Ceritasilat Novel Online

Memburu Yeerk Kembar 2

Animorphs - 16 Memburu Yeerk Kembar Bagian 2


hitam. Kupegangi kepalaku ,dengan kedua tangan dan mencoba
menenangkan jemariku supaya tidak gemetaran.
Tak lama kemudian kulihat Cassie duduk di bangku di
sebelahku. Ia tidak mengatakan apa-apa. Ia cuma meletakkan
tangannya di bahuku dan memelukku sebisanya.
Kupejamkan mataku dan kubiarkan ia merangkulku. Sebentar
kemudian kurasakan tanganku tidak begitu gemetaran lagi. Aku masih
mual, sepertinya mau muntah. Tapi aku sudah tidak gemetaran lagi.
"Tadi benar-benar gawat," Cassie berkata.
"Heeh. Gawat. Tapi aku tidak apa-apa kok. Tidak masalah."
Cassie mengangguk dan melepaskan rangkulannya. "Yeah,
bukan masalah. Jake, tak apa kok kalau kau takut."
"Tidak, tidak, aku baik-baik saja," ujarku. Aku bangkit berdiri,
tapi lututku nyaris tak mampu menyangga tubuhku. Kuulurkan tangan
ke pegangan kursi. Lalu kudorong tubuhku perlahan-lahan.
Rachel telah pergi ke Western Union. Kami memerlukan
pakaian, dan aku baru tahu kita bisa mengambil uang di ATM dengan
menggunakan nomor PIN. Rachel pergi mengambil uang itu dan
membelikan beberapa pasang sepatu di kios bandara. Sekarang kau
tahu kan, ke mana saja perginya uang saku kami.
Yang lain baru saja keluar dari WC cowok. Mereka butuh
waktu lebih lama, soalnya Ax dan Tobias harus kembali ke bentuk
asal mereka, sebelum bisa morf ke wujud manusia.
"Kau baik-baik saja, man?" Marco bertanya padaku.
Aku menyeringai malu-malu. "Lebih baik daripada tadi,"
sahutku. "Aku senang isi perutku sudah kembali ke tempatnya, dan
tidak berceceran di mana-mana lagi."
"Kau benar, tidak seharusnya isi perut melihat sinar matahari,"
Tobias setuju. "Oke, tadi benar-benar seru, tapi kita sudah di sini sekarang,"
tukasku dingin. "Kita punya tugas yang harus dikerjakan. Ayo, mulai.
Marco" Bagaimana rencananya?"
"Kita naik bus dari sini ke kota. Di sanalah Gedung WAA
terletak. Kita menerobos masuk, buka komputernya, ambil informasi
yang kita inginkan, kembali ke sini, dan naik pesawat pulang."
"Padahal mestinya naik pesawat merupakan bagian yang aman
dan mudah," ujar Rachel. "Yah, doakan saja kantor-kantor WAA itu
tidak sebahaya pesawat konyol itu."
"Hei, kita naik penerbangan yang lain saja kalau pulang nanti,"
Marco berkata. "Kita pilih penerbangan yang suka dan menghargai
lalat." Aku mencoba tertawa, tapi tidak yakin apakah itu tepat. Aku
masih belum memikirkan bagaimana perjalanan pulang nanti.
Biar begitu, aku yakin satu hal. Aku tidak mau pulang sebagai
lalat. Kami naik bus ke kota. Sesampai di sana kami turun, lalu
menanyakan arah jalan pada seorang biarawati yang, anehnya, tahu di
mana letak kantor WAA itu. Rupanya tinggal beberapa blok lagi.
Di tengah jalan kami berhenti di Taco Bell. Makanan di situ
cukup murah untuk kantong kami. Dan aku jadi lebih ceria sedikit
waktu Ax jadi panik dan mulai menghabiskan berkantong-kantong
saus sambal. Akhirnya manajernya mengusir kami.
"Pergi, kalian! Belikan teman sinting kalian sebotol Tabasco
kalau perlu!" "Apa sih Tabasco itu" Tah-bah-sko. Sko. Apakah rasanya enak
dan gurih?" Ax bertanya-tanya sementara ia berjalan ke trotoar sambil
menjinjing kantong-kantong taco dan burrito kami.
"Yeah, kau mungkin akan menyukainya," ujar Rachel.
Gedung WAA itu berukuran sedang, mungkin berlantai 20, dan
tidak terlalu modern. Kami mondar-mandir sebentar di luar, berpikirpikir apa
yang akan kami lakukan selanjutnya. Pada saat itulah sebuah
bus berhenti dan sekelompok orang tua mulai turun satu per satu.
Seseorang keluar dari Gedung WAA, tersenyum ramah dan
menjabat tangan pemimpin rombongan bus itu.
"Wah, kalian datang tepat waktu rupanya. Kalau sudah siap,
kita akan langsung memulai tur kita."
Kami berpandangan. "Mereka mengadakan tur?" tanya Tobias.
"Kayaknya. Kurasa lebih baik kita bergabung saja dengan
mereka." Kami berjalan tepat di belakang kelompok itu. Tak satu pun
dari orang tua itu tampak keberatan. Pada dasarnya, kurasa bagi orang
tua, anak-anak adalah sesuatu yang tidak kasatmata, kecuali anak-anak
itu cucu mereka, atau anak-anak itu bersikap kasar pada mereka.
Kami kan sopan dan tenang, jadi tak satu pun dari orang tua itu
berkomentar. "Seperti Anda ketahui, Web Access America adalah layanan
jasa online paling luas di Amerika, dengan lebih dari sembilan juta
pelanggan," pemimpin tur itu berkata.
"Well, ini gampang kayaknya," bisik Marco padaku.
"Kita belum sampai ke mana-mana," tukasku.
"Kini kami akan memulai dengan menunjukkan pada Anda
semua 'pusat komando' kami. Di situlah kami memonitor lalu lintas di
seluruh sistem kami."
Marco menyeringai. "Ini sih kecil, seperti merampas permen
dari bayi saja." Kami naik lift, lalu menyusuri koridor yang dihiasi potret-potret
para pria yang kurasa pemilik WAA. Aku cuma mengenal satu di
antaranya. Pemimpin tur berhenti di depan lukisan cat minyak yang
besar sekali dan dibingkai dengan pigura emas.
"Dan inilah pendiri kami, Joe Bob Fenestre. Nanti kami akan
memutar film pendek yang menarik mengenai kehidupan Mr.
Fenestre." Marco mengangkat tangan lalu menunduk, seolah-olah berdoa
kepada Joe Bob Fenestre. Langsung saja Rachel menarik kausnya.
"Hei, kita kan bukannya ingin mencari perhatian, anak pintar."
"Sori," sahut Marco. Ia berpura-pura menghapus air matanya.
"Ini kan Joe Bob Fenestre. Aku suka Joe Bob. Aku menghormatinya.
Aku ingin menjadi dia."
"Tak kusangka kau begitu tertarik pada komputer," timpal
Cassie. "Maksudku, aku tahu kau suka main komputer, tapi..."
Marco melambaikan tangannya dengan gaya mencemooh. "Ini
sama sekali tidak ada hubungannya dengan komputer. Siapa yang
peduli tentang komputer?"
"Yah, bukankah itu yang membuat nama Mr. Fenestre
terkenal?" Marco menggelengkan kepala, seolah-olah Cassie mengatakan
sesuatu yang tak masuk akal, lalu beranjak dari situ.
Cassie ganti menatapku. "Joe Bob Fenestre adalah orang terkaya nomor dua di dunia,
Cassie," aku memberitahu. "Kurasa itulah yang lebih disukai Marco
daripada komputer. Hei, Marco?"
"Apa?" "Berapa nilai kekayaan Fenestre?"
"Kekayaan Mr. Fenestre dua puluh empat koma sembilan miliar
dolar. Miliaaarr. 'M' yang hebat. Seperti dalam kata miliar."
"Apakah itu artinya uangnya banyak sekali?" Ax bertanya.
"Dengan uang sebanyak itu kau bisa membeli semua saus
sambal Tabasco yang ada di dunia ini, Ax. Semua Tabasco di seluruh
dunia, dan sisanya bisa kaugunakan untuk membeli kota kecil yang
akan menjadi milikmu sendiri."
Kami berbelok di sudut, dan di sana, di balik kaca, kami melihat
pusat komando itu. Tampaknya seperti ruang kontrol di NASA. Baris
demi baris pria dan wanita duduk di bilik-bilik komputer.
Kami memisahkan diri dari kelompok tur supaya bisa bicara.
"Baiklah, ini dia," kataku. "Sekarang, bagaimana cara kita
masuk?" Chapter 10 "BAGAIMANA cara kita masuk?" Rachel bertanya. "Ini siang
hari. Orang-orang ada di mana-mana. Bukan begini kebiasaan kerja
kita. Biasanya kita bergerak malam-malam."
Aku memandang sekelilingku. Kelompok tur itu bergerak pergi.
Sebentar lagi seseorang akan tahu kami masih berkeliaran di sini.
Orang-orang keluar-masuk dari pusat komando di bawah sana. Tapi
sulit sekali membayangkan morf binatang apa yang bisa digunakan
untuk menyelinap ke sana dan mengoperasikan keyboard komputer
tanpa ketahuan. Aku benar-benar bingung. Tak satu pun dari kami tampaknya
punya ide brilian. Aku berpaling menatap Marco. Ia mengangkat
bahu. Lalu aku memandang Rachel.
Rachel berkata, "Kita bisa menciptakan keributan. Kita bakar
tempat itu, lalu waktu semua orang lari keluar..."
"Rachel, mereka ini orang-orang baik, normal, dan tidak
bersalah. Mereka bukan Pengendali, sejauh yang kita tahu," ujarku.
"Kita tak bisa seenaknya menakut-nakuti dan membahayakan orangorang normal."
Rachel mengangguk seolah-olah mengerti. Aku cukup yakin ia
memang mengerti. Lalu ide itu melompat ke dalam kepalaku. "Itulah morf yang
harus kita pakai: orang baik-baik dan normal."
"Apa?" "Kita ambil DNA beberapa orang yang bekerja di sini. Kita
bermetamorfosis menjadi mereka dan kemudian masuk ke sana."
Begitu mengucapkan kata-kata itu, aku langsung berpikir, Wow, ada
sesuatu yang tidak terlalu benar nih.
Cassie tampak seperti dicubit. "Wow, ada sesuatu yang tidak
terlalu benar nih." "Menurutku sih itu brilian," Marco berkata. "Bisa dibilang tidak
bermoral sih, tapi brilian."
"Manusia adalah jenis binatang yang paling sesuai dengan
lingkungan ini," ujar Ax.
"Kami lebih suka menganggap diri kami lebih dari binatang,"
tukas Rachel. "Kenapa?" Rachel mengangkat bahu. "Aku tak tahu. Pokoknya begitu.
Atau setidaknya sebagai binatang paling oke di seluruh dunia."
"Paling oke?" Ax mengulangi. "Bagaimana kau mendefinisikan
paling oke?" "Cuma kami satu-satunya dari semua binatang yang punya
kemampuan menciptakan acara-acara TV," Marco berkata. "Ngapain
sih kita bicara panjang-lebar tentang hal ini" Apa gunanya" Morf
manusia Ax terdiri atas potongan-potongan DNA kita semua. Lalu apa
bedanya?" "Kita setuju DNA kita diserap," timpal Cassie. "Kita memberi
izin pada Ax." "Siapa yang peduli, sejauh itu berhasil?" sergah Rachel.
"Lalu apa bedanya kita dengan Yeerk kalau begitu?" Ini
diucapkan oleh seseorang yang nyaris tidak mungkin mengatakannya:
Marco. Entah ia menentang kedua pendapat itu, atau ia memang sudah
berganti pikiran. "Yang kita bicarakan ini bukannya mengambil alih pikiran,"
Rachel berdalih. "Kita cuma akan menggunakan DNA mereka. Tak
ada bedanya dengan yang kita lakukan pada binatang lain."
Semua memandang ke arahku. Seolah-olah sudah seharusnya
aku segera membuat keputusan moral yang besar dalam waktu dua
menit. Apa yang mesti kulakukan" Kami sedang berperang.
Memangnya kenapa kalau melakukan sesuatu yang membuat kami
merasa tidak enak" Aku menggelengkan kepala. "Alasan utama kita masih berjuang
adalah untuk menjaga agar manusia tetap bebas," aku berkata. "Jika
kita mulai mengingkarinya dan menggunakan DNA manusia tanpa
seizin pemiliknya, mungkin kita memang tidak seburuk bangsa Yeerk,
tapi tetap saja kita sedang menuju ke sana. Kita harus menemukan
jalan lain." Cassie menatapku seolah-olah ia merasa bangga padaku.
Rasanya aku bakal tersipu-sipu dibuatnya.
"Jadi bagaimana cara kita melaksanakan tujuan kita, oh, Pak
Ketua yang Gagah Berani?" tanya Rachel.
"Kita bikin keributan. Tapi bukannya dengan menciptakan
kebakaran atau mengancam nyawa orang. Kita sajikan saja sesuatu
untuk mereka pandangi, sesuatu yang saking memukau, aneh, dan
mustahilnya hingga menyita perhatian mereka. Ax dan Marco adalah
otak komputernya. Biar mereka masuk ke sana. Ax dalam wujud
manusia, dan Marco sebagai dirinya sendiri."
"Maksudmu, Marco tidak dalam wujud manusia dong?" sambar
Rachel, lalu menertawakan gurauannya sendiri.
"Wah, bagus juga tuh pelesetanmu," puji Marco. "Cepat lagi
buatnya." "Trims." Aku menarik napas dalam-dalam. "Ax dan Marco masuk ke
dalam. Lalu sisanya membuat pertunjukan yang mau tak mau harus
mereka saksikan. Setelah itu baru kita seret diri kita dan kabur dari
sini!" Chapter 11 KAMI masuk ke lemari tempat menyimpan perkakas bersihbersih. Kami mempersiapkan
diri. Ax dan Marco buru-buru meluncur
ke anak tangga dan memutar ke pintu masuk menuju pusat komando.
aku bertanya.

keluh Rachel.
ia menyeringai.

tidak punya uang lagi lho.>
Kami ikat tali sepatu kiri dan kanan, lalu digantungkan di leher
masing-masing. Kecuali Tobias, tentu saja. Nanti akan kugantungkan
sepatunya di leherku. tanyaku. Mereka sudah siap. maju!> tukas Rachel. akan membukakan pintu lemari ini">
Kami sudah bermetamorfosis. Rachel kini berwujud beruang
grizzly raksasa menakutkan yang berdiri di atas dua kaki belakangnya.
Tingginya sekitar dua atau dua setengah meter, cakarnya seperti
garukan besi, dan bulunya yang cokelat kusut dan kasar.
Aku telah berubah menjadi harimau. Kami memang sengaja
memilih binatang-binatang yang besar dan menakutkan, supaya tak
seorang pun mencoba mendekat dan mencari gara-gara dengan kami.
Kami ingin orang-orang cuma menatap, tapi tidak mencoba
menangkap kami. Sekali lagi Tobias menjadi dirinya sendiri. Seekor elang ekor
merah. Dan Cassie telah menjadi binatang paling menakutkan di antara
kami: sigung. Namun tak satu pun dari kami punya tangan yang bisa
membuka pintu lemari itu.

Ia menarik tubuh bagian atasnya, melengkungkan
punggungnya, lalu menyentak maju, membantingkan sebelah bahunya


Animorphs - 16 Memburu Yeerk Kembar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang besar ke daun pintu.
BRAKKKK!
Kami berjalan tenang ke koridor dan menyeberang menuju
jendela pengamat yang terbuat dari kaca, yang menyajikan
pemandangan ruangan pusat komando di bawahnya. Kami tatap para
pegawai WAA yang tengah sibuk di bilik-bilik komputer mereka di
bawah sana. keluh Tobias. Dia
bertengger di kepala Rachel.
tukasku.
Raungan harimau bisa terdengar dari jarak bermil-mil. Tapi
sejujurnya, itu suara yang tak pernah ingin kaudengar kecuali ada
jeruji besi yang tebal dan besar yang memisahkanmu dari harimau itu.
Raungan itu keras sekali. Keras dalam arti suara raungan itu
serta-merta akan menghidupkan setiap tombol dalam naluri manusia.
Aku pernah lihat raungan itu membuat para pemberani berjatuhan.
Membuat lutut lemas seperti agar-agar.
Aku menghela napas dalam-dalam, lalu melepaskan suaraku.
AAAAAAAAWWWRRRRRR! Tobias
berkata. Lima atau enam puluh pasang mata serentak berpaling dan
menatap kami. Dan apa yang mereka lihat membuat tatapan mereka
terpaku. Rachel, beruang berbadan besar, mengerikan, dan amat kuat,
dengan tenang mengepel lantai, menggerak-gerakkan tangkai pel ke
depan dan belakang seperti tukang bersih-bersih yang cekatan.
Aku membantunya. Ember pelnya kugigit di antara rahangku.
Tobias mengibas-ngibaskan sayap mengitari kami, sambil
menjerit-jerit tak terkendali.
TSEEEEER! TSEEEER! TSEEEEER!
Jelas saja tak ada yang memperhatikan waktu Marco dan Ax
masuk dari bagian belakang pusat komando, dan dengan tenang duduk
di depan sebuah keyboard komputer. Mereka bahkan tak
membutuhkan kata sandi untuk bisa masuk ke sistem. Komputer itu
telah dibiarkan terbuka oleh operatornya. Orang itu tengah
menengadah menatap kami, mata terbuka lebar, dan mulutnya
menganga lebih lebar lagi.
Dengan pendengaranku yang supertajam, aku bisa mendengar
menembus kaca. "Apakah itu beruang?"
"Yeah." "Dan binatang itu ngepel?"
"Eh-heh." "Apa kita semua sudah gila?"
"Aku sih tidak. Beruang itu yang gila. Lantai di atas itu kan
berlapis karpet." "Kenapa ada sepatu kets menggelantung di lehernya?"
Beberapa orang menjerit. Yang lain langsung lari tungganglanggang. Tapi sebagian
besar cuma melotot sementara kami asyik
bersenang-senang. lapor Tobias. berjalan lancar.> bawah sana terpikir untuk memanggil petugas keamanan,> aku
berkata. lapor Cassie. bersenjata.> mereka dulu.> Dua pria berseragam abu-abu meluncur di sudut dan berhenti di
depan kami. Senjata mereka telah siap. Mereka bahkan tidakmemperhatikan Cassie, soalnya mereka cuma bisa menatap ngeri dan
bingung pemandangan aneh di depan mereka - seekor elang, beruang,
dan harimau, yang tampaknya tengah sibuk mengepel lantai yang
dilapisi karpet. Kuletakkan ember pelnya. AAAAWRRRRR! Salah satu petugas menjatuhkan senjata, berbalik, lalu kabur.
"Ya-a-a-a!" Yang satu lagi gemetaran, tapi mencoba bertahan. "K-kalian
binatang, ayo p-pergi dari sini. Kalian tidak di-diizinkan berada di
sini!" komentar Rachel. senapan mainan kecil itu takkan sanggup menghalangi kita.>
Tobias berkata
muram.
"J-jangan buat aku terpaksa menembak!"
Cassie memunggungi petugas itu. Diangkatnya ekornya yang
hitam-putih. Lalu dipalingkannya wajah kecilnya yang imut. Dan
dijatuhkannya ujung ekornya.
Kalau kau melihat sigung bergaya seperti itu, langsung kabur
saja. Pergi jauh-jauh, jangan sekali-kali menoleh ke belakang. Tapi
petugas itu sama sekali tak tahu.
kataku pada Cassie.
Dia menembak. Si petugas, yang nekat menghadang beruang grizzly dan
harimau, padahal keduanya bisa dengan mudah menyulapnya jadi
hamburger mentah, sebenarnya sudah punya nyali cukup besar. Tapi
tak seorang pun, tak ada seorang pun, yang mampu bersikap berani
bila ia disemprot sigung.
"Aaaaarrrrrhhhh!" Ia menjatuhkan senjatanya dan lari
tunggang-langgang. perintahku.
ujar Rachel.
Kami lari sambil membawa-bawa sepatu kets murahan kami.
Kami melihat lift. Tobias terbang mendahului dan menekan tombol
dengan paruhnya. Orang-orang melongokkan kepala dari ambangambang pintu untuk
melihat kami. Kami meraung dan mereka sertamerta menarik kepala ke dalam.
Pintu lift bergeser membuka. Di dalamnya ada seorang
eksekutif dan kurir bersepeda. Mereka memutuskan keluar dari lift
waktu kami berbondong-bondong masuk.
Rachel menusukkan satu cakarnya ke tombol yang menuju lobi.
Dan waktu kami tiba di sana, isi lift cuma tinggal empat anak yang
mengenakan pakaian ketat dan sepatu murahan.
Petugas-petugas polisi kota bersenjata lengkap yang tergabung
dalam tim hitam SWAT tampak berderap masuk ke dalam lobi sambil
membawa senjata-senjata otomatis. Marco dan Ax sudah berdiri di
sudut, berpura-pura memperhatikan dengan takjub.
"Kalian melihat beruang?" salah satu polisi bertanya.
"Yang benar saja." Rachel tertawa. "Beruang?"
Kami bergabung dengan Marco dan Ax, lalu keluar dari gedung
itu. Aku menarik napas lega. "Bagaimana?"
"Tak ada masalah, Pangeran Jake," sahut Ax.
"Benar. Tidak ada masalah," timpal Marco. Tapi ia kelihatan
prihatin. Bahkan sedikit muak.
"Hei, ada apa sih?"
Ia mengangkat bahu. "Tidak ada yang penting kok. Begitu kami
masuk ke sistem, semua mengalir begitu saja. Kami punya banyak
waktu. Jadi kupikir, kenapa tidak sekalian saja memeriksa satu atau
dua nama screen lagi."
"Tapi bukan itu-tujuan kira berada di sini," tukas Tobias.
"Cewek ini punya nama screen PrtyGirl802. Dia suka
mengirimi aku E-mail dan pesan-pesan yang nadanya merayu. Kau
tahu, kan. Seolah-olah dia menyukaiku dan sebagainya."
"Jadi kau akhirnya tahu siapa dia?" Cassie bertanya. "Itu tidak
terlalu terpuji." "Yeah, memang bukan tindakan terpuji. Aku kini tahu teman
cewek online-ku yang menyebut dirinya PrtyGir1802 sebenarnya
pegawai kantor pos berumur 73 tahun yang sudah pensiun."
Chapter 12 KAMI harus menghafal daftar nama-nama yang kami dapatkan.
Soalnya tak mungkin membawa-bawa daftar itu. Hampir semua nama
itu tak berarti apa-apa bagi kami. Cuma sekadar nama belaka.
Kecuali sebuah nama yang benar-benar mencolok.
Joe Bob Fenestre. "Fitey777" rupanya, dalam kehidupan nyata,
adalah miliuner pemilik Web Access America.
"Tak mungkin," sergah Marco. "Pria itu suka ngobrol di chat
room" Kalau aku jadi dia, akan kugunakan waktuku untuk bergulingguling di atas
tumpukan tinggi uang seratus dolaran, serta menyewa
Michael Jordan untuk datang ke rumahku dan mengajariku bagaimana
menyempurnakan tembakan tiga-angkaku..."
"Kau tak pernah punya tembakan tiga-angka, Marco," selaku.
"...dan menyewa para bintang cewek Baywatch untuk
mengolesi tubuhku yang berotot dengan minyak suntan."
"Jadi kau membeli beberapa otot juga rupanya, ya?" timpal
Rachel. "Aku tidak tahu kau bisa melakukannya."
"Kalau uangmu sudah mencapai hitungan miliaran, kau bisa
membeli apa pun," kilah Marco. "Termasuk kebahagiaan. Kurasa
kebahagiaan menurut kamusmu melibatkan jet pribadi, supermodel,
dan restoran piza Papa John pribadi yang digelar di basement."
"Yakin saja, dan tinggalkan otakmu demi ilmu pengetahuan
kalau kau mati, Marco," ejek Rachel. "Bagaimanapun, butuh orangorang
bermikroskop untuk menemukannya."
Aku tertawa. Marco menatapku dengan alis terjungkit, seakanakan aku
mengkhianatinya. Aku mengangkat bahu. "Sori, tapi ronde tadi dimenangkan
Rachel." Kami naik bus kembali ke bandara. Kami merasa senang karena
berhasil menyelesaikan misi kami. Tapi aku masih dagdigdug kalau
memikirkan perjalanan pulang. Aku tidak mau naik pesawat dalam
wujud lalat. Tapi juga tidak tahu bagaimana lagi harus melakukannya.
Aku ketakutan. Sederhana saja: aku ketakutan.
Tapi aku juga takut membiarkan teman-temanku tahu bahwa
aku takut. Aneh, kan" Merasa takut dan takut orang lain berpikir
bahwa kau takut" Waktu kami tiba di bandara, tubuhku sudah gemetaran. Aku sih
tidak yakin apakah yang lainnya memperhatikan. Aku sendiri tidak
bisa melihat diriku gemetaran, cuma merasakannya saja. Rasanya
seperti ketika kau terserang demam dan tubuhmu terasa dingin sekali
hingga otot-otot perutmu gemetar hebat dan yang kauinginkan cuma
meringkuk seperti bola di bawah tumpukan selimut setinggi satu
setengah meter. Yang lain terus asyik mengobrol. Dan sesekali aku berkomentar
atau tersenyum. Begitulah, supaya tak seorang pun berpikir ada yang
salah. Tapi yang jelas aku berkeringat. Kugunakan lengan bajuku
untuk mengusap keningku dan waktu kutarik kembali, kulihat lengan
bajuku basah kuyup seolah-olah baru saja kurendam di bak air.
"Mungkin sebaiknya kita mencoba morf lain dalam perjalanan
pulang ini," Cassie berujar acuh tak acuh.
Ah. Jadi setidaknya ada yang memperhatikan. Cassie. Ia tengah
mencoba mencari jalan keluar untukku. Tanpa membuatku malu.
"Kenapa?" Ax bertanya.
"Bukan apa-apa," sahut Cassie, ketegangannya hanya bisa
terlihat dari caranya mengatupkan mulutnya. "Mungkin kalau kita
mencoba cara lain bakal lebih seru."
"Kita sudah pernah membicarakannya," sergah Rachel dengan
kepala dingin. "Kita telah memutuskan morf lalat adalah yang terbaik,
ya kan" Maksudku, cuma karena Jake mendapat masalah tidak berarti
itu ide jelek." Buntu. Cassie takkan bisa mengatakan apa-apa lagi tanpa
kelihatan mencoba melindungi aku. Dan aku tak bisa membiarkan ia
melakukannya. "Morf lalat tidak apa-apa kok," aku berujar setenang mungkin.
"Masih merupakan cara terbaik untuk pulang."
Kurasa Cassie sedikit sebal terhadapku. "Hei, Jake," tukasnya,
pura-pura ceria, "ayo, belikan aku pretzel. Aku lapar nih." Lalu
kepada yang lain ia berkata, "Kalian jalan saja duluan."
Cassie meraih tanganku dan menarikku. Teman-temanku yang
lain terus berlalu. "Ini benar-benar licik," aku berkata. "Aku tidak punya uang."
Cassie menatapku dan menggeleng-gelengkan kepala.
"Ada apa sih denganmu" Kau tak perlu melakukannya. Kau tak
perlu membuktikan seberapa besar nyalimu."
"Bukan masalah, Cassie. Terima kasih, tapi tak perlu
dipikirkan, oke?" "Jake, kau mungkin bisa membohongi yang lain, tapi tidak aku.
Kau ketakutan. Dan kau punya alasan bagus untuk merasa seperti itu.
Lalu, memangnya kenapa?"
Aku mencoba meninggalkannya. Tapi aku merasa bersalah
melakukannya. Jadi aku berpaling menatapnya. "Masalah utamanya,
aku seharusnya bertindak sebagai pemimpin pasukan kecil ini."
"Terus" Kau tak boleh bersikap seperti manusia biasa?"
"Tepat sekali. Aku tak boleh bersikap seperti manusia biasa."
Cassie tertawa tak yakin, seolah-olah ia tidak yakin aku sedang
bergurau atau tidak. "Tak ada yang menuntut kau menjadi Superman,
Jake. Kau pikir yang lainnya takkan menghormatimu jika kau
mengaku dirimu ketakutan?"
"Ini bukan soal hormat, Cassie. Ini bahkan bukan soal takut. Ini
soal membiarkan rasa takut mengatakan padamu apa yang harus
kaulakukan." "Kau benar. Jika itu rasa takut yang tidak masuk akal, kau harus
bisa mengalahkannya," Cassie berkata. "Tapi ada alasan untuk rasa
takut yang kaurasakan ini. Kau nyaris tewas tadi."
Aku menggelengkan kepala. "Tidak. Biasanya kau benar,
Cassie, tapi kali ini kau keliru. Kau tahu, bila aku mengalah pada rasa
takut, maka itu memberi izin yang lain untuk menyerah pada rasa
takut. Kita semua punya alasan tepat untuk merasa takut. Dan kalau
begitu, tak lama lagi kita pasti akan lumpuh total. Kita takkan bisa
melakukan apa-apa karena salah satu dari kita mungkin punya alasan
bagus untuk merasa takut."
"Kita tak pernah bermetamorfosis menjadi semut karena kita
semua takut, terutama Marco," kata Cassie. "Kita tak pernah bicara
tentang kemungkinan bermetamorfosis menjadi rayap lagi, karena
masalah yang kuhadapi. Lalu, apa bedanya dengan sekarang?"
"Bedanya adalah, kalian semua memutuskan akulah yang jadi
pemimpin," tandasku. "Itulah bedanya. Seorang pemimpin mungkin
saja selemah atau setakut atau seragu yang lain. Tapi seorang
pemimpin tak boleh menunjukkannnya. Orang-orang berkata mereka
ingin para pemimpin mereka menjadi sama seperti mereka, tapi
menurutku tidak begitu. Orang-orang ingin para pemimpin bersikap
seperti yang mereka harapkan dapat dilakukan oleh diri mereka
sendiri. Marco, Rachel, Tobias, dan Ax tidak ingin aku memberi
mereka izin untuk menjadi takut. Mereka ingin aku membantu mereka
untuk menjadi berani."
Cassie menatapku lama sekali. Akhirnya aku mengalihkan
mata, dalam hati merasa tidak enak.
"Tidak mudah bagimu menjadi pemimpin, ya kan?" Cassie
bertanya. Aku memaksa tersenyum. "Ada sesuatu yang tidak dilakukan
seorang pemimpin," ujarku. "Mengeluh tentang menjadi pemimpin."


Animorphs - 16 Memburu Yeerk Kembar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Biarpun begitu kami telah memilih orang yang tepat kok,"
Cassie berkata lagi. Sekali lagi aku mencoba pergi darinya, tapi Cassie malah
mencengkeram tanganku. "Tunggu, mungkin kau benar. Tapi aku
berani bertaruh bahkan jenderal besar dan presiden atau siapa pun itu,
punya teman dengan siapa mereka bisa jujur. Orang-orang yang tak
pernah kehilangan kepercayaan pada mereka, apa pun yang terjadi."
Lalu aku merasakan desakan yang amat sangat untuk menangis
saat itu juga. Aku juga merasakan dorongan yang kuat untuk memeluk
Cassie erat-erat. Tapi tak satu pun dari keduanya kulakukan.
"Ayolah," ujarku. "Yang lain sudah menunggu."
Chapter 13 KAMI pulang dengan selamat. Tak ada yang menepukku dan
aku merasa lebih enak setelah berhasil melewati rasa takutku.
Setidaknya begitulah yang kukatakan pada diriku sendiri. Kau tak
pernah benar-benar melewati rasa takutmu. Rasa takut menciptakan
lubang kecil di dalam dirimu, seperti karat di badan mobil. Kau
tambal lubang itu dengan dempul dan pasir sampai licin dan rata, lalu
kaucat kembali supaya tak ada yang bisa melihatnya. Tapi segalanya
tak pernah benar-benar seperti dulu lagi.
Waktu tiba di rumah aku benar-benar kelelahan. Kakakku
sedang di dapur, menelepon sambil mengolesi selai kacang di biskuit.
Waktu didengarnya aku masuk, ia mengubah nada suaranya.
Dulu pasti aku akan menganggap ia sedang ngobrol dengan
cewek. Tapi sekarang kurasa ia sedang ngobrol dengan Pengendali
lain. Kukeluarkan setumpuk makanan dari kulkas: sisa ayam
panggang dan kentang pure. Kutaruh semuanya di piring, dan
kumasukkan ke microwave. "Sudah, ya," ujar Tom. Setelah itu diletakkannya gagang
telepon itu. "Ada apa nih?" tanyaku.
"Tidak ada apa-apa," sahutnya seraya meninggalkan dapur.
Kubawa makananku naik ke kamar. Aku mulai memboot
komputerku, tapi kemudian merasa bimbang. Sebagai gantinya aku
duduk saja dan dengan ogah-ogahan menyantap makananku
sementara mataku menatap layar yang kosong.
Jadi, apa artinya bahwa Joe Bob Fenestre adalah "Fitey777?"
Melihat percakapan yang kami ikuti waktu itu, Fitey777 jelas pejuang
anti-Yeerk. Tidak seperti YrkH8er yang jelas Pengendali.
Tapi tidak sesederhana itu. Joe Bob Fenestre memiliki akses ke
semua informasi WAA. Jadi, ia pasti tahu siapa saja sebenarnya
orang-orang yang terlibat dalam chat room itu. Ia bahkan tahu siapa
yang membuat Web page itu.
Fenestre punya akses ke segala macam informasi. Ia memiliki
pelayanan jasa online terbesar di seluruh negara. Jadi, mungkin
begitulah caranya mengetahui invasi Yeerk.
Atau bisa saja sebaliknya. Bangsa Yeerk telah melihat betapa
pentingnya Fenestre dan akhirnya mereka menjadikannya Pengendali.
Itu masuk akal. Tidak ada kemajuan sama sekali. Benarkah Fenestre musuh
sejati para Yeerk" Atau dia Pengendali yang menggunakan Web site
sebagai pancingan untuk menjaring musuh-musuh Yeerk"
Kami harus tahu. Mestinya aku langsung cabut saja ke rumah
Marco dan menyuruhnya mengumpulkan artikel apa pun yang bisa
ditemukannya tentang rumah Joe Bob Fenestre. Tempat tinggal pria
itu tidak terlalu jauh kok. Setiap hari ia datang ke kantor-kantor
WAA-nya dengan jet pribadinya.
Aku benar-benar kelelahan. Kayaknya aku bisa tidur seminggu
penuh deh. Tapi akhir pekan adalah kesempatan terbaik kami. Sulit
bagi kami untuk bergerak pada hari-hari sekolah. Dan besok, adalah
hari Minggu. Aku lari menuruni tangga. Kedua orangtuaku baru saja masuk.
Mereka menjinjing tas-tas belanjaan. Mereka baru saja berbelanja
rupanya. "Hei, Jake," ayahku menyapa.
"Sayang, di mobil masih ada beberapa tas lagi lho," ujar ibuku.
Kuambilkan tas-tas belanjaan itu.
"Aku mau pergi dulu," kataku.
Ibuku menatapku tidak senang. "Bukankah kau sudah keluyuran
seharian?" Aku mengangkat bahu. "Bisa dibilang begitu."
"Apa kau akan mati jika kau makan malam bersama
keluargamu?" "Apa sekarang sudah waktunya makan malam?"
"Begitu aku selesai memasak ikan salmon yang kubeli kemarin,
kita akan langsung makan malam," ia berkata. "Kau menyukainya
waktu terakhir aku memasaknya. Sebenarnya aku khusus
memasakkannya untukmu, lho."
Aku langsung merasa bersalah. Hebat. Jadi aku tersenyum.
"Yah, Mom tidak bilang sih Mom masak salmon. Baiklah. Marco bisa
menunggu. Aku makan malam dulu."
Kami berusaha untuk tidak terlalu sering menggunakan telepon.
Saluran telepon terlalu mudah disadap. Lagi pula aku tak pernah yakin
apakah Tom mungkin ikut menguping. Jadi aku tak bisa menghubungi
Marco atau Rachel. Aku harus melakukan penyelidikan itu sendirian.
Kalau kami akan menyergap masuk ke mansion Joe Bob Fenestre,
kami harus punya bayangan apa yang mungkin akan kami hadapi.
Aku mengerjakan PR-ku sementara ibuku masak. Lalu ayahku
memanggil dari kaki tangga untuk memberitahu bahwa Showtime
menayangulangkan pertandingan tinju yang pernah diputar di TVkabel. Jadi kubawa
PR-ku turun dan mengerjakannya sambil nonton.
Lalu kami makan malam. Kami berempat. Seperti dulu lagi.
Ayahku mulai bicara panjang-lebar tentang kisah membosankan
yang berhubungan dengan pekerjaannya.
Ibuku menanyakan sekolah padaku dan Tom. Lalu ayahku
tersadar ia lupa menceritakan sebagian dari kisahnya yang
membosankan itu, jadi ia harus mengulang seluruh bagian itu lagi.
Dan ibuku bilang ia berharap kami menyukai pakaian yang
dibelikannya di mall. Dan tentu saja aku dan Tom bergurau tentang
kemungkinan ia belanja di Former Cool Fashions "R" Us. Itu gurauan
lama yang dulu selalu kami gunakan setiap kali ibuku membelikan
kami pakaian. Segalanya begitu normal. Tom dan aku. Orangtua kami. Ibu dan
ayahku saling meremas tangan seolah-olah mereka baru pertama
berkencan. Aku duduk di situ, perutku kenyang oleh ikan, nasi, dan buncis.
Dan aku masih saja menyumpalkan mulutku dengan sesuatu bernama
tiramisu, yaitu makanan penutup khas Italia yang disiram saus yang
manis. Ingin rasanya percaya semua ini sungguhan. Soalnya, kau tahu,
demi inilah semua perjuangan kami itu. Tujuan utama mengambil
risiko dan berjuang melawan Yeerk adalah untuk melindungi saat-saat
membosankan, biasa-biasa saja, dan sama sekali sepele seperti yang
sekarang ini sedang kulewati.
Teringat olehku bagaimana tubuhku lengket dan hancur di
langit-langit pesawat. Dan teringat lagi saat-saat kami nyaris berhasil
menyelamatkan Tom di neraka kolam Yeerk itu. Ini membuatku
marah. Tak seorang pun ingin diganggu atau diusik. Mereka cuma
ingin duduk dan makan malam dan menceritakan kisah-kisah yang
membosankan dan lelucon-lelucon yang telah mereka ucapkan selusin
kali. Tapi kurasa selalu saja ada seseorang di luar sana yang
menganggap hidup, hidup sehari-hari yang sederhana, membosankan,
dan manis tidaklah cukup. Dan ketika itulah korban-korban mulai
berjatuhan. Dan dalam peperangan ini, Yeerk-lah pelakunya. Namun
ada banyak sekali peperangan lain di mana manusia berhadapan
dengan manusia. Ada apa sih dengan orang-orang sampai mereka tidak
menyadari bahwa yang paling penting adalah orang-orang yang saling
mencintai bisa terus bersatu, hidup dalam kedamaian, belajar, bekerja,
menceritakan kisah-kisah membosankan dan lelucon-lelucon konyol"
Apa sih yang mereka pikirkan hingga mereka mengira akan
mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari semua itu"
"Kau pendiam sekali, Jake," ibuku berkata. "Sedang
merenung?" Aku tersenyum. "Aku tengah berpikir bahwa ini benar-benar
asyik. Harusnya kita lebih sering lagi makan malam sama-sama
begini." Aku menatap Tom. "Menyenangkan sekali. Kuharap tak
pernah akan terjadi sesuatu pada kita. Kuharap kita akan selalu
bersama-sama." Yeerk yang tinggal di kepala Tom membongkar memori Tom.
Yeerk itu membuka memorinya dan membacanya seolah-olah itu
sebuah buku. Ia memainkan senar-senar otak Tom bagaikan pemain
biola menekankan not-not yang sempurna dari biolanya.
Yeerk itu menemukan jawaban yang akan dikatakan Tom. Ia
mengarahkan mata Tom dan membuat wajah Tom tersenyum sengit.
Ia membuka mulut Tom dan membuat Tom mengucapkan kata-kata
yang akan dikatakan Tom bila ia bisa.
"Hei, Mom, jangan kasih tiramisu itu pada Jake lagi. Sausnya
membuat Jake cengeng."
Aku tertawa, seperti seharusnya. Dan aku berkata dalam hati,
Akan tiba saatnya, Yeerk, aku akan mengeluarkan dirimu dari
kepalanya dan menghancurkanmu untuk semua yang telah kaulakukan
terhadap keluargaku. Chapter 14 SEMENTARA aku bersama-sama keluargaku, Marco malah
sibuk sendiri. Ia menggunakan program hack-proof yang dituliskan
Ax baginya untuk bisa kembali ke chat room. Ia menceritakannya
waktu kami sedang berjalan susah payah ke hutan yang letaknya di
tepi peternakan Cassie. Di sana Ax dan Tobias bisa menjadi diri
mereka sendiri tanpa perlu berubah wujud.
"Hampir semua orang yang sama muncul di chat room itu,"
Marco menjelaskan. "Ada beberapa nama baru juga sih, tapi GoVikes,
YrkH8er, Chazz, CKDsweet, YeerKiller9, Carlito, MegMom, dan
Gump8293 semua hadir. Anak bernama Gump itu masih bicara
tentang ayahnya. Aku punya firasat ia semakin siap mengkonfrontasi
ayahnya." "Kita tak bisa membiarkan itu terjadi," tukas Cassie.
"Gump cuma anak berumur sembilan tahun," aku mengingatkan
semuanya. "Dia tinggal cukup dekat dengan kita. Meg, Chazz, dan
CKDsweet semua berasal dari luar kota. Beberapa di antara mereka
bahkan tinggal di kota yang jauh sekali dari sini. Jadi tinggal
GoVikes..." "...yang jelas idiot," sela Rachel.
"...YrkH8er, Gump, Chazz, dan tentu saja Fitey777,"
sambungku. tanya Tobias.
menutup-nutupi dirinya dengan menjadi musuh Yeerk.>
Tobias bertengger di dahan pohon sekitar tiga meter di atas
kepala kami. Cakar-cakarnya tertanam dalam-dalam pada kulit kayu
yang terkelupas. Cassie menelengkan kepala ke belakang dan ke depan seolaholah tidak terlalu
yakin. "Nama asli YrkH8er adalah Edward
Cheltingham. Seperti apa sih dia" Lelaki berumur tiga puluh tahun"
Tapi kalian tahu, tidak" Aku sudah memeriksa buku telepon pagi ini
dan tidak menemukan nama Edward Cheltingham. Cuma ada dua
Cheltingham terdaftar di situ, dan dua-duanya perempuan.
"Terus kenapa" Bisa saja nomor teleponnya tidak terdaftar,"
sergah Rachel. "Ya, bisa begitu. Atau mungkin saja Edward Cheltingham cuma
nama samaran, tidak berbeda dengan YrkH8er, Cassie berkata.
"Bukankah kita bisa saja mendapatkan KTP palsu dan membuat kartu
kredit dengan nama samaran, lalu membuka sebuah account WAA?"
Jelas hal itu tak pernah terpikir oleh siapa pun kecuali Cassie.
"Oh," sahut Rachel. "Hebat. Kesulitan baru lagi. Itu artinya
orang ini bisa siapa saja dong."
"Kita memiliki alamatnya," kata Cassie lagi. "Kita bisa
memeriksanya." Ia memandangku. "Kita juga sudah mendapatkan
alamat Gump." "Gump sih tidak penting," tukas Marco. "Fenestre-lah yang
berada di tengah-tengah semua ini. Dialah tokoh utamanya. Kalau kita
bisa memecahkan apa yang terjadi dengannya, kita pasti bisa
memecahkan semua ini."
"Mungkin," ujar Cassie pasrah. "Tapi dia bisa menunggu.
Gump bisa saja sedang dalam bahaya sekarang ini."
"Dengar, Cassie," sergah Marco, "ini hari Minggu. Kalau kita
mau mengejar Fenestre, mungkin butuh waktu cukup banyak. Yang
berarti satu akhir pekan, yang berarti hari ini. Kita bisa menyelidiki
Gump kapan-kapan sepulang sekolah. Senin. Atau Selasa."
"Kecuali kalau Senin sudah terlambat. Kecuali hari ini juga
anak kecil yang ketakutan itu bicara pada ayahnya dan ayahnya benar
Pengendali. Maka tamatlah riwayat Gump. Lalu Gump lenyap. Atau ia
kemudian menjadi rumah baru bagi Yeerk berpangkat rendah."
Mereka berdua menatapku. Sudah seharusnya aku memutuskan
mana yang akan menjadi prioritas utama kami. Menyelamatkan anak
berumur sembilan tahun itu, atau membongkar semuanya dengan
melakukan penyerbuan ke istana Fenestre.
Aku menunduk memandang tanah. "Marco, kau sudah
melakukan penyelidikan terhadap rumah Fenestre?"
"Tidak. Kukira kaulah yang akan melakukannya."
"Aku tak sempat. Ada urusan keluarga, begitulah."
"Rumah itu pasti punya pengamanan superketat," Marco
berkata. "Yang serba menggunakan komputer. Tapi menurutku sih
tidak akan jadi masalah buat kita. Maksudku, sistem keamanan
didesain untuk menjaga agar orang tidak sembarangan masuk, ya kan"
Bukan binatang." Aku mengangguk. Kuharap ia benar. Aku merasa sedikit cemas,
tapi Marco benar: Fenestre adalah kunci semua ini. "Cassie, segera
sepulang sekolah besok, kita akan melihat keadaan Gump."
Ia mengangguk. Tapi wajahnya tampak sedih. "Kuharap kita
belum terlambat." "Ya. Kuharap juga begitu." Kugosok kedua telapak tanganku,
melirik Rachel dengan angkuh, lalu memasang "wajah gagah berani".
"Kalau begitu, ayo laksanakan. Mari kita lihat bagaimana orang
superkaya hidup." Aku punya firasat telah melakukan sesuatu yang keliru. Tapi
aku tak yakin apa itu. Dan seorang pemimpin harus memimpin,
bukannya duduk berpangku tangan membaca ramalan bintangnya atau
memeriksa denyut nadinya.
Jadi, aku pun mengambil keputusan.
Chapter 15 JIKA pikirmu kau sudah melihat rumah-rumah berukuran
raksasa, tunggu sampai kaulihat tempat tinggal Joe Bob Fenestre,
pendiri WAA dan seorang megamiliuner.
Dari langit, rumah itu tampak seperti kompleks gedung sekolah
atau semacam itu. Seperti pusat perbelanjaan. Ada selusin bangunan
yang terpisah. Dua rumah tamu, masing-masing besarnya dua kali
rumahku. Lalu rumah kolam renang lengkap dengan ruang-ruang


Animorphs - 16 Memburu Yeerk Kembar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ganti dan bar yang meluas sampai ke tepi kolam renang yang
berbentuk logo WAA. Selain itu tampak rumah perahu di tepi sungai,
dan ada perahu yang mengilap terikat di tepinya. Sebuah istal cukup
besar untuk selusin kuda. Kemudian sesuatu yang kelihatannya seperti
observatorium. Rumah kaca penuh dengan selada berwarna hijau
segar, tanaman bumbu, dan segala macam pohon jeruk. Sebuah garasi,
cukup lengang untuk menyimpan tiga puluh sampai empat puluh
mobil. Pos keamanan lengkap dengan para petugas bersenjata berdiri
di sisi jalan masuk yang panjangnya empat ratus meter. Dan terakhir,
di bukit yang dikelilingi pekarangan berumput yang saking luasnya
sampai bisa dijadikan tempat untuk menyelenggarakan pertandingan
Superbowl, adalah rumah inti itu sendiri.
Marco berkata
dengan nada puas.
bawah sana"> cemooh Rachel.
Tobias
bertanya-tanya.
sergah Marco.

Kami tengah melayang-layang kurang-lebih seperempat mil di
atas mansion Fenestre. Tobias menjadi dirinya sendiri. Ax dalam morf
northern harrier-nya, Rachel dalam wujud rajawali bondol, sedang
Cassie dan Marco menjadi elang laut. Dan aku dalam salah satu wujud
favoritku: alap-alap macan. Salah satu makhluk hidup tercepat di
dunia. Dan dengan mata yang saking tajamnya sampai bisa melihat
kutu di tubuh anjing dari jarak tiga meter.
Tadinya sekilas aku merasakan firasat buruk mengenai misi ini.
Tapi sekarang perasaanku cukup bagus. Biasanya perasaanku memang
cukup bagus kalau sedang terbang.
Bila kau terbang melayang di atas bubungan angin yang hangat,
meluncur naik dengan kedua sayapmu terkembang lebar, sementara
satu-satunya suara yang terdengar hanyalah suara angin di antara helai
bulu-bulumu, perasaanmu hampir pasti akan senang. Kau akan
merasakan kebebasan yang sebebas-bebasnya yang bisa
kaubayangkan. Tapi pada saat yang sama aku juga memperhatikan beberapa
detail dengan mata alap-alap macanku yang setajam laser, dan
menemukan tiga pagar yang terpisah. Satu mengelilingi seluruh
mansion, hutan, halaman, kolam renang, lapangan tenis, dan
semuanya. Lalu yang kedua sekitar dua puluh meter di dalam yang
pertama. Dan akhirnya, pagar ketiga hanya mengelilingi rumah inti
dan pekarangannya. Rachel berkata. yang selalu ketakutan. Kalian lihat pos pengawasan di setiap sudut
rumah" Ada petugas keamanan di dalamnya. Lengkap dengan
senjata.> tukas Cassie. tim yang terdiri atas seorang petugas bersenjata lengkap dan dua
anjing penjaga berpatroli di antara pagar pertama dan kedua.>
ini,> aku berkata. Dan merasa senang waktu Marco dan Tobias
tertawa. serial Hogan's Heroes.>
Cassie, dengan mata elang lautnya yang didesain untuk bisa
melihat ikan di bawah permukaan air berkata, bawah air juga. Aku tak bisa melihat semuanya, tapi jelas ada garis
nyata di bawah permukaan air.>
Ax bertanyatanya.
ujar
Marco.
tanyaku.
usul Tobias.

tanya Cassie. rumah. Mungkin mencari ruang kerja Mr. Fenestre. Dan mungkin
tanpa sengaja mendengar apa yang sebenarnya sedang terjadi.>
usul Marco.
timpal Cassie, tanpa terangterangan menyerang
Marco, yang sudah bersumpah tak mau berubah
wujud menjadi semut lagi.
Waktunya bagiku untuk memutuskan. kita masuk seperti usul Tobias. Biar Tobias saja yang tinggal di luar
dan menggunakan mata dan telinganya untuk melaporkan apa saja
yang dilihatnya. Di dalam kita sebagian berubah menjadi lalat, dan
yang lain jadi kecoak. Lalu kita menyebar dan terus berhubungan
dengan bahasa-pikiran. Siapa yang menemukan Fenestre, harus
memanggil yang lainnya. Oke">
tukas Rachel seraya memuntahkan udara dari
sayapnya, dan menukik menuju jendela yang terbuka.
Ia meluncur cepat, sayapnya yang lebar menekuk ke belakang,
cakarnya mencuat ke atas, kepala elangnya yang putih dan berkilat
mendongak supaya matanya bisa terfokus pada ambang jendela yang
terbuka itu. Cassie terbang sekitar enam meter di belakangnya, disusul aku,
Marco, lalu Ax. Tobias masuk ke aliran udara yang mengalir naik, lalu
membubung tinggi sekali, sampai ke tingkat di mana ia bisa melihat
apa pun yang terjadi di seluruh mansion Fenestre.
Rachel menukik turun. Lalu aku mengikuti secepat peluru.
Pada menit terakhir Rachel cuma melayang untuk mengurangi
kecepatan. Ditariknya cakarnya ke muka, bergerak cepat menuju
ambang jendela yang terbuka.
TSAPPPPPPP!
Cassie langsung bereaksi. Dikembangkannya kedua sayapnya,
lalu menukik tajam ke kanan, dan meluncur hanya beberapa inci dari
dinding rumah besar yang kasar dan berlapis semen.
teriakku.
Ia telah memasuki ambang jendela. Dan berada di dalam. Tapi
ia tidak menjawab. Dan dengan mata elangku, aku menangkap
bayangan samar sosok yang terbaring di lantai ruangan di balik
jendela itu. Rachel tak sadarkan diri.
Setidaknya, kuharap ia cuma tak sadarkan diri.
Chapter 16 RACHEL! Dia terperangkap!

BRRRIIIINNNNNG! ScreeeeEEEE! ScreeeeEEEEE! ScreeeeEEEEE!
Alarm berbunyi keras sekali. Sirene menjerit-jerit. Kudengar
suara orang-orang saling berteriak.
Kulihat Cassie meluncur amat tinggi, melewati puncak dinding
untuk menjaga momentumnya. Tapi Marco dan Ax harus berjuang
keras karena tak menemukan arus udara. Aku juga. Kukepakkan
kedua sayapku keras-keras, tapi udara di bawah, yang berada tak jauh
dari permukaan tanah, dingin dan tak bergerak. Kukepakkan sayapku
lebih keras lagi, lalu membubung naik, tapi begitu pelan. Terlalu
pelan. "Tembak mereka!"
"Apa" Burung-burung itu?"
"Ya! Burung-burung itu! Begitulah perintahnya!"
DOR! DOR! DOR! Ax berteriak,
Kulihat northern harrier itu bergetar di udara dan mulai
melayang jatuh. Bisakah kutangkap dia sebelum menyentuh tanah"
ujar Tobias. Cuma ia satusatunya yang berada di
ketinggian. Ia meluncur turun dengan gerak
supercepat dan berbahaya, menukik ke permukaan tanah.
Ax berada di ketinggian sembilan meter waktu ia mulai
melayang jatuh. Tobias berada lima belas meter di atasnya. Misi
penyelamatan yang tidak mungkin!
Tapi Tobias terus menukik cepat, seperti peluru berwarna
kemerahan. Ia berhasil mencapai Ax saat tubuhnya yang melayanglayang itu hanya
tinggal satu meter dari permukaan tanah.
teriak Tobias. Ditanamkannya cakarnya di
pundak dan dada Ax, lalu dikembangkannya sayapnya, bergerak cepat
menyusuri permukaan halaman berumput yang menurun, hanya satu
inci di atasnya. Cassie bergerak cepat untuk membantu. Ditangkapnya salah
satu sayap Ax. Lalu ia dan Tobias berhasil menyeret dan mengangkat
Andalite yang terluka itu melewati pagar paling dalam dan pagar
kedua. Namun tubuh Ax terjatuh di jalur pasukan anjing penjaga.
Salah satu tim Rottweiler datang menyerangnya.
Dua anjing penjaga datang berlari-lari, air liur menetes-netes
dari mulut mereka, daging yang menggelantung di bawah dagu
mereka bergoyang-goyang. Petugas yang menemani mereka
mengikuti di belakang, siap dengan senjata mitraliur ringan di tangan.
teriakku
seraya menukik sedikit. Terlalu sedikit, terlalu pelan. Anjing-anjing
penjaga itu nilihat kedatanganku. Namun aku memang mengincar
mereka. Mengincar mata anjing yang terdekat. Kusapukan cakarcakarku ke muka.
Anjing itu menangkap bayanganku dari sudut matanya. Ia
berpaling! Dan kuserang dia!
Srrrt! Rahang yang besar dan kokoh nyaris mengenai ujung
sayap kiriku. Namun gigi anjing itu tak mengenai apa pun selain bulu
sayapku. Aku menabrak rumput, lalu berguling. Anjing itu
mengejarku. Dengan tiga lompatan ia pasti bisa menangkapku. Aku
benar-benar tak berdaya. Lalu sesuatu meluncur cepat sekali, tepat di belakangku: elang
laut kedua! Marco! Digaruknya anjing itu dari belakang, menciptakan garis luka
yang memanjang di bagian belakang leher binatang itu.
R0000WWWRR! Anjing itu berbalik, Marco mengepakkan sayapnya dan terbang
pergi, sementara aku berusaha setengah mati untuk bangkit dari tanah.
Namun anjing yang satu lagi telah memusatkan perhatiannya
pada Tobias, Cassie, dan Ax. Tobias dan Cassie mengepakkan sayap
sekuat tenaga, menyeret tubuh burung Ax yang telah tercabik-cabik
sepanjang rerumputan. Mereka nyaris berhasil meninggalkan
permukaan tanah, tapi gagal. Anjing itu telah siap menyerang mereka.
sergahku.
jerit Tobias.

Tobias dan Cassie melepaskan tubuh Ax. Lalu dengan cepat
mereka terbang pergi. Anjing itu berlari lurus ke tubuh Ax dan
memungutnya dengan moncongnya.
"Tenang! Tenang, Achilles!" petugas yang menyertainya
berteriak. Dengan penglihatanku yang tajam kulihat anjing itu
membekukan jepitan rahangnya. Ia mengangkat Ax tapi tidak
menggigitnya. Cassie menjerit.
perintahku.
Kumasuki arus angin yang pelan, lalu membubung naik dan
pergi dari situ. Semakin banyak petugas bersenjata lengkap dan
anjing-anjing penjaga mengelilingi Ax.
Lewat ambang jendela rumah yang seharusnya terbuka, aku
melihat petugas-petugas lain berlari mengelilingi Rachel.
Dua dari kami tertangkap. Dan semuanya adalah salahku.
Chapter 17 KAMI berkumpul di atap Restoran Fast-food Wendy's, empat
ratus meter dari mansion Fenestre. Kami bersembunyi di balik AC di
bubungan atap dan kipas-kipas yang bergerak pelan, di tengah-tengah
bau minyak dan udara panas.
aku bertanya.
bentak Marco. tahu!> tukas
Tobias menyalahkan. ujar Cassie
panik.
Kami panik. Tak ada yang berpikir dengan kepala dingin.
Aku mencoba berkonsentrasi. Tapi AC itu terus mendengung.
Bau burger dan bawang dan saus amat menusuk.
puluh menit,> kataku.
desak Tobias. benteng! Pagar-pagar, anjing-anjing penjaga, dan sejenis medan
pertempuran di balik jendela-jendela.>
timpal Marco. jebakan. Pasti begitu. Kalau tidak, siapa coba yang bakal menembaki
burung"> dari satu setengah jam. Kalau tidak mereka akan terperangkap
selamanya,> Cassie berkata. yang kita miliki. Jika mereka berubah wujud dikelilingi para
Pengendali... Maksudku, mereka akan tahu Rachel manusia biasa, dan
dengan begitu artinya mereka bakal tahu kita semua manusia. Semua,
kecuali Ax.> tukasku. Malah sebenarnya, lebih buruk dari itu.
Soalnya, Rachel tahu ia tak bisa berubah ke wujudnya semula di
tempat ia bisa terlihat oleh para Pengendali. Aku tahu Rachel, lebih
baik ia terperangkap selamanya dalam tubuh elangnya daripada
membiarkan kebenaran tersingkap. Ia tahu, jika kaum Yeerk sampai
tahu kami ini manusia, dan bukannya sekelompok Andalite pembelot,
maka umur kami takkan panjang. Cuma tinggal hitungan jari.
bagi Rachel,> kata Tobias.
Marco menyeringai
sinis sekali. hidupnya dengan makan tikus dan hidup di pepohonan seperti kau,
Tobias.> Tobias balas membentak. dia bisa saja sudah tewas. Atau tubuh elang-nya begitu parah lukanya
hingga tak mungkin diselamatkan.>
timpal Cassie, sedikit lebih
tenang daripada Tobias dan Marco.
istana orang gila ini"> Marco kini menyerangku.
Aku diam saja. Aku harus berpikir. Waktu kami semakin habis.
Tobias dan Marco masih terus bersitegang. Cassie mulai mengerang
tentang kemungkinan mereka akan menemukan orangtuanya, cepat
atau lambat. Kapan mereka akhirnya bisa menangkap Rachel, cuma
tinggal masalah waktu saja.
Aku harus menyusun rencana. Tapi siapa sih aku hingga berhak
melakukannya" Aku telah mencelakakan semuanya. Rachel... Ax...
mungkin kami semua, malah.
Kata-kataku keluar
sebagai rengekan. Sebenarnya aku tak bermaksud begitu. Sebenarnya


Animorphs - 16 Memburu Yeerk Kembar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku sama sekali tak bermaksud bilang begitu.
tanya Tobias.
teriak Marco marah. rencana!> bentakku.
hardik Marco di dalam kepalaku. bikin kita semua begini. Sekarang cari jalan dan selamatkan kami.>
tukas Cassie membelaku.
Namun kata-kata Marco bagai lembing yang dilemparkan luruslurus ke hatiku. Dan
pembelaan Cassie hanya membuat semuanya
makin buruk saja. Pikiranku terbagi dua. Setengahnya bergerak cepat seperti
mobil Indiana Jones yang mesinnya siap meledak. Sebagian lagi
berenang mengarungi sirup gula yang lengket, terperangkap dalam
kenyataan menyakitkan bahwa Marco benar. Aku telah
mengecewakan teman-temanku.
usul Cassie.

sergah Marco. di luar gerbang paling depan, lalu merangkak menaiki bukit yang
jauhnya ratusan meter. Lagi pula, ada banyak Pengendali di sana.
Sekarang mereka akan siap menyambut kita.>
kataku tiba-tiba.
tukas Tobias.
sahutku, sekonyong-konyong
yakin sekali. menggunakan banyak sekali Pengendali-Manusia. Tapi selalu saja ada
Hork-Bajir yang membantu di belakang mereka. Tapi kini tak ada satu
pun Hork-Bajir. Dan setiap orang menggunakan senjata. Senjata biasa.
Senjata sehari-hari. Dan anjing-anjing penjaga. Yeerk tidak akan
menggunakan anjing.> keamanannya menembak burung"> sergah Marco.
biasa. Tapi Rachel dan Ax mungkin saja tidak tahu. Kita harus
mengeluarkan mereka dari situ. Dan kita tak punya waktu banyak.>
ujar Cassie.
masih punya senjata dan pagar dan anjing-anjing
dan mungkin saja daun-daun pintu yang besar dan tebal-tebal.>
aku setuju. apa pun yang cukup cepat dan kuat untuk menerobos masuk ke tempat
itu tanpa kena tembak. Tapi aku punya ide. Seberapa jauh kita dari
The Gardens"> Chapter 18 AKU terbang secepat tubuh elangku sanggup membawaku,
yang tentu saja cukup cepat. Tapi aku terbang melawan angin. Aku
mencoba mengatakan pada diriku sendiri segalanya bakal beres karena
pada saat pulang nanti, angin akan bertiup searah denganku. Tapi,
siapa sih yang bisa memastikan ke mana angin akan bertiup"
Kutinggalkan Marco dan Cassie di belakangku. Aku akan
mengamati segalanya dulu. Kuinstruksikan agar mereka tidak
melakukan apa pun. Aku tak ingin kami kembali dan menemukan
mereka tertawan juga. Tapi siapa sih aku ini hingga berhak main perintah-perintah ke
semua orang" Aku telah membiarkan teman-temanku jatuh dalam
perangkap. Perangkap yang seharusnya bisa kuprediksikan
sebelumnya, jika saja aku melakukan penyelidikan lebih lama lagi.
Tapi tidak, aku malah membuang-buangwaktuku malam itu dengan
keluargaku. Sejak semula Cassie benar. Seharusnya kami menyelamatkan
Gump saja. Itu pasti gampang. Tapi bukan melakukan itu, aku malah
mencoba memainkan peran sebagai jenderal besar dan memutuskan
untuk mengejar Fenestre tanpa persiapan sama sekali.
Tobias terbang bersamaku ke The Gardens. Sebenarnya aku
ingin sendirian, sungguh, tapi Tobias seratus kali lebih berpengalaman
dari kami semua di tengah angkasa. Ia tahu benar tentang angin dan
awan dan termal. Ia bisa membantuku terbang lebih cepat.
Waktu kami tidak sampai satu setengah jam. Pada saat kami
melayang di atas habitat-habitat binatang di The Gardens, kami
tinggal punya waktu kurang dari satu jam. Setengah jam untuk
kembali. Itu berarti tinggal setengah jam untuk melakukan apa yang
harus kulakukan, dan menyelamatkan Rachel serta Ax di mansion
Fenestre. Waktuku benar-benar sempit.
gerutu Tobias.
sahutku.
Di bawah sana tampak habitat yang terdiri atas campuran aneka
rerumputan, kubangan lumpur, dan lubuk air. Empat sosok tampak di
situ. Empat sosok berukuran besar yang tampak seperti pelarian dari
zaman dinosaurus. Tobias bertanya tak percaya.
tidak langsung roboh bila kena satu-dua peluru jika perlu. Kau punya
ide yang lebih baik">
cukup dekat dengan binatang itu untuk bisa menyerap DNA-nya">
bisa melihat mereka terlalu jelas.>
Pedang Urat Petir 1 Kisah Tiga Kerajaan Sam Kok Romance Of The Three Kingdom Karya Luo Guan Zhong Tusuk Kondai Pusaka 7

Cari Blog Ini