Chapter 1 NAMAKU Cassie. Hanya itu yang bisa kuceritakan tentang diriku. Bukannya aku
tidak mau, tapi karena memang tidak bisa. Aku juga tidak bisa
memberitahu di mana aku tinggal. Kami, para anggota Animorphs,
terpaksa merahasiakan identitas masing-masing. Kalau tidak, wah bisa gawat deh.
Keselamatan kami bisa terancam.
Kalau kaum Yeerk sampai tahu siapa kami sebenarnya,
tamatlah riwayat kami. Kalaupun tidak langsung dibunuh, kami pasti
akan dijadikan Pengendali. Otak kami akan disusupi makhluk Yeerk,
yang selanjutnya mengendalikan kami sesuai keinginannya. Kami
akan menjadi budak mereka. Kami harus ikut menguasai Bumi dan
memusnahkan para penghuninya.
Terus terang saja, aku tidak sudi dikendalikan makhluk asing.
Dan aku juga belum bosan hidup di dunia.
Di pihak lain, sebagai Animorphs aku bisa melakukan hal-hal
yang asyik dan juga seru banget.
Seperti saat ini, misalnya. Hari sudah larut malam. Seharusnya
aku sudah tidur. Tapi aku malah menyelinap ke gudang jerami, dan
bersiap-siap untuk menjelma menjadi tupai.
Sebenarnya itu bukan gudang jerami sembarangan, melainkan
Klinik Perawatan Satwa Liar. Ayahku dokter hewan. Ibuku juga, tapi
ia bekerja di The Gardens, kebun binatang besar di kota. Klinik kami dikelola
oleh dua orang saja, yaitu Dad dan aku. Kami merawat
burung dan hewan-hewan lain yang cedera, lalu setelah sembuh kami
mengembalikan mereka ke habitat alami masing-masing.
Jadi di situlah aku berada. Di gudang jerami. Di antara lusinan
kerangkeng berisi berbagai jenis burung, mulai dari merpati yang
membentur kaca mobil sampai elang emas yang nyaris mati tersengat
karena hinggap di kabel listrik.
Di bagian lain gudang jerami itu terdapat kandang-kandang
lebih besar yang dihuni luak, opossum, sigung, rusa, dan bahkan
sepasang serigala yang keracunan. Kandang kuda terletak di ujung
lain gudang (jauh dari kedua serigala).
Kami punya ruang operasi dan beberapa ruang kecil yang
digunakan sebagai ruang pemulihan.
Kini kembali ke malam itu. Pernahkah kau memperhatikan
tupai yang berkeliaran di taman" Mereka selalu waspada. Selalu
memandang berkeliling. Seolah setiap saat mereka berpikir, "Hei! Apa itu?"
Karena itulah aku tahu aku akan gelisah dan ketakutan kalau
aku berubah menjadi tupai. Tapi masalah ini memang dihadapi oleh
kami semua - anggota kelompok Animorphs: kami harus bisa
mengendalikan naluri binatang yang wujudnya kami tiru.
Pokoknya, aku sekarang berada di gudang jerami yang remangremang. Hanya ada beberapa lampu yang sinarnya menyala redup
berwarna kuning. Kenapa aku di situ" Karena ada seseorang, atau
sesuatu, yang suka menyelinap masuk dan mengganggu burungburung. Semalam kami kembali kehilangan pasien. Seekor bebek. Dan
kini aku sedang mengintai makhluk penyusup itu.
Kecuali itu, aku memang lagi susah tidur. Setiap malam aku
bermimpi. Tapi rasanya bukan seperti mimpi. Rasanya seperti... ah,
entahlah. Pokoknya, aneh "Tenang saja, Magilla," aku berbisik kepada tupai yang duduk di tanganku.
"Kujamin nggak sakit deh." Aku mengambil segenggam buah kenari dari kantong
menyodorkan sebuah. Sebuah lagi jatuh ke
lantai. Aku selalu berdebar-debar sebelum meniru seekor binatang
untuk pertama kalinya. Proses metamorfosis kadang-kadang terasa
sangat mudah. Tapi kadang-kadang juga mengerikan sekali. Waktu
aku menjelma sebagai ikan trout - wah, itu agak ajaib. Aku terus
membayangkan diriku bakal digoreng dan dihidangkan dengan saus
tomat. Padahal aku tidak suka saus tomat.
"Tupai," aku berkata dalam hati. Sebelum berubah, aku selalu berusaha mengirangira apa yang akan kuhadapi.
Perubahan pertama yang terlihat adalah ukuran tubuhku. Aku
mulai mengerut. Rasanya aneh sekali. Kita tahu bahwa kita
sebenarnya diam di tempat, tapi semakin lama lantai semakin dekat
saja. Sedangkan langit-langit semakin jauh. Pegangan pintu tak lagi di posisi
semula, tapi tiba-tiba berada jauh di atas kepala kita.
Tinggi badanku tinggal sekitar enam puluh atau tujuh puluh
sentimeter ketika lenganku mulai tertarik masuk ke tubuhku. Pada saat itulah
Magilla yang asli memutuskan untuk angkat kaki. Ia berlari ke kandangnya,
bergegas masuk, dan - ini tidak bohong, lho - menutup
pintu. Tapi, okelah. Panjang kakiku masih seimbang dengan badanku,
meskipun memang telah bertambah pendek. Tapi lenganku jadi
pendek sekali. Jumlah jariku masih lima, namun semuanya kecilkecil - terlalu kecil untuk ukuran tubuhku.
Telingaku bergeser ke atas, dan akhirnya berhenti di puncak
kepalaku. Tubuhku mulai terbungkus bulu lembut berwarna kelabu,
yang menyebar bagaikan gelombang. Wajahku terdorong maju, dan
mulutku berubah menjadi moncong yang runcing.
Lalu... nah ini yang paling aneh... tiba-tiba saja aku sudah
berekor! Padahal aku belum berubah jadi tupai. Aku masih setengah
manusia, setinggi anak balita, dan ekorku tumbuh begitu saja.
Panjangnya lebih dari setengah meter! Jauh lebih panjang dan lebih
besar daripada ekor tupai sesungguhnya.
Aku menengadah dan melihat ekor berbulu lebat yang
melengkung di atasku. Wah, keren!
Kakiku semakin pendek, sampai aku akhirnya merangkak di
lantai beton. Baru sekarang aku sadar bahwa lantai itu tidak sebersih yang
kuduga. Padahal sudah kusapu dan kupel.
Mema ng sih, kalau mata kita cuma dua sentimeter dari lantai,
setiap butir debu pasti terlihat jelas.
Lalu otak tupai-ku mulai beraksi.
WOW! HEI! Sekonyong-konyong aku merasakan energiku menjadi berlipat
ganda. Aku seperti disengat listrik sejuta volt. Tenagaku meletup-letup.
Otak manusiaku yang lamban benar-benar kewalahan menghadapi
ledakan energi itu. Eh, ada suara! Suara apa itu" Aku segera pasang telinga. Aku menoleh dan
memfokuskan mataku yang besar. Wah, ada burung dalam kandang!
Ada suara lain lagi. Apa itu" Aku berbalik.
Oh, apa itu" Dan itu" Dan yang satu lagi"
PEMANGSA! Mereka ada di mana-mana! Aku terkepung!
PEMANGSA! Burung! Burung-burung besar dengan cakar tajam. Mereka ada
di mana-mana. Tunggu.Ada buah kenari. Aduh, enaknya buah kenari.
PEMANGSA! Awas! Aku melesat melintasi lantai. Tengok kiri. Tengok kanan.
Endus endus endus udara. Oh, ya. Pemangsa. Baunya tercium jelas. Ada burung. Serigala.
Luak. PEMANGSA! KABUR KABUR KABUR!
Eh, tunggu. Bukankah ada buah kenari tadi" Aku melompatlompat. YA! Buah kenari! Aku memungutnya dengan kaki depanku
yang mungil, dan langsung mulai menggerigitinya. Hmm! Asyik!
Kenari! Dan aku yang menemukannya. Tak ada yang bisa merebutnya dariku. Hah hah
hah! Ada suara! Suara apa itu"
PEMANGSA! Kenarinya jangan sampai jatuh! Kabur bawa kenari! KA-BUR!
Kumasukkan kenari itu ke dalam mulut. Lalu aku lari
sekencang-kencangnya. Aku berlari menaiki dinding. Tegak lurus ke atas.
Dan tepat pada saat itulah Tobias muncul.
Chapter 2 TOBIAS terbang melalui jendela loteng yang terbuka.
Masalahnya, naluri tupai masih merajalela dalam benakku, sehingga
aku tidak mengenali Tobias.
Aku cuma melihat seekor elang ekor merah. Seekor burung
pemangsa. Dan yang satu ini tidak disekap di dalam kandang.
Burung elang ini malah terbang di bawah atap. Ia memiliki
cakar sekeras baja dan paruh melengkung yang bisa membelah
tubuhku seperti sekaleng sarden.
Aku bisa merasakan tatapan si elang.
KABUR KABUR KABURKABURKABUR!
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Maksudku, aku - si anak
manusia bernama Cassie - tidak tahu harus berbuat apa. Aku sadar
aku harus bisa mengendalikan si tupai. Tapi aku begitu gugup!
Untung saja si tupai sendiri tidak ikut bingung.
ZOOOM! Aku berlari menaiki dinding. Aku mencengkeram retakan kecil
pada permukaan kayu dengan kukuku yang mungil, dan memanjat
dengan kecepatan luar biasa. Kalau kau belum pernah jadi tupai - dan
mengaku pasti belum pernah, kan" - kau takkan bisa membayangkan
bagaimana rasanya berlari ke atas. Permukaan dinding kayu terasa
seperti lantai. Tapi aku tetap tahu mana atas dan mana bawah. Aku
tahu aku akan meluncur ke bawah kalau aku terjatuh. Rasanya seperti
berlari di lantai, tapi kalau terpeleset, kita akan terempas ke dinding.
Pokoknya, aneh sekali. Tobias hinggap di balok kayu di bawah atap. Tapi aku tahu ia
masih menatapku dengan tajam. Aku segera berhenti bergerak. Aku
diam sepenuhnya. Ekorku pun tidak berani kugerakkan. Aku terus
mencengkeram dinding dan diam seperti patung.
Masalahnya, aku tak sanggup bertahan dalam posisi seperti itu.
Dengan energi tupai yang meletup-letup ini aku tak bisa diam untuk
waktu lama. Tiba-tiba, setelah melirik sekilas ke samping, aku melontarkan
tubuhku ke udara. Aku seperti terbang. Aku melompat dan melayang
sejauh tiga meter. Tapi rasanya seperti setengah kilometer.
GUBRAK! Aku jatuh di balok kayu yang melintang di atas
kandang kuda. Ternyata aku telah membuat kesalahan besar. Tobias melihat
gerakanku. Dari sudut mata aku melihat ia merentangkan sayapnya
yang lebar. Ia segera menukik dengan cakar siap menyambar.
Tapi tiba-tiba... ada gerakan lain. Sesuatu yang besar bergerak
pelan-pelan. Aku menoleh dan melihat salah satu papan dinding
bergeser. Sebuah kepala menyembul. Persis di bawahku. Sepasang
mata yang bersinar licik menatapku seakan-akan menganggap diriku
hidangan makan malam. Seekor rubah! Aha! Rupanya inilah makhluk penyusup, si
pembantai burung yang misterius.
Aku harus bisa menguasai otak tupai yang ada di dalam
kepalaku. Biasanya aku butuh waktu sekitar satu menit sebelum aku
berhasil mengendalikan naluri binatang yang kutiru, tapi kali ini
waktuku tidak sebanyak itu.
Tobias masih meluncur cepat.
Situasinya mendadak jadi kacau-balau. Burung-burung di
kandang mulai ribut! Kedua serigala melolong-lolong di ruang
sebelah. Semua kuda meringkik-ringkik.
Tobias langsung menyingkir karena kaget.
Tapi aku sudah melompat lagi, dan kini aku terjun ke arah lantai
kandang yang penuh jerami. Tepatnya ke arah si rubah.
Begitu mendarat, aku langsung berlari lagi. Debu dan batangbatang jerami beterbangan di belakangku.
Si rubah tentu saja segera mengejarku. Dan ia ternyata gesit.
Gesit sekali.
Aku membelok kiri. Si rubah ikut membelok.
Larinya lebih cepat daripada aku dan hampir sama lincahnya.
Kalau aku tidak segera menemukan tempat yang bisa dipanjat,
habislah riwayatku!
Taring si rubah nyaris menyambar ekorku.
meluncur ke arah musuhku.
Si rubah sempat melihat bayangan elang yang besar. Seketika ia
berhenti. Tapi terlambat. Cakar Tobias telah menggores punggungnya.
Si rubah rupanya tidak mau mengambil risiko. Serta-merta ia berlari
ke pintu rahasianya. Tobias hinggap di salah satu balok kayu. Ia menatapku dengan
mata elangnya yang menyorot tajam.
Aku sudah mulai berubah kembali ke wujud manusia.
sudah menyangka pelakunya seekor luak, atau racoon, atau rubah, tapi kami tidak
tahu bagaimana cara hewan itu masuk. Karena itulah aku
menjelma sebagai tupai dan menunggu dia datang.>
merapikan bulunya. Penampilanku sudah mulai mirip manusia. Badanku sudah lebih
tinggi, dan kakiku terus bertambah panjang. Tapi mulutku belum
kembali normal.
bahwa ia kini terperangkap dalam tubuh elang ekor merah. Untuk
selama-lamanya. Belakangan ini ia mulai berburu dan makan seperti
elang. Memang ia masih agak peka tentang urusan ini, tapi kupikir
kalau aku mengajaknya bercanda, ia akan sadar bahwa aku tidak
merasa jijik terhadapnya.
"Tidak apa-apa," aku menyahut dengan suaraku sendiri.
Mulutku sudah terbentuk lagi. Tubuhku sudah hampir kembali
normal, hanya saja aku masih memiliki ekor besar yang menyembul
dari balik bajuku. Tubuhku tidak gemuk, tapi juga tidak kurus. Rambutku selalu
dipotong pendek karena aku malas mengurusi rambut. Aku juga bukan
pengikut mode. Sehari-hari aku memakai overall dan sarung tangan
kulit untuk bekerja. Pekerjaanku antara lain memaksa seekor musang
menelan obat yang kuberikan.
Jake pernah mengambil fotoku dalam keadaan seperti itu. Foto
itu disimpannya di samping komputer di kamarnya. Jangan tanya
kenapa, aku juga tidak tahu. Sebenarnya aku mau saja memberikan
foto saat aku pakai rok. Roknya bisa kupinjam dari Rachel. Mungkin
dengan pakai rok, aku tampak lebih kece. Tapi Jake bilang ia tak perlu foto
lain. Ia suka foto yang sudah ada.
Animorphs - 4 Terjebak Di Dasar Samudera di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku pasang telinga. Tapi telinga manusia memang payah.
Hampir semua satwa memiliki pendengaran yang lebih tajam. Tapi
akhirnya aku juga mendengarnya. Memang ada suara.
"Siapa itu?" "Aduh, itu ayahku!" aku berseru tertahan.
Terlambat. Pintu gudang jerami terbuka. Ayahku muncul
sambil membawa senter. Matanya berkedip-kedip karena masih
mengantuk. "Cass" Sedang apa kau di sini?"
Aku memegang ekorku dengan kedua tangan dan berusaha
menyelesaikan proses metamorfosis secepat mungkin. "T-t-tidak ada apa-apa, Dad.
A-a-aku cuma tidak bisa tidur."
Ia mengangguk. "Oke. Tapi sekarang kembalilah ke kamarmu,"
ia menggerutu. Ayahku termasuk tipe orang yang butuh waktu satu
jam dan tiga cangkir kopi sebelum benar-benar bangun.
"Oke, Dad," ujarku.
Ia menatapku sambil mengerutkan kening. "Cassie" Coba
berputar." "Berputar?" aku membeo dengan suara pelan.
"Yeah. Berputar. Rasanya... ehm, coba berputar dulu."
Perlahan-lahan aku berbalik badan. Secara bersamaan sisa
ekorku tertarik masuk "Huh," Dad bergumam. "Rupanya aku masih mimpi. Kupikir kau punya ekor tadi."
"Heh heh heh," aku memaksakan tawa.
Begitu Dad pergi, aku langsung menjatuhkan diri ke jerami.
"Seharusnya aku tetap di tempat tidur saja," ujarku kepada Tobias.
"Masa bodoh dengan mimpi itu."
Aku angkat bahu. "Entahlah. Mimpi aneh tentang laut."
saja aku merinding. Chapter 3 "TIDAK tuh. Aku belum pernah bermimpi aneh tentang laut,"
kata Marco. "Tapi aku pernah bermimpi aku mau dicekik oleh seprai tempat
tidurku. Dalam mimpi aku juga pernah jatuh dari tempat yang
tinggi sekali, dan akhirnya aku ditolong oleh Superman. Aku juga
pernah bermimpi berenang sama cewek-cewek pemain film
Baywatch... nah, itu memang ada hubungannya dengan laut."
"Jadi kau pernah bermimpi ketemu Superman?" tanya Rachel.
Ia pasang tampang seakan-akan merasa kuatir. "Wah, gawat tuh." Ia geleng-geleng
kepala sambil berdecak-decak.
"Memangnya kenapa" Apa salahnya bermimpi ketemu
Superman?" balas Marco.
Rachel angkat bahu. "Aku cuma bisa menasihati bahwa kau
perlu menemui psikiater sebelum keadaanmu tambah parah." Rachel memalingkan
wajah dan mengedipkan mata padaku. Tentu saja Marco
tidak melihat aksinya. "Lucu sekali," Marco menggerutu. Tapi ia kelihatan agak
waswas. Kami berkumpul di rumah Rachel pada keesokan harinya,
seusai sekolah. Kamarnya rapi sekali. Persis seperti foto-foto yang
suka ada di majalah. Semuanya serbaserasi. Ia punya semacam papan
buletin tempat ia menempelkan kata-kata mutiara.
Aku menghampiri papan buletin itu dan membaca, "'Di kolam
yang tenang, buaya mengintai.' - Pepatah Melayu."
Di sampingnya tertempel kertas bertulisan, " 'Kenalilah musuh
dan dirimu sendiri, dan kau tak perlu ragu menghadapi seratus
pertempuran pun.' - Sun Tzu."
Aku jadi agak sedih. Sebelum ini semua terjadi, Rachel pasti
lebih suka menempelkan kata mutiara mengenai hidup hemat atau
bersikap sopan. Ini salah satu tanda betapa hebat perubahan yang telah terjadi
padanya. Dalam waktu singkat kami telah terbiasa hidup di dunia yang
penuh ketakutan dan bahaya. Kami pergi sendiri-sendiri ke rumah
Rachel. Masing-masing memastikan tak ada yang membuntuti.
Tanggal pertemuan sengaja kami tetapkan pada hari ibu Rachel dan
kedua adiknya pergi. Kami bahkan minta agar Tobias terbang berkeliling untuk
memantau keadaan. Begitulah kehidupan kami sekarang. Kami harus selalu
waspada, dan senantiasa siap tempur.
Jake belum berkata apa-apa. Tobias dan aku sudah bercerita
tentang mimpi kami yang sama. Mimpi tentang suara yang seakanakan berasal dari dasar laut. Suara aneh yang seakan-akan memanggilmanggil kami. Tapi ternyata cuma kami berdua yang mendengar suara
itu. Marco langsung memberi komentar konyol. Biasalah, namanya
juga Marco si Raja Ngocol. Rachel menanggapi cerita kami dengan
sikap ragu-ragu. Hanya Jake yang diam saja.
Jake bisa dibilang "pemimpin" kami, walaupun ia tak pernah sok kuasa. Ia memang
punya sifat pemimpin. Kami selalu berpaling
padanya kalau ada masalah.
Sebenarnya masih ada alasan lain kenapa Jake lebih penting
bagiku daripada kawan-kawanku yang lain. Tentu saja Jake takkan
kuberitahu, tapi aku memang suka padanya. Maksudku, benar-benar
suka. Ia punya tampang keren. Rambutnya cokelat dan warna
matanya sangat gelap. Orang-orang yang belum mengenalnya pasti
menyangka ia selalu serius. Namun kalau kita sudah akrab, kita akan
sadar bahwa ia memang serius tapi juga tahu kapan waktunya tertawa.
Jake mau tak mau harus bisa tertawa, sebab ia sudah bersahabat
dengan Marco sejak mereka sama-sama masih memakai popok. Dan
sejak kecil mereka selalu bersaing dan bertengkar dan berbeda
pendapat. Tujuan hidup Marco adalah menertawakan segala sesuatu.
Termasuk sahabat karibnya.
Marco juga keren sih, tapi ia bukan tipeku. Rambutnya cokelat
dan panjang, dan bulu matanya benar-benar lentik. Sayang bukan aku
yang punya bulu mata seperti itu.
Marco tidak berminat jadi pemimpin. Sekadar menjadi anggota
kelompok pun ia enggan. Ia justru ingin agar kami melupakan saja
semua peristiwa yang terjadi selama ini. Ia selalu mendesak agar
kaum Yeerk serta kemampuan metamorfosis yang kami miliki
dilupakan saja. Menurutnya, kami lebih baik cari selamat.
Tapi sebaliknya malah Marco yang paling memperhatikan
masalah keamanan. Marco yang selalu melarang kami membahas apa
pun melalui telepon karena, siapa tahu, percakapan kami terdengar
oleh telinga musuh. Rachel temanku yang paling dekat. Sudah bertahun-tahun aku
bersahabat dengannya. Hmm, bagaimana aku bisa menjelaskan
Rachel" Pertama-tama, ia sepupu Jake, dan keduanya punya banyak
kemiripan. Tampaknya seluruh keluarga mereka memiliki sifat berani,
sebab Rachel cewek paling berani yang kukenal. Tak ada yang bisa
membuatnya gentar. Ia tidak kenal takut. Paling tidak, begitulah kesan yang
kuperoleh. Kalau orang menatapnya, mereka pasti akan berpikir, Oh, dia
akan jadi peragawati berotak kosong, soalnya ia bertubuh jangkung,
berwajah cantik, dan berambut pirang. Tapi aku kasihan pada orangorang yang menyangka Rachel tidak tahu apa-apa.
Kadang-kadang aku merasa Rachel sangat menikmati menjadi
anggota Animorphs. Seolah selama ini ia memang ingin menjadi
prajurit wanita. Tapi yang jelas, Rachel bukan orang yang percaya mimpi.
"Ehm, oke," katanya sambil berdeham-deham, "kalau urusan mimpi ini sudah
selesai, bagaimana kalau..."
"Rachel," Jake menyela, "aku membawa sesuatu yang mungkin sangat menarik." Ia
mengeluarkan kaset video dari tasnya.
"Yeah, lebih baik kita nonton film saja," kata Marco.
"Ini bukan film," ujar Jake. "Semalam tidak ada yang nonton berita terakhir,
ya?" "Oh, aku sibuk nonton ulangan film Petualangan Superman,"
sahut Marco sambil melirik ke arah Rachel. "Semalam ceritanya
Superman sedang sakit gigi, sehingga dia tidak bisa membasmi
penjahat." Jake geleng-geleng kepala, seperti biasanya kalau Marco sibuk
bercanda atau bertingkah konyol. "Rachel, videonya bisa kita putar di bawah?"
"Boleh saja," jawab Rachel.
Kami menuruni tangga. Kecuali Tobias, yang terbang di atas
kepala kami. "Eh, Tobias," kata Marco. "Aku mau tanya nih. Apakah elang juga seperti burung
camar" Maksudku, apakah mereka juga buang
kotoran sambil terbang?"
memasukkan kaset video ke dalam VCR.
"Aku sempat merekam berita singkat ini," ia berkata ketika seorang laki-laki tua
muncul di layar kaca. Orang itu mengenakan
jubah mandi dan sedang memegang sesuatu yang tampak seperti
lempengan logam. "Sejak kapan kau tertarik pada kakek-kakek yang mau mandi?"
tanya Marco. "Menurut laki-laki itu, benda yang dipegangnya terdampar di
pantai beberapa hari lalu, ketika terjadi badai. Coba perhatikan baik-baik."
Kamera beralih pada benda di tangan orang tua itu. Ternyata
memang sepotong lempengan logam. Panjangnya sekitar setengah
meter, sedangkan lebarnya kurang-lebih tiga puluh senti. Ketika
kamera mendekat, aku melihat corat-coret mirip tulisan. Hanya saja
huruf-hurufnya sama sekali asing bagiku.
Kini rekaman Jake memperlihatkan pembaca berita yang
sedang tersenyum, dan kemudian layar TV menjadi gelap. Jake
mematikan VCR. "Oke... lalu apa?" tanya Marco.
Jake menghela napas. "Pada malam kita bertemu si Andalite,
sewaktu aku masuk ke pesawatnya untuk mengambil kubus yang
dapat memindahkan kemampuan metamorfosis kepada kita, aku
sempat melihat tulisan."
Bulu kudukku langsung berdiri.
"Bisa jadi aku keliru, aku bukan ahli tulisan," Jake melanjutkan.
"Tapi kurasa abjadnya sama. Huruf-hurufnya persis seperti itu."
Tak ada yang tertawa. Bahkan Marco pun tidak berkomentar.
"Kurasa lempengan yang terdampar di pantai itu adalah bagian
dari pesawat Andalite," ujar Jake.
Sekonyong-konyong lantai di bawah kakiku serasa berputarputar. Aku terjatuh. Jake menangkapku sebelum aku sempat terempas
di karpet, tapi aku sudah sudah tidak sadar.
Chapter 4 AKU melayang-layang. Dan akhirnya tercebur ke laut.
Byur! Aku berada di dalam air, tapi aku masih terus meluncur
ke bawah. Turun, turun, turun, menembus lapisan air biru kehijauan
yang diterangi sinar matahari.
datanglah. Datanglah.>
Tiba-tiba aku membuka mata, dan melihat wajah Jake yang
tampak cemas. Aku menoleh. Aku melihat Rachel dengan gagang telepon
menempel di telinganya. Agaknya ia siap menelepon.
"Dia sudah sadar!" kata Jake.
"Lebih baik kita panggil ambulans," sahut Rachel.
"Jangan!" seru Marco. "Kecuali kalau dia memang cedera.
Risikonya terlalu besar."
Rachel langsung melotot. Ia selalu begitu kalau ada yang
menentang keinginannya. "Aku tetap akan memanggil ambulans,"
ujarnya dengan ketus. "Jangan, Rachel, aku tidak apa-apa," kataku. Aku duduk tegak.
Kepalaku masih agak pening, tapi selain itu aku baik-baik saja.
Rachel tampak ragu-ragu. "Bagaimana dengan Tobias?"
Aku memandang berkeliling dan melihat Tobias tergeletak di
lantai. Sebelah sayapnya tertindih badannya sendiri.
Ya ampun. Jangan-jangan...
Aku langsung berdiri dan berlari menghampirinya.
"Rachel, kelihatannya Cassie memang tidak apa-apa, dan
ambulans tidak bisa menolong Tobias," ujar Jake.
Rachel meletakkan telepon dan menghampiri Tobias.
"Dia masih hidup," kataku. Dadanya mengembang dan
mengempis seiring tarikan napasnya. Lalu, sama mendadaknya seperti
aku tadi, ia sadar kembali. Mata elangnya langsung menyorot tajam.
Reaksi pertamanya betul-betul seperti elang. Ia bangkit dan
segera mengembangkan bulu-bulunya agar tubuhnya kelihatan lebih
besar daripada sebenarnya. Persis seperti kucing yang ingin
menggertak lawan. "Jangan ada yang bergerak," ujarku cepat-cepat. "tenang saja, Tobias, kau cuma
pingsan sebentar." Dalam sekejap ia sudah berhasil mengendalikan naluri elang.
"Aku juga sempat tidak sadar. Dan aku mimpi lagi. Cuma kali
ini aku benar-benar mendengar suara. Atau paling tidak, pesan yang
disampaikan melalui pikiran."
sesuatu." "Yeah," Jake membenarkan. Marco mengangguk.
"Mereka ada di dalam air, atau di bawah air," aku menimpali.
"Begitu aku melihat tulisan di rekaman video tadi, pesannya
mendadak bertambah jelas."
"Tapi mungkin juga ini semua cuma kebetulan," kata Jake. "Ini bukan mimpi. Aku
tidak tahu ada apa sebenarnya, tapi yang jelas
bukan mimpi. Aku juga melihat sesuatu. Ini semacam pesan."
"Ini semua memang sangat menarik," ujar Marco, "tapi apa artinya" Dan siapa yang
mengirim pesan itu" Putri Duyung" Apa yang
harus kita lakukan?"
Jake berpaling padaku. "Cassie, suara yang kaudengar dalam
mimpimu, apakah suara itu suara manusia?"
Pertanyaannya terasa mengejutkan. Aku tertawa. "Hmm,
rasanya sih bukan." Aku kembali tertawa. "Tapi itu kan tidak masuk akal."
bicara.
"Jadi suara apa, dong?" tanya Rachel. "Suara Yeerk?"
Aku berusaha mengingat-ingat mimpiku. Aku berusaha agar
suara itu bisa hadir kembali dalam kepalaku. "Bukan, bukan suara Yeerk. Suara
itu mengingatkan pada sesuatu... pada seseorang."
Aku menjentikkan jari. "Ya! Itu dia! Aku teringat si Andalite.
Animorphs - 4 Terjebak Di Dasar Samudera di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Waktu dia pertama kali bicara dengan kita melalui pikirannya. Kirakira begitu rasanya."
"Si Andalite," Marco bergumam. Ia memalingkan wajah. Aku
tahu apa yang ada dalam pikirannya. Aku tahu apa yang ada dalam
pikiran kami semua. Waktu itu hari sudah malam. Kami pulang sehabis ngeceng di
mall dan mengambil jalan pintas lewat tempat pembangunan gedung
yang terbengkalai. Dan tiba-tiba pesawat si Andalite muncul di atas
kami. Pesawat itu mendarat, dan si pangeran Andalite keluar. Ia
mengalami cedera fatal dalam pertempuran melawan kaum Yeerk di
suatu tempat di antariksa.
Pangeran Andalite itulah yang memberitahu kami tentang
adanya kaum Yeerk - spesies parasit yang tinggal dalam otak
makhluk-makhluk lain dan menjadikan mereka budak, menjadikan
mereka Pengendali. Si Andalite yang memperingatkan kami. Ia juga
yang - dalam keadaan terdesak - memberi kami senjata andalan yang
hebat sekaligus mengerikan, yaitu kemampuan metamorfosis atau
morph. Kami bersembunyi sambil meringis ketakutan ketika kaum
Yeerk berhasil menemukan si Andalite. Akhirnya sang pangeran
tewas di tangan Visser Three, pemimpin makhluk-makhluk keji itu.
Aku merinding ketika teringat teriakan terakhir si Andalite yang
kesakitan. "Ya," bisikku. "Tobias benar. Ini memang suara Andalite. Itulah yang memanggil
kita dari laut. Makhluk Andalite."
Kami semua membisu selama beberapa menit.
Kemudian Rachel berkata, "Dia berkorban nyawa untuk
menyelamatkan kita." Ia menatap Marco dengan pandangan menyalanyala. "Aku tahu itu tidak berarti apa-apa bagimu. Tapi si Andalite berkorban
nyawa untuk menyelamatkan dunia."
Marco mengangguk. "Aku tahu. Dan kau keliru, Rachel.
Pengorbanannya sangat besar artinya bagiku."
"Oh ya" Hmm, kalau ada Andalite yang butuh pertolongan, aku
takkan tinggal diam," ujar Rachel.
Jake dan aku saling melirik. Rupanya pikiran kami sama: "Wah,
kejutan nih, Rachel sudah siap beraksi lagi." Aku menahan senyum, dan Jake pun
berusaha pasang tampang biasa.
"Tobias?" tanya Jake. "Pendapatmu bagaimana?"
urusannya menyangkut air. Lagi pula, kalian pasti sudah tahu
bagaimana pendapatku.>
Di antara kami berlima, Tobias-lah yang paling lama
mendampingi si Andalite, meskipun sang pangeran telah menyuruh
kami pergi. Dan agaknya dalam waktu singkat itu telah tercipta ikatan yang
sangat kuat antara Tobias dan pangeran itu.
