Ceritasilat Novel Online

Nisan Batu Mayit 2

Satria Gendeng 10 Nisan Batu Mayit Bagian 2


"Aku berusaha mempertahankannya. Tapi kedigdayaan orang itu ternyata jauh di atasku. Hanya
dalam satu dua gebrakan, aku sudah dapat dijatuhkan dengan mudah.... Maafkan
aku, Nona Lanjar. Aku me-nyesal sekali tak dapat menjalani pesan Eyang dengan
baik. Kalau kau hendak menghukumku, aku siap."
Rara Lanjar hanya menggeleng-gelengkan kepala perlahan. "Bukan masalah berhasil atau tidak kau menjalankan kewajibanmu. Melainkan, apakah kau telah
berbuat yang terbaik untuk menjalaninya. Kau telah
melakukan yang terbaik, Kang. Jadi semuanya dapat
dimaafkan," tandas Rara Lanjar, tegas dan arif.
Dalam hati, Satria mengacungkan jempol. Urusan memang jadi lebih lancar jika setiap pihak bisa
dengan bijak menilai keadaan! Ah, belajar dari mana kau, Lanjar"
Ketika menyaksikan seorang murid lewat di dekat pintu ruang perawatan, mendadak saja Satria teringat kejadian yang dialami sebelumnya ketika berpedati dengan Rara Lanjar.
"Kau ingat peristiwa di perjalanan itu, Lanjar?"
ucap Satria, di telinga si dara.
Rara Lanjar menoleh. Dengan pandangannya,
dia bertanya. Mungkin dia sudah melupakan peristiwa yang dianggap remeh itu.
"Ketika kuda-kuda kita menjadi liar dan hampir-hampir tak dapat dikendalikan...." Satria Gendeng mengingatkan.
Rara Lanjar mengangguk sekali. Dia baru mengerti maksud Satria. Alisnya yang legam agak terlipat.
"Apa kau berpikir bahwa orang bertopeng Arjuna itulah yang melintas mendahului kita, lalu ke sini untuk merebut kitab itu?"
Satria menggeleng, ragu.
"Tapi aku kurang yakin. Kedatangan orang bertopeng ke perguruan ini untuk merebut kitab itu terjadi empat hari lalu.
Sedangkan kejadian yang kita alami baru berselang dua hari...," katanya seperti
bergumam. "Jadi maksudmu?"
"Aku tak tahu, Lanjar. Namun perasaanku
mengatakan ada sesuatu yang tidak beres."
* * * Satria Gendeng dan Rara Lanjar masih belum
mengerti kenapa orang bertopeng kayu Arjuna merampas kitab pemberian mendiang Ki Arga Pasa. Satria
sudah mulai meruntunkan gerutuannya. Dongkol bukan main hati anak muda itu mengetahui dirinya telah didahului seseorang.
Rasanya seperti baru saja dipermainkan.
Ketika itu keduanya berada di halaman Perguruan Belalang Putih.
Rara Lanjar bukannya tak dongkol. Lebih dari
itu, sudah sulit rasanya dia menjelaskan bagaimana
perasaannya saat itu. Serba campur-aduk, serba tak karuan. Seperti tak karuannya
perasaan, wajah wanita itu pun turut tak karuan. Inginnya dia menjungkirbalikkan apa saja yang bisa dijadikan sasaran kegusarannya. "Aku hampir tak
percaya kalau orang bertopeng Arjuna itu merebut kitab rahasia milik ayahku,
setelah sebelumnya dia menyelamatkan aku dari tangan Manusia Makam Keramat!"
geramnya. "Aku tak tahu apa maksudnya dengan semua itu...."
"Ssttt!"
Kedongkolan Rara Lanjar dijegal desis mulut
Satria Gendeng. Mata anak muda itu menatapnya tanpa berkedip. Sementara wajahnya tampak mengeras.
"Ada orang datang...," bisiknya, memperingati Rara Lanjar.
Perempuan yang semula sedang meruntunkan
kegusaran melalui mulut mungilnya kali ini mencoba
menajamkan pendengaran. Belum lagi niatnya terlaksana, selantun suara siulan berirama amat tajam
mendadak tercipta.
Menyeruak angkasa.
Menerjang gendang telinga.
Telinga kedua muda-mudi itu terasa direjam telak-telak. Gendang telinga mereka sudah terasa hendak terkoyak. Keduanya cepat mendekap telinga dengan kedua tangan.
Kasihan Rara Lanjar. Dia merasakan siksaan
rasa sakit yang lebih parah dari Satria. Penyebabnya jelas karena tingkat tenaga
dalamnya berada jauh di bawah tenaga dalam Satria Gendeng.
"Berhentiiii!" teriakan mengguntur keluar dari pita suara Satria, bagai hendak
menggempur langit!
Tak ada lain yang hendak diperbuat Satria
Gendeng dengan teriakan yang disalurkan tenaga dalam tadi, kecuali melawan suara siulan berkekuatan
tenaga dalam amat tinggi milik si orang usil. Dugaannya meleset sama sekali!
Suara siulan ternyata tetap bergeletar amat kuat di udara. Bahkan kekuatannya
tak sedikit pun berkurang.
Ini benar-benar mengejutkan Satria Gendeng,
sekaligus memancing kegusarannya lebih jauh. Satria sungguh mampus tak menerima
perlakuan seperti itu.
Cepat darahnya bergejolak naik ke ubun-ubun. Dia
mengkelap. Masih dengan tangan mendekap telinga,
dikerahkannya tenaga dalam kesaluran napas di tenggorokan. Sekali ini, kemengkelapan si pendekar muda
menyebabkan tenaga sakti dari dalam tubuhnya turut
meledak. Jarang orang persilatan dapat menandingi
kekuatan sakti Satria Gendeng pada tingkat demikian.
Saat bersamaan, si Rara Lanjar pun hendak
melakukan hal yang sama. Tanpa perlu tahu apakah
Satria membutuhkan bantuannya atau tidak, Rara
Lanjar merasa harus melawan serangan suara lawan
yang membuat gendang telinganya nyaris pecah.
"Heaaaaa!!!!"
Berbarengan, dua teriakan terlepas dari dua
kerongkongan berbeda. Keduanya telah mengerahkan
kekuatan tenaga dalam masing-masing hampir ke
tingkat puncak.
Melawan kekuatan siulan.
Hasilnya ternyata tetap tak cukup untuk membuat siulan tadi tertebas di udara! Ini gila, pikir Satria.
Satu-satunya pertanyaan besar yang melintas di benaknya saat itu adalah siapa yang sebenarnya tengah kuhadapi kini"
Sementara tubuh Satria mulai terhuyunghuyung, Rara Lanjar justru telah tersungkur di atas lututnya. Hanya berselang
dua tarikan napas, gadis itu pun ambruk terlungkup.
"Rara Lanjar! Kau tak apa-apa"!" teriak pendekar muda murid Dedengkot Sinting
Kepala Gundul, mencoba menyaingi suara lawan agar teriakannya bisa ditangkap Rara lanjar.
Tak ada jawaban. Rara Lanjar tetap tergeletak
tak bergerak. Tampaknya wanita itu sudah tak sadarkan diri. "Kalau sampai terjadi apa-apa pada wanita itu, akan ku rencah-rencah
dagingmu!!!" umbar Satria Gendeng, sarat kemurkaan.
Siulan mendadak terhenti. Bukan karena kekuatan teriakan anak muda itu telah berhasil mempecundangi, melainkan si pemilik suara siulan rupanya memang sudah bosan dengan
permainan tersebut.
"Bukankah memang sudah terjadi apa-apa pada dirinya?"
Terdengar sebentuk suara yang sama sekali tak
dikenali Satria. Dari warna suaranya, Satria menilai kalau orang yang sedang
berurusan dengannya adalah
seorang tua bangka.
Satria Gendeng menurunkan tangan dari telinga. Suara terakhir tidak lagi melepas kekuatan tenaga dalam tingkat tinggi.
Hanya suara jarak jauh.
"Tampakkan dirimu! Siapa kau sebenarnya"!"
hardik Satria, tak kurang kegeraman.
Jawabannya cuma tawa berat.
"Sial benar! Kau pikir aku suka dengan suara
tawa jelek mu itu!"
Lagi-lagi terdengar tawa.
"Dasar anak muda! Rupanya kau selalu tak
mau tahu sedang berurusan dengan siapa"!"
"Ya, siapa kau"! Bukankah itu yang memang
ku tanyakan tadi padamuuuuu!!!" Satria Gendeng makin dibuat kalap. Urat lehernya
sampai nyaris putus karena begitu geram berteriak. Matanya melotot-lotot.
Hidungnya kembang-kempis. Mengenaskan. Wajahnya
sudah lebih parah dari manusia pesakitan!
Seseorang akhirnya muncul dengan cara tak
terduga-duga, bahkan oleh Satria Gendeng sendiri.
Seorang lelaki tua telah berdiri hanya satu tindak di belakangnya!
Sulit mengukur usianya. Yang pasti sudah lebih dari seratus tahun. Jenggotnya putih tergerai sampai dada. Rambutnya pun
putih, digelung di atas kepa-la dengan ikatan dari kulit hewan. Wajahnya memancarkan kharisma yang kuat. Menatapnya seperti menyaksikan mentari di ambang pagi. Bersinar, namun
sejuk. Tubuhnya dibalut kain putih seperti seorang
paderi, memanjang hingga menutupi kaki.
Sampai beberapa lama, Satria tetap tak menyadari kehadirannya, seolah tarikan nafasnya pun tak terdengar.
Siapa pula kakek ini"
*** TUJUH ADA tangan lembut menyentuh bahu si pendekar muda tanah Jawa. Satria terkesiap. Dia membalikkan badan. Ditemukannya
seorang kakek tua penuh
wibawa. Kakek itu tersenyum kecil.
"Siapa kau, Orang Tua?" tanya Satria Gendeng.
"Kau tak perlu banyak tanya, Anak Muda. Sebaiknya, kau segera membawa gadis itu
pergi dari perguruan
ini...," ucap kakek tua berpakaian putih.
"Kenapa kau berkata begitu" Bukankah kau
orang yang belum lama bermain-main dengan tenaga
dalam itu, Orang Tua" Dan aku yakin pula, bahwa kau pula yang telah membuat kuda-kuda penarik pedati
kami waktu itu menjadi tak tenang!" Satria tetap penasaran. Si kakek mengangguk.
"Tapi aku tak bermaksud main-main seperti katamu." "Lalu?" serobot Satria. Masih ada sisa kegusarannya. "Kulakukan karena
aku harus membuat gadis itu tak sadarkan diri untuk sementara."
"Kenapa?" cecar Satria. Si kakek tersenyum.
"Aku punya alasan sendiri. Kuharap aku bisa
menjelaskan lain waktu. Sekarang ini, yang penting
kau segera pergi membawa gadis itu dari tempat ini...."
"Kenapa harus pergi?" Satria tetap rewel.
"Karena Arya Sonta akan segera sampai di tempat ini dalam beberapa lama lagi."
Arya Sonta" Manusia Makam Keramat itu" Bisik murid Manusia Makam Keramat dalam hati. Dari
cara kakek tua ini menyebut nama asli Manusia Makam Keramat, tampaknya dia cukup mengenal siapa
Arya Sonta. Caranya menyebut nama Arya Sonta,
mengingatkan Satria pada cara gurunya. Ada dugaan
dalam diri Satria bahwa kakek ini pun mempunyai
urusan lama dengan Manusia Makam Keramat.
Dan anehnya, Satria bisa mempercayai begitu
saja ucapan si kakek. Rasanya telinganya hanya menangkap suara yang jernih dan tulus, tanpa getar dus-ta sedikit pun. Sebenarnya,
ada hal aneh lain yang luput diperhatikan Satria. Seluruh murid Perguruan
Belalang Putih tak ada satu pun yang keluar. Padahal sebelumnya terjadi
pertarungan suara bertenaga dalam
seru yang menggetar sampai keluar lingkungan perguruan! Satria Gendeng cepat menjemput Rara Lanjar
yang masih tak sadarkan diri di halaman perguruan.
Diangkatnya, lalu dia bersiap meninggalkan tempat
itu. Sebelum menggenjot tubuh, Satria masih sempat
berkata, "Kau masih hutang penjelasan padaku, Orang Tua!" Kakek tadi hanya
menyahuti dengan senyum.
Yang lagi-lagi penuh kekuatan wibawa.
Sepeninggalan Satria, seseorang tiba di muka
Perguruan Belalang Putih. Tepat seperti ucapan si kakek berpakaian putih, orang
itu adalah Arya Sonta! Dia kembali untuk mengulang kembali usahanya menculik
Rara Lanjar setelah tempo hari gagal.
Menyaksikan seseorang telah menyambutnya di
gerbang Perguruan Belalang Putih, Manusia Makam
Keramat mendengus.
"Siapa kau"!" tanyanya, menghardik. Sejenak dia meneliti wajah orang tua yang
berdiri hanya sebelas tombak dari tempatnya. Ada garis-garis di wajah itu yang
mengingatkan Arya Sonta pada seseorang. Terutama matanya yang memancarkan kekuatan kharisma.
Dia merasa pernah mengenal mata itu. Kapan" Di mana" Dia berusaha mengingatnya, tapi tak berhasil.
Niat untuk secepatnya mendapatkan Rara Lanjar kembali, menghanguskan keinginannya untuk berusaha mengingat keras wajah si kakek.
Kembali dihujamkan pandangan ke arah kakek
berjenggot putih. Sekali lagi, dilontarkan pertanyaan.
"Siapa kau, Tua Bangka"!"
Tak ada sahutan dari si kakek. Dia hanya tersenyum dengan tangan terlipat di depan dada.
Merasa dilecehkan, Manusia Makam Keramat
menjadi gusar. Tergulir geraman berat dari kerongkongannya. Matanya menerjang
garang, seolah hendak
mengunyah bulat-bulat si kakek.
"Aku bertanya padamu!" Kegusarannya meledak menjadi teriakan mengguntur.
Tanah gemetar, retak di beberapa tempat.
Pepohonan berderak, kulitnya mengelupas.
Dedaunan gugur, bagai runtuhan hujan.
Angin digebah, berbalik arah.
Kain putih di tubuh si kakek menggelepargelepar. Di beberapa tempat bahkan terkoyak. Cabikannya tersungkur bersama daun.
Tapi si kakek sendiri sama sekali tak bergeming. Berdiri dia, bagai arca tanpa terusik sedikit juga.
Bahkan masih bisa mengumbar senyumnya.
Kulit hidung Manusia Makam Keramat terlipat.
Matanya berkilat. Barisan gigi bertaringnya diperlihatkan. Dia memang terkesiap
menyaksikan kenyataan itu. Namun, keangkuhannya tak memungkinkan
dia memperlihatkan pada wajahnya.
"Kau tak tahu sedang berhadapan dengan siapa, Manusia Renta"!" geramnya, mengancam.
"Aku tahu," Si kakek buka suara. "Kau adalah manusia durjana yang memimpikan
kekuasaan mutlak...," lanjutnya. Kata-katanya mengalir datar. Seolah momok
menakutkan yang pernah menghantui dunia


Satria Gendeng 10 Nisan Batu Mayit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persilatan berpuluh tahun silam tak bisa menggetarkan nyalinya barang sekejap.
"Aku tidak hanya memimpikan kekuasaan dan
keabadian ku. Aku akan mendapatkannya satu hari!
Kau dengar"!"
"Apa kau sadar, terkadang manusia tak bisa
membedakan hidup dengan kenyataan atau hidup
dengan mimpi. Kau tergolong orang kedua. Kau cuma
hidup dengan mimpi. Selamanya kau tak akan mendapatkan kekuasaan mutlak. Kau mungkin bisa menguasai bumi Pajajaran, atau seluruh tanah Jawa, atau
seluruh dunia. Ketika kau memandang langit, barulah kau sadar kekuasaanmu cuma
setitik debu tak berarti yang akan tergilas masa pada waktunya. Mutlakkah
itu?" "Jangan berkhotbah, Keparat!"
"Tak ada yang ingin peduli pada hikmah hidup
kecuali hewan," sindir si kakek, tak mempedulikan me-luapnya kemarahan Manusia
Makam Keramat. Kian digarang saja kemarahan Manusia Makam
Keramat. Pada waktunya, dia menuding dengan segenap kenyalangan parasnya.
"Menyingkir, atau kau akan mampus!"
"Kau tak perlu bertindak kasar padaku. Tanpa
kau paksa, aku pun akan menyingkir. Aku tak akan
melayanimu bertarung, karena aku sudah meninggalkan jalan kekerasan. Tapi tetap ku ingatkan, kau tak akan mendapatkan gadis itu.
Dia sudah tak ada lagi di sini setelah aku memperingati. Kalau kau ingin menyalahkan aku, silakan. Kalau kau ingin mengumbar kemarahan padaku, silakan. Aku tak akan melawan...,"
tutur si kakek seraya melangkah perlahan dengan tenang ke arah Manusia Makam Keramat.
Manusia Makam Keramat sebenarnya agak bertanya-tanya bagaimana kakek tua asing itu tahu kalau kedatangannya hendak
menculik Rara Lanjar. Kehera-nan itu tak terlalu menarik perhatiannya. Manusia
durjana itu lebih terpancing ke arah ucapan si kakek yang mengatakan Rara Lanjar
telah pergi karena pe-ringatannya. Manusia Makam Keramat tak perlu meragukan kebenaran ucapan itu, kalau si kakek sendiri
sudah dapat mengetahui tujuannya datang. Hanya saja dia menjadi geram karenanya. Dia merasa dipermainkan mentah-mentah.
"Berkhotbahlah kau di neraka!" serunya, meng-gempar seraya melepas pukulan
bertenaga dalam ke
dada kakek berjenggot putih.
Tangan Manusia Makam Keramat melesat deras. Angin menderu di sekitarnya.
Sebelum tiba di dada kakek berjenggot putih,
pukulannya tiba-tiba saja terpantul. Tangannya seakan baru saja menghantam dinding karet tak terlihat!
Terperangahlah Manusia Makam Keramat.
Keangkuhannya, tak bisa lagi menyembunyikan kekaguman yang semestinya sejak tadi terlihat di wajahnya.
Dan dengan tenang, kakek berjenggot terus melangkah. Dia melintas begitu saja tepat di samping
Manusia Makam Keramat.
Napas Arya Sonta mendengus. Keparat ini rupanya hendak menjajal kesaktianku, serapahnya dalam hati. Kau akan merasakan satu ajian pamungkas
ku, ancamnya membatin dengan sekujur otot badan
mengejang menahan amukan kemurkaan.
Manusia Makam Keramat berteriak, siap melancarkan ajian pamungkas. Tubuhnya berbalik cepat.
Wushh! Ketika kedua tangannya membuat gerakan menyibak udara, membersitlah cahaya merah membara,
membentuk bola api raksasa. Hawa panasnya bergulung-gulung sampai jauh. Sayangnya, si kakek berjenggot telah raib entah ke mana. Padahal, hanya sekedipan mata sebelumnya dia
masih di belakang Manusia Makam Keramat!
* * * Malam itu langit tak menampakkan wajah ramah. Jutaan bintang dikekang gumpalan-gumpalan
mega kelabu. Arakan tambun yang merayap tersendat.
Pada tanggal di bulan tersebut, semestinya cakrawala bertabur cahaya bulan bulat
penuh. Sayang itu tak
terwujud, karena bulan purnama bernasib sama dengan gugus gemintang.
Mungkin suasana itu sudah biasa pada setiap
musim penghujan. Arakan awan pekat, bekukan udara
dingin, gelap yang meraja adalah hal biasa. Tapi, akan jadi tak biasa kalau
nyatanya suasana seperti itu terbangun pada musim-musim panas seperti sekarang.
Ada yang tak beres dengan alam" Pertanyaan
yang sesungguhnya amat pantas dipertanyakan siapa
pun, oleh manusia dari mana pun, kecuali oleh seorang tua yang kini berdiri sendiri di satu pekuburan angker, Makam Keramat Maut.
Orang tua itu berambut amat panjang, tergerai
sampai ke tanah. Begitupun jenggotnya. Seperti tidak ingin sedikit pun
memperlihatkan wajahnya dibiarkan rambut depannya menjuntai liar.
Wajah orang itu seperti suasana malam. Dingin
dan memeram kegelapan, pancaran kehitaman jiwanya. Kulit wajahnya pucat, seakan darahnya telah
terperah sekian puluh tahun lalu. Bibirnya kerontang, pecah-pecah seperti
dataran di bawah kakinya. Di kedua sudut bibirnya menyembul gigi taring kecil.
Sepasang matanya selalu melesatkan pandangan menikam.
Besar dan berwarna kehijauan di sekujur kelopaknya.
Penampilannya tak mencerminkan yang lain
kecuali sebongkah kesan kematian. Dengan kain hitam kelam yang membalut bagian
terlarangnya. Di pusat hamparan pekuburan kuno yang dikepung keangkeran dan ancaman maut, orang menyeramkan tadi memacakkan kaki. Dia diam mengarca.
Tangannya menjuntai tanpa kehendak. Angin membekukan mengusik rambut dan pakaiannya. Dia tak peduli. Dia sungguh tak peduli apa-apa. Tak peduli pada suasana mencekam, atau
bahkan dia seperti tak peduli pada dirinya sendiri.
Yang ingin dilakukannya saat itu cuma mendongakkan kepala kaku-kaku ke angkasa. Tepat ke
gumpalan-gumpalan awan pekat kelabu yang menyemburatkan cahaya tipis bulan. Tirus wajahnya sepintas menampakkan susunan tulang pipi yang menonjol bengis. Jika ada yang melihatnya, maka orang itu akan
sulit menentukan, apakah dia manusia atau mayat hidup. Pada saatnya, gumpalan awan tambun tergebah angin. Purnama di atas sana sejenak punya kesempatan meneroboskan cahayanya. Lalu cahaya pucat itu jatuh ke tempat yang tak kalah pucat; wajah si tadi. Mendapati siraman
cahaya bulan, orang ini seperti mendapat limpahan kepuasan ganjil. Ditariknya napas dalam-dalam, seakan
hendak menghirup rasa
dari cahaya bulan. Setelah tertahan beberapa saat, barulah dia menghempas
dadanya kembali. Seperti sebelumnya, dada itu mencekung kembali.
Awan pekat rupanya memberi kesempatan cukup lama pada bulan untuk menyiramkan cahayanya
ke bumi. Waktu pun merayap. Pada menit kesekian
dari titik tengah malam, bulan bulat perlahan-lahan ditelan awan.
Tepat ketika bulan tertelan penuh oleh gumpalan hitam, tadi mendengus-dengus berkali-kali. Tubuh kurus merunduk dalam hingga
bersujud mencium tanah. Perlahan-lahan, dia mulai merayap. Hidungnya
terus mendengus dan mengendus seperti seekor anjing melacak jejak.
Setelah merayap dengan cara yang terlalu aneh,
tubuh orang itu berhenti. Pada satu kuburan sederha-na yang tanahnya nyaris
datar karena telah ratusan
tahun terbengkalai.
Sejenak dia terdiam. Kemudian bangkit mendadak sekali. Belum lagi cukup lama kaki kurusnya menjejak, dia sudah tersungkur lagi. Tidak. Sesungguhnya dia tak tersungkur. Sengaja
dia menjatuhkan kedua
lututnya. Selanjutnya, dengan tangan berkuku panjang yang melingkar-lingkar dia mulai menggali, mengais, mendongkel sarat
kejalangan. Tingkahnya serupa dengan anjing malam yang hendak menggali penda-man
seonggok tulang.
Caranya menggali tak lagi seperti manusia biasa. Tangannya mengais amat kuat, seakan ada tenaga puluhan makhluk-makhluk gaib
yang merasuk dalam
dirinya. Setiap kali tangannya mencakar tanah, maka
bongkahan besar tanah terhambur keluar.
Tak memakan waktu lama, sudah terbentuk
liang besar. Lebar lingkarannya sekitar sembilan kaki dengan kedalaman tak
kurang dari lima depa. Di dasar lobang, mencuat semacam benda tumpul dari batu.
Mendapati benda tersebut, kesibukan menggila
si tua berambut panjang terhenti sejenak. Diamatinya benda itu tanpa kedip di
mata. Bagai seorang yang
memendam kerindungan asing, diusap-usapnya tonjolan benda tumpul tadi. Dienyahkan pula debu di permukaannya. Dia bahkan menciumi benda itu dengan
garis bibir yang sulit diartikan.
Selang sekian waktu berikutnya, dia sudah mulai mengais-ngais lagi, seperti mencoba mengeluarkan benda menonjol tadi.
Jika melihat bentuknya, orang masih sulit
menduga benda apa gerangan. Ketika benda itu berhasil dikeluarkan, barulah tampak jelas wujud sesungguhnya. Satu nisan batu berbentuk segi empat. Tebalnya hampir dua jengkal.
Lebarnya lebih dari tubuh tua aneh itu sendiri!
Kendati begitu, tak ada kesulitan saat si tua
mengangkatnya tinggi-tinggi ke udara.
"Ha ha ha ha...! Nisan keramat dari batu keramat, kau akan menjadikan ku penguasa jagat!" pekik si kurus menyaingi sentakan
petir. Ya, dia telah mendapatkan sesuatu yang begitu meluapkan perasaannya. Kegempitaan di wajahnya pupus seketika manakala melintas sesuatu di benaknya. Tentang kegagalannya membawa seorang gadis
beberapa waktu lalu.
Karena darah gadis itu, 'hanya darah gadis itu' yang akan membangkitkan kekuatan
dahsyat Nisan Batu
Mayit di tangannya. Di mana darahnya harus memandikan batu nisan tepat ketika bulan purnama menggantung di pucuknya.
Dua kali sudah usahanya untuk membawa perempuan itu ke Makam Keramat Maut lantak di tengah
jalan. Usaha terakhir telah dikacaukan oleh seorang lelaki tua yang berhasil
mendahuluinya mengingatkan
Satria dan Rara Lanjar, sekaligus mengecohkan kesaktiannya di depan Perguruan
Belalang Putih. Lain kali, dia tak sudi gagal lagi! Harus didapatnya perempuan
itu! Perempuan yang dimaksud adalah.... Rara Lanjar!
Dia sendiri, tak lain Manusia Makam Keramat. Arya
Sonta menyeringai dingin. "Aku harus mengatur siasat lain untuk mendapatkan
perempuan yang masih bersama murid Truna Keparat itu!" desisnya, bertekad.
DELAPAN DI salah satu sudut wilayah Kulon Jawa, seseorang tampak berdiri di tengah jalan berdebu tebal. Dia mengenakan caping lebar,
berjubah hitam panjang
menjangkau betis. Dengan kepala merunduk, akan
sangat sulit bagi orang lain untuk menyaksikan wajahnya. Tangannya bersidekap erat di dada.
Di kejauhan, dari arah yang berlawanan dengan arah orang tadi menghadap, terlihat tiga ekor kuda berlari menggila. Debu
membubung pekat, mengekori
setiap hentakan ladam kuda pada tanah kering.
Para penunggang di atasnya, tak henti-henti
menggebah serta melecut hewan-hewan itu. Suara teriakan-teriakan mereka seriuh guruh di kejauhan. Bertumbukan kacau dengan
ringkikan panjang dan derap
kaki kuda. Pada pakaian mereka, tersulam gambar
kuda terbang. Dengan gambar itu, mereka mudah dikenali sebagai orang Perguruan Kuda Langit, muridmurid Ki Manda Langit.
"Hea! Hea! Heaaaa!!!!"
Lari ketiga kuda semakin dekat dengan orang
yang berdiri di tengah jalan. Semakin memperpendek
pula jarak di antara mereka. Semakin dekat, semakin cepat kemungkinan orang di
tengah jalan akan terinjak-injak. Namun tampaknya, dia tak pernah merasakan takut pada labrakan kaki-kaki kuda.
Menjelang lima depa jarak tersisa, ketiga penunggang yang seluruhnya terpaksa menyentak tali
kekang tunggangan masing-masing.
Seperti diberi aba-aba serentak, ketiga kuda
kekar perkasa mereka meringkik panjang. Kaki depan
tiga binatang itu terangkat tinggi ke atas, seraya melakukan gerakan menendangnendang liar. "Kisanak, kenapa kau berdiri di tengah jalan
seperti itu" Tidakkah kau sadar kau hanya akan mencelakakan diri sendiri?"
Salah satu penunggang berkumis tebal mencoba menegur. Orang yang menghadang tak menjawab. Melirik
pun tidak. Bahkan sikap berdirinya tak berubah sama sekali dari sebelumnya.
"Kisanak. Kami sedang ada urusan amat penting! Sudikah kiranya kau memberi kami jalan?" sambung orang berkumis tebal,
masih berusaha untuk
bersikap ramah.
"Kalian tak akan bisa melewati jalan ini sebelum kalian mengatakan satu hal padaku!" tandas penghadang. Suaranya terdengar
samar. Seakan orang
itu malas berbicara. Biar begitu, terdengar amat berte-kanan kuat.
Ketiga penunggang kuda saling bertatap. "Apa
yang hendak kau tanyakan Kisanak?" sambung orang berkumis.
"Siapa di antara kalian yang mengetahui di mana Satria Gendeng berada?"
Ketiga orang yang berada di atas punggung kuda tersenyum. Mereka hampir saja tertawa kalau tak
segera menahannya.
"Tentu saja orang yang kau maksud tidak kami
ketahui keberadaannya. Kisanak pasti sedang bergurau kalau menganggap salah seorang di antara kami
mengetahuinya...," gurau penunggang paling muda.
"Hm.... Kalau begitu, katakan padaku pada siapa aku bisa mencari keterangan tentang diri Bocah
Busuk itu."


Satria Gendeng 10 Nisan Batu Mayit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendengar nada bicara yang seperti memandang sebelah mata nama besar pendekar muda dari
tanah Jawa itu, ketiga penunggang kuda saling menatap kembali. Siapa orang ini sebenarnya" Bisik hati masing-masing.
"Sebenarnya, ada urusan apa Kisanak pada Satria Gendeng?" Tanpa menjawab pertanyaan penghadang barusan, penunggang berusia
paling muda justru balik bertanya.
Penghadang tak menjawab sepatah katapun.
Tetap diam dengan kesan dingin pekatnya. Caping lebarnya tetap ditundukkan. Sampai....
"Jangan banyak mulut, jawab saja pertanyaanku"!!!" hardikan tiba-tiba saja mencelat dari kerong-kongannya. Keras. Bahkan
terlalu keras untuk ukuran seorang yang sedang murka sekalipun. Selain itu,
hardikan barusan tidak dimaksudkan untuk membentak
semata, melainkan untuk melepas tenaga dalam melalui gelombang suara.
Tiga kuda jantan besar di sana meringkik ketakutan. Mereka seperti disentak oleh salakan guntur.
Dengan nyalang mereka menendang-nendangkan kaki
depan tinggi-tinggi. Penunggangnya seperti hendak dilemparkan dari punggung.
Untung saja ketiga tadi
memiliki cukup kemahiran dalam seni menunggang
kuda. Ketiga penunggang kuda berjuang untuk menenangkan kembali tunggangan mereka. Satu tangan
mereka dirangkulkan erat ke leher kuda. Sedang tangan yang lain mengelus-elus.
Susah-payah, akhirnya mereka bisa membuat
ketiga hewan gagah itu tenang kembali. Sewaktu mereka melepas perhatian pada penghadang, orang itu
ternyata sudah tak ada lagi di tempat berdiri.
Tiga kali dengan itu mereka bersitatap. Mereka
tak mengerti, ke mana penghadang tadi. Padahal, mereka sama sekali tak melihat ada gerakan. Sementara sejauh mata memandang, hanya
ada hamparan ladang
jagung kering. Kalau orang tadi pergi, tentunya mereka masih bisa menyaksikan
sosoknya di kejauhan.
"Kau pikir, apa kita telah bertemu dengan dedemit?" tanya berkumis pada kedua temannya.
Kedua temannya malah bertukar pandangan
seperti orang kebanyakan minum tuak.
"Ah, sebaiknya kita cepat menyingkir dari tempat ini. Aku merasa ada yang tak beres dengan tempat ini.... Lagi pula, kita
harus segera ke padepokan Ki Damar Sakti."
Ketiganya sepakat untuk meninggalkan tempat
tersebut. Berbarengan, kaki mereka menghentak perut kuda. Tali kekang
dilecutkan, ketiga kuda siap berpacu di jalan berdebu kembali.
Baru sekitar tiga puluh langkah kuda berlari,
debu bahkan belum sempat menebar jauh, sayupsayup terdengar suara dengung di belakang ketiganya.
Suara asing tadi tidak terdengar jauh, tapi tidak juga terdengar dekat.
Ketiganya curiga. Meski tak sepakat terlebih
dahulu seperti sebelumnya, mereka menoleh ke belakang sambil tetap menunggang.
Ketika itu, ketiganya menyaksikan suatu pemandangan yang membuat bulu tengkuk mereka menegang seketika. Mata mereka mendelik sebesarbesarnya. Otot di tubuh mereka serentak mengejang
tegang. Sementara tanpa sadar, mereka menarik tali
kendali kuda masing-masing.
Samar-samar, mata mereka menyaksikan sesosok tubuh bergerak cepat di kejauhan. Yang membuat
mereka nyaris mati terkejut di tempat, karena sosok itu mengapung dua tombak di
atas tanah! Getaran pakaiannya menimbulkan desis tajam yang berbaur dengan dengung. Keterperangahan hebat ketiganya diputuskan
oleh terkaman sosok tadi. Seperti rajawali, orang sakti tak dikenal itu
menyambar dua kepala penunggang
kuda dengan cakar depannya.
Cras! Hanya dalam sekedipan mata, dua kepala
menggelinding. Tubuhnya seperti terserang keram. Dia akan bernasib sama dengan
dua kawannya kalau saja
kuda tunggangannya tak segera lari sepenuh kekuatan, bagai dikejar setan. Begitu juga dua kuda bekas tunggangan dua temannya.
Nasibnya, memang masih
bagus. Meski dia harus terkencing-kencing di celana.
* * * Tiga orang terlibat perkelahian menggila. Dua di
antaranya mengeroyok satu orang.
Salah satu pengeroyok adalah seorang tua
bangka yang usianya mungkin sudah menjelang senja.
Kepalanya berambut jarang dan tipis. Warna rambutnya seperti jagung. Wajahnya bulat, ditimbuni lemak, mengimbangi badannya yang
subur. Perutnya saja
hampir sebesar gentong. Punuknya tebal. Lelaki gemuk ini mengenakan pakaian
berwarna kuning-kuning
mencolok. Pengeroyok lain seorang lelaki lebih muda.
Tampangnya berangasan. Matanya seperti tak pernah
berhenti mendelik. Dagunya kasar. Sudut bibirnya selalu terungkit naik seakan
menyeringai. Dengan pakaian serba hitam, lelaki ini makin terlihat sangar.
Sedangkan orang yang dikeroyok adalah salah
seorang sahabat Ki Arga Pasa. Wajahnya banjir peluh, memperlihatkan raut tegar
dalam usianya. Dia adalah Ki Damar Sakti. Tokoh berjuluk
Tendangan Maut itu adalah lelaki setengah baya berebat kain dengan kumis tebal.
Perkelahian berjalan sama sekali tak seimbang.
Bentrokan-bentrokan tangan, dan kaki terdengar susul menyusul. Diricuhi pula
oleh deru gerakan demi gerakan cepat. Pertarungan tersebut telah berlangsung
cukup alot. Orang yang dikeroyok punya cukup kemampuan yang diandalkan untuk bertahan dari serangan
kedua lawan, meski dia terus terdesak.
Bersenjatakan kedua kaki mautnya, Ki Damar
Sakti berusaha mengimbangi serangan-serangan para
pengeroyoknya. Sementara di pihak para pengeroyok,
hanya orang tua gendut mempergunakan senjata berupa gada batu besar.
Pertarungan mereka beringsut terus, dari tempat yang satu ke lain tempat. Terjadi karena orang yang dikeroyok berusaha untuk
membebaskan diri da-ri kepungan.
Tiba di tepi sebuah telaga, Ki Damar Sakti jatuh
dalam keadaan terjepit. Dia tidak bisa lagi bergerak lebih leluasa dalam usaha
melepaskan diri dari kepungan. Telaga terbentang di belakangnya. Sementara di depan, dua lawan setiap saat
dapat menendangnya ke
liang lahat. "Sekarang kau tak dapat menyingkir ke mana
pun, Ki Damar Sakti!" cibir orang tua gendut, mencoba meruntuhkan semangat
perlawanan Ki Damar Sakti.
"Ya. Dan hari ini kau akan segera mati, jika tak mengatakan pada kami di mana
sepasang muda-mudi
itu!" timpal orang berwajah bengis.
"Kenapa kalian begitu menginginkan mereka"!"
tanya Ki Damar Sakti, serak. Dadanya kembangkempis tak beraturan. Wajahnya setiap kali membersitkan kelelahan. Tampaknya meski dia punya cukup
kepandaian kanuragan tinggi untuk bertahan, tak
urung dia kepayahan.
Orang tua gendut terkikik geli. Sehabis tertawa
singkat, wajahnya berubah berangasan kembali. "Kau tak perlu pusing-pusing
memikirkan tujuan kami!" tukasnya sinis.
"Tapi kalian memang merencanakan suatu
yang busuk pada mereka, bukan"!" kecam Ki Damar Sakti. "Itu sebabnya kau merasa
harus tutup mulut"!
Jangan bodoh! Jadilah orang pandai yang tahu kapan
harus tutup mulut dan kapan harus buka mulut. Dengan begitu, kau akan selamat," sela lelaki berwajah bengis. "Kalian tak akan
mendapatkan apa-apa dariku.
Kalaupun aku tahu di mana mereka, aku tetap tak
akan memberi tahu kalian, Manusia-manusia Laknat!"
maki Ki Damar Sakti gusar.
Si tua gendut terkikik meriah. Sulit menentukan apa yang dianggapnya lucu dari makian Ki Damar
Sakti tadi. Yang jelas, sepasang bola matanya tetap menerjangkan sinar haus
darah ke arah lawan.
"Itu artinya, kau meminta mati!" tandas lelaki bertampang bengis, mengancam.
"Kau tak bisa mengancamku!"
Orang tua gendut mencibir. Gadanya ditumbuk-tumbukkan ke bumi. Lalu serunya, "Sekarang, berdoalah secepatnya kepada
Tuhanmu, sebab kami
akan segera mengirimmu ke akhirat!"
Akhir ucapan orang tua gendut menjadi pemicu
pengeroyokan tak seimbang kembali. Manusia bertubuh boros itu memulai dengan satu lepasan gada
menggeledek di atas selangkangan lawan.
SEMBILAN UKH! Deb! Ki Damar Sakti tahu dirinya tak mungkin lagi
menghindar ke mana pun, selain memapaki senjata
lawan. Dengan agak nekat, disambutnya gada si Tua
Gendut dengan kakinya.
Prak! Hantaman hebat mengenai ujung gada dari batu alam itu. Saat bersamaan, terdengar derak keras.
Ujung senjata orang tua gendut berserpihan menebari udara dalam pecahan-pecahan
kecil. Tendangan ampuh Ki Damar Sakti penyebabnya!
Orang tua gendut terkesiap. Semula dia memang tak memperkirakan hadangan tendangan lawan
memiliki kekuatan penghancur yang hebat. Tapi, tak
sedikit pun dia memperhitungkan kalau kehebatan
tendangan lawan sanggup melantakkan senjatanya.
Padahal, batu yang dijadikan senjatanya termasuk ba-tu mulia yang memiliki
kekerasan tak diragukan.
Tak dapat dibiarkan berlarut-larut keterkesiapannya tadi manakala kaki lawan lain menderu pula
mengejar dirinya.
Wukh! Untung saja, tinju lelaki bengis memenggal niat
Ki Damar Sakti. Dan pada kejap berikutnya, kaki lelaki bengis terayun pula.
"Haih!"
Jarak yang terlalu dekat memaksa Ki Damar
Sakti berjumpalitan ke depan, melewati kepala lelaki bengis. Sayang, di sana
sudah menunggu lawan lain,
orang tua gendut yang sebelumnya berhasil melompat
ke belakang. Pijakan kaki Ki Damar Sakti di tanah disambut oleh sepakan setengah
putaran kaki itu.
Zeb! Sekali lagi, Ki Damar Sakti pontang-panting
menyelamatkan diri. Tak ingin dibiarkan kepalanya di-remukkan punggung kaki
lawan. Dia mengembalikan
tubuh ke belakang dengan salto sempit agar tak terlalu dekat ke arah si Tua
Gendut. Belum lagi nafasnya lega, Lelaki Bengis mulai
pula melepas gempuran. Tangannya membelah udara,
memperdengarkan desing tipis di sisi buruannya, sementara tubuh Ki Damar Sakti sendiri masih berada di udara. Ki Damar Sakti
benar-benar hendak dijadikan
bulan-bulanan! Keadaan yang sudah amat terjepit membuat Ki
Damar Sakti tak bisa lagi melakukan kelitan seberapa lincah pun dia. Jalan satusatunya, dia harus memen-tahkan ancaman serangan tangan lawan tadi. Dengan
posisi tanggung, untung-untungan disampoknya tusukan hebat tangan Lelaki Bengis.
Dag! Cuma satu harapan Ki Damar Sakti agar ujung
jari maut itu urung menghantam iganya. Sayang, tena-ga yang mengaliri tangan
lawan nyatanya jauh dari
perkiraan. Sampokannya terpantul saat itu juga. Nyeri luar biasa menjalari
sekujur tangannya.
Saat berikutnya, bukan cuma nyeri di tangan
dirasakan, tapi juga sebentuk rasa sakit tak alang kepalang menerjang bagian
bahu kirinya. Tendangan susulan lelaki berwajah seram rupanya telah bersarang empuk. Tenaga tendangan itu
melontarkan tubuh Ki Damar Sakti ke tengah-tengah
telaga. Byur! Permukaan telaga menelannya bulat-bulat.
Air beriak. Gelombangnya mengembang sampai jauh,
membentuk cincin-cincin bergerak. Perlahan-lahan,
riak permukaan telaga menghilang. Tubuh tadi tak
kunjung muncul di permukaan.
Telah direnggut ajalkah dia"
"Apakah kau yakin dia bakal benar-benar menemui ajal, Bengis?" tanya si Tua Gendut.
"Aku yakin sekali," sahut berwajah seram yang dipanggil Bengis. "Tendangan ku
mengenai dada kirinya. Setidaknya jantungnya telah pecah!" tambahnya yakin.
Setelah puas memastikan bahwa lawan tak
muncul kembali di permukaan telaga, keduanya meninggalkan tempat itu dengan wajah dingin.
Mereka adalah pasangan Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis. Begitukah" Apa yang
telah terjadi pada diri mereka sehingga harus memusuhi Ki Damar Sakti yang jelas-jelas adalah tokoh golongan lurus"
Pertanyaan itu akan terjawab jika kembali pada
kejadian beberapa hari sebelumnya.
Beberapa hari ke belakang.
Ketika itu, Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis sedang terpana menemukan bocahbocah Pasukan Kelelawar menjelma menjadi bocahbocah tak punya dosa di bawah sebuah pohon besar.
(Baca serial Satria Gendeng dalam episode :
"Bangkitnya Dewa Petaka"!).
"Apa yang terjadi pada diri mereka?" tanya Gendut Tangan Tunggal terheran-heran.
"Aku sendiri tak habis mengerti," jawab Pendekar Muka Bengis dengan mata tak
lepas dari sekumpulan bocah yang sebagian dari mereka lantas menangis menyaksikan wajahnya.


Satria Gendeng 10 Nisan Batu Mayit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lihatlah, Bengis. Jika dulu mereka mampu
membuat kita kalang-kabut, sekarang melihat wajahmu pun mereka sudah ketakutan," tukas Gendut Tangan Tunggal, nyaris tertawa geli
dia melihatnya.
Pendekar Muka Bengis menyikut perut gentong
Gendut Tangan Tunggal, mengingatkannya agar tidak
bermain-main di saat yang membutuhkan pemikiran
seperti itu. Pendekar Muka Bengis mencoba mendekati mereka. Baru satu tindak, beberapa anak makin menggerung-gerung. Bahkan ada yang sempat menjerit-jerit
segala. Pendekar Muka Bengis meringis. Dia mundur
teratur. "Kau lagi! Sudah tahu wajahmu menakutkan mereka, kenapa mesti kau
dekati lagi!" kecam kawan buncitnya. Hampir saja tawa gelinya hendak meledak
lagi. "Sekali saja kau tertawa, akan ku kuras isi pe-rutmu, Buncit!" ancam
Pendekar Muka Bengis, dongkol.
"Baik, baik. Aku cuma ingin tahu, sebenarnya
apa maumu mendekati mereka?"
"Pakai otakmu, Buncit. Setidaknya, mereka bisa kita tanya. Mungkin mereka ingat sesuatu saat mereka menjadi Pasukan
Kelelawar!"
"Ooooo...." Mulut Gendut Tangan Tunggal
membundar. "Jangan cuma memajukan mulut, Buncit. Sebaiknya, kau saja yang menanyakan mereka!" hardik Pendekar Muka Bengis.
"Kau yakin mereka tak akan takut padaku?"
"Perutmu mungkin akan mereka anggap lucu,
daripada dianggap seram!"
"Kutu busuk!"
Sambil menggerutu, Gendut Tangan Tunggal
hati-hati mendekati kesembilan bocah itu.
"Kenapa kalian menangis?" tanyanya kemudian ketika tiba di dekat para bocah.
Gendut Tangan Tunggal setengah berjongkok untuk bisa lebih dekat pada mereka
'setengah' berjongkok pun rasanya sudah begitu menyiksa untuknya mengingat
perutnya seperti sudah hendak meledak keluar.
Sementara itu, Pendekar Muka Bengis jengkel
sendiri. Kenapa kalian menangis" Gerutunya mengikuti ucapan Gendut Tangan Tunggal. Pertanyaan bodoh
macam apa itu" Tentu saja mereka menangis karena
ketakutan! Manusia kerbau satu ini apa tak bisa mengajukan pertanyaan yang lebih
tepat" Pendekar Muka
Bengis menggerutu terus dalam hati.
Terisak-isak, salah seorang bocah paling tua
mulai berani berkata.
"Aku... aku takut..."
"Takut" Pada genderuwo di belakangku ini?"
lanjut Gendut Tangan Tunggal sambil menunjuk persis di depan hidung Pendekar
Muka Bengis. "Sial kau, Buncit! Tanyakan pada mereka, kenapa mereka bisa sampai di sini!" bisik Pendekar Muka Bengis mendengus-dengus,
tertahan-tahan.
"Oh, iya. Kenapa kalian bisa sampai di sini?"
Bocah yang sebelumnya bicara sesenggukan lagi. Yang lain menimpali.
"Waktu itu aku sedang main di desa ku...," mulai si bocah kembali, dengan
ucapan-ucapan cadel.
"Ya, terus" Terus?"
"Tiba-tiba ada dua orang jelek melarikan aku
dengan pedati...."
"Orang jelek seperti dia?" sela Gendut Tangan Tunggal sambil menuding lagi
Pendekar Muka Bengis.
"Diam kau, Buncit!" bisik Pendekar Muka Bengis, mendesis-desis kesal.
"Lalu kedua orang itu melakukan apa terhadapmu?" "Mereka memaksa aku meminum sesuatu. Aku
takut, jadi aku meminumnya. Selesai minum aku jadi
mengantuk. Aku tertidur. Ketika aku terbangun, aku
sudah digantung terbalik di atas sebuah pohon...."
"Lalu"! Lalu"!" Gendut Tangan Tunggal menjadi seru sendiri. Dia sudah seperti
biang bocah yang sedang mendengarkan dongeng dari kakek moyang-nya.
Apa tidak terbalik"
"Karena ikatannya tak begitu kencang, aku
berhasil melepaskan diriku. Dua hari kemudian, aku
seperti...," si bocah mulai menangis lagi. Tergambar ketakutan teramat sangat
pada wajahnya, membuat dia
tampak begitu pucat.
"Ssssst, tak apa-apa.... Tak apa-apa...," bujuk Gendut Tangan Tunggal sambil
mengusap-usap kepala
si bocah. "Lanjutkan ceritamu."
Si bocah melanjutkan. Katanya hari itu dia merasakan keanehan. Dia seperti dibawa masuk ke dalam alam lain yang sulit sekali
untuk dijelaskan. Setelah itu, dia tak ingat apa-apa lagi. Setelah sadar, dia
sudah berada di bawah pohon yang ditemukan Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar
Muka Bengis bersama bocah lain. Sewaktu semua bocah ditanya, mereka menceritakan kejadian serupa.
"Aneh...," nilai Pendekar Muka Bengis setelah mendengar seluruh penuturan si
bocah. "Siapa dua orang yang telah menculik mereka
dari desa masing-masing, ya?" gumam Gendut Tangan Tunggal.
"Aku rasa, mereka adalah orang suruhan Manusia Makam Keramat, sebelum manusia itu bangkit
dari kematian. Mungkin saja arwahnya mengancam
dua lelaki yang tampaknya hanya orang desa biasa
yang percaya pada kekuatan-kekuatan alam lelembut.... Kedua orang itu tentu memaksa para bocah untuk meminum ramuan yang
mengakibatkan mereka
tunduk pada semua perintah Manusia Makam Keramat!" "Tapi...," Gendut Tangan Tunggal menggarukgaruk kepala, lalu perutnya.
"Apa yang kau pikirkan, Buncit?" tanya Pendekar Muka Bengis, ingin tahu sesuatu
yang mengusik pikiran kawan brengseknya.
Dengan wajah setengah terlipat, Gendut Tangan Tunggal bertanya, "Apa kau tak menyadari kejadian yang dialami para bocah
ini persis seperti kita alami...?"
"Astaga...," Pendekar Muka Bengis terperangah.
Dia baru ingat pada kejadian waktu itu, di mana mere-ka pun mengalami kejadian
serupa. Tiba-tiba bulu kuduk pasangan ganjil itu meremang hebat. Mereka tak mengerti, tapi mereka merasakan ketakutan menerobos
langsung ke ceruk nyali.
Mereka bergidik. Teramat sangat.
"Jangan-jangan..." Sekali lagi Gendut Tangan Tunggal memotong kalimat.
"Jangan-jangan apa, Buncit"! Bicara yang benar, jangan membuat aku mati berdiri karena penasaran!" "Jangan-jangan, kita pun dipaksa meminum sesuatu ramuan ketika kita tak
sadarkan diri setelah bertarung dengan Pasukan Kelelawar...."
"Artinya," bisik Pendekar Muka Bengis, tersa-mar getar kengerian. "Kita bisa
saja menjelma menjadi budak manusia iblis itu...."
SEPULUH SEPENINGGALAN Gendut Tangan Tunggal dan
Pendekar Muka Bengis, telaga tempat Ki Damar Sakti
terjatuh menjadi sunyi kembali. Bisu suasana. Hanya
ada desis angin yang merambah sela-sela dedaunan
pohon dan meluncuri permukaan telaga.
Sampai suatu saat, terdengar gericik halus air
telaga dari salah satu tepinya. Satu kepala muncul.
Menyusul badan, sampai tampak jelas keseluruhan
perawakan orang itu. Ki Damar Sakti belum mati. Dia keluar dari telaga dalam
keadaan basah kuyup. Keadaan itu memang tak akan menjadi masalah. Persoalannya, di tubuh sahabat Ki Arga Pasa itu kini mende-kam luka dalam yang tak
ringan. Jika tak cepat ditolong, besar kemungkinan nyawanya akan melayang.
Tersuruk-suruk, lelaki tua berjuluk si Tendangan Maut itu mengangkat diri dari telaga. Lemah geraknya. Hampir-hampir dia tak kuat melakukan. Sebelum benar-benar bisa mengangkat diri, beberapa kali dia terjatuh kembali.
Di tepi telaga berlumpur, Ki Damar Sakti merayap. Bermandi lumpur sudah pasti. Tak hanya badan, tapi juga wajah. Setiap kali dia hendak bangkit, saat itu juga tubuhnya
terpuruk dan jatuh kembali ke tanah berlumpur coklat kehitaman.
Susah-payah, perjuangan antara hidup dan
mati, Ki Damar Sakti sampai pula di bagian tanah
yang kering. Tak ada lumpur, berarti tak licin. Sayang keadaan tubuhnya tak
menjamin dia dapat dengan
mudah untuk bangkit dan berjalan.
Setelah sempat jatuh bangun kesekian kali, Ki
Damar Sakti bisa juga berjalan.
Terseok-seok dia.
Melangkah terus.
Berkutat mempertahankan nyawa.
Setiap hitungan langkah, dirasakannya bumi
makin sulit dipijak. Semuanya mengambang. Pandangannya mengabur. Tapi tekadnya tak bisa mengalahkannya untuk tidak meneruskan langkah.
Tak jauh, dua pasang mata mengawasi. Dari
tempat tersembunyi yang sulit untuk ditemukan Ki
Damar Sakti. Kalau pun mereka tak sembunyi, Ki Damar Sakti pun tak akan terlalu memperhatikan keberadaan mereka. Salah seorang pengintai menyeringai.
"Sudah kukatakan, dia akan mengantar kita
kepada muda-mudi yang kita cari...," desisnya. Orang itu adalah Pendekar Muka
Bengis. Di sebelahnya siapa lagi kalau bukan Gendut Tangan Tunggal. Mereka
sengaja berpura-pura pergi meninggalkan tempat itu untuk memberikan kesempatan pada Ki Damar Sakti keluar dari telaga.
Kalau sebelumnya mereka berkata telah yakin
akan kematian Ki Damar Sakti, itu pun cuma siasat.
Mereka ingin memastikan Ki Damar Sakti tak
curiga ketika mereka menguntit diam-diam. Lagi pula, Gendut Tangan Tunggal tahu
kekuatan hantamannya
pada tubuh Ki Damar Sakti. Dia mengukur, hantamannya hanya akan mengakibatkan pendekar tua itu
akan mengalami luka dalam parah. Tidak membuatnya
mati. Dan kemungkinan mati karena tenggelam pun
terlalu kecil, mengingat kedalaman telaga tak lebih dari leher manusia.
Tampak jelas, perangai, watak dan pikiran dua
pendekar golongan lurus itu telah dijungkir-balikkan oleh Manusia Makam Keramat.
Benak mereka diputar
menjadi licik, telengas, dan tak berbelas dan hanya bertujuan untuk mengabdi
pada Manusia Makam Keramat. Kekuatan tenaga dalam mereka yang sebelumnya perlahan-lahan lenyap selama mereka belum terpengaruh oleh permainan Manusia Makam Keramat,
kini justru menjadi berlipat ganda. Boleh dibilang, mereka telah menjelma menjadi boneka tangguh Manusia
Makam Keramat! "Tentu 'majikan' kita akan senang jika kita telah mendapatkan sepasang muda-mudi
itu!" timpal Gendut Tangan Tunggal, disebutnya Manusia Makam
Keramat dengan sebutan majikan. Makin memperjelas
siapa mereka sesungguhnya kini.
"Tentu... tentu...," sahut Pendekar Muka Bengis.
* * * Ke mana Satria Gendeng dan Rara Lanjar pergi" Kedua muda-mudi itu tampak di sekitar Gunung Burangrang. Setelah mendapat peringatan dari
kakek tua berpakaian putih, mereka memutuskan untuk kembali ke gunung itu. Di samping karena tempatnya cukup jauh dari Perguruan Belalang Putih yang setiap saat bisa disantroni
kembali oleh Manusia Makam Keramat, juga Gunung Burangrang cukup aman
untuk bersembunyi. Di samping itu, mereka cukup
dekat dengan Perguruan Kaki Baja yang dipimpin Ki
Damar Sakti. Sebelumnya, mereka sempat pula mengunjungi
Ki Damar Sakti di perguruannya untuk menanyakan
beberapa hal yang menyangkut kitab titipan Ki Arga
Pasa. Sayangnya, Ki Damar Sakti tak tahu menahu
soal itu. Termasuk tentang orang bertopeng Arjuna
yang telah menjadi teka-teki bagi Satria dan Rara Lanjar.
Di kaki gunung tempat mereka bersembunyi
kini, ada sebuah gubuk kecil yang terawat. Cocok sekali untuk tempat menyepi. Di
gubuk itu keduanya
tinggal untuk sementara. Gubuk itu terawat apik.
Lengkap dengan perabotan sederhana. Sepertinya
tempat itu dirawat oleh seseorang.
Hingga hari itu, sudah terlewat empat hari tiga
malam tepatnya. Memang tidur satu atap, tapi dijamin tak satu ranjang. Berani
Satria mencoba-coba, Rara
Lanjar bisa berubah lebih galak dari macan betina sakit gigi! "Bagaimana kau
tahu di tempat ini ada gubuk yang bisa ditinggali, Lanjar?" tanya Satria.
"Itu yang belum kuceritakan kepadamu," ucap Rara Lanjar.
"Cerita apa?"
"Setelah dibebaskan dari tangan Manusia Makam Keramat, aku dibawa oleh orang bertopeng Arjuna ke tempat ini...."
"Begitukah?"
"Kau tak percaya padaku"!"
"Bukan begitu."
Satria mendekati Rara Lanjar. Matanya menatap dengan tatapan berpikir.
"Apa kau tak bertanya-tanya dalam hati?" susulnya, setengah berbisik.
Rara Lanjar menunggu.
"Bukankah tempat ini dekat dengan Perguruan
Kaki Baja?" kata Satria lagi.
"Lalu?"
"Masa' kau tak bisa menduga sesuatu?" lengak Satria dengan wajah hampir
mendongak. "Kau bertele-tele, Satria!"
"Bukan aku yang bertele-tele. Hanya otakmu
yang mungkin...."
"Mungkin apa" Kau mau mengatakan aku agak
tolol?" Mata Rara Lanjar membeliak. Satria cengengesan. "Maksudku, apa kau tak merasa curiga kalau orang bertopeng itu sebenarnya
Ki Damar Sakti?" sambung Satria kemudian.


Satria Gendeng 10 Nisan Batu Mayit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Untuk apa Ki Damar Sakti merebut kitab titipan ayahku, setelah menyelamatkanku" Bukankah kalau dia berniat menguasai kitab itu, aku dapat dianggap sebagai ancaman" Kenapa
dia tak membiarkan
aku dibantai oleh Manusia Makam Keramat?"
Satria garuk-garuk kepala.
"Iya juga, ya...," gumamnya buntu.
Karena kalah berdebat, dia melangkah sambil
memain-mainkan anak rambut, persis seperti perawan
kampung malu-malu kucing.
"Kau tahu, sebenarnya aku tak suka kalau kita
harus bersembunyi seperti cecurut tak punya nyali seperti ini," gerutu Satria
pada sahabat wanitanya yang sebenarnya belum cukup lama dikenal. Namun karena
Rara Lanjar tergolong perempuan penuh keyakinan diri, riang, lincah bersahabat, dia bisa cepat akrab dengan siapa saja. Termasuk
Satria. Satria Gendeng berdiri pada sebuah batu besar.
Matanya melayap ke kejauhan. Di bawah sana, membentang pemandangan hijau yang tuntas. Sejuk. Damai. Alam punya kemewahan.
"Kau kira aku suka?" sergah Rara Lanjar, seraya melempar ranting kering. Dia
duduk di atas serumpun rumput dengan berongkang kaki. Salah satu
sifat perempuan satu ini memang agak kelelakilelakian. Namun tetap bisa dipercaya bahwa dia adalah wanita tulen.
"Maksudku, apa tidak ada yang bisa kita lakukan?" "Melakukan apa?"
Dari membelakangi Rara Lanjar, Satria Gendeng berbalik. "Mencari tahu apa maunya Manusia Makam
Keramat terhadapmu sebenarnya, misalnya!"
"Bagaimana caranya" Mendatangi sarangnya"
Apa kau yakin dapat mengungguli kesaktiannya tanpa
senjata yang bisa menewaskan lelaki terkutuk itu?"
Satria menggedikkan bahu.
"Iya juga, ya...," keluhnya. Kalah lagi Satria berdebat. Rasanya menyebalkan
juga buatnya. Apalagi ini menyangkut perempuan.
Satria jadi serba salah lagi. Ke sini salah. Ke
sana juga salah. Berdiri salah, duduk salah. Mondar-mandir dia, sampai
langkahnya dihentikan oleh suara mencurigakan yang datang dari semak-semak.
Krak! Suara ranting kering patah terinjak.
Rara Lanjar menoleh ke arah Satria. Pandangannya seolah bertanya apakah si pendekar muda tanah Jawa mendengar suara mencurigakan itu juga.
Satria balas menatap. Telunjuknya diacungkan
di depan bibir, meminta Rara Lanjar untuk tetap diam di tempat. Bahkan tidak
untuk mengeluarkan suara.
Keduanya menanti. Mereka tak ingin bertindak
tergesa. Takut-takut kalau suara tadi dihasilkan oleh binatang liar semata.
Tapi tidak juga.
Hanya selang dua tarikan napas....
Krassk! Suara lebih keras terdengar. Menyusul tubuh
seseorang menyeruak semak-semak.
Satria dan Rara Lanjar tercekat. Mereka memasang kuda-kuda. Serangan jelas tak datang. Karena
orang yang menyeruak semak langsung jatuh tertelungkup. "Ki Damar Sakti!" jerit Rara Lanjar, ketika menyaksikan wajah orang itu.
Keduanya segera memburu. Satria Gendeng
membalikkan badan pendekar tua itu. Di atas pahanya, kepala Ki Damar Sakti disandarkan.
"Apa yang terjadi pada dirimu, Orang Tua?"
tanya Satria. Ki Damar Sakti melenguh berat.
Wajahnya pucat.
Nafasnya tak teratur, terpenggal-penggal. Lalu
pingsanlah dia.
Satria menatap tak mengerti kepada Rara Lanjar. "Apa yang kau tunggu lagi, Pendekar Tolol!"
sembur Rara Lanjar. "Cepat kau bawa dia ke gubuk!
Kita harus segera menolongnya!!" tambahnya hampir memekik di depan telinga
Satria Gendeng.
Satria sampai meringis-ringis. Salahnya juga
masih sempat menatap Rara Lanjar. Cuma, ya jangan
berteriak di depan telinga begitu kenapa" Gerutu Satria membatin sambil
membopong tubuh Ki Damar
Sakti ke gubuk.
Persis ketika tubuh mereka tertelan ke dalam
gubuk, dua orang muncul. Tentu saja mereka adalah
Pendekar Muka Bengis dan Gendut Tangan Tunggal.
Mereka telah tiba di tempat buruan!
Keduanya saling menatap sejenak dengan bersit mata dua ekor serigala yang siap melahap mangsa.
Bibir mereka menyeringai, mengisyaratkan sesuatu
yang hanya dimengerti keduanya. Gendut Tangan
Tunggal. Keduanya pun melangkah menuju gubuk.
Yang jelas, mereka telah memiliki rencana untuk menjebak sepasang muda-mudi di dalam gubuk agar keduanya dapat dicengkeram oleh Manusia Makam Keramat! Sandiwara apa yang hendak mereka mainkan"
"Hoooi, ada orang di sana?"!" seru Gendut Tangan Tunggal berpura-pura, setelah
tak begitu melangkah mendekati gubuk. Kebengisan yang terpancar di
wajahnya disembunyikan demikian rapi.
Pintu gubuk terkuak. Rara Lanjar muncul. Dia
tak mengenali kedua orang yang datang. Karenanya
matanya memancarkan kecurigaan berlebihan.
Satria pun muncul. Dia sempat terbelalak menyaksikan kedua orang di luar. Sebentar kemudian,
dia sudah keluar dengan teriakan keras.
"Rupanya kalian dua tua bangka tengik!!"
* * * Sehari berlalu.
Ki Damar Sakti belum juga siuman. Satria sudah berusaha sebisanya menyalurkan hawa murni ke
dalam tubuhnya. Hasilnya memang cukup menggembirakan sejauh itu. Wajah Ki Damar Sakti sudah tak
tampak pucat lagi. Tapi, luka dalam pendekar tua itu tak hanya cukup disembuhkan
dengan menyalurkan
hawa murni. Harus ada tabib yang mengobatinya, begitu menurut Satria. Pukulan yang menghajar Ki Damar Sakti tampaknya bukan sembarang pukulan.
Satria sudah salah menduga. Dengan menyalurkan hawa murni, sebenarnya sudah cukup untuk
membuat Ki Damar Sakti siuman. Namun, Gendut
Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis yang berpura-pura turut membantu menyalurkan hawa murni,
diam-diam menyalurkan tenaga perusak ke dalam tubuh Ki Damar Sakti. Bisa saja mereka membunuh
langsung dengan cara itu. Namun, mereka tak melakukan. Mereka tak ingin Satria curiga. Maka dipilihnya jalan kedua. Ki Damar
Sakti akan dibunuh dengan ca-ra perlahan-lahan.
"Tampaknya, di antara kita harus ada yang
menjemput tabib di desa terdekat," usul Satria.
"Aku yang akan melakukannya!" tukas Rara
Lanjar. Gadis itu rupanya terlalu khawatir pada keadaan sahabat mendiang
ayahnya. Sampai dia lupa kalau dirinya sedang diincar oleh seseorang di luar sana.
"Tidak," putus Satria. "Manusia Makam Keramat saat ini sedang mengincar-incar
mu. Akan sangat berbahaya jika kau meninggalkan tempat ini."
"Aku tak peduli!" kilah Rara Lanjar, bersikeras.
"Biar aku saja!" aju Pendekar Muka Bengis, menyela.
"Kalau kau; aku setuju!" tandas Satria Gendeng. "Sebaiknya kau segera pergi,
Bengis," ucap Gendut Tangan Tunggal. Di bola matanya, terbetik
isyarat. Pendekar Muka Bengis mengangguk sekali. Dia
melangkah keluar gubuk. Tak ada niat sedikit pun dalam benaknya untuk mencarikan
Ki Damar Sakti seorang tabib. Dia mengajukan diri hanya agar mendapat alasan untuk melapor pada
Manusia Makam Keramat!
Kelicikan tersembunyi yang begitu mudah lahir
semenjak mereka berada dalam pengaruh Manusia
Makam Keramat. Sepeninggalan Pendekar Muka Bengis, Satria
keluar gubuk. Dia perlu sedikit hawa segar setelah lelah menguras tenaga saat
menyalurkan hawa murni ke
tubuh Ki Damar Sakti.
Rara Lanjar diam di tempat. Duduk di bangku
kayu di sebelah pembaringan Ki Damar Sakti. Kekhawatirannya menyebabkan dia tak sampai hati untuk
meninggalkan Ki Damar Sakti begitu saja. Padahal, tak ada lagi yang bisa
dilakukan. Di luar, Satria Gendeng mengayun langkah perlahan meninggalkan gubuk agak jauh. Dia ingin lebih menikmati hawa kaki
Pegunungan Burangrang yang
bersahabat. Apalagi kebetulan saat itu sedang pagi ha-ri.
Ada kabut lembut di pucuk Burangrang.
Ada hawa sejuk.
Ada kicau burung.
Ada sehimpun kedamaian.
Andai saja perangai manusia sedamai suasana
pagi seperti itu. Mungkin tak perlu lagi ada pertumpahan darah. Mungkin tak
diperlukan lagi bala tentara, mungkin tak diperlukan lagi senjata. Mungkin....
Satria mendesah. Berkali-kali dia memadatkan
paru-paru dengan hawa sejuk. Saat pandangannya
melata, matanya tertumbuk pada sebatang pohon besar. Alangkah tenangnya bila berleha-leha sejenak di bawah pohon besar rindang,
pikir Satria. Didekatinya pohon berukuran tiga kali pelukan manusia itu.
Di bawahnya, pada akar pohon yang menjorok
naik, dia merebahkan diri. Matanya menerawang ke
atas. Daun pohon teramat rimbun. Cahaya matahari
pagi tak sanggup menembusnya.
Tiba-tiba, matanya tertumbuk pada satu dahan
pohon besar di atas. Ada yang agak ganjil dari batang pohon itu. Seperti ada
lobang yang sengaja ditutupi oleh oyot-oyot pepohonan. Satria jadi tertarik.
Pendekar muda itu bangkit. Hanya dengan sekali lompatan ringan, dia tiba di dahan pohon yang dicurigai. Apakah ini hanya lobang pohon biasa" Hatinya bertanya-tanya, ketika
telah lebih dekat mengamati.
Atau ini semacam lobang tempat hewan melata bersarang" Tapi kalau melihat keadaannya, Satria yakin
ada orang yang dengan sengaja membuatnya. Bisa terlihat dari bentuknya yang tak alami. Lagi pula, kera-tannya seperti hasil
keratan senjata tajam.
Karena penasaran, Satria memasukkan tangan
ke dalam lobang. Cukup dalam. Sampai sikunya masuk. Sesuatu tersentuh tangannya. Apa ini" Tanyanya bergumam. Seperti batang
logam.... Hati-hati, Satria mengeluarkan benda yang didapatnya. Begitu benda itu keluar dari mulut lobang, Satria dipaksa terperanjat.
Bagaimana tidak terperanjat kalau yang ditemukannya ternyata senjatanya sendiri
yang beberapa waktu lalu menghilang tak tentu
rimba" "Kail Naga Samudera?" bisik Satria. "Bagaimana bisa sampai tersembunyi di
tempat ini?""
Ragu-ragu Satria mengamati lagi. Dia mungkin
masih belum percaya. Ada kemungkinan benda itu
palsu. Atau sebuah tombak pendek yang kebetulan
berbentuk serupa dengan Kail Naga Samudera. Ketika
batang logam ditarik, bentuknya pun memanjang, terbagi atas beberapa ruas. Di ruang paling ujung, terdapat tali dari ekor pari
berwarna pelangi.
Tak salah lagi, itu memang Kail Naga Samudera! Di hati si pemuda bergerombol berbagai perasaan yang campur aduk. Senang, terkejut, bingung,
juga penasaran. Benar-benar sulit dimengerti bagaimana senjata pusakanya bisa sampai di sana. Benarbenar sulit dimengerti.
Setiap teka-teki, selalu ada jawaban, pikir Satria. Sekarang pun, dia bisa memulai usaha untuk
mencari jawaban. Ditatapnya lagi lobang pada dahan pohon besar.
"Apalagi yang kau sembunyikan selain Kail Naga Samudera-ku?" gumamnya.
Kedua kali, tangannya merogoh dalam-dalam.
Dua kali pula, tangannya menyentuh sesuatu. Sekarang dia merasakan sesuatu yang agak lebar. Bahannya seperti dari kayu.
Satria mengeluarkannya.
"Topeng Arjuna...?" bisiknya dengan nada bertanya. Setelah kail Naga Samudera,
topeng kayu Arju-na, lalu apa lagi" Makin penasaran saja Satria Gendeng. Sekali lagi tangannya merogoh lobang. Ada satu benda tersisa. Benda
terakhir itu pun dikeluarkannya.
Dan, yang disaksikannya kini tak kalah mengejutkan.
Dia menemukan sebuah kitab berkulit kayu.
"Aku yakin, ini adalah kitab yang dititipkan Ki Arga Pasa pada murid
kepercayaannya...," duga Satria, kendati dia belum pernah menyaksikan sendiri
kitab itu. Pertanyaan sekarang, siapa orang yang telah
mengumpulkan semua benda itu di dalam lobang" Jawabannya, sudah pasti si orang bertopeng yang menyembunyikan alat penyamarannya di dalam lobang.
Bukankah orang bertopeng yang telah merebut kitab
titipan Ki Arga Pasa dari tangan Palguna" Dan bukan tak mungkin, dia pula yang
telah memindahkan tubuh
Satria ketika pendekar muda itu dalam keadaan pingsan (Baca serial Satria Gendeng dalam episode : "Memburu Manusia Makam
Keramat!"), lalu mengambil Kail
Naga Samudera. "Siapa dia?"?" desis Satria.
* * * Nah ini baru seru banget, dah!
Ayo, siapa si orang bertopeng"
Serunya juga, dua tokoh sakti telah menjadi
'boneka mainan' Manusia Makam Keramat! Bisa dibayangkan" Kalau belum bisa membayangkan, sebaiknya baca terus lanjutannya....


Satria Gendeng 10 Nisan Batu Mayit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara itu, (tahu sendiri!) Satria Gendeng
tak akan menyadari kalau dua sahabat tengiknya telah menjelma menjadi budakbudak manusia durjana. Bagaimana Satria Gendeng bisa menghadapinya nanti"
Ini pasti muslihat yang dijanjikan Manusia Makam Keramat. Apa lagi rencananya
setelah itu" Jangan luput dari ketegangan berikutnya....
SELESAI Segera menyusullll Serial Satria Gendeng
dalam episode: RENCANA MANUSIA TERKUTUK
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Selubung Awan Hitam 2 Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Topeng Setan 1

Cari Blog Ini