K.A. Applegate Aksi Penyelamatan (Animorphs # 2) Ebook by: Eomer Eadig Ebukulawas.blogspot.com Re edited by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Chapter 1 NAMAKU Rachel. Nama lengkapku" Hmm, sayang sekali, aku tak akan menyebutkannya.
Kami semua takkan pernah menyebutkan nama lengkap masing-masing. Kalaupun suatu
ketika aku menuliskan nama keluargaku, berarti itu nama palsu. Sori, tapi kami
harus hati-hati. Aku juga merahasiakan sekolah kami, kota, bahkan negara tempat
kami tinggal. Seandainya aku menyebutkan nama lengkapku, para Yeerk pasti akan
melacak diriku dan teman-temanku. Dan kalau mereka sampai menemukan kami,
tamatlah riwayat kami. Kami mungkin akan dibunuh. Atau malah mengalami nasib lebih buruk lagi.
Ya, ternyata ada yang lebih buruk dari kematian. Aku tahu karena aku pernah
melihatnya. Aku pernah mendengar jeritan putus asa orang-orang malang yang
dijadikan budak kaum Yeerk. Aku pernah melihat bagaimana makhluk-makhluk busuk
itu menggeliat-geliut masuk ke telinga seseorang, lalu menyusup ke dalam otaknya
dan merampas kebebasannya. Teman-temanku dan aku pernah menyaksikan semua itu
dengan mata kepala sendiri.
Kami berlima. Hanya berlima: Jake, Cassie, Marco, Tobias, dan aku.
Marco yang menamakan kelompok kami, nama yang menggambarkan keadaan kami
sekarang. Ia menyebut kami Animorphs. Sebenarnya, aku tetap merasa seperti anak
biasa. Tapi anak biasa tentu saja tidak mungkin berubah menjadi gajah atau elang
berkepala botak. Anak biasa juga tidak menghabiskan waktu luang mereka dengan
berjuang untuk menyelamatkan dunia dari ancaman para Yeerk.
Hari itu matahari bersinar cerah. Sinarnya menghangatkan bumi di bawah kami.
Udara hangat yang bergerak naik menimbulkan angin termal yang menyebabkan sayap
kami seakan-akan terdorong ke atas. Kami berputar-putar, semakin lama semakin
tinggi. Kami serasa mencapai batas angkasa luar.
Jauh di angkasa luar yang dingin, kapal induk Yeerk sedang mengitari bumi.
Mungkin saja posisinya persis di atas kami.
Kaum Yeerk adalah makhluk-makhluk parasit. Wujud asli mereka tak lebih dari
ulat-ulat besar yang hidup dalam kolam berlumpur yang disebut kolam Yeerk. Tapi
kaum Yeerk mempunyai kemampuan menguasai tubuh makhluk lain. Bangsa-bangsa di
jagat raya yang telah mereka perbudak sudah tak terhitung jumlahnya bangsa
Taxxon, bangsa Hork-Bajir, dan masih banyak lagi. Dan kini mereka datang ke Bumi
untuk mencari korban baru.
Siapa yang akan menghentikan mereka"
Hmm, di angkasa luar mereka berhadapan dengan bangsa Andalite. Tapi bangsa
Andalite hidup di tempat yang teramat jauh, dan mereka membutuhkan waktu lama
sebelum sampai di Bumi untuk menyelamatkan umat manusia.
Sementara itu, tak seorang pun di Bumi mengetahui kehadiran para Yeerk. Tak
seorang pun, kecuali lima anak yang sedang bersenang-senang sambil terbang dalam
wujud burung. Aku menoleh ke arah teman-temanku. Sebagian melayang di bawahku, sebagian
terbang lebih tinggi. Kepak sayap Jake sedikit lebih cepat dari yang lain. Ia
telah memilih wujud falcon, dan dalam hal melayang-layang jenis burung ini kalah
hebat dari elang dan rajawali.
Di antara kami berlima, Tobias-lah yang paling jago terbang. Penyebabnya antara
lain karena elang berbuntut merah memang dilahirkan sebagai akrobat udara. Di
samping itu, Tobias juga lebih banyak punya kesempatan berlatih dibanding kami.
Terlalu banyak, malah.
Sebenarnya aku kurang berminat, tapi aku harus bilang apa"
Aku tidak biasa menolak kalau ditantang. Karena itu aku menyahut,
Aku pun segera menekuk sayap dan mengejarnya. Permukaan bumi mendekat dengan
cepat. Aku jatuh! Jatuh, dan tak ada apa pun yang sanggup mencegah aku terempas ke
tanah! Rasanya seperti mimpi buruk.
Kami meluncur dengan kecepatan seratus kilometer per jam, sekencang mobil yang
melaju di jalan tol. Seratus kilometer per jam, hampir tegak lurus ke bawah.
Aku ketakutan, tapi sekaligus senang.
Lupakan surfing. Lupakan skateboard. Lupakan snow-board.
Semua itu tak ada apa-apanya dibandingkan mengikuti angin termal sampai
ketinggian satu kilometer, lalu menukik tegak lurus ke bawah dengan kecepatan
penuh. Angin menampar-nampar wajahku, seperti kalau kita membuka jendela mobil pada
saat melaju kencang. Rasanya seperti berada di tengah-tengah badai hurricane.
Sisi depan sayapku gemetaran diacak-acak angin. Kurasakan bulu-bulu di ekorku
melakukan serangkaian penyesuaian kecil agar aku tetap terbang lurus. Sekali
saja aku keliru, aku bakal jumpalitan di udara. Pada kecepatan setinggi ini,
bukan tidak mungkin sayapku akan patah kalau aku jumpalitan. Dan patah sayap di
ketinggian beberapa ratus meter sama saja dengan hukuman mati.
Kalau aku kembali ke wujud manusia....>
Aku terdiam, tak bisa melanjutkan kalimatku. Tiba-tiba saja terbayang bagaimana
aku - diriku yang yang asli, Rachel - meluncur bagaikan batu menuju tanah yang keras
di bawah. Kurasa Tobias merasakan ketakutan yang mulai bangkit dalam diriku.
berubah wujud. Otak kita seakan-akan menyatu
dengan otak binatang yang kita tiru. Biasanya kita bisa mengendalikan naluri
binatang yang ada dalam diri kita. Tapi tidak selalu. Kadang-kadang kita malah
harus berani membiarkan binatang itu memegang kendali, seperti saran Tobias
tadi. Aku berusaha tenang. Seketika getaran di sayapku berkurang. Aku merasa lebih
stabil. Si rajawali mengambil alih kendali, dan ternyata Tobias benar: si
rajawali tahu bagaimana caranya terbang.
Tiba-tiba aku kaget. Sesuatu lewat di samping kami, sesuatu yang jauh lebih
cepat daripada aku dan Tobias.
Rupanya Jake. Sayap falcon-nya yang lebih kecil memang kurang cocok untuk
memanfaatkan angin termal, tapi sangat berguna untuk meluncur luar biasa cepat
saat menukik dari langit. Dibandingkan Jake, Tobias dan aku seakan-akan diam di
tempat.
Seandainya mulutku bukan berbentuk paruh, aku pasti akan tersenyum. Jake sama
seperti aku. Ia suka ketegangan dan petualangan dan hal-hal mendebarkan. Mungkin
sifat kami begitu mirip karena kami sepupu.
Selain itu, kami juga senang bersaing. Sebal rasanya melihat ia bisa meluncur
lebih cepat daripadaku. Sebaliknya, Jake sebal aku sanggup melayang lebih
tinggi. Konyol banget, ya"
Zzzzinunnnggggg! Sesuatu mendesing di samping kepalaku.
harus bekerja keras untuk menahan hantaman angin yang begitu mendadak. Aku
merasa seperti penerjun payung yang baru saja membuka parasutnya.
Yang lain mengikuti contohku. Kami masih beberapa ratus meter di udara, tapi
sudah jauh lebih dekat ke permukaan bumi.
Zzzziiinnnggggg! Ada sesuatu yang menerobos bulu-bulu ekorku.
Keduanya sama-sama memilih wujud burung osprey.
Mereka sulit dibedakan, sebab dalam pembicaraan melalui pikiran tidak bisa
diketahui dari arah mana suatu pikiran berasal.
berseru. Rajawali atau elang atau falcon biasa takkan bisa menyusun strategi seperti itu.
Tapi kami bukan burung pemangsa biasa. Kami masih memiliki kecerdasan manusia.
Memang ada kalanya kendali harus diserahkan pada naluri binatang dalam diri
kami. Namun tidak jarang pula akal sehat kami yang harus berperan.
Seketika aku membelok tajam ke kanan. Peluru itu melesat jauh di sebelah kiriku.
Tobias punya alasan tersendiri untuk membenci orang-orang yang gemar menembak
burung.
Aku menjelaskan rencanaku dan kami berlima langsung terbang menjauh, keluar dari
jangkauan para penembak. Setelah berada pada jarak yang aman, kami segera
menukik ke arah pepohonan. Semakin lama semakin cepat, terus ke bawah.
Terbang menukik dari ketinggian satu kilometer sudah membuatku gelisah. Dan
sekarang kami meluncur dari tempat yang jauh lebih rendah, dan mengarah tepat ke
pohon-pohon. Aku bukan cuma gelisah, tapi benar-benar panik. Dengan mata elangku
yang tajam, batang-batang pohon di bawah tampak jelas. Jangankan batang pohon,
semut yang merayap di kulit pohon pun kelihatan. Pohon-pohon itu seolah berada
tepat di depan mataku. Aku hanya bisa berharap si rajawali dalam diriku tahu kapan harus berhenti
meluncur. Kalau aku sampai menabrak pohon dengan kecepatan seratus kilometer per
jam, aku bakal jadi bubur.
Kemudian, pada saat yang tepat, kami merentangkan sayap dan melayang ke tengah
pepohonan, bagaikan skuadron pesawat tempur yang terlatih sempurna.
Luar biasa! < Aaaaah! > aku mendengar Marco berseru.
Kami serasa bermain video-game yang sulitnya minta ampun.
Kecepatan kami tidak banyak berkurang, dan kini kami terbang meliuk-liuk di
antara pepohonan. Saking kencangnya, semua pohon membaur seperti bayangan
berwarna cokelat. Pohon! Belok kiri. Pohon! Belok kanan. Pohon! Lusinan bulu tak henti-hentinya melakukan penyesuaian kecil. Otot-otot
sayapku terus mengatur sudut aliran udara.
Pohon! Pohon! Pohonpohonpohonpohonpohon!
< Uiiiiih!> aku memekik. Aku ngeri setengah mati, tapi sekaligus merasakan
ketegangan yang mengasyikkan.
Belok kiri. Belok kanan. Kiri lagi. Kanan lagi. Wus, wus,
WUSSSSS! Tiba-tiba aku melihat mereka, di lapangan terbuka, tepat di depan. Dua pemuda
duduk di bak mobil pickup. Salah satu dari mereka berambut pirang dikuncir. Yang
satu lagi mengenakan topi bisbol. Mereka masih seratus meter di depan kami, tapi
mata elangku begitu tajam sehingga, kalau mau, aku bisa menghitung jumlah bulu
mata mereka. Pemuda dengan rambut dikuncir memegang senapan.
Temannya sedang mereguk bir kaleng. Keduanya masih memandang ke langit, mencaricari kami. Dasar tolol, pikirku ketika kami melejit mendekati mereka. Kami sudah tidak ada
di atas sana. Kami sudah di sini....
Tepat. Di... Depan... HIDUNGMU! Chapter 2 KAMI menyerang. Begitu cepat, hingga kedua pemuda berandal itu tidak sempat
kaget. Sebagai elang berkepala botak, akulah yang paling besar di antara kami berlima.
Akulah yang sanggup membawa beban paling berat.
Kujulurkan cakar ke depan.
"Tsseeeer!" Tobias memekik nyaring. Cakarku menyambar laras senapan dan langsung mencengkeramnya.
Tobias mengincar kepala si rambut kuncir. Pemuda itu menjerit kesakitan dan
melepaskan senapannya. "Hei!" temannya berseru.
Wusss! Aku terbang menjauh sambil membawa senapan.
Senjata itu cukup berat, sehingga aku sukar menambah ketinggian.
"Burung itu mencuri senapanmu, Chester! Dan burung yang satu lagi merampas
kaleng birku!" Aku menoleh dan melihat Marco - atau mungkin Cassie. Aku tak bisa memastikannya.
Kayaknya sih Marco. Ia mencengkeram kaleng bir yang sudah setengah remuk.
orangtua yang sedang memberikan nasihat.
Aku mendengar si rambut kuncir mengomel di bawah.
"Brengsek! Seenaknya saja burung jelek itu mencuri senapanku."
Dengan bantuan angin aku berhasil melewati puncak-puncak pohon. Tapi aku masih
harus bekerja keras. Sayapku mengepak-ngepak sekuat tenaga, namun tetap saja aku
sulit menambah ketinggian. Aku menyerempet pucuk pohon cemara. Dengan susah
payah aku berhasil mencapai pantai dan terbang melewati tebing-tebing di tepi
laut. Ah, akhirnya ada angin termal. Angin itu mendorongku ke atas.
Aku merentangkan sayap lebar-lebar, dan membiarkan diriku terbawa ke tengah
laut. Kujatuhkan senapan si pemuda berandal kira-kira satu kilometer dari pantai.
Orang yang berani menembak elang berkepala botak tidak sepantasnya memegang
senjata, kataku dalam hati. Marco pun menjatuhkan kaleng bir yang dibawanya.
Bidikannya tepat sekali. Kaleng itu jatuh persis ke dalam keranjang sampah. Marco tampak bangga, seolah
ia baru saja mencetak angka penentu kemenangan dalam pertandingan final NBA.
daratan. Dua jam adalah batas waktu yang harus ditaati. Kalau kita berubah wujud lebih
dari dua jam, kita tidak bisa kembali ke wujud manusia. Untuk selama-lamanya.
Tak jauh dari pantai ada gereja tua yang sudah tidak digunakan. Menara
loncengnya masih berdiri tegak, tapi loncengnya telah dicopot. Kami terbang ke
sana. Dari situlah kami berangkat tadi.
Pakaian dan sepatu kami masih bertumpuk di gereja itu. Empat pasang sepatu untuk
kami berlima. Cassie, yang masih berwujud osprey, menatap arlojinya yang tergeletak di lantai.
konsentrasi. Yang lebih sulit adalah berubah dari manusia menjadi binatang. Kita
benar-benar harus memusatkan pikiran. Proses sebaliknya lebih mudah.
Aku berkonsentrasi. Kubayangkan diriku sebagai manusia - jangkung, langsing,
dengan rambut pirang sebahu. Aku memberi perhatian khusus pada rambutku, sebab
aku tidak suka potongan rambutku yang terakhir. Bagian bawahnya tidak rata.
Sebenarnya sih tidak ada pengaruhnya. Aku cuma berharap aku bisa mengatur
rambutku pada waktu berubah wujud. Sayangnya, bukan begitu cara kerja
metamorfosis. Dalam sekejap aku mulai berubah. Bulu-bulu yang menyelubungi seluruh tubuhku
mulai meleleh dan menyatu bagaikan lilin panas. Selama detik-detik pertama masih
ada bayangan bulu-bulu yang indah pada kulitku, tapi hanya di beberapa tempat
Animorphs - 2 Aksi Penyelamatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saja. Paruhku yang kuning tertarik ke dalam mulut, lalu berubah menjadi deretan gigi
putih. Bagian ini agak mengganggu. Aku selalu mengertakkan gigi untuk mengusir
rasa tidak enak pada gusiku.
Bibirku terbentuk kembali. Mataku berubah warna, dari kuning pucat keemasan
menjadi biru. Kakiku juga tumbuh, dari sekitar sepuluh sentimeter kembali ke
ukuran normal. Aku menoleh ke arah Jake dan melihat perubahan yang sama.
Asal tahu saja - proses berubah wujud tidak enak dilihat. Orang yang tidak tahu
apa-apa pasti akan menjerit ketakutan kalau menyaksikannya.
Dalam hal ini Cassie berbeda dengan kami. Ia mampu mengendalikan proses tersebut
sehingga kelihatan berseni. Misalnya, kalau ia berubah menjadi kuda, ia bisa
mengatur perubahannya agar tampak indah - ia memiliki bakat alam untuk berubah
wujud. Kalau memang ada bakat seperti itu. Sedangkan kami hanya bisa mengikuti
proses perubahan tanpa sanggup mempengaruhinya. Dan hasilnya sering kali cukup
mengejutkan. Aku kebetulan melirik ke arah Marco ketika kaki manusianya yang berbulu muncul
dari tubuh burungnya yang mungil.
"Ih! Jeleknya!" aku langsung berkomentar.
"Ah, au eniyi ua didak bisa dibilang cantik, Rachel." Marco berbicara sementara
mulutnya berubah. Karena itu kata-kata pertamanya kurang jelas. Kedengarannya ia
berkata, "Ah, kau sendiri juga tidak bisa dibilang cantik, Rachel." Kemungkinan
besar ia benar. Aku bersyukur tidak ada cermin di sekitarku.
Lidahku mulai membesar. Penglihatanku semakin buram dan kabur. Naluri elang
dalam diriku berangsur-angsur hilang. Sayapku berubah menjadi lengan. Cakarku
berubah menjadi jari kaki. Kaki elang yang bersisik kuning berubah menjadi
kakiku sendiri, tapi sisik-sisiknya masih bertahan sejenak.
"Wah, mirip paha ayam," ujar Marco. "Digoreng boleh juga nih."
Aku menatapnya sambil tersenyum. "Jangan banyak omong deh," kataku sambil
menunjuk ke lantai. "Coba urus kakimu sendiri."
Tungkai Marco memang telah bertambah panjang, tapi kakinya masih bercakar.
Kulitku muncul kembali bersamaan dengan baju yang melekat di tubuhku. Untung
saja, setelah berlatih beberapa kali, kami akhirnya mampu berubah wujud dalam
keadaan berpakaian. Memang cuma baju senam ketat, tapi paling tidak kami tak
perlu malu saat kami berubah beramai-ramai.
Aku mengamati teman-temanku. Mereka sudah hampir menjadi manusia normal lagi.
Hampir tak ada tanda-tanda bahwa beberapamenit sebelumnya mereka masih berwujud
burung. Jake termasuk jangkung. Badannya kekar dan rambutnya cokelat. Matanya yang
biasanya sok serius kini tampak berbinar-binar.
Berubah jadi binatang kadang-kadang memang cukup mendebarkan.
Jake pernah berubah jadi kadal, dan sampai sekarang ia masih uring-uringan
karena sempat melahap labah-labah hidup. Tapi kelihatannya ia senang menjadi
falcon, sebab ia terus mengoceh betapa asyiknya pengalaman tadi.
"Wow, seumur hidup aku belum pernah merasa sebebas tadi!" katanya. "Begitu balik
ke tubuh manusia, aku serasa di penjara. Aku serasa dipantek ke tanah."
"Dan buta," Cassie menimpali. "Mata manusia terlalu lemah untuk melihat jauh."
Ia tersenyum, lalu merentangkan sayap yang berhasil ia pertahankan sampai saat
terakhir. Ia tampak anggun sekali dengan sayap osprey selebar satu setengah
meter. Hampir seperti malaikat.
"Apa kau masih bisa terbang?" Jake bertanya padanya. Ia tampak terkagum-kagum.
Cassie tertawa. "Tidak, Jake. Beratku hampir empat puluh kilo. Sayap ini takkan
sanggup mengangkat beban seberat itu."
Ia mengubah sayapnya menjadi lengan dalam waktu sekitar tiga detik dan tertawa
riang. Marco geleng-geleng kepala. "Bagus. Kalau kita yang berubah, hasilnya seperti
eksperimen gagal ilmuwan gila. Tapi Cassie malah kelihatan seperti malaikat."
Cassie dan aku sudah lama berteman, tapi kalau dilihat sepintas lalu, orang
takkan menyangka kami berteman akrab. Penampilan Cassie benar-benar santai. Anak
itu sama sekali tidak peduli soal pakaian atau gaya. Cuek sekali. Aku takkan
heran kalau ia memakai baju montir ke pesta perkawinan.
Cassie tinggal di rumah pertanian. Seluruh keluarganya sangat menyayangi
binatang. Ayahnya menggunakan gudang jerami mereka sebagai Klinik Rehabilitasi
Satwa Liar, semacam rumah sakit untuk hewan yang cedera. Tempat itu selalu penuh
burung, berang-berang, anjing liar, dan berbagai satwa lainnya.
Ibu Cassie juga dokter hewan. Ia bekerja di The Gardens, taman hiburan besar
yang digabung dengan kebun binatang. Jadi mungkin saja Cassie memang memiliki
bakat alam untuk memahami satwa.
Setiap kali kami berubah wujud ia selalu selesai lebih dulu, sementara yang lain
masih tampak seperti monster setengah manusia setengah hewan.
Aku sendiri bukannya gila mode, tapi aku memang suka baju bagus. Mungkin itu
sebabnya banyak orang menganggap aku sombong. Ditambah tampangku. Kata orang aku
cantik. Tapi bagiku itu cuma kebetulan. Bukan tampang yang penting, melainkan
isi kepala kita. Nah, itu satu lagi perbedaan antara Cassie dan aku. Cassie pasti bilang, "Bukan,
yang paling penting justru apa yang ada dalam hati kita." Ia punya bakat alam
sebagai juru damai. Kalau kami bertengkar, biasanya aku dan Marco biang
keladinya. Dan Cassie yang mendamaikan kami.
"Terus terang, aku senang bisa kembali ke tubuhku yang asli," ujar Marco.
"Terbang mondar-mandir memang seru, tapi aku kurang suka kalau mataku terlalu
tajam." "Memangnya kenapa?" tanya Jake.
"Begini, Jake, sudah berapa kali kau jalan-jalan di mall, dan kaulihat cewek
yang tampangnya dari jauh sih kece, tapi dari dekat minta ampun" Coba bayangkan
kalau mata kita selalu setajam mata elang...."
"Tunggu dulu," aku menyela. "Rasanya aku salah dengar nih."
"Hei, aku tidak bermaksud merendahkan cewek," Marco memprotes. "Ini juga berlaku
sebaliknya. Aku sendiri, misalnya. Dari jauh aku kelihatan lebih tinggi lho."
Marco memang agak peka soal tinggi badan. Sebetulnya penampilannya sih lumayan.
Rambutnya yang cokelat dibiarkan panjang. Kulitnya sawo matang karena sering
terkena matahari. Tampangnya juga oke. Cuma tinggi badannya yang membuatnya
prihatin. "Masalahmu bukan dengan orang-orang bermata tajam," ujarku. "Tapi dengan orangorang yang pendengarannya tajam. Kau kelihatan cukup pintar. Tapi begitu kau
mulai buka mulut..."
Marco cuma cengar-cengir. Ia memang paling senang bikin orang jengkel. Tapi
sebenarnya ia sangat cerdas dan pada dasarnya juga baik hati. Hanya saja ia suka
cari gara-gara. Marco sahabat karib Jake. Ini juga agak aneh, sebab Jake selalu serius dan
tenang, sementara Marco panasan dan suka berkomentar pedas. Di antara kelima
anggota Animorphs, hanya Marco yang belum rela menerima kenyataan yang kami
hadapi. Sampai sekarang ia tetap enggan melawan kaum Yeerk, dan cenderung
mencari selamat sendiri. Tapi, namanya juga Marco. Kita takkan tahu apakah ia sungguh-sungguh atau
sekadar ingin berbeda pendapat dengan yang lain.
"Ayo, kita pulang," ajak Jake. "Aku belum selesai bikin PR."
"Aku juga," kataku. "Terus, nanti sore aku ada latihan senam, padahal aku belum
sempat siap-siap." Cassie menghela napas. "Menyebalkan. Begitu kita balik ke wujud manusia, kita
langsung repot memikirkan PR dan segala macam tugas. Oh!"
Ia terdiam, lalu menatap Tobias dengan pandangan bersalah.
Masalahnya, sementara kami berubah, Tobias tetap berwujud elang.
Tobias sempat terperangkap ketika berusaha melarikan diri dari mimpi buruk di
kolam Yeerk. Ia terpaksa bersembunyi, dan tak sempat berubah kembali menjadi
manusia. Tobias telah melewati batas waktu dua jam.
Kami semua sudah kembali ke wujud kami yang asli sebagai manusia, tapi Tobias
tetap seekor elang. Tobias takkan pernah bisa berubah lagi.
Chapter 3 KAMI pulang bersama-sama. Semua agak letih. Terbang memang melelahkan, dan
proses berubah wujud pun cukup menguras tenaga.
Tobias terbang tinggi di atas kami. Ia tidak ikut mengobrol.
Kasihan dia. Tobias bisa berkomunikasi melalui pikiran dengan kami dan kami bisa
memahaminya, tapi dalam wujud manusia kami hanya bisa bicara seperti manusia
lainnya. Ia tidak bisa mendengar kami kecuali kalau ia berdekatan, padahal ia
tidak mungkin berdekatan sambil tetap terbang.
"Coba kalau kita tidak perlu berurusan dengan kaum Yeerk," kata Marco.
"Seandainya mereka tidak ada, kemampuan kita untuk berubah wujud bisa benarbenar dimanfaatkan."
"Untuk apa" Untuk memerangi kejahatan?" tanya Jake.
Marco menatapnya dengan sikap antara kasihan dan geli.
"Untuk memerangi kejahatan" Memangnya kau mau jadi Spiderman" Maksudku untuk
bisnis. Film! TV! Seharusnya aku bisa tampil di acara Dunia Bintang atau Aneh
Tapi Nyata." "Kau benar," aku berkata sambil mengedipkan mata supaya ia tahu aku bercanda.
"Untuk urusan aneh, kau memang jagonya."
"Kita pasti laku keras untuk membintangi film-film horor," Cassie menimpali.
"Bagaimana kalau kita jadi stuntman saja?" Jake mengusulkan. "Takkan ada yang
bisa mengalahkan kita. Kita bisa terjun dari gedung pencakar langit. Di tengah
jalan kita tinggal berubah jadi burung dan terbang."
"Sekarang aku benar-benar kesal pada kaum Yeerk," ujar Marco. "Gara-gara mereka
aku tidak bisa memulai karier di dunia showbiz. Mestinya aku bisa jadi jutawan.
Mestinya aku bisa adu kocak dengan Jim Carrey. Dan dikelilingi supermodel
Hollywood yang kece-kece."
"Yeah," aku berkata sambil mengedipkan mata kepada Cassie. "Memang banyak cewek
yang suka binatang. Tapi cepat atau lambat kau harus kembali ke wujudmu yang
asli, Marco. Dan begitu kau berubah, mereka langsung kabur."
Kami menyusuri jalan raya yang melewati bekas tempat pembangunan, lapangan luas
yang penuh bangunan setengah jadi.
Buldoser, derek, dan alat berat lainnya dibiarkan tergeletak begitu saja sampai
berkarat. Tadinya di sini mau dibangun pusat perbelanjaan, tapi entah kenapa
akhirnya tidak jadi. Kami tidak mengambil jalan pintas memotong tempat pembangunan, seperti yang dulu
selalu kami lakukan. Soalnya, di tempat inilah kami melihat sang pangeran
Andalite mendarat dengan pesawat tempurnya yang rusak berat. Di sinilah ia
memperingatkan kami tentang rencana busuk kaum Yeerk, lalu memberi kami
kemampuan untuk berubah wujud.
Di sini pula kami menyaksikan Visser Three, pemimpin kaum Yeerk, membunuh sang
pangeran Andalite. Visser Three satu-satunya Yeerk yang memiliki kemampuan
berubah wujud seperti kami. Visser Three adalah Pengendali-Andalite, yang
berarti ia berwujud Andalite.
Pengendali-manusia adalah Yeerk dengan tubuh manusia. Pengendali-Taxxon adalah
Yeerk dengan tubuh Taxxon. Cukup jelas, bukan"
Visser Three satu-satunya Yeerk yang berhasil menguasai tubuh Andalite. Dengan
demikian ia satu-satunya Yeerk yang mampu berubah wujud.
Malam itu di bekas tempat pembangunan, ia berubah menjadi makhluk penghuni
planet yang sangat jauh. Ia menjelma sebagai monster raksasa yang mengerikan.
Kemudian ia menangkap si Andalite dan...
Ehm... sebenarnya aku enggan bicara tentang kejadian itu....
Sebaiknya tanya Jake saja.
Kami semua membisu ketika melewati tempat itu. Kulihat Cassie berhenti dan
berdiri seperti patung. Aku langsung berbalik dan menghampirinya. Ternyata ia
sedang menangis. "Kau masih ingat terus, ya?" tanyaku.
Ia mengangguk. "Ya. Kau sendiri?"
Aku menghela napas. Mengarungi angkasa luas memang enak untuk mengalihkan
pikiran. Tapi kepalaku masih dipenuhi berbagai kenangan mengerikan.
"Aku juga," aku mengakui. "Semalam aku mimpi buruk. Tentang kolam Yeerk. Dalam
mimpiku, aku ada di bawah lagi. Di gua itu. Lalu aku mendengar jeritan orangorang yang diseret ke kolam."
Cassie kembali mengangguk. "Ya, jeritan mereka memang memilukan. Tapi ada yang
lebih parah lagi, yaitu bagaimana orang-orang itu berhenti menjerit begitu
kepala mereka dimasuki Yeerk. Begitu mereka jadi Pengendali lagi. Kita langsung
tahu mereka kembali jadi budak. Tanpa harapan."
"Seperti Tom." Kami menoleh. Ternyata Jake telah berdiri di belakang kami.
Marco ada di sampingnya. Tom adalah kakak Jake. Tom salah satu Pengendali-manusia - seseorang yang
diperbudak oleh Yeerk yang bercokol dalam kepalanya. Kami mencari kolam Yeerk
dan turun ke tempat terkutuk itu untuk menyelamatkan Tom. Tapi kami gagal. Masih
untung kami bisa menyelamatkan diri sendiri.
Cassie merangkul pinggang Jake. "Suatu hari kita akan membebaskan Tom," katanya.
Aku memandang ke tempat pembangunan dan melihat Tobias meluncur turun dari
langit. Aku tidak melihat di mana ia mendarat, sebab sebagian tempat itu memang
tidak terlihat dari jalanan. Tapi aku tahu - ia mendarat di tempat si Andalite
mati. Dalam pertemuan kami yang singkat, Tobias memang sempat menjalin semacam
ikatan khusus dengannya. Kami meneruskan perjalanan.
"Kita harus cari cara lain untuk melawan mereka," kataku geram. Hatiku sedih
membayangkan Tobias bertengger di antara gedung-gedung setengah jadi,
berdukacita untuk si Andalite.
"Melawan siapa?" tanya Marco curiga.
"Orang Prancis, Marco," sahutku sengit. "Siapa lagi kalau bukan kaum Yeerk"
Huh!" "Wah, nanti dulu!" ujar Marco. "Kan sudah kita coba. Kita sudah mengejar mereka
sampai ke kolam Yeerk, tapi akibatnya kita malah babak-belur. Skornya sepuluh
untuk mereka, nol besar untuk kita."
"Jadi kau lebih suka menyerah saja?" balasku dengan nada menantang.
"Kita memang kalah, tapi itu baru pertandingan pertama," kata Jake. "Kita jangan
patah semangat hanya karena kalah di satu pertandingan."
"Pertandingan apa?" gumam Marco getir. "Ini bukan permainan."
"Lagi pula, kita tidak kalah kok," aku kembali bicara. Yang lain menatapku
seakan-akan aku sudah tidak waras.
"Begini," aku menjelaskan, "aku tahu kita gagal menyelamatkan Tom, dan kita juga
tidak berhasil menghalau kaum Yeerk. Tapi paling tidak, mereka sudah tahu bahwa
ada yang sanggup melawan."
"Yeah, dan saking ngerinya, mereka sekarang pasti gemetaran semua. Visser Three
pasti tidak bisa tidur karena cemas," komentar Marco sinis. "Begini, bagi Visser
Three kita bukan ancaman. Kita cuma dianggap makan siang oleh dia."
"Mereka tidak tahu siapa - atau apa - kita sebenarnya," aku berkilah. "Kaum Yeerk
pikir kita prajurit Andalite karena kita bisa berubah wujud. Mereka juga tahu
bahwa kita berhasil menemukan kolam Yeerk, menyusup ke sana, dan menghabisi
beberapa Taxxon dan Hork-Bajir. Menurutku, itu sudah cukup untuk membuat mereka
agak gugup." Jake mengangguk. "Rachel benar. Tapi memang lebih baik kita tidak kembali ke
kolam Yeerk. Lagi pula... pintunya sudah tidak ada."
Kami semua berhenti, dan menatap Jake.
Ia angkat bahu. "Hei, aku cuma penasaran apakah pintunya masih berfungsi, oke"
Sekadar untuk jaga-jaga. Tapi ternyata pintunya sudah tidak ada."
Pintu menuju ke kolam Yeerk semula tersembunyi di gudang tukang sapu di sekolah
kami. Sebenarnya pintu menuju kolam Yeerk di bawah tanah ada lusinan, tersebar
di seluruh kota, tapi ini satu-satunya yang kami ketahui.
"Berarti kita harus cari jalan lain untuk menghadapi mereka," ujarku. "Tom bisa
kita manfaatkan. Kita ikuti dia. Yeerk di dalam kepalanya kan harus balik ke
kolam Yeerk." Setiap tiga hari sekali semua Yeerk harus kembali ke kolam tersebut. Pada saat
itu mereka keluar dari kepala induk semang masing-masing untuk menyerap sinar
Kandrona. "Jangan. Jangan membawa-bawa Tom", kata Jake tegas. "Kalau dia sampai dicurigai
gara-gara kita, dia mungkin akan dibunuh."
Marco menatapku sambil memicingkan mata. "Jadi kau belum kapok juga" Kau masih
juga nekat mempertaruhkan nyawa kita dan nyawa semua orang yang kita kenal"
Untuk apa?" "Demi kebebasan," Cassie menjawab singkat.
Marco tidak bisa bilang apa-apa.
"Kita bisa memanfaatkan Chapman", ujar Jake.
Mr. Chapman wakil kepala sekolah kami. Ia juga salah satu Pengendali-manusia
paling penting. Ia mendirikan The Sharing, sebuah klub yang menjaring anak-anak
muda untuk dijadikan budak kaum Yeerk.
"Seandainya ada cara untuk mendekati Chapman...," Jake membiarkan ucapannya
Animorphs - 2 Aksi Penyelamatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menggantung. Ia sengaja tidak menoleh ke arahku. Tapi aku tahu maksudnya.
Agaknya ia sudah cukup lama mempertimbangkan hal ini.
"Melissa?" tanyaku.
Jake mengangguk. "Itu salah satu kemungkinan."
Melissa Chapman, anak perempuan Chapman, termasuk teman akrabku. Paling tidak,
dulu. Tapi sejak beberapa bulan ini ia bersikap aneh sekali terhadapku. Seakanakan ia tidak peduli padaku. Kami sama-sama ikut latihan senam. Malahan aku ikut
senam karena ajakannya. "Ehm... aku tidak suka memperalat teman," kataku.
"Oh, tiba-tiba kau jadi si lembut hati, " Marco langsung berkoar. "Kau tidak
suka memperalat teman" Hah, dari tampangmu kau bahkan tak keberatan mengorbankan
nyawaku." "Memang, Marco, tapi siapa bilang kau temanku?"
"Lucu sekali," Marco menyahut sambil meringis. Tapi aku tahu ia agak sakit hati.
"Bercanda, Marco," ujarku. "Cuma bercanda. Tentu saja kau temanku. Tapi kau
anggota Animorphs, sedangkan Melissa tidak tahu apa-apa."
"Huh, Animorphs," Marco menggerutu. "Aku menyesal telah mengarang nama itu?"
"Rachel, ayah Melissa salah satu pimpinan para Pengendali," Jake berkata dengan
nada membujuk, tanpa menghiraukan Marco. "Suka atau tidak, Melissa terlibat
dalam urusan ini." Mulutku mendadak terasa pahit. Aku tahu Jake benar. Chapman adalah petunjuk
terbaik yang kami miliki. Dan Melissa adalah cara terbaik untuk mendekatinya.
Masuk akal memang. Aku memang punya alasan kuat untuk mengkhianati teman lama.
Tapi alasan sehebat apa pun tidak mampu menghalau perasaan hina yang timbul
dalam diriku. Chapter 4 KEESOKAN hari seusai sekolah aku menuju tempat latihan senam di gedung YMCA,
yang terletak di seberang mall. Di sana ada kolam renang besar, jadi seluruh
bangunan selalu berbau kaporit. Kecuali ruang fitness, yang selalu berbau
keringat. Latihan senam diadakan di ruangan lebih kecil yang lantainya dilapisi matras
biru. Peralatan yang tersedia adalah balok keseimbangan, palang bertingkat, dan
kuda-kuda lompat lengkap dengan papan lontarnya.
Aku cukup oke di nomor kuda-kuda lompat dan palang bertingkat, tapi masih perlu
banyak latihan untuk balok keseimbangan.
Terus terang, aku agak ngeri meniti balok panjang itu. Kita perlu konsentrasi
total. Suasana latihan kami santai saja. Memang tidak perlu serius. Kami semua sadar di
antara kami tidak ada calon atlet Olimpiade.
Memang ketika baru mulai, aku punya angan-angan jadi Shannon Miller. Tapi
tubuhku terus tumbuh. Untuk anak seusiaku, aku termasuk jangkung.
Orang-orang yang melihatku selalu berkomentar, "Oh, kau pantas jadi peragawati."
Tak ada yang bilang, "Oh, kau pantas jadi pesenam."
Sebagian besar rekanku punya badan terlalu tinggi atau terlalu berat. Jadi
memang sulit meraih prestasi tinggi. Kami berlatih senam karena senang, dan juga
untuk olahraga. Aku sendiri memilih senam karena sejak dulu aku menganggap
gerak-gerikku terlalu kikuk. Ibuku sih tidak bilang begitu, tapi itulah yang
kurasakan. Lagi pula, melompat ke papan lontar dan jumpalitan di udara sambil bertumpu di
kuda-kuda cukup asyik. Memang kalah seru dibandingkan terbang, tapi tetap asyik.
Melissa Chapman sedang berganti baju di ruang ganti ketika aku masuk. Ia berbeda
di antara kami. Penampilannya memang seperti pesenam. Tubuhnya mungil dan kurus.
Tentu saja ia tidak menyiksa diri dengan diet mati-matian seperti banyak orang
konyol yang bercita-cita jadi pesenam terkenal. Matanya kelabu dan rambutnya
pirang. Semuanya serbapucat. Termasuk kulitnya.
Melissa mirip peri dalam buku-buku dongeng. Sepintas lalu ia tampak lemah, tapi
kalau diperhatikan lebih saksama, kita akan tahu ia memiliki kekuatan
tersembunyi. Melissa menatapku sambil tersenyum seperlunya. Akhir-akhir ini ia selalu
bersikap begitu, seakan-akan ia tidak punya waktu untukku.
"Hei, Melissa," aku menyapanya. "Apa kabar?"
"Baik. Kau sendiri?"
"Ya, begitulah. Seperti biasa." Tentu saja itu tidak benar. Tapi aku harus
bilang apa" Aku kan tak mungkin bercerita bahwa aku kini bisa berubah jadi
binatang dan sibuk melawan makhluk asing.
Melissa diam saja. Ia merapikan baju senamnya dan melakukan peregangan sambil
membisu. Aku cuma bisa menggelengkan kepala. Persahabatan kami telah menjadi hambar.
Setiap kali bertemu, kami cuma berbasa-basi sekadarnya. Padahal tadinya kami
akrab sekali. Selain Cassie, Melissa adalah temanku yang paling dekat.
"Melissa, kita jalan-jalan ke mall yuk" Sehabis latihan nanti. Aku perlu sepatu
kets baru." "Ke mall?" Ia tergagap-gagap sebentar, lalu tersipu-sipu. "Maksudmu, pergi
belanja?" "Yeah. Biasa - jalan-jalan sambil lihat-lihat toko. Siapa tahu ketemu cowok
keren." Aku mencoba bersikap biasa, seakan-akan tidak ada masalah di antara kami. Dulu
Melissa pasti langsung mau kalau kuajak jalan-jalan ke mall. Tapi sekarang ia
pasang tampang seolah-olah harus ke dokter gigi.
Aku tak habis pikir, kenapa persahabatan kami bisa jadi renggang begini.
"Aku, ehm, sudah ada acara," ujar Melissa.
"Oh. Tidak apa-apa. Aku ngerti kok," sahutku. Padahal aku sama sekali tidak
mengerti. Melissa berbalik, pergi menuju ruang latihan. Tadinya aku mau diam saja, tapi
tiba-tiba aku ingat: ayah Melissa salah satu pimpinan para Pengendali. Salah
satu musuh kami yang paling berbahaya.
Aku meraih lengannya. "Melissa, tunggu... aku merasa belakangan ini kau selalu
menghindariku. Padahal aku kangen ngobrol denganmu."
Ia angkat bahu. "Oke, ehm, kapan-kapan deh kita pergi sama-sama."
"Tuh, kan! Kau menghindar lagi. Ada apa sih sebenarnya?"
"Ada apa?" Melissa mengulangi. Sepintas lalu aku melihat kesedihan luar biasa
terbayang di matanya, kesedihan yang membuat raut mukanya jadi keruh. "Tidak ada
apa-apa kok." Lalu ia melanjutkan, "Ayo, Coach Ellway sudah menunggu. Dia bisa
marah-marah kalau kita telat."
Ia menarik lengannya, melepaskan diri dari peganganku.
Aku mengamatinya pergi. Perasaanku kacau-balau. Rupanya terjadi sesuatu pada
Melissa. Dan aku tidak menyadarinya. Ia sahabatku dan ia sedang menghadapi
masalah, tapi aku tidak memperhatikannya. Aku terlalu sibuk dengan urusanku
sendiri. Dan sekarang pun aku cuma pura-pura prihatin. Aku berusaha mendekatinya karena
ada maksud terselubung. Sepanjang latihan aku tidak sanggup berkonsentrasi. Padahal latihan senam tanpa
konsentrasi bisa bahaya. Seperti yang kualami.
Aku tergelincir di balok keseimbangan, dan lututku terbentur kayu yang keras.
Saking sakitnya, aku sampai menitikkan air mata.
Melissa bergegas menghampiriku. Dan selama sekitar sepuluh detik ia kembali
menjadi Melissa yang lama. Tapi begitu aku bisa berdiri lagi, ia segera menjauh.
Saat itulah kecurigaanku timbul.
Sikap Melissa aneh sekali. Dan ayahnya salah satu Pengendali. Aku merinding
ketika aku mengamatinya diam-diam.
Apakah ia juga anggota mereka" Apakah Melissa juga telah berubah menjadi
Pengendali" Aku tidak jadi pergi ke mall seusai latihan. Minatku berbelanja lenyap mengingat
tatapan mata Melissa. Seharusnya aku membeli sepatu di mall, lalu menelepon ibuku agar ia menjemputku
di sana. Begitulah rencana semula. Tapi kini aku langsung pulang. Sendirian.
Sementara langit semakin gelap karena tertutup awan kelabu.
Tindakanku benar-benar bodoh dan gegabah. Tapi aku memang sedang banyak pikiran.
Masih untung aku tidak nekat melintasi bekas tempat pembangunan.
Aku sedang berjalan sambil melamun ketika aku sadar ada mobil menepi dan
berhenti di depanku. Seorang cowok turun. Tampangnya seperti anak SMU, atau
bahkan mahasiswa. Sikapnya agak mencurigakan.
Seharusnya aku langsung balik badan dan pergi ke arah mall. Tapi kadang-kadang
aku mengambil keputusan tanpa memakai akal sehat. Kadang-kadang aku menyesal
karena berbuat begitu. Seperti sekarang, misalnya.
"Hei, sayang," ia menegurku. "Mau ikut jalan-jalan?"
Aku menggeleng dan mendekap tas berisi baju senamku.
"Hei, jangan sombong dong, Manis," ia berkata. "Sebaiknya kau segera masuk
mobil." Nada bicaranya bukan seperti ajakan. Melainkan seperti perintah.
Aku semakin ngeri. Kudekap tas senamku erat-erat sementara aku melewatinya.
"Jangan diam saja kalau diajak bicara," katanya dengan nada mengancam.
Ia berusaha menyentuhku, tapi meleset. Kupercepat langkahku. Tapi ia malah
mengejarku. Aku mulai berlari. Ia terus mengejar. "Hei. Hei, kau! Mau lari ke mana?"
Aku telah melakukan kesalahan besar dengan berjalan seorang diri. Tapi untung
saja, berbeda dari orang lain, aku bukannya tak berdaya.
Sambil berlari aku memusatkan pikiran. Aku berkonsentrasi pada sebuah bayangan
yang telah terpateri dalam benakku.
Kemudian aku sadar prosesnya sudah dimulai. Kakiku membengkak. Lenganku
membesar. Kurasakan tubuhku tumbuh pesat dan bertambah padat. Telingaku serasa
ditusuk-tusuk ketika berubah menjadi tipis dan lebar.
Tapi kalau cuma kelihatan seram sih belum cukup. Cowok itu telah membuatku
jengkel. Aku ingin membuatnya ketakutan setengah mati.
Tiba-tiba hidungku mulai memanjang. Menyusul sepasang gading menyembul dari
mulutku. Nah, itu sudah cukup. Kubiarkan konsentrasiku buyar, dan seketika proses
metamorfosis pun terhenti.
Aku berhenti mendadak - dan cowok brengsek yang mengejarku itu langsung
menabrakku. Pasti ia takkan suka melihatku.
Chapter 5 AKU ingin membentaknya. Aku ingin berkata, "Nah, masih mau jalan-jalan
bersamaku?" Tapi yang terdengar dari mulutku cuma, "HhohhHEEEERRR!"
Cowok itu shock. Matanya terbelalak lebar.
Apa yang dilihatnya adalah aku - setengah manusia, setengah gajah Afrika.
Sepertiga belalaiku sudah jadi. Telingaku yang besar malah sudah hampir
sempurna. Kakiku sebesar batang pohon. Lenganku sebesar lengan Arnold
Schwarzenegger, hanya saja warnanya kelabu. Dan dari mulutku keluar sepasang
gading scpanjang hampir setengah meter. Supaya tambah seru, rambut dan mataku
masih yang asli. Nyali si brengsek mendadak ciut.
"AAAAHHHH!" Ia berbalik. Dan kabur tunggang-langgang. Ia bahkan lupa kalau ia membawa mobil.
Ia berbalik lagi dan melompat masuk melalui jendela yang terbuka. Terburu-buru
ia menyalakan mesin dan memacu mobilnya.
Seandainya ada polisi ia pasti kena tilang, sebab ia jelas-jelas melanggar batas
kecepatan ketika melesat menjauh.
Aku berkonsentrasi lagi untuk kembali ke wujud manusia.
Untung saja aku memakai sweter longgar dan celana senam tadi. Keduanya ikut
mengembang bersama tubuhku. Tapi sepatuku rusak berat karena mendadak harus
menampung kaki gajah. Hujan gerimis mulai turun. Sebal rasanya harus jalan kaki.
"Huh, sial," aku bergumam. "Lain kali aku harus buka sepatu dulu sebelum berubah
jadi gajah." Tiba-tiba sebuah mobil menepi dan berhenti di sampingku. Jendela depan di sisi
penumpang membuka. "Hei, Rachel." Ternyata Melissa. Aku mengenali suaranya.
"Mau diantar pulang?" ia menawarkan dengan nada datar, seolah terpaksa. Aku
memandang ke dalam mobil - dan melihat Chapman duduk di balik kemudi.
Aku panik. Apakah ia sempat melihat apa yang baru saja kulakukan" Kalau ya,
berarti tamatlah riwayatku. Teman-temanku pun bakal celaka.
"A... aku jalan kaki saja, deh," sahutku. "Hitung-hitung olahraga."
"Jangan membantah, Nona," ujar Chapman. Suaranya seperti biasa, khas wakil
kepala sekolah. "Hujannya pasti semakin deras nanti. Ayo, naiklah."
Apa yang bisa kulakukan" Dengan susah payah aku memaksakan senyum. "Thanks,"
kataku. Melissa duduk di depan bersama ayahnya. Aku duduk di belakang. Aku, berusaha
tidak gemetar. Aku berusaha mengalihkan pandang dari bagian belakang kepala
Chapman. Begitulah rasanya kalau ada Pengendali di dekat kita. Kita tahu ada
makhluk busuk di dalam kepala si Pengendali, makhluk busuk yang menguasai
otaknya dan membajak semua sarafnya.
"Rasanya aku melihat ada cowok bersamamu waktu kami berhenti di lampu merah
tadi," ujar Melissa. "Tapi setelah itu dia langsung kabur. Apakah dia
mengganggumu?" "Ehm... tidak," aku berbohong. "Dia... dia cuma memungut sesuatu yang jatuh di
pinggir jalan." Payah! Aku memang tidak pandai berbohong.
Aku sadar Chapman memperhatikanku melalui kaca spion. Ia kelihatan biasa saja.
Itulah susahnya. Tak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa ia Pengendali. Tak
ada tanda-tanda yang menunjukkan siapa ia sebenarnya. Dari luar ia tak berbeda
dengan orang biasa. "Dia kabur seperti dikejar setan," Chapman berkomentar.
"Masa, sih?" sahutku dengan suara gemetar. "Saya tidak memperhatikannya. Mungkin
karena hujan. Mungkin karena itu dia lari. Oh, kita belok kiri di sini."
"Saya tahu rumahmu," balas Chapman.
Aku hampir tersedak. Apakah ini ancaman" Mungkinkah ia curiga" Mungkinkah ia
tahu rahasiaku" Bukankah cara ia menatapku lain dari biasanya" Ataukah aku cuma
mengada-ada" Ia berhenti di depan rumahku. Jantungku berdegup kencang, tapi aku memaksakan
diri untuk tetap bersikap normal.
"Terima kasih, Mr. Chapman," ujarku. "Eh, Melissa, aku serius lho soal pergi
sama-sama." Melissa mengangguk. "Yeah, Rachel. Oke."
Aku turun dari mobil dan menutup pintu. Aku berhasil lolos. Aku masih hidup.
Tampaknya segala ketakutanku tadi tidak perlu.
Kemudian aku mendengar Melissa berseru, "Hei, sepatumu kenapa tuh?"
Aku memandang ke bawah. Sepatuku koyak-koyak akibat membengkaknya kakiku tadi,
dari ukuran tiga enam menjadi ukuran tiga ratus - dalam waktu lima detik.
"Tuh benar, kan?" jawabku dengan nada seriang mungkin. "Aku memang perlu sepatu
baru." Melissa tampak bingung. Ayahnya menatapku dengan ekspresi tak bisa kutebak.
Tubuhku masih gemetaran ketika masuk ke rumah. Langsung saja aku naik ke kamarku
dan membuang sepatuku ke keranjang sampah. Setelah itu aku turun untuk menemui
Mom. Ia sedang duduk di meja dapur, setengah tersembunyi di balik setumpuk buku
berwarna kekuning-kuningan. Mom pengacara, dan ia sering membawa pulang
pekerjaan agar bisa menemani aku dan kedua adik perempuanku.
Orangtuaku bercerai. Aku bertemu Dad hanya beberapa hari dalam sebulan, sehingga
Mom selalu merasa bersalah kalau ia terpaksa meninggalkan kami sendirian di
rumah. "Hai, Sayang. Sudah pulang?" tanyanya. Tapi raut mukanya mendadak berubah. Ia
menatapku sambil mengerutkan kening. "Kaupulang naik apa" Tidak jalan kaki, kan"
Kau sudah janji akan menelepon ke rumah seusai membeli sepatu."
"Aku diantar Melissa dan ayahnya," jawabku.
Memang benar, walaupun tidak sepenuhnya benar.
Ekspresi Mom melunak dan ia segera menutup buku yang sedang dibacanya. "Sori.
Kau tahu kan, Mom takut terjadi apa-apa."
"Mana Jordan dan Sara?"
"Di ruang duduk, nonton TV. Ada film horor. Wah, nanti malam Jordan pasti tidak
berani mematikan lampu kalau mau tidur. Sara lebih gawat lagi. Ia akan pindah ke
tempat tidur Mom. Huh, Mom tidak mengerti kenapa mereka suka film-film seram
seperti itu. Kau tidak pernah begitu."
Aku hampir tertawa. Aku ingin berkomentar, Mom, aku tidak perlu nonton film
seram, soalnya aku sendiri sudah seram. Coba kalau tadi Mom sempat melihatku
dengan gading menyembul dari mulut dan hidung sepanjang satu-meter.
Tapi yang kukatakan cuma, "Jadi, kita makan apa nanti?"
Mom meringis. "Bagaimana kalau piza" Atau makanan Cina" Atau apa saja yang bisa
Animorphs - 2 Aksi Penyelamatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dipesan lewat telepon" Sori, Mom belum sempat masak. Mom harus mempelajari
berkas-berkas ini karena besok pagi ada sidang."
"Mom," aku memberitahu, mungkin untuk keseribu kalinya, "kalau Mom tidak sempat
masak, ya tidak apa-apa. Lagi pula," aku menambahkan sambil nyengir, "kalau
boleh pilih, aku lebih suka piza daripada masakan Mom."
"Dasar konyol," sahutnya sambil tertawa. "Tapi jangan lupa, pesan piza yang ada
sayurannya." Sehabis makan malam aku menelepon Jake.
"Hei, sepupu," ujarku. "Kau kemari, dong! Aku baru beli CD yang bagus sekali.
Kau pasti suka lagu-lagunya."
Sebenarnya, CD itu cuma alasan untuk mengajak Jake ke rumahku. Kami memang harus
hati-hati. Tadi aku sudah bilang, kan"
Kakak Jake, Tom, salah satu Pengendali. Bisa saja ia menguping percakapan kami
melalui pesawat telepon paralel.
Setelah menelepon Jake, aku menghubungi Cassie dan Marco, dengan cara yang sama.
Begitu semua kumpul, aku langsung bercerita tentang Melissa, dan juga tentang
cowok brengsek yang telah kuberi pelajaran. Tapi aku tidak bilang aku diantar
pulang oleh Chapman. Entah kenapa aku enggan. Ketika aku melihat reaksi Marco,
aku bersyukur tidak menceritakannya.
"Aduh, kau benar-benar bodoh. Bodoh! BODOH!" Marco mengomel. "Bagaimana kalau
dia seorang Pengendali?"
"Dia bukan Pengendali," sahutku kesal. "Mana mungkin kaum.Yeerk memilih cowok
pengacau seperti itu untuk dijadikan Pengendali" Mereka pasti mengincar orangorang penting." "Belum tentu," ujar Jake. "Tom bukan orang penting. Dia tidak punya kekuasaan
apa-apa." "Bagaimana dengan orang-orang yang kebetulan lewat naik mobil, atau melongok
dari jendela rumah mereka?" tanya Marco, "Dan bagaimana kalau si brengsek itu
memberitahu orang-orang tentang cewek yang tiba-tiba punya belalai dan gading?"
"Tenang. Takkan ada yang percaya," balasku.
"Teman-temannya memang pasti tidak percaya," kata Marco sengit, "tapi bagaimana
kalau dia bercerita pada salah satu Pengendali" Seorang Pengendali pasti
langsung mengerti apa maksudnya."
Ya. Para Pengendali tentu langsung paham. Chapman, misalnya. Atau Melissa, bila
ternyata ia juga salah satu dari mereka.
Aku jadi muak. Rasanya seluruh hidupku cuma setumpuk kebohongan. Aku bohong pada
Melissa. Bohong pada Mom. Sekarang aku bohong dengan merahasiakan sesuatu dari
teman-temanku. "Oke, aku memang salah," aku bergumam.
"Betul sekali!" Marco berkoar. "Kau membuat kesalahan besar. Kau..."
"Cukup, Marco!" Jake menyela. "Rachel tahu dia salah. Kita semua pernah membuat
kesalahan." Marco cuma geleng-geleng kepala.
Cassie tersenyum untuk membesarkan hatiku. "Tindakanmu memang gegabah, Rachel.
Lain kali kau harus lebih hati-hati. Tapi aku rela tidak diberi uang saku
sepuluh minggu asal bisa melihat tampang cowok brengsek tadi."
"Yang penting, Rachel tidak bisa memanfaatkan Melissa untuk mendekati Chapman,"
kata Jake. "Melissa kartu mati selama kita tidak tahu apakah dia Pengendali atau
bukan. Dan juga selama dia tetap bersikap aneh kepada Rachel."
"Kelihatannya kita harus cari jalan lain," ujarku cepat-cepat. "Kita tahu kantor
Chapman. Kita tahu rumahnya. Barangkali kita bisa berubah jadi binatang kecil
dan mengintainya di tempat-tempat itu."
"Binatang kecil?" tanya Marco. "Waktu Jake jadi kadal, dia sempat terinjak.
Buntutnya sampai copot. Lagi pula, kali ini kau mau jadi apa" Kecoak?"
Membayangkannya saja kami sudah merinding. Binatang terkecil yang pernah ditiru
oleh salah satu dari kami adalah kadal. Dan itu pun sudah membuat Jake panik.
Kecoak pasti lebih kacau lagi.
"Menurutku kecoak kurang berguna untuk kita," ujarku. "Selain jorok, belum tentu
indranya bisa membantu. Coba, siapa yang tahu kecoa punya kuping atau tidak" Dan
kalau pun dia bisa mendengar, belum tentu otaknya mengerti apa yang
didengarnya." Semua langsung menatap Cassie. Di antara kami, ia paling ahli soal binatang.
Cassie langsung angkat tangan. "Hei, yang benar saja. Memangnya aku tahu
bagaimana cara kecoak melihat dan mendengar" Kecoak tidak termasuk jenis satwa
yang dirawat di klinik."
Selama beberapa menit kami semua tertunduk lesu. Tapi aku belum mau menyerah.
Tujuanku bukan sekadar menghantam kaum Yeerk. Aku perlu tahu apakah Chapman
mencurigaiku. Kalau ia sampai curiga, kami semua terancam bahaya besar.
Pandanganku beralih ke meja belajar. Kulihat buku PR matematika yang sama sekali
belum kubuka. Akibatnya aku jadi semakin suntuk. Tapi kemudian aku melihat
bingkai foto yang kupajang di atas meja. Bingkainya besar, berisi enam foto
berbeda. Ada fotoku bersama Mom dan Dad naik perahu. Lalu fotoku di tempat kerja Dad - ia
pembaca ramalan cuaca di salah satu stasiun TV. Kami cengar-cengir di depan peta
besar yang menunjukkan arah angin. Foto lain memperlihatkan Cassie dan aku naik
kuda. Cassie kelihatan santai di atas pelana, sementara aku tampak kalang kabut
karena takut jatuh. Tapi foto yang paling menarik perhatianku adalah foto
Melissa dan aku yang diambil beberapa tahun lalu.
Aku berdiri dan mengambil bingkai foto itu. Aku mengamatinya dengan kening
berkerut. "Kenapa, Rachel?" tanya Jake. "Ada apa?"
"Ini foto aku dan Melissa," ujarku. "Kalau tidak salah ini diambil saat ulang
tahunnya yang kedua belas. Kami sedang main di rumput dengan kado ulang tahun
dari ayahnya." "Terus?" tanya Marco tidak sabar.
"Nih...." Kuserahkan foto itu padanya. Aku dan Melissa mengenakan celana pendek.
Dan di antara kami berdiri anak kucing berbulu hitam-putih. "Kado ulang tahunnya
seekor kucing." Chapter 6 LIHAT, tuh! Ada pintu kecil untuk keluar-masuk kucing!" Jake berkata sambil
menunjuk. "Mana?" tanya Marco.
"Kaulihat garis-garis terang di bagian bawah pintu itu?"
"Oh, yeah," sahut Marco. "Aduh, kenapa bulan mesti tertutup awan" Aku tidak bisa
melihat apa-apa." Kami berempat meringkuk di balik pagar tanaman yang membatasi pekarangan
keluarga Chapman. Mereka tinggal di pinggir kota. Rumah mereka biasa saja:
berlantai dua, dengan garasi dan pekarangan berumput di depan. Tak ada tandatanda bahwa penghuninya terlibat persekongkolan dengan makhluk asing untuk
menguasai bumi. "Aku mau tanya," bisik Marco. "Kenapa mesti Chapman" Dari dulu aku sudah takut
padanya. Sebelum kita tahu dia seorang Pengendali."
"Pasti kau masih kesal gara-gara dihukum olehnya, kan?" sahutku. "Salahmu
sendiri, Marco. Kalau selama jam pelajaran matematika kau mau mendengarkan CD
dengan earphone tersembunyi di balik rambut, kau tidak usah ikut nyanyi, dong."
"Yeah, itu namanya tolol," Jake menimpali.
"Tapi masa sih aku dihukum satu minggu?" balas Marco. "Bayangkan saja, dari
Senin sampai Jumat aku harus tinggal sampai sore di sekolah. Aku yakin Chapman
tidak bakal memberi hukuman seberat itu kalau dia benar-benar manusia."
"Ehm, aku juga mau tanya," ujar Cassie. "Bagaimana cara kita memancing kucing
Melissa supaya keluar?"
Kami semua langsung menatapnya.
"Pertanyaan bagus," aku mengakui. "Sebenarnya kita bisa saja terus menunggu
sambil sembunyi di semak-semak. Tapi cepat atau lambat para tetangga pasti
curiga."
dekat untuk mendengar apa yang kami bicarakan.
Aku berusaha mengingat-ingat. "Aku ingat, namanya Fluffer. Fluffer McKitty."
"Ah, yang benar?" Siapa lagi yang ngomong kalau bukan Marco.
Aku berusaha mengingat-ingat saat Melissa dan aku masih akrab. "Bulunya hitamputih. Maksudku, belang-belang."
Tobias merentangkan sayap. Tanpa suara ia meluncur di atas kepala kami, lalu
menghilang dalam kegelapan malam.
"Kalian tahu apa yang kita perlukan?" tanyaku. "Kita perlu kucing lain.
Seharusnya sudah kita siapkan. Kucing kedua itu bisa memanggil Fluffer."
Langsung saja Marco berkomentar, "Meong Fluffer, keluar meong, kita main yuk,
meong?" "Tobias pernah berubah jadi kucing, kan?" tanyaku.
"Yeah," sahut Jake. "Waktu pertama kali dia berubah. Di antara kita, dialah yang
pertama kali mencoba metamorfosis."
"Rachel, kalau kau sudah masuk, jangan lupa tetap bertingkah seperti kucing,"
pesan Cassie. "Kalau ada kucing bersikap aneh, orang paling-paling cuma heran.
Tapi Chapman mungkin curiga kalau Fluffer tiba-tiba tidak bertingkah seperti
kucing." "Maksudnya, aku jangan makan pakai garpu atau menekan remote TV untuk pindah
saluran?" Kami tertawa - pelan dan gelisah memang, tapi tetap saja tertawa.
Tiba-tiba Tobias menukik dari langit. Ia berputar-putar di atas kami dan
berseru,
Selama kita tidak memikirkan anak laki-laki yang terperangkap di dalam tubuh
itu. Sorot mata seekor elang benar-benar menusuk. Tobias yang lemah lembut kini
selalu tampil garang. "Masa sih"Kau berhasil menemukan Fluffer?" tanyaku.
anjing dan banyak sekali tikus.>
"Tikus?" Marco langsung membelalakkan mata. "Tikus" Di sini" Ini kan daerah
orang kaya. Maksudku, daerah ini jauh lebih bagus ketimbang daerahku."
"Jangan ngaco, Tobias," kata Marco. "Jangan sampai kau makan tikus, oke" Aku
tidak sudi berteman dengan seseorang yang makan tikus."
Kadang-kadang Marco memang lucu. Tapi kadang-kadang ia keterlaluan. Seperti kali
ini. "Diam, Marco!" aku menghardiknya.
"Aku pernah makan labah-labah hidup," ujar Jake. "Berarti kau juga tidak sudi
berteman denganku, dong!" Nada suaranya yang tinggi menunjukkan ia pun kesal.
Tak seorang pun tahu apa yang akan dialami Tobias. Selain dirinya, belum ada
yang melanggar batas waktu dua jam. Dan sekarang ia sudah lebih dari satu minggu
menjadi elang. Marco mendadak sadar. "Yeah, ehm... kurasa kalian benar. Lagi pula, aku sendiri
pernah makan daging burung unta. Jadi memang tidak pantas aku ngomong begitu."
Begitulah cara Marco minta maaf.
berusaha terbang lambat, Tobias tetap terlalu cepat untuk kami. Ia terpaksa
berputar-putar menunggu. Kami berusaha menyusulnya.
"Orang-orang pasti heran melihat kita," kata Cassie. "Empat anak lari-lari
sambil mendongak terus."
"Biar aku dan Cassie saja."
Marco menyerahkan kurungan kucing yang kami bawa. "Perlu pakai ini?" ia
bertanya. "Nanti saja. Fluffer akan kutangkap dulu, lalu kubawa kemari. Kalian tunggu di
sini saja." Cassie dan aku memasuki pekarangan. Rumah di hadapan kami tampak gelap.
Barangkali penghuninya sedang pergi. Mudah-mudahan saja.
"Kau ke kiri," kataku kepada Cassie. Kami mengelilingi pohon itu.
"Hei, Fluffer," aku memanggil dengan suara kecil yang selalu kupakai untuk
bicara dengan binatang. "Sini, manis. Masih ingat aku?"
"Itu dia." "Ya, aku juga melihatnya." Aku jongkok dan mengulurkan tangan ke arah kucing
itu. "Hei, Fluffer Fluffer. Ini aku, Rachel."
Fluffer menatap Cassie, kemudian berpaling padaku. "Ayo, Fluffer, ini aku. Sini,
manis." "Omong-omong, Fluffer kucing jantan atau betina?" tanya Cassie.
"Jantan, kalau tidak salah."
"Oh, bagus," Cassie bergumam. "Mudah-mudahan saja dia sudah dikebiri."
"Kau sudah dikebiri, Fluffer McKitty?" ujarku dengan nada membujuk.
"Memangnya kenapa, sih?" aku lalu bertanya pada Cassie.
"Sebab untuk ukuran tubuhnya, kucing jantan termasuk makhluk paling berbahaya."
"Siapa, Fluffer" Teman kecilku ini?"
"Mungkin dia memang sudah dikebiri, tapi jangan lupa. Dia kucing jantan yang
sedang berburu di malam hari." Cassie menggelengkan kepala. "Seharusnya kita
bawa sarung tangan."
"Ah, kau terlalu kuatir. Dia cuma kucing kecil yang manis."
Untuk membuktikan ucapanku, aku kembali mengulurkan tangan dan mencoba
menangkapnya. "Hhhhhssssss!" Cakar Fluffer menyambar dengan gerakan yang terlalu cepat untuk dilihat mata
manusia. Tiga goresan berdarah muncul pada punggung tanganku. Fluffer langsung
memanjat pohon. "Aduh!" Refleks aku memasukkan tanganku yang terluka ke dalam mulut.
"Yeah, seharusnya kita pakai sarung tangan," ujar Cassie.
"Bagaimana?" Jake berseru dengan suara tertahan. "Sudah, belum?"
"Bagus," aku menggeram sambil mengertakkan gigi. "Tanganku luka dan Fluffer ada
di atas pohon." Marco tertawa cekikikan. Memang sudah kuduga. Kemudian Jake ikut-ikutan.
Aku mendongak dan melihat sepasang mata kuning kehijauan menyorot dari pohon
yang gelap. "Tadinya kukira ini gampang," ujarku. "Kupikir kita tinggal menyadap pola DNA
Fluffer, lalu kita bisa mulai dengan tugas lebih berat."
"Kucingnya ada di atas pohon," gumam Cassie sambil geleng-geleng kepala. "Kau
tahu, sulit banget menurunkan kucing dari pohon?"
"Aku punya ide," kataku. "Tobias, kau masih di atas?"
semakin aneh saja. Aku perlu seekor tikus."
Chapter 7
Tobias berputar rendah di atas kami. Sebentar-sebentar ia menghilang di balik
dahan-dahan pohon, lalu muncul kembali.
padanya. Tentu saja aku siap. Kenapa aku mesti tidak siap menerima bayi tikus
dari seekor elang" Itu kan hal biasa.
Tobias melintas rendah sambil mengurangi kecepatan.
Kurapatkan tangan dan kuangkat keduanya tinggi-tinggi. Bidikan Tobias tepat
sekali. Ia berhasil menjatuhkan bayi tikus itu tepat ke tanganku.
"Awas, jangan sampai kau digigit!" Cassie mewanti-wanti. "Bisa kena rabies."
"Bagus," aku bergumam. "Tambah asyik saja." Tapi sebenarnya aku berterima kasih
atas peringatan Cassie. Anak tikus itu meronta-ronta ketakutan dan berusaha
lari. Telapak tanganku serasa digelitik oleh cakarnya yang mungil.
"Sebaiknya kalian semua disuntik antirabies," ujar Cassie. "Aku serius lho. Aku
sih sudah. Kalau kita berurusan dengan binatang liar... ehm, untuk sementara,
hati-hati jangan sampai digigit."
"Siapa yang mau digigit?" sahutku.
"Eh, tunggu dulu." Cassie membuka tanganku agar dapat melihat lebih jelas. "Ini
bukan tikus. Ini cecurut. Coba perhatikan matanya. Matanya terlalu kecil. Dan
Animorphs - 2 Aksi Penyelamatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ekornya juga salah. Ini bukan bayi tikus, Tobias, ini cecurut dewasa."
Cassie angkat bahu. "Entahlah. Yang jelas, ini bukan tikus."
"Tunggu dulu," ujar Marco sambil nyengir. "Rachel mau jadi cecurut" Dia sudah
berubah atau belum sih" Sekarang saja tampangnya sudah kayak cecurut."
Kami semua terlalu tegang untuk tertawa. Rasanya aneh sekali, berdiri di
pekarangan orang sambil main-main dengan binatang pengerat. Kadang-kadang semua
ini benar-benar tidak masuk akal.
"Oke, aku sudah siap. Jadi kalian jangan ribut."
Supaya bisa berubah wujud, kita harus menyadap pola DNA binatang yang ingin kita
tiru. DNA adalah zat dalam tubuh makhluk hidup yang membawa sifat keturunan.
Nah, untuk proses penyadapan itu suasana harus tenang. Kita harus berkonsentrasi
penuh dan memusatkan pikiran pada binatang itu. Perhatian kita tidak boleh
bercabang. Binatang bersangkutan lalu menjadi lemas, seakan-akan tidak sadar.
Seluruh proses itu makan waktu sekitar satu menit.
Cecurut di tanganku terus berontak sambil bercicit-cicit.
Sebenarnya sih, aku jijik juga. Tapi apa boleh buat. Setelah selesai, aku
membuka mata. "Oke, cecurut kecil, terima kasih atas bantuanmu. Kau boleh pergi sekarang."
"Kurasa ini bukan ide yang baik," kata Jake bimbang.
"Masa sih?" Marco langsung berkomentar. "Rachel kan cuma berubah jadi cecurut
untuk memancing kucing galak turun dari pohon. Habis itu dia berubah jadi kucing
supaya bisa menyelinap ke rumah wakil kepala sekolah kita. Jadi, kenapa mesti
kuatir?" Cassie pun tampak cemas. "Ehm, Rachel, biasanya kucing main-main dulu dengan
tikus. Tapi kadang-kadang tidak. Kadang-kadang mereka langsung menggigit leher
mangsanya. Dan tikus atau cecurut itu mati seketika."
"Ucapan" Tobias diarahkan hanya pada diriku. Aku tahu, sebab yang lain tidak
bereaksi. Aku menoleh ke arah Tobias dan mengedipkan mata. Aku tahu ia bisa melihatnya.
Lalu aku menggosok-gosok tangan. "Oke, kita mulai saja."
Sekali lagi aku memusatkan pikiran pada cecurut tadi, yang kini telah menjadi
bagian dariku. Aku tidak tahu cara kerjanya, tapi nyatanya bisa. Berkat
teknologi si Andalite, di dalam tubuhku tersimpan DNA cecurut. Aku seperti
memiliki peta yang menuntunku pada saat aku berubah. Tapi aku tetap tidak
mengerti bagaimana semua itu bisa terjadi.
Hal pertama yang kurasakan adalah tubuhku tambah pendek.
Tubuhku yang semula satu meter lima puluh mengecil sampai kurang dari lima
senti. Bedanya jauh sekali. Dan rasanya seperti melayang-layang. Hanya saja kaki
kita tetap berpijak di tanah.
Semula aku masih bertatapan dengan Jake dan Marco dan Cassie. Tapi tahu-tahu
wajah mereka seolah-olah melesat ke atas. Aku meluncur turun, melewati badan dan
kaki mereka. Ketiga temanku seakan-akan berubah jadi gedung pencakar langit,
sementara aku seperti melompat dari atap.
Baju luarku berjatuhan bagaikan tenda sirkus roboh. Aku mendengar bunyi
berderit-derit ketika tulang belakangku mengerut menjadi lebih kecil dari jari
kelingking. Perasaan janggal selalu menyertai proses perubahan wujud ini.
Kurasakan tulang ekorku tumbuh menjadi ekor sungguhan. Ekor yang panjang tanpa
bulu dan sama sekali tidak indah dipandang.
Saking kecilnya, kakiku hampir tidak terlihat. Aku mirip bola bulu sebesar lima
senti, dengan empat kaki mungil.
Lalu aku mulai dicekam ketakutan. Ketakutan seekor cecurut. Tubuhku gemetar tak
terkendali. Aku benar-benar ngeri. Benar-benar panik.
Aku terkepung! Di mana-mana ada makhluk pemangsa! Aku bisa mencium bau mereka.
Pengantin Dewa Rimba 2 Wiro Sableng 074 Dendam Di Puncak Singgalang Pedang Kayu Harum 13