Ceritasilat Novel Online

The Harsh Cry Of Heron 8

The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn Bagian 8


menjadi sikap membangkang. Karena alasan itulah
dia merasa berkewajiban untuk memper?tahankan kontak dengan semua kerabatnya,
berusaha agar mereka tetap setia kepadanya, dan menentang putra sulungnya.
Shizuka tahu betul kalau ada rahasia yang disimpan dan ketidakpatuhan berkembang di
kalangan Tribe; karena, bertahun-tahun lalu, dia pernah mengungkapkan cara kerja pekerjaan Tribe
kepada Shigeru, dan catatan terperinci itu yang memungkinkan Takeo mengalahkan dan
mengendalikan Tribe. Kenji sudah tahu tindakannya itu, dan telah memilih untuk mengabaikan satu hal yang
bisa disebut pengkhianatan; tapi Shizuka sendiri selalu ingin tahu siapa lagi yang mungkin
mencurigai dirinya. Orang-orang di kalangan Tribe memiliki ingatan yang panjang, dan juga sabar dan
pantang menyerah ketika berkaitan dengan balas dendam.
Tak lama setelah Takeo berangkat ke Miyako, Shizuka bersiap pergi lagi, pertama ke Yamagata
lalu ke Kagemura di pe?gunungan di belakang Yamagata, kemudian ke Hofu.
"Kaede dan bayi laki-lakinya kelihatan sangat sehat, aku merasa aku bisa pergi
sebelum hujan plum tiba," tutur Shizuka pada suaminya. "Kau ada di sini untuk merawat
mereka, kau tak boleh bepergian dengan Fumio tahun ini."
"Bayi ini sangat kuat," sahut Ishida setuju. "Tapi kau takkan tahu apa akan terjadi pada bayi:
cengkeraman mereka pada kehidupan masih lemah, dan bisa terlepas tanpa terduga. Tapi bayi
ini tampak seperti pejuang cilik."
"Dia adalah ksatria sejati," sahut Shizuka. "Kaede amat memujanya!"
"Belum pemah aku melihat seorang ibu begitu terpesona pada anaknya sendiri," aku Ishida.
Kaede hampir tidak sanggup berpisah dari anaknya. Dia merawatnya sendiri, yang tidak
dilakukannya pada anak-anaknya yang lain. Shizuka melihat itu dengan rasa iri ber?campur iba: konsentrasi
penuh si bayi mengisap puting susu ibunya, perlindungan sang ibu yang sama kuatnya.
"Anak ini akan diberi nama siapa?" tanya?nya.
"Kami belum memutuskan," jawab Kaede. "Takeo sangat suka nama Shigeru, tapi nama itu
berkaitan dengan hal-hal yang menyedih?kan, dan kami telah memiliki Shigeko.
Mungkin nama Otori yang lainnya, Takeshi, Takeyoshi. Tapi anak ini takkan diberi nama sampai
berusia dua tahun nanti. Aku me?manggilnya singa kecilku."
Shizuka teringat betapa ia amat sayang kepada kedua putranya saat mereka masih kecil,
merenungkan kekecewaan dan ke?cemasan yang mereka timbulkan saat ini.
Sewaktu menikah dengan Ishida, Shizuka berharap bisa punya anak lagi, tapi tahun?tahun
berlalu dan ia tidak juga hamil. Kini ia jarang mendapat haid; kesempatannya hampir habis: dan
tentu ia tak ingin harapan?nya terkabul. Ishida tidak punya anak dari pernikahan sebelumnya: istrinya
sudah meninggal bertahun-tahun lamanya; meski tadinya dia ingin menikah lagi, tapi tak satu pun
calon yang diterima oleh Lord Fujiwara. Ishida adalah laki-laki yang penuh cinta, serta sangat baik hati.
Shizuka pernah mengatakan kepada Takeo, kalau ia cukup bahagia hidup tenang bersama Ishida di
Hagi dan bisa terus mendampingi Kaede. Tapi sejak menyetujui untuk menjadi ketua keluarga Muto dan
Tribe, tugas itu menyita tenaga dan waktu?nya. Itu juga berarti ada banyak persoalan yang tak bisa
dibicarakannya dengan Ishida:
Halaman 656 dari 656 Shizuka mencintai suaminya, dan suaminya itu memiliki banyak sifat baik yang dikaguminya,
tapi tutup mulut tidak ter?masuk di dalamnya. Ishida tidak terlalu memikirkan mana yang bisa
dibicarakan dengan orang banyak serta mana yang harus dirahasiakan. Sake bahkan bisa lebih
me?longgarkan lidahnya, dan bisa saja lupa dengan apa yang telah diocehkannya di malam sebelumnya.
Ishida menyukai semua kesenangan dari kedamaian"makanan yang berlimpah, kebebasannya untuk
bepergian, berinteraksi dengan orang asing, benda?benda indah yang mereka bawa dari
bagian dunia lain"hingga pada tahapan tidak ingin menghadapi kenyataan bahwa kedamaian selalu
berada di bawah ancaman, bahwa tidak semua orang bisa dipercaya, bahwa musuh bisa saja berada
dalam lingkungan keluarga?nya sendiri.
Maka Shizuka tidak mengutarakan pada suaminya tentang Taku dan Zenko, dan Ishida pun
sudah hampir melupakan malam di Hofu ketika dalam keadaan mabuk di?ungkapkannya kepada
Zenko, Hana dan Lord Kono tentang teori kekuatan pikiran manusia, serta efek menyembuhkan diri
sendiri dengan percaya kepada ramalan, dan bagaimana semua ini berlaku pada diri Takeo.
Sunaomi dan Chikara sedih atas kepergian Shizuka, tapi ibu mereka, Hana, diharapkan berada
di Hagi sebelum akhir bulan, dan mereka berdua terlalu disibukkan dengan pendidikan dan
latihan untuk bisa merindu?kan neneknya. Sejak mereka berdua tinggal di Hagi, Shizuka mengamati
keduanya dengan cermat untuk melihat apakah ada tanda kemampuan yang berkembang, tapi kedua
anak itu kelihatan layaknya putra ksatria, tak berbeda dari anak lelaki seusia mereka yang berlatih
bersama mereka, saling bersaing dan bertengkar.
Kaede memeluk, memberinya jubah baru dengan tudung model baru dan seekor kuda dari
istal, kuda betina yang sudah sering ditunggangi Shizuka. Ia merasa lebih mudah mendapatkan kuda
ketimbang teman seper?jalanan: tersadar kalau ia merindukan Kondo Kiichi yang bisa menjadi teman
yang sempurna untuk perjalanan semacam ini, dengan keahlian bertarung dan kesetiaannya;
disesalinya kematian Kondo, dan ia pun mendoakannya.
Ia menolak tawaran Kaede untuk dikawal ksatria Otori, dan memilih Bunta sebagai teman
perjalanan. Bunta dulu menjadi informannya yang bekerja sebagai pelayan di kediaman Lady Maruyama
Naomi, dan menetap di Inuyama setelah kematian majikannya itu. Setelah perang dan gempa, lakilaki itu
menemukan jalannya ke Hagi, dan sejak saat itu bekerja melayani keluarga Otori. Usianya
beberapa tahun lebih muda dari Shizuka, berasal dari keluarga Imai. Penampilannya kalem dan
pendiam, namun sebenarnya dia pencopet ulung, pendongeng dengan keterampilan mengorek
informasi, dan jago sumo dan petarung tangan kosong yang tangguh. Masa lalu yang mereka lalui bersama
telah menciptakan ikatan antara mereka berdua, dan Shizuka merasa bisa memercayainya.
Sepanjang musim dingin Bunta telah membawakannya potongan-potongan kecil informasi, dan
begitu salju mencair, dia pergi ke Yamagata atas permintaan Shizuka untuk mencari informasi. Kabar
yang dibawanya sungguh mengganggu: Taku belum kembali ke Inuyama dan masih di Hofu; Zenko
terlibat hubungan erat dengan Kikuta dan
menganggap dirinya sebagai ketua Muto; keluarga Muto berbeda pendapat. Masalah ini telah
ia bicarakan dengan Takeo, tapi mereka belum memutuskan apa pun. Kelahiran putranya,
persiapan untuk per?jalanan ke Miyako telah menyita perhatian Takeo. Kini Shizuka merasa
berkewajiban untuk bertindak sendiri: berusaha memper?tahankan agar keluarga Muto tetap setia dan
memastikan keamanan si kembar, Maya dan Miki.
Shizuka menyayangi mereka berdua seperti putri yang tidak pernah dimilikinya. Dia yang
merawat mereka ketika Kaede mem?butuhkan waktu yang begitu lama untuk me?mulihkan diri setelah
melahirkan; dialah yang mengawasi semua latihan mereka dengan cara Tribe; dia pula yang
telah melindungi dan membela mereka dari semua orang yang hendak menyakiti mereka.
Ia punya harapan lain yang ia tak yakin mampu mewujudkannya, tujuan yang pernah diajukan
namun ditolak Takeo. Shizuka tak kuasa menahan ingatannya pada Iida Sadamu, dan rencana untuk
membunuh bangsawan itu. Andai dunia sejujur seperti sekarang ini. Ia telah mengatakan pada
Halaman 657 dari 657 Takeo bahwa sebagai Ketua Muto dan sahabat keluarga Otori, ia menganjurkannya untuk
menyingkirkan Zenko. Ia masih tetap berpegang pada pendapatnya saat memikir?kannya
dengan pikiran yang jernih. Tapi ketika memikirkannya sebagai seorang ibu...
Takeo sudah mengatakan kalau dia tak ingin membunuh Zenko, pikirnya. Aku tidak perlu
melakukan hal yang bertentangan dengan keinginannya. Tak seo rang pun akan menyangka usulan itu
datang dariku. Tapi di lubuk hatinya, Shizuka meng?harapkan anaknya itu mati ditangannya sendiri.
Putra Bunta, pemuda berusia lima belas atau enam belas tahun, ikut bersama mereka untuk
mengurus kuda, menyediakan makan, dan berkuda di depan untuk mengatur tempat
pemberhentian selanjutnya. Cuaca hari itu cerah, jalanan aman dan terawat baik, kota-kota damai dan
sejahtera, makanan berlimpah dan lezat.
Shizuka kagum atas semua yang Takeo dan Kaede capai demi kemakmuran dan kebahagiaan
negara, dan meratapi hasrat yang haus kekuasaan dan keinginan kuat untuk balas dendam
yang mengancamnya. Tapi tidak semua orang tidak menikmati kedamaian dan kemakmuran di negeri ini. Keluarga
Muto tempat dia menginap di Tsuwano menggerutu karena berkurangnya status mereka di kalangan
pedagang sejak banyak orang yang terlibat dalam per?dagangan. Di Yamagata, di rumah lama
Kenji yang kini ditinggali sepupunya, Yoshio, perbincangan selalu soal kemakmuran di masa lalu,
ketika Kikuta dan Muto ber?sahabat dan semua orang takut dan meng?hormati mereka.
Ia telah mengenal Yoshio sejak kecil karena mereka pernah dilatih bersama. Dia
memperlakiikan Shizuka dengan akrab dan berbicara blak-blakan. Shizuka tak tahu apakah ia bisa
mengandalkan dukungan sepupunya ini, tapi setidaknya sepupunya ini bersikap jujur.
"Ketika Kenji masih hidup," tutur Yoshio. "Semua orang menghormatinya, dan bisa melihat
alasannya untuk berdamai dengan Otori. Takeo memiliki informasi yang bisa menghancurkan Tribe,
seperti yang dilaku?kannya sebelumnya di Maruyama. Lalu, banyak hal yang harus ditakukan: memberi kita
waktu, dan menyimpan tenaga. Tapi
semakin banyak orang mengatakan kalau tuntutan Kikuia akan keadilan perlu didengar: Takeo
bersalah atas penghinaan yang terburuk, lari dari Tribe dan mem?bunuh Ketua dari
keluarganya. Selama ber?tahun-tahun dia belum dihukum atas per?buatannya, tapi kini Akio dan Arai Zenko
siap menghukumnya." "Kenji bersumpah setia pada Takeo atas nama keluarga Muto," Shizuka mengingat?kan. "Begitu
pula putraku"dia telah ber?sumpah berulang kali. Dan aku memimpin keluarga Muto bukan hanya
karena Takeo menunjukku: ini juga keinginan Kenji."
"Kenji tak bisa bicara dari dalam kuburnya, kan" Itulah keprihatinan kami" aku jujur padamu,
Shizuka. Aku senantiasa kagum dan juga suka padamu, walaupun dulu kau anak yang
menyebalkan, tapi kau sudah berubah: bahkan sempat cukup cantik juga!" Yoshio menyeringai dan
menuangkan sake lagi untuknya. "Simpan saja pujianmu itu," balasnya, sambil minum sake dengan sekali tenggak. "Aku sudah
terlalu tua untuk itu sekarang!"
"Kau minum dan bertarung layaknya laki?laki!" seru Yoshio dengan kagum.
"Aku pun bisa memimpin layaknya laki?laki," Shizuka meyakinkannya.
"Aku tak menyangsikannya. Tapi seperti yang kukatakan, orang-orang di Tribe ter?singgung
karena Takeo yang menunjukmu. Masalah dalam keluarga Muto tidak pernah diputuskan oleh
bangsawan?" "Takeo bukan sekadar bangsawan!" protes Shizuka.
"Bagaimana dia mendapatkan kekuasaan" Layaknya bangsawan lain, dengan meraih
kesempatan, menghadapi musuhnya dengan kejam, dan mengkhianati mereka yang telah bersumpah setia
kepadanya." Halaman 658 dari 658 "Itu hanya salah satu sisinya!"
"Itu adalah cara Tribe," sahut Yoshio, tersenyum lebar.
Shizuka berkata, "Bukti keberhasilan pemerintahannya ada di mana-mana: tanah yang subur,
anakanak yang sehat, pedagang yang kaya."
"Ksatria yang frustrasi dan mata-mata yang menganggur," bantah Yoshio, menenggak sakenya
lalu mengisi lagi. "Bunta, kau diam saja. Katakan kalau aku benar."
Bunta mengangkat mangkuk ke mulutnya dan menatap Shizuka dari pinggiran
mangkuknya selagi minum. "Bukan hanya karena Takeo yang menunjukmu, tapi juga karena
kau perempuan. Ada kecurigaan lain pada dirimu yang jauh lebih berat."
Senyum Yoshio hilang, dia duduk dengan bibir terkatup rapat dan menunduk.
"Orang-orang ingin tahu bagaimana Takeo menemukan Tribe di Maruyama padahal dia belum
pernah ke sana. Menurut kabar, Lord Shigeru memiliki catatan informasi tentang Tribe; orang tahu
kalau Lord Shigeru dan Kenji berteman, tapi Shigeru tahu jauh lebih banyak tentang Tribe dari yang bisa
dia tahu dari Kenji. Pasti ada orang yang memberi informasi padanya."
Kedua orang itu meliriknya, namun ia tidak bereaksi.
"Orang-orang yang mengatakan kaulah yang memberi informasi itu, dan itulah alasannya
Takeo menunjukmu sebagai ketua Muto, sebagai imbalan atas pengkhianatan?mu selama bertahuntahun."
Kata-kata itu menggantung di udara bak sebuah pukulan.
"Maaf," imbuh Bunta cepat. "Aku bukan?nya mengatakan kalau aku salah satu dari mereka;
aku hanya ingin memperingatkan
mu. Tentu saja Akio akan memanfaatkan desas-desus ini."
"Itu sudah lama sekali," sahut Shizuka dengan nada ringan. "Selama Iida berkuasa, dan selama
perang, banyak yang bertindak yang dapat dianggap sebagai pengkhianatan. Ayah Zenko
menyerang Takeo setelah ber?sumpah bersekutu dengannya, namun siapa yang bisa menyalahkannya"


The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semua orang tahu cepat atau lambat Arai akan melawan Otori untuk mengendalikan Tiga Negara.
Otori menang: Tribe juga merasakan kemenangannya, seperti yang sudah kita lakukan, dan kita
akan terus begitu." "Uhh," gerutu Yoshio. "Sekarang nampak?nya Arai akan menentang Otori lagi. Tidak ada yang
berpikir kalau Takeo akan meng?undurkan diri dengan sukarela, apa pun hasil pertandingan di
Miyako. Dia akan kembali dan bertempur. Dia bisa saja mengalahkan Zenko di Barat, dan
kemungkinan, meski sedikit peluangnya, mengalahkan Saga di Timur. Dia tak bisa menang
melawan mereka berdua. Kita harus memihak pada pemenangnya...."
"Lalu Kikuta akan balas dendam," ujar Bunta. "Mereka sudah lama menanti. Akan
terlihat kalau tidak ada yang bisa lepas dari Tribe."
Shizuka mendengar kata-kata ini seperti gema. Ia pernah mengucapkan kata-kata yang sama
tentang masa depan Takeo pada Kaede bertahun-tahun lalu di Terayama.
"Kau bisa menyelamatkan diri, Shizuka, dan kemungkinan juga keluarga Muto. Yang mesti kau
lakukan hanyalah mengakui Zenko sebagai ketua keluarga. Kami melepaskan diri dari Takeo
sebelum dia kalah; kami tak ingin terpuruk bersamanya, dan rahasia apa pun yang kau simpan di masa
lalu akan tetap tersimpan rapat-rapat."
"Taku takkan setuju," sahut Shizuka menyuarakan pikirannya.
"Dia akan setuju bila kau yang suruh, sebagai ketua dan sebagai ibunya. Dia tidak punya
pilihan. Taku bisa berpikir dengan akal sehat. Dia akan memahami kalau ini demi yang terbaik. Zenko akan
membayar upeti pada Saga, Tribe akan bersatu lagi, kita akan dapatkan kembali kekuatan
kita. Halaman 659 dari 659 Karena Saga berniat menyatukan Delapan Pulau di bawah kekuasaannya, kita akan punya
pekerjaan yang menarik dan menguntungkan selama bertahun-tahun yang
akan datang." Dan aku tak perlu membunuh putraku, pikir Shizuka.
*** Shizuka berangkat ke desa Muto, Kagemura, keesokan harinya. Malam sebelumnya bulan
purnama dan ia berkuda dengan murung, kesal dengan perbincangan semalam. Ia takut kalau keluarga
Muto di situ juga akan men?desaknya untuk mengambil jalan yang sama. Bunta hanya bicara sedikit,
dan Shizuka merasa marah dan tidak nyaman dengan laki?laki itu. Sudah berapa lama Bunta
curiga" Apakah sejak pertama kali orang itu melapor?kan tentang hubungan Shigeru dengan
Maruyama Naomi" Selama bertahun-tahun ia takut pengkhianatannya akan terungkap, namun sejak
mengakui perbuatannya pada Kenji, dan dimaafkan, rasa takut itu ber?kurang. Kini rasa takut itu
muncul lagi, membuatnya waspada yang tidak ia lakukan selama bertahun-tahun, siap bertarung mem?bela
diri. Ditemukan dirinya mengira-ngira tentang Bunta dan anaknya, berusaha memikirkan cara
untuk menghabisi mereka kalau mereka berbalik menentangnya. Shizuka masih berlatih setiap hari, tapi ia sudah tak
muda lagi; ia bisa mengalahkan banyak laki-laki dengan pedang namun juga sadar kalau ia tidak bisa
menandingi kekuatan fisik mereka.
Hari menjelang malam ketika mereka tiba di penginapan. Pagi harinya ia meninggalkan bocah
itu dan kuda di belakang. Ia berjalan kaki seperti yang pernah ia lakukan bersama Kondo, melintasi
pegunungan. Shizuka tak tidur karena gelisah. Ia hampir tak bisa menahan diri untuk
menangis. Tiada henti ia memikirkan Kondo: ia pernah bercinta dengan orang itu di tempat ini; ia tidak
mencintai Kondo; ia mengasihani orang itu. Kemudian Kondo muncul lagi saat ia mengira hidupnya akan
berakhir, hanya untuk melihat orang terbakar hidup-hidup di depan matanya. Sifat Kondo yang
sulit menunjukkan perasaan seperti mendapatkan kemuliaan tragis. Alangkah menyedihkan
keadaan Kondo saat itu, serta alangkah mengagumkannya! Mengapa ia begitu terharu pada laki-laki itu
kini" Nyaris seperti arwah Kondo tengah menggapai dirinya untuk mengatakan sesuatu, untuk
memper ingatkannya. Bahkan saat melihat desa Muto di lembah tersembunyi tak mampu membuatnya gembira
seperti biasanya. Hari sudah sangat sore ketika mereka sampai, matahari mulai tenggelam di balik
gugusan pegunungan terjal, kabut mulai menyelimuti lembah lagi. Saat itu hawa terasa dingin,
membuatnya senang dengan jubah bertudung yang dipakainya. Gerbang desa tampak dibuka dengan rasa
enggan. Bahkan rumah-rumah di dalamnya berkesan tertutup dan tidak ramah, dinding kayu kelam
terkena embun, atap-atap diperberat dengan bebatuan.
Kakek dan neneknya sudah lama meninggal: rumah lama kini dihuni keluarga?keluarga yang
sebaya dengan kedua putranya dan anak-anak; Shizuka tidak mengenal betul mereka, walaupun ia
tahu nama, bakat dan sebagian besar rincian dalam hidup mereka.
Kana dan Miyabi, kini sudah menjadi nenek, masih mengurus rumah, dan setidaknya mereka
menyambut dirinya dengan kegembiraan yang tulus. Shizuka kurang yakin dengan ketulusan
sambutan dari orang lainnya, meskipun anak-anak sangat gembira atas kedatangannya,
terutama Miki. Belum sampai dua bulan sejak terakhir kali bertemu Miki: ia terkejut dengan perubahan gadis
itu. Miki lebih tinggi dan agak kurus sehingga tampak lentur dan ramping. Tulang-tulang tajam di
wajahnya kelihatan lebih menonjol dan matanya yang cekung berkilat.
Sewaktu mereka berkumpul di dapur untuk menyiapkan makan malam, ia bertanya pada
Kana, "Apakah Miki pernah sakit?" karena saat musim semi kerapkali terjadi demam mendadak dan
sakit perut. Halaman 660 dari 660 "Kau mestinya tidak berada di sini ber?sama kami!" bentak Kana. "Kau tamu ke?hormatan:
seharusnya kau duduk bersama para laki-laki."
"Aku akan bergabung dengan mereka nanti. Ceritakan tentang keadaan Miki."
Kana berpaling ke arah Miki yang tengah duduk di samping perapian, mengaduk sop di panci
besi yang tergantung di atas api dengan kaitan besi berbentuk ikan.
"Miki memang semakin kurus," sahut Kana setuju. "Tapi dia tidak mengeluh, bukan begitu,
'nak?" "Dia tidak megeluh," imbuh Miyabi
tertawa. "Miki setangguh laki-laki. Kemarilah Miki, biarkan Shizuka memegang lengan?mu."
Miki datang dan berlutut di dekat Shizuka tanpa bicara. Shizuka mencengkeram lengan bagian
atas gadis itu. Dirasakakannya lengan itu sekeras baja, tidak ada daging, hanya otot dan tulang.
"Apakah semuanya baik-baik saja?"
Miki mengangguk. "Ayo berjalan-jalan bersamaku: kau bisa ceritakan apa yang membuatmu sedih."
"Dia akan bicara padamu saat tidak ingin bicara dengan orang lain," ujar Kana dengan suara
pelan. "Shizuka," bisik Miyabi bahkan lebih pelan lagi. "Waspadalah. Para pemuda...." Miyabi melirik
sekilas ke ruang utama rumah tempat suara-suara laki-laki terdengar samar?samar, meski Shizuka
bisa mengenali suara Bunta. "Ada yang merasa tidak suka," ujar Miyabi tidak jelas, terang-terangan
takut ada yang menguping. "Begitulah yang diberitahukan kepadaku. Di Yamagata dan Tsuwano juga sama. Aku akan
melanjutkan perjalanan ke Hofu, tempat aku akan bicarakan keadaan ini
dengan kedua putraku. Aku akan pergi satu atau dua hari lagi."
Miki masih berlutut di dekatnya, dan Shizuka mendengarnya menghela napas pelan dan
merasakan kalau gadis itu semakin tegang. Dirangkulnya Miki, tercengang dengan tajam dan rapuhnya
tulang di balik kulitnya, tak ubahnya sayap burung.
"Ayo, pakai sandalmu. Kita akan jalan?jalan ke biara dan memberi salam kepada dewa-dewa."
Kana memberi Miki sedikit kue mochi sebagai sesaji bagi dewa-dewa. Shizuka mem?buka
tudung jubahnya; cuaca terasa dingin. Bulan bersinar redup menyinari udara yang berkabut,
membuat bayang-bayang di se-panjang jalan dan di balik pepohonan yang mengelilingi biara. Walau-pun
sudah dua hari sejak purnama bulan keempat, udara masih terasa dingin. Jauh di ketinggian
pegunungan terdengar nyanyian katak dan jangkrik. Hanya seruan burung hantu yang tersendat-sendat.
Biara diterangi dua lentera di kedua sisi altarnya. Miki menaruh kue mochi di depan patung
Hachiman, dan mereka berdua me?nepukkan tangan lalu membungkuk hormat
tiga kali. Shizuka pernah memanjatkan doa di sini bertahun-tahun yang silam untuk Takeo dan
Kaede. Sekarang ia masih me?manjatkan permintaan yang sama, dan men?doakan arwah Kondo dan
mengucapkan rasa terima kasihnya kepada laki-laki itu.
"Apakah para dewa akan melindungi Maya?" tanya Miki, seraya menatap pahatan patung di
depannya. "Kau sudah memintanya?"
"Sudah, aku selalu meminta begitu. Juga untuk Ayah. Tapi aku tidak mengerti bagai?mana
para dewa bisa mengabulkan doa semua orang, saat semuanya menginginkan hal yang berbeda. Aku
mendoakan ke-selamatan Ayah, tapi banyak orang lain yang mendoakan kematiannya."
"Inikah yang telah membuatmu kurus, mencemaskan ayahmu?"
"Aku berharap bisa bersamanya. Dan Maya juga."
Halaman 661 dari 661 "Terakhir kali kita benemu kau sangat gembira, dan baik-baik saja. Apa yang telah terjadl?"
"Aku tidak dapat tidur nyenyak. Aku takut dengan mimpi."
"Mimpi apa?" sela Shizuka saat gadis itu
membisu. "Mimpi-mimpi saat aku bersama Maya. Dia menjadi si kucing dan aku menjadi bayangannya.
Kucing mengambil segala yang ada dalam diriku dan aku harus mengikuti?nya. Ketika berusaha terus
terjaga, aku men-dengar para laki-laki bicara: mereka selalu membicarakan hal yang sama,
tentang keluarga Muto, dan apakah Ketua bisa dijabat oleh perempuan, dan Zenko juga Kikuta. Dulu
aku senang berada di sini. Aku merasa aman dan semua orang menyukaiku. Sekarang para laki-laki
terdiam saat aku lewat, dan anak-anak lain menghindariku. Ada apa Shizuka?"
"Para laki-laki memang selalu menggerutu. Nanti juga mereka bosan," sahut Shizuka.
"Lebih dari itu," ujar Miki dengan nada mendesak. "Sesuatu yang buruk sedang ter?jadi. Maya
dalam bahaya. Kau tahu bagai?mana kami berdua: aku bisa tahu apa yang terjadi pada Maya, begitu
juga sebaliknya. Kami selalu begitu. Aku bisa merasakannya berseru memanggilku, tapi aku tidak
tahu di mana Maya berada." "Maya ada di Hofu bersama Taku dan Sada," sahut Shizuka dengan percaya diri
untuk menyembunyikan kegelisahannya
sendiri. Ia tahu benar si kembar bisa
mengetahui pikiran masing-masing dari jauh.
"Maukah kau mengajakku ke sana?"
"Mungkin sebaiknya begitu."
Tentu saja, pikirnya, aku harus mengajak?nya. Aku tak bisa meninggalkannya di sini Orangorang
akan memanfaatkan dia me?lawan Takto. Semakin cepat aku bicara dengan Taku dan Zenko,
akan semakin baik. Kami harus menyelesaikan masalah kepemim?pinan ini sebelum perasaan tidak
senang ini makin tak terkendali
"Kita akan berangkat lusa."
*** Shizuka menghabiskan keesokan harinya untuk berkonsultasi dengan para pemuda yang kini
membentuk inti keluarga Muto. Mereka memperlakukannya dengan normat dan
mendengarkannya dengan sopan. Silsilah keluarga, sejarah dan bakatnya telah mengendalikan rasa hormat dan
rasa takut mereka. Shizuka lega, terlepas dari usia dan bentuk tubuhnya yang kecil, ia masih bisa
mengendalikan mereka. Diulangi lagi niatnya
untuk membicarakan masalah kepemim?pinan dengan Zenko dan Taku, serta menekankan
bahwa ia takkan turun dari jabatannya sebagai Ketua sebelum Takeo kembali dari wilayah Timur. Ia
mengatakan bahwa ini keinginan Kenji dan ia meng?harapkan kepatuhan total mereka sesuai
tradisi keluarga Muto. Tak seorang pun keberatan saat ia mengatakan Miki akan ikut bersamanya, tapi dua hari
kemudian di jalan menuju Yamagata, Bunta berkata, "Orang di desa kini tahu kau tidak memercayai
mereka karena kau membawa Miki."
"Saat ini aku tidak memercayai siapa pun." Mereka berkuda berdampingan, Miki di depan
menunggang kuda anak lelaki Bunta. Shizuka berencana meminjam satu kuda lagi dari istal
Lord Miyoshi di Yamagata. Itu akan membuat mereka berdua lebih leluasa, lebih aman.
Shizuka memalingkan wajah lalu menatap langsung ke arah Bunta, menantang laki-laki itu.
"Apa aku salah" Haruskah aku percaya padamu?"
"Jujur saja, semua ini hanya masalah apa yang diputuskan Tribe. Aku takkan meng
Halaman 662 dari 662 gorok lehermu selagi kau tidur, kalau itu yang kau maksud. Aku sudah lama mengenalmu"dan
lagi, aku tak suka mem?bunuh perempuan."
"Jadi beritahu aku lebih dulu sebelum kau mengkhianati diriku," ujarnya.
Mata agak Bunta mengerut. "Akan ku?katakan."
"Suruh Bunta dan putranya pulang," ujar Miki kemudian, ketika mereka tiba di Yamagata dan
sedang berdua saja. Tidak ingin tinggal di rumah Muto dengan Yoshio, Shizuka lalu pergi ke kastil. Di
sana mereka disambut istri Kahei yang membujuk mereka agar tinggal lebih lama. Saat bujukannya
tidak berhasil, dia lalu menawarkan pen- damping dan juga kuda tambahan.
"Sulit untuk memutuskan," ujar Shizuka kepada Miki. "Jika aku kirim mereka pulang, maka aku
tidak punya lagi kontak dengan keluarga Muto selama di perjalanan, dan aku justru semakin
mendorong Bunta untuk menjauhiku; jika kuterima tawaran Lady Miyoshi berarti kita akan bepergian
secara terbuka"kau sebagai putri Lord Otori."
Miki mengerutkan wajah pertanda tidak menyukai usulan itu. Shizuka tertawa.
"Keputusan ini tidak pernah sesederhana yang kau kira."


The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mengapa kita tidak pergi berdua saja?"
"Dua orang perempuan bepergian tanpa pelayan atau pendamping justru akan lebih menarik
perhatian"biasa-nya perhatian yang tidak diinginkan!"
"Andai kita dilahirkan sebagai laki-laki!" ujar Miki, dan meski berusaha bicara dengan nada
ringan. Shizuka menangkap nada kesedihan di balik kata-katanya. Teringat olehnya rasa sayang Kaede
pada bayi laki?lakinya, kasih sayang yang tak pernah ditunjukkan pada putri kembarnya. Ia melihat
kesepian yang dialami si kembar: tumbuh dewasa di antara dua dunia. Bila keluarga Muto
berbalik menentang ayah mereka, maka mereka pun akan menolak kehadiran si kembar. Mereka
bahkan akan berusaha untuk menghabisi si kembar dan Takeo.
"Bunta dan putranya akan ikut dengan kita ke Hofu. Setibanya di sana, Taku akan mengurus
kita; kau akan bersama Maya dan kita semua akan aman!"
Miki mengangguk dan berusaha ter?senyum.
Malam itu terjadi gempa kecil, membuat bangunan berguncang dan menyebabkan kebakaran
di beberapa bagian kota. Udara tetap terasa penuh debu dan asap saat mereka pergi dengan dua
kuda tambahan, satu ditung-gangi oleh pengurus kuda dari kediaman Miyoshi. Mereka bertemu
Bunta dan putranya sesuai rencana, di tepi parit lebar kota, tepat di luar gerbang kastil.
"Kau dapat kabar dari Taku?" tanya Shizuka pada Bunta, seraya memikirkan Taku mungkin
menghubungi keluarga Muto.
"Yoshio tidak mendengar kabar apa-apa. Hanya ada laporan bahwa dia masih di Hofu." Bunta
menyeringai dengan kesan tidak senonoh sewaktu mengatakannya, lalu berkedip kepada
putranya yang tertawa. Apakah semua orang tahu kalau putranya tengah tergila-gila pada Sada" Shizuka ber?tanya
pada dirinya sendiri, merasakan kesal pada putra bungsunya itu.
Namun di malam pertama perjalanan mereka, setelah Shizuka dan Miki pergi tidur, Bunta
mengetuk pintu dan memanggil namanya pelan. Shizuka mencium bau sake.
"Keluarlah. Aku mendengar kabar buruk."
Bunta mabuk, sake sudah menghilangkan kepekaan serta membebaskan lidahnya.
Shizuka mengambil pisaunya dari bawah tikar dan menyelipkannya di balik jubah tidurnya,
sambil merapatkan jubah luarnya. Diikutinya Bunta sampai ke ujung be-randa. Bulan tidak kelihatan;
terlalu gelap untuk melihat ekspresi di wajah Bunta.
Halaman 663 dari 663 "Mungkin ini hanya rumor, tapi kurasa kau perlu dengar." Dia berhenti sejenak lalu bicara
dengan canggung, "Ini bukan berita bagus: kau sebaiknya menyiapkan diri."
"Apa?" tanya Shizuka, lebih keras dari yang diingin-kannya.
"Taku diserang bandit. Dia dan kekasih?nya, Sada, tewas."
"Tidak mungkin," ujar Shizuka.
"Tidak ada yang tahu detailnya. Tapi orang-orang membicarakannya di kedai." "Orang-orang
Tribe" Muto?" "Muto dan Kuroda." jawabnya canggung. "Aku turut berduka."
Dia tahu kalau berita itu benar, pikirnya, karena ia pun tahu kalau itu benar. Saat merasakan
kesedihan yang mendalam selama perjalanan ke Kagemura, ia merasa arwah Kondo berseru
memanggil. Kini Taku berada
di antara mereka. Ini bisa membunuhku, pikirnya. Penderitaan yang dirasakannya begitu
menusuk hingga tak tahu bagaimana bisa bertahan, bagaimana ia bisa terus hidup di dunia yang tak ada
Taku di dalamnya. Shizuka meraba pisau di jubahnya, ber?maksud menikam lehernya sendiri,
menyam?but rasa sakit di tubuhnya yang bisa mengakhiri penderitaannya. Tapi sesuatu
mencegahnya. Shizuka memelankan suara, ingat kalau Miki sedang tidur di dekat situ. "Putri Lord Otori,
Maya, ada bersama Taku. Apakah dia juga ikut tewas?"
"Tidak ada yang menyebut-nyebutnya, " sahut Bunta. "Kurasa tidak ada yang tahu kalau Maya
ikut bersama mereka, kecuali keluarga Muto di Maruyama."
"Apakah kau tahu?"
"Aku dengar ada anak yang dijuluki Si Kucing Kecil bersama Taku. Aku sedang mencari tahu
siapa orangnya." Shizuka tidak menjawab. Ia tengah berjuang mengendalikan diri. Di benaknya melintas
kenangan masa lalu, bayangan pamannya, Kenji, saat mendengar kabar tentang kematian putrinya di
tangan Kikuta. Paman, dipanggilnya arwah Kenji. Kau mengerti penderitaan yang kualami saat ini dan kini
aku bisa rasakan sakit hatimu. Beri aku kekuatan untuk terus hidup, seperti dirimu.
Maya, aku harus memikirkan Maya. Aku takkan memikirkan Taku, belum saatnya. Aku harus
selamatkan Maya. "Apakah kita akan tetap ke Hofu?" tanya Bunta.
"Ya, aku harus mencari tahu kebenaran?nya." Ia memikirkan semua ritual yang harus dilakukan
bagi arwah Taku, ingin tahu di mana putranya dikubur. Ia merasakan lilitan penderitaan sekuat
baja menghimpit dadanya saat memikirkan jasad putranya di dalam tanah, dalam kegelapan.
"Zenko ada di Hofu?" tanyanya, merasa kagum ternyata kata-kata itu terlontar dengan tenang.
"Ya, istrinya pergi ke Hagi naik kapal laut minggu lalu, tapi dia tidak ikut. Dia tengah
mengawasi pengaturan perdagangan dengan orang-orang asing. Dia makin dekat dengan mereka,
begitulah beritanya." "Zenko pasti tahu. Bila memang per?buatan bandit, maka dia bertanggung jawab untuk
menangkap dan menghukum mereka, dan menyelamatkan Maya bila masih hidup."
Namun bahkan saat ia bicara pun, Shizuka tahu kalau putranya tidak tewas dibunuh
sembarangan bandit. Dan tak satu pun orang Tribe berani menyentuh Taku"kecuali Kikuta. Akio telah
menghabiskan musim dingin di Kumamoto. Akio pasti telah berhubungan dengan Zenko.
Halaman 664 dari 664 Shizuka tak percaya Zenko terlibat dalam kematian Taku. Apakah ia akan segera ke?hilangan
kedua putranya" Aku tidak boleh menuduh sebelum bicara dengannya.
Bunta menyentuh lengan Shizuka dengan ragu-ragu. "Ada yang bisa kubantu" Mau kuambilkan
sake, atau teh?" Ia menarik lengan, membaca sesuatu yang lebih dari sekadar simpati dari gerakan Bunta.
Seketika membenci semua laki-laki dengan nafsu dan kekerasan mereka yang berujung pada kematian.
"Aku ingin sendiri. Kita pergi saat matahari terbenam. Jangan katakan apa pun pada Miki. Akan
kuputus?kan kapan akan memberitahunya."
"Aku sangat berduka," sahut Bunta. "Semua orang menyukai Taku. Ini benar?benar kehilangan
yang menyedihkan." Ketika langkah kaki Bunta semakin meng?hilang, Shizuka terpuruk di beranda. Ia masih
memegang pisau, alat yang bisa ia gunakan untuk lari dari dunia nan penuh derita ini.
Terdengar olehnya langkah kaki ringan di lantai papan. Miki mendekat lalu memeluk?nya erat.
"Kukira kau sudah tidur," Shizuka memeluk gadis itu dan membelai rambutnya.
"Ketukan pintu tadi membuatku ter?bangun, lalu aku tak tahan untuk men?dengarkan." Tubuh
kurusnya gemetaran. "Maya belum mati. Aku pasti tahu kalau dia sudah mati."
"Di mana dia" Bisakah kau menemukan?nya?" Shizuka berpikir bila ia berkonsentrasi pada
Maya, pada mereka yang masih hidup, maka ia takkan larut dalam kesedihan. Dan Miki, dengan
kepekaan yang amat tinggi, nampaknya menyadari ini. Miki tidak meng?ucapkan sepatah kata pun
tentang Taku, tapi membantu Shizuka berdiri.
"Kemari dan berbaringlah," katanya, seolah Shizuka adalah anaknya. "Meskipun tidak bisa
tidur, kau bisa beristirahat. Aku ingin tidur karena Maya berbicara padaku
dalam mimpi. Cepat atau lambat dia akan mengatakan padaku di mana dia berada, dan
kemudian aku akan bertemu dengannya."
"Kita harus kembali ke Hagi. Aku harus membawamu pulang."
"Tidak, kita harus ke Hofu," bisik Miki. "Maya masih di Hofu. Bila kelak kau tidak
menemukanku, jangan cemas. Aku akan bersama Maya."
Mereka berbaring dan Miki meringkuk di sebelah Shizuka. Gadis itu sepertinya ter?tidur,
namun Shizuka tetap terjaga memikir?kan tentang hidup putranya. Semua perempuan di kalangan
Tribe dan ksatria harus membiasakan diri mendengar kabar tentang kematian kejam putra mereka. Anak
lakilaki diajarkan untuk tidak takut mati, dan anak perempuan dilatih untuk tidak menunjukkan
kelemahan atau kesedihan. Ia melihat bagaimana kasih sayang seorang ibu yang terlalu melindungi telah
mengubah putranya menjadi pengecut atau mengarah?kan mereka bertindak gegabah. Taku telah tiada,
ia menangisinya, namun yakin kalau kematian putranya karena tidak ingin mengkhianati Takeo:
Taku dibunuh karena kesetiaannya. Kematiannya bukanlah sesuatu
yang tidak disengaja atau tidak bermakna.
Dengan cara ini Shizuka sanggup menenangkan serta menguatkan dirinya selama beberapa
hari berikutnya saat berkuda ke Hofu. Ia bertekad tidak akan bersikap seperti seorang ibu yang
kebingungan dan bersedih, tapi bersikap sebagai ketua Muto; ia takkan memperlihatkan
kelemahan tapi justru akan mencari tahu bagaimana putra?nya bisa mati dan menyerei pembunuhnya
untuk dihukum. *** Cuaca panas dan pengap: bahkan angin laut tidak mampu mendinginkan kota pelabuhan itu.
Hujan musim semi hanya turun sedikit, dan orang-orang bicara dengan cemas tentang panasnya
cuaca yang tidak biasa. Cuaca seperti ini dapat menyebabkan kekeringan karena selama enam belas
tahun Halaman 665 dari 665 atau lebih tidak terjadi kekeringan. Hujan musim semi dan hujan plum senantiasa datang di
saat yang tepat sehingga banyak pemuda yang belum pernah mengalami kekeringan.
Suasana di kota terasa menggelisahkan,
bukan hanya karena cuaca. Berbagai pertanda yang mengancam dilaporkan setiap hari;
wajah-wajah yang bicara tentang takdir buruk terlihat di lentera-lentera di luar biara Daifukuji; kawanan
burung yang terbang membentuk huruf nasib buruk di udara. Segera setelah mereka tiba di sana,
Shizuka menyadari kesedihan dan kemarahan yang sebenar-nya dari penduduk kota atas kematian
Taku. Ia tidak pergi ke kediaman Zenko, tapi menginap di penginapan yang menghadap ke sungai,
tidak jauh dari Umedaya. Di malam pertama, pemilik penginapan menceritakan kalau Taku dan Sada di?makamkan di
Daifukuji. Dikirimnya Bunta untuk memberitahu Zenko tentang ke?datangannya. Ia bangun pagi-pagi,
me?ninggalkan Miki yang masih tidur, berjalan ke biara warna merah tua yang berdiri di
antara pepohonan suci, menghadap ke laut untuk menyambut kepulangan para pelaut ke Negara
Tengah. Lantunan doa terdengar dari dalam biara, dan dikenalinya kata-kata suci dan alunan sutra
bagi orang meninggal. Dua biarawan tengah menyebarkan air di papan jalan sebelum menyapunya. Salah satu
dari mereka mengenali Shizuka, lalu berkata, "Ajak Lady Muto ke pemakaman. Aku akan
memberitahu Kepala Biara."
Dilihatnya simpati mereka, dan ia berterima kasih.
Di bawah pepohonan besar terasa dingin. Sang Biarawan membimbingnya ke makam yang baru
digali; belum ada batu nisan; lentera menyala di sisi makam dan sese-orang telah menaruh
sesaji bunga"iris ungu"di depannya. Dipaksa dirinya membayangkan putranya diletakkan dalam peti
mati di bawah tanah, tubuh yang kuat dan lincah kini terbujur kaku. Arwah putranya pasti
gentayangan gelisah di antara dua dunia, menuntut keadilan.
Biarawan yang kedua datang membawa dupa, dan tak lama kemudian, saat Shizuka berlutut
berdoa tanpa suara, Kepala Biara datang lalu berlutut di sampingnya. Mereka tetap membisu
beberapa saat; kemudian Kepala Biara melantunkan suara yang sama bagi orang meninggal.
Air mata mengambang di pelupuk mata?nya dan mengalir turun di pipi. Kata-kata kuno naik
terbang ke bawah naungan pe?pohonan, bercampur dengan kicau pagi
burung gereja serta kicau lembut burung merpati.
Kemudian, Kepala Biara mengajaknya masuk ke ruangannya dan menyajikan teh untuknya.
"Aku sendiri yang mengurus pengukiran batu nisannya. Kurasa itulah yang diinginkan Lord Otori."
Shizuka menatap orang itu. Ia mengenal Kepala Biara selama beberapa tahun, tapi dia selalu
dalam suasana hati yang gembira, dia bisa berkelakar dengan para pelaut dalam dialek kasar mereka
sama baiknya dengan menggubah syair indah penuh humor ber?sama Takeo, dan Tabib Ishida. Kini
wajah?nya murung, dengan ekspresi sedih.
"Apakah kakaknya, Lord Zenko, ber?hubungan dengan semua ini?" tanya Shizuka.
"Aku khawatir Lord Zenko telah di?pengaruhi orang asing: tidak ada peng?umuman resmi, tapi
semua orang mem?bicarakannya. Dia telah menerima agama mereka dan kini mengakuinya sebagai
satu agama yang benar. Hal ini membuatnya tidak boleh masuk ke kuil dan biara kami, dan tidak
boleh melakukan upacara yang di?perlukan bagi adiknya."
Shizuka menatap pendeta itu, tidak
percaya dengan apa yang didengarnya.
"Sikapnya sangat meresahkan," lanjutnya. "Sudah ada pertanda kalau para dewa ter?singgung.
Orang-orang takut mereka akan dihukum dewa atas perbuatan pemimpin mereka. Sebaliknya,
orangHarjono Siswanto Story Collection
Halaman 666 dari 666 orang asing itu bersikeras kalau tuhan mereka, Deus, akan memberi pahala bagi Zenko dan
siapa

The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pun yang bergabung dengannya."
"Termasuk sebagian besar pengawal pribadinya," imbuhnya, "yang diperintahkan pindah agama
atau mati." "Benar-benar gila," ujar Shizuka, me?mutuskan untuk bicara dengan Zenko secepatnya. Ia
tidak menunggu untuk di?panggil menghadap, namun segera kembali ke penginapan untuk
berpakaian rapi dan memesan tandu. "Tunggu di sini," katanya pada Miki. "Bila aku tidak kembali nanti malam, pergilah ke
Daifukuji, mereka akan mengurusmu." Gadis itu memeluknya sangat erat.
Zenko keluar menuju beranda begitu tandu diturunkan di dalam gerbang. Ia memaksa dirinya
berpikir kalau ia salah menilai putra sutungnya itu. Kata-kata pertama Zenko adalah simpati, diikuii
ungkapan betapa gembira dia bertemu ibunya, terkejut karena ibunya tidak langsung
menemui dirinya. Pandangan mata Shizuka jatuh ke kalung rosario di leher Zenko, lambang agama orang asing,
menggantung di dadanya. "Kabar buruk ini merupakan pukulan bagi kita semua," ujarnya, selagi membimbing ibunya
berjalan menuju ruangan yang meng?hadap ke taman.
Seorang bocah, cucunya, tengah bermain di beranda, diawasi pengasuhnya.
"Kemari dan sapa nenekmu," panggil Zenko, dan anak itu dengan patuh datang lalu berlutut di
hadapan Shizuka. Itu pertama kalinya Shizuka bertemu cucunya: usianya kira-kira dua tahun.
"Istriku, seperti yang Ibu tahu, sudah ke Hagi untuk menemani kakaknya. Sebenarnya dia
enggan meninggalkan Hinomasa kecil, tapi kukira sebaiknya mempertahankan se?tidaknya salah satu
putraku bersamaku." "Jadi kau mengakui kalau kau memper?taruhkan nyawa kedua putramu yang lain?" tanya
Shizuka pelan. "Ibu, Hana akan bersama mereka dalam dua minggu lagi. Kukira mereka tidak dalam
bahaya. Lagipula, aku tidak melakukan kesalahan apa-apa. Tanganku bersih." Di?angkat kedua
tangannya lalu mengangkat tangan putranya. "Lebih bersih dari tangan Hinomasa,"
selorohnya. "Dia punya telapak tangan Kikuta!" seru Shizuka terkejut. "Mengapa kau tidak
men?ceritakannya?" "Menarik, bukan" Darah Tribe tidak habis terkikis." Zenko tersenyum lebar, dan mem?beri
isyarat pada pelayan perempuan itu untuk membawa putranya pergi.
"Dia mengingatkanku pada Taku," tutur?nya, sambil menyeka mata dengan lengan baju. "Satu
hal yang menghibur bila ternyata adikku yang malang hidup dalam diri putraku."
"Mungkin kau bisa ceritakan siapa yang membunuhnya," ujar Shizuka.
"Bandit, tentu saja. Ada penjelasan apa lagi" Aku akan kejar dan adili mereka. Tentu saja,
dengan Takeo sedang di Ibukota, orang?orang yang putus asa semakin berani dan keluar dari
persembunyiannya." Jelas sekali kalau Zenko tidak peduli bila ia percaya atau tidak.
"Bagaimana kalau kuperintahkan kau
untuk memberitahu yang sebenarnya?"
Pandangan Zenko menghindar, dan menyembunyikan wajahnya dengan lengan baju lagi.
Shizuka merasa kalau putranya itu tidaklah menangis, tapi justru tersenyum, senang dengan
keberaniannya sendiri. Halaman 667 dari 667 "Janganlah bicara tentang perintah me?merintah, Ibu. Aku akan mematuhi semua
kewajibanku sebagai anak, tapi dalam hal lain, sudah selayaknya Ibu mematuhiku, sebagai Muto maupun
sebagai Arai." "Aku melayani Otori," sahutnya. "Begitu pula Kenji, dan kau pun telah bersumpah setia
padanya." "Ya, Ibu melayani Otori," ujarnya, kemarahannya mulai terlihat. "Itulah yang menjadi masalah
selama bertahun-tahun. Kemana pun kita melihat sejarah kebang?kitan Otori, kita melihat tangan Ibu
"dalam penganiayaan Takeo atas Tribe, dalam pem?bunuhan ayahku, bahkan dalam kematian Lord
Fujiwara"kenapa Ibu tega meng?khianati rahasia-rahasia Tribe kepada Shigeru?"
"Akan kukatakan kepadamu! Aku meng?inginkan dunia yang lebih baik bagi kau dan Taku.
Kurasa sudah semestinya kalian hidup
di dalam dunia Shigeru, bukan dunia yang berisi pembunuh bayaran yang ada di sekelilingku.
Takeo dan Kaede menciptakan dunia itu. Kami takkan membiarkan kau menghancurkannya."
"Takeo sudah tamat. Apakah Ibu mengira Kaisar akan berpihak padanya" Kalau pun dia
kembali, kami akan membunuhnya, dan aku akan dinobatkan menjadi penguasa Tiga Negara. Itu hakku
dan aku sudah siap." "Kau sudah siap melawan Takeo, dan Kahei, Sugita, Sonoda"sebagian besar ksatria Tiga
Negara?" "Takkan ada perang, yang ada hanyalah kerusuhan. Dengan Saga di wilayah Timur, sena
dukungan tambahan yang kami miliki dari orang-orang asing?" Ditepuknya salib di dadanya" "Dengan
senjata serta kapal mereka, Takeo dapat dikalahkan dengan mudah. Sebenarnya dia juga bukan
benar?benar ksatria: semua pertempurannya yang terkenal itu hanya dimenangkan oleh keberuntungan
ketimbang keahlian." Zenko memelankan suaranya. "Aku dapat melindungi Ibu sampai tahap tertentu, tapi bila Ibu
bersikeras menentangku, aku tak bisa menahan keluarga Kikuta. Mereka
menuntut Ibu dihukum, atas ketidakpatuhan selama bertahun-tahun terhadap Tribe."
"Aku akan bunuh diri terlebih dulu," seru Shizuka.
"Mungkin itulah keputusan terbaik," sahutnya, seraya menatap ibunya lekat-lekat. "Bagaimana
kalau kuperintahkan Ibu melakukannya sekarang juga?"
"Aku mengandungmu dalam perut selama sembilan bulan." Seketika Shizuka terkenang saat ia
menemui Kenji untuk mendapatkan ijin dari Tribe agar bisa melahirkan anak ini. Putranya
adalah hadiah bagi kekasihnya: betapa bangganya Arai saat itu. Kini ayah dan anak telah
memerintahkan kematiannya. Kemarahan serta kesedihan menyelimuti dirinya: menangis selama setahun
takkan mampu menguranginya. Bisa dirasakannya akal sehatnya bergulir ke tepi kegilaan. Aku be rha
rap bisa menca but nyawaku sendiri, pikirnya, tergiur dengan pemusnahan yang disebabkan oleh
kematian; hanya nasib si kembar yang mencegahnya. Ia ingin menanyakan keberadaan Maya,
tapi takut mengungkap sesuatu yang mungkin Zenko belum tahu. Lebih baik tutup mulut,
melakukan apa yang telah ia lakukan seumur
hidupnya, bersandiwara sebaik mungkin. Shizuka berjuang membuang perasaannya dan
berpurapura bersikap lembut. "Zenko, kau putra sulungku, dan aku ingin menjadi ibu yang baik dan berbakti padamu. Aku
akan memikirkan semua yang kau katakan. Beri aku waktu satu atau dua hari. Biarkan aku
mengatur pemakaman adikmu. Aku tak bisa memutuskan saat diliputi kesedihan."
Selama beberapa saat Shizuka mengira kalau putranya akan menolak keinginannya: ia
memperkirakan jarak antara taman dan luar dinding, tapi dalam kesunyian ia seperti
mendengar desah napas sesorang"adakah penjaga yang bersembunyi di balik layar kasa, di taman"
Apakah dia takut aku akan membunuhnya" Peluangnya lolos kecil. Ia bisa menggunakan kemampuan
menghilang: jika para penjaga datang setelah ia mengalah?kan seorang penjaga, mengambil
pedang penjaga itu.... Halaman 668 dari 668 Ternyata sisa-sisa rasa hormat masih berhasil membujuknya. "Baiklah," akhirnya Zenko
berkata. "Aku akan meminta penjaga mengawal Ibu. Jangan coba-coba kabur, dan jangan sekali-sekali
meninggalkan Hofu. Ketika masa berkabung selesai, Ibu harus ber?gabung denganku atau mencabut nyawa Ibu
sendiri." "Kau akan datang untuk memanjatkan doa bagi adikmu?"
Zenko melayangkan tatapan dingin, diikuti gelengan yang tidak sabar. Shizuka tak ingin
memaksa karena takut Zenko akan menahannya di sini, mungkin dengan kekerasan. Shizuka
membungkuk hormat, merasakan kemarahan yang membara dalam dirinya. Saat pergi, ia mendengar suarasuara
di ujung beranda utama. Ketika menoleh, ia melihat Don Joao bersama jurubahasanya,
Madaren menghampiri. Mereka mengenakan pakaian mewah, dan mereka berjalan dengan rasa percaya
diri yang baru. Setelah memberi salam pada Don Joao dengan sikap dingin, Shizuka lalu bicara pada Madaren,
tanpa sopan santun, "Kau pikir apa yang sedang kau lakukan di sini?"
Madaren tersipu atas nada bicara Shizuka, tapi berhasil mengumpulkan keberanian lalu
menjawab, "Melakukan kehendak Tuhan, layaknya yang kita semua lakukan."
Tanpa menjawab Shizuka melangkah masuk ke dalam tandu. Selagi tandu itu
digotong pergi dalam pengawalan enam orang, dirutukinya orang-orang asing itu karena
mengganggu dengan kedatangan senjata dan Tuhan mereka. Ia hampir tidak ingat lagi kata-kata yang
terlontar dari mulutnya tadi: kemarahan dan kesedihan membuat ia kacau; bisa dirasakannya perasaanperasaan
itu menarik-narik dirinya menuju kegilaan.
Sewaktu tandu diturunkan di luar penginapan, Shizuka tidak segera turun. Ia berharap bisa
tetap berada dalam ruang sempit yang mirip peti mati ini, dan tidak berhubungan dengan orang
yang hidup lagi. Tapi ketika memikirkan nasib Miki, tatapan matanya penuh amarah.
Bunta berjongkok di beranda, sama seperti saat dia ditinggal, tapi kamar itu kosong.
"Di mana Miki?" tanyanya.
"Di dalam," sahut Bunta, terkejut. "Tidak ada orang yang melewatiku, keluar atau masuk."
"Siapa yang membawanya?" jantung Shizuka mulai berdebar kencang ketakutan. "Tidak ada,
aku bersumpah." "Sebaiknya kau jangan berbohong," ujar Shizuka, masuk kembali ke kamar itu lagi,
mencari dengan sia-sia di tempat-tempat yang paling sempit. Kamar itu kosong, tapi di satu
sudut Shizuka menemukan goresan di balok kayu. Dua buah setengah lingkaran saling berhadapan,
dan di bawahnya ada lingkaran penuh.
"Dia pergi mencari Maya."
Shizuka berlutut di lantai, berusaha menenangkan diri. Miki sudah pergi: menggunakan
kemampuan menghilang, menyelinap melewati Bunta lalu pergi menuju kota"gadis itu dilatih selama
bertahuntahun untuk melakukan hal seperti. Tak ada yang bisa ia lakukan untuk gadis itu saat ini.
Ia duduk lama, merasakan panasnya cuaca hari ini. Peluh mulai mengalir di sela payudara dan
ketiaknya. Didengarnya para penjaga saling berseru dengan tidak sabar, dan menyadari kalau
pilihannya semakin berkurang. Ia tidak bisa menghilang dan membiarkan Taku tidak diratapi,
tapi apakah ia harus tinggal di Hofu sampai putranya atau Kikuta memutuskan kematiannya" Tak
ada waktu untuk menghubungi keluarga Muto dan meminta bantuan mereka"dan lagipula, apakah
mereka akan menanggapi karena kini Zenko telah menyatakan diri sebagai ketua"
Halaman 669 dari 669 Shizuka memanggil para mendiang untuk memberinya saran: memanggil Shigeru, Kenji, Kondo
dan Taku. Kesedihan dan keadaan tidak tidur mulai menuntut bayarannya. Ia merasakan napas
dingin arwah mereka, Doakan kami Oh, doakan kami.
Benaknya yang kelelahan makin men?curahkan perhatiannya pada kata-kata ter?sebut. Ia
akan ke biara dan meratapi men?diang, hingga dirinya menjadi salah satu dari mereka, atau mereka
akan mengatakan apa yang harus ia lakukan.
"Bunta," panggilnya. "Ada satu tugas terakhir yang kuminta kau lakukan. Pergi dan carikan
gunting tajam dan jubah putih untukku."
Bunta muncul di teras, wajahnya pucat karena kaget.
"Apa yang terjadi" Jangan katakan kalau kau ingin menghabisi nyawamu sendiri."
"Sudahlah, lakukan saja permintaanku. Aku harus ke biara dan mengurus nisan serta ritual
pemakaman Taku. Setelah memenuhi permintaanku, kubebaskan kau dari ke
wajibanmu untuk melayaniku."
Sewaktu Bunta kembali, Shizuka me?nyuruhnya menunggu di luar. Dibukanya bungkusan itu
lalu mengeluarkan gunting. Dia melepas ikatan rambut, dibagi menjadi dua untai lalu menggunting
keduanya, mem?baringkan jalinan rambutnya dengan hati?hati di alas lantai, terkejut
memerhatikan betapa banyak ubannya. Lalu diguntingnya sisa rambutnya sampai pendek, merasakan
helaiannya berjatuhan di sekelilingnya bak debu beterbangan. Dibuangnya sisa-sisa potongan rambut lalu
mengenakan jubah putih. Diambilnya senjata miliknya" pedang, pisau, garotte, serta pisau
lemparlalu menaruhnya di lantai, di antara dua untaian rambut panjangnya. Membungkuk hingga ke
lantai, menghaturkan terima kasih kepada semua senjata dan kepada hidupnya sampai saat ini; lalu
ia meminta dibawakan semangkuk teh, meminumnya lalu me-mecahkan cangkir kosong menjadi
dua dengan gerakan cepat. "Aku takkan minum lagi," ujarnya lantang.
"Shizuka!" prates Bunta dari teras, tapi Shizuka tidak mengacuhkannya.
"Apakah dia sudah tidak waras?" didengarnya putra Bunta berbisik. "Perempuan yang malang!"
Berjalan dengan perlahan dan berhati-hati, Shizuka sampai ke bagian depan penginapan.
Sekerumunan kecil orang berkumpul di sini. Ketika ia melangkah masuk ke dalam tandu,
mereka mengikutinya sampai ke jalan di tepi sungai menuju Daifukuji. Para pengawal Zenko dibuat
gelisah dengan arak-arakan ini, dan berusaha menghalau, namun jumlahnya justru semakin besar dan
makin sulit dikendalikan serta makin tidak bersahabat; banyak yang berlarian ke sungai yang hampir
kering, dan mengorek batu-batu dari endapan lumpur lalu melempamya ke arah pengawal, berhasil
menghalau mereka menjauh dari ger-bang biara. Pemanggul tandu menurunkan Shizuka di
luar gerbang, dan ia berjalan perlahan memasuki pelataran utama, bergerak seolah mengambang.
Kerumunan kian banyak di pintu masuk. Shizuka duduk di tanah, kakinya dilipai bak makhluk
suci di

The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atas bunga teratai, dan akhirnya ia membiarkan dirinya menangisi kematian putranya dan
pengkhianatan putra?nya yang satu lagi.
Ritual pemakaman diadakan selagi Shizuka duduk di sana, dan batu nisan dipahat lalu
didirikan. Harihari berlalu dan Shizuka tetap bergeming, juga tidak makan dan minum. Di malam ketiga hujan
turun rintik-rintik, dan orang-orang mengatakan bahwa Surga tengah memberinya minum. Setelah
itu hujan turun setiap malam; di siang hari sering terlihat burung-burung beterbangan di sekitar
kepalanya. "Mereka memberinya makan dengan butiran gandum dan madu," para biarawan
mengumumkan. Penduduk kota mengatakan kalau Surga menangisi ibu yang ditinggalkan, dan mereka
bersyukur terhindar dari kekeringan. Popularitas Zenko sedikit demi sedikit ber?kurang saat bulan dari
bulan kelima mulai mendekati puncak purnamanya.*
Halaman 670 dari 670 Selama berhari-hari Maya meratapi kepergian kuda-kudanya, tak sanggup membayang?kan
kehilangan yang lebih besar lagi. Shigeko telah memintanya untuk merawat kedua kuda itu,
dan ia membiarkannya pergi. Diingat-ingatnya lagi sewaktu melepas tali kekang dan kedua kuda
betina kabur. la menyesali ketidakmampuan dirinya untuk bergerak atau membela diri yang tak bisa
dijelaskan. Saat itu ketiga kalinya ia meng?hadapi bahaya yang sesungguhnya"setelah
serangan di Inuyama dan pertemuan dengan ayahnya"dan merasakan kalau saat itu ia merasa gagal,
walau sudah berlatih selama bertahun-tahun di Tribe.
Maya punya banyak waktu untuk merenungkan kegagalannya. Saat tersadar kembali,
tenggorokannya terasa kering, perutnya mual. Ia sadar sedang berada di kamar kecil remangremang,
ruang rahasia rumah Tribe. Takeo sering menceritakan saat Tribe mengurungnya di kamar
semacam ini, dan kini kenangan itu menghibur dan me?nenangkannya. Ia mengira Akio akan langsung
membunuhnya, tapi ternyata tidak"laki-laki itu menahan dirinya untuk tujuan tertentu. Maya
tahu ia bisa kabur kapan saja karena pintu dan dinding takkan mampu menahan si kucing, tapi ia
masih belum ingin pergi. Ia ingin tetap dekat dengan Akio dan Hisao: tak dibiarkannya mereka
membunuh ayahnya; dirinya yang akan membunuh mereka lebih dulu. Maka dikendalikan amarah dan rasa
takutnya, dan bersiap mencari tahu semua tentang mereka.
Ia melihat Akio ketika orang itu mem?bawakan makanan dan minuman; makanan?nya jarang
datang tapi ia tak terganggu dengan rasa lapar. Maya akhirnya memahami kalau makin sedikit ia
makan, makin mudah menggunakan kemampuan menghilang dan sosok kedua. Ia mempraktikkannya
saat sedang sendiri, terkadang bahkan ia pun terkecoh dan melihat Miki sedang bersandar di
dinding di seberangnya. Ia tidak bicara pada Akio tapi mengamati, seperti Akio mengamati dirinya. Maya
tahu kalau Akio tidak memiliki kemampuan menghilang atau tatapan maut Kikuta, tapi laki-laki itu
bisa melihat orang yang menggunakan kemampu?an menghilang dan menghindari tatapan maut.
Gerak refleksnya sangat cepat" ayahnya sering bilang kalau itu gerakan paling cepat yang pernah
ada" sangat kuat dan tidak punya perasaan.
Dua atau tiga kali sehari, pelayan perempuan datang untuk mengantarnya ke kakus: selain itu
ia tidak melihat ada orang lain lagi. Tapi setelah dikurung selama kira?kira seminggu, di satu malam
laki-laki itu datang, berlutut di depannya lalu meraih dan membalik telapak tangannya. Maya bisa
mencium bau sake di napasnya, dan cara bicaranya pelan tapi aneh.
"Kuharap kau jawab pertanyaanku dengan jujur karena aku adalah ketua keluargamu: apakah
kau memiliki kemampuan seperti ayahmu?"
Maya menggeleng, dan sebelum selesai menggeleng dirasakan kepalanya terhempas dan
pandangan matanya kabur selagi Akio menamparnya. Ia tidak melihat gerakan tangan laki-laki
itu. "Kau pernah mencoba mengunci tatapan mataku: kau pasti memiliki bakat tatapan maut
Kikuta. Bagaimana dengan kemampu an menghilang?" Maya menceritakan karena tidak ingin Akio membunuhnya saat itu juga, tapi tidak
menceritakan tentang si kucing. "Lalu di mana adikmu?"
"Aku tidak tahu."
Halaman 671 dari 671 Bahkan meski sudah menduganya kali ini, Maya tidak bisa bergerak cukup cepat untuk
menghindari tamparan yang kedua. Akio menyeringai, seolah ini permainan yang sangat dinikmatinya.
"Dia di Kagemura, bersama keluarga Muto."
"Benarkah" Tapi dia bukan Muto; dia Kikuta. Kupikir sebaiknya dia berada di sini bersama kita."
"Keluarga Muto takkan menyerahkan adikku padamu," sahut Maya.
"Ada perubahan dalam keluarga Muto; kukira kau sudah tahu. Tribe selalu bersatu pada
akhirnya," ujar Akio. "Begitulah cara kami bisa bertahan."
Akio mengetuk-ngetuk gigi dengan kuku. Di bagian belakang tangan kanannya ada bekas luka
lama, melintang dari pergelangan sampai ke bagian bawah ibu jarinya.
"Kau melihatku membunuh penyihir
Muto itu, Sada. Aku takkan ragu melakukan yang sama padamu."
Maya tidak bereaksi atas perkataan itu; ia lebih tertarik pada reaksinya sendiri, ter?cengang
kalau ternyata ia tidak takut pada laki-laki itu. Ia tak menyadari kalau ternyata, seperti ayahnya, ia
dianugerahi kemampuan untuk tidak takut pada Kikuta.
"Ini yang pernah kudengar," ujarnya. "Kalau ibumu takkan melakukan apa-apa untuk
menyelamatkanmu, tapi ayahmu menyayangimu."
"Itu tidak benar," Maya berbohong. "Ayahku tidak memedulikan aku dan adikku. Para ksatria
membenci anak kembar dan menganggap mereka memalukan. Ayahku hanya bersifat baik, itu
saja." "Dia berhati lembut," ujar Akio, dan Maya melihat kebencian serta rasa iri pada Takeo.
"Mungkin kau bisa membawa Takeo kepadaku."
"Hanya untuk membunuhmu," sahut Maya.
Akio tertawa lalu berdiri. "Tapi dia takkan membunuh Hisao!"
Maya menemukan dirinya memikirkan tentang Hisao. Selama setengah tahun ini ia
harus menerima kenyataan kalau ini adalah putra ayahnya, kakak tirinya, yang tak pernah
dibicarakan siapa pun, tak pernah diberitahukan pada ibunya. Dan Maya yakin kalau Hisao tak tahu ayah
kandungnya. Ia memanggil Akio Ayah; Hisao menatap dengan pandangan tak mengerti ketika
ia mengatakan kalau ia adalah adiknya. Maya mendengar di benaknya berulang kali suara Sada,
Jadi anak itu benar-benar putra Takeo" Dan jawaban Taku, Ya, dan menurut ramalan dialah satusatunya
orang yang bisa membawa kematian Takeo.
Karakter tidak mengenal kompromi, semacam warisan Kikuta yang membulatkan tekadnya
yang kejam mulai terbentuk. Keseimbangan baginya menjadi begitu sederhana: bila Hisao mati
maka Takeo bisa hidup selamanya.
Selain latihan gerak badan yang dilakukan?nya dengan tekun, ia tidak ada kesibukan lain, dan
sering terombang-ambing antara sadar dan tidur, bermimpi bagaikan nyata. Ia memimpikan Miki,
mimpi yang begitu jelas sehingga ia seperti yakin kalau Miki ada di kamar itu bersamanya; ia memimpikan
Hisao. Ia berlutut di sampingnya saat
pemuda itu tidur lalu berbisik di telinganya, "Aku adikmu." Ia bahkan pernah bermimpi si
kucing berbaring di sisi Hisao, dan merasakan kehangatan tubuh kakaknya itu.
Ia menjadi terobsesi pada Hisao, ingin tahu semua tentang pemuda itu. Mulai ber?eksperimen
dengan mengambil alih bentuk si kucing di malam hari selagi tidur. Awalnya ia ragu, karena hal itu
ingin ia sembunyikan dari Akio, namun lama kelamaan kepercaya?an dirinya makin meningkat. Di
siang hari ia adalah tawanan, sementara di malam hari ia bisa keluyuran dengan bebas ke seluruh bagian
rumah, mengamati penghuninya, serta memasuki mimpi-mimpi mereka. Dilihatnya dengan
sikap remeh rasa takut dan harapan mereka. Para pelayan perempuan mengeluhkan adanya hantu,
merasakan hembusan napas di wajah mereka atau bulu hangat berbaring di sebelah mereka,
Halaman 672 dari 672 mendengar langkah pelan makhluk besar. Hal-hal aneh terjadi di seluruh kota, pertanda serta
penampakan. Akio dan Hisao tidur terpisah dari peng?huni laki-laki lainnya, di kamar bagian belakang
rumah. Maya berjalan pada waktu tersunyi, tepat sebelum fajar menyingsing
untuk mengamati Hisao yang sedang tidur, kadang dalam pelukan Akio, kadang sendiri.
Pemuda itu tidur gelisah, bergoyang-goyang dan bergumam. Mimpi-mimpinya kejam dan tidak beraturan,
tapi itu justru membuat Maya tertarik. Kadang Hisao terbangun dan tidak bisa tidur lagi; kemudian
pergi ke rumah kecil di belakang rumah, di sisi lain halaman, tempat bengkel penempaan dan
perbaikan alatalat rumah tangga dan senjata. Maya mengikuti dan mengamatinya, memer?hatikan gerakannya
yang berhari-hari dan sangat teliti.
Para pelayan perempuan tak pernah meng?ajak bicara. Selain perjalanan ke kakus ia hampir
tidak pernah bertemu mereka sampai suatu hari seorang perempuan muda datang membawakan
makanan. Usianya kira-kira sebaya dengan Shigeko, dan dia menatap Maya dengan keingin?tahuan yang
terang-terangan. Maya berkata, "Jangan menatapku. Kau tahu kalau aku sangat kuat."
Gadis itu tertawa cekikikan tapi tidak memalingkan wajah. "Kau seperti anak laki?laki,"
ujarnya. "Kau tahu aku anak perempuan," bentak
Maya. "Kau pernah mengintipku kencing ya?" Maya bicara dengan bahasa anak laki?laki, dan
gadis itu tertawa. "Siapa namamu?" tanya Maya.
"Noriko," bisiknya.
"Noriko, akan kubuktikan betapa kuatnya diriku. Kau bermimpi tentang kain pem?bungkus:
kau pernah membungkus beberapa kue mochi dengairkain itu dan saat kau buka bungkusannya,
kue-kue itu penuh ulat." "Aku tidak bilang siapa-siapa!" gadis itu tercekat, tapi malah mendekati Maya. "Bagaimana kau
bisa tahu?" "Aku tahu banyak hal," sahut Maya. "Tatap mataku." Ditahannya tatapan gadis itu selama
beberapa saat, cukup lama untuk melihat kalau gadis itu percaya pada takhayul, dan satu lagi, sesuatu
tentang Hisao.... Kepala gadis itu berputar saat Maya menarik kekuatan tatapan mautnya. Maya menampar
kedua pipi gadis itu untuk menyadarkannya. Noriko menatap bingung.
"Kau bodoh kalau mencintai Hisao," ujar Maya terus terang.
Gadis itu tersipu. "Aku kasihan padanya," bisiknya. "Ayahnya sangat keras kepadanya,
dan dia sering sakit."
"Sakit yang bagaimana?"
"Dia sering terserang sakit kepala yang parah. Muntah, dan pandangannya kabur. Hari ini dia
sedang sakit. Ketua Kikuta sangat marah karena mereka seharusnya pergi menemui Lord Zenko"Akio
akhirnya pergi sendiri."
"Mungkin aku bisa menolongnya," kata Maya. "Kenapa kau tidak mengantarku kepadanya?"
'Tidak bisa! Akio akan membunuhku kalau dia tahu."
"Antar aku ke kakus," ujar Maya. "Tutup pintunya, tapi jangan dikunci. Aku akan ke kamar
Hisao. Jangan khawatir; takkan ada orang yang melihatku. Tapi kau harus berhati-hati kalau Akio
datang. Peringatkan aku saat dia kembali."
Halaman 673 dari 673 "Kau takkan menyakiti Hisao?"
"Dia laki-laki dewasa. Aku baru empat belas tahun"bahkan masih anak-anak. Aku tidak punya
senjata. Bagaimana bisa aku menyakitinya" Lagipula, sudah kukatakan kalau aku ingin
menolongnya." Bahkan saai bicara, Maya ingat semua cara yang pernah diajarkan kepadanya untuk
membunuh dengan tangan kosong. Lidahnya menjilati bibir; tenggorokannya terasa kering,
tapi setain itu ia tenang-tenang saja. Hisao sedang sakit, lemah, mungkin pandangannya kabur karena
penyakitnya. Dia akan mudah dilumpuhkan dengan tatapan maut; di?sentuhnya lehernya
sendiri, meraba. urat nadinya, membayangkan urat nadi Hisao. Dan kalau cara itu gagal, ia akan
memanggil si kucing.... "Ayo, Noriko, kita ke kamar Hisao. Dia membutuhkan bantuanmu." Ketika Noriko masih ragu,
Maya berkata pelan, "Dia juga mencintaimu."
"Benarkah?" mata gadis itu berbinar-binar di wajahnya yang kurus dan pucat.
"Dia tidak bilang siapa-siapa, tapi dia memimpikan dirimu. Aku pernah melihat mimpinya
dengan cara yang sama aku melihat mimpimu. Dia memimpikan dirinya memelukmu dan mengigau dalam
tidurnya." Maya memerhatikan wajah Noriko men?jadi lembut; tidak suka pada gadis itu karena mabuk
kepayang oleh cinta. Noriko meng?geser pintu terbuka, melihat ke luar dan memberi isyarat
kepada Maya. Mereka ber?jalan cepat-cepat ke belakang rumah, dan di
pintu kakus Maya meremas perutnya dan berteriak seolah kesakitan.
"Cepat, dan jangan berlama-lama di dalam situ," ujar Noriko, dengan spontan.
"Mana bisa kutahan kalau sakit begini?" sahut Maya dengan nada yang sama. "Ini gara-gara
makanan menjijikkan yang kau bawa!"
Disentuhnya bahu Noriko saat bentuk tubuhnya memudar. Noriko sudah terbiasa dengan
keanehan semacam itu, mengarahkan pandangannya tetap ke depan. Maya ber?gegas pergi ke kamar
Hisao tidur, menggeser pintunya terbuka, lalu melangkah masuk.
Teriknya sinar matahari di luar telah mengecilkan pupil matanya, dan sesaat ia tak bisa
melihat apaapa. Kamar itu baunya masam, samar-samar tercium bau muntah. Kemudian dilihatnya pemuda itu
meringkuk di matras di sudut, satu tangannya menutupi wajah. Dari irama napasnya yang
teratur

The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepertinya dia memang tidur. Ia tak akan mendapat kesempatan seperti ini lagi. Sambil
menahan napas, ia melenturkan pergelangan tangan, mengumpulkan tenaga, berjalan melintasi kamar,
berlutut di sebelah Hisao dan menyerang bagian lehernya
Usahanya melemahkan konsentrasinya hingga kemampuan menghilangnya sirna. Mata Hisao
terbuka, dan menatap sejenak sebelum berkelit dari cengkeraman tangan gadis itu. Pemuda
itu lebih kuat dari perkiraan, tapi ia langsung menatap mata pemuda itu dan selama beberapa saat
membuat Hisao pusing; cengkeraman jarinya makin kuat bak tentakel, dan selagi punggung Hisao
melengkung dan memukul-mukul saat meronta berusaha melepaskan diri. Ia bergantung seperti hewan
saat Hisao berusaha bangkit dengan tangan dan lutut. Kulit pemuda itu berkeringat, dan Maya merasakan
cengkeramannya mulai terasa licin. Hisao juga merasakannya, lalu mengibaskan kepala saat
mencoba berkelit lagi. Ditangkapnya tubuh Maya lalu dihempaskannya ke dinding. Layar kasa
yang rapuh sobek, dan dari suatu tempat ia mendengar Noriko memanggil namanya. Aku gagal,
pikirnya, selagi tangan Hisao mencengkcram lehernya, dan Maya bersiap untuk mati.
Miki! Ujarnya pelan, dan seolah Miki mendengarnya, dirasakannya kemarahan Miki pada Hisao
merasuki dirinya dan si kucing mulai muncul, meludah dan meng?geram. Hisao berteriak kaget dan melepasnya; si
kucing bergerak mundur, siap melarikan diri tapi masih belum ingin menyerah."
Halaman 674 dari 674 Waktu sejenak itu memberi Maya waktu untuk meraih kembali kendali diri dan
konsentrasinya. Dilihatnya kalau ternyata ada sesuatu yang melemahkan Hisao. Mata pemuda itu tidak tokus;
agak terhuyung-huyung. Sepeninya pemuda itu berusaha melihat sesuatu di belakang Maya, dan
mendengarkan suara berbisik.
Maya mengira itu semacam tipuan untuk mengecohkan pandangannya, maka ia terus menatap
tajam pemuda itu. Bau busuk dan jamur semakin menyengat: kamar itu terasa panas tak
tertahankan: bulu si kucing menyesakkan napasnya. Terdengar olehnya bisikan di sebelah kanannya; kendati tak
memahami kata-kata itu. tapi ia tahu kalau itu bukan suara Noriko. Ada orang lain lagi di
kamar itu. Maya menoleh ke samping dan melihat perempuan itu. Masih muda, mungkin sembilan belas
atau dua puluh tahun, potongan rambutnya pendek, wajahnya
pucat. Perempuan itu mengenakan jubah putih, menyeberangi sisi seberang dunia fana, dan
tubuhnya melayang. Ekspresi di wajah?nya melukiskan kemarahan dan putus asa yang bahkan
membuat hati Maya terharu. Dilihatnya kalau Hisao begitu ingin menatap hantu itu tapi juga
takut; roh si kucing yang merasuki dirinya bergerak dengan bebas antara dua dunia.
Jadi ini yang dimaksud Taku, renungnya saat menyadari hutang budinya pada si kucing dan
bagaimana ia bisa memenuhinya. Dan kemudian ia menyadari kekuatan yang ini dan
bagaimana ia bisa memanfaatkannya. Perempuan itu berseru memanggilnya, "Tolong aku! Tolong aku!"
"Apa yang kau inginkan?" tanya si kucing. "Aku ingin putraku mendengarkan aku!" Belum
sempat Maya menjawab, Hisao mendekat. "Kembali kau!" ujar Hisao. "Kau telah memaafkanku. Kemarilah, ijinkan aku menyentuhmu.
Apakah kau hantu juga" Boleh aku menyentuhmu?"
Ia melihat perubahan tangan Hisao saat menggapai. Tangan itu melembut berbentuk
melengkung yang ingin sekali mengelus bulu
si kucing. Ia terkejut, si kucing bereaksi seolah tunduk pada majikannya, menunduk?kan
kepala serta merebahkan telinga, dan membiarkan Hisao membelainya.
Ia mematuhi keinginan si kucing. Sentuhan Hisao menyatukan sesuatu di dalam diri mereka.
Hisao tercekat. Ia merasa?kan penderitaan saudaranya itu seolah berada di kepalanya sendiri: lalu
berkurang. Maya melihat, melalui mata Hisao: pandangan setengah buta, kumparan cahaya
bak roda bergerigi dari alat penyiksaan, dan Hisao ber?kata, "Ibu?"
Hantu itu bicara. "Akhirnya!" ujarnya. "Sekarang maukah kau mendengarkan Ibu?"
Tangan Hisao masih di atas kepala si kucing. Maya merasakan kebingungan pemuda itu: rasa
lega karena penderitaannya telah sirna, rasa takutnya memasuki dunia alam baka, rasa takut
melihat sedikit kekuatan yang bangkit. Di tepi kesadaran Maya, bergelayut ketakutan yang sama, jalan
yang terbentang ke depan yang tak ingin ia ambil, jalan yang dirinya dan Hisao harus lalui bersama,
meski ia membenci pemuda itu dan ingin membunuhnya.
Noriko memanggil-manggil dari luar.
"Cepat! Ketua sudah datang!"
Hisao mengangkat tangannya. Maya kembali ke wujud aslinya dengan rasa lega. Ia ingin pergi
dari pemuda itu, tapi Hisao menangkap lengannya; ia bisa merasakan cengkraman Hisao sampai ke
tulang sumsumnya. Pemuda itu tengah menatap?nya, tatapannya kagum dan lapar.
"Jangan pergi," ujarnya. "Katakan padaku. Apakah kau melihatnya?"
Noriko, berdiri di teras, berganti-ganti memandang kedua orang. "kau sudah baikan," serunya.
"Gadis itu menyembuh?kanmu!"
Mereka berdua tidak mengacuhkannya.
Halaman 675 dari 675 "Tentu saja aku melihatnya," sahut Maya seraya menyelinap melewati Hisao. "Dia itu ibumu,
dan dia ingin agar kau mendengar?kannya."*
Dia akan bilang pada Akio, pikir Maya, selagi Noriko bergegas kembali ke kamar yang terkunci.
Dia akan ceritakan semuanya. Akio akan tahu tentang si kucing. Entah dia akan membunuhku atau
mereka akan memanfaat?kan aku untuk mela wan Ayah. Aku harus melarikan dirinya, aku
harus pulang; aku akan memperingatkan Ibu tentang Zenko dan Hana. Aku harus pulang.
Tapi sentuhan tangan majikannya mem?buat si kucing enggan pergi. Dan Maya ingin,
bertentangan dengan keputusannya, berjalan di antara dua dunia dan berbicara dengan hantu. Ia ingin tahu
apa yang mereka ketahui, bagaimana rasanya mati, serta semua rahasia lain yang disimpan orang
mati dari mereka yang masih hidup.
Maya tidur nyenyak selama berminggu?minggu, tapi segera setelah kembali ke kamar sempit,
kelelahan yang menggiurkan menye?limuti dirinya. Kelopak matanya terasa makin berat;
sekujur tubuhnya terasa sakit karena kelelahan. Tanpa bicara kepada Noriko, ia berbaring di lantai dan langsung tertidur
lelap. Maya terbangun, seolah ditarik paksa keluar dari air, oleh sebuah perintah. Datanglah
kepadaku. Kala itu malam gelap pekat, udara terasa lembap. Leher dan rambutnya terasa lembap karena
keringat. Ia tak ingin merasakan bulu tebal si kucing. tapi majikannya memanggil?nya: si
kucing harus menemuinya. Telinga si kucing berdiri tegak; kepalanya berputar. Kucing itu berjalan dengan mudah?nya
melewati layar kasa dan dinding menuju bengkel tempat api penempaan menyala semalaman. Para
penghuni rumah sudah terbiasa melihat Hisao berada di situ saat dini hari. Pemuda itu telah
menemukan tempat yang cocok dan tidak ada orang yang meng?ganggunya.
Hisao menggapaikan tangan dan kucing itu menghampiri, seolah merindukan sentuhan dan
belaiannya. Pemuda itu membelai, dan si kucing menjilati pipinya dengan lidah kasarnya. Tak
satu pun dari keduanya bicara, tapi di antara mereka mengalir kerinduan akan kedekatan serta
sentuhan kasih sayang yang dibutuhkan hewan itu.
Setelah agak lama, Hisao berkata, "Perlihatkan wujud aslimu."
Maya tersadar kalau ia berdempetan dengan Hisao, tangan pemuda itu masih di tengkuknya.
Rasanya menyenangkan se?kaligus menjijikkan. Ia melepaskan diri dari pelukan Hisao. Tidak
bisa dilihatnya ekspresi wajah Hisao dalam keremangan cahaya. Bara api meretih, asap membuat
matanya pedih. Hisao mengangkat lentera lalu menatap. Ia terus menunduk, tak ingin menentang tatapan
pemuda itu. Tak satu pun dari mereka bicara, seakan tak ingin kembali ke dunia manusia yang penuh
dengan kata-kata. Akhirnya Hisao berkata, "Mengapa kau datang sebagai kucing?"
"Aku membunuh seekor kucing dengan tatapan maut Kikuta, dan rohnya merasuki diriku,"
sahutnya. "Tak seorang Muto pun tahu bagaimana menghadapinya, tapi Taku telah membantuku
mengendalikannya." "Aku adalah penguasanya: tapi aku tak tahu sebabnya atau bagaimana caranya. Kucing itu
mengurangi sakitku, saat ber?samaku, dan menenangkan suara-suara
Halaman 676 dari 676 hingga aku bisa mendengarnya. Aku suka kucing, tapi ayahku pernah membunuh seekor kucing
di depan mataku karena aku menyukainya"kau bukan kucing itu kan?"
Maya menggeleng. "Aku tetap menyukaimu," ujarnya. "Aku pasti sangat menyukaimu; aku tidak bisa berhenti
memikirkanmu. Aku memerlukan dirimu bersamaku. Berjanjilah kau akan tinggal bersamaku."
Hisao meletakkan lentera kembali di atas lantai dan berusaha menarik tubuh Maya lebih dekat
lagi. Maya menolaknya. "Kau tahu kalau kita bersaudara?" tanyanya.
Wajah Hisao mengkerut. "Dia itu ibumu" Hantu perempuan itu" Itukah sebabnya kau bisa
melihatnya?" "Bukan, ibu kita berbeda, tapi ayah kita sama."
Kini Maya bisa melihatnya dengan lebih jelas. Hisao tidak mirip ayahnya, atau dengannya atau
Miki, namun rambutnya yang mengkilap mirip dengan rambut mereka, dan kulitnya memiliki
tekstur dan warna yang sama, dengan nuansa warna madu. Seketika Maya teringat kenangan akan
masa kecilnya"payung pelindung sinar matahari dan cairan unluk membuat kulit lebih terang:
betapa bodoh dan sia-sianya semua itu sekarang.
"Ayahmu adalah Otori Takeo, yang kami sebut si Anjing," Hisao tertawa dengan seringai yang
dibenci Maya. Tiba-tiba ia membenci pemuda itu lagi, dan merasa jijik pada dirinya sendiri atas
keinginan dan ketentraman yang dirasakan kucing itu hingga tunduk pada Hisao. "Aku dan ayahku akan
membunuhnya." Hisao menjauh, menjauh dari cahaya lentera, dan mengeluarkan senjata api kecil. Cahaya
berkilat di laras baja hitam senjata itu. "Dia itu penyihir, dan tidak seorang pun berhasil mendekatinya,
tapi senjata ini lebih kuat ketimbang ilmu sihir." Takeo melirik ke arah Maya, lalu berkata dengan
nada kejam yang disengaja, "Kau sudah lihat bagaimana senjata ini menghabisi Muto Taku."
Maya tidak menjawab, tapi melihat dengan jelas dan tanpa perasaan terharu pada kematian
Taku. Laki-laki itu mati dalam pertarungan, penuh kehormatan; tidak mengkhianati siapa pun; Taku
dan Sada mati bersama. Tidak ada yang harus disesali dari
kematiannya. Umpan Hisao tak membuat?nya terpancing maupun melemahkan diri?nya.
"Lord Otori adalah ayahmu," ujar Maya. "Itu sebabnya aku berusaha membunuhmu, agar kau
tidak membunuh ayahmu sendiri."
"Akio adalah ayahku." Keraguan dan kemarahan terdengar dalam suaranya.
"Akio memperlakukanmu dengan kejam, menganiaya dan berbohong padamu. Dia bukan
ayahmu. Kau tidak tahu bagaimana seharusnya sikap ayah pada anaknya."
"Dia sayang padaku," bisik Hisao. "Dia menyembunyikannya dari semua orang, tapi aku tahu.
Dia membutuhkan diriku."
"Tanya pada ibumu," sahut Maya. "Bukankah sudah kukatakan padamu untuk
mendengarkannya" Ibumu akan mengatakan yang sebenarnya kepadamu."
Kemudian keadaan hening dalam waktu lama. Udara terasa panas: Maya bisa merasakan peluh
di dahinya. Ia merasa kehausan.
"Jadilah kucing lagi, maka aku akan mendengarkannya," katanya begitu pelan hingga Maya
hampir tidak bisa mendengar suaranya.
"Apakah ibumu ada di sini?"
"Dia selalu ada di sini," sahut Hisao. "Dia terikat pada diriku oleh seutas tali, seperti dulu aku
pernah terikat pada tubuhnya. Aku tak pernah terbebas darinya. Kadang dia diam saja. Itu tidak
terlalu buruk. Saat dia ingin bicara"maka rasa sakit itu menyerang?ku."
Halaman 677 dari 677 "Karena kau berusaha melawan dunia arwah," ujar Maya. "Hal yang sama terjadi padaku. Saat
si kucing ingin muncul dan aku menolaknya, aku juga kesakitan."
Hisao berkata, "Aku tidak memiliki kemampuan Tribe apa pun. Aku tidak seperti kau. Aku
tidak bisa menggunakan kemampuan menghilang. Aku tidak bisa menggunakan sosok kedua. Bahkan
melihat semua kemampuan ini pun membuat perutku agak mual. Tapi tidak begitu dengan si kucing.
Dia membuatku nyaman dan kuat."
Hisao tidak menyadari kalau suaranya berubah dan menjadi seperti hipnotis, dihiasi dengan
daya tarik yang tak bisa ditolak Maya. Gadis itu merasakan tubuh si kucing meregang dan melentur
dengan keinginan yang kuat. Hisao menarik tubuh si kucing
yang lentur itu lebih mendekat dan membelai-belai bulu-bulu tebalnya.
"Tetaplah di dekatku." bisiknya, dan kemudian, bicara lebih keras, "Aku akan mendengarkan,
apa pun yang ingin kau katakan."
Bara api penempaan dan cahaya lentera meredup dan berkelap-kelip saat angin hangat dan
berbau busuk tiba-tiba ber?hembus meniup debu di lantai, meng?gerakkan debu dan membuat daun
jendela bergemeretak. Kemudian api makin ber?kobar, membara makin terang, menerangi arwah
perempuan saat mendekat, melayang. Hisao duduk diam tak bergerak; si kucing berbaring di sebelahnya
dengan kepala di bawah tangan Hisao, matanya yang keemasan tidak berkedip.
"Nak," kata sang ibu, suaranya gemetar. "Biarkan Ibu menyentuhmu, biarkan ibu memelukmu."
Jemari kurusnya menyentuh dahi Hisao, membelai rambutnya, dan Hisao merasakan sosok tubuh


The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ibunya begitu dekat, merasakan tekanan paling lemah saat ibunya memeluk dirinya.
"Dulu Ibu suka memelukmu seperti ini saat kau bayi."
"Aku ingat," bisiknya.
"Ibu tak sanggup meninggalkanmu. Mereka, Kotaro dan Akio, memaksa Ibu minum racun.
Mereka menangisi kepergian Ibu dengan cinta, setelah mematuhi perintah Ketua dan memasukkan
dengan paksa pit beracun ke mulut Ibu. Mereka menyaksikan Ibu mati dengan jiwa dan raga yang
menderita. Tapi mereka tidak memisahkan diri Ibu darimu. Kala itu usia Ibu baru dua puluh tahun. Ibu tak
ingin mati. Akio mem-bunuh Ibu karena dia membenci ayahmu.
Tangan Hisao menggosok-gosok bulu si kucing, membuat hewan itu menunjukkan cakarnya.
"Siapakah ayahku?"
"Gadis itu benar. Dia memang adikmu; Takeo adalah ayah kandungmu. Ibu mencintainya.
Mereka memerintahkan Ibu agar tidur dengannya, agar Ibu mengandung dirinya. Ibu mematuhi
mereka. Tapi mereka tak menyangka kalau Ibu akan mencintainya, dan kalau kau akan dilahirkan hasil dari
cinta. Mereka berusaha menghancurkan kita semua. Pertama Ibu; kini mereka akan memanfaatkan
dirimu untuk membunuh ayah kandungmu, lalu kau pun akan mati."
"Bohong," sahutnya, tenggorokannya ter
cekat. "Ibu sudah mati," sahutnya. "Hanya orang hidup yang berbohong."
"Aku membenci si Anjing seumur hidup?ku; aku tidak bisa mengubahnya sekarang."
"Kau tidak mengenal siapa dirimu" Tak ada lagi orang Tribe, dari lima keluarga, yang bisa
mengenali dirimu. Ibu akan ceritakan apa yang dikatakan kakekmu saat kematian?nya. Kau adalah
penguasa alam baka." *** Lama setelah kejadian itu, ketika kembali ke kamarnya dan berbaring terjaga, memandangi
kegelapan yang pucat perlahan berubah terang, Maya mengingat-ingat kembali saat mendengar si arwah
meng?ucapkan semua kata-kata ini: tengkuknya bergidik; bulu-bulunya tegak berdiri. Tangan
Hisao memegang erai lehernya. Hisao belum sepenuhnya memahaminya, tapi Maya ingat kata-kata
Taku: Halaman 678 dari 678 penguasa alam baka adalah orang yang bisa berjalan di antara dua dunia, dukun yang mampu
menenangkan atau menghasut orang yang sudah mati. Diingatnya suara-suara hantu yang
berdesakan di sekelilingnya pada malam menjelang Perayaan Oban, di tepi pantai di depan
rumah Akane; dirasakannya penye?salan atas kematian mereka yang kejam dan tidak pada
waktunya, serta tuntutan mereka untuk balas dendam. Mereka mencari Hisao, penguasa mereka, dan dirinya
sebagai si kucing, memberinya kekuatan untuk menguasai mereka. Tapi bagaimana Hisao, pemuda
yang kejam dan brengsek ini, memiliki kekuatan semacam itu" Dan bagaimana Akio bisa
memanfaatkan dia bila tahu itu" Hisao tak ingin Maya meninggalkannya. Ia merasakan kuatnya keinginan Hisao itu, dan ia
merasakan keinginan itu memikat sekaligus berbahaya. Tapi Hisao tak ingin Akio tahu itu, belum... Ia
tidak terlalu memahami bagaimana perasaan Hisao yang sebenarnya atas laki-laki yang selalu dipercaya
sebagai ayahnya: gabungan antara cinta dan kebencian, meremehkan serta iba, juga takut.
Maya mengenali perasaan seperti itu karena ia merasakan hal yang sama pada pemuda itu.
Ia tidak tidur, dan sewaktu Noriko membawakannya nasi dan sop untuk makan
pagi, ia tidak terlalu berselera. Mata Noriko merah, sepertinya habis menangis.
"Kau harus makan," ujar Noriko. "Dan setelah itu kau harus bersiap untuk bepergian."
"Bepergian" Aku akan pergi kemana?"
"Lord Arai akan kembali ke Kumamoto. Hofu sedang gempar. Muto Shizuka tengah berpuasa di
Daifukuji dan hanya diberi makan oleh burung." Noriko gemetar. "Seharusnya aku tidak
mengatakan ini. Ketua harus menemaninya, dan Hisao juga. Mereka pasti mengajakmu." Matanya penuh
dengan air mata dan disekanya dengan lengan jubah. "Hisao sudah cukup sehat untuk bepergian.
Seharusnya aku senang."
Bersyukurlah dia akan pergi jauh darimu, pikir Maya, lalu bertanya, "Shizuka ada di Hofu?"
"Dia datang untuk memakamkan putra bungsunya, dan kabarnya dia sudah tidak waras. Orangorang
menyalahkan Lord Arai - serta menuduhnya terlibat dalam kematian Taku. Arai gusar dan
segera pulang ke rumahnya menyiapkan pasukannya untuk berperang, sebelum Lord Otori kembali
dari Miyako." "Omong kosong apa yang kau katakan! Kau tidak tahu apa-apa tentang hal ini!" Maya
menyembunyikan ketakutannya dengan kemarahan.
"Aku memberitahumu hanya karena kau sudah menolong Hisao," sahut Noriko. "Aku takkan
mengatakan apa-apa lagi." Gadis itu mengatupkan bibir rapat-rapat, marah dan tersinggung.
Maya mengangkat mangkuk sop dan menghabiskannya, pikirannya berpacu kencang. Ia tak
ingin membiarkan mereka membawanya ke Kumamoto. Ia tahu kalau kedua putra Zenko, Sunaomi
dan Chikara, sudah dikirim ke Hagi untuk menjamin kesetiaan ayah mereka, dan bahwa Zenko
takkan ragu-ragu menekan ayahnya. Hofu berada di Negara Tengah dan setia pada Otori"ia mengenal
kota itu dan tahu jalan pulang. Sedangkan Kumamoto jauh di wilayah Barat; ia belum pernah ke
sana. Begitu sampai di sana, ia tidak akan punya peluang kabur.
"Kapan kami akan pergi?" tanya perlahan.
"Begitu Ketua dan Hisao siap. Kau akan sudah di jalan sebelum siang. Kudengar Lord Arai akan
mengirim pengawal." Noriko
mengangkat mangkuk. "Aku harus mem?bawa semua ini ke dapur."
"Aku belum selesai makan."
"Apa itu salahku kalau kau makan begitu lambat?"
"Lagipula aku juga tidak lapar." "Kumamoto jauh dari sini," ujar Noriko saat keluar.
Halaman 679 dari 679 Maya tahu ia hanya punya sedikit waktu untuk mengambil keputusan. Mereka pasti
membawanya dengan disembunyikan, dengan tangan terikat mungkin; ia bisa saja mengecoh pengawal
Zenko tapi takkan bisa lolos dari Akio. Ia mulai mengukur kamar itu dengan jarak langkah. Udara terasa
semakin panas; ia lapar dan lelah; saat berjalan tanpa berpikir, ia hanyut dalam mimpi yang terjaga,
dan melihat Miki berada di gang di belakang rumah. Maya terbangun kaget. Ini mungkin nyata:
Shizuka pasti mengajak Miki begitu mendengar kematian Taku. Mereka datang untuk mencarinya. Miki
ada di luar. Mereka bisa pergi ke Hagi bersamasama; mereka bisa pulang ke rumah.
Ia tidak ingin berpikir lagi karena hanya akan membuang-buang waktu. Ia mengubah wujud
menjadi kucing dan melewati dinding.
Seorang perempuan di beranda berusaha menghalaunya dengan sapu sewaktu Maya berlari
melewatinya; terus berlari melintasi halaman, tidak berusaha sembunyi?sembunyi, tapi ketika
sampai di dinding sebelah luar, dilewatinya bangunan bengkel dan merasakan kehadiran Hisao di
sana. Jangan sampai dia mclihatku. Dia tidak akan membiarkan aku pergi
Gerbang belakang terbuka, dan dari jalanan di depan-nya terdengar olehnya derap kuda
mendekat. la menoleh ke belakang dan melihat Hisao berlari dengan senjata di tangan, matanya mencaricari di
halaman. Ketika melihat, dia berseru, "Kembali!"
Ia merasakan kekuatan perintah itu, dan tekadnya melemah. Si kucing mendengarkan
majikannya; si kucing tidak akan meninggal?kannya. Ia sudah berada di luar, di jalanan, tapi kaki kucing itu
terasa berat. Hisao memanggil lagi. Ia harus kembali kepadanya.
Maya sadar dari sudut matanya melihat sosok samar yang tak kelihatan. Secepat bilah pedang,
dari seberang jalan, sesuatu melesat di antara kucing itu dan Hisao, dan sosok itu memiliki
ketajaman yang luar biasa hingga memutuskan keterkaitan antara mereka
berdua. "Maya," didengarnya Miki memanggil. "Maya!" dan saat itulah Maya mendapatkan kekuatan
untuk berubah wujud. Miki, sekarang kelihatan, berdiri di sampingnya. Adik kembarnya itu
memegang eraterat tangannya. Hisao berteriak dari gerbang, tapi suaranya hanya suara anak laki-laki. Maya tidak
harus mendengarkannya lagi.
Kedua gadis itu menghilang lagi, dan selagi pengawal Lord Arai datang dari sudut jalan,
mereka berlari tanpa terlihat memasuki jalan-jalan kota pelabuhan yang sempit dan berliku-liku.*
Keberangkatan Takeo dari Miyako dilepas dengan upacara dan kegembiraan yang lebih besar,
meski ada kekagetan dan kekecewaan karena ia pergi begitu cepat.
"Kemunculan Anda ibarat komet," ujar Lord Kono, ketika bangsawan itu datang mengucapkan
selamat jalan. "Melesat ber?cahaya melintasi langit musim panas."
Takeo ingin tahu seberapa tulus pujian ini, karena orang biasanya percaya kalau komet
merupakan pertanda buruk datangnya kehancuran dan kelaparan.
"Kurasa aku ada alasan mendesak untuk pulang," sahutnya, seraya memikirkan kalau Kono
mungkin sudah tahu apa alasannya; tapi bangsawan itu tidak menunjukkannya, atau menyebutkan
kematian Taku. Halaman 680 dari 680 Saga Hideki bahkan lebih tak bisa berkata?kata karena terkejut dan merasa tidak senang akan
kepergiannya yang mendadak itu. Mendesak agar tinggal lebih lama lagi"atau
jika Lord Otori benar-benar harus kembali ke Tiga Negara, agar setidaknya meninggalkan Lady
Maruyama untuk menikmati indahnya musim panas di ibukota.
"Masih banyak yang perlu kita bicarakan"aku ingin tahu cara Anda memerintah Tiga Negara,
apa yang menopang kemakmuran dan kesejahteraan kalian, bagaimana cara Anda menghadapi
kaum barbar." "Kami menyebutnya orang asing," Takeo berani membetulkan perkataannya.
Saga menaikkan alisnya. "Orang asing, kaum barbar, sama saja."
"Lord Kono menghabiskan banyak waktu bersama kami. Dia pasti sudah melapor?kannya
kepada Anda." "Lord Otori," Saga mencodongkan badan dan bicara dengan penuh rahasia. "Lord Kono
mendapatkan sebagian besar informasi?nya dari Arai. Keadaan sudah berubah sejak saat itu."
"Apakah aku mendapat jaminan dari Lord Saga?"
"Tentu saja! Kita sudah mengumumkan kesepakatan yang mengikat. Anda tidak perlu khawatir.
Kita adalah sekutu dan tak lama
akan menjadi kerabat."
Takeo bersikeras menolak bujukannya dengan sikap sopan yang tegas; dari semua penjelasan
tentang keindahan yang perlu mereka lihat sebenarnya tidak bagus. Ibukota dilanda hawa
panas, dan hujan plum yang bisa terjadi kapan saja membuat udara menjadi lembap dan berjamur. Ia
tidak ingin Shigeko menderita dalam kondisi seperti itu. Ia ingin sekali pulang, merasakan dingin angin
laut di Hagi, bertemu Kaede dan putranya, kemudian menghadapi Zenko dengan tegas.
Lord Saga memberi kehormatan dengan menemani mereka selama minggu pertama perjalanan
sampai di Sanda, tempat dia mengatur jamuan makan perpisahan.
Saat jamuan selesai dan mereka akhirnya mengucapkan selamat tinggal, Takeo merasa
semangatnya bangkit. Ia nyaris tidak men?duga bisa pulang membawa kemenangan besar
seperti ini. Membawa dukungan dan pengakuan Kaisar, dan juga persekutuan yang tulus dengan Saga.
Perbatasan wilayah Timur akan aman dari serangan; tanpa dukungan Saga, Zenko bisa
disembuhkatt dari ambisinya dan menerima kenyataan
sahnya pemerintahan Takeo.
"Bila ada bukti keterlibatannya dalam kematian Taku, maka dia akan dihukum. Tapi bila
memungkinkan, demi Shizuka, maka aku akan membiarkannya tetap hidup."
Takeo melakukan perjalanan dengan tandu, dengan formalitas besar, sampai ke Sanda.
Sungguh lega Saga sudah pergi dan membuatnya bisa menanggalkan jubah indahnya lalu menunggang
Tenba lagi. Hiroshi yang menungganginya karena kuda itu menjadi terlalu bersemangat dan sulit
dikendalikan bila tidak ditunggangi setiap hari; kini Hiroshi menunggang kuda tua miliknya,
Keri, anak Raku. "Gadis itu, Mai, menceritakan kalau Ryume, kuda Taku, mati bersama majikan?nya," tutur
Hiroshi kepada Takeo saat mereka berkuda berdampingan. "Tapi tidak jelas apakah dia juga mati
ditembak." Hari itu cuaca panas, langit tak berawan; kuda-kuda berkeringat selagi jalan semakin
menanjak menuju tanah lapang yang masih kelihatan jauh.
"Aku ingat dengan jelas saat pertama kali kita lihat kuda-kuda jantan itu," sahut
Takeo. "Kau langsung mengenali kalau mereka adalah anak-anak Raku. Mereka adalah
pertanda pertama bagiku akan kembalinya harapan, bahwa kehidupan senantiasa bermula dari
kematian." Halaman 681 dari 681 "Aku merindukan Ryume hampir sebesar rinduku pada Taku," ujar Hiroshi pelan.
"Untungnya kuda Otori tidak menunjuk?kan tanda-tanda kematian. Tentu saja, di bawah
bimbingan tangan ahlimu, kurasa mereka makin berkembang. Kukira aku tak akan memiliki kuda seperti
Shun lagi, tapi mesti kuakui aku sangat senang dengan Tenba."
'Tenba menantang untuk dijinakkan, tapi ternyata hasilnya baik-baik saja."
Tenba berderap cukup tenang, namun tepat saat Hiroshi bicara, kuda itu mengibaskan kepala
dan berputar ke arah mereka datang, seraya meringkik keras.
"Kau terlalu cepat bicara," ujar Takeo, seraya mengarahkan kuda itu kembali dalam
kendalinya dan memaksanya agar bergerak ke depan lagi. "Dia masih menjadi tantangan: kau takkan bisa
mengabaikannya." Shigeko, yang sedari tadi berkuda di akhir arak-arakan bersama Gemba, datang meng
hampiri mereka. "Sesuatu membuatnya kesal," ujar Shigeko, dan membelokkan pelana untuk memandang ke
arah belakangnya. "Dia merindukan kirin," ujar Hiroshi.
"Mungkin sebaiknya kita tinggalkan saja dia bersama kirin," ujat Takeo. "Sempat terpikir
olehku, tapi

The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku tidak ingin berpisah dengannya."
"Dia akan menjadi liar dan tidak bisa dikendalikan di Miyako." Hiroshi melirik ke arah Shigeko.
Tenba dijinakkan dengan kelembutan; kini tidak bisa ditangani dengan kekerasan."
Tenba terus gelisah, tapi Takeo menikmati tantangan untuk membujuk Tenba agar tenang, dan
ikatan di antara mereka berdua semakin kuat. Bulan purnama di bulan ke?enam sudah berubah, tapi
tidak membawa hujan yang diharapkan. Takeo takut kalau mereka harus melewati jalur pegunungan
paling tinggi dalam keadaan hujan, dan lega karena hawa panas makin menyengat. Kuda?kuda
semakin kurus; pengurus kuda khawatfr' mereka makan pasir atau cacingan. Lalat penghisap darah
mengganggu manusia dan hewan di malam hari. Sewaktu bulan
baru di bulan ketujuh muncul di ufuk timur, halilintar berge-muruh dan petir berkilatan di
langit tiap malam, tapi tetap tidak turun hujan.
Gemba menjadi sangat pendiam; sering?kali saat terbangun di malam hari Takeo melihat dia
sedang duduk tanpa ber-gerak: bermeditasi atau berdoa. Satu atau dua kali ia bermimpi, atau
membayangkan Makoto, nun jauh di Terayama, melakukan hal yang sama. Mimpi-mimpi Takeo
menggambarkan benang putus dan peti mati kosong, cermin tanpa bayangan, manusia tanpa bayangan. Ada
yang tidak beres, Gemba pernah berkata, dan ia merasakan itu dalam aliran darah dan tulangnya.
Rasa sakitnya yang berkurang selama perjalanan, kini terasa lagi, lebih sakit dari yang pernah
dirasakannya. Dengan desakan yang hanya setengah dipahaminya, diperintahkannya agar
kecepatan perjalanan ditingkatkan: mereka bangun sebelum matahari terbit dan berkuda di bawah
cahaya bulan. Sebelum bulan mencapai seperempat bagian pertama, mereka sudah tak jauh dari Jalur
Rajawali: kurang dari sehari perjalanan, Sakai Masaki yang berjalan lebih dulu untuk
mengintai, melaporkan. Hutan semakin lebat di sekitar jalur itu, pohon ek serta hornbeam, dengan pohon cedar dan
pinus di lereng yang lebih tinggi. Mereka berkemah di bawah pepohonan; air melimpah karena ada
mata air, tapi makanan yang mereka bawa menipis. Takeo tidur sedikit, dan terbangun dengan seruan
salah satu pengawal, "Lord Otori!"
Saat itu matahari baru akan terbit, burung?burung baru mulai berkicau. Matanya ter?buka,
mengira masih bermimpi: ia melihat sekilas, seperti biasa, pertama ke barisan kuda, lalu melihat kirin.
Halaman 682 dari 682 Hewan itu berdiri di samping Tenba, leher panjangnya membungkuk, kakinya meregang
keluar, kepalanya dekat dengan kuda-kuda, tanda putihnya berkilau menakutkan ditimpa cahaya
keabuabuan. Takeo berdiri, tubuhnya terasa kaku dan pegal. Hiroshi yang tidur tidak jauh darinya sudah
lebih dulu berdiri. "Kirin kembali?" pekiknya.
Seruannya membangunkan yang lain, dan seketika itu juga kirin dikerumuni.
Hewan itu menunjukkan semua tanda gembira karena berada di antara mereka:
menggosokkan hidungnya pada Shigeko, serta menjilati tangan Hiroshi dengan lidah abu-abu
panjangnya. Kulitnya tergores di mana-mana, lututnya berdarah; bagian belakang kaki kirinya
tidak apa-apa, dan di lehernya ada bekas luka gesekan tali, seolah hewan itu berjuang melepaskan
diri. "Apa artinya ini?" tanya Takeo dengan gempar. Dibayangkannya hewan itu lari melintasi daerah
yang tidak dikenalnya, langkah panjangnya yang canggung, ketakutan dalam kesendiriannya.
"Bagaimana hewan ini bisa kabur" Apakah mereka melepasnya?"
Shigeko menjawab, "Itulah yang kutakut?kan. Seharusnya kita tinggal lebih lama, memastikan
agar kirin senang. Ayah, biarkan aku yang mengembalikannya."
"Sudah terlambat," sahuinya. "Lihatlah; kita tak bisa menyerahkannya pada Kaisar dalam
kondisiseperti ini." "Dia takkan sanggup bertahan dalam perjalanan," sahut Hiroshi setuju. Pemuda itu pergi ke
mata air, mengisi ember dengan air dan membiarkan kirin minum, kemudian mulai membasuh darah
kering di badannya. Kulitnya mengkerut dan gemetar tapi tetap
berdiri tenang. Tenba meringkik pelan melihatnya.
"Apa artinya ini?" tanya Takeo pada Gemba setelah hewan itu diberi makan dan perintah
dikeluarkan agar perjalanan segera dilanjutkan. "Haruskah kita meneruskan perjalanan dengan membawa
kirin" Atau haruskah kita mengirim semacam ganti rugi ke Miyako?" Sejenak Takeo berhenti bicara,
menatap putrinya selagi menenangkan dan membelai kirin. "Kaisar pasti merasa terhina
karena hewan ini kabur," lanjutnya dengan suara pelan.
"Ya, kirin memang disambut sebagai pertanda restu dari Surga," tutur Gemba. "Kini hewan itu
menunjukkan kalau dia lebih memilihmu ketimbang Paduka Yang Mulia. Pasti akan dianggap
sebagai peng-hinaan yang luar biasa."
"Apa yang harus kulakukan?"
"Bersiap untuk berperang, kurasa," sahut Gemba tenang. "Atau mencabut nyawamu sendiri,
bila kau pikir itu lebih baik."
"Kau tahu segalanya"hasil pertandingan, penyerahan Jato, kemenanganku. Tidakkah kau tahu
yang satu ini?" "Segala sesuatu ada sebab dan akibat,"
sahut Gemba. "Peristiwa keji seperti kematian Taku telah melepaskan semua rangkaian
peristiwa: ini pasti salah satunya. Mustahil bisa diramalkan atau mencegah semuanya." Diulurkan tangannya
dan me?nepuk bahu Takeo, dengan cara yang sama Shigeko menepuk kirin. "Maaf. Sudah
kukatakan sebelumnya bahwa ada yang tidak beres. Aku berusaha mempertahankan keseimbangannya,
namun keseimbangannya terputus."
Takeo menatapnya, tidak sanggup memahami kata-katanya. "Apakah telah terjadi sesuatu
pada kedua putriku?" Dihelanya napas dalam-dalam. "Istriku?"
"Aku tak bisa mengatakan rincian semacam itu. Aku bukan penyihir atau dukun. Yang kutahu
hanyalah sesuatu yang menahan jaring yang rapuh telah terputus."
Halaman 683 dari 683 Mulut Takeo terasa kering karena rasa takut. "Bisakah diperbaiki?"
Gemba tidak menjawab, dan pada saat itu pula, di atas hiruk pikuk persiapan, Takeo
mendengar derap langkah kuda dari kejauhan.
"Ada yang berkuda ke arah kita," ujarnya. Tak lama kemudian kuda-kuda dalam
barisan menaik-kan kepala dan meringkik, dan kuda yang tengah berjalan menghampiri
meringkik balik selagi berjalan dengan santai di sekitar kelokan jalur dan mulai kelihatan.
Ternyata itu salah satu kuda Maruyama pemberian Shigeko kepada Lord Saga, dan
penunggangnya adalah Lord Kono. Hiroshi berlari ke depan untuk mengambil tali kekang sewaktu bangsawan itu meng?hentikan
kudanya; Kono melompat turun dari punggung kudanya. Penampilannya yang tidak bertenaga
sirna sudah; laki-laki itu kelihatan kuat dan trampil, seperti saat pertandingan.
"Lord Otori, aku senang berhasil menyusul Anda."
"Lord Kono," balas Takeo. "Kurasa aku tak bisa menawarkan banyak untuk menyegarkan diri.
Kami baru saja hendak melanjutkan perjalanan. Kami akan berada di seberang perbatasan pada
tengah hari nanti." Takeo tidak peduli jika si bangsawan tersinggung. Ia percaya tak ada satu hal pun
yang bisa memperbaiki posisinya sekarang ini.
"Aku harus meminta Anda menunda perjalanan," desak Kono. "Mari bicara
berdua saja." "Kurasa tidak ada yang perlu dibicarakan saat ini." Kegelisahannya telah berubah men?jadi
kemarahan. Takeo bisa merasakan kemarahannya memuncak di balik matanya. Selama
berbulanbulan ia telah berusaha keras untuk bersabar dan mengendalikan diri. Kini dilihatnya kalau semua
upayanya akan hancur oleh kejadian yang tak ber?aturan, rasa suka kirin yang tidak
terkendali pada kawannya ketimbang dengan orang asing.
"Lord Otori, aku tahu Anda meng?anggapku sebagai musuh, tapi percayalah, perhatianku pada
Anda tulus dari lubuk hatiku. Mari, beri aku waktu untuk menyampaikan pesan Lord Saga."
Tanpa menunggu jawaban, Kono berjalan menjauh menuju pohon cedar yang sudah tumbang
hingga seolah menyediakan tempat duduk yang alami. Kerabat Kaisar itu duduk dan memberi isyarat
agar Takeo bergabung dengannya. Takeo melihat sekilas ke timur. Tepian pegunungan tampak
hitam pekat ber?lawanan dengan langit yang berkilauan, ber?lukiskan warna keemasan.
"Kuberi waktu sampai matahari menyinari
puncak gunung," ujar Takeo.
"Ijinkan aku ceritakan apa yang terjadi. Kemenangan dari kunjungan Anda agak meredup
dengan kepergian Anda yang lebih awal. Tadinya Kaisar berharap bisa lebih mengenal Anda"Anda
membuat Kaisar ter?kesan. Tetap saja, Kaisar cukup gembira dengan hadiah-hadiah pemberian Anda,
terutama hewan ini. Kaisar kemudian khawatir melihat kirin yang kian gelisah setelah kepergian Anda.
Kaisar mengunjungi?nya setiap hari, tapi hewan itu ketakutan, dan tidak mau makan selama tiga
hari. Kemudian dia kabur. Kami mengejarnya, tapi tentu saja, semua upaya kami untuk
menangkapnya gagal, dan akhirnya dia berhasil lolos. Suasana ibukota berubah dari gembira bahwa Kaisar
direstui Surga menjadi ejekan, bahwa restu Surga berpindah, bahwa ternyata Lord Otori-lah yang
didukung Surga, bukannya Kaisar dan Lord Saga."
Kono berhenti sejenak. "Tentu saja, peng?hinaan ini tak bisa diabaikan. Aku bertemu Lord
Saga saat beliau meninggalkan Sanda; dan segera berbalik arah. Lord Saga berada hampir tidak sampai
sehari menunggang kuda di belakangku. Kekuatan telah di
himpun; pasukan khususnya senantiasa siaga, dan mereka sudah siap untuk kemungkinan
semacam ini. Pasukan Anda kalah banyak dengannya. Aku diperintahkan menyampai?kan bahwa bila
Anda Halaman 684 dari 684 tidak kembali bersamaku dan meminta maaf pada Kaisar: maka Anda harus bunuh diri"aku
khawatir pilihan untuk mengasingkan diri sudah tidak ada lagi"Saga akan memburu Anda, dan merebut
Tiga Negara dengan paksa. Anda dan keluarga Anda akan dihukum mati" kecuali Lady Maruyama,
yang Lord Saga harap bisa dinikahinya."
"Bukankah sejak awal dia telah meren?canakan akan seperti ini jadinya?" sahut Takeo, tidak
berusaha mengendalikan amarahnya. "Biarkan dia mengejarku: dia akan kaget atas yang akan
menantinya." "Aku tidak bisa mengatakan kalau aku terkejut, tapi menyesali keputusan Anda," ujar Kono.
"Anda harus tahu betapa aku mengagumi Anda...."
Takeo memotong perkataannya. "Kau sering menyanjungku, tapi kurasa kau berniat jahat
padaku dan berusaha melemah?kan diriku. Mungkin kau merasa dengan cara tertentu akan dapat
membalaskan dendam atas kematian ayahmu. Jika kau memang memiliki kehormatan atau keberanian sejati,
mestinya kau menantangku secara langsung, ketimbang diam-diam bersekongkol dengan Lord Arai,
bawahanku dan adik iparku. Kau ular bermuka dua yang hebat. Kau telah menghina dan menipuku."
Wajah Kono yang sudah pucat makin pucat. "Kita akan berjumpa dalam per?tempuran,"
sahutnya. "Saat itu tipuan dan ilmu sihir takkan bisa menyelamatkan Anda!"
Kono berdiri, dan tanpa membungkuk hormat berjalan ke arah kudanya, melompat ke atas
punggungnya lalu menarik tali kekang dengan kasar untuk memalingkan kepala kudanya. Kuda
itu enggan mening?galkan kawan-kawannya, dan agak melawan, Kono menghentakkan kaki di
bagian samping kuda itu; kuda itu bereaksi dengan melompat dan menendang, melemparkan
bangsawan itu yang terjatuh dengan memalukan ke tanah.
Keadaan menjadi sunyi. Dua pengawal terdekat menarik pedang, dan Takeo tahu semua orang
berharap ia memberi perintah untuk membunuh Kono. Ia berharap melakukannya sendiri,
sesuatu untuk melampiaskan kemarahannya, ingin
menghukum orang yang berada di bawah kakinya atas semua penghinaan, rencana jahat dan
pengkhianatan yang mengepung dirinya. Tapi sesuatu mencegahnya untuk melakukan itu.
"Hiroshi, ambil kuda Lord Kono dan bantu dia," ujarnya, lalu berpaling agar tak lebih
mempermalukan bangsawan itu. Para pengawal menurunkan pedang lalu menya?rungkannya kembali.
Saat didengarnya derap langkah kaki makin menjauh menyusuri jalan itu, Takeo berpaling ke
arah Hiroshi dan berkata, "Kirim Sakai pergi untuk memberitahu Kahei dan perintahkan dia bersiap
untuk berperang. Kita harus berhasil menyeberangi jalur sempit secepat mungkin."
"Ayah, bagaimana dengan kirin?" tanya Shigeko. "Dia kelelahan. Dia takkan sanggup mengikuti
kita." "Hewan itu harus bisa mengikuti kita" bila tidak maka lebih baik dibunuh sekarang juga,"
sahutnya, dan melihat wajah putrinya tercengang. Besok mungkin ia akan melihat putrinya bertarung
mempertahankan diri, Takeo sadar, namun putrinya itu belum
pernah membunuh satu makhluk hidup pun.
"Shigeko," tuturnya. "Ayah bisa menye?lamatkanmu dan kirin hanya dengan cara menyerahkan
diri pada Lord Saga. Ayah akan bunuh diri, kau akan menikah dengannya, dan kita masih bisa
menghindari pe-perangan."
"Kita tidak bisa lakukan itu," sahut Shigeko tanpa ragu. "Saga telah menipu dan mengancam
kita, serta mengingkari semua janjinya pada kita. Akan kupastikan kirin tidak tertinggal."
"Maka tunggangilah Tenba," sahut Takeo. "Mereka berdua akan saling memberi semangat."
Sebagai gantinya, Takeo mengambil kuda Shigeko, Ashige, dan menyuruhnya berjalan di depan


The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersama Gemba, seraya berpikir kalau putrinya akan lebih aman di sana ketimbang berada di
belakang. Kemudian muncul masalah apa yang harus dilakukan dengan kuda beban, dan
hadiahhadiah mewah dari Kaisar dan Lord Saga yang mereka bawa.
Halaman 685 dari 685 Kuda-kuda itu tidak bisa mengimbangi jalan kuda lainnya"merasa kalau Kaisar sudah terlanjur
tersinggung dan tak bisa ditebus dengan apa pun, Takeo
memerintahkan agar bal-bal dan keranjang ditinggalkan di dekat kuil batu kecil di tepi mata
air. Takeo menyesali kehilangan benda?benda indah itu: jubah sutra, cermin perunggu dan mangkuk
berpernis. Ia berpikir betapa Kaede sangat senang atas itu semua, tapi tidak melihat ada jalan keluar
lain. Tandu pun ditinggalkannya, bahkan baju zirah berhias indah pemberian Lord Saga. Baju zirah itu
berat dan tidak praktis, dan Takeo lebih suka baju zirah miliknya yang diurus oleh Kahei.
"Semua benda itu adalah sesaji untuk dewa gunung," tuturnya pada Hiroshi, selagi mereka
berkuda menjauh. "Meski aku tidak percaya dewa mana pun bisa menolong kita saat ini. Apa artinya
restu dari Surga" Kita tahu kalau kirin hanyalah hewan biasa, bukan makhluk dalam dongeng. Hewan itu
kabur karena merindukan kawannya."
"Kini kirin sudah menjadi perlambang," sahut Hiroshi. "Begitulah cara manusia menghadapi
dunia." "Kini bukan saatnya untuk bicara filsafat! Sebaiknya kita bicarakan tentang rencana
pertempuran." "Ya, aku sudah memikirkannya sejak kita melewati jalan ini: perbatasan di depan kita dapat
digunakan untuk bertahan meng?hadapi pasukan Saga. Tapi apakah kini perbatasan itu tidak dijaga"
Andai aku menjadi Saga, akan kututup semua rute yang bisa kau lalui sebelum kau meninggalkan
ibukota." "Itu juga terpikir olehku," aku Takeo, dan ketakutan mereka dipastikan tak lama kemudian
saat Sakai kembali melaporkan bahwa jalur telah dipenuhi pasukan Saga yang bersembunyi di sela
bebatuan dan pepohonan, bersenjatakan panah dan senjata api.
"Aku memanjat pohon dan melihat ke belakang ke arah Timur," tutur Sakai. "Dengan teropong
aku melihat pasukan Saga dari kejauhan, sedang mengejar kita. Mereka mengibarkan panji-panji
merah, dan pasukan pertahanan Saga di perbatasan pasti juga sudah melihatnya. Aku suruh Kitayama
mengitari tempat itu"bila orang lain bisa melewatinya, maka dia juga bisa melewati?nya"
tapi dia harus mendaki gunung dan turun di sisi gunung yang satunya lagi sebelum mencapai tempat
Lord Miyoshi." "Butuh berapa lama hingga dia bisa sampai di sana?" tanya Takeo.
"Beruntung bila dia bisa sampai sebelum malam."
"Ada berapa banyak pasukan di perbatasan?"
"Lima puluh sampai seratus orang. Kami tak sempat menghitungnya."
"Baiklah, pasukan kita kurang lebih sebanding dengan jumlah pasukan musuh," ujar Hiroshi.
"Tapi mereka memiliki semua keuntungan dari tanah datar."
"Terlambat untuk memberi kejutan: tapi bisakah kita mengecoh dengan mengitari mereka?"
tanya Takeo. "Satu-satunya harapan kita adalah meng?giring mereka ke lahan terbuka," sahut Hiroshi. "Saat
itulah kita bisa menembak mereka satu demi satu"Anda dan Lady Shigeko harus berkuda dengan
kecepatan penuh sementara kami melindungi kalian."
Takeo terdiam merenung selama beberapa saat, kemudian menyuruh Sakai pergi lebih dulu
bersama pengawal lainnya untuk ber?henti tepat di depan perbatasan lalu bersembunyi. Ia lalu
menyusul Shigeko dan Gemba. "Ayah harus meminta kuda itu kembali," ujarnya. "Ayah hendak memancing musuh keluar dari
persembunyian." "Ayah takkan pergi sendirian, kan?" tanya Shigeko, sewaktu turun dari punggung Tenba lalu
mengambil tali kekang Ashige dari tangan ayahnya.
Halaman 686 dari 686 "Ayah akan pergi bersama Tenba dan kirin," sahutnya. "Tapi takkan ada yang melihat Ayah."
Takeo jarang memperlihatkan kemampu?an Tribe-nya pada Shigeko, atau bahkan
membicarakannya, dan kini pun ia tak ingin menjelaskannya. Dilihatnya tatapan ragu putrinya yang kemudian
dengan cepat dikendalikannya. "Jangan khawatir," ujarnya. "Tak ada yang bisa menyakiti Ayah. Tapi kau harus menyiapkan
panahmu dan bersiap untuk menembak mati."
"Kami akan berusaha melumpuhkan mereka ketimbang membunuh mereka," sahutnya seraya
Seruling Samber Nyawa 3 Pendekar Mabuk 091 Tantangan Anak Haram Jagal Iblis Makam Setan 2

Cari Blog Ini