saja mendapatkan informasi tentang lumba-lumba melalui Internet,"
aku berdalih, "dan sekarang kami jadi tertarik untuk melihat lumba-lumba yang
asli." "Oke, kami punya enam lumba-lumba di sini. Selain Joey masih
ada Ross, Monica, Chandler, Phoebe, dan Rachel. Hei, kalian
berminat memberi mereka makan" Coba lempar ikan ke air. Mereka
pasti langsung datang."
"Tapi nanti jadwal makan mereka jadi kacau."
"Asal jangan terlalu banyak, tidak apa-apa. Dan jangan sampai
semua ikan dimakan Joey. Dia memang agak rakus."
Eileen mengambil satu ember penuh ikan, lalu meninggalkan
kami. "Idih, amis benar baunya," Marco berkomentar. "Kau takkan bilang begitu kalau
sudah berubah jadi lumba-lumba," balas Rachel.
Marco menatapnya sambil mengerutkan kening. "Masih ingat
nggak, bahwa beberapa hari lalu kita sempat jadi ikan" Ikan yang
mirip dengan ikan-ikan ini?"
Ia benar. Tapi aku enggan mengingatnya. Sejak dulu aku selalu
dekat dengan hewan. Tapi ceritanya jadi lain banget kalau kita bisa
menjelma menjadi macam-macam binatang.
Aku meraih seekor ikan dan melemparkannya ke air. Dan persis
seperti yang dikatakan Eileen, lumba-lumba yang lain segera
bermunculan. "Wow! Kelihatannya mereka memang doyan makan," ujar
Rachel. Kawanan lumba-lumba itu segera mulai beraksi. Tampaknya
mereka tahu persis bagaimana membuat orang terkagum-kagum.
"Lihat, tuh! Mereka nyengir terus," ujar Marco. "Seolah mereka memang berpikir
ada yang lucu." "Dan mereka juga terus menatap mata kita," Jake
menambahkan. "Kebanyakan binatang lain cuma menoleh sebentar,
sekadar untuk melihat apa yang terjadi di dekat mereka. Tapi lumbalumba ini memandang seakan-akan pernah mengenal kita."
Jake membungkuk di tepi kolam untuk mengelus salah satu
lumba-lumba. "Halo" Apakah kita pernah bertemu" Namaku Jake."
Si lumba-lumba menggoyangkan kepala maju-mundur, seolaholah mengangguk sambil berceloteh dengan suaranya yang bernada
tinggi. "Wah, aneh sekali," ujar Rachel. "Kayaknya dia menjawab pertanyaanmu, Jake."
"Mungkin saja," kataku. "Lumba-lumba sangat cerdas lho.
Kecerdasan mereka memang berbeda dari kecerdasan manusia, tapi
kurasa mereka termasuk makhluk paling pintar di dunia."
"Pasti aneh deh, kalau kita menjelma sebagai binatang yang
begitu cerdas," Rachel bergumam.
"Ya," aku membenarkan. Aneh, dan... sepertinya tidak pantas.
Aku tidak tahu kenapa aku punya perasaan begitu, tapi yang jelas
perasaanku tidak enak. "Jangan-jangan apa yang kita lakukan
sebenarnya sama saja dengan apa yang dilakukan kaum Yeerk."
Rachel tampak kaget. "Jelas lain dong! Kaum Yeerk mengambil
alih tubuh manusia," katanya. "Lagi pula, mereka tidak berubah wujud, mereka
hidup di dalam para korban mereka. Kita meniru pola
DNA seekor binatang untuk menciptakan makhluk baru."
"Dan setelah itu kita desak nalurinya supaya kita bisa
mengendalikannya sepenuhnya," ujarku.
"Tapi tetap lain," Rachel berkeras, meskipun tak lagi seyakin tadi.
"Aku perlu memikirkan soal ini," ujarku. "Terus terang, perasaanku kurang enak."
Jake menghampiri Rachel dan aku. "Sebaiknya kita mulai saja."
Aku mengangguk. "Ya. Sebelum kita kehabisan ikan untuk
mereka." Aku membungkuk di tepi kolam dan menepuk-nepuk kepala
lumba-lumba terdekat. Kulitnya kenyal seperti karet, tapi sama sekali tidak
berlendir. Rasanya seperti bola karet yang basah.
Lumba-lumba itu menyeringai dan menatapku sambil
memiringkan kepala. Aku menyingkirkan semua kebimbangan. Aku memejamkan
mata, dan memusatkan pikiran pada lumba-lumba itu. Seperti
biasanya selama proses penyadapan DNA, ia menjadi tenang sekali
dan nyaris tidak bergerak.
Boleh" aku bertanya dalam hati. Tapi tentu saja ia tidak bisa menjawab....
Chapter 9 MALAM itu aku kembali bermimpi tentang suara di bawah
laut, suara yang memanggil-manggil pertolongan. Hanya saja kali ini
suaranya sudah semakin lemah. Seperti radio yang baterainya sudah
lemah. Aku tidak yakin apakah ini mimpi sungguhan.
Aku juga bermimpi tentang lumba-lumba di kolam di taman
margasatwa. Lumba-lumba yang diberi nama Monica. Mungkinkah ia
sebenarnya punya nama sendiri" Sudah berapa lama ia hidup di kolam
itu" Dan kapan ia terakhir kali bebas mengarungi samudra luas"
Besok hari Jumat. Sekolah diliburkan karena ada rapat guru,
sehingga kami bisa berakhir pekan selama tiga hari.
Aku menelepon Jake. "Hai, Jake. Kita jadi pergi ke pantai
nanti?" Kami selalu berhati-hati kalau berbicara melalui telepon.
Saluran telepon bisa disadap. Lagi pula Tom, kakak Jake, mungkin
saja menguping lewat saluran paralel dan mendengar sesuatu yang
sebenarnya tidak boleh didengarnya.
"Jangan deh. Pantainya pasti ramai sekali hari ini," jawab Jake.
"Aku sempat mengobrol dengan Marco, dan dia usul supaya kita main ke sungai
saja." Usul Marco masuk akal. Kami memang tidak mungkin berubah
wujud di pantai yang penuh orang.
"Dua jam lagi aku ke sana. Aku masih ada tugas di klinik."
Ternyata aku agak terlambat. Teman-temanku sudah menunggu
ketika aku tiba. Kami berkumpul di tempat yang pernah kudatangi bersama
Dad, sebuah taman kecil di dekat jembatan. Itu tempat yang baik
untuk memancing. Kira-kira satu kilometer dari sana, sungai bermuara ke laut.
Hampir seluruh tepi sungai itu diapit pepohonan. Di sana-sini berdiri rumah
tinggal dan dermaga pribadi, tapi kami memilih tempat
yang terlindung dari jembatan dan jauh dari perumahan.
"Hai, Cassie," Jake menyapaku sambil tersenyum.
"Halo semuanya," sahutku. Aku melihat sesuatu bergerak di
salah satu dahan pohon. "Hei, Tobias. Bagaimana kabarmu?"
Aku tertawa. Dalam hati aku bersyukur Tobias sudah mulai bisa
menerima kenyataan bahwa ia manusia bertubuh elang.
digital mungil yang terpasang di sebelah kakinya.
penggemar burung yang melihatku sambil terheran-heran, 'Hmm,
sejak kapan elang ekor merah mulai pakai jam"' >
Jake berkata, "Kita sembunyikan baju kita dulu, lalu masuk ke
sungai. Baru setelah di air kita mulai berubah."
