Ceritasilat Novel Online

Ketika Flamboyan Berbunga 1

Ketika Flamboyan Berbunga Karya Maria A. Sardjono Bagian 1


www.ac-zzz.tk MARIA A.Sardjono SCAN BY OTOY EDIT TEKS BY NORA TRINDA PDF BY WWW.AC-ZZZ.TK KETlKA FLAMBOYAN BERBUNGA
Mohon doa untuk kesembuhan adik saya M fatkhu Rozak yang terkena kan ker,dan di
kuatkan hati nya dalam menghadapi cobaan ini
KOTA Jakarta pada jam setengah enam pagi di hari Minggu itu masih belum
bangun. Setidaknya, di sekitar rumah orangtuaku ini. Rumah-rumah di depan
dan kiri-kanan tempat tinggal kami, sepi. Bahkan kulihat beberapa di
antaranya masih belum mematikan lampu teras.
Meskipun sebenarnya hari libur itu bisa kuper?gunakan untuk bermalasmalasan dan tetap berge?lung di atas tempat tidur tanpa harus terburu-buru
menyiapkan diri untuk: berangkat ke kantor seperti biasanya, ak:u toh lebih
memilih mengerjakan sesua?to di taman depan rumah kami bersama Ibu.
Ham?pir setiap hari Minggu, kami berdua merawat tanaman-tanaman yang
tersebar di halaman depan itu, Aku paling suka memangkas tanaman hias yang
daunnya bisa dibcntuk dalam berbagai rupa . Ada yang berbentuk bulat
seperti bola besar. Ada yang kupangkas seperti bentuk jamur dan seperti
bentuk payung. Dan ada pula yang kupangka ber?bentuk kerucut. Dan semakin
lama, ak:u semakin ahli saja, sampai-sampai adikku, Tina, sering meng?godaku.
"Pasang iklan sebagai abli pembentuk tanaman, Mbak!" katanya suatu ketika.
"Siapa tabu pengha?silanmu sebagai pemangkas pohon lebih besar da?ripada
sebagai pegawai bank!"
Digoda seperti itu aku hanya tersenyum saja.
Adikku yang barn saja lulus SMU itu memang jail dan senang rnenggoda.
Wajahnya cantik, imut?imut, dan pembawaannya lincab. Dan manja, tentu
saja. Khususnya kepadaku. Jarak usia karni cukup jauh. Aku berumur dua
puluh tujuh, sementara Tina baru delapan belas. Di antara karni berdua
terdapat seorang saudara lelaki yang baru saja me?nyelesaikan kuliahnya dan
www.ac-zzz.tk sedang mencari-cari lowongan kerja, antara lain dengan membeli setum?puk:
surat kabar setiap harinya.
Pagi itu, kedua adikku melakukan bal sama se?perti yang banyak dilakukan
oleb orang-orang eli ekitarku, Tidurl
"Sudab saatnya tanaman-tanaman ini diberi pu?puk lagi, Bu!" kataku sambil
asyik mengguntingi dedaunan yang kering dan yang geripis dirnakan ulat.
"Ya. Ibu udab rnemesan kepada Pak Pot Bunga untuk membawakan dna karung
pupuk kandang!" sahutnya. Ibu lebih suka mencabuti rumput liar di sekitar
tanaman-tanaman bias kami.
Pak Pot Bunga yang disebut ibuku itu adalah tukang jualan bunga dorong
langganan karol. Kami tak tabu namanya, dan tak pernab sekali pun ter?lintas
dalam pikiran karni untuk menanyakannya. Begitupun sebaliknya, tukang
tanaman itu tak pernah sekali pun menanyakan nama kami, Padahal kami sering
bertegur sapa. Percakapan terhenti. Di j alan depan rumah kami, melintas dua lelaki muda
yang sedang berlari-lari santai. Aku maupun Ibu menatap mereka sampai
keduanya hilang dati pandangan mata.
"Pemuda-pemuda ganteng!" gumam ibuku. "Dan menarik. "
Aku menoleh ke arab wanita yang melahirkanku ini dengan perasaan heran.
Tak biasanya ibuku memuji seorang laki-laki sembarangan. Apalagi yang belum
dikenalnya. "Tumben Ibu memuji orang!" gumamku. Sekarang Ibu yang menoleh ke
arahku. "Mereka memang patut dipuji!" sahutnya. "Sejak awal mula berkenalan, aku
dan ayahmu sudab me?nilai mereka berdua cukup tinggi."
"Kapan Ibu berkenalan dengan mereka?" Aku mcrasa heran. Wajah kedua
pemuda itu memang tak terlalu asing bagiku. Sudah beberapa kali aku melibat
mereka lari pagi di sekitar rurnah kami. Dan pernah juga mereka
melernparkan enyum ke?padaku ketika berpapasan. Aku membalas senyum
rnereka ala kadarnya. Meskipun aku tidak kenal keduanya dan tak tahu yang
mana rumah mereka, aku yakin mereka pasti tetangga kami.
"Lho, kamu bagaimana sih"' ibuku menjawab perkataanku tadi. "Keduanya kan
pernah berkun?jung ke rumah kita!"
"Kapan, Bu?" tanyaku lagi, "Saya tidak ingat." "Sebulan yang lalu ketika
mereka baru saja pindah kemari!" Ibuku terus saja mencabuti rumput tanpa
mengurangi kecepatannya kendati sambil bercakap-cakap.
www.ac-zzz.tk "Kok saya tidak melihat kedatangan mereka." Sekarang Ibu ingat. "Kau
sedang pergi, entah ke mana Ibu lupa. Tetapi kedua adikmu ada dan mereka
langsung akrab. Beberapa kali Ibu melihat mereka asyik mengobrol."
"Tetapi apa yang menyebabkan Ibu rnenilai me?reka dengan tinggi?" .
"Yah, di zaman sekarang yang penuh dengan segaIa macam urusan ini manusia
tidak terlaIu ba?nyak lagi menyisibkan waktu bagi orang "lain. An?tara
tetangga yang satu dengan yang lain tidak sa?ling kenal. Kalaupun kenaI, ya
asal kenal begitu saja. Apalagi anak-anak mudanya, Mereka terlalu larut dalam
hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan mereka. Tetapi kedua pernuda tadi,
memerlukan datang berkunjung ke tetangga untuk berkenalan dan
bersilaturahmi. Dengan cara yang simpatik pula."
"Rumah mereka di mana sih, Bu?"
Ibu menatapku lagi dengan pandangan setengah jengkeL
"Kamu ini bagaimana sih, Ambar?" katanya lama kemudian. "Kedua pemuda itu
tinggal di e?belab kiri rumah kita!"
"Oh, saya tak tabu .... " Aku agak tersipu. Harus kuakui sejujurnya, tahuntahun terakhir ini aku tak banyak melebarkan ayapku dalarn pergaulan.
Ter?masuk dengan para tetanggaku. Meskipun aku sadar
bahwa menarik diri dari pergaulan itu keliru, namun sulit sekali mengatasinya.
Sejak Mas Bram meng?khianatiku dengan memacari temanku sendiri, aku
enggan bergaul dengan orang banyak.
"Kan mereka itu yang membeli rumah Pak Ahmad di sebelah rumah kita ini!"
ibuku menje?laskan lebih lanjut. "Kamu ini memang agak ke?terlaluan kok,
Ambar. Sedikit memperhatikan ling?kunganlah. Kita bidup di dunia ini tidak
sendirian. Kita makhluk sosial yang mau atau tidak, senang atau sebaliknya,
harus bergaul dengan orang lain. Sebab ada saatnya kita membutuhkan
mereka. Dan ada saatnya pula mereka yang membutuhkan kita!"
"Iya, Bu!" aku memotong perkataan Ibu sambi1 tertawa. "Ibu ini senang sekali
menguliahi orang. Hanya perkara tetangga sebelah yang belum saya kenal
saja, tanggapan Ibu panjang sekali!"
Ibuku juga tertawa mendengar komentarku. Ke?mudian dengan tangannya
yang lineah, ia mem?balik-balik tanah di sekitar tanaman bunga
kesa?yangannya dengan sekop kecil. Aku memperhatikan perbuatannya
sejenak. Tetapi pikiranku masih belum terlepas dari kedua pemuda yang
disebut-sebutnya tadi. "Mereka kakak-beradik, Bu?" tanyaku kemudian. "Bukan. Mereka saudara
sepupu!" www.ac-zzz.tk "Orangtua mereka di mana?" tanyaku lagi. "Ke?napa waktu itu rnereka tidak
ikut datang berkunjung kemari?"
"Orangtua mereka tinggal di Jawa Tengah. Nak Gatot dan sepupunya yang
lebih muda itu tinggal di Jakarta sudah sejak kuliah. Sesudah bekerja le?bib
dari lima tahun, mereka memutuskan untuk membeli rumah. Sebab kata
mereka, sudah capek pindah-pindah kos dan mengontrak rumah."
"Semuda itu sudah mempunyai rumah yang luma?yan.bagus, pasti keluarganya
kaya!' komentarku. "Tidak persis begitu," sahut ibuku. "Ayahnya memang seorang dokter. Tetapi
rumah sebelah itu dibeli oleh N ak Gatot sendiri dengan cara mencicil. Ia
meminjam uang dari kantomya."
"Wah, cukup banyak juga yang Ibu ketahui ten?tang kedua anak muda itu!"
Aku tertawa lagi. o 'Kalau Ibu jadi wartawan, pasti sukses."
Ibuku tersenyum. "Soalnya sudah beberapa kali kami mengobrol, Ambar!" sahutnya kemudian.
"Sejak kunjungan pertamanya sebulan lalu, sudah beberapa kali me?reka
mampir di depan rumah kita. Pemah juga Ibu berjumpa dengan N ak Gatot
ketika kami samaama sedang berbelanja di toko Aceng dan kami berhandai-handai cukup lama.
Malah Ibu diantar dengan mobilnya sampai ke .rumah. Lalu, pernah juga Ibu
dan ayahmu mengobrol di sepanjang ja?Ian depan rumah kita waktu kerja
bakti menjelang Hari Kernerdekaan kemarin. Pendek kata, kecuali dirimu,
kami udah cukup kenal dengan kedua anak muda itu. Lebih-Iebih dengan Nak
Gatot. Orangnya ramah dan tampaknya pandai bergaul dengan siapa saja."
"Juga dengan TIna dan Didik?"
"Ya. Kedua adikmu juga sudah beberapa kali
10 mengobrol dengan mereka.: Kan sudah Ibu ceritakan tadi."
"Memang beberapa kali saya pernah mendengar Tina menyinggung soal
tetangga barn kita. Tetapi saya kira bukan tetangga dekat. Malah saya tidak
menyangka rumah Pale Ahmad sudah lakul" kataku lagi. "Sebab selama ini kan
ada saja keluarga Pak Ahmad yang datang ke sebelah untuk
membersih?bersihkan rumah."
"Jadi, seperti yang telah Ibu katakan tadi, se?baiknya mulai 'sekarang kau
memperhatikan ling?kungan sekitarmu!" komentar Ibu sambil menatap
www.ac-zzz.tk rnataku. Tetapi sebelurn kornentarnya menjadi lebih panjang, lekas-lekas aku
memotong kata-katanya sambil tertawa.
"Baik, Bu!' kataku. Kuangguk-anggukkan ke?palaku dengan takzim sebingga
Ibu tersenyum mes?kipun merasa kesal melihat kedegilanku. Aku yakin, beliau
tahu betul bahwa kepatuhanku itu cuma di permukaan saja. Karenanya cepatcepat aku menga?lihkan pembicaraan. "Wah, pagi cepat sekal i men?jadi
terang. Waktu kita keluar tad! had masih agak remang."
Ibu menengadahkan wajahnya ke alas, menatap langit yang hari itu tampak
bersih. Sinar cahaya matahari yang lembut mulai mewarnai kaki langit
"Kelihatannya hari ini akan cerah ... ," gumamnya kemudian.
"Dan panas!" selaku.
"Ya. Belakangan ini udara kota Jakarta semakin panas saja rasanya."
"Tetapi meskipun begitu seharnsnya Bapak tidak boleh menelantarkan
olahraganya!" sahutku me?nanggapi perkataan Ibu. "Kalau enggan kena pan~s
matahari, ya lari pagi saja seperti kedua tetangga kita tadi!"
"Yah, memang seharnsnya demikian. Tak usah jauh-jauhlah. Keliling kompleks
kita ini saja ... " Suara Ibu terhenti. Kedua pemuda yang dipuji oleh ibuku tadi
melintas lagi di depan rumah. Kali ini salah seorang di an tara keduanya
melayangkan matanya ke arah kami dan melihat keberadaan Ibu.
"Selamat pagi, Bu!" sapanya kepada ibuku.
Langkah kakinya terhenti.
"Selamat pagi, Nak Hari."
Pemuda satunya yang tampaknya lebih tua dari pemuda yang meJontarkan
sapaan tadi juga meng?hentikan langkah kakinya ketika melihat Ibu.
"Selarnat pagi, Bu Joko!" sapanya sambi1 ter?senyum. "Wah, rajin betul
merawat tanaman pagi?pagi begini."
Ibu rnenghentikan pekerjaannya, lalu berdiri. "Ini kan olahraga juga, Nak!"
sahutnya tertawa. "Mau lari pagi seperti kalian, Ibu sudah tidak be?gitu kuat lagi."
"Jalan santai sambil melatih pernapasan di se?keliling kompleks ini kan bisa,
Bu. Tak usah lari?lari," pemuda pertama yang beroama Hari tadi rnenanggapi
perkataan Ibu. "Tetapi mernang bertanam atau berkebun bisa juga dianggap sebagai
olahraga ya, Bu!" sela pe?muda satunya yang pasti bemama Gatot.
"Ya." Ibuku tersenyum. "Mencuci, memasak, bersih-bersih rumah juga bisa
dianggap olahraga. Ya, kan?"
"Ya, Bu .... " Gatot juga tersenyum. Pandangan matanya mulai melayang ke
arahku, kemudian se?nyumnya melebar sambil menganggukkan kepalanya.
www.ac-zzz.tk Melihat perbuatan Gatot, Ibu melirikku, teringat bahwa aku belum mengenal
keduanya. . "Kalian berdua belum berkenalan dengan putri sulungku ini, kan?" katanya
kemudian, "Kemarilah, masuk sebentar. Atau kalian mau melanjutkan lari
pagi?" "Tidak, Bu, sudah satu jam lebih kami berlari- 1ari," Gatot menjawab sambil
membuka pintu pagar rumah.
"Barn sekali ini Ibu melihat kalian lari pagi di
sekitar sinil" . "Kalau sedang malas pergi ke Monas atau ke Se?nayan, kami sering memilih
lari pagi di dekat-dekat sini saja kok, Bu!" sahut Gatot sambi! melangkah
masuk. Saudara sepupunya mengekor di belakangnya, "Tetapi lari pagi di mana
pun sama menyenangkannya kalau kita melakukannya dengan suka hati."
Sementara ibuku dan kedua lelaki muda itu ber?cakap-cakap, aku masih tetap
rnemainkan gun?tingku. Tetapi ketika kedua tetangga baruku itu udah berada
di dekatku, aku menghentikan pe?kerjaanku demi sopan santun.
"Halo." Sambil tersenyum ramah, 1e1OO bemama Gatot itu mengulurkan
tangannya ke arahku. "Ke?naLkan, aku Gatot. Dan ini sepupuku, Hari."
Kuusapkan telapak tanganku yang kotor ke ce?lana pendekku, barn kusambut
uluran tangan Gatot. Setelah itu aku menyalami Hari. Tetapi tidak seperti
kedua orang itu, aku tidak menyebutkan namaku. Babkan tersenyum pun aku
enggan. "Siapa namamu" Maaf, telingaku kurang jelas menangkap suaramu." Gatot
menelengkan kepala?nya ke arabku. Rasanya, aku menangkap godaan dari
pandangan matanya, sebab aku yakin sekali dia tahu betul mulutku tidak
bersuara apa pun. Apalagi menyebutkan namaku.
Sial an. Baru beberapa saat berkenalan saja lelaki itu sudah berani
menggodaku, padahaJ sikapku jelas-jelas tidak menyiratkan keinginan untuk
ber?handai-handai atau beramah-tamah dengannya mau?pun dengan saudara
sepupunya itu. "Ambar ... " Dengan perasaan apa boleh buat ka?rena ada Ibu yang sedang
memperhatikanku, aku terpaksa menyebut namaku.
"Hm, Mbak Ambar." Hari menanggapiku sambil tersenyum manis. Kulihat
warna persahabatan tersi?rat dalam senyumnya itu. "Terus terang kami sudah
sering mendengar namamu disebut-sebut oleh Tina
dan Didik." , Kubalas senyum anak muda itu tanpa rnenang?gapi kata-katanya.
"Kami juga sudah beberapa kali melihatmu, Mbak," dia meneruskan,
www.ac-zzz.tk "Ya, apa yang dikatakan oleh Hari itu betuI," Gatot menyambung perkataan
sepupunya. "Tetapi terus terang saja kami takut menegurmu."
Kusambar Gatot lewat pandangan mataku dengan perasaan kesal. Aku tabu, di
dalam hatinya dia mau mengatakan bahwa sikapku tidak: ramah. Entah Ibu
merasakan hal itu atau tidak, tetapi dia menyela pembicaraan.
"Anak Ibu yang satu ini memang agak pendiam dibandingkan kedua
saudaranya, Nak," katanya sambil tersenyum. Huh, bisa-bisanya Ibu
mengata?kan aku pendiam hanya demi menenggang perasaan kedua tetangga
barn itu. "Nah, bagaimana kalau kalian berdua duduk di teras dan beristirahat
dulu. Kalian mau minum apa?"
"Wah, seperti tamu saja," kata Hari kepada lbu.
"Tidak usah, Bu. Tadi di warung ujung jalan sana kami sudah minum. Terima
kasih." . "Betul" Tidak bohong?" Ibu tertawa. "Atau malu?"
"Betul kok, Bu," jawab Gatot. "Terhadap Ibu yang selalu ramah, saya pasti
tidak akan malu minta minum kalau memang merasa haus."
"Ya udah kalau begitu." Ibu mulai mencabuti rumput lagi. Melihatnya seperti
itu aku juga mulai melanjutkan pekerjaanku mengguntingi tanaman. 'Mingguminggu begini kalian berdua tidak jalanjalan?"
"Nanti siang, Bu. Ada ternan sekantor saya yang akan menikah hari ini," Gatot
yang menjawab. "Tetapi pagi ini tidak ada acara apa-apa. Kalau Ibu
rnembutuhkan bantuan untuk menanam sesuatu atau memindahkan pot, jangan
sungkan- ungkan lho. Kami siap membantu." .
';Ya, Bu," Hari menyambung. "Seperti kata Ibu tadi, olahraga pagi kan tidak
selalu harus lari-lari, Jadi, kami siap melanjutkan olahraga di sini. "
Ibu tertawa. Tetapi aku tidak. Tersenyum pun tidak. Bahkan aku pura-pura
tidak mendengar per?cakapan mereka. Ak:u lebih suka mencurahkan
perhatianku kepada pekerjaanku mengguntingi ta?naman. Tetapi diam-diam
aku harus mengakui kebe?naran penilaian Ibu tadi. Kedua anak muda itu
memang termasuk laki-laki yang ganteng. Dan juga menarik. Ganteng saja


Ketika Flamboyan Berbunga Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belum tentu menarik. Terutama yang bemama Gatot itu. Postur tubuhnya
tinggi dan gagah. Dadanya bidang berisi, mem?buktikan bahwa kesukaannya
berolahraga telah membuahkan hasil, Sudah begitu, ratnbut dan alis?nya
tebal. Bahkan bulu matanya pun sama tebalnya. Namun sedikit pun tidak
terkesan adanya ciri fisik perempuan meskipun biasanya bulu mata tebal dan
Ientik seperti itu lebih banyak dimiliki oleh kaum perempuan.
www.ac-zzz.tk Tetapi ah, buat apa aku memikirkan kedua lelaki ganteng itu" Biar sebagus
Dewa Kamajaya sekali pun, apa peduliku" Seperti biasanya, aku-harus te?tap
bersikap mengambil jarak dengan kaum laki?laki. Sernakin menarik rnereka,
semakin aku harus mengabaikannya. Sejak disingkirkan oleh Bram, aku
berpendapat akan lebih baik bagiku kalau aku bersikap mengabaikan laki-laki
dan tetap mengam?bil jarak dengan mereka. Daripada diabaikan nan?tinya,
lebih baik aku yang rnengabaikan keber?adaan mereka. Dan cmakin menarik
mereka, semakin aku harus menjauhinya. Terutama lagi semakin ramah
mereka, aku harus semakin meng?ambil sikap yang sebaliknya. Sebab kurang
apa baik, manis, hang at, dan ramahnya Bram dulu, bu?kan"
Mengingat itu aku mulai merasa risi melihat keberadaan kedua lelaki muda
yang tampaknya te?rus saja betah mengoceh bersama Ibu sambil mem?bantu
mencabuti rumput-rumput liar. Kalau tidak ingat sopan santun, maulah aku
melemparkan gun?tingku ke tanah dan pergi meninggalkan mereka. Tetapi
untunglah tak berapa lama kemudian mereka pamit pulang, katanya mau mandi.
Mendengar itu, bukan main leganya hatiku.
"Setelah itu mencuci mobil dulu sebelum pergi ke undangan perkawinan nanti,"
kata Gatot sambil bangkit berdiri.
"Silakan, Nak. Selamat berhari Minggu, ya?" "Terima kasih, Bu." Kemudian
lelaki itu menoleh ke arahku. "Ayo, Ambar, kami pulang dulu."
Aku menganggukkan kepalaku tanpa membalas tatapan matanya.
Begitu kedua laki-Iaki itu menghilang dari pandangan kami, Ibu langsung
menatapku dengan pandangan mencela.
"Ambar, kau benar-benar tidak menunjukkan kerarnahan kepada mereka,"
katanya kemudian. "Kan baru kenal, Bu!" dalihku sambil terus memangkas tanaman tanpa menoleh
ke arah Ibu. "Mereka itu tetangga paling dekat, Ambar. Tinggalnya di sebelah rumah kita
persis!" Ibu berkata lagi tanpa memedulikan pembelaan diriku tadi "Kata
orang, tetangga terdekat adalab saudara kita. Sebab kalau ada apa-apa, kita
pasti akan berlari meneari bantuan atau minta tolong kepada mereka. Dan
bukannya kepada sanak-keluarga atau saudara kita yang temp at tinggalnya
jauh dari rumah kital"
"Iya Bu. Saya tahu itu." Aku menyeringai. "Tetapi sudahlah, jangan kita
berbicara terus mengenai kedua pemuda tadi. Masa sejak tadi yang Ibu
bicarakan hanya mereka. Seperti tidak ada pembicaraan lain saja."
Mendengar keluhanku, Ibu tersenyum. Dan pembicaraan pun berganti arah.
Sampai kami berdua masuk ke rumah setelah matahari mulai muneul dan
www.ac-zzz.tk menyiramkan cahayanya ke permukaan bumi, Gatot dan sepupunya yang
bernama Hari itu tak lagi menjadi bahan pembicaraan. Maka aku pun segera
melupakan keduanya. Tiga hari kemudian ketika aku sedang menunggu kendaraan umum di Iuar
kompleks perumahan kami, sebuah jip berwarna putih yang semula berjalan
kencang mulai memperlambat kecepatannya, bergerak pelan mendekati
tempatku berdiri. Aku sudah kenal mobil itu kemarin. Mobil Gatot.
Begitu berada di depanku, kaca jendela mobil itu bergerak turun dan wajah
ganteng pemiliknya muncul.
"Tidak dijemput?" tanyanya.
Jadi rupanya lelaki itu sudah mengetahui kalau biasanya aku pergi dan pulang
kantor dengan mobil antar-jemput. Memang, aku dan beberapa teman
sekantorku menyewa mobil antar-jemput yang dibayar secara bulanan. Tetapi
hari ini sopirnya sakit dan sopir cadangannya sedang tidak ada di tempat
sehingga pagi ini kami terpaksa berangkat ke kantor dengan cara masingmasing. Dan karena aku tidak bisa ikut mobil Bapak, karena tujuan kami
bertolak belakang, aku memilih naik kendaraan umum. Rupanya, Gatot melihat
itu. "Sopirnya sakit," sahutku pendek.
Ini adalah pertemuan karni yang kedua. Aku masih belum tahu harus bersikap
bagaimana ter?hadap pemuda ini, Aku harus tabu jelas lebih dulu,
keramahannya itu hanya sekadar keramahan antara tetangga sajakah atau
ada sesuatu yang lain. Hal itu penting bagiku sebab menurut penga?lamanku
selama ini, bergaul dengan laki-laki acap kali memunculkan persoalan yang tak
menyenang?kan. Bahkan eli kantorku pun demikian. Setelah banyak yang
mengetahui bahwa hubunganku de?ngan Brarn putus, selalu saja ada ternan
sekantorku yang mencoba-coba mendekatiku. Padahal aku su?dah memutuskan
untuk tidak lagi meneoba hubung?an baru dengan siapa pun. Setidaknya untuk
bebe?rapa tahun mendatang ini. Aku ingin memusatkan pikiranku kepada
karier dan pekerjaanku dulu.
Akan halnya Gatot, laki-laki itu pasti akan tinggal lama bersebelahan dengan
rumah orangtuaku. Jadi kami pasti akan sering bertemu dan berhu?bungan.
Kalau mulai sekarang sikapku tidak ber?hati-hati hanya karen a memikirkan
karni bertetang?ga, bisa saja terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Sebab aku sudah berniat untuk bergaul dengan ukuran biasa saja dengan
Gatot maupun Hari. Tidak dalam ukuran yang akrab, tetapi juga tidak sangat
menjauh, yang bisa menimbulkan antipati mereka terhadap keluargaku.
"Mau ikut mobilku?" kudengar Gatot berkata lagi.
www.ac-zzz.tk "Terima kasih," sahutku. "Aku naik kendaraan umum saja."
"Ikut aku sajalah," Gatot menawariku lagi. "Nan?ti kau kuturunkan di tempat
yang terdekat dengan kantormu. Setelah itu kau bisa melanjutkan dengan
kendaraan lain. Mau naik taksi atau bajaj, terserah."
"Aku tak mau merepotkan orang."
"Aku tidak merasa direpotkan. Kau kerja di Bank Indonesia, kan?"
"Ya." Wah, ini pasti warta berita dari Tina.
Aku yakin sekali. Adikku yang satu itu memang ceriwis, senang bercerita.
"Nah, karena itulah ak:u menawarimu. Kantorku juga berada d.i sekitar sana.
Jadi ayolah, naik mo?b.ilku saja." Untuk kesekian kalinya Gatot membu?juk.
"Jangan sungkan-sungkan kepadaku, Ambar."
Aku menarik napas panjang. Mulai bimbang.
Tetapi ketika sekali lagi Gatot menawarkan jasanya sementara kulihat busbus yang lewat di depanku begitu penuh sesak, akhirnya aku menerima juga
ajakannya. "Kok Hari tidak bersamamu?" tanyaku begitu aku sudah berada di dalam jip
putih itu. "Sudah berangkat sejak pagi tadi. Dia lebih
suka naik motornya. .Katanya lebih praktis dan. mudah menghindari
kemacetan lalu lintas yang belakangan ini semakin sering terjadi di
mana?mana di Jakarta ini."
"Ya, memang," sahutku mengambang. Aku tidak ingin mengomentarinya lebih
panjang, takut terlibat pembicaraan yang akan menebarkan keakraban yang
tak kuinginkan, apa pun warna keakraban itu.
"Sudah lama kau bekerja di bank itu?" Gatot mulai mengalihkan pembicaraan.
Suaranya terdengar empuk dan menyenangkan.
Tanpa sadar aku meliriknya. All, bukan main mena?riknya lelaki itu. Caranya
mengemudi sungguh pe?nub gaya. Enak sekali melihat bagaimana ia
me?mindahkan persneling. Begitu juga caranya mengin?tip ke arah belakang
melalui kaca spion di atas kepalanya. Matanya yang agak menyipit dan
se?belah dahinya yang dikerutkannya itu sungguh sa?ngat menarik. Tetapi ah,
betulkah dia memang se?menarik itu" Atau jangan-jangan aku saja yang
terlalu tinggi menilainya"
Pikiran yang baru saja melintasi benakku itu menimbulkan kesadaran baru
bagiku sebab rasanya sudah lama sekali aku tidak pernah menilai lelaki.
Apalagi menilai dengan begitu tinggi. Apalagi laki?laki yang baru saja .kuk.enal.
Entahlah, apa yang sedang terjadi padaku" Kenapa aku jadi begini"
www.ac-zzz.tk Wah, aku harus mulai bersikap ekstra waspada. sungguh, tidak biasanya aku
seperti ini. Aku sudah bertekad tidak akan melakukan perbuatan bodoh untuk kedua
kalinya. Cukup satu kali saja aku dikhianati laki-laki yang semula begitu
kucintai. Untuk selanjutnya aku hams melangkah hati-hati eli jalan
kehidupanku yang masih panjang ini. Khususnya jika itu berkaitan dengan
kaum Iaki-laki. Dengan pikiran seperti itu lekas-lekas aku men?jawab pertanyaan Gatot tadi
dengan sikap dingin dan mulai mengambil jarak Iagi. Terlebih karena aku tadi
sempat mengagumi penampilannya, pa?dahal sebelum ini aku tak pernah
memikirkan hal?hal seperti itu.
"Sudah," jawabku dengan singkat.
"Selain bekerja di Bank Indonesia, apakah kau mempunyai pengalaman
bekerja di tempat lain?"
"Tidak." Lagi-lagi aku menjawab pendek.
"Jadi berarti, begitu menyelesaikan kuliahmu kau langsung bekerja di
tempatmu yang sekarang ini?"
"Ya." "Kau senang bekerja di tempatmu itu?" "Ya."
"Tidak ingin mencari pengalaman lain?" Gatot melirik sejenak ke arahku.
"Mungkin di tempat yang lebih banyak tantangannya?"
"Tidak." Aku masih menjawab singkat dan se?kenaku. Padahal sesungguhnya
aku ingin juga men?cad pengalaman bekerja di tempat lain yang lebih menan
tang. Aku menyukai kemajuan dan tantangan yang memacu kemampuan dan
otakku. "Hm, rupanya kau termasuk orang yang tidak menyukai tantangan, ' Gator
mengomentari jawabanku. Komentar yang, sangat keliru. Tetapi aku tak ingin menanggapi komentarnya.
Bukan urusannya. Biar saja dia berpikir keliru tentang diriku. Aku tak peduli.
Tetapi rupanya Gatot tidak puas. Ia ingin mengetahui pendapatku.
"Betulkab ucapanku tadi?" Laki-laki itu berkata lagi dengan nada memancing.
Tetapi, aku tak se?mudah itu tetpancing olehnya.
"Yah, mungkin saja ... ," sahutku sambil melem?parkan pandangan ke luar
jendela dengan sikap acuh tak acuh yang kusengaja. Laki-laki itu tak perlu
mendengar komentar yang keluar dad lubuk hatiku.
Aku merasa Gatot melirikku begitu mendengar jawabanku tadi. Tetapi aku
berhasil menyembunyi?kan apa pun perasaan yang sedang melintasi hatiku,
www.ac-zzz.tk Bahkan sekarang kuangkat daguku dan mataku lu?rus menatap ke depan, ke
lalu lintas kota Jakarta yang rasanya semakin hari semakin padat itu.
Selama beberapa saat tidak ada suara manusia di dalam mobil yang
kuuimpangi itu. Yang terde?ngar hanyalah suara musik instrumentalia yang
menyajikan lagu-lagu manis. Tetapi kira-kira lima menit kemudian, Gatot
bersuara lagi. Dia tak laban berdiam diri terlalu lama, rupanya.
"Kau sungguh berbeda dengan kedua adikmu.
Terutama dengan .Tina," katanya dengan nada suara mengambang. "Betul kan
kataku ini?" Aku tabu apa yang dimaksud olehnya. Kedua aclikku memang termasuk ramah
kepada siapa pun, . e. uai dengan ajaran orangtuaku. Terutama Tina, yang
pembawaannya memang lincah dan mudah akrab dengan siapa pun. Temannya
banyak sekali. Laki-laki maupun perempuan.
Tetapi ah, rasanya dulu pun aku mirip dengan dia dalam banyak hal dan juga
dalarn pergaulanku dengan ternan-ternan. Seperti Tina, aku juga punya
banyak ternan. Baik ternan-ternan lama semasa masih sekolah maupun temantemanku di rnasa dewasa. Dalarn hal pergaulan, kedua orangtuaku selalu
menekankan satu hubungan yang baik dan penuh rasa persahabatan. Seluruh
ajaran rnereka tentang nilai-nilai keindahan dalam kaitannya hidup bersama
orang lain di dunia ini sudah terbatinkan dalarn diri kami bertiga. Dan apa
yang sudah terinternalisasikan dalam diriku itu telah menjadi bagian serat
tubuhku. Tetapi justru karena itulah ketika dengan mata kepalaku aku
melihat Bram sedang berkasih mesra dengan sahabatku sendiri di karnar
kosnya, aku benar-benar merasa eperti ditampar dengan amat keras eli dasar
hatiku. Pikirku saat itu, di manakah nilai-nilai kasih sayang dan kesetiaan yang
sesungguhnya" Di manakah nilai?nilai persahabatan antarmanusia seperti yang
selama ini menjadi prin ip hidupku" Kenapa dua orang yang katanya
menyayangiku dan merupakan orang?orang terdekatku justru tega
rnengkhianatiku hanya karena kebutuhan biologis semata" Sungguh, am?pai
sekarang ini sulit rasanya bagiku untuk tetap menempatkan nilai-nilai kasih
sayang dan kesetiaan agar tetap berada di atas kepalaku dan menjadi
pegangan yang paling penting bagi hidupku.
Jadi salahkah aku kalau kemantapan sikapku terhadap laki-laki dan rasa
persahabatanku yang kuat sekarang ini mulai bergeser" Salah pulakah kalau
aku tidak lagi memiliki keramahan dan kemanisan sikap seperti yang masih
dimiliki oleh TIna, si burung kenari tersayang dalam keluargaku itu"
"Hei, kok malah diam saja?" Tiba-tiba terdengar lagi suara Gatot
menyadarkan diriku bahwa saat ini aku masih semobil dengannya.
www.ac-zzz.tk Maka kukembalikan perhatianku.
"Memangnya apa yang harus kukatakan?" tanyaku kemudian.
"Tentu saja menjawab pertanyaanku tadi, Yaitu, apakah betul pendapatku
mengenai dirimu itu?"
"Pendapatmu yang mana?" Aku pura-pura tak tahu.
"Bahwa kau berbeda sekali dengan kedua saudaramu!" Gatot melirikku lagi.
Ada rasa jengkel di matanya. "Terutama dengan Tina!"
"Tentu saja aku berbeda. Biarpun kami bertiga
sedarah dan sedaging, tetapi aku bukan mereka.
Aku seorang individu tersendiri. Jadi, jangan suka menyama-nyamakan orang.
Apalagi membanding?bandingkannya. ltu kurang etis. Paham?"
Mendengar sahutanku, Gatot melirikku lagi. Te?tapi aku pura-pura tidak tahu
meskipun aku adar betul bahwa laki-laki itu sudah mulai merasa jeng?kel
terhadapku. Sejujurnya harus kuakui, aku memang bukan seorang ternan yang
enak diajak bicara. Dan terlebih lagi, aku juga bukan seorang ternan
seperjalanan yang menyenangkan.
"Tetapi boleh kan kalau aku memberi penilaian mengenai dirimu"'
"Tidak, karena aku sudah tabu seberapa besar nilai diriku sendiri!" Aku
meruncingkan bibirku dengan mengedikkan kepala.
"Tetapi pasti itu sifatnya subyektif. Beda dengan penilaian obyektifku. Bahwa
kau adalah seorang gadis yang dingin, yang takut menebarkan rasa
persahabatan, yang di mana pun atau ke mana pun kau pergi dan bertemu
orang selalu kaubatasi dengan jurang-jurang galianmu sendiri."
"Kau boleh menilaiku apa saja, Gatot. Aku tak peduli." Kedengarannya memang
tidak sopan, tetapi biarlah. Sebab pikirku, semakin negatif Gatot menilaiku
akan semakin amanlah diriku. Dan semakin aman diriku, akan semakin damailah
batinku. Suatu kedamaian yang bukan saja mahal harganya, tetapi juga
didapat melalui jalan yang amat panjang. Sebab setelah berbulan-bulan :
lamanya aku sering menumpahkan air mata di bantalku atau di kamar maneli
dengan diam-diam, dan juga sesudah aku sering merasa kaget setiap dering
telepon berbunyi karena takut Bram mencariku untuk mendapatkan maafku
lagi, barulah kepasrahan itu kudapatkan. Barulah pula kuraih kesadaran untuk
menerima kenyataan pahit itu sebagai bagian dari kehidupan yang harus
dijalani oleh setiap manusia.
Sekarang, aku tidak ingin ketenangan dan kedamaian yang sudah berhasil
kudapatkan itu tercemar oleh seorang tetangga baru. Apalagi kalau tetangga
baru itu bernama Gatot, yang tadi sempat membangkitkan pujian dalam
batinku. Oleh karena itu sebelum pujian itu menjadi berlarut dan berkembang
www.ac-zzz.tk lebih Ianjut, meskipun kemungkinan untuk itu kecil mengingat luka yang
ditinggalkan oleh Bram masih belum sembuh betul, aku harus cepat?cepat
mengamankan diriku. Apalagi firasatku membisikkan bahwa laki-laki bernama
Gatot itu bisa membahayakan diriku. Maka sega1a risiko sekecil apa pun,
harus kupikirkan dan kuwaspadai mulai sekarang juga. Aku juga tidak boleh
menempatkan Gatot di hatiku. Baik bersifat positif maupun bersifat negatif.
Jadi, kuputuskan aku harus tetap mengambil jarak dengan tetangga baruku
itu! http:ebukita.wordpress.com
http:ebukita.wordpress.comDua
http:ebukita.wordpress.comCUACA sore hari itu tampak begitu cerah.
Meskipun matahari telah condong ke barat namun cahayanya yang keemasan
masih terus menyepuh pucuk-pucuk tanaman di halaman depan rumahku
sehingga tampak begitu indah. Sementara itu angin semilir yang lembut


Ketika Flamboyan Berbunga Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertiup ke segala penjuru eli sekitarku.
Aku duduk di teras menikmati kesendirianku, Di pangkuanku tergeletak
majalah kesayanganku yang sejak aku duduk di tempat itu belum sekali pun
sempat kubaca. Mataku lebih banyak melayang ke sekelilingku. Ke halaman
yang selalu rapi karena terawat dengan baik sekali. Lalu ke langit yang cerah
penuh warna keemasan, dan juga ke jalan raya dan ke mana pun mataku
berlabuh. Damai rasanya. Kompleks tempat kami tinggal termasuk daerah yang tenang karena jumlah
rumahnya tidak terlalu banyak. Hanya sekitar tiga ratusan rumab saja. Di
jalan depan rumahku yang bukan jalan utama, hanya sesekali mobil atau motor
pribadi yang lewat. Yang sering melintas di jalan itu adalah anak-anak
tanggung dengan sepeda mereka yang canggih, atau dengan bersepatu roda.
Mereka meluncur di jalan sekelompok demi sekelompok. Terkadang pula,
lewat pengasuh berseragam warna putih atau merah jambu sambil mendorong
kereta dengan anak asuhan mereka di dalamnya.
Sementara itu di kejauhan kudengar teriakan-teriakan gembira anak-anak
kecil yang pasti sedang bermain di taman, tak jauh dari ujung jalan rumah
kami ini. Kegembiraan anak-anak seperti itu mengingatkanku pada masa
kecilku dulu. Seperti mereka, dulu aku juga selalu merasa gembira setiap
malam Minggu tiba. Sebab, tak ada PR yang harus kami kerjakan. Tak ada
pelajaran yang harus diulang apalagi karena keinginan melihat acara
kesayangan di televisi. Sudah begitu, 'di malam Minggu kami juga boleh tidur
lebih malam dari hari biasa.
Di awal-awal masa dewasaku, kegembiraan malam Minggu mempunyai warna
yang lain lagi. Selalu saja ada acara menarik yang kulalui bersama remantemanku di malam panjang itu. entah nonton film, entah makan di luar, entah
www.ac-zzz.tk jalan-jalan ke suatu tempat, atau cuma mengobrol ramai-ramai di rumah
teman secara bergantian. Dan bisa dipastikan, selalu ada makanan enak: yang
tersaji di atas meja. Kalaupun tidak, kami bisa membuatnya beramai-ramai
dalam acara "bakar-bakaran". Ikan bakar, singkong, jagung, dan ubi bakar.
Pokoknya, menyenangkan. Kemudian ketika aku mulai berpacaran, malam Minggu menjadi lain lagi
maknanya, Kalau sebelumnya acara-acara nonton film atau hura-hura itu
kulakukan bersama teman-temanku, baik laki-laki maupun perempuan,
keberadaan Bram dalam kehidupanku mengubah kebiasaan-kebiasaan
semacam itu. Menonton film, makan di luar, jalan-jalan, atau hanya mengobrol
di teras rumahku jarang sekali kulakukan bersama teman-temanku. Tetapi
lebih banyak bersama Bram. Dan itu terus berlanjut sampai akhirnya Bram
mengkhianatiku setelah permintaannya yang tidak pantas kutolak
mentah?mentah. Kini sesudah aku tidak lag] mempunyai kekasih, malam Minggu banya
kunikmati sendirian saja. Kuisi malam-malam Minggu yang datang dalam
kehidupan di masa kini ini dengan membaca, menonton televisi, jalan-jalan
sendiri ke toko buku, atau duduk melamun sambil menikmati suasana damai
seperti yang sekarang sedang kulakukan di teras depan ini.
Tentu saja kedamaian sebagaimana yang kura?sakan sore hari menjelang
malam minggu itu bukan datang dengan begitu saja, melainkan melalui
per?juangan .batin yang tidak mudah. Sebelum aku berhasil menghadapi
realita kehidupan dengan kepasrahan seperti ini, hampir setiap malam Minggu
kubabiskan di dalam kamar dengan deraian air mata. Malam-malam Minggu
yang manis bersama Bram telah berakhir dengan cara yang sangat
menyakitkan. Rasanya, luka hati itu tak kunjung sembuh, sampai-sampai aku
nyaris putus asa. Tetapi toh akhirnya waktu juga yang mengusap luka-luka itu
dan juga menyembuhkannya meskipun caraku menatap dunia pergaulan
bersama kaum laki-laki kini berubah.
Tetapi bagaimanapun juga, senang rasanya bahwa pada akhirnya aku mampu
menghadapi malam Minggu dengan hati yang lebih damai, seperti sore ini.
Kesendirian itu kunikmati seperti apa adanya meski tak seorang pun
menemaniku. Ibu dan Bapak sedang bepergian ke rumah kenalan mereka. Didik
baru saja berangkat ke rumah pacarnya. Dan di dalam rumah, Tina sedang
mengobrol melalui teIepon entah dengan teman yang mana, saking banyaknya.
Kata Ibu, adik perempuanku inilah yang paling banyak mempergunakan telepon
di rumah kami. Kalau tidak dia yang menelepon temannya, tentu temanwww.ac-zzz.tk temannya yang menelepon dia. Adik bungsuku itu memang luas sekali
pergaulannya, Dan dia termasuk gadis yang menyenangkan.
Setelah puas melamun, niatku membaca muncul kembali. Majalah yang sejak
tadi berada atas pangkuanku, kuambil. Tetapi sebelum tanganku sempat
membuka-buka halamannya, tanpa aku sengaja tatapanku melayang ke arah
pohon flamboyan di tepi jalan depan rumahku. Lalu tiba-tiba saja aku sadar
bahwa sudah lama sekali rasanya aku tidak melihat pobon itu berbunga. Entah
karena memang belum musimnya berbunga atau entah karena kurang pupuk
atau pula karena sebab-sebab lainnya, aku tidak tahu. Tetapi yang pasti
tatkala melihat kehijauan daun-daunnya yang tak dihiasi bunga yang berwarna
jingga dan indah itu, tiba-tiba saja aku merasakan adanya persamaan nasib.
Sama seperti flamboyan di depan rumah itu, hatiku juga tak lagi menyimpan
bunga-bunga kehidupan yang indah dan berseri.
Di luar kehendakku, aku menarik napas panjang sekali. Dan sebelum aku
tenggelam lagi ke dalam kesedihan, cepat-cepat tanganku mulai membukai
halaman-halaman majalah. Tetapi ketika aku sedang membalik-balik halaman
majalah itu, suara seseorang terdengar menyapa diriku.
"Halo, Ambar .... "
Kuangkat wajahku. Di tangga menuju ke teras rumah, aku melihat Gatot
berdiri tegak. Sebuah pot berisi tanam an hias berada dalam pelukannya.
Entah kapan lelaki itu memasuki halaman rumah,. aku tak tahu. Mendengar
suara pintu pagar dibuka orang pun, tidak. Tahu-tahu saja dia sudah ada di
dekatku. Pikirku, itulah kalau kubiarkan diriku terseret kenangan masa lalu.
Karena aka diam saja, lelaki itu menegurku lagi.
"Hai,' sapanya lagi, sambil meletakkan pot yang semula berada di dalam
pelukannya itu ke lantai teras dekat kakinya.
"Hai," aku terpaksa membalas sapaannya. Tetapi di dalam hati, aku merasa
kesal melihat kedatangannya yang tidak pada waktu yang tepat. Sebab
ketenangan, kedamaian, dan kebebasanku di tempat ini jadi ternoda.
"Bu Joko ada di rumah?" lelaki itu bertanya
sambil melangkah mendekati tempatku duduk. Kemudian setelah menarik
salah satu kursi teras di dekatku, dia langsung duduk dengan sikap santai
yang tampak manis dan menyenangkan. Kentara sekali dia sudah terbiasa
duduk di tempat itu. Tetapi ah, masa bodohlah. Aku tak ingin memikirkan
apakah dia sudah terbiasa duduk di situ atau belum. Bukan urusanku.
"Ibu pergi," sahutku kemudian. Pendek saja dan tak ada niatku untuk
meletakkan majalah yang terbuka di pangkuanku itu ke atas meja di depanku
www.ac-zzz.tk demi menunjukkan sikap sopan santun. Buat apa" Aku toh tidak mengharapkan
seorang tamu di saat sedang ingin sendirian begini.
"Jadi, Bu Joko pergi, ya?" kudengar Gatot berkata lagi. "Padahal aku
membawakan tanaman hias yang telah kujanjikan kepada beliau kemarin."
Mendengar perkataannya itu mataku melayang ke arah pot bunga yang
dibawanya tadi. Memang Itu tanaman yang unik, Daunnya berbintik-bintik dan
bergerombol lebat dengan kombinasi warna hijau dan putih yang indah. Aku
yang juga menyukai jenis-jenis tanaman hias, tak tahan untuk tidak
mengomentarinya. Baik sekali Gatot membawakan tanaman seindah itu untuk
Ibu. "Dari mana tanaman hias yang indah itu?" tanyaku kemudian,
"Kubeli di pameran tanaman di Lapangan Banteng kemarin."
"Berapa Ibu harus mengganti harga tanaman itu?" aku bertanya seenaknya.
Pertanyaan tak sopan itu memang sengaja kulontarkan untuk menutupi rasa
senangku atas tanaman itu. Padahal aku yakin sekali, Gatot datang mencari
Ibu bukan untuk menagih uang yang telah dikeluarkannya untuk membeli
tanaman itu. Bahkan aku juga yakin, dia pasti tidak mau menerima uang itu
kalau Ibu menggantinya. "Tidak usah." Seperti yang kuduga, Gatot memang tidak mau diganti uangnya.
"Ini oleh-oleh dariku untuk Bu Joko. Beliau pernah berkata bahwa kalau
kebetulan aku melihat tanaman hias yang unik, tolong belikan dulu. Tetapi
untuk kali ini, uangnya tak usah diganti."
"Nanti akan kukatakan kepada Ibu. Dan terima kasih atas nama beliau!"
"Mudah-mudahan saatnya tepat. Besok hari Minggu. Biasanya kau dan Bu Joko
suka berkebun, kan"'
"Ya." Ah, laki-laki itu tetap saja duduk dengan santai?nya. Padahal aku tidak suka
diganggu olehnya. Aku enggan sekali mengobrol dengannya. Pertama, karena
aku tak ingin kehadiran orang lain saat ini. Kedua, kedatangannya toh bukan
untuk menjum?paiku, melainkan Ibu. Ketiga, aku tidak ingin me?natap wajab
ganteng yang memiliki daya tarik yang luar biasa ini. Dan keempat, mekipun
Gatot sudah sering datang kemari dan mengobrol bersama keluargaku, tetapi
aku tak pernah mau bergabung dengan mereka. Biasanya aku lebih suka
berada di dalam, entah untuk membaca atau untuk menonton televisi. Dan
kebiasaan seperti itu tidak akan kuubah meski hanya demi basa-basi dengan
tamu yang tak diundang mi.
www.ac-zzz.tk Tetapi demi aturan sopan santun bertetangga, aku tidak boleh langsung
berdiri dan meninggalkannya sendiri. Dan itu membuat perasaanku jadi amat
tertekan. Tetapi untunglah tiba-tiba aku teringat pada Tina yang sedang di
dalam dan mungkin sudah selesai menelepon. Akan kualihkan beban keharusan
duduk di muka Gatot itu kepada adikku yang pasti lebib menyenangkan kalau
diajak mengobrol. "Mau mengobrol dengan Tina?" tanyaku tanpa memedulikan apakah
pertanyaanku itu sopan atau tidak. Aku tidak ingin bersikap munafik.
Mendengar pertanyaanku, Gatot agak tertegun.
Aku yakin laki-laki itu telah menangkap keinginanku untuk menghindarinya.
Tetapi agaknya dia berhasil menetralisir situasi yang menyudutkannya pada
posisi sebagai "orang yang tak diinginkan". Hanya dalam waktu sekejap saja
air mukanya kembali cerah dan matanya berseri-seri, Entah Itu pura-pura,
atau memang senang akan bertemu dengan Tina, aku tak tahu.
"Jadi Tina ada di rumah" Kusangka dia pergi," katanya kemudian. "Kalau
memang dia ada di rumah, suruhlah keluar untuk mengobrol di sini bersamaku.
Aku paling suka bercakap-cakap dengan adikmu yang selalu celia dan lincah
itu." "Oke," sahutku. "Akan kusuruh dia keluar. Tunggu, ya?"
Di dalam, aku melihat adik bungsuku itu sedang
mengambil kue sambil menyanyi-nyanyi. Kue itu pasti buatan Bik Imas.
Kemarin petang ketika aku pulang dari bepergian, aku melihat pembantu
rumah tangga kami itu sedang. memanggang adonan yang sekarang sudah
menjadi kue lezat dan sedang di?potong oleh Tina. Begitu melihat
kehadiranku, gadis itu langsung bertanya.
"Kau tadi bercakap-cakap dengan siapa, Mbak?"
Dimasukkannya sepotong besar kue ke mulutnya.
"Dengan Gatot. Dia datang untuk mengobrol denganmu!" sahutku sambil
menatap wajah cantik yang sedang kerepotan dengan kue yang memenuhi
mulut mungilnya itu. Sungguh seperti anak kecil saja. "Bersikaplah sedikit
dewasa, Tina. Masa kue sebesar itu kaumasukkan sekaligus ke dalam mulut.
Tidak sopan dan tidak: manis dilihat orang. Ingat, Sayang, sebentar lagi kau
sudah menjadi mahasiwa, lho!"
Mendengar tcguranku, mulut Tina menyeringai.
Kemudian dengan . cepat dikunyahnya kue yang ada di dalam mulutnya itu. Lalu
didorongnya de?ngan seteguk air putih. Matanya yang bagus agak mendelik
ketika menelan kue itu. www.ac-zzz.tk "Aduh, Mbak, sikapmu melebihi sikap Ibu kalau menegurku!" gerutunya
kemudian. "Padahal aku mau makan dengan cara apa pun tadi toh tidak ada
siapa-siapa di dekatku. Malahan mau menelan dua potong sekaligus juga tidak
ada yang melihat." "Jangan suka berpikir seperti itu, Tina. Nanti jadi kebiasaan, Iho. Anggap
saja di mana-mana ada mata yang sedang mcngawasimu,"
''Termasuk matamu kan, Mbak?"
"Jangan selalu membela diri, Non. Nanti kau jadi tampak nyinyir. Jadilah
orang yang tabu menempatkan diri di mana pun. Jangan memandang segala
sesuatu dari sudut pandang sendiri, Lihat juga cara pandang orang lain."
"Iya, Eyang." Tina menyeringai lagi. "Sekarang sikapmu bukan lagi seperti
Ibu, tetapi sudah seperti sikap Eyang kalau menasihati kita. Panjaaaaaang,
berkilo-kilo. " Aku tertawa. "Itu karena aku sangat menyayangimu, tahu!" kataku kemudian.
"Tentu saja aku tahu. Sampai-sampai kalau saja itu mungkin, Mbak ingin
menggendongku ke mana?mana seperti menggendong bayi .... " Lagi-lagi gadis
bandel itu menyeringai dengan mulutnya yang bagus. Kecantikannya tidak jadi
berkurang karenanya. Bahkan bagiku, tampak lucu dan menggemaskan.
"Sudahlah, lekaslah kau keluar menemui tetanggamu yang baik itu," sahutku
tersenyum gemas. , Dia sudah tidak sabar menunggumu."
"Mbak, dia sudah sering kali datang kemari.
Tetapi dia datang bukan untuk menjumpai aku atau siapa pun dari keluarga
kita secara khusus. Dia cuma ingin memperlihatkan keakraban dan
kedekatannya dengan keluarga kita. Semuanya, tanpa terkecuali. Maka, kita
semua di rumab ini ada?lab tuan atau nyonya rumah buatnya. Artinya, dia itu
tetangga terdekat keluarga kita. Jadi, juga tetangga terdekatmu. Itu harus
digarisbawahi dengan tinta tebal. Paham?"
"Apa maksud bicaramu itu?"
"Maksudku jelas sekali, Mbak." Tina mengerucutkan bibirnya yang indah itu.
"Kau pun harus duduk mengobrol bersamanya dan menemani kehadirannya.
Selain sebagai tetangga kita yang paling dekat, dia itu juga baik sekali, lho.
Jadi bersikap ramahlah kepadanya. Kita ini tidak hidup sendirian di sini dan
rumah kita juga tidak terpeneil dari rumah-rumah lainnya. Jangan suka
mengambil jarak dengan para tetangga. Tidak baik dan menyalahi kodrat,
sebab kita ini makhluk sosial yang tidak bisa hidup seorang diri tanpa
kehadiran orang lain."
www.ac-zzz.tk "Nah, kau sekarang yang seperti Eyang!" aku memotong perkataan Tina
dengan jengkel. Dia telah menyentuh tepat kelemahanku. "Kecil-kecil sudah
berani menguLiahi orang tua. Sudah sana, temani tetanggamu yang paling
dekat dan paling baik itu, Aku tidak punya waktu untuk omong kosong
dengannya. Lebih baik aku membaca-baca di dalam, karena itu jauh lebih
bermanfaat. Oke?" "Tetapi, Mbak, dia datang bukan melulu mencariku. Dia pasti juga ingin
mengobrol dengan yang lain. Denganmu atau dengan siapa pun di rumah ini.
Dan karena saat ini di rumah hanya ada aku dan kau, maka kita berdualah yang
harus menemaninya bersama-sama. Bukan hanya aku saja."
"Itu kan katamu. Aku lebih suka sendirian kok," sahutku dengan suara tegas.
"Lagi pula, dia kan lebih akrab denganmu atau dengan yang lain daripada
denganku. Jadi pasti dia akan lebih suka mengobrol bersamamu daripada
denganku. Aku yakin dia tidak akan suka berada di dekat seorang gadis yang
malas bicara dengannya. Nah, jelaskan alasanku ini?"
''Tetapi, Mbak, yang bertetangga dengan Mas Gatot itu kan bukan hanya aku
atau Mas Didik atau kedua orangtua kita saja. Tetapi kau juga tetangga
dekatnya!" Tina masih juga belum mau mengalah. "Bahwa pada kenyataannya
aku dan yang lain lebih akrab dengan Mas Gatot maupun dengan Mas Hari, itu
karena kami sudah sering bertemu dan mengobrol bersama-sama. Jadi
menurutku, sekarang inilah kesempatanmu untuk lebih kenal dengannya dan
menjadi akrab seperti kami dengan mereka berdua .... Bayangkan, Bik Imas
saja pun sudah akrab dengan dia maupun dengan Mas Hari."
"Biar saja kalau kalian suka berakrab-ria dengan dia. Aku malas kok. Terlalu
akrab dengan tetangga bikin capek orang saja. Manggut sana, manggut ini,
berbasa-basi ini dan itu di sana. Bersopan santun, berhandai-handai, padahal
di dalam hatinya lain. Itu kan munafik. Jadi, Tina, kau sajalah yang
menemani tetangga baikmu itu. Aku tidak tertarik untuk menjalin keakraban
dengannya." "Apa sih yang sebenarnya terjadi padamu, Mbak"' Tina menempatkan kedua
belah tangannya di atas pinggulnya. "Apakah hanya karena peng?khianatan
Mas Bram kau lalu menganggap semua orang tidak menyenangkan" Iya?"
"Jangan menganalisa yang bukan-bukan, Tina." "Aku cuma mau mengatakan
bahwa Mbak keliru kalau masih saja memandang dunia yang sebetulnya indah


Ketika Flamboyan Berbunga Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini dengan kacamata burammu itu. Lagi pula ... "
"Tina', aku tidak ingin berdebat denganmu!" aku mermotong perkataan Tina.
Dan sebelum gadis itu berpanjang-panjang kata lagi, aku lekas-Iekas
www.ac-zzz.tk menyelinap masuk ke kamar tidurku. Biar saja Tina merasa jengkel kepadaku,
aku tak peduli. Dan biar saja Gatot menganggapku sebagai nyonya rumah
yang tidak ramah, masa bodoh. Memangnya kenapa
memikirkannya" Kira-kira setengah jam kemudian tatkala aku sudah tenggelam dalam
bacaanku. Tina menyusul masuk ke kamarku. Blus longgar dan celana pendek
yang dikenakannya tadi telah ditukarnya dengan
celana jeans dan kemeja berpotongan feminin. Jahitan di bagian pinggang
kemeja yang dikenakan Tina itu menyebabkan lekuk. tubuhnya yang indah jadi
kentara. Sementara itu di bahunya tergantung tas kesayangannya.
'Kau mau ke mana?" aku bertanya, ingin tahu. "Aku mau pergi, Mbak!" begitu
dia berkata kepadaku. "Kalau Ibu dan Bapak sudah pulang nanti dan aku belum
kembali, tolong katakan kepada mereka bahwa aku diajak jalan-jalan oleh Ma
Gatot.' "Jalan-jalan ke mana?" tanyaku acuh tak acuh.
"Apa yang akan kukatakan kepada Ibu kalau beliau menanyakanmu ?"
"Aku sendiri tidak tahu mau diajak ke mana oleh Mas Gatot. Pokoknya dia
ingin mengajakku pergi. Mungkin non ton film karena kebetulan ada film bagus
di Planet Hollywood. Pokoknya, kami mau bersenang-senang mencari hiburan.
Katakan saja begitu kepada mereka."
"Mau menonton yang jam berapa?"
"Entahlah. Tergantung yang mengajak dan tentu saja juga tergantung
keadaan." Sambil berkata seperti 'itu Tina mengibaskan rambutnya. Sungguh, cantik
sekali adikku itu. Meskipun banyak orang mengatakan aku berwajah jelita
tetapi rasanya aku tidaklah sejelita gadis itu. Semua kecantikan Ibu dan
garis wajah Bapak yang tampan menurun dan diwariskan kepada si bungsu itu.
Melihatku diam, Tina berkata lagi,
"Ikut ya, Mbak" Daripada di kamar sendirian kan lebih menyenangkan melihat
dunia luar. Malam nanti pasti tampak indah karena kulihat rembulan udah
mulai muneul menghiasi langit yang bersih.
Mau ya menyaksikan itu semua?"
"Tidak. Aku lebih suka di rumah!"
"Yang menawarimu supaya kau mau ikut itu Mas Gatot lbo, Mbak. Bukan cuma
aku," kala Tina lagi.
"Idih, apa bedanya" Kau kan tahu Tina, aku tidak akan pergi kalau hatiku
bilang tidak." Aku mendengus. "Apalagi kalau itu cuma mau rneneng?gang
perasaan orang." www.ac-zzz.tk ;'Mas Gatot tadi juga udah menyangka kalau kau tidak akan mau diajak pergi."
"Baguslah kalau dia sudah tahu itu."
"Kau sungguh tidak ramah terhadapnya, Padahal dia baik kepadamu," Tina
berkata lagi sambil membetulkan letak tali tasnya. "Tetapi sudahlah, kalau
kau tak mau ikut bersama kami ya sudah. Nah, aku berangkat sekarang."
"Bilang pada Bik Imas Tho, Tin!" seruku. "Dan suruh dia mengunci pintu depan
maupun pintu samping rumah."
"Beres!" Tina menutup kembali pintu kamarku, menghilang dari pandangan, dan
meninggalkanku sendirian.
"Dan jangan terlalu malam, Tina," seruku lagi. 'Tergantung keadaan." Suara
adikku terdengar emakin jauh. Lalu samar-samar aku mendengar suaranya, berbieara dengan
Bik Imas. Hatiku lega, terbebas dari keharusan untuk menemani tamu yang
tak kuharapkan itu. Seandainya aku tabu bahwa mal am itu aku te-lah melakukan suatu
keteledoran, karen a sebagai se?orang kakak, aku telah membiarkan adikku
dibawa pergi oleh laki-laki berpengalaman, pasti tak akan kuizinkan itu
terjadi. Sebab, sesudah kepergian mereka yang pertama itu, keduanya jadi
sering pergi berduaan ke mana-mana. Bahkan pernah terjadi, mereka baru
pulang sesudah jam dua belas malam. Entah ke mana mcreka, aku tak tahu.
Tetapi yang jelas, sekarang aku benar-benar menyesali ketele?doranku malam
itu. Hanya gara-gara aku ingin terbebas dari tamu tidak diundang itu,
kubiarkan adikku menjalin hubungan yang lebih akrab dengan Gatot. Ah,
betapa egoisnya aku, sampai-sampai tak masuk ke dalam pikiranku apa
akibatnya. Tetapi sekarang menyesal pun sudah terlambat, " sebab belakangan ini aku
telah melihat adanya " tanda-tanda adikku itu sedang jatuh einta. Dar!
kamarnya, selalu saja terdengar lagu-lagu einta yang manis dan romantis. Dan
juga, aku selalu mencium aroma wangi yang menguar dari tubuhnya kalau kami
kebetulan berpapasan. Padahal, hal-hal semacam itu tak pernah terjadi
sebelumnya. Terus terang saja aku benar-benar merasa sangat khawatir kalau-kalau
adikku sedang jatuh cinta kepada Gatot dan lalu mereka berdua mulai
menjalin hubungan asmara yang terus berkelanjutan. Ke?khawatiran itu bukan
disebabkan karena Gatot orang yang tidak bisa dipercaya atau semacam itu.
Tetapi karen a sebab yang lain. Antara lain karena jarak usia mereka yang
terlalu besar. Kudengar dari Ibu, Gatot berusia tiga puluh dua tahun
sementara Tina baru sebulan yang lalu menginjak usia delapan belas tahun.
www.ac-zzz.tk Jarak usia mereka empat belas tahun. Sudah begitu, Tina termasuk gadis
yang polos, lugu, dan belum berpengalaman dalam bercinta. Sedangkan Gatot,
aku yakin lelaki itu sudah banyak pengalamannya. Dia ganteng, punya uang,
anak dokter yang sukses pula. Aku berani memastikan, banyak gadis pernah
tergila-gila padanya. Melihat keakraban yang terjalin di antara Gatot dan Tina, aku benar-benar
merasa sangat tertekan. Semakin derajat keakraban itu meningkat, semakin
meningkat pula kekhawaliranku. Dan nyaris memuncak sewaktu aku mendengar
Ibu mengizinkan Gatot membawa Tina pergi ke luar kota. Begitu sepasang
insan itu pergi, aku langsung mendekati Ibu.
"Kenapa Ibu membiarkan Gatot membawa Tina pergi ke sana kemari," kataku
kesal. "Padahal, anak itu masih harus mengikuti tes ini dan itu untuk
melanjutkan studinya yang masih belum jelas akan diterima di universitas
mana." "Ibu mempercayai Gatot, Ambar."
"Jadi Ibu setuju kalau mereka berdua saling jatuh cinta dan menjalin
hubungan?" Aku menjinjitkan alis mataku tinggi-tinggi.
"Yah, apa salahnya" Mereka berdua sama-sama masih bebas dan tidak
mempunyai keterikatan dengan seseorang secara kbusus," sahut Ibu tenang.
"Bu, Gatot itu empat belas tahun lebih tua daripada Tina. Jarak umur sekian
itu terlalu jauh," kataku lagi. "Apalagi Tina masih begitu polos dan lugu."
Ibu menatap wajahku selama beberapa saat sebelum kemudian menanggapi
perkataanku tadi. "Memang benar, jarak usia mereka berdua cukup jauh," sahutnya kemudian
dengan suara bergumarn. "Jadi semestinya, kaulah yang lebih cocok dengan
dia dibanding Tina yang masih bijau itu."
"Kita sedang membicarakan Tina, Bu," aku memenggal perkataan Ibu. "Bukan
membicarakan diriku."
"Baiklah. Tetapi kalau Tina dan Gatot saling jatuh cinta, apa yang haru Ibu
katakan" Cinta itu kan tidak bisa dipaksa datangnya tetapi juga tidak
bisa diusir kepergiannya. Jadi bagaimana mungkin Ibu menjauhkan sepasang
kekasih yang sedang jatuh cinta itu, Ambar?"
"Tetapi Ibu kan bisa menasihati Tina!" Aku masih ngotot. Hatiku tidak rela
melihat Tina yang cantik dan masih belia itu menjadi kekasih Gatot.
Barangkali saja di masa mendatang mereka akan mengalami kesulitan akibat
perbedaan usia yang cukup jauh itu.
"Menasihati apa" Jatuh cinta itu bukan suatu keadaan yang membahayakan
jiwa, kan"' www.ac-zzz.tk "Betul, Bu. Tetapi ada bahaya lain yang menyangkut kebahagiaannya di masa
depan. Oleh karena itu harus ada orang yang bisa membuka mata Tina, bahwa
nantinya jarak usia di antara rnereka berdua akan menjadi hambatan dalam
komunikasi. Sebab akan ada banyak hal yang berbeda di antara mereka. Entah
itu menyangkut kesenangan, .selera, pandangan hidup, dan lain sebagainya.
Dan ita pasti akan mengurangi keakraban, kernesraan, dan rasa kebersarnaan
di antara mereka berdua."
"Yah, apa yang kaukatakan itu memang ada benarnya, Ambar!" Ibu
menganggukkan kepalanya. "Tetapi itu masih terlalu jauh untuk dipikirkan
saat ini, Pertama, dalarn perjaJanan waktu bisa aja mcreka akan sama-sarna
saling menimbuni jurang-jurang yang ada di antara mereka berdua sehingga
perbedaan seperti yang kaukatakan tadi akan mcnipis secara bertahap.
Kedua, hubungan percintaan di antara mereka berdua itu kan belum tentu
mengarah pada ikatan perkawinan mengingat Tina masih muda dan masih ingin
melanjutkan studinya."
"Tetapi Gatot sudah tidak muda lagi, Bu. Me?nilik umumya, dia pasti sudah
memikirkan untuk hidup beruroah tangga. Sebab, apa lagi yang di?tunggu"
Umur, cukup. Rumah dan kendaraan, ada. Pekerjaan, bagus, Itulah, Bu, yang
kucemaskan. Kalau Gatot meminta Tina menjadi istrinya, maka gadis itu akan
kehilangan mas a roudanya. Seko?lahnya terhambat. Dan masa depannya bisa
terhenti. Padahal, Ibu kan tabu bahwa Tina mempunyai otak yang sangat
eneer. Sayang, kan?"
Mendengar perkataanku Ibu menepuk lembut bahuku kemudian tersenyum
manis sekali, "Sudahlah, Nduk, Jangan terlalu mengkhawatir?kan adikmu itu,"
katanya beberapa saat kemudian, "Ibu akan mencoba menasihatinya."
Aku merasa lega mendengar janji Ibu. Kutunggu saja bagaimana hasilnya.
Tetapi alangkah sedih dan cemasnya hatiku ketika kemudian kusaksikan
bagaimana hubungan Tina dengan Gatot bukannya merenggang, bahkan
semakin hari tampak sernakin erat saja. Benar-benar membuat
kekhawatiranku bertambah sehingga muneul dalam pikiranku bahwa kalau
usaha Ibu tak berbasil maka harus ada orang lain yang bisa menyadarkan dan
membuka mata Tina sehingga dia tidak semakin tenggelam dalam cinta
butanya terhadap Gatot. Jadi kalau memang Ibu tidak sanggup melakukannya,
akulah . ebagai anak tertua yang harus menyelamatkan adikku. Semakin cepat
itu kukerjakan akan semakin baik jadinya.
Dengan pikiran seperti itu aku mulai mencari kesempatan untuk berbieara
empat mata dengan Tina. Oleh karena itu ketika di suatu malam Ming?gu aku
melihat dia pergi lagi dengan Gatot, aku sengaja menunggu kepulangan
www.ac-zzz.tk mereka. Selama me?nunggu itu entah .sudah berapa film dan acara te?levisi
yang kutonton, aku tidak begitu memperha?tikan. Bahkan sadar apa yang
kutonton saja pun tidak, Pikiranku terus melayang-layang rnembayangkan apa saja yang dilakukan oleh Gatot terha?dap adikku yang masih
polos itu. lsi dadaku sampai terasa bergolak menahan amarah.
Ketika akhirnya kudengar suara mobil berhenti di muka halaman rumah pada
jam setengah satu kurang sepuluh menit, kemarahan yang kutahan?tahan
sejak tadi pun nyaris meledak dan menyen?tak-nyentak kepalaku. Gatot
sungguh keterlaluan, membawa gadis ingusan itu pergi sampai selarut ini.
Entah ke mana pikiran warasnya.
Untuk mendinginkan kemarahanku, kubiarkan Tina masuk ke rumah dengan
cara mencurahkan perhatianku ke televisi. Pura-pura sedang terlarut oleh
cerita yang tersaji di layar kaca itu. Tetapi dari sudut mata kulihat Tina
berdiri di tengah ruang, sedang mernperhatikan keasyikanku.
"Kok belum tidur sih, Mbak?" tak berapa lama kemudian gadis itu menyapaku.
Kernudian dengan ikap manis dia menyusulku duduk, Dari tangannya, ia
meletakkan sebuah bungkusan berarorna martabak yang khas baunya. "Ini,
kubawakan martabak istimewa. Mas Gatot yang membelikan. Masih ha?ngat,
lho." Mendengar nama Gatot disebut, seketika itu juga . aroma yang tadi sempat
menggelitik perutku, lenyap tak berbekas. Tawaran Tina kuabaikan. Bahkan
me?lirik ke arah martabak pun aku tak sudi. Jadi kusahuti perkataan Tina
dengan sesuatu yang tak ada kaitannya dengan martabak yang masih hangat
itu. "Dari mana saja kalian tadi?" tanyaku. Kuken?dalikan nada suaraku agar tidak
sampai terdengar mengandung amarah.
"Nonton film, lalu pergi ke Ancel," Tina menjawab kalem.
Tetapi dadaku bergemuruh. Dengan eepat kepalaku menoleh ke arab gadis
yang duduk di dekatku itu. Namun tampaknya dia tidak tahu kalau aku kaget
mendengar jawabannya tadi. Dia duduk. de?ngan manis dan santai sekali. Kalau
saja aku tidak sedang kaget, barangkali akan kukagumi adikku malam itu. Dia
tampak luwes dan menarik dengan celana jins dan kemeja berikut rompinya
yang ter?buat dari bahan jins juga.
"Ke Ancol"' Aku melotot tanpa bisa mengendalikannya. "Kalian ke Ancol
berduaan saja?" "Ya," Tina menjawab sekalem caranya duduk.
www.ac-zzz.tk Dan dengan gerakan kalem juga, dia mulai mem?buka bungkus martabak dan
mcngambil sepotong, lalu dimasukkannya ke dalam mulutnya yang rnu?ngil itu.
Air mukaoya seperti bayi yang belum kenal dosa.
Ah, alangkah naifnya gadis itu. Tidak mengertikah dia betapa berbahayanya
pergi ke Ancol hanya dengan seorang lelaki, apalagi lelaki yang sudah matang
seperti Gatot" Tidak tahu pulakah dia bahwa tempat itu, terutama di
sepanjang pantainya, banyak orang berpacaran di dalam mobil yang kaca hitam
jendelaoya tertutup rapat. Apalagi pada malam-malam begini ini.
"Kau tahu itu temp at apa, Tina?" tanyaku ke?mudian. Tak tahan aku untuk
tidak bertanya seperti itu. Dengan sekuat tenaga aku berusaba untuk ti?dak
memperlihatkan kemarahanku. Bisa kaeau kalau aku tidak pandai-pandai
mengendalikan emosiku. "Tabu." Masih saja Tina tampak kalem dan san tai , Bahkan sambil mengunyah
martabak dengan nikmat. "Tahu apa?" aku bertanya lagi.
"Yah, di tempat itu ada bermaeam hiburan, ada banyak pula temp at untuk
jalan-jalan, untuk makan, untuk rnelihat barang-barang seni, dan sebagainya."
"Dan sebagainya itu apa konkretnya, Tina?" aku bertanya lagi,
Kali ini sulit bagiku untuk menyembunyikan
uaraku yang terdengar ketus.. Akibatnya, Tina rnenghentikan gerak
rahangnya yang sedang me?ngunyah martabak tam dan menatapku dengan
pan?dangan heran. "Sebenarnya apa sih yang ingin kaukatakan ke?padaku Mbak?" ia ganti
bertanya. "Apakah ada perbuatanku yang salah?"
Caranya menatapku dan pertanyaan yang dilon
tarkannya kepadaku itu menyiratkan kehijauan pe?ngalaman yang menyentuh
telak hatiku. Melihat ito kemarahanku surut dengan seketika. Ah, apakah aku
terlalu rnencemaskannya dengan cara yang berlebihan" Atau apakah aku saja
yang terlalu mengkhawatirkan sesuatu yang tak perlu dicemas?kan" Tetapi
ah, kalau aku teringat tatapan Gatot yang bisa memukau orang itu malah
seharusnyalah aku mencemaskan Tina karen a kepolosannya.
"Keliru sih tidak, Tina. Cuma saja ak:u meng?kbawatirkan dirimu," sahutku
kemudian dengan suara berubah lembut. "Aku bertanya seperti tadi ito
karena aku sangat menyayangimu. Aku tak ingin melihatmu mengalarni sesuatu
yang kurang menyenangkan di kemudian hari."
"Memangnya kenapa, Mbak" Apa sih yang kau?khawatirkan?"
'Yah, ada beberapa hal yang membuatku merasa khawatir Tina. Antara lain
karena kau pergi ke Ancol dengan Gatot rnalam-malam begini," jawab?ku
www.ac-zzz.tk terus terang. "Kau pasti sudah pernah mende?ngar bahwa pantai Ancol di
waktu malam penuh dengan orang-orang yang berpacaran ell dalam mobilmobil yang tertutup rap at. Nah, terus terang saja aku khawatir kalau-kalau
kau bersama Gatot juga ada di sana dan dan ... menjadi salah satu
di antara mereka, 1a1u " "Idih!" Tina memotong pcrkataanku dengan pipi merona merah. "Memangnya
aku ini apa, Mbak" Aku dan Mas Gatot tadi cuma putar-putar keliling Ancol
Ialu jalan-jalan eli Pasar Seni sambil menonton Ienong. Kemudian makan
malam di tempat itu juga. Setelah itu melihat-lihat lukisan dan ben?da-benda
seni yang dijual di sana. Dan pulangnya, karni mampir beli martabak untuk
oleh-oleh buatmu atau buat Mas Didik, Bukan sesuatu yang salah kan, Mbak";'
"Meroang bukan. Aku percaya kepadamu," sa?hutku. Hatiku lega mendengar
penuturannya itu. 'Tetapi bagaimana halnya dengan Gator" Terus te?rang aku


Ketika Flamboyan Berbunga Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kurang mempercayainya. Dia sudah cukup umur untuk berpacaran secara
serius. Semestinya dia tidak membawamu pergi sampai larut malam begini.
Ak:u cemas kalau-kalau dia akan membuat?mu lupa diri."
"Mbak, kau tidak mengenal Mas Gatot seba?gaimana aku mengenalnya!" Tina
menyerobot per?kataanku. "Dia tidak mungkin melakukan sesuatu yang akan
menyusahkan orang. Apalagi terhadapku maupun terhadap keluarga kita
sebagai tetangganya yang paling dekat. Dia itu laki-laki yang sangat baikdan
penuh rasa tanggung jawab lho, Mbak!"
"Mudah-mudahan memang seperti itu kenyataan?nya," aku bergurnam
perlahan. Tina menelan martabaknya kemudian rnenatap mataku selama beberapa saat
lamanya. Entah apa yang ada di dalam pikirannya, aku tak dapat me?oebaknya.
Tetapi tak berapa lama kemudian dia memuntahkan apa yang dirasakannya.
"Rasa-fa anya, Mbak Ambar tidak suka melihat bubunganku dengan Mas
Gatot. Betu1, kan?" begitu ia bertanya terus terang.
Aku tertegun mendengar keterusterangannya. Ke?mudian lekas-lekas aku
menjawab pertanyaannya . itu.
"Kalau saja umurnya sepuluh tabun lebih muda daripada umumya sekarang,
atau kalau saja kau lebih tua sepuluh tabun daripada urnurmu sekarang, aku
tidak akan mempersoalkannya."
"Tetapi tidakkab terpikirkan olehmu, Mbak, bah?wa dengan jarak usia yang
banyak begini justru Mas Gatot telah memperlakukanku dengan lembut dan
penuh pengertian" Ia juga memanjakanku . dan sangat sabar menghadapiku,"
kata Tina menjelas?kan. "Sungguh lho, Mbak, kalau aku bergaul dan
www.ac-zzz.tk berpacaran dengan pemuda sebayaku, belum tentu aku bisa merasa sebabagia
seperLi yang kurasakan bersama Mas Gatot saat ini."
Ah, adikku ini benar-benar sedang tenggelam dalam asmara. Apa pun
mengenai Gatot, selalu bagus dan sempurna baginya. Untuk menyisihkan nama
itu, aku mulai mengalihkan pembicaraan.
"Tina, terlepas dari apa yang telah kita biearakan tadi, aku ingin tabu apakah
kau tidak ingin me?lanjutkan studimu dan kemudian merealisasikan citacitamu untuk menjadi notaris seperti yang kau?ceritakan waktu itu. Ataukah
sudah ada cita-cita lain yang muneul belakangan" Menjadi p ikolog,
barangkali ?" "Aku masih tetap ingin menjadi notaris seperti Oorn Iskandar, Mbak ....
Tetapi kalau Mas Gatot tidak setuju, aku akan rnenurutinya dengan rela,
Bagiku, apa yang diinginkan oleh Mas Gatot adalah
sesuatu yang. paling penting," jawab Tina dengan penuh keyakinan.
Mendengar perkataan Tina, aku menarik napas ..
Panjang sekali. Juga sedih sekali. Sebab apa yang kuhadapi itu bukanlah apa
yang biasanya kulihat pada diri Tina. Semangatnya yang selalu berkobar
setiap membicarakan tentang cita-cita dan masa de?pannya, tak lagi ada.
Padabal gadis itu termasuk ga?dis yang cemerlang otaknya. Dan juga
kemauannya untuk maju sangat keras. Cita-citanya pun tinggi. Cukup sering
dia mengutarakan apa yang ada di. ha?tinya mengenai jauhnya jangkauan. yang
hendak di?capainya. Ia menyukai kemajuan. Ia senang mem?pelajari hal-hal
baru. La sangat haus pengetabuan. Mengenai hal itu beberapa kali Tina pernah
menga?takan kepadaku bahwa dia tidak pernah merasa ren?dab diri
berhadapan dengan orang yang secantik dan
emenarik apa pun. Dia juga tidak akan merasa kecil berdekatan dengan
pejabat tinggi, pengusaha hebat, ataupun dengan orang terkaya sedunia.
Tetapi jika berada di dekat ilmuwan atau orang-orang pintar yang luas
pengetabuan dan wawasannya, ia akan merasa dirinya tak berarti. Hal itulah
antara lain yang menyebabkannya ingin belajar dan belajar 'Ileneari ilmu,
menjadi orang pandai yang tabu bayak hal. Tetapi sekarang, apa yang baru saja ku?dengar dari rnulut mungilnya
itu" Kalau bukan menengar dengan telingaku sendiri, pasti aku tak akan :"ercaya Tina akan berkata
begitu. Rasanya, aku - dang berhadapan dengan orang lain. Bukan dengan Tina.
Asing rasanya. Tetapi, aku masih tak mau menyerah. Aku harus bisa mengembalikan
semangat dan gairah belajar?nya.
www.ac-zzz.tk "Tina, umurmu baru saja delapan belas dan baru akan menginjak bangku
kuliah," kataku. "Ti?dakkah kau merasa sayaug telah menyia-nyiakan
kesempatan untuk maju dan merealisasikan potensi yang ada padamu" Tidak
sayangkah itu, Tina" Kau seorang gadis yang pandai dan tingkat
kecer?dasanmu tinggi sekali!"
"Memang. Tetapi itu semua' tidak ada artinya jika dibanding dengan
kebahagiaanku bersama Mas Gatot, Mbak."
"Tina, jangan biarkan dirimu tenggelam dalam as mara buta seperti itu ....
Pikirkanlah lebih jauh. Jangan surutkan langkahmu dan tetaplah kau men?eari
sekolah dan ikut tes masuk. Soal Gatot, selarna belum ada kepastian yang
menyangkut rnasa depan?mu, jalanilah itu ebagaimana reneanamu semula,"
aranku penuh harap, dengan suara lembut. Padahal di dalam hatiku, aku
memaki Gatot yang telah menebarkan raeun di kepala adik tersayangku.
"Mbak, aku memang akan rnencari sekolah dan mengikuti tes masuk, Tetapi
kalau nantinya Mas Gatot menginginkan diriku agar sepenuhnya men?jadi ibu
rumah tangga, aku akan menomorduakan studiku."
Sekali lagi aku menarik napas panjang. Semakin kusadari sekarang betapa
adikku ini sedang jatuh cinta berat kepada Gatot, mabuk kepayang, sc?hingga
yang ada di dalam pikirannya hanyalah
Gatot _ dan 'Gatot saja. Hal-hal lainnya, bahkan yang dulu merupakan sesuatu
yang paling penting sekali pun, kini tersingkirkan olehnya.
"Kalau kau tetap saja ingin meninggalkan cita?citamu, Tina, suatu saat nanti
kau pasti akan me?nyesalinya," kataku kemudian. Aku masih tetap berusaha
menginsafkannya. "Sebab pernikahan bu?kan tempat orang mengubur citacita semula. Ka?laupun seseorang ingin sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga,
akan bagus jadinya kalau dia me?miliki pengetahuan Iuas, pandai, dan bisa
diajak bicara suami atau kenalan-kenalannya. Dan pasti juga bisa menjadi
ternpat bertanya bagi anak-anak?nya."
Tetapi ternyata usahaku menginsafkan Tina itu ia-sia belaka. Biearaku tidak
didengarkan. Malahan gadis itu menertawakan aku.
"Mbak, aku yakin kalau kau mcndapat seorang kekasih seperti Mas Gatot, halhal lainnya di dunia ini. tak lagi penting bagimu," katanya sambil ter?tawa.
"Pereayalah padaku. Dan kau akan rnelihat dunia ini dengan kacamata lain
yang lebih indah dan 1ebih berpera aan. Bukan euma melulu di?warnai rasio
belaka. Mas Gatot telah mengubah pandangan-pandangan hidupku dan
mernberi warna baru yang sangat indah sehingga apa yang ernula kuanggap
indah, benar dan baik, jadi kurang kua?litasnya. Pendek kala, bagiku tak ada
Jagi yang le?bib indah daripada einta kami berdua."
www.ac-zzz.tk Mendengar perkataannya aku benar-benar merasa putus asa.. Tina sudah
tidak bisa lagi diajak bicara
dari hati ke hati. Dia euma melihat dunia dan se?gala sesuatunya dari satu
sudut pandang saja. Ya?itu cinta butanya terhadap Gatot.
. "Kau benar-benar sedang mabuk cinta kelewat berat. Kau sedang tergila-gila
pada Gatot," keluhku dengan hati sedih. Tak heran aku sekarang kenapa usaba
Ibu untuk menginsafkan Tina tidak ada ha?silnya.
Meskipun demildan, mendengar perkataanku yang terakhir tadi pipi Tina yang
halus itu mulai merona merab kembali. Pandang matanya menyirat?kan rasa
malu yang sangat kental. Tetapi aku ti?dak memedulikannya, Apalagi pikiranku
sedang tertuju kepada Gatot. Dialah sesungguhnya biang keladinya. Maka
kalau usabaku menyadarkan Tina tidak berbasil, aku harus menyadarkan pihak
satu?nya, yaitu Gatot. Laki-laki itu harus diperingatkan. Jika dia ingin
menjadikan Tina sebagai calon ternan bidupnya, maka ada beberapa bal yang
harus di?pertimbangkan. Antara lain perbedaan usianya de?ngan Tina. Dan
juga menyadarkannya, babwa de?ngan mengakrabi adikku itu, dia telah
menyia?nyiakan mutiara yang sebenarnya bisa rnenjadi no?taris andal atau
apa pun cita-cita Tina lainnya. Negara ini masih banyak membutuhkan
orang?orang pandai. http:ebukita.wordpress.com
Tiga http:ebukita.wordpress.comTERNYATA, mencari kesempatan untuk
berbieara empat mata saja dengan Gatot tidaklah mudah, walaupun kami
bertetangga dekat. Sebab selalu saja ada telinga-telinga lain di sekitar kami.
Jadi akbirnya aku mencari akal bagaimana caranya agar dapat
menghubunginya tanpa diketabui orang. Ter?utama oleh keluargaku. Maka
diam-diam alcu men?cari tahu nomor telepon kantornya. Ketika sudah
kuperoleb begitu aku sendirian di ruang kerjaku di kantor, kutelepon dia.
Sebagaimana sudab kuduga, Gatot merasa heran menerima teleponku.
"Wah, ini benar-benar kejutan, Ambar!" ko?mentarnya begitu ia mengetahui
telepon itu dari aku. "Talc sekilas lintas pun aku pernab menyangka akan
menerima telepon darimu."
"Kalau tidak suka, tutup saja pembicaraan kita!" kataku dingin.
"E-eh," Gatot buru-buru menjawab. "Justru aku merasa senang. Suaramu
sungguh terdengar merdu. Segar rasanya setelah hampir separo hari aku
ber?kutat dengan pekerjaan. Nab, apa yang bisa kubantu?"
Aku men get atkan gerahamku. Gatot' memang pandai memperlakukan
seorang perempuan dengan cara seolah dia sangat istimewa baginya. Tak
heran kalau Tina bisa tergila-gila kepadanya.
"Aku ingin bicara denganmu!" sahutku, masih nada dingin.
www.ac-zzz.tk "Wah, ini benar-benar suatu kehormatan bagiku.
Biasanya, kau tak suka mengobrol denganku. Bah?kan berdekatan denganku
saja kau tak sudi." Dia benar, Jangankan meneleponnya, berhandai?handai sepatah atau dua
patah kata saja pun tak pernah. Kecuali, kalau aku sudah telanjur
berha?dapan muka dengannya, sebab tak rnungkin aku lari terbirit-birit
hanya karena ada tamu. Dan kini, tiba-tiba saja aku yang ingin bicara padanya.
Jadi memang perlu ada penjelasan sedikit untuknya.
"Aku menghubungimu karen a ada sesuatu yang ingin kubicarakan secara
empat mata saja, ' sahutku menjelaskan, "Apa yang akan kita bicarakan itu
penting. Dan aku tidak ingin ada telinga lain ikut mendengarnya, "
"Di mana kita akan bicara?" ,
'ITer erah. Asal jauh dari jangkauan telinga orang lain!"
"Bagaimana kalau kita bicara sambil rnakan siang di rumah makan dekat
kantormu itu?" 'Oke." "Aku akan menjemputmu sekarang. Bersiap?siaplah!"
"Sekarang" Ini baru setengah dua belas!" kataku sambil melirik arlojiku.
"Malah masih kurang!"
"Sekali-sekali korupsi waktu tak apalah!" Gatot tertawa lembut. "Kantorku
masih utang kepadaku. Aku sering pulang lambat untuk menyelesaikan
pekerjaanku di saat ternan-reman sekantorku sudah kembali di tengah
keluarga mereka." "Oke, kalau begitu. Supaya kita mempunyai waktu yang Iebih longgar, kau tak
usah meroarkir mobilmu untuk mencariku ke atas. Aku akan me?nunggumu di
bawah. Kau memakai jip putihmu, kan?"
"Ya. Aku belum mampu mengganti mobilku de?ngan BMW!" kudengar lagi suara
tawanya. Entah kenapa, aku menyukai tawanya yang lembut itu. Tetapi tentu
saja aku cepat-cepat mengibaskan pe?rasaan itu.
"Berapa lama perjalanan dari kantormu ke kan?torku?"
"Paling lama sekitar dua puluh menit, Tetapi barangkali bisa lebih cepat lagi,
sebab kulihat dari kaca jendela ruang kerjaku lalu lint as di bawah . ana okeoke saja. Termasuk lancar meskipun padat
eperti biasanya." "Oke. Aku pasti sudah ada di depan kantorku kalau kau sampai nanti!"
'Sudah talc sabar bertemu aku rupanyal" Usai berkata seperti itu kudengar
lagi tawanya yang lembut. "Sampai nanti, Mbak Ambarl"
www.ac-zzz.tk Sial an. Entah kenapa, atau mungkin juga karena ikap Gatot yang sering agak
ugal-ugalan kepadaku, penilaianku terhadapnya kurang baik:. Menurutku, dia
bukan laki-laki alim yang bisa dipercaya kesetiaannya. Firasatkulah yang bilang begitu. Terha?dapku yang belum begitu
dikenalnya saja pun si?kapnya agak-agak kurang ajar. Sering kali dari si?kap
atau pandangan matanya, aku menangkap ke?inginannya untuk menggoda dan
sedikit main-main denganku. Untungnya aku selalu bersikap tegas dan
mengambil jarak. Aku talc mau dikurangajari meskipun euma untuk main-main
atau bereanda saja. Begitulah, jam dua belas kurang seperempat aku sudah melihat jip putih itu
berjalan pelan?pelan eli muka pintu kantorku. Aku segera meloneat dari
tempatku duduk dan langsung masuk ke dalam mobilnya. Rumah makan yang
kami tuju talc jauh, dan berada dalam deret yang sarna dengan kan?torku.
Tak sarnpai sepuluh menit perjalanan kami sudah tiba eli tempat. Saat itu lalu
lintas memang dalam keadaan normal. Tidak maeet tetapi juga ti?dak lengang.
Me kipun padat. tetapi tidak terjadi kemaeetan.
"Apa yang iagin kaubiearakan denganku?" tanya Gatot sesudah kami selesai
memesan makanan. . "Ini tentang Tina ... ," sahutku.
"Tentang Tina" Kenapa ilia?" Dahi Gatot mulai berkerut. Tampaknya ia sudah
menduga-duga arah pembiearaan yang akan kutuju.
, Kau telah membuatnya jatuh einta dan mabuk berat dalam pusaran asmara,
sampai-sampai dia seperti tak berpijak lagi pada bumi. Kelakuannya seperti
sedang melayang di awang-awang!"
Mendengar perkataanku, Gatot tertawa keras sehingga aku melotot ke arahnya. Namun tetap saja dia tidak menghentikan
tawanya. Rupanya dia geli sekali mendengar kalimat yang kupakai untuk
menggambarkan keadaan Tina itu. Tetapi, aku jadi jengkel. Ditertawakan
seperti itu, memangnya aku ini seorang pelawak" Apalagi karena aku masih
saja beranggapan tawanya itu enak didengar. Pa?dahal, suara yang kuanggap
enak itu muncul karena dia menganggapku lueu.
Menyadari hal itu aku tertegun dengan tiba-tiba.
Hei, jangan-jangan aku juga tidak berpijak pada bumi sebagaimana halnya
Tina. Sebab, apa sih ke?lebihan taw a Gatot dibanding dengan tawa orang
lain" Bukankah eli sepanjang sejarah manusia, ra?sanya belum pernah ada
suara tawa sekeras itu di?anggap atau elinilai merdu dan ernpuk bagaikan
suara nyanyian. Ah, entahlah di mana letak kewa?rasan otakku saat ini.
www.ac-zzz.tk Merasa marah kepada diri.ku sendiri yang telah meJantur tak keruan, cepatcepat kualihkan pernbi?caraan kepada pokok persoalannya.
"Kenapa kau tertawa?" tanyaku ketus. "Siapa yang kautertawakan dan apanya
yang lucu?" "Kau yang lucu," sahut Gatot dengan sikap
antai, "Pertama, earamu mengungkapkan keadaan Tina tadi. Kedua, earamu
berkata itu seperti mau menyalahkan aku. Padahal, Tina sedang jatuh einta
kepadaku atau kepada siapa pun orangnya, itu kan urusan pribadinya. Apalagi
dia sudah dewasa untuk menentukan dirinya sendiri dan juga rnenggunakan
bak asasinya sebagai seorang individu lentang apa
yang benar-benar diinginkaonya. Termasuk urusan jatuh cinta."
"Secara fisik, umur delapan belas tahnn memang sudah dewasa, Tetapi untuk
jatul:i. cinta, apalagi jatuh cinta kepada seorang lelaki yang empat belas
tabun lebih tua dari umumya, dia masih terlalu hi?jau."
"Delapan belas tahun sudab cukup umur untuk jatuh cinta dan menjalin
hubungan serius dengan laki-laki Ambar. Dan itu wajar."
"Ya, jatuh cinta di usia deJapan belas tahun me?mang wajar terjadi. Tetapi,
kalau ito terjadi dengan pemuda yang sebaya dengan umurnya. Atau paling
banter, terpaut tiga atau empat tahun. Bukan dengan seorang laki-laki yang
sudah terlalu matang bagi?nya, Apalagi dengan pengalamanmu yang pasti jauh
lebih banyak itu kau bisa dengan mudah membuat Tina yang masih sangat
polos dan hijau ito terbuai oleh rayuan-rayuanmu. Menurutku, ka?Iian berdua
itu merupakan pasangan yang kurang pa . Bahkan timpang," ahutku.
Gatot tidak segera menanggapi perkataanku. Te?tapi sebagai gantinya, ia
menatapku dengan tajam. Dari bola matanya, kutangkap adanya penolakan
atau ketidaksetujuannya ala perkataanku tadi. Me?nyadari itu, pcrasaanku
mulai tak enak. Aku sudah terlalu dalam mcncampuri urusan pribadi orang.
Tetapi yah, apa boleh buat. Aku ingin menyela?matkan adikku meskipun
kusadari caraku menilai Gatot tadi memang kurang adil.
Apa yang baru saja melintasi pikiranku itu tidak
salah. Aku toh belum kena1 betul siapa Gatot yang sesunggubnya. Kami berdua
jarang sekali bertemu. Apalagi bercakap-cakap berdua dengan sengaja atau
terencana. Bolch dikata, baru dua kal i inilah aku berbicara empat rnata lebih
dari dua atau tiga kali?mat. Dan baru sekali inilah pertemuan kami berdua
direncanakan, Atas keinginanku pula.
Karena merasa tak cnak, lekas-lekas aku men?cairkan suasana yang kaku ini.
"Bukannya memberi tanggapan atas perkataanku tadi, kau malab menatapku
seperti sedang melihat hantu," kataku tak sabar. Sungguh tidak enak
www.ac-zzz.tk dipan?dang dengan tatapan tajam seperti itu, sementara hatiku mulai
menyadari ketidakadilan yang sedang kulakukan terhadapnya.


Ketika Flamboyan Berbunga Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku sedang mencerna apa yang tadi kauucap?kan. Jadi begitu rupanya
penilaianmu tcrhadapku maupun terhadap hubunganku dengan Tina," akhir?nya
kudengar Iaki-Iaki itu bersuara lagi.
"Ya." "Tetapi itu kan rnenurutmu."
"Tentu saja. Memangnya menurut siapa lagi"
Aku toh bclum melaporkan perkara ini sarnpai kc DPR?"
Mendengar tajarnnya lidahku ito, aku menangkap getar ra a geli di dalam bola
rnata Gatot. Tetapi cuma e aat lamanya. Sesudah itu ilia tampak lebih serius. .
"Kedengarannya kau begitu yakin bahwa Tina bcnar-bcnar rna ih sehijau dan
sepolo seperti sang?kamu itu!" Suara Gatot bernada tantangan.
Mendengar perkataan Gatot, aku terkejut. Ada sesuatu yang tiba-tiba
menghantam kesadaranku. Selama ini, aku memang telah menganggap dan
memperlakukan Tina sebagai gadis kecil yang rna?sib polos dan kekanakan,
Secara jujur harus kuakui bahwa terkadang aku melupakan bahwa adikku itu
. terus tumbuh dan berkembang menjadi gadis de?wasa yang semakin lama
semakin kehilangan sifat kekanakannya Aku terlalu menyayanginya dan
menganggap gadis itu masih membutuhkan perlin?dunganku sebagai kakak
tertua. Maka begitu men?dengar ucapan Gatot itu aku kehilangan kata-kata,
tak marnpu membalas. Timbul pertanyaan dalam pikiranku, benarkah Tina
masih sepolos dan sehijau sebagaimana yang kubayangkan selama
bertahun?tahun ini" Bukankah sebagairnana dunia ini, Tina juga terus turnbuh
berkembang" Gadis itu bukan benda mati. Dia bisa melihat, mendengar,
membaca, rnernpclajari, dan mengadaptasi semua yang masuk ke dalarn
pikiran dan hatinya. Apalagi dia juga cerdas. Rasanya, memang terlalu naif
kalau aku menganggap gadi itu rnasih saja hijau dan polos. Tetapi kalau
sekarang dia sudah berubah, apa pe?nyebab utamanya" Jangan-jangan Gatotlah penye?babnya.
Pertanyaan . tu mcnggugahku dari ketertegunan tadi. Maka kutatap mata
Gatot dengan tajam pula. "Kalau dia sudah berubah dan tidak lagi polos, aku yakin sekali engkaulah
penyebabnya," tuduhku dengan suara mengandung ancaman. "Dan kau ha?rus
mempertanggungjawabkannya padaku. Aku tidak rela kalan adikku sampai
menjadi matang se?belum waktunya!"
www.ac-zzz.tk "Tahukah, Ambar, kau itu terlalu berlebihan me?lindungi adikmu. Bisa-bisa dia
akan tumbuh men?jadi pribadi yang tak IJ.1ampu mandiri, yang tergan?tung
kepada orang lain, selalu ragu, dan kalau meng?hadapi kesulitan tak mampu
mengatasinya!" Gatot berkomentar sarnbil menatapku lekat-lekat,
"Yang kita bicarakan tadi adalah tentang kepo?losan dan kehijauan Tina.
Bukan tentang sikapku yang terlalu melindunginya," sahutku ketus. "Dan itulah
an tara lain kenapa siang ini aku ingin bicara denganrnu. Aku ingin supaya kau
tahu pendirianku dalam hal ini. Bahwa aku tidak rela kalau adikku
ampai tiba-tiba berubah menjadi mataag hanya gara-gara mabuk cinta
kepadamu. Mengerti?"
"Kurasa, scjauh kematangan itu merupakan pro?es perkembangan yang
memang harus dilalui oleh etiap manusia, itu wajar-wajar saja," Gatot
men?jawab perkataanku tadi dengan sikap yang tenang ekali. "Kau jangan
berlebihan mencemaskan sesua?tu yang tak perlu dikhawatirkan!"
"Adikku dipacari lelaki yang jauh lebih tua dan jauh lebih berpengalaman kok
tidak boleh cemas!" aku menggerutu kesal. "Sekarang, seandainya kau berada
pada tcmpatku, dan adikmu berpacaran de?ngan lelaki yang umurnya empat
belas tahun lebih tua darinya, bagaimana perasaanmu?"
"Setidaknya, aku akan berusaha mengambil ikap yang lebih bijaksana dari
sikapmu." Gatot menger?lingku sesaat lamanya. "Bahwa masalah selisih
umur bukanlah merupakan persoalan besar bagi se?pasang insan yang saling
mencinta dan sama-sama berusaba membangun pengertian yang bisa
menjem?batani perbedaan-perbedaan yang ada. Jadi seandai?nya adikku
jatuh cinta kepada pria yang empat belas tahun lebih tua, aku akan
mengarahkannya untuk belajar berpikir lebih luas dan lebih dewasa."
"Ab, bicara sib gampang." Aku mendengus.
"Aku tak yakin kau akan mampu bersikap seperti katamu itu kalau benarbenar rnengalaminya."
"Ambar, sebelum kita lanjutkan pembicaraan ini, aku ingin menanyakan
sesuatu kepadamu lebih dulu. Boleh, kan"' Tiba-tiba dengan sikap yang lebih
serius, Gatot mengalihkan pembicaraan.
"Apa?" "Cuma satu hal saja. Mengapa kau tidak me?nyukaiku, Ambar?"
Aku tertegun. Yah, kenapa aku tidak menyukai?nya" Pasti tidak hanya karena
dia telah menyebab?kan adikku jatuh cinta. Maka kalau aku mau jujur,
pertanyaan itu harus kujawab bahwa alasanku tidak menyukainya itu tak ada
sangkut-pautnya dengan dirinya sebagai seorang individu bernama Gatot.
Apalagi sebelumnya aku tak pernah kenal dia dan tak tahu pula bagaimana
www.ac-zzz.tk sifatnya. Bahwa aku ti?dak rnenyukainya, itu semata-mata karena dia me?
rniliki daya tarik kuat yang bisa membahayakan diriku. Sebab aku tidak ingin
tertarik kepada laki?laki mana pun yang eganteng Raden Arjuna sekali pun.
Berdasarkan pemikiran bahwa laki-laki yang biasa-biasa saja seperti Bram
bisa digoda dan menggoda perempuan lain sampai-sampai kehilang?an rasa
tanggung jawabnya sebagai seorang keka?sih, apalagi Gatot yang sangat
menarik itu. Pasti akan ada banyak perempuan yang jatuh hati kepa?danya.
Dan pasti pula dia menyadari hal itu. Jadi, aku tidak ingin bergaul akrab
dengannya. Apalagi aku mulai merasakan" tanda-tanda suasana hatiku yang
tidak beres. Sebab bukankah aku pernah ter?pukau olehnya" Dan bukan hanya
satu kali saja, Waktu aku ikut mobilnya beberapa waktu yang lalu, aku pernah
terpukau oleh gerak tangannya saat memindah persneling dan caranya
mengintip ke belakang lewat kaca spion di atasnya. Lalu baru saja tadi, ketika
telingaku mendengar suara tawanya yang lembut. Maka, aku harus
.mernbenci?nya kalau ingin tetap hidup tenang dan arnan.
Yah, kalau kejujuran itu ada padaku semestinya kujawab saja pertanyaan
Gatot tadi seperti apa adanya. Bahwa masa laluku yang pahit bersama Bram
telah ikut mewarnai perasaanku terhadapnya. Bahwa secara pribadi dia tidak
mernpunyai kesa?lahan kepadaku. Kalaupun ada, itu hanya sikap dan cara
bicaranya yang eenaknya sendiri dan menyebalkan itu. Dengan kata lain,
kebencianku kepadanya itu berasal dari diriku sendiri.
"Hei, kenapa pertanyaanku tadi tidak kaujawab?"
Kudengar suara Gatot membeba kanku dari lamun?an. "Tidak bisa menjawab
karen a memang aku ti?dak punya kesalahan yang menyebabkanmu jadi
membenciku, kan?" "Bukannya tidak bisa menjawab, tetapi karena
aku memang tidak ingin menjawab. pertanyaanmu!" Aku membuang
pandanganku. Apa yang- dikatakan?nya itu tale jauh dari kenyataan yang tak
mau aku alami. "Kenapa ?" "Karena pertanyaanmu tadi tak ada relevansinya
dengan pembicaraan kita," jawabku mengelak.
"Ada, Ambar." "Tidak ada. Jangan ngawur!"
"AIm tidak ngawur. Penilaian ini berdasarkan pengamatanku. Aku tahu bahwa
kat] sudah tidak menyukaiku sejak awal mula kita berkenalan se?hingga
ketika aku dan adikmu mulai menjalin sua?tu hubungan khusus, rasa tak suka
itu semakin membubung tinggi. Maka beda usia sebanyak em?pat belas tahun
www.ac-zzz.tk itu kaujadikan alasan. Padahal, ba?nyak terjadi perkawinan dengan beda usia
yang sangat mcncolok tanpa timbul masalah besar di antara mereka. Bahkan
kehidupan perkawinan pa?sangan itu tetap bahagia sampai salah seorang
di?panggil Tuhan.'t Merasa tak enak karena apa yang dikatakan Gatot itu ada benarnya, aku
cepat-cepat mencari alasan lain yang lebih berpijak pada kenyataan
se?benamya. "Yah, esungguhnya ketidaksukaanku at as hu?bunganmu dengan Tina itu
memang bukan melulu disebabkan karen a perbedaan usia saja," sahutku
kemudian. "Tetapi juga karen a hal-hal lainnya."
"Apa misalnya?"
"Pertama, karena usiamu yang sudah cukup pantas . untuk memasuki
kebidupan berumah tangga. Sehingga kalau kau mempunyai hubungan cinta
dengan seorang gadis, maka hubungan itu akan segera berakhir dengan
pernikahan. Tentu saja lain halnya kalau hubungan itu tidale serius dan cuma
untuk main-main saja. Atau mungkin juga hanya
. untuk selingan bid up yang ... "
"Aku bukan lelaki yang suka iseng-iseng saja
Ambar!" Gatot memotong perkataanku.
' Aku menggigit bibirku sendiri, sadar bahwa aku telah berbicara tanpa
menenggang perasaan Gatot.
"Oke aku percaya. Nah, sekarang akan kulan?jutkan alasan-alasanku tadi,"
.sahutku membetulkan kesalahan bicaraku itu. "Alasanku kedua, apabila kau
benar-benar mau menikah dengan Tina, maka adikku itu akan kehilangan masa
remajanya. Ketiga, dengan pernikahan itu maka kesempatannya untuk
melanjutkan studinya akan terhambat. Dan alasanku yang keempat, kalau
rnemang benar Tina tidak akan melanjutkan studinya, itu artinya dia telah
mencampakkan cita-citanya sernula. Maka eli suatu saat nand, alean muneul
masalah-masalah lain yang akan mengganggu hubungan kalian berdua ... "
"Gangguan macam apa misalnya?" Gatot me?motong lagi perkataanku.
"Penyesalan, misalnya. Sebab Tina itu merniliki otak yang cernerlang. Citacitanya tinggi dan dia selalu haus pengetahuan. Maka kalau suasana bulan
madu kalian usai, entah itu setahun entah lima ta?hun kemudian, Tina akan
merasa tak puas lagi dengan keadaannya."
. "Gangguan lainnya?"
"Yah, perbedaan usia di antara kalian itu pasti juga diwarnai oleh perbedaan
minat, perbedaan selera, dan perbedaan lainnya. Apalagi kau sudah jadi
sarjana strata dua sementara kalau Tina tidak jadi melanjutkan studinya kan
www.ac-zzz.tk berarti dia cuma mendapat pengetahuan dari bangku SMU saja. Ba?gaimana
dia bisa mengikuti kiprahmu mengenai hal-hal di Iuar jangkauan wawasannya"
Jangan?jangan di suatu ketika nanti kau akan lebih betah berlama-lama
mengobrol dengan sekretarismu atau dengan rekan sekantormu daripada
dengan istri?mul" Mendengar alasan-alasan keberatanku atas hu?bungannya dengan Tina itu,
Gatot terdiam. Dan dengan datangnya pelayan rumah makan yang
mernbawakan makanan pesanan karni, laki-laki itu semakin diam. Entah dia
sedang meresapi kebe?naran perkataanku tadi, entah pula sedang menyu?sun
pembelaan diri, aku tak bisa menebak apa yang scdang berkecamuk di dalam
kepalanya. Kutunggu sampai pelayan rumah makan itu me?letakkan pesanan kami masingmasing.
"Kau tak bisa menanggapi perkataanku tadi, kan?" begitu aku berkata sesudah
pelayan rumah rnakan itu pcrgi, "Kau juga adar bahwa dengan rnenikahi Tina
maka kau juga telah mengurangi satu calon mutiara bang a yang semestinya
bisa menyumbangkan tenaga, pikiran, dan keahliannya untuk negara ini."
"Aku tidak menanggapi perkataanrnu itu karen a
aku merasa tak perlu menanggapinya," sahut Gatot kalem.
"Kenapa" Karena sulit membantah kebenarannya, kan?" sindirku.
"Aku cuma tidak ingin rnerusak selera makanku, Apalagi tadi pagi aku belum
sempat sarapan. Jadi tundalah dulu peinbicaraan ten tang hal ini sampai kita
selesai makan," sahut Gatot sambil mengambil sendok dan garpu yang ada di
dalam tempatnya. Dan masih dengan sikap kalemnya itu. "Setuju?"
Karena usulannya masuk akal, aku terpaksa mengangguk dan ikut mengambil
sendok dan garpu. Kami berdua pun mulai makan. Dan pembicaraan bergeser
pada hal-hal lain yang tak ada kaitannya dengan Tina ataupun dengan
hubungan mereka. Kuikuti kemauan Gatot untuk tidak menyinggung pernbicaraan kami tadi.
Tetapi tiba-tiba kusadari bahwa mengobrol dengan Gatot apabila tidak
di?warnai oleh suasana tegang, rasa jengkel, atau yang semacam itu, ternyata
cukup menyenangkan, Tampaknya, dia bukan hanya punya daya tarik fiik saja, tetapi juga mempunyai banyak bahan pcmbicaraan rnenarik yang
rnengasyikkan. Analisa politiknya boleh juga. Pendapatnya tentang masalah
osial juga tajam. Dan caranya rnengemukakan pendapat, enak didengar.
Tetapi aku tak mau terlarut dalam situasi baru yang semula tak kusadari itu.
Oleh sebab itu, be?gitu makanan kami habis aku lekas-lekas rnengem?balikan
pembicaraan yang tertunda tadi,
www.ac-zzz.tk "Sekarang kita lanjutkan pernbicaraan tentang
Tina yang tertunda tadi," kataku sambil melihat. arlojiku.
"Oke. Tetapi sebaiknya langsung saja katakan apa yang kauinginkan dariku,"
Gatot menjawab sambil meniru perbuatanku melihat arloji.
"Sederhana saja. Aku ingin supaya kau yang le?bih dewasa dati dia, mulai
memikirkan segala se?suatu yang ada di antara kalian berdua dengan pi?kiran
yang lebih jernih dan obyektif."
"Konkretnya ?" "Konkretnya, kalau benar kalian berdua akan menjalin suatu hubungan serius
yang mengarah pada perkawinan, pertimbangkanlah balk dan bu?ruknya secara
sungguh-sungguh. Camkanlah keem?pat keberatan yang kukemukakan tadi!"
"Seperti yang kukatakan tadi kekhawatiranmu itu terlalu berlebihan, Ambar.
Aku dan Tina saja belurn berbicara tentang mas a depan seperti apa yang
akan kami jalani. Tetapi asal kau tabu saja bahwa aku cukup kenal Tina dengan
semangat belajarnya yang tinggi itu. Dan karenanya aku tidak pernah
memintanya untuk menghentikan studi?nya."
"Mudah-rnudahan perkataanmu bisa kupegang.
Tetapi bagaimana mengenai rencana pernikahan" Benarkah dugaanku bahwa
mengingat usiamu maka perkawinan merupakan tujuan hubungan cintarnu
dengan Tina atau entah dengan siapa pun?"
"Benar. Aku sudah ingin mengakhiri masa la?jangku. Jadi kalau Tina sudah
siap untuk itu, esok atau lusa tak jadi rna alah bagiku. Pokoknya, menikah!" Sambil berkata seperti itu Gatot menatap tajam mataku.
"Menurutmu tak jadi rnasalah. Tetapi menurutku, itu masalah."
"Kenapa kau bilang begitu?"
"Kok bertanya kenapa" Kan sudah kukatakan tadi, sedikitnya ada empat
keberatanku. Bahkan akan kutambah lagi. Yaitu, karena kau tidak melihat
pernikahan itu dati sisi kebutuhan Tina. Dia itu masih muda belia, Ia belum
puas menikmati masa?mas a remaja yang datangnya cuma sebentar dalam
kehidnpan seorang manusia!" aku menjawab ketus, Kedarnaian dan keasyikan
rnengobrol saat karni sedang makan tadi, luruh seketika.
"Ambar, aku tidak akan mengurangi keceriaan masa remajanya. Ia boleh
melakukan apa saja yang disenanginya sebagai seorang remaja. Jangan
menilaiku sebagai laki-laki yang egois. "
"Itu kan bicaramu sekarang. Esok kalau dia su?dab jadi istrimu dan laiu
mengandung, pasti akan lain lagi bicararnu!"
www.ac-zzz.tk 'Gatot rnenatapku lagi dengan tatapan tajam. "Sebenarnya apa sih yang
kauinginkan dariku?" tanyanya kemudian dengan suara mendesak,
"Ja?wab1ah!" "Aduh, kan sudah beberapa kali kusinggung tadi, bahwa aku merasa keberatan
atas hubungan kalian berdua. Dan kenapa demikian, ada lima ala an yang sudah
kaudengar secara panjang-Iebar tadi. Apakah itu kurang jelas?"
"Itu demi Tina, kan?"
"Tentu saja demi Tina. Memangnya apa urusanku denganmu?" Ah, alangkah
tajamnya lidahku. Untuk membela adik tersayangku, aku sampai tidak
meme?dulikan sopan santun lagi.
"Tetapi yang terus kauserang itu cuma aku, dan kau seperti mengabaikan Tina
dalam hubungan kami. Seolah pula Tina jatuh cinta kepadaku itu karena
kesalahanku. Rasa-rasanya kau memang su?dah agak berlebihan dalam hal ini,
Ambar. Jangan?jangan dugaan yang melintas di kepalaku ini benar."
"Dugaan apa?" Aku melotot, sadar Gatot akan ganti menyerangku. Entah apa
pun bentuk serang?annya itu.
"Aku meJihat suatu celah yang berkaitan dengan kepentingan dirimu." Benar,
Gatot mulai membalas perkataan-perkataanku yang sejak tadi memang
me?mojokkan dirinya itu. "Jangan mengada-ada!"
"lui bukan rnengada-ada. Tetapi aku melihat hal itu berdasarkan pengaJaman
hidup dan pengamatan?ku selama ini," sahut Gatot dengan suara yang pe?nuh
keyakinan diri. "Nab, bukankah kau takut di?dahului kawin oleh adik bung umu
yang selama ini kauperlakukan seperti anak kecil yang manja dan yang
kauanggap masih perlu perlindunganmu" Jika ia mcndahuluimu mcnikah, kau
jadi seperti diingatkan bahwa umurmu terus merayap tetapi belum juga


Ketika Flamboyan Berbunga Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menemukan jodoh yang ... "
"Cukup, Gatot!" bentakku. Dan kaget sendiri ketika ku adari ada beberapa
kepala yang menoleh ke arah kami. Cepat-cepat kupelankan suaraku dan
kulanjutkan bicaraku. "Kau benar-benar tukang me?ngarang isapan jempol
yang tak bermutu. Pikiranmu tidak lurus."
"Lho, kok marah?" Gatot menyeringai, membuat?ku merasa sebal sekali.
Tarnpaknya dia merasa ya?kin sekali pada penilaiannya itu. Tentu saja aku
marah. Selintas pun aku tidak mempunyai pikiran seperti itu.
"Siapa yang tidak marah mendengar penilaian yang sarna sekali ngawur itu!"
semburku jengkel. 'Aku tidak serendah itu. Soal jodoh ada di tangan Tuhan.
Siapa saja yang sudah siap menikah lebih dulu di antara kami bertiga, bukan
masalah bagiku. Aku tidak keberatan dilangkahi adik-adikku.'
www.ac-zzz.tk "Kalau begitu biarkanlah aku dan Tina melan?jutkan hubungan karni. Dan ...
restuilah itul" Aku tersenyum pahit, Kemudian kuraih tasku dan kudorong tempat dudukku.
Suc1ah saatnya karni kembali ke kantor masing-masing.
"Merestui hubungan kaJian adalah sesuatu yang masih teramat jauh bagiku,"
gumamku sambil ber?diri. "Sebab aku masih hams melihat lebih dulu
perkembangannya. Dan terus terang, aku tak yakin pada tekadmu itu!"
'Terserahlah apa penilaianrnu tentang diriku."
Gatot menyusul berdiri. "Tetapi ingat, apa pun ke?beratanmu dan apa pun
yang akan kaulakukan un?uk menghambat hubunganku dengan Tina, aku akan
melawanmu!" 'Keluargaku berada di pihakku, Gatot," desisku, 'Aku tidak endirian."
"Kau yakin?" Ada sinar penentangan di dalarn. matanya. Bahkan aku
menangkap besarnya rasa percaya diri di dalamnya. Mungkin, itu karena dia
tidak melihat keberatan yang diperlihatkan kedua orangtuaku maupun Didik
atas hubungannya dengan Tina. .
"Aku yakin sekali," sahutku. Padahal di dalam hati, aku meragukannya.
Sepanjang ingatanku, kedua orangtuaku memang sangat baik terhadapnya. _
. "Oke, kita lihat saja nanti. Keyakinanmu yang benar ataukah keyakinanku yang
jadi kenyataan!" Gatot berkata lagi.
Ak:u tidak mau menjawab perkataannya. Ketika melihat Gatot mengeluarkan
dompet, kualihkan pi?kiranku dengan cepat-cepat mengeluarkan uang dari
tasku. Aku tidak ingin dibayari olehnya.
"Biarkan aku yang membayar," kataku menyela.
"Akulah yang mengajakmu makan siang."
"Tidak. Akulah yang membayar!" Gatot berkata dengan suara tegas yang sulit
dibantah. Apalagi ada nada perintah di dalam suaranya itu. "Seorang caion
adik ipar harus menunjukkan rasa hormat dan penghargaan kepada calon
kakak iparnya. J adi, akulah yang rnentraktirmul"
"Gomball" tanpa sadar aku mengumpat. Ter?nyata, di balik daya tarik dan
kegantengannya, Gator juga seorang lelaki keras kepala dan men?jengkelkan.
Sengitnya lagi, laki-Iaki itu seperti mengan~g~p umpatanku itu sebagai angin
lalu. Dengan gesit ia memanggil pelayan dan langsung rnenyerahkan sej umlah uang.
"Iolong dibitung ya, Dik," katanya kepada orang itu.
www.ac-zzz.tk Kalau saja di tempat itu tidak ada orang lain, sudah pasti aku akan merebut
uang itu dan me?masukkannya ke dalam saku kemejanya. Aku tak sudi
ditraktir olehnya. Lebih-lebih alasannya ada?lab karena aku calon kakak
iparnya. Sungguh gombal dia. Siapa yang sudi menjadi kakak ipar?nya"
Di sepanjang perjalanan pulang ke kantorku, aku memilih diam. Rasa tak puas
memenuhi hatiku. Perjumpaanku dengan lelaki yang sedang duduk di
ampingku itu sia-sia saja. Sudah berbusa-busa rnulutku, Gatot tetap saja
menganggapku sebagai calon kakak iparnya. Dia mulai menang di atas angin
sementara aku tidak mernpunyai senjata lain yang dapat mengalahkannya.
Bahkan laki-laki itu menganggap kekhawatiranku atas hubungannya de?ngan
Tina itu karena aku takut dilangkahi adikku. Kurang ajar betul dia.
Memang benar, ada kepercayaan yang mengata?kan bahwa seorang gadis akan
jadi berat jodohnya kalau acliknya menikah Iebih dulu, Tetapi aku ti?dak
mempercayai hal-hal semacam itu. Dan ka?laupun percaya, aku toh tidak akan
menikah. Seti?daknya sampai detik ini. Maka entah Didik entah Tina yang
akan lebih dulu rnenikah, bagiku tidak masalah. Sebab yang kupennasalahkan
adalah usia Tina yang masih terlalu muda untuk merencanakan
pernikahan. Apalagi menikah dengan laki-laki yang jauh lebih tua.
Melihatku diam saja, Gatot menanggapinya de?ngan sikap serupa. Dia juga
membisu di sepanjang perjalanan. Tak ada lagi yang dikatakannya. Tetapi
sebelum menurunkan aku kembali di halaman kan?torku, tiba-tiba ia
mengucapkan sesuatu yang cukup mengganggu perasaanku.
"Terima kasih atas ajakanmu untuk berbincang?bincang tadi," katanya.
"Aku yang perlu, jadi kau tak perlu berterima kasih kepadaku!' kujawab
dengan sikap kaku. "Lagi pula yang membayar makanan tadi bukan aku!'
"Tetapi kau tadi telah' memberi kesempatan emas
padaku," kata .Gatot lagi. .
"Kesempatan emas apa?" Kukerutkan dahiku. "Makan siang bersama seorang
gadis matang yang sangat cantik, menarik, dan yang rasa-rasanya kesempatan
seperti itu sulit didapat oleh lelaki mana pun. Sebab sepanjang aku
mengenalmu, aku tak pernah melihatmu pergi dengan laki-laki."
Untuk sesaat lamanya aku tertegun, tak mampu berkata apa pun. Scjak putus
dari Bram, memang talc pernah sekali pun aku pergi keluar dengan laki-laki.
Apalagi pergi bcrduaan. Dan baru seka?rang irulah aku melakukannya lagi
meski ada ala '?annya. Tetapi tentu saja ucapan Gatot tadi tak
perlu kutanggapi. . "Kau terlalu berlebihan," aku menggerutu. "Tidak. Aku mengatakan yang
sesungguhnya. www.ac-zzz.tk Terns terang, aku merasa tersanjung pergi bersama?mu." Gatot tersenyum
manis, semanis madu. "Dan terus terang pula aku tadi sempat melirik ke
sekitar ruang rurnah makan. Temyata, cukup banyak mata pengunjung yang
berulang kali rnenatap ke arah kita. Mungkin kautidak menyadarinya, tetapi
perlu kukatakan padarnu bahwa hari ini kau tampak sa?ngat luar biasa dengan
gaun kuning gading yang kaukenakan itu. Kulitmu yang kuning langsat sema?kin
menonjol dan tampak halus mulus.Pepatah kuno mengatakan, lalat pun akan
tergelincir kalau hinggap di lengan atau di pipimu."
"Kau ... kau gombal I" aku tergagap, tak mengira akan mendengar
perkataannya itu. Belum pernah aku dipuji terang-terangan oleh lelaki mana
pun seperti ini. Bram saja tak. pernah memujiku derni?kian.
"Lho apanya yang gombal, Ambar?" Gatot me?natapku dengan pandangan
bersungguh-sungguh. "Aku mengatakan yang sebenarnya dan itu sama sekali
bukan rayuan gombal!"
"Kau mernang seorang perayu lihai!" Masih saja aku tergagap, "Sekarang aku
tak lagi terlalu heran kenapa gadis sehijau Tina bisa tergila-gila padamu.
Untung saja aku bukan Tina yang masih ingusan!"
Usai berkata seperti itu lekas-lekas aku turun dari mobilnya dan pintunya
kubanting. Kemudian, ter?birit-birit aku meninggalkannya. Namun, telingaku
masih sempat menangkap suara tawanya yang lem?but, yang begitu menggoda
di belakangku. Sialanl Sejujurnya, perasaanku jadi terganggu oleh cara dan lsi bicaranya, bahkan
juga oleh tatapan mata?nya yang tajam menghunjamku. Aku betul-betul ingin
marah karenanya. Laki-laki itu benar-benar telah membuatku kehilangan rasa
damai dan kete?nangan batin. Lelaki itu juga telah membuat jan?tungku
bergoyang dengan cara-caranya rnemperla?kukan diriku. Padahal yang seperti
itu tak pemah terjadi sebelumnya. Ketika di awal-awal hubungan?ku dengan
Bram bertahun-tahun yang lalu, pera?saanku tak pemah terganggu seperti ini.
Bayangkan saja, berbagai macam perasaancampur aduk di hatiku. Marah,
jengkel, gemas, mendongkol, serba salah, dan bahkan juga ada perasaan
senang dipuji sedemikian itu. Ya, perasaan senang. Rupanya, aku benar-benar
sudah gila. Namun apa pun itu, setelah peristiwa siang tadi niatku untuk melepaskan Tina
dan daya tarik Gatot jadi semakin kuat. Laki-Jaki itu memang memiliki daya
takluk yang bisa membuat gadis-gadis yang masih hijau rna uk ke dalarn
pesonanya. Apalagi Tina rnernang sudah tergila-gila padanya. Akal e?hatnya
pasti tak mampu berfungsi dengan baik. Maka sebagai kakaknya dan orang
www.ac-zzz.tk yang masih mampu berpikir lcbih panjang, aku harus segera
menyelarnatkannya. Sernakin cepat akan sernakin baik.
Mernang, aku sadar itu tidak mudah. Saat ini Tina edang hanyut-hanyutnya ke
dalam pusaran cinta dan mabuk kepayang karenanya. Memintanya untuk
menjauhi Gatot sarna saja dengan menyuruhnya lari .ke dalam pelukan Iakilaki itu. Aku kenal tabiat adikku itu. Semakin dilarang, semakin ter?goda dia
untuk melanggarnya. Jadi. aku harus ber?tindak hati-hati, Dan harus pula ada
seseorang yang membantuku. Ibuku tak bisa diharapkan. Bu?kan saj a karena
beliau terlalu lemah terhadap anak bungsunya itu, tetapi juga karena dia
sendiri pun terpukau oleh daya tarik Gatot yang memang mam?pu mengambil
hati siapa pun di rumah kami. Aku tabu betul, ada saja yang dilakukan oleh
Gatot un?tuk menyenangkan hati Ibu. Entah itu didasari oleh ketulusan
hatinya atau entah ada maksud?maksud lainnya, yang jelas Ibu merasa senang
di?perlakukan demikian. Dan memang, ibu mana yang tidak ingin mempunyai cal
on menantu yang selalu mengistimewakannya, bukan"
Karena merasa tak mungkin mendapat bala ban?tuan dari Ibu, aku lari kepada
Bapak. Terutama karena belakangan ini aku semakin kesal saja ter?hadap
Gatot. Bahkan pemah kepalaku seperti mau meledak saja rasanya melihat
gayanya yang kunilai kurang ajar itu. Sejak ia merasa sebagai calon
uami Tina, kelakuannya di rumah kami tampak emakin menyebalkan. Seolaholah, dia sudah men?jadi bagian di dalam keluarga kami. Keluar dan masuk
rumah kami seenaknya sendiri. Tidak jarang terjadi tiba-tiba saja dia sudah
ada di ruang tengah atau di ruang tamu. Dan bahkan juga muncul di ruang
makan. Yang membuatku sernakin seperti cacing kepa?na an adalah tak: seorang pun
di keluargaku yang merasa keberatan atas kelakuan Gatot yang sebebas itu. Padahal kalau aku
melihatnya muneul tiba-tiba di rumah. kami, ingin sekali aku langsung meng, usimya. Apalagi kalau Ibu lalu mengajaknya makan bersama, seperti ketika
Ibu membeli pepes ikan emas. yang durinya empuk . dan rasanya enak itu.
Melihat Gatot ikut makan, aku merasa tak rela. Rasa-rasanya, kepala Gatot
semakin besar saja di mataku.
Sore itu ketika di rumah hanya aku sendiri se?mentara Bik Imas pun sedang
belanja ke pasar, lagi-lagi Gatot muncul dengan tiba-tiba di rumah kami.
Tahu-tahu saja dia sudah .ada di dapur tern. pat aku sedang membuat jus wortel yang kueampur dengan apel. Konon kata
orang, kedua bahan ma?kanan itu bagus untuk kesehatan badan dan juga
untuk kulit www.ac-zzz.tk "Hai," begitu lelaki itu menyapaku, hampir di sisi telingaku.
Aku tersentak kaget, tidak menyangka ada orang di dekatku. Pasti dia masuk
Iewat pintu samping, sebab pintu depan kututup dan kukunci,
"Hrnm ... ," aku bergumam dengan sikap acuh tak acuh.
"Sedang apa?" dia bertanya Iagi tanpa merneduli?kan sikapku yang dingin.
Aku meliriknya. Ah, bukan main gantengnya dia sore ini. Ia memakai eel ana
jins abu-abu dan kaus merah yang barangkali terlalu terang warna?nya, tetapi
ternyata begitu pantas dikenakan oleh?nya.
82 "Kaupikir aku sedang apa?" jawabku ketus. Lalu kulanjutkan pekerjaanku
tanpa memedulikan keber?adaannya. Takut terpukau oIeh pesonanya.
''Wah, di manakah keramahtamahanmu, Ambar?"
Sambil menegur begitu Gatot meraih sebuah gelas dan menyorongkannya di
dekatku. "Minta jusnya sedikit saja. Aku juga ingin sehat!"
Mendengar permintaannya, kukertakkan geraham?ku. Lelaki itu benar-benar
mampu membuat orang menjadi gila karen a earanya mengganggu. Dengan
perasaan dongkol, kuhentikan pekerjaanku ..
"Jus ini hanya pas untukku!" aku menjawab pendek.
"Sedikit sajalah. Cuma ingin mencicipi seperti apa jus buatan tanganmu."
Aku melotot ke arahnya. "Kau ke sini mao mencari Tina, kan?" aku mu?laimenyemburkan rasa
dongkolku. "Dia tidak ada di rumah. Datang saja nanti petang kalau kau
su?dah kangen padanya."
"Oh, tidak ada Tina tidak jadi masalah buatku."
Gatot menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak bisa memandang keindahan
bunga lili toh aku bisa me?natap bunga mawar merah yang bam mekar,
mes?kipun berduri." "Kau mau mulai Iagi bcrgombal-gornbal di ha?dapanku?" hardikku.
Gatot menyeringai, kemudian mencubit daguku ecara tak terduga.
"Kenapa sill kau selalu mernbuatku gemas, ma?war cantik?" katanya dengan
suara lembut. "Kalau
saja kau ini kekasihku, sudah habis kau kulumat- . lumat."
Ucapannya kujawab dengan sebuah tamparan yang mengarah ke pipinya.
Tetapi meleset. Lelaki itu bergerak dengan -amat gesit untuk rnenghindari
tanganku yang melayang ke arah wajabnya. Dan dengan gerakan segesit itu
pula tanganku ditang?kapnya tepat pada pergelanganku sehingga talc bisa
bergerak lagi. www.ac-zzz.tk "Lepaskan!" aku membentaknya. "Kau... kau ... sungguh kurang ajar. Betulbetul aku sangat menye?sal kenapa Tina hari ini pergi. Betapa bahagia aku
seandainya dia bisa melihat seperti apa hebatnya laki-laki yang ia cintai itu.
Bisa-bisanya dia ber?sikap kurang aj ar terhadap kakak pcrempuan gadis yang
katanya ia cintai." "Begini saja kok kurang ajar." Gatot tersenyum?senyum menatapku dengan
mata nakal. "Oh, dasar kau laki-laki yang sudah tidak tahu lagi mana yang baik dan mana
yang buruk" aku menyembur lagi. "Nab, sekarang lepaskan tanganku. Jangan
berlaku tidak sopan di rumah orang. Har?gailah tuan dan nyonya rU;IDaQ di
sini!" "Baiklah .... " Gatot menganggukkan kepalanya dengan tubuh setengah
mernbungkuk, seperti cara orang rnemberi hormat di panggung. Tetapi
ta?nganku tidak juga dilepaskannya.
"Lepaskan, Gatot!" aku mulai membentak lagi.
"Cepat!" Gatot menjawab permintaanku dengan cara yang tak kusangka-sangka. Dia
menarik tanganku ke Pukulan Naga Sakti 18 Anjing Kematian The Hound Of Death And Other Stories 1933 Karya Agatha Christie Golok Kelembutan 2

Cari Blog Ini