Ketika Cinta Harus Bersabar Karya Nurlaila Zahra Bagian 2
berjilbab lebar dan ikhwan dengan celananya yang semata kaki dan dagunya yang
berjenggot tipis. Aku teringat pesan dari Mas Yusuf agar aku menunggunya di depan pintu
masuk sampai dia datang. Aku pun menunggunya.
Banyak yang datang namun tak sedikit pula yang keluar. Aku memandangi mereka
dengan biasa saja. Kulihat jam tanganku sudah menunjukkan pukul 17 lewat 15 menit.
Aku sudah mulai gelisah. Kuputuskan untuk menelepon Mas Yusuf di menit ke 25. Tak
ada jawaban. "Telepon yang anda tuju, untuk sementara tidak dapat di hubungi. Cobalah beberapa
saat lagi, atau tinggalkan pesan setelah nada berikut"
Itulah jawaban yang aku dengar berkali-kali dari operator telepon. Ada apa dengan
Mas Yusuf" Aku benar-benar gelisah. Tiba-tiba ada seorang akhwat yang sangat aku kenal
sekali wajahnya, bahkan tak pernah bisa aku lupa, menghampiriku sambil tersenyum.
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
"Assalamu"alaikum" Ucapnya dengan lembut.
"Wa"alaikumussalam" Jawabku sambil melemparkan senyum padanya.
"Afwan kamu Dinda kan, istrinya Yusuf?"
"Iya. Kamu pasti Alifa" Jawabku menimpalinya.
"Iya aku Alifa. Kamu masih ingat aku" Bukankah kita belum pernah berkenalan?"
"Bagaimana mungkin aku lupa. Suamiku kan pernah menyebut namamu ketika kamu
datang ke pernikahanku".
"Oh, syukurlah kalau kamu masih ingat. Aku pikir kau tak akan mengenaliku"
"Tenang saja. Aku selalu berusaha untuk mengingat orang-orang yang pernah aku
kenal. Oh iya, kamu ikut acara ini?"
"Iya. Kamu sendirian" Yusufnya mana?"
"Mungkin sebentar lagi akan sampai. Tadi kami janjian untuk bertemu disini"
"Oh begitu" Sahut Alifa datar. Aku mengangguk sambil tersenyum.
"Oh iya hampir lupa" Tukasnya padaku. Dia mengambil sesuatu dari tasnya.
"Ini" Ucapnya sambil memberikan sebuah undangan pernikahan berwarna biru tua
padaku. Aku menerimanya. "Ini undangan pernikahanku. Datang ya?" Sambungnya. Aku menatapnya sesaat lalu
kubuka undangan itu. Disitu tertera nama Alifa Oktaviana menikah dengan Guntur
Maulana. "Selamat ya?" Ucapku padanya. Dia mengangguk.
"Kalau begitu aku ke dalam dulu ya" Jangan lupa datang bersama suamimu di hari
pernikahanku nanti" Ucapnya sebelum pergi meninggalkanku.
"Insya Allah nanti aku sampaikan" Sahutku. Alifa tersenyum dan pergi dari
hadapanku. Kulihat lagi jam tanganku. Sudah pukul 17 lewat 30 menit tapi Mas Yusuf
belum juga datang. Kemana dia"
Tak lama berselang aku mendapati seorang ikhwan yang dulu pernah aku lihat di book
fair. Dia temannya Mas Yusuf yang pernah berbincang dengannya. Aku melihatnya tepat
ketika dia melihat kearahku. Dia mengangguk dan menghampiriku.
"Assalamu"alaikum. Yusufnya kemana ukh 13 ?" Tanyanya padaku.
Aku menggeleng, "Wa"alaikumusslam. Belum datang".
"Oh...Bukannya bareng?"
Aku menggeleng lagi sambil mengarahkan pandanganku kearah jalan. Siapa tahu Mas
Yusuf sudah datang. "Tadi sih ana ketemu dia di sekolah terus dia bilang mau pergi jenguk Mas Bambang
yang lagi sakit. Tapi dia nggak bilang mau datang kesini" Jelasnya.
"Memang Mas Bambang sakit apa" Antum tahu kapan dia pergi jenguk Mas
Bambang?" Tanyaku. "Tadi pagi kakinya Mas Bambang tersiram air panas, jadi tadi dia tidak mengajar.
Kayaknya abis Ashar tadi deh Yusuf jalan. Soalnya dia bilang, pulang dari rumah Mas
Bambang dia mau langsung kerumah ibunya. Mau nginep katanya. Tapi nggak tahu juga
sih" Aku terdiam sejenak. 13 Ukh adalah sapaan seperti mbak atau kak. Sekedar untuk menghormati seorang perempuan.
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
"Randi!! Ayo!" Teriak salah seorang memanggil ikhwan yang kini ada di hadapanku
yang kutahu bernama Randi.
"Afwan. Ana duluan. Asslamu"alaikum" Ucapnya lalu melangkah menghampiri
seseorang yang tadi memanggilnya.
"Wa"alaikumussalam" Sahutku.
Pikiranku semakin kacau. Apa Mas Yusuf lupa dengan janjinya" Apa Mas Yusuf lupa
kalau aku sekarang tengah menantinya disini" Oh Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi"
Mengapa Engkau mendatangkan Randi kesini untuk memberikan kabar yang membuatku
bimbang" Sesaat lamanya aku terdiam sampai akhirnya aku menyadari kalau rintik-rintik hujan
telah membasahi pakaianku. Segera saja aku ambil payung dari dalam tas dan kubuka
untuk melindungi tubuhku dari hujan. Kalau saja Mas Yusuf tidak menyuruhku
menunggunya disini, pasti aku sudah masuk kedalam lebih dulu. Dan kalau saja aku tidak
berjanji untuk menunggunya sampai ia datang, pasti saat ini aku sudah berada di dalam
tanpa harus berdiri disini ditemani hujan yang turun semakin deras.
Langit sudah semakin mendung dan azan Maghrib pun berkumandang. Dengan
berucap bismillah aku melangkahkan kakiku kedalam diiringi niat kalau aku hendak
menunaikan shalat Maghrib dan bukan bermaksud untuk mengingkari janjiku pada Mas
Yusuf. Setelah shalat Maghrib, aku kembali lagi kedepan. Dengan harapan Mas Yusuf pasti
datang. Hujan sudah mulai reda, namun masih ada sisa-sisa gerimisnya yang membasahi
jilbabku. Aku sudah mulai letih. Aku berniat menghubungi Mas Yusuf kembali. Tapi
kuurungkan. Akhirnya aku putuskan untuk mengiriminya pesan yang isinya,
Mas, bkn mksudku ingin mengingkari janjiku u/ menunggumu disini smp kau dtg. Tp sungguh, aku sdh tk kuat lagi
berdiri disini u/ menunggumu. Jd aku hrp, kau mau mengizinkanku u/ plg skrg.
Kukirim segera. Alhamdulillah pengiriman berhasil. Allah selalu ada bagi hambahambaNya yang bersabar. Tak lama kemudian satu pesan aku terima. Dari Mas Yusuf.
ternyata. Isinya, Aku segera kesana. Kau jgn kmn2. Kali ini aku janji. Afwan
Tiba-tiba air mataku jatuh membasahi ponsel yang kupegang. Aku berusaha untuk
meluruskan pikiranku. Aku berusaha untuk tetap memikirkan hal-hal baik tentang Mas
Yusuf, tapi kenapa air mata ini masih saja membasahi wajahku" Sekuat tenaga aku
yakinkan diriku kalau Mas Yusuf hanya terlupa. Dan bukan karena dia tidak mencintaiku
makanya dia lupa pada janjinya.
Seperempat jam aku menunggunya akhirnya dia datang juga. Entah bagaimana lagi
raut wajahku saat ini. Yang pasti aku berusaha untuk tetap tersenyum melihat
kedatangannya. "Maaf ya, maaf banget. Tadi aku lupa kasih tahu kamu kalau Mas Bambang itu sakit.
Tadi pagi kakinya tersiram air panas waktu mau menyeduh kopi, jadi tadi dia tidak
mengajar. Lalu guru-guru yang lain mengjak aku untuk menjenguknya. Kamu tidak marah
kan?" Cerocosnya begitu dia sampai di hadapanku.
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
Aku memandanginya lekat-lekat tanpa bisa menjawab sedikitpun. Aku bingung harus
menjawab apa. Aku memang marah dan kesal padanya, tapi aku juga tidak mau dia tahu
kalau aku marah padanya. Aku putuskan untuk menggeleng sambil berucap, "Iya"
"Maksudnya?" Tanyanya tidak mengerti.
"Coba kamu pikirkan kembali apa jawabanku barusan. Kalau kau mengerti, pasti kau
tahu apa maksud dari jawabanku" Sahutku dengan nada datar. Aku sudah lelah. Dia
terdiam. Acara di Bumiwiyata sudah selesai. Orang-orang sudah berhamburan keluar. Aku
teringat Alifa yang memberikan undangan pernikahnnya padaku. Aku segera
mengambilnya dari dalam tas dan memberikannya pada Mas Yusuf.
"Nih" Ucapku sambil menyodorkan undangannya.
"Apa ini?" Tanyanya sambil meraih undangannya dariku.
"Undangan pernikahan Alifa" Jawabku. Dia membukanya dan membacanya. Tak lama
dia berucap datar. "Mungkin inilah yang terbaik"
Aku hanya diam. Dia mengembalikan undangannya padaku dan menyuruhku naik ke
motornya. Sambil naik aku berkata,
"Sebaiknya kita tidak usah kerumah ibu. Tidak enak rasanya datang kesana dengan
pakaianku yang basah. Lebih baik besok saja kita kesananya"
"Baiklah" Sahutnya.
Motor yang kami tumpangi segera berbaur dengan kendaraan lainnya di jalan raya.
Sepanjang jalan kami hanya diam sambil mengintrospeksi diri masing-masing. Adakah
surga yang tadi aku impi-impikan bisa aku cium baunya" Adakah surga yang telah Allah
janjikan itu, bisa juga kami rasakan" Entahlah. Hanya waktu yang dapat menentukan.
Hanya kesabaran dan kekuatan yang dapat menunjukkan segalanya dengan jelas. Aku
hanya bisa berdo"a dalam diamku.
*** Hari pernikahan Alifa tiba. Aku dan Mas Yusuf pergi kesana bersama-sama. Setelah
kemarin aku menyerahkan revisi novelku yang ketiga pada pihak penerbit, aku langsung
membeli kado pernikahan untuk Alifa.
Mas Yusuf terlihat murung. Entah apa yang dipikirkannya saat ini. Apa mungkin dia
masih menyimpan nama Alifa dalam hatinya" Entahlah. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Di
depan sebuah rumah berbentuk seerhana, Mas Yusuf menaruh motornya dengan beberapa
motor lainnya yang sudah terparkir lebih dulu disana. Setelah menulis nama kami di buku
tamu dan memberikan bingkisanku pada dua orang wanita berjilbab ayu yang duduk
disana, kami masuk kedalam menemui Alifa dan suaminya.
Senyuman penuh kehangatan terpancar di wajah cantik nan menawan Alifa. Dia benarbenar tidak bisa memungkiri kalau hari ini dia begitu bahagia. Bahagia karena hari ini dia
sudah resmi menjadi seorang istri, bahagia karena hari ini adalah hari pernikahannya, dan
bahagia karena dia dan suaminya, saling mencintai.
Tapi Alifa tidak sadar dan tidak menyadari, kalau ada seseorang yang hatinya begitu
hancur melihat dia bersanding dengan orang lain. Dia adalah suamiku sendiri. Sebagai
seseorang yang sudah hidup bersamanya selama lima bulan lebih, aku sudah bisa melihat
ada kemurungan lain yang aku tangkap di wajahnya yang sendu. Mungkin dia berpikir,
"seharusnya aku yang ada di pelaminan itu dan bukan lelaki yang bernama Guntur itu".
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
Astaghfirullah!! Aku tak mau su"udzan pada suamiku. Kembali kuluruskan niatku. Aku
memasuki halaman rumahnya yang sudah di penuhi oleh para tamu. Undangan laki-laki
dan undangan wanita di pisah oleh hijab.
Aku bersalaman dengan Alifa dan memeluknya dengan erat seraya mengucapkan
kalimat yang sama seperti yang pernah ia ucapkan padaku saat menikah.
"Barakallah ya Alifa" Semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah"
"Syukran ya?" Ucapnya.
Aku mengangguk dan tersenyum. Mas Yusuf hanya bersalaman pada Guntur tanpa
berucap sepatah katapun padanya. Aku mengerti perasaannya. Sebelum kami beranjak
pergi, Alifa meminta kami untuk berfoto bersama. Aku berdiri disamping Alifa dan Mas
Yusuf berdiri di samping Guntur. Tinggi badanku hampir sama dengan Alifa dan
sepertinya tinggi badan Mas Yusuf pun tak jauh beda dengan Guntur.
Setelah berfoto, aku dan Mas Yusuf meminta diri. Aku mengambil hidangan di tempat
akhwat dan Mas Yusuf mengambil hidangan di tempat ikhwan. Setelah menghabiskan
makanan kami, Mas Yusuf memberikan isyarat matanya padaku sambil mengangguk
pelan. Menandakan bahwa dia ingin segera pulang. Aku pun menurutinya.
Sebelum pulang, sekali lagi kami berpamitan pada Alifa dan Guntur. Dia
menyayangkan kami yang terkesan buru-buru sekali. Tapi apa boleh buat, Mas Yusuf
sudah mengajakku pulang. Setelah berpamitan, kami pulang dengan perasaan kami
masing-masing. Menatap kembali senyum Alifa yang terlihat begitu bahagia.
*** Sebelas Tiga bulan telah berlalu dari hari itu. Dan malam ini, aku kembali meneteskan air
mataku. Suami yang aku bangga-banggakan selama ini ternyata berbohong padaku.
Kenapa seseoang yang taat beragama,rajin beribadah dan membaca Al-Qur"an, serta
seorang yang terbiyah seperti dia bisa membohongiku" Aku tak pernah habis pikir. Tadi
pagi dia mengatakan padaku bahwa dia tidak bisa ikut hadir dalam acara munasoroh
Palestine di Monas. Tapi ternyata, diantara ribuan, bahkan puluhan ribu ikhwan yang
datang pada acara itu, kedua mataku menangkap sosok seorang ikhwan yang sudah lebih
dari 8 bulan ini hidup bersamaku. Aku melihat suamiku tengah mengibarkan bendera
Palestina, lengkap dengan topi dan ikat kepalanya yang bertuliskan "Save Palestine". Dia
mengibarkan bendera itu dengan penuh semangat dan ghirah yang selalu membakar jiwa.
Entah mengapa Allah swt menampakkannya di penglihatanku di tengah kerumunan orangorang itu.
Remuk redam rasanya jiwa ini ketika aku sadar dia membohongiku. Berkali-kali aku
yakinkan diriku bahwa orang yang aku lihat itu bukan suamiku. Tetapi ketika kutatap
sekali lagi wajahnya yang samar-samar kulihat dari kejauhan dan dari kerumunan orang,
aku mantapkan hati bahwa dia memang suamiku. Ikhwan itu memang benar-benar Mas
Yusufku. Melihat hal itu, langsung saja aku palingkan wajahku dan mengajak Nadia,
sahabatku untuk beranjak pergi dari awal tempatku berdiri. Aku tidak mau Nadia sampai
tahu kalau ternyata Mas Yusuf menjadi salah satu pengibar bendera Palestina disana.
Sebab dari awal aku sudah terlanjur bilang padanya bahwa Mas Yusuf tidak bisa hadir
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
karena ada urusan di sekolahnya. Nadia pun percaya. Dan aku tidak ingin kepercayaan
Nadia itu berubah menjadi ketidakpercayaan padaku atau pun suami, karena dia telah
melihat Mas Yusuf disana.
Dengan gontai kulangkahkan kakiku keluar dari kerumunan orang-orang yang sedang
bersemangat itu. Kuajak serta Nadia dari sana dengan alasan aku lelah dan ingin mencari
minum pelepas dahaga. Dan kebetulan saja, waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 WIB,
menandakan bahwa sebentar lagi azan zuhur akan berkumandang. Segera saja kuajak
Nadia untuk pergi dari Monas menuju masjid terdekat, Masjid Istiqlal. Disana sudah
banyak ikhwan / akhwat yang berpeluh dan berkeringat tengah membanjiri Masjid Istiqlal
untuk melaksanakan shalat Zuhur. Aku dan Nadia mencari tempat wudhu wanita dan
mengambil wudhu disana. Cukup mengantri memang, tapi akhirnya aku dan Nadia bisa
mengambil air wudhu sebelum azan Zuhur berkumandang.
Kuselonjorkan kakiku dan kusandarkan punggungku kesalah satu tiang masjid ketika
aku dan Nadia sudah mendapatkan posisi yang cukup nyaman untuk shalat. Sambil
menunggu azan berkumandang, kunikmati sebotol air mineral yang tadi aku beli sambari
angin sepoi-sepoi dan semriwing membelai-belai wajahku. Diwaktu yang sama, kulihat
Nadia juga melakukan hal yang sama sepertiku. Kulemparkan senyum padanya lalu
kuarahkan kembali pandanganku lurus kedepan. Angin sepoi-sepoi terus saja membelai
lembut wajahku ketika tiba-tiba saja kedua mataku basah dengan air mata. Aku teringat
kembali dengan Mas Yusuf. Kenapa dia berbohong padaku" Apa dia tidak mau pergi
keacara itu bersamaku sehingga dia harus berdusta" Atau apa" Sekuat tenaga kuluruskan
pikiranku dan sebenarnya aku tak ingin bersu"udzan padanya. Tapi.....
Seketika air mataku jatuh membasahi wajahku. Aku tersadar. Ternyata azan Zuhur
tengah berkumandang. Aku segera mempersiapkan diri untuk melaksanakan shalat Zuhur
bersama Nadia dengan terlebih dahulu melaksanakan sunnah rawatib 2 rakaat. Nadia
menjadi imam dan aku menjadi makmum. Setelah shalat Zuhur kami melaksanakan shalat
sunnah rawatib lagi 2 rakaat lalu kembali istirahat sebentar. Ketika waktu sudah
menunjukkan pukul 13.00, kami memutuskan untuk pulang. Diperjalanan Nadia banyak
sekali bercerita tentang hal-hal yang lucu. Aku ingin sekali tertawa tapi tidak bisa. Bayangbayangku tentang Mas Yusuf kembali mengusik pikiranku. Hal itu mengalahkan semua
rasa dan pemikiranku yang kala itu tengah mendengarkan cerita Nadia. Aku hanya bisa
tersenyum kecil tanpa bisa berkomentar apa-apa. Dan ketika Nadia bertanya padaku
tentang sikapku, aku hanya menggeleng dan menjawab,
"Nggak. Aku enggak kenapa-kenapa. Terus bagaimana kelanjutannya?"
Lalu Nadia pun melanjutkan ceritanya. Aku hanya mendengarkannya dengan pikiran
yang entah kemana perginya. Nadia mengajakku mampir sebentar ke warung somay yang
ada di Stasiun Gondangdia. Aku menurutinya. Aku memesan satu porsi tapi tidak habis.
Nadia membayarnya dan aku pun memberikan uang sepuluh ribuan padanya. Awalnya dia
menolak tapi kupaksa dan akhirnya dia menerimanya.
Kami naik keatas dan membeli tiket. Nadia yang membelinya. Jurusan Lenteng Agung
dan Pasar Minggu. Di Stasiun Gondangdia sudah banyak sekali orang yang beratribut
Palestina. Entah bajunya, kerudungnya, atau topi dan pin yang mereka kenakan. Memang,
semangat saudara-saudara kita di Palestina tidak pernah surut untuk melawan penjajah
Israel, sampai mereka takluk dan menyatakan menyerah pada rakyat Palestina.
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
Ya...memang masa-masa itu belum tahu kapan tapi yang pasti saat-saat itu akan ada
masanya. Dan aku yakin Allah pasti akan menepati janjiNya. Sebagaimana dijelaskan
dalam wahyuNya, surat Al-Baqarah ayat 85-86.
"Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir
segolongan dari kamu kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka
dengan perbuatan dosa dan permusuhan, tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai
tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu.
Apakah kamu beriman kepada sebagian alkitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian
yang lain" Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian darimu, melainkan
Ketika Cinta Harus Bersabar Karya Nurlaila Zahra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada
siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. Itulah orangorang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan
diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong"
Dari jarak beberapa meter aku melihat seorang akhwat yang sepertinya aku kenal. Dia
sedang berbincang dengan beberapa teman akhwatnya sesama aktivis. Aku berusaha
mengingatnya sekuat tenaga. Tapi siapa dia" Alhamdulillah setelah berpikir keras, aku
mengingatnya. Dia adalah sahabatnya Alifa. Dia pernah datang bersama Alifa ke pesta
pernikahanku. Ingin sekali rasanya aku mendekatinya dan menanyakan kabar Alifa
padanya. Dengan langkah yang pasti, aku mengajak Nadia untuk menghampirinya.
"Assalamu"alaikum" Ucapku padanya.
"Wa"alaikummussalam" Sahutnya bersama dengan beberapa temannya.
"Afwan, ana mau tanya, apa anti temannya Alifa?" Tanyaku sambil mengarahkan
pandanganku pada orang yang kumaksud.
"Oh, iya ana temannya Alifa. Ana Ririn. Afwan, anti istrinya akh Yusuf kan?"
"Iya. Ehm, ana mau tanya, bagaimana kabar Alifa sekarang" Apa dia tidak ikut
munasoroh" Atau mungkin dia pergi dengan suaminya ya?"
Wajah ukhti yang ada dihadapanku terlihat muram.
"Ada apa ya Rin?" Tanyaku langsung padanya.
"Ehm...keadaan Alifa sekarang tidak begitu baik" Jawabnya dengan nada sedih.
"Memang dia kenapa?"
Ririn mulai menjelaskan. "Seminggu setelah pernikahannya, suaminya meninggal akibat kecelakaan kereta api.
Mobil yang dikendarainya mogok dan terjebak di rel kereta api. Dan pada saat yang
bersamaan, kereta datang melintas dan Guntur...." Ririn memutus perkataannya. Aku
hanya bisa diam sambil meringis mendengarnya. Dalam hati aku terus beristighfar.
"Lalu keadaan Alifa sekarang bagaimana?" Tanyaku setelah tadi aku sempat terkejut
mendengarnya. "Keadaan terakhir yang aku tahu, dia kini terbaring di rumah sakit karena stres.
Awalnya dia bisa menerima kenyataan ini, tapi makin kesini, kondisinya semakin parah.
Dia tidak mau makan dan minum, sampai akhirnya sakit. Dia terus memikirkan kematian
suaminya yang sangat tragis. Dan pada akhirnya dia harus dilarikan ke rumah sakit karena
kondisi tubuhnya semakin lemah dan parah" Jelas Ririn.
Aku diam sejenak lalu bertanya di rumah sakit mana Alifa dirawat. Setelah Ririn
memberitahukan dimana Alifa dirawat, aku segera meminta diri untuk beranjak dari
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
tempatku berdiri kini. Nadia bertanya padaku siapa Alifa. Aku menjelaskan padanya
tentang Alifa. Sekedarnya tanpa menceritakan padanya kalau Alifa itulah yang sebenarnya
menjadi impian Mas Yusuf.
*** Tanpa terasa kereta yang kami tunggu-tunggu sudah datang. Segera saja aku dan Nadia
menjejalkan diri masuk kedalamnya. Alhamdulillah bisa masuk dengan selamat. Di
sekeliling kami hampir semua berjilbab putih. Sangat bisa ditebak bahwa kami habis
melakukan aksi munaoroh Palestine di Monas. Aku tak peduli dengan tatapan orang-orang
lain pada kami. Aku hanya ingin cepat-cepat sampai dirumah dan merebahkan tubuh ini
diatas tempat tidur. Biasanya sepulang aksi-aksi seperti ini, ada semangat baru yang terpatri dalam diriku
untuk kembali bangkit merencanakan hari esok. Tapi sekarang, entah mengapa tiba-tiba
semangat itu seakan pudar. Terhapus oleh bayang-bayang Mas Yusuf yang tadi aku lihat
dan juga bayang-bayang Alifa yang kini mungkin tengah terbaring tak berdaya dirumah
sakit. Tapi aku berharap Alifa pun sudah sembuh dan bisa bangkit merajut hari-hari
barunya. Menuju stasiun Tebet, alhamdulillah ada dua orang perempuan yang bangkit dari
duduknya dan segera saja aku gantikan tempat duduknya bersama Nadia. Kulihat
kesekeliling tidak ada orang yang mungkin lebih pantas mendapatkan tempat duduk itu.
Aku mengucap syukur karena akhirnya bisa duduk. Beberapa menit kemudian datang
kehadapanku seorang perempuan tua yang mengais rezeki dengan cara menyapu lantai
kereta dengan sapu kecilnya. Pakaiannya compang camping namun tetap berkerudung,
menandakan bahwa dia seorang muslim. Di pinggangnya terdapat sebuah tas untuk
menaruh uang hasil menyapu yang dengan ikhlas diberikan oleh penumpang kereta.
Dia menadahkan tangan kanannya padaku. Hatiku tersentuh dan langsung ku keluarkan
uang lima ribu rupiah dan kuberikan padanya. Nadia pun ikut mengeluarkan uang seribu
rupiahnya untuk diberikan pada ibu itu. Wajahnya begitu berseri-seri saat menerima uang
dariku dan Nadia. Dia pun mengucapkan terima kasih dan kembali menyapu bagian yang
lain dari lantai kereta. Nadia mungkin heran melihatku memberikan ibu tadi uang lima ribu
rupiah. Dia lantas menanyakan perihal tersebut padaku.
"Kamu memberikannya uang lima ribu Nda?" Tanyanya dengan memanggilku dengan
sebutan "Nda". Ya, memang hanya Nadia yang memanggilku dengan kosakata terakhir dari
namaku, "Nda". "Apa menurutmu, uang lima ribu rupiah itu besar?" Tanyaku balik padanya.
Nadia mengangguk. "Menurutku itu terlalu besar Nda. Apa tidak ada uang kecil?"
"Ada. Tapi bagiku, uang lima ribu itu tidak ada artinya bila dibandingkan dengan
semua nikmat yang telah Allah berikan padaku. Uang lima ribu itu hanya sebagai
ungkapan rasa syukurku saja pada Allah swt karena paling tidak, Dia masih berkenan
mengizinkan aku untuk dapat hidup enak dan nikmat tanpa harus bekerja keras seperti
yang ibu tadi lakukan. Aku hanya ingin membagi rasa syukurku ini pada orang-orang yang
memang pantas untuk menerimanya. Lagi pula dia bukan hanya mengemis, tapi juga
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
secara tidak langsung dia sudah membantu kita dengan membersihkan lantai kereta ini.
Benar kan Nad?" Jelasku pada Nadia.
Nadia mengangguk lagi. Sesaat lamanya kami diliputi kebisuan. Hanya angin yang berhembus dari jendela
kereta yang berbisik-bisik membelai wajah kami. Tepat di Stasiun Tebet banyak
penumpang yang turun, namun hanya sedikit orang yang naik. Alhasil kereta menjadi agak
sedikit lengang. Banyak penumpang yang tadinya berdiri kini mendapat tempat duduk.
Mataku menangkap jelas dua orang laki-laki berpakaian rapi yang sepertinya tidak ada
kerutan sedikitpun di baju dan jas mereka. Dengan masing-masing membawa tas agak
besar mereka berdiri tak jauh dari pintu masuk kereta. Mereka terus berbincang-bincang
sampai kereta mulai berjalan kembali. Namun kemudian mereka masuk agak kedalam
sehingga tak terlihat lagi oleh pandanganku.
Beberapa menit setelah kereta melaju di rel-nya, tiba-tiba terdengar suara bentakan
hebat yang dilayangkan oleh seorang laki-laki.
"Hei! Perempuan tua jalang! Berani-beraninya kau mengotori sepatuku dengan sampah
busukmu itu. Pantaslah tanganmu itu kuinjak karena kau telah mengganggu kami dengan
sapu bututmu itu. Enyahlah kau dari hadapanku, dasar perempuan tak tahu diri!" Bentak
salah seorang dari penumpang yang aku tidak tahu siapa dia. Aku bangkit dari dudukku
sesaat untuk mengetahui siapa yang berani berbuat kurang ajar pada seorang perempuan
yang dibilang jalang olehnya.
Ternyata yang berbuat hal yang memalukan itu adalah salah seorang dari dua orang
penumpang laki-laki yang berpakaian rapi dengan membawa tas agak besar yang tadi
sempat aku perhatikan. Dan perempuan tua yang dihina olehnya adalah ibu tua yang tadi
menadahkan tangannya padaku dan Nadia. Ibu tua itu duduk menangis sambil mengusapusap tangannya yang katanya terinjak oleh orang yang menghinanya tadi. Aku sungguh tak
tega melihatnya. Orang yang berpakaian rapi yang satunya lagi mengusap-usap bahu
temannya itu. Aku harap dia bisa menyadarkan temannya itu yang sudah berbuat kurang
ajar pada ibu tua itu. Tapi ternyata dugaanku salah. Dengan setali tiga uang, orang yang satunya lagi malah
ikut-ikutan mencaci ibu tua itu.
"Hei! Pergi kau dari sini. Seperak pun tak akan aku berikan uangku untukmu. Pergi
kau! Dasar perempuan tua tak tahu diuntung. Mengganggu saja! Pergi kau!!" Ucapnya
dengan nada yang lebih tinggi dari orang yang sebelumnya.
Semua penumpang yang ada di dalam kereta mengarahkan pandangannya pada dua
orang laki-laki dan ibu tua itu. Sungguh, aku jadi naik pitam. Aku sungguh tak tega
melihat dua orang itu menghina ibu tua itu. Aku harus bertindak. Tapi apa" Semua orang
yang ada dalam kereta tidak berani bertindak. Ini sudah keterlaluan. Ini sudah termasuk
perbuatan zalim. Dan kezaliman harus segera di musnahkan.
Setelah kurasa tak ada yang cukup berani meluruskan kesalahan dua orang itu,
akhirnya aku putuskan untuk membela ibu tua itu yang aku rasa dia tidak bersalah.
"Cukup-cukup!!" Teriakku sambil berjalan kearah ibu tua itu. Aku rasa semua yang
ada disana sedang memperhatikanku. Sebenarnya aku sangat takut dan gemetar, tapi aku
yakin aku bertindak yang memang seharusnya dilakukan oleh setiap muslim yang melihat
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
kemungkaran dan kezaliman. Dua laki-laki itu mengarahkan tatapan sinis padaku. Jujur,
pada saat itu aku hanya bisa pasrah pada Allah swt.
"Tidak sepantasnya kalian sebagai seorang yang berpendidikan, berperilaku seperti itu.
Saya yakin kalian ini pasti seorang yang berpendidikan bukan" Apakah pantas kalian
berdua menghina ibu ini dengan hinaan yang sebenarnya sangat tidak patut keluar dari
mulut kalian sebagai seorang yang berpendidikan" Apakah hanya karena sepatu bagus
kalian yang mengkilap, kalian merasa pantas menghina ibu ini" Apakah hanya karena
kemeja dan celana kalian yang licin, lalu kalian merasa benar untuk mencaci makinya"
Kalau hanya karena itu semua kalian merasa benar melakukan hal itu, maka sebenarnya
yang hina bukan ibu ini, melainkan kalian" Ucapku dengan tegas sambil membantu ibu tua
itu untuk berdiri. "Apa maksud perkataanmu hei?" Tanya salah seorang dari dua laki-laki itu yang
mengenakan kemeja berwarna biru tua.
"Apa kurang jelas apa yang saya ucapkan tadi" Kalau kalian merasa benar melakukan
hal itu, maka kalian pun tak lebih tinggi dari seorang pecundang. Kalian menghina seorang
ibu yang sudah tua renta ini tanpa sebuah rasa tak tega sedikitpun. Hanya karena dia tak
sengaja mengotori sepatu kalian, lantas kalian menghinanya. Apakah harga diri kalian
hanya sebatas sepatu kalian yang mengkilap itu?"
"Hei! Tutup mulutmu perempuan berjilbab. Tahu apa kau tentang harga diri. Hah?"
Kali ini laki-laki yang mengenakan kemeja merah marun yang bertanya padaku.
"Apakah kalian tidak pernah berpikir sedikitpun tentang kehidupannya ketika mata
kalian melihat dia mencari sesuap nasi dengan membersihkan gerbong kereta ini" Kemana
hati nurani kalian tatkala tangan tua rentanya menyingkirkan sampah-sampah yang kita
buang sembarangan disini" Saya tanya, apakah pekerjaannya itu mengganggu kalian"
Apakah pekerjaannya itu menyusahkan kalian sehingga kalian harus marah padanya"
Apakah kalian bisa menjawabnya" Hah"!"
Dua lelaki itu diam seribu bahasa sambil saling bertatap-tatapan. Aku masih terus saja
merangkul ibu tua itu tanpa sedikitpun rasa geli dalam diriku karena pakaian yang
dikenakannya sangat kotor.
"Apa yang dilakukannya itu adalah sebuah perbuatan yang terpuji. Kita yang
membuang sampah sembarangan lalu dia yang membersihkannya, apa kita tidak malu"
Sebagai seorang yang berpendidikan dan beragama, apakah pantas kalian menghina
seseorang yang justru telah mengajarkan kita akan pentingnya kebersihan" Coba kalian
pikir, kata-kata yang kalian lontarkan tadi bisa jadi sangat menyakitkan hatinya. Coba
kalian perhatikan air mata yang mengalir di wajahnya. Itu menandakan bahwa hatinya
sangat perih. Demi mendapatkan sesuap nasi untuk mengganjal perutnya hari ini, dia
sampai rela menahan rasa sakit di hatinya karena ucapan kalian. Belum lagi tangannya
yang terinjak oleh salah satu diantara kalian. Dia telah berjasa membersihkan tempat ini
agar kita nyaman berada di dalamnya, tapi apa yang kalian berikan padanya" Sebuah
cacian dan hinaan. Bahkan untuk mengeluarkan uang seribu dua ribu saja kalian tidak
bersedia, kalian malah menghujaninya dengan cacian"
Itulah ucapan yang aku lontarkan pada dua lelaki yang kini hanya bisa diam mematung
sambil menatap wajahku dan ibu tua yang kini ada di sampingku. Aku yakin semua orang
tengah memandangi kami berempat. Aku kembali berkata pada dua lelaki itu.
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
"Saya yakin kalian seorang muslim. Terlihat dari gantungan tas kalian yang
berlambangkan Allah. Apakah kalian tidak menyadari bahwa iman kalian belum
sempurna?" "Hei, jangan bicara sembarangan. Kami orang yang beriman dan hanya Allah Tuhan
kami" Sahut lelaki berkemeja merah marun.
"Kalau kalian merasa benar-benar beriman, seharusnya kalian bisa lebih mencintai
saudara kalian sesama muslim. Rasulullah bersabda, Belum sempurna iman seseorang dari
kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri 14. Kalau
memang kalian mencintai diri kalian, seharusnya kalian juga bisa mencintai saudara kalian
sesama muslim sehingga kalian benar-benar bisa merasakan manisnya kesempurnaan iman
itu. Saya yakin kalian pasti tidak mau memikul kebohongan dan dosa yang nyata bukan?"
"Apa maksudmu dengan kebohongan dan dosa yang nyata?" Kali ini laki-laki
berkemeja biru tua yang bertanya.
"Allah berfirman dalam Qur"anNya, Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang
mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka
telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata15. Saya harap, kalian bisa memahami ayat
itu. Dalam ayat yang lain, Allah juga mengingatkan kita agar jangan mengolok-olok kaum
yang lain, karena boleh jadi, mereka yang diolok-olok itu lebih baik dari pada mereka yang
mengolok-olok. Mohon diingat akan hal itu.
"Saya hanya ingin mengingatkan kalian agar tidak sombong. Apa yang kalian lakukan
itu adalah perbuatan yang sombong dan tidak mensyukuri nikmat yang Allah berikan.
Coba sedikit saja tundukkan hati kalian dan sedikit berpikir, bagaimana kalau semuanya
berbalik dan kalian atau keluarga kalian yang sekarang ada di posisi ibu ini. Apa perasaan
kalian saat ini" Saya yakin kalian tidak bisa menjawabnya karena jawaban itu sudah kalian
telan mentah-mentah bersama hinaan-hinaan kaliantadi. Harusnya kalian bersyukur karena
Allah masih memberikan kesempatan pada kalian untuk hidup enak sehingga kalian tidak
perlu susah-susah mencari uang seperti yang ibu ini lakukan. Tolong kalian buang
kesombongan kalian itu. Allah bisa marah karena pakaianNya kalian pakai. Kesombongan
adalah dosa besar yang menyebabkan iblis di usir dari surga. Rasulullah bersabda, Orangorang yang sombong akan dikumpulkan pada hari kiamat bagaikan semut kecil dalam
wujud manusia. Mereka dikepung oleh kehinaan dari seluruh arah. Mereka digiring ke
sebuah penjara dalam neraka Jahanam 16. Mereka ditutupi oleh api paling panas dan diberi
minuman dari nanah penduduk neraka 17 .
"Jadi sekali lagi saya mohon, buanglah rasa angkuh kalian. Jangan sampai jabatan dan
kedudukan kalian saat ini membuat kalian gelap mata dan akhirnya terjebak dalam bayangbayang neraka jahannam yang tengah menanti orang-orang yang sombong. Saya
melakukan hal ini, karena saya tidak tega melihat ibu ini dicaci dan dihina. Sepatutnyalah
kalian menghormatinya karena biar bagaimanapun, dialah yang lebih dulu menempati
14 HR. Bukhari dan Muslim
15 QS. Al-Ahzab : 58 16 Seharusnya, "Mereka digiring ke sebuah penjara dalam neraka Jahanam bernama Bulas".
17 Seharusnya, "Mereka ditutupi oleh api paling panas dan diberi minuman dari nanah penduduk neraka,
yaitu Thinatul Khaba"
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
dunia ini dibanding kita. Ibu ini telah mengajarkan kita akan banyak hal. Tentang
kebersihan, kesabaran dalam menghadapi hidup, dan sebuah usaha dan kerja keras yang
juga di iringi dengan ikhtiar, tawakal, dan rasa syukur. Betapa hidup ini harus dijalani
tanpa mengenal kata putus asa. Itulah muslim sejati"
Dua lelaki berkemeja licin itu tampak berkaca-kaca. Raut wajahnya terlihat sekali
kalau mereka sangat menyesal. Mereka saling bertatap-tatapan kemudian mereka mengaku
sangat menyesal dengan tindakannya terhadap ibu tua itu. Setelah mengucapkan terima
kasih padaku, mereka menyalami ibu tua yang kini ada disampingku sambil meminta maaf
padanya dan memberinya dua lembar uang seratus ribuan.
Ibu tua itu menghapus air matanya. Dia tersenyum padaku dan mengucapkan terima
kasih. Aku balik tersenyum padanya dan terdengar tepukan tangan yang diiringi dengan
pekikan takbir dari penumpang kereta yang hampir seluruhnya adalah mereka yang
mengikuti aksi munashoroh Palestine di Monas.
*** Tepat di stasiun Pasar Minggu baru ibu tua itu turun. Aku kembali lagi pada Nadia.
Ada beberapa orang mengucapkan selamat padaku. Nadia menyampaikan rasa salut dan
kagumnya padaku. Aku sampaikan padanya bahwa sungguh saat aku mengucapkan katakata itu, yang terbersit dalam pikiranku adalah bagaimana caranya agar dua lelaki itu bisa
mengerti arti kehidupan ini. Dan sejujurnya aku katakan bahwa sampai saat ini hatiku
masih berdegup kencang. Di stasiun Pasar Minggu Nadia turun. Aku hanya mengucapkan terima kasih dan
tersenyum padanya. Kereta terus melaju dan terus membawaku beserta orang-orang yang
ada dalam kereta menuju stasiun yang satu ke stasiun yang lain. Banyak yang turun namun
tak sedikit pula yang terus memadati sesaknya kereta. Stasiun Lenteng Agung sebentar
lagi. Aku bersiap-siap untuk turun. Setelah sampai aku pun turun. Aku keluar satsiun dan
menghentikan angkot berwarna coklat. Tepat di sebuah sekolah rumah makan padang aku
turun dan membayar angkotnya.
Dirumah kontrakanku yang mungil, aku mencurahkan segalanya. Teringat kembali
semua kejadian yang aku alami hari ini. Aku yang melihat Mas Yusuf di Monas,
pertemuanku dengan sahabatnya Alifa dan mengabarkan aku kalau Alifa saat ini tengah
dirawat di rumah sakit karena suaminya meninggal, juga kejadian di kereta tadi yang
membuatku semakin mengerti arti hidup ini.
Setelah istirahat sejenak, aku mandi dan shalat Ashar. Mas Yusuf belum juga pulang.
Ketika Cinta Harus Bersabar Karya Nurlaila Zahra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku menyempatkan diri memasak sayur sawi dan menggoreng telur untuk makan malam
Mas Yusuf. Tapi sampai Maghrib tiba, dia belum pulang-pulang juga. Masakanku sudah
dingin. Sebenarnya aku ingin menghubunginya tapi aku khawatir dia akan menjawab
pertanyaanku dengan jawaban yang tidak semestinya. Akhirnya kuurungkan niatku.
Kulihat jam dan azan Isya berkumandang. Aku putuskan untuk segera shalat dan
mengadu PadaNya. Aku ingin sekali menangis. Menangis dengan sungguh-sungguh di
hadapan Rabbku. Menangis dengan air mata yang sejak tadi siang kutahan. Aku tak pernah
sesedih ini. Rasanya sakit seperti teriris-iris pisau sembilu. Aku kecewa padanya.
Kucurahkan semua perasaanku dalam buku harianku. Diatas buku itu kugoreskan tinta
hitamku. Berharap agar perasaanku yang kini gundah dapat berubah menjadi lebih tenang.
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
Hanya buku harianku yang selama ini selalu menemaniku melewati hari-hari yang baru
aku jalani bersama Mas Yusuf. Suamiku yang aku tahu tidak pernah mencintaiku. Suamiku
yang aku tahu berbohong padaku tadi siang. Remuk rasanya jiwa ini. Sejadi-jadinya aku
menangis sambil terus mencurahkan perasaanku di dalam buku harianku.
Kurasa mataku bengkak. Aku sudah mulai mengantuk tapi Mas Yusuf belum juga
pulang. Tidak menelepon ataupun mengirimkan sms sekedar memberitahukan dimana dia
sekarang. Kuseka air mataku dan aku beranjak mengunci pintu depan. Mas Yusuf
membawa kunci rumah yang satu lagi. Aku melihat kembali makanan yang tadi aku
masak. Sudah sangat dingin. Aku masukkan sayur kedalam penghangat nasi dan telurnya
kubiarkan diatas meja makan yang kututup dengan tudung saji.
Aku kembali lagi kekamar dan bersiap untuk tidur. Namun baru sekitar 15 menit aku
memejamkan mata, tiba-tiba terdengar suara pintu rumah dibuka. Aku yakin itu Mas
Yusuf. Kudengar dia melangkah masuk kedalam kamar. Aku masih memejamkan mata
sambil memiringkan tubuhku membelakanginya. Aku putuskan untuk tidak bangun dan
menyambut kedatangannya. Aku kahawatir dia melihat mataku yang bengkak lalu dia
menanyakan alasannya. Kumantapkan hati untuk tidur malam ini. Dan Mas Yusuf" Biarlah dia makan sendiri
malam ini. Toh, nasi, sayur, dan telurnya sudah aku siapkan di meja makan. Biar
bagaimana pun, aku hanya ingin menjadi istri yang baik dan berbakti pada suami.
Meskipun hatiku sakit. Tapi untuk malam ini, maafkan aku Mas jika kamu makan sendiri.
Aku tak sanggup melihat wajahmu.
Di luar, hujan turun secara perlahan mengantarkan deras yang tiada terkira. Dalam
pejam malamku aku berdo"a,
"Ya Allah, ampuni segala dosa-dosaku dan dosa-dosa suamiku. Berikanlah kami
kekuatan untuk bisa tetap bertahan di jalan IstiqomahMu. Amin"
*** Sisa-sisa hujan masih terus saja mengguyur kota Jakarta. Dan pagi ini pun hujan masih
terus turun dengan derasnya. Sebagian kota Jakarta sudah ada yang tergenang banjir. Aku
lihat di berita pagi yang menyebutkan bahwa sebagian kawasan di Jakarta sudah terendam
oleh banjir setinggi 1-2 meter. Kebetulan hari ini adalah hari ahad, jadi tidak ada kegiatan
yang mengharuskan aku keluar rumah. Dan aku putuskan untuk tetap dirumah dan kembali
duduk di depan komputer untuk meneruskan tulisanku.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB. Kulihat Mas Yusuf sedang
menonton televisi. Aku sedang memasak nasi goreng untuk sarapan paginya. Setelah itu
kami sarapan bersama tanpa perbincangan yang berarti. Hanya suara penyiar berita di
televisi yang mengisi kebisuan kami. Selesai sarapan aku memasak tumis kangkung dan
menggoreng tempe. Tak lupa sambal goreng yang menjadi pelengkap menu masakan hari
ini. Selesai masak pukul 08.45. Aku bergegas membersihkan tubuhku dari sisa asap
masakan. Aku berencana meneruskan tulisanku setelah shalat dhuha nanti.
Hujan belum juga reda sementara petir terus saja bersahut-sahutan di langit sana. Aku
masuk ke kamar dengan sebelumnya menatap Mas Yusuf yang tengah membaca koran di
ruang tamu. Televisinya dimatikan, mungkin karena takut tersambar petir. Aku shalat
dhuha di kamar, bermunajat sebentar, kemudian langsung menghidupkan komputerku.
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
Aku mulai terhanyut dalam lautan kata-kata sebelum Mas Yusuf memanggilku karena ada
telepon dari pihak penerbit.
Aku keluar dan menerima telepon itu. Tak berapa lama, aku menyudahinya. Dari
pihak penerbit memintaku untuk membuat ucapan terima kasih karena novel ketigaku akan
segera diterbitkan. Hatiku senang tiada terkira. Berkali-kali kuucap rasa syukur yang
teramat dalam pada Allah swt. Di tengah derasnya hujan yang belum juga berhenti, aku
mendapatkan berita yang menyejukkan hatiku.
Aku kembali ke kamar untuk meneruskan tulisanku. Kulihat kini Mas Yusuf tengah
meringkuk di atas tempat tidur membelakangi diriku. Kuposisikan diriku di depan layar
komputer. Baru beberapa baris aku mengetik, Mas Yusuf membalikkan tubuhnya dan
bertanya padaku. "Ada apa dari pihak penerbit menelepon?"
"Memberi tahu kalau novelku yang ketiga akan segera di proses" Jawabku singkat
tanpa memalingkan wajahku dari layar komputer. Tiba-tiba aku berinisiatif membuatkan
susu hangat untuk Mas Yusuf. Aku menoleh sesaat ke arahnya yang tengah bersandar di
kepala tempat tidur sambil membaca buku. Aku beranjak keluar kamar untuk membuat
susu hangat kemudian ku berikan padanya.
"Nih Mas. Susu hangat untuk menghangatkan tubuh" Kataku sambil menyodorkan
segelas susu padanya. Dia menerimanya dan meminumnya sedikit demi sedikit. Aku masih
duduk di pinggir tempat tidur sambil menatapnya. Aku begitu mencintainya. Apakah dia
juga merasakan hal yang sama sepertiku" Kutepis segera pemikiranku. Aku kembali tertuju
pada komputerku sebelum Mas Yusuf menggamit tanganku dan menyuruhku untuk tetap
duduk. Aku tak tahu apa yang hendak dia lakukan. Dia beranjak dari tempat tidur lalu
mematikan lampu yang ada di kamar dan menutup semua gorden di jendela kamar. Tibatiba jantungku berdetak kencang. Apa yang hendak ia lakukan" Dia berjalan ke arahku dan
pada saat yang sama, dia mengajakku bercinta. Yang aku ingat, terakhir kami memadu
kasih.....3 minggu yang lalu. Hatiku kembali berdebar. Mataku menatap penuh tajam ke
arah matanya. Di tengah derasnya hujan, Mas Yusuf membawaku ke taman surga. Di pojok kamar
sana, komputer belum sempat aku matikan. Aku masih belum mengerti kenapa Mas Yusuf
mengajakku bercinta. Jujur, ini adalah kado terindah untuk novelku yang ketiga. Atau
mungkin, ini adalah penebus rasa bersalahnya karena kemarin dia telah berbohong padaku.
Entahlah. *** Dua Belas Dua hari setelah hari itu, sepulang dari kantor aku memutuskan untuk menjenguk Alifa
di Rumah Sakit Pasar Rebo. Keadaan Alifa belum sempat aku beri tahukan pada Mas
Yusuf. Setelah turun dari angkot berwarna merah, aku langsung masuk kedalam rumah
sakit. Menaiki lift dan menuju lantai lima ruang melati.
Di kamar 603 aku dapati seorang ibu paruh baya tengah duduk di sebelah seorang
perempuan berwajah manis yang sangat ku kenal, Alifa. Mungkin ibu itu adalah
ibundanya. Sambil tertunduk dia membaca surat Yasin dengan suara pelan. Aku memasuki
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
kamar itu sambil mengucapkan salam dengan pelan. Ibu paruh baya itu mengangkat
kepalanya kemudian berdiri menghampiriku.
Kucium tangannya sambil berkata.
"Ibu, saya Dinda, sahabatnya Alifa"
"Oh..iya, iya. Terima kasih sudah mau datang menjenguk Alifa" Sahut ibu paruh baya
itu dengan suara agak sedikit serak. Di matanya terdapat butiran-butiran kecil air mata.
Mungkin dia habis menangis. Entahlah.
Sejurus kemudian aku mengalihkan pandanganku pada Alifa. Gadis cantik nan ayu itu
kini terbaring lemah tak berdaya di kasur rumah sakit. Wajah terlihat pucat dan tubuhnya
tampak begitu kurus yang di tutupi dengan selimut tebal. Jilbabnya kini agak sedikit
pendek dari biasanya. Namun dia tetap terlihat cantik bagi siapa saja yang memandangnya.
Setelah menatap Alifa yang hanya bisa memejamkan matanya, aku mulai bertanya
pada ibu paruh baya yang tak lain adalah ibunda Alifa. Dia bernama Bu Ratih.
"Sejak kapan Alifa masuk rumah sakit Bu?" Tanyaku sambil terus berdiri di samping
Alifa. "Sejak keadaannya semakin parah Nak. Ya...sekitar dua minggu yang lalu. Awal
masuk kesini sih masih bisa makan, minum, shalat, bicara juga masih bisa sedikit-sedikit.
Tapi makin kesini, kondisinya semakin...." Bu Ratih memutuskan kata-katanya. Air mata
yang berusaha ditahannya kini tak dapat lagi terbendung. Aku langsung mengeluarkan tisu
dan kuberikan padanya sambil mengelus-elus bahunya.
"Sabar ya Bu?" Ucapku padanya.
Bu Ratih hanya mengangguk sambil menghapus air matanya. Tanpa terasa kedua
mataku basah. Sejurus kemudian timbul perasaan yang tiba-tiba saja menyusup ke dalam
sukmaku. Aku begitu sedih melihat Alifa terbaring koma.
Sesaat lamanya aku berada disana, tiba-tiba ada seorang dokter cantik yang datang
untuk memeriksakan keadaan Alifa. Dia bernama dokter Melisa. Dokter itu bersama dua
orang perawatnya. Yang satu mengenakan kerudung dan yang satu lagi tidak. Suster yang
mengenakan kerudung memeriksa denyut nadi Alifa lalu menuliskan sesuatu pada kertas
yang dibawanya. Sedangkan suster yang satu lagi hanya berdiri sambil membawa beberapa
obat-obatan di meja dorongnya.
Dokter Melisa memeriksa mata Alifa dengan senter kecil. Dan sesekali dia mengecek
selang infus yang yang menghubungkan cairan infus ke tubuh Alifa. Cairannya sudah
hampir habis dan dia menyuruh suster yang tidak mengenakan kerudung untuk mengganti
cairan infus yang sudah habis dengan cairan infus yang baru.
Setelah memeriksa keadaan Alifa, dokter Melisa berbincang sedikit dengan Bu Ratih.
"Bagaimana dok keadaanya" Apa ada kemajuan?" Tanya Bu Ratih penuh harap.
Dokter cantik itu menggeleng.
"Belum ada perubahan apa-apa. Bahkan keadaannya semakin menurun kalau tidak
secepatnya dilakukan tindakan" Jawab dokter itu tenang.
"Tindakan apa dok?" Tanyaku menimpali.
"Tindakan untuk mencarikan seseorang yang mau berpura-pura menjadi suaminya.
Saat ini dia memerlukan belaian lembut dan kasih sayang dari seorang suami. Maklumlah,
Ibu Alifa ini baru seminggu menikah bukan" Masa-masa itu adalah masa-masa dimana
pasangan pengantin baru sedang mesra-mesranya. Makanya wajar jika dia stres kemudian
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
sakit seperti ini. Selain kondisi fisiknya yang lemah, batinnya juga sangat terguncang
tatkala dia harus menerima kenyataan pahit bahwa suaminya yang baru seminggu
dinikahinya harus pergi dengan kondisi yang sangat tragis" Jelas dokter Melisa sangat
detail. Aku mendengarkannya dengan seksama.
"Lalu bagaimana dengan kandungannya dok?" Tanya Bu Ratih yang tiba-tiba saja
mengejutkanku. "Kandungan" Jadi...saat ini Alifa sedang hamil?"
"Iya" Sahut dokter melisa.
"Usia kandungannya baru dua bulan. Alhamdulillah janin yang ada dalam
kandungannya tidak mengalami penurunan. Tapi kalau dibiarkan terus seperti ini, saya
tidak bisa menjamin kalau usia kandungannya bisa bertahan lama. Maka dari itu, harus ada
yang mau berpura-pura atau mungkin ada seorang laki-laki yang berkenan menikahinya
dan bersedia menjadi suami keduanya menggantikan suami pertamanya yang meninggal.
Sehingga Ibu Alifa bisa merasakan kembali kasih sayang dari seorang suami yang memang
seharusnya ia dapatkan sejak pertama pernikahannya" Jelas Dokter Melisa kembali.
Aku hanya terdiam tak berbicara apa-apa. Aku dan Bu Ratih mengucapkan terima
kasih tatkala dokter Melisa dan dua perawatnya pergi meninggalkan kami. Aku teringat
ucapan dokter Melisa barusan,
"Tapi kalau dibiarkan terus seperti ini, saya tidak bisa menjamin kalau usia
kandungannya bisa bertahan lama. Maka dari itu, harus ada yang mau berpura-pura atau
mungkin ada seorang laki-laki yang berkenan menikahinya dan bersedia menjadi suami
keduanya menggantikan suami pertamanya yang meninggal"
Aku juga teringat perkataan dokter Melisa yang terus terngiang dalam ingatanku.
"Sehingga Ibu Alifa bisa merasakan kembali kasih sayang dari seorang suami yang
memang seharusnya ia dapatkan sejak pertama pernikahannya"
Alifa memang seharusnya mendapatkan kasih sayang itu, tapi Allah telah mengambil
suaminya dari sisinya. Sedangkan aku" Nasibku sungguh kontras sekali dengan kehidupan
Alifa. Sudah hampir setahun aku menikah namun sampai detik ini aku belum juga
mendapatkan kasih sayang itu. Kasih sayang yang memang seharusnya aku dapatkan dari
seorang suami. Bu Ratih mengejutkanku dengan tegurannya.
"Nak Dinda" "Eh...Ya Bu?" Sahutku.
"Kenapa melamun?"
Aku menggeleng. "Tidak Bu. Ehm..kalau begitu saya pamit pulang dulu ya Bu" Saya do"akan semoga
Alifa bisa secepatnya melalui ujian ini dan semoga Alifa bisa lekas sembuh"
"Terima kasih ya Nak?" Ucap Bu Ratih.
Aku mengangguk sambil tersenyum padanya.
Sebelum pulang aku sempatkan menyentuh tangan Alifa yang kurus dan pucat itu.
Dalam hati aku berucap padanya,
"Aku akan membantumu, Alifa. Insya Allah"
Setelah berucap sedikit pada Alifa, aku segera pulang dengan terlebih dahulu
berpamitan pada Bu Ratih.
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
"Yang tabah ya Bu" Saya yakin, Allah pasti akan memberikan jalan keluar atas semua
ujian ini. Dan saya pun akan membantu Alifa sebisa saya mampu. Insya Allah.
Assalamu"alaikum"
"Wa"alaikumusslam. Terima kasih ya Nak Dinda?"
Aku tersenyum padanya kemudian keluar menuju lift. Setelah keluar dari rumah sakit,
di dalam angkot merah yang aku tumpangi, tiba-tiba aku mempunyai sebuah rencana yang
mungkin bisa membuat Alifa tersadar dari komanya. Sebuah rencana yang akan aku
jalankan untuk membantu Alifa dan bayi yang tengah dikandungnya.
*** Setelah sampai dirumah, tak kutemukan Mas Yusuf di setiap sudut rumah. Mungkin
dia masih mengajar di sekolah. Aku beristirahat sejenak kemudian mandi dan shalat
maghrib. Selesai itu aku sedikit tilawah sebentar sebelum tiba-tiba saja rasa cemas itu
menyusup ke dalam dada. Kemana Mas Yusuf sampai petang begini belum pulang" Tak
biasanya dia pulang mengajar sampai malam seperti ini. Tak memberi kabar atau pun sms.
Kusudahi tilawahku yang baru beberapa lembar. Kuraih ponselku yang tergeletak
diatas tempat tidur lalu kuhubungi Mas Yusuf. Tak ada nada sambung dari ponselnya.
Kemana dia" Sekali lagi aku hubungi dia dan yang menjawab hanya suara operator telepon
seluler. "Maaf, nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi atau
tinggalkan pesan setelah nada berikut...."
Aku coba berkali-kali tetap tidak bisa. Kuputuskan untuk mengiriminya sms. Semoga
saja ketika ponselnya sudah aktif, dia segera membaca pesanku dan langsung
membalasnya. Sungguh, malam ini aku tak bisa tidur dengan tenang.
Awalnya aku ingin menanyakan keberadaan Mas Yusuf pada mertuaku, tapi
kuurungkan. Aku tak ingin mereka cemas lalu memikirkan hal ini. Aku juga tidak
mempunyai nomor telepon teman-temannya kecuali Mas Bambang.
Ya, aku akan coba menghubungi Mas Bambang dan kutanyakan keberadaan Mas
Yusuf padanya. "Halo..." Ucap Mas Bambang dari sebrang sana.
Aku menjawabnya dan segera saja aku bertanya padanya perihal Mas Yusuf. Tapi lagilagi aku harus memendam harapku. Mas Bambang sendiri tidak tahu dimana Mas Yusuf
sekarang. Yang dia tahu sepulang dari mengajar pukul dua siang, dan Mas Yusuf langsung
pulang dengan tergesa-gesa.
Setelah mengucapkan terima kasih pada Mas Bambang, aku segera menutup
teleponnya. Yang menjadi pikiranku, mengapa Mas Yusuf pulang dengan tergesa-gesa"
Apakah jangan-jangan, dia sudah mengetahui kondisi Alifa sekarang dan dia pergi
menjengknya" Ah! Aku tak mau memikirkan hal itu. Biarlah waktu saja yang menunjukkan
segalanya. Dan saat ini, sebaiknya aku ingin tidur dan mengistirahatkan tubuh ini yang
sudah seharian beraktivitas.
*** Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
Pukul satu malam aku terbangun. Ada kehausan yang teramat sangat ketika aku
merasakan sadar dari tidurku. Aku beranjak dari tempat tidurku menuju ke dapur. Setelah
minum untuk menghilangkan dahagaku, aku kembali ke kamar. Duduk di tepi tempat tidur
sambil termenung sendirian. Aku masih memikirkan dimana Mas Yusuf malam ini. Aku
takut terjadi apa-apa padanya.
Sambil menatap photo pernikahanku yang dipajang di meja kecil disamping tempat
tidurku, tiba-tiba aku menangis. Entah apa yang membuatku menangis. Aku ingin shalat
tahajud. Setelah mengambil air wudhu aku langsung melaksanakan shalat tahajud dan
Ketika Cinta Harus Bersabar Karya Nurlaila Zahra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bermunajat padaNya untuk keselamatan Mas Yusuf dimana pun dia berada. Lalu aku
lanjutkan dengan tilawah Al-Qur"an beberapa lembar. Setelah itu aku menutupnya dengan
shalat witir tiga rakaat.
Kulepas mukenaku dan ku ganti dengan jilbab hitam. Aku berdiri di depan jendela
kamarku sambil membuka sedikit gorden yang menutupinya. Di luar gelap. Jalanan hanya
di terangi dengan beberapa lampu neon yang tersambung oleh rumah warga.
Ku putar kembali ingatanku satu tahun yang lalu. Ingatanku ketika keluarga Mas Yusuf
datang kerumah untuk melamarku, lalu surat dari Mas Yusuf yang kukira surat cinta
ternyata surat yang amat menyakitkanku, dan berbagai sikap-sikap Mas Yusuf yang
sampai sekarang tidak bisa aku mengerti kenapa dia belum bisa menerimaku sebagai
seorang istri. Semua ingatan-ingatan itu membuat mataku basah dan akhirnya aku
menangis. Aku melangkah ke meja kerjaku. Sambil mendudukan tubuhku di kursinya, kuambil
kembali buku harianku. Tiba-tiba aku melihat sebuah tape recorder yang sudah sejak lama
kutaruh di laci. Didalamnya terdapat sebuah kaset kosong yang aku ingat, kaset itu pernah
aku gunakan untuk mewawancarai seorang narasumber untuk keperluan majalah di
tempatku bekerja. Kuurungkan niatku untuk menulis di buku harian dan aku putuskan untuk merekam
suaraku di tape recorder itu. Akan kukeluarkan seluruh perasaanku selama ini tentang
hatiku, tentang Mas Yusuf, dan tentang Alifa.
Tape recorder aku nyalakan dan aku mulai bercerita.
"Tuhanku, Hanya Engkau sajalah yang mengetahui isi hatiku. Hanya Engkau sajalah yang
menjaga hati dan perasaanku sehingga aku bisa kuat dan tegar sampai saat ini.
Tuhanku, Aku sudah tak tahu lagi bagaimana rasanya mencintai dan dicintai. Hatiku telah
membeku. Satu tahun sudah aku hidup sebagai seorang istri. Hidup tanpa kasih sayang
dan perhatian dari seorang suami yang aku kasihi. Hidup penuh kegamangan dan
kepasrahan dalam menanti cintanya untukku.
Rabbi, Sungguh aku sangat mencintainya. Sungguh aku sangat menyayanginya. Tapi kenapa
sampai saat ini tak sedikit pun rasa cinta itu ia berikan padaku" Apakah ada yang kurang
dalam pengabdianku padanya selama ini" Apakah ada yang tak diinginkannya dariku
sebagai seorang istri"
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
Sudah cukup sabar rasanya aku menahan semua ini. Menahan rasa cinta yang tak
kunjung terbalas olehnya. Katakan padaku Ya Allah, kapan sekiranya dia mau
membukakan pintu hatinya untukku"
Malam ini aku sendiri. Dan lagi-lagi aku harus mengeluarkan air mataku untuknya
yang sekarang entah berada dimana. Aku lelah Ya Allah. Bahkan untuk tetap
mencintainya saja, kurasa aku sudah tak sanggup lagi. Tapi tak sedikit pun aku berniat
menghilangkan dia dari ingatanku. Biarlah aku menanggung derita ini diatas rasa cinta
yang kuusahakan untuk tetap bertahan.
Ya Allah, Aku sudah memaafkan segala sikapnya selama ini padaku. Tapi aku mohon, janganlah
Engkau mencatat segala perbuatannya itu sebagai sebuah kezhaliman. Sungguh, aku
sudah memaafkannya dan aku ikhlas dengan semua keadaan ini. Aku hanya ingin Kau
menempatkan dia di tempat yang layak di sisiMu. Aku mohon.
Ya Allah, Selama aku menjadi istrinya, mungkin banyak kekurangan yang hadir pada diriku
yang tidak ia sukai. Aku mohon, bantulah aku memperbaiki semuanya. Bantulah aku
membahagiakan dirinya, meskipun hal itu amat sangat menyakitkan untukku.
Sekiranya Engkau mengizinkan, biarkanlah aku berbagi cinta pada yang lain.
Biarkanlah aku berbagi hidup pada hambaMu yang lain, yang namanya sudah sejak lama
bertahta di kedalaman relung hatinya. Tegarkanlah hatiku ketika aku harus menyaksikan
waktu membawa suamiku pergi pada bunga yang lain. Kuatkanlah imanku ketika aku
harus berbagi suami pada yang lain, pada Alifa.
Aku hanya berharap satu pahala dariMu. Karena aku tahu, Alifa membutuhkan
seorang suami dan bayi yang ada dalam kandungannya butuh seorang ayah. Jika sosok itu
adalah suamiku, maka dengan segenap hati dan jiwa, aku bersedia."
Seusai merekam suaraku dalam tape recorder sambil terisak, kusimpan kaset rekaman
dan tape recordernya di dalam laci mejaku. Kuseka air mataku dan aku kembali tidur
dengan perasaan yang masih gundah memikirkan Mas Yusuf.
*** Pagi hari ketika jam sudah menunjukkan pukul 06.00, pintu rumah ada yang membuka.
Aku yang baru saja keluar dari kamar mandi langsung melangkah ke ruang tamu.
"Dari mana Mas?" Tanyaku pada seseorang yang ternyata adalah Mas Yusuf.
Dia hanya diam sambil membuka kaos kakinya di kursi. Tanpa menjawab
pertanyaanku dia malah berjalan ke kamar. Aku mengikutinya.
"Mas, kamu dari mana aku tanya?"
"Sudahlah!" Bentak Mas Yusuf mengejutkanku.
"Kamu selalu mau tahu saja urusanku"
Aku benar-benar kaget mendengar bentakan Mas Yusuf yang bagai anak panah
menikam jantungku. Aku masih terdiam sementara Mas Yusuf kembali bersuara.
"Yang pasti aku tidak berselingkuh karena hal itu tidak mungkin aku lakukan"
"Ya aku tahu hal itu" Sahutku berusaha untuk tenang.
"Lagipula tak pernah sedikit pun aku berpikir kalau kamu selingkuh. Kita sama-sama
orang yang beriman.Aku hanya ingin tahu dari mana saja kamu semalam sampai tidak
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
pulang" Tidak kasih kabar atau pun sms. Aku telepon hand phone mu tidak aktif. Akhirnya
aku kirim sms. Apa telah kau baca?"
Lagi-lagi dia hanya diam sambil menganggukkan kepalanya.
"Lalu kenapa tidak kau balas untuk memberitahukan dimana kamu berada" Sungguh
aku khawatir dengan keadaanmu. Ingat Mas, walau pun kamu tidak mencintaiku, tapi biar
gimana pun aku ini istri kamu. Jadi wajar jika kamu tidak pulang semalaman tanpa kabar,
akan ada seorang wanita yang membasahi bantalnya dengan air mata dan itu adalah aku.
Katakan Mas, dari mana kamu semalam dan kenapa tidak membalas sms ku?"
Mas Yusuf terdiam sesaat lalu menjawab dengan ragu-ragu.
"Aku...aku habis dari rumah Bule Rinta..."
"Bule Rinta"!" Putusku dengan penuh tanya.
"Ada apa dengan Bule Rinta?"
"Kemarin, dirumahnya ada acara....selametan anaknya yang mau di khitan.." Jawab
Mas Yusuf tenang. "Selametan" Dirumah Bule Rinta ada selametan?"
Mas Yusuf mengangguk pelan sambil mengganti pakaiannya.
"Kenapa kamu tidak memberi tahu aku kalau dirumah Bule Rinta ada selametan"
Kalau aku tahu kan aku bisa datang. Kenapa kamu tidak memberi tahu aku Mas" Kenapa
kamu pergi sendiri?"
"Ya...ya, karena acara kemarin baru hanya selametan. Nanti kalau acara khitanannya
akan dilaksanakan baru aku kasih tahu" Jawab Mas Yusuf seolah tak bersalah.
"Kamu terlalu Mas" Ucapku sambil menahan tangisku di tenggorokan.
"Kamu anggap apa aku" Apa kata keluarga kamu ketika mereka melihat kamu datang
sendiri" Apa kamu juga ingin membuat mereka jadi membenci aku" Ingat Mas, mereka
tahunya kita saling mencintai. Dan kamu juga harus ingat, aku ini istri kamu. Wanita yang
sudah sah kamu nikahi setahun yang lalu. Aku harap kamu tidak melupakan hal itu.
"Tolonglah Mas. Untuk urusan keluargamu janganlah tertutup padaku. Setahun Mas,
sudah setahun kita menikah. Tapi sejujurnya, aku tidak pernah merasakan bahagianya
menjadi seorang istri. Katakan padaku Mas, apakah ini kesalahanku jika kau tidak
mencintaiku" Apakah ini kesalahanku jika kau menikahiku" Dimana letak kesalahanku
sehingga kau tega menghukumku seberat ini" Dimana Mas?"
Tak terasa air mataku jatuh menetes. Aku tak kuat lagi menahan air mata ini. Aku
menunduk sementara Mas Yusuf hanya diam di tempatnya berdiri kini.
"Mungkin sudah saatnya aku mengatakan hal ini" Ucapku dengan penuh ketegasan. Ku
seka air mataku. Mas Yusuf terlihat penasaran.
"Di dalam biduk rumah tangga kita memang tidak pernah ada cinta yang menghiasi.
Tapi aku berharap tidak pernah ada pula kata perceraian di antara kita. Karena Allah sangat
membenci hal itu. Tapi kalau hal ini dibiarkan, aku tahu hatimu akan sakit selamanya. Jadi
aku mempunyai saran untukmu agar kau bisa hidup bahagia tanpa harus menceraikan aku
karena aku tidak ingin kau menceraikanku....."
"Apa maksudmu?" Tanya Mas Yusuf penasaran.
Aku terdiam sejenak sambil menghela nafasku. Kutatap kedua matanya.
"Nikahi Alifa......"
"Apa"! Apa maksud perkataanmu?" Tanya Mas Yusuf menghampiriku.
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
"Nikahi Alifa karena kini dia sudah menjadi seorang janda..." Ucapku menegaskan.
"Janda"! Alifa sudah menjadi janda?"
"Ya. Sudah tiga bulan Alifa menjadi seorang janda. Seminggu setelah pernikahannya
suaminya meninggal akibat kecelakaan kereta api. Sekarang kondisi Alifa menurun dan
kini dia dirawat dirumah sakit"
"Menurun?" "Ya. Kondisi itu disebabkan karena dia tidak bisa menahan stres dan tekanan batin atas
kepergian suaminya. Dan satu-satunya jalan agar dapat menolong Alifa dari koma, adalah
mencarikan seorang suami untuknya yang dapat menggantikan kasih sayang suaminya
yang seharusnya ia dapatkan sejak pertama ia menikah"
"A, aku tidak mengerti apa yang kamu katakan..."
"Alifa butuh kamu untuk dapat mengembalikan semangat hidupnya. Dan bayi yang ada
dalam kandungannya butuh seorang ayah. Waktunya tidak banyak lagi. Kalau terlambat,
maka dokter pun tidak bisa menjamin kalau Alifa bisa selamat dan bayi dalam
kandungannya juga akan bertahan lama"
Mas Yusuf terlihat cemas sekali. Mungkin dia tidak mengira kalau Alifa akan bernasib
seperti ini. Dia tak bisa berkata apa-apa.
"Aku mohon Mas. Terimalah tawaranku ini. Jika kau melakukan hal ini, maka akan
banyak jiwa yang kamu tolong. Kau menolong Alifa dari status jandanya, kau menolong
bayi yang ada dalam kandungannya dari status yatim, kau menolong hatimu dari
kekosongan cinta akan seorang istri, dan kau pun menolongku untuk membahagiakan
suamiku, kamu. Aku mohon" Ucapku dengan penuh harap padanya.
Mas Yusuf melangkahkan kakinya keluar kamar. Entah apa yang dipikirkannya saat
ini. Dia duduk di ruang tamu sambil termenung. Raut wajahnya tampak cemas dan
bingung. Tiba-tiba dia bangkit dari duduknya.
"Tapi tidak semudah itu untuk berpoligami. Lagi pula tidak pernah terpikir sedikit pun
dalam benakku kalau aku ingin menikah lagi. Hanya kamu istriku dan satu-satunya
istriku..." "Istri yang tidak pernah diperlakukan seperti seorang istri" Istri yang tidak pernah
merasa bahwa dirinya itu seorang istri?"
Mas Yusuf terdiam menatapku. Kulangkahkan kakiku menghampirinya.
"Aku hanya ingin kamu bahagia. Kamu memang tidak bisa menemukan kebahagiaan
itu denganku, tapi kamu masih punya kesempatan untuk bisa hidup bahagia dengan Alifa.
Selain itu kamu juga bisa memberikan kebahagiaan pada Alifa dan bayi yang
dikandungnya. Kamu mengerti kan Mas?"
Aku rasakan mataku basah. Setetes bening tiba-tiba saja mengaliri pipiku.
"Aku harap kamu bisa mempertimbangkan saranku. Ini demi kebaikan kita semua. Aku
yakin jika orang tua kita mengetahui hal ini, mereka pasti akan mengerti. Sepulang kerja
nanti, aku tunggu jawabanmu"
Setelah itu aku masuk ke dalam kamar sambil mengunci pintunya. Aku tak kuat
menahan sesak ini. Di balik pintu aku menangis. Aku begitu sedih. Semua perasaan
bercampur menjadi satu. "Rabbi....kuatkan aku......."
*** Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
Tiga Belas Waktu berjalan begitu cepat rasanya. Aku masih ingat betul seperti apa raut wajah Mas
Yusuf ketika dia mengetahui keadaan Alifa saat ini.
Dari kantor aku langsung pergi kerumah sakit untuk menjenguk Alifa. Kondisinya
tidak begitu baik dari waktu aku menjenguknya pertama kali. Tak lama aku disana. Namun
kali ini aku bertemu dengan mertua Alifa dan beberapa anggota keluarganya. Satu
informasi lagi, sampai sekarang belum ada seorang laki-laki pun yang mau menikahi Alifa.
Aku hanya bisa mengelus dada dan berucap dalam hati, kalau saja mereka tahu siapa yang
nantinya hendak menikahi Alifa.
Setelah dari rumah sakit aku langsung pulang kerumah. Jujur, aku sudah tidak sabar
mendengar jawaban Mas Yusuf. Tapi sampai maghrib menjelang, Mas Yusuf belum juga
pulang. Aku coba menghubunginya lewat hand phone tapi tidak aktif. Mungkin dia pergi
lagi kerumah Bule Rinta, atau mungkin, dia pergi menjenguk Alifa di rumah sakit"
Entahlah, aku sudah mulai cemas.
Tiba-tiba hand phone-ku berdering. Kulihat satu nomor yang tidak kukenal. Kuangkat.
"Assalamu"alaikum"
"Wa"alaikumussalam. Apa benar ini Ibu Dinda?" Suara seorang laki-laki tak kukenal
menjawab salamku. "Iya benar, saya Dinda. Maaf ini siapa ya?"
"Saya Pak Azril, petugas kepolisian"
"Petugas kepolisian?"
"Iya. Saya ingin memberitahukan bahwa suami ibu yang bernama Yusuf saat ini ada di
rumah sakit..." "Di rumah sakit" A, ada apa dengannya Pak?" Tanyaku dengan panik.
"Tadi siang suami ibu kecelakaan. Motor yang dikendarainya menabrak pembatas jalan
dan akhirnya dia terpental sejauh lima belas meter dari lokasi kejadian. Kondisinya saat ini
sangat kritis dan dia belum sadarkan diri"
Suara petugas kepolisian itu bagaikan sebuah petir yang menyambar tubuhku. Aku
bingung harus berbuat apa. Setelah polisi itu memberitahukan dimana Mas Yusuf dirawat
sekarang, aku langsung bergegas pergi kesana. Tiba-tiba aku teringat. Mas Yusuf dirawat
di rumah sakit yang sama dengan rumah sakit dimana Alifa dirawat. Apa mungkin Mas
Yusuf berniat menjenguk Alifa disana dan akhirnya dia kecelakaan di tempat yang tak jauh
dari rumah sakit" Belum sempat aku menemukan jawaban itu, aku langsung pergi ke Pasar Rebo untuk
mengetahui kondisi Mas Yusuf sekarang. Di dalam taxi aku tak bisa berhenti menangis.
Mungkin supir taxi yang membawaku ke rumah sakit melihatku dengan heraan, kenapa
dari tadi aku menangis" Diapun tak berani menanyakan perihal itu padaku.
Setelah aku membayar ongkos taxinya aku langsung berlari ke ruang UGD 18 untuk
mencari suamiku, Mas Yusuf. Kupandangi semua pasien yang ada di ruang itu, dan...ada.
Di pojok ruangan aku melihat Mas Yusuf tengah terbaring tak berdaya bersama dua orang
polisi yang kini menemaninya. Segera saja aku menghampirinya.
"Permisi Pak. Saya Dinda, istrinya Yusuf" Ucapku pada dua orang polisi itu.
18 Unit Gawat Darurat Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
"Oh, anda yang bernama Dinda. Silahkan, ini suamimu" Sahut seorang polisi yang
mengenakan jaket tebal dan berkumis. Aku mengangguk pelan dan segera mengalihkan
pandanganku pada Mas Yusuf.
Di keningnya terdapat perban yang membalut lukanya. Di tangan kanannya pun
terdapat sebuah jarum yang ditusukkan untuk mengaliri cairan infus kedalam tubuhnya.
Wajahnya penuh luka memar. Mungkin saat kecelakaan, wajahnya terhantam benda keras.
"Bagaimana keadannya Pak?" Tanyaku pada salah satu polisi itu.
"Coba Mbak tanyakan saja keadaan suami Mbak pada dokter atau suster yang ada
disana" Jawab polisi itu sambil menunjuk kearah seorang dokter dan dua orang
perawatnya. Aku mengangguk dan menghampiri dokter itu. Setelah dokter itu memberitahukan
kondisi Mas Yusuf sekarang, aku langsung disuruh mengurus administrasi agar Mas Yusuf
bisa segera dipindahkan ke ruang rawat inap.
Aku menurut saja. Karena aku tidak membawa uang banyak di tas, aku mengambil tabunganku di ATM.
Setelah urusan administrasi selesai, Mas Yusuf segera dipindahkan ke ruang rawat inap
kelas satu. Aku hanya ingin Mas Yusuf mendapat perawatan yang benar-benar intensif
agar dia bisa cepat sembuh.
Air mataku tidak bisa berhenti sampai Mas Yusuf di pindahkan ke ruang rawat inap.
Aku teringat Alifa. Sebelumnya aku sempat bertanya pada polisi yang tadi menemani Mas
Yusuf, dimana lokasi kecelakaan itu. Dan polisi itu mengatakan bahwa lokasi kejadian itu
tak jauh dari Rumah Sakit Pasar Rebo. Maka dari itu Mas Yusuf dibawa kesini.
Aku sempat mengaitkan kejadian itu dengan keadaan Alifa saat ini. Mungkin saja Mas
Yusuf telat pulang kerumah karena hendak menjenguk Alifa. Aku pun menyempatkan diri
menjenguk Alifa yang berada satu lantai dibawah lantai Mas Yusuf dirawat kini.
Kondisinya masih belum menunjukkan perubahan. Sampai sekarang belum ada satu orang
pun yang mau menikahinya. Kalau saja orang tua Alifa tahu siapa yang sebenarnya hendak
Ketika Cinta Harus Bersabar Karya Nurlaila Zahra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menikahi putrinya itu, mereka pasti akan terkejut. Tapi sayang, kondisi Mas Yusuf pun tak
jauh berbeda dengan kondisi Alifa saat ini.
Aku kembali lagi ke kamar Mas Yusuf. Aku duduk disampingnya sambil memandangi
wajahnya yang pucat. Tanpa terasa air mataku jatuh menetes. Di sela-sela waktu itu aku
teringat, aku belum shalat Isya. Kuputuskan untuk mencari masjid terdekat.
Setelah shalat Isya, aku berdiam diri sejenak di masjid. Merenungi segala kejadian
yang baru saja aku alami. Tiba-tiba aku teringat, aku belum memberi kabar pada orang tua
dan mertuaku. Kupencet nomor telepon orang tuaku dan kuberitahukan keadaan Mas Yusuf saat ini.
Mereka benar-benar tidak menyangka akan hal ini dan mereka berniat menjenguk Mas
Yusuf malam ini juga. Tapi aku bilang bahwa mereka tidak usah menjenguk Mas Yusuf
sekarang karena hari juga sudah larut. Mereka memahami.
Setelah menghubungi orang tuaku, aku langsung menghubungi mertuaku. Mereka tidak
bisa menahan tangis haru saat aku beri tahu bahwa Mas Yusuf kecelakaan. Sama seperti
orang tuaku, mereka ingin menjenguk Mas Yusuf sekarang tapi aku juga melarang mereka
dengan alasan hari sudah semakin malam. Tapi ibu mertuaku bersi keras dan ingin tetap
menjenguk Mas Yusuf malam ini juga.
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku pun hanya bisa menangis saat ibu mertuaku
menyuruhku untuk tabah. Malam ini adalah malam yang sangat menyedihkan untukku.
Kuputuskan untuk kembali ke kamar dan menemani Mas Yusuf disana. Aku ingin
memberikan seluruh kasih sayangku padanya sampai dia tahu kalau aku benar-benar
mencintainya. *** Hari-hari aku lalui dengan kesabaran dan keikhlasan. Sudah dua hari Mas Yusuf
dirawat dan sampai sekarang dia belum sadarkan diri. Dokter bilang ini disebabkan oleh
reaksi obat yang masuk kedalam tubuhnya. Mungkin beberapa jam lagi dia akan sadar
kembali. Tapi aku tidak bisa menahan rasa cemasku padanya.
Di setiap shalatku, selalu aku menyebut namanya di akhir do"aku agar Allah berkenan
menyembuhkannya. Aku tak kuasa menahan air mataku kala aku menatap wajahnya.
Sudah dua hari ini aku menemani Mas Yusuf. Aku sudah meminta izin cuti pada pihak
kantor. Alhamdulullah mereka mengizinkan. Semalam dari pihak penerbit yang hendak
menerbitkan novelku juga kembali menghubungi karena aku lupa memberikan prakata
ucapan terima kasih pada mereka. Aku sampaikan alasanku kenapa aku sampai lupa.
Alhamdulullah juga mereka mengerti dan berencana mengundurkan proses penerbitan
novelku. Selama aku menemani Mas Yusuf, aku selalu menyempatkan diri menjenguk Alifa
juga dikamarnya. Masih tak ada perubahan. Terakhir aku menemuinya, aku diberi tahu
oleh pihak keluarganya bahwa ada seorang laki-laki yang datang menjenguk Alifa
membawa serta kedua orang tuanya.
Laki-laki yang datang itu hendak meminang Alifa sebagai istrinya. Dia bersedia
membantu Alifa mempertahankan hidupnya. Tapi ketika kutanya siapa laki-laki itu, pihak
keluarga Alifa tidak bisa memberi tahu siapa dia. Semua itu mereka lakukan atas
permintaan laki-laki itu. Aku pun tidak bisa berbuat apa-apa.
Aku kembali ke kamar. Tak terasa matahari sudah menyembunyikan dirinya di
peraduannya. Tadi siang ayah dan ibu mertuaku datang menjenguk Mas Yusuf. Selepas
Ashar, mereka pulang. Dan tinggal aku sendiri di dalam kamar menemani Mas Yusuf yang
belum juga sadar sampai detik ini.
Selama dia tak sadarkan diri, aku yang membasuh tubuhnya dengan handuk kecil
basah. Aku tak kuasa melihat tubuhnya yang penuh luka akibat kecelakaan itu. Dokter
bilang memang tidak ada yang serius tapi aku sebagai istrinya benar-benar khawatir akan
keadaannya saat ini. Dari luar, terdengar azan Maghrib berkumandang. Aku lansung bergegas mengambil
air wudhu dan langsung menunaikan shalat Maghrib di samping tempat tidur Mas Yusuf.
Selesai shalat, aku bermunajat pada Tuhan semesta alam. Ku adukan semua gundah
gulanaku saat ini. Sambil ditemani air mata yang terus mengalir dari ujung mataku, aku
berdo"a untuk kesembuhan Mas Yusuf. Dan tak lupa juga kebaikan atas pernikahanku.
Aku mengharapkan yang terbaik dari keputusan yang nantinya akan Mas Yusuf berikan
padaku. Apakah dia bersedia menikahi Alifa atau tidak. Aku juga masih memikirkan siapa
laki-laki yang datang dan hendak meminang Alifa itu.
Aku sudah merelakan sepenuhnya hatiku pada Rabb penggenggam hati seluruh
makhluk di dunia ini, Allah Swt. Aku benar-benar ikhlas kalau nantinya Mas Yusuf sadar
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
dan dia memutuskan untuk berkenan menikahi Alifa. Semuanya aku ucapkan dengan
penuh pengharapan bahwa Allah berkenen memberikan yang terbaik untukku, Mas Yusuf,
dan Alifa. Kusudahi doa panjangku. Kulanjutkan dengan membaca Al Ma"tsurat dan tilawah
Qur"an beberapa lembar. Selesai itu, kulipat sajadah dan kuletakan di pinggir kursi.
Dengan masih mengenakan mukena, kuhampiri Mas Yusuf dengan mata yang sedikit
memerah akibat menangis. Kuseret kursi yang ada dan kududukkan tubuhku disana. Kubetulkan selimut yang
menutupi tubuhnya. Sesaat kutatap wajahnya yang begitu putih dan bersih. Perlahan
kuberanikan diri menyentuh tangannya. Kugenggam dengan erat seperti tak ingin
melepasnya. Inilah untuk yang pertama kalinya aku menggenggam tangan suamiku setelah setahun
pernikahan. Kuciumi tangannya sambil berucap kata-kata mesara untuknya. Sekali lagi aku
tak kuasa menahan tangisku. Tangis yang begitu menyedihkan untukku. Sedih karena Mas
Yusuf belum juga sadar dan sedih karena sampai saat ini, Mas Yusuf belum juga bisa
menerimaku sebagai istrinya.
*** "Saya terima nikahnya dan kawinnya, Alifa binti Sukirman dengan mas kawin tersebut.
Tunai" Ucap Mas Yusuf dengan lantang.
Semua yang hadir memberikan tepuk tangan yang meriah. Diantara semua tamu yang
hadir, mungkin hanya aku saja yang merasakan kepedihan dalam dada. Aku menatap Mas
Yusuf dan Alifa dengan perasaan hancur.
Setelah akad nikah, Alifa membawa Mas Yusuf pergi meninggalkan aku sendiri. Aku
duduk terdiam tanpa menghalangi mereka pergi. Mataku menangkap wajah Mas Yusuf
tidak memancarkan kebahagiaan. Sedangkan Alifa, dia amat bahagia membawa Mas Ysuf
pergi dari hadapanku. Aku menangis atas ketidak berdayaanku mencegah Alifa pergi membawa Mas Yusuf.
Tiba-tiba, aku terbangun dari tidurku. Astaghfirullah! Ternyata semua hanya mimpi.
Aku tertidur di tepi tempat tidur. Kuingat kembali mimpiku barusan. Mimpi tentang
pernikahan Mas Yusuf dengan Alifa. Aku masih belum memikirkan bagaimana jadinya
kalau hal itu sampai terjadi. Tapi yang aku herankan, kenapa dalam mimpi itu, Mas Yusuf
terlihat tidak bahagia"
Kembali kupandangi wajah Mas Yusuf.
Kuseka air mataku. Sekuat tenaga aku berusaha untuk tegar. Kuletakkan tangannya di
tempat tidur. Kembali kutatap wajahnya. Sejurus kemudian, aku mendekatkan wajahku ke
wajahnya. Dan....Subhanallah. Aku menciumnya.
Aku mencium bibirnya. Dan ini juga untuk yang pertama kalinya aku menciumnya
setelah setahun pernikahan. Aku mencium bibirnya yang hangat. Ada perasaan bahagia,
senang, cemas, dan takut. Seketika jantungku berdegup kencang. Ingin rasanya sekali lagi
aku menciumnya tapi aku takut.
Aku takut kalau dia sampai tidak ridho dengan apa yang barusan aku lakukan padanya,
Allah pasti akan murka terhadapku. Karena Ridho Allah adalah ridho suami. Bila suami
tidak ridho, maka Allah pun tidak ridho pula.
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
Tiba-tiba ada perasaan berdosa yang seketika menyusup kedalam hatiku. Apakah aku
berdosa bila menciumnya tanpa seizinnya" Rabbi maafkan aku.
Perlahan kumundurkan kakiku sambil menggeleng. "Maafkan aku Mas, maafkan aku"
Ucapku pelan. Aku berbalik dan duduk di sofa yang tersedia disana. Sambil termenung, aku membuka
mukenaku dan menggantinya dengan jilbab coklat.
Dari jarak yang tidak terlalu jauh, aku melihat Mas Yusuf menggerakkan jarinya. Oh
Tuhan, apa dia sudah sadar"
Aku hampiri dirinya sambil menggenggam tangannya.
"Mas Yusuf" Mas sudah sadar?" Tanyaku dengan perasaan senang bercampur cemas.
Perlahan kulihat kedua matanya terbuka sedikit demi sedikit. Dan...Alhamdulillah, dia
bangun. Aku berucap syukur pada Allah Swt karena telah menyadarkan Mas Yusuf. Air
mata begitu saja mengalir dari mataku. Aku melihat Mas Yusuf menggerakan bibirnya.
"D..Dinda. A, aku ha..us" Ucap Mas Yusuf lirih sambil terbata-bata. Aku segera
mengambilkan air putih yang ada di samping tempat tidurnya dan membantunya minum
melalui sedotan. Setelah minum, dia menatapku dengan tatapan hampa. Tak ada senyuman atau pun
ekspresi wajah yang lain. Aku takut dia sadar ketika aku menciumnya tadi. Aku sungguh
takut. Tapi sejurus kemudian, aku berpikir untuk memberi tahu dokter bahwa Mas Yusuf
sudah sadar. Aku melangkah keluar untuk memanggil dokter dan meninggalkan Mas Yusuf di
kamar. Namun baru beberapa langkah aku keluar kamar, tiba-tiba aku melihat semua
benda yang ada dihadapanku seolah berputar. Kurasakan mual yang teramat sangat
diperutku. Seketika kepalaku pusing dan tubuhku lemas.
Ketika kupaksakan diriku untuk terus melangkah, tiba-tiba kurasakan tubuhku
melayang dan terjatuh di lantai. Kulihat semua gelap. Samar-samar kulihat ada beberapa
orang suster berlari mengahmpiriku. Tapi aku sudah tak kuat lagi bangun. Kurasakan
tubuhku diangkat. Makin lama aku tak tahu apa yang terjadi kemudian.
*** Perlahan kubuka mataku yang tadinya sulit untuk kubuka. Namun kupaksakan karena
memang aku ingin bangun dari tidurku. Awalnya gelap, lalu perlahan cahaya itu mulai
masuk dan menembus kornea mataku. Aku merasakan kehangatan di keningku. Sebuah
kecupan hangat tengah mendarat disana.
Yang aku dapati, seorang laki-laki tengah mencium keningku. Samar-samar aku
melihatnya. Setelah aku perhatikan dengan seksama, aku menyadari ternyata laki-laki itu
adalah suamiku. Ya, dia adalah Mas Yusufku. Oh Tuhan, kekasihku tengah mencium
keningku. Apakah ini nyata"
Aku hanya terdiam merasakan kecupan bibir Mas Yusuf di keningku. Lalu kemudian
dia menatap wajahku lekat-lekat.
"kamu sudah sadar?" Tanyanya lembut. Aku mengangguk pelan.
"Ya" Suaraku terdenganr begitu lirih.
Dia tersenyum. Kulanjutkan perkataanku.
"Kau menciumku?"
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
Mas Yusuf mengangguk sambil tersenyum.
"Karena kau adalah istriku." Jawabnya dengan nada yang sangat menyenangkan
hatiku. Tapi aku masih belum mengerti apa maksudnya.
"Bukankah...." "Sstt!" Mas Yusuf segera menempelkan jari telunjuknya ke bibirku. Aku melihat ada
yang berbeda dari kedua matanya. Di dalamnya terpancar sebuah seuatu yang aku tidak
mengerti apa sesuatu itu. Mas Yusuf kembali berucap,
"Sudah dua hari kamu pingsan dan tidak sadarkan diri. Kamu ingat?"
Aku berusaha mengingatnya kemudian mengangguk.
"Iya aku ingat. Waktu itu aku ingat kamu sadar dari koma, dan aku langsung
memanggil dokter untuk segera memeriksamu. Namun kemudian, tiba-tiba saja aku
merasakan mual di perutku. Kepalaku pusing dan tubuhku lemas. Seketika aku merasakan
tubuhku melayang dan terjatuh di lantai. Setelah itu aku tidak tahu lagi apa yang terjadi.
Tapi yang pasti aku ingat, aku belum shalat Isya" Jelasku.
"Ya, kamu pingsan karena terlalu lelah menjagaku setiap hari. Dokter dan perawatnya
segera membawamu untuk diperiksa" Ucap Mas Yusuf yang wajahnya hampir mendekati
wajahku. "Maafkan aku Mas..." Lirihku.
"Untuk apa?" "Kemarin saat kamu tidak sadarkan diri, aku...aku sempat menciummu. Aku harap kau
tidak marah padaku. Dan semoga kau ridho atas perbuatanku itu"
Mas Yusuf terdiam menatap wajahku. Aku semakin takut. Namun tiba-tiba dia
tersenyum dan berkata dengan manis padaku.
"Kenapa aku harus marah padamu?"
"Ja, jadi kamu nggak marah sama aku?" Tanyaku yang kemudian disusul dengan
gelengan kepala dan senyuman Mas Yusuf. Aku tersenyum senang. Hatiku lega setelah
mendapat pengakuan darinya.
"Aku adalah suamimu dan kau adalah istriku. Tidak perlu merasa takut atas
perbuatanmu. Insya Allah, Allah akan meridhoinya. Justru aku yang harusnya minta maaf
padamu" "Untuk apa?" Tanyaku pura-pura tidak mengerti.
"Maaf jika selama ini aku tidak sepenuhnya menjadi suami yang bertanggung jawab,
jika aku sering menyakiti hatimu sehingga sering membuatmu menangis di tengah malam"
Hah!! Aku terkejut. Dari mana Mas Yusuf tahu kalau aku sering menangis di tengah
malam" Aku masih bingung dengan pernyataan Mas Yusuf sementara dia terus
melanjutkan kata-katanya.
"Maafkan jika selama ini aku selalu membuat kamu terbangub sebelum fajar untuk
makan sahur, karena aku tidak bisa memenuhi kewajibanku sebagai seorang suami untuk
memuaskanmu" Aku semakin terkejut. Mengapa Mas Yusuf tahu hal itu" Aku tidak pernah
menceritakan hal itu pada siapapun. Tapi, kenapa Mas Yusuf tahu"
"Sekali lagi maaf, karena aku pernah berbohong padamu..."
"Berbohong apa Mas?" Tanyaku tidak mengerti. Mas Yusuf coba menjelaskan.
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
"Tempo hari, sewaktu ada munashoroh Palestine di Monas, aku bilang padamu kalau
aku ada urusan di sekolah sehingga tidak bisa pergi kesana bersamamu. Aku memang ada
urusan, namun setelah itu aku pergi kesana bersama teman-temanku. Dan aku tahu, kau
melihatku disana kan" Tapi karena kau tidak mau aku melihatmu yang memergoki aku,
makanya kamu segera mengajak temanmu untuk pergi dari sana. Iya kan" Aku benar-benar
minta maaf atas hal itu. Aku sungguh menyesal" Jelas mas Yusuf dengan nada penuh
penyesalan. Aku masih terbaring di atas tempat tidur rumah sakit dan air mataku mengalir begitu
saja bagaikan anak sungai. Aku lihat Mas Yusuf menunduk sambil menangis. Aku
menghapus air matanya dengan tanganku. Dia meraihnya dan menciumnya. Aku jadi
terharu. Lantas, segera saja aku menanyakan dari mana dia bisa tahu semua hal itu, dan dia
menjawab. "Buku harianmu. Aku sudah membca semua tulisanmu yang ada disana. Juga kaset
rekaman itu. Aku sudah mendengarnya. Aku mohon segala maafmu atas kesalahanku
selama ini" Pintanya sambil terisak dan terus menciumi tanganku. Aku pun semakin sedih
dan ikut terisak juga. Sesaat lamanya kami terdiam dalam lautan kesedihan. Akhirnya aku
memberanikan diri untuk bertanya padanya.
"Mas, apa...apa semua itu berarti, kau sudah bisa menerimaku sebagai istrimu?"
Perlahan kutatap kedua mata Mas Yusuf. Butir-butir cinta itu masih tersisa disana. Aku
perhatikan dan dia mengangguk. Ya Rabbi, kekasihku mencintaiku. Dan itu berarti,
cintaku terbalas. Ini untuk yang pertama kalinya aku merasakan cinta yang sesungguhnya.
Cinta seorang suami kepada istrinya. Aku merasa menjadi wanita yang paling berbahagia.
Aku tersenyum dan Mas Yusuf pun tersenyum. Bahkan lebih manis dari biasanya.
Kupandang lekat-lekat wajah itu.
"Apa yang akhirnya membuatmu bisa mencintaiku?"
"Karena kau adalah anugrah terindah yang pernah Allah berikan untukku. Kau jiwaku,
kau nafasku, kau nadiku, dan kau adalah hidupku. Betapa bodohnya aku yang telah
membiarkan kau menderita selama ini. Aku baru menyadari, kalau aku mencintaimu. Aku
sangat mencintaimu. Tidak akan ada yang bisa menggantikan kamu dalam hatiku. Tidak
akan ada" "Termasuk Alifa?" Tanyaku dengan tiba-tiba.
"Ya. Termasuk Alifa." Jawab Mas Yusuf tenang.
"Lalu apa keputusanmu mengenai Alifa" Saat ini dia membutuhkanmu Mas..."
Mas Yusuf terdiam sejenak.
"Sebelum aku menjawabnya, izinkan aku berterima kasih padamu. Terima kasih atas
kesabaranmu selam ini padaku. Terima kasih karena kau telah mencurahkan seluruh
cintamu padaku. Teriam kasih karena kau tak henti-hentinya menemaniku dan
mendo"akanku selama aku tak sadarkan diri. Dan terima kasih..."
"Sstt!" Sahutku menyela perkataannya. Kucoba menempelkan jariku di bibirnya.
"Kau sudah terlalu banyak mengucapkan terima kasih padaku. Hanya dengan rasa
cintamu padaku pun, itu sudah lebih dari cukup. Tidak ada rasa tidak enak dalam hal
percintaan. Aku benar-benar mencintaimu Mas..." Ucapku pelan.
"Terima kasih sekali lagi, karena sebentar lagi aku akan menjadi seorang ayah..."
Ucapnya senang. Penerbit Ebook
Ketika Cinta Harus Bersabar Karya Nurlaila Zahra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
Aku terdiam mendengar ucapan Mas Yusuf barusan. Aku tak sanggup berucap satu
katapun. Yang ada malah lelehan air mata yang mengalir di wajahku lalu menyerap ke
jilbab yang aku kenakan sekarang.
Aku benar-benar terkejut mendengarnya.
"Kamu hamil, sayang...." Ucap Mas Yusuf lagi dengan penuh kemesraan.
Air mataku kembali mengalir membasahi jilbabku dan kini semakin deras.
"Kau tidak membohongiku?" Tanyaku seolah ingin penegasan.
Mas Yusuf menggeleng. "Aku tidak bohong. Kau sungguh-sungguh hamil. Saat ini kau tengah mengandung
anakku. Anak kita. Buah cinta kita"
Kuberikan senyumanku pada Mas yusuf. Aku hamil. Aku benar-benar hamil. Sebentar
lagi aku akan menjadi seorang ibu. Oh Tuhan, terima kasih. Kau telah memberikan
kebahagiaan ini padaku. "Kemarin kamu pingsan karena terlalu letih. Dan setelah diperiksa oleh dokter,
ternyata kamu tengah mengandung. Usia kandunganmu baru dua bulan. Kamu harus jaga
kesehatan ya?" Pinta Mas Yusuf padaku.
Aku mengangguk dengan air mata yang terus meleleh. Mas Yusuf menghapusnya
dengan sentuhan hangatnya.
Namun tiba-tiba aku tersadar. Kebahagiaanku belum sepenuhnya menjadi milikku.
Masih ada satu yang mengganjal. Tentang Alifa. Kejadian yang baru saja aku alami
memang suatu kebahagiaan yang sangat aku impikan. Kebahagiaan karena akhirnya Mas
Yusuf bisa mnerimaku dan mencintaiku, dan kebahagiaan karena aku hamil.
Tapi biar bagamanapun, aku harus bertanggung jawab atas permohonanku pada Mas
Yusuf yang memintanya untuk menikahi Alifa. Aku harus siap dengan segala
konsekwensinya. Aku benar-benar ikhlas kalau saat ini Mas Yusuf menyatakan
kesediaannya untuk menikahi Alifa.
Aku terdiam dari tangisku dan mulai bertanya,
"Mas..." "Hm"..." Kuhela nafasku sesaat. "Mencintaimu adalah suatu hal yang sangat membahagiaakan untukku. Apalagi ketika
kau sudah bisa menerimaku sebagai istrimu. Jelas kebahagiaanku semakin lengkap, apalagi
sebentar lagi kita akan menjadi orang tua bagi anak kita. Tapi aku tidak mau egois. Saat
ini, aku ingin mendengar keputusanmu tentang penawaranku untuk kau menikahi Alifa.
Biar bagaimanapun, dia membutuhkanmu. Dan bayi yang tengah dikandungnya, juga
butuh seorang ayah. Aku harap kau bisa memberikan keputusan yang terbaik. Aku hanya
ingin membagi kebahagiaanku pada Alifa".
Kulihat Mas Yusuf menundukkan kepalanya. Perlahan dia berdiri dari duduknya.
"Kau tunggulah disini sebentar. Aku akan keluar untuk memberikan jawaban dan
keputusanku terhadap penawaranmu" Ucap Mas Yusuf pelan lalu pergi keluar kamar
sambil menyisakan rasa penasaran untukku. Apa yang hendak suamiku lakukan"
Sambil menatap langit-langit kamar rumah sakit, aku menunggu Mas Yusuf datang
dengan membawa jawaban dan keputusannya. Sungguh, saat ini aku begitu resah.
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
Tiba-tiba Mas Yusuf datang. Aku menoleh kearahnya. Tak ada yang berubah darinya.
Juga tak ada yang dibawanya. Kuperhatikan wajahnya.
"Apa keputusanmu Mas?" Tanyaku dengan serak menahan tangis.
Dia menghampiriku tanpa menjawab. Dia memandang keluar kamar dengan wajah
berseri-seri. Aku tambah tak mengerti. Akupun ikut memandang keluar kamar.
Masih dalam kondisi berbaring di tempat tidur, perlahan aku melihat sebuah bayangan
datang menghampiri kamarku. Bayangan siapa itu"
Tiba-tiba, aku melihat sosok yang sangat aku kenal muncul dihadapanku dengan
menggunakan kursi roda. Dan orang yang mendorong kursi rodanya juga adalah orang
yang sangat aku kenal. Dia Alifa dan Randi. Alifa duduk di kursi roda berbalut ghamis coklat dan jilbab hitam,
dan yang mendorongnya adalah Randi. Orang yang kukenal sebagai sahabat Mas Yusuf.
Orang yang dulu kutahu menyuruh Mas Yusuf untuk segera menikahi Alifa. Orang yang
dulu sempat menegurku pada saat acara di Bumiwiyata, Depok. Kenapa mereka datang
bersamaan" "Alifa"! Randi"! Kalian...." Ucapku tergagap.
"Ya. Alifa sudah menikah dengan Randi" Sahut Mas Yusuf mengejutkanku.
"Apa?" "Ya Dinda. Aku sudah menikah dengan Randi. Dia telah membantuku untuk tetap
hidup. Dia juga sudah membuatku menjadi seperti ini. Alhamdulillah, Randi sudah
berkenan menjadi suamiku" Ucap Alifa sambil Randi mendorong kursi rodanya
mendekatiku. Mas Yusuf dan Randi pergi keluar kamar meninggalkan aku dan Alifa berdua.
Sambil menggenggam tanganku, Alifa berkata,
"Aku tahu kamu wanita yang sangat mulia hatinya. Aku sudah dengar semua dari
Yusuf. Kamu menyuruhnya untuk menikahiku bukan" Niat baikmu untuk menjadikanku
sebagai istri kedua Yusuf sangat aku hargai. Jujur, sebenarnya kalau aku tahu yang hendak
menikahiku adalah Yusuf, aku tidak akan menerimanya..."
"Kenapa?" "Karena aku tidak mau melihat kamu bersedih. Aku yakin hatimu pasti hancur ketika
Yusuf sampai menikahiku. Untung saja sebelum Yusuf memberikan keputusannya karena
dia mengalami kecelakaan dan koma, Randi datang dengan sebongkah rasa kasihan dan
cintanya untukku. Aku juga tidak mengerti kenapa aku bisa seperti ini. Kepergian Mas
Guntur memang menyisakan luka yang mendalam untukku. Sampai aku harus dirawat di
rumah sakit dan mengalami koma.
Dokter bilang, penyakitku ini disebabkan karena aku mengalami tekanan batin yang
begitu mendalam sehingga harus ada yang mau menikahiku dan bersedia menjadi suami
keduaku. Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa seperti itu. Tapi memang, setelah Randi
menikahiku dan dia mulai membisikkan kata-kata mesranya untukku, seolah ada setetes
embun pagi yang mengaliri tubuhku. Aku mulai bereaksi. Ketika Randi menyentuh
tanganku dan membelaiku, perlahan aku seperti menemukan kembali semangat hidupku.
Memang aku sempat terkejut ketika kubuka mata, yang kulihat bukanlah Mas Guntur,
tapi Randi. Sahabatku sendiri yang kini telah menjadi suamiku. Awalnya aku sempat drop
lagi tapi dokter segera memberikan obat untukku. Dan akhirnya aku sudah bisa menerima
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
semua kenyataan ini, kalau Mas Guntur sudah tiada dan yang menggantikannya adalah
Randi. Terima kasih ya" Karena biar bagaimanapun, kau sudah berniat baik padaku dengan
menyuruh Yusuf agar mau menikahiku dan berkenan menjadi ayah bagi anak yang tengah
kukandung ini. Dan selamat ya" Akhirnya kau juga akan menjadi seorang ibu"
Alifa menjelaskan semuanya dengan tenang. Aku tersenyum padanya. Aku baru ingat,
ternyata laki-laki yang dimaksudkan keluarga Alifa yang hendak menikahi Alifa adalah
Randi. Seseorang yang tanpa sengaja telah menyelamatkan hati dan cintaku ternyata adalah
Randi. Karena dia, akhirnya aku tidak jadi menjadi istri tua. Terima kasih Randi.
"Kapan kamu menikah dengannya?" Tanyaku.
"Kemarin. Bahkan Yusuflah yang menjadi saksi pernikahan kami"
Diam-diam ada perasaan syukur yang menyusup kedalam diriku.
Tak berapa lama, Mas Yusuf dan Randi masuk lagi ke kamar. Aku tersenyum pada
mereka dan kuucapkan selamat pada Randi. Kami pun berbincang bersama di kamar itu.
Penuh keceriaan dan tawa yang kami ciptakan saat itu.
*** Empat Belas Setelah dokter mengatakan kondisiku sudah cukup pulih, akhirnya dia mengizinkanku
untuk segera pulang. Begitu juga Mas Yusuf. Beberapa luka di bagian kepala dan
lengannya juga sudah mulai mengering.
Kami melewati hari-hari baru kami sebagai suami istri. Lebih tepatnya lagi suami istri
yang baru menemukan mahligai cintanya. Aku sangat bersyukur sekali karena kesabaranku
dalam mencintai Mas Yusuf akhirnya menemukan buahnya. Kini aku sudah memetik buah
itu. Cinta itu, kini sudah menemukan peraduannya. Tak henti-hentinya aku berucap syukur
pada Sang Maha Pencipta. Kini, tak ada lagi sorot kebencian pada mata Mas Yusuf. Kini tak ada lagi sosok
seorang suami pengecut dalam kehidupanku. Yang ada hanyalah seorang pahlawan sejati
yang siap menemaniku kemanapun kakiku melangkah. Terima kasih, Ya Allah.
Malam ini, aku dan Mas Yusuf sudah berada di sebuah beranda di salah satu kamar
hotel yang dulu pernah kami jadikan sebagai tempat malam pertama kami satu tahun yang
lalu. Dengan ditemani sinaran bintang-bintang, kami memulai kembali kisah cinta kami
yang sempat tertunda karena sebuah keegoisan.
Malam ini, kami serasa seperti kembali menjadi sepasang pengantin baru. Saat Mas
Yusuf menatapku penuh mesra, rasa berdebar-debar itu tiba-tiba muncul dalam diriku.
Tapi inilah cinta. Aku sangat menikmati debar-debar itu. Tatapannya, belaiannya, dan
kecupannya, ini adalah untuk yang pertama kalinya dia melakukannya dengan penuh
keikhlasan hati dan kerelaan jiwa.
Malam semakin larut dan dia mulai mengajakku kembali ke kamar. Entah mengapa,
keringat dingin mulai membasahi tubuhku. Aku ikuti langkahnya. Kini, dia menuntunku
untuk sampai di tempat tidur. Aku tersenyum padanya.
Dengan ditemani temaram lampu kamar dan indahnya sinaran bulan sabit di langit luar
sana, Mas Yusuf kembali membuktikan bahwa dia bukan laki-laki pengecut. Dia bisa
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
menjalankan tugasnya sebagai seorang suami. Dan itu ia lakukan tanpa menunggu subuh
datang terlebih dahulu. Aku merasakan menjadi makhluk Tuhan yang paling dikasihi.
Ditengah ibadah berdua kami, tiba-tiba dering hand phone ku berbunyi. Sambil terus
melakukan ibadah itu, kuraih hand phone ku dan kulihat sekilas. Dari pihak penerbit. Aku
tak berniat mengangkatnya dan segera ku matikan dengan me-non aktifkan-nya.
Peluh kami kembali bersatu lagi. Merembas ke dalam seprei biru yang kini menutupi
tempat tidur kami. Inilah kesucian cinta yang telah tertanam sejak lama yang kurawat
dengan air kesabaran. Inilah buah yang kupetik hasilnya ketika cintaku pada Mas Yusuf
harus bersabar. Kini, lagi-lagi aku harus bersabar untuk menanti datangnya bidadari kecil yang
beberapa bulan lagi akan hadir ke duani ini untuk menemani kehidupan kami sebagai Abi
dan Bunda. Bulan dan bintang memantulkan sinar gemerlapnya pada diri dua insan yang tengah
dimabuk cinta. Semoga ibadah ini bisa memberikan keberkahan pada kehidupan rumah
tanggaku dengan Mas Yusuf nantinya.
Rabb, Terima kasih. ` Alhamdulillah, Selesai di Kantor Deptan Kamis, 08 Mei 2008 Untuk mereka yang menganggap bahwa
kecantikan adalah segalanya. Ingat, wanita
yang beriman itu lebih baik, dari wanita yang
cantik, namun tak beriman.
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
Keris Pusaka Sang Megatantra 11 Joko Sableng 12 Warisan Laknat Kuman Pengacau Rachel 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama