Ceritasilat Novel Online

Bergaya Sebelum Mati Dua 1

Goosebumps - Bergaya Sebelum Mati 2 Bagian 1


1 "GREG BANKS!" Aku langsung merinding ketika Mr. Saur memanggil namaku.
Tadinya aku sedang terkantuk-kantuk di baris paling belakang di
ruang kelasku. Aku mencoba bersembunyi di balik Brian Webb, si
raksasa yang duduk di depanku.
Kemudian aku merapatkan tangan dan berdoa agar Mr. Saur
tidak memanggilku untuk menyampaikan laporan di depan kelas.
"Greg Banks!" panggilnya sekali lagi.
Aku kembali merinding. Lututku gemetaran ketika aku bangkit
dari kursiku. Lalu leherku mulai serasa tercekik, sehingga aku nyaris
tak dapat bernapas. Aku paling benci disuruh maju memberikan laporan di depan
teman-teman sekelas. Apalagi kalau tidak sempat berlatih. Apalagi kalau tidak
diizinkan membawa catatan. Apalagi kalau laporan itu sangat
berpengaruh pada nilai mata pelajaran bahasa Inggris yang bakal
diperoleh. Aku berdeham dan menuju ke depan. Di tengah jalan Donny
Greene menjulurkan kakinya ke gang, sehingga aku tersandung.
Aku sempat terhuyung-huyung"tapi tidak sampai jatuh.
Seluruh kelas langsung terbahak-bahak.
Mr. Saur menatap Donny sambil mengerutkan kening. "Donny,
haruskah kau menjegal setiap orang yang berjalan melewatimu?"
tanyanya. "Ya," sahut Donny dengan wajah serius.
Langsung saja anak-anak tertawa lagi.
Semua orang menganggap Donny lucu sekali. Semua orang
kecuali Mr. Saur. Tak seorang pun dianggap lucu oleh Mr. Saur. Itulah sebabnya
kami menjulukinya Saur si Muka Masam. Dan aku yakin itu pun
takkan dianggap lucu olehnya!
Mr. Saur berperawakan tinggi dan kurus, kepalanya sudah
hampir botak. Ia tidak pernah bercanda. Ia tidak pernah tersenyum. Ia
selalu cemberut, seakan-akan baru saja menggigit lemon yang asam
sekali. Saur si Muka Masam. Ia semacam legenda di Pitts Landing Middle School. Semua
murid berusaha agar tidak diajar bahasa Inggris olehnya. Sahabatsahabatku" Michael, Bird, dan Shari"beruntung. Mereka masuk
kelas Mrs. Folsom. Aku satu-satunya yang bernasib buruk.
Aku berjalan ke samping mejanya dan kembali berdeham.
Dalam hati aku bertanya apakah teman-teman sekelasku dapat melihat
lututku gemetar tak terkendali. Wajahku serasa terbakar. Tanganku
sedingin es. Apakah setiap orang segugup aku kalau disuruh berdiri di depan
kelas" Mr. Saur menyilangkan tangannya yang pucat dan kurus di atas
meja. "Oke, Greg, mari kita dengarkan kisah nyata yang kaualami."
Aku berdehem untuk keseribu kali, lalu menarik napas dalamdalam. Kemudian aku mulai menceritakan kejadian yang kualami
bersama teman-temanku musim panas lalu....
"Begini, waktu itu saya sedang berkumpul bersama temanteman. Bird, Michael, dan Shari. Kami sedang tidak ada pekerjaan,
dan kami merasa agak bosan. Akhirnya kami saling menantang untuk
melakukan sesuatu yang menegangkan. Kami saling menantang untuk
masuk ke rumah Coffman."
Mr. Saur mengangkat sebelah tangan untuk menyela. Seperti
biasa, ia mengerutkan kening. "Apa itu rumah Coffman?"
"Rumah hantu!" sahut Donny Greene.
"Rumah Donny!" Brian Webb bergumam, cukup keras untuk
didengar semua orang. Lagi-lagi seisi kelas tergelak.
Mr. Saur langsung cemberut. Ia mengangkat kedua tangan
untuk menenangkan murid-muridnya.
"Rumah Coffman adalah rumah tua yang kosong di dekat
rumah saya," aku memberitahunya. "Kami masuk ke rumah itu, lalu
turun ke ruang bawah tanah. Di situ kami menemukan kamera tua.
Dan itulah inti kisah nyata ini. Sebab kamera itu ternyata memiliki
kekuatan gaib yang jahat."
Mr. Saur mengerang dan menggeleng-gelengkan kepala.
Beberapa anak tertawa. Tapi aku kembali menarik napas dalam-dalam
dan melanjutkan ceritaku.
"Kamera ilu kamera langsung jadi. Fotonya langsung keluar,
tapi tak pernah sama dengan adegan yang kami potret. Selalu
memperlihatkan sesuatu yang mengerikan.
"Kamera itu saya bawa pulang. Saya memotret station wagon
yang baru dibeli ayah saya. Dalam sekejap saja fotonya sudah muncul.
Tapi foto itu memperlihatkan mobil baru ayah saya dalam keadaan
hancur seluruhnya. Dan beberapa hari kemudian, ayah saya
mengalami kecelakaan mengerikan. Foto itu menjadi kenyataan."
Aku memandang berkeliling untuk melihat reaksi para
pendengar. Beberapa anak tertawa. Tapi ada juga yang menatapku
tanpa berkedip. Barangkali mereka sedang menduga-duga apakah
ceritaku memang benar atau cuma isapan jempol.
Brian Webb berusaha membuatku kehilangan konsentrasi. Ia
memasukkan telunjuk ke lubang hidung dan memutarnya. Ia pikir itu
lucu, tapi menurutku jorok.
"Saya memotret sahabat saya Bird Arthur," aku melanjutkan.
"Dia ikut bermain dalam pertandingan baseball Little League. Tapi
fotonya memperlihatkan dia tergeletak pingsan di tanah.
"Beberapa menit kemudian salah satu pemain lawan berhasil
memukul bola, dan bolanya menghantam kepala Bird. Bird langsung
pingsan. Persis seperti di dalam foto."
Aku mendengar tawa gelisah dari barisan belakang. Aku
menoleh dan melihat sebagian besar teman sekelasku mengerutkan
kening karena bingung. Brian masih juga memasukkan telunjuk ke
lubang hidung. Aku langsung mengalihkan pandangan. Sori, Brian,
tapi kau tidak lucu. Mr. Saur duduk bertopang dagu di belakang mejanya.
Wajahnya tidak kelihatan dari tempat aku berdiri. Jadi aku tidak tahu
apakah ia menyukai laporanku atau tidak.
"Dan kemudian terjadi sesuatu yang lebih mengerikan lagi,"
aku meneruskan ceritaku. "Kamera itu saya bawa ke pesta ulang tahun
Shari Walker. Saya memotret Shari di bawah pohon.
"Waktu fotonya keluar, pohonnya kelihatan jelas"tapi Shari
tidak. Sepertinya dia mendadak tembus pandang atau sebangsanya.
Dan sehabis itu, beberapa menit kemudian, Shari menghilang."
Beberapa anak memekik tertahan. Tapi ada juga yang tertawa.
Wajah Mr. Saur tetap tidak kelihatan.
"Beberapa hari setelah itu, Shari muncul lagi," ujarku. "Tapi
kami sudah terlalu ngeri untuk menyimpan kamera itu. Jadi kami
mengembalikannya ke rumah Coffman. Dan di situ kami bertemu
laki-laki aneh yang berpakaian serbahitam. Dialah pencipta kamera
itu. Dia memberitahu kami bahwa kamera itu terkena kutukan, dan..."
Aku tersentak kaget ketika Mr. Saur tiba-tiba bangkit. "Saya
kira cukup sekian," katanya ketus.
"Maaf?" Mula-mula kupikir aku salah dengar.
Ruang kelas mendadak hening.
Mr. Saur menggeleng. Kemudian ia menatapku sambil
memicingkan mata. "Greg," katanya, "saya punya berita sangat buruk
untukmu." 2 BEL istirahat berdering. "Pelajaran dilanjutkan besok," Mr. Saur mengumumkan.
"Sekian untuk hari ini."
Kursi-kursi bergesekan dengan lantai ketika para murid berdiri.
Aku memperhatikan anak-anak lain mengambil buku dan tas masingmasing, lalu menuju pintu. Bebas.
Sebenarnya aku ingin segera menyusul mereka. Tapi Mr. Saur
terus menatapku dengan sorot mata dingin.
Aku menunggu sampai ruang kelas kosong. Kemudian aku
berpaling kepada guruku yang berwajah masam itu. "Ada berita buruk
apa?" tanyaku tegang.
"Kau saya beri nilai F," kata si Muka Masam.
"Hah?" "Laporanmu tidak memenuhi syarat, Greg."
Lututku semakin lemas. Aku terpaksa berpegangan pada tempat
kapur di papan tulis supaya tidak terjatuh ke lantai. "T-t-tapi kenapa?"
aku tergagap-gagap. Ia menyilangkan lengannya yang kurus di depan dada kaus
kuningnya yang berlogo buaya. Dalam hati aku berharap buaya itu
akan menggigitnya. "Kau tidak mengerjakan tugas yang saya minta," katanya.
"T-t-tapi..." Aku masih berpegangan pada tempat kapur. Kakiku
terlalu gemetar untuk berdiri tegak.
"Greg, kau diminta menceritakan kisah nyata," Mr. Saur
menggerutu. "Tapi kau malah asyik membual. Konyol sekali. Saya
tidak mengerti apa yang ada dalam pikiranmu."
"Tapi cerita ini benar!" aku memprotes. "Kamera itu..."
Mr. Saur mengangkat tangan menyuruhku diam. "Konyol
sekali," katanya sekali lagi. "Ceritamu sama sekali tidak masuk akal.
Saya curiga kau membacanya di salah satu komik."
"Mr. Saur...!" aku hendak membela diri. Aku melepaskan
peganganku pada tempat kapur dan mengepalkan kedua tangan.
"Anda harus percaya. Kamera itu memang ada. Saya tidak bohong."
Aku menarik napas dalam-dalam. Kemudian aku berusaha agar
suaraku tetap tenang. "Silakan tanya teman-teman saya," kataku
padanya. "Mereka ada di kelas Miss Folsom. Mereka akan
mendukung cerita saya."
"Tentu saja." Ia menatapku sambil tersenyum mengejek. "Saya
yakin teman-temanmu akan mengatakan apa saja yang kausuruh."
"Bukan begitu. Sungguh...!" aku memprotes.
Mr. Saur menggelengkan kepala. "Kau menganggap enteng
tugas yang saya berikan, Greg. Kau menganggapnya sebagai lelucon.
Jadi kau terpaksa saya beri nilai F."
Aku mengangkat kedua tanganku yang terkepal dan menggeram
keras-keras. Awas, Greg, jaga kelakuanmu, aku memperingatkan diriku
sendiri. Jaga kelakuanmu.
Tapi bagaimana mungkin aku bisa mengendalikan diri" Nilai
yang diberikannya benar-benar tidak adil. Padahal urusan ini sangat
penting untukku. Urusan ini adalah persoalan hidup atau mati!
"Mr. Saur... jangan beri saya nilai F!" aku meratap. Rasanya
aku ingin berlutut di lantai dan memohon ampun. "Anda akan
menghancurkan hidup saya!"
Ia menatapku dengan dingin. Ia tidak mengucapkan sepatah
kata pun. "Kalau tidak memperoleh nilai yang lebih baik, saya tidak bisa
mengunjungi sepupu-sepupu saya musim panas ini," aku menjelaskan.
"Masalahnya begini, sepupu-sepupu saya tinggal di dekat Yosemite.
Di California. Dan orangtua saya telah berjanji, kalau nilai pelajaran
bahasa Inggris saya membaik, saya boleh berlibur di tempat mereka."
Ia tidak tergerak sedikit pun. Ia tetap menatapku sambil
mengerutkan kening. Matanya tidak berkedip.
"Kalau dapat nilai F, saya akan terperangkap di Pitts Landing
sepanjang musim panas!" seruku.
Akhirnya Mr. Saur bereaksi. Ia mengembangkan senyum yang
sama sekali tidak menyenangkan. Matanya yang cokelat tampak
berbinar-binar. "Kalau begitu kau akan punya waktu lebih dari cukup
untuk mengarang cerita konyol lagi," ujarnya.
Ia berpaling dariku dan mulai membuat catatan di buku nilainya
yang berwarna hitam. "Mr. Saur... tolonglah!" aku memohon. "Anda harus percaya.
Saya tidak mengada-ada. Saya tidak berbohong. Sungguh..."
Ia menoleh dari buku nilainya. "Baiklah. Kalau begitu saya
minta bukti." Aku langsung terbengong-bengong. "Hah?"
"Bawa kamera itu kemari," katanya. "Bawa kamera itu kemari
dan buktikan kamera itu memang jahat. Buktikan ceritamu benar"
atau kau tetap akan mendapat nilai F."
Aku mengamati wajahnya. Apakah dia serius"
Sejenak ia membalas tatapanku, seakan-akan menantangku
dengan matanya. Kemudian ia melambaikan kedua tangan untuk
mengusirku. "Keluarlah, Greg. Mudah-mudahan lain kali kau akan
lebih serius mengerjakan tugas yang saya berikan."
Aku mengambil ranselku dan memanggulnya. Kemudian aku
meninggalkan ruang kelas. Otakku bekerja keras.
Perlukah aku kembali ke rumah tua yang seram itu dan
mengambil kamera tersebut"
Jangan. Jangan macam-macam.
Kamera itu terlalu berbahaya. Terlalu menakutkan. Terlalu
jahat. Tapi aku membutuhkan nilai bagus. Aku benar-benar
membutuhkannya. Jadi apa yang mesti kulakukan"
3 TEMAN-TEMANKU duduk di meja kami biasanya di pojok
kantin. Aku menaruh baki sambil menghela napas panjang, dan
kontan saja hampir setengah minumanku tumpah.
"Greg... ada apa sih?" tanya Bird sambil menoleh dari sandwich
yang sedang dimakannya. Sisa-sisa salad telur tampak berlepotan di
dagu dan pipinya. "Sandwich itu kaumakan atau kaupakai sebagai makeup?" Shari
mengolok-oloknya. "Hah" Apa?" Bird tidak sadar sedang disindir.
Michael meniup kantong kertas yang semula membungkus
makan siangnya, lalu meletuskannya dengan kedua tangan. Kemudian
ia memukul susu kotaknya sampai gepeng. Ia selalu langsung
menghabiskan susunya, lalu memukul kotaknya sampai gepeng. Tak
ada yang tahu kenapa. Michael memang agak aneh.
Aku menjatuhkan diri ke kursiku. Makananku tak kusentuh
sama sekali. Aku bahkan tidak memperhatikannya. Aku cuma
menatap dinding sampai pandanganku mulai kabur.
"Ada apa sih?" Bird bertanya sekali lagi. Sekarang malah ada
bekas salad telur di keningnya. Aku tidak mengerti bagaimana bisa
sampai begitu. Bird sebenarnya bernama Doug Arthur. Tapi saking miripnya
dengan burung, semua orang memanggilnya Bird. Termasuk
orangtuanya sendiri. Matanya yang berwarna cokelat kecil dan berdekatan letaknya
seperti mata burung, hidungnya pun panjang dan melengkung
bagaikan paruh. Rambutnya pendek dan mirip bulu burung. Ia
jangkung dan kurus serta kalau berjalan berayun-ayun seperti
flamingo. Michael melubangi sandwich-nya dengan telunjuk. Ia selalu
membuat lubang dulu di tengah-tengah, supaya bisa menghabiskan
sandwich dari dalam ke luar. "Lagi sial, Greg?"
"Yeah," gumamku. Aku kembali menghela napas panjang.
Shari mengenakan T-shirt biru muda dan jeans belel. Ia
menyibakkan rambut hitamnya. Ia sibuk mengangkat irisan-irisan
cabe merah dari potongan pizza-nya. "Ayolah, Greg. Cerita saja," ia


Goosebumps - Bergaya Sebelum Mati 2 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendesak tanpa menoleh ke arahku.
Aku menarik napas dalam-dalam. Kemudian kuceritakan
kejadian yang menimpaku waktu pelajaran bahasa Inggris tadi.
Sandwich yang sedang dimakan Bird sampai terlepas dari
tangannya dan jatuh ke meja. "Jadi si Muka Masam tidak percaya?" ia
berseru, lalu langsung menepuk keningnya. Ketika ia menurunkan
tangan, jarinya berlepotan salad telur.
"Hmm, kita bisa mendatanginya beramai-ramai dan
meyakinkannya bahwa cerita itu benar," Shari mengusulkan.
Aku menggeleng. "Kalian juga takkan dipercaya," ujarku lesu.
"Tapi kita semua melihatnya!" Michael memprotes. "Kita
semua tahu cerita itu memang benar!"
"Yeah. Berarti empat lawan satu," Bird menambahkan. Ia
sedang menyeka salad telur dari bajunya. "Dia harus percaya."
"Tidak mungkin," aku mendesah. "Kalian kan tahu si Muka
Masam. Dia bilang aku harus membawa kamera itu. Aku harus bisa
membuktikan kamera itu mengandung kekuatan jahat."
"Tapi mana mungkin!" seru Michael dan Shari berbarengan.
Aku memandang ke belakang mereka. Brian dan Donny sedang
cengar-cengir di meja sebelah. Brian dan Donny adalah murid-murid
terbesar di Pitts Landing Middle School. Kami menjuluki mereka
Sumo Satu dan Sumo Dua"soalnya potongan keduanya memang
seperti pesumo. Tentu saja belum pernah ada yang memanggil Sumo Satu dan
Sumo Dua di depan mereka. Kalau Donny dan Brian sudah marah,
mereka menduduki anak yang membuat mereka kesal.
Sekarang mereka mengikutiku dari ruang kelas Mr. Saur, dan
menatapku sambil cengar-cengir dari meja sebelah. Ketika melihat
aku memperhatikan mereka, keduanya pura-pura memegang kamera
kecil di depan wajah masing-masing.
"Klik! Klik!" seru Brian. "Awas, aku punya kamera jahat nih!"
"Ayo, senyum!" Donny menimpali. "Bergaya sebelum mati!
Ha-ha-ha!" "Klik! Klik! Klik!" Mereka terus berlagak membidikkan
kamera. "Hei, lihat sini dong!" seru Donny.
"Jangan malu-malu!" Brian menimpali.
Mereka mendongak dan ber-high-five sambil tertawa seperti
orang gila. "Lucu sekali," gumamku. "Lucu sekali."
"Seharusnya kalian jadi pelawak saja," ujar Michael. "Si Muka
Masam pun bisa ketawa melihat kalian."
Tak ada yang tertawa. Lelucon Michael tak pernah bisa
memancing tawa. Sebab leluconnya memang tidak lucu, malahan
cenderung memalukan. Michael mempunyai rambut merah yang dipotong pendek
sekali, mata biru, dan wajah penuh bintik. Sebenarnya ia tidak
gendut"tapi juga tidak bisa dibilang kurus.
Suatu hari ia bakal mengejutkan semua orang dengan
menceritakan lelucon yang tidak norak.
Tapi hari itu aku memang sedang tidak berminat bercanda.
Rencana liburan musim panas yang telah kususun terancam
berantakan. Padahal ketiga sahabatku pergi ke luar kota. Tak ada yang
mau terperangkap di Pitts Landing tanpa kegiatan selama tiga bulan!
Kalau aku harus membawa kamera itu untuk membuktikan
kepada Mr. Saur bahwa aku tidak mengada-ada... itulah yang akan
kulakukan. Rupanya Shari membaca pikiranku. Ia langsung mengulurkan
tangan dan meraih lenganku. "Greg... jangan," katanya. "Kamera itu
terlalu berbahaya." Bird sependapat. "Aku tidak mau balik ke rumah aneh itu,"
ujarnya. "Pokoknya, aku tidak mau ikut."
"Hei... bagaimana dengan kakakmu?" Michael bertanya padaku.
Aku menoleh dan menatapnya sambil mengerutkan kening.
"Ada apa dengan kakakku?"
"Dia bekerja di toko kamera, kan?" Michael kembali bertanya.
Aku mengangguk. Kakakku, Terry, memang bekerja di
Kramer's Photo Store. Ia bekerja paro waktu, seusai jam pelajaran,
untuk menambah uang saku. "Yeah. Dia masih di Kramer's. Dia
bekerja di bagian cetak foto. Memangnya kenapa?"
"Barangkali Terry bisa pinjam kamera tua dari sana," Michael
mengusulkan. "Kau bisa membawanya ke sekolah dan memberitahu si
Muka Masam itulah kamera yang kauceritakan."
"Ide bagus," sahutku. "Masalahnya cuma satu: aku harus bisa
membuktikan kamera itu jahat. Bagaimana caranya?"
Michael merenungkan persoalan itu. Ia berpikir dan berpikir
dan berpikir. "Percuma, takkan berhasil," ujarku lesu. "Kita harus mengambil
kamera yang asli." Aku memandang sahabat-sahabatku di yang duduk
mengelilingi meja. "Siapa yang mau ikut?"
Tak ada yang menjawab. Bird sibuk membersihkan kuku dari
sisa-sisa salad telur. Shari memilin-milin rambut hitamnya. Michael
menunduk menatap lantai. "Jangan berebut," aku bergumam.
Mereka tetap diam saja. "Aku butuh kamera itu, sehari saja," aku menambahkan. "Habis
itu kita kembalikan ke tempatnya, dan aku takkan pernah
menyinggungnya lagi."
Tetap tak ada jawaban. Michael mulai bersiul-siul sambil
memandang langit-langit. "Dasar penakut semuanya," aku mencibir. "Kalau begitu aku
pergi sendiri saja."
"Jangan nekat," Shari kembali memperingatkanku. "Pasti bakal
ada kejadian mengerikan. Percayalah."
Kalau saja aku mendengarkan dia.
4 SEPANJANG sore aku nyaris tak mendengar sepatah kata pun
yang diucapkan orang-orang di sekitarku. Sepertinya ada kuis
mengeja. Rasanya kami bermain bola voli di gedung olahraga. Dan
sepertinya kepalaku sempat kena smes.
Sakitkah kepalaku" Apakah aku sempat harus beristirahat
sejenak" Aku benar-benar tidak ingat.
Waktu pelajaran musik, Miss Jakes memergokiku sedang
memandang ke luar jendela sambil terbengong-bengong. Dikiranya itu
karena kejadian waktu main voli, dan ia langsung menyuruhku ke
ruang P3K untuk diperiksa.
Tapi aku meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja. Aku bilang
aku tidak apa-apa"cuma melamun.
Aku tidak menjelaskan padanya bahwa aku sedang berpikir
keras. Berpikir keras mengenai kamera jahat yang tersembunyi di
rumah Coffman. Aku membayangkan bagaimana aku akan menyelinap keluar
sehabis makan malam. Lalu bersepeda ke rumah tua yang kosong itu.
Turun pelan-pelan ke ruang bawah tanah"dan mengambil kamera
dari tempat penyimpanan rahasia di tembok.
Awas, Muka Masam, aku akan membuktikan kamera itu jahat.
Aku akan membuktikan kau keliru dan tidak adil! pikirku getir.
Aku akan membuktikan ceritaku pada Brian dan Donny dan
semua anak yang menertawakanku tadi.
Aku bakal dapat nilai A untuk laporanku. Bukan F.
Segala macam pikiran tersebut berkecamuk dalam benakku.
Dan aku juga memikirkan Shari, Michael, dan Bird.
Aku tidak menyalahkan mereka karena mereka takut. Aku
sendiri juga ngeri. Aku berjanji pada diriku sendiri akan sangat hatihati.
Kamera itu akan kubawa ke sekolah. Tapi aku takkan memotret
siapa pun, aku memutuskan.
Tapi kalau begitu, bagaimana aku bisa membuktikan kebenaran
ceritaku kepada Mr. Saur"
Aku kembali memeras otak. Aku akan mengambil foto ruang
kelas yang kosong, pikirku. Atau mungkin aku akan memotret kantin
atau gedung olahraga, ketika tidak ada siapa-siapa di situ.
Begitu Mr. Saur mengubah nilaiku menjadi A, kamera itu akan
kukembalikan lagi, kataku dalam hati. Aku akan segera
mengembalikannya ke tempat rahasianya. Dan aku takkan pernah lagi
menyentuhnya. Sehabis jam pelajaran, aku langsung mencari Shari. Ia
bertetangga denganku, jadi kami biasa pulang bersama. Tapi kali ini
aku tidak berhasil menemukannya.
Aku menyeberang jalan, sambil menendang-nendang tutup
botol yang tergeletak di aspal. Aku terus memikirkan rencanaku.
Terus memikirkan kamera itu.
Aku sudah berjalan setengah blok ketika terdengar suara di
belakangku. "Greg! Hei... Greg!"
Sepasang tangan meraih pundakku dan memutarku dengan
keras. Brian Webb! "Greg... Donny dan aku baru dari rumah Coffman!" serunya
sambil nyengir. "Kami menemukan kamera jahat yang kauceritakan
tadi!" "Ayo, senyum!" kata Donny.
Ia membidikkan kamera ke wajahku dan langsung menekan
tombolnya. 5 AKU memekik kaget. Kilatan lampu blitz kamera membuat mataku silau.
Aduh, aku bakal celaka, aku menyadari seketika.
Foto itu akan memperlihatkan aku dalam keadaan kesakitan.
Diterpa penderitaan. Diimpit masalah. Dan semuanya akan menjadi
kenyataan! Aku membuka mata serta melihat Brian dan Donny tertawa
terpingkal-pingkal. Mereka ber-high-five.
Aku memperhatikan kamera di tangan Donny.
Kamera karton berwarna kuning. Kamera murahan, sekali pakai
dibuang. Bukan kamera jahat. Bukan kamera tua dari rumah Coffman.
"Lucu sekali!" kataku gusar. Aku berkedip beberapa kali agar
penglihatanku kembali jelas. "Kalian memang lucu sekali."
"Kau yang lucu!" balas Brian. "Ceritamu waktu pelajaran
bahasa Inggris tadi benar-benar kocak!"
"Yeah. Seluruh kelas ketawa," Donny menimpali.
Aku memelototi mereka dengan kesal. Jantungku berdegup
kencang. Sumo Satu dan Sumo Dua. Saking besarnya, mereka nyaris
menghalangi seluruh cahaya matahari!
Aku tahu kenapa mereka terus mengejekku. Mereka ingin
menertawakanku sampai puas. Mungkin sekalian memancingku
berkelahi. Tapi aku tidak punya waktu untuk mengurusi mereka.
"Besok kalian takkan ketawa," gumamku. Kemudian aku
berbalik, berlari menyeberang jalan, dan bergegas menuju rumahku.
*****************************
Waktu makan malam, aku cuma menatap piringku. Aku terlalu
gugup untuk makan. Perutku seperti melilit-lilit.
"Coba ambilkan kentangnya," ujar kakakku Terry sambil
mengunyah. "Itu bukan kentang, itu lobak," Mom meralatnya.
Terry mengangkat bahu. "Sama saja." Ia memindahkan
setumpuk lobak ke piringnya, lalu melahap semuanya dengan cepat.
"Pelan-pelan, Terry," Dad menegurnya. "Kau begitu terburuburu sampai tak tahu apa yang kaumakan."
"Siapa bilang aku tidak tahu?" Terry memprotes. "Aku sedang
makan malam." Mom dan Dad tertawa. Terry mirip sekali denganku"rambut pirang, mata hijau,
senyum agak konyol. Sebenarnya kami pantas menjadi anak kembar,
hanya saja ia sudah enam belas, empat tahun lebih tua daripada aku.
"Kenapa kau begitu tergesa-gesa?" tanya Mom.
Terry bersendawa. "Sori." Ia menjilat-jilat ujung jarinya yang
berminyak. "Aku harus kembali ke toko. Hari ini ada banyak pesanan
khusus. Jadi aku janji pada Mr. Kramer untuk lembur."
"Kau banyak belajar fotografi, ya?" tanya Dad.
"Ya, banyak sekali."
Aduh, pikirku. Jangan bicara soal potret-memotret deh.
Aku tahu bahwa tak lama sehabis makan malam aku akan
mengendap-endap ke rumah tua yang kosong dan seram itu. Aku tidak
ingin diingatkan pada kamera atau fotografi.
Kursi Terry berderit ketika ia berdiri. Ia melemparkan serbetnya
yang berminyak ke atas meja. "Aku harus pergi. Sampai nanti."
Langsung saja ia menuju pintu.
"Tidak ada PR yang harus kaukerjakan malam ini?" tanya
Mom. "Tidak ada," kakakku menyahut dari pintu depan "Di high
school tak pernah ada PR!" Kami mendengar bunyi pintu dibanting.
"Dasar pelawak," Dad bergumam sambil menggeleng-geleng.
Kemudian mereka mendadak teringat bahwa aku masih duduk
di meja makan. "Greg... kau sama sekali belum makan apa-apa," ujar
Mom sambil menatap piringku yang masih penuh.
"Aku kebanyakan jajan di sekolah tadi," aku berdalih. "Aku
tidak terlalu lapar."
"Mom dan Dad akan ke rumah Alana habis ini," Dad
memberitahuku. Alana adalah adik ibuku. "Dia sedang kurang sehat.
Mau ikut?" "Ehm... tidak," sahutku. "Aku banyak PR. Aku akan belajar
sepanjang malam." Aku sebenarnya tidak suka membohongi Dad dan Mom"tapi
kali ini tidak ada pilihan.
Malam ini tak ada jalan lain.
"Bagaimana nilai-nilaimu semester ini?" tanya Mom.
"Ya, bagaimana perkembanganmu di sekolah?" Dad menimpali
sambil menoleh ke arahku. "Dad ditelepon Pete dan Alice dari
Yosemite tadi sore. Mereka tanya apakah kau akan berlibur di sana.
Dad bilang itu tergantung pada rapormu nanti."
"Ehm... lumayan," aku berkata sambil menatap potongan ayam
dan lobak di piringku. Semuanya bakal jauh lebih baik setelah malam ini, tambahku
dalam hati. Perutku semakin tak keruan.
Mom dan Dad berdiri untuk membereskan meja. "Pete dan
Alice minta agar kau membawa kamera," ujar Dad. "Pemandangan di
sana begitu indah." "Barangkali Terry bisa membantumu memilih kamera yang
bagus di toko," Mom mengusulkan.
Sudahlah, jangan bicara soal kamera! pikirku sambil
mengertakkan gigi. "Ya, mungkin saja," kataku.
Aku menunggu sampai Mom dan Dad berangkat ke rumah Bibi
Alana. Kemudian aku menunggu sepuluh menit lagi. Kadang-kadang
ada barang yang tertinggal, sehingga mereka kembali untuk
mengambilnya. Aku mengintip ke luar jendela. Pohon-pohon yang gundul
tampak berayun-ayun di bawah sinar bulan yang keperakan. Angin
lumayan kencang. Udara juga masih dingin, walaupun musim semi


Goosebumps - Bergaya Sebelum Mati 2 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah di ambang pintu. Aku mengenakan kemeja flanel berlengan panjang di atas Tshirt-ku. Lalu aku menyelipkan lampu senter ke kantong celana jeans
yang kupakai. Aku menuju garasi untuk mengambil sepeda.
Angin yang bertiup terasa berat dan lembap. Aku memandang
ke langit sambil berharap tidak hujan. Bulan sabit tampak pucat di atas
pepohonan. Ban depan sepedaku agak kempis. Tapi aku yakin sanggup
menaiki bukit ke rumah Coffman. Aku menuntun sepedaku keluar
garasi, kemudian segera menaikinya.
Semua lampu di rumah kubiarkan menyala. Dari luar, rumahku
kelihatan begitu cerah, nyaman, dan aman. Sejenak aku tergoda untuk
kembali masuk dan melupakan kamera jahat itu.
Tapi aku sudah membulatkan tekad. Aku betul-betul ingin
mengunjungi sepupu-sepupuku pada liburan musim panas. Dan itu
tidak mungkin kalau aku dapat nilai F dari Mr. Saur.
Aku menarik napas dalam-dalam. Menyalakan lampu sepeda.
Lalu meluncur ke jalan. Untung saja Dad dan Mom sedang pergi, aku berkata dalam
hati. Paling tidak, aku tidak perlu sembunyi-sembunyi.
"Oke, Greg," aku berkata pada diriku sendiri. Aku mempercepat
kayuhanku. "Coba lihat sisi baiknya."
Jalanan berkesan lebih gelap dari biasanya. Aku memandang ke
atas dan melihat dua lampu penerangan jalan mati.
Angin bertiup dari depan. Pohon-pohon di kiri-kanan jalan
seakan-akan gemetaran. Aku menyerong untuk menghindari koran
bekas yang terbawa angin.
Aku memindahkan gigi ketika jalanan mulai menanjak. Dalam
hati aku membayangkan rumah Coffman yang sudah reyot. Rumah tua
itu berada di tengah pekarangan yang penuh alang-alang, tersembunyi
di balik pohon-pohon besar.
Rumahnya berlantai tiga, dan berdinding papan kayu berwarna
kelabu. Atapnya merah, dengan cerobong asap di kedua ujung.
Seluruh lantai dasarnya dikelilingi teras yang dipasangi kawat
nyamuk. Berpuluh-puluh tahun lalu rumah itu pernah termasuk rumah
bagus. Tapi sekarang sudah lama kosong, dan semakin lama semakin
tak terurus. Aku melintasi persimpangan jalan. Sepedaku kugenjot dengan
mantap menaiki bukit. Rumah-rumah yang kulewati tampak gelap.
Dan kemudian aku memasuki daerah hutan.
Seketika tenggorokanku seperti dicekik. Dan kedua tanganku
mendadak sedingin es. Tempat tujuanku"rumah Coffman"terletak di balik hutan itu.
Dahan-dahan pohon berayun-ayun. Semuanya tampak kelabu
pucat dalam cahaya bulan. Persis seperti tulang.
Aku menekan rem ketika keluar dari hutan.
Sepedaku menggelinding melewati hamparan rumput yang
menurun. Melewati pepohonan besar.
Aku terus menggelinding mendekati rumah itu.
Dan kemudian aku memekik kaget.
6 RUMAH itu telah lenyap! Aku melompat turun dari sepeda dan membiarkannya tergeletak
di trotoar. Mataku terbelalak lebar.
Kemudian aku berkedip beberapa kali. Setiap kali aku berharap
rumah tua yang besar itu akan kembali ke tempat seharusnya di antara
pepohonan. Tapi sia-sia. Pepohonan itu menjulang tinggi ke langit malam. Tapi selain itu
hanya ada tumpukan papan kayu dan genting di sana-sini.
Rumah itu telah menjadi puing-puing.
Dirobohkan. Aku berdiri seperti patung di trotoar. Aku terbengong-bengong.
Tanpa berkedip aku menatap tempat di mana rumah Coffman
seharusnya berdiri. Satu atau dua menit kemudian mendadak aku seperti ditusuk
jarum"dan aku menepuk nyamuk yang hinggap di keningku.
Sekarang kan masih terlalu dini untuk nyamuk, kataku dalam hati.
Sambil menggosok-gosok kening, aku berpaling ke jalan masuk
ke pekarangan. Baru sekarang aku melihat tanda yang dipasang di tepi
jalan: TERJUAL. Rupanya ada yang membeli rumah Coffman.
Dan pemilik barunya langsung merobohkannya.
Aku memeras otak sambil terus mengusap-usap kening.
Rumahnya memang sudah ambruk. Tapi bagaimana dengan ruang
bawah tanahnya" Bagaimana dengan bengkel yang ada di situ" Aku masih
mengingatnya dengan jelas. Aku ingat meja kerja panjang. Dan aku
juga masih ingat tempat penyimpanan rahasia di tembok di atas meja
itu. Ceruk kecil tempat kamera itu berada.
Bagaimana dengan ruang bawah tanah itu"
Serta-merta aku bergegas menaiki bukit. Berulang kali aku
terpeleset rumput yang panjang dan basah. Aku menghirup embun
segar. Pandanganku terus tertuju pada pepohonan yang bergoyanggoyang dalam cahaya bulan.
Aku melewati tumpukan paku dan baut yang berkarat.
Melompati timbunan papan kayu bekas dinding rumah.
Dari tengah pekarangan aku bisa melihat apa lagi yang masih
tersisa dari rumah itu. Tumpukan daun pintu. Pecahan-pecahan kaca
yang berserakan di tanah. Kusen-kusen jendela yang disandarkan ke
tumpukan kayu lapuk. Aku melihat tempat cuci piring berwarna putih
tergeletak di bawah pohon. Di sampingnya ada baskom bekas.
Tapi bagaimana dengan ruang bawah tanah"
Aku maju pelan-pelan. Kakiku tiba-tiba terasa berat. Seluruh
tubuhku terasa berat"seakan-akan ada kekuatan gaib yang berusaha
menghalauku. Di balik pepohonan yang menjulang tinggi ada bayangan gelap
di tanah. Mula-mula kupikir cuma genangan air. Semacam danau
kecil. Tapi ketika mendekat, aku menyadari bahwa bayangan itu
ternyata lubang. Lubang besar berbentuk bujursangkar.
Ruang bawah tanah. Tak ada yang tersisa selain lubang di tanah.
Aku berhenti di tepi lubang, dan tubuhku terasa lebih berat lagi.
Berat karena menahan kecewa. Aku cuma berdiri dan memandang ke
lubang yang dalam itu. Pepohonan menghalangi sebagian besar cahaya bulan. Dengan
tangan gemetaran aku menarik senter dari kantong dan
menyalakannya. Berkas sinarnya yang kuning kuarahkan ke dasar
lubang. Tak ada apa-apa. Cahaya senterku hanya menerangi tanah. Di
satu sisi terlihat akar pohon besar.
Berkas sinar senterku menyapu seluruh dinding lubang. Di
mana-mana tampak akar-akar menyembul dari tanah.
Tak ada yang tersisa. Ruang bawah tanah telah dibongkar
sepenuhnya. Lantai betonnya pun telah dihancurkan dan diangkut
pergi. Dan di mana kamera itu"
Di mana" Apakah ada yang menemukannya" Apakah ada yang
mengambilnya dan menyimpannya"
Ataukah kamera itu ikut hancur ketika para pekerja
membongkar lantai beton" Hancur dan remuk selama-lamanya"
Cahaya senterku menerangi seluruh dinding belakang. Aku
sendiri tidak tahu apa yang kucari.
Mana mungkin kamera itu tersembunyi dalam ceruk berbentuk
kotak di tepi lubang" Mana mungkin kamera itu tergeletak di salah
satu sudut" Aku hanya melihat tanah lembap dan akar-akar pohon.
Selain itu tak ada apa-apa.
Aku mematikan senter dan menyelipkannya ke kantong celana.
Kemudian aku berbalik dan melangkahi tumpukan genting.
Pepohonan tua di sekelilingku berderak-derak tertiup angin
kencang. Tapi aku tidak menghiraukan bunyi menyeramkan yang
terdengar. Aku bakal dapat nilai F, pikirku sedih.
Kamera itu sudah hilang, dan aku bakal dapat nilai F.
Semua rencana yang telah kususun untuk liburan musim panas
pun berantakan. Dan teman-teman sekelasku takkan percaya ceritaku
memang benar. Mereka akan terus mengolok-olokku dengan purapura memotret.
Aku menarik napas panjang.
Dengan kesal aku menendang papan kayu yang menghalangi
jalanku, lalu menuju tempat sepedaku tergeletak di rumput.
Aku baru berjalan empat atau lima langkah ketika ada suara
melengking berseru, "Kena kau! Kali ini kau takkan bisa kabur!"
7 SUARA melengking di tengah malam buta itu membuatku
tersentak kaget. Serta-merta aku mengambil langkah seribu. Tapi
kemudian aku berhenti. Aku berbalik dengan jantung berdegup-degup.
Dan melihat anak laki-laki yang kira-kira sebaya denganku. Ia
telah memungut papan kayu dari tanah dan mengangkatnya tinggitinggi, seakan-akan siap mengayunkannya.
Ia mengenakan sweter hitam dan celana jeans belel yang sudah
bolong kedua lututnya. Rambutnya yang gelap dipotong pendek
sekali. Ia menatapku dengan pandangan menyala-nyala.
"Dad... aku berhasil menangkapnya!" serunya. Suaranya yang
kecil dan melengking mirip suara anak kecil.
"Hei. Apa maksudmu?" tanyaku. "Kau menangkapku?"
"Jangan bergerak!" ia memberi perintah sambil mengangkat
papan kayunya lebih tinggi lagi. Ia maju selangkah. Lalu selangkah
lagi. Matanya menatap mataku tanpa berkedip.
"Aku tidak berbuat apa-apa!" ujarku. "A-aku cuma lihat-lihat
kok." Aku melihat roman mukanya berubah ketika ia menghampiriku.
Sorot matanya tak lagi berapi-api. Ia tampak bingung.
"K-kau bukan dia!" ia tergagap-gagap.
"Hah" Siapa maksudmu?" seruku.
"Hei... sori," katanya sambil menggeleng. "Kupikir kau orang
lain." "Aku bukan orang lain!" sahutku. "Aku ya aku."
"Ada satu anak yang tinggal di dekat sini," ia menjelaskan
sambil menggaruk-garuk kepala. "Hampir setiap malam dia
menyelinap kemari dan mencuri barang-barang dari sini."
Aku memandang berkeliling. "Apa yang dia curi" Rasanya
tidak banyak yang tersisa di sini."
Anak itu mengangguk. Ia membuang papan kayu yang semula
hendak digunakannya sebagai senjata. "Dia mengambil balok-balok
kayu dan sebangsanya. Kupikir kau orangnya."
"Apakah keluargamu membeli rumah Coffman?" tanyaku.
Keningku berkeringat, meskipun angin bertiup kencang dan udara
terasa dingin. Kuseka dengan punggung tangan.
"Ya, kami membelinya," ia menyahut. "Tapi ayahku bilang
rumahnya sudah terlalu reyot untuk diperbaiki. Jadi kami
merobohkannya sekalian. Kami akan membangun rumah baru di sini."
Pepohonan kembali berderak-derak karena angin. Aku menoleh
ke jalan dan melihat ban belakang sepedaku berputar.
"Orang-orang bilang rumah Coffman ada hantunya," anak itu
melanjutkan. "Jadi aku senang juga ayahku merobohkannya." Ia
menendang genting yang tergeletak di tanah. "Namaku Jon. Kau
siapa?" "Aku Greg. Aku... aku tinggal di kaki bukit. Beberapa blok
sesudah sekolah." Aku memandang ke lubang yang gelap. "Teman-temanku dan
aku suka main di rumah itu," aku bercerita pada Jon. "Biasa, iseng
saja. Aku rasa rumah itu benar-benar ada hantunya. Sungguh."
Ia mengamatiku sambil memicingkan mata. "Sedang apa kau di
sini?" ia bertanya. "Kenapa kau kemari malam-malam begini?"
Aku memutuskan berkata apa adanya. "Aku sedang mencari
sesuatu," ujarku. "Kamera."
Ia kembali menggaruk-garuk kepala. "Kamera tua?"
"Ya!" seruku penuh semangat. "Kamera tua. Kamera itu
disimpan di ruang bawah tanah. Kau melihatnya?"
"Yeah," jawab Jon. "Para pekerja menemukannya waktu
mereka membongkar ruang bawah tanah."
"Oh, wow!" seruku. Aku tak sanggup menyembunyikan
kegembiraanku. "Di mana kamera itu sekarang, Jon" Maksudku"apa
yang mereka lakukan terhadap kamera itu" Kau tahu di mana mereka
menaruhnya?" Ia menunjuk ke belakang, ke arah jalan. "Mungkin ada di sana,"
ia menyahut. Aku membalik dan melihat tempat sampah di seberang jalan.
"Mereka membuangnya ke situ?" tanyaku.
Aku tidak menunggu jawabannya. Aku langsung berlari
menerobos alang-alang tinggi. Aku berhenti di depan tempat sampah
besar yang terbuat dari baja itu. Sampah di dalamnya telah
menggunung. "Tidak apa-apa kan kalau kucari kamera itu?" seruku kepada
Jon. Ia menghampiriku sambil berjalan pelan-pelan. Kedua
tangannya diselipkan ke kantong celana. "Silakan. Kenapa sih kau
begitu ngotot mencari kamera konyol itu?"
Aku tidak menyahut. Aku tidak punya waktu untuk menjawab.
Aku berusaha meraih bagian atas dinding tempat sampah.
Dindingnya cukup tinggi. Aku harus mencoba tiga kali sebelum
berhasil menarik badanku ke atas.
Lampu di seberang jalan menerangi tempat sampah itu dengan
cahaya kekuningan. Aku langsung mulai mencari. Aku melihat segala
macam barang dari ruang bawah tanah.
Ada berbagai perkakas tua yang telah berkarat dari bengkel.
Bagian-bagian alat pengisap debu yang telah tercerai-berai. Tabung
mesin pengering pakaian. Baju-baju bekas. Koper-koper rusak.
Mana kameranya" aku bertanya dalam hati. Mana kameranya"
Aku menarik salah satu koper lama dan mendorongnya ke
samping. Kemudian aku meraih tumpukan majalah tua dan
menyingkirkan semuanya. Aku akan memeriksa seluruh isi tempat sampah sampai aku
menemukan kamera itu. Kusingkirkan gulungan slang air yang telah bolong-bolong.
Lalu aku membongkar tumpukan baju bekas.
Mana dia" Mana"
Aku berlutut dan mulai menggali. Bau apak menyelubungiku.
Aku menahan napas dan terus menggali.
Aku harus menemukannya. Harus.
Aku baru berhenti ketika melihat sepasang mata yang
menatapku. Sepasang mata berwarna kuning.
Sepasang mata yang menatapku tanpa berkedip.
Aku tidak sendirian di sini! aku menyadari.
Dan kemudian aku membuka mulut dan menjerit sekeraskerasnya.
8 KEDUA mata itu terus menatapku tanpa berkedip. Kuning dan


Goosebumps - Bergaya Sebelum Mati 2 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dingin. Bulu kudukku berdiri. Aku tak berani bergerak. Aku diam seperti patung dan
menunggu makhluk itu menerjangku.
"Ada apa" Kameranya sudah ketemu?" aku mendengar Jon
berseru dari trotoar. "B-belum. A-aku..."
Aku mendekatkan tanganku ke kedua mata itu. Ujung-ujung
jariku menyentuh bulu-bulu kasar.
Dengan dada berdebar-debar aku menyingkirkan barang-barang
bekas yang tergeletak di hadapanku.
Dan tanpa pikir panjang, aku mengangkat makhluk yang
menatapku itu. Aku merasakan tubuhnya yang kaku di balik bulu-bulu kasar
berwarna cokelat bercampur hitam.
Raccoon mati. Aku mulai mencium bau bacin. "Ohhh, idih!" Aku
mengerang"dan melempar makhluk itu keluar dari tempat sampah.
"Hei, Greg...," Jon berseru padaku.
"Aku menemukan raccoon mati," aku memberitahunya sambil
menutup hidung. "Baunya minta ampun, jadi aku..."
Aku mendadak terdiam ketika melihat kamera yang kucari-cari.
Rupanya kamera itu tersembunyi di bawah bangkai raccoon
tadi. Lensanya memantulkan cahaya lampu jalanan bagaikan mata.
Aku langsung menyambarnya. Mengangkat dengan kedua
tangan. Kemudian aku bangkit. Aku membungkuk lewat dinding tempat
sampah dan memperlihatkan kamera itu kepada Jon. "Ketemu!" aku
berseru gembira. "Ketemu. Ini dia!"
Jon menatapku sambil mengerutkan kening. "Syukurlah,"
katanya tak acuh. Tali pengikat kamera kukalungkan ke leherku. Kemudian,
sambil berpegangan pada dinding tempat sampah, aku turun ke
trotoar. Baju dan celanaku penuh debu dan bercak minyak. Tapi aku
tidak peduli. Pokoknya, aku sudah berhasil menemukan yang kucari.
"Apa sih kelebihannya?" tanya Jon. Ia menatap kamera itu
sambil memicingkan mata. Kemudian ia menggosok-gosok bagian
atasnya. "Memangnya kamera ini masih bisa dipakai?"
Aku tidak menceritakan latar belakang kamera itu. Aku tidak
ingin menakut-nakuti Jon. Lagi pula, aku ingin segera pulang.
"Yeah, masih," aku menyahut sambil menyeka debu dari bagian
belakang kamera. "Kameranya masih bagus kok."
"Tapi kenapa kau begitu ngotot mencarinya?" Jon bertanya. Ia
memperhatikan bagaimana aku membersihkan kamera itu.
"Oh... ehm. Aku telah berjanji untuk menunjukkannya kepada
seseorang. Di sekolah," ujarku. "Kamera ini kubutuhkan untuk tugas
sekolah." Jon menggaruk-garuk kepala. "Mungkin ada baiknya kalau
kutunjukkan dulu pada ayahku," katanya. "Mungkin dia keberatan
kalau kau membawanya."
"Tapi kalian kan sudah membuangnya ke tempat sampah!" aku
berseru. Saking takutnya direbut, kamera itu kupegang erat-erat
dengan kedua tangan. "Soalnya kami tidak tahu kamera itu masih bisa dipakai," jawab
Jon dengan suaranya yang melengking tinggi. "Siapa tahu ini kamera
mahal. Siapa tahu ini barang antik atau sebangsanya."
"Oh, tidak. Kamera ini tidak ada harganya kok," aku berkata
cepat-cepat. "Ayo dong, Jon. Aku..."
"Sebaiknya kutunjukkan dulu pada ayahku," kata Jon. Ia hendak
meraih kamera itu. Buru-buru aku menjauhkannya dan menggenggamnya lebih erat
lagi. Tiba-tiba terdengar bunyi klik.
Kilatan cahaya putih membuat kami sama-sama tersentak kaget.
"Oh, ya ampun!" aku berseru ketika menyadari telah memencet
tombol kamera. Dan memotret Jon. 9 "HEI... kenapa kau mengagetkanku?" tanya Jon.
"A-aku tidak sengaja," aku tergagap-gagap. Kutarik kertas foto
yang muncul dari celah di bagian bawah kamera. "Aku tidak sengaja.
Sungguh." Jon dan aku sama-sama mengedipkan mata untuk mengusir
titik-titik putih yang mengganggu penglihatan kami. "Ini kamera
langsung jadi, ya?" tanya Jon. "Kelihatannya seperti kamera langsung
jadi zaman dulu." "Yeah, memang," sahutku. Aku memegang kertas foto yang
telah keluar dan menunggu gambarnya muncul. Dalam hati aku
berdoa agar foto itu tidak memperlihatkan sesuatu yang mengerikan.
Moga-moga Jon baik-baik saja dalam foto ini, kataku dalam
hati. Dengan tanganku yang satu lagi aku mengeluarkan senter dari
kantong celana, kemudian menerangi foto di tanganku.
Perlahan-lahan wajah Jon muncul pada foto kecil berbentuk
bujursangkar itu. Matanya terpejam. Mulutnya menganga. Roman
mukanya berkesan janggal.
Sebelum aku sempat memperhatikannya dengan saksama, Jon
sudah merebut fotonya dari tanganku. Ia langsung mengamatinya.
"Hei... ada apa dengan kamera ini?" ia bertanya.
Aku segera ikut mengamati. "Ya ampun!" aku mengerang.
Foto itu sangat jelas dan terang. Jon tampak sedang meraungraung karena kesakitan. Kedua matanya terpejam. Mulutnya
menganga, seakan-akan tengah menjerit.
Sebelah kakinya terangkat. Kedua tangannya memegangi sepatu
ketsnya. Ada paku raksasa yang menyembul dari bagian atas sepatunya.
Paku tukang kayu berukuran raksasa"hampir sebesar pensil"tampak
menembus di tengah-tengah kaki Jon!
Jon tertawa. Ia berpaling padaku. "Ada apa ini" Ini kamera
lelucon, ya?" Aku menelan ludah. Aku tahu ini bukan lelucon.
Foto-foto menakutkan itu selalu menjadi kenyataan.
Bagaimana aku bisa mencegah kejadian mengerikan yang
bakalan menimpa Jon"
Bagaimana aku bisa mencegah kakinya tertembus paku" Apa
yang bisa kulakukan"
Aku memutuskan untuk memberitahunya. Aku harus
menceritakan keanehan kamera itu.
"Wah, asyik!" Jon berseru sambil menatap foto di tangannya.
"Ini betul-betul mirip aku. Bagaimana sih cara kerja kamera ini?"
"I-ini tidak asyik lho," aku tergagap-gagap. "Malah sebenarnya
agak mengerikan, Jon. Kamera ini punya kekuatan gaib. Kekuatan
gaib yang jahat, semacam kutukan. Foto-foto yang muncul selalu
menjadi kenyataan." Ia tertawa. "Yang benar saja!"
Aku tahu ia takkan percaya.
"Hmm, kau harus hati-hati"oke?" aku berkeras. "Foto ini sama
sekali bukan lelucon."
Ia tertawa lagi. Embusan angin membuat ilalang di sekeliling kami bergoyanggoyang. Awan-awan hitam melintas di langit, menutupi bulan. Kami
diselubungi kegelapan. "Aku perlu meminjam kamera ini," aku berkata kepada Jon.
"Sehari saja." "Tapi kameranya keren sekali," katanya. "Hmm, mungkin
sebaiknya kubawa pulang saja."
"Aku akan mengembalikannya besok sore," aku berjanji. "Aku
cuma perlu membawanya ke sekolah."
Ia merapatkan bibir dan berpikir keras. "Sebaiknya kutanyakan
dulu pada ayahku." Ia menunjuk ke arah tumpukan kayu di bawah
pohon. "Itu dia di sana, bersama arsitek kami. Mereka sedang
membicarakan rumah kami yang baru."
"Jangan. Tunggu!" seruku.
Tapi Jon langsung berbalik. Ia berlari menaiki bukit, menerobos
alang-alang. Aku mengejarnya"tapi langsung berhenti ketika tiba-tiba
terdengar jeritan melengking. Berikutnya Jon tampak meraung-raung
kesakitan. 10 AKU tersentak kaget. Tergopoh-gopoh aku berlari menembus
alang-alang. Lalu kulihat Jon berdiri dengan sebelah kaki sambil memegangi
sepatunya. Wajahnya berkerut-kerut karena kesakitan.
Dalam cahaya bulan yang redup pun aku bisa melihat paku
raksasa yang menembus kakinya.
"Jon!" seruku. "Aku akan memanggil ayahmu!"
Aku tidak perlu mencari-cari. Dua pria"satu ber-tubuh kurus
tinggi, satu lagi gemuk pendek" muncul dari balik tumpukan kayu.
Mereka pasti si arsitek dan ayah Jon.
"Jon" Ada apa?" seru ayah Jon, pria bertubuh gemuk pendek.
Jon mendongak dan kembali meraung-raung.
"Kakinya kena paku!" aku berseru. Aku bergegas menghampiri
mereka sambil menunjuk-nunjuk.
Kedua pria itu berlari melewatiku. "Oh, ya Tuhan!" ayah Jon
bergumam. Mereka segera memapah Jon. Si kurus tinggi mengangkat kaki
Jon agar tidak menapak di tanah. "Cepat bawa ke mobil saya," ia
mendesak. "Saya punya handuk di mobil. Kakinya harus diperban.
Darahnya banyak sekali."
"Apakah pakunya perlu dicabut?" aku mendengar ayah Jon
bertanya, suaranya gemetar.
"Jangan, terlalu berbahaya," ujar pria yang satu lagi.
"Jangan dicabut! Jangan!" Jon memohon. "Pasti sakit sekali!"
"Sepatunya pun tidak bisa dibuka!" teriak ayah Jon.
"Kita bawa dia ke rumah sakit," kata si arsitek. "Jaraknya hanya
beberapa menit dari sini."
"Aduuuh. Sakit. Sakiiiit!" Jon meratap-ratap.
Kedua pria itu mengangkat Jon. Lalu, setengah berjalan,
setengah berlari, mereka membawanya ke mobil yang diparkir di
seberang tempat sampah. Dari balik rumpun alang-alang aku mengamati mereka
mendudukkan Jon di bangku belakang. Kulihat mereka sibuk dengan
handuk besar putih. Akhirnya mereka berhasil membungkus kaki dan
sepatu Jon. Kedua pria itu menutup pintu belakang. Kemudian mereka
pindah ke depan. Beberapa detik kemudian mobil itu melesat dan
menghilang dalam kegelapan.
Aku berdiri di tengah pekarangan. Alang-alang bergoyang dan
menyapu celana jeans-ku. Aku menelan ludah. Mulutku mendadak
kering kerontang. "Kasihan Jon," aku bergumam.
Kamera itu tetap jahat"dan malam ini kembali jatuh korban.
Ini semua salahku, pikirku sedih. Aku tidak sengaja. Aku tidak
bermaksud menekan tombol kamera. Tapi tombol itu terpencet juga.
Kedua pria tadi sama sekali tidak memperhatikanku. Mereka
begitu menguatirkan Jon, sampai-sampai tidak menyadari
kehadiranku. Aku menunduk. Baru aku sadar kamera itu masih kupegang.
Hampir saja aku mencampakkannya ke tanah. Rasanya aku ingin
menginjak-injaknya sampai hancur, hancur selama-lamanya.
Tiba-tiba aku melihat sesuatu tergeletak di rumput yang tinggi.
Aku membungkuk dan memungutnya. Rupanya foto tadi.
Sekali lagi aku melihat foto Jon yang memegangi sepatunya
sambil memekik-mekik. Kuselipkan foto itu ke saku kemeja flanel yang kupakai. Akan
kuperlihatkan kepada Mr. Saur, aku memutuskan. Kamera dan foto itu
akan kubawa ke sekolah. Aku akan menceritakan kejadian yang
menimpa Jon. Aku tidak perlu memotret di sekolah.
Aku sudah punya foto ini sebagai bukti.
Berarti tak ada risiko lagi. Tak ada risiko sama sekali.
11 KEESOKAN paginya aku makan pagi dengan tergesa-gesa.
Kemudian aku mengambil ransel, mengalungkan tali kamera ke leher,
dan langsung bergegas meninggalkan rumah.
Aku sengaja berangkat seperempat jam lebih cepat daripada
biasanya. Aku tidak ingin bertemu Shari, Michael, atau Bird.
Cuaca hari itu hangat. Udara terasa segar dan wangi. Aku
melihat bunga-bunga tulip yang mulai tumbuh di samping rumah.
Bunga-bunga pertama di musim semi.
Aku bergegas ke trotoar. Kamera itu terasa berat di dadaku.
Aku mencoba membetulkan tali pengikatnya.
Tiba-tiba ada orang yang memanggilku.
"Greg! Hei, Greg... tunggu!"
Shari. Cepat-cepat kupindahkan kamera itu. Aku berusaha
menyembunyikannya di bawah lengan.
Terlambat. Shari sudah melihatnya.
"Ya ampun!" ia berseru sambil berlari menghampiriku. "Apaapaan ini" Jadi, kau benar-benar mengambilnya dari rumah
Coffman?" Ia menatap kamera itu sambil geleng-geleng kepala.
"Ehm... tidak juga," sahutku. "Tumben kau berangkat pagi-pagi,
Shari." "Dari tadi aku berdiri di jendela dan menunggumu," ia
mengakui. "Aku ingin tahu apakah kau cukup nekat untuk mengambil
kamera itu." Aku menatapnya sambil mengerutkan kening. "Kau mematamatai aku" Kenapa?"
"Sebab takkan kubiarkan kau membawa benda terkutuk itu ke
sekolah." Ia melangkah ke depan, menghalangi jalanku.
Aku tertawa mengejek. "Sejak kapan kau jadi ratu dunia?" aku
mencemooh. "Ini negara bebas. Tak ada yang bisa melarangku kalau
aku mau bawa kamera ke sekolah."
Ia berdiri sambil menyilangkan tangan. "Aku serius, Greg.
Kamera itu tidak boleh kaubawa ke sekolah. Pokoknya, aku takkan
membiarkanmu membawanya ke sana."
Aku melakukan gerak tipu ke kiri, lalu berusaha melewatinya
lewat sisi kanan. Tapi Shari tidak beranjak dari tempatnya. Aku menabraknya"
kemudian mundur selangkah.
"Aku serius," ia menegaskan. "Kembalikan kamera itu ke
tempat semula." "Jangan sok tahu, Shari," aku bergumam. "Aku tidak mau
kauatur." Roman mukanya berubah. Ia membuka tangannya dan
menyibakkan rambut hitamnya ke belakang. "Kau sudah lupa betapa
berbahaya kamera itu" Kau sudah lupa semua kejadian mengerikan
yang menimpa kita?" Kupegang kamera itu dengan dua tangan. Tiba-tiba rasanya
berat sekali. Badannya yang terbuat dari logam terasa dingin ketika
menempel di T-shirt-ku. "Kau sudah lupa semuanya itu, Greg?" Shari berkata. "Aku
sempat lenyap gara-gara kamera itu. Lenyap begitu saja! Kau tidak


Goosebumps - Bergaya Sebelum Mati 2 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ingin itu terjadi pada orang lain"ya, kan" Coba pikir, betapa sedih
kau nanti." Aku menelan ludah sambil mengingat kejadian semalam.
Sudah ada satu orang yang celaka gara-gara kamera itu.
"Aku takkan memotret," janjiku kepada Shari. "Sungguh. Aku
cuma mau memperlihatkan kamera ini kepada Mr. Saur, supaya dia
mengubah nilaiku." "Kenapa dia mesti mengubah nilaimu kalau hanya karena
kamera tua ini?" tanya Shari.
"Soalnya aku juga punya foto yang akan kuperlihatkan
padanya," ujarku. Aku mengeluarkan foto Jon dari kantong, dan
mengulurkannya ke depan hidung Shari.
"Oooh... ya ampun!" serunya. Cepat-cepat dikembalikannya
foto itu padaku. "Ini gawat!"
"Memang," Aku menyelipkan kembali foto itu ke saku kemeja.
"Kasihan anak itu. Aku memotretnya. Dan semenit kemudian dia
benar-benar kena paku."
"Berarti aku benar!" seru Shari. Dengan mata terpicing
ditatapnya kamera di tanganku. "Ini membuktikan aku benar, Greg!"
Sebuah mobil lewat, penuh anak yang menuju sekolah. Seekor
anjing kecil berbulu cokelat menyembulkan kepala dari jendela
belakang dan menggonggong ke arah kami.
Aku melirik jam tanganku. Kalau Shari dan aku masih terus
berdebat, kami akan terlambat sampai di sekolah.
"Eh, kita bisa telat nih," aku berkata padanya. Aku mulai
berjalan dengan langkah panjang. Tapi ia segera menyusul dan
kembali menghalangi jalanku.
"Tidak, Greg. Kan sudah kubilang, aku takkan membiarkanmu
membawa kamera itu ke sekolah."
Aku geleng-geleng kepala dengan kesal. "Jangan macammacam, Shari."
"Kamera itu terlalu berbahaya," ia berkeras. "Aku tahu aku
benar. Aku tahu kau bakal mendapat masalah besar karenanya."
"Jangan sok tahu, Shari. Minggirlah."
"Serahkan kamera itu."
"Enak saja!" seruku.
Kedua tangannya meraih kamera itu. Dan berusaha menarik
talinya dari pundakku. Aku segera merebutnya kembali.
Dan tahu-tahu lampu blitz-nya menyala"tepat di depan wajah
Shari. 12 SHARI mengedip-ngedipkan mata. Ia melepaskan kamera itu
sambil memekik kaget. "Oh! Maaf!" aku berseru sambil melangkah mundur. "Maaf!
Sungguh! Aku tidak sengaja..."
Kamera itu terasa hangat di tanganku. Aku meraih kertas foto
yang keluar dari celah di bagian bawah.
"Sini! Berikan padaku!" Shari menuntut. Ia langsung
menyambar foto itu. "Apa yang kaulakukan padaku?"
"Aku tidak sengaja!" seruku. "Aku tidak bermaksud
memotretmu!" Shari menatap foto itu sambil menahan napas. Ia menunggu
gambar yang akan muncul. "Apa yang kaulakukan" Apa yang
kaulakukan?" gumamnya berulang-ulang. Setiap kali suaranya
semakin bergetar. Aku melihat kedua tangannya gemetaran.
"Aku kan sudah bilang kau jangan mengambil kamera itu!" seru
Shari. "Aku sudah bilang kau jangan membawanya ke sekolah."
"Shari, aku benar-benar menyesal," aku kembali minta maaf.
"Barangkali hasilnya tidak terlalu parah. Barangkali..."
Ia menelan ludah. "Barangkali aku akan lenyap lagi, Greg.
Barangkali aku akan lenyap selama-lamanya."
"Jangan!" ujarku. "Jangan bilang begitu. Aku mohon..."
Kami menatap foto itu. Gambarnya muncul perlahan-lahan.
Mula-mula kami melihat warna kuning. Aku mulai bisa mengenali
wajah Shari. Apakah ia sedang menjerit" Apakah ia meraung-raung
kesakitan" Aku belum bisa memastikannya.
Kemudian warna biru mulai timbul. Aku melihat wajah Shari
berwarna hijau. "Sepertinya kau tidak apa-apa," kataku. "Sepertinya kau baikbaik saja."
"Tunggu," sahutnya pelan-pelan. Ia menggigit bibir. Matanya
tak berkedip. Ia memicingkan mata ketika titik-titik merah dan biru
mulai bermunculan. Foto itu semakin gelap. Sekarang wajah Shari kelihatan jelas. Ia tidak tersenyum. Ia
tidak kelihatan gembira. Tapi ia juga tidak terlihat menjerit.
Fotonya semakin gelap, sampai menjadi hitam.
"Hei!" seru Shari. "Ini klise."
"Hah?" Aku tidak mengerti.
"Ini bukan foto," kata Shari sambil memperlihatkan kertas
berbentuk bujursangkar itu. "Ini klise. Fotonya tidak keluar.
Semuanya terbalik." Aku menatap kertas itu. Ia benar. Semuanya memang terbalik.
"Barangkali kameranya sudah rusak," ujarku. Aku langsung
menarik napas lega. "Berarti kau aman, Shari. Kameranya sudah tidak
berfungsi." "Bisa jadi," ia berkata. Klise itu diserahkannya padaku. Aku
menyelipkannya ke kantong baju. Ketika menoleh aku melihat Shari
tersenyum-senyum. Tersenyum jail. "Shari... ada apa sih?" tanyaku.
Seharusnya aku sudah bisa menebaknya. Seharusnya aku sudah
tahu apa yang hendak dilakukannya. Seharusnya aku lebih tanggap.
Ia meraih kamera itu dengan dua tangan. Memutarnya.
Mengarahkannya ke wajahku. Lalu menekan tombol kamera. Jepret!
"Hei!" Aku berusaha menghindar.
Tapi terlambat. Ia berhasil mengambil fotoku.
"Shari... ini tidak lucu!" seruku.
"Tenang saja," ia menyahut. "Kameranya kan sudah rusak"kau
sendiri yang bilang begitu."
Aku menarik kertas yang keluar dari celah di bagian bawah
kamera. Kerongkonganku mendadak kering kerontang. Betulkah
kameranya sudah rusak" aku bertanya-tanya. Apakah hasilnya kali ini
juga akan berupa klise" EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM
Ataukah aku akan terlihat melolong kesakitan karena kakiku
tertembus paku"atau karena sesuatu yang bahkan lebih parah lagi"
Ketika aku menatap bujursangkar kecil itu, daya khayalku
mulai tak terkendali. Aku membayangkan tubuhku meregang
bagaikan karet gelang. Aku membayangkan diriku menarik-narik anak
panah yang menancap di dada. Aku membayangkan diriku gepeng
bagaikan selembar kertas karena dilindas mesin giling raksasa.
"Shari... tega-teganya kau berbuat begini padaku!" aku berseru.
Matanya yang gelap tampak berbinar-binar. "Kau benar-benar
ngeri," katanya. "Ayo, mengaku saja, Greg. Moga-moga kau mau
mengerti sekarang. Inilah alasannya aku tidak mau kalau kamera itu
kaubawa ke sekolah."
Tanganku gemetaran. Aku memegang foto itu dengan kedua
tangan. Warna-warnanya semakin gelap.
"Ini bukan klise!" seruku.
Shari menghampiriku dari belakang, dan bersama-sama kami
mengamati foto itu. "Oh, ya ampun!" kami berseru berbarengan.
Shari mulai tertawa. "Aduh, kenapa jadi begini?" aku meratap.
13 "INI gawat! Gawat!" aku memekik.
Aku mengenali wajahku. Tapi aku tidak mengenali tubuhku.
Mula-mula aku menyangka kepalaku bertengger di atas balon
raksasa. Baru kemudian aku sadar bahwa balon raksasa itu ternyata
aku. Di foto itu, berat badanku sekitar dua ratus kilo.
Sumpah. Dua ratus kilo! Dengan mata terbelalak aku mengamati wajahku yang bulat dan
tubuhku yang bahkan lebih bundar lagi. Daguku berlipat delapan.
Pipiku menggembung. Kerah T-shirt-ku tersembunyi di balik lipatanlipatan lemak yang menggelantung di bawah daguku T-shirt itu
sendiri tertarik sampai ketat dan tak sanggup menutupi perutku, yang
nyaris menyentuh tanah saking gendutnya.
Aku kelihatan seperti segunung agar-agar!
"Jangan ketawa!" aku membentak Shari. "Ini tidak lucu."
"Ini lucu sekali," sahutnya. Ia meraih foto itu, mengamatinya
dengan saksama, lalu mulai tertawa lagi. "Kau lebih besar dari Sumo
Satu dan Sumo Dua!" serunya.
Foto itu kurebut kembali dari tangannya. Aku menatap pipiku
yang menggembung seperti bola. Saking bengkaknya wajahku,
mataku jadi kelihatan kecil bagaikan kancing.
Dan perutku! Perutku menggelantung sampai ke lututku, yang
juga penuh lemak. "Kau tetap mau membawa kamera itu ke sekolah?" tanya Shari.
"Kau tetap belum berubah pikiran?"
"Aku harus memperlihatkannya kepada Mr. Saur," jawabku.
"Kameranya cuma ingin kuperlihatkan padanya. Kameranya, dan foto
Jon." "Bagaimana dengan fotomu sendiri?" ia bertanya sambil
nyengir. "Tidak usah." Foto itu langsung kuselipkan ke kantong celana.
"Tak ada yang boleh melihatnya."
Shari melirik arlojinya. "Ayo," ia berkata. "Kita harus buruburu! Kalau tidak, kita bakal telat."
Ia mulai berlari menyusuri trotoar, dan aku segera
mengikutinya. Sepanjang jalan ke sekolah, aku terus memikirkan foto itu.
Wajahku yang bulat dan tubuhku yang bengkak terus terbayangbayang di depan mataku.
Tenang saja, aku berkata dalam hati.
Kamera itu sudah rusak. Kau tak perlu kuatir.
Tak perlu kuatir. Tapi coba tebak! Aku kuatir setengah mati. EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
******************************
Lorong-lorong sekolah sudah hampir lengang ketika Shari dan
aku sampai. Bel pertama sudah berdering.
Kusembunyikan kamera itu di bawah barang-barang yang
menumpuk di dasar locker-ku. Pelajaran bahasa Inggris baru nanti,
sebelum istirahat makan siang. Dan aku tidak mau mengambil risiko
Brian atau Donny atau siapa saja merebut kamera itu dan mengotakatiknya.
Aku membanting pintu locker dan menguncinya. Kemudian aku
melambaikan tangan kepada Bird dan Michael, yang sedang bergegas
ke ruang kelas. Sebenarnya aku ingin memberitahu mereka bahwa aku sudah
mengambil kamera itu. Dan aku ingin bercerita tentang Jon dan
kakinya yang kena paku. Tapi akhirnya aku sadar lebih baik diam saja.
Michael dan Bird sependapat dengan Shari. Mereka juga
keberatan aku mengambil kamera itu lagi. Mereka juga ngeri
membayangkan apa yang mungkin terjadi.
Aku masuk ke ruang kelas tepat ketika bel terakhir berdering.
Aku segera menyelinap ke kursiku dan berusaha tidak menarik
perhatian. Jam pelajaran Mr. Saur masih lama.
Ini pertama kali aku tidak sabar menunggu pelajaran si Muka
Masam! Sekali lagi aku tidak mendengar sepatah kata pun yang
diucapkan guru-guruku yang lain. Waktu pelajaran ilmu bumi, Mrs.
Wackman terus berceloteh mengenai produksi bauksit di Amerika
Selatan. Rasanya aku ingin mengangkat tangan untuk menanyakan
apa bauksit sebenarnya! Sudah lama aku penasaran tentang bauksit.
Kalau tidak salah, bauksit sejenis mobil buatan Amerika Selatan. Tapi
aku tidak tahu pasti. Semakin lama aku semakin tidak mendengar suaranya. Aku
sibuk memikirkan apa yang mesti kukatakan kepada Mr. Saur nanti.
"Mr. Saur," aku hendak berkata, "Anda melakukan kesalahan
besar kemarin. Tapi tidak apa-apa. Saya tahu Anda akan bersikap adil
dan segera mengubah nilai saya begitu Anda melihat apa yang saya
bawa." Wah. Terlalu kaku, ujarku dalam hati. Kedengarannya bukan seperti
aku. Aku tak bakal bisa mengucapkan semua kata itu.
Aku mencoba pendekatan lain. "Ini kamera yang mengandung
kutukan, Mr. Saur. Dan ini foto yang diambilnya dari anak laki-laki
yang kebetulan bertemu saya. Semenit kemudian, foto ini menjadi
kenyataan. Anda minta agar saya membawa bukti" nah, ini
buktinya." Begitu lebih baik, pikirku. Langsung ke inti persoalan.
Apakah dia akan percaya"
Ia harus percaya, aku berkata dalam hati. Foto kan tidak
mungkin bohong. Ia harus mengubah nilaiku.
Aku menatap jam dinding yang terpasang di atas papan tulis.
Kenapa jarumnya bergerak begitu lamban" Kenapa"
Akhirnya bel berdering. Aku langsung berdiri, berlari keluar,
dan menuju locker-ku. Bird memanggilku dari ujung lorong. Tapi aku
berlagak tidak mendengarnya.
Kukeluarkan kamera itu dari tempat aku menyembunyikannya,
kemudian aku membanting pintu locker. Dengan hati-hati aku
mengepitnya di bawah lengan.
Aku melihat Sumo Satu dan Sumo Dua di ujung lorong. Mereka
sedang mendorong-dorong anak kelas lima ke pintu locker. Anak itu
mondar-mandir seperti yoyo. Itulah hobi mereka. Mendorong-dorong
anak lain. Dan coba tebak siapa yang termasuk paling sering didorongdorong"
Betul sekali. Aku. Aku langsung berbalik dan menuju arah berlawanan. Aku
sedang tidak berminat didorong-dorong. Dan aku tidak ingin Brian
dan Donny tahu aku membawa kamera.
Aku mengambil jalan memutar ke ruang kelas Mr. Saur.
Kamera itu kupegang erat-erat. Aku berlari sambil melatih kata-kata
yang akan kuucapkan. Beberapa anak sedang mengobrol di depan ruang kelas dan
menghalangi jalanku. "Minggir!" aku berseru sambil menerobos. Aku
ingin menemui Mr. Saur sebelum bel berdering.
Terburu-buru aku masuk ke ruang kelas. Mataku berkedipkedip silau karena cahaya terang bende?rang yang masuk melalui
jendela-jendela. Aku memalingkan wajah dan bergegas ke meja Mr. Saur.
Tapi di tengah jalan aku berhenti.
Jantungku nyaris copot. Dan aku memekik tertahan karena
kecewa. 14 "BISA saya bantu?" tanya wanita muda yang duduk di belakang
meja Mr. Saur. "Kau tidak apa-apa?"
Aku menatapnya sambil melongo. Aku tidak menjawab


Goosebumps - Bergaya Sebelum Mati 2 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertanyaannya. Aku menggenggam kamera itu dengan dua tangan
karena takut jatuh. "D-di mana Mr. Saur?" aku akhirnya bertanya dengan susah
payah. "Dia sedang kurang enak badan," wanita muda itu menyahut
sambil mengamatiku. "Saya Ms. Rose. Saya menggantikan Mr. Saur
hari ini." "D-dia tidak di sini?" aku tergagap-gagap dengan nada
melengking tinggi. Ia mengangguk. "Saya yang mengajar hari ini. Ada yang bisa
saya bantu?" Aku menatap kamera di tanganku. "Tidak," aku bergumam
dengan perasaan galau. "Tidak. Anda tidak bisa menolong saya."
Ruang kelas tak pernah seriuh sekarang kalau Mr. Saur yang
duduk di belakang meja. Teman-teman sekelasku tertawa-tawa dan
berseru-seru. Malah ada yang menimpukku dengan kertas yang telah
diremas-remas. Bola kertas itu menghantam pundakku, lalu memantul
ke meja Ms. Rose. Aku mendengar tawa dari baris paling belakang.
Kami selalu bertingkah kalau ada guru pengganti.
Kalau seorang guru tidak datang, itulah saatnya kami berulah
macam-macam. Tapi hari ini aku tidak berminat ikut bersorak-sorai.
Soalnya aku kecewa sekali.
Aku mulai menuju ke tempat dudukku"lalu kembali berpaling
kepada Ms. Rose. "Apakah saya boleh keluar sebentar?" aku bertanya.
"Ada yang perlu saya simpan di locker," aku menambahkan sambil
memperlihatkan kamera di tanganku. "Sebentar saja. Locker saya di
depan situ." Aku menunjuk ke lorong.
Bel terakhir berdering. Ms. Rose menutup telinga dengan dua
tangan. Belnya dipasang di langit-langit tepat di atas mejanya.
"Oke," ia berkata setelah bel berhenti berdering. "Tapi segera
kembali. Hari ini kita akan membahas subjunctive tense. Jangan
sampai ketinggalan."
Aku mengucapkan terima kasih dan bergegas ke pintu. Lorong
panjang telah lengang. Semua murid sudah masuk ke ruang kelas
masing-masing. Rahasia Pedang Naga Langit 1 Raja Petir 11 Penguasa Danau Keramat Pendekar Mata Keranjang 5

Cari Blog Ini