Rahasia Chimneys The Secret Of Chimneys Karya Agatha Christie Bagian 1
THE SECRET OF CHIMNEYS by Agatha Christie RAHASIA CHIMNEYS Alihbahasa: Mareta Penerbit: PT Gramedia Cetakan kedua, Agustus 1988
Bab 1 Anthony Cade Menandatangani Perjanjian
"GENTLEMAN JOE!"
"Ah, rupanya kau, Jimmy McGrath."
Castle's Select Tour yang diikuti oleh tujuh wanita yang kelihatan lesu, dan
tiga laki-laki yang bersimbah peluh memperhatikan kedua laki-laki itu. Rupanya
Tuan Cade berjumpa dengan kawan lamanya. Mereka semua menyukai Tuan Cade yang
jangkung dan berkulit kecoklatan. Dengan pembawaannya yang ramah dia membuat
semua orang merasa gembira. Teman lamanya itu memang lain dari yang lain.
Tubuhnya setinggi Tuan Cade, tetapi lebih kekar dan wajahnya tidak begitu
tampan. Dia mengingatkan kita pada tipe orang-orang yang biasanya punya restoran
seperti di buku cerita. Tapi... memang menarik. Bukankah ini yang dicari orang"
Mereka bepergian dan berharap menemukan sesuatu seperti yang pernah dibaca di
buku-buku. Sampai saat itu, mereka merasa bosan dengan Bulawayo. Udaranya begitu
panas. Hotelnya juga tidak nyaman. Rasanya tidak ada lagi tempat yang pantas
dikunjungi sampai mereka semua tiba di Matoppos. Untunglah Tuan Cade menyarankan
untuk membeli kartupos bergambar. Banyak kartupos bergambar yang bagus-bagus
dijual di sana. Anthony Cade dan kawannya menyisih.
"Apa yang kaulakukan dengan rombongan wanita itu" Punya harem, ya?" tanya
McGrath. "Tentunya bukan dengan mereka," jawab Anthony sambil menyeringai. "Apa kau sudah
melihat dengan baik siapa mereka?"
"Sudah. Kupikir kau sudah tidak bisa melihat lagi."
"Ah, mataku masih sebagus dulu. Ini adalah Castle's Select Tour. Aku adalah
Castle - maksudku, Castle lokal."
"Kenapa cari pekerjaan seperti itu, sih?"
"Desakan kebutuhan dompet. Sebetulnya memang bukan pekerjaan yang kusukai."
Jimmy hanya menyeringai. "Kau tak pernah cocok dengan pekerjaan rutin, kan?"
Anthony hanya diam saja. "Mudah-mudahan aku bisa memperoleh pekerjaan lain dalam waktu dekat," katanya.
"Biasanya begitu."
"Kalau ada keributan, di situ pasti muncul Anthony Cade. Aku tahu," kata Jimmy
mengejek. "Kau ini seperti punya insting atas segala jenis keributan - seperti
kucing. Kapan kita bisa omong-omong lebih enak?"
Anthony menarik napas. "Aku harus membawa ayam-ayam betina itu melihat kuburan
Rhode." "Baiklah," kata Jimmy penuh pengertian. "Mereka akan kembali dengan badan pegal
dan kaki lecet karena perjalanan ke sana. Lalu mereka akan istirahat lama. Jadi
kau dan aku akan punya waktu untuk ngobrol."
"Betul. Sampai nanti, Jimmy."
Anthony kembali pada domba gembalaannya. Nona Taylor, peserta paling muda dan
mudah gugup langsung menyerangnya dengan pertanyaan, "Tuan Cade, apa dia itu
kawan lama Anda?" "Betul. Dia adalah kawan main saya ketika kami belum kenal dosa."
Nona Taylor tertawa geli. "Kelihatannya dia menyenangkan."
"Akan saya katakan padanya pendapat Anda itu."
"Oh, Tuan Cade. Jangan begitu, ah. Bagaimana dia menyebut Anda tadi?"
"Gentleman Joe."
"O, ya. Apa nama Anda Joe?"
"Saya kira Anda sudah tahu, nama saya Anthony."
"Ya, ya. Saya tahu," kata Nona Taylor genit.
Anthony memang menghayati pekerjaannya. Di samping mengatur perjalanan wisata,
dia juga harus menenteramkan wisatawan-wisatawan tua kalau harga diri mereka
tersinggung, memberi kesempatan kepada ibu-ibu tua untuk membeli kartupos
bergambar, dan bercanda dengan nona-nona di bawah umur empat puluh. Tugas
terakhir ini yang paling mudah, sebab nona-nona itulah yang selalu mulai lebih
dulu dan mereka biasanya suka menyalah-tafsirkan keramahannya.
Nona Taylor kembali pada pembicaraan sebelumnya. "Kalau begitu, kenapa dia
memanggil Anda Joe?"
"Oh, karena itu bukan nama saya."
"Dan mengapa Gentleman Joe?"
"Alasannya sama."
"Oh, Tuan Cade. Saya rasa Anda tidak seharusnya berkata demikian," kata Nona
Taylor dengan suara sedih. "Tadi malam Papa mengatakan bahwa Anda adalah seorang
pria yang sopan." "Ayah Anda baik sekali, Nona."
"Dan kami semua juga sependapat dengan dia."
"Terima kasih banyak."
"Saya tidak bergurau."
"Kebaikan lebih berarti daripada mahkota," kata Anthony sambil lalu, tanpa
peduli akan apa yang diucapkannya - dalam hati ia berharap waktu makan siang cepat
tiba. "Sajak itu indah sekali. Apa Anda suka puisi, Tuan Cade?"
"Saya hanya ingat, Anak Itu Berdiri di Geladak yang Terbakar. Tapi hanya
permulaannya saja. 'Anak itu berdiri di geladak yang terbakar. Ke mana lagi dia
harus pergi"' Itu saja. Tapi saya bisa mengucapkannya dengan penuh gaya. 'Anak
itu berdiri di geladak yang terbakar' - wush - wush - wush - (api berkobar-kobar) 'Ke
mana lagi dia harus pergi"' - saya bisa lari-lari kecil ke sana kemari seperti
anjing." Nona Taylor tertawa keras karena geli.
"Oh, lihat Tuan Cade! Lucu - lucu."
"Sudah waktunya minum teh pagi," kata Anthony cepat. "Silakan jalan lewat sini.
Ada kedai kopi yang bagus di jalan itu."
Nyonya Caldicott berkata dengan suara berat. "Biayanya sudah termasuk dalam
paket tur, kan?" Dengan sikap profesional Anthony menjawab, "Teh pagi adalah hidangan ekstra,
Nyonya Caldicott." "Memalukan." "Memang hidup ini penuh cobaan," kata Anthony dengan suara ringan. Mata Nyonya
Caldicott menyala, kata-katanya pedas, "Saya rasa begitu. Dan saya memang telah
mengantisipasi. Saya menuang teh ke dalam poci pada waktu makan pagi tadi! Nanti
bisa saya hangatkan lagi. Ayo, Pak." Tuan dan Nyonya Caldicott lewat dengan
kepala tegak menuju hotel.
"Ya, Tuhan," keluh Anthony. "Begitu banyakkah orang aneh diperlukan untuk
memenuhi dunia ini?"
Dia menggiring sisa rombongan ke arah kedai kopi. Nona Taylor terus
menjejerinya. Kemudian dia melanjutkan topik pembicaraan yang tadi. "Sudah lama
Anda tidak bertemu dengan kawan Anda itu?"
"Tujuh tahun lebih."
"Anda mengenalnya di Afrika?"
"Ya. Tapi bukan di bagian ini. Ketika pertama kali saya bertemu dengan Jimmy
McGrath, dia dalam keadaan terikat, siap dimasukkan ke dalam kuali panas.
Beberapa suku penduduk asli di pedalaman masih kanibal. Untung kami datang tepat
pada waktunya." "Apa yang terjadi?"
"Keributan kecil saja. Kami menangkap beberapa orang dan yang lainnya lari."
"Oh, Tuan Cade, hidup Anda benar-benar penuh petualangan!"
"Ah, tidak. Biasa-biasa saja, kok."
Tapi Nona Taylor tidak percaya.
Pukul sepuluh malam Anthony mengetuk kamar Jimmy McGrath yang pengap. Dia sedang
sibuk mencampur minuman dari beberapa botol. "Yang keras, James. Aku
memerlukannya." "Ya, aku tahu. Aku takkan mau bekerja seperti itu."
"Tunjukkan yang lain kalau begitu. Aku akan meloncat menangkapnya dengan cepat."
McGrath mencampur minumannya sendiri dengan cekatan. Kemudian dia mencampur
segelas lagi. Dia bertanya perlahan-lahan, "Apa kau serius, Kawan?"
"Tentang apa?" "Meninggalkan pekerjaanmu sekarang kalau ada yang lain?"
"Kenapa" Kau sendiri perlu pekerjaan, kan" Ambil saja untukmu."
"Aku sudah punya - tetapi aku tidak terlalu suka. Karena itu akan kuberikan saja
kepadamu." Anthony menjadi curiga. "Kenapa" Bukan pekerjaan mengajar di sekolah Minggu,
kan?" "Kaupikir ada orang yang memintaku untuk mengajar di sekolah Minggu?"
"Tentu saja tidak, kalau mereka mengenalmu dengan baik."
"Pekerjaan ini bagus. Jangan kuatir."
"Bukan di Amerika Selatan, kan" Aku ingin sekali ke sana. Ada revolusi kecil
yang sebentar lagi akan meletus di salah satu republik kecil di sana."
McGrath menyeringai. "Kau dari dulu senang revolusi - keributan yang
menyenangkan." "Aku merasa bahwa bakatku akan dihargai dalam situasi begitu. Rasanya aku lebih
suka pekerjaan seperti itu daripada yang tenang-tenang membosankan."
"Aku rasa kau pernah mengatakan hal itu kepadaku. Tidak, pekerjaan itu bukan di
Amerika Selatan - tapi di Inggris."
"Inggris" Pahlawan pulang kampung setelah bertahun-tahun mengembara. Mereka
tidak akan memintaku membayar pajak setelah tujuh tahun, bukan?"
"Aku rasa tidak. Kau masih ingin mendengar lebih banyak?"
"Ya. Tentu saja. Yang membuatku kuatir ialah kenapa kau tidak mau menerima
tawaran itu." "Baik. Kuceritakan padamu sekarang. Aku sedang berusaha mencari emas. Jauh di
pedalaman sana." Anthony bersiul dan memandangnya. "Kau selalu mengejar emas, Jimmy. Sejak
pertama kali aku mengenalmu kau sudah mengejar emas. Memang hobimu itu.
Mengikuti jejak kucing liar ke mana-mana."
"Tapi akhirnya aku pasti berhasil. Lihat saja nanti."
"Yah - hobi orang memang berbeda-beda. Hobiku berkelahi. Hobimu emas."
"Akan kuceritakan semuanya. Kau pernah dengar tentang Herzoslovakia, kan?"
Anthony memandang dengan tajam. "Herzoslovakia?" tanyanya, dengan suara nyaring
dan penuh rasa ingin tahu.
"Ya. Kau pernah dengar?"
Anthony diam sejenak. Kemudian dia berkata perlahan, "Hanya sejauh yang
diketahui oleh orang lain. Salah satu negara di daerah Balkan, kan" Sungaisungai besarnya pun tak dikenal. Juga gunung-gunungnya. Ibukotanya Ekarest.
Penduduknya kebanyakan perampok. Hobi mereka membunuh raja dan membuat revolusi.
Raja terakhir adalah Nicholas IV. Dibunuh kira-kira tujuh tahun yang lalu. Sejak
itu kerajaan menjadi republik. Tempat yang cocok. Seharusnya kaukatakan dari
tadi bahwa tawaranmu ada hubungannya dengan Herzoslovakia."
"Sebetulnya tak ada. Hanya secara tidak langsung."
Anthony memandangnya dengan perasaan sedih bukannya marah.
"Kau harus berbuat sesuatu, James. Ambil kursus korespondensi, misalnya. Kalau
begitu caramu bercerita tentang hal yang harus dihormati, kau patut digantung."
Jimmy meneruskan ceritanya tanpa peduli komentar kawannya. "Pernah dengar
tentang Pangeran Stylptitch?"
"Nah, begitu dong," kata Anthony. "Orang yang belum pernah dengar tentang
Herzoslovakia pasti lalu tahu kalau ada yang menyebut nama Pangeran Stylptitch.
Laki-laki tua hebat dari Balkan. Negarawan terbesar di zaman modern. Penjahat
besar yang belum sempat digantung. Masalahnya kita membaca koran yang mana. Yang
jelas Pangeran Stylptitch akan terus dikenang orang walaupun kita telah menjadi
abu. Setiap gerakan dan peristiwa yang terjadi di daerah Timur Dekat dalam dua
puluh tahun terakhir ini pasti berkaitan dengan pangeran itu. Dia adalah seorang
diktator, patriot, dan negarawan - dan tak seorang pun tahu sebenarnya dia itu
apa. Dia dikenal sebagai raja yang penuh intrik. Nah, ada apa dengan dia?"
"Dia dulu adalah Perdana Menteri Herzoslovakia - karena itulah aku menyebutnya
lebih dulu." "Kau tidak proporsional, James. Herzoslovakia tak berarti apa-apa dibandingkan
dengan Stylptitch. Negara itu hanya tempat kelahirannya dan tempat di mana dia
memperoleh posisi. Tapi dia sudah meninggal, kan?"
"Ya. Dia meninggal di Paris dua bulan yang lalu. Apa yang akan kuceritakan
terjadi beberapa tahun yang lalu."
"Pertanyaannya adalah," kata Anthony, "apa yang akan kauceritakan padaku?"
Jimmy menerima celaan itu dan cepat-cepat berkata. "Begini. Empat tahun yang
lalu aku berada di Paris. Waktu itu aku sedang berjalan di tempat yang agak
sepi. Aku melihat setengah lusin penjahat Prancis sedang memukuli seorang lakilaki tua yang kelihatan terhormat. Karena tidak tahan melihat pertarungan tak
seimbang itu aku mulai memukuli penjahat-penjahat itu. Barangkali mereka memang
belum pernah benar-benar berkelahi. Mereka langsung leleh seperti salju
mencair!" "Hebat kau, James," kata Anthony perlahan. "Kalau saja aku bisa menyaksikannya."
"Ah, bukan apa-apa," sahut Jimmy merendah. "Laki-laki tua itu sangat berterima
kasih. Dia sempat mencatat alamatku dan keesokan paginya datang mengucap terima
kasih. Caranya juga lain dari yang lain. Saat itulah aku baru tahu bahwa dia
adalah Pangeran Stylptitch. Dia punya sebuah rumah di Bois."
Anthony mengangguk. "Ya, Stylptitch memang tinggal di Paris setelah Raja
Nicholas terbunuh. Mereka ingin agar dia kembali dan menjadi presiden di sana,
tapi dia tidak mau. Dia hanya mau kalau diangkat menjadi raja. Meskipun
demikian, pengaruhnya masih kuat juga terhadap segala yang terjadi di sana.
Orang hebat - Pangeran Stylptitch itu."
"Nicholas IV adalah orang yang punya selera aneh tentang istri, kan?" kata Jimmy
tiba-tiba. "Ya," kata Anthony. "Dan memang cocok. Istrinya adalah seorang gelandangan dari
sebuah rumah konser di Paris - tidak pantas dijadikan istri. Tapi Nicholas jatuh
hati padanya dan perempuan itu berusaha keras agar diangkat menjadi ratu.
Fantastis sekali. Tapi mereka berhasil. Wanita itu dijuluki Putri Popoffsky atau
apa, dan mengaku-ngaku bahwa dia masih keturunan Romanoff. Nicholas menikahinya
di katedral di Ekarest. Pernikahan itu diberkati dengan setengah hati oleh dua
orang uskup besar. Wanita itu kemudian dinobatkan sebagai Ratu Varaga. Nicholas
kemudian harus menghadapi menteri-menterinya, barangkali dia berpikir hanya
sampai di situ - padahal dia harus berhadapan juga dengan rakyatnya. Orang-orang
Herzoslovakia sangat aristokratis dan reaksioner. Mereka menginginkan raja dan
ratu yang benar-benar berdarah ningrat. Karena itu terjadilah keributankeributan di istana. Akhirnya mereka membunuh raja dan ratu dan menjadikan
negara itu sebuah republik. Sejak itu Herzoslovakia adalah sebuah republik. Tapi
kudengar masih banyak juga keributan di sana. Rakyat membunuh satu atau dua
orang presiden untuk menunjukkan bahwa mereka berkuasa. Ah, tapi kita kembali ke
persoalan kita saja. Ceritamu sampai di ucapan terima kasih Pangeran Stylptitch
atas perlindunganmu."
"Ya. Memang itulah akhir ceritanya. Aku kembali ke Afrika dan tak pernah
memikirkan hal itu lagi sampai 2 minggu yang lalu. Aku menerima bungkusan aneh
yang rupanya selalu mengikutiku ke mana saja aku pergi. Aku membaca di koran
bahwa Pangeran Stylptitch meninggal dua bulan yang lalu di Paris. Nah, bungkusan
itu rupanya berisi surat-surat pribadi. Di luar bungkusan itu ada catatan yang
mengatakan bahwa apabila aku menyerahkan bungkusan itu ke sebuah penerbit di
London sebelum atau pada tanggal 13 Oktober, mereka akan membayar 1.000 pound."
"Seribu pound" Kau bilang seribu pound?"
"Ya, Sobat. Mudah-mudahan ini bukan tipuan. Jangan percaya pada para bangsawan
atau para politikus, kata orang. Tapi karena manuskrip itu telah mengikutiku ke
mana-mana, aku tak bisa apa-apa. Sayang sekali. Aku sudah merencanakan pergi ke
pedalaman. Dan tekadku sudah bulat. Tak akan ada kesempatan seperti itu lagi."
"Kau benar-benar keterlaluan, Jimmy. Seribu pound yang sudah pasti di tangan kan
lebih berharga dari emas yang belum tentu ada."
"Mungkin saja itu hanya tipuan! Bagaimanapun juga aku sudah memesan tempat di
kapal dan siap berangkat ke Cape Town - lalu aku bertemu denganmu!"
Anthony berdiri dan menyalakan rokok. "Aku sekarang mengerti kekuatiranmu,
James. Kauteruskan saja rencanamu berburu emas. Dan aku akan mengambil yang
seribu pound itu untukmu. Kau akan beri berapa untukku?"
"Bagaimana kalau seperempat bagian?"
"Dua ratus lima puluh pound bebas pajak?"
"Ya." "Baik. Aku terima. Sebetulnya kalau kauberi seratus pun aku sudah senang. Jangan
menggertakkan gigi, James McGrath. Kau tak akan mati di tempat tidur menghitung
sisa uangmu." "Jadi kau setuju?"
Rahasia Chimneys The Secret Of Chimneys Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya. Aku setuju. Bakal ada kekacauan di Castle's Select Tours." Mereka minum
untuk merayakan kerja sama itu.
Bab 2 Wanita yang Malang "KAPAL apa yang akan kau pakai?" tanya Anthony setelah menghabiskan minumannya.
"Granarth Castle."
"Karena kau sudah memesan tempat dengan namamu sebaiknya aku berangkat sebagai
James McGrath. Tidak ada kesulitan dengan paspor, kan?"
"Tidak. Kau dan aku memang jauh berbeda. Tapi keterangan-keterangan kecil pasti
tak akan menyulitkan. Tinggi 6 kaki, rambut coklat, mata biru, hidung biasa,
dagu biasa - " "Wah, semua dianggap biasa. Tahu tidak, Castle's memilih aku dari sekian banyak
pelamar karena ketrampilanku dan sikapku yang menyenangkan."
Jimmy menyeringai. "Aku kebetulan melihat tingkahmu tadi pagi."
"Sialan kau." Anthony berdiri dan berjalan hilir-mudik di dalam kamar. Keningnya sedikit
berkerut. Setelah beberapa menit dia baru berkata. "Jimmy," katanya. "Stylptitch
meninggal di Paris. Aku tak mengerti mengapa manuskrip itu dikirim ke London
lewat Afrika." Jimmy hanya menggeleng tanpa daya. "Aku tak tahu."
"Kenapa tidak dibungkus rapi saja dan langsung dikirim ke London dari Paris?"
"Itu lebih logis memang. Aku setuju."
"Aku memang tahu," kata Anthony, "bahwa raja dan ratu dan pejabat-pejabat
pemerintah secara etiket tidak diperkenankan melakukan sesuatu dengan cara yang
sederhana dan langsung. Karena itulah ada utusan raja dan sebagainya. Di Abad
Pertengahan, orang biasa menggunakan cincin stempel sebagai mantra pembuka
pintu. 'Cincin Raja! Silakan lewat!' Dan biasanya orang lainlah yang mencuri
cincin itu. Aku tidak mengerti kenapa tidak ada seorang pun yang berpikir untuk
membuat duplikatnya. Bikin selusin lalu dijual seratus dukat satu. Kelihatannya
di Abad Pertengahan tak ada orang yang punya inisiatif."
Jimmy menguap. "Ceritaku tentang Abad Pertengahan kelihatannya tidak menarik untukmu. Kita
kembali saja ke Pangeran Stylptitch. Dari Paris ke London lewat Afrika
kelihatannya kurang masuk akal, walaupun untuk kepentingan diplomatis. Kalau dia
ingin memberimu seribu pound, sebetulnya bisa saja dia tulis dalam surat
wasiatnya. Untunglah bahwa kau maupun aku punya harga diri yang cukup tinggi
untuk begini saja menerima warisan! Pangeran Stylptitch bisa tidur dengan
damai." "Hm, kau beranggapan begitu?"
Anthony mengerutkan dahi dan melanjutkan mondar-mandirnya. "Apa kau telah
membacanya?" tanyanya.
"Membaca apa?" "Manuskrip." "Astaga, tentu saja belum. Untuk apa aku membaca dokumen seperti itu?"
Anthony tersenyum. "Aku hanya ingin tahu. Itu saja. Kau pernah dengar kan,
banyak persoalan dan kesulitan yang timbul karena surat-surat pribadi.
Pengungkapan rahasia, dan sebagainya. Orang-orang yang hidupnya terlalu lekat
satu sama lain biasanya membuat keributan setelah meninggal. Sepertinya mereka
senang bisa berbuat begitu. Jimmy, seperti apa sih Pangeran Stylptitch" Kan kau
pernah bertemu dan bicara dengannya. Apakah kira-kira dia tipe orang yang suka
membalas dendam?" Jimmy menggelengkan kepala. "Sulit. Di malam pertama itu dia adalah seorang
manusia yang terjepit. Hari berikutnya dia kelihatan anggun dan bersikap
berlebih-lebihan. Pujian-pujiannya terhambur sampai aku tak tahu harus berkata
apa." "Dan dia tidak mengatakan apa-apa ketika mabuk?"
Jimmy mencoba mengingat dengan mengernyitkan keningnya. "Katanya dia tahu di
mana Kohinoor itu," katanya ragu-ragu.
"Ah. Kita semua sih tahu. Mereka menyimpannya di Tower, kan" Di balik dinding
kaca tebal dan jeruji besi lengkap dengan pria-pria berseragam aneh yang menjaga
agar kita tidak menyentuhnya."
"Betul," kata Jimmy.
"Apa Stylptitch mengatakan hal-hal lain semacam itu" Misalnya, apa dia tahu di
kota mana koleksi Wallace berada?"
Jimmy menggelengkan kepala.
"Hm!" Anthony menyulut rokoknya dan berjalan mondar-mandir lagi. "Kau
kelihatannya tak pernah baca koran, ya kan?" Anthony bertanya.
"Tidak sering," kata McGrath. "Aku tidak tertarik."
"Untunglah aku lebih mengikuti zaman. Akhir-akhir ini Herzoslovakia sering
disebut-sebut di koran. Desas-desusnya akan kembali ke sistem kerajaan."
"Nicholas IV kan tidak punya anak laki-laki," kata Jimmy. "Tapi kurasa dinasti
Obolovitch belum habis. Barangkali ada kemenakan laki-laki yang bisa
menggantikan." "Jadi tak akan sulit mencari seorang calon raja?"
"Kurasa tidak," kata Jimmy. "Mereka sendiri sudah muak dengan kaum republik.
Rakyat yang tak bisa diam dan mencintai petualangan seperti mereka pasti bosan
menunduk-nunduk di depan presiden setelah biasa diperintah oleh raja-raja. O ya,
aku jadi ingat sesuatu yang lain. Malam itu Pangeran Stylptitch mengatakan bahwa
dia tahu gerombolan yang menyerangnya. Dia bilang, mereka adalah komplotan Raja
Victor." "Apa?" Anthony tiba-tiba terperanjat dan membalikkan badannya.
McGrath tertawa pelan sambil menyeringai. "Kau sudah termakan rupanya, Gentleman
Joe?" "Jangan tolol, Jim. Kau baru saja mengatakan hal yang amat penting." Dia
berjalan ke jendela dan memandang keluar.
"Siapa sih Raja Victor itu?" kata Jimmy ingin tahu. "Monarki Balkan yang lain?"
"Bukan," kata Anthony perlahan. "Dia bukan raja seperti itu."
"Jadi, dia itu apa?"
Anthony diam sejenak sebelum menjawab. "Dia seorang bajingan, Jimmy. Pencuri
permata yang sangat terkenal di dunia. Seorang penjahat yang sangat berani dan
licin. Raja Victor adalah nama julukannya yang terkenal di Paris. Dan kota itu
memang jadi pusat kegiatan kelompoknya. Dia tertangkap di Paris dan dijatuhi
hukuman penjara selama tujuh tahun untuk suatu kejahatan kecil. Polisi tidak
mempunyai bukti yang bisa lebih memberatkan dia. Dia akan segera keluar - atau
barangkali juga dia sudah keluar."
"Apa Pangeran Stylptitch terlibat dalam keputusan untuk memenjarakan dia" Apa
itu yang menyebabkan dia diserang komplotan Raja Victor" Karena balas dendam?"
"Aku tidak tahu." kata Anthony. "Kelihatannya tidak. Raja Victor tidak pernah
mencuri permata mahkota Herzoslovakia, setahuku. Tapi kejadian-kejadian itu
kelihatannya memang ada hubungannya. Kematian Stylptitch, dokumen atau suratsuratnya, dan gosip di koran - semua memang samar tetapi menarik. Dan masih ada
gosip lagi. Ada desas-desus, orang menemukan minyak di Herzoslovakia. James,
instingku mengatakan bahwa orang mulai memperhatikan dan tertarik pada negara
kecil yang tak berarti itu."
"Orang yang mana?"
"Para pemilik modal."
"Apa maksudmu dengan semua ini?"
"Mencoba membuat pekerjaan mudah menjadi sulit."
"Kau tak bisa mengatakan bahwa menyerahkan suatu dokumen pada penerbit adalah
pekerjaan yang sulit."
"Benar," kata Anthony menyesal. "Kurasa tak ada sulitnya pekerjaan seperti itu.
Tahu kau. James, ke mana aku akan pergi dengan uang 250 pound?"
"Amerika Selatan?"
"Tidak, Kawan. Herzoslovakia. Aku akan membantu orang-orang republik. Barangkali
nanti aku bisa jadi presiden."
"Kenapa tidak mengaku sebagai keturunan Obolovitch saja dan jadi raja?"
"Tidak, Jimmy. Raja harus memegang jabatan seumur hidup. Kalau presiden kirakira hanya empat tahun. Rasanya pasti menyenangkan memerintah kerajaan seperti
Herzoslovakia selama empat tahun."
"Kurasa justru umur raja lebih pendek," sela Jimmy.
"Barangkali nanti aku juga tergoda untuk menggelapkan uangmu yang seribu pound.
Kau tak akan memerlukannya kalau kau kembali dengan membawa emas berbongkahbongkah. Aku akan menginvestasikannya untukmu dalam bentuk minyak di
Herzoslovakia. Makin lama aku makin suka dengan idemu, James. Aku pasti tak akan
berpikir tentang Herzoslovakia kalau kau tidak menyebut-nyebutnya. Paling-paling
aku bermalam satu malam di London, mengambil uang, lalu pergi naik Balkan
Ekspres!" "Kau tak akan melakukannya secepat itu. Aku belum mengatakannya tadi, tapi aku
punya komisi kecil yang lain untukmu."
Anthony menghenyakkan badannya di kursi dan memandang kawannya tajam-tajam. "Kau
memang suka menyembunyikan sesuatu. Sekarang katakan."
"Ah, kau keliru. Aku hanya ingin kau menolong seorang wanita."
"Dengar, James, aku tak mau terlibat dalam petualangan-petualangan cintamu."
"Ini bukan petualangan cinta. Aku sendiri belum pernah melihat wanita itu. Akan
kuceritakan semuanya."
"Kalau aku harus mendengar cerita panjangmu yang bertele-tele itu, aku perlu
minum lagi." James menuangkan minuman lagi untuk kawannya, lalu mulai bicara. "Waktu itu aku
sedang di Uganda. Ada seorang pekerja yang kuselamatkan jiwanya - "
"Kalau aku jadi kau Jim, aku akan menulis sebuah buku kecil berjudul Orang-orang
yang Kuselamatkan. Ini yang kedua kali kudengar malam ini."
"Ah, sebetulnya yang kulakukan itu tak berarti. Hanya menarik dia dari sungai.
Seperti pekerja-pekerja lain, dia tidak bisa berenang."
"Sebentar, apa cerita ini ada hubungannya dengan soal tadi?"
"Sama sekali tidak. Anehnya, sekarang baru kuingat, laki-laki itu adalah orang
Herzoslovakia. Tapi kami selalu menyebutnya Dutch Pedro."
Anthony mengangguk. "Teruskan, James."
"Nah, laki-laki itu sangat berterima kasih. Dia menempel terus padaku - seperti
anjing. Kira-kira enam bulan kemudian dia meninggal karena demam. Aku
mendampinginya. Pada saat terakhir dia membisikkan sesuatu padaku, sebuah
rahasia tentang tambang emas. Lalu memberikan kantung kulit yang selalu
dikalunginya. Waktu itu aku tidak terlalu memperhatikan. Setelah satu minggu
baru kubuka. Terus terang aku jadi ingin tahu. Seharusnya aku tidak percaya
bahwa Dutch Pedro bisa mengenali sebuah tambang emas jika dia melihatnya tapi
bisa saja dia memang beruntung."
"Dan hatimu sudah dag-dig-dug ketika dia menyebut tambang emas?" sela Anthony.
"Aku benar-benar muak waktu itu. Tambang emas" Barangkali buat dia tambang emas.
Dasar anjing busuk! Tapi kau tahu apa isinya sebenarnya" Surat-surat seorang
wanita. Wanita Inggris. Laki-laki itu rupanya memeras wanita tersebut - dan kurang
ajarnya dia memberikan tambang sialan itu padaku."
"Aku senang mendengar kebaikanmu, James, tapi kau harus ingat bahwa seorang
bajingan adalah bajingan. Maksudnya baik. Kau telah menyelamatkan nyawanya, dan
dia membalasmu dengan memberi sumber penghasilan. Dan moral Inggris-mu tidak dia
perhitungkan." "Jadi apa yang kulakukan dengan benda itu" Mula-mula aku ingin membakarnya. Tapi
aku teringat wanita itu pasti hidupnya tidak tenang karena takut sewaktu-waktu
laki-laki itu muncul di depannya."
"Kau rupanya punya pikiran panjang juga," kata Anthony sambil menyalakan rokok.
"Kuakui bahwa hal itu ternyata lebih banyak menimbulkan kesulitan. Bagaimana
kalau mengirimkannya pada wanita itu melalui pos?"
"Seperti wanita-wanita lain, dia tidak menuliskan alamat ataupun tanggal di
suratnya. Hanya ada satu petunjuk - barangkali semacam alamat. Satu kata.
Chimneys." Anthony tertegun, tidak jadi mematikan koreknya. "Chimneys?" katanya. "Luar
biasa." "Mengapa" Kau tahu?"
"Itu adalah salah satu bangunan yang cukup terkenal di Inggris, James. Sebuah
tempat di mana raja-raja dan ratu-ratu datang untuk berakhir pekan. Juga tempat
para diplomat bersantai."
"Itulah salah satu alasan yang membuatku senang karena kau yang akan pergi bukan aku. Kau tahu banyak hal seperti itu," kata Jimmy. "Orang seperti aku dari
hutan Kanada pasti akan kalang kabut. Tapi bagi kau yang pernah sekolah di Eton
dan Harrow - " "Hanya salah satu," kata Anthony dengan rendah hati.
"Pokoknya kau bisa. Kenapa aku tidak mengirimkannya lewat pos saja" Rasanya
terlalu berbahaya. Aku menyimpulkan bahwa dia punya seorang suami yang
cemburuan. Bagaimana kalau suaminya yang membukanya" Bagaimana nasib wanita itu"
Barangkali wanita itu telah meninggal - surat-surat itu kelihatannya telah lama
ditulis. Aku rasa satu-satunya yang harus dilakukan adalah mengembalikan suratsurat itu kepadanya - secara langsung."
Anthony membuang rokoknya, menghampiri kawannya dan menepuk punggungnya dengan
rasa sayang. "Kau adalah prajurit sejati, Jimmy," katanya. "Dan hutan Kanada pasti bangga
akan dirimu. Aku tak akan melakukan tugas itu setengah-setengah."
"Kalau begitu kau akan membawanya?"
"Tentu saja." McGrath berdiri dan berjalan ke meja. Dari sebuah laci diambilnya setumpuk surat
lalu diletakkannya di atas meja. "Ini dia. Sebaiknya kaubaca."
"Apa perlu" Kurasa tidak usah."
"Dari ceritamu tentang Chimneys, barangkali dia hanya tinggal sebentar di sana.
Sebaiknya kita cari di surat-surat ini, barangkali bisa didapat petunjuk lain."
"Kurasa kau benar."
Mereka membaca surat itu dengan teliti, tapi tidak menemukan apa yang mereka
cari. Anthony mengumpulkannya lagi. "Kasihan," pikirnya. "Wanita itu pasti
ketakutan setengah mati," katanya.
Jimmy mengangguk. "Kira-kira kau bisa menemukannya?"
"Aku tak akan pergi dari Inggris kalau belum ketemu dia. Kelihatannya kau sangat
memperhatikan wanita itu, James?"
Jimmy mencoba membaca tanda tangan di surat itu. "Namanya bagus," katanya.
"Virginia Revel."
Bab 3 Kegelisahan di Kalangan Atas
"BENAR, benar begitu," kata Lord Caterham. Dia telah mengucapkan kata-kata yang
sama sebanyak tiga kali, dengan harapan agar bisa segera terlepas dari
percakapan itu. Dia tidak suka dipaksa berdiri di tangga sebuah klub eksklusif
untuk mendengar pidato Yang Mulia George Lomax.
Clement Edward Alistair Brent adalah marquis dari Caterham yang kesembilan.
Lelaki kecil dengan pakaian lusuh itu sama sekali tidak menggambarkan konsepsi
populer seorang bangsawan. Matanya berwarna biru pucat, hidungnya tipis dan
melankolis, sikapnya samar tetapi sopan.
Kemalangan yang menimpa hidup Lord Caterham adalah keterpaksaan untuk
menggantikan kakaknya, marquis kedelapan yang meninggal empat tahun yang lalu.
Marquis kedelapan adalah pribadi yang mengagumkan dan sangat terkenal. Dia
pernah menjabat Menteri Luar Negeri dan selalu muncul dalam pertemuan-pertemuan
penting. Rumah peristirahatannya, Chimneys, terkenal karena keramahtamahannya.
Dengan bantuan istrinya, putri Duke of Perth, rumah itu menjadi bertambah
penting. Tak seorang pun anggota kalangan atas yang belum pernah melewatkan
akhir pekannya di Chimneys, begitu pula kalangan atas dari negara-negara Eropa.
Marquis dari Caterham yang kesembilan pun menerima kehormatan yang sama seperti
kakaknya. Henry telah melakukan hal tersebut dengan baik. Yang tidak disukai
Lord Caterham yang sekarang adalah asumsi bahwa dia pun akan berbuat sama
seperti kakaknya. Chimneys merupakan milik nasional dan bukan rumah pribadi. Tak
ada hal lain yang lebih membosankan Lord Caterham daripada politik - kecuali
tentang para politikus. Karena itulah dia merasa sebal mendengarkan pidato
George Lomax, seorang lelaki tegap - yang cenderung gendut - dengan wajah merah
dan mata menonjol seperti ikan maskoki serta selalu merasa bahwa dirinya orang
penting. "Kau mengerti, Caterham" Kita tidak bisa - tidak mungkin menimbulkan skandal
seperti itu sekarang. Kondisinya sangat sensitif."
"Biasanya sih memang begitu," kata Lord Caterham dengan agak sinis.
"Tapi saya, karena kedudukan saya, tahu persis!"
"Oh, begitu," kata Lord Caterham mengulangi kata-kata yang sama.
"Kalau ada yang bocor sedikit saja dengan urusan Herzoslovakia ini, habislah
kita. Kita harus berusaha agar konsesi minyak diberikan pada perusahaan Inggris.
Anda mengerti, kan?"
"Tentu, tentu."
"Pangeran Michael Obolovich akan tiba akhir minggu nanti. Urusan seperti ini
bisa diselesaikan di Chimneys - sambil pura-pura berburu."
"Saya punya rencana untuk ke luar negeri minggu ini," kata Lord Caterham.
"Ah, jangan mengada-ada Lord Caterham - tak ada orang yang ke luar negeri di
Rahasia Chimneys The Secret Of Chimneys Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
awal bulan Oktober."
"Tapi dokter saya menganjurkan begitu," kata Lord Caterham sambil melirik ke
sebuah taksi yang sedang lewat. Dia tidak bisa melepaskan diri dari percakapan
dengan George Lomax yang terkenal gigih mendesakkan kemauannya. Dia memegang
erat-erat kerah jas Lord Caterham sambil berkata,
"Saya minta pengertian Anda. Demi kepentingan nasional - "
Lord Caterham mencoba melepaskan diri. Tiba-tiba saja dia merasa, masih lebih
enak bila harus menyelenggarakan beberapa pesta untuk kawannya daripada
mendengarkan pidato George Lomax. Dia tahu bahwa laki-laki di depannya itu bisa
bicara terus selama dua puluh menit. "Baik," katanya cepat. "Anda bisa pakai
Chimneys. Atur saja semuanya."
"Ah, saya rasa tak ada yang perlu diatur. Chimneys adalah tempat yang strategis.
Saya sendiri akan tetap di Abbey. Dan itu hanya tujuh mil dari Chimneys. Tentu
saja saya tak akan ikut sebagai peserta rombongan."
"Tentu saja tidak," kata Lord Caterham, yang tidak mengerti dan tidak tertarik
untuk bertanya. "Barangkali Anda tak keberatan kalau Bill Eversleigh ikut. Dia bisa membantu
melakukan pekerjaan-pekerjaan kecil."
"Boleh, boleh," kata Lord Caterham dengan semangat baru. "Bill sangat baik dan
Bundle menyukainya."
"Tentu saja acara berburu itu tidak terlalu penting. Untuk kedok saja."
Lord Caterham kelihatan sedih lagi.
"Jadi nanti akan ada Pangeran, pengawalnya, Bill Eversleigh, Herman Isaacstein - "
"Siapa?" "Herman Isaacstein. Wakil sindikat yang saya bicarakan tadi."
"All British Syndicate?"
"Ya. Mengapa?" "Tak apa-apa - hanya ingin tahu."
"Lalu, tentunya ada satu atau dua orang luar - supaya kelihatan meyakinkan. Saya
rasa Lady Eileen bisa mengatur hal itu - orang-orang muda yang tidak terlalu
kritis dan tak punya pengetahuan politik."
"Ya. Bundle bisa mengaturnya."
"Ah, ya." Lomax kelihatannya baru saja ingat sesuatu - tiba-tiba. "Anda masih
ingat tentang hal yang baru saja saya katakan?"
"Anda berbicara tentang banyak hal."
"Tidak, tidak. Maksud saya tentang kejadian yang kurang menguntungkan itu - " Dia
mengurangi volume suaranya, berkata dengan suara berbisik - "dokumen pribadi milik Pangeran Stylptitch."
"Saya rasa Anda keliru tentang hal itu," kata Lord Caterham sambil berusaha
menutup mulutnya yang akan menguap. "Orang kan senang kalau ada skandal. Saya
sendiri kadang-kadang senang membaca hal-hal seperti itu."
"Persoalannya bukanlah apakah orang akan membacanya atau tidak - mereka pasti akan
membacanya - tetapi publikasi dalam kondisi seperti itu bisa berbahaya menghancurkan segalanya. Orang-orang Herzoslovakia sendiri ingin mengembalikan
monarki negaranya dan mereka bersedia menyerahkan mahkota kepada Pangeran
Michael yang mendapat dukungan dari pemerintah kita!"
"Dan dia orang yang bersedia memberikan konsesi pada Isaacstein & Co. untuk
pinjaman satu juta yang diterimanya agar bisa menduduki tahta - "
"Caterham, Caterham," kata Lomax dengan bisikan cemas. "Jangan ribut. Sekali
lagi jangan ribut." "Dan persoalannya adalah," lanjut Lord Caterham dengan suara sedikit rendah,
"bahwa peninggalan Stylptitch dikuatirkan akan mengacau rencana" Tirani dan
sikap keluarga Obolovitch" Banyak pertanyaan diajukan dalam sidang. Mengapa
harus mengganti bentuk pemerintahan demokratis yang berpandangan luas dengan
bentuk tirani kuno" Kebijaksanaan yang didiktekan oleh kapitalis-kapitalis yang
haus darah. Ganti pemerintah. Itukah yang diharapkan?"
Lomax mengangguk. "Mungkin lebih buruk lagi," katanya sambil menarik napas.
"Seandainya - seandainya ada yang menyatakan tentang - benda yang lenyap itu - ah,
Anda kan tahu." Lord Caterham memandang kosong. "Saya tidak tahu. Apa yang lenyap?"
"Anda tentunya telah mendengar tentang hal itu. Terjadi ketika mereka ada di
Chimneys. Henry waktu itu sangat bingung. Hampir saja merusak karirnya."
"Anda membuat saya tertarik," kata Lord Caterham. "Siapa atau apa yang hilang?"
Lomax membungkuk ke depan dan menempelkan bibirnya di telinga Lord Caterham yang
cepat-cepat menarik diri sambil berkata, "Jangan berbisik seperti itu."
"Anda mendengar apa yang saya katakan?"
"Ya," kata Lord Caterham dengan enggan. "Saya ingat pernah mendengar hal
tersebut pada waktu itu. Masalah yang membangkitkan rasa ingin tahu. Tapi siapa
kira-kira yang melakukannya" Dan sampai sekarang belum ditemukan?"
"Belum. Saya rasa kita harus menanganinya dengan diam-diam. Tak boleh ada
kebocoran tentang lenyapnya benda tersebut. Tapi Stylptitch ada di sana waktu
itu. Ada sesuatu yang diketahuinya. Tidak seluruhnya. Tapi dia tahu sesuatu.
Kami berbeda pendapat dan berdebat tentang hal itu. Seandainya karena marah dia
membuka rahasia itu kepada umum, wah. Bayangkan skandal yang akan terjadi dan
akibatnya. Setiap orang akan bertanya - mengapa hal itu ditutup-tutupi?"
"Tentu saja mereka bertanya," kata Lord Caterham dengan nada gembira.
Lomax yang berbicara dengan suara yang bertambah lama bertambah keras akhirnya
sadar. "Saya harus tetap tenang," gumamnya. "Saya harus tetap tenang. Tapi saya
ingin bertanya. Kalau dia tidak bermaksud buruk, mengapa dia mengirim dokumen
itu ke London dengan jalan berputar-putar seperti itu?"
"Memang aneh. Anda benar-benar yakin dengan fakta-fakta yang Anda miliki?"
"Tentu saja. Kami - er - punya agen di Paris. Dokumen itu diam-diam disingkirkan
beberapa minggu sebelum kematiannya."
"Ya. Kelihatannya memang ada yang perlu dicurigai," kata Caterham, dengan
kegembiraan yang tadi ditunjukkannya.
"Kami tahu bahwa dokumen itu dikirimkan pada seseorang yang bernama Jimmy, atau
James McGrath, seorang Kanada yang sekarang ada di Afrika."
"Ah, benar-benar luar biasa," kata Lord Caterham dengan riang.
"James McGrath akan tiba dengan kapal Granarth Castle besok - hari Kamis."
"Apa yang akan Anda lakukan?"
"Tentu saja kami akan mendekati dia dan mengingatkan konsekuensi berbahaya yang
mungkin dihadapinya, dan memintanya agar menunda publikasi setidak-tidaknya satu
bulan. Dalam waktu itu kita bisa mengatur secara hukum untuk mengeditnya."
"Seandainya dia mengatakan, 'Tidak, Tuan' atau 'Ini adalah urusanku',
bagaimana?" tanya Lord Caterham.
"Itulah yang saya kuatirkan," kata Lomax. "Itulah sebabnya saya berpikir,
barangkali lebih baik mengundang dia ke Chimneys. Mungkin dia akan senang
bertemu dengan Pangeran Michael dan mungkin akan lebih mudah bagi kita untuk
menangani dia." "Saya tak akan melakukan hal itu," kata Lord Caterham dengan cepat. "Saya tidak
bisa beramah-tamah dengan orang Kanada, lebih-lebih yang telah lama tinggal di
Afrika!" "Barangkali yang akan Anda hadapi adalah orang yang menyenangkan - berlian yang
belum terasah." "Tidak, Lomax. Saya sama sekali tidak bisa. Biarlah orang lain saja yang
menghadapi dia." "Mungkin perlu seorang wanita untuk rombongan itu. Dia perlu diberi tahu tetapi
tak perlu terlalu banyak tahu. Seorang wanita akan bisa menghadapi masalah ini
dengan luwes dan bijaksana. Bukannya saya mendukung wanita dalam bidang politik tapi wanita, dengan caranya sendiri, bisa melakukan banyak hal yang luar biasa.
Contohnya istri Henry. Lihatlah apa yang telah dilakukannya untuk suaminya.
Marcia adalah seorang istri politikus yang tidak saja unik, tetapi juga hebat
dan sempurna." "Anda tidak akan menyuruh saya mengundang Marcia dalam rombongan ini, kan?"
tanya Lord Caterham dengan wajah pucat ketika Lomax menyebut-nyebut kakak
iparnya. "Tidak, tidak. Anda salah mengerti. Saya berbicara tentang pengaruh wanita
secara umum. Saya mengusulkan seorang wanita muda - yang menarik dan cerdas."
"Jangan Bundle. Bundle tak akan membantu. Dia pasti akan menjerit dan tertawa
keras kalau diberi tahu."
"Saya tidak akan mengusulkan Lady Eileen. Putri Anda memang sangat menarik. Tapi
dia masih terlalu muda. Kita memerlukan seorang wanita yang punya savoir-faire,
tenang, dan berpengetahuan luas - ah, saya tahu. Saudara sepupu saya - Virginia."
"Nyonya Revel?" kata Lord Caterham dengan semangat. Dia mulai merasa barangkali
dia bisa menikmati acara berburu itu. "Usul yang amat bagus, Lomax. Dia adalah
wanita yang paling menarik di London."
"Dan dia juga tahu cukup banyak tentang kejadian-kejadian yang berhubungan
dengan Herzoslovakia. Suaminya dulu bertugas di kedutaan kita di Herzoslovakia.
Dan seperti kata Anda, dia memang seorang wanita yang menarik."
"Sangat menyenangkan," tambah Lord Caterham.
"Kalau begitu semuanya beres."
Tuan Lomax mengendurkan cengkeramannya pada baju Lord Caterham yang dengan gesit
membebaskan dirinya. "Mari, Lomax. Anda akan mengatur segalanya, kan?" Dia masuk ke dalam sebuah
taksi. Lord Caterham memang tidak suka pada George Lomax. Dia tidak suka pada
mukanya yang tembem kemerahan, tidak suka pada bunyi napasnya yang berat, dan
juga tidak pada matanya yang biru melotot seperti mata ikan maskoki itu. Dia
memikirkan minggu yang akan datang dan menarik napas. Benar-benar suatu gangguan
- gangguan yang tak menyenangkan. Kemudian dia berpikir tentang Virginia Revel.
Wajahnya menjadi gembira. "Sangat menyenangkan," gumamnya. "Makhluk yang sangat
menyenangkan." Bab 4 Seorang Wanita yang Menarik
GEORGE LOMAX langsung kembali ke Whitehall. Dia mendengar suara ribut ketika
memasuki ruangan mewah tempat kerjanya. Tuan Bill Eversleigh ternyata sedang
sibuk mem-file surat-surat. Dalam usia dua puluh lima, dengan perawakan tinggi
besar dan wajah yang kurang menarik tetapi dihiasi sederet gigi putih dan
sepasang mata coklat yang jujur, Bill Eversleigh merupakan pribadi yang
menyenangkan. "Richardson sudah mengirim laporan?"
"Belum, Pak. Apakah perlu saya hubungi?"
"Tak usah. Ada telepon?"
"Nona Oscar yang menjawab semua telepon. Tuan Isaacstein menanyakan apa Anda
bisa makan malam dengan beliau di Savoy besok."
"Bilang pada Nona Oscar supaya mencek jadwal pertemuanku. Kalau kosong, minta
dia menelepon dan menerima undangan itu."
"Baik, Pak." "O, ya, tolong sambungkan aku dengan Nyonya Revel, 487 Pont Street. Lihat
nomornya di buku telepon."
"Ya, Pak." Bill menyambar buku telepon dan melihat nama-nama di bawah kolom R,
membanting buku di atas meja, lalu memutar nomor telepon. Tiba-tiba dia diam,
seolah-olah teringat akan sesuatu.
"Oh, Pak, saya baru ingat. Telepon Nyonya Revel rusak. Saya baru saja menelepon
dia." George Lomax mengernyitkan dahi. "Menyebalkan," katanya. "Sangat menyebalkan."
Dia kemudian mengetuk-ngetuk meja dengan bimbang.
"Kalau memang penting, barangkali saya bisa ke sana naik taksi. Dia pasti ada di
rumah pada jam-jam seperti ini."
George Lomax ragu-ragu. Bill menunggu penuh harap dan bersiap untuk kabur
seandainya disetujui. "Barangkali sebaiknya kau ke sana," kata Lomax akhirnya.
"Kalau begitu pergilah ke sana naik taksi dan tanyakan pada Nyonya Revel apakah
dia ada di rumah jam empat sore nanti. Aku ingin ke sana dan membicarakan suatu
hal yang penting." "Baik, Pak." Bill menyambar topinya dan keluar. Sepuluh menit kemudian sebuah
taksi menurunkan dia di 487 Pont Street. Dia menekan bel dan mengetuk-ngetuk
pintu dengan keras. Pintu dibuka oleh seorang pelayan dan Bill mengangguk akrab.
"Selamat pagi, Chilvers. Nyonya Revel ada?"
"Beliau sedang keluar, Tuan."
"Kau ya, Bill?" seru sebuah suara dari atas. "Aku hapal ketukan yang kuat itu.
Masuklah." Bill masuk dan menengok ke atas, melihat sebuah wajah yang tertawa padanya - wajah
yang selalu membuatnya gugup. Dia menaiki tangga dengan cepat dan menangkap
tangan yang terulur kepadanya dengan kencang. "Halo, Virginia!"
"Halo, Bill!" Daya tarik memang hal yang aneh. Beratus wanita muda dan mungkin lebih cantik
dari Virginia Revel bisa saja mengucapkan 'Halo, Bill' dengan intonasi yang sama
namun dengan efek yang berbeda. Tapi kedua kata sederhana yang baru saja
diucapkan Virginia, memberikan efek yang memabukkan pada Bill.
Virginia Revel baru berumur dua puluh tujuh. Tubuhnya langsing semampai dengan
proporsi yang amat menarik - seperti wanita-wanita dalam puisi. Rambutnya berwarna
hijau keemasan dan lembut berkilauan. Dagunya kecil dan kelihatan keras,
hidungnya bagus, matanya yang selalu berbinar-binar berwarna biru. Mulutnya
berbentuk bagus, dan selalu tersenyum manis bagai Dewi Venus. Wajahnya yang
ekspresif menunjukkan suatu vitalitas yang mempesona setiap orang. Rasanya sulit
untuk tidak memperhatikan kehadirannya. Dia membawa Bill ke sebuah ruang
keluarga kecil yang penuh warna pucat, hijau dan kuning - seperti kembang-kembang
yang mekar di padang rumput.
"Bill, apa kau tidak dicari-cari orang kantor" Aku rasa mereka tak akan bisa
kerja tanpa kau." "Aku membawa pesan untukmu dari Codders." Begitulah Bill menyebut atasannya di
depan orang lain. "Dan ingat, Virginia, kalau dia tanya, katakan bahwa teleponmu
rusak tadi pagi." "Tapi teleponku tidak rusak, Bill."
"Ya, aku tahu. Tapi aku katakan rusak."
"Mengapa" Beri tahu aku dong. Rasanya kok misterius."
Bill melirik dengan rasa sedih. "Supaya aku bisa kemari dan bertemu denganmu."
"Oh, Bill. Alangkah tololnya aku! Dan kau begitu baik!"
"Chilvers mengatakan kau akan pergi."
"Ya. Ke Sloane Street. Apa pesan George?"
"Dia ingin tahu apa kau ada di rumah jam empat sore nanti."
"Tidak. Aku akan ke Ranelagh. Apa ini kunjungan formal" Apa dia akan melamarku?"
"Aku tak akan heran kalau dia melamarmu?"
"Karena kalau dia mau melamar, kau bisa mengatakan padanya bahwa aku lebih
menyukai orang yang melamar secara spontan."
"Seperti aku?" "Kau tidak spontan, Bill. Kau punya kebiasaan."
"Virginia, apakah kau tidak - "
"Tidak, tidak Bill. Aku tidak menginginkannya pagi-pagi hari sebelum makan
siang. Anggap saja aku seorang wanita keibuan yang menginjak umur setengah baya
yang sangat memperhatikanmu."
"Virginia, aku sayang padamu."
"Aku tahu, Bill. Aku tahu. Dan aku senang disayang. Jahat ya aku" Aku ingin agar
setiap laki-laki yang baik di dunia ini mencintaiku."
"Aku rasa banyak," kata Bill dengan sedih.
"Tapi aku harap George tidak jatuh cinta padaku. Aku kira dia tidak bisa. Dia
sangat mencintai pekerjaannya. Apa lagi yang dia katakan?"
"Dia ingin membicarakan soal penting. Itu saja."
"He, aku jadi ingin tahu. Tapi hal-hal yang bagi George bersifat penting sangat
terbatas. Aku rasa aku bisa menunda Ranelagh. Aku toh bisa ke sana setiap saat.
Kalau begitu katakan pada George bahwa aku akan menunggunya dengan setia, jam
empat." Bill melihat jam tangannya. "Tanggung mau kembali. Kita keluar makan siang,
yuk." "Aku memang mau makan nanti."
"Sudahlah. Kita makan sama-sama saja. Lupakan yang lain."
"Memang enak begitu," kata Virginia sambil tersenyum.
"Virginia, kau manis sekali. Kau suka padaku, kan" Kau lebih suka padaku
daripada orang lain?"
"Bill, aku sangat suka padamu. Seandainya aku harus menikah dengan seseorang karena keharusan - misalnya saja ada orang jahat mengatakan 'Kawinlah dengan
seseorang. Kalau tidak kau akan mati disiksa' - aku akan langsung memilihmu percayalah." "Ya, kalau begitu - "
"Ya, tapi tidak ada yang mengharuskan aku untuk menikah. Aku senang menjadi
janda yang kejam." "Kau bisa tetap bebas. Pergi ke mana-mana semaumu, atau mengerjakan apa saja.
Kau tak perlu terlalu memperhatikan aku."
"Kau tidak mengerti, Bill. Aku adalah tipe orang yang akan dengan senang menikah
kalau aku memang ingin menikah."
Bill menggeram. "Bisa-bisa aku bunuh diri suatu saat nanti," katanya sedih.
Rahasia Chimneys The Secret Of Chimneys Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak. Kau tak akan melakukan hal itu, Bill. Kau akan pergi makan malam dengan
seorang gadis yang manis. Seperti yang kaulakukan dua malam yang lalu."
Tuan Eversleigh bingung. "Kalau yang kaumaksud adalah Dorothy Kirkpatrick, gadis
yang di Hooks and Eyes, aku - ah, dia memang baik. Manis. Tak ada salahnya."
"Tentu saja tidak. Aku senang kalau kau juga senang. Tapi jangan pura-pura mati
karena patah hati." Harga diri Tuan Eversleigh pulih kembali. "Kau tidak mengerti, Virginia. Lakilaki - " "Suka berpoligami! Aku tahu. Kadang-kadang aku kuatir jangan-jangan aku juga
poliandris. Kalau kau memang sayang padaku, kita keluar makan saja cepat-cepat."
Bab 5 Malam Pertama di London DALAM suatu rencana yang telah dirancang dengan baik pun selalu ada
kekurangannya. Dan George Lomax telah membuat suatu kesalahan dalam
persiapannya. Bill merupakan titik lemahnya.
Bill Eversleigh memang seorang pemuda yang sangat baik. Sikapnya menyenangkan
dan ramah-tamah. Kedudukannya di Departemen Luar Negeri diperolehnya bukan
dengan otak tapi dengan koneksi. Tugas yang harus dilakukannya sangat sesuai
untuknya. Dia kurang-lebih adalah anjing George. Dia tidak melakukan pekerjaan
yang menuntut tanggung jawab atau otak. Tugasnya adalah berada di dekat George,
bertanya-jawab dengan orang-orang yang kurang penting, yang tidak ingin ditemui
George. pergi ke sana kemari, dan melakukan tugas-tugas kecil lainnya. Semuanya
itu dilakukan Bill dengan setia. Bila George tidak ada, Bill akan menghenyakkan
badannya di kursi yang terbesar dan membaca koran. Dia rupanya tahu tradisi yang
telah lama dihormati. Karena sudah biasa menyuruh Bill, George menyuruhnya pula ke kantor Union Castle
untuk menanyakan tanggal kedatangan kapal Granarth Castle. Sebagaimana orangorang muda terpelajar lainnya, Bill juga memiliki suara yang enak didengar
tetapi kurang jelas. Siapa pun pasti akan keliru menangkap ucapan 'Granarth'
yang keluar dari mulutnya. Ketika dia menanyakan nama kapal itu, petugas mengira
dia menanyakan Carnfrae Castle. Dan kapal itu akan datang pada hari Kamis besok.
Dia mengatakan demikian. Bill mengucapkan terima kasih dan keluar. George Lomax
menerima informasi tersebut dan menyesuaikan rencananya. Dia tidak tahu apa-apa
tentang kapal-kapal Union Castle dan menganggap James McGrath datang pada hari
Kamis. Karena itu bila dia tahu bahwa Granarth Castle telah merapat di Southampton pada
hari Selasa siang, dia pasti heran.
Pada jam dua siang, dengan memakai nama Jimmy McGrath, Anthony Cade keluar dari
pelabuhan dan memanggil taksi. Setelah ragu-ragu sejenak akhirnya dia
memerintahkan sopir menuju Hotel Blitz. "Orang juga ingin enak sekali-sekali,"
katanya di dalam hati. Matanya memperhatikan keadaan London yang telah
ditinggalkannya selama empat belas tahun.
Dia sampai di hotel, memesan kamar, dan keluar lagi untuk berjalan-jalan di
pinggir sungai. Menyenangkan juga kembali ke London. Memang semuanya telah
berubah. Di sana dulu ada rumah makan kecil - di sebelah jembatan Blakfriars
Bridge. Di situlah dia sering makan malam beramai-ramai dengan teman-teman lakilakinya. Dia kembali ke Blitz. Ketika menyeberangi jalan, seorang laki-laki menabraknya
dan membuatnya hampir kehilangan keseimbangan. Keduanya berdiri tegak kembali.
Laki-laki itu menggumamkan kata-kata maaf sambil memperhatikan wajah Anthony.
Dia adalah tipe lelaki pekerja kasar yang berbadan pendek. Wajahnya agak asing.
Anthony kembali ke hotelnya sambil berpikir-pikir, apa maksud laki-laki itu
memandangnya seperti itu. Barangkali tidak apa-apa. Memang warna kulitnya lain
dari yang lain. Wajahnya kelihatan coklat sekali dibandingkan penduduk London
yang pucat-pucat, dan mungkin itulah yang menarik perhatian orang itu. Dia naik
menuju kamarnya. Tiba-tiba saja dia ingin melihat wajahnya di cermin. Apakah
kawan-kawan lamanya akan bisa mengenalinya kalau mereka berhadapan dengan dia"
Anthony menggelengkan kepala.
Waktu meninggalkan London, umurnya baru delapan belas - kulitnya pucat dan pipinya
bulat seperti gambar malaikat anak-anak. Pasti kawan-kawannya takkan
mengenalinya lagi. Telepon yang ada di dekat tempat tidur berdering dan Anthony mengangkatnya.
"Halo!" Suara resepsionis menjawab. "Tuan James McGrath?"
"Ya." "Ada seorang tamu yang ingin bertemu dengan Anda."
Anthony agak heran. "Dengan saya?"
"Ya, Tuan. Seorang asing."
"Siapa namanya."
Resepsionis itu diam saja. Kemudian dia berkata, "Akan saya suruh seorang
pelayan mengantarkan kartu namanya."
Anthony meletakkan telepon dan menunggu. Beberapa menit kemudian pintu diketuk.
Seorang pelayan masuk dengan nampan berisi kartu nama. Anthony mengambilnya. Dia
membaca nama itu: Baron Lolopretjzyl.
Sekarang dia mengerti mengapa resepsionis itu diam saja. Dia memperhatikan kartu
nama itu sambil berpikir. Setelah satu-dua menit kemudian dia berkata, "Antarkan
tamu itu kemari." "Baik, Tuan." Beberapa menit kemudian Baron Lolopretjzyl masuk ke dalam kamar. Dia adalah
seorang lelaki bertubuh besar dengan jenggot hitam berbentuk kipas. Kepala
berdahi tinggi dan botak. Dia mengambil sikap seperti prajurit dan membungkuk
hormat. "Tuan McGrath," katanya.
Anthony menirukan sikapnya sebaik-baiknya. "Baron," katanya. Sambil menarik
kursi dia berkata, "Silakan duduk. Kita belum pernah bertemu, bukan?"
"Ya, benar," jawab Baron sambil duduk di kursi. "Sayang baru sekarang saya
mengenal Anda," katanya sopan.
"Ya. Saya juga merasa begitu," kata Anthony dengan nada yang sama.
"Kita bicara langsung saja tentang urusan ini," kata Baron. "Saya adalah seorang
wakil partai Loyalis dari Herzoslovakia di London."
"Anda memang sangat representatif," kata Anthony.
Baron hanya menganggukkan kepala atas pujian itu. "Terima kasih," katanya kaku.
"Sudah tiba saatnya melakukan restorasi monarki. Setelah pemerintahan yang Mulia
Raja Nicholas IV." "Amin," gumam Anthony. "Eh, maksud saya - saya mengerti."
"Kami mencalonkan Yang Mulia Pangeran Michael yang mendapat dukungan dari
Pemerintah Inggris."
"Bagus," kata Anthony. "Terima kasih untuk keterangan tersebut."
"Semua sudah direncanakan dengan baik. Tapi Anda kemari dan menyebabkan
kesulitan." Baron itu berkata dengan menatap tajam.
"Baron - " Anthony memprotes.
"Ya, ya. Saya sadar apa yang saya katakan. Anda menyimpan dokumen-dokumen
pribadi Pangeran Stylptitch, kan?" katanya dengan mata menuduh Anthony.
"Dan kalau hal itu benar" Apa hubungan dokumen pribadi itu dengan Pangeran
Michael?" "Dokumen itu akan menimbulkan skandal."
"Dokumen-dokumen pribadi yang lain juga begitu biasanya," kata Anthony
menghibur. "Dia adalah orang yang tahu banyak tentang rahasia kami. Seandainya dia
mengungkapkan seperempat rahasia itu saja, pasti akan terjadi peperangan antar
negara-negara Eropa."
"Ah. Saya rasa tak akan seburuk itu." kata Anthony.
"Pendapat yang kurang baik tentang Obolovitch pasti akan tersebar ke mana-mana.
Orang Inggris penuh semangat demokratis."
"Saya kira tidak," kata Anthony, "Obolovitch tak akan dipandang enteng begitu
saja. Saya merasakannya. Tapi orang Inggris menganggap negara-negara Balkan
demikian. Saya tak tahu mengapa. Tapi begitulah faktanya."
"Anda tidak mengerti. Sama sekali tidak mengerti. Tapi bibir saya tersegel
rapat." Baron menarik napas.
"Apa sebenarnya yang Anda kuatirkan?" tanya Anthony.
"Saya tidak tahu sebelum membaca dokumen ini," kata Baron dengan polos. "Tetapi
pasti ada sesuatu. Para diplomat besar biasanya seenaknya saja. Pasti akan ada
keributan." "Saya rasa Anda terlalu pesimis memandang persoalan ini," kata Anthony ramah.
"Saya tahu apa biasanya yang dilakukan para penerbit - mereka mengerami naskah
seperti ayam mengerami telur. Paling cepat mereka akan menerbitkan buku itu
setelah satu tahun."
"Saya tak tahu apakah Anda seorang yang licik atau yang berpikiran sederhana.
Semua sudah diatur, dokumen itu akan segera dimuat di koran mingguan."
"Oh!" Anthony agak terkejut. "Tapi kita kan selalu bisa menolaknya," kata
Anthony penuh harap. Baron itu menggelengkan kepala dengan sedih.
"Tidak. Kita tidak bisa membuat perkiraan seperti itu. Kita bicara tentang
urusan ini saja. Anda akan mendapat seribu pound, bukan" Harap diketahui bahwa
saya punya informasi yang baik."
"Bagian intel partai Loyalis memang patut mendapat pujian."
"Kalau begitu saya menawarkan seribu lima ratus."
Anthony memandangnya dengan heran. Lalu dia menggelengkan kepalanya sambil
berkata, "Maaf, saya rasa saya tak bisa melakukannya."
"Bagus. Bagaimana kalau dua ribu?"
"Tawaran Anda benar-benar menggiurkan, Baron. Tapi saya masih belum bisa
melakukannya." "Kalau begitu berapa yang Anda minta?"
"Kelihatannya Anda tidak mengerti posisi saya. Saya yakin bahwa Anda berada di
pihak malaikat dan bahwa dokumen pribadi ini bisa membahayakan kelompok Anda.
Tetapi saya sudah berjanji untuk melakukan pekerjaan yang ditugaskan pada saya,
dan saya akan melakukannya dengan sebaik-baiknya. Saya tidak bisa membiarkan
diri saya dibeli oleh pihak lain. Hal yang demikian itu tidak biasa saya
lakukan. Anda mengerti?"
Baron itu mendengarkan dengan penuh perhatian. Setelah Anthony selesai bicara
dia menganggukkan kepala berkali-kali. "Saya mengerti. Harga diri Anda sebagai
orang Inggris?" "Ah. Kami sendiri tidak mengatakannya demikian," kata Anthony. "Tapi memang
maksudnya tidak berbeda."
Baron berdiri dan berkata. "Saya menghormati harga diri orang Inggris. Dan saya
akan mencobanya dengan cara lain. Selamat pagi."
Dia berdiri dengan sikap tegak, mengangguk, dan keluar ruangan dengan tubuh
tegak. "Apa yang dimaksudnya" Ancaman" Bukannya aku takut pada Lollipop tua itu. Enakan
dipanggil Lollipop saja dia. Akan kupanggil Baron Lollipop," kata Anthony dalam
hati. Dia berjalan hilir-mudik dalam kamar sambil memikirkan apa yang akan
dilakukannya. Tanggal batas penyerahan dokumen itu masih seminggu lagi. Sekarang
tanggal 5 Oktober. Dan Anthony tidak bermaksud menyerahkannya sebelum tanggal
batas yang ditetapkan. Sekarang dia jadi ingin tahu tentang isi dokumen itu.
Sebenarnya dia bermaksud membacanya di kapal. Tapi dia sakit demam, dan tak
punya keinginan membaca tulisan tangan orang lain yang sulit dibaca. Dia
memutuskan untuk membaca dokumen itu.
Ada pekerjaan lain yang harus diselesaikannya juga.
Tanpa sadar diambilnya buku telepon dan mencari nama Revel. Ada enam Revel di
buku: Edward Henry Revel, ahli bedah di Harley Street; James Revel & Co.,
pembuat pelana; Lennox Revel dari Abbotbury Mansions, Hampstead; Nona Mary Revel
dari Ealing; Yang Mulia Nyonya Timothy Revel di 487 Pont Street; dan Nyonya
Willis Revel di 42 Cadogan Square. Dengan mengesampingkan pembuat pelana dan
Nona Mary Revel, ada empat nama yang harus diselidikinya - dan tak ada alasan
untuk yakin bahwa wanita itu pernah tinggal di London! Dia menutup buku tersebut
sambil menggelengkan kepalanya.
"Untuk sementara untung-untungan saja," katanya. "Biasanya ada kelanjutannya."
Rupanya keberuntungan sedang berada di pihak Anthony. Tidak ada setengah jam
kemudian dia menemukan apa yang dicarinya ketika sedang membalik-balik koran
bergambar. Berita itu mengenai sebuah pertunjukan yang diprakarsai Duchess of
Perth. Di bawah suatu gambar seorang wanita yang berpakaian ala Timur ada
keterangan: Y.M. Nyonya Timothy Revel sebagai Cleopatra. Sebelum menikah, Nyonya
Revel adalah Y.M. Virginia Cawthorn, putri Lord Edgbaston.
Anthony memandangi gambar itu dan perlahan-lahan memonyongkan bibirnya seolaholah mau bersiul. Kemudian dia menyobek halaman tersebut, melipatnya dan
memasukkannya ke dalam sakunya. Dia naik ke atas lagi, membuka kopornya dan
mengeluarkan bungkusan surat. Dia mengeluarkan lipatan koran dari sakunya dan
menyisipkannya di bawah tali yang mengikat berkas surat-surat itu.
Lalu, ketika mendengar suara di belakangnya, dia berbalik dengan cepat. Seorang
laki-laki berdiri di ambang pintu - laki-laki bertampang aneh. Wajahnya buruk
dengan senyum kejam memandang Anthony dan menyeringai licik kepadanya. "Apa yang
kaulakukan di sini?" tanya Anthony. "Siapa yang menyuruhmu masuk?"
"Aku masuk ke tempat yang aku sukai," kata orang asing itu. Suaranya terdengar
asing walaupun kata-katanya adalah kata-kata yang biasa diucapkan orang Inggris.
Seorang asing lagi, pikir Anthony. "Kalau begitu keluar saja. Kau dengar?"
katanya dengan suara keras.
Mata laki-laki itu tertuju pada paket surat yang baru saja digenggam Anthony.
"Aku akan keluar kalau kau telah memberikan apa yang kuinginkan."
"Dan apakah itu kalau aku boleh tahu?"
Laki-laki itu melangkah mendekat. "Surat-surat pribadi Pangeran Stylptitch,"
desisnya. "Kau memang tidak bisa diajak bicara," kata Anthony. "Dasar bajingan. Siapa yang
menyuruhmu kemari" Baron Lollipop?"
"Baron - ?" Laki-laki itu terkejut sambil menggumamkan sederet kata yang tak bisa
ditangkap artinya. "Jadi ucapannya begitu, ya" Aku rasa aku tak bisa menirukanmu - tenggorokanku
tidak diciptakan untuk itu. Aku akan tetap memanggilnya Lollipop. Jadi dia yang
menyuruhmu kemari?" Tetapi dia mendapat jawaban yang negatif. Tamu tak diundang itu dengan rasa
sebal mengeluarkan selembar kertas yang dilemparnya ke atas meja. "Lihat,"
katanya. "Lihat dan gemetarlah kau."
Anthony memandang dengan penuh perhatian tanpa mempedulikan bagian akhir
kalimatnya. Pada kertas itu ada gambar tangan berwarna merah.
"Seperti tangan," katanya. "Tapi aku rasa itu seperti gambar matahari tenggelam
di kutub utara." "Itu adalah simbol Komplotan Tangan Merah. Aku adalah anggota Komplotan Tangan
Merah." "Apakah kawan-kawanmu lainnya seperti kau?" tanya Anthony penuh perhatian. "Apa
yang akan dikatakan oleh masyarakat eugenic nanti?"
Laki-laki itu berteriak marah. "Anjing!" makinya. "Lebih buruk dari anjing.
Buruh bayaran dan monarki yang hampir ambruk. Berikan surat itu padaku dan kau
akan selamat." "Kalian memang baik. Tapi aku rasa kau dan kawan-kawanmu tidak terlalu mengerti
tentang persoalan ini. Instruksi yang diberikan padaku adalah untuk menyerahkan
surat tersebut - bukan pada gerombolanmu, tapi pada sebuah perusahaan penerbitan."
"Pah!" Orang itu tertawa. "Kaukira kau bisa sampai ke kantor itu dengan selamat"
Sudahlah. Berikan surat-surat itu atau kutembak kau."
Dia mengeluarkan pistol dari sakunya dan melempar-lemparkannya ke udara.
Tapi dia keliru. Dia tidak biasa menghadapi orang yang bisa bertindak secepat
berpikir. Anthony tidak mau menunggu sampai dia ditodong pistol. Begitu lawannya
mengeluarkan pistol dia menubruknya sehingga pistol itu lepas dari tangannya.
Tubrukan itu membuat si lelaki terputar, punggungnya membelakangi Anthony.
Dan Anthony tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan sebuah tendangan kuat
yang terarah dia membuat lawannya melayang melewati pintu ke dalam koridor.
Laki-laki itu jatuh tersungkur di lantai.
Anthony keluar mendekatinya. Tetapi anggota Komplotan Tangan Merah itu rupanya
sudah merasa kapok. Dia mencoba merangkak dan berlari menjauh menuruni tangga.
Anthony tidak mengejar, hanya kembali lagi ke dalam kamarnya.
"Cukup untuk Komplotan Tangan Merah," katanya. "Penampilan boleh, tapi begitu
mudah disetir kekuatan fisik. Bagaimana cara dia masuk tadi" Kurang ajar! Jelas
pekerjaan ini bukan pekerjaan mudah. Tidak seperti yang kubayangkan. Aku sudah
menjadi musuh kaum Loyalis maupun kaum Revolusioner. Aku rasa tak lama lagi kaum
Nasionalis dan Liberal akan mengirimkan wakil mereka. Tapi ada satu hal yang
pasti akan kulakukan. Aku akan membaca dokumen ini malam ini."
Jam tangannya menunjukkan pukul sembilan malam dan Anthony bermaksud makan di
kamarnya saja. Dia tidak mengharapkan kunjungan mendadak lagi, tapi dia merasa
sebaiknya berhati-hati. Dia tidak ingin ada orang yang menggerayangi kopornya
ketika dia menikmati makanan di lantai bawah. Karena itu dia membunyikan bel dan
minta daftar menu, memilih dua macam makanan dan meminta sebotol Bordeaux.
Pelayan menerima pesanan dan keluar.
Rahasia Chimneys The Secret Of Chimneys Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sambil menunggu pesanan, dia mengeluarkan bungkusan dokumen dan meletakkannya di
atas meja beserta semua surat-surat.
Tak lama kemudian pintu diketuk. Pelayan masuk membawa sebuah meja kecil dan
perlengkapan makan. Anthony sedang berjalan ke perapian. Dia membelakangi kamar
tetapi di depannya ada sebuah kaca besar. Ada hal yang mencurigakan terlihat
dari kaca. Mata pelayan itu terpaku pada bungkusan di atas meja. Sambil melirik
ke arah punggung Anthony, dia bergerak mendekati bungkusan tersebut. Tangannya
bergerak-gerak dan lidahnya sebentar-sebentar membasahi bibirnya yang kering.
Anthony memperhatikannya lebih baik. Laki-laki itu bertubuh tinggi, luwes
seperti pelayan biasa, dan wajahnya tercukur bersih, serta penuh ekspresi.
"Wajah Itali, bukan Prancis," pikir Anthony.
Pada saat yang kritis Anthony berbalik cepat. Pelayan itu agak terkejut, tapi
pura-pura memegang botol garam.
"Siapa namamu?" tanya Anthony tiba-tiba.
"Giuseppe, Tuan."
"Orang Itali?" "Ya, Tuan." Anthony bicara dalam bahasa Itali dan Giuseppe menjawab dengan lancar. Akhirnya
Anthony mengusirnya dengan sebuah anggukan. Sambil makan Anthony berpikir dengan
cepat. Mungkinkah dia keliru" Apakah perhatian Giuseppe terhadap bungkusan itu
hanya suatu kebetulan saja" Bisa jadi. Tapi orang itu begitu ingin tahu
kelihatannya. Akhirnya Anthony menolak teorinya. Tapi dia tetap bingung.
"Peduli amat," katanya pada diri sendiri, "tidak setiap orang tertarik pada
manuskrip itu. Barangkali reaksiku saja yang berlebihan."
Makan malam akhirnya selesai. Dia mulai membaca dokumen itu. Karena tulisan
tangan Pangeran Stylptitch yang tak terbaca, pekerjaan itu makan waktu. Berkalikali Anthony menguap. Akhirnya dia menyerah ketika sampai pada bab empat. Sejauh
itu dia berpendapat bahwa memoir itu membosankan, tak ada tanda-tanda skandal
atau hal penting di dalamnya.
Dia mengemasi surat-surat dan bungkusan manuskrip yang baru dibacanya dan
memasukkannya ke dalam kopor. Lalu dia mengunci pintu dan mengganjalnya dengan
sebuah kursi sebagai tambahan pengaman. Pada kursi itu dia letakkan botol air
dari kamar mandi. Setelah mencek kembali pengamanan yang dilakukannya, dia mengganti baju dan
tidur. Satu bab lagi dari memoir itu yang belum dibacanya, tapi matanya tak bisa
diajak bekerja sama. Akhirnya dimasukkannya bundel memoir itu di bawah bantalnya
dan dimatikannya lampu kamarnya. Dia tertidur begitu meletakkan kepala di atas
bantal. Kira-kira empat jam kemudian dia terbangun karena terkejut. Dia tidak tahu apa
yang telah membuatnya terbangun - barangkali suatu bunyi, barangkali juga
kesadaran akan adanya bahaya yang sudah menjadi bagian dari hidupnya yang penuh
petualangan. Sesaat dia berbaring diam, mencoba memusatkan perhatian. Dia mendengar suara
berdesir halus. Kemudian dia melihat bayangan di antara dirinya dengan jendela di lantai dekat kopornya. Bagaikan kilat Anthony meloncat menyalakan lampu.
Seseorang meloncat dari dekat kopor.
Ternyata dia adalah si pelayan, Giuseppe. Tangan kanannya menggenggam sebuah
pisau yang berkilat. Dia meloncat ke arah Anthony yang telah sadar akan bahaya
yang dihadapinya. Anthony yang bertangan kosong berusaha sebaik-baiknya
menghadapi lawannya yang siap dengan pisau. Pada menit berikutnya, kedua lakilaki itu berguling di lantai dalam satu pergumulan yang ketat. Anthony berusaha
menekan lengan kanan musuhnya dengan keras agar dia tidak bisa menggunakan
pisaunya. Dia menekuknya ke belakang. Pada saat yang sama dia merasa tangan
lawannya menekan lehernya sehingga membuatnya sulit bernapas. Tapi dia bertahan
dan tetap berusaha menekan lengan kanan lawannya.
Terdengar suara gemerincing ketika pisau itu terjatuh di lantai. Pada saat yang
sama laki-laki Italia itu melepaskan diri dari cengkeraman Anthony dengan cepat.
Anthony juga meloncat. Tetapi dia keliru. Dia meloncat ke arah pintu dengan
tujuan mencegat Giuseppe. Kursi dan botol masih ada di tempatnya dengan rapi.
Giuseppe ternyata masuk lewat jendela dan dia pun keluar melalui jendela. Dengan
cepat dia keluar ke balkon dan meloncat ke balkon jendela lain. Dia menghilang
di balik jendela tersebut. Anthony tahu bahwa tak ada gunanya mengejar lawan.
Bisa-bisa dia bahkan mendapat kesulitan nanti.
Dia melangkah ke tempat tidurnya, merogoh memoir di bawah bantalnya. Untunglah
benda itu ada di situ, tidak di dalam kopornya. Dia berjalan ke arah kopor,
ingin melihat isinya. Tapi yang bisa dilakukannya hanyalah menyumpah-nyumpah.
Surat-surat itu telah lenyap.
Bab 6 Seni Memeras Dengan Halus
DENGAN kepala penuh rasa ingin tahu, Virginia Revel kembali ke rumahnya pada jam
empat kurang lima menit. Dia membuka pintu dengan kuncinya sendiri dan disambut
Chilvers dengan wajah cemberut.
"Maaf, Nyonya, ada - ada - seseorang yang ingin bertemu dengan Nyonya - "
Virginia tidak memperhatikan perkataan Chilvers. "Tuan Lomax" Di mana beliau" Di
ruang keluarga?" "Oh, bukan, Nyonya. Bukan Tuan Lomax." Nada suara Chilvers berubah sebal.
"Seseorang - sebetulnya saya tidak ingin membiarkan dia masuk. Tapi dia mengatakan
urusannya penting - ada hubungannya dengan almarhum Tuan Kapten. Karena itu saya
pikir barangkali Nyonya ingin menemuinya. Dan saya biarkan dia masuk di - ruang
kerja." Virginia berpikir sejenak. Dia sudah menjanda selama beberapa tahun. Dia memang
jarang berbicara tentang suaminya. Dan orang menganggap hal itu disebabkan
karena rasa pedih yang masih dirasakannya di balik sikapnya yang riang. Ada juga
yang menganggap sebaliknya, yakni bahwa Virginia tidaklah terlalu peduli akan
almarhum suaminya, Tim Revel, dan dia tidak merasa perlu bersikap pura-pura.
"Dan orang itu," lanjut Chilvers, "kelihatannya seperti orang asing."
Virginia kelihatan tertarik. Suaminya dulu pernah bertugas di kalangan diplomat,
dan mereka pernah ditempatkan di Herzoslovakia sebelum terjadi pembunuhan atas
raja dan ratu. Barangkali tamu itu orang Herzoslovakia, mungkin seorang bekas
pelayan yang malang. "Kau melakukan hal yang benar, Chilvers," katanya dengan anggukan cepat. "Di
mana dia menunggu" Di ruang kerja?" Dia lalu melangkahkan kakinya yang ringan
dan masuk ke dalam ruang kerja yang bersebelahan dengan ruang makan.
Tamu itu duduk di sebuah kursi di dekat perapian. Dan dia berdiri ketika melihat
Virginia masuk. Virginia yang dikaruniai ingatan kuat merasa yakin bahwa dia
belum pernah melihat orang itu. Lelaki itu bertubuh tinggi dan berkulit gelap.
Penampilannya memang asing tapi kelihatannya bukan orang Slavonik. Dia lebih
kelihatan seperti orang Itali atau Spanyol.
"Anda ingin bertemu dengan saya" Saya Nyonya Revel," katanya.
Lelaki itu diam beberapa saat. Dia hanya memandang nyonya rumah itu, seolah-olah
menilainya. Dan Virginia cepat merasakan kilasan sikap menghina yang
ditutupinya. "Coba jelaskan maksud Anda," katanya tidak sabar.
"Anda Nyonya Revel" Nyonya Timothy Revel?"
"Ya. Sudah saya katakan tadi."
"Ya. Untunglah Anda mau menerima saya, Nyonya. Kalau tidak, seperti yang saya
katakan pada pelayan Anda, saya terpaksa berhadapan dengan suami Nyonya."
Virginia memandangnya heran, tetapi instingnya mengatakan sebaiknya dia menahan
kata-kata yang sudah ada di ujung lidahnya. Dia hanya menjawab, "Anda bisa
mengalami kesulitan kalau melakukan hal itu."
"Saya rasa tidak. Saya sangat keras kepala. Baik, saya akan langsung saja pada
persoalan yang sebenarnya. Barangkali Anda kenal ini?"
Dia membeberkan sesuatu di tangannya, dan Virginia memandang sekilas tanpa rasa
ingin tahu. "Coba Anda katakan apa yang saya pegang ini, Nyonya."
"Seperti sebuah surat," jawab Virginia acuh. Dia merasa bahwa laki-laki di
depannya pasti tidak beres.
"Dan barangkali Anda tahu nama penerimanya?" kata laki-laki itu sambil
menyodorkan surat itu kepadanya.
"Saya bisa membaca," kata Virginia dengan ramah. "Surat ini untuk Kapten O'Neill
di Rue de Quennelles no. 15, Paris."
Laki-laki itu kelihatan mencari sesuatu dalam wajah Virginia tetapi rupanya tak
berhasil. "Bisa Anda baca?"
Virginia mengambil amplop itu dari tangannya dan segera mengembalikannya pada
tamunya. "Ini adalah surat pribadi - dan tentunya tidak untuk saya."
Laki-laki itu tertawa sinis. "Selamat, Nyonya Revel. Anda begitu pandai
bersandiwara. Sempurna sekali permainan Anda. Tetapi saya rasa Anda tidak bisa
menghindar setelah melihat tanda tangan di surat ini!"
"Tanda tangan?"
Virginia membalik surat tersebut - dan tercengang kelu. Tanda tangan yang terbaca
pada tulisan miring dan halus itu adalah Virginia Revel. Dia menahan sesuatu
yang hampir keluar dari bibirnya, dan membaca seluruh isi surat. Kemudian dia
diam merenung sesaat. Isi surat itu sangat jelas.
"Bagaimana, Nyonya?" tanya laki-laki itu. "Itu adalah nama Anda, bukan?"
"Oh, ya. Itu memang nama saya," katanya. Tapi dia tidak menambahkan dengan 'tapi
bukan tulisan saya'. Sebaliknya, dia bahkan tersenyum manis kepada tamunya dan
berkata, "Bagaimana kalau kita bicarakan soal ini?"
Laki-laki itu kebingungan. Dia tidak mengharapkan wanita itu akan bereaksi
seperti itu. Dia merasa bahwa nyonya rumah di depannya itu sama sekali tidak
merasa takut. "Pertama-tama saya ingin tahu bagaimana Anda menemukan saya?"
"Mudah sekali." Dia mengulurkan secarik kertas yang digunting Anthony dari
lembaran koran. Dengan dahi sedikit berkerut, dikembalikannya guntingan koran itu. "Ya, mudah
sekali," gumam nyonya rumah.
"Tentunya Anda tahu bukan, bahwa surat itu bukan satu-satunya?"
"Ah, saya memang ceroboh," kata Virginia dengan suara ringan. Dan dia melihat
bahwa laki-laki itu kelihatan heran mendengar nada suaranya. Sekarang Virginia
yang merasa senang bisa mempermainkannya. "Bagaimanapun, saya sangat berterima
kasih. Anda telah begitu baik untuk datang kemari dan mengembalikan surat-surat
itu pada saya," katanya sambil tersenyum manis.
Hening sejenak sebelum laki-laki itu membersihkan tenggorokannya. "Saya orang
miskin, Nyonya Revel," katanya pada akhirnya.
"Kalau begitu mudah bagi Anda untuk masuk ke dalam kerajaan surga. Begitulah
yang saya dengar." "Saya tak bisa memberikan surat-surat tersebut tanpa imbalan."
"Saya rasa Anda keliru. Surat-surat itu adalah milik orang yang menulisnya."
"Mungkin begitu secara hukum, Nyonya. Tapi di negeri ini ada hukum lain mengenai
hak milik. Dan lagi, apakah Anda siap untuk membuka persoalan ini secara legal?"
"Hukum memang hal yang mengerikan untuk seorang pemeras," kata Virginia
mengingatkannya. "Sudahlah, Nyonya Revel. Saya bukan orang bodoh. Saya sudah membaca surat-surat
itu - surat-surat seorang wanita kepada kekasihnya. Anda ingin agar saya
menunjukkannya pada suami Anda?"
"Anda mungkin perlu mempertimbangkan hal ini. Surat itu ditulis beberapa tahun
yang lalu. Seandainya - sejak saat itu - saya telah menjanda?"
Laki-laki itu menggelengkan kepala dengan yakin. "Seandainya tak ada yang Anda
takutkan - Anda tak akan duduk dan bercakap-cakap dengan saya di sini."
Virginia tersenyum. "Berapa yang Anda minta?" tanyanya dengan suara ringkas.
"Untuk seribu pound akan saya serahkan semua surat. Jumlah itu tidak banyak. Dan
sebenarnya saya sendiri tidak suka dengan apa yang saya lakukan."
"Jangan terlalu bermimpi saya bersedia membayar setinggi itu," kata Virginia
tegas. "Nyonya, saya tak pernah menawar. Seribu pound dan Nyonya akan mendapatkan semua
surat." Virginia merenung. "Beri saya waktu untuk berpikir. Rasanya sulit bagi saya
untuk mengumpulkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat."
"Kalau demikian, Nyonya, berikan beberapa pound dulu - lima puluh-lah - nanti
saya kembali." Virginia melihat jam. Pukul empat lewat lima menit. Kedengarannya seperti bunyi
bel. "Baik," katanya cepat. "Kembalilah besok. Lebih sore dari sekarang. Kirakira jam enam." Dia melangkah ke meja di dekat dinding, membuka salah satu laci, dan
mengeluarkan segenggam uang. "Kira-kira ada empat puluh pound ini. Cukup untuk
Anda." Laki-laki itu merenggut uang tersebut dengan rakus.
"Sekarang silakan segera keluar," kata Virginia.
Dia meninggalkan ruangan itu dengan patuh. Melalui celah pintu, Virginia melihat
George Lomax sedang berdiri dan dipersilakan ke atas oleh Chilvers. Ketika pintu
depan tertutup, Virginia berseru kepadanya.
"Aku di sini, George. Tolong bawakan teh untuk kami, Chilvers."
Dia membuka kedua jendela dan George Lomax melihatnya berdiri di depan jendela
dengan rambut tertiup angin dan mata menari-nari. "Aku akan menutupnya sebentar
lagi, George. Ruangan ini harus diangin-anginkan. Apa kau bertemu pemeras itu di
pintu?" "Apa?" "Pemeras, George. P-e-m-e-r-a-s. Pemeras. Orang yang memeras."
"Virginia, jangan main-main!"
"Tidak, George."
"Tapi siapa yang diperasnya di sini?"
"Aku, George." "Tapi - apa yang telah kaulakukan, Virginia?"
"Sebetulnya - dan memang kenyataannya - tidak ada. Laki-laki itu mengiraku
seseorang yang lain."
"Dan kau telah menelepon polisi tentunya."
"Tidak. Kaupikir aku harus melakukannya?"
"Ya - " George berpikir sejenak. "Tidak, tidak - barangkali tidak. Barangkali apa
yang telah kaulakukan itu bijaksana. Jangan-jangan kau terlibat dalam perkara
yang tidak benar. Dan barangkali harus memberikan kesaksian - "
"Aku akan senang melakukannya," sahut Virginia. "Aku senang diinterogasi karena
aku ingin tahu apakah hakim memang suka meledek. Pasti menyenangkan. Beberapa
hari yang lalu aku ke Vine Street untuk mencek bros berlianku yang hilang. Aku
bertemu seorang inspektur gagah yang baik."
Seperti biasa, George membiarkan hal-hal yang menyimpang.
"Apa yang kaulakukan dengan bajingan tadi?"
"Ah, aku membiarkannya saja!"
"Membiarkan bagaimana?"
"Memerasku." Wajah George berubah sedemikian rupa sehingga Virginia terpaksa menggigit
bibirnya. "Maksudmu - kau tidak memberi tahu dia bahwa kau tidak terlibat apa-apa dalam soal
ini?" Virginia menggelengkan kepala sambil melirik George.
"Ya ampun, Virginia. Apa kau gila?"
"Barangkali ya, menurut pengamatanmu."
"Tetapi kenapa" Kenapa kau menurutinya?"
"Aku punya alasan. Pertama-tama - dia melakukannya dengan indah sekali. Dan aku
tak senang mengganggu seorang artis yang sedang berkreasi. Lalu - aku belum pernah
diperas - " "Kuharap itu takkan terjadi."
"Karena itu aku ingin tahu bagaimana rasanya."
"Aku tidak mengerti jalan pikiranmu, Virginia."
"Aku tahu kau tak akan mengerti."
"Kau tidak memberi dia uang, kan?"
"Sedikit," kata Virginia, seperti menyesal.
"Berapa?" "Empat puluh pound."
"Virginia!" "George, itu kan hanya sebesar uang yang kukeluarkan untuk sebuah gaun malam.
Bagiku membeli pengalaman baru sama menyenangkannya dengan sebuah baju baru bahkan lebih mendebarkan."
George Lomax hanya dapat menggelengkan kepala. Chilvers masuk membawa teh
sehingga dia tak perlu mengungkapkan kemarahannya. Sambil menuang teh dengan
tangan yang cekatan, Virginia kembali membicarakan soal itu lagi.
"Aku punya alasan lain, George - yang lebih baik. Kami kaum wanita biasanya
dianggap seperti kucing suka saling cakar-cakaran. Tapi sore ini - aku telah
berbuat kebajikan untuk seorang wanita lain. Laki-laki ini kelihatannya tidak
ingin mencari Virginia Revel yang lain. Dia pikir dia telah menemukan mangsa
yang tepat. Kasihan wanita itu. Pemeras itu pasti memperoleh makanan empuk kalau
menemukannya. Tapi denganku dia tidak bisa seenaknya. Dengan sejarah hidupku
Rahasia Chimneys The Secret Of Chimneys Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang bersih, aku akan mempermainkannya sampai habis. Akal, George - akal."
George masih menggelengkan kepalanya. "Aku tak suka," katanya berkeras. "Aku
tidak suka." "Sudahlah, George. Engkau toh tidak kemari untuk membicarakan pemeras itu. Apa
maksud kedatanganmu" Jawaban yang benar: 'Bertemu denganmu!' Sambil menekankan
mu kau akan menggenggam tanganku erat-erat kecuali kalau kau sedang makan kue
mufin yang menteganya banyak."
"Aku memang ingin menemuimu," kata George serius. "Dan aku senang bisa menemuimu
sendirian." "Ah, ada apa, sebenarnya?"
"Aku ingin minta bantuanmu. Aku selalu menganggapmu sebagai seorang wanita yang
sangat menarik." "Oh, George!" "Dan juga seorang wanita yang cerdas!"
"Ah, yang benar. Kau toh tidak mengenalku terlalu baik."
"Virginia, ada seorang laki-laki muda yang akan datang ke London besok - dan aku
ingin mempertemukannya denganmu."
"Baiklah, George. tapi ini semua urusanmu. Aku harap kauingat hal itu."
"Dan aku rasa kau bisa mempraktekkan daya tarikmu."
Virginia memiringkan kepalanya sedikit. "George, kuharap kau mengerti bahwa
profesiku bukanlah 'mempraktekkan daya tarikku.' Sering memang aku menyukai
orang-orang tertentu - dan kemudian, ya, mereka juga menyukaiku. Tapi kurasa aku
tak bisa begitu saja menggunakan daya tarikku itu untuk memerangkap orang asing
yang tak berdaya. Hal semacam itu tidak kupraktekkan, George. Ada orang-orang
lain yang punya profesi seperti itu dan sebaiknya kau memakai mereka."
"Bukan begitu maksudku, Virginia. Laki-laki ini - orang Kanada - namanya tuan
McGrath - " "Orang Kanada keturunan Scot, pasti."
"Dia mungkin tidak terbiasa dengan tata kehidupan kalangan tinggi Inggris. Aku
ingin agar dia mengenal daya tarik seorang wanita Inggris yang lembut."
"Maksudmu aku?"
"Tepat." "Mengapa?" "Apa?" "Mengapa! Tentunya kau tidak perlu selalu menyediakan seorang wanita Inggris
yang lembut untuk seorang Kanada yang datang kemari, bukan" Ada apa di balik ini
semua, George" Kasarnya, rencana apa - yang ada di pikiranmu?"
"Aku rasa ini tak ada sangkut-pautnya denganmu, Virginia."
"Aku tidak bisa keluar malam-malam untuk mempraktekkan daya tarikku tanpa
mengetahui mengapa dan untuk apa."
"Kau benar-benar ahli bicara, Virginia. Orang akan mengira bahwa - "
"Benarkah" Ayolah, George. Bagi sedikit informasi yang kaugenggam."
"Virginia, akhir-akhir ini ada hal yang menegangkan di sebuah negara di Eropa
Tengah. Dan yang penting, demi alasan-alasan khusus, Tuan - er - McGrath ini harus
disadarkan bahwa pemulihan monarki di Herzoslovakia sangat penting artinya bagi
perdamaian Eropa." "Perdamaian Eropa yang kausebut itu nonsense," kata Virginia tenang. "Tapi aku
selalu mendukung monarki terutama - yang fantastis seperti Herzoslovakia" Siapa
dia?" George sangat enggan menjawab pertanyaan itu, tapi dia tidak bisa
menghindarinya. Percakapan ini sama sekali di luar rencananya. Dia menganggap
Virginia sebagai sebuah alat yang bisa dipakai - mau menerima apa saja tanpa
mengajukan pertanyaan-pertanyaan aneh seperti itu. Tapi yang dijumpainya adalah
seorang yang lain. Kelihatannya dia berusaha mengetahui segalanya dan George
mengambil keputusan untuk menghindarinya karena dia tidak percaya bahwa wanita
bisa menyimpan rahasia. Tapi dia membuat kekeliruan. Virginia bukanlah wanita
yang mudah dihindari. Dia bisa menimbulkan persoalan. Ceritanya tentang pemeras
itu telah membuatnya ngeri. Benar-benar seorang wanita yang seenaknya. Persoalan
serius tidak pernah dihadapinya dengan serius.
"Pangeran Michael Obolovitch," jawabnya ketika Virginia diam menunggu jawaban.
"Tapi tolong jangan diteruskan pada orang lain."
"Kau ini lucu, George. Kan berita itu sudah ada di koran-koran walaupun tidak
jelas. Mereka bicara tentang Dinasti Obolovitch dan pembunuhan atas Nicholas IV
seolah-olah dia seorang pahlawan, bukan seorang laki-laki yang terjerat aktris
picisan." George mengejapkan matanya. Dia yakin sekali kini, bahwa dia telah membuat
kekeliruan dengan mengharapkan bantuan Virginia. Virginia harus dihindari
secepat mungkin. "Kau benar, Virginia," katanya sambil berdiri dan bersiap pergi. "Tidak
seharusnya aku minta bantuanmu, Virginia. Tapi kami benar-benar ingin agar
orang-orang Dominion ini bisa melihat persoalan ini seperti kita. Dan McGrath
punya pengaruh dalam lingkungan jurnalistik. Sebagai orang yang promonarki, dan
dengan pengetahuanmu tentang negara itu, aku berpikir akan tepat sekali kalau
kau menemuinya." "Jadi itukah keterangannya?"
"Ya. Tapi aku rasa kau tak akan terlalu peduli dengannya."
Virginia memandangnya sejenak lalu tertawa.
"George," katanya. "Kau memang pembohong busuk."
"Virginia!" "Busuk, benar-benar busuk! Kalau aku jadi kau, aku bisa memberi alasan yang
lebih bagus. Yang bisa masuk akal. Tapi akan kucari sendiri jawabannya nanti.
Ingat saja hal itu. Misteri Tuan McGrath. Aku yakin akan mendengar satu-dua
berita tentang hal itu di Chimneys akhir pekan nanti."
"Di Chimneys" Kau akan ke Chimneys?"
George tidak bisa menyembunyikan kekuatirannya. Dia berharap bisa menghubungi
Lord Caterham sebelum undangan terlanjur dikirimkan.
"Bundle meneleponku tadi pagi supaya aku datang."
George masih berusaha. "Ah, perkumpulan yang agak menyebalkan aku rasa. Tidak
terlalu cocok untukmu."
"George, kenapa kau tidak mengatakan yang sebenarnya saja" Masih belum
terlambat, kok." George memegang tangan Virginia dan melepasnya lagi.
"Aku telah mengatakannya," katanya dingin tanpa rasa bersalah atau malu.
"Huh, bagus," kata Virginia. "Tapi belum cukup bagus. Sudahlah, George. Pokoknya
aku akan ke Chimneys, dan menggunakan daya tarikku. Rasanya hidupku sekarang
lebih menggairahkan. Pertama-tama seorang pemeras. Lalu George dengan kesulitan
diplomatiknya. Apakah dia akan memberi tahu wanita cantik yang menanyainya
dengan sedih" Tidak. Dia tak akan membuka apa pun sampai bab yang penghabisan.
Sampai ketemu lagi, George. Senyum manis dulu sebelum pergi" Tidak" Ah, George,
jangan terlalu dipikir soal itu."
Virginia lari menuju telepon begitu George keluar dengan langkah berat. Dia
minta bicara dengan Lady Eileen Brent.
"Bundle" Aku akan ke Chimneys besok. Apa" Membosankan" Tidak. Bundle, aku tidak
takut kuda liar! Sampai besok!"
Bab 7 Tuan McGrath Menolak Undangan
SURAT-SURAT itu lenyap! Tak ada yang dapat diperbuatnya kecuali menerima
kenyataan tersebut. Anthony sadar bahwa dia tidak bisa mengejar Giuseppe
sepanjang koridor Hotel Blitz. Karena bila dia melakukan hal itu sama saja
dengan membuat publikasi, dan akhirnya tujuannya pun tak tercapai.
Dia berkesimpulan bahwa Giuseppe keliru. Orang itu menyangka bahwa surat-surat
tersebut adalah dokumen yang disembunyikannya seandainya Giuseppe adalah utusan
Komplotan Tangan Merah, atau yang kelihatannya lebih tepat adalah orang sewaan
partai Loyalis - surat-surat itu pasti bukan benda yang menarik kedua pihak itu.
Mungkin dia mengharapkan sejumlah uang imbalan untuk mengembalikan surat-surat
itu. Anthony segera kembali ke tempat tidur dan tidur dengan nyenyak sampai pagi. Dia
yakin bahwa Giuseppe tak akan kembali untuk kedua kalinya malam itu.
Anthony bangun dengan rencana yang mantap. Setelah sarapan pagi dan membaca
koran yang penuh berita tentang penemuan-penemuan minyak di Herzoslovakia, dia
minta bertemu dengan manajer hotel.
Manajer yang berkebangsaan Prancis itu dengan sikap sopan menerima dia di
kantornya. "Anda ingin bertemu dengan saya, Tuan - er - McGrath?"
"Benar. Saya tiba di hotel ini kemarin sore dan makan malam di kamar, dilayani
oleh seorang pelayan bernama Giuseppe." Anthony berhenti sejenak.
"Benar, kami memang punya pelayan bernama Giuseppe," kata manajer itu acuh tak
acuh. "Ada sesuatu yang aneh pada sikap pelayan itu, tetapi saya tidak terlalu peduli
pada saat itu. Malam harinya saya terbangun oleh suara seseorang yang berjalan
di kamar saya. Saya menyalakan lampu dan melihat si Giuseppe sedang membuka
kopor saya." Sikap tidak acuh si manajer sekarang lenyap. "Tapi tak ada yang memberi tahu hal
itu pada saya," serunya. "Mengapa saya tak segera diberi tahu?"
"Laki-laki itu dan saya terlibat dalam perkelahian singkat. Dia bersenjata
pisau. Akhirnya dia berhasil lari lewat jendela."
"Lalu apa yang Anda lakukan, Tuan McGrath?"
"Saya memeriksa isi kopor saya."
"Ada yang hilang?"
"Tak ada - yang berharga," kata Anthony perlahan.
Manajer itu menyandarkan tubuhnya sambil menghembus napas lega. "Syukurlah,"
ujarnya. "Tapi maaf, Tuan McGrath, saya tidak mengerti maksud Anda. Anda tidak
ingin membangunkan orang lain di hotel ini. Dan Anda tidak mengejar pencuri
itu?" "Sudah saya katakan bahwa tak ada benda berharga yang hilang. Tapi saya juga
tahu bahwa hal ini adalah urusan polisi - "
Dia berhenti. Manajer itu bergumam tanpa antusias. "Urusan polisi - tentu saja - "
"Saya tahu bahwa pencuri itu dapat lolos, tapi karena tak ada benda berharga
yang diambilnya, rasanya tak perlu meributkan soal itu dengan polisi."
Manajer itu tersenyum. "Saya tahu bahwa Anda mengerti kalau saya sama sekali tak
ingin berurusan dengan polisi. Dari pihak saya hal itu selalu merugikan. Kalau
ada koran yang tahu tentang sesuatu hal yang berhubungan dengan hotel mewah
seperti ini, mereka pasti akan menuliskannya dengan berlebihan walaupun
persoalannya tak seberapa."
"Benar," kata Anthony. "Saya mengatakan bahwa tak ada benda berharga yang
diambil pencuri itu - dan itu memang benar dari satu segi. Benda itu tak ada
harganya bagi si pencuri, tapi dia telah membawa sesuatu yang sangat berharga
bagi saya." "Ah?" "Surat-surat." Wajah manajer itu berubah penuh pengertian. "Saya mengerti," gumamnya. "Tapi ini
memang bukan urusan polisi."
"Kita berdua telah sependapat tentang hal itu. Tapi saya harap Anda juga
mengerti bahwa saya bermaksud mendapatkan kembali surat-surat itu. Di tempat
saya, surat-surat semacam itu sangat penting artinya. Yang saya harapkan dari
Anda adalah informasi lengkap mengenai si Giuseppe ini."
"Saya tak keberatan dengan hal tersebut." kata manajer itu setelah diam sejenak.
"Tentu saja saya tidak bisa menyediakannya detik ini juga. Barangkali kalau Anda
kembali lagi dalam waktu setengah jam saya bisa menyiapkan apa yang Anda
perlukan." "Terima kasih banyak. Baiklah kalau demikian."
Setengah jam kemudian Anthony kembali, manajer itu memang menepati janjinya. Di
atas selembar kertas tertulis semua data tentang Giuseppe Manelli.
"Dia kemari kira-kira 3 bulan yang lalu. Seorang pelayan yang cekatan dan
berpengalaman. Pekerjaannya bagus. Dia telah tinggal di Inggris selama lima
tahun." Kedua orang itu bersama-sama mencek daftar hotel dan restoran di mana Giuseppe
pernah bekerja. Ada satu hal yang menarik. Di dua hotel bekas tempat kerja
Giuseppe pernah terjadi pencurian besar ketika Giuseppe masih bekerja di sana
walaupun tak ada kecurigaan yang bisa dikaitkan dengannya. Namun demikian, fakta
itu tetap kelihatan menonjol.
Apakah Giuseppe hanya seorang pencuri ulung" Apakah yang dilakukannya malam itu
sekadar praktek profesinya saja" Mungkin dia telah berhasil mengambil suratsurat itu waktu Anthony menyalakan lampu, dan otomatis memasukkannya ke dalam
sakunya sehingga kedua tangannya bebas bergerak. Kalau begitu, apa yang terjadi
hanyalah sebuah pencurian saja.
Tetapi kalau mengingat wajah Giuseppe ketika melihat dokumen-dokumen itu di atas
meja waktu dia melayani makan, Anthony merasa yakin bahwa Giuseppe telah
bertindak sebagai alat pihak tertentu. Di meja itu tak ada uang ataupun barang
berharga yang bisa menimbulkan minat seorang pencuri biasa. Dengan informasi
yang disediakan oleh manajer hotel itu, barangkali dia bisa menelusuri kehidupan
pribadi Giuseppe. Dia mengumpulkan lembaran-lembaran kertas di depannya dan
berdiri. "Terima kasih banyak atas bantuan Anda. Rasanya saya tidak perlu bertanya apakah
Giuseppe masih di hotel, bukan?"
Manajer itu tersenyum. "Tempat tidurnya masih rapi tidak dipakai dan semua
barang-barangnya masih ada. Tentunya dia lari keluar setelah berkelahi dengan
Anda. Rasanya dia tidak akan kembali lagi."
"Saya rasa begitu. Terima kasih. Saya akan tinggal di sini dulu."
"Mudah-mudahan Anda berhasil. Tapi saya sendiri, terus-terang saja tidak begitu
yakin." "Saya selalu berharap."
Anthony kemudian menanyai beberapa pelayan lain yang pernah dekat dengan
Giuseppe, tapi hal itu tidak banyak membantu. Kemudian dia menulis iklan dan
mengirimkannya ke lima surat kabar yang paling banyak dibaca. Ketika dia bersiap
keluar untuk mengunjungi restoran tempat Giuseppe pernah bekerja, telepon
kamarnya berdering. "Halo, siapa?"
Sebuah suara datar menjawab. "Apa saya bicara dengan Tuan McGrath?"
"Benar. Anda siapa?"
"Di sini perusahaan Balderson and Hodgkins. Sebentar. Akan saya sambungkan
dengan Tuan Balderson."
"Ini dia penerbit yang harus kuhubungi," pikir Anthony. "Jadi mereka juga
kuatir" Tidak perlu. Masih ada waktu seminggu lagi."
Tiba-tiba sebuah suara ramah terdengar di telinganya. "Halo! Tuan McGrath?"
"Benar." "Saya Balderson dari Balderson and Hodgkins. Bagaimana kabar tentang manuskrip
itu, Tuan McGrath?" "Ah, apa yang ingin Anda tanyakan?" kata Anthony.
"Segalanya. Saya dengar Anda baru saja tiba dari Afrika Selatan. Karena itu
barangkali Anda belum mengerti situasi sekarang ini. Ada kesulitan-kesulitan
yang timbul karena naskah itu, Tuan McGrath. Kesulitan besar. Seandainya saja
kami tidak menjanjikan untuk mengurus penerbitannya, mungkin lebih baik untuk
kami." "Benarkah?" "Percayalah. Saya mengharap segera dapat memperoleh naskah tersebut untuk
dikopi. Jadi kalau naskah aslinya dimusnahkan, tidak ada persoalan lagi."
"Ah, begitu gawatkah?" kata Anthony.
"Ya. Barangkali hal itu kedengaran aneh bagi Anda, Tuan McGrath. Tapi percayalah
pada apa yang saya ceritakan. Ada usaha-usaha yang telah dilakukan untuk
mencegah agar naskah tersebut tidak pernah sampai ke kantor kami. Dan saya bukan
mengada-ada bila saya katakan bahwa apabila Anda mencoba sendiri membawa naskah
tersebut kemari, maka kecil sekali kemungkinannya Anda bisa sampai ke tempat
kami." "Benarkah" Biasanya kalau saya ingin pergi ke suatu tempat, saya akan sampai di
tempat itu." "Anda berhadapan dengan kelompok orang-orang yang berbahaya. Sebulan yang lalu
saya sendiri tidak bisa percaya akan hal itu. Untuk Anda ketahui, Tuan McGrath,
ada pihak-pihak yang telah mencoba menyogok, mengancam, dan membujuk kami
sehingga kami tidak tahu lagi apa yang harus kami lakukan. Saran saya adalah
Anda jangan datang sendiri ke tempat kami dengan membawa manuskrip itu. Kami
akan mengirimkan seseorang untuk membawanya kemari."
"Dan seandainya komplotan itu menyerang dia?" tanya Anthony.
"Tanggung jawab itu merupakan tanggung jawab kami, bukan Anda. Yang perlu Anda
lakukan hanyalah menyerahkan naskah itu saja pada wakil kami, Anda akan menerima
tanda terima tertulis. Dan cek sebesar seribu pound yang disediakan untuk Anda
baru bisa diberikan Rabu yang akan datang sesuai dengan instruksi yang kami
terima. Tapi kalau Anda menghendaki, saya bisa mengirim cek pribadi saya melalui
wakil kami itu." Anthony berpikir sejenak. Dia bermaksud menyerahkan naskah itu pada saat
terakhir karena dia ingin tahu apa sebenarnya yang telah terjadi. Tetapi dia
juga memaklumi alasan yang diberikan penerbit itu.
Rahasia Chimneys The Secret Of Chimneys Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baiklah," katanya sambil menarik napas. "Saya setuju dengan rencana Anda.
Silakan mengirim wakil Anda. Tapi saya ingin agar dia membawa cek itu sekalian,
karena mungkin saya sudah harus meninggalkan London sebelum hari Rabu."
"Tentu, Tuan McGrath. Wakil kami akan datang besok pagi-pagi sekali. Lebih
bijaksana kalau kami tidak mengirim orang langsung dari kantor. Tuan Holmes dari
perusahaan kami tinggal di London Selatan. Dia akan mampir ke hotel sebelum
datang ke kantor. Saya sarankan Anda menyimpan bungkusan naskah palsu di lemari
besi manajer hotel. Musuh-musuh Anda akan mendengar hal ini dan tidak akan
mengunjungi ruangan Anda."
"Baiklah, saran Anda akan saya lakukan."
Anthony meletakkan gagang telepon sambil berpikir-pikir. Lalu dia meneruskan
rencananya untuk mencari keterangan tenung Giuseppe. Tapi tidak ada hal yang
bisa membantunya, Giuseppe memang pernah bekerja di restoran itu, tapi tidak
seorang pun tahu kehidupan pribadinya. "Jangan tertawa dulu, Giuseppe. Aku pasti
akan menangkapmu. Pasti. Ini hanya soal waktu saja," gumam Anthony.
Anthony melewatkan malam keduanya di London dengan tenang.
Pada pukul sembilan keesokan paginya, kartu nama Tuan Holmes dari Balderson and
Hodgkins diantar ke kamarnya. Tuan Holmes mengikuti tak lama kemudian. Dia
adalah seorang lelaki kecil dengan sikap yang tenang. Anthony membereskan
bungkusan naskah dan menerima selembar cek bernilai seribu pound. Tuan Holmes
memasukkan bungkusan itu ke dalam tas kecil berwarna coklat, dan berpamitan.
Semuanya berlangsung dengan tenang.
"Barangkali dia akan terbunuh sebelum sampai di kantornya," gumamnya.
Anthony memasukkan cek ke dalam amplop bersama selembar kertas bertulisan
singkat, dan melem tutupnya. Jimmy telah memberinya sejumlah uang sebelum dia
berangkat, tetapi itu sama sekali belum terpakai.
"Satu lagi yang belum selesai," kata Anthony pada dirinya sendiri. "Baru
sekarang aku sempat memulai. Lebih baik aku menyamar dan melihat-lihat 487 Pont
Street." Dia mengemasi barang-barangnya, turun membayar sewa kamar, dan menyuruh pelayan
membawa kopornya ke taksi. Dia baru saja akan masuk taksi ketika seorang pelayan
berlari-lari turun menyerahkan sebuah surat padanya.
"Baru saja sampai, Tuan."
Dengan menarik napas, Anthony mengeluarkan sekeping uang logam. Taksi itu
meluncur setelah mesinnya mengerang kuat. Dan Anthony membaca surat itu.
Surat itu agak luar biasa. Dia terpaksa membaca empat kali sebelum mengerti
benar isi surat itu. Dalam bahasa sederhana (surat itu tidak ditulis dengan
bahasa sederhana tetapi dengan gaya tulisan yang biasa dipakai oleh pejabat
pemerintah), penulis itu mengira bahwa Tuan McGrath datang dari Afrika Selatan
hari itu, yaitu hari Kamis. Surat itu berbicara mengenai dokumen-dokumen Count
Stylptitch dan minta agar Tuan McGrath tidak melakukan sesuatu hal dengan
dokumen tersebut sampai ada pembicaraan tertutup dengan Tuan George Lomax dan
beberapa orang lain yang tak disebut jelas. Surat itu juga merupakan undangan
baginya untuk datang ke Chimneys sebagai tamu Lord Caterham pada hari Jum'at
besok. Suatu komunikasi yang sangat misterius. Tapi Anthony sangat menyukainya.
"Inggris yang tua," gumamnya. "Terlambat dua hari, seperti biasanya. Sayang.
Bagaimanapun aku tak bisa datang ke Chimneys dengan menyamar. Apa ada penginapan
kecil di sekitar sini" Tuan Anthony Cade ingin tinggal di situ tanpa diganggu
orang lain." Dia memandang ke luar dari jendela dan memberi petunjuk pada sopir taksi yang
kemudian membawanya ke jajaran hotel murahan. Setelah mencatatkan diri dengan
namanya sendiri, Anthony masuk ke dalam ruang tulis yang remang-remang. Dia
mengeluarkan kertas surat yang berstempel Hotel Blitz dan menulis dengan cepat.
Dia menjelaskan bahwa dia datang pada hari Selasa dan telah menyerahkan
manuskrip tersebut pada Balderson and Hodgkins, dan dengan menyesal menolak
undangan Lord Caterham karena dia akan segera meninggalkan Inggris. Surat itu
ditanda-tanganinya dengan nama James McGrath.
"Sekarang, kita mulai cerita Anthony Cade," katanya sambil menempelkan perangko
di atas amplop. "James McGrath hilang dan peredaran dan muncullah Anthony Cade."
Bab 8 Sesosok Mayat PADA hari Kamis sore itu Virginia Revel bermain tenis di Ranelagh. Sambil duduk
dalam limosinnya yang mewah di perjalanan pulang, dia tersenyum-senyum sendiri
membayangkan peran yang akan dimainkannya pada pertemuan dengan pemeras nanti.
Memang ada kemungkinan orang itu tidak kembali. Tapi dia merasa yakin bahwa
laki-laki itu akan datang. Dia telah memancingnya dengan bermain sebagai korban
empuk Tapi kali ini barangkali laki-laki itu akan menghadapi situasi yang lain!
Sebelum sampai di depan pintu, Virginia bertanya kepada sopirnya. "Bagaimana
keadaan istrimu, Walton" Aku lupa menanyakannya."
"Lebih baik, Nyonya. Dokter berkata akan menjenguknya jam setengah tujuh nanti.
Nyonya masih memerlukan mobil lagi?"
Virginia diam sejenak. "Aku akan berakhir pekan di luar kota. Aku akan naik
kereta jam 18.40 dari Paddington, tapi kau tak perlu mengantarku - aku pakai
taksi saja. Sebaiknya kau menemui dokter itu. Kalau dokter mengatakan bahwa
istrimu cukup kuat untuk bepergian, ajaklah dia beristirahat di luar kota. Aku
akan mengganti biayanya."
Virginia naik ke atas dengan cepat setelah menganggukkan kepala mendengar ucapan
terima kasih sopirnya. Dia mencari-cari kunci rumahnya dalam tas, tapi ternyata
tidak ada. Dengan cepat dia membunyikan bel rumahnya.
Ketika dia menunggu pintu dibuka, seorang laki-laki menaiki tangga rumahnya.
Laki-laki itu berpakaian jembel dan membawa seonggok brosur di satu tangan. Dia
menunjukkan sebuah brosur bertulisan besar: Mengapa Aku Mengabdi Negeriku"
Tangannya yang lain memegang kotak uang.
"Aku sudah membeli puisi-puisi jelek itu pagi tadi. Aku sudah membantu, kan?"
Laki-laki itu tertawa terbahak. Virginia ikut tertawa. Walaupun hanya melihat
sekilas, Virginia tahu perbedaan laki-laki itu dengan yang lain. Dia menyukai
wajahnya yang coklat dan tubuh langsingnya yang kuat. Seandainya saja dia punya
pekerjaan untuk laki-laki itu. Tapi pada saat itu pintu terbuka dan Virginia
segera lupa pada persoalan pengangguran karena dia terkejut. Yang membuka pintu
adalah Elise, pelayan pribadinya. "Mana Chilvers?" tanyanya tajam sambil
melangkah masuk. "Lho, dia sudah pergi dengan yang lain, Nyonya."
"Yang lain siapa" Dan ke mana?"
"Kan ke Datchet, Nyonya, seperti perintah Nyonya dalam telegram."
"Telegram?" kata Virginia dengan bingung.
"Apa Nyonya tidak mengirim telegram" Apa keliru" Telegram itu tiba satu jam yang
lalu." "Aku tidak mengirim telegram. Apa isinya?"
"Saya rasa telegram itu masih ada di meja."
Elise mencarinya dan membawanya kepada majikannya. "Voil?, Nyonya!"
Telegram itu ditujukan pada Chilvers dan bunyinya demikian, "Bawa semuanya ke
vila dengan segera. Siapkan pesta akhir pekan. Pakai kereta jam 17.49." Tak ada
yang luar biasa atau aneh dengan telegram tersebut. Seperti telegram-telegram
lain yang biasa dikirimkannya jika dia ingin mengadakan pesta mendadak di
vilanya. Dia selalu membawa semua pelayan dan meninggalkan seorang wanita tua
sebagai penjaga rumah. Chilvers pun sudah biasa dengan perintah seperti itu dan
seperti pelayan-pelayan baik lainnya, dia mengikuti perintah nyonyanya. "Dan
saya tinggal," kata Elise, "karena mungkin Nyonya suruh mengepak kopor Nyonya."
"Ini telegram palsu," seru Virginia marah sambil mencengkeram kertas itu. "Kau
kan tahu, Elise, bahwa aku akan ke Chimneys. Aku telah memberi tahu kamu tadi
pagi." "Saya kira Nyonya mengubah rencana. Kadang-kadang Nyonya mengubah rencana, kan?"
Virginia mengakui hal itu dengan senyumnya.
Dia mencoba mengerti lelucon yang sedang dihadapinya. Elise memberikan pendapat.
Tabir Peta Shaolin 1 Walet Emas 01 Kilatan Pedang Merapi Dahana Pendekar Lengan Buntung 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama