Ceritasilat Novel Online

Konspirasi The Conspiracy 2

Animorphs - 31 Konspirasi The Conspiracy Bagian 2


termasuk seekor tikus yang merangkak di atas pagar seorang tetangga.
Dan ayahku menyirami halaman.
Aku menanyai Tobias.
dia mengeluh.
Aku tersenyum pada diri sendiri. Jawabannya tipikal Tobias sekali.
Dia bertanya.
aku mengakui. tuh. Dan aku di tengah-tengah.>
Tobias tidak mengatakan apa-apa. Aku memerhatikannya. Posisinya lebih tinggi
daripadaku, mungkin sekitar dua ratus yard jaraknya.
Tak ada jawaban.
Dia mengemudi, orang lain di kursi penumpang.>
Aku mengikuti arah pandangannya. Satu mobil besar dan gelap, empat pintu. Aku
memfokuskan penglihatanku. Apa penumpangnya memegangi sesuatu"
aku berkata.
jawabnya.
Tobias berteriak.
Chapter 13 Aku sudah menukik bahkan sebelum Tobias menyelesaikan kalimatnya.
Mereka akan melakukan tembak-dan-lari. Gila. Penembakan di siang bolong"
Sebenarnya seberapa penting Tom bagi para Yeerk" Ini ceroboh sekali!
Aku jatuh... bukan, bukan jatuh. Aku adalah roket yang sebentar lagi akan
bertubrukan dengan Bumi. Terbidik seperti peluru kendali pada rumahku sendiri.
Mobilnya berbelok satu jalan lebih dekat dengan rumahku.
Aku merentangkan sayapku untuk mengerem. Arus angin hampir saja mematahkannya.
Aku menegangkan tiap otot, melebarkan tiap bulu. Aku mendarat, menggelincir di
bagian belakang atap. Tak ada waktu untuk demorf di dalam.
Aku akan mengambil resiko di luar sini, bergulung di sudut yang terlindungi
bayang-bayang. Aku mulai demorf.
Tobias berteriak.
Aku bisa saja menjawab. Tapi tidak kulakukan. Tobias tahu apa yang akan
kulakukan.
Kata Tobias. pandang dari rumah belakang dan kiri. Ada gadis kecil dekat jendelanya.>
Bulu-buluku meleleh. Lenganku menggembung. Paruhku melembut seakan dia sedang
luluh. Aku harus merangkak untuk berpegangan dengan cakar yang berubah menjadi
jari kaki manusia yang gemuk pendek.
Tobias melaporkan suram.
JANGAN! Demorf! Demorf! Demorf! Jari kaki... tangan... wajah...
"Aaahhh!" Aku berteriak terkejut.
Seketika saja, aku sedang meluncur di atap yang curam menuju pinggirannya.
Tobias berseru. jatuh di sisi yang itu, dia akan melihatmu!>
Jari-jariku gelagapan si atas sirap untuk mencari pegangan tapi tak banyak
faedahnya. Kuku-kuku jariku benar-benar mencair.
Aku terjatuh. Melewati pinggiran! Putus asa, aku meraih tempat saluran air besi yang tajam.
Tergantung. Lengan terentang. Aku mencoba mengayun kakiku ke atas, keluar dari
jarak pandang. kata Tobias. ada dua puluh detik jauhnya. Sekarang atau nggak sama sekali.>
Suara Tom melayang keluar dari jendela.
"Waktunya tepat sekali," ujarnya dingin. "Dia di luar sendirian. Lakukan."
Aku terjatuh, menghantam rumput dengan bunyi 'thud' teredam, dan mengeretakkan
gigiku untuk tidak bersuara. Aku merangkak melewati jendela, lalu berdiri dan
berlari mengitari rumah. Mobil berwarna gelap berbelok ke blokku. Seratus yard jauhnya. Lima puluh.
(1 yard = Sekitar 0,99 meter )
"Hei, Dad. "Aku terhuyung menghampirinya, berpeluh, jantung berdentum keras.
"Biar aku yang lakukan."
Aku mengambil selangnya. Ayahku tersenyum. "Sukarelawan, nih" Jadi. Ada barang yang kamu mau?" Dua puluh
yard! "Cuma mau keluar. Udara segar," jawabku.
"Unh. Well, thanks kalau begitu. Aku akan membereskan barang-barang." Dia
berbalik. Terlalu lamban! Dia berjalan. Terlalu lamban!
Mobilnya berhenti. Jendelanya turun. Pria penembak memerhatikan punggung ayahku.
Aku menyentak selangnya. Air menabrak sisi mobil.
Penembaknya terlonjak ke belakang karena kaget; ayahku membuka pintu.
Aku melambai ke mobilnya dan berkata, "Sori!"
Mobil itu berlalu. Aku bernafas. Tanganku gemetaran. Jantungku seperti palu godam.
Aku berlagak seakan aku tiba-tiba mengenali Mr. Chapman sementara mobil itu
berjalan. "Hei, Mr. Chapman!" Aku melambai.
Aku merasakan seseorang mengamatiku. Aku melirik cepat. Tom.
Terbingkai oleh jendela ruang keluarga kami. Matanya terbakar amarah.
Dia pasti akan membunuhku juga. Dia akan menembak ayahku dan kalau saja aku
menghalangi... Dan itu bukan bagian terburuk dari segalanya. Yang terburuk adalah aku tahu
bahwa kakakku Tom, kakakku yang asli, terperangkap di dalam pikirannya sendiri,
terperangkap sementara menyaksikan si pembunuh mempersiapkan pembantaian
terhadap keluarganya. Tak berdaya, hanya bisa menonton, tak bisa membuka mulutnya untuk meneriakkan
peringatan. Aku mencengkeram selangnya begitu keras sampai airnya setengah tersumbat. Tapi
aku tidak bisa mengendurkan otot-otot itu. Tidak bisa.
Aku tidak tahu akan jadi seperti apa perang ini nantinya. Tidak tahu apa kami
akan menang atau kalah atau bahkan, entah bagaimana, membuat kesepakatan dan
berdamai. Tapi aku tahu satu hal: aku akan membunuh si Yeerk yang sudah
melakukan ini kepada kakakku.
Aku akan membunuhnya. Chapter 14 Kami berkumpul di gudang jerami Cassie. Semua anggota kami kecuali Ax dan
Rachel. Mereka mengawasi rumahku. Ayahku akan aman dengan dua orang itu.
Tobias dengan tenang, tanpa mempersalahkan, mengisahkan apa yang telah terjadi
pagi dan siang itu. "Bodoh," kata Marco.
"Aku nggak percaya kamu mengambil kesempatan seperti itu, Jake!" Kata Cassie
marah. Cassie tidak pernah marah, tapi sekarang dia marah. "Apa kamu sengaja mau
ditembak"!" "Tentu nggak," balasku, berkontak mata dengannya. "Tapi apa lagi yang harus
kulakukan" Membiarkan mereka membunuh ayahku?"
"Bukan itu intinya," kata Marco, semarah Cassie, tapi sedikit lebih dingin.
"Kamu demorf di tempat terbuka. Dan kata Tobias hanya masalah beberapa detik
sebelum kamu berakhir kena senapan mesin di halamanmu sendiri."
"Alternatif lain membiarkan mereka menembaki ayahku."
"Jadi kamu pikir mereka bisa sekalian membunuhmu juga?"
"Berhasil kok!" sergahku gusar.
Marco melemparkan tangannya ke atas dengan jijik. "Kenapa kamu nggak minta
bantuan" Tobias bilang kamu suruh dia dan Ax buat pergi dan menyuruh mereka
untuk tidak memanggil salah satu dari kami," kata Marco. Dia bersandar di
setumpuk jerami. Bersandar, tapi sama sekali tidak rileks. "Kita seharusnya
kerja di masalah ini sama-sama. Kalau kamu butuh bantuan, kamu seharusnya
minta." "Yeah, aku tahu," kataku. "Tapi kalian semua lagi sekolah waktu kami pergi
pengamatan dan malam ini, well, aku sama sekali nggak akan mengira Chapman mau
melakukan tembak-dan-lari, tahu."
"Kesalahan di pihakmu," ujar Marco.
"Yeah. Kesalahan."
"Dan hari ini, sebelum itu" Tobias bilang kamu diam waktu dia minta perintah."
"Aku nggak diam, aku - "
"Kita nggak bisa kasih kamu kesempatan buat mematung begitu," ucap Marco.
Aku menatapnya marah. "Kamu menikmati ini, iya kan" Kamu mau membalas waktu aku
sangsi soal ibumu." "Waktu itu aku siap melakukan apa yang harus dilakukan," kata Marco.
"Aku juga!" "Nggak. Kamu nggak. Kamu membahayakan kami semua. Kamu demorf di atapmu! Di
atapmu! Siang bolong. Dengan kakakmu di rumah! Kalau Tom melihat kamu melakukan
itu kamu akan sudah setengah jalan menuju kolam Yeerk sekarang, dan kami semua
berjejer di belakangmu!"
"Kenapa sih kalian semua"!" aku berteriak. "Itu ayahku! Ayahku! Aku harus
berdiri saja dan nggak ngapa-ngapain?"
Tobias menjawab sebelum Marco. mempertaruhkan semuanya, semua manusia... pastinya seantero umat manusia... hanya
untuk menyelamatkan satu orang"> ujarnya sendu. Aku tahu bagaimana perasaanmu. Tapi kita harus pikirkan ini baik-baik.>
Aku memalingkan pandangan. Wajahku terbakar. "Kamu tahu, kita sudah bicara soal
ini dan kita memutuskan melakukan pengamatan. Kita mengamati ayahku kalau-kalau
dia butuh perlindungan. Well, dia butuh dan aku bereaksi. Memangnya apa yang
benar-benar kalian pikirkan akan kulakukan?"
"Persis seperti apa yang kaulakukan," kata Marco. "Kamu terlalu dekat dengan
masalah ini. Kamu nggak bisa mengambil keputusannya."
Aku tertawa kering. "Jadi apa, kamu yang akan memutuskan ayahku hidup atau
mati?" aku memandang Cassie.
"Jake..." ujarnya.
"Kamu harus mundur dari masalah ini," kata Marco tenang. "Kamu nggak bisa
mengambil keputusannya. Nggak kalau ini tentang ayahmu dan kakakmu."
"Kamu melakukannya waktu itu soal ibumu," tukasku.
Marco mengangkat bahu. "Yeah, well, itulah aku. Kalau bakal sedikit membuatmu
senang, aku lebih suka kalau aku sepertimu. Tapi pertanyaannya disini ialah,
seberapa jauh kita harus bertindak untuk melindungi ayahmu?" tanya Marco. "Dan
siapa yang akan mengambil keputusannya?"
"Aku pemimpin kelompok ini," aku berkata.
Marco ragu-ragu. Dia menggigit bibirnya. Lalu, menghirup nafas dalam-dalam, dia
berkata, "Kita butuh voting."
"Rachel dan Ax nggak di sini," aku berkata.
kata Tobias. akan bilang Jake adalah pangerannya dan dia akan melakukan apa saja yang
pangerannya katakan. Tapi dia nggak akan memberi suara mau bagaimanapun juga.>
"Rachel akan mendukungku," aku berkata
Marco mengangguk. "Yeah. Dia akan begitu. Kalau begitu terserah Cassie dan
Tobias." Aku tidak memandang mereka berdua. Aku menunggu Cassie berbicara. Tapi
dia tidak melakukannya. Sunyi.
Aku merasa tanah di bawahku sedang runtuh. Cassie meragukanku juga" Cassie tidak
berpikir aku bisa menangani hal ini"
Aku mendengar bunyi keresakan bulu di kasau dan menoleh ke atas. Tobias
menelengkan kepalanya, pandangan elangnya yang ganas bertemu dengan pandangan
manusiaku yang marah. Akulah yang pertama kali mengalihkan pandangan.
Tobias sudah ada di sana dua kali saat aku mempertaruhkan nyawaku - dan nyawanya
- untuk menyelamatkan ayahku. Dia tahu seberapa pentingnya itu bagiku dan dia
tahu seberapa jauh aku akan bertindak untuk melakukannya.
ujar Tobias pelan. menghapus nyawa seorang manusia itu sesuatu yang akan dilakukan para Yeerk,
bukan kita.> Cassie mengangguk. Dia telihat terganggu. Seakan dia seharusnya memikirkan hal
tersebut. mereka sukses menjadikannya seorang Pengendali"> Tobias melanjutkan. punya satu Pengendali di keluarganya; kalau ayahnya jadi satu lagi, akan ada dua
orang yang sangat curiga memerhatikan Jake datang dan pergi tiap waktu, apalagi
kalau Animorphs harus kerja. Jadi kupikir pertanyaannya bukan apakah kita harus
menyelamatkannya, tapi bagaimana kita melakukannya.>
Terima kasih, Tobias, pikirku dalam diam, memandangi tanah.
dia meneruskan, merentangkan
dan melipat sayap-sayapnya kembali. Duduk-duduk sambil menunggu para Yeerk menyerang, lalu menyelamatkan ayahnya
Jake lagi dan lagi bukanlah rencana. Para Yeerk mungkin berpikir itu kebetulan
waktu di ruko-ruko, mungkin kebetulan waktu di halaman, tapi mereka bisa
menghitung, kamu tahu" Cepat atau lambat mereka akan berpikir, "Terlalu banyak
kebetulan."> "Persis," kata Marco.
Sesuatu yang besar yang bisa mengalihkan perhatian mereka dari ayahnya Jake
sampai dia dan Tom dan Jake bisa pergi ke kabin besok pagi">
Marco bimbang. Dia tahu suara sudah tidak memihak padanya. Paling buruk dia
punya Cassie di pihaknya. Dua lawan tiga, tidak menghitung Ax.
Akhirnya Marco mengangguk. "Oke, kita pergi menyerbu." Dia mencoba mengeluarkan
humornya yang biasa. "Aku selalu ingin mati sambil menendang dan menjeritjerit." Dia melangkah mendekatiku. Dia mengulurkan tangannya. "Bukan masalah pribadi,
Jake. Aku cuma mau menjaga grup kita."
Aku membiarkan tangannya menggantung di tengah udara.
Setelah beberapa saat dia menariknya kembali.
"Jadi, apa rencananya?" ujar Cassie, mencoba menghalau perseteruan saat itu.
"Mungkin kita bisa berpikir soal - " Marco memulai.
"Aku punya rencana," kataku.
Chapter 15 Apa aku punya rencana" Tidak sampai detik itu. Tidak sampai aku benar-benar
bertatap muka dengan Marco dan menyadari aku harus menciptakan sesuatu. Harus.
Terkadang emosi bekerja untukmu.
Kami membutuhkan pengalih perhatian. Pengalih perhatian di pikiranku itu besar.
Dan kuharap bisa bertahan sampai aku bisa membawa ayahku keluar kota.
"Culik Chapman," aku berkata.
Itu membuat Marco melotot. Membuat Cassie menahan nafas. Tobias tertawa seakan
aku bercanda. Lalu dia seperti mengerang.
Dan dia tertawa lagi lalu berkata, < Well, aku akan mengatakan satu hal : Ini
akan membuat Rachel senang.>
Rencana yang menantang" Ya.
Gila" Bunuh diri" Bodoh"
Kuharap tidak. "Memaksa para Yeerk untuk memutuskan prioritas mereka," kata Marco. "Selamatkan
Tom atau Chapman" Siapa yang lebih penting bagi mereka" Chapman. Mereka masih
akan mencoba menolong Tom dengan situasi seperti itu, tapi Chapman yang hilang
akan menjadikan situasi benar-benar gawat. Pasti berhasil." Puji Marco untuk
satu hal : Tak ada yang bisa lebih cepat dalam untuk melihat solusi kejamnya.
Dan Marco itu jujur. Tak akan jadi misi yang bagus. Kami tidak punya waktu berlemah-lembut.
Kami bertemu dengan Rachel dan Ax lalu menjelaskan rencananya.
Rachel berkata, "Cool!"
Aku meninggalkan Cassie dan Tobias untuk menjaga rumahku. Aku tadinya juga mau
meninggalkan Marco, tapi dia akan mengira aku takut dia berada di dekatku. Aku
tidak akan memberinya kepuasan itu.
Rachel, Ax, Marco dan aku terbang ke sebuah rumah di seberang jalan dan mendarat
dari rumah Chapman di jalanan pinggiran kota yang lengang. Gelap. Belum terlalu
malam, tapi gelap. Dua puluh menit lagi ayahku akan bertanya-tanya mengapa aku


Animorphs - 31 Konspirasi The Conspiracy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak di rumah. Sama dengan yang lainnya.
Rumah itu dijual. Tak berpenghuni. Semak-semak belukar tumbuh tinggi dan tak
terurus. Sempurna bagi kami. Hampir terlalu luas awalnya. Tidak begitu lagi
sementara kami morf. "Minggir sedikit, Marco," Rachel menggerutu sementara bahunya menggembung dan
berotot menjadi sosok besar gorilla.
"Oh, ayolah, kamu suka dekat-dekat aku, kan?" Dia melirik tepat sebelum
rahangnya tumbuh mencuat dan bibirnya berubah menjadi topeng Halloween empuk
yang hitam bagaikan karet.
Aku menutup mataku dan berkonsentrasi pada morfku sendiri.
Badak. Untuk pekerjaan ini kami butuh kekuatan yang brutal dan jelas. Dan tak
ada yang lebih jelas daripada seekor badak.
Aku mendengar tulang tipis manusiaku berkeretakan dan berpisah satu sama lain.
Mendengar sebuah suara seperti gigi yang bergesekan sementara tulang baru,
lapisan dan lapisan dari tulang baru, memenuhi celah-celahnya dan membuat
pelindung yang nyaris tak dapat ditembus.
Tubuhku menebal. Kakiku, lenganku, tangan, kaki, perut dan bahuku, semuanya
menebal. Kulitku menebal dari daging manusia menjadi sesuatu yang menyerupai
kulit jok mobil sampai menjadi sesuatu yang sekeras dan sepadat dan sekaku sadel
kuda. Telingaku merayap masuk ke dalam sisi-sisi kepalaku.
Penglihatanku meredup dan memburam.
Leherku kehilangan segala definisinya, terhisap masuk ke dalam tubuhku yang
melebar dan membesar. Membesar. Membesar.
Besar. Lalu, pada akhirnya, tanduk. Tumbuh dari wajahku, turun ke tempat dimana
hidungku seharusnya berada. Panjang, melengkung, berbahaya. Senjata yang
primitif dan tumpul. Sebuah tanduk yang dapat saja menyula ksatria berbaju zirah.
Tapi dibalik tubuh tangguh, tanduk yang mengerikan, kekuatan seekor badak,
pikirannya begitu damai, tenang. Badak hanya ingin makan dan dibiarkan mengurusi
urusannya sendiri. Dia waspada tapi tidak ketakutan atau marah.
Tidak apa-apa. Aku menyimpan cukup banyak ketakutan dan kemarahan bagi kami
berdua. "Pangeran Jake, aku sudah siap. Si-aaaap. Aaaaap," kata Ax. Dia sudah morf
menjadi manusia, menggunakan kombinasi DNA yang sudah dari dulu dia serap dari
kami semua. Tapi dia sudah menghentikan morfnya setengah jalan, membuat wujudnya
susah dikenali sehingga Chapman tidak akan bisa mengenalinya lagi nanti.
Dalam morf manusianya yang biasa, Ax adalah anak yang aneh sekaligus cantik.
Sekarang, dengan mata yang lebih sipit, hidung lebih besar dan pesek, dan rambut
lebih gelap dan tidak rapi, dia malah terlihat mirip Quasimodo.
Tidak terrmasuk bongkoknya, sih.
(quasimodo = Si Bungkuk dari Notre Dame)
saja,> kata Marco. Aku menyela, melengkungkan
telingaku ke setiap bunyi baru dan mengendus udaranya. mata kayak begini.> berdiri di semak-semak, tapi selain itu, nggak,> Marco menjawab.
Aku tidak tertawa. Aku tidak menganggap Marco lucu pada waktu itu. Aku
merindukan Tobias. Kami tidak punya siapapun di udara, dan kami harus
menyeberangi jalanan. kata Rachel tidak sabaran.
aku memerintahkan. Ax mulai menyeberangi
jalanan. Sunyi senyap. Aku mendengar langkah kaki telanjang manusia dan langkah
kaki telanjang gorila. Aku melihat bentuk-bentuk, bayangan, beberapa hal kecil
lainnya. Tapi pendengaranku baik sekali. Aku tidak mendengar mobil yang
mendekat. Marco berjalan semirip mungkin dengan manusia sebisa dia. Manusia seberat empat
ratus pound. Setelah sampai di seberang dia menyelip ke dalam semak-semak di
sebelah serambi. Ax berjalan ke serambi itu dan mengetuk pintunya.
Kami menunggu selama beberapa detik.
Pintu mengayun terbuka. Chapman berdiri di sana, menggenggam sebuah koran dan terlihat kesal karena
diganggu. "Halo, apa Melissa di sini" Diih-senii" Aku temannya Melissa" Aku datang kemari
untuk berbicara dengannya menyangkut masalah tugas kelas. Keh-las," kata Ax
ceria, kurang lebih mengikuti naskah yang sudah kami persiapkan.
Chapman memandangi Ax dengan tajam dan mengerinyitkan dahi. Dia menghela nafas.
"Tunggu di sini. Akan kupanggil dia."
"Baik," kata Ax. "Dia adalah teman dekatku sekaligus juga teman sekelasku dan
berarti hal ini adalah hal yang benar-benar normal bagiku untuk dilakukan."
Chapman memandanginya sekali lagi dan masuk ke dalam untuk memanggil Melissa.
aku berbisik.
kata Ax. menambahkan alat pengaman sejak penyusupan kita terakhir kali. Ada sensor
gerakan yang disamarkan dengan sebuah bingkai cermin di koridor depan. Dan aku
mengira ada senjata Dracon yang disembunyikan di mata sebuah patung yang
menghadap pintu.> kataku sementara adrenalinku mulai memompa. kata Rachel suram.
Pintu depan terbuka dan Melissa melangkah keluar. Pintu tertutup di belakangnya.
Dia melihat Ax dengan bingung.
Sebelum dia dapat mengatakan sesuatu, dua lengan gorila yang besar dan berbulu
menjangkaunya dari atas pagar luar dan mengangkatnya dari tangga teras menuju
semak-semak. "Aaahh!" Dia menjerit sebelum tangan lebar itu membekap mulutnya.
Melissa tidak bersalah. Dia tidak perlu melihat apa yang akan terjadi setelah
ini. Marco berteriak.
aku berteriak.
Chapter 16 Aku merekah dari balik semak-semak. Rachel berada tepat di
sebelahku, bergerak dalam gaya berjalan yang kecepatannya menipu, bergulir khas
beruang grizzly. Ax melompat dari serambi dan menggelinding di bayang-bayang untuk demorf.
Aku melintasi halaman yang tidak terurus, memfokuskan penglihatanku yang redup
ke lampu serambi di seberang jalanan. Tapi sementara kepalaku yang besar berayun
ke kiri dan kanan, aku kehilangan jejak. Cahaya! Dimana-mana! Ada di...
teriak Marco.
Aku merubah arah. Menyeberangi aspal keras jalanan. Mobil! Lampu kembar mengarah
kepadaku dari sisi kiriku.
Screeeeeeech! Pengemudinya menghantam rem. Aku mengacuhkannya. Terlalu terlambat untuk
khawatir soal hal itu. Hancurkan, ambil, dan lupakan dengan halus, aku
mengingatkan diriku sendiri.
Aku tersandung sementara kaki-kakiku yang tebal dan seperti batang pohon
membentur tangga serambi.
Marco berteriak.
Aku menghempas, kecepatan penuh, acuh-tak-acuh, tanduk turun terarah kepada
pintu. WHAM-CRUNCH! Pintunya meledak ke dalam. Bingkainya robek. Dempul dan cor menyembur kemanamana. "HHROOO-UH!" Rachel mengaum, tepat di belakangku.
TSEEEEW! TSEEEEW! Rasa sakit yang panas dan menyiksa. Bau daging dan bulu yang mendesis menguap.
Sinar Dracon di patung itu menembak lagi, membakar lubang hitam dan berasap
lainnya di kulitku yang terlindungi.
Sudah cukup sakit untuk membuatku tambah gila. Sekarang otak badaknya juga
marah. Aku menerjang ke depan, melewati ambang pintu, menghantam dinding di sisi
berlawanan dan memukul jatuh patung pelindung-sinar-Dracon Crash!
TSEEEW! Benda itu menembakkan satu lagi tembakkan yang membakar dan menyakitkan ke atas
perutku sebelum aku menghancurkannya dengan kakiku.
Mrs. Chapman berlari keluar dari dapur.
"Andalite!" Dia memekik dan mengangkat senjata Dracon tepat di mukaku.
TSEEEEEW! Panas manyebar di dahiku, telingaku, mengebor lubang yang meleleh ke dalam
otakku sendiri, dan aku terhuyung, melenguh sementara rasa sakit seperti palu
godam mengayunku. Badaknya terluka. Parah. "GRRROOOWWRRR!" Rachel mengaum. Dengan kepalan tangan seukuran kepala manusia
dia memukul Mrs. Chapman dan melemparkannya ke dinding. Wanita itu membentur
dinding, mengerang, lalu merosot ke lantai, keluar dari pertarungan.
Sekelebatan bulu biru dan Ax bergabung dengan kami.
tukasku. menyalakan alarm.> Aku terhuyung. Badak itu sudah mendapat tembakan di kepala. Dia sekarat.
Sambungan antara otak dan tubuh sudah mulai luntur.
Aku menghitung sampai sepuluh.
Marco melaporkan dari luar.
Aku menghambur ke ruang keluarga. Ambang
pintunya terlalu sempit. Aku melebarkannya.
Aku meremukkan sofa dan meruntuhkan meja kopi seakan benda itu terbuat dari
tusuk gigi. Melewati ruang keluarga. Melewati pintu-pintu Perancis. Melewatinya secara
harfiah. Chapman jatuh ke bawah di sebelah kananku. Marco berada di sana. Meraih Chapman
dengan - BLAM! BLAM! BLAM! Chapman menembakkan pistol tangan. Teknologi buatan manusia yang primitif.
Marco jatuh tepat di belakangnya. Dia menghantam tanah. Chapman melompatinya
Rachel berseru.
Sebuah sosok Andalite melayang di atas kepalaku dan mendarat keras di
rerumputan. Ax sudah turun dari jendela lantai dua.
Perintahku.
Chapman sedang memanjat pagar belakangnya. Aku menghantam papan-papan kayu itu
dan membuatnya terbang. Dia berguling ke punggungnya lalu menembak.
BLAM! BLAM! Pukulan palu yang terhubung dengan tenggorokanku.
Aku tertatih, menabrak Ax, membuatnya kehilangan keseimbangan.
Chapman kembali berdiri dan berlari melewati pagar yang hancur itu.
Aku sudah terluka, berdarah, oleng, mencoba mempertahankan kesadaran.
Dan bergantung, paling nyata, pada kemarahan. Makhluk ini sudah mencoba menembak
ayahku. Aku menabraknya. Dia melayang, menghantam tanah, lalu berguling, merintih. Pistolnya berada lima
kaki jauhnya, Aku mundur selangkah. Melucutkan kepalaku. Membaui udara dan membidik sosoknya
yang sedang mengerang dan tak terlindungi.
Matilah kau, Yeerk. Aku menerjang. Rachel berteriak. > Tadinya aku ingin menyeret Chapman di tanah. Menginjak-injaknya, meremukkannya,
menancapkan tandukku te tubuhnya.
Aku melihat kengerian di matanya sementara dia mulai menyadari apa yang hendak
kulakukan. Ax berseru.
Aku menerjang. Lalu, akhirnya, semua luka-lukaku terlalu membebani. Seakan
seseorang sudah menyayat kakiku, aku roboh. Aku meluncur ke arah Chapman.
Chapman mencoba bangun. Ax memukulnya dengan sisi pisau ekornya. Chapman jatuh,
tak sadarkan diri. Aku berpusar, berpusar turun ke lubang yang hitam. Harus demorf. Demorf. Gelap
sekali... cukup gelap sampai-sampai Marco tidak akan bisa mengatakan...
Marco. Apa aku sudah membunuhnya"
Melissa pasti telah berusaha melepaskan bekapan dari mulutnya.
"Ibu" Ayah, kalian dimana!?" Melissa Chapman meratap.
Chapter 17 Aku demorf diiringi suara tangisan ketakutan Melissa dan raungan sirene mobil
polisi yang mendekat. Aku berdiri, lelah, bingung. Rachel ada di sana, manusia. Ax tidak ada. Marco...
Marco membungkuk dan mengangkat Chapman ke atas bahunya.
"Kamu oke?" aku menanyainya.
jawabnya ringkas. sini. Dengan izinmu, pemimpin tak kenal takut.>
Kami bergerak. Rachel dan aku mencoba melindungi Marco dari perhatian sebaik
yang kami bisa. Kami berlari menyeberangi jalan dan turun. Kembali ke rumah
"Dijual" yang tak berpenghuni itu.
Kami akan menyekap Chapman di tempat yang tidak akan diduga seorangpun : Sekitar
dua ratus yard dari rumahnya sendiri.
Ax sudah memutuskan alarm pencurinya ketika kami sampai di sana. Pintu belakang
sudah terbuka. Kami bergegas masuk. Marco menjatuhkan Chapman tanpa basa-basi di ruang keluarga
yang kosong dan berlantai kayu. Lalu dia menjulurkan kepalan tangannya menembus
kaca yang menghubungkan ruang makan dan ruang keluarga. Serpihan kaca menghujani
Chapman. Dengan jari-jari Andalitenya yang lemah tetapi tangkas, Ax mengikatkan sebuah
kain di sekeliling mata Chapman. Tali-temali di sekeliling pergelangan tangan
dan kaki. Kami berdiri di sana, menoleh ke bawah memandanginya. Dia berada di dalam
kekuasaan kami. Untuk saat ini.
"Kalau dipikir-pikir - " Rachel mulai angkat suara.
Aku menggelengkan kepalaku dan meletakkan jari di bibirku. Dia sama sekali tidak
boleh mendengar suara manusia.
ujar Ax.
Marco membungkuk dan menyodok Chapman dengan jari sebesar sosis bratwurst. Si
Pengendali tidak bereaksi.
Aku berjalan ke dapur. Menemukan sebuah kaleng kopi yang pernah digunakan
seseorang untuk menyimpan kacang dan sekrup. Aku mengisinya dengan air dingin,
kembali ke ruang keluarga, dan menuangkannya di wajah Chapman.
Dia tertegun dan menyumpah.
Lalu dia mencoba menggerakkan tangannya.
kata Marco, melangkah mundur.
Rachel dan aku tetap diam.
Ax berjalan ke depan, kuku-kukunya berkeletokan di lantai kayu yang polos,
mengelilingi Chapman dengan sengaja, membiarkan dia mendengar bahwa orang yang
menginterogasinya adalah seorang Andalite.
dia mencibir meyakinkan. Chapman mulai
gemetaran. Dia merengek, pelan dan rendah.
Aku tidak memandang Rachel; dia tidak memandangku. Tak satu pun dari kami senang
akan hal ini. Kami harus membuat Chapman berpikir bahwa dia diinterogasi oleh
seorang prajurit Andalite.
Kami harus membuatnya berpikir dia akan disiksa. Beberapa saat sebelumnya aku
berniat membunuhnya. Bahkan sekarang, aku sama sekali tidak merasa kasihan
padanya. Tapi hal itu tidak mengubah kenyataan bahwa kami sedang mencoba
menakut-nakuti sesama makhluk hidup yang memiliki perasaan.
Kalau kamu jenis orang yang tidak akan pernah melakukan hal itu, kamu butuh
bantuan. Aku sedang menuntut hal yang besar dari Ax. Terlalu besar.
Tapi dia bertekad untuk memainkan perannya
kekuasaankulah hidup matimu sekarang - kau akan menjawab pertanyaanku,> kata Ax
dengan keangkuhan Andalite yang dilebih-lebihkan. penetrasi Yeerk di Bumi">


Animorphs - 31 Konspirasi The Conspiracy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Chapman menggigil tetapi tetap berdiam diri.
Ax meraung. memegang kekuasaan!!> Tak ada jawaban. kata Ax, mengubah strategi dan
menggunakan suara bahasa-pikiran yang lembut dan mematikan. Kandrona, Yeerk. Cara yang buruk untuk mati. Sudah berapa lama sejak kau
mengunjungi kolam Yeerk" Berapa hari, berapa jam yang kamu punya sebelum nafsumu
yang mengerikan mulai - >
Aku sudah melihat dan mendengar lebih dari cukup. Aku menyentakkan kepalaku ke
arah pintu. Rachel dan Marco mengikutiku. Marco demorf sambil jalan.
Kata-kata Ax sudah menyulam bayangan yang suram dan mengerikan di pikiranku.
Kematian yang dia janjikan secara palsu pada Chapman adalah kematian yang akan
diderita kakakku Tom, karena Yeerk di kepalanya akan diputuskan dari akses ke
sinar Kandrona. "Jake?" bisik Rachel setelah kami sampai di luar.
Aku menggelengkan kepalaku. Tidak bisa menjawab.
Aku berjalan menuju rumah melewati kerumunan tetangga dan polisi dan mobil
darurat yang sudah berkumpul di sekitar rumah Chapman.
Sejauh ini, rencananya berjalan lancar.
Ax akan terus menginterogasi Chapman.
Mungkin bersikap kasar terhadapnya.
Kesinilah kemana aku memimpin mereka. Marco hampir terbunuh. Melissa Chapman
diteror. Dan Ax tinggal untuk merajut cerita-cerita mengerikan kepada seorang
sandera yang tidak berdaya.
Marco tidak perlu lagi meminta voting. Aku sudah selesai menjadi seorang
pemimpin. Chapter 18 Aku berbaring nyalang semalaman penuh.
Tegang. Mendengarkan. Aku mendengarkan suara-suara yang berdatangan dari kegelapan.
Menunggu Tobias yang sudah bertengger dua jam yang lalu di pohon dekat
jendelaku, untuk tiba-tiba berseru Tidak terjadi.
Jam 3.30, aku turun dari ranjang, berhati-hati untuk tidak menginjak bagian yang
berderit di lantai, dan berjinjit ke koridor.
Pintu kamar ayahkku setengah tertutup.
Aku mengintip ke dalam. Dia sedang tidur, sinar bulan menyala di mukanya.
Aku terus menyusuri koridor.
Pintu kamar Tom tertutup.
Aku menahan nafasku dan menempelkan telingaku ke pintu.
Tidak ada apa-apa. Telapak tangan berkeringat, aku mencengkram gagang pintunya dan tanpa
mengguncangnya, perlahaaaaaan aku membukanya.
Ranjang Tom kosong. Aku menggigil. Menutup pintu dan bergegas ke kamarku sendiri.
Kakakku pergi. Mungkin sedang keluar bersama para Pengendali lainnya, panik mencari Chapman.
Tobias pasti sudah melihatnya pergi tapi tidak ingin membangunkanku.
Aku memanjat ranjangku kembali dan berbaring di sana, mata terbuka lebar-lebar
dan mendengar suara-suara rumah.
Bertanya-tanya apa yang sedang kakakku lakukan. Apa yang sedang dia rasakan.
Dan membayangkan seberapa kalutnya para Yeerk mencoba menemukan Chapman.
Betapa ketakutan dan putus asanya Yeerk Tom sekarang, mengetahui bahwa tiba-tiba
dia diletakkan di prioritas kedua.
"Apa kamu ketakutan, Yeerk?" Aku berbisik pada kegelapan.
Aku membayangkan bagaimana perasaanku seandainya teman-temanku meninggalkanku ke
tangan para Yeerk untuk menyelamatkan seeseorang yang lebih penting.
Bukan perasaan yang menyenangkan.
Dan bagaimana dengan Tom yang asli di dalam"
Apa yang sedang dia pikirkan"
Aku tidak tahu dan tidak bisa tahan terhadap kemungkinan-kemungkinannya, tetapi
aku tidak bsia berhenti memikirkan hal itu.
Tidak bisa melepaskannya dari pikiranku.
Akulah pemimpinnya. Aku seharusnya bisa memberikan rencana yang lebih baik, lebih pasti.
Jika aku tidak bisa memikirkan cara untuk menyelamatkan keluargaku sendiri,
bagaimana bisa anggota Animorphs yang lain mengandalkanku, coba"
Bagaimana aku bisa mengandalkan diriku sendiri"
Otakku yang kelu dan berkabut memohon untuk terlelap, tapi hal itu tidak
terjadi. Jam-jam merayap pergi. saja menyelinap lewat pintu belakang,> kata Tobias sementara matahari terbit dan
kamarku dipenuhi cahaya matahari yang indah keemasan.
Aku tidak bisa menjawab. Tak ada yang harus dikatakan juga.
Aku mendengar Tom perlahan melewati kamarku. Mendengar dia membuka, lalu menutup
pintu kamarnya. Aku berayun turun dari ranjangku dengan lelah dan membuka jendelaku.
Waktunya mengecek Chapman.
Chapter 19 Aku menggunakan morf peregrine falconku dan terbang ke rumah kosong tempat
Chapman disandera. Aku tergoda untuk terus menahan Chapman dan membuat Yeerknya kelaparan hingga
mati. Biarkan Kerajaan Yeerk tahu bahwa mereka juga punya kelemahan. Bahwa kami
cukup kejam untuk membunuh, ketika sudah cukup didesak.
Kemarahan gelap yang menjijikkan dalam diriku ingin melakukan hal itu. Dan sudah
hampir melakukannya, kemarin malam menggunakan morf badak.
Aku mendarat di pohon dekat jendela.
Ax masih di dalam. Aku bertanya dari luar.
balas Ax. pecahan kaca dari jendela, membuatnya berbunyi keras sekali. Aku percaya
Pengendali ini akan menggunakan pecahan kaca tersebut untuk memutuskan ikatannya
langsung setelah aku pergi.>
aku berkata.
sergah Ax.
melakukan hal ini lagi.>
aku berkata.
mencari ayahnya. Aku sudah mendengarnya. Sama seperti aku sudah mendengar
ketakutan Pengendali ini. Dengan senang hati aku akan bertarung dengan
Pengendali ini, bahkan, dalam pertarungan yang adil, membunuhnya, tapi aku bukan
seorang penyiksa.> Aku tidak pernah mendengar Ax semarah ini. Tidak pernah.
sebagai pangeranmu. Bebannya padaku.>
ujarnya,
tapi kemarahannya sudah melembut sedikit. mengutarakan kemarahan.>
aku berkata lelah.
Dia tidak mengatakan apa-apa untuk beberapa saat, dan aku duduk, nelangsa dan
malu, di pohon. kata Ax letih.
Aku diam di sana, melembutkan sayapku menggunakan hawa pagi yang dingin,
menonton sementara para komuter pagi mulai mendatangi mobil-mobil mereka,
meletakkan koper dan laptop mereka di bangku belakang, lalu berangkat kerja.
Normal. Hari yang normal di sebuah pinggiran kota Amerika.
Kecuali di seberang jalan sana seorang gadis menangisi ayahnya yang sudah
diambil darinya sejak lama tanpa dia ketahui , dan di sini, seorang makhluk
setengah manusia setengah Yeerk sedang diancam dengan kematian yang menyiksa.
yang meningkat... terror saat kau menyadari tidak ada , tidak ada yang dapat
menyelamatkanmu. Apa itu yang kau mau" Bantu aku, Yeerk. Bantu aku, bantu dirimu
sendiri.> Ax bisa saja menggunakan bahasa-pikiran pribadi yang hanya akan
didengar oleh Chapman. Tapi dia ingin aku mendengar. akan meninggalkanmu di sini, terikat dan tak berdaya, rasa haus dan lapar dari
tubuh manusiamu akan menambahi kebutuhanmu yang sudah sesak.>
Jika Chapman menjawab, aku tidak dapat mendengarnya. Kutebak dia menjawab
sesuatu, karena Ax berkata,
Beberapa saat kemudian Ax morf menjadi osprey dan mengangkasa meninggalkan rumah
itu. Chapman akan melarikan diri. Kami telah meninggalkan pecahan kaca di sana secara
mencolok. Chapman percaya kami semua adalah Andalite. Dia akan berpikir kami
terlalu tidak akrab dengan dunia manusia untuk mengetahui bahwa pecahan kaca
dapat memotong tali-talinya.
kata Ax. jadi momen yang dikenang dan banyak dirayakan dalam sejarah Yeerk. Namaku akan
jadi legenda, sinonim dengan kecerobohanku. Andalite buas yang bodoh.>
penting.> Ax memandangku, mata elang yang garang berkilat-kilat. atau penting bagi perang ini">
Aku tidak menjawabnya. Aku ingin percaya bahwa hal itu penting bagi keduanya, tapi otakku yang
kelelahan bahkan tidak bisa membentuk kata-kata untuk meyakinkan diriku sendiri,
apalagi dia. Ax terbang kembali ke hutan tempatnya tinggal, menggumamkan sesuatu tentang
ritual pembersihan. Aku terbang ke rumah dan membebastugaskan Tobias.
kata Tobias. kami mengikuti kalian ke gunung nanti">
kerjaan pagi-pagi. Aku akan menemui kalian semua di gudang jerami Cassie jam
sembilan untuk membuat rencana.>

Tobias terbang pergi. Kami akan berangkat ke kabin Grandpa G dalam dua jam. Pada saat yang lain tahu
aku tidak akan menemui mereka di gudang jerami, kami akan sudah jalan jauh.
Aku sudah tidak akan lagi menggunakan teman-temanku dalam misi ini. Aku sudah
lelah dengan ketidakpercayaan Marco dan harga diri Ax dan bahkan simpati waspada
Cassie. Ini keluargaku. Kakakku, sang pembunuh. Ayahku, sang target. Dan aku, si bodoh
di antara mereka. Hanya kami bertiga. Jika kakakku Tom, mencoba membunuh ayahku dalam dalam situasi frustasi yang
sangat memaksa untuk menyelamatkan dirinya sendiri, aku akan morf.
Dan hal terakhir yang akan dilihat kakakku adalah aku, adiknya, musuhnya di
dalam selimut dan menghancurkannya dengan segala kekuatan mengerikan dan barbar
yang sudah menjadi hakku untuk digunakan.
Aku telah memberitahu diri sendiri bahwa aku akan melakukan apa saja yang harus
dilakukan, dan aku akan melakukannya.
Tiba-tiba, aku butuh bicara pada Cassie. Dan mungkin, setelah semuanya berakhir,
aku akan melakukannya. Chapter 20 Homer sudah dititipkan di rumah Rachel, dimana dia akan menghabiskan empat hari
berikutnya dielus dan dimanja dan diajak bermain.
Sayang sekali dia dan aku tidak bisa bertukar tempat.
Dan sekarang, ayahku, Tom dan diriku punya delapan jam perjalanan di jalan tol
yang membosankan menanti.
Tom duduk di depan bersama ayahku, cemberut dan menjawab pertanyaan ceria ayahku
yang dipaksakan hanya menggunakan sepatah dua pata kata.
Aku menjawab beberapa, tapi hatiku tidak tinggal di sana juga, dan setelah
sekitar sepuluh mil, ayahku berhenti mencoba.
Aku duduk tegang di belakang, memerhatikan Tom, mencari-cari tanda kekurangan
Kandrona apapun. Tak ada. Mungkin dia sudah makan kemarin malam, sambil sibuk mencari-cari Chapman.
Meski begitu tidak masalah, karena kami masih belum akan pulang sebelum batas
tiga-hari habis. Aku mencoba membayangkan hidup tanpa Tom. Tanpa kakakku. Aku akan jadi anak
tunggal. Marco anak tunggal. Cassie dan Tobias juga.
Tapi aku bukan anak tunggal dan aku tidak mau jadi begitu. Menyelamatkan Tom
adalah alasan mengapa aku setuju bergabung dengan Animorphs. Aku tidak
menginginkan ini, semua hal ini. Tapi lalu aku mengetahui para Yeerk sudah
mengambil Tom dan menjadikannya salah satu dari mereka.
Untuknyalah aku bertahan terhadap morf pertamaku yang mengerikan. Untuk
menyelamatkannyalah aku sudah turun ke kolam Yeerk, rumah hantu yang tak terduga
itu. Aku takkan menyerahkan Tom ke tangan Yeerk-Yeerk itu. Aku harus membiarkan
harapanku tetap hidup. Tapi aku harus menjaga nyawa ayahku juga. Yeerk di kepala Tom sebenarnya
terkunci pada pertarungan dengan diriku tanpa dia ketahui. Kami berdua seteru
mematikan di lahan perang dimana dua orang yang bersalah, kakak dan ayahku,
berdiri tepat pada garis tembak kami.
Setelah sejam atau dua jam, aku jatuh tertidur.
Terbangun empat jam kemudian sementara kami berhenti di tempat istirahat.
Kami pergi ke toilet. Menelan hamburger hangat dan ketang goreng yang keras dan
kaku. Kembali ke jalanan. Akhirnya, saat aku sudah mati rasa dan pegal karena duduk terlalu lama, ayahku
membelokkan mobil kami turun ke jalanan yang tersembunyi diaspali kerikil.
"Kita hampir sampai," ujarnya lesu.
Aku duduk tegak. Tom juga. Hutan lebat membingkai jalanan, cabang-cabang pohon terlihat seperti ingin
menggapai mobil. Udaranya lebih sejuk, sebih bersih, dan berbau seperti tanah
yang gembur dan hitam. Seekor tikus merangkak ke jalan di depan kamu. Menegakkan badan, tak ketakutan,
dan menonton sementara kami perlahan menghampirinya.
"Tseeeer!" Seekor elang meluncur entah dari mana dan mencengkramnya.
Membawanya pergi. "Yang kuat yang bertahan hidup," Tom bergumam, mulutnya melengkung menjadi
senyuman kecil sarat rahasia.
Aku memperhatikan sisi kepalanya. Aku memerhatikan telinganya, ingin
membayangkan siput abu-abu menjijikkan di dalam otaknya.
Apa kau punya rencana, Yeerk" Apa hutan ini dipenuhi oleh sekutumu" Apa para
Hork-Bajir sedang diam menunggu" Apa ada Bug Fighter melayang di atas kami,
menunggu tanda" Atau, sepertiku, kau ingin mengatasi masalah ini seorang diri"
Jangan coba-coba, Yeerk. Kau takkan menang.
Yang kuat yang bertahan hidup, Yeerk.
"Akhirnya," ayahku berkata, menghela nafas dan memarkir mobilnya. "Semua ayo
keluar." Botku berkeriuk keras menginjak kerikil dan jarum pinus. Bunyi pintu mobil
ditutup terdengar keras sekaligus tak ada artinya di tengah keheningan
pepohonan. Kabin Grandpa G berdiri di tengah lahan terbuka yang kecil dan berumput,
dikelilingi pohon-pohon pinus menjulang yang gelap. Ada jalan setapak yang
sering digunakan mengarah dari pintu depan lurus ke dermaga di danau.
Sunyi. Lalu, ibu dan kakek-nenekku menghambur keluar dari kabin. Kami dipeluk
dan dikomentari, diberi makan dan digiring ke beranda untuk bersantai.
"Mengetahui bahwa Grandpa G sudah tidak ada lagi membuatku sedih," ibuku berujar
pelan, memandangi matahari tenggelam di danau. "Dia benar-benar suka tempat ini.
"Aku ingat waktu dia baru pulang dari perang," kakekku merenung. "Dia jadi orang
yang berbeda. Dia bilang dia hanya menginginkan kedamaian setelah melihat


Animorphs - 31 Konspirasi The Conspiracy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlalu banyak." "Beberapa orang nggak bisa menangani kenyataan perang, kayaknya," kata Tom
ringan, membuat orang tua dan kakek nenekku memandang kaget.
"Dan apa yang mungkin kau ketahui soal perang, Tom?" kakekku bertanya datar,
seakan mencoba tidak terdengar semarah yang dia rasakan. "Aku tidak ingat pernah
mendengar pendapatmu"
"Kau benar," kata Tom cepat. "Itu hal bodoh untuk dikatakan. Sepertinya aku
hanya kepikiran bahwa Grandpa G menghabiskan seluruh waktunya di sini,
sendirian." Semuanya jadi santai dan melanjutkan kenangan mereka.
Tapi aku tidak. Aku hanya duduk dan menonton dan mendengar.
Aku tidak punya rencana. Tak ada rencana kecuali bereaksi ketika Tom bertindak.
Aku menunggu, bermain pertahanan lagi.
Giliranmu, Yeerk. Chapter 21 "Kenapa pemakamannya nggak bisa diadakan besok saja?" kata Tom malam itu,
setelah kami sudah berada di kamar loteng, "Maksudku, Minggu atau Senin, apa
bedanya?" "Grandpa G memang maunya begitu," jawabku, melihat sekeliling ruangan yang kecil
dan redup itu. "Lagipula, kata Mom mereka nggak pernah menguburkan orang pada
hari Minggu di sini. Hari Minggu hari kebangkitan, Senin pemakaman."
"Yeah, well, itu bodoh," Tom berkata, memerhatikan diriku berjongkok di depan
sebuah peti tua. "Ngapain kamu?"
"Nggak," jawabku, mengangkat setumpuk buku-buku tua berdebu dari atas sebuah
peti kulit kecil. "Ingat ini, nggak, Tom" Ini footlocker-nya Grandpa G."
(Footlocker = Semacam tempat penyimpanan barang bagi prajurit Amerika, dibilang
footlocker karena biasanya diletakkan di dekat kaki, di bawah tempat tidur. )
Tom meliriknya. Lalu mengalihkan perhatian, mengitari ruangan, mencari-cari hal
untuk dilakukan. Aku membuka footlocker itu, diserang oleh rasa darurat tiba-tiba. "Ingat nggak,
sekitar, lupa juga sih, waktu aku sepuluh tahun atau sekitar segitu" Dia
menunjukkan botol air minumnya dan foto-foto seragamnya di Battle of the
Bulge ?" (Battle of the Bulge = Desember 1944-Januari 1945 di pegunungan Ardennes di
Belgia.) "Mungkin," Tom bergumam.
"Mereka nggak tahu apa mereka bakal mati kedinginan atau kelaparan atau kena
tembak. Itu katanya."
Tom memutar bola matanya. Acuh tak acuh. Benar-benar seperti Tom, pikirku,
hampir kagum. Si Yeerk menjaga ilusi tersebut. Memainkan perannya kepada
kesempurnaan. "Natal, waktu mereka semua kangen rumah di lubang persembunyian mereka, mereka
nyanyi 'Malam Kudus.' Musuh mereka juga nyanyi lagu yang sama, bahasa Jerman.
Mereka dengar dari jauh. Kedua sisi rindu rumah. Kedua sisi berharap perang
cepat selesai." "Uh-huh." "Apa kamu nggak ingat watu dia memberitahu semua ini pada kita, Tom?" Aku
menekan, ingin dia mengakui bahwa dia mengingatnya. Ingin, tanpa alasan yang
jelas, Tom yang asli untuk mendesak cukup keras dan keluar, hanya semenit saja,
menjadi kakak manusiaku yang sesungguhnya lagi.
Tom menghela nafas. "Samar-samar. Aku nggak terlalu suka certa perang jadul."
Aku mengangkat kotak kecil yang berisikan Bintang Perak Grandpa G dan Hati Ungunya. "Dia orang yang berani. Dia percaya pada kehormatan. Dan semua-semuanya
dari film-film tua itu. Kehormatan dan keberanian dan lain-lain."
"Yeah, well, sekitar sejuta tahun yang lalu," kata Tom. "Kehormatan dan
keberanian bukan hal yang penting, di dunia nyata. Yang penting itu kamu menang
atau nggak. Setelah kamu menang baru kamu bisa bicara soal kehormatan dan harga
diri. Waktu kamu dalam pertempuran kamu hanya bisa melakukan apa yang harus kamu
lakukan. Kehormatan dan keberanian dan semua-semuanya" Itu kata-kata yang bisa
kamu umbar setelah kamu menghancurkan semua musuhmu dan orang lain yang jadi
halangan buatmu." "Kamu salah," balasku datar.
Dia memutar bola matanya, bosan sekarang. "Kamu masih kecil." Aku melihat mata
Tom menyipit. "Apa nih?" Dia meraih ke dalam footlocker itu dan mengangkat
sebuah sarung pisau kulit yang sudah terkelupas. Dari situ dia menarik sebuah
belati. Belati itu berkilauan tanpa rasa di bawah cahaya lampu yang redup.
Belati yang panjang, mungkin sekitar delapan inci.
Tiba-tiba, loteng itu jadi tertutup dan tak teraliri udara.
"SS," Tom menimbang-nimbang, mengamati benda itu. "Pisau Nazi tua. Grandpa G
pasti mengambilnya dari prajurit yang mati sebagai suvenir. Keren."
"Kamu mau ngaapin dengan benda itu?" Tanyaku.
Tom menelengkan kepalanya dan memandangiku.
"Maksudku, nggak bisa kamu ambil begitu saja," aku menambahkan cepat-cepat.
"Bukan punyamu."
"Hey, kamu dapat medali, aku dapat pisaunya, oke?" katanya. "Sempurna. Kamu bisa
duduk-duduk berpikir soal kehormatan dan keberanian dan semuanya, lalu aku dapat
senjata yang bisa dipakai. Kedengaran adil buatku."
Aku memertahankan ekspresiku sekosong yang kubisa. Aku, juga, sedang memainkan
sebuah peran. "Aku nggak bakal ambil apa-apa sebelum aku bicara sama Mom dan Nenek," kataku,
berhati-hati mengembalikan semua medali ke dalam kotak birunya dan menunggu Tom
melakukan hal yang sama dengan belati itu.
"Well?" Kataku. "Ayo, man, kembalikan ke dalam."
"Mom dan Nenek," ejeknya. "Kamu benar-benar masih kecil. Pikirmu semuanya begitu
mudah, ya, kan" Semuanya kalau nggak benar ya salah, hitam atau putih. Orang
baik, orang jahat, nggak ada yang di tengah."
Tidak, Yeerk. Tidak. Tidak lagi. Dulu memang begitu. Tapi aku sudah pernah
berada dalam garis itu; aku telah melakukan hal-hal yang tak pernah kuizinkan
diriku untuk memikirkannya lagi. Aku tahu segalanya soal bayangan abu-abu.
Aku berkata, "Kadang-kadang yang baik juga melakukan hal-hal yang buruk. Bukan
berarti nggak ada perbedaan di antara baik dan jahat."
"Baik dan jahat," katanya dengan senyum letih. "Kuat dan lemah. Itu
kenyataannya. Pemenang dan yang kalah."
"Pisaunya, Tom," kataku.
Dia meletakkannya balik ke footlocker.
Dia mematikan lampu. Kami merayap ke dalam tempat tidur kami masing-masing. Ke
lubang persembunyian kami masing-masing.
Chapter 22 Aku kedinginan. Membeku. Malam hari. Kakiku adalah kotak-kotak es yang padat, kecuali kain rombeng yang kubalut di
sekeliling bootsku yang robek. Jari-jariku kaku, mencengkram M-I rifle ku dengan
kaku. Aku memiliki satu klip dan setengah amunisi. Satu granat. Kalau tentara Jerman
datang semuanya akan selesai dengan cepat.
Aku tidak pernah lagi memakan makanan hangat sejak... Pernahkah aku memakan
makanan hangat" Pernahkah aku, pernahkah, merasa hangat" Bukankah aku selama ini
selalu berada di lubang beku, lubang hitam di dalam salju" Bukankah aku selama
ini hidup di pinggir hutan yang gelap, menggigil, gemetaran, menunggu mendengar
teriakan peluru yang berdatangan, menunggu mendengar bunyi clank-clank-clank
para tank" Malam Natal. Selamat Natal. Aku mendengar suara batuk keras dari lubang di sebelah. Matthews. Dia dari
Arkansas, Alabama. Salah satu dari tempat-tempat seperti itu. Anak selatan.
Seorang muda, salah satu cadangan terakhir di pasukan kami.
"Hey, nak," aku berkata dalam bisikan serak. "Angsa atau ham?"
"Apa?" Dia menarik nafas dari antara batuknya.
"Di rumah, apa yang biasa ibumu masak buat makan malam Natal" Angsa atau ham?"
Beberapa saat dia tidak menjawab. Lalu, "Ham."
"Yeah" Kami selalu makan angsa. Ibuku memasak angsa." Dari lubang kedua, di
sebelah kananku, sebuah suara mengatakan," Jangan dengarkan dia, nak. Sersan
nggak punya ibu." Kupikir anak itu tertawa. Susah membedakannya dengan batuknya. Pneumonia,
sepertinya. Dia seharusnya dievakuasi. Tapi tidak ada yang dievakuasi. Candaan
soal hal itu biasanya berbunyi: bahkan setelah kau mati kau hanya punya tiga
hari cuti setelah itu kau harus kembali lagi ke garis depan.
"Sersan," panggilnya setelah batuknya berkurang. "Sersan."
"Yeah." "Kamu yang tulis suratnya, oke" Aku tahu itu tugas kaptennya, tapi dia nggak
mengenalku. Kamu yang tulis surat."
Hanya ada satu surat. Surat yang akan memberitahu keluarga Prajurit Matthew
bahwa dia termasuk dalam daftar mereka yang mati terhormat.
Aku mengatakan sesuatu yang kasar dan cabul. Tak bisa membiarkan dia berpikir
seperti itu. Saat kamu mulai berpikir kamu akan mati, mungkin akan begitu
jadinya. "Beritahu ibuku kerjaku lumayan," ujarnya.
"Beritahu dia sendiri, aku bukan U.S. Mail," kataku. "Beritahu dia setelah kamu
pulang." "Merry Christmas," kata suara pahit di sebelah kananku.
Selama beberapa waktu tidak ada yang berbicara. Kami mendengarkan peluru
berdatangan. Kami mendengarkan para tank. Kami menunggu kokangan rifle para
sniper dan teriakan seseorang yang sekarat.
Tapi kemudian udara yang tipis dan menggigit itu dipenuhi suara-suara,
berantakan pada awalnya, kemudian terangkat menjadi sebuah harmoni yang
mempermanis malam, membawaku pulang ke rumah dan keluargaku, mengisi kekosongan
dan perutku yang sakit, dan menyejukkan luka-luka yang hatiku perih lelah.
"Malam Kudus." "Sunyi senyap," Prajurit Matthews berbisik, tersenyum.
"Kupikir aku juga mendengar tentara Jerman bernyanyi," aku berkata.
"Yeerk nggak bernyanyi," kata Matthews. Tiba-tiba dia berada di sampingku.
Dia membuka matanya. Memamerkan gigi-giginya.
Dan menusukkan belati Nazi itu tepat ke jantungku.
Mataku terbuka kaget. Kegelapan. Aku duduk, jantung bertalu-talu.
Melirik ke sisiku. Tempat tidur satunya kosong.
Aku berada di kabin Grandpa G.
Tidur di kamar loteng bersama kakakku.
Dan sudah sangat malam. Terlalu malam bagi Tom untuk bangun.
Nafasku membeku di tenggorokanku. Aku berguling dan membuka footlocker itu.
Belatinya tak berada di sana.
Chapter 23 Aku melonjak dari tempat tidur.
Memakai sweater dan sandal keluar kamar.
Menuruni tangga. Cahaya malam memancarkan sinar keemasan yang samar-samar.
Mendengkur. Menggumam. Semuanya mash terlelap. Aku berhenti di ruang utama dan memandangi sofa tidur.
Ibuku di sana. Ayahku tidak. Oh, tidak! Apa aku sudah terlambat" Apa aku sudah memberikan kesempatan pasti
dan tepat yang sudah ditunggu-tunggu olehnya"
Aku mendorong pintu depan.
Creeee... Aku berdiam diri. Menahan nafasku. Tak ada apa-apa. Aku menyelip dari celahnya dan menunggu di bayang-bayang teras.
Mendengarkan. Angin membawa suara-suara.
Di sana! Ayahku dan Tom sedang duduk di pinggir dermaga, berbicara dan mengayunkan kaki
mereka di atas air. Ayahku tertawa dan memeluk punggung Tom spontan.
Di belakang sweatshirt Tom ada tonjolan.
Menunjukkan, selama beberapa saat, belati berkilauan yang tertanam di
kantongnya. Ayahku tidak menyadarinya. Dia tertawa lagi dan menarik tangannya.
Tom dan ayahku, berbicara secara pribadi di tengah malam.
Tom, si pengkhianat. Ayahku, yang terkhianati.
Aku tak punya keraguan akan siapa yang menghasutnya.
Tom, meminta maaf soal kelakuannya yang buruk. Ingin berbicara pada ayahku, pria
ke pria. Berbohong. Dia sudah menggiring ayahku ke luar, dimana tidak ada yang akan mendengarkan.
Tom menyelipkan tangan ke belakang dan melingkarkan jari-jarinya ke belati itu.
Mempererat cengkeraman ke pegangannya.
Aku harus melakukan sesuatu.
Cepat! Aku berjingkat ke dermaga dan berlari, tetap dalam garis pohon yang gelap,
berubah wujud sambil bergerak.
Aku tidak peduli setelah aku morf, Tom akan menyadari akulah musuhnya.
Dan sekali dia mengetahui hal itu, aku tidak dapat membiarkannya hidup.
Dia bertindak, aku bereaksi.
Adrenalin mengguyur pembuluh darahku.
Menenggelamkan rasa panik yang menggeleparkan.
Bulu tebal, oranye dan hitam, tumbuh, bergelombang di sekujur tubuhku. Hidungku
memipih, melebar. Indraku menyala. Penciuman! Pendengaran! Penglihatan malam
hampir sebaik burung hantu.
Aku dapat mencium kegembiraan kakakku.
Dia senang, menunggu pembunuhan.
Indra harimau. Kekuatan harimau. Tom akan jadi tak berdaya. Laki-laki dengan
pisau melawan seekor harimau" Seperti melawan sebuah tank dengan pistol Nerf.
Aku jatuh ke depan sementara tulang-tulangku melebur dan terbentuk kembali
menjadi empat kaki yang kuat dan berotot.
Cepat! Aku menjerit dalam diam, tersandung saat kakiku melebar dan kuku kakiku
melengkung menjadi cakar yang mematikan.
Tapi aku baru setengah jalan ke dermaga ketika Tom mengeluarkan belatinya yang
berkilauan. Chapter 24 LCCRRRRAAAACCCKKKK! Suara tajam yang merobek malam.
Ayahku dan Tom menoleh kaget sementara dermaga kayunya miring dan jatuh dengan
bunyi deritan. Mereka menggapai-gapai mencoba mencari pegangan, tapi papan-papannya adalah
akordion yang sedang diremas. Seluruh dermaga sedang dilipat oleh suatu kekuatan
besar. Tom dan ayahku keduanya tergelincir ke dalam air.
"Hei!" Ayahku berteriak, terjatuh.
Dia muncul kembali, menarik udara, terantuk sesuatu, dan turun lagi.
Aku mematung di bayang-bayang, terkejut, terperangah, menunggu apa yang akan
terjadi. Ayahku bisa berenang seperti seekor ikan. Kenapa dia naik ke permukaan dan turun
lagi" "Glug," dia menguak, memunculkan diri beberapa yard dari dermaga yang hancur itu
dan hampir langsung menghilang lagi.
Seakan-akan sesuatu sedang menariknya ke bawah dan menyeretnya menjauh dari Tom...
Tom kalut, memercikkan air dan berayun-ayun di air, tidak mencoba menyelamatkan
ayahku, hanya ingin membiarkannya berada dalam jarak pandang. Kenapa" Agar dia
bisa menontonnya mati" Agar dia bisa mencapainya dan menggunakan belati itu"
Kemarahan bergaung di telingaku.
Bulu-buluku beriak dan berdiri di ujung.
Mulutku yang masih-manusia mengencang menjadi geraman.
Aku bergerak ke depan lagi.
"Gak," ayahku tersedak, muncul sepuluh yard lebih jauh lagi dari dermaga.


Animorphs - 31 Konspirasi The Conspiracy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tom berayun memutar di air, mencarinya
Tiba-tiba, sebuah sirip memuncah di permukaan danau di belakang Tom.
Hiu" Pikirku kosong. Hiu di danau pegunungan"
Bukan, bukan seekor hiu. Lumba-lumba! Sebelum aku dapat bergerak, sirip itu menyayat air dan sesuatu menabrak tepat di
punggung Tom. "Oof!" Tom membengkokkan badan, mata melebar karena kaget, dan terdorong ke
depan, menabrak danau yang beriak muka duluan.
Dia tidak bergerak lagi setelah itu.
Sirip itu - bukan, ada lebih dari satu - sirip-sirip itu menyelinap tanpa suara
ke bawah permukaan. "Tom! Tom, kamu baik-baik saja"!" Ayahku berteriak, memanjat ke tepian. Dia
sudah diseret dua puluh yard di danau dan terhuyung kembali melewati semak-semak
tebal yang diselimuti belukar.
Tom mengapung tengkurap, tak bergerak dalam air.
Ayahku tidak akan bisa datang tepat waktu untuk menyelamatkannya.
Aku bisa. Harimau bisa berenang. Aku dapat menyelamatkannya.
Tapi aku tidak bergerak. Membeku. Otak terkunci pada satu kenyataan bahwa jika
Tom meninggal dia akan, pada akhirnya, bebas. Bahwa jika si Yeerk mati aku akan
bisa membalaskan dendamku. Kami akan jadi lebih aman, lebih kuat, lebih bebas
dari seorang pengendali bernama Tom yang sudah mati dan pergi.
Tidak tahu apa yang harus kulakukan.
Sebuah suara memerintahkan.
Aku patuh, lega dalam satu kali ini untuk memenuhi perintah daripada
memberikannya. Lega karena keputusan sudah diambil dari tanganku.
Yang lainnya sudah membuntutiku ke kabin.
Mereka sudah mendukungku bahkan sewaktu aku sudah mengatakan tidak. Mereka sudah
mengambil keputusan dari tanganku.
Aku maju ke depan. Kakiku sudah kembali menjadi manusia.
Aku berdiri. Bulu-buluku sudah menghilang.
Tom akan tenggelam kecuali aku menyelamatkannya.
Menyelamatkannya mungkin masih akan berarti kematian ayaku.
Tolong aku! Aku ingin berteriak. Beritahu apa yang harus kulakukan!
Air danau bergelombang. Bergejolak.
Dan tiba-tiba tubuh Tom yang lemas dan tak sadarkan diri terseret melintasi air
seperti sebuah papan seluncur, didorong terus-menerus ke pinggiran.
Aku berlari ke pinggir air. Bayanganku di riak sinar bulan adalah manusia.
Terengah-engah, aku menarik tubuh Tom ke daratan.
Memutar tubuhnya. Air mengalir dari mukanya.
Kaki kanannya menggeliat dan terpuntir dalam sudut aneh yang gila dan
menyakitkan. "Tolong," aku bersuara, melompat ke kakiku. "Tolong!"
Tom mengerang. Terbatuk. Dia tersedak dan mengeluarkan kumpulan air danau yang
bau. "Jangan bergerak," kataku asal, mencoba menahannya diam sementara dia terbatuk.
Ada yang salah dengan kakinya. Ada engsel dimana seharusnya tidak ada. "Kayaknya
kakimu patah." "Jake!" Ayahku berteriak, terhuyung datang. Pakaiannya terkulai, basah dan
robek, dan dia diselimuti lumpur yang hitam dan licin. "Apa Tom baik-baik saja?"
"Nggak," aku menjawab, menggelengkan kepala. "Seseorang sebaiknya menelepon
ambulans. Dad, cepat!"
Ayahku berlari ke kabin. Aku menoleh pada Tom. Di dalam kepalanya ada seorang pembunuh. Dia hampir
membunuh ayahku. Tapi apa yang kulihat, mata yang sedang kutatap, adalah milik kakakku.
Aku duduk di lumpur sebelahnya.
Wajahnya pucat karena terkejut, matanya dipenuhi kesakitan suram. Giginya
bergemeletukan dan air mata merembes ke rambutnya.
"Pergi dari sini, cebol," nafasnya sesak, menggeliat. "Pergi dari sini dan
tinggalkan aku sendiri!"
"Nggak mau," jawabku, bergerak mendekat. "Aku... nggak mau."
Dan aku tidak bergerak sampai aku mendengar bunyi dalam THWOK THWOK THWOK dan
sebuah helikopter medis turun dari malam berbintang dan membawa Tom pergi.
Chapter 25 "Oke, sayang. Kamu, juga."
Ayahku menutup telepon dan menghela nafas. Dia menyisir rambutnya yang kusut
dengan tangannya, lalu menoleh untuk melihat wajah-wajah resah.
"Well?" Tanyaku.
"Ibumu bilang mereka mengevakuasi Tom lansung ke rumah sakit dekat rumah kita,"
kata ayahku, menjatuhkan diri di kursi. "Sepertinya dia kena patah tulang
kompleks dan rumah sakit kita cuma satu-satunya di daerah situ yang punya cukup
peralatan." "Serius," kataku, sama sekali tidak kaget.
Tentu saja: di rumah. Di mana ada banyak Pengendali untuk meyakinkan bahwa Tom
mendapat akses ke sinar Kandrona penyelamat-jiwa milik kolam Yeerk.
"Dia sedang kesakitan dan akan tinggal di tempat tidur beberapa saat, tapi
setidaknya dia akan baik-baik saja," ayahku berkata berat. Dia menggapai dan
memelukku. "Syukur sekali kamu sampai tepat waktu buat menyelamatkan dia, Jake."
"Aku nggak menyelamatkannya," kataku. "Dia mengambang menjauh dari tepian. Aku
cuma menariknya keluar dari air."
"Dan menyelamatkannya," ayahku bersikeras, melepaskanku. "Aku benar-benar takut
malam ini, Jake. Aku sama sekali tidak mau kehilangan salah satu dari kalian."
"Aku juga," jawabku.
Dan semuanya nyaris saja. Belati setengah-dikeluarkan. Harimau berlari.
"Well, aku butuh secangkir kopi," kata ayahku.
"Aku akan membuatnya," nenekku menawarkan.
"Buatkan aku juga, ya," kakekku menambahkan.
"Hal pertama besok pagi, aku akan memanggil siapapun yang membangun dermaga itu
dan membacakan pasal kerusuhan pada mereka," kata ayahku. "Lalu aku mau bicara
pada seseorang tentang gelombang pasang atau arus atau apalah itu yang
menyeretku turun ke danau. Berbahaya sekali!"
"Yeah. Um, begini, aku akan kembali, oke?" Kataku. "Butuh udara segar."
Aku menyelinap keluar dari pintu dan masuk ke kegelapan yang memudar.
Aku berdiri di sana mendengarkan, tapi tidak ada gunanya.
Pendengaran manusia begitu terbatas.
Aku merentangkan tangan seperti, Well"
Tobias memanggil dari kumpulan pohon pinus yang lebat.
Aku berjalan dan bertemu dengan mereka di bayang-bayang.
Tanpa kutanya, mereka memberitahuku bagaimana mereka melakukannya.
Bagaimana Tobias terus-menerus mengawasi dan membunyikan tanda bahaya ketika Tom
dan ayahku keluar dari kabin.
Bagaimana Cassie cepat-cepat morf jadi paus dan berjuang di air pengikiskesabaran sedangkal dua puluh kaki untuk menghantam dermaga, berdoa dia tidak
akan kandas sebelum sampai di sana.
Bagaimana Rachel dan Ax sudah morf menjadi lumba-lumba, menggempur Tom,
mematahkan kakinya, dan menyeret ayahku ke tempat aman.
Aku ingin mengatakan banyak hal.
Seperti bagaimana mereka sudah menyelamatkan keluargaku.
Kewarasanku. "Thanks," ujarku.
"Hei, jangan dipikirkan," kata Rachel sambil lalu. "Kamu juga butuh liburan
kok." diselubungi mamalia kecil dan kehidupan liar bervariasi lainnya," kata Ax,
memutarkan satu mata pengintai ke pondokan berburu yang sudah tidak digunakan
lagi di seberang danau.
"Dan tikus. Jangan lupakan tikusnya," tambah Cassie sambil tertawa.
Tobias menawarkan.
"Itu karena kamu bisa makan seperti babi," kata Rachel.
Mereka mencoba terlalu keras.
"Dimana Marco?" Tanyaku.
Cassie mengangkat bahu. "Dia nggak tahu apa kamu mau melihatya sekarang juga.
Dia pikir kamu masih butuh waktu menenangkan diri atau apalah."
"Keluar saja, Marco."
Dia menjejakkan kaki ke dalam jarak pandang dari balik sebuah pohon. Terlihat
sedikit waspada. Tidak mengejutkan, memikirkan seperti apa aku memerlakukannya
beberapa waktu lalu. "Hei, Big Jake."
"Marco. Pasti ini rencanamu."
"Kurang lebih."
"Yeah. Well. Rencana bagus."
"Thanks, Nggak akan berhasil tanpa para Chee," kata Marco, mengangkat bahu
seakan hal itu bukan apa-apa. "Mereka yang jadi pilot di heli medisnya dan
bersikeras membawa Tom pulang ke rumah. Tanpa mereka, semua yang tersisa cuma
anak dengan kaki patah sendirian di tengah-tengah hutan."
"Tom sudah balik ke rumah. Hidup. Ayahku hidup. Krisis terlewati. Aku seharusnya
memikirkannya sejak awal. Tom, terluka, punya alasan sempurna untuk tidak ikut
ke sini. Aku seharusnya sadar."
Marco mengangkat bahu. "Yeah, well..."
"Aku terlalu dekat dengan masalahnya," kataku. "Kamu benar. Aku terlalu dekat
untuk melihat semuanya jelas-jelas."
Marco tidak membantah. Dia tidak membanggakan diri juga. Sepertinya kami semua
punya kekuatan dan kelemahan kami masing-masing. Kekuatan Marco adalah kemampuan
untuk melihat jalan menuju tujuan, bahkan walau itu berarti tidak ambil pusing
terhadap akibatnya dan perasaan akan benar dan salah.
Dia telah melihat solusi yang sudah kulewatkan.
Aku menarik lengan Marco dan membawanya menjauh dari yang lainnya. Ke tempat
mereka tidak akan mendengar.
"Kamu teman terbaikku, Marco. Kalau kamu sekali lagi bilang aku lepas kendali,
terlalu dekat sama masalah, nggak bisa memimpin - "
"Kamu mau nendang pantatku?" Selanya sambil nyengir.
"Nggak. Aku bakal dengar. Bakal kudengarkan. Baru kutendang pantatmu."
Dia tertawa. Aku tertawa. Apa yang bisa kukatakan"
Marco dan aku sudah jadi teman sejak zaman purba. Kami bergabung dengan yang
lainnya. Aku menghentikannya. "Marco?"
"Apa?" "Semua rencana ini berjalan gara-gara Tom keluar kabin dan membuat dirinya
sendiri rawan. Bagaimana kalau dia nggak keluar?"
Marco tidak memandangku. "Kamu harus menjaga agar aku nggak mengacaukan rencana, apapun akibatnya," aku
menekan. "Kamu harus menjaga keamanan kelompok kita dan menjagaku tetap hidup.
Itu prirotas utamamu."
Dia mengangguk. "Jadi, bagaimana kalau kamu nggak sampai tepat waktu" Bagaimana kalau Tom
berhasil membunuh ayahku?"
"Cukup jelas, setelah kupikir-pikir, kalau Tom membunuh ayahmu kamu akan lepas
kendali," kata Marco kalem. "Kayak permainan catur; Tom makan ayahmu, kamu makan
Tom. Kamu akan pergi dan mengejar Tom, menyingkapkan dirimu dan kami semua. Game
over. Jadi kami nggak bisa membiarkan itu terjadi. Ayahmu harus selamat agar
kamu juga selamat. Bidak yang bisa dibuang itu Tom. Tapi jika ada sesuatu yang
terjadi pada Tom, harus terlihat alami, bukan seperti seorang Animorph yang
melakukannya, dan kamu nggak boeh terlihat terlibat. Harus dilakukan dengan
sangat hati-hati. Jadi, kalau memang begitu jadinya - "
"Jangan," ujarku pelan.
Aku menggelengkan kepala. Aku tidak mau tahu.
Untuk beberapa saat tak ada dari kami yang mengatakan apapun. Aku hanya
membiarkannya tenggelam. Kamu tahu apa yang biasanya kubicarakan dengan Marco" Apakah Batman dapat
mengalahkan Spiderman. Apa Sega lebih bagus daripada Nintendo. Apa seorang cewek
lebih baik jalan bersama dia atau denganku.
Dan sekarang... "Sekarang kita ini apa, Marco" Apa yang sudah terjadi pada kita?" Dia tidak
menjawab. Aku tidak menunggu jawabannya. Kami berdua tahu apa yang telah
terjadi. "Sebaiknya aku kembali ke dalam," kataku.
"Yeah. Dan kami harus pulang ke rumah. Kami menumpang mobil ternak kemari. Kami
mencari sesuatu yang lebih nggak berbau untuk perjalanan pulang."
Aku kembali ke dalam kabin.
Chapter 26 Ibuku pulang hari berikutnya. Hari itu hari Minggu, hari kebangkitan Grandpa G
dan kemudian kami melakukan pemakamannya hari Senin.
VFW chapter sekitar situ datang dan membawa seorang bugler, yang memainkan lagu
dengan ketukan lambat dan sendu.
Prajurit yang lain mengambil bendera Amerika yang terlipat dari kotaknya dan
memberikannya ke nenekku, anak perempuan Grandpa G.
Dia dan pria-pria tua itu memandang satu sama lain untuk waktu yang lama dan
senyap seakan mereka sedang bertukar kenangan, pengalaman seumur hidup yang
hanya dapat dimengerti oleh mereka sendiri.
Tetapi aku mengerti. Mungkin bukan perang mereka, tapi perang kami. Karena sekarang kamilah yang
bersiaga di garis depan. Yang bertarung dan berdarah, berhasil dan gagal, menang
dan kalah. Aku tahu apa yang dimaksud Grandpa G sekarang.
Dia hanya berbicara soal perang dua kali, setidaknya padaku. Sekali, ketika dia
membuka footlockernya. Dan satu lagi, benar-benar dulu, ketika kami berdua duduk
di dermaga. Ketika perangku selesai, jika aku bertahan hidup, mungkin aku tidak akan
berbicara banyak soal itu juga.
Dengan pengalaman seperti itu, satu kali sudah cukup.
Kami masing-masing meletakkan setangkai mawar di petinya sementara kami pergi.
Bukan pemakaman yang besar, tapi semua orang di sana menangis. Bagaimanapun, aku
juga. Ketika kami kembali ke kabin kami menelepon rumah sakit dan berbicara dengan
Tom. Dia baik-baik saja. Semuanya kembali seperti semula. Kakakku masih hidup. Begitu juga dengan musuh
di dalam kepalanya. Semuanya adalah pertarungan sia-sia. Tak ada yang
menginginkannya, tak ada yang mendapat keuntungan karenanya. Semuanya menderita.
Chapman, Ax, Tom, Marco, dan seseorang yang hanya ingin tempat parkirnya
kembali. Dan aku. Tapi kami semua bertahan hidup, dan dalam perang kapanpun kau bangun dari
tidurmu untuk melihat sinar mentari, itu adalah sebuah kemenangan.
Aku dan keluargaku bermobil kembali hari Selasa.
Aku duduk di kursi depan dengan ayahku sementara ibuku tertidur di belakang.
Ayahku membiarkan aku memilih stasiun radio dan memberitahuku untuk kesepuluh
juta kalinya betapa musik di 'hari-harinya' dulu jauh lebih baik daripada
sekarang. Kami makan siang burger dan ibuku memberitahu kami hanya untuk
kesepuluh juta kalinya kami terlalu banyak makan lemak jenuh. Kami kembali ke
jalan untuk menyaksikan 'Bola Pintal Terbesar di Dunia!' Kau tahu, kecuali semua
bola pintal 'Terbesar di Dunia' lainnya.
Hal-hal kecil dan sederhana, tetapi menyenangkan.
Kami berbicara tentang Grandpa G kemudian hal-hal lain.
Hal-hal normal. Perjalanannya selalu terasa lebih singkat kalau pulang.
Tom sudah menjatuhkan belati Nazi itu di air ketika dia terlontar dari dermaga.
Sepertinya sudah tenggelam ke dasar danau.
Aku bisa mendapatkannya kembali, mungkin. Tak kulakukan.
Tapi aku memiliki medali-medali Grandpa G di dalam kantongku. Nenekku telah
memberikannya kepadaku. Dia bilang Grandpa G ingin agar aku yang memilikinya.
Aku selalu tahu dia sudah menjadi seorang pahlawan dalam perang. Bahwa dia
mendapatkan medali dan lain sebagainya. Dan aku dulu bertanya-tanya mengapa dia
tidak meletakannya dalam kotak kaca, memamerkannya kepada seisi dunia untuk
melihat. Tapi aku sedikit lebih bijak, sekarang.
Bagi orang yang mendapatkannya, medali tidaklah begitu sederhana. Setiap kali
Grandpa G melihat medali-medali itu dia akan berpikir tentang semua hal yang
telah terjadi, hal-hal yang dia lihat dilakukan oleh orang lain, hal-hal yang
telah dia lakukan sendiri.


Animorphs - 31 Konspirasi The Conspiracy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku tahu dia bangga menjadi seorang berani, bangga karena telah mencoba sebaik
mungkin bagi negaranya. Tapi aku juga tahu kenapa medali-medali itu dibungkus,
dalam footlocker, dalam loteng, dibiarkan jauh dari pandangan.
Mungkin nanti akan ada medali bagi mereka yang bertarung dalam perang melawan
Yeerk. Aku harus membeli satu footlocker.
END Translated by Nat 2010 ginger_shive@yahoo.com Re edited by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Pesanggrahan Telaga Warna 1 Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung Si Kumbang Merah 17

Cari Blog Ini