Goosebumps - 51 Teror Monster Salju Bagian 2
"Apakah Conrad berniat melindungi desa?"
Rolonda meneruskan ceritanya. "Apakah dia kaki-tangan si orang-orangan salju"
Apakah dia membantu makhluk itu" Atau barangkali dia pikir dia akan lebih aman
karena tinggal di dekat si orang-orangan salju"
"Tak ada yang tahu apa alasannya. Conrad jarang sekali turun dari puncak gunung.
Dan kalau dia datang ke desa, dia tidak pernah bicara dengan siapa pun.
"Tak ada yang tahu siapa dia sebenarnya atau kenapa dia tinggal di atas sana,"
Rolonda melanjutkan. "Orang-orang di sini tidak pernah berurusan dengan Conrad.
Kami tidak tahu apakah dia sinting atau jahat."
Ia menghela napas. Sekali lagi matanya yang gelap memandang berkeliling. Ia
tampak begitu gugup, seakan-akan takut orang lain tahu bahwa ia menceritakan
sejarah desa ini padaku. "Kadang-kadang," ia kembali angkat bicara, "pada malam hari, kami bisa mendengar
si manusia salju di puncak gunung. Kadang-kadang dia meraung-raung dengan geram,
kadang-kadang dia melolong seperti serigala.
"Kami semua membuat orang-orangan salju di sini. Semua orang di desa membuat
orang-orangan salju bertampang sama dengannya."
Aku langsung berdiri. "Jadi itu sebabnya aku melihat orang-orangan salju di mana-mana!" seruku.
Rolonda menempelkan telunjuk ke bibir. Ia memberi isyarat agar aku duduk lagi.
Aku kembali mengambil tempat di bangku kayu.
"Kenapa kalian membuat orang-orangan salju seperti itu?" tanyaku. "Kenapa ada
orang-orangan salju seperti itu di hampir setiap pekarangan?"
"Untuk menghormatinya," jawab Rolonda.
"Hah" Untuk menghormatinya?"
"Kau pasti tahu apa yang kumaksud," ia berkata dengan ketus. "Para penduduk desa
berharap kalau si orang-orangan salju turun dari gua es, dia akan melihat semua
orang-orangan salju yang mirip dengannya. Mereka berharap dia akan merasa
senang, dan tidak berbuat apa-apa."
Rolonda meremas tanganku. Ia menatapku dengan matanya yang gelap.
"Sekarang kau sudah mengerti, kan?" ia berbisik. "Sekarang kau sudah mengerti
kenapa kami semua begitu ngeri, kan?"
Aku membalas tatapannya - lalu tertawa terbahak-bahak.
Chapter 17 SEBENARNYA aku tidak boleh tertawa. Tapi aku tidak bisa menahan diri.
Habis, Rolonda pasti bukan anak bodoh. Ia tidak mungkin percaya cerita seperti
itu. Ini pasti lelucon, ujarku dalam hati. Ini cuma akal-akalan para penduduk desa
untuk menakut-nakuti orang baru.
Aku berhenti tertawa ketika melihat raut muka Rolonda.
"Hei, kau cuma bercanda, ya kan?" kataku.
Ia menggelengkan kepala. Matanya yang gelap tampak bersinar dalam cahaya yang
redup. Pandangannya begitu serius.
"Kau tidak percaya bahwa orang-orangan salju bisa jalan-jalan, kan?" aku
bertanya dengan nada mendesak. Suaraku terdengar bergema. "Kau tidak mungkin
percaya orang-orangan salju bisa hidup!"
"Aku percaya," Rolonda menyahut dengan suara gemetaran. "Ini bukan lelucon,
Jaclyn. Aku percaya. Dan begitu pula semua orang di desa ini."
Aku menatapnya dengan tercengang. Langit-langit berderak, kemungkinan besar
karena beban salju yang tertimbun di atap. Aku bergeser sedikit di bangku kayu.
"Tapi apakah kau pernah melihatnya?" tanyaku. "Apakah kau pernah melihat orangorangan salju itu berjalan?"
Ia mengedipkan mata. "Ehm... belum," ia mengakui. "Tapi aku sudah sering mendengar suaranya, Jaclyn.
Malam-malam. Aku mendengarnya meraung-raung dan melolong-lolong."
Ia berdiri. "Aku tak mau mendekatinya. Aku terlalu ngeri," katanya. "Aku tidak berani naik
ke gua es. Tak ada yang berani pergi ke sana."
"Tapi, Rolonda..., " kataku.
Tapi aku segera diam. Kulihat dagunya gemetaran. Kulihat perasaan ngeri
terpancar dari matanya. Cuma bicara tentang si orang-orangan salju saja sudah
membuat Rolonda ketakutan.
Sebenarnya aku ingin berkomentar bahwa cerita itu tidak mungkin benar. Aku ingin
berkomentar bahwa cerita itu tak lebih dari takhayul konyol. Semacam kisah
dongeng. Tapi aku takut ia tersinggung.
Mungkin Rolonda satu-satunya temanku di sini, aku berkata dalam hati.
Aku bangkit dan mengenakan mantel. Kemudian kami keluar dari gereja.
Hujan salju telah berhenti. Tapi angin kencang masih bertiup dari puncak gunung,
dan menerbangkan salju yang baru jatuh.
Aku menarik tudung mantel dan menundukkan kepala.
Aku tidak mungkin percaya cerita ajaib seperti itu, pikirku. Kenapa Rolonda
seperti tidak sadar bahwa cerita itu tidak masuk akal"
Kami menyusuri jalan. Pada setiap langkah sepatu bot kami terbenam dalam salju
yang bertumpuk tinggi. Suara kami hilang ditelan angin yang menderu-deru.
Aku mengantar Rolonda pulang. Kami berhenti di ujung halaman rumahnya.
"Terima kasih kau memberitahuku soal si orang-orangan salju," kataku padanya.
Ia menatapku dengan matanya yang gelap.
"Kau memang harus diberitahu," ujarnya serius. Dan kemudian ia menambahkan, "Dan
kau harus percaya, Jaclyn. Cerita itu benar. Semuanya benar."
Aku tidak menanggapinya. Aku cuma mengucapkan selamat malam. Kemudian aku
berbalik dan, sambil menentang angin, menuju ke rumahku.
Aku sudah hampir sampai ketika aku mendengar bunyi aneh yang bercampur-baur
dengan suara angin. Aku dikejar bunyi BUK BUK BUK - dan bunyi itu mendekat dengan cepat.
Chapter 18 AKU langsung terpaku di tempat.
Mula-mula aku menyangka aku jadi korban daya khayalku sendiri.
Aku membayangkan diriku dikejar orang-orangan salju jahat sebesar rumah.
"Ya, ampun!" aku bergumam.
Serta-merta aku berbalik. Dan melihat Eli, adik Rolonda, bergegas menghampiriku.
Sepatu botnya yang berat berdebam-debam di salju. Mantel kulit dombanya tidak
ditutup, dan berkibar-kibar ketika ia berlari.
"Eli - kenapa kau masih ada di luar?" seruku. "Sekarang kan sudah larut malam!"
Ia tidak menyahut. Napasnya terengah-engah. Aku melihat dadanya mengembang dan
mengempis di balik sweternya. Ia menatapku dengan curiga.
"Dia sudah cerita, ya?" tanyanya dengan napas tersengal-sengal.
"Apa?" Kami pindah ke balik pohon besar untuk berlindung dari terpaan angin.
"Eli - ada apa, sih?" aku balik bertanya.
"Rolonda sudah cerita - ya, kan?" ia mengulangi. "Dia sudah cerita soal si orangorangan salju." Ia menunjuk ke puncak gunung.
"Ehm...ya," jawabku. Segumpal salju jatuh dari pohon dan menimpa bagian depan
mantelku. Aku segera menepisnya.
"Aduh, Eli, kau sudah gila, ya" Di sini kan dingin sekali! Mantelmu ditutup,
dong!" aku memarahinya.
"Rolonda tidak tahu apa-apa," Eli kembali angkat bicara, tanpa menghiraukan
teguranku. Napasnya masih tersengal-sengal. "Dia tidak tahu aku pernah
melihatnya. Dia tidak tahu aku pernah melihat orang-orangan salju itu."
Aku menatapnya dengan mata terbelalak. "Kau pernah melihatnya" Melihat si orangorangan salju yang hidup?"
Eli mengangguk. "Ya. Aku pernah melihatnya. Tapi bukan itu yang paling
mengerikan." "Bukan" Aduh, Eli - memangnya ada yang lebih mengerikan lagi dari itu?"
Chapter 19 ELI menatapku dengan tajam. Rambutnya yang gelap berkibar-kibar tertiup angin.
Tapi matanya tidak berkedip.
"Memangnya ada yang lebih mengerikan dari itu?" aku mengulangi.
"Yang paling mengerikan," sahut Eli, "adalah orang-orangan salju itu melihat
aku!" Angin menderu-deru di antara pohon-pohon. Aku menyeret Eli ke samping rumah
terdekat. Kami sama-sama merapat ke dinding.
Sambil menggigil, Eli akhirnya memasang ritsleting mantelnya.
"Eli - cerita itu tidak masuk akal," aku berkeras. "Bagaimana mungkin..."
"Tunggu sampai kaudengar apa yang terjadi," ia memohon. "Setelah itu kau boleh
menentukan sendiri apakah ceritaku masuk akal atau tidak."
Ia kembali gemetaran. "Dia melihatku, Jaclyn. Orang-orangan salju itu melihatku.
Dia tahu siapa aku. Dia tahu bahwa aku melihatnya. Dan itulah sebabnya aku
begitu ngeri." "Tapi, Eli...," aku hendak membantah.
Ia mengangkat sebelah tangan, menyuruhku diam.
"Tunggu." Ia menarik napas dalam-dalam. "Kejadiannya beberapa minggu lalu. Aku
dan dua temanku - kami naik ke puncak gunung. Kami mau melihat gua es. Jadi kami
menyusup melewati pondok milik Conrad."
"Tunggu dulu," aku menyela. "Apa hubungan Conrad dengan semua ini?"
"Dia selalu mencegah semua orang yang mau ke gua es," jawab Eli. "Dia tidak
mengizinkan siapa pun mendekat. Orangnya aneh sekali. Kata orang, dia bekerja
untuk si orang-orangan salju. Dia melindungi si orang-orangan salju dengan
menghalau para penduduk desa."
"Tapi kalian berhasil melewati Conrad?" tanyaku.
Eli mengangguk. "Yeah. Aku dan teman-temanku. Dan kami naik sampai ke mulut gua
es. Baru kali itu aku melihatnya."
"Seperti apa guanya?" aku bertanya.
Eli menggerakkan kedua tangan untuk menggambarkan bentuk gua itu.
"Guanya besar sekali, di sisi gunung," ujarnya. "Seluruhnya terbuat dari es yang
licin dan berkilau. Persis seperti kaca. Mulut guanya lebar dan gelap gulita.
Dan di bagian atasnya tergantung tonjolon-tonjolan es yang panjang, mirip gigi
taring. Ujung-ujungnya runcing dan setajam pisau."
"Wow," aku bergumam. "Tampaknya indah sekali."
"Yeah, memang," Eli membenarkan. "Tapi menurut kami tidak indah lagi sewaktu si
orang-orangan salju muncul."
Aku menatap Eli dan mengamati wajahnya. "Jadi kau benar-benar melihat orangorangan salju yang hidup?"
Eli mengangguk. "Tiba-tiba terdengar bunyi gemuruh. Dan tanah mulai bergetar. Aku dan temantemanku langsung ketakutan. Kami pikir ada gempa bumi, longsoran salju, atau
semacam itu. "Teman-temanku lari ke bawah. Tapi aku tetap di atas. Lalu aku melihatnya. Si
orang-orangan salju menyembulkan kepala dari mulut gua. Dia sebesar beruang
grizzly. Dan di mukanya ada bekas luka yang panjang.
"Dia menoleh ke kiri-kanan. Lalu dia meraung keras-keras. Dan - akhirnya aku juga
lari," Eli melanjutkan. Napasnya terengah-engah. "Aku lari melewati pondok
Conrad. Aku lari sampai ke kaki gunung. Tanpa berani menoleh ke belakang."
"Bagaimana dengan temah-temanmu?" tanyaku padanya.
"Mereka sudah menunggu di bawah," sahut Eli. "Kami pulang ke rumah masingmasing. Dan kejadian ini tak pernah kami bicarakan lagi."
"Kenapa?" aku ingin tahu.
"Mungkin karena kami terlalu ngeri," ujar Eli sambil menundukkan kepala. "Kami
tak pernah lagi membicarakannya. Rolonda pun tak pernah kuberitahu."
Ia kembali menatapku. "Tapi akhir-akhir ini aku sering bermimpi," ia mengakui. "Aku sering bermimpi
buruk tentang si orang-orangan salju. Bahkan hampir setiap malam."
Aku membalas tatapannya tanpa tahu harus berkata apa. Seluruh tubuhnya
gemetaran. Apakah karena udara dingin" aku bertanya-tanya. Atau karena ketakutan"
Tampaknya Eli menunggu aku mengatakan sesuatu.
"Eli, kejadian ini tidak kauceritakan kepada Rolonda. Kenapa malah aku yang
kauberitahu?" tanyaku.
"Supaya kau percaya," ia menyahut dengan nada serius. "Kau masih baru di sini,
Jaclyn. Kau pasti mengira ini cuma omong kosong. Tapi pokoknya kau tidak boleh
mendatangi gua es." "Tapi, Eli...," kataku.
"Kau tidak percaya cerita kakakku - ya, kan?" ia menuduh. "Kau tidak percaya apa
yang dikatakan Rolonda."
"Ehm...." Aku terdiam.
"Karena itulah aku menunggumu," ia menjelaskan. "Aku sengaja menunggumu agar
bisa menceritakan pengalamanku padamu. Kau percaya padaku, Jaclyn" Kau percaya
aku melihat si orang-orangan salju?"
"E-entahlah," sahutku ragu-ragu.
Angin, tetap bertiup kencang. Aku meraba-raba hidung dan pipiku. Seluruh wajahku
seperti, mati rasa. "Aku harus pulang," kataku pada Eli.
Ia meraih lengan mantelku.
"Jaclyn, jangan pergi ke gua es," ia memohon. "Kau harus percaya padaku. Aku
tidak bohong." Aku menyentakkan lenganku. Lalu aku segera berlari ke arah rumahku, melintasi
salju. "Pulanglah, Eli!" aku berseru padanya. "Pulanglah sebelum kau beku di luar
sini." Aku berlari sampai ke rumah. Rasanya nikmat sekali berlari tanpa memikirkan apa
pun. Tapi berlari melintasi salju yang baru turun ternyata cukup sulit. Setiap
beberapa langkah aku tergelincir. Kakiku terasa sangat pegal ketika aku sampai
di rumah. Tersengal-sengal aku membuka pintu depan. Di luar dugaanku, seluruh rumah gelap
gulita. Aku melepaskan sarung tangan dan melirik arloji-ku. Baru pukul sembilan.
Masa sih Bibi Greta sudah tidur" Biasanya ia baru tidur setelah tengah malam.
Aku menyalakan lampu di langit-langit, dan memandang berkeliling ruang duduk. Sebuah majalah tergeletak di sofa.
Selain itu semua benda berada di tempat seharusnya.
Aku bersandar ke pintu, melepaskan sepatu bot dan menyimpannya di pojok.
Kemudian aku membuka mantel dan menaruhnya di sofa. Pandanganku berhenti di
pintu kamar Bibi Greta. Pintunya terbuka. Tapi kamarnya gelap.
Aku segera melintasi ruangan dan mengintip ke kamar bibiku.
"Bibi Greta?" aku memanggil pelan-pelan.
Tak ada jawaban. Aku masuk ke kamarnya. "Bibi Greta" Bibi di sini?"
Aku meraba-raba lampu di meja rias, dan akhirnya berhasil menghidupkannya.
"Bibi Greta...?"
Hmm, ternyata ia belum tidur. Tempat tidurnya kosong.
"Bibi Greta" Bibi di mana?" aku berseru keras-keras.
Aku berbalik dan meninggalkan kamarnya.
"Ohhh!" aku memekik ketika kakiku menginjak sesuatu.
Sesuatu yang dingin dan basah meresap melalui kaus kakiku.
"Hah?" Aku menunduk dan melihat genangan air dingin di lantai kamar tidur.
"Dari mana asal air ini?" aku bergumam.
Tiba-tiba aku merasa waswas.
"Bibi Greta?" aku memanggil sambil bergegas ke ruang duduk. "Bibi Greta" Bibi di
mana?" Chapter 20 AKU mulai panik. Di mana Bibi Greta" Aku hendak menuju ke dapur - tapi tiba-tiba aku mendengar bunyi berderak dari
pintu depan. Aduh, jangan-jangan ada yang mau masuk ke rumahku!
Aku menahan napas ketika pintu itu terbuka pelan-pelan.
Dan aku melihat Bibi Greta. Ia melangkah masuk seraya menepis salju yang
menempel di mantelnya yang hitam panjang. Ia menatapku sambil tersenyum. Tapi
senyumnya langsung lenyap ketika ia melihat raut wajahku.
"Jaclyn - ada apa?"
"A-a-a...," aku tergagap-gagap. "Bibi Greta - Bibi dari mana" Aku takut sekali
tadi." Ia melepaskan mantelnya. "Kau tidak membaca pesan yang Bibi tinggalkan?"
"Hah" Pesan" Pesan apa?"
"Bibi menempelkannya di pintu lemari es," ia berkata. "Tadi pagi Bibi berkenalan
dengan sepasang suami-istri yang ramah. Mereka mampir dan mengundang Bibi untuk
minum kopi." "Oh. Bagus," ujarku parau. Jantungku masih berdegup kencang.
Goosebumps - 51 Teror Monster Salju di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kenapa kau sampai ketakutan?" Bibi Greta bertanya sambil menggantungkan
mantelnya di lemari. Ia merapikan kepangannya yang panjang.
"Ehm, aku masuk ke kamar Bibi tadi. Karena mencari Bibi. Dan aku menginjak
genangan air dingin di lantai," jawabku.
"Genangan air" Coba Bibi lihat dulu," ujar Bibi Greta.
Aku berjalan ke kamarnya dan menunjuk tempat yang basah di lantai. Bibi Greta
menengadah ke langit-langit.
"Mungkin atapnya bocor," ia bergumam. "Besok pagi harus kita periksa."
"Ku-kupikir ini gara-gara si orang-orangan salju," kataku. "Aku tahu ini tidak
masuk akal, tapi kupikir dia masuk ke rumah kita. Kupikir dia berhasil masuk
kemari dan..." Aku terdiam begitu melihat raut wajah Bibi Greta. Mulutnya menganga dan ia
memekik tertahan. "Jaclyn - apa maksudmu?" ia bertanya dengan nada mendesak. "Cerita apa yang
kaudengar dari teman-temanmu" Omong kosong lagi mengenai orang-orangan salju?"
"Ya," aku mengakui. "Rolonda dan Eli, kedua anak yang baru saja kukenal. Aku
mendengar cerita ajaib dari mereka, tentang orang-orangan salju yang tinggal di
dalam gua es di puncak gunung. Mereka bilang..."
"Semua itu cuma takhayul," Bibi Greta menyela. "Cuma dongeng kuno yang
diceritakan turun-temurun. Tak perlu dihiraukan. Kau cukup pintar untuk
mengetahui itu cuma omomg kosong, Jaclyn."
"Memang," ujarku. "Tapi Rolonda dan Eli kelihatan begitu ketakutan. Mereka
benar-benar percaya cerita itu. Dan Eli sampai memohon-mohon agar aku tidak
mendatangi gua es." "Rasanya itu nasihat yang baik," kata Bibi Greta. Ia melintasi ruangan dan
meletakkan sebelah tangan di pundakku. "Memang lebih baik kau tidak naik ke
puncak gunung, Sayang."
"Kenapa?" tanyaku.
"Pasti ada sesuatu yang berbahaya di atas sana," sahut Bibi Greta. "Bukan orangorangan salju yang hidup. Tapi bahaya lain."
Ia menghela napas. "Begitulah asal mula cerita-cerita seperti ini. Mungkin
memang pernah ada kejadian gawat di puncak gunung.Tapi kemudian kisahnya berubah
setiap kali diceritakan. Lama-lama tak ada lagi yang ingat bagaimana kejadian
sebenarnya. Dan sekarang semua orang percaya cerita konyol tentang orang-orangan
salju yang hidup." Ia menggeleng-gelengkan kepala.
"Bibi tidak melihat orang-orangan salju aneh yang ada di mana-mana di sini?"
tanyaku. "Orang-orangan salju dengan bekas luka di wajah dan syal merah"
Kesannya seram sekali, kan?"
"Itu memang tradisi yang janggal," Bibi Greta mengakui. "Tapi juga unik. Menurut
Bibi, tradisi orang-orangan salju itu sangat menarik."
"Menarik?"Aku menatapnya sambil mengerutkan kening.
"Pokoknya, Bibi minta kau berjanji," ia berkata sambil menguap.
"Berjanji?" "Kau harus berjanji bahwa kau takkan naik ke puncak gunung dan mendatangi gua
es. Bibi kuatir tempat itu sangat berbahaya."
"Ehm...." Aku agak ragu-ragu.
"Ayo, berjanjilah," Bibi Greta mendesak.
"Oke, aku berjanji," ujarku dengan berat hati. Tapi beberapa menit kemudian, aku
sudah memutuskan untuk melanggar janjiku. Aku sedang berbaring di tempat tidur,
dengan mata terpejam rapat. Lolongan aneh terdengar dari puncak gunung.
Suara apa itu" Suara binatang" Atau suara manusia" Aku paling tidak suka kalau ada misteri yang belum terpecahkan. Aku harus
mengetahui jawabannya. Aku harus naik ke sana, kataku dalam hati.
Aku tidak peduli janjiku pada bibiku. Pokoknya aku harus mendatangi gua es.
Besok. Chapter 21 MALAM itu aku tidak bermimpi tentang orang-orangan salju.
Aku bermimpi tentang anak-anak kucing berbulu putih, dengan mata berwarna biru
langit. Lusinan anak kucing. Anak-anak kucing dengan bulu paling putih yang
pernah kulihat. Mereka mulai saling memanjat. Mula-mula tanpa bersuara. Tapi kemudian mereka
mulai mendesis-desis. Bunyinya benar-benar mengerikan.
Dan tiba-tiba saja semuanya memakai syal merah di leher. Mereka saling mencakar
sambil melengkungkan punggung. Sambil terus mendesis-desis.
Sampai aku akhirnya terbangun.
Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela bulat di ujung kamarku. Dari bawah
tercium bau bacon. Rupanya Bibi Greta bangun lebih dulu dan sudah sibuk memasak
di dapur. Aku memutuskan untuk naik ke puncak gunung begitu aku selesai sarapan. Aku tidak
mau pikir-pikir lagi. Aku akan naik ke sana dan memecahkan misteri itu.
Aku tahu si laki-laki aneh berjanggut putih akan jadi masalah. Kalau aku sampai
kepergok olehnya, ia pasti akan berusaha mencegahku. Ia dan serigalanya.
Tapi aku sudah menyiapkan rencana untuk mengatasi Conrad.
Kalau saja Rolonda dan Eli mau membantu....
Ternyata aku baru bisa keluar rumah sehabis makan siang. Bibi Greta memerlukan
bantuanku untuk menggantungkan gorden. Setelah itu kami memasang lukisan dan
poster yang ia bawa dari Chicago.
Rumah kami kecil dan penuh sesak. Tapi suasananya sudah lebih mirip rumah
sungguhan. "Kau mau ke mana?" seru Bibi Greta ketika aku mengambil mantel dan sarung
tangan, lalu berjalan ke pintu.
"Ehm... tidak ke mana-mana," ujarku. "Aku cuma mau main bersama Rolonda dan
Eli." Begitu aku mengucapkan nama mereka, aku melihat keduanya masuk ke halaman
rumahku. Aku menutup pintu depan dan bergegas menyambut mereka. Eli membawa sekop salju.
Rolonda menyeret sepasang dahan pohon, yang lalu dijatuhkannya di depan kakiku.
"Untuk apa itu?" aku bertanya. "Untuk apa kalian kemari?"
"Kita harus membuat orang-orangan salju di sini," sahut Rolonda dengan serius.
"Apa?" seruku. "Kau takkan aman sebelum ada orang-orangan salju di pekarangan rumahmu," ujar
Eli. "Begini, ya...," kataku.
"Saljunya basah sekali," Rolonda berkomentar. "Sangat cocok untuk membuat orangorangan salju. Sebentar saja pasti sudah selesai. Eli dan aku sudah menyiapkan
segala keperluan." "Tapi aku tidak punya waktu untuk membuat orang-orangan salju," protesku. "Aku
harus ke gua es - sekarang juga!"
Mereka sama-sama memekik tertahan. Eli mencengkeram gagang sekop salju dan
menatapku dengan kaget. "Jangan...!" serunya.
"Jaclyn, aku kan sudah memperingatkanmu...," Rolonda menimpali.
"Aku harus melihatnya dengan mataku sendiri," aku berkata pada mereka. Kemudian
aku menambahkan, "Aku minta kalian ikut denganku."
"Tidak bisa!" Eli memekik.
Rolonda cuma menggelengkan kepala. "Kau kan tahu kami tidak akan pergi ke gua
es, Jaclyn. Dan kau juga tidak boleh ke sana."
"Tapi kalau kita pergi bersama-sama...," aku mendesak.
"Tidak bisa!" seru mereka berbarengan.
Tampak jelas mereka benar-benar ketakutan. Tiba-tiba aku mendapat ide.
"Oke, oke," ujarku. "Kalau begitu kita ambil jalan tengah saja."
Mereka menatapku dengan curiga.
"Jalan tengah bagaimana?" tanya Rolonda.
"Aku akan membuat orang-orangan salju bersama kalian - asal kalian mau
membantuku setelah kita selesai," sahutku.
"Tidak bisa. Kami tidak mau ikut," Rolonda berkeras. "Kami tidak mau ikut ke gua
es, Jaclyn. Titik." "Ya, kami tidak mau ikut," Eli menambahkan dengan tegas.
"Kalian tidak perlu ikut ke gua es," kataku. "Kalian hanya perlu membuat Conrad
sibuk, supaya aku bisa menyelinap tanpa ketahuan."
"Hah" Bagaimana caranya?" Eli bertanya sambil bersandar pada sekopnya.
"Kita akan memikirkannya kalau kita sudah sampai di sana," kataku. "Kalau kalian
terus mengajaknya bicara, barangkali aku bisa melewatinya diam-diam dan naik
sampai ke gua." "Tapi kau tidak boleh sampai ke gua!" seru Rolonda.
"Pokoknya, aku tetap pergi," aku berkata padanya. "Dengan atau tanpa kalian.
Jadi kalian mau membantu atau tidak?"
Mereka berpandangan. Eli membisikkan sesuatu kepada kakaknya. Rolonda menjawab
dengan cara yang sama. Kemudian Rolonda berpaling padaku. "Tapi orang-orangan saljunya dibikin dulu,
kan?" "Kau takkan aman sebelum membuat orang-orangan salju," Eli menambahkan.
Sebenarnya aku ingin berkata bahwa orang-orangan salju takkan bisa melindungiku
terhadap apa pun. Sebenarnya aku ingin berkata bahwa ide mereka benar-benar
konyol. Tapi aku memerlukan bantuan mereka. Aku tahu aku takkan bisa melewati Conrad dan
serigalanya kalau Rolonda dan Eli tidak membantuku.
"Oke. Baiklah. Kita bikin orang-orangan salju dulu," ujarku.
"Kalau begitu Eli dan aku akan membantumu," Rolonda berjanji.
"Tapi kami tidak bisa pergi lebih jauh dari pondok Conrad," Eli menegaskan.
Suaranya bergetar. Aku membungkuk dan mulai membuat bola salju besar untuk badan orang-orangan
salju. Rolonda ternyata benar. Salju yang basah memang cocok untuk membuat
orang-orangan salju. Kudorong bola salju itu melintasi pekarangan, sampai
ukurannya cukup besar untuk didorong berdua. Rolonda dan aku menyiapkan bagian
badan. Eli membuat bola salju untuk bagian kepala.
Sebenarnya perasaanku kurang enak. Rasanya seolah aku percaya pada takhayul yang
tidak masuk akal. Aku sedang ambil bagian dalam tradisi kuno yang berlaku di
desa ini. Tradisi yang didasarkan atas perasaan takut.
Para warga desa membuat orang-orangan salju karena mereka takut. Dan sekarang
aku juga ikut-ikutan. Haruskah aku ngeri" tanyaku dalam hati.
Aku lega ketika pekerjaan kami akhirnya selesai.
Rolonda mengeluarkan syal merah dari saku mantel, dan melilitkannya di bawah
wajah orang-orangan salju yang memiliki goresan panjang di pipi.
Kedua mata si orang-orangan salju seakan-akan mendelik ke arahku. Mulutnya
tampak menyeringai. Lengannya berayun-ayun karena tertiup angin.
"Oke. Bagus, lho," kataku kepada kedua teman baruku.
"Sekarang kita tinggal berangkat." Aku menunjuk ke puncak gunung.
"Sudah kaupikirkan masak-masak?" tanya Eli pelan.
"Tentu saja!" sahutku dengan lantang.
Tapi begitu kami mulai menyusuri jalan, hatiku tidak semantap ucapanku.
Jalan itu meliuk-liuk mendaki gunung. Tak lama kemudian sudah tak ada rumah di
kiri-kanan, dan kami berjalan melewati hutan yang terselubung salju.
Kami tidak bicara. Pandangan kami tertuju lurus ke depan.
Matahari sore mulai menghilang di balik pepohonan. Bayangan-bayangan biru mulai
merambat di permukaan salju. Semakin tinggi kami mendaki, udara pun semakin
dingin. Jantungku mulai berdegup kencang ketika pondok Conrad muncul di hadapan kami.
Aku berusaha tetap tenang. Tapi pertanyaan demi pertanyaan melintas dalam
benakku. Apakah Conrad ada di dalam pondoknya"
Di mana serigala putih itu"
Apakah rencanaku akan berhasil"
Chapter 22 KAMI bertiga berhenti di ujung jalan dan mengamati pondok yang tampak di depan.
Matahari sore telah menghilang di balik pohon-pohon. Hamparan salju di hadapan
kami memperlihatkan berbagai nuansa kelabu. Di sebelah kiri pondok tumbuh semaksemak yang terselubung salju.
"Aku akan bersembunyi di balik semak-semak itu," kataku kepada Rolonda dan Eli.
"Kalian terus ke pondok. Usahakan supaya Conrad dan serigalanya tidak
melihatku." "Ini tidak mungkin berhasil," gumam Eli sambil memandang ke arah pondok.
"Apalagi sekarang sudah mulai gelap," Rolonda mengomel. "Mungkin lebih baik kita
kembali besok pagi saja."
"Lebih baik lagi kalau kita melupakan semua ini," Eli mengusulkan. Aku melihat
dagunya bergetar. Seluruh tubuhnya juga gemetaran.
"Hei - kalian sudah berjanji!" seruku. "Dan janji harus ditepati!"
Mereka tidak menyahut. Keduanya memandang ke pondok gelap di hadapan kami.
"Sudah tanggung, nih," kataku ketus. "Kalian jadi membantu atau tidak?"
Aku memekik tertahan ketika mendengar suara menggeram dari arah pondok. Rupanya
serigala putih itu telah mendengar atau mencium kami.
Aku yakin makhluk itu akan segera menghambur keluar.
"Ayolah!" aku berbisik dengan nada mendesak. Kemudian aku segera melompat ke
semak-semak. Aku menghilang dari pandangan tepat ketika Conrad dan serigalanya keluar dari
pondok. "Halo!" seru Rolonda kepada Conrad.
"Hai!" Eli menambahkan.
Aku memperhatikan mereka bergegas menghampiri Conrad. Serigala itu merundukkan
kepala dan mengawasi setiap gerak-gerik mereka.
Rolonda dan Eli mengatakan sesuatu kepada Conrad. Saking gugupnya, mereka sampai
bicara berbarengan. Tapi suara mereka tidak terdengar olehku.
Mereka menepati janji! ujarku dalam hati. Jantungku berdegup kencang. Mereka
berhasil mengalihkan perhatian Conrad.
Sekarang giliranku untuk bergerak. Waktunya untuk melaksanakan rencana yang
telah kususun. Aku mendengar Rolonda berbicara dengan Conrad. Dengan hati-hati aku mengintip
dari balik semak-semak. Si serigala putih berdiri membelakangiku.
Conrad sedang menggaruk-garuk kepala sambil mendengarkan Rolonda. Aku tidak bisa
melihat wajahnya. Tapi aku bisa membayangkan ia sangat bingung dan kaget.
Aku tahu ia tidak pernah kedatangan tamu. Ia pasti terheran-heran kenapa Rolonda
dan Eli ada di puncak gunung!
Semua pikiran itu kusingkirkan dari benakku. Sekarang giliranku untuk bertindak.
Aku menarik napas dalam-dalam. Lalu aku mulai berlari sambil membungkuk. Kakiku
seakan-akan terbuat dari agar-agar. Lembek banget. Sepatu botku terbenam dalam
salju. Sambil menundukkan kepala, aku bergegas menaiki lereng gunung yang terjal.
Naik, naik. Aku baru saja melewati semak-semak ketika aku mendengar Conrad berseru marah,
"Hei, tunggu!" Chapter 23 AKU berhenti begitu mendadak sehingga aku terjatuh ke belakang.
Aku terempas keras. Salju beterbangan di sekelilingku, menyelubungiku,
menguburku. Semuanya jadi serbaputih.
Wah, gagal, kataku dalam hati. Rencanaku tidak berhasil.
Aku bangkit dan berpaling ke arah Conrad.
Tapi ternyata bukan aku yang dipanggilnya. Ia dan serigalanya berlari menuruni
gunung. Mereka mengejar-ngejar Rolonda dan Eli.
Serigala itu menggeram keras-keras. Kemudian keduanya menghilang dari pandangan
karena jalanan yang membelok.
Aku berdiri seperti patung.
Apa yang akan dilakukan Conrad terhadap Rolonda dan Eli"
Haruskah aku kembali dan berusaha menolong mereka"
Tidak. Aku tidak boleh mundur sekarang.
Sejauh ini semuanya berjalan sesuai rencana. Dan kesempatan ini tidak boleh
kusia-siakan. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mulai berlari menuju ke puncak. Lerengnya
terjal sekali. Saking terjalnya, aku sempat tidak yakin apakah aku kuat naik
sampai ke atas. Tapi akhirnya lereng gunung menjadi landai lagi. Aku berdiri di semacam lereng
yang tertutup es. Berulang kali sepatuku tergelincir.
Aku merapatkan punggung ke tebing. Dan memandang ke arah gua es.
Yes! Gua itu berada di atasku. Sebesar gedung. Lapisan esnya licin bagaikan kaca, dan
memantulkan bayangan awan-awan di langit.
Goosebumps - 51 Teror Monster Salju di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mulut gua tidak terlihat dari tempat aku berdiri. Aku cuma bisa melihat salah
satu dinding sisinya. Semakin dekat ke mulut gua, lereng yang kupijak semakin sempit.
Aku berjalan pelan-pelan - langkah demi langkah - sambil terus merapatkan
punggung ke dinding karang.
"Jangan lihat ke bawah!" aku bergumam.
Tapi begitu kata-kata itu keluar dari mulutku, aku seperti dipaksa menoleh.
Astaga! Dasar jurang tampak jauh sekali di bawahku. Kalau aku sampai terpeleset
dan jatuh.... Hei, jangan takut! Kau takkan terpeleset dan jatuh! ujarku dalam hati. Aku
berusaha memberanikan diri.
Tiba-tiba terdengar bunyi gemuruh. Dan aku pun tersentak kaget.
Aku berpegangan dengan kedua tangan supaya tidak sampai jatuh. Batu karang di
bawah kakiku bergetar. Bunyi gemuruh tadi terdengar lagi.
Aku memekik ketakutan. Rasanya seluruh gunung berguncang!
Bunyi itu berasal dari dalam gua. Tampaknya ada sesuatu yang bergerak di atas
sana, pikirku. Ataukah puncak gunung memang biasa berbunyi seperti ini kalau angin sedang
bertiup kencang" Aku mengerahkan segenap keberanian, dan kembali merayap maju. Selangkah demi
selangkah. Aku sudah terlalu jauh untuk mundur tanpa membawa hasil. Pelataran yang kulewati
semakin sempit, semakin licin.
Sekali lagi terdengar bunyi gemuruh.
Aku kembali mencengkeram dinding karang. Setelah bunyinya mereda, aku kembali
maju beringsut-ingsut. Rasanya aku tak sampai-sampai. Tapi akhirnya mulut gua
muncul di hadapanku. Dan setelah itu, aku melihat makhluk paling mengerikan yang pernah kulihat
seumur hidupku. Chapter 24 MULA-MULA aku tidak melihatnya.
Mula-mula aku cuma melihat lapisan es yang menyelubungi lereng. Dan gua bagaikan
kaca yang menjulang di belakangnya. Mulut gua itu menganga lebar, dan kelihatan
lebih gelap dari malam yang paling gelap.
Aku memandang ke dalam kegelapan. Aku berusaha mengatur napas. Dan menunggu
detak jantungku kembali normal.
Awan-awan yang tercermin pada permukaan es tampak bergerak ke kanan. Kesannya
seakan-akan gua itu yang bergerak.
Tonjolan-tonjolan es yang runcing tampak menggantung dari bagian atas mulut gua.
Aku langsung membayangkan gigi tajam yang siap menggigit.
Aku terus menatap mulut gua yang gelap gulita itu dan menunggu. Menunggu apakah
ada sesuatu yang akan muncul.
Aku tidak perlu menunggu lama-lama.
Bunyi gemuruh sekeras guntur menggetarkan lereng tempat aku berdiri.
Karena takut jatuh, aku langsung berlutut. Gemuruh itu semakin keras.
Dan berikutnya aku melihat sosok putih yang muncul dari kegelapan mulut gua.
Orang-orangan salju berukuran raksasa!
Monster salju. Aku menahan napas - dan membelalakkan mata ketika makhluk salju itu bergerak ke
arahku. "Ahhhh!" aku menjerit.
Aku lupa di mana aku berada. Aku lupa bahwa aku berdiri di lereng yang licin dan
sempit. Aku bergerak mundur, menjauhi makhluk itu. Dan tiba-tiba aku terpeleset.
Kakiku kehilangan tempat berpijak.
Dan aku pun melayang-layang di udara.
Chapter 25 SECARA refleks aku menjulurkan tangan ke atas. Dan mencengkeram pinggiran lereng
tempat aku berdiri tadi. Lalu, sambil mengerang, aku memanjat ke tempat yang aman. Seluruh tubuhku
gemetaran. Napasku terengah-engah.
Aku berlutut di sisi tebing yang tertutup es, dan menatap monster salju yang
mendelik ke arahku. Syal merahnya berkibar-kibar tertiup angin. Matanya yang
bulat dan hitam kira-kira seukuran tombol pintu. Mulutnya menyeringai.
Belum lagi bekas lukanya. Bekas luka itu tampak meliuk-liuk di pipinya, bagaikan
seekor ular hitam. "Ohhhh!" aku mengerang ketika monster salju itu berusaha meraihku dengan lengan
dahannya. Aku langsung menggigil. Aku merasakan terpaan hawa dingin yang belum pernah
kurasakan. Aku bisa melihat gelombang-gelombang beku yang terpancar dari tubuh
si monster salju. Kemudian makhluk itu memiringkan kepalanya yang besar dan bundar. Matanya
membelalak lebih lebar lagi.
Suaranya menggelegar ketika ia berseru: "SIAPA KAU?"
Aku gemetaran di tengah gelombang udara dingin yang menerpa.
Ya, ampun! Makhluk itu bisa bicara!
Cerita Rolonda dan Eli ternyata benar. Semuanya benar.
Monster salju itu bergerak mendekat, semakin dekat. Pandangannya seperti terpaku
pada mataku. Sebenarnya aku ingin berdiri. Sebenarnya aku ingin lari saat ini juga. Tapi
gelombang hawa dingin yang terpancar dari makhluk itu telah membuatku beku.
Aku tidak bisa bangkit. Aku tidak bisa mundur. Aku tidak bisa bergerak.
"SIAPA KAU?" monster salju itu kembali menghardik, suaranya membahana. Seluruh
gunung ikut bergetar. "A-a...." Suaraku gemetar, melengking nyaring.
"J-jangan...," ujarku dengan susah-payah. "Aku tidak bermaksud buruk. Aku...."
"SIAPA KAU?" makhluk salju raksasa itu bertanya untuk ketiga kalinya.
"Namaku?" aku memekik. "Namaku Jaclyn. Jaclyn DeForest."
Monster salju itu langsung membelalakkan mata. Mulutnya yang gelap menganga
lebar. "COBA ULANGI LAGI," ia memerintahkan.
Aku menggigil tak terkendali.
"Jaclyn DeForest," aku mengulangi dengan suara bergetar ketakutan.
Selama beberapa saat monster salju itu menatapku sambil membisu.
"KAU TAHU SIAPA AKU?" ia bertanya.
Aku menelan ludah. Pertanyaan itu sama sekali di luar dugaanku. Aku membuka
mulut untuk menjawab, tapi suaraku seperti tersangkut di tenggorokan.
"KAU TAHU SIAPA AKU?" monster salju itu bertanya lagi. Nadanya mendesak.
"Tidak," jawabku. "Siapa kau?"
"AKU AYAHMU!" seru si monster salju.
Chapter 26 "TIDAK MUNGKIN!" teriakku.
Aku ingin segera pergi dari situ. Aku ingin lari jauh-jauh. Merosot lewat lereng
gunung. Atau malah terbang sekalian!
Tapi aku tidak bisa bergerak.
Aku berada dalam cengkeraman si monster salju. Aku tertahan di pelataran.
Sementara tubuhku menggigil kedinginan.
"Jaclyn - aku ayahmu," orang-orangan salju itu kembali berkata sambil merendahkan
suaranya. Ia menatapku dengan matanya yang menakutkan. "Percayalah padaku."
"T-tidak mungkin!" aku tergagap-gagap. Aku merangkul diriku sendiri, agar
tubuhku berhenti gemetaran. "Kau orang-orangan salju. Tidak mungkin kau ayahku!"
"Dengarkan aku!" si orang-orangan salju meraung. "Aku memang ayahmu. Ibumu
tukang sihir. Begitu juga bibimu. Bibimu menekuni segala macam jenis magic."
"Bohong...!" aku memprotes. Cerita bohong itu justru membangkitkan keberanianku.
Aku segera berdiri. "Itu tidak benar!" seruku marah. "Aku tidak pernah melihat Bibi Greta melakukan
apa pun yang berbau sihir. Kau bohong!"
Si orang-orangan salju tampak berayun-ayun dari kiri ke kanan. Batu karang yang
kupijak ikut bergoyang-goyang. Aku hampir kehilangan keseimbangan.
"Aku tidak bohong, Jaclyn," ia berkeras. Ia mengangkat kedua tangannya, seakanakan memohon agar aku percaya. "Memang begitulah kenyataannya."
"Tapi - tapi...," aku tergagap-gagap.
"Aku jadi seperti ini karena perbuatan ibumu," kata si orang-orangan salju. "Dia
menggunakan kekuatan gaibnya untuk mengubahku jadi orang-orangan salju. Waktu
itu kau baru berumur dua tahun. Dia sempat berusaha mengembalikan diriku ke
wujudku yang asli. Tapi dia gagal. Lalu dia kabur dari desa ini bersama bibimu.
Kau juga dibawa." "Ceritamu tidak masuk akal!" aku berseru. "Kalau cerita itu memang benar, kenapa
kami pindah kembali ke sini" Kenapa Bibi Greta membawaku kemari lagi?"
"Bibimu punya alasan kuat untuk kembali," si orang-orangan salju menjelaskan.
"Dia tahu bahwa pengaruh sihirnya akan lenyap setelah sepuluh tahun."
"A-aku tidak mengerti," aku tergagap-gagap. Kepalaku serasa beku. Aku tidak bisa
berpikir. Aku berusaha keras untuk memahami cerita si monster salju.
"Setelah sepuluh tahun, kekuatan mantranya mulai berkurang," si orang-orangan
salju menegaskan. "Bibimu kembali untuk memperbarui mantra itu. Dia ingin aku
tetap jadi orang-orangan salju. Dia ingin aku selama-lamanya menjadi tawanan di
atas sini. Dia ingin memastikan tak seorang pun mengetahui nasib yang menimpaku.
Dia tidak rela aku merebut dirimu dari sisinya!"
"Bibi Greta bukan tukang sihir!" aku memprotes. "Hampir sepanjang hidupku aku
tinggal bersama Bibi Greta. Dan aku tidak pernah melihatnya melakukan hal-hal
berbau sihir. Bibi Greta tidak..."
"TUNGGU DULU!" si orang-orangan salju berseru lantang. Ia mengangkat tangan agar
aku diam. "Waktu kita tidak banyak. Aku memang ayahmu, Jaclyn. Ayah kandungmu.
Kau harus percaya padaku."
"Tapi, aku - aku...," Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku tidak bisa berpikir
dengan jernih. Semuanya terlalu... ajaib.
"Kau bisa membebaskanku," si orang-orangan salju berkata dengan nada memohon.
"Asal kau tidak buang-buang waktu. Tidak lama lagi bibimu akan memperbarui
mantranya.Kalau kau tidak menyelamatkanku, aku harus jadi orang-orangan salju
selama sepuluh tahun lagi."
"Tapi apa yang bisa kulakukan?" seruku. "Aku bukan tukang sihir. Aku tidak punya
kekuatan gaib. Apa yang bisa kulakukan?"
"Kau bisa menyelamatkanku," makhluk salju raksasa itu berkeras. "Tapi aku tidak
bisa memberitahumu bagaimana caranya."
Ia mendesah dengan pahit.
"Kalau aku memberitahukan caranya, mantranya justru akan semakin kuat," ia
melanjutkan. "Kau harus memikirkannya sendiri."
"Hah" Tapi bagaimana mungkin?" aku berseru.
"Aku bisa memberi petunjuk," sahut si orang-orangan salju. "Aku tidak bisa
memberitahumu cara menyelamatkan diriku. Tapi aku bisa memberi petunjuk."
"Oke," ujarku pelan. Aku semakin erat memeluk diriku sendiri.
Dan kemudian, dengan suaranya yang berat dan menggemuruh, si orang-orangan salju
mengucapkan sajak yang sangat kukenal:
KETIKA SALJU MENDERU KERAS
DAN HARI PUN MENJELANG SENJA,
AWAS, ORANG-ORANGAN SALJU, ANAKKU.
AWAS, ORANG-ORANGAN SALJU.
IA MEMBAWA ANGIN DINGIN. Aku menatapnya dengan mata terbelalak. "Kau - kau tahu sajak itu!" seruku
tergagap-gagap. "Itulah petunjuk yang kumaksud," ujar si orang-orangan salju. "Satu-satunya
petunjuk yang bisa kuberikan. Sekarang kau harus memikirkan cara untuk
menyelamatkanku." Aku sudah tahu bagaimana caranya.
Aku langsung tahu begitu aku mendengar sajak lama itu.
Bait kedua. Penangkal mantra itu pasti ada di bait kedua. Bait yang tidak bisa
kuingat sampai sekarang. "Tolonglah aku, Jaclyn." Si orang-orangan salju menatapku dengan pandangan
memohon. "Tolonglah aku. Aku ayahmu, Jaclyn. Aku ayahmu."
Aku membalas tatapannya sambil berpikir keras. Sambil berusaha mengambil
keputusan. Haruskah aku percaya padanya"
Haruskah aku menolongnya"
Chapter 27 YA, aku memutuskan. Ya. Aku akan berlari pulang. Aku akan mencari buku puisiku.
Dan mencari bait kedua dari sajak itu.
"Nanti aku ke sini lagi!" aku berseru pada si orang-orangan salju.
Aku berbalik, melepaskan diri dari cengkeramannya yang dingin membeku. Aku
berlari menuruni lereng gunung. Dan memekik kaget karena hampir bertabrakan
dengan Bibi Greta! "Bibi Greta..:!" aku berteriak.
"Bibi sudah memperingatkanmu!" katanya dengan nada melengking tinggi. "Bibi
sudah berusaha menakut-nakutimu, Jaclyn. Supaya kau jangan kemari."
Rupanya memang Bibi Greta yang berbisik padaku malam-malam, dan memperingatkanku
tentang si orang-orangan salju!
Sorot matanya menyala-nyala. Wajahnya yang biasanya pucat kini tampak merah
padam. Mantel hitamnya yang panjang tidak dikancing, sehingga berkibar-kibar
tertiup angin. Ia membawa buku besar berwarna hitam, dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Jaclyn - ini yang kaucari, bukan?" ia bertanya.
"Buku puisiku?" aku menjerit.
Bibiku mengangguk. "Bibi Greta - apa benar?" aku bertanya sambil melirik si orang-orangan salju. "Apa
benar dia memang ayahku?"
Wajah bibiku langsung berkerut-kerut karena kaget.
"Hah" Ayahmu?" ia berseru. "Itu bohong! Itu yang dia ceritakan padamu" Bahwa dia
ayahmu" Itu bohong. Bohong besar!"
"DIA YANG BOHONG!" suara si orang-orangan salju membahana.
Aku tersentak kaget. Tapi Bibi Greta tidak menghiraukan seruan menggelegar itu.
"Dia bohong, Jaclyn," Bibi Greta mengulangi sambil mendelik ke arah si orangorangan salju. "Dia bukan ayahmu. Dia monster jahat!"
"BOHONG!" si orang-orangan salju kembali berseru. Seluruh gunung ikut bergetar.
"Ibu dan ayahmu tukang sihir," Bibi Greta melanjutkan tanpa memedulikan teriakan
si monster. "Siang dan malam mereka mempraktekkan ilmu gaib. Tapi mereka
melangkah terlalu jauh. Tanpa sengaja mereka menciptakan monster."
Bibi Greta menunjuk si orang-orangan salju.
"Dia monster jahat," ia mengulangi sambil mengertakkan gigi. "Ketika orangtuamu
sadar apa yang mereka lakukan, mereka sangat terpukul. Mereka membekukan monster
itu di dalam tubuh orang-orangan salju. Tidak lama kemudian, ayahmu menghilang.
Lalu ibumu dan Bibi membawamu pergi dari desa ini. Kami lari untuk menyelamatkan
diri dari kebusukan monster itu!"
"PEMBOHONG!" teriak si orang-orangan salju sambil mengayun-ayunkan lengan.
Syalnya mengepak-ngepak di kiri-kanannya, bagaikan sepasang sayap. Gelombang
hawa dingin terus terpancar dari tubuhnya.
"Jaclyn, jangan percaya padanya!" si orang-orangan salju memohon. "Aku mohon selamatkanlah aku! Aku ayahmu."
Tangannya berusaha meraihku.
"Tolonglah," ia mengiba. "Aku tahu ini sulit dipercaya. Tapi sebenarnya
bibimulah yang jahat. Dia tukang sihir. Dia, ibumu, dan juga aku - kami semua
tukang sihir. Aku tidak jahat. Aku bukan monster. Tolonglah...."
"Pembohong!" Bibi Greta menjerit. Ia memegang buku puisiku seolah hendak
melempar si orang-orangan salju.
"Aku tidak punya kekuatan gaib!" Bibi Greta memekik. "Aku tidak tahu mantra apa
pun! Aku bukan tukang sihir!"
Ia membuka buku di tangannya. Kalang kabut ia membalik halaman demi halaman.
"Aku bukan tukang sihir. Buku ini kubawa karena aku tahu rahasianya. Aku tahu
bagaimana caranya agar kau selama-lamanya jadi orang-orangan salju!"
Si orang-orangan salju masih berusaha meraihku.
"Jaclyn, selamatkan aku. Sebelum terlambat," ia memohon.
Pandanganku berpindah-pindah. Sesaat aku memandang Bibi Greta, lalu aku
berpaling pada si orang-orangan salju.
Siapa yang harus kupercaya"
Siapa di antara mereka yang bohong"
Tiba-tiba aku mendapat ide.
Chapter 28 SERTA-MERTA kurebut buku puisi dari tangan bibiku.
"Jaclyn!" ia memekik. Ia langsung melompat maju untuk merebutnya kembali.
Tarik-menarik pun terjadi. Halaman-halaman buku tua itu terkoyak dan terbang
Goosebumps - 51 Teror Monster Salju di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terbawa angin. Sampulnya yang tebal retak-retak.
Bibi Greta mengayunkan tangan hendak menyambar buku itu.
Tapi aku lebih cepat. Aku menarik buku itu, lalu aku melangkah mundur sampai ke
dinding gua es. Bibi Greta maju selangkah. Ia menatap si orang-orangan salju, dan berhenti
berjalan. "Jaclyn - kau melakukan kesalahan besar!" seru Bibi Greta.
Aku membalik-balik halaman buku tua itu sambil bersandar ke dinding gua es.
"Sajak itu akan kucari sampai ketemu," ujarku. "Dan aku akan membaca bait yang
kedua. Ini satu-satunya cara supaya aku bisa tahu siapa yang benar."
"TERIMA KASIH, PUTRIKU!" si orang-orangan salju berkata dengan suaranya yang
menggelegar. Bibi Greta langsung memprotes.
"Bibi yang benar, Jaclyn!" serunya. "Selama ini Bibi yang mengurusmu. Mana
mungkin Bibi berbohong padamu?"
Tapi aku sudah membulatkan tekad.
Aku harus membaca bait kedua. Itu satu-satunya cara untuk mengetahui siapa yang
berkata benar dan siapa yang bohong.
"Dia monster jahat!" seru Bibi Greta.
Si orang-orangan salju berdiri membisu. Tanpa berkata apa-apa ia memperhatikan
aku membalik-balik halaman buku puisiku.
Mana sajak itu" Mana"
Aku menoleh. "Bibi Greta...?"
Ia membungkuk dan memungut selembar kertas dari salju. Aku melihat ia tersenyum
ketika ia membaca kata-kata yang tertulis pada kertas itu. Tiupan angin membuat
mantelnya berkibar-kibar. Matanya berbinar-binar.
"Jaclyn, Bibi tidak bisa membiarkanmu membaca sajak itu," katanya.
"Jadi, kertas yang Bibi pegang...?" seruku.
"Kau tidak boleh membacanya," Bibi Greta menegaskan. Dan kemudian dilemparkannya
kertas itu ke jurang. Chapter 29 AKU memekik kaget. Aku menyaksikan kertas itu melayang melewati tepi tebing.
Celaka! pikirku. Aku takkan pernah tahu bagaimana bunyi bait kedua. Kertas itu akan hilang
terbawa angin. Dan aku takkan pernah melihatnya lagi.
Tapi aku kembali memekik - karena ternyata tiupan angin membawa kertas itu ke
atas lagi. Melayang ke arahku! Cepat-cepat aku menangkapnya.
Masih tercengang aku menatap kertas itu.
Dan sebelum Bibi Greta sempat merebutnya kembali, aku mulai membaca bait kedua
sajak itu: KETIKA SALJU MELELEH DAN SINAR MENTARI HANGAT MENERPAMU,
AWAS, ORANG-ORANGAN SALJU...
"Jangaaan!" teriak Bibi Greta. Ia melompat ke arahku. Dan sambil mengayunkan
tangan, ia merampas kertas itu dari tanganku. Dan merobek-robeknya.
Si orang-orangan salju mengerang tertahan. Ia membungkuk. Berusaha menangkap
Bibi Greta. Namun terlambat. Sobekan-sobekan kertas itu berjatuhan ke salju.
"Bibi Greta - kenapa?" ujarku dengan suara parau.
"Tak kuizinkan kau berbuat begitu," jawabnya. "Dia monster, Jaclyn. Dia bukan
ayahmu. Dia tidak boleh sampai bebas."
"Bohong!" si orang-orangan salju berkeras. "Dia tidak rela kau mengenalku,
Jaclyn. Dia tidak rela kau mengenal ayahmu sendiri. Dia ingin agar aku selamalamanya terjebak di gua es ini."
Aku kembali berpaling pada bibiku. Raut mukanya tampak keras. Ia menatapku
dengan dingin. Aku menarik napas dalam-dalam.
"Bibi Greta, aku harus tahu siapa yang benar," ujarku padanya.
"Bibi tidak mungkin membohongimu," ia berkeras.
"Aku harus memastikannya sendiri," sahutku. "A - aku sempat membaca baris terakhir
sajak itu. Sebelum Bibi merampas dan merobek kertasnya. Aku tahu seluruh sajak
itu, Bibi Greta." "Jangan...," ia memohon sambil mengulurkan tangan hendak memelukku.
Tapi aku langsung mundur sampai ke dinding gua es, dan mengucapkan bait kedua
sajak itu di luar kepala:
KETIKA SALJU MELELEH DAN SINAR MENTARI HANGAT MENERPAMU,
AWAS, ORANG-ORANGAN SALJU...
KARENA IA AKAN BEBAS MERDEKA!
"Aduh, Jaclyn! Jangan! Jangan! Jangan!" Bibi Greta meratap. Ia menempelkan kedua
tangan ke pipi, dan kembali memekik. "Aduh, jangan! Jangan!"
Aku menoleh ke arah si orang-orangan salju, dan melihat tubuhnya mulai meleleh.
Salju putih mengalir di wajah dan tubuhnya, bagaikan es krim yang sedang
mencair. Matanya yang hitam jatuh ke salju. Wajahnya meleleh. Gumpalan-gumpalan salju
berjatuhan dari tubuhnya yang bulat. Lengan rantingnya pun terlepas.
Perlahan-lahan wajahnya yang asli mulai tampak. Perlahan-lahan tubuhnya muncul
dari balik lapisan salju.
Aku menatapnya tanpa berkedip. Dan kemudian aku menjerit sekeras-kerasnya.
Chapter 30 SESOSOK monster! Monster mengerikan berkulit merah muncul dari balik salju yang tengah meleleh.
Ternyata Bibi Greta tidak bohong. Yang terperangkap di dalam orang-orangan salju
itu memang monster. Bukan ayahku.
Bukan ayahku. Tapi monster... monster mengerikan!
Kepala dan tubuhnya terbungkus sisik tebal berwarna merah.
Matanya yang kuning tampak menyala-nyala di kepalanya yang menyerupai kepala
banteng. Dan lidahnya yang ungu menjulur-julur dari mulutnya yang penuh gigi
runcing. "Aduh! Aduh! Aduh!" Bibi Greta masih memekik-mekik sambil menempelkan tangan ke
pipi. Air mata membasahi pipinya.
"Astaga, apa yang kulakukan?" aku meratap.
Monster itu mendongak dan tertawa terbahak-bahak. Ia memungut buku puisiku
dengan tangannya yang berjari tiga. Lalu ia melemparkannya ke jurang.
"Sekarang giliranmu!" serunya dengan suara menggelegar.
"Jangan - jangan!" aku memohon.
Aku meraih pundak Bibi Greta dan menariknya menjauh dari tepi jurang. Kami
mundur sampai merapat ke dinding gua es.
"Selamat terjun," si monster menggeram.
"Tapi aku kan sudah menyelamatkanmu!" aku berseru. "Jadi ini yang kudapat
sebagai balas budi" Dilempar ke jurang?"
Monster bersisik merah itu mengangguk. Ia meringis lebar, sehingga giginya yang
runcing tampak jelas. "Ya. Inilah imbalanmu."
Ia mengangkat tubuhku dengan sebelah tangan dan meremas pinggangku.
Cengkeramannya begitu erat, sehingga aku tidak bisa bernapas.
Dengan tangannya yang satu lagi ia mengangkat Bibi Greta. Kami berdua
diangkatnya tinggi-tinggi.
Monster itu mengerang keras.
Meluruskan tangan ke depan.
Dan membiarkan kami menggelantung di atas jurang yang menganga jauh di bawah.
Chapter 31 MONSTER itu mencengkeram kami dengan tangannya yang kuat.
Aku memandang ke bawah. Dasar jurang yang terselubung salju tampak begitu curam.
Tapi di luar dugaanku, monster itu tidak melemparkan kami. Ia malah menarik
tangannya dan melepaskan kami di pelataran.
"Hah?" aku memekik kaget.
Monster itu memandang ke lereng gunung. Bibi Greta dan aku tak lagi
dipedulikannya. Aku berusaha mengatur napas, lalu mengikuti pandangannya. Dan melihat apa yang
membuat monster itu terkejut. Melihat apa yang telah menyelamatkan nyawaku.
Sebuah iring-iringan! Iring-iringan orang-orangan salju.
Semua orang-orangan salju dari desa. Semua berbaris dan berjalan menuju gua es.
Syal merah mereka berkibar-kibar tertiup angin. Lengan mereka yang kurus kering
tampak berayun-ayun sementara mereka mendaki lereng gunung.
Mereka menuju ke arah kami, bagaikan sepasukan tentara. Semua bertampang seram,
dengan goresan panjang di pipi.
"A-apa-apaan ini?" aku tergagap-gagap. Serta-merta aku meraih tangan Bibi Greta.
Tanpa berkedip kami menyaksikan barisan itu mendekat.
"Mereka datang untuk membantu si monster," bisik Bibi Greta.
"Kita bakal celaka, Jaclyn. Kita bakal celaka."
Chapter 32 BARISAN orang-orangan salju itu menyusuri pelataran yang terselubung es. Derap
langkah mereka semakin nyaring ketika mereka mendekat. Suara itu memantul-mantul
dari puncak gunung, sehingga menimbulkan kesan ada seribu orang-orangan salju
yang siap menyerang kami.
Bibi Greta dan aku mundur sampai ke dinding gua. Kami tidak bisa lari ke mana
pun. Kami terjebak. Barisan orang-orangan salju itu semakin dekat. Semakin dekat.
Aku bisa melihat kemarahan yang tercermin di mata mereka yang bulat dan hitam.
Goresan yang meliuk-liuk bagaikan ular di pipi mereka pun kelihatan jelas.
Bibi Greta dan aku terperangkap. Kami mengangkat tangan sebagai perisai.
Tapi kemudian kami terheran-heran, karena barisan itu ternyata lewat begitu saja
di hadapan kami. Semua orang-orangan salju terus bergerak maju, menghampiri si monster. Lengan
mereka berayun-ayun, mata mereka menyala-nyala.
Mereka mendesak-desak si monster yang tampak kaget. Dan mendorongnya.
Mendorongnya ke belakang.
Si monster meraung-raung sambil mendongakkan kepala.
Tapi raungan itu terputus ketika satu orang-orangan salju menggelinding ke
kepala si monster. Bibi Greta dan aku tercengang ketika monster itu dikerumuni orang-orangan salju.
Ia terdorong ke belakang, sampai membentur dinding gua. Kami melihat tangannya
melambai-lambai tak berdaya.
Dan kemudian ia lenyap dari pandangan kami. Ia menghilang di balik barisan
orang-orangan salju yang menerjangnya bagaikan air bah.
Semua orang-orangan salju itu mendorongnya kuat-kuat. Tanpa bersuara. Bagaikan
longsoran salju yang hening.
Dan ketika mereka akhirnya mundur, si monster berdiri beku dengan tangan
terentang, seakan-akan hendak menyerang. Ia tidak bergerak. Ia terperangkap di
dalam dinding es. Ia kembali menjadi tawanan.
Barisan orang-orangan salju telah mendorongnya ke dalam dinding. Mereka
menyekapnya di dalam dinding es yang bagaikan kaca.
Bibi Greta dan aku berdiri di samping mulut gua. Kami gemetaran, dan berpegangan
tangan. Kakiku serasa terbuat dari karet karena lemasnya.
"Siapa yang membawa semua orang-orangan salju itu kemari?" aku bertanya padanya.
"Apakah Bibi yang memanggil mereka?"
Bibi Greta menggelengkan kepala. Matanya masih terbelalak lebar karena kaget.
"Bukan Bibi yang membawa mereka kemari, Jaclyn," katanya pelan. "Apa yang Bibi
katakan tadi memang benar. Bibi tidak punya kekuatan gaib. Ayah dan ibumu memang
penyihir. Tapi Bibi bukan."
"Kalau begitu, siapa yang menyuruh mereka mendaki gunung untuk menyelamatkan
kita?" tanyaku. "Aku!" sebuah suara berseru.
Chapter 33 AKU berpaling ke arah pelataran - dan melihat Conrad berdiri di situ. Rambutnya
yang kelabu berantakan oleh angin yang bertiup kencang. Serigala putihnya
berdiri di sampingnya. "Kau yang mengendalikan barisan orang-orangan salju?" tanyaku. "Berarti kau juga
tukang sihir, dong?"
Conrad mengangguk. Ia mengembangkan senyum ketika melihat monster yang
terperangkap di dalam dinding es.
"Ya. Aku mengirim mereka untuk menyelamatkan kalian," ujarnya.
Bibi Greta menatap Conrad sambil memicingkan mata. Tiba-tiba ia terkejut.
"Kau!" serunya. "Kau rupanya!"
Senyum Conrad semakin lebar.
"Ya," ia berkata pada bibiku.
"S-siapa dia?" tanyaku.
Bibi Greta menoleh dan merangkul bahuku.
"Jaclyn," ujarnya pelan. "Bibi pindah kemari karena menduga dia masih di sini.
Dan ya, ternyata Bibi benar. Dia masih di sini."
Ia meremas pundakku dan menatapku sambil tersenyum. Matanya berkaca-kaca.
"Conrad adalah ayahmu," bisiknya.
Conrad dan aku sama-sama memekik kaget.
Ia bergegas maju dan langsung mendekapku. Janggutnya yang panjang terasa
menusuk-nusuk ketika ia menempelkan pipinya ke pipiku.
"Astaga!" ia berseru sambil melangkah mundur. Aku melihat sebutir air mata
mengalir di pipinya. "Sudah begitu lama - aku sampai tidak mengenalimu, Jaclyn.
Aku sangat gembira Greta membawamu kembali ke desa ini."
"K-kau betul-betul ayahku?" aku tergagap-gagap.
Conrad tidak sempat menjawab. Rolonda dan Eli berlari menghampiri kami.
"Kalian tidak apa-apa?" mereka berseru.
Conrad menunjuk Rolonda dan Eli.
"Mereka yang menyelamatkan kalian!" ia berkata pada Bibi Greta dan aku. "Mereka
yang memberitahuku bahwa kau hendak ke gua es. Begitu aku mendengarnya, aku
langsung menggunakan kekuatan gaibku. Aku menyuruh semua orang-orangan salju
menyusul kemari untuk menyelamatkan kalian."
"Wow!" Eli berseru ketika melihat monster yang terperangkap dalam dinding es.
"Coba lihat itu!"
"Itulah wujud asli si orang-orangan salju yang jahat," Conrad menjelaskan. "Dia
takkan pernah lagi mengancam para penduduk desa."
Rolonda dan Eli maju sedikit agar dapat melihat monster itu lebih jelas.
Aku berpaling pada ayahku.
"Aku tidak mengerti," ujarku. "Kenapa Dad tetap di sini waktu Mom dan Bibi Greta
pergi" Dan kenapa Dad malah memilih tinggal di dekat gua es?"
Ia mengusap-usap janggutnya dan menghela napas. "Ceritanya panjang. Waktu kau
masih kecil, aku dan ibumu giat mempelajari ilmu gaib. Tapi akhirnya kami
kehilangan kendali. Dan tanpa sengaja kami menciptakan monster ini."
Ia menggerakkan dagu ke arah si monster, lalu menggelengkan kepala.
"Kami berhasil membekukannya di dalam tubuh orang-orangan salju," ia
menjelaskan. "Ibumu - dia ingin pergi. Dia begitu bingung dan ketakutan. Dia
ingin pergi sejauh mungkin dari sini. Dan melupakan semua kejadian buruk yang
terjadi di sini." "Tapi kenapa Dad tetap tinggal?" tanyaku.
"Aku tetap tinggal karena merasa bertanggung jawab kepada para penduduk desa,"
jawab Conrad. "Aku harus menjaga agar si orang-orangan salju tetap terperangkap
di dalam gua. Supaya dia tidak bisa mencelakakan orang lain."
Ia kembali menghela napas. "Dan karena itulah aku tinggal di atas gunung, di
dekat monster ciptaan kami. Tapi... tapi... berpisah denganmu, Jaclyn, adalah
cobaan paling berat yang pernah kualami!"
Sekali lagi ia memelukku. Dan sekali lagi wajahku seperti ditusuk-tusuk oleh
janggutnya yang kasar. "Aku selalu berangan-angan suatu hari aku bisa meninggalkan gunung ini dan
mencarimu," katanya dengan suara, pelan. "Dan sekarang monsternya sudah mati.
Kengerian yang ditimbulkannya sudah berakhir. Dan Greta telah membawamu kembali
ke sini. Barangkali...."
Ia terdiam. Ia tersenyum dan menatap Bibi Greta, lalu menatapku. Kemudian ia
menarik napas dalam-dalam, dan kembali bicara. "Barangkali... kita bisa mencoba
jadi satu keluarga lagi."
Ia terus merangkulku sementara kami menuruni gunung.
"Hei...!" aku memekik ketika melihat bahwa jalannya terhalang barisan orangorangan salju. Di tengah kegembiraan karena berjumpa lagi dengan ayahku, aku sama sekali
melupakan semua orang-orangan salju itu!
Dan sekarang mereka mengelilingi kami. Mengepung kami. Menatap kami dengan mata
mereka yang seakan-akan membara.
"M-mau apa mereka?" aku tergagap-gagap.
Goosebumps - 51 Teror Monster Salju di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebelum ayahku sempat menyahut, salah satu orang-orangan salju bergerak maju dan
menghampiri kami. Dengan gemetar aku meraih tangan ayahku. Kami tidak bisa lari. Semua jalan telah
tertutup. Orang-orangan salju itu berhenti persis di depan ayahku - dan membuka mulut
untuk berbicara. "Apakah kami sudah boleh turun sekarang?" tanya orang-orangan salju itu. "Kami
semua sudah kedinginan di sini!"
END Ebook PDF: eomer eadig Http://ebukulawas.blogspot.com
Convert & Re edited by: Farid ZE
blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Kelelawar Iblis Merah 2 Pendekar Bloon 6 Undangan Maut Renjana Pendekar 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama