Fear Street - Kamar Rahasia The Secret Bedroom Bagian 1
Bab 1 LEA CARSON terpeleset, nampan makan siangnya terlepas
dari tangannya. Ketika menyeimbangkan tubuhnya, dilihatnya nampan itu
melayang ke meja makan di dekatnya yang penuh orang. Seperti
gerakan slow-motion nampan itu menyenggol kursi seorang gadis.
Lalu tanpa daya ia melihat mangkuknya terguling dan chili-nya
tumpah mengenai lengan sweater putih gadis itu.
Gadis itu bangkit sambil menjerit terkejut. Tangannya
menggapai-gapai bak sayap burung yang akan terbang. Ia
mengguncang-guncangkan bahunya, lalu menepis-nepis lengan
sweater-nya untuk mengenyahkan kacang merah dan gumpalan tomat
yang menempel. Gadis itu berpaling marah pada Lea. Teman-temannya, dua
pemuda yang tampak terkejut dan seorang cewek dengan dahi
berkerut, menoleh pada Lea dengan sikap mencela. Lea merasa
wajahnya memerah seketika, serasa terbakar.
Kenapa tadi kupilih chili" pikirnya. Kenapa tidak kupilih
sandwich"ebukulawas.blogspot.com
"Oh, sweater baruku!" jerit gadis itu sambil terus menepis dan
menarik-narik lengan sweater-nya. Rambutnya yang merah berombak
dipotong pendek. Matanya yang biru pucat memandang marah pada
Lea, lalu kembali melihat ke sweater-nya.
"Sori," ucap Lea. "Lantainya basah. Aku terpeleset."
"Lebih baik kubersihkan dengan air," gadis itu, mengabaikan
permintaan maaf Lea. Ia berbalik dan melewati Lea tanpa melihatnya.
"Aku sungguh-sungguh minta maaf," teriak Lea.
Sambil memegangi lengan sweaternya yang kotor, gadis itu
bergegas keluar tanpa menoleh lagi.
Lea mendengar suara tawa dari meja di sebelahnya. Ia pun
tersadar, pasti dirinyalah yang ditertawakan. Semua mata pasti tertuju
padanya. Ia membungkuk, mengambil nampannya.
Meskipun wajahnya cukup menarik, sulit bagi gadis pemalu
seperti Lea untuk cepat menyesuaikan diri, apalagi mendapatkan
teman di sekolahnya yang baru. Kau manis, begitu kata orang.
Matanya yang hijau senantiasa berbinar dan rambutnya yang cokelat
digunting shaggy, dengan poni hampir menyentuh alis.
Senyum Lea menawan, puji orang-orang. Parasnya selalu
berhiaskan senyum memikat.
Well, ia belum banyak tersenyum di Shadyside High ini. Muridmuridnya angkuh dan sombong. Kini ia malah terpeleset di depan
hampir separuh dari mereka, menumpahkan chili ke sweater putih
gadis berambut merah itu.
"Ini," sebuah suara menyentakkan lamunannya. "Salad-mu."
"Oh." Ternyata salah satu pemuda yang duduk di meja itu.
Pemuda itu mengambilkan nampannya dan mengumpulkan sisa-sisa
makan siangnya. "Thanks," sahut Lea ragu-ragu.
Ia cuma nyengir. Wajah Lea kembali terasa panas.
Ia cukup menarik, pikir Lea.
Tidak cakep, sih. Tapi menarik. Wajahnya ramah, bersahabat.
Rambutnya cokelat ikal, dengan mata cokelat pula. Ia setinggi Lea,
tidak tampak jantan, malah lebih terlihat kekanak-kanakan. Ia
memakai sweatshirt merah tua dan abu-abu, dipadu dengan jeans
belel. Ia memunguti sendok-garpu Lea dari lantai dan meletakkannya
ke nampan. "Sepertinya chili-nya enak, ya," ujarnya, nyengir.
Keduanya berjongkok di bawah meja. Lea memegangi nampan
sementara pemuda itu mengumpulkan sisa makanan. Lea menjilat
bibirnya, seperti kebiasaannya kalau sedang gugup. "Aku tadi
terpeleset," jelasnya.
Well, pikirnya. Masuk akal, bukan"
"Mungkin Marci mau mengerti," pemuda itu menenangkannya.
Lalu menambahkan, "Setelah seratus tahun atau lebih." Scnyumnya
memudar. "Dia pasti marah sekali," ujar Lea.
Sudah pasti dia marah, katanya memarahi dirinya. Bodoh amat
sih kau ini! "Dia berambut merah," ujar pemuda itu" seolah-olah
pernyataannya sudah cukup memberi penjelasan.
Mereka pun berdiri. Pemuda itu mengelapkan tangan ke jeansnya, lalu memandang ke pintu. Marci belum kembali. Anak-anak yang
lain sudah meninggalkan meja.
"Kau murid baru, ya?" tanyanya, menatap Lea lekat-lekat,
seakan ingin menyelidiki.
"Yeah. Sudah dua minggu, sih," sahut Lea tak enak. Kedua
tangannya memegangi nampan. "Minggu depan mungkin lebih baik,"
tambahnya masam. "Siapa namamu?"
"Lea. Lea Carson."
"Mm, aku belum pernah punya kenalan bernama Lea,"
sahutnya, menarik sweatshirt-nya untuk menutupi badannya yang
kerempeng. "Aku Don Jacobs. Kau mungkin sudah dengar namaku.
Aku, si pemungut salad dari lantai."
Lea tertawa. Don menunggunya berkomentar, tapi ia tidak bisa
menemukan kata-kata yang tepat.
Kenapa sih aku pemalu sekali" pikirnya. Aku benci, benci,
benci. Don kembali melihat ke pintu, lalu menatapnya lagi. "Kau kelas
tiga?" "Tidak, baru kelas satu."
"Siapa wali kelasmu?"
Lea kembali menjilat bibirnya, perlu berpikir sejenak sebelum
menjawab, "Mr. Robbins."
"Rumahmu di mana?"
"Fear Street," jawab Lea. "Beberapa blok dari kuburan tua."
"Fear Street?" Lea sudah terbiasa melihat reaksi orang-orang yang terkejut
sewaktu mendengar di mana rumahnya. "Orangtuaku penggemar
rumah-rumah tua," jelasnya. "Ketika ayahku dimutasi ke Shadyside,
mereka membeli rumah yang paling tua dan kumuh. Perlu beberapa
tahun untuk merenovasinya, setelah itu mereka harus pindah lagi."
Sambil mendesah, Lea melihat ke meja di dekat tembok. Deena
Martinson yang sedang makan melambai padanya. Deena tampak
melebarkan matanya dengan terkejut setelah tahu dengan siapa ia
berbicara. Sampai saat ini, cuma Deena-lah teman Lea di Shadyside.
"Aku dipanggil temanku," kata Lea canggung. "Aduh, sebentar
lagi istirahat berakhir. Aku harus membeli makan siang lagi dan
bergabung dengannya."
"Chilli-nya enak, lho," ujar Don serius.
"Thanks atas bantuanmu," ucap Lea.
Ketika Lea akan mengantre makanan, Don mencekal
lengannya. "Meskipun kita baru kenal," katanya, memandang sekilas
ke pintu, "mmm, maukah kau nonton denganku malam Minggu
nanti?" Ia menggaruk rambutnya yang cokelat ikal sambil tersenyum
kekanak-kanakan, tapi memikat.
Lea terkejut, tapi akhirnya ia bisa juga mengatakan mau. Lalu ia
tersenyum kikuk, berusaha memikirkan hendak berkata apa lagi.
"Bagus," kata Don. Namun ekspresi wajahnya mendadak
berubah. Lea mengikuti pandangannya. Marci berdiri di pintu.
Memandang mereka sambil bersedekap.
"Daah," ujar Don, bergegas menghampiri Marci.
Lea buru-buru mengantre makanan. Aku akan segera punya
pacar, pikirnya riang. Tangannya gemetar ketika meletakkan nampan
yang kotor dan mengambil yang bersih. Ia sibuk memikirkan Don.
Don tampak lucu sekali ketika mengais-ngais lantai, mengumpulkan
makan siangnya. Ia mengambil sandwich ikan tuna dan jus apel, lalu
bergabung dengan Deena. "Apa sih yang kalian obrolkan tadi?" tanya Deena sambil
membersihkan remah-remah di pipinya dengan tisu.
"Kujelaskan padanya kenapa makan siangku sampai tumpah
dan mengenai gadis itu," ujar Lea sambil duduk di hadapan Deena.
"Makan siangmu tumpah mengenai Marci Hendryx" Dan aku
tidak melihatnya?" seru Deena dengan ekspresi amat sangat kecewa.
Wajah Deena mungil, berbentuk hati. Rambut pirangnya
tergerai hingga ke bahu. Meskipun sudah cantik, Deena masih saja
mengeluh. Kenapa ia pucat, kenapa rambutnya yang sudah bagus itu
tak bisa diapa-apakan lagi.
Deena pasti menjadi malaikat di setiap drama Natal sewaktu SD
dulu, pikir Lea saat pertama kali berkenalan dengannya.
"Don itu baik, ya," kata Lea, menggigit sandwich. Semula ia
ragu-ragu menceritakan ajakan Don kencan malam Minggu. Lalu ia
putuskan untuk berterus terang pada Deena!
"Don memang baik," sahut Deena sambil memandang ke pintu.
Marci dan Don sedang bertengkar. "Setiap orang menyukainya. Dia
jenis pemuda yang cepat disukai orang. Temannya banyak sekali,
lho." "Pacarnya juga?" tanya Lea.
"Cuma Marci," Deena kembali memandang Lea. "Don dan
Marci," katanya serius. "Marci sangat ketat menjaganya."
"Hah?" Lea nyaris tersedak sandwich.
"Kudengar mereka sudah pacaran sejak TK," cerita Deena,
kembali memandang ke pintu. Marci tampak marah sekali. Don
berusaha mengejarnya. "Dia mengajakku kencan," ujar Lea, merendahkan suaranya,
meskipun tak ada orang lain di dekat situ.
"Siapa" Don?"
Lea mengangguk. Poninya bergoyang, lalu terjatuh lagi ke
dahinya. "Barusan?" Saking kagetnya, mulut Deena yang lembut itu
membentuk huruf O. "Ya. Barusan." Melihat ekspresi temannya yang keheranan, Lea
ingin sekali tertawa. Deena mengulurkan tangannya, salah satu jarinya mengetukngetuk punggung tangan Lea. "Hati-hati pada Marci," katanya.
"Oh, Deena, aku yakin Don..."
"Hati-hatilah padanya," ulang Deena serius.
Lea memandang ke pintu. Beberapa anak tampak meninggalkan
tempat itu. Ruang makan itu nyaris kosong. Bel pelajaran kelima
sudah berbunyi. "Apa tadi yang tumpah?" tanya Deena, mendorong kursinya,
lalu berdiri. "Chili," jawab Lea malu-malu.
"Di sweater kasmir putihnya?"
"Kasmirkah itu?" tanya Lea panik.
Deena tergelak, mengejutkan Lea.
"Itu tidak lucu," gerutu Lea. "Aku malu sekali!"
"Oh, kau pasti akan merasa itu lucu... kalau tahu siapa Marci!"
tukas Deena. Mereka menuju loker. Deena masih saja berdecak sambil
berkali-kali menggeleng-geleng. Lea kembali memikirkan Don, heran
kenapa Don mengajaknya kencan, padahal ia sudah lama berpacaran
dengan Marci. "Sampai nanti," ujar Deena, melangkah ke koridor yang menuju
kelasnya. Tapi Lea tidak mendengarnya. Ia masih sibuk memikirkan
Marci. Sibuk memikirkan peringatan Deena. Ah, kalau saja
permusuhan itu tidak terjadi di minggu kedua ini.
bab 2 RUMAH Lea tampak menjulang, seperti monster seram di film
horor. Di siang secerah itu rumahnya tampak tua dan suram, bagai di
malam hari. Lea tersentak. Dipindahkannya ransel ke bahunya yang
lain, lalu disusurinya jalan berkerikil yang menuju pintu rumahnya.
Di lantai dua rumahnya, dua jendela kamar tidurnya berkilau
tertimpa sinar matahari senja. Seperti dua mata setan, pikirnya.
Rumah itu melihatku pulang sekolah, lalu membuka matanya
lebar-lebar. Dan kini aku sedang menuju mulutnya yang gelap dan
menganga. Penakut, Lea menghardik dirinya. Jangan terlalu didramatisir.
Rumah itu besar, tapi bobrok dan kumuh. Setan pun pasti tidak
tertarik. Meskipun letaknya di Fear Street.
Ia membuka pintu dengan agak susah, karena belum terbiasa
dengan kuncinya, lalu memasuki ruang tamu yang gelap. Di dalam,
udara terasa hangat, berbeda dengan udara musim gugur yang dingin
di luar. Di sini terasa pengap dan lembap, dengan aroma khas rumah
tua. Mengapa Mom dan Dad suka rumah tua ini, pikirnya" Lantai
kayunya langsung berderak ketika ia meletakkan ranselnya dan
menuju dapur untuk mencari makanan.
Ia duduk di ruang makan yang mungil. Wallpaper berbungabunga di dindingnya sudah bernoda dan terkelupas di sana-sini. Lea
menyendok yogurt buah beri, mengisi mangkuknya sambil
mengenang kembali saat-saat sekitar sebulan yang lalu, ketika ia
pertama kali mengunjungi rumah ini.
Waktu itu hampir petang, sama seperti saat ini, dingin, berangin
sepoi-sepoi, seperti umumnya udara di musim gugur, meskipun
matahari tinggi di langit. Ketika ia dan keluarganya sudah masuk ke
dalam rumah, sinar mentari langsung terhalang begitu si agen real
estat menutup pintu. Rasanya seperti ada lampu senter yang mendadak
dimatikan; rumah ini seolah-olah menolak sinar mentari, menutupnya
rapat-rapat, menyelimutinya dengan kegelapan.
Ia merasa ngeri ketika melihat dinding tua, jendela berdebu, dan
karpet usang yang menutupi lantai rumah ini. Baunya. Aromanya.
Orangtuanya, tentu saja, langsung jatuh hati.
"Indah sekali," puji Mr. Carson.
"Oh, banyak sekali yang bisa kita kerjakan di sini nanti," kata
Mrs. Carson. Mrs. Thomas, agen real estat yang ramah dan selalu tersenyum
itu, menangkap rasa tak senang di wajah Lea.
"Mari kutunjukkan kamar-kamar di atas," ajaknya. "Kamarkamarnya amat luas, meski masih harus dibersihkan. Kamar kedua
kurasa cocok untukmu, Lea. Kamar itu paling terang di rumah ini.
Kedua jendelanya menghadap ke halaman depan, langsung terkena
sinar matahari." "Kamar tamunya gelap sekali," ujar Lea muram. Ingin sekali ia
membujuk orangtuanya untuk tidak membeli rumah ini, tapi mana
mungkin. Selama tujuh tahun ini mereka telah menempati tiga rumah
yang berbeda, dan semuanya mengerikan seperti rumah ini.
"Pasti terang setelah kuatur instalasi listriknya," sahut Mr.
Carson, memandang ke plafon, lalu memeriksa jaringan listrik di
sepanjang sisi lantainya.
"Ayo ke atas," Mrs. Thomas mengajak Lea. "Hati-hati. Siapa
tahu pegangan tangganya terlepas."
Lea mengikutinya naik tangga. Anak-anak tangganya sudah
goyah dan langsung berderak ketika diinjak. "Pegangan tangga ini bisa
diperbaiki dengan mudah," ujar Mr. Carson riang.
"Akan kututupi tangga ini dengan karpet," kata ibu Lea. "Juga
ruangannya. Karpet berwarna cerah. Pasti jadi tampak terang dan
seperti baru." "Yeah," Lea sengaja bergumam keras, agar mereka tahu betapa
ia tidak bahagia. Dulu ia juga kesal ketika harus pindah ke Shadyside. Ia butuh
waktu lama untuk mencari teman di Daly City. Ketika ia sudah
Fear Street - Kamar Rahasia The Secret Bedroom di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyukai tempat itu, merasa senang dan betah, ayahnya harus pindah
lagi. Ia terpaksa pindah sekolah dan masuk pada minggu keempat di
tahun ajaran baru waktu itu.
"Wow, Lea, lihatlah betapa luas kamarmu," seru ibunya ketika
memasuki kamar segi empat yang luas itu. Cahaya kuning mentari
menembus lewat kedua jendela besar di dinding. Kamar yang
bermandikan cahaya itu berkarpet biru usang.
"Betul, kan" Terang!" tegas Mrs. Thomas, tersenyum,
tangannya tersembunyi di saku jaketnya. "Lea, lihatlah lemarinya."
Dengan patuh Lea mendekat ke lemari itu.
"Pertama, kita singkirkan karpetnya," kata ayah Lea. "Lalu
lantainya disemen." Lea membuka pintu lemari dan tampaklah sebuah lubang gelap
yang besar. Ia merinding. Lemari itu seperti gua, liang persembunyian
binatang, pikirnya. Makhluk apa yang bersembunyi di gua gelap ini"
"Belum pemah melihat lemari sebesar ini, kan?" tanya Mrs.
Thomas penuh kemenangan, menyentuh bahunya dari belakang. Mrs.
Thomas berbau pepermint. Lea menghirupnya dalam-dalam. Terasa
lebih segar dibanding bau rumah yang apak.
"Besar sekali," kata Lea, mengintip, berusaha menyesuaikan
matanya dalam gelap. "Sebesar kamar."
Mrs. Thomas puas sekali dengan komentar Lea. "Lemari yang
sangat besar," ujarnya. "Kau kelas tiga ya, Lea?"
"Bukan. Baru kelas satu."
"Suki, anak perempuanku, sekolah di Shadyside juga. Dia kelas
tiga. Nanti kusuruh dia berkenalan denganmu."
"Thanks, Mrs. Thomas," jawab Lea kikuk.
"Ayo lihat ruang lain di lantai dua ini," ajak Mrs. Thomas,
kembali mengalihkan perhatian pada orangtua Lea. "Ada ruang
tambahan yang cantik untuk dijadikan kamar belajar atau kamar tidur
tamu." Lea memandang sekilas bakal kamar tidurnya, lalu disusurinya
koridor untuk menyusul mereka. Mrs. Thomas dan orangtuanya
hampir tiba di ujung koridor yang gelap. Terdengar suara antusias
Mrs. Thomas, menyarankan tempat tidur apa yang pas untuk kamar
itu. "Hei, apa ini?" Lea berhenti di dekat sebuah tangga besi yang
melekat ke dinding, di sebelah pintu kamar tidurnya. Ketika
menengadah, dilihatnya tangga itu menuju ke sebuah pintu kayu di
plafon. "Ke mana tangga ini menuju?" tanya Lea.
Ketiga orang dewasa itu menghampiri Lea. Mr. Carson
mengecek kekuatan tangga itu. "Pasti ke loteng," sahutnya,
memandang pintu di plafon.
"Betul. Ada loteng," kata Mrs. Thomas sambil meneliti
catatannya. "Cukup luas juga. Mau lihat?"
"Tidak, terima kasih," kata Lea cepat.
"Aku suka loteng," kata Mrs. Carson. "Ketika masih anak-anak,
kuhabiskan waktuku di loteng, bermain dengan harta karunku."
"Yeah. Harta karun," kata Lea kasar. "Seperti labah-labah,
debu, dan kelelawar."
Mrs. Carson memandang Lea dengan rasa tak senang.
"Kumohon berusahalah, Lea."
"Berusaha apa?" tanya Lea.
"Menyukai tempat ini," jawab ibunya. "Bersikaplah lebih
ramah. Sedikit saja. Tidak cuma kau yang harus berusaha menyukai
tempat ini, kami juga."
Mrs. Thomas memandangnya. Lea malu sekali. Ia benci diomeli
di depan orang lain. Kenapa ibunya tidak pernah mengerti"
"Oke. Mari kita lihat loteng itu!" ajaknya, berpura-pura
antusias. Ia menyalip ayahnya, menabraknya hingga menepi,
berpegangan pada tepi tangga besi kelabu itu, lalu mulai memanjat.
"Dorong pintu masuknya," seru Mrs. Thomas. "Dorong, lalu
geser penutupnya." Kedua tangan Lea menyentuh plafon, mendorong dan
menggeser pintunya. Pintu itu terbuka dengan mudah. Dibukanya
pintu itu lebar-lebar, lalu ia menaiki beberapa anak tangga lagi,
sampai kepalanya terjulur ke loteng.
Di atas terasa lebih gerah, kira-kira sepuluh derajat lebih panas
dibanding suhu rumah itu. Loteng itu, seperti yang dilihat Lea, berupa
sebuah ruangan terbuka yang panjang dan berplafon rendah.
Plafonnya miring mengikuti bentuk atapnya. Dindingnya dari eternit,
retak-retak dan menguning. Cuma ada satu jendela berbentuk bundar
di ruangan itu. "Cepat naik, kami ingin melihatnya juga," seru ayahnya tak
sabar. Lea menarik dirinya, memasuki ruang itu. Ketika berdiri di
loteng itu, plafonnya cuma lebih tinggi beberapa inci dari kepalanya.
Ayahnya yang jangkung pasti harus membungkuk.
"Indah sekali!" seru Lea ke bawah dengan sinis. "Ingin sekali
kuhabiskan waktuku di sini, bersama semua harta karunku."
"Lea, biarkan kami masuk, seru ayahnya, menarik badannya
yang besar lewat pintu masuk yang sempit itu, lalu sebisa mungkin
berdiri untuk memeriksa loteng itu.
Tak lama, menyusul ibunya dan Mrs. Thomas, bergabung di
ruang berplafon rendah dan pengap itu. "Uhh, panas," itu satu-satunya
keluhan Mrs. Carson yang sedang mengipasi badannya dengan tangan.
"Ruang ini tepat untuk gudang," saran Mrs. Thomas, mengelap
bagian belakang lehernya.
Tempat ini membuatku tersiksa, pikir Lea sengit.
Lea menuju jendela bundar yang mungil itu. Melalui kacanya
yang berdebu tebal, ia bisa melihat jalan masuk dan sedikit halaman
depan rumah itu yang ditumbuhi tanaman dan rumput liar. Matahari
terlihat di balik pepohonan, nyaris tenggelam.
Lalu ia melintasi tiga orang dewasa itu, menuju dinding di
seberang ruangan. "Hei, apa ini?" serunya; di ruang tertutup itu
suaranya jadi lebih keras.
Sebuah pintu kayu dua kali empat yang dipalang. Lea
menyentuhnya, mencoba memutar tombolnya. Pintu itu terkunci. "Di
dalamnya ada apa, ya" Kenapa pintu ini dipalang?" tanya Lea.
Semuanya menghampiri Lea. Mr. Carson memutar tombol
pintu, tapi sia-sia. Pintu itu terkunci. Ia memeriksa pintu dua kali
empat meter itu. "Tampaknya sudah lama ada orang yang sengaja
memasang palang di pintu ini," ujarnya, mengetok pintu keras-keras.
Pintu itu pasti tebal dan kokoh.
Mrs. Thomas menempelkan catatannya erat-erat di dada.
Sepanjang siang itu, baru kali ini senyumnya menghilang. "Well, ada
kisah menarik mengenai pintu ini," katanya, agak rileks. Lalu
ditambahkannya dengan cepat, "Tapi menurutku cerita misteri
semacam itu justru bisa menambah daya tarik sebuah rumah tua, betul
tidak?" Lea dicekam rasa takut. Ia merasa terperangkap di balik pintu
itu. Dinding-dinding seakan bergerak mendekatinya, plafonnya
merendah. Ia bernapas dalam-dalam, matanya tertuju ke pintu yang
dipalang dan terkunci itu.
Orangtua Lea bertukar pandang. Mr. Carson menyandar ke
dinding, kepalanya menunduk karena plafon yang rendah.
"Cerita misterius" Apa itu?" tanya Mrs. Carson dengan mata
berkilat-kilat, tertarik.
Mrs. Carson terus memeluk catatannya di sebelah luar jaketnya.
"Hampir semua rumah di Fear Street ini punya kisah yang sama,"
katanya pelan. "Kurasa itu tidak benar. Setidaknya, tidak semuanya
benar." Ia memandang tombol pintu yang terbuat dari kuningan.
"Maksud Anda, semacam cerita horor, begitu?" tanya Mrs.
Carson, sangat ingin tahu.
Lea berganti posisi dengan perasaan tidak nyaman.
"Aku tidak tahu ceritanya secara rinci," sahut Mrs. Thomas.
"Seperti Anda ketahui, lama-lama cerita itu menjadi tidak lengkap
atau bisa jadi semakin dibesar-besarkan. Aku hanya tahu katanya ada
kamar di balik pintu ini. Pernah ada kejadian mengerikan di situ."
"Kejadian mengerikan?" tanya Lea.
"Ratusan tahun silam. Ya, kurang-lebih seratus tahun yang
lalu," jawab Mrs. Thomas, wajahnya tertutup bayang-bayang ketika
cahaya terang di situ menghilang. "Menurut cerita yang beredar, ada
orang yang dibunuh di kamar itu."
"Siapa dia" Kenapa dibunuh?" tanya Lea, memandangi pintu
dua kali empat yang menutupi kamar itu.
Mrs. Thomas menggeleng. "Pasti pembunuh. Cuma itu yang
kuketahui. Sejak itu, kamar itu dikunci dan dipalang."
Keheningan terasa mencekam ketika keempat orang itu
memandangi pintu kayu tersebut sambil berdiam diri.
Mrs. Carson memecahkan keheningan dengan batuknya. "Mari
kita teruskan lagi," katanya, memandang ayah Lea untuk
menenangkan diri. "Apa kau tidak ingin tahu ada apa di balik pintu ini?" tanya Mr.
Carson. Ia membungkuk dan mengetuk pintu. "Halo" Siapa di situ?"
teriaknya keras-keras. Mereka mendengarkan baik-baik, seolah-olah ingin menunggu
jawaban. Lalu mereka tertawa. Gugup.
"Oh, aku tak ingin mengotak-atik pintu ini," ujar Mrs. Carson
tegas. "Masih banyak yang bisa kukerjakan di bawah sana."
Itu sudah pasti, pikir Lea muram.
"Orang-orang suka membumbui cerita," tutur Mrs. Thomas,
kembali ceria. "Entahlah, kenapa begitu. Seperti kubilang tadi, ada
saja kisah horor di setiap rumah di Fear Street ini. Sebelumnya, orangorang yang pernah kutemui dan tinggal di sepanjang jalan ini seperti
tak punya masalah." Ia keluar dari pintu di plafon itu dengan susah payah, satu
tangan memegangi catatannya. "Mari! Masih ada yang harus
kutunjukkan di dapur rumah ini."
Orangtua Lea menuruni tangga, tapi Lea tetap tinggal di situ. Ia
memandangi pintu di plafon, mendorong dan menggesernya.
Betulkah di rumah ini pernah terjadi pembunuhan" Di loteng
ini" Di kamar di balik pintu itu"
Kalau betul pernah terjadi pembunuhan di rumah ini, kenapa
kamar itu dikunci dan dipalang"selama seratus tahun"
Lea bergerak mendekat, semakin dekat, sampai berdiri tepat di
depan pintu. Ia menekankan telapak tangannya ke pintu kayu.
Di loteng yang gerah itu, ia merinding.
Tiba-tiba ia menempelkan telinganya ke pintu.
"Oh!" Suara apa itu" Apa itu" Napas seseorang" Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak, itu pasti suara napasnya sendiri. Apakah napasnya begitu
keras" Ia menjauh dari pintu, merasa tolol.
Itu tadi pasti napasku, batinnya.
Tak ada suara dari balik pintu itu.
Aku ingin tahu seperti apa kamar itu, pikirnya. Ia mendekat ke
pintu itu lagi, seperti ada kekuatan misterius yang menariknya.
Tidak. Aku harus turun sekarang.
Ia memaksa dirinya berbalik, meninggalkan tempat itu. Masih
terdengar suara napasnya yang cepat dan gugup. Ia ia keluar lewat
pintu segi empat yang sempit itu, lalu menutupnya dengan hati-hati.
bab 3 "YA. Dia akan datang ke sini setiap saat," ujar Lea. Tanpa sadar
ia telah melilit-lilitkan kabel telepon ke pergelangan tangannya, dan
kini ia sulit melepasnya lagi.
"Oh, tanganku terlilit kabel telepon," ujarnya pada Deena, lalu
dijepitnya gagang telepon di antara bahu dan dagunya, kemudian
tangannya yang bebas mengurai kabel. "Tidak, kok. Aku tidak
gugup," kata Lea, tertawa.
Kenapa aku harus gugup, pikir Lea, hanya karena aku mau
kencan dengan salah seorang cowok beken di sekolahku pada jam
delapan malam Minggu ini"
Ia menarik telepon sejauh mungkin, sampai bisa melihat
rambutnya di cermin oval yang tergantung di atas meja riasnya. Ada
baiknya kuubah model rambutku yang berponi ini, pikirnya. Model
rambutku selalu begini sejak umur sepuluh tahun. Tiap orang selalu
bilang betapa imut-imutnya aku.
Aku tidak harus imut-imut lagi. Aku harus tampak lebih
dewasa. Aku perlu penampilan baru. Lebih baik kupakai rambut palsu,
dan anting-anting panjang yang menjuntai. Tepat! Apalagi kalau aku
bisa lebih tinggi enam inci lagi, sehingga setiap orang akan melihatku
seperti dewi. Imut-imut sekali... "Apa" Oh, sori, Deena. Aku tidak mendengar," ujar Lea. Deena
berceloteh penuh semangat di telinga Lea ketika Lea merapikan
sweater-nya, mengatur kembali letak kerahnya. "Yeah. Akan
kutelepon kau besok pagi. Janji."
Lea tersadar, pergelangan tangannya kembali terlilit kabel
telepon. Aku harus menenangkan diri, pikirnya. Aku jadi cepat gugup
menjelang kedatangan Don kemari.
Sambil menjilat bibirnya, ia kembali memandang jam meja
yang sudah ribuan kali dilihatnya. Delapan lewat sepuluh. "Apa"
Deena, apa acaramu malam ini?"
Jade Smith, sahabat Deena, akan ke rumahnya. Mereka akan
saling merapikan rambut. "Sebentar. Kudengar ada bel," potong Lea bersemangat. Ia
menjauhkan gagang telepon dan memasang telinga.
Benarkah ia mendengar sesuatu"
"Bukan. Bukan bunyi bel, kok," katanya. "Rumah tua ini
banyak menimbulkan bunyi-bunyian. Yeah. Aku tahu. Deena, sampai
sini dulu, ya. Yeah. Kudengar lagi bunyi bel. Sampai besok, oke"
Tolong sampaikan salamku buat Jade. Tidak, jangan gunting
rambutmu. Lebih baik kaupanjangkan. Yeah. Oke. Dah."
Ia meletakkan gagang telepon yang basah oleh keringat di
tangannya. Lea memungut handuk yang tadi dilemparkannya ke
tempat tidur, lalu mengeringkan telapak tangannya sambil memasang
telinga. Ia berjalan mondar-mandir, berhenti sejenak untuk melihat
dirinya di cermin oval. Jam meja menunjukkan pukul delapan lewat
dua puluh tiga. Mana dia" Ia duduk di tepi tempat tidur, melempar handuk ke lantai, dan
mendekap Georgie, boneka macan miliknya sejak bayi, boneka
kesayangannya. Ia memeluk macan itu erat-erat, mendekapnya di
dada. "Kenapa aku ini?" tanyanya.
Dengan hati-hati ia meletakkan boneka macan yang sudah tua
dan usang itu, lalu mengambil majalah Sassy. Matanya tertuju ke
salah satu artikel berjudul Dua Puluh Kiat Mengobrol Pada Kencan
Pertama. Ia mulai membacanya, tapi karena gugup, huruf-hurufnya
jadi memburam, hingga yang tampak cuma noktah hitam.
Ia membolak-balik halaman majalah itu, cuma melihat-lihat
Fear Street - Kamar Rahasia The Secret Bedroom di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gambarnya, tapi sama sekali tidak bisa berkonsentrasi.
Lea melempar majalah itu ke seberang tempat tidurnya,
mendesah keras, lalu bangkit berdiri, tidak tahu harus berbuat apa.
"Lea?" Panggilan ibunya dari bawah tangga membuatnya terkejut.
"Lea?" "Ya, Mom?" seru Lea dari pintu kamarnya.
"Katanya mau keluar, jadi tidak?"
Lea ingin sekali berteriak! "Mom, sudah ratusan kali kubilang
aku mau keluar malam ini!" serunya kesal. "Kenapa sih cerewet
sekali?" Whoa, Lea mengingatkan dirinya.
Jangan jadikan Mom kambing hitam kalau kau gugup pada
Don. "Dia mungkin telat," seru Lea, lebih ramah.
Ibunya tidak menyahut. Lea mendengar langkahnya menjauhi
tangga, seretan sepatunya, bunyi lantai papan yang sudah tua,
berderak dan berderit. Ia berpaling, melihat jam. Delapan lewat tiga puluh dua.
"Akan kutelepon ke rumahnya," katanya lantang.
Ia mendesah. Tapi aku tidak tahu nomor teleponnya.
Ia turun tangga dan mengambil buku telepon di lemari ruang
depan. Ia tak ingin dipergoki Mom atau Dad, sehingga harus
menjelaskan kenapa ia menelepon Don, menanyakan kenapa terlambat
datang. Itu memalukan sekali.
Buku telepon sudah di tangannya, dan ia bergegas menaiki
tangga. Tangga kayu itu berderak, berisik sekali.
Tak lama, ia menemukan nomor telepon Don. Jantungnya
berdetak kencang ketika memutar nomor itu dan mendengarkan
telepon berdering. Dering pertama. Kedua.
"Halo?" Suara wanita. Mungkin ibu Don.
"Hai. Don ada?"
Hening sejenak. "Tidak ada. Ini siapa?"
"Lea." "Lea?" Terdengar suara berisik di telepon. "Lea Carson," seru Lea,
mengatasi suara berisik itu. "Maaf kalau mengganggu Anda. Don janji
akan menjemput saya pukul delapan, dan..."
"Tapi Don tadi keluar dengan Marci," wanita itu menyela,
suaranya bingung. "Apa?" "Kira-kira satu jam yang lalu."
"Tapi mana mungkin!" jerit Lea yang kemudian malu sekali.
"Kau yakin sudah benar memutar nomor?" tanya ibu Don.
"Tidak. Aku... eh... kurasa aku keliru. Maaf," sahut Lea, cepatcepat menyudahi telepon.
Ruangan itu serasa mengepungnya. Lemari antik dari kayu
mahoni, meja tulis ayahnya, rak buku yang setengahnya masih
kosong, tumpukan kardus yang belum sempat dibenahi, seolah-olah
bergerak mendekati tempat tidurnya, mengepungnya.
Ia memejamkan mata. Ketika ia membuka mata, segala sesuatu sudah kembali ke
tempatnya. Ibu Don pasti keliru, pikir Lea.
Don pamit keluar dengan Marci karena tak ingin menjelaskan
panjang-lebar tentang diriku.
Ya. Pasti itu alasannya. Tapi... di mana dia"
Jam itu seperti berdentam, bercahaya semakin terang, sampaisampai ia harus memalingkan muka. Delapan lewat empat puluh
tujuh. Aku tidak boleh cuma duduk-duduk dan membiarkan pikiranku
melantur-lantur, pikir Lea.
Tanpa berpikir lagi, ia mengambil buku telepon kota Shadyside.
Dengan jari gemetar diperiksanya nama-nama pada abjad H.
"Hendryx, tiga-empat-dua Canyon Road," Lea membacanya
keras-keras. Sambil duduk dengan tegang di tepi tempat tidurnya, bertumpu
ke meja kecil tempat teleponnya berada, cepat-cepat ia memutar
sebuah nomor telepon, sebelum berubah pikiran.
Seseorang langsung mengangkat telepon begitu terdengar
dering pertama. "Halo?"
Lea langsung tahu bahwa itu suara Marci.
"Marci" Ini Lea Carson."
"Aku tak percaya," suara Marci tidak ditujukan ke telepon, tapi
ke orang lain di rumahnya. "Lea?" tanyanya di telepon.
"Marci... apakah... uh..."
Kenapa aku meneleponnya" Lea menegur dirinya. Memalukan
sekali. Belum pernah kulakukan sebelumnya! Belum pernah!
"Marci, Don ada di situ?"
Marci langsung meledak tertawa, dingin dan bengis.
"Marci...?" Marci berhenti tertawa. "Lea, ternyata kau bisa diperdayai,"
ujarnya dengan suara riang dibuat-buat.
"Apa?" "Kau tidak betul-betul berharap Don akan mengajakmu kencan,
kan?" lanjut Marci. "Itu cuma main-main."
"Tunggu..." Rasa malu Lea digantikan oleh amarah yang nyaris
meledak. "Tidak, kau yang harus tahu diri!" sergah Marci, marah.
"Kenapa Don harus kencan denganmu" Dia hanya kencan denganku.
Itu cuma main-main, Lea. Aku yang menyuruhnya mengajakmu
kencan. Tapi sama sekali tak kusangka kau menganggapnya serius."
Marci menutup gagang telepon dengan tangannya. Lea masih
bisa mendengar suaranya yang bengis berbicara dengan seseorang.
Mungkin Don. "Well, ini peringatan buatmu, jangan sekali-kali mengusik
pacarku," ancam Marci, keji. "Selamat malam." Lea mendengar
telepon dibanting. Lea membanting gagang telepon, lalu sambil menangis marah
ia menjatuhkan diri ke tempat tidur, menenggelamkan wajahnya di
bantal. Ini tidak benar-benar terjadi, pikirnya.
Ia menekankan wajahnya ke bantal yang gelap dan lembut
untuk meredam jeritannya.
Ia menjerit, menjerit, dan menjerit.
Apa yang sebaiknya dilakukan" Cuma orangtuanya yang bisa
diajak bicara. Padahal ia tak ingin orangtuanya tahu.
Ia tak ingin bertemu siapa pun.
Siapa pun. Aku harus pergi, pikirnya.
Bermobil. Aku akan ngebut, ngebut, dan ngebut... sampai
tertelan bumi! Tidak. Aku akan ngebut, ngebut, dan ngebut... sampai
menabrak Marci! Sadar bahwa ia bisa mati lemas, Lea segera menjauhkan
wajahnya dari bantal. Tapi ia tetap tidak mengubah posisinya yang
tengkurap. Marci pembohong besar, pikirnya.
Pembohong, pembohong, pembohong.
Don sama sekali tidak main-main ketika mengajaknya kencan.
Ia serius. Ia betul-betul ingin mengajakku kencan.
Marci yang memaksanya melakukan ini semua.
Ya, pasti begitu. Marci tahu rencana Don, lalu memaksanya membatalkan
kencannya. Pasti begitu. Lalu ia berbohong, bilang itu cuma mainmain, sesuai rencananya, rencana tolol.
Pasti. Itu bukan main-main. Don cowok yang menyenangkan, tak
mungkin berbuat begitu. Ia terlalu baik...
Lea kembali mengenang, betapa manis Don saat berjongkok di
lantai, membantunya memunguti makan siangnya. Ia terkenang
senyum malu-malu Don ketika mengajaknya kencan. Betapa ia
langsung gugup ketika matanya tertuju ke pintu ruang makan.
Tidak, itu bukan main-main.
Marci memaksa Don. Pembohong, pembohong, pembohong.
Tapi, kalau betul begitu, mengapa Don tidak meneleponnya" Ia
kan bisa menelepon dan menjelaskan. Atau minta maaf. Mencari
alasan lain. Mengapa ia bersedia hanyut dalam tipu muslihat Marci"
Takutkah ia pada Marci" Atau... ia juga sejahat Marci"
Tidak! Bingung dan marah, kasihan pada dirinya, Lea mengambil
boneka macannya, menjadikannya tumpuan untuk dagunya. "Kau
tidak akan mengkhianati aku kan, Georgie?" tanyanya lirih.
*********************** Sambil mendesah keras, Lea menendang selimutnya. Ia tidak
bisa tidur. Meski sudah berusaha keras.
Ia bangun, bertumpu pada siku, memandang ke jendela di
seberang tempat tidurnya. Tirai jendela belum ditutupnya, rembulan
yang keperakan terlihat dari kedua jendelanya. Cahayanya pucat, tapi
indah, menerangi kamarnya.
Aku tak bisa tidur, pikir Lea. Ia terus memikirkan Don dan
Marci, ke mana mereka sekarang. Pasti mereka sedang membicarakan
dirinya, menertawakan korbannya.
Aku harus berhenti memikirkan mereka, hardiknya. Tapi tidak
semudah itu ia melakukannya.
Bunyi keriat-keriut yang terdengar langsung mengalihkan
pikiran Lea yang kusut. Ia mendengarkan ketika bunyi itu terdengar lagi. Persis di atas
kepalanya. Nah, itu, sekali lagi. Bukan bunyi keriat-keriut rumah tua. Lea sudah hafal betul
dengan erangan dan lengkingan rumah tua ini.
Bunyi itu terdengar tetap dan berirama.
Ia meletakkan kepalanya di bantal, bersiaga, memasang telinga.
Bunyi itu terdengar lagi.
Langkah-langkah kaki"
Ya. Seperti ada suara langkah kaki di atasnya.
Tapi tak mungkin. Dipeluknya Georgie sambil memasang telinga.
Bunyi itu menghilang, tak terdengar lagi.
Pasti hanya imajinasinya.
Tipuan... tipuan... tipuan...
Cuma main-main... tipuan... tipuan... tipuan...
Kata-kata itu terus terngiang-ngiang di benak Lea, sampai
akhirnya ia terlelap dalam tidurnya yang resah dan gelisah.
bab 4 DEENA, di mana dia" Lea kelihatan tak sabar, bersandar di
pilar koridor di depan kantin. Mereka janji makan siang bersama
Senin ini, setelah jam pelajaran keempat. Anak-anak berbondongbondong lewat di depan Lea, tertawa-tawa, berbicara keras-keras,
tampak lapar sekali, tapi Deena belum juga kelihatan.
Ketika anak-anak itu lewat, Lea harus memerangi perasaannya
yang mengatakan bahwa anak-anak itu tahu perasaannya. Mereka tahu
ia telah dipermainkan, tahu betapa tololnya dia, betapa mudahnya ia
ditipu. Mereka sudah tahu. Mereka sedang menertawakannya.
Ia menghindari tatapan mereka dengan memandangi sepatu
karetnya. Marci pasti sudah menyebarkan cerita itu kepada semua murid
di sekolah ini. Lea yakin.
Alasan itulah yang membuat ia enggan pergi ke sekolah. Ia
menghabiskan hari Minggunya dengan mengurung diri di rumah,
merasa malu dan dikhianati. Ketika Deena meneleponnya Minggu
siang, Lea langsung menceritakan semuanya dengan berapi-api.
Deena berusaha menenangkannya. Tapi ucapan Deena "sudah
kubilang, kan", membuat Lea semakin merasa tolol dan sendirian.
Dan sekarang di sinilah dia, berdiri di dekat pintu kantin, di
antara murid-murid yang menuju kantin, setiap anak memandangnya,
nyengir padanya. Anak-anak itu pasti sudah tahu.
Lea menghardik dirinya agar tidak terlalu ketakutan, tapi ia
masih saja menghindari tatapan mereka.
Tiba-tiba seseorang menabrak bahunya. "Aduh...," jeritnya.
"Sori. Dia mendorongku." Cowok gemuk berambut gelap ikal
itu nyengir padanya sambil menunjuk cowok di sebelahnya. Lea tahu
nama cowok itu dari tetangganya. Ricky Schorr yang murah senyum.
Ia balas mendorong temannya, lalu dengan berisik masuk ke kantin,
persis seperti anak kecil.
Murid-murid di sini belum dewasa semua, pikir Lea muram.
Kecuali aku. Aku lebih tidak dewasa lagi.
Lea nyaris putus asa menunggu Deena, ketika tiba-tiba sebuah
suara mengejutkannya. "Hei, Lea."
Lea berpaling dan melihat Don di sampingnya, wajahnya penuh
sesal. "Hai," sahutnya dingin, pura-pura tidak terkejut.
"A... aku bingung harus bilang apa," gumam Don, menatapnya.
Ia memasukkan tangan ke saku jinsnya. Sepatu karetnya diayunayunkannya dengan gusar.
Lea tidak menyahut. Don kembali menatapnya. "Aku cuma ingin... ingin minta
maaf." Lea memandang ke koridor yang nyaris kosong. Ia diam saja.
"Aku mau meneleponmu, memberitahumu," kata Don,
mengeluarkan tangannya dari saku dan mengusap belakang lehernya.
"Marci... dia pencemburu. Maksudku..."
Don berhenti sebentar, berharap Lea mengatakan sesuatu,
berusaha menghilangkan perasaan kikuknya.
Tapi Lea diam saja. Lea menatapnya tanpa ekspresi. Dahi Don berkeringat, meski di
koridor itu udaranya dingin.
"Marci sebenarnya baik," lanjut Don, masih mengayun-ayunkan
sepatu karetnya. "Yang kaulihat itu sifat buruknya. Dia memang
pencemburu." Ia berhenti lagi, mengambil napas dalam-dalam,
mengembuskannya, menggelengkan kepala. "Aku bukan ingin
memintakan dia maaf," lanjutnya, menatap Lea. "Aku yang mau minta
maaf. Aku sangat menyesal, Lea."
"Thanks atas penyesalanmu, Don," sahut Lea lirih, berusaha
tegar. "Minggu lalu di kantin," ujar Don lagi, agak canggung. "Ketika
melihatmu, kupikir..." Tiba- tiba ia berhenti. Lea ikut memandang ke
koridor. Marci baru membelok di tikungan.
Lea merasa amat marah, bercampur takut.
"Uh... sebaiknya aku cepat pergi," ujar Don cepat. "Sori. Betul.
Sori sekali." Ia berbalik, menghindari dua cewek yang menuju kantin,
setengah berlari menjemput Marci.
Lea tetap bersandar ke tembok, terpaku, mengawasi Don dan
Marci. Don menghampiri Marci, menggandengnya, dan mengajaknya
pergi. Mereka menghilang di balik tikungan.
Wow, pikir Lea. Marci benar-benar menguasai Don!
"Sori, aku telat," ujar Deena yang muncul di belakang Lea,
Fear Street - Kamar Rahasia The Secret Bedroom di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menepuk bahunya. Lea, yang tengah melamun, melompat terkejut. "Oh, hai."
"Wagner menahanku sehabis pelajaran. Praktikum kimiaku
gagal total. Dia tidak mengizinkanku istirahat sebelum aku
membetulkannya." "Oh, tak apa," sahut Lea prihatin, mengikuti temannya masuk
ke kantin. "Aku belum terlalu lapar, kok."
"Kau masih memikirkan Don dan Marci?" tanya Deena
simpatik. "Yeah. Begitulah." Lea angkat bahu. "Kuharap aku segera bisa
mengenyahkan mereka dari pikiranku. Menutup, mengunci, dan
memasang palang pintu di pikiranku"seperti kamar di lotengku."
"Kamar di lotengmu?" Deena betul-betul bingung.
"Sudahlah," kata Lea, mengambil nampan dari tempatnya,
panas sekali dan basah kuyup, seperti biasanya.
******************* Usai sekolah, Lea mengambil buku-bukunya dari loker,
memasukkannya ke ransel, lalu menutup loker dan bersiap-siap
menguncinya. Saat itulah ia baru sadar bahwa Marci sudah ada di
sampingnya. Rambut merah Marci yang pendek tersisir rapi. Ia mengenakan
rok wol hijau yang amat pendek, dengan kaus sutra hijau ketat dan
stocking hitam. Lea merasa pendek dan kekanak-kanakan berdiri di
dekatnya. "Marci, mau apa kau?" tanya Lea; suaranya lebih kedengaran
tidak sabar daripada marah.
"Aku mau minta maaf," sahut Marci lembut.
"Apa?" Lea menggendong ranselnya.
"Aku menyuruh Don minta maaf. Kini aku datang untuk minta
maaf juga." Lea tiba-tiba merasa seperti bermimpi. Kejadian ini bagai
muncul dari alam bawah sadarnya. Ia memandang koridor di belakang
Marci. Tembok, lampu yang bersinar terang di plafon, anak-anak di
loker, semua membuktikan bahwa itii bukan mimpi. Itu betul-betul
terjadi. "Kau menyuruh Don minta maaf?" Lea tak mampu menutupi
perasaan bingung dan terkejutnya.
"Aku memang keterlaluan," sahut Marci, menatap Lea. "Aku
keterusan. Biasanya aku cuma main-main. Kali ini aku kelewatan.
Aku merasa tidak enak setelah hari Sabtu itu."
"Aku juga," ujar Lea sengit.
"Aku mau menyelesaikannya," kata Marci, sekilas menyentuh
bahu Lea. "Ada rapat khusus pelajar cewek besok, sepulang sekolah.
Maukah kau ikut?" Lea menatap mata Marci, berusaha mem-baca pikirannya.
Tuluskah dia" Betulkah ia mengundang Lea ikut rapat" Masuk
organisasi khusus pelajar cewek"
Lea ingin sekali ikut organisasi, tapi selalu saja ia merasa
sebagai orang luar yang pemalu.
"A... aku tidak tahu di Shadyside ada organisasi seperti itu,"
gumam Lea. "Ada, kok." Marci tersenyum. "Rapatnya di Ruang 409. Ikutlah,
Lea." Ia kembali menyentuh sekilas bahu Lea. "Aku sebetulnya ingin
menyelesaikan masalah kita Sabtu kemarin. Sungguh, aku menyesal."
Dengan marah Lea menjauhi Marci. "Hei, aku tidak tolol!"
sergahnya sambil melotot.
"Sekolah ini cuma tiga tingkat. Tidak ada ruang 409."
Marci tertawa dengan congkak. "Tak apa!" serunya mengejek.
Ia berbalik dan buru-buru pergi, tertawa sendiri.
"Lelucon konyol," Lea berteriak, tapi suaranya tercekat di
kerongkongan, tak sepatah pun yang terucap.
Dengan marah Lea menghunjamkan tinjunya ke loker. Rasa
sakit menjalar dari tangan ke bahunya. "Ow."
Tapi untunglah lelucon konyol Marci berhasil digagalkannya.
Setidaknya Lea cukup jeli mengingat jumlah tingkat gedung
sekolah Shadyside. Yeah, aku betul-betul cerdik, bisik Lea pahit. Sungguh cerdik...
Sekali lagi diperiksanya lokernya, apakah sudah terkunci, lalu
dengan muram disusurinya koridor yang menuju gerbang.
Kenapa Marci selalu ingin menggangguku"
Kenapa ia amat membenciku"
Ia sudah punya Don. Sungguh. Aku tidak tertarik padanya.
Semoga mereka bahagia. Kenapa mereka tidak membiarkan aku sendirian"
Ketika keluar gerbang, ia melihat ke langit. Langit kelabu, akan
hujan, dan ia merasakan embusan angin musim gugur yang pedih di
wajahnya. Ketika memandang anak tangga terbawah, dilihatnya Marci
tengah mengobrol dengan beberapa cewek di trotoar.
Sewaktu Lea menuruni tangga, mereka langsung berhenti
mengobrol, memandangnya. Lalu mereka meledak tertawa.
Marci pasti sedang menceritakan diriku, pikir Lea.
Amarah yang sebelumnya tak pernah muncul mendadak
menguasai sekujur tubuhnya.
Aku harus balas dendam pada Marci, pikir Lea, ketakutan
sendiri dengan amarahnya.
Aku harus balas dendam. bab 5 LEA menekan tombol Stop di remote control, lalu menekan
Rewind. VCR mengikuti perintahnya, memutar ulang film.
Malam Minggu itu ia di rumah sendirian, berbaring di sofa di
ruang baca, menonton Ghost yang sudah ditontonnya tiga atau empat
kali selama beberapa bulan ini. Ia sampai hafal betul ceritanya.
Patrick Swayze sungguh menawan, pikirnya sembari menguap.
Dia selalu terbayang-bayang dalam ingatanku.
Sambil menguap, Lea melihat jam dinding besar di sudut, di
sebelah kardus-kardus buku yang belum sempat dibongkar. "Dua
lewat lima belas?" Ia pasti lupa kalau jam itu mati. Jam itu, salah satu dari barang
"rongsokan" yang dibeli ayahnya di sebuah obral, menunggu
kesempatan untuk direparasi.
Ia tersenyum kala teringat ayahnya. Ayahnya bekerja di bagian
SDM sebuah perusahaan elektronik. Tangan ayahnya cuma terampil
memindahkan berkas-berkas ke bagian lain. Tapi setiba di rumah,
tangan terampil ayahnya itu sibuk membenahi berbagai hal,
mengotak- atik dan mereparasi apa saja.
Lea tahu, ibunya punya hobi yang sama dengan ayahnya, ingin
memperbaiki, mempercantik, dan memperindah dunia dengan cat atau
wallpaper. Mereka telah selesai memperbaiki rumah tua yang bobrok ini,
pikir Lea. Setidaknya rumah ini sudah tampak seperti sebuah rumah.
Tapi setelah itu mereka pasti pindah lagi.
Kalau menikah nanti, aku akan menetap di suatu tempat, tak
mau berpindah-pindah, ujarnya, tersenyum memikirkan anganangannya. Aku akan menggali sebuah lubang di tanah, lubang yang
terlindung dan nyaman, yang besarnya cukup untuk aku dan
keluargaku. Kami akan tinggal di situ selamanya, mengakar bagai
pohon. Ia ingin ke kamarnya, maka ia mematikan lampu ruangan itu,
dan sekali lagi memeriksa apakah lampu teras sudah menyala.
Orangtuanya sedang ke pesta teman sekantor ayahnya di kota. Pesta
penyambutan, kata ayahnya.
Kalau saja ada yang mau mengadakan pesta penyambutan
untukku, pikir Lea, prihatin.
Jam di meja kamarnya menunjukkan pukul scbelas tiga puluh.
Aku tak peduli sekarang masih sore. Aku lelah, pokoknya aku mau
tidur, ujarnya. Minggu pagi besok, ia dan Deena ada janji main tenis di klub
tertutup di North Hill. Ada juga yang kutunggu, pikir Lea sambil menguap. Ia
mendorong Georgie ke ujung tempat tidur, mematikan lampu tidur di
mejanya, lalu menyelinap ke dalam selimut.
Kegelapan melingkupinya bak selimut lembut. Di luar kedua
jendela kamarnya terlihat bulan tertutup awan. Langit biru kelabu.
Lea meletakkan kepalanya di bantal, memandang plafon yang
gelap. Setidaknya sempat kubawa tempat tidur lamaku ini, pikirnya
lega. Sesuatu yang sudah akrab denganku. Sesuatu yang
menyenangkan... Ia hampir terlelap ketika mendengar bunyi itu lagi.
Jelas sekali kali ini. Di atas kepalanya. Langkah-langkah kaki. Pasti langkah kaki.
Tapi mana mungkin" Ia mencoba mengabaikan bunyi itu, memejamkan matanya dan
menutup telinganya dengan bantal bulu angsa.
Tapi masih juga ia mendengarnya.
Langka-langkah kaki. Plafon itu berderak-derak.
Selangkah. Selangkah lagi. Lalu berbalik arah. Sepertinya ada
orang yang mondar-mandir di atasnya.
Ada orang di atas, di loteng rumahnya.
Atau sesuatu. Tapi mana mungkin" Jendela bundar di loteng itu sangat tinggi
letaknya dan amat sempit untuk dimasuki orang. Lagi pula tak ada
pintunya. Lea duduk. Plafon di atasnya kembali berderak.
Terdengar langkah sepatu di atasnya. Srek. Srek. Lalu
berbalik"tap tap. Kini terdengar lebih keras.
Tidak! Lea menendang selimutnya, lalu bangun, jantungnya berdegup
kencang. "Hei!" teriaknya, memandang plafon yang gelap.
Lalu mendengarkan. Suara langkah kaki itu berhenti sejenak, lalu kembali terdengar.
Tiba-tiba, dengan amat ketakutan, ia menyalakan lampu meja,
lalu lampu kamar. Ia mengenakan mantel tidur biru di luar piamanya
dan memasukkan kakinya ke selop yang terbuat dari karet.
Sebaiknya kupanggil polisi, pikirnya.
Aku sendirian di rumah, dan jelas ada orang yang jalan-jalan di
atas sana. Tapi tak mungkin ada orang jalan-jalan di sana.
Kalau betul ada orang di atas, mengapa ia cuma mondarmandir" Mengapa ia tidak mau turun"
Pasti itu cuma imajinasiku, atau bunyi rumah tua yang seram
ini, pikir Lea. Mungkin ada bagian atap yang terlepas.
Ya. Pasti itu. Pasti itu yang terjadi. Ada bagian atap yang
terlepas. Setiap kali tertiup angin, karena miring letaknya, terlepaslah
itu dengan menimbulkan bunyi.
Lea merasa agak tenang. Tapi untuk memastikannya, ia harus menyelidiki.
Ia amat terkejut ketika tersadar telah berada di tangga besi di
luar kamarnya. Seolah-olah ia sedang tidur sambil berjalan ke luar
kamar. Dan sekarang ia memanjat tangga dengan dada sesak
ketakutan, menaiki anak-anak tangga, lalu mendorong pintu masuk di
plafon, naik lebih tinggi lagi, sampai bisa mengintip loteng yang
panjang dan rendah atapnya.
"Ada orang di sini?" panggilnya, heran pada keberaniannya.
Kegelapan itu benar-benar gulita, dingin. Dan sunyi.
Tentu saja tak ada orang di sini, pikirnya.
Ia menarik dirinya, tiba di loteng, meraba-raba dinding, mencari
tombol lampu. Satu-satunya lampu di loteng itu menyala, cahayanya
kuning pucat. Lea memandang jendela, lalu berpaling, membiarkan matanya
memeriksa kamar yang tertutup.
Tak ada apa-apa. Tak ada orang. Sunyi.
Sambil mendesah lembut, ia berjalan hendak mematikan lampu.
Lalu ia mendengar langkah kaki lagi. Jelas sekali.
Dekat sekali. Maju tiga langkah, lalu berbalik dua langkah.
Lea mengamati sekitarnya dengan penuh harap, memasang
telinga, berharap suara itu berasal dari atas, dari atap rumahnya.
Berharap teorinya benar bahwa bunyi itu adalah bagian atap rumahnya
yang terlepas. Tapi kemudian tahulah dia dari mana asal-usul bunyi itu. Dari
dalam kamar, dari balik pintu yang tertutup.
Sinting, pikirnya. Tapi ia malah menghampiri pintu, melepas selopnya agar bisa
berjalan tanpa bersuara. Ia bersandar ke pintu, menempelkan
telinganya ke pintu kayu berukuran dua kali empat meter.
Sinting. Betul-betul sinting.
Bunyi itu kembali terdengar.
Ya. Bunyi dari balik pintu.
Sinting. Sinting. Sinting.
Aku pasti sudah sinting. Kamar ini sudah seratus tahun terkunci. Terkunci dan dipalang
seratus tahun lamanya. "Halo! Ada yang mendengar aku?" serunya.
Ia membungkuk penuh harap, menempelkan telinganya di pintu
kayu. Tidak terdengar lagi suara dari dalam kamar. Bunyi itu sudah
berhenti. Jantung Lea berdetak kencang. Ia merinding. Cahaya lampu
yang kekuningan membuat segalanya tampak tidak nyata, seolah-olah
ia sedang berada di film kuno yang telah pudar.
Langkah kaki itu sudah berhenti, seperti tanggap terhadap
seruannya. "Halo!" teriaknya lagi di pintu, sambil mencorongkan kedua
tangannya. Sepi di balik sana. Sunyi senyap, seakan-akan seseorang di dalamnya sedang
memasang telinga. Mendengarkan panggilannya.
Lalu ia mendengar sesuatu terjatuh, menetes-netes.
Lea menengadah dan melihat cairan hitam yang menetes dari
atas pintu. Tetesan itu mengalir cepat di sepanjang permukaan pintu,
menuju lantai, memercik ke kaki Lea.
Lea menjerit dan melompat mundur.
Cairan itu kental dan hitam. Darah. Tetesan darah. Mengalir di
pintu. Membentuk genangan lebar dan hitam di lantai di dekat
kakinya. Sambil menutupi wajahnya, menghindari tetesan darah, ia pun
menjerit. Dan terus menjerit. bab 6 "DEENA, cepatlah kemari!"
Tak sadar, Lea menjerit di telepon. "Tenangkan dirimu," ujar
Deena cemas. "Kau histeris banget. Kau tidak mengada-ada, kan,
Lea?" "Tentu saja tidak!" keluh Lea, menggenggam telepon erat-erat.
"Ini sungguhan! Tolong... cepatlah kemari."
"Oke. Aku pakai sepatu dulu," sahut Deena. "Lalu aku segera
ke sana. Orangtuamu ke mana, sih?"
Fear Street - Kamar Rahasia The Secret Bedroom di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nggak tahu. Katanya ke rumah teman. Mereka tidak
meninggalkan nomor telepon," ujar Lea cepat, melihat ke lantai di
depan pintu kamar tidurnya, seakan menanti tetesan darah itu
mengalir, mengikutinya menuruni tangga.
"Aku benci Fear Street!" kata Deena. "Mengapa kau linggal di
Fear Street" Tahun lalu aku punya pengalaman mengerikan di Fear
Street!" "Ayolah, Deena. Aku sendirian di sini!" rengek Lea.
"Oke. Daah." Telepon ditutup.
Lea meletakkan gagang telepon, masih memandang lantai dekat
pintu kamarnya. Tentu saja aku tidak ngibul, pikirnya. Mana mungkin
aku mengada-ada" Suara langkah kaki di kamar di loteng yang sudah ratusan tahun
tertutup" Tetes darah yang mengalir di permukaan pintu"
Ia duduk di tepi tempat tidur, tangannya masih memegangi
gagang telepon. Ia memasang telinga. Rumah itu sudah sunyi. Sunyi sekali,
hingga ia bisa mendengar detak halus jam di mejanya. Sepi sekali,
hingga desau angin yang menerpa pepohonan tua yang gundul di
halaman depan rumahnya pun terdengar.
Di atas juga sunyi senyap. Tapi apakah darah itu masih
mengalir" Membanjiri loteng" Membasahi lantai, lalu menetes ke
tempat tidurnya" Dengan ketakutan ia memandang ke plafon.
Ada lingkaran noda gelap besar sekali di sekitar lampu
kuningan"sudah begitukah sebelumnya" Plester semen yang retak itu
panjang sekali. Ia tidak ingat apakah sudah begitu sebelumnya.
Aku harus keluar, pikirnya.
Ia menghampiri lemari, membuka pintunya, dan menarik
tombol lampu. Isi lemari itu terasa asing baginya. Pakaian yang
tergantung dan tersusun di rak, tergeletak di dasar lemari, berpasangpasang kaus kaki dan pakaian dalam, kemeja, T-shirt menunggunya
untuk disortir dan disingkirkan. Apakah semua itu miliknya"
Ini bukan milikku, katanya, mencengkeramnya dengan panik.
Di rumah ini tak ada yang familiar denganku. Tak ada yang beres.
Dengan kalut ia membuka piamanya, menendangnya ke
samping, dan merenggut celana jeans dan sweater hijau lengan
panjang. Mau ke mana aku" Pergi ke mana"
Andai Mom dan Dad ada di sini.
Tapi apa yang bisa mereka lakukan dengan darah itu, tetesan
darah itu" Lea keluar kamar, berhenti sebentar di pintu, memandangi
kamarnya, dan sadarlah ia bahwa ia masih telanjang kaki.
"Sebaiknya ke mana, ya?" gumamnya. Di rumah tua ini
suaranya terdengar pelan dan ketakutan. "Pikiranku kalut."
Ia melihat ke puncak tangga untuk memastikan pintu masuk ke
loteng sudah ditutupnya baik-baik. Yeah.
Meski panik, ingin segera menjauhi tetesan darah, kabur dari
loteng, turun tangga dengan hiruk-pikuk, sekujur tubuh gemetaran,
amat sangat ketakutan, melebihi ketakutan dalam mimpinya, ia harus
tetap ingat menutup lubang plafon.
Sungguh melegakan, tutup plafon itu sudah di tempatnya.
Tinggal kesunyian rumah ini.
Tapi di loteng... apa yang terjadi di loteng"
Aku akan menelepon polisi, katanya memutuskan.
Kenapa tidak terpikir dari tadi"
Ya. Polisi. Ia lari menuruni tangga, tanpa memakai selop. Tangga kayu itu
terasa dingin di kakinya. Ia menyalakan semua lampu sambil menuju
dapur dengan tergesa-gesa. Sesudah terpegang gagang telepon di
dapur, ia memutar 911. Hening sejenak, sebelum telepon berdering. Tak lama terdengar
seorang laki-laki menyahut, "Sersan Barnett."
"Ada yang bisa kubantu?" tanyanya simpatik.
"Mm, ada darah di lotengku." Lea gemetar, memandang
menembus kegelapan malam lewat jendela dapur.
"Maaf?" "Tolong... cepatlah kemari. Aku harus menunjukkannya pada
Anda. Ada darah. Mengalir. Aku sendirian di sini." Lea menceritakan
yang sesungguhnya. Tapi pikirannya kalut. Kata-katanya kacau.
Ia berpaling dari jendela, memandang ke ruang memanjang
yang menuju pintu, berharap akan melihat sesuatu atau seseorang di
sana. Tapi ruangan itu kosong. Aku benar-benar panik, pikirnya.
"Tolong... cepat kemari," rengeknya di telepon.
"Akan kusuruh seseorang ke sana," sahut sersan itu. "Berikan
nama dan alamatmu." Pikiran Lea tiba-tiba kosong.
Nama dan alamat" Ia panik. Pikirannya kosong, hingga tak ingat apa-apa, kecuali
rasa takut. Aku harus segera keluar, pikirnya.
Bel pintu berbunyi. Deena! Ingatannya pulih. Ia memberikan nama dan alamatnya pada
sersan itu. Bel berbunyi lagi, kali ini lebih lama, lebih mendesak.
"Kuulangi ya apakah sudah benar," ujar Sersan Barnett.
Lea mengeluh. "Cepatlah... kemarilah."
Bel berbunyi, berbunyi lagi.
Sersan polisi itu mengulang alamat rumah Lea. "Butuh lima
menit untuk ke sana," jelasnya. "Kau sanggup menunggu?"
"Sanggup," jawab Lea, meletakkan telepon, lalu lari memintas
ruangan, menuju pintu. Ia menariknya hingga terbuka, bertepatan
dengan Deena yang memencet bel lagi.
"Lea... kau tidak dengar belku. Aku cemas sekali!" Rambut
pirang Deena yang tertiup angin, acak-acakan menutupi wajahnya.
Jaketnya yang bertopi dan terbuat dari wol melambai-lambai diterpa
angin. "Thanks kau mau datang. Ayo cepat masuk. Anginnya kencang
sekali," kata Lea, melihat ke jalan. Dedaunan menari-nari tiada henti,
beterbangan di halaman rumahnya. Pohon-pohon tua terbungkukbungkuk. Segala sesuatu di halaman itu seakan-akan menjadi hidup.
Dengan gemetar ia membanting pintu hingga tertutup. "A-aku
takut sekali," akunya.
"Sungguh aku tak mengerti," kata Deena, membuka jaket dan
melemparkannya ke pegangan tangga. "Kau naik ke loteng, lalu
melihat darah?" "Aku di kamar tidur," ulang Lea. "Tidur. Tapi aku terbangun
karena mendengar suara langkah kaki di loteng."
"Di loteng?" "Ya," sahut Lea. "Suara langkah kaki. Pokoknya kedengarannya
seperti langkah kaki. Tapi aku sendiri sadar bahwa itu tak mungkin.
Karena itu aku naik ke loteng dan... dan pintu itu... darah mengalir di
permukaan pintu itu, dan..."
Deena mendengarkan cerita Lea dengan ternganga, matanya
membelalak tak percaya. Tiba-tiba ekspresi wajahnya berubah, dan ia
menatap Lea dengan serius.
"Lea, kau pasti sedang mimpi," kata Deena lembut. Ia
mengulurkan tangannya dan dengan lembut meletakkannya di bahu
Lea yang gemetar. "Apa?" "Mimpi. Pasti. Kau sedang tidur, kan" Lalu mimpi. Lalu kau
terbangun, merasa seperti terjadi betulan. Lalu kau menelepon aku."
Lea menyentakkan tangan temannya. "Kaupikir aku ngibul,
ya?" "Bukan begitu," ujar Deena sabar. "Mimpi itu kebanyakan
memang seperti kejadian betulan. Aku juga sering mimpi."
"Ini bukan mimpi," Lea menegaskan dengan marah. "Darah itu
mengalir ke kakiku."
Deena melihat ke kaki Lea yang telanjang. "Apakah kau sudah
mencucinya?" "Belum. Tak sempat," jawab Lea, ikut melihat kakinya.
"Kakimu tidak berlumuran darah. Sama sekali tak ada
bekasnya." Lea mengangkat kepala. "Aku melompat mundur. Menghindari
genangan darah. Lalu lari menuruni tangga."
"Lea," sela Deena. Tapi Lea menyambar tangan temannya, lalu
mengajaknya naik tangga. "Hei... mau ke mana kau?"
"Akan kutunjukkan padamu," sahut Lea. Tangan Deena masih
terasa dingin karena baru datang dari luar. "Ayo. Akan kubuktikan
bahwa aku tidak mimpi."
"Tapi, Lea, sebentar..." Deena memberontak. "Mungkin kita
tidak perlu ke sana."
"Kenapa kau takut kalau menurutmu itu cuma mimpi?" tantang
Lea. "Aku cuma..." Deena menggoyang kepalanya, ingin
menjernihkan pikirannya. "Aku tidak suka gelap, loteng tua."
"Dengar," ujar Lea, menatap Deena, "kaubilang aku sinting,
jadi..." "Aku tidak bilang kau sinting. Aku cuma bilang kau mimpi.
Mimpi buruk." "Mimpi buruk, oke," desah Lea. "Tapi itu betul-betul terjadi,
Deena. Sungguh. Ayo." Ia menarik Deena kuat-kuat.
"Oke. Oke. Jangan menyeretku," ujar Deena. "Oh, kenapa aku
tadi ke sini?" Mereka ragu-ragu sejenak ketika tiba di tangga dekat kamar
Lea. Keduanya memandang pintu di plafon sambil memasang telinga.
Sunyi. "Ayo," bisik Lea. Ia mulai naik tangga. "Aku cuma ingin
menujukkan darah itu. Lalu kita tutup lagi."
"Aku benci ini." Deena naik tangga, dekat sekali di belakang
Lea. Lea menggeser pintu, lalu naik ke loteng. Keduanya
memandang di kegelapan yang sepi.
"Aneh," kata Lea, melihat temannya dengan bingung.
"Lampunya kok mati. Padahal aku yakin tadi masih menyala."
Deena balas memandangnya, tidak menyahut. Lalu ujarnya,
"Mungkin kita perlu senter." ebukulawas.blogspot.com
"Tidak usah. Aku akan menyalakan lampu," sahut Lea, menarik
dirinya lewat lubang segi empat di plafon.
"Lea, tolong...," panggil Deena pelan, suaranya gemetar
mencerminkan ketakutannya. "Stop! Jangan teruskan!"
Terlambat. Lea sudah menjejakkan kakinya di loteng, dan
Deena sedang berusaha menarik dirinya di belakang Lea.
Lantai kayu loteng yang kasar itu terasa dingin di telapak kaki
Lea. Ia meraba-raba, menemukan tombol lampu, lalu menyalakannya.
Loteng sempit dan panjang itu bermandikan cahaya kuning.
"Itu...," tunjuk Lea. "Pintunya. Lihatlah..."
Kedua gadis itu saling berimpitan, melihat di bawah cahaya
lampu kuning, ke seberang loteng.
Tak ada yang bicara. Tak ada yang bergerak. Angin di atas kepala mereka menderu menerpa atap.
Lea yang kemudian memecahkan kesunyian itu. "Oh, aku tak
percaya," serunya, tangannya menutupi wajahnya.
bab 7 "TIDAK ada darah," bisik Deena lirih.
"Tidak ada darah," ulang Lea. Cahaya lampu kuning membuat
segalanya tampak tidak nyata, bagai mimpi. Tapi sangat mudah
melihat bahwa pintu itu masih seperti semula, terkunci, dipalang... dan
kering. "Jadi, itu cuma mimpi," bisik Lea, menatap lurus ke depan.
"Alangkah leganya," desah Deena.
Seharusnya Lea merasa lega. Tapi ia malah ketakutan. "Ayo
cepat turun," ajaknya.
Deena turun lebih dulu, agar Lea bisa menutup kembali jalan
masuk di plafon. Ketika menuruni tangga, bel pintu berbunyi.
"Polisi!" seru seseorang di luar.
"Oh, tidak!" erang Lea, menepuk dahinya. "Aku lupa. Aku telah
menelepon polisi. Apa yang harus kukatakan padanya?"
"Polisi!" ulang suara itu. Kali ini disertai gedoran di pintu.
"Aku tidak tahu!" seru Deena.
"Aku tak mungkin bilang aku cuma mimpi buruk!" ratap Lea.
Ia membuka pintu. Seorang polisi muda berseragam biru berdiri
di bawah lampu beranda, satu tangannya di sarung pistol, tangannya
yang lain bersiap mengetuk pintu lagi.
"Opsir Beard," katanya, matanya tertuju pada Lea, lalu Deena.
"Apa yang terjadi di sini?"
"Uh... tidak ada apa-apa," jawab Lea, membuka pintu cuma
beberapa inci. "Betul?" matanya yang kecil dan hitam menyipit curiga.
"Uh... yeah," sahut Lea, tak sanggup menyembunyikan perasaan
malunya. "Tadi aku mendengar suara-suara di loteng. Maksudku, aku
seperti mendengar suara. Tapi ternyata tidak ada apa-apa."
"Suara apa itu?" tanya si polisi, lebih santai, memindahkan
tangan dari sarung pistol ke sisi badannya.
"Aku tidak dengar apa-apa. Maksudku..." Lea berpaling pada
Deena, mau minta tolong, tapi Deena cuma angkat bahu. "Aku naik ke
loteng. Ternyata tidak ada apa-apa di sana," lanjut Lea.
"Ada dua atau tiga telepon untukku. Darurat," kata Opsir Beard,
menatap mata Lea, seolah ingin menyelidiki kebenaran ceritanya.
"Boleh aku masuk dan memeriksanya?"
"Tidak. Oh, tentu saja boleh," jawab Lea segan. "Tapi sudah
beres, kok. Betul." Lea memegangi pintu ketika polisi itu masuk dengan bersiaga.
Lea mengekor sewaktu ia memeriksa rumahnya dengan cepat.
"Syukurlah semuanya beres," ujar Opsir Beard tanpa senyum,
lalu melangkah ke pintu. "Maaf," sesal Lea. "Aku amat ketakutan. Aku di rumah
sendirian. Aku seperti mendengar suara itu. Aku betul-betul minta
maaf." "Tidak apa-apa," sahut si polisi, melangkah ke halaman dan
melihat kardus-kardus yang teronggok di samping rumah.
"Lingkungan di sini terkadang menyeramkan. Kau baru pindah, ya?"
"Ya," Lea mengangguk.
"Jangan sungkan menelepon. Lebih baik aman daripada
sungkan. Tahu kan maksudku?" Opsir Beard tersenyum, memamerkan
deretan gigi depannya yang tidak rata.
"Terima kasih," ucap Lea. "Terima kasih banyak."
Opsir itu berdiri tegak dan menyentuh ujung topinya, persis
seperti sikap seorang polisi di film. Lea dan Deena mengawasinya
menyusuri halaman menuju mobil hitam-putih, mobil patrolinya. Lalu
Lea menutup pintu dan menguncinya.
"Jangan dikunci. Aku harus pulang," pinta Deena, melihat ke
arlojinya. "Kau sudah tidak apa-apa, kan?"
"Yeah," sahut Lea sambil menguap. "Aku sudah yakin itu cuma
mimpi." "Aku dan Jade pernah nonton film horor," cerita Deena,
Fear Street - Kamar Rahasia The Secret Bedroom di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"kisahnya tentang seorang gadis yang bermimpi buruk. Mimpinya itu
semakin menyeramkan, dan dia tidak bisa bangun. Dia sadar tidak
bisa bangun, dan dia akan terperangkap selamanya dalam mimpinya.
Mimpi itu akan menjelma menjadi kehidupannya dan kehidupannya
akan berubah menjadi mimpi. Jade sih tidak terpengaruh, tapi selama
sebulan aku selalu dihantui mimpi buruk."
"Hii, thanks ya kau mau menemani aku," ujar Lea.
Keduanya tertawa. "Aku sudah tidak apa-apa, kok," kata Lea. "Makasih ya kau
mau datang," Ia memeluk Deena. "Kau sungguh-sungguh sahabatku."
Tak lama, Lea sudah ada di kamar, menarik selimut hingga
sebatas dagu. Mendung menutupi sebagian wajah bulan, hingga yang
tampak hanya bulan sabit dengan cahaya pucat keperakan dari jendela
kembarnya. Lea melihat sinar lampu mobil, dan sepertinya ia
mendengar mobil orangtuanya berhenti di halaman. Tapi ternyata itu
mobil orang lain yang memutar.
Pestanya pasti meriah, pikirnya. Tidak biasanya Mom dan Dad
pergi selama ini. Ia hampir terlelap ketika mendengar lagi suara-suara di atas
kepalanya. Bunyi langkah kaki. Melangkah ke depan, lalu berbalik
arah. EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Suara langkah sepatu di lantai kayu"
Tidak, tidak, tidak. Suara-suara itu kali ini lebih terdengar seperti jari yang
mengetuk-ngetuk sebuah drum, keras sekali.
Lea tidur telentang, mengambil bantal dan menutupkannya di
telinganya. Sambil mencengkeram bantal bulu angsa itu erat-erat,
mengabaikan suara-suara di atas kepalanya, akhirnya ia tertidur.
*********************** "Kau yakin itu bukan suara rumah tua ini?" tanya ayahnya
ketika sarapan, bekas susu dari serealnya menempel di kumisnya.
Lea menggeleng, menarik tisu, dan memberikannya pada
ayahnya. Mereka sedang duduk di meja sudut yang mungil, sinar
mentari pagi menembus masuk melalui kaca jendela yang berdebu.
"Tidak, aku hafal betul suara rumah tua ini," jawab Lea, bertopang
dagu, sebelah tangannya memayungi matanya dari sinar matahari.
Eng Djiauw Ong 5 Pendekar Hina Kelana 5 Neraka Karang Hantu Antara Budi Dan Cinta 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama