Goosebumps - 24 Hantu Auditorium Bagian 1
R.L. Stine Hantu Auditorium (Goosebumps # 24) SINAR... TIRAI... HANTU...
Sahabat Brooke, Zeke, mendapat peran utama dalam lakon The Phantom, Sang
Hantu. Zeke sangat menghayati perannya. Dia suka memakai kostum hantunya, dan
menakuti-nakuti pemeran lainnya dengan berbagai cara. Brooke sampai
berpikir, kali ini Zeke benar-benar keterlaluan.
Tapi kemudian sesuatu yang menakutkan benar-benar terjadi. Tiba-tiba saja
muncul pesan di tirai panggung: JANGAN GANGGU RUMAHKU! Lalu, lampu panggung pun
jatuh... Siapakah yang berusaha menggagalkan pementasan ini"
Benarkah sang Hantu asli muncul kembali"
Goosebumps Ya! Dijamin kalian pasti ber -goosebumps- ria alias merinding ketakutan kalau
membaca seri ini. Soalnya, seri Goosebumps memang menyajikan kisah-kisah horor
yang super seram dan mengerikan! Tidak percaya" Baca saja sendiri kalau
berani!!! PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Selatan 24-26 Lt. 6
Jakarta 10270 Penerjemah: Hendarto Setiadi
Ebook by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
1 SEKOLAH kami dihuni hantu misterius.
Tak seorang pun pernah melihatnya. Tak seorang pun tahu di mana dia tinggal.
Tapi sudah lebih dari tujuh puluh tahun dia gentayangan di sekolah kami.
Sahabat karibku, Zeke, dan aku-lah yang menemukannya. Kami memergokinya
waktu kami sedang ikut sandiwara yang bercerita tentang hantu di sekolah.
Guru kami memang sempat cerita bahwa sandiwara itu dibayangi kutukan, tapi
kami tidak percaya. Kami pikir dia cuma bercanda.
Tapi waktu hantu itu kulihat dengan mata kepalaku sendiri, aku langsung tahu
guruku tidak bercanda. Cerita tentang kutukan itu memang benar. Seratus
persen benar. Malam saat kami menemukan hantu itu adalah malam paling menakutkan dalam
hidup kami! Tapi sebaiknya aku mulai dari awal saja.
Namaku Brooke Rodgers, dan aku duduk di kelas enam di Woods Mill Middle
School. Zeke Matthews sahabat karibku. Banyak anak cewek menganggap aneh
karena aku bersahabat dengan anak cowok, tapi aku tidak peduli. Zeke lebih
lucu dan lebih asyik diajak berteman daripada semua anak cewek yang kukenal.
Dia juga penggemar film horor, sama seperti aku.
Sudah sembilan tahun Zeke dan aku bersahabat. Dan masing-masing tahu
segala sesuatu tentang yang lainnya. Misalnya, aku tahu Zeke sampai sekarang
masih pakai piyama bergambar Kermit si Kodok.
Dia paling sebal kalau aku menceritakannya kepada orang lain. Mukanya selalu
jadi merah padam. Dan bintik-bintik di hidungnya jadi semakin kelihatan.
Zeke benci bintik-bintik itu hampir sama seperti aku benci kacamataku. Aku tak
habis pikir kenapa dia begitu ribut tentang bintik-bintik itu. Setelah beberapa
lama, kita sudah terbiasa sehingga tidak akan memperhatikannya lagi. Dan di
musim panas, waktu kulitnya jadi cokelat karena kena sinar matahari, bintikbmtik itu malah hilang sama sekali.
Coba kalau kacamataku juga bisa lenyap begitu saja. Gara-gara kacamata itu,
tampangku jadi kayak kutu buku. Tapi kalau aku tidak pakai kacamata, bisabisa dinding di depan mata pun kutabrak!
Beberapa teman cewekku menganggap Zeke kece. Tapi aku tidak pernah
berpikir begitu. Mungkin karena aku sudah begitu lama bersahabat dengannya.
Tepatnya sejak ibuku dan ibunya berkenalan di tempat boling. Setelah
mengobrol ke sana ke mari, akhirnya ketahuan mereka tinggal di jalan yang
sama. Ribut-ribut soal hantu itu dimulai hari Jumat, beberapa minggu lalu. Waktu itu
jam pelajaran sudah selesai, dan aku sedang berusaha membuka locker.
Kusibakkan rambutku menghadapi kunci kombinasi yang harus diputar-putar.
Kunci brengsek itu selalu macet, dan aku selalu uring-uringan karenanya.
Setelah gagal empat kali, akhirnya aku berhasil membuka locker- ku . Buku-bukuku
kulempar ke dalam, lalu pintunya kubanting keras-keras. Aku tidak mau
membawa pulang buku pelajaran selama akhir pekan. Pokoknya mulai detik ini
aku libur! Dua hari penuh tanpa sekolah.
Asyik. Sebelum aku sempat menoleh, sebuah kepalan tangan melesat di samping
kupingku dan menghantam pintu locker. BANG!
"Wah, Brookie," sebuah suara berseru di belakangku, "tidak ada PR untuk
minggu depan?" Aku tidak perlu menoleh untuk tahu siapa orangnya. Hanya ada satu orang di
seluruh dunia yang berani memanggilku Brookie.
Aku berbalik dan melihat Zeke cengar-cengir tak jelas. Rambut pirangnya yang
panjang di depan, dan pendek sekali - bahkan hampir botak - di belakang,
menutupi sebelah matanya.
Aku tersenyum, lalu menjulurkan lidah.
"Persis seperti anak kecil, Brookie," Zeke bergumam.
Cepat-cepat aku melipat kelopak mataku ke atas supaya kelihatan seram. Aku
sering berbuat begitu untuk menakut-nakuti orang.
Tapi Zeke tidak bereaksi. Berkedip pun tidak. Dia sudah sering melihat trik itu.
"Kali ini tidak ada tugas apa-apa!" sahutku. "Aku benar-benar bebas."
Tiba-tiba aku dapat ide bagus. "Eh, Zeke," kataku, "barangkali Rich bisa
mengantar kita ke festival Creature besok?"
Aku sudah tak sabar menonton ketiga film Creature yang lagi diputar di Cineplex.
Salah satunya malah berupa film 3-D! Zeke dan aku sering nonton
film horor, sekadar untuk menertawakan bagian-bagian yang seram. Asal tahu
saja, kami ini bersaraf baja. Kami tidak kenal takut.
"Mungkin," balas Zeke sambil menyingkirkan rambut dari mukanya. "Tapi
Rich lagi dihukum. Dia tidak boleh pakai mobil selama satu minggu."
Rich, abang Zeke. Dan sepertinya dia selalu dihukum oleh orangtuanya.
Zeke memindahkan ranselnya dari pundak kiri ke kanan. "Sudahlah, Brooke,
jangan pikirkan festival Creature itu. Kita ada urusan yang lebih penting. Masa
sih kau lupa?" Aku mengerutkan hidung. Lupa" Rasanya tidak ada apa-apa yang perlu diingat.
"Apa sih?" aku akhirnya bertanya.
"Aduh, Brookie! Coba ingat-ingat dulu!"
Aku benar-benar tidak tahu maksud Zeke. Aku mengikat rambutku dengan karet
rambut yang melingkar di pergelangan tanganku.
Aku selalu pakai karet rambut di pergelangan tangan. Kiri dan kanan. Karet
rambut selalu banyak gunanya.
"Ayo dong, Zeke. Aku tidak tahu," ujarku sambil mengencangkan kuncir
"Jangan bikin aku penasaran."
Sekonyong-konyong aku ingat lagi, "Daftar pemain!" aku berseru sambil
menepuk kening. Kok aku bisa sampai lupa" Sudah dua minggu Zeke dan aku
menunggu untuk melihat apakah kami dapat peran dalam sandiwara sekolah.
"Ayo! Kita cari pengumumannya" Aku meraih lengan baju Zeke dan
menyeretnya ke auditorium.
Zeke dan aku sama-sama ikut tes. untuk sandiwara itu. Tahun lalu, kami dapat
peran figuran dalam sandiwara musikal Guys and Dolls. Ms. Walker, guru kami,
sudah bilang bahwa sandiwara tahun ini bakal seram.
Itulah yang ditunggu-tunggu oleh Zeke dan aku. Pokoknya, kami harus ikut main
dalam sandiwara itu! Waktu kami sampai di auditorium ternyata sudah ada kerumunan murid di
depan papan pengumuman. Semuanya berebut membaca daftar pemain.
"Aku gugup sekali "Aku tidak berani lihat, Zeke" aku memekik. "Kau saja yang
lihat, oke?" "Yeah, boleh sa -"
"Tunggu! Biar aku saja!" seruku lagi karena telah berubah pikiran. Aku sering
berubah-ubah pikiran. Dan Zeke selalu jengkel.
Aku menarik napas panjang lalu menerobos kerumunan orang. Sambil
menggigit kuku jempol kiri, aku menyilangkan jari tangan kanan dan
mengamati papan pengumuman.
Tapi waktu aku melihat yang tertulis di situ, hampir saja jempolku kugigit
sampai putus! Di samping daftar pemain ada pengumuman lain:
Perhatian Brooke Rodgers: Harap
lapor ke kantor Mr. Levy. Kau
dikeluarkan dari Sekolah.
2 DIKELUARIKAN" Aku sampai melongo. Jangan-jangan Mr. Levy akhirnya tahu bahwa aku yang melepaskan tikus kecil
di ruang guru" Dikeluarkan. Aku langsung lemas. Orangtuaku pasti marah sekali.
Kemudian aku mendengar tawa cekikikan.
Kubalikkan tubuhku, dan kulihat Zeke terbahak-bahak. Anak-anak lain juga
ikut ketawa. Dengan geram kupelototi Zeke. "Kau yang pasang pengumuman itu, ya?"
"Siapa lagi!" sahutnya, dan tawanya semakin keras.
Dia memang jail. "Kaupikir aku percaya! Enak saja!" aku berbohong.
Aku kembali berpaling ke papan pengumuman untuk membaca daftar pemain.
Aku membacanya sampai tiga kali. Dan setelah ketiga kalinya, aku tetap tidak
percaya "Zeke!" aku berteriak untuk mengalahkan hiruk-pikuk di sekelilingku,
"Kau dan aku - kita jadi pemeran utama!"
Zeke terbengong-bengong. Kemudian dia menatapku sambil nyengir. "Mau
balas dendam nih?" dia bergumam.
"Aku serius! Kita dapat dua peran terbesar! Lihat saja sendiri kalau tidak
percaya! Kau dapat peran 'Si Hantu'!"
"Mana mungkin!" Zeke tetap tidak percaya.
"Dia benar, Zeke,' ujar anak cewek di belakangku Tina Powell, anak kelas
tujuh, muncul di sampingku.
Dari dulu aku merasa bahwa Tina Powell tidak suka padaku. Aku tidak tahu
kenapa. Aku tidak seberapa mengenalnya. Tapi setiap kali ketemu aku, ia selalu
mengerutkan keningnya. Seakan-akan ada sisa makanan tersangkut di celah
gigiku. "Coba kulihat!" kata Zeke sambil mendesak semua orang. "Wow! Benar juga!
Aku dapat peran utama!"
"Aku jadi Esmerelda," aku membaca. "Hmm, kira-kira siapa dia, ya" Hei,
mungkin dia ibu tiri si Hantu yang gila, atau istri tanpa kepala yang bangkit
dari kubur untuk - "
"Jangan mengkhayal, Brooke," Tina memotong sambil mengerutkan kening.
"Esmerelda cuma putri pemilik sebuah gedung teater" Dia mengatakannya
seakan-akan Esmerelda cuma peran figuran.
"Oh, kau dapat peran apa, Tina?" tanyaku.
Tina langsung salah tingkah. Beberapa anak menoleh untuk mendengar
jawabannya. "Aku cadangan!" dia bergumam sambil menunduk. "jadi kalau kau sakit atau
tiba-tiba berhalangan, aku yang akan memainkan peran Esmerelda.
"Tapi aku juga bertugas mengatur dekorasi" dia langsung menambahkan.
Sebenamya aku ingin memberi komentar pedas, biar Tina tahu rasa, tapi
sayangnya tak ada ide yang melintas di benakku.
Aku bukan orang yang berlidah tajam, dan sulit bagiku untuk mencari kata-kata
yang nyelekit biarpun aku lagi sebal sama seseorang.
Karena itu aku memutuskan untuk tidak menggubris Tina. Aku terlalu gembira
mengetahui peran yang kudapat.
Aku memakai jaket jeans- ku, lalu memanggul ranselku "Ayo, Hantu," aku berkata
kepada Zeke "Kita harus mulai gentayangan."
*** Latihan sandiwara dimulai Senin sore Ms. Walker yang memimpin.
Dia berdiri di panggung auditorium, menatap kami semua sambil membawa
setumpuk naskah. Rambut Ms. Walker ikal dan merah, dan matanya berwarna hijau. Dia kurus
sekali, sekurus tiang bendera. Sebenarnya sih, dia guru yang baik, hanya saja
agak terlalu disiplin. Zeke dan aku duduk bersebelahan di baris ketiga. Aku memandang berkeliling
dan mengamati anak-anak yang lain. Semuanya asyik mengobrol. Semuanya
kelihatan bersemangat sekali.
"Sudah tahu sandiwara ini tentang apa?" tanya Corey Sklar. Dia berperan
sebagai ayahku. Maksudnya, ayah Esmerelda. Corey berambut cokelat, seperti
aku. Dan dia juga pakai kacamata. Mungkin karena itu kami dipasang sebagai
ayah dan anak. "Belum," sahutku sambil angkat bahu. "Belum ada yang tahu. Tapi katanya sih,
ceritanya seram." "Aku tahu!" Tina Powell berkata keras-keras.
Aku menoleh. "Tahu darimana kau?" tanyaku. "Ms. Walker kan belum
membagikan naskah." "Kakek buyutku bersekolah di Woods Mill Middle School dulu. Dia
menceritakan semuanya tentang The Phantom atau Sang Hantu," Tina membanggakan
diri. Aku baru mau bilang bahwa tak ada yang peduli tentang cerita kakek buyutnya,
tapi Tina keburu menambahkan, "Dia juga bercerita tentang kutukan yang melekat
pada sandiwara ini!"
Semua orang langsung terdiam. Termasuk aku.
Perhatian Ms. Walker pun beralih kepada Tina.
Zeke menyikut rusukku, dan matanya berbinar-binar. "Kutukan?" dia berbisik
dengan gembira. "Wow asyik!"
Aku mengangguk. "Yeah, asyik," gumamku.
"Kakek buyutku menceritakan kisah seram tentang sandiwara ini," lanjut Tina.
"Dan dia juga bercerita tentang hantu di sekolah kita. Hantu sungguhan yang -"
"Tina!" Ms. Walker memotong sambil melangkah maju. Dia menatap Tina
dengan tajam. "Saya rasa kisah itu tidak perlu diceritakan sekarang."
"Hah" Kenapa tidak?" seruku.
"Yeah. Kenapa tidak?" Zeke menimpali.
"Saya rasa ini bukan saat yang tepat untuk mendengarkan cerita menakutkan
yang belum tentu benar," Ms Walker berkata dengan tegas. "Hari ini saya akan
membagikan naskah, dan -"
"Ms. Walker tahu ceritanya?" tanya Tina.
"Ya, saya sudah mendengarnya," jawab Ms Walker "Tapi sebaiknya kausimpan sendiri
saja, Tina. Ceritanya sangat seram. Sangat menakutkan. Dan saya kira -"
"Cerita! Cerita! Cerita!" Zeke mulai berseru-seru.
Dan seketika kami semua menatap Ms. Walker sambil nyengir dan berseru-seru,
"Cerita! Cerita! Cerita!"
Kenapa Ms. Walker tidak ingin kami mendengar cerita itu aku bertanya-tanya.
Seberapa seram sih ceritanya"
3 "CERITA! Cerita! Cerita!" kami terus mendesak.
Ms. Walker mengangkat kedua tangannya supaya kami diam.
Tapi isyaratnya itu justru memancing kami untuk berseru-seru sambil
mengentak-entakkan kaki. "Cerita! Cerita! Cerita!"
"Oke!" Ms. Walker akhirnya mengalah. "Oke, saya akan bercerita. Tapi ingat ini hanya cerita. Saya tidak mau kalau kalian sampai ketakutan."
"Kami tidak takut!" balas Zeke.
Semuanya tertawa. Tapi aku menatap Ms. Walker. Sepertinya dia benar-benar
keberatan kami mendengar cerita itu. Aku mulai heran kenapa dia tidak mau
bercerita soal si Hantu. "Cerita ini berawal tujuh puluh dua tahun lalu," Ms. Walker mulai, "ketika
Woods Mill Middle School baru dibangun. Sepertinya kakek-buyut Tina jadi
murid di sini waktu itu."
"Ya," seru Tina, "kakek-buyut saya murid kelas pertama yang belajar di sini.
Katanya waktu itu di sekolah ini hanya ada 25 murid."
Ms. Walker menyilangkan tangannya, lalu meneruskan ceritanya. "Para murid
ingin mementaskan sebuah sandiwara. Salah satu dari mereka bermain-main di
Goosebumps - 24 Hantu Auditorium di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ruang bawah tanah Perpustakaan Old Woods Mill. Di sana dia menemukan
naskah sandiwara berjudul The Phantom .
"Sandiwara itu seram sekali, menceritakan tentang anak perempuan yang
diculik oleh hantu misterius. Anak laki-laki yang menemukan naskah tersebut
memperlihatkannya kepada gurunya. Dan gurunya menganggap sandiwara itu
menarik untuk ditampilkan. Mereka berniat membuat pertunjukan besar dengan
berbagai efek khusus yang menakutkan."
Zeke dan aku berpandangan. Sandiwara itu pakai efek khusus! Kami tergila-gila
pada efek khusus! "Latihan The Phantom pun dimulai," Ms Walker melanjutkan. "Anak laki-laki yang
menemukan naskah di perpustakaan mendapat peran utama"
Semuanya menoleh ke arah Zeke Dia tersenyum lebar, seakan-akan ada yang
patut dibanggakannya. "Setiap hari seusai sekolah mereka mengadakan latihan," Ms. Walker
menjelaskan. "Dan semua orang merasa senang. Semuanya bekerja keras untuk
menyukseskan sandiwara itu. Semuanya berjalan lancar, sampai - sampai -"
Ms. Walker berhenti bicara.
"Ayo dong, Ms. Walker" aku berseru keras-keras.
"Cerita! Cerita!" beberapa anak kembali mendesak Ms Walker.
"Saya minta kalian ingat ini hanya cerita," Ms Walker menegaskan sekali lagi.
"Tidak ada bukti cerita ini benar-benar terjadi."
Kami semua mengangguk. Ms. Walker berdeham, lalu kembali bicara. "Pada malam perdana, semua
pemain sudah siap - dengan kostum masing-masing. Auditorium dipadati
orangtua dan teman-teman mereka. Auditorium ini. Semua pemain tampak
bersemangat, sekaligus gugup.
"Guru mereka menyuruh mereka berkumpul untuk memberi wejangan terakhir.
Pertunjukan sudah akan dimulai. Tapi anak yang akan tampil sebagai Hantu
ternyata tidak ada" Ms Walker mulai mondar-mandir di panggung. "Mereka memanggilmanggilnya. Mereka mencarinya di belakang panggung. Tapi mereka tidak
berhasil menemukan si Hantu, bintang pertunjukan mereka.
"Mereka menyebar. Mereka mencari di mana-mana. Tapi mereka tetap tidak
berhasil menemukannya. Anak itu hilang.
"Mereka mencarinya selama satu jam," Ms. Walker melanjutkan "Semua orang
bingung dan kuatir. Terutama orangtua anak itu.
"Akhirnya, guru mereka naik ke panggung untuk mengumumkan bahwa
sandiwara itu tidak bisa diteruskan. Tapi sebelum dia sempat berkata apa-apa,
mereka mendengar jeritan mengerikan."
Ms. Walker berhenti "Jeritan itu sangat menakutkan. Kata orang,
kedengarannya seperti lolongan binatang.
"Si guru langsung berlari ke arah bunyi itu. Dia kembali memanggil-manggil
anak yang hilang Tapi tak ada yang menyahut. Suasananya hening. Tak ada
jeritan lagi. "Mereka langsung melakukan pencarian di seluruh sekolah. Tapi anak itu tak
pernah ditemukan." Ms Walker menelan ludah. Kami semua terdiam. Tak ada yang berani menarik napas!
"Dia tak pernah muncul lagi," Ms. Walker mengulangi. "Rasanya bisa dibilang si
Hantu jadi hantu sungguhan. Dia menghilang begitu saja. Dan sandiwara itu
tak pernah dipentaskan."
Dia berhenti mondar-mandir dan menatap kami. Pandangannya beralih dari satu
kusi ke kursi berikut. "Aneh!" seseorang berkata di belakangku.
"Kau percaya cerita itu" aku mendengar salah satu anak cowok berbisik.
Dan kemudian, di sampingku, Corey Sklar memekik tertahan. "Oh, ya ampun!"
dia berseru sambil menunjuk ke pintu samping. "Itu dia! Itu si Hantu!"
Aku menoleh - sama seperti semua orang lain - dan melihat wajah si Hantu
yang mengerikan. Sambil menyeringai, dia menatap kami dari ambang pintu.
4 COREY SKLAR menjerit. Hampir semua anak menjerit. Sepertinya, Tina juga ikut menjerit.
Si Hantu menyeringai lebar. Rambutnya yang merah terang berdiri kaku.
Sebelah matanya menyembul dari kelopaknya. Jahitan hitam bekas luka
melintang di sisi wajahnya
"BOO!" si Hantu berseru sambil melompat maju.
Anak-anak kembali menjerit-jerit.
Aku cuma tertawa. Aku tahu itu Zeke.
Aku sudah pernah melihatnya memakai topeng konyol itu. Dia menyimpannya
di locker, supaya bisa dipakai sewaktu-waktu.
"Zeke, jangan macam-macam!" seruku.
Dia melepaskan topengnya. Mukanya kelihatan merah. Zeke menatap kami
sambil nyengir lebar. Dia senang karena berhasil menakut-nakuti teman-teman
kami. Anak-anak mulai ketawa. Seseorang melempar Zeke dengan kotak susu yang sudah kosong. Anak lain
mencoba menjegal kakinya waktu dia kembali ke kursinya.
"Lucu sekali, Zeke," ujar Ms. Walker sambil geleng-geleng kepala. "Mudahmudahan ini kunjungan terakhir Si Hantu."
Zeke kembali duduk di sampingku. "Kenapa kau menakut-nakuti mereka?"
bisikku. "Habis, kapan lagi ada kesempatan seperti itu?" Dia masih tetap nyengir lebar.
"Jadi, kita yang pertama menampilkan sandiwara ini?" Corey bertanya kepada
Ms. Walker. Guru kami mengangguk. "Ya. Setelah anak itu menghilang tujuh puluh dua
tahun lalu, pihak sekolah memutuskan akan memusnahkan semua naskah dan
dekor. Tapi satu salinan tetap disimpan dalam lemari besi sekolah. Dan
sekarang kita yang akan mementaskan The Phantom untuk pertama kali."
Anak-anak langsung sibuk berbisik-bisik. Baru beberapa saat kemudian Ms
Walker berhasil menenangkan suasana
"Dengarkan baik-baik," dia berkata sambil bertolak pmggang "Ini hanya cerita.
Saya yakin kakek-buyut Tina pun akan menegaskan bahwa kisah ini tidak
benar. Saya menceritakannya sekadar untuk menciptakan suasana horor."
"]api bagaimana dengan kutukannya?" tanyaku. "Tina bilang ada kutukan!"
"Ya," Tina menimpali. "Kakek-buyut saya bilang sandiwara ini dikutuk. Si
Hantu takkan membiarkannya dipentaskan oleh siapa pun. Dia bilang, si Hantu
masih ada di sini. Hantu itu sudah tujuh puluh dua tahun gentayangan di sekolah
kita! Tapi sampai sekarang belum pernah ada yang melihatnya"
"Asyik!"seru Zeke, matanya berbinar-binar.
Beberapa anak ketawa. Beberapa anak lain kelihatan kikuk. Seperti ketakutan.
"Saya sudah katakan tadi, itu hanya cerita," ujar Ms. Walker "Nah, sekarang
kita mulai saja, oke" Siapa yang mau membantu saya membagi-bagikan
naskah" Saya sudah membuat salinan untuk semua pemain. Kalian harus
membawanya pulang dan mempelajari peran masing-masing."
Zeke dan aku nyaris terjatuh ketika kami berebut naik tangga untuk membantu
Ms Walker. Dia menyerahkan setumpuk naskah. Kami turun lagi dan mulai
membagi-bagikan semuanya. Tapi ketika aku sampai di depan Corey, dia justru
menarik tangannya. "Ba-bagaimana kalau kutukan ini memang ada?" tanyanya
kepada Ms. Walker. "Corey," Ms. Walker berkata dengan tegas, "saya tidak mau mendengar satu
kata pun lagi tentang hantu dan kutukan itu. Masih banyak yang harus kita
kerjakan, dan - " Dia tidak menyelesaikan kalimatnya.
Dia, malah menjerit. Aku menoleh ke panggung, tempat Ms. Walker masih berdiri sedetik
sebelumnya. Dia lenyap. Seakan-akan menguap. 5 TUMPUKAN naskah itu terlepas dari tanganku.
Aku bergegas naik ke panggung. Di belakangku aku mendengar anak-anak
berseru dan memekik karena kaget.
"Dia lenyap begitu saja!" aku mendengar Corey bergumam.
Tapi dia tidak mungkin hilang begitu saja!" teriak salah satu cewek.
Zeke dan aku menaiki panggung berbarengan. "Ms. Walker - Anda di mana?"
panggilku. "Ms Walker?"
Hening. "Ms. Walker" Anda bisa mendengar saya?" seru Zeke.
Kemudian aku mendengar suara guruku itu, sayup-sayup. "Saya di bawah sini!"
dia berseru. "Di bawah mana?" Zeke bertanya dengan bingung.
"Di bawah sini!"
Di bawah panggung" Sepertinya dari situlah dia memanggil.
"Bantu saya naik!" Ms. Walker kembali berseru.
Ada apa ini" aku bertanya-tanya. Kenapa kita bisa mendengarnya, tapi tidak
melihatnya" Akulah yang pertama menemukan lubang besar berbentuk persegi di panggung.
Zeke dan anak-anak yang lain ikut berkerumun di sekeliling lubang itu. Aku
maju sampai ke tepi lubang dan memandang ke bawah.
Ms. Walker sedang menatap ke atas. Dia berdiri di sebuah pelataran kecil
berbentuk bujur sangkar, sekitar satu setengah sampai dua meter di bawah
panggung. "Kalian harus menaikkan pelataran ini," katanya.
"Bagaimana caranya?" tanya Zeke.
"Tekan tuas di panggung," Ms. Walker memberi petunjuk. Ia menunjuk tuas
kayu di sebelah kanan pintu panggung.
"Oke!" seru Zeke. Dia menekan tuas itu. Kami mendengar bunyi berdentang.
Lalu bunyi gesekan. Lalu bunyi berderak.
Perlahan-lahan pelataran itu mulai bergerak naik. Ms. Walker segera melangkah
ke panggung. Dia cengar-cengir menatap kami, sambil menepis debu yang
melekat di celana panjang birunya. "Saya lupa memberitahu soal pintu kolong
ini," katanya. "Untung saja saya tidak patah kaki."
Zeke berlutut dan mengintip ke lubang di panggung.
"Saya lupa menyinggung bagian paling seru dari sandiwara kita," Ms. Walker
memberitahu kami. "Pintu kolong ini sengaja dibuat untuk pementasan The
Phantom yang pertama dulu. Setelah itu tak ada yang mengingatnya. Pintu kolong
ini belum pernah digunakan dalam pertunjukan sandiwara sekolah
sampai sekarang!" Aku melongo. Rupanya ada pintu kolong! Asyik juga!
Ms. Walker membungkuk dan menarik Zeke menjauh dari lubang itu. "Hatihati. Kau bisa jatuh," dia mewanti-wanti "Saya sendiri yang menurunkan
pelataran tadi. Dan saya lupa menaikkannya lagi."
Zeke bangkit. Melihat tampangnya, aku langsung tahu dia tertarik sekali pada
pintu kolong itu. "Ketika The Phantom hendak ditampilkan dulu," Ms. Walker bercerita, "pihak
sekolah membuat pintu kolong ini supaya Si Hantu bisa menghilang atau
muncul dari bawah. Waktu itu, pintu kolong ini termasuk efek khusus yang
canggih." Aku berpaling kepada Zeke. Sepertinya dia sudah tak sanggup menahan
semangatnya yang meluap-luap.
"Cuma saya, kan, yang pakai pintu kolong ini dalam pertunjukan nanti?" dia
bertanya dengan berapi-api. "Saya boleh coba sekarang, ya" Ya?"
"Nanti, Zeke," sahut Ms. Walker dengan tegas. "Pelatarannya masih harus
diperiksa, soalnya jangan-jangan sudah tidak aman untuk dipakai. Sebelum itu
tidak boleh ada yang mengutak-atiknya."
Zeke langsung berlutut lagi dan mengamati pintu kolong itu.
Ms. Walker berdeham keras-keras "Sudah jelas" Zeke?"
Zeke menarik hapas panjang. "Ya, Ms. Walker," gumamnya.
"Bagus," kata Ms. Walker. "Sekarang silakan duduk lagi. Saya minta semuanya
membaca naskah ini sampai habis sebelum kita pulang nanti. Sekadar supaya
kalian mendapat gambaran mengenai cerita dan tokoh-tokohnya."
Kami kembali ke kursi masing-masing. Tapi roman muka Zeke berkesan
mencurigakan. Aku sudah pernah melihatnya bertampang seperti itu. Keningnya
berkerut-kerut, dan alis kirinya terangkat sedikit. Aku langsung tahu bahwa dia
sedang sibuk memutar otak.
Kami menghabiskan satu jam untuk membaca naskah sandiwara itu. The
Phantom ternyata memang seram!
Ceritanya menyangkut laki-laki bernama Carlo. Dia pemilik gedung teater tua
yang biasa digunakan untuk konser dan pementasan sandiwara. Carlo yakin
gedung teaternya berhantu.
Ternyata memang ada orang misterius yang tinggal di ruang bawah tanah.
Wajahnya rusak. Tampangnya seperti monster. Karena itu dia selalu memakai
topeng. Tapi Esmerelda, putri Carlo, jatuh cinta padanya. Mereka bahkan
sampai berniat kawin lari. Tapi rencana itu tercium oleh Eric, pacar Esmerelda
yang tampan. Eric mencintai Esmerelda. Dia melacak orang misterius itu di tempat tinggal
rahasianya, sebuah lorong gelap jauh di bawah panggung. Mereka berkelahi.
Dan Eric berhasil membunuh lawannya.
Perbuatan itu membuat Esmerelda patah hati. Dia kabur dan rumah dan tak
pernah lagi terdengar kabarnya. Dan si orang misterius hidup terus sebagai
hantu. Dia akan gentayangan untuk selama-lamanya di gedung teater itu.
Cukup seru, ya" Rasanya kami semua senang membaca naskah itu. Kami langsung sadar bahwa
pementasannya bakal ramai sekali.
Waktu aku membaca peranku sebagai Esmerelda, aku mencoba membayangkan
bagaimana rasanya mengenakan kostum dan tampil di atas panggung. Aku
sempat menoleh ke belakang, dan melihat Tina membaca peranku sambil
mengucapkannya tanpa bersuara.
Dia langsung berhenti waktu sadar bahwa aku menatapnya. Dan seperti biasa,
dia membalas tatapanku sambil mengerutkan kening.
Dia iri, aku berkata dalam hati. Aku yakin dia sebenarnya ingin jadi Esmerelda.
Sejenak aku merasa kasihan pada Tina. Aku tidak terlalu menyukainya. Tapi
aku juga tidak ingin dia benci padaku karena aku mendapat peran yang
diincarnya. Tapi aku tidak punya waktu memikirkan dia. Masih banyak yang harus kubaca.
Esmerelda sering tampil di panggung dalam sandiwara itu. Perannya memang
besar. Ketika kami akhirnya selesai membaca, semuanya bertepuk tangan dan
bersorak-sorai. "Oke. Sekarang kalian pulang dulu,' Ms. Walker berkata sambil menggiring
kami ke pintu "Mulailah mempelajari peran kalian. Besok kita akan bertemu
lagi." Aku mulai mengikuti anak-anak lain ke pintu, tapi tiba-tiba seseorang
menarikku dan belakang. Aku menoleh. Ternyata Zeke. Cepat-cepat dia
menarikku ke balik tiang beton yang besar.
"Zeke - apa-apaan sih?" tanyaku.
Dia segera menempelkan telunjuk ke bibir. "Ssst ." Matanya masih berbinar-binar.
"Tunggu sampai Semuanya pulang," dia berbisik.
Aku mengintip dari balik tiang. Ms. Walker sedang memadamkan lampulampu. Kemudian dia mengambil barang-barangnya, dan meninggalkan
auditorium. "Kenapa kita harus sembunyi di sini?" aku berbisik dengan jengkel.
Zeke menatapku sambil nyengir. "Aku mau coba pintu kolong itu," sahutnya.
"Hah?" "Ayo, kita coba saja. Cepat. Mumpung tidak ada siapa-siapa."
Aku memandang berkeliling. Auditorium telah gelap. Dan kosong.
"Ayo, masa kau takut?" Zeke mendesak sambil menarikku ke panggung. "Kita
coba saja, oke" Kau takut apa sih?"
Dengan bimbang aku berpaling ke panggung. "Oke," kataku.
Zeke benar. Apa yang perlu kutakuti"
6 ZEKE dan aku naik ke panggung. Keadaannya jauh lebih gelap dibandingkan
tadi. Dan udaranya pun terasa lebih dingin.
Papan-papan lantai berderak-derak ketika diinjak. Setiap bunyi terdengar
menggema. "Pintu kolong ini benar-benar asyik" seru Zeke. "Sayang kau tidak bisa
memakainya dalam pertunjukan nanti."
Aku mendorongnya dan hendak mengatakan sesuatu. Tapi tiba-tiba aku
merasakan bahwa alergiku bakal kumat. Mungkin karena tiram-tiram
auditorium yang penuh debu.
Alergiku benar-benar parah. Aku alergi terhadap hampir segala sesuatu.
Goosebumps - 24 Hantu Auditorium di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebutkan saja. Debu, serbuk bunga, kucing, anjing - bahkan beberapa sweter
tertentu. Kalau lagi kumat, aku bisa bersin tiga belas sampai empat belas kali berturutturut. Rekorku adalah tujuh belas kali.
Zeke suka menghitung berapa kali aku bersin, Dia menganggapnya lucu. Dia
menepuk-nepuk lantai dan berseru, "Tujuh! Delapan! Sembilan!"
Ha-ha. Setelah bersin sepuluh kali berturut-turut, aku sudah tidak berminat
bercanda. Hidungku jadi berair, dan kacamataku seperti berkabut. Benar-benar
parah deh. Kami mengendap-endap ke pintu kolong. "Coba periksa lantai di sebelah sana,"
ujar Zeke pelan-pelan. "Cari tuas untuk membuka pintu."
Zeke berdiri di atas pintu kolong sementara aku mencari-cari tuas itu dalam
kegelapan. Aku berusaha menahan bersin, tapi itu tidak mudah.
Kemudian aku melihat tuas kecil di lantai itu
"Hei - ini dia!" seruku gembira.
Zeke langsung memandang berkeliling. "Ssst! Jangan keras-keras! Nanti
ketahuan kita masih di sini!"
"Sori," bisikku. Lalu aku sadar bahwa bersinku tidak bisa ditahan lagi. Mataku
sudah berair, dan hidungku gatalnya minta ampun.
Aku mengambil sebungkus tisu dari kantong dan menempelkan semuanya ke
hidungku. Kemudian aku mulai bersin. Aku berusaha bersin sepelan mungkin.
"Empat! Lima!" Zeke berhitung.
Untung saja aku tidak memecahkan rekorku. Aku berhenti setelah bersin
ketujuh. Aku menyeka hidung dan menyelipkan tisu yang sudah kotor ke dalam
kantong. Memang jorok sih, tapi ke mana lagi harus kubuang"
"Oke, Zeke, siap-siap!" aku memberi aba-aba.
Aku menginjak tuas itu dan melompat ke samping Zeke.
Kami mendengar bunyi berdentang Lalu bunyi gesekan. Lalu bunyi berderakderak. Bagian lantai yang kami injak mulai turun.
Zeke meraih lenganku "Hei -kok goyang begini sih"!" teriaknya.
"Kau takut, ya?" aku menantangnya.
"Enak saja." Bunyi berdentang itu bertambah keras. Pelataran bujur sangkar di bawah kaki
kami terus bergetar sambil bergerak ke bawah. Turun, turun - sampai
panggungnya lenyap, dan kami dikelilingi kegelapan pekat.
Tadinya kusangka pelataran itu bakal berhenti persis di bawah panggung,
seperti waktu Ms Walker tadi.
Tapi di luar dugaanku, kami terus bergerak ke bawah. Semakin lama semakin
kencang lagi. "Hei - ada apa ini?" seru Zeke sambil berpegangan pada lenganku.
"Seberapa jauh kita bakal turun?" tanyaku.
"Ohh" Zeke dan aku sama-sama memekik ketika pelataran itu mendadak
berhenti. Akhirnya kami sampai di dasar lubang.
Kami sama-sama terlempar ke lantai.
Aku segera bangkit lagi "Kau tidak apa-apa?"
"Sepertinya sih begitu." Suara Zeke bernada ngeri.
Sepertinya kami berada di suatu terowongan yang panjang dan gelap.
Gelap gulita. Dan hening.
Sebenarnya aku enggan mengakuinya. Tapi aku sendiri juga sudah mulai takut.
Sekonyong-konyong keheningan di sekeliling kami dipecahkan oleh bunyi
menciut-ciut yang terdengar pelan.
Aku mulai dicekam panik. Suara apa itu" Bunyi itu terdengar lagi.
Mirip suara tarikan napas.
Jantungku berdegup-degup. Ya. Suara tarikan napas. Tarikan napas sesosok
makhluk aneh. Begitu dekat.
Persis di sampingku. Zeke! "Zeke - kenapa bunyi napasmu seperti itu?" tanyaku. Detak jantungku langsung
normal kembali. "Bunyi bagaimana?" dia menyahut.
"Ah, sudahlah," aku bergumam. Napasnya berbunyi begitu karena dia
ketakutan. Kami sama-sama ketakutan Tapi kami sama-sama terlalu gengsi.
untuk mengakuinya. Kami menengadah dan menatap langit-langit auditorium. Langit-langit itu
tampak seperti kotak kecil yang terang di kejauhan. Seakan-akan berada bermilmil di atas kami. Zeke berpahng padaku. "Kita ada di mana sih?"
"Kira-kira satu mil di bawah panggung," sahutku sambil merinding.
"Kalau itu sih, aku juga sudah tahu,' balas Zeke dengan nada mengejek.
"Kalau kau memang lebih tahu, kau saja yang beritahu aku" aku menantangnya.
"Rasanya ini bukan ruang bawah tanah, dia berkata dengan serius "Rasanya kita
jauh di bawah ruang bawah tanah.
"Kelihatannya seperti terowongan," ujarku, sambil berusaha agar suaraku tidak
bergetar. "Mau menyelidiki?"
Zeke tidak langsung menjawab. "Terlalu gelap untuk diselidiki," dia akhirnya
berkata. Sebenarnya aku pun tidak berminat menyelidiki tempat itu. Aku cuma berlagak
berani saja. Biasanya aku senang kalau aku merinding karena ngeri. Tapi
suasana di tempat ini terlalu seram, bahkan untukku sekali pun.
"Nanti kita balik lagi membawa senter," kata Zeke pelan-pelan.
"Yeah. Senter," aku mengulangi Terus-terang, aku tidak akan pernah berminat
kembali lagi - dengan atau tanpa senter.
Dengan gugup aku memutar-mutar karet rambut di pergelangan tanganku dan
menatap ke dalam kegelapan. Ada sesuatu yang mengusikku. Sesuatu rang
terasa janggal. "Zeke," kataku, "kenapa pintu kolong panggung itu turun sampai ke sini?"
"Entahlah. Mungkin supaya si Hantu bisa lebih cepat pulang setelah
gentayangan di auditorium," dia berkelakar.
Aku langsung menonjok lengannya "Jangan bercanda soal si Hantu - oke?"
Kalau memang ada hantu di sekolah kita, aku berkata dalam hati, maka di sinilah
tempat tinggalnya. "Ayo, kita pulang saja," ujar Zeke sambil menatap kotak terang yang begitu
jauh di atas kepala kami. "Ak? bakal telat untuk makan malam."
"Yeah," aku bergumam sambil menyilangkan tangan di dada "Cuma ada satu
hal yang mau kutanyakan, Tuan-Serba-Tahu"
"Apa itu?" tanya Zeke.
"Bagaimana caranya kita naik ke sana?"
Pertanyaan itu berkecamuk dalam benak kami selama beberapa saat.
Setelah sekitar satu menit, Zeke berlutut dan mulai meraba-raba lantai pelataran
"Pasti ada tuas yang bisa ditekan di sini," katanya.
"Tuasnya ada di atas sana," sahutku sambil menunjuk ke panggung.
"Kalau begitu pasti ada tombol atau sakelar atau apa saja yang bisa ditekan"
seru Zeke. Suaranya mulai melengking tinggi.
"Tapi di mana" Di mana?" Suaraku tak kalah melengking.
Kami mulai meraba-raba dalam gelap, mencari-cari sesuatu yang bisa diitekan
atau ditarik atau diputar. Sesuatu yang akan membuat pelataran kecii itu naik
kembali dan mengangkat kami ke auditorium.
Tapi setelah mencari selama beberapa menit, aku menyerah.
"Kita terjebak di sini, Zeke," aku bergumam "Kita terjebak."
7 "INI semua gara-gara kau," gumamku.
Aku tidak tahu kenapa aku berkata begitu. Barangkali karena aku begitu takut
sehingga tidak tahu lagi apa yang kukatakan.
Zeke memaksakan tawa "Hei, aku suka tempat ini!" dia berkoar. "Mungkin aku bakal
agak lama di sini. Tempat ini perlu diselidiki." Dia berusaha tampil
berani. Tapi suaranya kecil dan bergetar.
Dia tidak bisa menipuku. "Bisa-bisanya kaubawa kita ke sini!" aku berseru.
"Kau sendiri yang mau ikut!" sahutnya.
"Enak saja" aku menyangkal dengan sengit "Ms. Walker kan sudah bilang ini tidak
aman! Dan sekarang kita harus mendekam di sini sepanjang malam!
Mungkin malah untuk selama-lamanya"
"Kecuali kalau kita keburu dimakan tikus!" Zeke berkelakar.
"Aku sudah muak dengan leluconmu yang konyol!" hardikku. Aku benar-benar lepas
kendali. Tanpa berpikir panjang aku mendorongnya dengan kedua tangan.
Dia terjerembap di pelataran.
Keadaannya begitu. gelap sehingga aku sempat tidak bisa melihatnya.
"Aduh!" aku memekik ketika dia membalas dengan cara yang sama.
Lalu aku mendorongnya lebih keras lagi.
Dan dia mendorongku lebih keras dari itu.
Aku terhuyung-huyung ke belakang -dan punggungku menabrak semacam
sakelar. Aku tersentak kaget ketika mendengar bunyi berdentang yang keras.
"Brooke - ayo, naik! Cepat!" Zeke menjerit.
Aku melompat ke pelataran, dan seketika pelatarannya mulai bergerak ke atas.
Naik. Naik. Perlahan tapi pasti.
Kotak terang di atas kepala kami bertambah besar dan terang ketika kami naik
kembali ke auditorium. "Hei!" seruku waktu pelataran itu berhenti mendadak.
"Wah, hebat juga kau, Brooke," Zeke berseru dengan gembira. Punggungku
ditepuknya keras-keras. "Jangan senang dulu," ujarku. Kami belum sampai di panggung. Pelataran itu
berhenti sekitar satu setengah meter di bawah lantai. Persis seperti waktu Ms.
Walker tadi turun. Kelihatannya satu-satunya cara untuk naik sampai ke panggung adalah dengan
menginjak tuas di lantai.
"Ayo, bantu aku naik," Zeke mendesak.
Aku segera menyatukan tangan, dan dia menginjak tanganku dengan sepatu
ketsnya. "Eh, tunggu dulu!" dia berseru sambil turun lagi. "Wah, gawat! Bagaimana
kalau si Hantu sudah menunggu di atas" Mungkin lebih baik kalau kau yang naik
dulu." "Ha-ha. Lucu sekali," aku berkomentar.
"Oke. Oke. Biar aku saja," dia bergumam. Dia kembali menginjak tanganku,
lalu meraih tepi lubang. Aku mendorongnya dari bawah.
Aku memperhatikannya memanjat ke panggung. Kemudian dia menghilang dari
pandangan. Aku menunggu uluran tangan Zeke.
Satu menit berlalu. "Zeke?" Suaraku terdengar lemah dan kecil.
Aku kembali menunggu, dan pasang telinga.
Tapi aku tidak mendengar apa-apa. Di mana dia"
"Zeke" Di mana kau" aku memanggilnya "Ayo dong! Naikkan pelataran. Atau
tarik aku ke atas Aku tidak bisa naik tanpa dibantu."
Satu menit lagi berlalu. Rasanya seperti satu jam.
Dan tiba-tiba aku menyadari rencana Zeke.
Dasar brengsek! Dia mau menakut-nakutiku!
"Hei! Sudah dong!" aku berseru.
Aku sudah capek meladeni keisengan Zeke Matthew.
"Zeke!" teriakku "Cepat dong! Bantu aku naik."
Akhirnya dia mengulurkan tangan ke bawah.
"Lama betul sih?" ujarku dengan gusar.
Langsung saja kuraih kedua tangan itu. Kubiarkan Zeke menarikku ke
panggung. Aku menyibakkan rambut. Perlahan-lahan mataku mulai terbiasa dengan cahaya
yang lebih terang. "Zeke, kau benar-benar keterlaluan!" aku membentak.
"Kenapa kaubiarkan aku menunggu di bawah si -"
Aku terdiam dan menelan ludah. Ternyata bukan Zeke yang menarikku ke atas.
Sepasang mata gelap yang menyeramkan menatapku sambil mendelik.
8 AKU kembali menelan ludah. Di hadapanku berdiri laki-laki kecil yang
memelototiku sambil merengut. Dia memakai celana baggy berwarna kelabu dan
sweter longgar berwarna sama yang kerahnya sudah robek.
Rambut putihnya yang tebal tampak acak-acakan dan menutupi keningnya. Di
sisi wajahnya ada bekas luka memanjang, kira-kira sepanjang bekas luka di
topeng monster kepunyaan Zeke.
Orang itu sudah tua, tapi kecil sekali. Tingginya paling-paling berbeda satu
atau dua inci dengan Zeke.
Tampangnya seperti hantu! Pikiran mengerikan itu melintas begitu saja di dalam
benakku. "Si - siapa Anda'" aku tergagap-gagap.
"Aku Emile. Penjaga malam merangkap tukang bersih-bersih," laki-laki itu
menyahut dengan suara parau.
"Mana teman saya, Zeke?" aku bertanya dengan nada melengking ketakutan.
"Brooke, aku di sini," Zeke memanggil dari belakangku.
Aku langsung menoleh Zeke berdiri di seberang pintu kolong. Kedua tangannya
dimasukkan ke kantong celana, dan dia sedang menggigit bibir.
"Zeke" seruku "Ada apa ini" Kenapa -"
"Sekolah sudah bubar!" si penjaga malam menggeram marah. Suaranya kasar,
seperti amplas. "Kenapa kalian masih di sini?"
Zeke dan aku saling berpandangan Zeke maju selangkah. "Kami.,. ehm kami
masih di sini karena ada latihan sandiwara sekolah," dia berkata kepada lakilaki itu. "Ya, betul," aku menimpali "Ada latihan sandiwara."
Si penjaga malam tetap menatapku dengan curiga. "Latihan sandiwara" dia
mengulangi. "Kalau begitu mana anak-anak yang lain?"
Aku diam sejenak. Laki-laki itu membuat lututku gemetaran."Sebenarnya kami
sudah pulang tadi," aku berdalih, "tapi kami terpaksa balik lagi karena jaket
saya ketinggalan." Zeke mengangguk-angguk di belakang Emile. "Dari mana kalian tahu soal pintu
kolong ini?" si penjaga malam bertanya dengan suara amplasnya.
Aku mengerutkan kening. Aneh, aku berkata dalam hati, rasanya aku belum
pernah melihat dia di sekolah.
"Dari Ms. Walker, guru kami. Dia yang menunjukkannya tadi," ujar Zeke
pelan-pelan. Kelihatan sekali bahwa dia sama ngerinya seperti aku.
Laki-laki itu membungkuk ke arahku Dia memicingkan mata, dan sebelah sisi
wajahnya tampak berkerut-kerut. "Kalian tidak tahu pintu kolong ini
berbahaya?" dia berbisik.
Dia merapatkan wajahnya ke wajahku. Begitu dekat sehingga aku bisa
merasakan napasnya yang panas. Matanya yang kelabu pucat menatapku
dengan tajam "Kalian tidak tahu pintu kolong ini berbahaya?"
*** Malam itu Zeke dan aku bicara lewat telepon. "Orang itu bukan
memperingatkan kita," aku berkata kepada Zeke "Dia mau menakut-nakuti kita."
"Hah, aku sama sekali tidak ngeri," Zeke berkoar. "Tapi kalau kau sih, aku tidak
tahu, Brookie" Huh, dasar! aku menggerutu dalam hati. Kadang-kadang Zeke terlalu sok aksi.
"Kalau kau tidak ngeri, kenapa kau gemetaran sepanjang jalan waktu kita
pulang" aku mendesaknya.
"Aku tidak gemetaran. Aku cuma berolahraga," Zeke berkelakar. "Sekadar
melatih otot-otOt betis."
"Ah, jangan banyak alasan," ujarku dengan jengkel "Eh, kenapa kita belum
pernah ketemu penjaga malam itu?"
"Soalnya dia bukan penjaga malam. Dia.... si Hantu!" Zeke berseru dengan suara
dibesar-besarkan. Aku tidak menanggapi kelakarnya. "Aku serius nih," kataku. "Dia tidak bercanda.
Dia memang mau menakut-nakuti kita."
"Moga-moga kau tidak mimpi buruk nanti, Brookie," Zeke menyahut sambil
ketawa. Langsung saja aku membanting gagang telepon.
*** Selasa pagi aku berangkat sekolah bersama Jeremy, adikku. Sambil jalan, aku
bercerita tentang sandiwara sekolah.
Aku menceritakan semuanya. Tapi soal pintu kolong sengaja tidak kusinggungsinggung. Ms. Walker sudah berpesan pintu kolong itu sebaiknya dirahasiakan
sampai saat pementasan. "Sandiwaranya memang mengerikan, ya?" Jeremy bertanya padaku. Jeremy
baru tujuh tahun, dan dia mudah sekali takut. Suatu ketika aku pernah
Goosebumps - 24 Hantu Auditorium di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengajaknya menonton film Poltergeist bersamaku, dan selama tiga minggu
berikutnya dia terbangun setiap malam sambil menjerit-jerit.
"Yeah, lumayan seram," ujarku "Tapi bukan seperti Friday the 13th."
Jeremy kelihatan lega. Dia paling tidak suka hal-hal yang menakutkan. Setiap
Halloween, dia bersembunyi di kamarnya! Aku takkan pernah mengajaknya
menonton Friday the 13th. Bisa-bisa dia mimpi buruk sampai umur lima puluh.
"Sandiwara ini ada kejutannya," aku menambahkan. "Dan kejutannya benarbenar seru." "Apa sih?" tanya Jeremy.
Aku mengacak-acak rambutnya. Warnanya cokelat, persis seperti
rambutku."Kalau aku cerita, sekarang, berarti bukan kejutan lagi dong."
"Ah, kau persis Mama" Jeremy menggerutu.
Keterlaluan! Aku mengantar adikku sampai ke gerbang sekolahnya, lalu menyeberang jalan,
ke sekolahku. Sambil menyusuri lorong, aku membayangkan peranku dalam
sandiwara. Begitu banyak kalimat yang harus diucapkan Esmerelda. Aku tidak
yakin apakah aku bisa menghafalkan semuanya.
Dan aku juga cemas soal demam panggungku. Tahun lalu, waktu aku ikut main
dalam Guys and Dolls, aku begitu gugup sampai aku berkeringat dingin.
Padahal waktu itu aku sama sekali tidak perlu buka mulut!
Aku masuk ke kelas, menyapa beberapa teman, menuju ke mejaku - dan
berhenti mendadak. "Hei!" Seorang anak laki-laki yang belum pernah kuithat duduk di kursiku.
Tampangnya boleh juga. Rambutnya cokelat tua, dan matanya berwarna hijau
cerah. Dia memakai kemeja flanel bermotif kotak-kotak merah-hitam dan
celana hitam. Buku-buku pelajaran dan buku-buku catatannya sudah menyebar
di hadapannya. Dia duduk bersandar sambil menaikkan sepatu ketsnya ke atas
meja. "Ini tempatku," kataku sambil bertolak pinggang.
Dia menatapku dengan matanya yang hijau. "Kata siapa?" dia menyahut dengan
tenang "ini tempatku."
9 "APA" ujarku sambil membelalakkan mata.
Dia tersipu-sipu. "Ms. Walker yang menyuruhku duduk di sini," katanya sambil
memandang berkeliling dengan gugup.
Aku melihat tempat kosong di meja di belakang mejaku "Maksudnya di situ,
barangkali," kataku sambil menunjuk "Aku sudah dari awal tahun duduk di sini.
Di sebelah Zeke." Aku menoleh ke tempat duduk Zeke. Dia belum datang. Seperti biasa, dia telat.
Anak yang duduk di mejaku semakin merah mukanya. "Sori," dia bergumam
dengan kikuk "Aku masih baru di sini." Dia mulai mengumpulkan semua
bukunya. "Ini hari pertama kau di sini, ya?" aku bertanya, lalu memperkenalkan diri.
"Aku Brian Colson," dia berkata sambil berdiri. "Keluargaku baru pindah ke Woods
Mill. Dari Indiana."
Aku bilang aku belum pernah ke Indiana. Jawaban yang agak norak, memang,
tapi benar. "Kau Brooke Rodgers?" dia bertanya sambil menatapku "Kudengar kau dapat
peran utama. Dalam sandiwara. sekolah, maksudku."
"Kok kau tahu sih?" tanyaku.
"Beberapa anak di bus sekolah membicarakannya tadi. Kau pasti pemain
sandiwara yang hebat, ya?" lanjutnya malu-malu.
"Mungkin. Aku sendiri kurang yakin. Aku sering demam panggung," aku
memberitahunya. Aku tidak tahu kenapa aku bilang begitu. Kadang-kadang mulutku memang
tidak bisa distop. Barangkali karena itu aku dijuluki Brooke si Bawel oleh
orangtuaku. Brian tersenyum tipis dan menghela napas. "Di sekolahku yang lama di Indiana,
aku selalu ikut sandiwara sekolah," dia bercerita. "Tapi aku belum pernah
kebagian peran utama. Coba kalau kami lebih cepat pindah kemari. Kalau
begitu aku masih sempat ikut tes untuk dapat peran dalam The Phantom."
Aku berusaha membayangkan Brian di atas panggung, tapi tidak berhasil.
Sepertinya dia bukan tipe pemain sandiwara. Dia kelihatan pemalu sekali. Dan
mukanya selalu memerah. Tapi aku memutuskan memberi kesempatan padanya. "Brian, bagaimana kalau
kau ikut aku latihan nanti sore?" aku mengusulkan. "Siapa tahu masih ada peran
figuran untukmu." Brian tersenyum seakan-akan aku menawarkan sejuta dolar "Kau serius"
tanyanya dengan mata terbelalak.
"Tentu," sahutku. "Ikut saja deh."
Zeke menyelinap masuk dan cepat-cepat menuju ke tempat duduknya. Matanya
tertuju ke meja Ms. Walker. "Aku telat, ya?" dia berbisik.
Aku menggelengkan kepala. Sebenarnya aku mau memperkenalkannya pada
Brian, tapi Ms. Walker keburu masuk dan menutup pintu kelas. Sudah
waktunya memulai pelajaran.
Brian bergegas ke tempat duduknya. Aku pun duduk, tapi sekonyong-konyong
aku sadar bahwa buku catatan IPA-ku ketingalan di locker.
"Permisi sebentar!" aku berseru kepada Ms. Walker. Aku melesat ke luar dan
membelok ke lockerku. "Hei!" Di luar dugaanku, pintu locker- nya setengah terbuka.
Aneh, aku berkata dalam hati. Aku ingat benar bahwa aku telah menguncinya.
Aku membuka pintunya, hendak meraih buku catatanku.
Lalu aku tersentak kaget.
Di dalam locker-ku ada orang - dan dia sedang melotot ke arahku!
10 WAJAHNYA buruk sekali, berwarna biru dan hijau, dan dia menatapku sambil
menyeringai. Aku sempat menutup mulut dengan sebelah tangan supaya tidak menjerit. Tapi
kemudian aku malah tertawa.
Zeke dan topeng creature- nya yang konyol.
"Huh, kali ini kau berhasil, Zeke" aku bergumam.
Lalu aku melihat kertas terlipat yang menggantung di bawah topeng. Apa itu"
Sebuah pesan untukku"
Aku mengambil dan membukanya, lalu membaca pesan yang tertulis dengan
krayon merah. JANGAN GANGGU RUMAHKU "Ha-ha," aku kembali bergumam "Bagus, Zeke. Lucu sekali."
Aku mengambil buku catatanku, membanting pintu locker, dan menguncinya.
Kemudian aku bergegas kembali ke kelas.
Ms. Walker berdiri di belakang mejanya. Dia baru saja memperkenalkan Brian
kepada anak-anak yang lain, dan sekarang dia sedang membacakan beberapa
pengumuman. Aku menyelinap ke kursiku di samping Zeke "Sori, ya, tipuanmu
tidak berhasil," aku berbohong.
Dia mengalihkan pandangan dari buku catatan matematikanya. Zeke selalu
menyelesaikan PR matematikanya di ruang kelas. "Hah?" Dia menatapku
seakan-akan tidak bersalah.
"Topengmu," aku berbisik."Kaupikir aku bakal takut?"
"Topeng" Topeng mana?" dia menyahut sambil mengetukkan setip ke lenganku.
Aku menepisnya, "Jangan berlagak bodoh," kataku dengan ketus "Pesanmu
juga tidak lucu. Masa sih, kau tidak punya ide yang lebih bagus dari itu?"
"Aku tidak pernah menulis pesan untukmu, Brooke," balas Zeke dengan
jengkel. "Apa sih maksudmu?"
"Huh, dasar," aku menggerutu. "Jadi kamu tidak tahu apa-apa tentang topeng
dan pesan yang ada di locker- ku , begitu?"
"Sudah deh PR matematikaku belum kelar nih," dia berkata sambil kembali
memperhatikan buku pelajarannya. "Kau masih mimpi, ya?"
"Oh. Berarti, ini pasti perbuatan Hantu yang asli," ujarku.
Zeke diam saja. Dia sibuk menuliskan persamaan-persamaan di buku
catatannya. Dasar jail! pikirku. Ini memang ulah Zeke. Dia saja yang tidak mau
mengakuinya. *** Seusai sekolah, aku mengajak Brian ke auditorium.
Dia terus menolak, sampai-sampai aku harus menyeretnya ke panggung. Dia
pemalu sekali! "Ms. Walker, apakah masih ada peran yang belum terisi?" tanyaku "Brian ingin
sekali ikut main dalam sandiwara kita."
Ms. Walker menoleh dan naskah di tangannya. Naskah itu sudah penuh coretan.
Dia mengamati Brian. "Maaf, Brian," katanya sambil menggelengkan kepala. "Kau terlambat beberapa
hari." Brian kembali tersipu-sipu. Baru kali ini aku bertemu orang yang begitu sering
tersipu-sipu. "Semua peran dengan dialog sudah terisi," Ms. Walker memberitahu.
"Barangkali Ms. Walker perlu pemain pengganti?" tanya Brian. "Saya pintar
menghafal. Saya bisa menghafalkan lebih dari satu peran."
Wow, pikirku. Rupanya dia memang ingin sekali ikut bermain dalam sandiwara kami.
"Hmm, pemain pengganti juga sudah banyak," ujar Ms. Walker. "Tapi saya
punya ide. Kalau kau mau, kau bisa bergabung dengan tim dekor"
"Asyik!" seru Brian penuh semangat.
"Cobb kautemui Tina di sebelah sana," kata Ms. Walker sambil menunjuk
sekelompok anak yang edang berkumpul di dinding belakang panggung.
Tina sedang sibuk memberi pengarahan sambil menggerak-gerakkan tangan dan
berjalan mondar-mandir, diikuti anak buahnya.
Brian kelihatan senang sekali. Aku memperhatikannya menghampiri Tina.
Lalu aku mencari tempat di deretan kursi penonton dan mulai membaca
naskahku. Ternyata aku muncul dalam hampir semua adegan. Bagaimana
mungkin aku menghafalkan semua kalimat yang mesti kuucapkan" Aku
menarik napas panjang. Aku merosot di kursiku dan menaikkan kaki ke
sandaran kursi di depanku.
Aku sedang menghafalkan kalimat ketiga, yang berbunyi, "Apa buktinya bahwa orang
ini berbahaya", ketika lampu-lampu mati.
Semuanya gelap gulita! Aku tidak bisa melihat apa-apa.
Beberapa anak berseru, "Hei! Siapa yang mematikan lampu?"
"Aku tidak bisa melihat!"
"Ada apa ini" Nyalakan lampu dong!"
Kemudian terdengar teriakan melengking, membuatku langsung duduk tegak.
Teriakan mengerikan - bagaikan lolongan binatang - membelah kegelapan dan
menjangkau setiap sudut auditorium.
"Jangan! jangaaan!" aku mendengar Corey Sklar merintih-rintih.
Lalu ada orang lain yang berseru, "Arahnya dari atas! Dari catwalk."
Sekali lagi suara melengking tadi menggema, "Nyalakan lampu dong!" aku
mendengar Corey memohon-mohon. "Tolong nyalakan lampu dong!"
Anak-anak lain pun mulai takut. "Siapa itu yang menjerit?"
"Tolong - tolong!"
"Ada orang di catwalk!"
Lampu auditorium kembali menyala.
Lolongan berikut dari atas panggung memaksaku mengalihkan pandangan.
Dan kemudian aku melihatnya. Makhluk bertopeng hijau-biru yang memakai
jubah panjang berwarna hitam mengilap.
Dia merosot ke panggung sambil berpegangan pada seutas tali, lalu dia
mendongakkan kepala dan melepaskan tawa yang membuatku merinding.
Aku langsung berdiri dan membelalakkan mata.
Si Hantu. 11 GEDUBRAK! Si Hantu melompat ke panggung.
Dia melepaskan tali, yang kemudian langsung terayun-ayun.
Wajahnya yang hijau-biru menoleh ke kiri-kanan. Tina dan anak buahnya
berdiri seperti patung. Ms. Walker pun terkesima. Dia melongo sambil
memeluk kedua tangannya sendiri.
Jubah si Hantu melambai-lambai ketika dia mengentakkan sebelah kaki di lantai
panggung. Dia pendek, aku menyadari sambil berdiri dan menatapnya dari barisan kedua.
Tingginya kira-kira setinggi Zeke. Mungkin satu atau dua inci lebih tinggi.
Tapi mungkin juga tingginya persis seperti Zeke karena dia memang Zeke!
"Zeke! Hei - Zeke!" aku berseru.
Wajah bertopeng itu menoleh ke arahku. Si Hantu mulai turun. Mula-mula
sepatunya menghilang dari pandangan. Lalu kakinya yang terbungkus celana
hitam. Turun. Turun. Rupanya dia telah menginjak tuas pintu kolong.
"Zeke!" aku memanggil. Aku berlari menyusuri gang dan memanjat ke
panggung. "Zeke - ini tidak tucu!" aku berseru.
Tapi si Hantu telah lenyap.
Aku menghampiri lubang di panggung dan memandang ke bawah. Ms. Walker
muncul di sampingku. Wajahnya cemberut karena marah. "Itu Zeke, ya?" dia
bertanya padaku. "Kau yakin itu Zeke?"
"Saya -saya tidak pasti," aku tergagap-gagap. "Tapi rasanya ya."
"Zeke!" Ms. Walker memanggil ke lubang itu. "Zeke - kau di bawah sana?"
Tak ada jawaban. Pelataran itu telah turun sampai ke dasar lubang. Kami tidak melihat apa-apa
selain kegelapan yang pekat.
Anak-anak mulai berkerumun di sekeliling lubang. Semuanya sibuk bicara,
tertawa, dan saling mengejek.
"Itu Zeke, ya?" aku mendengar Corey bertanya. "Topengnya yang konyol
dipakai lagi, ya?" "Kenapa Zeke mengganggu latihan kita?" Ms. Walker bertanya dengan gusar.
"Apa dia kira kita harus ditakut-takuti setiap sore?"
Aku angkat bahu. Aku tidak bisa menjawab.
"Barangkali bukan Zeke," aku mendengar suara Corey. Sepertinya dia
ketakutan setengah mati. "Pasti dia. Zeke - di mana kau?" Ms. Walker berseru keras-keras. Pelan-pelan
dia membalik. Pandangannya menyapu panggung, lalu seluruh auditorium.
"Zeke Matthews" Kau bisa mendengar saya?"
Tetap tak ada jawaban. "Dia temanmu, Brooke," Tina berkata dengan nada menyalahkan "Masa kau
tidak tahu di mana dia" Masa kau tidak bisa melarang dia untuk tidak
mengganggu latihan kita?"
Dia langsung kusemprot. Aku begitu kesal, sehingga aku tidak tahu apa yang
kukatakan padanya. Habis bagaimana dong" Zeke memang temanku. Tapi aku tidak bertanggung
jawab atas segala tindaktanduknya!
Tina cuma mau menjelek-jelekkanku dan mencari muka di depan Ms. Walker.
"Ok, tim dekor," ujar Ms. Walker. "Kalian kembali bekerja. Biar saya saja yang
menangani ini. Yang lainnya -"
Ia terdiam. Kami semua mendengar suara itu. Suara berdentang-dentang.
Kemudian terdengar bunyi mendengung.
"Hei, pintu kolongnya naik lagi!" aku berseru sambil menunjuk.
"Bagus," ujar Ms. Walker. Dia menyilangkan lengan di depan dada dan
memicingkan mata sambil menatap lubang di lantai panggung. "Sekarang saya
akan memberitahu Zeke bagaimana pendapat saya tentang leluconnya.
Leluconnya yang terakhir."
Oh-oh, aku berkata dalam hati.
Ms. Walker sebenarnya guru yang baik, dan juga orang yang menyenangkan tapi kalau dia sudah marah, kalau dia sudah menyilangkan tangan dan
memicingkan mata - maka kita berada dalam kesulitan besar.
Sebab kalau sudah begitu, dia benar-benar tidak kenal ampun.
Aku tahu Zeke cuma bercanda. Dia senang jadi pusat perhatian. Dan dia senang
menakut-nakuti orang, terutama aku.
Dia cuma bermain-main. Dia sekadar ingin membuktikan bahwa semua orang
penakut, dan dia tidak. Dia selalu berbuat begitu.
Tapi kali ini dia kena batunya. Kali ini dia sudah keterlaluan.
Dan Ms. Walker sedang menunggunya sambil menyilangkan tangan dan
memicingkan mata. Apakah Zeke akan dicoret sebagam pemeran utama" aku bertanya-tanya.
Ataukah dia sekadar dimarahi habis-habisan supaya kapok"
Dengungan tadi bertambah keras. Seluruh panggung terasa bergetar.
Kami mendengar pelatarannya berhenti - satu setengah meter di bawah
panggung, seperti biasa. Kasihan Zeke, pikirku. Dia belum tahu apa yang menantinya di sini.
Goosebumps - 24 Hantu Auditorium di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Zeke yang malang. Aku menatap ke dalam lubang dan memekik tertahan.
12 PELATARANNYA kosong. Tak ada yang berdiri di situ.
Zeke - atau siapa pun orang tadi - telah menaikkannya tanpa ikut naik. Dan dia
menghilang di terowongan yang gelap, jauh di bawah sekolah.
Zeke tidak mungkin berbuat begitu, kataku dalam hati. Zeke memang konyol,
tapi dia tidak mungkin turun seorang diri ke tempat gelap itu. Tanpa membawa
senter. Tanpa tahu apa yang ada di sana.
Tapi.. Mungkin saja! Pertanyaanku kujawab sendiri. Kalau dia merasa bisa membuat
kami benar-benar ngeri, maka dia mau berbuat apa saja.
Ms. Walker membatalkan latihan kami. Tim dekor disuruh meneruskan
pekejaan mereka, sementara yang lain dipersilakan pulang untuk mempelajari
peran masing-masing di rumah.
"Saya akan bicara panjang-lebar pada Zeke kalau saya menemukannya,"
gumam Ms. Walker. Kemudian dia berbalik, meninggalkan auditorium.
Aku tidak terburu-buru waktu pulang. Sepanjang jalan aku memikirkan Zeke
Aku begitu sibuk berpikir, sampai tidak sadar bahwa rumahku sudah terlewat!
Di ujung blok aku melihat Pontiac merah milik ibu Zeke berhenti di depan
garasi mereka. Sambil melindungi mata dari cahaya matahari sore, aku melihat
Mrs. Matthews turun dari mobil. Dan kemudian aku melihat Zeke turun dari sisi
sebelahnya. "Hei! Zeke!" aku memanggil sambil berlari melintasi halaman rumput. "Zeke!"
Ibunya melambaikan tangan ke arahku, lalu masuk ke rumah mereka. Zeke
kelihatan heran "Latihannya sudah selesai?" tanyanya
"Ya. Gara-gara kamu," aku bergumam.
"Hah?" Lagi-lagi dia pasang tampang tak berdosa. "Gara-gara aku?"
"Kau sama sekali tidak bisa membuatku takut tadi, Zeke," kataku padanya.
"Dan tak ada yang menganggap leluconmu itu lucu. Sekarang, kau jadi punya
masalah dengan Ms. Walker."
Dia memicingkan mata dan mengerutkan wajah, seakan-akan tidak tahu apaapa. "Apa maksudmu, Brooke" Bagaimana aku bisa punya masalah dengan Ms.
Walker" Aku kan tidak ada di sana!"
"Jangan pura-pura," ujarku.
Dia menggelengkan kepala. Bintik-bintik di mukanya seolah-olah bertambah
gelap. Rambutnya yang pirang bergerak-gerak tertiup angin. "Aku kan tidak ada
di sana," dia mengulangi. "Ms. Walker sudah kuberitahu tadi pagi bahwa aku
tidak bisa datang. Dia sudah tahu aku tidak bisa ikut latihan hari ini."
"Kau tidak ikut latihan, supaya kau bisa pakai topeng dan jubah, dan melayang
dari catwalk" aku bertanya dengan curiga.
"Bukan. Dia sudah kuberitahu bahwa aku harus ke dokter gigi."
Aku melongo. "Kenapa sih kau, Brooke" tanya Zeke. "Gigiku cuma diperiksa kok."
"Kau - kau benar-benar tidak pergi ke sekolah?" aku tergagap-gagap.
Dia menggelengkan kepala. "Tidak."
"Kalau begitu, siapa hantu tadi?" kataku dengan bingung. Suaraku terdengar
kecil dan lemah. Zeke tersenyum simpul. "Kau!" aku berseru dengan gusar. "Kau tampil sebagai si Hantu, dan setelah itu
kau baru ke dokter gigi' Ya, kan, Zeke" Ya, kan?"
Zeke cuma ketawa. Dia tidak mau menjawab.
*** Seusai sekolah keesokan sorenya, aku berjalan bersama Brian ke auditorium.
Dia keren juga dengan rompinya yang hitam, T-shirt putih, dan jeans belel.
"Bagaimana dengan Tina?" tanyaku. "Kalian bisa kerja sama?"
"Lumayan," sahut Brian. "Kadang-kadang dia agak sok ngatur. Tapi aku diberi
kebebasan untuk merancang latar belakang sesuka hatiku."
Aku melambaikan tangan kepada beberapa. temanku yang hendak pulang. Kami
membelok. Aku, melihat Corey dan Tina memasuki auditorium.
"Zeke sudah membereskan urusannya dengan Ms. Walker?" tanya Brian, "Aku
melihat mereka bicara tadi pagi."
"Kelihatannya sih begitu," kataku. "Zeke tetap memegang peran utama - untuk
sementara" "Kau yakin bahwa Zeke yang muncul kemarin?" Brian bertanya.
Aku mengangguk. "Ya. Dia suka rnenakut-nakuti orang. Dari kecil dia sudah
begitu. Kurasa dia mau menakut-nakuti kita. Dia mau meyakinkan kita bahwa
memang ada hantu di sini." Aku menatap Brian sambil tersenyum. "Tapi aku
tidak gampang takut" ujarku dengan mantap
*** Tidak lama setelah latihan dimulai, Ms. Walker memanggil Zeke dan aku ke
panggung. Katanya dia ingin kami memerankan salah satu adegan. Dia ingin
menunjukkan di mana kami harus berdiri saat berbicara. Istilah yang dipakainya
adalah "blocking."
Dia juga minta Tina Powell dan Robert Hernandez, pemain pengganti Zeke,
naik ke panggung. Menurut Ms. Walker mereka pun perlu tahu mengenai
blocking itu. Sekadar untuk berjaga-jaga.
"Berjaga-jaga?" pikirku. Kemudian aku teringat ucapan Tina: "Kalau kau sakit
atau tiba-tiba berhalangan, aku yang akan memainkan peranmu."
Hmm, Tina, sori kalau aku terpaksa mengecewakanmu, gumamku dalam hati,
tapi aku tidak punya rencana untuk sakit atau berhalangan. Jadi nikmatilah
tugasmu mencat dekor, sebab itu satu-satunya kesempatanmu naik panggung.
Aku tahu, aku tahu. Aku tidak boleh sirik. Tapi Tina memang perlu diberi
pelajaran. Ms. Walker memberitahu Zeke di mana dia harus berdiri. Aku berdiri di tepi
panggung bersama Tina, dan menunggu aba-aba untuk masuk ke panggung,
"Kelihatannya Ms. Walker dan Zeke sudah meluruskan masalah mereka," ujar
Tina. "Zeke bilang dia. berada di dokter gigi, jadi pasti bukan dia yang
meluncur dan atas." Aku baru mau menyuruh Tina diam supaya aku bisa mendengar aba-abaku, tapi
terlambat. Ms. Walker sudah memanggil namaku.
"Brooke Rodgers!" Sepertinya dia kesal. "Ada apa ini" Seharusnya kau sudah
masuk ke panggung." "Ini gara-gara Tina," aku bergumam. Aku berlari ke panggung. Ketika menoleh
ke belakang, aku melihat Tina tertawa sendiri.
Aduh! Keterlaluan! Rupanya Tina sengaja mengajakku mengobrol supaya aku
tidak mendengar aba-abaku!
Dengan bingung aku mencari tempat seharusnya aku berdiri. Aku bahkan tidak
tahu pada halaman berapa di naskah kami berada.
Apa kalimatku yang berikut"
Aku tidak ingat. Dengan panik aku memandang ke arah anak-anak di tempat penonton.
Semuanya menatapku dan menungguku angkat bicara.
Aku buka mulut, tapi tak ada suara yang keluar.
"Kalimatnya, 'Apa ada orang di bawah sini"!" Tina berseru keras-keras.
Brengsek! aku menggerutu dalam hati. Tina mau berbuat apa saja untuk
membuatku kelihatan tidak mampu! Dia berharap Ms. Walker akan mencoretku
dari daftar pemain. Aku marah sekali. Kepalaku serasa berputar-putar. Aku tidak bisa berpikir
dengan jernih. Aku mengucapkan kalimat itu, lalu menarik napas panjang untuk
menenangkan diri. Kalimat berikut diucapkan oleh Zeke. Dia seharusnya muncul di panggung dan
menakut-nakuti Esmerelda.
Tapi Zeke tidak kelihatan!
Aku memandang ke tempat penonton. Ms. Walker berdiri di kaki tangga. Dia
sedang bertolak pinggang sambil mengetukkan sebelah kaki ke lantai yang
keras. Suasana jadi hening. Tak ada suara selain ketukan kakinya. Tuk, tuk, tuk, tuk,
tuk. Sepertinya Ms., Walker benar-benar jengkel.
"Zeke ke mana?" tanya Ms. Walker dengan lesu. "Apa lagi yang
direncanakannya sekarang" Apakah dia mau terbang dari catwalk dengan
kostum lengkap?" Seharusnya aku sudah tahu apa rencana Zeke. Tapi aku baru menyadarinya
ketika mendengar bunyi yang sudah akrab di telingaku. Bunyi bendentang.
Diikuti bunyi berdengung.
Pelataran pintu kolong! Pelatarannya naik!
Aku mendesah. "Ini dia,"kataku kepada Ms. Walker.
Sedetik kemudian kepala Zeke yang tertutup topeng biru-hijau muncul di
hadapanku. Aku mundur selangkah dan memperhatikannya menyembul dari bawah lantai.
Kesannya benar-benar hebat. Benar-benar dramatis.
Perlahan-lahan dia muncul di lantai panggung.
Sejenak dia memandang ke arah penonton, seakan-akan berpose untuk difoto.
Dia mengenakan kostum lengkap topengnya, jubah hitam yang membentang
sampai ke mata kakinya, serta celana dan baju berwarna sama.
Dasar tukang pamer! pikirku Dia memang paling senang kalau semua orang
menatapnya dengan kagum! Dan kemudian dia menghampiriku dengan langkah-langkah panjang. Matanya
menyorot mataku dari balik topengnya.
Aku berusaha mengingat-ingat kalimat selanjutnya.
Tapi sebelum aku sempat membuka mulut, dia menggenggam kedua pundakku
dan mengguncang-guncangku dengan keras. Terlalu keras.
Hei, jangan terlalu bersemangat, Zeke, aku berkata dalam hati. Ini kan baru
latihan. "Enyahlah!" dia berseru tertahan.
Aku ingat yang harus kukatakan. Aku hendak membuka mulut.
Tapi kemudian aku terenyak.
Aku melihat seseorang melambai-lambaikan tangan di sisi panggung.
Dia tampak kalang-kabut. Orang itu Zeke! 13 AKU langsung sadar bahwa ada yang tidak beres.
Kalau Zeke berdiri di sebelah sana, maka siapa yang mengguncang-guncangku
sambil menyeringai di balik topeng itu"
"Tolong! Tolong!" aku menjerit sambil berusaha membebaskan diri.
"Bukan begitu," seru Ms. Walker "Seharusnya kau bilang, " Tolong. Tolong aku,
Ayah ." Dia belum mengerti. Masa dia tidak sadar bahwa aku sedang diserang oleh hantu yang asli"
Tiba-tiba si Hantu merapatkan wajahnya yang bertopeng, dan berbisik ke
telingaku, "Enyahlah! Jangan ganggu rumahku!"
Aku menatap matanya. Sepertinya aku sudah pernah melihat mata itu.
Siapa dia" Aku yakin aku sudah pernah melihatnya.
Tapi sebelum aku sempat mengmgatnya, dia mendadak berbalik, melompat dari
panggung, dan berlari menyusuri gang di antara kursi-kursi penonton. Jubahnya
yang panjang melambai-lambai.
Aku masih terbengong-bengong ketika dia menghambur ke luar lewat pintu.
Beberapa anak tertawa. Aku mendengar Tina berbisik kepada seseorang,
"Memangnya itu ada di dalam naskah?"
Zeke bergegas menghampiriku "Brookie, kau tidak apa-apa?"
"Aku entahlah," sahutku dengan bingung.
"Wow. Ini benar-benar ajaib!" Zeke berseru.
Ms. Walker melintasi panggung sambil membawa naskah. Sepertinya dia sama
bingungnya denganku. "Apakah ada yang bisa menjelaskan kejadian tadi?"
tanyanya. *** "Di sekolah ini ada hantu sungguhan," ujar Zeke pelan-pelan. Dia menatapku
sambil mengerutkan kening dan memicingkan mata.
Kami duduk di baris paling depan di auditorium. Brian sedang membersihkan
noda cat hitam di punggung tangannya. Aku duduk di antara mereka dan sedang
mengamati Zeke. Lampu-lampu sudah diredupkan. Latihan telah berakhir beberapa menit
sebelumnya. Dari lorong masih terdengar suara-suara Ms. Walker baru saja
meninggalkan auditorium "Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya Zeke.
"Aku masih belum yakin bahwa kau tidak ada sangkut-paut dengan semua ini,"
kataku terus terang. Dia menggelengkan kepala "Yeah. Pasti aku biang keladinya,"gumamnya
dengan jengkel "Bagaimana aku bisa berada di dua tempat sekaligus, Brooke"
Coba jawab. Itu bukan sesuatu yang mudah, biarpun untuk orang sehebat dan
secerdik aku." Aku ketawa "Tapi bukannya tidak mungkin," kataku.
"Uh, catnya tidak mau hilang," Brian mengeluh. "Lihat nih. Bajuku juga kena."
"Barangkali bisa hilang kalau dicuci dengan air?" ujar Zeke.
"Mana kutahu?" balas Brian. "Label di kalengnya tidak kubaca. Memangnya
kau selalu baca label di kaleng?"
"Zeke cuma baca label di kotak sereal," aku berkelakar.
"Jangan bercanda terus dong!" Zeke menggerutu. "Sekolah ini ada hantunya.
Dan entah kenapa, dia mau mengacaukan sandiwara kita."
Aku masih mengamati wajah Zeke untuk memastikan apakah dia bohong atau
tidak "Tadi pagi aku melihat kau bicara dengan Andy Seltzer," aku
memberitahunya. "Bisa saja kau merencanakan. Semuanya berdua dengan dia.
Andy kau beri kostum itu, ya, kan" Kau bilang apa yang harus dikerjakannya.
Ini semua ulahmu dan Andy. Ya, kan?"
Zeke sampai melongo. "Hah" Untuk apa aku berbuat begitu?"
"Untuk menakut-nakuti aku," jawabku "Untuk menakut-nakuti kami semua.
Supaya kami percaya memang ada hantu sungguhan. Dan habis itu, kau tinggal
ketawa dan bilang " Ketipu". Dan kami akan merasa seperti orang tolol."
Zeke mengembangkan senyum "Bagus juga ide itu," dia bergumam.
"Sayangnya tidak terpikir olehku. Aku serius, Brooke Aku tahu kamu tak bakal
percaya, tapi aku tidak merencanakan apa-apa bersama Andy. Dan aku tidak -"
Tina melompat dari panggung. Rupanya dia masih mengerjakan dekor di balik
tirai. "Sudah tenang lagi, Brooke?" dia bertanya dengan dingin.
Aku berpaling ke arahnya. "Tenang lagi" Aku tidak apa-apa. Apa maksudmu?"
"Kau kelihatan lemas sekali di panggung tadi. Kupikir kau sakit," katanya
dengan nada mengejek. "Jangan-jangan kau akan terserang flu. Katanya sih,
sekarang memang lagi musim flu."
"Aku tidak apa-apa," aku menegaskan.
"Apakah cat ini bisa hilang kalau dicuci dengan air?" Brian bertanya kepada
Tina. Tina angkat bahu "Entahlah. Coba pakai terpenting saja." Tina menatap Brian
sambil tersenyum. "Rancanganmu untuk latar belakang bagus juga" Kemudian
dia kembali menatapku dan senyumnya langsung lenyap. "Paling tidak ada
yang mengerjakan tugasnya dengan baik."
Sebelum aku sempat menyahut, dia sudah berbalik dan bergegas meninggalkan
auditorium. "Tina berdoa supaya aku kena flu," aku berkata kepada Zeke. "Keterlaluan, ya?"
Zeke diam saja. Dia masih sibuk memikirkan hantu itu. Mungkin dia bahkan
tidak mendengarku. "Jangan-jangan Tina yang mengatur semuanya ini,' aku menduga-duga "Supaya
aku ngeri, dan dia bisa jadi Esmerelda."
"Itu tidak masuk akal," balas Zek
"Yeah. Kau benar," kataku.
Brian tetap sibuk menghapus cat. hitam yang menempel di tangannya.
"Ayo, kita pulang saja deh," aku mengajak mereka. "Sudah sore nih. Nanti saja
kita bicara lagi tentang hantu itu" Aku mulai berdiri.
Zeke menatapku sambil mendelik. "Kau tetap tidak percaya, ya?" tuduhnya
"Kau tetap menganggap ini cuma siasat untuk menakut-nakutimu."
"Mungkin. Mungkin juga tidak," sahutku sambil melewatinya. Terus-terang,
aku tidak tahu apakah dia bisa dipercaya atau tidak.
Brian bangkit dan mengikutiku ke pintu. Aku berpaling kepada Zeke yang
masih duduk di kursinya "Mau ikut pulang atau mau menginap di sini?"
Zeke berdiri tanpa berkata apa-apa. "Yeah, aku ikut pulang."
Kami sedang menyusuri lorong ke arah locker ketika Zeke tiba-tiba berhenti
"Oh. Aku lupa."
"Lupa apa" tanyaku. Sudah hampir waktu makan malam, dan aku ingin segera
pulang. Ibuku selalu uring-urlngan kalau aku terlambat. Dia selalu kuatir aku
ketabrak bus dan sebagainya. Entah kenapa dia berpikiran begitu. Aku belum
pernah kenal seseorang yang ketabrak bus!
Goosebumps - 24 Hantu Auditorium di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Buku matematikaku," ujar Zeke. "Aku harus ke kantor kepala sekolah dulu.
Waktu itu bukuku ketinggalan di auditorium. Barangkali ada yang
menyerahkannya." "Aku duluan, ya," ujar Brian sambil terus menyusuri lorong.
"Eh, di mana sih rumahmu?" aku berseru padanya.
Dia menunjuk. Ke selatan, kalau aku tidak salah. "Sampai besok" Dia segera
berbalik dan mulai berlari kecil.
Aku mengikuti Zeke ke kantor Mr. Levy. Semua lampu masih menyala, tapi
kantornya sudah kosong. Yang ada cuma sekretarisnya, Dot. Dia baru saja
mematikan komputer dan sedang bersiap-siap pulang.
"Apakah ada yang menyerahkan buku matematika saya ke sini?" Zeke bertanya sambil
bersandar ke komputer. "Buku matematika?" Dot menatap Zeke sambil mengerutkan kening.
"Waktu itu ketinggalan di auditorium," Zeke menjelaskan "Saya pikir Emile
pasti menyerahkannya ke sini."
Dot tampak bingung "Siapa" Siapa Emile itu."
"Yang itu lho," balas Zeke. "Orang tua berambut putih. Orangnya kecil. Si tukang
bersih-bersih yang bertugas malam."
Dot menggelengkan kepala. "Barangkali kau keliru, Zeke," ujarnya "Tidak ada
pegawai bernama Emile di sekolah ini. Dan kita tidak punya petugas kebersihan
yang bekerja malam."
14 MALAM itu Tina Powell meneleponku di rumah. "Aku cuma mau tanya
bagaimana keadaanmu," katanya. "Kau kelihatan pucat sekali tadi, Brooke."
"Aku tidak terserang flu!" seruku. Aku benar-benar naik pitam.
"Kemarin kau sering bersin," Tina menyahut sambil berlagak prihatin.
"Aku memang sering bersin," kataku. "Sampai ketemu, Tina."
"Siapa hantu satu lagi yang muncul dl panggung tadi sore?" dia bertanya
Dewi Maut 5 Wiro Sableng 081 Dendam Manusia Paku Pengemis Tua Aneh 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama