K.A. Applegate Penyakit (Animorphs # 29) Judul asli: The Sickness Terbit Juni 1999, ghostwriter Melinda Metz Quote sampul depan: "Cassie akan melakukan sebuah perubahan untuk membuat
segalanya menjadi lebih baik..."
Translated by Nat. 2009 ginger_shive@yahoo.com Re edited by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Chapter 1 Namaku Cassie. Kuharap aku bisa memberitahu nama lengkapku. Karena artinya aku ini hanya gadis
baik-baik yang normal. Tapi aku tidak begitu. Tidak baik. Tidak normal Oke,
teman-temanku pikir aku baik. Marco selalu memanggilku pemeluk-pohon. Dan
meskipun aku sebenarnya tidak memeluk pohon-pohon, aku memang peduli pada
mereka. Fakta yang membuatku semakin baik, ya kan" Gadis yang peduli pada pohon
seharusnya baik hati. Kalau gadis itu tidak pernah merobek leher makhluk hidup dengan gigi-gigi
telanjang. Aku pernah melakukannya.
Aku sedang morf menjadi serigala, tenggelam dalam pertarungan. Tujuh Hork-Bajir
melawan enam anggota kami. Jake memberikan perintah untuk mundur. Dan entah
sebelum atau sesudah dia mengatakan itu, aku mencabik leher Hork-Bajir yang
sedang bertarung denganku.
Kuharap sebelum. Kuharap aku tidak mengijinkan diriku sendiri mencabut nyawa
disaat aku bisa saja pergi kabur. Tapi aku tidak yakin.
Itulah alasan mengapa aku tidak mengkategorikan diriku 'baik'. Mungkin kamu
sudah mendapat petunjuk mengapa aku tidak bisa dikategorikan sebagai 'normal'
Singkatnya : Seorang pangeran Andalite bernama Elfangor memberikan kekuatan
untuk morf kepadaku dan empat teman-temanku. Dia tahu dia akan mati, dan dia
tidak mau meninggalkan Bumi begitu saja di tangan Yeerk.
Dia memperlihatkan sebuah kubus biru kecil kepada kami. Kami menyentuhnya. Dan
kami berubah. Kubus morf itu lenyap selama beberapa waktu. Sekarang kami memilikinya lagi.
Kami menggunakannya sekali, untuk menambah Animorphs baru dalam grup.
Lalu kami harus mengurangi Animorphs baru itu. Dan sejak saat itu kami
menyembunyikan kubus birunya.
Sejak malam itu di tempat pembangunan terbengkalai, sejak perubahan itu, lima
dari kami, ditambah adik laki-laki Elfangor, berjuang melawan Yeerk.
Yeerk adalah parasit. Yeerk memasuki tubuh induk semang mereka melalui liang
telinga, memipihkan tubuhnya sampai dia mencapai otak, dan mengambil alih secara
total. Induk semang tidak bisa menggaruk bagian yang gatal kecuali Yeerk mereka
mengizinkannya. Kami menyebut orang-orang yang sudah dikontrol sebagai
Pengendali. Kamu pasti berpikir bahwa para Yeerk benar-benar jahat. Tapi biarkan aku
memberitahumu bagaimana rasanya menjadi Yeerk di luar tubuh induk semang. Yeerk
itu pada dasarnya berbentuk siput abu-abu. Tanpa tangan, tanpa kaki, tanpa mata,
tanpa telinga. Jika seorang Yeerk ingin bebas, bebas untuk benar-benar bergerak, bebas untuk
melihat keindahan dunia disekitar mereka, bebas untuk mendengar musik atau
bahkan bunyi rintik hujan jatuh di dedaunan, jika seorang Yeerk menginginkan hal
itu, dia harus memiliki induk semang. Jika seorang Yeerk ingin bebas, dia harus
memperbudak makhluk lain.
Bukan pilihan mudah, ya kan"
Aku tahu satu atau dua hal mengenai pilihan sulit. Aku sudah membuat berbagai
pilihan sulit sejak aku menjadi seorang Animorph. Dan salah satu yang paling
sulit dari semuanya adalah apakah aku memang ingin menjadi seorang Animorph.
Karena aku tahu nanti saat -jika- segalanya telah berakhir, mungkin sudah
terlalu terlambat bagiku untuk menjadi baik dan normal lagi.
Seperti yang pernah kukatakan, aku tahu satu atau dua hal mengenai piliahn
sulit. "Jadi, Cassie, ini plihanmu. Kalau kamu terdampar di pulau nggak berpenghuni,
siapa yang kamu pilih untuk menemanimu - Baby Spice atau Marco?" Tanya Rachel
saat kami duduk di bangku kantin kami yang biasa.
(Baby Spice: Aliasnya Emma Bunton, anggota termuda Spice Girls. Disebut Baby
Spice gara-gara suka pake baju baby doll.)
"Hah?" Tanggapan apa lagi yang bisa kukeluarkan dari pertanyaan itu"
"Permainan pulau tak berpenghuni," jawab Rachel. "Kamu pilih dua orang
menyebalkan. Lalu pilih lagi salah satu dari mereka yang paling bisa kamu
toleransi kalau kalian berdua terdampar di pulau tak berpenghuni."
Aku melirik Marco di seberang kafetaria. Dia dan Jake sedang duduk di meja dekat
jendela. "Marco nggak - " aku memulai.
Rachel mencengkram lenganku. "Hei, shush. Coba dengar Allison dan Brittany," dia
berbisik. Aku mengambil yoghurtku dari tas dan mencoba menguping tanpa terlihat sedang
melakukannya. Allison dan Brittany duduk di ujung berlawanan meja kami.
"Mungkin aku harus mengajaknya ke pesta dansa," kata Allison.
Ini yang Rachel mau aku dengarkan"
"Lakukan saja," Brittany mendesak. "Jake memang sudah jadi cute banget."
Tunggu. Apa dia bilang Jake" Si Jake" Atau Jake yang lain"
Aku memperhatikan Brittany dan Allison sekilas. Mereka berdua sedang memandangi
Jake. Jake yang itu, pemimpin Animorphs. Jake-ku.
Sekarang mungkin kamu sedang membayangkan kami berdua berjalan di sekolah
bergandengan tangan, mungkin berciuman di dekat locker sebelum kelas dimulai.
Tapi sebenarnya tidak seperti itu.
Hubungan kami lebih kepada bagian dalamnya. Kami hanya pernah berciuman sekali.
Meskipun aku akan senang kalau hal itu terjadi lagi.
Tapi kebanyakan orang di sekolah tidak tahu kami jadian. Tentu saja.
"Hei, Allison. Hei, dengarkan aku sebentar."Allison menoleh dan Rachel
menggelengkan kepalanya pelan-pelan. "Uh-uh. Jangan pernah memikirkan hal itu.
Jake punya Cassie." Mukaku memanas saat Brittany dan Allison mulai memandangiku dari atas ke bawah.
Aku tidak cantik seperti Rachel. Dan kuakui kadang-kadang jeans-ku ternodai
kotoran burung. Aku menghabiskan banyak waktu membantu ayahku di Klinik Satwa
Liar yang terletak di gudang jerami kami, dan burung, selayaknya burung, memang
membuang kotoran. Tapi hal itu tidak penting bagi Jake. Aku tahu bagaimana perasaannya terhadapku.
Allison mengedikkan rambut merahnya yang diikat ekor kuda ke belakang bahunya.
"Kelihatannya Jake dan Cassie nggak sedang jadian," dia memberitahu Rachel. "Dia
duduk di sana. Cassie di sini. Di sana, di sini. Jauuuuuuh di sana, berlawanan
dengan tepat di sini."
"Yeah," Brittany menimpali. "Memangnya Jake sudah mengajaknya ke pesta dansa?"
Mereka bahkan tidak bertanya padaku. Mereka berlagak seolah-olah aku ini tembus
pandang. Aku sudah terbiasa akan hal itu. Rachellah yang selalu hidup dengan lampu sorot
pribadi menyala setiap waktu.
"Pesta dansa" Tentu saja dia mengajaknya ke pesta dansa," kata Rachel.
Lalu dia berdiri dan mengambil yoghurtku di satu tangan, tasku di tangannya yang
lain. "Allison, Brittany, kami, Cassie dan aku, akan pergi ke sana. Jauuuuuuh ke
sana." Rachel berjalan melintasi kafetaria menuju Marco dan Jake. Aku tidak
punya pilihan lain selain mengikutinya.
"Kamu dan sepupuku bikin aku pingin melempari kalian," katanya dari balik bahu.
"Jake bisa menghadapi kematian tiap hari, tapi dia nggak bisa mengajak cewek ke
pesta dansa. Dan kamu juga nggak lebih baik."
"Aku" Memangnya apa yang harus kulakukan?" Aku memprotes.
"Ampun, deh. Bahkan Allison si Kepala Kosong tahu," kata Rachel.
Rachel duduk di sebelah Marco. Dia meletakkan yoghurtku di sebelah Jake.
Aku paham maksudnya dan duduk di sebelahnya.
"Kita semua pergi ke pesta dansa malam Kamis," Rachel memberitahu Jake. "Dan
kamu bareng Cassie."
Jake tersedak makaroni sapinya. Marco memukul-mukul punggungnya.
"Jadi, Rachel, kayaknya berarti kamu juga butuh pasangan, huh?" Kata Marco. "Aku
bisa meluangkan waktu dari jadwalku yang padat."
"Lihat itu! Babi terbang!" Rachel berseru. Lalu, "Oh, sori, aku salah lihat.
Kupikir tadi aku melihat babi terbang. Tapi ternyata nggak. Dan aku akan pergi
denganmu hanya setelah aku melihat babi terbang."
Jake memulihkan diri. Mukanya merah padam. Aku menunggu dia mengatakan bahwa
kami tidak akan pergi ke pesta dansa. Kupikir dia akan memerintahkan kami semua
menghabiskan malam itu mengawasi Yeerk atau apa.
Tapi Jake hanya tersenyum kepadaku. "Kita bisa melewatkan malam itu melakukan
sesuatu yang enak dan normal."
"Oh man," Marco mengerang.
"Apa?" "Tiap kali kita mencoba melakukan hal yang enak dan normal biasanya selalu
berakhir menjijikkan dan aneh," ujarnya. "Tiap kali."
Chapter 2 Pesta dansa. Bayangkan musik keras. Bayangkan keripik dan saus celup dan semangkuk snack
campur. Bayangkan pencahayaan yang redup, dekorasi yang menjulur-julur, guru-guru
berkumpul di luar toilet mendiskuksikan apakah mereka harus melakukan mogok
kerja. Bayangkan cowok sebagian besar berkumpul dengan cowok, cewek sebagian besar
dengan cewek. Tapi dengan banyak kontak mata.
Bukan tempatku, sebenarnya. Rachel sudah memaksaku memakai gaun. Dia menyeretku
ke mall, memakaikan baju seakan aku adalah boneka Barbie pribadinya.
Aku menggunakan sepatu yang tidak akan bisa kupakai berlari. Bahkan ada make-up
di wajahku. Aku merasa sebagai orang aneh terbesar yang paling mencolok dari sejarah orang
aneh. "Ax-man, seseorang sedang mengecekmu," kata Marco.
Aku tidak kaget Ax mendapat perhatian. Morf manusianya memang cute. Lebih kepada
cantik daripada cute, sih.
"Ah, nggak. Dia sedang mengecekku," ujar Tobias. Dia melirik Rachel dengan cepat
untuk melihat apakah dia suka kalau ada gadis lain yang memandanginya.
"Uh-huh. Mungkin setelah pesta dansa kamu bisa mengajaknya balik ke pohonmu,"
kata Rachel, mengedip-ngedipkan matanya pada Tobias.
Tobias tertawa. "Hei, cewek-cewek akan tergila-gila pada bulu-bulunya, baybeeee." Dia tertawa lagi. "Sori. Ada Austin Powers di TV Ax kemarin malam."
Aku melihat Allison. Marco benar. Dia sedang memerhatikan Ax. Mungkin dia
berpikir kalau dia tidak bisa mendapatkan Jake, dia akan mencoba menarik
perhatian cowok baru manis ini.
Bukannya Tobias tidak manis. Dan dia mungkin bisa dibilang cowok baru. Dia
pernah sekolah disini untuk sementara, sewaktu dia masih manusia. Sebelum dia
terperangkap di tubuh elang ekor-merahnya.
Sekarang tidak seorangpun kelihatan mengenalinya. Tapi memang, dia benar-benar
berbeda dari orang yang dulu sering dijahili anak-anak iseng. Dia tidak
memancarkan getaran-getaran 'aku-sangat-tidak-berdaya-jadi-ayo-ancam-aku' lagi.
Sebagian hal itu disebabkan karena dia menjalani hidup dimana saat-saat baik
juga berbahaya. Sebagian karena dia sudah lupa bagaimana cara mengekspresikan emosi lewat mimik
wajahnya. Tersenyum saat dia sedang bahagia tidak lagi alami baginya, karena elang tidak
tersenyum. Sekarang saat orang-orang melihat Tobias, mereka akan menyadari
keganjilan wajahnya yang datar, bukan wajahnya sendiri. Bahkan saat dia tertawa
dia tidak benar-benar tersenyum.
"Mengecekku" Apa artinya?" Tanya Ax.
"Artinya cewek disana itu punya hasrat pada wujudmu," Marco memberitahunya.
"Artinya dia menginginkan tubuhmu."
Ax mulai terlihat gugup. "Tubuhkuuu" Tubuh, tubuh, tubb-uhhhh?" Normalnya Ax
tidak memiliki mulut. Dalam morf manusia, dilengkapi mulut, Ax bisa terlihat...
tidak biasa. "Dia sudah bergerak," kata Marco pada Ax. "Tapi kalau kamu mau menyingkirkannya
kamu tinggal ucapkan 'tubb-uhhhh' seperti tadi beberapa kali."
"Turb-uhh. T-buh," kata Ax, melanjutkan bermain dengan bunyi-bunyian.
Tentu saja jika Allison tahu wujud asli Ax, dia akan kabur menjerit-jerit ke
arah lain. Tubuh Andlite Ax memang aneh. Aneh dan cantik dan mengintimidasi, juga.
Bayangkan ini: tubuh biru-dan-kecoklatan berwujud rusa, ekor kelajengking besar,
sepasang lengan yang kurus, kepala manusia tanpa mulut, dan dua bola mata ekstra
di pucuk semacam tangkai - mata pengintai.
Allison berhenti di depan Ax. Dia tersenyum dan mengedikkan kepalanya.
"Hai. Aku ingin tahu kalau, kamu tahu, mau dansa?" Ajak Allison.
Ax mengangguk. "Aku bisa menggerakkan kuku-kuku buatanku mengikuti musik
denganmu. Tapi kamu tidak bisa mengambil tubuhku. Tubuh. Ku. Tubuhk. U."
Allison mundur. "Ah. Oh. Tahu nggak" Temanku memanggilku," katanya. Lalu dia
kabur. Aku tertawa nyaris histeris. Tidak bisa kucegah. Ekspresi Allison tadi sangat "Tu. Buuh," Ax mengulangi. "Aku suka waktu lidahku mengenai bagian depan mulutku
ketika aku melafalkan suku kata itu. Tu. Oh! Makanan! Apa mereka punya olahan
lezat lemak, garam dan gula disini?"
Ax juga suka menggunakan mulutnya untuk makan. Ke tingkat yang berbahaya.
Kadang waktu aku melihat Ax bermain-main dengan indra pengecap aku jadi
kepikiran tentang para Yeerk. Saat mereka memasuki tubuh induk semang mereka
dihantam ribuan sensasi baru.
Aku tidak bisa membayangkan rasanya seperti apa. Aku harus mempersempit
kemungkinan-kemungkinannya dulu. Ambil satu contoh, seperti warna. Lalu aku akan
menutup mataku dan mencoba berpikir bahwa aku tidak perna melihat warna seperti
apapun. Saat aku membuka mataku, kumpulan warna-warna disekitarku membuatku pening. Dan
warna hanyalah salah satu dari apa yang bisa dilihat oleh indra penglihatan. Dan
penglihatan hanyalah salah satu dari berbagai indra yang bisa Yeerk rasakan
dalam tubuh induk semang.
Aku tidak merepotkan diri memberitahu teman-temanku tentang pemikiranku ini.
Tidak satupun dari mereka tertarik memperhitungkan kebahagiaan yang bisa didapat
seorang Yeerk dalam tubuh induk semang. Bukannya aku menyalahkan mereka, sih.
Yeerk adalah musuh. Lebih gampang melakukan tugas kami kalau pikiran kami
terpatri pada pemahaman bahwa Yeerk adalah jahat. Kejahatan murni.
Aku menggelengkan kepalaku dan menasehati diri bahwa pesta dansa bukanlah tempat
untuk berfilosofi. Terlebih lagi ini semacam kencan pertamaku dengan Jake.
Kencan yang melibatkan gaun betulan. Dan make-up. Aku kembali bergabung dengan
obrolan. "Baby Spice atau Oprah?" Marco sedang berkata, mengamati Rachel dengan penuh
perhitungan. "Memangnya Oprah kenapa?"
"Dia ada di daftar orang-orang yang sudah terlalu sering kudengar."
"Kamu punya daftar?" Tanya Tobias skeptis.
Aku tersenyum. Percakapan yang bodoh, normal dan tak ada juntrungannya. Enak
juga jadi normal sekali-kali.
Jake pasti merasakan hal yang sama. Pandangan kami bertemu. "Mau dansa?"
"Aku nggak terlalu pintar dansa," kataku.
"Aku dansa kayak penebang pohon," kata Jake.
"Kayak penebang pohon yang sudah menebang satu kakinya," Marco menimpali. "Kayak
Penebang pohon satu kaki yang kaki sebelahnya itu batang pohon dan - "
Jake mengambil tanganku dan menarikku ke lantai dansa. Lantai dansa yang
sebenarnya adalah lapangan basket. Lalu aku berdansa. Dengan Jake.
Aku berputar kecil karena senang. Apa salah kalau aku berharap semua orang
melihat" Terutama Allison" Kalaupun itu salah, itulah kenyataannya. Aku menyukai ide semua orang tahu bahwa
aku, Cassie yang jeansnya-suka-ada-kotoran-burungnya, jadian dengan Jake.
Jake tersenyum padaku. Dia punya senyum yang bagus, walaupun suka kelihatan agak
aneh terpampang di wajahnya. Hanya karena dia biasanya sangat tertekan,
memutuskan pilihan hidup-dan-mati bagi kami semua. Membuat lebih banyak pilihan
Animorphs - 29 Penyakit The Sickness di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sulit daripada yang pernah atau akan kubuat.
Aku tersenyum balik, dan berputar sekali lagi. Aku melihat Ax, Marco, Rachel,
dan Tobias berdansa dalam satu grup di dekat kami. Kuharap Rachel dan Tobias
mendapatkan kesempatan untuk memisahkan diri dan berdansa berduaan saja.
Aku mencoba menarik perhatian Rachel. Kupikir mungkin aku bisa memberi semacam
tanda bahwa dia dan Tobias seharusnya tidak menghabiskan malam ini hanya bersama
Ax dan Marco. Tapi perhatian Rachel tertuju sepenuhnya pada Ax. Dengan ekspresi ngeri dan
terkejut. Apa yang salah" Aku melemparkan pandangan pada Ax, dan merasakan ekspresi
wajahku melebur ke bentuk yang sama seperti Rachel.
Kepala Ax! Benjolan di kepala Ax berdenyut seirama dengan musik.
"Kita punya masalah," aku berbisik pada Jake.
Chapter 3 Jake dan aku menembus tubuh-tubuh yang sedang berputar, berjingkrak-jingkrak dan
bergoyang. Ketika kami sampai di tempat mereka, Marco sudah melepaskan baju
flanelnya. Dia mulai melipatnya menjadi bandana tepat saat - Boing!
Mata pengintai Ax muncul dari benjolan tersebut.
Aku dengan cepat meneliti seisi gym. Apa ada yang lihat" Tidak. Semuanya sedang
sibuk berdansa. Atau berharap ada yang mau mengajak mereka berdansa. Atau
memberanikan diri mengajak seseorang berdansa.
Rachel merebut baju itu dari tangan Marco dan membalutkannya ke sekeliling
kepala Ax. Dan satu hal mengenai Rachel, bahkan dalam krisis sekalipun : bandananya
kelihatan keren. "Ax, kamu mulai demorf. Kamu harus berhenti," Jake memberitahunya.
Ax terkikik. "Demorf. Dee, dee. Bunyi mulut yang sangat menyenangkan. Dee!"
"Dia mengigau," kataku. Aku merasakan adrenalin mulai terpompa ke sekujur
tubuhku. Situasi ini benar-benar buruk.
"Dee lagi," kata Ax bahagia, bergoyang.
Aku mendengar suara desiran. Sejumput bulu biru tumbuh di leher Ax.
"Ruangan perlengkapan seharusnya kosong," kata Jake. "Sebelah kanan ruang pel.
Sisi yang jauh. Ayo, ayo, ayo!"
Kami membentuk lingkaran di sekeliling Ax dan berimpitan melintasi gym yang
gelap dan berisik secepat yang kami bisa.
Kami mencapai pintu ruang perlengkapan. Aku mencengkram gagang pintunya.
Memutarnya. Terkunci. "Lewat jendela ruang locker cowok," kata Marco.
"Dua guru selalu jaga-jaga di sana," Jake mengingatkannya.
"Nggak di tempat cewek," Rachel memberitahu.
"Jalan tepat di belakang meja minuman. Antrian didepannya bisa menutupi kita
sedikit," perintah Jake.
"Kamu bilang nggak ada guru yang patroli di ruangan locker cewek?" Tuntut Marco.
"Nggak adil banget!"
Kami merepet diantara meja minuman dan dinding, setiap dari kami memegangi Ax
dengan satu tangan. "Kita ketemu di lapangan parkir," kata Jake saat kami mencapai ruang locker.
Dia, Marco dan Tobias melepaskan Ax dan berbalik ke pintu keluar utama.
Aku mendorong pintu terbuka. Dan Brittany dan Allison berjalan keluar dalam
kabut parfum Love's Baby Soft.
"Dia mau tubuhku! TBUUH! TBUUH!" Ax menjerit ngeri. Dia memberontak pergi dariku
dan Rachel lalu berlari secepat kilat ke pintu keluar utama.
"Dia menuju Chapman dan Mr. Tidwell," Rachel mengeluh.
Wakil kepala sekolah Chapman. Pengendali yang populer.
Dan Mr. Tidwell. Guru paling galak di sekolah.
Kami memburu Ax. Dan berhasil mengejarnya tepat saat Chapman menangkap
lengannya. Turban baju flannel Ax sudah longgar dari aksinya berlari-lari di gym. Satu
gelengan kepala bisa mengirim kain itu menggeletak di lantai.
Memberikan Chapman pemandangan berupa mata pengintai Ax. Pemandangan yang fatal.
"Dia jelas sekali sudah minum-minum," kata Mr. Tidwell. "Aku tahu anak ini. Aku
akan panggil orangtuanya."
Sebelum Chapman bisa menjawab, Mr. Tidwell menggiring Ax keluar gym menuju
koridor. Kami berjalan mengekor.
Chapman menghalangi kami. "Tidak ada yang diperbolehkan keluar gym kecuali pesta
dansa selesai atau dengan izin orangtua."
"Kami teman-temannya. Kami punya obatnya," aku asal bicara.
Ax yang sedang mengigau, sendirian bersama Mr. Tidwell, ini tidak bisa terjadi.
Chapman mengamati kami selama beberapa waktu.
"Dua menit," katanya. Dia minggir dan kami mendobrak pintu keluar.
Kami bertindak tanpa keraguan sedikitpun. Rachel dan Marco memosisikan diri
diantara Ax dan Mr. Tidwell. Jake, Tobias dan aku menarik Ax melintasi hall ke
air mancur minuman dan menceburkan kepalanya kedalam. Kami mempersempit jarak,
mencoba menghalangi pandangan Mr. Tidwell dengan tubuh-tubuh kami.
Aku melirik sebentar ke arah Mr. Tidwell. Bagaimana keadaan Rachel dan Marco"
Mereka berdiri bahu-ke-bahu di depan Mr. Tidwell, membuat sedikit jarak antara
dirinya dan Ax. Setidaknya untuk sekarang.
"Dia dari luar kota," aku mendengar Rachel berbicara saat aku mengembalikan
perhatian pada Ax. "Jake tahu apa yang harus dilakukan."
"Obatnya khusus," Marco menambahkan, frustrasi. "Khusus narkolepsi. Atau
epilepsi. Semacam epsi-epsian."
"Dalam beberapa menit dia akan baik-baik saja," Rachel berjanji.
Sekali lagi aku melirik ke arah mereka. Mr. Tidwell sama sekali tidak bereaksi.
Dia memandangi Ax lurus-lurus.
Aku membungkuk lebih dalam lagi dan berbisik di telinganya. "Ax, kamu bisa
pertahankan morf manusiamu sampai di luar" Seenggaknya sampai kita benar-benar
berada di luar?" Ax tidak menjawab. Bibirnya mulai meleleh menjadi satu.
"Mr. Tidwell! Beberapa anak di toilet punya bom ceri. Mereka akan meledakkan
seluruh tutup kloset!" Teriak Marco. "Akan terjadi pembantaian toilet!"
Tidwell tetap tidak mengambil satu langkahpun menuju gym. Tapi Rachel dan Marco
mencegahnya bergerak menuju kami. Sejauh ini.
Dua kaki tumbuh dari dada Ax.
KA-BANG. KA-BANG. Kuku-kuku menabrak dinding keramik di belakang air mancur.
Chinkle, pop, chinkle. Keramik dan semen berjatuhan ke air mancul metal.
Tidwell mungkin tidak melihat hal itu. Tapi dia pasti mendengarnya.
P-p-pop. Bibir Ax membelah.
Ax terlihat seperti anak biasa lagi. "Obatnya bekerja," aku melaporkan. Aku
melirik Mr. Tidwell dengan panik.
"Kami harus membawanya pulang," kata Jake keras-keras. Lalu dia merendahkan
suaranya. "Sekarang kita bawa dia melewati Tidwell dan ayo berdoa supaya Ax bisa bertahan
sampai luar." Jake berjalan duluan.
Tobias dan aku masing-masing memegang lengan Ax dan berjalan di belakang.
Pasti akan berhasil. Ax tidak bicara macam-macam atau mulai demorf. Mr. Tidwell
tidak meneriakkan apa-apa tentang nomor telepon orangtua kami.
Dalam tiga langkah kami akan mencapainya. Dan dalam dua langkah kami sudah akan
melewatinya. Satu. Dua. Riiip. Aku tidak suka bunyi itu. Tidak suka sama sekali.
Aku menoleh ke belakang bahuku tepat saat ekor kalajengking raksasa Ax merobek
celananya, mengayun ke kiri - dan menampar bokong Mr. Tidwell.
Chapter 4 Aku berlari menuju Mr. Tidwell dan menolongnya berdiri.
"Anda baik-baik saja?" Tanyaku. Setidaknya Ax menamparnya dengan sisi pisau
ekornya Alternatif lain Mr. Tidwell mungkin bisa memandangi tubuhnya sendiri dari
lantai. Mr. Tidwell tidak menjawab. Dia hanya mencengkram lenganku dan membawaku
menyusuri hall menjauhi yang lainnya.
Apa yang dia lakukan" Mau apa dia denganku" Adrenalin mulai terpompa tadi di
gym. Sekarang aku benar-benar bisa merasakannya membentur-bentur dinding
pembuluh darahku. Aku memandang ke belakang. Marco dan Tobias meringkuk di sekliling Ax. Jake
sedang menahan Rachel agar tidak mengikutiku.
"Jangan katakan apapun," aku melihat mulutnya berbicara.
Aku tahu apa yang sedang mengalir dalam pikiran Jake. Mengalir juga di
pikiranku, soalnya : Tidwell tidak bisa tahu. Tidak bisa. Semahal apapun
harganya. "Kami benar-benar harus membawa teman kami - " aku memulai saat Mr. Tidwell
menarikku berhenti. "Jangan. Aku tahu temanmu itu Andalite," dia memberitahuku, suaranya kalem
dengan gaya inilah-kenyataannya.
Mulutku kering. Kerongkonganku juga. Langsung jadi padang pasir. Aku ingin
memberitahu Mr. Tidwell aku sama sekali tidak menegrti apa yang sedang dia
bicarakan. Tapi aku tidak bisa mengucapkan sepatah katapun.
"Aku juga tahu siapa kamu dan apa kamu ini sebenarnya. Kalian semua," Mr.
Tidwell melanjutkan. Keringat bermunculan di tanganku, dibawah lenganku, dan turun di tengah
punggungku. Rasanya seperti seluruh cairan di mulut dan kerongkonganku sudah
migrasi. Bermigrasi dan berdupikasi.
Mr. Tidwell seorang Pengendali. Tidak ada pertanyaan tentang itu. Dan artinya
dia tidak bisa berjalan pergi. Tidak bisa melanjutkan hidup untuk menyakiti
kami, menghancurkan kami.
Aku bersiap-siap morf. Aku mendengar kuku-kuku Ax menabrak dinding lagi. Tapi aku tidak mengalihkan
pandangan dari Mr. Tidwell.
Dia terlihat begitu biasa. Rambut coklat keabu-abuan yang menipis. Perut buncit.
Kacamata berbingkai kawat. Mata biru sedang.
Tapi itulah para Pengendali : mereka bisa terlihat seperti siapa saja. Merekalah
siapa saja. "Aku Illim. Aku mengontrol Mr. Tidwell. Kami berdua bergabung dalam gerakan
damai Yeerk. Kami mau menyampaikan pesan dari Aftran Sembilan Empat Dua," dia
melanjutkan. Aku menoleh dan memberikan sinyal aku-oke-beri-waktu-semenit-saja pada Jake. Aku
harus mendengar apa yang akan dikatakan Mr. Tidwell.
Dia kenal Aftran. Mungkin artinya Mr. Tidwell juga sekutu. Termasuk Illim, Yeerk
yang berada dalam kepala Mr. Tidwell, karena kepada dialah aku benar-benar
sedang berbicara. Aku merasakan otot-otot di bahuku merenggang sedikit.
Aftran adalah Yeerk yang mebuat persepsiku tentang Yeerk berubah. Aftran
membuatku menyadari bahwa para Yeerk merupakan individu tunggal, tidak ada dua
yang sama. Dia memaksaku menerima bahwa tidak semua Yeerk merupakan musuh kami.
Malam dimana aku merobek leher Hork-Bajir itu, aku juga membunuh saudara lakilaki Aftran. Saudaranya adalah Yeerk yang mengontrol Hork-Bajir itu.
Aftran, dalam tubuh Karen, gadis kecil induk semangnya, membuntutiku, berencana
menyerahkanku kepada Visser Three.
Singkatnya : Aku menyelamatkan nyawanya. Dia menyelamatkan nyawaku. Dan lalu
Aftran dengan sukarela kembali menjalani kehidupan sebagai makhluk mirip siput
yang buta dan tak berdaya.
Dia mengorbankan kebebasannya untuk membebaskan Karen.
"Buuh! Tu-BUUH!" Ax berteriak, merenggutku dari pikiranku sendiri.
Aku berdehem. "Pesan apa?"
"Aftran telah ditangkap petugas keamanan Yeerk," jawabnya.
"Kapan?" Tuntutku. "Apa dia baik-baik saja" Apa yang sudah dia beritahukan
kepada mereka" Kenapa Anda tidak menemuiku lebih awal?"
Mr. Tidwell mengangkat kedua tangannya. "Aftran masih baik-baik saja sekarang.
Dia belum ditanyai," dia memberitahuku. "Visser Three mau menginterogasinya
sendiri." Onggokan dingin terbentuk di dasar perutku. Interogasi oleh Visser Three berarti
siksaan. Aku yakin Aftran akan bertahan selama yang dia bisa. Tapi dia akan
berakhir dengan memberitahu Visser Three segala hal yang dia ketahui.
Yang merupakan segala hal yang aku ketahui. Aftran sudah pernah berada di dalam
kepalaku. Dia sudah membuka seluruh memoriku. Dia tahu apa saja yang perlu diketahui dari
para Animorphs. "Kapan?" Aku bertanya. Aku memeluk diriku sendiri.
Aku menangkap sekelebat gerakan di ujung mataku. Kaki-kaki Ax mencuat keluar
dari dadanya dan terhisap ke dalam. Lagi dan lagi.
"Interogasinya akan dilaksanakan dalam beberapa hari," Mr. Tidwell menjawab.
"Sang Visser sedang menghadiri seminar pengenalan ulang tentang pesawat Blade."
Jadi kami punya seidkit waktu. Kami bisa menghentikan hal ini."
Mata biru Mr. Tidwell yang berair memandangi mukaku. "Aku yakin kamu mengerti
kalau Aftran bisa menghancurkan gerakan damai Yeerk. Dan kamu sendiri."
Aku mengangguk. "Dimana tempat dia ditahan?"
Mr. Tidwell menelan ludah. "Dia dipenjara di kolam Yeerk. Kami butuh bantuanmu
untuk mengeluarkannya."
Kolam Yeerk. Tempat sempurna untuk serangan dadakan.
Aku menasihati diri agar bertindak pintar. Aku tidak bisa memercayai semua yang
dikatakan Mr. Tidwell hanya karena dia membawa-bawa nama Aftran.
"Bagaimana cara kami tahu kalau ini bukan jebakan?" Tanyaku, mengamati muka Mr.
Tidwell. "Bagaimana cara kami yakin kami bisa memercayai Anda?"
"Kalau kamu tidak memercayaiku, kamu seharusnya sudah mati sekarang," jawabnya.
Dia melirik pintu gym. "Kalau aku tidak kembali ke dalam, Chapman akan mencari
kita. Aku akan tetap menghubungimu. Bawa si Andalite keluar dari sini."
Mr. Tidwell kembali ke gym dengan terburu-buru. Aku kembali ke tempat Ax dan
yang lainnya. "Apa kita mau membiarkan Mr. Tidwell pergi begitu saja?" Tanya Rachel tidak
percaya. "Setelah apa yang sudah dia lihat?"
"Dia anggota gerakan damai Yeerk," kataku.
"Yeah, dimana mereka bilang 'permisi' sebelum mereka mendorong tubuh mereka yang
berlendir ke dalam telingamu dan mengambil alih kontrol otakmu," Marco
memprotes. "Kamu ini apa, gila?"
"Dia menyelamatkan kita dari Chapman," balasku tidak terima.
"Terus kenapa?"
"Diamlah!" Tobias meledak, dalam gaya yang bukan-Tobias-sekali. "Apa yang aku
pedulikan sekarang cuma cara membawa Ax pulang."
"Dia benar. Ayo jalan," kata Jake.
Aku meletakkan lenganku di sekeliling Ax dan membantu Tobias memapahnya keluar.
Aku benar-benar tidak suka tampilan Ax. Dia sudah kembali ke morf manusianya.
Tapi benda kental bernanah berwarna hijau-kuning menempel kedua kelopak matanya
hingga tertutup. Dan bibirnya pecah-pecah, seperti saat kita sedang terserang
demam tinggi. "Bagaimana keadaanmu, Ax?" Tanyaku.
"Aku mengi-i-i-igau!" Teriaknya.
Chapter 5 Langsung setelah kami keluar dari sekolah, aku berhasil bicara dengan Ax saat
dia demorf ke tubuh Andalitenya. Dan dia tetap tinggal dalam wujud itu.
Melegakan. Tobias juga demorf. Dia terbang di atas untuk memberitahu arah jalan yang tidak
ramai dilalui orang. Dan dimana kami harus menyembunyikan Ax saat kami hampir
terperogok. Kami akhirnya sampai ke gudang jerami, tapi perjalanan itu tidak
menyenangkan. "Bawa dia ke kandang kuda paling ujung," aku menginstruksikan. "Marco, isi
tempat makanannya dengan air. Rachel, tolong ambil selimut dari tumpukan dekat
pintu. Jake, pergi ke kamar mandi di rumahku dan ambil termometer, aku nggak
bisa pakai peralatan khusus hewan, aku butuh yang bisa digunakan lewat telinga.
Jangan khawatirkan orangtuaku. Ayo."
Aku mendongak dan melihat mereka terbelalak. Memang benar biasanya bukan aku
yang melontarkan perintah-perintah. Tapi akulah yang paling tahu cara menangani
binatang yang sedang sakit. Bukannya Ax itu binatang, sih.
"Aku kayak merasa lagi dalam acara ER " kata Marco saat dia bergerak menuju
selang air. "Kayak lagi mengalami hal-hal yang sering dialami Noah Wyle."
(ER: Drama TV tentang kedokteran, tayang di Amerika dari tahun 1994-2006, di
stasiun NBC. Terkenal, pernah menang Emmy Award.
Noah Wyle: Pemeran dokter John Carter di film ER. )
"Berjaga-jaga saja," jawabku.
Animorphs - 29 Penyakit The Sickness di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rachel kembali dan menyerahkan selembar selimut kepadaku. Aku menebarkannya dari
punggung sampai bahu Ax. Aku bisa merasakannya gemetar.
"Jadi apa kamu sudah mau beritahu kami tadi Tidwell ngomong apa, atau
bagaimana?" Tanya Marco sambil mengisi tempat makanan. "Maksudku, kalau sekarang
ada Hork-Bajir yang mau menerobos masuk aku bisa panggang kue dulu atau
ngapain." "Ax sedang sakit, Marco. Kita harus bereskan masalah ini dulu," jawabku.
"Kalau Tidwell buka mulut, keadaan Ax bakal kebih buruk dari sakit. Dia bakal
mati! Kita semua bakal!" Rachel angkat bicara. "Cassie, apa yang kamu katakan
padanya" Apa yang dia katakan padamu?"
Aku mengacuhkannnya. Harus. Dia berputar dan mulai berjalan mondar-mandir dalam
kandang. "Bisa kamu beritahu apa yang salah denganmu, Ax?" Tanyaku. "Kamu pernah
mengalami hal yang sama sebelumnya?"
"Apa itu?" Aku bertanya.
Ax harus memberitahu kami cara menyembuhkan penyakitnya. Kedua orangtuaku adalah
dokter hewan. Perpustakaan kedokteran kami mungkin yang terbaik dalam radius
bermil-mil. Tapi tidak ada satupun buku yang membahas tentang penyembuhan dan
perawatan alien. "Ayolah Ax," kataku, sedikit lebih menekan. "Yamphut itu apa?"
"Coba kita beri dia minum sedikit," kataku. "Tolong aku mengangkat kakinya ke
dalam tempat makan, oke, Marco?" Pintaku.
Marco membuka tutup tempat makan dan mematikan selangnya. Lalu kami mengangkat
salah satu kaki depan Ax dan mencelupkan kukunya ke dalam air.
Ax oleng, dan aku menahan tubuhnya dengan bahuku, membiarkannya bersandar
sementara dia menyerap airnya. Aku bisa merasakannya berjuang menarik nafas yang
berat. "Cukup," kataku setelah kuku Ax tercelup selama sekitar setengah menit.
Marco dan aku menarik kakinya keluar dari tempat makan.
Rachel mengambil selimut lain dan melemparkannya pada Marco sehingga dia bisa
mengeringkan kaki Ax. Aku berjaga di dekat mereka kalau-kalau dia kehilangan
keseimbangan lagi. "Oke, Ax. Coba fokus. Beritahu kami yamphut itu apa," kataku pelan-pelan dan
jelas.
Jake memasuki gudang jerami. "Aku dapat termometernya," Dia meletakkannya di
tanganku dengan gaya suster bedah. Lalu dia duduk dan bersandar pada dinding
kandang. Aku menaruh termometernya di telinga Ax dan menunggu suara beep. Ketika sudah
terdengar, aku menariknya keluar dan mengecek suhunya. "Sembilan lima koma
lima," kataku pada yang lain.
"Kukira dia demam," kata Rachel.
"Mungkin," kataku pada Rachel. "Tapi kita nggak tahu. Karena kita nggak tahu
suhu normal Andalite itu berapa!"
"Ax" Bisa beritahu kami?" tanya Rachel padanya.
menambahkan. "Ax, itu temperatur semua orang, bukan cuma temperatur kami," Marco mulai
berargumen. Tapi lalu dia berhenti.
Sekitar empat derajat di atas normal. Aku tidak suka ini. Aku tahu beberapa cara
untuk menurunkan suhu. Tapi aku tidak tahu seperti apa efeknya pada seorang
Andalite. Bagaimana kalau apa yang kulakukan malah membuat keadaannya jadi tambah buruk"
"Beritahu kami tentang Kelenjar Tria," kataku.
Kedengarannya bagus. Mungkin tubuh Ax akan sembuh sendirinya.
"Bagaimana cara kami mencegahnya pecah?" Tanya Jake cepat.
Ax mengunci pandangan keempat matanya padaku. Dia meraih tanganku dan
menggenggamnya lemah. Kulitnya terasa licin dan dingin dari keringat.
Mata utamanya menutup. Mata pengintainya turun.
"Oke. Oke, yeah. Dimana letaknya kelenjar Tria ini?" Tanyaku.
beritahu dulu dimana kelenjar Tria ini," aku bersikeras. "Sekarang, Ax!"
Aku merasakan darah meninggalkan mukaku. Otomatis, aku menoleh pada Jake. Dia
memandang Ax seakan dia tidak bisa percaya pada apa yang barusan Ax katakan.
Kesunyiannya menular. "Aku bukan tukang bedah otak," Marco akhirnya angkat suara. "Tapi kayaknya kita
sedang membahas pembedahan otak, deh."
Chapter 6 Bedah otak. Menggambarkan darah, dan pisau bedah, dan lapisan otot yang
sensitif. Aku tidak tahu apa kami bisa berhasil. Tapi kalau tidak, Ax bisa mati.
"Ayo kita pindah ke tempat lain," kataku. "Aku mau Ax istirahat dulu." Itu
benar. Tapi aku juga tidak mau Ax mendengar kami mulai panik, yang aku tahu
sudah pasti akan terjadi.
"Ide bagus," kata Jake. Dia berdiri dan berjalan di gudang jerami, Marco dan
Rachel di belakangnya. Perlahan aku menarik tanganku dari genggaman Ax, jari-jariku mengilap terkena
keringatnya. "Aku akan kembali sebentar lagi," bisikku. "Terberkatilah tulang-tulang
mungilmu." Kata-kata itu keluar begitu saja. Itu yang selalu dikatakan ibuku
kalau aku sedang sakit. Ax yang malang. Dia pasti rindu sekali dengan ibunya
sekarang. Setidaknya setiap aku merasa tidak enak, aku senang kalau ibuku jadi
khawatir. Dan Ax jelas sekali sedang merasa tidak enak.
Aku mengikuti teman-temanku dan duduk di tumpukan jerami di sebelah Rachel. Aku
kecapaian. "Oke, jadi kita culik seorang dokter dan buat dia mengoperasi Ax," kata Rachel
spontan. "Lalu bagaimana?" Tanyaku.
Dia tidak menjawab. Jawabannya tidak bisa diterima. Satu-satunya dokter yang
bisa kami percayai untuk dieberi rahasia kami adalah dokter yang sebentar lagi
akan mati. "Aku akan mengecek suhunya tiap jam," kataku. "Kita harus tahu kapan suhunya
turun jadi sembilan satu koma tiga."
"Lalu bagaimana?" Tuntut Rachel, mengulangi pertanyaanku.
"Lalu kita harus memainkan versi live Operation. Tapi kalau kita salah, hidung
Ax nggak nyala, kelenjar Tria-nya yang meledak," jawab Marco, suaranya datar.
(live operation : Semacam permainan yang populer dimainkan di festival-fesival.
Alat-alatnya menggunakan dua baterai. Di 'meja operasi' ada 'pasien' bernama
Cavity Sam yang di hidungnya ada lampu warna merah. Cara mainnya pakai kartu,
ribet kalau dijelasin.)
"Yeah. Dan kamu mau ketawa lagi?" Marco membalas, marah. "Ax tertangkap basah
ber-Andalite-ria malam ini!"
"Kita harus dengar apa yang Tidwell katakan," kata Jake padaku. Dia mengusap
muka dengan tangannya. Muka yang lelah dan pucat.
Aku menarik nafas dalam-dalam. "Mr. Tidwell anggota gerakan damai Yeerk," aku
memulai. "Yeerk dalam kepalanya, Illim, menyampaikan pesan dari Aftran untukku. Dia
tertangkap. Malam Minggu Visser Three berencana menginterogasinya. Illim mau
kita menyelamatkannya."
"Nggak mungkin. Ini perangkap," Marco menginterupsi.
"Kalau para Yeerk sudah tahu siapa kita, kenapa harus repot-repot bikin
perangkap segala" Kenapa nggak datang saja ke rumah kita dan bunuh kita satusatu?" Kami berdua menoleh pada Jake. Dia mengusap wajahnya lagi. "Datang ke rumah kita
bukan hal bijaksana. Menarik perhatian. Membawa kita semua ke kolam Yeerk
merupakan strategi bagus."
"Mungkin itu perangkap, tapi kita tetap harus pergi," kata Rachel. "Karena kalau
Tidwell atau Illim atau siapalah memberitahukan hal yang sebenarnya, kita tamat.
Aftran nggak akan tahan waktu si Visser menginterogasinya, dan dia tahu
segalanya tentang kita. Segalanya. Ya, kan, Cassie?" Tanyanya pedas, memandangku
kesal. Aku membalas pandangannya tanpa berkedip. Suaraku mantap. "Betul," aku menjawab.
Aku tidak mau berpura-pura kami tidak akan berada dalam situasi ini kalau bukan
karena aku. Marco sudah hampir membunuh Aftran, dulu. Yang berarti juga membunuh Karen. Aku
membiarkan Aftran masuk ke kepalaku untuk membebaskannya dari tubuh Karen.
Untuk menyelamatkan nyawa seseorang yang bahkan tidak kukenal, aku membahayakan
nyawa teman-temanku. Aku tidak agung dan hebat. Aku melakukannya karena aku ini
pengecut. Aku tidak bisa mengambil nyawa gadis kecil itu - atau membiarkan Marco
melakukannya untukku - sekalipun aku tahu dengan membiarkannya hidup seisi
penghuni planet bisa mati. Atau lebih buruk lagi, menjadi inang bagi para Yeerk.
Aku membahayakan seluruh nyawa itu sebagai ganti satu harapan kecil. Harapan
bahwa Aftran dan aku bisa mengambil langkah pertama perdamaian antara Yeerk dan
manusia bersama-sama. Harapanku jadi kenyataan. Aftran tidak menyerahkanku pada Visser Three. Dia
tidak menggunakan informasi yang dia peroleh dari otakku untuk menyakitiku dan
teman-temanku. Dia malah memilih untuk hidup tanpa induk semang. Buta dan hampir
tak bisa bergerak. Keputusanku berakhir baik.
Atau memang begitukah"
"Rachel benar. Kita harus pergi," Jake memutuskan. "Malam ini. Kalau ini
perangkap, mereka nggak akan mengira kita datang seawal ini, karena Illim bilang
Visser akan pergi sampai Minggu."
"Alasan lain kenapa kita harus pergi malam ini," kataku. "Kita kembali sebelum
Ax jatuh ke masa kritis."
"Kita nggak bisa tinggalkan dia disini," Jake berargumen. "Ayah Cassie selalu
kesini."
Tobias mengusulkan. Aku menggelengkan kepala. "Terlalu lembab disana," kataku.
"Erek," kata Marco. "Chee itu berhutang budi."
"Ide bagus, Marco," kata Jake. "Pergi. Sekarang."
Chapter 7 Marco morf dan mengudara. Kami yang tersisa menonton Ax berkeringat dan
gemetaran. "Para Yeerk mungkin sudah tahu cara kita menerobos ke dalam waktu terakhir
kali," kata Rachel. "Kita butuh jalan lain kalau kita nggak mau diserang
duluan." "Mungkin kita bisa coba mendaftar semua yang kita tahu soal pertahanan kolam
Yeerk," usulku. "Kita tahu ada Gleet BoiFilter, lalu-"
"Nggak pernah gampang," kata Jake. "Tapi sekarang lebih susah."
"Pasti ada jalan lain," kata Rachel.
Kami mendiskusikan segala macam cara tetapi tidak menemukan jalan keluar. Dan Ax
masih gemetaran. Aku mengecek jam tanganku. Waktu kami hampir habis. Orangtuaku akan kembali
sebentar lagi. Dan hal pertama yang akan ayahku lakukan adalah melihat keadaan gudang jerami.
Aku menoleh ke arah pintu gudang. Erek dan Marco, berjalan berdampingan dengan
terburu-buru. Kalau kamu melihat Erek kamu akan berpikir dia hanya anak normal.
Dia terlihat seperti Jake, hanya sedikit lebih pendek.
Tapi Erek adalah android. Bagian dari suatu ras bernama Chee. Dan apa yang kau
lihat ketika bertemu dengannya, itu hanya hologram. Dibawah hologram itu
tersembunyi Erek yang terlihat seperti anjing yang berjalan dengan kaki belakang
mereka. "Tumben," kata Erek. "Biasanya aku yang mengabarkan berita buruk."
"Kamu mau berita buruk?" Kata Rachel.
"Ax tidak bertambah sehat dan kami nggak ketemu cara masuk ke kolam Yeerk."
"Kamu tahu sesuatu tentang struktur tubuh Andalite?" Aku bertanya pada Erek.
Dia mengangkat bahu. Atau setidaknya dia membuat hologramnya mengangkat bahu.
"Nggak." "Apa ada temanmu yang bekerja jadi dokter bedah?" Tanyaku.
Erek menggelengkan kepalanya. "Orang yang berperan jadi ayahku" Dia seorang
dokter di Perancis abad ke lima belas. Percaya aku, dia nggak tahu apapun yang
berguna." "Erek, kolam Yeerk punya toilet nggak?" Kata Marco tiba-tiba.
"Marco, bukan waktunya," Jake bergumam.
"Marco," Rachel memperingati, "kalau kamu nggak bisa berguna sedikit, diam
saja." "Ayolah. Strukturnya sudah seperti kota di bawah sana," lanjut Marco. Mereka
pasti punya tempat dimana induk semang manusia bisa buang air atau cari tempat
minum," dia bersikeras.
"Keran air, toilet. Mereka punya pekerjanya, tentu," jawab Erek.
Para Chee benar-benar diprogram anti-kekerasan. Tapi tidak berarti mereka tidak
membenci Yeerk. Dan mereka adalah mata-mata terbaik yang bisa kau bayangkan.
"Berarti mereka punya saluran air. Pipa. Dan berarti kita punya jalan masuk ke
kolam Yeerk," kata Marco pada yang lain. "Kita morf jadi binatang kecil,
binatang yang bisa berenang. Panjat kloset kita, suruh Erek flush kita, berenang
sedikit, dan keluar di salah satu keran atau toilet Yeerk."
"Oh yeah, pasti berhasil," kata Rachel. "Kamu ini apa, gila?"
Jake mengangkat kepalanya. "Nggak kalau kita mulai berenang dari menara air.
Kita bisa ikuti arusnya." Dia mulai terdengar sedikit bersemangat. Matanya
berkilat-kilat. "Erek, kamu bisa menyusup ke departemen air kota ini"
Kombinasikan dengan ..." Jake menghela nafas dan menyeka mulutnya.
"Kombinasikan data disana dengan, um, dengan apa saja yang kamu tahu soal kolam
Yeerk dan... tahulah..."
"Dan buat peta" Arah?" Erek mengangguk. "Aku bisa memberimu arah ke keran atau
toilet manapun di dunia." Dia menunjuk komputer yang biasa digunakan olehku dan
ayahku untuk mengatur data-data binatang. "Boleh pakai ini?"
"Nggak ada modem," kataku.
Erek tersenyum. "Nggak perlu juga. Aku bisa jadi modem."
Marco memandang Rachel dengan tatapan kemenangan. "Lihat" Masih mau bilang ideku
gila?" Mukanya berubah muram. "Tunggu sebentar. Memang gila, sih. Kenapa aku
ini" Apa aku gila?"
"Mungkin kecoak," jawabku.
Jake menggeleng. "Pipa dari menara air sampai kolam Yeerk itu panjang. Aku tahu
mereka nggak harus bernafas terus-terusan, tapi kecoak harus bernafas juga di
udara." Kata Tobias,
Enak.> Saat mimik mukaku berubah aneh, dia bilang,
"Belut" Ambil," perintah Jake. Sedetik kemudian, Tobias melayang pergi.
"Ayo, Erek. Biar kutunjukkan tempat Ax supaya kamu bisa buat hologram disana,"
kata Marco. Ax sudah tidur. Dia menyelipkan kaki-kakinya ke dalam jerami saat kami
berdesakan di pintu kandang yang rendah, tapi dia tidak terbangun. Aku mengecek
temperaturnya. Sembilan puluh lima koma tujuh. Belum turun terlalu jauh. Bagus. Dia belum
mendekati masa kritis. "Kupikir akan lebih baik kalau aku tinggal dalam kandang bersama Ax," kata Erek.
"Aku bisa memproyeksikan hologram yang melingkupi kami berdua."
Animorphs - 29 Penyakit The Sickness di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia masuk ke dalam kandang dan menutup pintunya. Sesaat kemudian, dia dan Ax
seakan menghilang dari pandangan. Kandangnya benar-benar terlihat kosong.
Aku mencondongkan kepalaku melewati pintu kandang. Udara di sekelilingku beriak,
lalu Erek dan Ax muncul. "Thanks sudah mau melakukan ini, Erek," kataku.
"No prob," jawabnya.
"Apa kamu mau buku bacaan?" Tanyaku. "Bakal membosankan nanti."
"Aku punya beberapa ribu buku yang disimpan di otakku. Kadang-kadang aku
menghabiskan waktu melihat seberapa banyak yang bisa kubaca dan kupahami secara
bersamaan." "Ooooooke. Lupakan aku pernah bertanya."
Aku menarik kepalaku keluar dari kandang. Aku meneliti hologram yang melindungi
Ax dan Erek. Tidak ada lekukan atau gelombang atau bayangan yang bisa membuat ayahku curiga.
Kecuali dia mencoba masuk ke dalam.
Tidak akan, aku meyakinkan diri. Dia akan disibukkan oleh binatang yang sakit
dalam sangkar sehingga dia tidak akan mencoba main-main dengan kandang kuda yang
kosong. Kuharap. "Aku baru saja berpikir," kata Marco.
"Aku akan membelikanmu kartu untuk memeringati hari ini." Rachel, tentu saja.
Marco tidak repot-repot membalas. "Kalau Ax sedang dalam mode mengigau, dia bisa
pergi berlarian di kota dengan celana dalam dipakai di kepala atau bagaimana.
Erek nggak akan bisa mencegahnya."
Dia benar. Chee tidak diprogram untuk kekerasan. Kekerasan dalam bentuk apapun.
Aku menoleh pada Jake. Ketika hal-hal seperti ini muncul, kami semua selalu
mencari Jake. Jake menekuk kepala ke belakang dan menutup mata selama beberapa waktu. Lalu dia
mengutarakan keputusannya. "Kita harus mengambil resiko ini. Kalau ada yang
nggak beres di kolam Yeerk nanti, kita mungkin butuh anggota kita lengkap semua
untuk mencari jalan keluar."
Aku mendengar kepakan sayap. Sesuatu yang licin meluncur di bahuku dan jauh ke
lantai gudang.
"Selicin belut," Marco bercanda.
"Ngomong-ngomong, mau ini sedang krisis atau apa, aku nggak akan bicara apa-apa
soal kebodohan dan keanehan mengendarai arus air buat suplai kota... Tapi, asal
tahu saja, ini GILA!"
Dia memungut belutnya dan memegangnya selama beberapa saat, menyerap DNAnya.
Lalu dia menyerahkannya pada Rachel. Setelah selesai, dia menyerahkannya pada
Jake. Dia menggenggamnya sebentar, fokus, lalu memberikannya padaku.
"Kamu sudah dapat?" Aku menanyai Tobias.
Lalu kenyataan menancap. Benar-benar menancap.
Ax. Kami akan melakukan misi ini tanpa Ax.
Chapter 8 Satu jam kemudian Jake, Rachel, Marco dan aku mencelupkan kaki-kaki kami di
dalam menara air yang terletak di ujung lapangan parkir mall, gemetaran karena
dinginnya air. Kamu pasti sudah tahu menara air seperti apa yang sedang kubicarakan : biasanya
dicat warna biru langit. Besi. Empat kaki penopang panjang dan tangki besi besar
di paling atas. Bukan teknologi yang mutakhir. Pokoknya mereka memompa air ke dalam menara, dan
gravitasi membawanya turun ke rumah-rumah dan lahan bisnis dan kamar mandi cewek
di sekolah. Dalam tanki itu gelap. Seperti berada dalam kolam renang di malam yang paling
kelam. Seram. Kecuali, sebenarnya ini bagian yang gampang.
Aku terus mengulang-ulang instruksi dari Erek. Jumlah pipa-pipa besar, pipa air
utama, kami akan melewatinya ke kanan dan kiri. Belokan siku-siku. Pipa air
utama yang harus kami masuki. Lalu belokan siku-siku ke bawah, belokan kecil
yang lain dan pada akhirnya turunan vertikal panjang yang menandakan kami sedang
turun ke kolam Yeerk. Terlalu banyak detail. Ax pasti akan mengingat semua itu. Tapi Ax sedang tidak
bersama kami. "Oke, ingat, pipa-pipa itu seperti jalanan. Banyak belokan dan putaran, tapi
kalau kita mengikuti instruksi Erek kita akan sampai di pipa yang langsung
menuju kolam Yeerk. Kerannya selalu terbuka. Cairan kolam Yeerk sebagian besar
air." Jake mencoba menenangkan yang lain. Tapi dia sendiri tidak terdengar terlalu
tenang. "Entah bagaimana aku akan berakhir di-flush orang," kata Marco suram. "Akan ada
acara flush-flushan nanti."
"Ya sudah ayo lakukan saja!" Rachel berteriak tidak sabar. Dia terdengar
kedinginan, aku hampir-hampir tidak bisa melihatnya dalam cahaya redup dari
pintu masuk yang kami biarkan terbuka.
Aku mengalihkan perhatian ke DNA belut di dalam diriku. Bunyi gigiku yang
bergemeletukan agak mengganggu konsentrasi.
Lalu bunyi itu berubah. Jadi lebih tinggi dan ringan. Karena gigi-gigiku mulai
berganti, memperbanyak diri, tumbuh memanjang dan menipis dan setajam silet.
Proses metamorfosis sama sekali tidak bisa diprediksi. Tidak seperti dari bagian
atas tubuh lalu turun ke kaki. Atau seluruh tubuh berubah bersamaan, seperti
film gerak lambat. Lebih menjijikkan daripada itu. Lebih aneh. Bagian tubuh bermunculan begitu
saja. Seperti sirip tipis dan sempit yang muncul sepanjang punggung Jake.
Bagian yang lain menghilang. Seperti rambut pirang Rachel, yang baru saja
terhisap ke dalam kepalanya seperti sphagetti ke dalam mulut yang sangat lapar.
Muncul dan menyusut hanya sebagian dari proses. Mataku mengecil dan
menggelinding ke ujung hidungku. Hidung dan daguku tertarik keluar, keluar,
keluar membungkus gigi-gigi jarumku yang baru. Dahiku runtuh.
Tulang-tulangku mencair, dan tubuhku menggulung sendiri sampai jadi sekurus
pensil. Lenganku layu di sisiku. Kakiku mengkerut dan hilang sepenuhnya.
Aku merasakan rasa geli dan gatal saat sirip yang panjang muncul menjalar di
punggungku dan insang terbuka di belakang mulutku.
Sisik-sisik yang membentuk diri di sekujur tubuh baruku seperti cacar. Lalu
lendir yang licin dan berminyak menyelimutinya, diekskresikan dari tubuhku
sendiri.
Aku menangkap sebersit gerakan di sebelah kananku. Makanan. Makanan hidup!
Zip! Chomp!
Tobias. Ya ampun, walaupun ukurannya sekecil pensil, ternyata belut itu agresif. Insting
belut mendorongku untuk menggigit apa saja yang bergerak dan kalau mau tanyatanya nanti saja. Dan makan. Aku mau makanan hidup.
Lalu... Chomp! Gigi yang tajam menangkap bagian tengah tubuhku.
Aku menekan otak belutku, mendorong insting yang sederhana dan memaksa itu jauhjauh. Jangan menggigit, aku menasehati diri, jangan menggigit. Tapi lalu sesuatu
bergerak dan.. Tidak! Aku menghentikan diriku sendiri tepat waktu.
Aku mulai bergerak dalam aliran gerakan meliuk-liuk. Otot rileks di satu sisi,
berkontraksi di sisi yang lain. Tubuhku bergerak kiri, kanan, kiri, kanan.
Ekorku mencambuk lagi dan lagi.
Turun dan turun. Mungkin hanya tiga puluh kaki untuk ukuran manusia, tapi
penyelaman yang lumayan panjang bagi belut yang lebarnya hanya seukuran jari
seseorang. Dan, saat kami turun, aku mulai merasakan arusnya. Kami berada dalam sebuah
baskom yang besar. Kami turun mengikuti arah sumbat dibuka. Airnya mulai
berputar, pusaran air! Putar, putar, makin cepat dan makin cepat!
Lalu, tiba-tiba... WOOOSH! Langsung turun sejuta mil per jam!
Chapter 9 Turun! Turun lewat sebuah lubang, turun lewat pipa yang sangat besar, hitam - hitam
pekat di sekeliling kami. Tidak ada yang bisa dibaui atau dilihat kecuali
sensasi dari kecepatan, atau rasa sedang jatuh dalam waktu yang sangat lama.
Aku menghirup sejumlah air dam memompanya ke dalam insangku. Harus ingat untuk
tetap bernafas. Aku mencambukkan tubuhku terus-menerus sekencang mungkin. Kecepatan kami tinggi.
Tapi aku ingin lebih cepat lagi. Kalau tidak begitu aku ini hanya benda, tidak
bisa mempertahankan kepalaku di depan dan ekor di belakang.
Tiba-tiba, kami berenang datar. Tapi kecepatannya tidak berkurang. Kami berada
dalam roket! Melewati pipa-pipa, buta, tidak sadar apa-apa...
Tidak, tidak juga. Ada suara. Air yang datang memperjelas setiap
ketidaksempurnaan dalam pipa. Dan di depan... di depan ada suara lain. Lebih
keras. Air -
Kami hanya punya sepersekian detik untuk bereaksi. Kami berada dalam pipa.
Arusnya mendorong tubuhku dan menariknya ke kanan. Aku mencoba melawannya dengan
segenap kekuatan alot dari tubuh si belut.
Lalu, kami melewati pipa air utama itu.
frustasi. Salah satu kali saja membelok, tidak akan ada yang tahu dimana kami
keluar nantinya. Kami punya waktu dua jam dalam morf. Kalau kami terperangkap dalam suatu jalan
buntu, tanpa sekat pembuka, kami akan terkurung dalam pipa. Terkurung. Tidak
bisa demorf. Tidak bisa keluar.
Kami akan menghabiskan sisa hidup kami sebagai belut.
Tapi mungkin aku mengatakannya dalam bahasa-pikiran karenaTobias bertanya,