Ceritasilat Novel Online

Mushasi 3

Mushasi Karya Eiji Yoshikawa Bagian 3


"Menantuku yang baik...," Osugi memulai dengan nada-nada megah.
"Ya, Bu," jawab Otsu. Karena takutnya, ia membungkuk rendah di hadapan perempuan tua
jelek itu. "Karena kau sudah mengakui ada hubungan di antara kita, ada satu hal kecil yang ingin
kubicarakan denganmu. Tapi ambilkan dulu teh untukku. Aku baru saja bicara dengan
Takuan dan samurai Himeji itu, tapi pembantu pendeta tidak menyuguhkan minuman.
Tenggorokanku kering!"
Otsu menurut dan mengambilkan teh.
"Aku ingin bicara tentang Matahachi," kata perempuan tua itu tanpa pendahuluan lagi.
"Tentu saja bodoh kalau aku percaya kata-kata Takezo si tukang bohong itu, tapi rupanya
Matahachi masih hidup dan tinggal di provinsi lain."
"Betul?" kata Otsu dingin.
"Aku tak yakin. Tapi yang jelas, pendeta yang bertindak sebagai pelindungmu di sini
sudah menyetujui perkawinanmu dengan anakku, dan keluarga Hon'iden sudah menerimamu
sebagai istri anakku. Apa pun yang terjadi nanti, aku percaya kamu tak punya pikiran
buat melanggar janji."
"Eh.... "Kamu tak akan melakukan hal seperti itu, kan?"
Otsu mengeluh pelan. "Baiklah kalau begitu, aku gembira!" Ia berbicara seolah-olah menangguhkan suatu
pertemuan. "Kamu tahu omongan orang. Tak ada berita kapan Matahachi kembali. Karena itu
aku ingin kamu tinggalkan kuil ini dan menetap bersamaku. Pekerjaanku banyak sekali.
Tak dapat kukerjakan sendiri. Dan karena menantuku juga repot dengan keluarganya
sendiri, tak bisa aku terlalu banyak memaksanya. Jadi, aku perlu bantuanmu."
"Tapi saya..." "Siapa lagi yang bisa masuk rumah Hon'iden, kalau bukan istri Matahachi?"
"Tak tahu saya, tapi..."
"Apa kamu mau bilang keberatan" Apa kamu tak ingin tinggal di rumahku" Kebanyakan
gadis-gadis akan melompat mendapat kesempatan itu!"
"Bukan, bukan itu. Tapi..."
"Nah, kalau begitu jangan membuang-buang waktu lagi! Kumpulkan barang-barangmu!"
"Sekarang juga" Apa tidak lebih baik menunggu?"
"Tunggu apa?" "Sampai... sampai Matahachi kembali."
"Sama sekali jangan!" Nada Osugi terdengar pasti. "Bisa-bisa kamu mulai memikirkan
lelaki lain. Tugasku menjaga supaya kamu tidak berlaku tak senonoh. Sementara itu, aku
perlu mengatur supaya kamu belajar melakukan pekerjaan ladang, memelihara ulat sutra,
menjahit lurus keliman, dan berlaku seperti nyonya bangsawan."
"O... begitu." Otsu tak berdaya untuk membantah. Kepalanya masih berdenyut. Pembicaraan
tentang Matahachi itu membuat dadanya sesak. la takut bicara lagi, jangan-jangan air
matanya membanjir. "Dan ada satu hat lagi," kata Osugi. Tanpa menghiraukan bingungnya gadis itu, la
mengangkat kepala dengan angkuhnya. "Aku masih belum merasa pasti, apa yang hendak
dilakukan biarawan yang tak bisa diduga itu atas Takezo. Aku khawatir. Aku ingin kamu
mengawasi baik-baik kedua orang itu, sampai kita yakin bahwa Takezo mati. Siang dan
malam. Kalau kamu tidak khusus berjaga malam hari, tak bisa diketahui apa yang mungkin
dilakukan Takuan. Mereka bisa bersekongkol!"
"Jadi, Ibu tidak keberatan saya tinggal di sini?"
"Sementara tidak. Kamu tak bisa tinggal di dua tempat sekaligus, kan" Kamu datang
dengan barang-barangmu ke rumah keluarga Hon'iden nanti, waktu kepala Takezo sudah
terpisah dari badannya. Mengerti?"
"Ya, saya mengerti."
"Jangan sampai lupa!" salak Osugi seraya mendesis keluar dari ruangan itu.
Sesudah itu, seakan-akan sudah lama menanti kesempatan, muncullah sebuah bayangan di
jendela yang tertutup kertas itu. Suara lelaki memanggil pelan, "Otsu! Otsu!"
Karena berharap orang itu Takuan, Otsu tak lagi memandang bentuk bayangannya dan
langsung bergegas membuka jendela. Ketika jendela dibuka, ia tersentak mundur karena
kagetnya. Mata yang menyambutnya ternyata mata Kapten. Kapten mengulurkan tangan,
menangkap tangan Otsu dan meremasnya keras-keras.
"Kau sudah berbuat baik padaku," katanya, "tapi aku baru saja terima perintah dari
Himeji untuk pulang."
"O, sayang sekali." Otsu berusaha menarik tangannya, tapi cengkeraman kapten itu
terlalu kuat. "Rupanya mereka sedang melakukan penyelidikan tentang kejadian di sini," jelasnya.
"Kalau saja aku bisa memperoleh kepala Takezo, aku bisa mengatakan telah melaksanakan
tugas dengan penuh kehormatan. Aku akan mendapat nama baik. Tapi Takuan yang gila dan
keras kepala itu tidak membiarkan aku memilikinya. Dia tak mau mendengarkan apa pun
yang kukatakan. Kupikir kau ada di pihakku; itu sebabnya aku datang kemari. Ambil surat
ini, dan baca kemudian kalau tak ada orang melihatmu."
Kapten memasukkan surat itu ke tangan Otsu, dan pergi seketika itu juga. Otsu dapat
mendengarnya bergegas menuruni tangga, ke jalanan.
Barang itu ternyata lebih dari sekadar surat, karena di dalamnya terdapat sepotong
besar uang emas. Namun isi tulisannya sendiri cukup jelas: ia minta Otsu memotong
kepala Takezo dalam beberapa hari itu dan membawanya ke Himeji. Si penulis akan
memperistrinya, dan Otsu akan hidup di tengah kekayaan dan kemuliaan selama hidupnya.
Surat itu ditanda-tangani oleh "Aoki Tanzaemon", nama yang menurut pengakuan si penulis
sendiri termasuk salah satu prajurit paling ternama di daerah itu. Otsu ingin tertawa
terbahak-bahak, tapi ia terlalu murka waktu itu.
Ketika ia selesai membaca,Takuan memanggil, "Otsu, kau belum makan?"
Otsu mengenakan sandal dan keluar.
"Rasanya saya tak ingin makan. Kepala saya sakit."
"Apa yang kaupegang itu?"
"Surat." "Lain lagi?" "Ya." "Dari siapa?" "Bapak ini mau campur tangan saja!"
"Ingin tahu, Nak, dan ingin menyelidiki. Bukan mau campur tangan!"
"Apa Bapak mau lihat?"
"Kalau kau tidak keberatan."
"Cuma buat mengisi waktu?"
"Itu alasan yang sama baiknya dengan alasan yang lain."
"Ini. Saya tidak keberatan sama sekali."
Otsu menyerahkan surat itu, dan sesudah membacanya Takuan pun tertawa dengan riangnya.
Otsu tidak bisa berbuat lain kecuali tersenyum.
"Kasihan! Dia begitu putus asa, sampai-sampai mencoba menyuapmu dengan cinta dan uang
sekaligus. Surat ini sungguh surat yang lucu! Sesungguhnya dunia kita ini beruntung
karena diberkati dengan samurai yang demikian terkemuka dan jujur! Dia demikian berani,
hingga seorang gadis dia minta menggantikannya memotong kepala. Dan demikian bodohnya,
hingga dia menuliskannya."
"Surat itu tidak merisaukan saya," kata Otsu, "tapi apa yang akan saya lakukan dengan
uang ini?" Ia menyerahkan kepingan emas itu kepada Takuan.
"Barang ini cukup besar nilainya," kata Takuan sambil menimbang-nimbang barang itu
dengan tangannya. "Itulah yang merisaukan saya."
"Jangan khawatir. Aku pintar membuang uang."
Takuan pun pergi ke depan kuil, di mana terdapat kotak derma. Sebelum memasukkan mata
uang itu ke dalamnya, ia sentuhkan uang itu ke dahinya, sebagai tanda hormat kepada
sang Budha. Tapi kemudian ia berubah pikiran. "Kalau dipikir sekali lagi, lebih baik
ini kausimpan. Aku berani mengatakan, ini tak akan mengganggu."
"Saya tak mau. Cuma akan bikin sulit. Saya bisa ditagih kemudian hari. Lebih baik saya
berpura-pura tak pernah melihatnya."
"Emas ini bukan lagi milik Aoki Tanzaemon, Otsu. Ini sudah menjadi persembahan bagi
sang Budha, dan sang Budha menyerahkannya kepadamu. Simpanlah untuk keberuntungan-mu."
Tanpa protes lagi Otsu memasukkan mata uang itu ke dalam obi-nya. Kemudian, sambil
menengadah ke langit, ia berkata, "Angin, ya" Akan hujan malam ini barangkali. Sudah
berabad-abad lamanya tidak hujan."
"Musim semi sudah hampir lewat, jadi sudah waktunya turun hujan lebat. Kita membutuhkannya untuk membersihkan semua bunga mati, termasuk menghilangkan kebosanan orang."
"Tapi kalau hujan itu lebat, apa yang akan terjadi dengan Takezo?"
"Hmmm. Takezo...." Takuan termenung.
Baru saja kedua orang itu menoleh ke arah pohon kriptomeria, terdengar panggilan dari
cabang-cabangnya di atas.
"Takuan! Takuan!"
"Apa" Kamu yang memanggilku, Takezo?"
Ketika Takuan menjeling untuk melihat ke atas pohon, Takezo pun menghujankan kutukankutukannya. "Biarawan babi kamu! Penipu kotor! Coba berdiri di bawah sini! Ada yang mau
kukatakan padamu!" Angin menerpa deras cabang-cabang pohon itu. Suara Takezo terdengar patah-patah dan
putus-putus. Daun-daun berguguran di sekitar pohon dan mengenai wajah Takuan yang
menengadah. Biarawan itu tertawa. "Kulihat kau masih segar bugar. Bagus, cocok betul buatku.
Kuharap itu bukan sekadar daya palsu, karena kau tahu akan segera mati."
"Diam kamu!" teriak Takezo, yang tidak segar-bugar, melainkan sangat marah. "Kalau aku
takut mati, kenapa pula aku mesti diam saja ketika kau mengikatku?"
"Kau melakukan itu karena aku kuat dan kamu lemah!"
"Itu bohong, dan kau tahu itu!"
"Kalau begitu, akan kukatakan dengan cara lain: aku pandai dan kamu bodoh."
"Kau mungkin benar. Aku betul-betul bodoh membiarkan kau menangkapku."
"Jangan menggeliat terlalu banyak, hai, monyet pohon! Itu tak baik buatmu, cuma bikin
kau berdarah, kalau memang masih ada sisa darahmu. Dan terus terang, itu sangat tak
pantas." "Dengar, Takuan!"
"Aku dengarkan."
"Kalau aku mau melawanmu di gunung itu, aku bisa dengan mudah melumatkanmu seperti
ketimun dengan sebelah kakiku."
"Itu bukan persamaan yang sangat menyanjung. Tapi biar bagaimanapun kau tidak
melakukannya, jadi lebih baik kau meninggalkan jalan pikiran itu. Lupakan yang sudah
terjadi. Sudah terlambat untuk menyesal."
"Kau mengecohku dengan khotbahmu yang muluk-muluk. Sungguh menjijikkan, bajingan! Kau
menyuruhku percaya padamu, tapi kau berkhianat. Kubiarkan kau menangkapku karena
kupikir kau lain dart yang lain. Aku tak mengira akan dihina seperti ini."
"Langsung saja pada soalnya, Takezo," kata Takuan tak sabar.
"Kenapa kau melakukan lm?" bungkah jerami itu menjerit. "Kenapa tidak kaupenggal saja
kepalaku, habis perkara! Kupikir, kalau aku memang harus mati lebih baik kaupilih cara
menghukumku daripada membiarkan orang banyak yang haus darah itu melakukannya. Walau
kau seorang biarawan, katamu kau mengerti juga Jalan Samurai."
"O, memang aku mengerti, hai, orang sesat yang malang. Jauh lebih mengerti daripada
kamu!" "Rasanya lebih baik kalau orang-orang kampung itu yang menangkapku. Paling tidak,
mereka manusia." "Itukah kesalahanmu satu-satunya, Takezo" Apa segala yang pernah kau lakukan itu bukan
kesalahan" Selagi kau di atas, kenapa tidak kaucoba memikirkan masa lalu sedikit?"
"O, diam kamu, munafik! Aku tidak malu! Ibu Matahachi boleh menyebutku apa saja
semaunya, tapi Matahachi temanku, temanku yang terbaik. Kewajibankulah untuk datang
menyampaikan kepada perempuan setan tua itu apa yang terjadi dengan Matahachi, tapi apa
yang dia lakukan" Dia mencoba menghasut orang banyak untuk menyiksaku! Membawa berita
untuknya tentang anak yang disayanginya, itulah satu-satunya sebab kenapa aku menerobos
rintangan dan datang kemari. Apa itu pelanggaran atas tata krama prajurit?"
"Bukan itu soalnya, pandir! Susahnya, berpikir pun kamu tak bisa. Kau rupanya salah
mengerti. Perbuatan berani semata-mata seakan-akan dapat membuatmu menjadi samurai.
Padahal tidak begitu! Kau merasa yakin bahwa tindak kesetiaanmu itu benar. Semakin kau
yakin, semakin kau merugikan dirimu dan semua orang lain. Dan sekarang, di mana kau
berada" Tertangkap dalam perangkap yang kaupasang sendiri!" Takuan berhenti sebentar.
"Tapi omong-omong, bagaimana pemandangan dari atas, Takezo?"
"Babi kamu! Tak akan kulupakan perbuatanmu ini!"
"Kau akan segera lupa segalanya. Sebelum kau berubah jadi daging kering, Takezo,
cobalah pandang dunia luas di sekitarmu. Perhatikan dunia manusia, dan ubahlah cara
berpikirmu yang cuma mementingkan diri sendiri. Kemudian, kalau kau sampai di dunia
sana dan bersatu dengan nenek moyangmu, katakan pada mereka bahwa tepat sebelum kau
mati, ada orang bernama Takuan Soho yang mengatakan hal ini padamu. Mereka akan girang
sekali mengetahui bahwa kau sudah memperoleh bimbingan yang begitu baik, walau kau
mempelajari hakikat hidup ini sudah terlambat sekali, hingga yang kaudapat untuk
keluargamu hanyalah aib."
Otsu yang selama itu berdiri terpaku tidak jauh dari situ datang berlarilari dan
menyerang Takuan dengan suara nyaring.
"Pak Takuan, ini sudah keterlaluan! Saya dengar. Saya dengar semuanya. Bagaimana Bapak
bisa begitu kejam pada orang yang mempertahankan diri pun tak bisa" Bapak kan orang
saleh, atau mestinya begitu! Takezo benar, waktu dia mengatakan percaya pada Bapak dan
membiarkan Bapak menangkapnya tanpa perlawanan."
"Lho, apa pula ini" Apa teman seperjuanganku sudah berbalik melawanku?"
"Kasihan, Pak! Kalau mendengar Bapak bicara seperti itu, sungguh saya benci pada Bapak.
Kalau Bapak bermaksud membunuh dia, bunuh saja, habis perkara! Takezo sudah pasrah
untuk mati. Biarlah dia mati dengan damai!" Begitu berangnya Otsu, hingga disambarnya
dada Takuan dengan kalut.
"Diam kamu!" kata Takuan dengan sikap brutal, tidak seperti biasanya. "Perempuan tak
tahu apa-apa soal ini. Tahan mulutmu; atau akan kugantung juga kamu bersama dia di
sana." "Tidak, saya tak mau, tak mau!" pekik Otsu. "Tapi saya mesti dikasih kesempatan bicara
juga. Saya sudah ikut Bapak ke pegunungan dan tinggal di sana tiga hari tiga malam,
bukan?" "Tak ada hubunganny a itu. Takuan Soho yang akan menghukum Takezo dengan hukuman yang
menurut dia cocok." "Kalau begitu, hukumlah dia! Bunuh dia! Sekarang. Tidak betul kalau Bapak menertawakan
kesengsaraannya selagi dia terbaring setengah mati di sana."
"Kebetulan itulah satu-satunya kelemahanku, menertawakan orang-orang tolol macam dia."
"Itu tidak berperikemanusiaan."
"Pergi dari sini, sekarang! Pergi, Otsu; tinggalkan aku sendiri."
"Saya tak mau!"
"Jangan kamu keras kepala lagi," seru Takuan sambil menyikut Otsu dengan keras.
Begitu sadar, Otsu sudah tertelungkup di pohon. la menempelkan muka dan dadanya ke
batang pohon dan mulai meratap. Tak pernah ia membayangkan bahwa Takuan bisa demikian
kejam. Orang kampung percaya bahwa kalaupun biarawan itu mengikat Takezo sementara
waktu, akhirnya ia akan melunakkan dan meringankan hukuman itu. Sekarang Takuan mengaku
bahwa kelemahannya adalah menikmati Takezo menderita! Otsu menggigil melihat kebuasan
manusia ini. Jadi, kalau Takuan yang ia percayai dengan sepenuh hati saja dapat menjadi orang yang
tak berhati, seluruh dunia ini tentunya jahat luar biasa. Dan kalau tak ada seorang pun
yang dapat la percayai...
la merasakan kehangatan aneh pada pohon ini. Batangnya kuno dan besar, demikian besar
hingga sepuluh orang tidak dapat mencakupnya dengan rentangan tangan. Dalam batang itu
la merasakan darah Takezo beredar, mengalir turun dari penjaranya yang genting di
cabang-cabang pohon di atas itu.
Sungguh ia mirip anak seorang samurai! Sungguh ia berani! Ketika Takuan pertama kali
mengikatnya, dan sekali lagi belum lama mi, Otsu melihat kelemahan Takezo. Takezo dapat
menangis. Sampai saat ini Otsu terbawa arus pendapat orang banyak, terbuai olehnya,
tanpa memiliki gambaran nyata tentang manusianya sendiri. Apakah yang membuat orang
banyak itu membencinya seperti iblis dan memburunya seperti binatang"
Punggung dan bahu Otsu naik-turun karena sedu sedannya. Masih bergayut erat pada batang
pohon, la menggosokkan pipinya yang basah oleh air mata ke kulit pohon. Angin bersiul
keras lewat cabang-cabang atas yang berayun-ayun lebar ke sana kemari. Titik-titik air
besar jatuh di leher kimononya dan mengalir menuruni punggung, membuat dingin tulang
punggungnya. "Ayolah, Otsu," seru Takuan sambil memayungi kepalanya dengan tangan. "Kita basah kuyup
nanti." Otsu tidak menjawab. "Semua ini salahmu, Otsu! Kau ini bayi cengeng! Kau menangis, langit menangis juga."
Kemudian nada ejekan itu hilang dari suaranya, "Angin makin keras, dan kelihatannya
akan datang badai besar, karena itu ayo masuk. Jangan buang-buang air matamu untuk
orang yang biar bagaimanapun akan mati! Ayo!" Sambil menutupkan ujung kimononya ke
kepala, Takuan berlari ke tempat berteduh di kuil.
Dalam beberapa saat saja hujan deras turun. Titik-titik hujan menimbulkan titik-titik
putih saat menghunjam tanah. Sekalipun air sudah mengaliri punggungnya, Otsu tidak juga
beranjak. la tak sanggup pergi, sekalipun kimononya yang basah kuyup sudah menempel ke
kulitnya dan ia kedinginan sampai ke tulang sumsum. Ketika pikirannya tertuju kepada
Takezo, hujan jadi tak berarti lagi. Tidak terpikir olehnya kenapa ia mesti menderita
semata-mata karena Takezo menderita. Otaknya dipenuhi gambaran yang baru terbentuk
tentang bagaimana seharusnya seorang lelaki. Diam-diam ia berdoa agar hidup Takezo
terselamatkan. la berjalan berputar-putar mengelilingi pangkal potion dan berkali-kali memandang ke


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Takezo, tapi tak dapat melihatnya karena badai. Serta-merta ia memanggil namanya, tapi
tidak ada jawaban. Timbul kecurigaan dalam benaknya, jangan-jangan ia dianggap salah
seorang anggota keluarga Hon'iden, atau sekadar orang kampung yang memusuhinya.
"Kalau dia terus kehujanan," demikian pikirnya putus asa, "pasti dia mati sebelum pagi.
Oh, apa tak ada orang di dunia ini yang dapat menyelamatkan dia?"
Ia berlari sekencang-kencangnya, sebagian terdorong angin yang menggila. Bangunan dapur
dan petak pendeta di belakang kuil utama tertutup rapat. Air yang melimpah dari talang
menimbulkan selokan-selokan yang dalam di tanah ketika menderas menuruni bukit.
"Pak Takuan!" pekiknya. la sudah sampai di pintu kamar Takuan dan mulai menggedorgedornya sekuat tenaga. "Siapa?" terdengar suara Takuan dari dalam.
"Saya"Otsu!"
"Kenapa masih di luar saja?" Takuan cepat membuka pintu dan memandang Otsu keheranan.
Bangunan itu memiliki tepi atap yang panjang, namun hujan menyiram Takuan juga. "Cepat
masuk!" serunya sambil langsung mencengkeram lengan Otsu, tapi Otsu menariknya kembali.
"Tidak. Saya datang untuk minta tolong, bukan untuk mengeringkan badan. Saya mohon,
Bapak, turunkan dia dari pohon itu!"
"Apa" Tak akan aku melakukannya!" kata Takuan bersikeras.
"Saya mohon, Pak, turunkanlah dia. Saya akan berterima kasih pada Bapak untuk selamalamanya." la pun berlutut di lumpur dan mengangkat kedua tangannya memohon. "Tentang
saya sendiri tak usah dipikirkan, tapi Bapak mesti menolongnya! Ayolah, Pak! Bapak tak
bisa membiarkannya mati-tak bisa!"
Bunyi air yang menderas hampir menenggelamkan suaranya yang bercampur tangis. Dengan
tangan masih diacungkan ke depan la tampak seperti seorang penganut Budha yang sedang
menjalani latihan ketahanan dengan berdiri di bawah air terjun dingin.
"Saya sembah Bapak. Saya mohon. Akan saya lakukan apa saja untuk Bapak, tapi saya
minta, selamatkan dia!"
Takuan diam. Matanya terpejam erat, seperti pintu-pintu bangunan suci tempat
penyimpanan Budha yang rahasia. la menarik keluh panjang. la membuka mata dan
menyemburkan api. "Tidur sana! Sekarang juga! Badanmu lemah! Dan berada di luar pada cuaca seperti ini
sama saja dengan bunuh diri."
"Tolong, Pak, tolong," mohon Otsu mendekati pintu.
"Aku mau tidur. Dan aku nasihati kamu tidur juga." Suaranya seperti es.
Pintu pun mengatup keras.
Tapi Otsu tetap tidak menyerah. la merangkak di bawah rumah sampai mencapai tempat yang
menurut perkiraannya tempat tidur Takuan. la panggili Takuan lagi. "Saya mohon, Pak
Takuan. Ini soal paling penting di dunia buat saya! Pak, apa Bapak dengar suara saya"
Jawab, Pak! O, sungguh Bapak binatang! Jahanam tak berhati dan berdarah dingin!"
Untuk sesaat lamanya biarawan itu mendengarkan saja dengan sabar tanpa menjawab, tapi
tindakan Otsu itu membuatnya tak bisa tidur. Akhirnya dalam ledakan kemarahan ia pun
melompat keluar dan tempat tidur, dan serunya, "Tolong! Pencuri! Pencuri di bawah
lantai! Tangkap!" Otsu merangkak ke luar menuju badai lagi dan mundur kalah. Tapi ia belum menyerah.
*** 7. Batu Karang dan Pohon PAGI harinya, angin dan hujan telah menghalau musim semi tanpa jejak. Matahari panas
melecut bumi dengan garangnya. Hanya sedikit orang kampung yang berjalan tanpa
mengenakan caping pelindung.
Osugi mendaki bukit menuju kuil, dan tiba di pintu Takuan dalam keadaan haus dan
kehabisan napas. Titik-titik keringat muncul di atas rambutnya dan menyatu menjadi
alur-alur keringat yang mengalir langsung menuruni hidungnya yang lurus. la tidak
memperhatikannya, karena sudah tak sabar ingin mengetahui nasib korbannya.
"Takuan," panggilnya, "apa Takezo tetap hidup kena badai itu?"
Biarawan itu muncul di beranda. "Oh, Ibu. Mengerikan sekali hujan kemarin, ya?"
"Ya." Osugi tersenyum licik. "Bisa bikin mati."
"Tapi saya yakin Ibu tahu, tidak terlalu sukar satu-dua malam menahan hujan yang
terderas pun. Tubuh manusia mampu menahan banyak lecutan. Mataharilah yang bisa
membunuh." "Maksud Anda, dia masih hidup?" kata Osugi tak percaya, dan seketika ia menolehkan
mukanya yang keriput itu ke pohon kriptomeria tua. Matanya yang seperti jarum menciut
dalam cahaya matahari yang menyilaukan. la mengangkat tangan untuk melindungi matanya
dan sesaat ia pun lega sedikit. "Menunduk dia seperti gombal basah," katanya dengan
harapan baru. "Tentunya sudah tak mungkin dia hidup lagi, tak mungkin."
"Saya belum lihat burung gagak mematuk mukanya," kata Takuan tersenyum. "Saya pikir itu
artinya dia masih bernapas."
"Terima kasih. Orang terpelajar seperti Anda pasti lebih tahu daripada saya tentang
hal-hal seperti itu." la pun menjulurkan lehernya dan mengintip ke dalam ruangan. "Saya
tak melihat menantu saya di mana-mana. Tolonglah Anda panggilkan."
"Menantu Ibu" Saya tak pernah bertemu dengannya. Paling tidak, saya tak kenal namanya.
Jadi, bagaimana mungkin saya memanggilnya?"
"Panggil dia, kataku!" ulang Osugi tak sabaran. "Siapa pula yang Ibu bicarakan ini?"
"Lho, tentu saja Otsu!"
"Otsu" Kenapa Ibu sebut dia menantu Ibu" Dia belum masuk keluarga Hon'iden, kan?"
"Belum, tapi aku punya rencana memasukkannya segera, sebagai istri Matahachi."
"Sukar dibayangkan. Bagaimana mungkin dia mengawini seseorang, kalau orang itu tidak
ada?" Osugi jadi lebih naik darah lagi. "Dengar, gelandangan! Ini tak ada hubungannya
denganmu! Katakan saja, di mana Otsu!"
"Rasanya masih di tempat tidur."
"O ya, mestinya tadi aku menyangka begitu," gerutu perempuan tua itu, setengah kepada
dirinya. "Aku memang menyuruhnya mengawasi Takezo malam hari, jadi mestinya dia capek
juga slang hari. Apa kamu tidak harus mengawasinya kalau siang?" tanyanya mengandung
tuduhan. Tanpa menanti jawaban, ia sudah balik kanan dan berjalan menuju bawah pohon. Di sana ia
menatap ke atas lama-lama, seakan-akan kesurupan. Ketika akhirnya selesai, ia berjalan
tertatih-tatih ke kampung, bertopang tongkat kayu arbei.
Takuan kembali ke kamar dan tinggal di situ sampai malam.
Kamar Otsu tidak jauh dari kamarnya, di bangunan yang sama. Pintunya tertutup juga
sepanjang hari, kecuali apabila dibuka oleh pembantu pendeta. Beberapa kali pembantu
membawakan obat atau mangkuk tanah berisi bubur betas kental. Ketika orang menemukan
Otsu dalam keadaan setengah mati di tengah hujan malam sebelumnya, orang terpaksa
menyeretnya masuk dan memaksanya minum sedikit teh. la menendang-nendang dan menjeritjerit. Pendeta melancarkan cacian keras kepadanya, tapi ia duduk bisu bersandar di
dinding. Pagi harinya ia demam hebat, hampir tidak dapat mengangkat kepala untuk makan
buburnya. Malam tiba. Bertentangan sekali dengan malam sebelumnya, bulan bersinar terang, seperti
lubang yang dibuat dengan rapi di langit. Ketika semua orang sedang tidur nyenyak,
Takuan meletakkan buku yang sedang dibacanya, mengenakan bakiak, dan keluar ke halaman.
"Takezo!" panggilnya.
Jauh di atas kepalanya satu cabang bergoyang, dan titik-titik embun yang berkelipan
jatuh. "Kasihan. Mungkin dia tak punya tenaga lagi buat menjawab," kata Takuan sendiri.
"Takezo! Takezo!"
"Apa maumu, biarawan bajingan?" terdengar jawaban garang.
Takuan orang yang selalu waspada, tapi kali itu ia tidak dapat menyembunyikan
keterkejutannya. "Keras juga suaramu, untuk ukuran orang yang sudah mau mati. Yakin kau
betul-betul bukan seekor ikan atau sejenis monster laut" Kalau begini caranya, kau
butuh lima atau enam hari lagi. Tapi omong-omong, bagaimana perutmu" Cukup kosong, ya?"
"Lupakan omongan tetek-bengek ini, Takuan, potong kepalaku, habis perkara."
"O, tidak! Tidak secepat itu! Orang mesti hati-hati menghadapi hal-hal seperti itu.
Kalau kupotong kepalamu sekarang juga, barangkali dia akan terbang ke bawah dan
berusaha menggigitku." Suara Takuan melemah, dan ia memandang ke langit. "Indah sekali
bulan itu! Kau beruntung dapat melihatnya dari tempat yang begitu menguntungkan."
"Baiklah, pandangilah aku, biarawan anjing kampung kotor! Akan kutunjukkan apa yang aku
bisa, kalau aku mau!" Dengan segenap kekuatan yang masih tersisa dalam tubuhnya
mulailah ia menggoyangkan badannya sehebat-hebatnya, mengempaskan bobot tubuhnya ke
atas ke bawah, hingga hampir patah cabang yang menjadi gantungannya. Kulit kayu dan
dedaunan menghujani orang yang di bawah. Namun Takuan tetap tenang, atau agak berpurapura bodoh.
Biarawan itu dengan tenang mengusap bahunya, dan ketika selesai, ia pun menengadah
lagi. "Itulah yang dinamakan semangat, Takezo! Memang baik marah seperti kau sekarang
ini. Teruskan! Rasakan kekuatanmu sepenuhpenuhnya, tunjukkan bahwa kau manusia sejati,
tunjukkan pada kami, terbuat dari apakah kau ini! Orang zaman sekarang menyangka bahwa
mampu menahan marah adalah tanda kebijaksanaan dan kepribadian, tapi menurut pendapatku
mereka itu bodoh. Aku benci melihat orang muda yang menahan diri, yang sopan santun.
Mereka memiliki lebih banyak semangat daripada orang-orang tua, dan mereka harus
menunjukkannya. Jangan menahan-nahan diri, Takezo! Makin gila kamu, makin baik!"
"Tunggu, Takuan, tunggu! Kalau aku memang mesti mengunyah tali ini dengan gigi
telanjang, aku akan mengunyahnya supaya aku dapat menangkapmu dan mempreteli anggota
tubuhmu!" "Itu janji atau ancaman" Kalau menurutmu kau memang dapat melakukannya, aku akan
tinggal di bawah sini, menanti. Apa kau yakin bisa mengerjakannya tanpa membunuh dirimu
sendiri, sebelum tali itu putus?"
"Diam!" pekik Takezo parau.
"Kau memang betul-betul kuat, Takezo! Seluruh pohon bergoyang. Tapi maaf saja, tidak
kulihat tanah bergetar. Susahnya, kenyataannya kamu itu lemah. Kemarahanmu itu tidak
lebih dari kedengkian pribadi. Kemarahan lelaki sejati adalah ungkapan kemarahan moral.
Kemarahan karena tetek-bengek emosional yang tak ada artinya adalah untuk perempuan,
bukan lelaki." "Sebentar lagi," ancam Takezo. "Aku akan langsung ke lehermu!"
Takezo berjuang terus, tapi tali besar itu tidak menunjukkan tanda-tanda melemah.
Takuan memandang terus sejenak, kemudian memberikan nasihat persahabatan. "Kenapa kau
tidak menyerah saja, Takezo, kau tidak bakal berhasil. Kau cuma melelahkan dirimu, dan
apa gunanya untukmu" Biar kau menggeliat-geliat seperti apa pun, tak bakalan kau bisa
mematahkan satu pun cabang pohon ini, apalagi membuat penyok alam semesta ini."
Takezo memperdengarkan erangan keras. Kemarahannya sudah lewat. Ia sadar bahwa biarawan
itu benar. "Kurasa kekuatan itu lebih baik digunakan bekerja untuk kebaikan negeri. Kau mesti
mencoba berbuat sesuatu untuk orang lain, Takezo, biarpun sudah sedikit telat untuk
mulai sekarang. Kalau kau mencoba, kau akan punya kesempatan menggerakkan dewa-dewa
atau bahkan alam semesta, belum lagi orang-orang biasa yang sederhana." Suara Takuan
kini ganti jadi sedikit bernada petuah. "Sayang, sayang sekali! Biarpun kau dilahirkan
sebagai manusia, kau lebih mirip binatang, tidak lebih baik daripada babi hutan atau
serigala. Sungguh menyedihkan bahwa seorang pemuda tampan seperti kau mesti menemui
ajal di sini, tanpa pernah menjadi manusia sebenarnya! Sungguh sia-sia!"
"Kausebut dirimu sendiri manusia?" Takezo meludah.
"Dengar, orang barbar! Kau percaya betul dengan kekuatan kasarmu sendiri, dan mengira
kau tak ada tandingannya di dunia ini. Tapi coba lihat, di mana kau sekarang!"
"Tak ada yang perlu kumalukan. Ini pertarungan tak adil."
"Pada akhirnya tak ada bedanya, Takezo. Kau bukannya kena hajar, tapi kena diakali dan
dibikin bungkam. Kalau kalah, kalah sajalah. Suka atau tidak, sekarang aku duduk di
batu karang ini, sedangkan kau terbaring di atas situ tanpa daya. Apa kau tak bisa
lihat perbedaan antara kau dan aku?"
"Ya. Tapi kau curang. Kau penipu dan pengecut!"
"O, sungguh gila aku, kalau aku mencoba menangkapmu dengan kekuatan. Tubuhmu terlalu
kuat. Manusia tak punya banyak kesempatan menang bergulat dengan macan. Tapi untunglah
jarang manusia mesti bergulat dengan macan, karena dia lebih pandai. Tidak banyak orang
yang membantah kenyataan bahwa macan lebih rendah daripada manusia."
Tak ada petunjuk bahwa Takezo masih mendengarkan.
"Itu sama saja dengan yang kaunamakan keberanianmu itu. Tingkah lakumu sampai sekarang
ini tidak lebih dari keberanian binatang, jenis keberanian yang tak menghargai nilainilai kemanusiaan dan kehidupan. Itu bukan jenis keberanian yang menciptakan seorang
samurai. Keberanian sejati mengenal rasa takut. Dia tahu bagaimana takut pada apa yang
harus ditakuti. Orang-orang yang tulus menghargai hidup dengan penuh kecintaan. Mereka
mendekapnya sebagai permata yang berharga. Dan mereka memilih waktu dan tempat yang
tepat untuk menyerahkannya. Mati dengan penuh kemuliaan."
Tetap tak ada jawaban. "Itulah yang kumaksud, kalau kukatakan kau ini payah. Kau dilahirkan dengan kekuatan
fisik dan keuletan, tapi kau kurang pengetahuan dan kebijaksanaan. Kau berhasil
menguasai beberapa ciri kurang baik dari Jalan Samurai, tapi kau tidak berusaha
mencapai pengetahuan atau kebajikan. Orang bicara tentang bagaimana mencampurkan Jalan
Pengetahuan dengan Jalan Samurai, padahal kalau dicampurkan dengan baik keduanya itu
bukan dua-keduanya itu satu. Hanya ada satu jalan, Takezo."
Pohon itu diam, sediam batu karang yang diduduki Takuan. Kegelapan itu pun diam.
Beberapa waktu kemudian, Takuan bangkit pelan-pelan dan berhati-hati. "Pikirkan satu
malam lagi, Takezo. Sesudah itu, akan kupotong kepalamu seperti kauminta." la
meninggal-kan tempat itu dengan langkah-langkah panjang penuh pikiran, kepala menunduk.
Belum lagi dua puluh langkah, suara Takezo mendering keras dan terasa mendesak.
"Tunggu!" Takuan menoleh, dan serunya, "Apa maumu sekarang?"
"Kembalilah." "Mm. Apa kau mau mendengar lebih banyak lagi" Apa kau akhirnya mulai berpikir?"
"Takuan! Selamatkan aku!" Teriakan minta tolong Takezo itu keras dan sedih. Cabang
pohon itu mulai bergetar, seakan-akan seluruh pohon itu menangis.
"Aku mau jadi orang yang lebih baik. Aku sadar sekarang, betapa penting dan istimewanya
lahir sebagai manusia. Aku hampir mati, tapi aku mengerti apa artinya hidup. Dan pada
saat aku sadar, hidupku hanya tinggal terikat pada pohon ini! Tak dapat aku
menghapuskan apa-apa yang telah kulakukan."
"Akhirnya kau sadar. Untuk pertama kali dalam hidupmu kau bicara sebagai manusia."
"Aku tak mau mati, Takuan!" teriak Takezo, "Aku mau hidup. Aku mau pergi, mencoba lagi,
dan melakukan semuanya baik-baik." Tubuhnya mengejang-ngejang karena sedu sedan.
"Takuan... aku mohon! Tolonglah aku... tolong!"
Biarawan itu menggelengkan kepala. "Maaf, Takezo. Itu di luar kekuasaanku. Itu hukum
alam. Kau tak bisa mengulangnya. Itulah hidup. Segala yang terjadi adalah untuk
selamanya. Segalanya! Kau tak bisa mengembalikan kepalamu di tempatnya sesudah musuh
memenggalnya. Begitulah adanya. Tentu saja aku kasihan padamu, tapi aku tak dapat
melepaskan tali itu, karena bukan aku yang mengikatkannya. Kau sendirilah yang mengikatkannya. Yang dapat kulakukan hanyalah memberikan nasihat padamu. Hadapilah maut
dengan berani dan tenang. Ucapkan doa dan berharaplah ada orang yang mau mendengarkan.
Dan demi nenek moyangmu, Takezo, matilah dengan layak, dengan wajah damai!"
Gemeratak sandal Takuan menghilang di kejauhan. Takuan telah pergi, dan Takezo tidak
berteriak lagi. Mengikuti nasihat biarawan itu, ia menutup mata yang baru saja
mengalami kesadaran luar biasa dan melupakan segalanya. la lupakan kehidupan dan
kematian, dan di bawah sejuta bintang kecil ia terbaring diam. Angin malam berdesir
melintas pohon. la merasa dingin, dingin sekali.
Sejenak kemudian ia merasa ada orang di pangkal pohon. Orang itu, entah siapa, mendekap
batang pohon yang lebar itu dan berusaha setengah mati naik ke dahan terendah. Terasa
ia tidak begitu cakap. Takezo dapat mendengarkan bagaimana si pemanjat itu tergelincir
hampir di tiap usahanya untuk naik. la pun dapat mendengar potongan-potongan kulit
pohon berguguran ke tanah, dan ia yakin bahwa tangan-tangan itu jauh lebih terkelupas
daripada pohonnya. Tetapi si pemanjat meneruskan usahanya dengan tabah, mencoba
berkali-kali lagi menempel pada pohon, sampai akhirnya dahan yang pertama dapat
dicapai. Kemudian sosok itu naik dengan agak mudah ke tempat Takezo terbaring dalam
keadaan kehabisan tenaga. Tubuh Takezo hampir tak bisa dibedakan dari dahan tempatnya
terikat. Suara terengah-engah membisikkan namanya.
Dengan susah payah Takezo membuka mata dan ternyata ia berhadapan dengan kerangka.
Hanya matanya yang hidup dan tampak bersemangat. Wajah itu bicara. "Ini aku!" katanya
dengan keluguan kanak-kanak.
"Otsu?" "Ya, aku. Takezo, ayo kita lari! Aku dengar kau memekik ingin sekali hidup."
"Lari" Kau akan melepas ikatanku dan membebaskan aku?"
"Ya. Aku juga tak tahan lagi diam di kampung ini. Kalau aku tinggal di sini... oh, aku
tak ingin lagi memikirkan itu. Aku punya alasan sendiri. Aku cuma mau keluar dari
tempat yang bodoh dan kejam ini. Aku akan menolongmu. Takezo! Kita dapat saling
menolong!" Otsu sudah mengenakan pakaian perjalanan, dan semua miliknya sudah
bergantung pada bahunya, dalam sebuah kantong kain kecil.
"Cepat putuskan tali! Apa lagi yang kautunggu" Potong!"
"Takkan makan waktu lama."
Otsu menghunus belati kecilnya, dan dalam sekejap mata ia sudah meretas ikatan tahanan
itu. Beberapa menit berlalu sebelum rasa berdenyut pada kaki-tangan Takezo mereda dan
ia dapat melenturkan otot-ototnya. Otsu mencoba mendukung seluruh bobot Takezo, tapi
akibatnya, ketika Takezo tergelincir, Otsu pun terperosok bersama. Kedua tubuh itu
saling bergayutan, lalu lepas terpelanting, berputar di udara dan jatuh ke tanah.
Takezo berdiri. Kepalanya pusing karena jatuh dari ketinggian sepuluh meter, dan
badannya lemah dan kaku, namun ia menjejakkan kaki di tanah mantap-mantap. Otsu
merangkak, menggeliat kesakitan.
"O-o-h-h," erangnya.
Takezo merangkulnya dan membantunya berdiri. "Ada yang patah?"
"Entah, tapi rasanya aku masih bisa jalan."
"Kita jatuh menimpa cabang-cabang itu, jadi barangkali lukamu tidak seberapa."
"Kau sendiri bagaimana" Tidak apa-apa?"
"Ya... Aku... Aku... tidak apa-apa, aku..." la berhenti sedetik-dua, kemudian ucapnya,
"Aku hidup! Aku betul-betul hidup!"
"Tentu saja kau hidup!"
"Itu bukan 'tentu saja'."
"Mari kita lekas pergi dari sini. Kalau ada yang menemukan kita di sini, celaka nanti."


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Otsu berjalan terpincang-pincang, dan Takezo mengikutinya... pelan-pelan, diam-diam,
seperti dua ekor serangga rapuh terluka sedang berjalan di udara dingin musim gugur.
Mereka berjalan sedapat-dapatnya, terpincang-pincang dalam diam. Kediaman yang lama
kemudian baru terpecahkan, ketika Otsu berteriak, "Lihat! Sudah mulai terang di arah
Harima." "Di mana kita ini?"
"Di puncak Celah Nakayama."
"Apa betul sudah begitu jauh?"
"Ya." Otsu tersenyum lemah. "Mengagumkan memang apa yang dapat dilakukan orang, kalau
sudah bertekad. Tapi, Takezo..." Otsu kelihatan khawatir. "Kau tentunya kelaparan. Kau
tidak makan apa-apa berhari-hari."
Mendengar kata makanan, Takezo tiba-tiba menyadari bahwa perutnya yang kisut kejang
kesakitan. Begitu ia sadar, keadaan jadi menyiksa. Terasa berjam-jam lamanya, sebelum
akhirnya Otsu dapat membuka kantongnya dan mengeluarkaan makanan. Hadiah kehidupan Otsu
adalah kue bakpao yang dipadati kacang manis. Ketika rasa manis kue itu menurun lembut
dalam kerongkongannya, kepala Takezo pun menjadi pusing. Jari-jari yang memegang kue
itu bergetar. "Aku hidup," pikirnya berulang-ulang. la bersumpah sejak saat itu akan
hidup secara berbeda sama sekali.
Awan yang kemerah-merahan pagi itu membuat pipi mereka berwarna merah muda. Ketika
Takezo bisa memandang wajah Otsu dengan lebih jelas, dan rasa laparnya berganti menjadi
tenang karena kenyang, terasa olehnya seperti mimpi bahwa ia kini duduk di sini, sehat
walafiat, bersama Otsu. "Kalau hari terang, kita harus sangat hati-hati. Kita hampir sampai perbatasan
provinsi," kata Otsu.
Mata Takezo melebar. "Perbatasan! Betul, aku lupa. Aku harus pergi ke Hinagura."
"Hinagura" Kenapa?"
"Di sana kakak perempuanku dikurung. Aku harus mengeluarkannya dari sana. Kukira aku
terpaksa mengucapkan selamat tinggal."
Otsu memandang wajah Takezo dengan tajam, diam terpukau. "Kalau memang itu yang
kaurasakan, pergilah! Tapi kalau aku tahu kau akan meninggalkan aku, tak akan aku
meninggalkan Miyamoto."
"Apa lagi yang dapat kulakukan" Membiarkan dia dl benteng sana?"
Dengan pandangan menghunjam, Otsu menggenggam tangan Takezo. Wajah dan seluruh tubuhnya
menyala oleh cinta. "Takezo," mohonnya, "akan kukatakan padamu bagaimana perasaanku
kemudian, kalau ada waktu, tapi kuminta jangan tinggalkan aku di sini sendiri! Bawa aku
ke mana saja kau pergi!"
"Tapi aku tak bisa!"
"Ingatlah" Otsu mencengkeram tangan Takezo erat-erat, "suka atau tidak, aku akan ikut.
Kalau kau berusaha menyelamatkan Ogin, aku akan pergi ke Himeji dan menanti."
"Baiklah," kata Takezo langsung setuju.
"Kau pasti akan datang, kan?"
"Tentu." "Aku menunggu di Jembatan Hanada, di pinggiran Himeji. Kutunggu kau di sana, biar
sampai seratus atau seribu hari."
Dengan jawaban anggukan kecil, Takezo berangkat tanpa banyak berkatakata lagi. la
bergegas menyusuri pegunungan yang membujur dari celah itu ke pegunungan di kejauhan.
Otsu mengangkat kepala untuk memperhatikannya, sampai tubuh Takezo menyatu dengan
pemandangan. Sementara itu di kampung, cucu Osugi berlari-lari naik ke rumah besar Hon'iden, sambil
berseru, "Nek! Nenek!"
Sambil menghapus hidung dengan punggung tangan, la melongok ke dapur dan katanya ribut,
"Nek, apa Nenek sudah dengar" Ada kejadian hebat!"
Osugi yang sedang berdiri di depan tungku dan menghidupkan api dengan kipas, hampir
tidak memperhatikan cucunya.
"Apa sih ribut-ribut ini?"
"Nek, Nenek belum tahu" Takezo lari!"
"Lari!" Dan kipas pun jatuh ke api. "Apa katamu?"
"Pagi ini dia tak ada di pohon. Talinya putus."
"Heita, kau ingat apa kata Nenek kalau orang bohong?"
"Ini betul, Nek, sumpah! Semua orang bilang begitu."
"Kau yakin betul?"
"Ya, Nek. Dan di kuil orang mencari Otsu. Dia hilang juga. Semua orang lari ke sana
kernari berteriak-teriak."
Akibat berita itu sungguh penuh warna. Muka Osugi memutih, penuh bayang-bayang nyala
kipasnya yang terbakar itu, yang berubah warna dari merah ke biru dan lembayung. Segera
wajah itu seolah-olah kehilangan darah, sedemikian rupa hingga Heita mengerut
ketakutan. "Heita!" "Ya?" "Lari secepat-cepatnya. Jemput ayahmu, lalu pergilah ke pinggir kali dan panggil Paman
Gon! Cepat!" Suara Osugi menggeletar.
Sebelum Heita sampai di gerbang, sejumlah orang kampung sudah datang. Mereka ramai
berbicara sendiri. Di antara mereka terdapat menantu lelaki Osugi, Paman Gon, sanak
keluarga yang lain, dan sejumlah petani penyewa.
"Jadi, Otsu lari juga, ya?"
"Dan Takuan juga tidak kelihatan lagi!"
"Pasti mereka kerja sama."
"Apa yang dilakukan perempuan tua itu nanti" Kehormatan keluarganya jadi taruhan!"
Menantu Osugi dan Paman Gon yang membawa lembing turun-temurun dari nenek moyang,
memandang kosong ke arah rumah. Mereka belum dapat melakukan sesuatu. Mereka butuh
petunjuk. Karena itu mereka berdiri saja di sana dengan gelisah, menanti Osugi keluar
memberikan perintah-perintahnya.
"Nek!" seru seseorang akhirnya. "Apa Nenek belum dengar?"
"Aku akan datang segera ke sana," terdengar jawabannya. "Kalian semua tenang saja, dan
tunggu." Osugi segera bertindak. Ketika ia mengetahui bahwa berita mengerikan itu benar,
darahnya pun mendidih, tapi ia berusaha mengendalikan dirinya dengan berlutut di depan
altar keluarga. Sesudah menyampaikan doa permohonan dengan diam, ia mengangkat kepala,
membuka mata, dan menoleh ke sekitar. Tenang ia membuka tutup peti pedang, menarik
lacinya dan mengeluarkan senjata simpanannya. la kenakan pakaian yang cocok untuk
memburu orang, ia selipkan pedang pendek itu dalam obi-nya, dan pergilah ia ke pintu
gerbang. Di situ ia ikatkan tall sandal baik-baik pada pergelangan kakinya.
Keheningan penuh pesona yang menyambutnya ketika ia mendekati gerbang jelas menunjukkan
bahwa orang-orang itu sudah tahu untuk apa ia berpakaian demikian. Perempuan tua yang
keras kepala itu memang bermaksud bertindak, dan ia lebih dari siap untuk membalas
dendam atas penghinaan terhadap keluarganya.
"Semuanya akan beres," ucapnya dengan nada pendek-pendek. "Akan kuburu sendiri
perempuan jalang yang tak kenal malu itu, dan mengaturnya supaya dia mendapat hukuman
setimpal." Rahangnya mengatup.
la sudah berjalan cepat di jalan, barulah akhirnya seorang dari antara orang banyak itu
memperdengarkan suaranya. "Kalau perempuan tua itu pergi, kita harus pergi juga." Semua
sanak keluarga dan penyewa pun berdiri dan serentak mengikuti bunda mereka yang gagah
berani itu. Bersenjatakan tongkat, dan sambil membuat tombak bambu dalam perjalanan,
mereka beriring-iring menuju Celah Nakayama, tanpa berhenti untuk istirahat. Mereka
sampai di sana tepat sebelum tengah hari, tapi sudah terlambat.
"Mereka sudah berhasil lolos!" seru seseorang. Orang banyak itu pun menggelegak
marahnya. Kekecewaan mereka ditambah lagi dengan penjelasan seorang pejabat perbatasan
bahwa rombongan sebesar itu tidak bisa lewat.
Paman Gon maju ke depan dan memohon dengan sangat kepada pejabat itu. la melukiskan
Takezo sebagai seorang "penjahat", Otsu "setan", dan Takuan "gila". "Kalau tidak kami
selesaikan soal ini sekarang," jelasnya, "nama nenek moyang kami akan ternoda. Dan kami
tak akan pernah bisa menegakkan kepala. Kami akan menjadi bahan tertawaan orang
kampung. Bahkan keluarga Hon'iden bisa terpaksa meninggalkan tanahnya."
Pejabat itu mengatakan dapat memahami keadaan sulit tersebut, tapi ia tak dapat berbuat
apa-apa untuk menolong. Hukum adalah hukum. Barangkali la dapat melakukan penyelidikan
di Himeji dan memintakan izin khusus untuk menyeberang perbatasan bagi mereka, tapi itu
akan makan waktu. Sesudah berunding dengan sanak saudara dan petani penyewa, Osugi maju ke hadapan
pejabat itu dan bertanya, "Kalau begitu, apa ada alasan kenapa kami berdua, yaitu saya
sendiri dan Paman Gon, tidak bisa jalan terus?"
"Sampai lima orang bisa diizinkan." Osugi mengangguk setuju. Kemudian kelihatannya ia
hendak mengucapkan kata-kata perpisahan yang mengharukan. Tapi akhirnya ia hanya
menyuruh para pengikutnya berkumpul dengan singkat. Mereka berbaris di depannya,
memandang penuh perhatian kepada mulutnya yang berbibir tipis dan giginya yang besar
merongos. Ketika mereka semua sudah diam, la berkata, "Tak usah kalian bingung. Sejak sebelum
berangkat pun aku sudah membayangkan ini akan terjadi. Ketika aku mengambil pedang
pendek ini, salah satu pusaka Hon'iden yang paling berharga, aku berlutut di depan
tanda peringatan nenek moyang kita dan mengucapkan selamat berpisah secara resmi pada
mereka. Aku juga mengucapkan dua sumpah.
"Satu, aku akan mengejar dan menghukum perempuan kurang ajar yang sudah men-coreng nama
kita dengan lumpur. Yang kedua, aku harus memastikan-bahkan sampai mati-apakah anakku
Matahachi masih hidup. Dan kalau dia masih hidup, akan kubawa dia pulang untuk
melanjutkan nama keluarga. Aku bersumpah melakukan ini, dan akan kulaksanakan, biarpun
misalnya aku terpaksa mengikat lehernya dan menyeretnya pulang. Dia punya kewajiban
tidak hanya kepadaku dan kepada mereka yang sudah pergi, tapi juga kepada kalian. Baru
sesudah itu dia akan mencari seorang istri yang seratus kali lebih baik dari Otsu dan
menghapuskan aib ini selamanya, supaya orang kampung sekali lagi mengakui keluarga kita
sebagai keluarga yang mulia dan terhormat."
Ketika mereka bertepuk tangan dan bersorak-sorai, seorang lelaki mengucapkan sesuatu
yang kedengaran seperti erangan. Osugi menatap tajam menantunya.
"Sekarang ini, Paman Gon an aku sudah cukup tua untuk pensiun," lanjutnya. "Kami berdua
sependapat mengenai segala sesuatu yang sudah kusumpahkan tadi, dan dia juga sudah
bertekad untuk melaksanakan sumpah itu, biarpun menghabiskan waktu dua-tiga tahun tanpa
melakukan apa-apa, biarpun terpaksa menjelajahi negeri ini. Selama aku pergi, menantuku
akan mengambil alih jabatanku sebagai kepala keluarga. Selama itu kalian harus berjanji
untuk bekerja keras seperti biasanya. Aku tak ingin mendengar ada di antara kalian yang
menelantarkan ulat sutra atau membiarkan rumput tumbuh liar di ladang. Mengerti?"
Paman Gon hampir lima puluh tahun umurnya, sedangkan Osugi sepuluh tahun lebih tua.
Orang-orang itu rupanya bimbang untuk membiarkan mereka berdua pergi sendiri, karena
jelas kedua orang itu bukan tandingan Takezo apabila mereka menemukannya. Mereka semua
membayangkan Takezo sebagai orang gila yang baru mencium bau darah saja sudah menyerang
dan membunuh. "Apa tidak lebih baik kalau Ibu membawa tiga pemuda?" saran seseorang. "Pejabat itu
mengatakan lima orang bisa lewat."
Perempuan tua itu menggelengkan kepalanya keras-keras. "Aku tidak butuh bantuan apaapa. Aku tak pernah dibantu,dan aku tak akan mau. Ha! Semua orang berpendapat Takezo
sangat kuat, tapi itu tidak bikin aku takut! Dia itu cuma anak bandel. Rambutnya tak
lebih dari yang pernah kukenal waktu dia bayi. Aku tak sebanding dengan dia dalam
kekuatan tubuh, pasti, tapi aku belum kehilangan akalku. Aku masih dapat mengakali
seorang dua orang musuh. Paman Gon juga belum pikun. Sekarang sudah kusampaikan pada
kalian apa yang akan kulakukan," katanya lagi sambil menudingkan jari telunjuknya ke
hidung. "Dan aku akan melaksanakannya. Tak ada lagi yang mesti kalian lakukan sekarang
kecuali pulang. Jadi, pulanglah dan urus semuanya sampai kami kembali."
la mengusir mereka dan pergi menuju perbatasan. Tak seorang pun mencoba menghentikannya
lagi. Mereka menyerukan salam perpisahan dan memandangi pasangan tua itu memulai
perjalanannya ke timur, menuruni sisi gunung.
"Perempuan tua itu betul-betul berani, ya?" kata seseorang.
Seorang lelaki lain mencorongkan tangannya dan berseru, "Kalau Ibu jatuh sakit, kirim
suruhan ke kampung."
Orang ketiga berseru khawatir, "Jaga diri baik-baik."
Ketika Osugi sudah tak dapat lagi mendengar suara orang-orang itu, ia menoleh pada
Paman Gon. "Biar bagaimana kita akan mati sebelum orang orang muda itu."
"Nenek benar sekali," jawab Paman Gon yakin. Paman Gon hidup dengan berburu, tapi di
masa mudanya ia samurai. Menurut ceritanya sendiri, ia pernah terlibat dalam banyak
pertempuran berdarah. Sampai sekarang pun kulitnya masih merah sehat dan rambutnya
sehitam biasanya. Nama keluarganya Fuchikawa; Gon adalah singkatan Gonroku, namanya
sendiri. Sebagai paman Matahachi, dengan sendirinya ia sangat prihatin dan bingung oleh
peristiwa-peristiwa yang baru terjadi itu. "Nek," katanya.
"Apa?" "Nenek sempat memikirkan pakaian perjalanan, tapi aku sendiri cuma memakai pakaian
sehari-hari. Aku harus berhenti nanti, mencari sandal dan topi."
"Ada warung teh kira-kira setengah jalan turun bukit ini."
"Ya, betul! Aku ingat. Namanya Warung Teh Mikazuki, kan" Aku yakin mereka menjual
barang yang kubutuhkan."
Ketika sampai di warung teh itu, heranlah mereka melihat matahari sudah mulai terbenam.
Tadinya mereka mengira masih mempunyai waktu beberapa jam lagi, karena hari-hari memang
bertambah panjang bersama datangnya musim panas berarti lebih banyak waktu untuk
melakukan pencarian. Hari pertama mengejar kehormatan keluarga yang hilang.
Mereka minum sedikit teh dan beristirahat sebentar. Ketika mengeluarkan uang, Osugi
berkata, "Takano terlalu jauh kalau dicapai malam hari. Kita terpaksa tidur di tikar
bau di penginapan kusir kuda beban di Shingu, meskipun tidak tidur sama sekali
barangkali lebih baik."
"Kita butuh tidur justru sekarang ini. Ayo kita jalan," kata Gonroku sambil bangkit
mencekau topi jerami yang barusan dibelinya. "Tapi tunggu sebentar."
"Ada apa?" "Aku mau mengisi tabung bambu ini dengan air minum"
Gonroku berjalan ke belakang rumah dan mencelupkan tabungnya ke kali yang mengalir
jernih, sampai gelembung-gelembung air tidak naik lagi ke permukaan. Dalam perjalanan
kembali ke jalan di depan, sekilas ia memandang lewat jendela samping ke bagian dalam
warung teh yang samar-samar itu. Tiba-tiba ia pun terhenti, karena terkejut melihat
sesosok tubuh yang terbaring di lantai, berselimut tikar jerami. Bau obat-obatan
memenuhi udara. Gonroku tak dapat melihat wajah orang itu, tapi dapat melihat rambut
hitam yang terburai ke sana kemari di atas bantal.
"Paman Gon, lekas!" seru Osugi tak sabaran.
"Sebentar." "Ada apa?" "Kelihatannya ada orang sakit di dalam," kata Gonroku sambil berjalan di belakang Osugi
seperti anjing yang sedang dihukum.
"Apa itu luar biasa" Perhatianmu ini gampang teralih, seperti anak-anak."
"Maaf, maaf," Gonroku lekas-lekas minta maaf. la memang gampang ditakut-takuti Osugi,
seperti orang lain juga, tapi ia lebih tahu cara mengendalikan perempuan itu daripada
kebanyakan orang lain. Mereka berangkat menuruni bukit yang cukup terjal, menuju jalan Harima. Jalan yang
sehari-harinya dilalui kuda-kuda beban dari tambang perak itu penuh dengan lubang.
"Jangan sampai jatuh, Nek," nasihat Gon.
"O, jangan berani-berani kau mengajariku! Jalan ini bisa kulalui dengan mata tertutup.
Kau sendiri yang mesti hati-hati, orang sinting tua!"
Pada saat itu terdengar suara yang menyapa mereka dari belakang. "Anda berdua ini
cekatan sekali." Mereka menoleh, dan tampaklah oleh mereka pemilik warung teh itu menunggang kudanya.
"O, ya, kami baru saja istirahat di tempat Anda, terima kasih. Dan ke mana Anda akan
pergi?" "Tatsuno." "Malam begini?"
"Tidak ada dokter, kecuali di sana. Biarpun naik kuda, baru tengah malam saya akan
sampai." "Apa istri Anda sakit?"
"O, tidak." Keningnya mengerut. "Kalau istri saya sendiri atau salah seorang anak saya,
tidak apalah. Tapi berat rasanya kalau buat orang lain, orang yang baru datang buat
istirahat." "O," kata Paman Gon, "Apa itu gadis yang ada di kamar belakang Anda" Kebetulan saya
melihatnya tadi sekilas."
Kening Osugi sekarang ikut berkerut.
"Ya," kata pemilik warung. "Ketika dia istirahat badannya mulai menggigil, jadi saya
tawarkan kamar belakang buat berbaring. Saya merasa harus berbuat sesuatu. Tapi tidak
juga dia membaik. Sebaliknya, keadaannya jauh lebih buruk. Badannya panas sekali karena
demam. Kelihatannya cukup gawat."
Osugi menghentikan jalannya. "Apa gadis itu sekitar enam belas tahun, dan sangat
ramping?" "Ya, sekitar enam belas, saya kira. Katanya dia datang dari Miyamoto."
Osugi pun mengedip pada Gonroku dan mulai menggerayangi obi-nya. Tapi pandangan kecewa
tergambar pada wajahnya, ketika ia berseru, "Oh, ketinggalan di warung teh itu!"
"Apa yang ketinggalan?"
"Tasbih. Aku ingat sekarang-tadi kutaruh di atas bangku."
"O, celaka," kata tukang warung seraya membalikkan kudanya. "Sebentar saya ambilkan."
"Jangan, jangan! Anda mesti menjemput dokter. Gadis yang sakit itu lebih penting
daripada tasbih saya. Biar kami sendiri kembali mengambilnya."
Paman Gon sementara itu sudah berbalik, melangkah cepat mendaki bukit. Begitu selesai
berbicara dengan pemilik warung teh yang baik budi itu, Osugi pun segera menyusul. Tak
lama kemudian mereka berdua terengah-engah kehabisan napas. Tak seorang pun bicara.


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pasti itu Otsu! Otsu sebetulnya belum sembuh benar dari demam yang menyerangnya pada malam ia diseret
masuk dari tengah badai itu. la dapat melupakan sakitnya ketika beberapa jam berada
bersama Takezo, tapi sesudah Takezo meninggalkannya ia hanya dapat berjalan sedikit
sebelum akhirnya mulai menyerah pada rasa sakit dan lelah. Ketika sampai di warung teh
itu, ia sudah benar-benar tidak tahan.
Tak tahu ia sudah berapa lama terbaring di kamar belakang itu, dan berkali-kali meminta
air dalam igauannya. Sebelum pergi, tukang warung menjenguknya dan mendesaknya supaya
bertahan. Beberapa waktu kemudian Otsu sudah lupa bahwa tukang warung pernah bicara
dengannya. Mulutnya kering. la merasa mulutnya penuh duri. "Air, air, minta air!" serunya lemah.
Karena tak ada jawaban, ia pun menegakkan badan dengan kedua sikunya dan menjulurkan
leher ke arah tempayan air yang ada di luar pintu. Pelan-pelan la berhasil merangkak ke
situ, tapi ketika ia mengulurkan tangan untuk memegang ciduk bambu di sampingnya,
didengarnya tirai hujan jatuh ke tanah di belakangnya. Warung teh itu memang tak lebih
dari gubuk pegunungan, dan tidak suatu pun dapat mencegah orang mengangkat satu atau
seluruh tirai yang tak terikat itu.
Osugi dan Paman Gon menerobos dari tempat tirai terbuka itu.
"Aku tidak lihat apa-apa," keluh perempuan tua itu dengan suara yang menurutnya hanya
bisikan. "Tunggu," jawab Gon yang waktu itu sedang menuju kamar perapian, lalu mengaduk bara dan
memasukkan sedikit kayu untuk sedikit menerangi ruangan.
"Tak ada di sini, Nek!"
"Dia pasti di sini! Tak mungkin dia pergi!" Hampir seketika itu juga Osugi pun melihat
pintu kamar belakang terbuka. "Lihat di sana!" serunya.
Otsu, yang sudah berdiri di luar, menyiramkan air yang sudah diciduk tadi lewat lubang
sempit ke muka perempuan tua itu dan berlari kencang menuruni bukit seperti burung di
tengah angin, sampai lengan baju dan kimononya mengembung di belakangnya.
Osugi berlari ke luar dan memaki-maki.
"Gon, Gon. Kejar, Gon, kejar!"
"Apa dia lari?"
"Tentu saja lari! Kita sudah kasih dia kesempatan lari, karena banyak ribut itu. Mana
kau menjatuhkan tirai segala!" Wajah perempuan tua itu sudah berubah bentuk karena
berang. "Apa tak bisa kaukejar?"
Paman Gon mengarahkan pandangannya ke sosok tubuh yang seperti' kijang terbang di
kejauhan. la mengangkat tangan dan menuding. "Itu dia, kan" Jangan khawatir, dia tak
jauh mendahului kita. Dia sakit, dan lagi kakinya kaki gadis. Sebentar lagi dia pasti
terkejar oleh-ku." Ia menarik dagunya dan langsung berlari. Osugi segera menyusulnya.
"Paman Gon," teriaknya, "kau boleh menggunakan pedang, tapi jangan potong kepalanya
sebelum aku sempat kasih dia sedikit pendapatku."
Paman Gon tiba-tiba memekik kaget dan jatuh tengkurap. "Ada apa?" teriak Osugi yang
menyusulnya. "Lihat itu ke bawah." Osugi pun melihat ke sana. Tepat di depan mereka ternganga jurang
terjal penuh bambu. "Dia terjun ke situ?"
"Ya. buat "Apa yang Kukira tidak terlalu dalam, tapi terlalu gelap. Terpaksa kembali ke warung teh
ambil obor." Ketika ia sedang berlutut memandang ke dalam jurang, Osugi berteriak,
yang kautunggu, tolol?" dan menyodoknya dengan keras. Terdengar bunyi kaki-kaki
mencoba mencari pijakan, merangkak-rangkak, dan akhirnya berhenti di dasar jurang.
"Tukang sihir tua!" teriak Paman Gon marah. "Cobalah turun sendiri! Biar tahu sendiri
rasanya!" Takezo duduk di atas batu besar sambil melipat tangan dan memandang ke seberang lembah,
ke benteng Hinagura. Ia membayangkan di bawah salah satu atap itulah kakak perempuannya
dipenjarakan. la sudah duduk di situ sejak matahari terbit sampai matahari terbenam
sehari sebelumnya dan sepanjang hari ini, namun belum juga la dapat menyusun rencana
untuk mengeluarkan kakaknya. la bermaksud terus duduk sampai ia mendapatkan rencana
itu. Pikirannya sudah sampai pada keyakinan bahwa la dapat membikin lumpuh lima puluh atau
seratus serdadu yang mengawal benteng itu, tapi ia masih terus mempertimbangkan letak
tanah. Yang ia perlukan bukan hanya masuknya, tapi juga keluarnya. Keadaannya tidak
begitu membesarkan hati. Di belakang benteng terdapat parit dalam, sedangkan di depan,
jalan masuk benteng itu dilindungi dengan baik oleh gerbang ganda. Yang lebih buruk
lagi, mereka berdua nantinya akan terpaksa melarikan din menyeberangi dataran rata yang
tidak ditumbuhi sebatang pohon pun untuk berlindung. Pada hari tak berawan seperti ini,
tak ada sasaran yang lebih baik dari itu.
Jadi, keadaan itu memaksanya melakukan serangan malam, tapi ia sudah melihat bahwa
gerbang-gerbang itu ditutup dan dikunci sebelum matahari terbenam. Setiap usaha untuk
mendobraknya pasti membunyikan tanda bahaya berupa anak genta dari kayu yang ingarbingar bunyinya itu. Agaknya tak ada cara yang mudah untuk mendekati benteng itu.
Tak ada jalan, pikir Takezo sedih. "Sekalipun aku mengambil jalan terbaik, pasti
membahayakan hidupku sendiri dan hidupnya. Tak bisa." Ia merasa terhina dan tak
berdaya. "Bagaimana mungkin aku jadi begini pengecut?" tanyanya pada diri sendiri.
"Seminggu yang lalu aku bahkan tidak berpikir sempat lolos dalam keadaan hidup."
Setengah hari kemudian tangannya masih tetap terlipat di dada, seakan terkunci. Ia
mengkhawatirkan sesuatu yang tak dapat dirumuskannya, dan ia ragu-ragu mendekati
benteng itu. Berkali-kali ia mencela dirinya sendiri. "Aku sudah kehilangan keberanian.
Tak pernah aku seperti ini. Barangkali berhadapan dengan maut membikin orang jadi
pengecut." Ia pun menggelengkan kepala. Tidak, bukan itu, bukan sikap pengecut. Ia menarik
pelajaran yang dengan segala jerih payah diberikan oleh Takuan, dan sekarang ia bisa
melihat segala sesuatu dengan lebih jernih. la merasakan ketenangan baru, perasaan
damai. Rasanya perasaan itu mengalir di dadanya seperti sungai yang lembut. Berani,
lain sekali dengan ganas. la paham sekarang. la tidak merasa seperti binatang, ia
merasa seperti seorang manusia. Manusia berani yang sudah melampaui kesembronoan
remajanya. Hidup yang diberikan padanya adalah sesuatu yang harus dihargai dan
dijunjung, dipoles dan disempurnakan.
Ia menatap langit terang yang cantik, yang warnanya saja rasanya sudah merupakan
keajaiban. Namun ia tidak dapat membiarkan kakak perempuannya ditahan, sekalipun
artinya ia harus melanggar untuk terakhir kalinya pengetahuan diri yang sangat
berharga, yang baru saja la peroleh dengan penuh penderitaan.
Sebuah rencana mulai terbentuk. "Kalau malam tiba, aku akan menyeberangi lembah dan
memanjat karang di sebelah sana. Rintangan alam itu bisa menjadi samaran. Tak ada
gerbang di bagian belakang, dan agaknya tempat itu tidak dikawal ketat."
Belum lagi la sampai pada kesimpulan ini, sebatang anak panah mendesis ke arahnya dan
menancap di tanah, beberapa inci dari jemari kakinya. Di seberang lembah sana ia
melihat kerumunan orang banyak bergerak ke sana kemari di dalam benteng. Jelas mereka
telah melihatnya. Hampir seketika itu juga mereka buyar. la menduga tembakan itu
percobaan untuk melihat, reaksinya, tapi dengan sengaja ia diam tak bergerak di
tempatnya. Tak lama kemudian, cahaya matahari sore mulai mengabur di belakang puncak pegunungan
barat. Tepat sebelum kegelapan menyelimuti, ia bangkit dan memungut sebuah batu. la
sudah melihat makan malamnya melayang di atas kepala. Begitu dilemparnya burung itu pun
jatuh, dikoyaknya dan dibenamkannya giginya ke dalam daging yang hangat itu.
Selagi ia makan, lebih dari dua puluh serdadu bergerak ribut mencari posisi dan
mengepungnya. Begitu posisi rapi, mereka memperdengarkan teriakan perang. Satu orang
berseru, "Itu Takezo! Takezo dari Miyamoto!"
"Dia berbahaya! Jangan sepelekan dia!" satu orang lagi mengingatkan.
Takezo menghentikan pesta unggas mentah itu dan menyorotkan pandangan kejam ke arah
para calon penangkapnya. Pandangan yang biasa diperlihatkan oleh binatang ketika
terganggu di tengah makannya.
"Ya-a-h-h!" pekiknya sambil mengambil sebuah batu besar dan melontarkannya ke baris
depan dinding manusia itu. Batu itu menjadi merah oleh darah, dan dalam sekejap ia
sendiri sudah menerobos, berlari langsung ke arah gerbang benteng.
Orang-orang itu ternganga.
"Apa yang dia lakukan?"
"Ke mana perginya orang sinting itu?"
"Dia gila!" Takezo terbang seperti capung yang keranjingan, dikejar para serdadu yang memperdengarkan teriakan-teriakan perang. Namun ketika mereka sampai di gerbang luar,
Takezo sudah melompat naik. Sekarang ia berada di antara kedua gerbang, yang sebetulnya
sebuah perangkap. Mata Takezo sama sekali tak melihat. la tak dapat melihat serdadu
yang mengejarnya, pagar, maupun para pengawal di gerbang kedua. la bahkan tak sadar
ketika merobohkan dengan satu pukulan saja seorang penjaga yang mencoba melompatinya.
Dengan kekuatan yang hampir-hampir di luar kekuatan manusia, ia merenggut sebuah tiang
di gerbang dalam, ia guncangkan matimatian, sampai tercerabut dari tanah. Kemudian ia
berbalik kepada para pengejarnya. la tak tahu jumlah mereka. Yang diketahuinya hanyalah
sesuatu yang besar dan hitam menyerangnya. la membidik sebaik-baiknya, lalu la hantam
benda tak berbentuk itu dengan tiang gerbang. Sejumlah besar lembing dan pedang
berantakan, terbang ke udara dan jatuh berantakan ke tanah.
"Ogin!" teriak Takezo sambil berlari ke bagian belakang benteng. "Ogin, ini aku,
Takezo." Ia tatap gedung-gedung itu dengan mata menyala, sambil terus memanggil-manggil kakak
perempuannya. "Apa semua ini tipu daya?" pikirnya panik. Satu demi satu ia gedor pintupintu itu dengan tiang gerbang. Ayam-ayam pengawal berkaok-kaok menyelamatkan hidup,
terbang ke segala jurusan.
"Ogin!" Setelah gagal mengetahui tempat kakak perempuannya, teriakan-teriakannya yang serak
menjadi hampir tak bisa dimengerti.
Akhirnya di dalam bayangan salah satu sel kecil dan kotor, ia melihat seorang lelaki
mencoba menyelinap. "Berhenti!" serunya sambil melemparkan tiang gerbang yang bernoda darah itu ke kaki
makhluk seperti musang tersebut. Ketika Takezo melompat ke arahnya, orang itu mulai
menangis tak kenal malu. Takezo menampar keras pipinya, "Mana kakakku?" raungnya.
"Diapakan dia" Katakan di mana dia, kalau tidak kubunuh kau!"
"Dia... dia tidak di sini. Kemarin dulu dia dibawa pergi. Perintah dari puri."
"Di mana. Dibawa ke mana dia?"
"Himeji?" "I- y- y- ya." "Kalau kau bohong, ku..." Takezo mencekal rambut orang yang menangis tersedu-sedu itu.
"Betul... betul. Sumpah!"
"Nah, lebih baik kalau begitu. Tapi kalau kau bohong, aku akan kembali khusus
mencarimu!" Serdadu-serdadu itu merapat lagi. Takezo mengangkat orang itu dan melemparkannya ke
arah mereka. Kemudian ia menghilang ke dalam bayangan sel-sel yang mesum. Setengah
lusin anak panah terbang melewatinya, sebuah menempel seperti jarum jahit raksasa di
kimononya. Takezo menggigit kuku ibu jarinya dan memandang anak-anak panah itu melaju
lewat, kemudian tiba-tiba ia menuju pagar, dan dalam sekejap mata sudah melompatinya.
Di belakangnya terdengar ledakan keras. Gema tembakan senapan itu meraung ke seberang
lembah. Takezo meluncur menuruni jurang, dan sementara berlari petikan-petikan ajaran Takuan
pun melintas dalam kepalanya, "Belajarlah takut pada apa yang menakutkan.... Kekuatan
yang kasar dalam permainan anak-anak, kekuatan binatang yang tak berakal.... Punyailah
kekuatan prajurit sejati... keberanian yang nyata.... Hidup itu berharga."
*** 8. Lahirnya Musashi TAKEZO menanti di pinggirankota Himeji, kadang-kadang bersembunyi di bawah Jembatan
Hanada, tapi lebih sering berdiri di jembatan dan diam-diam memperhatikan orang-orang
lewat. Apabila sedang tidak berada di dekat jembatan itu, ia biasa melakukan pesiar
singkat sekitar kota, dengan hati-hati membenamkan topi dan menyembunyikan wajahnya,
seperti pengemis, dengan anyaman jerami.
la sangat risau bahwa Otsu belum juga muncul; baru seminggu berlalu sejak gadis itu
bersumpah akan menanti di situ-bukan seratus hari, tapi seribu. Sekali Takezo membuat
janji, pantang ia melanggarnya. Tetapi bersamaan dengan berlalunya waktu, ia pun
semakin tergoda untuk mondarmandir, sekalipun janjinya pada Otsu bukanlah satu-satunya
alasan kenapa ia ke Himeji. la pun harus menemukan di mana orang menahan Ogin.
la sedang berada di dekat pusat kota pada suatu hari, ketika didengarnya suara orang
memanggil namanya. Langkah-langkah kaki terdengar di belakangnya. la mengangkat kepala
dengan tegas, dan tampak olehnya Takuan datang mendekat sambil berseru, "Takezo!
Tunggu!" Takezo terperanjat, dan seperti biasa di hadapan biarawan ini ia merasa sedikit rendah
diri. la menyangka penyamarannya sudah aman, dan merasa yakin bahwa tak seorang pun
mengenalinya, bahkan juga Takuan.
Biarawan itu menangkap pergelangan tangannya. "Ayo ikut aku," perintahnya. rintahnya.
Nada gawat yang ada dalam suaranya itu mustahil diabaikan. "Dan jangan bikin ribut.
Sudah lama aku mencarimu."
Takezo ikut tanpa melawan. Tak terpikir olehnya ke mana mereka pergi, tapi sekali lagi
ia merasa tanpa daya menghadapi orang istimewa ini. Ia heran, kenapa demikian. Ia
merdeka sekarang dan sepanjang pengetahuannya mereka berjalan langsung kembali ke pohon
gila di Miyamoto itu. Atau barangkali ke kamar bawah tanah di dalam puri. la menduga
kakaknya ditahan di dalam salah satu benteng, tapi tak ada satu bukti pun untuk
membenarkan dugaannya itu. la berharap ia benar. Kalau ia tertangkap di sana, setidaktidaknya mereka dapat mati bersama. Kalaupun mereka harus mati, memang tak ada orang
lain yang cukup dicintainya yang dapat diajaknya berbagi saat-saat akhir hidup yang
berharga ini. Puri Himeji muncul di hadapan matanya. la dapat melihat sekarang, kenapa puri itu
disebut "Puri Bangau Putih". Bangunan megah itu berdiri di atas kubu batu yang sangat
besar, seperti burung besar angkuh yang turun dari langit. Takuan mendahuluinya
menyeberangi jembatan lengkung lebar yang membentang hingga parit luar. Sebarisan
pengawal berdiri tegak di depan gerbang besi. Cahaya matahari yang memantulkan
lembinglembing terhunus membuat Takezo sekejap ragu-ragu lewat. Walaupun tidak menoleh,
Takuan dapat merasakan keraguannya. Dengan isyarat tak sabar la mendesak Takezo maju
terus. Lewat menara gerbang, mereka mendekati gerbang kedua. Di sini serdadu-serdadu
memandang lebih cermat dan waspada lagi, dan siap untuk berkelahi begitu ada perintah.
Ini puri seorang daimyo. Sulit bagi penghuninya untuk dapat santai dan menerima
kenyataan bahwa negeri telah berhasil dipersatukan. Seperti banyak puri lain pada zaman
itu, ia belum terbiasa akan kemewahan perdamaian.
Takuan memanggil kapten pengawal. "Aku sudah menangkapnya," ucapnya. Sambil menyerahkan
Takezo, biarawan itu menasihati orang tersebut untuk memperlakukan Takezo baik-baik
sebagaimana diinstruksikan sebelumnya, tapi ia menambahkan, "Hati-hati. Dia anak macan
yang bertaring. Dia masih liar. Kalau kau menggodanya, dia akan menggigit."
Takuan melewati gerbang kedua menuju bangunan tengah, di mana terletak kediaman daimyo.
Rupanya ia kenal baik jalan di situ. Buktinya ia tidak memerlukan penunjuk jalan
ataupun petunjuk. la hampir tidak mengangkat kepala waktu berjalan, dan tak seorang pun
mengganggu jalannya. Sesuai perintah Takuan, Kapten tidak menyentuh orang yang jadi tanggungannya. la hanya
minta Takezo mengikutinya. Takezo ikut tanpa berkata-kata. Segera mereka sampai di
rumah mandi, dan Kapten memerintahkannya membasuh badan. Saat itu punggung Takezo pun
mengejang, karena ia ingat benar akan waktu mandi terakhir kali di rumah Osugi, ingat
akan perangkap yang untung berhasil diterobosnya. Ia melipat tangan dan mencoba
berpikir, mengulur waktu dan memperhatikan sekitarnya. Segalanya begitu damai-sebuah
pulau ketenangan, di mana seorang daimyo dapat menikmati kenikmatan hidup, apabila
tidak sedang mengatur strategi. Segera kemudian seorang pembantu datang membawa kimono
katun hitam hakama. Ia mengangguk dan berkata sopan, "Saya letakkan di sini. Anda dapat
memakainya kalau nanti keluar."
Takezo hampir menangis. Perlengkapan itu mencakup tidak hanya kipas lipat dan kertas
tisu, melainkan juga sepasang pedang samurai panjang dan pendek. Segalanya sederhana
dan tidak mahal, tapi tak ada yang kurang. Ia diperlakukan sebagai manusia lagi, dan
ingin ia mengangkat kain katun bersih itu ke wajahnya dan menggosokkannya ke pipi serta
menghirup bau segarnya. Ia berbalik dan masuk rumah mandi.
Ikeda Terumasa, yang dipertuan di puri itu, menyandarkan diri pada tangan kursi dan
memandang ke luar, ke kebun. Tubuhnya pendek, kepalanya tercukur bersih, dan noda-noda
gelap bekas cacar menaburi wajahnya. Walau tidak mengenakan pakaian paling resmi, ia
mengenakan juga tutup kepala dan kain sutra longgar yang sesuai dengan lingkungannya.
"Itu dia?" tanyanya kepada Takuan sambil menudingkan kipas lipatnya.
"Ya, itu dia," jawab biarawan itu sambil membungkuk hormat.
"Wajahnya cakap. Bagus sekali Anda menyelamatkannya."
"Dia berutang nyawa pada Tuan. Bukan pada saya."
"Tidak betul itu, Takuan, dan Anda tahu itu. O, sekiranya aku memiliki banyak anak buah
seperti Anda di sini, tak sangsi lagi banyak orang berguna akan diselamatkan, dan dunia
akan menjadi lebih baik karenanya." Daimyo itu mengeluh. "Susahnya, semua orangku
menyangka bahwa satu-satunya tugas mereka adalah mengikat orang atau memenggal
kepalanya." Satu jam kemudian Takezo sudah duduk di kebun di luar beranda, kepalanya tertunduk dan
tangannya terletak rata di atas lutut, dengan sikap hormat mendengarkan.
"Jadi, namamu Shimmen Takezo?" tanya Yang Dipertuan Ikeda.
Takezo menengadah cepat dan melihat wajah orang terkenal itu, kemudian dengan hormat
menunduk kembali. "Ya, Tuan," jawabnya terang.
"Keluarga Shimmen adalah cabang keluarga Akamatsu, klan Akamatsu Masanori, seperti kau
tahu betul, pernah menjadi yang dipertuan di puri mi.
Kerongkongan Takezo jadi kering. Baru sekali itu ia kehabisan kata. Selamanya ia
menganggap dirinya kambing hitam keluarga Shimmen, yang tak ada perasaan hormat khusus


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ataupun perasaan kagum kepada daimyo itu, namun demikian ia merasa malu karena telah
mendatangkan aib besar kepada nenek moyangnya dan nama keluarganya. Wajahnya serasa
terbakar. "Yang kauperbuat itu tak dapat diampuni," lanjut Terumasa dengan nada lebih keras.
"Ya, Tuan." "Karenanya, aku terpaksa menghukummu." Sambil menoleh kepada Takuan ia bertanya, "Apa
betul pembantuku Aoki Tanzaemon tanpa izinku berjanji, kalau Anda berhasil menangkap
orang ini, Anda dapat memutuskan dan memberikan hukuman?"
"Saya kira Anda dapat mengetahui hal itu dengan langsung bertanya pada Tanzaemon."
"Aku sudah bertanya padanya."
"Kalau begitu, apakah menurut pendapat Anda saya berbohong?"
"Tentu saja tidak. Tanzaemon sudah mengaku, tapi aku meng-inginkan pembenaran Anda.
Karena dia bawahan langsungku, sumpahnya pada Anda berarti sumpahku. Karena itu,
walaupun aku yang dipertuan di tanah ini, aku telah kehilangan hakku menghukum Takezo
dengan hukuman yang cocok. Tentu aku tak akan mengizinkan dia pergi tanpa hukuman, tapi
terserah Anda, bentuk hukuman apa yang akan diambil."
"Bagus. Itulah justru yang saya pikirkan."
"Kalau begitu, aku simpulkan Anda sudah punya usul. Nah, apa yang akan kita lakukan
kepadanya?" "Saya pikir, yang terbaik adalah menempatkan tawanan ini dalam-akan kita namakan apa
itu?"'keadaan serba kurang' untuk sementara waktu."
"Dan bagaimana usul Anda untuk melakukan itu?"
"Saya yakin di puri ini ada sebuah kamar tertutup yang sudah lama didesas-desuskan ada
hantunya?" "Betul. Semua pesuruhku menolak untuk masuk dan para pembantu selalu menghindarinya,
karena kamar itu selamanya tidak terpakai. Sekarang kamar itu kubiarkan sebagaimana
adanya, karena tak ada alasan untuk membukanya."
"Tapi apakah menurut pendapat Anda tidak rendah bagi kemuliaan salah seorang prajurit
terkuat dalam lingkungan Tokugawa, kalau Anda, Ikeda Terumasa, memiliki kamar yang tak
pernah berlampu dalam puri?"
"Tak pernah aku berpikir demikian."
"Nah, orang suka berpikir demikian. Ini adalah cermin kekuasaan dan martabat Anda.
Menurut saya, kita harus menaruh lampu di sana."
"Hmm. " "Kalau Anda mengizinkan saya menggunakan kamar itu, akan saya simpan Takezo di sana
sampai saya siap memaafkannya. Sudah cukup lama dia hidup dalam kegelapan semata.
Kaudengar itu, Takezo?"
Tidak kedengaran Takezo berkuik, tetapi Terumasa mulai tertawa, dan katanya, "Bagus!"
Jelas hubungan mereka baik sekali. Jadi, apa yang dikatakan Takuan pada Aoki Tanzaemon
di kuil malam hari dulu itu benar. Takuan dan Terumasa, dua-duanya pengikut Zen, nampak
sangat bersahabat, bahkan hampir-hampir bersaudara.
"Sesudah mengantarnya ke petak baru itu nanti, sebaiknya Anda ikut aku ke warung teh,"
kata Terumasa pada si biarawan, ketika ia hendak pergi.
"O, apa Anda bermaksud sekali lagi memperlihatkan ketidakmahiran Anda dalam upacara
minum teh?" "Ah, tidak betul, Takuan. Hari-hari ini aku sudah betul-betul mulai tahu selukbeluknya. Datanglah nanti, dan akan kubuktikan bahwa aku bukan lagi sekadar serdadu
yang tak tahu adat. Aku menunggu." Terumasa lalu mengundurkan diri ke bagian dalam
kediamannya. Sekalipun tubuhnya pendek-hampir tidak sampai satu setengah meterkehadirannya seakanakan memenuhi puri yang bertingkat banyak itu.
Menara utama benteng di atas itu selalu gelap gulita. Di situlah terletak kamar yang
ada hantunya itu. Di situ tak ada kalender, tak ada musim semi, tak ada musim gugur,
tak ada bunyi kehidupan keseharian. Hanya ada sebuah lampu kecil yang menerangi pipi
pucat cekung Takezo. Bagian ilmu medan dalam buku Seni Perang karangan Sun-tzu terbuka di meja rendah di
hadapannya. Sun-tzu berkata: "Inilah yang penting diketahui tentang medan, Ada yang dapat
menerobos. Ada yang membatasi. Ada bagian yang terpencil. Ada yang memungkinkan gerak
laju. Ada jarak yang harus diperhitungkan."
Apabila terbaca olehnya bagian yang sangat menarik seperti di bawah ini, ia membacanya
keras berulang-ulang, seperti nyanyian:
Barang siapa mengenal seni perang, tak akan serampangan ia dalam gerakannya. la kaya
karsa dan membatasi kemungkinan.
Karenanya Sun-tzu berkata, "Barang siapa mengenal dirinya sendiri dan mengenal
musuhnya, ia senantiasa menang dengan mudah. Barang siapa mengenal langit dan bumi, ia
menang atas segalanya."
Apabila matanya sudah kabur karena lelah, ia mencucinya dengan air sejuk dari mangkuk
kecil yang selalu ada di sampingnya. Kalau minyak hampir habis dan sumbu lampu
memercik, dimatikannya saja lampu itu. Sekeliling meja bertumpuk-tumpuk buku, sebagian
dalam bahasa Jepang, sebagian lagi dalam bahasa Cina. Buku-buku tentang Zen, dan
berjilid-jilid tentang sejarah Jepang. Takezo benar-benar tenggelam dalam buku
pelajaran ini. Semua itu dipinjam dari koleksi Yang Dipertuan Ikeda.
Ketika Takuan menjatuhkan hukuman kurungan, ia berkata, "Kau boleh membaca sebanyak kau
suka. Seorang pendeta terkenal zaman kuno pernah berkata, Saya terbenam dalam kitabkitab suci dan membaca beribu-ribu jilid buku. Ketika saya keluar, hati saya serasa
melihat lebih banyak daripada sebelumnya.
"Anggaplah kamar ini sebagai rahim ibumu dan bersiaplah untuk lahir kembali. Kalau kau
melihatnya hanya dengan matamu, tak akan kau melihat apa-apa kecuali sel yang tak
berlampu dan tertutup. Tapi pandanglah lebih saksama. Lihatlah dengan akalmu dan
berpikirlah. Kamar ini dapat menjadi sumber pencerahan, pancuran pengetahuan yang
ditemukan dan diperkaya oleh orang-orang bijak di masa lalu. Terserah padamu, apakah
kamar ini menjadi kamar kegelapan, ataukah kamar penuh cahaya."
Sejak itu Takezo berhenti menghitung hari. Kalau udara dingin, artinya musim dingin.
Kalau udara panas, musim panas. Lain dari itu tidak banyak yang diketahuinya. Udara
tetap sama, lembap dan pengap, dan musim tak ada sangkut-pautnya dengan hidupnya. Namun
ia hampir merasa pasti bahwa kalau nanti burung layang-layang datang bersarang lagi
dalam lubang-lubang penyimpanan senapan yang tertutup papan dalam menara itu, maka
itulah musim semi tahun ketiga la berada di dalam rahim itu.
"Aku akan berumur dua puluh satu tahun," katanya pada dirinya sendiri. Disergap rasa
sesal, ia pun merintih, seakan-akan berkabung, "Dan apa yang sudah kulakukan selama dua
puluh satu tahun ini?" Kadang-kadang kenangan tentang tahun-tahun lalu itu menekan
dirinya tak hentihentinya dan merundungnya dengan kesedihan. la meratap dan mengerang,
memukul dan menendang, dan kadang-kadang ia tersedu-sedan bagai bayi. Hari-hari ditelan
derita. Apabila derita itu mereda, ia kehabisan tenaga dan gairah hidup. Rambutnya
berantakan dan hatinya hancur.
Akhirnya suatu hari ia mendengar burung layang-layang kembali ke bawah atap menara itu.
Sekali lagi musim semi terbang dari seberang lautan.
Tak lama sesudah datangnya burung itu, terdengar suara bertanya, kali ini kedengaran
aneh, hampir-hampir menyakitkan telinga, "Takezo, kau baik-baik saja?"
Kepala Takuan yang sudah dikenalnya itu muncul di puncak tangga. Terkejut dan terlampau
terharu hingga tak dapat mengeluarkan kata-kata, Takezo menarik lengan kimono biarawan
itu dan menariknya masuk kamar. Pesuruh-pesuruh yang membawakannya makanan tidak sekali
pun pernah mengucapkan kata-kata. Kegembiraannya meluap mendengar suara manusia lain,
terutama suara manusia ini.
"Aku baru pulang dari perjalanan," kata Takuan. "Ini sudah tahun ketigamu di sini.
Sesudah menempuh masa persiapan selama ini, tentunya kau sudah jadi sekarang."
"Saya berterima kasih atas kebaikan Bapak. Saya paham sekarang, apa yang Bapak
maksudkan. Bagaimana saya harus mengucapkan terima kasih pada Takuan?"
"Terima kasih?" kata Takuan tak percaya. Lalu ia tertawa. "Walau tak ada yang dapat
kauajak bercakap-cakap kecuali dirimu sendiri, ternyata kau sudah betul-betul bisa
bicara seperti manusia! Bagus! Hari ini kau boleh meninggalkan tempat ini. Dan kalau
kau pergi, peluklah dengan erat pencerahan yang telah kaubayar mahal. Kau akan
membutuhkannya apabila nanti memasuki dunia dan menggabungkan diri dengan sesamamu."
Takuan membawa Takezo sebagaimana adanya menghadap Yang Dipertuan Ikeda. Dalam
pertemuan sebelumnya ia didudukkan di kebun, tapi sekarang untuknya disediakan tempat
di beranda. Sesudah saling mengucapkan salam dan basa-basi, Terumasa tidak membuangbuang waktu dan meminta Takezo menjadi bawahannya.
Takezo menolak. la merasa mendapat kehormatan besar, demikian dijelaskannya, tapi ia
merasa belum waktunya mengabdi pada seorang daimyo. "Dan kalau saya mengabdi di puri
ini," katanya, "hantu-hantu barangkali akan mulai muncul dalam kamar tertutup itu tiap
malam, seperti kata semua orang."
"Kenapa" Apa hantu-hantu itu menemanimu?"
"Kalau Tuan membawa lampu dan memeriksa kamar itu dengan saksama, Tuan akan melihat
bercak-bercak hitam memerciki pintu-pintu dan tiang-tiangnya. Kelihatannya seperti lak,
tapi bukan. Itu darah manusia, kemungkinan besar darah yang dicurahkan oleh orang-orang
Akamatsu, nenek moyang saya, ketika mereka mempertahankan puri ini."
"Hmm. Kemungkinan besar kau benar."
"Melihat noda-noda itu, saya jadi naik pitam. Darah saya mendidih memikirkan bagaimana
nenek moyang saya yang pernah menguasai seluruh wilayah ini berakhir dengan kebinasaan.
Jiwa mereka begitu saja tersapu angin musim gugur. Mereka tewas binasa, tapi mereka
wangsa yang perkasa, dan mereka dapat dibangkitkan.
"Darah yang sama mengalir juga dalam nadi saya," ia melanjutkan dengan pandangan
saksama. "Walau saya orang tak berharga, saya anggota wangsa yang sama, dan kalau saya
tinggal di puri ini, hantu-hantu bisa bangkit dan mencoba meraih saya. Dalam batas
tertentu, mereka sudah merasuki saya. Penjelasan datang pada saya di kamar itu: siapa
saya ini. Tapi mereka dapat menimbulkan kemelut, barangkali juga pemberontakan, bahkan
pertumpahan darah lagi. Kita tidak dalam suasana damai. Saya berutang budi pada semua
penduduk di daerah ini, karena tidak menggoda saya untuk membalas dendam nenek moyang
saya." Terumasa mengangguk. "Aku mengerti maksudmu. Memang lebih baik kalau kau meninggalkan
puri ini, tapi ke mana" Apa kau bermaksud kembali ke Miyamoto" Dan hidup di sana?"
Takezo tersenyum tanpa suara. "Saya ingin mengembara sekehendak hati saya untuk
sementara." "O, begitu," jawab Yang Dipertuan sambil menoleh kepada Takuan. "Sediakan untuknya uang
dan pakaian yang sesuai," perintahnya.
Takuan membungkuk. "Izinkan saya mengucapkan teirma kasih atas kebaikan hati Anda pada
anak ini." "Takuan!" Ikeda tertawa. "Inilah pertama kali Anda mengucapkan dua kali terima kasih
padaku untuk satu hal saja!"
"Benar." Takuan menyeringai. "Baiklah, itu tidak akan terulang lagi."
"Biarlah dia mengembara dulu sementara masih muda," kata Terumasa. "Tapi karena dia
hendak pergi sendiri-dan menurut Anda sudah dilahirkan kembali-dia harus mempunyai nama
baru. Sebaiknya namanya Miyamoto, hingga dia tak akan lupa tempat kelahirannya. Jadi,
sejak saat ini, Takezo, sebut dirimu Miyamoto."
Tangan Takezo langsung jatuh ke lantai. Dengan telapak tangan tertelungkup ia
membungkuk dalam dan lama. "Baik, Tuan. Saya terima."
"Dan kau mesti mengubah nama kecilmu juga," seru Takuan. "Bagaimana kalau namamu dibaca
seperti huruf Cina 'Musashi' dan bukan 'Takezo'" Kau bisa tetap menulis namamu seperti
sebelumnya. Tepat sekali, segalanya mesti baru pada hari kelahiranmu ini."
Terumasa yang sedang sangat senang perasaannya, mengangguk bergairah. "Miyamoto
Musashi! Nama yang bagus, nama yang bagus sekali. Kita mesti minum untuk merayakannya."
Mereka berpindah ke kamar lain, sake dihidangkan, dan Takezo serta Takuan mengawani
Yang Dipertuan sampai larut malam. Mereka disertai beberapa pembantu Terumasa, dan
akhirnya Takuan bangkit berdiri, menarikan satu tarian kuno. la memang ahli. Gerakgeriknya yang indah menciptakan dunia kegembiraan khayali. Takezo yang kini bernama
Musashi memandang penuh kagum, hormat dan gembira, sementara acara minum berjalan
terus. Hari berikutnya mereka berdua meninggalkan puri. Musashi mengawali hidup baru, hidup
dalam disiplin dan latihan seni bela diri. Selama tiga tahun di dalam kurungan itu la
telah bertekad menguasai Seni Perang.
Takuan punya rencana-rencana sendiri. la berketetapan menjelajahi pedesaan. Dan waktu
berpisah sudah tiba, katanya.
Ketika mereka sampai di wilayah kota di luar dinding puri, Musashi memperlihatkan
gelagat hendak minta diri, tapi si biarawan menarik lengan kimononya. Katanya, "Apa tak
ada yang ingin kaujumpai?"
"Siapa?" "Ogin?" "Apa dia masih hidup?" tanyanya heran. Dalam tidurnya pun tak pernah ia melupakan kakak
perempuannya yang lembut, yang sudah demikian lama ia anggap seperti ibunya sendiri.
Takuan bercerita bahwa ketika Musashi menyerang benteng Hinagura tiga tahun lalu, Ogin
memang sudah dilepaskan. Sekalipun tak ada tuduhan terhadapnya, ternyata Ogin enggan
pulang. Ia memilih tinggal dengan seorang sanak di sebuah kampung di daerah Sayo.
Sekarang ia sudah senang tinggal di sana.
"Apa kau tak ingin bertemu dengannya?" tanya Takuan. "Dia ingin sekali ketemu kau. Aku
bilang padanya tiga tahun lalu bahwa dia mesti menganggapmu sudah mati, karena dalam
arti tertentu kau memang sudah mati. Tapi aku bilang juga padanya, bahwa tiga tahun
kemudian aku akan mengantarkan adik lelaki yang baru, yang tak lain dari Takezo yang
lama." Musashi menangkupkan kedua telapak tangannya dan mengangkatnya di depan kepala, seperti
yang ia lakukan kalau berdoa di depan patung sang Budha. "Bapak tidak hanya
menyelamatkan saya," katanya penuh haru, "tapi Bapak pun sudah memperhatikan
kesejahteraan Ogin. Bapak sungguh orang yang penuh kasih kepada orang lain. Saya kira
tak akan dapat saya mengucapkan terima kasih atas apa-apa yang telah Bapak perbuat
itu." "Salah satu cara untuk mengucapkan terima kasih padaku adalah dengan membiarkan aku
mengantarmu ke kakakmu."
"Tidak... tidak, saya tak akan menemuinya. Mendengar kabarnya saja dari Bapak sudah
sama baiknya dengan menemuinya."
"Kau pasti ingin bertemu dengannya sendiri, walau cuma beberapa menit."
"Tidak, rasanya tidak. Saya sudah mati, Pak, dan saya sungguh-sungguh lahir kembali.
Rasanya bukan sekarang saatnya kembali ke masa lalu. Yang harus saya lakukan sekarang
adalah mengambil langkah pasti ke muka, ke masa depan. Saya belum lagi menemukan jalan
yang hendak saya tempuh. Kalau saya sudah mendapat kemajuan dalam pengetahuan dan
penyempurnaan diri yang sedang saya lakukan ini, barangkali akan saya perlukan waktu
untuk bersantai dan menoleh ke belakang. Tapi bukan sekarang."
"Aku mengerti."
"Sukar saya meneruskannya dalam kata-kata, tapi saya harap Bapak dapat memahaminya."
"Aku tahu. Aku gembira melihat kau bersungguh-sungguh dalam tujuanmu. Teruslah ikuti
jalan pikiranmu." "Saya mengucapkan selamat berpisah sekarang. Suatu kali nanti, kalau saya tidak
terbunuh di perjalanan, kita akan bertemu lagi."
"Ya, ya. Kalau ada kesempatan, mari kita usahakan sungguh-sungguh untuk bersua lagi."
Takuan berbalik, melangkah, tapi kemudian berhenti.
"O, ya. Aku mesti mengingatkanmu bahwa Osugi dan Paman Gon meninggalkan Miyamoto
mencarimu dan Otsu tiga tahun lalu. Mereka bertekad takkan pulang sebelum dapat
membalas dendam. Biar mereka sudah tua, mereka masih berusaha menelusuri jejakmu. Bisa
saja mereka berbuat sesuatu yang tak akan mengenakkan, tapi rasanya mereka tak akan
betul-betul menyulitkanmu. Jangan terlalu dipikirkan.
"O, ya, ada lagi. Aoki Tanzaemon. Mungkin kau tak pernah kenal namanya, tapi dialah
yang bertanggung jawab ketika kau diburu-buru. Barangkali tak ada hubungannya dengan
apa yang kita katakan atau kita perbuat, tapi samurai yang baik itu sudah membikin
cemar dirinya sendiri. Akibatnya dia dipecat untuk selamanya dari pekerjaannya oleh
Yang Dipertuan Ikeda. Pasti dia juga sedang mengembara." Takuan jadi murung. "Musashi,
jalanmu bukan jalan yang mudah. Berhati-hatilah menempuh jalan itu."
"Saya akan berusaha sebaik-baiknya." Musashi terse
nyum. "Nah, rasanya sudah semuanya. Aku pergi." Takuan berbalik dan berjalan ke barat. la
tidak menoleh lagi. "Baik-baik di jalan," seru Musashi kepadanya. la sendiri terus di persimpangan jalan
sambil memperhatikan bagaimana sosok biarawan itu semakin mengecil, sampai akhirnya
tidak kelihatan lagi. Kemudian, sekali lagi sendirian, ia berjalan ke timur.
"Sekarang cuma ada pedang ini," pikirnya. "Satu-satunya barang di dunia ini yang harus
jadi andalanku." Ia letakkan tangannya ke gagang senjata, dan berjanji pada diri
sendiri, "Aku akan hidup dengan aturannya. Aku akan menganggapnya jiwaku, dan dengan
belajar menguasainya aku akan berjuang memperbaiki diriku, untuk menjadi manusia yang
lebih baik dan lebih bijaksana. Takuan mengikuti Jalan Zen, dan aku akan mengikuti
Jalan Pedang. Aku harus menjadikan diriku manusia yang lebih baik dari dirinya."
Bagaimanapun, demikian pikirnya, ia masih muda. Belum lagi terlambat.
Langkah kakinya tetap tegap, matanya penuh dengan gairah muda dan harapan. Dari waktu
ke waktu ia mengangkat tepi topi anyamannya dan menatap jalan ke masa depan, jalan
asing yang harus ditempuh semua orang.
Belum lagi jauh-sesungguhnya ia baru berada di pinggiran Himejiseorang perempuan datang
berlari-lari ke arahnya dari sisi lain Jembatan Hanada. Mata Musashi menyipit karena
terang matahari. "Ah, akhirnya kau muncul juga!" teriak Otsu sambil menceng-kram lengan kimononya.
Musashi terengah-engah kaget.
Kata-kata Otsu bernada teguran. "Takezo, kau tidak lupa, kan" Kau tidak lupa nama
jembatan ini" Apa kau lupa janjiku akan menanti di sini berapa pun lamanya?"
"Kau menanti di sini tiga tahun lamanya?" Musashi terpana.
"Ya. Osugi dan Paman Gon menyusulku tepat saat kau pergi. Waktu itu aku sakit dan harus
beristirahat. Hampir saja aku terbunuh. Tapi aku berhasil lolos. Aku menunggu di sini
sejak dua puluh hari sejak kita berpisah di Celah Nakayama itu."
la menunjuk toko anyaman di ujung jembatan, sebuah kedai kecil khas di pinggir jalan
raya yang menjual cenderamata. Lanjutnya, "Kuceritakan riwayatku kepada orang-orang di
sana, dan mereka berbaik hati menerimaku sebagai semacam pembantu. Jadi, aku bisa


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tinggal di sana dan menantimu. Hari ini hari kesembilan ratus tujuh puluh, dan aku
sudah memenuhi janjiku dengan setia." Ia menatap wajah Musashi, mencoba menduga
pikirannya. "Aku boleh ikut kamu, bukan?"
Sesungguhnya, tentu saja Musashi tak punya maksud untuk mengajaknya atau siapa pun.
Saat itu ia sedang bergegas menghindarkan pikiran tentang kakak perempuannya yang
demikian ingin ia temui dan demikian kuat ia rindukan.
Masalah-masalah itu berkecamuk dalam pikirannya yang gelisah. "Apa dayaku" Bagaimana
mungkin aku berhasil mencari kebenaran dan pengetahuan, kalau selamanya dicampuri oleh
perempuan, oleh siapa pun" Lagi pula, gadis ini masih tunangan Matahachi." Tak bisa
Musashi menyembunyikan pikiran-pikiran itu dari wajahnya.
"Ikut" Ikut ke mana?" tanyanya blak-blakan.
"Ke mana saja kau pergi."
"Aku harus menempuh perjalanan panjang dan berat, bukan untuk pelesir!"
"Aku tak akan menghalangi jalanmu. Dan aku siap menahan beberapa kesulitan."
"Beberapa" Hanya beberapa?"
"Berapa pun banyaknya."
"Bukan itu soalnya. Otsu, bagaimana mungkin seorang lelaki menguasai Jalan Samurai,
kalau perempuan membuntutinya terus" Apa tidak lucu" Orang akan mengatakan, 'Lihat
Musashi itu: dia butuh seorang inang buat menjaganya.'" Otsu lebih keras menarik kimono
Musashi dan bergayut seperti anak-anak.
"Lepaskan bajuku," perintah Musashi.
"Tidak, aku tak mau! Kau bohong."
"Kapan aku membohongimu?"
"Di celah gunung itu. Kau berjanji akan mengajakku."
"Itu berabad-abad lalu. Waktu itu aku tidak serius, dan tak ada waktu buat menjelaskan.
Dan lagi, itu bukan pikiranku, itu pikiranmu. Aku sedang tergesa-gesa dan kau tak mau
melepaskan aku sebelum aku berjanji. Aku iyakan saja, karena tak ada pilihan lain."
"Tidak, tidak, tidak! Tidak betul yang kaukatakan itu, tidak betul," teriak Otsu. Ia
mendesak Musashi ke pagar jembatan.
"Lepaskan! Orang-orang memandangi kita!"
"Biar saja! Waktu kau terikat di pohon itu, aku tanya apa kau butuh pertolonganku. Kau
begitu gembira, hingga dua kali kauminta aku memotong tali itu. Kau tidak menyangkal
hal ini, kan?" Otsu berusaha mengemukakan alasan yang logis, tapi ternyata air mata menggagalkannya.
Pertama ia ditinggalkan selagi bayi, kemudian diputus cintanya oleh tunangannya, dan
sekarang ini! Musashi tahu Otsu sendirian di dunia ini, dan Musashi sangat
memikirkannya, tapi lidahnya kelu, sekalipun dari luar ia tampak lebih tenang.
"Lepaskan!" katanya memutuskan. "Ini tengah hari benderang, dan orang-orang memandangi
kita. Apa kau ingin kita jadi tontonan buat orang-orang yang suka ikut campur?"
Otsu melepaskan lengan baju Musashi dan jatuh tersedu-sedu ke pagar jembatan. Rambutnya
yang berkilauan menutupi wajahnya.
"Maaf," gumam Otsu. "Mestinya aku tak boleh bicara seperti itu. Lupakanlah. Engkau
tidak berutang apa pun padaku."
Musashi membungkuk dan menyibakkan rambut Otsu dari wajahnya dengan kedua belah tangan,
kemudian ia menatap mata Otsu. "Otsu," katanya lembut. "Selama kau menanti sampai hari
ini, aku terkurung dalam menara puri. Tiga tahun lamanya aku bahkan tak pernah melihat
matahari." "Ya, aku sudah dengar."
"Engkau tahu?" "Pak Takuan bilang padaku."
"Takuan" Dia menceritakan segalanya?"
"Kukira begitu. Dulu aku jatuh pingsan di dasar jurang dekat Warung Teh Mikazuki. Waktu
itu aku melarikan diri dari Osugi dan Paman Gon. Pak Takuan menyelamatkan aku. Dia juga
yang menolongku mendapatkan pekerjaan di sini, di toko cenderamata. Itu tiga tahun
lalu. Sesudah itu aku tidak melihatnya lagi sampai kemarin, ketika dia datang dan minum
teh. Aku tidak begitu mengerti apa yang dimaksudkannya, tapi dia berkata, 'Soalnya
adalah soal antara lelaki dan perempuan, jadi siapa yang tahu bagaimana akhirnya?"'
Musashi menurunkan tangannya dan memandang ke jalan yang menuju barat. la bertanya
dalam hati, akan pernahkah la bertemu lagi dengan orang yang telah menyelamatkan
hidupnya. Sekali lagi ia terpukau oleh perhatian Takuan terhadap sesama manusia yang
mencakup segalanya dan sepenuhnya bebas dari sikap mementingkan diri sendiri. Musashi
pun sadar betapa sempit pandangannya selama ini, dan betapa kerdil ia menyangka bahwa
biarawan itu hanya punya rasa cinta khusus kepadanya seorang. Padahal kebesaran jiwanya
mencakup Ogin, Otsu, dan siapa saja yang membutuhkan, yang menurut pendapatnya dapat
dibantunya. "Soalnya adalah soal antara lelaki dan perempuan..." Kata-kata Takuan kepada Otsu itu
kini memberati pikirannya. Ini beban yang tak siap dipikulnya, karena dalam bergununggunung buku yang telah dibacanya bertahun-tahun itu, tidak ada satu kata pun yang
membahas situasi yang dihadapinya sekarang. Bahkan Takuan pun mengundurkan diri, agar
tidak tersangkut dalam persoalan antara dia dan Otsu. Apakah maksud Takuan hubungan
antara lelaki dan wanita itu harus dipecahkan oleh orang-orang yang bersangkutan saja"
Apakah menurutnya tidak ada aturan yang dapat diterapkan seperti halnya dalam Seni
Perang" Tidak ada strategi yang aman, tidak ada jalan untuk menang" Atau apakah ini
yang dimaksud cobaan bagi Musashi, suatu masalah yang hanya dapat dipecahkan Musashi
sendiri" Tenggelam dalam renungan, ia menatap ke bawah, ke air yang mengalir di bawah jembatan.
Otsu memandang wajah Musashi yang kini tampak jauh dan tenang. "Jadi, aku boleh ikut?"
mohonnya. "Pemilik toko sudah berjanji membolehkan aku pergi kapan saja kuinginkan. Aku
cuma perlu datang dan menjelaskan soalnya, dan kemudian mengemasi barang-barangku.
Sebentar aku kembali."
Musashi menggenggam tangan Otsu yang putih mungil dan tertumpang di atas pagar jembatan
itu. "Dengar, Otsu," katanya sedih. "Aku minta, pikirkanlah lagi."
"Apanya yang mesti dipikirkan?"
"Sudah kukatakan. Aku baru menjadi orang baru. Tiga tahun lamanya aku tinggal dalam
lubang lembap. Aku membaca buku. Aku berpikir. Aku menjerit dan berteriak. Dan tibatiba fajar merekah. Aku baru paham apa artinya menjadi manusia. Aku punya nama baru
sekarang, Miyamoto Musashi. Aku mau membaktikan diriku pada latihan dan disiplin. Aku
ingin memanfaatkan setiap saat dalam tiap hariku untuk bekerja memperbaiki diri. Aku
sadar sekarang, betapa jauh jalan yang harus kutempuh. Kalau engkau memilih mengikatkan
hidupmu padaku, engkau tak akan pernah bahagia. Hanya ada kesukaran, dan kesukaran itu
tidak akan berkurang. Bahkan keadaan semakin lama akan semakin sukar saja."
"Bicaramu membuat aku merasa lebih dekat padamu daripada kapan pun. Sekarang aku yakin
diriku benar. Aku sudah menemukan pria terbaik, yang takkan kuperoleh lagi sampai akhir
hidupku." Musashi sadar ia hanya memperburuk keadaan. "Maafkan aku. Aku tak dapat membawamu,"
katanya. "Kalau begitu, aku ikut saja. Selama aku tidak mencampuri latihanmu, apa jeleknya"
Engkau pun tak akan merasa aku ada di situ." Musashi tak dapat menjawab lagi. "Aku tak
akan mengganggumu. Aku berjanji." Musashi tetap diam.
"Beres, kan" Tunggu saja di sini; sebentar aku kembali. Aku akan marah sekali kalau kau
pergi diam-diam." Otsu berlari ke arah toko anyaman.
Terpikir oleh Musahi akan mengabaikan saja semuanya itu dan lari ke arah yang
bertentangan. Keinginan demikian ada padanya, tapi kakinya tak mau bergerak.
Otsu menoleh ke belakang, dan serunya, "Ingat, jangan coba-coba pergi diam-diam!" la
tersenyum memperlihatkan lesung pipitnya, dan Musashi asal mengangguk saja. Puas
mendapatkan isyarat ini, Otsu menghilang ke dalam toko.
Kalau ia memang mau melarikan diri, inilah saatnya. Hatinya mengatakan demikian, tapi
tubuhnya masih terbelenggu oleh lesung pipit yang manis dan mata Otsu yang memohon.
Alangkah manisnya anak itu! Jelas baginya, tak seorang pun di dunia ini yang begitu
mencintainya, kecuali kakak perempuannya. Dan ia pun bukan tidak menyukai Otsu.
la memandang ke langit, melihat ke dalam air, mencengkeram pagar jembatan dengan
kerasnya, kacau dan bingung. Segera saja potongan-potongan kecil kayu jembatan
mengapung di air yang mengalir.
Otsu muncul kembali di jembatan, mengenakan sandal jerami baru, pembalut kaki kuning
muda, dan topi besar perjalanan yang terikat di bawah dagu dengan pita merah tua. Tak
pernah ia tampak begitu cantik.
Tapi Musashi tak nampak lagi.
Otsu berteriak terkejut dan menangis sejadi-jadinya. Kemudian terpandang olehnya bagian
pagar jembatan, tempat asal jatuhnya potongan-potongan kayu tadi. Di situ tertulis
jelas pesan yang digoreskan dengan ujung belati. "Maafkan aku. Maafkan aku."
*** BUKU II: AIR *** 9. Perguruan Yoshioka HIDUP hari ini, yang tak kenal hari esok....
Di Jepang, pada awal abad tujuh belas, kesadaran orang mengenai hidup yang hanya
selintas terdapat pada orang kebanyakan maupun pada golongan elite. Jenderal terkenal
Oda Nobunaga, yang telah meletakkan dasar-dasar bagi Toyotomi Hideyoshi dalam
mempersatukan Jepang, menyimpulkan pandangan ini dalam sebuah sajak pendek:
Umur manusia yang lima puluh tahun Tidak lebih dari impian maya Dalam perjalanan lewat
Perpindaban perpindahan abadi.
Kalah dalam suatu pertempuran kecil dengan salah seorang jenderalnya sendiri, yang
menyerangnya secara mendadak dalam usaha balas dendam, Nobunaga bunuh diri di Kyoto
pada umur empat puluh delapan.
Tahun 1605, sekitar dua dasawarsa kemudian, perang yang tak kenal henti antara para
daimyo pada pokoknya sudah lewat. Tokugawa Ieyasu telah memerintah sebagai shogun dua
tahun lamanya. Lentera di jalan-jalan Kyoto dan Osaka bersinar terang sebagaimana pada
masa kejayaan zaman ke-shogun-an Ashikaga. Suasana umumnya riang dan penuh pesta.
Tapi hanya sedikit orang yang yakin bahwa perdamaian itu akan kekal. Perang saudara
selama lebih dari seratus tahun telah demikian mewarnai pandangan hidup rakyat, hingga
mereka beranggapan bahwa ketenangan yang sedang berlangsung itu rapuh belaka dan bakal
berumur pendek. Ibu kota memang berkembang, tetapi ketegangan akibat tidak diketahuinya
berapa lama keadaan itu akan berlangsung lebih merangsang keinginan rakyat untuk
bersuka ria. Sekalipun masih memegang kekuasaan, Ieyasu secara resmi sudah mengundurkan diri dari
kedudukan shogun. Selagi masih cukup kuat untuk menguasai daimyo lain dan
mempertahankan hak keluarga untuk berkuasa, ia menyerahkan gelarnya kepada anak
lelakinya yang ketiga, Hidetada. Ada desas-desus bahwa shogun baru akan segera
mengunjungi Kyoto untuk menyatakan hormatnya kepada Kaisar, tapi semua orang tahu bahwa
perjalanannya ke barat itu akan lebih dari sekadar kunjungan kesopanan. Saingan
terbesarnya yang potensial, Toyotomi Hideyori, adalah anak Hideyoshi, penerus Nobunaga.
Hideyoshi telah berbuat sebisa-bisanya agar kekuasaan tetap berada di tangan keluarga
Toyotomi sampai Hideyori cukup umur, tetapi pemenang di Sekigahara adalah Ieyasu.
Hideyori masih bersemayam di Puri Osaka. Meskipun Ieyasu tidak menying-kirkannya,
malahan mengizinkannya menikmati penghasilan tahunan yang besar jumlahnya, ia sadar
bahwa Osaka merupakan ancaman besar. Tempat ini bisa menjadi titik kumpul yang mungkin
dipakai untuk perlawanan. Banyak penguasa feodal lainnya juga mengetahui hal ini.
Mereka memasang taruhan yang jumlahnya sama untuk kemenangan kedua belah pihak. Mereka
pun berbaik-baik dengan Hideyori maupun shogun untuk mengamankan diri. Sering orang
mengatakan bahwa Hideyori memiliki cukup banyak puri dan emas hingga bisa membeli semua
samurai tak bertuan atau ronin di negeri itu, jika ia mau.
Spekulasi kosong mengenai masa depan politik negeri itu merupakan bahan utama
pergunjingan di udara Kyoto.
"Perang pasti pecah, cepat atau lambat."
"Tinggal masalah waktu."
"Lentera-lentera jalan ini bisa padam besok." "Kenapa mesti pusing" Apa yang terjadi,
terjadilah." "Mari kita bersuka ria selagi bisa!"
Kehidupan malam yang sibuk dan tempat-tempat hiburan yang semakin meriah merupakan
bukti nyata bahwa kebanyakan penduduk memang melakukannya.
Di antaranya adalah sekelompok samurai yang kini sedang berjalan membelok masuk Jalan
Shijo. Di samping mereka berdiri tembok panjang berplester putih yang berakhir pada
sebuah gerbang mengesankan dan beratap mengagumkan. Sebuah papan kayu yang sudah hitam
warnanya karena usia, memuat tulisan yang hampir tak terbaca lagi:
Yoshioka Kempo dari Kyoto. Instruktur Militer bagi para Shogun Ashikaga.
Kedelapan samurai muda itu kelihatannya selesai berlatih pedang terus-menerus sepanjang
hari. Sebagian mengenakan pedang kayo sebagai pelengkap pedang baja yang biasa, dan
sebagian lagi membawa lembing. Mereka tampak kuat, jenis orang pertama yang melihat
tumpahnya darah pada saat pertarungan senjata meletus. Wajah mereka sekeras batu dan
mata mereka penuh ancaman, seakan selamanya berada di ambang letusan kemarahan.
"Ke mana kita pergi malam ini, Tuan Muda?" tanya mereka beramai-ramai sambil
mengelilingi guru mereka.
"Ke mana lagi kalau bukan ke tempat kemarin malam?" jawab sang guru dengan muram.
"Ah! Perempuan-perempuan itu semuanya jatuh hati kepada Tuan! Mereka hampir tidak
memandang kami." "Barangkali dia benar," yang lain menyela. "Kenapa tidak kita coba tempat lain yang
baru, di mana tak ada orang mengenal Tuan Muda atau salah seorang dari kita?" Sambil
berteriak-teriak dan ribut tak keruan, tampaknya mereka benar-benar tenggelam dalam
persoalan ke mana akan pergi minum dan melacur.
Mereka masuk daerah yang berpenerangan baik di sepanjang tepi Sungai Kamo. Bertahuntahun tanah itu kosong dan penuh ditumbuhi rumput, benar-benar lambang kehancuran
perang. Tetapi bersamaan dengan datangnya damai, nilainya pun melonjak. Rumah-rumah
rapuh tersebar di sana-sini, tirai-tirai merah dan kuning pucat tergantung melengkung
di pintu masuk. Di situ kupu-kupu malam menjalankan usahanya. Gadis-gadis dari Provinsi
Tamba dengan muka berpupur sembarangan menyiuli calon pelanggan. Perempuan-perempuan
malang yang dibeli secara berkelompok itu memetik shamisen, alat musik yang belum lama
Dewa Racun Hitam 1 Pendekar Pulau Neraka 15 Lingkaran Rantai Setan Kisah Dua Kamar 1

Cari Blog Ini