Ceritasilat Novel Online

The Heike Story 2

The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa Bagian 2


Hari ini adalah hari pacuan kuda Kamo. Pada saat ini, lapangan di dekat lintasan pacuan tentu sudah dipenuhi manusia, lyenari, seperti pada tahun-tahun sebelumnya, adalah anggota panitia yang bertanggung jawab mengurus kemeriahan yang menyertai pacuan kuda. Dia mempertimbangkan gagasan untuk berpura-pura sakit, namun cepat-cepat menyingkirkannya, lalu mengenakan jubah kebesarannya dan memasang helm berhiasnya di kepala. Sementara istrinya mengencangkan tali helm di bawah dagunya yang terangkat, dia meneriakkan beberapa perintah kepada seorang pelayan.
"Siapkanlah kereta"yang baru!"
Si pembawa pesan bergegas berlari ke ruang pelayan, namun kembali sejenak kemudian dengan kabar bahwa baru beberapa saat yang lalu, para wanita pergi membawa kereta baru yang anggun itu!
"Dasar pandir!" sembur lyenari kepada si pembawa pesan. Apa maksud mereka memakai kereta baru itu"
Tanpa mengatakan apa pun kepadanya! Ruriko seharusnya bisa bersikap lebih baik! Bahkan gadis muda itu sepertinya sudah tidak menghormati paman dan bibinya lagi!
Mungkinkah dia juga sudah terperangkap oleh kasih sayang palsu Yasuko"
lyenari marah sekaligus mengasihani dirinya sendiri.
Tidak ada yang bisa dilakukannya sekarang kecuali memakai kereta lama. Dia menyembunyikan kekesalannya di balik jendela ketika keretanya berderak melewati gerbang utama.
Tidak lama kemudian, di kejauhan, di balik gumpalan debu, tampaklah kerumunan penonton yang membanjiri lintasan kuda Kamo. Di antara pupus-pupus tumbuhan baru, lyenari melihat umbul-umbul merah dan biru, bendera warna-warni, ranting- ranting dari "pohon suci" yang diikatkan ke palang start; kemudian berangsur-angsur, jalan masuk menuju lintasan pacuan pun terlihat, penuh dibanjiri oleh manusia.
Kereta lyenari terjebak kemacetan. Siapa yang menyangka bahwa akan ada sebanyak ini kereta" Dia tidak pernah menyadari bahwa pemandangan semacam ini akan terlihat di ibu kota. Luar biasa! Tiba-tiba, dia menegakkan badan dan mengumpat-umpat. Di depan matanya, keretanya sendiri, kereta barunya, baru saja melintas!
Terkutuklah kuda betina itu"perempuan tua yang tidak bisa ditunggangi oleh siapa pun!
D&&W Upacara untuk mengumumkan kegiatan hari ini baru saja berakhir. Di panggung kehormatan, tampaklah Emperor Sutoku yang berumur sembilan belas tahun, dengan penasihat Fujiwara di sisinya, menatap ke sekelilingnya sambil tersenyum. Mantan Kaisar Toba juga ada di sana, dikelilingi oleh para wanita bangsawan dan para dayang- dayang mereka, yang berdiri selama upacara pembukaan. Ketika mereka duduk, terdengarlah dengung percakapan orang-orang yang mengomentari para joki dan kuda yang akan dipertandingkan.
Entah berapa banyak tenda untuk mempersiapkan kuda telah didirikan di tanah lapang itu, sementara para pemain musik dan pelatih kuda beraksi.
Setiap helai daun di pepohonan di dekat Kuil Kamo tampak berkilauan akibat tiupan angin sepoi-sepoi. Musik dari kelompok orkestra mengalun terbawa angin di atas kepala para penonton. Di atas hamparan rumput hijau di dekat gerbang lapangan, tempat sebuah umbul-umbul melambai-lambai, kuda-kuda pacuan yang gelisah menyibukkan para perawat mereka. Sesekali, ringkikan panjang terdengar ketika seekor kuda yang penuh semangat, menggigit pengganjal di dalam mulutnya, menendang perawatnya, atau seekor kuda lain, yang sedang diuji langkahnya, berdiri kaku, lalu melepaskan diri di depan paviliun kekaisaran. Di atas panggung kehormatan. Kaisar dan Mantan Kaisar tersenyum senang, sementara gelak tawa terdengar di antara deretan kursi berhias bunga yang ditempati oleh para bangsawan. Di sini, oleh para bangsawan dari berbagai tingkatan, kemewahan dan keanggunan Istana Kekaisaran dan Istana Kloister dipamerkan dalam beraneka ragam bentuk penghias kepala dan warna kimono. Para bangsawan yang masih muda mengenakan bedak tipis, menggambari alis, memerahkan pipi, dan menebarkan aroma berbagai wewangian langka dari lengan kimono mereka. Di salah satu paviliun, para pejabat dengan helm berhias tumbuhan wisteria memercikkan air berwarna ungu sehingga aroma bunga-bungaan memenuhi udara.
Ini adalah hari pacuan kuda Kamo; tidak kurang, ini adalah ajang pertandingan di bidang gaya dan kemewahan antara Istana Kekaisaran dan Istana Kloister. Dan di bawah permukaan kemeriahan tersebut, ini adalah puncak persaingan antara Kaisar dan Mantan Kaisar. Meskipun
menempati panggung yang sama, ayah dan anak itu hanya sesekali bercakap-cakap. Mereka telah berselisih selama bertahun-tahun, dan masalah di antara mereka semakin luas seiring waktu. Di balik perselisihan mereka, tersebutlah sebuah sejarah gelap.
Kaisar Sutoku adalah putra sulung Mantan Kaisar Toba dengan permaisurinya, Fujiwara Shoko, yang menjadi dayang-dayang di Istana Kloister ketika Shirakawa menghabiskan hari tuanya di sana. Perhatian Mantan Kaisar Shirakawa kepada Shoko sangat mencolok sehingga desas-desus tersebar di kalangan para pejabat istana bahwa penguasa yang gemar mengumbar cinta itu lebih dari sekadar memberikan kasih sayang yang bersifat kebapakan.
Shoko, yang terpilih setelah beberapa tahun menjadi selir Kaisar Toba, segera melejit menjadi Permaisuri. Enggan mengakhiri hubungannya dengan Shoko, bahkan setelah wanita itu menjadi istri putranya. Mantan Kaisar Shirakawa diam-diam masih mengunjunginya. Kaisar Toba yang masih remaja sama sekali tidak mengetahui tentang intrik tersebut hingga Permaisuri melahirkan Putra Mahkota.
Baru ketika itulah tersebar rumor di Istana Kekaisaran bahwa Kaisar, yang acuh tak acuh ketika mendengar tangisan putra pertamanya, telah yakin bahwa bayi itu bukan anaknya melainkan anak ayahnya.
Penyimpangan perilaku dan pengkhianatan Mantan Kaisar telah meracuni masa muda Toba, meninggalkan luka dalam yang tak kunjung sembuh, dan kebenciannya kepada putranya, Sutoku, yang saat ini berkuasa, menimbulkan kegetiran dan titik pangkal perselisihan di antara kedua kepala pemerintahan itu. Kendati begitu, hari ini di pacuan kuda Kamo, semua itu tersembunyi di balik keanggunan dan semerbak wewangian. Siapa yang bisa memercayai bahwa kedua petinggi yang duduk di antara
bunga- bungaan itu, kedua sosok penguasa lemah lembut yang tenggelam dalam kemeriahan hari itu, adalah bahan bakar bagi perang besar yang telah menanti mereka"
"Lihatiah senyuman Yang Mulia!"
"Kaisar sekarang berdiri. Beliau menyaksikan balapan ini dengan penuh perhatian!"
Itulah komentar-komentar yang beredar di antara para pejabat yang matanya tertuju ke lintasan balapan namun perhatiannya ke kedua pemimpin itu, menyadari sepenuhnya kebencian yang mendalam di hati keduanya.
Rangkaian kegiatan berlangsung hingga siang hari. Debu mengepul tinggi di atas lintasan pacuan yang kering kerontang.
"Kau sepertinya bingung, Wataru. Ada apa?" tanya Kiyomori kepada kawannya, yang ditemukannya sedang berdiam diri di saiah satu sisi paviliun samurai.
Kuda hitam berumur empat tahun dengan tanda putih di keempat kakinya, yang menjadi ujung tombak Wataru, tidak disebutkan dalam daftar peserta balapan. Kiyomori, yang bertanya- tanya mengenai hal itu, telah menanti untuk bisa berbicara dengan Wataru sejak balapan dimulai.
Wataru, yang semakin ciut karena pertanyaan temannya, menjawab dengan murung:
"Pagi ini, saat masih gelap, aku membuat kesalahan dengan mengeluarkan kuda hitam itu dari istal dan memacunya ". Memang nasibku"sedang tidak beruntung."
"Apa yang terjadi?"
"Para tukang kayu yang kemarin mendirikan panggung di sini tentu tanpa sengaja telah mencecerkan paku, karena
kudaku menginjak salah satunya dengan kaki belakang kanannya. Aku berharap aku saja yang terkena paku!"
"Hmm?" hanya itu yang bisa dikatakan oleh Kiyomori ketika takhayul para joki terlintas di benaknya. Wataru hanya akan mengolok-oloknya lagi. Tetapi, kata-kata Kiyomori selanjutnya ternyata berhasil menenangkan Wataru.
"Jangan patah semangat, Wataru. Si hitam itu masih bisa bertarung di balapan yang lain. Masih ada Ninna-ji musim gugur nanti, la cukup tangguh untuk menang di mana pun. Mengapa harus terburu-buru?"
"Hmm ".Aku akan mendaftarkannya untuk mengikuti balapan musim gugur nanti!" seru Wataru. Kiyomori terkekeh. "Mengapa harus menyesal" Apa kau sudah bertaruh besar-besaran untuk kuda ini?"
"Tidak, tidak ada yang memperbolehkanku. Semua orang mengatakan bahwa kuda ini akan membawa sial."
"Apa kau sudah menjalani "ritual cambuk?"" tanya Kiyomori. ?"Ritual cambuk?" Mana mungkin aku memercayai omong kosong seperti itu. Itu takhayul!
Bagaimana mungkin para joki yang cambuknya dimantrai oleh para pendeta itu berharap akan menang" Kupikir aku akan membuka mata mereka."
Sementara Wataru mencerocos, Kiyomori mengedarkan pandangan. Diiringi gebukan tambur, dua ekor kuda dan penunggangnya melesat dari bilik start dalam kepulan debu, namun dia tidak sedang menonton mereka. Dia menyapukan tatapan ke deretan kepala di paviliun utama.
Di antara kerumunan pria dan wanita, sekilas dia melihat ibunya. Di antara para wanita yang berpakaian anggun itu, ibunya tampak mencolok dalam balutan kimono indahnya.
Tatapan para penonton tertuju ke lintasan balap, namun tatapan ibunya tertuju kepadanya. Pandangan mereka bertemu. Yasuko memanggil Kiyomori dengan sorot matanya, namun Kiyomori balas menatapnya dengan dingin. Yasuko terus tersenyum, membujuk dan memohon, seolah-olah gemas melihat anaknya yang merajuk, kemudian menoleh untuk berbicara dengan Ruriko, yang berdiri di sampingnya. Pada saat yang sama, gemuruh tepuk tangan para penonton menggetarkan udara. Gebukan genderang yang terdengar dari bilik start, tempat sehelai bendera merah berkibar untuk mengumumkan bahwa kuda-kuda Istana Kioister menjadi pemenang hari ini. Sorak sorai para penonton meledak dalam sebuah nyanyian kemenangan, yang terdengar gegap gempita di seluruh paviliun Mantan Kaisar.
Wataru menggumamkan beberapa patah kata dan berlalu. Kiyomori juga membalikkan badan. Dia mendesak kerumunan penonton untuk menghampiri panggung utama.
Mata Yasuko seolah- olah memanggil-manggilnya untuk mendekat. Ketika Kiyomori semakin dekat dengannya, mata itu seolah-olah bertanya, "Jadi kau datang juga, setelah semua yang telah terjadi?"
Kiyomori, yang menghampiri ibunya, hanya merasakan kebencian di dadanya. Seluruh kebencian dan kemarahannya terpancar dalam tatapan yang dilontarkannya ke arah ibunya ketika dia berjalan mendekati paviliun tempat wanita itu duduk. Ketika menyadari keberadaan banyak wanita di sekeliling ibunya, Kiyomori mendadak merasa rikuh dan malu, dan rona merah langsung tampak di pipi dan telinga caplangnya.
"Kau memang anak yang lucu," Yasuko tertawa ketika melihat kecanggungan Kiyomori. "Apa yang membuatmu malu seperti itu" Bukankah aku ibumu" Ayo, kemarilah."
Kesan yang ada di dalam suaranya adalah kasih sayang, yang hanya bisa diperdengarkan oleh seorang ibu. Tetapi, bukan ibunya yang menyebabkan Kiyomori tersipu malu.
Baginya, Yasuko bukanlah seorang wanita melainkan perwujudan dari kecantikan"kecantikan yang dibenci sekaligus dikaguminya lebih daripada segalanya. Dengan sensasi mendorong dirinya sendiri menembus sebuah penghalang gaib, Kiyomori semakin dekat dengan ibunya.
Tidak ada kesan aneh maupun janggal ketika mereka berdekatan, pikirnya, namun dia mengedarkan pandangannya dengan lemas, seolah-olah mencari perlindungan dari tatapan orang-orang yang tertuju kepadanya.
Melihat kegelisahan Kiyomori, Yasuko segera menyimpulkan bahwa Rurikolah penyebabnya. Dia melirik gadis itu, lalu putranya dan, menoleh ke arah Ruriko, dia berbisik, "Ini anakku, Heita Kiyomori, yang kubicarakan waktu itu."
Kepada Kiyomori, dia kemudian mengatakan, "Waktu kau berumur tiga atau empat tahun, kau pernah mengunjungi kediaman Nakamikado, tempat Ruriko sekarang tinggal."
Meskipun Yasuko berusaha membuatnya merasa santai, Kiyomori tetap diam. Jantungnya yang berdegup kencang menjadikan wajahnya semakin merah. Ruriko melihatnya dan tersipu malu. Kelopak matanya bergetar dan terpejam, seolah-olah untuk menghindar dari tatapan tajam, dan desahan meluncur dari bibirnya.
Kiyomori merasakan sensasi memualkan, yang telah diakrabinya, menghampirinya ketika dia berdiri di samping ibunya. (Wanita yang sungguh cantik dan licin!) Dia tergoda untuk sekali lagi bertanya kepada ibunya. Apakah dia putra seorang kaisar atau seorang pendeta mesum"
Siapakah ayah kandungnya" Duka yang mendalam akibat perilaku binal ibunya sepertinya mendorong Kiyomori untuk terus berusaha mencari jawaban. Baginya, ibunya saat ini tampak lebih nista daripada semua pelacur dan penghibur di ibu kota.
Di masa remajanya, ketika dia merasa jijik terhadap hubungan antar jenis kelamin, Kiyomori menyadari bahwa, tanpa alasan tertentu, dia menghendaki ibunya bersikap lebih bersahaja. Sebagai seorang anak, putra ibunya, dia ingin memercayai bahwa ibunya adalah wanita tersuci, teranggun, dan apa pun yang menjadi lambang kasih sayang itu sendiri. Sejak bayi, ketika dia mengisap air susu ibunya, Kiyomori telah mengagumi gambaran ideal ini"
ibunya; selama masa remajanya, sosok itu tidak berubah, hingga dia mendengar cerita Morito, yang mengubah ibunya menjadi sekadar onggokan daging. Kiyomori yang jijik menganggap kenistaan ibunya sebagai kenistaannya juga; hingga waktu itu, dia masih bersyukur bahwa darah Heik? Tadamori dan seorang ibu yang suci mengaliri tubuhnya, namun yang dirasakannya saat ini hanyalah kebencian kepada diri sendiri.
Malam itu, ketika dia bertemu dengan Morito dan mendengar tentang masa lalu ibunya, dalam kemarahan dan keputusasaan, Kiyomori menyerahkan masa muda dan kepolosannya kepada seorang" pelacur. Sekarang, dia merasakan kejijikan yang sama kepada dirinya sendiri. Dia membenci darah dan dagingnya sendiri; satu-satunya hal yang membuatnya bertahan dari memuaskan nafsu birahi dan membuang-buang uang adalah Tadamori, pria yang ternyata bukan ayah kandungnya, si Mata Picing yang kasih sayang dan pengorbanannya tidak bisa dikhianatinya.
Hanya dengan cintanya, Tadamori mendorong Kiyomori
untuk bersumpah menjadi seorang anak berbakti yang akan selalu menjaga nafsunya.
Melihat ibunya cukup untuk membuat Kiyomori melupakan tekadnya. Dia berpikir apakah hanya darah campur aduk ini yang didapatkannya dari wanita itu.
Yasuko kecewa dan kesal. Kiyomori tidak menunjukkan sedikit pun tanda-tanda penyesalan. Dia mengharapkan anak itu menghampirinya sambil berurai air mata. Dia juga kesal karena alih-alih memedulikan Ruriko, Kiyomori justru mengamati perhatian orang-orang di sekeliling mereka.
"Heita, apa yang membuatmu ragu-ragu" Apakah kau takut Tadamori akan mendengar tentang pertemuan kita ini?" akhirnya Yasuko bertanya.
"Ya"ayahku ada di sini, dan aku khawatir beliau akan melihat kita."
"Apa masalahnya" Meskipun aku dan Tadamori telah berpisah, kau masih anakku, bukan" Aku memahami betapa kau dan adik- adikmu kesepian dan merana tanpa aku."
"Tidak!" Kiyomori cepat-cepat menyanggah. "Adik-adikku, kuda- kuda di istal, semuanya baik-baik saja dan bahagia. Tidak seorang pun pernah membicarakanmu!"
Yasuko buru-buru menutupi perubahan pada air mukanya dengan tawa dan, untuk beberapa alasan yang tidak bisa dijabarkan oleh Kiyomori, menyambar dan memegang erat-erat pergelangan tangan putranya.
"Dan kamu"apa kau tidak pernah ingin menemuiku?"
Kiyomori berusaha menarik tangannya. "Izinkan aku pergi. Ayahku sedang melihat kemari. Beliau melihat kita.
Izinkan aku pergi!" "Heita!" sergah Yasuko, tersenyum puas. "Tadamori bukan ayah kandungmu, meskipun aku ibu kandungmu.
Apa yang membuatmu begitu menyukainya" Kau harus mengunjungiku, Heita, karena aku sering merindukanmu.
Dan Ruriko akan menjadi teman baikmu."
Sekali lagi, Kiyomori berusaha membebaskan diri, yakin bahwa ayahnya telah melihatnya sekarang.
Di atas gegap gempita para penonton dan gumpalan debu di atas lintasan pacu, matahari semakin pucat, menandai akhir balapan dan hari itu. Kaisar dan Mantan Kaisar meninggalkan paviliun mereka, disusul oleh para pengikut mereka, dan melangkah menuju Kuil Kamo, tempat para pendeta menampilkan ritual suci diiringi oleh musik sakral. Kedua penguasa itu lagi-lagi berdampingan ketika memasuki paviliun, untuk bersulang kepada para juara dan menyaksikan para joki menerima penghargaan.
Secara resmi, penganugrahan tropi untuk para juara akan dilakukan pada perjamuan musim gugur, ketika mereka mendapatkan hasil taruhan mereka"timbunan emas, gulungan sutra, dan wewangian langka. Dalam pesta yang berlangsung semalaman itu, para samurai dan bangsawan diperkenankan untuk minum sake sepuasnya. Para juara dan mereka yang kalah menari dan menyanyi bersama-sama. Kemenangan adalah awal dari kekalahan, kekalahan adalah awal dari kemenangan. Itu adalah hukum alam, Roda Kehidupan Buddha yang akan selalu berjalan. Bagi para bangsawan yang bermandikan sake, kehidupan adalah kenikmatan, dan kenikmatan adalah kehidupan. Apakah makna kemenangan, atau kekalahan" Bukankah Fujiwara telah berkuasa selama tiga ratus tahun, dan bukankah
kesuksesan dan lebih banyak kesuksesan lagi selalu menyertai mereka selama beberapa generasi"
Hari pacuan kuda Kamo ini hanyalah selingan dalam perjalanan panjang untuk mengejar kenikmatan hidup. Di atas pepohonan sakura yang sarat dedaunan tampaklah bulan. Kereta terbuka Kaisar dan kereta tertutup Mantan Kaisar berderak menjauhi lintasan, diikuti oleh kereta-kereta para bangsawan dan pejabat istana.
Tadamori meninggalkan Istana pada larut malam dengan senang hati, karena Mantan Kaisar ceria sepanjang hari itu. Mokunosuke biasanya menyambut majikannya, membawakan kudanya, namun kali ini Tadamori mendapati Kiyomori menunggunya di Pangkalan Pengawal.
"Di mana Mokunosuke?" tanyanya.
"Dia ada di sini tadi, tapi aku menyuruhnya pulang dan mengatakan kepadanya bahwa akulah yang akan menunggu Ayah," jawab Kiyomori.
Sambil memanjat pelana kudanya, Tadamori berkata,
"jadi, kau menungguku. Kau tampak lelah, Heita."
Kiyomori memegang tali kekang erat-erat dan mendongak, menatap ayahnya di bawah gemerlap cahaya bintang. Haruskah dia memberi tahu ayahnya" Dia harus bicara, meskipun ini akan menyakiti ayahnya. Kiyomori telah menyuruh Mokunosuke pulang dan menantikan kesempatan untuk bisa berbicara empat mata dengan ayahnya. Jika Tadamori tidak melihatnya siang tadi, lebih baik dia tutup mulut, pikirnya. Kendati demikian, dia yakin bahwa ayahnya melihatnya dari kejauhan. Ayahnya tidak akan mengungkit-ungkit hal itu, karena Tadamori selalu menyimpan kesepian dan kesedihannya sendiri. Mengapa dia menghendaki kegelapan menaungi ayahnya lagi"
Menimbang-nimbang hal itu di dalam hati, Kiyomori mendapati bahwa kuda yang dituntunnya sudah hampir membawa mereka tiba di Imadegawa, dan dia pun memutuskan untuk berbicara kepada ayahnya.
"Ayah, apakah Ayah melihat Ibu di pacuan kuda tadi?"
"Sepertinya begitu."
"Sebenarnya aku tidak ingin menemuinya lagi, tapi dia memanggilku sehingga kami akhirnya bertemu."
"Begitukah?" kata Tadamori, memicingkan mata dan menatap putranya lekat-lekat. Melihat ayahnya sepertinya tidak gusar, Kiyomori melanjutkan dengan sedikit nada menyesal:
"Dia kelihatan muda, seperti biasanya, tidak beda dengan perawan kuil atau dayang-dayang. Tapi, aku tidak meneteskan air mata untuknya. Aku tidak bisa merasakan bahwa dia adalah ibuku."
"Aku menyesal mendengarnya, Heita," jawab Tadamori dengan tenang.
"Mengapa begitu, Ayah?"
"Tidak ada yang lebih mengibakan daripada seorang anak tanpa ibu, Heita. Bahwa kau menemuinya dan memaksa dirimu untuk tidak mengakui ibumu sendiri adalah hal terkeji yang pernah kudengar."
"Aku adalah anakmu. Aku bisa hidup tanpa ibu!" jawab Kiyomori dengan garang.
Sosok di atas kuda itu menggeleng. "Kau salah, Heita.
Jika ada yang mengeraskan hatimu, akulah yang patut disalahkan, karena aku telah membiarkan anak-anakku melihat pertengkaran tanpa henti kami di sebuah rumah tanpa cinta. Akulah yang menjadikan ibumu tampak
rendah di matamu. Ini adalah kesalahanku. Tidak wajar jika seorang anak bersikap sepertimu. Jujurlah, Heita, jika kau memang ingin menemui ibumu, temuilah dia."
"Bagaimana mungkin perempuan itu menjadi ibuku" Dia telah mengkhianati suaminya dan tidak mencintai anak-anaknya, dan yang ada di dalam pikirannya hanyalah memuaskan nafsu sesatnya!" Kiyomori menyanggah.
"Kau tidak boleh membicarakan dia seperti aku, Heita.
Kau tidak punya alasan untuk mengatakan hal-hal semacam itu tentang dia. Kau dan dia akan selamanya menjadi anak dan ibu. Cinta yang bisa memaafkan segalanya adalah cinta sejati, dan itulah yang pasti akan menyatukan kalian kembali."
Kiyomori tidak menjawab. Sulit baginya untuk memahami ayahnya. Apakah karena ayahnya terlalu bijaksana, atau dia yang masih terlalu muda untuk mengerti"
Ketika mereka tiba di rumah, Mokunosuke, Heiroku, dan beberapa pelayan lain menyambut mereka di gerbang.
Cahaya berpendar di kebun yang tidak terawat dan kandang kayu sederhana yang tersapu bersih. Kehidupan yang sederhana, harmonis, dan teratur ini baru mulai mereka rasakan tiga bulan yang lalu. Kiyomori memikirkan alasan yang bisa membuatnya menyesali kepergian ibunya. Tidak ada ruang untuk perasaan kesepian di hatinya sekarang, namun mengapa ayahnya tidak bisa memercayainya".
-0ood-e-oo0- BAB IV-SEORANG WANITA YANG
BERMANDIKAN CAHAYA REMBULAN
Tahun itu. pada pertengahan bulan Agustus, Genji Wataru mengundang sepuluh orang teman terdekatnya di Kesatuan Pengawal untuk datang dan menikmati seguci besar sake bersamanya sembari memandang bulan dari kebunnya. Teman-temannya, bagaimanapun, mengetahui bahwa ada alasan lain yang mendasari undangan ini. Pada musim gugur. Kaisar dan Mantan Kaisar akan melakukan perjalanan ziarah ke Kuil Ninna-ji. Mereka juga akan menghadiri pacuan kuda yang diselenggarakan di kompleks kuil. Tanggal resmi acara tersebut sudah diumumkan"23
September"dan teman-teman Wataru tahu bahwa dia telah menanti-nantikan dengan tidak sabar kesempatan untuk membuktikan kemampuannya bersama si kuda hitam dengan tanda putih di kaki-kakinya.
"Ini adalah acara minum-minum untuk kesuksesannya,"
teman-teman Wataru saling berkasak-kusuk. Salah seorang dari mereka menambahkan dengan nada bercanda, "Dia khawatir dikatai pelit, karena sudah menjadi tradisi bagi para penunggang kuda untuk mengadakan pesta besar-besaran bagi teman-teman dan kerabatnya setelah "ritual cambuk* dilakukan. Wataru membenci para pendeta. Dia mencela-cela para "Buddha suci" itu, begitulah dia menyebut mereka dan mengatakan bahwa dia tidak membutuhkan bantuan mereka. Maka, alih-alih mengadakan upacara dengan doa-doa dan mantra-mantra, serta sebuah perjamuan besar, dia menyelenggarakan pesta melihat bulan ini!" Ucapan itu disambut dengan gelak tawa.
Salah seorang pengawal berkata, "Dengar, kalian tahu bagaimana perasaannya kepada istrinya, Kesa-Gozen, yang pernah menjadi dayang di Istana Kekaisaran. Saking terpesona kepada istrinya, saat dia bertugas jaga malam,
pikirannya selalu terbang ke rumahnya. Kami pernah meminta untuk dipertemukan dengan istrinya, tapi dia cuma tersenyum dan mengatakan bahwa "cinta rahasianya"
tidak untuk dipertontonkan, dan sebagainya. Kurasa dia ingin mempertemukan kita dengan istrinya malam ini."
Masih sambil berkasak-kusuk dan bercanda, para pengawal itu tiba di rumah Wataru, yang gerbangnya terbuka lebar menyambut mereka dan tatanan batu di jalan masuknya telah disiram dengan air. Berkumpul di ruang tamu Wataru, para pemuda itu menutup mulut dan bersikap kaku ketika berbaki-baki makanan disajikan. Baru ketika sake dikeluarkan mereka kembali bersikap santai, lalu meneruskan obrolan dan gurauan mereka.
Heita Kiyomori dan Sato Yoshiko juga hadir di sana.
Kiyomori tidak melihat Morito, dan hendak menanyakan tentang hal ini, namun mengurungkan niatnya. Akhir-akhir ini dia merasakan bahwa hubungan Wataru dan Morito tidak sebaik dahulu. Yang lain sepertinya tidak menyadarinya, namun Kiyomori sering memikirkan apakah dia hanya membayangkan hal itu, karena dia menjaga jarak dengan Morito sejak pemuda itu menceritakan kepadanya rahasia aneh menyangkut kelahirannya. Perilaku Morito merisaukan Kiyomori. Dia mengkhawatirkan Morito karena dia tahu bahwa di dalam diri temannya itu, sifat baik sedang berperang melawan hawa nafsu primitif yang ganas.
Selain itu, dia juga sering melihat tatapan culas yang terpancar di mata Morito setiap kali Kiyomori menghabiskan waktu bersama Wataru. Tatapan itu berlawanan dengan pembawaan ceria Morito. Akhir-akhir ini, Morito bahkan sering terlihat berkeliaran dengan mata merah dan pipi kasar, sehingga Kiyomori menarik kesimpulan bahwa dia kelelahan, entah karena belajar terlalu keras atau terlalu banyak minum dan melakukan
pemborosan. Dia menyimpulkan bahwa Wataru bermusuhan dengan Morito sehingga tidak
mengundangnya. Sake diedarkan, dan para samurai muda itu menikmati waktu mereka. "Ayo, Tuan Rumah," seru mereka,
"bukankah sekarang saatnya istrimu ditampilkan"
Berhentilah membuat kita penasaran!"
Wataru menyodorkan sake kepada Yoshikiyo, yang cangkirnya masih kosong.
Akhirnya mengangkat cangkirnya, Yoshikiyo berkata kepada Wataru. "Aku pernah menonton sebuah lomba puisi di Istana KJotster. ketika seorang gadis bernama Kesa-Gozen mendapatkan sambutan hangat berkat puisi yang ditulisnya, jadi dia tidak sepenuhnya asing bagiku.
Sekarang, setelah dia menjadi nyonya rumah di sini, aku ragu apakah dia masih sempat menulis puisi. Sayang sekali jika bakat sebesar itu disia-siakan! Kau harus mengizinkannya menghadiri pesta-pesta puisi, Wataru, karena kita, para samurai brutal ini, tidak tahu apa-apa soal dunia sastra dan, yang lebih parah lagi. membencinya "
Bolehkah aku mengatakan, karenanya, bahwa samurai ini dan istri pujangganya bagaikan sebuah lukisan indah"
seperti pohon pinus dan bunga krisan"pasangan yang paling serasi" Mereka iri kepadamu. Bisakah kau menyalahkan mereka karena kecemburuan mereka kepadamu?"
Yoshikiyo tertawa terbahak-bahak. Sake menjadikannya lebih cerewet dan ceria daripada biasanya. Para tamu yang lain berlomba-lomba menimpali ucapannya dengan riuh rendah, "Yoshikiyo, membicarakan puisi lagi" Setiap kali orang ini membuka mulut, sake kita langsung dingin!"
"Ayo, ayo, tuan rumah yang baik, keluarkanlah pertunjukan utamanya!"
"Cepat, bawa dia ke hadapan kami"teman-temanmu!"
Dengan gaduh, mereka memohon dan menuntut agar V^taru mengeluarkan istrinya, hingga akhirnya si tuan rumah bertanya, "Haruskah aku memanggil geisha untuk menghibur kita di rumahku yang sederhana ini?"
"Tidak, tidak! Biarkanlah kami melihat sekilas istrimu"
Kesa-Gozen"dia pasti lebih cantik dari semua geisha terkenal di seluruh ibu kota ini!"
Wataru, tergelak, memohon ampun, memprotes, "Dia pemalu" dia tidak mau keluar dari dapur, tempat dia sedang menghangatkan sake untuk tamu-tamuku dan sibuk memuaskan mereka. Kurasa dia tidak akan mau keluar dan membiarkan lampu-lampu ini tersorot kepadanya."
"Kami lebih memilih melihat cahaya dapurmu daripada cahaya bulan musim semi," para tamu bersorak-sorai. Salah seorang dari mereka bangkit dan berjalan ke dapur, namun Wataru cepat-cepat mengejarnya dan menyeretnya kembali ke ruang tamu dengan janji akan membawa istrinya keluar.
Para tamu terus menuntut Wataru, yang belum terlalu mabuk. Meyakinkan mereka bahwa dia akan menampilkan istrinya seperti layaknya istri seorang samurai, Wataru memohon kepada mereka untuk bersabar sedikit lebih lama dan meninggalkan ruangan. Ketika muncul kembali, dia duduk di beranda yang menghadap ke kebun, mengatakan:
"Kuda hitam yang kalian ketahui menjadi tanggung jawabku sekarang sudah menunjukkan tanda-tanda seekor kuda jawara. Aku berharap ia bisa mengikuti pacuan kuda Ninna-ji ketika Kaisar berziarah ke sana, dan malam ini, aku ingin merayakan peristiwa ini bersama kalian.
Sekarang, katakanlah pendapat kalian tentang kuda itu."
Para tamu Wataru terdiam. Mereka tahu bahwa Wataru telah melatih kuda itu habis-habisan, bahkan rela mempertaruhkan reputasinya sendiri demi kuda itu. Tanpa memprotes Wataru karena melanggar janji yang baru diucapkannya beberapa waktu yang lalu, mereka serempak berkata, "Mari kita melihatnya!"
Mengikuti Wataru, mereka duduk di beranda, menghadap ke kebun dalam yang mungil. Rembulan Agustus memancarkan cahaya yang cukup terang sehingga mereka bisa melihat kuda itu. Wataru memandang kebun dan memanggil seseorang.
Bunyi tak, tik, tuk terdengar semakin nyaring ketika langkah kuda mendekat. Jangkrik berhenti mengerik.
Semak-semak di dekat pagar bambu bergemerisik; butiran-butiran embun menetes dari dedaunan dengan bunyi menyerupai mutiara yang berhamburan. Gerbang kebun terayun dan seorang wanita muncul, menarik tali kekang seekor kuda hitam. Tanpa suara, dia melangkah memasuki sorotan sinar bulan dan berhenti tepat di tengah-tengah kebun.
Para tamu menahan napas dan diam seribu bahasa"
terkejut, senang, dan terpesona.
Di sana. bermandikan cahaya bulan, berdirilah kuda itu.
Bulu hitam legamnya berkilauan bagaikan bulu gagak.
Seekor binatang anggun dengan kaki-kaki jenjang dan otot yang kokoh. Dibandingkan dengan musim semi lalu.
penampilannya telah sangat jauh berubah. Ekornya yang panjang nyaris menyentuh tanah, dan keempat tanda putih di kakinya berkilauan seolah-olah ia menebarkan salju.
Para tamu, bagaimanapun, tidak memandang kuda itu, tetapi sosok yang berdiri diam dan membungkuk di hadapan mereka. Diakah Kesa-Gozen"
Wanita itu tidak tampak pemalu. Seulas senyum tersungging di wajahnya ketika dia menoleh ke arah kuda di dekatnya, menenangkannya hingga ia berdiri diam.
Efek cahaya bulankah yang menjadikan wanita itu terlihat seperti Kannon di Bangsal Mimpi" Jemarinya tampak putih bersih hingga ke ujung-ujungnya, dan rambut panjangnya sama halusnya dengan bulu kuda.
"Ah," Kiyomori mendesah, "aku juga mau punya istri, asalkan masih ada wanita seperti dia di dunia ini!" Dia menelan ludah dan tersipu malu gara-gara bunyi tegukan yang terdengar dari tenggorokannya.
Malam demi malam yang bergelimang cahaya bulan berlalu. Di perbukitan dan dataran, rusa-rusa bersetubuh dan tupai-cupai berlompatan di antara sulur-sulur anggur liar. Semua binatang sepertinya larut dalam keindahan bulan.
Kiyomori, duduk di rumahnya, merasa gelisah. Dia menyaksikan adiknya menekuni buku-bukunya dengan bantuan sebuah lentera kecil yang terpasang di dekat meja tua yang ditinggalkan oleh ibu mereka, dan tergoda untuk mendampratnya. Lihatlah Tsunemori" pemuda berumur delapan belas tahun"yang tidak pernah sedikit pun memikirkan perempuan! Kiyomori menghela napas untuk adiknya yang mengenaskan. Seluruh isi buku-buku anak malang itu telah diketahuinya. Dia mengamati Tsunemori.
Adiknya itu telah hanyut, pikir Kiyomori, sepertinya sangat banyak samurai muda akhir-akhir ini, dalam kegilaan meminjam buku dari perpustakaan Akademi Kekaisaran dan perguruan tinggi"karya-karya klasik Konfusius yang dikemas dalam jilidan Sung dari Cina, yang telah teronggok begitu saja di rak-rak berdebu selama dua ratus tahun.
Apakah yang mungkin dianggap menarik oleh Tsunemori dari Analek atau Kitab Yang Empat karya Konfusius"
Kiyomori sendiri tertidur sambil berpura-pura mendengarkan ketika mengikuti pelajaran tentang Konfusianisme. Ajaran Konfusius hanyalah ornamen, ditujukan untuk meningkatkan ketertarikan kepada orang-orang yang berkedudukan tinggi, dan mewajibkan kepada para samurai dan rakyat jelata untuk mematuhi golongan di atas mereka. Berdasarkan apakah Konfusius menjabarkan berbagai aturan tentang perilaku manusia itu" Apakah yang digemari Konfusius sepanjang kehidupannya, atau kebaikan apakah yang pernah dilakukannya" Apakah karena dirinyalah pertumpahan darah di Cina berakhir" Para pencuri menjadi jujur" Para penipu bertobat" Ajaran paling sakral sekalipun bisa dijelek-jelekkan dalam sebuah perdebatan dengan seorang penjahat ulung sehingga menjadi tidak berarti bagi manusia.
"Adik tolol!" Kiyomori akhirnya berkata. "Mengapa menjejali otak tumpulmu dengan omong kosong semacam itu" " Ada ruangan di Istana Kekaisaran yang seluruh dindingnya tertutup oleh lukisan orang-orang bijak dan ajaran-ajaran mereka; orang-orang percaya bahwa hanya dengan duduk di ruangan itu. kebijaksanaan mereka akan bertambah, jadi, kau juga memenuhi kepalamu dengan ajaran seperti itu" Dasar tololi Kita bukan bangsawan!
Mereka sudah memberi kita makanan, dan jika mereka memerintah kita, bukankah kita sudah seharusnya langsung keluar dan membunuh orang-orang yang tidak membahayakan kita sekalipun" Bukankah kepada mereka kita mengabdi" Tinggalkan buku-buku itu"abaikan sekarang".
Kiyomori berbarang telentang di ambang pintu; setengah bagian atas tubuhnya berada di kamar, dan kedua kakinya menjuntai melewau teptan beranda. Dia memandang Tsunemori yang sedang menekuni buku-bukunya,
sementara nyamuk-nyamuk berdengung di sekeliling tubuhnya yang terlindung bayangan. Kiyomori sedang kesal dan mudah meledak; ayahnya telah masuk ke biliknya sejak lama. semua pelayan telah tidur, namun Tsunemori masih terjaga hingga larut malam. Dengan menjengkelkan, dia menolak untuk menemani Kiyomori berjalan-jalan malam.
Sungguh menyebalkan, adiknya ini, sungguh berbeda perangainya dengan dirinya, meskipun mereka terlahir dari rahim yang sama. Pikiran-pikiran buruk mulai menggelitik benak Kiyomori, seperti tetesan air hujan di atap yang bocor. Dia berpikir, apakah sifat mereka berbeda lantaran ayah mereka berbeda. Pikiran ini membuatnya melupakan ketakutannya kepada Tadamori dan kekesalan yang dirasakannya kepada adiknya. Dia pun menguap lebar, laki menggumam kepada dirinya sendiri. "Ya sudah, aku akan pergi sekarang. Bulan maian ini sangat cemerlang." Dia tiba-tiba berdiri dan menyelipkan kakinya ke sepasang sandal yang basah oleh embun di bawah beranda."Mau ke mana?"
"Aku sedang berusaha memutuskannya," jawab Kiyomori.
"Tapi, di malam selarut ini?"
"Beberapa pengawal berjanji untuk menemui Wataru saat bulan bersinar terang, karena dia akan melatih kudanya."
Tsunemori bertanya dengan heran. "Apa" Melatih kuda di malam selarut ini?"
"Wajar saja jika para penunggang kuda melatih kuda mereka secara diam-diam sebelum mengikuti pacuan."
"Kau berbohong!"
"Apa?" tukas Kiyomori dengan marah, memandang lingkaran cahaya terang di sekeliling lentera.
Tsunemori cepat-cepat meninggalkan mejanya untuk menghampiri kakaknya dan berbisik, "Sampaikan salamku kepada Ibu. Maukah kau memberikan ini kepada beliau?"
Kiyomori terenyak ketika merasakan surat yang diselipkan oleh adiknya ke bagian depan kimononya.
"Kau sudah mendapatkan izin untuk menemui beliau, bukan" Aku juga ingin menemui beliau. Walaupun telah meninggalkan Ayah, beliau masih ibu kita. Aku akan menunggu hingga waktuku untuk menemui beliau tiba.
Sampaikanlah perkataanku ini kepada beliau " Semua itu sudah kutulis di dalam suratku."
Air mata mengalir di pipi Tsunemori. Kiyomori melihat cahaya bulan terpantul di setiap tetesan air mata adiknya.
Konyol sekali! Untuk apa dia mengejar-ngejar ibunya"
Kiyomori tersentuh oleh air mata adiknya, lalu berkata dengan lembut:
"Kau salah, Tsunemori. Aku akan memenuhi janjiku kepada Wataru."
"Jangan coba-coba membohongiku," Tsunemori bersikeras, "ada tamu yang mengatakan kepada Ayah bahwa mereka melihatmu berkeliaran di dekat kediaman Nakamikado."
"Tidak! Siapa yang menceritakan khayalan seperti itu kepadamu?"
"Fujiwara Tokinobu. Beliau adalah salah seorang dari beberapa pejabat istana yang dipercaya oleh Ayah, dan aku tidak meragukan kata-katanya." jawab Tsunemori.
"jadi, si kakek itu sering datang kemari akhir-akhir ini, ya?"
"Ada hal-hal yang tidak bisa dibicarakan di Istana, dan karena itulah beliau datang kemari."
Kiyomori menggaruk-garuk kepalanya. "Tertangkap basah! Kalau ada banyak orang yang tahu, sebaiknya aku mengaku saja. Aku akan menyampaikan suratmu kepada Ibu, Tsunemori. Aku juga akan memberitahumu bahwa Ayah mengizinkanku menemuinya jika aku mau."
"Kalau begitu, bawalah aku bersamamu!" Tsunemori memohon.
"Dasar dungu!" Kiyomori menyembur dengan kesal.
"Apa kau tidak memikirkan Ayah" Jangan ceritakan kepada beliau tentang jalan-jalan malamku, dan ingatlah"tidak sepatah kata pun kepada Mokunosuke!"
Kiyomori melompati pagar. Wajah adiknya yang basah oleh air mata seolah-olah melayang-layang di depannya, namun dia segera melupakannya. Di atasnya, terbentanglah Galaksi Bima Sakti. Angin malam mendinginkan suasana hatinya yang panas. Ke manakah dia akan pergi" Dia tidak tahu. Apakah yang menyebabkannya begitu gelisah malam ini" Apa pun itu, itulah penyebab mimpi buruknya, pemicu kegilaannya, air matanya, membuatnya tidak bisa tidur, hingga dia merasa putus asa. Dia meyakini adanya Tuhan, seperti halnya para penganut Buddha yang berdoa agar kehidupan mereka sejahtera. Dia menyiksa dirinya dengan memikirkan pria yang telah mewariskan darah liar kepadanya. Apakah kegilaan ini diwariskan oleh ibunya atau almarhum Kaisar" Jika begitu, siapakah yang bertanggung jawab atas tindakannya" Dia tidak memiliki keberanian untuk seorang diri mendatangi rumah bordil di Jalan Keenam, namun seandainya Morito ada di sini
sekarang, dia akan langsung mendatangi wanita-wanita itu, wanita yang mana pun, atau bahkan seekor rubah yang menjelma menjadi wanita dibawah sinar rembulan. Apa pun"sapa, pun yang bisa meredakan gejolak yang membabi buta di dalam dirinya bagaikan binatang buas.
Ilusi apa pun yang bisa menenangkannya, menidurkannya Menyentuh seorang wanita " bertemu dengan seorang wanita secara kebetulan.
Kiyomori seolah-olah berjalan dalam tidur. Dia tidak tahu bagaimana dia bisa tiba di sana. namun dia telah berdiri di luar pagar kediaman Nakamikado. Tidak ada gunanya"dia seorang pengecut! Pagar di sini jauh lebih tinggi daripada di rumahnya. Dia tahu bahwa bilik ibunya terletak di sayap timur. Dia masih mengingat perkataan ibunya di pacuan kuda Kamo?"Datanglah menemuiku "
Ruriko akan menemanimu.?"Ruriko, yang terlampau cantik dan berkelas untuk seorang pemuda samurai pemimpi biasa. Tidak ada alasan, bagaimanapun, mengapa dia tidak mencoba menemuinya sebagai alasan untuk mengunjungi ibunya. Bukan kasih sayang yang mendorong Kiyomori untuk mencari ibunya, melainkan mimpi-mimpinya.
Setiap kali dia tiba di sana, keberaniannya langsung menguap. Dia menyalahkan sifat pemalunya dan merasa tidak percaya diri akibat penampilannya. Berdiri di sana dalam balutan kimono tua dan sandal usang, berbagai cerita yang didengarnya setiap hari tentang para pejabat istana berkelebatan di benaknya" bangsawan yang bisa dengan mudahnya menculik seorang putri, menggendongnya melintasi padang rumput, tempat ilalang tinggi melambai-lambai dan bunga hagi bermekaran, menghabiskan malam berdua hingga bulan memucat menandai tibanya pagi dan tttesan embun berkilauan bagaikan permata di kelopak mata
sang putri, lalu menyusupkannya kembali ke rumahnya tanpa dilihat oleh siapa pun. Kiyomori memikirkan para pejabat istana yang bisa dengan santainya menjatuhkan surat-surat cinta di aula-aula Istana, tempat dayang-dayang berlalu lalang, dan menantikan datangnya malam untuk menyentuh rambut yang lembut dan bibir yang panas ".
Dia memikirkan mengapa takdir tidak menyodorkan hal-hal semacam itu kepadanya " Dia memang pengecut!
Seandainya saja dia bisa menyingkirkan sifat pemalunya!
Malam ini, dia bertekad untuk melawannya. Dia saat ini berdiri di puncak pagar, namun lagi-lagi, keraguan menghampirinya. Khayalan-khayalan liar bergejolak di otaknya yang panas. Tunggu! Angin sejuk menerpa tubuhnya yang berkeringat. Di tengah-tengah khayalan liarnya, kata-kata Mokunosuke tiba-tiba terngiang-ngiang di telinganya. "Siapa pun Anda, Anda adalah seorang pria.
Anda bukan seorang pincang di balik tubuh perkasa itu."
Apakah dia anak seorang kaisar atau anak siapa pun, bukankah dia tetap anak langit dan bumi" Yang sedang dilawannya saat ini adalah hawa nafsunya sendiri!
Dia mendadak ingin menertawakan dirinya, bertengger di pagar seperti itu. Dia mendongak untuk memandang Galaksi Bima Sakti yang terbentang di langit. Tidak buruk"tidak buruk sama sekali menghabiskan waktu seorang diri di bawah langit musim gugur yang luas itu!
Apakah itu" Lagi-lagi!
Di kejauhan, lidah api tampak menjilat langit. Kiyomori memandang ke arah sebentuk atap yang terletak di bagian dalam tembok kota. Tidak ada yang aneh"hanya peristiwa kebakaran biasa. Kebakaran sering terjadi akhir-akhir ini.
Ketika pendar merah menyebar, Kiyomori memikirkan entah berapa banyak rakyat jelata, bergelung dalam tidur yang gelisah sementara para bangsawan pongah
bergelimang kemewahan; kedua pemerintahan menyusun rencana untuk saling melawan, dan para pendeta bersenjata mengamuk. Api itu, yang berkobar dengan begitu ganasnya ke langit, adalah lidah-lidah rakyat yang kelaparan, kaum papa yang tidak memiliki apa-apa dan yang hanya bisa memprotes dengan cara membakar objek kebencian mereka. Dia teringat pada tindakan pembakaran yang baru-baru ini terjadi: Gerbang Bifuku, Wilayah Barat, vila Penasihat Tinggi. Lihatlah bagaimana kaum tertindas dan para bajingan, yang keberadaannya sangat tergantung pada kesejahteraan
Fujiwara, berjaya di bawah hujan abu dan perakan api pembumihangusan!
Kiyomori melompat turun dari tembok"di bagian luar"dan berlari ke arah keributan yang sekarang terdengar di jalanan.
^d^w^ Hujan musim dingin yang berkepanjangan dan tanpa jeda menimbulkan banyak keluhan, namun Sungai Kamo maupun Katsura tidak sampai meluap tahun ini. Dedaunan di Perbukitan Utara mulai berubah warna.
Acara ziarah ke Kuil Ninna-ji akan berlangsung sepuluh hari lagi, dan Kesatuan Pengawal Istana sibuk mempersiapkan diri. Meskipun tetap larut dalam kebimbangan, Kiyomori menyukai tugas barunya. Para samurai dari Golongan Keenam telah mempertimbangkan kedudukannya; dia sekarang ditugaskan menjadi pengawal kereta kekaisaran, dan dia bertekad untuk menjalankan tugasnya dengan sempurna. Dia tinggal di Istana hingga larut malam dan pulang ke rumah dalam keadaan terlalu lapar dan lelah untuk melamun.
Pada 14 September, sejenak setelah tengah malam, bunyi langkah kaki terdengar bergegas menghampiri kamar
Kiyomori. Heiroku si pelayan muncul, menyampaikan bahwa seorang kurir berkuda baru saja tiba dari Istana.
Sang tuan muda harus segera menyandang senjata dan melapor.
Mengapa dia mendapatkan panggilan mendadak"
Kiyomori melompat bangkit dari kasurnya. Bagaimanapun, dia tidak sepenuhnya terkejut Gigi Tsunemori bergemeiutuk, dan kata-kata meluncur dari mulutnya,
"Apakah ini"perang?"
"Entahlah. Apa pun bisa terjadi saat ini."
"Mungkinkah para biksu dari Gunung Hiei atau Kofukuji telah menyerbu ibu kota bersama pasukan tentara bayaran mereka untuk menuntut pemerintah lagi?"
kesejahteraan Fujiwara, berjaya di bawah hujan abu dan perakan api pembumihangusan!
Kiyomori melompat turun dari tembok"di bagian luar"dan berlari ke arah keributan yang sekarang terdengar di jalanan.
o0odwkzo0odwo0odwkzo0o Hujan musim dingin yang berkepanjangan dan tanpa jeda menimbulkan banyak keluhan, namun Sungai Kamo maupun Katsura tidak sampai meluap tahun ini. Dedaunan di Perbukitan Utara mulai berubah warna.
Acara ziarah ke Kuil Ninna-ji akan berlangsung sepuluh hari lagi, dan Kesatuan Pengawal Istana sibuk mempersiapkan diri. Meskipun tetap larut dalam kebimbangan, Kiyomori menyukai tugas barunya. Para samurai dari Golongan Keenam telah mempertimbangkan kedudukannya; dia sekarang ditugaskan menjadi pengawal kereta kekaisaran, dan dia bertekad untuk menjalankan tugasnya dengan sempurna. Dia tinggal di Istana hingga
larut malam dan pulang ke rumah dalam keadaan terlalu lapar dan lelah untuk melamun.
Pada 14 September, sejenak setelah tengah malam, bunyi langkah kaki terdengar bergegas menghampiri kamar Kiyomori. Heiroku si pelayan muncul, menyampaikan bahwa seorang kurir berkuda baru saja tiba dari Istana.
Sang tuan muda harus segera menyandang senjata dan melapor.
Mengapa dia mendapatkan panggilan mendadak"
Kiyomori melompat bangkit dari kasurnya. Bagaimanapun, dia tidak sepenuhnya terkejut Gigi Tsunemori bergemeiutuk, dan kata-kata meluncur dari mulutnya,
"Apakah ini"perang?"
"Entahlah. Apa pun bisa terjadi saat ini."
"Mungkinkah para biksu dari Gunung Hiei atau Kofukuji telah menyerbu ibu kota bersama pasukan tentara bayaran mereka untuk menuntut pemerintah lagi?"
mengelilingi istana, berharap bisa menangkap penjelasan atas pemanggilan mendadak ini dari dengung percakapan mereka.
"Kau tidak pernah bisa menebak tingkah manusia. Baru bulan lalu kami para pengawal berkumpul di rumah Wataru di jalan Iris"
Wajah"wajah"wajah. Tidak ada apa pun selain wajah-wajah penasaran dan riuh rendah pembicaraan.
"Ya, aku ada di sana malam itu. Kami mabuk dan menuntut Wataru untuk memperlihatkan kepada kami bulan di dapurnya alih-alih yang ada di kebunnya ?"
"Sangat Wataru, memperkenalkan istrinya dengan cara seanggun itu."
"Cahaya bulan sekalipun sepertinya terlalu terang untuknya saat dia menoleh tanpa senyuman ke arah kami."
"Dia begitu anggun, seperti sekuntum bunga peoni putih, meskipun dia baru saja keluar dari dapur ?"
"Seperti bunga-bunga pir yang bermekaran di musim semi?"
"Ah. mengenaskan sekali! Benar-benar mengenaskan!"
Di antara curahan perasaan yang lebih banyak daripada basanya di kalangan pengawal, salah seorang di antara mereka berkata dengan sedih, "Meskipun dia istri pria lain, aku sependapat bahwa kecantikannya tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Dan si Kata-Gozen Itu telah dibunuh ?"
Kiyomori tidak bisa memercayai pendengarannya Kesa-Gozan meninggal" Dibunuh" Gambaran wanita itu di hatinya begitu nyata sehingga dia menolak untuk memercayai bahwa Kesa-Goxen telah meninggal. Kejadian terburuk telah menimpanya. Kiyomori merasa lebih menghargai kecantikan Kesa-Gozen daripada semua pria yang ada di sana. Tetapi, Kesa-Gozen adalah istn orang lain, dan Kiyomori yakin bahwa dirinya bersalah hanya dengan memikirkannya. Sekarang, karena semua orang nrwnbicarakannyak dia tidak takut lagi untuk mengakui kepada dirinya sendin bahwa dia terpesona kepadanya.
Dengan kasar, da mendorong orang-orang yang menghalangi langkahnya ?eolah-olah tijUejar oleh urusan yang hanya melibatkan dirinya seorang,
"Benarkah ini" Apakah sudah pasti" Pembunuhnya-siapakah pembunuhnya?" Kiyomori menuntut penjelasan.
Seseorang berbicara kepadanya. "Ayahmu memanggil."
Kiyomori berputar dan bergegas berlari ke gerbang dalam, tempat ayahnya menanti. Dia tidak mengenali ayahnya, yang sedang berbicara dengan lantang.
"Berjaga-jagalah di ujung Jalan Kurama, di dekat Jalan Pertama," perintah Tadamori. "Periksalah semua orang yang melewatinya. Anggap semua orang sebagai tersangka.
Jangan lepaskan siapa pun tanpa diperiksa terlebih dahulu.
Jangan sampai si pembunuh berhasil melarikan diri. Dia mungkin menyamar, namun kau pasti akan |
mengenalinya." Kiyomori tidak sanggup menunggu lebih lama.
"Siapakah orang yang harus kita tangkap ini?" selanya sambil terengah-engah.


The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Seorang samurai, Endo Morito."
"Apa! Morito membunuh Kesa-Gozen?"
"Ya, diaJah pelakunya," jawab Tadamori dengan berat
"Dia telah mencoreng nama Kesatuan Pengawal Istana"
dan, di atas segalanya, karena jatuh cinta kepada istri pria lain."
Tepat ketika itu, paman Morito, Endo Mitsuto, bergegas melewati gerbang dalam, mengalihkan tatapan dengan wajah pucat pasi. Dia berlalu dengan cepat seolah-olah berniat melarikan diri, namun semua mata mencermatinya seolah-olah dirinya adalah kaki tangan si pembunuh.
Para pelayan bersenjata, selain pelayan-pelayannya sendiri, sekarang berkumpul di sekeliling Tadamori. Dia telah berdiskusi dengan penasihat Yang Mulia dan sekarang sedang bersiap-siap menjelaskan tentang rangkaian peristiwa malam itu kepada para anak buahnya.
Kesa-Gozen dibunuh pada malam hari tanggal 14 pada sekitar jam Anjing (pukul delapan malam). Lokasi sendiri di jalan Iris. Suaminya sedang pergi ketika itu.
Tidak ada yang mengetahui secara pasa kapan tepatnya Mor&o, yang mengenal ibu Kesa-Gozen, sebelum putrinya mentnggaffcan Istana untuk menikah atau segera setelah dia menikah dengan Wataru, jatuh cinta setengah mati kepada Kesa-Gozen.
Orang-orang percaya bahwa kepandaian luar biasa Morito. yang sudah diketahui secara luas, akan membawanya memenangi beasiswa kekaisaran dan memungkinkannya melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, tempat dia akan menjadi lulusan terbaik. Akhir-akhir ini, bagaimanapun, teman-temannya sesama pelajar dan pengawal mulai memandangnya dengan curiga dan menghindarinya karena Morito telah selama beberapa waktu bertingkah aneh.
Morito, yang berwatak asli giat dan pantang menyerah, bukan hanya seorang pelajar yang pandai melainkan juga pembicara yang fasih, pemberani, dan percaya diri, sehingga semua temannya merasa rendah diri jika berhadapan dengannya. Dalam urusan asmara, dia lebih dari sekadar percaya diri, dan saat terhanyut oleh hasratnya, fisik perkasanya menjadikannya pria yang tidak tertaklukkan"orang gila yang mengabaikan akal sehat Cintanya yang bertepuk sebelah tangan kepada Kesa-Gozen. gejolak asmara seorang pria yang tidak biasa mendapatkan penolakan, adalah nasib buruk Kesa-Gozen.
Dengan gairah meledak-ledak, Morito menyudutkan Kesa-Gozen sehingga dia ketakutan: menggertaknya dengan mengatakan bahwa dia akan menghajar Wataru jika Kesa-Gozen terus melawan, akhirnya ancaman itu menentukan jalan yang akan diambil oleh Kesa-Gozen. Secara diamdiam, Kesa-Gozen bertekad untuk mengadu tantangan Morito dengan salah satu tantangannya.
Morito, putus asa dan setengah gila, menuntut jawaban terakhir darinya, dan Kesa-Gozen telah siap memberikannya. Dia menyadari betul konsekuensi dari janji yang akan diberikannya kepada Morito, dan inikah yang dikatakannya:
"Tidak ada pilihan lain bagiku sekarang. Sembunyikanlah dirimu, pada malam hari tanggal 14, di kamar tidur suamiku, pada jam Anjing. Malam itu, aku akan mengawasinya ketika dia mandi dan mencuci rambut, memabukkannya dengan sake, lalu menemaninya hingga tertidur. Selama dia masih hidup, mustahil aku bisa mengabulkan keinginanmu. Aku akan menantimu di bagian lain rumahku setelah kau menghabisinya. Suamiku adalah seorang pemain pedang, yang tangguh; karena itu, mengendap-endapiah tanpa suara ke bantainya, rasakanlah rambutnya yang basah, dan penggallah kepalanya dalam satu tebasan. Kau harus membunuhnya hanya dalam sekali gerakan."
Dengan gugup. Morito menerima tantangan itu. Pada senja tanggal 14. da bertindak tepat seperti yang telah diinstruksikan oleh Kesa-Gazen. Karena tidak mengalami kesulitan apa pun, dia merasa tidak perlu memeriksa pemilik kepala yang rambut basahnya telah berada dalam cengkeramannya. Bagaimanapun, dia melangkah ke beranda untuk melihat kepala itu di bawah cahaya rembulan.
Dia menjerit. Terpaku. Kepala wanita yang dicintainya menggantung dari tangannya.
Di dalam petakan memilukan yang berasal dari lubuk hatinya yang terdalam, berbaurtah rasa malu, duka.
keputusasaan. dan siksaan luka abadi yang harus ditanggungnya sendiri. Dia rubuh ke lantai Seketika itu juga, kuda hitam di istal meringkik nyaring, menjejak-jejakkan kakinya dengan liar, dan terus meringkik.
Morito akhirnya berdiri. Mengerang tanpa arti ke arah kamar yang gelap, dia mengambil pedangnya yang dingin, yang lengket oleh rambut basah dan darah segar, dan mengempitnya di bawah lengannya, lalu melompat ke kebun, menebas setiap rumpun tanaman dan semak-semak yang menghalangi langkahnya, dan menghilang di kegelapan malam bagaikan jin jahat.
Tadamori memaparkan fakta-fekta yang sejauh ini celah dtaetahui tentang pembunuhan tersebut, menambahkan,
"Kejahatan ini tidak hanya melibatkan seorang wanita dan seorang samurai, Peristiwa ini menghadirkan bayangan gelap di Istana dan mencorengkan noda ke kehormatan para samurai Kesatuan Pengawai Istana. Kita akar lebih malu jika si pembunuh diadHi oleh Pengadilan Kekaisaran dan mendapatkan vonis dari para pejabat istana. Tanggung jawab kitalah untuk menangkap si pembunuh itu.
Siapkanlah penjaga di kedua belas gerbang kota; tempatkanlah pengintai di semua persimpangan jalan Kesembilan, dan kita bisa dipastikan akan berhasil menangkapnya."
Sosok-sosok yang berselimutkan bayangan gelap mendengarkan dengan penuh perhatian dan menanggapi perintah Tadamon dengan anggukan kepala. Kiyomori mengangguk dan mengecap rasa asin air mata yang jatuh ke bibirnya. Dia mendadak metihat cinta terpendamnya kepada Kesa-Gozen dengan sudut pandang baru.
Seandainya dia tersedot ke jalan Iris seperti Morito, Ia pun mungkin akan melakukan hal yang sama! Gila atau dungu, yang manakah dainya" Yang manakah Morito" Hatinya
mencelus ketika dia memikirkan kemungkinan dirinya menangkap Morito dengan tangan kosong, namun melihat teman-temannya menghambur kekar dengan penuh semangat dari gerbang pada pagi buta mengembalikan keberaniannya, sehingga Kiyomori pun melaju menembus kabut ke posnya di jalan Kurama, matanya nyalang dan mengilatkan perasaannya.
*d*w* Cerita tentang kematian Kesa-Gozen dengan cepat menjangkau semua telinga di Kyoto. Di mana-mana, semua orang membicarakannya. Orang-orang asing, begitu pula orang-orang yang mengenalnya, dengan sedih meratapi kepergiannya. mengecam Morito sebagai iblis"orang gila yang brutal. Mereka tidak bisa mengampuninya, kata mereka, dan semakin membencinya karena dia pernah sangat menjanjikan. Tetapi, lebih daripada rasa penasaran, kematian Kesa-Gozen menimbulkan kengerian dan keibaan yang kemudian menghadirkan kesadaran tentang betapa rendahnya sebagian besar orang memandang kesetiaan seorang wanita. Sebagian orang sama sekali tidak tergerak dan bergidik ketika memikirkan tentang apa yang telah dilakukan oleh Kesa-Gozen untuk mempertahankan kesuciannya.
Rakyat jelata di Shiokoji berduka untuknya. Bahkan para pelacur di Jalan Keenam, yang setiap malam menjajakan tubuh untuk mencari penghidupan, menyeka air mata dari wajah berdandanan tebal mereka untuk mengasihaninya, dan tidak sedikit di antara mereka yang secara diam-diam berbaur dengan massa yang menghadiri pemakaman Kesa-Gozen untuk menyampaikan ucapan selamat jalan kepadanya.
Para pejabat istana, dan para wanita dari golongan atas, juga tersentuh oleh cerita Kesa-Gozen, meskipun banyak di
antara mereka yang menanggapinya dengan sinis, karena di dalam kehidupan mereka yang bergelimang kemewahan, apakah yang menentukan harga seorang wanita jika bukan keanggunan, daya tarik, dan kepasrahannya untuk memberikan pelayanan kepada pria" Apakah, kata mereka, yang patut diagung-agungkan dari Kesa-Gozen, yang menjadikan nyawanya sebagai tameng bagi
kehormatannya" Bukankah sifat pemalunya sebagai seorang wanita yang mendorongnya untuk melakukan tindakan seekstrem ini" Beberapa orang mengatakan sambil mengangkat bahu bahwa dorongan yang dirasakan oleh seorang wanita untuk mati menggantikan suaminya di tangan seorang kekasih gila adalah pokok pembicaraan panas di kalangan para pejabat istana, dan bahwa jika perselingkuhan ini dianggap serius, maka ini adalah tanda-tanda kebobrokan Kesatuan Pengawal. Ada apa dengan para pengawal akhir-akhir ini, para samurai yang bertugas menjaga Istana atau dikirim sebagai pembawa pesan di antara Istana Kekaisaran dan Istana Kloister" Jika ada pengawal yang brengsek, jelas bukan Morito orangnya! Apa lagi yang bisa diharapkan dari para samurai itu" Bukankah beberapa hari telah berlalu sejak pemakaman Kesa-Gozen dan para pengawal belum menangkap pembunuhnya" Ini tidak bisa dimaafkan! Siapa yang bisa mengandalkan para samurai itu pada masa-masa berbahaya jika menangkap seorang pria gila saja mereka tidak sanggup"
Kasak-kusuk tak sedap segera menyebar, dan tuduhan-tuduhan kepada Tadamori dilayangkan oleh para pejabat istana. Tanggung jawab atas kejahatan itu ada di pundaknya. Apakah yang menyebabkan Yang Mulia begitu memercayainya" Bukankah dia Kepala Pangkalan Pengawal" Bukankah dia yang membujuk Yang Mulia untuk memilih kuda pembawa sial dengan tanda putih di kakinya itu" Dan, bukankah dia yang memberikan izin
kepada suami Kesa-Gozen untuk melatih kuda itu" Tidak diragukan lagi, Tadamori adalah sumber dari segala kemalangan ini! Bukankah mencemooh tabu adalah sebuah kejahatan" Bukankah dia bersalah atas penghinaan terhadap kepercayaan"
Para pejabat istana membicarakan tentang kesalahan Tadamori, bahkan merencanakan untuk menyeretnya ke pengadilan. Kekisruhan ini didengar oleh Mantan Kaisar.
Mantan Kaisar menyadari bahwa dirinyalah yang seharusnya disalahkan atas ledakan kemarahan yang tidak sepantasnya kepada Tadamori ini. Dia tidak hanya menghormati Tadamori tetapi juga menyayangi dan memercayainya jauh melampaui orang-orang lain.
Untuk menjawab tuntutan para pejabat istana. Mantan Kaisar mengatakan, "Beberapa hari lagi, kita berangkat ke Kuil Ninna-ji ". Mengenai penangkapan Morito"kita akan melanjutkan pembahasannya di lain waktu. Mengenai tuduhan bahwa Tadamori bertanggung jawab karena mengizinkan Wataru melatih kuda pembawa sial itu"
karena akulah yang mengeluarkan izin tersebut, maka kalian sebaiknya melayangkan tuduhan itu kepadaku."
Toba tertawa nyaring, berusaha meredakan kemarahan para pejabat istana. yang berhenti memberikan tekanan kepada Tadamori, meskipun hanya untuk sementara.
Tersebar kabar dari istana bahwa para penjaga di berbagai persimpangan ke Ibu kota akan ditarik keesokan harinya. Para penpwai yang telah bertugas selama tujuh hari marah dan kecewa. Kemanakah Morito pergi membawa kepala Kesa-Gozen" Apakah bymi telah terbelah dan menelannya, atau dia telah menghabisi nyawanya sendiri"
Sepertinya hanya keberadaan Montolah yang bisa mengakhiri misteri ini. Sejak malam pembunuhan itu, tidak
seorang pun melihat dirinya mau sosok yang sedikit banyak menyerupai dirinya. Kesatuan faksi mengirim pasukan mereka untuk menyisir seluruh Kyoto, namun mereka tetap tidak menemukan petunjuk tentang di mana dia bisa ditemukan.
Malam ini adalah malam terakhir para penjaga bertugas di persimpangan-persimpangan jalan di Kyoto.
"Adi sesuatu yang mencurigakan tentang Istana di bagian dalam Gerbang Barat Laut Tidak hanya karena paman Morito bertugas di sana. tetapi dia tentu juga masih memiliki beberapa teman lama disana".
Kiyomori. yang tanpa sengaja mendengar percakapan itu, terkejut. Dia sedang bertugas menjaga jalan Pertama bersama enam atau tujuh belas anggota pasukannya yang lain, sebagian di antara mereka menyamar.
Betul juga! Tidak terpikir olehnya untuk memeriksa lingkungan terdekatnya. padahal Morito pernah menjadi pengawal di Gerbang barat Laut sebelum ditarik ke Istana Kloister. Gerbang Barat Laut berjarak tidak terlalu jauh dari Istana Kloister. Kebanggaan membuncah didada Kiyomori ketika dia memikirkan kesuksesan yang akan dipegangnya.
Setelah memindahkan tombaknya ke tangannya yang lain, dia melambai kepada Heiroku, yang berdiri jauh dibelakangnya. dan berseru:
"Panggillah Mokunosuke kemari. Aku akan pergi ke Gerbang Barat Laut. Berjaga-jagalah di sini. Penjagaan akan berakhir malam ini."
Mokunosuke datang. "Ke Gerbang Barat Laut" Tuan Muda, urusan apakah yang hendak Anda selesaikan di sana?"
"Tua Bangka, aku mencium bau tikus di sana."
Mokunosuke, menautkan kedua alisnya, menggeleng perlahan. "Lebih baik jangan. Tidak akan ada gunanya bagi Anda jika mereka mendengar bahwa Anda melakukan pencarian ke wilayah keputrian."
"Apa masalahnya" Aku tidak mencurigai Kesa-Gozen."
"Lebih baik Anda menjaga tindakan Anda. Anda tahu bahwa masalah kecil sekalipun bisa menghasilkan sesuatu yang serius jika sudah menyangkut hubungan antara Istana Kekaisaran dan Istana Kloister."
"Aku tetap akan pergi, apa pun pendapatmu. Orang-orang mengatakan bahwa para pengawal di Istana Kekaisaran menertawakan kita dan bersumpah akan mendahului kita mendapatkan pembunuh itu. Ini adalah kesempatanku untuk menangkap Morito. Aku yakin Morito selama ini berdoa agar jika ada yang berhasil menangkapnya, akulah orangnya!"
Dengan telinga merah padam akibat bayangan liar tentang kesuksesan, Kiyomori melirik Mokunosuke dengan sinis. "Saat menyadari bahwa dirinya sudah tersudut, Morito akan memikirkan aku. Aku bahkan bisa merasakan dirinya menantikanku! Mokunosuke, jika ayahku datang, katakanlah kepada beliau ke mana aku pergi."
Gerbang Barat Laut berada dekat dari jalan Pertama, dan untuk menghalau kekhawatiran Mokunosuke, Kiyomori berangkat ke sana dengan berjalan kaki. meninggalkan tombaknya.
Istana Kekaisaran berdiri di wilayah utara pusat kota, di dalam sebuah kompleks tertutup berbentuk persegi empat, berukuran sekitar satu mil kali tiga per empat mil, dan menampung setumiah besar bilik tempat tinggal, aula-aula upacara, dan banyak badan pemerintahan. Tepat di luar kompleks itu terdapat sejumlah istana kecil dan kediaman
para bangsawan, begitu pula perguruan tinggi, yang terhubung dengan Gerbang Selatan. Kompleks tersebut memiliki dua belas buah gerbang dan dua gerbang samping tambahan"Gerbang Timur Laut dan Gerbang Barat Laut.
Gerbang Barat Laut merupakan jalan masuk menuju istama tempat Kesa-Gozen pernah mengabdi.
Kiyomori merasakan adanya cukup alasan untuk menyelidiki tempat itu. Barangkali si tersangka dan penolongnya menganggap tempat ini akan terbebas dari pencarian. Pikiran itu mendorong Kiyomori untuk mempercepat langkahnya. Ketika memasuki ruas jalan yang lebar dan bersih dan dipagari oleh pohon-pohon pinus, Kiyomori mendengar teriakan-teriakan dan perintah baginya untuk menghentikan langkah. Dengan ekspresi kesal, Kiyomori menoleh.
"Aku" ?" Dia baru menyadari bahwa para pengawal di sini juga melakukan pengawasan. Dengan gagah, dia berjalan menghampiri mereka.
"Kembalilah! Keluar!" sembur para pengawal kepadanya, menghalangi langkahnya tanpa repot-repot menanyakan namanya.
Kiyomori dengan keras kepala menjawab, "Aku akan masuk! Aku datang untuk menyelesaikan sebuah urusan penting." Dia menaikkan alisnya. "Kalian pasti tahu bahwa aku mengabdi kepada Yang Mulia Mantan Kaisar Toba.
Untuk apa aku mengganggu Tuan Putri?" semburnya, wajahnya merah padam. Para pengawal Istana Kekaisaran menganggapnya sebagai seorang pemuda yang beringas, dan situasi itu dengan cepat memanas; Kiyomori sedang berhadapan dengan enam atau tujuh belas pengawal, ketika seorang samurai berusia setengah baya, mungkin seorang
perwira senior, muncul dan berdiri sejenak untuk mengamati kekacauan itu. Kemudian, dia mendekati Kiyomori dari belakang, menghantam pelindung dadanya kene-kene, dan berbicara kepadanya seolah-olah kepada seorang bocah.
"Jadi, kaukah itu, Heita" Mengapi kau marah-marah seperti itu" Apa yang kauributkan sehingga sikapmu menjadi selancang itu?"
"Ah ?" Kenangan tentang angin ganas di bulan Februari, hari yang sangat menyedihkan, perut kosong yang melilit, dan uang pinjaman bedebah tiba-tiba melintasi benak Kiyomori. "Andakah itu. Paman" Betul! Dan ini pasukan Paman" Aku memang sudah merasa mengenali beberapa pelayan Paman di antara mereka."
Lebih daripada merasa konyol karena penampilannya, Kiyomori terbakar amarah karena memikirkan bahwa orang-orang itu telah menghinanya dengan berpura-pura tidak mengenalinya. Dia tidak pernah bisa memikirkan pamannya"begitu pula bibinya"tanpa merasakan matanya berkaca-kaca; entah sudah berapa kali dia mendatangi rumah mereka di Horikawa untuk meminjam uang; mendengarkan mereka mencaci maki orangtuanya; menerima kritikan dan keluhan tanpa akhir mereka.
Dengan pahit, dia mengingat bagaimana dirinya selalu terlihat seperti kambing melarat di hadapan pamannya.
Rupanya sudah menjadi takdirnya untuk selalu diremehkan dan diabaikan sebagai seorang manusia.
"Ayolah, Heita, apa maksudmu dengan mengatakan
"betul?" Kami sudah lama tidak melihatmu di Horikawa"
bukannya kami akan menyambut gembira kunjunganmu "
Penampilanmu yang mengenaskan, harus kukatakan, memberikan hiburan bagiku"
Kiyomori merasa lemas. Dia telah dengan pongah bertindak atas nama Kesatuan Pengawal Istana Kloister, dan sekarang siap merangkak memasuki lubang.
Menyingkirkan kehormatan dan kemarahannya, Kiyomori dengan lirih menjawab: "Apakah mungkin terjadi?"
Pamannya, sementara Itu, meminta keterangan singkat dari anak buahnya tentang apa yang telah terjadi dan menduga apa yang sedang dicari oleh Kiyomori.
"Mustahil! Tentu saja mustahil! Apa maksudmu memaksa masuk kemari" Kau sama keras kepalanya dengan ayahmu" Mengapa kau harus mewarisi sifat-sifat buruk ayahmu" Pulanglah sekarang Juga!" sembur pamannya.
Tepat ketika itu, Tadamasa melihat kereta seorang pejabat istana masuk melalui Gerbang Barat Laut dan bergegas meninggalkan Kiyomori. tepat pada waktunya untuk membungkuk memberi hormat ketika kereta melewatinya.
Kiyomori membalikkan badan dan berjalan menjauh. Ini tidak terhindarkan. Dia merasa mendengar para pengawal menertawakannya di belakang punggungnya. Kemudian, dia mulai memikirkan kereta siapa yang baru saja dilihatnya. Ketika menatap ke sekelilingnya, dia melihat seekor sapi mendekatinya. Matahari yang mulai tenggelam memancarkan sinar menyilaukan ke badan dan gagang penarik kereta indah yang bertatahkan hiasan perak dan emas. Kerai bambu yang menutupi kereta itu setengah terbuka. Itu bukan kereta Putri, namun penumpang di dalamnya tidak terlihat oleh Kiyomori, kecuali seorang bocah penarik sapi yang berjalan di samping kereta, mengusir lalat yang beterbangan di sekelilingnya. Kiyomori berhenti di bawah naungan pohon cedar dan menunggu kereta itu melewatinya. Ketika kereta itu ada di depannya, Kiyomori dengan berani memandangnya. "Oh! "r
Dia merasa mendengar sebuah suara. Seseorang menggulung kerai ke atas dan memerintahkan kepada si bocah penarik sapi untuk berhenti. Wanita itu mencondongkan tubuh ke luar dari kereta dan memanggil namanya.
"Ibu!" Kiyomori serta merta menjawab dan melompat mendekati salah satu gagang penarik kereta. "Inikah kereta yang baru saja keluar dari Gerbang Barat Laut" Ibukah yang ada di dalamnya"**
"Mengapa, apa maksud pertanyaanmu itu" Kau tidak pernah senang jika bertemu denganku, di mana pun tempatnya."
Yasuko mengenakan kimono wanita bangsawan istana dan, seperti biasanya, menunjukkan sikap anggun. Dalam balutan kimonobernuansa cerianya, dia tampak lebih muda dan eanflfc daripada yang pernah diingat oleh Kiyomori- "
di rumah, di pacuan kuda Kamo.
"Pamanmu, Tadamasa, ada di gerbang sesaat yang lalu, menanti untuk memberi hormat kepadaku selagi aku lewat.
Dia tidak mengatakan apa pun tentangmu, tapi aku melihat kalian berbicara"benarkah Itu?"
"Apakah pamanku akhir-akhir ini menghormati dan bersikap lebih ramah kepada Ibu?"
Yasuko tergelak. "Kau menghiburku! Kau tidak pernah menjawab pertanyaanku, dan yang selalu kaulakukan hanyalah berusaha memeriksaku. Pamanmu telah banyak berubah. Dia menghormatiku."
"Paman"dan Bibi"yang biasa membicarakan
keburukan Ibu?" "Nah, Heita, apa kau sudah mengerti mengapa aku membenci kemiskinan kita" Yang Mulia Tuan Putri
menyukaiku, dan aku secara teratur ikut menari di istana beliau. Pamanmu sekarang bersikap layaknya seorang pelayan kepadaku, karena dia tahu bahwa dia harus menyenangkan hatiku jika menginginkan keberadaannya di dunia ini diakui."
"adi, begitulah! Kiyomori meludah ke kaki sapi. Betapa rendahnya pamannya! Sedangkan mengenai kunjungan ibunya ke istana di Gerbang Barat Laut"dia mungkin memanfaatkan pengaruh Nakamikado di Istana dan bakatnya sebagai seorang geisha. Sama saja dengan pamannya! Kapan pun Kiyomori berjumpa dengan ibunya, dia merasa bahwa ayahnya, Tadamori, pria yang bukan ayah kandungnya, lebih pantas untuk berbagi darah dan daging dengan dirinya.
Kiyomori tiba-tiba merasa kecewa, getir, dan sedih.
Melihat ibunya membuatnya tersiksa. Lalat-lalat yang beterbangan di sekitar sapi penarik kereta terus-menerus hinggap di wajahnya dan memicu kejengkelannya, sehingga dia pun langsung berlalu meninggalkan ibunya. Tetapi, Yasuko memanggilnya dengan marah, dan sambil melotot mengatakan:
"Heita, bukankah ada hal lain yang ingin kautanyakan kepadaku?"
Kiyomori menoleh dengan kesal. Dia merasa melihat sosok orang lain di dalam kereta, dan ketika menajamkan matanya, dia melihat Ruriko.
"Heita, tidak adakah hal bin yang ingin kaukatakan kepadaku?" tanya Yasuko. terkikik. "Ruriko." katanya kemudian, "maukah kau memberikan ini kepada Heita?"
Ruriko menarik diri dengan bingung, menyembunyikan wajahnya di balik bahu Yasuko. Yasuko mengeluarkan sekuntum anggrek krisan besar dan menyodorkannya
kepada Kiyomori, "Yang Mulia, Tuan Putri, memberikan ini kepada Ruriko, dan Ruriko berharap kau mau memilikinya, Heita. Tulislah puisi tentang bunga ini dan bawalah kepadaku di kediaman Nakamikado"beberapa larik indah yang akan merebut hati Ruriko."
Kiyomori berdiri dengan bingung menyaksikan kereta yang perlahan-lahan menghilang di kejauhan. Jadi, ibunya sekarang merencanakan untuk membalas dendam kepada Tadamori dengan memanfaatkan Ruriko untuk merayunya sehingga berpaling dari ayahnya! Kiyomori mendapati bahwa dirinya telah tanpa sengaja meremukkan bunga di tangannya dengan mencabuti seluruh mahkota bunga indah itu. Menggenggam tangkai yang tersisa, Kryomori berjalan kembali ke posnya di persimpangan jalan.
Dua ekor kuda dan seorang pria menantinya di sana.
Kiyomori merasakan semangatnya anjlok. Mokunosuke, yang telah dengan gelisah menunggunya, tampak resah.
"Di manakah yang lainnya" Apakah mereka sudah pulang?" "Kami sudah menerima perintah untuk menghentikan pencarian malam ini. Bagaimana dengan pencarian Tuan Muda di Gerbang Barat Laut.
"Sia-sia saja. Aku seharusnya tidak usah ke sana. Di manakah ayahku?"
"Mari kjta kembali saja. Silakan, Tuan Muda, naiklah ke kuda Anda."
Mokunosuke menyaksikan Kiyomori menunggangi kudanya, lalu melakukan hal yang sama dengan kudanya sendiri.
"Kembali ke Istana, Tua Bangka?"
"Tidak, pulang ke Imadegawa."
Kiyomori terkejut. Para pengawal semestinya berkumpul malam ini di Pangkalan Pengawal, tempat ayahnya akan berbicara kepada mereka. Tadamori juga akan memberikan laporan kepada Yang Mulia dan penasihatnya untuk kemudian menerima instruksi lebih lanjut.
"Mokunosuke, apakah sesuatu terjadi pada ayahku?"
"Saya dengar beliau telah memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya di Istana."
"Benarkah itu" Apakah itu berkaitan dengan kegagalan kami menangkap Morito?"
"Beliau terlalu terhormat untuk membiarkan kritik semacam itu memengaruhinya. Para pejabat istana bersekutu untuk menjatuhkan beliau. Beliau tidak sanggup lagi menghadapi berbagai tuduhan jahat dan tidak adil yang mereka tujukan kepadanya ". Saya tidak sampai hati untuk bertanya lebih banyak kepada beliau."
"Apakah ini berarti beliau akan mengucilkan diri lagi?"
Kiyomori merasa seolah-olah sedang mengatakan,
"Kemiskinan lagi!" Senjatanya seakan-akan mendadak membebaninya.
Mokunosuk? menggumam, setengahnya kepada dirinya sendiri, "Oh, mengapa takdir begitu kejam kepada beliau"
Waktu yang salah, dunia yang jahat! " Keberuntungan pasti akan tersenyum kepada beliau suatu hari nanti!"
Kiyomori tidak menyadari bahwa suaranya tiba-tiba terdengar jernih dan menantang bagaikan pekikan perang:
"Inilah aku, Tua Bangka! Bukankah kau pernah mengatakan bahwa aku adalah putra langit dan bumi, bahwa di balik tubuhku yang gagah, aku bukan seorang yang cacat" Inilah aku"akulah orangnya! Apalah artinya takdir, sehingga kita harus takluk kepadanya?"
o)ood^woo(o Bab V " RUMPUT YANG TERINJAK-INJAK
Disambut oleh adik-adiknya, Kiyomori melihat sosok mereka di bawah gerbang yang nyaris ambruk ketika dia turun dari kudanya. Tsunemori, yang di punggungnya menggendong Norimori, adik mereka yang berumur tiga tahun, berseru, "Selamat datang di rumah, Kak! Ayah sudah pulang."
"Hmm ". Karena kami pergi selama tujuh hari, adik-adikku pasti merindukan kami."
"Ya, aku kesulitan menenangkan Norimori, yang menangis terus-menerus mencari Ibu," Tsunemori mulai bercerita, namun langsung terdiam begitu melihat mimik di wajah Kiyomori. "Oh, ya, Ayah ingin menemuimu segera setelah kau tiba di rumah."
"Oh" Baiklah, aku akan menemui beliau kalau begitu.
Tua Bangka, bawa kudaku," kata Kiyomori. Setelah menyerahkan tali kekang kudanya kepada Mokunosuke, dia melintasi pekarangan menghampiri cahaya yang menyala di bilik ayahnya.
Asap membubung dari tungku-tungku di dapur. Para pelayan, yang telah kembali ke rumah beberapa waktu sebelumnya dan masih menyandang senjata mereka, sedang mempersiapkan makan malam untuk rumah tangga berukuran besar itu"menanak nasi, membelah-belah kayu bakar, dan memasukkan kentang dan sayuran lainnya dari kebun. Seperti di kebanyakan rumah tangga para samurai, beberapa orang wanita bekerja di rumah mereka dan kemiskinan menghalangi mereka untuk mempekerjakan budak, sehingga majikan dan pelayan bersama-sama
bertani, merawat kuda-kuda, dan menyelesaikan pekerjaan di dapur.
"Ah, jadi kau sudah pulang, Heita! Aku berterima kasih atas kerja kerasmu."
"Ayah pasti lelah setelah bekerja selama seminggu penuh, dan Ayah pasti merasa lebih lelah karena kita tidak berhasil menangkap Morito."
"Kita telah melakukan apa pun yang mungkin dilakukan dan tidak ada yang perlu disesali. Morito tidak akan bisa ditangkap dengan mudah."
"Mungkinkah dia telah membunuh dirinya sendiri, Ayah?"
"Aku meragukannya. Kejahatan yang telah
dilakukannya tidak ringan, dan aku tidak percaya dia bisa merenggut nyawanya sendiri " Dan, Heita, ada sesuatu yang aku ingin kaulakukan."
"Apakah ini mendesak?"
"Ya, bawalah salah satu kuda kita ke kota dan juallah ia untuk berapa pun harga yang bisa kaudapatkan; kemudian, belilah sebanyak mungkin sake dengan uang itu."
"Salah satu kuda! Apakah Ayah serius?"
"Hmm " Lihatlah seberapa banyak sake yang bisa kaudapatkan."
"Tetapi, Ayah, tiga hari pun tidak akan cukup untuk kita semua menghabiskan sake itu! Ini terlalu memalukan"aku tidak bisa melakukannya! Apakah yang lebih memalukan bagi seorang samurai daripada keterpaksaan menjual kudanya?"
"Karena itulah aku menyuruhmu melakukannya.
Pergilah, dan tanggunglah rasa malu itu. Juallah kuda kita dengan harga berapa pun"lebih cepat, lebih baik."
Kiyomori segera meninggalkan ayahnya dan memasuki istal. Tiga dari tujuh ekor kuda yang ada di sana adalah harta mereka yang paling berharga. Dia dengan cermat memeriksa keempat kuda yang tersisa. Sebodoh apa pun binatang-binatang itu, dia menyayangi semuanya!
Bukankah mereka telah menemaninya dan ayahnya dalam operasi berbahaya di wilayah barat dua tahun silam, bersama-sama menghadapi kematian" Entah sudah berapa kali Kiyomori mengelus-elus mereka dengan penuh kasih sayang!
Mengetahui bahwa pasar kuda kadang-kadang digelar di dekat pasar, Kiyomori langsung mendatangi rumah seorang pedagang kuda yang dikenalnya, menjual kudanya, dan membeli sake. Tiga guci besar dinaikkan ke sebuah gerobak, dan Kiyomori membantu si pedagang sake mendorong gerobak tersebut ke Imadegawa.
Hidangan makan malam terlambat disajikan, namun malam musim gugur itu cukup panjang untuk sebuah pesta yang jarang terlihat di rumah seorang samurai. Setelah mengundang semua pelayan ke ruangan luas di bangunan utama rumah mereka, Tadamori membuka segel guci-guci sake, memerintahkan agar ikan asin dan acar"yang biasanya disimpan untuk keadaan mendadak"
dihidangkan, dan menyuruh semua pelayan minum.
"Aku tahu bahwa kalian semua lelah setelah melakukan penjagaan selama tujuh hari berturut-turut Sesuai dengan hak kalian, seharusnya malam ini kalian sedang berpesta sake di Istana, namun kegagalanku menghalangiku menginjakkan kaki ke bagian dalam gerbang. Aku telah mengundurkan diri dari jabatanku. Izinkanlah aku
memohon maaf kalian dengan cara ini. Pada suatu hari nanti, kesetiaan kalian akan mendapatkan ganjaran. Sake ini"yang terbaik yang bisa kuberikan kepada kalian"
adalah tanda terima kasihku kepada kalian, anak-anak buahku. Ayo, minumlah sebanyak yang kalian mampu.
Mari kita minum-minum semalaman, dan menyanyi untuk meneguhkan hati pejuang kita!"
Lilin-lilin berkelipan tertiup angin malam sementara para pelayan menunduk diam. Mereka tahu bahwa sake selalu disajikan secara berlimpah ruah ditemani oleh alunan musik pada malam-malam perjamuan di rumah bangsawan, namun kesempatan ketika seorang pelayan bisa mencicipi sake sangatlah jarang terjadi. Malam ini, indra-indra mereka menggeliat berkat aroma sake, dan hati mereka terasa penuh berkat pikiran bahwa Tadamori menghormati mereka.
Dan Tadamori berkata, "Betapa kebun ini sesuai dengan kemiskinan kita"kemewahan liar bunga-bungaan musim gugur! Ayo, minumlah, kalian semua! Penuhi cangkirmu, penuhi cangkirmu!"
Para pria mengangkat cangkir-cangkir sake mereka tinggi-tinggi. Di Istana, Tadamori menyandang reputasi sebagai seorang peminum hebat, dan Kiyomori, mengangkat cangkirnya, berseru:
"Ayah, malam ini aku akan minum setidaknya setengah minumanmu!"
"Bagus, bagus"-yang penting, jauhilah rumah-rumah di Jalan Keenam itu!"
Jawaban Tadamori disambut oleh gelak tawa para pelayan, yang diikutinya dengan keceriaan yang tidak biasa ditunjukkannya. Wajah Kiyomori merah padam.
Bagaimana cerita itu bisa sampai di telinga ayahnya"
Siapakah di antara para pelayan-pelayan ini yang telah memeriksa rumah-rumah bordil di Jalan Keenam"
Memprotes tidak ada gunanya, dan untuk mengalihkan perhatian orang-orang dari dirinya, dia memanggil salah seorang pelayan:
"Heiroku, Heiroku, menyanyilah untuk kam?"salah satu balada yang sedang terkenal di ibu kota sekarang ini!"
"Anda saja yang menyanyi, Tuan Muda, salah satu lagu yang sering dinyanyikan di Jalan Keenam!"
"Hentikan lelucon seperti itu!"
Sebuah suara dari ujung ruangan mulai melantunkan sebuah lagu balada populer; seorang demi seorang, para pria di ruangan itu mengikutinya; mereka bertepuk tangan pada waktu yang tepat; seseorang menggebuk-gebuk sebuah guci sake untuk mengiringi nyanyian. Sebagian orang berdiri dan menari-nari, sebagian lagi menyanyikan lagu-lagu yang lain. Mereka menyanyi dengan gaduh sambil minum-minum, dan di tengah suasana yang semakin ribut, beberapa orang mulai meracau:
"Berulang kali, para pejabat istana itu bersekongkol untuk melawan majikan kita, dan sekarang mereka berusaha menghancurkan ikatan antara beliau dengan Yang Mulia dengan mengatakan bahwa beliau gagal menangkap Morito!"
"Apa" Tolol! Apakah mereka berhasil" Bukankah majikan kita telah mengundurkan diri dari jabatannya?"
"Mengapa majikan kita harus disalahkan" Mengapa beliau semuda itu mengundurkan diri" " Ini berlebihan!
Para bangsawan itu"darahku rasanya mendidih jika aku memikirkan mereka! Apa pendapat Yang Mulia tentang semua ini?"
"Jika Yang Mulia memang memercayai dan mencintai majikan kita, mengapa beliau tidak menghentikan rencana dan persekongkolan ini" Tidak bisakah beliau melihat bahwa kedengkian para pejabat istana telah membunuh majikan kita secara perlahan-lahan?"
"Ya, meskipun memegang tampuk kekuasaan, Yang Mulia tidak berdaya dalam menghadapi para pejabat istana yang ada di sekelilingnya, dan majikan kita menolak untuk membiarkan Yang Mulia terusik karena beliau."
"Mereka mengetahui kelemahan majikan kita, para bangsawan itu!"
"Bukankah majikan kita sendiri mengakui bahwa meskipun kedudukan beliau sejajar dengan para bangsawan itu, namun mereka membencinya karena beliau adalah seorang samurai?"
"Kalau begitu, mengapa Yang Mulia mendiamkannya"
Aku akan menanyakan sendiri tentang hal ini kepada Yang Mulia! Aku akan menjeritkan pertanyaan ini di Istana hingga telinga Yang Mulia mendengarnya!"
"Dasar orang-orang sinting! Dungu!"
Para pelayan terdiam namun terus menggeleng-geleng dengan marah. Berpura-pura tidak mendengar mereka, Kiyomori mengamati mereka, dan akhirnya bangkit untuk bergabung bersama mereka. Mengulurkan kedua tangannya, dia merangkul kepala dua orang yang ada di kedua sisinya.
"Mari"kalian para pejuang"mengapa berkeluh kesah seperti ini" Apakah otak kalian lebih kecil daripada otak katak atau ular" Waktu kita belum tiba. Apakah kalian tidak punya kesabaran" Bukankah kita masih "rumput yang
terinjak-injak?" Belum tiba waktu bagi kita untuk mendongakkan kepala. Haruskah kalian selalu mengeluh?"
Aroma menyengat tubuh-tubuh yang kegerahan dan uap sake memenuhi lubang hidung Kiyomori ketika dia memeluk kedua pelayan itu erat-erat. Dia merasakan air mata getir menetes ke lututnya. Seperti seekor induk burung yang menyembunyikan anak-anaknya di bawah sayapnya, Kiyomori merasakan kebanggaannya membuncah ketika dia memeluk para pelayannya dan, meminta tambahan sake, menenggak habis isi cangkirnya dalam satu tegukan.
^d0w^ Binatang yang telah lama terkurung akan langsung kembali bersikap liar begitu dilepaskan di padang rumput yang luas. Watak barbar yang tersimpan di dalam diri setiap orang akan keluar lebih cepat, dan itulah yang terjadi pada Morito, yang sepertinya telah berubah menjadi manusia liar hanya dalam semalam.
"Haruskah aku melanjutkan kehidupanku" Apakah aku lebih baik mati saja" Apakah yang akan kulakukan kepada diriku ini" Mereka masih mengejarku"tidak memberiku waktu untuk berpikir " Aku harus beristirahat, namun mereka terus memburuku. Aku berhenti untuk menarik napas, dan mereka masih?" "Aku"aku"aku," dia mengulang-ulang kepada dirinya sendiri, tidak menyadari bahwa diri yang yang dimaksudnya telah tiada.
Malam itu, ketika dia melarikan diri dari jalan Iris dan secara misterius mengelabui para pengejarnya, Morito tidak bisa mengingat ke mana kakinya membawanya. Dia tertidur di alam terbuka, menyembunyikan diri di dalam rongga pepohonan, dan menyantap apa pun yang bisa ditemukannya di tengah pelariannya. Pakaiannya telah robek di sana-sini, kakinya yang telanjang berlumuran
darah dan lumpur, dan matanya berkilat nyalang bagaikan mata seekor binatang buas.
Ini adalah sosok seorang pria terpelajar, Morito yang pintar, yang pernah menjadi tambatan harapan semua orang. Siapakah yang bisa melihat Morito yang pandai dan tinggi hati di dalam sosok ini" Siapakah yang bisa memercayai bahwa pria ini biasa memandang teman-temannya dengan tatapan meremehkan" Tetapi, sosok itu masih bernapas, berjalan, dan bergerak. Dia yang bernyawa masih ada di dunia.
Telinganya bisa membedakan setiap kicauan burung sekarang, dan gerakan mendadak kelinci dan rusa tidak lagi mengejutkannya. Dia merasa dirinya menyatu dengan burung-burung dan binatang-binatang di tengah kesunyian alam liar. Tetapi, bunyi-bunyian sesamar apa pun yang menandakan keberadaan para pengejarnya mampu membuat seluruh rambut di tubuhnya berdiri. Mereka ada di sana" menyusulnya! Mempererat pegangannya pada benda bulat yang dibawanya, Morito akan berdiri terpaku selama sesaat, memandang nyalang ke sana dan kemari dengan mata merahnya.
Dia telah merobek salah satu lengan kimono luarnya untuk membungkus benda yang dipeluknya erat-erat. Itu adalah kepala Kesa-Gozen. Morito tidak pernah meletakkannya sejenak pun sejak malam itu. Darah telah terserap di kain pembungkusnya dan mengeras hingga, tercampur dengan embun dan tanah, tampak seperti lapisan vernis gelap. Telah lebih dari dua minggu berlalu sejak Morito melarikan diri, dan kepala itu telah menguarkan bau busuk ke mana-mana. Tetapi, dia tetap memeluknya sepanjang siang dan malam, dan ketika dirinya jatuh tertidur, dia seolah-olah melihat Kesa-Gozen hidup kembali.
Tidak ada yang berubah dalam diri Kesa-Gozen. Morito bisa mendengar gemerisik kimononya ketika wanita itu menghampirinya dan berbisik kepadanya. Morito menghirup aroma tubuhnya, merasakan kehangatannya ketika Kesa-Gozen mencondongkan tubuh ke arahnya.
Laba-laba yang telah memintal sawang di sekeliling jamur-jamur pucat yang telah tumbuh di seluruh kepala Kesa-Gozen tampak tidak senyata khayalan-khayalan yang menghampiri Morito di batas kesadarannya.
Sekali lagi, mereka masih bocah, berlarian ke sana kemari bagaikan kupu-kupu di antara petak-petak bunga di taman Istana. Kemudian, Morito melihat dirinya sebagai pemuda mengenaskan, dimabuk cinta hingga menjadi gila"hingga mati. Dan, di dalam mimpinya, dia mengerang, "Oh Kesa-Gozen, mengapa kau tidak mau menatapku" Tidak ada yang bisa membebaskanku dari siksaan ini selain dirimu, oh wanita berhati batu! Mengapa kau menikah dengan Wataru" Kasihanilah aku! Berikanlah aku semalam saja di sampingmu. Izinkanlah aku sekali saja mereguk cinta terlarang ini, kemudian biarkanlah dosa ini, yang lebih berat daripada seluruh Sepuluh Dosa, melemparkanku ke tempat terdalam dan terpanas di neraka, karena siksaan apakah yang lebih berat daripada siksaan yang sedang kujalani sekarang ini?"
Dan, di dalam tidurnya yang gelisah, Morito melihat mata Kesa-Gozen yang terpejam dan mencium bibirnya. Di antara lipatan-lipatan kimono Kesa-Gozen, Morito melihat kulitnya yang pucat dan lekukan payudaranya yang telanjang, namun ketika Morito mengulurkan tangan untuk memeluknya, Kesa-Gozen lenyap begitu saja, dan mimpi itu memudar, meninggalkan dahaga gairah yang menyiksa.
Terjaga kembali, Morito akan menangis terisak-isak hingga
segala sesuatu di alam pada tengah malam buta itu seolah-oiah berduka bersamanya.
Hari masih gelap ketika Morito, yang letih akibat menangis dan semalaman bermimpi buruk, terjaga. Dia bangkit berjalan terhuyung-huyung dan tersandung-sandung dalam kegelapan, tanpa mengetahui di mana dirinya berada, ketika seluruh indranya sontak tergelitik menanggapi sebuah sensasi baru. Gelombang es seolah-olah menerpa otaknya, dan gemuruh gaduh memenuhi telinganya, bergema dan terus bergema di dalam kepalanya.
Jeram Naratuki"di jalan menuju Takao yang dipagari pepohonan mapel!
Fajar telah datang, dan bulan pucat menggantung di langit. Morito memandang ke sekelilingnya, memuaskan penglihatannya dengan warna merah dedaunan mapel di seluruh sisi bukit. Baru kali inilah dia melihat cahaya pagi sejernih ini. Akal sehatnya telah kembali. Kemudian, rangkaian peristiwa pada malam 14 September itu kembali diingatnya dengan jelas, seolah-olah dia kembali berada di tempat kejadian. Gemuruh Jeram Naratuki dan gemericik air mendadak terdengar bagaikan ratapan memilukan seorang ibu yang putus asa"pekikan kebencian Wataru, tawa menghina teman-temannya sesama pengawal, dan tangisan marah masyarakat.
Menghadapi jeram itu, Morito menjerit seolah-olah untuk menjawab, "Biarkan aku mati! " Aku tidak bisa menghadapi dunia ini hidup-hidup!"
Dengan tubuh gemetar, dia berpegangan ke sebongkah batu besar dan menunduk menatap arus deras di bawahnya, dan tiba-tiba dilihatnya sekelompok penebang kayu muncul di seberang sungai, melompati batu demi batu dan
mendekat ke arahnya. Secepat kilat, Morito membalikkan badan dan berlari, dengan sigap mendaki bukit Setibanya di puncak bukit, dia meletakkan buntalan yang dibawanya ke tanah, lalu jatuh berlutut bernapas tersengal-sengal. Keringat membasahi seluruh tubuhnya, dan dia meraba dadanya yang berbulu, terengah-engah.
Dia harus mati, sekarang juga setelah dia tersadar kembali, pikirnya.
"Maafkan aku, Cintaku," dia menangis, mengangkat kedua tangannya untuk berdoa. Satu per satu, dia membisikkan nama orang-orang yang dikenalnya, memohon ampunan mereka, lalu membuka buntalan berisi kepala Kesa-Gozen.
"Sekarang, lihatlah Morito, yang akan menebus dosa ini dengan nyawanya sendiri," bisiknya. "Lihatlah dunia sekali lagi, karena aku pun akan segera melebur menjadi debu."
Dengan perasaan tumpul, dipandangnya kepala Kesa-Gozen. Rambutnya lengket oleh darah hingga menempel bagaikan lapisan kaku di pipi dan keningnya.
"Ah, Cintaku, benarkan ini dirimu?"
Kepala itu menyerupai bongkahan besar lempung. Di bawah langit yang mulai terang, Morito melihat bahwa daging di kepala itu telah mengerut di bawah jalinan rambut lengket; tulang-tulangnya bertonjolan di sana-sini, dan kulitnya bertotol-totol. Telinganya berkerut merut dan menyerupai remis kering; matanya seolah-olah terukir dari lilin biru yang bernoda putih. Tiada lagi wajah yang pernah dikaguminya.
Dan Morito pun berdoa, "Dai-nichi Nyorai, Dai-nichi Nyorai!" ("Yang Maha Penerang!")
Dari topeng kematian di hadapannya, tatapannya berpindah ke langit. Di hadapannya, matahari terbit bagaikan bola api. Atap-atap bangunan di ibu kota.
Perbukitan Timur, dan puncak-puncak pagoda yang berselimut kabur, dan yang bisa dilihatnya hanyalah lingkaran cahaya terang benderang raksasa. Kemudian, mendadak dia teringat
0dw0 Pertapaan itu"atau lebih tepat disebut sebagai pondok sederhana, tempat yang sering kali ditinggali oleh Kepala Biara Kakuyu"berdiri di salah satu kantong Perbukitan Togano-o, di jalan menuju Takao, tepat di tempat Jeram Narutaki bertemu dengan Jeram Kiyotaki. Meskipun berkedudukan sebagai kepala biara di Kuil Togano-o, Kakuyu lebih sering menghabiskan waktu di Toba. Dan para penduduk di wilayah itu sudah terbiasa menyebutnya Kepala Biara Toba"Toba Sojo. Dia pernah menjadi kepala biara di Kuil Enryakuji di Gunung Hiei, namun pada masa ini, ketika para biksu mengangkat senjata dan melakukan pembakaran dan penjarahan, Toba Sojo sering terdengar mengatakan bahwa dirinya tidak pantas menjadi seorang biksu, karena dia tidak punya nyali untuk bertempur.
Kehidupan sang kepala biara sendiri tidak bisa dikatakan wajar. Alih-alih tinggal bersama para biksu yang mengabdi kepadanya di pondok, seorang prajurit muda dan tiga orang pelayan bekerja untuknya, dan kepada orang-orang penasaran yang dengan terkejut menanyainya tentang apakah penghuni pondok itu seorang pendeta atau rakyat biasa, Kakuyu dengan rendah hati menjelaskan bahwa mereka bukan pelayannya melainkan pelayan seorang pejabat tinggi dari Kyoto yang sedang mengunjunginya.
Sekarang berusia tujuh puluhan, sang kepala biara adalah salah seorang dari banyak anak laki-laki seorang
pejabat istana yang L berkarier cemerlang, yang pada masa kejayaannya dikenal sebagai K penulis sebuah kronik.
Kakuyu, meskipun mewarisi kekayaan r yang cukup besar, memasuki biara dalam usia yang cukup muda, namun segera mendapati bahwa kehidupan biara kurang sesuai dengan minatnya. Seiring waktu"untuk mengabaikan tugas-tugas kependetaannya"dia mulai menekuni kegemarannya melukis. Gulungan demi gulungan lukisan telah dihasilkan oleh kuasnya, kental oleh sindiran dan ledekan. Tidak pernah ada lukisan yang menyerupai karyanya, karena di matanya, yang selalu mengkritisi setiap pemandangan merisaukan yang terjadi di hadapannya, dia melihat manusia dalam wujud binatang"monyet dan kelinci yang saling mengejar; musang berjubah pendeta; kodok bermahkota"dan kuasnya menggambarkan kejahatan para pemuka agama, kemewahan berlebihan para bangsawan, kepercayaan mereka pada takhayul, perjuangan untuk berebut kekuasaan, dan segala macam kedunguan dan kejahatan manusia lainnya.
Toba Sojo sedang sibuk melukis pada suatu hari, ketika pelayannya mengabarkan tentang kedatangan seorang tamu kepadanya. Setelah menyingkirkan kuas dan tintanya, dia membalikkan badan dan menerima tamunya, seorang pengawal muda dari Istana Kloister, Sato Yoshikiyo.
"Saya iri kepada Anda karena kehidupan Anda, Yang Terhormat Setiap kali saya datang untuk mengunjungi Anda, saya yakin bahwa manusia semestinya menghabiskan kehidupannya menyatu dengan alam."
"Mengapa iri kepadaku?" jawab Toba Sojo. "Aku tidak mengerti mengapa kau tidak memilih sendiri kehidupan yang paling kauhendaki."
"Tidak, Yang Terhormat, saya sedang berada di tengah perjalanan menuju Kuil Ninna-ji untuk menyelesaikan urusan yang berkaitan dengan ziarah kekaisaran."
"Ya" Sungguh luar biasa bahwa Yang Mulia tidak pernah bosan dengan pacuan kuda. Aku tidak akan terkejut jika manusia berubah menjadi sekawanan kejahatan yang saling berpacu, dan para pengawal menjadi sekawanan kuda liar, beringas dan ganas. Pikiran yang sangat mengerikan!"
Toba Sojo tiba-tiba menoleh ke arah sebuah ruangan di bagian belakang pondok. "Nak, apa buah kesemek yang kuminta sudah siap" Sajikanlah buah-buahan untuk tamu kita ini."
Tidak ada jawaban, namun gumaman samar-samar terdengar di bagian belakang pondok. Kemudian, seorang pemuda muncul dari balik sudut pondok dan menghampiri beranda. Beberapa orang penebang kayu yang tinggal di dekat situ, katanya, telah datang dengan ketakutan untuk melaporkan bahwa sejak pagi itu, mereka melihat seorang pria aneh berpenampilan liar yang berkeliaran dengan kaki telanjang di wilayah bukit; salah satu lengan kimononya hilang. Mereka telah secara diam-diam mengawasi gerakannya, membuntutinya, dan melihatnya menghilang di tengah kerimbunan hutan di antara perbukitan, tempatnya mengubur sebuah buntalan besar yang sebelumnya dipuja-pujanya. Ketika melihat para penebang kayu itu mendekat, dia melesat bagaikan seekor burung ke kedalaman hutan Takao.
"Apa lagi itu?" seru sang kepala biara. "Mengapa menyusahkan diri dengan masalah sepele seperti itu" Apa kau berpikir untuk mengejar pria itu?"
"Tidak"tentunya tidak, namun para penebang kayu itu bersemangat sekali untuk menangkapnya. Mereka menduganya sebagai anggota komplotan bajing loncat."
"Biarkan saja dia, biarkan saja. Ini adalah masa yang berat, dan seorang perampok sekalipun harus hidup. Dia akan mendapatkan makanan jika dijebloskan ke penjara, tapi bagaimana dengan istri dan anak-anaknya" Bukan begitu, Yoshikiyo?"
Yoshikiyo tampak takjub mendengar cara berpikir itu, dan dia memandang perbukitan Takao yang berselimut awan dengan ekspresi bingung. Dia hendak menjawab, namun mengurungkan niatnya. Dia meminta maaf karena telah terlalu lama mengganggu sang kepala biara dan cepat-cepat meninggalkan pondok.
Sebutir buah kesemek merah keemasan yang diabaikan oleh burung-burung menggantung di bawah langit musim gugur, dan gebukan kapak para penebang kayu menggema dingin di antara gumpalan-gumpalan awan di puncak bukit.
0ooo-dw-ooo0 Bab VI - BOCAH LELAKI YANG
MEMBAWA AYAM SABUNGAN Embun beku telah berjatuhan, dan pekikan burung-burung kembali terdengar. Bunga-bunga krisan putih dan kuning yang tumbuh subur di pinggir jalan mulai mengering. Kemuraman mulai menggantung di udara.
?" Aneh. Wajarkah jika seorang bangsawan mau hidup di pinggir kota, di tengah gubuk-gubuk yang dihuni oleh rakyat jelata?"
Hari di bulan Oktober itu cerah, sehangat musim semi, dan Kiyomori sedang berkeliaran di sekitar Jalan keenam membawa sepucuk surat yang ditujukan oleh ayahnya kepada seorang pejabat pemerintah, Fujiwara Tokinobu.
Ayahnya telah mengirimnya ke Gudang Pangan Pusat, tempat Tokinobu bekerja. Setibanya Kiyomori di sana, seorang pegawai memberitahunya bahwa orang yang dicarinya telah pergi sesaat sebelumnya ke Departemen Pendidikan untuk memeriksa beberapa catatan lama.
Setelah mendapatkan saran untuk mencarinya di perpustakaan, Kiyomori sekali lagi berjalan kaki, berangkat ke Departemen Pendidikan yang berjarak hanya beberapa langkah dari Akademi Kekaisaran dan Gudang Pangan Pusat Bagaimanapun, sesampainya di Departemen Pendidikan, dia diberi tahu bahwa orang yang dicarinya sudah pulang, namun pegawai yang ditanyainya bersedia memberikan alamat Tokinobu di Jalan keenam kepadanya, sehingga Kiyomori pun langsung mengarahkan langkahnya ke sana.
Kiyomori heran melihat jalan becek dan kejorokan lingkungan tempatnya berada. Dia tidak melihat satu pun bangunan yang menyerupai kediaman seorang bangsawan.
Tidak ada gerbang besar atau bangunan mewah, perpaduan harmonis antara arsitektur bergaya Tang dan tradisional yang biasa terlihat di bagian utama ibu kota dan selama berabad-abad telah dihuni oleh para pejabat negara, istana-istana bangsawan, dan rumah-rumah mewah yang dihuni oleh keluarga-keluarga terkenal. Wilayah di pinggiran ibu kota ini dan pemukiman di sisi jalan raya tidak lebih dari tanah terbuka dengan gubuk-gubuk yang berdiri di sana-sini, tempat para tukang sol, tukang besi, tukang kertas, tukang samak kulit, dan tukang celup mencari penghidupan. Hujan akhir musim gugur mendatangkan banjir yang menggenangi jalanan, dan bocah-bocah kecil
memasang perangkap untuk burung berkik atau memancing ikan karper yang terjebak di antara sampah-sampah yang menggunung di jalan.
Kiyomori berhenti untuk mengamati keadaan di sekelilingnya, memikirkan apakah dia harus bertanya, ketika dilihatnya sekelompok orang mengerumuni sesuatu dengan penuh semangat.
Kotekan ribut terdengar"arena sabung ayam! Sebelum menyadari tindakannya, Kiyomori telah mendapati dirinya menjadi bagian dari kerumunan tersebut. Dari beranda sebuah rumah yang ada di dekat situ, yang rupanya dihuni oleh seorang pawang ayam sabungan, istri si pelatih, seorang wanita tua, dan beberapa orang bocah menjulurkan leher untuk melihat apa yang terjadi. Beberapa orang pejalan kaki dipaksa untuk menjadi penonton oleh si pelatih yang berwajah kaku, yang dikawal oleh asistennya, yang berdiri di belakangnya sambil membawa sebuah keranjang berisi ayam jago andalannya. Seorang remaja lelaki telah menantang si pawang, yang berkoar-koar dengan nyaring untuk mengumumkan jumlah taruhan.
"Uang logam"aku hanya menerima uang logam!
Taruhan kecil tidak akan cukup untuk mengobati luka-luka ayamku! Aku akan bertarung habis-habisan untuk uang kalian. Nak, apa kau membawa uang?"
"Ya"aku sudah mempersiapkan uang," jawab bocah itu, yang sepertinya baru berusia empat belas atau lima belas tahun. Tubuhnya kecil, namun tatapan garang yang diberikannya kepada si pawang tampak serasi dengan penampilan ganas ayam sabungan yang dikempitnya; lesung pipit terlihat ketika dia tersenyum, meskipun matanya tetap menatap dengan tajam. "Berapa banyak"
Berapa yang akan kaupertaruhkan?"
"Bagus! Bagaimana dengan ini?" si pawang menawarkan, meletakkan sejumlah uang logam ke dalam sebuah keranjang kecil, dan si bocah mengikutinya, meletakkan uang logam dengan jumlah yang sama.
"Siap?" Masih mengempit erat-erat ayam jago yang meronta-ronta di bawah lengannya, bocah itu berjongkok, mengukur jarak di antara dirinya dan ayam sabungan lawannya.
"Tunggu, tunggu! Beberapa orang masih ingin memasang taruhan. Sabarlah sedikit, Nak." Si pawang menoleh kepada para penonton dan mengamati mereka seorang demi seorang, menantang mereka dengan nada setengah bergurau, "Ayolah, tidak ada serunya jika kalian hanya menonton. Bagaimana dengan sedikit taruhan"
sedikit saja?"

The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gemerincing uang logam segera terdengar. Tepat ketika itulah seorang wasit dan bandar muncul. Ada cukup banyak orang yang bertaruh untuk ayam si pawang, namun hanya beberapa orang saja yang bersedia mengambil risiko untuk ayam si bocah.
"Ini, aku akan membayar sisa taruhan untuk bocah itu!"
seru Kiyomori, yang terkejut mendengar suaranya sendiri.
Dia mengeluarkan sejumlah uang. Cukup sudah.
"Siap?" si wasit meneriakkan aba-aba. Mata semua penonton langsung tertuju pada arena suram yang ada di hadapan mereka.
"Nak, siapa nama ayam jagomu?"
"Singa, Pawang. Siapa nama ayam jagomu?"
"Kau tidak tahu" Permata Hitam"mari kita mulai!"
"Tunggu! Wasitlah yang seharusnya memberi aba-aba."
"Kurang ajar, kau sepertinya sudah berpengalaman!"
Kedua ayam jago itu saling berhadapan dengan leher terjulur. Si wasit memberi aba-aba, dan keduanya langung saling menubruk Kerikil-kerikil kecil dan bulu-bulu yang bernoda darah bertebaran ke segala penjuru. Pertarungan telah dimulai.
Seorang pria tua justru mengamati wajah-wajah penonton sabung ayam itu dengan puas, mengabaikan pertarungan yang berlangsung di hadapannya. Dia mengenakan jubah pendeta dan sandal jerami; seorang pelayan muda menemani pendeta itu, yang berdiri menopangkan dagu ke kepala tongkatnya.
?" Ah, Kepala biara Toba!" Kiyomori cemas karena sabung ayam adalah pelanggaran hukum dan Kepala biara juga melarang judi jalanan; jangan sampai dirinya terlihat oleh sang kepala biara, karena pria itu sering berkunjung ke Istana. Tetapi Kiyomori, yang mengkhawatirkan uangnya, enggan pergi dari sana dan lebih memilih untuk bersembunyi di balik tubuh seorang pria yang ada di dekatnya.
Teriakan wasit terdengar nyaring. Pertarungan itu telah usai. Meraup uang kemenangannya dan memeluk erat-erat ayam jagonya, si bocah berlari melewati Kiyomori dan menghilang begitu saja.
Kiyomori sedang hendak melenggang pergi dengan sikap lugu ketika seseorang mendadak menghentikannya. "Anak muda"Heike Kiyomori"ke manakah kau hendak pergi?"
"Ah"Yang Terhormat!"
Suara sang kepala biara tidak mencerminkan keberatan apa pun. "Bukankah ini sangat menyenangkan" Aku juga
yakin bahwa bocah itu akan menang, dan dia benar-benar menang."
Kelegaan yang luar biasa mendatangkan kembali keberanian Kiyomori. Dia berkata, "Yang Terhormat, apakah Anda bertaruh untuk bocah itu?"
Rahasia Cincin Mustika 2 Pendekar Naga Putih 02 Dedemit Bukit Iblis Pedang Medali Naga 9

Cari Blog Ini