Ceritasilat Novel Online

Melacak Pesawat Misterius 1

Animorphs - 14 Melacak Pesawat Misterius Bagian 1


Chapter 1 NAMAKU Cassie. Aku tak bisa bilang padamu nama lengkapku. Bahaya Yeerk
terlalu besar. Ada hari-hari ketika aku merasa ada jerat yang secara pelan-pelan
mencekik leherku. Ada hari-hari ketika aku merasa aku
tak bisa mempercayai siapa-siapa. Tetapi selama mereka tidak tahu
persis siapa aku, mungkin kawan-kawanku dan aku bisa bertahan
hidup. Mungkin. Kedengarannya dramatis, ya" Kedengarannya aku paranoid atau
malah sinting. Iya, kan" Percayalah, aku tidak melebih-lebihkan. Aku orang
paling tidak dramatis yang pernah kaukenal. Dan aku juga
bukan anggota komplotan rahasia atau semacam itu. Betul deh.
Aku cuma cewek biasa. Aku bukan supermodel ataupun bintang
musik rock. Tubuhku pendek. Tampangku oke, tapi jelas tidak cantik.
Aku lebih tepat disebut kuat dan kekar daripada jangkung dan
gemulai. Kalau kau mau yang jangkung dan gemulai, kau harus
ketemu sohibku, Rachel. Bukan aku. Aku cewek ABG pendek dengan rambut pendek,
tanpa riasan wajah. Pakaianku cuma terdiri atas celana jins dan
overall. Aku punya dua pasang sepatu bot. Saat ini dua-duanya
berlepotan lumpur dan berbagai kotoran binatang. Aku juga punya dua pasang
sarung tangan karet. Kau tak usah tahu deh sarung tanganku
itu dilumuri apa. Jijik kau nanti.
Soalnya, aku banyak mengurus binatang. Aku membantu
ayahku. Ayahku dokter hewan. Ia mengelola Klinik Perawatan Satwa
Liar, yang sebetulnya adalah gudang jerami kami. Ia merawat segala macam
binatang liar yang terluka, menyambung kaki mereka yang
patah, mengobati luka-luka mereka, mendinginkan luka bakar, dan
membubuhkan pembunuh kuman pada luka bekas gigitan binatang
lain. Aku membantunya sepulang sekolah dan selama akhir pekan.
Kebanyakan yang kulakukan adalah memberi obat pada binatangbinatang itu, memandikan mereka, mencuci kandang, memberi makan
mereka; dan membantu ayahku saat operasi. Ia sedang mengajariku
menjahit luka bekas operasi.
Cool, bukan" Paling tidak bagiku begitu. Tapi sekarang kau
maklum kenapa aku punya dua pasang bot berlumpur dan sarung
tangan kotor menjijikkan dan beberapa celana jins yang sudah robek dan penuh
noda. Aku mau bilang apa" Aku toh tidak akan muncul di cover
majalah Seventeen. Meskipun begitu, Rachel adalah sahabatku, dan Rachel tanpa
diragukan lagi adalah cewek paling cool yang kukenal. Dan Jake
menyukaiku - maksudku, suka, gituuu - dan ia cowok paling cerdas,
paling kuat, dan paling imbang yang pernah kukenal. Kecuali
orangtuaku, mungkin, yang juga cool, tapi cool-nya ortu, tahu sendiri deh.
Jadi, kurasa koleksi pakaianku yang parah itu tidak membuatku
ketinggalan banyak. Salah satu cara kau bisa menilai orang adalah
dengan melihat siapa teman-teman... dan musuhnya. Aku punya
teman-teman yang luar biasa.
Dan musuh yang mengerikan.
Musuhku jenis yang seharusnya tidak dimiliki oleh penyayang
binatang yang sama sekali tak modis macam aku ini.
Bumi kita telah diserbu. Disusupi oleh spesies parasit inteligen
yang disebut Yeerk. Dalam wujudnya yang normal mereka hanyalah
siput abu-abu. Seperti siput besar tanpa rumah. Tetapi Yeerk punya kemampuan
untuk memasuki otak makhluk-makhluk lain,
membungkus otak itu, menyusup ke dalam semua celah dan lubang
kecil yang ada, dan sepenuhnya menguasainya.
Yeerk sudah memperbudak seluruh bangsa Hork-Bajir. Mereka
sudah bersekutu dengan Taxxon yang menjijikkan. Dan sekarang kita, manusialah,
yang jadi sasarannya. Mereka sudah berada di sini. Mereka ada di sekelilingmu.
Cuma saja kau tak tahu. Mereka bisa siapa saja lho. Kaupikir kau
kenal betul teman-temanmu" Guru-gurumu" Bahkan orangtuamu"
Mungkin juga sih. Tapi mungkin juga tidak. Karena salah satu dari
mereka mungkin saja di kepalanya ada Yeerk-nya. Salah satu dari
mereka mungkin saja Pengendali.
Begitulah kami menyebut manusia yang sudah diperbudak oleh
Yeerk. Pengendali. Pengendali-Manusia, yaitu manusia yang
sepenuhnya diperbudak oleh Yeerk di dalam kepalanya.
Tadi aku menyebut-nyebut Jake. Abang Jake, Tom, adalah
salah satu dari mereka. Di sekolah, wakil kepsek kami, Mr. Chapman, juga salah
satu dari mereka. Dan siapa yang berjuang untuk menghentikan serbuan Yeerk
ini" Hanya sekelompok ABG. Jake, Rachel, Marco, Tobias, anak alien bernama Ax,
dan aku sendiri. Nah, sekarang baru kau khawatir, kan. Kau berpikir, Bumi
diduduki oleh siput jahat dari angkasa luar dan yang ada di pihak kita cuma
beberapa ABG" Yah, kami sebetulnya bukan ABG sembarangan lho. Kami
punya kemampuan khusus. Begini ceritanya. Kami tahu tentang Yeerk
ini dari Pangeran Andalite yang sekarat, Elfangor. Ia memberi kami teknologi
morf Andalite. Teknologi ini membuat kami bisa
bermetamorfosis menjadi binatang apa saja yang kami sentuh.
Aku pernah menjadi serigala, dan elang laut, dan lalat. Aku
pernah menjadi belasan binatang. Aku sudah mengalami berbagai
bahaya maut dan pertempuran keji, mengerikan. Tetapi aku masih
hidup. Masih tetap Cassie.
Dan aku masih tetap cuek soal pakaian. Ini membuat Rachel
sebal, walaupun sudah berlangsung bertahun-tahun.
Rachel sekarang sedang berdiri dalam gudang jerami,
memelototiku. "Cassie, dengerin deh, kau boleh pakai jins kalau memang
maumu begitu. Atau pakai overall. Atau pakai sepatu bot karet
berlapis lumpur kering. Aku bisa menerima semua itu. Tapi paling
tidak, beli jins yang pas lah."
"Ini juga pas," aku memprotes.
"Cassie, kau tahu aku sayang padamu. Kau tahu kau sobatku
yang paling akrab di seluruh muka Bumi. Tapi jins-mu ini sudah
kependekan banget, kau bisa menyeberangi Mississippi tanpa
membuat jins-mu itu basah. Kapan sih kaubeli" Waktu umurmu empat
tahun?" Aku menunduk, melongok jins-ku. Memang sih panjangnya
cuma sampai kira-kira tiga senti di atas sepatu botku. Aku nyengir pada Rachel.
Ia gampang sekali stres untuk soal-soal kecil macam
begini. Sekarang saja wajahnya kelihatan kesakitan. Seolah adanya
jins yang begini pendek ini membuatnya menderita. "Menurutmu ini kependekan?"
"Tidak kalau ada banjir," kata Rachel. "Kalau ada banjir, jins itu cocok untuk
dipakai. Ikutlah aku. Aku akan ke... tempat itu. Sedang ada obral. Aku ingin kau
ikut aku." Kusipitkan mataku. Aku tahu apa yang dimaksudkannya dengan
"tempat itu". "Aku tak mau pergi ke mall denganmu," kataku.
"Siapa yang mau ke mall?" terdengar suara ayahku. Ia baru saja masuk dari pintu
samping gudang. "Rachel," jawabku.
"Tolong suruh dia ikut denganku," Rachel memohon pada
ayahku. Ayahku tertawa. "Wah, sori, Rachel. Aku butuh Cassie. Crazy
Hellen baru saja telepon. Ada kuda sakit berkeliaran di tepi Dry
Lands." Rachel memandang celana jins ayahku. Panjangnya cuma
sampai sekitar lima belas senti di atas sepatunya. Jadi, kaus kakinya yang tidak
match kelihatan. "Heran, menurun dari siapa ya kebiasaan Cassie pakai jins
kependekan?" kata Rachel menyindir.
Aku mengangkat bahu tak acuh. "Brengsek. Aku jadi tidak bisa
ikut kau shopping selama tiga jam, sementara kau memborong apa
saja, dan cowok-cowok ngiler melihatmu. Oh, sayang sekali. Oh,
hidup memang kejam."
Rachel mengeriutkan muka meledekku, kemudian tertawa.
"Hei, kuda sakit jauh lebih penting daripada membeli jins yang panjangnya pas."
"Ayo, ikut kami," ajakku. Aku menyayangi ayahku dan
menyukai pekerjaannya. Betul lho, tapi naik mobil selama dua jam
hanya berdua dengannya sambil mendengarkan CD kuno Stevie
Wonder sih ngebosenin juga.
"Yeah, oke," kata Rachel.
Aku berkata, "Kalau kau ikut, besok pagi kau boleh memilihkan jins baru buatku."
"Jins beneran" Bukan jins murahan yang tampilannya macam
karton biru?" Rachel menggigit bibir dan matanya menerawang.
"Tentu saja kau juga butuh atasan yang serasi...."
Dan begitulah awalnya sampai kami bertemu dengan kuda-kuda
jahat yang mengancam keselamatan umat manusia.
Tetapi sebaiknya aku jangan terlalu jauh dulu. Mula-mula kami
harus bermobil ke Dry Lands dulu.
Chapter 2 HARI sudah gelap ketika kami meninggalkan kota, jauh dari
tepi hutan, dan meluncur menuju area yang biasa kami sebut Dry
Lands. Walaupun namanya Dry Lands, tempat ini bukanlah gurun.
Maksudku, tidak ada kaktus-kaktus seperti di gurun. Tetapi area ini semacam
tanah kosong penuh rumput liar yang kesannya terbentang
tanpa batas. Kadang di sana-sini ada juga satu-dua pohon, tapi hampir semua yang
ada hanyalah rumput dan bunga-bunga liar dan semak-belukar dan tumpukan batubatu karang yang muncul begitu saja di
tanah, seakan ditumpuk di sana oleh raksasa purba.
Yah, malam itu sih sebetulnya tidak banyak yang bisa kami
lihat. Lagi pula kami kan lewat jalan raya. Satu jam melewati jalan raya,
bertiga berdesakan di tempat duduk depan mobil pikap. Ayahku tidak mengizinkan
kami duduk di belakang. Tidak aman, katanya.
Jadi, tentu saja Rachel dan aku tidak bisa ngobrol banyak, ada
ayahku sih. Bukannya melulu karena ia orangtua. Tapi juga karena ia tidak tahu
sama sekali tentang kehidupan kami sebagai Animorphs.
"Jadi, siapa sih Crazy Helen ini?" tanya Rachel, yang sudah putus asa ingin
ngobrol. Lagi pula nama tambahan Helen memang
bikin penasaran. Crazy kan artinya gila.
"Mungkin sebaiknya kita tidak menyebutnya begitu," kata
ayahku. "Meskipun memang begitulah dia menyebut dirinya. Dia
perempuan tua, mungkin sudah delapan puluh tahun. Dia punya trailer di belakang
toko suvenirnya. Aku pertama kali bertemu dengannya
beberapa tahun lalu ketika ada masalah dengan kawanan kuda di Dry
Lands." "Parasit usus," aku menjelaskan. "Cacingan."
"Siapa yang cacingan" Kudanya atau si Crazy Helen?" tanya Rachel.
"Nah, kita sampai," kata ayahku, memotong upayaku mencari balasan yang jitu
untuk Rachel. Ia menghentikan pikapnya di depan toko suvenir yang atasnya
dipasangi papan raksasa bertulisan LAST CHANCE SOUVENIRS.
Kesempatan terakhir beli suvenir, katanya. Papan itu lebih besar
daripada tokonya sendiri. Tokonya tutup, dan dari tampilannya seakan memang
sudah tutup bertahun-tahun.
Di belakang toko itu ada trailer. Jenisnya Airstream. Itu lho,
trailer keperakan berbentuk seperti peluru. Ada awning di depannya, dihiasi
lampu-lampu Natal yang berkelap-kelip. Meskipun sekarang
sama sekali bukan Natal. Crazy Helen keluar ketika melihat kami datang. Rambutnya
kaku penuh uban. Ia memakai blus pudar kembang-kembang, dengan
celana jins bertambal dan sepatu bot koboi.
"Wah," celetuk Rachel. "Itu kau, enam puluh atau tujuh puluh tahun lagi."
Sikuku "tak sengaja" menyodok Rachel, dan kami berdua
tertawa. "Tapi kalau kau, Cassie, kalau tua nanti kau akan memimpin
organisasi sukarela yang menyelamatkan ayam yang menderita, ikan
paus, atau entah binatang apalagi," kata Rachel, melunakkan
ledekannya. Aku suka juga membayangkan masa depan seperti itu.
Meskipun aku tak bisa membayangkan bagaimana aku bisa berurusan
dengan ayam dan ikan paus sekaligus.
"Dia di sana. Di sana itu," Crazy Helen berteriak begitu kami turun dari pikap.
"Kuda dauk - putih-kelabu - betina besar.
Tingkahnya aneh. Sepertinya dia baru makan rumput liar loco."
"Rumpur liar loco?" Rachel menanyaiku.
Aku mengangkat bahu. "Hai, Helen," sapa ayahku kalem. "Kami akan meriksa ke sana.
Bagaimana kabarmu?" "Alien keparat itu masih membuatku tak bisa tidur," katanya.
Kulihat Rachel tegang. Kukedipkan sebelah mataku. Kuberitahu
dia dalam bisikan keras, "Ini alien lain."
"Mereka terus saja mengirim pesan lewat gigi-gigiku," kata Helen. "Mereka terusmenerus memberitahuku bahwa mereka akan
mendarat, tepat di sini. Tapi sudah empat puluh tahun aku tidak
melihat makhluk Mars mendarat. Sungguh tidak dapat dipercaya.
Sangat licik dan tidak dapat dipercaya."
"Siapa?" ayahku bertanya.
"Ya makhluk-makhluk Mars itu," Crazy Helen tertawa. Bukan tawa orang gila. Tawa
lembut orang yang tahu sesuatu. Kadang-kadang aku bertanya-tanya sendiri apakah
Crazy Helen ini benar- benar gila atau cuma berpura-pura.
"Nah, kami akan memeriksa kuda ini," kata ayahku.
Rachel dan aku menyorotkan senter ke dalam kegelapan. Bulan
sudah tinggi, tapi cuma berupa sabit kecil dan tidak memancarkan
banyak cahaya. Dan segera saja kami berada di luar jangkauan cahaya dari trailer
dan papan nama toko suvenir. Masuk dalam kegelapan
total yang biasa kautemui jika kau jauh dari kota.
Senter kami menangkap pohon-pohon, semak, dan batu karang.
Satu-satunya bunyi yang terdengar hanyalah gesekan rumput-rumput
liar sementara kami melewatinya.
Ayahku dan aku menyipitkan mata memandang kegelapan,
mencari seekor kuda. Rachel, sebaliknya, memandang jalan raya.
"Hei, itukah kuda yang kalian cari?" tanya Rachel.
"Mana?" "Itu di sana. Dekat jalan raya. Dekat telepon umum itu."
Dad dan aku berbalik. Seekor kuda putih-kelabu dan tak terawat
sedang berjalan, bergoyang ke kiri dan ke kanan. Seperti orang
mabuk. Selagi kami memandang, kuda itu seakan tertarik pada telepon.
Ia mengangkat gagang telepon dengan mulutnya dan membiarkannya
terjuntai. Dan saat itulah hal aneh terjadi. Kuda itu menundukkan kepala
ke tanah, mencomot ranting dengan moncongnya, dan kelihatannya
menekan-nekan nomor telepon.
"Sintingkah aku, atau kuda itu memang sedang mencoba
menelepon?" kata Rachel.
Ayahku mengangkat bahu. "Pasti dia kebingungan. Tak tahu
apa yang dilakukannya. Ayo, kita ke sana."
Aku memperlambat langkah supaya bisa jalan bareng dengan
Rachel. "Kuda itu sedang menekan tombol telepon," Rachel berbisik.
"Kelihatannya memang begitu," aku setuju.


Animorphs - 14 Melacak Pesawat Misterius di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pesan pizza?" Rachel menebak.
"Pakai jerami, dedak, dan keju ekstra?"
Dad sudah hampir sampai ke dekat si kuda. Kuda itu
melihatnya, dan ragu-ragu. Seakan ia bingung, mau terus menelepon
atau melarikan diri. Hanya saja rupanya ia tak bisa lari. Yang bisa dilakukannya
hanyalah berjalan terhuyung dalam kegelapan, nyaris
jatuh tersuruk. "Whoa, tenang, tenang," kata ayahku dalam suara
menenangkan-binatangnya. "Tenang, aku cuma mau membantumu."
Tetapi kuda itu tidak tertarik. Ia terus bergoyang dan terhuyung
dan menjauh secepat ia bisa. Aku kehilangan kuda itu dalam
kegelapan, tetapi kemudian kami mendengar bunyi BLUG.
Aku langsung lari dan segera saja bergabung dengan ayahku. Ia
berlutut memeriksa kuda yang jatuh itu. Kuda itu berusaha berdiri, tapi sia-sia
saja. "Kenapa dia, Dad?" tanyaku tegang. Kuda itu berkeringat
banyak. Ia mendelik kepada kami dengan matanya yang cokelat besar.
"Yah, bisa macam-macam," ia menjawab. "Tapi aku berani taruhan dia digigit ular.
Coba usahakan agar dia tenang. Aku harus mengambil peralatan dari mobil. Aku
segera kembali." "Ular?" tanya Rachel.
"Ya. Kan banyak ular di sini," kataku. Kutepuk-tepuk pinggul kuda itu sambil
bersuara menenangkan. "Tapi tidak malam hari, kan" Maksudku, ular kan binatang
siang... betul?" "Tidak selalu."
"Bagus. Ini jauh lebih menyenangkan daripada mall. Ular
berbisa dan kuda yang menelepon."
Mendadak saja aku melihat sesuatu terjadi pada kepala kuda itu.
"Lihat!" aku berseru.
Dari dalam telinga kiri kuda itu merayap keluar seekor siput.
Siput besar abu-abu. "Apakah ini seperti yang kupikirkan?" Rachel berbisik.
"Yeah, kurasa begitu."
Siput abu-abu itu merayap keluar dari kepala kuda. Ia mendarat
di atas kerikil dan rumput, lalu merayap pergi.
Aku sudah pernah melihat siput semacam itu. Rachel juga
sudah. "Yeerk," bisikku. "Ada Yeerk dalam kepala kuda ini."
Yeerk itu merayap ke dalam kegelapan. Aku menoleh dan
melihat ayahku masih sibuk menyiapkan peralatan medisnya di pikap.
Dan saat itulah si kuda jantan pucat muncul.
Ia bukan kuda yang besar. Tapi sekali pandang saja kau akan
tahu, ia binatang yang kuat. Ia melangkah tenang mendekati kami,
kepalanya terangkat tinggi. Ia menunduk memandang kuda yang
digigit ular, kemudian ganti memandang Yeerk yang sedang merayap
pergi. Sulit melihat dalam kegelapan, tetapi kurasa si Yeerk berusaha
mengangkat tubuhnya ke arah si kuda. Seakan ingin menggapainya.
Kemudian kuda jantan itu berbalik dan berlari pergi.
"Rachel?" "Yeah." "Kita harus meninggalkan tempat ini."
"Apa maksudmu" Kenapa?"
Aku tak tahu kenapa. Perasaanku mengatakan begitu. Naluri.
Tapi kuat sekali. "Ayo, cepat pergi. Lari! LARI!"
Kusambar lengan Rachel dan kuseret dia. Kami baru melangkah
kira-kira delapan langkah, ketika... TSSEEEEEWWW!
TSSEEEEEWWW! Cahaya menyilaukan! Terang dan tajam seakan lampu blitz
yang dinyalakan di depan matamu! Cahaya itu datangnya dari atas.
Dari langit. Gundukan karang terbelah. Tanah sendiri kelihatannya
meledak! Wajahku menghantam tanah bahkan sebelum aku sadar aku
terjatuh. Chapter 3 AKU terbaring tertelentang. Aku berada dalam ruangan.
Kubuka mataku. Ada alien menunduk menatapku. Wajah oval pucat
bagai hantu, dengan dua mata besar. Kelihatan seperti anak kecil,
dengan lengan dan kaki yang lemah.
Kelihatannya seperti salah satu alien dari film lama buatan
Steven Spielberg, Close Encounters of the Third Kind. Malah persis dengan salah
satu dari mereka. Kukejapkan mataku dan kupandang sekali lagi. Rupanya baliho
dengan ukuran sebenarnya. Tegak di belakang alien itu ada Data yang main di film
Star Trek: The Next Generation.
Aku duduk. Di sekelilingku rak-rak dengan tumpukan topeng
Star Wars - Wookiees dan Darth Vader dan Pasukan Tempur
Kerajaan, serta segala tetek-bengek Star Trek, termasuk kuping Dr.
Spock. Di mana-mana ada poster - Mulder dan Scully dari X-Files,
Mike, Crow, Servo, dan Gypsy dari Mystery Science Theater 3000,
Jane Fonda sebagai Barbarella, dan poster-poster bioskop dari Plan 9
From Outer Space, The Day the Earth Stood Still, Invasion of the
Body Snatchers, dan, tentu saja, 2001: A Space Odyssey.
Tetapi sebagian besar adalah poster, mug, asbak, pensil, dan Tshirt yang semuanya berlogo merah-putih dan didominasi huruf-huruf yang
membentuk tulisan "Zona: 91".
"Dia sadar," Rachel berkata. Ia mendekat, satu tangannya membawa tongkat pendek.
"Apa yang terjadi?" aku bertanya padanya.
"Kau pingsan. Ingat, kan, waktu tiba-tiba ada ledakan." Ia mengangkat satu
alisnya dan melontarkan pandangan penuh arti.
Aku mengerti. Rachel mengingatkan aku bahwa kami tidak
melihat apa yang telah kami lihat - tak ada Yeerk yang merayap
keluar dari telinga kuda. Tak ada sinar Dracon.
Ayahku bergegas datang, diikuti Crazy Helen. Ia berlutut dan
meraba kepalaku. "Auw!" "Kelihatannya oke," gumamnya. "Lukanya tidak dalam. Memar, tapi kelihatannya
tidak gegar otak. Tapi, untuk amannya, aku akan
mampir ke ruang gawat darurat rumah sakit dalam perjalanan pulang.
Biar kau diperiksa dokter."
Rachel mengedip. "Siapa tahu Dokter Carter ada di sana. Noah
Wyle. Oh, yeah." "Apa yang terjadi?" tanyaku pada Dad.
"Yah, honey..."
"Pasti alien-alien itu," Crazy Helen menyela. "Mereka menyebar karang yang bisa
meledak itu di sana. DUAR!"
Ayahku memainkan matanya. "Kita berada di pinggir kompleks
fasilitas Angkatan Udara. Mereka punya pangkalan di Dry Lands.
Kaulihat jet-jet yang beterbangan, kan" Kuduga mereka kehilangan
bom atau granat atau apa. Pastilah kuda yang digigit ular itu tanpa sengaja
membuatnya meledak. Kau terkena ledakannya."
"Masuk akal," kataku.
"Pasti si alien!" Crazy Helen menjerit. "Mereka menyekap alien di Zona Sembilansatu! Itulah sebabnya segalanya serbarahasia di
sana. Itulah sebabnya Angkatan Udara tidak mau bicara tentang itu.
Zona Sembilan-satu adalah pangkalan rahasia tempat pemerintah
menyekap alien-alien yang mereka tangkap. Mereka dikurung di
dalam kandang. Mereka menyadap rahasia teknologi dari para alien
itu. Kalian pikir komputer terjadi begitu saja" Semuanya dari alien-alien itu.
Ini mug suvenir untukmu. Harganya sepuluh dolar sembilan-sembilan sen. Tapi
untukmu gratis karena kau terluka."
Helen meraih mug dari rak, menggosoknya ke lengan bajunya,
lalu mengulurkannya kepadaku.
Rachel mengangkat tongkatnya. "Aku dapat tongkat ini,"
katanya. "Kau mau mug juga?" Helen menanyainya.
"Tidak, tongkat ini keren. Tapi aku tidak percaya pada alien."
Rachel mengatakannya dengan wajah serius.
Helen cuma tersenyum. "Banyak orang yang percaya, Nona.
Orang-orang pintar, lagi! Orang-orang di Zona Sembilan-satu tahu itu.
Oh, mereka tahu! Pemerintah tidak mau kita ngomong macammacam. Mereka mengawasiku. Mereka nguping lewat microchip yang
mereka tanam dalam kepalaku. Sekarang pun mereka sedang
mendengarkan! Salah satu helikopter hitam mereka sedang
mendengarkan dan meneruskan semua yang kita bicarakan ke kantor
pusat New World Order di Azores. Azores terletak di tempat yang
dulunya bernama Atlantis, kalian tahu, kan."
Ocehan Helen ini membuat kami untuk sementara tak bisa
ngomong apa-apa. Kami cuma melongo saja.
"Nah, kita sebaiknya tidak mengganggu Helen lebih lama lagi,"
kata ayahku, memecahkan pesona ini. "Cassie sayang, bagaimana perasaanmu"
Bisakah kau memfokuskan matamu?"
"Um, ya," jawabku. "Tapi bagaimana kudanya?"
Ayahku menggeleng, bingung. "Aneh sekali. Tidak ada
jejaknya lagi. Lenyap begitu saja."
"Hah. Itu ulah makhluk-makhluk Mars," kata Crazy Helen.
"Semua gara-gara ulah alien brengsek itu."
Rachel dan aku bertukar pandang. Kami berdua punya pikiran
yang sama: Sungguh dunia yang aneh, dan di dunia aneh ini omongan
orang yang bernama Crazy Helen paling tidak sebagian ada benarnya.
Chapter 4 "KALIAN belum pernah dengar tentang Zona Sembilan-satu"
Itu kan Tempat Keramat para orang gila yang berkonspirasi," kata Marco seraya
menyeruput Mountain Dew-nya. "Buset, kalian ini tidak pernah buka Internet, ya"
Internet itu penuh orang-orang yang
berpendapat ada alien di Zona Sembilan-satu. Makanya disebut the
Most Secret Place On Earth - Tempat Paling Rahasia di Muka Bumi."
"Aku buka Internet," kata Rachel. "Cuma aku tidak
mengembara di chat rooms, menyebut diriku 'Studboy' dan berusaha
meyakinkan orang-orang bahwa aku miliuner supertampan berusia
tiga puluh tahun." "Sori, deh," kata Marco, "tapi aku tidak memakai nama
'Studboy' di layar. Jangan menghina, dong. Aku pakai nama
BaldwinBoyFive. Kalian tahu, kan, saudara kelima Baldwin yang
hilang. Yang paling cakep."
Kami sedang berada di food court di mall, sehari sesudah
insiden di Dry Lands. Aku memeluk kantong belanja.Di dalamnya ada
kantong yang lebih kecil-kecil dari The Gap dan J. Crew.
Semua ini kerjaan Rachel. Meskipun ada kejadian serius begini,
ia masih ingat juga janji bloonku. Sekarang aku punya pakaian keren.
Bukan sekadar pakaian biasa, lho. Pakaian keren.
"Bahkan aku pun sudah dengar tentang Zona Sembilan-satu,"
kata Jake. "Dan tidak seperti Marco, aku orang biasa yang cukup normal."
Marco melemparkan sepotong kentang goreng ke arah Jake.
Jake menunduk. Dan dengan gerakan sebat Ax menyambar kentang
goreng itu dari udara, melemparkannya ke dalam mulutnya, dan
berkata, "Mmmm. Lemak. Luemaaaak dan garam!"
Saat itu seorang cowok ABG mendatangi meja kami. Ia
kelihatan tegang dan cemas. Seakan ia takut berada di mall. Berkali-kali ia
menoleh ke belakang. Dan kalau ia memandangmu, ia
menyipitkan mata, seakan matanya minus.
"Hai, Tobias," sapa Marco. "Kami baru mau pesan pizza. Kau mau yang pakai daging
tikus?" Mungkin aku harus mundur sedikit dulu dan menjelaskan siapa
orang-orang ini. Karena kalau tidak, kau tidak akan pernah menebak bahwa
rombongan ini adalah kelompok Animorphs.
Yang pertama, Jake. Jake boleh dibilang pemimpin kelompok.
Bukannya kami semua memperlakukannya sebagai pemimpin sih.
Dan bukan juga karena ia ingin diperlakukan sebagai pemimpin.
Justru itu sebagian alasan kenapa Jake adalah pemimpin kami karena ia jenis orang yang tak perlu dijilat.
Kemudian ada Marco. Apa yang bisa kubilang tentang Marco"
Tidak sebanyak yang ingin dikatakannya sendiri, jelas.
Marco ini biang humor dalam kelompok kami. Tapi ia bukan
badut kelas, lho. Ada keseriusan, di balik semua lelucon dan ledekan yang begitu
fasih keluar dari mulutnya. Marco melihat hal-hal yang kadang tidak dilihat
orang lain. Ia sangat cerdik dan sangat waspada, kalau kau tahu maksudku.
Marco adalah sahabat Jake. Sudah sejak dulu mereka
bersahabat. Tak ada yang ingat lagi kapan mulainya.
Tetapi sejak persahabatan mereka dimulai, mereka selalu
bertengkar tentang hal-hal paling tolol di dunia ini, seperti apakah kau
sebaiknya menggunakan lebih banyak pedal atau tuas yang lebih
tinggi untuk memenangkan balapan mobil di video game yang mereka
sukai; apakah Spiderman bisa mengalahkan Batman; apakah basket
memerlukan kerja sama tim yang lebih besar dibanding sepak bola;
apakah keju rasanya kuning.
Aku tidak ngibul, lho. Mereka pernah menghabiskan sepanjang
hari Sabtu mempertengkarkan apakah sesuatu rasanya bisa seperti
warna. Aku ingat Marco berpendapat bahwa keju itu sebetulnya
rasanya hijau. Meskipun ide mereka aneh-aneh begitu, Jake dan
Marco, bersama Rachel dan aku, adalah anggota Animorphs yang
paling normal. Yang dua lagi jelas lebih aneh sih.
Tobias, misalnya. Tobias adalah anak yang terperangkap dalam
tubuh elang ekor-merah. Itu terjadi kalau kau berada dalam morf lebih dari dua
jam. Kau akan menjadi binatang yang sedang kaumorf itu
selamanya. Tobias tinggal di hutan dekat padang rumput. Ia hidup dari berburu
tikus dan kelinci. Tetapi makhluk Ellimist yang sangat berkuasa, belum lama ini
mengembalikan kemampuan Tobias untuk morf. Jadi sekarang Tobias
bisa bermetamorfosis seperti kami semua. Hanya saja kalau kami
harus kembali ke wujud manusia kami sebelum batas waktu dua jam,
Tobias harus kembali ke wujud elangnya.
Jadi sosok manusia Tobias yang sekarang berada di mall
sebetulnya hanyalah morf tubuh manusianya yang dulu. Itulah
sebabnya ia kelihatannya seperti orang yang matanya minus. Soalnya ia sudah
terbiasa dengan mata elangnya yang setajam laser.
Ia bisa saja menjadi manusia selamanya, tapi ia akan
terperangkap dalam tubuh manusia itu, dan tidak akan bisa
bermetamorfosis. Anggota terakhir grup kami sama sekali bukan manusia. Nama
lengkapnya Aximili-Esgarrouth-Isthill. Kami memanggilnya Ax.
Ax itu Andalite. Tetapi ia juga punya morf manusia yang ia
ciptakan dari gabungan DNA Jake, Marco, Rachel, dan aku.
Ax dalam wujud manusianya sangat manis untuk ukuran
cowok. Dan aneh sekali. Soalnya, Andalite tidak punya mulut. Mereka tidak punya
indra pengecap. Jadi kalau Ax sedang dalam morf
manusianya, ia sama sekali tak punya kontrol terhadap rasa.
Ax berbahaya sekali kalau berada dekat kue kayu manis. Dan
cokelat. Dan popcorn. Dan karton wadah popcorn itu sendiri.
Pendeknya, kalau Ax sedang dalam wujud manusianya,
sebaiknya ia tidak berada dekat-dekat apa saja yang bisa dimakan.
Kami pernah harus menyetopnya ngemil puntung rokok dari asbak.
Jangan salah sangka lho. Ax ini brilian, sopan, terhormat, dan
pemberani? - kalau ia sedang dalam wujud aslinya.
"Jadi, ada kabar apa nih?" tanya Tobias.
Enam pasang mata secara tidak kentara mengawasi area di
sekeliling kami. Mall tidak sedang penuh, dan saat ini masih terlalu awal bagi
orang-orang yang akan makan malam. Tapi kami harus


Animorphs - 14 Melacak Pesawat Misterius di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yakin bahwa tak ada orang yang berada dekat-dekat jarak dengar.
Musuh kami bisa siapa saja. Di mana saja.
"Rachel dan Cassie pergi ke Zona Sembilan-satu dan ketemu
kuda yang menelepon," kata Marco.
Mata Tobias menatapku, kemudian menatap Rachel. Ia
kelihatan serius sekali. Ia sudah nyaris lupa bagaimana manusia
menampilkan perasaan dengan ekspresi wajahnya. Tapi ia masih tetap Tobias. "Apa
ada yang bisa menerjemahkan ocehan Marco ke bahasa normal?"
"Kurasa aku lebih suka kau jadi ayam, Tobias," kata Marco.
"Elang ekor-merah," kata Tobias sabar.
Marco mengangkat bahu. "Ayam, merpati, elang, apa sajalah.
"Ehm, bagaimana kalau kita ke pokok masalah sebelum ada
yang mengganggu kita?" Jake mengusulkan.
"Oke, Dad," ujar Marco. Kemudian, mendadak serius, dengan cepat dan efisien ia
meringkaskan untuk Tobias apa yang telah kami ketahui.
"Yeerk dalam kuda," kata Rachel. "Tidak masuk akal. Masa sih Yeerk mau membuat
kuda jadi Pengendali?"
"Apakah kuda punya kekuatan istimewa" Keh-kuh-than?" Ax
bertanya. Selain senang sekali mencicipi segala macam, baginya
mengucapkan kata-kata dengan suara juga aneh.
Aku mengangkat bahu. "Mereka binatang yang biasa
berkelompok. Tidak terlalu cerdik. Sebetulnya malah agak goblok.
Mereka bisa berlari cepat, tapi masih banyak binatang lain yang bisa lari lebih
cepat. Mereka kuat, tetapi ada banyak binatang lain yang lebih kuat." Sekali
lagi aku mengangkat bahu. "Aku tak bisa mengerti kenapa Yeerk ingin menyusupi
kuda." "Mungkin mereka pikir mereka bisa memenangkan Kentucky
Derby," Rachel bergurau. Kentucky Derby adalah pacuan kuda
bergengsi. "Mungkin ini semacam hiburan bagi para Yeerk," Jake
mengusulkan. "Mungkin mereka melakukannya cuma buat bersenang-senang."
"Aku tak percaya Yeerk melakukan sesuatu untuk bersenangsenang, Pangeran Jake," kata Ax. "Pasti mereka punya alasan."
"Ax, tolong dong jangan panggil aku 'Pangeran Jake'. Terutama kalau di depan
umum." "Baik, Pangeran Jake. Jei-keh."
"Kalian berdua yakin tentang ini?" tanya Jake pada Rachel dan aku. "Benarkah
Yeerk yang kalian lihat" Bukan ular atau bekicot atau entah apa?"
"Dan bagaimana jika ayahmu benar, bahwa itu granat artileri
yang meledak, dan bukan sinar Dracon?" kata Tobias.
"Kami tidak meragukan kalian," Jake cepat-cepat
menambahkan. "Hanya saja tak ada alasan yang masuk akal kenapa Yeerk ingin
menguasai kuda." Aku menatap Rachel. Aku yakin akan apa yang telah kami lihat.
Sebagian besar. "Yah... kurasa aku bisa salah. Tapi aku cukup yakin."
"Yeah. Cukup yakin," Rachel mengekor.
"Jadi" Apa yang kita lakukan?" tanya Jake. "Melihat-lihat ke Dry Lands" Siapa
tahu kita bisa mendapatkan lebih banyak bukti?"
"Asyik sekali terbang ke sana," kata Tobias. "Banyak termal nyaman."
"Dan banyak ular dan kodok yang lezat?" Marco meledek.
"Aku tak bisa pergi besok pagi," kata Jake. "Ayahku ulang tahun. Kami semua akan
keluar makan malam."
"Tom juga?" tanya Rachel.
"Tom bilang dia akan ikut," kata Jake muram. "Tapi siapa tahu"
Ia melewatkan banyak waktu ikut rapat The Sharing belakangan ini.
Ini alasan lebih kuat lagi kenapa aku harus hadir. Jangan sampai
ayahku merayakan ulang tahunnya tanpa dihadiri paling tidak salah
satu dari anak laki-lakinya."
"Kau sudah beli hadiah apa untuk ayahmu?" tanyaku, berusaha meringankan suasana.
Jake nyengir. "Belum sih, tapi kurasa aku akan membersihkan
saluran talang air untuknya."
Marco bergidik. "Pekerjaan fisik" Apa tidak cukup kalau
kauberi dia kartu Hallmark saja?"
"Aku penasaran dengan urusan kuda ini," kataku. "Tapi bisa kita tunda sampai
akhir pekan." "Ada baiknya dicek," kata Jake. "Tapi kan tidak perlu semua ikut. Siapa yang
ingin ikut Cassie terbang besok sepulang sekolah?"
Pada akhirnya Tobias, Rachel, Marco, dan aku memutuskan
untuk pergi menyelidiki. Jake sibuk, dan kurasa Ax tidak merasa perlu ikut. Kami
pun berpisah. Kami berusaha untuk tidak terlalu banyak
melewatkan waktu bersama-sama di depan umum. Kami tak ingin ada
Pengendali penasaran yang mulai berpikir kami ini satu "grup". Jadi Rachel dan
aku pulang berdua. "Tak ada yang menganggap masalah ini serius, kan?" kutanyai dia. "Kayaknya,
menurut Ax kita berdua ini sinting."
"Yeerk dalam kepala kuda" Pengendali-Kuda" Memang susah
sih melihat itu sebagai suatu ancaman besar."
"Yeah. Kurasa memang begitu."
"Tapi hei, jadi ada alasan untuk terbang, kan?"
Chapter 5 ESOK harinya aku pakai pakaian baruku ke sekolah. Aku
ketemu Rachel sebelum jam pelajaran pertama dan kami berjalan ke
kelas bersama-sama. "Kau keren deh!" kata Rachel.
"Hai, Rachel," cowok bernama Charles menyapa, tersenyum
salah tingkah. "Oh, dan hai, ehm... Carla."
"Nah, lihat, kan" Charles tersenyum padamu.
"Dia memanggilku Carla."
"Pernahkah dia menyapamu sebelumnya?" tanya Rachel.
"Kurasa belum."
"Nah" Kemajuan, kan."
Marco senang meledek Rachel, dan menyebutnya Xena:
Warrior Princess. Dan saat aku bersamanya, kurasa aku Gabrielle,
sahabat karibnya. Cowok-cowok melihat Rachel dulu pertama
kalinya, juga kedua dan ketiga. Baru keempat kalinya mereka
melihatku. Sebetulnya aku tidak peduli. Penampilan dan pakaian sama
sekali tak berarti bagiku. Dan orang-orang yang berarti bagiku adalah mereka
yang melihat di luar semua itu.
"Hai, Rachel. Apa kabar?" cowok bernama Jawan menyapa,
tersenyum malu-malu. "Baik," jawab Rachel anggun. "Cassie, kau sudah kenal Jawan, kan?"
Aku mengangkat bahu. "Hai, Jawan."
"Hai, Kendra," balasnya. "Sampai ketemu pelajaran Inggris nanti, Rachel."
"Kendra?" tanyaku pada Rachel.
"Dia jelas menatapmu," kata Rachel. "Jadi apa salahnya kalau dia tidak bisa
mengingat nama dengan baik?"
"Dia ingat banget namamu," bantahku. Kemudian aku melihat Joe. Joe adalah
temanku sejak kami sama-sama belajar naik kuda. Ia pasti ingat namaku.
"Hei, Cassie. Whoa! Whoa! Kau lain deh." Ia mundur dan
memandangiku. "Baju baru?" Rachel memancing.
Joe menggelengkan kepala. "Tidak, bukan itu. Oh, sekarang aku tahu!" Ia
menjentikkan jari. "Kau gemukan! Memangnya belakangan ini kau makan banyak?"
Rachel mengulurkan tangannya dan mendorong Joe minggir
dengan sikap meremehkan. "Itu tidak membuktikan apa-apa," kata Rachel.
"Uh-huh. Dia bilang aku kelihatan lebih gemuk."
"Kadang-kadang cowok memang tolol."
"Jake tidak," kataku.
Rachel memainkan matanya. "Kalau Jake sih perkecualian,"
katanya. "Dan ini dia datang."
Jake berjalan di selasar, bergurau dan ngobrol dengan temanteman non-Animorphs. Sebagian yang harus kami lakukan adalah
menjalani kehidupan normal sebanyak mungkin.
"Hai, Cassie," sapa Jake, memisahkan diri dari temantemannya. "Hai, Rachel."
Rachel melangkah mundur, dan mengembangkan tangannya ke
arahku seperti desainer ternama memamerkan supermodel
terakhirnya. "Jadi?"
"Jadi apa?" tanya Jake bengong.
"Bajunya, man! Pakaiannya!" Rachel meledak frustrasi. "Kau nggak lihat Cassie
keren sekali dengan baju baru ini" Baju yang pas, dan tidak ada noda kotoran
rakunnya" Bukankah dia kelihatan keren?"
Jake mengembangkan senyum pelannya. "Tentu saja dia
kelihatan keren. Kan dia memang selalu keren. Selamat bersenangsenang di Dry Lands nanti sore. Dan hati-hati, ya."
Ia berjalan terus ke ujung selasar, meninggalkan aku yang
merasa hangat dan bahagia.
Rachel menatapku. "Oke, dia juga tolol."
"Tidak, kau sudah benar tadi," kataku puas. "Dia perkecualian."
Tiba saat istirahat pertama. Aku menghela napas dalam-dalam,
reaksiku yang biasa kalau istirahat pertama tiba. Ruang kelasku
pengap dan panas. Jendela-jenderanya menghadap ke dinding
belakang ruang senam. Aku kembali ke tempat dudukku dan mencoba mengingat apa
yang seharusnya kami pelajari malam sebelumnya. Apakah aku sudah
mengerjakan PR" Oh, yeah. Sudah. PR-nya kumasukkan dalam...
"Tidak! Tidak! Mana mungkin!"
Suara Marco. Ia duduk dua deret di belakangku. Tapi sekarang
ia meloncati deretan bangku di depannya dan mendarat di kursi
kosong di sebelahku. Ia menatapku, matanya terbelalak kagum.
Terpana. "Siapa cewek cantik jelita ini" Siapakah khayalan yang menjadi kenyataan ini"
Maaf, tapi apakah Anda Tyra Banks" Tidak, tidak, tak mungkin Anda ini manusia
biasa. Manusia biasa mana mungkin
begini sempurna. Anda pasti bidadari yang turun dari kahyangan!
Maksudku, orang bilang pakaian bisa mengubah penampilan, tapi
pakaian ini mengubah Anda jadi bidadari."
Aku mengeluarkan PR-ku dan menaruhnya di atas meja. "Kau
sudah selesai?" tanyaku pada Marco.
Ia berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Yeah. Kurasa
sudah cukup." "Dibayar berapa kau oleh Rachel?"
Ia nyengir. "Dua dolar. Cewek memang idiot banget. Dibayar
sedolar pun aku mau."
Chapter 6 KAMI bertemu di Klinik Perawatan Satwa Liar.
Aku bergegas membagikan obat pada pasien-pasien di kandang.
Minggu ini sepi. Separo kandang-kadang kosong. Ini tidak biasanya.
"Kau sudah siap?" Rachel bertanya.
"Tinggal mengecek balutan oposum ini. Bagus. Jahitannya
masih bertahan. Pintar," kataku pada si oposum yang cakarnya robek.
"Oke. Sekarang aku sudah siap."
Tobias bertengger di usuk - palang langit-langit-seperti biasa.
Ia sudah dalam wujud elang lagi. Elang ekor-merah dengan punggung
cokelat dan dada cokelat kemerahan, dan ekor yang lebih merah lagi.
Matanya keemasan dan tajam sekali.
Ia berkomunikasi dengan bahasa-pikiran.
katanya kepadaku. belanjaan. Pikap ayahmu baru saja belok di persimpangan dekat
Stasiun Exxon. Baru lima menit 1agi dia sampai di sini.>
Aku tidak meragukan Tobias. Mata elang luar biasa tajamnya.
Dari posisinya di palang, Tobias bisa memandang ke luar lewat pintu gudang.
Kalau ia bilang ayahku lima menit lagi baru sampai, ya lima menit lagi baru ia
sampai. "Ayo kita morf," ajak Rachel.
Ia melepas pakaian luarnya, melipatnya rapi, dan
memasukkannya ke dalam ranselnya. Di bawah pakaian itu ia
memakai baju morf-nya. Sejauh ini kami belum menemukan cara
untuk me-morf pakaian tebal. Kami hanya me-morf pakaian yang
melekat ketat ke badan. Seperti leotard hitam Rachel. Atau baju
aerobikku yang lebih warna-warni. Atau celana sepeda Marco.
Kupusatkan pikiranku pada morf yang kuinginkan. Elang laut,
jenis elang yang makan ikan dan tinggal dekat pantai. Elang laut
cocok untuk terbang jauh.
Rachel bermetamorfosis menjadi burung favorit pilihannya,
rajawali bondol. Marco bermetamorfosis menjadi elang laut, seperti aku.
Kembaranku malah, karena kami menyerap DNA burung yang
sama. Aku mulai memusatkan pikiranku pada si elang laut, dan
kurasakan tubuhku mulai berubah. Bermetamorfosis selalu
membuatku tegang. Aku sudah melakukannya puluhan kali, tetapi
setiap kali aku merasa beruntung sekali memiliki kemampuan ini. Aku tak akan
pernah bosan. Ini pengalaman yang amat sangat luar biasa.
Masing-masing metamorfosis prosesnya berbeda. Yang terjadi
tak bisa diduga. Tak selalu mulus dan bertahap. Kadang-kadang malah sama sekali
tidak logis, dan kau sama sekali tak bisa menduga apa
yang akan terjadi lebih dulu.
Kali ini perubahan yang pertama kulihat adalah kakiku. Tanpa
mengecil dulu, kakiku mulai berubah menjadi kaki burung. Kelima
jari kakiku melebur jadi satu. Dan dari leburan itu muncul cakar-cakar panjang.
Tiga cakar panjang ke arah depan, satu ke arah belakang.
Menunduk memandang kaki baruku, aku paham kenapa orang
bilang burung itu keturunan dinosaurus. Cakar elang kelihatannya
persis kaki Tyrannosaurus atau jenis dinosaurus besar lainnya.
Melihat cakar elang, kau akan langsung tahu, itu senjata. Cakar
itu tanpa daging dan tanpa bulu, sehingga darah mangsanya tidak
menempel dan tidak membuat cakar itu jadi menjijikkan. Kedua cakar itu bisa
bergerak sebat dan cengkeramannya kuat sekali.
Sekali cengkeram, susah lepasnya. Kuku-kuku tajam di
ujungnya didesain tidak hanya untuk mencengkeram dahan atau untuk
berjalan, melainkan untuk ditancapkan ke daging mangsanya.
Alam, seperti yang diajarkan orangtuaku, memang tidak selalu
ramah dan hangat. "Kakinya, wow, seksinya!" Marco mulai iseng. Kemudian ia tertawa, tapi tawanya
terpotong ketika mulutnya meletup menjadi
paruh elang laut. Perubahan berikutnya adalah kulitku. Warnanya berubah
menjadi abu-abu. Dan di sekujur kulit lenganku kulihat pola mulai
terbentuk. Pola bulu-bulu, seperti pohon-pohon kecil yang dipres.
Jaringan pembuluh darah kecil-kecil yang saling bertumpuk seperti
genting di atap. Kemudian, menjalar di sekujur tubuhku, pola itu berubah
menjadi tiga dimensi. Pola itu seakan menggembung dan menjadi
bulu-bulu utuh. Gatal rasanya. Tetapi tidak sakit. Kutahan keinginan untuk
menggaruk. Karena jari-jariku sudah bukan jari lagi. Tulang-tulang jariku sudah
memanjang. Pada saat yang bersamaan tulang-tulang
lenganku berubah bentuk dan mengecil, menjadi lebih ringan dan
kosong, cuma berisi udara.
Tulang-tulang berderak saat kau morf. Waktu pertama kali sih
bikin grogi juga. Akhirnya tubuhku mulai mengecil. Tanah serasa bergegas
menyongsongku. Meskipun aku telah mengalaminya berulang kali,
tetap saja aku belum bisa menghilangkan perasaan bahwa aku jatuh
dan jatuh dan jatuh tanpa pernah menyentuh dasar.
Tadi sepatu botku kutinggalkan di sebelahku. Sepatu itu
tingginya setengah betisku. Tapi sekarang, saat aku mengecil, sepatu itu jadi
besar. Dalam waktu kurang dari semenit tingginya mencuat


Animorphs - 14 Melacak Pesawat Misterius di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari setengah betis menjadi sepinggang.
Dan aku masih terus mengecil.
Pada saat yang bersamaan, organ-organ dalamku mulai berubah
dan bergeser. Usus manusiaku yang panjang dan melingkar berubah
menjadi alat pencerna makanan burung yang jauh lebih pendek.
Jantung manusiaku yang berdetak pelan menjadi jantung elang laut
yang berdetak sangat cepat. Limpa, paru-paru, hati... tak ada lagi yang sama.
Kemudian... SPRUUUT! Bibirku mendadak muncul dan lebih
keras daripada kuku. Berubah jadi paruh bengkok elang yang bisa
mengoyak mangsanya. Kurasakan gigi-gigiku lenyap begitu saja. Kurasakan dahiku
tertarik ke belakang dan dadaku menyempit.
Semua lemak tubuhku menghilang. Yang tinggal hanyalah kulit
dan otot dan tulang-tulang kosong yang terbungkus bulu.
Kulihat beberapa binatang dalam kandang mengawasi kami
dengan penuh minat. Tapi yang paling berminat adalah seekor rubah
terluka, yang kelihatannya terpana melihat kami berubah dari manusia besar
mengerikan menjadi burung-burung kecil yang lezat. Ia
menatapku dengan rakus, mata kecilnya berkilau.
kata Tobias. sebelum ayah Cassie datang.>
kata Marco.
Kubentangkan lenganku. Tapi aku tak lagi punya lengan.
Lenganku sudah jadi sayap.
Aku memandang Rachel. Mata manusianya baru saja berubah
warna. Ia balas menatapku dengan tatapan tajam rajawali.
ajakku. Kubentangkan sayapku dan
kukepakkan keras-keras. Sekali lagi. Lagi. Kutarik kakiku ke atas dan kekepakkan
sayapku beberapa kali lagi.
Aku terangkat dari lantai gudang. Susah sekali lho. Kami
berada di gudang yang sempit, dan tak ada angin yang menerpa dari
arah depan. Kukepakkan sayapku dan aku melayang naik ke palang, lalu
bertengger di sebelah Tobias. Rachel beristirahat di depan kami.
Besarnya hampir dua kali kami, dengan sayap yang terbentang sampai dua meter
dari ujung ke ujung, dan kepala serta ekor putih bersih.
Aku melongok lewat pintu gudang yang terbuka. Aku
memandang dengan mata elang lautku. Kalau dibandingkan, seakan
manusia-manusia buta. Kulihat mobil ayahku meluncur di jalan
berdebu menuju ke gudang jerami kami. Aku melihat menembus kaca
depannya. Kulihat wajahnya. Aku melihat helai-helai rambut di
kepalanya. Kalau saat itu ada lalat yang hinggap di hidungnya, aku akan bisa
melihat sungutnya bergetar.
Padahal ayahku masih dua ratus meter jauhnya. Kemudian
kuangkat mataku, memandang langit biru dan putih.
Kubentangkan sayapku, aku meluncur ke depan, keluar lewat
jendela, menyongsong angin, dan melesat ke awan-awan.
Ada saatnya ketika menjadi anggota Animorphs tidak enak.
Tapi jelas bukan saat kau sedang terbang.
Chapter 7 BANYAK yang harus diketahui tentang terbang. Untungnya
otak elang lautku segera berfungsi. Otak elangku menguncupkan
ekorku. Mengatur kemiringan sayapku. Tetapi otakku juga berfungsi.
Begitulah aku terbang. Kami mengepak kuat-kuat agar bisa meluncur naik melampaui
atap gudang jeramiku. Dalam beberapa detik saja kami sudah cukup
tinggi, sehingga aku bisa melihat Frisbee jinggaku yang secara tak sengaja
kulemparkan ke atap rumah. Kami terbang berputar, melawan
daya tarik bumi, dan kulihat ayahku menghentikan mobilnya dekat
kotak surat untuk mengecek kalau-kalau ada surat.
Kami terbang lebih tinggi lagi, dan aku bisa melihat melewati
jendela ruang tamu kami dan melihat ibuku menyandarkan kepalanya,
matanya terpejam, beristirahat setelah lelah bekerja.
Tobias memanggil, dan Rachel dan aku
mengikutinya. Langit sudah bagaikan rumah bagi Tobias. Ia hafal
betul daerahnya. Rachel dan aku hanyalah tamu-tamu di awan.
Tobias bertanya. bertumpuk" Gelombang kecil di udara">
Aku memandang dengan mata elangku yang super-tajam. Aku
memang melihat udara bergelombang karena panas. Sama seperti
kalau kau kadang-kadang melihat gelombang panas naik dari trotoar
pada hari yang panas. Tetapi gelombang panas yang ini jaraknya tiga per empat
kilometer. jawabku.
satu setengah kilometer!>
Walau sudah lama jadi burung, Tobias masih bersemangat
sekali terbang. Kurasa aku juga akan begitu kalau aku jadi dia.
Terbang memang kegiatan paling asyik di dunia.
Kami terbang sekuat tenaga, masing-masing berjarak beberapa
ratus meter, supaya tidak kelihatan kami ini satu rombongan. Soalnya elang ekormerah, rajawali bondol, dan elang laut beneran tidak
pernah terbang bersama-sama.
Aku merasa otot-otot sayap kiriku mulai lelah. Mengepakkan
sayap adalah kerja keras. Tapi kalau kami sudah tiba di termal, akan mudah.
Termal adalah pilar udara panas. Jika kau membentangkan
sayapmu di termal, kau bisa melesat dengan tenaga sedikit sekali.
Kemudian, luar biasa, kami sudah berada di termal. Kurasakan
udara hangat bergelombang di bawah sayapku yang terentang. Dan
aku meluncur ke atas. Naik, naik, naik terus!
Rachel berteriak. suka, aku suka, aku suka! Yeeeee-haaah!>
Marco menanyainya.
Kami melayang ke atas, saling terbang berputar di atas, di
bawah, atau mengelilingi yang lain. Kami melakukan balet udara yang amat anggun.
Daratan berada jauh di bawah kami. Sekarang bahkan
pendengaran supertajam kami tidak bisa menangkap bunyi mobilmobil, rumah-rumah, dan toko-toko di bawah kami.
Kami terus naik, hingga pohon-pohon yang paling tinggi
kelihatan hanya seperti gerumbul semak kecil. Hingga lapangan
rumput tinggal seperti prangko kecil. Hingga jalan-jalan raya menjadi garis
beton panas berkilau. Tetapi, meskipun segalanya di bawah menjadi kecil, aku masih
tetap bisa melihat sampai ke detail yang sekecil-kecilnya. Terutama segala
sesuatu yang bergerak seperti mangsa: kucing, anjing, tikus, burung-burung lain.
kata Tobias.
Aku melihat mereka di atas kami. Mereka terbang ke jurusan
yang sama dengan kami, tetapi terbang berdekatan dalam formasi
huruf V. seruku mengajak.
Tobias tertawa. tidak pernah berhenti mengepak. Mereka seperti mesin. Mereka bisa
terbang beratus-ratus kilometer. Pernahkah kau melihat anjing yang mencoba
mengejar mobil yang lewat" Nah, seperti itulah kita nanti
jika mencoba menangkap angsa-angsa itu.>
Ia betul. Angsa-angsa itu luar biasa. Segera saja mereka jauh
meninggalkan kami. tanya Rachel.
kata Tobias. ketinggian. Ini akan membantu.>
kata Marco. memasuki pusat konspirasi pemerintah untuk
menyembunyikan tamu-tamu alien!>
komentar Rachel. yang sebenarnya seperti apa. Kita tahu penampilan mereka tidak seperti E.T.
ataupun makhluk-makhluk yang biasa
kaulihat di buku-buku tentang alien. Dan kita tahu alien asli, Yeerk, tidak
berkeliling menculik remaja-remaja kampung, lalu melakukan
eksperimen medis pada mereka.>
kata
Marco. Ditambah para Yeerk baru-baru ini.>
gerutu Rachel. persimpangan bagi semua alien yang lewat. Kita adalah tempat makan macam
McDonald di jalan raya galaksi.>
Mereka berdebat beberapa saat, dan tidak untuk pertama
kalinya, aku menyadari hidupku sudah berubah jadi aneh. Aku terbang satu
setengah kilo di atas daratan, mendengarkan debat bahasa-pikiran antara rajawali
bondol dan elang laut tentang eksistensi alien.
Astaganaga! Sejenak kemudian aku tak mau lagi mendengarkan mereka. Di
angkasa tinggi begini suasana sunyi senyap. Tak ada bunyi dari
bawah. Sama sekali tak ada. Kadang-kadang kau mendengar mesin jet
yang terbang lewat, berjarak hampir sepuluh kilo dari tempatmu.
Tetapi kebanyakan yang kaudengar hanyalah gesekan lembut angin
pada bulu-bulu. Dan bunyi kepakan sayapmu sendiri.
Kami menggunakan ketinggian termal pertama tadi untuk
melompat dari termal ke termal. Kami akan terbang keluar dari pilar hangat yang
satu, turun ke pilar hangat berikutnya, dan membiarkan pilar itu mengangkat kami
kembali. Dan beberapa waktu kemudian, aku melihat jalan-jalan
berkurang dan menjadi lebih kecil. Rumah-rumah juga semakin
jarang. Demikian juga pompa-pompa bensin. Kulihat sapi-sapi dan
biri-biri berkelompok di sana-sini jauh di bawah.
Dan kemudian bahkan sapi dan biri-biri pun tak ada lagi,
demikian juga rumah dan toko. Di bawah kami tanah kering,
ditumbuhi rumput menguning, dan dikelilingi kawat berduri.
Tobias berkata, dekat jalan setapak.> Kuarahkan mata elang lautku dan aku membaca:
STOP! MILIK NEGARA. DAERAH TERLARANG.
SELAIN PETUGAS DILARANG MASUK.
YANG MELANGGAR AKAN DITANGKAP DAN
DITUNTUT. INI BERARTI ANDA. itu,> kataku. komentar Rachel.
pemerintah untuk menyembunyikan pesawat ruang angkasa alien, kau
juga akan paranoid.> Tak jelas bagiku apakah ia bergurau atau tidak. Kadang-kadang
sulit menebak Marco. Bisa kulihat pangkalan yang dinamakan Zona 91. Berupa
kumpulan bangunan lebar dan tak menarik yang kelihatannya
dibangun empat puluh tahun lalu. Ada tiga bangunan besar yang
kelihatannya hanggar pesawat. Dan ada landasan terbang darurat. Tapi aku juga
bisa melihat banyak kendaraan: truk, Humvee, bahkan
beberapa tank. Dan ada kuda, menyebar, berjalan-jalan di pangkalan seakan itu
bukan pangkalan militer saja.

gumam Rachel. ngaco kayak kau.> aku menyarankan. sebaiknya kita mulai dengan tempat ini.>
kata Tobias. Dari caranya mengatakannya, kelihatannya ia tidak percaya.
kuda itu,> kata Rachel defensif - membela diri.
pesawat Bug Fighter itu.>
mata manusia yang parah, siapa yang bisa membedakan apakah itu
siput Yeerk atau cuma bekicot biasa" Sekarang, setelah aku bisa jadi manusia
lagi, aku jadi sadar betapa rabunnya manusia.>
Rachel
mengeluh. cerita kalian memang tidak masuk akal. Maksudku, kenapa Yeerk
ingin merasuki kuda liar yang tidak menarik">
aku mengakui.
kata Rachel. Mungkin itu mereka.> Kami berbelok tajam ke kiri dan meluncur menuju mereka. Ada
enam kuda betina, dua anak kuda, dan seekor kuda jantan tinggi besar yang
berdiri agak menyisih di atas tanah yang agak menggunduk.
Kuda jantan ini mengendus angin, kepalanya terangkat.
kataku.

Dan si kuda jantan bersikap seperti kuda jantan. Kuda-kuda yang kita inginkan
tidak akan bersikap begitu.>
kata Tobias. hampir melewati batas waktu dua jam. Ada batu-batu karang di
sebelah sana. Di sana kalian cukup tersembunyi.>
Maka kami menuju ke batu-batu karang itu dan mendarat. Itu
sebetulnya batu karang biasa.
Tapi ada satu hal penting yang terlewat dari perhatian kami:
batu-batu karang itu ada di sisi lain papan peringatan yang berbunyi INI BERARTI
ANDA. Chapter 8 KAMI terbang turun menuju batu-batu karang itu dan demorph.
Tempat itu menyenangkan, dengan batu-batu karang tinggi
berujung tumpul mengitari kami, pasir kering dan bersih di bawah
kaki kami. Kami sepenuhnya tersembunyi dari siapa saja yang datang dari arah
mana saja. Tobias mendarat untuk beristirahat di sebelah kami saat Marco,
Rachel, dan aku kembali ke wujud manusia kami. Tentu saja, seperti biasanya
kalau kami baru berubah wujud, kami memakai seragam
morf kami dan telanjang kaki.
Sinar matahari menyengat tajam, tapi tempat kami teduh. Angin
sepoi berkesiur dan bersuit di antara karang-karang: SIUUUTSIUUUT-SIUUUT-SIUUUT. "Kurang keranjang pikniknya saja nih," kata Marco. "Tobias!
Sana, pergi cari tikus dan kodok gemuk."
jawab Tobias tenang. yartg kaududuki.> "Awwwwww!" Marco menjerit seraya meloncat bangun dan
menepuk-nepuk pantatnya dengan panik.
Seekor ular kecil hitam merayap pergi dari lekuk pasir hangat
yang tadi diduduki Marco.
"Aku digigit ular! Aku mati nih! Pantatku digigit ular berbisa!"
kata Tobias.

"Tidak ada ular yang tidak berbahaya," gumam Marco. "Tapi buka mata elangmu
lebar-lebar, siapa tahu ada ular berbisa datang


Animorphs - 14 Melacak Pesawat Misterius di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beneran mengejarku."
kata Tobias sungguhsungguh. "Ayo, kita segera morf lagi," Rachel mengusulkan. "Kita tak perlu beristirahat.
Aku sih merasa asyik."
"Tidak perlu buru-buru, kan?" tanyaku.
Bermetamorfosis melelahkan. Tenagamu terserap habis.
Kadang-kadang kita harus cepat-cepat bermetamorfosis, tanpa bisa
beristirahat dulu di antara dua wujud yang berbeda. Tapi yang begitu itu tidak
baik. Kau akan merasa lebih kuat jika kau menunggu
sebentar. Rachel mengangkat bahu. "Tidak sih. Tidak perlu buru-buru."
Ia berjingkat dan memandang berkeliling batu-batu karang itu. Angin meniup
rambutnya dan menerbangkannya ke wajahnya. "Seperti
adegan di film-film koboi kuno. Orang-orang baiknya
menyembunyikan diri dari orang-orang jahat di karang ini. Yang kita perlukan
hanyalah senapan." CE-KLEK! Tobias menjerit.
CE-KLEK! CE-KLEK! Aku membeku mendengar bunyi itu. Soalnya aku sudah pernah
mendengarnya, dalam kehidupan nyata. Dan aku sudah mendengarnya
di TV beribu kali. Itu bunyi senapan yang dikokang.
Aku mendongak, dan di atas kami, mengarah tepat ke kepala
kami, adalah moncong-moncong hitam senapan otomatis.
Aku terpana memandang moncong-moncong senapan itu,
sehingga baru beberapa detik kemudian aku menyadari ada orangorang yang memegangi senapan itu. Mereka memakai helm yang
ditutupi kain untuk kamuflase. Kamuflase gaya padang gurun dalam
nuansa cokelat keabu-abuan. Seragam mereka juga berkamuflase
padang pasir. Wajah mereka tidak ramah.
Salah seorang dari tentara itu berdiri dan berkacak pinggang.
"Oke, sekarang dengar. Kalian bertiga tiarap, muka menghadap pasir, dengan
tangan di belakang kepala, jari-jari bertaut."
Aku berpikir, Kami bertiga" Tentu saja! Mereka mengira
Tobias elang. "Tapi kami tidak melakukan apa-apa," Rachel memprotes,
kedengarannya persis seperti yang kuingat beberapa tahun lalu, kalau ibunya
menangkap basah kami sedang mengaduk-aduk lemarinya,
mencari-cari gaun yang bisa kami coba.
"Kalian sudah memasuki kawasan terlarang pemerintah secara
ilegal," kata laki-laki itu. "Dan kalian berada di tempat berbahaya.
Sersan! Geledah mereka. Cari senjata atau barang terlarang lainnya.
Dan salah satu dari kalian, usir elang itu. Dia mendelik menatapku."
"Yes, Sir, Letnan."
kata
Tobias seraya mengembangkan sayapnya dan terbang pergi. akan menjaga kalian. Pura-pura bego saja.>
"Kau dengar dia, kan, Marco," Rachel berbisik dengan
mengedipkan mata secara berlebihan. "Kau sih tidak perlu pura-pura."
Tentu saja, Rachel sama sekali tidak takut. Rachel memang tak
pernah takut. Aku takut. Tapi itu karena aku waras, tidak seperti
Rachel. Para tentara meloncat turun dari karang dan segera
menggeledah kami, sementara kami berbaring tiarap di atas pasir.
Penggeledahan itu berlangsung cepat: Kami kan sedang memakai
seragam metamorfosis kami.
"Baik, sekarang bangun. Pakai sepatu kalian," kata si letnan.
Aku berjengit. Sepatu! Ya, ampun, kami tak akan bisa
menjelaskannya. "Tidak ada sepatu, Sir!" kata si sersan.
Kulihat kerut di wajah si letnan. "Hei, tunggu sebentar. Jarak dari sini ke
jalan raya satu setengah kilo lebih. Bagaimana kalian bisa tiba di sini tanpa
sepatu" Lagi pula tak ada mobil lewat di jalan itu sepanjang hari ini. Bagaimana
caranya kalian bisa ada di sini?"
Aku memandang Rachel. Rachel ganti memandang Marco.
Marco nyengir lebar dan berkata, "Ini ulah makhluk Mars, Letnan.
Kami didrop di sini oleh alien."
Chapter 8 "NAMAKU Kapten Torrelli. Aku yang bertanggung jawab atas
keamanan di kawasan ini."
Kami berada di dalam ruangan yang sangat kecil, sangat
pengap, dengan penerangan sangat menyilaukan. Tak ada jendela.
Dan setiap kali pintu terbuka, kau akan melihat pria berseragam
Angkatan Udara. Pria kekar berseragam Angkatan Udara.
Pria kekar berseragam Angkatan Udara, memeluk senapan
mesin kecil. Ada juga papan pengumuman. Di papan itu ada poster-poster
kecil yang mengingatkan semua orang bahwa "Keamanan adalah
urusan utama kita". Dan mendesak semua orang agar menoleransi
"Zero Defects". Berarti mereka tak boleh melakukan kesalahan apa pun.
Tetapi ada sesuatu yang lebih kukenal yang tertangkap mataku.
Salah satu pamflet itu adalah pamflet The Gardens. The Gardens
adalah area luas kombinasi taman hiburan dan kebun binatang. Ibuku salah satu
dokter hewan di sana. Di bawah pamflet itu ada sehelai
kertas penuh berisi deretan tanda tangan.
"Hai, Kapten," kata Marco. "Bagaimana nih ceritanya?"
Si Kapten melirik si letnan yang menjemput kami. Si letnan
hanya mengangkat bahu. "Anak-anak, mungkin kalian tidak menyadari ini, tapi kalian
dalam kesulitan besar," kata si kapten.
"Ya, Pak, kami menyadari kami membuat kesalahan besar,"
kataku. "Tapi benar-benar tidak sengaja. Kami malah tidak tahu di Dry Lands ada
sesuatu. Dan kami jelas tidak akan kemari lagi jika
Bapak bersedia melepaskan kami. Betul deh."
Aku tersenyum tak bersalah. Kusenggol Rachel dan ia juga
tersenyum tak bersalah. Aku berdoa dalam hati agar Marco
menangkap isyarat kami dan ikutan tersenyum tak bersalah, sehingga kami...
"Jadi, di mana kalian menyimpan aliennya?" Marco bertanya.
Anak macam Marco, mana mungkin menangkap isyarat.
Si kapten mengatupkan bibir rapat-rapat sampai bibirnya pucat.
Kemudian ia berkata, "Nak, ini instalasi Angkatan Udara. Kami tidak bisa
membicarakan apa yang kami lakukan di sini, tetapi aku punya
otoritas untuk memberitahumu satu hal: Tak ada alien di sini!"
"Yeah, betul, Pak," Marco mendengus.
"Siapa namamu, Nak?"
"Ehm... Mulder. Fox Mulder."
"Kau bisa susah, Fox Mulder. Kau telah melanggar hukum
federal. Kau bisa dipenjarakan."
"Pak?" aku menyela. "Tolong jangan dengarkan Mar - maksud saya, Fox."
"Yeah. Dia idiot," Rachel menambahkan.
"Dia senang membuat orang jengkel. Kami ini cuma anak-anak,
kan, Pak. Kami tidak bermaksud jahat. Tidak bisakah Bapak cuma
memberi kami peringatan saja?"
"Peringatan sangat keras juga boleh," Rachel mendukungku.
"Biasanya memang begitu," kata si kapten. "Kami kadang-kadang memang kedatangan
orang miring atau tak waras." Ia
memandang lurus Marco ketika mengatakan "orang miring".
"Bagaimanapun juga, kedatangan kalian ini mengandung misteri.
Lihat saja, tak seorang pun dari kalian memakai sepatu. Orang-orang Pak Letnan
sudah memeriksa daerah sekitar sini - tak ada sepatu. Dan secara fisik, tidak
mungkin berjalan kaki melewati begitu banyak
semak dan mendaki karang tanpa sepatu."
"Jadi, kami ditangkap karena tidak memakai sepatu?" tanya Rachel.
"Sebetulnya, apa sih masalahnya, Pak?" tanya Marco. "Kalau memang ada alien di
Misteri Kereta Api Biru 2 Pendekar Rajawali Sakti 89 Pedang Halilintar Amarah Pedang Bunga Iblis 2

Cari Blog Ini