Ceritasilat Novel Online

Kompilasi Tiga Kehilangan 1

Kompilasi Tiga Kehilangan Karya Dewi Kharisma Michellia Bagian 1


Bunga Dalam Lumpur m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
Table of Contents Title Page KOMPILASI TIGA KEHILANGAN
[*] [/*] Ikrar Layang-layang Pantai Cermin Lelaki dengan Semiliar Perbedaan
Nubuat Penitisan Rumah Sejati Rota Fortunae 22 Jam Kompilasi Tiga Kehilangan
Hujan Setiap Malam pada Bulan Mei
Siklus Bumi Sketsa untuk Kakek di Surga
Ia yang Selalu Suka Kubawakan Oleh-oleh
Dewa Waktu dan Gadis Kecil
Berpisah Jalan Pertanda Penari Kraton Kemunculan Tasya Persona Bocah Adopsi Paman dan Bibi
Rahasia Kematian, Dua Puluh Tahun Lalu
1 Bunga Dalam Lumpur m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Rindu Lara Balada Seekor Semut Setangkai Arum Manis Tiga Puluh Lima Kartu Pos dari Anna
Saudade Dosen dengan Dunia Utopia
Apa Bahagia Sepotong Kisah Malam Kematian
Takdir pada Suatu Fiksi Hadiah untuk Kejujuran Mira
Kuil Pemujaan Hewan Laudita yang Takut Ditinggalkan
Pertemuan Sepupu Pria Kecil, Permen Kuning dalam Toples Kaca, dan Segelas Air
Akhir Cerita di Pantai Kuta
Keberulangan Diandra Menghilangnya Si Pecandu Internet
Penulis Takdir Arti Hidup Surat Cinta Aku dalam Kepalanya Mencerai Selebritis Alpha - Beta Cinta yang Sia-sia 2 Bunga Dalam Lumpur m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Aksara Kehidupan Kinnara Ketaksaan Ajal Religia KOMPILASI TIGA KEHILANGAN
DEWI KHARISMA MICHELLIA [*] [/*] Mereka lahir dalam kurun waktu pertengahan 2008 hingga awal 2012 di sejumlah persinggahan
berbeda di empat kota, dengan tujuan penulisan yang kebanyakan sebatas untuk memenuhi
tenggat waktu perlombaan ataupun diniatkan sebagai hadiah ulang tahun semata. Mereka semua
sudah pernah hadir di jejaring maya, terpisah, dan tak saling mengenal satu sama lain. Kini, saya
merekatkan tali-persaudaraan mereka dalam bentuk kumpulan tulisan.
Kumpulan tulisan yang akan kalian baca (entah sampai tamat, entah sambil lalu) ini kini berlisensi
creative commons(dan sangat mungkin akan dimintakan Hak Cipta ataupun ISBN ke PNRI). Itu
berarti ebook ini bebas disebarluaskan, diperbanyak, dikirimkan ke teman, bahkan dicetak; namun,
saya perlu tekankan, semua hal itu dapat dilakukan bukan dengan tujuan komersial.
Andaikata ia memang diperbanyak, dicetak, ataupun dikutip, saya sangat berharap untuk dihubungi
sebelumnya melalui kontak dewikhami@gmail.com atau melalui Facebook.com dengan akun saya:
Dewi Kharisma Michellia - sehingga saya dapat mengetahui siapa yang memiliki, membaca, dan
mengapresiasi tulisan-tulisan ini. Saya menaruh dua tanda penutup berbeda dalam setiap cerita, [/*]
menandakan bahwa ia belum betul tamat, dan [*] menandakan bahwa ia hanya berpura-pura tamat;
ya, kumcer yang kalian pegang ini belum benar-benar utuh selesai.
Akhir kata, bagaimanapun setiap hal berkelindan dengan kemungkinan-kemungkinan menjadi
penting dan tidak penting. Siapapun bisa membaca tulisan-tulisan di sini sebagai hal yang penting
dan tidak penting. Karenanya, semoga tulisan-tulisan ini terbaca dalam waktu yang baik. Saya
selalu yakin hanya momentum yang tepat yang mampu membuat suatu hal memperlihatkan
kedalaman maknanya yang sejati. Pada zamannya, Heraclitus menyebut pemikiran saya ini sebagai
Panta Rhei. 3 Bunga Dalam Lumpur m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
- Verba Volant, Scripta Manent P.H. 3 Maret 2012 Terima kasih kepada orang-orang yang membuat semangat menulis selama sekian tahun ini selalu
menyala-nyala, kepada mereka yang membuat saya tak pernah berhenti menyinggahi dunia fiksi,
dan mengajak saya terus belajar.
Kepada Sunlita Citra Tanggyono, Wulandari Trisna Dewi, Arik Suarcani, Adi Toha, Norman Erikson
Pasaribu, Rifki Akbar Pratama, Sandy Purbacipta, Andrea Hifran, Nurul U. Putri, terima kasih untuk
pembelajarannya yang terus-menerus.
Segenap rekan seperjuangan di Kemudian.com, David "KD", Citra "Dirgita", Ardi "Villam", Junaedi
"gthozy", Windry "miss+worm", Rivai "someonefromthesky", Andreas Dewanto "andreas", Kunto
"Merah Putih Setengah Tiang", Anindito "Alfare", Herry "Shinichi", Boby "bob1985", Sherlein "Feline",
Bing "Canon Bender", Tiara "_aR_", Yasfin "145", Yudha "shining_star_13", Ayu "snowdrop", dan
Juniar "samalona", juga kawan-kawan di LCDP yang tak bisa saya sebutkan satu per satu,
perjuangan kita belum selesai!
Kepada keluarga besar BPPM Balairung (Balairungpress.com) dan Komunitas Kembang Merak;
Luthfi, Iryan, Wisnu, Ofa, Udin, Purnama, Ibnu, Linna, Shandy, Ferdi, Rony, Daniel, Sonia, Alfario,
Afdi, Rosyid, Uki, Beny, Jojo, Hanindya, Errina, Fadly, Nafi, Lady, Zurjani, Ulum, Elyzabeth, Fitria,
Azhar, Aip, Abud, Tama, Gading, Ni'am, Nabilah, Nella, Deni, Syamsul, Wawan, Ryjan, Laras,
Hernowo, Rois, semua anggota keluarga yang terlalu banyak untuk disebutkan satu per satu, terima
kasih untuk segala kesempatan belajar membaca, berdiskusi, dan menulis bersama, serta untuk
semangat-semangat yang saling dipertukarkan, secara nyata, di BAKMI; atau melalui cara apapun.
Mbakyu Nisa, Herjuno, Mirna, Amik dan Ratu, teman-teman di SISMA, Ayu dan Joevarian, Miranda,
Wicak, Raga, Ivy, Dedot Osek, merekalah yang pernah membarakan semangat dalam kurun waktu
penulisan kumcer ini. Juga untuk Winarto, Bernardus Hidayat, Niken Sawitri, Endang Soelistiyowati,
Bimo dan Endah,Wahyudi, Sarah, Fitri, Hartika dan Lila, Salsabilla, Ratih, Ikang, danRaya Ya, matur
suksma banget! Untuk Mama dan untuk Semesta.
Ikrar Layang-layang 4 Bunga Dalam Lumpur m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Kawan masa kecilku tertidur pulas dalam peti mati - kala hujan tengah diantar pulang ke tanah - di
mana dia telah membeku serupa jenazah yang sesungguhnya, dan bersiap diantar pergi. Di sebuah
desa domestik yang penghuninya masih tak memedulikan perubahan zaman, kawanku berpulang
dengan menusuk perut di hadapan putranya yang konon masih balita. Dia sempat dibawa ke rumah
sakit paling besar di desa itu - pada tempat di mana kini peti matinya dijemput oleh pesuruh
ayahnya - dan nyawanya tetap tak terselamatkan.
Layang-layang persegiku basah di tanah dan tenggelam oleh banjir. Aku duduk di pinggiran sawah
dengan memegangi kaleng yang dibelitkan tali nilon, membenamkan kaki pada persawahan padi
berlumpur. Aku tetap duduk memandang ke arah langit. Seharian ini desa terendam; terjangan
hujan bertubi bagai manuver menyerbu tubuhku.
Barangkali benar; orang yang nampak paling kuat di pagi hari adalah mereka yang sebelumnya
telah menangis sepanjang malam.
Kurenungkan hampir segala hal yang pernah terjadi dalam hidup kami, kusadari selama ini aku
kalah akan nasib. Aku paham benar bahwa hidup hanyalah pinjaman. Semua yang pernah ada
dalam hidup hanya dipinjamkan. Tubuhku sendiri pun suatu saat harus kukembalikan ke bumi.
Namun mengapa tidak ada satu pun orang yang secara hakiki merelakan, ketika tiba masanya
pinjaman-pinjaman itu harus dikembalikan"
Aku hampir selalu mengembalikan buku-buku pinjamanku di perpustakaan dengan denda,
sekalipun hanya satu hari saja. Aku bukan orang kaya, biaya kuliahku pun adalah beasiswa dari
hasil subsidi uang rakyat, namun tetap saja aku dengan tak tahu diri membiarkan diriku dikenakan
denda hanya karena ada hal sentimental antara aku dan denda peminjaman buku.
Tiap saat terlambat mengembalikan buku, kubayangkan; bilakah aku bisa berlaku serupa terhadap
hidup, di mana aku dapat meminjam lebih lama kebersamaanku dengan sekian orang yang
kukasihi, sekalipun aku mesti membayar lebih. Meski artinya aku harus hidup lebih lama dengan
jantung yang sudah tak lagi berdetak atau paru-paru yang tak mampu lagi menyaring udara, dengan
kebahagiaan-kebahagiaan yang tak lagi membahagiakan. Asalkan aku tak mesti meninggalkan,
atau mereka tak mesti ditinggalkan - agar, bila memang tiba saatnya, kami akan pergi
bersama-sama dengan bergenggaman tangan dan memejamkan mata di detik yang sama.
Pernah aku mengutuk orang-orang yang menciptakan pencetak tubuh manusia dalam dimensi tiga
buah prakarsa orang-orang Amerika dan Jepang, di mana dengan mesin ciptaan mereka itu kau
dapat menggambar bentuk tubuh tiga dimensi dalam suatu aplikasi di komputermu, lalu kau bisa
mencetaknya utuh, dengan tintanya berupa darah, dan saraf-saraf, serta otot. Jantung, paru-paru,
semuanya dapat mereka ciptakan dengan zat-zat sintetis.
Aku pun benci dengan praktik-praktik memperpanjang usia. Membayangkan semua orang berlomba
bekerja seumpama mesin untuk mengumpulkan uang yang di kemudian hari kembali mereka
gunakan untuk berobat dan mengganti suku cadang tubuh yang kadaluarsa. Maka begitulah,
seumur hidupku aku selalu mencibir mereka yang menggunakan ragam obat dan krim awet muda.
Namun hari ini, baru setelah orang yang paling berarti dalam hidupku meninggal, aku menyadari
kegilaan-kegilaan itu dapat ditoleransi. Aku bahkan rasanya ingin mendukung siapapun yang kini
mengerjakan eksperimen travel dengan mesin waktu. Rasanya ingin aku kembali ke waktu yang
5 Bunga Dalam Lumpur m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
silam, hanya untuk berada dalam ruang dan waktu yang sama dengan kebahagiaan sejati dalam
hidupku: layang-layang, dia, dan langit biru.
Dia cantik dalam gaun kematian. Telah tiga hari dia dipajang di dalam peti mati yang diletakkan di
aula bagian depan rumahnya yang megah. Gadis jelitaku itu menempati istana, di mana raja dan
ratu yang menjadi orangtuanya adalah tokoh utama yang melarang dia berkawan dengan orang
sepertiku. Dia putri pertama, hari itu tiga adik-adiknya yang tak lebih cantik darinya menjadi
penyambut dari setiap yang datang; tapi toh para tamu tetap sumringah disapa dengan tiga bidadari
dangkal itu. Sekalipun berkuliah di kota, aku tak pernah peduli pada penampilan. Sekalipun bekerja untuk
negara, aku juga tak pernah sudi mengeruk kekayaan negara hasil jerih-payah rakyat. Pulang ke
desa, aku selalu membawa pakaian-pakaian paling lusuh yang kupergunakan di kota. Maka hari itu
aku hadir dengan pakaian pinjaman kawan, setelah dua hari sebelumnya aku demam akibat
seharian diguyur hujan. Pakaianku yang lusuh telah diguntingi dan dibakar oleh kawanku.
Menurutnya, tak mungkin bagiku untuk merelakan kepergian kekasih begitu saja, tanpa menghadiri
pemakamannya. Maka baru setelah aku dipereteli sedemikian olehnya aku lantas memberanikan
diri bertandang lagi ke istana itu; setelah bertahun-tahun lalu diusir dengan ditendang, diinjak, dan
diludahi. Di rumah megah itu, pigura dengan lukisan tujuh generasi mengisi ruang depan. Dalam salah satu
lukisan, kawan masa kecilku berdiri di sebelah suaminya sembari memegang bahu putranya yang
masih balita. Genaplah lima tahun dia menikah dengan pengusaha kaya itu - di mana untuk dapat
menikahi sang gadis, pada zaman semacam ini pun pengusaha kaya itu mesti terlebih dulu
memenangkan semacam tarung pemanahan yang diselenggarakan ayah si gadis.
Maka, sama seperti tokoh-tokoh picik dalam pewayangan, ia memenangkan si gadis dengan
kelicikannya. Setelah puluhan pria yang sama kaya dan tampan gugur sebelum dirinya, ia menang
karena telah terlebih dulu memperkosa kawanku. Dan, hanya karena ia kaya dan tampan, ayah
kawanku tak menolak menikahkan putrinya dengan bangsat itu. Andai aku yang meniduri putrinya,
ia pasti langsung meminta putrinya mengaborsi kandungan. Tanpa satu kalipun ia pernah tahu
sumpah yang pernah aku dan putrinya ikrarkan bertahun-tahun silam.
Di masa kecil kami, aku pernah berjanji akan menikahi gadisku itu di persawahan, tangan kami akan
saling diikatkan pada tali nilon, dan kami akan sama-sama berlari ke arah belakang sambil
menerbangkan layang-layang. Harapan semacam itu tak akan pernah bisa kuwujukan di perkotaan,
apalagi dengan gadis yang lain. Tetapi aku tahu ayahnya tentunya tak akan pernah mau tahu.
Karena itulah, di sini kemudian kutemui putrinya, membeku biru, alasan kematiannya yang bunuh
diri dirahasiakan serapat-rapatnya agar hanya segelintir orang yang tahu. Tak ada yang wajahnya
lebih sedih dan kuyu daripadaku di tempat itu, dan pada akhirnya aku menjadi orang yang paling
pertama disuruh meninggalkan tempat itu hanya karena persembahyangan keluarga untuk jenazah
akan segera dilaksanakan - di mana kemudian tamu undangan lain menyusul di belakangku.
Aku bisa saja merelakan dia menikah dengan siapapun, baik yang dia cinta ataupun tidak. Namun
kini, berat bagiku merelakan kepergiannya.
Di luar rumah, aku bertemu dengan putranya yang menyendiri di dekat kolam air mancur. Bahkan
putranya sama sekali tak menyerupainya. Mata bulat dengan cahaya redup, kulit pucat, rambut
ikal - semirip apapun ia dengan ibunya, ada hal-hal dalam diri ibunya yang tak dapat kutemukan di
6 Bunga Dalam Lumpur m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
dirinya. "Halo, Nak, kamu bisa bermain layangan?" Namun tetap saja kutanyai putranya.
"Paman; siapa?" Ia bertanya.
"Kawan ibumu di perantauan. Waktu kecil, kami sering bermain ke sawah bersama. Menerbangkan
layang-layang, melihatnya membumbung tinggi."
"Apa itu menyenangkan?"
"Dulu, aku pernah berjanji pada ibumu, aku akan mengajari anak-anak kami bermain layangan. Aku
tak menyangka ibumu meninggal demikian cepat. Dulu kami biasa bermain layangan ketika ada
pemakaman massal di kampung. Diam-diam, kami menyelinap ke tengah hutan, dan
menerbangkan layang-layang," jelasku.
"Mengapa begitu?"
"Legenda di desa ini. Aku dan ibumu menemukannya di lembah hutan pinus. Kami seringkali
melihat wajah orang-orang yang meninggal itu di sisi layangan, terbang, hingga putus, dan kami
kembali pulang," jawabku.
"Aku ingin melihat wajah ibu di langit. Paman bisa mengajariku bermain layangan?" pintanya pada
akhirnya. Pipinya yang tembem memerah, ia berlari bersamaku, tertawa dan menceritakan segala macam hal
dalam kesehariannya. Aku mengawali perkawanan dengan mengajarinya membentuk
layang-layang sendiri. Kuminta ia menggambar wujud layangan sesuai keinginannya. Kami mencari
bambu, kertas layangan, dan benang nil?n.
Ia menggambar naga.Di hari kami membentuk layang-layang naga, ibunya dimakamkan. Aku dan ia
tahu hampir semua orang mencari-carinya, tapi kami bahagia dan kami tak peduli. Melalui hutan
pinus, di dekat bebatuan sungai, kami menerbangkan layangan. Kaki kami berdarah-darah karena
menerjang batu-batu kecil.
Memandangi layang-layang yang terbang tinggi di kejauhan, aku semacam berharap agar asap
kremasi sampai di sana, dan ia akan melihat putranya dan aku duduk bersebelahan.
"Aku melihat bayangan ibu di sebelah layang-layang."
Meski aku tak mampu melihatnya, layang-layang kemudian putus, membumbung jauh, dan
bukannya jatuh, ia justru terbang semakin tinggi.
"Ibu pergi ke langit ditemani layang-layang," imbuh putranya.
Ingin aku menjawab, namun setelah kupejamkan mataku, aku tak mampu membukanya lagi.[*]
Dewi Kharisma Michellia, lahir di Denpasar, 13 Agustus 1991. Kini tinggal di Yogyakarta.
7 Bunga Dalam Lumpur m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Pantai Cermin *) Pantai yang terletak di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara
"Pak, sudah ketemu kuncinya?"
Saya sering mendengar orang-orang yang bersyukur atas hidupnya berkata bahwa setiap hari
dalam hidup ini memberikan anugerahnya sendiri.
"Nak, itu koper-kopermu masukkan ke dalam mobil. Aduh, kenapa semuanya mesti perlu tunggu
disuruh. Mana adikmu?"
Seperti halnya orang-orang selalu mengagumi misteriusnya waktu, semestinya begitu juga berlaku
pada ruang. "Kalau misalnya kita berangkatnya sekarang, apa masih sempat lihat matahari terbit, Pak?"
Setiap tempat pasti mempunyai sesuatu yang berharga dan hanya dapat dirasakan oleh mereka
yang terikat dengan tempat tersebut.
"Ah, kenapa mesti merayakannya di laut lagi, Ayah!"


Kompilasi Tiga Kehilangan Karya Dewi Kharisma Michellia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saya sendiri selalu terikat dengan hari dan tempat kelahiran saya. Saya terikat pada lautan. Saya
terlahir di atas kapal. Tepat hari ini, empat puluh delapan tahun lalu.
"Itu karena Ayah hobi memancing, Kak!"
Saya pernah membaca di suatu tempat bahwa kita mencintai kehidupan, bukan sebab kita sudah
biasa hidup. Namun karena kita biasa mencintai. Saya bersyukur telah diberikan tempat dan waktu
yang tepat hingga membuat saya betah mencintai kehidupan.
"Ih, anak kecil ingusan. Baru lahir kemarin, juga. Sok tahu saja. Ayah lahir di atas kapal, tahu! Pasti
karena alasan itu. Iya, kan, Ayah" Ah, tapi kalau tiap tahun selalu dirayakan di atas kapal, kan, jadi
bosan juga, Ayah!" Di saat orang seusia saya telah berada di puncak karir mereka, saya juga sedang berada di puncak
saya. "Kalian ini. Kata-kata Bunda keluar masuk telinga kanan-kiri terus, ya" Masukkan dulu
barang-barang kalian ke dalam bagasi! Sudah beres-beresnya lama, sekarang masih pakai acara
ribut dulu di sini. Sana, sana."
Saya tidak tahu puncak seperti apa yang dominan di dalam hidup saya. Namun saya sadar betul
betapa Tuhan telah begitu murah hatinya kepada saya sehingga saya dipertemukan dengan istri
8 Bunga Dalam Lumpur m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
yang begitu mencintai saya dan kami dititipi anak-anak yang saya yakin bisa menjadi lebih baik dari
saya sekarang. "Bagaimana, Pak" Sudah ketemu, kan, kuncinya?"
Selama ini saya memiliki kehidupan yang menyenangkan. Tatapan mata istri saya begitu indah
untuk membuat saya berpaling dari nikmat kehidupan. "Sudah, Bu. Ayo kita berangkat. Semuanya
sudah beres?" Kalau ada hal lain yang mengisi hidup saya sekarang mungkin itu adalah petualangan-petualangan
yang masih saya lakukan hingga saat ini. Memancing, berinteraksi dengan orang-orang...
menghilang dalam keterasingan.
Laut adalah keterasingan itu.
Pantai dan matahari di ufuk timur. Barang-barang bawaan kami masih di dalam mobil. Kami
membawa begitu banyak barang dari Jakarta. Beberapa hari belakangan kami telah singgah di
penginapan-penginapan berbeda. Barang-barang itu masih di dalam mobil karena seusai berlayar
saya akan melanjutkan perjalanan ke rumah keluarga. Dan perjalanan tibalah pada tujuannya.
Kalau saya pikir-pikir, sebenarnya setiap saat laut selalu berwujud seperti ini. Seperti benda-benda
langit yang tidak pernah hilang di atas sana, seumpama planet-planet yang berpusar pada
matahari. Hanyalah letaknya yang berubah-ubah.
Saya selalu menganalogikan kejadian di muka bumi ini seperti halnya lautan. Sebenarnya semua
ciptaan-Nya telah terasing di lautan-Nya. Semua orang tenggelam di laut semesta. Bergoncangan,
beradu dengan ombak. Kita menangis saat bahagia dan kita tertawa saat bersedih. Dan pada
akhirnya orang-orang yang kita cintai akan pergi. Sampai nanti kita sendiri juga pergi.
"Ah, untung kita bisa lihat matahari terbit!"
Tali pusar saya dibuang di lautan ini, kata paman saya, ayah saya dengan cekatan
membersihkannya dengan air kelapa dan lalu menaruhnya dalam wadah kemudian melemparnya
ke dalam laut. "Kali ini aku pasti bisa menangkap ikan lebih banyak dari Kakak."
Cakrawala membentang luas, aroma pantai yang asin tidak lagi asing.
"Ah, ngaco kamu. Mana mungkin. Setidaknya kamu mesti minta restu dulu dari tali pusar ayah!
Seperti aku, nih!" Putra sulung saya berlari ke arah ombak.
"Kenapa tidak minta restu langsung ke ayah saja, sih" Kakak curang! Jangan mencuri start!"
Adiknya menyusul di belakangnya. Berlari tidak kalah kencang daripada kakaknya.
"Salah sendiri. Larimu lambat sekali, sih, bocah!" Tawa sang kakak membahana.
9 Bunga Dalam Lumpur m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Beberapa jarak dari kami orang-orang yang saya kenal telah melambaikan tangan mereka ke arah
saya. Orang-orang yang selalu tersenyum bukan karena bahagia tetapi karena telah terbiasa.
Orang-orang pantai memang segigih itu. Seharusnya saya juga.
Kapal kecil di belakang mereka masih kapal yang tahun lalu kami gunakan berlayar. Kami selalu
menggunakannya hanya untuk memancing. Meski anak-anak tidak pandai memancing, tetapi
mereka laki-laki jadi saya selalu mengajak mereka ikut.
Istri saya akan menunggu di pinggir pantai dan berbincang-bincang dengan istri-istri para nelayan.
Istri saya menyukai anak kecil. Dia telah terbiasa diperhatikan oleh anak-anak nelayan. Tahun ini
dia pasti menyiapkan sesuatu untuk bocah-bocah itu.
"Sini mana umpannya... Dasar ini bocah. Apa-apa lelet."
"Tunggu dulu, kenapa... Mengalah sama yang lebih kecil."
"Mengalah" Para pria bertarung tidak pandang umur, kecil!"
Kedua putra saya suka bercanda dan mereka menyukai musik. Kadang musik-musik yang mereka
perdengarkan di acara kumpul-kumpul memang terdengar lucu di telinga saya. Maka saya selalu
mengira musik-musik yang mereka dengarlah yang barangkali meningkatkan selera humor mereka.
Adu mulut antara mereka pernah begitu sengit tetapi kesannya tidak seperti berkelahi.
Istri saya sedang berbicara dengan istri para nelayan di kejauhan. Tidak seperti biasanya karena
bahkan dari jarak berapa ratus meter pun ada pancaran cemas dari gerak-geriknya. Saya tahu apa
yang berbeda. Bocah-bocah kecil yang kami lihat tahun lalu tidak lagi bermain bersama ibunya di
sana. Padahal istri saya pasti sudah membawakan sesuatu untuk dihadiahi kepada mereka.
"Anak kami meninggal beberapa bulan setelah kunjungan terakhir Bapak ke sini." Nelayan itu
menjelaskan. Meski dengan capingnya itu, samar-samar raut sedihnya masih juga kental saya lihat.
Padahal gadis itu, Pala, adalah gadis yang begitu lincah. Dialah yang membantu ayah ibunya
menyiapkan tempat menginap untuk kami tahun lalu. Bocah di keluarga kami senang mengusili
Pala, tetapi gadis itu selalu tersenyum. Dan jika gadis itu mati, maka senyum itu tidak akan pernah
menyapa kami lagi kecuali melalui pigura.
"Meninggal kenapa?"
Si Sulung dan bungsu yang sedang ribut di sekitar kami tiba-tiba terdiam. Mereka berusaha untuk
menyimak. Saya merasa waktu seolah turut berhenti saat mata mereka melotot seperti itu untuk
menanti penjelasan. "Hilang di laut ini. Dia bilang dia melihat sesuatu, ada orang yang tenggelam. Dia terjun dari sampan
untuk menolong orang itu. Kami di sini tak melihat apa-apa saat itu. Namun dia terus berenang
menjauh, dan akhirnya hilang dari pandangan saya."
Saya sudah menyangka demikianlah cara Pala akan kembali ke rumah sejatinya. Saya selalu
berpikir bahwa orang-orang yang baik akan mati di tempat yang paling dicintainya. Saya pun akan
mati di laut ini suatu saat nanti.
10 Bunga Dalam Lumpur m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Akan tetapi, hilang"
"Sampai sekarang tubuhnya belum ditemukan."
Dan percakapan tidak diteruskan lagi setelah itu. Nelayan itu berlayar dengan perahu berbeda.
Saya dan dua putra saya bersama dengan nelayan lainnya memancing ke tengah, agak lebih jauh
darinya. Menurut desas-desus beberapa jam belakangan, katanya belakangan ini ia memang biasa
menyendiri. Menatap permukaan air laut dan merenung. Kalau saya tidak tahu mengenai keadaan
mentalnya saat ini, saya pasti tentu mengira ia sedang berkaca di perairan. Berkaca seolah siap
tenggelam. Setelah beberapa lama, ia mendahului kami kembali ke tepi. Perahu kami mengikutinya di
belakang. Kakinya begitu kekar memijak di atas pasir pantai. Istrinya menyambutnya di sana. Ada
seorang pria kecil menemaninya, sepertinya adalah anak bungsu mereka, yang berarti adalah
adiknya Pala. Istri saya memegangi bahu bocah itu. Beberapa saat sebelum saya kembali ke
daratan, keluarga nelayan itu telah pulang.
"Sudah kubilang aku yang akan menang, Nda. Anak kecil mana bisa menang dari yang lebih tua."
Si sulung menunjukkan tangkapannya kepada ibundaya. Si bungsu menimpali.
"Biar lebih banyak yang penting tak lebih besar. Ikanku lebih besar-besar, Bunda! Lihat ini!"
Ibu mereka hanya tersenyum. Wajah sendu itu sudah familiar selama beberapa jam belakangan ini.
Wajah yang sama seperti yang kutemukan pada nelayan tadi.
"Pantas saja namanya Pantai Cermin, Pak." Demikian lantas istri saya berujar di dalam mobil.
"Orang-orang selalu bisa bercermin di pantai ini. Dari hasil tangkapan anak kita saja sudah
kelihatan. Sulung yang selalu punya banyak cita-cita. Tertarik pada semua hal, kurang teliti. Bungsu
yang selalu meniru si sulung, tapi selalu mengharapkan hal-hal yang lebih besar dari kakaknya."
Saya merenungi perkataannya sejenak. Apakah saya tadi sempat bercermin juga di pantai"
"Bapak nelayan tadi tiap hari bercermin. Kata istrinya, ia mencari sosok anaknya yang hilang. Tiap
hari ia bercermin di sana."
Sulung dan bungsu yang sejak tadi diam di kursi belakang mobil tidak merespon sejak tadi. Mereka
memang sudah tidur, barangkali karena kelelahan.
"Bapak juga selalu bercermin ke pantai itu, kan?" Saya tidak menyangka istri saya akan melanjutkan
kalimatnya. Sepertinya memang begitu. Saat saya bercermin, jika saya terlalu larut memandangi pantulan diri
saya di cermin, saya tidak akan sadar bahwa saya sedang bercermin.
"Setiap tahun Bapak selalu datang ke sana untuk bercermin. Karena Bapak lahir di sana." [*]
Dewi Kharisma Michellia lahir di Denpasar, Bali, 13 Agustus 1991. Kini tinggal di Yogyakarta.
11 Bunga Dalam Lumpur m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
(Cerpen ini pernah dimuat di Koran Tempo, 19 Juni 2011)
Lelaki dengan Semiliar Perbedaan
Aku dan temanku itu berbeda agama. Ia memandang rendah pers mahasiswa dan aktivis kampus,
sekalipun aku menggeluti kedua peran itu. Ia kakak tingkatku yang menelantarkan jatah waktu
kuliahnya hingga hampir di-DO, sementara aku tetap lebih mementingkan kuliahku di atas segala
aktivitas kampus. Kalau kurangkum hal-hal yang selama setahun ini kami bicarakan, aku akan
kembali mendapati bahwa hampir-hampir tak ada satu kesamaan pun di antara kami.
Kecuali, ternyata, ketika kami semestinya sama-sama diwisuda di periode yang sama, pada
jam-jam di mana seharusnya kami menunggu di gedung kampus dengan aku berpakaian kebaya
dan ia rapi dengan jasnya, untuk duduk lama menanti kesempatan pemindahan tali toga, aku justru
bertemu dengannya di perpustakaan. Buku-buku lapuk bertumpuk di hadapannya.
Terlepas dari semiliar perbedaan dan satu kesamaan kami yang baru kutemukan hari itu, kami
sebenarnya sangat akrab. Aku memiliki banyak panggilan untuknya. Ia bercita-cita menjadi penulis
maka kupanggil ia Tuan Penulis, lahir pada Shio Kelinci maka kujuluki ia Kelinci, dan ia selalu
mengaku sebagai alien dan kusebut ia Alien. Ia pun demikian, ia memiliki sejuta panggilan untuk
peran-peran yang kulakukan dalam keseharianku: Nona Jurnalis, Nona Perdamaian, dan pernah
satu kali ia memanggilku Nyonya Alien; meski saat itu ia bilang ia salah sebut.
"Membaca Wilde lagi?" tanyaku, mengambil tempat di hadapannya.
"Kamu tak wisuda hari ini?"
Beginilah bila kami berbicara, aku akan memulai dari A, namun ia tidak akan menjawab B,
melainkan Z. Pernah satu kali kupikir hal seperti inilah kelak yang akan aku rindukan dari
orang-orang yang kukenal, keunikan-keunikan yang tidak dimiliki oleh siapapun lagi.
"Oscar Wilde itu gay, lho," ceplosku.
"Aku juga membaca Nietzsche," tukasnya.
"Dan Nietzsche pemain wanita, meninggal karena raja singa. Kamu mencemooh orang-orang
seperti mereka, kan, biasanya" Mereka yang membuatmu membenci humanisme, kan" Untuk apa
kamu baca tulisan mereka?"
"Kamu memang lebih hobi membaca biografi, ya, daripada ide-ide besar orang-orang yang kau
baca biografinya" Lebih suka menilai buku dari sampulnya, ya?" sahutnya telak.
Aku menyunggingkan senyum ketus untuk menudingnya. "Bukannya kamu yang begitu?"
Humanisme. Pria di hadapanku ini seperti halnya kamus berjalan, atau mungkin penghafal istilah.
12 Bunga Dalam Lumpur m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Bicara dengannya, aku seolah perlu tahu makna-makna sebenarnya dari kata-kata yang seringkali
spontan saja kuucapkan, seperti beda antara Cemetary dan Burial (aku lupa apa perbedaannya)
atau loneliness (kesepian) dan aloness(kesendirian). Dan begitulah semua percakapan panjang
lebar kami selalu bermula dari kata-kata yang salah kudefinisikan yang lantas ia betulkan. Pernah
satu waktu - aku lupa kami sebelumnya membahas apa - dengan mengutip kamus, ia bilang ia
bukan seorang humanis. Menurut manifesto para pencipta kata tersebut, makna asli dari kata
humanis adalah suatu paham yang menganggap manusia berada di tingkatan kesadaran paling
tinggi, di mana para humanis tidak mempercayai keberadaan hal-hal mistis dan juga bahkan tidak
pula Tuhan. Dengan ketat pula, ia masih sangat percaya bahwa laki-laki diciptakan untuk wanita. Ia pernah
bilang aku memberitahunya hal-hal tak berguna sewaktu dengan menggebu-gebu aku menjelaskan
apa yang kuketahui mengenai QUILTBAG atau LGBT-IQ, Lesbian (orang dengan orientasi
pasangan perempuan-perempuan) Gay (pria dengan pria) Bisexual(orientasi seksual bisa dengan
wanita ataupun pria) Transexual (orang yang mengubah bentuk tubuhnya dengan gender yang ia
harapkan; laki-laki menjadi wanita dan sebaliknya) Intersex (bentuk tubuh yang belum jelas
terdeteksi; entah pria entah wanita) Queer (mempertanyakan orientasi seksual). Ia percaya
ungkapan Aristophanes sewaktu penulis Yunani bergenre Komedi itu memberi tanggapan menyoal
'apa makna cinta' dalam sidang Plato. Menurut Aristophanes, dahulu Zeus (Tuhan bagi bangsa
Yunani) hanya menciptakan satu tubuh manusia dengan dua kepala empat kaki dan empat tangan,
hingga kemudian (aku lupa oleh sebab apa) tubuh itu dihukum dan lantas terbelah menjadi pria dan
wanita; hukumannya adalah agar tubuh pria dan wanita itu akan saling mencari seumur hidupnya.
Dari sanalah kemudian lahir pengertian soul mate, belahan jiwa.
Lantas, pertanyaanku sekarang, kenapa ia masih membaca tulisan dari orang-orang yang ia benci"
"Untuk apa kamu bawa buku-buku berat itu?" tapi justru ia yang kemudian mempertanyakan buku
yang kubawa bersamaku. Aku melihat apa yang kupegang di tanganku dan aku baru sadar aku mengambil dua buku itu.
"Kamu bilang aku perlu membaca buku-buku Teologi lebih banyak?"
"Sudah kamu temukan kitab sucimu?"
Tripitaka, tiga keranjang. Teman seimanku bilang susah kemungkinannya untuk menemukan semua
naskah itu, karena besar keranjang dalam kata Tripitaka belum tentu hanya sebuah keranjang kecil,
bisa saja keranjangnya sebesar istana.
"Bukan urusanmu. Kenapa kamu tak wisuda hari ini?"
"Untuk apa membuang setengah juta" Aku bisa beli buku-buku yang kusuka dengan uang
sebanyak itu, ketimbang ikut wisuda."
"Jadi kamu selundupkan uang kiriman dari kedua orangtuamu?"
"Kamu masih berpikir aku semanja dirimu yang bahkan untuk kosmetik pun masih minta kepada
orangtua?" Bicara dengannya, aku selalu merasa akan meledak, lalu hancur berkeping-keping karena tak tahu
bagaimana cara menyahuti sarkasmenya.
13 Bunga Dalam Lumpur m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Kamu pikir orangtuamu tak akan senang hadir di wisudamu?" tanyaku, "Bertahun-tahun mereka
membiayai sekolahmu, dan lulus kuliah sudah menjadi semacam puncak pendidikan, kamu tidak
mau membuat mereka bangga?"
"Aku tak sudi memperkaya para kapitalis, bagi mereka kuliah hanya sekadar formalitas agar bisa
mendapatkan pekerjaan seperti dua persen penduduk lainnya dan wisuda hanya ajang pesta pora
uang rakyat. Kamu sendiri kenapa tak wisuda?"
Aku menelan ludah. "Terlambat mengumpulkan berkas."
"Nah, itu. Tak kasihan dengan kedua orangtuamu?" sahutnya.
Seketika aku mengangkat buku yang kubaca tinggi-tinggi sejurus dengan posisi wajahku.
"Kamu belum tahu aku yatim piatu?" aku menyahut dari balik buku.
Ia tidak menyahut. Sesaat kemudian, kudengar suara ia mendorong kursi. Ia sudah akan pergi.
Menyebalkan. "Lagipula itu memang bukan urusanmu," bisikku sepelan-pelannya.
Tetapi kemudian ia sudah berdiri di belakang kursiku, "Ikut, tidak?" tanyanya.
"Ke?" "Membelanjakan setengah jutaku," jawabnya santai.
Aku menghela napas. "Kamu benar-benar melakukannya."
"Perkataanku selalu sesuai dengan tindakanku. Ayo, kalau kamu ikut, kubelikan kamu satu buku
sebagai hadiah wisuda."
Hari itu kami masuk ke gang-gang sempit di wilayah Malioboro, tempat di mana warga asing biasa
menginap. Ada banyak toko buku secondhand. Kuduga sebagian dari buku-buku di sana adalah
sumbangan dari orang-orang asing itu, atau mungkin tanpa sengaja mereka tinggalkan.
Ia membelikanku Mimo "ivljenja, atau Passing Past Live, oleh Ivan Cankar. Aku memilihnya karena
suka dengan judulnya. Ivan penulis Slovenia yang kehebatannya sejajar dengan Kafka dan Joyce.
"Judulnya sangat melankolis," komentarnya.
"Judulmu pun sama melankolisnya, tahu," balasku.
This Kind of Bird Flies Backward, oleh Diane diPrima.
"Kenapa memilih itu?" tanyaku.
"Murah, sih," jawabnya sambil tertawa lantang.
14 Bunga Dalam Lumpur m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Satu itu saja?"
"Yep, hanya ini yang kelihatan menarik hari ini. Seperti di travelator,"
"Ya?" "Itu, lho. Eskalator yang bentuknya bukan tangga, tapi jalan datar. Ketika kamu di travelator, kamu
masih bisa menghadap ke belakang sambil terus berjalan ke depan, atau kamu diam saja
menghadap ke belakang hingga kamu sampai tujuan."
"Tak ada bedanya dengan eskalator," sahutku.
"Sensasi orang yang seringkali terpaku pada masa lalu hidupnya lebih bisa didapat dengan
menganalogikan pada travelator. Judul buku ini mengingatkanku pada hal-hal kecil semacam itu." Ia
kemudian berjalan menuju kasir dan membayar.
"Apa rencanamu selanjutnya?" tanyanya. Kami berjalan melintasi gang lagi, masih becek bekas
hujan tadi siang. "Sekadar juru warta," jawabku, "dan yang akan kamu lakukan?"
"Menikah." Spontan aku mengarahkan pandang kepadanya. Bukan denganku" Rasanya ingin bertanya begitu.
"Sudah ada calon, ya?" tanyaku.
"Ada," jawabnya singkat.
"Kamu suka cewek yang bagaimana?"


Kompilasi Tiga Kehilangan Karya Dewi Kharisma Michellia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Cewek yang menarik itu tinggi, proporsional, berambut pendek, ukuran dada A sampai B, niche,
dan punya aura lembut." Ia membeberkan kriterianya. Hanya kriteria ukuran dada yang
menggambarkanku. Apa ia sengaja"
"Cewekmu seperti itu?"
"Tidak. Mungkin hanya ukuran dadanya yang seperti itu,"
Setelahnya kami bergeming selama berjalan menuju halte transjogja, di dalam bus, bahkan hingga
tiba di halte koperasi mahasiswa.
"Setelah ini kita tidak akan bertemu lagi," ucapnya. "Pasti sulit menemukan orang dengan semiliar
perbedaan sepertimu."
"Bodoh," jawabku, "kita akan bertemu lagi."
"Kamu selalu mengataiku bodoh," ujarnya.
"Hanya karena kamu terlalu pintarnya," sahutku. "Atau jangan-jangan, kamu bukan orang
15 Bunga Dalam Lumpur m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
melankolis, kan - sampai kata-kata candaan pun masuk pikiran?"
"Sudahlah," balasnya. "sampai ketemu, kalau begitu. Semoga nanti kamu sudah jadi lebih menarik."
Kami sudah di jalan kami masing-masing. "Ingat kirim undangan!" teriakku dari kejauhan.
"Tentu. Naraya?"
"Ya?" Ia berlari-lari kecil ke arahku. "Saat kamu mendapati potongan-potongan puzzle, kamu bukan
berusaha mencari kesamaannya untuk dapat menyatukannya. Tapi kamu mencari kecocokannya,"
"Menarik. Sayangnya, aku pelupa."
"Nah, semoga kamu tidak lupa." Setelah mengucapkan itu, ia kemudian berlari pergi, kali ini dengan
cepat, berlawanan arah denganku.
Saat itu aku tak sepenuhnya tahu ke mana takdir akan membawaku. [*]
Dewi Kharisma Michellia lahir di Denpasar, Bali, 13 Agustus 1991. Kini tinggal di Yogyakarta.
Nubuat Penitisan Suatu hari, dalam tidurku, aku menerima wangsit. Setelah aku terjaga dari tidurku, segera wangsit
itu kuumumkan ke jalanan. Seharian aku meyakinkan orang-orang yang lalu-lalang. Namun di
penghujung hari, tetap tidak ada seorang pun mempercayaiku.
Aku bilang kepada mereka, di salah satu kelahiranku aku pernah menjelma burung yang terbang
bebas di angkasa. Ketika musimnya tiba, aku dan sekawanan burung akan terbang dari utara ke
selatan. Aku menunjukkan bagaimana bebasnya aku terbang. Kukepak-kepakkan tangan dan
berlari demikian kencang dari satu gang ke gang lain.
Tak ada yang terjadi. Selain ternyata aku tak mampu terbang, mereka tetap tak percaya sama
sekali. Dengan gigih, setelahnya aku bilang aku juga pernah menjelma menjadi semut. Aku
terangkan apa yang biasa dilakukan para semut pekerja. Kuperlihatkan kepada mereka bagaimana
caranya membungkuk hormat kepada sang ratu. Aku tunjukkan caraku meliuk-liuk membawa
bongkahan gula-gula besar dengan gigiku dan bagaimana biasanya aku bertikai dengan
semut-semut lainnya saat gula-gulaku hendak direbut.
Makin hari aku makin kerasan mempertontonkannya. Bedanya, makin hari, aku mendapatkan uang
dari apa yang kulakukan. Receh demi receh memenuhi jalanan. Mereka melempar begitu saja
uang-uang logam itu. Mereka pikir aku membadut.
Aku terus berusaha. Kulakukan beragam cara agar mereka percaya. Aku meloncat dari satu
16 Bunga Dalam Lumpur m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
genteng rumah tetanggaku ke genteng tetanggaku yang lainnya dan mengaku bahwa aku pernah
hidup menjadi kera di tengah hutan di Kalimantan.
Anak-anak kecil di sekitar rumahku dengan sukacita bertepuk-tepuk riang, tertawa-tawa, sesekali
meminta naik ke punggungku sewaktu aku beratraksi menjadi simpanse. Mereka memberikanku roti
bekal mereka ketika jam istirahat sekolah.
Aku hanya perlu mendongengi mereka setiap harinya. Mendongeng sembari meloncat-loncat,
meliuk-liukkan tubuh, merayap di tanah, semuanya kulakukan. Menggonggong, menjerit, mencicit,
mendesis, tiap hari kusiarkan bunyi apa pun yang bisa kuperdengarkan kepada mereka. Mereka
menyayangiku lebih dari apa pun.
Namun suatu saat mereka datang dengan setumpuk buku bacaan. Aku bilang kepada mereka aku
tak pernah bisa membaca. Mereka menyahuti, binatang memang tidak pernah bisa membaca.
Binatang-binatang itu bodoh.
Setelah saat itu, aku mengurung diri di rumah. Aku hanya makan saat ada tetangga yang menaruh
piring nasi di depan pintu rumah dan mengetuknya dengan sopan sebelum pergi. Aku tidak
menampakkan muka, tapi kuambil piring makanan itu.
Aku merasa takut untuk keluar rumah. Aku takut anak-anak itu mengata-ngataiku. Aku takut mereka
bilang aku binatang bodoh. Bahkan pada saat hari kelulusan mereka, aku tetap bersembunyi. Dari
jendela rumahku, aku hanya memperhatikan mereka berkejaran mencoreti seragam menggunakan
semprotan aneka warna. Akhirnya, enam tahun telah berlalu dan aku ditinggalkan oleh mereka. Seingatku, pada hari
kelulusan itu, ada seorang gadis setinggi dadaku berdiri beberapa meter di depan pintu rumah.
Di sana dia berdiri. Rambutnya sebahu dengan ujung melekuk ke dalam. Tatapannya kosong.
Tangannya mengepal. Dia berdiri dari siang hingga senja tiba. Kami berdiri saling berhadapan.
Namun seperti dugaanku sepanjang hari itu, pada akhirnya aku tidak berani keluar rumah untuk
menemuinya. Maka pada senja hari, gadis itu kemudian beranjak pergi dengan dituntun oleh
seorang ibu bersanggul penuh.
Seperti itulah waktu enam tahun yang kulalui berakhir. Beberapa tahun setelahnya, aku mulai
memberanikan diri untuk keluar. Aku mulai membiasakan diriku bercakap-cakap dengan tetangga
yang berbaik hati menghidupiku beberapa saat lalu. Aku bahkan bilang aku bersedia menjadi anjing
peliharaan mereka yang setia semenjak saat itu.
Awalnya mereka menolak, tetapi aku tetap memaksakan diri. Aku tidur bertelungkup di depan pintu
rumah mereka setiap malam. Pada saat ada petugas setempat melewati rumah majikanku untuk
berpatroli, aku menyalak-nyalak senang menyapanya. Kugerak-gerakkan buntut seolah aku punya
ekor di sana. Ia tertawa-tawa melihatku melakukan itu lantas kepalanya menggeleng dan bilang:
'ada-ada saja orang satu ini'.
T iap pagi, majikanku memberikanku semangkuk susu. Aku menjilat-jilatinya senang. Mereka tidak
memberiku tulang kering seperti apa yang kuharapkan. Tetap saja, aku menggonggong-gonggong
bahagia setiap makananku datang.
Menjadi anjing peliharaan kesayangan majikanku, aku melupakan segalanya. Aku hanya tahu aku
17 Bunga Dalam Lumpur m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
adalah anjing yang setia. Kujagai rumah tuanku sepanjang hari. Kadang-kadang, aku tengok juga
rumah lamaku di sebelah rumah majikanku. Orang-orang tidak bilang itu rumah, mereka
menyebutnya gubuk. Ada sebuah sumur kumuh di sana. Tidak beralaskan ubin, dindingnya
tersusun dari papan dan triplek serta beratapkan papan yang datar dengan dua jendela kecil dan
satu pintu kecil. Aku lupa siapa yang membangun rumah itu. Sejauh yang kuingat, di suatu pagi aku terbangun dari
tidurku yang nyenyak di atas jerami. Tidak ada orang yang kukenal pada saat aku keluar rumah.
Tidak ada yang tahu bahwa aku pernah punya nama. Mereka bahkan tidak sudi memberikan nama
julukan untukku. Semua itu tidak kuingat lagi selama aku menjadi anjing dari majikanku. Sampai suatu hari, tidak
kudapati lagi majikanku yang baik meletakkan mangkuk susu di depan pintu rumah. Mereka
sekeluarga tidak keluar berhari-hari.
Maka ketika petugas lewat, aku menggonggong-gonggong panik. Sebagai anjing yang setia, aku
tidak bisa dengan mudah berbahasa manusia dan bilang kepada orang itu bahwa majikanku sudah
beberapa hari tidak keluar-keluar juga dari dalam rumah. Yang dapat kulakukan hanyalah
menggonggong kesetanan. Saat petugas itu tidak menghiraukanku, aku menjilat-jilati kakinya.
Lantas, aku mencakar-cakar celana bahannya, menarik-nariknya menuju ke rumah majikanku.
Aku meloncat dan membentur-benturkan tubuh ke pintu sambil mataku tetap menatap nanar ke
arah sang petugas. Di sana di hadapanku dia berdiri tidak paham, menggaruk-garuk kepala. Aku
menyahuti dengan gonggongan, aku harap dia paham aku adalah anjing yang khawatir dengan
majikanku. Esoknya, tubuh-tubuh mati para majikanku ditemukan di dalam rumah. Ibu yang begitu baik - yang
setiap pagi memberikanku semangkuk susu - membusuk di atas kasur dengan usus memburai.
Anak-anak kecil itu memegang tangan ibunya. Kain panjang mengikat kencang leher mereka.
Sementara tuan rumahku, sang suami, terduduk di lantai dengan mulut berbusa dan air mani
melimbah di sekelilingnya. Di sebelahnya ada sebuah botol racun.
Aku melolong sedih mendapati kejadian itu, tapi orang-orang justru membawa sapu dan memukuli
punggung dan buntutku. Aku mengaing-aing kesakitan dan berlari menjauh. Dari kejauhan aku
masih melolong. Mereka menganggapku manusia jadi-jadian terkutuk.
Setelah saat itu, tidak ada yang berani mendekatiku atau memberikanku makanan. Aku mulai
mengais-ngais sampah makanan dan membawanya pulang ke rumah. Orang-orang melihatku
dengan tatapan jijik. Sehari-hari aku tidak pernah bersentuhan dengan air terkecuali air hujan. Aku
suka berputar-putar dan menggonggong di tengah lapangan sewaktu hujan turun.
Suatu hari, bocah-bocah kecil pada masa laluku datang kembali. Saat melihatku, mereka mulai
meledek-ledek. Aku sebisa mungkin bersikap biasa. Aku masih bergerak-gerak seperti simpanse
kesayangan. Namun kemudian, aku menggonggong-gonggong saat mereka tidak peduli lagi dan
berlalu pergi. Aku kembali mengurung diri di dalam rumah. Semalaman terdengar suara burung gagak. Ia
bertengger di dekat sumur. Aku dulu juga pernah menjelma menjadi burung gagak. Setiap kali aku
berhinggap di rumah-rumah orang dan memperdengarkan suaraku, maka akan ada orang-orang
berteriak histeris dan menangis di dalam rumah. Esoknya, rumah itu akan ramai didatangi
18 Bunga Dalam Lumpur m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
orang-orang karena selalu ada seseorang mati di dalam rumah itu.
Hari itu, sewaktu ia mulai memperdengarkan suaranya dari arah belakang rumahku, aku
membalasnya dengan suara yang sama. Dia menyahut, bagaimana bisa aku mengerti bahasanya,
bukankah aku seorang manusia dan bukan seekor burung sepertinya. Aku lantas bercerita bahwa
aku pernah lahir menjadi binatang.
Dengan senang ia hinggap di atas bahuku. Kutanyai ia, apakah hari itu adalah saatnya aku akan
mati. Ia bilang ia tidak tahu, tetapi setiap kali ia datang ke rumah-rumah orang dan
memperdengarkan suaranya, pasti saja selalu akan ada yang mati di dekat sana.
Pada hari itu - hari kematianku - seorang gadis berdiri di depan rumahku. Kini dia lebih tinggi
dariku. Rambutnya sebahu dan melingkar-lingkar ikal. Tangannya mengepal dan kemudian
dipergunakannya mengetuk pintu rumahku.
Apa kau tahu siapa dia, apakah dia yang akan menjemputku dan membawaku ke alam orang-orang
mati, kutanyai burung buruk rupa di bahuku.
Burung itu pergi dan terbang menjauh tanpa menjawab pertanyaanku.
Di depan rumahku gadis itu terus-menerus mengetuk pintu. Tatapan kosong di mata gadis itu
seperti pernah kulihat sebelumnya. Seseorang dari kejauhan berteriak memanggil namanya,
"Aram!" begitu teriak orang itu kepada si gadis. Tetapi ketika pintu berhasil ia dobrak, aku sudah tak
merasakan apapun lagi. [*]
Dewi Kharisma Michellia lahir di Denpasar, Bali, 13 Agustus 1991. Kini tinggal di Yogyakarta.
Rumah Sejati dunia dengan dua sisiKau tatap Ia dari pikir-Mukadang nyata kadang mayamendua pada Satu
dan pada-NyaKita bergenggamanKita berjalan berputarpada Ia yang menyata Satupada bumi yang
melingkar mentari lihat perjalanan Kita kiniadakah Kitamengiyakan tiadamengenggankan nyataseperti halnya Ia
meloncatkan Satu ke dua menjadi setan dan malaikatIa menjadi tanah dan langitmenjadi Aku dan Kamu
nyatakah pada-Musenyata pada-Kubahwa Kita Satubahwa Kita adalah Iaseperti Ia adalah
Kitaseperti Aku adalah Kamu
nyatakah pada-MuKita adalah Satubahkan pada mayabahkan pada tiada
karena Kita: menyatu Alam Semesta
19 Bunga Dalam Lumpur m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Arwahnya meniti langkah perlahan pada gelap dunia niskala[1]yang dulu ketika hidup tak pernah
dimengertinya. Sebagai arwah dalam wujud yang halus, dia tertabrak oleh segala benda; tidak ada
orang yang meminta maaf ketika berlari melewatinya. Dia ditabrak segala, bahkan oleh gas yang
berpencaran. Semasa hidup dia tak pernah tahu di mana tempat hunian jiwanya bilamana dia mati. Kini dia juga
tak tahu ke mana dia akan menuju bilamana arwahnya hidup abadi. Saat itu, bersamanya, banyak
jiwa juga berjalan pada gelap, pada kesunyataan, pada ketiadaan pemahaman, pada gelombang
paralel dunia. Namun, dia menyadari, mereka tak saling melihat. Mereka berjalan tanpa mata, tanpa
alat indera, tanpa atribut pada jasad yang pernah mereka huni.
Dia tak ingat dia lepas dari tubuh siapa. Baginya, dia hilang dari sesuatu dan menjadi bagiannya
sendiri. Dia hanya masih mengingat, dia dulu pernah memiliki tempat lain untuk tinggal. Dia pernah
mengisi bagian tubuh seseorang dan hidup di sana. Seperti halnya ekor cacing yang masih
bergerak-gerak bahkan ketika kepalanya diputus, dia menjadi bagian pada jari telunjuk yang masih
hidup ketika jantung orang itu berhenti. Namun, akhirnya dia lepas.
Pada kesadarannya - dia bertanya-tanya, di manakah sebenarnya letak jiwa" Diakah jiwa"
---- "Ibu tak mungkin mati!" gadis itu berteriak di depan kamar rumah sakit tempat ibunya dirawat
selama seminggu, "Apa yang bisa aku lakukan tanpa ibu" Ibu jangan mati, hanya ibu satu-satunya
yang Alin punya!" Orang-orang di rumah sakit itu mengelilinginya. Setiap orang pada setiap kamar keluar untuk
menonton gadis itu menangis.
Kamar di hadapan si gadis telah terlanjur kosong. Sebuah ranjang bersprei putih tanpa penghuni.
Sudah tak ada lagi tiang infus.
"Ibu..." Dia terus menangis, menelungkupkan kepalanya di lutut. Orang-orang hanya dapat memberi
simpati dengan menonton dan merasa iba. "Ibu janji untuk hidup selamanya. Kenapa ibu pergi?"
teriak Alin. "Kakak, kenapa menangis?" Bocah yang biasa diajaknya bermain, hari itu mendekatinya. Ia
satu-satunya yang bertanya.
"Ibunya baru saja meninggal. Ayo, jangan diganggu, ikut Papa ke dalam." Pria itu lantas menarik
bocah tersebut. Tatapan mengasihani terpancar dari matanya. Seolah pada diri seseorang yang
baru saja ditinggal mati kerabatnya, masih tersisa bekas-bekas sentuhan malaikat kematian.
"Ibu ..." ujar Alin sesenggukan. Setelahnya, dia hanya mampu terdiam tanpa sepatah kata. Seolah
ada bagian jiwanya yang lepas yang mencari jiwa ibunya yang telah meninggal.
Tanpa kesadaran penuh, dia lantas berjalan menyusuri lorong. Kekosongan dalam dirinya
menuntunnya. Dia menerobos kerumunan yang sebelumnya menontoninya, berpapasan dengan
orang-orang yang berjalan.
20 Bunga Dalam Lumpur m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Setelah melewati lorong yang panjang, dia sampai ke sebuah tempat. Ada orang-orang yang dia
kenal. Ada yang ribut dan menangis. Ada yang menenangkan yang menangis. Ketika melihat dia
hadir di sana, orang-orang itu hanya bisa menatap. Seolah masih ada bekas jejak malaikat
kematian menempel di seluruh tubuh Alin, orang-orang itu tak berusaha mendekat selangkah pun.
Namun Alin berusaha menghampiri kerumunan, semakin dekat, untuk dipeluk, atau sekadar
ditenangkan. Untuk dipanggil jiwanya, agar dia berhenti mencari-cari jiwa ibunya yang baru saja
mati. Dia ingin loncat keluar dari mimpinya jikalau itu benar mimpi.
"Memang sudah jalannya."
Alin dipeluk, tetapi dia tak merasakan sebuah pelukan. "Ke mana perginya ibu?" ujar bagian
terdalam dari dirinya, bagian yang tak digerakkan oleh kesadaran kepala.
"Beliau meninggal sejam lalu."
Satu jam yang lalu. Tanpa menunggu dia hadir untuk mendengar kata-kata terakhir. Hatinya terlalu sakit untuk harus
menangis. Saraf-saraf di kepalanya bekerja semakin rumit demi membantunya agar tidak
menangis - dan menghentikan kerja saraf perasa di bagian dadanya yang hampir-hampir meledak.
"Kenapa?" "Kanker. Sebelum meninggal, beliau sesak napas..."
"Kenapa?" Dia masih bertanya.
Orang di depannya memeluknya semakin erat, meraih kepala gadis itu dan meletakkannya di
bahunya, "Alin masih punya kami di sini."
---- Segerombolan penjaga jenazah bermain kartu dengan ramai sorak-sorai, kerabat Alin sibuk
menawarkan minuman dan makanan kepada yang singgah. Beberapa orang lagi masih dengan
tekun membungkus peti jenazah dengan kain kasa sembari menempelkan hiasan-hiasan keemasan
aneka bentuk dengan rata pada peti mati.
Alin tidur di sebelah jenazah yang terbungkus kain. Telah genap tiga hari dia membagi cerita di
sana. Setiap siang, dia membawa makanan dan minuman yang dulu ketika hidup menjadi kesukaan
ibunya; diletakkanya di sisi jenazah. Dalam masa-masa itu, dupa panjang terus menyala. Ketika
padam, dupa itu selalu akan diganti dengan yang lain, dan akan terus hidup sampai saatnya
jenazah dikremasi. "Alin, jangan tidur di sini. Bau formalin tak baik untuk kesehatan."
Sudah dua hari dia tidur di sana. Hidungnya menjadi tidak peka lagi akan bau, matanya
diusap-usapnya karena rasa perih.
Keesokan harinya jenazah dimandikan. Tubuh yang telanjang. Terbayang olehnya, dahulu jenazah
21 Bunga Dalam Lumpur m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
itu pernah hidup bersama Alin, pernah bersama hadir di acara permandian jenazah orang lain - saat
itu, ibunya pernah bilang dia mungkin akan malu jika suatu saat tubuhnya dimandikan telanjang di
depan umum. Alin ikut memandikan. Ritus yang panjang; termasuk akhirnya melapisi jenazah itu dengan belasan
kain aneka warna; hingga menutupi kemaluan jenazah dengan kain hitam. Selama itu orang-orang
hanya menonton. Seolah dalam skenario kehidupannya, hanya ada sedikit tokoh. Bahwa tidak ada
lagi temannya untuk beradu peran setelah ibunya berpulang.
---- Siang itu, upacara Ngaben dilangsungkan. Jiwa jenazah ibunya telah berpindah pada sebuah
simbol, pada wujud seorang wanita yang dipatungkan. Alin membawanya di atas kepala. Ibu-ibu
lainnya membawa benda-benda lain sebagai simbolisme. Entah sebagai simbolisme pengantar
yang telah meninggal, entah hanya sebagai iring-iringan agar kelihatan indah.
Sebelum menuju tempat kremasi, Alin mesti melakukan ritual khusus untuk memutus keterikatannya
dengan ibunya - agar tidak pernah lagi dia dapat bersinggungan dengan dunia niskala di mana kini


Kompilasi Tiga Kehilangan Karya Dewi Kharisma Michellia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ibunya tinggal. Ritual tersebut mewajibkannya melemparkan tali dan logam cina, serta beras kuning
dan beras putih yang diaduk dengan kunyit dan rempah-rempah ke langit, membenturkan semua
unsur itu ke telapak tangan, menjatuhkannya ke tanah. Ketika itu selesai, katanya, semua
keterikatan antara Alin dengan ibunya telah musnah.
Alin lantas memimpin iring-iringan pada posisi paling depan, bade tempat jenazah disemayamkan
diangkat. Orang-orang berjalan di belakangnya sambil memegangi kain putih panjang di atas
kepala. Beberapa kerabat memotret dengan kamera. Turis-turis tak ketinggalan untuk pula
mengabadikan momen tersebut dengan kamera-videonya.
Di tempat kremasi - di tempat dulu dia dan jenazah itu pernah datang ke acara kremasi jenazah
lain - wadah yang mengangkat jenazah ibunya diletakkan. Ketika jenazah dipindahkan, Alin mulai
disibukkan dengan panggilan orang-orang di sekitarnya.
Semua ritual khusus dilakukan oleh Pedanda[2]. Jenazah diletakkan di dalam sebuah kotak yang
dibentuk dari pelapah pisang, selang gas dimasukkan dari celah bawah pelapah. Ketika jenazah
telah disemayamkan, tirta suci[3]diguyurkan pada sekujur jenazah, dan orang-orang mulai
melempar bunga, daun, beragam sesajen[4], uang logam, dan kain kasa ke atas sang jasad. Alin
hanya melempar sebuah buku gambar.
Di dalam buku gambar itu, ada gambar rumahnya. Di rumah itu, ada kenangan-kenangan. Di rumah
itu, ibunya pernah memuji gambar-gambarnya dan membantunya mewarnai. Dia diam-diam hanya
bisa berharap supaya nanti di dunia niskala, ibunya akan tinggal di rumah-rumah yang dia gambar
di buku gambarnya. Kalaupun ternyata dunia niskala tidak seperti bayangannya, dia berharap
ibunya akan mendapatkan tempat yang layak.
"Hanya itu saja yang mau diberikan?"
Dianggukkannya kepalanya. Dia tidak mungkin membakar semua baju milik jenazah itu, seperti dia
tidak mungkin ikut membakar televisi, mobil, rumah, ijazah-ijazah, dan lainnya. Apa yang dimiliki
ketika hidup, tidak mungkin dibawa seluruhnya ke alam kematian.
22 Bunga Dalam Lumpur m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Api mulai dinyalakan dan mulai membakar. Alin berusaha membeku di dekat tempat pembakaran,
tetapi dia terus ditarik untuk menjauh. Maka lantas dari kejauhan, dia berdoa, melagukan doa
sekeras-kerasnya.Dalam tiap baris doa, api semakin berkobar. Hingga dalam waktu satu jam itu,
yang tersisa hanya tinggal tengkorak dan tulang-tulang.
Belum tuntas menamatkan ritual, beberapa orang telah beranjak pulang. Sedikit orang masih
membantunya mengumpulkan dan menyaring abu dan tulang.
"Sekarang kita ke laut," ujar sang Pedanda.
Di laut, semuanya hilang. Baginya, segalanya telah menyatu kembali dengan alam. Unsur-unsur
pada tulang, unsur-unsur pada abu; semuanya menyatu dengan unsur-unsur pada air, unsur-unsur
di udara. Di laut itu, orang yang dia cintai berubah wujud untuk selamanya. Pikir Alin, mungkin untuk berjuta
atau bermiliar tahun ke depan, baru mereka akan bisa dipertemukan lagi dalam wujud manusia. Itu
pun bila reinkarnasi memang benar ada. Mereka akan bertemu ketika unsur-unsur mereka yang
telah menyatu dengan alam mengisi lagi perut seorang ibu yang hamil. Ketika kesadaran mereka,
dengan kemungkinan kombinasi penciptaan yang tak terhingga, bertemu pada satu titik waktu.
Mungkin kelak tidak sebagai ibu-dan-anak. Mungkin kelak sebagai kekasih.
Atau, mungkin saja mereka tidak akan pernah bertemu lagi. Karena pada kehidupan yang
sedemikian sebentarnya, entahkah ada misteri besar yang dapat dipecahkan oleh kepala.[*]
2009/Desember 2011 Dewi Kharisma Michellia lahir di Denpasar, Bali, 13 Agustus 1991. Kini tinggal di Yogyakarta.
Rota Fortunae Suatu hari seorang bocah kecil menemukan seorang pria tua sedang duduk di taman di pinggir
danau. Siapa laki-laki itu" Sedang apakah pria tua itu di sini"
Tetap bertanya-tanya, ia mencoba mendekati si pria tua. Ia lalu memanjat pohon dan mengintip pria
tua itu dari sana. Sang pria tua duduk di kursi taman, memegang buku sketsa di tangan. Tangan tuanya masih
dengan lincah melukis pada buku sketsa. Pada lembar yang terlihat, terdapat taman dan danau
yang indah - tetapi lebih indah daripada taman dan danau saat itu. Taman dan danau yang sama
dengan tempat mereka berada.
Di taman dan danau di sketsa itu ada kursi taman yang persis seperti kursi taman pada kejadian
23 Bunga Dalam Lumpur m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
sore itu; seorang gadis yang duduk di sana, dan seekor anjing kecil menemaninya di sisinya:
dengan lidah menjulur dan ekor beterbangan di udara. Di langit di sketsa itu, matahari sedang
terbenam. Di sudut sebelah kanan, terdapat tulisan kanji besar-besar, bertuliskan: Pertemuan.
"Mengapa mengintip saja?" Pria tua itu berkata, tanpa sebelumnya sempat menoleh ke arah bocah
kecil yang sedang mengamatinya dari atas pohon, "Turunlah, duduklah di sampingku," lanjutnya.
Mata bocah kecil itu melebar. Iakah yang dimaksud" Tapi bagaimana bisa pria tua itu mengetahui
kehadirannya tanpa sedikit pun mengalihkan pandang"
"Apa kabarmu?" Pria tua itu bertanya ketika si bocah kecil sudah turun dan berjalan ke arahnya.
"Ba... baik. Bagaimana Kakek tahu, aku sedang memperhatikan Kakek dari sana?"
"Duduklah, aku sudah lama tidak berbincang dengan diriku sendiri."
Di... dirinya sendiri"
Bocah kecil itu mengambil tempat di sisi pria tua.
"Kau tahu siapa aku?" Pria tua itu kemudian bertanya lagi.
Bocah kecil menggeleng, "Bagaimana aku bisa tahu?"
"Apa kau tidak melihat kemiripan di wajah kita?"
Bocah kecil itu mengamati. Memang mirip, sedikit mirip. Lalu apa artinya - terdapat keterkaitan di
antara mereka" "Sungguh-sungguh tak mengenali siapa aku?"
Bocah kecil itu menimbang-nimbang, "Apa Kakek sedang mempermainkanku?"
Pria tua itu tersenyum, "Pilihlah satu dari dua kemungkinan. Aku adalah malaikat pelindungmu yang
selalu ada di sisimu ataukah aku adalah dirimu dari waktu yang berbeda. Tebakanmu betul,
kuberikan kau sebungkus manisan cokelat kesukaanmu."
Pria tua itu mengangkat sebungkus cokelat dari dalam kopernya yang lusuh lalu meletakkan
bungkusan itu di pangkuan si bocah kecil.
"Kenapa aku harus menebak?"
"Karena aku akan memberimu hadiah jika tebakanmu betul."
"Tapi kedua pilihan yang Kakek berikan, bagiku tidak masuk akal."
Pria tua itu berdeham sejenak, "Apa kau tak percaya kepada malaikat pelindung?"
"Kenapa aku harus percaya?"
24 Bunga Dalam Lumpur m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Karena mereka ada. Benar-benar ada. Baiklah, kau membuatku kalah," ujar si pria tua. "Aku
malaikat pelindungmu."
"Aku tak percaya."
"Kalau kau percaya, kuberikan sebungkus manisan cokelat itu cuma-cuma untukmu."
"Aku tidak menerima makanan dari orang asing. Terima kasih." Bocah itu mengembalikan
bungkusan merah itu kepada si pria tua. "Sekarang katakan mengapa Kakek mesti berbohong
kepadaku..." "Setiap anak kecil di usiamu selalu percaya dongeng tentang malaikat pelindung, mengapa kau
tidak?" Pria tua itu kemudian bertanya.
"Aku bahkan tidak percaya Tuhan."
"Oh, ya?" Pria tua itu terkesiap, "Bagaimana bisa" Umurmu berapa, Bocah?"
"Kupikir dunia hanya dikuasai oleh kepala manusia yang isinya berbeda-beda. Aku hanya percaya
hal baik akan selamanya baik. Aku hanya butuh berkarma baik."
"Maksudmu" Kau tidak percaya Tuhan tapi kau percaya agama?"
Bocah kecil itu menggeleng, "Aku tidak percaya kedua-duanya. Aku sudah enam belas tahun untuk
bebas memiliki kepercayaanku sendiri."
Pria tua itu memperhatikan penampilan bocah kecil itu dengan saksama. Tubuhnya masih
terlampau kecil untuk mengaku-ngaku sebagai bocah usia enam belas - tubuhnya seperti bocah
laki-laki lain yang baru berusia sembilan tahun.
"Jadi kau hanya percaya kepada dirimu sendiri - tidak pada dogma agama, tidak kepada malaikat
pelindung, bahkan tidak kepada Tuhan... lalu apa yang kau percayai?"
"Aku belum bisa mempercayai sesuatu, tapi aku percaya, kelak aku akan mati."
Pria tua itu tertawa, "Jadi di usia enam belasmu, kamu masih belum tahu hal apa yang harus kamu
percayai" Tidak memiliki sosok idola, huh?"
"Aku punya," ujar si bocah kecil, "tapi tidak untuk memercayainya, tidak untuk menuhankannya."
"Ah, baiklah. Coba kau lihat sketsaku ini." Pria tua itu menyodorkan buku sketsanya. "Lihat dengan
saksama. Termasuk judul-judulnya dan catatan-catatan kecil yang kutulis di bawahnya..."
"Kau lihat tahun aku menggambar sketsa gadis itu, Bocah?"
Bocah itu seolah baru memperhatikan tentang waktu dan seketika itu ia seolah baru menyadari
bahwa yang terpenting dari sketsa itu, adalah kapan sketsa itu dibuat, "2032!"
"Sekarang tahun berapa, Bocah?"
25 Bunga Dalam Lumpur m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"2007." "Coba lihat tahun berapa aku memulai lembar sketsaku ..."
"2010." Pria tua itu tersenyum, "Aku tidak berbohong tentang waktu. Waktu sangat berharga bagiku.
Bahkan tiap menitnya aku berbicara denganmu sekarang.
"Akulah yang dulu tidak percaya kepada Tuhan, aku yang dulu menolak cokelat dari orang asing,
sebab itu aku tahu kenapa kau bisa ada di atas pohon tanpa menoleh ke arahmu."
"Aku tak percaya."
Pria tua itu tertawa terbahak kemudian, "Kalau kau ada di posisiku sekarang, kau akan percaya
bahwa tak ada sesuatu pun yang dapat kau ubah, bahkan jika kau mencoba kembali ke masa lalu.
Karena ada tangan yang memegang kuasa."
"Aku tak mengerti apa yang Kakek maksud."
"Aku tahu berapa nilai raporku ketika aku berusia enam belas dan aku tahu apa mata pelajaran
favoritku. Kau tidak mungkin tidak mengerti." Pria tua itu mendikte, "Dan oh Tuhan, kata-kataku
persis dengan kata-kata kakek yang dulu pernah kutemui di taman ini..."
"Jadi bagaimana caramu kembali ke masa lalu - ke masa ini?" Bocah kecil itu menyahut skeptis.
"Jadi kau sekarang percaya, aku adalah dirimu pada masa tua?"
"Tidak, aku belum percaya. Aku masih butuh alasan."
"Begini, Bocah... kau masih memegang sketsaku. Coba kau perhatikan apa yang terjadi sehingga
aku memutuskan untuk menemuimu sekarang. Sketsa itu kubuat dalam waktu-waktu yang berbeda.
Semenjak aku mulai jatuh cinta."
"Kau jatuh cinta kepada seorang gadis yang selalu duduk di taman ini setiap hari di kala senja?"
tebak bocah itu. Pria tua itu menggeleng, "Cobalah perhatikan lagi," ujarnya sedikit kecewa.
"Tapi semua sketsamu hanya tentang senja, seorang gadis, dan seekor anjing..."
"Tapi lihatlah pencahayaannya, lihatlah gradasi yang kuberikan."
"Gadis ini tak pernah ada?"
Pria tua itu mengangguk, tersenyum senang. Seolah ada yang mengerti perasaannya, "Tak pernah
ada seseorang yang hadir di hidupku."
"Bahkan gadis ini hanya khayalanmu?"
26 Bunga Dalam Lumpur m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Itu sebabnya aku menemuimu sekarang."
"Maksudmu aku akan melajang sampai aku seusiamu?"
"Itu hal yang tidak kuharapkan terulang lagi."
"Lalu kau sekarang akan memintaku untuk jatuh cinta kepada seseorang agar hal yang sama tidak
akan kembali terjadi pada masa depan?"
"Dan kupikir rencanaku akan gagal."
"Karena responku sama seperti responmu saat seorang kakek lain menghampirimu pada masa
mudamu dan memohonkan ini kepadamu?"
"Bahkan Kakek tua itu juga mengatakan hal yang sama persis dengan apa yang kukatakan
sekarang. Ini yang dia katakan. Dan waktu itu dia juga mengulang kalimat, 'ini yang dia katakan.'
Dan dia mengulang ini juga. Tidak ada yang berbeda."
"Jadi untuk apa kau datang sekarang?"
"Kupikir, Bocah... aku bisa mengubah takdir kita."
"Aku berjanji kepadamu aku akan jatuh cinta dan menikah dengan seseorang. Ini pasti tidak kau
ucapkan waktu itu." "Kau salah, Bocah..." Pria itu tertunduk resah, "Aku mengucapkannya."
Mereka terdiam sekian lama. Kehilangan kata-kata: karena bagi si pria tua, segalanya telah sia-sia.
Pun bagi si bocah kecil: ia entah mengapa makin percaya bahwa takdirnya akan melajang sampai
tua. Tanpa mereka sadari, mereka hilang kendali atas pikiran mereka sendiri.
"Mau menemaniku mengambil jalan setapak di sini?" ujar pria tua kemudian, "Aku hampir lupa
tempat-tempat. Aku hanya tiba-tiba sampai ke sini."
"Dari mana kau datang, Kakek?" Bocah kecil baru menyadarinya.
"Aku hanya tiba-tiba ada di taman ini."
"Kau tidak menciptakan mesin waktu untuk kembali ke masa ini?"
"Rupanya kau sudah mempercayaiku?"
"Untuk percaya dan untuk tidak percaya sama-sama tidak ada untungnya buatku."
"Aku percaya kau melihat dirimu di dalam diriku," ujar si pria tua lirih. "Baiklah, mari tuntun aku
berkeliling. Aku masih ingin bercerita banyak sebelum aku harus pergi," lanjutnya seraya mengambil
tongkat kayunya yang sedari tadi disandarkannya di pojok kursi.
"Aku ingin bertemu dengan ibuku. Aku rindu masakannya."
27 Bunga Dalam Lumpur m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Bocah kecil itu melotot ketika mendengar lanjutan kata-kata si pria tua.
"Aku harap ayahku masih gemar menantang tamu asing bermain catur bersama."
"Kakek, apa kau sedang menipuku?" Setelah mengatakan itu si bocah kecil terdiam di tempatnya.
Mereka saling pandang kemudian.
"Bagaimana kau bisa berpikir begitu?"
"Aku yatim piatu. Aku dibesarkan di panti asuhan sejak bayi. Aku bahkan tak pernah mencicipi
masakan yang lebih enak dari sup ayam brokoli yang dibuatkan teman sepantiku untukku. Aku tak
tahu ayahku bisa bermain catur atau tidak."
"Jadi apa - aku salah orang?" Pria tua itu berkata kemudian.
Bocah kecil sudah terlanjur merasa ditipu mentah-mentah, menyesal sudah terlampau jujur dan
percaya kepada seseorang. Seumur hidupnya baru kali itu ia segan memercayai orang
asing - selain dirinya sendiri.
Sejak kecil ia selalu mengharapkan ada sosok lain yang mengisi hidupnya dan beradu peran
dengannya. Apakah salah jika ia mengharapkannya dari pria tua itu - yang tiba-tiba hadir pada
senja hari" Ia bahkan tidak memercayai Tuhan, tapi ia percaya kepada pria tua itu. Apa ia salah"
"Jadi takdirku bisa diubah!" Pria tua itu berteriak kegirangan, "Aku akan menemukan bocah kecilku
yang sesungguhnya dan aku akan memintanya agar menikah dengan gadis impiannya!"
Bocah kecil itu tertunduk diam.
"Ada apa, Bocah?"
"Jika kau pun bisa mengubah masa lalumu, aku juga sungguh ingin mengubah masa laluku."
Pria tua memegangi bahu bocah kecil sementara tangan kanannya disangga oleh tongkat kayunya.
"Aku tadi sempat bahagia untuk percaya, kau adalah diriku pada masa depan. Kupikir aku memiliki
masa depan, karena aku berdasi dan menggunakan jas dan membawa koper. Aku pikir aku
memiliki uang yang berlimpah karena aku bisa memberi sebungkus cokelat mahal kepada seorang
bocah. Aku pikir tentu aku akan keluar dari panti dan menjadi pria tua yang mapan karena
bersetelan mewah bahkan ketika rambutnya sudah dipenuhi uban."
Pria tua itu tertegun sejenak, "Apa kau benar ingin mengubah masa lalumu, Bocah?"
"Setidaknya aku ingin memiliki masa depan yang menjanjikan."
"Berdoalah. Aku pun demikian. Aku tiap hari berdoa, agar Tuhan mengubah takdirku. Aku ingin
memiliki pujaan hati, aku ingin menikah dengan gadis yang kucintai, meski di usia senjaku. Aku
berdoa tiap hari, tiap malam. Sampai aku memiliki kesempatan untuk kembali ke masa laluku."
"Bagaimana caranya" Doa seperti apa" Aku berdoa hampir tiap hari di kuil, meski orang-orang
bilang aku berlebihan. Kata mereka cukuplah aku berdoa pada hari Minggu, tapi aku
28 Bunga Dalam Lumpur m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
melakukannya." "Bukankah kau tak percaya Tuhan - tak percaya agama?"
"Itu hanya kata-kataku."
"Jadi sejak tadi kau yang sedang menipuku?"
"Aku hanya tidak menyangka saat kau bilang kata-kataku tadi sama seperti kata-katamu ketika dulu
kau didatangi kakek-kakek itu. Aku merasa kebohonganku adalah suatu kebetulan."
"Jadi kata-katamu tadi berfungsi sama seperti kata-kataku dulu..." Pria tua itu merenung sejenak,
"Lalu mengapa aku tidak bisa menyangkamu sebagai diriku pada masa lalu?"
"Karena aku yatim piatu. Kau memiliki ayah dan ibu."
"Tapi aku, entah kenapa, tetap sungguh percaya bahwa kau adalah diriku pada masa lalu, Bocah.
Ada sesuatu di matamu yang sama dengan yang kumiliki di mataku." Pria tua itu mengusap alis si
bocah kecil. "Sekarang aku yang bodoh untuk sedikit kurang percaya. Dan kita mungkin sama-sama
cerdik untuk sangsi bahwa kita adalah orang yang sama dalam waktu yang berbeda.
Sudahlah, yang jelas kita tidak sama-sama menipu. Waktuku sebentar lagi. Temanilah aku
berjalan-jalan setapak, Bocah."
"Lalu kau ingin ke mana - kalau tidak pulang ke rumah menemui ibumu dan ayahmu?"
Pria tua itu tersenyum, ada haru di kedipan matanya, "Ajaklah aku ke panti."
---- Di sepanjang perjalanan, mereka tak berkata-kata lagi. Ada suara nyit-nyit dari setiap sudut
rerumputan. Bulan sudah benderang di atas mereka, langit berantakan akan bintang kecil-kecil
yang berkedip-kedipan. Dengan tongkat kayu yang diperlukan salah seorang dari mereka,
perjalanan menjadi sungguh lambat sekali.
"Aku sedang memikirkan sesuatu, Bocah."
Bocah itu menoleh. "Mungkinkah, ada banyak kemungkinan kejadian. Dengan orang berkarakteristik sama?"
Bocah kecil memperhatikan, berdiri diam dengan tiba-tiba.
"Kau mengerti apa maksudku, kan?" Pria tua itu memastikan.


Kompilasi Tiga Kehilangan Karya Dewi Kharisma Michellia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bocah kecil menggeleng. "Kau tiba-tiba terdiam?"
Bocah kecil itu kemudian kembali berjalan.
29 Bunga Dalam Lumpur m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Maaf, aku baru ingat usia kita terlampau jauh berbeda."
"Tidak ada yang salah. Suatu saat mungkin aku akan mengerti."
"Kupikir, jika kau memang adalah aku pada masa lalu... Kita bisa menganggap, kau adalah A. Dan
aku sebagai masa depanmu, adalah B. Jika kau ingin menemui dirimu pada masa depanmu,
mungkin saja kau tidak hanya akan menemui B, mungkin saja kau akan menemui C, D, E, dan
setriliyun kemungkinan lain, yang aku juga tak tahu pasti." Pria tua itu tersenyum ketika mendapati
bocah kecil menganggukkan kepalanya
"Aku cukup menangkap maksudmu."
"Jadi begini, seperti aku sekarang, aku kembali ke masa laluku untuk mencari diriku yang bukan
yatim piatu, anggaplah aku mencari masa laluku si A. Namun yang kutemukan bukan si A,
melainkan si B, yang adalah kamu, yang tidak memiliki ibu dan ayah. Mungkin bahkan aku bisa
menemukan C atau D, tapi aku tidak menemukannya karena, entah mungkin, dimensi yang
berbeda." Mata pria tua itu berbinar cerah.
"Bisa jadi begitu." Namun bocah kecil itu seolah tak ingin lagi memperpanjangnya, "Di depan sana,
yang lampunya sedikit redup keoranyean, itu pantiku."
"Kami hidup bersama. Aku yang paling tua. Tidak ada yang mau mengadopsiku. Mungkin mereka
melihatku sebagai anak yang membosankan. Pemurung dan tak banyak bicara."
"Bukan karena itu. Kau memang pemurung - tapi mungkin saja, kau tetap di sini, karena kau harus
bertemu dengan dirimu pada masa depanmu. Kau harus bertemu denganku, Bocah."
"Untuk apa?" "Bukankah sesuai misi awalku - untuk menemukan gadis impian yang harus kau lindungi."
"Keinginanku tidak sama denganmu, Kek. Aku hanya ingin hidup bahagia, keluar dari panti. Aku
merasa - aku sudah sangat merepotkan di sini. Aku ingin bekerja seperti anak-anak panti lainnya.
Seandainya aku terlahir sebagai perempuan, mungkin aku akan melacurkan diri, mungkin akan ada
yang mengadopsiku." Pria tua itu tersenyum, "Seandainya aku dulu lahir sebagai seorang gadis, aku pastilah gadis yang
pendiam dan tidak disukai laki-laki. Aku akan sama seperti diriku sekarang. Ada yang kupelajari dari
pertemuanku denganmu."
"Apa itu, Kakek?"
"Bahwa ada titik-titik yang sudah pasti. Hanya saja ada cabang-cabang berbeda untuk mencapai
titik-titik itu." "Apa kau dulu berjalan-jalan seperti ini juga dengan kakek yang hadir pada masa lalumu?"
30 Bunga Dalam Lumpur m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Pria tua itu menggeleng, "Tidak, aku tidak mengajaknya ke panti. Aku mengajaknya pulang ke
rumahku dan kami makan malam bersama keluargaku. Ibuku senang sekali menerima tamu yang
begitu bersahaja dan memasakkan ayam panggang yang lezat untuk kami santap malam itu.
Kemudian, ayahku mengajak kakek itu bermain catur di teras sementara aku dan ibu
memperhatikan bintang. Kemudian kakek itu pamit pulang dan aku tertidur pulas malam itu.
Tapi aku akan melakukan sesuatu yang berbeda denganmu. Mungkin aku akan mengajakmu ikut
denganku, berjalan-jalan sebentar ke masa depan?"
"Tapi, dengan perbedaan itu, apakah berarti aku memang bukan dirimu pada masa lalu?"
Pria tua menggeleng, "Tidakkah kau mengerti?"
"Ah, kita sudah sampai. Siapa gadis kecil itu" Kelihatan manis sekali. Aku menyukainya." Pria tua
itu mengalihkan pembicaraan, "Kupikir dialah gadis itu."
Bocah kecil tersenyum canggung.
"Kakak dari mana saja" Ibu panti sudah mencari-cari Kakak sejak tadi." Gadis kecil itu mendekati
mereka berdua, menggenggam tangan si bocah kecil, "Ibu takut Kakak bunuh diri di hutan."
Memang ada banyak kejadian bunuh diri di hutan dekat danau. Orang-orang bilang, penunggu
hutan itu terlalu banyak yang kesepian. Bahkan banyak orang yang menghilang tanpa bekas.
Beberapa orang yang beruntung, mendapati keluarga mereka dengan potongan tubuh yang tak
lengkap. Tapi bocah kecil itu sudah terlanjur jatuh cinta dengan danau itu. Tidak ada perasaan takut sedikit
pun untuk mengetahui mitos-mitos itu. Dan selama ini, taman di danau itulah satu-satunya tempat
untuknya bersembunyi dari kesedihan-kesedihannya.
"Kau lihat garis tanganku." Bocah kecil itu berkata, "Kau suka meramal garis tangan, kan" Katamu
umurku panjang" Kau hebat dalam masalah ini. Aku merasa terlindungi tiap kali kau bilang aku akan berumur panjang
m (http://cerita-silat.mywapblog.com)
31Geger Ratu Racun m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
eski aku harus selalu berhati-hati," ujar bocah kecil seraya membelai rambut si gadis kecil dengan
sayang. Gadis kecil itu memang memiliki kekuatan yang jarang dimiliki oleh orang lain.
Dulu sewaktu bayi, gadis itu ditemukan di depan panti di dalam keranjang, basah kuyup diguyur
hujan semalaman, penghuni panti yang menemukannya berteriak histeris.
Tubuh itu bersinar biru terang dan di dahinya terdapat permata biru laut yang berpendar. Bayi itu
dilindungi oleh kekuatan air, kata ibu panti malam itu mencoba menenangkan mereka, mungkin saja
bayi itu dititipkan oleh penghuni danau. Dan mereka harus menjaganya supaya tidak mendapat
hukuman dari dewa air. Dan di sanalah bayi kecil itu kemudian dibesarkan, banyak kejadian aneh sepanjang waktu mereka
tinggal bersama. Suatu waktu, bocah kecil menemukan tubuh gadis kecil itu melayang-layang di
langit di luar panti - sampai kemudian kembali ke atas ranjang, dan gadis itu terbangun tanpa
menyadari bahwa hal aneh semacam itu telah terjadi.
Gadis kecil itu bahkan terkadang bisa melihat sesuatu yang tak kasat mata. Terkadang pada malam
bulan purnama, gadis itu mengaku penglihatannya berubah menjadi sedikit aneh. Dia tidak melihat
orang-orang di sekelilingnya, dia hanya melihat benda-benda kecil berwarna-warni
berpendar-pendar. Bahkan ketika ada seseorang berbicara kepadanya di sekitarnya, gadis itu
semakin histeris mengatakan bahwa suara yang keluar dari mereka berwarna, suara para penghuni
panti kala itu berbentuk bulat kecil-kecil berwarna-warni dan bertumbuk-tumbukan.
Gadis itu juga bisa menemukan benda yang hilang. Bahkan terkadang, gadis itu bisa tiba-tiba
menghilang dan muncul kembali. Sehingga pada saat itu terjadi, ketakutan si bocah kecil makin
menjadi-jadi, jika suatu saat gadis itu hilang dan tak pernah muncul lagi. Gadis kecil itu telah
menjelma segalanya di dalam kesehariannya.
Tiba-tiba pelukan bersarang di tubuh bocah kecil, "Ayolah masuk, Kak. Oh, ya... siapa yang kau
ajak malam ini?" Pria tua mengulurkan tangan hendak menyalami si gadis kecil. Gadis kecil menyambut uluran
tangannya. "Anggap saja aku kakekmu. Berapa usiamu, gadis kecil?"
Namun si gadis kecil tidak menjawab. Tangannya seolah membeku di tangan si pria tua dan
matanya terpaku menatap ke arah pria itu, "Kak, bagaimana bisa kau ajak setan penghuni danau
pulang ke panti kita?" [*]
# Kisah yang jadinya tidak terduga setelah membaca sedikit tentang Aokigahara.
Dewi Kharisma Michellia lahir di Denpasar, Bali, 13 Agustus 1991. Kini tinggal di Yogyakarta.
1 Geger Ratu Racun m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
22 Jam [1] Dini hari pada saat aku sedang kehilangan ide untuk kutulis, televisi yang masih menyala tiba-tiba
menampakkan bintik-bintik semut di layar, kemudian gambar hilang sama sekali, dan televisi
padam. Layar monitor di hadapanku juga padam. Suara musik Tchaikovsky yang sejak tadi kuputar
untuk menemaniku menjemput inspirasi mengabur menyatu udara, senyap.
Di luar, kulihat dari jendela, hujan sudah lebat sekali padahal sejam lalu masih gerimis kecil-kecil.
Udara dingin menusuk-nusuk padahal aku sedang berada di dalam rumah. Kuperhatikan dengan
saksama, bongkahan-bongkahan es jatuh dari langit, membentur jalan aspal di depan rumahku dan
atap-atap rumah tetanggaku, BRUK, membentur juga rumahku. Jika bisa bicara, jalan-jalan dan
rumah-rumah mungkin akan bilang, mereka merasa kesakitan saat itu.
Kemudian semuanya tiba-tiba gelap. Tak ada celah cahaya, setitik pun. Wanita-wanita yang masih
terjaga dari tidurnya dari rumah-rumah sebelah rumahku berteriak histeris menyambutnya. Aku
hendak bergegas naik ke kamar istriku untuk membangunkannya yang sedang tertidur pulas
bersama Alia dan Jala ketika kudapati suara jejak kaki terburu-buru menuruni tangga.
"Indra" Kamu di sana?" suara istriku, Alea, datang dari arah tangga. Aku hafal betul arah mata
angin di rumahku meski tanpa penerangan sekali pun, aku sudah tinggal di sini hampir sepuluh
tahun, "Mengapa bisa tak ada cahaya, Yah?"
Dia berjalan tergesa ke arah rak perlengkapan di dapur. Suara gesekan korek dinyalakan, tapi tidak
ada api yang menyala. Hingga akhirnya tak satu pun lilin mampu dia nyalakan.
Alia dan Jala berlari ke arahku ketika kupanggil mereka. Masing-masing mereka memelukku erat,
gemetar. Aku berharap mereka menanyakan sesuatu tetapi mereka tak bertanya, atau mungkin aku
yang tak mampu mendengarnya karena sejak tadi Alia dan Jala menarik-narik lengan kemeja
panjangku seolah berusaha meyakinkan aku mampu mendengar suara mereka. Aku pun ternyata
tak mampu bersuara. Meski aku berteriak, suaraku tak terdengar sama sekali. Cahaya yang
tersedot dan gelombang bunyi yang hilang.
Kami tidak mungkin keluar rumah untuk bertemu para tetangga, batu es dari langit bisa
menghantam kepala kami kapan saja. Seketika itu juga aku sadari, hari itu hari pertama kami bisa
merayakan ketiadaan presiden, listrik, dan internet di hidup kami.
[2] Suara muncul kembali. Batu-batu es yang membentur atap. Kemudian suara hujan. Kemudian
suara tetangga yang berteriak-teriak.
Lantai yang kupijak bergetar. Rak-rak di dapur yang membuka menjatuhkan piring-piring, gelas, dan
peralatan kecil-kecil kesayangan istriku. Telingaku tiba-tiba peka dan percaya akan ada sesuatu
terjun dari atas kepala kami, kutarik Alia dan Jala, lampu hias membentur lantai dan pecahannya
menusuk kulitku. Alia dan Jala berteriak. Pecahannya juga mengenai mereka.
2 Geger Ratu Racun m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Kemudian, suara orang-orang menggedor rumah kami. Suara orang-orang berteriak di jalan.
Perintah agar kami turut turun ke jalan, agar kami keluar sebelum rumah kami yang berpondasi dari
beton sekali pun rubuh dan menanam kami hidup-hidup.
Aku berteriak kepada Alea yang naik ke kamarnya untuk mengambil barang-barang pentingnya
agar cepat turun. Orang yang menggedor-gedor rumahku meneriakkan bahwa tak ada lagi yang
bisa mereka lakukan untuk kami, kemudian mereka pergi entah ke mana. Tak ada suara kendaraan
apa pun, berarti mereka semua berjalan kaki atau berlari untuk menyelamatkan diri.
"Tangkap!" Alea dari arah tangga melempar tiga mantel ke arahku, sayangnya bukan mantel baja.
Aku berpikir tidak mungkin untuk masuk ke dalam lemari dan membuat dua lubang di bawah lemari
dan berjalan menenteng lemari ke sana kemari agar tak mati ketika kepalaku dibentur oleh
bongkahan es, tidak mungkin juga mengendarai mobilku karena tetangga-tetanggaku sepertinya tak
menggunakan mobil mereka.
"Alea, bergegaslah."
Dia turun dengan tergesa, napasnya yang terengah masih bisa kudengar kerika dia berhadapan
denganku. Namun hari itu aku tak bisa melihat wajahnya yang selalu memerah berkeringat pada
saat kelelahan. "Kau gendonglah Alia, Lea. Aku bawa Jala bersamaku."
Hap. Dia baru saja menggendong Alia bersamanya. Kugenggam tangannya dan kami berjalan
keluar rumah. Benar-benar gelap, langkah-langkah begitu pelan, langkah-langkah tanpa arah tujuan tanpa
bantuan indera penglihatan. Kupeluk Jala seerat-eratnya, kugenggam tangan Alea sekuat mungkin.
"Ini yang namanya kiamat ya, Yah?" tanya Jala kepadaku.
Kudiamkan saja, itu kali pertama dalam hidupku aku berusaha meyakinkan diriku agar tak perlu
menjawab pertanyaannya dengan apa yang ada di dalam kepalaku.
[3] "Mau ke mana kita?"
Itu pertanyaan yang sejak tadi kudengar dari orang-orang yang berjalan di sekelilingku selain suara
teriakan yang diakhiri dengan suara bedebam tubuh yang rubuh.
Aku mengikuti orang-orang yang bertanya dan terus berjalan. Kami tak tahu arah dan di jalan mana
kami berada. Aku bertanya kepada mereka, "Apa benar tidak ada satu pun mesin kendaraan bisa dihidupkan"
Bagaimana bisa?" Mungkin karena pertanyaanku cukup panjang, mereka tidak mendengarnya dengan saksama. Atau
mungkin karena mereka juga tidak tahu. Dini hari itu kami memiliki banyak sekali pertanyaan dan
3 Geger Ratu Racun m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
tak satu pun jawaban. "Ayah, mengapa kau terus bertanya dan tidak menjawab pertanyaan mereka?" untuk
meyakinkanku, Jala membisikkannya malam itu.
[4] Entahlah, katanya kami telah sampai di perbukitan, pada saat sebuah balok es besar tepat
membentur bahu kiriku. Mungkin benar juga karena rasanya sejak tadi aku seolah perlu mendaki.
Sedang aku tak pernah tahu, pusat daerah di Yogyakarta memiliki bukit. Juga tak tahu seberapa
jauh perjalanan yang telah kami tempuh hingga aku dari rumahku di Kaliurang bisa tiba-tiba sampai
ke daerah perbukitan. Aku bahkan tak tahu apakah aku menuju ke arah Gunung Kaliurang atau ke
arah perbukitan tempat lain. Aku benar-benar buta arah.
"Lalu siapa ketuanya di sini?"
"Hei, Bung! Tidak ada ketua di sini!" seseorang mengumpatku.
"Lalu siapa yang bisa kita dengar kata-katanya?"
"Kau ikuti kata hatimu sendiri!" suara yang sama kembali mengumpat.
"Mengapa kau terus yang menjawab" Mana yang lainnya?"
Hening. "Kita sudah tidak memiliki presiden. Tidak ada pejabat apa pun lagi. Tidak ada raja. Kita bahkan
tidak punya lagi alat komunikasi apa pun, tapi sekarang kita membutuhkan seseorang untuk
menyatukan pendapat kita."
Tetap hening. "Kita selamat dari keadaan ini bersama, kita pula harus berani mati bersama," lanjutku.
[5] Akhirnya, kami memutuskan untuk mendaki bukit. Bukit yang aku tak tahu namanya. Untuk apa
mendaki, aku juga tidak paham. Dan mengapa aku punya keberanian untuk memimpin sekian
banyak orang yang berjalan di belakangku, aku juga tak mengerti. Yang kutahu, selama ini aku
hanya bisa berdiam diri dan mengatur karakter-karakter dalam cerita fiksiku saja, tidak pernah sekali
pun mengatur manusia yang lalu-lalang di sekitarku.
Aku menghentikan langkahku ketika suara-suara hilang kembali. Aku berteriak, suaraku tidak
terdengar. Air menembus sepatu kulitku dan menyentuh celana kainku. Kukecup dahi Jala dan
kuturunkan dia dari gendonganku. Kemudian dia meremas tanganku erat. Aku tidak sedang
bermimpi, Pulau Jawa tenggelam.
[6] Ketika semua orang berlari menerobos ke atas bukit, aku baru paham bukit apa yang sedang
4 Geger Ratu Racun m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
kudaki. Sebagian pulau telah retak dan tenggelam, dataran masih berguncang. Aku memeluk Jala
erat-erat di pelukanku, tangan Alea masih di genggamanku. Kami tidak menuju ke mana pun.
Suara-suara tiba-tiba terdengar lagi. Orang-orang meneriakkan sesuatu tentang kiamat. Aku tidak
mengerti kiamat macam apa. Ke mana matahari" Ke mana bulan satelit bumi" Mengapa gelap
sekali" "Lalu, apa kita akan mati sekarang?" suara Lea, aku tak tahu sepucat apa wajahnya ketika
mengatakan itu. "Belum." Kuputuskan untuk ikut terus mendaki ke atas bukit. Tangan Alea masih di genggamanku.
Bukit yang licin, kulepaskan sepatuku, kulemparkan ke bawah. Suara sepatu menyentuh perairan,
jauh sekali. [7] "Aku pernah memimpikan tentang ini, Ibu." Kudengar Alia berkata kepada Ibunya di belakangku.
Aku terus berjalan cepat dan menarik tangan Alea. Ada yang harus kukejar, mungkin saja waktu,
mungkin saja kehidupan, mungkin saja masa depan. Jika boleh membandingkan pemikiranku,
kuanggap saja kami bangsa serangga yang selamat dari kiamat 65 ribu tahun lalu.
"Persis seperti ini, Ibu." Alia memastikan. Kami tidak menyahut.
[8] Sesuatu yang bercahaya terbang di kejauhan lalu mendarat, menarik penglihatan kami. Masih
bercahaya, masih mengeluarkan asap putih.
Alia berteriak, "Ayah! Aku juga melihat itu di mimpiku!"
Aku tidak bisa memastikan apa Alia akan mengiyakan segala kejadian saat itu sebagai putaran
ulang kisah dalam mimpinya. Aku tak bisa percaya dia memiliki kekuatan sejenis itu. Sebelumnya
tak pernah ada di silsilah keluargaku.
Beberapa orang keluar dari sesuatu yang terbang tadi. Tubuhnya memancarkan cahaya keunguan.
"Mereka akan membunuh orang-orang, Ayah." Bisik Alia gemetar.
Mendengar kata-kata Alia, aku memerintah Alea untuk menepi. Kami lalu menelentangkan tubuh
untuk bersembunyi. [9] Suara orang-orang berteriak kesakitan. Mungkin mereka berjalan menuju ke arah orang-orang
bercahaya ungu indigo itu, mungkin mereka pikir orang-orang itu adalah regu penyelamat dari PBB
atau organisasi besar dunia lainnya. Dan mungkin karena anggapan itu, mereka terbunuh.
"Siapa mereka, Alia?" akhirnya kutanya.
5 Geger Ratu Racun m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Besok pagi Ayah akan tahu."
[10] Beberapa saat setelah kepergian orang-orang itu, cahaya muncul di langit. Sebuah matahari di arah
timur dan sebuah lubang yang terus berpusar di langit sebelah barat.


Kompilasi Tiga Kehilangan Karya Dewi Kharisma Michellia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kami berempat sedang terlentang, kaki kami menghadap ke jurang. Separuh Jawa tenggelam.
Kami dikelilingi oleh mayat-mayat dengan organ-organ tubuh serampangan, usus terburai, kepala
terpisah dengan tubuhnya.
Beberapa orang juga masih hidup dan kami saling bertatapan was-was.
Manusia-manusia ungu tadi malam bergerak mendekati kami. Membius kami.
[11] Di saat aku tersadar, aku sudah berada di dalam tabung kaca. Sepertinya kami berempat
dipisahkan, dimasukkan ke dalam tabung-tabung berbeda, aku tak melihat mereka bertiga. Aku
digabungkan dengan beberapa orang dari ras berbeda.
[12] Rasanya panas sekali di dalam tabung, aku tidak tahu suhunya berapa. Di luar tabung, para
penjaga tabung yang memancarkan cahaya indigo sedang menguliti mayat, memakan organ-organ
tubuh mayat itu mentah-mentah. Mereka meminum sesuatu, yang ketika sebagiannya tumpah
bercerecetan, kuperkirakan adalah darah.
[13] Sebuah permata keluar dari dahiku, terbang menjauhiku, kemudian berhadapan denganku.
Warnanya hijau. Kuembuskan sesuatu dari mulutku, hal yang kulakukan tanpa kendali karena
dorongan tekanan udara panas yang diciptakan di dalam tabung.
Kudapati aku yang tetap berdiri sementara tubuhku rubuh perlahan di dalam tabung, menempel di
permukaannya. Di dalam tabung ini, jiwaku terpisah dari ragaku.
[14] Sesuatu membuka, dari bawah, tubuhku terjun ke dalam lubang gelap, membentur tubuh-tubuh
lainnya. Jiwaku tetap tertahan di dalam tabung, kuperhatikan di luar tabung terdapat lingkaran
pembatas bercahaya merah.
Beberapa saat kemudian, kulihat jenazahku digotong oleh para penjaga tabung. Saat itu, giliran
jenazahku dikuliti dan organnya dimakan mentah-mentah oleh mereka.
[15] 6 Geger Ratu Racun m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Mereka menerbangkan tabung kacaku ke dalam sebuah ruangan. Sebelumnya mereka sempat
berdiskusi sebentar tapi tak ada yang dapat kucuri dengar.
Ruangan yang begitu terang, slideshowdi dindingnya; lantainya; atapnya. Semacam dokumentasi.
Gambar-gambar black hole, galaksi-galaksi, bintang-bintang: garis-garis berwarna terang
merantaikan semuanya dengan planet bumi. Gambar-gambar seluruh wilayah di muka bumi: semua
benua dan samudera, pemukiman-pemukiman, titik-titik koordinat. Gambar-gambar seluruh makhluk
yang pernah ada: semua jenis invertebrata, vertebrata, dinosaurus, tumbuh-tumbuhan.
Gambar-gambar penemu dan tokoh-tokoh besar peradaban manusia pada masa silam. Tak
ketinggalan, rak-rak yang diisi penuh oleh mikrochip.
Yang paling kuamati adalah gambar-gambar pulau yang berkedip-kedip merah. Gambar ledakan
sesekali terjadi dan hasilnya ditampilkan di slideshow yang lebih besar.
[16] Ruangan itu. [17] Gambarku. Di dinding di hadapanku, sepintas lalu. Sesuatu yang kosong sejenak mampir di
benakku. Gambarku bersama Alea dan putra-putriku beberapa jam yang lalu. Tidak gelap. Gambar
kami nampak jelas di layar.
Apakah putriku, Alia, yang mengetahui apa yang sedang berlangsung sekarang - selamat"
[18] Orang-orang yang semasa hidup kukenal sebagai para pemimpin dunia masuk ke dalam ruangan.
Di dalam ruangan, mereka mengamati jiwa-jiwa yang terkurung di dalam tabung kaca. Termasuk
jiwaku. Mereka ditemani seorang pemandu yang membawa sebuah kotak.
Ketika mereka sampai kepadaku, pemandu itu memberikan sebuah permata bersinar kehijauan
kepada salah seorang pemimpin yang kukenal - mungkin dialah yang paling senior. Masalahnya,
aku tak ingat siapa namanya. Bagiku, dia hanya terkenal, karenanya bagaimanapun, dia hanya
kuketahui terkenal. Pria kulit putih itu mencocokkan permata hijau itu ke dahiku. Setelahnya dia meletakkan kembali
permata itu ke dalam kotak. Lalu mereka bergeser mengunjungi jiwa-jiwa lainnya.
[19] Sebuah ruangan baru. Aku digeser ke sana kemari. Sampai aku menemukan ratusan duplikat
tubuhku berbaris dan mengisi sebuah kolom persegi panjang seukuran peti mati yang diposisikan
berdiri. Mereka semua, duplikat tubuhku, dalam kondisi mati.
[20] Seorang jiwa di dalam tabung sebelahku, yang sejak tadi merengut, tiba-tiba terserap ke atas
tabung. Di hadapannya berbaris juga duplikat tubuhnya. Sebuah pencatut dengan permata
7 Geger Ratu Racun m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
berwarna jingga - yang seperti pecahan-pecahan kecil dari ukuran aslinya - turun dari tiap atas
kepala duplikat tubuh pria itu. Permata-permata jingga itu menembus dahi duplikat tubuh-tubuh itu.
Lalu kepingan-kepingan sewarna asap putih yang bergumpal-gumpal jatuh ke tiap duplikat.
Setelahnya, ratusan duplikat pria yang usianya tak sampai empat puluh tahun itu hidup kembali.
Giliranku. [21] Semua lampu tiba-tiba padam. Ada yang berlari-lari di lorong. Seseorang membukakan pintu
tabungku. Dalam kegelapan, kudengar suara Alia memanggilku, "Ayah.."
Dia menarikku keluar tabung. Dari saku mantelnya keluar cahaya pekat kehijauan. Dia membawa
permataku bersamanya. Dilepaskannya dari genggamannya dan permata itu menuju ke arah salah
satu duplikat tubuhku. Jiwaku tertarik ke tubuh itu.
Aku hidup kembali dan kurasakan format isi kepalaku berbeda. Aku bukan lagi seorang ahli bahasa,
hanya ada sedikit ingatan mengenai teori-teori kepenulisan, sejarah penghargaan nobel sastra, dan
semacamnya. Dan kini, kepalaku penuh akan logika matematika.
Istriku dan Jala memelukku. Kemudian Alia menarikku pergi menjauh dari ruangan, Alea dan Jala
berlarian di belakang kami.
[22] Alia mengantar kami menuju ke sebuah ruangan lain. Sebuah lubang yang berputar; berpusar di
kejauhan. Ketika kami semakin mendekat, di balik lubang itu terdapat sebuah pasar kerajinan,
orang-orang yang sedang tawar menawar tembikar.[*]
Dewi Kharisma Michellia lahir di Denpasar, Bali, 13 Agustus 1991. Kini tinggal di Yogyakarta.
[Cerpen juga dimuat dalam Antologi Kota Tanpa Nama, Komunitas Bengkel Sastra Cawe-Cawe,
Solo-Yogyakarta] Kompilasi Tiga Kehilangan
(I) Jadi ceritanya dia sama sekali tidak lapar. Seharian sejak dari rumahnya hingga dia memutuskan
untuk pergi jalan-jalan di tengah hari, dia mengunci mulutnya untuk tidak bicara juga tidak makan
apa pun. 8 Geger Ratu Racun m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Siangnya hujan turun begitu lebat. Dia berjalan tanpa payung. Arus air yang menuju ke bawah
berlawanan dengan langkahnya yang menanjak ke atas. Ditendangnya aliran air itu. Berkecipratan.
Ingin sekali dia berjalan dengan memejamkan matanya atau merentangkan tangan seperti yang
biasa dia imajinasikan sejak kecil.
Ada sesuatu pada hujan yang selalu merenggut orang-orang yang dia kasihi. Sesuatu tentang hujan
yang selalu menyita kenangan-kenangannya. Hingga setiap hujan tiba, dia kembali teringat akan
orang-orang yang dia kasihi juga kenangan-kenangan yang sekian lama disita oleh waktu. Hingga
dia selalu ingin hujan tak pernah berhenti dan dia bisa terus merentangkan tangannya di sepanjang
perjalanan pulang. Sama seperti hari ketika ibunya meninggal, hujan turun begitu lebat. Sama seperti saat itu, dia
menyusuri jalan dengan merentangkan tangan, sejak keluar dari kamar mayat rumah sakit hingga
ke rumahnya. Seperti itulah kini dia mengulangnya.
Dia sampai di gerbang rumahnya. Tempat yang tanpa siapa-siapa karena kini hanya tinggal dia
yang mengisi ruangan-ruangan itu. Rumah yang tanpa denyut, tanpa napas. Kosong.
Dibukanya pintu rumahnya. Tidak ditutupnya lagi. Tidak dipedulikannya keadaan rumahnya yang
begitu berantakan. Dia berjalan ke arah kamar mandi, menyalakan keran air. Sementara air
memenuhi bathtub, dia mengambil semua berkas-berkas di lemarinya, ijazah-ijazahnya sejak SD
hingga dia lulus dengan gelar magister.
Dibawanya semua berkas itu turut bersamanya ke arah dapur. Dinyalakannya kompor gas di
dapurnya lalu dibuangnya satu per satu semua berkasnya ke atas api. Tidak dimatikannya kompor
gasnya. Lalu dia berjalan ke arah kamar mandi. Bathtub sudah dipenuhi air. Dituangnya sebotol
cairan pembersih lantai kamar mandinya ke dalam bathtub.
Dia melangkah keluar lagi, menuju ke arah kamarnya. Mengambil kertas dan menuliskan sesuatu di
atasnya. Setelah beberapa saat, dimasukannya kertas itu ke dalam amplop.
Teruntuk Clara. Ditulisnya di sudut kanan atas permukaan amplop. Kemudian diletakkannya amplop itu di atas meja
baca. Setelahnya dia membuka laci dan lalu mengambil sebuah pisau lipat dari dalamnya,
dibawanya menuju ke kamar mandi.
---- "Ty?" Seorang gadis memanggil-manggil dari arah gerbang yang tergembok. Dilihatnya pintu rumah
Ty tidak terkunci. Terasa janggal karena tidak biasanya Ty lupa mengunci pintu rumah jika dia
sudah menggembok pagar. "Mungkin dia sedang tidur?" Pria di sebelahnya berpendapat. Dia menoleh dengan enggan lalu
menggelengkan kepala. Tidak mungkin Ty tertidur dan lupa mengunci pintu.
"Kecurigaanmu berlebihan, Clar." Pria itu melanjutkan.
"Kartu-kartuku tak pernah salah, Ar." Clara menjawab.
9 Geger Ratu Racun m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Aku harap kali ini salah."
Ditariknya napasnya, "Aku juga."
Tapi asap muncul dari arah belakang rumah. Bagian belakang rumah di hadapan mereka dilalap api
yang mengganas. ---- Orang-orang telah membantu mereka dengan memadamkan api dan menyirami sepenjuru rumah
dengan berember-ember air. Di luar begitu ramai dan di hadapan mereka, mayat Ty memerah di
Anak Pendekar 2 Jodoh Rajawali 14 Rembulan Berdarah Bulan Jatuh Dilereng Gunung 12

Cari Blog Ini