Fear Street - Dihantui Haunted Bagian 2
Red Heat." "Emm..." "Ayolah, Lissa. Kau selalu mengatakan ingin ke sana."
Melissa tersenyum dan meluruskan lengannya. Buddy benarbenar berusaha menyenangkan hatinya. Buddy tidak menyukai
suasana diskotek yang hiruk-pikuk dan bising. Sebelum ini ia selalu
menolak menemani Melissa ke Red Heat. Sekarang ia sendiri yang
mengusulkannya. "Oke. Asyik!" kata Melissa. Ia menghampiri Buddy, lalu
mencium pipinya. "Kau kumaafkan."
Buddy tersenyum lebar. "Wow, hatimu gampang sekali
dilunakkan. Apa yang akan kaulakukan kalau aku mengajakmu keluar
makan sekalian?" "Jangan memandangku begitu," tegur Melissa. "Aku bukan
perek." ******************* Sebelum menjadi diskotek remaja, Red Heat adalah gudang
perkakas. Dari luar, bangunan yang tinggi dan panjang itu masih
kelihatan seperti gudang. Namun bayangan tentang mesin-mesin
pertanian segera lenyap begitu orang menginjakkan kaki di lantai
diskotek berukuran hanggar itu.
Lantainya yang terbuat dari beton kasar kini tertutup linoleum
bergaris-garis aneka warna, merah muda dan hitam, oranye dan hijau
pucat, biru laut dan merah tua, semuanya tidak serasi, bertabrakan.
Namun ketika deretan panjang lampu warna-warni menyorot dari atas,
lantai tampak seakan-akan hidup, bergoyang bersama para pedisko di
atasnya, dan gudang itu berubah menjadi dunia yang berbeda.
Seluruh dinding dicat merah, meskipun warna yang sebenarnya
jarang terlihat jelas. Langit-langitnya juga dicat merah. Bar minuman
nonalkohol yang memanjang dan semua peralatan lainnya juga
berwarna merah, agar sesuai dengan namanya"Red Heat. Speakerspeaker hitam raksasa menjulang dalam jarak yang teratur dari kasau,
menggelegarkan musik ke bawah. Lantai bergetar menerima bunyi
menggelegar itu dan menggemakan kembali bunyi itu ke atas,
menjebak para pedisko di tengah-tengah ruangan, mengelilingi
mereka dengan musik, menahan mereka bagaikan mantera sakti.
"Kupikir tempat ini dinamakan Red Heat karena di sini suhunya
425 derajat!" seru Buddy, keringat mengalir dari keningnya.
"Apa?" Melissa memegang bahunya, mendekatkan dirinya
untuk mendengar apa yang dikatakan Buddy di sela-sela dentaman
musik. Sudah hampir satu jam mereka bergoyang. Melissa, yang
memakai blus ngatung berkilau dan celana bersepeda Spandex di
bawah rok mini ungu, merasa pusing dan lelah. Ia seakan-akan
bergerak dalam aliran deras arus lampu, suara, dan manusia. Rasanya
lebih baik tidak memikirkan apa pun, bergerak saja dengan bebas,
hampir mirip mesin, mengikuti musik.
Ia sudah hampir tidak berpikir tentang hantu.
Paul. Tapi, di mana dia" Melissa memanggil Paul di kamarnya sesudah makan malam
tadi, namun Paul tidak menjawab. Dan tidak ada tanda-tanda
kehadirannya, tidak ada angin dingin, tidak ada bisikan, tidak ada
bayangan yang menyeberangi karpet.
"Seharian ini aku tak melihat hantu itu," Melissa memberitahu
Buddy, sambil memikirkan pagi hari di perpustakaan tadi.
"Apa?" Buddy menarik Melissa dari lantai dansa, menuju bar
berlampu neon merah di pojok ruangan. "Aku mau ambil minuman."
"Aku juga. Coke atau yang lainnya." Mereka berdua tersengalsengal. Melissa berjalan membuntuti Buddy, musik berdentam-dentam
dari segala arah. Lampu-lampu merah dan hijau bergantian menyinari
wajah mereka, membuat mereka tampak tidak nyata, seperti tokohtokoh Halloween.
"Apa katamu?" tanya Buddy masih berteriak supaya bisa
didengar. "Cuma Coke atau yang lainnya." Melissa mengusap dahinya
dengan tisu yang dikeluarkannya dari tas pinggang kecilnya.
"Bukan. Sebelum itu." Antrean di bar panjang dan bergerak
lambat. "Kukatakan aku tak melihat Paul seharian ini."
"Kukira kita takkan membicarakan itu lagi," tukas Buddy tajam.
"Bukan. Maksudku, tidak." Melissa menggamit lengan Buddy.
"Dengar, Buddy, sulit untuk tidak memikirkan dia. Dia mengancam
akan membunuhku." "Apa?" "Kau sudah mendengarnya. Semuanya sudah kuceritakan. Dia
mengira aku membunuhnya, dan kalau aku tidak dapat menemukan
pembunuh yang sebenarnya, dia akan..."
"Melissa!" Buddy berteriak marah dan melemparkan tangannya
ke atas. "Stop... berhentilah!"
Melissa melepaskan lengan Buddy. "Aku tak dapat berhenti.
Aku tak dapat mencegahnya karena ini kenyataan. Ini terjadi padaku,
Buddy. Dan aku tak dapat berhenti memikirkannya. Kau harus
percaya padaku, dan..."
Buddy keluar dari antrean, wajahnya merah, lalu hijau, lalu
merah lagi, kelihatan sangat jengkel. "Tidak. Stop. Aku tak dapat
mempercayainya. Pokoknya aku tak bisa. Kau hanya bikin kacau
seluruh malam ini, Lissa!"
"Tidak, tidak!" jerit Melissa. "Kau yang bikin kacau!"
Melissa berbalik dan mulai berlari, menabrak pasangan yang
terkejut. "Hei... hati-hati!"
Tetapi Melissa berhasil melewati mereka, cepat-cepat
menyeberangi lantai dansa yang seolah tak ada akhirnya dan penuh
orang, menabrak pasangan-pasangan yang tampaknya tidak
memperhatikannya. Ia berlari di antara warna-warna yang
berkelebatan, dikelilingi musik yang berdentam-dentam, hatinya ikut
berdegup-degup. Setelah sampai di ujung, Melissa menoleh untuk
melihat apakah Buddy mengikutinya. Ia marah, kecewa"dan lega"
ketika tidak melihat Buddy.
"Hei, Miss, kalau kau mau kembali ke dalam, tanganmu harus
dicap!" panggil cowok berambut ungu dengan suara melengking
tinggi. Melissa tidak memedulikannya. Ia mendorong kuat-kuat pintu
kaca yang berat, dan melarikan diri ke dalam kegelapan malam.
Malam ini hangat, namun udara terasa dingin di kulitnya.
Dengan napas tersengal-sengal Melissa menuruni tiga tangga batu dan
tetap berlari menyeberangi jalan berbatu menuju tempat parkir.
Ke mana dia pergi" Melissa tak tahu. Ia bahkan tidak memikirkannya.
Ia sangat marah, sangat terluka.
Buddy hanya ingin melihat ia ceria dan bahagia, berpura-pura
semuanya beres. Sedikit pun Buddy tidak tertarik pada masalahnya,
pada masalahnya yang sangat nyata.
Buddy mengira ia gila. Gila! Selama Melissa menyimpan masalahnya sendiri, Buddy senang.
Buddy tak peduli pada dirinya.
Buddy tidak peduli apa yang terjadi pada diri Melissa. Asal
Melissa menutup mulut tentang ini.
Yah, bagaimana ia dapat tutup mulut tentang masalah ini"
Melissa tersandung, sepatu karetnya tergelincir, namun ia
berusaha menjaga keseimbangan tubuhnya sebelum terjatuh.
Di mana dia sekarang"
Tanpa disadari, ia telah berlari menyeberangi separo tempat
parkir yang luas. Ia dikelilingi berderet-deret mobil. Suasana remangremang, karena tempat parkir itu hanya dilengkapi dengan lampu sorot
putih di puncak tiang-tiang yang mengitarinya. Bayangan mobil diam
tak bergerak di bawah kaki Melissa bagaikan binatang gelap yang
sedang tidur. Melissa berbalik akan kembali ke diskotek. Ia baru sadar betapa
jauh jarak yang telah ditempuhnya.
Suara tawa membuatnya menengok ke sekelilingnya.
Beberapa cowok sedang duduk di atas kap mobil di bagian
tempat parkir yang gelap. Mereka berempat atau berlima, beberapa di
antaranya berambut panjang, beberapa dengan gaya spiky flattops"
rambut di bagian atas dipangkas cepak sekali, di bagian samping
dibiarkan panjang dan disisir mencuat seperti paku. Mereka memakai
jins denim biru dan jaket kulit hitam atau denim. Mereka duduk santai
di kap mobil, tertawa, saling mengejek, menelengkan kepala untuk
menenggak bir dari dalam kaleng-kaleng yang dibungkus kantong
kertas cokelat. Tawa mereka lantang dan urakan. Pasti mereka sedang mabukmabukan.
Aku harus balik, pikir Melissa. Aku akan kembali ke diskotek.
Kukira mereka belum melihatku.
Ia mundur dua langkah, mencoba bersembunyi dalam bayangbayang mobil.
Salah satu dari mereka memanggilnya, "Hei... apa kabar?"
Cowok itu melambaikan kantong kertasnya untuk memberi hormat
militer dan tersenyum lebar.
"Jangan pergi!" teriak yang lainnya. "Gabung dengan pesta
kami!" Melissa menggeleng dan mulai berbalik.
Dua dari cowok-cowok itu, keduanya duduk di kap rendah
Camaro kuning, saling mendorong. "Ajak dia," kata salah satu.
"Tidak. Kau saja."
Cowok yang di sebelah kiri mendorong temannya dengan keras,
dan cowok yang sedang tertawa"kaleng birnya melayang ke atas"
meloncat turun dari kap mobil dan berguling melintasi lapangan
berbatu ke arah kaki Melissa.
"Hei, Cewek...," sapanya.
Ragu-ragu bagaimana ia harus bersikap, Melissa melongok ke
bawah melihat wajah yang tersenyum lebar itu. Dan kemudian
mulutnya ternganga karena terkejut.
Meskipun tempat parkir itu hanya diterangi cahaya samarsamar, Melissa langsung mengenali si cowok.
"Paul... apa yang sedang kaulakukan di sini?" tanyanya.
13 COWOK itu terkesima memandang Melissa. Ia bahkan tidak
berusaha berdiri dari lapangan berbatu itu. Senyum lebar dan tolol
kelihatan ditempelkan ke wajahnya.
"Hei... aku kenal kau?" tanyanya.
Teman-temannya tertawa seolah-olah ia mengatakan lelucon
yang sangat menggelikan. "Paul...," Melissa memanggil lagi. Jantungnya berdegup
kencang, tenggorokannya tiba-tiba kering.
"Itu namaku. Jangan sebut sembarangan."
Teman-temannya tertawa terpingkal-pingkal.
Salah satu dari mereka berjalan mendekat, di wajahnya
terpampang senyum lebar dan tolol yang sama. Cowok itu
membungkuk, dan dengan susah payah menarik Paul berdiri.
Keduanya berdiri sempoyongan, memandangi Melissa dari atas ke
bawah. Melissa sangat terperanjat bertemu dengan Paul di sana, di
tempat parkir gelap dengan teman-temannya yang mabuk dan berisik,
sehingga ia melupakan rasa takutnya. "Kau... kau dapat melihat dia?"
ia bertanya kepada cowok yang menarik Paul berdiri.
Mereka semua tertawa lagi.
Melewati bahu Paul, Melissa melihat bahwa mereka semua
telah turun dari kap mobil dan mendekatinya perlahan-lahan, sambil
meneguk bir dari kantong kertas.
"Kau sungguh-sungguh bisa melihat dia?" ulang Melissa.
"Tidak jika aku melihat dia dulu!" Paul tertawa terbahak-bahak
dan menjatuhkan diri berlutut. Jelas sekali ia telah kebanyakan
minum. "Tapi... kau nyata!" Melissa tergagap.
Ini menimbulkan reaksi hebat dari mereka semua. Mereka
bersorak-sorak dan berteriak-teriak riuh. Melissa menoleh dengan
cepat, ternyata mereka telah membentuk lingkaran mengelilingi
dirinya. Aku terperangkap, pikirnya, mendadak merasa panik.
Mereka mengepungku. "Yeah, aku nyata," kata Paul dengan tenang, berubah serius.
"Kau ingin aku membuktikannya?" Ia menyambar lengan Melissa.
"Lepaskan aku!" jerit Melissa, memaksa diri untuk lebih
terdengar marah daripada takut.
Melissa terkejut sendiri ketika ternyata Paul segera
melepaskannya. "Hei... kau yang mendatangi aku, kan?" tuduhnya.
"Tidak. Tidak," bantah Melissa, berusaha menemukan cara
untuk melepaskan diri dari cowok-cowok ini dan kembali ke Buddy di
diskotek. Mengapa Buddy tidak mencarinya" Tak pedulikah dia pada
dirinya" "Kau hanya menggoda, hah?" tanya Paul sambil menyeringai.
"Paul, kenapa kau melakukan ini?" tanya Melissa. "Kenapa kau
berlagak begitu... berbeda?"
Paul membelalak pada Melissa. "Hah?"
"Yeah, Paul. Kenapa kau berlagak begitu berbeda?" Salah satu
teman Paul, cowok berambut hitam lurus panjang sampai ke kerahnya,
menirukan Melissa. Cowok itu melangkah maju dan memegang bahu
Melissa. "Apa sih yang kaulihat pada dirinya?"
"Hei... jangan ganggu dia," bentak Paul, wajahnya tiba-tiba
berubah garang. Ia mendorong temannya itu dengan keras. Cowok itu
jatuh terduduk, menubruk sebuah Oldsmobile baru. "Dia
menginginkan aku"bukan kau," sambung Paul.
Cowok itu menegakkan diri dengan cepat. "Oh, yeah"
Bagaimana kalau kita biarkan dia yang memutuskan, oke?"
"Dia sudah memutuskan," kata Paul, tangannya terkepal di
samping tubuhnya. Temannya itu terbelalak, menimbang-nimbang
apakah akan melawan Paul atau tidak.
"Stop! Berhenti!" seru Melissa dengan takut dan bingung.
Bagaimana teman-teman Paul itu dapat melihatnya dengan begitu
jelas" Mungkinkah Paul sebenarnya bukan hantu" Mungkinkah dia
membuat tipuan sehingga bisa muncul di kamar Melissa"
"Biarkan aku pergi!" Melissa berteriak dan berbalik menuju
diskotek. Paul tertawa. "Kenapa terburu-buru" Kau keluar untuk main,
kan?" Melissa tidak menghiraukannya dan mundur beberapa langkah,
sepatu karetnya berdecit di lapangan berbatu itu.
Dua teman Paul menghadang langkahnya.
Melissa cepat-cepat bergeser ke kanan. Mereka ikut bergerak ke
kanan. Melissa berpindah ke kiri. Para cowok itu saling tersenyum
lebar, mereka bergerak ke kiri untuk menghalangi langkahnya lagi.
"Memangnya kenapa?" ejek Paul. "Kau terlalu hebat buat
kami?" "Aku mau pergi sekarang," Melissa berkata lambat-lambat,
tegas, mengucapkan, setiap kata dengan jelas. Ia tidak mau mereka
tahu bahwa ia ketakutan. Lututnya gemetar dan suaranya agak
bergetar. "Biarkan dia pergi," dengan tenang cowok yang tadi didorong
Paul berkata. "Jangan coba-coba mendikteku!" Paul berteriak, berbalik
menghadap ke temannya itu. "Jangan berlagak sok mengatur!"
"Aku hanya mengatakan, biarkan dia pergi," jawab cowok itu
bertahan. "Aku akan membiarkannya pergi sesudah urusanku dengannya
Fear Street - Dihantui Haunted di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
selesai," kata Paul, suaranya berubah rendah dan penuh ancaman.
Tanpa peringatan lebih dulu ia menerjang temannya itu, merenggut
bahunya, lalu keduanya jatuh ke lapangan berbatu, bergulingan,
bergulat dengan seru, saling berteriak dan memaki sementara yang
lainnya bersorak-sorak menonton.
Melissa ragu-ragu sejenak, lalu mulai segera mengambil
langkah seribu melintasi tempat parkir itu menuju diskotek. Baru
beberapa langkah ia berlari ketika mereka menyadari bahwa ia
melarikan diri. "Hei... kembali ke sini!"
Melissa mengenali suara marah Paul dan tetap berlari. Deretan
mobil di kedua sisinya seolah tak ada akhirnya. Batu-batu berlontaran
di bawah sepatu karetnya.
Mendengar mereka makin mendekatinya, Melissa mencoba
menambah kecepatan larinya. Ia terpeleset dan tersandung, hampir
kehilangan keseimbangan. Cahaya lampu tidak menerangi tempat
Melissa berada, dalam suasana gelap mendadak itu ketakutan Melissa
makin menjadi-jadi. Mereka hampir menangkapku, ia menyadari. Apa yang akan
mereka perbuat terhadap diriku"
"Hei, Pirang, kami cuma pengin senang-senang kok!" seru salah
satu cowok itu. Yang lainnya tertawa dan tetap mengejarnya.
Beberapa pasangan melihat mereka di tempat parkir. Karena
mereka tertawa-tawa, pasangan-pasangan itu mengira mereka sedang
bercanda. Pintu kaca ganda diskotek mulai tampak. Melissa menghela
napas. Kepalanya berdenyut-denyut dan dadanya serasa akan
meledak. Akan amankah dia di dalam sana" Ya. Mereka tidak akan
mengikutinya masuk. "Hei, Pirang, kami takkan menyakitimu! Sungguh!"
Mengapa Paul bertingkah begitu aneh, begitu dingin, dan begitu
mengerikan" Seharian Melissa telah menghabiskan waktu untuk
mencoba membantunya, berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya
terjadi pada Paul. Sekarang di sini Paul bertingkah begitu menjijikkan,
benar-benar mirip binatang, seolah-olah sama sekali tidak mengenal
Melissa. Apakah dia hanya mau pamer pada teman-temannya"
Dua pasangan keluar dari diskotek dan berdiri di depan pintu
masuk, bercakap-cakap dan tertawa-tawa. "Tolong!" Melissa mencoba
memanggil mereka, tetapi tenggorokannya serasa tercekik. Ia
kehabisan napas sehingga tak bisa bersuara.
"Tolong aku, tolong!" Ia mencoba lagi, suaranya berhasil keluar
namun lirih sekali, lebih mirip erangan. Kedua pasangan itu tertawatawa sendiri dan tidak menoleh.
Melissa melangkah ke dalam sorotan cahaya yang bersumber
dari lampu merah, lampu itu berkedip-kedip dengan cepat secepat
degup jantung Melissa. Aku hampir sampai, batin Melissa, dan ia
menoleh, ternyata Paul dan teman-temannya sudah tidak mengejarnya
lagi. Mereka sudah tak tampak pergi.
Bayang-bayang gelap menyelinap di lorong antara deretan
mobil. Merekakah itu" Larikah mereka" Apakah mereka sembunyi di
sana menunggu sampai ia kembali"
Kapan mereka berhenti mengejarnya" Dan ke mana mereka
pergi" Melissa menudungkan tangannya di atas matanya, untuk
melindungi matanya dari lampu merah yang menyorot tajam dan
membutakan. Pintu diskotek membuka dan dentaman musik
menyeruak kesunyian di luar, mengejutkan Melissa.
Pintu itu menutup. Tempat parkir terasa dingin lagi sekarang.
Dengan masih menudungi matanya, Melissa mengamat-amati
deretan mobil itu. Ke mana Paul dan teman-temannya pergi"
Bagaimana cara mereka menghilang dengan begitu cepat"
Hantukah mereka semuanya"
"Hei, Melissa!"
Ia masih sibuk dengan pikirannya sendiri, berusaha
menenangkan debur jantungnya, sehingga tidak mendengar panggilan
itu. "Melissa!" Sebuah tangan menyentuh punggungnya.
"Jangan!" teriaknya sambil mundur menjauh.
"Melissa, kau kenapa?" tanya Buddy. Ia tampak terkejut dan
prihatin, sekilas kelihatan merah, lalu hijau, lalu merah lagi di bawah
sorotan lampu disko. "Buddy, tolong, antarkan aku pulang," pinta Melissa. Ia meraih
lengan Buddy. Buddy tampak sangat kokoh, sangat nyata.
"Aku tak dapat menemukanmu tadi," kata cowok itu. "Aku tak
tahu kau di luar." "Sori...," kata Melissa. Ia mendengar bunyi ribut, orang
berkelahi, dari suatu tempat di deretan mobil terdekat Apakah itu Paul
dan teman-temannya" Buddy mengikuti pandangan Melissa. "Melissa, apa itu?"
"Aku... kupikir aku melihat sesuatu."
"Aku tak melihat apa-apa. Di sana gelap sekali. Beberapa
lampunya mati." Pegangan Melissa pada lengan Buddy makin kencang. Mereka
berdua bersinar merah, lalu hitam, merah, lalu hitam, seolah-olah
mereka berwujud dan kemudian menghilang seperti hantu.
"Kau ingin pulang?"
"Ya. Makasih." "Melissa, kau gemetaran."
"Aku cuma... capek, mungkin." Melissa tidak mau mengatakan
kepada Buddy bahwa ia melihat Paul di tempat parkir. Paul dan
teman-teman hantunya. Paul dan teman-temannya. Ia tahu, jika ia
memberitahu Buddy, mereka akan mulai bertengkar lagi. Buddy akan
cemas dan mengatakan mereka harus memberitahu orangtua Melissa
segera. Melissa tidak dapat menceritakan pengalamannya kepada
Buddy. Ia tahu ia tidak dapat. Itu hanya akan membuat Buddy
bertambah yakin bahwa ia sudah kehilangan akal sehat, otaknya sudah
miring. Kemudian orangtuanya akan bertindak, dan hidupnya bahkan
akan lebih rumit daripada yang sudah-sudah.
"Sori aku mengecewakan," ujarnya. "Tolong antarkan aku
pulang." Buddy melingkarkan lengannya ke pundak Melissa dan
membawanya ke mobil. Melissa berjalan dengan cepat, waspada
terhadap bunyi atau tanda bahwa Paul dan teman-temannya ada di
sana, bersembunyi, mengintai, menunggu.
Mereka telah menghilang. Lenyap tanpa bekas.
Melissa memasuki mobil dan duduk, lalu memejamkan
matanya. Walaupun kelopak matanya tertutup rapat, sorotan sinar
merah tidak mau pergi. Dengan bersemangat Buddy mulai berceloteh, mengungkapkan
kekagumannya terhadap Red Heat, betapa bagus tempatnya, dan
betapa hebat sound system-nya. Menurutnya mereka seharusnya lebih
sering pergi ke sana, namun sayangnya tanda masuknya terlalu mahal.
Tampaknya ia memutuskan untuk melupakan fakta bahwa tadi mereka
bertengkar dan Melissa keluar dari diskotek itu.
Melissa berusaha menjernihkan otaknya yang kacau dan
mengingat-ingat apa yang menjadi sumber pertengkaran mereka.
Tentu saja, soal Paul. Mungkin Buddy mengira bila ia bersikap tak acuh, urusan ini
akan beres sendiri. Kalau saja perkiraan Buddy itu benar...
Kalau saja Paul mau menyingkir....
********************* Sejam kemudian, di tempat tidur, Melissa berbaring dengan
resah, tak kunjung terlelap.
Ketika memejamkan mata, terbayang olehnya Paul dan temantemannya yang saling dorong di antara mobil-mobil itu, menenggak
bir dari kantong-kantong kertas cokelat, mengelilinginya,
mengepungnya. Ia tidak dapat menghapuskan wajah Paul dari ingatannya,
tawanya yang urakan, caranya memandang, caranya mengancam,
caranya menarik dirinya dengan sengit.
Caranya membenci Melissa.
Ya. Itulah yang membuat Melissa sangat ketakutan.
Paul membencinya. Melissa bahkan tidak mengenalnya, namun Paul membenci
dirinya. Malam ini hangat dan lembap, tetapi Melissa menarik selimut
sampai ke pipinya. Jendela kamar tertutup dan terkunci. Lampu
jalanan di bawah menyorotkan cahaya kuning pucat ke langit-langit.
Aku belum pernah dibenci orang, Melissa membatin.
Tentu saja pernah ada beberapa anak yang sangat tidak
menyukainya, anak-anak yang tidak cocok dengan dirinya. Namun
mereka tidak pernah membencinya dengan begitu membabi buta.
Belum pernah. Dia benar-benar kembali untuk membunuhku, kata Melissa
dalam hati. Selama ini ia tidak terlalu serius menanggapi ancaman Paul. Ia
mengira ia dapat berbicara dengan Paul, membujuknya, menolongnya.
Apalagi Paul kelihatannya cemburu terhadap Buddy. Melissa sempat
mempunyai pikiran konyol bahwa barangkali Paul tidak terlalu jahat.
Namun setelah melihatnya di tempat parkir yang gelap dengan
teman-temannya, melihat caranya berkelahi dengan mereka, melihat
betapa keras, sinis, dan kasarnya dia, Melissa menyadari bahwa ia
salah menilai Paul. Paul tidak mungkin menjadi temannya.
Paul akan membunuhnya. Paul serius dengan ucapannya itu.
Paul sangat membencinya. Melissa bangkit duduk begitu merasakan desiran udara dingin.
Beberapa detik kemudian Paul muncul, mula-mula berupa siluet gelap
di muka jendela, lalu sosok bayangan yang dengan cepat mendekati
kaki ranjang. Melissa tidak dapat melihat wajah Paul. Tertutup bayangbayang. Paul masih memakai jins denim biru berpipa lurus dan jaket
denim pudar. Paul mulai mendekati Melissa.
"Keluar dari sini!" jerit Melissa sambil meraih selimutnya.
"Pergi! Jangan ganggu aku!"
Hantu itu melayang-layang sampai di atas Melissa, matanya
yang gelap berkilat-kilat memandangi Melissa dengan dingin.
"Keluar!" ulang Melissa. Mata Paul seakan-akan membakar
matanya. "Pergi!"
Hantu itu mulai tampak memudar. Sinar matanya mengecil,
wajahnya menggelap, sosok yang melayang-layang itu menjadi siluet
yang mengecil, bayangan kelabu itu melebur dengan cahaya pucat dari
jalanan. "Aku akan kembali. Aku belum selesai di sini," kata Paul.
Ucapannya lebih membuat merinding daripada udara dingin yang
ditinggalkannya. 14 "JANGAN, aku tidak bisa, Della. Pokoknya jangan pagi ini."
Melissa menarik gorden dan melihat ke luar jendela kamar.
Suasana hari ini kelabu, awan tebal dan gelap menyelubungi langit. Ia
memindahkan gagang telepon ke telinga satunya.
"Yeah. Kencan kami tadi malam cukup mengasyikkan."
Melissa enggan membicarakan hal itu di saat ia baru bangun tidur
begini. Ia menyadari bahwa ia belum pernah bercerita tentang Paul
kepada sahabatnya itu. Sebenarnya ia ingin bercerita. Ia harus
membagi beban yang menindihnya itu dengan seseorang. Mungkin
Della akan mempercayainya, Melissa benar-benar mengharapkannya.
Aku akan mengatakannya pada Della pada waktu orangtuaku
pergi, ketika aku menginap di rumahnya akhir minggu ini, pikir
Melissa. Mereka berbicara ngalor-ngidul selama beberapa menit.
Kemudian Melissa berjanji untuk menelepon Della lagi nanti,
meletakkan gagang telepon, dan turun untuk sarapan.
Ibunya mengenakan pakaian lari merah marun, sedang duduk
menghadapi meja makan, dengan koran pagi dan muffin Inggris
kering yang sebagian sudah dimakan. Ayahnya bersandar pada meja
dapur, sedang mengadakan diskusi seru lewat telepon dengan
seseorang tentang pemesanan tempat pesawat terbang.
"Pagi," gumam Mrs. Dryden dari balik koran.
"Dengan siapa Daddy bicara?" tanya Melissa. Ia menuang
semangkuk corn flakes untuk dirinya sendiri.
"Agen travel," jawab ibunya sambil mengunyah muffin
panggang yang renyah. "Ada problem dengan tiket kami ke Las
Vegas. Dad ke kantor agak siang hari ini." Ia menurunkan koran dan
memandangi Melissa. "Lihat lingkaran di bawah matamu."
Melissa meletakkan kotak susu. "Mom, itu tak mungkin
dilakukan. Kita tak dapat melihat mata kita sendiri."
"Kau tidak tidur, ya?"
"Tidak begitu pulas," Melissa mengakui.
"Swetermu kusut," tegur ibunya sambil melipat koran.
"Ya, Aku memang serampangan."
"Dulu ini putih, kan?"
"Tidak, Mom, sejak dulu warnanya memang abu-abu." Melissa
mengernyit. "Saya tidak tertarik dengan masalah Anda." Suara Mr. Dryden
menggelegar di telepon. "Tiket kami harus dilengkapi dengan
boarding pass. Saya tidak mau mengambil risiko tempat saya diambil
orang lain. Saya tahu bagaimana penerbangan-penerbangan overbook
akhir-akhir ini." "Kasihan Daddy," kata Melissa dengan mulut penuh corn
flakes. "Menurutku kau sebaiknya mengubah putusanmu," kata ibunya.
"Apa?" "Kau tahu. Ikutlah dengan kami ke konvensi itu. Lebih baik kau
pergi. Liburan musim panasmu di sini membosankan."
Melissa tertawa. "Percayalah, Mom, banyak sekali kejadian
seru di sini. Aku sama tak merasa bosan."
Ibunya tampak kecewa. "Kau tak mau ikut?"
"Tidak. Sungguh. Aku benar-benar tidak mau."
Melissa pura-pura berkonsentrasi pada sarapannya. Melarikan
diri ke Las Vegas tidak akan menolongnya, ia tahu. Ia harus
menemukan kebenaran tentang Paul, menemukan apa yang
sebenarnya terjadi pada Paul. Itulah satu-satunya cara untuk
menyingkirkan Paul, satu-satunya jalan agar Paul berhenti
mengganggunya. Melissa makan dengan cepat, mendorong kursinya menjauh dari
meja, dan melambai pada ayahnya, sambil menuju pintu depan. "Kau
mau ke mana?" seru Mrs. Dryden dari belakangnya.
"Cuma mau ketemu Della," Melissa berbohong.
"Kayaknya akan hujan," kata ibunya.
"Aku takkan mencair."
Langit tampak mulai cerah ketika Melissa memundurkan
mobilnya. Awan gelap telah tersibak, sepertinya mereka akan lenyap
tanpa meninggalkan hujan. Melissa berbelok ke The Mill Road dan
menuju pusat kota. Jam di dasbor menunjukkan pukul 11.58.
Bagaimana dia bisa terlambat bangun sampai sedemikian siang"
Melissa membelokkan mobilnya ke tempat parkir luas Shop 'N'
Stop di Division Street dan perlahan-lahan meluncur di aula deretan
Fear Street - Dihantui Haunted di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mobil mencari tempat kosong. Mungkin hari ini tidak sia-sia seperti
kemarin, pikirnya. Mungkin kali ini aku akan mendapatkan jawaban
tentang Paul. Melissa telah mengenali salah satu cowok teman Paul di tempat
parkir semalam. Namanya Frankie, ia tidak ingat nama belakangnya.
Cowok itu kelihatan tidak asing di mata Melissa, namun Melissa baru
ingat siapa dia setelah tiba di rumahnya. Cowok itu pengantar barang
Shop 'N' Stop. Tempat parkir penuh sekali, sehingga Melissa harus parkir di
pinggir jalan. Ia keluar dari mobil, menguncinya, dan melintasi tempat
parkir. Ia berjalan cepat-cepat, mulai merasa gugup.
Melissa memperhatikan bahwa Frankie tidak ikut-ikutan tadi
malam. Ia tidak menjaili atau mengepungnya. Bahkan ia tampak agak
malu menyaksikan seluruh peristiwa itu.
Atau mungkin itu angan-angan Melissa saja.
Bagaimanapun, lebih aman berbicara dengan dia waktu dia
bekerja, putus Melissa. Dia takkan mencoba berbuat macam-macam di
tengah keramaian supermarket.
Frankie satu-satunya petunjuk sekarang, satu-satunya orang
yang diketahui Melissa bisa memberikan informasi tentang Paul, yang
mungkin dapat menjelaskan semuanya kepada Melissa.
Moga-moga dia ada di sini sekarang. Moga-moga aku ketemu
dia. Pintu elektronis membuka dengan dengung keras, dan Melissa
memasuki supermarket luas yang ber-AC itu, dengan kereta-kereta
belanjanya yang berserakan dan bunyi berirama komputer kasir.
Melissa berjalan di bagian hasil bumi, melewati tumpukan soda
cherry jenis baru yang disusun tinggi. Ia terkejut ketika menemukan
Frankie tanpa mencari-carinya. Frankie berada di ujung antrean keluar
yang terdekat, sedang mengepak barang-barang belanjaan wanita
muda yang menggendong bayinya di punggung.
Melissa ragu-ragu, bingung akan mengatakan apa kepada
Frankie. Mungkin ini ide konyol, pikirnya.
Frankie mengangkat mukanya, setelah memasukkan barang
terakhir ke kantong, dan melihat Melissa. Mula-mula ia tampak
bingung, seolah-olah tidak ingat siapa Melissa. Kemudian tiba- tiba
senyum lebar tanda mengenali muncul di wajahnya.
Ketika Melissa berjalan mendekatinya, senyum itu menghilang,
digantikan oleh pandangan cemas. "Frankie?" tanya Melissa tidak
yakin. "Hei, tunggu... Aku tak mau cari masalah," kata Frankie, sambil
melambai agar Melissa menyingkir. Rambut cokelatnya yang lurus
diikat di belakang kepalanya membentuk ekor kuda pendek. Ia
mengenakan celemek Shop 'N' Stop putih panjang menutupi jins hitam
dan kemeja kerja biru yang rapi.
"Tidak, aku...," Melissa mulai berkata.
"Aku tidak ikut-ikutan tadi malam. Anak-anak yang lain itu...
menurutku mereka tidak seharusnya..." Suaranya bergetar. Ia
memandang ke belakang Melissa ke arah wanita berbadan besar di
balik meja, barangkali pengawasnya.
"Aku tidak datang untuk urusan tadi malam. Aku ingin
menanyakan sesuatu kepadamu."
Frankie menggeleng-geleng, merapikan tumpukan kantong
belanja. "Cuma sebentar. Aku janji," Melissa memohon.
Frankie ragu-ragu. "Yah, oke. Aku akan istirahat sekarang." Ia
berjalan pergi dan mengatakan sesuatu kepada wanita di balik meja
itu, kemudian memberi tanda kepada Melissa agar mengikutinya.
Melissa membuntuti Frankie melewati lorong hasil bumi
menuju gudang besar di bagian belakang. Di ruangan ini ternyata
terasa lebih dingin serta tercium bau buah dan sayur busuk.
Frankie menarik sebuah peti kayu dan menyuruh Melissa
duduk. Ia sendiri tetap berdiri. "Aku hanya punya waktu sepuluh
menit," katanya, sambil melambai pada dua karyawan yang sedang
memindahkan selada dari peti kayu besar ke kereta belanja.
"Aku ingin bertanya padamu tentang Paul," Melissa berkata,
tidak tahu pasti bagaimana harus memulai pembicaraan.
Frankie tersenyum. "Kau benar-benar ngebet pada Paul, ya?"
Melissa merasa wajahnya memerah. "Tidak. Bukan itu
sebabnya aku... maksudku... Dengar, kau dan Paul berteman?"
"Yeah. Kami sobat akrab. Paul itu jagoan."
"Jagoan" Maksudmu?" Melissa bertanya dengan tidak enak,
tiba-tiba merasa sangat tolol, berharap ia tidak datang kemari.
Frankie mengangkat bahu. "Pokoknya begitulah dia." Wajahnya
penuh dengan kecurigaan. "Hei, dengar... jika Paul berbuat
kesalahan... atau terlibat sesuatu, aku tidak tahu apa-apa tentang itu."
"Bukan, aku..."
"Maksudku, dia sahabatku, tapi aku tidak pernah mencampuri
urusannya. Maksudku, aku tak tahu apa-apa sama sekali. Sungguh."
Frankie mendongak melihat jam dinding di atas pintu gudang
itu. Melissa menyadari bahwa rencananya tidak berjalan mulus. Ia
memutuskan lebih baik ia langsung ke pokok masalahnya. "Kapan
Paul meninggal?" tanyanya.
Mulut Frankie ternganga. Ia menarik-narik ekor kuda
rambutnya. "Hah?"
"Paul. Kau tahu. Kapan dia meninggal" Dapatkah kau
memberitahuku..." "Paul sudah mati?" Frankie duduk di lantai di dekat Melissa.
"Kapan" Tadi malam" Tidak. Tidak. Tunggu. Itu tak mungkin. Aku
berbicara dengannya lewat telepon pagi ini. Sebelum bekerja."
Sekarang Melissa benar-benar kebingungan. "Mungkin kita
tidak membicarakan orang yang sama," katanya.
"Yeah. Mungkin." Frankie juga tampak sangat bingung.
"Paul yang kumaksud meninggal beberapa waktu yang lalu,"
lanjut Melissa. Frankie perlahan-lahan berdiri. "Hei... kau betul-betul
membuatku takut." "S-sori," Melissa tergagap. "Tapi aku ingin bertanya padamu..."
Frankie melihat jam dinding lagi. "Hei, sori, tapi aku harus
kembali kerja dan aku perlu soda dulu. Jika kelamaan istirahat, aku
bisa dipecat." Ia berbalik dan bergegas meninggalkan gudang itu.
Pintu ayun menutup di belakangnya. Melissa masih duduk di
atas peti kayu itu selama beberapa menit, memandangi tumpukan peti
kayu di dekat dinding, mencoba mencerna apa yang baru dikatakan
Frankie kepadanya. Aku tidak mengerti. Mereka membicarakan Paul yang sama. Itulah satu-satunya hal
yang diyakini Melissa. Namun Paul itu mati atau hidup, manusia yang
bernapas atau hantu"
Melissa tahu Paul hantu. Paul sudah mengatakan kepadanya
bahwa ia hantu. Ia muncul dan menghilang seperti hantu.
Jadi bagaimana mungkin Frankie tidak menyadari bahwa
sahabatnya itu sudah mati" Bagaimana mungkin ia berbicara
dengannya lewat telepon sebelum berangkat kerja"
Melissa berdiri dan berjalan pelan-pelan keluar dari gudang itu,
merasa kecewa dan bingung. Frankie satu-satunya petunjuk yang
dimilikinya, satu-satunya harapannya. Tetapi cowok itu hanya
membuat semuanya lebih membingungkan daripada sebelumnya.
Ketika Melissa melewati Frankie menuju pintu keluar, Frankie
melirik dari atas kantong yang sedang diisinya dan memandang
dengan penuh rasa ingin tahu.
Dikiranya aku sinting, pikir Melissa.
Mungkin memang begitu. Begitu keluar dari supermarket, Melissa melihat jalanan aspal
basah. Pasti tadi hujan ketika dia di dalam, dan sekarang langit cerah,
sinar matahari berkilauan menimpa mobil-mobil basah di tempat
parkir. Melissa menghindari genangan besar dan berjalan menuju
mobilnya. Karena sibuk memikirkan Frankie, ia tidak melihat mobil
yang sedang mundur keluar sampai ia nyaris tertabrak.
"Hei, awas! Kalau jalan hati-hati!" teriak seorang wanita.
Melissa menjauh, kaget sehingga kurang waspada, dan terjeblos
ke genangan, air dingin memercik ke sepatu karetnya. Aku harus hatihati, pikirnya, lalu melanjutkan langkahnya melewati deretan mobil
yang tak ada habisnya menuju jalanan.
Ia mendengar bunyi langkah kaki di belakangnya, tapi ia tidak
ambil pusing. Bak sebuah mobil dibanting tertutup. Seorang bayi
menangis di samping supermarket.
Ia mendengar bunyi langkah kaki lagi ketika membelok di sudut
dan menuju deretan terakhir mobil. Langkah itu terdengar semakin
dekat sekarang. Ia berbalik, hanya untuk melihat itu siapa"dan
melihat sekelebat warna ketika seseorang membungkuk di belakang
sebuah mobil. Ada apa ini" Melissa bertanya-tanya.
Apakah semua ini imajinasinya belaka"
Ia berbalik dan mulai berjalan lagi, agak lebih cepat.
Setelah beberapa langkah, ia kembali menoleh lagi.
Lagi-lagi sekelebat warna gelap. Mungkin jaket biru gelap.
Rambut gelap. Siapa pun orang itu, ia menghilang di balik sebuah
Toyota biru. Aku dibuntuti. Pikiran itulah yang pertama kali muncul di
benaknya. Kelihatannya itu Paul. Ini pikiran keduanya.
Tapi kenapa Paul bersembunyi di belakang mobil" Ia dapat
muncul dan menghilang. Ia tidak perlu bersembunyi.
Apakah sebaiknya Melissa berhenti dan menunggu ia keluar"
Tidak. Melissa dapat merasakan ketakutan yang merambat ke
seluruh tubuhnya, hingga ke tenggorokannya. Tidak. Melissa
memutuskan untuk lari. Ia berbalik dan mulai berlari ke jalan, tanpa menghiraukan
genangan-genangan air. Dia tidak membuntutiku"benarkah" Tidak,
dia tidak membuntutiku. Pasti tidak.
Ya. Langkah itu tersaruk-saruk di jalanan aspal, memercikkan
genangan-genangan. Tepat di belakang Melissa sekarang. Makin
dekat. Berlari lebih cepat daripada Melissa.
Apa gunanya lari" Melissa berhenti dan berbalik. "Paul!"
Paul melangkah mendekat dan memegang bahu Melissa.
15 "PAUL!" Paul menyeringai pada Melissa, seringai tajam, dingin, tidak
bersahabat, tidak menyenangkan. Pegangannya pada bahu Melissa
semakin kencang. "Paul, kenapa..."
"Kau rindu padaku, hah?"
"Apa" Apa maksudmu?"
"Barusan kau memanggilku."
"Lepaskan, Paul. Kau menyakitiku."
Ia mengendurkan cengkeramannya tetapi tidak melepaskan
Melissa. "Kupikir aku melihatmu membuntutiku, jadi kupanggil kau.
Lepaskan aku." Perlahan-lahan ia melepaskan Melissa. Ia berdiri di dekat
Melissa, terlalu dekat. Ia memajukan wajahnya ke pipi Melissa.
Melissa dapat merasakan embusan napasnya, panas mengenai
kulitnya. Merasakan napasnya" Apakah hantu bernapas"
Dengan ketakutan Melissa melangkah mundur, tetapi Paul
bergerak maju, tetap di dekatnya.
"Kenapa kau melarikan diri tadi malam?" tanya Paul. Matanya
yang gelap dan dingin menatap Melissa. "Sebenarnya kita berdua
dapat bersenang-senang."
"Kau sangat mengerikan," kata Melissa. "Dan teman-temanmu
itu menjijikkan." "Hei... mereka sobatku." Paul kelihatan geli melihat reaksi
Melissa terhadap mereka. "Mereka orang-orang baik."
"Apa yang kauinginkan, Paul?" Melissa melangkah mundur lagi
dan menyadari bahwa punggungnya telah mengenai bak sebuah Oldsmobile besar. Paul bergerak maju, menghalangi Melissa melarikan
diri. Jika Paul maju selangkah lagi, Melissa akan terjepit ke bak mobil
itu. "Apa yang kuinginkan?" Paul tertawa. "Apa yang diinginkan
cowok Amerika jantan dari seorang cewek cakep?"
"Menyingkirlah dariku. Biarkan aku pergi. Kenapa kau bersikap
seperti ini?" Paul tampak tersinggung. "Hei, dengar, kau yang mendatangi
aku tadi malam." "Tidak." "Iya, kau yang menyodorkan diri."
"Aku tak mengerti. Mengapa kau bertingkah memuakkan" Aku
sudah mencoba menolongmu."
"Hah?" "Seperti yang kujanjikan."
"Hah?" Paul kelihatan bingung. Ia menggaruk-garuk bagian
samping wajahnya, lalu membuka jaket denimnya, tampak T-shirt biru
tanpa lengan di baliknya. "Kau ingin menolongku?" Paul menyeringai
pada Melissa. Melissa mendorong Paul dan menghela tubuhnya menjauhi bak
mobil, berlari di antara mobil-mobil menuju mobilnya sendiri di
pinggir jalan. "Hei...," panggil Paul, sambil mengejar Melissa. "Jangan
melarikan diri lagi. Katanya kau mau menolongku."
"Pergi kau!" teriak Melissa.
"Sekarang kau menyinggung perasaanku," kata Paul beberapa
meter di belakang Melissa. "Aku tidak suka itu. Aku tidak suka kalau
gadis kaya dan sombong menyinggungku."
Dia gila, pikir Melissa. Aku harus bisa melarikan diri dari dia.
Ia sampai di mobilnya, langsung ditariknya handel pintu. Tidak
bergerak. Ia lupa mobilnya dikunci.
Ia merogoh ke dalam tasnya dan mulai mengaduk-aduk mencari
kunci dengan gugup. Tetapi sekarang Paul sudah berhasil. Dengan
tersenyum penuh kemenangan, ia meraih tas Melissa dan menariknya
menjauh dari jangkauan Melissa.
"Kembalikan," Melissa meminta, menggapainya, namun gagal.
Paul membalikkan badan, tertawa, sambil masih mengacungkan
tas Melissa tinggi-tinggi di atas kepalanya.
"Kembalikan, Paul."
Paul tertawa lagi. "Ayo, ambillah!"
"Paul!" Melissa meraihnya, namun Paul berkelit, menghindar
dari jangkauan Melissa. "Kembalikan itu"sekarang! Kau tidak lucu!"
Paul tidak mengembalikan tas Melissa, dan senyumnya
menghilang. "Kau tak mau kasih kesempatan padaku, kan?" katanya.
"Apa?" "Kau sudah dengar."
"Aku tak mengerti apa yang sedang kaubicarakan. Kembalikan
saja tasku." "Aku bukan orang jahat. Sungguh. Tapi kau tak sudi
mengenalku lebih dekat."
"Paul, kau gila. Tolong kembalikan tasku. Aku harus pergi."
Melissa mencoba mengambil tasnya lagi dengan paksa. Paul
mengayunkannya dan memindahkannya ke bawah lengannya.
Fear Street - Dihantui Haunted di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku dapat main kasar," katanya, matanya yang gelap tampak
liar ketika memandangi Melissa. "Aku bisa main kasar kalau dipaksa."
"Paul... ayolah!" Melissa berteriak.
"Bagaimana kau tahu namaku?" Paul bertanya.
"Apa" Kau yang mengatakannya padaku."
"Tak pernah. Ayo. Katakan. Dari mana kau tahu namaku?"
"Paul, jangan aneh-aneh...."
Melissa melihat mobil polisi di belakang Paul. Mobil hitamputih itu meluncur perlahan-lahan, melintas di samping mobilnya.
Polisi yang tidak menyetir menjulurkan lehernya ke luar jendela. "Ada
masalah di sini?" "Tidak. Tak ada masalah," jawab Melissa cepat bersamaan
dengan Paul mengulurkan tasnya. Melissa mengira Paul akan
menghilang, tetapi nyatanya ia masih berdiri terpaku di sana, menatap
polisi itu sambil pura-pura tersenyum.
"Hm, kukira kau punya masalah," kata polisi itu.
Ia menoleh dan berbicara kepada temannya yang mengemudi.
Kemudian ia membuka pintu dan perlahan-lahan melangkah keluar.
Matanya tetap mengawasi Melissa dan Paul.
"Ini mobilmu?" ia bertanya kepada Melissa.
Melissa mengangguk, melirik ke arah Paul, yang sedang berdiri
dengan tangan di belakang punggung, kelihatan pucat dan gelisah
sekali. "Hmm, ini area Bebas Parkir." Polisi itu menunjuk tanda
larangan yang terletak beberapa meter dari situ. "Kau diminta
menaruh mobil di dalam tempat parkir, bukan di luarnya. Siapa
namamu" Boleh kulihat SIM-mu?"
"Melissa Dryden," Melissa menjawab sambil mencari-cari
dompetnya di dalam tas. "Saya tidak melihat tanda itu. Saya tidak
sadar..." Ia menarik keluar SIM-nya dan mengulurkannya kepada si
polisi. Polisi itu sedang memeriksa SIM Melissa ketika temannya
menjulurkan badan ke luar mobil dan berseru, "Lupakan saja itu,
Ernie. Kita mendapat panggilan darurat. Cepat berangkat!"
Sirene mulai meraung-raung, Melissa terlonjak kaget.
"Maaf, Miss." Polisi itu mengembalikan SIM Melissa dan
meloncat kembali ke dalam mobilnya. Melissa melihat mereka
tergesa-gesa meninggalkan tempat itu.
"Hei, dengar...," Paul berkata, tersenyum dan tampak sangat
lega. "Dia melepaskanmu begitu saja, hah" Hebat! Aku tidak mungkin
mendapat perlakuan seperti itu. Itu sudah pasti."
"Bye," Melissa berkata, membuka kunci pintu mobil, dan duduk
di belakang kemudi. "Woo. Tunggu, Melissa, aku... eh... aku minta maaf sudah
menyulitkanmu," ujar Paul, tampak sangat menyesal. "Aku hanya
bergurau. Aku tak bermaksud..."
Melissa membanting pintu mobil hingga menutup dan tidak
mendengar ucapan Paul berikutnya. Dihidupkannya mesin, dan
beberapa detik kemudian ia menjalankan mobil, meninggalkan Paul
yang termangu-mangu menatapnya, di wajahnya terbayang ekspresi
tidak senang. Melissa mengintip Paul melalui kaca spion, mengira dia akan
segera raib seperti biasanya. Namun Paul tidak bergerak.
Aku harus menyingkirkan dia, pikir Melissa, menambah
kecepatan mobil melewati lampu kuning, lalu membelokkan mobilnya
ke kiri dengan tajam. Dia mengikutiku ke mana-mana. Dia
mengendalikan hidupku. Dan dia ingin mencelakakanku.
Beberapa menit kemudian Melissa memarkir mobilnya di jalan
mobil di halaman rumahnya. Ia berlari ke dalam rumah, berteriak
memanggil Marta, yang sedang menyedot debu di ruang tamu, dan
berlari ke kamarnya di atas.
"Tidak!" jeritnya.
Paul, yang sedang duduk di ranjangnya, berdiri cepat.
"Tidak! Tinggalkan aku sendirian! Berhentilah membuntutiku!
Jangan terus-terusan menggangguku!"
Tanpa menghiraukan permintaan Melissa, Paul maju mendekati
Melissa, matanya yang gelap bersinar-sinar.
16 MELISSA melangkah mundur ke arah koridor. Paul berhenti di
tengah-tengah kamar. Sinar matahari yang kuat dari jendela tampak
bersinar tepat menembus Paul. Rambut gelapnya, jaket denimnya,
jinsnya, semuanya berpinggiran keemasan.
"Hei, apa yang terjadi?" tanya Paul.
Melissa tidak menjawab. Ia berdiri menunggu dan berjaga-jaga
kalau-kalau Paul mendekat.
"Kenapa mendadak kau takut sekali padaku?" tanya Paul, ia
tampak curiga. "Jangan pura-pura bodoh," kata Melissa, lengannya disilangkan
untuk perlindungan di depan tubuhnya.
"Aku sedang kehilangan kontrol," Paul berkata lirih, bersamaan
dengan itu seluruh tubuhnya berkedip-kedip dan mulai memudar,
mengakibatkan sinar matahari dari jendela tampak makin terang.
"Sepertinya aku tak dapat mengontrol kekuatanku. Aku terus-terusan
muncul dan menghilang."
"Kau cukup kuat di tempat parkir," kata Melissa berang.
"Hah?" Kedip-kedip itu perlahan-lahan berhenti dan Paul
berdiri tegak di karpet sekali lagi. Ia menggaruk rahangnya. Melissa
menyadari, untuk pertama kalinya Paul tampak ketakutan. Di balik
kemarahan dan kesinisannya, ia hanyalah remaja yang sedang
ketakutan. "Bagaimana kau bisa kembali ke sini begitu cepat?" Melissa
bertanya. Sinar matahari menyilaukan matanya, menyulitkan dia
melihat Paul. Melissa berjalan mengitari Paul, sambil tetap menjaga
jarak, lalu duduk di bendul jendela, memunggungi matahari.
"Kembali" Apa yang kaubicarakan" Kau mengajakku main
teka-teki, ya?" "Barusan aku meninggalkanmu di tempat parkir. Sekarang kau
sudah ada di sini," kata Melissa. Sinar matahari membuat
punggungnya terasa nyaman.
Paul menggeleng dan mulai bergerak maju. "Kau sudah
sinting." "Kau yang sinting," bantah Melissa. "Bukan aku. Kau tak mau
mengaku kalau..." "Aku di sini terus sejak pagi," kata Paul. "Mondar-mandir
keluar-masuk." Melissa menghela dirinya dari bendul jendela dan bangkit
berdiri. "Mengaku sajalah, Paul, kau tadi ada di supermarket."
Paul menggeleng. "Tidak. Itu bukan aku."
"Kau merebut tasku dan hampir tidak mengembalikannya."
Paul mengangkat tangannya ke atas lampu meja. Tangannya
menembus lampu itu. "Aku tak dapat memegang apa-apa hari ini,"
katanya sedih sekali. "Aku tak dapat merebut tasmu meskipun
seandainya aku ingin." Seluruh tubuhnya tampak kabur, seolah-olah
percakapan itu terlalu berat buat dia.
"Aku tak percaya," Melissa berkata. "Kau pasti sedang
menipuku." Paul tidak menjawab, hanya memandangi Melissa, mencoba
membaca wajah Melissa, mencoba membaca pikirannya.
Apa yang sedang dilakukannya" tanya Melissa kepada dirinya
sendiri. Dia sedang berpura-pura lemah" Dia kelihatan sangat sedih,
sangat ketakutan sekarang. Apakah itu cuma akal bulusnya agar aku
tak lagi berjaga-jaga" Apakah dia sengaja membuatku bingung"
"Jadi yang semalam juga bukan kau," sindir Melissa.
Paul tersentak. "Semalam" Waktu aku muncul di sini semalam,
kau menjerit-jerit seperti orang gila dan menyuruhku pergi."
"Bukan, maksudku sebelum itu," kata Melissa tidak sabar. "Di
diskotek." "Diskotek?" Paul tertawa terbahak-bahak. "Itu jelas bukan aku."
Paul melayang turun ke karpet, tenggelam ke dalamnya, seluruh
tubuhnya lenyap, kemudian kembali muncul di permukaan karpet.
"Seseorang yang mirip aku, mungkin."
Melissa menolak untuk mempercayai Paul. "Itu kau, Paul.
Bukan mirip. Maksudmu, kau tidak ingat?"
"Aku ingat kejadian tadi malam. Aku pergi keluar, mencoba
mencari lingkungan lamaku. Tapi aku tidak menemukannya, tak ingat
di mana. Jadi aku kembali ke sini."
"Kau mempermainkan aku, kan" Semalam kau dan sobatsobatmu duduk-duduk di kap mobil, minum-minum bir, dan waktu
aku keluar, kau..." "Sobat-sobatku" Sobat apa?"
"Aku tidak tahu nama-nama mereka. Salah satu bernama
Frankie. Dan sisanya aku tak tahu."
"Frankie?" Perlahan-lahan muncul senyum di wajah Paul,
senyum mengenali. "Yeah. Frankie. Hei... aku ingat dia. Frankie
Marcuso. Yeah. Dia tetanggaku. Anak baik. Wow. Aku baru ingat
sekarang. Ada siapa lagi di sana?"
Wajahnya berseri-seri waktu aku menyebutkan nama temannya,
pikir Melissa. Selama ini dia membuatku ketakutan, begitu ketakutan
sehingga aku tak menyadari betapa dia kesepian dan ketakutan juga.
"Aku tak tahu," sahut Melissa, pikirannya kacau. "Aku tak
kenal teman-temanmu. Mereka preman."
"Hei, tunggu sebentar." Ia melayang-layang. "Jangan menjelekjelekkan sobat-sobatku."
"Dengar, apakah ini cuma lelucon?" Melissa bertanya, sambil
bersandar pada bendul jendela. "Apakah kau sedang mempermainkan
aku?" "Tidak. Ini bukan lelucon," Paul menjawab dengan tenang dan
memandang kejauhan. "Kalau begitu kita harus mencari penjelasannya," ujar Melissa
sambil bertopang dagu. "Kau tahu tidak" Kau tidak di sana tadi malam
dan siang ini. Tapi kau ada di sana."
"Hah?" "Kau ada di dua tempat sekaligus, Paul. Benar, kan?"
Melissa menunggu Paul merenungkan hal itu. Paul tampak
sangat bingung, mondar-mandir dengan cepat di sepanjang kamar
Melissa. "Yeah. Kukira begitu. Aku ada di dua tempat sekaligus.
Kalau begitu, apa artinya ini?"
Melissa memandang ke lantai, berpikir keras. Paul yang
ditemuinya di tempat parkir diskotek dan supermarket kelihatan
sangat berbeda, lebih kuat, lebih pemarah, lebih kasar, lebih... hidup!
Hidup! Melissa memandang hantu itu, yang melayang-layang dengan
begitu ringan, tanpa suara mondar-mandir melintasi karpet. Dan
Melissa mendapatkan ide. "Paul, kupikir aku tahu."
Paul berhenti mondar-mandir. "Kupikir aku juga tahu." Ia
menatap Melissa dengan gusar. "Semuanya hanya tipuan, kan" Tipuan
konyol untuk mengulur-ulur waktu."
"Bukan. Stop. Itu bukan..."
"Aku seharusnya sudah bisa menebak," Paul bergumam kepada
dirinya sendiri, berdiri memunggungi Melissa.
"Paul, dengarkan aku. Kupikir mungkin aku bisa menjelaskan
apa yang terjadi." Paul tetap bergeming. Bagaimanapun, Melissa memutuskan untuk tetap
mengatakannya. "Kita menganggap kau hantu dari masa lalu," kata
Melissa. "Hah" Apa maksudmu?" Paul bertanya tanpa berbalik.
"Kita menganggap kau mati beberapa waktu yang lalu. Kau
mati di masa lalu, dan kau datang dari masa lalu ke masa kini untuk
membalas dendam atas kematianmu."
"Yeah... tentu saja," Paul berkata, jelas sekali ia tampak
bingung, tidak mengerti ke mana arah pikiran Melissa. Ia berbalik dan
memandang Melissa dengan ragu-ragu, menunggu kelanjutan ucapan
Melissa. "Oke, mungkin kita salah," Melissa berkata, sambil berusaha
keras meluruskan jalan pikirannya sendiri. "Bagaimana kalau kau
ternyata hantu dari masa depan?"
"Apa" Maksudmu seperti yang ada di film-film fiksi ilmiah
konyol itu?" "Bukan. Bukan begitu. Pikirkanlah sebentar. Bagaimana kalau
kau ternyata belum mati" Bagaimana kalau kau ternyata masih
hidup?" Dengan mengatakannya, semuanya menjadi lebih jelas bagi
Melissa. Ia tahu bahwa ia benar. Ia harus benar.
"Maksudmu..." "Maksudku kau adalah hantu dari masa depan, Paul. Kau belum
mati. Kau kembali tepat pada waktunya, kembali ke masa ketika kau
masih hidup." "Tak masuk akal," kata Paul sambil cemberut. "Dari tadi sudah
kukatakan, kau sinting."
"Coba kaupikirkan dulu!" Melissa berteriak, terlalu menggebugebu sehingga tak teringat untuk memarahi Paul. "Paul yang kulihat di
diskotek tadi malam, Paul yang bersama sobat-sobatnya"dia masih
hidup. Dan Paul yang membuntutiku di tempat parkir supermarket
siang ini"Paul itu juga masih hidup. Tidakkah kaulihat" Kau kembali
dari masa depan tepat pada waktunya. Dalam masa ini"sekarang"
kau masih hidup, Paul. Kau masih hidup!"
Tanpa berpikir, Melissa berlari menghampiri Paul dan dengan
gembira mengulurkan lengannya untuk merangkul bahu Paul. Melissa
tidak merasakan apa-apa, tidak ada sesuatu pun kecuali udara dingin.
Merasa konyol, Melissa melangkah mundur. Paul sedang
memandanginya dengan serius, masih berpikir tentang apa yang
dikatakan Melissa. "Dengan kata lain," katanya pelan-pelan, "kau belum
membunuhku." Ucapannya membuat punggung Melissa merinding. Melissa
menjatuhkan diri berlutut di atas tempat tidur. "Tidak," katanya lirih,
"aku tidak membunuhmu. Itulah sebabnya aku sama sekali tidak ingat.
Aku belum pernah melakukannya."
"Tapi kau akan melakukannya." Paul menatap Melissa dengan
pandangan menuduh. "Kau akan melakukannya."
"Tidak!" jerit Melissa. "Tidak! Jangan berkata begitu! Aku tak
mau! Aku tak sanggup! Aku janji takkan melakukannya!"
"Aku mati," ucap Paul murung. "Aku mati dan terperangkap
dalam tempat orang-orang buangan ini"dan kau yang
melakukannya." "Tidak!" pekik Melissa, suaranya tercekik karena rasa ngeri.
Pikiran untuk membunuh Paul"atau membunuh siapa pun"sangat
mengerikan baginya. "Tidak! Tolong, dengarkan! Tidakkah
kausadari" Ini merupakan kesempatan kedua, Paul. Kesempatan kedua
bagi kita berdua Aku takkan membunuhmu. Tidak akan! Pergilah.
Pergilah dari rumah ini"dan jangan mendekat lagi! Jika kau tak ada
di sini, aku takkan dapat membunuhmu."
"Aku sudah menjadi hantu," kata Paul sedih. "Paul yang masih
hiduplah yang harus menyingkir."
"Tentu saja. Begitu, kan" Itulah sebabnya kau kembali, Paul.
Kau tidak kembali ke dunia untuk membunuhku dan membalas
dendam atas kematianmu. Kau kembali ke dunia untuk mencegah
kematianmu! Kau dapat melakukannya! Kau dapat menghentikan
dirimu sendiri dari kematian karena terbunuh!"
Senyum Paul cerah, berbaur dengan sinar matahari yang
menyorot ke dalam kamar"bersih, bersinar putih, begitu terang,
sehingga Melissa harus menudungi matanya dengan tangannya.
Fear Street - Dihantui Haunted di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika Melissa menurunkan tangannya, Paul sedang berdiri di
depannya. Sekarang giliran Paul yang mencoba memeluk Melissa. Paul
membungkuk. Lengannya melingkari bahu Melissa. "Dapatkah kau...
merasakan sesuatu?" tanyanya.
"Ya," Melissa menjawab dengan jujur. "Tidak dingin. Udara
terasa hangat sekarang. Aku hampir dapat merasakanmu, Paul."
Masih dengan tersenyum, Paul melangkah mundur. "Aku
menjadi kuat lagi. Terima kasih, Melissa."
"Sesungguhnya aku tidak melakukan apa- apa," kata Melissa, ia
merasa tidak enak. Dengan terkejut tiba-tiba ia menyadari bahwa ia
sangat peduli terhadap Paul, dengan apa yang terjadi pada dirinya.
"Yeah, kau melakukannya. Kau menolongku menyelidiki
semuanya ini. Kau menolongku untuk mendapatkan kesempatan
kedua. Dan aku takkan melupakannya. Tidak akan."
"Aku akan terus membantumu," Melissa berkata, sambil
merenungkan betapa manis dan kekanak-kanakannya Paul, meskipun
wajahnya keras dan matanya penuh kepahitan. "Aku akan
membawamu kepadanya. Aku akan membawamu ke Paul yang hidup,
nanti malam! Kau harus memperingatkan dia. Kau harus
mengusahakan agar dia jangan sampai terbunuh!"
17 RUMAH Paul berada di deretan rumah papan bercat abu-abu di
sebelah barat lingkungan kumuh Old Village. Seekor kucing hitam
kurus tampak mencakar-cakar kantong sampah plastik yang sudah
robek-robek di depan teras. Beberapa rumah dari situ, dua gadis
berpakaian jins dan jaket kulit sedang bertengkar dengan suara keras,
tidak menghiraukan tetangga yang melongok ke luar dari jendelanya,
meminta dengan sangat agar mereka diam.
Melissa memarkir dan mengunci mobilnya. Ia tidak yakin
apakah mobilnya akan aman di lingkungan seperti itu.
Mula-mula Paul tidak mengenali rumah itu. "Bukan ini,"
katanya. "Ini kelihatan jelek."
"Tapi katamu Frankie tetanggamu, kan?" Melissa menegaskan.
"Aku mencari alamat Frankie di buku telepon. Dia tinggal di nomor
36. Jadi rumahmu pasti 34 atau 38."
Wajah Paul keabu-abuan seperti lampu senja, ia menggelenggelengkan kepala dan mengamat- amati jendela-jendela rumah itu
yang gelap dan kotor. "Mungkin," katanya akhirnya, suaranya hanya
berupa bisikan. "Mungkin."
Dua pemuda"yang hanya mengenakan jins dan T-shirt,
meskipun udara senja itu dingin"berlari kencang dari balik belokan.
Melissa harus meloncat menepi untuk memberi jalan kepada mereka.
Mereka tertawa-tawa dan tetap berlari tanpa menoleh.
Dengan terkejut ia menyadari bahwa Paul ternyata sudah
menapaki tangga rumah nomor 34. "Ini dia," kata Paul. "Ya. Ini
rumahku. Ada namaku pada kotak surat itu. Starett. Aku dapat
mengingatnya sekarang. Mendadak semuanya muncul kembali dalam
ingatanku." Paul tampak tidak senang, hanya tercengang, penuh
kesedihan, penuh keprihatinan. "Aku akan masuk," katanya. "Ayo ikut
aku." "Aku tak bisa," Melissa menolak. "Dia akan melihat aku."
Paul menengok dan menatap Melissa dari anak tangga teratas.
"Kau benar. Oke. Tunggu aku. Doakan aku." Paul berusaha
menganggap ini ringan, namun suaranya yang bergetar
mengungkapkan kecemasannya.
"Semoga berhasil," Melissa berkata, lalu duduk dengan tidak
tenang di tangga batu yang dingin. Ia mengamat-amati Paul
melangkah melewati pintu depan tanpa membukanya. Jika dia
berhasil, jika dia bisa berhubungan dengan Paul yang hidup, dia akan
pergi dan aku tidak akan melihat dia lagi, pikir Melissa.
Anehnya, Melissa tidak yakin apakah ia merasa sedih atau
senang memikirkan kemungkinan itu.
******************* Paul hantu melayang-layang melewati ruang tamunya yang
dulu. Gelap gulita, tak ada orang di sana. Perabotannya kelihatan
akrab, meskipun beberapa detik yang lalu ia belum dapat memulihkan
ingatannya tentang semua ini. Paul berhenti untuk meraba sofa
korduroi yang usang itu. Tanpa sadar, ia berteriak. Seolah-olah ia mati lagi, kehilangan
segalanya, kehilangan rumah ini, teman-temannya, ingatannya, segala
sesuatu yang berarti bagi dia.
Aku tak sanggup menghadapi ini, pikirnya. Ini terlalu
menyakitkan. Aku tak tahan.
Ia mendengar suara dari arah belakang rumah. Bunyi sepatu
yang mengetuk-ngetuk lantai. Suara batuk.
Paul menyingkir dari sofa tua itu dan menuju ke belakang.
Kamarnya ada di sana, tiba-tiba ia ingat. Ia dapat membayangkannya
dengan jelas. Kamar yang sempit dan panjang. Ranjang susun yang
menempel ke dinding. Kursi lipat di depan meja rendah berwarna
putih yang digunakannya sebagai meja tulis.
Pintu kamarnya terbuka. Lampunya menyala. Kurang-lebih
semeter dari pintu itu, ia berhenti dengan ragu-ragu. Ia dapat
merasakan gelombang energinya menggelora.
Tanpa bimbang lagi, ia menyelinap dengan tenang melalui pintu
dan melayang di dalam ruangan sempit itu.
Dan melihat... dirinya sendiri.
Ia sedang duduk di ranjang susun yang paling bawah, disinari
lampu meja merah tak bertudung di atas meja rendah itu. Betapa aneh
rasanya memasuki kamar dan menemukan diri sendiri. Betapa
mengerikan. Betapa menyedihkan. Paul hantu mengendap-endap ke tengah kamar sempit itu. Paul
yang hidup mengangkat kaleng bir ke mulutnya dan mereguk isinya
sampai habis, lalu melemparkan kaleng tersebut ke keranjang sampah
hitam kecil melintasi kamar.
Ia berpakaian sama dengan hantunya, jaket denimnya terbuka
menampakkan T-shirt kuning di baliknya, jinsnya belel dan kotor. Ia
mengusap-usap rambutnya yang hitam dan panjang, lalu berdiri
sempoyongan. Si hantu mulai memanggilnya, lalu berhenti. Paul telah
melangkah ke dapur dan menarik buku telepon dari rak di bawah meja
dapur. Ia membuka-buka buku itu dan mulai mencari-cari sebuah
nama, telunjuknya menelusuri kolom-kolom.
Kemudian ia meraih pesawat telepon, dengan ekspresi tidak
yakin. Ia memencet sebuah nomor, mencocokkannya lagi dengan
buku telepon dua kali. Siku lengannya bertumpu pada meja dan ia
menunggu. "Halo. Apakah Melissa ada?"
Si hantu bergerak mendekat, menyadari bahwa Paul ternyata
sedang menelepon Melissa.
"Bukan. Ini temannya," kata Paul, kedengarannya kecewa.
"Nama saya" Itu tidak penting." Ia meletakkan gagang telepon dan
menendang meja dengan marah.
"Itu tidak penting," ulangnya dengan sinis kepada diri sendiri.
Paul menendang meja lagi, lalu, sambil menengok ke luar
jendela, ia mulai mengancingkan jaketnya.
Dia akan keluar. Lebih baik aku menampakkan diri sekarang,
pikir si hantu. Ia melangkah ke depan Paul.
"Jangan takut."
Paul selesai mengancingkan jaketnya, berbalik, dan berjalan
keluar melalui pintu dapur.
"Kau dapat mendengar suaraku?" panggil si hantu sambil
mengikutinya. Dengan cepat Paul kembali ke kamarnya, meraih sikat rambut
dari atas lemari pakaian, dan, sambil memiringkan kepalanya, ia mulai
menyisir rambutnya yang gelap lurus ke belakang, memandangi
bayangan dirinya pada cermin empat persegi panjang di lemari
pakaiannya. "Berbaliklah!" teriak si hantu. "Kau harus mendengar aku.
Harus!" Sambil bersiul-siul Paul memiringkan kepalanya ke sisi yang
lain dan meneruskan menyisir rambutnya.
Dengan putus asa si hantu melangkah ke depan dan memegang
sikat rambut itu. Namun tangannya hanya menembus sikat itu.
Gerakan menyisir Paul yang cepat tidak terganggu.
"Ayolah... berbaliklah! Tak dapatkah kau mendengar aku?"
Tidak ada tanggapan. Paul tidak melihat ataupun
mendengarnya, bahkan tidak merasakan kehadirannya di kamar itu.
Si hantu memusatkan energinya, berusaha keras untuk
menampakkan diri. Paul mematikan lampu dan berjalan melalui
lorong panjang, lalu keluar lewat pintu depan.
Apakah dia akan bertemu dengan Melissa di teras" si hantu
bertanya-tanya. Ia melayang-layang menembus dinding depan keluar
dari rumah itu. Paul baru saja menuruni tangga dan berlari-lari kecil
menuju Davis Street. Melissa tidak kelihatan di mana-mana.
Paul memasuki Aldo's, toko minuman keras di sudut jalan. Tak
lama kemudian ia keluar menenteng kantong kertas cokelat. Dengan
gagah ia berjalan menuju tempat parkir di samping toko. "Hei, Kenny,
Frankie... apa yang kalian kerjakan di sini?"
Sobat-sobatnya, yang sedang bercakap-cakap di bawah sinar
perak lampu jalanan di depan tempat parkir, menghentikan
perbincangan mereka dan bergegas mendekati Paul. "Kau bawa bir?"
Frankie bertanya sambil meraih kantong kertas cokelat itu.
"Bukan untukmu," kata Paul, mengayunkan kantong itu
menghindari jangkauan Frankie. "Bir membuat air liurmu menetes."
"Jadi?" "Di mana cewek kayamu itu?" Kenny, yang kurus dan
mempunyai masalah dengan jerawat, menanyai Paul.
Paul menatapnya dengan garang. "Siapa?"
"Cewek kaya yang rambutnya acak-acakan itu."
Frankie dan Kenny tertawa terbahak-bahak dan saling
menepukkan telapak tangan ber-high five.
"Kau sudah berhasil mengencaninya?" tanya Kenny mengejek.
Frankie masih belum berhasil meraih bir itu.
"Aku dapat memilikinya kapan pun aku mau," kata Paul
menyombong sambil menepuk-nepuk dadanya. Kedua temannya
tertawa lagi. "Lalu kenapa dia datang menemuiku?" tanya Frankie sambil
menyeringai. "Tadi siang. Di supermarket."
"Jadi itulah sebabnya dia ada di supermarket." Paul menatap
Frankie penuh curiga. "Dia mau apa?"
"Mengajakku kencan, tentu." Frankie dan Kenny ber-high five
lagi. "Hah," kata Paul kasar. "Kuulangi lagi... dia mau apa?"
"Beri aku bir dan kau akan kuberitahu," sahut Frankie.
"Aku juga," tambah Kenny cepat, ia menjulurkan tangannya.
"Katakan, atau kau bakalan makan kaleng," kata Paul penuh
ancaman. Seringai menghilang dari wajah mereka. Tampak jelas bahwa
mereka sangat takut kepada Paul. "Dia mendatangiku untuk
menanyakanmu," Frankie mengaku.
"Dia ingin tahu soal apa?" desak Paul.
"Hei, kalian," seorang laki-laki berteriak dari jalanan. "Cepat
pergi. Jangan berkeliaran di sini."
Mereka menoleh dan melihat seorang polisi sedang melongok
dari jendela mobil polisi yang berwarna hitam-putih.
"Kami baru akan pergi, Pak," Paul berkata dengan sopan,
sambil menyembunyikan kantong berisi enam kaleng bir di balik
jaketnya. Mereka masuk ke Chevy Malibu tua milik Kenny, yang diparkir
di deretan paling depan tempat parkir itu. Paul hantu mengikuti, masih
penasaran sebab ia belum berhasil berkomunikasi dengan Paul yang
hidup. Keputusasaan mulai menggerogoti hatinya, ia merasa pasti
gagal. "Ke mana kita pergi?" Paul bertanya, duduk bersebelahan
dengan hantunya di bangku belakang.
"Kita tak bisa ke mana-mana. Kita tak punya uang," sahut
Frankie. "Oke, ada cara untuk mendapatkan uang," kata Paul sambil
menyeringai. Ingatan-ingatan bermunculan kembali di benak si hantu yang
duduk diam-diam di samping Paul. Ingatan tentang malam-malam
yang penuh ketakutan dan ketegangan, bagaimana ia menerobos
jendela dan menyelusup ke rumah-rumah, mencari dan mengambili
barang-barang yang semestinya menjadi miliknya.
"Kau benar-benar suka menyatroni rumah-rumah orang?"
Frankie menoleh ke tempat Paul duduk.
Paul mengangguk, meneguk bir banyak-banyak. "Itu cuma soal
sepele." "Rumah-rumah di Fear Street yang katanya dirampok itu?"
Kenny bertanya dengan suara penuh kekaguman. "Berita-berita di
koran itu sesungguhnya tentang kau?"
"Tadi sudah kukatakan, ada banyak cara untuk mendapatkan
uang," kata Paul dengan penuh kepuasan.
"Orang-orang menjulukimu Rampok Fear Street," kata Kenny.
"Kau ngetop!" "Aku tak peduli dengan itu," sahut Paul lirih, ia memandang ke
luar jendela. Rumah-rumah di situ gelap dan pepohonan melintas
dengan cepat. Ucapan Paul memancing lebih banyak lagi ingatan untuk
hantunya. Ya. Tentu saja. Bagaimana dia bisa sampai lupa" Dia"
Paul"adalah Rampok Fear Street.
Namun sekarang ia harus menghentikan Paul. Ia harus
mengusahakan agar Paul menjauh dari Fear Street.
Tapi bagaimana caranya"
Mendadak semuanya menjadi putih. Ia pergi, meninggalkan
mereka, meninggalkan mobil itu, memasuki dunia kosong tempat ia
menghabiskan begitu banyak waktunya. Berjuang untuk bertahan
dengan dirinya yang masih hidup, si hantu perlahan-lahan memudar,
lalu lenyap. Ketika ia muncul kembali beberapa waktu kemudian,
dilihatnya mobil itu diparkir di pinggir jalan.
Di manakah mereka" Si hantu dapat melihat papan penunjuk
arah jalan yang miring. FEAR STREET. Ia melayang-layang di atas
lapangan ketika Paul berjalan mengitari sisi rumah tua yang beratap
rendah dan tidak bertingkat, merapatkan tubuhnya ke dinding,
menyatu dengan bayangannya. Ia akan segera menyelusup ke rumah
itu. Tidak, pikir si hantu. Jangan. Jangan kaulakukan. Aksimu ini
akan membuatmu mati. Membuatku mati. Bagaimana aku dapat
menghentikannya" Dalam kegelapan dilihatnya sebuah penggaruk tersandar di
dinding tak jauh dari tempat Paul berdiri. Aku akan mengangkat
penggaruk itu, pikirnya. Aku akan mengayunkannya. Kalau aku dapat
menakut-nakuti Paul, mungkin dia akan mengurungkan niatnya.
Setelah menghilang ke dalam dunia kosong yang serba putih
itu, si hantu merasa lebih kuat. Cukup kuat untuk mengangkat
penggaruk. Ia melayang ke penggaruk itu, menghimpun energinya,
menyelubungkan dirinya ke sekeliling pegangannya, dan menghela
benda itu.
Fear Street - Dihantui Haunted di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ya! Ya, ia berhasil menggerakkan penggaruk itu.
Akhirnya, pikirnya. Akhirnya aku bisa menghubungi Paul.
Ditariknya penggaruk itu menjauh dari tembok, diayunkannya,
dan... Ternyata ia terlambat. Paul telah memanjat pinggiran jendela
dan menyelinap ke dalam rumah yang gelap itu.
Terlambat. Rampok Fear Street sedang beraksi lagi.
Si hantu membiarkan penggaruk itu jatuh ke tanah, tiba-tiba
merasa tak berdaya dan kalah. Ketika jeritan seorang wanita
memecahkan kesunyian malam, ia tidak bergerak.
Jeritan kedua. Suara itu menggetarkan kaca. Dan Paul meluncur
keluar dari jendela, berguling di tanah, sekejap kemudian berdiri, dan
berlari sepanjang pagar menuju jalanan.
Wanita itu masih terus menjerit, "Tolong! Tolong aku! Tolong,
siapa saja"tolong aku!"
Si hantu melihat Paul lari ke mobil dan menarik pintunya
hingga membuka. Lalu, begitu Paul membenamkan diri di jok
belakang, Malibu tua itu berderum menjauh, lampunya dimatikan,
pintu belakang masih terbuka.
Teriakan itu berhenti. Lampu-lampu mulai dinyalakan di
seluruh penjuru rumah itu. Si hantu tetap tidak bergerak. Ia melayanglayang, di suatu tempat antara dunia ini dan dunia yang lainnya,
pikirannya kacau, tubuhnya terasa begitu ringan, begitu gaib, begitu
tanpa daya dan tanpa kehidupan....
******************* "Ke mana kau tadi?" tanya si hantu.
Melissa menjerit. "Kau mengagetkan aku!" Ia baru saja keramas
dan membungkus kepalanya dengan handuk hijau yang dililitkan
seperti serban. Ia memakai jas mandi katun berwarna biru pucat
menutupi piamanya. "Sori," kata si hantu lirih, sambil memandang ke luar jendela
kamar. "Aku tak bisa menunggumu. Di sana sangat mengerikan," kata
Melissa meminta maaf. Ia duduk di tepi tempat tidur, melipat kakinya.
"Itulah tempat aku dibesarkan," kata si hantu dengan getir.
"Jangan marah," kata Melissa.
"Seumur hidupku aku memendam amarah," kata si hantu.
Kegelapan dari luar jendela seolah-olah meresap ke dalam tubuh si
hantu hingga ia berupa bayangan. "Kemiskinan membuatmu marah.
Bisa membuatmu melakukan apa saja."
"Apakah kau akan merendahkan aku lagi karena aku kaya?"
Melissa bertanya dengan letih.
"Tidak." Bayangan itu semakin gelap. Suaranya bahkan
semakin mengecil, semakin jauh. "Aku melihatmu di mall hari itu.
Aku melihat kau marah-marah pada temanmu karena dia mengejek
gadis itu, gadis miskin itu. Aku tahu kau lain." Si hantu berhenti.
Kamar itu menjadi sunyi untuk waktu lama. "Tapi apa pengaruhnya
buatku?" keluhnya. "Apa yang terjadi setelah aku pergi" Dapatkah dia melihatmu"
Apakah kau berbicara dengannya?"
"Tidak," si hantu menjelaskan. "Tak ada jalan. Aku tak dapat
mengubah apa-apa. Aku akan terbunuh"lagi."
"Tidak! Aku takkan membunuh dia! Aku takkan
membunuhmu!" teriak Melissa.
"Kau takkan dapat menghindar," kata Paul dengan pahit.
"Kalau begitu aku akan berbicara dengan dia," kata Melissa
menuruti kata hatinya, sambil memain-mainkan bandul perak di
lehernya. "Apa" Tidak. Tidak mungkin!" cegah Paul sambil menggelenggeleng. "Jangan! Itu berbahaya..."
"Dia akan kuberitahu agar menjauhi Fear Street. Aku bisa
kelihatan. Dia akan mendengarkan omonganku."
"Bagaimana kalau dia tidak mau?"
"Aku akan berusaha meyakinkannya."
"Jangan bodoh!"
Melissa tampak tersinggung. "Aku tidak bodoh. Aku cuma
mencoba menolongmu. Kau tidak dapat berhubungan dengan dia. Jadi
siapa lagi yang bisa mencoba" Hanya aku. Kaupikir aku ingin bertemu
dengannya" Tidak. Tidak sama sekali."
"Kau... kau melakukan ini demi aku?" tanya si hantu dengan
terharu. Tampaknya ia benar-benar tersentuh.
Melissa tersipu-sipu dan melihat ke arah lain. "Hmm, ya. Tapi
aku berbuat begini juga buat aku sendiri. Aku takut sekali kau
mungkin benar. Aku sangat takut sehingga nyaris tak dapat bernapas!
Aku tak ingin membunuh siapa pun. Aku tak ingin cerita sintingmu
jadi kenyataan. Jika ada apa pun yang dapat kulakukan untuk
mencegah agar itu tidak terjadi, aku akan melakukannya."
Si hantu mulai memudar. Kini ia hanyalah segumpal gelap asap,
bayang-bayang tipis pada dinding kamar. "Sudahlah, lupakan saja itu.
Kita tak bisa mengubah apa pun," katanya sedih dan kemudian benarbenar lenyap.
18 "TIDAK, aku tak bisa malam ini, Buddy. Aku baru saja akan
keluar." Ini terjadi malam berikutnya. Melissa sedang bersiap-siap pergi
ke rumah Paul. Ia menjepit gagang telepon dengan dagu dan bahunya
sambil berusaha menyisir rambutnya, yang telah mencuat di kedua sisi
kepalanya seperti sayap pesawat terbang.
"Tidak, aku benar-benar tidak bisa," katanya, berusaha tidak
terdengar marah. Mengapa nada suara Buddy begitu prihatin setiap kali mereka
berbicara" Mereka tidak dapat bercakap-cakap dengan wajar lagi
sekarang. Buddy hanya mencemaskan Melissa dan terus mencecarnya
dengan pertanyaan untuk mengetahui apakah Melissa sudah normal
kembali, apakah ia telah berhenti melihat hantu.
Sungguh menjengkelkan. Mengapa ia tidak percaya saja pada
Melissa" "Mungkin kita dapat pergi keluar besok malam," kata Melissa.
"Telepon aku di rumah Della. Aku tinggal di sana selama Mom dan
Dad di Las Vegas. Sekarang aku benar-benar harus pergi." Lalu
Melissa meletakkan gagang telepon.
Melissa memandangi dirinya sendiri di cermin. Kedua sayap di
kepalanya sudah agak terkulai, namun masih belum rata.
Barangkali aku memang gila, pikirnya. Mendatangi Old Village
di lingkungan mengerikan untuk menemui preman itu. Pasti ia akan
mengejekku dan mengatakan bahwa akulah yang menyodorkan diri
lagi, dan situasi yang akan kuhadapi pasti sangat sulit.
Tapi kalau dia tidak mau mendengarkan aku...
Jika dia tidak mendengarkan aku"mungkinkah aku benarbenar akan membunuhnya"
Tidak. Tak mungkin. Tak mungkin aku membunuh seseorang"
Paul atau siapa pun. Tidak peduli berapa kali Melissa meyakinkan dirinya sendiri,
masih ada keragu-raguan yang berkecamuk dalam benaknya. Dan
jalan satu-satunya untuk menghentikannya adalah berbicara dengan
Paul. ********************** Melissa memarkir mobilnya di depan hidran pemadam
kebakaran, menguncinya, dan keluar, lalu melangkah menuju pintu
depan rumah Paul. Malam ini udara terasa sejuk, segar, nyaris dingin,
awal datangnya musim gugur. Di suatu tempat di sekitar blok itu
rupanya sedang berlangsung permainan bola basket. Melissa dapat
mendengar bunyi mantap benturan bola basket mengenai aspal dan
teriakan-teriakan bersemangat para pemainnya.
Melissa mencari bel pintu, tetapi tidak menemukannya. Ia
mengetuk pintu dengan keras, lebih keras daripada yang
dimaksudkannya. "Tenang, kawan," katanya kepada diri sendiri,
dengan gugup ia melirik ke sekitar blok itu. Ia menarik ke bawah
lengan sweatshirt Shadyside High yang dipakainya bersama jins
berpipa lurus. Ia mengetuk lagi. Rumah itu gelap. Dia tak ada di rumah, batinnya, antara kecewa dan lega.
Apa yang akan kukatakan padanya" Ia telah berlatih
mengucapkannya di dalam mobil, namun tidak berhasil menemukan
kata-kata yang tidak terdengar tolol.
Ia mengetuk lagi, kemudian mencondongkan badannya ke
samping teras untuk mengintip melalui jendela depan yang corengmoreng dengan debu. Tidak. Tak ada orang yang muncul.
Dengan mengembuskan napasnya kencang-kencang, ia berbalik
dan mulai menuruni tangga batu. Ia sedang membuka pintu mobilnya
ketika terdengar suara tawa dari arah ujung blok.
Mula-mula ia tidak mengacuhkannya. Ia sudah duduk di
belakang kemudi ketika suara tawa itu terdengar lagi. Melissa merasa
mengenali tawa Paul sejak malam di diskotek itu.
Ia keluar lagi dari mobilnya. Ujung blok itu tidak jauh. Kenapa
ia tidak menemuinya jika itu Paul"
Ia berjalan cepat sepanjang trotoar yang retak-retak, mendatangi
toko minuman keras kecil di sudut jalan. Pada lampu neon penunjuk
di jendelanya tercantum tulisan Aldo's. Tempat parkir yang sempit
terletak tak jauh dari toko itu. Di bawah sinar lampu jalanan yang
rendah, tiga cowok bersandar pada Malibu di tempat parkir itu,
tertawa-tawa dan minum-minum dari dalam kantong kertas cokelat.
Mendadak mereka menoleh ketika Melissa menampakkan diri,
dan berhenti tertawa. Cowok yang di tengah, sedang duduk di bumper
depan, ternyata Paul. Melissa berhenti di pinggir tempat parkir. Paul bangkit berdiri,
senyum menghiasi wajahnya. Ia mengenali Melissa. Terlambat untuk
kembali ke mobil. "Lihat siapa di sana!" seru salah satu cowok itu, sambil
menjatuhkan kantong kertasnya ke atas spatbor depan. Melissa
mengenali Frankie, cowok yang bekerja di supermarket itu. Melissa
tidak tahu siapa cowok yang ketiga, yang kulitnya jelek.
"Kau menguntitku?" tanya Paul kepada Melissa, sambil
meluruskan rambut gelapnya.
Kedua cowok yang lain tertawa.
"Ngawur kau. Dia datang cari aku," kata Frankie sambil
meninju bahu Paul. Paul berputar dengan marah dan memelototi Frankie. Frankie
melangkah mundur. "Aku cuma bergurau. Tenang, oke?"
Dengan sempoyongan Paul melangkah mendekati Melissa.
Melissa tahu, pasti Paul sudah kebanyakan minum.
"Aku... aku ingin bicara denganmu," kata Melissa. Ia masih
berdiri di tepi jalan di dekat lampu jalanan, tidak mendekat.
"Dia ingin kau, Paul," kata cowok yang lain.
"Dia ingin kaukencani, sobat," tambah Frankie.
Kedua cowok itu tertawa dan memukul-mukul mobil. Paul tidak
mengacuhkan mereka, tetap melangkah pelan-pelan dan sempoyongan
mendekati Melissa. Ekspresi wajahnya aneh, nyaris menantang.
Melissa bertahan, memutuskan untuk mengatakan apa yang
harus ia katakan, memutuskan untuk tidak takut terhadap Paul. Dia
kelihatan persis sekali dengan hantunya, pikir Melissa, pikiran gila.
Dia mirip hantunya, tapi tanpa kelembutan di matanya, tanpa sifat
kekanak-kanakan. "Hei," Paul berkata, berhenti hanya beberapa senti dari Melissa.
Cahaya lampu jalanan memantul di dalam kegelapan matanya dan
membuat Paul kelihatan pucat, hampir seperti hantu. "Kau tidak
menjawab pertanyaanku. Kau membuntutiku?"
"Sudah kukatakan padamu. Aku ingin bicara denganmu," jawab
Melissa kehilangan kesabaran.
"Oh, aku tahu." Paul tersenyum. Napasnya berbau bir. Ia
mengangkat kaleng di dalam kantong dan menawarkannya kepada
Melissa. "Mau seteguk?"
Melissa menggeleng. "Kelihatannya kau sudah cukup banyak
minum malam ini." Kenapa dia mengatakan itu" Melissa begitu
tegang, ia tidak menyadari apa yang dikatakannya.
"Memangnya kau siapa"ibuku?" bentak Paul, sambil
memiringkan kaleng itu ke mulutnya. Ia menghabiskan birnya, lalu
melemparkan kantong ke jalan aspal.
"Dengar, Paul..."
"Bagaimana caramu menemukan aku?"
"Paul, kalau saja kau membiarkan aku..."
"Bagaimana caramu mendapatkan namaku" Bagaimana kau
tahu aku ada di mana" Dan apa maumu?" Paul tersenyum, lebih mirip
seringai daripada senyum. "Kau tak harus menjawab aku. Kau mau
pergi ke tempat sepi dan ngobrol?"
Ia menyambar pergelangan tangan Melissa.
Kedua cowok yang berada di tempat parkir bersorak-sorak.
Paul menoleh ke arah mereka, sambil mengeratkan
pegangannya pada pergelangan tangan Melissa. "Anggap saja mereka
tidak ada," katanya, sambil menarik Melissa.
"Tidak. Lepaskan."
Paul tidak melepaskannya. "Hei, kau datang untuk ketemu aku,
kan?" "Ya Ada urusan yang sangat penting... Stop. Kau menyakiti
aku, Paul." Keluhan Melissa hanya membuat Paul tertawa. "Bersakit-sakit
dahulu, bersenang-senang kemudian," Paul komat-kamit dan tertawa
tergelak-gelak seolah-olah ucapannya itu sangat lucu.
"Tolonglah... lepaskan."
"Ayo." Sambil masih memegang pergelangan tangan Melissa,
ia menarik Melissa ke dekatnya. "Kau mau bicara" Kita akan bicara,
Melissa. Hanya kita berdua."
Ia menarik Melissa menjauhi tempat parkir, menjauhi lampu
jalanan, ke dalam kegelapan.
Tidak, pikir Melissa. Ke mana dia akan membawaku" Aku
takkan membiarkannya. Aku harus melarikan diri.
Melissa menarik tangannya, menatap wajah Paul, dan membeku
karena ketakutan. Paul kelihatan sangat marah, kehilangan kendali.
19 "AKU tahu di mana kau tinggal," kata Paul tiba-tiba.
"Apa?" Melissa tidak yakin akan pendengarannya.
"Aku menemukan rumahmu. Di Fear Street."
"Itulah yang ingin kubicarakan denganmu," kata Melissa.
"Kau menemukan rumahku, kan?" Paul memuntir lengan
Melissa. Melissa tidak yakin apakah Paul menyadari perbuatannya.
"Jadi aku juga menemukan rumahmu. Itu adil kan menurutmu?"
Melissa menyentakkan lengannya dengan keras dan berhasil
melepaskan diri. "Hei..." Paul tampak kebingungan, limbung.
Melissa tahu ini adalah pengaruh bir. Mereka sedang berdiri di
depan mobilnya sekarang. Ia mulai merasa sedikit lebih aman,
ketakutannya sedikit berkurang.
"Aku ingin memintamu untuk tidak menggangguku," kata
Melissa. Paul tertawa. "Itukah sebabnya kau menemuiku?" Paul
memasukkan tangannya ke kantong jinsnya, lalu mengeluarkannya
lagi. Tampaknya ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya dengan
kedua tangannya itu. "Tolong, jangan tertawakan aku. Aku serius. Jangan sekali-kali
menggangguku. Menyingkirlah dariku. Menjauhlah dari rumahku. Itu
sangat penting." Sebuah mobil menderum, ban-bannya berdecit. Radionya
meraung-raung lewat jendela dengan volume sangat kencang.
Fear Street - Dihantui Haunted di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Paul memiringkan badannya ke arah Melissa. "Aku tidak
mengerti." "Terus terang aku tak bisa menjelaskan," kata Melissa. "Aku
hanya bisa memperingatkanmu..."
"Kau memperingatkan aku?" Paul marah sekali.
"Memperingatkan aku" Kau mendatangi wilayahku! Kau membuntuti
aku! Kau memperingatkan aku?"
"Kau tidak mengerti. Ini demi kebaikanmu sendiri. Menjauhlah
dari Fear Street." Melissa tahu ia tidak berhasil berkomunikasi dengan Paul. Ia
tahu bahwa semua yang dikatakannya akan terdengar tolol.
Aku hanya ingin segera menjauh dari sini, pikirnya. Aku cuma
ingin mencair, menguap, menghilang.
"Jangan kuatir, aku akan mengelap kakiku dulu sebelum aku
lewat di jalanmu," kata Paul sinis, sambil memandangi Melissa.
Dengan wajah merah padam ia melontarkan makian, kemudian
berbalik dan mulai melangkah kembali ke tempat parkir.
"Tolong dengarkan aku," Melissa memanggil Paul, merasa
seperti orang bodoh. Namun apa yang dapat dikatakannya" Apa lagi
yang dapat dijelaskannya pada Paul" Bahwa hantu Paul telah
mendatanginya" Bahwa hantu Paul sedang mencoba melindungi Paul
dari pembunuhan" Gila! Mana mungkin dia percaya"
Paul terlalu banyak minum, mungkin ia bahkan tidak akan ingat
bahwa aku pernah ke sini, pikir Melissa.
Pikiran itu tidak membuat perasaan Melissa lebih enak.
Tiba-tiba ia merasa lelah, lalu memasuki mobilnya dan melaju
pulang. Hantu Paul telah memperingatkanku bahwa aku takkan dapat
berkomunikasi dengan dia, batin Melissa.
Hantu itu benar. ********************* Malam berikutnya Della menelepon Melissa tepat sebelum
waktu makan. "Oh, hai, Della," kata Melissa, sambil mencoba
memakai T-shirt dan memegang telepon pada saat bersamaan. "Aku
akan ke rumahmu begitu selesai makan. Aku sudah berkemas untuk
berakhir pekan di sana. Aku ingin bercerita banyak padamu. Aku tak
tahan lagi..." "Ada sedikit halangan," Della memotong. "Aku masih di rumah
sepupuku. Aku tak bisa kembali ke Shadyside sampai besok."
"Maksudmu..." Melissa tidak dapat menyembunyikan
kekecewaannya. "Begini, malam ini kau di rumah saja, dan besok baru ke
rumahku, oke?" usul Della. "Aku benar-benar minta maaf."
"Tidak apa-apa," sahut Melissa. "Tapi kupikir aku takkan
memberitahu orangtuaku. Hanya akan membuat mereka cemas."
"Aku sungguh-sungguh menyesal," kata Della. "Tapi setidaknya
kita masih punya besok malam dan Sabtu malam. Kau akan baik-baik
saja, kan?" "Tentu," jawab Melissa. Lagi pula, batin Melissa, aku takkan
sendirian. Paul di sini. Della masih berusaha minta maaf lagi beberapa kali. Kemudian
Melissa mengatakan sampai jumpa dan tergesa-gesa turun untuk
makan malam. *********************** "Aku sungguh-sungguh mencemaskanmu," Mrs. Dryden
berkata sambil menjumput benang merah dari T-shirt putih Melissa.
Makan malam sudah selesai, dan orangtua Melissa sedang bersiapsiap berangkat ke bandara.
"Mom, aku akan baik-baik saja. Sungguh." Melissa duduk di
kaki tangga dan memperhatikan ayahnya yang sedang berjuang
menutup koper. Usaha menekan sisi koper itu tampaknya tidak banyak
membantu. Akhirnya, Mr. Dryden menduduki koper itu dan berhasil
menggerakkan ritsleting untuk menutup.
"Oke, bagaimana dengan Rampok Fear Street yang masih
berkeliaran..." "Kenapa kau mengungkit-ungkit hal itu?" bentak Mr. Dryden,
sambil menyeka keningnya dengan saputangan. "Melissa kan tidak
tinggal di rumah. Dia akan menginap di tempat Della. Jangan
menambah-nambahi kegelisahannya!"
"Bukan begitu maksudku, Wes," sanggah Mrs. Dryden, sambil
mencari-cari sesuatu di lemari pakaian. "Aku hanya ingin mengatakan
bahwa aku cemas. Ada berita lagi di koran hari ini tentang perampok
itu. Dia menyatroni rumah yang terletak beberapa blok dari sini.
Wanita pemiliknya ada di rumah dan perampok itu kabur sebelum
sempat menjarah." "Menurutku tak ada gunanya kita mendiskusikan Rampok Fear
Street sekarang," Mr. Dryden berkata kepada istrinya. Ia menutup
koper yang lain dan menoleh ke Melissa. "Kau takkan lupa mengunci
semua pintu, kan?" "Tidak," Melissa menjawab sambil menggerakkan bola
matanya ke atas. "Kapan kau akan ke rumah Della" Kau sudah berbenah?"
ibunya bertanya. "Ya, aku sudah berbenah." Itu benar. "Aku akan ke sana segera
sesudah kalian berangkat." Itu tidak sepenuhnya benar.
"Baiklah, kami akan meneleponmu besok," Mrs. Dryden
berkata. "Mom, aku bukan anak kecil lagi. Aku dapat menjaga diri."
"Di mana tongkat golfku?" Mr. Dryden bertanya, mendorong
kacamatanya ke atas hidungnya, mondar-mandir di ruangan itu sambil
mencari-cari. "Tongkat golf?" Ibu Melissa mengulangi seakan-akan belum
pernah mendengar kata itu. "Oh, ya ampun. Waktu itu kau pernah
mengingatkanku untuk membawa tongkat golf, bukan?"
Mr. Dryden menepuk dahinya dengan gaya dilebih-lebihkan,
sehingga kacamatanya melorot lagi.
"Hei... kukira ini konvensi yang serius," Melissa menggoda.
"Ini memang serius," ayahnya berkata sambil menuju ke lemari
dinding untuk mengambil tongkat golfnya. "Dan aku akan bermain
golf dengan serius."
Perlu waktu setengah jam untuk memasukkan semua barang ke
mobil. Akhirnya mereka berangkat, setelah mengingatkan Melissa
akan setumpuk hal penting lainnya, misalnya bahwa ia bisa
menelepon bibinya, Aunt Kate, bila ia mendapat masalah, dan
memberitahukan untuk keseribu dua ratus kalinya di mana mereka
mencatat nomor telepon hotel di Las Vegas tempat mereka menginap.
Melissa memperhatikan mobil mereka melewati jalan mobil di
halaman. Kemudian, setelah melambaikan tangan untuk terakhir
kalinya bersamaan dengan ayahnya membunyikan klakson, Melissa
menutup pintu depan dan menguncinya.
Sekarang ia benar-benar sendirian. Bahkan Marta pun sudah
pergi, mengunjungi saudara laki-lakinya di Cincinnati selama
beberapa hari. Benar-benar sendiri. Hanya dengan hantu.
Melissa merasa gugup, cemas, gelisah.
Benar-benar konyol. Sepi sekali. Itulah masalahnya. Terlalu sepi.
Ia berjalan ke ruang keluarga, mencari-cari di antara setumpuk
CD, dan memasang sebuah di player. Musik bergema di ruangan itu.
Musik disko berdentam-dentam keras. Melissa asyik bergoyang
sendirian sejenak. Ia memang menyukai disko. Di mana Buddy"
Mereka berdua bisa pergi ke Red Heat lagi dan bergoyang habishabisan. Lalu dia tidak perlu merasa cemas.
Red Heat membuatnya teringat kepada Paul. Paul dan temantemannya di tempat parkir.
Musik yang hiruk-pikuk malah membuatnya gelisah. Ia
bergoyang mendekati CD player dan mematikannya.
Apa yang sebaiknya ia kerjakan" Nonton TV" Mungkin ada
film bagus. Ia memungut remote control, menyalakan TV, dan mulai
memindah-mindah saluran. "Hei... Tom Cruise dan Paul Newman." Ia sudah pernah melihat
film itu dua kali, namun ia mulai menontonnya lagi. Sekitar setengah
jam kemudian, ia mematikan TV. Terlalu banyak iklan. Setiap kali ia
mulai tertarik, iklan menyela film selama lima menit.
Sekarang mau apa" Ia mondar-mandir di ruang tengah itu.
Tetapi ini malah hanya membuatnya semakin gugup. Sinting,
pikirnya. Aku masih punya otak. Aku harus bisa menghibur diriku
sendiri malam ini tanpa menjadi sinting.
Melissa mengambil Coke dari kulkas di dapur, kemudian naik
ke kamarnya dan membaca di tempat tidur. Ia meletakkan kaleng
Coke di atas meja di samping ranjang dan mulai melepaskan
pakaiannya. Lalu berhenti.
"Hei, Paul... kau di sini?"
Tidak ada jawaban. Ia berjalan mengelilingi kamar, memeriksa kalau-kalau ada
sedikit udara dingin, tanda bahwa hantu itu ada di situ.
"Paul?" Di mana dia" Apakah dia sama sekali tidak ingin tahu tentang
kejadian semalam, mengenai percakapannya dengan Paul"
"Paul... kau di sini?"
Ke mana Paul pergi kalau hantu itu tidak ada di kamarnya"
Apakah dia menghilang begitu saja" Ataukah dia selalu ada di sekitar
situ, selalu memperhatikan Melissa" Apakah dia melihat Melissa
berganti pakaian" Enak saja.
Mungkin dia di sini, sedang mengawasi Melissa.
"Paul?" Melissa memutuskan untuk menutup jendela meskipun udara
sangat panas. Ia mendorong jendela sampai menutup rapat semuanya
dan menguncinya. Di luar, ia melihat cuaca malam ini cerah, pengap,
dan sunyi. Tak ada apa-apa yang bergerak, bahkan dedaunan pun
tidak. Sangat sepi, seperti tidak nyata.
Merasa aneh, Melissa meneguk Coke-nya pelan-pelan. "Aku
akan tidur saja," serunya. Ia melihat jam. Pukul 23.30. Belum terlalu
larut, tapi mungkin ia bisa tertidur.
Melissa menukar pakaiannya dengan kemeja piama tua ayahnya
dan menyelinap ke balik selimut. Ranjang itu terasa hangat, terlalu
hangat. Ia menendang selimut ke kaki ranjang dan mematikan lampu.
Melissa memejamkan mata, berusaha rileks. Namun udara
terlalu panas. Dengan mendesah panjang ia bangkit dari tempat tidur,
berjalan mendekati jendela, membuka kuncinya, dan menarik jendela
itu hingga membuka separo. Angin tidak bertiup sedikit pun, tapi
setidaknya ada udara yang masuk ke kamarnya.
Ia kembali ke ranjang, selimutnya basah terkena keringatnya. Ia
menonjok dan menusuk bantalnya, supaya nyaman dipakai.
Aku tak dapat tidur di sini, katanya memutuskan.
Ia bangun dan, tanpa menyalakan lampu, berjalan melintasi
lorong berkarpet menuju kamar orangtuanya yang ber-AC. Sambil
menguap lebar-lebar, ia menyibakkan selimut dan merangkak di
bawah selimut yang lembut dan dingin itu.
Ranjang itu besar dan terasa aman. Kamar itu gelap dan
beraroma parfum ibunya. Melissa merasa nyaman dan aman seperti
anak kecil. Ia terhanyut dalam tidur tanpa mimpi.
Bunyi ribut itu membangunkan Melissa. Jam digital di samping
ranjang menunjukkan pukul 00.13. Ia bangkit duduk, mula-mula
kebingungan, tidak yakin berada di mana.
Bunyi ribut itu terdengar lagi. Ada yang sibuk melakukan
sesuatu di luar. Ada yang bergerak di balik gorden jendela.
Melissa segera menyadari apa yang terjadi.
Seseorang sedang berusaha mencongkel jendela kamar
orangtuanya. 20 RAMPOK Fear Street! Melissa menurunkan kakinya ke lantai tetapi tidak berdiri.
Apakah ini benar-benar terjadi"
Ia mendengar bunyi itu lagi, dan bunyi keras yang diduganya
bunyi tangga dibantingkan ke papan lapis.
Semuanya ini seperti terjadi dalam gerak lambat. Ia melirik jam:
masih pukul 00.13. Waktu tidak bergerak sama sekali!
Mendadak Melissa merasa seakan-akan jantungnya berhenti
berdetak juga. Membeku pada pukul 00.13. Aku sudah berhenti
bernapas, pikirnya. Aku tak dapat bernapas. Aku tak mampu bergerak.
Tidak. Ini tidak terjadi. Aku tak dapat membiarkan ini terjadi
pada diriku. Melissa memaksakan diri berdiri. Ia menghela napas panjang.
Kemudian sekali lagi. "Paul?" ia memanggil si hantu dengan suara bergetar. "Paul"
Tolong aku!" Tak ada jawaban. Dengan tangan gemetar, Melissa meraih dan menyalakan lampu
di atas meja. Mungkin ini dapat membuat si perampok takut.
Barangkali lampu yang tiba-tiba menyala akan membuatnya lari.
Melissa berdiri di sana, membeku di samping ranjang,
memperhatikan jendela. Pergilah, pergilah, pergilah.
Melissa melihat sebuah lengan menggapai jendela dari luar dan
mendorong jendela hingga membuka. Kemudian dilihatnya rambut
panjang dan hitam. Lalu jaket denim.
Dengan mudah orang itu melangkah ke dalam kamar, gorden
mengembung di belakangnya.
"Paul!" Paul menepuk-nepuk jinsnya dan memberengut kepada Melissa.
Hantunyakah ini" Ataukah ini Paul yang hidup"
"Sudah kukatakan padamu," kata Paul sambil menatap mata
Melissa. "Kukatakan aku tahu di mana kau tinggal."
Ini Paul yang hidup. "Keluar dari sini, Paul," kata Melissa. Ia tidak bergerak dari
samping tempat tidur. "Keluar dari rumahku!"
Ia menyadari ia hanya sedikit lega bahwa ini Paul, bukan
Rampok Fear Street. Paul tampak berbahaya, sama berbahayanya
dengan rampok lainnya. Dia kelihatan dingin sekali, pikir Melissa. Dingin dan tenang,
tidak gugup sedikit pun menyelinap ke dalam rumahku.
Paul melangkah menuju ke tengah ruangan itu. Rambut
gelapnya jatuh menutupi keningnya. "Sudah kukatakan padamu,"
ulangnya. "Sudah kukatakan aku tahu."
"Tolong, Paul..."
"Aku tak cukup baik untukmu, hah?"
"Jangan bicarakan itu sekarang, oke?" Melissa melangkah
mundur menjauhi Paul sampai ke dinding. "Kau mabuk dan... dan aku
cuma ingin kau pergi dari sini."
"Tapi aku datang untuk membuktikan betapa baiknya aku."
Mulutnya membentuk senyum aneh, senyum yang dingin dan jahat.
"Aku cukup baik. Sungguh. Aku betul-betul baik."
"Paul, aku akan memanggil polisi."
Paul terbahak-bahak. "Polisi takkan dapat menangkapku."
"Pulanglah, Paul. Pulanglah dan aku takkan mengatakan hal ini
pada siapa pun." Aku benar-benar sendirian di sini, pikir Melissa tiba-tiba. Aku
betul-betul sendirian di rumah ini dengan dia.
Sampai saat ini Melissa masih bertahan"dicobanya
menghadapi Paul dengan gagah. Namun ia dapat merasakan
keberaniannya mulai surut, digantikan oleh rasa terancam.
Fear Street - Dihantui Haunted di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia dapat melakukan apa saja, pikir Melissa, melihat Paul
mendekatinya. Tampaknya cowok itu sudah nekat.
Melissa teringat akan janjinya kepada si hantu,
"Aku takkan pernah membunuhmu. Takkan pernah. Takkan
pernah. Takkan pernah." Tetapi melihat Paul yang menyeringai dan
bermata dingin ini bergerak mendekatinya, kata-kata itu seakan-akan
tidak ada artinya, omong kosong belaka.
Bagaimana kalau Paul mencoba membunuhnya"
Ia akan melawan" Membela diri"
Tidak. Tidak. Tidak. Ini tidak boleh terjadi. Aku tak dapat
membunuhnya. Tapi bagaimana jika... "Ayo, Melissa. Jangan menggoda lagi. Jangan main-main lagi.
Malam inilah saatnya."
"Tidak. Pergilah. Aku serius. Berbaliklah dan keluarlah lewat
jendela lagi." "Tapi aku cukup baik untukmu, Melissa. Kau akan tahu. Aku
sungguh-sungguh baik," Paul berbicara dengan tenang, namun
matanya berapi-api, setiap kata terdengar bagai ancaman.
Tiba-tiba sebuah bayangan melintas di benak Melissa.
Pistol itu. Pistol perak kecil itu.
Benda itu ada di dalam laci tepat di hadapannya, tak sampai
semeter darinya di meja samping tempat tidur. Sedang menunggu.
Menunggu dia. Menunggu untuk melindungi dirinya dari Paul.
Tidak. Tidak. Tidak mungkin.
Tentu saja dia tidak akan menembakkannya. Ia akan
menggunakan pistol itu hanya untuk menakut-nakuti Paul agar ia
menyingkir. Ia sendirian, benar-benar sendirian. Punyakah ia pilihan lain"
Akankah ia membuat ramalan si hantu menjadi kenyataan"
Aku tak peduli, katanya dalam hati, emosinya serasa diadukaduk. Ia memandangi Paul, melihat kebencian di mata cowok itu.
Aku tak peduli. Aku harus melindungi diriku sendiri.
Aku tak peduli. Aku tak peduli. Aku tak peduli.
Tidak. Tidak. Aku tak bisa.
Ia berdiri mematung di dinding, berperang dengan dirinya
sendiri. Paul makin dekat. Lalu, bahkan tanpa disadarinya, ia telah
membuat keputusan. Ia membungkuk ke depan dan membuka laci
kecil itu. Itu dia. Sedang menunggu. Menunggu dirinya.
Pistol kecil itu tampak berkilau dalam cahaya lampu. Ia
bimbang hanya sesaat. Kemudian ia meraihnya. Benda itu terasa
dingin dalam telapak tangannya.
Paul menyeringai kepadanya dari seberang tempat tidur.
Melissa mengangkat pistol itu, dan seringai Paul perlahan-lahan
lenyap. "Keluar, Paul!" teriak Melissa, suaranya bergetar. Dipegangnya
pistol itu dengan kedua tangannya supaya mantap posisinya. "Keluar
sekarang juga. Aku serius."
"Wah, Sayang." Paul mengangkat tangannya, seolah-olah
menyerah. "Keluar! Keluar!" Melissa melangkah maju dengan hati-hati
mendekati Paul, membidikkan pistol itu ke arahnya, mempelajari raut
mukanya. "Wow. Itu senjata betulan?" Paul mencoba bergurau.
"Ini betulan," sahut Melissa. "Cepat"keluarlah."
Paul menatap mata Melissa dan pelan-pelan menurunkan
tangannya. Tampaknya ia sedang menimbang-nimbang, mencoba
memutuskan apa yang akan dilakukannya.
"Pergi sekarang dan aku takkan mengatakannya pada siapa
pun," ulang Melissa. Ia memberi isyarat dengan pistol ke arah pintu.
"Pergilah. Kuminta kau pergilah."
Namun Paul tidak meninggalkan kamar itu. Ia berjalan ke
tempat tidur berukuran besar itu, dan dengan gerakan cepat dan
mengejutkan, ia menyentakkan selimut, lalu menyingkirkannya dari
ranjang. Paul membiarkan selimut itu jatuh ke lantai dan, sambil
melangkahinya, ia meraba seprai yang halus dan berwarna biru pucat.
"Paul, apa yang akan kaulakukan?"
Paul tersenyum pada Melissa, tangannya masih berada di atas
seprai. "Ranjang yang bagus," katanya. "Sangat indah. Sangat bersih."
"Kuperingatkan kau..."
"Ke sinilah. Kenapa kau dan aku tidak..." Paul menepuk-nepuk
ranjang itu. Melissa menjerit lirih dan berlari ke pintu. Ia tidak punya
rencana. Ia hanya tahu ia harus keluar dari sana.
Paul bergerak cepat dan menghalang di pintu. Melissa tidak
dapat menghentikan dirinya. Ia berlari tepat ke arah Paul.
"Kau tak bisa ke mana-mana," kata Paul, sambil memegang
bahu Melissa dan mendorongnya mundur. Melissa terhuyung-huyung,
tetapi berhasil menjaga keseimbangannya dengan bertumpu pada kaki
tempat tidur. Ia memberi isyarat dengan pistol. "Keluar. Keluar cepat."
Suaranya menunjukkan betapa takutnya dia. Paul telah menghadang
jalannya dan mendorongnya. Apa lagi yang akan dilakukannya"
Paul melangkah pelan-pelan dan biasa saja ke arah Melissa.
"Teruskan," katanya, di wajahnya terpampang senyum aneh.
"Apa?" "Teruskan. Pakai pistol itu. Tembak aku."
Melissa tetap membidikkan pistol itu ke dada Paul. "Kaupikir
aku tak berani?" Paul maju selangkah ke arahnya, lalu selangkah lagi. "Teruskan.
Pakai pistol itu. Teruskan."
"Paul... jangan."
Paul semakin dekat, dan kian dekat. Ia menertawakan Melissa
sekarang, menantang, menantang kalau-kalau Melissa berani
menembaknya. "Ayo, Manis. Tembak aku. Pakai pistol itu. Ayo kita lihat kau
memakainya." "Jangan. Berhenti di situ. Aku serius, Paul."
Namun Paul tetap mendekat, selangkah demi selangkah.
Tangan Melissa tegang. Senjata itu terbidik ke dada Paul, hanya
beberapa senti dari Paul.
Melissa tinggal menarik pelatuknya.
Tetapi ia tahu ia tidak dapat melakukannya.
"Tidak. Tidak. Tidak."
Tidak mungkin. Ia tidak dapat menarik pelatuk itu. Ia tidak akan
sanggup menarik pelatuk itu.
Ia mulai menurunkan pistol itu.
"Tidak. Aku tak dapat memakainya."
"Kalau begitu aku yang akan memakainya!" Paul berteriak dan
melayangkan tangannya secepat kilat. Melissa terhuyung-huyung,
Paul meraih pistol itu. Melissa mencoba menarik tangannya menjauh,
tetapi terlalu lambat. Tangan Paul pun tidak berhasil meraih senjata itu
melainkan bertabrakan dengan tangan Melissa.
Pistol itu jatuh ke karpet.
Sekejap mereka berdua terbelalak melihatnya.
Lalu keduanya membungkuk ke lantai, dengan panik berusaha
mencapainya lebih dulu. 21 "AUW!" Siku Melissa membentur lantai ketika ia membungkuk. Rasa
nyeri menjalar ke lengannya saat ia meraih pistol itu.
Aku dapat! pikirnya. Namun dengan menggeram marah, Paul mendorongnya. Pistol
itu terlempar dari tangannya, dan Paul memungutnya.
Dengan napas memburu, wajah merah padam, Paul berdiri di
atas Melissa, melambai-lambaikan pistol itu di depannya. "Dasar
orang kaya sombong! Mati kau sekarang!"
Ia menendang Melissa, tetapi Melissa berguling menjauh dan
bangkit berdiri dengan cepat.
Mereka bertatapan, napas mereka terengah-engah.
"Apa gunanya semua uangmu sekarang?" teriak Paul.
Melissa mundur selangkah, melirik pintu. "Letakkan pistol itu,
Paul. Berhentilah bertingkah dramatis. Kau juga takkan memakainya."
Mata Paul berkilat-kilat. "Mau taruhan?" Ia melontarkan
sumpah serapah. Ia dapat melakukannya. Ia bisa menembakku, Melissa
membatin. Pintu kamar itu tampak sangat jauh. Dan Paul berdiri di antara
Melissa dan pintu itu. Melissa mengangkat tangannya seakan mengatakan, Oke, aku
menyerah. Jari Paul menempel erat pada pelatuk pistol.
Dia akan menembakku. Aku akan mati sekarang.
Melissa memejamkan mata. Ketika ia membuka matanya kembali, si hantu sedang berdiri di
samping Paul. Melissa mengejap-ngejapkan matanya, mula-mula mengira
pandangannya kabur, sehingga melihat Paul menjadi rangkap.
Sambil berkedip-kedip antara tampak dan lenyap dari
pandangan, hantu itu mula-mula menatap Melissa, kemudian Paul.
"Jangan! Aku tak bisa membiarkan ini terjadi!" seru si hantu.
Paul tidak bereaksi. Melissa menyadari bahwa Paul tidak dapat
melihat si hantu. Paul tetap membidikkan pistol itu ke dadanya.
"Aku tak bisa membiarkan dia melakukan ini padamu!" si hantu
berteriak. Melissa mencoba menjerit, namun tidak ada suara yang keluar.
Hantu itu menyergap ke depan dan meraih pistol di tangan Paul.
Melissa menduga tangan hantu itu akan menembus pistol, tapi
ternyata tidak. Paul yang hidup berteriak terkejut ketika senjata itu melayang
dari tangannya. Dengan sekali sentak, si hantu menarik pistol itu dan
melemparkannya ke arah Melissa.
"Hei, apa yang..." Paul menjerit.
Senjata itu melayang menyeberangi kamar.
Melissa harus meloncat untuk menangkapnya.
Ketika tangannya meraupnya, pistol itu meletus.
"Tidak!" Jeritannya sekeras bunyi letusan di antara kedua
tangannya. Paul mengerang keras dan memegangi dadanya. Suatu
lingkaran merah gelap terbentuk di bagian depan jaket denim itu. "Oh,
tidak," erangnya. "Bukan aku..."
Ia jatuh berlutut. Darah menetes ke karpet putih. Ia masih
memegangi dadanya, wajahnya tersungkur ke karpet. Ia tidak
bergerak. "Paul..." Melissa membiarkan senjata itu terjatuh ke lantai.
Genangan merah menyebar dari bawah tubuh Paul.
"Paul!" Melissa berlari mendekat, berlutut di atas Paul,
membalikkan tubuhnya. "Paul!" Ia telah mati. 22 MELISSA melangkah menjauhi tubuh itu. Ia menengok ke
bawah dan melihat kakinya yang telanjang terkena bercak-bercak
darah. "Oh, tidak. Tidak..."
Hantu itu tepat di sampingnya, memandangi tubuh Paul.
"Jadi begitulah terjadinya," katanya, suaranya lembut, hampir
berbisik. "Tapi kenapa" Kenapa kau melakukannya" Kenapa kau
mengorbankan dirimu sendiri?"
Paul tidak menjawab. "Kenapa kau merebut pistol itu, Paul" Kenapa kau membiarkan
aku membunuhmu?" Paul berdiri begitu dekat dengan Melissa, namun udara tidak
terasa dingin. "Aku... aku tak tahan melihat kau terbunuh," katanya akhirnya.
"Apa" Tapi kau tahu aku akan membunuh Paul jika kau
merampas pistol itu darinya."
"Ya, aku tahu apa yang akan terjadi," jawabnya, sambil berbalik
untuk menatap mata Melissa. "Tapi aku tak dapat membiarkan dia
membunuhmu. Aku... aku terlalu sayang padamu."
"Aku juga sayang padamu," seru Melissa.
Hantu itu menarik Melissa mendekat dan melingkarkan
lengannya ke sekeliling tubuh Melissa. Ia mendekatkan wajah Melissa
ke wajahnya sendiri dan mencium pipinya.
"Aku dapat merasakanmu, Paul!" teriak Melissa. "Aku
sungguh-sungguh bisa merasakan kau sekarang."
Melissa meraih Paul, namun Paul melayang menjauh darinya
sambil tersenyum sedih. Ia mulai berbicara, tetapi kata-katanya
tersangkut di tenggorokan. "Aku... aku akan pergi, Melissa. Kukira
aku bisa istirahat sekarang. Aku sangat sedih selama ini. Terjepit di
antara dua dunia. Tak tahu kenapa aku sampai terbunuh. Tak tahu apa
yang terjadi padaku. Syukurlah semuanya sudah berakhir."
"Tapi, Paul..."
"Aku takkan melupakanmu. Aku takkan pernah melupakanmu.
Jangan merasa bersalah karena membunuhku. Jangan pernah merasa
bersalah. Kau satu-satunya orang yang sayang padaku. Satu-satunya
yang..." Kata-katanya menghilang bersama dirinya.
Paul hanya berupa bayangan, lalu siluet. Dan kemudian ia pergi.
Melissa memandangi bekas tempat Paul berdiri. Ia masih dapat
merasakan lengan Paul yang memeluknya, masih merasakan pipi Paul
yang hangat di pipinya sendiri.
Namun ia tahu Paul telah pergi untuk selamanya.
Lama kemudian barulah Melissa menyadari bahwa ada orang
mengetuk-ngetuk pintu depan.
Siapa itu di malam selarut ini"
Melissa memutar melewati tubuh Paul dan berlari ke jendela. Ia
menarik jendela itu hingga membuka, menjulurkan kepalanya ke luar,
dan melihat ke bawah ke teras depan.
"Buddy!" Buddy melangkah ke tepi teras dan mendongak melihat
Melissa, disinari oleh lampu teras yang kuning.
"Buddy, apa yang kaulakukan di sini" Bagaimana kau..."
"Lissa, kau baik-baik saja?" teriak Buddy. "Aku pergi ke rumah
Della, tapi ternyata kau tak ada di sana. Aku cemas, jadi aku datang
kemari. Ketika aku keluar dari mobilku, aku mendengar bunyi ributribut"seperti tembakan. Aku sangat kuatir...."
"Aku... aku baik-baik saja," kata Melissa. "Aku senang sekali
kau di sini." Melissa bergegas turun dan membuka pintu depan. "Aku
gembira sekali kau di sini," ulang Melissa. "Aku butuh bantuan."
Melissa mengajak Buddy naik ke kamar orangtuanya. Buddy
terenyak ketika melihat tubuh yang tergeletak di karpet itu. Ia
memegang lengan Melissa, tampak kebingungan. "Lissa, inikah
hantumu?" "Bukan," sahut Melissa. "Bukan dia. Hantu itu sudah pergi,
Buddy. Pergi untuk selamanya. Ini hanya perampok."
Fear Street - Dihantui Haunted di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku sangat senang kau tidak apa-apa," Buddy berkata sambil
merangkulkan lengannya ke tubuh Melissa. "Syukurlah semuanya
sudah berakhir." Itulah yang baru saja dikatakan Paul, kata Melissa dalam hati.
Melissa bersandar pada Buddy ketika mereka turun untuk
menelepon polisi.END EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM Pedang Pusaka Naga Putih 2 Wiro Sableng 097 Liang Lahat Gajahmungkur Delapan Kitab Pusaka Iblis 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama