Tugas Tugas Hercules The Labours Of Hercules Karya Agatha Christie Bagian 3
kecenderungan selalu bersikap gelisah. Anda pemburu yang mahir, dan Anda suka
sesuatu yang tidak biasa."
"Dan Anda datang ke sini untuk memberi tugas?"
"Saya punya rencana kecil yang harus dilaksanakan. Jika gagasan saya benar, ada
rencana sensasional yang bisa kita bongkar. Dan itu, kawan, akan menjadi
keuntungan besar bagi majalah Anda."
"Katakan saja," kata Dashwood riang.
"Ini menyangkut rencana jahat yang akan menghancurkan reputasi seorang wanita."
"Bagus, itu justru lebih bagus. Masalah seks selalu laku dijual."
"Kalau begitu silakan duduk dan dengarkan baik-baik."
V Orang-orang bicara. Orang-orang bergosip.
Di pub Goose and Feathers di Little Wimplington.
"Wah, aku tak percaya. John Hammett... dia orang yang amat jujur. Tidak seperti
politikus yang lain."
"Itu yang selalu dikatakan orang tentang para penipu, sebelum mereka ketahuan."
"Katanya dia korupsi ribuan poundsterling, dari bisnis Palestine Oil. Kerja sama
yang mencurigakan." "Para politikus memang berwatak kotor. Semuanya sama saja. Sama bejatnya."
"Tapi tidak demikian halnya dengan Everhard. Dia termasuk politikus berpandangan
kuno." "Eh, tapi aku tak percaya kalau John Hammett bersalah. Kita tak boleh percaya
begitu saja pada koran-koran."
"Istri Ferrier adalah anak perempuannya. Kau sudah baca apa yang ditulis korankoran tentang dia?" Mereka menyimak halaman-halaman X-ray News:
Istri Caesar" Kami mendengar bahwa seorang istri politikus tingkat tinggi
terlihat berada di suatu tempat yang aneh beberapa hari yang lalu. Bersama
gigolonya. Oh, Dagmar, Dagmar, mengapa engkau nakal sekali"
Sebuah suara menyela dengan tenang, "Mrs. Ferrier bukan wanita seperti itu.
Gigolo" Ini pasti salah satu dari akal busuk mereka."
Suara yang lain berkata, "Ah, wanita selalu tak bisa diduga. Menurutku, mereka
semua sama saja. Dasar perempuan."
VI Orang-orang bicara. Orang-orang bergosip.
"Tapi, Sayang, aku yakin ini benar. Naomi mendengarnya dari Paul yang
mendengarnya dari Andy. Dia benar-benar menjijikkan."
"Tapi dia selalu kelihatan sopan, anggun, dan selalu membuka acara ini-itu."
"Ah, itu kamuflase saja. Mereka bilang Dagmar seorang nymphomaniac. Ya, memang
begitu! Semua ada di X-ray News. Yah... memang tidak ditulis secara terangterangan, tapi kita bisa mengerti apa yang tersirat di balik kalimat-kalimat
itu. Aku tak mengerti, bagaimana mereka bisa tahu."
"Bagaimana pendapatmu tentang skandal politik itu" Orang bilang ayahnya
menggelapkan dana Partai."
VII Orang-orang terus bicara. Orang-orang terus bergosip.
"Saya tak suka bicara tentang itu, Mrs. Rogers. Harap dimaklumi. Saya selalu
beranggapan Mrs. Ferrier wanita baik-baik."
"Apakah menurut Anda semua itu benar?"
"Seperti kata saya tadi, saya tak suka membicarakan dia. Mengapa" Bulan Juni
lalu dia baru saja meresmikan Bazar di Pelchester. Saya berada dekat dengannya.
Dan senyumnya sangat ramah dan sopan."
"Ya, memang. Tapi, orang bilang tak ada asap tanpa api."
"Yah... itu benar juga. Oh, sepertinya sekarang kita tak bisa percaya pada siapa
pun." VIII Edward Ferrier, dengan wajah pucat pasi dan tegang, berkata pada Poirot,
"Serangan terhadap istri saya ini! Benar-benar biadab! Biadab! Saya akan
menuntut penjahat busuk itu!"
Hercule Poirot berkata, "Menurut saya, sebaiknya itu jangan Anda lakukan."
"Tapi kebohongan-kebohongan ini harus dihentikan."
"Anda yakin itu semua memang kebohongan?"
"Astaga! Tentu saja!"
Poirot berkata, kepalanya agak dimiringkan ke satu sisi, "Apa kata istri Anda
sendiri?" Sesaat Ferrier terpana. "Katanya... sebaiknya kita tak usah pedulikan hal itu.
Tapi saya tak bisa diam saja... semua orang bicara."
Hercule Poirot berkata, "Ya, semua orang bicara."
IX Sampai suatu saat muncul berita singkat di surat kabar:
Mrs. Ferrier menderita tekanan mental ringan, ia pergi ke Skotlandia untuk
tetirah. Muncul berbagai reaksi, desas-desus... berita-berita yang positif, yang
meyakinkan bahwa Mrs. Ferrier tidak pernah tetirah ke Skotlandia.
Cerita-cerita, skandal-skandal bermunculan, tentang di mana sesungguhnya Mrs.
Ferrier.... Sekali lagi, orang-orang bicara.
"Dengar, Andy memang melihat dia. Di tempat mesum itu! Dia sedang mabuk-mabukan
bersama seorang gigolo dari Argentina... Ramon. Asal kau tahu saja!"
Gosip semakin seru. Mrs. Ferrier telah pergi bertamasya bersama si penari Argentina. Ia terlihat di
Paris, sedang mabuk-mabukan. Selain itu, sudah bertahun-tahun ia kecanduan. Ia
tahan minum bergelas-gelas.
Pelan-pelan, pendapat masyarakat Inggris - yang mula-mula tak mau percaya - beralih
mencela Mrs. Ferrier. Sepertinya apa yang diberitakan itu benar! Wanita seperti
itu tak layak menjadi istri Perdana Menteri. "Dia bagaikan Jezebel!"
Kemudian muncul sejumlah foto.
Mrs. Ferrier, difoto di Paris - berbaring-baring di sebuah Night Club, tangannya
melingkar manja memeluk seorang pria muda berkulit gelap yang tersenyum tak
senonoh. Foto-foto lain... setengah telanjang di pantai... kepalanya di punggung si kulit
gelap. Dan di bawahnya tertulis:
Mrs. Ferrier sedang bersenang-senang....
Dua hari kemudian X-ray News dipanggil pengadilan.
X X-ray News diseret ke pengadilan karena tuntutan Sir Mortimer Inglewood,
penasihat Raja yang sangat terpandang. Mrs. Ferrier adalah korban rencana
busuk... sangat busuk... yang hanya dapat disejajarkan dengan kasus Queen's
Necklace karya Alexandre Dumas yang terkenal itu. Rencana busuk itu sengaja
dilaksanakan untuk merendahkan Ratu Marie Antoinette di depan mata rakyat.
Rencana ini, seperti halnya kasus tersebut, sengaja dirancang untuk
mendiskreditkan seorang wanita terhormat dan amat berbudi yang di negeri ini
menduduki posisi seperti istri Caesar. Dengan tegas dan dengan nada pahit, Sir
Mortimer bicara tentang kebusukan kaum Fasis dan kaum Komunis yang dengan segala
cara selalu berusaha menggulingkan Demokrasi. Kemudian ia menampilkan sejumlah
saksi. Yang pertama adalah Uskup Northumbria.
Dr. Henderson, Uskup Northumbria, merupakan salah satu tokoh paling berpengaruh
di Gereja Inggris. Ia orang yang punya integritas kukuh dan watak kuat.
Pandangannya luas, toleran, dan juga pengkhotbah yang pandai. Ia dicintai dan
dihormati orang-orang yang mengenalnya.
Ia duduk di tempat saksi dan bersumpah bahwa pada masa yang disebutkan itu Mrs.
Edward Ferrier menginap di keuskupan, jadi berada bersama keluarganya. Mrs.
Ferrier diharuskan beristirahat setelah mengalami keletihan yang amat sangat
karena kegiatan sosialnya yang begitu padat. Kunjungannya memang dirahasiakan,
agar ia tidak dibuntuti pers.
Seorang dokter yang terhormat dan terpercaya maju, menyatakan dirinyalah yang
merekomendasikan agar Mrs. Ferrier benar-benar beristirahat total di tempat yang
sepi. Seorang dokter setempat memberikan bukti bahwa beberapa kali ia datang memeriksa
Mrs. Ferrier di Istana Keuskupan.
Saksi berikutnya adalah Thelma Andersen.
Ruang sidang berdengung karena seruan-seruan kaget ketika wanita itu melangkah
ke tempat saksi. Orang segera menyadari kemiripan wanita itu dengan Mrs. Edward
Ferrier. "Nama Anda Thelma Andersen?"
"Ya." "Anda berkebangsaan Denmark?"
"Ya. Saya tinggal di Kopenhagen."
"Sebelum ini Anda bekerja di sebuah kafe di sana?"
"Ya." "Ceritakan pada kami, dengan kata-kata Anda sendiri, apa yang terjadi pada
tanggal 18 Maret yang lalu."
"Ada seorang pria yang datang ke meja saya... di sana. Dia orang Inggris. Dia
berkata pada saya bahwa dia bekerja untuk sebuah koran Inggris, yaitu X-ray
News." "Anda yakin dia menyebut-nyebut X-ray News?"
"Ya, saya yakin, sebab semula saya kira itu koran tentang kedokteran. Tapi
rupanya bukan. Kemudian dia berkata bahwa ada seorang aktris Inggris yang
mencari seorang 'pemain pengganti', dan sayalah orang yang cocok untuk itu. Saya
jarang menonton film, dan tidak mengenali nama aktris yang disebutkannya, tapi
pria itu mengatakan aktris itu amat terkenal. Wanita itu sedang sakit dan karena
itu dia membutuhkan seseorang yang amat mirip dia untuk menggantikan perannya
dan muncul di tempat-tempat umum. Untuk itu dia bersedia membayar mahal."
"Berapa yang ditawarkan pria itu kepada Anda?"
"Lima ratus poundsterling, dalam mata uang Inggris. Mula-mula saya tak percaya.
Saya kira dia penipu, tapi dia langsung membayar separo. Jadi, saya pun berhenti
kerja." Cerita terus berlanjut. Ia diterbangkan ke Paris, diberi gaun-gaun mahal dan
dikawal seorang "pengawal". "Seorang pria Argentina yang sopan dan
menyenangkan... sangat halus dan sangat sopan."
Jelas sekali bahwa wanita Denmark itu amat menikmati perannya. Ia diterbangkan
ke London dan diajak berkunjung ke sejumlah night club tertentu oleh pengawalnya
yang berkulit gelap itu. Di Paris, dia difoto bersama pria itu. Tempat-tempat
yang dikunjunginya, wanita Denmark itu mengakui, bukanlah tempat-tempat yang...
menyenangkan. Bahkan, bukan tempat-tempat yang terhormat! Dan sejumlah foto yang
diambil juga bukan foto yang... sopan. Tapi mereka mengatakan hal itu perlu
untuk "advertensi" - dan Senor Ramon sendiri selalu bersikap sangat sopan.
Ketika ditanya, wanita itu menjawab bahwa nama Mrs. Ferrier tak pernah disebutsebut dan ia sama sekali tidak menyangka bahwa wanita itulah yang harus
digantikannya. Bukan maksudnya untuk menjelek-jelekkan seseorang. Beberapa foto
yang ditunjukkan padanya dapat diidentifikasikannya sebagai foto dirinya, yang
diambil di Paris dan di Riviera.
Thelma Andersen jelas wanita yang jujur. Ia jelas wanita yang menyenangkan,
namun agak tolol. Keterkejutannya dan rasa bersalahnya, kini setelah ia
mengetahui duduk perkaranya, bukanlah sesuatu yang dibuat-buat.
Pembelaan yang diajukan tidak meyakinkan. Secara ngawur mereka menyangkal telah
berurusan dengan Thelma Andersen. Foto-foto itu dikirimkan ke London dan
dianggap sebagai foto yang asli. Pidato penutupan Sir Mortimer membangkitkan
antusiasme. Ia menggambarkan kasus itu sebagai skandal politik paling
menjijikkan yang dirancang untuk mendiskreditkan Perdana Menteri dan istrinya.
Simpati publik kini terarah pada Mrs. Ferrier.
Hukumannya, sebuah kesimpulan yang sudah dapat diduga, sangat berat. Surat kabar
itu dituntut ganti rugi yang sangat besar. Ketika Mrs. Ferrier, suaminya, dan
ayahnya keluar dari gedung pengadilan, mereka disambut dengan sorak-sorai rakyat
yang berkumpul di luar. XI Edward Ferrier menyalami Poirot dengan hangat.
Ia berkata, "Terima kasih, M. Poirot, terima kasih sekali. Sekarang X-ray News
pasti bangkrut. Dasar surat kabar picisan. Mereka benar-benar hancur. Pembalasan
yang setimpal karena telah berkomplot melaksanakan rencana busuk itu. Menjelekjelekkan Dagmar, wanita paling baik di dunia. Untunglah Anda berhasil
mengungkapkan kebenaran.... Apa yang membuat Anda berpikir mereka mungkin akan
menggunakan pisau bermata dua?"
"Itu bukan gagasan yang baru," Poirot mengingatkannya. "Cara itu berhasil bagus
dalam kasus Jeanne de la Motte ketika dia menyamar sebagai Marie Antoinette."
"Saya tahu. Saya harus membaca The Queen's Necklace lagi. Tapi bagaimana cara
Anda menemukan wanita yang mereka sewa itu?"
"Saya mencarinya di Denmark dan saya menemukannya."
"Tapi... mengapa Denmark?"
"Sebab nenek Mrs. Ferrier orang Denmark dan dia sendiri mempunyai ciri khas
wanita sana. Kecuali itu, ada sejumlah alasan lain."
"Luar biasa. Mereka begitu mirip. Gagasan yang amat jahat! Heran saya, bagaimana
mereka bisa punya pikiran sekotor itu?"
Poirot tersenyum. "Bukan mereka." Ia menepuk dada. "Saya yang merencanakannya."
Edward Ferrier ternganga. "Saya tidak mengerti. Apa maksud Anda?"
Poirot berkata, "Kita harus mempelajari sebuah cerita yang jauh lebih tua
daripada The Queen's Necklace - yaitu kisah pembersihan Kandang-kandang Sapi Raja
Augeas. Yang digunakan Hercules adalah sebuah sungai - maksudnya, kekuatan alam
yang mahadahsyat. Tinggal menerapkannya di zaman modern! Apa kekuatan alam yang
mahadahsyat" Seks, bukan" Skandal seks selalu menjadi berita, menjadi buah
bibir. Beri publik sesuatu yang ada hubungannya dengan seks, maka skandal
politik pun akan terlupakan.
"Eh bien, itu gagasan saya! Pertama-tama saya mengaduk lumpur, sama seperti
Hercules, untuk membangun bendungan yang akan membelokkan arus sungai. Seorang
wartawan, kawan saya, membantu saya. Dia menjelajahi Denmark sampai menemukan
wanita yang sesuai untuk penyamaran itu. Dia mendekati wanita itu, sambil lalu
menyebut nama X-ray News, dengan harapan dia akan mengingat nama itu. Harapannya
terkabul. "Lalu, apa yang terjadi" Lumpur... lumpur yang luar biasa banyaknya. Sekujur
tubuh istri Caesar ternoda lumpur. Ini jauh lebih menarik dari skandal politik
macam apa pun. Dan hasilnya... sebuah d?nouement" Mengapa, reaksi! Kebajikanlah
yang menang. Wanita yang tak bersalah itu telah dibersihkan namanya! Banjir
roman dan sentimen telah menyapu bersih Kandang-kandang Sapi Raja Augeas.
"Kini, kalaupun seluruh surat kabar negeri ini mempublikasikan kebobrokan John
Hammett, orang takkan percaya. Itu akan dianggap sebagai salah satu rencana
busuk untuk menggulingkan Pemerintah."
Edward Ferrier menghela napas panjang. Sejenak, hampir saja Hercule Poirot
diserang secara fisik, sesuatu yang hampir tak pernah dialaminya sepanjang
kariernya. "Istri saya! Berani benar Anda menggunakan namanya...."
Suatu keberuntungan, mungkin, karena tepat saat itu Mrs. Ferrier masuk ke
ruangan. "Bagaimanapun juga," katanya, "semua berakhir dengan baik."
"Dagmar... apakah selama ini kau tahu?"
"Tentu saja, Sayang," kata Dagmar Ferrier.
Dan wanita itu tersenyum, senyum kasih yang lembut, senyum istri yang penuh
cinta. "Dan kau tak pernah bilang padaku!"
"Kalau aku bilang, kau takkan mengizinkan M. Poirot melakukannya."
"Tentu saja tidak."
Dagmar tersenyum. "Itu sudah kami duga."
"Kami?" "Aku dan M. Poirot."
Ia tersenyum pada suaminya dan pada Hercule Poirot. Lalu menambahkan, "Aku
benar-benar beristirahat di kediaman Uskup... sekarang aku merasa penuh energi.
Bulan depan mereka mengharapkan aku meresmikan nama sebuah kapal perang baru di
Liverpool... kurasa itu sesuatu yang pantas dilakukan dan sudah ditunggu-tunggu
masyarakat." 6 BURUNG-BURUNG PENGHUNI DANAU STYMPHALIA
I HAROLD WARING pertama kali melihat mereka berjalan mendekat dari arah telaga. Ia
sedang duduk-duduk di teras hotel. Cuaca bagus, air danau membiru, dan matahari
bersinar. Harold mengisap pipanya dan merasa dunia adalah tempat yang indah dan
menyenangkan. Karier politiknya maju pesat. Menjadi asisten menteri pada usia tiga puluh tahun
Tugas Tugas Hercules The Labours Of Hercules Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
adalah prestasi yang pantas dibanggakan. Orang bilang, Perdana Menteri pernah
berkata, "Waring yang masih muda itu pasti bisa sampai ke puncak." Mendengar
itu, tentu saja Harold merasa tersanjung. Hidup bagaikan dipersembahkan padanya,
dalam warna-warni yang cerah. Ia masih muda, cukup tampan, dengan kesehatan
prima, dan belum pernah terlibat kisah cinta dengan siapa pun.
Ia telah memutuskan untuk berlibur di Herzoslovakia, mengunjungi tempat
terpencil yang "belum didatangi orang" dan benar-benar beristirahat, menjauhkan
diri dari segala macam manusia dan segala macam masalah. Hotel di tepi Danau
Stempka, meskipun kecil, amat nyaman dan tidak penuh. Tamu yang tidak banyak
jumlahnya itu kebanyakan orang asing. Sampai saat itu, orang Inggris lainnya
hanyalah seorang wanita setengah baya, Mrs. Rice, dan putrinya yang sudah
menikah, Mrs. Clayton. Harold menyukai mereka. Elsie Clayton wanita yang
menawan, dengan penampilan yang agak kuno. Ia jarang memakai rias wajah, dan kalaupun memakai hanya tipis-tipis. Ia lembut dan agak pemalu. Mrs. Rice amat
sesuai dengan gambaran "seorang wanita berwatak kuat". Badannya jangkung,
suaranya dalam, dan sikapnya "menguasai keadaan"; tapi ia punya rasa humor dan
merupakan teman ngobrol yang menyenangkan. Jelas sekali hidupnya terikat
sepenuhnya pada putrinya yang sudah menikah itu.
Harold telah menghabiskan waktu berjam-jam mengobrol dengan ibu dan anak itu,
tetapi kedua wanita itu tidak berusaha "memonopoli" dia. Mereka ramah satu sama
lain, tetapi tidak saling mengikat.
Tamu-tamu lain di hotel itu tidak menarik minat Harold. Kalau bukan orang-orang
yang berlibur dengan berjalan kaki, tamu-tamu hotel itu adalah peserta paket
perjalanan wisata tertentu. Mereka menginap satu-dua malam, lalu melanjutkan
perjalanan. Hampir tak ada yang menarik minatnya - sampai sore ini.
Mereka menyusuri jalan yang mendaki dari arah danau, pelan-pelan. Tepat ketika
perhatian Harold tertarik pada mereka, segumpal awan bergerak menutupi sang
matahari. Harold bergidik.
Kemudian ia terpana. Ada sesuatu yang aneh pada kedua wanita itu. Hidung mereka
panjang dan bengkok seperti paruh burung. Wajah keduanya amat mirip satu sama
lain dan hampir-hampir tanpa ekspresi. Mereka mengenakan semacam jubah longgar
yang berkibar-kibar ditiup angin, bagaikan sepasang sayap burung raksasa.
Harold berkata pada dirinya sendiri, "Mereka sungguh mirip burung..." dan
ditambahkannya hampir tanpa berpikir, "burung pembawa kutukan."
Kedua wanita itu naik ke teras dan lewat dekat sekali dengannya. Mereka sudah
tidak muda - mungkin usia mereka sekitar lima puluh tahun. Keduanya amat mirip
satu sama lain hingga tak perlu diragukan lagi mereka pasti kakak-beradik.
Ekspresi wajah mereka penuh misteri. Sambil lewat, hampir semenit lamanya, mata
mereka memandang Harold. Pandangan itu aneh, penuh pujian... dan hampir-hampir
seperti bukan pandangan manusia.
Kesan jahat yang terkilas di benak Harold semakin kuat. Ia memperhatikan bahwa
tangan salah satu kakak-beradik itu mirip sekali dengan cakar burung - dengan
jari-jari panjang dan kuku runcing.... Meskipun matahari telah muncul kembali
dari balik awan, Harold bergidik sekali lagi. Pikirnya, "Makhluk-makhluk yang
mengerikan. Seperti burung pemakan bangkai...."
Imajinasinya terusik ketika Mrs. Rice keluar dari dalam hotel. Harold terlompat
berdiri lalu cepat-cepat menarikkan kursi untuk wanita itu. Sambil mengucapkan
terima kasih Mrs. Rice duduk, lalu segera mulai merajut dengan tangan cekatan.
Harold bertanya, "Apakah Anda melihat dua wanita yang baru saja masuk?"
"Yang mengenakan semacam jubah longgar tanpa kancing" Ya, saya tadi berpapasan
dengan mereka." "Makhluk yang luar biasa, ya?"
"Ya... mereka mungkin memang aneh. Saya rasa mereka baru datang kemarin. Sangat
mirip... pasti mereka kembar."
Harold berkata, "Mungkin saya mengada-ada, tetapi saya merasa ada sesuatu yang
jahat pada diri mereka."
"Aneh sekali. Saya harus mengamati mereka lebih cermat agar tahu apakah saya
sependapat dengan Anda atau tidak."
Ditambahkannya, "Kita bisa menanyakan pada pemilik hotel ini, siapa mereka. Saya
rasa mereka bukan orang Inggris."
"Jelas bukan." Mrs. Rice melirik jamnya. Katanya, "Saatnya minum teh. Maafkan saya, maukah Anda
masuk dan membunyikan bel, Mr. Waring?"
"Tentu saja, Mrs. Rice."
Mr. Waring membunyikan bel, kemudian sambil kembali ke kursinya ia bertanya, "Di
mana putri Anda sore ini?"
"Elsie" Tadi kami pergi berjalan-jalan. Mengelilingi danau, setengahnya, lalu
kembali lewat hutan cemara. Indah sekali di sana."
Seorang pelayan mendekat dan menerima perintah untuk menyediakan teh dan satudua potong kue. Mrs. Rice terus bicara, sementara tangannya yang cekatan terus
memainkan jarum rajutnya, "Elsie menerima surat dari suaminya. Mungkin dia tak
turun untuk minum teh."
"Suaminya?" Harold sama sekali tak menyangka. "Tahukah Anda, saya selalu mengira
dia janda." Mrs. Rice memandangnya tajam-tajam, sekilas. Ia berkata dengan kaku, "Oh, bukan,
Elsie bukan janda." Ia menambahkan dengan penuh tekanan, "Sayang sekali!"
Harold terpana! Mrs. Rice mengangguk dan berkata dengan murung, "Minuman merupakan penyebab
banyak kesulitan, Mr. Waring."
"Apakah suaminya peminum?"
"Ya. Dan hal-hal buruk lainnya. Dia sangat cemburuan dan gampang sekali marah,
bahkan sering mengamuk." Wanita itu mendesah. "Ini dunia yang sulit, Mr. Waring.
Saya sangat mencintai Elsie. Dia anak saya satu-satunya... dan melihatnya tidak
bahagia... sangat sulit saya menanggungnya."
Harold berkata penuh emosi, "Putri Anda begitu lembut."
"Barangkali terlalu lembut."
"Maksud Anda..."
Mrs. Rice berkata pelan, "Makhluk yang bahagia lebih punya harga diri.
Kelembutan Elsie, saya rasa, itu karena dia merasa kalah. Hidup terlalu berat
untuknya." Harold berkata, agak ragu-ragu, "Bagaimana dia menikah dengan suaminya ini?"
Mrs. Rice menjawab, "Philip Clayton pria yang amat menarik. Dia punya - dan masih
tetap punya - daya tarik yang besar, juga banyak uang. Tak ada orang yang
memperingatkan kami tentang wataknya yang sebenarnya. Dua wanita, hidup hanya
berdua, tidak bisa menilai watak lelaki dengan benar."
Harold berkata penuh pemikiran, "Tidak, itu tidak benar."
Ia merasa iba dan sekaligus tertantang. Umur Elsie Clayton pasti tak lebih dari
25 tahun. Dikenangnya keramahan wanita itu, matanya yang biru, dan mulutnya yang
melengkung lembut. Tiba-tiba dia sadar, rasa tertariknya pada wanita itu telah
berkembang dari sekadar hubungan persahabatan.
Dan wanita itu terikat pada seorang bajingan....
II Sesudah makan malam, Harold berbincang-bincang dengan ibu dan anak itu. Elsie
Clayton mengenakan gaun merah jambu lembut. Harold melihat pelupuk matanya
merah. Wanita itu pasti habis menangis.
Mrs. Rice berkata dengan ringkas, "Saya sekarang tahu siapa dua wanita aneh itu,
Mr. Waring. Dua wanita Polandia, dari keluarga baik-baik, begitu kata pemilik
hotel." Harold memandang ke seberang ruangan, ke tempat kedua wanita Polandia itu duduk.
Elsie berkata dengan penuh minat, "Dua wanita di sana itu" Dengan rambut yang
dicat kemerahan" Mereka kelihatan agak mengerikan... entahlah, begitu perasaan
saya." Harold berkata dengan nada penuh kemenangan, "Persis. Itu pula yang saya
pikirkan." Mrs. Rice berkata sambil tertawa, "Saya rasa kau dan Anda, Mr. Waring, terlalu
mengada-ada. Anda tak bisa menebak watak seseorang hanya dari melihatnya saja."
Elsie tertawa. Katanya, "Ya, saya rasa memang tidak bisa. Tapi biarpun demikian, saya
berpendapat mereka memang amat mirip burung pemakan bangkai."
"Yang mematuk-matuk mata mayat!" kata Harold.
"Oh, jangan teruskan!" seru Elsie.
Harold cepat-cepat berkata, "Maafkan saya."
Mrs. Rice berkata sambil tersenyum, "Bagaimanapun juga, rasanya tak mungkin
jalan mereka bersilangan dengan jalan kita."
Elsie berkata, "Kita tidak punya kesalahan yang harus disembunyikan!"
"Siapa tahu Mr. Waring menyembunyikan sesuatu," kata Mrs. Rice sambil
mengedipkan matanya. Harold tertawa keras-keras. Katanya, "Tak ada rahasia. Hidup saya bagaikan
halaman buku yang terbuka."
Terlintas di pikirannya. "Orang yang meninggalkan jalan yang lurus adalah orangorang tolol. Suara hati nurani yang murni - itulah yang kita butuhkan. Dengan itu
Anda tak perlu takut menghadapi kehidupan - dan Anda bisa mengatakan pada siapa
pun yang mengganggu hidup Anda agar pergi ke neraka!"
Tiba-tiba Harold merasa amat bersemangat... merasa kuat... dan bisa menguasai
hidupnya! III Harold Waring, seperti umumnya orang Inggris, bukanlah orang yang gemar belajar
bahasa. Bahasa Prancis-nya terbata-bata dan aksen Inggris-nya amat kental. Ia
sama sekali tidak tahu bahasa Jerman dan bahasa Italia.
Sampai saat itu, kekurangan itu tidak menjadi soal baginya. Di sebagian besar
hotel di daratan Eropa, ia selalu bisa menemukan orang yang bisa berbahasa
Inggris. Jadi, untuk apa bersusah-susah belajar bahasa asing"
Tapi di tempat terpencil ini, tempat bahasa penduduk aslinya adalah salah satu
dialek bahasa Slovakia dan bahkan pemilik hotelnya pun hanya bisa bahasa Jerman,
kadang-kadang Harold kikuk ketika kedua wanita itu bertindak sebagai
penerjemahnya. Mrs. Rice, yang amat suka belajar bahasa, bahkan bisa sedikit
bahasa Slovakia. Harold berjanji pada diri sendiri akan belajar bahasa Jerman. Ia memutuskan
membeli buku-buku pelajaran bahasa Jerman dan memaksa dirinya, dua jam setiap
pagi, untuk mencoba menguasai bahasa tersebut.
Pagi itu udara cerah. Setelah menulis beberapa surat, Harold melirik jam
tangannya dan melihat masih ada waktu satu jam untuk berjalan-jalan sebelum
saatnya makan siang. Ia berjalan ke arah danau, lalu berbelok masuk ke hutan
cemara. Baru lima menit di sana, telinganya menangkap suara yang amat jelas.
Entah di mana, tak jauh dari tempatnya berdiri, seorang wanita sedang menangis
dengan pilu. Harold berhenti melangkah. Ia diam beberapa saat, kemudian berjalan ke arah
suara itu. Wanita itu Elsie Clayton. Ia sedang duduk di sebatang pohon tumbang,
dengan wajah tersembunyi di balik kedua tangannya. Ia menangis tersedu-sedu dan
bahunya berguncang-guncang tak terkendali.
Sesaat Harold ragu-ragu, kemudian mendekati wanita itu. Dengan lembut ia
berkata, "Mrs. Clayton... Elsie...."
Wanita itu kaget sekali. Ia mengangkat wajahnya memandang pria itu. Harold duduk
di sampingnya. Dengan penuh simpati ia berkata, "Adakah yang bisa saya bantu" Katakan saja...."
Wanita itu menggeleng. "Tidak... tidak... Anda baik sekali. Tapi tak ada yang
dapat menolong saya."
Harold berkata dengan nada agak sengit, "Apakah ini menyangkut... suami Anda?"
Wanita itu mengangguk. Kemudian ia mengusap matanya, mengeluarkan tempat bedak
padatnya, dan berusaha keras menenangkan dirinya sendiri. Ia berkata dengan
suara bergetar, "Saya tak ingin Ibu cemas. Dia akan sedih bila dilihatnya saya
tak bahagia. Jadi saya kemari agar bisa menangis sepuas-puasnya. Saya tahu, ini
tolol sekali. Menangis saja tak ada gunanya. Tapi... kadang-kadang... hidup ini
rasanya tak tertahankan lagi."
Harold berkata, "Saya mengerti."
Wanita itu memandangnya penuh terima kasih. Kemudian ia berkata dengan agak
tergesa-gesa, "Tentu saja ini kesalahan saya sendiri. Saya menikah dengan Philip
karena kemauan saya sendiri. Sayang perkawinan kami tidak berjalan baik... dan
saya hanya bisa menyalahkan diri sendiri."
Harold berkata, "Anda sungguh berani dan jujur, mau mengakuinya."
Elsie menggeleng. "Tidak, saya bukan orang yang berani. Sama sekali bukan. Saya
pengecut. Itu salah satu sebabnya mengapa saya tak cocok dengan Philip. Saya
sangat takut padanya... takut sekali... bila dia sedang mengamuk."
Harold berkata dengan penuh perasaan, "Anda harus meninggalkannya!"
"Saya tak berani. Dia... dia takkan membiarkan saya pergi begitu saja."
"Tidak masuk akal! Bagaimana dengan perceraian?"
Pelan-pelan wanita itu menggeleng.
"Saya tak punya tempat berpijak." Kini ditegakkannya bahunya. "Tidak. Saya harus
terus. Saya menghabiskan banyak waktu bersama Ibu, seperti yang Anda lihat.
Philip takkan keberatan tentang itu. Terutama bila kami pergi ke tempat-tempat
terpencil seperti ini." Ia menambahkan, wajahnya memerah, "Masalahnya adalah,
dia sangat cemburu, cemburu yang tidak masuk akal. Kalau... kalau saya ketahuan
bicara dengan seorang pria... dia bisa mengamuk. Sangat mengerikan."
Harold merasa tersinggung. Sudah sering ia mendengar keluhan banyak wanita
tentang kecemburuan suami-suami mereka. Dan sementara mengungkapkan rasa
simpatinya pada wanita-wanita itu, diam-diam berpendapat bahwa para suami itu
ada benarnya. Tapi Elsie Clayton bukanlah wanita seperti mereka. Sekalipun ia
tak pernah memandangnya dengan pandangan menggoda atau mengundang.
Elsie bergeser menjauh darinya. Badannya bergetar. Ia memandang ke langit.
"Matahari tertutup awan tebal. Dingin. Sebaiknya kita kembali ke hotel. Sudah
waktunya makan siang."
Mereka bangkit berdiri lalu berjalan ke arah hotel. Mereka baru berjalan kirakira satu menit ketika menyusul seseorang yang berjalan ke arah yang sama.
Mereka mengenali orang itu karena jubahnya yang melambai-lambai. Ia salah satu
dari si Kembar dari Polandia.
Mereka mendahului wanita itu. Harold mengangguk sekilas. Wanita itu tidak
menanggapi, tapi matanya menatap mereka tajam-tajam selama beberapa saat. Ada
pandangan memuji dalam sinar matanya, dan Harold tiba-tiba gelisah. Janganjangan tadi wanita itu melihatnya duduk bersama Elsie di batang pohon tumbang
itu. Jika ya, mungkin dia menduga....
Yah... tampaknya dia memang menduga.... Gelombang rasa tersinggung menyesakkan
hatinya! Dasar perempuan berotak tolol!
Anehnya, waktu matahari tertutup awan tebal tadi, mereka berdua menggigil
seperti kedinginan... mungkin ketika itu si wanita Polandia sedang mengawasi
mereka.... Entah mengapa, Harold merasa tidak enak.
IV Sorenya, sesudah minum teh, Harold masuk ke kamarnya. Ia mendapat sejumlah surat
dari Inggris, beberapa di antaranya harus segera dibalas.
Ia berganti dengan piama dan jas kamar lalu duduk di depan meja, membalas suratsurat itu. Ia telah menyelesaikan tiga surat dan sedang mulai menulis yang
keempat ketika tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Dengan terhuyung-huyung Elsie
Clayton masuk. Harold terlompat kaget. Elsie telah menutup pintu di belakangnya dan sedang
berdiri sambil berpegangan pada salah satu pegangan laci. Napasnya terputusputus dan wajahnya pucat pasi. Ia tampak takut sekali.
Dengan susah payah ia berkata, "Suami saya! Dia datang kemari tanpa memberitahu!
Saya... saya kira dia akan membunuh saya. Dia gila... benar-benar gila. Saya
butuh pertolongan Anda. Jangan... jangan biarkan dia menemukan saya."
Ia melangkah maju, satu-dua langkah, dengan terhuyung-huyung, seakan hendak
jatuh. Harold mengulurkan tangan, menyangganya.
Ketika itulah pintu terbuka lagi dan seorang laki-laki berdiri di sana.
Tingginya sedang, alis matanya tebal, dan rambutnya yang tebal berwarna hitam.
Tangannya memegang sebatang dongkrak mobil. Suaranya tinggi, penuh amarah.
Suaranya lebih mirip jeritan.
"Jadi wanita Polandia itu benar! Kau berkencan dengan laki-laki ini!"
Elsie menjerit, "Tidak, Philip, tidak! Itu tidak benar. Kau keliru!"
Ketika Philip Clayton mendesak maju, dengan cepat Harold mendorong Elsie ke
balik punggungnya. Philip Clayton menggeram keras, "Keliru"! Aku"! Buktinya kau di sini, di
kamarnya! Kau perempuan busuk! Kubunuh kau."
Dengan gerakan tangkas, mengarah ke samping, dipukulnya tangan Harold. Elsie,
sambil menjerit-jerit, lari ke sisi lain sambil masih tetap berlindung di balik
Harold yang sedang mencoba menangkis serangan lawannya.
Tapi hanya ada satu pikiran di benak Philip Clayton, menyerang istrinya. Ia
berputar lagi. Dengan ngeri Elsie lari ke luar. Philip Clayton melesat
membuntutinya, dan Harold, tanpa ragu sedetik pun, menyusul di belakangnya.
Elsie masuk ke kamarnya sendiri di ujung koridor. Harold bisa mendengar kunci
diputar, tetapi rupanya kurang cepat. Sebelum pintu sempat terkunci dengan
benar, Philip Clayton telah berhasil mendobraknya. Dia masuk ke dalam dan Harold
mendengar Elsie menjerit ketakutan. Semenit kemudian, Harold menyusul masuk.
Tugas Tugas Hercules The Labours Of Hercules Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Elsie terperangkap. Di belakangnya hanya ada jendela dan tirai. Ketika Harold
masuk, Philip Clayton melompat maju ke arah istrinya, sambil mengacungkan batang
besi itu. Wanita itu menjerit ngeri, dengan cepat ia meraih penindih kertas yang
berat, yang terletak di atas meja di sampingnya. Sekuat tenaga benda itu
dilemparkannya ke arah suaminya.
Philip Clayton jatuh seperti pohon tumbang. Elsie menjerit. Langkah Harold
terhenti di ambang pintu. Ia terpana. Wanita itu lekas-lekas berlutut di samping
suaminya yang tergeletak tanpa bergerak-gerak.
Di luar, di koridor, terdengar gerendel sebuah pintu ditarik membuka. Elsie
melompat dan berlari ke arah Harold.
"Tolong... tolong..." Suaranya lirih, napasnya tertahan. "Cepat kembali ke kamar
Anda. Mereka pasti ke sini... Mereka akan menemukan Anda di sini."
Harold mengangguk. Dengan cepat ia menanggapi situasi itu. Untuk saat itu,
Philip Clayton adalah hors de combat. Tapi mungkin ada yang mendengar jeritan
Elsie. Jika orang melihatnya berada di kamar wanita itu, masalahnya akan menjadi
rumit dan akan timbul kesalahpahaman. Demi wanita itu dan demi dirinya sendiri,
tak boleh ada skandal. Hampir tanpa suara, ia berlari cepat kembali ke kamarnya. Tepat ketika sampai di
depan pintu kamarnya, ia mendengar sebuah pintu dibuka.
Ia duduk di dalam kamarnya hampir setengah jam lamanya, menunggu. Ia tak berani
keluar. Cepat atau lambat, ia yakin, Elsie pasti akan menemuinya.
Terdengar ketukan pelan di pintu. Harold melompat berdiri dan membukanya.
Bukan Elsie yang datang, melainkan ibunya. Harold kaget sekali melihat wajah
wanita itu. Tiba-tiba saja Mrs. Rice tampak beberapa tahun lebih tua. Rambutnya
yang abu-abu acak-acakan dan di sekitar matanya timbul lingkaran hitam.
Dengan cekatan Harold membantu wanita itu duduk di kursi. Mrs. Rice duduk,
napasnya tersendat-sendat. Cepat-cepat Harold berkata, "Anda pucat sekali, Mrs.
Rice. Saya ambilkan minum, ya?"
Wanita itu menggeleng. "Tidak usah. Jangan pikirkan saya. Saya tidak apa-apa,
sungguh. Hanya terkejut. Mr. Waring, sesuatu yang mengerikan telah terjadi."
Harold bertanya, "Apakah lukanya parah?"
Wanita itu tercekat. "Lebih buruk dari itu. Dia mati..."
V Ruangan serasa berputar. Selama beberapa saat Harold tak kuasa bicara. Sesuatu yang dingin, sedingin es,
terasa menjalar di punggungnya.
Dengan bingung ia mengulang kata itu, "Mati?"
Mrs. Rice mengangguk. Wanita itu berkata, suaranya datar seperti orang yang benar-benar telah terkuras
tenaganya, "Pinggiran penindih kertas yang terbuat dari marmer itu tepat
mengenai pelipisnya. Dia jatuh dengan kepala menimpa batang besi itu. Saya tak
tahu, yang mana yang membunuhnya... tapi yang jelas dia sudah mati. Saya sudah
banyak melihat orang mati, saya yakin dia sudah mati."
Bencana... kata-kata itu terngiang-ngiang di benak Harold. Bencana, bencana,
bencana... Ia berkata dengan berat hati, "Itu kecelakaan.... Saya melihat bagaimana
peristiwanya." Mrs. Rice berkata dengan suara tajam, "Tentu saja itu memang kecelakaan. Saya
pun tahu. Tapi... tapi... apakah orang lain juga akan berpikir seperti itu"
Saya... terus terang, saya takut, Harold. Ini bukan Inggris."
Harold menanggapi, suaranya amat pelan, "Saya bisa memperkuat kesaksian Elsie."
Mrs. Rice berkata, "Ya, dan dia bisa memperkuat kesaksian Anda. Hebat sekali!"
Otak Harold, yang cerdas dan selalu hati-hati, dapat menangkap maksud wanita
itu. Dibayangkannya kembali seluruh kejadian itu, dan ia bisa menerima kelemahan
kedudukan mereka. Ia dan Elsie sering terlihat bersama-sama. Dan ada kenyataan bahwa salah satu
wanita Polandia itu melihat mereka sedang berduaan di hutan cemara. Jelas wanita
Polandia itu tak bisa bahasa Inggris, namun mungkin saja mereka mengerti
sedikit-sedikit. Mungkin ia tahu arti kata 'jealously' dan "husband" kalau punya
kesempatan menguping pembicaraan mereka. Bagaimanapun juga, jelas apa yang
dikatakannya pada Philip Clayton telah membuat pria itu mengamuk karena cemburu.
Dan sekarang... ia sudah mati. Ketika Clayton menemui ajalnya, ia, Harold,
sedang berada di dalam kamar Elsie. Tak ada bukti yang bisa menunjukkan bahwa ia
tidak melempar Philip Clayton dengan penindih kertas itu. Tak ada pula bukti
bahwa si suami yang cemburu itu tidak menemukan mereka berduaan di dalam kamar
itu. Hanya ada cerita yang sama, dari mulutnya dan dari mulut Elsie. Apakah
orang akan percaya" Perasaan dingin mencekamnya.
Tak dibayangkannya, tidak... sama sekali tidak... bahwa ia dan Elsie bisa saja
dihukum mati karena pembunuhan yang tidak mereka lakukan. Bisa saja, yang paling
ringan, mereka dihukum karena tuduhan menganiaya seseorang. (Apakah di negeri
asing ini ada penjahat yang digolongkan sebagai tukang siksa manusia") Bahkan
jika mereka terbukti tidak bersalah, masih tetap harus ada penyelidikan... dan
semua itu akan dimuat berbagai surat kabar. Seorang pria dan seorang wanita
Inggris dituduh... suami yang cemburu... politikus yang sedang menanjak
kariernya. Ya, itu sama artinya dengan berakhirnya karier politiknya. Ia takkan
bisa keluar dari skandal seperti itu.
Didorong perasaan kuat, secara spontan ia berkata, "Bagaimana kalau mayatnya
kita singkirkan" Kita kuburkan di sesuatu tempat."
Mrs. Rice terpana. Pandangannya yang kesal membuat wajah Harold memerah. Dengan
tegas ia berkata, "Harold yang baik, ini bukan cerita detektif! Melaksanakan
rencana seperti itu, artinya sama saja dengan gila."
"Ya, saya rasa Anda benar." Harold mendesah. "Apa yang bisa kita lakukan" Ya
Tuhan, apa yang bisa kita lakukan?"
Mrs. Rice menggeleng dengan putus asa. Dahinya berkerut, pikirannya bekerja
keras, mencari akal. Harold berkata, menuntut jawab, "Tak adakah yang dapat kita lakukan" Apa saja,
asalkan kita terhindar dari bencana yang mengerikan ini."
Kata itu... bencana... terluncur begitu saja dari mulutnya! Mengerikan... tak
dapat diramalkan... dan jelas berbahaya.
Mereka berpandangan. Mrs. Rice berkata dengan suara serak, "Elsie, putriku yang
mungil. Saya akan melakukan apa saja... Dia pasti akan hancur jika harus melalui
bermacam proses seperti ini." Lalu ditambahkannya, "Anda juga... karier Anda,
semuanya, bisa hancur!"
Dengan susah payah Harold menanggapi, "Jangan pikirkan saya."
Tapi dalam hati ia berkata lain.
Mrs. Rice melanjutkan dengan pahit, "Dan ini tidak adil... benar-benar tidak
adil! Padahal di antara kalian berdua tak ada apa-apa. Saya tahu benar itu."
Harold mengusulkan sesuatu; berpegang pada harapan terakhir, "Mungkinkah Anda
bisa mengatakan... pada mereka... bahwa itu semua hanya kecelakaan."
"Ya, kalau mereka percaya pada saya. Tapi Anda pun tahu, seperti apa orang-orang
itu!" Dengan murung Harold menyetujui pendapat itu. Bagi jalan pikiran orang Eropa
daratan, jelas sekali bahwa antara dirinya dan Elsie pasti ada sesuatu, dan
semua bantahan serta penyangkalan Mrs. Rice akan dianggap sebagai usaha keras
seorang ibu yang berusaha melindungi putrinya.
Harold berkata dengan murung, "Ya, sayang sekali, ini bukan Inggris. Nasib
buruk." "Ah!" Mrs. Rice mengangkat kepalanya. "Benar, itu benar... Ini bukan Inggris.
Saya punya gagasan... barangkali kita bisa melakukan sesuatu...."
"Apa?" Harold memandangnya dengan harap-harap cemas.
Mrs. Rice berkata dengan singkat, "Berapa banyak uang yang Anda bawa?"
"Tidak banyak." Kemudian ditambahkannya, "Tentu saja saya bisa mengirim
telegram, minta agar uang saya dikirim kemari."
Mrs. Rice menanggapinya dengan murung, "Mungkin kita perlu uang banyak sekali.
Tapi saya rasa, tak ada salahnya kita coba."
Harold merasa bebannya terangkat sedikit. Katanya, "Apa gagasan Anda?"
Mrs. Rice berkata dengan tegas. "Kita tak punya kesempatan untuk menutup-nutupi
kematiannya, tapi rasanya saya bisa mendekati para pejabat agar bersedia tutup
mulut." "Anda pikir itu akan berhasil?" Harold bertanya penuh harap, tetapi sekaligus
juga agak tak percaya. "Satu hal sudah jelas, pemilik hotel ini pasti akan berada di pihak kita. Dia
pasti lebih suka jika hal ini tak usah diributkan. Menurut saya, di pelosok
Balkan, di tempat terpencil ini... Anda bisa menyuap siapa saja... dan polisinya
korupsi jauh lebih besar dibandingkan orang-orang lain!"
Pelan-pelan Harold berkata, "Ya, saya sependapat. Anda benar."
Mrs. Rice melanjutkan, "Untungnya, saya rasa tak seorang pun di hotel ini yang
mendengar sesuatu." "Siapa yang menginap di kamar di samping kamar Elsie, di seberang kamar Anda?"
"Dua wanita Polandia itu. Mereka tidak mendengar apa-apa. Mereka pasti sudah
keluar ke koridor jika mereka mendengarnya. Philip datang sudah larut, hanya
penjaga malam saja yang melihatnya. Harold, saya yakin, kita bisa membungkam
kasus ini... dan mengatur agar dalam surat kematian Philip ditulis bahwa
penyebabnya sesuatu yang wajar! Masalahnya, berapa banyak kita mampu menyuap
mereka" Kecuali itu, kita juga harus menemukan orang yang tepat... barangkali
Kepala Polisi!" Harold tersenyum samar. Katanya, "Ini seperti opera komedi, bukan" Bagaimanapun
juga, yang dapat kita lakukan sekarang adalah berusaha."
VI Mrs. Rice adalah energi yang terwujud dalam bentuk manusia. Pertama-tama ia
memanggil manajer hotel. Harold tetap di kamarnya, sengaja, agar tidak terlibat.
Ia dan Mrs. Rice telah sepakat bahwa versi cerita terbaik yang akan disampaikan
pada umum adalah kisah pertengkaran antara suami-istri. Kemudaan dan kecantikan
Elsie pasti akan menarik banyak simpati.
Keesokan paginya, sejumlah polisi datang dan diantarkan ke kamar Mrs. Rice.
Mereka meninggalkan hotel itu tengah hari. Harold telah minta dikirimi uang,
namun selain itu ia sama sekali tidak melibatkan diri dalam urusan tersebut - lagi
pula, ia takkan mungkin bisa melibatkan diri sebab tak satu pun dari para polisi
dan pejabat pemerintah itu bisa berbahasa Inggris.
Pukul dua belas siang Mrs. Rice datang ke kamarnya. Ia tampak pucat dan letih,
tetapi kesan lega terpancar di wajahnya. Dengan singkat ia berkata, "Berhasil!"
"Ya Tuhan, terima kasih! Anda benar-benar hebat! Tadinya saya sudah tak punya
harapan!" Mrs. Rice berkata sambil merenung, "Kalau mengingat mudahnya kita lakukan,
mungkin Anda mengira hal itu sudah biasa di sini. Boleh dikatakan mereka
langsung mengulurkan tangan begitu saja. Huh... menjijikkan!"
Harold berkata datar, "Ini bukan saat yang tepat untuk memperdebatkan kasus
korupsi di kalangan abdi masyarakat. Berapa?"
"Cukup tinggi juga."
Mrs. Rice membaca sebuah daftar nama dan menyebutkan angka-angkanya.
Kepala Polisi Komisaris Polisi Agen Polisi Dokter Manajer Hotel Penjaga Malam Komentar Harold singkat saja, "Penjaga malam itu tak minta banyak, kan" Saya
rasa dia cukup puas dengan uang bungkam sekadarnya."
Mrs. Rice menjelaskan, "Manajer hotel menegaskan, harus dijelaskan bahwa
kematian tersebut tidak terjadi di hotelnya. Keterangan resminya akan
menyebutkan Philip kena serangan jantung di kereta api. Dia keluar menyusuri
koridor, hendak mencari udara segar - Anda tahu bagaimana mereka selalu membiarkan
pintu di ujung koridor tetap terbuka - dan terjatuh dari lantai ini. Sungguh
mengagumkan, betapa polisi-polisi itu bisa diajak kerja sama!"
"Nah," kata Harold. "Untunglah polisi kita tidak seperti polisi di sini."
Lalu, dengan keangkuhan pria Inggris sejati, ia turun untuk menikmati makan
siangnya. VII Biasanya, sesudah makan siang Harold akan bergabung dengan Mrs. Rice dan
putrinya, menikmati secangkir kopi. Ia memutuskan untuk tidak mengubah
kebiasaannya itu. Itulah pertama kalinya ia melihat Elsie lagi, sejak tadi malam. Wajahnya sangat
pucat dan jelas sekali belum pulih dari shock. Tapi wanita itu berusaha keras
agar penampilannya biasa-biasa saja. Mereka mengobrolkan hal-hal biasa, yaitu
tentang cuaca dan pemandangan di sekitar situ.
Mereka memperbincangkan seorang tamu yang baru saja tiba dan mencoba menebak
kebangsaannya. Menurut Harold, kumis seperti itu pastilah kumis orang Prancis Elsie menebak Jerman - dan Mrs. Rice menduga pria itu orang Spanyol.
Tak ada tamu lain di teras itu, kecuali kedua wanita Polandia yang duduk di
pojok teras sambil melakukan sesuatu yang ganjil.
Seperti biasa, bila melihat mereka, Harold merasa bulu kuduknya meremang. Wajahwajah tanpa ekspresi, hidung bengkok seperti paruh burung, jari-jari panjang
bagaikan cakar burung....
Seorang bocah laki-laki yang bertugas sebagai pesuruh datang menghampiri Mrs.
Rice dan mengatakan bahwa seseorang memanggilnya. Mrs. Rice bangkit dan
mengikuti anak itu. Di gerbang hotel, mereka melihat Mrs. Rice bicara dengan
seorang polisi yang mengenakan seragam lengkap.
Elsie mendesah tertahan. "Anda... Anda pikir ada yang tidak beres?"
Harold lekas-lekas menenangkannya.
"Oh, tidak, pasti tidak."
Tapi ia sendiri tidak yakin. Rasa dingin merayapi punggungnya, membuat ia
bergidik. Katanya, "Ibu Anda sangat hebat!"
"Saya tahu. Ibu seorang pejuang sejati. Dia tak mau menyerah kalah begitu saja."
Elsie bergidik. "Tapi... urusan ini amat mengerikan."
"Ah... ah... mari kita lupakan saja. Semua sudah telanjur dan urusannya bisa
diselesaikan." Elsie berkata dengan suara lirih, "Saya tak dapat mengenyahkan pikiran... bahwa
saya yang membunuhnya."
Harold berkata penuh tekanan, "Jangan berpikir begitu. Itu hanya kecelakaan.
Cobalah melupakannya."
Mrs. Rice mendekat. Dari ekspresi wajahnya, mereka tahu semuanya beres.
"Huh, saya sudah ketakutan tadi," katanya dengan suara hampir-hampir riang.
"Ternyata hanya urusan surat-surat biasa. Semua beres, anak-anakku. Kita sudah
terbebas dari bayang-bayang gelap ini. Ada baiknya kita pesan minuman untuk
merayakannya." Minuman dipesan dan segera dihidangkan. Mereka mengangkat gelas.
Mrs. Rice berkata, "Demi masa depan!"
Harold tersenyum pada Elsie dan berkata, "Untuk kebahagiaan Anda!"
Wanita muda itu membalas senyumnya dan sambil mengangkat gelasnya berkata, "Dan
untuk Anda... semoga Anda sukses! Saya yakin Anda akan jadi orang besar!"
Setelah kengerian yang mencekam, kini mereka riang, hampir-hampir tanpa beban.
Bayang-bayang gelap sudah disingkirkan! Semua beres....
Di ujung teras, kedua wanita yang mirip burung itu bangkit. Dengan cepat mereka
membereskan apa yang sedang mereka kerjakan tadi. Mereka mendekat, menyeberangi
teras. Sambil membungkuk hormat mereka duduk di dekat Mrs. Rice. Salah satu dari mereka
mulai bicara. Yang satunya memandangi Harold dan Elsie. Mulutnya tersenyum
samar. Senyum itu, menurut Harold, bukan senyum yang manis....
Ia memandang ke arah Mrs. Rice. Wanita itu sedang mendengarkan kata-kata wanita
Polandia itu. Meskipun tak mengerti satu patah kata pun, Harold bisa menduga apa
yang mereka perbincangkan dari ekspresi wajah Mrs. Rice. Kengerian dan rasa
putus asa itu muncul kembali. Mrs. Rice mendengarkan, sesekali menyela dengan
kalimat-kalimat pendek. Tiba-tiba kedua wanita Polandia itu bangkit, membungkuk hormat dengan sikap
kaku, lalu berbalik masuk ke hotel.
Harold mencondongkan badannya ke depan. Ia berkata dengan suara serak, "Ada
apa?" Mrs. Rice menjawab, suaranya terdengar letih dan putus asa, "Kedua perempuan itu
akan memeras kita. Mereka mendengar semua yang terjadi semalam. Dan sekarang
kita berusaha membungkam kasus ini, sekarang urusannya benar-benar rumit...."
VIII Harold Waring sedang berdiri di tepi danau. Satu jam lebih ia berjalan-jalan tak
tentu arah, mencoba menenangkan kepanikannya dengan menguras tenaga fisiknya.
Akhirnya ia tiba di tempat untuk pertama kalinya ia melihat kedua wanita celaka
itu, yang menguasai hidupnya dan hidup Elsie dalam cengkeraman cakar mereka. Ia
berkata keras-keras, "Terkutuklah mereka! Dasar burung-burung pengisap darah!
Terkutuk!" Suara deham lirih membuatnya berbalik badan. Ia berhadapan dengan seorang pria
Tugas Tugas Hercules The Labours Of Hercules Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
asing berkumis tebal yang baru saja keluar dari balik bayang-bayang pepohonan.
Harold kehilangan kata-kata. Laki-laki bertubuh kecil ini pastilah mendengar apa
yang baru saja dikatakannya.
Tak tahu harus berkata apa, akhirnya Harold menyapa dengan sapaan yang terasa
amat janggal dalam situasi seperti itu, "Oh... eh, good afternoon."
Dalam bahasa Inggris yang sempurna, pria itu membalas, "Maaf, tetapi bagi Anda,
saat ini mungkin bukan sore yang indah."
"Wah... eh... saya..." Harold kehilangan kata-kata lagi.
Laki-laki kecil itu berkata, "Anda, saya rasa, sedang terlibat masalah,
Monsieur" Adakah yang bisa saya bantu?"
"Oh, tidak, tidak, terima kasih! Hanya masalah sepele."
Lawan bicaranya berkata dengan tenang, "Tapi saya rasa, Anda tahu saya bisa
membantu Anda. Saya berani mengatakan masalah Anda ada hubungannya dengan kedua
wanita yang tadi duduk di teras itu, kan?"
Harold terpana menatap pria itu. "Anda tahu sesuatu tentang mereka?" Kemudian
tambahnya, "Siapakah Anda sebenarnya?"
Seakan-akan berhadapan dengan seorang bangsawan, pria kecil itu menjawab dengan
rendah hati, "Saya Hercule Poirot. Marilah kita masuk lebih jauh ke hutan ini,
dan ceritakanlah masalah Anda. Seperti kata saya tadi, saya yakin bisa membantu
Anda." Sampai hari ini, Harold tidak tahu apa yang membuatnya mau menceritakan seluruh
masalahnya pada seorang pria asing yang baru saja dikenalnya. Mungkin karena ia
merasa amat tertekan. Bagaimanapun juga, semuanya sudah terjadi. Ia menceritakan
semuanya kepada Hercule Poirot.
Pria itu mendengarkan dengan saksama. Satu-dua kali ia mengangguk-angguk dengan
sikap sungguh-sungguh. Ketika Harold berhenti bicara, Hercule Poirot berkata
seakan-akan sambil melamun.
"Burung-burung Penghuni Danau Stymphalia, dengan paruh besi mereka mematuk-matuk
daging manusia dan... Ya, semuanya cocok."
"Apa maksud Anda?" sela Harold yang kebingungan.
Mungkin, demikian pikirnya, laki-laki aneh ini gila!
Hercule Poirot tersenyum.
"Saya sedang merenung, lain tidak. Saya mempunyai cara tersendiri dalam
memandang berbagai kejadian. Dan mengenai kasus Anda ini, Anda telah dijebak dan
dipojokkan." Harold berkata dengan tidak sabar, "Saya tak butuh Anda untuk mengatakannya!"
Hercule Poirot melanjutkan, "Ini kasus yang berat, pemerasan. Kedua burung
pemakan bangkai itu... mereka akan memaksa Anda membayar... membayar... dan
membayar terus! Dan kalau Anda mengkhianati mereka, apa yang akan terjadi?"
Harold berkata dengan suara pahit, "Rahasia ini akan terbongkar. Karier saya
akan hancur, dan seorang gadis yang tak pernah melakukan satu pun tindak
kekerasan akan dijebloskan ke penjara, dan... hanya Tuhan yang tahu bagaimana
akhirnya!" "Karena itu," kata Hercule Poirot, "kita harus melakukan sesuatu."
Harold berkata sinis, "Apa?"
Hercule Poirot menyandarkan tubuhnya pada sebatang pohon, matanya setengah
terpejam. Ia berkata (dan sekali lagi Harold meragukan kewarasan otaknya),
"Inilah saatnya kita memainkan kastanyet yang terbuat dari perunggu."
Harold berkata, "Anda sudah gila, ya?"
Lawan bicaranya menggeleng. Katanya, "Mais non! Saya hanya mengikuti teladan
seorang tokoh legendaris, tokoh yang namanya sama dengan nama saya, Hercules.
Bersabarlah selama beberapa jam. Besok pagi mungkin saya sudah akan bisa
membebaskan Anda dari kedua pengisap darah itu."
IX Esok paginya Harold Waring pergi ke teras dan menemukan Hercule Poirot duduk
seorang diri di sana. Tak diduganya dirinya amat terkesan oleh janji-janji
Hercule Poirot. Sekarang ia mendatangi pria itu dan bertanya dengan cemas, "Bagaimana?"
Hercule Poirot tersenyum cerah padanya. "Semua beres."
"Apa maksud Anda?"
"Semua berakhir dengan memuaskan."
"Tapi... apa yang terjadi?"
Hercule Poirot menjawab, suaranya seperti orang melamun, "Saya telah menggunakan
kastanyet perunggu. Atau, dalam istilah modern, saya telah menggunakan kabelkabel untuk mengirim kabar... singkatnya, saya telah mengirim telegram! Burungburung Penghuni Danau Stymphalia yang mencengkeram Anda, Monsieur, telah
dipindahkan ke suatu tempat di mana mereka takkan mungkin mempraktekkan
kemampuan mereka untuk waktu yang lama."
"Mereka dikejar-kejar polisi" Mereka sudah ditangkap?"
"Tepat!" Harold menghela napas panjang. "Luar biasa! Saya tak pernah berpikir sampai ke
situ." Ia bangkit berdiri. "Saya harus mencari Mrs. Rice dan Elsie dan
memberitahu mereka."
"Mereka sudah tahu."
"Oh, bagus." Harold duduk lagi. "Ceritakan apa..."
Kata-katanya terputus. Dari arah danau datang dua sosok tubuh, terbungkus jubah yang berkibar-kibar.
Wajah-wajah mereka runcing bagaikan burung.
Harold berseru, "Tadi Anda berkata mereka sudah dibawa polisi!"
Hercule Poirot mengikuti arah pandangan Harold.
"Oh, kedua wanita itu" Mereka tidak berbahaya; dua wanita Polandia dari keluarga
baik-baik, seperti yang dikatakan pemilik hotel pada Anda. Mungkin penampilan
mereka memang agak mengerikan, tapi di balik itu, mereka wanita baik-baik dan
terhormat." "Tapi saya tidak mengerti!"
"Ya, Anda memang tidak mengerti! Kedua wanita yang lain itu yang dicari-cari
polisi - Mrs. Rice yang berwatak kuat dan Mrs. Clayton yang lembut dan tak
berdaya! Merekalah yang sudah terkenal sebagai sepasang burung pemangsa. Kedua
wanita itu mencari nafkah dengan memeras, mon cher."
Harold merasa seakan dunia berputar cepat di sekelilingnya. Dengan suara lirih
ia berkata, "Tapi pria itu... pria yang terbunuh itu?"
"Tak ada yang terbunuh. Tak ada laki-laki dalam komplotan itu!"
"Tapi saya melihat dia!"
"Anda keliru. Mrs. Rice yang jangkung dan bersuara dalam sangat pandai menirukan
suara laki-laki. Dialah yang memainkan peran suami - dengan melepas rambut
palsunya yang berwarna abu-abu dan menggunakan riasan wajah yang sesuai."
Hercule Poirot mencondongkan badannya ke depan dan menepuk lutut lawan
bicaranya. "Anda tidak boleh menghadapi dunia dengan pandangan naif dan konyol, kawan.
Polisi suatu negara takkan mudah disuap... bahkan mungkin takkan mau disuap...
terutama jika kasusnya menyangkut masalah pembunuhan! Kedua wanita itu
memanfaatkan kenyataan bahwa umumnya pria Inggris meremehkan penguasaan bahasa
asing. Karena bisa bicara bahasa Prancis dan Jerman, Mrs. Rice-lah yang selalu
menanyai manajer hotel dan mengendalikan kasus itu! Polisi datang dan masuk ke
kamarnya, ya! Tapi apa yang sebenarnya terjadi" Anda tidak tahu. Mungkin dia
bilang kehilangan bros... sesuatu yang seperti itulah. Pokoknya asal ada alasan
untuk memanggil polisi dan Anda melihat mereka datang. Selanjutnya, apa yang
sebenarnya terjadi" Anda minta dikirimi uang, banyak sekali, dan langsung Anda
berikan pada Mrs. Rice yang bertugas melakukan negosiasi! Nah, itulah! Tetapi
mereka terlalu rakus, burung-burung pemakan bangkai itu. Mereka tahu, Anda
benar-benar ngeri karena keberadaan kedua wanita Polandia yang sesungguhnya tak
bersalah itu. Kedua wanita Polandia itu mendekat dan berbincang-bincang tentang
sesuatu yang sama sekali tak berbahaya dengan Mrs. Rice, dan wanita itu tak
dapat menahan diri untuk tidak mengulang permainan itu. Dia tahu Anda takkan
mungkin tahu apa yang mereka perbincangkan.
"Jadi, Anda akan terpaksa minta kiriman uang lebih banyak lagi, dan Mrs. Rice
akan menunjukkan daftar baru berisi nama-nama lain yang juga harus disuap."
Harold menghela napas panjang. Katanya, "Dan Elsie... Elsie?"
Hercule Poirot menghindari tatapan pria itu. "Dia memainkan perannya dengan
sempurna. Dia memang pandai bersandiwara. Aktris yang sangat berbakat. Dia
kelihatan begitu murni... begitu tak berdaya... Dia tidak menampilkan daya tarik
seksual, namun mampu mengusik keinginan pria untuk menjadi pahlawan baginya."
Hercule Poirot menambahkan sambil merenung, "Dan akal itu selalu berhasil bila
diterapkan pada pria Inggris."
Sekali lagi Harold Waring menarik napas panjang. Ia berkata dengan penuh tekad,
"Saya akan bekerja keras dan mempelajari semua bahasa yang ada di Eropa! Takkan
saya biarkan orang mempermainkan saya lagi!"
7 BANTENG JANTAN DARI CRETA
I HERCULE POIROT memandang tamunya dengan sungguh-sungguh.
Ia melihat seraut wajah pucat dengan dagu yang mencerminkan watak yang penuh
kesungguhan, mata yang lebih dekat ke abu-abu dan bukannya biru, rambut hitam
kebiru-biruan, warna asli yang sangat langka... yang ikal bergelombang seperti
rambut dewa-dewa Yunani Kuno.
Ia melihat rok wol yang bagus potongannya, tapi juga terlihat kusam karena
seringnya dipakai... kain wol tenunan desa. Lalu sebuah tas tangan yang sudah
usang, dan sikap angkuh yang boleh dikatakan masih wajar dan tanpa disadari
tetap kuat terlihat di balik penampilan gadis yang jelas-jelas kebingungan.
Hercule Poirot berkata pada diri sendiri, "Ah, ya, gadis ini bangsawan desa...
tapi tak punya uang! Pasti ada sesuatu yang luar biasa yang membuatnya datang
kemari." Diana Maberly berkata, suaranya agak bergetar, "Saya... saya tak tahu apakah
Anda akan bisa menolong saya atau tidak, M. Poirot. Ini... ini sesuatu yang luar
biasa." Poirot berkata, "Saya mengerti. Ceritakan saja."
Diana Maberly berkata, "Saya datang menemui Anda sebab tak tahu apa yang harus
saya lakukan. Saya bahkan tak tahu, apakah masih ada yang bisa dilakukan!"
"Izinkan saya yang menilainya."
Tiba-tiba wajah gadis itu memerah. Ia berkata cepat, dalam satu tarikan napas,
"Saya datang kemari karena pria yang telah menjadi tunangan saya selama setahun
lebih telah memutuskan pertunangan kami."
Ia berhenti bicara dan memandang Poirot dengan sikap menantang.
"Anda pasti mengira," katanya, "saya sudah gila."
Pelan-pelan, Hercule Poirot menggeleng.
"Justru sebaliknya, Mademoiselle, sedikit pun saya tak ragu Anda sangat cerdas.
Tentu saja bukan keahlian saya untuk mendamaikan pasangan-pasangan yang
bertengkar, dan saya tahu benar Anda pun tahu akan hal ini. Karenanya, saya
yakin, pasti ada sesuatu yang luar biasa dengan putusnya pertunangan Anda. Saya
tidak keliru, bukan?"
Gadis itu mengangguk. Ia berkata dengan suara jernih dan dengan singkat, "Hugh
memutuskan pertunangan kami karena dia yakin akan jadi gila. Menurut dia, orang
gila tidak selayaknya menikah."
Alis Hercule Poirot terangkat sedikit.
"Dan Anda tidak sependapat dengannya?"
"Entahlah... Lagi pula, apa artinya menjadi gila" Setiap orang punya sedikit
kegilaan, bukan?" "Ya, kata orang memang begitu," Poirot menyetujui dengan hati-hati.
"Hanya bila Anda mulai berpikir Anda ini sebutir telur atau entah apa begitu,
Anda harus dikurung."
"Dan tunangan Anda itu belum sampai ke tingkat separah itu?"
Diana Maberly berkata, "Saya tak melihat ada yang aneh pada diri Hugh. Dia...
oh, dia orang paling waras yang saya kenal. Berpendirian teguh... bisa
diandalkan...." "Jadi, mengapa dia mengira dirinya akan jadi gila?"
Poirot berhenti sejenak sebelum melanjutkan, "Apa mungkin ada bibit gila dalam
keluarganya?" Dengan enggan Diana menganggukkan kepala, mengiyakan. Katanya, "Kakeknya memang
gila, setahu saya... dan salah satu nenek buyutnya atau salah satu nenek
moyangnya. Tapi menurut saya, dalam setiap keluarga, selalu ada satu-dua orang
yang aneh. Entah dia sangat cerdas, atau sangat tolol, atau menderita sesuatu!"
Matanya tampak memohon. Hercule Poirot menggeleng sedih. Katanya, "Saya ikut prihatin, Mademoiselle,"
Dagu gadis itu langsung terangkat. Ia menjerit, "Saya tak ingin Anda prihatin
atau kasihan pada saya! Saya ingin Anda melakukan sesuatu!"
"Apa yang harus saya lakukan?"
"Entahlah... tapi pasti ada sesuatu yang tidak beres."
"Maukah Anda menceritakan, Mademoiselle, segala sesuatu tentang tunangan Anda?"
Diana berkata dengan cepat, "Namanya Hugh Chandler, 24 tahun. Ayahnya adalah
Admiral Chandler. Mereka tinggal di Lyde Manor. Cacat itu sudah ada pada
keluarga Chandler, turun-temurun sejak zaman Elizabeth. Hugh satu-satunya anak
laki-laki. Dia masuk dinas Angkatan Laut... semua pria Chandler menjadi
pelaut... sudah tradisi... sejak Sir Gilbert Chandler berlayar bersama Sir
Walter Raleigh di tahun lima belas sekian. Tentu saja Hugh juga harus masuk
Angkatan Laut. Ayahnya takkan mengizinkan dia berpikiran lain. Namun, ayahnya
sendiri yang justru menyuruhnya keluar dari dinas!"
"Kapan itu?" "Hampir setahun yang lalu. Tiba-tiba saja."
"Apakah Hugh Chandler bahagia dengan profesinya itu?"
"Benar-benar bahagia."
"Apakah ada skandal, atau sesuatu yang tak beres?"
"Tentang Hugh" Sama sekali tidak. Dia bekerja dengan baik. Dia... dia tak bisa
memahami ayahnya." "Apa alasan yang diberikan Admiral Chandler?"
Diana berkata pelan, "Dia tak pernah memberikan alasan yang jelas. Oh! Dia
mengatakan penting bagi Hugh untuk belajar mengelola tanah warisan leluhurnya tapi... tapi itu hanya alasan untuk menutup-nutupi yang sebenarnya. Bahkan
George Frobisher pun tahu."
"Siapa George Frobisher?"
"Kolonel Frobisher. Dia kawan Admiral Chandler yang paling akrab dan bapak
baptis Hugh. Dia banyak menghabiskan waktu di Lyde Manor."
"Bagaimanakah pendapat Kolonel Frobisher mengenai keputusan Admiral Chandler
untuk mengeluarkan putranya dari dinas di Angkatan Laut?"
"Dia tak bisa mengerti alasan kawannya. Tak mengerti sama sekali. Tak ada orang
yang bisa mengerti."
"Bahkan Hugh Chandler sendiri pun tidak?"
Diana tidak langsung menjawab. Poirot menunggu satu menit lamanya, lalu
melanjutkan, "Mungkin pada saat itu dia juga... kaget sekali. Tapi sekarang"
Apakah dia tidak mengatakan sesuatu... sama sekali tidak?"
Diana menggumam dengan ragu, "Dia berkata... kira-kira seminggu yang lalu...
bahwa... bahwa ayahnya benar... bahwa itu satu-satunya jalan."
"Apakah Anda bertanya padanya mengapa?"
"Tentu saja. Tapi dia tak mau mengatakannya pada saya."
Hercule Poirot merenung satu-dua menit. Kemudian ia berkata, "Apakah di kawasan
tempat tinggal Anda telah terjadi hal-hal yang aneh" Yang mulainya, mungkin,
kira-kira setahun yang lalu" Sesuatu yang membuat penduduk bergosip?"
Diana menukas dengan tajam, "Saya tak mengerti apa yang Anda maksud!"
Poirot berkata dengan tenang, tetapi dengan suara tegas, "Sebaiknya Anda katakan
pada saya." "Tak ada apa-apa... apa pun seperti yang Anda maksud."
"Jadi... yang seperti apa?"
"Menurut saya, Anda suka berpikiran jelek! Ada kejadian-kejadian aneh di tanah
pertanian. Pembalasan dendam... atau seseorang yang sengaja berbuat konyol."
"Apa yang terjadi?"
Gadis itu berkata ragu-ragu, "Orang ribut bicara tentang beberapa domba....
Leher mereka digorok. Oh! Mengerikan! Tapi domba-domba itu milik seorang petani,
orangnya berwatak keras dan kaku. Polisi menduga itu perbuatan orang yang
mendendam pada si petani."
"Tapi mereka tidak berhasil menangkap pelakunya?"
"Tidak." Diana menambahkan dengan sengit, "Tapi jika Anda berpikir..."
Poirot mengangkat tangannya. Katanya, "Anda sedikit pun tidak tahu apa yang saya
pikirkan. Apakah tunangan Anda telah berkonsultasi ke dokter?"
"Belum. Saya yakin belum."
"Bukankah itu hal paling mudah yang dapat dilakukannya?"
Diana berkata pelan, "Dia takkan mau. Dia... dia benci dokter."
"Dan ayahnya?" "Saya rasa Admiral Chandler juga tidak percaya pada dokter. Menurutnya, dokter
hanyalah pedagang yang selalu cari untung di atas kesulitan orang lain."
"Bagaimana keadaan Admiral Chandler sendiri" Apakah dia sehat" Bahagia?"
Tugas Tugas Hercules The Labours Of Hercules Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Diana berkata dengan suara lirih sekali, "Dia jauh bertambah tua dalam...
dalam..." "Dalam setahun terakhir ini?"
"Ya. Dia benar-benar telah hancur... tinggal sisa-sisa kegagahan masa lalunya
saja." Poirot mengangguk sambil merenung. Kemudian ia berkata, "Apakah dia menyetujui
pertunangan putranya?"
"Oh, tentu saja. Tanah keluarga saya berbatasan dengan milik keluarganya. Kami
sudah tinggal di sana sejak beberapa generasi sebelum saya. Dia senang sekali
karena Hugh dan saya akhirnya akan menyatukan tanah-tanah kami."
"Dan sekarang" Apa yang dikatakannya tentang pertunangan Anda yang telah putus?"
Gadis itu menggeleng samar. Katanya, "Saya bertemu dengannya kemarin pagi. Dia
kelihatan menyedihkan. Digenggamnya kedua tangan saya. Katanya, 'Berat sekali
untukmu, anakku. Tapi Hugh telah melakukan yang terbaik... satu-satunya hal yang
dapat dilakukannya.'"
"Karena itu," kata Hercule Poirot, "Anda datang menemui saya?"
Gadis itu mengangguk. Ia bertanya, "Dapatkah Anda melakukan sesuatu?"
Hercule Poirot menjawab, "Saya tidak tahu. Tetapi, setidak-tidaknya saya bisa
pergi ke sana dan melihat sendiri."
II Penampilan fisik Hugh yang luar biasa membuat Hercule Poirot amat terkesan.
Jangkung, sangat sempurna, berdada bidang dan berbahu lebar, dengan rambut ikal
kecokelatan. Dari dalam dirinya terpancar kekuatan fisik dan keteguhan hatinya.
Begitu tiba di rumah Diana, gadis itu langsung menelepon Admiral Chandler,
kemudian mereka pergi ke Lyde Manor dan diantarkan ke teras panjang tempat tuan
rumah sudah menunggu serta teh dan kue-kue sudah dihidangkan. Ada tiga pria di
sana. Admiral Chandler, rambutnya putih, tampak jauh tua dari usianya yang
sebenarnya; bahunya melengkung, seakan-akan memikul beban yang terlampau berat;
matanya gelap dan sedih. Kontras dengannya adalah penampilan sahabatnya, Kolonel
Frobisher, pria bertubuh kecil, cekatan, dengan rambut kemerahan yang sudah
kelabu di pelipisnya. Pria kecil yang lincah, agak galak, suka bicara blakblakan, agak mirip anjing terrier, tapi mempunyai sepasang mata yang tajam
menyelidik. Ia punya kebiasaan mengerutkan alisnya dan merendahkan kepalanya,
seakan menjulurkannya ke depan, sementara sepasang matanya yang cerdik mengawasi
dengan pandangan tajam menusuk. Pria ketiga adalah Hugh.
"Contoh spesimen yang bagus, bukan?" kata Kolonel Frobisher.
Suaranya rendah. Ia tahu, dengan pandang sekilas Poirot telah menilai pemuda
itu. Hercule Poirot mengangguk. Ia dan Frobisher duduk berdekatan. Tiga orang lainnya
duduk di kursi mereka yang terletak agak jauh di seberang meja. Mereka sedang
bicara dengan penuh semangat, tetapi jelas itu hanya dibuat-buat saja.
Poirot menggumam, "Ya, dia luar biasa... sungguh gagah dan jantan. Dia bagaikan
Banteng Jantan... ya, Banteng Jantan dari Creta yang dikorbankan untuk
Poseidon.... Contoh sempurna sosok makhluk muda yang sehat dan gagah."
"Dia tampak amat bugar, bukan?"
Frobisher mendesah. Matanya yang tajam melirik Poirot sekilas. Kemudian ia
berkata, "Saya tahu siapa Anda."
"Ah, itu bukan rahasia!"
Poirot menggerakkan tangan, seakan apa yang dikatakan Kolonel Frobisher tidak
penting. Ia datang bukan secara incognito, itu yang sepertinya dikatakan gerakan
tangannya. Ia berada di situ sebagai Dirinya Sendiri.
Satu-dua menit kemudian Frobisher bertanya, "Apakah gadis itu minta bantuan
Anda... dalam kasus ini?"
"Kasus ini...?"
"Kasus Hugh.... Ya, saya lihat Anda tahu tentang semua ini. Tapi saya tidak
mengerti mengapa dia pergi menemui Anda.... Saya kira hal-hal seperti ini di
luar bidang Anda... maksud saya, ini lebih cocok untuk mereka yang ahli di
bidang kedokteran." "Segala macam hal bisa menarik minat saya.... Anda pasti tak menyangka."
"Maksud saya, saya tak bisa mengerti apa yang diharapkannya dari Anda."
"Miss Maberly," kata Poirot, "adalah gadis yang tak mudah menyerah."
Kolonel Frobisher mengangguk, ia sependapat.
"Ya, dia memang pejuang yang tidak mudah menyerah. Dia gadis yang baik. Dia
takkan putus asa. Tapi, Anda pun tahu, ada hal-hal yang tidak dapat dipahami dan
harus kita terima begitu saja...."
Tiba-tiba wajahnya tampak letih dan tua.
Poirot merendahkan suaranya, semakin lirih. Ia berbisik dengan sikap penuh
rahasia, "Saya dengar... ada keturunan gila dalam keluarga ini, benarkah?"
Frobisher mengangguk. "Hanya muncul sesekali," gumamnya. "Tidak pada setiap generasi, satu-dua
generasi dilompati. Kakek Hugh yang terakhir."
Sekilas Poirot memandang ketiga orang itu. Diana memimpin percakapan dengan
baik, ia tertawa-tawa dan menggoda Hugh. Orang yang melihat mereka sekilas akan
mengira ketiga orang itu tak punya masalah di dunia ini.
"Seperti apa bentuk kegilaan itu?" tanya Poirot lirih.
"Waktu sudah tua, dia berubah jadi bengis dan kejam. Sampai umur tiga puluh
tahun dia baik-baik saja - seperti orang normal lainnya. Kemudian mulai muncul
kelakuan-kelakuan aneh. Baru beberapa waktu kemudian orang mulai menyadarinya.
Lalu muncul desas-desus. Orang mulai bergosip. Banyak kejadian yang dicoba
ditutup-tutupi. Tapi... yah," dia mengangkat bahu, "dia mati sebagai orang gila!
Kasihan! Pembunuhan! Harus dikeluarkan surat keterangan yang resmi."
Ia berhenti sejenak, kemudian melanjutkan.
"Seingat saya, dia hidup sampai tua. Tentu saja, itulah yang ditakuti Hugh. Itu
pula sebabnya dia tak mau pergi ke dokter. Dia takut hidup dikucilkan, apalagi
selama bertahun-tahun, sampai mati. Saya tak menyalahkan dia. Kalau jadi dia,
saya pun pasti begitu."
"Dan Admiral Chandler, bagaimana perasaannya?"
"Hancur hatinya," sahut Frobisher singkat.
"Dia sangat menyayangi putranya?"
"Sangat melindunginya. Waktu Hugh baru umur sepuluh tahun, istrinya meninggal
dalam kecelakaan ketika mereka sedang berlayar. Sejak itu seluruh hidupnya
dicurahkannya demi anak itu."
"Apakah dia amat menyayangi istrinya?"
"Memujanya. Setiap orang memujanya. Dia... dia wanita paling menawan yang pernah
saya kenal." Ia berhenti selama beberapa saat, kemudian tiba-tiba berkata, "Mau
melihat potretnya?" "Ya, saya amat ingin melihatnya."
Frobisher mendorong kursinya ke belakang lalu bangkit berdiri. Dengan suara
keras ia berkata, "Charles, saya akan mengajak M. Poirot melihat-lihat. Rupanya
dia punya darah seni."
Admiral mengangkat tangannya, samar-samar menyetujui. Frobisher menyusuri teras
yang panjang itu, dan Poirot ikut di belakangnya. Sejenak wajah Diana terlepas
dari topeng keriangannya. Ia melemparkan pandangan cemas dan penuh tanya. Hugh
juga mengangkat kepala dan memandang pria kecil berkumis lebat itu dengan
sungguh-sungguh. Poirot mengikuti Frobisher masuk ke rumah. Mula-mula ia tak bisa mengenali
benda-benda di sekitarnya, ruangan di situ terlihat remang-remang, lebih-lebih
karena mereka baru saja masuk dari tempat yang penuh cahaya matahari. Poirot
hanya tahu rumah itu penuh benda-benda kuno yang cantik.
Kolonel Frobisher mendahului masuk ke Galeri Lukisan. Pada dinding-dinding yang
berpanel tergantung lukisan-lukisan nenek moyang Chandler yang sudah tiada.
Wajah-wajah yang kaku, wajah-wajah yang riang, pria-pria yang mengenakan busana
resmi atau seragam angkatan laut, dan wanita-wanita yang mengenakan gaun satin
dan aksesori dari mutiara.
Akhirnya Frobisher berhenti di depan sebuah lukisan di ujung galeri itu.
"Dilukis oleh Orpen," katanya dengan suara serak.
Mereka berdiri menatap lukisan seorang wanita jangkung, tangannya memegangi
kalung leher seekor anjing greyhound. Wanita itu berambut pirang kemerahan dan
menampilkan ekspresi yang memancarkan daya hidupnya.
"Anak itu persis sekali dengan ibunya," kata Frobisher. "Bagaimana menurut
Anda?" "Dalam beberapa hal, ya."
"Dia tidak lembut seperti ibunya... tidak feminin, tentu saja. Dia bentuk
maskulin dari kesempurnaan itu... tapi dalam hal-hal yang esensial..." Katakatanya terputus. "Sayang sekali dia mewarisi dari Chandler, sesuatu yang kalau
tidak ada justru akan membuatnya sempurna...."
Mereka diam beberapa lama. Terasa ada kepedihan dalam ruangan itu... seakan-akan
nenek moyang Chandler mendesah, menyesali noda hitam yang mengotori darah
mereka, yang - tanpa bisa dihindari - mereka wariskan pada anak-cucu mereka....
Hercule Poirot berpaling, memandang George Frobisher. Pria itu masih menatap
lukisan wanita cantik di depannya. Dan Poirot berkata dengan lembut, "Anda
mengenalnya dengan baik...."
Frobisher berkata, suaranya seperti orang cemas dan menyembunyikan sesuatu,
"Kami melewatkan masa kanak-kanak kami bersama-sama. Waktu umurnya enam belas
tahun, saya pergi ke India.... Ketika saya kembali, dia telah menikah dengan
Charles Chandler." "Anda juga mengenal Charles Chandler dengan baik?"
"Charles salah seorang kawan saya yang paling akrab. Dia kawan saya yang
terbaik... selalu, selama-lamanya."
"Apakah Anda sering bertemu mereka... sesudah mereka menikah?"
"Saya sering menghabiskan cuti saya di sini. Rumah ini sudah seperti rumah saya
sendiri. Charles dan Caroline selalu menyediakan satu kamar untuk saya... yang
sewaktu-waktu bisa saya gunakan...." Ia menegakkan bahunya, lalu tiba-tiba
menjulurkan kepalanya ke depan, dengan sikap yang amat khas. "Itulah sebabnya
saya ada di sini sekarang... untuk mendampingi mereka, kalau-kalau bantuan saya
dibutuhkan. Jika Charles membutuhkan saya... saya selalu siap."
Sekali lagi bayang-bayang tragedi menyelimuti mereka.
"Dan, bagaimana pendapat Anda... tentang masalah ini?" tanya Poirot.
Frobisher berdiri dengan sikap amat kaku. Alisnya berkerut dan seakan-akan turun
menutupi matanya. "Menurut saya, makin sedikit orang tahu makin baik. Dan kalau
saya boleh berterus terang, saya tak melihat ada sesuatu yang bisa Anda lakukan
dalam kasus ini, M. Poirot. Saya tak bisa mengerti mengapa Diana menyeret-nyeret
Anda kemari." "Anda tahu pertunangan Diana dengan Hugh telah putus?"
"Ya, saya tahu."
"Dan Anda pun tahu apa penyebabnya?"
Frobisher menjawab dengan kaku, "Tentang itu saya tak tahu apa-apa. Anak-anak
muda lebih suka menyelesaikan masalah mereka sendiri. Saya bukan orang yang suka
campur tangan." Poirot berkata, "Hugh Chandler memberitahu Diana bahwa sebaiknya mereka tidak
usah menikah, sebab dia akan menjadi gila."
Poirot melihat butir-butir keringat membasahi kening Frobisher. Kata kolonel
itu, "Apakah kita harus membicarakan hal yang mengerikan itu" Menurut Anda, apa
yang bisa Anda lakukan" Hugh telah melakukan yang terbaik, anak yang malang. Itu
bukan salahnya, itu penyakit menurun - plasma yang tercemar - sel-sel otak yang....
Tapi sekali dia tahu, yah... apa yang bisa diperbuatnya kecuali memutuskan
pertunangan mereka" Itu termasuk hal-hal yang harus dilakukan tanpa
mempertanyakannya." "Seandainya kata-kata Anda bisa membuat saya yakin...."
"Anda harus percaya pada saya."
"Tapi Anda belum mengatakan semuanya."
"Sudah saya katakan, saya tak mau bicara tentang itu."
"Mengapa Admiral Chandler memaksa putranya keluar dari dinas Angkatan Laut?"
"Sebab itu satu-satunya hal yang harus dilakukan."
"Mengapa?" Frobisher menggeleng, sikapnya keras kepala.
Poirot menggumam lirih, "Apa hubungannya dengan sejumlah domba yang terbunuh?"
Lawan bicaranya menyahut dengan marah, "Jadi Anda pun sudah mendengar tentang
itu?" "Diana yang mengatakannya pada saya."
"Gadis itu seharusnya tutup mulut."
"Diana tidak menganggap yang itu termasuk dalam peraturan tersebut."
"Gadis itu tak tahu apa-apa."
"Apa yang dia tidak tahu?"
Dengan enggan, ragu, dan marah, Frobisher berkata, "Oh, baiklah, kalau Anda
memaksa. Malam itu Chandler mendengar suara-suara. Dia mengira ada orang masuk
ke rumah. Dia keluar untuk menyelidiki. Dinyalakannya lampu kamar putranya.
Chandler masuk. Hugh tidur di tempat tidurnya - tidur pulas - mengenakan pakaian
lengkap. Ada noda-noda darah pada bajunya. Baskom cuci tangan yang tersedia juga
penuh air campur darah. Ayahnya tak bisa membangunkannya. Esok paginya dia
mendengar kabar bahwa sejumlah domba ditemukan mati dengan leher tergorok. Hugh
ditanyai. Hugh tak tahu apa-apa tentang itu semua. Dia tak ingat telah berjalan
ke luar... dan sepatunya, yang ditemukan dekat pintu, ternyata penuh lumpur yang
sudah mengering. Dia tak bisa menjelaskan mengapa ada darah di baskom untuk cuci
tangan. Tak bisa menerangkan apa-apa. Anak yang malang, dia tidak tahu.
"Charles menemui saya dan kami bicara panjang-lebar tentang kasus itu. Langkah
apa yang paling baik dan bisa kami laksanakan" Lalu kejadian itu terulang - tiga
malam kemudian. Setelah itu - yah, Anda bisa melihatnya sendiri. Tentu saja anak
itu harus keluar dari dinas Angkatan Laut. Ya, itu satu-satunya jalan yang masih
bisa dilakukan." Poirot bertanya, "Dan sejak itu?"
Frobisher berkata dengan sengit, "Saya tak mau lagi menjawab pertanyaanpertanyaan Anda. Bukankah Hugh tahu benar apa yang paling baik baginya?"
Hercule Poirot tidak menanggapi. Ia selalu tersinggung jika ada yang mengatakan
seseorang tahu lebih baik dari Hercule Poirot.
III Ketika sampai di selasar, mereka berpapasan dengan Admiral Chandler yang
berjalan sedang masuk. Ia berdiri diam selama beberapa saat. Dari dalam rumah ia
terlihat bagaikan siluet berlatar belakang ambang pintu dan cahaya terang di
luar sana. Ia berkata dengan suara rendah dan parau, "Oh, Anda di sini rupanya. M. Poirot,
saya ingin bicara sebentar dengan Anda. Marilah kita ke kamar kerja saya."
Frobisher pergi ke luar, lewat pintu yang terbuka, dan Poirot kini mengikuti
Admiral Chandler. Ia merasa seperti kelasi yang dipanggil ke dek perwira untuk
dimintai keterangan. Admiral Chandler mengisyaratkan agar Poirot duduk di salah satu kursi yang besar
dan nyaman di ruangan itu, lalu ia sendiri pun duduk. Waktu bersama Frobisher
tadi, Poirot sangat terkesan pada penampilan Frobisher yang gelisah, gugup, dan
sinis - semua itu tanda-tanda keadaan mental yang tertekan. Bersama Admiral
Chandler, ia merasakan adanya keputusasaan dan rasa tak berdaya yang amat
mendalam. Setelah menarik napas panjang, Chandler berkata, "Saya kasihan pada Anda karena
Diana telah menyeret-nyeret Anda kemari. Gadis yang malang, saya tahu betapa
beratnya ini baginya. Tapi... yah, ini tragedi pribadi keluarga kami. Saya harap
Anda bisa mengerti maksud saya, M. Poirot. Kami tidak membutuhkan bantuan orang
luar." "Tentu saja saya dapat mengerti perasaan Anda."
"Diana yang malang, tak mau percaya begitu saja. Mula-mula saya juga tidak bisa
percaya. Mungkin saya takkan percaya sekarang kalau saya tidak tahu...."
Ia berhenti. "Tahu apa?" "Itu ada dalam darah. Maksud saya, darah yang tercemar."
"Namun begitu Anda menyetujui pertunangan mereka."
Wajah Admiral Chandler memerah.
"Maksud Anda, seharusnya saya mencegah mereka sejak awal" Tapi waktu itu saya
tak punya dugaan sama sekali. Hugh amat mirip ibunya, tak sesuatu pun dalam
dirinya yang menunjukkan ciri-ciri keluarga Chandler. Semoga dia amat mirip
ibunya, dalam segala hal. Sejak masa kanak-kanaknya, hingga dewasa sekarang ini,
tak pernah ada kejadian-kejadian yang tak normal, sampai sekarang. Saya tak bisa
mengerti... lagi pula, dalam keluarga-keluarga yang garis keturunannya sudah
panjang, selalu saja ada kasus kegilaan atau abnormalitas!"
Poirot berkata dengan lembut, "Anda belum berkonsultasi dengan dokter?"
Chandler langsung marah sekali, "Tidak, saya takkan mengizinkannya! Anak itu
cukup aman di sini, saya akan menjaga dan merawatnya. Mereka takkan saya biarkan
mengurung Hugh di balik empat dinding kokoh, seperti banteng gila saja."
"Anda mengatakan dia aman di sini. Tapi, apakah yang lain juga aman?"
"Apa maksud Anda?"
Poirot tidak menjawab. Ia memandang mata Admiral Chandler dengan pandangan tajam
dan menyelidik. Mata itu gelap dan sedih.
Admiral Chandler berkata dengan pahit, "Setiap orang punya masalahnya sendiri.
Tugas Tugas Hercules The Labours Of Hercules Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Anda mencari penjahat! Anak saya bukan penjahat, M. Poirot."
"Belum." "Apa maksud Anda mengucapkan 'belum'?"
"Tragedi itu terus meningkat... domba-domba itu..."
"Siapa yang memberitahu Anda tentang domba-domba itu?"
"Diana Maberly. Dan juga kawan Anda, Kolonel Frobisher."
"Seharusnya George menutup mulutnya rapat-rapat."
"Dia salah satu kawan akrab Anda, bukan?"
"Yang terbaik," kata Admiral dengan suara parau.
"Dan dia... juga kawan istri Anda. Benar begitu?"
Chandler tersenyum. "Benar. Saya yakin George mencintai Caroline. Ketika Caroline masih amat muda.
Dia tak pernah menikah. Saya yakin itulah alasannya. Nah, rasanya saya termasuk
yang bernasib baik... atau, begitulah yang saya kira. Saya menikahinya hanya
untuk kehilangan dia."
Ia mendesah, bahunya terkulai.
Poirot berkata, "Kolonel Frobisher ada bersama Anda ketika istri Anda
tenggelam?" Chandler mengangguk. "Ya, dia bersama kami di Cornwall ketika peristiwa itu terjadi. Saya dan istri
saya berperahu berdua... hari itu dia tidak ikut ke laut. Saya tak pernah bisa
mengerti, bagaimana perahu itu bisa terbalik... Pasti tiba-tiba bocor. Kami
sudah jauh dari teluk, ada arus kuat. Saya memeganginya selama mungkin dan
sekuat saya...." Suaranya tercekat. "Tubuhnya terdampar di pantai dua hari
kemudian. Untunglah kami tidak mengajak Hugh bersama kami! Setidak-tidaknya itu
yang terlintas dalam pikiran saya hari itu! Sekarang... yah... anak malang,
barangkali akan lebih baik baginya kalau dia ada bersama kami waktu itu. Dan
masalah ini takkan muncul, semua sudah selesai waktu itu."
Sekali lagi pria itu mendesah, dalam dan pedih.
"Kami keturunan Chandler yang terakhir, M. Poirot. Takkan ada lagi anak
keturunan Chandler di Lyde kalau kami sudah mati. Ketika Hugh bertunangan dengan
Diana, saya berharap... ah, tak ada gunanya bicara soal itu. Untunglah mereka
tidak jadi menikah. Hanya itu yang bisa saya sampaikan."
IV Hercule Poirot duduk di sebuah bangku di taman mawar. Di sebelahnya duduk Hugh
Chandler. Diana Maberly baru saja meninggalkan mereka.
Pemuda tampan itu memalingkan wajahnya - yang seperti orang terluka - ke arah
Poirot. Katanya, "Anda harus membuatnya mengerti, M. Poirot."
Ia berhenti semenit lamanya, lalu melanjutkan, "Anda tahu Diana sangat gigih.
Dia takkan menyerah. Dia takkan menerima dan percaya begitu saja apa yang
diharapkan orang atas dirinya. Dia... dia akan terus percaya bahwa saya...
waras." "Sementara Anda sendiri yakin bahwa Anda - maafkan saya - tidak waras?"
Pemuda itu bergerak gelisah. Ia berkata, "Saya memang belum parah... tapi
gejalanya semakin buruk. Untung Diana tidak tahu. Dia hanya melihat saya ketika
saya... sedang waras."
"Dan ketika Anda sedang... kambuh, apa yang terjadi?"
Hugh Chandler menarik napas panjang. Kemudian ia berkata, "Satu hal yang
jelas... saya bermimpi. Dan ketika saya bermimpi, saya menjadi gila. Misalnya
tadi malam, saya bukan lagi manusia. Saya berubah jadi banteng... banteng
gila... lari ke sana kemari dalam siraman cahaya matahari yang terik... saya
makan tanah dan mulut saya penuh darah... darah dan tanah. Kemudian saya berubah
jadi anjing... anjing besar yang buas. Saya menderita hydrophobia - takut pada air
- anak-anak lari ketakutan kalau saya mendekat... orang-orang dewasa mencoba
menembak saya... seseorang meletakkan sebuah mangkuk besar penuh air untuk saya
tapi saya tak dapat minum. Saya tak bisa minum...."
Ia berhenti. "Saya terbangun. Dan saya tahu, itu semua nyata. Saya pergi ke
tempat cuci tangan. Mulut saya kering... kering sekali... dan perih. Saya haus.
Tapi saya tak dapat minum, M. Poirot.... Saya tak bisa menelan.... Ya Tuhan,
saya tak bisa minum...."
Hercule Poirot menggumam halus. Hugh Chandler melanjutkan. Kedua tangannya
terkepal di atas lututnya. Wajahnya terjulur ke depan, kedua matanya setengah
terpejam, seakan-akan ia melihat sesuatu datang mendekatinya.
"Dan ada kejadian-kejadian yang sama sekali bukan mimpi. Hal-hal yang saya lihat
ketika sedang terjaga penuh. Makhluk-makhluk aneh dan mengerikan. Mereka
mengancam saya. Kadang-kadang saya berhasil lari, meninggalkan tempat tidur
saya, terbang ke angkasa, menunggangi sang angin... namun makhluk-makhluk jahat
itu terus mengikuti saya!"
"Tcha, tcha," kata Hercule Poirot.
Itu adalah gumaman yang lembut, penuh simpati.
Hugh Chandler berpaling padanya.
"Oh, Anda jangan menyangka yang bukan-bukan. Tak diragukan lagi. Benih itu ada
dalam darah saya. Warisan keluarga saya. Saya tak dapat lari darinya. Untunglah
saya mengetahuinya sebelum terlambat! Sebelum saya menikah dengan Diana.
Seandainya kami punya anak dan menurunkan penyakit yang mengerikan ini
padanya..." Diletakkannya tangannya di tangan Poirot.
"Anda harus membuatnya mengerti. Anda harus meyakinkannya. Diana harus mengerti.
Suatu hari dia akan menemukan pria lain. Ada Steve Graham - yang tergila-gila
padanya... dan dia pemuda yang sangat baik. Diana pasti akan bahagia bersamanya dan aman. Saya ingin dia bahagia. Tentu saja Graham akan mendapat kesulitan
untuk menyesuaikan diri, begitu pula keluarga Diana, tapi jika saya sudah tiada,
semua akan beres." Suara Hercule Poirot menyelanya.
"Mengapa semua akan 'beres' bila Anda sudah tiada?"
Hugh Chandler tersenyum. Senyum yang lembut dan penuh kasih. Katanya, "Ada uang
peninggalan ibu saya. Ibu saya punya warisan yang cukup besar. Dan itu jatuh
kepada saya. Saya sudah mewariskan semuanya pada Diana."
Hercule Poirot duduk bersandar. Katanya, "Ah!"
Kemudian ia berkata, "Tapi Anda mungkin akan terus hidup sampai usia lanjut, Mr.
Chandler." Hugh Chandler menggeleng. Ia berkata dengan suara tajam, "Tidak, M. Poirot. Saya
takkan hidup sampai tua."
Kemudian ia bersandar, tiba-tiba badannya bergetar.
"Ya Tuhan! Lihat!" Matanya terbelalak memandang ke belakang bahu Poirot. "Itu...
berdiri di samping Anda... kerangka manusia... tulang-tulangnya bergetar. Dia
memanggil saya... menarik saya..."
Mata Hugh terbelalak. Pupil matanya berputar-putar, terpana menatap matahari.
Tiba-tiba tubuhnya terhuyung ke samping, seakan-akan hendak roboh.
Kemudian, sambil berpaling pada Poirot, ia berkata dengan suara yang kekanakkanakan, "Anda tidak melihat... sesuatu?"
Pelan-pelan Hercule Poirot menggeleng.
Hugh Chandler berkata dengan suara parau, "Saya tidak peduli pada ilusi-ilusi
ini. Yang saya takutkan adalah darah. Darah di kamar saya... di pakaian saya...
Kami punya seekor burung kakaktua. Suatu pagi burung itu ada di kamar saya...
dengan leher tergorok... dan saya terbaring di tempat tidur dengan tangan
memegang pisau penuh darah, darah yang masih basah!"
Ia mencondongkan tubuhnya, makin dekat pada Poirot.
"Bahkan baru-baru ini ada beberapa binatang mati terbunuh," bisiknya. "Di manamana, di seluruh desa, di lembah-lembah. Domba-domba yang masih muda, seekor
anjing collie. Setiap malam Ayah mengunci kamar saya dari luar, tapi kadangkadang... kadang-kadang... di pagi hari pintu itu kedapatan sudah terbuka. Saya
pasti punya kunci yang tersembunyi entah di mana, tapi saya tak tahu di mana
kunci itu saya sembunyikan. Saya tak tahu. Bukan saya yang melakukan semua itu,
tetapi sosok pribadi yang lain yang merasuk ke dalam raga saya... yang menguasai
jiwa dan pikiran saya... yang mengubah saya menjadi monster yang mengerikan...
monster yang haus darah dan tak bisa minum air..."
Tiba-tiba ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
Setelah diam satu-dua menit, Poirot bertanya, "Saya masih tetap tidak mengerti,
mengapa Anda tidak pergi ke dokter?"
Hugh Chandler menggeleng. Katanya, "Benarkah Anda tidak bisa mengerti" Secara
fisik saya ini kuat. Saya kuat seperti banteng jantan. Saya mungkin bisa hidup
bertahun-tahun lagi... lama sekali... dan dikurung di balik empat dinding! Itu
yang tak dapat saya hadapi! Lebih baik saya langsung mati. Ada banyak jalan
untuk itu. Anda pun pasti tahu. Kecelakaan, membersihkan senapan... yang semacam
itulah. Diana akan mengerti. Saya lebih suka bunuh diri dengan cara yang saya
pilih sendiri!" Ia memandang Poirot dengan pandangan menantang, tetapi Poirot tidak menanggapi
tantangannya. Ia malah bertanya dengan lembut, "Apa yang Anda makan dan Anda
minum?" Hugh Chandler melemparkan kepalanya ke belakang. Ia tertawa terbahak-bahak.
"Mimpi buruk setelah salah makan" Itukah pendapat Anda?"
Poirot mengulangi pertanyaannya dengan halus, "Apa yang Anda makan dan Anda
minum?" "Hanya yang dimakan dan diminum orang-orang lain."
"Tak ada obat khusus" Serbuk" Pil?"
"Ya, Tuhan, tidak. Anda pikir pil biasa bisa menyembuhkan saya?" Ia menambahkan
dengan sungguh-sungguh, "Dapatkah sakit otak disembuhkan?"
Hercule Poirot berkata datar, "Saya akan berusaha. Apakah seseorang di rumah ini
menderita suatu penyakit mata?"
Hugh Chandler menatapnya tak mengerti. Katanya, "Mata Ayah tidak pernah baik.
Dia selalu mendapat kesulitan dengan matanya. Dia harus pergi ke dokter mata
secara teratur." "Ah!" Poirot merenung beberapa saat. Kemudian ia berkata, "Kolonel Frobisher,
kalau saya tidak salah, pernah tinggal lama di India?"
"Ya, dia tergabung dalam Angkatan Darat India. Dia sangat cinta India... sering
bicara tentang India... tradisi-tradisi penduduk asli... dan segala sesuatu
tentang India." Poirot menggumam lagi, "Ah!"
Kemudian ia berkata, "Saya lihat dagu Anda tergores."
Hugh meraba dagunya. "Ya, luka yang cukup dalam. Ayah mengagetkan saya, hari
itu, ketika saya sedang bercukur. Akhir-akhir ini saya agak gugup. Kecuali itu,
dagu dan leher saya penuh bercak-bercak kemerahan, seperti biang keringat yang
lebar. Itu menyulitkan kalau saya ingin bercukur."
Poirot berkata, "Anda harus memakai krim pelembut."
"Saya sudah memakai krim. Paman George memberi saya krim itu."
Tiba-tiba ia tertawa. "Kita bicara seperti dua wanita di salon kecantikan. Lotion, krim pelembut, pil,
sakit mata. Apa artinya ini semua" Apa yang sedang Anda tuju, M. Poirot?"
Poirot berkata dengan tenang. "Saya sedang berusaha melakukan yang terbaik, demi
Diana Maberly." Sikap Hugh langsung berubah. Wajahnya jadi murung. Diletakkannya tangannya di
tangan Poirot. "Ya, lakukan yang dapat Anda lakukan demi dia. Katakan padanya, dia harus
melupakan saya. Katakan, tak ada gunanya berharap. Katakan apa yang telah saya
ceritakan pada Anda. Katakan padanya... oh, demi Tuhan, katakan lebih baik dia
menjauhi saya! Itu satu-satunya yang dapat dia lakukan demi saya sekarang.
Menjauh... dan mencoba melupakan!"
V "Apakah Anda punya keberanian, Mademoiselle" Keberanian yang besar" Ya, kita
membutuhkannya." Diana berkata tajam, "Kalau begitu, memang benar. Benarkah" Dia memang gila?"
Hercule Poirot berkata, "Saya bukan ahli jiwa, Mademoiselle. Saya tak berwenang
mengatakan 'Orang ini gila. Orang ini waras.'"
Diana mendekat ke arah Poirot.
"Admiral Chandler menganggap Hugh gila. George Frobisher menganggap Hugh gila.
Hugh sendiri menganggap dirinya gila."
Poirot memandang gadis itu dengan tajam.
"Dan Anda, Mademoiselle?"
"Saya" Saya yakin dia tidak gila! Itu sebabnya..."
Kata-katanya terputus. "Itu sebabnya Anda datang menemui saya?"
"Ya. Tak ada alasan lain bagi saya untuk datang menemui Anda, kan?"
"Tepat!" kata Hercule Poirot. "Itu pula yang selalu mengusik hati saya,
Mademoiselle." "Saya tak mengerti maksud Anda."
"Siapakah Stephen Graham?"
Diana terbelalak. "Stephen Graham" Ah, dia... dia hanya seorang..."
Dipegangnya lengan Poirot.
"Apa yang ada dalam pikiran Anda" Apa yang Anda pikirkan" Anda hanya berdiri di
sini... dengan kumis Anda yang luar biasa ini... mengedip-ngedipkan mata karena
silau, dan Anda tak mau berterus terang pada saya. Anda membuat saya ngeri...
sangat ngeri. Mengapa Anda menakut-nakuti saya?"
"Mungkin," kata Poirot, "karena saya sendiri juga ngeri."
Mata abu-abu gelap itu terbelalak lebar, menatap Poirot. Suaranya terdengar
seperti bisikan, "Apa yang Anda takutkan?"
Hercule Poirot mendesah... desah yang dalam dan panjang. Katanya, "Lebih mudah
menangkap seorang pembunuh daripada mencegah pembunuhan."
Diana menjerit, "Pembunuhan" Jangan gunakan kata itu!"
"Tapi," kata Hercule Poirot, "saya telah mengucapkannya."
Kemudian suaranya berubah. Kini ia berkata dengan cepat dan tegas.
"Mademoiselle, malam ini Anda dan saya harus menginap di Lyde Manor. Tolong
aturlah supaya itu bisa terlaksana. Dapatkah itu Anda lakukan?"
"Saya... ya... saya kira bisa. Tapi mengapa...?"
"Sebab tak ada waktu lagi. Anda sudah mengatakan punya keberanian besar.
Sekarang buktikanlah! Lakukan saja apa yang saya katakan dan jangan bertanyatanya mengapa." Diana mengangguk, tanpa berkata-kata, lalu membalikkan badan.
Beberapa saat kemudian Poirot mengikuti gadis itu masuk ke rumah. Ia mendengar
suara gadis itu di dalam perpustakaan, dan suara tiga pria. Ia lewat di depan
pintu perpustakaan lalu menaiki tangga yang lebar. Tak ada orang di lantai atas.
Dengan mudah ia menemukan kamar tidur Hugh Chandler. Di sudut kamar ada tempat
cuci tangan dengan keran air panas dan air dingin. Di atasnya, dalam lemari
kaca, tersimpan berbagai macam tube, tempat krim, dan botol-botol obat.
Tangan Hercule Poirot bekerja dengan cepat dan cekatan.
Apa yang harus dilakukannya tidak membutuhkan waktu lama. Ia sudah turun ke
lantai bawah dan berada di lorong pintu masuk utama ketika Diana keluar dari
perpustakaan. Wajah gadis itu terlihat merah dan kesal.
"Beres," katanya singkat.
Admiral Chandler menggamit Poirot, mengajaknya masuk ke ruang perpustakaan dan
menutup pintu. Katanya, "Dengar, M. Poirot. Saya tak suka ini."
"Apa yang Anda tidak suka, Admiral Chandler?"
"Diana telah memaksa agar Anda dan dia saya izinkan menginap di sini nanti malam. Saya tak ingin dikatakan tidak tahu sopan santun..."
"Ini bukan masalah sopan santun."
"Sudah saya katakan, saya tak ingin bersikap tidak sopan... tapi terus terang,
saya tak suka, M. Poirot. Saya... saya tidak ingin itu terjadi. Dan saya tak
melihat adanya alasan untuk itu. Apa gunanya Anda menginap di sini?"
"Bolehkah saya katakan saya sedang melakukan suatu eksperimen?"
"Eksperimen apa?"
"Tentang itu, maafkan saya, itu urusan saya."
"Dengar, M. Poirot, bukan saya yang meminta Anda datang kemari..."
Poirot menyela, "Percayalah, Admiral Chandler, saya sungguh mengerti dan
menghargai jalan pikiran Anda. Saya berada di sini hanya demi seorang gadis yang
keras kepala, yang mencintai putra Anda. Anda telah menceritakan beberapa hal
kepada saya. Begitu pula Kolonel Frobisher. Juga Hugh sendiri. Sekarang, saya
ingin melihatnya dengan mata kepala saya sendiri."
"Benar, tapi melihat apa" Percayalah, Anda takkan melihat apa-apa! Saya selalu
mengunci Hugh di kamarnya setiap malam!"
"Tapi... kadang-kadang, katanya pada saya, pintu itu ditemukan tidak terkunci di
pagi hari." "Apa maksud Anda?"
"Tidakkah Anda pernah menemukan pintu itu tidak terkunci?"
Dahi Chandler berkerut. "Saya selalu mengira George yang membukanya... apa maksud Anda?"
"Di mana Anda tinggalkan kuncinya" Di lubang kunci?"
"Tidak. Saya letakkan di atas lemari di luar kamar Hugh. Saya, atau George, atau
Withers - pelayan kami - mengambilnya dari atas lemari setiap pagi. Pada Withers
kami katakan itu dilakukan karena Hugh suka berjalan keluar selagi tidur. Saya
Tugas Tugas Hercules The Labours Of Hercules Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yakin dia tahu lebih banyak, tapi dia sangat setia, sudah bertahun-tahun kerja
di sini." "Apakah ada kunci lain?"
"Setahu saya tidak."
"Bisa saja dibuat duplikatnya."
"Tapi siapa..."
"Putra Anda mengira dia punya satu kunci, entah dia sembunyikan di mana,
meskipun kalau sedang terjaga dan sadar, dia tak ingat akan kunci itu."
Dari ujung ruangan, Kolonel Frobisher berkata, "Aku tak suka ini, Charles...
Gadis itu..." Admiral Chandler menukas cepat, "Persis seperti yang saya pikirkan. Gadis itu
tak boleh kemari bersama Anda. Kalau mau, Anda bisa datang sendiri kemari, M.
Poirot." Poirot berkata, "Mengapa Anda tak ingin Miss Maberly ada di sini malam ini?"
Frobisher berkata dengan suara rendah, "Risikonya terlalu besar. Dalam kasuskasus seperti ini..."
Kata-katanya terputus. Poirot berkata, "Hugh sangat mencintainya."
Chandler berseru, "Itulah sebabnya! Sialan. Segalanya jadi kacau dan terbalikbalik jika masalahnya menyangkut orang gila. Hugh pun sadar akan hal ini. Diana
tak boleh kemari." "Tentang itu," kata Poirot, "biarkan Diana sendiri yang memutuskan."
Ia keluar dari ruang perpustakaan. Diana menunggunya di luar, di mobil. Ia
berseru, "Kita ambil pakaian kita, dan kembali ke sini sebelum makan malam."
Ketika mereka menyusuri jalan ke rumah Diana, Poirot mengulangi percakapannya
dengan Admiral Chandler dan Kolonel Frobisher. Diana tertawa jengkel.
"Apa mereka mengira Hugh akan melukai saya?"
Sebagai jawabannya, Poirot meminta agar mereka singgah sebentar di apotek di
desa. Ia lupa membawa sikat gigi, katanya.
Apotek terletak di sebuah jalan desa yang sepi dan tenang. Diana menunggu di
mobil. Ia agak heran, karena ternyata Hercule Poirot membutuhkan waktu cukup
lama untuk memilih sebatang sikat gigi.
VI Di sebuah ruang tidur yang luas, dengan perabotan dari kayu ek dan dibuat dengan
gaya Zaman Ratu Elizabeth I, Hercule Poirot duduk dan menunggu. Tak ada yang
bisa dilakukannya kecuali menunggu. Semua persiapan yang perlu telah dilakukan.
Menjelang pagi hari, terdengar pintu kamarnya diketuk.
Mendengar suara-suara di luar, Poirot menarik selot dan membuka pintu. Ada dua
pria di lorong di luar pintu... dua pria setengah baya yang kelihatan jauh lebih
tua dari usia mereka sebenarnya. Wajah Admiral Chandler tampak murung dan kaku,
wajah Kolonel Frobisher bergetar seperti orang kesakitan.
Dengan singkat Chandler berkata, "Ikuti kami, M. Poirot."
Ada sesosok tubuh tak berdaya teronggok di depan pintu kamar tidur Diana
Maberly. Cahaya lampu jatuh menimpa sebuah kepala berambut pirang kecokelatan.
Hugh Chandler terbaring di sana, napasnya terputus-putus. Ia mengenakan baju
tidur dan sepasang sandal kamar. Tangan kanannya menggenggam sebuah pisau
lengkung yang berkilat-kilat. Tidak seluruh batang baja pisau itu berkilat, di
sana-sini terlihat bercak-bercak merah.
Hercule Poirot berseru pelan, "Mon Dieu!"
Frobisher berkata dengan tajam, "Diana selamat! Hugh belum menyentuhnya." Ia
menaikkan suaranya dan berseru, "Diana! Ini kami! Biarkan kami masuk!"
Poirot mendengar Admiral Chandler menggumam lirih, "Anakku. Anakku yang malang."
Terdengar selot-selot dibuka. Pintu terbuka, Diana berdiri di sana. Wajahnya
pucat pasi. Dengan terbata-bata ia berkata, "Apa yang terjadi" Ada orang... mencoba masuk...
saya mendengarnya mengutak-atik kunci... pegangan pintu... menggaruk-garuk
pintu... Oh! Mengerikan... seperti binatang...."
Frobisher menyela dengan tajam, "Untunglah kau mengunci pintu!"
"M. Poirot menyuruh saya mengunci pintu."
Poirot berkata, "Angkat dia dan kita bawa ke kamar."
Kedua orang itu membungkuk dan mengangkat anak muda yang tidak sadar itu. Ia
menarik napas tertahan ketika Hugh digotong masuk ke kamarnya.
"Hugh" Benarkah ini Hugh" Apa itu... yang di tangannya?"
Tangan Hugh Chandler basah dan lengket oleh cairan merah kecokelatan.
Diana bertanya dengan napas tertahan, "Itu darah?"
Poirot memandang kedua pria itu dengan pandangan bertanya. Admiral Chandler
mengangguk. Katanya, "Untungnya bukan darah manusia! Hanya kucing! Saya temukan
di bawah, di lorong. Lehernya tergorok. Sesudah itu pasti dia naik kemari."
"Kemari?" Suara Diana rendah penuh kengerian. "Ke kamar saya?"
Pemuda yang terpuruk di kursi itu bergerak... menggumamkan sesuatu. Mereka
mengawasinya, terpana. Hugh Chandler kini duduk tegak. Ia mengedip-ngedipkan
matanya. "Hai," suaranya tidak jelas dan parau. "Apa yang terjadi" Mengapa aku...?"
Kata-katanya terhenti. Matanya terbelalak menatap pisau yang masih tergenggam di
tangannya. Ketika akhirnya ia bicara, suaranya terdengar rendah dan berat, "Apa yang telah
kulakukan?" Matanya memandang mereka berganti-ganti. Akhirnya pandangannya berhenti pada
Diana yang bersandar ke dinding. Gadis itu terlihat lemas.
Hugh berkata pelan, "Apakah aku telah melukai Diana?"
Ayahnya menggeleng. Hugh berkata. "Katakan, apa yang terjadi" Aku harus tahu!"
Mereka mengatakannya... dengan enggan... dengan terputus-putus. Ketenangan Hugh
akhirnya membuat mereka mengatakan semuanya.
Di luar jendela, matahari mulai naik. Hercule Poirot membuka tirai jendela.
Matahari pagi menyinari ruangan itu.
Wajah Hugh Chandler terlihat tenang, suaranya mantap. Katanya, "Saya mengerti."
Kemudian ia bangkit. Ia tersenyum lalu menggeliat. Suaranya terdengar wajar
ketika ia berkata, "Pagi yang indah, ya" Aku akan pergi ke hutan, mencari
kelinci." Ia keluar, meninggalkan mereka yang terpana menatap punggungnya.
Kemudian Admiral Chandler melangkah maju. Frobisher cepat-cepat menarik
lengannya. "Jangan, Charles, jangan. Itu yang terbaik... baginya, anak yang malang. Yang
terbaik baginya, kalau tidak untuk orang lain."
Diana menjatuhkan tubuhnya ke ranjang sambil menangis tersedu-sedu.
Admiral Chandler berkata, suaranya terdengar tidak yakin, "Kau benar, George...
aku tahu, kau benar. Anak itu punya keberanian...."
Frobisher berkata, suaranya terdengar sedih, "Dia seorang pria sejati."
Hening beberapa saat, kemudian Chandler berkata, "Sialan, di mana orang asing
terkutuk itu?" VII Di ruang penyimpanan senjata, Hugh Chandler telah mengambil senapannya dari rak
penyimpan dan sedang mengisinya ketika tangan Hercule Poirot menyentuh bahunya.
Hercule Poirot hanya mengatakan satu kata, dan ia mengatakannya dengan tegas.
Katanya, "Jangan!"
Hugh Chandler terpana menatapnya. Ia berkata dengan suara berat dan penuh
amarah, "Lepaskan saya. Jangan ikut campur. Ini akan jadi suatu kecelakaan. Ini
satu-satunya jalan keluar."
Sekali lagi Hercule Poirot mengulang kata itu, "Jangan!"
"Tidakkah Anda sadar, kalau saja pintunya tidak terkunci, saya pasti sudah
menggorok lehernya... leher Diana"! Dengan pisau itu!"
"Saya tidak menyadari apa-apa. Anda takkan membunuh Miss Maberly."
"Saya telah membunuh kucing itu, kan?"
"Tidak, Anda tidak membunuh kucing itu. Anda tidak membunuh burung kakaktua itu.
Anda tidak membunuh domba-domba itu."
Hugh menatap Poirot tak percaya. Ia berkata, menuntut jawab, "Anda yang gila,
atau saya?" Hercule Poirot menjawab, "Tak satu pun di antara kita yang gila."
Tepat ketika itu, Kolonel Frobisher dan Admiral Chandler masuk. Diana menyusul
di belakang mereka. Hugh Chandler berkata dengan suara lemah dan kebingungan, "Orang ini mengatakan
aku tidak gila." Hercule Poirot berkata, "Dengan penuh rasa syukur saya katakan pada Anda bahwa
Anda benar-benar sehat dan waras."
Hugh tertawa. Tawanya seperti tawa orang gila.
"Lucu sekali! Jadi, hanya orang waras, ya, yang menggorok leher domba-domba dan
binatang-binatang lain" Saya waras, ya, ketika saya menggorok leher burung
kakaktua itu" Dan kucing itu, malam ini?"
"Sudah saya katakan Anda tidak menggorok leher domba-domba itu... atau burung
kakaktua... atau kucing."
"Lalu siapa?" "Seseorang yang punya satu tujuan pasti, yaitu membuktikan Anda gila. Setiap
kali Anda diberi cairan soporific dalam dosis cukup tinggi dan sebatang pisau
berdarah diletakkan dalam genggaman Anda. Tangan orang lainlah yang penuh darah
dan dicuci dalam tempat cuci tangan di kamar Anda."
"Tapi mengapa?"
"Agar Anda melakukan apa yang hampir saja Anda lakukan, kalau saya tidak
berhasil menghentikan Anda."
Hugh ternganga tak mengerti. Poirot berpaling pada Kolonel Frobisher,
"Kolonel Frobisher, Anda tinggal cukup lama di India. Pernahkah Anda menemukan
kasus-kasus, ketika seseorang sengaja dibuat gila dengan ramuan-ramuan
tertentu?" Wajah Kolonel Frobisher menjadi cerah. Katanya, "Saya belum pernah melihatnya
secara langsung, tapi saya sering mendengarnya. Peracunan dengan datura. Membuat
orang jadi gila." "Tepat. Nah, cara kerja dan akibat yang ditimbulkan oleh datura sangat mirip,
kalau tidak dikatakan tepat sama, dengan alkaloid atropine... yang bisa
diperoleh dari sediaan belladonna atau krim malam yang amat beracun. Bahan
pembuat belladonna sesungguhnya biasa saja dan atropine sulphate bisa diperoleh
dengan mudah dengan resep obat mata. Dengan menyalin resepnya, dan membelinya di
apotek yang berbeda-beda, sejumlah besar racun bisa diperoleh tanpa menimbulkan
kecurigaan. Alkaloid-nya bisa disarikan darinya dan kemudian dicampurkan
dengan... katakanlah, krim pelembut yang biasa dipakai waktu bercukur. Jika
dioleskan ke kulit akan menimbulkan bercak-bercak lebar kemerahan, dan kemudian
akan terjadi penyerapan ketika orang itu sedang bercukur, dan dengan demikian
secara terus-menerus racun akan terserap ke dalam darahnya. Gejala-gejala yang
kemudian muncul adalah... mulut dan tenggorokan terasa kering, sulit menelan,
halusinasi, pandangan kembar dan kabur... semua gejala, tepatnya, yang diderita
Mr. Chandler." Ia berpaling pada anak muda itu.
"Dan untuk mengusir sisa keraguan Anda, saya katakan ini semua bukan dugaan
melainkan kenyataan. Krim cukur Anda telah dicampur dengan atropine sulphate
dalam dosis tinggi. Saya telah mengambil sedikit contohnya dan menyuruh orang
melakukan pengetesan."
Dengan wajah pucat pasi dan tubuh bergetar, Hugh bertanya, "Siapa yang
melakukannya" Mengapa?"
Hercule Poirot berkata, "Itulah yang saya amati sejak pertama kali saya tiba di
sini. Saya mencari motif pembunuhan. Diana Maberly akan mendapat warisan sangat
besar kalau Anda meninggal, tapi saya tidak menganggap dia..."
Hugh Chandler memotong cepat, "Tentu saja tidak!"
"Saya membayangkan motif lain. Segi tiga abadi: dua pria dan seorang wanita.
Kolonel Frobisher sangat mencintai ibu Anda, dan Admiral Chandler menikahinya."
Admiral Chandler berseru, "George" George! Saya tak percaya."
Hugh berkata dengan suara sengit, "Maksud Anda, kebencian dan dendam itu dapat
diarahkan pada... pada seorang anak?"
Hercule Poirot berkata, "Dalam keadaan-keadaan tertentu, ya."
Frobisher menjerit, "Bohong! Jangan percaya padanya, Charles!"
Chandler menjauhinya. Ia bergumam pada diri sendiri, "Datura... India... ya,
saya mengerti kini... Dan kami sama sekali tidak mengira ada kasus peracunan...
tidak, karena memang ada benih gila turunan dalam keluarga ini."
"Mais oui!" Suara Hercule Poirot terdengar meninggi. "Penyakit gila turunan.
Seorang gila... penuh dendam... cerdik dan licin... dan seperti umumnya orang
gila, menyembunyikan kegilaannya selama bertahun-tahun." Ia berputar, menghadap
Frobisher. "Mon Dieu, Anda pasti tahu, Anda pasti telah menduga, bahwa Hugh
putra Anda. Mengapa Anda tak pernah mengatakannya padanya?"
Frobisher tergagap-gagap, ia menelan ludah dengan sulit.
"Saya tidak tahu. Saya tidak yakin... Caroline pernah datang menemui saya,
sekali... dia takut akan sesuatu... dia dalam bahaya. Saya tak tahu, saya tak
pernah tahu, apa yang dia takutkan. Dia... saya... kami kehilangan kendali.
Sesudah itu saya langsung pergi jauh... itu satu-satunya penyelesaian yang dapat
saya lakukan. Kami berdua tahu, kami harus memainkan peran kami masing-masing.
Saya... ah, saya kadang-kadang bertanya-tanya sendiri, tetapi saya tak bisa
yakin. Caroline tidak pernah mengatakan apa-apa, yang membuat saya yakin Hugh
anak saya. Dan ketika hal ini... tanda-tanda kegilaan itu mulai muncul... saya
pikir masalahnya menjadi jelas."
Poirot berkata, "Ya, masalahnya menjadi jelas! Anda tidak melihat bagaimana cara
Hugh Chandler menjulurkan kepalanya ke depan, bagaimana alisnya berkerut
menutupi matanya... ciri-ciri yang diwarisinya dari Anda. Tapi Charles Chandler
melihatnya. Dia sudah melihatnya bertahun-tahun yang lalu... dan mengorek
kebenaran dari mulut istrinya. Saya rasa Caroline takut padanya... karena
suaminya mulai menunjukkan tanda-tanda gila... itulah yang membuatnya pergi
menemui Anda... Anda yang sejak semula dicintainya. Charles Chandler
merencanakan pembalasan. Istrinya meninggal dalam kecelakaan ketika mereka
berdua pergi berperahu. Dia dan Caroline pergi berperahu berdua, dan dia tahu
persis bagaimana kecelakaan itu terjadi. Kemudian dia memupuk dendamnya dan
merencanakan pembalasan pada anak laki-laki yang mewarisi namanya tapi tidak
darahnya. Cerita-cerita Anda tentang India memberinya gagasan untuk melakukan
peracunan dengan datura. Hugh harus dibuat gila secara perlahan-lahan. Sampai
suatu saat, karena putus asa, Hugh akan membunuh dirinya sendiri. Kegilaan itu,
kehausan akan darah itu, ada pada diri Admiral Chandler, bukan Hugh. Charles
Lembah Tiga Malaikat 11 Pendekar Slebor 29 Siluman Hutan Waringin Raden Banyak Sumba 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama