Canting Cantiq Karya Dyan Nuranindya Bagian 2
kopinya enak banget. Eyang senang menikmati kopi di sana.
Dara sering menemani Eyang mengobrol. Dia pekerja keras.
Eyang terharu ketika tahu dia terpaksa putus sekolah karena
70 ndak mampu lagi membayar SPP. Akhirnya dia Eyang angkat
menjadi cucu. Eyang beri alamat Eyang di sini agar kapan pun
dia bisa mampir. Ndak taunya dia datang dan cari kerja di
sini." Suasana hening. Eyang Santoso masih tersenyum. Entah
ilmu apa yang dimilikinya. Pembawaan lelaki tua itu selalu
tenang dan ceria. Mel mana bisa kayak gitu. Cewek itu bawaannya selalu curigaan sama orang. Beda jauh sama Eyang yang
selalu memandang sesuatu penuh bunga-bunga.
"Eyang?" "Ya?" "Aku" aku mau minta maaf soal kejadian kemarin. Dan
maaf juga karena gara-gara aku, semua jadi susah."
"Ah, lupakan saja. Itu yang namanya jiwa muda. Jiwa pemberontak. Sudah, Eyang ndak apa-apa kok," ucap Eyang
Santoso bersemangat. "Melihat Saka dan Dara, pandangan
Eyang tentang anak muda jadi berubah. Mereka juga yang
membuat Eyang terinspirasi untuk menjadikan rumah ini sebagai tempat kos anak muda yang kreatif dan punya ambisi.
Ternyata inilah yang selama ini membuat Eyang bahagia.
Eyang senang melihat anak muda yang punya semangat."
Mel tersenyum. Pandangannya beralih ke foto keluarga. Di
situ ada Eyang Santoso dan Eyang Putri, papa Mel, dan paman-pamannya.
"Oh iya, ada sesuatu yang ingin Eyang berikan ke kamu."
Eyang Santoso berjalan menuju sudut ruangan.
Mel mengikuti lelaki tua itu sambil bertanya-tanya apa yang
ingin diberikan Eyang Santoso.
Eyang Santoso menarik kain yang menutupi sebuah benda
di atas meja. 71 Melanie kaget melihat benda di balik kain itu. Mendadak
pikirannya dikilas balik menuju sepuluh tahun yang lalu. Ia
begitu mengenal benda itu.
"Kamu masih ingat benda ini" Benda ini hampir saja dibuang dari gudang rumah kamu di Jakarta. Tapi Eyang melarang. Eyang yang meminta benda ini dibawa ke sini."
Melanie terdiam. Mungkin dia memang sudah lupa dengan
mesin jahit itu. Sudah sepuluh tahun sejak kedua orangtuanya
memberikannya. Mesin jahit itu ia biarkan begitu saja tanpa
pernah ia sentuh. Dulu ia lebih tertarik pada kado rumah
Barbie tiga lantai dibandingkan benda aneh itu.
"Kamu tahu kenapa mesin jahit ini berwarna putih?"
Melanie menggeleng. "Eyang putrimu senang sekali warna putih. Sebenarnya ini mesin jahit kesayangannya, yang ingin dia
berikan kepada kamu sebagai hadiah ulang tahun. Eyang-lah
yang memesan mesin jahit ini. Nah, daripada benda ini teronggok di gudang rumahmu, Eyang meminta mesin jahit ini
dibawa kemari. Coba kamu ke sini?"
Mel mendekati mesin jahit putih itu.
"Di balik mesin jahit itu terukir nama eyang putrimu."
Mel membalik mesin jahit itu dan membaca grafir yang terdapat di sana. Melati Adiwijoyo.
"Pesan eyang putrimu hanya satu: mesin jahit kesayangannya
ini diberikan kepada keturunan wanita pertama keluarga
Adiwijoyo. Dan wanita itu adalah" kamu."
72 JAM dinding menunjukkan pukul setengah dua pagi. Mel masih belum bisa tidur. Nggak di Jakarta, nggak di Jogja, penyakit
imsonianya nggak hilang-hilang.
Mel menatap HP-nya. Blank. Baterainya habis. Ia langsung
kepikiran untuk nyolong-nyolong menelepon Marco dari telepon rumah Eyang. Maka ia mengenakan kimononya dan perlahan turun ke lantai bawah.
Di bawah tampak sepi. Mel langsung bergegas menuju meja
telepon. Ia terduduk di lantai dan mengangkat gagang telepon.
Nomor HP Marco yang telah ia hafal luar kepala langsung ia
tekan. Tut" tut" tut"
Nada sambung terdengar di telepon. Sesaat kemudian telepon diangkat. Dengan ceria Mel langsung menyapa Marco dan
menghujani cowok itu dengan berbagai pertanyaan.
"Marco" Kamu ke mana aja sih" Kenapa kamu nggak datang
ke pemakaman Papa" Kenapa kamu nggak pernah menghubungi aku" Apa kamu nggak sayang lagi sama aku?"
73 ?"" "Marco?" "Iya, Marco nggak sayang lagi sama elo. Sekarang dia sayang
sama gue"," jawab orang di seberang.
Mel mengerutkan kening. Kenapa yang ngangkat bukan
Marco, tapi perempuan" "Halo, ini siapa?"
"Mel, kasihan banget deh lo. Sekarang nggak ada lagi si
perfect Melanie Adiwijoyo?"
Mel mulai mengenali suara yang menjawab telepon Marco.
Siapa lagi cewek yang punya suara secempreng dan seburuk itu
kalau bukan si Alexa bego. Langsung aja ia bertanya, "Alexa?"
"Yup! KEJUTAAAN!!! Bener banget, Mel yang pintaaar. Ini
gue, Alexa..." "Kenapa HP Marco bisa di elo" Marco-nya mana?"
"Marco" Cowok gue" Ups! Marco belum bilang ya, kalo
kami udah jadian?" "Jadian" Marco mana"!" Mel mulai naik darah.
Sesaat kemudian Marco menjawab telepon. "Mel, sori, gue
sekarang sama Alexa. Kita udah nggak mungkin sama-sama
lagi, Mel. Lo pasti ngertilah, kalo kondisi elo sama gue sekarang udah beda banget?"
"BRENGSEK! DASAR COWOK BEGO! MATRE!
NGGAK PUNYA PERASAAN! BEGONYA GUE DULU
MAU PERCAYA SAMA COWOK YANG BISANYA CUMA
NGOMENTARIN BERAT BADAN, PARFUM, DAN PENAMPILAN GUE! DASAR BANCI!!!"
Braaak! Gagang telepon dibanting Mel. Cewek itu menangis
tersedu-sedu. Ia bersandar pada tembok dan membenamkan
wajahnya di antara kedua lututnya. "Marco brengseeek!!!"
makinya tertahan. Ia bingung kenapa bisa sesial ini.
74 Sebuah tangan menyentuh bahunya perlahan. Mel mengangkat wajah dan terkejut melihat sosok di hadapannya. Makanya spontan ia menjerit, "Aaaarrgghhh!"
Cowok itu cepat-cepat menutup mulut Mel dengan telapak
tangannya yang besar. "Tenang, Mel, gue Ipank?"
Jantung Mel berdetak lebih cepat. Justru karena cowok itu
Ipank, makanya Mel ketakutan setengah mati kayak gitu. Mel
teringat kejadian beberapa waktu yang lalu saat ia memergoki
Ipank keluar dari dapur sambil membawa pisau. Kalau saat ini
Mel dibacok dan dimutilasi kayak kasus-kasus kriminal yang lagi
hot belakangan ini gimana" Mel memberontak. Tapi tetap saja
nggak bisa melepaskan tangan Ipank dari mulutnya.
Ipank tampak kesusahan menenangkan Mel. "Oke, oke, gue
bakalan lepasin. Tapi elo janji nggak bakal teriak-teriak. Soalnya ntar orang-orang bakalan bangun dan ngira gue ngapa-ngapain elo."
Mel mengangguk pelan. Ipank melepaskan tangannya dari mulut Mel. Cowok itu
langsung duduk di sebelah Mel. "Elo kenapa jejeritan" Gue
sampai kaget. Gue pikir ada apa?"
Mel diam aja. Masalahnya, dia takut setengah mati sama
Ipank. Jangankan ngomong, melihat tampangnya aja Mel serasa melihat tokoh psikopat di film Freddy"s Nightmare.
Ipank menatap Mel. "Tadi siapa, Mel" Cowok lo" Eh" elo
nangis, ya" Pantesan aja tampang lo jelek banget."
"Sialan!" "Hahaha!" Ipank tertawa geli. "Kenapa sih, elo kelihatan
takut banget sama gue" Emangnya tampang gue mirip drakula
ya" Tenang aja, lagi. Gue nggak suka minum darah. Palingan
suka motong-motong orang aja."
75 Tampang Mel mendadak panik.
"Hahaha" sumpah! Tampang lo lucu banget!"
Mel jadi cemberut. "Yaah" pake cemberut segala. Muka lo tuh kalau lagi cemberut kayak pantat ayam, tau nggak?"
"Jujur, sebenernya gue takut banget sama elo, Pank."
"Kenapa?" "Soalnya" mmmm" malem-malem gue pernah ngeliat lo
keluar dari dapur bawa pisau ke halaman. Elo mau ngapain?"
"Gue" Hahaha! Elo ngintilin gue, ya" Ternyata diem-diem
elo naksir gue?" "Bukan gitu," Mel mencoba menjelaskan, "tapi" lo nggak
punya naluri psikopat seperti di film-film, kan?"
"Ya nggaklah! Maksud elo, pisau ini?" tanya Ipank sambil
mengambil pisau dari balik kausnya.
Mel tersentak untuk yang kedua kalinya. "Eh, hati-hati
ya!" "Ikut gue yuk," ucap Ipank sambil menggandeng tangan Mel
menuju pekarangan rumah. Tangan Ipank terasa hangat sekali. Ketakutan Mel berangsur
hilang. Tapi dalam hati ia bertanya-tanya, ia mau dibawa ke
mana" Di tengah pekarangan, Ipank melepaskan genggaman tangannya.
"Elo tutup mata deh," pinta Ipank.
Mel menggigit ujung bibirnya. Ia ragu meski ketakutannya
pada makhluk bernama Ipank ini telah berkurang.
"Tenang aja, gue nggak bakalan ngapa-ngapain. Percaya
deh." Mel pun menutup matanya. Sesaat kemudian suara Ipank
76 langsung menghilang. Mel merasa ditinggal sendiri di pekarangan rumah itu. "Pank?"" perlahan Mel membuka mata
dan bulu kuduknya langsung berdiri. Ipank menghilang. Tapi
nggak lama kemudian"
"Pohonnya lagi berbuah banyak nih, Mel."
Mel celingak-celinguk mencari Ipank.
"Woy, gue di atas sini!"
Mel mendongak ke atas pohon dan mendapati Ipank sedang
duduk manis di salah satu batang pohon sambil mengupas
mangga. Sejenak kemudian, dengan lincahnya cowok itu gelayutan pada batang pohon dan jatuh berdiri tepat di hadapan
Mel. Mirip" monyet! "Ikut yuk! Di atas asyik lho."
"Nggak ah!" "Kenapa" Dasar penakut!"
"Siapa takut!" Mel merasa ditantang oleh Ipank. Lalu dengan pedenya ia meraba-raba batang pohon dan menapak pada
salah satu celah. Ipank yang kayaknya udah terbiasa gelayutan di pohon dengan tangkas mendahului Mel dan membantu Mel memanjat
pohon. Mel berhasil duduk di salah satu dahan. Sedangkan Ipank
dengan gayanya duduk bersandar pada batang pohon yang lebih tinggi dan kembali mengincar mangga yang bergelantungan
di pohon itu. "Tangkap, Mel!" seru Ipank sambil melemparkan sebuah
mangga pada Mel. Dengan tangkas Mel menangkap buah tersebut.
"Wuih" oke juga tangkapan lo!" teriak Ipank sambil nyengir.
77 Mel ikutan nyengir. Kemudian ia terdiam, menatap pemandangan dari sana. Bulan kelihatan penuh seperti lampu neon
berdaya besar yang ditempelkan di langit. Bintang-bintang di
sekelilingnya mirip glitter yang biasa dipakai Mel di badan untuk mempercantik penampilannya kalau mau datang ke pesta.
Ketakutan Mel selama ini salah total. Ipank bukan pembunuh berdarah dingin yang senang menghabisi nyawa korbannya tengah malam. Konyol juga kalau mengingat Mel pernah
berpikiran seseram itu tentang Ipank.
"Pank, kenapa sih elo suka manjat pohon malem-malem
gini" Jangan-jangan lo nyari wangsit," tanya Mel.
"Hahaha! Nggak lah."
"Trus?" "Imsonia. Sama kayak elo. Gue susah tidur."
"Oh," ucap Mel menanggapi. Sesaat kemudian ia kembali
bertanya, "Tapi kenapa mesti naik-naik ke atas pohon?"
Ipank menghela napas panjang. Pandangannya jauh ke depan. "Dari kecil, gue doyan banget marah-marah. Gampang
emosi sama hal-hal kecil. Setiap orang gue musuhin dan gue
ajakin berantem. Sampai gue pernah dibawa ke psikiater karena hal itu." Ipank tersenyum geli. Kemudian ia melanjutkan
ceritanya, "Trus kata psikiaternya, gue keberatan nama."
"Emang nama lo siapa?"
"Ivano Pangky Ariestio Norman Kano."
"Hahaha! Itu sih bukan keberatan, tapi kepanjangan!"
"Tapi nama gue artinya bagus banget."
"Ya iyalah. Masa orangtua ngasih nama anaknya dengan arti
yang jelek. Trus?"" Melanie jadi penasaran.
78 "Trus gue disuruh ganti nama. Tapi nggak jadi, karena ibu
gue suka banget sama nama itu?" Ipank terdiam sejenak. "Suatu hari gue berantem hebat sama kakak gue. Saking hebatnya,
gue kayak orang kesetanan. Kakak gue pukul, tendang, dorong,
sampai dia berdarah-darah. Waktu itu umur gue masih dua belas tahun. Nah, saat itu Eyang Santoso ngajak gue manjat
pohon dan duduk di atasnya. Waktu itu beliau ngomong, kalau
setiap kali emosi gue keluar, gue harus naik ke pohon dan duduk di sana. Karena dari atas kita bisa melihat permasalahan
keseluruhan dari sudut yang lebih objektif. Sejak saat itu, setiap kali emosi gue naik, gue selalu nyari pohon dan mencoba
merenungi kejadian dan mengendalikan emosi gue dari
atas?" "Berarti dari kecil elo udah mengenal Eyang Santoso?"
Ipank mengangguk. "Dia kakek gue juga. Kakek gue kan
kakaknya Eyang Santoso."
"Be-berarti kita?"
"Sepupu kedua," Ipank melanjutkan kata-kata Mel. Kemudian cowok itu perlahan turun dan duduk di sebelah Mel.
"Dari kecil gue udah liat foto elo. Waktu kecil elo norak banget. Pake gelang, kalung, jepit rambut. Centil banget. Waktu
kecil gue berharap bisa ketemu sama elo. Impian gue waktu itu
cuma satu: gue mau jadi pacar elo. Hahaha!"
"Huuu" dari kecil udah buaya!"
"Akhirnya, gue bisa ketemu juga sama elo. Penampilan elo
udah berubah banget."
"Iyalah. Masa gue nggak berubah."
"Tapi nggak berubah total kok."
Mel menatap Ipank. "Masih tetep cantik?"
79 Mel tersipu. Kemudian ia mendorong bahu Ipank. "Apaan
sih lo!" "Wooo!!!" Ipank hilang keseimbangan, dan refleks ia meraih
tangan Mel. "Aaaakhh!!" BRUUK! Ipank dan Mel jatuh terjerembap. Ipank nyengir
kesakitan. Bukan hanya lantaran ia jatuh dari ketinggian
dua meter lebih, tapi juga karena Mel jatuh menimpa tubuhnya.
Tajam. Ya, bola mata Ipank menyorot tajam. Baru kali ini
Mel sedekat ini dengan wajah Ipank hingga bisa melihat dengan jelas mata Ipank yang tajam. Jantung Mel berdetak lebih
cepat. Tapi ia bisa merasakan dengan jelas bahwa Ipank merasakan hal yang sama. Come on, Mel, wake up!
Saat tersadar, Mel bangkit dari posisinya dengan sangat canggung. "Ma-maaf," ucapnya, lalu berjalan tergesa-gesa menuju
rumah, meninggalkan Ipank yang tertegun menatap ke arahnya
sambil tersenyum. Pagi-pagi Mel sudah selesai mengerjakan tugas beres-beresnya.
Ternyata kalau mengerjakan sesuatu tanpa emosi, hasilnya jauh
lebih baik. Di teras rumah Richard bersiul ke arah Mel, "Beo
ganteng. Suit" suit!"
"Heh! Jadi beo nggak boleh ganjen!"
Mel menghirup udara pagi dalam-dalam dan melihat Saka
sedang mencuci mobil kuno di halaman.
"Morning"," sapa Mel pada Saka.
Saka menengok dan langsung mengangguk seraya membalas
80 sapaan Mel sambil tersenyum. Kemudian dengan sopan ia kembali melanjutkan pekerjaannya.
"Kok sepi" Pada ke mana?" tanya Mel.
Saka kembali menengok. "Ramenya itu kalau sore atau hari
Canting Cantiq Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
libur, Mbak. Kalau pagi-pagi ya pada sekolah, kuliah, kerja?"
Mel mendadak menyesali pikirannya selama ini yang mengira anak-anak Soda nggak ada yang berpendidikan.
"Elo sendiri" nggak pergi?"
Saka tersenyum, kemudian tertawa kecil.
"Kok ketawa?" "Saya lebih seneng di rumah, Mbak," ucap Saka sambil mengelap mobil tak bermesin itu. Saka terdiam sejenak. "Tapi
nanti saya mau mampir ke kafenya Mas Bima dan ngambil kaset
di tempatnya Mbak Dara."
"Gue boleh ikut?" ucap Mel bersemangat karena merasa jenuh banget di rumah terus.
"Tapi?" "Nggak apa-apa kan, kalo gue ikut?"
Saka tampak ragu. Mel yang membaca gelagat cowok itu bertanya, "Emangnya
gue nggak boleh ikut?"
"Bo-boleh sih, Mbak. Tapi saya" naik sepeda."
Waduh! Naik sepeda" Sebenernya Mel males juga kalau tau
Saka naik sepeda. Tapi apa boleh buat" Dari tadi ia udah setengah maksa minta ikut. Masa mau ngebatalin gitu aja" Nanti
ketauan banget kalo Mel nggak mau naik sepeda. Jadi, mendingan maju terus pantang mundur!
"Oke! Nggak masalah kok," Mel berusaha terdengar biasa.
Saka mengambil sepedanya di garasi, sementara Mel me81 nunggunya di halaman depan. Nggak lama kemudian cowok
itu datang dengan sepeda onthel dan sebuah tas rotan di tangannya.
"Ayo, Mbak." Mel ragu-ragu. Ini sepeda ngeboncengnya gimana" Apa ia
harus ngangkang" Masa pakai rok ngangkang" pikir Mel. Maklum, jangankan ngebonceng sepeda, ngebonceng motor aja dia
belum pernah. Akhirnya Mel duduk menyamping.
"Mbak pegangan ya"," ujar Saka.
Mel gengsi. Ogah banget pegangan. Lagian naik sepeda
doang kok mesti pegangan. Akhirnya Mel malah sibuk mengenakan kacamata hitamnya. Gayanya udah kayak seleb aja.
Saka mengayuh sepedanya tanpa ragu.
"WOOO!" Mel langsung berteriak dan refleks tangannya
melingkar ke pinggang Saka. Jantungnya dag-dig-dug. Hampir
aja badannya terempas ke belakang.
Diam-diam Saka terseyum mengetahui kepanikan Melanie.
Cewek ini emang gengsian.
Jogja memang kota kecil yang indah. Unsur tradisional dan
modern menyatu di kota itu.
Sepeda Saka berhenti di depan Kafe Soda. Kafe itu terlihat
nyaman dan luas. Semua perabotannya berkesan natural. Down
to earth banget. "Itu Mas Bima," ucap Saka ketika melihat seorang lelaki
yang baru saja keluar dari dapur kafe.
Bima yang agak kaget ketika mengetahui Saka datang bersama Melanie langsung grogi. Tangannya dia lapkan pada ce82 lananya. Kemudian wajah cute-nya langsung tersenyum lebar,
memperlihatkan gigi-giginya yang tersusun rapi.
Oh, jadi Bima kerja di kafe ini" pikir Mel. Oke, Bima
emang cute. Tapi kalo cuma pelayan kafe, kayaknya kurang oke
deh. Melanie membalas senyum cowok itu. Dalam hati kecilnya ia merasa makhluk itu bener-bener menarik dan bikin penasaran.
"Masuk aja, Mel"," Bima mempersilakan Melanie.
Saka langsung ngacir ke belakang kafe. Nggak tau juga apa
yang dilakukan cowok itu.
Setelah duduk di kursi di dekat jendela kafe, Mel mengamati
sekeliling tempat itu. "Mau ada acara ya, Bim?" tanya Melanie ketika melihat
orang-orang yang sibuk mondar-mandir membenahi panggung
di tengah kafe. "Eh, iya." "Acara apa?" "Peragaan busana Aryati Sastra."
"Hah" Siapa tuh?"
"Desainer kebaya terkenal."
"Masa?" Mel terheran-heran karena sama sekali nggak mengenal nama itu. Sebenarnya ia sama sekali nggak peduli. Mana pernah ia peduli pada desainer kebaya" Apalagi kalau yang
bertaraf lokal kayak gini" Kalau ditanya siapa desainer pakaian
terbaru yang mendesain pakaian Victoria Beckham sewaktu ke
Paris, Mel pasti bisa langsung menjawabnya.
"Datang aja nanti malam."
"Hah" Datang?"
"Iya. Nanti aku mau mampir ke Soda. Jadi kalau kamu mau
datang, bisa ikut sekalian."
83 "Hmm" liat nanti aja deh," ucap Melanie sambil melihatlihat setiap sudut kafe.
Diam-diam Bima memperhatikan wajah Melanie. Gadis itu
memang cantik. Hidungnya mancung, kulitnya putih berkilau,
dan matanya tampak bercahaya. Sayangnya dia masih terlalu
kecil untuk dijadikan pacar. Masih manja. Tapi Mel betul-betul
cantik. Semua lelaki normal pasti akan berpendapat sama.
Mel menengok ke arah Bima, heran melihat cowok itu menatapnya. Kemudian ia tersenyum lebar, "Kenapa?"
Bima yang merasa tertangkap basah kontan salting banget.
"Ah, eh, nggak." Ia tertunduk sesaat, kemudian sibuk merapikan asbak dan tempat tisu di atas meja.
"Nanti mau jemput gue jam berapa" Biar gue bisa punya
waktu untuk dandan cantik."
Dandan cantik" Untuk apa" Bima merasakan seluruh tubuhnya berdenyut-denyut. Kenapa jantungnya berdetak kencang"
Buat apa Mel dandan cantik hanya untuk pergi ke pergelaran
busana di kafe" Bima mulai mengingat-ingat ajakannya tadi,
meyakinkan bahwa dirinya nggak keceplosan bener-bener
ngajak Mel nge-date. "Jemput?"
Mel mengangguk. "Iya. Tadi katanya mau ke Soda dulu sebelum ke kafe?"
Bima berusaha mengontrol dirinya supaya nggak terlihat
grogi. "Hmm..."
Mel kembali tertawa. "Elo cuma mau ngajak gue ke peragaan busana nanti malam, bukan mau ngajak gue nge-date, kan"
Gitu aja kok pake mikir. Apa sebenarnya elo emang punya
niat ngajak gue nge-date?"
Serasa air dingin mengguyur seluruh tubuhnya, Bima kaget
setengah mati mendengar kata-kata Mel barusan. Kenapa Mel
84 begitu spontan, sangat percaya diri, dan tanpa sedikit pun rasa
canggung" Sangat bertolak belakang dengan umurnya yang
baru lulus SMA. "Hahaha.... gue cuma bercanda, lagi. Nggak usah shock gitu
kenapa," ucap Mel dengan cueknya. "Jemput gue jam tujuh
malem ya. Jangan sampai telat. Kalau telat, traktir makan es
krim!" Bima hanya tersenyum. Hampir saja dia dibuat pingsan oleh
cewek di hadapannya itu. Ternyata Mel memang masih kecil.
Masih seenaknya sendiri kalau ngomong tanpa berpikir apa
yang ada di pikiran orang lain. Cewek model begini mana
mungkin bisa diajak serius" Tapi, Bima nggak bisa membohongi
kata hatinya sendiri. Mel memang benar-benar cantik.
Suasana Kafe Soda malam itu sangat ramai. Orang-orang dengan pakaian yang aneh-aneh menurut Mel, muncul di sana.
Naluri fashion police Mel mendadak muncul. Dalam hati ia
sibuk mengomentari penampilan para tamu yang hadir sambil
menerka-nerka profesi mereka. Dasar Melanie! Kalo nggak
nyela nggak afdal! Lampu menyorot ke arah panggung. Perlahan alunan suara
karawitan terdengar. Bersamaan dengan itu, seorang wanita
bertubuh jenjang dengan balutan kebaya berwarna emas melenggak-lenggok di atas panggung. Sesaat kemudian muncul
wanita berikutnya yang dengan anggun mengenakan kebaya
berkerah sabrina dengan balutan selendang hijau muda.
Mel sedikit terpana melihat penampilan para model itu.
85 Hei! Pakaian yang mereka kenakan itu cuma kebaya. Nothing
special. Tapi kenapa wanita-wanita itu terlihat begitu anggun"
Oh, mungkin karena postur tubuh mereka yang tinggi dan oke.
Jadi wajar aja kalau pakaian seperti kebaya bisa kelihatan bagus. Mungkin kalau model itu memakai daster juga bakalan
terlihat bagus. Sama aja kayak patung manekin yang ada di
etalase toko pakaian yang kadang menipu pembeli. Sebenernya
baju yang bikin bagus orang, atau orang yang bikin bagus baju
sih" "Hai! Suka kebaya juga ya?" seorang wanita bergaya etnik
dengan make up seadanya dan kalung bebatuan membuyarkan
lamunan Melanie. Mel menatap wanita itu sambil senyum terpaksa. Sinyal
fashion-nya langsung menyala. Wanita ini meriah banget. Pakai
kalung, gelang, anting, syal di kepalanya. Tapi anehnya nggak
kelihatan norak. Bahkan lebih terlihat menarik. Sangat bohemian.
"Dari tadi saya memperhatikan pakaian kamu. Selera kamu
cukup tinggi juga." Mel tertawa lebar. Ya iyalah seleranya tinggi. Orang baju
yang dia pakai hasil keluaran butik ternama. Ah, tapi paling
wanita ini nggak bakalan tau soal itu.
"Butik Bago-Bagoes sutranya memang bagus. Tapi sayang,
kebanyakan bagian dadanya terlalu lebar, sehingga harus pakai
daleman lagi," wanita itu memberi komentar sambil menggerak-gerakkan telunjuknya.
What"! Kok dia tau baju yang Mel pakai keluaran butik
Bago-Bagoes" Ya, ya, bagian dada memang terlalu lebar. Makanya Mel memakai tank top di dalamnya.
Wanita itu tersenyum melihat ekspresi Melanie yang ke86 lihatan kaget mendengar pernyataannya. Ia langsung mengulurkan tangannya. "Saya Aryati Sastra?"
Oh" jadi ini toh desainer terkenal itu" Penampilannya sangat tidak fashionable. Hmm" nyentrik sih, tapi kok biasa aja"
Lebih tepat dibilang aneh.
"Sejak tadi saya memperhatikan kamu. Menurut saya kamu
cukup unik. Taste kamu tentang style seseorang cukup bagus.
Pernah tertarik jadi fashion designer?"
Mel terdiam sejenak. Fashion designer bukan cita-citanya.
Menurutnya, dari lahir ia sudah ditakdirkan untuk jadi model
internasional. Maka Mel langsung menggeleng.
"Apa salahnya dicoba" Menurut saya kamu berbakat," ucap
Aryati Sastra sambil mengeluarkan dompetnya dan menarik
sehelai kartu nama dari dalam dompet. "Sayang sekali lho, kalau bakat kamu itu tidak dipergunakan. Bakat itu dikasih Tuhan ke kita untuk digunakan. Ini kartu nama saya. Kamu bisa
datang ke kantor saya kapan pun kamu mau. Siapa tau kita
bisa bekerja sama." "Ta... tapi?" "Well, kesempatan tidak datang dua kali." Aryati Sastra tersenyum. Kemudian ia menepuk pundak Mel sebelum berlalu.
"Dan ingat, style tidak bisa dijadikan patokan untuk membaca
pribadi seseorang." "Jadi, Mbak Mel diundang oleh Ibu Aryati Sastra ke galerinya?" Dara takjub mendengar cerita Mel di ruang TV. "Waaah,
asyik banget, Mbak!"
"Aduh, jangan ditarik-tarik dong!" Jhony tampak kesakitan
87 karena rambutnya tertarik gara-gara saking antusiasnya Dara
ngomong. Saat ini Dara memang lagi iseng mengucir rambut
kribo Jhony dengan karet warna-warni. Hasilnya" Jhony jadi
mirip kembang api tahun baru.
Mel berlagak nggak tertarik. "Hmm" gue sih nggak tertarik," ucapnya sambil mengibaskan tangan.
"Sayang lho, Mbak. Aryati Sastra itu desainer terkenal,"
Saka ikut-ikutan nimbrung.
"Iya, tapi desainer kebaya. Gue kan nggak suka kebaya.
Kuno. Sama kayak mbok-mbok tukang jamu yang jualan keliling di kompleks rumah gue di Jakarta. Mbok Darmi, pembantu rumah gue dulu aja gue omelin gara-gara masih pake
kebaya di zaman milenium gini."
"Tapi apa salahnya datang, Mbak" Nggak bayar ini. Setau
saya, kursus menjahit di Galeri Aryati Sastra itu biayanya
mahal sekali, Mbak. Kalau perlu, Mbak saya antar pake sepeda
onthel," Saka menawarkan bantuan.
Mel langsung panik. "Eh, nggak, makasih."
Tiba-tiba pintu menjeblak terbuka. Ipank menyerbu masuk
sambil ngomel-ngomel nggak jelas. Tangan kanannya memegangi keningnya yang berdarah. "Zaman sekarang orang demen
banget pake otot daripada pake otak! Brengsek!"
"Kamu kenapa, Pank?" Jhony bertanya.
"Alaaah, paling berantem lagi." Dara melengos.
"Gue nggak berantem. Gue diserang!" ucap Ipank emosi.
"Rese banget! Gue habis debat senat, lawan gue kalah argumen. Eh" masa gue langsung dilempar mikrofon" Nggak sportif banget!" Ipank semakin berkoar-koar. Ketika menyadari
keberadaan Mel di sana, mendadak Ipank tertunduk dengan
wajah memerah. 88 Mel juga langsung salting mengingat kejadian malam itu.
Akhirnya mereka cuma diem-dieman sambil CCP alias curicuri pandang.
Saka, Jhony, dan Dara yang membaca sinyal-sinyal misterius
dari Ipank dan Mel langsung senyam-senyum.
"Ehem! Jangan-jangan" Ipank udah berpaling ke lain hati,
Bang Jhon," Dara berbisik di telinga Jhony.
"Wah, gawat tuh. Bisa-bisa timbul konflik di Soda," jawab
Jhony sok-sokan serius. "Kalian ngomong apa sih?" tanya Mel penasaran karena melihat Jhony dan Dara yang kelihatan serius berbicara walaupun
sambil bisik-bisik. "Ah" nggak," jawab Dara, Jhony, dan Saka kompak.
Ipank" Pindah ke lain hati" Apa maksudnya"
Lagi-lagi pintu menjeblak terbuka. Dido datang sambil membawa peralatan yang cukup aneh. Laptop, botol air mineral,
kaleng Coca-Cola, sendok dan garpu, serta koin-koin andalannya. Wajah Dido terlihat sangat excited. "Percobaan kemarin
sukses! Coba lihat apa yang baru aja aku buat."
Semua mata menatap ke arah Dido. Termasuk Mel.
"Percobaan?" Mel memperhatikan. Ia berpikir, cowok kayak
Fido Dido ini paling punya cita-cita jadi ilmuwan atau profesor
berkacamata tebal yang doyan eksperimen di laboratorium.
Kelihatan banget dari tampangnya yang kutu buku dan"
"Iya. Aku suka eksperimen," jelas Dido sambil menganggukangguk.
"Tuh kan, bener!" ucap mulut Mel bocor.
"Maaf?" "Eh, ng" nggak." Mel nyengir. Tebakannya seratus persen
tepat. Dido emang calon ilmuwan. "Ngeliat tampang lo, gue
89 yakin elo nanti bakal sukses jadi ilmuwan penemu barangbarang canggih. Kayak" kayak Lang-Ling-Lung. Hehe. Selamat ya!"
Dido mengerutkan keningnya. "Bukan eksperimen itu yang
aku maksud." Mel gantian bingung. "Bukan gimana?"
Anak-anak Soda tersenyum penuh makna melihat kebingungan Melanie. Dara malah ngakak.
"Bukan eksperimen seperti itu. Tapi ini"," ucap Dido sambil menyalakan laptop-nya. Kemudian beat-beat yang cukup keras dan berirama terdengar. Dido menggerakkan kaleng berisi
koin untuk menambah efek suara.
Mel terkejut dengan apa yang didengarnya. Ia terbengongbengong ketika melihat Dido dengan asyiknya memasukkan
suara-suara yang membuat musiknya terdengar lebih fantastik.
Mel baru ngeh eksperimen yang dimaksud oleh Dido.
"Keren, DJ Dido! AMPUN DIIJEEE!!!" teriak Dara. "Mau
dong jadi backsound di radio gue"."
"Dido" elo" DJ"!" Mel melongo. Orang yang punya tampang sangat kutu buku itu adalah DJ" Ada apa dengan dunia?""
Minggu ini adalah minggu ketiga Mel tinggal di rumah Eyang
Santoso. Awalnya Mel memang merasa aneh berada di tempat
yang menurutnya sangat di luar dugaan. Ia merasa memasuki
sebuah kehidupan baru yang segala sesuatunya harus ia pelajari
dari nol. Jakarta yang isinya shopping, salon, barang bermerek,
adalah masa lalu. Sekarang Mel harus mulai terbiasa dengan
90 kehidupan Jogja yang sederhana, kreatif, dan unik. Tinggal di
Jogja ternyata nggak seburuk pikirannya.
Ia yatim-piatu sekarang. Ia belum punya rencana akan melanjutkan sekolah di mana. Tapi ia tetap bersyukur masih punya Eyang Santoso dan cucu-cucu angkatnya, yang secara sadar
atau tidak telah begitu baik menerimanya.
Mel menatap langit-langit kamarnya. Terdiam. Tiba-tiba ia
teringat sesuatu. Dengan tangkas ia mengambil sebuah benda
dari dalam tasnya. Sehelai kartu nama.
Mel melihat kartu nama di tangannya. Ia berpikir sejenak.
Canting Cantiq Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Galeri Aryati Sastra. Hmm" apa salahnya datang" Sekadar
untuk menghormati wanita itu.
Pagi-pagi, dengan diantar Bima yang kebetulan ada di Soda,
Melanie mendatangi Galeri Aryati Satra. Bima jelas nggak keberatan dimintai tolong sama cewek secantik Melanie. Mendadak dirinya merasa seperti Clark Kent.
"Nanti kalau udah selesai, kabarin aku aja. Ini nomor telepon kafe. Jadi kalau pas aku pulang, bisa sekalian jemput,"
Bima menawarkan diri. "Iya. Makasih ya."
Kini Melanie menatap bangunan berbentuk joglo di hadapannya. Rumah khas jawa dengan pendopo lebar di depannya.
Interiornya serbakayu yang terukir indah. Pagarnya terbuat dari
semak hijau. Di bagian pintu masuk terdapat papan kayu bertuliskan "Galeri Aryati Sastra".
Mel melangkahkan kaki memasuki pendopo. Di tempat itu
ada lima orang wanita berpakaian kebaya yang tengah sibuk
membatik. Kelima wanita itu duduk di kursi kecil, tangan kiri
memegang kain mori, dan tangan kanan memegang canting.
Mereka terlihat sangat serius mengerjakannya.
91 Mel terpaku menatap tangan wanita-wanita itu yang perlahan menggerakkan canting mungil tadi membentuk lekukanlekukan artistik yang memikat. Ia memandangi motif batik
yang dibuat wanita itu di kain. Indah.
Untuk pertama kalinya Mel mengagumi keindahan batik.
Ternyata membatik bukanlah pekerjaan mudah. Nggak sembarang orang bisa melakukannya. Perlu kesabaran dan ketelitian luar biasa untuk membuatnya.
"Hei!" Seseorang menepuk pundak Melanie. Lamunan Mel
buyar seketika. Saat menoleh, ia melihat Aryati Sastra dengan
busana bergaya bohemian tersenyum ke arahnya.
"Akhirnya kamu datang juga ke galeri saya," wanita itu sangat hangat menyambut Mel. "Suka batik?"
Mel menatap wanita itu, kemudian mengangkat bahu seakan
nggak yakin dengan jawabannya sendiri.
Aryati Sastra tersenyum lebar. "Kalau kamu mengenal batik
lebih dalam, pasti kamu akan jatuh cinta pada batik," ucap
Aryati Sastra sambil menunjuk ke arah wanita pembatik.
"Kamu tau nggak, kenapa namanya batik?"
Mel menggeleng. "Karena terdiri atas perpaduan titik-titik. Batik berasal dari
kata "mba" yang artinya "membuat" dalam bahasa Jawa, dan "tik"
yang merupakan kependekan dari "titik". Coba perhatikan,
lekukan-lekukan indah itu dibuat dari gabungan titik-titik yang
membentuk garis. Kain yang digunakan juga bukan kain sembarangan lho?"
Mel terdiam. Penting nggak sih, ia harus tau asal muasal
batik" Emangnya berguna untuk seorang model profesional"
"Oh iya, mari masuk. Ada yang ingin saya tunjukkan ke
kamu." Aryati Sastra mengajak Melanie memasuki galerinya
dengan semangat. 92 Di dalam, Melanie melihat pemandangan yang sangat di
luar dugaannya. Galeri Aryati Sastra sangat unik. Lebih mirip
galeri musik, bukannya galeri fashion. Di sana banyak dipajang
foto-foto penyanyi dan pemain band dari tahun ke tahun.
"Sejak dulu, musik sangat besar pengaruhnya bagi dunia
fashion." Aryati menjelaskan sambil membimbing Melanie melihat foto satu per satu. "Fashion selalu saja berputar. Setiap
tahun memiliki style yang berbeda, mengikuti tren," jelasnya.
Kemudian ia menunjuk sebuah foto. "Tahun lima puluhan,
kelompok musik The Who terinspirasi dengan style tahun itu.
Mereka memakai dasi, topi flamboyan, jaket kulit, dan sepatu
Converse." Aryati Sastra melangkah lagi. Menunjukkan
foto-foto berikutnya. "Tahun enam puluhan, pencinta musik
jazz berdandan rapi dengan jas dan celana bahan. Dan ini?"
Mel terhenti di hadapan sebuah poster film yang ditunjukkan Aryati Sastra.
"Ini ikon fashion tahun tujuh puluhan. Diambil dari sebuah
film?" "Saturday Night Fever. John Travolta," Mel memotong ucapan Aryati.
Aryati tersenyum lebar. "Exactly!" Kemudian wanita itu kembali menunjukkan foto-foto yang lain. "Era delapan puluhan
adalah eranya new romantics. Orang-orang senang mewarnai
rambut, dan rambut mereka disasak tinggi. Ini dia ikon tahun
itu"," ucapnya sambil dengan bangga menunjukkan poster
grup musik Duran-Duran. "Next! Tahun sembilan puluhan,
gaya Kurt Cobain disukai kaum muda di dunia. Sepatu bot Dr.
Marteen happening banget."
Mel masih dengan saksama mendengarkan penjelasan-penjelasan Aryati Sastra. Sebenarnya ia terkagum-kagum juga dengan pengetahuan wanita itu soal musik dan fashion.
93 "And now" Semuanya seperti membaur menjadi satu. Style
tidak bisa dijadikan patokan lagi untuk menilai seseorang mencintai jenis musik apa."
Bener banget kata wanita ini. Zaman sekarang orang banyak
menjadikan style ala genre musik hanya demi sebuah nama
fashion. Bukan musik anutan mereka.
"Bagaimana" Tertarik?" tiba-tiba Aryati Sastra menatap
Melanie tajam. "Tertarik a-apa?"
"Masuk ke dunia fashion designer."
Mel terdiam sejenak memikirkan jawaban yang harus ia berikan. Hmm" kalau ia jadi fashion designer, pasti ia akan punya
banyak uang. Siapa tahu bisa untuk batu loncatan menjadi
model internasional. "Sa-saya setuju. Tapi saya minta ruangan sendiri, penjahit
sendiri, dan peralatan lainnya."
Aryati Sastra tersenyum penuh makna. "Jangan terburu-buru.
Kamu harus belajar dari dasar dulu. Ingat, sebuah karya besar
hanya bisa dihasilkan melalui proses yang panjang."
"Maksud Ibu?" "Besok saya tunggu kamu jam delapan pagi. Kita mulai pelajaran pertama."
94 "APA"! Ibu Aryati menyuruh saya belajar menjahit?"
Melanie shock berat pas keesokan harinya ia kembali ke
Galeri Aryati Sastra. Pasalnya, ia disuruh belajar menjahit.
Hah" Itu kan pekerjaan tukang jahit. Tugas fashion designer tuh
bukannya cuma gambar model baju" Nggak level banget kalau
gue disuruh menjahit. No way! Mel menggerutu.
Mel mulai berpikir. Ia nggak berminat mempelajari jahitmenjahit. Model profesional nggak perlu menguasai jahit-menjahit. Ia cuma perlu memperagakan hasil pakaian yang dibuat
oleh fashion designer. "Iya. Kenapa" Keberatan?" Aryati Sastra bertanya dengan
santainya sambil mencorat-coret buku sketsanya tanpa berpaling ke arah Mel. "Dengan kamu datang ke sini, itu tandanya kamu tertarik dengan apa yang saya tawarkan."
"Tapi Ibu kan menawari saya untuk jadi fashion designer, bukan jadi tukang jahit!" Melanie protes sampai titik darah penghabisan. Dari dulu dia berprinsip, buat apa susah-susah bikin
baju kalau masih bisa beli"
95 Aryati Sastra yang semula sibuk dengan desain kebaya terbarunya, menyelipkan pensil di telinganya dan menyandarkan
tubuh di kursi kerjanya yang superbesar. Ia menatap Melanie
tajam, lalu menunjuk babydoll yang dikenakan Melanie sambil
menyebutkan nama desainernya. "Eka Hamid. Dia memulai
karier menjadi fashion designer di usia 25 tahun. Dua tahun
lebih dia mati-matian belajar menjahit. Mau tau hasilnya?"
tanya Aryati Sastra. "Sukses pastinya," Mel dengan yakin menjawab.
Aryati Sastra menggeleng. "Salah," jawabnya enteng. "Dua
tahun kemudian dia mengeluarkan uang hingga jutaan rupiah
untuk bisa sekolah menjahit. Hasilnya?"
"Sukses?" "Nggak juga." Mel jadi semakin bingung. Buat apa Aryati Sastra menceritakan Eka Hamid seolah-olah wanita itu super hero, kalau ternyata dia gagal terus begitu.
"Tapi di usia 40 tahun, Eka Hamid sukses membuat perusahaan fashion sendiri. Dia memiliki 20 pegawai dan karya-karyanya
dikenal sampai mancanegara. Ia melalui perjalanan yang sangat
panjang untuk mencapai kesuksesan seperti sekarang ini."
"Ta-tapi?" "Melanie, kamu cantik, berbakat, fashion taste kamu sangat
bagus. Tapi sayang, kamu terlalu sombong. Kamu sombong karena menganggap kamu memiliki semuanya dan bisa mendapatkan semua yang kamu inginkan tanpa kerja keras. Tapi ingat,
Melanie, tidak ada satu pun kesuksesan yang dapat bertahan
lama kalau manusia sudah mengeluarkan sifat sombongnya."
Aryati Sastra kembali sibuk mencorat-coret buku sketsanya.
Terlihat jelas gambar wanita anggun dengan kebaya berbuntut
mirip ekor putri duyung di lembar bukunya itu.
96 "Saya... nggak pernah bermimpi jadi fashion designer, Bu.
Cita-cita saya dari kecil?"
"Jadi model internasional?" dengan cepat Aryati Sastra memotong kalimat Mel. Kemudian ia menunjuk dengan pensilnya.
"Itu yang salah selama ini. Kamu berpikir bahwa kemampuan
kamu menilai penampilan seseorang itu karena kamu adalah
calon model internasional yang memiliki fashion taste yang
tinggi. Kamu tidak melihat dari sudut lainnya."
"Ma-maksud Ibu?"
"Jadi fashion designer misalnya."
Mel terdiam. Aryati Sastra benar. Selama ini Mel nggak
pernah kepikiran jadi fashion designer. Ia terus-terusan terpaku
bahwa ia akan menjadi model internasional yang akan menyaingi Victoria Beckham di red carpet. Terus saja begitu sampai
saat ini. Tolol! Kriiiing! Telepon di meja Aryati Sastra berdering. Wanita itu
mengangkatnya dan berbicara pada orang di telepon. "Oh,
kamu sudah datang" Bagus. Langsung masuk saja." Aryati Sastra menutup teleponnya dan kembali menatap Melanie. "Jadi
bagaimana?" Mel terdiam sejenak, berusaha membuang jauh-jauh rasa
gengsinya. "Saya" saya akan coba, Bu."
"Bagus. Saya kasih kamu waktu satu bulan."
"Sebulan" Sebulan untuk apa?"
"Hanya sebulan saya akan meminjamkan peralatan yang saya
punya untuk kamu. Lewat sebulan, kamu harus mengusahakannya sendiri. Semua tidak gratis lho," ucap Aryati Sastra sambil
menggerak-gerakkan telunjuknya. "Menurut saya, kamu cukup
beruntung. Saya memiliki murid hampir 50 orang dan tak satu
pun dari mereka belajar secara gratis di sini. Jadi tolong kamu
serius belajar. Time is money."
97 Terdengar suara ketukan pelan di pintu ruang kerja Aryati
Sastra. "Masuk," ucap Aryati Sastra tegas.
Sesaat kemudian, sesosok cewek cantik mengenakan sackdress bermotif kembang berwarna pink muncul dari balik pintu.
Umur cewek itu paling nggak jauh di atas Mel. Sepertinya Mel
mengenali wajah cewek itu. Ya, dia kan model yang memperagakan kebaya Aryati Sastra di pergelaran kemarin.
Cewek itu langsung mendekati Aryati Sastra dan cipika-cipiki.
"Hai, Karen, how are you" Kenalkan, ini Melanie." Aryati
Sastra menunjuk ke arah Melanie.
Dengan angkuhnya cewek itu menatap Melanie dan mengulurkan tangannya. "Ooh, asisten baru?"
"Bukan, Mel ini ingin belajar menjahit di sini," jawab
Aryati nggak enak hati pada Mel. "Karen ini model?"
"Ya, saya pengennya bisa go international," dengan sombong
Karen berkata. Hah" Bodo amat! Siapa juga yang nanya" cela Mel dalam
hati. Ingin rasanya ia mencekik leher cewek sombong itu. Asli!
Gayanya serasa udah kayak selebritas papan atas. Paris Hilton
aja kalah. Bruuk! Sebuah keranjang rotan dijatuhkan pelan oleh Aryati
Sastra. Kemudian setumpuk kertas ia letakkan di sebelah keranjang. Wanita itu menatap Mel. "Oke, kita mulai pelajarannya."
Aryati Sastra memang pekerja keras. Buktinya, ia sabar banget mengajari Mel yang jelas-jelas nggak serius menyimak
semua ilmu yang diberikan.
Saat Aryati berkoar-koar menjelaskan langkah-langkah men98 jahit di mini whiteboard, Mel malah asyik bengong menatap ke
luar jendela. Membayangkan apa yang sedang dilakukan Bima
di luar sana. Waktu Aryati Sasta meminta Mel menggambar desain pakaiannya sendiri, Mel malah asyik menggambar "keluarga berencana" alias ayah, ibu, dan dua anak yang lebih mirip pohon
toge berjejer. Mel emang jelek banget kalau disuruh menggambar. Waktu TK, sewaktu disuruh menggambar dua gunung
dengan satu matahari di tengah-tengah, jadinya bisa sampai
berminggu-minggu. Itu pun nilainya C minus.
Udah tau gambarnya jelek, Mel masih aja bisa nguap lebarlebar sewaktu Aryati Sastra mencontohkan membuat sketsa
desain baju. Mel juga nggak sengaja bersin, dan sketsa yang
dibuat Aryati Sastra pakai spidol hitam langsung bleber. Mel
cuma bisa nyengir lebar. Karen memandang Mel sambil tersenyum sinis. Gayanya
cocok banget jadi pemeran antagonis di sinetron. Hei, kayaknya Karen emang lebih cocok jadi pemain sinetron daripada
jadi model. "Melanie, coba kamu belajar mengukur pakaian. Karen, bisa
minta tolong?" Aryati Sastra meminta Karen untuk berdiri,
sementara ia memperagakan cara mengukur tubuh yang
benar. Ketika diminta mengukur Karen, Mel sengaja mengerjai cewek itu dengan menyuruhnya muter-muter, angkat tangan, serong kiri, serong kanan, sampai Karen kesal setengah mati.
Saat mengukur bagian perut Karen, Mel sengaja mengetatkan
ukurannya sehingga Karen sesak napas.
"Eh, sinting!" bentak Karen.
Dalam hati Mel cekikikan. Setelah selesai belajar mengukur,
99 saatnya pelajaran yang paling membosankan buat Mel, yaitu
belajar menjelujur! Hampir setengah jam Mel berkutat dengan benang dan
jarum. Oh, God! Kenapa lubang jarum harus sekecil itu" Kenapa nggak dibuat sebesar hulahoop" Mata Mel sampai jereng
saking seriusnya memasukkan benang ke lubang jarum.
Hari ini adalah hari yang sangat melelahkan dan menyebalkan bagi Melanie. Ia nggak menyangka menjahit bisa seribet
ini. Semuanya harus rapi. Nggak boleh ada cacat sedikit pun.
Mana Karen terus-menerus memata-matai semua tindakan Mel.
Nyebelin banget. Dasar spy girl!
"Eh, itu garisnya kurang lurus. Guntingnya yang rapi dong!"
Aryati Sastra sangat cerewet hari itu. Kayaknya setiap pekerjaan Mel pasti ada cacatnya di mata dia. Hal itu membuat
Karen semakin tersenyum penuh kemenangan sambil sibuk
mengikir kuku-kukunya. Huh! Ngapain sih tuh cewek nggak pulang-pulang" omel
Mel dalam hati. Kelihatannya Karen agak sirik dengan Mel.
Mungkin lantaran merasa penampilannya tersaingi oleh Mel.
Sampai akhirnya Aryati Sastra mengeluarkan kata-kata surganya. Kata-kata yang amat dinanti-nantikan oleh Mel.
"Hari ini selesai. Kita lanjutkan besok."
Fiuuh. Thank God! Kapok gue. Besok nggak usah dateng aja
aaah. Males! Mendingan nyari tempat hang-out yang oke di
Jogja. Sekalian cuci mata biar nggak stres. Yippie!!!
Di perjalanan pulang dengan motor Bima, Mel cerita panjanglebar.
100 "Iya, Bim. Nggak banget deh, gue disuruh menjahit. Gue
mana ngerti urusan begituan" Mengerjakan sesuatu yang mendetail dan penuh kesabaran bukan keahlian gue," ucap Mel
sambil mengayun-ayunkan kedua tangannya seperti dirigen
paduan suara. Bima menatap lurus ke jalan raya di depannya. Sejak tadi
cowok itu cuma diam mendengarkan Mel ngoceh. Kadang saking diamnya, Mel sering mengira Bima nggak begitu suka
padanya. "Sebel banget, Bim. Tadi gue disuruh menggambar pola, guntingin pola, masukin benang ke jarum, uugghh" ribet!" ucap
Mel gemas. "Mana gue disuruh gambar desain baju sendiri,
lagi! Gue kan nggak bisa gambar kebaya. Bukan style gue banget. Makanya tadi gue gambarnya ngasal gitu. Biarin aja! Biar
Bu Aryati tau kalau gue tuh nggak berbakat menjahit. Gue ini
calon model internasional," Mel nggak berhenti ngomong.
"Bim?"" "Hm?"" "Lo dengerin gue ngomong, kan?"
"Iya." "Kok diem aja dari tadi?"
Bima malah makin diam. Mel jadi bengong. Nih cowok
bener-bener cute. Kalem banget. Kadang-kadang saking diemnya, bisa bikin geregetan. Mel sampai pernah membayangkan
yang indah-indah bersama Bima. Pacaran, menikah, punya
anak banyak" Wow! Tapi tinggal di Jogja" TIDAAAK!
Hmmm" mungkin Bima bisa dibawa ke Jakarta dan dipermak
habis-habisan. Yup, Marco sih ke laut aja!
"Kenapa kamu nggak mendesain baju yang emang kamu
Canting Cantiq Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suka" Ibu Aryati Sastra kan nggak nyuruh kamu mendesain
kebaya." 101 Lamunan Mel buyar seketika. Ia mulai memikirkan kata-kata
Bima barusan. Bener juga. Pinter juga nih cowok. Tadi kenapa
dia menggambar kebaya" Padahal kan Aryati Sastra nggak menyuruhnya menggambar kebaya. Dia cuma meminta Mel mendesain pakaian. Bisa tank top, sackdress, kemeja, bahkan pakaian dalam. Dasar tolol!
"Ibu Aryati ngasih aku bujet yang kecil banget untuk satu
pakaian. Cuma lima puluh ribu perak. Gue harus beli kain di
mana dengan harga segitu?"
Motor Bima berbelok ke jalan yang berbeda dengan jalan
yang biasanya mereka lewati.
"Ikut ya?" "Ke mana?" "Pasar malam." "Pasar malam" Ngapain?"
"Cari kain. Biasanya di pasar malam suka ada yang jual
kain-kain tradisional. Siapa tau kamu bisa dapat kain yang
murah meriah." Kayaknya, apa pun jawaban Mel, Bima tetap akan membawa
Mel ke pasar malam. Suasana malam di Jogja nggak jauh berbeda dengan di Jakarta. Masyarakatnya masih banyak yang
melakukan aktivitas di malam hari. Cuma bedanya, di Jogja
nggak macet seperti di Jakarta.
Bima membelokkan motornya di sebuah tanah lapang yang
saat itu penuh motor dan mobil yang terparkir manis. Sepertinya tanah lapang itu telah menjadi lahan parkir dadakan.
"Kamu pasti belum pernah ke pasar malam. Makanya sekarang aku ajak ke sini. Turun yuk."
Bima mematikan mesin dan turun dari motornya. Mel kelihatan masih bingung dengan tempat itu. Ngapain coba, Bima
102 mengajaknya ke pasar malam" Emang sih, Mel belum pernah
datang ke pasar malam. Masalahnya, ia juga nggak pernah tertarik sama hal-hal kayak gitu. Terlalu kampungan. Mana becek, lagi!
Bima mengajak Melanie memasuki kawasan pasar malam.
Pasar malam biasanya digelar di jalan raya yang sehari-harinya
digunakan untuk kendaraan. Tapi malam itu, kawasan tersebut
telah disulap menjadi tempat yang sangat menarik.
Di sepanjang jalan berjejer gerobak-gerobak kecil yang menjual berbagai macam aksesori, kerajinan tangan, ataupun lukisan. Suasana malam itu sangat meriah. Lampu-lampu kecil yang
dipasang di pohon-pohon berhasil menerangi kegelapan malam.
Banyak wisatawan asing yang datang untuk melihat-lihat.
Selama beberapa saat Mel terkesima dengan suasana di pasar
malam itu. Ia memutar tubuh untuk menikmati suasana sekelilingnya. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada sebuah kios yang
menjual boneka-boneka kecil dengan pakaian nusantara.
"Ini pakaian apa, Mas?" tanya Mel pada mas-mas penjual
boneka. "Ya ampun, Mbak. Ini jelas batik," jawab penjual itu sambil
tertawa. "Batik kok warna-warni?"
"Batik sekarang kan lebih warna-warni, Mbak. Lebih gaul
gitu lho. Ndak kuno lagi."
Mel mengamati boneka tersebut satu per satu. Pakaian boneka-boneka itu sangat meriah. Lucu! Mel mengambil salah
satu boneka, mengamatinya dalam-dalam sambil tertawa kecil.
Tiba-tiba muncul ide gila Mel untuk membuat desain pakaian
yang unik. Yang akan membuat Aryati Sastra geleng-geleng
103 kepala. Triiing! Mel merasa ada sebuah bohlam muncul di atas
kepalanya. "Oh iya, kenapa gue nggak bikin desain bentuk?"
Mendadak Bima berdiri di sampingnya. "Liat ke sebelah
sana yuk!" Mel menengok sebentar ke arah Bima. Kemudian ia meletakkan boneka di tangannya kembali ke atas meja.
"Bawa aja." "Hah" Bawa" Ta-tapi..."
"Bawa aja. Udah aku bayar kok," jawab Bima sambil menarik tangan Mel.
Perlahan Mel melirik ke arah Bima. Wajah cowok itu terlihat datar-datar aja, menatap lurus ke depan. Kalem banget.
Sama sekali nggak kebayang apa yang sedang dipikirkannya.
Tapi, kenapa tangan Bima menggandeng tangannya" Dalam
hati Mel bingung campur senang. Makanya dia senyam-senyum
sendiri. Hampir satu jam mereka keliling-keliling pasar malam. Tapi
tangan Bima masih aja menggenggam tangan Mel, bikin Mel
jadi nggak konsen melihat-lihat suvenir-suvenir di sana. Lucunya, Bima sama sekali nggak menoleh ke arahnya. Jangankan
menoleh, ngomong sepatah kata pun nggak. Hingga...
"Pulang yuk," ajak Bima pelan sambil menengok ke arah
Mel beberapa detik. "Eh, oh, iya. Kita pulang aja," jawab Mel grogi.
Baru saja berniat kembali ke tempat parkir motor, tiba-tiba
Bima melihat sesuatu di salah satu kios jualan. "Itu dia tempat
jual kainnya." Mel dan Bima mendekati kios yang menjual kain-kain batik.
Saat seperti inilah ketangguhan seorang cewek bisa terlihat,
yaitu tawar-menawar dengan penjual.
104 Tapi sayang, setelah hampir setengah jam Mel bertahan dengan tawarannya, penjual kain itu tetap nggak mau menurunkan harga. Akhirnya Mel cuma bisa tertunduk lemas.
"Masa harga kainnya lima puluh ribu" Uang yang dikasih
Bu Aryati bisa langsung habis," ucap Mel sedih. Padahal dulu
waktu di Jakarta uang lima puluh ribu nggak ada artinya sama
sekali. "Kalo kamu mau, kamu kerja aja di Kafe Soda. Gajinya
nggak terlalu besar sih. Tapi lumayan buat tabungan kamu beli
peralatan desain. Yah" itu pun kalau kamu mau. Gimana?"
Mel terdiam sejenak. Ia memang punya tabungan yang sudah dipersiapkan Papa untuknya, tapi ia bertahan nggak mau
mengutak-atik uang itu. Siapa tau nanti, ia benar-benar akan
menjadi model internasional. Tapi omong-omong, buat apa dia
mikirin soal biaya untuk belajar desain di tempat Aryati lagi"
Besok kan dia nggak mau datang lagi. Jadi, ngapain dia harus
menerima tawaran Bima untuk menjadi pelayan kafe" Gengsi
dong! "Gimana?" Mel berpikir sejenak. "Hmm... kayaknya nggak perlu begitu
deh. Besok kayaknya gue nggak bakalan nongol lagi di tempat
Bu Aryati Sastra." "Lho, kenapa?" "Gue males! Masa dikit-dikit diomelin. Dikit-dikit disalahin.
Kan capek," ucap Mel setengah merengek dengan wajah ditekuk.
Bima diam saja. Dalam hati dia berkata bahwa Mel sangat
manja. Seperti anak kecil yang nggak pernah mau repot dan
nggak pernah mau susah. Tapi Bima yakin sekali sebenarnya
Mel sangat cerdas. 105 "Gue pengin jalan-jalan ke mal, pengin shopping, pengen
makan es krim...," lanjut Mel.
Bima tertawa kecil melihat wajah Mel yang cemberut.
Lama-lama cewek ini ngegemesin banget. "Kalau kamu mau
berusaha keras belajar untuk menjadi fashion designer, pasti
suatu saat nanti kamu bisa ngedapetin semua yang kamu inginkan."
"Iya sih, tapi Bu Aryati Sastra galak bangeeeet!"
"Bu Aryati galak karena mungkin dia menyadari kamu sangat berbakat, Mel. Sayang banget kalau bakat kamu dibiarkan
begitu saja. Nanti kamu nyesel lho."
Melanie menggigit ujung bibirnya. Memikirkan kata-kata
Bima. Masa sih, dia berbakat jadi fashion designer" Sedetik pun
pikiran itu nggak pernah muncul di kepalanya. Mel membolakbalik telapak tangannya dan terus berpikir. Mana mungkin
kedua tangan gue sanggup melakukan pekerjaan fashion designer"
Pekerjaan yang penuh ketelitian. Sangat bukan gue! Tapi... apa
bener gue punya bakat"
"Jadi, gimana" Mau kerja di kafe nggak?"
Mel menatap Bima dan tersenyum sumringah. "Oke, gue
mau. Mau banget! Thanks ya, Bima. I love you!" Ups, saking
senangnya, Mel sampai nggak sadar telah mengeluarkan katakata yang membuat jantung Bima dag-dig-dug. Padahal Mel
cuek aja. Entah karena ia nggak sadar atau pura-pura nggak
tau. Entahlah" Sampai di parkiran motor, Bima menghela napas panjang
dan melepaskan genggaman tangannya. Tetapi, kedua telapak
tangan cowok itu langsung menyelimuti kedua telapak tangan
Mel. "Tangan kamu dingin banget. Kedinginan ya?" ucapnya
106 sambil menggosok-gosokkan telapak tangannya untuk memberikan kehangatan.
Mel nyengir. "Hehe... iya. Gue kalau kedinginan emang suka
kayak gini. Biasanya lebih parah. Kulit gue langsung merahmerah."
Bima tersenyum pelan. Kemudian kedua telapak tangannya
menggosok pelan kedua lengan Mel. "Pake jaket aku aja," ucapnya, lalu cepat-cepat membuka jaketnya dan memberikannya
pada Mel. "Sori ya, tadi aku menggandeng tangan kamu. Soalnya tumben banget pasar malam ramai. Aku takut kamu hilang."
Mel terdiam sejenak. Kemudian ia mengangkat bahu sambil
tersenyum. "No problem."
Bima menstarter motornya dan Mel langsung membonceng
di belakangnya. Sesaat Mel menutup mata dan menarik napas
dalam-dalam. Aroma Hugo Boss tercium dari jaket Bima. Harum dan nyaman banget.
Di perjalanan pulang, Mel ngantuk berat. Kayaknya ia kecapekan banget hari ini. Matanya melek-merem terkena angin
malam. Bima merasakan ada yang nggak beres dengan Melanie.
Masalahnya, tubuh Mel menggelendot di punggung Bima dan
sering banget kayak mau jatuh setiap kali Bima berbelok. Cowok itu melambatkan motornya. "Mel?"" panggil Bima perlahan. Setelah menghentikan motornya di tepi jalan, Bima
menengok ke belakang. Seperti dugaannya, Mel ketiduran.
Bima nggak tega membangunkan Mel. Mendadak ia merasa
bersalah karena udah mengajak cewek itu ke pasar malam. Perlahan Bima melingkarkan tangan Mel di pinggangnya, menjaga
jangan sampai cewek itu terjatuh. Bima memegangi telapak
107 tangan Mel yang lembut. Mendadak jantung Bima berdetak
kencang. Wajah cowok itu memerah, canggung dengan posisi
seperti ini. Ia menarik napas panjang, berharap Mel nggak
mendengar suara detak jantungnya.
Bima menyalakan motornya dan menjalankannya pelanpelan. Ia harus mengantarkan Mel dengan selamat sampai ke
rumah. Kasihan Mel. Cewek itu pasti capek sekali.
Nggak pernah sekali pun terbayang di benak Mel akan bekerja
sebagai pelayan kafe. Segala fasilitas yang selama ini diberikan
ayahnya tidak menuntunnya untuk jadi pelayan. Tapi entah
kenapa saat itu Mel menerima begitu saja tawaran Bima untuk
bekerja di Kafe Soda. Mungkin karena ini satu-satunya cara
untuk mendapatkan uang sendiri. Tabungan banyak kalau dipakai terus tanpa pemasukan, lama-lama juga habis.
Pagi-pagi sekali Mel berangkat bersama Saka naik kendaraan
"keramat" Saka"si sepeda onthel"ke Kafe Soda. Kata Bima,
Mel bisa langsung masuk hari ini. Kata cowok itu juga, di Kafe
Soda semuanya serba kekeluargaan. Banyak pegawainya yang
masih sekolah juga. Enaknya, Mel bebas menentukan hari kerja, karena gajinya dibayarkan per hari. Makanya Mel mengambil hari kerja selang-seling dengan jadwalnya belajar di
Galeri Aryati Sastra. Aryati Sastra juga sudah menyetujuinya.
Pas sampai Kafe Soda, Mel langsung mencari Bima. Tapi
seorang pria dengan pakaian rapi dan perut gendut menyapanya.
108 "Selamat pagi. Kamu pasti Melanie. Karyawan baru, kan?"
sapa pria itu ramah. Saking ramahnya, senyumnya yang lebar
hampir ngalahin model iklan pasta gigi.
"Iya," jawab Melanie sambil tersenyum. Sejak tinggal di
Jogja, ia jadi murah senyum.
"Saya Jo. Biasa dipanggil Mister Jo," pria itu memperkenalkan diri. "Kamu ikut saya ya. Saya akan tunjukkan tugas kamu
di sini," lanjut pria bertubuh besar itu sambil tetap tersenyum.
Mel mengikuti di belakang. Sejenak ia menengok ke arah
Saka yang memberikan acungan jempol ke arahnya.
"Simpel aja. Tugas kamu di sini cuma menanyakan pesanan
ke tamu, kemudian memberikan catatan pesanan ke koki, dan
mengantarkan pesanan tersebut. Kalau sudah selesai semua,
kamu tinggal mencuci semua perabotannya sam" pai ber"
sih!" Dengan cepat dan tegas Mister Jo menjelaskan tugas yang
harus dikerjakan Melanie. "Kamu mengerti?"
Mel mengangguk-angguk mengerti. Padahal saat itu pikirannya terpecah karena mengamati Bima yang kelihatan sibuk
mondar-mandir berbicara dengan karyawan lain. Selama beberapa detik Bima menengok ke arah Mel dan tersenyum. Wajah
Mel yang putih mulus mendadak memerah. Aduuh, kenapa
Bima selalu begitu" Bikin grogi aja.
"Ini seragam kamu." Mister Jo melemparkan satu setel pakaian ke arah Mel. Woop! Untungnya Mel siaga dan langsung
menangkapnya. Di toilet cewek, Mel mengganti pakaiannya dan becermin
di depan wastafel. "Sumpah! Gue nggak pernah berpenampilan
sejelek ini. Udah modelnya jelek, kegedean, lagi," Mel mengeluhkan seragam sackdress merah beserta celemek putih yang ia
109 kenakan. Tiba-tiba Mel punya ide. Peniti. "Aha!" otaknya langsung bekerja. Ia mengambil beberapa peniti yang selalu siap di
dalam tasnya dan langsung merapikan seragamnya dengan peniti-peniti itu. Brilian.
Keluar dari toilet cewek, Mel jadi pusat perhatian cowok-cowok di sana. Belum lagi Bima, yang selama beberapa detik
sempat menghentikan pekerjaannya gara-gara terpesona pada
penampilan Mel. Gimana nggak" Panjang sackdress Mel yang
semula di bawah dengkul kini berubah menjadi beberapa senti
di atas dengkul. Dan bagian pinggul yang semula agak kebesaran berubah ketat dan menunjukkan lekuk tubuh Mel. Gimana
nggak seksi" Hari ini badan Mel terasa mau remuk. Dia yang biasa dilayani
oleh pelayan di rumahnya mendadak harus melayani orang
lain. Mana hari ini kafe lagi ramai-ramainya. Bima aja yang
udah biasa kerja di sana agak kewalahan melayani tamu yang
datang. Ketika kafe udah sepi, Mel membawa perabotan kotor ke
wastafel untuk dicuci. Dengan wajah jijik, Mel merendam perabotan itu ke dalam air.
"Eiiits, bukan begitu nyucinya!" Bima datang dengan panik.
"Sebelum direndam, sisa-sisa makanannya harus dibuang dulu.
Baru dicuci," lanjut Bima sambil membuang makanan yang
masih tersisa di piring tanpa berpaling ke arah Mel.
Mel mencoba mengikuti saran Bima. Dengan tampang yang
masih jijik, ia mengangkat piring dengan telunjuk dan ibu jari110 nya. Syuuut" prang!!! Piring terempas ke lantai dan terbelah
dua. "Ups!" Bima kembali panik. "Aduh, Mel, hati-hati dong"," ucap
Bima lembut tanpa emosi sedikit pun. Ia langsung membereskan pecahan-pecahan piring tersebut dan menyapu lantai. Mirip pembantu Mel dulu yang selalu siap siaga membereskan
setiap kali Mel ngeberantakin sesuatu.
Mel jadi nggak enak hati. Dia yang salah, kok jadi Bima
yang beresin" "Aduuh, maaf ya. Gue nggak sengaja?"
"Nggak apa-apa," jawab Bima tenang sambil melanjutkan
membantu Mel mencuci perabotan. Sesaat kemudian cowok
itu tertawa kecil. "Kok ketawa?" tanya Mel heran melihat wajah cute Bima
yang tersenyum. Bima masih tertawa. "Iya, lucu aja. Baru kali ini Kafe Soda
ramai." "Ramai pengunjung?"
"Bukan, ramai karena banyak barang yang pecah."
Mel ikutan tertawa. "Huh, ngeledek ya?" Mel menggosok
piring yang berlepotan bumbu dengan spons. "Untung bos
kamu baik, ya." Bima hanya terdiam. Kelihatannya cowok itu nggak begitu
tertarik untuk mengobrol saat bekerja.
Dalam hati Mel terus bertanya apakah Bima bener-bener
membenci dirinya. Apa Bima nggak sadar bahwa Mel naksir
berat" Buktinya, Bima pelit banget ngomong kalau lagi sama
Mel. Sekarang aja bisa dihitung berapa kali cowok itu melihat
ke arah Mel. Oke, fine. Mungkin Bima memang nggak tertarik
sama cewek manja dan genit kayak Mel. Tapi Mel jadi se111 makin penasaran. Seumur hidup, dia nggak pernah dicuekin
cowok yang ia taksir.
Canting Cantiq Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau bos kamu nggak baik, mungkin aku udah dipecat
pada hari pertama aku masuk gara-gara mecahin piring.
Hehehe"." Baru juga Mel berkata, tiba-tiba piring yang sedang dipegangnya terlepas dari tangannya dan... PRAANG!!!
Uuupss! "Uuuaaah....." Mel mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Baru kali
ini dia merasakan tidur nyenyak banget semenjak di Jogja. Ketika tersadar, ia baru ngeh bahwa ia masih mengenakan seragam pelayannya plus sepatu. Kemarin ia memang capek banget
sampai-sampai lupa ganti baju dan cuci muka.
Jam di dinding menunjukkan pukul tujuh pagi. Mel berpikir
sejenak. Bola matanya bergerak-gerak. "Hmm... hari ini mendingan gue dateng ke Galeri Aryati Sastra apa nggak, ya?"
Mel mengambil kedua boneka di kasurnya. Boneka kelinci
dan boneka sapi. Mulailah dia bermain boneka sendiri.
Ia menggerakkan boneka kelincinya. "Sapi, mendingan Mel
dateng ke galeri lagi nggak, ya?"
"Nggak usah. Mendingan juga shopping di mal. Bu Aryati
kan galak," ucap Mel dengan suara lebih rendah sambil menggerakkan boneka sapinya.
"Iya juga ya. Tapi kemarin udah janji sama Bima mau serius
belajar sama Bu Aryati." Boneka kelinci di tangannya bergerak-gerak.
112 "Janji sama Bima" Emangnya Bima siapa" Pacar aja bukan!"
ucap Mel sambil menggerakkan kepala boneka sapinya.
Mel menghela napas panjang. Kemudian ia menjatuhkan
kepalanya ke bantal. Bingung. Bener juga ya, ngapain dia ngikutin saran Bima. Cowok itu kan bukan pacarnya.
Tiba-tiba terdengar suara motor memasuki pekarangan rumah. Mel beranjak dari kasurnya dan melongok dari jendela
kamar. Bima. Cowok itu pasti datang untuk menjemput Mel
dan mengantarnya ke Galeri Aryati Sastra. Yaaah... gagal deh
kabur dari Aryati Sastra hari ini.
"Thanks ya, Bim!" teriak Mel sambil melambaikan tangan ke
arah Bima setibanya di Galeri Aryati Sastra.
Bima balas melambaikan tangan, lalu melesatkan motornya
pergi meninggalkan galeri itu.
Suasana Galeri Aryati Sastra siang itu sunyi seperti biasa.
Dan seperti biasa juga, pendopo galeri sudah penuh dengan
wanita-wanita yang tekun membatik. Sejak pertama kali Mel
mendatangi galeri tersebut, belum pernah sekali pun ia mendengar wanita-wanita pembatik tersebut berbicara. Jangankan
ngomong, menoleh saat Mel datang pun nggak. Mereka sangat
serius berkutat dengan peralatan membatik masing-masing tanpa pernah terpengaruh dengan keadaan sekeliling mereka. Jangan-jangan mereka tuli. Atau bisu barangkali.
Melanie jadi penasaran. Saat itu otak jailnya langsung berkobar-kobar. Perlahan, dengan mengendap-endap, ia mendekati
wanita-wanita pembatik itu. Kemudian ia menghitung dalam
hati, satu" dua" dan... DOOOR!!!
113 Beberapa wanita dalam pendopo tersebut tersentak kaget.
Canting di tangan mereka terempas. Bahkan lukisan batik di
kain mereka ada yang tercoret. Beberapa dari mereka menengok ke arah Mel sejenak, tanpa ekspresi, kemudian berusaha
membereskan pekerjaan mereka yang kacau sambil ngedumel
nggak jelas. "Uups, maaf." Mel cuma nyengir tanpa menyesal, karena
berhasil membuktikan bahwa mereka masih normal. Masih bisa
kaget akibat teriakan Mel.
Belum lama Mel tertawa terkekeh karena merasa sukses menjaili orang, tiba-tiba...
"MELANIE!!!" Aryati Sastra terlihat meletakkan kedua tangannya di pinggang dan melotot ke arah Mel.
Melanie mulai panik. Wajahnya pucat pasi. Ia berusaha nyengir selebar-lebarnya. Dalam hati ia berkata, Mampus gue!
Benar saja. Di dalam galeri, Mel diomeli habis-habisan oleh
Aryati Sastra. "Kamu tau tidak, batik itu salah satu karya seni budaya Indonesia yang telah diakui secara internasional. Meskipun begitu,
hanya ada segelintir orang yang mampu melakukan pekerjaan
membatik. Merekalah orang-orang yang memiliki kemampuan
untuk membuat batik. Perlu konsentrasi dan cita rasa seni
yang tinggi untuk membuat satu kain batik. Jangan kamu anggap remeh pekerjaan tersebut. Sikap kamu tadi sangat tidak
baik, Melanie." Melanie terdiam. Ia sedikit menyesal dengan perilaku kekanak-kanakannya tadi.
"Membatik bukan hanya sekadar melukiskan lilin di atas
kain. Perlu proses yang sangat panjang dan kesabaran untuk
menghasilkan kain batik yang bernilai seni tinggi. Kain yang
114 telah dilukis dengan lilin harus dicelup dengan warna yang
diinginkan. Biasanya dimulai dengan warna-warna muda. Kemudian kain harus dicelupkan ke warna yang lebih tua. Setelah
beberapa kali proses pewarnaan, kain harus dicelupkan ke bahan kimia khusus untuk melarutkan lilin... "
Mel merasa kepalanya mulai senut-senut. Pusing mendengarkan Aryati Sastra yang panjang-lebar menjelaskan proses pembuatan batik. Tapi dalam hati Mel heran juga. Ternyata kain
yang selama ini dia anggap kuno ternyata bikinnya susah banget. Tapi tetap saja dia heran. Mana mungkin kain kuno seperti itu bisa go international" Agnes Monica yang kerennya
kayak gitu aja perlu bersusah payah untuk go international.
Aryati Sastra pasti bohong.
"Kamu tahu tidak, Adidas saja sudah menggunakan batik
sebagai motif topinya. Mariah Carey juga punya gaun batik.
Bill Clinton, Nelson Mandela, dan selebriti red carpet banyak
yang mengagumi dan memakai batik buatan Indonesia. Seharusnya kamu bangga jadi orang Indonesia, Melanie...."
"Aiko" Mau temenin gue nggak?"
Hari Minggu, kos-kosan Soda sepi banget. Anak-anak Soda
punya acara masing-masing. Hanya Aiko yang nggak pergi.
Makanya dia jadi sasaran empuk Melanie untuk menemaninya
ke mal. "Ke mana, Mbak Mel?"
"Ke mal. Aku mau jalan-jalan nih. Bosen di rumah terus."
Dengan segala rayuan mautnya, akhirnya Mel berhasil meng115 ajak Aiko ke mal. Dengan naik kendaraan umum, mereka pun
tiba di salah satu mal di Jogja.
"Gue janji bakalan ngajak elo melihat dunia yang jauh lebih
seru daripada dunia lo sebelumnya," ucap Mel bangga ketika
memasuki salah satu toko pakaian yang penuh pakaian cewek
yang lucu-lucu. Aiko terheran-heran dengan gaya berbelanja Mel yang sangat jeli dan cepat. Dia merasa seperti dayang tuan putri,
mengikuti Mel ke sana kemari.
"Ini kayaknya cocok buat elo. Coba deh," ujar Melanie sambil menarik sepotong gaun sackdress cokelat tua.
"Ah, nggak usah, Mbak Mel..."
"Udah, dicoba dulu. Masalah beli nggak beli kan urusan
belakangan," Mel berkata sambil menarik tangan Aiko menuju
kamar pas. "Percaya deh sama gue, lima menit lo berada di
fitting room, itu akan menentukan nasib lo di dunia fashion
sampai lima tahun mendatang."
Setengah terpaksa, Aiko menuruti kemauan Melanie. Nggak
sampai lima menit mencoba baju di kamar pas, Aiko sudah
keluar dengan balutan busana pilihan Mel.
"Tuh kan, bagus. Kalau elo nyoba baju, harus perhatikan
letak jahitan bahunya. Sambungan itu harus berada tepat di
batas ujung pundak. Nggak kebesaran, juga nggak kekecilan,"
jelas Mel bak fashion designer profesional. "Sekarang ke kasir
yuuuk." "Eh, tunggu. Aku ganti baju dulu, Mbak."
"Nggak usah. Ini gue beliin buat elo. Gue seneng bisa bikin
orang lain kelihatan oke."
"Eh, ndak usah, Mbak."
Mel cuek aja mendengar ucapan Aiko. Ia langsung menarik
116 Aiko menuju kasir untuk membayar sackdress cokelat itu. "Gue
kan masih punya uang di dompet. Lagian harganya juga murah
kok. Jadi nggak apa-apa laaah..."
Ketika pulang ke kos, anak-anak Soda terbengong-bengong
melihat penampilan Aiko. Selain karena pakaian yang dikenakannya, wajah Aiko juga tampak agak menor gara-gara sebelum pulang Mel mengajak cewek itu ke konter kosmetik
untuk mencoba make up. "Lo apain Aiko?" Ipank yang pertama kali berkomentar.
"Liat nih, Aiko keren, kan?" ucap Mel bangga.
Aiko tampak tertunduk malu. Mungkin ia canggung karena
nggak biasa mengenakan make up seperti itu.
"Ngapain sih, pake dandan-dandanin Aiko segala!" Ipank
berkata dengan nada lebih tinggi. Kelihatannya cowok itu
nggak suka. "Emangnya kenapa sih" Elo tuh nggak seneng ya kalau temen lo sendiri kelihatan cantik?"
"Aiko tuh udah cantik. Elo malah ngerusak semuanya!"
"Eh, elo tuh yang nggak tau mode!"
Dara, Jhony, Dido, dan Saka cuma bisa diam melihat Ipank
yang begitu emosi melihat penampilan Aiko diubah seperti
itu. "Aiko tuh masih SMA. Dia nggak pantes elo dandanin menor kayak elo gitu!"
"Enak aja lo bilang gue menor!"
"Emang elo menor!" Ipank nggak mau kalah.
"Udah, jangan berantem"," dengan suara kapasnya Aiko
mencoba menetralisir suasana. "Aku seneng kok didandanin
sama Mbak Mel. Makasih ya, Mbak," lanjut Aiko sambil tersenyum ke arah Melanie.
117 "Tuh, orang Aiko-nya sendiri aja seneng. Elonya yang sewot!"
Aiko tersenyum tipis. "Tapi aku nggak biasa dandan kayak
gini, Mbak. Dandanan cantik kayak gini cocoknya buat Mbak
Melanie. Tapi makasih ya, Mbak."
"Tenang aja, Aiko. Gue seneng kok," ujar Melanie sambil
berjalan menuju kamarnya, meninggalkan anak-anak Soda
yang terbengong-bengong. Dalam hati ia heran kenapa Ipank
segitu sewotnya melihat Aiko didandanin seperti itu. Kenapa
cowok itu segitu pedulinya pada Aiko" Heran.
118 SETIAP hari Aryati Sastra semakin mirip Cruela, si musuh
utama di film 101 Dalmatians. Meskipun nada bicaranya selalu
tenang kalau sedang marah, wanita itu tetap terkesan angker.
Aryati Sastra adalah desainer yang sangat perfeksionis. Ia memiliki mata elang yang bisa mendeteksi kesalahan pada setiap
busana yang selesai dibuat para karyawannya. Buktinya, salah
membordir dikit aja dia bisa tau.
Lama-kelamaan Mel sangat mengagumi sosok wanita itu.
Kerjaannya sangat rapi, detail, dan indah. Sikap nasionalismenya patut diacungi dua jempol. Ups, empat jempol plus jempol
kaki. Dari wanita itulah mata Mel mulai terbuka tentang keindahan budaya Indonesia. Mel mulai mengagumi kebaya dan batik.
Bahkan ketika ia dibebaskan oleh Aryati Sastra untuk mendesain sendiri pakaiannya, Mel menggunakan kebaya dan batik
sebagai bahannya. Mel mulai berani sedikit "nakal" dengan
desainnya. She makes her own style.
119 "God! I"ve made it! Gue bisa menjahit. Gue bisa bikin pakaian gue sendiri! Yippieee!!!" Mel menatap sepotong gaun di
tangannya dengan mata berkaca-kaca. Kemudian ia berputar
dan menari-nari saking girangnya.
Aryati Sastra yang baru saja memasuki ruangan heran melihat Mel begitu girang. Beliau tersenyum. "Sudah jadi berapa
gaun?" Mel tersentak dan langsung menghentikan gerakannya.
"Hmm... yang saya jahit sendiri sih baru satu, Bu. Ini pun masih berantakan banget. Maklum deh, Bu, namanya juga baru
belajar jahit," jawab Melanie sambil menunjukkan gaun buatannya dengan bangga dan melanjutkan keasyikannya membuat
sketsa. Aryati Sastra cuma bisa geleng-geleng kepala melihat gaun
buatan Mel. Jujur aja, gaun itu nggak layak pakai banget.
Mirip baju orang-orangan sawah. Nggak apa-apalah, yang penting kan usahanya.
Meskipun begitu, Mel senang banget dengan gaun buatannya
sendiri. Sementara Aryati mengamati hasil karya muridnya itu,
Mel melanjutkan kesibukannya membuat sketsa gaun rancangannya.
Karena penasaran melihat Mel yang kelihatan serius membuat sketsa, Aryati mengambil kertas-kertas berisi sketsa desain
karya Melanie dan terkaget-kaget melihatnya. Napas Aryati
Sastra mulai tersengal-sengal. Ia tak percaya dengan apa yang
dilihatnya. Apa-apaan ini" Kebaya dipadukan dengan hot pants,
kebaya dibuat tanpa lengan seperti rompi, kain jarik buat celana, dan batik dibikin jadi sackdress dengan lengan balon.
Pandangan Aryati Sastra mendadak kabur. Kepalanya
kleyengan nggak keruan. Dengan lemas ia terduduk sambil me120 mijat-mijat dahinya. Jantungnya berdetak lebih cepat saking
shock-nya. "Bu Aryati" Ibu kenapa, Bu?"
Aryati Sastra memegang kepalanya yang senut-senut. Entah
berapa lama ia terdiam. Tiba-tiba ia berkata pelan, "Tolong
kamu ambilkan sketsa kamu."
Dengan bingung Mel mengambil kertas-kertas sketsa miliknya dan menyerahkannya pada Aryati.
Aryati Sastra memperhatikan sketsa yang dibuat oleh Mel
dan berpikir lumayan lama. Ia mulai menyadari bahwa seluruh
sketsa itu memang mengandung unsur batik dan kebaya modern. Mel punya kreativitas yang tinggi dalam memadupadankan kebaya dan batik walaupun dengan style semau dia. Semula Aryati memang agak shock melihat desain Mel yang
agak-agak nyeleneh itu. Tapi Aryati ingin membebaskan Mel
berekpresi. Aryati Sastra terdiam beberapa saat sebelum akhirnya bertanya, "Kamu tau Parsons School of Design?"
Mel terkaget-kaget dengan pertanyaan itu. Parsons School
of Design" Ya jelaslah dia tau. Itu kan sekolah desain terkemuka di New York.
"Saya hampir saja jadi lulusan sana?"
Mel semakin terbengong-bengong mendengar ucapan Aryati
Sastra barusan. "Tapi sayang, belum sampai selesai saya kuliah di sana, orangtua saya tidak mampu lagi membiayai saya. Makanya saya pulang ke Indonesia tanpa membawa titel apa-apa," cerita Aryati
Sastra sambil menerawang jauh. "Ketika sampai di Indonesia,
saya merasa tidak mengenal tanah air saya sendiri. Seluruh desain saya terkontaminasi desain luar negeri. Saya menyenangi
121 gaya Eropa yang berkesan glamor. Bahkan saya tidak mengenal
apa itu batik, kebaya, apa pun budaya Indonesia."
Mel menatap wanita itu. "Hingga seseorang menunjukkan pada saya inner beauty yang
terpancarkan dari kebaya." Aryati Sastra tersenyum. "Wanita
itu membuat saya menyadari bahwa kebaya dapat membuat
wanita berubah menjadi sosok yang berbeda. Sosok yang anggun, ayu, dan lembut. Dari beliaulah saya sadar bahwa Indonesia memiliki kebudayaan yang beraneka ragam."
Mel memandangi mata Aryati Sastra yang mulai berkacakaca. Sepertinya cerita itu sangat berpengaruh terhadap kariernya saat ini.
"Saya malu karena sebagai warga negara Indonesia saya sama
sekali tidak mengenal tanah air saya sendiri." Aryati Sastra
menundukkan wajahnya. Sesaat kemudian ia menengok ke
arah Melanie. "Beliau adalah orang yang paling berjasa dalam
karier saya. Beliau memberikan saya izin untuk membuka butik
kecil-kecilan di garasi rumahnya dan mencarikan saya pelanggan pertama, hingga usaha saya bisa menjadi seperti sekarang
ini." "Apa beliau masih sering menjenguk Ibu Aryati?"
"Beliau sudah meninggal."
"Maaf." "Ndak apa-apa," jawab Aryati Sastra. "Kamu mengingatkan
saya pada masa itu."
Melanie tersenyum lebar. Ia nggak sadar bahwa sejak tadi
Aryati Sastra menatapnya tajam.
"Aryo Adiwijoyo adalah sahabat terbaik. Saya mengenalnya
dengan baik sejak sebelum saya kuliah di New York."
"Papa saya?" 122 Aryati Sastra mengangguk. "Dan Ibu Melati Adiwijoyo, nenek kamu, adalah wanita paling luar biasa yang sanggup membuat saya mencintai kebaya. Ya, wanita itu adalah Melati
Adiwijoyo. Saya berutang budi pada beliau."
"Lima ratus" enam ratus" tujuh ratus ribu! Ah, lumayaaan?"
Mel kegirangan ketika tahu jumlah tabungannya bertambah
tujuh ratus ribu rupiah. Itu tandanya dia bisa membeli peralatan untuk mendesain dan menjahit sendiri. Ia cengengesan sejak tadi.
Mel menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur. Menatap langitlangit kamar. Mendadak ia teringat orangtuanya. Papanya yang
sangat menyayanginya, dan Mama yang selalu bilang bahwa
Mel anak yang cantik. "Papa, Mama, aku sekarang udah besar. Udah bisa nyari duit
sendiri. Jadi Papa sama Mama nggak usah khawatir. Aku bukan anak manja lagi."
Dengan cepat Mel bangkit dari tempat tidur, meraih tas tas
kulitnya yang diletakkan di meja, lalu mengeluarkan buku sketsanya. Cewek itu keluar dari kamar menuju perpustakaan
Eyang Santoso. Di dalam perpustakaan, mata Mel tertuju ke mesin jahit
Canting Cantiq Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
putih di sudut ruangan. Ia melangkah mendekati mesin jahit
putih itu. Mel meraba bagian bawah mesin jahit tersebut yang ada
grafiran nama neneknya, kemudian menghela napas panjang.
Ia menarik kursi dan duduk di balik mesin jahit tersebut.
Tangannya yang lembut mulai mencorat-coret desain pakaian
123 di bukunya. Sesaat ia menengok ke arah koran di meja. Ia
mengambilnya dan merentangkan koran tersebut di lantai.
Dengan bantuan pensil dan penggaris, Mel mencoba menggambar pola pada kertas koran tersebut. Dengan cermat ia
mengukur, menarik garis, dan menggunting. Tampangnya ngalahin Einstein yang lagi membuat rumus atom.
Belum selesai pekerjaannya, Mel keluar dari kamar menuju
dapur. Ia ingin membuat susu. Dilihatnya lampu lantai bawah
yang masih menyala terang dan suara TV yang cukup berisik
menandakan masih ada orang yang belum tidur.
Di lantai bawah, Mel melihat Bima sedang berbaring di sofa
sambil menonton televisi. Kok ada Bima" Oh, mungkin dia
mau nginep. Perlahan Mel menuju dapur untuk membuat susu.
Kembali dari dapur, ia melihat Bima masih dengan posisi yang
sama. Setelah memperhatikan Bima lumayan lama, Mel baru menyadari bahwa mata Bima terpejam. Cowok itu pasti ketiduran,
soalnya TV masih nyala. Dengan langkah sangat hati-hati, Mel
mendekati Bima untuk memperhatikan wajahnya dari dekat.
Perlahan ia duduk di sudut sofa.
Bima kelihatan cakep banget kalau lagi tidur, komentar Mel
dalam hati. Ekspresinya tenang kayak bayi. Mukanya bersih
banget. Semuanya terlihat perfect. Matanya, hidungnya, bibirnya. Tapi" kok ada bekas luka di pelipis kanannya, ya"
Perlahan tangan Mel menyentuh bibir Bima, dan ia terlonjak kaget karena Bima mengubah posisi tidurnya. Fiuuh!
Hampir aja ketahuan. Eh, kira-kira Bima mimpi apa ya" Mel
masih saja betah ngeliatin cowok itu tidur sambil senyam-senyum sendiri. Untungnya Bima lagi tidur. Kalau nggak, mana
mungkin Mel berani menatapnya sedekat dan selama itu" Mel
124 memejamkan mata, mencoba menikmati aroma after shave yang
digunakan Bima. Setelah puas menatap wajah Bima, Mel beranjak dari tempat duduknya. Namun, tiba-tiba ia terjatuh hampir menimpa
tubuh Bima gara-gara baju hangatnya tertindih tubuh cowok
itu. Untung tangannya cepat-cepat memegang sandaran sofa.
"Akh!" Mel memekik kecil, membuat Bima terbangun. Jantung Mel langsung berdegup kencang.
Bima terkejut melihat Mel tepat berada di hadapannya dengan posisi hampir menimpanya. "Mel" Ada apa?"
Dengan wajah merah menahan malu, Mel buru-buru menarik ujung baju hangatnya yang tertindih Bima, mematikan
TV, dan menaiki tangga menuju ruang perpustakaan dengan
wajah tertunduk. Ia tengsin berat!
Tinggallah Bima yang terbengong-bengong memikirkan adegan barusan. "Ini mimpi apa kenyataan sih?" ucapnya sambil
menepuk-nepuk wajahnya. Ketika tangan Melanie menyentuh gagang pintu ruang perpustakaan, ia melihat pintu kamar Aiko yang terbuka sedikit. Mel
mengintip ke dalamnya dan mendapati Aiko terbaring di tempat tidur. Wajah cewek berdarah Jepang itu tampak pucat.
Kamar Aiko sangat rapi. Banyak lukisan hasil karyanya terpajang di dinding. Aiko memang hobi melukis. Setiap kali ada
waktu senggang, ia pasti menyempatkan diri memoleskan kuasnya di atas kanvas.
"Aiko?" sapa Mel pelan tanpa ada jawaban dari Aiko. Mel
melangkah menuju sudut tempat tidur Aiko dan langsung me125 nempelkan telapak tangannya ke kening cewek itu untuk memastikan Aiko nggak demam. "Kamu kenapa?"
"Biasa, Mbak. Dada aku memang suka sesak kalau malam,"
jawab Aiko lembut sambil tersenyum. Kemudian cewek itu
melanjutkan, "Nggak apa-apa, Mbak. Udah biasa. Tadi udah
dikasih minyak angin."
Mel tampak cemas melihat kondisi Aiko. Ia membuka baju
hangatnya dan memakaikannya ke tubuh Aiko. "Kamu pakai
ini aja. Biar hangat."
Aiko mengenakan baju hangat Mel. Meskipun agak kebesaran, baju hangat itu begitu nyaman dan wangi. Aiko pun langsung mencari posisi yang enak untuk tidur.
Setelah menyelimuti Aiko dengan selimut tipis yang ada di
tempat tidur, Mel perlahan pergi menuju ruang perpustakaan.
Mel merasa kasihan banget sama cewek itu. Selain sakit-sakitan, Aiko lelet banget. Kadang-kadang malah suka bikin orang
lain nggak sabaran gara-gara gerakannya yang selalu slow
motion. Untungnya Aiko cewek yang tertib banget. Semua
jadwal yang dia buat nggak pernah meleset. Dari mulai bangun
pagi, ngerjain PR, berangkat sekolah, semuanya serba tepat
waktu. Tapi di sekolah, Aiko paling nggak pernah dianggep. Ada,
tapi kayak nggak ada. Aiko merasa banyak temen kalo lagi
dibutuhin aja. Kalo lagi pada butuh sontekan ulangan atau
salinan PR, Aiko mendadak jadi seleb. Mungkin karena dia
pendiam banget, makanya jarang ada yang mau temenan sama
dia. Kasihan Aiko", ucap Mel dalam hati. Mungkin suatu hari
nanti ada cowok yang bisa lebih menghargai dan melindunginya.
126 "Kamu ikut saya!"
"Ke" ke mana, Bu?"
Baru saja tiba di Galeri Aryati Sastra, Mel langsung ditarik
menuju ruang koleksi. Sampai di ruang koleksi, mendadak tampang Mel berubah
cemberut. Soalnya di sana ada Karen, model kesayangan Aryati
Sastra. Sialan, kenapa mesti ada nenek lampir itu sih" gerutu
Mel. Ruang koleksi milik Aryati Sastra sangat besar. Di dalamnya
ada lima buah lemari berukuran jumbo yang berisi pakaianpakaian rancangan wanita itu. Di setiap sudut ruangan terdapat
cermin besar yang memantulkan bayangan dengan sangat sempurna.
"Pakai ini," Aryati Sastra berkata sambil mengambil sebuah
kebaya hitam dengan potongan yang sangat simpel.
Melihat Aryati Sastra kelihatan begitu serius, Mel jadi
nggak berani bertanya lebih jauh. Ia langsung menerima kebaya tersebut dari tangan Aryati Sastra dan berganti pakaian
di fitting room. Beberapa saat kemudian, Mel keluar dari fitting room. Aryati
Sastra tersenyum lebar ketika melihat kebaya hitam itu melekat sempurna di tubuh Mel.
"Perfect!" Senyumnya mengembang melihat Mel. Beda banget sama Karen yang tampak nggak suka melihat Aryati memuji Mel.
Mel merasa bingung dengan sikap Aryati Sastra. "Sa-saya
udah boleh ganti pakaian lagi, Bu?"
127 "Jangan!" dengan cepat Aryati Sastra menolak. "Kamu temani saya menghadiri suatu acara."
"What"! Ibu mengajak dia juga?" protes Karen.
"Acara" Acara apa, Bu?" Mel tampak heran.
"Jangan banyak tanya, pokoknya kamu ikut saya."
Mendengar ucapan Aryati Sastra barusan, wajah Karen semakin terlihat penuh kebencian. Kayaknya dia sangat nggak
terima kalau Mel ikut pergi.
Hari ini Aryati Sastra sukses membuat kepala Mel penuh dengan pertanyaan. Tapi semua pertanyaan itu terjawab ketika
mobil Aryati berhenti tepat di depan pintu utama sebuah gedung mewah yang ramai dengan orang-orang berpakaian formal.
Ketika seseorang membukakan pintu mobil Aryati Sastra,
lampu blitz kamera langsung menyala dari hampir setiap sudut.
Untuk pertama kalinya Mel merasa berada di red carpet Hollywood.
Karen langsung pasang aksi. Gayanya sok ngartis banget.
Melambaikan tangan sambil kiss bye. Sesekali ia berpose ketika
ada wartawan yang menyorot ke arahnya.
"Aryati Sastra, sebelah sini!" teriak seorang wartawan.
Aryati Sastra melambaikan tangan ke arah kamera sambil
tersenyum sumringah. "Aryati Sastra, apakah Anda datang bersama model Anda?"
tanya salah satu wartawan.
Karen sengaja nampang di depan para wartawan. Padahal
yang sejak tadi diperhatikan oleh para wartawan adalah
128 Melanie. Melanie memang cantik banget dengan kebaya hitam
yang membuat kulit putih mulusnya tampak berkilau.
Aryati Sastra hanya menjawab dengan senyuman. Ia lalu
mengajak Mel dan Karen memasuki gedung.
Mel melirik ke arah spanduk besar di depan pintu yang bertuliskan "PERGELARAN BUSANA LIMA DESAINER INDONESIA".
Di dalam gedung, suasana begitu ramai. Semua kursi untuk
para undangan terisi penuh. Sebagai tamu penting, Aryati Sastra mendapat tempat duduk di deretan paling depan. Mel senang banget ketika mengetahui hal itu. Ketika Mel dan Aryati
sudah berada di tempat duduk, beberapa desainer yang wajahnya begitu familier di benak Mel menghampiri Aryati dan
menyalaminya. Mel senang bukan main. Baru kali ini ia menghadiri pergelaran busana. Biasanya ia menonton di TV.
"Karen" you look so beautiful!" seorang cowok plontos mendekati Karen dan mencium pipi cewek itu. "Dia siapa, darling?"
tanya cowok plontos itu sambil tersenyum menatap Melanie.
"Oh" nggak penting. Cuma salah satu penjahitnya Ibu
Aryati Sastra," jawab Karen nyebelin.
Kalau bukan karena Karen model kesayangannya Aryati
Sastra, mungkin tuh nenek lampir udah dicincang sama Mel.
Aryati Sastra berbisik di telinga Mel. "Itu konglomerat J.B.
Montaimana," ucap Aryati Sastra sambil menunjuk dengan
dagunya ke arah seorang lelaki tua berjas hitam.
Oh" itu toh J.B. Montaimana yang terkenal itu. Pemilik
Montaimana Group yang sangat digembar-gemborkan oleh
Alexa karena perusahaan ayahnya baru saja masuk menjadi
anak perusahaan Montaimana.
129 Tak lama kemudian, acara dimulai. Lampu yang tadinya terang benderang perlahan meredup. Hanya bagian panggung
yang terang benderang. Dentuman musik klasik mengalun,
mengiringi model-model yang berlenggak-lenggok di catwalk.
Sepanjang acara, Aryati Sastra sibuk mengomentari busana-busana yang diperagakan.
"Ratich Art, selalu mengeluarkan aksen wayang. Karya rok
wayangnya dilelang hingga ratusan juta rupiah tahun lalu,"
jelas Aryati Sastra tanpa berpaling dari catwalk.
"Mantan bos," Karen ikutan ngomong dengan bangga. Entah
karena ingin pamer atau cuma sekadar cerita.
"Ananta Gilank, tidak pernah lepas dari desain tato dayak.
Sakit jiwa dia. Semua modelnya selalu dilukis hingga ke wajah," komentar Aryati Sastra lagi.
"Iya, saya pernah ditato hingga telinga pas saya jadi modelnya," Karen nyeletuk.
"Helmy Joo, pakaian lelaki dengan detail batik yang mengagumkan. Rancangannya pernah menjadi seragam wajib KTT."
"Saya dapat honor besar sekali dari dia?" terdengar suara
Karen lagi. "Itu" Arsyifa Yasen. Selalu memakai kain songket dengan
payet glamor." "Yah, memang glamor."
"Baju bodo membuat Sadewa Budi kaya raya. Lihat saja.
Modelnya begitu anggun mengenakannya."
"Saya juga terlihat anggun kalau mengenakannya."
Mel hanya terdiam mendengarkan komentar-komentar
Aryati Sastra plus celetukan Karen yang selalu membuntut
setelah komentar Aryati Sastra. Udah kayak backing vocal. Dasar nenek lampir!
130 Menurut Mel, seluruh busana yang diperagakan hari itu sangat mengagumkan. Ia nggak menyangka, ternyata Indonesia
memiliki berbagai macam pakaian adat yang semeriah itu.
Di dalam mobil, Aryati Sastra masih terus membicarakan
karya desainer-desainer tadi. Karen juga ikutan ngoceh dengan
sok tau. "Mereka semua konsekuen dengan karya mereka. Makanya,
tanpa disebutkan nama desainernya pun, orang-orang sudah
tau itu karya siapa," komentar Aryati. "Mereka berlima akan
dikirim ke Paris untuk mengikuti ajang fashion bergengsi mewakili Indonesia."
"Tiga tahun yang lalu Ibu Aryati Sastra memborong tiga
penghargaan sekaligus karena desain kebayanya," bak juru bicara Aryati Sastra, Karen memberitahu Mel.
"Mereka masih muda ya, Bu," cuma itu kata-kata yang sanggup keluar dari mulut Mel.
"Ya iyalah mereka terlihat masih muda. Daripada umur masih muda tapi kelihatan tua." Entah apa maksud Karen mengeluarkan penyataan itu.
"Kamu juga masih muda," ucap Aryati Sastra sambil menatap Mel dalam-dalam. Kemudian ia melanjutkan kata-katanya, "Saya berharap suatu saat nanti kamu bisa bersanding
dengan desainer-desainer tadi. Bulan depan, saya mengadakan
fashion show lagi di Kafe Soda. Temanya adalah etnik. Saya
berpikir untuk memasukkan rancangan busana kamu ke acara
tersebut. Gimana" Apa kamu tertarik?"
Mel tersentak. Apa Aryati Sastra serius dengan ucapannya
barusan" "IBU!!!" Karen kelihatan protes berat.
131 "Oh, tidak, tidak!" Aryati Sastra kembali berpikir. Kemudian
ia berkata, "Mungkin lebih baik kalau kamu membuat konsep
pergelaran karya kamu sendiri. Agar kamu bisa lepas dari pengaruh pergelaran saya."
"Ibu serius?" Mel nggak percaya.
"Ibu yakin?" Karen malahan heboh sendiri.
Aryati Sastra mengangguk. "Saya selalu bekerja berdasarkan
feeling. Saya merasa kamu mampu melakukan itu, Melanie."
Mel terdiam ragu. Aryati Sastra menepuk pundak Melanie. "Saya sangat menginginkan pergelaran busana karya kamu terlaksana. Saya pinjamkan karyawan saya untuk membantu kamu menjahit semua
desain yang kamu buat agar semuanya dapat selesai tepat pada
waktunya. Tapi ingat?"
Mel menanti kelanjutan kalimat Aryati Sastra.
"Kamu harus memiliki ciri khas tersendiri. Jangan ikut-ikutan. Apalagi menyontek! Jangan kecewakan saya."
Karen melipat tangannya di dada. Pandangannya beralih ke
pemandangan di luar jendela mobil. Sesaat ia ngedumel dalam
hati, Kenapa sih Ibu Aryati Sastra memanjakan cewek ini"
Anak bau kencur bisa apa sih"
Hari ini ada kejadian aneh menimpa anak-anak Soda. Kenapa"
Karena hari ini Eyang Santoso terus-terusan menelepon anakanak Soda untuk menjawab TTS di koran. Dari mulai menelepon Ipank di kampus, Jhony di kantor redaksi majalah, Bima
di Kafe Soda, dan Dara di toko kaset.
132 "Halo" Iya. Kenapa, Eyang?" Bima menjawab di telepon.
"Bima, kamu tahu nama rempah-rempah yang bisa menurunkan kadar gula darah?"
"Kenapa, Eyang" Eyang sakit" "
"Sembilan kotak, Bima."
Sembilan kotak" Bima berpikir sejenak. Kemudian ia menyadari bahwa Eyang Santoso sedang mengisi TTS. "Hmm... apa
ya, Eyang" Coba tanya Dara deh, Yang."
"Oh iya. Terima kasih."
Eyang Santoso menutup telepon. Kemudian kembali memencet nomor telepon toko kaset tempat Dara bekerja.
"Dara, kamu tau nama rempat-rempah yang bisa menurunkan kadar gula darah?"
"Lho" Eyang sakit?" tanya Dara heran.
"Bukan, Eyang lagi ngisi TTS."
"Oooh... Hmmm... apa ya?"
Saka yang sedang membuat lirik lagu di ruang TV, spontan
menjawab, "Kayu manis, Yang!"
"Oh iya!" Eyang Santoso bersorak kegirangan. Beliau menutup telepon, menulis jawabannya di kolom TTS sambil
manggut-manggut. Di Kafe Soda, Mel terheran-heran ketika tahu Eyang
Santoso barusan menelepon.
"Eyang Santoso nelepon" Tumben. Ada apa, Bim?" tanya
Mel pada Bima yang kelihatan sibuk membetulkan pipa wastafel kafe.
Bima membasuh peluh yang membasahi keningnya. "Eyang
mau ngirim jawaban TTS-nya ke redaksi. Biar dapet hadiah.
Makanya Eyang semangat banget ngerjainnya."
133 "Emang biasanya dapet?" tanya Mel sambil mengelap meja.
"Nggak. Biasanya anak-anak yang diem-diem patungan buat
beli hadiah untuk Eyang Santoso biar beliau senang."
"Berarti selama ini Eyang nggak tau kalau yang selalu beli
hadiah itu kalian?" "Iya. Kami melakukan itu juga buat kebaikan Eyang. Biar
otak Eyang tetap aktif, nggak cepet pikun," jelas Bima sambil
terus berkutat di bawah wastafel, membetulkan pipa.
Tiba-tiba" DUK! "Aaww!" Kepala Bima terantuk wastafel
ketika ia hendak bangkit. Lumayan keras.
Refleks Mel memegangi kening Bima dan mengusapnya dengan lembut. "Sakit, ya?"
Bima tertegun menatap Mel. Mata bening cewek itu memancarkan kekhawatiran yang mendalam. Bima terenyak. Baru kali
ini ia sanggup menatap mata seorang cewek sedekat dan sedalam ini.
Canting Cantiq Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mel masih sibuk mengusap-usap kening Bima. Ketika tersadar,
matanya beradu pandang dengan mata cowok itu. "Mmm"
harus dikompres biar nggak benjol," ucapnya, berusaha mengusir
rasa gugupnya. Bima juga ikutan salting. Ia pura-pura sibuk mencari-cari
tang di sekitarnya. "Iya, harus dikompres," ucapnya. Padahal ia
terheran-heran kenapa sakit di keningnya bisa seketika hilang"
Kenapa semuanya jadi nggak terasa apa-apa lagi" Ampuh juga
cewek itu. Keesokan harinya di Galeri Aryati Sastra.
Mel mengucek matanya berkali-kali, nggak percaya dengan
134 apa yang baru saja dilihatnya. "Ss-sketsa" sketsa saya hilang!!!"
Aryati Sastra dan Karen berjalan mendekat.
"Kamu yakin meletakkannya di sini?" tanya Aryati meyakinkan Mel.
"Saya yakin sekali, Bu"," jawab Mel nggak berdaya. Pasalnya, sketsa-sketsa buatannya raib tanpa jejak.
"Makanya, naro yang bener!" dengan nyebelinnya Karen
ikutan ngomong. Mel melengos. Ia tau banget, dalam hati Karen pasti bersorak penuh kemenangan melihat Mel kehilangan semua sketsanya.
"Karyawan saya mana mungkin ada yang berani mengambil"
Tapi?" Aryati Sastra berhenti sejenak. "Segala kemungkinan
bisa terjadi," lanjutnya sambil mengangkat bahu.
Tanpa ekspresi, Mel menatap lemas lemari kayu tempatnya
menaruh sketsa-sketsa desain buatannya. Kenapa semuanya
harus terjadi" Padahal hari H pergelaran busana tinggal sebentar lagi. Apa yang harus ia lakukan"
"Cuma ada satu jalan," Aryati Sastra berkata tenang.
Mel mengangkat wajahnya yang terasa berat.
"Kamu buat desain ulang."
"HAHAHA"!" Karen sontak tertawa seperti kuntilanak.
"Desain ulang" Apa saya nggak salah dengar?"
"Apa salahnya berusaha?" Aryati Sastra menatap Karen tajam. Membuat Karen nggak bisa berkutik.
Mel masih terdiam. Ia juga nggak yakin apa semuanya bisa
selesai tepat pada waktunya. Kayaknya ia pengen banget bungee
jumping, terjun dari lantai 30 untuk menghilangkan kepenatannya.
135 Ketika pulangnya Bima menjemput Mel, cowok itu heran
banget melihat Mel nggak bersemangat.
"Kenapa, Mel?" tanya Bima perhatian.
Mel cuma menggeleng. Jangankan menjawab pertanyaan
Bima, melangkah pulang aja kayaknya ia nggak sanggup.
Di tengah jalan, Bima membelokkan motornya menuju sebuah coffee shop. Tanpa ba-bi-bu, cowok itu menarik tangan
Mel untuk masuk. Mel sebenernya heran juga kenapa Bima mengajaknya ke
sana. Tapi ia udah lemes banget, jadinya males untuk bertanya
lebih jauh. Bima mengambil posisi tempat duduk di sudut ruangan. Suasana di coffee shop itu sangat sederhana, tapi cozy banget. Alunan musik jazz membuat suasana makin rileks.
"Di sini ice chocolate coffee-nya enak banget. Kamu harus
coba." Mel mengangguk. Nggak lama kemudian seorang pelayan datang untuk mencatat pesanan. "Selamat sore, Mas Bima," sapa pelayan itu ramah seperti sudah sering melayani Bima.
"Sore. Saya mau pesan ice chocolate coffee dua."
Pelayan itu dengan cepat mencatat pesanan Bima. "Ada lagi, Mas?"
"Nggak. Itu dulu aja. Mel, kamu mau apa?"
Mel menggeleng lagi. Pelayan tersebut langsung bergegas ke belakang untuk membuat pesanan Bima. Nggak ada sepuluh menit, dua ice chocolate
coffee datang. Dengan cepat Mel langsung menyeruput minuman tersebut. Benar kata Bima. Ice chocolate coffee ini enak banget. Bisa bikin pikiran jadi rileks.
136 "Nah, sekarang udah bisa cerita, kan?" Bima mengatur posisi
duduknya tepat di hadapan Mel agar ia bisa menatap mata
cewek itu lebih dalam. Mel terdiam sejenak. Mencoba memikirkan kata-kata pertama untuk memulai kabar buruknya itu. Ia menarik napas
dalam-dalam, dan" "Semua sketsa desain baju buatan gue ilang. Nggak tau ke
mana. Gue udah bikin mati-matian. Gue pengen banget pergelaran busana itu bisa terlaksana. Tapi?" Mel nggak melanjutkan kata-katanya. Air matanya mengalir deras. Padahal ia
udah setengah mati menahannya.
Bima masih menatap Mel tajam. Terdiam tanpa ekspresi.
Tiba-tiba telapak tangannya ia letakkan di punggung tangan
Mel. Memberikan Mel ketenangan yang luar biasa.
"Kenapa sih, semua masalah datang bersamaan?" Mel menunduk sambil sesenggukan.
Bima memperkuat ganggamannya, seakan memberi tanda
bahwa ia siap menjadi tumpahan segala kesedihan Mel.
"Orang-orang bener. Gue cuma anak ABG manja yang
nggak bisa apa-apa, bisanya cuma nyusahin orang lain. Gue
udah gagal. Gue nggak mungkin bisa mengulang semua desain
dalam waktu sesempit ini."
"Mel"," Bima mendadak berbicara, "kamu nggak boleh nyerah. Kebanyakan orang yang gagal adalah orang yang nggak
menyadari betapa dekatnya dia dengan keberhasilan saat dia
memutuskan untuk menyerah."
"Tapi itu tetap nggak mungkin, Bim?"
"Gimana kamu bisa tau kalau itu nggak mungkin sementara
kamu belum mencoba?"
Mel terdiam. Perkataan Bima barusan memang benar. Mel
Lembah Nirmala 21 Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama