Fear Street - Cowok Misterius The Knife Bagian 2
kupon harganya satu dolar, dan mungkin Anda ingin...," Laurie
berkata dengan gugup. "Ya Tuhan!" tukas Mrs. Deane jengkel. Ia menoleh ke dalam
rumah. Laurie mencoba mengintip ke dalam, tapi terhalang oleh tubuh
Mrs. Deane. Jadi, ia mencoba membujuk lagi. "Undiannya akan
ditarik bulan September nanti. Hadiahnya benar-benar hebat. Setiap
orang di Shadyside..."
"Baik, baik." Mrs. Deane berbalik menatap Laurie. "Berapa
harganya?" "Satu dolar satu kupon. Saya punya sebuku kalau Anda mau."
"Satu saja," kata Mrs. Deane. "Aku harus mengambil dompet
dulu." Ia bergerak masuk ke dalam, dan Laurie baru saja melangkah
mengikutinya ketika wanita itu berkata lagi, "Tidak! Tunggu saja di
sini." Wanita itu menutup pintu tepat di depan wajah Laurie.
"Itu ibu Toby?" tanya Skye. Laurie mengangguk.
Skye mencebik. Mereka menunggu dengan gelisah. Langit semakin gelap. Awan
hitam yang tebal berarak datang, setiap saat siap meledak menjadi
kilatan petir. Skye mulai menggigil di balik T-shirt-nya yang tipis.
Dimasukkannya tangannya ke dalam kantong jeans-nya untuk
menghangatkannya. "Kok lama amat sih?" keluhnya.
"Ssst! Dengar!" tukas Laurie. "Dengar, tidak?" Sebuah suara
terdengar jelas"suara tangisan anak kecil yang datang dari suatu
tempat jauh di dalam rumah.
"Ya, aku dengar!" ujar Skye sedih.
Laurie tak tahan lagi. Didorongnya pintu hingga terbuka sedikit,
lalu ia masuk ke dalam. Tidak diacuhkannya Skye yang ketakutan di
belakangnya. Rumah itu sedingin udara di luar. Tampak oleh Laurie ruangan
yang nyaris kosong tanpa perabot. Cuma ada beberapa meja dan kursi
yang tidak sepadan di lantai tak berkarpet itu. Bahkan lantai yang
menuju lantai atas curam dan tak berkarpet.
Benar-benar rumah paling dingin yang pernah ia masuki! Dan
juga paling sepi. Suara tangisan tadi kini sudah berhenti, dan
kesunyian yang hadir setelahnya amat sangat mencekam.
Laurie melihat ke atas tangga, lalu berjalan ke arah belakang,
hingga menemukan ruang dapur. Tampak piring-piring kotor dan sisa
makanan memenuhi sudut meja. Dan ia cuma dapat membayangkan
bagaimana sisa ruangan itu, sebab tak terlihat dari tempatnya berdiri.
Yah, Mrs. Deane orang yang sembarangan.
Toby yang malang! pikir Laurie.
Sebuah suara samar terdengar di belakangnya. Laurie berbalik,
lalu melangkah mundur. Di sana, di anak tangga terakhir, berdiri anak
kecil itu, bertelanjang kaki dan mengenakan piama kusut yang
kebesaran. "Toby!" jerit Laurie senang. Namun senyum cerahnya hilang
seketika. Ia terkejut melihat anak itu tampak begitu menyedihkan,
jauh lebih pucat dan kurus daripada waktu ia meninggalkan rumah
sakit. Apa yang terjadi padanya hanya dalam beberapa jam saja"
Laurie berjalan mendekatinya, tapi Toby malah buru-buru
berlari menaiki tangga. Ditatapnya Laurie dengan ketakutan.
"Toby, ini aku, Laurie... dari rumah sakit," kata Laurie.
Toby kembali mundur selangkah menjauhinya. Ia tidak
memberi respons dan kelihatan tidak mengenali Laurie.
"Ada apa, Toby" Kau tidak ingat aku?" kata Laurie memohon,
sambil mengulurkan tangannya.
Ada bunyi berisik, dan tiba-tiba Mrs. Deane menuruni tangga
dengan cepat. Dicengkeramnya tangan Toby dan diguncangguncangnya tubuh anak itu dengan kasar sambil berteriak, "Kau...
sudah kubilang, tetap di kamarmu! Ayo, naik ke kamarmu!"
Didorongnya anak kecil itu. Toby berlari melewati wanita itu
sambil terisak. Kakinya yang mungil melangkah menaiki anak tangga
yang curam, lalu hilang dari pandangan.
Laurie ternganga menatapnya, tapi ia tak berdaya mengatakan
apa pun. Mrs. Deane berbalik dan menumpahkan kemarahannya pada
Laurie. "Berani-beraninya kau masuk kemari!" Dibukanya daun pintu
lebar-lebar. "Ambil ini, dan pergi dari sini!" Disodorkannya lembaran
satu dolar kepada Laurie yang dengan gugup merobek selembar kupon
berhadiah dari bukunya. Mrs. Deane merampas kupon itu dan mendorong Laurie ke luar.
Lalu dibantingnya pintu itu.
"Apa yang terjadi?" tanya Skye. Mereka berjalan cepat ke mobil
di mana Andy dan Jim menunggu mereka. "Ceritakan dong!"
Laurie terlalu gemetar ketakutan untuk dapat bicara. Tapi
akhirnya nyaris tanpa bernapas ia berkata, "Aku melihat Toby.
Tampangnya menyedihkan, dan setengah mati ketakutan! Ada sesuatu
di rumah itu. Aku yakin. Cara wanita itu mendorongnya,
membentaknya! Ada yang aneh!"
Sepanjang perjalanan pulang Laurie duduk diam, tenggelam dalam
pikirannya. Ia telah melihat Toby lagi, tapi perasaannya malah
semakin kacau. EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Anak itu takut padanya. Kenapa Toby begitu takut padanya"
Dan yang lebih buruk lagi, kenapa Toby tidak ingat padanya"
BAB 11 KEESOKAN paginya Laurie sedang berjalan terburu-buru
melewati meja informasi di lobi rumah sakit ketika resepsionis
memanggilnya. "Ada pesan untukmu, Laurie," kata resepsionis itu, sambil
memberikan selembar amplop.
"Tolong temui aku begitu kau tiba di rumah sakit," begitu
bunyinya. Pesan itu ditulis di kertas surat Doris Schneider, R.N.,
Perawat Penyelia Shadyside Hospital. Ada tanda tangan di bagian
bawah kertas. Laurie membayangkan yang terburuk dalam perjalanannya ke
lantai delapan, tempat kantor Suster Schneider berada. Dan
perkiraannya tidak meleset jauh.
Suster Schneider menyambutnya dengan senyum ramah, tapi ia
segera berubah formal begitu Laurie duduk di depannya.
"Aku memindahkanmu dari Bagian Anak, Laurie," kata Suster
Schneider. "Mulai pagi ini, jam sebelas, kau bertugas di Bagian
Rontgen. Aku tahu ini jauh berbeda dibandingkan dengan bekerja di
Bagian Anak, tapi... yah, aku mendapat keluhan serius tentang
dirimu." Laurie membuka mulut untuk bicara, tapi Suster Schneider
membungkamnya dengan kibasan tangannya. "Sepertinya kau tidak
cukup membantu, dan sikapmu kasar. Jelas kau mengganggu para
pasien dan memata-matai para perawat. Kau bahkan kepergok sedang
membuka-buka file pasien yang amat rahasia, begitu laporan yang
kuterima." "Izinkan saya menjelaskan pada Anda," Laurie memohon.
"Suster Wilton pasti menyampaikan keluhan mengenai saya, tapi saya
punya alasan..." "Aku mengerti," potong Suster Schneider. "Aku tidak bilang
semua laporan itu seratus persen benar. Laporanmu pada mingguminggu pertama kau bekerja di sini sempurna; siapa pun menilaimu
baik. Itu sebabnya aku memindahkanmu, dan bukannya
memberhentikanmu." Ia menatap selembar kertas di mejanya. "Aku khawatir kau
telah membuat kesal salah satu perawat. Benar, memang Suster
Wilton, dan aku tak dapat membiarkan hal itu berlanjut. Edith Wilton
perawat yang baik, dan terlalu berharga untuk diabaikan
permintaannya. Dia minta kau dipindahkan dari bagiannya, dan aku
harus memenuhi permintaannya."
"Saya tidak memata-matainya," protes Laurie.
"Saya mohon, Suster, saya sangat menyukai Bagian Anak! Saya
hanya mengkhawatirkan salah satu pasien di sana, dan saya..."
"Jangan masukkan ke hati, Laurie. Semua perawat kita bekerja
terlalu keras, dan kalau mereka tegang, mereka akan gampang marah
dan mengeluh. Siapa pun tahu, aku harus mendengarkan mereka. Yah,
tanpa sengaja kau telah membuat kesal salah satu dari mereka. Jadi,
aku akan memindahkanmu agar tidak terjadi kekacauan lebih lanjut."
Begitu saja. Seramah-ramahnya Suster Schneider, ia telah
memutuskan untuk mentransfer Laurie, dan itulah keputusannya.
Laurie merasa terpukul ketika meninggalkan kantor Suster
Schneider. Yah, tapi ini bukan yang terburuk; ia bisa saja dipecat. Ini
lebih baik daripada rasa malu kalau ia sampai diberhentikan.
Ia melewati pagi yang suram di lantai sebelas, menyusun
amplop-amplop foto sinar-X yang besar atau mengambilkannya dari
lemari arsip kalau diminta oleh dokter.
Jam-jam terasa amat membosankan dan perasaannya semakin
tidak keruan saja. Rasanya seluruh sisa masa tugasnya di Shadyside
Hospital hanya akan berkisar di sekitar amplop-amplop foto sinar-X.
Membosankan! Tepat seperti yang dikatakan Bibi Hillary padanya.
Sepagian ia merasa tak bersemangat, tapi waktu istirahat makan
siang tekadnya sudah bulat. Ia akan berusaha keras mengubah semua
ini, dan ia sudah punya rencana!
Di kafeteria Laurie menjelaskan semua rencananya dengan
penuh semangat kepada Skye.
"Wow! Kau benar-benar nekat!" kata Skye di antara suara-suara
berisik yang memenuhi kafeteria.
"Cuma itu satu-satunya jalan," ujar Laurie. "Aku akan bicara
dengan Suster Wilton, meminta maaf, dan memberitahunya bahwa
aku cuma memikirkan Toby, dan khawatir anak itu telah dianiaya
ibunya. Suster Wilton pasti akan mendengarkanku. Aku yakin dia mau
mendengarkan. Dia kan perawat."
"Tapi dia juga nenek sihir!" tukas Skye. "Kalau aku jadi kau,
aku akan menjauhinya. Dia tidak menyukaimu, titik."
"Itu tidak adil! Aku tahu aku salah karena telah membuka-buka
file pasien, tapi aku tidak melakukan satu pun hal yang dituduhkannya
atas diriku. Ya sudah, aku akan minta maaf padanya dan meminta dia
memberiku kesempatan lagi di Bagian Anak. Pokoknya akan
kukatakan apa saja! Aku takkan sanggup melalui sisa musim panas ini
di Bagian Rontgen. Aku pasti akan berubah sekelabu amplop-amplop
foto sinar-X itu." "Mengapa tidak menunggu dua hari lagi, Laurie" Beri dia
waktu agar tenang sedikit. Kalau dia masih marah, sama saja bohong."
"Tidak, aku tak bisa menunggu! Segalanya bisa tambah buruk
saja. Aku harus meluruskan semua ini secepatnya. Hari ini juga!" kata
Laurie penuh nafsu. "Akan kutemui dia sepulang kerja nanti."
"Ya sudah, semoga sukses," Skye berkata tidak terlalu antusias.
"Akan kutunggu kau di lantai sembilan, supaya aku bisa bilang
padamu, 'Nah, sudah kubilang, kan"'"
Setelah menghindari segerombolan pekerja bangunan yang
bekerja di Paviliun Franklin Fear, Laurie berjalan menuju Kantor
Perawat Bagian Anak. Suster Jenny Girard duduk di sana, tampak amat letih. Gagang
telepon terjepit di leher, satu tangan sibuk menulis dan tangan yang
lain sibuk membuka-buka file, sementara ia juga mencoba menangkis
rayuan seorang pekerja bangunan tampan yang berdiri di situ.
Setelah meletakkan gagang telepon, pertama ia menatap Laurie,
lalu pekerja bangunan itu. Pria itu mengerti maksud Suster Girard.
"Oke, Manis, sampai besok," kata pria itu dengan riang seraya
bergabung dengan rombongan pekerja terakhir menuju lift karyawan.
Suster Girard berbalik kepada Laurie dengan tenang. "Sekarang,
apa yang kauinginkan?"
"Uh, saya mencari Suster Wilton. Anda melihatnya?"
"Entah ada di mana dia," jawab perawat itu dengan nada yang
artinya, "Jangan ganggu aku." Ia bangkit berdiri, mengambil nampan
obat-obatan dari meja peralatan di pojok, lalu meninggalkan ruangan
itu. Laurie berdiri salah tingkah, tak tahu apa yang harus
dilakukannya sekarang. Tiba-tiba sebuah pintu terbuka. Suster Wilton
keluar dari situ dan melangkah cepat menjauhi Kantor Perawat.
Inilah kesempatan yang ditunggu-tunggunya. Diikutinya
perawat itu. Baru saja ia hendak berteriak memanggil Suster Wilton, tapi
diurungkannya. Tingkah perawat itu aneh sekali. Ia membuka pintu yang
menuju Paviliun Fear dan mengintai ke dalam. Lalu, tanpa melihat ke
belakang, cepat-cepat masuk ke dalam.
Daun pintu menutup di belakangnya.
Laurie benar-benar bingung. Ada keperluan apa hingga Suster
Wilton harus pergi ke paviliun itu" Apa yang harus dilakukannya
sekarang" Diputuskannya untuk menunggu sampai perawat itu keluar, lalu
ia akan mencoba bicara. Ia kembali ke Kantor Perawat, lalu menelepon ke rumah.
Setelah lima deringan, mesin penjawab bekerja. Sambil terus
mengawasi pintu Paviliun Fear, ditinggalkannya pesan untuk bibinya
bahwa ia akan pulang telat.
Saat itulah ia melihat seseorang berjalan berbelok di ujung
koridor sebelah sana. Orang itu berhenti di depan pintu Paviliun Fear,
lalu menyelinap masuk. Orang itu Rick Spencer, tapi rupanya ia tidak tahu Laurie
memperhatikannya. Aneh sekali, pikir Laurie seraya meletakkan gagang telepon.
Apa yang mereka lakukan di sana" Benarkah mereka sudah berjanji
bertemu di sana, atau Rick sebenarnya sedang membuntuti perawat
itu" Sekarang apa" Laurie tetap memakukan pandangannya pada pintu itu, takut
tidak melihat Suster Wilton keluar lagi dari sana. Ia khawatir bila ia
pergi sekarang, ia tak lagi punya keberanian untuk bicara pada suster
itu besok. Dan bayangan akan terkurung di Bagian Rontgen sehari lagi
benar-benar membuatnya putus asa.
Betapapun lamanya, Laurie akan menunggu hingga punya
kesempatan untuk bicara dengan nenek sihir itu.
Sepuluh menit. Lima belas. Dua puluh. Dua puluh lima. Tapi
Suster Wilton maupun Rick tak juga muncul dari Paviliun Fear.
Laurie bimbang. Ia menunggu dengan resah dan berusaha tidak
mengganggu kesibukan para perawat yang berganti shift tugas.
Haruskah kuikuti mereka" Laurie tak ingin dituduh mematamatai, tapi apa yang mereka lakukan begini lama di paviliun kosong
itu" Akhirnya ia tak tahan lagi. Ia berjalan menuju pintu terlarang
yang lengkap dengan tanda larangan berwarna kuning-hitam. Ada
yang memperhatikan, tidak, ya" Ah, rasanya tak ada.
Dengan amat hati-hati didorongnya pintu itu. Lalu ia masuk ke
Paviliun Franklin Fear yang gelap.
Tak ada suara. Udara terasa dingin dan aneh. Dan walaupun
nyaris gelap, Laurie tahu ia berada di sebuah ruangan yang luas dan
kosong. Ada beberapa benda aneh di lantai"rupanya peralatan para
pekerja"tapi tak ada yang bergerak.
"Halo?" seru Laurie ngeri.
Fear Street - Cowok Misterius The Knife di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tak ada jawaban. Ke mana sih Rick dan perawat itu pergi" Ia tak melihat pintu
lain. Lagi pula tangga yang menghubungkan lantai yang satu dengan
yang lain belum dibangun.
"Ada orang di sini?" jeritnya dengan suara tercekam rasa takut.
Benarkah semua benda aneh di lantai itu cuma peralatan para
pekerja" Mungkinkah salah satunya akan menerkamnya"
Hati-hati ia meraba jalannya, melangkah menghindari
tumpukan benda di lantai, lalu menuju dinding di seberang. "Suster
Wilton?" Panggilannya yang gemetar tidak mendapat jawaban.
"Rick?" Ruangan itu memantulkan suaranya. Tapi cuma suara Laurie,
dan suara napasnya yang penuh ketakutan.
Tangannya menyentuh dinding yang kasar di seberang ruangan.
Ia kaget sebentar sebelum mulai bergerak lebih cepat, dengan tangan
tetap menelusuri dinding.
Mereka pasti ada di sini... tapi di mana" Seberapa luas
sebenarnya ruangan ini"
Apa itu yang teronggok di lantai"
Oh, cuma kabel. Tapi aneh sekali kelihatannya. Ia benci berada
di sini. Ia menyesal telah masuk ke sini.
Pikirannya semakin kacau. Ia mempercepat langkahnya. Aku
harus keluar dari sini! Tiba-tiba kakinya... tidak menemukan tempat berpijak lagi!
Cepat ia menarik kakinya dan berdiri ketakutan. Ada celah di
dinding. Lantainya juga berlubang, dan menganga lebar!
Beberapa detik kemudian ia tahu apa itu. Celah itu pasti untuk
tempat lift. Tapi sekarang celah itu cuma lubang belaka di lantai, dan ia
nyaris jatuh ke dalamnya!
Laurie terus melangkah mundur, terguncang oleh kenyataan
bahwa ia nyaris mati tadi.
Kakinya menyentuh sesuatu yang lembut. Ia berbalik dan
menunduk memandang. Lalu melompat mundur, nyaris tak mampu bernapas saking
ngerinya. Sesosok tubuh tergeletak di sana, setengah tersembunyi di
antara sampah bangunan! Itu Suster Wilton, mulutnya terbuka, matanya melotot.
Sebilah pisau bedah yang panjang menyembul keluar dari
lehernya. BAB 12 LAURIE menutup mulutnya dengan tangan agar tidak menjerit.
Ditatapnya mayat itu. Jelas perawat itu sudah mati. Mata pisau bedah itu menusuk
dalam-dalam lehernya. Hanya ada sedikit noda darah di lehernya. Rupanya mata pisau
telah menutup luka itu dan mencegah darahnya muncrat keluar.
Ekspresi terkejut di wajah Suster Wilton tampak menggelikan kalau
saja ia tidak benar-benar mati menyeramkan.
Laurie berdiri terpaku oleh rasa takut dan mual. Namun segera
ia tersadar dan bergerak cepat.
Sambil menghindari sampah bangunan, ia berjalan menuju
pintu dan keluar dari Paviliun Fear.
Skye tengah menantinya di Kantor Perawat, mengobrol dengan
Suster Girard. Dengan panik Laurie memberi tanda dari depan pintu
Paviliun Fear seraya berteriak histeris, "Skye, kemari!"
Suster Girard dan Skye menatap Laurie sesaat, heran
mendengar nada suaranya. Beberapa saat kemudian Skye sudah
berlari menelusuri koridor, alisnya terangkat tinggi-tinggi.
Laurie mencengkeram tangannya dan menariknya ke tembok.
"Di dalam ada Suster Wilton, di Paviliun Fear, seseorang
menikam lehernya!" sembur Laurie. "Dia mati!"
"Kau bercanda!" Skye menatap temannya dengan shock. "Apa
yang terjadi" Kalian bertengkar" Maksudmu, kau tidak...?"
"Apa sih yang kaupikirkan?" Laurie terkejut. "Aku tidak
melakukan apa pun! Aku bahkan tidak menyentuhnya! Dia sudah mati
waktu aku menemukannya. Aku nyaris jatuh menimpanya!"
"Apa yang kaulakukan di Paviliun Fear?" tanya Skye, matanya
menatap ke arah tanda larangan hitam-kuning di pintu. "Dengar, kau
yakin?" Laurie mengangguk. "Kita harus panggil dokter," ujar Skye. "Juga polisi, pokoknya
seseorang...." "Ya, ya, secepatnya!" Laurie setuju. Kakinya terasa lemas saat
ia dan Skye melangkah kembali ke Kantor Perawat.
"Ada masalah?" tanya Suster Girard. "Kau tampak shock,
Laurie. Ada apa?" Dengan cepat Laurie menceritakan segalanya.
Pertama-tama Suster Girard tak percaya"sama seperti Skye"
tapi Laurie tetap ngotot. Akhirnya perawat itu mengambil pesawat
telepon dan menekan sebuah nomor.
"Dr. Sherman, ini darurat. Ada kecelakaan di lantai sembilan.
Di Paviliun Fear yang baru. Serius!"
Lalu kembali ditekannya nomor lain. "Petugas keamanan ke
lantai sembilan. Segera! Ada sesuatu di Paviliun Franklin Fear.
Seseorang mungkin telah melukai salah satu perawat."
Lalu Suster Girard bangkit dan menyuruh Laurie dan Skye
mengikutinya. "Aku telah memanggil dokter," katanya sambil berjalan
ke koridor. "Dan petugas keamanan akan menemui kita di paviliun
yang baru. Kau harus menunjukkan pada kami, di mana kau
menemukan Suster Wilton."
Laurie menunjukkan jalannya. Karena terburu-buru, nyaris saja
ia menabrak sebuah brankar berisi pasien yang terbungkus selimut,
yang sedang didorong oleh seorang petugas bermasker operasi. Ia
mengelak dengan cepat, lalu mendorong pintu yang menuju Paviliun
Fear. Dr. Sherman, sang dokter muda, tiba dua detik kemudian,
diikuti oleh dua petugas keamanan berseragam biru dengan senjata
siap di tangan. Sejenak mereka seperti kebingungan begitu melangkah
memasuki ruangan yang gelap.
"Jangan bergerak, siapa pun," petugas keamanan yang lebih
tinggi memerintah. Digerakkannya lampu senternya menyapu
sekeliling ruangan. Tak ada siapa-siapa. Dengan singkat Suster Girard menjelaskan apa yang telah
dikatakan Laurie padanya.
"Di mana kautemukan mayat itu?" tanya petugas keamanan
kepada Laurie. Laurie menunjuk ke arah seberang ruangan, di dekat lubang
untuk menempatkan lift. Dr. Sherman berlari ke sana. Ia menunduk ke bawah, lalu
berbalik memandang Laurie. Suster Girard menyusul ke sana, tak
ketinggalan kedua petugas keamanan.
Laurie heran, sebab tak seorang pun melakukan sesuatu.
Tak seorang pun bereaksi. Apalagi memeriksa mayat itu.
Tanpa bersuara didekatinya mereka.
Lantai itu kosong. Tak ada sesosok mayat pun di sana!
BAB 13 LAURIE terpaku. Ia berpaling kepada Skye.
"Lenyap!" bisiknya. "Mayatnya lenyap!"
"Oh, Laurie, kau keterlaluan!" bisik Skye dengan gigi rapat. "Ini
tidak lucu sama sekali!"
"Tapi aku tidak bercanda," ujar Laurie putus asa. "Aku benarbenar melihat mayat Suster Wilton, sebilah pisau tertikam di
lehernya." "Masalahmu sudah cukup tanpa harus mengarang-ngarang
cerita konyol seperti ini," Skye berkata.
"Tapi aku tahu apa yang kulihat!" protes Laurie.
Petugas keamanan yang jangkung memeriksa ke bawah lubang
tempat lift. "Tak ada apa pun di sini," katanya pada rekannya.
Kedua petugas itu mulai memeriksa seluruh ruangan dengan
lampu senter mereka. Dr. Sherman dan Suster Girard ikut membantu.
"Mayat tidak lenyap begitu saja," kata Skye pada Laurie.
"Tapi yang ini benar lenyap. Percayalah, Suster Wilton benarbenar terkapar mati di sana sepuluh menit yang lalu. Seseorang telah
membunuhnya dan memindahkan mayatnya setelah aku pergi. Dan
aku tahu siapa yang melakukannya!"
"Siapa?" sembur Skye.
"Rick Spencer! Kulihat dia membuntuti Suster Wilton kemari."
"Oh, yang benar saja!" dengus Skye. "Kau tidak bermaksud
mengatakan bahwa Rick membunuh seseorang, kan?"
Ekspresi serius menyapu wajah Skye. "Dengarlah, mungkin kau
memang mendengar sesuatu. Dan aku tidak tahu apa yang harus
kupercaya. Tapi aku tahu kita akan mendapat masalah sebentar lagi.
Bisakah kau bilang pada mereka waktu itu gelap, dan kau keliru?"
"Lalu bagaimana dengan mayat yang kulihat itu?"
"Kumohon, Laurie!" kata Skye.
Suster Girard menghampiri mereka, wajahnya kesal. "Oke,
anak-anak. Sudahlah. Tak ada mayat. Apa sebenarnya maksud
kalian?" Dari belakang Suster Girard, Dr. Sherman menjawab untuk
mereka. "Rasanya ini bisa dibilang salahku. Ini pasti cuma lelucon,
dan aku telah dikerjai," katanya tertawa geli. "Benar, kan" Maaf kau
jadi ikut terbawa, Jenny. Salah satu rekananku sesama dokter suka
sekali bercanda seperti ini. Tapi yang ini memang keterlaluan." Ia
berbalik ke arah Laurie dan Skye yang menatapnya dengan mulut
terbuka dan mata melotot lebar. "Dr. Brooks yang menyuruh kalian,
ya kan?" "Oh, eh, ya," jawab Skye cepat. "Benar. Dr. Brooks."
"Skye!" desis Laurie geram.
"Dr. Brooks memberitahukan apa yang harus kami lakukan,"
lanjut Skye. "Katanya ini cuma untuk membalas Anda, dan Anda pasti
akan tertawa." Suster Girard naik pitam. "Well, aku tidak tertawa. Kalian
semua seharusnya merasa malu. Aku sendiri akan mencoba
melupakan semua ini pernah terjadi."
Dengan mengentakkan kaki ia keluar dari Paviliun Fear, diikuti
oleh kedua petugas keamanan yang juga merasa jengkel.
Dengan tak enak hati Laurie dan Skye mengikuti mereka.
Di koridor di luar, Dr. Sherman berhasil menyusul kedua gadis
muda itu. "Eh," katanya dengan nada bersekongkol. "Jangan beritahu
Dr. Brooks apa yang terjadi, ya" Dia cuma kesal karena aku telah
meletakkan mayat di lokernya. Kalau aku tidak bereaksi, dia pasti
tambah kesal lagi. Aku takkan mengatakan apa pun, dan dia pasti akan
penasaran seperti cacing kepanasan. Pokoknya berpura-pura saja tak
ada yang terjadi, oke?"
"Saya sih setuju saja," ujar Skye ceria. "Ya, kan, Laurie?"
Disikutnya temannya itu. "Tentu," ujar Laurie cemberut. Diperhatikannya dokter itu pergi
dengan rasa puas sambil cekikikan sendiri. "Kau benar-benar berpikir
Suster Girard percaya" Tidakkah kaupikir mereka terlalu tua untuk
bercanda seperti ini?" gumam Laurie.
"Bicara soal tua, kau juga sudah tidak pantas bercanda seperti
itu. Ya, kan?" timpal Skye. "Dengar, para dokter itu sudah biasa
melakukan hal seperti ini. Sungguh. Sudah ya, aku harus pergi. Ada
janji dengan Eric Porter di mal. Kami mau lihat CD baru sebelum
pergi ke sebuah restoran barbecue di Canyon Drive. Mau ikut"
Kelihatannya kau harus makan, deh."
Seketika wajah Laurie berubah hijau. Makan" Setelah semua
yang dilihatnya itu" "Tidak, tapi trims. Pergilah. Sampai ketemu
besok." "Kau akan menunggu Suster Wilton, kan?" tanya Skye.
"Kurang-lebih." Rasanya malas mengatakannya. Laurie kecewa
karena Skye pun tak percaya padanya. "Sori aku melibatkanmu
dengan semua ini." "Yah, itulah gunanya teman. Jadi, ceritakan padaku besok, ya?"
Laurie mengantar Skye sampai ke Kantor Perawat dan
diperhatikannya sahabatnya masuk ke lift. Lalu dilihatnya Suster
Girard keluar dari ruang penyimpanan data, sweter tergantung di
tangannya dan tas di bahunya. Ia menatap Laurie dengan pandangan
marah, tapi kemudian pergi tanpa mengatakan apa pun.
Pasti ia menganggap aku brengsek, pikir Laurie, tak tahu
bagaimana lagi menjelaskan semua ini. Jelas seseorang telah
membunuh Suster Wilton, tapi bagaimana mungkin mayatnya lenyap
tanpa bekas, mengingat ruangan itu cuma punya satu pintu"pintu
yang mereka masuki tadi"
Dan meskipun sulit sekali mempercayainya, pasti Rick Spencer
pelakunya. Dibunuhnya perawat itu, dan, entah bagaimana caranya,
dipindahkannya mayat wanita itu.
Lebih buruk lagi, Laurie khawatir sekali semua ini ada
hubungannya dengan si kecil Toby Deane. Sebab setiap kali ia
berhasil mendekati anak itu, sesuatu yang buruk pasti terjadi, sesuatu
yang tak dimengertinya. Toby... Suster Wilton... Rick Spencer. Ada benang merah di
antara ketiganya. Ia tak tahu apa itu, tapi ia yakin ketiganya punya
hubungan. Kini ia tahu apa yang harus dilakukannya. Ia akan mencari
jawabannya di Fear Street, di rumah Toby. Dan kali ini ia harus pergi
sendirian. ******************** Laurie berdiri di Kantor Perawat, kereta-kereta makanan
didorong sepanjang koridor lantai sembilan. Makan malam di rumah
sakit selalu lebih awal. Sebentar lagi para perawat akan sibuk mengawasi para petugas
membagikan makanan dan membantu para pasien yang membutuhkan
bantuan. Peralatan makan berbunyi berdentingan dan para perawat
bergerak cepat keluar-masuk kamar-kamar pasien. Tak seorang pun
memperhatikan ketika Laurie menyelinap ke ruang penyimpanan data
pasien. Ia memutuskan untuk memeriksa file Toby lebih teliti lagi.
Mungkin kali ini ia akan menemukan sesuatu.
Sambil tetap waspada ia mulai mencari. Takkan sulit, karena ia
sudah tahu letak file itu. Nah, ini dia file-file pasien dengan inisial D.
Damone... Darnell... Dayton... Debrett....
Kok file dengan nama Deane tidak ada"
File-nya pasti tidak berurutan, pikir Laurie. Diperiksanya
seluruh file D, tapi tak ada data atas nama Toby Deane.
Ia semakin putus asa. Namun tiba-tiba ia berpikir mungkin file
Toby telah salah diletakkan. Mungkin file-nya terselip di berkas
pasien-pasien baru. Hati-hati ia menghampiri berkas-berkas pasien baru. Nihil.
Tak satu pun file atas nama Toby Deane. Seolah-olah anak itu
memang tak pernah menginjak Shadyside Hospital.
Seolah-olah anak itu tak pernah ada sama sekali!
BAB 14
Fear Street - Cowok Misterius The Knife di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" MOBIL hebat!" pekik Skye ketika Laurie menemuinya di lobi
rumah sakit keesokan harinya.
Skye menatap Mercedes merah hadiah undian itu dengan
kagum. Nyaris ia meneteskan air liur saking inginnya memiliki mobil
itu. Di dalam mata dan benaknya rasanya ia sudah ada di dalamnya,
mengendarainya dalam pakaian serbamerah yang menjadi bagian dari
fantasinya yang menakjubkan itu. "Rasanya aku akan beli beberapa
kupon lagi, supaya kemungkinanku untuk menang lebih besar lagi."
"Ah, kau sudah beli cukup banyak," Laurie mengingatkan.
"Mudah bagimu bilang begitu. Kalau aku mengendarai BMW
putih mengilat seperti punyamu, sih, tak sedikit pun aku akan melirik
kupon undian." Skye berbalik dari Mercedes itu. "Kurasa aku tak sanggup
melihatnya lagi. Kalau ada yang berani memenangkan mobilku..."
"Sudahlah." Laurie tertawa. "Aku lapar. Beberapa menit lagi di
lantai sebelas, aku pasti akan mulai melahap foto-foto sinar-X itu."
Mereka pergi ke Patsy's Pizzeria untuk makan siang. Keduanya
merasa tak sanggup makan di kafeteria rumah sakit hari itu.
"Well, bagaimana kemarin?" tanya Skye di tengah-tengah
makannya. "Kau masih hidup. Kau bertemu Nenek Sihir Wilton?"
"Tidak. Kau melihatnya pagi ini?"
Skye mengangkat bahu. "Hmm tidak, tapi itu kan tidak berarti
apa-apa. Dia bisa saja sedang cuti, atau dinas malam. Jangan
menatapku seperti itu! Hanya karena dia tidak kelihatan bukan berarti
seseorang telah membunuhnya, kan?"
"Lupakan saja," tukas Laurie. Cuti" Dinas malam" Itulah yang
didengarnya waktu ia menanyakan tentang perawat itu di Kantor
Perawat tadi. Salah satu perawat muda yang ramah mengatakan sulit
sekali untuk bekerja sesuai jadwal pada musim panas, karena semua
perawat saling menukar jadwalnya dengan yang lain, supaya mereka
bisa mengambil cuti masing-masing. Kedengarannya masuk akal, tapi
Laurie tak percaya. Dan rasanya percuma berusaha membuat Skye percaya. Jelas
Skye menganggapnya mengada-ada, dan ia tak bisa terlalu
menyalahkan temannya itu. Ia tahu Suster Wilton telah tewas, tapi tak
seorang pun akan mempercayainya, tidak tanpa mayat perawat itu.
Lalu bagaimana dengan Toby" Kenapa filenya hilang" Jelas
seseorang telah mengambilnya.
Tapi kenapa" Terlalu banyak pertanyaan, pikir Laurie. Ia menjadi murung
sepanjang makan siang. Tapi siang itu rasanya berlalu lebih cepat
begitu ia tahu apa yang akan dilakukannya sepulang kerja nanti.
Kalau ia menginginkan jawaban, ia harus kembali ke Fear
Street... lebih cepat lebih baik.
************************ Sepulang kerja, Laurie kembali ke rumah untuk berganti
pakaian. Ia menyukai pakaian nyaris seperti Skye, dan ia selalu
memperhatikan pakaiannya, walaupun ia tahu ia akan mengenakan
tunik rumah sakit di atasnya. Kini ia berpakaian dengan penuh
perhatian, tapi kali ini untuk tujuan istimewa.
Jeans-nya yang gelap robek di bagian lutut. Bukan karena untuk
aksi-aksian, tapi karena robek waktu ia membantu Bibi Hillary bekerja
di kebun sayurnya. Bercocok tanam adalah salah satu kegiatan akhir
pekan yang paling disukai Bibi Hillary, dan Laurie sering ikut
membantunya. EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM
Dikenakannya sweatshirt biru gelap lengan panjang. Tidak
terlalu tebal untuk dipakai di musim panas, dan lengannya yang
panjang akan melindungi tangannya.
Kalau bibinya melihat pakaiannya, ia akan banyak bertanya.
Jadi, Laurie bersyukur bibinya belum pulang waktu ia berangkat
dalam pakaian berkebunnya. Soalnya ini pakaian yang pas untuk
dipakai melaksanakan rencananya.
Sebelum menyalakan mobil, Laurie mengikatkan scarf sutra
biru tua di kepalanya untuk menyembunyikan rambut pirangnya.
Ditatapnya bayangannya di kaca spion. Benar-benar pakaian yang
akan dipakai seorang pencuri yang rapi.
Lalu semua pikiran aneh sirna dari benaknya. Dinyalakannya
mesin mobil, dan keluar dari halaman rumah, menuju Fear Street.
Bayang-bayang telah memanjang ketika Laurie tiba di belokan
jalan di seberang areal pemakaman Fear Street.
Di sana ada sebuah jalan yang berakhir di tepi hutan. Laurie
menghentikan mobilnya dan memarkirnya di situ, hingga tak terlihat
dari Fear Street. Udara Fear Street yang berat dan senyap mengelilinginya begitu
ia keluar dari mobil. Udara itu serasa menekannya dari segala arah,
dan ia nyaris dapat merasakan telinganya meledak.
Dengan refleks ia mulai mengunci pintu mobil, tapi lalu
berhenti. Rasanya lebih aman kalau ia dapat masuk ke mobil dengan
cepat, kalau terjadi sesuatu.
Hari semakin gelap. Beberapa lampu mulai dinyalakan di
rumah-rumah besar yang tampak mencuat seperti batu nisan dari
lapangan rumput di sepanjang jalan.
Laurie gemetar membayangkan cahaya-cahaya lampu itu
sebagai mata setan bengis yang mencari-cari dirinya. Bayanganbayangan gelap pepohonan bagai menggapainya.
Ia maju beberapa langkah, tapi rasa takutnya demikian besar,
hingga ngeri rasanya untuk meninggalkan mobilnya. Namun
kemudian ia teringat pada anak kecil ketakutan yang terkurung di
salah satu rumah itu. Pelan ia bergerak ke jalanan, lalu menuju halaman rumput
rumah keluarga Deane. Semak-semak tebal mengelilingi bagian belakang rumah.
Laurie bergerak setenang mungkin dan bersembunyi di belakang
segerumbulan semak besar di luar jendela dapur. Di dalam sana
terang. Dengan berjingkat ia mengintip ke dalam.
Toby Deane tampak duduk di meja dapur. Wajahnya pucat,
kepalanya menunduk dalam-dalam, matanya tertutup. Tapi ia tidak
tidur. Dengan pelan ia menggerakkan kepalanya ke depan dan ke
belakang. Seorang wanita duduk di sebelahnya, berusaha bicara
padanya. Jendela tempat Laurie mengintip memang sedikit terbuka, tapi
wanita itu bicara terlalu pelan, hingga Laurie hampir tak dapat
menangkap apa yang diucapkannya. Ia cuma tahu bahwa Toby akan
pergi ke suatu tempat. Anak itu sudah berpakaian rapi dan sebuah koper kecil
tergeletak di pintu. Laurie tidak melihat boneka beruang hadiahnya.
Wanita di sebelah Toby lebih muda dari Mrs. Deane, dan ia
tampak sangat putus asa. Jelas sekali ia tak berhasil juga membujuk
anak yang sedih dan membisu itu.
Apa saja yang dikatakan wanita itu" Dan ke mana Toby akan
pergi" Tiba-tiba seorang pria memasuki dapur, diikuti oleh Mrs.
Deane. Ia mengatakan sesuatu pada wanita yang menemani Toby tadi,
dan wanita itu menjawab dengan gelengan kepala dan wajah murung.
Mrs. Deane menarik tangan Toby hingga anak itu berdiri.
Sambil menangis Toby meronta-ronta ingin melepaskan tangannya,
tapi ibunya tetap menyeretnya ke pintu.
Si pria mengangkat koper yang tergeletak di pintu. Bersama si
wanita muda mereka mengikuti Toby dan ibunya menuju mobil yang
diparkir di jalan masuk. Laurie merasa lemas. Mobilnya sendiri diparkir di tepi hutan. Ia
tak mungkin sempat mengambilnya dan membuntuti mobil yang
ditumpangi Toby. Dengan panik ia merogoh kantongnya, mencari kertas, pensil,
atau apa pun yang dapat dipakai untuk menulis nomor mobil itu. Tapi
terlalu gelap untuk membaca nomor mobil itu sekarang.
Dengan tetap bersembunyi, diperhatikannya wanita muda tadi
mendudukkan Toby dan kopernya di jok belakang. Ia sendiri duduk di
depan, di samping pria tadi. Mrs. Deane tetap berdiri di undakan,
sama sekali tidak mengacuhkan air mata Toby.
Lampu mobil menyala, pintu-pintunya ditutup, lalu mobil itu
melaju pergi membawa si kecil Toby.
Setelah itu sunyi. Laurie bahkan tidak menyadari bahwa Mrs.
Deane telah kembali ke dalam rumah, sampai dilihatnya wanita itu di
dalam dapur. Baru saja ia akan meninggalkan tempat persembunyiannya dan
menuju mobilnya ketika, sekonyong-konyong, sebuah suara
mengerikan terdengar. Laurie terpaku heran saat ia mengenali suara
apa itu. Seorang anak kecil menjerit dan menangis histeris, dan suara
mengerikan itu datang dari rumah keluarga Deane!
BAB 15 LAURIE benar-benar tercengang. Ia berjongkok di balik semak,
mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Toby telah pergi dari
rumah keluarga Deane, mungkin malah untuk waktu lama kalau
melihat kopernya. Dan kentara sekali ia sebenarnya tak ingin pergi.
Lalu kenapa ibunya mengirimnya pergi, apalagi ia baru saja
keluar dari rumah sakit" Dan siapakah orang-orang yang
membawanya pergi itu"
Fear Street kembali diliputi kesunyian. Rumah Toby sunyi
senyap. Namun Laurie tak mungkin melupakan jeritan histeris yang
barusan didengarnya. Siapakah anak yang menjerit itu"
Apakah ada hubungan antara rumah tua ini dengan pembunuhan
yang dilihatnya di Shadyside Hospital" Atau seluruh misteri ini cuma
khayalannya saja" Ia mencoba mengulang seluruh kejadian dengan lebih runut.
Mimpi buruk ini dimulai di rumah sakit, di paviliun yang
sedang dibangun. Di lantai sembilan. Di Bagian Anak.
Shadyside Hospital! Tentu saja! Dari situlah ia harus mulai"
tempat semua ini berawal.
Dan orang yang harus diajaknya bicara adalah orang yang
berwenang sendiri"ayah tiri Andy, Dr. Raymond Price. Itu kan
rumah sakitnya, dan sesuatu yang mengerikan sedang terjadi di sana.
Ia pasti mau mendengarkan.
Sudah bertahun-tahun Laurie mengenal Dr. Price, dan pria itu
selalu baik padanya. Walaupun kadang-kadang sikapnya seperti orang
penting, ia selalu ramah dan menyenangkan setiap kali bertemu
Laurie. Tampaknya ia juga senang sekali mengetahui Laurie pacaran
dengan Andy. Ia dapat berbicara dengan Dr. Price. Orang tua itu takkan
menganggapnya sinting atau cuma berkhayal. Ia pasti akan
mendengarkan. Ia akan membantu Laurie!
Pelan-pelan Laurie keluar dari gerumbulan semak, merasa puas
karena telah memutuskan untuk mengambil langkah yang bijaksana.
Ia akan menelepon Andy sesampai di rumah nanti. Akan
ditanyakannya apakah ia dapat bertemu ayahnya. Akan dicarinya
alasan kalau Andy mulai curiga. Ia tak ingin melibatkan cowok itu
lebih jauh lagi. Di jalan tempat ia memarkir mobilnya, Laurie menarik scarf
dari kepalanya. Ia tidak merasa setakut waktu ia baru datang tadi.
Keputusannya untuk bicara dengan ayah Andy telah membuatnya
tenang. Tiba-tiba bulu kuduknya meremang. Seseorang
membuntutinya! Ia berbalik dan melihat sebuah mobil Honda biru mulus dengan
lampu dimatikan melaju pelan. Dan menuju ke arahnya!
Laurie berlari ke dalam hutan. Dengan napas terengah-engah ia
bersembunyi dan mengintai dari balik batang pohon. Apakah
pengemudi Honda itu tahu di mana ia berada"
Tidak. Mobil itu melewati tempat persembunyiannya dengan
kecepatan rendah. Terlalu gelap untuk melihat wajah pengemudinya.
Pokoknya ia cuma ingin pergi dari sini.
Ia berlari di antara pepohonan, menuju mobilnya. Dengan cepat
ia masuk ke BMW-nya, bersyukur tadi tidak jadi mengunci pintunya.
Tangannya mencari-cari kunci kontak. Ia harus segera pergi dari sini
sebelum suara mesin mobilnya tertangkap oleh pengemudi Honda
tadi. Waktu ia memutar kunci kontak, didengarnya derum mobil
Honda yang direm, lalu diputar cepat hingga mengarah ke tempat
BMW- nya diparkir. Honda itu melaju kencang sekarang.
Laurie memompa pedal gas dengan panik, begitu panik hingga
mesin mobilnya tak mau menyala.
Honda itu berhenti di tepi jalan di dekat mobilnya.
Ditekannya tombol untuk mengunci seluruh pintu BMW-nya.
Lalu ia meringkuk gemetaran di belakang kemudi.
Pengemudi Honda itu keluar dan berjalan ke arahnya. Seorang
pria, kelihatannya tidak asing.
Dengan putus asa Laurie mencoba menstarter mobilnya lagi.
Kali ini berhasil. Ia meluncur ke jalan secepat kilat. Dibantingnya kemudinya
untuk menghindari cowok itu. Sekilas dilihatnya T-shirt-nya, T-shirt
Batman hitam yang lusuh, dengan desain aneh mirip mulut yang
menganga, dengan amandel tergantung di tengahnya. Laurie bagai
disambar petir: Itu kan Rick!
Cowok itu melompat mundur supaya tidak tertabrak, tapi
kemudian mencoba menangkap pegangan pintu BMW Laurie.
"Laurie! Stop!" teriak Rick.
Laurie menekan pedal gas dalam-dalam, meninggalkan Fear
Street dengan ban berdecit.
BAB 16 NAPAS Laurie masih terengah-engah ketika ia memasuki jalan
masuk rumahnya dan memarkir mobilnya di garasi.
Kejadian tadi membuatnya mual. Sepanjang perjalanan pulang
matanya nyaris tak lepas dari kaca spion, untuk meyakinkan dirinya
bahwa Rick tidak membuntutinya. Tapi tak ada tanda-tanda Honda
biru itu menguntitnya. Setelah membuka pintu belakang dan masuk ke rumah, barulah
ia merasa tenang. "Aku pulang," serunya.
Ia tersadar rumahnya gelap, baik di lantai bawah maupun atas.
Rupanya Bibi Hillary belum pulang.
Dinyalakannya lampu-lampu di lantai dasar sambil berharap ia
dapat membicarakan semua ini dengan bibinya sebelum mengambil
tindakan lebih lanjut. Tapi rasanya ia tahu apa yang harus dilakukan.
Dan percuma rasanya menunggu Bibi Hillary.
Ia naik ke kamarnya di lantai atas dengan semangat baru.
Belum terlambat. Mungkin ia bisa pergi ke rumah Andy sekarang dan
bicara dengan Dr. Price. Kalau mau menolong Toby, ia harus segera
bertindak. Ditekannya nomor telepon Andy.
Tak lama kemudian terdengar suara Andy menjawab dengan
penuh semangat. Rupanya ia baru menyewa beberapa film horor dan
sedang menonton salah satunya waktu Laurie menelepon.
Laurie berusaha bicara, tapi Andy tetap saja bersikeras
menceritakan film yang ditontonnya; tentang makhluk luar angkasa
Fear Street - Cowok Misterius The Knife di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari Alpha Centauri yang berkepala manusia dan berbadan iguana,
yang cuma bisa hidup dengan memangsa manusia....
"Andy!" mohon Laurie. "Kau kan tahu, aku tak suka hal-hal
seperti itu. Aku menelepon untuk menanyakan apakah ayahmu ada di
rumah. Aku perlu bicara dengannya, dan kupikir kalau dia tidak sibuk,
aku bisa ke rumahmu sekarang. Ayahmu ada?"
"Sayang tidak. Dia sedang keluar ke pesta amal. Dia tidak akan
pulang sebelum tengah malam. Ada apa sih?" tanya Andy curiga.
"Eh, aku sedang mengerjakan sebuah proyek musim panas, dan
uh, aku harus mewawancarai ayahmu." Laurie tak ingin menceritakan
apa pun pada Andy. Ia tak akan tahan kalau ada lagi yang
menganggapnya cuma berimajinasi" siapa pun, khususnya Andy.
"Kenapa tidak datang saja besok pagi?" tanya Andy. "Kau bisa
menemuinya sebelum dia berangkat kerja. Kau ingin aku
menyampaikannya padanya?" tawar Andy.
"Maukah kau" Trims." Baru saja Laurie akan menutup
pembicaraan ketika Andy menghentikannya.
"Omong-omong, kenapa tidak datang sekarang saja" Akan
kuulang filmnya dan kau bisa menyaksikan monster-monster ini
menangkap seorang pria dan merobek..."
"Yecchhh!" Laurie kepingin muntah rasanya. "Tidak, terima
kasih!" "Well, bagaimana kalau aku saja yang datang ke rumahmu?"
tanya Andy dengan suara penuh rayuan. "Akan kupikirkan cara untuk
menghiburmu kalau kau tak mau nonton film. Bibimu di rumah?"
"Ya," Laurie berbohong. "Itu dia baru pulang. Aku harus
mewawancarainya juga nih, untuk... uh, proyek itu, jadi kayaknya
lebih baik kulakukan malam ini saja. Sampai ketemu besok pagi, ya."
Selesai menelepon rasanya Laurie ingin sekali mandi. Namun
tiba-tiba rumah yang besar ini membuatnya tidak tenang. Rasanya
kosong. Bunyi-bunyi kecil yang biasanya nyaman dan sudah begitu
akrab di telinganya mulai membuatnya merinding.
Rasanya ia begitu sendirian dan lemah. Di mana sih Bibi
Hillary" Kapan ia pulang"
Akhirnya ia tak tahan lagi. Diteleponnya Skye.
"Ada apa?" Skye ingin tahu.
"Tidak ada yang penting. Kau sibuk?"
"Sebenarnya aku sedang duduk memikirkan apakah orangtuaku
akan keberatan kalau kusingkirkan saja adikku yang brengsek itu. Kau
tahu, nggak, apa yang dilakukan anak jahat itu pada rok kulitku yang
baru" Uh, rasanya ingin kuhabisi dia!" geram Skye.
"Lakukan saja. Paling-paling ayah dan ibumu akan bisa
menerimanya. Omong-omong, kalau kau lagi tidak sibuk, aku mau
datang nih. Mungkin malah menginap?" tanya Laurie.
"Hei, hebat!" timpal Skye. "Aku punya beberapa CD baru dan...
eh, ada yang tidak beres?"
"Tidak, kok. Aku cuma tidak ingin sendirian malam ini. Bibi
Hillary belum kembali, dan aku tidak tahu kapan dia pulang. Dia
bekerja sampai larut sekali setiap malam, dan aku merasa sedikit...
yah, gelisah. Jadi, kalau kau tidak sibuk..."
"Kau memang sering gelisah akhir-akhir ini," Skye berkata.
"Tapi, boleh, datang saja kemari."
"Kutulis pesan untuk bibiku dulu," kata Laurie. "Lalu ambil
sikat gigi dan akan tiba di rumahmu sepuluh menit lagi."
Baru saja Laurie akan menutup telepon ketika didengarnya
suara di lantai bawah. "Sebentar, Skye. Rasanya aku mendengar suara pintu belakang.
Ya, bibiku sudah pulang. Dengar, aku di rumah saja, sebab dia sudah
pulang. Trims ya, untuk tawaranmu. Nanti kapan-kapan aku menginap
di rumahmu." "Hei, kan kau sendiri yang mengundang dirimu menginap?"
Skye mengingatkannya. "Tapi kapan pun oke buatku. Jangan lupa,
besok kita shopping di mal. Sampai ketemu besok."
Laurie menarik napas lega. Diletakkannya gagang telepon.
"Bibi Hillary" Aku di atas," ia memanggil.
Tak ada jawaban. "Aku di atas, Bi!" panggilnya lagi.
Sunyi. Ia mulai panik. Sambil berjingkat ia kembali ke kamarnya, lalu
mendengarkan. Ada bunyi berderak di anak tangga belakang.
Lalu hening beberapa detik lamanya.
Derakan lagi. Seseorang, bukan Bibi Hillary, sedang melangkah menaiki anak
tangga belakang. BAB 17 LAURIE membungkam mulutnya dengan tangannya yang
dingin. Dengan ngeri dipasangnya telinga di daun pintu kamar.
Derakan. Langkah kaki. Hening.
Ia menahan napas. Lalu dijauhinya pintu itu.
Derakan. Langkah kaki lagi. Hening.
Ia pergi ke jendela dan mengintai ke luar. Yang tampak hanya
jalan masuk yang kosong di bawah. Tak ada tanda-tanda mobil Bibi
Hillary, atau mobil siapa pun.
Kalau ia kabur lewat jendela, jarak ke jalanan di bawah cukup
untuk mematahkan tulangnya.
Ia sendirian di rumah, terperangkap di kamarnya, dan seseorang
sedang bergerak ke arahnya!
Dengan putus asa ia mengulurkan tangan untuk meraih telepon
di meja samping tempat tidur. Namun karena panik ia malah
menggulingkan meja kecil itu, hingga pesawat telepon dan bendabenda di atasnya berjatuhan ke lantai dengan suara bising.
Hening... cukup lama. Lalu: Derakan. Satu langkah lagi di anak tangga belakang, cukup dekat
sekarang. Laurie berlutut. Diambilnya pesawat telepon yang terguling ke
bawah tempat tidurnya. Derakan. Cahaya lampu jatuh di jendela dan menyapu kamarnya. Sebuah
mobil membelok ke jalan masuk, bannya menggilas batu kerikil.
Didengarnya suara pintu mobil ditutup. Lalu suara langkah kaki
dan anak kunci diputar di pintu depan.
"Laurie?" Bibi Hillary! Siapa pun yang tadi menyelinap masuk kini turun secepat kilat
dan menyerbu ke luar pintu belakang sebelum Laurie sempat
memanggil bibinya. ********************* "Hari yang melelahkan!" kata Hillary Benedict seraya
menjatuhkan tas kerjanya. Lelah atau tidak, ia tetap tampak hebat,
rapi, dan menarik. Ia berbalik mendengar Laurie berlari turun dari atas. Wajahnya
yang tenang langsung berubah waspada melihat gadis itu. "Kenapa"
Ada apa" Kau seperti baru melihat hantu saja!" katanya.
Sejenak Laurie tak mampu bicara.
"Apa yang terjadi?" berondong Hillary. "Benarkah itu mobil
Andy Price yang kulihat tadi" Kenapa dia pergi terburu-buru seperti
itu" Laurie, Sayang, kau baik-baik saja?"
"Sekarang ya." Laurie menarik napas panjang. "Setelah Bibi
pulang!" Dipeluknya bibinya, tak sanggup berkata-kata lagi.
"Ceritakan padaku," bujuk Hillary lembut.. Ia merangkul
Laurie, lalu membimbingnya ke dapur. "Yuk, akan kutuangkan jus
jeruk dan madu untukmu, supaya kau tidak pucat begitu. Lalu kau bisa
ceritakan apa yang terjadi dan kenapa kau berpakaian seperti ini,
mengenakan pakaian berkebun" Kau habis bertengkar dengan Andy"
Begitu?" "Tidak, tidak, bukan Andy. Dan tak mungkin mobilnya yang
Bibi lihat tadi. Baru saja aku bicara dengannya di telepon." Laurie
duduk lemas di sudut ruang sarapan yang hangat. Perasaan lega
menyelimuti dirinya, sementara Bibi Hillary menuangkan segelas jus
untuknya. Sebuah pikiran baru sekonyong-konyong mngejutkan Laurie. Ia
menegakkan duduknya, ketegangan kembali menyelimutinya. Rickkah yang menyelinap masuk tadi" Apakah tadi dia membuntutiku
pulang dari Fear Street"
"Apakah mobil yang Bibi lihat itu Honda biru yang mulus?"
tanya Laurie. "Tidak. Volvo, seperti kepunyaan Andy. Setidaknya begitulah
pikirku," Hillary berkata sambil meletakkan gelas di depan Laurie dan
duduk di seberangnya. "Ada apa sebenarnya?"
Dirapikannya rambutnya yang pirang-madu dan amat mirip
rambut Laurie. Lalu dicondongkannya tubuhnya ke depan, menunggu.
Ia tak ingin memaksa kemenakannya, tapi kadang-kadang rasa
khawatir membuatnya sulit untuk bersabar.
Laurie menghabiskan minumannya sebelum menarik napas
panjang. Zat gula dalam minuman itu memberinya tenaga baru. Kini
ia siap menceritakan semuanya pada bibinya, semua yang telah
terjadi. "Tadi ada yang menyelinap masuk," katanya memulai,
tubuhnya gemetar mengingat hal itu. "Orang itu naik lewat tangga
belakang! Dan Bibi membuatnya kabur!"
"Pencuri?" Hillary melompat berdiri. "Kenapa tidak bilang dari
tadi" Akan kutelepon polisi!" Ia bergegas ke pesawat telepon.
"Jangan! Tunggu! Biar kujelaskan. Siapa pun itu, dia sudah
pergi, kan" Kudengar cowok itu lari keluar pintu belakang waktu Bibi
masuk lewat pintu depan. Jangan panggil polisi, kumohon!"
"Cowok" Jadi, kau melihat orang itu?"
"Tidak, aku cuma menebak. Bisa saja orang yang masuk itu
perempuan," aku Laurie.
"Diam di tempatmu." Hillary berlari ke pintu belakang. Laurie
mendengar suara pintu dibanting. Lalu bibinya kembali. "Kau tadi
masuk dari belakang?" Laurie mengangguk. "Pintunya terbuka. Kau
ingat tadi sudah menutup dan menguncinya?"
"Aku tak ingat. Aku sedang bingung. Dengar, Bibi tak boleh
melaporkannya pada polisi. Masalahku sudah cukup, Bi."
Laurie menarik napas dalam-dalam. "Aku menemukan sesosok
mayat di rumah sakit kemarin, di Paviliun Franklin Fear yang baru.
Salah satu perawat terbunuh, seseorang menikam lehernya! Tapi
waktu petugas keamanan tiba, mayatnya lenyap... begitu saja!
Sekarang mereka mengira aku cuma mengarang-ngarang saja. Mereka
pikir aku cuma bercanda"atau gila"atau apa. Tak seorang pun
percaya padaku! Jadi, Bibi tak bisa memberi tahu polisi tentang
maling itu, sebab mereka akan berpikir aku cuma mengarang saja.
Mereka pasti sudah tahu mengenai mayat yang lenyap itu. Tapi aku
yakin apa yang telah kulihat!"
Laurie bicara cepat hingga nyaris kehabisan napas.
Hillary duduk kembali, mulutnya menganga oleh rasa terkejut.
Keningnya berkerut, dicobanya memahami perkataan kemenakannya.
"Mayat..." Hilang begitu saja...?"
"Bukan itu saja," kata Laurie lagi. Diceritakannya mengenai
Toby Deane dan anak lain yang didengarnya menangis di rumah
keluarga Deane. Tak lupa juga tentang ibu Toby yang, ia khawatir,
telah menyiksa anak kecil itu.
"Semuanya berhubungan, aku yakin! Perawat itu dan si kecil
Toby... semuanya! Sesuatu yang buruk sedang terjadi di Shadyside
Hospital, dan aku terlibat di dalamnya. Oh, Bibi, aku takut sekali!"
"Aku tidak menyalahkanmu," Hillary berkata, matanya yang
biru memantulkan ketakutan dalam mata Laurie. Diulurkannya
tangannya dan digenggamnya tangan Laurie yang dingin. "Kita harus
melakukan sesuatu. Kau tahu, mungkin semua ini terlalu berat
bagimu, bekerja di rumah sakit, berada di dekat orang sakit seharian.
Mungkin sebaiknya kau berhenti saja. Kau bisa melewatkan sisa
musim panas dengan kakek-nenekmu di California. Aku tahu mereka
akan senang dan..." "Bibi tidak percaya padaku!" Laurie menampik tangan bibinya
seraya membelalak. "Bibi menyangka semua ini cuma imajinasiku,
kan?" "Tidak, Sayang! Tentu saja tidak. Aku selalu percaya padamu,
kau tahu, kan" Aku cuma khawatir, dan aku mencoba memikirkan
yang terbaik untukmu."
"Pasti!" sembur Laurie. "Bibi pikir aku cuma mengada-ada, ya,
kan" Sama seperti yang lain. Bibi yakin Andy-lah yang kabur diamdiam dari rumah tadi, benar, kan" Well, Bibi keliru. Dan semua yang
kukatakan tadi benar, percaya atau tidak."
"Aku percaya. Aku cuma tak ingin kau terancam bahaya. Kau
sendiri yang bilang bahwa kau takut. Kalau kau berada dalam situasi
sulit yang tak dapat kautangani lagi, satu-satunya jalan adalah
tinggalkan masalah itu."
Laurie menggeleng-gelengkan kepala dengan keras. "Tapi aku
bisa menanganinya. Besok aku akan menemui Dr. Price, ayah tiri
Andy. Dia takkan menganggapku berbohong. Itu kan rumah sakitnya,
dan dia pasti akan menaruh perhatian atas apa yang terjadi. Dia akan
membantuku, aku yakin. Jadi, aku takkan mundur!"
"Oke, oke. Tenang," potong Hillary. "Aku punya ide yang lebih
baik. Bagaimana kalau aku saja yang menjelaskan pada Dr. Price apa
yang terjadi" Aku sedang bekerja untuk Dewan Pengawas Shadyside
Hospital beberapa hari terakhir ini."
"Benarkah?" tanya Laurie terkejut. "Kok Bibi tidak bilangbilang?"
"Aku tak mau membebanimu. Jangan terlalu dipikirkan. Tak
ada yang misterius, kok, cuma audit rutin. Dan aku bisa bertemu Ray
Price kapan saja. Izinkan aku bicara padanya untukmu," pinta Hillary.
Laurie melompat kesal. "Oh, hebat! Sekarang Bibi mau
memperlakukanku seperti anak idiot. Lupakan! Aku mampu bicara
sendiri dengan Dr. Price, jadi Bibi tak perlu repot-repot
memikirkannya. Aku menyesal telah menceritakan semua ini pada
Bibi!" Ia meninggalkan dapur itu, segalanya membuatnya marah dan
muak. Ketika menaiki tangga, Laurie tersadar bahwa yang
membuatnya paling muak adalah bertengkar dengan bibinya.
********************* Laurie merasa lebih baik setelah selesai mandi di bawah
pancuran. Ia mulai menyusun apa saja yang akan dikatakannya pada
Dr. Price besok pagi. Ia harus menceritakan semuanya, dan
mengingatkan dokter itu agar waspada terhadap Rick Spencer.
Tapi apakah Dr. Price akan percaya padanya" Kalau Skye dan
Bibi Hillary saja tidak, mana mungkin orang lain mau percaya"
Dikenakannya piama yang bersih, lalu diperiksanya apakah
meja yang tadi jatuh sudah berdiri dengan benar, dan telepon serta
lampunya tidak mati. Ia lega karena tak ada yang rusak selain goresan kecil di pigura
foto orangtuanya. Lagi pula ia memang sudah berniat mengganti
pigura tua itu. Dengan mengantuk ia berbaring di tempat tidur. Diangkatnya
foto orangtuanya. Ditatapnya wajah mereka, seperti sering kali
dilakukannya waktu kecil dulu... membayangkan... mengkhayalkan...
bagaimana seandainya... Akhirnya kelelahan menguasainya.
Diletakkannya foto itu, lalu dimatikannya lampu. Tak lama
kemudian napasnya tenang dan ia terlelap.
Tapi deringan telepon yang tiba-tiba menyadarkannya kembali.
Siapa sih yang menelepon malam-malam begini" Ia mengangkat
Fear Street - Cowok Misterius The Knife di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gagang telepon dan menggumam mengantuk, "Halo."
"Laurie, ini Rick Spencer. Sori aku menelepon larut begini. Aku
harus bicara denganmu. Aku ingin tahu, kenapa kau melarikan diri
dariku di Fear Street. Apa sih salahku?"
"Kau bercanda" Kau bertanya apa salahmu?" hardik Laurie.
Tak percaya oleh kenekatan cowok itu, Laurie bangkit duduk
dan menyalakan lampu. Sejenak ia tidak tahu dari mana harus mulai.
"Bagaimana soal mencuri peralatan rumah sakit" Aku tahu apa yang
kaulakukan, aku melihatmu mencuri pisau-pisau bedah dari Kantor
Perawat di lantai sembilan. Kau menyelipkannya ke kantongmu saat
kaukira tak ada yang melihat. Jangan mungkir!"
"Tentu saja aku mengambilnya. Tapi aku tidak mencurinya,"
protes Rick. "Kau mengaku?" "Aku tak mengerti kenapa kau begitu meributkannya. Kan
sudah kubilang bahwa aku ke lantai sembilan untuk suatu keperluan.
Nah, itulah keperluanku. Kalau kau mau tahu siapa yang menyuruhku,
namanya Dr. Cortese. Dialah dokter bedah yang menyuruhku
mengambil pisau-pisau itu. Ingat, aku kan bekerja di Bagian Bedah."
Sejenak Laurie terperangah. "Oke, apa yang kaulakukan dengan
pisau-pisau itu?" "Kuberikan pada Dr. Cortese, tentu saja." Rick kedengaran
gusar. "Apa pikirmu yang kulakukan dengannya" Mengoperasi
seseorang" Menikam seseorang?"
Laurie menelan air liurnya. Teganya Rick bercanda soal
menikam seseorang" Entah cowok itu pintar atau apa... Atau mungkin
saja Laurie keliru. Sangat keliru. Tapi tidak, ia tak mungkin keliru, ia
yakin itu! Ada yang salah, ada sesuatu yang buruk pada diri Rick. Laurie
memutuskan untuk maju terus. Cepat atau lambat cowok itu akan
melakukan kekeliruan. "Well, coba katakan, kenapa kau membuntuti Suster Wilton ke
dalam Paviliun Franklin Fear di lantai sembilan kemarin" Aku
melihatmu. Kau membuntutinya, kan" Dan kau..."
Ditelannya kata-katanya selanjutnya. Rasanya ia tak sanggup
menuduh Rick telah melakukan pembunuhan kejam itu, atau
mengakui bahwa mayat perawat itu telah lenyap. Sambil membuang
pikiran itu, ia melanjutkan lagi, "Dan kau membuntuti aku malam ini,
kan" Di Fear Street" Kenapa" Apa yang kauinginkan" Lagi pula, apa
sih yang kaulakukan di Fear Street?"
Lama tidak terdengar jawaban.
Lalu dengan suara rendah Rick mengancam, "Laurie,
kuperingatkan kau. Jauhi Fear Street. Atau kau akan mendapat
masalah besar." BAB 18 SABTU pagi itu kelabu dan dingin. Laurie membuka matanya
pelan-pelan, lalu mengerang.
Tidurnya gelisah karena mimpi buruk, dan ingin sekali rasanya
ia tetap mendekam di bawah selimut dan tinggal di sana. Tapi ia tahu
pertemuannya dengan Dr. Price jauh lebih penting dari apa pun.
Ia menyeret dirinya dari tempat tidur, mandi di bawah
pancuran, lalu mengenakan celana pendek warna burgundi yang
paling bagus, yang dipadukan dengan blus pink. Setelah itu ia turun
untuk sarapan. Bibi Hillary sudah berangkat rupanya, tanpa meninggalkan
pesan apa pun. Laurie sedih juga, tapi ia senang karena tak perlu
melanjutkan argumen yang tidak menyenangkan dengan bibinya. Ia
dapat memecahkan masalahnya sendiri, dan itulah yang akan
dilakukannya. Pikirannya sudah terang saat ia memarkir BMW-nya di sebelah
Volvo Andy di jalan masuk rumah keluarga Price.
Dipencetnya bel. Dr. Price sendiri yang membukakan pintu.
"Laurie, Sayang, kau tampak cantik sekali! Ayo masuk,
masuk." Seperti biasa ayah Andy tampak besar dan penting, tapi juga
ramah dan superhangat, sehingga Laurie sedikit gembira.
Dr. Price mengajak Laurie ke ruang perpustakaannya. "Andy
masih tidur rasanya, tapi semalam dia meninggalkan pesan untukku.
Aku senang sekali diwawancarai oleh salah satu staf pentingku.
"Oh, jangan tertawa," katanya seraya mempersilakan Laurie
duduk di seberang meja tulisnya. "Kau pasti kaget mengetahui betapa
pentingnya peran kalian, para pelajar sukarelawan, di rumah sakit.
Kalian amat membantu para tim medis, dan kalian jelas membuat para
pasien merasa lebih baik. Aku cuma berharap dapat memberi kalian
honor, tapi..." Dilambaikannya tangannya dengan rupa menyesal.
"Ah, well, rupanya kau tidak tertarik pada masalah keuangan.
Nah, sekarang, apa sebenarnya proyek yang memerlukan wawancara
denganku ini?" Dr. Price mencondongkan tubuhnya sedikit, bibirnya
tersenyum. Ditatapnya Laurie dengan matanya yang gelap dan nyaris
hitam. Sejenak Laurie bagai tersedak oleh perasaan bersalah karena
telah berbohong, tapi dengan cepat diusirnya perasaan itu. Ditariknya
napas dalam-dalam dan ia memulai. "Sebenarnya bukan proyek. Tapi
sebuah masalah. Masalah yang sangat buruk. Dan Anda-lah satusatunya orang yang dapat saya ajak bicara. Ini tentang rumah sakit,
maksud saya, sesuatu yang terjadi di sana. Sesuatu yang buruk!" Ia
bicara dengan cepat. "Seseorang membunuh Suster Wilton di Paviliun
Fear. Saya melihatnya. Tapi ada yang memindahkan mayatnya, dan
ketika petugas keamanan tiba di sana, mereka tidak percaya pada
saya." "Apa?" Dr. Price menegakkan duduknya, perasaan shock dan
ngeri menyelubungi wajahnya. "Kau melihat seseorang membunuh
salah satu perawat?"
"Tidak, tidak, bukan begitu. Saya tidak melihat siapa pun
membunuh perawat itu. Saya cuma melihat mayatnya. Mayat itu
terkapar di lantai, dengan sebilah pisau menikam lehernya. Perawat itu
mati. Jadi, saya pergi mencari bantuan."
"Kenapa aku tidak diberitahu?" tukas Dr. Price tajam.
"Karena mayat itu lenyap. Dan mereka semua berpikir saya
cuma bercanda. Tapi percayalah, saya mengatakan yang sebenarbenarnya."
"Harusnya segalanya dilaporkan padaku. Apa pun. Biarpun
mereka tidak mempercayaimu. Kecelakaan seperti ini... Siapa katamu
nama perawat itu?" "Edith Wilton," jawab Laurie, merasa agak tidak enak, sebab
harus menyebutkan nama depan wanita itu. "Anda kenal padanya.
Rasanya saya melihat Anda bicara dengannya di depan lift di Bagian
Sekolah Kedokteran. Dia bekerja di Bagian Anak."
"Namanya tidak familier, tapi itu tidak berarti apa-apa. Akan
kubicarakan hal ini dengan semua staf secepatnya."
"Sebenarnya yang ingin saya katakan adalah saya yakin dia
sudah mati. Dia tidak masuk kerja kemarin, setelah saya menemukan
mayatnya sehari sebelumnya. Tapi semua orang mengira saya
berbohong." Laurie kembali merasa frustrasi. Apakah Dr. Price
menganggapnya berbohong juga"
Dr. Price meraih teleponnya. "Mari kita tuntaskan semua ini,"
katanya tegas, seraya menekan sebuah nomor. "Aku akan
menghubungi telepon perawat penyelia. Dia pasti lebih tahu apa yang
terjadi. Oh, halo, Doris. Ini Ray.... Baik, trims, nanti kita ketemu pagi
ini. Ada beberapa laporan yang ingin kutanyakan padamu. Tapi
sekarang aku ingin menanyakan tentang salah satu perawatmu"Edith
Wilton." Diangkatnya alis matanya ke arah Laurie untuk
mengkonfirmasikan nama yang disebutnya itu. "Ya, betul, Wilton. Dia
masuk kerja akhir pekan ini" Tidak, tak ada alasan khusus. Aku cuma
ingin tahu, kalau kau tidak keberatan mencari tahu."
Dr. Price menyandarkan kepalanya seraya menutup mulut
telepon dan bicara kepada Laurie, "Dia sedang memeriksanya, jadi
kau rileks saja dan biarkan aku... Ya, Doris.... Oh" Kau yakin"... Um,
ya, aku ingat." Ia mendelik penuh curiga ke arah Laurie waktu bicara.
"Oke. Tak ada masalah. Well, trims telah memberitahuku. Sampai
nanti." "Tak ada, kan?" tanya Laurie setelah Dr. Price meletakkan
gagang telepon. Dr. Price menarik napas. "Laurie, Sayang, perawat yang katamu
kaulihat, uh, mati, dia mengambil cuti minggu lalu, mulai Kamis sore.
Dia akan cuti selama tiga minggu, dan perawat penyelia
mengingatkanku bahwa permohonan cutinya itu sudah diajukan lebih
dari dua bulan yang lalu. Aku ingat kami harus menyiapkan beberapa
tenaga tambahan karena banyak perawat mengambil cuti musim panas
ini. Dan itu termasuk Suster Wilton-mu itu."
Jantung Laurie serasa melorot jatuh. Jadi, Dr. Price tak percaya.
Tak seorang pun percaya. Ia duduk lemas, benar-benar merasa
Naga Kemala Putih 2 Pendekar Mabuk 039 Pisau Tanduk Hantu Lentera Iblis 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama