaki berhenti berbicara. "Dia datang sendiri untuk bertemu denganku
pribadi. Dia menolak berurusan dengan seorang pengecut, dan dia menantangku dengan
alasan: tingkah buruk seorang murid, berarti tingkah buruk gurunya.
"Hasil pertarungan pedangnya dengan pedangku itulah yang mengungkapkan kejahatan
memalukan. Dan sekarang, dengan rendah hati aku mengakui kejahatan itu."
Ruangan jadi hening seperti kuburan.
"Nah, Toranosuke, kalau kaurenungkan, apa kau masih percaya bahwa dirimu seorang
samurai tanpa malu?"
"Maafkan saya."
"Keluar." Dengan mata menunduk, Toranosuke berjalan mundur sepuluh langkah, dan berlutut di
lantai dengan tangan di depan, siap membungkuk.
"Saya mengharapkan kesehatan yang sebaik-baiknya untuk Bapak... juga untuk yang lainlain," suaranya terdengar muram.
Ia bangkit dan berjalan dengan sedih meninggalkan dojo.
Tadaaki berdiri. "Aku juga harus meninggalkan dunia ini." Terdengar suara sedu-sedan
tertahan. Kata-katanya yang terakhir itu tegas, namun penuh rasa cinta. "Kenapa mesti
murung" Hari kalian sudah datang. Terserah pada kalian, bagaimana mengatur agar
perguruan ini maju menuju zaman baru yang penuh kehormatan. Mulai sekarang, bersikaplah
rendah hati, kerja keras, dan coba dengan segala kekuatan untuk mengembangkan semangat
kalian." Tadaaki kembali ke kamar tamu. Wajahnya sama sekali tidak resah, ketika ia diam-diam
duduk dan berbicara pada Kojiro. Sesudah meminta maaf karena memaksa Kojiro menanti,
katanya, "Baru saja saya usir Hamada. Saya nasihatkan kepadanya untuk mengubah tingkah
lakunya, dan mencoba memahami makna sesungguhnya disiplin samurai. Tentu saja saya
bermaksud melepaskan wanita tua itu. Anda ingin membawanya sekarang, atau kemudian saya
atur kepulangannya?"
"Saya puas dengan tindakan Tuan. Dia bisa pulang bersama saya." Kojiro bergerak seakan
hendak bangkit. Tapi pertarungan itu telah menguras tenaganya, dan saat menanti
sesudahnya itu terasa luar biasa panjang baginya.
"Jangan pergi dulu," kata Tadaaki. "Semua sudah berlalu, dan marilah sekarang kita
minum dulu secangkir. Yang lalu biarlah lalu." Sambil menepukkan tangan, ia memanggil,
"Omitsu! Bawa sake kemari."
"Terima kasih," kata Kojiro. "Saya mengucapkan terima kasih atas undangan Bapak." Ia
tersenyum, dan katanya dengan munafik, "Saya tahu sekarang, kenapa Ono Tadaaki dan Gaya
Itto demikian terkenal." Padahal ia sama sekali tidak menghormati Tadaaki.
"Kalau bakat-bakat alamnya dikembangkan menurut jalan yang benar," pikir Tadaaki,
"dunia akan tunduk di bawah kakinya. Tapi kalau dia menempuh jalan keliru, berarti
Zenki lain lagi yang lahir."
"Sekiranya kau muridku..." Kata-kata itu sudah ada di ujung lidah Tadaaki. Tapi Tadaaki
tidak mengucapkannya, melainkan hanya tertawa, dan menjawab jilatan Kojiro dengan
rendah hati. Di tengah percakapan mereka, nama Musashi disebut, dan Kojiro pun mengetahui bahwa
Musashi dipertimbangkan untuk menjadi salah satu di antara orang-orang pilihan yang
akan memberikan pelajaran kepada shogun.
Kojiro hanya mengucap, "Oh". Namun air mukanya memperlihatkan rasa tidak suka. Ia
melayangkan pandang ke matahari terbenam, dan menegaskan bahwa sudah waktunya pergi.
Tak lama sesudah itu, Tadaaki menghilang dari Edo. Ia orang yang memiliki nama baik
sebagai prajurit sederhana dan jujur, perwujudan dari ketulusan sifat tidak
mementingkan diri sendiri, namun ia bukan orang yang memiliki keterampilan politik
seperti Munenori. Orang-orang tidak habis pikir, kenapa orang yang jelas dapat
melaksanakan segala yang diinginkannya itu mesti meninggalkan dunia. Mereka ingin tahu
sebabnya, dan memberikan tafsiran sendiri-sendiri mengenai kepergiannya.
Kata mereka, akibat kegagalannya, Tadaaki kehilangan akal sehatnya.
*** 88. Kepekaan Akan Segala Sesuatu
Musashi mengatakan itulah badai terburuk yang pernah dilihatnya.
Iori menatap murung halaman-halaman buku yang sudah basah kuyup, compang-camping, dan
berantakan itu. Pikirnya sedih, "Tak bisa lagi belajar."
Dua hari di musim gugur"hari kedua ratus sepuluh dan kedua ratus dua puluh dalam satu
tahun"khusus ditakuti oleh para petani. Pada kedua hari itu, topan kemungkinan
menghancurkan tanaman padi. Iori, yang lebih terbiasa menghadapi bahaya daripada
gurunya, sudah mengambil langkah-langkah pencegahan dengan mengikat atap dan
memberatinya dengan batu karang. Namun malam hari angin merenggutkan atap itu, dan
ketika hari sudah cukup terang untuk memeriksa kerusakan yang menimpa, jelaslah bahwa
pondok itu tak ada harapan lagi untuk diperbaiki.
Ingat akan pengalaman di Hotengahara, Musashi berangkat sebentar sesudah fajar. Melihat
ia pergi, Iori berpikir, "Apa gunanya dia melihat sawah para tetangga" Tentu saja
sawah-sawah itu kebanjiran. Apa rumahnya sendiri tidak menunjukkan hal itu?"
Ia membuat api dengan potongan-potongan dan pecahan-pecahan dinding dan lantai, lalu
memanggang buah berangan dan bangkai burung untuk makan pagi. Asap membuat pedas
matanya. Musashi pulang tak lama sesudah tengah hari. Sekitar sejam kemudian, serombongan petani
yang mengenakan mantel hujan dari jerami tebal datang mengucapkan terima kasih-atas
bantuannya pada seorang yang sakit, atas pertolongannya mengeringkan air banjir, dan
atas sejumlah pelayanan lain. Satu orang tua mengatakan, "Kami selalu bertengkar pada
waktu-waktu seperti ini; dan ini selalu terjadi, karena semua orang terburu-buru hendak
menyelesaikan masalahnya sendiri lebih dahulu. Tapi hari ini kami mengikuti nasihat
Anda dan bekerja sama."
Mereka juga membawa pemberian makanan-gula-gula, asinan, dan kue betas yang sangat
menggembirakan Iori. Memikirkan hal itu, Iori mengambil kesimpulan bahwa hari itu ia
mendapat pelajaran: kalau orang melupakan dirinya dan bekerja untuk kelompok, maka
makanan dengan sendirinya akan datang.
"Kami akan membuatkan Anda rumah baru," seorang petani menjanjikan. "Rumah yang takkan
terbawa angin." Untuk sementara ini, ia mengundang Musashi dan Iori tinggal di
rumahnya, rumah tertua di kampung itu. Sampai disana, istri orang itu menggantungkan
pakaian mereka untuk dikeringkan, dan ketika mereka hendak tidur, pada mereka
ditunjukkan dua kamar berlainan.
Sebelum jatuh tertidur, Iori mendengar suara yang menggelitik perhatiannya. Sambil
menoleh menghadap kamar Musashi, bisiknya lewat shoji, "Pak, dengar suara itu?"
"Hm." "Coba Bapak dengarkan. Bapak bisa mendengarnya"genderang untuk tarian kuil. Aneh, ya,
ada tarian keagamaan pada malam sesudah topan?" Satu-satunya jawaban Musashi adalah
bunyi napasnya yang dalam.
Pagi harinya, Iori bangun pagi-pagi, dan bertanya kepada tuan rumah tentang genderang
itu. Kembali ke kamar Musashi, kata Iori girang, "Kuil Mitsumine di Chichibu tidak
begitu jauh dari sini, kan?"
"Kupikir tidak."
"Saya senang kalau Bapak mau membawa saya ke sana. Buat menyatakan hormat."
Musashi bertanya keheranan, kenapa tiba-tiba Iori demikian berminat. Ia mendapat
jawaban bahwa para penabuh genderang itu pemusik-pemusik dari kampung sebelah, yang
biasa bermain untuk Tarian Suci Asagaya. Tarian itu kekhususan rumah tangga mereka
semenjak zaman kuno. Tiap bulan mereka pergi mengadakan pertunjukan pada Pesta Kuil Mitsumine.
Iori mengenal keindahan musik dan tarian hanya melalui tarian shinto ini. Senang sekali
dengan tarian-tarian itu, maka ketika didengarnya bahwa tarian-tarian Mitsumine adalah
satu dari tiga jenis besar tradisi tari ini, ia bertekad menontonnya.
"Mau Bapak mengajak saya pergi?" mohonnya. "Paling tidak, perlu waktu lima atau enam
hari untuk menyelesaikan rumah itu."
Kesungguhan hati Iori mengingatkan Musashi pada Jotaro yang sering kali ribut sendiri"
merengek, mencebik, menggeram"untuk dapat memperoleh apa yang diinginkannya. Iori,
karena sudah demikian dewasa dan mandiri, walau umurnya masih muda, jarang menggunakan
taktik-taktik serupa itu. Musashi memang tidak khusus memikirkannya, tapi orang lain
barangkali akan melihat pengaruh dirinya pada anak itu. Satu hal yang dengan sengaja
diajarkannya pada Iori adalah membuat perbedaan tegas antara diri anak itu dan gurunya.
Semula ia menjawab tanpa menyatakan pendapat, tapi sesudah berpikir sebentar, katanya,
"Baik, akan kuajak kau."
Iori melompat-lompat, serunya, "Dan cuaca bagus pula." Dalam lima menit ia sudah
mengabarkan rasa senangnya itu pada tuan rumah, lalu minta bekal makanan dan mencari
sandal jerami yang baru. Kemudian ia kembali ke hadapan gurunya lagi, dan tanyanya,
"Apa tidak berangkat sekarang?"
Petani itu melepas kepergian mereka, dengan janji akan menyelesaikan rumah mereka pada
waktu mereka pulang. Mereka melewati tempat-tempat di mana topan meninggalkan sejumlah kolam, bahkan boleh
dikatakan danau-danau kecil. Kalau tak ada semua itu, orang sukar mempercayai bahwa
langit melampiaskan kemarahannya hanya dua hari sebelum itu. Burung-burung jagal
terbang rendah di langit biru cerah.
Malam pertama, mereka memilih penginapan murah di kampung Tanashi dan lekas pergi
tidur. Hari berikutnya, jalan membawa mereka lebih jauh memasuki Dataran Musashino yang
luas. Perjalanan mereka terhambat beberapa jam di Sungai Iruma yang membengkak sampai tiga
kali besarnya yang biasa. Hanya sepotong kecil jembatan tanah yang masih berdiri tanpa
guna di sungai itu. Sementara Musashi memperhatikan sekelompok petani yang datang membawa tiang-tiang
pancang baru dari kedua tepi sungai untuk membuat penyeberangan sementara, Iori melihat
beberapa ujung anak panah tua dan bicara tentangnya, "Dan ada bagian atas topi baja
juga. Mestinya pernah terjadi pertempuran di sini." Ia menghibur diri di tepi sungai
itu, sambil menggali-gali ujung anak panah, patahan-patahan pedang yang sudah berkarat,
dan aneka ragam pecahan logam yang sudah tua dan tak dapat ditentukan macamnya.
Tiba-tiba ia menarik tangannya dari benda putih yang semula hendak dipungutnya.
"Oh, tulang manusia!" serunya.
"Bawa kemari," kata Musashi.
Iori tak berselera untuk menyentuhnya lagi. "Akan Bapak apakan?"
"Kuburkan di tempat yang takkan diinjak-injak orang."
"Tapi bukan hanya beberapa tulang yang ada di sini. Banyak sekali."
"Bagus. Berarti kita dapat kerjaan. Bawa semua yang kautemukan."
Sambil membelakangi sungai, katanya, "Kau dapat menguburkannya di sana, di tempat bunga
gentian itu." "Saya tak punya sekop."
"Kau bisa pakai patahan pedang."
Ketika lubang sudah cukup dalam, Iori memasukkan tulang-tulang itu ke dalamnya,
kemudian ia kumpulkan semua ujung panah dan pecahan logam, dan ia kuburkan bersama
tulang-tulang itu. "Beres?" tanyanya.
"Taruhkan batu di atasnya. Bikin tanda peringatan yang pantas."
"Kapan terjadi pertempuran itu di sini?"
"Kau sudah lupa" Kau tentunya sudah membaca tentangnya. Buku Taiheiki bercerita tentang
dua pertempuran hebat, tahun 1333 dan 1352, di tempat yang namanya Kotesashigahara.
Tempat itu kira-kira tempat kita berada sekarang ini. Di satu pihak, Keluarga Nitta
yang mendukung Istana Selatan, dan di pihak lain, tentara yang besar di bawah pimpinan
Ashikaga Takauji." "Oh, pertempuran Kotesashigahara. Saya ingat sekarang."
Atas desakan Musashi, Iori melanjutkan. "Buku itu menerangkan pada kita bahwa Pangeran
Munenaga lama tinggal di daearah timur dan mempelajari Jalan Samurai, tapi dia terkejut
ketika Kaisar menunjuknya sebagai shogun."
"Sajak apa yang dikarangnya mengenai kejadian itu?" tanya Musashi.
Iori menengadah ke arah seekor burung yang sedang membubung tinggi di langit biru, lalu
berdeklamasi: "Bagaimana mungkin aku tahu Apakah akan pernah aku menjadi ahli Busur katalpa"
Bukankah kutempuh Hidup ini
Tanpa menyentuhnya?"
"Dan sajak dalam bab yang menceritakan bagaimana dia melintasi Provinsi Musashi dan
bertempur di Kotesashigahara?"
Anak itu ragu-ragu dan menggigit bibir, kemudian memulai, sebagian besar dengan katakata yang disusunnya sendiri:
"Kalau begitu, kenapa aku mesti bergayut
Pada hidup yang sudah jadi,
Padahal hidup itu dengan khidmat diberikan
Demi tuan kita yang agung
Dan demi orang banyak?"
"Dan artinya?" "Saya sudah mengerti."
"Kau yakin?" "Orang yang tidak dapat mengerti kalau tidak dijelaskan kepadanya, dia itu bukan benarbenar orang Jepang, walaupun dia seorang samurai. Betul begitu?"
"Ya, kalau begitu coba terangkan, Iori, kenapa kau bersikap seolah dengan memegang
tulang-tulang itu, tanganmu menjadi kotor?"
"Tapi, apa Bapak merasa senang memegang tulang-tulang orang yang sudah meninggal?"
"Orang-orang yang meninggal di sini para prajurit. Mereka berkelahi dan tewas demi
perasaan yang diungkapkan dalam sajak Pangeran Munenaga itu. Jumlah samurai seperti itu
tak terhitung. Tulang-tulang mereka yang terkubur dalam bumi menjadi dasar pembangunan
negeri ini. Kalau tidak karena mereka, sekarang kita masih belum mendapat kedamaian
atau harapan kesejahteraan.
"Peperangan sudah berlalu, seperti halnya topan yang baru kita alami. Tanah secara
keseluruhan tidak berubah, tapi kita tidak boleh melupakan utang kita kepada tulangtulang putih di bawah itu."
Iori mengangguk pada hampir setiap patah kata gurunya. "Saya mengerti sekarang. Apa
saya mesti memberikan persembahan bunga dan membungkuk kepada tulang-tulang yang baru
saya kuburkan?" Musashi tertawa. "Membungkuk itu tak perlu benar, kalau kau telah mengenangnya dalam
hati." "Tapi..." Karena merasa tak puas benar, anak itu mengumpulkan bunga dan meletakkannya
di depan onggokan batu itu. Ia hendak mengatupkan tangan dengan sikap patuh, tapi tibatiba datang pikiran lain mengganggunya. "Semua ini baik saja, kalau tulang-tulang ini
benar-benar tulang yang setia kepada Kaisar. Tapi bagaimana kalau mereka itu sisa-sisa
pasukan Ashikaga Takauji" Tak ingin saya menyatakan hormat pada mereka."
Iori menatap, menanti jawaban. Musashi tengah memandang seiris bulan siang hari. Namun
tak terpikir olehnya jawaban yang memuaskan.
Akhirnya ia berkata, "Dalam agama Budha, ada penyelamatan untuk orang-orang yang
bersalah telah melakukan sepuluh kejahatan dan lima dosa besar. Hati itu sendiri adalah
pencerahan. Sang Budha mengampuni si jahat, asalkan dia membuka mata terhadap
kebijaksanaan." "Artinya, prajurit yang setia dan pemberontak yang jahat sama saja, sesudah mereka
mati?" "Tidak!" kata Musashi tegas. "Seorang samurai menjunjung tinggi namanya yang suci.
Kalau dia menodainya, tidak ada penebusan sepanjang zaman."
"Kalau begitu, kenapa sang Budha sama saja dalam memperlakukan orang yang jahat dan
pembantu yang setia?"
"Karena semua manusia pada dasarnya sama. Ada orang-orang yang demikian dibutakan oleh
kepentingan diri sendiri dan hasrat, hingga mereka menjadi pemberontak dan perompak.
Sang Budha bersedia mengabaikan saja hal itu. la mendorong semua orang untuk menerima
pencerahan, membuka mata mereka pada kebijaksanaan sejati. Ini pesan seribu kitab suci.
Tentu saja, apabila orang mati, semuanya menjadi kehampaan."
"Saya mengerti," kata Iori, walaupun tidak betul-betul mengerti. la renungkan soal itu
beberapa menit lamanya, kemudian tanyanya, "Tapi untuk samurai, tidak demikian, kan"
Tidak semuanya menjadi kehampaan, kalau seorang samurai mati."
"Kenapa kau bilang begitu?"
"Namanya akan hidup terus, kan?"
"Itu betul." "Kalau namanya jelek, nama itu tinggal jelek. Kalau nama itu baik, dia tinggal baik,
biarpun samurai itu sudah tinggal tulang-tulang. Apa bukan begitu?"
"Ya, tapi soalnya tidak sesederhana itu," kata Musashi. Sementara itu, ia bertanyatanya sendiri, apakah ia dapat dengan baik menyalurkan rasa ingin tahu muridnya itu.
"Dalam persoalan seorang samurai, ada yang dinamakan penilaian terhadap kepekaan akan
segala sesuatu. Seorang pejuang yang tidak memiliki kepekaan ini sama saja dengan semak
di tengah padang pasir. Menjadi seorang jago yang hebat, semata-mata adalah seperti
topan. Itu sama dengan pemain pedang yang hanya memikirkan pedang, pedang, dan pedang.
Seorang samurai sejati, seorang pemain pedang murni, mempunyai hati yang mengandung
belas kasihan. Dia mengerti kepekaan hidup."
Tanpa berkata-kata lagi, Iori menyusun kembali bunga-bunga itu dan mengatupkan kedua
tangannya. *** 89. Dua Pemukul Genderang
DI tengah jalan gunung, sosok-sosok manusia yang berarak tak henti-hentinya mendaki
seperti semut, ditelan lingkaran awan tebal. Sampai di dekat puncak, tempat berdirinya
Kuil Mitsumine, mereka disambut oleh langit tak berawan.
Ketiga puncak gunung itu, Kumotori, Shiraiwa, dan Myohogatake, mengangkangi keempat
provinsi di timur. Di dalam kompleks Shinto itu terdapat kuil-kuil dan pagoda Budha,
juga berbagai bangunan lain dan pintu gerbang. Di luarnya terdapatkota kecil yang
sedang berkembang pesat, dengan warung-warung teh dan toko-toko cendera mata, kantorkantor pendeta tinggi, dan rumah-rumah sekitar tujuh puluh petani, yang hasil
produksinya disimpan untuk digunakan oleh kuil.
"Dengar! Mereka sudah mulai menabuh genderang besar," kata Iori gembira, sambil menelan
nasi dan buncis merahnya. Musashi duduk di depannya, sedang makan dengan santai.
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Iori menjatuhkan sumpitnya. "Musik sudah mulai," katanya. "Mari kita pergi melihat."
"Aku sudah cukup melihat semalam. Pergi sana sendiri."
"Tapi semalam mereka cuma mempertunjukkan dua tarian. Apa Bapak tak ingin lihat yang
lain?" "Ingin, tapi kalau buru-buru, tidak."
Melihat bahwa mangkuk kayu gurunya masih setengah penuh, Iori berkata dengan nada lebih
tenang, "Beribu-ribu orang sudah datang dari kemarin. Sungguh sayang kalau hujan."
"Oh?" Ketika akhirnya Musashi mengatakan, "Kita pergi sekarang?" Iori langsung berlari ke
pintu depan, seperti anjing baru dilepas. Ia meminjam sandal jerami, dan meletakkannya
di ambang pintu, untuk gurunya.
Di depan Kannon'in, yaitu kuil bawahan tempat mereka menginap dan di kiri-kanan gerbang
utama tempat suci, menyala beberapa api unggun besar. Setiap rumah memasang obor
menyala. Di depan seluruh wilayah yang tingginya beberapa ribu kaki di atas permukaan
laut itu, suasana terang benderang seperti siang. DI atas, di langit yang berwarna
telaga dalam, Sungai Surga berkilau-kilauan seperti asap ajaib, sedangkan di jalan
rombongan lelaki dan perempuan berjalan berduyun-duyun menuju panggung tempat
ditampilkannya tari-tarian suci, tanpa memedulikan dinginnya udara gunung. Seruling dan
genderang-genderang besar menggema dalam tiupan angin gunung. Panggung itu sendiri
kosong, kecuali panji-panji yang mengepak-ngepak pelan, yang nanti akan menjadi latar
belakang pertunjukan. Karena didesak-desak orang banyak, Iori jadi terpisah dari Musashi, tapi ia cepat dapat
menembus orang banyak itu, sampai akhirnya terlihat olehnya Musashi berdiri di dekat
sebuah bangunan, sedang menengadah memandang daftar penyumbang. Iori memanggil namanya,
berlari kepadanya, dan menarik lengan kimononya, tapi perhatian Musashi sedang terpusat
pada sebuah piagam yang lebih besar daripada yang lain-lain. Papan itu lebih menonjol
karena besarnya sumbangan yang diberikan oleh "Daizo dari Narai, Kampung Shibaura,
Provinsi Musashi." Derum genderang semakin meninggi.
"Tarian sudah mulai," pekik Iori, sementara hatinya terbang ke paviliun tarian suci.
"Sensei, apa yang Bapak perhatikan?"
Musashi tersadar dari lamunan, dan katanya. "Oh, tak ada yang khusus.... Aku cuma ingat
sesuatu yang mesti kulakukan. Pergi sana, lihat tarian. Aku datang nanti."
Musashi pergi mencari kantor para pendeta Shinto. Di sana ia disambut oleh seorang tua.
"Saya ingin mencari keterangan tentang seorang penyumbang," kata Musashi.
"Maaf, tapi kami di sini tak ada hubungannya dengan itu. Anda mesti pergi ke tempat
kediaman kepala pendeta Budha. Akan saya tunjukkan tempatnya."
Tempat Suci Mitsumine itu tempat suci Shinto, tapi pengawasan umum atas seluruh
bangunan itu berada di tangan seorang pendeta tinggi Budha. Papan nama di atas pintu
gerbang berbunyi, Kantor Pendeta Tinggi yang Bertugas, dengan huruf-huruf besar serasi.
Di ruang depan, orang tua itu berbicara agak lama dengan pendeta yang bertugas. Selesai
itu, pendeta mengundang Musashi masuk, dengan sangat sopan mengantarnya ke sebuah ruang
dalam. Teh dihidangkan, disertai senampan kue-kue lezat. Berikutnya datang nampan
kedua, yang sebentar kemudian disusul oleh datangnya seorang calon pendeta muda yang
tampan, membawa sake. Tak lama kemudian, muncul seorang tokoh yang tak kurang dari
seorang kepala pendeta sementara.
"Selamat datang di gunung kami," katanya. "Saya kuatir kami hanya menyuguhkan makanan
kampung pada Anda. Saya harap Anda mau memaafkan kami. Anggaplah seperti di rumah
sendiri." Musashi bingung mendapat perlakuan yang demikian penuh perhatian. Tanpa menyentuh sake,
katanya, "Saya datang untuk mencari keterangan tentang salah seorang penyumbang Anda."
"Apa?" Wajah ramah pendeta yang bulat gemuk dan berumur sekitar lima puluh tahun itu
berubah sedikit. "Mencari keterangan?" tanyanya curiga.
Berturut-turut Musashi mengajukan pertanyaan tentang kapan Daizo datang ke kuil itu,
Apakah ia sering datang ke situ, apakah ia pernah membawa serta orang lain, dan kalau
ya, macam apa orang itu. Semakin banyak pertanyaan itu, semakin besar rasa tak senang si pendeta, sampai
akhirnya la berkata, "Jadi, Anda datang kemari bukan untuk memberikan sumbangan, tapi
hanya untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang orang yang menyumbang?" Wajahnya
memperlihatkan kejengkelan yang amat sangat.
"Bapak tua tadi tentunya salah mengerti tentang saya. Saya tidak bermaksud memberikan
sumbangan. Saya hanya ingin bertanya tentang Daizo."
"Anda dapat memperoleh keterangan jelas tentang itu di pintu masuk," kata si pendeta
dengan pongah. "Menurut penglihatan saya, Anda seorang ronin. Saya tidak tahu siapa
Anda, atau dari mana Anda datang. Anda mesti mengerti, saya tak dapat memberikan
keterangan tentang penyumbang kami pada sembarang orang."
"Percayalah, takkan terjadi sesuatu."
"Yah, Anda terpaksa bertemu dengan pendeta yang bertugas menangani soal-soal itu."
Dengan wajah seolah sudah dirampok, pendeta itu melepas Musashi.
Daftar penyumbang ternyata tidak banyak membantu, karena di situ hanya dicatat bahwa
Daizo datang ke sana beberapa kali. Musashi mengucapkan terima kasih kepada pendeta,
dan pergi. Di dekat paviliun tarian, ia memandang berkeliling, mencari Iori, tapi sia-sia.
Sekiranya ia mau menengadah, ia akan melihatnya, karena anak itu berada hampir tepat di
atas kepalanya. Ia memanjat sebatang pohon agar dapat melihat lebih baik.
Memandang adegan di panggung, Musashi terkenang kembali akan masa kecilnya, akan pesta
malam hari di Kuil Sanumo di Miyamoto. Ia melihat bayangan orang banyak itu, melihat
bayangan wajah putih Otsu di tengah mereka. Ia melihat bayangan Matahachi yang selalu
mengunyah makanan, bayangan Paman Gon yang berjalan ke sana kemari dengan penuh lagak.
Samar-samar terbayang wajah ibunya yang cemas karena ia masih berada di luar, di malam
selarut itu, dan karena itu ibunya datang mencarinya.
Para pemusik yang mengenakan pakaian yang lain dari yang lain, dengan maksud menirukan
keanggunan pengawal kerajaan zaman dulu, mengambil tempat di panggung. Dalam sinar api,
dandanan mereka yang mentereng dan berkilauan oleh bercak-bercak kain emas itu
mengingatkan orang pada jubah dalam mitos di zaman dewa-dewa. Pukulan genderang yang
kulitnya agak kendur menggema melintasi hutan kriptomeria, kemudian seruling dan papan
yang dipukul berirama dengan kayu-kayu kecil memperdengarkan musik pendahuluan. Guru
tart maju ke depan, mengenakan topeng kuno. Topeng berupa wajah aneh itu sudah banyak
mengelupas pernisnya di bagian pipi dan dagu, dan bergerak-gerak pelan ketika orang ins
menvamvikan kata-kata dari Kamiasobi, tarian dewa-dewa.
Di atas Gunung Mimuro yang suci Dengan pagarnya yang saleh, Di hadapan dewata yang
agung, Dedaunan pohon sakaki Tumbuh berlimpah-ruah, Tumbuh berlimpab-ruah.
Tempo genderang meningkat, dan alat-alat lain pun ikut serta. Segera kemudian, lagu dan
tari menyatu dalam irama yang hidup, penuh senggakan.
Dari mana datangnya lembing ini" Inilah lembing kediaman suci Putri Toyooka di Surga...
Lembing kediaman suci. Musashi mengenal sebagian dari lagu-lagu itu. Ketika masih kecil, ia pernah
menyanyikannya, mengenakan topeng serta ambil bagian dalam acara tarian di Kuil Sanumo.
Pedang yang melindungi rakyat,
Rakyat segala negeri. Mari kita gantungkan dia penuh pesta di hadapan dewata,
Kita gantungkan dia penuh pesta di hadapan dewata.
Ilham itu seperti kilat datangnya. Selama itu, Musashi memang terus memperhatikan
tangan salah seorang pemukul genderang, yang asyik memainkan kedua pemukul genderang
pendek berbentuk pentung. Tiba-tiba ia menarik napas dan berseru lepas, "Itu dia! Dua
pedang!" Kaget oleh suara itu, cukup lama Iori mengalihkan pandangannya dari panggung ke bawah,
dan katanya, "Oh, Bapak ada di situ!"
Musashi sendiri tak jua menengadah. Ia memandang langsung ke depan, bukan dengan wajah
bermimpi karena tergiur, seperti biasa terjadi pada orang-orang lain, melainkan dengan
pandangan mata hampir-hampir menembus, mengerikan.
"Dua pedang!" ulangnya. "Prinsipnya sama saja. Dua pemukul genderang, dengan hanya satu
bunyi." Ia melipat kedua tangannya lebih erat, dan memperhatikan baik-baik setiap
gerakan pemain genderang itu.
Ditinjau dari satu sudut pandangan, hal itu biasa saja. Manusia dilahirkan dengan dua
tangan, jadi kenapa pula ia tidak menggunakan keduanya" Tapi kenyataannya, para pemain
pedang hanya berkelahi dengan sebuah pedang, dan sering kali hanya dengan satu tangan.
Hal itu masuk akal saja, asalkan setiap orang berbuat demikian juga. Tapi kalau seorang
jago menggunakan dua pedang sekaligus, lalu berapa kesempatan menang bagi lawan yang
hanya menggunakan sebilah pedang saja"
Ketika melawan Perguruan Yoshioka di Ichijoji dulu, Musashi menggunakan pedang panjang
di tangan kanan, dan pedang pendek di tangan kiri. Ia mencengkeram kedua senjata itu
secara naluriah saja, tanpa sadar, masing-masing tangan bertugas melindungi diri
sebaik-baiknya. Dalam perkelahian antara hidup dan mati waktu itu, ia bereaksi dengan
cara yang tidak lazim. Tapi tiba-tiba kini dasar pemikirannya itu terasa wajar, kalau
tak hendak dikatakan tak terhindarkan.
Kalau dua barisan tentara saling berhadapan dalam suatu pertempuran, menurut aturan
Seni Perang, tidak masuk akal kalau yang dikerahkan hanya satu sayap saja, sementara
sayap yang lain dibiarkan menganggur. Bukankah prinsip itu tak bisa disepelekan oleh
pemain pedang yang sendirian" Semenjak pengalamannya di Ichijoji, Musashi merasa
penggunaan kedua tangan dan kedua pedang itu adalah cara yang normal, cara manusia.
Hanya kebiasaanlah yang membuat hal itu kelihatan tidak normal, dan kebiasaan itu sudah
berabad-abad diikuti, tanpa banyak protes. Kini ia merasa telah sampai pada kebenaran
yang tak tertahankan: kebiasaan telah membentuk hal yang tidak wajar, dan sebaliknya.
Kebiasaan dibentuk oleh pengalaman sehari-hari, sedangkan berada di perbatasan hidup
dan mati hanya dapat terjadi beberapa kali selama hidup. Namun tujuan terakhir Jalan
Pedang adalah untuk mampu berdiri di tabir maut, setiap saat. Menghadapi maut dengan
tepat, pantang mundur, haruslah sama akrabnya dengan semua pengalaman hidup sehari-hari
lainnya. Dan proses itu pun haruslah sesuatu yang disadari. Meski demikian, gerakan
yang dibuat mesti bebas, seolah bersifat refleks semata.
Gaya dua-pedang itu harus bersifat demikian pula-sadar, tapi sekaligus otomatis,
bagaikan refleks, sama sekali bebas dari batasan-batasan yang biasanya menyertai
tindakan sadar. Musashi telah beberapa waktu mencoba menyatukan apa yang ia ketahui
secara naluriah itu dengan apa yang ia pelajari secara intelektual, dalam suatu prinsip
yang benar. Sekarang ia sudah hampir dapat merumuskannya dengan kata-kata. Hal itu akan
membuatnya termasyhur di seluruh negeri, selama bergenerasi-generasi mendatang.
Dua pemukul genderang, satu bunyi. Pemain genderang itu sadar akan kiri dan kanannya,
kanan dan kirinya, tapi sekaligus tak sadar akan keduanya. Dan kini, di hadapan
matanya, terpapar suasana Budha bagi berlangsungnya proses saling susup dan bebas.
Musashi merasa mengalami pencerahan, mengalami pemuasan.
Kelima tarian suci, yang dimulai dengan lagu dari guru tari, berlangsung terus dengan
pertunjukan para pemain lain. Ada tarian Iwato yang lebar dan luas geraknya, kemudian
tarian Ara Mikoto no Hoko. Nada-nada seruling semakin cepat, lonceng-lonceng mendering
dalam irama yang hidup. Musashi menengadah kepada Iori, dan katanya. "Apa kau belum mau pulang?"
"Belum," terdengar jawaban melamun. Jiwa Iori kini sudah menjadi bagian dari tarian
itu, dan ia merasa dirinva sebagai salah seorang pemain.
"Pulang sekarang, nanti terlambat. Besok akan kita daki puncak itu, ke kuil bagian
dalam." *** 90. Penjaga Setan ANJING-ANJING Mitsumine adalah jenis binatang liar. Kata orang, mereka hasil
persilangan antara anjing yang didatangkan oleh kaum imigranKorea lebih dari seribu
tahun lalu, dengan anjing liar dari Pegunungan Chichibu. Tingkat hidup anjing-anjing
itu hanya selangkah terpisah dari tingkat binatang liar lain, dan mereka mengembara di
lereng gunung, dan memangsa binatang liar lain di daerah itu. Tapi karena anjing-anjing
itu dianggap utusan dewata dan dikatakan orang sebagai "penjaga" dewata, sering kali
para pemuja membawa pulang gambaran mereka itu dalam bentuk cetakan atau pahatan,
sebagai jimat keberuntungan.
Anjing hitam yang membuntuti Musashi bersama lelaki itu ukurannya sebesar anak sapi.
Ketika Musashi masuk Kannon'in, orang itu menoleh, katanya, "Jalan sini," dan memberi
isyarat dengan tangannya yang tidak memegang tali.
Anjing itu menggeram, menyentakkan tali pengikatnya yang berupa seutas tali tebal, dan
mulai mendengus. Sambil memukulkan tali itu ke punggung anjing, orang itu berkata, "Sst! Tenang, Kuro!"
Orang itu sekitar lima puluh tahun umurnya, tubuhnya pejal, tapi gemulai. Seperti
anjingnya, ia tidak begitu jinak, tapi ia berpakaian rapi. Disamping memakai kimono
yang tampak seperti jubah pendeta atau pakaian resmi samurai, ia mengenakan juga obi
datar dan hakama dari rami. Sandal jeraminya, yang biasa dipakai orang pada pestapesta, masih baru talinya.
"Baiken?" Perempuan itu mundur menghindari anjing.
"Balik!" perintah Baiken sambil mengetuk kepala anjing itu dengan keras. "Aku senang
kau dapat mengenali dia, Oko."
"Jadi, memang dia?"
"Tidak sangsi lagi."
Untuk sesaat mereka berdiri diam, sambil memandang lewat celah awan, ke arah bintangbintang. Mereka mendengar bunyi musik tarian suci itu, tapi tidak menyimaknya.
"Apa yang akan kita lakukan?"
"Akan kupikirkan."
"Kita tak boleh melewatkan kesempatan kali ini lolos sia-sia." Oko memandang Baiken
penuh harapan. "Apa Toji ada di rumah?" tanyanya. "Ya, mabuk oleh sake di pesta itu,
dan jatuh tertidur."
"Bangunkan dia."
"Kau sendiri bagaimana?"
"Aku ada pekerjaan. Sesudah keliling, aku datang lagi ke tempatmu."
Di luar gerbang utama tempat suci itu, Oko mulai menderap. Sebagian besar dari kedua
puluh atau tiga puluh rumah itu adalah toko cendera mata atau warung teh. Ada juga
beberapa rumah makan kecil. Dari dalam rumah-rumah makan terdengar suara gembira orangorang yang bersuka ria. Di ujung atap gubuk yang dimasuki Oko, tergantung papan
bertuliskan Rumah Istirahat. Di salah satu bangku, di kamar depan yang berlantai tanah,
duduk seorang gadis pelayan yang sedang tidur-tidur ayam.
"Masih tidur?" tanya Oko.
Gadis yang merasa akan mendapatkan makian itu menggelengkan kepala kuat-kuat.
"Maksudku bukan kau, tapi suamiku."
"Oh, ya, masih tidur."
Sambil mendecap tak senang, Oko menggerutu, "Pesta masih berjalan, dia tidur. Ini satusatunya warung yang tidak penuh pembeli."
Di dekat pintu, seorang lelaki dan seorang perempuan tua sedang mengukus nasi dan
bunci s dengan tungku tanah. Nyala api menjadi satusatunya nada gembira di dalam ruangan
yang murung itu. Oko mendekati lelaki yang sedang tidur di bangku dekat dinding, menepuk bahunya, dan
katanya, "Bangun! Buka matamu buat selingan."
"Hah?" gumam orang itu sambil menegakkan badan sedikit.
"Oh, oh!" seru Oko sambil mundur. Kemudian ia tertawa dan katanya, "Maaf, saya kira
suami saya." Sepotong tikar meluncur jatuh ke lantai. Orang muda bermuka bundar dan bermata besar
mengandung tanda tanya itu memungutnya kembali, menutupkannya ke wajahnya, dan
membaringkan badan kembali. Kepalanya di atas bantal kayu, dan sandalnya berlepotan
lumpur. Di atas meja di dekatnya terletak baki dan mangkuk nasi yang kosong. Di dekat
dinding terdapat bungkusan perjalanan, topi anyaman, dan tongkat.
Sambil kembali mendekati gadis itu, Oko berkata, "Apa dia pembeli?"
"Ya. Katanya, dia mau masuk kuil bagian dalam pagi-pagi sekali, dan minta tidur di
sini." "Di mana Toji?"
"Aku di sini, goblok!" Terdengar suara Toji dari belakang shoji yang koyak. Dengan
badan disandarkan di kamar sebelah, dan satu kaki menjulur ke dalam warung, katanya
muram, "Kenapa pula mencari-cari orang yang mau tidur sebentar" Ke mana saja kau"
Mestinya kau mengurusi warung."
Tahun-tahun itu lebih banyak mendatangkan kedukaan pada Oko, daripada kepada Toji.
Tidak hanya pesona umur mudanya sudah tidak lagi kelihatan, tapi menyelenggarakan
Warung Teh Oinu itu menuntut kerja keras lelaki, agar ia dapat menanggung hidup
suaminya yang pemalas. Penghasilan Toji dari berburu di musim dingin kecil sekali, dan
di luar itu ia hanya sedikit bekerja. Sesudah Musashi membakar persembunyiannya yang
berkamar rahasia di Celah Wada itu, semua anak buahnya sudah meninggalkannya.
Mata Toji yang merah buram sedikit demi sedikit melihat tong air. Ia memaksakan diri
berdiri, mendekati tong, dan meneguk penuh seciduk air.
Oko bersandar pada sebuah bangku dan menolehkan kepala kepadanya. "Masa bodoh pesta
itu! Sudah waktunya kau belajar berhenti minum. Beruntung kau tidak ditembus pedang,
selagi tak sadar tadi."
"Hah?" "Kukasih tahu sekarang, ada baiknya kau lebih hati-hati."
"Aku tak mengerti, apa yang kaubicarakan ini."
"Kau tidak tahu Musashi ada di pesta itu?"
"Musashi" Miyamoto... Musashi?" Toji jadi sepenuhnya terjaga. Katanya, "Kau sungguhsungguh" Kalau begitu, lebih baik kau sembunyi di belakang."
"Jadi, cuma itu yang bisa kaupikirkan... sembunyi?" "Aku tak ingin kejadian di Celah
Wada itu terulang lagi."
"Pengecut. Apa kau tak ingin membalas" Bukan hanya untuk itu, tapi juga untuk membalas
perbuatannya terhadap Perguruan Yoshioka" Aku sendiri, aku cuma seorang perempuan."
"Ya, tapi jangan lupa, waktu itu kita punya banyak orang untuk membantu. Sekarang cuma
kita berdua." Toji tidak ikut berada di Ichijoji, tapi ia mendengar bagaimana Musashi
berkelahi di sana. Ia tidak berani membayangkan, siapa yang akhirnya mati, kalau mereka
berdua berjumpa lagi. Sambil mendekat ke samping suaminya, Oko berkata, "Nah, di situlah kau keliru. Ada
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang lain lagi di sini, kan" Dia juga membenci Musashi, seperti kau!"
Toji tahu, yang dimaksud Oko adalah Baiken yang mulai mereka kenal, ketika akhirnya
pengembaraan mereka membawa mereka sampai ke Mitsumine.
Karena tidak ada pertempuran lagi, menjadi bromocorah tidak lagi menguntungkan, karena
itu Baiken membuka bengkel besi di Iga, tapi dari sana ia terusir, ketika Yang
Dipertuan Todo mengetatkan kekuasaannya atas provinsi itu. Karena bermaksud mencari
peruntungan di Edo, ia membubarkan gerombolannya. Dengan diantar seorang teman, ia
kemudian menjadi penjaga di gedung harta kuil.
Sampai sekarang pun, pegunungan yang terletak di antara Provinsi Musashi dan Kai itu
masih penuh bandit. Dengan mempekerjakan Baiken sebagai pengawal gedung harta, yang
berisi harta keagamaan dan uang tunai hasil sumbangan, berarti para pimpinan kuil
memerangi api dengan api. Baiken memiliki kelebihan, karena ia mengenal dengan baik
cara-cara kerja para bandit, dan ia sendiri ahli dalam menggunakan senjata rantaibolasabit. Sebagai penemu Gaya Yaegaki, dapat kiranya ia menarik perhatian seorang daimyo,
sekiranya ia bukan saudara Tsujikaze Temma. Bertahun-tahun silam, kedua bersaudara itu
telah menteror daerah yang terletak di antara Gunung Ibuki dan daerah Yasugawa.
Perubahan zaman tak ada artinya sama sekali bagi Baiken. Menurut jalan pikirannya,
kematian Temma di tangan Takezo adalah asal-usul segala kesulitan yang kemudian
menimpanya. Oko sudah lama menyampaikan pada Baiken tentang dendam mereka terhadap Musashi. Ia
membesar-besarkan kebenciannya agar dapat memantapkan persahabatannya dengan orang itu.
Baiken menyambutnya dengan memaki, katanya, "Suatu hari nanti..."
Oko baru saja selesai menyampaikan apa yang dilihatnya kepada Toji. Katanya, ia melihat
Musashi di warung teh, kemudian Musashi menghilang di tengah orang banyak. Mengikuti
nalurinya, ia pergi ke Kannon'in, dan tiba di sana tepat ketika Musashi dan Iori baru
berangkat ke tempat suci bagian luar. Informasi ini segera ia sampaikan pada Baiken.
"Oh, jadi begitu," kata Toji. Ia kini mulai mendapat keberanian, karena tahu bahwa
sekutu yang dapat diandalkan sudah tampil. la tahu, dengan senjata kesayangannya itu,
Baiken telah mengalahkan semua pemain pedang dalam pertandingan di tempat suci barubaru ini. Kalau Baiken menyerang Musashi, kemungkinan besar ia menang. "Dan apa
katanya, waktu kausampaikan kepadanya?"
"Dia akan datang, begitu selesai keliling."
"Musashi bukan orang bodoh. Kalau kita tidak hati-hati..." Toji bergidik, dan dari
mulutnya terdengar suara kasar, tak tertangkap maknanya. Oko mengikuti pandangan
matanya ke arah orang yang tidur di bangku. "Siapa itu?" tanya Toji.
"Cuma pembeli," jawab Oko.
"Bangunkan dia, dan suruh pergi dari sini!"
Oko meneruskan perintah itu kepada gadis pelayan. Gadis pelayan pergi ke sudut sana dan
mengguncangkan tubuh orang itu, sampai orang itu duduk.
"Keluar!" kata gadis itu langsung. "Kami mau tutup sekarang."
Orang itu berdiri, meregangkan badan, dan katanya, "Uh, enak sekali tidur di sini."
Sambil tersenyum dan mengedip-ngedipkan mata, ia bergerak capat, namun halus,
membungkuskan anyaman tikar ke bahunya, mengenakan caping, dan membenahi letak
bungkusannya. Ia kempit tongkatnya, katanya, "Terima kasih banyak." Ia membungkuk dan
berjalan cepat ke luar pintu.
Dari pakaian dan tekanan bicaranya, Oko menilai orang itu bukan petani setempat, tapi
kelihatannya tidak berbahaya. "Lucu kelihatannya," katanya. "Aku ingin tahu, apa dia
membayar belanjaannya."
Oko dan Toji sedang menggulung kerai dan memberesi warung, ketika Baiken datang bersama
Kuro. "Senang saya melihat Anda," kata Toji. "Mari kita masuk kamar belakang."
Tanpa berkata-kata, Baiken melepaskan sandal dan mengikuti mereka. Sementara itu,
anjingnya mengendus-endus mencari remah makanan. Kamar belakang itu hanya berupa ruang
tambahan yang sudah rusak. Dindingnya hanya dilapisi adukan kasar, tapi berada di luar
jarak pendengaran orang dalam warung.
Ketika lampu sudah dinyalakan, Baiken berkata, "Tadi malam, di depan panggung tarian,
saya dengar Musashi mengatakan pada anak itu, mereka akan pergi ke tempat suci bagian
dalam besok pagi. Kemudian saya pergi ke Kannon'in dan mengeceknya."
Oko dan Toji menelan ludah dan memandang ke luar jendela. Puncak gunung tempat
bertenggernya kuil bagian dalam itu membayang kabur, dengan latar belakang langit
berbintang. Karena tahu siapa yang akan dihadapinya, Baiken punya rencana menyerang dan mengerahkan
bala bantuan. Dua pendeta dan para pengawal gedung harta sudah setuju menolong, dan
sudah langsung menyiapkan lembingnya. Ada juga satu orang dari Perguruan Yoshioka yang
memimpin dojo kecil di tempat suci itu. Baiken memperhitungkan ia dapat mengerahkan
barangkali sepuluh bromocorah, orang-orang yang telah dikenalnya di Iga, dan sekarang
bekerja di sekitar tempat itu. Toji akan membawa senapannya, sedangkan Baiken akan
menggunakan senjata rantai-bola-sabit.
"Jadi, Anda sudah mempersiapkan semua itu?" tanya Toji tak percaya.
Baiken menyeringai, tapi tidak mengatakan apa-apa lagi.
Bulan yang cuma sepotong kecil, tinggi di atas lembah, tersembunyi di balik kabut
tebal. Puncak agung itu masih tertidur. Hanya gemercik dan deru air sungai yang
menegaskan ketenangan suasana waktu itu. Segerombolan sosok hitam berdesak-desak di
atas jembatan Kosaruzawa.
"Toji?" bisik Baiken serak.
"Di sini." "Jaga supaya sumbu tetap kering."
Yang paling mencolok di antara awak yang beraneka ragam itu adalah kedua pendeta
berlembing. Mereka menyingsingkan jubah, siap beraksi. Yang lain-lain mengenakan
berbagai macam pakaian, tapi semuanya bersepatu, agar dapat bergerak cekatan.
"Ini sudah semua?"
"Ya." "Berapa semuanya?"
Mereka menghitung kepala: tiga belas.
"Bagus," kata Baiken. Dan ia mengulangi perintahnya pada mereka. Mereka mendengarkan
tanpa kata-kata, sambil mengangguk sekali-sekali. Setelah mendapat isyarat, mereka
bergegas masuk kabut untuk mengambil kedudukan di sepanjang jalan. Di ujung jembatan,
mereka melewati tonggak jarak yang berbunyi: Enam Ribu Meter ke Kuil Bagian Dalam.
Ketika jembatan kosong kembali, serombongan monyet muncul dari persembunyian, melompat
dari dahan-dahan, memanjat tumbuhan jalar, dan berkumpul di jalanan. Mereka berlari
masuk jembatan, merangkak di bawahnya, dan melemparkan bebatuan ke dalam jurang. Kabut
bermain dengan mereka, seolah-olah ikut memeriahkan acara bersenang-senang itu.
Sekiranya seorang makhluk Taois yang Baka muncul dan memberikan isyarat, barangkali
mereka akan berubah menjadi awan-awan yang terbang dengannya ke surga.
Salak seekor anjing bergema menembus pegunungan. Monyet-monyet menghilang seperti daun
pohon damar diembus angin musim gugur.
Kuro muncul di jalan, menyeret-nyeret Oko. Akhirnya anjing itu berhasil membebaskan
dirinya. Meskipun Oko dapat menangkap kembali tall itu, ia tetap tak dapat memaksa
anjing itu kembali. Oko tahu, Toji tak ingin anjing itu membuat bunyi di sekitar tempat
itu, karena itu Oko berpikir mungkin ia dapat menyingkirkan Kuro dengan membiarkannya
naik ke kuil. Ketika kabut yang terns bergerak itu mulai menetap di dalam lembah, seperti salju,
ketiga puncak Mitsumine dan gunung-gunung yang lebih kecil di antara Musashino dan Kai
bangkit dengan latar belakang langit beserta segala kebesarannya. Jalan yang berkelokkelok tampak putih, dan burungburung mulai menggelepar-geleparkan sayap mereka,
mencicit-cicit menyambut fajar.
Iori berkata, setengah kepada diri sendiri, "Kenapa begitu?"
"Apanya yang kenapa?" tanya Musashi.
"Hari mulai terang, tapi saya tak dapat melihat matahari."
"Ya, karena kau memandang ke barat."
"Oh," Iori melontarkan pandangan sekilas ke bulan yang sedang terbenam di belakang
puncak-puncak gunung yang jauh itu. "Iori, rupanya banyak temanmu di pegunungan ini."
"Di mana?" "Di sana itu." Musashi tertawa sambil menunjuk kera-kera yang bergerombol di sekitar
induknya. "Saya mau jadi salah satu dari mereka."
"Kenapa begitu?"
"Paling tidak, mereka punya induk."
Dengan diam mereka mendaki bagian jalan yang terjal, dan masuk ke petak tanah yang agak
datar. Musashi melihat rumput di situ habis diinjakinjak sejumlah besar kaki.
Selesai mengitari gunung sebentar lagi, sampailah mereka di sebuah dataran; di situ
mereka menghadap ke timur.
"Coba lihat," seru Iori sambil menoleh pada Musashi. "Matahari naik."
"Ya, betul." Gunung Kai dan Kozuke menjulang seperti pulau-pulau di tengah lautan awan di bawahnya.
Iori berhenti, dan berdiri tak bergerak-gerak, kakinya berimpitan, tangannya di samping
badan, dan bibirnya terkatup erat. Dengan sangat terpesona ia menatap benda keemasan
yang besar itu, dan membayangkan dirinya sebagai putra matahari. Sekonyong-konyong ia
berseru dengan suara sangat keras, "Itu Amaterasu Omikami! Bukan begitu?" Ia memandang
Musashi, meminta persetujuan.
"Betul." Anak itu mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi di atas kepalanya, dan menyaring
cahaya yang berkilauan itu dengan jemarinya. "Darah saya!" serunya. "Warnanya sama
dengan darah matahari." Sambil menepukkan tangan, seperti nanti dilakukannya di kuil
untuk menyeru dewata, ia menundukkan kepala sebagai tanda sembah tanpa kata, dan
pikirnyal "Monyet-monyet itu punya induk. Aku tak punya. Tapi aku punya dewi, sedangkan
mereka tak punya apa-apa."
Ilham itu membuatnya penuh dengan kegembiraan. Seraya berurai air mata, ia serasa
mendengar dari sebelah awan-awan itu musik tari-tarian di kuil. Bunyi genderang
berdentam-dentam di telinganya, sedangkan lagu tambahan yang dimainkan seruling
mengapung mengiringi melodi Tarian Iwato. Kaki Iori menangkap iramanya, dan kedua
tangannya berayun anggun. Dari bibirnya keluar kata-kata yang baru ia ingat malam
sebelumnya. "Busur katalpa... Setiap kali musim semi datang,
Ingin aku melihat tarian Beribu dewa,
Oh, betapa ingin aku melihatnya menari... "
Tiba-tiba disadarinya bahwa Musashi sudah jauh berjalan di depan, maka ia tinggalkan
tarian itu dan berlari mengejarnya.
Cahaya pagi belum lagi menembus hutan yang kini mereka masuki. Di sekitar kuil bagian
dalam ini, pohon-pohon kriptomeria berbaris membentuk lingkaran besar, dan semuanya
hampir sama tingginya. Bunga-bunga putih kecil tumbuh di tengah bercak-bercak lumut
yang bergayut pada pepohonan itu. Karena mengira pepohonan itu sudah kuno-lima ratus
tahun umurnya, atau barangkali bahkan seribu tahun"Iori ingin membungkuk kepadanya. Di
sana-sini tampak olehnya pohon mapel berwarna merah cemerlang. Rumpun bambu yang rendah
bergaris-garis tumbuh ke tengah jalan, hingga menyempitkan jalan itu menjadi jalan
setapak. Sekonyong-konyong bumi yang mereka injak seolah berguncang. Sekejap sesudah letusan
itu, terdengar jeritan yang melemahkan semangat, diiringi hujan gema yang tajam. Iori
menutup telinga dengan tangannya dan menyuruk ke dalam rumpun bambu.
"Iori! Tetap tiarap!" perintah Musashi dari balik sebatang pohon besar. "Jangan
bergerak, biarpun mereka menginjakmu!"
Cahaya yang hanya remang-remang itu seolah penuh dengan lembing dan pedang. Mendengar
teriakan itu, para penyerang semula mengira peluru telah menemukan sasaran, tapi tak
seorang pun kelihatan. Karena tidak tahu pasti apa yang terjadi, mereka terpaku.
Iori berada di pusat lingkaran mata dan pedang terhunus. Di tengah kesunyian mencekam
yang berlangsung sesudah itu, ia mulai tak bisa mengendalikan rasa ingin tahunya.
Pelan-pelan ia mengangkat kepala ke atas rumpun bambu. Beberapa meter dari tempatnya,
tampak sebilah pedang terjulur dari belakang pohon, berkilau oleh sinar matahari.
Lepas dari segala kendali, Iori berteriak sekuat paru-parunya. "Sensei! Ada orang
sembunyi di situ!" Sambil berteriak, ia bangkit berdiri dan berlarl mencari selamat.
Pedang pun melompat dari balik bayangan, dan bergantung seperti iblis di atas
kepalanya. Tapi cuma sesaat. Belati Musashi langsung terbang ke arah kepala pemain
pedang itu, dan bersarang di pelipisnya.
"Ya-a-h!" Salah seorang pendeta menyerang Musashi dengan lembingnya. Musashi menangkap lembing
itu dan mencengkeramnya erat-erat dengan satu tangan.
Sekali lagi terdengar jeritan maut, seolah-olah mulut orang itu tersumbat batu karang.
Terpikir oleh Musashi, apakah mungkin para penyerangnya saling serang, dan ia
menajamkan penglihatannya. Pendeta lain membidikkan lembingnya, lalu menyerbu ke
arahnya. Musashi menangkap juga lembingnya dan menguncinya dengan tangan kanan.
"Serang dia sekarang!" jerit salah seorang pendeta, karena tahu bahwa kedua tangan
Musashi terpakai. Dengan suara nyaring, teriak Musashi, "Siapa kalian' Sebutkan diri kalian, kalau tidak,
aku anggap kalian semua musuh. Sungguh memalukan, menumpahkan darah di tanah suci ini,
tapi bagaimana lagi kalau tak ada pilihan lain?"
Musashi memutar kedua lembing di tangannya, lalu melepaskannya hingga kedua pendeta
terlontar ke arah yang berbeda, kemudian ia melecutkan pedangnya, menetak seorang dari
mereka sebelum orang itu sempat berhenti terhuyung. Dan ketika Musashi memutar tubuh,
ia dapati dirinya berhadapan dengan tiga bilah pedang lain, berbaris di seberang jalan
sempit itu. Tanpa beristirahat terlebih dahulu, ia hampiri mereka dengan sikap
mengancam, selangkah demi selangkah. Dua orang lagi muncul dan mengambil tempat di
samping ketiga orang pertama.
Musashi maju ke depan, tapi semua lawannya mundur. Waktu itu terlihat sekilas olehnya
pendeta pemain lembing lain memperoleh kembali senjatanya, dan sedang mengejar Iori.
"Berhenti kau, pembunuh!" pekiknya. Tapi begitu ia membalik untuk menyelamatkan Ion,
kelima orang itu melolong menyerang. Musashi menerjang, menyambut mereka. Akibatnya
seperti tabrakan antara dua gelombang yang sedang mengamuk, tapi semprotan yang keluar
di sini semprotan darah, bukan semprotan air asin. Musashi berpusing dari satu lawan ke
lawan lain, dengan kecepatan angin topan. Terdengar dua jeritan yang membekukan darah,
kemudian yang ketiga. Mereka jatuh seperti pohon tumbang, masing-masing terpotong di
tengah badan. DI tangan kanan Musashi tergenggam pedang panjang, di tangan kirinya
pedang pendek. Sambil memekik ngeri, kedua orang yang terakhir membalikkan badan dan lari, dikejar
oleh Musashi. "Ke mana kalian lari?" pekik Musashi sambil membelah kepala salah seorang dari mereka
dengan pedang pendek. Percikan darah hitam mengenai mata Musashi. Dengan gerak refleks
ia angkat tangan kirinya ke depan, dan pada saat itu juga ia mendengar bunyi logam di
belakangnya. Ia ayunkan pedang panjang untuk menangkis benda itu, tetapi efeknya ternyata berlainan
sekali dengan yang diinginkannya. Ia tercengkeram rasa panik, melihat bola dan rantai
membelit pedangnya di dekat pelindung tangan. Ia telah lengah.
"Musashi!" teriak Baiken. Ia tarik kuat-kuat rantai itu. "Kau sudah lupa padaku?"
Sesaat Musashi menatapnya, lalu serunya, "Shishido Baiken dari Gunung Suzuka?"
"Betul. Saudaraku Temma yang memanggilmu dari lembah neraka. Kujamin, kau akan lekas
sampai ke sana!" Musashi tak dapat membebaskan pedangnya. Sedikit demi sedikit, Baiken meraih rantai dan
bergerak mendekat, untuk menggunakan sabit yang setajam pisau cukur itu. Musashi
mencari peluang untuk memegang pedang pendeknya, dan sadarlah ia seketika, bahwa kalau
tadi ia berkelahi hanya dengan pedang pendek, pasti ia sudah sama sekali tanpa
pertahanan sekarang. Leher Baiken membengkak sampai hampir sebesar kepalanya. Sambil berteriak genting, ia
renggutkan rantai itu sekuat-kuatnya.
Musashi telah berbuat kesalahan. Ia tahu itu. Rantai-bola-sabit itu adalah senjata yang
luar biasa, namun Musashi bukan tak kenal dengannya. Beberapa tahun sebelumnya, ia
pernah dibuat kagum, ketika pertama kali melihat senjata neraka itu di tangan istri
Kisah Membunuh Naga 2 Pendekar Naga Putih 92 Pengantin Ratu Pesolek Api Di Puncak Merapi 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama