Goosebumps - Piano Hantu Bagian 1
RL Stine: Piano Hantu (Goosebumps # 13) Scan, format dan teks Inggris oleh Undead.
Terjemah oleh Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Senin, 04 Oktober 2013 1 Kupikir aku akan membenci pindah ke rumah baru. Tapi sebenarnya, aku
senang. Aku memainkan suatu lelucon yang cukup buruk pada Ibu dan Ayah.
Sementara mereka sedang sibuk di ruang depan menunjukkan pada para pekerja
pindahan di mana harus menempatkan barang-barang, aku pergi menjelajah.
Aku menemukan sebuah ruangan yang benar-benar sangat bagus di sisi ruang
makan. Ruangan itu memiliki jendela-jendela besar pada dua sisinya yang menghadap
ke halaman belakang. Sinar matahari mengalir ke dalam, membuat ruangan itu
lebih terang dan lebih ceria daripada (ruangan-ruangan) lain rumah tua itu.
Ruangan itu akan menjadi ruang keluarga baru kami. Kau tahu, dengan TV dan
pemutar CD, dan mungkin meja ping-pong dan semacamnya. Tapi sekarang
ruangan itu benar-benar kosong.
Kecuali dua bola debu abu-abu di salah satu sudut, yang memberikanku ide.
Tertawa pada diriku sendiri, aku membungkuk dan membentuk dua bola debu
itu dengan tanganku. Lalu aku mulai berteriak dengan suara benar-benar panik:
"Tikus! Tikus! Tolong! Tikus!"
Ibu dan Ayah datang mendadak ke ruangan itu pada waktu bersamaan. Mulut
mereka hampir-hampir jatuh ke lantai (maksudnya: kaget sekali) saat mereka
melihat dua tikus debu abu-abu itu.
Aku terus berteriak, "Tikus! Tikus!" Aku pura-pura takut pada mereka.
Berusaha keras berwajah bersungguh-sungguh.
Ibu hanya berdiri di ambang pintu, mulutnya melongo. Aku benar-benar
berpikir dia akan menjatuhkan giginya!
Ayah selalu lebih panik dari Ibu. Dia mengambil sapu yang bersandar di
dinding, berlari melintasi ruangan, dan mulai memukul, tikus debu malang itu
tak berdaya dengannya. Pada saat itulah, aku tertawa, kepalaku tertunduk.
Ayah menatap gumpalan debu yang menempel di ujung sapu, dan akhirnya ia
menangkap lelucon itu. Wajahnya benar-benar memerah, dan kupikir matanya
akan meletup keluar dari balik kacamatanya.
"Sangat lucu, Jerome," kata Ibu dengan tenang, memutar matanya. Semua orang
memanggilku Jerry, tapi dia memanggilku Jerome saat ia kesal denganku.
"Ayahmu dan aku pasti menghargai kau menakut-nakuti kami setengah mati
ketika kami berdua sangat gugup, terlalu banyak bekerja dan berusaha untuk
bisa pindah ke rumah ini"
Ibu selalu benar-benar sinis seperti itu. Kupikir mungkin aku mendapatkan rasa
humorku darinya. Ayah cuma menggaruk bagian botak di bagian belakang kepalanya. "Mereka
benar-benar tampak seperti tikus," gumamnya. Dia tak marah. Dia terbiasa
dengan leluconku. Mereka berdua.
"Mengapa kau tak bisa bertindak sesuai umurmu?" Tanya Ibu, sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku sudah!" Aku bersikeras. Maksudku, aku dua belas tahun. Jadi aku
bertindak seseuai umurku. Jika kau tak bisa bermain lelucon dengan orang
tuamu dan mencoba untuk bersenang-senang sedikit di umur dua belas tahun,
kapan kau bisa" "Jangan seperti orang pintar," kata Ayah, memandangku tegas. "Ada banyak
pekerjaan yang harus dilakukan di sini, kau tahu, Jerry. Kau bisa membantu.."
Dia menyodokkan sapu ke arahku.
Aku mengangkat kedua tangan seolah-olah melindungi diri dari bahaya, dan
mundur. "Yah, kau tahu aku alergi!" teriakku.
"Alergi pada debu?" tanyanya.
"Tidak. Alergi bekerja!"
Aku harap mereka tertawa, tapi mereka hanya menghambur keluar dari ruangan,
bergumam sendiri. "Kau setidaknya bisa mengawasi Bonkers," seru Ibu kembali kepadaku.
"Jauhkan dia dari para pekerja pindahan."
"Ya. Tentu," aku balas. Bonkers adalah kucing kami, dan tak mungkin aku dapat
menjaga Bonkers dari berbuat sesuatu!
Biarkan aku mengatakan kebenarannya bahwa Bonkers bukan anggota favoritku
dari keluarga kami. Bahkan, aku berusaha menjauh dari Bonkers selama yang
aku bisa. Tak seorang pun yang menjelaskan kepada kucing bodoh itu bahwa dia
seharusnya binatang peliharaan. Sebaliknya, kupikir Bonkers percaya dia itu
harimau liar pemakan manusia. Atau mungkin kelelawar vampir.
Tipuan favoritnya adalah naik di bagian belakang kursi atau rak yang tinggi dan kemudian melompat dengan cakar-cakarnya yang keluar ke bahumu. Aku
tak bisa memberitahumu berapa banyak kaos bagus yang telah dicabik-cabik
oleh tipuannya ini. Atau berapa banyak darahku yang hilang.
Kucing keji - benar-benar terbiasa kejam.
Tubuhnya hitam semua kecuali lingkaran putih di dahinya dan satu mata. Ibu
dan Ayah berpikir dia benar-benar sangat bagus. Mereka selalu mengangkatnya,
menimangnya, dan mengatakan padanya betapa manisnya dia. Bonkers
biasanya menggaruk mereka dan membuat mereka berdarah. Tapi mereka tak
pernah belajar. Ketika kami pindah ke rumah baru ini, kuharap mungkin Bonkers akan
ditinggal. Tapi, tak mungkin. Ibu memastikan bahwa Bonkers berada di dalam
mobil yang pertama kali, tepat di sampingku.
Dan tentu saja kucing bodoh itu muntah di kursi belakang.
Siapa yang pernah mendengar tentang kucing yang mabuk darat"
Dia melakukannya dengan sengaja karena dia mengerikan dan kejam.
Bagaimana pun, aku mengabaikan permintaan Ibu untuk tetap mengawasinya.
Bahkan, aku bergerak pelan-pelan ke dapur dan membuka pintu belakang,
berharap mungkin Bonkers akan lari dan tersesat.
Lalu aku meneruskan penjelajahanku.
Rumah kami yang lain kecil tapi baru. Rumah ini sudah tua. Papan-papan
lantainya berderit. Jendela-jendela berderak. Rumah itu tampak mengerang saat
kau berjalan melewatinya.
Tapi rumah ini benar-benar besar. Aku menemukan segala macam, kamarkamar kecil dan lemari-lemari yang dalam. Salah satu lemari di lantai atas sama
besarnya dengan tempat tidur lamaku!
Kamar baruku berada di ujung lorong di lantai dua. Ada tiga kamar lainnya dan
kamar mandi di sana. Aku bertanya-tanya apa yang Ibu dan Ayah rencanakan
dengan semua kamar itu. Aku memutuskan untuk mengusulkan bahwa salah satu darinya dibuat menjadi
ruang Nintendo. Kita bisa menempatkan TV layar lebar di sana untuk bermain
game. Ini akan benar-benar bagus.
Saat aku membuat rencana untuk ruang permainan video baruku, aku mulai
merasa sedikit terhibur. Maksudku, tidaklah mudah untuk pindah ke rumah baru
di sebuah kota baru. Aku bukan tipe anak yang sering menangis. Tapi aku harus mengakui bahwa
aku merasa sepertinya sering menangis ketika kami pindah dari Cedarville.
Terutama saat aku harus mengucapkan selamat tinggal kepada teman-temanku.
Terutama Sean. Sean adalah lelaki yang hebat. Ibu dan Ayah tak terlalu
menyukainya karena dia agak berisik dan dia suka bersendawa dengan benarbenar keras. Tapi, Sean adalah teman terbaikku.
Maksudku, dia dulu teman terbaikku.
Aku tak punya teman di sini di New Gosyen.
Ibu berkata Sean bisa datang tinggal bersama kami selama beberapa minggu
musim panas ini. Ibu benar-benar baik sekali, terutama karena dia begitu
membenci sendawa Sean. Tapi itu tidak benar-benar menghiburku.
Menjelajahi rumah baru membuatku merasa sedikit lebih baik. Ruang
berikutnya bagiku bisa jadi ruang olahraga, aku memutuskan. Kami akan
membawa semua mesin-mesin latihan yang tampaknya bagus yang mereka
tunjukkan di TV. Para pekerja pindahan itU mengangkut barang-barang ke kamarku, jadi aku tak
bisa masuk ke sana. Aku membuka pintu untuk apa yang kupikir lemari. Tapi
aku terkejut, lalu melihat sebuah tangga kayu yang sempit. Aku menduga itu
mengarah ke loteng. Loteng! Aku tak pernah memiliki loteng sebelumnya. Aku berani bertaruh loteng itu
penuh dengan segala macam barang-barang lama yang hebat, pikirku gembira.
Mungkin orang-orang yang dulu tinggal di sini meninggalkan koleksi komik
buku tua mereka di sana - dan itu bernilai jutaan!
Aku sudah setengah menaiki tangga ketika aku mendengar suara Ayah di
belakangku. "Jerry, kau mau pergi ke mana ?"
"Naik," jawabku. Itu cukup jelas.
"Kau benar-benar tak seharusnya pergi ke sana sendirian," ia memperingatkan.
"Mengapa tidak" Apa ada hantu di atas sini atau sesuatu?" tanyaku.
Aku bisa mendengar langkah kaki yang berat di tangga kayu. Dia mengikutiku.
"Di sini panas," gumamnya, menyesuaikan kacamata di hidungnya. "Sangat pengap."
Dia menarik-narik rantai yang tergantung dari langit-langit, dan lampu menyala,
memberikan cahaya kuning pucat di atas kami.
Aku melirik cepat berkeliling. Itu adalah suatu kamar yang panjang dan rendah,
langit-langit miring ke bawah pada kedua sisi bawah atap. Aku tidak terlalu
tinggi, tapi aku mengulurkan tangan ke atas dan menyentuh langit-langitnya.
Ada jendela-jendela bundar kecil di kedua ujungnya. Tapi tertutup debu dan tak
membiarkan banyak cahaya masuk.
"Kosong," gumamku, sangat kecewa.
"Kita dapat menyimpan banyak sampah di sini," kata Ayah, melihat ke
sekeliling. "Hei - apa itu?" Aku melihat sesuatu di dinding jauh dan mulai berjalan cepat ke
arah itu. Papan lantai berderit dan berkeriat-keriut di bawah sepatuku.
Aku melihat selimut abu-abu menutupi sesuatu yang besar.
Mungkin itu semacam peti harta karun, pikirku.
Tak ada yang pernah menuduh aku tak punya imajinasi yang baik.
Ayah berada tepat di belakang saat aku meraih selimut berat dengan kedua
tangan dan menariknya menjauh.
Dan menatap piano hitam mengkilap.
"Wow," gumam Ayah, menggaruk-garuk botaknya, menatap piano itu dengan
terkejut. "Wow. Wow. Mengapa mereka pergi meninggalkan ini?"
Aku mengangkat bahu. "Ini terlihat seperti baru," kataku.
Aku menekan beberapa tuts dengan jari telunjukku. "Kedengarannya bagus."
Ayah menekan beberapa tuts juga.
"Ini benar-benar piano yang bagus," katanya, menggosok tangannya dengan lembut
di atas keyboard. "Aku ingin tahu apa yang dilakukannya tersembunyi di sini di
loteng seperti ini...."
"Ini misteri," aku setuju.
Aku tidak tahu seberapa besar misteri itu sebenarnya.
*** Aku tak bisa tidur malam itu. Maksudku, tidak mungkin.
Aku berada di tempat tidur tuaku yang bagus dari rumah lama kami. Tapi
menghadap ke arah yang salah. Menghadap ke dinding yang berbeda. Dan
lampu dari teras belakang tetangga itu bersinar melalui jendela. Jendela itu
berderak-derak karena angin. Dan semua bayangan-bayangan mengerikan itu
bergerak bolak-balik melintasi langit-langit.
Aku tak akan pernah bisa tidur di kamar baru ini, aku menyadari.
Ini terlalu berbeda. Terlalu menyeramkan. Terlalu besar.
Aku akan terjaga selama sisa hidupku!
Aku cuma berbaring di sana, mata terbuka lebar, menatap bayangan-bayangan
yang aneh. Aku baru saja mulai santai dan terlena tidur ketika aku mendengar musik.
Musik piano. Pada mulanya, kupikir itu datang dari luar. Tapi aku segera menyadari itu
datang dari atasku. Dari loteng!
Aku duduk tegak dan mendengarkan. Ya. Semacam musik klasik. Tepat di atas
kepalaku. Aku menyentakkan selimut dan menurunkan kakiku ke lantai.
Siapa yang ada di loteng bermain piano di tengah malam" Aku bertanya-tanya.
Tidak mungkin Ayah. Dia tak bisa memainkan not (tangga nada). Dan Ibu
hanya bisa bermain "Chopstick," dan tidak cukup baik.
(chopstik: melodi yang mudah dan sederhana untuk dipelajari dan dimainkan)
Mungkin itu Bonkers, aku berkata pada diriku sendiri.
Aku berdiri dan mendengarkan. Musik itu berlanjut. Sangat pelan. Tapi aku bisa
mendengarnya dengan jelas. Setiap not-nya.
Aku mulai berjalan ke pintu dan jari kakiku tersandung karton yang belum
dibongkar. "Aduh!" jeritku, meraih kakiku dan melompat-lompat sampai rasa sakit
itu berkurang. Ibu dan Ayah tak bisa mendengar, aku tahu. Kamar tidur mereka di lantai
bawah. Aku menahan napas dan mendengarkan. Aku masih bisa mendengar musik
piano di atas kepalaku. Berjalan perlahan-lahan, hati-hati, aku melangkah keluar dari kamarku dan ke
lorong. Papan-papan lantai berderit di bawah kaki telanjangku. Lantainya terasa
dingin. Aku membuka pintu loteng dan bersandar ke dalam kegelapan.
Musik itu melayang turun. Itu adalah musik sedih, sangat lambat, sangat pelan.
"Siapa - siapa - yang di atas sana?" Aku tergagap.
2 Musik sedih itu berlanjut, melayang menuruni tangga sempit dan gelap padaku.
"Siapa di sana?" ulangku, suaraku sedikit gemetar.
Sekali lagi, tak ada jawaban.
Aku mencondongkan tubuh ke dalam kegelapan, mengintip ke arah loteng.
"Ibu, kau kah itu" Ayah?"
Tak ada jawaban. Melodi itu begitu menyedihkan, begitu lambat.
Bahkan sebelum aku menyadari apa yang kulakukan, aku menaiki tangga.
Tangga itu mengerang keras di bawah kaki telanjangku.
Udara terasa panas dan pengap saat aku tiba di puncak tangga dan melangkah ke
loteng yang gelap. Musik piano itu mengelilingiku sekarang. Not-not tampaknya datang dari segala
arah sekaligus. "Siapa itu?" tuntutku dengan suara melengking bernada tinggi. Kurasa aku sedikit
takut. "Siapa di sana?"
Sesuatu mengusap wajahku, dan aku kaget sekali.
Aku butuh waktu lama gemetar untuk menyadari bahwa itu rantai lampu.
Aku menariknya. Lampu kuning pucat menyebar di ruangan panjang dan sempit
itu. Musiknya berhenti. "Siapa di sana?" panggilku, memicingkan mata ke arah piano di dinding jauh.
Tak ada. Tak ada orang di sana. Tak ada seorang pun yang duduk di depan piano.
Sunyi. Kecuali deritan papan lantai di bawah kakiku ketika aku berjalan ke piano itu.
Aku menatapnya, menatap tuts-tuts piano.
Aku tak tahu apa yang aku harapkan untuk dilihat. Maksudku, seseorang yang
bermain piano. Seseorang telah memainkannya persis sesaat sampai lampu
menyala. Ke mana perginya"
Aku merunduk ke bawah dan mencari di bawah piano.
Aku tahu itu bodoh, tapi aku tak berpikir jernih. Jantungku berdebar sangat
keras, dan segala macam pikiran gila berputar melalui otakku.
Aku membungkuk dan memeriksa papan tuts piano. Kupikir mungkin ini adalah
salah satu piano kuno yang bermain sendiri. Seorang pemain piano. Kau tahu,
seperti yang kadang-kadang kau lihat di film kartun.
Tapi ini tampaknya seperti sebuah piano biasa. Aku tak melihat sesuatu yang
khusus padanya. Aku duduk di bangku. Dan melompat. Bangku piano itu hangat! Seperti jika seseorang baru saja duduk di atasnya!
"Wah!" teriakku keras-keras, menatap bangku mengkilap hitam itu.
Goosebumps - Piano Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku mengulurkan tangan dan merasakannya. Ini benar-benar hangat.
Tapi aku mengingatkan diriku sendiri seluruh loteng benar-benar hangat, lebih
hangat dari bagian lain rumah. Panas tampaknya mengapung di sini dan
menetap. Aku kembali duduk dan menunggu untuk hatiku yang berpacu untuk kembali
normal. Apa yang terjadi di sini" Aku bertanya pada diriku, berbalik untuk menatap
piano itu. Kayu hitam itu dipelitur begitu bagus, aku bisa melihat pantulan
wajahku menatap ke arahku.
Bayanganku terlihat sangat ketakutan.
Aku menunduk ke papan tuts dan lalu menekan pelan beberapa not.
Seseorang telah memainkan piano ini beberapa saat yang lalu, aku tahu.
Tapi bagaimana dia bisa menghilang ke udara tipis ini tanpa kulihat"
Aku memetik not lain, lalu not lainnya. Suaranya menggema melalui ruangan
panjang dan kosong itu. Lalu aku mendengar deritan keras. Dari bawah tangga.
Aku membeku, tanganku masih di tuts piano.
Deritan lain. Langkah kaki.
Aku berdiri, terkejut, kakiku gemetaran.
Aku mendengarkan. Aku benar-benar mendengarkan, aku bisa mendengar udara
bergerak. Langkah lain. Lebih keras. Lebih dekat.
Seseorang berada di tangga. Seseorang memanjat ke loteng.
Seseorang mendatangiku. 3 Berderit. Berderit. Tangga itu menunjukkan jalan di bawah langkah-langkah yang berat.
Napasku tercekat di tenggorokan. Aku merasa seolah-olah aku akan mati lemas.
Membeku di depan piano, aku mencari tempat untuk bersembunyi. Tapi tentu
saja tak ada. Berderit. Berderit. Dan lalu, saat aku menatap ketakutan, satu kepala menjulur di atas tangga.
"Ayah!" teriakku.
"Jerry, apa yang kau lakukan di sini?" Dia melangkah ke cahaya kuning pucat.
Rambut cokelat tipisnya berdiri di seluruh kepalanya. Celana piyama-nya
tergulung. Satu kakinya digulung sampai lutut. Ia memicingkan mata padaku. Ia
tak memakai kacamatanya. "Yah - aku - aku pikir -" Aku tergagap. Aku tahu aku terdengar seperti orang
tolol. Tapi yang benar saja - aku ketakutan!
"Apakah kau tahu jam berapa ini?" tuntut Ayah dengan marah. Ia melirik
pergelangan tangannya, tapi ia tak memakai arlojinya. "Ini tengah malam,
Jerry!" "Aku - aku tahu, Yah," kataku, mulai merasa sedikit lebih baik. Aku
menghampirinya. "Aku mendengar musik piano. Dan kupikir -"
"Kau apa?" Matanya yang gelap melebar. Mulutnya ternganga. "Kau dengar apa?"
"Musik piano," ulangku. " Di atas sini. Jadi aku naik ke lantai atas untuk
memeriksanya, dan -"
"Jerry!" Ayah meledak. Wajahnya menjadi benar-benar merah. "Sudah terlambat
untuk lelucon bodohmu itu!"
"Tapi, Ayah -" Aku mulai protes.
"Ibumu dan aku mati-matian membongkar dan memindahkan perabotan
sepanjang hari," kata Ayah, mengeluh letih. "Kami berdua lelah, Jerry. Aku tak
perlu memberitahumu bahwa aku sedang tidak kepingin untuk lelucon. Aku
harus bebekerja besok pagi. Aku butuh tidur."
"Maaf, Ayah," kataku pelan.
Aku bisa lihat tak mungkin aku akan membuatnya percaya padaku tentang
musik piano. "Aku tahu kau senang berada di rumah baru," kata Ayah, meletakkan tangan di bahu
kemeja piyamaku. "Tapi, ayolah Kembali ke kamarmu. Kau perlu tidur,
juga." Aku menoleh ke belakang di piano. Piano gelap itu berkilauan dalam cahaya
kuning pucat. Seolah-olah bernapas. Seolah-olah hidup.
Aku membayangkannya bergemuruh ke arahku, mengejarku ke tangga.
Gila, pikiran aneh. Kurasa aku lebih lelah daripada yang kupikir!
"Apa kau ingin belajar memainkannya?" Ayah tiba-tiba bertanya.
"Hah?" Pertanyaannya mengejutkanku.
"Apakah kau ingin les piano" Kita bisa membawa piano itu ke bawah. Ada
ruangan untuknya di ruang keluarga."
"Yah.. Mungkin," Jawabku. "Ya. Itu mungkin bagus."
Dia mengangkat tangannya dari bahuku. Kemudian dia meluruskan piyama dan
mulai menuruni tangga. "Aku akan membicarakan hal ini dengan ibumu,"
katanya. "Aku yakin dia akan senang. Dia selalu ingin seseorang jadi pemain
musik dalam keluarga ini. Tarik rantai lampunya, oke?"
Dengan patuh, aku mengulurkan tangan dan mematikan lampu. Kegelapan tibatiba yang begitu hitam, mengejutkanku. Aku tinggal dekat di belakang ayahku
saat kami berjalan menuruni tangga yang berderit.
Lalu di tempat tidurku, aku menarik selimut sampai ke daguku. Agak dingin di
kamarku. Di luar, angin musim dingin berhembus keras. Jendela kamar tidur
berderak dan bergetar, seolah-olah menggigil.
Les piano mungkin menyenangkan, pikirku. Jika mereka membiarkan aku
belajar bermain piano rock, bukan musik-musik klasik membosankan yang
emosional itu. Setelah beberapa pelajaran, mungkin aku bisa synthisezer (musik gabungan).
Bisa dua atau tiga papan tuts yang berbeda. Menghubungkannya ke komputer.
Lalu aku bisa membuat beberapa komposisi (lagu). Mungkin bersama-sama
membuat grup. Ya. Ini bisa benar-benar sangat baik.
Aku memejamkan mata. Jendela berderak-derak lagi. Rumah tua ini tampak mengerang.
Aku akan terbiasa suara-suara ini, aku berkata pada diriku sendiri. Aku akan
terbiasa dengan rumah tua ini. Setelah beberapa malam, aku bahkan tak akan
mendengar suara-suara. Aku baru saja akan tertidur ketika aku mendengar musik piano lembut yang
sedih itu mulai lagi. 4 Senin pagi, aku bangun sangat pagi. Jam kucingku dengan ekor dan mata yang
begerak-gerak belum dibongkar. Tapi aku bisa tahu itu pagi karena cahaya abuabu pucat masuk melalui jendela kamarku.
Aku cepat berpakaian, menarik sepasang jins pudar bersih dan kemeja berwarna
hijau tua yang tak terlalu berkerut. Itu adalah hari pertamaku di sekolah
baruku, jadi aku sangat bersemangat.
Aku menghabiskan lebih banyak waktu pada rambutku daripada yang biasa
kulakukan. Rambutku berwarna cokelat, tebal dan liat, dan aku butuh waktu
lama untuk mengaturnya rapi dan membuat posisinya rata, cara yang kusukai.
Ketika akhirnya aku selesai, aku berjalan menyusuri lorong menuju tangga
depan. Rumah itu tetap sunyi dan gelap.
Aku berhenti di luar pintu loteng. Pintu itu terbuka lebar.
Bukankah aku menutupnya ketika aku turun dengan ayahku"
Ya. Aku ingat menutupnya erat-erat. Dan sekarang, inilah dia, terbuka lebar.
Aku merasakan hawa dingin yang dingin di bagian belakang leherku. Aku
menutup pintu, mendengarkan suara klik.
Jerry, tenang saja, aku memperingatkan diriku sendiri. Mungkin kancingnya
longgar. Mungkin pintu loteng selalu terayun terbuka. Ini rumah tua, ingat"
Aku sudah berpikir tentang musik piano. Mungkin itu tiupan angin melalui
senar piano, aku berkata pada diriku sendiri.
Mungkin ada lubang atau sesuatu di jendela loteng. Dan angin bertiup dan
membuatnya terdengar seolah-olah sedang bermain piano.
Aku ingin percaya itu bahwa angin yang membuat bahwa musik lambat sedih
itu. Aku ingin mempercayainya, jadi aku percaya.
Aku memeriksa pintu loteng sekali lagi, memastikannya terkunci, lalu menuju
ke dapur. Ibu dan Ayah masih di kamar mereka. Aku bisa mendengar mereka berpakaian.
Dapur itu gelap dan sedikit dingin. Aku ingin menyalakan tungku perapian, tapi
aku tak tahu di mana alat pengatur panas itu.
Tidak semua barang dapur kami telah dibongkar. Kardus-kardus masih
ditumpuk di dinding, penuh dengan gelas dan piring dan barang-barang.
Aku mendengar seseorang datang di lorong.
Sebuah kardus besar kosong di samping kulkas memberiku ide. Tertawa-tawa
sendiri, aku melompat di dalamnya dan menarik tutupnya di atasku.
Aku menahan napas dan menunggu.
Langkah kaki di dapur. Aku tak tahu apa itu Ibu atau Ayah.
Jantungku berdebar-debar. Aku terus menahan napas. Jika aku tak menahannya,
aku tahu aku akan tertawa terbahak-bahak.
Langkah-langkah kaki itu berjalan melewati kardusku ke wastafel (bak cuci
piring). Aku mendengar air mengalir. Siapa pun itu dia sedang mengisi ceret.
Langkah-langkah kaki itu menuju ke kompor listrik.
Aku tak bisa menunggu lagi.
"KEJUTAN!" Aku menjerit dan melompat berdiri dalam kardus.
Ayah menjerit terkejut dan menjatuhkan ceret. Ceret itu mendarat di kakinya
dengan suara keras, lalu miring ke samping di lantai.
Air menggenang di sekitar kaki Ayah. Ceret itu bergulir ke arah kompor listrik.
Ayah melolong dan memegang kakinya yang terluka dan melompat-lompat.
Aku tertawa seperti orang gila! Kau harus melihat ekspresi wajah Ayah saat aku
melompat dari kardus. Aku benar-benar berpikir dia akan menjatuhkan giginya!
Ibu mendadak masuk ke dalam ruangan, masih mengancingkan manset lengan
bajunya. "Apa yang terjadi di sini?" teriaknya.
"Cuma Jerry dan lelucon konyolnya," gerutu Ayah.
"Jerome!" teriak Ibu, melihat semua air tumpah di lantai linoleum. "Yang benar
saja." "Cuma coba membantu membangunkan kalian," kataku, sambil nyengir.
Mereka banyak mengeluh, tapi mereka terbiasa merasakan humor sintingku.
*** Aku mendengar musik piano lagi malam itu.
Itu pasti bukan angin. Aku mengenali melodi yang menyedihkan yang sama.
Aku mendengarkan selama beberapa saat. Itu datang tepat dari atas kamarku.
Siapa di sana" Siapa yang bermain" Aku bertanya pada diriku sendiri.
Aku mulai keluar dari tempat tidur dan menyelidiki. Tapi kamarku dingin, dan
aku benar-benar lelah karena hari pertamaku di sekolah baru.
Jadi aku menarik selimut untuk menutupi kepalaku untuk meredam musik piano
itu, dan dengan cepat jatuh tertidur.
*** "Apa Ibu dengar musik piano tadi malam?" tanyaku pada ibuku.
"Makan cornflake(jonjot jagung)-mu," jawabnya. Dia mengencangkan sabuk jubah
mandi dan mencondongkan tubuhnya ke arahku atas meja dapur.
"Mengapa aku harus dapat cornflake?" Aku menggerutu, menggerakkan sendok di
dalam mangkuk. "Kau tahu aturannya," katanya, mengerutkan kening. "Sereal sampah hanya di akhir
pekan." "Aturan bodoh," gumamku. "Kupikir cornflake adalah sereal sampah."
"Jangan beri aku waktu yang sulit," keluh Ibu, menggosok pelipisnya. "Aku sakit
kepala pagi ini." "Karena bermain piano tadi malam?" tanyaku.
"Bermain piano apa?" tanyanya kesal. "Mengapa kau terus berbicara tentang
bermain piano?" "Apa Ibu tak mendengarnya" Piano di loteng" Seseorang memainkannya tadi
malam." Dia melompat berdiri. "Oh, Jerry, tolonglah. Tak ada lelucon pagi ini, oke" Aku
katakan padamu aku sakit kepala."
"Apa aku mendengar kalian bicara tentang piano?" Ayah masuk ke dapur,
membawa koran pagi. "Orang-orang datang sore ini untuk membawanya ke
ruang keluarga." Dia tersenyum padaku. "Lenturkan jari-jari itu, Jerry."
Ibu harus berjalan ke meja untuk menuang secangkir kopi. "Apa kau benarbenar tertarik pada piano itu?" tanyanya, menatapku ragu-ragu. "Apa kau benarbenar akan berlatih dan melakukannya?"
"Tentu saja," jawabku. "Mungkin."
*** Dua tukang memindahkan piano di sana saat aku pulang dari sekolah. Mereka
tak terlalu besar, tapi mereka kuat.
Aku naik ke loteng dan mengamati mereka sementara Ibu menarik karduskardus keluar dari ruang keluarga untuk membuat tempat untuk piano itu.
Kedua pria itu menggunakan tali dan sejenis kerekan khusus. Mereka
memiringkan piano ke samping, kemudian mengangkatnya ke kerekan.
Menurunkannya menuruni tangga yang sempit benar-benar sulit. Piano itu
menabrak dinding beberapa kali, walaupun mereka bergerak perlahan dan hatihati. Kedua wajah tukang itu benar-benar merah dan berkeringat pada saat mereka
berhasil membawa piano itu di lantai bawah. Aku mengikuti mereka saat
mereka meluncur melintasi ruang tamu, lalu melalui ruang makan.
Ibu keluar dari dapur, tangannya masuk ke saku celana jeans, dan mengamati
dari ambang pintu saat mereka menggulung kerekan itu dengan piano ke ruang
keluarga. Para pria menegangkannya untuk memiringkan piano itu tepat ke sisi atas. Kayu
berplitur hitam benar-benar bersinar di bawah sinar matahari sore yang cerah
melalui jendela ruang keluarga.
Lalu, saat mereka mulai menurunkan piano ke lantai, Ibu membuka mulutnya
dan mulai menjerit. 5 "Kucing itu! Kucing itu!" jerit Ibu, wajahnya berkerut ketakutan.
Benar saja, Bonkers sedang berdiri tepat di tempat di mana mereka menurunkan
piano. Piano berat itu berdebam ke lantai. Bonkers berlari keluar dari bawahnya tepat
pada waktunya. Sayang sekali! pikirku, menggelengkan kepala. Kucing bodoh itu hampir
mendapatkan apa yang pantas baginya.
Orang-orang itu meminta maaf saat mereka terengah-engah, menyeka dahi
mereka dengan syal merah-putih mereka.
Ibu berlari ke Bonkers dan mengangkatnya. "Kucing kecilku yang malang."
Tentu saja Bonkers mengayunkan pukulan ke lengan Ibu, cakarnya merobek
keluar beberapa benang di lengan sweater. Ibu menurunkannya ke lantai, dan
makhluk itu meluncur cepat keluar dari ruangan.
"Dia sedikit panik berada di rumah baru," kata Ibu kepada dua pekerja itu.
"Dia selalu bertindak seperti itu," kataku pada mereka.
Beberapa menit kemudian, para tukang pindah itu pergi. Ibu berada di
kamarnya, berusaha untuk memperbaiki sweternya. Dan aku sendirian di ruang
keluarga dengan pianoku. Aku duduk di bangku dan meluncur bolak-balik di atasnya. Bangku itu
mengkilat dan halus. Benar-benar licin.
Aku merencanakan aksi komedi yang benar-benar lucu di mana aku duduk
untuk memainkan piano untuk Ibu dan Ayah, hanya saja bangku sangat licin,
aku terus tergelincir jatuh ke lantai.
Aku hampir tergelincir dan jatuh untuk sementara waktu. Aku bersenangsenang. Jatuh adalah salah satu hobiku. Hal itu tak semudah seperti yang terlihat.
Setelah beberapa saat, aku lelah terjatuh. Aku hanya duduk di bangku dan
menatap tuts. Aku mencoba memilih sebuah lagu, menekan not-not sampai aku
menemukan yang tepat. Aku jadi mulai bersemangat tentang belajar bermain piano.
Aku bayangkan itu akan menyenangkan.
Aku salah. Sangat salah. *** Sabtu siang, aku berdiri menatap ke luar jendela ruang tamu. Ini adalah hari
mendung berangin. Tampaknya seperti akan turun salju.
Aku melihat guru piano itu berjalan di jalanan masuk. Dia tepat waktu. Jam dua.
Menekan wajahku ke jendela, aku bisa melihat bahwa ia besar, agak gendut. Dia
memakai mantel merah panjang menggembung dan berambut putih lebat. Dari
jarak ini, ia tampak kelihatan seperti Santa Claus.
Dia berjalan sangat kaku, seolah-olah lututnya tidak sehat. Radang sendi atau
semacamnya, tebakku. Ayah menemukan namanya di sebuah iklan kecil di bagian belakang surat kabar
New Gosyen. Dia menunjukkan kepadaku. Dikatakan:
Goosebumps - Piano Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
SEKOLAH SHREEK Metode baru berlatih piano
Karena itu satu-satunya iklan yang ada di koran untuk guru piano, Ayah
menelponnya. Dan sekarang, Ibu dan Ayah menyambut guru itu di pintu dan mengambil jaket
tebal merahnya. "Jerry, ini adalah Dr Shreek," kata Ayah, memberi tanda kepadaku untuk
meninggalkan tempatku di jendela.
Dr Shreek tersenyum padaku. "Halo, Jerry."
Dia benar-benar tampak seperti Santa Claus, kecuali dia punya kumis putih,
bukan jenggot. Pipinya merah bulat, senyumnya ramah, dan matanya yang biru
agak berkedip-kedip saat dia menyapaku.
Dia memakai kemeja putih yang tak dimasukkan sekitar perutnya yang besar,
dan celana longgar abu-abu.
Aku melangkah maju dan menjabat tangannya. Tangannya merah dan agak
seperti sepon. "Senang bertemu Anda, Dr Shreek," kataku sopan.
Ibu dan Ayah saling nyengir. Mereka tak pernah bisa percaya saat aku sopan!
Dr Shreek meletakkan tangan seponnya di atas bahuku. "Aku tahu aku punya
nama yang lucu," katanya, tertawa. "Aku mungkin harus mengubahnya. Tapi, harus
harus akui, itu benar-benar menarik perhatian!."
Kami semua tertawa. Ekspresi Dr Shreek berubah serius. "Apa kau pernah memainkan alat musik
sebelumnya, Jerry?" Aku berpikir keras. "Yah, aku punya kazoo sekali!"
(kazoo: mainan alat musik tiup, yang ada membran yang menghasilkan suara
saat kau berdendang ke bagian mulutnya)
Semua orang tertawa lagi.
"Piano sedikit lebih sulit daripada kazoo," kata Dr Shreek, masih tergelak.
"Biarkan aku melihat pianomu."
Aku menuntunnya melewati ruang makan dan masuk ke ruang keluarga. Dia
berjalan dengan kaku, tapi tampaknya tidak menghambatnya.
Ibu dan Ayah minta diri dan menghilang ke lantai atas untuk membongkar
(barang-barang) lagi. Dr Shreek mempelajari tuts piano itu. Lalu ia mengangkat bagian belakangnya
dan memeriksa senar-senar dengan matanya. "Alat musik yang sangat bagus,"
gumamnya. "Sangat bagus."
"Kami menemukan di sini," kataku padanya.
Mulutnya melongo agak terkejut. "Kalian menemukannya?"
"Di loteng. Seseorang benar-benar meninggalkannya di sana," kataku.
"Aneh," jawabnya, menggosok dagunya yang tembam. Dia merapikan kumis
putih sambil menatap tuts.
"Apa kau tak tahu siapa yang memainkan piano ini sebelum dirimu?" ia
bertanya lirih. "Tidakkah kau bertanya-tanya jari-jari siapa yang menyentuh
tombol-tombol ini?" "Yah..." Aku benar-benar tak tahu harus berkata apa.
"Misterius sekali," katanya berbisik. Lalu ia memberi isyarat padaku untuk duduk
di bangku piano. Aku tergoda untuk melakukan komediku dan tergelincir tepat ke lantai. Tapi
kuputuskan aku akan menyimpannya saat aku mengenalnya lebih baik.
Dia tampak seperti semacam pria periang yang baik. Tapi aku tak ingin dia
berpikir aku tak serius untuk belajar bermain piano.
Dia duduk di sampingku di bangku. Dia begitu lebar, hampir tak ada ruang
untuk kami berdua. "Apakah Anda akan memberikan les saya di sini, di rumah setiap minggu?"
tanyaku, bergeser sejauh yang aku bisa untuk membuat ruang.
"Aku akan memberimu les di rumah pertama kalinya," jawabnya, mata birunya
berbinar padaku. "Lalu, jika kau menunjukkan bakat, Jerry, kau bisa datang ke
sekolahku." Aku mulai mengatakan sesuatu, tapi ia meraih tanganku.
"Biar kulihat," katanya sambil mengangkat tanganku ke dekat wajahnya. Ia
membaliknya dan mempelajari kedua belah sisinya. Kemudian dia dengan hati-hati
memeriksa jari-jariku. "Tangan yang indah !" serunya terengah-engah. "Tangan yang bagus sekali!"
Aku menunduk menatap tanganku. Tanganku tak terlihat seperti sesuatu yang
istimewa bagiku. Tangan yang normal.
"Tangan bagus," ulang Dr. Shreek. Dia menempatkan tanganku dengan hati-hati di
tuts piano. Dia menunjukkan padaku setiap not, dimulai dengan C, dan dia
membuatku memainkannya dengan jari yang benar.
"Minggu depan kita akan mulai," katanya padaku, berdiri dari bangku piano.
"Aku hanya ingin bertemu kau hari ini."
Dia mencari-cari di tas kecil yang disandarkannya ke dinding. Dia
mengeluarkan buku catatan dan menyerahkannya padaku. Buku itu berjudul
Permulaan untuk Bermain: Suatu Pendekatan Hands On.
(Hands On: ajakan berpartisipasi aktif)
"Lihat ini, Jerry. Cobalah pelajari not-not pada halaman dua dan tiga.." Dia
berjalan ke mantelnya, yang Ayah sampirkan di belakang sofa.
"Sampai jumpa Sabtu depan," kataku.
Aku merasa sedikit kecewa karena pelajaran itu begitu singkat. Kupikir aku
akan bermain beberapa riff rock yang bagus sekarang.
(riff: frase kalimat musik yang diulang)
Ia memakai mantelnya, lalu kembali ke tempat aku duduk. "Kurasa kau akan
menjadi murid yang sempurna, Jerry," katanya, tersenyum.
Aku menggumamkan terima kasih. Aku terkejut melihat matanya terpaku pada
tanganku. "Bagus. Bagus," bisiknya.
Aku tiba-tiba tiba ngeri.
Kupikir wajahnya itu tampak kelaparan.
Apa yang begitu spesial tentang tanganku" Aku bertanya-tanya. Mengapa ia
begitu menyukainya" Ini aneh. Benar-benar aneh.
Tapi tentu saja aku tak tahu seberapa anehnya. . . .
6 CDEFGABC. Aku berlatih not-not di halaman dua dan tiga dari buku catatan piano itu. Buku
ini menunjukkan jari mana yang digunakan dan segalanya.
Ini mudah, pikirku. Jadi, kapan aku bisa mulai memainkan beberapa (lagu) rock and roll"
Aku masih mendeteksi not-not itu dengan perasaan ketika Ibu muncul dari
ruang bawah tanah dan menjulurkan kepala ke ruang keluarga. Rambutnya telah
terlepas dari syal yang diikatkan di kepalanya, dan ada noda kotoran yang
menempel di dahinya. "Apakah Dr. Shreek sudah pergi?" tanyanya, heran.
"Ya. Dia berkata dia hanya ingin bertemu denganku,." Kataku. "Dia akan kembali
Sabtu depan. Katanya aku punya tangan yang sangat bagus."
"Kau?" Dia menyibakkan rambut yang menutupi matanya. "Yah, mungkin kau bisa
memakai tangan yang sangat baik itu turun ke ruang bawah tanah dan
menggunakannya untuk membantu kami membongkar beberapa kardus."
"Oh, tidak!" teriakku, dan aku tergelincir dari bangku piano dan jatuh ke
lantai. Dia tak tertawa. *** Malam itu, aku mendengar musik piano.
Aku duduk tegak di tempat tidur dan mendengarkan. Musik itu melayang dari
lantai bawah. Aku turun dari tempat tidur. Papan lantai (terasa) dingin di bawah kakiku yang
telanjang. Aku harusnya punya karpet, tapi Ayah belum punya waktu untuk
meletakkannya. Rumah itu sunyi. Melalui jendela kamarku, aku bisa melihat salju yang lembut
turun, serpihan kecil abu-abu yang halus, di langit yang hitam.
"Seseorang bermain piano," kataku keras-keras, dikejutkan oleh suara tidurku
yang parau. "Seseorang di bawah sana memainkan pianoku."
Ibu dan Ayah pasti mendengarnya, pikirku. Kamar mereka berada di ujung
rumah. Tapi mereka di bawah. Mereka pasti mendengarnya.
Aku bergerak pelan-pelan ke pintu kamarku.
Melodi lembut sedih yang sama. Aku telah menyenandungkannya persis
sebelum makan malam. Ibu bertanya padaku di mana aku pernah
mendengarnya, dan aku tak bisa ingat.
Aku bersandar di kusen pintu, jantungku berdebar-debar, dan mendengarkan.
Musik itu melayang begitu jelas, aku bisa mendengar setiap notnya.
Siapa yang bermain" Siapa" Aku harus mencari tahu. Menyeret tanganku di sepanjang dinding, aku bergegas
melewati lorong yang gelap itu. Ada lampu malam oleh tangga, tapi aku selalu
lupa untuk menyalakannya.
Aku berjalan menuju tangga. Lalu, mencengkeram erat pegangan tangga kayu,
aku merayap ke bawah, satu langkah di satu waktu, mencoba untuk pelan-pelan.
Berusaha untuk tidak menbuat takut pemain piano pergi.
Tangga kayu berderit pelan di bawah berat badanku. Tapi musik itu terus.
Lembut dan sedih, hampir memilukan.
Berjingkat dan menahan napas, aku melintasi ruang tamu. Sebuah lampu jalan
menuangkan sapuan kuning pucat di lantai. Melalui jendela depan yang besar,
aku bisa melihat kepingan salju kecil melayang turun.
Aku hampir tersandung kardus berisi vas-vas (jambangan bunga) yang belum
dibongkar di samping kiri meja kopi. Tapi aku menyambar bagian belakang
sofa dan menahan jatuhnya diriku.
Musik itu berhenti. Lalu mulai lagi.
Aku bersandar di sofa, menunggu hatiku untuk berhenti berdebar begitu keras.
Mana Ibu dan Ayah" Aku bertanya-tanya, menatap ke arah lorong belakang di
mana kamar mereka berada.
Tak bisakah mereka mendengar piano itu juga" Apa mereka penasaran" Apa
mereka tak bertanya siapa yang di ruang keluarga di tengah malam, bermain
sebuah lagu yang begitu sedih"
Aku menarik napas dalam-dalam dan mendorong diriku menjauh dari sofa.
Perlahan-lahan, diam-diam, aku berjalan melewati ruang makan.
Lebih gelap di belakang sana. Tak ada cahaya dari jalanan. Aku bergerak
dengan hati-hati, menyadari kursi dan kaki meja yang bisa membuatku
tersandung. Pintu ke ruang keluarga hanya beberapa kaki di depanku. Musik itu semakin
keras. Aku maju selangkah. Lalu, selangkah lagi.
Aku bergerak ke pintu yang terbuka itu.
Siapa itu" Siapa itu"
Aku mengintip ke dalam kegelapan.
Tapi sebelum aku bisa melihat, seseorang mengeluarkan jeritan mengerikan di
belakangku - dan mendorongku keras, membuatku jatuh ke lantai.
7 Aku membentur lantai keras itu pada lutut dan sikuku.
Jeritan keras lainnya - tepat di telingaku.
Bahuku berdenyut kesakitan.
Lampu menyala. "Bonkers!" raungku.
Kucing itu melompat dari bahuku dan terburu-buru keluar dari ruangan.
"Jerry - apa yang kau lakukan" Apa yang terjadi?" tuntut Ibu dengan marah saat
ia berlari ke dalam ruangan.
"Keributan apa ini?" Ayah berada tepat di belakangnya, menyipitkan matanya
dengan tajam tanpa kacamatanya.
"Bonkers melompat padaku!" jeritku, masih di lantai. "Aduh. Bahuku. Kucing
bodoh!" "Tapi, Jerry -" Ibu memulai. Dia membungkuk untuk membantu menarikku.
"Kucing bodoh!" Aku mengomel. "Dia melompat turun dari rak. Dia
membuatku ketakutan setengah mati. Dan lihat - lihat baju piyamaku!"
Cakar kucing itu telah merobek tepat melalui bahu.
"Apa kau terluka" Apa kau berdarah?" tanya Ibu, menarik kerah baju bawah untuk
memeriksa bahuku. "Kita benar-benar harus melakukan sesuatu pada kucing itu," gumam Ayah.
"Jerry benar. Dia itu ancaman."
Ibu segera melompat untuk membela Bonkers. "Dia cuma ketakutan, itu saja.
Mungkin dia pikir Jerry itu pencuri."
"Pencuri?" jeritku dengan suara begitu tinggi, hanya anjing yang bisa
mendengarku. "Bagaimana mungkin dia berpikir aku pencuri" Apa tak
seharusnya kucing itu melihat dalam gelap?"
"Nah, apa yang kau lakukan di sini, Jerry?" Tanya Ibu, meluruskan kerah baju
piyamaku. Dia menepuk bahuku. Seolah-olah itu akan membantu.
"Ya Mengapa kau bersembunyi di bawah sini?" tuntut Ayah, menyipitkan mata dengan
tajam padaku. Dia nyaris tak bisa melihat apa-apa tanpa kacamata.
"Aku tak bersembunyi," jawabku dengan marah. "Aku mendengar musik piano dan -"
"Kau apa?" sela Ibu.
"Aku mendengar musik piano. Di ruang keluarga. Jadi aku turun untuk melihat
siapa yang bermain."
Kedua orang tuaku menatapku seolah-olah aku seorang Mars.
"Apa kalian tak mendengarnya?" teriakku.
Mereka menggelengkan kepala.
Aku berbalik ke piano itu. Tak ada orang di sana. Tentu saja.
Aku bergegas ke bangku piano, membungkuk, dan mengusap tanganku atas
permukaannya. Hangat. "Seseorang habis duduk di sini. Aku bisa mengetahuinya!." seruku.
"Tidak lucu," kata Mom, menyeringai.
"Tidak lucu, Jerry," tiru Ayah. "Kau turun ke sini untuk membuat semacam lelucon
- bukan begitu!" tuduhnya.
"Hah" Aku?"
"Jangan pura-pura tak bersalah, Jerome," kata Ibu, memutar matanya. "Kami tahu
kau. Kau tak pernah tidak bersalah.."
"Aku tak membuat lelucon!" teriakku marah. "Aku mendengar musik,
seseorang bermain -"
"Siapa?" tuntut Ayah. "Siapa yang bermain?"
"Mungkin itu Bonkers," canda Mom.
Ayah tertawa, tapi aku tidak.
"Lelucon yang lucu, Jerry" Apa yang kau rencanakan?" tanya Ayah.
"Apa kau akan melakukan sesuatu pada piano itu?" tuntut Ibu, menatapku begitu
tajam, aku bisa merasakannya. "Itu alat musik yang berharga, kau tahu."
Aku mendesah lelah. Aku merasa sangat frustrasi, aku ingin berteriak, menjerit,
melemparkan suatu benda, dan mungkin menghantam mereka berdua.
"Piano hantu!" teriakku. Kata-kata itu muncul begitu saja di kepalaku.
"Hah?" Sekarang giliran Ayah memandangku dengan tajam.
"Piano ini pasti berhantu!" Aku bersikeras, suaraku gemetar. "Piano ini terus
bermain - tetapi tak ada seorang pun yang memainkannya!"
"Aku sudah cukup mendengar," gumam Ibu, menggelengkan kepala. "Aku akan kembali
ke tempat tidur." "Hantu, ya?" Tanya Ayah, menggosok dagunya sambil berpikir. Dia melangkah ke
arahku dan menunduk, cara yang dia lakukan ketika dia akan mengatakan
sesuatu yang serius. "Dengar, Jerry, aku tahu rumah ini mungkin tampak tua
dan agak menakutkan. Dan aku tahu betapa sulitnya bagimu untuk
meninggalkan teman-temanmu dan pindah."
"Ayah, tolonglah -" selaku.
Tapi dia terus berjalan. "Rumah ini hanya tua, Jerry. Tua dan sedikit kumuh.
Tapi itu tak berarti rumah ini berhantu. Hantu-hantu yang tak kau lihat itu
sebenarnya rasa takutmu yang keluar."
Ayah adalah psikolog utama di perguruan tinggi.
"Lewati saja kuliahnya, Yah," kataku. "Aku mau tidur."
"Oke, Jer," katanya, menepuk-nepuk bahuku. "Ingatlah - dalam beberapa minggu,
kau akan tahu aku benar. Dalam beberapa minggu, urusan hantu ini
semua akan tampak konyol bagimu."
Boy, betapa salahnya dia!
*** Aku membanting menutup lokerku dan mulai menarik jaketku. Lorong sekolah
yang panjang bergema dengan suara-suara tawa, bantingan loker, panggilanpanggilan dan teriakan-teriakan.
Lorong itu selalu ribut pada Jumat sore. Sekolah sudah selesai, sekarang dan
akhir pekan!
Goosebumps - Piano Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oooh, bau apa itu?" teriakku, dengan wajah jijik.
Di sampingku, seorang gadis berlutut, mengais-ngais tumpukan sampah di
lantai lokernya. "Aku bertanya-tanya di mana apel itu menghilang!" serunya.
Dia berdiri, memegang apel cokelat yang kisut di satu tangan. Aroma asam
menyerbu lubang hidungku. Kurasa aku akan terlempar paksa!
Aku pasti telah membuat wajah lucu, karena dia tertawa terbahak-bahak.
"Lapar?" Dia menyodorkan benda menjijikkan itu di wajahku.
"Tidak, terima kasih." Aku menyorongkannya kembali ke arahnya. "Kau bisa
memilikinya." Dia tertawa lagi. Dia agak cantik. Dia punya rambut hitam lurus yang panjang
dan mata hijau. Dia menaruh apel busuk itu di atas lantai. "Kau anak baru, kan?" dia bertanya.
"Aku Kim. Kim Li Chin."
"Hai," kataku. Kukatakan padanya namaku. "Kau di kelas matematikaku. Dan kelas
IPA-ku.," Kataku. Dia kembali ke lokernya, mencari lebih banyak barang.
"Aku tahu," jawabnya. "Aku melihatmu jatuh dari kursimu saat Pak Klein
memanggilmu." "Aku cuma melakukan itu agar jadi lucu," aku menjelaskan dengan cepat. "Aku tak
benar-benar jatuh." "Aku tahu," katanya. Dia menarik sweter wol tebal abu-abu ke bawah sweternya
yang lebih tipis. Lalu ia mengulurkan tangan dan mengeluarkan sebuah kotak
biola hitam dari lokernya.
"Apa itu kotak bekalmu?" candaku.
"Aku sudah terlambat untuk pelajaran biolaku," jawabnya, membanting
menutup lokernya. Dia berusaha untuk mendorong gembok tertutup.
"Aku ikut les piano," kataku. "Yah, maksudku aku baru saja mulai."
"Kau tahu, aku tinggal di seberang jalan darimu," katanya, menyesuaikan
ranselnya di bahu. "Aku melihatmu pindah "
"Sungguh?" jawabku, terkejut. "Yah, mungkin kau bisa datang dan kita bisa
bermain bersama. Maksudku, bermain musik. Kau tahu. Aku ikut les setiap hari
Sabtu dengan Dr Shreek."
Mulutnya ternganga ngeri saat dia menatapku. "Kau melakukan apa?"
teriaknya. "Ikut les piano dengan Dr Shreek," ulangku.
"Oh!" Dia berteriak pelan, berbalik, dan mulai berlari ke arah pintu depan.
"Hei, Kim -" Aku memanggilnya. "Kim -" Apa yang salah"
Tapi dia menghilang keluar pintu.
8 "Tangan yang sempurna. Sempurna!." Dr Shreek menyatakan.
"Terima kasih," jawabku canggung.
Aku duduk di bangku piano, membungkuk di atas piano, tanganku tersebar di
tuts-tuta. Dr Shreek berdiri di sampingku, menatap tanganku.
"Sekarang mainkan bagian itu lagi," perintahnya, mengangkat mata birunya padaku.
Senyumnya memudar di bawah kumis putih saat ekspresi wajahnya
berubah serius. "... Bermainlah dengan hati-hati, anakku. Perlahan dan hatihati. Berkonsentrasilah pada jari-jarimu. Setiap jari itu hidup, ingat - hidup!"
"Jari-jariku hidup," ulangku, menatap jari-jemariku.
Pikiran yang aneh betul, kataku pada diriku sendiri.
Aku mulai bermain, berkonsentrasi pada not-not pada lembar musik yang
bersandar di atas papan tuts. Itu adalah sebuah melodi sederhana, bagian pemula
oleh Bach. (Bach: Johann Sebastian Bach, seorang komponis Jerman. Yang membuat gaya
lagunya berbeda dari yang lain adalah semua lagu yang dibuatnya kebanyakan
ditujukan untuk Tuhan.) Kurasa itu terdengar cukup bagus.
"Jari-jari! Jari-jari!" teriak Dr Shreek. Dia membungkuk ke arah keyboard,
membawa wajahnya dekat dengan wajahku. "Ingat, jari-jari itu hidup!"
Ada apa dengan orang ini dan jari" tanyaku pada diriku sendiri.
Aku menyelesaikan bagian itu. Aku melirik dan melihat kerutan gelap
wajahnya. "Cukup bagus, Jerry," katanya lembut. "Sekarang ayo kita coba sedikit lebih
cepat." "Aku melakukan kesalahan di bagian tengah ke atas," aku mengaku.
"Kau kehilangan konsentrasimu," jawabnya. Dia mengulurkan tangan dan
merentangkan jari-jariku di atas tuts-tuts.
"Sekali lagi," perintahnya. "Tapi lebih cepat. Dan berkonsentrasilah.
Berkonsentrasilah pada tangan-tanganmu..."
Aku menarik napas dalam-dalam dan mulai bagian itu lagi. Tapi kali ini aku
segera mengacaukannya. Aku mulai selesai. Kedengarannya cukup bagus. Hanya beberapa bunyi
debaman. Aku bertanya-tanya apakah Ibu dan Ayah bisa mendengarnya. Lalu aku teringat
mereka pergi berbelanja. Dr Shreek dan aku sendirian di rumah.
Aku menyelesaikan bagian itu dan menurunkan tanganku ke pangkuanku
dengan satu desahan. "Tidak buruk. Sekarang lebih cepat," perintah Dr Shreek.
"Mungkin kita seharusnya mencoba bagian lainnya," usulku. "Ini mulai agak
membosankan." "Lebih cepat kali ini," jawabnya, benar-benar mengabaikanku. "Kedua tangan,
Jerry. Ingat tangan-tangan itu. Mereka itu hidup. Biarkan mereka bernapas!"
Biarkan mereka bernapas"
Aku menunduk menatap tanganku, mengharapkannya untuk berbicara kembali
padaku! "Mulailah," perintah Dr Shreek tegas, mencondongkan tubuh ke arahku. "Lebih
cepat." Sambil mendesah, aku mulai bermain lagi. Lagu membosankan yang sama.
"Lebih cepat!" teriak pengajar itu. "Lebih cepat, Jerry!"
Aku bermain lebih cepat. Jari-jariku bergerak di atas tuts-tuts, menekannya
dengan keras. Aku mencoba untuk berkonsentrasi pada not-not itu, tapi aku
bermain terlalu cepat bagi mataku untuk mengikutinya.
"Lebih cepat!" teriak Dr Shreek penuh semangat, menatap papan tuts itu.
"Seperti itulah! Lebih cepat, Jerry!"
Jari-jariku bergerak begitu cepat, mereka jadi kabur!
"Lebih cepat! Lebih cepat!"
Apa aku memainkan not-not yang tepat" Aku tak tahu. Ini terlalu cepat, terlalu
cepat untuk mendengar! "Lebih cepat, Jerry!" perintah Dr Shreek, berteriak sekuat tenaga. "Lebih cepat!
Tangan-tangan itu hidup! Hidup!"
"Aku tak bisa melakukannya!" teriakku. "Tolong -!"
"Lebih cepat! Lebih cepat!"
"Aku tak bisa!" Aku bersikeras.
Ini terlalu cepat. Terlalu cepat untuk bermain. Terlalu cepat untuk mendengar.
Aku mencoba berhenti. Tapi tanganku terus berjalan!
"Berhenti! Berhenti!" Aku berteriak ke arah tanganku dengan ngeri.
"Lebih cepat! Bermainlah lebih cepat!" perintah Dr Shreek, matanya melebar
bersemangat, wajahnya yang merah cerah. "Tangan-tangan itu hidup!"
"Tidak - tolong! Berhentilah!" Aku berkata ke tanganku. "Berhentilah bermain!"
Tapi tangan itu benar-benar hidup. Mereka tak akan berhenti.
Jari-jariku terbang di atas tuts-tuts itu. Satu gelombang pasang not gila
membanjiri ruangan keluarga.
"Lebih cepat! Lebih cepat!" perintah pengajar itu.
Dan meskipun aku berteriak-teriak ketakutan untuk berhenti, tanganku dengan
gembira mematuhinya, bermain lebih cepat, lebih cepat dan lebih cepat.
9 Lebih cepat dan lebih cepat, musik berputar-putar di sekelilingku.
Mencekikku, pikirku, terengah-engah. Aku tak bisa bernapas.
Aku berusaha untuk menghentikan tanganku. Tapi tanganku bergerak gilagilaan di atas papan tuts, bermain lebih cepat. Lebih cepat.
Tanganku mulai terasa sakit. Terasa sakit berdenyut-denyut.
Tapi tetap saja tanganku bermain. Lebih cepat. Lebih cepat.
Sampai aku terbangun. Aku duduk di tempat tidur, terjaga.
Dan menyadari bahwa aku sedang duduk di atas tanganku.
Kedua tanganku sakit kesemutan. Resah dan gugup. Tanganku jadi kesemutan.
Aku telah tertidur. Les piano aneh itu hanya mimpi.
Mimpi buruk yang aneh. "Ini masih Jumat malam," kataku keras-keras. Bunyi suaraku membantu
membawaku keluar dari mimpi.
Aku menggerak-gerakkan tanganku, mencoba untuk melancarkan peredaran
(darah), mencoba untuk menghentikan kesemutan yang tak nyaman ini.
Dahiku berkeringat, keringat dingin. Seluruh tubuhku terasa lengket. Kemeja
piyama menempel basah di punggungku. Aku bergidik, tiba-tiba kedinginan.
Dan menyadari musik piano itu tak berhenti.
Aku terkesiap dan mencengkeram seprai erat-erat. Sambil menahan napasku,
aku mendengarkan. Not-not itu melayang ke kamar tidurku yang gelap.
Tak ada bunyi gemuruh not gila-gilaan dari mimpiku. Melodi lambat sedih yang
telah kudengar sebelumnya.
Masih gemetar karena mimpiku yang menakutkan, aku diam-diam berdiri
keluar dari tempat tidur.
Musik itu melayang dari ruang keluarga, begitu lembut, begitu memilukan.
Siapa yang bermain di bawah sana"
Tanganku masih kesemutan saat aku berjalan di atas lantai dingin ke pintu. Aku
berhenti di lorong dan mendengarkan.
Lagu itu berakhir, lalu mulai lagi.
Malam ini aku akan memecahkan misteri ini, batinku.
Jantungku berdebar-debar. Seluruh tubuhku bergetar sekarang. Resah dan
gugup turun naik di punggungku.
Mengabaikan betapa takutnya perasaanku, aku berjalan cepat menyusuri lorong
menuju tangga. Cahaya malam yang remang-remang di dekat lantai membuat
bayanganku naik ke atas pada dinding.
Ini membuatku sejenak terkejut. Aku tertahan mundur. Tapi kemudian aku
bergegas menuruni tangga, bersandar di pegangan tangga keras untuk menjaga
langkah-langkah dari berderit.
Musik piano itu semakin keras saat aku melintasi ruangan tamu yang gelap.
Tak ada yang akan menghentikanku malam ini, kataku pada diriku sendiri. Tak
ada. Malam ini aku akan melihat siapa yang bermain piano.
Musik bernada tinggi yang lembut itu terus, begitu ringan dan sedih.
Aku berjingkat dengan hati-hati melalui ruang makan, menahan nafas,
mendengarkan musik. Aku melangkah ke pintu ke ruang keluarga.
Musik itu terus, sedikit lebih keras.
Melodi yang sama, berulang-ulang.
Mengintip ke dalam kegelapan, aku melangkah ke dalam ruangan.
Satu langkah. Langkah lainnya.
Piano itu hanya beberapa kaki di depanku.
Musik itu begitu jelas, begitu dekat.
Tapi aku tak bisa melihat siapa pun di bangku piano. Aku tak bisa melihat siapa
pun di sana sama sekali. Siapa yang bermain" Siapa yang bermain sedih, musik menyedihkan ini dalam
kegelapan" Tubuhku gemetaran, aku melangkah lebih dekat lagi. Langkah lainnya.
"Siapa - siapa di sana?" panggilku dalam bisikan tercekat.
Aku berhenti, tanganku tersimpul tegang ke tinju yang erat di pinggangku. Aku
menatap tajam ke kegelapan, berusaha melihat.
Musik itu terus. Aku bisa mendengar jari-jari di atas tuts-tuts, mendengar
dorongan kaki pada pedal.
"Siapa di sana" Siapa yang bermain?" Suaraku kecil dan melengking.
Tak ada seorang pun di sini, aku menyadari kengerianku.
Piano itu bermain, tapi tak ada seorang pun di sini.
Lalu, perlahan-lahan, sangat perlahan-lahan, seperti awan abu-abu yang
terbentuk di langit malam, hantu itu mulai muncul.
10 Mula-mula aku hanya bisa melihat garis samar-samar, garis abu-abu pucat
bergerak di kegelapan. Aku terkesiap. Jantungku berdebar begitu keras, kurasa akan meledak.
Garis-garis abu-abu itu mengambil bentuk, mulai terisi.
Aku berdiri membeku ngeri, terlalu takut untuk lari atau bahkan berpaling.
Dan saat aku menatap, seorang wanita muncul. Aku tak tahu apakah dia masih
muda atau tua. Dia menunduk dan matanya tertutup, dan berkonsentrasi pada
tuts-tuts piano. Dia punya rambut bergelombang panjang tergantung lepas ke bahunya. Dia
mengenakan atasan lengan pendek dan rok panjang. Wajahnya, kulitnya,
rambutnya - abu-abu. Semuanya abu-abu.
Dia terus bermain seolah-olah aku tak berdiri di sana.
Matanya tertutup. Bibirnya membentuk senyum sedih.
Dia agak cantik, aku menyadari.
Tapi dia itu hantu. Hantu yang bermain piano di ruang keluarga kami.
"Siapa kau" Apa yang kau lakukan di sini?" Suara tegangku bernada tinggi
mengejutkanku. Kata-kata itu terbang keluar, hampir di luar kendaliku.
Dia berhenti bermain dan membuka matanya. Dia menatap tajam ke arahku,
mempelajariku. Senyumnya memudar dengan cepat. Wajahnya tak
menunjukkan emosi sama sekali.
Aku menatap kembali, ke dalam abu-abu. Rasanya seperti melihat seseorang
dalam kabut berat yang gelap.
Bersamaan dengan berhentinya musik, rumah itu jadi begitu tenang, ketenangan
yang begitu menakutkan. "Siapa - siapa kau?" ulangku, terbata-bata dengan suara kecilku.
Mata abu-abu menyipit sedih. "Ini rumahku," katanya. Suaranya berbisik kering,
kering seperti daun-daun yang mati. Kering seperti kematian.
"Ini rumahku." Kata-kata bisikan itu sepertinya datang dari jauh, begitu pelan
aku tak yakin aku telah mendengarnya.
"Aku - tak mengerti," aku tercekat, merasa udara dingin di bagian belakang
leherku. "Apa yang kau lakukan di sini?"
"Rumahku," terdengar jawaban berbisik. "Pianoku."
"Tapi, siapa kau?" ulangku. "Apa kau hantu?"
Saat aku mengucapkan pertanyaan takutku, dia mendesah keras. Dan saat aku
menatap ke warna abu-abu murni itu, aku melihat wajahnya mulai berubah.
Mata tertutup, dan pipinya mulai meredup. Kulit abu-abu tampak jatuh,
mencair. Terkulai seperti adonan kue, seperti tanah liat lunak. Jatuh ke
bahunya, lalu jatuh ke lantai. Rambutnya mengikuti, jatuh dalam gumpalangumpalan tebal. Suatu jeritan diam keluar dari bibirku saat tengkoraknya tampak. Tengkorak
abu-abunya. Tak ada yang tersisa dari wajahnya kecuali mata, mata abu-abunya, yang
menonjol dalam rongga mata yang terbuka, menatapku melalui kegelapan.
"Jauhi pianoku!" katanya parau. "Aku memperingatkanmu - jauhi!"
Aku mundur dan berpaling dari tengkorak serak mengerikan itu. Aku mencoba
untuk berusaha menjauh, tapi kakiku tak mau bekerja sama.
Aku jatuh. Lututku membentur lantai.
Aku berusaha untuk berdiri, tapi aku gemetar terlalu keras.
"Jauhi pianoku!" Tengkorak abu-abu itu menatapku dengan mata melototnya.
"Ibu! Ayah!" Aku mencoba berteriak, tetapi yang keluar bisikan yang tertahan.
Aku berusaha berdiri, jantungku berdebar, tenggorokanku tertutup ketat dengan
rasa takut. "Ini rumahku! Pianoku! JAUHI!"
"Bu! Tolong aku! Yah!"
Kali ini aku berhasil berteriak. "Bu - Yah - tolong!"
Aku lega, aku mendengar tabrakan dan gedebak gedebuk di lorong. Langkahlangkah kaki yang berat. "Jerry" Jerry" Kau di mana?" panggil Ibu. "Aduh!"
Aku mendengarnya menabrak sesuatu di ruang makan.
Goosebumps - Piano Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ayah yang pertama sampai di ruang keluarga.
Aku meraih bahunya, lalu menunjuk. "Yah -lihat! Hantu! Itu hantu!"
11 Ayah menyalakan lampu. Ibu tersandung ke dalam ruangan, memegangi salah
satu lututnya. Aku menunjuk ngeri ke bangku piano.
Yang sekarang kosong. "Hantu - aku melihatnya!" teriakku, gemetar. Aku berpaling ke orang tuaku.
"Apa kalian mendengarnya" Kalian dengar kan?"
"Jerry, tenang." Ayah meletakkan tangannya pada bahuku gemetar. "Tenang!
Tak apa-apa. Semuanya baik-baik saja."
"Tapi apakah kalian melihatnya?" tuntutku. "Dia duduk di sana, bermain piano,
dan -" "Aduh, aku benar-benar melukai lututku." Erang Ibu. "Aku terbentur meja kopi.
Aduh." "Kulitnya jatuh. Matanya melotot keluar dari tengkoraknya!" aku memberitahu
mereka. Aku tak bisa mengeluarkan tengkorak menyeringai itu keluar dari
pikiranku. Aku masih bisa melihatnya, seolah-olah fotonya telah diukir ke
mataku. "Tak ada orang di sana," kata Ayah pelan, memegang bahuku. "Lihat" Tak ada."
"Apa kau mimpi buruk?" Tanya Ibu, membungkuk untuk memijat lututnya.
"Ini bukan mimpi buruk!" jeritku. "Aku melihatnya! Aku benar-benar melihatnya!
Dia berbicara padaku. Dia bilang ini pianonya, rumahnya."
"Ayo kita duduk dan membicarakan hal ini," usul Ibu. "Apa kau suka secangkir
coklat panas?" "Kalian tak percaya padaku - bukan begitu?" teriakku marah. "Aku mengatakan yang
sebenarnya!" "Kami tak benar-benar percaya pada hantu," kata Ayah pelan. Dia menuntunku ke
sofa kulit merah di dinding dan duduk di sampingku. Menguap.
Ibu mengikuti kami, menurunkan dirinya ke lengan sofa yang lembut.
"Kau tak percaya pada hantu, bukan begitu, Jerry?" tanya Ibu.
"Aku sekarang percaya!" seruku. "Mengapa kalian tak mendengarkanku" Aku
mendengarnya bermain piano. Aku turun ke bawah dan aku melihatnya. Dia
seorang wanita. Dia abu-abu seluruhnya. Dan wajahnya rontok. Dan
tengkoraknya muncul keluar. Dan -...... Dan - "
Aku melihat Ibu memandang Ayah.
Mengapa mereka tak percaya padaku"
"Seorang wanita di tempat kerja bercerita tentang seorang dokter," kata Ibu
lembut, meraih ke bawah dan meraih tanganku. "Seorang dokter bagus yang
bicara dengan anak-anak muda. Dr Frye, kurasa itu namanya."
"Hah" Maksud Ibu psikiater?"jeritku nyaring. "Ibu pikir aku gila?"
"Tidak, tentu saja tidak," jawab Ibu dengan cepat, masih memegangi tanganku.
"Kupikir ada sesuatu yang membuatmu sangat gugup, Jerry. Dan aku tak
berpikir itu akan menyakitkan untuk berbicara dengan seseorang tentang hal
itu." "Kau gugup akan apa, Jer?" Tanya Ayah, merapikan kerah kemeja piyamanya.
"Rumah baru ini" Pergi ke sekolah baru?"
"Apa les piano itu?" tanya Ibu. "Apa kau khawatir tentang les itu?"
Dia melirik piano, berkilauan hitam dan mengkilat di bawah lampu langitlangit. "Tidak, aku tak khawatir tentang les," gumamku sedih. "Aku bilang - aku khawatir
tentang hantu!" "Aku akan membuatkanmu janji dengan Dr Frye," kata Ibu pelan. "Katakan padanya
tentang hantu, Jerry" Aku berani bertaruh dia bisa menjelaskan
semuanya lebih baik dari yang ayahmu dan aku bisa."
"Aku tidak gila," gumamku.
"Sesuatu yang telah membuatmu kesal. Sesuatu yang memberikanmu mimpi
buruk," kata Ayah. "Dokter ini akan dapat menjelaskannya kepadamu." Dia menguap
dan berdiri, merentangkan lengan di atas kepala. "Aku harus tidur."
"Aku juga," kata Ibu, melepaskan tanganku dan turun dari lengan sofa. "Apa kau
pikir bisa pergi tidur sekarang, Jerry?"
Aku menggelengkan kepala dan bergumam, "Aku tak tahu."
"Apa kau ingin kami untuk mengantarmu ke kamarmu?" tanya Ibu.
"Aku bukan bayi kecil!" teriakku. Aku merasa marah dan frustrasi. Aku ingin
berteriak dan menjerit sampai mereka percaya padaku.
"Ya, selamat malam, Jer," kata Ayah. "Besok hari Sabtu, jadi kau bisa tidur
terlambat." "Ya. Tentu," gumamku.
"Jika kau bermimpi yang lebih buruk, bangunkan kami," kata Ibu.
Ayah mematikan lampu. Mereka menuju lorong ke kamar mereka.
Aku berjalan melintasi ruang tamu ke tangga depan.
Aku begitu marah, aku ingin memukul sesuatu atau menendang sesuatu. Aku
juga benar-benar tersinggung.
Tapi saat aku menaiki tangga berderak dalam kegelapan, kemarahanku berubah
menjadi rasa takut. Hantu itu telah lenyap dari ruang keluarga. Bagaimana jika dia menungguku di
kamarku" Bagaimana jika aku berjalan ke kamarku dan tengkorak abu-abu menjijikkan
dengan bola mata melotot itu menatapku dari tempat tidurku"
Papan lantai berderit dan mengerang di bawahku saat aku perlahan-lahan
berjalan melalui lorong ke kamarku. Aku tiba-tiba merasa ngeri.
Tenggorokanku mengencang. Aku berusaha untuk bernapas.
Dia di sana. Dia ada di sana menungguku.
Aku tahu itu. Aku tahu dia akan berada di sana.
Dan jika aku menjerit, kalau aku berteriak minta tolong, Ibu dan Ayah benarbenar akan berpikir aku gila.
Apa yang hantu itu inginkan"
Mengapa dia bermain piano setiap malam" Mengapa ia mencoba untuk
menakut-nakutiku" Mengapa dia memberitahuku untuk menjauh"
Pertanyaan-pertanyaan meluncur melalui pikiranku. Aku tak bisa menjawabnya.
Aku terlalu lelah, terlalu takut untuk berpikir jernih.
Aku ragu-ragu di luar kamarku, terengah-engah.
Lalu, berpegangan ke dinding, aku mengumpulkan keberanianku dan
melangkah masuk. Saat aku bergerak ke kegelapan, hantu itu bangkit di depan tempat tidurku.
12 Aku menjerit tercekik dan terhuyung-huyung kembali ke ambang pintu.
Lalu aku sadar bahwa aku menatap selimutku. Aku pasti telah menendangnya di
kaki tempat tidur pada waktu aku mimpi buruk tentang Dr Shreek. Selimut itu
berdiri menggumpal di lantai.
Hatiku berdebar-debar, aku maju pelan-pelan kembali ke dalam ruangan, meraih
selimut dan seprai, menariknya kembali ke tempat tidur.
Mungkin aku gila! Pikirku.
Tidak, aku meyakinkan diriku sendiri. Aku mungkin takut, frustrasi dan marah tetapi aku melihat apa yang kulihat.
Sambil menggigil, aku meluncur ke tempat tidur dan menarik selimut sampai ke
daguku. Aku memejamkan mata dan mencoba untuk memaksa keluar gambar
tengkorak abu-abu jelek itu dari pikiranku.
Saat aku akhirnya mulai tertidur, aku mendengar musik piano itu mulai lagi.
*** Dr Shreek tiba tepat jam dua sore berikutnya. Ibu dan Ayah di garasi,
membongkar kardus-kardus lagi. Aku mengambil mantel Dr Shreek, lalu
membawanya ke ruang keluarga.
Di luar, hari yang dingin berangin kencang, salju yang mengancam. Pipi Dr
Shreek berwarna pink karena kedinginan. Dengan rambut dan kumisnya yang
putih, dan perut bundar di bawah kemeja putih longgar, ia tampak lebih seperti
Santa Claus daripada sebelumnya.
Dia mengusap tangannya yang gemuk bersama-sama untuk menghangatkannya
dan memberi isyarat padaku untuk duduk di bangku piano.
"Alat musik yang benar-benar indah," katanya riang, menjalankan satu
tangannya di atas piano mengkilap hitam itu. "Kau pria muda sangat beruntung
yang menemukan piano ini menunggumu."
"Kurasa," jawabku tanpa semangat.
Aku tidur sampai jam sebelas, tapi aku masih lelah. Dan aku tak bisa mengusir
hantu itu dan peringatannya dari pikiranku.
"Apa kau melatih not-notmu?" tanya Dr Shreek, bersandar piano, membolak-balik
halaman buku kerja musik itu.
"Sedikit," kataku.
"Biarkan aku melihat apa yang telah kau pelajari. Sekarang." Dia mulai untuk
menempatkan jari-jariku di atas tuts-tuts. "Ingat" Ini tempat kau mulai."
Aku memainkan satu scale.
(scale: suatu rangkaian not-not yang berbeda-beda dalam pola titi nada yang
sesuai ke suatu grup, biasanya tanpa oktaf)
"Tangan yang bagus," kata Dr Shreek, tersenyum. "Terus ulangi hal itu, silakan."
Les itu berjalan lancar. Dia terus mengatakan padaku betapa baiknya aku,
meskipun aku hanya memainkan not dan scale yang sederhana.
Mungkin aku punya bakat, pikirku.
Aku menanyakan kapan aku bisa mulai mempelajari beberapa riff rock.
Dia tertawa untuk suatu alasan. "Pada waktunya," jawabnya, menatap tanganku.
Aku mendengar Ibu dan Ayah masuk melalui pintu dapur. Beberapa detik
kemudian, Ibu muncul di ruang keluarga, menggosok lengan sweternya. "Benarbenar mulai dingin di luar sana," katanya, tersenyum pada Dr Shreek. "Kurasa itu
Badai Di Selat Karimata 2 Pendekar Mabuk 010 Manusia Seribu Wajah Nurseta Satria Karang Tirta 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama