Goosebumps - Kulit Manusia Serigala Bagian 2
"Apakah di kelas ini ada yang percaya bahwa manusia serigala
itu betul-betul ada?" dia bertanya.
Aku mendengus. Kurasa tak ada anak yang akan mengangkat
tangan. Betapa herannya aku, semua anak mengangkat tangan.
"Kalian semua percaya manusia serigala itu ada!" kata Mr.
Shein. "Ya, kami percaya," kudengar Arjuna bergumam pelan.
"Ya, kami percaya," Sean mengulangi.
Aku menoleh dan menyadari bahwa mereka berdua tajam
menatapku. Aku tiba-tiba merasa ngeri. Kenapa sih mereka" Kenapa
tingkah mereka aneh sekali"
16 USAI sekolah Sean dan Arjuna mendatangi tempat dudukku. Di
luar terdengar pintu-pintu locker dibanting menutup. Lorong terdengar
ramai dipenuhi teriakan dan canda-tawa.
Kedua anak itu menatapku dengan serius. "Ada apa?" kusapa
mereka, seraya menutup ranselku.
Mr. Shein melambai dan meninggalkan kelas, menenteng
tasnya yang penuh sesak. Hanya tinggal kami bertiga di dalam kelas.
"Bagaimana rasanya?" tanya Sean.
"Aneh rasanya masuk sekolah yang baru?" tanya Arjuna.
"Yah. Agak aneh," kataku. "Terutama karena aku tahu aku
hanya akan berada di sini beberapa minggu saja."
"Kau beruntung!" gurau Arjuna. "Sean dan aku terpaksa
menetap di sini." "Wolf Creek tidak begitu parah," kataku. Kulempar ranselku ke
bahu. Kedua anak itu menatapku tajam. Mereka tidak mengatakan
apa-apa. Sean memasukkan tangannya ke dalam kantung celana
komprangnya. Arjuna memutar-mutar cincin di kelingkingnya.
Akhirnya Sean memecahkan keheningan. "Kau tidak percaya
manusia serigala itu ada," katanya pelan.
"Huh" Yah... " aku ragu-ragu.
"Kau tadi tidak ngacung," Arjuna menambahkan. "Yang lain
semua ngacung." "Yah, aku tahu," jawabku. "Aku memang tidak percaya.
Maksudku... begini. Ini kan sudah hampir abad dua-satu. Ada orang
dengan wajah berbulu berkeliaran di jalanan" Yang benar aja!"
Aku bermaksud melucu. Tetapi mereka tidak tertawa. Mereka
tetap menatapku dengan wajah serius.
"Manusia serigala benar-benar ada," kata Arjuna pelan. "Kami
bisa membuktikannya."
"Benar," jawabku melecehkan, sambil memutar-mutar mata.
"Kelinci Paskah juga benar-benar ada. Aku pernah melihatnya naik
bus di Cleveland." "Kami bisa membuktikannya, Alex," Arjuna ngotot. "Kami bisa
menunjukkannya kepadamu."
"Manusia serigala asli," Sean menambahkan.
"Tidak, terima kasih," kataku. "Aku sebetulnya..."
"Kau bisa memotretnya," Arjuna memotong.
"Ya. Kau bisa menghabiskan satu rol!" seru temannya.
Perkataan mereka membuatku berpikir. Aku ingat lomba foto
yang akan kuikuti. Aku perlu foto Halloween"foto Halloween yang
benar-benar bagus" untuk diikutkan lomba.
Mereka mendekatiku, mengepungku, sampai aku terpaksa
mundur dan menabrak ambang jendela.
"Kau mau melihat manusia serigala, Alex?" Sean menuntut.
"Mau memotret manusia serigala beneran?" Arjuna bertanya.
Mereka menatapku tajam, menantangku.
"Apa yang harus kulakukan?" tanyaku.
17 BIBI Marta tertawa. "Ya ampun, Hannah... tampangmu parah
betul!" serunya, tangannya menekap pipi.
"Terima kasih!" Hannah membungkuk dalam. "Terima kasih!"
Sesudah makan malam, Hannah datang untuk memamerkan
kostum Halloween-nya. Ia berubah pikiran, tidak lagi mau jadi bajak
laut. Kostum pilihannya sudah dideskripsikan. Ia mengumpulkan
baju-baju lama, dipereteli, lalu dijahit kembali menjadi satu.
Salah satu kaki celana komprangnya berwarna cokelat, satunya
lagi hijau. Bagian lututnya ditambal kain kotak-kotak. Ia memakai
baju tambal-tambal dalam berbagai warna, kuning, biru, merah...
warna apa saja yang ada. Jaketnya lebih warna-warni lagi. Masih
ditambah topi kain yang melorot terus menutupi wajahnya. "Kau ini
maksudnya jadi apa?" tanyaku. "Toko loak?"
Hannah tidak tertawa. "Aku boneka perca," jawabnya. "Masa
kau tidak bisa menebak?" Ia menarik jaketnya. "Kain perca?"
Bibi Marta dan Paman Colin tertawa. Aku senang melihat
mereka gembira. Waktu makan malam tadi mereka berdua kelihatan
tertekan. Mereka hampir-hampir tak mengajakku bicara.
"Ada lagu tentang boneka perca," kata Bibi Marta. "Kau ingat,
Colin?" Pamanku menggeleng. "Aku tak ingat apa-apa lagi," jawabnya.
"Masih untung jika aku ingat bangun di pagi hari!"
"Oh, jangan begitu, Colin!" Bibi Marta mencela. Dengan
bergurau disodoknya Paman Colin. Lalu ia mulai menyanyi tentang
boneka perca. Hannah menari seperti anak bloon. Tangannya berputar-putar di
atas kepala. Salah satu lengan jaketnya lepas, dan kami semua tertawa.
"Kostummu mana, Alex?" tanya bibiku. "Pakailah. Itung-itung
latihan." "Aku... aku belum menyiapkannya," aku tergagap.
"Kalau begitu, ayo kita cari pakaian tua dan kita buat kostum
untukmu malam ini!" desak Bibi Marta.
"Jangan sekarang. Aku... harus berpikir dulu."
Aku sama sekali tidak memikirkan kostum. Berkali-kali aku
melirik ke luar jendela, memandang langit yang semakin gelap.
Memikirkan apa yang akan kulakukan nanti.
Aku sudah berjanji akan menemui Sean dan Arjuna dalam
hutan di tepi sungai. Tadi mereka memintaku datang membawa
kameraku. Mereka bilang manusia serigala datang ke tempat itu setiap
malam waktu bulan tepat berada di titik paling tinggi di langit.
"Manusia serigala itu melolongi bulan," bisik Arjuna tegang.
"Kemudian mereka menunduk dan minum air sungai kecil."
"Tunggu saja sampai kau melihatnya sendiri!"' tambah Sean.
"Bentuknya manusia sekaligus serigala. Setengah manusia, setengah
hewan." Kusipitkan mata menatap mereka. Kucoba menerka, mereka
main-main atau tidak. Ekspresi mereka begitu serius, dan begitu
tegang. Kuputuskan mereka tidak bohong.
Mungkinkah" Betulkah manusia serigala benar-benar ada"
Kubayangkan makhluk yang melolong di jendela Mr. dan Mrs.
Marling. Dan kubayangkan pula kedua binatang yang tercabik-cabik
di hutan. Dicabik manusia serigala"
Bulu kudukku berdiri. Aku tak pernah percaya manusia serigala
itu ada. Tapi aku jarang meninggalkan kota.
Di sini, di kota kecil yang dikelilingi hutan ini, keberadaan
manusia serigala kedengarannya nyata.
"Beranikah kau menemui kami tengah malam nanti?" tanya
Sean. Aku tak ingin kembali ke hutan pada malam hari. Tidak setelah
apa yang pernah kulihat. Tapi aku tak mau mereka tahu aku takut.
Dan aku betul-betul perlu foto hebat untuk memenangkan
lomba. Foto manusia serigala jelas pasti menang! Apa lagi yang bisa
menyainginya" Maka aku setuju menemui mereka tengah malam nanti di hutan.
Tapi sekarang, ketika hari semakin gelap, aku jadi nervous.
Saat aku memandang kegelapan di luar jendela, perutku terasa
mulas. Dan tanganku tiba-tiba berkeringat dingin.
"Alex, apa yang kaupikirkan?" suara Bibi Marta
menyadarkanku. ebukulawas.blogspot.com
"Hah?" aku mengedip dan menggoyangkan kepala.
Semua tertawa. "Kau memandang ke luar jendela dengan
tatapan yang aneh sekali," kata Hannah.
"Oh, cuma memandang bulan," jawabku mengangkat bahu.
"Itu namanya penyakit Gila Bulan!" gurau Paman Colin.
"OOOH, bisa parah nih!"
"Lalu bagaimana?" tanyaku.
"Mana kutahu?" jawab pamanku. "Penyakit itu baru
kuciptakan!" Semua tertawa lagi. Semua sedang gembira. Sayang sekali aku tak bisa santai dan
ikut bergembira. Yang dapat kupikirkan hanyalah menyelinap ke
dalam hutan. Tak lama kemudian Hannah pulang. Aku mengucapkan selamat
tidur kepada paman dan bibiku, lalu mengurung diri di dalam kamar.
Kulirik jam di atas meja. Pukul sepuluh seperempat.
Masih harus menunggu hampir dua jam lagi.
Kuperiksa kameraku. Agar yakin sudah kuisi film kecepatan
tinggi. Kemudian aku duduk membaca majalah fotografi, dan
menunggu. Berharap waktu cepat berlalu.
Mataku menatap halaman majalah. Tetapi aku tak bisa
membaca. Aku tak bisa berkonsentrasi.
Setiap beberapa detik, mataku menatap jam meja.
Kenapa waktu terasa berjalan lamban sekali jika kita sedang
menunggu" Akhirnya, sepuluh menit sebelum tengah malam, kututup
majalahku. Kupakai sweter ekstra, lalu jaketku. Kuraih kotak
kameraku, kusandang talinya di bahu.
Lalu aku berjingkat ke pintu kamar.
Paman dan bibiku mungkin sedang di hutan, memotret
binatang-binatang malam. Tapi siapa tahu malam ini mereka mau
tinggal di rumah. Aku tak mau mereka mendengarku menyelinap ke
luar. Kumatikan lampu kamarku. Kemudian kuputar pegangan pintu
dan kutarik. "Hei"!" Sekali lagi kuputar pegangan pintu dan kutarik.
Kuputar ke arah yang berlawanan dan kusentak keras-keras.
"Gila!" umpatku.
Aku terkunci di dalam. 18 PASTI pintunya macet, pikirku.
Kutarik keras-keras. Berbelas kali. Aku bahkan mencoba
mendorongnya. Tapi pintu itu bergeming. Jelas pintu itu dikunci,
dikunci dari luar. Dengan marah aku berbalik meninggalkan pintu.
Kenapa paman dan bibiku mengurungku" Gara-gara kejadian
semalam" Gara-gara aku ke hutan semalam"
"Tidak bisa begini!" seruku.
Aku berlari ke jendela. Kutarik gordennya dan kucari
pegangannya. Jendela terangkat sedikit... dan aku kaget.
Depannya sudah dipasangi jeruji logam.
Kapan mereka memasangnya" Sore ini"
Aku tawanan! Aku terkurung dalam kamar ini seperti hewan
dalam kandang! "Mereka tak bisa melakukan ini kepadaku!" kataku. "Tak bisa!"
Kubuka jendela lebar-lebar. Kupegang jerujinya dengan kedua
tanganku, kucoba melepasnya.
Tapi jeruji itu bergeming.
Aku masih menarik-narik jeruji ketika kudengar geraman pelan.
Peganganku terlepas dan jeritan kaget terlontar dari mulutku.
Aku ketakutan. Kudengar geraman lain. Kali ini lebih keras.
Dan dekat. Dekat sekali. Lengkingan nyaring terdengar. Dari dalam rumah Mr. dan Mrs.
Marling" Kudekatkan wajahku ke jeruji dan kucoba memandang ke luar.
Jendela kamar mereka terbuka lagi. Tetapi rumahnya gelap pekat. Tak
ada lampu satu pun. Kupicingkan mata ke dalam kegelapan. Bulan sudah
bersembunyi di balik awan. Aku nyaris tak bisa melihat sampai ke
rumah mereka. Dengan wajah masih menempel ke jeruji, kudengar dengkur
binatang. Lalu bunyi berdebam.
Ada sosok hitam meloncat turun dari jendela Mr. dan Mrs.
Marling yang terbuka. Bunyi debam lagi. Sosok hitam lain meloncat
dan berdiri di atas empat kaki.
Salah satu dari makhluk itu mendongak dan melolong, panjang
dan sedih. Lalu keduanya berjalan pergi, ke arah belakang, menuju hutan.
Anjing" Serigala" Manusia"
Aku tak bisa melihat jelas di dalam gelap.
Aku masih memandang ke luar. Awan gelap menyingkir dari
bulan dan kini cahaya keperakan menyelimuti rumah itu.
Tetapi sudah terlambat. Terlambat.
Kedua makhluk itu sudah lenyap.
Aku memukul-mukul jeruji dengan kepalanku.
Sean dan Arjuna menungguku di tepi sungai. Dan aku sama
sekali tak bisa ke sana. Apa yang akan mereka pikirkan" Bahwa aku pengecut" Banci"
Aku kehilangan kesempatan besar untuk memenangkan lomba
foto! Dengan marah kubanting daun jendela.
"Besok malam!" aku memutuskan. "Besok malam aku akan
keluar dari sini. Paman dan bibiku takkan bisa menghalangiku.
"Besok malam aku akan ke hutan dan akan kuselidiki kebenaran
tentang manusia serigala!"
19 "TEGA amat Paman dan Bibi kepadaku!" jeritku. Aku
menerobos masuk ke dapur paginya dan langsung marah-marah.
"Tega amat Paman dan Bibi mengunciku di kamar tanpa
memberitahuku!" seruku.
Bibi Marta meletakkan cangkir kopinya. Dia menatapku dengan
gelisah. Kemudian dia menoleh kepada Paman Colin. "Mungkin
sebaiknya kita beritahu Alex," katanya.
Paman Colin menyipitkan mata menatapku. "Apakah kau
mencoba keluar semalam, Alex?"
"Mmm...," aku ragu-ragu. Aku tak mau memberitahu mereka
apa yang sebetulnya akan kulakukan. "Aku tak suka dikurung dalam
kandang!" protesku. "Umurku sudah dua belas tahun, dan kupikir..."
"Kami minta maaf," potong Bibi Marta. Dia melirik jam
dinding dan menuang semangkuk cornflakes untukku.
Goosebumps - Kulit Manusia Serigala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tapi kami melakukannya untuk kebaikanmu sendiri," Paman
Colin menambahkan. Dilipatnya serbetnya dengan tegang. "Kami tak
punya pilihan lain. Kami tak mungkin membiarkanmu masuk hutan
lagi seperti malam sebelumnya. Berbahaya sekali."
"Kami bertanggung jawab atas keselamatanmu" kata Bibi
Marta, seraya mendorong mangkuk cereal ke arahku. "Kami telah
berjanji pada orangtuamu akan mengembalikanmu dalam keadaan
sehat walafiat. Kami sebetulnya tak ingin menguncimu, Alex. Tapi
kami harus yakin..."
"Tapi... tapi..." aku tergagap.
"Lagi pula Mr. dan Mrs. Marling melapor pada polisi kemarin,"
kata Paman Colin, dahinya berkerut.
"Apa?" teriakku. "Mereka melaporkanku pada polisi?"
Paman mengangguk. "Mereka melapor, kau memata-matai
mereka," katanya. Aku berteriak kesal, "Ngawur saja! Aku tidak memata-matai
mereka! Ngapain juga memata-matai mereka!"
"Oke, oke." Bibi Marta bangkit mendekatiku dan meletakkan
tangannya di bahuku untuk menenangkanku. "Jangan pedulikan Mr.
dan Mrs. Marling. Yang penting, jangan dekat-dekat rumah mereka...
oke?" Aku menoleh menatapnya. "Apakah mereka manusia serigala?"
tanyaku. Paman Colin terperangah. Bibi Marta tertawa pendek. "Hannah yang bilang begitu
padamu?" tanyanya. "Ya...," jawabku.
Bibi menggeleng. "Hannah kalau bergurau memang
keterlaluan," katanya.
"Mr. dan Mrs. Marling hanyalah pasangan aneh dan tidak
ramah," kata Paman Colin. Ia menatap ke luar jendela ke arah rumah
mereka. Lalu menambahkan, "Dua orang galak dengan dua anjing
sangat galak." "Kata Hannah mereka tidak punya anjing," aku ngotot.
Paman Colin mengerutkan wajah. "Bilang sama Hannah, jangan
mengibulimu terus." "Apa maksud Paman?"
"Hannah mencoba menakut-nakutimu, Alex. Jangan percaya
padanya." Bel pintu berdering. Hannah datang menjemputku ke sekolah.
Aku senang bisa meninggalkan rumah. Aku masih marah
karena dikunci dalam kamar.
Dalam perjalanan ke sekolah, aku tidak bercerita pada Hannah
soal itu. Jangan-jangan ia pikir itu lucu. Dan ia akan cerita pada anakanak, bagaimana paman dan bibiku begitu mengkhawatirkan aku,
sehingga aku dikunci dalam kamar seperti bayi.
Aku juga tidak menyebut-nyebut soal anjing Mr.. dan Mrs.
Marling. Aku tak mau bertengkar lagi soal manusia serigala. Akan
kuselidiki sendiri kebenarannya.
Setiba di sekolah, aku menggantung jaketku di dalam locker
dan berjalan ke kelas Mr. Shein. Tetapi saat aku membelok di sudut,
Sean dan Arjuna menghadangku.
Mereka sudah menungguku. Mereka bergerak cepat memepetku
ke dinding. Mata mereka berkilat kesenangan.
"Hei, Alex." Sean menonjok bahuku.
"Lihat manusia serigala baru-baru ini?" tanya Arjuna.
20 "UH... uh..." aku tak tahu harus bilang apa. "Paman dan
bibiku..." Kenapa mereka menatapku dengan aneh begitu" Apakah
mereka sedang mencoba menakut-nakutiku"
Seringai aneh menghiasi wajah Sean. "Asyik di hutan
semalam?" tanyanya. "Ya. Bagaimana rasanya?" Arjuna mendesak. "Berhasil
menangkap manusia serigala, Alex?"
Kudorong mereka dan aku menjauh dari dinding. "Maksud
kalian, kalian tidak ke sana?" seruku.
Keduanya meledak tertawa. Lalu saling tos.
"Tentu saja tidak!" kata Arjuna. "Gila apa. Ngapain ke hutan
tengah malam!" "Tengah malam aku sudah mimpi," kata Sean nyengir.
Mereka tertawa dan saling tos lagi.
Jebakan. Rupanya semua ini hanya jebakan. Mereka tidak
menungguku di hutan tengah malam kemarin. Mereka sama sekali tak
punya niat untuk ke hutan.
"Jadi, bagaimana?" tanya Sean. "Herankah kau, aku dan Arjuna
tidak muncul?" "Tidak. Mana sempat aku memikirkan kalian," kataku.
"Tahukah kalian kenapa" Karena aku terlalu sibuk memotret manusia
serigala!" "Hah?" seru Sean.
Sekarang giliran mereka untuk kaget.
Tentu saja aku bohong. Tapi mereka kan tidak tahu bahwa aku
juga tidak ke hutan. "Apa yang kaulihat?" tanya Arjuna curiga.
"Aku mengikuti manusia serigala," bualku, berusaha keras agar
tidak tersenyum. "Dia berjalan ke sungai dan minum, persis seperti
yang kalian ceritakan."
"Jangan ngibul," gerutu Sean.
"Ya. Ngaco!" Arjuna memutar-mutar matanya. "Kau ngimpi,
kali." "Bisa kubuktikan. Aku menghabiskan satu rol film," kataku
lagi. "Coba lihat," Sean memaksa.
"Belum kucetak," jawabku.
Mereka memandangku, mencoba mengira-ngira apakah aku
tidak bohong. Rasanya aku sudah tak tahan untuk tidak tertawa. Tapi
aku berhasil pasang tampang serius.
Bel berbunyi. "Kita terlambat!" seru Arjuna.
Kami bertiga berlari ke kelas. Kami berhasil sampai di tempat
duduk kami dua detik sebelum Mr. Shein masuk kelas.
Jangan tanya aku apa yang kami bahas pagi itu. Aku tak ingat
sepatah kata pun. Aku sibuk berpikir, memikirkan Sean dan Arjuna. Apa yang
akan kukatakan kepada mereka besok, kalau mereka memaksa melihat
foto manusia serigala"
Haruskah aku mengaku bahwa aku telah berbohong"
Tidak! Aku punya rencana yang lebih baik.
************ "Aku akan menyelinap keluar malam ini dan memotret rumah
Mr. dan Mrs. Marling," aku berbisik ke dalam gagang telepon.
"Apa" Alex" Kenapa kau berbisik-bisik?" Suara Hannah
terdengar nyaring di telingaku.
Aku berbisik karena paman dan bibiku cuma punya satu
telepon. Telepon kuno hitam di atas meja ruang keluarga. Dan mereka
berdua ada di ruang sebelah, menyiapkan makan malam. Aku bisa
melihat mereka dari sofa tempatku duduk.
"Hannah, aku akan bersembunyi di samping rumah," bisikku.
"Dan aku akan menjepret siapa pun"atau apa pun"yang meloncat
keluar dari jendela kamar tidur malam ini."
"Kau ini sakit leher atau bagaimana?" Hannah mendesak. "Aku
tak bisa mendengarmu, Alex."
Aku membuka mulut, siap mengulang apa yang telah kukatakan
tadi, tetapi Bibi Marta keburu masuk. "Makan malam sudah siap,
Alex. Kau menelepon siapa?" tanyanya.
"Hannah," jawabku. "Sudah ya, Hannah," kataku.
"Sampai nanti." Kukembalikan gagang telepon ke tempatnya.
Aku berharap Hannah berminat menyelinap keluar tengah
malam nanti untuk menemaniku. Akan kutanya dia nanti.
********** Sambil menguap, berpura-pura mengantuk, aku masuk kamarku
pukul sepuluh lewat sedikit. Beberapa menit kemudian, kudengar
kunci diputar dari luar. Paman atau bibiku telah mengunciku lagi.
Tapi kali ini aku berhasil mengelabui mereka. Kali ini aku
sudah siap. Sebelum makan malam tadi, aku sudah menjejalkan segumpal
permen karet di lubang kuncinya. Jadi pintunya sekarang tidak benarbenar terkunci.
Sekali lagi kupakai sweter ekstra. Dan kuperiksa kameraku.
Dan aku menunggu, menatap jam mejaku.
Sesaat sebelum tengah malam, kusandang kamera di bahu.
Kubuka pintu dengan mudah. Dan aku berindap-indap keluar rumah,
melangkah di bawah cahaya bulan, siap membongkar misteri Mr. dan
Mrs. Marling. 21 SEKILAS aku mengerling rumah Mr. dan Mrs. Marling.
Kemudian aku berbalik dan melangkah di rumput yang basah menuju
rumah Hannah. Semua lampu padam. Pintu darurat di belakang tidak ditutup.
Angin menamparnya terbuka, seakan mengundangku masuk.
Tapi aku terus berjalan ke jendela kamar Hannah di sisi lain
rumah. Cahaya bulan keperakan menimpa kacanya, membuatnya
seperti cermin yang memantulkan pohon-pohon di depannya.
Aku tak bisa melihat ke dalam, tetapi jendela itu terbuka
beberapa senti. "Hannah...?" aku memanggil dengan bisikan keras. "Hannah...
kau sudah tidur?" Kudengar ada orang bergerak di dalam. Gorden tersibak. "Siapa
itu?" tanya Hannah dengan suara mengantuk.
"Ini aku!" bisikku sambil berjingkat. "Alex. Bukalah jendela."
"Alex" Ngapain kau malam-malam begini?" tanyanya.
"Aku mau memotret Mr. dan Mrs. Marling," aku
memberitahunya. "Ikut yuk, Hannah."
"Apa" Motret?" katanya. "Tapi ini sudah larut malam, Alex.
Aku ngantuk, dan..."
"Setiap malam kudengar lolongan dari dalam rumah mereka,"
kataku. "Dan ada orang"atau entah makhluk apa"meloncat keluar
dari jendela kamar mereka dan berlari ke dalam hutan. Paman bilang
itu anjing mereka, tapi..."
"Aku kan sudah bilang," ia menukas, "Mr. dan Mrs. Marling
tidak punya anjing. Mereka manusia serigala. Aku tahu kau tidak
percaya padaku. Tapi yang kukatakan benar. Paman dan bibimu juga
tahu kalau itu benar. Tapi mereka tak ingin membuatmu takut."
"Itu sebabnya aku ingin memotret mereka," aku menjelaskan.
"Maksudku, aku bisa jadi orang pertama di dunia yang berhasil
memotret manusia serigala! Cepat ganti pakaian, Hannah. Ayolah!"
aku membujuk. "Aku juga ingin kau melihat mereka."
"Kau gila, Alex! Pulang sana!" Hannah menyuruhku. Hannah
mendorong daun jendelanya lebih ke atas, lalu dia muncul.
"Aku tak mau ke sana," dia menolak. "Terlalu berbahaya. Kau
sudah menceritakan tentang dua hewan yang kaulihat. Mereka
dicabik-cabik... betul, kan" Kalau Mr. dan Mrs. Marling melihatmu,
mereka juga akan mencabik-cabikmu!"
Kata-katanya membuatku merinding. Tapi aku sudah bertekad
akan membongkar misteri ini... dan menjepret foto hebat.
"Mereka tidak akan melihat kita!" kataku. "Kita akan
bersembunyi di balik semak-semak di samping rumah."
"Jangan bilang kita," seru Hannah. "Aku tak mau ikut, Alex.
Aku takut. Sebaiknya kau juga pulang saja, Alex."
"Ayo dong, Hannah!" bujukku. Kutarik lengannya. "Ayo
keluar, Hannah. Kau juga ingin melihat manusia serigala, kan?"
"No way!" Ia menarik kembali lengannya. "Pulanglah, Alex," ia
mengulangi. "Ini bukan permainan. Ini berbahaya."
"Dengar, Hannah..."
Tapi Hannah sudah menutup jendelanya.
Aku nanar menatap bayangan pepohonan di kaca jendelanya.
Mungkin Hannah benar. Mungkin yang kulakukan ini salah besar.
Mungkin ini terlalu berbahaya. Kalau aku tertangkap Mr. dan Mrs.
Marling... Aku kaget mendengar geraman pelan.
Tubuhku serasa membeku. Aku tak perlu menoleh. Aku mengenali bunyinya.
Manusia serigala... diam-diam dia sudah mengendap-endap
sampai di belakangku. 22 TERDENGAR lagi geraman. Aku menjerit.
Saking ketakutan lututku terasa lemas dan aku jatuh terduduk.
Kutarik napas dalam-dalam. Aku berbalik untuk menghadapi makhluk
itu. Tidak. Tak ada. Tak ada siapa-siapa. Aku menelan ludah. Sekali lagi menelan ludah. Mulutku tibatiba terasa kering.
Terdengar lagi geraman. Kusadari dari mana datangnya bunyi
itu. Dari halaman belakang rumah Mr. dan Mrs. Marling.
Mereka siap meloncat dari jendela kamar, pikirku. Itu bunyi
yang tiap malam kudengar sebelum mereka meloncat dari jendela
kamar. Dan aku berdiri di alam terbuka begini. Aku akan langsung
terlihat mereka! Kakiku terasa diganduli beban berat. Tapi aku mengertak gigi,
menarik napas dalam-dalam... dan memaksa diri untuk bergerak.
Sepatu ketsku licin menginjak rumput basah. Aku terpeleset,
tapi tidak jatuh. Aku terhuyung menuju semak yang memisahkan rumah paman
dan bibiku dari rumah Mr. dan Mrs. Marling.
Aku berjongkok. Napasku ngos-ngosan. Jantungku berdetak
begitu kencang, sampai dadaku terasa sakit.
Kutundukkan kepala. Lalu kuraih tali kameraku.
Lolongan nyaring melengking terdengar dari jendela kamar Mr.
dan Mrs. Marling yang terbuka. Cahaya bulan membuat bagian
samping rumah mereka berkilat.
Halaman tampak seterang di siang hari. Rerumputan dan
dedaunan berkilau berselimut embun.
Menunduk di balik semak, aku bisa melihat setiap helai daun
dan rumput yang berembun.
Kutarik ritsleting kotak kameraku. Aku harus segera
mengeluarkan kameraku. Tapi tanganku gemetar hebat, sampaisampai aku tak bisa menggerakkan ritsleting itu.
Bunyi geraman yang terdengar lagi membuatku menoleh ke
jendela. Ada bayangan bergerak. Ada kaki keluar jendela. Kaki satunya lagi. Sosok yang langsing mendarat di tanah.
Semuanya terjadi begitu cepat. Seakan waktu diputar agar cepat
berlalu. Dengan mata masih terpaku ke jendela, aku berjuang membuka
kotak kameraku. Ada sosok lain merangkak keluar dari jendela Mr. dan Mrs.
Marling. Dua sosok berdiri di tanah dan menggeliat.
Goosebumps - Kulit Manusia Serigala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dua manusia! Bukan serigala. Manusia. Apa yang mereka pakai"
Jubah" Jubah berbulu warna gelap, terentang di bahu mereka,
tergantung sampai ke bawah.
Mereka memunggungiku. Aku tak bisa melihat wajah mereka.
Dengan tangan di pinggang, mereka menggeliat.
Mencondongkan tubuh ke belakang, membungkuk ke depan, meliuk
ke samping kiri dan kanan, seakan melakukan pemanasan sebelum
jogging. Kemudian mereka mendongak menatap bulan... dan melolong.
Menolehlah! Aku ingin melihat wajah kalian!
"Ohhhh...," aku menjerit tertahan melihat jubah mereka mulai
bergerak menyelubungi mereka, menjadi menyempit pas di badan.
Saat itu kusadari itu bukan jubah. Itu sejenis kulit binatang.
Kulit berbulu. Dengan tangan. Dan kaki....
Kulit itu menyelubungi dengan ketat kedua tubuh manusia itu.
Bulunya langsung menyebar menutupi seluruh tubuh, kepala, kaki,
lengan, dan tangan mereka.
"Ohhhh..." Tubuhku gemetar hebat, sampai kameraku terlepas.
Aku duduk meringkuk ketakutan. Berusaha menenangkan diri.
Kedua sosok itu melolong lagi, mengangkat kedua lengan
mereka yang berbulu ke atas kepala mereka. Kuku yang berkilauan
muncul dari cakar mereka.
Kedua makhluk itu bergurau saling cakar, berpura-pura saling
menyerang. Sambil menggeram dan terengah-engah, keduanya lalu
berdiri di atas empat kaki.
Mereka bukan lagi manusia.
Binatang... serigala.... Hannah benar. Ia tidak bohong. Mr. dan Mrs. Marling adalah
manusia serigala. Mereka berubah jadi serigala di bawah cahaya
bulan. Sambil mengatur napas, kuraih kotak kameraku. Sekali lagi
kucoba membukanya. Kali ini aku berhasil.
Dan mereka berbalik. Keduanya berbalik ke arahku.
Dua ekor serigala! Mata mereka yang gelap mencorong di bawah dahi yang
berbulu. Moncong mereka yang berbulu membuka, memperlihatkan
deretan gigi tajam binatang.
Manusia serigala. Mr. dan Mrs. Marling adalah manusia
serigala. Manusia dan sekaligus serigala!
Kedua manusia serigala itu saling mengendus, menggeram
pelan. Kuangkat kameraku. Aku berlutut.
Aku harus memotretnya. Sekarang, Alex! perintahku pada
diriku sendiri. Tetapi tanganku bergetar hebat. Bisakah aku memegang kamera
dengan mantap" Potret sekarang! Sekarang!
Mataku mengintip lensa. Kuangkat diriku sedikit lebih tinggi,
agar bisa melihat dari atas semak.
"Ohhh." Pas aku mengangkat tubuh, ada ranting tajam
menggores pipiku. Dan kameraku terjatuh! Mendarat di rumput dengan bunyi BLUK.
Kedua manusia serigala menoleh.
Dan melihatku! 23 KUJATUHKAN diriku ke tanah. Aku bertiarap.
Aku terengah. Aku bernapas lewat mulut, berusaha untuk tidak
bergerak, tidak membuat suara.
Apakah mereka melihatku"
Kuangkat kepala sedikit untuk mengintip mereka dari bawah
ranting-ranting semak. Kedua moncong mereka terangkat. Mereka mengendus-endus.
Apakah mereka bisa membauiku" Tahukah mereka aku
bersembunyi di sini"
Apakah mereka segera akan meloncat menubruk semak dan
mencabik-cabikku dengan kuku cakar mereka yang berkilat-kilat"
Aku menahan napas, kusipitkan mata mengawasi mereka.
Mereka mengendus-endus lagi, menggeram pelan.
Kemudian mereka berbalik. Dengan empat kaki mereka
berjalan ke hutan. Aku menunggu sampai tak kudengar lagi langkah kaki ataupun
geraman pelan mereka. Kemudian aku meluncur dengan perutku,
mengulurkan tangan meraih kameraku.
Kameraku! Aku belum menjepret apa-apa. Belum satu foto pun.
Aku berdiri dengan kaki gemetar dan mengelap embun di lensa
kamera. Kemudian kutatap hutan.
Aku harus mengikuti mereka.
Aku harus memotret mereka. Kesempatan begini cuma sekali
seumur hidup! Kalau aku bisa jadi orang pertama yang memotret manusia
serigala beneran, aku akan terkenal! Kubayangkan fotoku di korankoran dan majalah. Kubayangkan foto Mr. dan Mrs. Marling hasil
jepretanku dipamerkan di galeri-galeri bergengsi.
Dan kubayangkan betapa Paman Colin dan Bibi Marta akan
membanggakanku. Pikiran itu membuat punggungku dialiri rasa dingin. Paman
Colin dan Bibi Marta... mereka sedang bekerja di hutan sekarang.
Sibuk memotret binatang-binatang malam.
Tahukah mereka ada dua manusia serigala berkeliaran"
Tahukah mereka dua manusia serigala menjelajahi hutan, berburu
mangsa" Mereka dalam bahaya. Tentu saja membuntuti dua manusia serigala ke dalam hutan
perbuatan gila... dan berbahaya. Tapi sekarang aku punya dua alasan
untuk mengejar mereka. Aku harus memotret mereka... dan memperingatkan paman dan
bibiku. Dengan mata masih menatap hutan, kumasukkan kembali
kamera ke dalam kotaknya dan kusandang di bahu. Kemudian aku
menyeberangi halaman belakang, menuju ke hutan, mengikuti jejak
cakar yang masih jelas di rumput yang basah.
Aku berjalan menunduk menghindari ranting-ranting pohon,
mengikuti jalan setapak. Cahaya bulan menembus celah dedaunan,
membuat pola-pola mengerikan di tanah.
Belum jauh berjalan aku sudah berhasil mengejar mereka. Tepat
sesudah pohon laki-laki tua bungkuk, kudengar geraman pelan,
kemudian jeritan serangan.
Aku berhenti dan mengintip dari balik semak cemara. Dengan
moncong terbuka lebar dan cakar terangkat tinggi, kedua manusia
serigala itu meloncat menyerang.
Mereka berhasil menangkap seseorang! Aku membeku
ketakutan. Siapakah itu" Bibiku" Pamanku"
24 DUA manusia serigala itu berkutat dengan mangsa mereka.
Kudengar jerit kesakitan. Kemudian kulihat empat kaki
mencuat ke atas. Bukan manusia, ternyata. Mereka berhasil menangkap rusa.
Bayi rusa. Mereka akan memangsanya. Mereka akan mencabik-cabiknya.
Apa yang bisa kulakukan" tanyaku pada diri sendiri. Bagaimana
aku bisa menyelamatkan rusa itu"
Aku tidak berpikir. Aku ketakutan sekali, sehingga tak bisa
berpikir jernih. Kuangkat kepalaku. Dan aku melolong keras seperti serigala.
Suaraku bergema di antara pepohonan.
Kedua manusia serigala yang menggeram-geram itu
menghentikan serangan mereka. Mereka mengangkat kepala.
Mereka menoleh ke arahku.
Sekejap, tapi cukup waktu bagi si bayi rusa untuk merayap
bangun. Rusa itu menggoyangkan tubuh"seperti anjing kalau habis
dimandikan"lalu berlari menembus pepohonan.
Kedua manusia serigala mengendus-endus udara dengan
berang. Kelihatannya mereka tidak menyadari bayi rusa itu telah
kabur. Mata mereka berkilat kemerahan dalam cahaya pucat bulan.
Mereka berbalik, sambil menggeram marah.
Menundukkan kepala. Dan berlari menerjangku. 25 AKU terhuyung mundur. Ketakutan sekali sampai tak bisa bergerak.
Tak ada waktu untuk kabur.
Tanah serasa bergetar di bawah entakan kaki-kaki serigala.
Kubuka mulutku untuk berteriak... tapi tak ada suara yang
keluar. Moncong kedua serigala mengatup dengan bunyi keras. Mata
merah mereka berkilat seakan menyala.
Kuangkat tangan ke depan wajahku, seakan untuk
menamenginya. Siap menerima serangan mereka.
Dan kedua serigala itu berbelok. Berbelok tajam ke kanan,
berlari bersama-sama. Seekor kelinci cokelat kurus berlari di jalan setapak.
Kedua serigala itu berpaling dariku untuk mengejar si kelinci!
Sambil menggeram-geram berang, mereka menundukkan
kepala... dan dengan mudah menangkap si kelinci.
Makhluk kecil itu tak berdaya melawan.
Salah satu serigala mencaplok lehernya. Satunya lagi merobek
perutnya dengan kelaparan.
Sambil terengah, kuraih kotak kameraku. Dan kusentakkan
keluar kameranya. Tanganku gemetar saat aku mengintip dari lensa. Tapi kucoba
memantapkan kamera dalam genggaman kedua tanganku.
Dan kutekan tombolnya. Sekali lagi. Aku memotret kedua serigala yang sedang mencabik si kelinci
menjadi dua. Dan saat mereka berdua berdampingan melahapnya.
Saat keduanya selesai, tak ada yang tersisa dari kelinci itu.
Sambil menjilati gigi, mereka berbalik dan berjalan masuk di antara
pepohonan. Sambil memegang kamera di depanku, aku mengikuti mereka.
Kurasa aku dalam keadaan shock. Aku tahu aku tak bisa
berpikir jernih. Aku malah nyaris tak berpikir!
Aku tadi hampir saja menjadi mangsa kedua manusia serigala
itu. Nyaris saja nasibku sama dengan si kelinci malang.
Tapi aku tahu aku harus membuntuti mereka. Aku harus tetap
berada dalam hutan. Aku harus memperingatkan paman dan bibiku. Aku harus
menemukan mereka dan memberitahukan bahwa pendapat mereka
tentang Mr. dan Mrs. Marling salah. Bahwa apa yang dikatakan
Hannah benar. Aku harus memberitahu mereka bahwa mereka dalam bahaya.
Dan aku harus memotret lebih banyak lagi.
Aku baru saja mengalami kengerian yang luar biasa. Jantungku
berdebar keras. Tangan dan kakiku terasa lemas. Aku tidak merasa
seperti diriku sendiri. Aku merasa berada di luar diriku, mengamati
diriku. Tapi aku tahu aku tak bisa berlari pulang. Tidak sebelum paman
dan bibiku selamat. Aku membuntuti kedua manusia serigala itu dari jarak lumayan
jauh. Cukup jauh untuk segera menyelinap ke balik pohon atau semak
jika salah satu dari mereka menoleh. Dan kameraku sudah terangkat,
siap menjepret mereka. Mereka berjalan pelan menuju sungai kecil. Kuawasi mereka
menundukkan kepala dan menjilati air dengan bunyi kecap-kecap.
Sekarang mereka sama sekali tidak mirip manusia. Tubuh
mereka sudah berubah menjadi tubuh serigala. Wajah mereka pun
sama sekali tidak meninggalkan tanda-tanda manusia. Mata mereka
yang berkilat adalah mata binatang.
Mereka minum cukup lama. Haus, setelah makan malam,
kukira. Kusiapkan kameraku dan aku menjepret beberapa kali.
Sayang Hannah tidak ikut bersamaku. Aku ingin ada orang lain
bersamaku, ikut menyaksikan apa yang kusaksikan.
Aku tak sabar ingin kembali dan memberitahu Hannah bahwa
dia benar. Bahwa Mr. dan Mrs. Marling benar-benar manusia serigala.
Kedua manusia serigala itu tiba-tiba mengangkat kepala dari
air, menoleh dan mengendus-endus udara.
Apakah mereka membauiku atau mangsa lain"
Aku menyelinap ke balik batang pohon besar dan menahan
napas. Ketika aku hati-hati mengintip, mereka sedang berjalan
menyusuri sungai. Kutunggu sampai mereka sudah berjalan agak jauh,
kemudian aku mengendap-endap mengikuti mereka.
Aku mengikuti kedua manusia serigala itu sepanjang malam.
Aku sudah menghabiskan satu rol film, dan sudah memasang satu rol
baru. Aku sudah berhasil memotret mereka sedang berdiri di atas kaki
belakang mereka yang berbulu, melolongi bulan. Dan aku juga sudah
memotret adegan-adegan mengerikan saat mereka memangsa
binatang-binatang kecil. Dan aku mencari paman dan bibiku. Aku harus
memperingatkan mereka, menceritakan kepada mereka apa yang telah
kulihat. Sementara aku berjalan membuntuti mereka, ketakutan
sekaligus bersemangat, aku sama sekali lupa waktu. Seakan aku
berjalan dalam mimpi. Yang kualami rasanya tidak nyata.
Akhirnya langit merekah merah. Betapa terkejutnya aku,
rupanya hari hampir subuh.
Kedua manusia serigala itu berjalan pelan sekarang.
Langkah-langkah serigala mereka telah berubah menjadi
langkah kaki manusia yang kaku.
Saat mereka melangkah keluar hutan memasuki halaman
belakang rumah mereka, mereka berdiri di atas kaki belakang mereka.
Dengan canggung mereka berjalan ke arah belakang rumah.
Aku tetap berdiri di dekat pepohonan. Tak berani dekat-dekat.
Langit semakin terang saat matahari merambat naik. Jika mereka
menoleh, mereka dengan mudah bisa melihatku.
Kuangkat kameraku. Tinggal sisa beberapa jepretan lagi.
Kedua manusia serigala itu terhuyung di atas dua kaki menuju
ke samping rumah mereka. Mereka mengangkat tangan mereka yang
berbulu dan menghadapkan wajah mereka ke matahari yang cerah.
"Oh!" Tak terasa aku menjerit kaget, melihat mereka melepas
kulit mereka. Kulit itu dengan mudah mengelupas sendiri.
Goosebumps - Kulit Manusia Serigala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cakar mereka menghilang. Dan kulitnya pun tersibak,
menampilkan tangan manusia.
Saat aku melongo keheranan, kulit serigala yang hitam itu lepas
dari tangan dan kaki mereka, juga dari tubuh mereka.
Mereka berdua memunggungiku.
Kulit berbulu itu berubah menjadi jubah lagi. Kedua manusia
itu menarik dan mencopotnya.
Aku akan melihat Mr. dan Mrs. Marling untuk pertama kalinya!
Mereka menurunkan jubah kulit serigala yang berat itu ke
tanah. Mereka pelan-pelan berbalik.
Dan aku melihat wajah mereka.
26 SAAT cahaya matahari pagi menyinari wajah mereka, aku
nyaris menjerit... ngeri dan tak percaya.
Paman Colin dan Bibi Marta menggeliat, merapikan rambut
beruban mereka, lalu membungkuk memungut kulit serigala mereka.
Paman dan bibiku... merekalah manusia serigalanya!
Paman Colin memandang ke arah hutan. Aku menyelinap
kembali ke balik pohon. Apakah dia melihatku"
Tidak. Seluruh tubuhku gemetar. Aku ingin menjerit, "Tidak! Tidak!
Ini tak mungkin!" Tapi kupepetkan diriku ke pohon dan kututup mulutku rapatrapat. Jangan sampai mereka melihatku. Jangan sampai mereka tahu
aku mengetahui rahasia mereka.
Batang pohon yang licin terasa dingin di dahiku. Aku harus
berpikir. Aku harus membuat rencana.
Apa yang harus kulakukan" Aku tahu aku tak mungkin tinggal
bersama mereka lebih lama lagi. Aku tak bisa serumah dengan dua
manusia serigala. Tapi ke mana aku bisa pergi" Siapa yang akan membantuku"
Siapa yang mau mempercayaiku"
Aku mengawasi paman dan bibiku melipat kulit serigala
mereka. Kemudian Paman Colin membantu Bibi Marta memanjat
masuk lewat jendela kamar Mr. dan Mrs. Marling. Setelah Bibi di
dalam, Paman ikut masuk. "Mr. dan Mrs. Marling!" gumamku. Apakah mereka baik-baik
saja" Apakah paman dan bibiku melakukan sesuatu yang mengerikan
terhadap mereka" Beberapa menit kemudian, Paman Colin dan Bibi Marta keluar
lagi lewat jendela. Kemudian menyeberang, masuk ke rumah mereka
sendiri. Untuk beberapa saat aku tetap memeluk pohon, mengawasi
kedua rumah itu. Berpikir keras.
Apakah Mr. dan Mrs. Marling masih tidur di rumah mereka"
Tahukah mereka ada dua manusia serigala yang masuk ke rumah"
Apakah mereka sendiri juga manusia serigala"
Aku ingin lari. Lari ke jalan dan lari terus meninggalkan tempat
yang mengerikan ini. Tapi aku harus tahu tentang Mr. dan Mrs. Marling, Aku tak bisa
pergi tanpa tahu lebih dulu tentang mereka.
Maka untuk sesaat berikutnya aku masih mengawasi kedua
rumah itu. Tak ada gerakan orang.
Kupaksa diriku meninggalkan hutan, menuju halaman belakang
rumah Mr. dan Mrs. Marling yang tak terawat.
Aku berindap-indap di balik semak-semak dan berkali-kali
melirik rumah paman dan bibiku. Gorden jendela kamar mereka
tertutup. Sambil menahan napas, aku berlari menuju ke jendela kamar
tidur Mr. dan Mrs. Marling. Kuangkat daun jendelanya dan aku
mengintip ke dalam. Gelap. Aku tak bisa melihat apa-apa.
"Terpaksa masuk," gumamku pelan. "Semoga selamat, Alex."
Kuangkat diriku ke ambang jendela, kemudian kuturunkan kaki
ke dalam kamar. Setelah beberapa detik, mataku mulai bisa
beradaptasi dengan kamar yang suram itu. Yang kulihat kemudian
hampir sama mengejutkannya dengan kenyataan bahwa paman dan
bibiku adalah manusia serigala.
Sebab aku tidak melihat apa-apa.
Kamar tidur ini kosong melompong. Tak ada sepotong perabot
pun. Tak ada lukisan atau cermin di dinding. Tak ada karpet di atas
lantai papan yang berdebu.
Saat menoleh ke pintu, aku melihat kedua kulit serigala itu.
Terlipat rapi dan diletakkan bersebelahan di depan lemari dinding.
Sambil menarik napas dalam-dalam, pelan-pelan aku bergerak
ke pintu yang terbuka. Kulongokkan kepalaku ke lorong. Sama. Tak
ada lampu dan kosong melompong.
"Spada?" teriakku dengan suara pelan tercekik. "Halo" Ada
orang di rumah?" Sunyi senyap. Aku menyusuri lorong menuju ke depan rumah. Kuintip semua
ruangan. Semuanya kosong melompong, dilapisi debu tebal.
Aku melangkah ke tengah ruang keluarga. Tak ada perabot. Tak
ada lampu. Tak ada tanda-tanda rumah ini pernah ditinggali!
"Oh, wow!" seruku ketika aku menyadari apa artinya ini.
Suaraku dipantulkan dinding yang kosong.
Tak ada yang tinggal di sini. Mr. dan Mrs. Marling itu tak ada!
Mereka cuma rekayasa paman dan bibiku. Paman dan Bibi
menggunakan rumah ini untuk menyembunyikan kulit serigala
mereka. Mereka menciptakan Mr. dan Mrs. Marling agar orang tak
berani mendekati rumah ini.
Tak ada Mr. dan Mrs. Marling. Tak ada. Tak ada.
Semuanya bohong! Aku harus memperingatkan Hannah. Tak seorang pun aman di
sekitar sini. Kubayangkan paman dan bibiku memangsa kelinci kecil yang
tak berdaya semalam. Kubayangkan mereka menerkam bayi rusa itu.
Aku harus memberitahu Hannah dan keluarganya, pikirku. Dan
kemudian kami harus pergi dari sini... sejauh mungkin.
Cepat aku berbalik dan kembali ke kamar. Aku meloncat keluar
dari jendela, turun di halaman belakang.
Matahari pagi masih berupa bola merah, masih rendah di atas
pepohonan. Embun pagi berkilauan di rerumputan.
"Hannah, mudah-mudahan kau sudah bangun," gumamku.
"Kalau tidak, terpaksa kubangunkan."
Kutinggalkan jendela kamar Mr. dan Mrs. Marling. Aku berlari
menyeberangi halaman belakang menuju rumah Hannah.
Baru enam atau tujuh langkah, aku berhenti dengan terkejut.
Suara nyaring Bibi Marta berdering di belakangku. "Alex... ngapain
kau di luar?" 27 AKU berputar. Lututku lemas. Tanah serasa terangkat,
kemudian anjlok. Bibi Marta berdiri di depan pintu dapur yang terbuka. "Alex,
ngapain kau bangun pagi-pagi begini" Ini hari Sabtu." Matanya
menyipit menatapku dengan curiga.
"Aku... yah..." Aku gemetar hebat, sampai tak bisa bicara lagi!
"Mau ke mana kau buru-buru begitu?" desak bibiku. Kulihat
Paman Colin berdiri di belakangnya.
"Ke rumah Hannah," akhirnya aku bisa juga menjawab. "Untuk
berunding tentang... uh... kostum kami untuk trick-or-treat malam ini."
Pada malam Halloween, anak-anak memang biasa ber-trick-or- treat,
meminta permen dari rumah ke rumah.
Kutatap wajahnya. Percayakah dia padaku"
Kurasa tidak. "Terlalu pagi untuk ke rumah Hannah," Bibi mencela. Dia
memberi isyarat agar aku masuk. "Masuk, Alex. Sarapan dulu."
Aku ragu-ragu. Pikiranku kacau.
Haruskah aku kabur" Lari ke jalan"
Seberapa jauh aku bisa lari sebelum mereka berhasil
menangkapku" Paman dan bibiku dua-duanya manusia serigala. Jika
mereka berhasil menangkapku... apa yang akan mereka lakukan
padaku" Apakah aku akan menjadi sarapan mereka"
Tidak. Aku memutuskan untuk tidak lari. Tidak sekarang. Tidak
sebelum aku punya kesempatan ngomong ke Hannah.
Kurasakan tatapan Bibi Marta saat aku melangkah pelan masuk
rumah. Paman Colin menggumamkan selamat pagi. Ia juga menatapku
tajam-tajam. "Bangun kepagian?" tanyanya.
Aku mengangguk dan duduk di depan meja makan.
"Marta dan aku bekerja semalaman," Paman Colin melapor. Dia
menguap. "Kami dapat foto bagus-bagus."
Bohong! aku ingin berteriak. Aku membuntuti kalian. Aku
melihat apa yang kalian lakukan. Aku tahu kalian ini apa!
Tapi aku tidak bilang apa-apa. Cuma memandang mangkuk
cereal-ku. Aku makan pagi bersama dua manusia serigala! pikirku.
Perutku terasa mual. Paman dan bibiku berkeliaran di hutan pada
malam hari, membunuh dan mencabik-cabik binatang-binatang.
Aku tak bisa duduk di sini lebih lama lagi! Aku bangkit.
Tapi Paman Colin menekan bahuku. "Santai saja, Alex. Nikmati
sarapanmu," katanya pelan.
"Tapi, aku..." Aku tak tahu harus bilang apa. Aku ketakutan
sekali sampai tak bisa makan. Aku ingin dia melepaskan tangan dari
bahuku. Tangannya membuatku gemetar.
"Ini hari Halloween," kata Paman Colin. "Kau akan bergadang
sampai larut, malam ini."
"Nikmati sarapanmu," Bibi Marta nimbrung.
Mereka menatapku memaksa diri menelan cornflakes. Mereka
tidak tersenyum. Mereka mengawasiku dengan dingin.
Mereka tahu aku membuntuti mereka. Mereka tahu bahwa aku
mengetahui rahasia mereka.
Mereka pasti takkan melepasku.
"Uh... aku harus ke rumah Hannah sekarang," kataku, berusaha
kedengaran tenang dan gembira. Kudorong kursiku ke belakang dan
aku bangkit. Tapi aku merasakan Paman Colin mencengkeram bahuku lagi.
Cengkeramannya kuat dan tak dilepaskan.
"Alex, ikut aku," perintahnya.
28 TANGANNYA tetap kencang mencengkeram bahuku saat ia
menggiringku ke dalam garasi. Dia berjalan cepat tanpa berbicara
sepatah kata pun. Bisakah aku melepaskan cengkeramannya dan kabur" Sejauh
mana aku bisa kabur"
Dia melepaskan cengkeramannya. Apa yang akan
dilakukannya" "Aku minta maaf telah membuntuti Paman," bisikku tercekat.
"Aku... aku tidak akan bilang siapa-siapa tentang apa yang telah
kulihat." Paman tidak mendengarku. Dia telah bergerak ke sudut garasi
dan mengangkat sebuah alat bergagang panjang.
Disorongkannya alat itu kepadaku. "Aku butuh bantuanmu pagi
ini," katanya. "Banyak yang harus dibereskan di halaman."
Aku menelan ludah. "Halaman?"
Paman Colin mengangguk. "Itu pembasmi alang-alang. Kau
pernah menggunakannya?"
"Tidak. Belum," aku mengaku. Pegangannya bergetar dalam
genggamanku. "Gampang kok," katanya. "Aku butuh bantuanmu memotong
semua alang-alang di belakang garasi."
"Ya. Baiklah," jawabku linglung.
"Hati-hati, jangan sampai melempar alang-alang ke halaman
Mr. dan Mrs. Marling," Paman memperingatkan. "Mereka pasti akan
mengawasi setiap gerakanmu. Menunggu kesempatan untuk bisa
mengadukanmu kepada kami."
"Baik," jawabku.
Tak ada Mr. dan Mrs. Marling! aku ingin berteriak.
"Aku akan bekerja bersamamu," kata Paman Colin. Disekanya
peluh di dahinya dengan punggung tangannya. "Bersama-sama kita
akan memberi alang-alang ini pelajaran yang tak akan mereka
lupakan." Dia menyeringai untuk pertama kalinya pagi ini.
Tahukah Paman bahwa aku tahu" Itukah sebabnya dia
menahanku di sini pagi ini"
********* Paman dan aku bekerja seharian di halaman. Setiap kali aku
istirahat sebentar, kulihat dia mengawasiku dengan dingin.
Aku ketakutan sekali. Rasanya ingin kulempar saja alat itu lalu
aku lari. Tapi aku tak dapat kabur tanpa memperingatkan Hannah dan
keluarganya. Mereka harus tahu bahwa mereka juga dalam bahaya.
Aku baru bertemu Hannah sehabis makan malam. Dia
menyerobot masuk ketika kami hampir selesai makan.
"Lihat! Bagaimana penampilanku?" tanyanya. Dia berputar
dalam kostum boneka kain percanya.
"Kau kelihatan hebat sekali!" puji Bibi Marta.
Kening Hannah berkerut ketika ia melihatku. "Alex, mana
kostummu" Ayo. Kau belum siap berangkat trick-or-treat?"
"Uh... masih di atas," kataku. "Tidak lama kok, kalau cuma
ganti pakaian. Uh... ayo bantu aku, oke?"
Boleh dikatakan aku menyeretnya ke kamarku.
"Malam ini cuaca cerah," katanya. "Cocok sekali untuk trick-ortreat. Malam purnama."
Kutarik dia ke dalam kamarku dan kututup pintunya. "Ada
masalah," kataku. Dia membetulkan topi kainnya yang melorot ke dahi.
"Masalah?" "Ya. Paman Colin dan Bibi Marta ternyata manusia serigala."
"Hah?" Dia terbelalak. "Apa katamu?"
Kujelaskan segalanya. Aku bicara cepat, dengan suara berbisik.
Kuceritakan apa yang telah kulihat semalam. "Mereka
menyembunyikan kulit serigala mereka di rumah Mr. dan Mrs.
Marling," aku mengakhiri ceritaku.
"Tapi Mr. dan Mrs. Marling...?" tanya Hannah.
''Tak ada Mr. dan Mrs. Marling!" seruku. "Rumah itu kosong.
Paman dan bibiku menggunakannya untuk menyembunyikan kulit
serigala mereka." Lama sekali Hannah memandangku dengan mulut menganga.
Dagunya bergetar. "Tapi... apa yang akan kaulakukan?" tanyanya
gugup. "Paman dan bibimu...mereka kelihatannya pasangan yang baik.
Mereka selalu bersikap sangat baik kepadaku."
"Mereka manusia serigala!" seruku. "Kita harus memberitahu
keluargamu. Kita harus kabur dari sini. Kita harus mencari bantuan.
Beritahu polisi atau apa."
"Tapi... tapi..." Hannah tak bisa meneruskan. Wajahnya tampak
panik. Tiba-tiba aku mendapat ide lain. "Tunggu!" seruku. "Hannah,
apa kata Mr. Shein tentang manusia serigala yang melepas kulitnya"
Bukankah dia bilang bahwa jika ada orang yang menemukan kulitnya
dan membakarnya, manusia serigala itu akan mati?"
Hannah mengangguk. "Ya. Itu yang dikatakannya. Tapi..."
"Jadi, itulah yang akan kita lakukan!" kataku bersemangat.
Goosebumps - Kulit Manusia Serigala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kita ke rumah sebelah dan..."
"Tapi kau tak ingin membunuh paman dan bibimu, kan?" tanya
Hannah. "Oh. Tidak. Tentu saja tidak," kataku. "Aku ketakutan sekali,
aku jadi tak bisa berpikir jernih. Kupikir tadi..."
"Whoa. Tunggu, Alex!" seru Hannah sambil mencengkeram
lenganku. "Aku tahu apa yang bisa kita lakukan. Aku punya rencana
yang mungkin bisa berhasil!"
29 KUDENGAR paman dan bibiku bergerak di ruang keluarga. Di
luar jendela kamar, bulan purnama bergerak naik dari balik
pepohonan. Serpihan-serpihan awan gelap melayang di atasnya seperti
ular yang menggeliat. Hannah menarikku masuk lebih ke dalam. "Bagaimana kalau
kita menyembunyikan kulit serigala itu?" bisiknya tegang.
"Menyembunyikan?" aku balik berbisik. "Apa gunanya?"
"Paman dan bibimu tak akan bisa menemukannya. Malam akan
berlalu. Mereka tak akan bisa berubah menjadi serigala."
"Jadi, kalau mereka semalam tidak berubah menjadi serigala,
mereka mungkin bisa sembuh!" seruku.
Hannah mengangguk. "Layak dicoba, Alex. Siapa tahu berhasil
dan..." dia berhenti. "Tidak. Tunggu. Aku punya ide yang lebih baik
lagi. Kita saja yang memakai kulit itu!"
"Apa?" seruku kaget. "Kita yang pakai" Kenapa?"
"Karena paman dan bibimu akan mencari kulit itu ke manamana," jawab Hannah. "Mereka akan mencari di setiap rumah, setiap
garasi, setiap halaman. Tetapi mereka tidak akan mencarinya di tubuh
kita! Itu tempat terakhir yang akan mereka tengok!"
"Aku paham," jawabku. "Dan kita akan berusaha jauh-jauh dari
mereka agar mereka tidak melihat kita sampai pagi tiba."
Aku tak yakin apakah rencana ini masuk akal atau tidak.
Hannah dan aku sudah ketakutan sekali, sehingga kami tak bisa
berpikir lagi! Mungkin... mungkin saja... kami bisa menyembuhkan Paman
Colin dan Bibi Marta dengan menjauhkan kulit itu dari mereka sampai
pagi hari tiba. "Ayo kita coba," kataku.
"Oke," balas Hannah. "Cepat... pakai kostum bajak lautmu.
Jangan sampai paman dan bibimu curiga. Sementara kau ganti
pakaian, aku akan menyelinap ke sebelah dan memakai salah satu
kulit serigala itu."
Dia mendorongku ke pakaian tua yang tadi kulempar ke atas
tempat tidur. "Cepat. Sudah malam nih. Temui aku di belakang garasi.
Akan kubawakan kulit serigalamu."
Hannah menghilang di balik pintu. Kudengar dia pamit pada
paman dan bibiku. Dia juga memberitahu mereka akan menungguku
di luar. Kudengar pintu depan dibanting menutup. Hannah sudah dalam
perjalanan ke rumah sebelah untuk mengambil kulit serigala.
Cepat-cepat kupakai baju compang-camping dan celana sobek
yang merupakan kostumku. Kuikatkan bandana di sekeliling
kepalaku. ebukulawas.blogspot.com
Bunyi di pintu kamar membuatku berputar.
"Bibi Marta!" seruku.
Dia berdiri di ambang pintu, menatapku. "Percuma," katanya,
kepalanya menggeleng. "Apa?" tanyaku.
"Alex, percuma saja," ulangnya dengan sedih.
30 BIBIKU cepat melangkah masuk ke dalam kamar.
Aku tak bisa bergerak. Tak ada waktu untuk kabur.
"Percuma. Kostum itu parah sekali," kata Bibi Marta sambil
menggeleng. "Kau perlu didandani. Noda hitam di wajah. Sesuatu
yang bisa membuatmu tidak sebersih ini!"
Aku terbahak. Kukira tadi Bibi Marta sudah mencuri dengar
rencana kami. Ternyata dia cuma ingin memperbaiki kostum bajak
lautku. Perlu beberapa menit bagi bibiku untuk mendandani aku.
Kemudian dia mencari-cari di beberapa laci, sampai ditemukannya
anting-anting emas besar, yang kemudian dipasangnya di sebelah
telingaku. "Nah. Jauh lebih baik," katanya menyeringai. "Sekarang
bergegaslah. Hannah sudah menunggumu."
Aku berterima kasih dan bergegas keluar. Hannah sudah
menungguku. Di belakang garasi. Sudah memakai kulit serigala.
Aku kaget sekali melihatnya. Aneh sekali melihat mata Hannah
menatapku dari atas moncong berbulu.
"Kenapa kau lama sekali?" tanyanya. Suaranya tidak jelas dari
dalam kepala serigala itu.
"Bibi Marta," jawabku. "Dia memperbaiki penampilanku."
Kusipitkan mata menatap Hannah. "Bagaimana rasanya di dalam
situ?" "Sangat gatal," gerutunya. "Dan panas. Ini." Disorongkannya
kulit satunya. "Cepat. Pakailah. Bulan sudah tinggi. Sebentar lagi
paman dan bibimu akan mencari kulit ini."
Kuambil kulit itu dari tangannya. Tanganku terbenam dalam
bulunya yang tebal. Kubuka lipatannya dan kuangkat kulit itu. "Ini
dia!" bisikku. "Aku sudah bilang aku mau jadi manusia serigala
Halloween ini. Ternyata harapanku terkabul."
"Cepatlah!" desak Hannah. "Jangan sampai kita tertangkap
basah." Kutarik kulit serigala itu lewat kepalaku. Ke bawah, menutupi
kostumku. Rasanya sesak. Terutama bagian kakinya. Tapi kepalanya
pas benar menutupi wajahku.
"Kau benar. Gatal," keluhku. "Sesak sekali. Entah aku bisa jalan
atau tidak!" "Kalau sudah dipakai sebentar jadi agak longgar," bisik
Hannah. "Ayo. Cepat pergi dari sini."
Dia memimpin menyeberangi halaman belakang. Kemudian
kami berbelok, menyusuri samping rumah menuju ke jalan.
Blok sebelah sudah ramai. Kudengar anak-anak berteriak,
"Trick-or-treat!"
"Lebih aman kalau kita berada bersama anak-anak yang lain,"
aku mengusulkan. "Maksudku, kalau kita bisa menemukan
rombongan dan ikut terus rombongan itu...."
"Ide yang bagus," jawab Hannah. Kami menyeberang jalan.
Rasanya sudah panas sekali di dalam kulit serigalaku. Keringat
mengucur dari dahiku. Kami berjalan beberapa blok. Tetapi sebagian besar anak-anak
itu lebih muda dari kami. Kami tak berhasil menemukan rombongan
yang bisa kami gabungi. Kami membelok di sudut dan berjalan beberapa blok lagi, ke
lingkungan tetangga. "Hei... lihat siapa itu!" seru Hannah, menyodok lenganku.
Kuikuti pandangannya dan kulihat ada mumi dan robot
membawa kantong trick-or-treat di halaman rumah orang.
"Itu Sean dan Arjuna," seru Hannah.
"Yuk, kita ikut trick-or-treat bersama mereka!" usulku. Aku
berlari mendekati, melambaikan cakarku kepada mereka. "Hoi, Hoi!
Hoi!" Mereka menoleh dan terbelalak menatap kami.
"Tunggu!" teriakku dari dalam moncong berbuluku.
Mereka menjerit. Kantong mereka terjatuh. Lalu mereka lari
secepat kilat, sambil berteriak-teriak minta tolong.
Hannah dan aku berhenti, memandang mereka lari. "Rupanya
kita membuat mereka takut?" kata Hannah tertawa.
"Mungkin, sedikit," jawabku.
Kami berdua tertawa. Tetapi tidak lama. Kudengar langkah-langkah berat berlari di trotoar di belakang
kami. Aku menoleh... dan terkejut melihat paman dan bibiku berlari
dengan berang menuju kami.
"Itu dia!" teriak Paman Colin sambil menunjuk kami. "Tangkap
mereka!" 31 SEJENAK aku terpaku, ngeri melihat paman dan bibiku berlari
mendekati kami dengan wajah begitu geram, begitu putus asa.
"Jangan bergerak!" Bibi Marta memohon. "Kami membutuhkan
kulit itu!" Kakiku menolak untuk bergerak. Tetapi Hannah mendorongku
keras-keras. Dan kami berdua kabur.
Kami berlari membabi buta, melewati lapangan rumput dan
tanah kosong. Kami memotong jalan melewati halaman belakang
rumah orang, lalu menyelundup lewat lubang di pagar tanaman yang
tinggi. Paman dan bibiku terus mengejar, berlari secepat kilat, sambil
terus berteriak-teriak, "Kembalikan kulit kami! Kembalikan kulit
kami!" Suara mereka yang terengah-engah terngiang di telingaku.
Kata-kata mereka menjadi seperti mantra mengerikan.
"Kembalikan kulit kami! Kembalikan kulit kami!"
Kami sudah lari berblok-blok. Semuanya menjadi tidak jelas
bagiku. Kaki serigalaku melangkah berat.
Aku berusaha menjaga keseimbangan. Keringat bercucuran di
wajahku di balik kulit berat itu.
Belok lagi. Lewat beberapa halaman gelap. Kemudian pohonpohon di hutan yang tumbuh miring muncul di depan kami.
Hannah dan aku menerjang masuk hutan, berlarian di antara
pohon-pohon dan alang-alang tinggi. Dan tetap saja paman dan bibiku
mengejar kami, melagukan mantra putus asa mereka.
"Kembalikan kulit kami! Kembalikan kulit kami!"
Kami mendaki bukit kecil yang dipenuhi pohon pinus.
Buah-buah pinus terinjak kaki serigalaku yang berat dan
menggelinding ke bawah bukit. Hannah terjatuh. Dia meneruskan
mendaki dengan cara merayap sampai atas.
"Kembalikan kulit kami! Kembalikan kulit kami!"
Jeritan itu menjadi nyaring dan terengah.
Kemudian"tiba-tiba saja"semuanya seakan berhenti.
Seakan dunia berhenti berputar.
Seakan bahkan angin pun berhenti bertiup di atas bukit kecil ini.
Aku bisa merasakan kesunyian ini.
Paman Colin dan Bibi Marta telah menghentikan mantra
mereka. Sambil terengah, Hannah dan aku menoleh untuk menghadapi
mereka. "Bulannya...," bisik Hannah terengah. Dia menunjuk ke atas.
"Bulan purnama, Alex. Tinggi sekali. Pasti sedang purnamapurnamanya."
Dan saat Hannah membisikkan kata-kata itu, paman dan bibiku
berlutut. Mereka mendongak. Saat cahaya putih bulan purnama
menimpa wajah mereka, aku melihat kesakitan mereka, ketakutan
mereka. Mereka membuka mulut dan melolong panjang menyedihkan.
Lolongan mereka berubah menjadi jeritan mengerikan. Mereka
menjambak-jambak rambut dengan kedua tangan. Memejamkan mata.
Dan berteriak-teriak kesakitan.
"Hannah... apa yang telah kita lakukan?" jeritku.
32 SAMBIL terus menjambaki rambut, paman dari bibiku
menjerit-jerit. Kemudian mereka menurunkan tangan. Dan menutup mulut.
Ketenangan tampak menyelimuti mereka.
Saat Hannah dan aku terbelalak menatap mereka, Paman Colin
dan Bibi Marta saling bantu untuk bangkit. Mereka saling
membersihkan kotoran di badan mereka. Merapikan rambut.
Ketika akhirnya mereka menatap kami, kulihat air mata di mata
mereka. "Terima kasih," keduanya berseru.
"Terima kasih kalian telah menyelamatkan kami!" Paman Colin
menambahkan. Dan kemudian mereka berdua berlari ke atas untuk memeluk
kami, memeluk kami dengan penuh sukacita.
"Kalian telah membebaskan kami dari kutukan!" kata Bibi
Marta. Air mata membanjiri wajahnya. "Bulan telah mencapai
puncaknya di langit, dan kami tidak berubah. Colin dan aku bukan
manusia serigala lagi!"
"Bagaimana kami bisa berterima kasih kepada kalian?" seru
Paman Colin. "Kalian berdua luar biasa. Sangat pemberani."
"Sangat kepanasan.'' gerutuku. "Aku sudah tak sabar lagi mau
melepas kulit gatal ini!"
Semua tertawa. "Ayo kita pulang!" ajak Bibi Marta. "Kita pesta merayakan ini!"
Kami berempat bergegas pulang. Kami bergurau dan tertawa
sepanjang jalan. Paman Colin dan Bibi Marta masuk lewat pintu dapur. "Donat
buatan sendiri!" Bibi Marta berjanji. "Dan secangkir besar cokelat
panas! Bagaimana?" "Kedengarannya lezat sekali!" kata Hannah dan aku.
Hannah berjalan masuk mengikuti mereka. Tapi kutahan dia.
"Ayo kita lepas kulit ini di sebelah," kataku. "Tak ada yang
membutuhkannya lagi. Mari kita buang di rumah kosong itu."
Hannah ragu-ragu. Kelihatannya dia takut masuk lagi ke rumah
kosong yang gelap itu. Tapi aku sudah berlari ke rumah Mr. dan Mrs. Marling. Aku
sudah tak sabar ingin membuka kulit serigala yang panas dan bau ini.
Kuangkat diriku ke ambang jendela yang terbuka, lalu
kuturunkan kakiku ke dalam kamar. Aku melangkah masuk. Cahaya
pucat menimpa lantai papannya.
Hannah meloncat masuk di belakangku. "Alex...?" panggilnya.
Aku mulai menarik lepas kulit serigala yang berat itu.
Tapi sesuatu di dekat lemari dinding menarik perhatianku.
Aku berhenti, lalu berjalan mendekatinya.
Kulit serigala yang masih terlipat tergeletak di lantai dekat
dinding. "Huh?" Aku menjerit terkejut. Dan menoleh ke Hannah. "Kok masih
ada kulit serigala di sini?" tanyaku. "Tadinya cuma ada dua, kan" Satu
kaupakai, satunya lagi kauberikan padaku."
Hannah melangkah ke sampingku. Matanya tak lepas
menatapku. "Aku tidak memakai kulit dari rumah ini, Alex," katanya
pelan. "Aku memakai punyaku sendiri. Aku baru dapat semalam."
"Apa?" seruku. "Aku tidak mengerti."
"Kau akan mengerti," bisiknya.
Dia memukulku jatuh dengan cakarnya yang berat, lalu
membenamkan giginya yang tajam ke dadaku.END
Tumbal Penguasa Samudera 1 Jago Pedang Tak Bernama Bu Beng Kiam Hiap Karya Kho Ping Hoo Senopati Pamungkas 20
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama