Ceritasilat Novel Online

Canting Cantiq 1

Canting Cantiq Karya Dyan Nuranindya Bagian 1


CANTING CANTIQ oleh Dyan Nuranindya GM 312 01 09 0025 Desain dan ilustrasi sampul oleh
maryna_design@yahoo.com ? PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Barat 29"37
Blok 1, Lt. 4"5 Jakarta 10270 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
anggota IKAPI Jakarta, Juli 2009 208 hlm.; 20 cm ISBN-10: 979 - 22 - 4735 - 1
ISBN-13: 978 - 979 - 22 - 4735 - 0
001/I/15 MC Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakan
001/I/15 MC pu st ak ain do .b lo gs po t.c om Terima kasih untuk semangat anak muda Indonesia
yang menjadi sumber inspirasi luar biasa
dan mendorong aku untuk terus menulis.
001/I/15 MC "SELAMAT pagi Jakarta! Apa kabar Jakarta pagi ini" Buat
7 001/I/15 MC kalian yang baru aja selesai ujian kenaikan kelas, pasti lagi dag-digdug nungguin hasil kelulusan, kan" Kalo gitu, gue bakalan puterin
lagu yang asyik banget supaya kalian nggak deg-degan lagi. Ini
dia?" Suara cablak penyiar sebuah radio remaja ibu kota menyapa
pagi itu. Membangunkan ayam jantan yang hampir lupa berkokok, menidurkan hansip malam yang selesai keliling kompleks,
dan memberi semangat warga Jakarta yang siap menantang
hari itu, mulai dari iyem-iyem yang mau pergi ke pasar, mbokmbok jamu, sampai para pejabat yang siap meluncur dengan
mobil pribadi mereka. Welcome to Jakarta! Kota sejuta mimpi.
Tempat dunia mimpi dan kenyataan membaur menjadi satu.
"Matiin radionya, Pak!"
Suara dingin nan tegas keluar dari bibir mungil seorang cewek yang duduk di kursi belakang sebuah sedan hitam. Pak
sopir yang tampak serius menyetir melirik melalui kaca spion
8 001/I/15 MC pu st ak ain do .b lo gs po t.c om mobil. Kemudian tangan kirinya menggapai tombol off pada
remote tape mobil. Klik! Tak ada sedikit pun suara yang terdengar dari dalam mobil
setelah tape dimatikan. Baik suara mesin, ataupun suara kendaraan yang berpapasan dengan mobil mereka. Sepertinya mobil itu kedap suara. Mungkin itu sensasi yang dirasakan kalau
naik mobil mahal. Bisu. Bahkan sang sopir yang punya tampang mirip Tukul Arwana itu pun nggak punya keberanian
untuk mencairkan keheningan saat itu.
Gadis dalam mobil itu membolak-balik halaman majalah
fashion internasional di tangannya. Sederet bintang Hollywood
dengan busana terbaru karya perancang terkenal berjejer memenuhi halaman majalah tersebut.
"Cool, nice, sexy, bad, bad, and" bad!" cewek itu menilai
penampilan deretan selebritas di majalah tersebut dengan telunjuknya.
Sedan hitam itu berhenti tepat di depan gerbang sebuah
SMA elite di Jakarta. SMA impian anak-anak Jakarta yang
punya fasilitas bertaraf internasional. SMA Permata Bhakti.
Pak sopir buru-buru keluar dari pintu depan, merapikan seragam sopirnya, dan dengan cekatan membuka pintu belakang
mobil. Sesaat kemudian, sepasang kaki indah dengan balutan kaus
kaki putih panjang sebetis muncul dari dalam mobil tersebut.
Mendadak aroma wangi bunga tercium, bercampur dengan
udara pagi itu. Tubuh ramping dengan kulit putih berkilau menarik semua mata yang melihatnya. Rambutnya yang panjang
dan sedikit ikal serta bibirnya yang ranum membuat gadis itu
terlihat sangat spesial. Melanie Adiwijoyo. Putri tunggal pengusaha mebel bernama
9 001/I/15 MC Aryo Adiwijoyo. Pemilik label lokal terkenal "Puretnik" yang
belakangan heboh disorot media lantaran nyaris kehilangan
perusahaannya gara-gara banyak penanam modal yang beralih
ke perusahaan internasional.
Bermodalkan wajah cantik dan tubuh yang bikin iri setiap
cewek, Melanie banyak dilirik oleh agency-agency untuk tawaran foto majalah atau catwalk. Tapi sayang, ia nggak pernah
tertarik untuk jadi model lokal. Cita-citanya sejak kecil adalah
jadi model internasional. Ia yakin cepat atau lambat cita-citanya itu pasti terwujud.
Wajah ayunya diwarisinya dari ibunya yang berdarah SoloPrancis. Tapi sayang, belum lama ini ibunya meninggal dunia
akibat kanker. Sekarang Melanie tinggal hanya dengan ayahnya
tercinta. Mel, panggilan akrab Melanie, menatap lengan kemeja sopirnya sejenak, meneliti setiap sudut lipatannya. "Lain kali nyetrikanya lebih rapi, Pak. Lipatannya masih kelihatan tuh.
Ngerusak pemandangan," Mel berkomentar. "Nanti nggak usah
dijemput ya, Pak," lanjut Melanie tanpa menatap wajah sopirnya.
"Baik, Non," pak sopir menjawab sambil membungkukkan
badan. Ia terdiam sejenak, menunggu nonanya masuk ke gerbang sekolah untuk meyakinkan bahwa anak majikannya itu
diantarnya dengan selamat sentosa dan bahagia sejahtera. Kemudian, baru ia beranjak pergi setelah sebelumnya becermin
di kaca spion dan menyisir kumis tipisnya yang mirip patil
lele. Dalam hati ia gembira ria karena mau ketemu sama Iyem,
pembantu rumah sebelah yang sejak lama ditaksirnya. Baginya,
kecantikan Iyem nggak kalah dengan artis-artis sinetron.
Di dalam sekolah, sorak-sorai murid-murid SMA Permata
10 001/I/15 MC Bhakti terdengar keras memenuhi antero sekolah ketika seorang petugas menempelkan pengumuman kelulusan di mading
sekolah. Meskipun udah bisa dipastikan 100 persen murid
SMA Permata Bhakti bakalan lulus lantaran punya otak brilian
dan duit yang lumayan kenceng, masih ada aja dari mereka
yang ketar-ketir ketika melihat pengumuman itu.
Suasana kelulusan di SMA Permata Bhakti beda jauh dengan
suasana kelulusan di SMA-SMA pada umumnya. Biasanya kan
kalo lulus, murid-murid bakalan nyorat-nyoret seragam sekolah
pakai Pilox dan spidol warna-warni. Kalo perlu, corat-coretnya
sampai ke muka, sampai orangtua mereka pada nggak ngenalin
anaknya sendiri pas pulang ke rumah. Di SMA Permata Bhakti
beda banget. Murid-murid biasanya malah langsung cepet-cepet
pulang untuk siap-siap liburan ke luar negeri dengan keluarga,
sekalian mendaftarkan diri di universitas di sana.
Mel melangkah dengan anggun melewati kerumunan murid
yang mengerubungi papan pengumuman. Dia sama sekali nggak
tertarik melihat pengumuman itu. Toh tanpa melihat pengumuman saja murid-murid cowok pada sok kenal berebut nyelametin Mel karena dia lulus.
"Selamat ya, Mel. Elo masuk lima besar nilai tertinggi."
"Iya, selamat ya, Mel."
"Makasih, makasih," jawab Mel sambil sibuk menjabat tangan cowok-cowok itu satu per satu.
Nggak cuma Mel yang sibuk. Murid-murid lain juga nggak
kalah sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ada yang sibuk
dengan handphone model terbarunya, ada yang asyik ngobrol
dengan gank-nya"membicarakan produk merek luar negeri
terbaru"ada juga yang mengganjal perut dengan jajanan di
kantin sekolah yang harganya selangit.
11 001/I/15 MC Melanie nggak ambil pusing dengan pemandangan di sekelilingnya. Ia terus berjalan menuju kantin tempat Marco, pacarnya, biasa nongkrong. Sepanjang jalan yang dilewatinya, jejak
aroma parfumnya bisa tercium jelas. Itu masih mending. Udah
jadi hal biasa kalau saat di dalam kelas, aroma parfum bermerek tumplek blek jadi satu. Kenzo, Paris Hilton, Moschino,
Bvlgari, Benetton, Escada, semuanya ada. Tinggal pilih. Yang
pasti, satu parfum nggak ada yang harganya goceng tiga.
"Mel"!!!" teriakan melengking nan cempreng mengagetkan
Melanie. Beberapa saat kemudian, dua cewek berkemeja ketat
dengan rok sepan di atas dengkul berlari centil mendekati
Mel. Mel melengos sejenak, seakan nggak mengharapkan kehadiran kedua cewek itu. Ia memilih tetap melangkah sambil membuka bedak compact untuk membenahi wajahnya. Tapi kedua
cewek tadi menahannya. "Melanie! Selamat ya, elo masuk lima besar," ujar Alexa
sambil merangkul bahu Mel. Cewek ini konon mewarisi kekayaan kakeknya, pemilik hotel termahal di Jakarta, yang baru-baru
ini menjadi anggota Montaimana Group milik konglomerat
J.B. Montaimana. "Eh, Say, gue habis beli sepatu yang mirip
sepatunya Lindsay Lohan. Lucu deh!"
Bodo amat! Emang gue pikirin" bisik Mel dari lubuk hatinya
yang paling dalam. Saking dalamnya, sampai-sampai perlu minta tolong anggota Baywatch biar nggak tenggelam lebih dalam
lagi. Halah! Merasa Mel nggak tertarik dengan ajang pamernya, Alexa
mencari topik yang jauh lebih seru untuk digosipin. "Udah liat
penampilan Candy pagi ini belum?"
12 001/I/15 MC "Kenapa" Something wrong?" Mel balik bertanya tanpa menghentikan langkahnya.
"Masa dia pake paperboy bag Victoria Beckham yang sama
kayak yang elo pakai kemarin, Mel!" adu Eva, teman Alexa,
setengah menjerit. "Iya, Mel. Tuh anak emang fans elo banget deh, Mel. Setiap
kali elo pakai barang baru, pasti deh besoknya dia ikut-ikutan.
Posser banget nggak sih!" Alexa manas-manasin. Serasa dirinya
punya style yang paling oke sejagat raya.
Mel menghentikan langkahnya. "Biarin aja kenapa sih" Mungkin dia cuma pengen tampil lebih fashionable," ucap Mel cuek.
"Ooo" wait" wait" kok lo nggak marah sih, Mel" Itu kan
namanya plagiat! Bukannya elo orang yang paling benci sama
yang namanya plagiat" Lo kan yang paling bawel waktu
Christina Aguilera ngikutin gayanya Marlyn Monroe." Alexa
berpindah posisi ke hadapan Mel.
Mel terdiam sambil menatap Alexa dalam-dalam. Pagi-pagi
Alexa udah bikin gerah karena obrolan yang nggak penting
itu. Perlahan matanya berkilat menjelajahi tubuh Alexa. "Kalo
elo" kira-kira apa namanya?"
"Ma-maksud lo?"
Dengan jeli mata Mel kembali menelanjangi Alexa.
"Hmm" kemeja Esprit, bando jins belel, sepatu Converse
warna pilox, dan tas selempang penuh coretan. Lo kelihatan
keren banget!" "Oh, really" Thanks, Mel!" jawab Alexa senang setengah
mati. Gimana nggak senang dipuji cewek kayak Mel yang terkenal paling fashionable di sekolah" "Yah" ini emang sengaja
gue beli biar bisa ngikutin tren fashion sekarang yang lagi in di
Hollywood sana. Instant street look!"
13 001/I/15 MC pu st ak ain do .b lo gs po t.c om "Ooo" Tapi kayaknya itu gaya gue Rabu kemarin deh,"
ucap Mel santai. "Lain kali lebih kreatif ya," lanjutnya sambil
menepuk pundak Alexa dan ngeloyor pergi.
Kwakwaw! Alexa tengsin banget mendengar ucapan Mel.
Cewek itu sadar banget Mel emang punya mata super untuk
mendeteksi penampilan seseorang. Tinggallah ia yang manyun
ditemani Eva. Ringtone HP Melanie berbunyi nyaring. Cewek itu langsung
mengubek-ubek tasnya yang penuh perkakas cewek. Agak lama
tangannya mengubrak-abrik isi tas, lalu dengan gembira ia menarik benda mungil berwarna pink itu keluar dari tas, dan"
"Halo!" "Halo, Sayang, gimana" Lulus, kan?" tanya seseorang di seberang yang ternyata papa Melanie.
"Pasti dong, Pa. Pokoknya pindah ke Paris ya, Pa"," Mel
berkata sambil melilit-lilitkan helai rambutnya di jari telunjuknya.
?"" tidak ada jawaban dari Papa.
"Pa?"" Mel melihat layar HP-nya, memastikan sambungan
teleponnya nggak terputus.
"Oh" eh, congratulation ya, Sayang. Nanti pulang sekolah
kamu bisa ke kantor Papa?"
Mel berpikir sejenak. "Hmm" kayaknya nggak bisa, Pa.
Aku nanti mau pergi sama Marco. Kami mau ngerayain kelulusan bareng. Kenapa nggak besok pagi aja?"
"Oke. Besok pagi-pagi sekali ya. See you, dear."
"Bye, Pa." Mel mematikan HP-nya dan menyemplungkannya kembali
ke dalam tasnya. Belum sempat ia melangkah, seorang cowok
berpenampilan rapi dan wangi menutup kedua matanya dari
belakang. "Hayo" habis telepon-teleponan sama siapa?"
Mel yang hafal banget suara cowok barusan langsung tersenyum sumringah. "Ada aja!" ucapnya manja.
Cowok itu melepaskan tangan yang menutupi mata Mel dan
langsung mencubit mesra hidung pacarnya itu. "Ketahuan,
ya?" Mel nyengir. Ia tersenyum ceria ketika cowok bernama Marco
itu merangkul bahunya. Mereka berjalan bersama menuju
kantin. Mereka memang pasangan serasi. Marco cowok paling
rapi dan wangi di sekolah. Rambutnya aja nggak pernah berantakan meskipun ketiup angin. Kayak dikasih power glue.
Entah berapa banyak gel rambut yang dia pakai.
"Nanti kita jadi pergi kan, Sayang" Merayakan kelulusan
kita," bisik Marco. "Jadi dong!" "Dandan yang cantik ya."
"Emangnya kita mau ke mana sih?"
"Ada deh! Rahasia. Sampai ketemu nanti ya, aku mau latihan basket dulu," ucap Marco sambil melepaskan rangkulannya


Canting Cantiq Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tepat di depan kantin. Kemudian cowok itu berteriak, "SAYANG, AKU LEBIH SUKA PARFUM KAMU YANG KEMARIN! LEBIH GIRLY!"
14 001/I/15 MC Mel masih tertidur nyenyak, habis pulang dari clubbing bareng
Marco, ketika tiba-tiba terdengar gedoran lumayan kencang di
pintu kamarnya. Nggak ada reaksi dari Mel, kecuali tangannya yang menarik
selimut sutranya hingga menutupi seluruh tubuh. Maklum, baru
15 001/I/15 MC pu st ak ain do .b lo gs po t.c om satu jam yang lalu ia berhasil melanglang buana terbang ke
alam mimpi. Mimpi pacaran dengan Justin Timberlake, penyanyi favoritnya. Jadi, ia nggak rela kalau sampai mimpi indahnya terganggu cuma gara-gara gedoran pintu di pagi buta.
Gedoran pintu semakin keras. Kali ini terdengar suara Mbok
Darmi, pembantu rumahnya. "Non Melanie" bangun, Non.
Buka pintunya, Non."
Suara berisik di luar ternyata sanggup membuat Mel dengan
berat hati membuka matanya. "Aduuuh, apaan sih!" Mel bangkit dari tempat tidurnya. Kepalanya nyut-nyutan gara-gara tidurnya yang baru sebentar. Mel mengambil kimono, mengenakannya, dan menyeret langkahnya menuju pintu.
"APAAN SIH! Nggak sopan tau, gangguin orang tidur!"
semprot Mel ketika melihat Mbok Darmi masih berdiri di depan pintu. Seperti biasa, Mbok Darmi mengenakan baju kebesarannya, yaitu kebaya dan kain. Meskipun udah sering kena
protes Mel untuk ganti model pakaian, Mbok Darmi terusterusan menolak. Katanya dia nggak terbiasa pakai baju model
lain. Di saat dompet bermerek bertebaran di mana-mana, baik
yang asli maupun bajakan, Mbok Darmi masih menyimpan
uangnya di dalam lipatan saputangan yang ia selipkan di balik
kutangnya. Wanita separuh baya itu gemetar. Wajahnya pucat karena
tau majikannya itu baru saja pulang. "N-non" maaf, Non.
Non dipanggil Bapak di ruang kerja. Kata Bapak darurat, cepat, urjen!"
Mata Mel yang lengket kayak prangko ia paksakan terbuka.
Emosinya berangsur surut ketika tau papanya memanggil. "Ya
udah. Makasih, Mbok."
Mel membasuh wajahnya di wastafel kamar mandi. Sambil
16 001/I/15 MC mengenakan kimono, ia melangkah gontai menuruni tangga
rumahnya menuju ruang kerja.
Di ruang kerja, Papa terlihat udah rapi dan wangi seperti
biasa. Beliau sedang sibuk menstabilo beberapa artikel di koran
sampai-sampai nggak sadar sejak tadi anak semata wayangnya
sudah ada di hadapannya. Mel mengintip membaca beberapa judul artikel koran yang
telah ditandai dengan stabilo berwarna oranye ngejreng. Jantung Mel berdetak kencang ketika menyadari atikel-artikel itu
berisi tentang bangkrutnya bisnis ayahnya dan beberapa kasus
yang terkait. "Pa!" Mel menyapa ayahnya pelan tapi pasti. Padahal dalam
hati ia berusaha menahan rasa takutnya. Takut akan kenyataan
yang mungkin akan dihadapinya dalam waktu dekat. Dekat
banget" Papa mengangkat kepala. Ia menghentikan kesibukannya,
lalu melepas kacamatanya. Walaupun tersenyum lembut, kelihatan jelas dari matanya Papa sangat lelah.
"Ada apa, Pa?" Ayah Mel menatap wajah putrinya lekat-lekat. Sesaat ia memijat keningnya sebelum berkata, "Kamu pasti sudah mendengar berita tentang Puretnik kan, Sayang?"
Mel mengangguk pelan. Ia menggigit ujung bibir pinknya,
menunggu kalimat selanjutnya yang akan keluar dari bibir
Papa. Rasanya deg-degan banget.
"Papa berpikir" mungkin untuk sementara waktu, lebih
baik kamu tidak di Jakarta," dengan berat hati ayah Mel berkata.
"Ma-maksud Papa?"
"Bisnis Papa sedang guncang. Rumah, mobil, dan beberapa
17 001/I/15 MC barang cepat atau lambat akan disita. Papa nggak mau kamu
melihat itu semua"," Ayah Mel sabar menjelaskan. "Jadi"
mungkin lebih baik kamu tidak di Jakarta sampai semua kembali normal. Sampai Papa bisa mengatasi semuanya?"
Mel terdiam. Ia telah menduganya. Ketakutan dan rasa jantung mau copot selama ini terjawab sudah. "Terus, Papa tinggal
di mana" Mel tinggal di mana" Mel nggak bisa pisah sama
Papa. Mel" belum siap."
Papa memegang telapak tangan Mel, mencoba menenangkan
putrinya itu. "Tolong kamu mengerti. Papa harus menyelesaikannya sendiri. Semua sudah Papa urus dengan pengacara Papa.
Untuk sementara waktu kamu akan tinggal di rumah Eyang
Santoso." Mendadak pikiran Mel langsung melayang membayangkan
sosok Eyang Santoso, kakeknya yang hobi traveling itu. Dua
tahun lalu kabarnya Eyang Santoso tinggal di Paris. Wah...
pasti menyenangkan banget kalau ia dititipkan ke Eyang
Santoso. Bisa belanja di butik-butik ternama di Paris, ketemu
desainer-desainer kondang, dan makin deket aja jalannya untuk
jadi model internasional. Saking serunya mengkhayal, Mel memekik kencang, "Asyiiik!"
Dahi Papa berkerut. "Asyik?"
"Eh... Ah, nggak... Hehe..." Mel nyengir, tengsin karena ketahuan kegirangan.
"Eyang Santoso yang akan mengurus semua kebutuhan
kamu. Kamu akan lebih baik di sana...," Papa melanjutkan.
Yes! Yes! Yes! Yup, gue emang akan lebih baik di sana. Papa
tau aja yang aku mau, ucap Mel dalam hati sambil cengarcengir.
"Dan Papa sendiri akan tinggal di kantor Papa. Dalam dua
hari ini, tolong kamu bersiap ya, Sayang. Kamu pasti bisa. Kita
kan tim yang kompak!" Papa berkata pelan. Kemudian, dengan
lembut ia membelai kepala putrinya. "Everything"s gonna be
alright, dear" Papa janji, ini nggak akan lama."
Yeah, everything"s gonna be alright, Pa. Everything. Paris gitu
lhooo. Mimpi apa gue bisa ke Paris secepat ini" Gue emang
beruntung. PARIS" I"M COMING!!!
18 001/I/15 MC Siang itu Mel tampak sibuk menata barang-barang pribadinya
ke dalam koper. Baju, rok, celana, parfum, sepatu, sampai koleksi kuteks miliknya.
Hari ini orang-orang di rumahnya pada sibuk membantu
mengepak barang-barang untuk dibawa ke gudang sewaan
Papa. Barang-barang di kamar Mel juga udah pada diangkutin.
Dari pintu teras, seorang lelaki bertubuh tegap dan berjas
hitam menghampiri Melanie. Dengan gaya bak bodyguard mafia
di film-film Hollywood, lelaki itu melepas kacamatanya. Mendadak kesangaran lelaki itu luntur seketika. Bayangin aja, mata
lelaki itu berbentuk kenari dengan bulu mata superlentik kayak
bulu mata cewek. Ketika ia mengedipkan mata, bulu matanya
seakan bergoyang-goyang seperti rok penari hula-hula. Nggak
maching banget sama postur tubuhnya yang sebesar pemain
smackdown. "Melanie Adiwijoyo"," dengan lantang lelaki itu memanggil
nama Mel bagaikan guru sedang membacakan absen di kelas.
"Perkenalkan, saya Thomas Sidabutar. Pengacara papa kamu,"
lanjut lelaki itu sambil mengulurkan tangannya yang besar.
19 001/I/15 MC Mel membalas jabatan tangan pria itu dengan tatapan bingung, sambil berusaha melepaskan genggaman pria itu yang
kerasnya minta ampun. Tubuh Mel sampai bergetar karena
saking semangatnya pria itu. Ada apa siang-siang yang panas
begini dia datang" "Langsung saja?" Setelah kata-kata itu keluar dari mulutnya, lelaki itu langsung nyerocos panjang-lebar tanpa memberi
Mel kesempatan untuk berbicara. "Saya akan menjelaskan permasalahannya terlebih dahulu. Karena Pak Wijoyo telah memberikan rumah ini beserta barang-barang berharga sebagai
jaminan investasi perusahaannya yang saat ini telah bangkrut,
secepatnya rumah ini akan disita oleh bank."
Wajah Mel yang semula nggak begitu peduli mendadak pucat. Padahal sebelumnya ia sudah tahu, tapi tetep aja shock
setiap kali kalimat "rumah disita" terdengar.
"Tugas saya di sini adalah untuk menyampaikan pesan dari
orangtua kamu." "Pesan" Pesan apa?" Mel cemberut dengan kening berlipat.
Kenapa nggak Papa aja sih yang ngomong langsung" Kenapa
harus pakai pengacara segala"
"Pak Wijaya telah mempersiapkan segala sesuatunya dengan
baik sekali untuk masa depan kamu. Ada beberapa poin di
sini. Tapi intinya adalah?" Pak Thomas tidak melanjutkan
kalimatnya. Ia menatap Mel sejenak, lalu berkata, "Selama ini
Pak Wijoyo mengasuransikan uangnya untuk keperluan kamu.
Termasuk biaya hidup, pendidikan, dan kesehatan. Beliau juga
sudah memilih tempat tinggal yang cocok untuk kamu. Tempat
kamu bisa belajar banyak hal."
Wow! Mel mulai tertarik dengan kata-kata Pak Thomas
barusan. Bola matanya langsung berbinar-binar. Paris. Paris.
20 001/I/15 MC Paris. "Wah, ini pasti surprise dari Papa. Hmm" Papa memang
tau yang aku mau!" ucap Mel berlagak excited. Bayangannya
untuk menjadi model internasional serasa udah di depan mata.
Jantungnya berdebar-debar. Ia sangat menggebu-gebu.
"Di kota mana, Pak" Paris" New York" Praha" Sydney"
Atau" mana?" Pak Thomas tersenyum kecil. Sebuah nama kota meluncur
dari mulutnya, "Jogjakarta. Ya, besok kamu akan pindah ke
Jogja." BANDARA 21 001/I/15 MC ADISUCIPTO Jogjakarta terlihat ramai oleh
orang-orang yang menunggu datangnya pesawat. Beberapa di
antaranya malah asyik mengobrol di coffee shop atau melihatlihat pernak-pernik khas Jogja yang dijual di konter-konter
kecil dalam bandara. Banyak juga turis-turis asing dengan tas
ransel sebesar kulkas dan kamera tergantung di leher mondarmandir nggak jelas tujuannya.
Beberapa menit yang lalu, pesawat yang ditumpangi Mel
mendarat dengan mulus. Untuk pertama kalinya cewek itu pergi ke luar kota tanpa orangtua. Mungkin keputusan yang diambil oleh papa Melanie untuk menitipkan Mel pada kakeknya
di Jogja adalah keputusan yang paling tepat. Karena hanya kakeknya itu satu-satunya keluarga Mel yang tinggal nggak terlalu jauh dari Jakarta.
Mel memang pernah ke Jogja menjenguk Eyang Santoso.
Tapi itu sudah lama sekali, waktu Mel masih kecil. Bahkan
kalau harus mengingat wajah Eyang Santoso pun ia lupa. Yang
22 001/I/15 MC ia ingat hanyalah postur tubuh Eyang Santoso yang gagah dan
berwibawa. Kata Papa, dulu Eyang Santoso sangat suka traveling. Pindah dari satu kota ke kota lain, keluar-masuk negaranegara lain di dunia. Makanya beliau jarang banget bisa bertemu anak dan cucunya. Backpacker sejati.
Tebersit perasaan takut ketika pertama kali Pak Thomas berkata bahwa Mel harus mulai terbiasa melakukan segala sesuatunya sendiri. Apalagi di Jogja, yang pastinya berbeda dengan
Jakarta. Mel kan anak manja. Apa bisa dia melakukan semuanya sendiri tanpa bantuan orang lain" Keramas aja mesti ke
salon. Kemarin pengacara itu memberikan alamat lengkap dan nomor telepon rumah Eyang Santoso.
"Ada berapa koper, Mbak?" tanya seorang porter ketika menunggu barang bagasi.
"Cuma dua kok, Mas," dengan cepat Mel menjawab sambil
membenarkan posisi kacamata hitam yang besarnya hampir
menutupi setengah wajahnya.
Si porter cuma manggut-manggut kayak pajangan dakocan.
Hati kecilnya berkata bahwa gadis di hadapannya ini sangat
cantik. Sayang judes. Awalnya lelaki paruh baya itu senyumsenyum. Tapi setelah Mel menunjukkan koper miliknya, dia
terbengong-bengong. Gimana nggak bengong, masa kedua koper yang Mel bawa nggak bisa ditaro di dalam satu troli saking
besarnya. Ini koper apa lemari"
Mel berjalan tegak menuju tepi terminal kedatangan diikuti
oleh porter yang sibuk mendorong dua troli. Penampilan Mel
sanggup membuat semua mata di bandara tersebut berdecak
kagum dan gatel pengen kenalan atau sekadar bersiul. Mel
mengenakan sackdress motif kembang dan menjinjing tas ber23 001/I/15 MC ukuran agak besar. Di bahunya tersampir syal merah. Nggak
ketinggalan kacamata hitam yang besarnya bisa membuat orang
bertanya-tanya, "Itu kacamata atau kacamuka?"
Ringtone HP-nya berbunyi. Dari Papa. Mel langsung menjawab, "Ada apa, Pa?"
"Hai, Sayang, udah sampai Jogja?" sapa papa Mel di seberang sana.
"Iya, baru aja nyampe."
"Oh" udah ketemu sama yang jemput?"
"Belum, Pa. Mungkin sebentar lagi."
"Ya udah. Ditunggu aja yang sabar ya. Take care, dear?"
"You too, Pap. Bye?" Klik! Mel mematikan HP dan memasukkannya kembali ke tas.
Di tepi terminal kedatangan, Mel menatap secarik kertas
yang dipegangnya. Terlihat tulisan sebuah alamat. Jalan Solidaritas No. 124, Jogjakarta. Ia berpikir sejenak, kemudian matanya menyapu kendaraan yang lewat. Ia terkejut ketika seseorang memanggil namanya.
"Nuwun sewu, maaf, apa betul Mbak bernama Melanie
Adiwijoyo?" Mel membalikkan tubuhnya dan mendapati seorang lelaki
berambut klimis membawa kertas bertuliskan namanya dengan
huruf besar-besar. Mata fashion police-nya langsung meneliti lelaki itu. Ia langsung berpikir pria ini yang bertugas menjemputnya di bandara. Mel menganggukkan kepala. Sebelumnya ia
sempat heran melihat rambut klimis lelaki itu. Kok bisa klimis
banget gitu ya" Semut aja bisa kepleset kalau jalan di rambutnya. Jangan-jangan yang dipakai minyak jelantah satu galon.
"Syukurlah. Saya pikir pesawatnya di-delay. Kalau begitu,
mari ikut saya, Mbak," ucap pria itu sambil berjalan tertatih
24 001/I/15 MC menunjukkan tempat kendaraannya. "Saya dari travel yang
dipesan Pak Thomas."
Mobil L300 yang disopiri lelaki klimis itu membawa Melanie
melintasi jalan raya yang tidak terlalu ramai. Sejak tadi Mel
hanya terdiam memandangi jalanan di luar sana. Beda banget
sama si sopir yang tak henti-hentinya menjelaskan dengan detail tempat-tempat yang dilewati dengan semangat berkobarkobar.
"Sekarang kita sampai alun-alun. Nah, ini Stasiun Tugu.
Kalau di sebelah sana itu Malioboro. Baru pertama kali ke
Jogja ya, Mbak" Biasanya kalo baru pertama kali, suka pengen
ke Malioboro," ucap sopir itu sambil menyetir kendaraannya
melewati pasar tradisional. Tampak deretan becak, andong, sepeda, dan pejalan kaki dengan belanjaan di tangan mereka.
Mel nggak komentar apa-apa. Ia bahkan nggak peduli. Baginya, pemandangan itu sangat semrawut. Otaknya justru sibuk
memikirkan alasan apa yang menyebabkan ayahnya memilih
Jogja sebagai tempat tinggalnya. Mana mungkin Mel bisa hidup bahagia di Jogja" Mana bisa ia menanggalkan jaket Benetton, tas Esprit, sepatu Guess, dan shopping center, serta mengubah gaya berbusananya menjadi blus biasa, tas rotan, sepatu
tanpa merek" Nggak mungkin juga perut dan lidahnya mampu
mengganti bubble drink dengan wedang ronde. Oh" God!
Ketika tersadar, Mel baru ngeh bahwa saat ini mereka nggak
lagi berada di jalan raya, melainkan sebuah jalan kecil yang
rindang dan deretan rumah dengan arsitektur yang hampir
sama. Mendadak mobil berbelok ke jalanan yang lebih sempit.
Deretan rumah telah berubah menjadi pemandangan pegunungan dan persawahan.
"Please, jangan bawa gue ke planet lain," Melanie memohon
25 001/I/15 MC sepenuh hati. "Fiuuh, buat apa panik" Ini masih Jogja. Seilangilangnya gue, nggak mungkin nyasar sampai ke Papua," tenangnya kemudian.
Mobil menurun lumayan curam dan langsung berhenti tepat
di depan gerbang sebuah rumah.
"Ini rumahnya, Mbak."
Mel menengok ke arah gerbang itu dan membaca sebuah


Canting Cantiq Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tulisan. SODA124. Yup, nggak salah lagi, emang ini tempatnya. Tapi kok agak-agak terpencil" Jauh dari rumah-rumah
yang lain. Bahkan bangunan di dalamnya aja nggak kelihatan
dari luar. "Mas yakin ini rumahnya?"
"Ya yakin tho, Mbak. Rumah ini kan terkenal. Tempatnya
anak-anak Soda." "Anak-anak Soda?"
Pak sopir mengangguk. Mel mencoba meyakinkan diri bahwa papanya nggak akan
mengirimnya ke alamat yang salah. Jadi, setelah sopir travel
yang mengantarnya pergi, Mel langsung memberanikan diri
memencet bel rumah tersebut.
Tuuut"! bel berbunyi. Hah"!" Suara bel yang aneh. Mirip
suara telepon. Lumayan kenceng.
Agak lama Mel menunggu. Matanya beralih ke sebuah papan pengumuman yang diletakkan di sebelah gerbang itu. Papan tersebut penuh poster event-event musik dan pemutaran
film yang tersusun rapi. Nggak ada satu pun kertas yang terkelupas, dan tanggal semua event yang ditempel di sana belum
kedaluwarsa. Sepuluh menit Mel terduduk lemas di depan gerbang. Kayaknya rumah itu kosong. Apa jangan-jangan Eyang Santoso lagi
pergi" 26 001/I/15 MC Mel mengambil HP di dalam tasnya untuk menelepon papanya di Jakarta. Tapi sayangnya nggak ada sinyal. "AAAKKHH!!!
Tempat apaan sih nih" Hari gini nggak dapet sinyaaal!" gerutunya kesal.
Mel beranjak dari tempatnya untuk mencoba membuka gerbang rumah tersebut. Ternyata pintu gerbang itu nggak dikunci. "Lho, kok pintunya nggak dikunci" Ya ampun! Tau gitu
dari tadi aja gue masuk." Dengan pede Mel memasuki gerbang
setinggi dua meter itu dan terbengong-bengong saat mengetahui apa yang ada di balik gerbang itu. Di kiri-kanan Mel
terdapat tembok yang tingginya sedikit lebih tinggi daripada
pintu gerbang. Tembok itu penuh gambar grafiti warna-warni
dengan pesan bermacam-macam. Sangat colourful. Beberapa
space terlihat kosong tanpa gambar. Mel serasa menghadiri pameran lukisan.
Mel menelusuri gambar di sepanjang tembok. Ujung tembok
itu menuju pekarangan rumah yang cukup unik. Hanya butuh
beberapa langkah hingga akhirnya Mel dapat melihat halaman
luas dengan pohon-pohon rindang dan jalan setapak yang menuju sebuah rumah. Dari kejauhan dapat terlihat jelas bentuk
rumah tersebut. Rumah itu tampak besar, tetapi bentuknya agak
aneh. Lebih mirip kapal tanker. Catnya perpaduan antara abuabu, hitam, dan putih. Sangat unik dan" kuno.
Di pekarangan rumah itu terdapat sebuah mobil kuno berwarna ungu ngejreng. Kelihatannya mobil itu udah nggak bermesin, tapi diletakkan begitu aja di sana. Di kap depan mobil
itu duduk seorang cowok berpakaian lurik khas Jawa sedang
memainkan wayang kulit di tangannya. Cowok itu pasti penjaga rumah ini, atau paling nggak, dia tukang kebun di rumah
ini. 27 001/I/15 MC "Bumi gonjang ganjing. Langit kelap-kelip. Katon lir genjanging
alis. Dok" dok" dok?" Cowok itu tampak seru sendiri memainkan wayangnya. Tapi nggak lama kemudian, ia menghentikan permainan wayangnya karena terkejut ketika Mel tiba-tiba
nongol dan ngomel panjang-lebar.
"Eh! Kamu tuli, ya" Tau nggak sih, dari tadi saya udah mencet-mencet bel sampai bego" Kamu di sini malah asyik-asyikan
main. Mana di luar panas banget!" ucap Mel sambil mengipasngipas wajahnya dengan tangan.
Cowok itu tersentak, lalu menatap heran cewek yang berdiri
di hadapannya. Cewek itu cantik banget, pikirnya. Jangan-jangan kuntilanak. Tapi" kok ada kuntilanak siang-siang begini"
"Eh! Malah bengong, lagi! Tuh bel di luar nyala, kan?"
"Bel" Oh" bel itu memang nyala, Mbak. Tapi bunyinya
keluar. Bukannya ke dalam," jelas cowok itu sopan banget
meskipun udah dibentak-bentak Mel.
Aneh banget, bel kok bunyinya keluar" Sampe zaman robot
juga nggak bakalan ada yang bukain pintu. Kalo gitu, ngapain
juga pake dipasangin bel segala" Pasang aja kentongan. Biar
satu kampung dateng semua!
"Mbak pasti baru pertama kali ke sini, ya" Makanya Mbak
nggak tau, di rumah ini kalau mau masuk ya masuk saja. Pintunya cuma digembok kalau malam saja kok, Mbak. Soalnya
gerbangnya kan agak jauh dari rumahnya. Jadi, kalaupun
teriak-teriak juga nggak akan ada yang dengar."
Mel semakin bingung. Siapa saja boleh masuk" Termasuk
maling" Kok rumah ini aneh banget"
"Mbak mau nyari kos-kosan, ya?" ucap cowok itu dengan
nada lembut banget kayak kapas.
28 001/I/15 MC "Hah" Apa" Kos-kosan?"
"Iya. Kamar kos. Di sini kamarnya sudah penuh semua tuh,
Mbak." "Hah" Emangnya di sini kos-kosan?"
Cowok itu mengangguk. Mel mulai panik. Jangan-jangan dia
salah alamat. Tapi nggak mungkin. Sopir travel yang nganter
dia kan nggak mungkin salah rumah. Jadi, Mel langsung to the
point. "Majikan kamu mana?"
Cowok itu mengerutkan keningnya. Kemudian ia tersenyum
simpul. "Majikan" Saya ngekos di sini juga, Mbak," ucapnya
sopan. "Mbak dari mana, ya?"
"Mmm" gue dari Jakarta, mau nyari Eyang Santoso," ucap
Mel ragu sekaligus nggak enak ati.
"Oh, nyari Eyang toh. Mari saya antar," ucap cowok itu tenang. Kemudian dengan sukarela ia membantu Mel membawa
koper-kopernya. Cowok itu kelihatannya cowok baik-baik.
Tutur katanya lembut dan sopan banget. Penampilannya terkesan jadul. Dengan baju lurik Jawa, sandal jepit, dan rambut
yang dikucir dengan karet. "Kula Saka," cowok itu memperkenalkan diri dalam bahasa Jawa.
Belum sempat Mel menyebutkan namanya, suara berisik kayak bajaj mengagetkan mereka. Seorang cowok dengan rambut
kribo dan celana cutbrai datang sambil membawa Vespa pink.
Hah" Nggak salah nih" Cowok kok pake Vespa warna pink"
Cowok itu lihai juga memarkir Vespa-nya. Soalnya, meskipun
Vespa itu belum betul-betul berhenti, tuh cowok udah turun
duluan. Aneh, naik Vespa kok kayak naik sepeda onthel.
Cowok kribo itu melepas kacamata hitam berbingkai tebal
yang gedenya bisa bikin kuda-kuda pada minder, lalu dengan
heran menatap sosok Mel yang juga kelihatan heran melihat
cowok itu. Jadilah mereka saling heran. "Hai!" dengan pedenya
cowok itu menyapa sambil mengedipkan sebelah matanya. "Gue
Jhony. Bukan Jhony Depp, bukan juga Janji Jhony. Tapi cukup
panggil Jhooonny. Jhony, cowok teeeerganteng sepanjang masa,"
lagi-lagi dengan pedenya cowok itu memperkenalkan diri.
Ganteng" Nggak salah" Gaya kayak ondel-ondel begitu dibilang ganteng" Mel berkata dalam hati. Ia membalas jabatan
tangan Jhony dan sedikit kaget karena cowok itu menggerakkan telunjuknya di telapak tangan Mel. Refleks, Mel langsung
melepaskan jabatan Jhony. Asli! Amit-amit jabang baby!
Sebenernya ini tempat apa sih" Ini bener rumahnya Eyang
Santoso, kan" Kok isinya makhluk-makhluk aneh begini" Masa
iya Mel harus tinggal dengan orang-orang kayak gini"
"Mbak ini nyari Eyang Santoso. Jauh-jauh dari Jakarta,"
Saka menjelaskan pada Jhony.
"Ooh" nyari Eyang. Kenapa nggak nyari Abang Jhony aja"
Dengan senang hati lho. Ck! Eh iya, nama lo siapa?"
Mel menarik napas dalam, mengambil ancang-ancang untuk
menjawab pertanyaan Jhony. Tapi belum sempat ia menjawab,
lagi-lagi seorang cewek yang juga nggak kalah nyentrik melintas di depannya sambil terpincang-pincang karena kesulitan
mengenakan sepatu Converse dekil sambil jalan. Cewek itu
tampak unik sekali. Rambutnya yang hitam dipotong model
bob asimetris sebahu dengan sedikit highlight warna pink. Ia
mengenakan kaus hitam polos dan celana jins. Tangannya penuh gelang karet berwarna hitam. Sangat ROCKER!
"Weiiitss, Abang Jhoooony! Gimana, liputannya udah kelar"
Dapet duit dong" Traktiiir dong"," cewek unik itu menyapa
Jhony. Ia lalu menatap Melanie sambil tersenyum ramah. "Hai!
Temen Abang Jhony, ya" Eh, eh, jangan mau sama Abang
29 Jhony. Ntar diutangin lho!" lanjut cewek itu sambil nyengir.
Kemudian mulutnya sibuk membuat gelembung balon dari permen karet di mulutnya.
"U-huk!" Suara batuk membuyarkan acara ramah-tamah mereka. "Melanie" Sudah lama sekali Eyang ndak melihat kamu.
Mari masuk, masuk," sebuah suara sedikit serak menyambut
Melanie. Seorang pria tua dengan tongkat dan mengenakan
topi mirip topi pejuang kemerdekaan zaman Belanda muncul
dari dalam rumah. Kakek itu nyentrik sekali dengan celana
pendek dan selop. Hmm" perpaduan yang unik. Wajah kakek
itu tampak tersenyum ceria. Sekilas ia mirip pengusaha sukses
Bob Sadino. "E-Eyang Santoso?" tanya Mel nggak yakin karena takut salah. Well, udah lama banget sejak terakhir kali mereka bertemu.
"Betul. Kamu cepat sekali besar. Dulu kamu masih segini,"
ucap Eyang Santoso sambil menunjukkan kelingkingnya. Kemudian ia menunjukkan ibu jarinya. "Sekarang kamu sudah segini. Hahaha!"
Entah karena apa, Saka, Jhony, dan cewek rocker tadi mendadak kaget ketika mendengar nama Melanie Adiwijoyo disebut.
"Mbak" Mbak Melanie Adiwijoyo?" cewek rocker itu bertanya dengan wajah melongo. "Keren!"
Mel mulai bingung. Ia berkata dalam hati, Hah" Keren" Keren apanya" Bajunya" Ya iya laaah. Gue kan calon model internasional! Penampilan itu nomor satu buat gue.
"Melanie Adiwijoyo?" Ondel-ondel berambut kribo gantian
bertanya. Dengan wajah yang mendadak serius, ia meneliti Mel
dari ujung rambut sampai ujung kaki.
30 Apa sebegitu anehnya nama Melanie, sampai-sampai Saka,
Jhony, dan cewek rocker itu melongo kayak gitu" Mel tau, sebagai anak pengusaha sukses Aryo Adiwijoyo, tampangnya
emang cukup terkenal di Jakarta. Tapi ia nggak nyangka di
Jogja pun ia dikenal. Bagus deh!
"Selamat datang di Soda. Apa kabarmu, Mel" Kamu pasti
lupa sama Eyang. Terakhir kali kita bertemu, Eyang masih gagah. Ndak loyo seperti ini. Hahaha," lanjut Eyang Santoso
dengan ekspresi hangat. Kelihatannya lelaki ini doyan banget
ketawa. Dari tadi ketawa melulu.
Melanie merasa canggung. Kalau ternyata benar mereka adalah penghuni rumah ini, mampus aja! Mana bisa ia tinggal
dengan orang-orang aneh kayak begini" Matanya langsung sibuk meneliti setiap sudut rumah, mencoba menilai keadaan
sekitar. Jangan-jangan rumah ini museum manusia aneh. Atau
jangan-jangan, orang-orang ini adalah makhluk yang dibawa
Eyang dari jalan-jalan keliling dunia.
"Waaah, cucu Eyang cantik juga," Jhony berkata sambil menyipitkan mata dan menaikkan kerah kemejanya.
"Jhony!!!" Tuk! Eyang Santoso memukul kepala Jhony dengan tongkatnya. "Jangan kurang ajar sama perempuan!"
"Bercanda, Eyaaaang"," ucap Jhony nyengir sambil menepuk-nepuk rambut kribonya.
"Awas kamu!" ancam Eyang Santoso.
"Siap, Kapten!" jawab Jhony.
"Ya sudah, nanti saja ngobrol-ngobrolnya. Kamu pasti lelah
kan, Mel" Dara, sebelum kamu berangkat kerja, tolong antarkan Melanie dulu ke kamarnya."
"Ehem, maaf ya, apa kamar saya di sini ada AC-nya?"
Melanie tampak bingung. "Soalnya saya nggak biasa keringet31 an. Terus, kamar mandinya di dalam, kan" Hmm" kalo mau
ke salon di mana ya" Gerah nih, pengen creambath," ucapnya
sambil mengipas-ngipas wajah dengan tangannya.
Eyang Santoso hanya tersenyum. "Kamu istirahat saja dulu.
Nanti malam kita berkumpul di ruang TV. Di sana Eyang akan
memperkenalkan kamu dengan saudara-saudara kamu yang
lain." Saudara?"" Mel jadi tambah bingung.
Kamar Mel berada di lantai atas. Posisinya mirip dengan kamarnya di rumahnya yang dulu, hanya saja yang ini ukurannya
jauh lebih kecil. Tapi barang-barang yang ada di dalamnya
adalah barang-barang yang dipindahkan dari kamarnya dulu.
Ternyata Papa sengaja mengirimkan barang-barang Mel terlebih
dulu sebelum Mel datang. Semuanya tersusun rapi. Foto-foto
dirinya dengan kedua orangtuanya juga sudah terpajang. Sepertinya kamar itu memang sudah dipersiapkan untuk Mel.
Papa pasti sudah merencanakan semuanya. Meskipun nggak
ada AC-nya, kamar itu terasa nyaman.
Jendela kamar itu tepat di atas mobil kuno ungu yang terparkir manis di pekarangan. Kalau dilihat-lihat, rumah ini
besar juga. Meskipun nggak sebesar rumahnya dulu, rumah ini
cukup luas dan nyaman. Kamar-kamar cewek dan kamar-kamar cowok semuanya berada di lantai atas. Cuma bedanya, kamar cewek berada di sisi
sebelah kanan, sedangkan kamar cowok berada di sisi kiri.
Tangga untuk menuju kamar cewek dan kamar cowok juga
beda. Jadi di ruang bawah terdapat dua tangga menuju sisi kiri
32 dan sisi kanan. Sebuah perpustakaan kecil juga berada di lantai
atas. Kamar mandi terletak tepat di depan kamar Mel dan di
bawah tangga. Lantai bawah sangat luas tanpa sekat. Hanya ada tembok
untuk membatasi dapur di ujung ruangan. Lantai bawah terlihat sangat nyaman. Ada sofa merah besar yang kelihatan
empuk; sebuah televisi; karpet besar dengan bantal warna-warni; rak tempat koran, CD, dan kaset; serta sebuah kursi malas
tempat singgasana Eyang Santoso. Nggak ketinggalan sebuah
kulkas dan foto-foto yang terpajang rapi di temboknya.
Mel mengocok HP-nya, berharap sinyalnya muncul seketika.
"Ayo dooong"." Dan" tring! Ajaib. Mendadak dua buah garis
sinyal muncul di layar HP. Mel langsung tersenyum sumringah.
Buru-buru ia menekan nomor Papa.
Tut...tut...tut" HP Papa sedang online. Pasti Papa lagi sibuk
banget, pikir Mel. Ia langsung teringat Marco, pacarnya tercinta. Dengan cepat ia memencet nomor Marco. Kangen beraaat!
"Halo!" sapa orang di seberang. Kedengarannya Marco lagi
di tengah keramaian. Soalnya berisik banget.
"Sayaaaang, aku udah sampai di Jogja."
"Halo" Ya?"
"Sayaaang, aku kangeeen?"
"Oh, Mel, nanti aku telepon ya. Lagi di club nih." Tut...
tut...tut... Sambungan terputus.
Mel mencoba menelepon kembali, tapi langsung di-reject
sama Marco. "Sial. Sial. Sial!"
33 Jam tujuh malam, begitu turun dari kamarnya, Mel kaget karena banyak konfeti menghujani tubuhnya.
"SELAMAT DATANG!!!" teriak orang-orang di ruangan
tersebut. Kompak banget, kayak pesta ulang tahun anak umur
lima tahun. Melanie heran dengan tingkah mereka yang menurutnya
agak-agak freak itu. Kenapa sebegitu hebohnya mereka menyambut kedatangan gue" Apa jangan-jangan mereka sebenarnya meledek gue yang terpaksa tinggal di tempat kos-kosan
begini karena Papa udah nggak punya duit lagi" Mel mulai
curiga. Mata Mel menjelajahi satu per satu orang-orang yang berada
di ruangan tersebut. Jumlah mereka sekitar tujuh orang, termasuk Eyang Santoso. Jhony, Saka, dan Dara juga ada di sana
dengan pakaian mereka yang ajaib itu.
Tiga orang lainnya berpenampilan lebih unik lagi. Ada cowok berambut jigrak dengan kacamata tebal mirip tokoh Fido
Dido. Cowok itu menumpuk uang logam, menjatuhkannya,
lalu memungutnya sambil komat-kamit. Ada lagi cewek manis
berwajah oriental dengan rambut dikepang dua plus poni kayak
Dora. Ia memakai kardigan kebesaran. Sejak tadi ia repot membubuhkan minyak telon ke tengkuknya. Dan yang terakhir
adalah cowok berwajah kalem yang terlihat paling normal di
antara yang lainnya. Ia mengenakan kemeja garis-garis dan
celana jins, menunjukkan pribadinya yang introver dan luruslurus aja. Mel menatap cowok itu selama beberapa saat.
Hei, kenapa ada pangeran di tengah-tengah orang aneh ini"
Sesaat kemudian Eyang Santoso muncul dari balik tubuh
mereka, masih dengan tongkat dan topi legendarisnya. "Nah,
kenalkan, mereka semua ini cucu-cucu Eyang. Mel ini juga
34 cucu Eyang. Jadi, cucu-cucu, kenalkan, ini Mel cucu Eyang.
Hahaha?" "Haaaiii!" mereka menyapa Mel kompak. Dan seperti dikomando, mereka langsung memperkenalkan diri.
"Saya Aiko," ucap cewek berwajah oriental dengan pandangan lembut, selembut suaranya.
Mel menjabat tangan Aiko. Ya ampun! Tangan cewek itu
lembek banget. Kayak nggak ada tulangnya. Mel jadi serem
memegangnya lama-lama. Ntar kalo copot kan berabe.
"Sa-saya" Bima," ujar cowok ganteng berkemeja garis-garis,
sambil menjabat tangan Mel. Tapi mendadak ia menunduk dan
kelihatan agak kikuk. Wajah putihnya mendadak memerah.
Ganteng-ganteng kok aneh!
"Saya Dara. Tadi kita belum sempat kenalan. Dan ini Saka
dan Bang Jhooony," Dara berkata sambil menepuk pundak
Saka dan melempar Jhony dengan bantal sofa.
Blup! Mendadak suasana hening. Semua mata menatap ke


Canting Cantiq Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

arah cowok Fido Dido yang masih serius melakukan hal yang
sama berulang kali. Menumpuk uang, menjatuhkannya, dan
komat-kamit. Entah apa maksudnya.
Jhony yang posisinya paling dekat dengan cowok itu menyenggolnya. "Woy, giliran kamu!"
Cowok Fido Dido itu mengangkat kepalanya dan dengan
tangkas menyodorkan tangannya. "Saya" Dido."
Mel membalasnya. Hah" Kok namanya bisa pas sama tokoh
kartun Fido Dido itu" Jangan-jangan nama panjangnya juga
Fido Dido! "Masih ada satu lagi. Namanya Ipank. Tapi dia udah telepon
nggak bisa datang. Katanya ada kegiatan kampus. Maklum,
aktivis kampus," Eyang Santoso ikut nimbrung, masih dengan
35 wajah humorisnya. Mungkin dulu Eyang mantan anggota Srimulat.
"Heem" Ipank mah biasa. Kerjaannya kalau nggak ikutan
demo mahasiswa ya naik gunung. Dasar! Baru juga masuk
kuliah, udah jadi pentolan senat. Waktu diospek aja seniornya
malah dia bentak. Cari gara-gara aja!" Dara melengos seperti
sudah biasa dengan kelakuan cowok bernama Ipank itu.
"A-apa kalian semua tinggal di sini?" tanya Mel heran.
"Yo"i. Kecuali Dido sama Bima. Soalnya rumah mereka deket banget dari sini. Ngesot sedikit juga sampai. Tapi tiap hari
kami ngumpul di sini. Tempat ini jadi basecamp gitu lho,"
Jhony menjelaskan sambil menggosok-gosok rambutnya dan"
tring! Sebuah koin muncul dari dalam rambutya. "Eee... ini
koin lo nyasar, Do."
Dengan cepat Dido merebut koin dari tangan Jhony sambil
ngedumel nggak jelas. "Oooh" kirain kalian semua tinggal di sini. Gue hampir
aja shock," ucap Mel dengan gaya sedikit jijay.
"Rumah ini rumah orang yang punya mimpi dan cita-cita.
Siapa saja boleh main ke sini. Yang mau ngekos juga boleh.
Di sini semuanya harus kreatif, harus mandiri, ndak bermalasmalasan dan ndak NAR-KO-BA!" Eyang Santoso menekankan
ucapannya pada kata terakhir.
Mel mengerutkan keningnya. Ia nggak biasa dengan lingkungan seperti ini. Lingkungan serba bersama-sama. Dari makan sampai tidur" Apa bisa ia tinggal di lingkungan kayak
gini" Mungkin karena selama ini ia biasa tinggal hanya berdua
dengan Papa, jadinya ia merasa canggung kalo harus tinggal
rame-rame begini. "Rumah-rumah di daerah sini rata-rata kos-kosan semua,
36 Mbak. Maklum, di sini kan dekat dengan kampus dan sekolahan. Ada yang namanya kos-kosan Nyamuk, Jago Kandang,
Sandal Jepit" pokoknya banyak deh," Dara mencoba menjelaskan.
"Orang-orang di lingkungan sini mengenal rumah ini dengan
nama kos-kosan Soda. Semua yang tinggal di sini sudah saya
anggap seperti cucu saya sendiri. Jadi, kalian semua sekarang
bersaudara. Hahaha!" Eyang Santoso menjelaskan panjang-lebar, nggak ketinggalan dengan bonus tawa lebarnya.
"Sama seperti alamat rumah ini. Jalan Solidaritas nomor
124, di singkat jadi SODA124," sambung Dido yang ternyata
ikut mendengarkan tanpa berpaling dari koin-koinnya.
"Maksudnya?" "SODA124. Dibacanya "SODARA?"" Dara tersenyum lebar.
"Orang-orang menyebut kami dengan nama anak-anak
Soda." Anak-anak Soda" Soda apaan" Soda gembira" Penting nggak
sih" Minggu pagi, Mel terbangun dengan suara berisik di luar
kamarnya. Ia mengintip dari balik tirai jendela kamar dan mengernyit heran ketika melihat anak-anak kecil bergerombol
mengelilingi Saka yang sedang bercerita dengan wayangnya.
Eyang Santoso tampak sibuk berbicara dengan Richard, burung
beo kesayangannya yang entah kenapa sangat dibanggakannya.
Padahal Richard cuma bisa mengucapkan dua kata yang sangat
narsis: "Beo ganteng!"
Sesaat kemudian Dara muncul dari dalam rumah dan ber37 pamitan pada Eyang Santoso untuk berangkat bekerja. Kabarnya, Dara adalah penyiar radio di Jogja. Dia selalu siaran
pagi-pagi dari Senin sampai Kamis. Selesai siaran, ia biasanya
langsung meluncur ke toko kaset tempatnya bekerja.
Mel buru-buru menyisir rambut dengan jari tangannya di
depan cermin. Ia mengeluh karena nggak ada kamar mandi di
kamarnya sehingga harus keluar kamar dulu. Baju tidurnya
yang pendek ia tutupi dengan kimono. Dengan langkah jinjit,
Mel membuka pintu kamar dan melongokkan kepala, berjagajaga jangan sampai ada orang yang melihatnya keluar. Kemudian ia berlari kecil menuju kamar mandi.
Tiba di depan pintu kamar mandi, tangannya langsung meraih gagang pintu. Ia membukanya perlahan dan"
"AGRRRHH"!!!"
Seorang cowok bertubuh atletis ada di dalam kamar mandi
itu. Cowok itu hanya memakai celana jins belel tanpa kaus
yang menutupi perut sixpack-nya.
Mel berteriak dan langsung menutup wajah dengan kedua
tangan. Dia shock banget. Masalahnya, dia nggak pernah ngeliat cowok setengah bugil di depannya gitu. Baginya itu termasuk pornoaksi dan pantas kena RUU APP.
Cowok yang lagi asyik cuci muka itu kontan ikutan kaget
ngeliat ada cewek cantik dengan pakaian seksi berdiri di hadapannya. Ia buru-buru mengenakan kausnya.
"Kamu siapa?" tanya cowok itu heran.
Jantung Mel masih naik-turun. Rasanya mau nangis. Ia masih menutup mata dengan telapak tangannya. "E-elo udah pake
baju belum?" Perlahan ia mengintip dari buku-buku jarinya.
Cowok itu tersenyum geli. Menurutnya, cewek ini lucu banget. Dia jadi semakin gila ngisengin Mel.
Mel membuka mata dan langsung ngomel panjang-lebar,
38 "Elo tuh nggak sopan banget telanjang dada di depan cewek.
Lo pikir rumah ini isinya cowok semua apa?"
"Makanya lain kali kalo mau masuk kamar mandi, mbok ya
ketok pintunya dulu, Mbak. Untung saya cuma nggak pake
baju. Coba kalo saya nggak pake baju sama nggak pake celana?"
"Iiiihhh?" Mel memandang cowok itu jijik. Amit-amit deh
tuh cowok! Cowok itu kembali tersenyum geli. Kemudian ia kembali
mengangkat kausnya. "Mau liat lagi?"
"Aaakkhh!!!" Mendengar teriakan yang sangat spontan itu, cowok tersebut
cengengesan. "Mau ke kamar mandi, kan" Monggo"," ucap
cowok itu sambil berlagak sopan mempersilakan Mel.
Mel langsung masuk, membanting pintu dan menguncinya
sebelum cowok itu sempat ngajak ngobrol lagi.
"Uggh" jijay bajay bawang bombay! Bisa gila gue kalo seumur hidup tinggal di lingkungan kayak gini. Kenapa sih, Papa
nyuruh gue tinggal di sini" Orang-orang terpilih apaan" Jelasjelas orangnya pada aneh-aneh semua. Ngeliat penampilan
mereka, pasti mereka semua nggak ada yang sekolah bener.
Kampungan!" Mel membasuh wajahnya dengan air dingin dan menatap
bayangannya di cermin. "Welcome, Mel. Welcome to dunia
orang miskin." Selesai mandi dan sikat gigi, Mel turun ke lantai bawah.
Suasana di pekarangan rumah masih ramai. Mel lebih memilih
ke dapur untuk mengambil segelas air putih.
"Pagi, Melanie"! Tambah cantik aja pagi ini. Mau sarapan
roti" Itu ambil aja di dapur. Pelajaran pertama di sini adalah
39 melayani diri sendiri." Jhony mengedipkan sebelah mata dengan genit. Cowok yang merasa paling ganteng sedunia itu
langsung menjatuhkan diri di sofa sambil membaca rubrik
kriminalitas di koran. Hah" Cowok kayak gini peduli hukum"
Lebih cocok juga baca rubrik lowongan kerja. Siapa tau ada
yang lagi butuh badut buat pesta ulang tahun. Pasti Jhony langsung jadi nominasi.
Pagi itu penampilan Jhony nggak berubah. Bahkan jadi lebih ancur dengan celana cutbrai kuning dan kemeja garis-garis.
Sangat tabrakan dan" norak pastinya! Entah dia berkiblat
pada gaya fashion siapa. Mel yang emang punya kebiasaan nyela style orang lain jelas
mendadak berkurang ilmunya ketika tiba di rumah ini. Masalahnya, terlalu banyak yang bisa dicela di sini sampai dia pusing sendiri. Sampai Richard pun patut dicela karena warna
bulunya yang hitam ada garis hijaunya. Nggak lazim untuk seekor burung beo.
Mel membuka pintu dapur dan kaget setengah mati melihat
asap yang mengepul di dalamnya. Ia langsung panik karena
mengira ada kebakaran. Tapi begitu melihat ada seseorang yang
sedang memasak di dapur, perasaannya sedikit lega. Masak makanan kok kayak lagi fogging demam berdarah" Jangan-jangan
di sini nggak ada kompor, jadinya harus bikin api unggun dulu
kalo mau masak. Kayak Hiawata aja.
"Heh! Ambilin kecap dong!"
Mel tersentak karena tiba-tiba disuruh ngambilin kecap
sama sang koki. Apalagi si koki ternyata cowok jijay bajay di
kamar mandi tadi. Buru-buru Mel mengambil sebuah botol
yang ada di meja dan memberikannya pada cowok itu.
"WOY! Gue mintanya kecap, bukan saos! Elo bisa bedain
40 nggak sih?" omel cowok itu ketika menerima botol pemberian
Mel yang ternyata adalah saus sambal.
Mel jadi kesel banget. Emangnya salah dia kalau botol kecap sama botol sambalnya mirip" Udah untung diambilin.
"Ye" ambil sendiri dong!" Mel gantian membentak sambil
ngeloyor pergi ke ruang TV.
Jhony yang sedang membaca koran sempat melirik ke arah
Mel. Tapi kemudian ia melanjutkan bacaannya.
Mel duduk di sebelah Jhony. Matanya meneliti setiap sudut
ruangan, mencari telepon rumah. Ia tersenyum kecil ketika
melihat pesawat telepon di meja dekat dapur. Itu tandanya ia
bisa diam-diam memakai telepon itu buat menelepon papanya
untuk minta dijemput. Yes! Mel memang pintar.
"Di luar ada apaan sih" Kok ramai banget?" tanya Mel pada
Jhony. "Oh" kalau hari Minggu, di sini emang selalu ramai anak
kecil." "Oh ya" Pada ngapain?"
"Ya macem-macem. Ada yang belajar baca, belajar gambar,
dengerin Saka dongeng. Bebas-bebas aja. Mumpung libur sekolah."
"Yang ngajar siapa?"
"Eyang Santoso sama Saka."
"Oh..." Mel mengangguk-angguk. Padahal ia heran kenapa
rumah ini jadi tempat kegiatan kayak gitu. Serasa ada di Taman Kanak-kanak.
Mel lalu mengambil koran di meja dan mencari-cari rubrik
fashion di dalamnya. Ia nggak mau sampai ketinggalan berita
fashion terbaru. Jangan gara-gara baru di Jogja dua hari ia langsung udik, nggak tau berita ter-up-to-date.
41 "Mel, udah kenal sama Ipank" Nih dia orangnya!" Jhony
berkata. Mel mengangkat kepala dan melihat sosok cowok menjijikkan yang ketemu di kamar mandi dan di dapur tadi. Tapi ia
nggak tertarik. Makanya ia langsung kembali membaca koran.
"Udah kenal kok. Tadi kami satu kamar mandi," ucap Ipank
santai sambil dengan cueknya makan nasi goreng buatannya.
"Hah" Satu kamar mandi" Serius, Pank?"
"Yo"i! Dua rius malah."
"Gila lo! Ketahuan Eyang Santoso bisa gawat lo!"
Mel jadi sewot mendengar itu semua. Ia langsung ngomelngomel, "Enak aja lo!"
"Emang enak," sambar Ipank sambil mengunyah kerupuk.
"Jelas-jelas kami gantian pakai kamar mandinya!"
"Itulah yang namanya satu kamar mandi, Nona"," jawab
Ipank cuek. "Eh, Jhon, kalo mau nasi goreng, tuh masih ada.
Pakai sosis, ayam, dan telor?"
"Iya, Mel. Itu Ipank bikin nasi goreng kalo kamu mau sarapan juga."
"Ntar malah keracunan, lagi," Mel berkata pelan tanpa berpaling dari korannya.
"Ipank ini paling jago masak di antara kami semua. Maklum,
dia anak pecinta alam. Kebiasaan masak sendirian di gunung.
Jadi, kalo hari libur kayak sekarang ini, dia suka jadi koki
kita?" "Koki apa pembantu?" Mel masih ngedumel tanpa terdengar
oleh Ipank dan Jhony. Mendadak tercium aroma parfum yang cukup dikenal Mel.
Tanpa disadari olehnya, Bima sudah duduk di sebelah Mel dan
ikut membaca koran. Mel mulai nggak konsen membaca arti42 kel Victoria Beckham di rubrik fashion. Ia malah lebih tertarik
mengamati pakaian Bima pagi ini.
Cowok ini beda banget dengan yang lain. Pagi ini Bima
mengenakan celana jins Levi"s dan kaus polo putih. Meskipun
yang dipakai Bima pastinya barang imitasi alias palsu, Mel
sangat menyukai cowok yang menggunakan kombinasi pakaian
kayak gitu. Kelihatan lebih kinclong. Selera berpakaian cowok
ini oke juga. Diam-diam Mel menarik napas panjang, menikmati aroma
parfum Hugo Boss yang, meskipun mungkin juga palsu alias
sepuluh ribuan, tapi cukup lumayanlah untuk menghilangkan
bau badan. Mel masih memperhatikan Bima. Wajahnya mupeng abis. Ia
mencoba membandingkan Bima dengan pacarnya, Marco.
Yah" sebelas dua belas laaah. Tapi Marco jauh lebih rapi dan
tajir pastinya. Cuma Mel nggak terlalu peduli masalah harta.
Baginya, cowok itu yang penting nggak malu-maluin dibawa
ke kondangan. Mel salting banget ketika Bima menyadari sejak tadi dia
diperhatikan. Koran di tangan Mel langsung lecek lantaran
Mel buru-buru membolak-balik halaman koran saking paniknya. Mampus lo, Mel!
Mel langsung nyengir ke arah Bima yang tersenyum ganteng
ke arahnya. Aduuuh, senyumnya maut beneeer. Tenang, Mel,
tenang" Tarik napas dalam-dalam. Konsentrasi, bisiknya dalam
hati. "Pagi"," sapa Bima sambil tersenyum superramah. Cakep
banget. Mel semakin dag-dig-dug. Aduh, kenapa gue jadi deg-degan
pas disapa dia, ya" Sebenarnya Mel mau langsung membalas
43 sapaan Bima, tapi dia mulai memikirkan penampilannya pagi
itu. Yup, pagi tadi ia udah sikat gigi, cuci muka, pakai body
lotion, deodoran, dan" lotion rambut. Fiuuh" perfect! ucapnya
dalam hati. Agak lama Bima menunggu balasan sapaan dari Mel. Bahkan cowok itu hampir saja berpikir Mel malas membalas sapaannya. Tapi ia buang jauh-jauh pikiran itu ketika ia mendengar
Mel berkata" "Pagi juga?" Anehnya, Bima jadi kelihatan canggung. Bola matanya bergerak-gerak. Cowok itu menunduk sejenak, kemudian kembali
sok serius membaca koran di tangannya.
Mel terus menatap Bima, mengagumi kegantengan alami
yang dimiliki cowok itu. Aduh, cowok itu cute banget sih! dalam
hati Mel menjerit gemas. Lumayan juga di sini, ada yang seger
dilihat. "Eh, omong-omong, di Jogja ada tempat clubbing dan
shopping yang oke nggak?"
Jhonny mengangkat kepala. ?"Clubbing" Tanya Dido aja. Dia
lebih tau." "Dido?" Mel bertanya heran.
"Iya. Tapi kalau yang ramai sih biasanya di Barba Club. Tempatnya nggak jauh dari sini kok."
"Ooh..." Mel mengangguk-angguk. Ia berpikir, suatu hari
nanti akan mencoba datang ke Barba Club. Pengen tau gimana
rasanya clubbing di Jogja. Tadinya dia pikir di Jogja nggak ada
tempat clubbing. "Aryati Sastra emang hebat deh. Nih, berita di koran pagi
ini bilang bahwa dia dapet penghargaan lagi di Paris," Jhony
berkata sambil menunjukkan koran tersebut pada Ipank dan
Bima. Seketika kekaguman Mel pada Bima buyar.
Mel diam saja. Aryati Sastra" Siapa itu" Atlet bulu tangkis"
44

Canting Cantiq Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pencak silat" Atau renang" Kenapa cowok-cowok ini segitu
pedulinya" Termasuk Bima. Alaaah, peduli amat! Tapi... Aryati
Sastra dapat penghargaan apa di Paris" Kalo begitu, orang ini
hebat juga. Mel jadi penasaran.
Jarum jam sudah melewati angka dua belas, tapi malam itu
Mel nggak bisa tidur. Sejak selepas isya tadi ia juga nggak
keluar kamar. Jujur, ia masih canggung sama orang-orang di
rumah itu. Biasalah, perasaan standar anak baru di lingkungan
baru. Selain itu, Mel bukan tipikal orang yang doyan basa-basi.
Ya kalo topik yang jadi bahan basa-basi bisa mereka mengerti.
Kalo nggak" Tengsin juga, kan" Lagian, apa yang mau diomongin sama anak-anak kampung itu" Ngomongin fashion" Mana
tau mereka soal Esprit, Guess, Benetton" Ngomongin musik"
Emangnya mereka tahu siapa itu Tiesto" Bisa aja mereka mengira Paris Hilton adalah nama kota di Paris.
"Hmm" mendingan gue maskeran," ucap Mel sambil mengaduk-aduk campuran masker wajah miliknya. Kemudian ia
berbaring di kasur dan tangannya menggapai-gapai majalah
fashion yang tergeletak manis di sebelahnya. "Hmm... posser!
Apa-apaan sih" Masa Cameron Diaz sama Victoria Beckham
bisa-bisanya make sepatu yang sama di acara yang sama" Malumaluin aja!" Mel mulai sibuk meneliti pakaian yang dikenakan
selebritas dalam majalah.
Tiba-tiba ia teringat papanya di Jakarta. "Mmm" Papa lagi
apa ya?" dengan cepat Mel melihat jam di dinding kamarnya.
Jam satu malam. Ia tersenyum jail. Sudut bibir kanannya terangkat.
45 Dengan mengendap-endap, Mel keluar dari kamarnya, celingak-celinguk, dan perlahan menuruni tangga. Wajahnya
yang penuh masker tampak sumringah ketika melihat telepon
di meja. Ia buru-buru mengangkat gagang telepon, berjongkok
di bawah meja, dan memutar nomor HP Papa. Nggak ada
tanggapan dari Papa, padahal nyambung. Apa Papa begitu sibuk sampai-sampai nggak bisa ngangkat telepon" Atau Papa
udah nggak peduli lagi sama nasib putrinya yang terdampar di
planet lain" Mel berpikir sejenak, kemudian memutar nomor HP Marco.
Sekarang baru jam satu. Marco pasti belum tidur. Cowok itu
kan kalong. Berbeda dengan HP papanya yang nggak diangkat,
HP Marco cepet banget diangkatnya.
"Hai, Mel?" "Marco" Kamu lagi di mana?"
"Lagi di dalam bioskop nih. Eh, udah dulu ya, Mel. Nanti
kamu telepon aku lagi?"
"Hah" Bioskop" Kamu nonton sama siapa?"
Belum sempat pertanyaan Mel dijawab, Marco sudah menutup teleponnya. Dengan cepat Mel kembali menghubungi
Marco. Tapi HP Marco dimatiin.
"Brengsek! Kenapa dia nggak peduli sama nasib gue" Kenapa
semua orang nggak peduli sama gue?" jerit Mel tertahan. Ia
terduduk lemas di bawah meja. Air matanya mengalir deras.
Grtak! Sebuah suara terdengar dari arah dapur. Bulu kuduk
Mel merinding. Sesosok bayangan terlihat dari balik pintu.
Siapa jam satu malam belum tidur" Tanpa suara, dengan cepat
Mel menaiki tangga dan mengintip dari atas.
Sosok tersebut keluar dari dapur sambil membawa sebilah
pisau. Mel menahan napasnya sekuat tenaga, takut ketahuan.
46 Siapa tahu orang itu berniat jahat. Bisa-bisa ia langsung dicekik dan mati mengenaskan kayak di film-film horor.
Mel memperhatikan sosok misterius itu. Eh, itu kan Ipank"
Ngapain dia malem-malem belum tidur" Ngapain juga dia bawa pisau gitu" Mel membuntuti Ipank. Tapi anehnya, ketika
sampai di pekarangan rumah, cowok itu mendadak hilang seperti ditelan bumi. Bulu kuduk Mel semakin merinding.
"Mampus gue! Jangan-jangan?" Mel ngibrit menuju kamarnya dan langsung ngumpet di balik selimut. "Satu domba"
dua domba" tiga domba" BURUAN TIDUUUR!!!"
47 KEESOKAN sorenya, suasana ruang santai terlihat hangat.
Semuanya ada di sana, kecuali Bima. Aiko dan Dido masih
mengenakan seragam putih abu-abu. Mereka baru kelas 3
SMA. Mel turun dari kamarnya dan melihat Ipank ada di ruang
santai dengan anak-anak Soda lainnya. Mendadak sekujur tubuhnya merinding. Sejak kejadian malam itu, setiap kali Mel
melihat Ipank, bawaannya merinding terus. Rasanya nggak
jauh beda dengan jalan di kuburan tengah malam. Syerem!
Sengaja Mel duduk menjauh dari yang lain. Ia merasa jengah. Lagi pula, anak-anak Soda melakukan hal-hal yang sama
sekali nggak menarik buat Mel. Makanya ia lebih memilih menonton TV.
Ketika hendak menjatuhkan tubuhnya ke sofa, Mel terheran-heran melihat Jhony yang tampak sesenggukan dengan
mata sembap. Cowok itu menghabiskan berlembar-lembar kertas tisu untuk menghapus air matanya.
48 "Bang Jhony kenapa?" tanya Mel bingung. Pasalnya, Jhony
menangis kayak anak SD nggak dibolehin main sama ibunya.
Matanya berkaca-kaca. "Diemin aja, Mbak Mel. Bang Jhony emang sensitif banget
kalau nonton sinetron," teriak Dara menjawab pertanyaan Mel.
Pantesan aja yang lainnya pada cuek melihat Jhony termehekmehek kayak gitu. Lagian aneh bener, cowok berpenampilan
gahar kayak gitu nonton sinetron aja mewek. Luar Rambo
dalamnya Rinto. Apalagi pake acara jejeritan pas tokoh utama
sinetron yang selalu terlihat menderita lahir-batin disiksa sama
ibu tirinya. "Udahlah, Bang Jhon, mendingan nyanyi-nyanyi gih sama
Ipank," lanjut Dara.
Melihat tulisan kata "bersambung" di layar televisi, Jhony
mengusap air matanya dan" srooot! ia menyusut ingusnya
yang meler. Kemudian ia beranjak dari tempatnya dan mendekati Ipank yang sedang memegang gitar. Sekarang baru kelihatan jelas celana yang dikenakan Jhony. Apa-apaan tuh"
Celana pendek dengan gambar cabe-cabe. Mel nggak kuat untuk nggak nyela habis-habisan dalam hati.
Di ruangan itu cuma Mel yang kelihatan nggak bahagia.
Padahal yang lain ketawa-ketiwi. Dara, Aiko, Dido, dan Eyang
Santoso dengan serunya main monopoli. Sedangkan Ipank dan
Saka nyanyi-nyanyi dengan gitar akustik.
"Ini, Eyang, saya mainin lagu nostalgia buat Eyang." Jhony
yang ngefans berat sama almarhum Benyamin itu memainkan
gitar dan menyanyikan lagu zaman eyang-eyang masih bergaye.
Hebat! Nih cowok bisa dengan gampang mengubah emosi
yang tadinya nangis kejer jadi ketawa-ketiwi.
"Yo mbok ngono tho, cah!" ucap Eyang Santoso sambil tetap
49 sibuk menjalankan bidak monopolinya dan berteriak "Sekakmat!" Lho" Main monopoli apa main catur"
"Elo mainin lagu yang merakyat dong, Jhon. Masa lagu yang
lo mainin yang tau cuma Eyang Santoso sama elo doang,"
Ipank protes. "Gue kan satu selera sama Eyang Santoso. Ya nggak,
Yang?" Eyang Santoso manggut-manggut.
"Tuuh, kan. Yang nggak megang gitar nggak boleh protes!"
ucap Jhony sambil lanjut bernyanyi dan sengaja meninggikan
volume suaranya. "Sini" sini!" Ipank berusaha merebut gitar dari tangan
Jhony. "Gue tau akal setan lo, Pank. Lo pasti mau mainin lagu romantis biar si "ehem" jatuh cinta sama elo, kan" Hahaha?"
"Hee" elo tuh setannya! Dasar Kibouw!"
"Hahaha" iya tuh. Mumpung ceweknya ada di sini," Dara
ikutan nyeletuk. Melanie yang diam-diam mendengarkan percakapan mereka
jelas ke-GR-an. Jangan-jangan cewek yang dimaksud mereka
adalah dirinya. Dengan sikap sok cool, Melanie terus memikirkan celetukan mereka tadi.
"Lagu Kucing Garong aja, Bang Jhon. Biar pada joget jempol,"
ujar Dara tanpa malu-malu.
Mel berlagak nggak peduli. Dasar orang-orang kampung. Jadi
selera musiknya agak-agak aneh. Nggak tau apa, sekarang udah
modern" Lagu-lagu keren udah banyak.
"Saka aja deh yang main gitar. Elo mainnya ngaco, Jhon!"
Ipank menarik gitar dari tangan Jhony dan memberikannya
pada Saka. 50 Mel yang sejak tadi sok-sokan konsen sama acara TV langsung melengos. Saka lagi yang main gitar. Palingan dia bakalan
mainin lagu campur sari atau lagu Jawa yang lain. Mendingan
si Jhony yang main gitar deh.
Jreeeng! Saka meminkan sebuah nada pada gitar. Tiba-tiba
sebuah lirik lagu keluar dari bibirnya.
"Hello my friends we meet again. It"s been a while where should
we begin. Feels like forever?"
Jantung Mel mendadak berhenti. Saka memainkan lagu My
Sacrifice-nya Creed" Mana mungkin" Meskipun itu lagu lama,
tetep aja masih easy listening.
Jemari Saka terlihat lincah memetik dawai-dawai gitar.
Suaranya sangat merdu. Bahasa Inggris-nya terdengar fasih tanpa cacat. Hebat! It sounds perfect!
Saat itulah Mel menyadari Saka begitu menarik. Tapi buruburu pendapat itu ia hilangkan dari pikirannya. Hei, dia itu
Saka! Cowok lugu berpenampilan kuno. Palingan juga cuma
itu lagu keren yang dia bisa. Itu pun setengah mati belajarnya.
Lagian belum tentu juga dia ngerti arti bahasa Inggris di lagu
itu. Taruhan, pasti isi kamarnya nggak lebih dari kaset-kaset
keroncong. "Mbak Mel, gabung sini, Mbak," dengan ramah Dara mengajak Mel.
Mel menatap mereka, berlagak seakan-akan mereka mengganggu keasyikannya menonton TV. "Nggak ah. Acara TV-nya
lagi bagus." "Melanie?" "Iya, Eyang?" "Kemarin Eyang sudah menyusun jadwal untuk kamu."
"Jadwal?" Jadwal apaan sih" pikir Mel. Emangnya kuliah
51 pakai jadwal segala. Lagian, Papa nggak ngomong-ngomong
tuh soal kuliah di Jogja. Mel udah bilang, dia mau jadi model
internasional. "Jadwal apa, Eyang?" Ekspresi Mel cemberut dengan kening berkerut saking negatif banget pikirannya.
Anak-anak yang lain saling pandang, seakan pertanyaaan
Mel barusan sangat aneh. Eyang Santoso tersenyum tenang. Ia
bangkit perlahan dari kursinya, lalu dengan bantuan tongkatnya ia berjalan ke sebuah bufet dan mengambil selembar kertas
dari salah satu laci. Ia menyerahkan kertas tersebut pada
Mel. "Ini jadwal kamu. Pagi-pagi kamu harus membersihkan kamar kamu sendiri, menyapu lantai, mencuci pakaian kamu,
menjemur dan menyetrika sendiri," Eyang Santoso menjelaskan
tulisan di dalam kertas tersebut panjang-lebar.
Mel menatap kakeknya dalam-dalam, tak percaya dengan
semua yang didengarnya. Mana mungkin ia bisa mengerjakan
semua itu" "Apa-apaan ini, Eyang" Ini kan pekerjaan pembantu!"
Eyang Santoso tersenyum. "Tapi di sini ndak ada pembantu.
Pembantu dan tukang kebun hanya datang seminggu sekali.
Semua anak mempunyai tugas yang sama di sini."
"Tapi" aku kan cucu kandung Eyang?"
"Mereka semua juga cucu Eyang," jawab Eyang Santoso tenang.
Mel kembali membaca deretan tugas yang tertulis di kertas.
Mana mungkin ia harus melakukan semua itu" Bisa-bisa ia bengek karena disuruh nyapu dan beres-beres. Kukunya bisa patah gara-gara nyuci baju. Kulitnya gosong gara-gara menjemur
pakaian. Oh, tidaaak!!! "Pokoknya aku nggak mau ngerjain itu semua! Titik!" Mel
52 menggebrak meja di hadapannya sambil ngomel-ngomel. Anakanak yang lain jadi kaget melihatnya. Mel menolak mentahmentah tugas itu. Baginya, tugas itu bukan pekerjaan yang
pantas dilakukan calon model internasional.
Melihat Mel marah-marah, Eyang Santoso hanya tersenyum.
"Semua tugas itu kan untuk kepentingan kamu sendiri."
"Tapi nggak bisa gitu dong, Yang. Eyang nggak berhak nyuruh aku kayak gini. Emangnya Eyang siapa" Pokoknya aku mau
nelepon Papa untuk minta dikirimi pembantu!"
"Eh, jaga omongan elo sama Eyang, ya! Di Jakarta elo bisa
jadi bos. Tapi di sini semua sama!" Ipank naik darah begitu
tau Eyang Santoso dibentak-bentak gitu sama Mel. Tapi Eyang
Santoso malah menyuruh Ipank tenang.
"Oh" kalian pikir gue seneng tinggal sama kalian" Nggak!
Gue terpaksa! Kalian itu bukan keluarga gue. Bukan siapasiapa gue. Dan kalian nggak tau apa-apa tentang gue. Paling
kalian cuma sekumpulan orang kampung miskin yang terlalu
banyak mimpi dan nggak berpendidikan!"
"Dasar cewek sombong! Elo tuh nggak pantes ngomong
nggak sopan kayak gitu di depan Eyang Santoso. Di Jakarta
pasti elo nggak punya temen, kan" Manja, nggak bisa apa-apa,
bisanya cuma nyusahin orang lain. Otak lo itu paling nggak
lebih dari sekadar belanja, salon, ngeceng. Dasar! Udah lulus
SMA, tapi kelakuan masih kayak ABG."
Jantung Mel langsung berdetak kencang. Kata-kata Ipank
barusan sangat menyakitkan. Selama ini belum pernah ada
orang yang berkata sekasar itu padanya. Mel cepat-cepat berlari
menaiki tangga menuju kamarnya dan membanting pintu.
Sayup-sayup terdengar suara Ipank dari lantai bawah, "Dasar
cewek sombong!" 53 Mel menangis tersedu-sedu. Kenapa ia harus mengalami semua ini" Kenapa ia harus diperlakukan nggak adil kayak gini"
Ia calon model internasional, mana mungkin melakukan pekerjaan pembantu" Victoria Beckham nggak mungkin alumnus
pembantu rumah tangga, kan" Dan nggak ada sejarahnya Paris
Hilton pernah jadi TKW. Ketukan pelan terdengar di pintu kamar. Mel diam aja,
pura-pura budek. Paling juga anak-anak tadi, pada mau minta
maaf. Tapi mendadak Mel meloncat dari kasur ketika mendengar suara lembut Aiko yang berkata pelan. "Mbak Mel, ada
telepon dari Jakarta. Katanya papanya Mbak Mel masuk rumah
sakit." Pintu lift terbuka tepat di lantai lima. Embusan udara dingin
langsung menyusupi jaket Benetton hitam milik Melanie. Mata
gadis itu disambut dengan tulisan besar di pintu masuk.
"RUANG VIP". Suasana lantai lima beda banget dengan suasana di lantai
dasar rumah sakit yang sangat crowded. Lorong-lorongnya sepi,
nyaris nggak ada suara. Lantainya putih bersih dengan wallpaper bergambar rangkaian daun pada temboknya.
Mendengar kabar dari Pak Thomas bahwa Papa dirawat di
rumah sakit, Mel langsung bersiap-siap dan terbang ke Jakarta.
Ia begitu cemas. Ia tau papanya punya penyakit jantung. Tapi
kan jarang kambuh. Jadi kalau Papa sampai dirawat di rumah
sakit, berarti penyakit Papa serius.
Mata Mel mulai menelusuri nomor yang tertera di kamarkamar lantai tersebut. "365" 365" 365"," Mel tak henti54 hentinya mengucapkan nomor kamar yang diberitahu Pak
Thomas. Langkahnya terhenti tepat di depan pintu kamar yang
dicarinya. Perlahan tangannya meraih pegangan pintu dan
membukanya. Sepi. Hanya ada seorang dokter yang sedang memeriksa dan
dua orang perawat yang sibuk memasang beberapa alat. Pandangan Mel beralih pada pria yang terbujur lemah di atas kasur dengan masker oksigen di mulutnya. Sosok mengagumkan
yang selama ini menyayangi Mel dan memberikan semua fasilitas yang Mel inginkan.
Kedua perawat tadi meninggalkan ruangan setelah alat-alat
terpasang rapi. Tinggallah sang dokter yang berada di sana.
Dokter yang memeriksa Papa menyadari kedatangan Mel. Ia
melepaskan stetoskopnya dan tersenyum pada Mel. "Kamu"
Melanie, kan?" Mel mengangguk perlahan. "Penyakit jantung papa kamu kambuh. Mungkin terlalu
stres. Saat ini beliau belum sadar. Belum bisa memberi respons.
Tapi untungnya tadi cepat-cepat dibawa ke sini. Kalau
tidak"," dokter itu tidak melanjutkan kata-katanya. Namun,
kemudian ia tersenyum dan berkata, "Kamu tenang saja. Papa
kamu akan baik-baik saja. Saya akan berusaha semaksimal
mungkin. Permisi." "Terima kasih, Dok."
Setelah dokter itu keluar ruangan, Mel mendekati Papa dan
menatap pria itu dalam-dalam. Meskipun dokter tadi meyakinkannya bahwa Papa akan baik-baik saja, Mel tetap merasa
Papa sangat kesakitan.

Canting Cantiq Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suasana hening. Mata papa Mel masih tertutup. Tangannya
terlihat kaku. Mel memegang tangan Papa, tapi nggak ada
55 respons sama sekali. Tangan papanya terasa dingin. Ditatapnya
wajah papanya dalam-dalam.
"Pa?" Papa tidak bereaksi. "Aku" aku nggak pernah sesedih ini semenjak Mama pergi,
Pa"," pelan Mel berkata. "Kenapa bisa sampai kayak gini"
Aku tau Papa bekerja mati-matian, dan itu semua juga buat
aku. Kita kan tim yang kompak ya, Pa?" Air mata menggenang di pelupuk mata Mel. "Meskipun semua orang menjelek-jelekkan Papa, aku percaya sama Papa, karena aku tau
Papa orang baik. Baiiik sekali?"
Perlahan bibir Papa bergerak.
"Papa" Papa udah sadar?" Mel tersentak melihat adanya
reaksi dari papa tercintanya. Ia buru-buru menghapus air matanya. Ia nggak pengen Papa melihatnya menangis.
Papa mengeluarkan kalimat-kalimat yang sangat sulit dimengerti. Tapi entah mengapa Melanie merasa dapat mencerna kata-kata papanya. Beberapa kali Papa memanggil namanya.
Papa kembali berbicara tersendat-sendat. Kali ini Mel tidak
bisa mencerna maksudnya. Saat itulah air mata Mel yang sejak
tadi ia tahan akhirnya keluar juga. Semakin lama semakin deras, karena Mel tidak dapat mencerna perkataan Papa.
Papa terdiam. Seutas senyum tersungging di bibirnya. Ia menatap Mel dalam dan lembut, seakan menunjukkan ia sangat
menyayangi putrinya itu. Lama-kelamaan matanya berair. Papa
menepuk telapak tangan Mel pelan seakan menandakan ia
baik-baik saja. "Papa istirahat ya. Aku keluar dulu mau beli makanan. Secepatnya aku kembali ke sini untuk nemenin Papa." Mel ter56 senyum lembut sambil perlahan mencium kening ayahnya dan
berjalan ke luar kamar rawat.
Di luar kamar, Mel berjalan pelan dengan pandangan kosong. Ia nggak tahu apa yang terjadi di dalam ruang rawat begitu ia meninggalkan papanya. Papa menangis, mengingat putri
semata wayangnya yang sangat ia cintai. Tiba-tiba sebuah kalimat terdengar jelas dari mulut pria itu. Satu kalimat yang
mengakhiri semuanya. Cinta, pengorbanan, kasih sayang, kebaikan, dan kejujuran Papa selama ini. Semua yang terjadi selama ini. Semua tentang Papa"
"Ma-maaf" Maafkan Papa, Mel?"
Pelan. Sepelan alat-alat kedokteran yang perlahan tidak bergerak lagi. Papa Mel pergi".
"Happy birthday, Melanie!!!"
Gadis kecil itu dihujani ciuman dari kedua orangtuanya. Waktu
itu usia Mel delapan tahun. Sebuah kotak berhias pita berwarna
pink dihadiahkan untuknya.
"Apa ini Pa, Ma?" ucap Melanie kecil.
"Buka aja. Surprise!" ucap Mama sambil mengedipkan satu
matanya. Melanie kecil penasaran. Jantungnya berdebar. Perlahan ia membuka kotak besar itu sambil berharap isinya sebuah rumah Barbie
baru. Tapi ternyata"
"Apa ini, Mama?"
"Mesin jahit," jawab Mama.
"Mesin jahit?" 57 pu st ak ain do .b lo gs po t.c om Kedua orangtuanya mengangguk sambil tersenyum. Melanie kecil
hanya terbengong-bengong.
"Suatu saat nanti pasti berguna untukmu," ucap Papa.
"Aku pengen jadi model internasional, Pa. Bukan mau jadi
tukang jahit." "Kamu pasti akan menjadi model profesional. Nanti kalau kamu
sudah lulus SMA, Papa akan kirim kamu ke Paris."
"Janji ya, Pa!" Mel kecil terlihat sangat excited. Ia langsung
memeluk tubuh gagah ayahnya itu. "I love you Pa, Ma?"
Peristiwa berkesan itu selalu terkenang dalam benak Mel.
Setelah melewati sepuluh tahun tanpa Mama, ia kini ditinggal
pergi oleh Papa. Cuma Eyang Santoso yang kini dimilikinya.
Yang saat ini berdiri di sampingnya.
Suasana pemakaman berlangsung khidmat. Para pelayat
nggak henti-hentinya berdatangan. Mulai dari tetangga yang
tukang gosip, teman-teman kantor ayahnya, teman-teman Mel,
ibu-ibu arisan, sampai Pak RT.
Tampak sejumlah wartawan sibuk meliput momen itu, berebut mengambil foto Mel dari dekat. Meninggalnya Aryo
Adiwijoyo adalah berita besar. Hal itu dimanfaatkan dengan
baik oleh orang-orang yang "banci tampil" dengan sok-sokan
nangis kejer biar difoto sama wartawan, atau syukur-syukur diwawancara karena dikira kerabat dekat almarhum.
Mata Mel sembap, tapi ia masih kelihatan cantik. Hampir
saja ia jatuh pingsan ketika mendengar Papa meninggal dunia.
Ia nggak tau apa yang harus dilakukannya. Hei, ia baru delapan belas tahun, mana mungkin bisa hidup sendiri tanpa
bantuan orangtua" Apalagi ia sangat manja.
"Ehem, Mel, gue turut berdukacita ya, Say." Suara manja
nan cempreng yang cukup dikenal Mel terdengar jelas.
58 Mel menengok ke arah datangnya suara dan mendapati
sosok Alexa dengan pakaian yang sangat norak: kerudung merah dengan sackdress hijau daun. Nggak lupa kacamata hitam
segede gaban yang cukup bikin orang-orang menengok ke
arahnya. Alexa mendekatkan wajahnya pada Mel. "Liat penampilan
gue. Keren, kan" New arrival Fayza Boutique loooh! Lucu ya,"
ucap Alexa setengah menjerit.
Mel menatap papan nisan bertuliskan nama Aryo Adiwijoyo
tanpa memedulikan Alexa. Air matanya tak henti-hentinya
menetes. Dalam hati ia menjerit, "Papa, apa yang harus aku
lakukan sekarang" Tolong kasih tau jawabannya?"
"Say, kemarin di Fayza Boutique ada dompet keren banget
lho. Tadinya gue mau ambil. Tapi kayaknya warnanya nggak
cocok sama kepribadian gue gitu. Habis, warnanya gelap-gelap
gimanaaaa gitu." Mel masih bergeming. "Mel, elo denger gue, kan" Kabarnya tahun ini Fayza Boutique mau ngeluarin model tas Barbie yang girly. Ntar kita
borong ya, bo. Mel" Mel" Haloo?" Alexa menjentik-jentikkan
jarinya di depan wajah Mel.
Emosi Mel yang sejak tadi ditahan-tahan akhirnya meledak
juga. Ia bangkit dan menghadapi Alexa. "Heh! Gue pikir cuma
otak lo aja yang bego, ternyata gaya pakaian lo juga nggak kalah begonya. Ini tuh pemakaman, bukannya pesta. Elo salah
kostum!" bentak Mel penuh emosi sambil beranjak pergi melewati kerumunan wartawan yang berebut ingin mewawancarai
dirinya. "MINGGIR! JANGAN GANGGU GUE!"
59 Km dmn" Ak sedih bgt. Butuh km.
Please call me asap! Luv, Mel. SMS terkirim ke HP Marco. Itu SMS kesebelas yang dikirim
ke nomor Marco. Sejak pemakaman papa Mel kemarin, Marco
nggak kelihatan batang hidungnya. Berkali-kali Mel mencoba
menghubungi HP cowok itu, tapi nggak ada jawaban sama sekali. Cuma Marco satu-satunya orang yang bisa menghiburnya
saat ini. Ia sangat butuh Marco.
Selesai pemakaman Papa, Mel dan Eyang Santoso langsung
kembali ke Jogja. Sampai detik ini Mel nggak nafsu makan.
Jangankan makan, keluar dari kamar aja dia males. Eyang
Santoso dan anak-anak Soda khawatir banget dengan kesehatan Mel. Setiap kali salah satu dari mereka merayu Mel agar
mau makan, mereka malah kena semprot, "Gue nggak laper!
Makan aja sendiri!" Di dalam kamar, Mel terus-terusan menangis. Kepalanya
sampai pusing. Ia merasa nggak ada gunanya. Semua impiannya
untuk menjadi model internasional mendadak luntur. Ia bingung, apa yang harus ia lakukan sekarang. Apa rahasia Tuhan
untuk dirinya" Baru beberapa hari Mel tinggal di Jogja, pakaian kotornya
udah numpuk di sudut kamar. Ia memang paling doyan gontaganti pakaian. Dalam sehari ia bisa ganti pakaian sebanyak
empat kali. Buat Mel, penampilan nomor satu.
Saking capeknya Mel menangis semaleman, paginya ia
60 kesiangan. Mel terbangun ketika sinar matahari menyinari wajahnya melalui celah jendela kamar. Kepalanya nyut-nyutan.
Mungkin karena kebanyakan nangis. Perlahan jemarinya menekan-nekan kelopak matanya yang bengkak agar nggak semakin besar.
Saat ke kamar mandi, Mel nggak melihat adanya tandatanda kehidupan di rumah itu. Sepi banget. Kayaknya semua
penghuni rumah ini pada pergi. Yang ada paling cuma Eyang.
Tapi mungkin Eyang lagi di kamar atau di perpustakaan seperti
biasa. Mel mengangkat tumpukan pakaian kotornya. Buseeet! banyak banget! Sampai-sampai kepala Mel nggak kelihatan karena tertutup tumpukan pakaian di tangannya. Dengan hatihati ia menuruni tangga menuju tempat cuci. Mau nggak mau
memang dia yang harus mencuci bajunya sendiri. Emangnya
mau, bajunya jadi sarang nyamuk atau sarang uget-uget"
Bruk! Mel menjatuhkan seonggok pakaiannya di lantai tempat cuci yang penuh ember berisi rendaman pakaian. Mata
cewek itu celingukan. Dipandanginya benda-benda di ruangan
itu satu per satu. Ember, detergen, sikat, slang, gayung" Mana
mesin cucinya"! "Mampus gue! Jangan-jangan"," ucap Mel ketika menyadari
di rumah itu nggak ada mesin cuci sehingga ia harus mencuci
secara manual alias pakai tangan. Brengsek brengsek brengsek!
Nggak tau apa, orang masih berdukacita.
Mel menghela napas panjang. Tenang, Mel. Berpikir cerdas.
Semua orang mencuci pakaian setiap hari. Jadi pasti ini bukan
pekerjaan yang susahnya mengalahkan pekerjaan Spiderman
membasmi kejahatan. Mel memasukkan seluruh pakaiannya di salah satu ember
61 yang berisi air. Ia menyambar kantong detergen di sudut ruangan dan menaburkannya ke dalam ember.
"Berapa banyak" Gue kan pinter. Pasti gue bisa pakai rumus
perbandingan. Oke, kalau misalnya satu baju butuh satu sendok detergen, berarti kalau sebanyak ini?" Mel langsung menuang seluruh detergen ke dalam ember. Ia tersenyum bangga
seperti sudah melakukan sesuatu yang brilian.
Mel mulai mengangkat celana jinsnya untuk dikucek. Brengsek! Kenapa berat banget! Mel mencoba sekuat tenaga mengucek, tapi kayaknya nggak ngaruh. Yang ada malah busa sabun
itu semakin menggumpal. "Akkhh!" Mel teriak pas kukunya
patah. "Uuugghhh! Sebel sebel sebel!!!" Mel menjerit. Kemudian ia terdiam sejenak. Ia bangkit dari tempatnya, dan"
"HIYAAAATT!!!" Dengan gaya mirip pendekar Saur Sepuh,
Mel menginjak-injak pakaian di dalam ember kuat-kuat. Mungkin dengan begitu kotoran di pakaiannya akan hilang.
Acara cuci-mencuci hari ini cukup sekian. Setidaknya ia
sudah membuat sedikit kekacauan di ruang cuci. Busa sabun
berceceran di mana-mana. Di lantai, tembok, ember, bak cuci,
bahkan ada yang nyasar di langit-langit. Jadi, apa masih bisa
dibilang "sedikit" kekacauan"
Setelah setengah mati menjemur cucian yang dianggapnya
sudah bersih, Mel langsung menuju kamarnya. Badannya mau
remuk, pegal di sana-sini. Tapi belum lama ia rebahan di kasur,
perutnya keruyukan. Mungkin cacing-cacing dalam perutnya
lagi bertindak anarkis, demo minta jatah makan. Ia baru ingat
bahwa ia belum makan sejak pagi. Ia pun beranjak menuju
dapur. Siapa tahu ada makanan tersisa.
Air mata Mel menetes ketika ia melihat di dapur nggak ada
makanan sama sekali. Perutnya laper banget.
62 Ia membuka kulkas dan berpikir lumayan lama. Isi kulkas
itu penuh sekali. Semua bahan makanan kayaknya lengkap.
Mel mengambil sebutir telur dari dalam kulkas dan mengamatinya.
"Melanie, lo bisa masak. Lo pasti bisa masak. Ini cuma sebutir telur. Pasti lo bisa membuat telur ini matang." Mel mengangguk-angguk yakin.
Dinyalakannya kompor gas di hadapannya. Aha! Apinya
menyala. Diletakkannya wajan di depannya. Kemudian ia menuangkan sedikit minyak ke dalam wajan. Terus" What next"
Telur! Yup, Mel memegang telur di tangannya dengan sangat
hati-hati. Gimana mecahinnya"
Mel memukulkan telur itu ke meja. Krak! Telur itu pecah
total. Ia lalu mengambil sebutir telur lagi dari dalam kulkas
dan memukul-mukulnya dengan sendok. Krak! Lagi-lagi telur
itu gagal total. Ya Tuhan, gimana cara mengeluarkan isi telur
sialan ini! Seseorang memperhatikan Mel. Ya, Mel sedang diperhatikan.
Cewek itu membalikkan badan dan melonjak kaget ketika
mendapati Ipank sedang berdiri mengamatinya.
"Mau masak apa, Mel?"
"Bukan urusan elo!"
Ipank menatap telur-telur yang berserakan di meja. Cowok
itu tersenyum kecil. Ia mengambil sebutir telur dari dalam
kulkas dan bak pesulap andal, telur itu dipecahkannya. Beberapa detik kemudian telur itu sudah terbentuk indah di atas
wajan. "Bisa nggak sih, elo nggak ganggu konsentrasi masak gue?"
dengan sombong Mel berkata. Sebenarnya ia tengsin berat karena ketahuan nggak bisa mecahin telur.
63 Alis Ipank terangkat. "Oh, sori. Oke, gue pergi. Elo yakin
bisa masak?" "Elo ngeremehin gue" Heh! Gue ini pernah kursus sama koki
Italia terkenal. Namanya Alex" Alex?" Mel mencoba mengarang nama yang berkesan Italiano. "Alexandro del Piero."
Ipank mengangguk-angguk, berusaha memercayai kata-kata
Mel. Kemudian ia mengerutkan kening sambil menatap telurtelur yang gagal total di meja.
"Itu cuma kesalahan kecil! Pergi sana lo!" usir Mel.
"Oke." Ipank beranjak pergi meninggalkan dapur. Sesaat ia
berhenti sebentar sambil bergumam pelan, "Alexandro del
Piero bukannya pemain sepak bola, ya?""
"MBAK MELANIE HILAAANG!!!"
Malam itu, suasana kos-kosan Soda heboh banget lantaran
Melanie nggak ada di kamarnya. Dara yang pertama kali ngeh
Melanie nggak ada di sekeliling rumah.
Eyang Santoso juga ikut-ikutan panik. Dia menyuruh anakanak Soda untuk berpencar mencari Melanie. Masalahnya,
beliau tau banget cucunya itu sama sekali nggak tau daerah
Jogja. Bima yang kebetulan lagi nyetir mobil juga ikut mencari
bersama Dara. Sambil menyetir, cowok itu mencoba menerkanerka ke mana kira-kira cewek model Melanie pergi.
"Mungkin ke mal, Mas!" tebak Dara.
"Jam segini mal kan udah tutup. Sekarang udah jam sepuluh," Bima berkata sambil menatap lurus ke jalan.
"Semoga nggak terjadi apa-apa pada Mbak Melanie..."
64 Tiba-tiba Bima teringat pertanyaan Mel tempo hari. Mel
pernah bertanya soal tempat clubbing. Jangan-jangan dia ke
Barba Club. Bima mulai cemas. Baru beberapa hari Mel tinggal
di Soda, tapi ia merasa Mel sudah lama menjadi bagian dari
keluarga besar Soda. Belum lagi Mel adalah cucu Eyang
Santoso. Kakek yang selama ini dia anggap sebagai kakek kandungnya sendiri.
Bima memegang keningnya, putus asa. Kalau benar Mel ke
Barba Club, kemungkinan "dia kenapa-kenapa"-nya jauh lebih
besar. Meskipun dalam hati berharap Mel nggak datang ke
tempat itu, Bima tetap mencari cewek itu ke sana.
Suasana Barba Club malam itu tampak gemerlapan. Bima
memasuki ruangan kelab yang penuh asap rokok.
"Kita menyebar, Dar. Kamu ke kiri, aku ke kanan."
Dara mengangguk dan mulai berjalan mencari Melanie.
Dentuman suara musik memenuhi ruangan. Membuat semua
pengunjung kelab itu hanyut dalam suasana.
"Hai, Bim! Tumben dateng. Lagi suntuk ya?" sapa seorang
cewek cantik sambil memegang segelas minuman.
"Eh, kamu, Karen. Aku lagi nyari temen," jawab Bima datar.
Matanya menyapu sekeliling ruangan.
"Temen apa temeeen...?" goda cewek cantik itu. "Minumminum sini dulu aja laaah..."
"Temen. Cucunya Eyang Santoso."
Karen mengangguk malas.

Canting Cantiq Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kayaknya dia nggak ada di sini. Aku cabut ya, Ren," ujar
Bima sambil beranjak pergi meninggalkan Karen yang terlihat
panik. "Eiits... nanti dulu dong, Bim. Kita kan belum ngobrol-ngobrol."
65 "Lain kali aja, Ren," Bima berkata sambil berjalan melewati
kerumunan orang menuju pintu keluar. Baru saja ia mau pergi,
tiba-tiba... Bruuk! Seseorang menabrak tubuh Bima. Ketika
menoleh, Bima terkaget-kaget melihat cewek yang menabraknya itu. Melanie.
Perlahan Bima menopang tubuh Melanie. Kelihatannya
cewek itu mabuk. Untung Bima belum pergi. Kalau nggak,
nggak tau apa yang bakalan terjadi pada gadis itu.
Tanpa sadar, tangan Melanie langsung melingkar di bahu
Bima. "Mel, sadar dong...," ujar Bima cemas, tapi dengan sigap ia
langsung menopang tubuh Melanie.
Dara yang muncul dari balik kerumunan jelas kaget melihat
Melanie mabuk berat kayak gitu. Cewek itu lantas membantu
Bima membawa Mel ke mobil.
"Kalian ngapain seeeh" Gue kan masih mau seneng-seneeeng...," ucap Mel dengan suara mendayu-dayu karena mabuk ketika Dara membantu Bima membuka pintu belakang
mobil. "Kami semua khawatir sama Mbak Mel. Kami nyari Mbak
Mel ke mana-mana," Dara berusaha ngasih pengertian sambil
menyingkirkan barang-barang di jok belakang mobil Bima.
Belum sempat Mel masuk ke mobil, tiba-tiba... hueeek! Mel
muntah. Berkali-kali. Bima yang sedang menopang tubuhnya
langsung panik. Untung muntahnya di jalan, gumam Bima dalam hati. Repot juga kalau muntah di dalam mobil.
"Dar, bantuin aku dong," ucap Bima sambil mendudukkan
Mel di kursi belakang. Dara mengambil tisu dan memberikannya pada Mel.
66 Mendadak Melanie menangis meski Bima sadar banget
bahwa cewek itu belum sadar sepenuhnya. "Kalian nggak ngerasain sih, gimana rasanya kehilangan kedua orangtua!!!" teriak
Mel dengan mulut bau alkohol. Ia menangis kejer. Kemudian
tubuhnya terkulai lemas di jok belakang mobil.
Bima berusaha mengatur posisi kepala Mel agar lebih nyaman. Namun, tiba-tiba tangan Mel terulur ke leher Bima
dan... cup! Mel mencium bibir Bima.
"I love you, Marco," ucap Mel pelan, kemudian tertidur pulas.
"Hmmpppfff!" Dara menutup mulutnya menahan tawa.
Rasanya ia pengen ketawa ngakak melihat kejadian itu.
"Jangan ketawa," ujar Bima dengan wajah serius ke arah
Dara. Sebenarnya dia kaget juga dengan perilaku Mel tadi.
"Iya. Peace," Dara berkata sambil menunjukkan tanda damai
dengan jarinya. Dengan wajah memerah, Bima berusaha sok cool. Ia menyalakan mesin mobil dan langsung melaju menuju kos-kosan
Soda tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
"Dar, jangan bilang kita menemukan Melanie dalam kondisi
mabuk kayak gini ke Eyang Santoso."
Dara mengangguk. Tapi wajahnya terlihat konyol menahan
tawa. "Sama yang tadi juga, lupain aja?"
"Yang mana?" "Pokoknya yang tadi."
Dara berusaha menyembunyikan senyumnya.
67 Keesokan harinya, pintu ruang perpustakaan diketuk pelan.
Eyang Santoso yang sedang berada di dalam perpustakaan langsung menengok ke arah pintu yang terbuka, dan mendapati
Melanie sedang berdiri di ambang pintu.
"Eh, Melanie. Masuk saja. Kok pakai ngintip-ngintip segala.
Hahaha?" Mel memasuki perpustakaan sambil mengamati ruangan kecil itu. Di ruangan itu ada tiga lemari besar yang penuh buku,
mulai dari kamus, biografi, sampai novel remaja. Di salah
satu sudut terdapat sebuah bufet kayu berisi foto-foto Eyang
Santoso, penghargaan-penghargaan, dan piala. Mel melihat
salah satu foto yang berisi barisan orang-orang mengenakan
toga sarjana. Eyang Santoso duduk di barisan paling depan dengan pakaian yang berbeda.
Melihat Mel yang bengong memperhatikan foto itu, Eyang
Santoso langsung bercerita. "Itu diambil tiga tahun yang
lalu?" "E-Eyang" profesor?"
Lelaki tua itu tersenyum. "Ah" itu hanya gelar. Tapi Eyang
lebih suka dipanggil Eyang. Lebih kekeluargaan."
Mel kembali mengamati penghargaan yang dipajang di sana. Sebagian besar penghargaan yang diberikan kepada Eyang
Santoso di bidang pendidikan. Apa Eyang seorang guru"
"Eyang senang sekali membaca. Waktu kecil, Eyang senang
mengantarkan koran untuk sekolah Belanda. Kalau ada waktu
senggang, Eyang suka nyolong-nyolong baca koran. Belajar membacanya juga nyolong-nyolong. Waktu itu zaman sedang susah.
Buku-buku masih jarang. Masih banyak rakyat yang ndak bisa
membaca. Sejak saat itu Eyang bertekad ingin menjadi guru."
Tatapan Eyang Santoso menerawang jauh. Dengan bantuan
68 tongkat, ia berjalan pelan menuju meja foto. "Eyang dulu pernah mengajar SMP di sebuah dusun di Makassar. Kelasnya
hanya ada tiga. Gurunya juga cuma tiga. Akhirnya Eyang yang
terpaksa pindah-pindah kelas kalau sampai salah satu guru
sakit." "Cuma tiga?" "Iya, cuma tiga!" Eyang Santoso meyakinkan cucunya. Kemudian lelaki tua itu melanjutkan ceritanya, "Setelah lulus sarjana,
Eyang malahan suka keliling Indonesia untuk mengajar."
"Kenapa, Eyang?"
"Karena Eyang pikir, buat apa kita sekolah tinggi-tinggi,
buat apa kita punya gelar panjang-panjang kalau kita ndak
berada di tempat yang membutuhkan kita."
"Wah, kalau presiden Indonesia tau, Eyang pantas dikasih
gelar pahlawan tuh, Yang!"
"Gelar" Buat apa" Isin," jawab Eyang Santoso dengan logat
Jawa-nya yang masih kental. Pandangan Eyang Santoso menerawang lagi. "Saat ini, Eyang sedang berada di perjalanan
akhir hidup Eyang. Gelar, kekuasaan, harta menjadi hal yang
ndak penting lagi. Yang terpenting saat ini bagi Eyang adalah
bagaimana Eyang mempergunakan sisa umur Eyang untuk hal
yang lebih bermanfaat bagi generasi penerus?"
"Lalu rumah ini?"
"Soda" Rumah ini warisan orangtua. Eyang menyadari usia
Eyang sudah ndak memungkinkan untuk keliling Indonesia,
mencari sekolah-sekolah untuk tempat mengajar. Tadinya
Eyang dan eyang putrimu berpikir untuk mendirikan sekolah
formal di sini. Tapi Eyang ndak setuju. Eyang lebih suka punya
sekolah yang lebih santai. Bukan sekolah teori, melainkan sekolah praktik yang semua muridnya bisa bebas dan nyaman. Tapi
69 sebelum semuanya terlaksana, eyang putrimu meninggal dunia.
Eyang di sini merasa kesepian karena tinggal sendiri. Untungnya paman kamu menitipkan Saka yang ingin sekolah di Jogja.
Akhirnya Eyang berpikir untuk menjadikan rumah ini koskosan. Rumah ini terlalu besar untuk Eyang huni sendirian."
Paman" Berarti gue dan Saka sepupuan dong" ujar Mel dalam hati. Kenapa selama ini gue nggak pernah tau tentang
sodara-sodara dari pihak Papa ya" Mel jadi heran sendiri.
"Saka sekolah, Eyang?"
"Oooh" ya iya. Saka itu anak pintar. Nilainya bagus sekali
di sekolah. Dia dapat beasiswa di sekolahnya yang dulu."
"Sekarang Saka sudah kuliah?"
"Belum" tapi akan. Ada yang ingin dia buktikan. Setahun
sejak dia lulus SMA, Eyang bertanya tentang cita-citanya. Tapi
dia takut-takut untuk menjawab." Eyang Santoso tertawa kecil.
"Setelah Eyang paksa, akhirnya dia bilang bahwa dia ingin jadi
anak band. Dia takut memberitahukan cita-citanya karena
orangtuanya mengancam ndak akan membiayai dia kuliah kalau dia ingin kuliah seni."
Mel mendengarkan setiap detail kata-kata eyangnya.
"Saat itu Eyang melihat kesungguhannya. Eyang bilang
padanya bahwa Eyang-lah yang akan membiayai kuliah seninya
nanti asalkan dia membuktikan kesungguhannya menjadi anak
band. Jangan setengah-setengah." Eyang Santoso menerawang
jauh ke peristiwa dua tahun yang lalu. "Kalau Dara lain lagi?"
Eyang Santoso berhenti sejenak. "Eyang bertemu dia di Bandung. Dara yatim-piatu. Dia bekerja di sebuah kedai yang
Bunga Neraka 2 Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bunga Di Batu Karang 11

Cari Blog Ini