Ceritasilat Novel Online

Salah Sambung Ii 2

Fear Street - Salah Sambung Ii The Wrong Number Ii Bagian 2


menghindari mereka. Mobil di belakang kembali menabrak.
"Dia mencoba mengeluarkan kita dari jalan!" jerit Chuck.
"Aku tak bisa lebih cepat lagi!" teriak Deena, mencondongkan
tubuh ke kemudi, matanya mengerjap-ngerjap memandang ke depan.
Civic kecil itu terguncang-guncang saat Deena memompa pedal gas.
Mobil di belakang mereka menabrak sekali lagi.
Lalu mobil itu menepi ke kiri. Melesat maju. Dan menjajari
mereka. Deena mengalihkan pandangannya dari jalan. Apa ia bisa
melihat pengemudi mobil itu"
Terdengar salakan klakson.
Sebuah truk melaju ke arah mereka.
Tapi Deena dan mobil yang lain itu melaju berjajar. Menutupi
seluruh jalan. Kami akan bertabrakan! Deena menyadari.
Tabrakan. Tabrakan. Tabrakan.
Ia menginjak pedal rem. Terlambat. Lolongan yang memekakkan telinga terdengar. Diikuti decit
panjang. EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Derak logam. Dan denting tajam kaca yang pecah berhamburan.
Lalu segalanya berubah gelap.
BAB 9 JERITAN Jade melengking memenuhi mobil.
Deena menelan ludah dengan susah payah, berusaha meredakan
gemetar hebat yang melandanya karena ketakutan.
Kami masih bergerak, ia menyadari.
Kami masih melaju dalam kegelapan.
Kegelapan. Kenapa segalanya tiba-tiba berubah gelap" Karena kedua
kendaraan yang lain telah bertabrakan. Lampu-lampu depan mereka
tidak lagi menyapu mobil Deena.
Ia memandang spion. Melihat mobil dan truk itu beradu moncong. Melihat para
pengemudinya melangkah keluar.
Mereka baik-baik saja, pikirnya.
Dan kami baik-baik saja. Kami tidak bertabrakan. Kami terus
melaju. Melaju pulang. Kami berhasil lolos. Kali ini. *********** Rumah terasa hangat dan nyaman. Orangtua Jade telah tidur.
Jade membuat tiga cangkir cokelat hangat. Deena menjatuhkan
diri ke kursi berlengan yang empuk dan mendesah lega. Ia masih
merasakan benturan mobilnya, masih mendengar derak logam dan
kaca beradu. "Siapa laki-laki itu?" tanya Chuck, sambil menggeleng.
"Kenapa dia mencoba membunuh kita?"
"Bukan pria," ungkap Deena, memegangi cangkir putih berisi
cokelat di pangkuannya, menghangatkan kedua tangannya.
"Hah?" gumam Jade dan Chuck bersamaan.
"Orang itu perempuan," kata Deena pada mereka. "Aku
melihatnya. Rambutnya panjang."
"Kita harus menghubungi polisi," kata Jade pelan, dengan
wajah yang masih sangat pucat, ketakutan terpancar di sana.
"Tak bisa," jawab Chuck cepat-cepat. "Mereka pasti
menanyakan alasan kita berada di rumah itu. Mereka akan menuduh
kita"mencari masalah."
"Kalau begitu kita harus memberitahu orangtua kita," Deena
bersikeras. "Tak bisa!" jawab Chuck tegas. "Mereka akan mengajukan
pertanyaan yang sama. Mereka akan menghukum dirimu dan Jade
selama-lamanya. Aku akan pergi dari sini minggu depan. Tapi kalian
berdua akan terlibat masalah besar."
Deena menyadari ekspresi Jade yang merenung. "Kupikir aku
tahu siapa perempuan itu," kata Jade. "Coba katakan lagi ciri-ciri
pengemudi mobil itu."
"Aku cuma melihatnya sedetik," kata Deena. "Dia berambut
pirang, dengan wajah pucat. Tapi mungkin karena cahaya lampu
depan mobil." "Kalau begitu aku tahu siapa dia," jawab Jade. "Dan aku yakin
dia orang yang sama dengan penelepon yang berusaha menakutnakuti kita."
"Kau pasti bercanda!" Deena meletakkan cangkir putihnya di
meja kopi. "Dari mana kau tahu itu?"
"Coba pikir," kata Jade, sambil mengibaskan rambutnya ke
belakang. "Siapa orang yang tahu tentang kejadian setahun yang
lalu" dan memiliki kunci rumah Farberson?"
"Kekasih Farberson!" seru Deena.
"Benar!" kata Jade.
"Tapi sekarang sudah setahun. Untuk apa dia ke rumah itu?"
tuntut Deena. "Dan kenapa dia harus mengejar kita mati-matian
seperti itu?" "Entahlah," sahut Jade. Lalu matanya menyipit saat
menambahkan, "Apa sebaiknya kita tanyakan padanya?"
"Whoa! Tunggu dulu!" lanjut Deena. "Tak mungkin dia
orangnya. Orang yang menelepon kita itu laki-laki, atau kau sudah
melupakan hal itu?" "Siapa pun bisa mengubah suaranya" kata Jade beralasan.
"Malahan, aku pernah membaca tentang alat elektronik yang bisa
membuat suara laki-laki terdengar seperti suara perempuan atau
sebaliknya." "Tapi buat apa kekasih Farberson menelepon kita" Kenapa dia
harus berbuat begitu?"
"Cuma ada satu cara untuk mengetahuinya," jawab Jade. Ia
membuka laci meja ek di samping sofa dan mengeluarkan buku
telepon Shadyside. "Nah, siapa namanya?"
Deena memejamkan mata dan berpikir. "Linda" Linda anu, ya
kan?" "Morrison!" tambah Jade. "Linda Morrison. Sekarang aku ingat
kejadian di restoran." Ia membuka buku telepon pada bagian M dan
menyusuri kolom-kolomnya dengan jari. "L. M. Morrison. Di Pike
Street. Benar dia. Aku ingat alamatnya."
"Kau mau meneleponnya begitu saja?" Deena tersentak.
"Tidak. Kupikir lebih baik mengunjunginya, dan menanyakan
langsung padanya," jawab Jade, mengalihkan pandangannya dari buku
telepon. "Kau sinting?" jerit Deena. "Dia baru saja mencoba membunuh
kita!" "Kalau kita mengunjungi rumahnya, dia akan tahu kalau kita
tak takut terhadapnya," jawab Jade. "Dia akan tahu kalau kita tahu apa
yang sedang diperbuatnya. Dan dia harus menghentikannya."
Deena menelan ludah dengan susah payah. "Kapan kau mau
mengunjunginya?" Jade membanting buku telepon hingga menutup. "Bagaimana
kalau besok?" BAB 10 KEESOKAN harinya, Deena terbangun mendengar teriakan
dari lantai bawah. Sejenak ia mengira masih bermimpi. Tapi lalu
teringat semua kejadian yang berlangsung kemarin.
Oh, tidak, pikirnya, sambil membenamkan kepalanya ke bantal.
Chuck dan orangtuaku bertengkar lagi.
Kenapa Chuck tak berusaha rukun dengan mereka lima menit
saja" Mungkin sebaiknya aku tidur saja sepanjang hari, pikirnya. Tapi
ia bangkit dari ranjang, mencuci muka, dan menggosok gigi, lalu
mengenakan mantel tidur. Teriakan itu terdengar semakin keras saat Deena menuruni
tangga. "Selama tinggal di sini, kau harus mematuhi peraturan rumah
ini!" ia mendengar teriakan ayahnya.
"Jangan menggangguku! Jangan coba-coba mengatur hidupku!"
Chuck balas berteriak. Deena mendengar debum keras. Lalu Chuck kembali berteriak.
"Awww, lupakan saja!" Sekali lagi pintu dapur dibanting begitu keras
hingga seluruh rumah bergetar.
Waktu Deena memasuki dapur, kedua orangtuanya tengah
menatap pintu dapur. Melalui jendela ia bisa melihat Chuck
menghilang ke samping rumah.
"Selamat pagi," kata Deena pelan.
"Oh, selamat pagi, Sayang," kata ibunya, sambil menggigit bibir
bawah. "Ada masalah lagi dengan Chuck, ya" Pergi ke mana dia?"
tanya Deena. "Siapa yang tahu?" geram ayahnya. "Siapa yang peduli?"
Sambil cemberut, ia duduk di meja dan meraih koran Minggu.
Mrs. Martinson meliriknya khawatir, lalu kembali memandang
tungku. "Aku membuat kue blueberry pagi ini," katanya pada Deena.
"Kau mau berapa?"
*********** Deena baru mulai menyantap tumpukan kedua saat mendengar
ketukan di pintu belakang. Jade menyerbu masuk tanpa menunggu
dibukakan pintu. Ia mengenakan rok wol biru pucat dan sweter leher kura-kura
terbungkus jaket angkatan laut, dengan stoking dan sepatu model
angkatan laut. Deena tidak pernah melihatnya mengenakan pakaian
seperti itu. "Selamat pagi, Jade," kata Mrs. Martinson. "Kau anggun sekali!
Tampak begitu dewasa!"
"Terima kasih," jawab Jade, tersenyum. "Hai, Deena. Kau siap
berangkat ke pesta denganku?"
"Pesta?" tanya Deena, tidak mengerti.
"Kau tahu," kata Jade, sambil melontarkan lirikan penuh
makna. "Pesta bisnis yang diselenggarakan ibuku. Kita sudah janji
membantu, kan?" "Oh, pesta itu!" seru Deena, sekarang mengerti. "Aku lupa sama
sekali." "Kelihatan jelas," kata Jade, memberi isyarat ke arah mantel
tidur Deena. "Boleh aku membantu Jade menyiapkan pesta ibunya?" tanya
Deena pada ibunya. "Kurasa bisa," jawab Mrs. Martinson. "Kau sudah
menyelesaikan semua pekerjaan rumahmu?"
"Sebagian besar," jawab Deena. Ia melompat bangkit,
meninggalkan kuenya, dan bergegas ke kamarnya. "Ada apa?"
tanyanya pada Jade, sambil menutup pintu kamar.
"Sudah kupikirkan bagaimana caranya untuk mengetahui apa
yang terjadi pada Linda Morrison," bisik Jade.
"Oh, tidak!" Deena memprotes. "Jade, aku tidak?"
"Tenang!" kata Jade. "Akan kujelaskan di perjalanan. Ganti saja
pakaianmu. Kau punya pakaian apa yang tampak resmi?"
Deena menatap lemari pakaiannya yang terbuka, lalu menarik
gaun merah tua yang dibelikan ibunya setahun lalu. Deena tidak
pernah mengenakannya karena gaun itu membuatnya tampak mirip
ibunya. "Bagaimana kalau ini?" tanyanya.
"Sempurna," jawab Jade. "Kita tambah dengan syal."
Sementara Deena mengenakan gaun itu, Jade mengaduk-aduk
laci meja rias Deena. Ia mengambil syal hitam bergaris-garis emas dan
melilitkannya ke leher Deena.
"Ayo," katanya. "Aku cuma bisa meminjam mobil ibuku
sampai pukul satu." Beberapa menit kemudian Deena menyelinap ke samping Jade
di kursi depan Chevy. "Sekarang kau mau menceritakan apa yang
terjadi?" "Begini," kata Jade. "Aku sudah menemukan cara agar kita bisa
bertanya-tanya dan mencari tahu tanpa membuat Linda Morrison
curiga. Aku pinjam beberapa rambut palsu ibuku agar Linda tak
mengenali kita." "Tapi bagaimana caranya kita masuk rumahnya?"
"Sudah kubereskan," jawab Jade, matanya berkilau penuh
semangat. "Pertama-tama, aku ke rumahnya tadi pagi. Tebak apa yang
kulihat" Tanda DIJUAL LANGSUNG OLEH PEMILIK yang besar di
depan." "Ya. Memangnya kenapa?" tuntut Deena. Ia selalu menemui
kesulitan untuk memahami rencana-rencana Jade.
"Jadi aku pulang dan meneleponnya," lanjut Jade tidak sabar.
"Aku bilang aku agen real estate, dan aku sudah menjual banyak
rumah di dekat rumahnya. Aku yakin bisa menemukan pembeli
untuknya." "Dan dia percaya?"
"Menurutmu?" jawab Jade. "Aku tahu bagaimana cara bicara
orang-orang real estate. Tanteku sudah bertahun-tahun menjual
rumah. Pokoknya, aku bilang aku dan 'rekanku' akan berkunjung pagi
ini untuk memeriksa rumahnya.
Deena terdiam sejenak. "Jade"bahkan dengan rambut palsu
dan pakaian warna-warni yang mengerikan ini, Linda Morrison pasti
mengenali kita." "Kita sudah setahun tak bertemu lagi dengannya," kata Jade.
"Lagi pula, nanti sesudah aku selesai merias kita, bahkan ibu kita
sendiri pun takkan mengenali!"
"Kuharap kau benar."
"Aku tahu aku benar. Pokoknya, yang penting kita ke sana dan
mencari tahu apa yang sedang terjadi."
Ia menghentikan mobil di pompa bensin dan memarkirnya di
tepi jalan. "Ayo," desaknya, sambil menarik tas belanja besar dari
kursi belakang. Deena mengikuti Jade ke kamar kecil wanita. Jade
membawakan rambut palsu kemerahan sebahu untuk Deena dan
keriting hitam untuk dirinya sendiri. Ia mengeluarkan kotak rias dan
mulai bekerja. Beberapa menit kemudian Deena menatap orang asing dalam
cermin. "Wow!" serunya, mengagumi dirinya sendiri. "Aku kelihatan
paling tidak dua puluh tahun!"
"Sudah kukatakan," kata Jade. "Tak mungkin Linda Morrison
akan teringat pada kita."
Deena berpaling memandang pantulan Jade. Jade tampak
anggun mengenakan rambut palsu hitam keriting dan dengan mata
hijaunya yang kemilau serta kulit putih sempurna. Ia berputar sekali di
depan cermin, lalu menutup tasnya.
"Ingat," kata Jade saat mereka berjalan kembali ke mobil.
"Buka mata dan telinga lebar-lebar. Dan biar aku yang bicara."
Rumah kayu satu tingkat itu kecil. Terletak di lahan yang
mungil, terjepit dua rumah yang mirip dengannya.
Saat mereka berdiri di serambi depan, Deena merasa jantungnya
mulai berdetak lebih cepat. Ia menelan ludah dengan susah payah,
mulutnya terasa kering. Bagaimana kalau Jade keliru" Bagaimana kalau Linda Morrison


Fear Street - Salah Sambung Ii The Wrong Number Ii di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengenali mereka" Ia sudah mencoba membunuh mereka semalam.
Apa yang akan dilakukannya kalau ia berhasil menjebak Jade
dan Deena di dalam rumahnya"
Aku berubah pikiran, pikir Deena. Aku mau pergi dari sini.
Jade selalu punya rencana yang paling gila. Kenapa aku selalu
mengikutinya" Kenapa aku selalu tertipu dan mau melibatkan diri"
Ini kesalahan besar. Aku mau pergi"secepatnya.
Tapi sebelum ia sempat memberitahu Jade, pintu depan telah
terbuka. Linda Morrison memandang mereka.
Morrison lebih gemuk dibandingkan terakhir kali kami bertemu,
Deena menyadari. Rambut pirangnya sekarang berwarna hitam pada
bagian akarnya dan diekor kuda. Wajahnya tampak tembam, lebih tua.
"Ya?" tanyanya, suaranya datar dan tidak ramah.
"Miss Morrison?" kata Jade dengan suara bernada resmi.
"Nama saya Louise Smith dan ini rekan saya, Darlene Mathers. Tadi
pagi saya menelepon, saya akan menjadi perwakilan dalam penjualan
rumah Anda." "Oh, ya. Betul," jawab Morrison. "Ayo masuk."
Deena diam di tempatnya sejenak, jantungnya berdebar keras.
Lalu ia mengikuti Jade masuk rumah.
Ruang duduknya yang kecil berbau daging asap. Deena bisa
melihat sisa-sisa sarapan di meja kecil dekat dinding seberang.
Koran-koran dan majalah-majalah berserakan di mana-mana.
Deena bisa melihat debu tebal menutupi kusen jendela. Bukan
pengurus rumah yang baik, pikir Deena.
"Buang saja ke lantai barang-barang di kursi itu," kata
Morrison. "Saya belum sempat membereskan rumah akhir-akhir ini."
"Ruangan ini cukup luas," komentar Jade, sambil mempelajari
ruang duduk yang dipenuhi sampah. "Kami bisa atur seseorang untuk
membersihkannya." "Terserah," jawab Morrison sambil mengangkat bahu.
Jade mengeluarkan buku catatan dan pena. "Sekarang saya
perlu beberapa informasi dari Anda sebelum bisa mendaftarkan rumah
ini," katanya. "Pertama-tama, sudah berapa lama Anda pasang tanda
untuk dijual itu?" "Dua hari," jawab wanita itu. "Tapi Anda orang pertama yang
menyadarinya." "Menurut pengalaman saya, penjualan langsung oleh pemilik
tak menarik minat banyak pembeli," kata Jade lancar. "Dengan
menggunakan keagenan saya, Anda bisa meraih lebih banyak peminat.
Akan saya pasang iklan, mengundang calon pembeli..."
"Eh-ehm." Morrison menggeleng. "Saya tak mau banyak orang
asing datang kemari."
"Baik," jawab Jade cepat, sambil mencatat. "Kami akan
menunjukkannya berdasarkan janji, kalau begitu."
Deena memandang Jade. Dari mana temannya ini mempelajari
semua istilah real estate itu" Ia kedengaran begitu profesional, Deena
mulai merasa santai. "Kapan rencananya Anda akan pindah?" lanjut Jade.
"Secepat mungkin," jawab Linda Morrison. "Besok, kalau bisa."
"Saya mengerti," kata Jade. "Bisa Anda beritahukan alasan
untuk tergesa-gesa begitu?"
"Apa urusan Anda?" sergah Morrison. Matanya menyipit
menatap Jade. "Ehm"cuma penasaran," kata Jade lancar. "Barangkali saya
harus menghubungi Anda di luar kota."
"Begitukah?" kata Morrison. "Omong-omong, Anda belum
memberi saya kartu nama Anda."
"Kartu nama saya?" Ekspresi percaya diri Jade memudar.
"Anda yakin saya belum memberikannya?"
"Ya," jawab Linda Morrison tajam, sambil mengulurkan tangan.
"Saya harus melihatnya lebih dulu."
Oh, wow, pikir Deena. Jantungnya merosot ke lutut. Mampus
kita! BAB 11 LINDA MORRISON melipat lengan di dadanya. "Aku
menunggu," katanya dingin.
"Tak apa-apa," jawab Jade. Ia membuka tasnya dan mengadukaduk isinya. "Ada di sini," gumamnya.
Sekarang apa" tanya Deena sendiri.
Apa yang harus kita lakukan" Jade tidak bisa menunda-nunda
selamanya, berpura-pura mencari kartu nama.
Ia mengalihkan pandangannya ke pintu depan. Apa sebaiknya
kami lari saja" Waktu Deena kembali memandangnya, Jade telah tersenyum.
"Ini dia," katanya. Ia mengeluarkan sehelai kartu putih kecil dari
tasnya dan memberikannya pada Linda Morrison.
Morrison memeganginya sangat dekat, menatapnya dengan
curiga. "Louise Smith, Real Estate," bacanya. "Oke."
Deena ternganga melihat kartu itu, lalu memandang temannya.
Dari mana Jade mendapatkan kartu nama"
Jade mengulurkan tangan untuk mengambil kartu itu kembali,
tapi Linda tetap memeganginya. "Sekarang saya dan rekan saya harus
mengukur tempat ini sebelum kami bisa mendaftarkannya. Jangan
sampai Anda merasa terganggu karenanya," kata Jade sambil
tersenyum. "Silakan," kata Linda Morrison padanya. "Masih ada yang harus
saya kerjakan di belakang."
"Ayo, Darlene," ajak Jade.
Deena tetap duduk, tertegun, menunggu jantungnya yang
berdebum keras mereda. "Ayo, Darlene!" ulang Jade.
"Oh, ya," kata Deena, memaksa diri sadar.
Jade mengeluarkan pita pengukur dari logam dan mulai
mengukur dinding. Linda Morrison menghilang ke belakang.
Begitu ia lenyap, Deena menyambar pergelangan tangan
temannya. "Dari mana kau mendapat kartu nama itu?" bisiknya.
"Milik tanteku," Jade menjelaskan. "Tak apa-apa." Ia melirik ke
koridor. "Kita tak punya banyak waktu," bisiknya. "Di sini pasti ada
sesuatu yang bisa membantu kita. Sebaiknya kauperiksa tumpukan di
meja itu. Aku akan memeriksa laci-laci."
Dengan perasaan seakan dirinya maling, Deena mulai
mengaduk-aduk tumpukan kertas di tepi meja kopi. Ada tagihantagihan telepon lama, kupon pasar swalayan, iklan untuk piza kiriman,
dan teka-teki silang yang separo selesai. Tidak ada yang bisa
menjelaskan alasan Linda Morrison untuk berada di rumah Farberson
semalam. Di bagian paling bawah tumpukan ia menemukan buku catatan
berisi coretan-coretan dan diagram. Deena tengah membalik-balik
halamannya ketika mendengar Jade tersentak.
"Aku menemukan sesuatu!" bisik Jade penuh semangat.
"Hah" Apa?"
"Lihat ini! Dari laci paling bawah." Jade mengacungkan
serangkaian kunci. "Dua kunci rumah!" katanya. "Dan gantungannya
bertuliskan Farberson! Apa yang kautemukan?" tanya Jade, menatap
buku catatan di tangan Deena.
"Cuma gambar-gambar," kata Deena. "Aku tak tahu apa?"
"Itu rumah Farberson!" jerit Jade. "Lihat alamatnya!"
Deena mengalihkan pandangannya ke bagian bawah buku
catatan. Yang mengejutkannya, Jade ternyata benar"Fear Street 884.
Ia tengah memegang diagram kasar rumah Farberson.
Lantai bawah digambarkan dengan satu bujur sangkar. Dapur,
ruang makan, dan ruang duduknya ditandai. Setahun lalu, mereka
menemukan mayat Mrs. Farberson di ruang duduk.
Lantai atas digambarkan dengan bujur sangkar kedua. Ada
empat kamar tidur di sana. Deena mengenali kamar tempat mereka
dulu bersembunyi dalam lemari pakaian mungil di malam yang
mengerikan itu. "Menurutmu mengapa dia memiliki ini?" bisik Deena.
"Entah," jawab Jade sambil mengangkat bahu. "Tapi ini bukti!
Bukti dia masih tertarik dengan rumah Farberson"dan bukti dialah
orang yang mengejar kita!"
"Tak cukup kuat," tukas Deena. "Aku ingin melihat mobilnya."
"Gagasan bagus," bisik Jade. "Akan kutanyakan barangkali kita
bisa ke garasi, lalu?" Kata-katanya terputus oleh pintu yang terempas
membuka. Dengan jantung berdebar karena waspada, Deena berpaling ke
koridor. "Baik, anak-anak," sergah Linda Morrison. Ia berdiri di ambang
pintu. "Cukup. Aku ingat siapa kalian berdua. Jadi sebaiknya tak perlu
berbelit-belit lagi!"
BAB 12 DEENA tersentak kaget sekali.
Tapi Jade cepat pulih. "Maaf?" jawabnya.
"Kau dengar kataku," kata Linda Morrison pelan, matanya
menyipit memandang Jade. "Aku ingat siapa kalian, kataku. Apa yang
kalian lakukan di rumahku?" ebukulawas.blogspot.com
"Nama saya Louise Smith," kata Jade bersikeras. "Dan ini?"
Tapi Deena melihat bahwa wanita itu tidak mempercayai
kebohongan Jade. "Hentikan," sergah Linda Morrison, sambil
mengacungkan kartu nama yang diberikan Jade. "Aku baru saja
menelepon kantor real estate, dan menurut mereka Louise Smith
sedang libur. Kalian berdua gadis-gadis yang ikut campur urusan
Stanley tahun lalu. Sekarang, apa yang kalian lakukan di sini" Kenapa
kalian menggangguku?"
Kedua kaki Deena gemetar. Ia bisa merasakan setiap otot dalam
tubuhnya menegang ketakutan.
Tapi Jade dengan tenang balas menatap wanita itu. "Ada
beberapa hal yang mau kutanyakan padamu," kata Jade. "Misalnya,
kenapa kau berulang-ulang menelepon kami?"
"Menelepon?" Morrison berpura-pura bingung. "Kau ini bicara
apa?" "Jangan pura-pura tak tahu," tukas Jade tajam. "Kenapa
semalam kau mencoba menabrak kami?"
"Menabrak kalian?" tanya Morrison. "Kalau begitu yang
semalam itu kalian rupanya."
"Kau tahu siapa!" tuduh Jade. "Memangnya ada apa?"
Deena menatap kagum kepada temannya. Morrison telah
membongkar kebohongan mereka, tapi Jade berhasil memutar balik
keadaan dan menyudutkannya.
"Maafkan aku. Aku cuma mencari tahu siapa kalian," kata
wanita itu dengan suara bergetar.
"Kaukira kami akan mempercayainya?" tuntut Jade.
"Itu yang sebenarnya!" Morrison bersikeras. "Saat melihat
mobil kalian di tepi jalan, aku ketakutan setengah mati."
"Kalau kau begitu ketakutan," tuntut Deena, "kenapa kau
sengaja mau menubruk Jade dan Chuck?"
"Aku tak bisa melihat apa-apa," Morrison menjelaskan. "Aku
pakai mobil pinjaman, dan aku tak tahu bagaimana cara
menghidupkan lampu depannya."
Ya, benar! pikir Deena sinis. Itu sebabnya dia menabrak mobil
kami tiga kali. Dia pasti menganggap kami bodoh. Siapa yang akan
mempercayai cerita seperti ini"
Yang menyebabkan Deena terkejut, ekspresi wanita itu
berubah. Raut wajahnya berubah lesu dan air mata tampak di matanya
yang biru pucat. "Maaf," isaknya. "Aku tak bermaksud menyakiti siapa pun"
atau bahkan menakut-nakuti kalian. Aku cuma berusaha melindungi
diri." "Dari apa?" tanya Jade, terkejut. "Dan bagaimana kau bisa
melindungi diri dengan menakut-nakuti kami melalui telepon?"
"A"aku sama sekali tak menelepon," Morrison bersikeras. Ia
menghapus air matanya dengan tisu. "Maaf kalau kalian ketakutan.
Tapi kalian tak mengerti perasaanku. Aku sangat"stres, ketakutan,
selama berbulan-bulan terakhir."
"Kenapa?" tanya Jade.
"Gara-gara pria itu," jawab Morrison penuh semangat. "Stanley.
Aku tahu dia di penjara. Tapi aku ketakutan kalau dia keluar dan
mengejarku. Dia menyalahkanku untuk segalanya!"
"Bagaimana dia bisa keluar?" jerit Deena, akhirnya berhasil
berbicara. "Dia dihukum seumur hidup, kan?"
"Stanley jauh lebih cerdas daripada yang kalian bayangkan,"
Morrison terisak. "Dia dan pengacaranya sedang mengajukan banding.
Gara-gara kesalahan hukum atau semacamnya. Kalau menang dalam
banding, dia bisa keluar bulan ini."
"Tidak!" Deena tersentak. "Pasti ada kesalahan, Ms. Morrison!"
"Panggil aku Linda," kata wanita yang lebih tua itu. Ia
menggeleng. "Sori harus memberitahukan kabar ini pada kalian, anakanak. Aku tahu kalian pasti juga menganggapnya menakutkan."
"Tapi dia membunuh istrinya!" jerit Deena. "Aku tak percaya
mereka akan membebaskannya begitu saja."
"Itu sudah sering terjadi," jawab Linda pahit. "Kalau Stanley
bisa membuktikan polisi tak mengikuti prosedur hukum sampai
sedetail-detailnya, dia bisa keluar."
"Sekarang sudah akhir bulan," kata Deena sambil berpikir. "Apa
dia sudah keluar?" Kalau Farberson sudah keluar penjara, itu akan menjelaskan
telepon-telepon ancaman selama ini, pikir Deena. Dan juga gambar
gergaji mesin itu. Segalanya akan menjadi jelas.
"Tidak, dia belum keluar," kata Linda meyakinkan mereka.
"Pengacaraku berjanji untuk memberitahuku kalau dia keluar. Lagi
pula, begitu bebas, Stanley akan mengejarku. Aku tahu pasti."
"Aku masih bingung tentang satu hal," kata Jade. "Apa yang
kaulakukan di rumah Farberson di Fear Street semalam?"
Sejenak wanita yang lebih tua itu tidak menjawab. "Kurasa
sebaiknya kuberitahukan saja," katanya akhirnya. "Kalian tahu Stanley
mencuri banyak uang dari restorannya. Sebelum dia membunuh
istrinya." "Ya, kami ingat," kata jade.
"Nah, sebelum tertangkap, dia memberitahuku kalau uangnya
telah disembunyikan dalam rumah. Dia memintaku untuk
memindahkannya ke tempat lain."
"Jadi apa yang kaulakukan?" tuntut Jade.
"Kucoba mencarinya," jawab Linda. "Tapi tak ketemu." Ia
mendesah. "Stanley tak percaya. Dia menuduhku telah mencuri uang
itu. Dia meneleponku dari penjara beberapa minggu lalu. Katanya
kalau aku tak membawa uangnya pada saat dia bebas, dia akan
membunuhku!" "Jadi kau menggeledah rumah untuk menemukan uangnya?"
tebak Deena. "Sudah kucari di mana-mana," jawab Linda, air matanya
kembali menggenang. "Sudah berminggu-minggu aku mencarinya.
Tapi tak bisa kutemukan. Dan kurasa aku tahu mengapa."
"Kenapa?" tanya Jade.
"Pasti ada orang lain yang sudah mengambilnya," kata Linda.
"Orang lain yang tahu tentang uang itu."
Ekspresinya berubah. Ia melotot kepada Jade, lalu kepada
Deena. "Baru saja kusadari!" seru Linda Morrison. "Oh, ya ampun.
Bodohnya aku. Tapi aku baru saja menyadarinya. Kalian yang
mengambil uang itu"benar, kan?"


Fear Street - Salah Sambung Ii The Wrong Number Ii di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wanita itu bergegas menghalangi pintu depan. "Aku benar"ya,
kan?" jeritnya, mengawasi mereka berdua. "Kalian yang mengambil
uang itu!" Deena mau memprotes. Tapi Jade, seperti biasa, berbicara lebih
dulu. "Ya, kau benar. Kami yang mengambil semuanya," Jade
mengakui. BAB 13 DEENA tersentak. Apa kata Jade" Apa dia sudah sinting"
"Kami yang mengambil uang itu," ulang Jade. "Lalu kami
mengepak-ngepakkan tangan dan terbang ke bulan."
Linda Morrison menatap Jade tajam. "Kau ini bicara apa?"
"Maksudku pendapatmu itu sinting," sahut Jade. "Deena dan
aku tak tahu apa-apa tentang uang yang disembunyikan."
"Cerita bagus," tukas Linda tajam. "Tapi aku tahu bukan begitu.
Aku tahu pada malam Stanley menangkap kalian setahun lalu, kalian
tengah menggeledah rumahnya. Apa lagi yang kalian cari kalau bukan
uang itu?" "Kami mencari dokumen," jawab Jade. "Mencari bukti bahwa
Farberson bersalah. Polisi menuduh Chuck. Kami mencoba mencari
bukti yang bisa menunjukkan Chuck tidak bersalah."
Morrison mengawasi mereka. "Kenapa aku harus percaya?"
tuntutnya. "Yang kutahu, uang itu sudah hilang. Dan Stanley akan
menyalahkanku." "Yah, kami tak tahu tentang hal itu. Dan bukan kami yang
mengambil uang itu!" Jade bersikeras.
Linda mendengus lalu mendesah. Sekarang suasana hatinya
tampak berubah lagi. "Kurasa aku tak punya pilihan lain selain
mempercayai kalian," katanya.
"Mungkin Farberson berbohong sudah menyembunyikan uang
itu," kata Deena. "Aku sempat berpikir begitu," kata Linda. "Tapi kalau benar,
buat apa dia mengancamku" Pokoknya, aku menyerah. Aku sudah tak
mencarinya lagi. Semalam itu usahaku yang terakhir kali."
"Apa yang akan kaukatakan pada Farberson?" tanya Jade.
"Tak ada," sahut Linda. "Aku terlalu takut bahkan untuk
memikirkan kemungkinan bicara lagi dengannya. Sudah kuputuskan
untuk pergi dari sini sejauh mungkin, ke tempat dia takkan bisa
menemukanku. Itu sebabnya rumahku kujual. Malahan, aku baru
mulai berkemas-kemas waktu kau meneleponku tadi pagi."
"Yah, semoga sukses," kata Deena, tidak tahu harus
mengatakan apa lagi. "Terima kasih," jawab Linda. "Dan semoga kalian sukses juga."
Ia menyipitkan mata memandang mereka. "Kalau Stanley bebas,
kalian mungkin memerlukan doa ini."
********** Deena menghabiskan sepanjang sisa hari dengan mengerjakan
PR aljabar dan makalah sejarah. Ia terus memasang telinga barangkali
Chuck pulang. Tapi tidak ada tanda-tanda kehadirannya sama sekali.
Jade menelepon pukul enam. Ibu dan saudaranya pergi
mengunjungi tantenya. Ia mengundang Deena ke rumahnya untuk
makan piza. "Thanks sudah mengeluarkanku dari rumah," kata Deena waktu
Jade membuka pintu. "Di sana bagai mimpi buruk. Orangtuaku marah
besar pada Chuck." "Kalau begitu, bagus juga dia di sini," kata Jade, memberi
isyarat ke sofa. "Chuck!" jerit Deena. "Apa Mom dan Dad tahu kau di sini?"
Chuck cemberut mendengarnya, menyadarkan Deena bahwa ia
tidak mau membicarakan seluruh masalah itu lagi. "Bagiku," kata
Chuck, "mereka tak perlu tahu apa-apa tentang diriku"selamanya."
Deena memutuskan tutup mulut. Ia duduk di salah satu kursi
berlengan di seberang Chuck. Dari dua kerak piza di piring kertas, ia
tahu Chuck sudah lebih dulu memulai makan malam.
"Kau mau root beer?" Jade menawarkan, sambil mengulurkan
segelas kepada Deena. "Jade baru saja menceritakan petualangan besar kalian siang
tadi," kata Chuck, sambil mengambil seiris piza lagi.
Deena mencibir. "Seharusnya kau melihat Jade mengenakan
rambut palsu keriting hitam pendek."
"Berani taruhan dia pasti sangat cantik!" Chuck mendengus,
menatap Jade dengan pandangan kagum.
"Kuberitahukan apa kata Linda tentang uang itu," kata Jade.
"Kuberitahukan bahwa menurut Linda uang itu tidak di sana lagi. Tapi
kata Chuck?" "Kurasa wanita itu bohong," sela Chuck.
"Untuk apa dia bohong?" tanya Deena.
"Karena dia tak mau orang lain mendapatkannya," jawab Chuck
tidak sabar. "Morrison mungkin akan pergi, tapi berani taruhan dia
masih menginginkan uang itu."
"Chuck mungkin benar," kata Jade sambil berpikir. "Coba
pikirkan. Ingat bagaimana dia selalu mengatakan uang itu sudah
hilang?" "Itu karena uang itu memang sudah hilang!" seru Deena.
"Tidak, itu karena dia tak mau kita menemukan uang itu!" kata
Jade. "Dia memberitahu kalian soal uang itu untuk melihat apakah
kalian tahu," Chuck menjelaskan. "Lalu, waktu mengetahui kalian tak
tahu apa-apa, dia mau kalian menganggap uang itu tak ada lagi di
rumah itu." "Yah, mungkin kau benar," Deena menyetujui. "Tapi
memangnya kenapa?" "Jadi"kurasa uang itu milik kita!" seru Chuck sambil
menyeringai. "Chuck!" Deena tersentak. "Kau tak bermaksud?"
"Aku tak tahu berapa banyak uang yang ada," lanjut Chuck,
tidak mengacuhkannya. "Tapi pasti lebih dari cukup untuk membiayai
keberangkatanku ke Los Angeles."
"Kau tak bisa mengambil uang itu!" Deena memprotes.
"Kenapa tidak?" tukas Chuck, sambil masih terus menyeringai.
"Kita layak mendapatkannya sesudah apa yang kita alami setahun lalu.
Pokoknya, boleh dikatakan uang itu hak kita!"
"Jade, bicaralah dengannya!" pinta Deena.
"Kurasa aku setuju dengan Chuck," kata Jade mengakui.
"Maksudku, ini tak sama seperti kalau kita merampok bank atau apa.
Uang itu sudah ada di sana"dan tak ada yang mengetahui
keberadaannya. Dan kita sudah susah karena Farberson. Maksudku,
Chuck sempat dipenjara, dan kau serta aku hampir terbunuh!"
"Tapi itu uang haram!" protes Deena. "Farberson mencurinya."
"Perusahaan asuransi mungkin sudah membayar semuanya
sekarang," kata Chuck, menghabiskan piza ketiganya dan membuang
keraknya ke piring kertas. "Jangan bersikap pengecut, Deena. Itu uang
gratis. Dan bisa jadi milik kita!"
Sejenak Deena hanya menatap saudaranya. Bagaimana Chuck
bisa berpikir bahkan mencoba menemukan uang itu"
Jade hampir sama buruknya, pikir Deena. Kenapa dia justru
mendorong Chuck berbuat begitu"
"Apa pendapatmu?" tanya Chuck, melompat bangkit.
"Bagaimana kalau kita menyelenggarakan perburuan harta kecilkecilan?"
"Maksudmu malam ini?" jerit Jade, terkejut.
"Lebih cepat lebih baik," sahut Chuck.
"Aku tak tahu apa aku siap kembali" ke sana," kata Jade,
menggigit bibir bawahnya. "Terutama sesudah kejadian semalam."
"Kalau begitu kita nonton film saja," Deena menyarankan.
Tanpa memedulikan mereka, Chuck melangkah ke pintu depan.
"Chuck"kembali!" panggil Jade. "Kita masih harus
membicarakan hal ini lebih jauh."
"Aku tak membutuhkan izinmu," balas Chuck. "Aku bahkan tak
memerlukan bantuanmu." Ia membuka pintu depan.
"Chuck, jangan!" pinta Deena.
"Kesempatan terakhir untuk ikut denganku!" Chuck
mengumumkan. Ia melangkah keluar ke dalam kegelapan.
Deena dan Jade mengikutinya ke serambi depan. "Jade, kau
harus menghentikannya!" pinta Deena.
"Sedang kucoba!" kata Jade. Ia berlari di sepanjang trotoar,
menyusul Chuck, sambil berteriak-teriak memanggilnya. "Chuck,
berhenti! Dengarkan aku! Chuck!"
Jade menyambar kemeja Chuck dan Chuck menggeliat,
mendorongnya ke samping. "Tidak! Jangan!" lolong Jade.
Deena berlari mengejar mereka. Tapi menghentikan langkahnya
ketika melihat seseorang berdiri di bawah tiang lampu di tepi jalan.
Wajah pria itu tersembunyi dalam bayang-bayang.
Tapi Deena bisa melihat pria itu jangkung. Dan berbahu lebar.
Pakaiannya hitam-hitam. Farberson" Deena membuka mulut untuk memanggil Jade dan Chuck.
Terlambat. Pria itu menerjang keluar dari balik tiang lampu.
Ia mencengkeram Chuck. Mereka bergulat sejenak.
Jade menjerit ketakutan saat pria itu menjepit leher Chuck.
Deena mengawasi Chuck terkulai berlutut, kedua lengannya
menggapai-gapai ke sana kemari, tidak berdaya, saat pria itu
mencekiknya sambil mendengus-dengus dan memaki-maki.
BAB 14 DALAM cahaya pucat lampu jalan, pemandangan di depannya
serasa seperti dalam mimpi bagi Deena.
Chuck telentang di ujung jalur masuk, pria besar itu
menindihnya. Jade menjerit-jerit sambil berusaha menarik pria itu dari
atas Chuck. Mimpi yang mengerikan. Dan saat lari menyusuri jalur masuk, Deena memasuki mimpi
itu. Jerit ketakutan Jade bertambah keras.
Dengusan dan erangan penyusup itu terdengar keras di udara
malam yang beku. Chuck tidak bergerak. "Chuck! Chuck!" Deena memanggil-manggilnya sambil berlari.
Lalu nama lain menyerbu telinganya.
"Teddy"hentikan! Teddy!"
Jerit putus asa Jade. "Teddy"sudahlah!"
Dan Deena menyadari bahwa penyerang yang kuat itu bukanlah
orang asing. Ia mengenali Teddy. Pertandingan basket itu berkelebat
dalam benaknya. Tembakan kepahlawanan Teddy saat bel berbunyi.
Teddy tampak begitu ringan di lantai basket. Begitu anggun dan
ringan. Dan sekarang ia menjadi monster yang berat, mencekik saudara
Deena, mencondongkan tubuhnya ke atas Chuck yang tidak bergerak,
menjepitnya. "Lepaskan aku!" pinta Chuck dengan lemah.
Tidak mati. Tidak dicekik!
Deena mengembuskan napas lega, jantungnya masih berdentam
kencang. "Lepaskan! Teddy"lepaskan!" pinta Jade.
Lampu di rumah tetangga menyala. Dan juga di rumah di
seberang jalan. Perlahan-lahan, sambil terengah-engah, Teddy mundur.
"Teddy"kenapa?" jerit Jade, sambil menyodok-nyodoknya.
"Kenapa?" "Kudengar kau menjerit-jerit padanya," jawab Teddy, sambil
terengah-engah. "Kulihat kau mengejarnya, berteriak-teriak. Kulihat
dia mendorongmu. Kupikir dia menyakitimu?"
"Tapi dia saudara Deena!" jerit Jade.
Tapi sebelum Teddy sempat mengatakan sesuatu, Chuck
mengejutkan mereka semua dengan melompat bangkit berdiri.
"Chuck"jangan!" jerit Deena.
Terlambat. Sambil mengerang hebat, Chuck menarik lengannya ke
belakang"dan mengayunkan tinjunya ke arah Teddy sekeraskerasnya.
Tinjunya melayang liar saat Teddy merunduk. Chuck
terhuyung-huyung maju, kehilangan keseimbangan. Teddy
menghantam bahunya keras-keras.
"Hentikan, kalian berdua! Berhenti!" jerit Jade.
Deena menutupi matanya. Kenapa mereka tidak mau berhenti"
Kenapa mereka berbuat begini"
Ia membuka mata tepat saat Teddy menghantam wajah Chuck.
Hidung Chuck berdarah, darah merah mengalir membasahi wajahnya
ke kausnya. Chuck terhuyung-huyung, pandangannya liar karena terkejut.
Deena mengira ia akan jatuh. Tapi Chuck lalu kembali menerjang
Teddy sambil berteriak"dan memukuli cowok yang lebih besar itu
pada punggung dan sisinya.
Teddy mendengus kesakitan, lalu berkelit dan menjauhi Chuck.
Wajah Chuck memancarkan kemarahan. Ia lari memburu
Teddy, sekuat tenaga. Teddy menghindar ke samping.
Chuck terhuyung-huyung ke depan. Terantuk.
Ia jatuh. Deena mendengar derak saat kepala Chuck menghantam tepi
jalan. Suaranya seperti membelah udara. Deena terpaksa memejamkan
mata kembali. "Chuck!" jerit Jade. "Chuck!"
Chuck tidak menjawab. Deena membuka matanya. Chuck tertelungkup dalam genangan darah.
Kepalanya terpuntir ke satu sisi pada sudut yang tidak biasa.
Deena melihat salah satu matanya terbuka lebar, menatap jalan dengan
pandangan kosong. Deena berlutut di samping Chuck. "Dia pingsan!" lolongnya.
Teddy mendesak di samping Deena. "Jangan gerakkan!" ia
memperingatkan. Keringat membanjiri keningnya. Ia menyentuh sisi
leher Chuck. "Bagus"masih ada denyutnya."
Saat mendengar suara-suara, Deena menoleh sekilas.
Segerombol tetangga telah berkerumun di tepi jalan. Saat
mengalihkan perhatiannya kepada Chuck lagi, Deena bisa mendengar
mereka menggumamkan pertanyaan-pertanyaan di belakangnya:
"Ada apa?" "Siapa dia?" "Apa yang terjadi" Apa mereka berkelahi?"
"Ada yang memanggil ambulans?" teriak Jade. "Ada yang
menghubungi 911?" Tolong, pikir Deena sambil menatap saudaranya. Jangan sampai
terjadi apa-apa pada Chuck.
Chuck bergerak tapi tidak sadar.
Deena mendengar lengking sirene.
Jalan segera dibanjiri kilasan lampu merah dan biru. Polisi tiba
lebih dulu. Lalu petugas medis berpakaian putih.
Seorang polisi yang masih muda menggiring Deena, Jade, dan
Teddy ke samping. Deena berusaha keras mendengarkan pertanyaan
wanita itu. Ia terus-menerus menengok melihat apa yang dilakukan


Fear Street - Salah Sambung Ii The Wrong Number Ii di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

para petugas medis pada Chuck.
Dia baik-baik saja, katanya sendiri. Dia baik- baik saja.
Tapi dia terlibat masalah lagi.
Chuck yang malang. Selalu terlibat masalah.
"Dia saudaraku," Deena mendengar kata-katanya sendiri pada
polisi. "Chuck Martinson."
"Bagaimana dia bisa terluka?" tanya petugas itu.
Jade buru-buru menjawab. "Ini kecelakaan," katanya.
"Keduanya sedang bermain-main. Chuck jatuh."
Deena merasa santai. Seperti biasa, Jade tahu apa yang harus
dilakukan agar Chuck tidak terlibat masalah semakin dalam.
"Begitukah?" tanya petugas itu, berkedip-kedip memandang
Jade. "Menurut tetangga kalian ada perkelahian."
Sekali lagi Jade yang menjawab dengan lancar. "Mungkin
kelihatannya begitu," katanya. "Tapi cowok-cowok ini cuma bergurau.
Mereka sahabat baik, benar kan, Teddy?"
"Benar," gumam Teddy.
Mobil-mobil polisi pun berlalu, lampu sirene mereka masih
berkedip-kedip. Ambulans itu melaju diam-diam membawa Chuck di
bagian belakang. Aku harus segera pulang untuk memberitahu Mom
dan Dad, kata Deena dalam hati.
"Thanks tidak memberitahukan perkelahian itu pada mereka,"
kata Teddy kepada Jade. "Aku bukan melakukannya untukmu," jawab Jade lelah.
"Hei, maafkan aku, Jade," kata Teddy, menggeleng.
"Maksudku, kupikir dia mengambil barangmu atau apa. Melihat
caramu menjerit-jerit dan mengejarnya."
"Memangnya apa yang kaulakukan di sini?" tanya Jade.
"Aku mau bicara denganmu," sahut Teddy, menunduk.
"Tampaknya akhir-akhir ini, setiap kali kutelepon, kau selalu terlalu
sibuk untuk menemuiku."
Jade mengembuskan napas panjang. "Sori, Teddy," katanya.
Yang mengejutkan Deena, sahabatnya itu tampak benar-benar
menyesal. "Kupikir kau cowok yang hebat. Tapi dulu aku pacaran
dengan Chuck, dan sekarang sesudah dia kembali kemari, aku kembali
dengannya lagi." "Hei, tak apa-apa," gumam Teddy. Bahkan dalam kegelapan
Deena bisa melihat kekecewaan di wajah Teddy. Ia bergegas berbalik
dan pergi. ********* Deena takut untuk memberitahukan apa yang telah terjadi pada
orangtuanya. Tapi tidak ada pilihan lain.
"Dua hari dia pulang, dan sudah terlibat masalah!" raung
ayahnya dalam perjalanan mereka ke Rumah Sakit Shadyside General.
"Apa Dad tak mengkhawatirkan keadaannya?" jerit Deena.
"Maksudku, dia sekarang di rumah sakit!"
"Tentu saja aku khawatir. Tapi apa yang diharapkan dari anak
itu" Dia selalu berkelahi!" geram Mr. Martinson. "Paling tidak dia
takkan terlibat masalah di rumah sakit."
"Teganya Dad berkata begitu!" jerit Deena dari kursi belakang.
Mrs. Martinson mendesah. "Kenapa Chuck tak bisa mematuhi
aturan seperti orang-orang lainnya?"
Deena tidak memiliki jawabannya. Yang ia tahu Chuck adalah
Chuck"dan ia tidak pernah ingin menjadi orang lain atau melakukan
apa pun yang dilakukan orang lain.
Deena tahu orangtuanya tidak marah pada dirinya, tapi ia tidak
bisa tidak merasa agak bersalah. Rasanya hampir seperti mereka
mengharapkan dirinya mencegah Chuck terlibat masalah.
Ia lega waktu melihat Jade telah menanti mereka di lobi rumah
sakit. Orangtua Deena berhenti di meja depan untuk mengisi formulir
asuransi. Deena dan Jade langsung menuju ke kamar tempat Chuck
dirawat. Mereka masuk dengan diam-diam. Chuck tengah bersandar ke
bantalnya, wajahnya sama putihnya dengan seprai. Deena telah
mendengar laporan dokter. Ia jadi tahu luka Chuck tidak serius.
Tapi Chuck tampak mengerikan. Kepalanya diperban tebal, dan
mata kirinya menonjol, bengkak dan memar.
"Wow! Selamat hari Halloween!" Jade bergurau.
"Jangan membuatku tertawa! Bibirku luka!" balas Chuck. Ia
mengerang. "Kau sempat mencatat pelat nomor truk yang
menabrakku?" Deena dan Jade tertawa. Tawa terpaksa. Tawa rumah sakit.
Kosong dan agak terlalu keras.
"Kau cantik," kata Chuck pada Jade, memandangnya dengan
satu mata yang masih sehat.
Memang benar, Deena menyadari. Jade memang cantik. Ia
mengenakan sweter hijau tua dan jins hitam. Rambutnya diikat di
puncak kepala, dengan beberapa untai terjuntai di samping telinganya.
Para dokter dan pasien pria berpaling dan menatap Jade waktu ia dan
Deena berjalan memasuki rumah sakit.
"Bagaimana kepalamu?" tanya Deena.
"Aku masih punya kepala?" erang Chuck.
"Aku masih menyesali apa yang sudah terjadi," kata Jade
padanya, sambil meremas tangannya. "Aku tak tahu Teddy akan
mampir. Dan jelas aku tak mengira dia akan memulai perkelahian."
"Itu cowok yang denganmu Jumat malam itu, kan?" kata
Chuck, tanpa melepaskan tangan Jade.
"Well, ya," jawab Jade enggan. "Tapi sudah kukatakan tak ada
apa-apa?" "Aku tahu," sela Chuck. "Aku percaya"sekarang. Kurasa
sebelumnya tidak." "Apa maksudmu?" tanya Jade.
Sejenak Chuck tidak menjawab. Lalu ia mendesah. "Ada yang
harus kuberitahukan padamu," katanya. Suaranya begitu pelan, Deena
harus mendekat ke ranjang untuk mendengarnya. "Sesuatu yang harus
kuberitahukan padamu dan Deena."
"Apa yang kaubicarakan?" tanya Deena.
"Kalian tahu telepon ancaman yang kalian dapat?" tanya Chuck.
"Yah"aku tahu siapa pelakunya."
"Hah?" Kedua gadis itu menjerit terkejut.
"Siapa?" tanya Deena. "Katakan, Chuck. Siapa pelakunya?"
BAB 15 "SIAPA pelakunya?" ulang Deena. Perutnya terasa melilit. Ia
tahu apa yang akan dikatakan Chuck.
"Aku," gumam Chuck. "Aku yang menelepon kalian."
"Kau sialan!" jerit Jade, menarik tangannya dari genggaman
Chuck dan menjauhi ranjang.
"Sulit dipercaya!" gumam Deena. "Kenapa, Chuck" Teganya
kau?" Kalau saja Chuck tidak tengah dirawat di rumah sakit, ia pasti
akan menghajarnya! "Aku mulai menelepon kalian sebelum pulang," Chuck
mengakui. Ia menatap Jade. "Ada temanku di Shadyside yang
memberitahuku kau dengan cowok lain. Waktu mendengarnya, aku
marah. Maksudku, aku tak lagi bisa berpikir jernih. Yang terpikir
cuma kau ikut denganku ke L.A. Jadi kuputuskan untuk menakutnakutimu."
"Oh, sangat masuk akal!" kata Jade, sambil memutar bola
matanya. "Tapi, kenapa kau meneleponku?" tanya Deena. "Aku tak ada
urusan apa pun dengan Jade dan Teddy."
"Aku tahu, Deena, sori," kata Chuck pelan. "Masalahnya,
menurutku akan mencolok kalau aku cuma mengancam Jade. Kupikir
kalau kalian berdua kutelepon, kalian pasti beranggapan Farberson
yang melakukannya." "Kau"kau mau membuat kami ketakutan!" kata Jade, melipat
lengan di dadanya. "Begitulah," Chuck mengakui. "Aku memang menjengkelkan,
aku tahu." Suaranya serak. Deena tahu bahwa tidak mudah bagi Chuck
untuk meminta maaf. Jade menyipitkan matanya. "Apa kau juga yang mengirimkan
surat menjijikkan itu" Yang berisi gambar gergaji mesin berlumuran
darah?" "Ya. Aku juga yang mengirimkannya," jawab Chuck,
mendesah. "Sulit dipercaya! Sungguh! Apa kau sudah benar-benar
sinting?" Jade meledak. "Kenapa kau mengira aku akan pergi ke
California bersamamu karena itu?"
"Kupikir kalau kau menganggap Farberson mengejarmu, kau
pasti ingin pergi sejauh mungkin dari Shadyside," kata Chuck.
"Kupikir kau akan langsung menerima tawaran pergi ke L.A.
bersamaku." "Goblok," sergah Jade, mengerutkan kening. "Benar-benar
goblok. Mengingat apa yang kurasakan sekarang, aku takkan
menemanimu bahkan untuk menyeberang jalan!"
"Aku tahu. Maafkan aku," ulang Chuck. "Aku tak tahu harus
berkata apa lagi." "Yah, syukur Farberson tidak bebas," kata Jade. "Itu satusatunya berita baik yang kita dengar hari ini."
"Whoa. Tunggu dulu," sela Deena. "Bagaimana dengan mobil
hijau itu" Mobil hijau yang mengikuti kita sepulang sekolah beberapa
hari lalu. Kita terpaksa lari ke lorong untuk menghindar."
"Itu juga aku," kata Chuck, mengerang. "Temanku dari kota
memberiku tumpangan dari bandara. Aku cuma ingin menemuimu,
memberitahu kalau aku sudah pulang. Tapi kalian sudah lari sebelum
aku sempat mengatakannya."
Ia meraih tangan Jade. "Jangan marah," pintanya. "Terimalah
permintaan maafku." "Akan kupikirkan," jawab Jade dingin. Matanya berkilau. "Dan
juga akan kupikirkan cara membalasmu!"
********** Keesokan harinya Deena tengah berada di ruang belajar,
menatap catatan sejarahnya, berusaha memusatkan perhatian. Kenapa
aku masih merasa tertekan" tanyanya pada diri sendiri. Kenapa aku
tak bisa merasa normal dan kembali tenang"
Ia masih mengkhawatirkan Chuck. Para dokter memintanya
tetap dirawat di rumah sakit untuk pengawasan. Mereka ingin
memastikan tidak ada perdarahan dalam tengkoraknya.
Ketika ia dan Jade meninggalkan rumah sakit semalam, Chuck
masih membicarakan rencana gilanya untuk pergi ke Los Angeles.
Dan baik Chuck maupun Jade masih berbicara penuh semangat
tentang uang yang seharusnya disembunyikan dalam rumah
Farberson. Kenapa mereka tak bisa melupakannya" tanya Deena. Apa
masalah yang ada belum cukup buat mereka"
"Deena!" Ia menengadah, terkejut mendengar namanya
dipanggil, dan melihat Steve Mason berdiri di sampingnya. "Ada yang
mau kubicarakan," bisik Steve.
Deena dengan senang hati memberi tempat di meja untuk
kertas-kertas Steve. Aku begitu memikirkan Jade dan Chuck hingga
lupa memikirkan Steve sama sekali, pikir Deena.
"Itu risetmu tentang periode Kolonial?" tanya Steve.
Deena mengangguk. "Ya. Ini untuk tugas makalah sejarahku."
"Sungguh" Aku juga mendapat tugas yang sama untuk sejarah."
Beberapa saat kemudian, mereka berbisik-bisik tentang tugas sejarah
mereka. Deena menengadah dan melihat Mr. Raub mendekat.
"O-oh," katanya. "Polisi ruang belajar datang."
"Aku juga harus kembali ke mejaku," kata Steve cepat-cepat.
"Aku bukan mau membicarakan tugas denganmu. Sepupuku mau
mengadakan pesta Jumat nanti. Kau mau datang denganku?"
"Tentu!" jawab Deena, tersenyum.
"Nanti kutelepon," janji Steve. Ia mengambil kertas-kertasnya
dan bergegas ke seberang ruang belajar.
********* "Sampai jumpa, Steve. Sampai ketemu besok di sekolah."
Deena meletakkan tangkai telepon. Ia masih sulit percaya.
Selama sejam terakhir ia dan Steve telah bercakap-cakap tentang
banyak hal. Musik Australia, musik Amerika, Shadyside, Sydney,
Australia, kota kelahiran Steve. Ia tidak ingat kapan merasa begitu
santai bercakap-cakap dengan cowok.
Steve dan aku akan pergi bersama. Akhirnya ada sesuatu yang
kuharapkan! pikir Deena gembira. Ia melompat dari ranjang dan
menari-nari diam-diam di kamar.
Biar Jade dan Chuck mencari uang di rumah tua yang
mengerikan itu kalau mereka mau. Sedang untukku"aku sudah bosan
dengan uang, bosan dengan Chuck sinting dan rencana barunya yang
buruk, bosan dengan Farberson, dan bosan dengan ketakutan.
Ia turun ke dapur, menuang segelas jus jeruk serta mengambil
sepiring kue kering dan keju, lalu membawa buku sejarahnya ke ruang
TV Malam ini ibunya bekerja lembur, dan ayahnya mengikuti rapat.
Jadi Deena seorang diri di rumah.
Di luar, campuran salju dan butiran es turun, sehingga di dalam
terasa semakin nyaman. Ia menelepon Jade untuk memberitahu
tentang Steve, tetapi tidak mendapat jawaban. Ketika mesin penerima
telepon Jade menyala, ia menutup teleponnya.
Selama beberapa menit Deena menatap catatan sejarahnya. Lalu
mengalihkan perhatiannya ke TV "Mungkin lebih baik kalau agak
ramai," katanya keras-keras.
Musik keras meraung dari TV menutup acara permainan. Lalu
terdengar suara Katy Calloway, pembawa berita Shadyside. "Badai
besar sedang bergerak mendekati Shadyside. Seorang pengunjung
kota ini mendapat insentif istimewa. Dan seorang penjahat terkenal
dibebaskan"semuanya dalam Berita Saluran Lima, sesaat lagi."
Deena hanya setengah mendengarkan iklan- iklan yang muncul
kemudian. Lalu ia mendengar musik khas berita malam. "Selamat
malam," kata wanita mungil pembawa acara. "Berita utama kami
malam ini mengenai pembebasan, pembunuh Shadyside yang
terkenal. Lebih jauh, mari kita hubungi Ralph Browning."
"Terima kasih, Katy," kata Ralph. Deena menengadah dan
melihat seorang pria pirang tampan berdiri di depan penjara. Deena
kembali memandang pekerjaan rumahnya.
"Saat ini saya berada di penjara negara dekat Adam Falls," kata
wartawan itu. "Tadi pagi Mahkamah Agung membatalkan hukuman
atas seorang pria yang dipenjara di sini setahun lalu karena membunuh
istrinya. Karena bukti penting yang ditemukan tidak dapat diterima,
Stanley Farberson dibebaskan dari penjara malam ini."
"Oh." Erang ketakutan terlontar dari tenggorokan Deena. Ia
menatap layar TV"tapi tidak mampu menangkap sepatah kata pun
kata-kata si wartawan. Farberson bebas! Deena menyadari. Kata-kata itu bergema
dalam benaknya hingga menjadi lantunan jelek yang mengerikan.
Farberson bebas! Bebas! Bebas!
Sekarang apa" tanyanya pada diri sendiri, seluruh tubuhnya
gemetar. Apa dia akan mengejar kami" Apa dia akan mengejar Jade dan
aku" Sebelum ia sempat memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu,
telepon berdering. BAB 16 "HALO?" jawab Deena dengan suara bergetar.


Fear Street - Salah Sambung Ii The Wrong Number Ii di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hai, Sayang." Deena menelan ludah dengan susah payah. "Si-siapa ini?" Ia
berusaha memantapkan suaranya. Tapi yang keluar justru tergagapgagap.
"Maria ada?" "Hah?" jerit Deena. "Kau mau bicara dengan siapa?"
"Oh. Maaf. Salah sambung."
Deena mendengar bunyi klik. Lalu terdengar nada pilih.
Ia mengembalikan tangkai telepon, masih terguncang. Apa aku
akan selalu ketakutan setiap kali telepon berdering" tanyanya dalam
hati. Bunyi yang tiba-tiba terdengar dari dapur menyebabkan Deena
melonjak. Lalu ia menyadari itu hanya bunyi lemari es.
Cepat pulang, Mom dan Dad, pintanya diam-diam. Tolong"
cepat pulang. Di luar, butir-butir es yang menghantam jendela bertambah
kuat. Bunyinya menyebabkan ia merasa semakin rapuh. Kalau ada
yang mencoba masuk, aku takkan mendengarnya, ia menyadari.
Lalu telepon kembali berdering.
"Tidaaaak!" Deena menatap instrumen yang bergetar itu,
ketakutan setengah mati. "Tidak. Tolong." Dengan lambat ia
mengangkat tangkai telepon ke telinganya. "Halo?"
"Deena!" jerit Jade dari ujung seberang.
Deena mengembuskan napas lega. Ia menghela napas panjang
untuk meredakan debur jantungnya yang menggila.
"Deena, kau takkan bisa menebak apa yang sudah terjadi."
"Aku melihatnya!" sela Deena. "Aku melihatnya dalam siaran
berita." "Hah" Ada apa dalam siaran berita?" Jade terdengar
kebingungan. "Dari mana mereka tahu tentang Chuck?"
"Chuck" Apa yang terjadi dengan Chuck?" tuntut Deena.
"Itu yang mau kukatakan," kata Jade tidak sabar. "Sepulang
sekolah aku ke rumah sakit. Chuck tak ada di kamarnya, jadi
kutunggu. Well, aku menunggu lama sekali, dan akhirnya ada perawat
yang masuk. Ia memberitahu kalau Chuck sudah keluar rumah sakit!"
"Apa?" jerit Deena shock. "Chuck tak boleh keluar, Jade.
Dokter mengatakan dia baru boleh pulang hari Selasa."
"Aku tahu," kata Jade menyetujui. "Kata perawat dia keluar
DSD. Artinya, di luar saran dokter."
"Orangtuaku akan senang mendengarnya!" gumam Deena
muram. "Dia tak di rumah, kan?" tanya Jade.
"Tentu saja tidak," jawab Deena. "Tapi ke mana dia pergi?"
"Dia meninggalkan pesan di mesin penerima teleponku," sahut
Jade. "Dengarkan sendiri."
Deena mendengar bunyi klik dua kali dari ujung seberang, lalu
suara Chuck, terdengar pelan dan kaku, mengatakan, "Hei, Jade, ini
aku. Aku keluar rumah sakit sekarang. Kalau kau mau bertemu
denganku, aku pergi ke kau-tahu-ke-mana untuk mencari kau-tahuapa. Sampai nanti."
"Oh, tidak!" erang Deena.
"Oh, ya!" balas Jade. "Dia pergi ke rumah Farberson untuk
mencari uang itu. Kau percaya dia pergi ke sana sekalipun masih
luka" Belum lagi mengingat badai besar yang akan menimpa kita."
"Kita mendapat masalah yang lebih besar daripada cuaca!"
erang Deena. "Apa maksudntu?"
Dengan cepat Deena menceritakan apa yang telah didengarnya
dalam siaran berita sore.
"Hah" Mereka membebaskan Farberson" Kau pasti tak serius!"
Jade menjerit. "Tapi itu mengerikan!"
"Farberson mungkin sedang dalam perjalanan ke rumahnya
sekarang," kata Deena, menggigil ketakutan.
Jade terdiam sejenak. Deena seakan mendengar benak Jade
berputar. "Penjara itu dekat Adam Falls," kata Jade akhirnya. "Farberson
butuh paling tidak dua jam untuk tiba di Shadyside."
"Aku tahu, dan Chuck sekarang sedang mengaduk-aduk
rumahnya." "Oh, wow!" kata Jade, dan seketika terdiam. "Chuck. Chuck
sinting," gumamnya akhirnya.
"Tentu saja badai mungkin akan memperlambat Farberson,"
kata Deena. "Tak penting," jawab Jade. "Tak penting kapan dia tiba di
rumah, kalau dia menemukan Chuck di sana..." Ia tidak
menyelesaikan kata- katanya.
Ia tidak perlu menyelesaikannya.
Farberson pembunuh. Ia pernah membunuh sekali"dan lolos.
Apa yang akan menghentikannya membunuh penyusup yang
memasuki rumahnya" Angin mencambuki pepohonan di samping rumah keluarga
Martinson. Deena membayangkan ada orang di jendela.
"Deena"kau masih di sana?" tanya Jade.
Deena berjuang untuk tetap tenang. "Tentu saja aku masih di
sini." "Deena, kau tahu apa yang harus kita lakukan," kata jade pelan.
"Ya. Aku tahu," jawab Deena pelan. "Kita harus ke rumah
Farberson, kan" Kita harus mengeluarkan Chuck dari sana sebelum
Farberson pulang." "Kita tak punya pilihan," gumam Jade. "Kita harus
menyelamatkan Chuck."
"Bagaimana kalau Farberson sudah tiba di sana?" tanya Deena.
BAB 17 DEENA merunduk melawan angin saat menyusuri jalur masuk
rumahnya menuju ke jalan. Ia mengenakan jaket ski, topi ski dari wol,
dan syal tebal. Tapi angin sedingin es masih terus menyengat
wajahnya. Baik ia maupun Jade tidak bisa mendapatkan mobil. Jadi
mereka setuju untuk bertemu di halte bus South Shadyside.
Deena menunggu, meringkuk di halte, saat hujan sedingin es
dan butiran es jatuh di sekitarnya. Gigi-giginya gemeletuk saat angin
melolong dan berputar-putar.
Ia berusaha tetap tenang, tapi benaknya dijejali berbagai hal dan
ketakutan yang membingungkan. Bagaimana Chuck bisa berbuat
sebodoh itu" tanyanya sendiri berulang-ulang.
Ia terus memikirkan Farberson dalam perjalanan ke Fear Street
dari penjara. Ia bisa melihat Farberson lagi sebagaimana tahun lalu,
kemurkaan dan kesintingan di wajahnya saat pria itu menerjang ke
arahnya dan Jade sambil membawa gergaji mesin yang meraungraung.
Segalanya akan beres, Deena, katanya sendiri. Kau takkan
bertemu dengan Farberson. Kau akan menemukan Chuck, dan
mengeluarkannya dari rumah yang mengerikan itu. Lalu kalian bertiga
akan pulang. Ya, ia meyakinkan diri sendiri. Sejam lagi kita semua akan
berada di rumah yang hangat dan nyaman.
Akhirnya ia melihat bus itu muncul dari balik bukit, lampu
depannya buram akibat hujan es.
Hanya ada beberapa orang penumpang lain. Deena mengambil
tempat di belakang, dekat pemanas. Tiga perhentian kemudian Jade
naik. Ia mengenakan parka hijau mengilat dan syal yang serasi,
dengan sepatu bot hitam tinggi di atas jinsnya.
Sambil duduk di samping temannya, Jade membuka syalnya.
Deena bisa melihat temannya mengenakan riasan lagi, seakan hendak
pergi kencan! "Sulit dipercaya kalau kita berbuat begini lagi," kata Deena
sambil menggigil. "Aku juga," kata Jade menyetujui.
"Maksudku, satu-satunya perbedaan hanyalah"terakhir kali
hujan air dan sekarang hujan es."
Jade memandang seisi bus yang hampir ko-song. "Omongomong," katanya. "Aku tadi menelepon Linda Morrison sebelum
keluar rumah, sekadar memastikan dia juga mendengar berita itu.
Tentang Farberson." "Dia sudah mendengarnya?"
"Teleponnya sudah diputus." Jade mengangkat bahu. "Kurasa
dia sudah ke luar kota."
"Seandainya aku juga bisa ke luar kota," gumam Deena.
"Jangan khawatir, Deena," kata Jade lembut. "Kita akan baikbaik saja. Farberson belum sempat kembali ke Shadyside."
"Kau berharap begitu." Deena mendesah. "Kenapa Chuck
memilih malam ini untuk keluar rumah sakit dan mencari uang itu?"
Jade tidak menjawab. "Mungkin Farberson tidak menuju ke rumahnya," lanjut Deena,
mengungkapkan pikirannya. "Mungkin dia justru ke rumah Linda
Morrison. Kenapa Farberson mau ke rumah yang dingin dan kosong?"
"Masuk akal juga," kata Jade menyetujui.
"Tentu saja," kata Deena, meyakinkan diri sendiri. "Dan dia
akan mendapat kejutan besar waktu tahu ternyata Linda sudah pergi."
"Dia bahkan akan mendapat kejutan yang lebih besar lagi kalau
pulang dan memergoki Chuck di rumahnya," gumam Jade muram.
Deena mengintip ke luar jendela ke dalam kegelapan pekat.
"Kita baru saja melewati Canyon Drive. Fear Street perhentian
berikutnya." Bus menambah kecepatan di Old Mill Road, terayun karena
tikungannya. Kedua gadis itu tidak berbicara lagi hingga bus
mengurangi kecepatan. "Sudah sampai," kata Deena sambil mendesah. Ia menekan bel
bus. Jade mengenakan kembali syalnya, lalu bangkit berdiri. "Sudah
sampai," ulangnya pelan.
Tak ada yang perlu ditakutkan, Deena meyakinkan dirinya
sendiri, sambil melangkah turun dari bus. Kita jauh lebih dulu
daripada Farberson. Kita akan meninggalkan tempat ini jauh sebelum
dia tiba di Shadyside. Mudah. Sangat mudah.
Tapi kenapa angin terasa lebih dingin, langit tampak lebih gelap
di Fear Street" Dan mengapa ia merasa tengah melangkah menuju ke
kehancurannya sendiri"
"Tunggu sebentar," Kata Jade. "Syalku lepas." Keduanya
melangkah ke halte bus sementara Jade membereskan syalnya.
"Siap?" tanyanya setelah selesai.
"Siap sesiap-siapnya," gumam Deena.
Mereka kembali keluar memasuki hujan es.
Lampu jalan melontarkan cahayanya yang muram menerangi
tepi jalan yang retak-retak. Perumahan di kedua sisi Fear Street besarbesar tapi bobrok. Sebagian besar gelap. Pepohonan gundul bergetar
dan berguncang diembus angin.
"Aku senang tidak tinggal di Fear Street," kata Jade dengan
suara tertahan, mengungkapkan apa yang juga ada dalam benak
Deena. Rumah Farberson menjulang di depan mereka. Bagi Deena,
rumah itu tampak semakin mengerikan, dengan kusen-kusen jendela
yang rusak, jendela-jendela yang ditutup papan, dan atap jebol.
"Aku tak melihat cahaya," bisiknya saat mereka semakin dekat.
"Mungkin Chuck ada di salah satu ruang yang jendelanya
ditutup papan," tukas Jade.
"Atau mungkin dia malah tak pernah kemari," kata Deena.
"Mungkin?" "Hentikan!" sergah Jade. "Jangan mulai dengan mungkinmungkinmu. Kita masuk saja dan mencarinya"oke?"
Hujan es telah mengubah salju di halaman rumput menjadi
lembaran-lembaran es. Deena dan Jade berpelukan saat mereka
menyeberangi permukaannya yang licin.
Keduanya diam-diam menaiki anak tangga yang telah rusak di
sana-sini ke serambi depan. Jade melangkah ke pintu depan dan
mencoba memutar kenopnya. "Terkunci," lapornya.
"Mungkin dia tak ada di sini," ulang Deena penuh harap.
"Tak ada mungkin," Jade mengingatkannya. "Kau tahu Chuck.
Kalau sudah memutuskan kemari dan mencari uang itu, dia pasti ada
di sini. Satu-satunya pertanyaan adalah bagaimana caranya masuk."
"Mungkin dia masuk dari pintu belakang," usul Deena. Setelah
mengambil lampu senter dari saku mantelnya, ia menyalakannya dan
mengarahkan cahayanya persis di depan kakinya, lalu mengajak Jade
ke bagian belakang rumah.
"Lihat!" bisik Jade.
Deena mengikuti tatapan temannya. Pintu belakang terbentang
lebar. Mereka melangkah ke sana. Di balik pintu yang terbentang,
terdapat dapur dan ruangan-ruangan lainnya, semuanya segelap dalam
makam. "Menurutmu bagaimana cara Chuck membukanya?" bisik
Deena. "Mungkin dia menemukannya sudah begitu," jawab Jade.
"Ayo." "Bagaimana kalau bukan Chuck yang membukanya?" tanya
Memanah Burung Rajawali 21 Siluman Ular Putih 13 Penguasa Alam Nisan Batu Mayit 2

Cari Blog Ini