Ceritasilat Novel Online

Piano Hantu 2

Goosebumps - Piano Hantu Bagian 2


akan bersalju." "Sangat menyenangkan dan hangat di sini," jawab Dr. Shreek, kembali
tersenyum. "Bagaimana lesnya?" tanya Ibu.
"Sangat bagus," kata Dr Shreek padanya, mengerling padaku. "Kurasa Jerry
menunjukkan banyak harapan. Aku ingin dia untuk mulai les di sekolahku."
"Itu bagus sekali!" seru Ibu. "Apakah Anda benar-benar berpikir ia punya bakat?"
"Dia punya tangan yang sangat baik," jawab Dr Shreek.
Sesuatu tentang caranya mengatakan hal itu membuatku ngeri.
"Apakah Anda mengajarkan musik rock di sekolah Anda?" tanyaku.
Dia menepuk bahuku. "Kami mengajarkan semua jenis musik. Sekolahku
sangat besar, dan kami punya banyak pengajar yang bagus. Kami punya siswa
dari segala macam usia. Apa kau rasa kau bisa datang sepulang sekolah pada
hari Jumat?" "Itu akan baik sekali," kata Ibu.
Dr Shreek melintasi ruangan dan menyerahkan satu kartu pada ibuku. "Ini
alamat sekolahku, aku khawatir itu ada di ujung lain kota."
"Tidak masalah," kata Ibu, mempelajari kartu itu. "Aku selesai kerja lebih awal
pada hari Jumat. Aku bisa mengantarnya."
"Itu akhir les kita untuk hari ini, Jerry," kata Dr Shreek. "Latihlah not-not
baru. Dan sampai jumpa hari Jumat."
Dia mengikuti ibuku ke ruang tamu. Aku mendengar mereka mengobrol dengan
tenang, tapi aku tak bisa mengetahui apa yang mereka katakan.
Aku berdiri dan berjalan ke jendela. Sekarang mulai bersalju, serpihan salju
yang sangat besar turun benar-benar keras. Salju sudah mulai menempel.
Menatap ke halaman belakang, aku bertanya-tanya apakah ada bukit-bukit yang
baik untuk kereta luncur di New Gosyen. Dan aku bertanya-tanya apakah kereta
luncurku telah dibongkar.
Aku berteriak ketika piano itu tiba-tiba mulai bermain.
Keras, bergemerincing bising. Seperti seseorang yang sangat marah
menghantam tuts-tuts dengan kepalan tangan yang berat.
Hantam. Hantam. Hantam. "Jerry - hentikan!" teriak Ibu dari ruang tamu.
"Aku tak melakukannya!" teriakku.
13 Kantor Dr Frye itu tidaklah seperti kantor psikiater yang kubayangkan. Kantor
itu kecil dan cerah. Dindingnya berwarna kuning, dan ada gambar-gambar
berwarna-warni burung beo, burung tukan dan burung lainnya menggantung di
sekitar. (tukan: burung hutan tropis cerdik berwarna pemakan buah-buahan dari
Amerika yang memiliki paruh sangat besar)
Dia tak punya sofa kulit hitam seperti yang selalu dimiliki para psikiater di TV
dan di film. Sebaliknya, ia punya dua kursi hijau yang tampak lembut. Dia
bahkan tak punya meja. Hanya dua kursi.
Aku duduk di satu kursi, dan dia duduk di kursi yang lain.
Dia jauh lebih muda daripada yang kupikirkan. Dia terlihat lebih muda dari
ayahku. Dia punya rambut merah bergelombang, diatur rapi dengan sejenis gel
atau sesuatu, pikirku. Wajahnya penuh dengan bintik-bintik.
Dia benar-benar tak tampak seperti seorang psikiater sama sekali.
"Ceritakan tentang rumah barumu," katanya. Dia menyilangkan kakinya. Ia
meletakkan catatan panjangnya di kakinya saat dia mengamatiku.
"Itu adalah rumah besar tua," kataku. "Itu saja."
Dia memintaku untuk menggambarkan kamarku, jadi aku melakukannya.
Lalu kami berbicara tentang rumah asal kami dan kamar lamaku. Lalu kami
berbicara tentang teman-temanku di rumah sana. Lalu kami berbicara tentang
sekolah baruku. Aku merasa gugup ketika kami mulai. Tapi dia tampak baik-baik saja. Dia
mendengarkan dengan seksama semua yang kukatakan. Dan dia tak memberiku
pandangan lucu, seperti aku telah gila atau apa.
Bahkan saat aku bercerita tentang hantu.
Dia menuliskan dengan cepat beberapa catatan ketika aku bercerita tentang
piano yang bermain di malam akhir-akhir ini. Dia berhenti menulis ketika aku
mengatakan kepadanya bagaimana aku melihat hantu, bagaimana rambutnya
rontok, lalu wajahnya, dan bagaimana ia berteriak padaku untuk menjauh.
"Orang tuaku tidak percaya padaku," kataku, meremas lengan lembut kursi.
Tanganku berkeringat. "Ini cerita yang cukup aneh," jawab Dr Frye. "Jika kau jadi ibu atau ayah, dan
anakmu menceritakan kisah itu, apakah kau akan percaya?"
"Tentu," kataku. "Jika itu benar."
Dia mengunyah penghapus pensil dan menatapku.
"Apakah Anda pikir aku gila?" tanyaku.
Ia menurunkan catatannya. Dia tak tersenyum mendengar pertanyaan itu.
"Tidak, aku tidak berpikir kau gila, Jerry Tetapi pikiran manusia dapat benarbenar aneh terkadang.."
Lalu ia berkuliah panjang lebar tentang bagaimana kadang-kadang kita takut
akan sesuatu, tetapi kita tak mengaku pada diri sendiri bahwa kita takut. Jadi
pikiran kita melakukan semua macam hal untuk menunjukkan bahwa kita takut,
meskipun kita terus berkata bahwa kita tak takut.
Dengan kata lain, dia juga tak percaya padaku.
"Pindah ke rumah baru menciptakan segala macam stres ini," katanya. "Hal ini
memungkinkan kita untuk mulai membayangkan bahwa kita melihat makhluk-makhluk,
bahwa kita benar-benar mendengar makhluk itu, agar kita tak perlu
mengakui pada diri kita betapa kita benar-benar takut"
"Aku tidak membayangkan musik piano itu," kataku. "Aku bisa
menyenandungkan melodi itu untuk Anda. Dan aku tidak membayangkan
hantu. Aku dapat memberitahu Anda dia tampak seperti apa."
"Mari kita bicara tentang hal itu minggu depan," katanya, berdiri. "Waktu kita
sudah habis. Tapi sampai waktu berikutnya, aku hanya ingin meyakinkanmu
bahwa pikiranmu sangatlah normal. Kau tidak gila, Jerry. Kau harus tidak
memikirkan itu sebentar."
Dia menjabat tanganku. "Kau akan lihat," katanya, membukakan pintu untukku.
"Kau akan kagum pada apa yang kita tahu dibalik hantumu."
Aku menggumamkan terima kasih dan berjalan keluar dari kantornya.
Aku berjalan melewati ruang tunggu kosong itu dan melangkah ke lorong.
Dan kemudian aku merasa cengkeraman es hantu itu mengetat di leherku.
14 Arus dingin menakutkan itu melalui seluruh tubuhku.
Dengan jerit ketakutan, aku tersentak menjauh dan berbalik menghadapinya.
"Bu!" teriakku, suaraku nyaring dan kecil.
"Maaf tanganku begitu dingin," jawabnya dengan tenang, tak menyadari betapa dia
membuatku sangat ketakutan. "Di luar dingin. Apa kau tak mendengar aku
memanggilmu"." "Tidak," kataku. Leherku masih terasa gatal. Aku mencoba untuk menggosok-gosok
menghilangkan rasa dingin. "Aku eh memikirkan sesuatu, dan -......"
"Yah, aku tak bermaksud untuk menakut-nakutimu," katanya, memimpin jalan
melewati tempat parkir kecil untuk mobil. Dia berhenti untuk menarik kunci
mobil dari tasnya. "Apa kau dan Dr. Frye bicara dengan baik?"
"Sedikit," kataku.
Hantu itu membuatku melompat kaget, aku menyadarinya saat aku naik ke
mobil. Sekarang aku melihat hantu di mana-mana.
Aku harus tenang, aku berkata pada diriku sendiri. Aku harus benar-benar.
Aku harus berhenti berpikir bahwa hantu itu mengikutiku.
Tapi bagaimana" *** Jumat sepulang sekolah, Ibu mengantarku ke sekolah musik Dr Shreek itu. Ini
adalah hari abu-abu yang dingin. Aku menatap napasku mengepul naik jendela
penumpang saat kami melaju. Hari itu salju turun sehari sebelumnya, dan jalanjalan masih dingin dan licin.
"Kuharap kita tidak terlambat," Ibu cemas. Kami berhenti karena suatu cahaya.
Dia membersihkan kaca di depannya dengan punggung sarung tangannya. "Aku
takut untuk mengendarai lebih cepat daripada ini."
Semua mobil merayap bersamaan. Kami melewati sekelompok anak-anak yang
membangun benteng salju di halaman depan. Salah satu anak kecil berwajah
merah menangis karena yang lain tak memperbolehkannya bergabung dengan
mereka. "Sekolah ini hampir di kota berikutnya," kata Ibu, memompa rem saat kami
meluncur menuju ke arah perempatan. "Aku heran mengapa sekolah Dr. Shreek
begitu jauh dari segalanya."
"Aku tak tahu," jawabku datar. Aku agak gugup. "Apa kau pikir Dr Shreek akan
jadi pengajarku" Atau apakah kau pikir aku akan dilatih orang lain?"
Ibu mengangkat bahu. Ia membungkuk ke depan di roda kemudi, berjuang
untuk melihat melalui kaca berembun.
Akhirnya, kami berbelok ke jalan tempat sekolah itu berada. Aku menatap blok
gelap rumah-rumah tua. Rumah-rumah itu memberikan jalan pada hutan,
pohon-pohon meranggas miring di bawah selimut salju putih.
Di sisi lain dari hutan berdiri sebuah bangunan batu bata, setengah tersembunyi
di balik pagar tinggi. "Ini pasti sekolah itu," kata Mom, menghentikan mobil di tengah jalan dan
menatap gedung tua itu. "Tak ada tanda-tanda atau apa pun. Tapi itu hanya satusatunya bangunan di blok."
"Tampaknya menyeramkan," kataku.
Memicingkan mata melalui kaca depan, ia menarik mobil ke jalanan sempit
berkerikil, hampir tersembunyi oleh kungkungan tinggi salju yang menutupi.
"Apa Ibu yakin ini adalah sekolah itu?" tanyaku. Aku membersihkan tempat di
jendela dengan tangan dan mengintip melaluinya. Bangunan tua itu tampak
lebih mirip penjara daripada sebuah sekolah. Rumah itu punya deretan jendela
kecil di atas lantai dasar, dan semua jendelanya dipalang. Tanaman menjalar
tebal menutupi bagian depan gedung, sehingga tampak lebih gelap dari
seharusnya. "Aku cukup yakin," kata Ibu, menggigit bibir. Dia menurunkan jendela dan
menjulurkan kepalanya keluar, menatap rumah besar tua itu.
Suara musik piano melayang ke dalam mobil. Not-not, skala-skala dan melodimelodi diramu bersama-sama.
"Ya. Kita sudah menemukannya!" kata Ibu dengan gembira. "Ayo, Jerry. Cepat.
Kau terlambat. Aku akan pergi mencari sesuatu untuk makan malam. Aku akan
kembali dalam satu jam."
Aku membuka pintu mobil dan melangkah keluar ke jalan bersalju. Sepatuku
berderak keras saat aku mulai berlari ke arah gedung itu.
Musik piano itu semakin keras. Skala dan lagu campur aduk bersama-sama
dalam suatu gemuruh kebisingan yang memekakkan telinga.
Sebuah jalan sempit menuju ke beranda depan. Jalanan itu belum disekop, dan
lapisan es terbentuk di bawah salju. Aku terpeleset dan hampir jatuh saat aku
mendekati pintu masuk. Aku berhenti dan menatap. Ini lebih mirip rumah hantu dari sekolah musik,
pikirku dengan menggigil.
Mengapa aku seperti punya perasaan sangat takut"
Cuma gugup, kataku pada diriku sendiri.
Menjauhkan perasaanku, aku memutar kenop pintu kuningan dingin dan
membuka pintu yang berat itu. Pintu itu berderit terbuka perlahan. Mengambil
napas dalam-dalam, aku melangkah masuk ke sekolah.
15 Suatu ruangan panjang dan sempit membentang di hadapanku. Lorong itu
gelapnya mengejutkan. Datang dari salju putih yang terang, mataku butuh
waktu lama untuk menyesuaikan diri.
Dindingnya berubin gelap. Sepatuku berdebam ribut di lantai yang keras. Notnot piano bergema melalui lorong. Musik itu tampaknya meledak keluar dari
segala arah. Dimana kantor Dr Shreek" Aku bertanya-tanya.
Aku berjalan menyusuri lorong. Lampu meredup. Aku berputar ke lorong
panjang lain, dan musik piano itu semakin keras.
Ada pintu cokelat gelap di kedua sisi lorong ini. Pintu-pintu itu punya jendelajendela bundar kecil di dalamnya. Saat aku terus berjalan, aku melirik ke
jendela. Aku bisa melihat pengajar-pengajar yang tersenyum di setiap ruang, kepala
mereka bergoyang-goyang seirama musik piano.
Mencari kantor, aku melewati pintu demi pintu. Setiap ruang memiliki siswa
dan pengajar. Suara piano menjadi gemuruh, seperti samudra musik yang
menabrak dinding ubin gelap.
Dr. Shreek benar-benar memiliki banyak siswa, pikirku. Pasti ada seratus piano
bermain sekaligus! Aku berbelok lagi dan lagi.
Tiba-tiba aku sadar bahwa aku telah benar-benar kehilangan indera arahku .
Aku tak tahu di mana aku berada. Aku tak bisa menemukan jalan kembali ke
pintu depan jika kuinginkan!
"Dr Shreek, di mana kau?" Aku bergumam sendiri. Suaraku tenggelam oleh ledakan
musik piano yang menggema di dinding dan langit-langit rendah.
Aku mulai merasa agak takut.
Bagaimana jika lorong-lorong gelap ini berputar selamanya" Aku
membayangkan diriku berjalan dan berjalan selama sisa hidupku, tak mampu
menemukan jalan keluar, ditulikan oleh hentakan musik piano.
"Jerry, berhentilah menakut-nakuti dirimu," kataku keras-keras.
Sesuatu tertangkap mataku. Aku berhenti berjalan dan menatap langit-langit.
Sebuah kamera hitam kecil bertengger di atas kepalaku.
Tampaknya kamera video, seperti kamera keamanan yang kau lihat di bank dan
toko-toko. Apakah ada orang menontonku di layar TV di suatu tempat"
Jika ada, mengapa mereka tak datang membantuku menemukan jalan ke Dr.
Shreek" Aku mulai marah. Sekolah macam apa ini" Tak ada tanda-tanda. Tak ada
kantor. Tak ada seorang pun yang menyambut.
Saat aku berbelok di sudut lain, aku mendengar suara ketukan aneh. Mulanya
kupikir itu hanya piano lain di salah satu ruang latihan.
Ketukan itu makin keras, mendekat. Aku berhenti di tengah-tengah lorong dan
mendengarkan. Suatu dengkingan bernada tinggi naik di atas suara ketukanketukan itu. Lebih keras. Lebih keras.
Lantainya tampak bergetar.
Dan saat aku menatap ke lorong gelap, satu monster besar berbelok di sudut itu.
Monster itu luar biasa besar, tubuh persegi itu bersinar dalam cahaya redup
seolah-olah ia terbuat dari logam. Kepala persegi panjangnya yang muncul itu
dekat langit-langit. Kakinya menabrak lantai yang keras saat ia bergerak untuk menyerangku. Matamata di sisi kepalanya berkilat-berkilat merah menyala.
"Tidak!" jeritku, menelan ludah.
Monster itu mengeluarkan jawaban dengkingan bernada tinggi. Lalu ia
menurunkan kepalanya yang berkilau seolah-olah mempersiapkan diri untuk
bertempur. Aku berbalik, memutuskan untuk melarikan diri.
Aku terkejut, saat aku berbalik, aku melihat Dr. Shreek.
Dia berdiri hanya beberapa meter di lorong. Dr Shreek sedang menonton
makhluk besar itu bergerak kepadaku, wajahnya tersenyum senang.
16 Aku berhenti sebentar dengan terkesiap keras.
Di belakangku, makhluk itu menerjang lebih dekat, menggemborkan
dengkingan marah. Di depanku, Dr Shreek, mata birunya bersinar senang, menghalangiku
melarikan diri. Aku menjerit, bersiap-siap untuk ditangkap dari belakang oleh monster
keperakan itu. Tapi monster itu berhenti.
Sunyi. Tak ada tabrakan dari kaki logamnya yang berat. Tak ada dengkingan yang
melengking. "Halo, Jerry," kata Dr Shreek dengan tenang, masih menyeringai. "Apa yang kau
lakukan di sepanjang jalan belakang sini?"
Bernapas keras, aku menunjuk ke monster itu, yang berdiri diam, menatap ke
arahku. "Aku - aku -"
"Kau mengagumi penyapu lantai kami?" tanya Dr Shreek.


Goosebumps - Piano Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa Anda?" Aku berhasil berbicara.
"Penyapu lantai kami. Benda ini agak spesial," kata Dr. Shreek. Dia melangkah
melewatiku dan meletakkan tangan di bagian depan benda itu.
"Itu - itu mesin?" Aku tergagap.
Dia tertawa. "Kau tak berpikir itu hidup, kan?"
Aku benar-benar melongo pada benda itu. Aku masih terlalu ketakutan untuk
berbicara. "Mr Toggle, petugas kebersihan kami, membuat ini untuk kami," kata Dr.
Shreek, menggosokkan tangannya sepanjang bagian depan besi persegi itu. "Ini
bekerja seperti mimpi. Mr Toggle bisa membuat apa pun. Dia jenius, seorang
jenius sejati." "Me-mengapa alat ini punya wajah?" tanyaku, mundur menempel ke dinding.
"Mengapa alat ini punya mata yang menyala?"
"Cuma selera humor Mr Toggle," jawab Dr. Shreek, tergelak. "Dia juga yang
memasang kamera-kamera itu." Dia menunjuk ke kamera video yang bertengger
di langit-langit. "Mr Toggle adalah mekanik jenius.Kami tak bisa melakukan
apa-apa tanpa dia. Kami benar-benar tidak bisa."
Aku mengambil beberapa langkah maju dengan enggan dan mengagumi
penyapu lantai itu dari lebih dekat.
"Aku - aku tidak bisa menemukan kantor Anda," kataku pada Dr Shreek. "Aku
berkeliling dan berkeliling -"
"Aku minta maaf," jawabnya cepat. "Ayo kita mulai lesmu. Ayo."
Aku mengikutinya saat dia memimpin jalan kembali ke arah aku datang. Dia
berjalan dengan kaku namun cepat. Kemeja putihnya tidak dimasukkan di depan
perutnya yang besar. Dia mengayunkan tangannya kaku saat dia berjalan.
Aku merasa benar-benar bodoh. Bayangkan, membiarkan diriku ketakutan oleh
penyapu lantai! Dia membuka salah satu pintu coklat dengan jendela bundar, dan aku
mengikutinya ke ruangan itu. Aku melirik ke sekitarnya dengan cepat. Ini
adalah sebuah ruangan persegi kecil yang diterangi oleh dua baris lampu pijar di
langit-langit. Tak ada jendela.
Perabotnya hanya piano coklat kecil tegak, bangku piano yang sempit, dan meja
musik kecil. Dr Shreek memberi isyarat agar aku duduk di bangku piano, dan kami mulai
pelajaran kami. Dia berdiri di belakangku, menempatkan jari-jariku dengan hatihati di tuts-tuts, meskipun aku sekarang tahu bagaimana melakukannya sendiri.
Kami berlatih not-not yang berbeda. Aku menekan C dan D. Kemudian kami
mencoba E dan F. Dia menunjukkan padaku akord (paduan nada) pertamaku.
Lalu dia membuatku melakukan skala berulang-ulang.
"Bagus!" umumnya menjelang akhir jam. "Kerja bagus, Jerry. Aku lebih senang."
Pipi Santa Claus-nya jadi merah muda cerah di bawah kumis putihnya.
Aku meremas kedua tanganku, berusaha untuk menyingkirkan kram.
"Apakah Anda akan menjadi guru saya?" tanyaku.
Dia mengangguk. "Ya, aku akan mengajarkanmu dasar-dasarnya," jawabnya.
"Lalu ketika tanganmu sudah siap, kau akan diserahkan kepada salah satu
pengajar kami yang bagus."
"Ketika tanganku sudah siap?"
Apa sebenarnya yang dia maksud dengan itu"
"Mari kita coba potongan pendek ini," katanya, meraihku dari atas untuk membalik
halaman dalam buku musik itu. "Sekarang, bagian ini hanya memiliki tiga not.
Tapi kau harus memperhatikan not seperempat dan not setengah. Apa
kau ingat berapa lama untuk melanjutkan not setengah?"
Aku menunjukkannya di piano. Lalu aku mencoba memainkan melodi pendek
itu. Aku lakukan dengan cukup baik. Hanya beberapa debaman.
"Bagus! Bagus!" Dr Shreek menyatakan, menatap tanganku saat aku bermain.
Dia melirik arlojinya. "Aku khawatir waktu kita habis. Sampai jumpa hari
Jumat berikutnya, Jerry. Pastikan untuk mempraktekkan apa yang aku
tunjukkan kepadamu."
Aku mengucapkan terima kasih dan berdiri. Aku senang les itu berakhir.
Berkonsentrasi begitu keras benar-benar melelahkan. Kedua tanganku
berkeringat, dan aku satu tanganku masih kram.
Aku menuju ke pintu, lalu berhenti.
"Saya pergi lewat mana?" tanyaku. "Bagaimana saya sampai ke depan?"
Dr Shreek sibuk mengumpulkan lembaran-lembaran kerja yang telah kami
digunakan, menyelipkannya ke dalam buku musik. "Terus saja ke kiri," katanya
tanpa mendongak. "Kau tak akan melewatinya."
Aku berpamitan dan melangkah keluar ke lorong gelap. Telingaku langsung
diserang oleh dentuman not-not piano.
Apa les-les lainnya belum selesai" Aku bertanya-tanya.
Bagaimana mereka terus bermain meskipun waktunya sudah habis"
Aku melirik di kedua arah, memastikan tak ada penyapu-penyapu lantai
menunggu untuk menyerang. Lalu aku berbelok ke kiri, seperti yang Dr Shreek
perintahkan, dan mulai mengikuti lorong ke arah depan.
Saat aku melewati pintu demi pintu, aku bisa melihat pengajar-pengajar yang
tersenyum dalam setiap ruang, kepala mereka bergerak seirama dengan
permainan piano. Sebagian besar siswa dalam kamar yang lebih maju dariku, aku menyadari.
Mereka tak berlatih not-not dan skala-skala. Mereka bermain potongan panjang
yang rumit. Aku berbelok ke kiri, lalu ketika koridor berakhir, berbelok ke kiri sekali
lagi. Aku butuh beberapa saat untuk menyadari bahwa aku tersesat lagi.
Apakah aku kelewatan berbelok ke kiri di suatu tempat"
Lorong-lorong gelap dengan deretan pintu cokelat di kedua sisi semuanya
tampak sama. Aku berbelok ke kiri lagi. Jantungku mulai berdebar. Mengapa tak ada orang
lain di lorong" Lalu di depan aku melihat pintu ganda. Pintu keluar depan harusnya melalui
pintu-pintu itu, aku memutuskan.
Aku berjalan penuh semangat menuju pintu ganda dan mulai mendorong
melaluinya - ketika tangan yang kuat menyambar dari belakang, dan suara serak
kasar di telingaku, "Tidak, kau tidak boleh!"
17 "Hah?" jeritku kaget.
Tangan-tangan itu menarikku mundur, lalu melepaskan bahuku.
Pintu ganda itu berayun kembali ke tempatnya.
Aku berbalik melihat seorang pria tinggi kurus dengan rambut panjang hitam
kurus dan pangkal jenggot hitam. Dia mengenakan kemeja kuning di bawah
pakaian kerja denim. "Bukan ke arah situ," katanya lembut. "Kau sedang mencari halaman depan" Itu di
sana." Dia menunjuk ke lorong ke kiri.
"Oh. Maaf," kataku, terengah-engah. "Anda... membuatku takut."
Pria itu meminta maaf. "Aku akan mengantarkanmu ke depan," dia
menawarkan, menggaruk pangkal pipinya. "Izinkan aku untuk
memperkenalkan diri. Aku Mr Toggle."
"Oh. Hai," kataku. "Saya Jerry Hawkins. Dr Shreek bercerita padaku tentang Anda.
Saya melihat penyapu lantai Anda."
Dia tersenyum. Matanya yang hitam menyala seperti batu bara gelap. "Cantik
bukan" Aku memiliki beberapa ciptaan lain seperti itu, beberapa bahkan lebih
baik." "Dr Shreek mengatakan Anda mekanik jenius," kataku tak terkendali.
Mr Toggle tertawa sendiri. "Ya, aku memprogramnya untuk mengatakan itu!"
candanya. Kami berdua tertawa. "Lain kali (saat) kau datang ke sekolah, aku akan menunjukkan beberapa
penemuanku yang lain," Mr Toggle menawarkan, mengatur tali pengikat
pakaian kerja di atas bahu kurusnya.
"Terima kasih," jawabku.
Pintu depan tepat di depan. Aku tak pernah sebegitu senang melihat sebuah
pintu! "Saya yakin saya akan hapal tata letak tempat ini," kataku.
Dia kelihatannya tak mendengarkanku.
"Dr Shreek memberitahuku bahwa kau punya tangan yang sangat baik,"
katanya, senyum aneh terbentuk di bawah pangkal jenggot hitamnya. "Itulah
apa yang kita cari di sini, Jerry. Itulah apa yang kita cari."
Merasa agak canggung, aku berterima kasih padanya. Maksudku, apa yang
seharusnya kau katakan saat seseorang memberitahumu betapa sangat bagusnya
tangan yang kau miliki"
Aku membuka pintu depan yang berat dan melihat Ibu menunggu di mobil.
"Selamat malam!" panggilku, dan penuh semangat berlari keluar dari sekolah, ke
malam bersalju. *** Setelah makan malam, Ayah dan Ibu bersikeras bahwa aku (harus)
menunjukkan kepada mereka apa yang telah kupelajari dalam pelajaran piano.
Aku benar-benar tak ingin. Aku hanya belajar satu lagu sederhana itu, dan aku
masih belum bisa memainkan seluruhnya tanpa salah.
Tapi mereka memaksaku ke ruang keluarga dan mendorongku ke bangku piano.
"Jika aku akan membayar untuk les itu, aku ingin mendengar apa yang
kaupelajari," kata Ayah. Dia duduk dekat dengan Ibu di sofa, menghadap
belakang piano. "Kami hanya mencoba satu lagu," kataku. "Tak bisakah kita menunggu sampai aku
belajar lebih banyak?"
"Mainkan," perintah Ayah.
Aku mendesah. "Tanganku kram."
"Ayolah, Jerry. Jangan membuat alasan," bentak Ibu tak sabar. "Mainkan saja lagu
itu, oke" Lalu kami tak akan mengganggumu lagi malam ini.?"
"Seperti apa sekolahnya?" Tanya Ayah pada Ibu. "Itu di sisi lain kota, bukan?"
"Hampir di luar kota," kata Ibu padanya. "Sekolah itu di dalam rumah yang sangat
tua. Tampak agak rusak, sebenarnya. Tapi Jerry mengatakan padaku
dalamnya bagus." "Tidak, aku tidak," selaku. "Aku bilang rumah itu besar. Aku tak mengatakan itu
bagus. Aku tersesat di lorong-lorongnya dua kali!"
Ayah tertawa. "Aku melihat kau punya indera arah ibumu!"
Ibu mendorong ayah main-main. "Mainkan saja potongan (lagu itu)," katanya
padaku. Aku menemukan lagu itu di buku musik dan menyandarkan buku itu di depanku
di atas piano. Lalu aku mengatur jari-jariku pada tuts-tuts dan siap untuk
bermain. Tapi sebelum aku memencet not pertama, piano itu meledak dengan rentetan
not-not rendah. Kedengarannya seperti jika seseorang memukul tus-tuts itu
dengan kedua tangannya. "Jerry - hentikan," kata Ibu tajam. "Itu terlalu keras."
"Itu bukan apa yang kau pelajari," tambah Ayah.
Aku mengatur jari-jariku di tempat dan mulai bermain.
Tapi not-notku tenggelam oleh suara keras mengerikan itu lagi.
Ini terdengar seperti anak kecil memukul tuts-tuts itu sekeras yang dia bisa.
"Jerry - yang benar saja!" teriak Ibu, memegang telinganya.
"Tapi aku tak melakukannya!" jeritku. "Itu bukan aku!"
18 Mereka tak percaya padaku.
Sebaliknya, mereka marah. Mereka menuduhku tak pernah menganggap sesuatu
serius, dan menyuruhku naik ke kamarku.
Aku benar-benar senang bisa keluar dari ruang keluarga dan jauh dari piano
hantu itu. Aku tahu siapa yang memukul tuts-tuts dan membuat keributan itu.
Hantu itu yang melakukannya.
Mengapa" Dia berusaha membuktikan apa"
Dia berencana melakukan apa padaku"
Pertanyaan-pertanyaan itu tak bisa kujawab. . . belum.
*** Jumat sore berikutnya, Mr Toogle menepati janjinya. Dia menyambutku di
pintu sekolah piano setelah ibuku menurunkan aku. Dia memimpinku melalui
lorong-lorong berliku-liku ke ruang kerja yang besar.
Ruang kerja Mr Toogle seukuran auditorium. Ruangan yang luas itu penuh
dengan mesin-mesin dan peralatan elektronik.
Satu makhluk logam besar berkepala dua, setidaknya tiga kali tinggi penyapu
lantai yang telah membuatku ketakutan minggu sebelumnya, berdiri di tengah.
Ia dikelilingi oleh mesin rekaman, setumpuk motor listrik, peti-peti peralatan
dan komponen-komponen yang aneh, peralatan video, tumpukan roda sepeda,
kerangka-kerangka piano tanpa isinya, kandang-kandang hewan, dan sebuah
mobil tua dengan kursi yang dibuang.
Di salah satu dinding tampak panel kontrol. Disitu ada layar video lebih dari
selusin, semuanya menyala, semuanya menampakkan (apa) yang terjadi di
kelas-kelas yang berbeda di sekolah. Di sekitar layar-layar itu dan ribuan
tombol-tombol, lampu-lampu merah dan hijau yang berkedip, speaker, dan
mikrofon. Di bawah panel kontrol, pada meja sepanjang ruangan, berdiri setidaknya
selusin komputer. Semuanya tampak menyala.
"Wow!" seruku. Mataku terus melirik dari satu benda menakjubkan ke yang lainnya.
"Saya tidak percaya ini!"
Mr Toogle terkekeh. Matanya yang gelap menjadi cerah.
"Aku menemukan cara untuk tetap sibuk," katanya. Dia menuntunku ke sudut yang
bersih dari ruangan besar itu. "Ayo kutunjukkan beberapa alat musikku."
Dia berjalan ke deretan lemari besi tinggi berwarna abu-abu di sepanjang
dinding. Dia menarik beberapa barang dari lemari dan bergegas kembali.
"Apa kau tahu apa ini, Jerry?" Dia mengacungkan sebuah alat kuningan
mengkilap melekat pada semacam tangki.
"Saksofon?" tebakku.
"Saksofon yang sangat spesial," katanya, sambil menyeringai. "Lihat" Melekat
pada tangki udara bertekanan. Itu artinya kau tak harus meniupnya" Kau bisa
berkonsentrasi pada jarimu."
"Wow," kataku. "Itu benar-benar keren."
"Sini. Gunakanlah," desak Mr Toggle. Dia menyelipkan topi kulit cokelat di atas
kepalaku. Topi itu punya beberapa kabel tipis mengalir keluar belakang,
dan itu melekat pada keyboard kecil.
"Apa itu?" tanyaku, mengatur topi itu di atas telingaku.
"Kedipkan matamu," perintah Mr Toggle.
Aku mengedipkan mataku, dan keyboard memainkan suatu nada. Aku gerakkan
mataku dari kanan ke kiri. Keyboard itu memainkan nada lain. Aku
mengedipkan satu mata. Keyboard itu memainkan satu not.
"Itu benar-benar dikontrol mata," kata Mr Toggle dengan bangga. "Tak perlu
tangan." "Wow," ulangku. Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Benda ini luar biasa!
Mr Toogle melirik ke sederetan jam di dinding panel kontrol. "Kau terlambat
untuk kelas, Jerry. Dr Shreek akan menunggu. Katakan padanya ini salahku,
oke?" "Oke," kataku. "Terima kasih untuk menunjukkan kepada saya semuanya."
Dia tertawa. "Aku tak menunjukkan semuanya," candanya. "Ada banyak lagi."
Dia mengusap pangkal janggutnya. "Tapi kau akan melihat semua pada
waktunya." Aku berterima kasih padanya lagi dan bergegas menuju pintu. Hampir jam
empat lima belas menit. Aku berharap Dr Shreek tak akan marah karena aku
terlambat lima belas menit.
Saat aku berlari melintasi ruang kerja yang sangat besar, aku hampir berlari ke
deretan lemari besi gelap, tertutup dan digembok.
Berpaling dari lemari-lemari itu, aku tiba-tiba mendengar satu suara.
"Tolong!" Suatu teriakan lemah.
Aku berhenti di samping lemari dan (berusaha) keras mendengarkan.
Dan mendengarnya lagi. Suatu suara kecil, sangat samar. "Bantu aku,
tolonglah!" 19 "Mr Toggle - apa itu?" teriakku.
Dia mulai mengutak-atik kabel pada topi kulit coklat itu. Dia perlahan-lahan
mendongak. "Apa" Apa?"
"Teriakan itu," kataku, menunjuk ke lemari. "Aku mendengar suara."
Dia mengerutkan dahi. "Itu cuma peralatan yang rusak saja," gumamnya,
kembali memperhatikan kabel-kabel itu.
"Hah" Peralatan rusak?" Aku tak yakin aku telah mendengarnya dengan benar.
"Ya. Cuma beberapa peralatan yang rusak," ulangnya sabar. "Sebaiknya kau
bergegas, Jerry. Dr Shreek pasti bertanya-tanya di mana kau berada."


Goosebumps - Piano Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku mendengar teriakan kedua. Satu suara yang sangat lemah dan kecil. "Bantu aku
- tolonglah!" Aku ragu-ragu. Mr Toogle menatapku tak sabar.
Aku tak punya pilihan. Aku berbalik dan lari dari ruangan, teriakan lemah itu
masih di telingaku. *** Pada hari Sabtu sore aku keluar untuk membersihkan salju dari jalan masuk
rumah kami. Salju turun malam sebelumnya, hanya satu atau dua inci. Sekarang
adalah salah satu dari hari-hari cerah musim dingin dengan langit biru yang
terang. Rasanya bagus untuk berada di udara segar, melakukan beberapa latihan.
Semuanya tampak begitu segar dan bersih.
Aku sedang menyelesaikan di bagian bawah jalan masuk, lenganku mulai sakit
karena menyekop saat aku melihat Kim Li Chin. Dia keluar dari mobil Honda
hitam ibunya, membawa tas biola. Kuduga ia pulang dari les.
Aku pernah melihatnya di sekolah beberapa kali, tapi aku tak benar-benar bicara
dengannya sejak hari ia lari dariku di lorong.
"Hei!" panggilku di seberang jalan, bersandar pada sekop, sedikit terengahengah. "Hai!" Dia menyerahkan tas biola pada ibunya dan melambai kembali. Lalu dia datang
ke arahku dengan berlari-lari kecil, hightops hitamnya berderak di atas salju.
"Bagaimana kabarmu?" tanyanya. "Cukup bersalju, ya?"
Aku mengangguk. "Ya. Mau menyekop" Aku masih harus melakukan
pekerjaan." Dia tertawa. "Tidak, terima kasih."
Dia punya tawa tinggi bergemerincing, seperti dua gelas berdenting bersamasama. "Kau datang dari les biola?" Tanyaku, masih bersandar pada sekop.
"Ya. Aku mengerjakan potongan Bach. Ini cukup sulit."
"Kau lebih maju dariku," kataku. "Aku kebanyakan masih melakukan not dan skala."
Senyumnya memudar. Matanya jadi bijaksana.
Kami berbicara sebentar tentang sekolah. Lalu aku bertanya apakah ia mau
datang dan makan beberapa cokelat panas atau sesuatu.
"Bagaimana kerjanya?" tanyanya, menunjuk. "Kupikir kau harus menyekop itu."
"Ayah akan kecewa jika aku tak menyimpan sebagian untuknya," gurauku.
*** Ibu mengisi dua cangkir putih besar dengan coklat panas. Tentu saja aku
membakar lidahku pada tegukan pertama.
Kim dan aku sedang duduk di ruang baca. Kim duduk di bangku piano dan
mengetuk ringan beberapa tuts.
"Piano ini memiliki nada yang benar-benar baik," katanya, wajahnya semakin
serius. "Lebih baik dari piano ibuku."
"Kenapa kau lari sore itu?" semburku.
Itulah yang ada di pikiranku sejak kejadian itu terjadi. Aku harus tahu
jawabannya. Dia menurunkan matanya ke keyboard piano dan pura-pura tak mendengarku.
Jadi aku bertanya lagi. "Kenapa kau lari seperti itu, Kim?"
"Aku tidak," jawabnya akhirnya, masih menghindari mataku. "Aku terlambat untuk
les, itu saja." Aku menaruh cangkir cokelat panasku turun di meja kopi dan bersandar di
lengan sofa. "Aku bilang aku akan les piano di Sekolah Shreek, ingat" Lalu wajahmu terlihat
aneh, dan kau lari."
Kim menghela napas. Cangkir cokelat putih panas di pangkuannya. Aku melihat
bahwa ia mencengkeram erat-erat di kedua tangan. "Jerry, aku benar-benar tak
ingin membicarakannya," katanya pelan. "Ini terlalu... Terlalu menakutkan."
"Menakutkan?" tanyaku.
"Apa kau tak tahu kisah tentang Sekolah Shreek?" tanyanya.
20 Aku tertawa. Aku tak yakin mengapa. Mungkin itu (karena) ekspresi serius di
wajah Kim. "Cerita" Cerita macam apa?"
"Aku benar-benar tak ingin memberitahumu," katanya. Dia mengisap lama dari
cangkir putih, lalu mengembalikannya ke pangkuannya.
"Aku baru pindah ke sini, ingat?" kataku padanya. "Jadi aku belum pernah
mendengar cerita apa pun. Cerita tentang apa"."
"Hal-hal tentang sekolah," gumamnya. Dia turun dari bangku piano dan berjalan ke
jendela, membawa cangkir di satu tangan.
"Hal macam apa?" tuntutku. "Ayolah, Kim - katakan padaku!"
"Yah... Hal-hal seperti ada monster di sana," jawabnya, menatap keluar jendela
ke halaman belakang bersaljuku. "Monster asli yang hidup di ruang bawah
tanah." "Monsters?" Aku tertawa.
Kim berbalik. "Itu tak lucu," bentaknya.
"Aku sudah melihat monster," kataku, menggelengkan kepala.
Wajahnya benar-benar terkejut. "Kau apa?"
"Aku sudah melihat monster," ulangku. "Mereka itu penyapu lantai."
"Hah?" Mulutnya ternganga. Dia hampir menumpahkan cokelat panas di bagian depan
kaosnya. "Penyapu lantai?"
"Ya. Mr Toggle membuatnya. Dia bekerja di sekolah.. Dia semacam mekanik
jenius. Dia membuat segala macam hal."
"Tapi -" ia mulai.
"Aku melihat satu di hari pertamaku di sekolah," aku melanjutkan. "Kupikir itu
semacam monster. Ia membuat suara mendengking aneh,. Dan datang tepat ke
arahku. Aku kaget sekali! Tapi itu adalah salah satu pembersih lantai Mr Toggle
itu." Kim memiringkan kepalanya, menatapku serius. "Yah, kau tahu bagaimana
cerita-cerita dimulai," katanya. "Aku tahu cerita-ceita itu mungkin tidak benar.
Semua cerita itu mungkin punya penjelasan sederhana seperti itu."
"Semua?" tanyaku. "Ada lagi?"
"Yah..." Dia ragu-ragu. "Ada cerita tentang bagaimana anak-anak masuk untuk les
dan tak pernah keluar lagi. Bagaimana mereka lenyap, menghilang begitu
saja." "Itu tidak mungkin," kataku.
"Ya, kurasa," ia cepat-cepat menyetujui.
Lalu aku teringat suara kecil dari lemari, meminta bantuan.
Itu pasti beberapa penemuan Mr Toggle, aku berkata pada diriku sendiri. Pasti
itu. Peralatan rusak, katanya. Dia tak tampak sedikit pun gembira atau marah
tentang hal itu. "Lucu ya bagaimana cerita-cerita menakutkan itu dimulai," kata Kim, berjalan
kembali ke bangku piano. "Yah, gedung sekolah piano itu menyeramkan dan tua," kataku. "Benar-benar
terlihat seperti semacam rumah besar berhantu. Kukira kemungkinan itulah
mengapa cerita-cerita jadi dimulai."
"Mungkin," katanya setuju.
"Sekolah itu tak berhantu, tetapi piano itu berhantu!" Kataku padanya.
Aku tak tahu apa yang membuatku mengatakan itu. Aku tak memberitahu siapa
pun tentang hantu dan piano. Aku tahu tak seorang pun akan percaya padaku.
Kim agak kaget dan menatap piano itu. "Piano ini berhantu" Apa maksudmu"
Bagaimana kau tahu?"
"Di larut malam, aku mendengar seseorang memainkannya," kataku. "Seorang wanita.
Aku melihatnya sekali."
Kim tertawa. "Kau bercanda denganku- benar kan?"
Aku menggeleng. "Tidak, aku serius, Kim. Aku melihat wanita ini larut malam.
Dia memainkan melodi sedih yang sama berulang-ulang."
"Jerry, ayolah!" Kim memohon, memutar matanya.
"Wanita itu berbicara padaku. Kulitnya rontok. Itu... Itu sangat menakutkan,
Kim. Wajahnya lenyap. Tengkoraknya menatapku. Dan dia memperingatkan
aku untuk menjauh. Menjauh...."
Aku merasa gemetar. Entah bagaimana aku telah menghentikan adegan
menakutkan itu keluar dari pikiranku selama beberapa hari. Tapi sekarang, saat
aku mengatakan pada Kim, semua itu kembali padaku.
Kim tersenyum lebar. "Kau seorang pendongeng lebih baik daripada aku,"
katanya. "Apa kau tahu banyak cerita-cerita hantu?"
"Ini bukan cerita!" teriakku. Tiba-tiba, aku putus asa baginya untuk percaya
padaku. Kim mulai menjawab, tapi ibuku menjulurkan kepala ke ruang keluarga dan
mengganggu. "Kim, ibumu baru saja telpon. Dia merasa kau harus pulang
sekarang." "Kurasa aku sebaiknya pergi," kata Kim, meletakkan cangkir cokelat panas.
Aku mengikutinya keluar. Kami baru saja sampai di pintu ruang keluarga ketika piano itu mulai bermain.
Sekumpulan not aneh yang campur aduk.
"Lihat?" teriakku gembira pada Kim. "Lihat" Sekarang apakah kau percaya padaku?"
21 Kami berdua kembali menatap piano itu.
Bonkers mondar-mandir di atas tuts-tuts, ekornya naik lurus dibelakangnya.
Kim tertawa. "Jerry, kau lucu aku hampir mempercayaimu!"
"Tapi - tapi -" Aku tergagap.
Kucing bodoh itu membuatku bodoh lagi.
"Sampai jumpa di sekolah," kata Kim. "Aku suka cerita hantumu."
"Terima kasih," kataku lemah. Lalu aku bergegas melintasi ruangan untuk mengejar
Bonkers dari piano itu. *** Larut malam itu aku mendengar piano bermain lagi.
Aku duduk tegak di tempat tidur. Bayangan-bayangan di atas langit-langitku
tampak bergerak-gerak pada seirama musik itu.
Aku telah tertidur ringan, gelisah. Aku pasti menendang selimut dalam tidurku,
karena selimut itu berkumpul di kaki tempat tidur.
Sekarang, mendengarkan melodi lambat yang akrab itu, aku terjaga.
Itu bukan Bonkers yang mondar-mandir di atas tuts-tuts. Itu hantu.
Aku berdiri. Papan-papan lantai sedingin es. Di luar jendela kamar, aku bisa
melihat pohon-pohon gundul musim dingin bergoyang dalam angin yang kuat.
Saat aku bergerak pelan-pelan ke pintu kamar tidur, musik itu semakin keras.
Haruskah aku pergi ke sana" tanyaku pada diriku sendiri.
Apa hantu itu akan menghilang begitu aku melongokkan kepalaku ke ruang
keluarga" Apakah aku benar-benar ingin melihatnya"
Aku tak ingin melihat bahwa seringai tengkorak mengerikan itu lagi.
Tapi aku sadar aku tak bisa hanya berdiri di sana di ambang pintu. Aku tak bisa
kembali ke tempat tidur. Aku tak bisa mengabaikannya.
Aku harus pergi menyelidiki.
Aku tertarik ke bawah, seolah-olah ditarik oleh tali tak terlihat.
Mungkin ini Ibu dan Ayah akan mendengarnya juga, pikirku sambil berjalan di
sepanjang lorong. Mungkin mereka akan melihatnya juga. Mungkin mereka
akhirnya akan percaya padaku.
Kim melintas dalam pikiranku saat aku mulai menuruni tangga berderit. Dia
pikir aku mengarang cerita hantu. Dia mengira aku mencoba melucu.
Tapi benar-benar ada hantu di rumahku, hantu yang bermain pianoku. Dan aku
satu-satunya yang tahu itu.
Ke ruang tamu. Menyeberangi karpet usang ke ruang makan.
Musik itu mengalun begitu lembut, begitu tenang.
Benar-benar musik hantu, pikirku. . . .
Aku ragu-ragu sejenak tepat di pintu ruang keluarga. Apakah ia akan lenyap
begitu aku mengintip"
Apakah dia menungguku"
Mengambil napas dalam-dalam, aku melangkah ke ruang keluarga.
22 Dia menundukkan kepala, rambutnya yang panjang jatuh menutupi wajahnya.
Aku tak bisa melihat matanya.
Musik piano itu sepertinya berputar-putar di sekitarku, menarikku lebih dekat
meskipun aku ketakutan. Kakiku gemetar, tapi aku melangkah lebih dekat. Lalu, satu langkah lagi.
Dia abu-abu. Nuansa abu-abu di kegelapan dari langit malam melalui jendelajendela. Kepalanya muncul dan bergoyang seirama dengan musik. Lengan blusnya
mengepul saat lengannya bergerak-gerak di atas tuts.
Aku tak bisa melihat matanya. Aku tak bisa melihat wajahnya. Rambutnya yang
panjang menutupi tubuhnya, seolah-olah bersembunyi di balik tirai.
Musik itu memuncak, begitu sedih, begitu sangat sedih.
Aku melangkah lebih dekat. Aku tiba-tiba sadar aku lupa untuk bernapas. Aku
membiarkan napasku keluar dengan suara keras.
Dia berhenti bermain. Mungkin suara napasku memberitahunya bahwa aku ada
di sana. Saat ia mengangkat kepalanya, aku bisa melihat mata pucatnya menatapku
melalui rambutnya. Aku tak bergerak. Aku tak bernapas. Aku tak bersuara. "Cerita-cerita itu benar," bisiknya. Sebuah bisikan kering yang sepertinya
datang dari jauh. Aku tak yakin aku telah mendengar dengan benar. Aku mencoba mengatakan
sesuatu, tapi suaraku tercekat di tenggorokan.
Tak ada suara yang keluar sama sekali.
"Cerita-cerita itu benar," ulangnya. Suaranya hanyalah udara, desisan udara.
Aku terbelalak menatapnya.
"Ce-cerita apa?" aku akhirnya berhasil berkata.
"Cerita-cerita tentang sekolah," jawabnya, rambutnya tergerai menutupi wajahnya.
Kemudian dia mulai menaikkan lengannya dari tuts-tuts piano.
"Mereka benar," keluhnya. "Cerita-cerita itu benar."
Dia mengangkat tangan-tangannya ke arahku.
Menganga ngeri pada tangan-tangan itu, aku menjerit - lalu mulai muntah.
Lengan-lengannyanya berakhir pada ujungnya. Dia tak punya tangan.
23 Hal berikutnya yang kutahu, ibuku merangkulkan lengannya padaku. "Jerry,
tenang. Jerry, apa-apa. Tak apa-apa," dia terus mengulangi.
"Hah" Bu?"
Aku terengah-engah. Dadaku naik-turun naik-turun. Kakiku goyah semua.
"Ibu" Di mana -" Bagaimana -?"
Aku mendongak dan melihat ayahku berdiri beberapa kaki jauhnya,
memicingkan mata ke arahku melalui kacamatanya, kedua lengan disilangkan di
depan jubah mandinya. "Jerry, kau berteriak cukup keras untuk membangunkan
seluruh kota!" Aku menatapnya tak percaya. Aku bahkan tak sadar aku menjerit.
"Tak apa-apa sekarang," kata Ibu menenangkan. "Tak apa-apa, Jerry. Kau sekarang
baik-baik saja." Aku " Baik " Sekali lagi, aku membayangkan hantu wanita itu, semuanya abu-abu, rambutnya
yang tergerai, membentuk tirai di wajahnya. Sekali lagi, aku melihatnya
mengangkat lengannya untuk menunjukkan padaku. Sekali lagi, aku melihat
ujung yang mengerikan di mana seharusnya ada tangannya.
Dan lagi, aku mendengar bisikan keringnya, "Cerita-cerita itu benar."
Mengapa dia tak punya tangan" Mengapa"
Bagaimana dia bermain piano tanpa tangan"
Mengapa dia menghantui pianoku" Mengapa dia ingin menakut-nakutiku"
Pertanyaan-pertanyaan itu berputar begitu cepat di dalam otakku, aku ingin
menjerit dan menjerit dan menjerit. Tapi aku telah berteriak.
"Ibu dan aku sama-sama tertidur nyenyak. Kau membuat kami ketakutan
setengah mati," kata Ayah. "Aku tak pernah mendengar raungan seperti itu."
Aku tak ingat berteriak. Aku tak ingat hantu itu menghilang, atau Ibu dan Ayah
menyerbu masuk. Itu terlalu mengerikan. Kukira pikiranku benar-benar mematikannya.
"Aku akan membuatkanmu cokelat panas," kata Ibu, masih memegangku erat-erat.
"Cobalah untuk berhenti gemetar."
"Aku - aku sudah berusaha," kataku tergagap-gagap.
"Kiranya itu mimpi buruk yang lain," aku mendengar Ayah memberitahu Ibu.
"Pasti salah satu kenangan pikiran yang timbul."
"Itu bukan mimpi buruk!" jeritku.
"Maaf," kata Ayah dengan cepat. Dia tak ingin untuk aku mulai lagi.


Goosebumps - Piano Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi sudah terlambat. Bahkan sebelum aku menyadari hal itu terjadi, aku mulai
menjerit. "Aku tak ingin bermain piano. Keluarkan piano itu dari sini!!
Keluarkan!" "Jerry, tolonglah -" Ibu memohon, wajahnya penuh dengan kekhawatiran.
Tapi aku tak bisa berhenti. "Aku tak ingin bermain piano! Aku tak ingin les!!
Aku tak akan pergi ke sekolah piano itu! Aku tak akan pergi, tak akan!"
"Oke, oke!" teriak Ayah, memekik mengatasi suara lolongan putus asaku. "Oke,
Jerry. Tak akan ada yang memaksamu."
"Hah?" Aku menatap orangtuaku dari satu ke yang lain, mencoba untuk melihat
apakah mereka serius. "Jika kau tak ingin les piano, kau tak harus ikut," kata Ibu, menjaga suaranya
dengan nada rendah menenangkan. "Lagi pula kau hanya (perlu) masuk sekali
lagi ." "Ya," Ayah cepat-cepat bergabung. "Saat kau pergi ke sekolah pada hari Jumat,
cukup beritahu Dr Shreek bahwa itu pelajaran terakhirmu."
"Tapi aku tak mau -" aku mulai.
Ibu meletakkan tangan lembutnya ke mulutku. "Kau harus memberitahu Dr
Shreek, Jerry. Kau tak bisa berhenti begitu saja."
"Katakan padanya pada hari Jumat," desak Ayah. "Kau tak harus bermain piano jika
kau tak ingin. Sungguh."
Mata ibu menelitiku. "Apa itu membuatmu merasa lebih baik, Jerry?"
Aku melirik piano itu, yang sekarang diam, berkilauan suram dalam lampu
redup di atas kepala. "Ya, kurasa." Gumamku ragu. "Kurasa lebih baik."
*** Jumat sore sepulang sekolah, hari abu-abu gelap berangin dengan awan-awan
salju yang melayang rendah di atas kepala, Ibu mengantarku ke sekolah piano.
Dia berhenti di jalan panjang antara pagar tinggi dan berhenti di depan pintu
masuk ke gedung, gelap tua itu.
Aku ragu-ragu. "Tak bisakah aku hanya lari dan memberitahu Dr Shreek bahwa
aku berhenti, kemudian lari segera kembali keluar?"
Ibu melirik jam di dasbor. "Ambil satu les lagi, Jerry. Itu tak akan menyakiti.
Kami sudah membayar untuk itu."
Aku mendesah sedih. "Maukah Ibu ikut denganku" Atau bisakah menungguku
di sini?" Ibu mengerutkan kening. "Jerry, aku punya tiga (tempat) berhenti. Aku akan
kembali dalam satu jam, aku janji."
Dengan enggan, aku membuka pintu mobil. "Selamat tinggal, Bu."
"Jika Dr Shreek bertanya mengapa kau berhenti, katakan padanya bahwa les itu
mengganggu sekolahmu."
"Oke. Sampai jumpa dalam satu jam," kataku.
Aku membanting pintu mobil, lalu mengamati saat ia melaju pergi, ban
berderak di atas jalanan yang berkerikil.
Aku berbalik dan berjalan ke gedung sekolah.
Sepatuku berbunyi keras saat aku berjalan melalui lorong-lorong gelap ke
kamar Dr Shreek itu. Aku mencari Mr Toggle, tetapi tak melihatnya. Mungkin
dia dalam ruang kerjanya yang sangat besar menciptakan hal-hal yang lebih
menakjubkan. Bunyi gemuruh not-not piano yang biasa mengalir dari kamar-kamar praktek
saat aku melewatinya. Melalui, jendela bundar kecil aku bisa melihat para
pengajar tersenyum, melambaikan tangan mereka, menjaga irama, kepala
mereka berayun untuk permainan siswa mereka .
Saat aku berbelok di sudut dan menuju ke satu koridor, panjang dan gelap,
sebuah pikiran aneh muncul dalam kepalaku. Aku tiba-tiba menyadari bahwa
aku belum pernah melihat siswa lain di lorong.
Aku telah melihat para pengajar melalui jendela ruangan. Dan aku telah
mendengar suara dari permainan siswa mereka. Tapi aku belum pernah melihat
siswa lain. Tak satu pun. Aku tak punya waktu lama untuk berpikir tentang hal ini. Senyuman Dr Shreek
menyambutku di luar pintu ruang praktek kami. "Bagaimana kabarmu hari ini,
Jerry?" "Oke," jawabku, mengikutinya ke ruangan.
Dia mengenakan celana abu-abu longgar dengan tali selempang merah cerah di
atas kemeja putih kusut. Rambutnya yang putih tampak seolah-olah tak pernah
disisir dalam beberapa hari. Dia memberi isyarat bagiku untuk mengambil
tempatku di bangku piano.
Aku cepat-cepat duduk, melipat tanganku tegang di pangkuanku. Aku ingin
pembicaraanku berakhir dengan cepat sebelum kami mulai pelajaran. "Eh.. Dr
Shreek.?" Dia berjalan kaku di ruangan kecil itu sampai ia berdiri tepat di depanku. "Ya,
anakku?" ia berseri-seri ke arahku, pipi Santa Claus-nya merah muda terang.
"Yah... Saya... Ini akan menjadi pelajaran terakhir saya," aku berhasil berkata.
"Saya telah memutuskan saya... Eh... Harus berhenti."
Senyumnya menghilang. Dia meraih pergelangan tanganku. "Oh, tidak,"
katanya, seraya merendahkan suaranya menggeram. "Tidak. Kau tidak akan
pergi, Jerry." "Hah?" jeritku.
Ia memperketat cengkeramannya pada pergelangan tanganku. Dia benar-benar
menyakitiku. "Berhenti?" serunya. "Tidak dengan tangan-tangan itu." Wajahnya menyeringai
dipelintir menjadi jelek. "Kau tak bisa berhenti, Jerry. Aku perlu tangan-tangan
yang indah itu." 24 "Lepaskan!" jeritku.
Dia mengabaikanku dan memperketat cengkeramannya, matanya menyipit
mengancam. "Benar-benar tangan yang sangat baik," gumamnya. "Bagus."
"Tidak!" Dengan teriakan melengking, aku menyentakkan pergelangan tanganku bebas.
Aku melompat dari bangku piano dan mulai berlari ke pintu.
"Kembalilah, Jerry!" teriak Dr Shreek marah. "Kau tak bisa pergi!"
Dia mengejarku, bergerak kaku tapi pasti, mengambil langkah-langkah panjang.
Aku membuka pintu dan melesat keluar ke lorong. Dentuman musik piano
menyambut telingaku. Lorong panjang dan gelap itu kosong seperti biasanya.
"Kembalilah, Jerry!" panggil Dr Shreek tepat di belakangku.
"Tidak!" Aku berteriak lagi.
Aku ragu-ragu, mencoba untuk memutuskan pergi ke arah mana, jalan mana
yang menuju pintu depan. Lalu aku menunduk dan mulai berlari.
Sepatuku berdebam di lantai keras. Aku berlari secepat yang aku bisa, lebih
cepat dari yang pernah kulakukan dalam hidupku. Ruang-ruang praktek itu
menderu lewat dalam kegelapan yang remang-remang.
Tapi aku terkejut, Dr Shreek terus tepat di belakangku. "Kembalilah, Jerry,"
serunya, bahkan tak terdengar kehabisan napas. "Kembalilah. Kau tak bisa
lepas dariku.." Menoleh ke belakang, aku melihat bahwa ia mendekatiku.
Aku bisa merasakan kepanikan naik ke tenggorokanku, mencekik udaraku.
Kakiku sakit. Jantungku berdebar begitu keras, rasanya dadaku seperti akan
meledak. Aku berbelok di tikungan dan berlari turun ke lorong lain yang panjang.
Dimana aku" Apakah aku menuju pintu depan"
Aku tak tahu. Lorong gelap ini tampak seperti yang lain.
Mungkin Dr Shreek benar. Mungkin aku tak bisa pergi, pikirku, merasakan
denyut darah di pelipisku ketika aku berbelok di tikungan lain.
Aku mencari Mr Toggle. Mungkin ia bisa menyelamatkanku. Tapi lorong itu
kosong. Musik piano mengalir keluar dari setiap ruangan, tapi tak ada yang
keluar di lorong. "Kembalilah, Jerry. Tak ada gunanya lari!!"
"Mr Toggle!" aku menjerit, suaraku serak dan sesak napas. "Mr Toggle Tolong aku! Tolong aku, tolonglah!"
Aku berbalik ke tikungan lain, sepatuku meluncur di lantai halus yang
mengkilat. Aku terengah-engah sekarang, dadaku sesak.
Aku melihat pintu-pintu ganda di depan. Apakah itu mengarah ke depan"
Aku tak bisa ingat. Dengan erangan rendah, aku menjulurkan kedua tangan dan mendorong pintu.
"Tidak!" Aku mendengar Dr Shreek berteriak di belakangku. "Tidak, Jerry!
Jangan pergi ke lorong resital!"
(resital: konser atau pertunjukan yg ditampilkan seorang pemain musik
atau kelompok kecil pemain musik)
Terlambat. Aku mendorong pintu dan menguncinya di dalam. Masih berlari, aku
menemukan diriku di sebuah ruangan besar terang benderang.
Aku melangkah - lalu berhenti di ngeri.
Musik piano memekakkan telinga - seperti gemuruh guntur yang tak pernah
berakhir. Pada awalnya, ruangan itu kabur. Lalu perlahan-lahan jadi terlihat dengan jelas.
Aku melihat baris demi baris piano hitam. Disamping masing-masing piano itu
berdiri seorang pengajar yang tersenyum. Para pengajar itu semuanya tampak
sama. Mereka semua mengangguk-anggukkan kepala mereka seirama musik.
Musik itu dimainkan oleh Musik itu sedang dimainkan oleh Aku terkesiap, menatap dari baris ke baris.
Musik itu dimainkan oleh - TANGAN-TANGAN!
Tangan-tangan manusia mengambang di atas papan-papan tuts.
Tak ada orangnya. Hanya TANGAN-TANGAN! 25 Mataku menyusuri deretan piano. Sepasang tangan mengambang di atas piano
masing-masing. Para pengajar semuanya pria berkepala botak berseragam abu-abu dengan
senyum terpampang di wajah mereka. Kepala mereka muncul dan bergoyanggoyang, mata abu-abu mereka terbuka dan tertutup saat-saat tangan-tangan itu
bermain di atas papan tuts.
Tangan-tangan. Hanya tangan-tangan. Saat aku ternganga lumpuh, mencoba memahami apa yang kulihat, Dr Shreek
menyerbu masuk ke ruangan dari belakangku. Dia lari meloncat pada kakiku,
mencoba untuk menggasakku.
Entah bagaimana aku menghindar jauh dari tangan-tangannya yang terulur.
Dia mengerang dan perutnya membentur lantai. Aku melihatnya meluncur di
lantai yang halus itu, wajahnya merah karena marah.
Lalu aku berbalik, menjauh dari puluhan tangan, menjauh dari piano-piano yang
memekakkan telinga, dan mulai kembali ke pintu.
Tapi Dr Shreek lebih cepat dari yang kubayangkan. Aku terkejut, dia berdiri
dalam satu detik, bergerak cepat untuk menghalang-halangiku melarikan diri.
Aku mendecit berhenti. Aku mencoba berbalik, untuk menjauh darinya. Tapi aku kehilangan
keseimbangan dan jatuh. Musik piano itu mengitariku. Aku mendongak untuk melihat deretan tangantangan itu memukul menjauh di papan tuts mereka.
Dengan terkesiap takut, aku berusaha berdiri.
Terlambat. Dr Shreek itu mendekatiku, senyum gembira kemenangan tampak di wajah
bulatnya yang merah. 26 "Tidak!" jeritku, dan mencoba untuk berdiri.
Tapi Dr Shreek membungkuk di atasku, menyambar pergelangan kaki kiriku,
dan menahannya. "Kau tak bisa pergi, Jerry," katanya dengan tenang, bahkan tidak
kehabisan napas. "Biarkan aku pergi! Biarkan aku pergi!" Aku mencoba untuk memutar keluar dari
cengkeramannya. Tapi ia cukup kuat. Aku tak bisa membebaskan diri.
"Tolong aku! Siapa pun tolong aku!" Aku berteriak, menjerit di atas gemuruh
piano-piano. "Aku membutuhkan tangan-tanganmu, Jerry," kata Dr Shreek. "Betul-betul tangan
yang indah." "Anda tidak bisa! Anda tidak bisa!" jeritku.
Pintu ganda itu mendadak terbuka.
Mr Toggle berlari masuk, ekspresi wajahnya bingung. Matanya melesat dengan
cepat di sekitar ruangan besar itu.
"Mr Toggle!" teriakku gembira. "Mr Toggle -! Tolong saya! Dia gila! Tolong
saya!" Mr Toggle melongo kaget. "Jangan khawatir, Jerry!" katanya.
"Tolong aku! Cepat!" jeritku.
"Jangan khawatir!" ulangnya.
"Jerry, kau tak bisa pergi!" teriak Dr Shreek, menahanku di lantai.
Berjuang untuk membebaskan diri, aku melihat Mr Toggle berlari ke dinding.
Dia membuka pintu besi abu-abu, membuka beberapa jenis panel kontrol.
"Jangan khawatir!" katanya padaku.
Aku melihatnya menarik sebuah tombol di panel kontrol.
Seketika itu tangan Dr Shreek mengendur.
Aku menarik kakiku bebas dan bergegas berdiri, terengah-engah.
Dr Shreek merosot jadi satu tumpukan. Tangannya terkulai lemas di sisi
tubuhnya. Matanya tertutup. Kepalanya tenggelam, dagunya turun ke dadanya.
Dia tak bergerak. Dia semacam robot, aku melihatnya dengan takjub.
"Apa kau baik-baik saja, Jerry?" Mr Toggle telah bergegas ke sampingku.
Aku tiba-tiba sadar seluruh tubuhku gemetar. Musik piano itu menderu di dalam
kepalaku. Ruangan itu mulai berputar-putar.
Aku memegang kedua tanganku di telingaku, berusaha untuk menutup suara
berdebar-debar. "Buat mereka berhenti! Katakan pada mereka untuk berhenti!" teriakku.
Mr Toggle berlari-lari kecil kembali ke panel kontrol dan melepaskan tombol
lain. Musik itu berhenti. Tangan-tangan itu membeku di tempat di atas papan tuts
mereka. Para pengajar itu berhenti mengangguk-anggukkan kepala mereka.
"Robot. Semua robot," gumamku, masih gemetar.
Mr Toggle bergegas kembali, matanya yang gelap mempelajariku. "Kau baikbaik saja?" "Dr Shreek - dia robot," bisikku gemetar. Kalau saja aku bisa membuat lututku
untuk berhenti gemetar! "Ya, dia ciptaan terbaikku," kata Mr Toggle tersenyum. Dia menaruh tangannya di
bahu Dr Shreek itu. "Dia benar-benar manusia hidup, bukan?"
"Mereka - mereka semua robot," bisikku, menunjuk ke para pengajar yang membeku
samping piano mereka. Mr Toggle mengangguk. "Yang primitif," katanya, masih bersandar pada Dr Shreek.
"Mereka tidak semaju temanku Dr Shreek ini."
"Anda - membuat mereka semua?" tanyaku.
Mr Toggle mengangguk, tersenyum. "Setiap dari mereka."
Aku tak bisa berhenti gemetar. Aku mulai merasa benar-benar sakit.
"Terima kasih untuk menghentikannya, kurasa Dr Shreek berada di luar kontrol
atau sesuatu. Saya - saya harus pergi sekarang," kataku lemah.
Aku mulai berjalan menuju pintu ganda, memaksa lutut gemetarku untuk
bekerja sama. "Belum," kata Mr Toggle, menempatkan tangan lembutnya di bahuku.
"Hah?" Aku berbalik menatapnya.
"Kau tak bisa pergi dulu," katanya, senyumnya memudar. "Aku membutuhkan tangantanganmu, lihatlah."
"Apa?" Dia menunjuk piano di dinding. Seorang pengajar berseragam abu-abu berdiri
lemas di sampingnya, wajahnya tersenyum beku. Tak ada tangan menggantung
di atas papan tuts. "Itu akan jadi pianomu, Jerry," kata Mr Toggle.
27 Aku mulai mundur ke arah pintu ganda satu langkah di satu waktu. "Memengapa?" Aku tergagap. "Mengapa Anda perlu tangan saya?"
"Tangan manusia terlalu sulit untuk dibuat, terlalu rumit, terlalu banyak
bagian," jawab Mr Toggle. Dia menggaruk pangkal jenggot hitamnya dengan
satu tangan saat ia bergerak ke arahku.
"Tapi -" Aku mulai, mengambil satu langkah lagi.


Goosebumps - Piano Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku bisa membuat tangan-tangan indah itu bermain," Mr Toggle menjelaskan,
matanya terkunci padaku. "Aku telah merancang program komputer untuk
membuatnya bermain lebih indah daripada manusia hidup yang bisa mainkan.
Tapi aku tidak bisa membuat tangan. Para siswa harus memberikan tangan."
"Tapi kenapa?" tuntutku. "Kenapa kau melakukan ini?"
"Untuk membuat musik yang indah, alami," jawab Mr Toggle, melangkah lebih dekat.
"Aku suka musik yang indah, Jerry. Dan musik jauh lebih indah, jauh
lebih sempurna, ketika tak ada kesalahan manusia."
Dia melangkah lagi ke arahku. Lalu, selangkah lagi. "Kau mengerti, kan?"
Matanya yang gelap menyala kepadaku.
"Tidak!" jeritku. "Tidak, saya tak mengerti. Anda tak bisa mengambil tangan
saya! Anda tidak bisa!"
Aku mundur selangkah lagi. Kakiku masih gemetar.
Jika aku bisa melalui pintu-pintu itu, pikirku, mungkin aku punya kesempatan.
Mungkin aku bisa berlari lebih cepat dia. Mungkin aku bisa keluar dari
bangunan gila ini. Itu adalah satu-satunya harapanku.
Mengumpulkan kekuatanku, mengabaikan debaran hatiku, aku berbalik.
Aku melesat menuju pintu.
"Ohh!" Aku menjerit saat hantu wanita itu muncul di depanku.
Wanita dari rumahku, dari pianoku.
Dia bangkit, semua abu-abu kecuali matanya. Matanya bersinar merah seperti
api. Mulutnya terpilin dalam geraman marah yang jelek. Dia melayang ke
arahku, menghalangi jalanku ke pintu.
Aku terjebak, aku sadar. Terjebak antara Mr Toggle dan hantu.
Tak ada jalan keluar sekarang.
28 "Aku telah memperingatkanmu!" teriak hantu wanita, matanya merah menyala karena
marah. "Aku telah memperingatkanmu!"
"Tidak, tolong -" Aku berhasil berteriak dengan suara tercekik. Aku
mengangkat tanganku di depanku, mencoba untuk melindungi diri darinya.
"Tolong - biarkan aku pergi!"
Yang mengejutkanku, dia melayang melewatiku.
Dia melotot pada Mr Toggle, aku menyadarinya.
Mr Toggle terhuyung ke belakang, wajahnya tegang ketakutan.
Wanita hantu mengangkat lengannya. "Bangkitlah!" raungnya. "Bangkitlah!"
Dan saat ia melambaikan tangannya, aku melihat kibaran di piano-piano.
Kibaran itu menjadi kabut. Gumpalan awan abu-abu bangkit dari masingmasing piano. Aku mundur ke pintu, mataku melebar tak percaya.
Di masing-masing piano itu, kabut gelap itu mengambil bentuk.
Mereka hantu, aku sadar. Hantu anak laki-laki, perempuan, pria, dan wanita.
Aku mengamati, membeku karena ketakutan, karena mereka bangkit dan
meminta tangan mereka. Mereka menggerakkan jari-jarinya, menguji tangan
mereka. Dan kemudian, dengan lengan-lengan terentang, tangan-tangan mereka berkibar
di depan mereka, hantu-hantu itu melayang menjauh dari piano mereka,
bergerak dalam barisan, dalam satu berkas, ke arah Mr Toggle.
"Tidak! Pergi! Pergi!" jerit Mr Toggle.
Dia berbalik dan mencoba melarikan diri melalui pintu. Tapi aku menghalangi
jalannya. Dan hantu-hantu itu bergerombol di atasnya.
Tangan-tangan mereka menariknya ke bawah. Tangan-tangan mereka
mendesaknya ke lantai. Dia menendang dan berjuang dan menjerit.
"Bebaskan aku! Lepaskan aku!! Minggir!"
Tapi tangan-tangan itu, puluhan dan puluhan tangan, merata di atasnya,
menahannya bawah, mendorongnya tertelungkup di lantai.
Wanita hantu abu-abu itu berpaling padaku.
"Aku mencoba untuk memperingatkanmu!" teriaknya diatas jeritan panik Mr Toggle
itu. "Aku mencoba untuk menakut-nakutimu agar pergi. Aku tinggal di rumahmu. Aku
adalah korban dari sekolah ini! Aku mencoba untuk menakut-nakutimu untuk jadi
korban, juga!" "Aku - aku -" "Lari!" perintahnya. "Cepat - cari bantuan!"
Tapi aku membeku di tempat, terlalu terkejut dengan apa yang kulihat untuk
bergerak. *** Saat aku menatap tak percaya, tangan-tangan hantu mengerumuni Mr Toggle
dan mengangkatnya dari lantai. Dia menggeliat-geliat dan berjuang, tetapi ia tak
bisa membebaskan dirinya dari genggaman kuat mereka.
Mereka membawanya ke pintu dan lalu keluar. Aku mengikuti ke pintu untuk
melihat. Mr Toggle tampak mengambang, mengambang ke dalam hutan di samping
sekolah. Tangan-tangan itu membawanya pergi. Dia menghilang ke pepohonan
yang campur aduk. Aku tahu ia tak akan pernah terlihat lagi.
Aku berbalik untuk mengucapkan terima kasih kepada hantu wanita yang
berusaha memperingatkaku.
Tapi dia juga sudah pergi.
Aku sendirian sekarang. Lorong membentang di belakangku dalam keheningan yang menakutkan.
Kesunyian yang remang-remang.
Musik piano itu telah berakhir. . . selamanya.
*** Beberapa minggu kemudian, hidupku sudah cukup normal kembali.
Ayah memasang iklan di koran dan segera menjual piano itu pada sebuah
keluarga di kota. Piano itu meninggalkan tempat di ruang keluarga, sehingga
Ibu dan Ayah dapat TV layar lebar!
*** Aku tak pernah melihat hantu wanita itu lagi. Mungkin dia pindah dengan piano
itu. Aku tak tahu. Aku mendapat beberapa teman baik dan mulai terbiasa dengan sekolah baruku.
Aku berpikir serius untuk mencoba tim bisbol.
Aku bukan pemukul yang baik, tapi aku bagus di lapangan.
Semua orang bilang aku punya tangan yang bagus.
Scan, format dan teks Inggris oleh Undead.
Terjemah oleh Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Makam Asmara 7 Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek Naga Sasra Dan Sabuk Inten 35

Cari Blog Ini