Ceritasilat Novel Online

Musibah Ketiga 1

Fear Street - Cheerleaders Musibah Ketiga The Third Evil Bagian 1


BAGIAN SATU SEMANGAT TIM Bab 1 Teror Baru BUNYI peluit Miss Green memantul dari langit-langit gedung
olahraga yang tinggi. Para cheerleader segera terdiam ketika pelatih
mereka menempelkan kedua tangan ke kepala dan berlagak
menjambak rambutnya sendiri. Kedua matanya terbelalak lebar karena
jengkel. Corky Corcoran menghela napas. Gerakan tadi cukup bagus, ia
berkata dalam hati. Kenapa Miss Green menyuruh kita berhenti"
Ia melirik ke ujung barisan cheerleader, ke arah temannya,
Kimmy Bass. Kimmy menyeka keringat di keningnya dengan lengan
t-shirt. Ia juga kelihatan kesal karena gangguan itu.
Cuacanya cukup hangat untuk awal April. Udara di dalam
gedung olahraga terasa panas dan lembap. Rambut Corky yang pirang
ditarik ke belakang dan dikuncir. Ia dan kelima cheerleader Shadyside
High lainnya mengenakan celana pendek dan T-shirt gombrong yang
basah-kuyup karena keringat yang mengucur dalam latihan seusai
sekolah. "Hannah, coba tolong saya sebentar," kata Miss Green.
"Majulah satu langkah dan tunjukkan kepada para cheerleader
kawakan saya bagaimana caranya melakukan salto ke belakang."
Hannah Miles segera melompat maju. Wajahnya yang cantik
dihiasi senyum lebar. "Aku biasanya mulai dari posisi ini," ia berkata,
tanpa kikuk sedikit pun karena diminta tampil di depan. "Begini"
dengan lutut agak ditekuk supaya tolakannya lebih keras."
Hannah, yang berbadan langsing, baru masuk Shadyside High,
dan ia satu-satunya anggota baru tim cheerleader yang diterima dalam
uji coba musim semi. Ia menggantikan Megan Carman, yang akan
diwisuda Juni mendatang. Hannah memiliki rambut panjang lurus dan hitam, yang
biasanya dikepang dan mata cokelat yang selalu berbinar-binar penuh
semangat. Ia memperagakan gerakan salto ke belakang dengan melompat
tinggi-tinggi, lalu mendarat dengan sempurna. Kemudian ia langsung
melakukan salto kedua yang tak kalah anggun dari yang pertama.
"Bagaimana?" tanyanya polos sambil merapikan T-shirt-nya.
"Huh, dipikirnya dia yang paling hebat di sini," bisik Ronnie
Mitchell pada Corky. "Dia memang hebat," balas Corky. Dibanding Hannah, kita
semua seperti gajah, ia berkata dalam hati. Ia memperhatikan Hannah
tersenyum kepada Kimmy ketika kembali ke barisan.
Kimmy dan Debra Kern berbagi jabatan kapten tim, dan
Hannah sering mencari muka di depan mereka dengan minta nasihat
dan memancing-mancing pujian.
Kita semua tahu bahwa Hannah hebat. Kenapa dia masih harus
pamer terus" Corky bertanya-tanya. Tapi kemudian ia terpaksa
mengakui: mungkin aku agak iri padanya.
Pada awal tahun justru Corky dan kakaknya, Bobbi, yang
menjadi bintang. Mereka anggota tim cheerleader yang paling
memukau, paling bersemangat, dan paling berbakat. Tapi sejak itu
sudah begitu banyak yang terjadi.
Begitu banyak kengerian....
Bobbi telah meninggal. Begitu pula pacar Corky, Chip.
Keduanya dibunuh roh jahat. Dan roh jahat itu sempat
menguasai dua orang cheerleader. Pertama Jennifer Daly. Jennifer
yang malang, ia juga tewas. Kemudian Kimmy.
Tapi Corky berhasil menyelamatkan Kimmy dari cengkeraman
roh jahat tersebut. Setelah kejadian-kejadian itu, Corky merasa cara untuk
melupakan kenangan-kenangan mengerikan itu adalah dengan
menyibukkan diri dalam tim cheerleader. Dengan memaksakan diri
untuk melanjutkan hidupnya.
Tapi kadang-kadang itu tidak mudah. Ia sukar melupakan yang
telah terjadi. Ia sukar melanjutkan hidupnya tanpa dihantui mimpi
buruk. Aku bahkan tidak bisa jadi kapten tim, kata Corky dalam hati
sambil melirik ke arah Debra.
Padahal aku lebih hebat dari dia, pikirnya. Semua orang tahu
itu. Namun sebelum uji coba musim semi, Miss Green sempat
menjelaskan keputusannya pada Corky. "Corky, rasanya kamu belum
sanggup memikul beban sebagai kapten," katanya dengan nada
prihatin yang tulus. "Maksud saya, mengingat... ehm... segala sesuatu
yang telah terjadi."
Segala sesuatu yang telah terjadi.
Corky menggelengkan kepala untuk mengusir pikiran-pikiran
suram itu dari benaknya. Debra temanku, ujarnya dalam hati. Kenapa aku mesti iri
padanya" "Corky"kaudengar yang saya katakan?" Suara parau Miss
Green membuyarkan lamunan Corky.
"Ya. Tentu saja," Corky berbohong.
"Kalau begitu kita coba seruan football lagi," kata Miss Green
sambil menatap tajam ke arah Corky.
Kimmy melompat maju sambil bertepuk tangan, lalu membalik
dan menghadap kelima gadis lainnya. "Oke. Siap" Mulai hitungan
ketiga." Ia menghitung sampai tiga dan mereka mulai bersorak-sorai,
semakin lama semakin lantang, sambil bertepuk tangan dan
mengentakkan kaki. "Tigers, let's score!
Six points and more! (entak entak)
Tigers, let's score! Six points and more!" (entak entak)
"Lebih keras!" desak Kimmy sambil menempelkan sebelah
tangan ke telinga. "Suara kalian tidak kedengaran!"
"Tigers, lets score!
Six points and more!"
"Tetap belum kedengaran!" seru Kimmy.
Ketika mereka bersorak-sorai dengan keras, Corky melirik
Hannah di ujung barisan. Hannah berseru-seru penuh semangat sambil
bertepuk tangan di atas kepala. Kemudian ia melompat tinggi-tinggi
dan mengakhiri gerakan itu dengan salto ke belakang.
Dasar tukang pamer! pikir Corky. Padahal ia tahu di bagian ini
tidak ada salto. Ia pasti bakal ditegur oleh Miss Green.
Corky langsung menoleh ke arah pelatih mereka. Tapi di luar
dugaan, Miss Green bukannya cemberut, malah menganggukanggukkan kepala sambil tersenyum.
"Saya suka itu, Hannah," kata Miss Green. "Itu penutup yang
bagus." Ia berpaling kearah Kimmy. "Bagaimana menurutmu" Kita
coba sekali lagi, dan semuanya melakukan salto sebagai penutup."
"Ya ampun," gumam Ronnie kepada Corky sambil gelenggeleng kepala. "Hannah, si cheerleader ajaib!"
Corky tertawa dan menatap rekan-rekannya yang lain. Heather
Diehl sedang berbisik-bisik kepada Debra. Kimmy memandang Corky
penuh arti, lalu ia melangkah maju sambil memaksakan senyum. Ia
kembali bersorak-sorai. "Tigers, lets score!
Six points and more!"
Berulangkah mereka menyerukan kata-kata itu, dan setiap kali
suara mereka bertambah lantang. Lalu semua mengakhirinya dengan
salto ke belakang. Corky memperhatikan Hannah dari sudut mata. Lompatan
Hannah paling tinggi. Matanya yang gelap tampak berbinar-binar dan
wajahnya memancarkan semangat yang meluap-luap ketika ia
mendarat dengan anggun sambil bertepuk tangan. "Wow, asyik!"
serunya. "Bagaimana kalau diulang sekali lagi?"
***************************
"Dasar sok hebat," gerutu Kimmy sambil memutar-mutar gelas
berisi air yang sedang dipegangnya.
"Masalahnya, dia memang hebat," kata Corky. Dirapatkannya
badannya ke dinding agar Debra bisa menyelinap dan duduk di
sampingnya. "Dan kita iri padanya."
"Aku tidak iri," ujar Ronnie cepat-cepat. Kemudian ia
mengerutkan kening. "Ehm, mungkin sedikit. Tapi cuma karena
rambutnya." Rambut Ronnie yang ikal berwarna cokelat kemerahan.
Hidungnya kecil, dan wajahnya penuh bintik-bintik. Ia murid kelas
sembilan, tapi penampilannya seperti anak dua belas tahun. "Rambut
Hannah bagus sekali."
"Dia terlalu sok," komentar Kimmy. "Saking soknya, pasti dia
sudah menduga kita sedang membicarakan dia."
Keempat gadis itu tertawa. Seusai latihan cheerleader pukul
16.30, mereka naik mobil ke The Corner, sebuah kedai kopi baru di
dekat sekolah yang telah menjadi tempat nongkrong anak-anak
Shadyside High. "Hannah tidak seburuk yang kalian bayangkan," ujar Debra
sambil mengamati daftar makanan. "Dia cuma suka terbawa suasana."
Yang lain segera menoleh ke arah Debra.
"Sejak kapan kau jadi sahabatnya?" tanya Kimmy sinis.
Debra mengalihkan pandangannya dari daftar makanan. Ia
menatap Kimmy dengan mata birunya yang selalu menyorot dingin.
"Aku bukan sahabatnya. Aku cuma bilang dia tidak seburuk yang
kalian bayangkan. Dia tidak pernah bersikap jahat kepada kita."
Rambut Debra yang pirang dipotong pendek sekali. Ia amat kurus,
bahkan menjurus terlalu kurus, dan jarang tersenyum"kombinasi
yang tidak lazim bagi seorang cheerleader.
"Rupanya sudah ada satu suara untuk Hannah," kata Kimmy
sambil mengacungkan telunjuknya. "Ada lagi?"
Sebelum Corky atau Ronnie sempat menyahut, mereka sudah
didatangi pelayan yang hendak mencatat pesanan mereka. Kimmy dan
Ronnie pesan hamburger dan Coca-Cola. Debra pesan kentang goreng
dan milkshake cokelat. Apa pun yang dimakannya, ia tak pernah
bertambah gemuk. Ketika Corky memesan semangkuk sup ercis, yang lain segera
memrotes. "Idih!" seru Ronnie. "Aku jadi tidak nafsu makan."
"Hei, aku suka sup ercis!" balas Corky.
"Kau memang aneh," Kimmy berkomentar. "Betul-betul aneh."
"Apakah Hannah sudah punya teman kencan?" tanya Corky
untuk mengalihkan topik pembicaraan.
"Kau pernah lihat bagaimana anak-anak cowok berkerumun di
sekitar lockernya setiap hari?" tanya Ronnie. "Aku benar-benar muak
melihat tingkah mereka di dekat Hannah."
Debra berdecak-decak. "Sepertinya ada yang iri nih."
Ronnie langsung menjulurkan lidah kepada Debra. "Huh, siapa
yang iri?" "Aku rasa dia berkencan dengan Gary Brandt," cerita Kimmy.
"Malam minggu kemarin aku melihat mereka berduaan di mall."
"Gary lumayan kece," ujar Ronnie sambil menggeser-geser
garpu dan pisaunya. "Yeah, boleh juga!" Debra menimpali dengan lebih
bersemangat dari biasanya.
"Eh, kalian bisa membayangkan Hannah pacaran dengan
Gary?" tanya Ronnie sambil menyeringai lebar. Ia langsung bersoraksorai, "Ayo, Gary, ayo! Ayo, Gary, ayo! Yaaay!"
Semuanya tertawa. "Kalian tahu, tidak?" Kimmy menambahkan. "Setiap kali Gary
menciumnya, dia pasti bersalto di tempat!"
Sekali lagi tawa mereka meledak.
"Omong-omong, kalian sudah siap untuk minggu depan?"
Corky kembali mengalihkan topik pembicaraan.
"Barang-barangku sudah masuk koper semua," Ronnie
mengumumkan. "Aku sudah tidak sabar. Ini bakal jadi liburan musim
semi paling asyik yang pernah kualami!"
"Satu minggu jauh dari rumah," kata Corky sambil mendesah.
"Satu minggu jauh dari adikku yang brengsek."
"Siapa tahu kita bakal ketemu cowok-cowok keren di sana,"
ujar Ronnie menyeringai. "Maksudnya, mahasiswa."
"Kalian bakal kaget nanti," Debra berkomentar. "Mana ada
waktu untuk bersantai-santai dan berkenalan sama cowok-cowok
keren. Perkemahan cheerleader adalah acara penyiksaan. Kita harus
membanting tulang dalam latihan pagi. Sepanjang siang sampai sore
kita sibuk mempelajari gerakan baru dan ikut macam-macam
ceramah. Lalu kalau sudah malam, kita harus bersaing dengan reguregu lain."
"Bobbi dan aku pernah ikut perkemahan cheerleader di
Missouri sebelum kami pindah ke sini," Corky mengenang. "Kami
memang harus bekerja keras. Tapi kami juga sempat berpesta."
"Katanya sih, kampus Madison College indah sekali," ujar
Ronnie. "Sepupuku bilang bahwa kita bakal menginap di gedung
asrama yang baru." "Siapa tahu kita bakal sekamar!" seru Ronnie. "Ini bakal asyik!"
Semuanya sependapat, kecuali Debra. "Kita bakal menghadapi
kerja keras dan beban berat," ia mengingatkan. "Kita harus tampil
penuh semangat dan tersenyum sepanjang hari."
Ketika Ronnie dan Debra berdiri untuk pergi ke kamar kecil,
Kimmy bergeser ke samping Corky. Ia tampak prihatin. "Bagaimana
keadaanmu?" tanyanya pada Corky.
"Lumayan," jawab Corky sambil angkat bahu.
"Bukan. Maksudku, bagaimana keadaanmu sebenarnya?" desak
Kimmy sambil menatap mata Corky, seakan mencari sesuatu.
"Sudah mendingan," balas Corky sambil mengotak-atik garpu
di hadapannya. "Aku sudah tidak terlalu sering memikirkan segala
sesuatu. Aku memaksakan diri untuk tidak memikirkan Bobbi atau
Chip atau?" "Aku terus memikirkannya," ujar Kimmy penuh emosi. "Aku
terus bertanya-tanya, bagaimana kalau roh jahat itu masih di sini"
Bagaimana kalau dia masih di dalam diriku?" Suaranya bergetar
ketika mengatakan hal itu, dan ia menelan ludah.
"Kimmy?" sahut Corky sambil menggamit lengan Kimmy.
"Aku melihat roh jahat itu meluncur keluar dari dalam dirimu. Aku
melihatnya tersedot lewat lubang pembuangan air di bak mandiku. Dia
sudah pergi. Kau tak perlu khawatir?"
"Tapi dari mana kita tahu bahwa dia takkan kembali lagi"
Corky, bagaimana dengan pesan yang kauterima" Pesan yang
mengatakan bahwa roh jahat itu tidak bisa tenggelam" Dan, Corky,
kadang-kadang"kadang-kadang aku merasa aneh sekali," bisik
Kimmy. Matanya berkaca-kaca. Ia meraih lengan Corky dan
menggenggamnya dengan erat. "Kadang-kadang aku"aku merasa
bahwa ada yang tidak beres."
Pintu kedai kopi membuka dan beberapa anggota tim basket
melangkah masuk. Salah satu dari mereka, John Mirren, pemuda
kurus dengan rambut cokelat dan senyum konyol, melambaikan
tangan kepada Kimmy sebelum duduk bersama teman-temannya.
"Kimmy, kita hanya bisa berdoa bahwa roh jahat itu sudah pergi
untuk selama-lamanya," ujar Corky.
"Tapi bagaimana kalau ternyata tidak?" Kimmy berkeras.
Corky angkat bahu. Tiba-tiba saja ia bergidik. "Dia tidak boleh
kembali," katanya sambil merendahkan suara. "Aku tidak sanggup
menghadapi lebih banyak kematian lagi. Aku tidak sanggup..."
Debra dan Ronnie kembali. Mereka tertawa cekikikan sambil
saling mendorong. Tapi keduanya langsung terdiam ketika melihat


Fear Street - Cheerleaders Musibah Ketiga The Third Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wajah muram Corky dan Kimmy.
"Hei"ada apa sih?" tanya Debra. "Kalian masih juga
membicarakan Hannah Miles" Wah, jangan keterlaluan dong." Ia
mengambil tempat di hadapan Corky dan Kimmy, dan Ronnie duduk
di sebelahnya. Corky memaksakan senyum. "Bukan, kami tidak membicarakan
dia." "Kau tahu sekolah mana saja yang ikut perkemahan
cheerleader?" tanya Ronnie pada Kimmy.
Kimmy menggelengkan kepala. "Kalau tidak salah ada regu
dari Waynesbridge. Dan mungkin para cheerleader dari Belvedere."
"Yang suka pakai irama rap?" tanya Ronnie.
"Wah, mereka hebat sekali!" seru Corky. "Siapa lagi?"
"Entahlah," jawab Kimmy. "Rasanya ada sekitar seratus orang."
Pelayan tadi muncul lagi sambil membawa pesanan mereka
dengan baki logam. "Siapa yang pesan sup ercis?" tanyanya sambil
mengamati keempat gadis itu satu per satu.
Ketiga teman Corky langsung meringis dan menunjuk ke
arahnya. "Sudah deh, jangan macam-macam," Corky bergumam.
"Aku lagi ingin makan sup ercis. Memangnya kenapa sih?"
Si pelayan menaruh pesanan mereka di meja dan pergi.
"John Mirren melambaikan tangan padamu," Debra berkata
kepada Kimmy, sambil menuangkan saus tomat ke kentang
gorengnya. "Aku melihatnya waktu keluar dari kamar kecil."
"Terus?" sahut Kimmy dengan sengit.
"Barangkali dia suka padamu," ujar Debra. Ia meletakkan botol
saus tomat dan meraih tempat garam.
Kimmy angkat bahu. "Anaknya lucu," kata Ronnie sambil mengunyah. "Apalagi di
lab IPA. Kau lihat tidak minggu lalu, waktu dia menumpahkan asam
klorida?" "Oh, lucu sekali," komentar Debra sinis.
"Coba kalau kaulihat sendiri," balas Ronnie. Irisan tomat pada
hamburgernya merosot keluar, dan ia berusaha memasukkannya lagi.
Tiba-tiba Corky memekik tertahan.
Teman-temannya langsung menoleh. "Corky "ada apa?" seru
Kimmy. Corky membelalakkan mata. "Ini?" Ia menunjuk mangkuk sup
di hadapannya. Yang lain ikut memperhatikan mangkuk itu. Sup kental yang
ada di dalamnya tampak menggelembung.
"Ada apa dengan sup ini?" tanya Ronnie. Ia membungkuk ke
depan agar bisa melihat lebih jelas. "Oh!" ia berseru. Serta-merta ia
menjauhi mangkuk ketika percikan-percikan sup mulai bercipratan.
"Hei"!" Corky memekik kaget.
Sup kental itu seakan-akan mendidih, membentuk gelombang
hijau yang menjilat-jilat pinggiran mangkuk, semakin lama semakin
tinggi. "Idih!" "Oh, supnya mengamuk!"
"Ada apa ini?" Gelombang-gelombang sup kental itu mulai tumpah ke meja.
"Hei"!" "Tolong!" "Cepat, Kimmy! Kita pergi saja!"
Keempat gadis itu bangkit dengan kalang-kabut ketika sup
panas itu naik bagaikan air mancur, lalu membasahi meja dan menetes
ke lantai. "Apa itu?" "Apa yang terjadi?"
"Mau ke mana mereka?"
Suara-suara bingung bersahut-sahutan di restoran kecil itu.
Pengunjung-pengunjung lain terbengong-bengong ketika Corky dan
teman-temannya berlari meninggalkan restoran.
"Roh jahat itu?" kata Corky tergagap-gagap. Napasnya
tersengal-sengal. Jantungnya berdegup-degup.
Dia kembali, ujarnya dalam hati.
Roh jahat itu kembali lagi.
Kegalauan yang tercermin pada wajah Corky dan temantemannya menunjukkan bahwa mereka semua menyadarinya.
Roh jahat itu telah kembali, dan bahkan sempat hadir di meja
mereka. Mungkinkah roh jahat itu menguasai salah satu dari mereka"
Siapa korbannya kali ini" Corky bertanya-tanya. Siapa"
Bab 2 Sesosok Mayat CORKY memandang barisan batu nisan kelabu di pemakaman
Fear Street. "Aku tetap merasa kehilangan dia," kata Corky kepada
Kimmy dengan suara parau karena emosi. "Sampai sekarang aku
masih memikirkan Bobbi terus."
Kimmy bergidik, meski udara sore terasa panas. Dengan
sebelah tangan ia melindungi mata dari sinar matahari yang
menyilaukan. Kemudian ia ikut menoleh ke pemakaman lama di
lereng bukit. Debra dan Ronnie langsung pulang ke rumah masing-masing.
Mereka ingin secepat mungkin menjauhi restoran, menjauhi roh jahat
yang menampakkan diri di depan mata mereka.
Kimmy mengantar Corky pulang, ke rumahnya di Fear Street.
Tapi setelah sampai di sana, kedua-duanya tidak ingin sendirian.
Karena itu mereka berjalan-jalan, dan akhirnya tiba di depan
pemakaman. Pemakaman tempat kakak Corky, Bobbi, dikubur.
Tempat pacar Corky, Chip, dikubur.
Keduanya merupakan korban roh jahat itu. Roh jahat yang
sampai kini masih hidup dan tidak mau mati.
"Ayo dong," desak Kimmy sambil menarik lengan T-shirt
Corky. Corky mendesah, lalu berpaling dari pemakaman dan mulai
menyusuri trotoar yang sempit ke arah rumahnya. "Aku kaget sekali
tadi," ia berkata sambil menggelengkan kepala. "Lendir hijau
berlumuran di mana-mana. Seumur hidup aku takkan pernah lagi
makan sup ercis." Bayangan pohon-pohon tua tampak menari-nari di trotoar
ketika mereka berjalan melewati kuburan. Udara mendadak terasa
lebih dingin. "Roh jahat itu memperingatkan kita," ujar Kimmy. "Dia
memberitahu kita bahwa dia masih di sini." Gadis itu berhenti di
samping mobilnya dan menarik napas panjang. "Oh, Corky"
bagaimana kalau dia masih di dalam diriku?"
Corky cepat-cepat membalik. Wajahnya tampak tegang karena
ngeri. Meski begitu ia segera memeluk Kimmy dan berbisik dengan
nada menenangkan, "Tidak mungkin. Tidak mungkin."
"Tapi bagaimana aku bisa tahu pasti?" tanya Kimmy sambil
mundur selangkah. Pipinya tampak kemerahan dan basah karena air
mata. Rambutnya acak-acakan. Matanya yang gelap memancarkan
sorot ketakutan. "Aku melihat sendiri bagaimana dia meninggalkan dirimu,"
kata Corky menenangkan Kimmy. "Aku melihatnya dengan mata
kepalaku sendiri." "Tapi aku tidak ingat apa-apa," ujar Kimmy. "Aku tidak ingat
apa yang terjadi dalam minggu-minggu itu. Rasanya seakan-akan aku
tidak ada waktu itu."
"Tapi sekarang kau sudah jadi dirimu lagi," Corky berkeras.
"Sekarang kau merasa seperti kau, kan?"
Kimmy mengerutkan kening. Roman mukanya jadi serius.
"Ehm"ya," katanya bimbang. "Kadang-kadang aku tidak yakin.
Kadang-kadang aku merasa seperti gila. Rasanya aku ingin berteriak.
Rasanya aku ingin membenamkan kepala di bantal dan menangis
sepanjang hari." "Tapi tidak, kan?" tanya Corky.
"Tidak." Kimmy meraih lengan Corky. Tangannya terasa
sedingin es. "Corky"bagaimana kalau dia mau membunuh
seseorang" Bagaimana kalau dia mau membunuh kita semua?"
"Tidak mungkin!" seru Corky. "Tidak mungkin! Kita akan
menemukannya. Kita akan menghentikannya. Akan kita temukan cara
untuk menghentikannya, Kimmy."
Kimmy mengangguk, namun tidak menyahut.
Corky menatapnya dengan tajam. Ia ingin menenangkan
Kimmy. Ia ingin meyakinkan bahwa Kimmy sudah bebas dari
kekuasaan roh jahat itu. Tapi ketika Corky mengamati wajah temannya itu, ia sendiri
mulai dijalari keraguan. Mungkinkah Kimmy tahu seandainya roh jahat itu masih
bercokol dalam dirinya"
Dan kalau Kimmy tahu, mungkinkah ia mau mengakuinya"
Sekonyong-konyong wajah Kimmy seakan-akan bersinar.
Matanya yang biru seperti menyala karena cahaya di dalam dirinya.
Corky memejamkan mata. Ketika membukanya, Kimmy sudah kelihatan normal lagi.
"Nanti kutelepon kau," ujar Corky. Kemudian ia berlari ke
rumahnya. *********************** "Hai, aku pulang!"
Corky menutup pintu depan dan melangkah ke ruang duduk.
"Ada siapa di rumah?"
Tak ada jawaban. Ia mencium bau harum. Corky menarik napas dalam-dalam. Ia
mengenali aroma ayam panggang yang merebak dari dapur.
Ia menuju ke tangga. Pada anak tangga terbawah ada setumpuk
pakaian yang dilipat rapi. Corky membungkuk untuk mengangkat
tumpukan itu, lalu menaiki tangga dan menuju ke kamarnya.
Sambil membawa pakaian yang baru dicuci, Corky masuk ke
kamarnya. Pandangannya beralih ke jendela, tirai-tirai putih tampak
berkibar-kibar. Lalu ke tempat tidur.
"Oh!" Tumpukan baju itu jatuh dari tangannya ketika ia mulai
menjerit. Di tempat tidurnya, setengah terbungkus selimut, ia melihat
kepala sesosok mayat yang telah menggembung.
Bab 3 Tamu di Malam Hari CORKY membelalakkan mata dengan ngeri. Ia tak kuasa
mengalihkan pandangan dari wajah mayat itu. Karena itu ia tidak
sadar bahwa pintu lemari pakaiannya membuka sendiri.
"April Mopl" Adiknya, Sean, melompat keluar dan mulai
tertawa terbahak-bahak. "Sean!" Sean menepuk-nepuk lutut, lalu menjatuhkan diri ke lantai dan
mulai berguling-guling di karpet sambil tertawa terpingkal-pingkal.
"April Mop! April Mopl"
"Sean"tidak lucu!" seru Corky kesal. Ia mengambil kuda-kuda
dan berlagak hendak memukul adiknya, tapi Sean cepat-cepat
menghindar dari jangkauan Corky.
"Diam kau!" bentak Corky. "Sungguh, Sean! Kau tidak lucu.
Kau cuma konyol!" Corky melangkahi pakaian yang berserakan di lantai, lalu
menghampiri tempat tidurnya.
Bisa-bisanya aku tertipu seperti ini, omelnya dalam hati.
Padahal kelihatan jelas bahwa itu cuma kepala mainan. Warnanya
serba hijau, dan telinganya hanya ada sebelah!
"Tertipu kau!" Sean mengejek sambil menikmati
kemenangannya. "Aku cuma pura-pura takut," balas Corky sambil berpaling dari
tempat tidur. "Yeah, tentu," sahut Sean sinis. "Kau tertipu, Corky!" Ia
bangkit, berlari ke tempat tidur, dan meraih kepala itu dengan dua
tangan. "Hei, tangkap!" ia berseru sambil melemparkannya kepada
Corky. Corky terhuyung-huyung ke belakang, tapi berhasil
menangkapnya. "Bagus, ya?" tanya Sean sambil menyeringai. "Aku bikin
sendiri lho. Pakai bubur kertas. Untuk pelajaran kesenian."
Corky memutar-mutar kepala itu dan mengamatinya sambil
mengerutkan kening. "Kau dapat nilai apa untuk pekerjaan yang
berantakan ini?" ia bertanya. "F?"
"Pelajaran kesenian tidak pakai nilai, bodoh!" balas Sean.
"Jangan kata-katai aku!" hardik Corky.
"Aku tidak mengata-ngataimu. Aku cuma bilang kau bodoh."
Corky melemparkan kepala yang menjijikkan itu kepada Sean.
"Awas, kamu akan terima pembalasan dariku," ia pura-pura
mengancam. "Habis ini giliranku."
"Oooh, aku jadi gemetaran," sahut Sean dengan nada mengejek.
"Ngeri benar." Corky bergegas menghampirinya, dan sebelum Sean sempat
kabur, Corky mengacak-acak rambut adiknya itu. Sean membalas
dengan menonjok bahu Corky.
Kemudian mereka turun untuk makan malam.
****************************
Malam itu, diiringi cahaya pucat bulan purnama, Bobbi
melayang melalui jendela kamar Corky.
Corky memperhatikan kakaknya melayang di atas tempat
tidurnya. Rambut Bobbi yang pirang dan panjang tampak berkilaukilau dalam cahaya bulan, dan mengambang perlahan seakan-akan di
dalam air. Aku bermimpi, pikir Corky.
Tapi Bobbi kelihatan begitu nyata.
Begitu hidup. Mata Bobbi yang biru terbuka lebar, dan menatap Corky sambil
menggerak-gerakkan tangan, seperti seseorang yang sedang berenang
di tempat. Ia mengenakan gaun panjang yang longgar, mirip baju tidur.
"Bobbi"kenapa kau ada di sini?" tanya Corky dalam
mimpinya. Bibir Bobbi yang gelap tampak bergerak-gerak, namun tak ada
suara yang keluar dari mulutnya.
"Bobbi, kenapa kau kelihatan begitu sedih?" tanya Corky.
Bibir Bobbi yang berwarna biru tua kembali bergerak-gerak,
memantulkan cahaya bulan yang dingin. Rambutnya mengambang di
sekeliling kepalanya. Corky duduk tegak di tempat tidur, dan mengulurkan tangan
untuk meraih kakaknya. Tapi Bobbi melayang di luar jangkauan.
"Aku"aku tidak bisa menyentuhmu," seru Corky dengan suara
bergetar karena emosi. Ia membungkuk dan mengulurkan tangan
sejauh mungkin. Tapi Bobbi tetap berada beberapa inci dari ujung jarinya.
Cahaya bulan yang kebiruan seakan-akan berputar mengelilingi
mereka. "Bobbi"kau mau apa?" tanya Corky. "Tolong katakan
padaku." Bobbi menatap Corky dengan matanya yang biru dan dingin,
sambil terus menggerakkan bibirnya. Sepertinya ia ingin


Fear Street - Cheerleaders Musibah Ketiga The Third Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberitahukan sesuatu kepada Corky. Tapi Corky tidak bisa
mendengarnya, tidak bisa membaca gerakan bibirnya.
''Kenapa kau datang ke sini?" tanya Corky dengan nada
memohon. "Apa yang hendak kauceritakan padaku?"
Bobbi melayang mendekati adiknya. Cahaya biru itu terus
mengelilingi mereka, menyelubungi mereka, memisahkan mereka dari
dunia luar. "Kau kelihatan sedih sekali, Bobbi," ujar Corky.
Tenggorokannya serasa tercekat, dan ia hampir menangis. "Aku
mohon, Bobbi, katakanlah kenapa kau datang ke sini."
Tanpa peringatan dan tanpa memperlihatkan emosi apa pun,
Bobbi meraih ke atas serta menjambak rambutnya sendiri dengan
keras. Rambutnya terangkat, begitu pula ubun-ubun kepalanya.
"Oh!" Corky memekik kaget.
Bobbi tetap membisu. Ia memegang rambut beserta ujung
kepalanya dengan sebelah tangan, dan memberi isyarat dengan
tangannya yang satu lagi.
"Bobbi, sedang apa kau?" tanya Corky. Ia mematung, tidak tega
menyaksikan adegan itu, tapi sekaligus terlalu penasaran untuk
memalingkan wajah. Bobbi menunduk dan mendekat.
Semakin dekat. Corky mengintip ke tengkorak kakaknya yang menganga lebar.
"Ada apa, Bobbi" Apa yang hendak kamu tunjukkan padaku?"
Corky memandang ke dalam kepala Bobbi. Dan menahan
napas. Dalam kegelapan malam, isi kepala Bobbi seakan-akan
berdenyut-denyut. Tapi dalam waktu singkat mata Corky telah
terbiasa dengan cahaya remang-remang, dan ia melihat apa yang
bergerak-gerak di situ. Ribuan kecoa tampak merayap ke segala arah.
Memenuhi kepala Bobbi bagaikan biji-biji kopi di dalam
kaleng. Serangga-serangga itu tumpang-tindih dan saling memanjat,
seolah-olah sedang memperagakan tarian bisu yang mengerikan.
"Ohhh!" Corky terbangun sambil terbatuk-batuk.
Ia harus berjuang untuk menarik napas.
"Bobbi?" Kakaknya telah lenyap. Begitu pula cahaya biru tadi, yang digantikan cahaya bulan
yang putih seperti biasa.
Corky menyadari bahwa baju tidurnya basah kuyup karena
keringat. Seluruh tubuhnya gemetaran, menggigil sekaligus
kepanasan. "Ada apa ini?" ia bertanya pada dirinya sendiri. Ia mengedipngedipkan mata dan berusaha menjernihkan pikirannya. "Sudah
berminggu-minggu aku tidak bermimpi tentang Bobbi."
Ia menunggu sampai tubuhnya berhenti gemetaran. Kemudian,
setelah memutuskan bahwa ia perlu mengambil segelas air, ia turun
dari tempat tidur. Kakinya menginjak sesuatu yang hangat. Sesuatu yang
berderak. Sesuatu yang bergerak.
"Oh!" Corky tersentak kaget. Sesuatu remuk di bawah kakinya.
Sesuatu merayap pada jari kakinya.
Ia menatap ke bawah. "Aduh! Oh, aduh!"
Kecoa. Ribuan kecoa memenuhi lantai, tumpang-tindih. Ada yang
merayap pada kaki Corky, ada yang mulai memanjat ke betisnya.
Tubuh serangga-serangga itu tampak berkilauan dalam cahaya
bulan, membentuk karpet tebal yang menutupi lantai.
Bab 4 Tertimpa Sial "TOLONG!" Sambil menendang-nendang dengan panik untuk
menyingkirkan kecoa-kecoa itu dari kakinya, Corky melompat ke
lantai. "Mom! Dad! Tolongl"
Setiap kali melangkah, ia merasakan kecoa-kecoa remuk di
bawah kakinya yang telanjang. Ia terserang rasa mual yang nyaris tak
tertahankan. "Tolong!" Sambil membungkuk untuk menepis binatang-binatang
menjijikkan itu dari kakinya, Corky menghambur keluar dari kamar,
ke selasar sempit dan gelap, yang sejuk.
"Mom! Dad!" "Hei"ada apa ini?" Mr. Corcoran muncul di ambang pintu
kamar tidurnya di ujung selasar. Ia hanya mengenakan celana piama,
dan masih menggosok-gosok mata. Tampangnya seperti beruang yang
baru bangun dari tidur panjang di musim dingin.
"Dad!" "Corky"ada apa ini?" Ayahnya melangkah maju dan
meregangkan tangan sambil menguap lebar.
"Kecoa!" seru Corky sambil tersedak.
"Apa?" "Kecoa!" "Corky, kau membangunkan aku karena ada seekor kecoa di
kamarmu?" tanya ayahnya dengan nada menyalahkan. "Ini rumah tua,
dan di rumah tua kadang-kadang ada..."
"Ada apa sih, ribut-ribut begini?" tukas Mrs. Corcoran. Ia tibatiba muncul di belakang suaminya dan menepis rambut pirangnya
yang menutupi keningnya. "Corky, ya Tuhan?" Ia bergegas
menghampiri Corky dan memeluknya. "Kau gemetaran. Ada apa,
Sayang?" Corky berusaha menjawab, namun suaranya tersangkut di
tenggorokannya. Ia mundur selangkah dan meraih tangan ibunya. Kemudian ia
menggiringnya ke kamarnya.
"Kecoa, Mom," akhirnya ia berkata dengan susah payah.
Ayahnya menyusul sambil menggelengkan kepala. "Dari tadi
hanya itu yang dikatakannya, 'Kecoa'."
Mereka mengikuti Corky ke kamarnya. "Itu," ujar Corky. Ia
melangkah melewati ambang pintu dan menyalakan lampu di langitlangit. Kemudian ia menarik napas panjang sambil berusaha
menghalau serangan rasa mual, dan menunjuk ke lantai. "Lihat itu."
Mereka bertiga menatap karpet merah-anggur.
"Aku tidak melihat apa-apa," kata Mr. Corcoran.
Mrs. Corcoran memandang Corky dengan prihatin.
Lautan kecoa itu telah lenyap.
"Hei, gara-gara kalian ribut-ribut aku jadi bangun nih!" suara
Sean terdengar dari belakang mereka.
Mereka menoleh dan melihatnya mengintip ke kamar Corky.
"Sean"kau menjahili kakakmu, ya?" tanya Mr. Corcoran
dengan tegas. Sean tampak bingung. "Hah"aku?"
************************ "Wow! Kita sudah sampai!" seru Corky sambil memandang ke
luar jendela. Bus yang mereka tumpangi telah memasuki kampus
Madison College, tempat perkemahan cheerleader diselenggarakan.
Perjalanan dari Shadyside memakan waktu hampir satu jam. Corky
beserta teman-temannya asyik bercanda dan bernyanyi sepanjang
jalan. "Ini persis seperti yang kubayangkan," Hannah menimpali.
"Lihat tuh, semua gedungnya terbuat dari batu bata, dan semuanya
hampir tertutup tanaman rambat. Tempat ini pantas jadi lokasi
pembuatan film!" "Tapi kok sepi sekali?" tanya Debra sambil mengamati kampus
yang sunyi. "Namanya juga liburan musim semi," sahut Kimmy dari bangku
paling depan. "Jadi"tidak ada cowokl" Ronnie berseru.
Ia tampak begitu prihatin, sehingga semuanya tertawa.
Simmons, pengemudi bus berambut pirang yang masih muda,
menunjukkan gedung olahraga yang besar dan beratap kubah, lalu
melanjutkan perjalanan ke gedung asrama yang berjarak kira-kira satu
blok. Ketika bus mereka berhenti, seorang wanita muda, petugas
perkemahan cheerleader, bergegas untuk menyambut mereka dan
membagi-bagikan nomor kamar.
Beberapa menit kemudian Corky, Kimmy, dan Debra sudah
berada di kamar yang disediakan bagi mereka.
Sebuah jendela besar menghadap ke kampus. Dinding-dinding
kamar dicat hijau muda, sementara langit-langit yang rendah berwarna
kuning cerah. Dua meja kecil saling merapat di tengah ruangan. Satu
meja lagi menempel di dinding, diapit oleh dua lemari
pakaian. Di atas salah satu lemari, seseorang telah memasang
poster U2. "Aku pilih tempat tidur yang ini," ujar Debra sambil melempar
ranselnya ke tempat tidur sempit di depan jendela. "Aku cuma bisa
tidur di dekat jendela."
Corky melihat tempat tidur tingkat di dinding seberang. "Kau
mau tidur di mana, di atas atau di bawah?" ia bertanya pada Kimmy.
Kimmy angkat bahu. "Di atas saja deh."
"Kampus ini jauh lebih besar dari yang kuduga," ujar Debra
sambil memandang ke lapangan rumput berbentuk bujursangkar yang
dikelilingi gedung-gedung kuliah dan asrama lainnya. "Sayang tidak
ada siapa-siapa di sini."
"Cuma sesama cheerleader,'' kata Kimmy. "Puluhan
cheerleader." Ia membuka koper dan mulai membongkar isinya. Ia
mengeluarkan baju, pakaian olahraga, dan kaus kaki, dan
memasukkan semuanya ke laci paling atas di lemari pakaian di
samping tempat tidur tingkat.
Corky menunjuk sambil tertawa, "Ya ampun, untuk apa kau
bawa kaus kaki sebanyak itu?"
Kimmy tersipu-sipu. Ia menepis sejumput rambut yang jatuh ke
keningnya. "Kakiku cepat berkeringat." Ia melirik ke arah Corky.
"Lagi pula, tidak semua orang betah memakai kaos kaki yang sama
selama satu bulan!" tambahnya sambil menyeringai. Kemudian ia
mengeluarkan boneka beruang cokelat yang telah usang dari koper,
dan melemparnya ke atas tempat tidur.
"Astaga!" seru Debra. "Kimmy, masa kau masih perlu ditemani
boneka beruang kalau mau tidur?"
"Adikku saja sudah malu ditemani beruang," Corky menimpali.
"Tapi beruangmu memang lucu kok."
Pipi Kimmy semakin merah. "Aku tidak butuh teman tidur. Aku
cuma... sudah terbiasa membawanya kalau aku pergi dari rumah.
Beruang itu semacam maskot."
"Yeah, kita memang butuh maskot penangkal bala," ujar Debra
sambil termenung-menung. Suasana di kamar mereka mendadak mencekam gara-gara
komentarnya. Semuanya terdiam. Debra menyilangkan tangan dan kembali
memandang keluar jendela. Ia belum membuka kopernya.
Corky tahu persis apa yang mereka pikirkan. Mungkinkah roh
jahat itu mengikuti mereka ke perkemahan cheerleader" Mungkinkah
roh jahat itu ikut hadir di dalam kamar asrama, bersembunyi di dalam
diri salah satu dari mereka"
Tanpa sadar, Corky menatap Kimmy dengan tajam. Kimmy
kelihatan gelisah sekali.
Dalam perjalanan dari Shadyside pun ia begitu tegang, sehingga
tidak ikut bernyanyi maupun bersenda-gurau bersama yang lain.
Corky, yang duduk di sebelah Debra di bangku belakang bus,
sempat menceritakan mimpinya kepada temannya itu. Ia bercerita
bagaimana Bobbi membuka ujung kepalanya, yang ternyata penuh
kecoa, dan bagaimana ia melihat ribuan kecoa memenuhi lantai
kamarnya. Ia tahu bahwa Debra takkan menertawakannya. Sejak kehadiran
roh jahat itu terungkap pada musim gugur tahun lalu, Debra tertarik
untuk mempelajari ilmu gaib. Ia mulai memakai kalung kristal, yang
diyakininya mengandung kekuatan magis. Dan ia juga melahap buku
demi buku mengenai dunia arwah, ilmu gaib, dan ilmu hitam.
"Aku baru selesai baca buku tentang mimpi," Debra
menanggapi cerita Corky dengan serius.
"Kira-kira apa maksud mimpi buruk yang kualami?" tanya
Corky. "Aku hampir mati ketakutan waktu itu."
"Bobbi ingin menceritakan sesuatu padamu," ujar Debra sambil
merendahkan suara. "Dia berusaha memperlihatkan sesuatu padamu."
"Tapi apa" Kecoa?" Corky kembali bertanya. "Untuk apa dia
memperlihatkan ribuan kecoa padaku?"
Debra menggigit-gigit bibir. Ia menggelengkan kepala. "Aku
tidak tahu, Corky. Aku juga tidak mengerti."
Corky sebenarnya ingin melupakan mimpi itu dan menikmati
perkemahan cheerleader. Tapi sukar baginya mengusir mimpi tersebut
dari pikirannya. Mimpi itu masih terus menghantuinya.
Mungkinkah roh jahat itu mengikutinya ke perkemahan
cheerleader" Lamunan suram ketiga gadis itu dibuyarkan oleh bunyi ketukan
pintu dari luar. Debra segera menghampiri pintu dan membukanya. "Hannah!
Hai!" ia berseru. Hannah, yang mengenakan T-shirt hijau dan celana hitam,
melewati Debra dan melangkah ke tengah ruangan. Masing-masing
tangannya menggotong koper besar. Ia menurunkan kedua koper dan
mendesah, "Uhh."
"Ada apa, sih?" tanya Debra. Ia menutup pintu dan
menghampiri Hannah di tengah ruangan. Kimmy dan Corky menatap
Hannah sambil mengerutkan kening.
"Apakah aku boleh pindah ke kamar kalian?" tanya Hannah
sambil meraih ke belakang untuk mengatur kepangannya yang
panjang. "Hah?" Corky berseru kaget.
"Di kamar Ronnie dan Heather tidak ada tempat lagi untukku,"
Hannah menjelaskan. "Mereka sudah mengisi semua lemari pakaian sebelum aku
sempat membongkar koper-koperku. Padahal barang-barangku begini
banyak." Ia menunjuk kedua kopernya yang tampak menggembung.
"Kamar kalian lebih besar," Hannah melanjutkan sambil
memandang berkeliling. "Di kamar yang satu lagi tidak ada tempat
untuk menyimpan barang-barangku."
"Tapi, Hannah?" Kimmy mulai memprotes.
"Terus ini lagi," ujar Hannah tanpa menggubris Kimmy.
"Ronnie memilih tempat tidur di atas, padahal aku sudah bilang bahwa
aku tidak bisa tidur di bawah. Aku tak bakal bisa memejamkan mata
kalau ada orang tidur di atasku. Tapi Ronnie tidak mau mengerti"dia
tetap tidak mau pindah ke bawah."
"Bagaimana dengan tempat tidur yang satu lagi?" tanya
Kimmy. "Di sana ada tempat tidur ketiga, kan?"
"Yeah, memang," balas Hannah dengan sengit. "Tapi yang itu
sudah ditempati Heather. Katanya dia harus tidur di dekat jendela,
sebab kalau tidak, dia tidak bisa bernapas."
Debra hanya mengangguk-angguk sambil melirik tempat tidur
di pinggir jendela yang telah dipilihnya.


Fear Street - Cheerleaders Musibah Ketiga The Third Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jadi bagaimana" Aku bisa pindah ke sini?" tanya Hannah.
"Tapi tempat tidurnya cuma tiga," protes Corky.
"Yeah, kamar-kamar ini memang disiapkan untuk tiga orang,"
Kimmy menambahkan sambil menunjuk-nunjuk. "Tiga meja, tiga
lemari pakaian, tiga tempat tidur."
Hannah mendesah dan memutar-mutar bola mata sambil
merengut. "Ehm, bagaimana kalau salah satu dari kalian tukar tempat
denganku?" ia bertanya dengan hati-hati.
"Aku sudah selesai membongkar koper," balas Kimmy. Ia
segera menutup kopernya yang telah kosong.
"Tolong dong," desak Hannah dengan suara kecil. "Siapa yang
mau tukar tempat denganku" Aku harus pindah dari kamar sana. Aku
takkan tahan di sana. Kamarnya terlalu sempit. Aku tak bakal bisa
tidur." Pandangannya beralih dari Debra ke Corky, lalu kembali ke
Debra. "Ehm... oke deh," Debra akhirnya mengalah. "Daripada kamu
tidak bisa tidur." "Oh, trims, Debra!" seru Hannah. Dan di luar dugaan Debra,
Hannah segera menghampirinya dan memeluknya erat-erat. "Kau
memang sahabat sejati," pekik Hannah.
"Tidak apa-apa kok," ujar Debra dengan kikuk sambil melirik
kepada Corky. Ia mulai mengumpulkan barang-barangnya.
Hannah menyeret kedua kopernya ke tempat tidur Debra di tepi
jendela. "Hei, kita sudah hampir terlambat," seru Kimmy ketika menatap
arlojinya. "Pukul dua tepat kita sudah harus hadir di gedung olahraga."
"Yang mana sih gedung olahraganya?" tanya Hannah sambil
membuka salah satu kopernya dan mulai mengeluarkan pakaian.
"Gedung besar berwarna kelabu beratap kubah tadi. Masih
ingat" Kita sempat melewatinya tadi," Corky memberitahunya.
"Aduh, aku tak bakal sempat membongkar barang-barangku,"
kata Hannah. "Lemari pakaianku yang mana?"
Kimmy menunjukkan tempatnya. "Kau harus buru-buru. Kita
bakal dapat angka hukuman kalau sampai telat."
"Untuk latihan juga" Ini tidak adil," protes Hannah. "Apakah
kita harus pakai baju seragam?"
"Untuk latihan tidak," kata Kimmy. "Hanya untuk kompetisi
setiap malam." "Kita bakal menang terus!" Hannah menegaskan. "Aku yakin
kita bakal menang terus."
"Mudah-mudahan saja," komentar Corky singkat.
"Corky, aku mau minta tolong lagi nih," ujar Hannah sambil
mengeluarkan celana jins dari koper, jins ketiga yang dikeluarkannya.
Untuk apa dia bawa jins sebanyak itu" Corky bertanya dalam
hati. Untuk apa dia bawa dua koper, padahal kita cuma satu minggu di
sini" "Boleh saja. Ada apa?" ia bertanya pada Hannah.
"Tolong isikan bak mandi dengan air panas dong?"
Permintaan itu mengejutkan Corky. "Apa?"
"Tolong isikan bak mandi untukku, ya" Badanku rasanya
lengket semua gara-gara naik bus tadi. Tapi aku juga masih harus
membongkar barang-barangku. Dan aku tidak mau terlambat. Tolong,
ya?" Corky melirik ke arah Kimmy. Kimmy meringis sambil
menjulingkan mata. "Yeah, oke," kata Corky. Lalu ia menuju ke kamar mandi di
pojok ruangan. "Kau memang sahabat sejati," ujar Hannah sambil
mengeluarkan dua celana jins kutung dari kopernya.
Benar-benar tidak tahu diri, pikir Corky geram. Memangnya
dikiranya dia putri raja"
Corky membuka tirai shower yang berwarna putih, lalu
membungkuk untuk membuka keran air.
Tadi Hannah mengeluh bahwa kamar yang satu lagi terlalu
sempit, pikir Corky, dan ia semakin jengkel. Dan sekarang ia
menyuruh-nyuruh aku seperti pelayan. Benar-benar keterlaluan.
Ia mengulurkan tangan ke bawah keran untuk mengukur suhu
air, lalu memutar keran agar airnya sedikit lebih panas.
"Oke, sebentar lagi kau sudah bisa mandi," ia memberitahu
Hannah ketika kembali ke kamar.
"Trims," gumam Hannah tanpa menoleh. Ia sedang mengatur
makeup dan alat-alat kosmetik lainnya di atas lemari pakaian.
"Ayo, nanti kita terlambat," Corky mendesak Kimmy. Ia
menuju ke cermin dan menyikat rambutnya yang panjang dan pirang.
"Kau sudah siap?"
"Sedikit lagi," jawab Kimmy. Ia masuk ke kamar mandi dan
menutup pintu. "Kita ketemu di gedung olahraga saja," kata Corky kepada
Hannah. "Oke," ujar Hannah. Ia mulai membongkar koper kedua.
Kimmy keluar dari kamar mandi. "Jangan terlalu lama," ia
memperingatkan Hannah. Corky menyusul Kimmy meninggalkan kamar. Ia menutup
pintu. Ia mendengar bunyi "klik" yang menandakan bahwa Hannah
mengunci pintu dari dalam. "Dia benar-benar keterlaluan," Corky
berkomentar ketika mereka berjalan ke lift.
Kimmy mendadak berhenti. "Oh, ya ampun! Pompomku
ketinggalan di kamar. Padahal Miss Green sudah mewanti-wanti agar
aku membawanya." Mereka berbalik dan kembali ke kamar. "Hampir saja," ujar
Kimmy. Kimmy meraih pegangan pintu.
Tapi tiba-tiba terdengar jeritan keras.
Kimmy dan Corky sama-sama tersentak kaget.
Sekali lagi terdengar jeritan keras yang melengking tinggi.
Itu suara Hannah, Corky menyadari.
Hannah di dalam kamar. Berteriak kesakitan.
Bab 5 "Rasanya Aku Ingin Membunuh Dia "
CORKY merogoh-rogoh tas untuk mencari kunci kamar.
Kimmy menggedor-gedor pintu dengan keras. "Hannah"ada
apa" Hannah!" Dengan tangan gemetaran Corky akhirnya berhasil
memasukkan anak kunci ke lubang kunci, dan ia segera membuka
pintu. Ketika ia dan Kimmy menyerbu masuk ke kamar, Hannah
berlari keluar dari kamar mandi. Tubuhnya dibungkus handuk besar
berwarna merah tua. Dalam keadaan basah-kuyup, ia langsung
menuding Corky sambil membelalakkan mata dengan geram.
"Tega-teganya kau!" pekiknya dengan suara melengking.
"Tega-teganya kau!"
"Hannah"ada apa?" Corky bertanya dengan bingung.
"Ada apa?" Kimmy membeo.
"Tega-teganya kau! Tega-teganya kau!" Hannah mengulangi
tanpa henti. "Kau mau mencelakakan aku!"
"Hah?" seru Corky dan Kimmy bersamaan.
"Airnya. Airnya panas sekali. Aku tidak tahu. Aku langsung
masuk saja. Soalnya aku percaya padamu."
"Tapi, Hannah?" Corky mulai berkata.
"Lihat kakiku!" Hannah menjerit. "Lihat!" Ia mengangkat
handuk agar Corky dan Kimmy bisa melihat kakinya. "Kau mau
mencelakakan aku!" Pandangan Corky beralih ke kaki Hannah. Kedua kakinya
tampak merah-padam, dari telapak sampai hampir ke lutut.
"Tapi tidak mungkin. Airnya sudah kucoba kok," Corky
memrotes. Hannah menatap Corky sambil mendelik. "Kau jahat sekali.
Aku"aku"aku tidak?" ia tergagap-gagap.
"Barangkali airnya bertambah panas setelah Corky membuka
keran," Kimmy angkat bicara untuk membela temannya.
"Sungguh, airnya sudah kucoba tadi," Corky berkeras sambil
menatap kaki Hannah yang merah-padam.
Hannah mengencangkan lilitan handuk tanpa berkata apa-apa.
Roman mukanya tetap kencang.
"Aku tidak mungkin sengaja mencelakakanmu," ujar Corky.
"Apakah kita perlu panggil petugas P3K?" Kimmy
menawarkan. Hannah menggelengkan kepala. "Kakiku sudah mendingan
sekarang. Aku cuma kaget."
"Aku betul-betul tidak mengharapkan ini terjadi," kata Corky,
"tapi aku yakin airnya tidak apa-apa waktu aku keluar dari kamar
mandi tadi." Hannah angkat bahu. "Oke. Mungkin aku agak berlebihan."
"Kau benar-benar tidak apa-apa?" tanya Kimmy.
"Rasanya sih begitu," balas Hannah. Ia berjalan beberapa
langkah sampai ke tengah ruangan. "Yeah, aku tidak apa-apa. Sori
kalau aku marah-marah tadi." Ia membalik dan kembali masuk ke
kamar mandi. "Sampai nanti di gedung olahraga!" seru Kimmy. "Aku akan
memberitahu Miss Green kenapa kau terlambat."
Corky sempat terbengong-bengong ketika kakaknya tiba-tiba
muncul dalam pikirannya. Bobbi meninggal akibat air yang panas
sekali, kenangnya. "Airnya betul-betul sudah kucoba kok," gumam Corky kepada
dirinya sendiri. Kimmy meraih kotak berisi pompom. Kemudian mereka
meninggalkan kamar. "Aneh," Kimmy bergumam sambil menggeleng-gelengkan
kepala ketika mereka menyusuri lorong panjang yang menuju ke lift.
"Aneh." Memang aneh, pikir Corky.
Dan kemudian ia teringat bahwa Kimmy sempat masuk ke
kamar mandi pada waktu airnya masih mengalir.
Ya, benar juga, Corky berkata dalam hati. Sebelum kita
berangkat tadi, Kimmy sempat masuk ke kamar mandi.
Ia melirik ke arah Kimmy ketika lift mulai kelihatan. Kimmy
memandang lurus ke depan, dengan wajah tanpa ekspresi.
Mungkinkah Kimmy masuk ke kamar mandi untuk memutar
keran air panas" Corky bertanya dalam hati.
Mungkinkah Kimmy ingin mencelakakan Hannah"
********************** "Hey, America"the time is here!
Shadyside stand up and cheer!
Here we come. We want the world to knozv
Shadyside is the HIT OF THE SHOW!"
Sambil bersorak-sorai dengan lantang, keenam cheerleader
Shadyside menutup gerakan dengan bersalto serempak ke belakang.
"Aduh!" seru Ronnie. Ia kehilangan keseimbangan dan jatuh
dengan lengan lebih dulu.
Miss Green meniupkan peluitnya ketika para anggota tim yang
lain berkerumun mengelilingi Ronnie. Kimmy dan Debra
membantunya berdiri. "Aku tidak apa-apa," ujar Ronnie. "Sungguh, aku tidak apaapa." Ia menguji sendi bahunya dengan memutar-mutar lengan
bagaikan baling-baling. "Yeah, tidak apa-apa kok."
"Kalau begitu kita coba sekali lagi," kata Miss Green ketus. Ia
melirik ke tepi lapangan, tempat salah satu anggota panitia
perkemahan sedang mencatat sesuatu.
Miss Green kembali meniup peluitnya.
Bunyi peluit terdengar dari mana-mana di gedung olahraga
besar itu. Tim-tim cheerleader dari 15 sekolah sedang bersorak-sorai,
menari-nari, dan melompat-lompat. Sepatu-sepatu kets terdengar
berdecit-decit di lantai kayu yang dipoles mengilap. Berbagai lagu
memantul dari dinding-dinding.
Ramai sekali, pikir Corky. Aku rasa di seluruh dunia tidak ada
tempat semeriah ini! Tidak jauh dari tim Shadyside, tim Redwood Bulldogs sedang
melatih gerakan panjat-memanjat untuk membentuk piramida. Baju
seragam biru dan emas yang mereka kenakan, meski tidak diwajibkan,
tampak baru dan mentereng.
"Lihat anak itu. Kapten mereka," kata Corky kepada Kimmy
sambil menunjuk cheerleader berambut merah indah yang panjang. Ia
hampir harus berteriak ke telinga temannya itu agar suaranya bisa
terdengar. "Dia betul-betul hebat'."
"Aku kenal dia!" seru Kimmy. "Dulu dia dan aku sama-sama di
Sekolah Minggu. Namanya Blair O'Connell. Dia memang hebat "dan
dia juga menyadarinya!"
Mereka menyaksikan Blair melakukan gerakan cartwheel
dengan sempurna lalu naik dengan lincah ke pundak rekannya.
Rambut merahnya melambai-lambai bagaikan panji kemenangan.
"Wow!" ujar Corky. Ia menggelengkan-gelengkan kepala
dengan kagum. "Dia memang luar biasa."
"Kita bisa mengalahkan dia!" seru Hannah, yang tiba-tiba
muncul di belakang Corky dan Kimmy. "Kita cuma harus bekerja
lebih keras, itu saja! Ayo, semuanya!" sorak Hannah sambil bertepuk
tangan. "Kita tunjukkan kepada anak-anak Bulldog bahwa bukan
mereka saja yang hebat!"
Hannah bersikap seakan-akan dia kapten tim kita, Corky
menggerutu dalam hati. Namun ia pun ketularan semangat Hannah.
Corky menyingkirkan segala pikiran suram dari benaknya, dan tampil
dengan sepenuh hati. "Hey, America"the time is here! Shadyside stand up and
cheer!" Ketika regu Shadyside mulai berlatih, Corky melihat Blair
O'Connell menyaksikan mereka dengan wajah masam sambil
menyilangkan tangan. Pada akhir gerakan, Ronnie kembali membuat
kesalahan sewaktu berjumpalitan ke belakang, dan Corky melihat
Blair tertawa mengejek sambil menunjuk-nunjuk Ronnie di depan
para anggota tim Bulldog yang lain.
Kimmy menghampiri Corky. Rupanya ia juga memperhatikan
tingkah Blair. "Dari dulu aku tak pernah suka sama dia," ia berbisik ke
telinga Corky. "Dia sombong sekali."
"Tapi penampilannya dong!" seru Corky. "Dia begitu jangkung
dan"dan"lihat pinggangnya yang ramping dan?"
Suara Miss Green yang gusar memotong percakapan mereka.
"Kita di sini bukan untuk menonton," ia mengomel. "Ayo, kita mulai
dari awal. Ronnie, kali ini kau mau mendarat benar atau mau jatuh
lagi?" Ronnie tersipu-sipu. Hidungnya tampak mengilap karena
keringat. Ia menarik rambut ikalnya dan mendengus kesal. "Kali ini
saya takkan gagal," janjinya.
"Ayo! Ayo! Ayo!" seru Hannah sambil melompat-lompat dan
bertepuk tangan. Ia jadi cheerleader-nya para cheerleader, pikir Corky dengan
geram. Pandangannya beralih dari Hannah ke Blair. Mereka persis
sama, pikir Corky dengan getir. Hanya saja Blair lebih berbakat.
Corky berbaris bersama yang lain untuk mengulangi gerakan itu
dari awal. Keadaan di dalam gedung olahraga bertambah panas,
udaranya pengap dan lembap. Seruan-seruan, sorak-sorai, segala
nyanyian dan tepuk tangan "semuanya membuat kepala Corky serasa


Fear Street - Cheerleaders Musibah Ketiga The Third Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berputar-putar. Sejenak ia memejamkan mata, tapi cahaya terang itu
tidak memudar. Malahan suara-suara di sekitarnya yang bertambah
keras. Ia kembali membuka mata dan memulai latihan.
Kali ini semuanya berjalan lebih baik. Paling tidak Ronnie tidak
jatuh lagi. Sekali lagi Corky memperhatikan Blair O'Connell dengan
seragamnya yang gemerlapan, dan sekali lagi Corky menangkap kesan
meremehkan di wajahnya yang cantik.
Mereka mengulangi gerakan itu sekali lagi. Kemudian Miss
Green meminta mereka berlatih handsprings.
Sementara itu, para anggota panitia perkemahan berkeliling
sambil mengamati setiap tim dengan saksama. Mereka membuat
catatan, dan berbincang-bincang sejenak dengan para pelatih dan
penasihat. Corky melakukan gerakan handspring, lalu melanjutkannya
dengan melompat sambil merentangkan kaki dan tangan.
Boleh juga, katanya dalam hati. Napasnya terengah-engah.
Acara ini memang menuntut kerja keras, tapi lama-lama sih asyik
juga. "Corky, boleh aku beri saran padamu?" ujar Hannah keras-keras
sambil melangkah maju. Ucapannya segera disadari oleh Corky bukan
dimaksud sebagai pertanyaan. "Kau perlu melompat lebih tinggi
sebelum merentangkan kaki dan tangan," Hannah memberitahunya.
"Lompatanmu terlalu rendah."
"Hah?" Mula-mula Corky menyangka ia salah dengar.
Mungkinkah Hannah, si anak baru, menasihatinya di depan seluruh
tim" "Kalau kau merapatkan kaki, lompatanmu lebih mudah
dikendalikan," Hannah melanjutkan. "Nih, aku kasih contoh."
Pandangannya terus melekat pada Corky, sementara ia
melompat tinggi-tinggi sambil melebarkan kaki dan tangan. Lalu ia
mendarat dengan anggun, dan tersenyum lebar. "Nah, begitu."
"Trims, Hannah," Corky berbasa-basi. "Nanti akan kucoba."
Kemudian ia segera membalik dan menghampiri Debra dan Heather.
Berani-beraninya dia, pikir Corky dongkol.
Aku tidak keberatan terima saran dari anak-anak yang lain. Tapi
Hannah pikir dia ratu sejagat!
Padahal dia anak baru. Bobbi dan aku masuk regu all-state di
Missouri dulu. Rasanya aku tidak butuh nasihat dari Hannah.
"Hei"jangan cemberut begitu dong!" seru Debra yang melihat
Corky pasang tampang kencang. "Awas, orang-orang memperhatikan
kamu," ia menggoda. "Kau bisa dapat angka hukuman kalau tidak
tersenyum terus." Corky segera memaksakan senyum lebar, sekadar agar Debra
berhenti mengusiknya. "Nah, begitu lebih baik," ujar Debra sambil tertawa. Ia
memegang-megang kalung kristal yang melingkar di lehernya. Ia
mengacungkan jempol kepada Corky, lalu kembali berlatih panjatmemanjat bersama Heather.
Corky tidak sadar bahwa Kimmy telah menghampirinya dari
belakang. Ia tersentak kaget ketika Kimmy mengajaknya bicara.
"Rasanya Hannah perlu diberi pelajaran," kata Kimmy dengan getir.
"Apa?" Corky tidak tahu bahwa Kimmy memperhatikan
tingkah Hannah tadi. "Dia menyebalkan sekali," ujar Kimmy sambil menggertakkan
gigi. "Kadang-kadang rasanya aku ingin membunuh dia."
Cara Kimmy mengucapkan kata-kata itu membuat Corky
bergidik. Kadang-kadang rasanya aku ingin membunuh dia.
Corky angkat bahu. "Begitulah Hannah."
Kimmy menatapnya tanpa ekspresi.
Peluit-peluit berbunyi. Para cheerleader diminta berkumpul
untuk memperoleh penjelasan mengenai kompetisi di malam hari.
Setiap malam akan diadakan kompetisi kecil. Setiap regu diminta
menampilkan gerakannya yang paling rumit, dan lalu para pemenang
diberi penghargaan. Seusai pertemuan, Corky berjalan seorang diri melintasi taman
untuk kembali ke gedung asrama. Kakinya pegal sekali. Ia merasa
kepanasan dan badannya penuh keringat. Wah, latihannya berat juga,
katanya dalam hati. Tapi Debra memang sudah memperingatkannya bahwa
perkemahan cheerleader menuntut kerja keras.
Angin sore terasa menyejukkan ketika ia melintasi kampus yang
sunyi. Hanya ada beberapa mahasiswa yang sedang mengelilingi
taman naik sepeda. Corky membuka pintu kaca gedung asrama dan melangkah
masuk. Sepatu ketsnya berdecit-decit pada lantai marmer ketika ia
menuju ke lift. Lobby-nya sepi dan tenang, tapi dari ujung lorong
terdengar alunan musik country.
Sambil membayangkan nikmatnya mandi air dingin, Corky
masuk ke lift dan naik ke lantai enam. Kemudian ia keluar dan
menyusuri lorong berkarpet gelap menuju ke kamarnya.
Namun sepatu ketsnya menempel pada karpet.
"Hei"ada apa ini?" ia berseru sambil memandang ke bawah.
Karpet itu tampak bergerak, berayun-ayun bagaikan gelombang.
"Hei!" Corky memekik.
Ia mengedipkan mata. Satu kali. Dua kali. Ia menunggu sampai
matanya terbiasa dengan suasana remang-remang.
Ia mencoba berjalan lagi. Tapi lantainya tetap lengket dan
basah. Karpetnya tetap bergulung-gulung, melewati sepatu ketsnya.
"Oh!" ia memekik. Apakah ada yang bisa mendengarku" ia
bertanya dalam hati. Apakah ada orang di atas sini"
Karpet penutup lantai telah berubah menjadi lautan tebal dan
gelap yang berayun-ayun maju-mundur.
"Aku tak bisa bergerak!" Corky menjerit. "Tolong! Tolooong!"
Bagaikan aspal yang menggelembung, cairan kental itu
menutupi sepatu Corky, lalu merayap sampai ke mata kakinya.
Aku mau ditarik ke bawah, Corky menyadari.
Aku tidak bisa bergerak. Cairannya lengket sekali.
Aku ditarik ke bawah. "Tolong!" Bab 6 Dari Suka ke Duka "OH. lengket sekali!" Corky kembali berseru. "Aku"aku tidak
bisa bergerak!" Ia mendongakkan kepala dan melihat Debra, yang sedang
menatapnya. Wajah Debra yang biasanya selalu berkesan dingin
tampak berkerut-kerut cemas.
"Corky"ada apa" Kenapa kau duduk di lantai?" Debra berlutut
dan segera merangkul pundak Corky yang gemetaran.
"Lengket sekali!" kata Corky sekali lagi. Sepertinya ia belum
sadar benar. "Apa" Apanya yang lengket" Apa yang terjadi?" tanya Debra
kalang-kabut. Baru sekarang Corky sadar bahwa ia sedang berlutut. Berlutut
di karpet yang berwarna gelap. ebukulawas.blogspot.com
Karpet yang tidak bergerak.
Karpet yang tak lagi bergulung-gulung. Dengan bingung Corky
menggosok-gosok karpet yang kering dengan telapak tangannya.
"Debra?" Debra menatap Corky dengan tajam. Ia tetap merangkul Corky
untuk menenangkannya. "Kenapa kau duduk di bawah, Corky" Kau
jatuh?" Corky menegakkan badan. Ia menggelengkan kepala. "Tidak.
Aku tidak jatuh. Aku ditarik ke bawah."
Debra langsung bengong. "Hah?"
"Karpetnya. Karpetnya mulai bergulung-gulung, lalu berubah
jadi cairan yang lengket. Dan aku ditarik ke bawah." Corky
memandang wajah Debra sambil berusaha membaca ekspresinya,
sambil menduga-duga apakah Debra mempercayainya atau tidak.
Debra memejamkan mata. "Roh jahat itu," katanya sambil
merendahkan suara. "Ya," Corky langsung membenarkan.
"Dia ada di sini," ujar Debra. "Aku bisa merasakannya." Ia
melepaskan Corky, kemudian meraih kalung kristal yang melingkar di
lehernya. Masih sambil memejamkan mata, ia memutar-mutar kristal
itu dengan sebelah tangan, lalu menggenggamnya erat-erat.
Akhirnya ia membuka mata dan bangkit lagi. Ia mengulurkan
kedua tangannya untuk membantu Corky berdiri. "Sini, biar kubantu,"
katanya lembut. "Biar kuantar kau ke kamarmu."
"Siapa yang melakukan ini kepadaku?" tanya Corky. Ia terpaksa
bertumpu ke dinding supaya tidak kehilangan keseimbangan. "Siapa
yang menyiksaku seperti ini?"
Debra menggelengkan kepala. Ia tampak prihatin. "Aku tidak
tahu, Corky," ia berkata sambil membimbing Corky kembali ke
kamarnya. "Aku juga tidak tahu."
*********************** Tim Bulldog dengan mudah memenangkan kompetisi malam
itu. Mereka menampilkan nomor rap yang memukau tim juri. Blair
O'Connell, dengan rambut merahnya yang indah, seakan-akan
menyangkal hukum gravitasi dengan lompatan-lompatannya.
Para cheerleader lain, yang jumlahnya lusinan, mengelompok
bersama para rekan masing-masing sambil menunggu giliran tampil.
Semuanya tampak terkagum-kagum ketika Blair melakukan gerakan
solo yang mencengangkan sebagai puncak atraksi regunya.
"Dasar tukang pamer," Kimmy berbisik kepada Corky ketika
Blair dan regu Bulldog mengakhiri penampilan mereka dengan
melakukan salto secara serempak. "Blair sama sekali tidak anggun.
Dia cuma seorang akrobat."
Corky tertawa. "Tim juri kelihatan kagum. Barangkali mereka
suka akrobat." Kimmy langsung pergi sambil pasang tam- pang cemberut.
"Kita bisa mengalahkan mereka! Kita yang terbaik!" seru
Hannah sambil bertepuk tangan. "Hidup Tigers!" serunya.
Rekan-rekannya terpancing untuk ikut bertepuk tangan. "Hidup
Tigers! Hidup Tigers!"
Tapi ketika tiba giliran tim Shadyside untuk memperlihatkan
kebolehan mereka, semuanya agak tegang. Dan waktu Ronnie dan
Heather sama-sama melakukan kesalahan pada lompatan terakhir,
Corky menyadari bahwa malam itu bukan milik mereka. Sambil
bertepuk tangan para anggota tim Tigers berlari ke tepi lapangan
untuk menyaksikan penampilan regu berikut.
"Besok malam kita sikat mereka!" seru Hannah penuh
semangat. "Kita sudah siap sekarang! Kita sudah siap!"
"Yeah! Kita sikat mereka!" sahut Kimmy, namun tanpa
sanggup menyaingi semangat Hannah.
Setelah Blair dan tim Bulldog memperoleh penghargaan
sebagai pemenang pertama, ketua tim penilai yang mengenakan jaket
berwarna merah-putih mengangkat tangan untuk menenangkan
hadirin. Gedung olahraga besar itu mendadak sunyi.
"Pada malam terakhir kami akan memberikan tongkat semangat
kepada semua anggota regu pemenang. Tongkat-tongkat itu akan
dihiasi bendera sekolah kalian, dan bisa digunakan untuk memacu
semangat pada acara-acara lain," ia mengumumkan. "Tapi pada
malam-malam sebelumnya, kami akan memberikan selendang
semangat berwarna merah kepada anggota paling bersemangat di
masing-masing regu. Saya gembira sekali melihat semangat yang
kalian perlihatkan malam ini!" serunya sambil mengacungkan
selendang berwarna merah. "Dan karena itu saya minta kalian semua
bertepuk tangan dengan meriah atas upaya kalian!"
Gedung olahraga itu seakan-akan terguncang ketika terjadi
ledakan sorak-sorai yang diiringi entakan kaki dan tepuk tangan.
Ketika suasana kembali tenang, ketua tim penilai
mengumumkan nama para pemenang selendang merah dari masingmasing regu. Blair O'Connell menerima penghargaannya dengan
santai sambil tersenyum lebar dan melambaikan tangan kepada rekanrekannya.
Pemenang di regu Tigers adalah Hannah. Ia memekik gembira
ketika namanya diumumkan, dan ia sempat mengundang decak kagum
para penonton ketika melakukan gerakan cartwheel saat hendak
menerima hadiahnya. Corky melirik ke arah Kimmy, yang menatap langit-langit
sambil menggelengkan kepala. Kemudian Corky menyadari bahwa
Debra tersenyum lebar dan asyik bertepuk tangan untuk Hannah.
Ketika Hannah kembali ke barisan sambil mengangkat
selendangnya tinggi-tinggi, Debra segera menghampirinya dan
memeluknya dengan erat. Keduanya lalu bersama-sama menuju ke
pintu keluar. Wah, pikir Corky sambil memperhatikan mereka, sementara
orang-orang lain mulai meninggalkan gedung dengan gaduh. Sejak
kapan Debra jadi akrab dengan Hannah"
Corky menyadari bahwa ia agak cemburu. Bagaimanapun juga,
ia lebih dulu berteman dengan Debra daripada Hannah.
"Corky"sampai nanti, ya!" Corky menoleh dan melihat
Kimmy di tengah kerumunan orang. Kimmy kembali mengatakan
sesuatu, tapi suaranya tak terdengar dalam suasana yang hiruk-piruk.
Corky mengikuti arus yang menuju ke pintu keluar. Ketika
melewati Blair O'Connell, ia sempat mendengar sepenggal percakapan
antara Blair dan anggota tim Bulldog lainnya, seorang gadis jangkung
yang cantik, dengan potongan rambut yang sangat pendek.
"Kelihatannya tahun ini tidak ada saingan berat," kata Blair angkuh.
"Tahun lalu memang jauh lebih seru," sahut rekannya.
"Kali ini pesertanya norak-norak," Blair mengeluh.
Ia sengaja bicara keras-keras supaya didengar orang-orang,
Corky menyadarinya sambil mengerutkan kening.
"Kaulihat nomor yang kekanak-kanakan tadi?" tanya Blair.
"Apa-apaan sih" Memangnya ini acara anak TK?"
"Yeah, dan sama sekali tidak ada cowok kece," cheerleader
yang satu lagi mengeluh. Mereka menjauh, sehingga percakapan mereka tak lagi
terdengar oleh Corky. Mereka benar-benar sok, pikir Corky. Terutama Blair. Ia
memang hebat, tapi baru kali ini aku ketemu orang sesombong dia.
Rasanya aku ingin mengalahkan mereka, kata Corky dalam hati.
Sekali saja. Biar Blair O'Connell itu mengerti seperti apa cheerleader
sejati itu. Sekali saja. Aku akan menghapus senyum meremehkan dari
wajahnya yang sempurna itu.
Mungkin besok... ********************** Malam itu Corky tidak bisa tidur nyenyak. Ia terus bolak-balik
di tempat tidur, dan kembali bermimpi tentang Bobbi.
Bobbi melayang melalui jendela. Baju tidurnya yang panjang
dan hampir tembus Pandang tampak melambai-lambai. Rambutnya
yang pirang mengapung di sekitar wajahnya, sehingga kepalanya
kelihatan seperti dikelilingi cahaya.
"Bobbi!" Corky berseru dalam mimpinya.
Sama seperti sebelumnya, ia mengulurkan kedua tangan ke arah
kakaknya. Namun sekali lagi ia dilanda frustrasi karena tak berhasil
menjangkaunya. "Bobbi, kenapa kau ada di sini?"
Arwah Bobbi melayang di atas tempat tidur Corky sambil
menatapnya dengan sedih.

Fear Street - Cheerleaders Musibah Ketiga The Third Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku mohon, Bobbi"tolong beritahu aku. Tolong beritahu aku
kenapa kau ada di sini."
Bobbi membuka mulut, tapi sama seperti dulu tak ada suara
yang keluar. "Bobbi, kau kelihatan begitu sedih, begitu galau. Katakanlah
kenapa kau datang ke sini," Corky memohon.
Bobbi turun perlahan sampai beberapa inci di atas tempat tidur.
Ia menatap Corky dengan mata yang penuh duka.
Kemudian, seperti dalam mimpi sebelumnya, ia meraih
rambutnya dengan kedua tangan dan menarik keras-keras.
Kulit kepalanya terangkat, berikut ujung kepalanya. Lalu,
sambil mengepit bagian yang terlepas, ia membungkuk agar Bobbi
bisa melihat ke dalam kepalanya.
"Jangan!" Corky tidak tega melihatnya. "Bobbi, jangan"jangan
paksa aku..." Ia berusaha memejamkan mata, namun sia?sia.
Corky tidak sanggup berbuat apa-apa. Ia terpaksa melihat isi
kepala kakaknya. Ia memandang ke dalam tengkorak Bobbi dan melihat puluhan
ular berwarna cokelat yang melata kian-kemari, tumpang-tindih
sambil mendesis-desis. Beberapa ular mengangkat kepala, lalu meluncur lewat telinga
Bobbi dan turun lewat lehernya.
Ular-ular itu menatap Corky dengan mata hitam mereka.
Corky terbangun dalam cahaya fajar yang kelabu.
Ia langsung duduk tegak di tempat tidur. Jantungnya
berdentum-dentum bagaikan genderang.
Ia mendengar jeritan melengking.
Itu aku. Aku menjerit. Gara-gara mimpiku, pikirnya.
Aku menjerit dan tidak bisa berhenti.
Corky mengedip-ngedipkan mata agar matanya terbiasa dengan
cahaya remang-remang di kamar asrama yang asing baginya. Ia
membutuhkan beberapa detik sebelum menyadari bahwa ia tidak
menjerit. Jeritan melengking itu berasal dari Hannah.
Bab 7 Gunting Beraksi "HANNAH"ada apa?"
Hannah tetap menjerit-jerit dengan nada melengking.
Kimmy turun dari tempat tidurnya di atas tepat sebelum Corky
melompat dari tempat tidur di bawah. Dalam cahaya pucat yang
menerobos lewat tirai, Corky melihat Hannah terduduk di tempat tidur
sambil menundukkan kepala.
Corky segera menghampirinya. Mungkin karena masih
terpengaruh mimpinya tentang Bobbi, ia setengah menduga bahwa
lantai kamar mereka dipenuhi ular, sehingga ia berjalan dengan hatihati. Kemudian ia melihat bahwa Hannah memegang tengkuknya
dengan kedua tangan. EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
"Hannah! Ada apa?"
Hannah kembali menjerit sambil menatap sesuatu di
pangkuannya. "Kau mimpi?" tanya Kimmy.
"Rambutku!" teriak Hannah.
"Hah?" "Rambutku! Rambutku! Rambutku!"
Corky menyalakan lampu di samping tempat tidur.
Ia dan Kimmy sama-sama terenyak ketika melihat apa yang
tergeletak di pangkuan Hannah.
Benda itu adalah kepangannya.
"Rambutku! Rambutku! Rambutku!" Hannah memekik-mekik
sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
"Bagaimana...?" Corky mulai berkata.
Kimmy menatap kepangan itu sambil terbengong-bengong.
"Rambutnya di"dipotong," ia tergagap-gagap.
Hannah menangis terisak-isak.
"Tapi siapa yang melakukannya?" tanya Corky. Ia melirik ke
arah Kimmy. "Cuma kau dan aku yang..." Ia tak sanggup
menyelesaikan kalimatnya.
Sekonyong-konyong Hannah meraih kepangannya dan
menyodorkannya ke depan wajah Corky dan Kimmy. "Salah satu dari
kalian yang melakukan ini," ia berkata dengan suara bergetar. Air
mata membasahi pipinya, dan seluruh tubuhnya gemetaran.
Tapi kemudian ia segera menguasai dirinya. Ia bangkit sambil
memegang kepangannya tinggi-tinggi, sehingga Corky dan Kimmy
terpaksa mundur selangkah. "Siapa" Siapa" Siapa?" desaknya. Ia
menyodorkan kepangannya ke muka Corky, lalu ke muka Kimmy.
"Bukan aku!" seru Corky. "Bukan aku. Aku tidak mungkin
berbuat begini." "Aku juga bukan!" protes Kimmy sambil melirik kepada Corky.
"Siapa?" ulang Hannah sambil terisak-isak. "Siapa" Siapa" Pasti
Bayar Nyawa 2 Candika Dewi Penyebar Maut I Menjenguk Cakrawala 5

Cari Blog Ini