Chapter 1 NAMAKU Rachel. Kau ingin tahu nama lengkapku" Sori. Aku tidak bisa
memberitahumu. Bukan apa-apa. Aku bukannya sok penting atau sok
cool. Aku cuma berhati-hati.
Masalahnya begini. Bumi, planet kita yang berwarna biru dan
hijau dan dikelilingi awan putih, sedang diserang.
Serangannya bukan seperti dalam film dokumenter tentang
Perang Dunia II atau sebangsanya. Juga bukan seperti Star Wars.
Serangan ini dilakukan diam-diam. Tanpa banyak ledakan atau senjata
sinar laser atau entah apa lagi. Biasanya orang berperang supaya bisa
menguasai negara atau daerah tertentu. Atau paling tidak mereka mau
memaksakan kehendak kepada orang lain.
Dalam perang ini, musuh kita tidak peduli soal negara. Apalagi
soal ideologi. Mereka tidak berniat merebut ibu kota negara kita dan
mengibarkan bendera mereka. Kitalah yang jadi incaran mereka.
Tubuh kita. Mereka disebut Yeerk. Mereka bangsa parasit yang mirip lintah,
atau cacing pita. Mereka hanya bisa hidup di dalam tubuh makhluk
lain. Kalau tidak ada tubuh untuk ditumpangi, mereka cuma bisa
mondar-mandir tak berdaya di dalam kolam Yeerk.
Tapi berbeda dari cacing pita, Yeerk tidak hidup di usus.
Mereka tidak bercokol di dalam perut. Otak kitalah yang dijadikan
sasaran. Mereka masuk melalui telinga. Tubuh mereka bisa dibuat pipih
sehingga bisa menyelinap ke tempat-tempat yang sempit. Mereka
masuk lewat telinga, lalu menyusup ke dalam otak. Mereka mengisi
semua celah dan lipatan kecil yang ada di otak kita. Kemudian mereka
menyabot otak kita. Dan kita akan berada di bawah kendali mereka.
Sepenuhnya, tanpa kecuali.
Mereka bisa membongkar semua kenangan kita kapan saja
mereka mau. Tidak ada lagi tempat yang pribadi. Tidak ada lagi
rahasia. Tidak ada jalan keluar. Mereka menguasai setiap mimpi dan
pikiran dan keinginan dan harapan.
Otak kita menjadi otak mereka. Milik mereka. Merekalah yang
membuat kita mengangkat tangan atau membungkuk. Merekalah yang
menyebabkan kita menoleh dan memandang ke arah tertentu.
Merekalah yang menyuruh kita makan, dan pergi ke kamar mandi.
Dan karena mereka menguasai setiap pikiran kita, mereka
mampu berpura-pura menjadi kita. Tanpa cela. Mereka bisa meniru
kita sambil tetap menjadi diri sendiri.Teman-teman kita takkan pernah
tahu. Kita sendirian, terjebak, terperangkap di dalam tubuh kita
sendiri. Kita tidak sanggup mengambil keputusan yang paling sepele
sekali pun. Kita tidak sanggup berbuat apa pun pada waktu kita
mengkhianati orang-orang yang kita sayangi. Kita tidak sanggup
memperingatkan orang-orang yang menjadi sasaran berikut bangsa
Yeerk. Pengendali. Itulah sebutan untuk seseorang yang telah dikuasai
kaum Yeerk. Pengendali-Manusia. Sebetulnya bukan cuma manusia,
karena masih ada spesies lain yang menjadi korban kaum Yeerk.
Bangsa Hork-Bajir diperbudak. Begitu pula bangsa Gedd. Dan
bangsa Taxxon, meskipun cacing-cacing busuk dan jahat itu menjadi
budak dengan sukarela. Kami juga mendapat kabar bahwa kaum
Yeerk sedang mengincar bangsa yang dikenal sebagai bangsa Leeran.
Dan kini mereka menyerang Bumi, sementara umat manusia
tetap menjalani hidup seperti biasa tanpa menaruh curiga. ini mungkin
mirip penyakit kanker. Kita tidak sadar bahwa tubuh kita digerogoti
tumor sampai semuanya terlambat. Jadi sekarang kau sudah tahu
kenapa aku berhati-hati. Kenapa kami menyembunyikan jati diri kami
yang sebenarnya. Kau tentu ingin tahu siapa yang kusebut kami" Kami kelompok
Animorphs. Lima anak yang diberi kemampuan menjelma sebagai
binatang apa saja yang bisa kami sentuh. Lima anak yang bernasib sial
karena kebetulan berada di tempat Pangeran Andalite bernama
Elfangor mendaratkan pesawat ruang angkasanya yang rusak. Kami
berlima, ditambah adik Elfangor, si Andalite yang bernama AximiliEsgarrouthisthill. Ia biasa kami panggil Ax.
"Pokoknya hebat," Marco menjelaskan, asal saja.
Sore itu kami sedang berjalan melewati hutan. Cuacanya
nyaman. Kami pulang sekolah lebih cepat dari biasanya, karena ada
rapat guru. Aku tidak tahu apa yang dirapatkan, tapi aku tidak
keberatan mendapat libur, biar cuma setengah hari. Matahari bersinar
dan di sana-sini tampak awan putih. Embusan angin terasa hangat tapi
tidak panas. Duduk di ruang kelas pada waktu seperti itu, rasanya
patut disebut kejahatan. Dan karena tidak ada urusan penting yang harus ditangani, kami
bersekongkol untuk melakukan hal yang seharusnya tidak boleh kami
lakukan: menggunakan kemampuan kami untuk alasan pribadi.
Tapi itu tidak mudah, sebab Jake, sepupuku yang merangkap
sebagai pemimpin kami, pasti takkan setuju. Jangan salah sangka,
Jake bukannya sok berkuasa. Ia cuma sangat bertanggung jawab. Di
antara kami harus ada satu orang yang mau mengemban tanggung
jawab, dan yang jelas bukan aku orangnya.
Kalau ia setuju dengan ide kami yang sebenarnya konyol, maka
kami akan melakukannya. Kalau ia keberatan, kami batal
melakukannya. Atau bisa juga Marco dan aku melakukannya tanpa
memberitahu Jake. Kuncinya adalah bagaimana kami mengemukakan ide itu.
"Sekarang kau tahu kan, Jake?" ujar Marco. "Sekarang kaulihat
sendiri betapa buta Ax dalam hal kebudayaan Bumi. Menyedihkan!
Rasanya aku ingin menangis. Dia tidak tahu apa-apa. Sama sekali. Dia
sudah berbulan-bulan di Bumi, tapi apakah dia sempat mengenal
kebudayaan manusia" Belum. Ini menyedihkan. Mengherankan.
Memalukan. Ini..." "Ah, sudahlah!" Jake memotong dengan ketus. "Coba kuulangi
lagi, biar tidak ada salah paham. Di kota mau dibuka Planet
Hollywood baru. Kau dan Rachel mau ke sana, tapi kalian tidak dapat
tiket. Jadi kalian mau morf dan terbang ke sana. Kalian mau
menggunakan kemampuan kalian untuk urusan pribadi. Begitu kan,
maksudnya?" Aku menggelengkan kepala. "Bukan, bukan begitu. Kami
melakukannya demi Ax. Dia harus diperkenalkan kepada kebudayaan.
Aku sendiri sih tidak peduli soal Planet Hollywood." Aku nyaris tidak
mampu menahan tawa. "Ini peristiwa penting!" seru Marco. "Peristiwa amat sangat
penting. Pasti banyak bintang terkenal! Selebriti! Jutawan! Cewek
cantik! Ini kesempatan seumur hidup bagi Ax untuk melihat Bruce
dan Demi!" Cassie ketawa cekikikan, lalu berusaha pasang tampang serius.
Tobias, anggota lainnya dalam kelompok kami, melayang sekitar tiga
puluh meter di atas kami, di tengah embusan angin yang hangat. Ia
berjaga-jaga terhadap siapa saja yang mungkin mendekat dan melihat
bahwa kami berjalan-jalan bersama Andalite.
Oh ya, seandainya kau belum pernah melihat Andalite, dan
pasti belum, mereka mirip rusa kekar berbulu biru tanpa mulut,
dengan sepasang mata tambahan pada ujung dua tangkai di atas
kepala, sepasang lengan kurus yang mirip lengan manusia, dan ekor
seram yang mirip ekor kalajengking.
Karena itulah kami senang Tobias berada di atas untuk
mengawasi keadaan. Dengan mata elang yang tajam ia takkan
membiarkan siapa pun mendekati kami secara diam-diam.
Jake mengangguk ke arah Marco. Ia sama sekali tidak terkesan.
Kemudian ia menatapku sambil mengerutkan kening. "Dan
menurutmu kebudayaan manusia yang pas untuk Ax adalah Bruce
Willis main harmonika" Ayo, terus terang saja. Kenapa kau begitu
ngotot, Rachel?" "Ini soal kebudayaan... Oke, salah satu mata acaranya adalah
peragaan busana. Ralph Lauren. Kau kan tahu bagaimana pendapatku
tentang Ralph Lauren."
"Ya, ampun." "Ditambah lagi...," ujar Marco, lalu terdiam.
"Ditambah apa?" tanya Jake.
Aku menghela napas. "Oke, Lucy Lawless juga bakal hadir.
Tapi bukan karena dia aku ingin ke sana."
Jake tampak bingung. "Lucy Lawless," kata Marco. "Dia bintang film yang bermain
sebagai Xena: Warrior Princess. Idolanya Rachel."
Hah! Jelas Xena bukan idolaku. Itu cuma akal-akalan Marco
saja. Ia menjuluki aku "Xena" untuk membuat kesal. Marco memang
pintar membuat orang kesal. Itu kelebihannya. Kalau saja orang
dibayar untuk bersikap menjengkelkan, Marco sudah lama jadi
jutawan. Tapi ini bukan waktunya untuk bertengkar dengan Marco.
Jake geleng-geleng kepala.
"Dan, oh ya," Marco menambahkan seakan-akan ia baru
teringat sesuatu, "aku tahu kau takkan tertarik, Jake, tapi salah satu
bintang tamu adalah Mr. O'Neal. Mr. Shaquille O'Neal."
"Shaq?" "Shaq." "Hmmm....kalau begitu kita ke sana," sahut jake.
Chapter 2 KAMI mendapat tempat yang paling payah pada acara
pembukaan Planet Hollywood. Jarak dari tempat kami ke panggung
utama paling tidak tiga ratus meter. Tiga ratus meter itu kira-kira tiga
kali panjang lapangan bola ditambah sedikit.
Tapi kami bisa melihat semuanya.
Aku bisa melihat ludah bercipratan waktu Bruce Willis
memainkan harmonikanya. Aku bisa melihat bulu hidung Arnold. Aku
bisa melihat tali sepatu Shaq. Aku bisa melihat setiap kancing pada
semua baju Ralph Lauren. Aku bisa melihat pori-pori Naomi
Campbell. Tapi ia tetap kelihatan cantik.
Aku bermata rajawali, rajawali bondol. Dan bagi rajawali
bondol, jarak tiga ratus meter tidak berarti apa-apa.
Kurentangkan sayapku yang lebarnya hampir dua meter, dan
kulengkungkan ujung sayap bagaikan jari berbulu. Seketika tubuhku
terangkat aliran udara hangat dari bawah.
Di sekelilingku, pada ketinggian yang berbeda-beda, ada
sepasang elang laut, seekor alap-alap macan, seekor elang jenis
northern harrier, dan seekor elang ekor merah.
Goodman.> Tobias terperangkap dalam wujud elang ekor merah. Ia hidup,
berburu, dan membunuh sebagai burung pemangsa. Kemampuan morf
telah diperolehnya kembali, dan ia bahkan bisa kembali ke wujud
aslinya sebagai manusia. Tetapi wujud manusianya itu sama saja
dengan semua morf lain: Kalau Tobias mengambil wujud tertentu
lebih dari dua jam, maka ia akan terperangkap untuk selama-lamanya.
Kemampuan morf-nya akan hilang.
Pertunjukan di bawah dilakukan di panggung raksasa di udara
terbuka. Penonton berkerumun di depan panggung, berdesak-desakan,
saling dorong sambil bermandikan keringat. Dan penampilan mereka
tidak bisa disebut menarik. Habis, yang kelihatan dari atas Cuma
kepala melulu. Bulatan-bulatan berambut. Dan percayalah, banyak
orang yang mestinya malu dengan potongan rambut mereka.
Planet Hollywood terletak di pusat kota di tepi sungai. Gedunggedung jangkung
menjulang tinggi di sekelilingnya. Pencakar langit
dengan lima puluh dan enam puluh tingkat. Aku memandang ke
jendela-jendela dan melihat bahwa masih banyak orang di kantorkantor. Mereka
menyaksikan acara di panggung dengan bantuan
teropong.
sebagai manusia lagi, kau dan Xena bisa adu jago. Coba kita lihat
siapa sebenarnya yang paling hebat.>
Sejenak ingin rasanya kuberi pelajaran pada Marco. Ia
berwujud elang laut. Elang laut termasuk burung yang besar. Tapi
dibandingkan rajawali bondol tidak ada bedanya dengan ayam. Aku
tinggal menukik, melesat melewati dirinya, lalu menabraknya dari
bawah sehingga ia jumpalitan di udara.
Tapi jangan, ah. Itu tidak baik.
Aku berputar jauh dan mendekati Kenny Building, salah satu
pencakar langit dengan dinding kaca yang licin dan megah. Letaknya
hampir tepat di tepi sungai, terpisah dari air hanya oleh jalan empat
lajur dan jalur hijau. Kacanya diberi lapisan khusus sehingga mata
manusia tidak bisa melihat ke dalam. Tapi mata rajawali bondol
diciptakan untuk memburu ikan. Pandangan mereka bisa menembus
permukaan air, dan kaca mirip sekali dengan air.
Aku melihat seorang laki-laki di ruangan kosong di lantai kedua
dari atas. Enam puluh lantai di atas permukaan tanah. Aku tidak tahu
kenapa, tapi ia menarik perhatianku. Aku membelok dan kembali
melayang ke arahnya. Dan persis pada saat itulah ia mengangkat kursi berkerangka
logam dan melemparkannya ke jendela.
Byar! Kacanya pecah berantakan dan berjatuhan ke bawah.
Pecahan-pecahan besar menembus atap mobil yang sedang diparkir.
mungkin ada alasan lain kenapa aku memanggilnya.
Tapi Cassie rupanya juga telah melihat apa yang terjadi.
Orang itu telah mengambil ancang-ancang dan kini berlari ke
arah jendela yang pecah.
bawah, atau menukik dari atas, atau melaju dari ketinggian yang sama.
Orang itu berlari kencang-kencang. Ia mengulurkan tangan
untuk menyingkirkan pecahan kaca yang masih menempel. Dan
kemudian ia melompat, dengan kaki lebih dulu.
Chapter 3
Animorphs - 17 Menembus Gua Bawah Tanah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ANGIN kencang menerpa wajahku. Kumanfaatkan segenap
naluri terbang yang dimiliki rajawali untuk menambah kecepatan.
Tapi apakah cukup" Aku bisa dibilang berhadap-hadapan dengan orang itu ketika ia
melompat dari jendela. Sesaat ia seolah-olah tergantung di udara,
seperti dalam film kartun. Kemudian ia mulai meluncur turun.
Kubuka cakarku lebar-lebar, kurentangkan kakiku ke depan dan
kuraih secarik kerah baju orang itu. Seketika aku ikut terseret ke
bawah. Cepat-cepat aku mencengkeram tulang dadanya dengan
kakiku yang satu lagi. Kurasa aku menggores kulitnya cukup dalam,
tapi aku yakin luka itu jauh lebih ringan dibanding masalah yang
dihadapinya. Kurentangkan sayapku, tapi rasanya tak ada bedanya dengan
membuka payung. Kecepatanku mungkin berkurang satu kilometer
per jam. Tak lebih dari itu.
Lalu Tobias muncul bagaikan peluru kendali. Langsung
diraihnya lengan kiri orang itu. Setelah itu giliran Jake, dalam wujud
alap-alap macan yang luar biasa cepat. Ia menyambar bagian belakang
kerah baju orang itu. Kecepatan jatuhnya sudah mulai berkurang. Tapi tetap belum
cukup.
Kali ini kumaafkan Tobias karena menyebut kami bodoh.
Untuk urusan terbang, dialah ahlinya. Lagi pula situasinya memang
agak tegang. "Aaaaahhhhhhhh!" jeritan orang itu begitu mendadak sehingga
aku nyaris melepaskannya. Ia menatapku dari dekat, mata kirinya
kira-kira dua sentimeter dari mata kananku. Ia tampak seperti pria
berumur setengah baya yang normal. Hanya saja ia sedang menjeritjerit ketakutan.
Cassie dan Ax tiba. Keduanya langsung ikut membantu. Marco
datang paling akhir. Satu-satunya bagian yang masih bisa disambar
adalah punggung jas yang dikenakan orang itu.
Enam burung pemangsa mencengkeram pria itu. Ia masih
menjerit-jerit. Tapi lajunya sudah mulai berkurang.
Jatuhnya sudah bertambah lambat. Masih terlalu cepat kalau
sampai terempas ke aspal. Tapi sudah lebih lambat.
Dan ia juga bergerak maju. Sedikit demi sedikit ia mendekati
tepi sungai. Kami terus meluncur. Sambil maju perlahan. Rasanya aku ingin ketawa. Ini seperti soal geometri saja.
Jumlah panjang dua sisi pangkat dua sama dengan... mungkinkah
kami berhasil" Permukaan tanah mendekat dengan cepat. Mobil-mobil melesat
dengan kecepatan seratus kilometer per jam. Lalu ada jalur berumput.
Wah, dekat sekali. Tinggal lima belas meter!
Tepi sungai!
mendadak terbebas dari beban, aku langsung jumpalitan di udara, tak
terkendali. Aku mengepakkan sayap, berputar, mengepak lagi, dan
secara ajaib berhasil menyeimbangkan diri.
Oh. Jadi itu yang dimaksud Tobias dengan "sentakan balik".
ZOOOOM! Aku meluncur rendah di atas permukaan air.
Saking rendahnya, dadaku basah terkena puncak gelombang.
Aku merentangkan sayap lebar-lebar, lalu memanfaatkan angin
dari depan untuk kembali naik ke angkasa.
Aku berputar dan mencari pria tadi. Ia tidak kelihatan di
permukaan air. Aku memandang ke air sungai yang keruh dan
berlumpur. Orang itu ternyata berada tiga meter di bawah permukaan.
Ia mengayun-ayunkan tangan dengan liar. Tampangnya ketakutan,
dan gelembung udara keluar dari mulut dan hidungnya.
biasa berurusan dengan air.> Langsung saja aku menukik dan masuk
ke dalam air. Rasanya mengejutkan. Tadinya aku dikelilingi udara
hangat, tahu-tahu aku sudah berada di dalam air yang dingin.
Tapi kemudian aku mulai bingung. Rupanya aku tidak bisa
mengepakkan sayap. Tadinya kupikir aku bisa terbang di dalam air.
Ternyata aku keliru. Sesekali rajawali memang menyambar ikan di
dekat permukaan, tapi itu tidak berarti rajawali sama dengan bebek.
kembali ke wujud asli dulu. Baru setelah itu kita bisa beralih ke wujud
yang baru. Jadilah aku burung basah kuyup di bawah air yang hanyut
terbawa arus. Paru-paruku mulai serasa terbakar.
Aku morf secepat mungkin. Prosesnya semakin cepat karena
terdorong rasa takut. Begitu aku merasakan lengan dan kaki manusiaku muncul, aku
berjuang untuk naik ke permukaan. Batas antara air dan udara tampak
berkilau keperakan di atasku, dan aku menggunakan anggota tubuhku
yang tengah bermutasi - dan masih berbentuk setengah burung
setengah manusia - untuk berenang menuju udara.
Akhirnya wajahku menyembul di permukaan.
"Aaaarrrgghhh!" seseorang memekik.
"Ya Tuhan, apa itu?"
Rupanya ada perahu motor kecil dengan beberapa penumpang.
Mungkin mereka sedang mendengarkan musik dari Planet Hollywood.
Aku menarik napas dan kembali menyelam.
"Jangan-jangan mayat terapung!"
Huh, pikirku, moga-moga tebakan mereka tidak menjadi
kenyataan. Aku memusatkan pikiran untuk menjelma sebagai lumbalumba. DNA-nya sudah ada
dalam tubuhku, dan aku juga sudah
pernah berubah menjadi lumba-lumba.
Kini wujudku merupakan campuran antara manusia dan lumbalumba. Kulit seperti
karet abu-abu dengan sepasang kaki menyatu dan
membentuk ekor, sementara tanganku berubah menjadi sirip.
Aku melesat ke arah pria malang yang berusaha bunuh diri tadi.
Tapi sekarang aku tak lagi kasihan padanya, tapi malah agak kesal.
Kenapa sih orang harus bunuh diri" Hanya orang tolol yang tidak mau
mengerti bahwa selama hidup kita tetap punya harapan, sedangkan
kalau mati kita tidak punya apa-apa.
Kecuali itu, gara-gara dia aku tidak bisa menonton peragaan
busana. Ia tampak aneh waktu aku mendekatinya. Kakinya sempat
terbenam lumpur sampai ke paha. Ia berusaha membebaskan diri,
tetapi lumpur masih menyelimutinya sebatas lutut.
Dan sekarang ia diam, tak bergerak. Tapi aku bertekad untuk
menyelamatkan si manusia egois yang konyol itu.
Kutempelkan moncongku ke punggungnya. Kemudian aku
mendorongnya pelan-pelan sehingga ia hampir terbaring di atasku,
dan setelah itu kuayunkan ekorku dengan sekuat tenaga.
Ia berhasil kubebaskan diiringi bunyi shwoooop dan cipratan
awan lumpur. Aku mendorongnya ke permukaan lalu membawanya
ke tepi sungai. Sepasang lengan manusia meraihnya dan menariknya ke tepian.
Sepasang lengan manusia yang kuat sekali.
Chapter 4 "WAH ini dia," aku mengomel keesokan hari, ketika kami
berkumpul di food court di mall. Aku membawa koran USA Today.
Kecuali itu aku juga membawa koran kota kami dan beberapa terbitan
lainnya. Semuanya memperlihatkan foto yang sama. Dan semuanya
memasang judul utama yang bunyinya kurang-lebih juga sama:
Schwarzenegger Pahlawan Sejati: Memberi Pernapasan Mulut
pada Pria yang Tenggelam Koran lain menulis: Terminator Menjadi Penyelamat
"Masyarakat kita terlalu gila selebriti," ujarku. "Semuanya
begitu dangkal." "Yeah, aku juga sebal," Cassie menimpali. Ia menatapku
dengan pandangan jail. Menurut Cassie aku terlalu memikirkan soal
penampilan dan pakaian. Cassie sahabat karibku dan aku mau
berkorban nyawa untuk dia, tapi coba kalau kau tahu bagaimana ia
biasa berpakaian. Untuk Cassie, berdandan berarti memakai jeans
bersih dan kaus kaki yang memang berpasangan.
"Kita beruntung," kata Jake. "Tidak ada yang memotret
kawanan burung pemangsa yang membawa orang itu ke sungai. Dan
tidak ada yang heran melihat lumba-lumba begitu jauh dari laut."
"Orang itu juga beruntung," balas Cassie.
Marco menggelengkan kepala. "Beruntung bagaimana" Kalau
dia memang beruntung, dia seharusnya mendapat pernapasan mulut
oleh Naomi Campbell."
"Mana roti kayu manis?" tanya Ax. "Tobias bilang dia mau
bawa. Roti kayu manis. Maniiizzz."
Ax tentu saja dalam wujud manusia, sebab kehadiran Andalite
di tengah food court tentu takkan luput dari perhatian orang. Tapi Ax
yang asli tidak memiliki mulut. Ia juga tidak bisa mengucapkan bunyibunyian. Dan
yang paling parah, ia tidak punya indra pengecap.
Jadi kalau ia sedang dalam morf manusia, ia jadi gila rasa dan
gila bunyi. Terutama rasa. Dan entah kenapa, kayaknya ia suka banget
roti kayu manis. "Kira-kira bagaimana nasib George Edelman setelah ini?" tanya
Cassie. "Siapa?" Ia menatapku sambil geleng-geleng. "Orang itu. Orang yang
kauselamatkan di sungai semalam, Rachel."
"Oh. Jadi itu namanya?"
"Masa kau baru tahu" Namanya kan tercantum di semua artikel
koran," balas Cassie.
Aku angkat bahu. "Oke, oke. Jadi namanya George Edelman.
Memangnya kenapa?" Cassie mencondongkan badan ke depan. "Rachel,
kauselamatkan nyawa orang itu. Tanpa kau, kami pasti terlambat
melihatnya. Tanpa kau, dia pasti sudah tewas. Kauselamatkan nyawa
manusia. Siapa tahu setelah ini dia menemukan obat kanker atau
sebagainya. Dan kau tidak ingat namanya?"
Mendengar ocehan Cassie, kupikir mungkin memang ada
baiknya aku mengetahui nama orang itu. Lagi pula... "Hei, tunggu
dulu. Orang itu tidak ada hubungan denganku," kataku. "Aku tidak
bertanggung jawab atas perbuatannya."
Marco ikut bicara. "Belum tentu. Kalau tidak salah, orang Cina
bilang kalau kita menyelamatkan seseorang, maka orang itu menjadi
tanggung jawab kita. Atau mungkin orang Jepang yang bilang begitu,
ya" Atau orang Yunani" Entahlah. Aku tahu dari film."
Aku kembali angkat bahu. Aku merasa aku harus membela diri.
"Sebenarnya aku cuma iseng. Aku cuma ingin tahu apakah kita
mampu melakukannya. Aku menganggapnya sebagai..." Aku berusaha
mencari kata yang tepat. "Tantangan. Ya, sebuah tantangan."
Tobias datang membawa roti kayu manis. Sepotong roti kayu
manis berukuran besar. Dengan lapisan gula dan aroma kayu manis
yang merangsang selera. Mata manusia Ax langsung terbelalak. Mulutnya ternganga.
Aku mengerutkan kening. Wujud manusia Ax tersusun dari DNA
Cassie, Jake, Marco, dan aku. Jadi setiap kali melihatnya, rasanya,
seperti melihat sesuatu yang kita kenal baik. Mungkin mulut kita
sendiri, atau matanya Marco.
Tobias menaruh piring di tengah meja. "Kita semua boleh gigit
sekali, dan sisanya untuk..." Ia terdiam dan menatap Ax dengan
pandangan geli bercampur heran.
Ax telah meraih roti, berikut piring dan garpu plastik.
Selanjutnya ia jejalkan semuanya ke dalam mulut. Rotinya dan
piringnya dan garpunya. Rotinya yang besar dan piringnya yang kecil.
Aku mengulurkan tangan dan menyambar ujung garpu plastik
itu. Setengahnya sudah ada di dalam mulut Ax. Cepat-cepat aku
menariknya keluar. Tapi piringnya tak bisa diselamatkan lagi.
Selama beberapa menit berikut kami berlima cuma duduk
membisu sambil memperhatikan Ax mengunyah dan menelan dan
mendorong-dorong dengan ujung jari. Rasanya seperti menonton ular
sanca yang sedang memangsa babi kecil.
"George Edelman, hmm?" ujarku untuk memecahkan
keheningan. "Yeah," kata Jake. "Tapi untuk sementara kita semua harus
memperhatikan berita di TV dan koran-koran. Kita perlu tahu apakah
ada yang sempat melihat... kegiatan... kita. Dan mudah-mudahan saja
George Edelman bisa tutup mulut."
"Orang pasti akan menyangka dia gila," Marco berkomentar.
"Tak ada yang mau mendengarkan omongan orang yang coba-coba
bunuh diri." Chapter 5 TIGA hari kemudian. Di rumahku. Rumahku yang belum
sepenuhnya selesai diperbaiki.
"Jordan! JORDAN!"
Itu aku yang berteriak. Aku di dapur. Aku baru saja membuka
lemari es dan menemukan kotak berisi sisa makanan Cina telah
lenyap. "Jor-DAN! Dasar maling!"
"Ada apa, sih?"
Aku berpaling dari lemari es dan menabrak meja dapur.
Dulunya dapur kami tidak seperti ini. Tapi dapur kami yang dulu,
hancur berantakan tertimpa kamarku yang roboh.
Mungkin konstruksinya memang kurang baik. Dan mungkin
juga tidak seharusnya aku berubah jadi gajah Afrika di kamar tidur.
Untung saja tak ada yang tahu soal itu, selain aku.
Yang jelas, kami bakal mendapat dapur yang jauh lebih gaya.
Ibuku pengacara dan ia berhasil membuat perusahaan asuransi segera
membayar ganti rugi. Dan kontraktor yang dulu membangun rumah
kami begitu waswas akan ada kejadian heboh lagi, sehingga ia mau
membuatkan dapur baru tanpa dibayar.
Sebenarnya aku merasa tidak enak karena si kontraktor yang
disalahkan. Tapi aku harus bilang apa" "Mom, akulah yang salah.
Masalahnya, aku lagi morf jadi buaya, tapi ternyata aku alergi, dan
akibatnya aku berubah tak terkendali sehingga..." Terbayang kan,
bagaimana hasilnya nanti.
Tapi sudahlah. Pokoknya aku menabrak meja dapur, dan
dengan susah payah melawan keinginan untuk mengucapkan kata-kata
kasar yang tidak pantas kutulis di sini. Tapi aku sudah keburu kesal,
dan sekarang aku kesal ditambah memar di pinggang, jadi aku
langsung menuding muka adikku sambil berseru, "Kau! Kau makan
udang Szechuan-ku! Padahal sengaja kusimpan. Biar bisa dimakan
Animorphs - 17 Menembus Gua Bawah Tanah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekarang, tahu!" Beberapa tahun lalu Jordan pasti ketakutan. Tapi ia sudah lebih
besar sekarang, dan sudah lebih mandiri. Juga lebih pintar menjawab.
"Rachel, udangmu sudah kuambil kemarin. Terus kubuang."
"Apa" Udang Szechuan-ku kaubuang" Kau selalu mengotakatik sisa makananku."
Perlahan-lahan ia menggelengkan kepala, seakan-akan kasihan
padaku. "Itu kan sudah seminggu di lemari es, lagi. Sudah basi, lagi.
Kau bisa muntah-muntah, lagi, kalau makan udang itu."
"Seharusnya kautanya aku dulu!" aku berseru jengkel.
"Oke, Rachel," balas Jordan dengan tenang. "Apakah sisa
makananmu yang busuk dan penuh bakteri dan jamur harus kubuang
seperti yang diminta Mom, atau lebih baik kubiarkan saja supaya kau
memakannya dengan akibat isi perutmu harus dipompa keluar?"
Hmmm. Kalau begini memang lain soal. Huh, aku paling sebal
kalau ada yang bisa mengalahkanku. Tapi kali ini aku gagal mencari
balasan yang telak. Karena itu aku berkata, "Kali ini kubiarkan kau
lolos." Jordan memutar bola mata. "Makasih, makasih, Ratu Rachel.
Betapa senangnya aku karena kau membiarkanku hidup."
Mom masuk sambil membawa dua tas kerja. Yang satu
berukuran biasa. Yang satu lagi lebih besar dan berbentuk persegi. Ia
meletakkan keduanya di atas meja.
Ia kelihatan letih, seperti biasa kalau pulang kantor.
Kedudukannya di kantor tidak terlalu tinggi, jadi ia harus bekerja
terus. Tapi ia menatap kami sambil tersenyum lebar. "Hei! Ucapkan
selamat dong! Aku jadi selebriti. Kalian sudah makan" Bagaimana
sekolah tadi" Di mana Sarah" Dan jangan katakan dia di rumah Tisha
lagi. Setiap kali pulang dari sana, Mom harus membelikan boneka
Barbie baru untuknya."
"Di sekolah semuanya lancar," sahutku. "Kami belum makan
malam. Apa aku perlu masak sesuatu?"
"Atau kita pesan makanan saja," Jordan menimpali sambil
nyengir. "Rachel pasti minta udang basi yang bau busuk."
"Mom! Mom!" seru Sarah. Ia masuk dapur lewat pintu
belakang. "Kata Tisha ada Barbie yang jadi pengacara! Barbie
pengacara! Seperti Mom!"
"Apa maksud Mom soal selebriti tadi?" tanyaku.
"Ah, Mom hanya bercanda. Kalian tahu orang yang masuk
koran beberapa hari lalu" Orang yang diselamatkan oleh Arnold
Schwarzenegger" Dia sempat masuk TV dan CNN."
"Schwarzenegger?"
"Bukan, orang yang diselamatkannya. Coba tebak, apa yang
terjadi" Mom jadi pengacaranya. Keluarganya menganggapnya tidak
kompeten. Dia dianggap tidak mampu mengurus diri sendiri."
"Dengan kata lain, mereka menganggapnya sinting," aku
menerjemahkan. "Jangan bilang sinting dong," ujar Mom sambil meringis.
"Istilah yang tepat adalah tidak seimbang secara mental. Keluarganya
minta dia dimasukkan ke panti perawatan untuk selama-lamanya."
"Terus, apa tugas Mom?" tanyaku. "Membuktikan dia tidak
sinting" Nyatanya memang begitu, kan" Kalau waras, masa dia
melompat dari jendela di puncak gedung pencakar langit?"
"Barbie pengacara pasti bisa menyelamatkan dia," Sarah
menimpali. "Keadaan sebenarnya sedikit lebih gawat," ujar Mom sambil
mengangkat Sarah dan menggendongnya. "Tampaknya orang malang
itu yakin ada makhluk asing di dalam kepalanya."
Jantungku langsung berdegup kencang tiga kali. Lalu berhenti.
"Dia selalu nyerocos soal Yerk atau York, pokoknya semacam
itulah." Chapter 6 "JADI inilah tempatnya orang-orang sinting," Marco berkata
dengan puas ketika kami menatap bangunan berlantai dua di atas bukit
itu. Bangunannya cukup bagus, tapi suasananya terlampau tenang.
"Dari dulu aku sudah tahu aku bakal masuk ke sini."
Ia mengedipkan mata padaku. Mau tidak mau aku ketawa.
Tadinya aku mau melontarkan lelucon tentang dirinya, tapi ternyata ia
lebih cepat. Cassie menghela napas. "Kurasa para pasien takkan suka
disebut sinting," ujarnya.
"Tentu saja tidak," aku membenarkan. "Hanya orang sinting
yang mau disebut sinting."
Diam-diam Marco dan aku ber-low five di balik punggungku.
Cassie menatapku. "Eh, rasanya aku baru saja mendengar
burung itu bicara. Jangan-jangan aku sudah sinting."
Kami semua ketawa. Termasuk Jake, yang seperti biasa
berusaha agar kami bersikap serius. Dan seperti biasa pula ia gagal
total. Kami berkumpul di dekat Pusat Perawatan Kesehatan Mental
Rupert J. Kirk, sebuah bangunan berlantai dua dari bata merah. Di
muka pintu depan ada air mancur kecil dan banyak pohon rindang
serta kursi-kursi taman di rumput. Suasananya seperti di panti werda,
atau di gedung apartemen yang sudah agak tua. Hanya saja semuanya
dikelilingi pagar kawat. Dan bagian atas pagar diberi lilitan kawat
berduri. Dan di depan semua jendela ada penghalang dari kawat
anyam yang kokoh. Tapi, di samping itu semua, suasana di sana
kelihatan cukup menyenangkan.
"Siapa lagi yang merinding selain aku?" tanya Cassie.
Aku mengangkat tangan. "Apa itu merinding?" tanya Ax. Ia sedang berwujud manusia.
menjelaskan.
"Aku setiap hari merasa begitu saat tiba di gerbang sekolah,"
gumam Jake. "Sekolah, rumah sakit jiwa, sebenarnya apa sih bedanya?" tanya
Marco dengan gaya ahli filsafat. "Kedua-duanya punya peraturan
konyol dan makanan yang tidak enak."
Jake menganggukkan kepala sebagai isyarat untuk kembali
bergerak. Kami menyusuri trotoar di seberang jalan, menyusuri
deretan mobil yang sedang parkir. Dan anehnya, begitu kami sampai
di rumah sakit jiwa itu, matahari menghilang di balik awan.
Kami terus berjalan, sementara Tobias terbang dari pohon ke
pohon. "Ternyata gampang juga masuk ke sana," ujar Jake. "Cuma ada
pagar dan pintu. Bukan seperti rumah Fenestre atau kolam Yeerk. Ini
sih keciiilll." "Yeah," aku membenarkan. "Kita tinggal masuk, mencari orang
bernama George Edelman, lalu menyelidiki apakah dia tahu sesuatu
tentang Yeerk. Setelah itu Marco ditinggal di sini sementara yang lain
pulang." Jake mengerutkan kening. "Oke, kurasa kita perlu membatasi
jumlah lelucon sinting. Ini serius."
Marco mendengus. "Hah, apanya yang serius?"
"Setiap kali ada sesuatu yang kita anggap enteng, kita pasti kena
getahnya," Jake memperingatkan kami. Ia nyengir lebar. "Hanya
orang sinting yang bersikap sembrono."
Tak ada yang ketawa. "Aku bilang, hanya orang sin... oh, oke. Tak usah ketawa. Ah,
masa bodoh!" "Kita butuh jendela terbuka atau semacam itu," kataku. Aku
memandang ke bangunan itu. Tidak ada jendela terbuka. Di manamana aku melihat
kaca tebal dan kawat anyam.
"Kita tidak boleh menyakiti siapa pun," ujar Jake. "Jangan
gunakan kekerasan. Di dalam sana hanya ada orang-orang tak
berdosa. Kita tidak boleh mengambil risiko melukai salah satu dari
mereka. Tapi jarak ke sana terlalu jauh untuk ditempuh dalam wujud
lalat atau kecoak. Hmmm, kayaknya ini lebih sulit dari yang kuduga."
Tiba-tiba saja, seakan-akan sebagai jawaban atas doa kami,
sebuah truk membelok dan menuju ke samping rumah sakit.
"Apakah itu truk pengantar makanan?" tanya Jake. "Tobias"
Coba kauperiksa." Tobias mengepakkan sayap dan kembali dalam waktu kurang
dari satu menit.
Jake mengangguk. "Oke, aku rasa tiga orang cukup. Kita
menjelma jadi burung, terbang ke truk itu, kembali ke wujud manusia
lalu morf menjadi kecoak. Kita bersembunyi di antara makanan, dan
mereka akan membawa kita masuk. Rachel, kau yang paling
berkepentingan. Kau yang menyelamatkan orang itu. Berarti kau ikut.
Aku juga. Tobias tidak bisa berubah ke wujud yang cocok untuk
urusan ini, sedangkan Ax terlalu mencolok kalau kembali ke
bentuknya yang asli. Berarti tinggal Marco atau Cassie."
Kami melempar keping uang. Marco menang. Kemudian kami
menjelaskan kepada Ax apa maksudnya melempar keping uang itu.
Kami butuh waktu dua puluh menit untuk mendapatkan tempat
untuk morf menjadi burung camar. Burung camar tidak begitu
menarik perhatian seperti burung pemangsa. Sayangnya, satu-satunya
tempat yang kami temukan adalah kontainer sampah. Kontainernya
memang kosong, tapi baunya tetap saja...
Begitu kami telah bersayap putih bersih, kami langsung terbang
keluar. Kami terbang berputar, semakin lama semakin tinggi, sambil
memperhatikan Ax dan Cassie mengumpulkan sepatu dan baju kami.
Kami tetap belum berhasil mengubah pakaian biasa. Setiap kali
kembali ke wujud manusia, kami cuma mengenakan baju yang sangat
ketat. Pakaian senam, misalnya.
Tobias terbang lebih tinggi untuk berjaga-jaga terhadap segala
gangguan yang mungkin timbul.
Kami bertiga menunggu dan mengawasi bagian belakang truk.
Dua pria sedang menurunkan muatan. Yang satu tampak seperti
pengemudi. Yang satu lagi memakai celemek putih, mungkin juru
masak, atau malah staf rumah sakit.
yang diperlukan si sopir truk atau si celemek putih untuk mondarmandir.
dan menukik menuju bagian belakang truk ketika si pengemudi masuk
ke dalam bangunan sambil mendorong kereta berisi beberapa peti
tomat. Jake dan Marco segera menyusul, dan bertiga kami meluncur ke
bagian belakang truk yang gelap. Aku merentangkan sayap dan
menurunkan ekor untuk mengurangi kecepatan. Kemudian aku
memandang berkeliling, dan dengan sisa daya terbangku, aku
melewati tumpukan kardus dan mendarat di baliknya.
Aku cukup senang. Marco dan Jake mendarat di sampingku.
Marco terpeleset dan terguling sampai membentur dinding truk.
menuduhku gegabah. Ia sendiri tidak selalu amat berhati-hati. Di
pihak lain, ia memang pemimpin kami, biarpun tidak resmi. Jadi
mungkin saja ia merasa bertanggung jawab. Tapi menurutku, aku
sendiri yang bertanggung jawab atas diriku.
"Sungguh, aku melihat beberapa ekor burung masuk ke sini,"
terdengar sebuah suara. "Burung" Aku tidak melihat burung. Ayo, bantu aku
menurunkan barang-barang ini. Jam kerjaku sebenarnya sudah habis,
dan di perusahaanku tidak ada uang lembur."
Aku mendengar suara orang mendengus dan kardus diangkat.
Serta-merta aku mulai berubah wujud lagi secepat mungkin.
Chapter 7 JAKE benar. Tempatnya memang sempit. Kami berubah dari
tiga ekor burung - masing-masing berukuran lebih kecil dari ayam menjadi tiga anak muda. Kami saling desak dan saling impit, dan
penampilan kami jauh dari menarik. Tangan dan jari Marco baru
menyembul dari tengah bulu-bulu, ketika tulang lengannya mulai
memanjang. Akibatnya ujung jarinya menyodok mataku.
Aku berusaha memalingkan wajah. Tapi kepalaku cuma sebesar
jeruk, sedangkan kedua mataku berada di bagian samping kepala dan
paruhku terjepit di antara dua peti sehingga aku sulit bergerak.
Tiba-tiba punggungku terasa nyeri, dan aku langsung waswas.
Jangan-jangan aku kesakitan karena tulang-belulangku bergeser
semuanya" Seharusnya aku tidak merasakan apa-apa berkat teknologi
Andalite, tapi bagaimana kalau ada yang tidak beres" Nyerinya
lumayan juga, seperti kalau... ehm, kalau lutut seseorang menyodok
punggung kita.
tak lagi bisa berkomunikasi melalui bahasa pikiran, karena kami sudah
semakin menyerupai wujud manusia.
Dalam beberapa detik saja kami sudah berdesak-desakan
bagaikan ikan sarden dalam kaleng. Aku benar-benar tidak bisa
bergerak. Lutut dan siku dan kepala kami tumpang-tindih.
"Ini keterlaluan," aku bergumam.
"Cepat, berubah jadi kecoak," bisik Jake sambil menahan sakit.
Sebenarnya aku tidak suka morf jadi serangga. Tapi kali ini usul
Jake kusambut dengan gembira. Kali ini aku memang ingin berubah
sekecil mungkin. Langsung saja kubayangkan seekor kecoak. Dan serta-merta aku sendiri tidak mengerti bagaimana caranya - bayangan itu memicu
DNA kecoak yang telah kuserap untuk mengubah semua sel dalam
tubuhku. Seekor kecoak tentu saja kecil sekali dibandingkan manusia.
Aku bakal mengerut sampai setengah ukuran jempolku. Menurut Ax,
sisa massa tubuhku berpindah ke Zero-space dan menggumpal di sana.
Sementara aku berubah jadi kecoak, sementara tubuhku
semakin kecil, semakin banyak bagian diriku diparkir di ruang antah
berantah yang serbaputih dan kosong melompong.
Terus terang, aku lebih suka tidak memikirkan hal itu.
Bagusnya proses metamorfosis yang kulalui begitu menjijikkan,
sehingga aku tidak sempat berpikir macam-macam.
Tubuh kami memang semakin kecil, tapi kami masih cukup
besar ketika ciri-ciri kecoak mulai bermunculan. Kaki-kaki tambahan,
misalnya. Dua kaki tambahan muncul dari dadaku, seakan-akan memang
seharusnya berada di situ. Mula-mula kelihatannya cuma seperti
sepasang tongkat sepanjang beberapa sentimeter. Tapi semakin lama
keduanya semakin besar dan berbulu. Perubahan itu terjadi hampir
bersamaan pada kami semua.
SPLOOOT! SPLOOOT! SPLOOOT! Masalahnya, tubuh kami belum mencapai ukuran kecoak yang
sebenarnya. Proses metamorfosis tidak sepenuhnya bisa diramalkan.
Banyak hal ganjil terjadi secara tak terduga. Kami bertiga masih
sebesar anjing spanil ketika kaki-kaki tambahan mulai, tampak.
Animorphs - 17 Menembus Gua Bawah Tanah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Segera sesudahnya muncul antena panjang di kening masing-masing.
Kakiku yang asli mulai berubah bentuk. Tanganku juga.
Wajahku tampil beda, dan inilah yang paling parah. Apalagi kalau kita
terpaksa melihat cerminan diri kita. Wajah Marco hanya sejengkal di
depanku ketika sepasang mata serangga menyembul dan bagian
bawah wajahnya terbelah dua dan menjelma membentuk mulut
kecoak. Aku sudah sering berubah wujud, tapi setiap kali aku tetap
serasa bermimpi buruk. Kardus di bawahku seakan membesar. Semuanya menjadi
begitu luas sehingga aku tak lagi bisa melihat Jake. Marco tampak
sebagai bayangan samar di seberang lapangan karton licin berwarna
cokelat muda. Aku memanggil yang lain dengan bahasa pikiran.
Semula aku tidak memperhatikan kardus itu, sehingga aku tidak
tahu apa isinya. Tapi lalu aku melihat celah yang tampak seperti dua
meter lebarnya. Lebar sebenarnya paling-paling dua sentimeter. Tapi
untuk seekor kecoak itu sudah lebih dari cukup. Kecoak bisa melewati
celah yang lebarnya hanya setebal keping uang.
Proses metamorfosis sudah hampir rampung. Kulit keras mirip
kuku yang membentuk bagian luar badan kecoak menggantikan sisasisa tubuh
manusiaku. Hati dan jantung dan paru-paru pun menghilang
dan digantikan organ tubuh kecoak yang amat primitif.
Penglihatanku dengan mata kecoak tidak bisa dibilang baik, tapi
aku sudah terbiasa dan aku mampu mengenali lingkunganku dalam
jarak dekat. Lagi pula, aku punya sepasang antena. Keduanya
menerima informasi dengan cara yang merupakan gabungan antara
indra peraba dan penciuman. Aku merasakan arus udara di sekitarku.
Aku merasakan getaran yang timbul ketika si juru masak
mengangkat beban yang berat dan melangkah pergi.
Aku merasakan kehadiran Marco dan Jake, sesama kecoak,
meskipun kehadiran mereka tidak terlalu penting bagi otak kecoakku.
Tapi yang paling utama, aku mencium makanan. Banyak sekali.
Di dekatku. Ada bau manis. Bau yang begitu merangsang. Persis di
bawahku. Aku menggerakkan keenam kakiku dan melesat maju. ZOOM!
Menjelma sebagai kecoak memang menjijikkan, tapi menjadi
kecoak yang sedang berlari betul-betul seru.
Wajah kita cuma satu milimeter dari tanah. Dan rasanya seperti
melaju dengan kecepatan lebih dari tiga ratus kilometer per jam.
Rasanya seolah kita meluncur dengan roket di punggung sementara
hidung kita nyaris menempel di tanah.
Aku melesat ke celah tadi. Sekarang aku bisa melihat Jake dan
Marco lumayan jelas. Kami semua berdiri di pinggir kardus, kami
tidak bisa melihat ke dalam. Yang tampak cuma semacam sumur
besar berbentuk persegi.
Tiba-tiba muncul getaran. Orang-orang tadi kembali, dan aku
merasakan sentakan hebat ketika mereka mendorong ujung kereta
dorong ke bawah tumpukan kardus kami.
kegelapan dan melayang dalam udara yang harum.
Chapter 8 AKU jatuh! Aku meluncur dan meluncur dan meluncur dan meluncur.
Paling tidak sepuluh senti.
Aku mendarat di dasar, hanya saja dasarnya tidak rata.
Permukaannya melengkung dan bersudut. Aku berusaha mendapat
tempat berpegangan dengan cakar-cakar mungil di ujung kakiku, tapi
aku tetap merosot. Jake dan Marco mendarat tidak jauh dariku.
Aku memandang berkeliling dalam keremangan. Aku
bertengger di atas sesuatu yang mirip pipa tetapi sekaligus
melengkung. Dan persis di sebelah kanan pipa melengkung ini ada
pipa serupa. Panjangnya kira-kira sepuluh kali panjang badanku. Dan,
hei! Masih ada banyak lagi. Dan selain berbentuk seperti pipa
melengkung, benda-benda itu juga tampak menyatu di salah satu
ujung, seperti...
menimpali.
mengisi waktu.
saja.>
asalnya. Di Ekuador, atau entah di mana.>
Tebalnya minta ampun.>
di antara pisang" Mereka muncul di palka kapal dan...>
Jawabannya kuperoleh pada saat itu juga. Kardusnya sudah
berada di luar truk, dan seberkas sinar matahari masuk melalui celah
di atas. Pemandangan yang kulihat sungguh ajaib. Lengkungan
tampak di mana-mana. Seolah-olah digambar oleh seseorang yang
sedang keranjingan memakai jangka.
Dan tiba-tiba aku melihatnya. Bertengger santai di ujung sebuah
pisang. Di mataku - dan aku tidak mengada-ada - besarnya tak kalah
dari gajah.
aku bakal menjerit-jerit sementara kau ketawa sampai perutmu sakit">
Agaknya mereka patuh padaku, dan menengok.
mampu bergerak cepat. Tapi tarantula lebih cepat lagi.
Rasanya sulit dipercaya makhluk sebesar itu bisa bergerak
begitu cepat. Tapi mungkin juga si tarantula sudah kelaparan sejak
berangkat dari Ekuador.
Delapan kaki berbulu tampak berkelebat. Pandanganku terpaku
pada paruh raksasa yang mirip paruh elang, serta delapan mata seram
yang mengelompok di wajah besar yang penuh bulu.
Aku yang diincarnya! Aku melesat maju. Aku melompat dengan seluruh kekuatan
kaki kecoak. Di salah satu sudut otak kecoakku, naluri kecoakku
berteriak, Terbang! Terbang!
Aku mengembangkan kulit keras yang menutupi sayapku yang
halus, dan kemudian aku terbang. Aku terbang sebisa-bisanya!
Mungkin lima senti! Kecoak tidak jago ter...
Aku disergap! Sinar matahari mendadak terhalang bayangan.
Bukan bayangan si labah-labah, tapi bayangan yang lebih besar, lebih
jauh. Aku menoleh dan melihat lubang hidung! Sepasang lubang
hidung manusia yang berbulu. Dan di atasnya terdapat sepasang mata
manusia yang tampak cerah.
Aku mencoba kabur, tapi si labah-labah berdiri sambil
mengayunkan kaki depan bagaikan kuda yang ketakutan. Salah satu
kakinya dientakkan begitu cepat sehingga gerakannya tidak sempat
terlihat olehku. Dicengkeramnya kaki tengahku keras-keras. Aku
meronta-ronta, tapi sia-sia.
Sepasang taring raksasa siap menyambar.
Lalu, "Oh! Oh! Aaaarrrggghhh! Labah-labah!"
Semuanya jadi kacau-balau. Pisang-pisang berjatuhan. Kami
berjatuhan, si labah-labah dan aku, dan ia tetap tidak mau
melepaskanku. Pisang-pisang raksasa, masing-masing sebesar pipa
beton untuk saluran air kotor, melayang ke arah kami. Tapi si labahlabah dan aku
pun bergulingan. BHAM! Pisang berjatuhan di sekelilingku. Cahaya matahari terang
benderang di mana-mana. Saking paniknya, si juru masak menjatuhkan tumpukan kardus
dari kereta dorong. Kardus berisi pisang pun terempas ke lantai.
"Hei, kauapakan pisangku?" teriak si sopir truk. Lalu, "Astaga!
Injak saja! Cepat, injak!"
Tubuhku terasa babak-belur karena tergencet pisang yang
berhamburan, tapi si labah-labah tetap tidak mengendurkan
cengkeramannya. Dan sekarang, kepanikan yang menguasai otak
kecoakku ditambah lagi dengan adanya cahaya yang begitu terang.
Lari! teriak otak kecoakku. Lari! Otak manusiaku memberi dukungan.
"Injak saja!" seru seseorang. Suaranya membuat tubuhku
bergetar. Sesosok bayangan besar yang bergerak pelan tampak mendekat
dan mendekat dan mendekat.
PLUUP! Satu pisang meledak karena terinjak sepatu raksasa.
Dan seketika kami bermandikan bubur pisang yang manis dan lengket.
Tapi si labah-labah belum juga rela melepaskanku. Ia
menatapku dengan kedelapan matanya yang menyorot tanpa ekspresi.
Paruhnya yang kelaparan sepertinya sudah tak sabar ingin mencabikcabik tubuhku.
jauh sekali. Terima kasih atas evolusi selama jutaan tahun yang memberi
mata yang begitu tajam kepada elang. Oh ya, betapa aku bersyukur
atas karunia itu.
melihat sepasang cakar yang menyambar si labah-labah dan
membawanya pergi. Aku terus berpegangan pada pisang tempat aku hinggap. Kaki
tengahku copot tertarik si labah-labah, yang tetap nekat
mencengkeramnya. Rasa sakitnya tidak seberapa parah. Kecoak
memang lumayan tahan banting.
Kami segera maju. Aku bergerak sedikit lebih pelan dan
cenderung menyamping akibat kehilangan kaki.
Dan dari jauh di atas aku mendengar Tobias berkata,
Chapter 9
lantai yang kotor.
sudah cukup buatku. Aku tidak berminat mati terinjak.>
Kami semua memang ketar-ketir.
Marco.
Kami ketawa gelisah dan terus berlari menyusuri dinding, ke
arah dapur. Tiba-tiba tampak celah di dinding, dan kami langsung
masuk. Aku senang karena bisa menyingkir dari cahaya yang
menyilaukan. Dan menjauh dari sepatu-sepatu pembawa bencana.
Aku terkejut.
menemukannya. Dia di lantai dua. Di atas dapur, kira-kira enam meter
menyusuri gedung. Dia ada di suatu ruangan, bersama tiga pasien lain.
Mereka memakai baju rumah sakit dan selop, sedang nonton TV.>
terheran-heran. Tak ada yang menjawab.
Bagian dalam dinding merupakan tempat tinggal alami bagi
kecoak. Aku berdiri di atas dasar kayu yang luas.
Serat-serat kayunya bagaikan riak di bawah kaki kecoakku. Di
depanku sebatang paku menyembul. Tingginya seperti wanita
jangkung. Di sebelah kiri dan kananku membentang sisi belakang batu
pelapis - rata, polos, kelabu.
Kami mencoba merayap pada permukaan batu, tapi kaki kami
cenderung terpeleset. Akhirnya kami menghampiri tiang kayu dan
langsung memanjat naik. Dua setengah meter tegak lurus ke atas, dan rasanya bagaikan
terbang saja. Aku merasakan "permukaan" tertinggal jauh di bawahku,
lusinan kali panjang badanku sendiri. Aku tahu aku takkan cedera
seandainya aku jatuh. Namun menempel di tiang kayu sambil
menentang gaya tarik bumi tetap terasa berbahaya.
Kami sampai di ujung tiang, dan aku lega karena menemukan
celah di antara tiang itu dan balok yang mendatar. Kami berada tepat
di bawah lantai. Tapi sekarang ada masalah baru. Celah antara lantai
dua dan langit-langit di bawahnya hampir seluruhnya terhalang
dinding kayu. Namun akhirnya kami berhasil menerobos di antara
ujung-ujung balok yang kasar.
Antenaku bergerak-gerak. Aku berusaha memantau terowongan
panjang yang terbentang di hadapanku. Keadaannya nyaris gelap
gulita. Hanya ada seberkas cahaya dari lantai di atas. Dan setelah
pertemuan dengan labah-labah tadi, aku jadi teramat sangat waspada.
Entah makhluk apa yang bersembunyi di tempat gelap itu.
dihabiskan Ax sebelum dia meledak kekenyangan.>
merupakan langit-langit lantai dasar. Dinding-dinding kayu di kirikananku tampak
Animorphs - 17 Menembus Gua Bawah Tanah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tinggi sekali - sepuluh, dua puluh kali lebih tinggi
dari aku. Tapi tidak lama kemudian kami mencapai tempat terang.
Perasaanku langsung lebih enak. Otak kecoakku justru sebaliknya. Di
hadapan kami tampak tabung besar. Kelihatannya terbuat dari logam,
dan besarnya seperti pohon tumbang. Dua tabung lebih kecil
menempel di tabung pertama, membentuk cabang.
Tahu-tahu ada gerakan dalam gelap!
makhluk apa yang ada di depan kami.
pipa tegak terdekat. Dan dalam beberapa detik saja aku telah
menjulurkan antena dari lubang pembuangan air di tempat cuci
tangan.
Kami keluar dari lubang itu, lalu turun ke lantai keramik yang
putih dan dingin.
Langsung saja aku melintasi lantai, memanjat dinding dan naik
ke kawat anyam yang melapisi jendela. Aku bisa melihat cahaya
terang, tapi aku tidak bisa memandang ke luar.
berada.>
tenang.>
aman. Jangan sampai kalian tanpa sengaja terinjak olehku.>
Aku mulai berubah wujud. Kotak-kotak di lantai keramik semakin kecil. Dalam sekejap
aku telah menjulang tinggi, seperti sulur buncis ajaibnya si Jack.
Tinggiku sekitar setengah meter, dengan kulit berwarna mirip
gula gosong, sepasang antena yang menyembul dari kening, mata
manusia, kaki setengah manusia yang masih penuh bulu tajam, rambut
pirang dan perut lebar berdenyut-denyut berwarna kuning kecokelatan
ketika pintu..kamar mandi membuka.
Seorang laki-laki masuk. Ia memakai selop. Ia menuju toilet,
lalu berhenti. Perlahan-lahan ia berbalik.
Mulut manusiaku baru mulai terbentuk. Bibirku menjelma dari
mulut kecoak yang seperti lumer.
"Hai. Tolong panggilkan George Edelman."
Laki-laki itu mengangguk. "Oke." Ia berpaling ke pintu. Lalu ia
menoleh lagi. "Kau benar-benar ada?"
"Tidak. Aku cuma bayangan dalam khayalanmu."
"Ah. Tunggu di situ. Biar kupanggilkan George."
Chapter 10 AKU sudah sepenuhnya berwujud manusia ketika Mr. Edelman
mengintip dari balik pintu dengan hati-hati.
"Hai," sapaku ceria sambil mengulurkan tangan. "Saya... saya
membantu pengacara Anda menyiapkan kasus Anda di pengadilan."
Ia tampak bingung. Siapa yang tidak bingung" Ia memandang
berkeliling seakan-akan merasa heran dengan kehadiranku di kamar
mandinya. Ia tidak melihat kedua kecoak yang bersembunyi di bawah
tempat cuci tangan. "Siapa kau" Kenapa kau ada di sini?" Kemudian ia menoleh ke
bawah. "Kau tidak memakai sepatu."
"Ya, saya minta maaf atas penampilan saya yang agak..." aku
berusaha mencari istilah canggih seperti "kurang lazim", tapi
sayangnya tak ada yang terpikir olehku. "...Agak aneh."
"Ya. Aneh." Ia menatapku sambil mengerutkan kening.
Kemudian ia menjabat tanganku. "Rasanya tidak pada tempatnya saya
bicara soal 'aneh'."
"Anda mau duduk?" tanyaku sambil menunjuk ke toilet.
"Tidak. Terima kasih." Ia kembali mengerutkan kening, seolaholah hendak berkata,
"Nanti dulu, aku memang sinting, tapi rasanya
ada yang tidak beres." Kemudian ia berkata, "Kau masih muda
sekali." "Terima kasih," sahutku. "Sebenarnya usia saya sudah dua
puluh lima, tapi saya rajin berolahraga, saya makan makanan bergizi,
dan saya selalu memakai krim pelindung sinar matahari, Mr.
Edelman," aku berkata asal bunyi. Dan sebelum ia sempat
mengajukan pertanyaan lain, aku cepat-cepat menduluinya, "Kenapa
Anda mencoba bunuh diri?"
Ia duduk di tepi bak mandi. Aku bersandar pada tempat cuci
tangan dan berlagak seperti wanita dua puluh lima tahun tanpa sepatu
yang kelihatan lebih muda dari usianya. Mr. Edelman menatapku
dengan mata kelabu yang berkesan bingung tapi ramah. Ia berusaha
merapikan rambutnya yang acak-acakan.
Dan kemudian ia berkata, "Saya tidak punya pilihan. Ini semua
karena apa yang ada dalam kepala saya."
Aku mengangguk. "Oke. Baik. Apa yang ada di dalam kepala
Anda?" "Si Yeerk." Ia meringis, seakan-akan sudah yakin bahwa aku
akan ketawa dan menuduhnya tidak waras.
Jantungku langsung berdegup kencang dan aku nyaris lupa
bernapas. Aku menghirup udara dalam-dalam dan berusaha pasang
tampang biasa. "Apa itu, Yeerk?"
Sekali lagi ia terdiam sejenak. Kayaknya ia sudah capek
menceritakan kisah yang tak dipercaya oleh siapa pun. Mungkin juga
ia sedang di bawah pengaruh obat penenang. Keadaan itu mungkin
terjadi di rumah sakit jiwa. Tiba-tiba aku merasa kasihan padanya.
"Mr. Edelman, saya berjanji takkan ketawa. Dan saya takkan
menyuruh Anda minum obat. Dan saya takkan menuduh Anda gila.
Anda bisa menjelaskan apa yang Anda maksud dengan 'Yeerk'?"
Ia mengangguk. "Ya. Yeerk adalah makhluk parasit. Mereka
memasuki otak kita melalui saluran telinga. Mereka mengambil alih
pikiran kita. Mereka..." Tiba-tiba tubuhnya kejang-kejang. Ia berusaha
melipat tangan dan mengendalikan diri. Mulutnya membuka dan
menutup bagaikan boneka yang bisa bicara.
Aku meraih pundaknya untuk menenangkannya. Tapi ia malah
mulai bersuara aneh. Ia mencerocos dengan suara melengking.
Hartanya Penghianat 1 Pendekar Hina Kelana 6 Pusaka Penebus Dendam Pendekar Patung Emas 10