"Oke, ujar Rachel. "Cassie" Mau duluan?" tanya Jake.
Aku mengangguk. "Boleh." Entah kenapa semua temanku
sepakat menyatakan akulah yang paling menguasai proses morphing
atau metamorfosis. Aku sebenarnya tidak sependapat. Kami semua
punya kemampuan yang sama.
Tapi menjelma menjadi binatang yang belum pernah kami tiru
memang cukup mendebarkan. Tak ada yang bisa menduga seperti apa
rasanya. Tak ada yang tahu seberapa sulitnya mengatasi naluri dan
perasaan binatang tersebut.
Dan kali ini malah ada kekuatiran baru, paling tidak untukku.
Apa yang akan kami temui saat menjelma sebagai lumba-lumba"
Apakah lumba-lumba bertindak berdasarkan dorongan naluri sematamata, ataukah mereka punya jiwa yang mampu berpikir"
Aku melepaskan baju overall dan membuka sepatu. Seperti
biasa kalau mau menjelma, aku cuma memakai baju senam. Kami bisa
memakai baju saat berubah wujud, tapi bajunya harus baju ketat. Baju yang
longgar pasti bakal terkoyak-koyak. Dan sepatu" Jangan tanya
soal sepatu. Kami semua pernah mencobanya, dan setiap kali kami
gagal. Aku melangkah ke air. "Ih, dingin," aku melaporkan. Arus
sungai menarik-narik kakiku.
Aku maju beberapa langkah, sampai airnya setinggi pinggang.
Kemudian aku memusatkan pikiran pada lumba-lumba yang
telah menjadi bagian dari diriku.
Perubahan pertama tampak pada kulitku. Warnanya berubah
dari cokelat menjadi kelabu pucat. Dan kalau disentuh rasanya seperti karet,
kenyal tapi kuat. Bagus. Aku memang ingin mempertahankan kakiku selama
mungkin. Aku ingin mengubah sebanyak mungkin bagian tubuhku,
sebelum harus menyelam. Aku mendengar bunyi berderak-derak yang kadang-kadang
timbul kalau ada tulang yang bertambah panjang atau pendek. Dan
kurasakan wajahku mulai menggembung dan menjorok ke depan.
"Wah, ini sih tidak asyik," Marco mengerang di tepi sungai.
"Kau tidak bisa dibilang tambah cantik, Cassie."
Proses metamorfosis memang bukan sesuatu yang enak dilihat.
Orang yang tidak tahu apa-apa bisa menjerit-jerit kalau
menyaksikannya. Aku pernah melihat Rachel menjelma menjadi
gajah, dan percayalah, adegan itu betul-betul mengerikan. Apalagi
kalau seseorang berubah menjadi ikan.
Aku tidak bawa cermin, tapi aku bisa membayangkan betapa
seram penampilanku. Hidungku menyembul bagaikan leher botol dari
wajahku. Kulitku seakan-akan terbuat dari karet berwarna kelabu. Dan ketika aku
meraba-raba belakang tubuhku dengan tangan yang
semakin kecil, aku merasakan sirip punggung yang muncul dari tulang
belakang. Dalam waktu singkat lenganku telah lenyap dan digantikan
sepasang sirip dada. Badanku yang setinggi tiga meter ditopang kaki
manusia berukuran normal.
Sudah waktunya untuk merampungkan proses metamorfosis.
Aku merelakan kaki manusiaku. Seketika aku jatuh ke air.
Aku menoleh ke bawah dan melihat ekorku. Semua sudah
lengkap. Namun airnya terlalu dangkal sehingga aku nyaris tidak bisa mengambang.
Aku mengibaskan ekor. Sejenak perutku menggesek
dasar sungai yang berpasir, tapi kemudian aku berhasil mencapai air
yang lebih dalam. Dengan waswas aku menunggu otak lumba-lumba mulai
beraksi. Aku bersiap-siap menghadapi desakan naluri yang
menghasilkan rasa lapar dan takut yang meletup-letup. Pengalamanku
selama ini menunjukkan itulah yang akan terjadi.
Tapi kenyataannya sangat berbeda. Rasanya sama sekali bukan
seperti ketika aku menjelma menjadi tupai atau kuda.
Otak lumba-lumba tidak dipenuhi rasa takut dan desakan naluri.
Lumba-lumba lebih seperti... aku tahu kedengarannya aneh, tapi
aku merasa seperti anak kecil. Aku berusaha mendengarkan suara hati
si lumba-lumba, berusaha memahami kebutuhan dan keinginannya.
Aku pasang kuda-kuda untuk menghadapi ledakan naluri binatang
yang serbaprimitif. Lari! Berkelahi! Makan!
Tapi apa yang kubayangkan ternyata tidak terjadi. Oke, aku
memang lapar. Tapi rasa lapar itu tidak menggebu-gebu dan tak
terkendali seperti yang dialami Jake ketika ia menjadi kadal, atau
seperti yang dihadapi Rachel waktu ia menjelma sebagai cecurut.
Dan tak ada rasa takut. Sedikit pun tidak ada.
Untung saja aku tidak menemui kesadaran diri seperti yang
dimiliki manusia. Aku langsung menarik napas lega. Tapi secara
bersamaan - ini juga aneh - aku mendapat kesan bahwa si lumbalumba ingin bermain. Persis seperti anak kecil. Aku ingin mengejar
ikan, menangkap ikan, makan ikan, tapi cuma untuk main-main. Aku
ingin melesat di permukaan laut, tapi juga cuma untuk main-main.
Baik-baik saja" aku bertanya dalam hati.
ingin mengajakmu bermain.>
Chapter 10
Aku tidak betah di sungai itu. Aku ingin menjelajahi samudra.
Aku bisa merasakannya di dekatku. Aku seperti dipanggil-panggil.
Samudra. Aku sudah tidak sabar menunggu. Tempatku di sana.
Di lautan yang luas. Kami berenang berkelompok. Berempat. Tobias terbang di atas
kami. Kami berpacu dengan arus sungai, dan tak lama kemudian
airnya mulai terasa asin. Kulitku dibasahi air laut. Rasanya seolaholah ada yang membuka pintu toko mainan berisi semua mainan dari
seluruh dunia, dan aku punya waktu tak terbatas untuk
memainkannya. Teman-temanku berenang di sekelilingku. Mereka tampak
samar-samar berbentuk sosok-sosok ramping yang gesit. Semua mirip
torpedo kelabu yang meluncur cepat ketika mereka menembus
permukaan laut untuk menarik napas.
Aku hidup di dua dunia - di atas dan di bawah air. Aku melihat
samudra yang berwarna biru kehijauan serta langit yang biru pucat.
Berkali-kali aku menembus batas cemerlang yang memisahkan
keduanya. Jake melesat melewatiku. Ia mengambil ancang-ancang, lalu
melompat ke udara. Aku mendengar bunyi berdebur ketika ia
terempas kembali ke air. Ia mengajakku bermain! Aku menyelam
dalam-dalam, sampai ke batas maksimal yang bisa kucapai. Kemudian
aku mengibaskan ekor, mengencangkan sirip dada, dan melaju menuju
permukaan. Batas antara air dan udara kelihatan terang benderang di
atasku. Lebih cepat lagi! Lebih cepat lagi! Aku melesat bagaikan roket.
Kulitku dibelai angin hangat. Aku melayang-layang sejenak.
Permukaan air tampak berkilau-kilau. Kesannya begitu mengundang.
Aku menundukkan kepala dan menyelam.
bergaung dalam kepalaku.
kami. Pasirnya bergelombang, dan di sana-sini mencuat batu karang
Animorphs - 4 Terjebak Di Dasar Samudera di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan rumput laut. Kami menyelam sampai nyaris menyerempet dasar laut.
Kemudian kami kembali meluncur menuju permukaan yang berkilau
keperakan. Tenaga kami seakan-akan tak ada habisnya. Kami beradu
cepat, berputar-putar, meliuk-liuk, menerobos permukaan laut,
melayang-layang di udara.
Rasanya seolah-olah seluruh samudra milik kami.
Tobias.
Empat puluh lima menit" Aku tertawa. Siapa yang peduli"
menguasai diri. Ada alasan kenapa kalian di sini.>
Alasan" Apa itu"
permainan juga"
menantang.
terdengar serangkaian bunyi klik yang keras dan cepat sekali.
Suara itu berasal dari balik keningku.
Sekonyong-konyong - aku sendiri kaget - aku mendengar
sesuatu dalam rangkaian bunyi itu. Aneh sekali. Aku seperti
mendengar sesuatu, padahal tidak. Gelombang bunyi klik yang
kupancarkan itu seolah memantul pada sesuatu yang berada jauh di
bawah kami. Aku bisa merasakan pantulan bunyi yang mirip gema.
Gema itu membawa setumpuk informasi. Sebagian informasi
tersebut membuatku gelisah.
segera mulai memancarkan bunyi klik. Bunyi
itu adalah cara lumba-lumba untuk mengetahui keadaan sekitar,
semacam radar bawah air.
Aku menjelajahi otak lumba-lumba yang ada dalam kepalaku.
Aku menerobos tempat-tempat di mana naluriku tertindih di balik
lapisan kecerdasan. Kemudian sebuah bayangan muncul dalam benakku.
Serta-merta kami berhenti bermain-main. Teman-temanku juga
telah menggali naluri yang ada dalam diri masing-masing. Radar
bawah air kami menunjukkan ada hiu besar di sekitar kami.
Dan satu hal sudah pasti: lumba-lumba dan hiu adalah musuh
bebuyutan. Chapter 11 < EHM, aku bukannya mau menggurui kalian,> ujar Tobias,
depanku.
Aku jadi bingung sendiri. Apa maksudku sebenarnya" Istilah si
besar terlintas begitu saja dalam benakku.
Aneh, memang, tapi kami semua merasa tegang. Lebih dari
seharusnya.
kagum bercampur waswas. Kami berempat melesat maju, sekencang-kencangnya, menuju
ikan paus yang sedang dalam kesulitan.
seekor ikan paus yang besar. Wow, benar-benar besar.>
Kami sedang berenang dengan sekuat tenaga ketika aku melihat
hiu yang pertama. Hiu itu lebih besar daripada aku. Panjangnya sekitar tiga
setengah meter. Dan di sisi tubuhnya terdapat garis-garis vertikal samar-samar.
Ia terlalu sibuk berburu sehingga baru melihatku pada detik
terakhir. Tapi saat itu sudah terlambat. Aku mengerahkan segenap
tenaga dan menghantam insang hiu macan tersebut.
WHOOOMP! Rasanya seperti menabrak tembok batu. Moncongku memang
kuat, tapi tubuh hiu itu seakan-akan terbuat dari baja.
Aku terpental. Kepalaku pusing. Tapi ketika aku berusaha
memulihkan diri, aku melihat darah menyebar dari insang musuhku.
Aku melintas di bawahnya, dan kemudian aku melihat sosok
ikan paus berukuran raksasa. Panjangnya lebih dari dua belas meter.
Kedua sirip dadanya penuh remis, dan masing-masing lebih panjang
daripada aku. Ia berusaha naik ke permukaan untuk bernapas, tapi ia terusmenerus diserang hiu. Ikan-ikan buas itu mengincar daging empuk di
sekeliling mulutnya. Aku jadi marah. Marah sekali.
Tiba-tiba, dari kedalaman yang remang-remang, Jake dan
Rachel melesat ke atas bagaikan roket.
WHOOOMP! Rachel menghantam sasarannya.
Hiu yang diincar Jake masih sempat mengelak. Jake hanya
menyerempet kulit hiu macan yang bagaikan kertas ampelas. Sebelum
Jake sempat kabur, hiu itu sudah mengejarnya.
Hiu-hiu itu mampu berenang sekencang kami. Mereka juga
sanggup berbelok-belok seperti kami. Tapi ada satu keuntungan di
pihak mereka - mereka tidak kenal takut.
Ini bukan permainan lagi. Aku mengawali pertarungan dengan
penuh percaya diri. Aku ingin menolong paus yang malang itu. Tapi
sekarang aku sadar ini pertempuran hidup-mati. Ikan hiu adalah mesin pembunuh.
Seluruh tubuh mereka dirancang untuk bertempur - mulai
dari kulit yang seakan-akan terbuat dari baja, sirip bagaikan golok
yang siap menebas, sampai mulut yang lebar dan penuh gigi tajam.
Laut sampai bergolak akibat pertempuran maut di antara
mereka dan kami. Tiba-tiba saja aku sadar kami bisa kalah. Ada kemungkinan
kami akan celaka. Aku mungkin tewas. Air laut menjadi keruh karena darah yang masih terus mengalir
dari insang hiu yang kutabrak tadi.
Sekonyong-konyong dua hiu membelok ke arah lain. Mereka
berbalik dan berenang menjauh. Mula-mula aku tidak mengerti
sebabnya. Tapi kemudian aku melihat mereka mengejar hiu yang telah
kubuat cedera. Mereka mengikuti jejak darah di dalam air.
Kedua hiu itu sudah hampir menghilang dari pandangan ketika
mereka menyerang. Keduanya menyerang hiu yang terluka. Bertubitubi. Tak kenal ampun. Hiu terakhir pun berpaling dari pertempuran dan menyusul
mereka. Setelah gagal mendapatkan daging ikan paus, ia akan
memangsa saudaranya sendiri.
merasa letih dan kehabisan tenaga. Pertempuran tadi paling-paling
berlangsung dua menit. Tapi dua menit itu terasa lama sekali.
Aku memandang berkeliling untuk mencarinya. Ia
mengambang di air, nyaris tanpa bergerak, kira-kira lima meter di
bawahku. Kami segera berenang menghampiri Marco.
Kemudian aku melihat lukanya. Seandainya bisa, aku pasti
menjerit. Ekornya nyaris putus karena digigit hiu. Sirip ekornya
menggantung lemas, tak berguna.
Kami berada beberapa kilometer dari daratan. Dan Marco
takkan sanggup berenang sampai ke pantai.
Chapter 12 DIA bisa mati kalau kita tidak berbuat apa-apa,> seru Rachel.
mendesak. Tapi aku sama sekali tidak merasa sebagai ahli satwa. Aku
justru merasa tolol sekali. Ini semua salahku. Aku yang mengambil
keputusan untuk melaksanakan rencana gila ini. Aku yang
bertanggung jawab.
dia. Dan ayahku...>
Rachel.
sebagai manusia. Lukanya takkan terbawa, sebab DNA manusianya
tidak terpengaruh. Setelah itu, dia harus kembali lagi jadi lumbalumba. Tubuh lumba-lumbanya yang sekarang memang cedera, tapi
kurasa DNA-nya tidak apa-apa. Mestinya dia jadi lumba-lumba yang
sehat lagi.>
tenggelam.>
ampun. Mungkin...> Kesadarannya mulai menurun.
Tobias berputar-putar di atas. Paus raksasa yang kami selamatkan
berenang di samping kami.
Kemudian Marco mulai berubah. Sirip dadanya berubah
menjadi lengan. Wajahnya semakin datar. Mulut lumba-lumba yang
selalu menyeringai kembali menjadi sepasang bibir manusia. Kulit
Marco pun kembali ke warna aslinya, dan tak lama setelah itu baju
yang dikenakannya mulai tampak.
Ekornya yang cedera parah terbelah dua. Jari kaki mulai terlihat
di ujung masing-masing belahan. Jari kaki manusia.
mengapung. Tiba-tiba aku sadar bahwa ada sesuatu yang aneh. Dasar laut
seakan-akan bergerak mendekatiku.
Ternyata bukan dasar laut. Melainkan si paus. Ia telah
menyelam ke bawah kami, dan kini naik perlahan-lahan ke permukaan
air.
Tapi tepat pada saat itulah aku mengalami kejadian paling ajaib
di hari yang penuh keajaiban itu.
Pikiranku, baik sebagai manusia maupun lumba-lumba, tibatiba terbuka, bagaikan sekuntum bunga menyambut sinar matahari.
Kepalaku mendadak dipenuhi suara yang megah membahana,
namun sesungguhnya tidak terdengar. Tak sepatah kata pun terucap.
Namun setiap sudut dalam benakku langsung terisi satu perasaan
sederhana. Rasa terima kasih. Si paus memberitahuku bahwa ia berterima kasih pada kami.
Kami telah menyelamatkannya. Dan kini ia akan membalas budi
dengan menyelamatkan teman sekolah kami.
Punggung paus itu muncul ke permukaan. Marco yang megapmegap langsung terangkat dari air. Dan tahu-tahu ia sudah menduduki
sesuatu yang menyerupai pulau kecil di tengah laut.
Tobias turun dan hinggap di sampingnya.
Si paus memanggilku. Dengarkan aku, si kecil, ia berkata dengan suara yang kurasa sanggup memenuhi
seluruh jagat raya. Aku mendengarkannya. Aku mendengarkan suara tanpa bunyi
yang bergaung dalam kepalaku.
Aku tidak tahu berapa lama adegan itu berlangsung. Menurut
Tobias sekitar sepuluh menit. Tapi selama sepuluh menit itu aku
benar-benar tidak sadar akan sekelilingku. Aku diajak menyelami
sebagian kecil dari jiwa si paus.
Animorphs - 4 Terjebak Di Dasar Samudera di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia telah menempuh delapan puluh migrasi. Ia sempat
mempunyai banyak pasangan, banyak induk, yang akhirnya mati satu
per satu. Anak-anaknya kini mengarungi semua samudra.
Ia telah terlibat dalam banyak pertempuran, dan sudah
mengunjungi laut beku di ujung dunia sebelah selatan dan utara. Ia
masih ingat zaman di mana manusia memburu paus dengan kapal
yang menyemburkan asap hitam.
Ia ingat nyanyian sekian banyak paus yang telah mati
mendahuluinya. Seperti nyanyiannya sendiri kelak akan dikenang oleh
paus yang lain. Tapi sepanjang hayatnya yang sarat akan pengalaman, ia belum
pernah melihat salah satu dari si kecil berubah menjadi manusia.
Marco, aku menyadari. Pasti Marco yang dimaksud si paus.
Dan si kecil" Barangkali itu sebutan yang dipakai bangsa paus untuk
lumba-lumba" Sebenarnya kami bukan... si kecil.
Memang bukan. Kalian makhluk baru di samudra. Tapi bukan
satu-satunya yang baru. Aku tidak tahu persis apa yang hendak disampaikannya padaku.
Ia bicara melalui rangkaian perasaan yang bagaikan puisi. Tanpa kata-kata.
Sebagian berupa nyanyian. Sebagian lagi bisa kutangkap hanya
seperti aku menangkap gelombang radar bawah air.
Apa lagi yang baru" Ia memperlihatkan sebuah gambaran, sebuah kenangan. Ada
hamparan rumput yang luas, lengkap dengan pohon-pohon dan sungai
kecil. Semuanya di bawah air. Dan di hamparan rumput itu melintas
makhluk yang tampak seperti kombinasi antara rusa, kalajengking,
dan juga manusia. Di mana ini" aku bertanya dengan bahasa batin yang dipertegas
oleh serangkaian bunyi klik.
Dan ia memberitahuku. Tiba-tiba aku terbangun. Paling tidak, begitulah rasanya. Si
paus memutuskan komunikasi batin di antara kami. Dan aku seakanakan baru sadar dari mimpi.
yang kuperoleh dari sebuah jiwa yang jauh lebih besar dan jauh lebih tua, dan
begitu menakjubkan.
mengingatkan.
Aku mendengar Marco mengatakan sesuatu, tapi ia bicara
dalam bahasa manusia, bukan melalui pikiran. Dengan telinga di
bawah air, aku sulit mendengar ucapannya.
Aku menyembulkan kepala dan melihatnya kembali ke wujud
lumba-lumba. Tak lama kemudian ia merosot dari punggung si paus, dan
langsung menyelam. Sirip dadanya terbentuk kembali. Begitu pula
moncongnya. Disusul ekornya. Sempurna, sehat, dan tanpa cedera sedikit pun.
Kami menuju ke daratan. Kami merasa letih, tapi selamat.
Rasanya aneh, meninggalkan si paus di tengah laut. Tapi setelah
kami berenang sekitar satu kilometer, aku tiba-tiba mendengar
nyanyiannya - rangkaian nada yang mengalun perlahan dan
menggetarkan hati.
Jake bertanya dengan heran.
Aku tersenyum dalam hati. Dan karena aku lagi jadi lumbalumba, tampangku tentu saja juga cengar-cengir.
bahwa dia telah membantu menyelamatkan nyawaku">
Ia dan ayahnya tinggal di kompleks apartemen. Kompleks itu
sudah agak tua dan agak kumuh. Letaknya di ujung daerah tempat
tinggal Jake dan Rachel. Aku baru beberapa kali main ke sana.
Tampaknya Marco agak rendah diri karena ia tidak punya uang
banyak. Dulu ia bertetangga dengan Jake, saat ibunya masih hidup dan
sebelum ayahnya berhenti bekerja.
Aku mengetuk pintu. Dari dalam terdengar suara Marco. "Dad,
ada orang di luar. Tolong pakai jubah mandi dulu, oke?"
Aku harus menunggu sebentar sebelum pintu terbuka. Marco
tampak kurang senang melihatku.
"Cassie" Kenapa kau datang kemari?"
"Aku perlu bicaradenganmu."
"Bicara" Soal apa?"
"Soal kemarin," kataku.
Ia terdiam sejenak. "Ehm, aku mau menemani ayahku hari ini,
oke" Kau mau... ehm... mungkin kami mau keluar nanti."
"Bagus," ujarku. Ayah Marco terlihat di belakang. Ia
mengenakan jubah mandi dan duduk di sofa. Pandangannya tertuju ke
pesawat TV. Para ayah memang biasa nonton TV pada pagi hari di
akhir pekan. Tapi aku mendapat kesan bahwa ayah Marco selalu
duduk di depan TV. "Begini, Marco, aku cuma ingin bicara sebentar. Boleh aku
masuk?" "Jangan, jangan," ia segera melarang. Malah ia yang melangkah keluar. Jauh di
bawah kami terdapat kolam renang. Tapi airnya tidak
ada, dan dasar kolamnya tertutup dedaunan.
"Marco, aku perlu bicara tentang kejadian kemarin."
"Ada apa sih?" "Kau hampir celaka kemarin. Dan akulah yang salah kalau
sampai terjadi apa-apa. Kan aku yang mendesak kalian untuk melacak
sumber suara dalam mimpiku. Jake sempat bertanya apakah rencana
itu jadi kita laksanakan atau tidak, dan aku bilang jadi."
Marco geleng-geleng kepala. "Cuma itu" Begini, kejadian
kemarin bukan salahmu. Yang jadi masalah justru seluruh urusan
Animorphs ini. Dari pertama memang sudah berbahaya. Sangat
berbahaya. Dan kita semua sudah tahu itu."
Aku angkat bahu. "Tapi selama ini semua rencana selalu berasal
dari orang lain." "Oh, aku mengerti sekarang. Kau tidak suka memikul tanggung
jawab?" Aku meringis. Betulkah itu" Betulkah aku tidak berani
mengemban tanggung jawab" "Aku tidak mau teman-temanku
celaka." "Siapa sih yang mau celaka," balas Marco sambil tertawa. "Aku amat sangat
keberatan kalau harus celaka."
Ia menjadi lebih serius, dan bahkan agak sedih. "Tapi memang
sih, yang namanya musibah bisa saja terjadi. Dan kita takkan pernah
tahu kapan musibah akan menimpa kita."
Aku bersandar ke pagar dan memandang kolam renang yang
kering. "Aku sudah sering berurusan dengan kematian," ujarku. "Di klinik kami
selalu saja ada binatang yang gagal diselamatkan.
Kadang-kadang mereka bahkan terpaksa disuntik mati - untuk
mengakhiri penderitaan mereka. Tapi ayahku yang memutuskannya.
Bukan aku. Dia dokter hewan. Aku cuma asistennya."
"Hei, aku masih di sini, aku masih hidup," Marco berkata
sambil menepuk dada. "Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Tak ada yang
memaksaku ikut. Aku sendiri yang memutuskan."
"Apakah kau sempat takut kemarin?"
Cukup lama ia diam saja. Ia cuma menghampiriku dan ikut
bersandar di pagar. "Belakangan ini aku selalu takut, Cassie," ia akhirnya
menjawab. "Aku takut melawan kaum Yeerk, dan aku takut membayangkan apa yang
akan terjadi kalau aku tidak melawan
mereka. Setiap kali aku melihat Tobias, aku teringat apa yang terjadi padanya,
dan itu juga membuatku takut setengah mati. Bagaimana
kalau suatu hari aku yang tidak bisa kembali ke wujud manusia" Tapi
yang paling utama, aku takut pada... pada dia."
Aku tidak perlu bertanya siapa dia. Visser Three. "Ketika aku
pertama kali melihatnya, di tempat pembangunan, ketika dia
membunuh... membantai si Andalite." Marco memaksakan senyum.
"Kejadian itu terus terbayang di depan mataku, setiap hari. Begitu juga kolam
Yeerk." Ia menggelengkan kepala. "Seandainya aku bisa melupakan semua itu."
"Ya," aku membenarkan. "Memang banyak hal yang
menakutkan akhir-akhir ini."
"Jadi, apakah aku takut kemarin" Tentu saja. Aku takut sekali.
Masa bertempur melawan makhluk Hork-Bajir, Taxxon, dan Visser
Three belum cukup" Masa kita juga harus bertempur melawan ikan
hiu?" Ia tertawa, dan mau tidak mau aku ikut tertawa.
Selama beberapa menit kami cuma berdiri sambil cekikikan
seperti orang gila. Kami tertawa karena lega, karena kami masih
hidup. "Ehm, omong-omong, sebenarnya aku mau menunggu kita
berkumpul dulu sehingga aku bisa memberitahu kalian semua," kata Marco. "Tapi
tampaknya kita punya masalah."
"Masalah apa?" "Aku membaca dua artikel di koran tadi pagi. Satu tentang
orang yang mencari kapal pembawa harta yang tenggelam di lepas
pantai. Satu lagi tentang ahli biologi kelautan yang akan melakukan
penelitian bawah laut di lepas pantai sini."
"Terus?" "Sepertinya laut di daerah sini mendadak jadi sangat menarik.
Pemburu harta" Bersamaan dengan penelitian bawah laut?"
"Pengendali?" Ia mengangguk. "Kelihatannya begitu. Kurasa itu semua cuma
samaran. Itu pasti mereka. Dan agaknya yang mereka cari sama
dengan yang kaucari."
Aku langsung lemas. Gambaran yang kuperoleh dari si paus
muncul kembali dalam benakku. Seruan minta tolong yang kudengar
dalam mimpi juga kembali terngiang-ngiang di telingaku.
"Aku... aku tidak akan membawa kalian ke samudra lagi,"
bisikku. "Siapa tahu kali ini kita tidak beruntung."
Marco tampak salah tingkah. "Cassie, kau tahu bagaimana
pendapatku tentang semua ini. Menurutku, kita harus mendahulukan
keselamatan kita sendiri. Dan keselamatan keluarga kita." Ia menoleh ke pintu
apartemennya. "Di pihak lain... setelah apa yang dilakukan si Andalite untuk
kita, rasanya aku tak pantas disebut manusia kalau aku tidak berusaha menolong
siapa pun yang terjebak di laut sana."
"Aku tidak tahu siapa yang memanggilku," ujarku. "Aku bahkan tidak tahu apakah
benar-benar ada yang memanggil."
"Tapi menurutmu ada Andalite yang butuh pertolongan."
"Rasanya begitu. Tapi Marco, aku tidak pasti. Kalau sampai ada
yang cedera... atau malah terbunuh... hanya karena mimpiku - aku
tidak sanggup mengambil keputusan seperti itu."
"Oke, tapi apakah kau sanggup memutuskan untuk tidak
berbuat apa-apa" Itu juga sebuah keputusan."
Mau tidak mau aku tersenyum. "Marco, untuk orang yang selalu
bercanda dan mengganggu orang lain, kau benar-benar cerdas."
"Yeah, aku tahu, tapi jangan beritahu yang lainnya. Bisa-bisa
citraku rusak nanti."
Aku sudah hendak pergi. "Kau tahu, apa yang paling aneh kemarin?" tanya Marco.
"Apa?" "Gerombolan ikan hiu itu. Mereka begitu ganas: Kita sibuk
memikirkan para Hork-Bajir,Taxxon, dan Visser Three. Tapi kita lupa
bahwa di Bumi pun ada makhluk-makhluk yang tak kalah buas dan
berbahaya. Lucu sekali kan, kalau kita akhirnya mati bukan karena
makhluk asing, tapi karena makhluk yang memang hidup di Bumi."
Aku sama sekali tidak melihat di mana letak lucunya. Marco
meringis melihat wajahku yang kaku. "Oke, mungkin bukan lucu ha-ha-ha, tapi lucu
aneh." Chapter 14 "OKE," ujar Jake, "inilah informasi yang sudah terkumpul sampai sekarang. Tapi
sebagian besar memang masih berupa dugaan."
Kami kembali berkumpul di kamar Rachel, beberapa jam
setelah aku mengunjungi Marco. Tobias bertengger di ambang
jendela. Ia merasa tidak nyaman berada di dalam ruangan untuk waktu
lama. Ia ingin bisa merasakan embusan angin dan melihat langit yang
luas. "Pertama, kita menduga paling tidak ada satu Andalite yang
selamat dalam pertempuran melawan kaum Yeerk, dan dia sekarang
terperangkap di bawah laut."
"Mudah-mudahan saja dia kuat menahan napas," Marco
berkelakar. "Kedua, Cassie yakin dia bisa menemukan Andalite ini, berkat
informasi yang diperolehnya dari ikan paus kemarin."
Kami semua pasang tampang serius selama sepuluh detik, lalu
langsung tertawa terbahak-bahak.
"Informasi dari seekor ikan paus," Marco mengulangi sambil cekikikan.
"Aneh?" Marco langsung berkoar. "Coba kupikir dulu. Ada burung yang bisa bicara.
Dan burung itu menanyakan informasi
tentang makhluk asing yang kita dapatkan dari seekor ikan paus yang
kita selamatkan dari serangan hiu. Kita sendiri waktu itu berubah jadi lumbalumba... Hmm, rasanya biasa-biasa saja, tuh. Masa sih begitu
saja sudah heran?" Jake tersenyum. "Oke, sekarang kita kembali ke pembicaraan
tadi. Cassie dan aku sempat melihat-lihat peta. Menurut Cassie, lokasi yang
harus kita datangi cukup jauh di tengah laut. Waktu dua jam
tidak cukup untuk berenang bolak-balik ke sana."
"Berarti tidak mungkin dong," Marco berkomentar.
Jake menoleh ke arah Rachel. "Aku sempat bicara dengan
Rachel tadi, dan dia punya ide."
Rachel, yang semula berbaring santai di tempat tidur, segera
berdiri. "Kita akan menumpang kapal. Tapi pertama-tama kita harus berubah dulu
jadi burung camar." Marco menghela napas. "Aku paling tidak senang kalau ada
rencana yang dimulai dengan 'pertama-tama kita harus berubah dulu'."
"Kita berubah jadi burung camar," aku melanjutkan. "Setelah itu kita terbang ke
jalur pelayaran. Kita hinggap di kapal tanker atau kapal kontainer atau kapal
apa saja yang berlayar ke arah yang tepat.
Lalu kita kembali ke wujud manusia dan beristirahat sebentar. Kita
tunggu sampai kapal itu tiba cukup dekat ke tujuan kita, setelah itu baru kita
terjun ke laut. Kita berubah lagi jadi lumba-lumba, dan
selanjutnya kita berenang."
"Wah, kedengarannya gampang sekali," ujar Marco.
"Tapi lebih gampang lagi kalau kita sekalian saja ke rumah
Chapman, supaya dia bisa memanggil Visser Three untuk menghabisi
Animorphs - 4 Terjebak Di Dasar Samudera di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kita. Kita tak perlu capek, dan hasilnya tetap sama."
Jake menghela napas. "Rencana ini memang berbahaya dan
penuh risiko, dan kemungkinan gagalnya cukup besar. Ditambah lagi,
seperti yang diceritakan Marco tadi, apa yang kita cari mungkin juga sedang
dicari oleh para Pengendali."
"Ah itu satu alasan lagi untuk membatalkan rencana gila ini,"
ujar Marco. "Kalau begitu kita ambil keputusan berdasarkan suara terbanyak
saja," Jake mengusulkan.
"Aku ikut," Marco menyahut seketika.
Sepersekian detik kemudian Rachel berkata, "Aku ikut." Seperti biasanya.
Semua menatap Marco dengan tercengang-cengang. "Dari dulu
aku memang ingin mendahului Rachel, sekali saja," Marco
menjelaskan. "Tobias?" tanya Jake.
Sori.> "Tapi kau bermimpi sama seperti Cassie," balas Jake. "Jadi bagaimana, rencana
ini kita laksanakan atau tidak?"
Tobias menatapku dengan matanya yang selalu menyorot tajam.
tidak bisa menunggu lebih lama. Semakin lama urusan ini kita tunda, semakin
besar kemungkinan kaum Yeerk mendahului
kita." Kami meninggalkan rumah Rachel. Marco langsung pulang.
Tobias terbang entah ke mana. Jake dan aku sempat berjalan samasama, meskipun rumahnya tidak searah dengan rumahku.
"Aku mendapat kesan Tobias merasa agak tersisih," ujarku.
"Ada baiknya kau bicara dengan dia nanti. Coba ingatkan, sudah
beberapa kali dia menyerempet bahaya."
"Itu ide bagus," kata Jake.
Selanjutnya kami berjalan sambil membisu. Inilah salah satu hal
yang kusuka dari hubungan kami. Kami bisa sama-sama diam tanpa
merasa canggung. "Ini benar-benar berbahaya, ya?" aku bertanya padanya.
Ia mengangguk. Sekonyong-konyong aku berhenti. Aku tidak tahu kenapa, tapi
sebenarnya sudah lama ada yang ingin kukatakan padanya. Aku
meraih tangannya dan menggenggamnya erat-erat dengan kedua
tanganku. "Jake?" ujarku.
"Ya?" Hampir saja aku mengatakannya, tapi tiba-tiba saja aku jadi
salah tingkah. Akhirnya aku cuma berkata, "Hati-hati. Jangan sampai kau celaka,
oke?" Ia menampilkan senyumnya yang menawan. "Hei, aku tahan
banting. Aku tidak bisa celaka."
Nada suaranya begitu yakin. Tapi ketika kami berpisah dan aku
menuju ke rumahku, aku sempat melirik ke langit. Dan sekilas aku
melihat burung berbulu kemerahan melintas di depan matahari yang
sedang terbenam. Tobias. Teman kami, yang terperangkap untuk
selama-lamanya dalam tubuh yang bukan tubuhnya sendiri.
Dan seketika aku sadar: musibah bisa menimpa siapa saja.
Chapter 15
Untung saja Klinik Perawatan Satwa Liar (yang juga dikenal
sebagai gudang jeramiku) tidak pernah kekurangan pasien burung
camar. Dengan mudah kami berhasil mendapatkan DNA burung camar.
Kemudian kami berempat berubah wujud, sementara Tobias
menonton dari balok kayu di bawah atap.
Aku sudah pernah menjelma menjadi burung. Tepatnya menjadi
osprey, salah satu jenis elang.
Tapi burung camar berbeda daripada elang. Pertama, burung
camar hidup dari sisa makanan. Mereka bukan pemburu. Jadi ketika
kami terbang dari jendela terbuka di loteng gudang jerami, aku
memperhatikan dan merasakan hal-hal yang berbeda pula. Naluri
camarku tidak mendesakku untuk mencari tikus atau binatang lain
yang berlarian di rumput. Pikiranku jauh lebih terbuka. Aku mencari
segala sesuatu - pokoknya apa saja - yang mungkin bisa dimakan.
Untung saja otak burung camar cukup mirip dengan otak
burung lain yang pernah kami tiru, sehingga kami tidak menemui
kesulitan untuk mengendalikannya. Kami tidak perlu membuangbuang waktu untuk membiasakan diri.
Tapi begitu mulai terbang, kami semua langsung sibuk mencaricari makanan.
apa adanya.
mengepakkan sayap, lalu melayang sejenak, lalu mengepakkan sayap
lagi. Terbang sebagai osprey ternyata lebih mudah. Kita tidak perlu
banyak mengepakkan sayap.
Tapi paling tidak, begitu kami terbang di atas air kami bisa
berhenti mencari-cari makanan. Meskipun hal itu tidak sepenuhnya
benar.
laut. Tidak seperti elang, yang bisa memanfaatkan angin termal untuk melayang
sampai ke awan. Tapi Tobias juga tidak terlalu jauh di atas kami. Di atas air tidak
ada angin termal, dan ia pun terpaksa mengepakkan sayap agar bisa
tetap terbang.
Sosok-sosok ramping berwarna kelabu tampak membelah air.
Naik, turun, naik, turun, menerobos batas keperakan antara langit dan laut.
Rupanya sekawanan lumba-lumba.
kembali berkata.
kapal kontainer bernama Newmar. Asalnya dari Monrovia. Mau tahu
apa warna rambut nakhodanya">
Mata elang memang luar biasa. Selama cuaca cukup cerah,
Tobias bisa membaca buku dari jarak lebih dari seratus meter.
Kami harus bekerja keras agar bisa mengejar kapal yang
berlayar cukup cepat. Ketika kami berhasil mendekatinya, tenagaku
sudah nyaris terkuras habis.
Kapalnya besar sekali. Lambungnya dicat biru, dan geladaknya
lebih panjang daripada lapangan sepak bola. Anjungan dan semua
ruangan lainnya berada di buritan. Bisa dipastikan para awak kapal
berkumpul di situ. Karena itu kami terbang ke haluan sambil berharap menemukan
tempat sepi untuk bersembunyi.
Geladak kapal dipenuhi tumpukan kontainer, sementara ratusan
kontainer lagi berderet-deret di palka di bawah.
Kami menyelinap ke celah sempit di antara dua tumpukan
kontainer di dekat haluan kapal. Rasanya seperti dikelilingi dinding.
Dinding logam yang menjulang tinggi di atas kepala kami.
Tobias menundukkan kepala agar dapat melihat arloji kecil
yang terpasang di kakinya.
Kami memutuskan untuk kembali ke wujud manusia dulu.
Celah di antara kedua tumpukan kontainer terasa lebih sempit lagi
setelah kami berubah. "Ih, ternyata di sini lebih dingin daripada dugaanku," ujarku.
Kami bertelanjang kaki di geladak yang terbuat dari baja. Sinar
matahari tidak bisa menerobos ke dasar celah sempit tempat kami
bersembunyi. "Inilah yang paling kubenci," Marco menggerutu. "Kapan kita bisa berubah dengan
memakai sepatu, dan kalau bisa sekalian dengan
baju hangat" Ayo dong, Cassie. Kau kan yang paling jago. Coba
pikirkan gimana caranya. Masa sih setiap kali kita harus kedinginan?"
"Tapi kau pantas pakai baju ketat seperti ini," Rachel
menggodanya. "Oh ya, belum lagi soal penampilan," Marco langsung
menambahkan. "Sebenarnya kita perlu baju seragam. Baju seragam
yang keren - dan hangat. Coba, bagaimana kalau musim dingin nanti"
Bagaimana kita bisa menyelamatkan Bumi kalau kita selalu menggigil
kedinginan?" "Aku punya pertanyaan yang lebih mendesak," sela Rachel.
"Bagaimana kita bisa tahu bahwa kita sudah sampai" Di tempat tujuan kita,
maksudku?" Jake mengerutkan kening. "Hmm, kecepatan kapal ini sekitar,
ehm, tiga puluh kilometer per jam" Berarti setelah satu jam kita sudah menempuh
tiga puluh kilometer, ya kan?"
Rachel geleng-geleng kepala. "Hebat. Satu jam dengan
kecepatan tiga puluh kilometer per jam, dan dia langsung tahu bahwa
hasilnya tiga puluh kilometer. Aku tidak menyangka kau jago
matematika, Jake." Jake cuma cengar-cengir.
bingung.
kecepatan.> "Oke, kurang-lebih dua puluh delapan kilometer per jam, lurus
ke selatan," Marco bergumam. "Berarti kita akan mendekati lokasi yang menurut
Cassie harus kita datangi."
Aku meringis. Setiap kali namaku disebut sehubungan dengan
rencana berbahaya ini, aku pasti langsung gugup setengah mati.
menyesal.
sampai di Singapura nanti.>
"Singapura?" tanya Rachel.
Tobias segera berangkat. Arlojinya ia tinggalkan untuk kami.
Menunggu satu jam benar-benar menjemukan, soalnya tak ada
yang bisa kami lakukan selain menebak apa isi kontainer-kontainer di sekeliling
kami. Tapi di pihak lain, kami tahu petualangan yang
menanti kami pasti takkan membosankan.
Karena itulah kami tidak keberatan menunggu. Kami duduk
berdekatan agar tetap hangat meskipun diterpa angin laut.
Setelah beberapa waktu Jake melirik arloji yang ditinggalkan
Tobias. "Sudah kira-kira satu jam. Bagaimana, Cassie?"
"Hmm, bagaimana ya?" aku bergu mam. "R-rasanya aku harus menjelma dulu sebagai
lumba-lumba, supaya aku bisa lebih
memahami informasi yang kudapat dari si paus. Sebagian besar
berupa gambaran. Dan di antaranya ada yang menyangkut bunyi, arus,
dan suhu air, dan hal-hal yang tidak kelihatan dari permukaan."
Jake merenung sejenak. "Oke, kita mulai saja. Ayo, kita ke
pinggir." Kami bangkit, lalu meluruskan kaki dan lengan yang kaku
karena kedinginan. Dengan hati-hati kami menyusuri deretan
kontainer, menuju ke sisi kiri kapal.
Seluruh geladak .dikelilingi pagar yang terbuat dari lempengan
baja. Tingginya kira-kira sepinggang. Jake kuatir kami akan terlihat dari
anjungan, dan karena itu kami maju sedikit ke tempat aman.
Kami membungkuk melewati pagar dan menatap permukaan
laut di bawah. Jaraknya seakan-akan sejuta mil dari tempat kami
berdiri. Marco membelalakkan mata. "Astaga. Kita harus melompat ke
situ?" "Untuk burung camar atau lumba-lumba sih tidak ada apaapanya, tapi untuk manusia ini memang lumayan seram," aku
membenarkan. "Kita tidak bisa berubah di atas sini. Kita takkan sanggup
melewati pagar kapal setelah menjelma jadi lumba-lumba," kata
Rachel. "Betul juga," ujar Jake. "Berarti kita harus terjun dalam wujud manusia. Kecuali
Marco. Soalnya dia tidak bisa berenang. Mungkin
dia bisa berubah di sini, setelah itu kita semua mendorongnya
melewati tepi kapal."
Rachel mengerutkan kening. "Jake" Kalau Marco berubah,
beratnya bisa mencapai dua ratus kilo."
Jake tampak cemas. "Aku lupa memperhitungkannya waktu aku
menyusun rencana." Aku pun merasa waswas. Masa belum apa-apa rencana kami
sudah terancam gagal"
"Barangkali lebih mudah kalau aku berubah sambil bersandar
ke pagar," kata Marco. "Tunggu sampai sesaat sebelum kakiku hilang.
Lalu kalian tinggal mendorongku sedikit. Aku akan berubah
sepenuhnya setelah masuk ke air."
"Kecuali kalau kau pingsan waktu terempas ke laut, dan
langsung tenggelam," aku berkomentar datar. "Sudahlah, kita lupakan saja
semuanya. Lebih baik kita berubah jadi burung camar lagi dan
langsung terbang pulang. Rencana ini terlalu gila."
"Gila?" Marco mengulangi. "Hei, seharusnya aku yang bilang begitu. Lagi pula,
sekarang sudah tanggung."
"Masa bodoh!" seruku. Aku sendiri kaget mendengar suaraku.
"Pokoknya, aku tidak mau bertanggung jawab kalau salah satu dari kalian sampai
celaka. Ini tidak mungkin berhasil. Aku tidak tahu di
mana kita sekarang. Aku tidak tahu kita harus ke mana setelah ini.
Aku tidak tahu apa yang harus kita lakukan!"
Marco tertawa. "Kau memang pandai memompa semangat,
Cassie. Aku jadi makin tidak sabar nih."
Hampir saja aku membentaknya. Hampir saja aku menghardik,
"Dengar, Marco, ini bukan lelucon." Tapi ketika aku menatapnya, aku melihat
wajahnya sudah mulai menggembung dan membentuk
moncong yang panjang menyeringai.
Ia sudah mulai berubah. "Aku takkan...," ia berkata. Tapi mulutnya sudah tak berfungsi.
Ia semakin besar. Kaki manusianya tampak kewalahan
menopang tubuhnya. Kedua lengannya menjadi pipih, dan semakin
Animorphs - 4 Terjebak Di Dasar Samudera di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lama semakin menyerupai sirip.
"Sekarang!" seru Jake. Serta-merta ia meraih lengan sirip
Marco. Rachel dan aku melompat maju dan cepat-cepat memegang
kaki Marco yang sudah mulai mengerut.
"Angkat!" Jake memberi aba-aba.
Marco sudah berwujud setengah lumba-lumba ketika ia jatuh ke
belakang melewati pagar, dan tercebur ke laut.
"Sekarang giliran kita," kata Jake.
"Yii-haa!" Rachel memekik sambil nyengir lebar. Ia melompat ke atas pagar,
merentangkan lengan untuk menjaga keseimbangan,
lalu terjun dengan kepala lebih dulu.
Jake dan aku berpandangan. Kami sama-sama mengerutkan
kening. "Dasar Rachel," ia bergumam sambil geleng-geleng kepala.
"Dia memang cewek bandel."
"Hei, dia kan sepupumu," aku berkomentar.
"Aku hitung sampai tiga. Satu, dua..."
"Ahhhhhhhh!" Aku memanjat pagar kapal dan melompat sejauh
mungkin. Chapter 16 "AAAAAAHHHHHH!"
Rasanya lama sekali aku melayang-layang di udara.
BYUUUUUUUR! Kakiku menerobos permukaan air. Gelembung-gelembung
udara di sekelilingku membuat air seakan-akan mendidih.
Airnya sendiri ternyata dingin sekali. Dingin seperti es.
Sedangkan lambung kapal tanker itu berjarak hanya beberapa jengkal
dari tubuhku. Dinding baja itu melaju cepat sekali.
Aku mengayunkan kaki dan naik ke permukaan. Sejak kecil aku
sudah bisa berenang, tapi aku tetap ngeri karena berada di air yang
begitu dalam. Ini bukan kolam renang atau danau. Ini samudra. Tiga
puluh kilometer dari daratan.
Kepalaku menyembul di permukaan, dan aku langsung menarik
napas dalam-dalam. Seketika aku terbatuk-batuk karena air laut yang
tanpa sengaja terhirup olehku. Dari atas kapal tadi, laut berkesan
cukup tenang. Tapi kini aku dikelilingi ombak yang menjulang tinggi.
Teman-temanku tidak kelihatan. Yang terlihat cuma lambung kapal.
Ayo Cassie, aku berkata dalam hati. Kau harus berubah. Cepat.
Jangan buang-buang waktu.
Sebagai manusia aku merasa tak berdaya di tengah samudra
yang luas. Seandainya aku tidak memiliki kemampuan metamorfosis,
aku takkan sanggup bertahan sampai satu jam.
Aku mulai merasakan perubahan yang terjadi pada diriku.
Mula-mula kupikir aku akan mati. Tubuhku semakin berat, padahal
kakiku belum berubah. Aku takkan sanggup menopang tubuh yang
beratnya hampir lima kali lipat berat semula dengan sepasang kaki
manusia yang begitu lemah. Apalagi kedua lenganku sudah menjelma
menjadi sirip. Aku tergulung gelombang, dan kembali terbatuk-batuk. Aku
sadar aku takkan bisa bertahan. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu
membiarkan diriku terbenam dalam air.
Mata manusiaku berubah menjadi mata lumba-lumba, dan
penglihatanku di bawah air langsung bertambah terang. Aku melihat
beberapa sosok lain menendang-nendang dan menggeliat-geliut di
sekitarku. Jake, yang baru setengah berubah. Rachel, yang sudah
hampir selesai. Dan Marco, yang memperhatikan kami sambil
menyeringai. Lalu aku mengibaskan ekorku yang baru terbentuk, dan aku pun
tahu bahwa aku selamat. Proses metamorfosis telah usai. Aku telah
menjelma menjadi lumba-lumba di dunia lumba-lumba. Semua
ketakutan dan kecanggungan manusia yang kurasakan sebelumnya
langsung menguap. Segala sesuatu terasa sempurna.
Satu per satu mereka menjawab. Kami berhasil. Sayang ini baru
bagian awal misi kami.
berkata.
< Cassie" > Aku berusaha meredam pikiran manusiaku. Aku perlu
mendengarkan naluri si lumba-lumba. Aku perlu memahami instruksi
si paus. Dan itu tidak mungkin kulakukan sebagai manusia.
ini aku yang memimpin. Masalahnya,
hanya aku yang tahu jalannya. Mula-mula kami berenang di dekat
permukaan. Tapi ini agak membingungkan bagiku, sebab paus biasa
berenang di kedalaman laut. Apa yang dilihat dan diketahui si paus
berbeda dari apa yang dilihat dan diketahui olehku sebagai lumbalumba. Meskipun demikian aku tahu bahwa kami menuju ke arah yang
benar. Melalui radar bawah airku, aku mendapat gambaran samarsamar mengenai bukit, lembah, dan celah di dasar laut. Aku
merasakan desakan arus dan perubahan suhu air di sekelilingku.
Dan akhirnya aku langsung tahu begitu kami sampai di tujuan.
Batu Pembalik Waktu 2 Roro Centil 08 Si Cantik Berdarah Dingin Pedang Bengis Sutra Merah 1