"Aku tidak mungkin diam saja kalau memang ada yang
meminta bantuan kita," ujarku.
Kami semua menatap Marco. Rachel sudah siap-siap
mengamuk kalau Marco sampai tidak setuju, seperti biasanya.
Marco cuma nyengir. "Sebenarnya aku tidak senang. Tapi aku
juga tidak suka mengecewakan kalian." Kemudian sikapnya menjadi serius. "Aku
juga ada di tempat pembangunan waktu itu, bersama
kalian. Aku ada di sana waktu Visser Three..." Tiba-tiba suaranya terputus.
"Maksudku, kalau ada Andalite yang membutuhkan sesuatu, aku siap membantu."
Chapter 5 "AKU tidak tahu kalian sadar atau tidak, tapi kalau kita ada di pantai karena
berita semalam, bukan tidak mungkin bahwa beberapa
Pengendali juga datang kemari," Marco berkata untuk kesepuluh
kalinya. "Ya Marco, aku tahu," jawab Jake dengan sabar. "Tapi siapa tahu Cassie dan
Tobias bisa menangkap pesan yang lebih jelas di sini, di tepi laut."
"Tunggu dulu - jadi sekarang kita mengambil keputusan
berdasarkan mimpi Tobias dan Cassie, begitu?" tanya Marco. "Tapi mimpiku sama
sekali tidak digubris. Aku pernah mimpi bahwa aku
ada di rumah dan nonton TV dengan tenang. Tapi itu pasti tidak
penting, kan?" "Memang betul," Jake menjawab singkat.
Kami ada di tepi laut. Di pantai tempat laki-laki tua dalam
siaran berita semalam menemukan lempengan logam yang mungkin
berasal dari pesawat Andalite. Kami datang setelah gelap. Pantulan
sinar bulan tampak menari-nari di permukaan laut yang hitam pekat.
Udaranya berbau asin. Aku merasa tenteram, tapi sekaligus juga kecil dan tak
berarti, seperti biasanya kalau aku berdiri di tepi pantai.
Tak ada yang sebesar samudra. Samudra bagaikan planet lain
yang penuh tumbuhan ajaib dan satwa mengagumkan. Lembah dan
gunung dan gua dan dataran luas, semuanya tersembunyi dari mata
manusia. Yang bisa kulihat hanya permukaannya. Yang bisa kurasakan
hanya tepiannya, yang membasahi kakiku setiap kali ombak pecah di
pantai. Samudra begitu luas, dan aku begitu kecil.
"Bagaimana dengan mimpiku bahwa aku sempat hidup sampai
cukup umur untuk mendapat SIM?"
Jake menatap Marco dengan kesal. "Marco, kau bisa berubah
jadi burung dan terbang. Sekarang juga, kalau perlu. Kenapa kau
masih memikirkan soal mengemudi mobil?"
"Ini soal cewek," Marco langsung menyahut. "Mana mungkin aku dapat cewek kalau
aku berbentuk burung"!" Ia melirik ke atas.
Sepasang sayap tampak samar-samar berkepak di langit yang gelap.
"Jangan tersinggung, Tobias. Aku bukannya tidak senang
karena bisa terbang, tapi angan-anganku adalah Ferarri berwarna
merah terang dengan mesin sebesar empat ratus tenaga kuda."
Sikap Marco untuk mendukung kami ternyata tidak bertahan
lama. Seperti sudah kuduga. Kalau soal mengeluh, Marco memang
biangnya. Kalau tidak mengeluh, mulutnya bisa gatal-gatal. Sama
seperti Rachel yang takkan senang kalau tak ada yang perlu
diperjuangkan. Tobias lain lagi. Ia memang tidak pernah bahagia,
titik. Ia takut kalau ia bahagia, ada orang yang akan merampas
kebahagiaannya. "Bagaimana, Cassie?" tanya Rachel. "Kau sudah merasakan sesuatu?"
"Ehm, aku malah jadi agak rikuh sekarang," aku berterusterang. "Aku merasa konyol sekali."
"Bagaimana kalau cari dukun saja?" Marco mengusulkan.
"Halo, Pak Dukun" Belakangan ini aku sering bermimpi tentang
makhluk asing dari luar Bumi..."
"Kenapa justru Cassie dan Tobias?" tanya Rachel tanpa
menggubris komentar Marco. "Kenapa pesan itu bisa diterima begitu jelas oleh
mereka, sedangkan kita nyaris tidak merasakan apa-apa?"
Jake menggelengkan kepala. "Entahlah. Tapi coba
kaubayangkan kau Andalite yang sedang dalam kesulitan. Kau butuh
pertolongan. Siapa yang akan kaupanggil untuk menyelamatkanmu"
Tentu saja Andalite lain, bukan?"
"Tobias bukan Andalite, dan begitu juga aku," ujarku.
"Aku tahu," kata Jake. "Tapi siapa tahu pesan itu berhubungan dengan kemampuan
metamorfosis" Hanya makhluk yang bisa berubah
wujud yang bisa 'mendengarnya'. Dengan cara itu pesan tersebut akan
diterima hanya oleh sesama Andalite."
"Tapi itu tetap tidak menjelaskan kenapa justru Tobias dan
aku..." "Nanti dulu," Marco menyela. Roman mukanya sudah kembali
serius, "Begini, Tobias sudah berubah secara permanen. Dan Cassie, di antara
kita semua kaulah yang paling berbakat untuk urusan
berubah wujud." Marco nyengir lebar. "Lagi pula, kau lebih suka binatang
daripada manusia, jadi kau selalu mengambang di antara dua
dunia." Tiba-tiba ada sosok gelap yang melintas di atas kepala kami.
sesuatu. Kalian belum bisa melihat mereka, sebab mereka terhalang
bukit pasir itu. Tapi sebentar lagi mereka akan sampai di sini.>
"Siapa mereka?" tanya Jake.
burung hantu. Untung saja pendengaranku cukup baik. Kalian
bersembunyi dulu. Aku segera kembali.>
Seketika ia menghilang dalam kegelapan malam.
"Ayo," ujar Jake. "Tobias benar. Kita harus sembunyi."
Kami meringkuk di antara dua bukit pasir. Aku tiarap di pasir
yang dingin dan lembap. Dengan hati-hati aku mengintip melalui
alang-alang. Mataku tertuju ke tepi pantai yang basah dijilat ombak
berbuih putih. Tobias kembali beberapa menit kemudian.
kayu yang terdampar di pantai.
adalah perkumpulan yang sebenarnya merupakan
kedok bagi kaum Yeerk. Menurut mereka The Sharing adalah
perkumpulan untuk segala usia, semacam perkumpulan pramuka. Tapi
sesungguhnya ini cuma suatu cara bagi kaum Yeerk untuk mencari
induk semang sukarela. Aku tahu. Kedengarannya memang tidak
masuk akal, tapi ternyata ada orang yang mau menjadi induk semang
bagi kaum Yeerk. Ini sangat membantu makhluk-makhluk keji itu,
soalnya induk semang sukarela lebih mudah dikendalikan daripada
orang yang dijadikan budak secara paksa.
Kegiatan The Sharing tentu saja tidak terang-terangan. Para
anggotanya dipengaruhi pelan-pelan, dalam jangka waktu panjang.
Para anggota baru mula-mula tidak tahu apa-apa. Mereka menyangka
ini cuma klub hura-hura. Aku tidak tahu kapan para anggota diberitahu tujuan
sesungguhnya. Tapi kurasa pada saat itu sudah terlambat. Mereka
harus bersedia menjadi induk semang secara sukarela, atau dipaksa,
seperti yang dialami Tom - kakak Jake.
"Tom juga ikut?" Jake bertanya.
sempat mendengar sepenggal percakapan mereka. Mereka
mencemaskan lempengan pesawat Andalite itu.>
"Jadi lempengan itu memang milik pesawat Andalite?" tanya
Rachel.
Ia terdiam sejenak. Aku langsung tegang. "Apa?"
berada di dalam pesawat induk. Ia langsung melempar salah satu
Hork-Bajir ke luar pesawat karena menyebabkan konsentrasinya
buyar.> "Visser Three bisa menangkap pesan itu karena dia
menggunakan tubuh Andalite," ujar Marco.
"Ya, kurasa begitu. Mimpi atau pesan ini rupanya suatu bentuk
komunikasi yang seharusnya hanya bisa didengar kaum Andalite."
Tiba-tiba sederet titik cahaya muncul di hadapan kami. Sekitar
dua puluh orang tengah menyusuri pantai, dan masing-masing
membawa senter. Mereka maju pelan-pelan sambil mengamati
permukaan pasir. "Mereka mencari kepingan lain," bisikku.
Mendadak sebagian dari mereka berhenti. Salah seorang
menyerukan sesuatu. Yang lain bergegas menghampirinya.
"Apa yang mereka temukan?" Jake bertanya-tanya.
"Aku juga tidak..." Sekonyong-konyong aku sadar. "Jejak kaki kita! Jejak kaki
kita yang masih baru dan tahu-tahu membelok ke
bukit pasir!" "Kita harus lari!" Jake berseru tertahan. "Cepat!"
Terlambat! Belasan berkas senter menyapu pasir yang bergelombang dan
menyoroti lereng bukit pasir. Sebentar lagi semua lampu senter akan
terarah ke tempat kami bersembunyi.
Kami segera merangkak mundur sambil menundukkan kepala.
Kemudian kami bangkit dan langsung lari pontang-panting.
"Kita harus berubah!" ujar Rachel terengah-engah. Setiap
langkah kaki kami terbenam pasir sampai ke mata kaki.
"Jangan!" kata Marco. "Jejak kita juga akan berubah dari jejak manusia ke jejak
binatang." "Tangkap mereka!" teriak seseorang. Kedengarannya seperti
suara Mr. Chapman. Ia wakil kepala sekolah kami. Aku kenal
suaranya karena ia sering marah-marah di koridor sekolah.
Belasan lampu senter menyoroti sekeliling kami. Kami
merunduk dan berlari secepat mungkin. Tapi berlari melintasi pasir
benar-benar menguras tenaga.
Jake membisikkan perintah di sela napasnya yang terengahengah. "Ambil jalan berputar... kalau mereka menyusul... kita kelilingi bukit
pasir... kita kembali ke pantai... dan berubah di sana..."
"Itu mereka! Itu mereka!"
Tiba-tiba cahaya senter menyorot diriku. Aku melihat
bayanganku memanjang di pasir.
Aku melompat ke kiri, menghindari berkas cahaya senter. Dan
untung saja. DOR! DOR! Letusan senjata! Ya ampun! Aku ditembak. Chapter 6 INI benar-benar tidak masuk akal.
Aku sudah pernah terlibat pertempuran hidup-mati melawan
prajurit Hork-Bajir yang tingginya lebih dari dua meter. Aku juga
pernah ditembaki sinar Dracon yang bisa membuat tubuh kita terurai
pelan-pelan. Tapi seumur hidup aku belum pernah ditembaki senapan
biasa. Rasanya konyol banget, setelah berbagai kejadian seru yang
kami lalui. DOR! DOR! DOR! Bluk! Aku mendengar sesuatu menerjang pasir, hanya beberapa
sentimeter dari kakiku. "Aaaaahhh!" aku memekik kaget.
Sebuah tangan kasar mencengkeram lenganku dan menarikku
ke depan. Ternyata Jake. Aku memang langsung terpaku di tempat
ketika mendengar bunyi pasir diterjang peluru tadi.
"Ayo!" seru Jake. Ia setengah menyeretku ke bukit pasir
terdekat, tapi aku sudah sanggup berjalan sendiri.
Aku merangkak menaiki lereng bukit sambil berpegangan pada
rumput liar. Kami melewati puncak bukit. Kami merosot dan menggelinding
dan berlari menuruni lereng seberang.
Kami kembali berada di tepi laut. Aku melirik ke kanan. Tak
ada cahaya senter di pantai. Mereka semua masih di antara bukit-bukit pasir.
Mencari kami. "Masuk ke air," kata Jake. "Kita berubah jadi ikan."
"Jake," aku tersengal-sengal. "Ikan trout... hidup di air tawar...
Animorphs - 4 Terjebak Di Dasar Samudera di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini air laut." "Ada ide yang lebih baik?" ia bertanya.
DOR! DOR! "Tidak ada," sahutku. Kami menerjang ombak yang berdeburdebur. Sambil berlari, aku membayangkan diriku sebagai ikan. Aku
mengingat-ingat bagaimana rasanya menjadi ikan. Aku mencoba
memusatkan pikiran. Tapi itu tidak mudah, apalagi kalau kita sedang
dikejar-kejar dan ditembaki selusin Pengendali.
Aku tersandung. Kakiku telah mengerut dan kini mulai
menghilang sama sekali. Aku terempas ke air dan terpaksa menelan
air laut. Aku berusaha agar kepalaku tetap di atas air, tapi tanganku juga
sudah mulai lenyap. Ombak di sekelilingku seakan-akan bertambah
tinggi karena tubuhku semakin kecil. Pakaianku menggembung tidak
keruan. Para anggota The Sharing, para Pengendali, berlari ke tepi air.
Senter di tangan mereka tampak aneh ketika mata manusiaku berubah
menjadi mata ikan. Dengan telingaku yang masih tersisa aku mendengar, "Jejaknya
menuju ke air." Itu suara Tom. Menyusul suara Chapman, "Mereka tidak
kelihatan. Tapi mereka tidak mungkin berenang jauh. Arus di sini
terlalu kuat. Ayo, semua menyebar untuk mengawasi pantai."
"Apakah mereka bandit-bandit Andalite yang kita cari-cari
selama ini?" "Bukan. Ini jejak manusia. Kemungkinan besar hanya
sekelompok anak-anak. Kurasa mereka tidak melihat apa-apa.
Seharusnya kita tidak menembak tadi."
"Sir," sebuah suara baru berkata. "Kami menemukan celana jeans di air. Ukurannya
cocok untuk celana anak-anak."
"Ada tanda pengenal di sakunya?"
"Tidak, Sir. Tidak ada apa-apa."
"Mungkin cuma kebetulan," ujar Chapman.
"Kalau memang manusia, kenapa kita tidak bisa melihat
mereka?" tanya Tom. "Empat jejak kaki manusia. Tapi tidak ada siapa-siapa di
air. Jangan-jangan... Visser Three keliru" Bagaimana
kalau lawan kita ternyata bukan Andalite?"
Aku terbenam dalam air. Metamorfosisku sudah hampir
lengkap. Tapi sebelum menyelam, aku masih sempat mendengar
Chapman tertawa bengis. "Visser Three keliru" Bisa jadi. Tapi jangan harap aku
mau berkata begitu di depannya."
Proses metamorfosis sudah selesai. Aku telah menjelma
menjadi ikan sepanjang tiga puluh sentimeter. Ikan trout, tepatnya.
Lezat sekali kalau dimasak, digoreng, atau dipanggang.
Air laut terasa panas pada sisikku, dan insangku nyaris tak bisa
bernapas.
wujud, kami pun bisa berkomunikasi melalui pikiran, seperti Tobias.
sambil diberondong peluru. Dan sekarang kita menyelam di laut
dan berubah jadi ikan trout, yang sebenarnya tidak bisa hidup di air asin. Nah,
apa lagi yang kurang">
Chapter 7 SELAMA beberapa hari berikutnya kami tidak mengadakan
kegiatan bersama. Kami cuma bertemu di sekolah, itu pun kalau
kebetulan berpapasan di koridor. Kami masing-masing tetap punya
acara sendiri di luar kelompok Animorphs.
Rachel sibuk dengan latihan senamnya. Selain itu, ia diajak
ibunya menghadiri acara pemberian penghargaan di mana ibunya
mendapat penghargaan sebagai Pengacara Terbaik. (Rachel tentu saja
tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk berbelanja besar-besaran.) Jake
mendapat nilai jelek untuk ulangan bahasa, karena ia tidak
belajar. Ia disuruh membuat karangan singkat untuk memperbaiki
nilainya. Aku sendiri sibuk membantu Dad merawat elang emas yang
nyaris mati kesetrum. Elang itu sedang melewati tahap kritis masa
penyembuhannya. Tobias mampir suatu malam, dan tampaknya ia kurang senang
melihat aku berusaha menyelamatkan seekor elang emas. Elang ekor
merah dan elang emas memang tidak akur. Mungkin karena elang
emas kadang-kadang memangsa elang ekor merah.
Beberapa hari kemudian Jake naik sepeda ke rumahku. Aku
tidak tahu ia akan datang, sehingga penampilanku lebih amburadul
lagi daripada biasanya. Bauku juga tidak enak, karena aku sedang
membersihkan semua kandang di gudang jerami.
Aduh, Jake. Kenapa kau harus muncul di saat penampilanku
lagi parah-parahnya"
"Hai, Cassie," ia menyapaku dengan santai, seakan-akan tidak ada apa-apa.
"Hai, Jake. Kau kemari untuk membantuku membersihkan
kandang?" Ia tersenyum. Senyumnya menawan sekali. Senyum itu muncul
perlahan-lahan, seolah-olah tidak berani mampir di wajahnya yang
serius. "Entahlah. Memangnya kau perlu bantuan?"
"Oh, perlu sekali," sahutku. Langsung saja aku menyodorkan sekop. "Silakan
mulai." Kami bekerja sebentar. Tak ada suara selain bunyi sekop
bergesekan di lantai beton. Aku tahu bahwa Jake hendak mengatakan
sesuatu. Aku selalu tahu. Tapi rasanya lebih baik kalau kutunggu saja sampai ia
siap mengatakannya. "Oke," ia akhirnya berkata.
"Oke," aku membeo.
"Begini, Cassie. Kami semua, ehm, menunggu keputusanmu."
Aku agak terkejut, dan langsung berhenti menyekop. "Hah"
Keputusan apa?" "Maksudku, soal mimpimu. Apa yang harus kita. lakukan?"
Aku angkat bahu. "Aku juga tidak tahu. Lagi pula, bukan cuma
aku yang bermimpi. Tobias juga. Dan kalian semua juga sempat
merasakan sesuatu, biarpun cuma sedikit."
"Yeah, tapi Tobias pikir dia takkan bisa banyak membantu
kalau... ehm... kalau kita memutuskan untuk bertindak. Kali ini
urusannya dengan air, dan Tobias tidak bisa berubah lagi. Mengenai
teman kita yang lain, entahlah. Rachel dan Marco masih ragu-ragu
dengan pesan itu." "Kau sendiri bagaimana, Jake?"
Jake berhenti menyekop. Ia menyeka kening dengan punggung
tangan lalu menatapku. "Aku percaya kau tidak mengada-ada, Cassie.
Kurasa kau dan Tobias memang benar. Tapi Marco belum yakin." Ia mengangkat
sebelah alis, seakan-akan hendak berkata, "Tahu sendiri kan bagaimana si Marco."
Aku langsung agak tegang. "Jadi, kau ingin agar aku yang
mengambil keputusan" Aku yang harus menentukan langkah kita
selanjutnya, begitu?"
"Cassie, kaulah yang mengalami mimpi itu. Hanya kau yang
tahu apakah mimpi itu nyata, dan apakah kita perlu berbuat sesuatu."
"Aku tidak tahu," sahutku. Apa yang diharapkan Jake dariku"
Setiap kali mencoba melawan kaum Yeerk, kami pasti nyaris celaka.
Baru dua hari lalu aku mendengar peluru berdesing-desing di
sekelilingku. Jake menunggu sampai aku kembali menatapnya. "Cassie, kau
tahu kami semua mempercayai nalurimu. Kau yang paling memahami
binatang. Kau yang paling menguasai proses metamorfosis. Dan kau
tahu kami semua menghormatimu."
Aku meringis. "Jangan terlalu memuji. Nanti kepalaku
menggembung." "Kalau menurutmu kita harus bertindak, Rachel pasti
mendukungmu. Aku juga."
"Dan Marco?" Jake kembali nyengir. "Marco pasti ngomel-ngomel. Tapi
akhirnya dia pasti ikut, biarpun beberapa meter di belakang kita."
Kami tertawa. "Entahlah, Jake. Ini cuma mimpi. Bagaimana aku bisa yakin
apakah ini sungguhan atau tidak?"
Ia menggelengkan kepala. "Memang sulit, sih. Kelihatannya
kau harus mengandalkan naluri dan berharap semoga kau benar."
Aku meringis lagi. Aku bukan Rachel. Aku bukan orang yang
suka mengambil risiko. "Kenapa bukan kau saja yang memutuskan?"
aku berkelakar. Jake mengangguk dengan serius. "Bisa juga, kalau memang itu
yang kauinginkan." "Dan kalau hasilnya ternyata kacau-balau, kau yang harus
bertanggung jawab," ujarku. "Kau yang akan merasa bersalah, dan kau yang bakal
disalahkan." Aku mengangkat tangan dan menyentuh
pipinya. "Kau baik sekali. Tapi kau benar. Kali ini aku yang harus mengambil
keputusan." Aku menghela napas dan memandang ke sekeliling gudang
jerami. Baunya memang bukan main, dan kadang-kadang ramainya
minta ampun. Burung-burung berdecit-decit, serigala melolonglolong, dan kuda meringkik-ringkik. Semuanya butuh perawatan,
meski mereka juga takut terhadap perawatan yang kami berikan. Tapi
inilah satu-satunya tempat di seluruh dunia, di mana aku merasa
sangat betah. Melalui pintu gudang jerami yang terbuka, aku bisa melihat
ladang jagung dan padang rumput yang membentang sampai ke hutan
di kejauhan. "Aku tahu ini tidak masuk akal," ujarku, "tapi laut membuatku agak ngeri. Di
darat aku merasa aman. Aku memahami Bumi dan
segala sesuatu yang tumbuh di atasnya." Aku tertawa. "Maklum, aku besar di tanah
pertanian. Aku sudah pernah bilang kan, bahwa
pertanian ini milik keluargaku sejak zaman perang dulu?"
Jake mengedipkan mata. "Itu sih aku sudah tahu. Tahun lalu
aku kan ikut perayaan Thanksgiving bersama keluargamu di sini.
Waktu itu nenek buyutmu bercerita panjang-lebar tentang sej arah
keluargamu." "Mulai dari zaman bumi masih dikuasai dinosaurus," aku
langsung menambahkan. "Yeah, nenek buyutku memang paling
senang bercerita tentang sejarah keluarga."
Roman muka Jake kembali serius, bahkan nyaris tegang.
"Terserah kau saja, Cassie. Misi ini akan sangat berbahaya, dan kemungkinan
besar hasilnya tidak terlalu bagus. Samudra kan luas
sekali. Tapi kau yang harus memutuskan."
"Yap," aku membenarkan, lalu menggelengkan kepala pelanpelan. "Aku percaya mimpi ini bukan sekadar mimpi. Aku percaya
ada Andalite yang sedang dalam kesulitan... entah di mana. Dan dia
butuh pertolongan." "Oke, kurasa sudah cukup jelas," kata Jake. "Nah, sekarang bagaimana caranya
supaya kita bisa mendatangi si Andalite?"
Aku mengerutkan kening sambil merenungkan berbagai
kemungkinan. "Bagaimana kalau jadi ikan" Kita harus jadi sesuatu yang sanggup
bergerak cepat, dan tidak mudah dimangsa. Maksudku,
bukan jenis ikan yang mungkin disambar ikan tuna yang lagi lapar."
Jake mengangguk. "Dan jangan lupa, kita juga harus bisa
menyadap pola DNA-nya. Berarti sesuatu yang ada di The Gardens."
"Di sana ada singa laut. Dan lumba-lumba. Tapi kita tidak
mungkin meniru mereka, kan?"
"Kenapa tidak?"
"Ehm... entahlah. Lumba-lumba" Mereka cerdas sekali.
Rasanya... ehm... rasanya tidak pantas."
"Oke, terserah kau saja," ujar Jake sambil menyandarkan sekop ke dinding. "Aku
mau pulang dulu. Aku harus belajar. Jangan sampai ulanganku kacau lagi."
"Ah, kau cuma takut kusuruh membersihkan kandang lagi," aku berkomentar.
"Cassie," sahut Jake, "aku lebih suka menyekop kotoran kuda bersamamu daripada
membuat PR sendirian."
Aku menganggapnya sebagai pujian.
Jake pulang, dan aku malah lebih gelisah daripada sebelum ia
datang tadi. Chapter 8 SEUSAI sekolah keesokan hari, kami berempat naik bus
menuju The Gardens. Tobias tentu saja memilih terbang. Ia bilang ia
akan tiba lebih cepat daripada kami, namun ia tidak tahu apakah ia
bisa bergabung dengan kami setelah sampai di sana.
The Gardens merupakan taman hiburan raksasa yang antara lain
berisi kebun binatang. Hanya saja pihak pengelola tidak menyebutnya
kebun binatang, melainkan "taman margasatwa." Ibuku bekerja di situ.
Ia kepala dinas kesehatan satwa, alias kepala dokter hewan.
Aku punya kartu masuk khusus, sehingga aku bisa masuk kapan
saja. Tapi teman-temanku terpaksa membayar. Ini cukup menyulitkan,
karena Marco tidak pernah punya uang. Sejak ibu Marco meninggal,
ayahnya jadi pemurung dan enggan keluar rumah. Ia bekerja
serabutan, dan mereka selalu kekurangan uang.
Ayah Marco sangat terpukul oleh kematian istrinya, dan ia larut
dalam dukacita yang berkepanjangan. Aku bisa mengerti
kesedihannya. Tapi di pihak lain, kematian memang di luar kekuasaan
manusia. Kematian sering datang secara tiba-tiba, dan kita tidak bisa berbuat
apa-apa selain berusaha mengatasinya. Aku menyadari hal ini
setelah mulai membantu pekerjaan Dad di klinik.
Keadaan Marco memang sulit, karena ia merasa berkewajiban
mengurus ayahnya. Aku melirik Marco yang duduk di sampingku di dalam bus. Ia
sedang termenung-menung sambil memandang ke luar jendela.
"Kau habis potong rambut, ya" Kelihatannya keren juga."
"Yeah?" Ia tampak terkejut. Ia mengusap rambutnya yang
panjang dan cokelat, lalu tersenyum tipis.
Aku mengerjakan beberapa soal PR matematika (idih!) sambil
mendengarkan Walkman. Ketika kami sampai, ternyata sedang ada diskon khusus untuk
tiket masuk - beli dua tiket dan dapatkan tiket ketiga dengan harga
satu dolar. Untung saja Marco bawa uang kali ini, sehingga kami tidak perlu
ribut-ribut. Kami melintasi kawasan hiburan dan menuju ke taman
margasatwa. Jake memperhatikan permainan roller-coaster sambil
menggelengkan kepala. "Dulu kupikir tak ada yang lebih seru
daripada ini," katanya. "Tapi sejak aku bisa menjelma jadi falcon, wahana ini
jadi tidak ada apa-apanya. Apa asyiknya meluncur dengan
kecepatan sekitar seratus kilometer di atas rel, kalau aku bisa melesat dua kali
lebih kencang sebagai falcon?"
"Semuanya memang jadi lain sejak kita bisa berubah wujud,"
Marco membenarkan. "Dulu aku ingin badanku berotot. Tapi
kemudian aku berubah jadi gorila, dan tiba-tiba aku sanggup
mengangkat mobil. Jadi untuk apa aku harus repot-repot berlatih
angkat besi?" "Aku tidak setuju," ujar Rachel. "Aku justru semakin getol berlatih senam
setelah jadi kucing. Gerak-gerik kucing begitu anggun dan penuh percaya diri.
Dan sekarang aku selalu berusaha meniru cara gerak kucing. Kalau aku lagi
Animorphs - 4 Terjebak Di Dasar Samudera di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berjalan di balok keseimbangan, aku
berusaha membangkitkan rasa percaya diri itu."
"Dan setelah itu kau tetap jatuh seperti biasanya, kan?" aku berkelakar.
"Memang sih," sahut Rachel sambil tertawa. Jarinya meniru
gerakan melangkah, lalu terbalik. "Boom. Aku terpeleset. Tapi paling tidak
sekarang aku penuh percaya diri kalau jatuh."
Kami sampai di gerbang taman margasatwa. Bagian paling
depan ditempati mamalia laut. Bagian itu terdiri atas satu gedung
utama, dan beberapa kolam tanpa atap.
Kami menuju kolam yang paling besar. Di tiga sisi terdapat
tribun untuk pengunjung yang ingin menyaksikan pertunjukan. Satu
pertunjukan baru saja berakhir, dan ratusan orang sedang
meninggalkan tempat itu. Pertunjukan berikut masih beberapa jam
lagi. "Kita pilih waktu yang tepat," kata Jake. "Keadaannya tidak terlalu ramai."
"Ini kan hari kerja," sahutku. "Pada hari-hari kerja memang tidak terlalu
ramai." Kami berjalan melawan arus, dan sampai di tepi kolam.
Kolamnya cukup besar. Kira-kira sebesar empat atau lima
kolam renang. Airnya biru sekali dan berkesan sangat bersih. Di salah satu sisi
terdapat pelataran kecil, tempat para pelatih berdiri untuk berkomunikasi dengan
lumba-lumba asuhan mereka.
"Jadi, apa bedanya antara porpoise dan dolphin?" tanya Marco.
"Keduanya sama-sama ikan, kan?"
BYURRR! Permukaan air yang tenang tiba-tiba bergolak beberapa jengkal
di samping kami. Aku dihujani percikan air.
"Awww!" kami memekik bersamaan.
Ia melesat tegak lurus dari air, bagaikan torpedo berbentuk
ramping dan berwarna kelabu. Panjangnya, dari kepala sampai ekor,
sekitar tiga setengah meter. Beratnya hampir dua ratus kilo. Ia
melompat dari air, melayang di udara, menatap kami penuh rasa ingin
tahu, lalu kembali menyelam. Gerakannya begitu mulus sehingga
nyaris tidak menimbulkan gelombang.
"Itu yang namanya dolphin," aku berkata pada Marco.
"Oke, kalau itu aku setuju," ujar Marco. "Kalian lihat apa yang dilakukannya?"
Apakah kau pernah memperhatikan bahwa gerak-gerik atlet
hebat selalu berkesan begitu ringan" Michael Jordan, misalnya" Setiap gerakannya
sempurna. Kita tahu ia pasti sudah berlatih jutaan jam,
tapi kesan yang diberikannya selalu membuat kita berkata, "Ah, itu sih keciiil.
Itu sih gampang. Apa susahnya melayang-layang di udara?"
Begitulah lumba-lumba di dalam air. Gerakannya serbaanggun.
Serbasempurna. Ikan berenang dalam air. Ikan hiu berenang, ikan tuna berenang,
ikan trout berenang, bahkan manusia pun berenang. Lain halnya
dengan lumba-lumba. Mereka menganggap air sebagai milik mereka.
Sebagai mainan. Air bagaikan trampolin raksasa bagi lumba-lumba,
dan mereka bermain-main seperti anak kecil yang sedang bergembira
ria. Sekadar menonton mereka beraksi sudah bisa membuat kita ikut
bergembira. Tapi secara bersamaan kita pun akan sadar bahwa gerakgerik kita sendiri begitu kikuk dan canggung. Manusia mungkin
makhluk paling cerdas di Bumi, tapi banyak spesies yang jauh lebih
tangkas daripada kita. "Dia berusaha merayu kalian untuk mendapat ikan lagi."
Kami semua berbalik dan melihat salah satu pelatih lumbalumba, seorang wanita bernama Eileen.
"Oh, hai, Eileen," aku menyapanya.
Wanita itu mengangguk ke arah si lumba-lumba yang kembali
melesat dari air. Kali ini ia bersalto di udara. "Joey memang pandai merayu. Dia
selalu berusaha mendapatkan tambahan ikan."
"Dia hebat sekali," kataku.
"Ya, memang," Eileen membenarkan. Ia tampak bangga.
Aku memperkenalkan Jake, Marco, dan Rachel. "Kami baru
Rantai Naga Siluman 2 Wiro Sableng 029 Bencana Di Kuto Gede Sang Penghancur 2